Pernikahan Bapakku adalah seorang guru agama dan lumayan dikenal sebagai orang yang alim di lingkungan sekitar. karena risih dan merasa khawatir, setiapku pulang ke rumah selalu ada yang mengantar (seorang laki-laki dewasa). bapakku memintaku agar aku segera menikah. Pada suatu waktu, aku bertanya pada dia, dan meminta dia untuk menikahiku, karena kehawatiran bapaku. dia hanya menjawab iya dan dingin saja. aku tak berfikir lagi dan menyampaikan jawaban iyanya pada bapakku. aku tak menyangka, bapakku dengan cepat meminta dia menikahiku dengan segera. tanpa pesta resepsi, akhirnya kami menikah. *** *** Setelah pernikahan itu anehnya dia memintaku untuk tidak tinggal bersama dalam satu atap, sampai aku lulus kuliah. aku hanya diam saja dan mengiyakan, walaupun dalam pikiranku sedikit bingung.
Sampai suatu ketika keluarganya mengetahui bahwa kami tidak hidup selayaknya sebagai suami istri pada umumnya. Kami pun diberi nasihat dan di haruskan tinggal bersama.
akhirnya
kami
memutuskan
untuk
mengontrak sebuah rumah dan tinggal berada dalam satu atap, selayaknya sebagai suami istri. Kami
mulai
adaptasi,
saling
memahami
dan
mempelajari kebiasaan satu sama lain meskipun dalam waktu yang sedikit karena dia bekerja di sebuah station TV, yang mengharuskan kita jarang bertemu. tak terasa sudah satu tahun kami menjalaninya tanpa ada masalah. *** *** Di tahun ke dua pernikahan, kami mendapatkan sebuah cobaan, dia dikeluarkan dari pekerjaannya karena terjadi pergantiaan kepempinan di perusahaan tempat dia bekerja. dia merasa putus asa dan selalu menghabiskan waktunya dengan bermain PS. Awalnya aku biasa saja tak begitu menghiraukannya, karena aku menganggap, dia sedang melampiaskan 2
kemarahanya saja.
sejak saat itu dia tidak berubah
sekalipun, bahkan kadang dia suka meninggalkan shalat 5 waktunya. bila aku ingatkan dia selalu marah dan pergi meninggalkan rumah sampai beberapa hari. Pada situasi itu aku sering merasa menyesal dan tak tau apa yang harus aku lakukan. Terkadang aku hanya bisa menangis, dan menangis saja. sesekali, terlintas dipikiranku aku ingin meninggalkannya. akan tetapi aku merasa takut dengan “perceraian”. kata itu adalah sebuah kata yang sangat aku benci dalam hidupku waktu itu. Aku hanya bisa menahan dalam hati dan berharap dia akan berubah. *** *** Simpanan dari pesangon suamiku tinggal sedikit lagi. tapi dia tak berpikir untuk mencari pekerjaan lagi. waktunya dia habiskan hanya bermain game kerjanya. akhirnya aku berusaha mencari pekerjaan. *** ***
3
Kebetulan ada sebuah perusahaan baru yang sedang membuka lowongan pekerjaan. alhamdulillah aku diterima bekerja di sebuah perusahaan tersebut sebagai seorang staf administrasi. dengan pekerjaan itu sedikit menghilangkan penderitaanku waktu itu. *** *** Pada suatu waktu, tiba-tiba saja telponku berdering. ada sebuah panggilan dari no yang tidak kukenal. aku angkat telponnya dan aku dengar suaranya. Telpon tersebut dari sesorang yang tak asing aku dengar. “Aah..suara ini, suara yang aku rindukan selama ini”. hatiku bergejolak, tapi aku harus menahan kerinduanku padanya. aku berusaha dengan biasa menanggapinya, karena aku ingat setatusku sebagai istri. “Oh..ya allah, andai saja aku tau dia akan datang kembali, mungkin aku akan menolak untuk menikah dengannya”. (dalam hatiku). *** ***
4
Di tahun ke tiga pernikahanku, bapakku sakit sehingga mengharuskanku berhenti dari pekerjaanku. Aku putuskan membawa bapak tinggal bersamaku, karena aku adalah anak perempuan satu-satunya. Sampai suatu ketika, bapak mengetahui apa yang terjadi dengan rumah tanggaku. dia pun menangis dan meminta maaf padaku. dia mengetahui bahwa: betapa aku tak merasa bahagia dengan pernikahanku. aku hanya, bilang, "aku hanya mau berusaha agar tidak ada perceraian dalam kehidupanku pak". akhirnya bapak mengerti, dan berpesan agar aku menyelesaikan kuliah S1 ku sampai selsai dan bisa hidup mandiri. Dua hari berselang, keadaan bapak semakin parah dan aku memutuskan untuk membawanya ke sebuah rumah sakit. selama di rumah sakit, dia hanya berlinang air mata dan tak henti-henti mengingatkanku agar aku bisa hidup mandiri dan memakai kerudungku kembali. Tiga hari kemudian di hadapan ibu, kakak dan aku bapak menghembuskan nafas terakhirnya dipanggil
5