B e r i t a Kaum Tani Tidak Ada Demokrasi Tanpa Land Reform
Edisi III
November 2007
Penyiapan Lahan untuk Penanaman (Dok. AGRA Banten)
Tegakkan Kedaulatan Pangan!!! Ganti Ongkos Cetak Rp. 2.500,-
2 Edisi III November 2007
Dari Redaksi Salam Sejahtera! Hal pertama, dari redaksi BKT ingin menyampaikan selamat atas Tidak Ada Demokrasi Tanpa Land Reform diselenggarakannya peringatan Hari Tani Nasional di sejumlah wilayah dan daerah. Berkat perayaan yang meriah dengan antusiasisme dari kaum tani tersebut, sekali lagi masalah-masalah agraria nasional kembali mendapatkan momentumnya untuk diperhatikan oleh seluruh rakyat dan bangsa. Semoga tradisi yang baik ini dapat terus dipartahankan hingga hak-hak sosial ekonomi, politik dan budaya kaum tani dapat diperoleh. Tegakkan Kedaulatan Pangan!!! Selanjutnya, pada edisi ketiga untuk Bulan November 2007 ini, redaksi akan mengangkat tema tentang “Kedaulatan Pangan” dalam tulisannya dan peringatan Hari Tani Nasional 24 september 2007 dalam sejumlah berita dari anggota. Hal ini kami anggap tepat karena berkesesuaian dengan peringatan hari pangan sedunia yang jatuh pada tanggal 16 Oktober 2007. dimana pada peringatan kali ini, Indonesia di percaya sebagai tuan rumah dalam penyelenggaraannya. Acaranya sendiri dilaksanakan di Lampung pada pertengahan Bulan November. Bagi rakyat Indonesia, konsep kedaulatan pangan menjadi tema advokasi dan strategi kebijakan yang penting untuk diadobsi oleh Pemerintah. Mengingat bahwa selama ini, negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia dan sejumlah besar negara di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin, justru dari waktu ke waktu ditimpa oleh situasi krisis pangan dan dipaksa bergantung akan bahan pangan dari negara-negara industri-barat, terutama negara-negara kapitalisme monopoli internasional. Di satu sisi, Negara-negara dunia ketiga atau tepatnya, negara-negara jajahan dan setengah jajahan merupakan negara yang menumpukan pembangunannya pada sektor pertanian, namun didalam kenyataannya justru menjadi negara pengimpor bahan pangan. Ini sungguh ironi dunia yang paling memalukan. Situasi ini, tentu saja bukanlah nasib dan takdir yang harus dengan ikhlas di terima oleh negara-negara agraris tersebut, aka tetapi, akibat dari politik kaum kapitalisme monopoli internasional yang dengan rakus dan hanya mencari untung memaksakan berbagai kebijakan pada sektor pertanian bagi keuntungan kaum imperialisme. Negara-negara imperialisme dan para korporasi kapitalisme monopoli internasional sektor pertanian, semakin melakukan kontrol dan monopoli atas produksi dan distribusi bahan pangan bagi seluruh rakyat di dunia. Kenyataan-kenyataan inilah yang akan dikupas dalam tulisan dan sejumlah artikel dalam edisi kali ini. Akhirnya dari redaksi mengucapkan selamat membaca. Semoga perjuangan kaum tani untuk merebut hak-hak sosial-ekonomi serta hak-hak sipil demokratis lainnya semakin bergelora.
B e r i t a Kaum Tani
Edisi III
November 2007
Penyiapan Lahan untuk Penanaman (Dok. AGRA Banten)
Ganti Ongkos Cetak Rp. 2.500,-
Surat Pembaca Salam Demokrasi..! Salam sejahtera dan semoga kita selalu dalam keadaan sehat dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. sebelumnya saya menyambut gembira dengan diterbitkannya BKT sebagai buletin informasi bagi kaum tani, dan untuk memperbaiki BKT saya ingin memberikan masukan : 1.Kalau bisa ukuran tulisannya bisa lebih diperbesar, karena untuk BKT edisi kedua tulisannya terlalu kecil sehingga agak sulit terbaca. 2.Untuk edisi kedepan, harapannya BKT menyediakan kolom khusus yang membahas materimateri yang bersifat teori seperti : tahapan pembangunan seikat tani, metode memimpin, dan aktifis massa. demikian masukan ini dan, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih Dian AGRA jateng
Salam saya menyambut gembira atas terbitnya Berita Kaum Tani sebagai korannya kaumtani Indonesia, semoga bisa terus terbit. wowon Daftar Isi Dari Redaksi Surat Pembaca Daftar isi Editorial Liputan Mendalam Kajian Utama Kabar Anggota Pendapat
hal 2 2 2 3 4 8 10 14
Diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). Penanggung Jawab : Erpan F Pimpinan Redaksi : Ragil Amarta Dewan Redaksi : Erpan F, Ragil Amarta, Yoyo Damanik, Cece Rahman, Rahmat Ajiguna, Fajri NS Koresponden : Oki (Lampung), Hasbi (Jambi), Alvianus (Sumatera Utara), Azdam (Jawa Barat), Boy (D.I Yogyakarta), Agus (Jawa Tengah), Yamini (Jawa Timur), Anca (Sulawesi Selatan), Susi Kamil (Sulawesi Tenggara), Asdat (Sulawesi Tengah), Anton (Kalimantan Barat), Rinting (Kalimantan Tengah), Syafwani (Kalimantan Selatan), Lay-Out : Rahmat Ajiguna. Alamat Redaksi Sementara : Jl.Mampang Prapatan XIII, No.3-Jakarta Selatan Telp/Fax 021-7986468 Email :
[email protected] Redaksi menerima saran, kritik dan sumbangan tulisan berupa naskah, artikel, berita, foto jurnalistik maupun karya seni dan sastra yang sesuai dengan tujuan dan cita-cita AGRA. Kontribusi tulisan maupun foto jurnalistik dapat dikirim lewat Email Koran Berita Kaum Tani.
Berita Kaum Tani 3
Editorial
Kedaulatan Pangan dan Hak-hak Petani Dalam laporan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak atas Pangan yang disampaikan kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada bulan Februari 2004, kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak rakyat, komunitas-komunitas, dan negerinegeri untuk menentukan sistemsistem produksinya sendiri dalam lapangan pertanian, perikanan, pangan dan tanah, serta kebijakankebijakan lainnya yang secara ekologis, sosial, ekonomi dan kebudayaan sesuai dengan keadaankeadaan khususnya masing-masing. Konsep kedaulatan pangan telah berkembang sedemikian rupa melampaui konsep ketahanan pangan yang lebih dikenal sebelumnya, yang hanya bertujuan untuk memastikan diproduksinya pangan dalam jumlah yang cukup dengan tidak memperdulikan macamnya, bagaimana, di mana dan seberapa besar skala produksi pangan tersebut. Kedaulatan pangan adalah interpretasi luas dari hak atas pangan, ia melampaui wacana tentang hak pada umumnya. Kedaulatan pangan adalah kebebasan dan kekuasaan rakyat serta komunitasnya untuk menuntut dan mewujudkan hak untuk mendapatkan dan memproduksi pangan, dan tindakan berlawan terhadap kekuasaan perusahaan-perusahaan serta kekuatan lainnya yang merusak sistem produksi pangan rakyat melalui perdagangan, investasi, dan kebijakan serta caracara lainnya. Kedaulatan pangan menegaskan hak rakyat atas pangan, yang menurut Food and Agriculture Organization (FAO) merupakan hak untuk memiliki pangan secara teratur,
permanen dan bisa mendapatkannya secara bebas, baik secara cumacuma maupun membeli dengan jumlah dan mutu yang mencukupi, serta cocok dengan tradisi-tadisi kebudayaan rakyat yang mengkonsumsinya. Serta menjamin pemenuhan hak rakyat untuk menjalani hidup yang bebas dari rasa takut dan bermartabat, baik secara fisik maupun mental, secara individu maupun kolektif. Kenyataannya, kelaparan sebagai indikasi tindasan terhadap hak atas pangan masih berlangsung di mana-mana bahkan bertambah buruk saja. India adalah negeri dengan jumlah penderita kelaparan tertinggi didunia, disusul oleh China. 60% dari total penderita kelaparan di seluruh dunia berada di Asia dan Pasifik, diikuti oleh negeri-negeri Afrika Sub-Sahara sebesar 24%, serta Amerika Latin dan Karibia 6%. Setiap tahun orang yang menderita kelaparan bertambah 5,4 juta. Juga setiap tahunnya 36 juta rakyat mati karena kelaparan dan gizi buruk, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam usaha mengatasi masalah kelaparan dan akses pangan, PBB melalui FAO memperkenalkan istilah “ketahanan pangan” dengan harapan adanya persediaan pangan setiap saat, semua orang dapat mengaksesnya dengan bebas dengan jumlah, mutu dan jenis nutrisi yang mencukupi serta dapat diterima secara budaya. Konsep tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan kemampuan sebuah negara untuk memproduksi dan mendistribusi pangan utama secara adil kepada rakyatnya. Juga mengabaikan kenyataan di mana semakin meluas dan limpah ruahnya ekspor produk
pertanian murah serta bersubsidi tinggi ke negara-negara terbelakang. Praktek ini dibiarkan bahkan didorong atas nama perdagangan bebas yang disokong penuh oleh negara-negara maju. Hal ini tidaklah mengherankan sebab ketahanan pangan hanya sebatas pernyataan lembagalembaga pemerintah dan antarpemerintah saja, sementara pelaksanaan dan tanggungjawab untuk mewujudkan ketahanan pangan telah didefinisikan kembali yaitu dialihkan dari urusan negara menjadi urusan pasar. Prinsip dan strategi neoliberal untuk mencapai tujuan ketahanan pangan ini dijalankan oleh institusiinstitusi multilateral seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (WB), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Rekonseptualisasi ketahanan pangan ini pada akhirnya hanya menguntungkan negara-negara dan perusahaan-perusahaan yang paling kuat yang terlibat dalam perdagangan dan investasi pangan juga agribisnis. Kebijakan perdagangan neoliberal ini menekankan bahwa mengimpor pangan murah adalah jalan terbaik bagi negara-negara miskin untuk mencapai ketahanan pangan dari pada memproduksi pangannya sendiri. Bank Dunia bahkan menegaskan bahwa perdagangan bebas sangat penting bagi ketahanan pangan, karena dengannya pemanfaatan sumber daya di dunia lebih efesien. Selama berlangsungnya World Food Summit pada tahun 1996, konsep kedaulatan pangan diajukan menjadi bahan perdebatan publik secara global dengan tujuan menyediakan jalan keluar alternatif yang berlawan terhadap kebijakan neoliberal. Konsep ini dikembangkan untuk menemukan sebuah alternatif kebijakan berdasarkan hak rakyat atas pangan. Ini merupakan redefinisi rakyat sendiri terhadap advokasi ketahanan pangan yang telah gagal total dalam mengurangi
4 Edisi III November 2007
kelaparan. Dalam World Food Summit tahun 1996 delegasi-delegasi pemerintah menyatakan sekitar tahun 2015 kelaparan di bumi ini akan berkurang setengahnya. Akan tetapi data menunjukkan bahwa alih-alih mengalami penurunan, angka penderita kelaparan terus mengalami peningkatan. Sekalipun pernyataan pemerintah berbagai negara dan organisasi-organisasi PBB seperti FAO berusaha menutup-nutupi keadaan memprihatinkan ini. Globalisasi neoliberal telah menorehkan cacatan mengerikan di mana 105 dari 149 negara miskin Dunia Ketiga adalah pengimpor pangan bersih, ini berarti negaranegara tersebut tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk memproduksi pangannya sendiri. Kebijakan-kebijakan neoliberal merusak kedaulatan pangan karena lebih mementingkan perdagangan internasional daripada hak-hak rakyat atas pangan. Kaum tani dan gerakan rakyat di pedesaan lainnya telah menegaskan bahwa kebijakankebijakan neoliberal ini tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengurangi kelaparan di dunia. Kebijakan-kebijakan ini justru hanya meningkatkan ketergantungan rakyat pada impor produk-produk pertanian dan mengintensifkan industri pertanian skala raksasa. Dengan demikian kebijakan tersebut telah menyebabkan kelestarian genetika alam, warisan lingkungan hidup serta budaya berada dalam bahaya besar sekaligus mengancam kesehatan populasi dunia. Sejak diperkenalkan, konsep kedaulatan pangan telah menjadi isu utama dalam perdebatan dalam agenda pertanian internasional begitu juga di dalam Perserikatan BangsaBangsa. Ia telah menjadi bahasan utama dalam forum yang diselenggarakan oleh organisasi nonpemerintah (NGO) sebagai forum tandingan bagi World Food Summit Juni 2002.
