Bambang Indriyanto Edy Darmono Gunawan Marga Hasyim Afandi Hawignyo Martono Hardjo Soemarto Mat Sahudi Otto Sigit Budianto Pramesti Griana Dewi Singgih Susilo Kartono Soemadji Sumpeno Tri Agus Susanto Wahyu Triyono Wardijasa Woro Aryandini S.
Awalnya Biasa Saja
Bambang Indriyanto Madureso
Judul di atas memang dengan sangat sengaja aku buat provokatif dengan maksud agar dapat menimbulkan syak wasangka atau paling tidak multiinterpertasi di antara para pembaca. Di samping itu, judul di atas akan merupakan suatu pembuktian bahwa perjalanan hidup akan mengubah eksistensi seseorang, dari awalnya biasa saja menjadi lebih bermakna. Kebermaknaan dalam kehidupan sosial memang bersifat relatif tapi paling tidak aku mengajukan dua proposisi dengan apa yang aku maksud dengan kebermaknaan. Pertama, orang tua aku sangat bangga dengan apa yang aku capai sekarang, mengingat dulu awalnya biasa saja. Kedua keluargaku merasa puas dengan apa yang aku capai sampai dengan saat ini. Ketiga, teman-teman sekolahku juga heran setelah mereka menyaksikan aku sekarang, mengingat dulu awalnya aku biasa saja. Pernah, paruh akhir tahun 70-an ketika aku dengan bangganya mau pamer dengan temanku bahwa aku diterima di Fakultas Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada, dia membuat komentar kesangsian terhadap prestasiku dengan mengatakan, “Dek é guyon, tenané…?” Setelah aku renungkan memang dia tidak salah, karena awalnya aku memang biasa saja. Kajadian lain terjadi pada menjelang akhir tahun 1992 ketika aku baru pulang dari Amerika setelah aku memperoleh gelar doktor (waktu itu istilah S3 belum populer). Saat aku pulang ke Temanggung, dalam perjalanan mencari oplet pulang ke Mantenan, Tembarak aku bertemu dengan seorang teman SMA-ku. Dia menyapaku, “Mbang piye kabaré,jarené dek é sekolah nang Amerika?”. Jawabku “Lha iyo, kiyé nyong wis rampung doktor”. Sambungnya lagi “Wah hebat tenan dek é, ora nyangka disik kaya ngana kok isa sekolah nang Amerika”. Sekali lagi wajar jika teman aku memberikan komentar seperti itu, karena awalnya aku memang biasa saja. Apa yang ingin aku tulis merupakan pembuktian dari ungkapan filosof Perancis bernama René Descartes, Cogito ergo sum: aku berpikir maka aku ada. Tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian, masa sekolah, masa kuliah, dan masa bekerja.
Masa sekolah Aku adalah anak dari seorang anggota Polisi. Pangkat ayahku tidak tinggi karena memang mulainya dari prajurit. Dan pensiun dengan Pangkat AKP (Ajun Komisaris Polisi) atau sama
dengan kapten. Sejak lulus dari sekolah polisi, ayahku ditugaskan di Makassar. Di kota itulah aku dilahirkan. Ketika aku menginjak umur sembilan tahun menjelang sepuluh tahun, ayahku mengantarkan aku, ibu dan adikku pulang ke Jawa. Ayahku memang mengantarkan kami pulang ke Jawa, karena setelah sekitar satu bulan di Jawa ayahku balik kembali ke Makassar. Dari Makassar kami naik kapal dan turun di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Dari Surabaya perjalanan diteruskan ke Jogja dengan naik kereta. Tapi jangan dibayangkan kami naik kereta pada gerbong penumpang, Kami naik gerbong barang. Seingatku, kami tidak membayar karena yang kontrol kereta Surabaya – Yogja adalah para polisi. Diantar polisi yang tugas sebagai pengontrol tersebut adalah teman ayahku. Sampai di Yogya sudah menjelang malam, sehingga kami menginap di pos penjagaan polisi di Stasiun Yogja. Paginya kami naik kereta yang disebut dengan sepur kluthuk. Dengan sepur kluthuk ini kami turun di Guntur, yaitu tujuan kami. Di desa Guntur ini merupakan awal kehidupanku hidup di tanah Jawa. Dan dari sinilah nanti kehidupan aku berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dalam istilah Anthropologinya adalah kehidupan nomaden. Sudah bisa ditebak, tentu saja di desa Guntur orang tuaku tidak punya rumah. Kami tinggal di rumah mbah buyutku. Di situ kami tinggal selama sekitar dua minggu, kemudian kami pindah ke desa Mantenan, Kelurahan Greges, Kecamatan Tembarak tempat mbahku. Di sini aku masuk ke SD Greges kelas 3. Aku mengalami disorientasi berat. Pertama karena pelajarannya berbeda dengan ketika aku di Makassar. Tidak hanya itu, aku masih kesulitan dalam berbahasa Jawa, sehingga praktis tidak bisa berkominikasi dengan teman-teman sekelasku. Kedua, teman-teman sekelasku cenderung jahil padaku. Aku tidak tahu kenapa mereka berbuat demikian. Mungkin karena masalah komunikasi yang tidak lancar. Untung tidak tidak sampai satu satu tahun aku sekolah di SD Greges. Dan sudah dapat dipastikan kalaupun aku terus di situ, aku bisa tidak naik kelas. Menjelang kenaikan ke kelas IV, kami—ibu, aku, dan adikku—pindah pindah kembali ke Guntur. Pada saat itu ayah sudah kembali dari Makassar bertugas di Polres Temanggung. Di Guntur aku langsung didaftarkan ke SD Madureso. Berkat “kreativitas” ibuku, aku langsung didaftarkan ke kelas IV. Ibuku berkata kepada kepala SD Madureso, Pak Basirun, bahwa aku sebetulnya di Makassar sudah kelas IV, tapi raporku tertinggal di Makassar, karena kepulangan ke Jawa tergesa-gesa sehingga tidak sempat mengurus rapor. Ajaibnya Pak Basirun percaya saja dengan “laporan” Ibuku tersebut. Padahal aku sesungguhnya sudah pernah sekolah di SD Greges. Lokasi antara SD Greges dan SD Madureso adalah satu kabupaten. Aku diuntungkan oleh sistem administrasi pendidikan yang belum secanggih sekarang. Meskipun kepala SD Madureso percaya bahwa aku memang sudah kelas IV, tetapi aku sangat merasa tidak aman duduk di kelas IV, karena memang aku belum secara resmi naik ke kelas IV. Setelah berada di kelas IV selama dua hari aku merasa tidak yakin, maka aku memutuskan untuk kembali ke kelas III. Aku sempat di kelas III selama dua minggu, sampai akhirnya Ibuku tahu; entah dari mana Ibuku tahu. Akhirnya aku dipaksa untuk kembali ke kelas IV. Aneh memang. Tetapi aku bisa naik ke kelas V di SD Madureso tersebut.