Liputan Mendalam
Reforma Agraria merupakan Prasyarat Mendasar bagi Berlangsungnya Kedaulatan Pangan Oleh Erpan Faryadi Sekjend AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria)
Dukumentasi AGRA Cabang Deli Serdang
Reforma Agraria merupakan isu keadilan di berbagai negara Dunia Ketiga. Desakan untuk terus dilaksanakannya program ini tidak pernah berhenti hingga sekarang, terutama di negara yang tidak juga berusaha menuntaskan masalah tersebut, sehingga memiliki permasalahan struktural agraria yang semakin dalam dan tidak berkesudahan.1 Penyelesaian atau tuntasnya masalah agraria ini akan sangat menentukan dalam langkah pengembangan berikutnya. Akan tetapi, karena Reforma Agraria ini mempunyai akibat-akibat yang merugikan, khususnya bagi kelas penguasa di pedesaan maupun secara nasional, maka hal ini menjadi tidak mudah; terutama bila kemudian berkait dengan sistem politik dan sistem ekonomi makro. Reforma Agraria juga merupakan strategi pokok bila hendak mengubah hubungan-
hubungan kekuasan secara mendasar. Dengan kata lain, Reforma Agraria mempunyai implikasi yang mendasar dan mendalam, bila diterapkan dengan tepat. Karena alasan inilah, Reforma Agraria biasanya bukan merupakan pilihan kebijakan bagi sejumlah pemerintahan karena dianggap akan mengubah tatanan kekuasan politik ke arah tatanan politik yang lebih demokratis.2 Hal ini terjadi di negaranegara yang kepentingankepentingan anti-pembaruannya sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan ekonomi politik oleh para elitenya yang memonopoli penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria (tanah dan sumber daya alam lainnya) yang luas. Selain itu, juga terjadi di negara-negara di mana tekanan-tekanan dari kalangan masyarakat sipil—termasuk organisasi dan gerakan petani— kepada pemerintahnya tidak terlalu kuat mendorong terjadinya Reforma Agraria.
Berita Kaum Tani 5
Meski demikian, berbagai alasan untuk diadakannya program Reforma Agraria sangatlah kuat. Dari segi sosial misalnya, hanya dengan menguasai tanahlah para petani miskin pedesaan bisa memperbaiki kehidupan mereka dengan menyediakan pangan bagi mereka sendiri, yang terkadang memiliki surplus untuk dijual. Dengan demikian, Reforma Agraria merupakan sarana penting untuk menjamin hak atas pangan. Argumen-argumen ekonomi bagi Reforma Agraria juga sangat rasional. Banyak studi telah memperlihatkan bahwa hasil per hektar cenderung meningkat pada pertanian skala kecil, karena lebih intensifnya penggunaan tenaga kerja keluarga. Dengan mendistribusikan tanah dan pendapatan secara lebih luas, suatu pasar internal bagi barang-barang dan jasa-jasa akan terbentuk. Reforma Agraria dengan demikian mempromosikan pembangunan yang mengartikulasikan kepentingan petani. Menurut Solon Barraclough, Reforma Agraria (land reform) merupakan instrumen kebijakan untuk memperbaiki keamanan pangan. 3 Dalam pandangannya, ketika land reform telah diterapkan, program ini hampir selalu memperbaiki akses terhadap pangan karena hak-hak para penerima land reform untuk menggunakan tanah per definisi telah menjadi lebih terjamin. Biaya sewa tanah menurun dalam masalah pembaruan penyakapan. Ketika tanah diredistribusikan kepada kaum tidak bertanah (tunakisma), kemungkinankemungkinan penyediaan pangan sendiri menjadi jauh lebih meningkat. Namun, akibat-akibat jangka panjang Reforma Agraria bagi keamanan pangan lebih banyak bergantung pada struktur-struktur agraria sebelumnya, kekuatankekuatan dominan yang menentukan strategi pembangunan nasional, dan konteks eksternal. Apakah pembaruan itu berwatak demokratis,
otoriter, atau revolusioner merupakan masalah yang kurang penting. Contohnya, land reform yang dilakukan di bawah pendudukan militer oleh Amerika Serikat di Korea Selatan dan Taiwan telah memberikan sumbangan penting dan berdampak jangka panjang dalam mengurangi kemiskinan pedesaan dan mendorong pertumbuhan yang lebih merata. Walaupun pada mulanya motif-motif dari pendudukan tersebut lebih didorong oleh keinginan mencegah terjadinya revolusi. Hal yang sama terjadi pada sejumlah land reform di Eropa Timur di bawah pendudukan militer Soviet yang dianggap mempunyai maksudmaksud revolusioner. Reforma Agraria merupakan strategi penting dalam menjamin hak atas pangan, karena Reforma Agraria menjamin kepastian akan hak atas tanah, suatu sarana terpenting dalam menghasilkan pangan. Dengan kepastian pemilikan atas tanah inilah, maka para petani kecil, kaum tunakisma, dan buruh tani yang telah berubah menjadi pemilik tanah akan lebih terdorong untuk meningkatkan produksi pertaniannya, baik untuk konsumsi keluarga atau pasar. Karena itu, melalui Reforma Agraria, hak atas pangan akan jauh lebih terjamin dan terlindungi. Tantangan yang Berasal dari Paham Kapitalisme Radikal Bila ditinjau dari sudut hak asasi manusia, hak atas pangan yang dapat lebih terjamin bila program Reforma Agraria dilaksanakan, menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan terkuatnya pada saat ini adalah makin dominannya kekuatan pasar bebas, yang antara lain juga tercermin dari penolakan kelompok ini terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Bagi kelompok ini, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah tidak relevan dan idealistis. Hanya hakhak sipil dan politik yang merupakan hak asasi manusia sejati.
Karena itu, dalam pandangan kelompok kapitalisme radikal ini, hak atas pangan yang tercakup dalam Kovenan Internasional tentang HakHak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, adalah juga tidak relevan. Kalau orang kelaparan, akibat hak atas pangannya tidak dilindungi dan tidak dipenuhi, menurut argumentasi kelompok kapitalisme radikal atau neo-liberalisme, itu adalah kesalahan mereka sendiri karena mereka tidak bisa mengakses pangan yang tersedia di dalam pasar. Argumen pokok kelompok ini adalah “setiap orang harus mampu mendapatkan kesejahteraan sendiri dalam sistem pasar yang adil”. Sementara menurut Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob), adalah kewajiban negara-negara untuk memperbaiki metode-metode produksi dan distribusi pangan, dan dengan demikian, menjamin hak atas pangan, dengan memperbarui sistemsistem agraria melalui pelaksanaan program Reforma Agraria (lihat Pasal 11 ayat 2 dari Kovenan Internasional tentang Hak Ekosob atau International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR).4 Paham neo-liberalisme ini juga tercermin dalam pandangan mereka tentang politik pangan dan politik pertanian, terutama bagaimana menyediakan pangan internasional agar bisa memenuhi kebutuhan pangan dunia. Menurut dasar pikiran ini, daripada mencukupi sendiri kebutuhan pangan, lebih baik negaranegara itu membeli makanan dalam pasar internasional dengan uang yang diperoleh dari hasil ekspor.5 Wujud konkret dari paham neo-liberalisme ini adalah suatu perjanjian internasional yang bernama Persetujuan atau Perjanjian tentang Pertanian (Agreement on Agriculture), yakni salah satu
6 Edisi III November 2007
perjanjian yang diatur dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang telah disetujui oleh Indonesia untuk dilaksanakan sejak tahun 1995. Dengan menandatangani Persetujuan Pertanian (AoA), negara-negara berkembang— termasuk Indonesia—menyadari bahwa mereka telah setuju untuk membuka pasar-pasar mereka sementara memungkinkan para adikuasa pertanian menguatkan sistem produksi pertanian bersubsidi mereka yang menyebabkan anjloknya harga pada pasar negaranegara berkembang. Pada gilirannya, proses tersebut, menghancurkan pertanian berbasis petani kecil. Akibat dua keuntungan yang diperoleh negara-negara maju dari Persetujuan Pertanian yakni produk pertanian yang bersubsidi dan tarif bea masuk yang sangat rendah adalah sangat mengerikan bagi para petani di negara-negara miskin dan berkembang. Petani kecil tidak akan mampu bersaing dalam pasar global yang dikendalikan oleh perusahaan transnasional sementara tekanan untuk menyediakan produk tanaman ekspor akan menggusur jutaan petani dari lahan mereka.6 Jadi, sekali lagi, patut dicamkan bahwa inilah akibat utama dari Persetujuan Pertanian dan WTO bagi petani di negaranegara berkembang: menggusur jutaan petani kecil dari lahan mereka. Pertanian terlalu penting untuk diperlakukan sebagai benda perdagangan lainnya. Pengalaman menunjukkan campur tangan dalam pasar produk pertanian diperlukan untuk melindungi tujuan mendasar tertentu, seperti penyediaan pangan/ makanan pokok yang stabil. Dalam hal ini, Indonesia perlu benar-benar memperhatikan situasinya. Adalah terlalu sederhana untuk menganggap bahwa liberalisasi pasar produk pertanian dapat membantu negaranegara mencapai keamanan pangan. Dalam kasus Indonesia misalnya, dalam tahun 1999 dengan penduduk 200 juta jiwa lebih, konsumsi beras per tahun mencapai 32 juta ton
(Bustanul Arifin dan Didik J. Rachbini, 2001: 255). Sementara, volume beras yang diperdagangkan pada pasar internasional setahun berjumlah 30 juta ton. Oleh sebab itu, akan tidak mungkin bagi Indonesia untuk mengandalkan pada pasar global bagi pangan mereka. Jadi, memang tantangan dari dari paham neo-liberalisme ini sungguhsungguh kuat bagi pemenuhan hak asasi manusia, terutama pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Seharusnya dengan ambruknya ekonomi Indonesia dan munculnya krisis multidimensi sejak tahun 1997 sampai sekarang, kita semua menyadari—khususnya Pemerintah Indonesia—bahwa pilihan untuk memeluk paham neo-liberalisme, dan selalu mengikuti resep-resep dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) adalah sebuah pilihan keliru dan menyimpang dari semangat Konstitusi Indonesia. Tidak ada kata terlambat untuk mengubah orientasi pembangunan ke arah pemenuhan hak-hak rakyat, terutama pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pemenuhan hak-hak tersebut, termasuk hak atas pangan akan lebih terjamin bila Indonesia dapat melakukan Reforma Agraria dan membenahi Politik Pertanian. Komitmen untuk mendorong perubahan semacam inilah yang sekarang kita sama-sama perlukan, sebagai jalan keluar dari krisis multidimensi yang sedang kita hadapi. Strategi untuk memperkuat tingkat penguasaan masyarakat terhadap faktor-faktor produksi (termasuk hak atas tanah dan sumber daya alam lainnya) adalah melalui program Reforma Agraria. Tidak ada program lain selain Reforma Agraria yang dapat menjamin kepemilikan terhadap faktor-faktor produksi ini. Karena itu, dapat disimpulkan, bahwa Reforma Agraria adalah jalan utama yang perlu ditempuh bila kita hendak menjamin pemenuhan hakhak ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk hak atas pangan.
Pemenuhan hak-hak asasi manusia ini tidak lain dan tidak bukan merupakan kewajiban negara untuk mengusahakan keadilan sosial. Karena, keadilan merupakan prinsip normatif fundamental bagi negara. Negara wajib untuk selalu mengusahakan keadilan. Ini merupakan tuntutan dasar untuk memecahkan konflik-konflik dalam masyarakat.7 Dengan demikian, tuntutan atas perlunya Reforma Agraria di Indonesia adalah tuntutan konstitusional (nasional) bila ditempatkan dalam konteks kewajiban negara untuk selalu mengusahakan keadilan sosial. Reforma Agraria juga merupakan tuntutan universal (global) jika ditempatkan dalam konteks pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, sebagaimana yang telah diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob), yang telah diratifikasi Indonesia beberapa tahun lalu. Apalagi jika dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dihasilkan melalui Konferensi Internasional tentang Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (ICARRD, International Conference on Agrarian Reform and Rural Development) pada tahun 2006 di Brazil, di mana Indonesia juga menjadi salah satu delegasi yang penting. Oleh karena itu, dikaitkan dengan kampanye program Pemerintah Indonesia di bawah Presiden SBY untuk menyejahterakan masyarakat, dalam kerangka Revitalisasi Pertanian, hanya mampu mencapai tujuan-tujuannya jika dijalankan dengan melalui urutan pelaksanaan kebijakan-kebijakan berikut: (1) Menjalankan Reforma Agraria; (2) Membenahi politik pertanian; serta (3) Melakukan negosiasi-negosiasi ulang terhadap aturan-aturan perdagangan pangan internasional yang merugikan Indonesia. Revitalisasi Pertanian dengan demikian dapat diartikan sebagai kesadaran untuk menempatkan
Berita Kaum Tani 7
kembali arti penting pertanian secara proporsional dan kontekstual. 8 Maksudnya, menempatkan pertanian, antara lain pangan, secara proporsional terhadap kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan. Itulah sebabnya kemudian kita memandang bahwa ketahanan pangan adalah hak asasi, bahkan kewajiban asasi, yang harus dipenuhi, dan kita bertekad kuat untuk menghapuskan kelaparan. Hanya dengan pandangan kemanusiaan pula kita bisa mengaitkan pertanian dengan aspek pengurangan kemiskinan dan pengurangan pengangguran, atau menjadi argumentasi pada kondisi perdagangan yang tidak adil. Alasan terkait keadilan ini pula yang membuat kita juga menentang apabila terdapat akumulasi penguasaan lahan yang berlebihan dan tidak termanfaatkan pada saat ada orang lain yang miskin dan lapar tetapi tidak punya lahan untuk ditanami. Dengan demikian, revitalisasi pertanian harus dimulai dengan kesadaran ideologis bahwa demi kemanusiaan, keadilan, kerakyatan, serta kedaulatan maka pertanian harus menjadi penting dan memang penting. Hal ini juga menegaskan bahwa pertanian memang bukan hanya sekedar komoditi atau produk yang harus hanya tunduk pada mekanisme pasar. Oleh karenanya, adalah sesuatu yang objektif dan logis apabila kemudian pertanian memiliki posisi politik yang kuat. Bagi Indonesia, peran ekonomi pertanian tersebut juga terlihat pada saat krisis finansial 1997/1998 di mana pertanian telah menjadi penyangga yang meredam gejolak perekonomian dengan tetap bertumbuh positif dan memberi kesempatan kerja “instan” bagi mereka yang tersingkir akibat penurunan sektor industri dan jasa. Untuk itu, hal yang pertama yang dibutuhkan bagi revitalisasi pertanian adalah keyakinan bahwa Indonesia dapat menjadi negara yang maju, modern, sejahtera, dan terhormat dengan pertanian sebagai salah satu
basis utama perekonomiannya. Bahwa untuk menjadi negara maju kita tidak harus meninggalkan pertanian. Bahwa dengan menjadi petani kita dapat menjadi kaya dan terhormat. Bahwa membangun masyarakat pertanian akan justru terhindari dari kekumuhan dan keterbelakangan, tetapi justru menuju pada masyarakat yang beradab, santun, dan berbudaya tinggi. Pendeknya, yang dibutuhkan adalah sebuah perubahan pola berpikir tentang pertanian. Namun demikian, tantangantantangan yang dihadapi bagi revitalisasi pertanian di Indonesia sangatlah kompleks karena saling keterkaitannya dengan masalah lahan sempit, kemiskinan, akses terbatas masyarakat tani terhadap sumber informasi, sumber dana serta sumber-sumber pelayanan lain dan tuntutan keadilan sosial akibat terlalu lama ditelantarkan.9 Teranglah kemudian, bahwa landasan untuk memperbaiki ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah-tanah pertanian dan menegakkan kedaulatan bangsa dalam masalah pangan, hanya mungkin dijalankan bila Indonesia mampu melaksanakan Reforma Agraria.Diskusi dan perdebatan kebijakan mengenai masalahmasalah pertanian selama ini cenderung berputar sekitar masalah produksi, distribusi, dan konsumsi pangan. Tapi tidak pernah membicarakan masalah-masalah akses atas tanah, yang merupakan sarana terpokok dalam pertanian dan ekonomi negara agraris. Walaupun diakui, tanah adalah sarana untuk menghasilkan pangan. Tidak akan mungkin membicarakan masalah peningkatan produktivitas pertanian, bila skala produksi minimal yang dibutuhkan, yakni penguasaan minimal dua hektar lahan pertanian bagi tiap-tiap keluarga petani, tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah, akibat tidak dijalankannya program land reform. Lebih jauh lagi, akan sulit mewujudkan ketahanan pangan
apalagi menegakkan kedaulatan pangan, seandainya kaum tani Indonesia yang rata-rata hanya menguasai lahan pertanian seluas di bawah 0,50 hektar (Sensus Pertanian 2003) dibebani tanggung jawab untuk memproduksi stok pangan (terutama beras) nasional. Dan karena alasan ini, maka pemerintah kemudian melakukan impor bahan pangan, yang menguras devisa negara. Sementara hampir semua bahan pangan yang kita impor dengan menghamburkan devisa tersebut sebenarnya dapat kita produksi sendiri. Peningkatan impor bahan pangan ini selain menghamburkan devisa yang diperlukan untuk membangun bangsa, juga membuktikan bahwa kebijakan pemerintah Indonesia dalam soal ini sungguh-sungguh menyakitkan hati kaum tani. *** (catatan kaki) 1 Lihat selanjutnya Erpan Faryadi, “Tanpa Reforma Agraria, Tidak Akan Ada Hak Atas Pangan”, dalam Jurnal Analisis Sosial Vol.7, No.3 Desember 2002. Bandung: Yayasan Akatiga, 2002, hal. 11-31. 2 Lihat pandangan yang disampaikan oleh Solon L.Barraclough tentang keamanan pangan, pertanian, dan land reform dalam bukunya yang berjudul An End to Hunger? The Social Origins of Food Strategies: A Report prepared for the United Nations Research Institute for Social Development and for South Commission based on UNRISD research on food systems and society. London and New Jersey: Zed Books Ltd., 1991, hal. 102-103. 3 Solon L. Barraclough, ibid., hal. 129-134. 4 Erpan Faryadi, op.cit. , hal. 25. 5 Lihat brosur bertajuk “Panduan Masyarakat untuk Memahami WTO”. Jakarta: INFID, 2000, hal. 16-17. 6 Lihat makalah posisi yang disusun oleh Koalisi Ornop Indonesia Pemantau WTO, bertajuk “Waspada WTO!”, yang dirangkum dan ditulis oleh Hira Jhamtani, Maret 2000, hal 10-12. Koalisi Ornop Indonesia Pemantau WTO beranggotakan INFID, Konphalindo, Walhi, KPA, YLKI, Pan-Indonesia, dan ICEL. 7 Lihat karangan Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001. 8 Lihat selanjutnya Bayu Krisnamurthi, “Revitalisasi Pertanian: Sebuah Konsekuensi Sejarah dan Tuntutan Masa Depan”, dalam Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban, Editor Jusuf Sutanto dan Tim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, hal. 19-21. 9 Lihat selanjutnya P.Wiryono P., SJ, “Pembangunan Pertanian Indonesia ke Depan: Ke Mana Mau Diarahkan? Sebuah Pencarian dalam Terang Baru”, dalam Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban, Editor Jusuf Sutanto dan Tim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, hal. 87-108.