Ketika kelas VI, kami sekeluarga pindah ke Temanggung tepatnya di Asrama Polisi Gemoh. Di sini aku harus menjalani proses reorientasi, karena aku pindah dari daerah pedesaan ke kota. Dengan majunya sarana transportasi dan komunikasi seperti sekarang ini, antara kota Temanggung dengan desa Guntur tidak terdapat perbedaan perkembangan kulutural yang menonjol. Tetapi tidak pada waktu itu, awal tahun 70-an. Gemoh merupakan fenomena kota yang berbeda dengan desa Guntur meksipun dari segi jarak desa Guntur dengan Gemoh tidak sampai 10 kilometer. Perbedaan-perbedaan tersebut, meliputi lingkungan tempat tinggal dan sekolah. Di desa Guntur meskipun keluarga aku tidak termasuk kaya, tetapi masih dianggap sebagai keturunan “darah biru”, meskipun di lingkungan desa Guntur. Di asrama polisi Gemoh Temanggung keluarga kami termasuk golongan “darah merah”, karena kami tinggal di rumah prajurit. Ayahku tidak termasuk perwira walaupun pangkat ayahku pada waktu itu sudah Ajun Inspektur Dua (waktu disebut dengan knop dua). Kami tinggal di barak dengan dua petak kamar, dan masing-masing petak berukuran sekitar 3 x 4 meter. Perbedaan lain ialah sejak itu kalau sekolah aku sudah pakai sepatu, tidak lagi nyékér seperti ketika sekolah di SD Madureso. Aku terdaftar di SD negeri 4 Temanggung, yang waktu itu lokasinya di alun-alun atas depan mesjid Temanggung, tepatnya SD negeri IV bersebelahan dengan rumah mbah Kyai Mandur. Di SD IV ini aku masuk kelas VI. Sekolah di sini merupakan penyiksaan bagiku, karena aku nampaknya tidak diterima oleh teman-teman sekelas, mungkin karena aku nampak ndésani dan nyuklun. Sebagai kompensasi penolakan dari teman-teman sekelasku, maka aku selalu berusaha untuk berontak. Akibatnya tidak ada siswa perempuan sekelas yang senang padaku. Tanya pun mereka tidak mau. Sementara teman-teman laki-lakiku hampir setiap hari berperilaku menjekengkelkan bagiku Untung di situ aku hanya satu tahun pelajaran saja, karena setelah ujian nasional aku lulus. Dan SD IV selalu mencapai kelulusan 100%. Aku diuntungkan dengan reputasi SD IV. Dari SD IV aku melanjutkan ke SMPN 2 Temanggung. Kala itu, SMP 2 tidak sehebat SMP 1 karena gedung sekolahnya tidak sebaik SMP 1. Aku diterima di kelas I A. Ada keajaiban yang terjadi pada diriku. Oleh wali kelas I A (aku lupa siapa wali kelas waktu itu) aku ditunjuk sebagai ketua kelas. Tapi posisiku sebagai ketua kelas tidak bertahan sampai dengan satu tahun pelajaran, alias hanya dua caturwulan. Ketika aku naik kelas II, ayahku pindah tugas menjadi Kapolsek Tembarak sehingga kami sekeluarga pindah ke desa Menggoro. Tapi jangan dikira pindah di rumah sendiri. Orang tua ku belum mempunyai rumah. Kami masih ngontrak, walaupun tidak harus bayar, tapi memperbaiki rumahnya saja karena waktu kami masuk pagarnya sudah rusak dan gentengnya sudah mulai bocor. Jadi rumah yang kami tempati waktu itu rumah gedék dan berlantai tanah. Untuk berangkat sekolah, aku harus berangkat jam 05.30 dengan naik sepeda. Aku bersama teman-teman yang nglaju dari arah Tembarak sangat menikmati kebersamaan waktu itu karena kami sama-sama dari desa. Dalam perjalanan menuju ke sekolah, kami jarang ngobrol-ngobrol, bukan karena kami tidak akrab, tetapi karena kami memang tidak pernah dalam kondisi fit. Banyak di antara kami yang tidak sarapan ketika berangkat ke
sekolah, termasuk aku. Tidak banyak energi yang tersisa untuk ngobrol saat berangkat dan pulang sekolah, karena memang sudah kecapaian mengayuh sepeda dengan jalan yang naik turun. Di kelas II, aku berada di kelas II D. Kelas ini memang merupakan kelas bagi anak yang naik kelas, tetapi yang nilainya jan ngepas tenan. Ketika itu, anak-anak yang pandai-pandai berada di kelas II A dan yang kurang pandai di Kelas II B demikian seterusnya sampai kelas II D untuk anak yang tidak pandai. Selama di kelas II ini, pelajaran yang paling aku takuti adalah ilmu ukur, Aljabar, dan bahasa Inggris. Aku tidak pernah mudheng dengan apa yang diajarkan oleh para guru. Pelajaran ilmu alam termasuk pelajaran sulit, tetapi aku relatif dapat memahami. Pelajaran Aljabar merupakan pelajaran yang paling aku takuti. Tidak hanya materinya yang sulit dipahami tetapi gurunya, Pak Dullah, termasuk guru galak. Saking tidak mudengnya maka anak-anak di kelas II D oleh Pak Dullah dibilang kena penyakit BAKMI yang merupakan singkatan dari Bodho, Aras-arasen, Kesét, Males, tur Isinan. Singkatan ini sampai sekarang selalu aku ingat. Dan singkatan ini pernah aku ungkapkan ketika aku diundang ceramah di hadapan para guru di Temanggung pada tahun 2006. Sudah bisa ditebak mereka semua tertawa. Bagaimana aku bisa mudeng dengan pelajaran yang sulit, untuk memahami pelajaran yang mudah saja, seperti Bahasa Indonesia atau kesenian, aku harus mengumpulkan energi yang tersisa dari mengayuh sepeda sepanjang sekitar 15 Km setiap hari pulang pergi dan sering tidak sarapan, serta tidak pernah diberi sangu. Jadi kalau pas jam istirahat praktis tidak pernah bisa njajan pecel mie Bu Hadi pemilik kantin sekolah yang nampaknya enak sekali. Di kelas III aku oleh orang tua aku dikostkan di Temanggung dengan harapan aku bisa lebih konsentrasi belajar agar nilai raporku bisa lebih baik dan lulus dengan nilai yang lebih baik. Harapan orang tuaku tidak terbukti. Alias ora ono kacéké. Sama seperti ketika aku di kelas II, di kelas III ini pelajaran Aljabar, Ilmu Ukur, dan kali ini Ilmu Alam aku selalu merah. Sepertinya ini menjadi tradisi yang nantinya akan berlanjut sampai aku kelas I di SMA. Pada saat ujian akhir kelas III, Alhamdulliah aku ikut “lolos”. Jangan tanya nilainya, yang penting aku lulus. Oleh karena itu suatu kewajaran kalau Ibuku sangat khawatir ketika mengetahui nilaiku yang jan ngepas tenan. Nilai ujian akhirku berada pas diambang batas kelulusan. Sudah dapat dipastikan dengan nilai yang sangat pas-pasan (aku tidak berani nyebutkan berapa rata-rata nilai aku, wedi ndak kewirangan) aku tidak bisa diterima di SMA. Tapi di sinilah aku membuktikan pernyataan Descartés: Cogito ergo sum. Aku putar otak untuk cari koneksi. Lewat guru jelas tidak mungkin. Ndilalah kersané ngallah, setelah tahun ajaran baru sudah berlangsung dua minggu, aku mempunyai keberanian untuk main-main ke SMA. Di sana aku ketemu dengan Pak Bon SMA, namanya Pak Man. Ngomong punya ngomong dia bilang kalau dia punyai jatah memasukkan satu siswa baru. Tentu saja ini merupakan suatu rahmat Tuhan yang terhingga bagiku. Berkat “ngomong-ngomong” atau bahasa kerennya negosiasi dengan Pak Man aku dapat diterima di SMA negeri. Waktu itu SMA negeri hanya satu-satunya di Temanggung.
Ketika aku mulai masuk hari berikutnya, teman-teman satu almater SMP 2 terheran-heran kenapa aku bisa diterima. Adalah satu kebodohan kalau aku bilang bahwa aku ditolong oleh Pak Man, dan merupakan suatu kebijakan, kalau keheranan teman-temanku tidak usah dijawab, toh nanti keheranan tersebut akan hilang bersama waktu yang berlalu. Selama di SMA aku mengamati, siswa-siswa SMA bisa digolongkan menjadi empat kelompok yaitu kelompok OSIS, anak yang termasuk dalam kelompok ini biasanya pinterpinter dan kalau berpakaian rapi-rapi. Kelompok kedua kelompok seniman siwa yakni kelompok pinter nyanyi, kalau ada acara SMA selalu tampil sehingga mereka sangat ngetop di kalangan siswa yang lainnya. Kalau pakai baju selalu nampak mbois. Biasanya banyak siswa perempuan yang pengen kenal dengan mereka. Kelompok, ketiga adalah kelompok olahragawan dengan badan tegap-tegap, tapi kalau pakaian nyetil walaupun tidak mbois. Kelompok keempat mereka adalah bukan anggota OSIS, tidak pinter nyanyi, olah raga yo ora iso. Cekaké ora duwé modal selain berstatus sebagai siswa SMA. Aku menjadi bagian dari kelompok keempat ini. Sampai dengan kelas III, aku merasa keberuntungan masih berada di pihakku. Meskipun kepinterané cekak, tapi aku bisa lulus dengan nilai yang sedikit lebih baik dibanding dengan nilaiku ketika lulus SMP, walaupun masih di bawah rata-rata.