8 Edisi III November 2007
Kajian Utama
Negara Gagal Mengatasi Krisis Pangan Kedaulatan Pangan adalah kebebasan dan kekuasaan rakyat serta komunitasnya untuk menuntut dan mewujudkan hak untuk mendapatkan dan memproduksi pangan sendiri, dan tindakan berlawan terhadap kekuasaan perusahaanperusahaan serta kekuatan lainnya yang merusak sistem produksi pangan rakyat melalui perdagangan, investasi, dan kebijakan serta cara-cara lainnya
Krisis Pangan di Negara Agraris Dari tahun ke tahun, negara ini (sayur-sayuran) dan buah-buahan, selalu meributkan rencana impor serta jenis tanaman pangan selain beras. Pro dan kontra atas kebijakan padi. Akibatnya, ketergantungan tersebut selalu menjadi bunga-bunga pada impor atas bahan-bahan pangan penghias atas polemik nasional dalam negeri tidak dapat dielakkan. seputar impor beras. Namun, Dengan demikian, rakyat secara sengitnya perdebatan yang ada tidak umum dan khususnya kaum tani mengurungkan atau menghentikan semakin kehilangan kontrol atas rencana tersebut, kebijakan untuk produksi dan distribusi sumbermelakukan impor beras selalu sumber bahan pangannya sendiri. Akibat lebih lanjut atas situasi menjadi kemenangan akhir dari pemerintah. Bahkan, pada tahun tersebut di atas, adalah selain 2007 ini pemerintah melalui Badan meluasnya ancaman kelaparan di urusan logistik (Bulog) telah sejumlah daerah, ancaman gizi buruk mebulatkan tekad melakukan impor dan kekurangan nutrisi (energi dan beras sebesar 1,5 juta ton. Dengan protein) pada bahan makanan yang pertimbangan bahwa produksi beras dikonsumsi juga menjadi dalam negeri mengalami kekhawatiran yang mendalam. kekurangan, sekaligus dimaksudkan Menurut data Badan Pusat Statistik sebagai cadangan nasional untuk (BPS), berdasarkan Indikator mengantisipasi kemungkinan Kesehatan Tahun 1995-2006, ratabencana alam dan operasi pasar rata anak 2-4 tahun yang disusui demi menjaga stabilitas harga beras tanpa makanan tambahan telah di pasar domestik. Sungguh mengalami peningkatan, yaitu yang merupakan petaka sejarah, di negeri semula hanya 3,54 persen pada yang mayoritas dihuni oleh kaum tani tahun 1999 menjadi 15,75 persen dan menumpukan pembangunannya pada tahun 2003. Angka tersebut pada sektor pertanian justru menunjukkan peningkatan jumlah mengalami kekurangan cadangan yang sangat berarti, yang tentu saja bahan pangan pokok, yaitu beras. merupakan “peringatan” mengenai Hal ini memberi pengertian bahwa adanya bencana sekaligus ancaman sistem produksi pertanian untuk terhadap tingkat mutu generasi mencukupi kebutuhan sendiri mendatang dari republik ini. Selain (subsisten farming) telah itu, di Indonesia sendiri berdasarkan dihancurkan oleh sistem produksi data yang dipublikasikan oleh pertanian untuk pemenuhan UNICEF jumlah balita penderita gizi kebutuhan pasar (comercial farm- buruk pada tahun 2005 sekitar 1,8 ing). Krisis bahan pangan pokok ini juta, meningkat menjadi 2,3 juta pada juga dibarengi oleh merosotnya tahun 2006. Dari angka kematian berbagai produk hasil-hasil pertanian bayi yang 37 per 1.000 kelahiran lainnya, seperti produk hortikultura setengahnya akibat dari kurang gizi.
Untuk wanita usia subur, dari 118 juta jiwa sebanyak 11,5 juta jiwa mengalami anemia gizi. Kurang energi kronis juga dialami 30 juta orang dari kelompok produktif. Keadaan ini menggambarkan secara terang bahwa negara ini telah jatuh ke dalam krisis pangan yang akut. Apakah situasi ini hanya terjadi di Indonesia? Ternyata, faktanya hampir secara keseluruhan negaranegara dunia ketiga atau di negerinegeri jajahan, setengah jajahan maupun negeri bergantung lainnya, mengalami hal serupa dalam soal ketergantungan akan impor bahan makanan dan berbagai produk hasilhasil pertanian lainnya dari negeranegara imperialisme (kapitalis monopoli). Demikian juga dalam soal ancaman kekurangan gizi maupun ancaman kelaparan. Kelaparan sebagai ukuran penindasan terhadap hak atas pangan terus berlangsung di seluruh negara-negara yang dimaksudkan tersebut. Sebagai gambaran, dapat disebutkan diantaranya adalah India merupakan negeri dengan jumlah penderita kelaparan tertinggi didunia, disusul oleh China. Dimana 60% dari total penderita kelaparan di seluruh dunia berada di Asia dan Pasifik, diikuti oleh negeri-negeri Afrika Sub-Sahara sebesar 24%, serta Amerika Latin dan Karibia 6%. Bahkan, setiap tahun orang yang menderita kelaparan bertambah 5,4 juta. Juga setiap tahunnya 36 juta rakyat mati karena kelaparan dan gizi buruk, baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang jauh lebih memerikan hati, menurut data Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 1996 terdapat 854 juta dari 5,67 milyar penduduk dunia yang menderita kurang pangan, diantaranya 200 juta balita menderita kurang gizi, terutama energi dan protein. Selain itu, laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencatat bahwa 3 - 5 ribu orang mati setiap hari akibat kelaparan. Ini sungguh-sungguh kenyataan yang menjelaskan bahwa telah terjadi penindasan tiada tara dari
Berita Kaum Tani 9
negeri-negeri kapitalis monopoli yang melakukan kontrol atas produksi dan distribusi bahan pangan terhadap negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan. Kemandirian dan kemampuan suatu negara diperlemah oleh negara kapitalis monopoli dalam menyediakan bahan pangan yang cukup dan layak bagi rakyatnya sendiri. Negara sebagai instrumen kaum kapitalis monopoli semakin menyediakan berbagai kemudahan dalam berbagai bentuk kebijakan bagi perusahaanperusahan besar yang bergerak di sektor agraria dan pertanian, seperti Monsanto, Chargill, dan lain-lain. Perusahaan-perusahaan tersebut telah melakukan monopoli atas produksi dan distribusi berbagai produk pertanian. Mulai dari monopoli benih, pupuk, obat-obatan pertanian, hingga pada distribusi atas hasil-hasil pertanian, baik berupa bahan pangan pokok maupun produkproduk lainnya. Beras, gandum dan berbagai produk pertanian lainnya sebagai bahan pokok penduduk dunia di sejumlah negara agraris dikuasai dan dikontrol pemenuhannya oleh korporasi ini. Korporasi-korporasi di bidang pertanian tersebut telah melakukan kontrol sedemikian rupa, sehingga negara dan rakyat diperlemah dalam kemampuan menyediakan bahan pangan pokoknya sendiri, meililih jenis tanaman yang akan dibudidayakan serta yang sesuai dengan tradisi maupun kebudayaannya. Selain itu, juga telah mengakitakan kerusakan lingkungan dan ekosistem, kelestarian berbagai benih asli atau lokal musnah. Juga telah mengakibatkan hilangnya jaminan mutu dan jaminan makanan yang sehat atau makanan yang bebas dari unsur-unsur kimia yang merusak. Keseluruhannya hancur karena ulah mengejar untung dari korporasikorporasi tersebut. Tambahan pula, keberadaan berbagai lembaga keuangan dan perdagangan multilateral, semisal World Trade Organization (WTO), World Bank (WB) dan International
Fund Monetery (IMF) semakin melapangkan jalan liberalisasi perdagangan bagi pasar produk hasil-hasil pertanian negeri-negeri imperialisme. Akibatnya, produk pertanian negara-negara dunia ketiga terdesak, dimana pada saat bersamaan juga menciptakan ketergantungan negera-negara jajahan dan setengah jajahan pada impor bahan pangan demi mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. Bila dilihat secara keseluruhan, maka dapat disimpulkan bahwa keadaan krisis pangan tersebut di atas, pada dasarnya selain disebabkan oleh adanya dominasi imperialisme di sektor pertanian, dan khususnya dalam soal pemenuhan kebutuhan pangan, juga disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah dari sejumlah negara jajahan dan setengah jajahan dalam menata dan mengatur sektor agraria maupun sektor pertranian pada umumnya. Kebijakan dan strategi pembangunan pertanian yang dijalankan sepenuhnya telah terintegrasi dengan kepentingan kapitalisme monopoli internasional. Dengan kata lain, orientasi bagi pemenuhan pasar dari pembangunan pertanian maupun pedesaan secara hakiki telah menjadi strategi umum dari kebijakan yang disusun oleh pemerintah, yang tentu saja juga berarti bertentangan dengan tingkat perkembangan sektor pertanian dari negara yang bersangkutan, bertentangan dengan orientasi kepentingan rakyat dan kepentingan dalam negeri. Dengan demikian juga anti terhadap tujuan Reforma Agraria Sejati (Genuine Agrarian Reform). Pentingnya Kaum Tani Memperjuangkan Kedaulatan Pangan Bagi rakyat dan negara yang berdaulat, tersedianya stok atau cadangan bahan pangan saja tidak cukup. Rakyat di negeri ini tidak sekedar memerlukan kertecukupan bahan pangan semata, akan tetapi jauh lebih besar dari itu, yaitu