Masa Kuliah Lulus SMA aku mendaftar di dua perguruan tinggi yaitu Universitas Diponegoro (Undip) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Pendaftaran ke UGM sudah melalui program Skalu (Sekretariat Kerjasama Antara Lima Universitas), sedangkan pendaftaran di Undip melalui tes saringan yang diselenggarakan oleh Undip sendiri. Di kedua universitas tersebut aku sama-sama mendaftar di Fakultas Sosial dan Politik Orang tuaku tentu saja sangat bangga dan terharu melihat suatu kenyataan bahwa aku diterima UGM. Kebanggaan mereka karena UGM merupakan universitas yang menjadi citacita praktis lulusan SMA Temanggung. Haru mengingat nilai-nilai aku selalu pas-pasan saja, bahkan raport aku selamu dihiasi dengan angka merah. Teman-teman aku tentu saja heran campur kagum, meskipun banyak herannya daripada kagumnya. Bagaimanan tidak dari jurusan Sosbud SMA Temanggung yang lulus pada periode aku yang diterima di UGM hanya dua orang, aku dan Atok (almarhum). Aku diterima di Fakultas Sosial dan Politik sedang Atok di Fakultas Hukum. Masa kuliah ini merupakan titik tolak bagi kehidupan (turning point) aku. Pada saat mulai kuliah aku sudah mulai mempunyai bayangan tentang masa depan. Aku menetapkan citacita yaitu harus sekolah ke Amerika. Bayanganku kalau tidak kerja di Departemen Luar Negeri (Deplu) ya jadi dosen. Belajar rajin dan belajar bahasa Inggris menjadi kuncinya. Meskipun kedua strategi tersebut telah menjadi ketetapan hatiku, rasa rendah diri sebagai wong ndesa selalu mencengkeram kehidupanku sehari-hari dan menjadi hambatan psikologis untuk memacu motivasi belajar. Kalau lihat teman-temanku dari Jakarta dan Yogyakarta serta kota-kota lain nyaliku sungguh ciut. Para ceweknya sudah pakai jeans dan T shirt, nampak sangat gaya. Dan cowok-cowoknya tidak hanya memakai jeans tapi ada
yang sudah pakai mobil, banyak dari mereka yang sudah naik sepeda motor. Memakai celana jeans apalagi yang mereknya Levi’s merupakan mimpi besarku. Sampai aku lulus tidak pernah kesampaian memilikinya. Bahkan untuk membeli sepatu saja selama kuliah, baru sekali. Aku memakai sepatu boot, sepatu pembagian untuk anggota polisi. Sepatu ini aku pakai sejak aku kelas I SMA sampai dengan aku lulus sarjana. Tenyata ada juga risikomempunyai teman-teman mahasiswa dan mahasiswa dari kota-kota besar yang juga anak gedongan. Mereka tidak mempunyai masalah dengan uang, sebaliknya bagiku, itu menjadi masalah besar. Kalau habis kuliah, sekitar jam 11, mereka selalu mengajakku untuk jajan bareng di luar kampus. Masalah tranpor tidak masalah karena mereka yang mengajak punya sepeda motor. Yang bikin masalah setiap jajan aku harus mengeluarkan uang antara Rp 150 sampai dengan Rp 200. Karena jajannya selalu urunan. Bagi mereka uang sejumlah itu tidak masalah, karena uang saku bulanan mereka berkisar Rp 25 ribu tidak termasuk uang bayar kos, sedang aku hanya Rp 5 ribu, itu sudah termasuk transpor dan beli buku, atau fokopi. Jadinya aku lebih sering tidak ikut. Sampai-sampai mereka selalu bilang “wah Bambang tidak solider sama kita-kita. Kalau diajak jajan tidak mau ikut”. Dalam hati aku permasalahannya bukan solider atau tidak, tapi urunané kuwi sing ngebot-ngeboti. Anehnya aku tidak mempunyai keberanian untuk berterus terang kalau permalasahannya adalah aku tidak mampu untuk membayar urunan. Rasa gengsiku rupanya masih tinggi. Dengan sangu cekak, maka setiap habis kuliah aku selalu belajar di perpustakaan. Aku berusaha untuk membaca buku teks bahasa Inggris, meskipun aku mengalami sangat banyak kesulitan untuk memahami isinya. Praktis setiap kata yang aku baca, aku harus membuka kamus Inggris – Indonesia. Ini cara satu-satunya bagiku untuk meningkatkan kemampuan Bahasa Inggrisku karena kalau harus kursus Bahasa Inggris jelas aku tidak bisa membayar bulanannya. Meskipun demikian untuk mata kuliah bahasa Inggris aku tidak mendapat nilai baik, cukup C saja. Aku tidak putus asa, cita-cita untuk sekolah ke Amerika menjadi faktor pendorong kuat untuk belajar bahasa Inggris meskipun harus melalui proses membaca buku teks bahasa Inggris. Setelah sekarang aku renungkan, kesulitanku dalam memahami kalimatkalimat dalam buku teks karena dua hal yaitu pemahaman tata bahasa dan ungkapan idiomatikku sangat rendah. Keduanya dapat ditingkatkan kalau mengikuti kursus bahasa Inggris. Apa daya ikut kursus bukan merupakan opsi yang harus aku ambil, tetapi membaca buku teks bahasa Inggris secara terus-menerus merupakan opsi yang harus aku tempuh. Ketekunanku rupanya memberikan hasil. Ujian semesteran aku relatif baik. Indeks Prestasiku setelah lulus di atas 3. Ketekunan aku terus berlanjut sampai dengan penulisan skripsi. Meskipun saat menulis skripsi dosen pembimbingku termasuk dalam kategori killer, tapi aku dapat selesai dalam waktu sekitar 8 (delapan) bulan. Tahun 1982 bulan Maret aku berhasil lulus dan mendapat gelar Drs. Ini pembuktian kedua dari perkataan Descartes: Cogito ergo sum. Kelulusan dengan mendapat gelar kesarjanaan tentu saja sangat membahagiakan diriku, dan orang tuaku. Namun demikian, masa wisuda tidak memberikan kesan, karena tidak ada sesi foto dengan teman dan keluarga. Aku tidak mempunyai kamera, sementara teman-
temanku yang mempunyai kamera sibuk berfoto ria dengan keluarga masing-masing. Tidak ada makan-makan syukuran habis wisuda. Bahkan untuk berangkat dan pulang wisuda aku dan keluarga (ayah dan adik aku) naik angkutan umum. Jadi ketika yang lain sibuk berfoto ria dan mencari restoran untuk makan bersama, kami sibuk mencari angkutan umum untuk kembali pulang. Masa kebahagian wisuda nampaknya cepat berlalu, karena masalah mencari pekerjaan menghadang di depan mata. Kalau harus mencari kerja di Jakarta bagaimana ongkosnya ke sana dan ongkos hidup di sana. Memang aku punya saudara di Jakarta, tapi tidak punya ide bagaimana caranya untuk mengatakan numpang dan membiayai ongkos hidup. Tuhan memberikan jalan. Kira-kira sebulan setelah lulus aku mendapat tawaran menjadi petugas pengumpul data selama satu bulan di Madiun. Dari kegiatan itu aku mendapat honor Rp 250 ribu. Jumlah uang yang belum pernah aku miliki sebelumnya. Setelah aku dari Madiun, aku diajak teman aku ke Surabaya untuk bekerja collecting penggandaan dokumen. Selama kurang lebih 3 (tiga) minggu aku mendapat honor Rp 97 ribu. Namun selama di Jakarta aku juga melamar menjadi di Universitas Airlangga Fakultas Sosial dan Politik. Dari hasil wawancara dengan dekan ada kemungkinan aku diterima. Tetapi untuk dapat sekolah ke Amerika kemungkinannya kecil sekali. Padahal aku bermaksud jadi dosen biar cepat bisa sekolah ke Amerika.
Masa bekerja Aku termasuk yang beruntung karena aku diterima di beberapa tempat termasuk Departemen Pertanian (Deptan), Departemen Luar Negeri (Deplu), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Astra Graphia. Tapi yang aku pilih adalah di Depdikbud, tepatnya Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang). Alasannya karena di situ memberi kesempatan untuk sekolah ke Amerika. Ketika aku wawancara dengan Sekretaris Balitbang, tentang kemungkinan untuk sekolah ke Amerika beliau menjawab “kalau bahasa Inggrismu sudah mencukupi minggu depanpun bisa berangkat”. Oleh karena bahasa Inggrisku relatif bagus, aku dikirim ke Philipina untuk mengikuti khursus Perencanaan Pendidikan selama enam bulan mulai bulan Juni 1983. Pada saat aku berpamitan ke Sekertaris Balitbang, beliau mengatakan, “Ini latihan untuk sekolah ke Amerika”. Keberangkatan ke Philipina merupakan pengalamanku ke luar negeri dan naik pesawat terbang yang pertama kali juga. Sepulang dari Philipinabulan Desember 1983,semakin semangat mempersiapkan diri untuk sekolah ke Amerika. Pada bulan Agustus 1987, aku berangkat ke Amerika. Kali ini merupakan pengalamanku kedua berangkat ke luar negeri yang kedua dan pengalaman ke lima naik pesawat terbang. Di Amerika, aku diterima di State University of New York(SUNY)at Albany. Albany adalah ibu kota negara Bagian New York. Aku selesai program doktor bulan September 1992. Sekali lagi pada saat aku lulus S3 tidak hanya orang tua ku yang sangat bangga tetapi juga istriku. Ketika aku lulus S3, ayahku menginjak masa pensiun. Ibuku—terutama—sangatsangat bangga karena selama aku sekolah di Amerika, ibuku banyak mendapat pertanyaan
sesama istri Polisi bagaimana cara mendidik anak sehingga bisa sekolah ke Amerika, bahkan istri Kapolres juga menanyakan hal yang sama. Memperoleh gelar doktor pada tahun 1992 merupakan modal utama untuk menapaki jenjang karir. Beberapa bulan setelah kepulangan aku, aku langsung diangkat menjadi kepala bidang pada usia yang relatif muda. Dalam waktu yang bersamaan aku mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan penelitian yang disponsori oleh beberapa donor asing seperti Bank Dunia, US-AID (United States Agency for International Development), ILO (International Labour Organization) Unicef (United Nations Children’s Fund), Unesco (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization), bahkan British Petroleum. Di samping itu selama periode 1994 sampai dengan 1998 aku juga nyambi mengajar di Pascasarjana UI, Universitas Negari Jakarta, dan Universitas Negeri Yogyakarta. Kesempatan untuk ikut kegiatan penelitian dengan donor asing memberi kesempatan bagiku untuk melakukan perjalanan ke luar negeri. Menurut perkiraanku, sudah ada 21 negara yang pernah aku kunjungi selama menjadi pegawai di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), dulunya Depdikbud. Berdasarkan apa yang telah aku capai sampai dengan saat ini sebagai pegawai di Kemdikbud, aku tidak berhak untuk mengeluh. Aku hanya diberi hak untuk mengucapkan rasa syukur. Praktis aku sebagai staf hanya selama sekitar 4 (empat) tahun. Sejak aku memperoleh gelar doktor sampai sekarang selalu mendapatkan jabatan, selalu mendapatkan kepercayaan. Semua yang aku peroleh sampai dengan saat ini karena aku rencanakan. Masa lalu tidak dapat menjadi prediktor terhadap masa depan seseorang. Usaha yang dilakukan sejak masa lalu menentukan apa yang diperoleh pada masa sekarang. Cogito ergo sum, walapun awalnya biasa saja…. Tetapi aku merasa kehidupan aku sekarang sangat bermakna bagi diri aku dan keluarga aku, serta orang tua aku. Kebermaknaan tersebut aku refleksikan dalam puisi yang aku tulis sebagai renungan perjalan hidup aku sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur aku yang tak terhingga atas rakhmat dari Allah Swt. Amin, amin ya rabbal alamin.
CES’T LA VIE
Taking life for granted is just trapping us into uncertainties Life is a choice between to be or not to be But when you are able to take some opportunities Ces’t la vie, live the life what supposed to be
Don’t just give up and live up with what you are
Make the best out of your life since it never comes twice The moment of our live is so precious regardless of who we are Ces’t la vie, just make your life for the best wish
Life gives us times for rendezvous It sometime keeps us apart for ou revoir but not good bye Time offers you a lot of foray, as long as you stay as you Ces’t la vie, take a moment to make hope and pray
So enjoy the life while you are able to Ces’t la vie, life is a never ending story……..!!!!
Terjemahan bebas (sebebas-bebasnya) dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut:
Lelakon Urip
Urip ora mung waton parikena Beja lan cilaka kuwi dudu penjalukan, manungsa sak derma nglakoni Nanging kenapa manungsa kudu ngupaya upa, kanggo urip kang wicaksana Merga manungsa urip nang donya ora mung sak derma nampa Aja nelangsa rikala sengsara, aja dumeh rikala seneng Dadiyo menungsa sing sak madya lan bisa rumangsa
Urip iku kudu diupayakke Kanthi nandur kabecikan lan aja gawe gela wong liya Eling marang sing Kuwasa lan ora mung ngudi karo bandha Etungan kabecikan ora mung saka okehe sing diulungke
Dadiya wong sing bisa rumangsa ora mung rumangsa bisa Eling lan waspada, yen wis tekan titi wancine Ora ana sing bisa enda apa maneh nampik Lelakon urip ora mung sak derma nrima
Kaki Gunung Sumbing dan Sinar Matahari Pagi Edy Darmono Walitelon, Temanggung
Kaki Gunung Sumbing Temanggung terletaksebelah timurkaki gunung Sumbing.Keberadaannya merupakan pemberian dari sebuah perjalanan waktu.Merupakan tahap akhirsebuah proses pergerakan bumi yang terjadi sejak ribuanatau mungkinjutaan tahun lalu. Temanggung, konon nama initelah beberapa kali berubahseiring perjalanan waktu yang menyertainya. Syahdan… Pada masa kekuasaan Demak, Pajang, dan Mataram Kota Gede, wilayah Temanggung dikenal dengan sebutan Menoreh. Menoreh, sebuah perbukitanmembujur dari Bantul Yogyakartahingga wilayah Temanggung dan berakhir di Mata Air sungai Progo.TepatnyaJumprit, kecamatan Ngadirejo, kabupaten Temanggung. Namunada juga yang menyatakan bahwa Menoreh, wilayahnya sampai ke kabupaten Wonosobo saat ini. Perlu diketahuimetode pembatasan wilayahsaat itu, bukan seperti sekarang ini. Jaman Mataram, pembatasan wilayah lebih ditetapkan berdasarjumlah Kepala Keluarga atau jumlah jiwa yang tinggal diwilayah tersebut (cacah jiwa). Pada jaman kerajaan Demak,akhir tahun 1400-an, terdapatkerajaan Pengging (Kraton Pengging) di daerah Boyolali. Kratonini merupakansisa-sisa kekuasaan Mataram Kuno dan pernah berada didalam wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Pada masa itulah, selain Kraton ada pula tanah Perdikan. Wilayah Perdikan ini seperti Bagelen, Lowano di Purworejo, Menoreh di Temanggungdan pusatkekuasaan lokal lainnya. Pusat-pusat kekuasaan tersebutakhirnya hilang semenjak VOC menguasai Jawa Tengah. Struktur pemerintahan Mataram “Baru” kemudian diubah.Wilayah Menoreh (Kedu), akhirnya disebut sebagai Karisidenan Kedu.Sebuah wilayahyang berpusat di Magelang, membawahi 5 wilayah kabupaten yaituMagelang, Purworejo, Kebumen, Wonosobo, dan Temanggung. Temanggungmerupakan lokasi pemindahan dari pusat kekuasaan lama yang berada di Parakan.Parakan sendiri menurut penuturan beberapa ahli, berasal dari kata Marak, tempat marak (tempat menghadap).Dalam kehidupan masa lalu, masyarakat Temanggung dikenal sebagai masyarakat agamis tampak dari banyaknya bukti-bukti sejarah peninggalan Hindu/Budha.Masyarakatnya umumnyapetani yang terkenal trampil dan ulet.