memiliki kedaulatan dalam memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Ini berarti bahwa, rakyat membutuhkan kebebasannya dalam menentukan arah dan strategi dari kebijakan pangan nasionalnya. Pengertian ini melampaui apa yang kita kenal selama ini sebagai konsep “ketahan pangan”. Yang semata-mata hanya mendudukan perkara pangan sebatas terpenuhinya bahan pangan nasional tanpa mempertimbangkan pada aspek penting lainnya. Seperti, dari mana dan bagaimana bahan pangan tersebut harus dipenuhi, tidak peduli apakah kebijakan tersebut memiliki kaitan dengan kepentingan perkembangan pertanian secara nasional dan sektor lainya maupun cocok tidaknya dengan tradisi dan kebudayaan rakyat yang mengkonsumsinya. Bertentangan dengan konsep ketahanan pangan, maka dengan demikian konsep Kedaulatan Pangan berarti terdapatnya kebebasan dan kekuasaan rakyat serta komunitasnya untuk menuntut dan mewujudkan hak untuk mendapatkan dan memproduksi pangan sendiri, dan tindakan berlawan terhadap kekuasaan perusahaan-perusahaan serta kekuatan lainnya yang merusak sistem produksi pangan rakyat melalui perdagangan, investasi, dan kebijakan serta caracara lainnya. Di sisi yang lain, kedaulatan pangan juga menegaskan hak rakyat atas pangan, yang menurut Food and Agriculture Organization (FAO) merupakan hak untuk memiliki pangan secara teratur, permanen dan bisa mendapatkannya secara bebas, baik secara cumacuma maupun membeli dengan jumlah dan mutu yang mencukupi, serta cocok dengan tradisi-tadisi kebudayaan rakyat yang mengkonsumsinya. Serta menjamin pemenuhan hak rakyat untuk menjalani hidup yang bebas dari rasa takut dan bermartabat, baik secara fisik maupun mental, secara individu maupun kolektif. Oleh karenanya, jika didasarkan pada pengertian dari konsep
10 Edisi III November 2007
kedaulatan pangan tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa sepenuhnya dan sesunguhnya negara Republik Indonesia ini telah lama kehilangan kedaulatannya dalam memenuhi dan mencukupi kebutuhan pangan nasionalnya sesuai dengan kemampuan dan keadaan- keadaan agraria secara umum. Era itu telah dimulai sejak Kolonialisme Belanda ketika menerapkan sistem tanam paksa (culture stelsel) pada Abad ke19 yang memicu perkembangan perkebunan besar dengan mengusahakan jenis tanaman yang cocok bagi kepentingan pasar eropa. Ironinya, kebijakan yang terbukti menyengsarakan rakyat tersebut dilanjutkan dan bahkan diperluas oleh pemerintahan sesudahnya hingga Pemerintahan SBY-JK saat ini. Monopoli tanah yang dilakukan oleh imperialisme dan tuan tanah besar dengan cara kekerasan serta perampasan tanah rakyat yang terjadi telah mengubah orientasi pertanian mencukupi kebutuhan sendiri menjadi pemenuhan kebutuhan pasar dunia. Dengan kata lain, jenis tanaman pangan digantikan oleh jenis tanaman untuk kepentingan pasar. Akibatnya, terjadi perubahan dan pergeseran secara besar-besaran dari pertanian perseorangan skala kecil ke pertanian skala besar (perkebunan-perkebunan besar). Dimana, jenis tanaman yang cocok
bagi kepentingan pasar internasional semisal, teh, coklat, karet, dan kelapa sawit merupakan hamparan yang menutupi sekaligus meminggirkan tanaman pangan rakyat. Situasi ini semakin bertambah buruk dengan masif dan makin intensifnya alih fungsi lahan dari fungsi pertanian ke fungsi-fungsi lain. Dari tahun ketahun lahan pertanian terus mengalami penyusutan secara significant. Maka, tidak ada jalan lain bagi rakyat dan negara ini agar dapat keluar dari situasi krisis pangan nasional, kecuali dengan menjalankan program reforma agraria sejati. Selain itu, penting bagi kaum tani untuk pertama, terus melakukan perjuangan yang tegas dalam melawan setiap kebijakan pengadaan pangan nasional yang bertentangan dengan kepentingan yang paling objektif. Yaitu, yang meniadakan kebebasan dalam menentukan jenis tanaman pangan yang akan dibudidayakan serta sesuai dengan tradisi dan kebudayaannya, tidak merusak lingkungan atau sesuai dengan tujuan memelihara keseimbangan ekosistem maupun produk pertanian yang sehat. Kedua, menolak berbagai kebijakan impor bahan pangan (diantaranya beras) serta kebijakan yang tidak melindungi produk-produk pertanian dalam negeri. Termasuk didalamnya adalah pentingnya perlindungan
harga-harga dari produk pertanian perseorangan skala kecil, maupun pemberian berbagai subsidi dan kemudahan lainya bagi proses produksi kaum tani. Ketiga, menuntut pembubaran berbagai lembaga multilateral yang menjadi instrumen kapitalisme monopoli internasional, seperti WTO, dan yang lainnya. Karena keberadaan lembagalembaga tersebut justru semakin merugikan kepentingan kaum tani bahkan menghilangkan kebebasan rakyat dan kaum tani dalam mewujudkan kemandiriannya sebagi produsen sekaligus konsumen bahan pangan. Hanya melalui jalan dan cara tersebut di atas, maka kedaulatan pangan nasional akan dapat diwujudkan. Negara dan rakyat akan memiliki kontrol sepenuhnya dalam memproduksi dan mendistribusikan bahan pangan secara adil. Bila hal ini dapat diwujudkan, maka negara dan rakyat, khususnya kaum tani akan mampu menciptakan lumbunglumbung pangan nasional yang stabil. Dengan demikian, kebijakan impor bahan pangan akan ditiadakan dengan sendirinya, karena negara dan rakyat telah memiliki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Dan akhirnya, keinginan untuk memenuhi kesejahteraan rakyat akan dapat dicapai setahap demi setahap. (bkt)
Kabar Anggota
Peringatan Hari Tani Nasioanal di Berbagai Daerah Dongi-Dongi/24/9/07Kabupaten Donggala-Sulawesi Tengah, Bertempat di Bantaya (Rumah pertemuan rakyat), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Sulteng, bersama Serikat Tani Donggala, Forum Petani Merdeka (FPM) Dongi-Dongi,Team Kerja Serikat Tani Kabupaten Parigi Moutong (STPM), SPHP Sulteng, LBH Sulteng, FMN Palu, Badan Pekerja SERUNI Sulteng, dan OPPANDO Dongi-Dongi,
merayakan hari tani nasional yang jatuh tanggal 24 september tahun ini. Peserta hadir dari dua kabupaten meliputi 5 Desa ranting STD dan AGRA. Masing-masing desa ranting, Desa Sibado, Desa Sibowi, Desa Palolo, Desa Tanjung Padang, Dongi-Dongi, Desa Kamalisi. Acara yang dimulai tepat jam 12 siang, masing-masing utusan perwakilan lembaga menyampaikan statement dan solidaritas atas perjuangan tani di kesempatan perayaan hari tani nasional. Acara yang dibuka oleh
Pak Frans, ketua Forum Petani Merdeka (FPM Dongi-Dongi, secara khidmat dan penuh rasa percaya diri menyatakan,...”kami petani di Dongi-Dongi sudah sejak 5 tahun telah mereklaiming tanah yang dianggap sebagai kawasan Balai Taman NAsional (BTNLL) ini, kami percaya, hingga saat ini kami masih berada di tanah ini karena persatuan dan solidaritas sesama kaum tani, semua itu dikarenakan kami memiliki organisasi yang kuat dan berasal dari petani sendiri”...Setelah itu, doa
Berita Kaum Tani 11