Ketika VOC menguasai perdaganganJawa, wilayah ini digunakan sebagai pusat perkebunan. Para pedagang China sebagai pengumpuldan VOC (Belanda) sebagai perusahaan perdagangannya.Sejakitulah wilayah Temanggung dikenalsebagai kota kecil penghasil tanaman tembakau, kopi, Vanili, dan tanaman perkebunan lainnya. Dari gambaran masa lalu ini tampak “benang merah”-nya. Yakni masyarakatnya pernah hidup dalam pemerintahan perdikan (otonom). Kemudian pernah menjadi masyarakat dibawah pemerintahan Mataram sebelum VOC.Dari perubahan dan permindahan kekuasaan tersebut tentu saja sistem kekuasaan sangat mempengaruhi tata nilai dan sistem sosial, budaya serta ekonomi masyarakatnya. Melihat bukti-bukti peninggalan dan menilik sejarah di masa lalu (era Mataram kuno, Demak, Mataram Kota Gede, Mataram Solo, Mataram Jogja), pada masa kerajaan Mataram Kuno dan pada masa sebelum VOC, masyarakatwilayah Menoreh ini sangat menjunjung nilai-nilai agamis dan sosial. Nilai pengabdian dan orientasi ekonomi individual tertanam sejak masa VOC.Pada jaman ini terjadi kolaborasi antara sistem ekonomi kerajaan dengan sistem ekonomi penjajah (VOC),dan melahirkan sistem sosial feodal. Saat inipun masihtetap berproses pembentukan sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem Pemerintahan. Perpaduan seperti apa yang akan menjadi sistem sosial masyarakat Temanggung di kemudian hari? Semua tergantung pada kita, terutama masyarakat dan PemerintahKabupaten Temanggung.
Dua Arca Gupala Penjaga Keamanan Sampai saat ini, tidak ada yang mempersoalkan kata Temanggung itu sebagai sebutan kabupaten atau kota. Apakah benar sebutan tersebut datang begitu saja? atau sebenarnya merupakan penjelmaan kata dari sebutan lain? Jika dilihat berdasar suku kata bahasa Jawa, rasanya sulitmenemukan kata Temanggung. Tidak ada kata “temang”. Yang ada “manggung” (sebutan untuk burung perkututsedangberkicau). Lalu apa hubungankata “manggung”-nya perkutut dengan Temanggung? Apakah akan memaksakan kata Te sebagai Tempat? Kemudian tempatburung perkutut manggung?, nampaknya terlalu dipaksakan!
diartikan
sebagai
Kitalebihmenerima jika kata Temanggung berasal dari kata Tumenggung. Kata Tumenggung adalah jabatan padasistem pemerintahan kerajaan.Jaman Kerajaan Demak dan Mataram, baik Solo maupun Jogja. Sebutan lengkapjabatan Tumenggung adalah Kanjeng Raden Tumenggung atau disingkat KRT. Dan KRT adalah jabatan yang diberikan kepada seseorang karena jasanya kepada kerajaan. KRT dapat diberikan kepada siapa sajatanpa harus mempertimbangkan asal-usul darah atau keturunan seseorang.Apakahmasihketurunanpenguasa atau tidak?
Pada jaman VOC, tempat tinggal Raden Kanjeng Tumenggung berada di Menoreh, dibangun di atas sebuah tanah yang diratakan, dari wilayah yang tanahnya miring, di kaki Gunung Sumbing, disisisebelah Timur. Bangunan tersebut terdiri dari kantor dan tempat tinggal Kanjeng Tumenggung yang menghadap ke Selatan. Tepat di depannya tergelar sebuah alun-alun (lapanganluas). Sebelah barat alun-alun dibangun sebuah Masjid. Tepat ditengahalun-alun menjulur jalanmembelah dari sisi selatan ke utara, masuk Ndalem Katumenggungan. Ditengah alun-alunditanam dua pohon beringin. Satu berada di timur jalan dan satu lainnya di sebelah barat jalan. Sementarapuluhan pohon beringintertanam melingkar mengelilingi alun-alun. Pohon beringin sangat rindang ini akhirnya menjadi “rumah” ratusan burung kuntul (bangau putih). Masjid Agung yang berada di sisi barat alun-alun adalah masjidyang bentuknya serupa dengan masjid di Keraton Jogja, Solo, bahkan Demak. Masjid tersebut berbentuk Joglo beratap bertingkat-tingkat menyerupaibangunan pemujaan penganut agama Hindu. Di depan masjid terdapat kolam (blumbang) tempat orang-orang membersihkan diri sebelum masuk ke masjid. Ndalem Katumenggungan merupakan bangunan Joglo khas Jawa Tengah.Menghadap ke selatan dengan pintu masuk di tengah. Di sebelah gerbang pintu masuk terdapat dua archa Gupala (berasal dari kata dwaraphala). Arca gupalaini adalah arca raksasasedang memegang senjata gada.Lambang penjaga keamanan. Sejajar dengan Arca Gupalayang berada di sebelah timur ataupun barat, dibangun tembok pengaman mengelilingi Ndalem Katumenggungan (Ndalem Tumenggung). Di belakang Taman, di sisi sebelah timur terdapat rumah kereta yang sebelah utaranya kandang kuda (Gedokan), memanjang ke utara hinggajalan tembus yang membelah tembok - keluar dari ndalem Tumenggung. Jalan tembus ini berbentuktangga keluar dan bertemu dengan jalan di timur tembok. Di sebelah timur jalan keluar ini terdapat kampung kecil bernama Niagan. Kata niagan bermakna tempat tinggalnya para niyaga (penabuh gamelan). Sedang Di belakang Ndalem Tumenggung terdapat sebuah kampung yang kemudian disebut kampung Temanggung Lor (utarandalem Tumenggung).
Taman Kanak-Kanak Pertiwi Ketika perang kemerdakaan meletus, rumah kereta Ndalem Tumenggungutuhluput dari aksi bumi hangus pada saat perangantara laskar kemerdekaan (TNI) dengan tentara Kompeni yang berkeinginan mengembalikan kekuasaan VOC di tanah perdikan Menorehyang telah masuk menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI). Laskar kemerdekaan tidak rela Ndalem Katumenggungan dijadikan markas Kompeni. Oleh sebab itu, bangunan gedung anggun itudibakar habis hingga ratatanah. Tinggal rumah kereta dan gedokan kudamasih tersisa.
Setelah perang kemerdekaan berdaulat, dua rumah kereta menjadi tempat bermain yang ibu-ibu pengantar. Di halaman menjadi sangat rindang.
berakhir dan PBB mengakui Indonesia sebagai negara tersebut menjadi sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) dan ramai. Setiap pagi penuhanak-anak berusia 5-6 tahun dan ini tumbuh pohon kelengkeng besar sehingga halaman TK
Ibu Mar, ibu Mir, dan ibu Sut adalah tiga guru muda perintis dan senantiasa memberikan pelajarankepada murid-muridnya di TK Pertiwi ini.Mereka adalah para pejuang yang memperkenalkan norma, kaidah, sopan santun, serta pola hidup kepada anak-anak yang pada umumnya memiliki orang tuatidak berpendidikan.Yang mengenal tentang “sekolah” bisa dihitung dengan jari. Oleh sebab itu, betapa penting pelajaran dari ibu-ibu guru mudayang memiliki semangat luar biasa ini. Anak-anak menjadi tahu manabaik - manaburuk, manabenar – manasalah, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.Dan tentu saja juga bagaimana mengenal warna, bentuk, dan menyanyikan lagu. Kami…anak-anak ini, mempunyai latar belakangsangat beragam,datang dari keluarga yang beragam pula. Nilai-nilai tentang norma dan etika, serta sopan santun tentu berbeda-beda juga. Ibu Mar, ibu Mir, dan ibu Sut itulah yang mengenalkankan tatanan patokannya. Mereka sangat telaten dan sabar membimbing anak-anak yang masih nakal dan belum mengenal sopan santun. Tentu saja karena kami memang belum mengenal aturan ini dan itu sebelumnya. Sekarang sudah seharusnya kita para murid dari ibu Mar, Ibu Mir, dan ibu Sut, mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada beliau. Karena berkat beliaulah kita bisa menjadi manusia utuh dan bermartabat. Bahkan, secara ekstrim, pengertian dan tata krama itu menjadikan seseorang dapat berumur panjang.Karena kita diajari tentang norma baik dan buruk, etika sopan santun, sehingga kita dapat hidup bersama masyarakat yang lebih luas. Mengenal bentuk, mengenal warna, adalah pelajaran dasar untuk mengidentifikasi lingkungan. Sementara itu belajar menyanyi adalah belajar berani, percaya diri, dan mengembangkan rasa. Pada umumnya, di sekolah di TK,akan ada banyak sekali… bahkan hampir semua murid - jika bernyanyi tidak menggunakan perasaan. Jangankan mengontrol suara, berani berdiri di depan kelas dan mengeluarkan suara saja sudah hebat, akibatnya ketika kami bernyanyi suaranya kacau-balau.Tidak ada kontrol suara, kontrol nada, kontrol irama, kontrol ucapan, apa lagi penghayatan dan gaya dalam membawakan sebuah lagu. Dalam bahasa populer kanak-kanak diwaktu lalu, dikenal dengan sebutan asal bunyi, maklum namanya juga anak-anak.
Sekolah Dasar Pungkuran Kebijakan politik etis Belanda telah berbuahdengan dibangunnya Sekolah Dasar Pungkuran. Sekolah ini berasal dari kata pungkur (belakang-jawa), karena memang berada di belakang
Ndalem Katumenggungan. Sekolah Dasar ini sebuah sekolah, tempat belajar, berhitung dan menulisnya orang-orang pribumi (inlander) pada masa VOC. Bangunan SD Pungkuran sangat sederhana, tiangnya terbuat dari besi berdindingkulit bambu (welat) yang dianyam. Ventilasi, berada diantara dinding dan atap dan terbuat dari rangkaian besi kecil berbentuk kubusdianyam miring. Sekolah ini dibangun menyerupai huruf L, membujur dari barat ketimur lalu berbelok ke utara. Sebelah barat terdapat satu bangunan terpisahdari bahan bangunan yang sama. Namun terdapat barang-barang paling hebat di sekolah ini, yaitu adanya meja dan kursiyang terbuat dari kayu jati. Bangku dan meja panjangnya dapat digunakan untuk 4 anak duduk berjajar. Setiap meja diberi lubangtiga tempatuntuk meletakan tinta cair. Di bagian tengahbangunan yang berbentuk huruf “L” disitulah halaman sekolah.Tempat yang cukup luas dan disetiap hari Senin pagi dipergunakan untuk upacara bendera.Semua murid dari kelas 1 hingga kelas 6 diwajibkan mengikutinya. Tahun 1966keadaan di Temanggung belumbanyak perubahan. Pada saat semua masih asli seperti itulah aku masuk kelas 1 di SD Pungkuran. Aku yang sejak kecil ikut bulik di Temanggung Lor (aku diambil anak oleh adik ayah,sementara keluargaku masih tetap bertempat tinggal di Walitelon). Sebagai seorang anak, aku merasa senang bisa belajar di sekolah ini. Aku merasa tidak canggung karena sebagian besar teman-teman TK-ku menjadi teman sekelasku di SD ini. Selamasekolah di SD Pungkuran, aku dapat melihat bahwa anak-anak yang berprestasi dalam hal pelajaran adalah anak-anak yang mendapat bimbingan secara baik dari orang tua atau kakak-kakaknyadan mempunyai lingkungan yang mendukung. Maka hampir dapat dipastikan, anak yang kurang mendapat bimbingan dari orang tua atau dukungan lingkungan yang baik, akan mengalami kesulitan yang sangat berat pada saat menerima dan memahami mata pelajaran. Sedang orang tua-ku pedagang kecil, waktu mereka sudah habis untuk mencari nafkah. Lingkunganku memang tidak kondusif untuk membahas masalah pelajaran. Kami lebih suka bermain menggelandang dan tidak pernah membahas pelajaran. Akibatnya aku termasuk anak yang tidak dapat dibanggakan dalam bidang pelajaran. Sebagai anak angkat tunggal aku merasa kesepian karena tidak ada tempat untuk bersenda gurau karena orang tuaku bekerja di luar rumah mulai dari pagi hingga petang hari. Kesendirian ini akhirnya membawaku,ke sebuahtempat bermain - Kolam Renang Pikatan. Setiap hari setelah usai sekolah aku menceburkan diri di kolam renang Pikatan. Gaya tarzan dan gaya batu menjadi teknik renang andalanku, hingga aku bertemu seorang pemuda yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Olah Raga Atas (SMOA) di Magelang.Namanya Chumaedi yang kebetulan tetanggadi Temanggung Lor. Beliaulah yang mengenalkanteknikteknik berenang yang baik dan benar. Hari demi hari, bulan demi bulan, apa yang beliau ajarkan, aku perhatikanseksama. Aku coba dan aku laksanakanberkali-kali. Bahkan melebihi dari apa yang diajarkannya. Akhirnya
aku menjadi juara berenang tingkat SD se-Kabupaten Temanggung. Juara berenang ini akhirnya selalu aku dapatkan setiap tahun hingga di kelas tiga SMP. Prestasi ini sangat membantuku untuk meningkatkan kepercayaan diri. Apabila aku tidak bisa berprestasi dalam bidang mata pelajaran, tentu aku menjadi rendah diri. Namun aku memiliki prestasi yang diakui masyarakat, yakni berenang!
Tahun Perubahan Tahun 1972 adalah tahun perubahan. Pada saat itu Bupati Temanggung dijabat oleh Bapak Masjchun Sofwan. Pak Masjchun adalah panggilan akrabbapak Masjchun Sofwan SH, yang menjabat Bupati Temanggung sejak tahun 1967. Istri beliau, ibu Sri Sudewi, seorang dosen di Fakutas Ilmu Hukum - Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Pak Masjchun adalah sosok pemimpintegasdisiplin. Beliau tidak hanya memberi perintah, namun juga memberi contoh. Dibawah kepemimpinan beliau Kota Temanggung menjadi bersih dan rapi. Jalanlebar dengan selokan di setiap pinggir jalan, serta trotoir (tempat para pejalan kaki) menjadikan Temanggung mendapatkan penghargaan berkali-kali dari Pemerintah Pusat Jakarta.
Pemimpin yang “Sregep” Sebagaimana kebiasaan anak-anak usia sekolah di Temanggung pada saat itu.Setiap bulan puasa, setelah sholat subuh, biasadilanjutkan jalan-jalan. Hal ini dapat dilakukan karena pada saat itu setiap bulan puasalibur selama satu bulan. Pada suatu saat ketika kami jalan pagi-pagi, terlihat ada seseorang berkerudung sarung. Ia berjalan mondar-mandir di trotoir. Orang berkerudung sarung tersebut sekali-sekali membungkuk, sekali-sekali berdiri. Aku tidak sengaja berjalan mengarah dan mendekati orang tersebut. Aku perhatikan, namunsamar-samar. Ia membawa papan berukuranlebar 20 cm, panjang 1 M. Papan tersebut dilempar ke depan sejajar dengan tegel/ubin trotoir, untuk memeriksa apakah ubin trotoir tersbut rata atau tidak. Secara tidak sengaja aku berguman, “wong kurang gawean, isuk-isuk kok dolanan blabak” (Orang kurang kerjaan, pagi-pagi kok mainan papan). Tampaknya gumamyangagak keras terdengarorang tadi. Mendadak orang tersebut membuka kerudungnya, berdiri tegap, menatap ke wajahku tajam. Sebagai anak-anak, aku tidak tahu jika perkataankumenyinggung perasaan orang tersebut. Tatapanbegitu tajam, sampai terlihat beberapa helai rambutnyaberwarna perak terkena semburat matahari pagi. Akupun berjalan pelan sambil melirik ketakutan tetapi tetap mencoba melihat wajahnya. Ternyata orang berkerudung dengan papan kayu tersebut adalah pak Masjchun.Bupati, orang nomor satu di Temanggung.