bersama dipimpin tokoh adat di adalah anak-anak petani, kami di Dongi-Dong untuk menyatakan daerah ini merupakan anak dari acara peringatan Hari Tani kali ini mayoritas kaum tani, kami bangga direstui yang maha kuasa. Dari setiap menjadi keluarga kaum tani” , peserta delegasi, selain ormas tani, sembari menyerukan dan juga hadir individu, dari Yayasan membacakan statement keputusan PIKUL. Pusat FMN Nasional atas dukungan Setiap perwakilan juga hari tani. menyampaikan pesan-pesan Pernyataan juga disampaikan solidaritas kepada petani di Indonesia dari Badan Pekerja SERUNI dan khususnya di Sulteng. Ketua Sulteng, Ibu Agustin, dengan berapiLBH Sulteng, Ahmar Wellang api dan lantang menyerukan perlunya dengan lantang menyatakan, kasus- kaum perempuan menyatukan diri kasus selama ini yang ditangani LBH dalam pergerakan organisasi Sulteng masih berkutat pada soal pembebasan kaum tani. ...”setuju tapal batas Taman Nasional dan betul, tidak ada demokrasi tanpa masalah pengairan. Banyak regulasi yang menyingkirkan rakyat dari tanahnya. Di Kabupaten Donggala sendiri dapat dipastikan masalah yang paling besar adalah masyalah penyerobotan tanah adat dan hak petani oleh BTNLL. ...” Bayangkan saja, ada 64 Desa yang dikapling wilayahnya dari pihak BTNLL, semuanya masuk juga dalam 2 Dukumentasi AGRA Cabang Deli Serdang Kabupaten, Poso dan Donggala. Ini artinya, secara land reform, tidak ada demokrasi sepihak UU Konservasi dan UU apabila perempuan Kehutanan telah menegasikan ditindas,,..suara ibu agustin yang UUPA itu sendiri. Kedepan perlu tegas. Dalam lanjutan acara, ada aturan main yang tegas soal kesempatan diskusi terbuka di regulasi yang tumpang tindih ini,” lakukan. Sebagai moderator Sdr. ujar Amar panggilan akrabnya. Udin dari STD. Sebagai pembicara Selanjutnya, dari KPP AGRA, Sdr. Agus Faisal, aktivis SPHP kawan Asdat menyerukan sekaligus Sulteng. Tema diskusi sekitar kasus membacakan statment AGRA Pusat. yang dihadapi petani di sekitar taman Tegasnya, diakhir penyampaian nasional dan persoalan pernyataan sikap itu, Asdat memantapkan dan diperlukannya menyerukan perlunya persatuan sebuah alat perjuagan yang solid. kaum tani dalam berorganisasi, baik Komentar demi komentar dan dimulai dari Desa, ... agar kita disampaikan, dari Ranting STDkuat dan Solid !,.. ujarnya.Sambutan AGRA Desa Sibado menyampaikan dari Front Mahasiswa NAsional bagaimana pentingnya satu kekuatan (FMN) Palu, yang dibacakan dalam setiap masalah yang dihadapi ketuanya, kawan Alim tidak kalah baik individu petani, organisasi, kita lantangnya menyambut hari tani harus meresponnya secara bersama. tahun ini. ...”Kami dari organ Komentar dari Ranting STD-AGRA mahasiswa, prinsipnya Desa Sibalaya, ...kami di Sibalaya, mendukung dan selalu bersama baru-baru ini dua petani kami kaum tani, sebab kami juga ditangkap oleh Polisi Kehutanan dan
BTNLL. Kami secara kompak langsung melaporkan ke LBH SUlteng, bersama STD dan AGRA, kami mendatangi kantor BTNLL untuk menyatakan protes sekaligus menuntut secara hukum oknumoknum petugas yang salah dalam menjalankan tugasnya. ...”Kalau tidak ada organisasi, kita bisa apa ! Ini pentingnya ada koordinasi dan aliansi bersama organisasi dalam memperjuangkan petani !” Kawan Agus Faisal sendiri sedikit menyampaikan bagaimana pentingnya organisasi yang kuat dan solid dapat dijalankan dengan bersama-sama massa. Komentar demi komentar disampaikan kawan-kawan dengan semangat menanggapi satu sama lain. sekitar 300-an massa berkumpul di Bantaya hingga halaman luar membludak. Acara peringatan Hari Tani ini berlangsung hingga malam hari . dilanjutkan dengan pentas seni dan budaya. Spanduk-spanduk masingmasing organisasi tertus terkibarkan, lagu-lagu perjuangan dinyanyikan bersamasama, puisi yang dibawakan kawan STD ranting Sibado dengan ekspresif tampil memukau para hadirin. Ini hari tani yang berkesan selama saya ikuti, ujar, sesepuh dan orang tua di wilayah reklaiming Dongi-Dongi, mengapa pak ? tanya reporter Berita Kaum Tani, ..”ia pak, sebab kemarinkemarin kami melakukannya dengan aksi ke DPRD Provinsi untuk menyampaikan tuntutan kasus saja, ini berbeda, banyak yang datang, dan senangnya dilaksanakan di kampungkami,..! Hari tani memang terlalu singkat rasanya saat itu, banyak yang terkesan dan meninggalkan kenangan sesama peserta dan massa yang berkumpul. Perayaan hari tani kali ini merupakan momentum bagi keberadaan organisasi kami di STD dan AGRA, setidaknya dengan dukungan FMN Palu, SPHP, LBH
12 Edisi III November 2007
SUlteng, SERUNI, kami benarbenar merasakan arti sebuah peringatan kaum tani sesungguhnya, Hidup Kaum Tani, Tidak ada Demokrasi tanpa Land Reform, serentak disuarakan peserta dan diikuti massa yang nerada disekitar Bantaya. (koresponden independent-bkt, Agus Faisal) Lampung 24/09/07, Peringatan Hari Tani Nasional (HTN) hanya dilaksanakan di Kabupaten Tulang Bawang, khususnya Dusun Sukamakmur Desa Moro-moro di wilayah Register 45, basis AGRA terbesar di Lampung. Bentuk kegiatan peringatan HTN tersebut adalah Diskusi Publik yang menghadirkan beberapa orang pembicara, yaitu Erpan Faryadi (Sekjen PP AGRA), Kasmir Triputra (Anggota Dewan Perwakilan Daerah/DPD utusan daerah Lampung), dan Juven Pakpahan (mewakili Direktur Yayasan Bimbingan Mandiri/ YABIMA Metro Lampung, yang merupakan LSM yang kerap bekerjasama dengan AGRA Lampung). Di samping beberapa pembicara tersebut, pada perencanaan kegiatan yang bertema “Masa Depan Penyelesaian Konflik Agraria di Register 45 Tulang Bawang” ini sesuangguhnya panitia mengundang juga Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Tulang Bawang, namun yang bersangkutan tidak hadir. Kegiatan yang dihadiri sekitar 300 massa petani dari lima dusun yang ada di wilayah tersebut ini dilaksanakan pada tanggal 28 September 2007, beberapa hari setelah momen HTN. Hal ini berkaitan dengan kesiapan pembicara, secara khusus Kasmir. Pertimbangan yang menyertai panitia untuk mengundang Kasmir adalah bahwa sejak awal proses ancaman penggusuran yang dihadapi warga, Kasmir merupakan salah satu politisi borjuasi yang tampil ke muka untuk “membela” rakyat, sehingga relatif populer di mata kaum tani
register 45. Di samping bahwa kaum tani masih memerlukan dukungan politik elit-elit parlemen dalam proses perjuangannya. Secara teknis, diskusi ini diasumsikan dapat menjadi momentum untuk menegaskan kembali komitmen dukungan yang bersangkutan kepada kaum tani. Untuk menilai hal tersebut, keesokan hari setelah pelaksanaan kegiatan, statemen Kasmir pada saat diskusi, yakni bahwa semestinya Bupati Tulang Bawang memberikan hak garap pada petani muncul di koran, di samping statemen Sekjen AGRA yang mengatakan bahwa jika hukum yang ada saat ini bukan hukum yang berpihak pada rakyat. Pada aspek kampanye media, diskusi ini diliput oleh beberapa media yang ada di Lampung, yaitu SKH Lampung Post, SKH Radar Lampung, dan Lampung TV, namun yang memuatnya sebagai berita hanya Lampung Post, dan kemungkinan Lampung TV, sementara Radar Lampung tidak memuatnya sebagai berita. Minimnya peliputan pers ini disebabakan oleh lokasi diadakannya kegiatan yang jauh dari kota. Namun demikian, hal tersebut bukanlah sebuah target yang diutamakan. Target utama kegiatan ini adalah sebagai prakondisi menjelang dilaksanakannya Konferensi Tani Desa/Rapat Umum Anggota Persatuan Petani Miskin Way Serdang/PPMWS (AGRA Ranting Moro-moro). Artinya sukses atau tidaknya kegiatan ini yang terpokok dilihat pada jumlah dan antusiasme peserta dalam mempersiapkan dan mengikuti kegiatan. agar memolisasi anggotanya pada saat kegiatan. Pada perencanaan kegiatan, di samping diskusi publik sebenarnya direncanakan untuk mengadakan “Temu Tani” sembari menunggu berbuka puasa, yang akan dilanjutkan dengan berbuka puasa bersama. Temu Tani ini dimaksudkan sebagai forum yang lebih serius yang dihadiri para pimpinan tani dan pembicara-pembicara pada diskusi
publik untuk kembali menegaskan komitmen pada dukungan atas perjuangan kaum tani. Namun dalam pelaksanaannya, hal ini urung dilaksanakan, disebabkan oleh ketidakbersediaan Kasmir yang harus segera kembali ke Bandar Lampung. Disampng melaksanakan kegiatan kampanye massa Agra Ranting Moro-Moro juga menerbitkan leaflet HTN yang berisi uraian tentang kehidupan dan perjuangan kaum tani Indonesia dalam menghadapi dominasi kekuasaan setengah kolonial dan setengah feodal dan seruan organisasi tentang penyelenggaraan Konferensi Tani (RUA) AGRA ranting Moro-moro. Leaflet yang dicetak sebanyak 500 eksemplar ini dibagi-bagikan kepada peserta yang datang mengikuti acara peringatan HTN, tentunya sebagai satu media propaganda massa. DPD Lampung Mengunjungi SMP Harapan Rakyat Di samping hadir dalam diskusi publik peringatan HTN, Kasmir sebagai anggota DPD Provinsi Lampung juga menyempatkan diri untuk mengunjungi SMP Harapan Rakyat dan melakukan sedikit perbincangan dengan beberapa orang guru dan siswa, setelah sebelumnya mendapatkan penjelasan dari beberapa orang guru sekolah tersebut mengenai motivasi didirikannya sekolah tersebut. Sekedar mengingtkan, SMP Harapan Rakyat adalah sekolah yang didirikan oleh AGRA Ranting Moro-moro untuk meningkatkan taraf kebudayaan rakyat tani di wilayah tersebut. Pada kesempatan tersebut, Kasmir memberikan motivasi kepada para siswa agar tetap giat belajar meski dengan fasilitas yang minim dan kondisi status tanah yang seutuhnya dikuasai rakyat. Untuk para guru, hal serupa dikatakan Kasmir, bahwa mendidik adalah hal yang mulia, meski dipenuhi oleh pengorbanan.