Pentingnya Bimbingan Keluarga dan Lingkungan Anak-anak kebanyakanbelum cerdasmerencanakan masa depannya. Oleh sebab itu mereka pun biasanya tidak tahu langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk mencapai harapan dimasa depan. Hal tersebut banyak terjadi menimpa anak-anak, sebagaimana juga menimpa diriku. Karena kedua orangtuaku pedagang kecil, maka mereka sibuk untuk mencari sesuap nasi. Saat itulah sebetulnya pengarahan itu sangat dibutuhkan. Dalam masyarakat yang ideal, kedua orang tua, keluarga, atau bahkan lingkungan dimana seorang anak tinggal, akan ikut bertanggung jawab terhadap kebutuhan anak-anak. Namun ada kalanya orang tua tidak memiliki kemampuan untuk itu, demikian pula banyak lingkungan yang tidak peduli akan kehidupan kanak dengan kebutuhan mereka. Hal tersebut terjadi padaku. Setelah lulus Sekolah Dasar, aku menjalani libur panjang. Untuk mengisi waktu libur, aku gunakanberlatih renang habis-habisan di Pikatan. Hampir seluruh waktuku, dari pagi hingga sore beradadi kolam renang Pikatan. Boleh dikatakan Kolam Renang Pikatan menjadi rumah keduaku. Saking asyiknya, aku tidak tahu bahwa setelah lulus SD, ada kewajiban untuk mendaftar di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sampai sada suatu pagi aku melihat beberapa kawanku membawa buku. Mereka berbondong-bondong berjalan kaki dari arah alun-alun menuju ke timur, melewati jalan panjang pasar Temanggung. Ketika aku bertanya kepada mereka, ternyata mereka telah masuk sekolah di SMP 2 dan di SMP 1 Temanggung. Aku terbengong, termenung, dan baru tersadar bahwa sekolah telah dimulai. Mereka sudah sekolah.....! Dengan rasa gusar tiada tarabercampur dengan kebingungan, aku mencoba menemui beberapa temanuntuk mendapatkan informasi tentang sekolah yang masih bisa menerima calon murid yang tertinggal. Akhirnya aku mendapatkan informasi bahwa SMP Muhammadiyah Temanggung masih memberi kesempatan bagi calon murid yang “kuper” (kurang pergaulan) seperti aku. SMP Muhammadiyah ini, merupakan sekolah dengan bangunan sederhana.Berada di belakang Masjid Agung Temanggung,berbatas makam yang ada di barat masjid. Aku senang sekali, karena statusku sudah sama dengan teman yang lain, sekolah di tingkat SMP. Inilah, sekolah swasta yang sederhananamun memiliki guru-guruluar biasa. Guru-guru yang gigih berjuang untuk mengajarkan ilmu pengetahuan. Rumah para guru, pada umumnya jauh dari sekolah. Mereka ada yang tinggal di sebuah desa di kecamatan Kandangan, ada yang tinggal di Tembarak, bahkan ada yang tinggal di perbatasan Kabupaten Temanggung dengan kabupaten Magelang. Untuk menempuh jarak yang cukup jauh tersebut, mereka mengendarai sepeda onthel. Luar biasa...!. Setiap mereka masuk pintu kelas, sering kali mereka datang dengan keringat yang masih bertebaran di wajah dan tubuh mereka.
Mereka...guru-guru SMP Muhammadiyah adalah para pejuang! Pahlawan tanpa tanda jasa, Pahlawan pemberi ilmu pengetahuan bagi kami anak didik mereka!
Korban Mode Tahun 1972, Indonesia sedang membuka diri bagi hal-hal yang berbau Barat, setelah diproteksi hingga akhir tahun 70-an. Bukan hanya barang-barang dari barat yang masuk ke Indonesia, tetapi budaya Pop Barat menjadi bagian yang bisa dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Mode rambut Gondrong bagi laki-laki, dan Celana Cut Bray bertebaran, menjamur dimana-mana. Seorang laki-laki jika rambutnya tidak sebahu dan celananya tidak cut bray akan dikatakan ketinggalan jaman, tidak modis, bahkan di bilang “ndeso”. Begitu kuatnya pengaruh mode ini, sehingga membuatku bingung.Aku mencari cara, bagaimana agar aku bisa berambut panjang. Informasi yang kudapat,SMP Kanisius membolehkan muridnya berambutpanjang. Tanpa basa-basi,di pertengahan kelas 2 SMP,aku hijrah dari SMP Muhammadiyah Temanggung pindah ke SMP Kanisius Temanggung. Semenjak saat itu aku tidak pernah memotong rambutku. Hal ini berlanjut hingga di Sekolah Menengah Atas (SMA). Aku memilih SMA Kanisius Pendowo Magelangagar rambutku yang sudah sebahu tidak gugur karena peraturan sekolah. Namun, sejujurnyaaku sangat rindu dengan pergaulan dan keakraban yang pernah terjadi baik antar murid, ataupun antar murid dan guru di SMP Muhammadiyah Temanggung. Pergaulan yang tulus, pergaulan yang saling mengisi, pergaulan antar manusia tanpa pamrih...hingga saat ini sungguh aku rindu akan situasi itu.... Pak Milono, pak Dar, bu Min, pak Anwar, pak Welas,juga bapak dan ibu guru lainnya.Semoga mereka selalu diberi kesehatan, kehidupan yang baik dan bahagia… Amin. Semenjak SMA aku mulai fokus pada pelajaran, usaha kerasku mulai terlihat. Nilai raportku termasuk lima besar di kelasku. Hal ini akhirnya dapat mengantarkan melanjutkan sekolah di jurusan ilmu Komunikasi, kemudian melanjutkan ke jurusan Ilmu Sosiologi, di Fisipol UGM Yogyakarta. Kini, aku bekerja sebagai konsultan pembangunan diberbagai lembaga, seperti Plan Internasional, UNDP, Bappenas, juga pernah mengajar di STPMD “APMD” Yogyakarta dan Universitas Atmajaya Yogyakarta.
Pembelajaran Sesuatu akan bisa dikuasai jika kita mau belajar, berlatih, dengan semangat dan fokus. Apapun, pasti akan dapat kita kuasai. Pilih dan perjuangkan cita-cita mu dengan usaha keras, disiplin dan pantang menyerah.
Sebagai orang tua, memberi perhatian dan mengarahkan anak adalah sebuah kewajiban. Membangun lingkungan agar anak-anak disekitar kita tidak salah langkah, adalah kewajiban hidup bersama. Sebagai guru… membangun suasana kehidupan yang akrab dan manusiawi dengan murid, akan memberikan kenyamanan dan ketahanan bagi murid.Menjadikan mereka lebih tahan uji dalam menjalani tahapan kehidupannya. Agar anak tidak rendah diri, berikan bimbingan untuk salah satu bidang sehingga ia dapat berprestasi. Sehingga ia memiliki kepercayaan diri yang kuat.
Selamat berjuang! Semoga generasi Temanggung akan tetap jaya.Dengan Pemerintahan dan lingkungan yang kondusif untuk kehidupan masyarakatnyayang mencintai sesama manusia dan mencintai alamnya.
MENGHUBUNGKAN TITIK-TITIK DALAM HIDUPKU
Gunawan Marga Tegowanuh, Kaloran
Masa Kecil Aku adalah anak desa tulen karena terlahir di kampung, yaitu Tegowanuh, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Aku lahir dan besar dalam keluarga biasa. Masa kecilku memang penuh warna. Masih teringat dalam benakku, waktu itu aku langsung dimasukkan ke TK Masehi Parakan di kelas B tanpa melewati kelas A. Alasannya karena aku sudah agak besar. Meski duduk di kelas B, ternyata aku tidak berani ditinggal sendiri dan harus ditunggui. Bahkan sang pengantar itu harus kelihatan dari dalam kelas. Ya… akhirnya siapa saja yang mengantarku—kadang pamanku, kadang Bapak—harus dengan setia berdiri di jendela, agar wajahnya masih bisa kulihat. Jangan harap bisa beranjak pergi barang semenit dari luar kelas. Begitu kulihat di jendela itu kosong, tanpa ba.. bi.. bu.. aku pasti langsung keluar kelas dan tidak mau masuk kelas lagi. Bila ingat masa kecil itu, aku sering tertawa sendiri. Sampai dengan kelas V SD, aku bersekolah di Masehi Parakan. Karena tugas Bapakku berpindah-pindah, maka sewaktu kelas VI SD aku ikut nenek di Tegowanuh. Sekolah di desa sangat berbeda dengan di Parakan. Setelah terbiasa menggunakan sepatu, di SD Tegowanuh ternyata teman-temanku tidak bersepatu alias ‘nyeker’ akhirnya akupun ikutikutan nyeker. Asyik juga ternyata! Waktu Istirahat… kami biasa bermain di sawah belakang SD kami, bahkan kadang bermain sampai ke kali. Kami tidak memerlukan jam tangan, cukup mendengarkan lonceng yang suaranya terdengar sampai jauh. Theeeng… theeeng.. theeng..!