Berita Kaum Tani 13
Sementara itu, pada tataran propaganda organisasi, kunjungan ini dimaknai untuk secara implisit menjelaskan bahwa keberadaan organisasi memberikan manfaat kepada rakyat. Lagi-lagi kemudian adalah mendesak Kasmir untuk tetap memberikan dukungan pada perjuangan rakyat.(Lampung bkt)
Kendari 5/09/07, Pada tanggal 5 September 2007, di Kendari Sulawesi Tenggara, 472 orang yang tergabung dalam Solidaritas untuk Petani Sultra bergerak turun kejalan memperingati Hari Tani Nasional. Massa tersebut terdiri dari gabungan kelompok NGO, dan Organisasi massa (tani, buruh, perempuan, nelayan, dan Kaum Miskin Kota). Massa bergerak sejak pukul 09.00 di mulai di lapangan eks MTQ menuju Kantor BPN Prop.Sultra, Kantor Dinas Pertanian dan DPRD Prop. Sultra. Beberapa tuntutan seperti menolak revisi UUPA 1960, penyelesaian konflik-konflik agraria di Sultra, menuntut sertifikat tanah untuk lokasi pembuangan eks Tapol 1965 (saat ini menjadi area lahan pertanian Nanga-nanga-Eks Tapol), menegakan reforma agraria sejati di tujukan di Kantor BPN Sultra, massa ditemui oleh Ka Kanwil BPN Sultra, Dody Imran Kholid, yang mengkampayekan soal PPAN, yang menyebutnya sebagai reforma agraria. Namun massa Solidaritas Petani Untuk Sultra mempunyai pandangan sendiri soal reforma agraria dan PPAN yang dianggap sebagai proyek perkebunan besar nya investor yang sudah terbukti merugikan kaum tani Sultra dan implementasi dari undang-undang investasi. Reforma agraria ala PPAN bukanlah reforma agraria yang sesungguhya sementara masih banyak kasus-kasus di Sultra yang belum terselesaikan. (pokok-pokok pandangan tersebut dibacakan di depan kantor BPN Prop). Pihak PBN berjanji akan merealisasikan tuntutan sertifikat tanah untuk petani Nanga-nanga (eks tapol). Kemudian
Aksi Hari Tani Nasional 5 September 2007 (Dok. AGRA
massa bergerak menuju Kantor Dinas Pertanian menuntut soal jaminan pemasaran dan harga hasil panen, subsidi pupuk dan saprodi lainnya dan penghentian proyekproyek pertanian yang seringkali merugikan petani, seperti proyek penanaman jarak yang tidak membawa keuntungan bagi kaum tani, terakhir massa bergerak menuju kantor DPRD Provinsi Sultra. Selain soal kasus agraria dan permasalahan petani di sektor pertaniannya juga massa menuntut soal kerusakan hutan di Sultra akibat maraknya HPH. Ini berdampak langsung pada petani yang menggunakan kakayaan hutan sebagai penunjang kebutuhan hidup sehari-hari, kebutuhan akan air, banjir besar yang berakibat pada rusaknya bebrapa area persawahan, juga tuduhan petani sebagai perambah yang seringkali dikriminalisasikan. Ini di suarakan dalam orasi-orasi massa. Selain orasi, massa juga menyebarkan selebaran yang termuat dalam pokok-pokok pandangan Solidaritas petani untuk Sultra. Pada hari itu juga, Ka Kanwil BPN Provinsi Sultra. Mengadakan wawancara dengan media soal PPAN di Sultra dan janji akan
Sultra)
merealisasikan tuntutan sertifikat bagi petani Nanga-nanga. Konsolidasi persiapan di mulai sejak bulan Agustus, yang di mulai dengan tahapan diskusi soal permasalahan kaum tani dan sejarah HTN itu sendiri dengan tujuan untuk membangun kesadaran akan pentingnya aksi memperinganti HTN, kemudian pembangunan diskusi dilanjutkan di setiap komunitas /OR, sebagai upaya membangun massa yang terkonsolidasi, sadar sebagai wujud dari terbangunnya gerakan rakyat di Sultra dan lebih spesifik sebagai pendidikan bagi kaum tani Sultra.(Kendari-bkt) Medan bkt - Persiapan menuju hari Tani Nasional di Sumut adalah adanya diskusi tentang penangkapan oleh POLDA_SUMUT kepada petani Labuhan Batu sejumlah 3 orang (Muslimin, Bahman, Nuraida) terkait sengketa tanah dengan PT.Grahadura dan PT.Leidong Jaya. Yang selama ini ditangani secara litigasi oleh kawan-kawan dari BAKUMSU dan KPS. Penilaian terhadap pekerjaan litigasi adalah belum maksimal oleh sebab masih mengedepankan penyelesaian dengan jalur hukum, sehingga perlu adanya tekanan secara politik guna mendesak kepolisian segera
14 Edisi III November 2007
membebaskan ke-3 orang petani tersebut Dalam diskusi tersebut ada bebrapa kesepakatan. Pertam, mengenai penangkapan petani labuan batu, semua organisai yang hadir akan melayangkan surat protes kekepolisian, kedua
menyakut hari tani nasianal semua organisai akan menyerukan pada basis masing masing untuk terlibat pada hari tani nasional yang akan di peringatai di Sumatra Utara pada tanggal 24 September 2007, ketiga nama aliansi yang akan di gunakan pada peringatan hari tani nasional
adalah Aliansi Tani Sumatra Utara, yseangkan untuk koordinator aksinya kawan dari Tim Kerja AGRA Deli Serdang. Dalam aksi peringatan hari tani yang di ikuti sekitar 400 orang massa aksi menuntut segera dijalankannya reforma Agraria sejati.
Pendapat
Silang Sengketa Tanah di DIY Oleh : Syamsul (AGRA DIY)
“bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara untuk digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal 33 UUD 1945
Mataram yang Terbelah : Awal Monopoli atas Tanah di DIY Pada awalnya, ditanah jawa ini hanya ada satu kekuasaan dibawah tampuk kepemimpinan Susuhunan Pakubuwono yang berkuasa atas seluruh bumi Mataram. Kemudian pada tahun 1740-1743, terjadi pemberontakan akibat ketidakpuasan sebagian rakyat atas kepemimpinan Pakubuwono, yang hanya menguntungkan bagi kehidupan orang-orang disekelilingnya. Peristiwa yang dikenal dengan “Geger Pacinan” tersebut, dalam perjalannnya mampu mengusai daerah Sukawati (sekarang Sragen) yang menjadi basis dari gerakan anti Pakubuwono tersebut. Upaya Pakubowono dengan tentaranya memerangi gerakan pemberontakan tersebut ternyata mengalami kekalahan terus menerus, dan salah satu upaya yang ditempuh oleh Pakubuwono II pada tahun 1745 adalah dengan mengadakan sayembara yang isinya, siapapun yang dapat mengalahkan gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Said, Susuhan akan memberikan tanah yang berada di Sukawati. Mangkubumi merupakan satu-satunya yang mengikuti sayembara tersebut, dan
berhasil memadamkan gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Said. Namun demikian, janji Pakubowono yang akan memberikan tanah diderah Sukowati mendapatkan halangan dari orang-orang yang ada didalam kraton dan menyebabkan berlarut-larutnya pelaksanaan janji tersebut. Hal ini dianggap oleh Mangkubumi telah menghina martabatnya yang telah berjuang memadamkan pemberontakan didaerah Sukawati, oleh karena itu Mangkubumi beserta pengikutnya meninggalkan Surakarta menuju Sukawati, dan memulai perlawanan selama 9 tahun terhadap Pakubowono yang dianggap telah melanggar janjinya. Pada tahun 1755, atas intervensi atau campur tangan VOC. Pakubuwono III berhasil membujuk Mangkubumi beserta pengikutnya untuk hidup berdampingan secara damai. Hal itu ditandai dengan perjanjian Gianti yang membagi bumi Mataram menjadi 2 yakni dibawah kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta dibawah pimpinan Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono. Masuknya penjajahan Belanda dan Inggris yang menggunakan politik pecah belah di Indonesia, juga berdampak bagi kasultanan
Yogyakarta. Upaya memecah belah kasultanan Yogyakarta-pun dilakukan oleh pemerintah penjajah, ketakutan tersebut menjadi kenyataan pada masa kepemimpinan Hamengkubuwono II. Dengan menggunakan Pangeran Notokusumo, yang tak lain adalah putra dari Hamengkubuwono I, pemerintah penjajah dibawah Gubernur Raffles berhasil menundukan Hamengkubuwono II. Atas jasa itulah pada tahun 1813 Gubernur Jendral Inggris, Raffless menghadiahi Pangeran Notokusumo sebagian wilayah kasultanan Yogyakarta. Pangeran Notokusumo yang kemudian bergelar Pakualam I, mengusasi kadipaten Pakualam yang daerahnya meliputi satu kecamatan dalam kota Yogyakarta dan empat kecamatan di wilayah Kulonprogo yaitu kecamatan Galur, Tawangarjo, Tawangsoka, dan Tawangkarto yang kemudian disatukan menjadi Kabupaten Brosot atau Karangkemuning dengan ibukota Brosot. Kuasa Sultan adalah Kuasa atas Tanah Didalam masyarakat yang agraris seperti Indonesia ini, tanah menjadi elemen penting dalam menyangga kehidupan masyarakatnya. Sampai
Berita Kaum Tani 15
saat ini, menurut data Bappenas, melalui survey angkatan kerja nasional (sakernas) tahun 2003, jumlah kaum tani di Indonesia diperkirakan berjumlah 44,5 juta jiwa. Dengan jumlah ini, kaum tani adalah kekuatan produktif yang paling besar, lebih besar dibanding buruh manufaktur (12 juta jiwa), buruh niaga (19,4 juta jiwa), jasa (11,3 juta jiwa), dan sektor lainnya 11,8 juta jiwa). Begitupun dengan Yogyakarta yang sebagaian besar rakyatnya yang hidup di daerah pedesaan, tentunya tanah menjadi kebutuhan pokok sebagai sandaran hidup setiap rakyat. Akan tetapi meski menduduki posisi mayoritas, kaum tani di Yogyakarta termasuk kalangan yang paling tidak beruntung. Hal itu bisa dilihat dari komposisi kepemilikan atas tanah yang menjadi sasaran kerjanya kaum tani, di Yogyakarta dengan luas areal wilayah yang mencapai 3.185.80 km/segi, menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN), 39.300.770 M2 dari tanah yang ada di Yogyakarta dikuasai oleh Sultan dan wakilnya Pakualam, sementara itu kaum tani yang menggantungkan hidupnya dari Lokasi Kotamadya Yogyakarta Kabupaten Gunungkidul Kabupaten Sleman Kabupaten Kulonprogo Kabupaten Bantul Jumlah
Luas (M2) 3.573.918 6.398.135 2.520.414 8.374.135 18.433.375 39.300.770
Tabel I persebaran tanah Sultan Ground dan Pakualam Ground
pegelolaan atas tanah hanya menguasai 0,5 hektar. Ketimpangan penguasaan atas tanah tidak hanya berdampak pada tidak meratanya kesehjateraan secara ekonomi dan social, akan tetapi juga berdampak pada minimnya penguasaan atas akses politik. Seperti yang dipaparkan oleh Prof. Dr. Suhartono, didalam masyarakat yang didalamnya masih berlaku corak produksi yang
feodalistik, dimana fungsi tanah menentukan status dan perannya dalam masyarakat, maka pemilik tanahlah yang mempunyai kedudukan kuat baik secara politik, ekonomi, dan social. Hal yang demikian juga berlaku di Yogyakarta, ditengah ketimpangan kepemilikan atas tanah, penguasaan atas akses politik-pun dimonopoli oleh Hamengkubuwono dan Pakualam. Hal ini diperkuat dengan diterbitkannya Undang-undang No.3 Th. 1950 tentang keistimewaan DIY yang salah satu pasalnya mengatur jaminan atas kekuasaan gubernur dan wakil gubernur oleh kedua trah tersebut. Hal yang sama juga berlaku didalam wilayah ekonomi, kepemilikan tanah yang luas menjamin Sultan dan Pakualam untuk juga memiliki lembaga ekonomi modern seperti perusahan. Menurut data Badan Pengembangan Perekonomian dan Investasi Daerah tahun 2001, sejumlah perusahaan
N a m a P e ru sa h a a n P T . P G M adu B aru ( M a du k ism o ) I n d u st r i G u la , P T Sup a r t ik Sur y a m a s (In dust ri K e m a sa n da n p era bo t rum ah P t . Sr im a n g a n t i H o t e l (Ja sa h l )
ketegangan antara rakyat tani di desa di satu pihak dengan para pemilik modal dan Negara (pemerintah) di lain pihak. Rakyat Tani di desa berjuang untuk mendapatkan hak dasarnya atas tanah dari tuan-tuan tanah besar baik yang berbentuk perseorangan maupun perusahan. Begitupun rakyat tani yang berada di daerah pesisir pantai selatan Kulonprogo, yang terancam digusur dari lahan garapannya dikarenakan pemerintah dan pengusaha akan mendirikan penambangan biji besi. Rencana pemerintah yang akan melakukan eksplorasi tambang biji besi disepanjang pesisir selatan pantai Kulonprogo mendapatkan perlawanan dari rakyat. Rencana penambangan biji besi yang akan dilaksanakan di sepanjang 22 km dari Kali Progo sampai Kali Bogowonto, dengan kelebaran 1,8 dari bibir pantai, dan kedalaman mencapai 14 meter, dengan luas areal lahan sekitar 3.900 hektar yang berada di empat
P e m ilik S a h a m Sr i Su lt a n X b e k e r ja sa m a de n ga n P e m e r in t a h R I GBP H . M . Jo y o k u su m o
J u m lah S ah a m R p . 4 .5 0 0 Jut a
GBP H . H a diw ijo y o ( AGl P H) . K
R p . 5 0 Jut a
R p . 2 0 ju t a
A la m a t P e ru sa h a a n P ado k an T ir t o m a t a n i K a sih a n B an t ul J l. S a la k D uren an , T r id a d i, S le m a n
R p . 5 0 Jut a
H a diw in o t o
Tabel II Perusahan Milik Keluarga Sultan
yang ada di Yogyakarta juga dimiliki oleh keluarga Sultan dan Pakualam. Perjuangan rakyat tani untuk mempertahankan kedaulatannya atas tanah. Krisis ekonomi yang berkepanjangan dan kebutuhan mendesak untuk mempertahankan hidup, semakin memperuncing
kecamatan yakni Galur, Panjatan, Wates, dan Temon. Pemerintah tanpa melibatkan rakyat per-tanggal 22 Januari 2007 telah membuat kesepakatan dengan PT Jogja Magasa Mining (JMM), PT Krakatau Steel, dan PT Indomine untuk mengelola kandungan biji besi yang ada di kawasan pantai tersebut. Padahal seperti yang tertuang dalam Rencana Detail Kawasan Pantai
16 Edisi III November 2007
(RDKP) Kulonprogo tahun 2004 bahwa kawasan yang akan dijadikan lokasi tambang biji besi yang berada di sepanjang pesisir selatan adalah kawasan yang diperuntukan bagi kawasan hutan lindung dan lahan pertanian rakyat. Untuk melaksanakan rencana pendirian pabrik pengelolaan biji besi tersebut, pemerintah yang bekerja sama dengan PT Jogja Magasa Internasional selama tahun 20052006 secara sepihak telah melakukan penelitian di sepanjang pesisir pantai Kulon Progo seluas 2.087,79 hektar tanpa memusyawarahkan terlebih dahulu dengan rakyat yang menggarap lahan tersebut. Kalaupun selama ini banyak diberitakan bahwa tanah yang akan digunakan untuk eksplorasi biji besi 90 % adalah tanah Pakualam Ground. Tetapi pada kenyataannya tanah tersebut telah digarap oleh rakyat sejak puluhan tahun yang lalu. Artinya kalaupun pemerintah akan mengalih fungsikan lahan tersebut menjadi lokasi penambangan biji besi, seharusnya pemerintah mendiskusikan terlebih dahulu dengan rakyat yang menggarap lahan tersebut. Rencana pemerintah pusat yang akan melaksanakan program pembaharuan agraria nasional (PPAN) dengan melakukan redistribusi tanah sebagai sandaran hidup rakyat banyak, ternyata masih menjadi janji-janji yang tak kunjung ada realisasinya. Rencananya, 9 juta rakyat miskin akan mendapatkan pembagian tanah gratis yang akan mulai dilaksanakan tahun ini. Sebelumnya, pemerintah menargetkan luas lahan yang diberi sertifikat kurang lebih 900.000 bidang tanah, selanjutnya akan dinaikkan menjadi 3,1 juta bidang tanah. Pemerintah akan menggunakan anggaran dari APBN dan APBD bagi sekitar 1 juta bidang tanah. Semua langkah ini diharapkan dapat menghilangkan masalah sengketa tanah dan menyelesaikan kasuskasus yang sudah ada. Selain itu, langkah pemerintah ini juga untuk mengurangi jumlah petani gurem
(tanpa lahan) yang mendominasi dan selama ini hidup di bawah garis kemiskinan.Sayangnya, rencana itu masih terus digodok dan upaya rakyat tani disepanjang pesisir yang telah merubah lahan berpasir menjadi lahan pertanian yang produktif, dan memperjuangkan kedaulatan atas lahan yang telah digarap selama puluhan tahun ternyata direspon oleh pemerintah dengan rencana menggusurnya. Monopoli penguasaan agraria harus dijawab dengan reforma agraria sejati Untuk mencari jalan keluar dari krisis agraria, maka jalan keluarnya adalah dengan menjalankan reforma agraria. Tentu reforma agraria di sini adalah pembaharuan agaria sejati, bukan seperti yang sering dikampanyekan pemerintah selama ini. Reforma agraria merupakan sebuah strategi untuk mewujudkan perubahan konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria ke arah yang lebih baik bagi mereka yang bekerja langsung atas tanah. Sumber-sumber agraria dalam artian sempit biasanya adalah tanah, namun secara luas berarti tidak terbatas hanya pada tanah, tetapi juga kekayaan alam yang lain (hutan, tambang, laut, sungai, pantai, udara, dan lainnya). Petani, merupakan bagian dari rakyat Indonesia yang paling berkepentingan dan paling penting dalam pembaruan agraria, karena dalam bahasa sederhana tentang hakekat petani, yaitu bahwa petani perlu dan mutlak membutuhkan sumber-sumber agraria bagi kehidupannya. Dan karena petani adalah sebuah kelompok masyarakat yang besar jumlahnya dalam setiap negara agraris, maka berarti juga mensejahterakan sebagian besar dari masyarakat.Reforma agraria sebenarnya merupakan upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi
pengembangan pertanian dan kesejahteraan rakyat. Jadi pada dasarnya, memang merupakan upaya pembaruan sosial. Aspek penting dalam reforma agraria adalah land reform. Inti dari perjuangan land reform adalah pendistribusian tanahtanah yang dimonopoli tuan tanah kepada petani, khususnya kalangan tani miskin dan buruh tani. Perjuangan ini merupakan perjuangan maksimum atau perjuangan tertinggi yang harus dicapai dengan perjuangan yang bertahap. Pada masa ketika feodalisme, imperialisme, dan kapitalisme birokrasi masih berhegemoni, perjuangan land reform diadakan pada tingkat minimum, yakni perjuangan sosial ekonomi yang dilakukan kaum tani untuk menuntut hak garap atas tanah. Namun seiring dengan kemajuan gerakan kaum tani, ketika gerakan kaum tani sudah memegang segi yang menentukan, maka perjuangan land reform bisa dilancarkan pada tingkat yang maksimum, yakni perebutan tanah dari tuan tanah besar dan mendistribusikannya kepada seluruh kaum tani, khususnya yang berasal dari kelas tani miskin dan buruh tani secara adil dan merata. Jadi jelaslah, monopoli penguasaan agraria harus dijawab dengan secara efektif mengubah tata kepemilikan tanah yang dimonopoli tuan tanah dan mengakhiri hubungan produksi penghisapan tuan tanah kepada kaum tani, khususnya tani miskin dan buruh tani.Perjuangan untuk mempertahankan tanah yang sudah direbut kembali itu harus tetap dilakukan. Tantangan bagi pimpinan gerakan kaum tani saat ini adalah bagaimana melakukan upaya-upaya antisipatif untuk mengatasi masalahmasalah yang kelak akan muncul. Tingginya penggunaan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan pada saat itu menunjukkan perlunya penguatan faktor internal—dengan memperkuat barisan organisasi tani di dalam gerakan kaum tani untuk mengimbangi kekuatan represif negara tersebut.(bkt)