Kurang Pede Bergaul Rumah nenekku berlantai tanah, dindingnya anyaman bambu. Sebagian dinding sudah ada yang berdinding papan. Rata-rata rumah di kampung memang seperti itu. Rumah yang berdinding bata sangat jarang. Hanya orang-orang kaya yang memiliki rumah berdinding tembok.
Lulus Sekolah Dasar, aku melanjutkan di SMPN 1 Temanggung. Untuk mencapai sekolah ini, aku harus naik mobil colt pickup. Kadang aku harus nggandhul atau bergelantungan di bagian belakang. Sering pula, aku dan teman-teman harus bertengger di atap kendaraan. Memang berbahaya, tetapi mau bagaimana lagi, karena kendaraan yang ada juga sangat terbatas. Bila sopir menginjak rem dengan tiba-tiba, entahlah apa yang akan terjadi. Kami pasti akan terloncat ke udara. Hidup di desa dan berpredikat sebagai anak desa, sering menjadi beban bagiku. Kadang ejekan ‘cah ndesa’ membuatku minder. Untunglah prestasiku masih di atas rata-rata, jadi setidaknya ada sesuatu yang dapat kugunakan untuk memompa semangatku agar terus maju. Apalagiibu selalu menekankan pentingnya sekolah. Berulangkali ibu menasihati, “Orang tuamu ini bodoh, aku dan bapakmu hanya tamatan ST (Sekolah Teknik sederajat SLTP). Jadi kalian harus pinter. Kalian harus bisa kuliah, lebih baik kami hemat dalam segala hal, asal kalian bisa sekolah!” Kata-kata itulah yang membuat aku bertekad, supaya aku kelak harus terus melanjutkan sekolah.
Arsitek? Ada satu hal yang terekam kuat ketika aku masih duduk di kelas 2 SMP. Waktu itu pelajaran menggambar, gurunya Pak Bari. Beliau mengajarkan mengenai pembuatan huruf. Waktu itu memang bulan Agustus. Di akhir pelajaran kami akan mendapat tugas kelompok membuat spanduk. Temanya tentang ulang tahun kemerdekaan RI. Aku perhatikan bagaimana Pak Bari menggunting kertas, membentuk bermacam-macam huruf dengan berbagai model dan ukuran. Kebetulan saat itu aku satu kelompok dengan Hari dan Michael. Kami bersama-sama membuat spanduk. Karena aku kebagian tugas menggunting huruf, aku praktikkan apa yang Pak Bari ajarkan dan aku dapat melakukan dengan cepat. Berkat keterampilanku ini, mereka menjuluki aku arsitek! “Tek.. ini dipasang dimana Tek?” kata Hari. Beberapa menit kemudian, Michael yang giliran ngomong, “Tek, ini ditempel disini wae ya?” Herannya, aku ternyata sangat suka dengan panggilan itu. Arsitek… aku sendiri sebenarnya tidak paham apa sebenarnya pekerjaan seorang arsitek, hingga di rumah pun kata-kata itu masih terngiang di telingaku. Hm… arsitek! Bahkan kubawa dalam doa-doa malamku… “Tuhan aku ingin menjadi arsitek, meski hanya seorang arsitek biasa. pokoknya asal kelak bisa jadi arsitek saja, cukup”
Malu di Depan Kamera Lulus SMP aku melanjutkan ke SMAN 1 Temanggung. Di sini pun aku masih merasa rendah diri. Aku tak tahu yang namanya pengalaman nonton film. Ketika teman-temanku membicarakan bintang film laga ini atau itu, aku lebih banyak diam mendengarkan. Ketika
mereka berbicara tentang sepeda motor, akupun diam sebagai pendengar. Ketika mereka bercerita tentang kota ini dan kota itu… aku juga tak tahu apa-apa. Waktu itu aku sungguh merasa minder (rendah diri), cah ndesa yang tidak tahu apa-apa. Untung teman sebangkuku Hadi Hendro sangat baik, meski dia suka mengerjai aku kalau bercanda, tetapi dia tidak pernah mengejekku. Karena rasa rendah diri itulah, aku agak mengambil jarak dengan teman-temanku. Aku kurang pandai bergaul. Setiap ada acara foto misalnya, aku selalu menghindar. Aku tak pernah punya ‘nyali’ untuk menampakkan wajahku di depan kamera. Akibatnya, sekarang mungkin tidak ada temanku yang mempunyai koleksi foto zaman dulu yang didalamnya ada gambar wajahku.
Kuliah di Jogja Lulus sekolah SMA aku ingin mendaftar kuliah di Jogja. Waktu itu melalui Sipenmaru. Jogja kota yang asing bagiku, dan aku tidak tahu harus mendaftar kemana? Pokoknya aku hanya ingin kuliah di Jogja di Universitas Gadjah Mada. Nama UGM menurutku kedengarannya gagah sekali. Tiba saatnya mengisi formulir. Tapi… aku bingung sekali mau mendaftar, kemana ya? Melihat jurusannya yang sangat banyak, aku bertambah bingung. Akhirnya aku memilih Fakultas Teknik. Ternyata pilihannya masih banyak sekali. Ada Teknik Kimia, Teknik Elektro, Teknik Sipil, Teknik Mesin, Teknik Nuklir, dll. Aduh, nama-nama ini membuat aku bertambah pusing. Tiba-tiba, mataku dikejutkan sebuah tulisan: Teknik Arsitektur! Hatiku berdetak tidak karuan. Arsitektur ….? Aku juga tidak tahu Teknik Arsitektur ini nanti pelajarannya seperti apa? Mungkin tentang gedung-gedung atau … Tiba-tiba pikiranku melayang kembali kepada kejadian sewaktu masih SMP dulu… “Ah… mungkin aku lebih baik mendaftar disini saja” Singkat cerita, akhirnya aku diterima di jurusan Arsitektur tersebut. Tapi aku masih penasaran juga, seperti apa ya tempat kuliah ini?
Awal masa Kuliah Ternyata, kuliah di jurusan ini seperti memasuki dunia yang lain sama sekali! Kalau di SMA saja aku sudah minder dan grogi, di sini tempat sekolahnya orang kaya! Mereka kuliah dengan naik mobil bahkan sebagian besar anak orang yang sangat mampu. Aku merasa menyesal telah mendaftar kesini, belum lagi tugas-tugasnya banyak, peralatannya juga mahal-mahal. Aku sedih. Apakah orangtuaku akan mampu membiayaiku? Untunglah aku memiliki Ibu yang luar biasa, ketika kuceritakan kepada beliau tentang lingkungan baruku, dengan bijak ibu berkata,
“Gun.. ra usah mikir wang tuwa, kuwi wis tugase wang tuwa mikir pendidikane anak. Aku wis nabung…wis ana rang tahunan. Dhuwit blanja tak irit-irit mengko nek kowe butuh biaya, tapi Bapak ora pirsa nek aku duwe tabungan kanggo sekolahe bocah-bocah.” Aku menangis mendengar penuturan Ibuku, sampai saat inipun aku sangat menghormati beliau. Mengormati prinsip-prinsipnya, menghormati kasihnya dan juga perhatiannya. Karena itulah aku bertekad untuk menyelesaikan kuliahku secepatnya. Meski disini prestasiku juga tidak istimewa, maklum banyak temanku yang berasal dari sekolah-sekolah favorit di Jogja dan Semarang. Tetapi lama-kelamaan aku mulai bisa menyesuaikan dengan banyaknya mata kuliah yang sering mengharuskan kami kerja lembur beberapa malam.
Menjual sapi Semakin lama ada peralatan yang mau tidak mau harus dibeli, yaitu meja gambar (Tracker drafter machine). Wah ini seperti barang mewah bagiku. Tugas-tugas pun semakin banyak. Mau tak mau, akupun memberanikan diri meminta kepada orang tuaku. Dengan agak takut aku mengutarakan hal ini, walaupun aku tidak berharap banyak. Namun ternyata, tanpa aku duga, Bapak menjawab kalau itu memang untuk menunjang kelancaran kuliahku, Bapak masih punya sapidan bisa dijual untuk membeli mesin dan meja gambar. Aku tertegun ketika menerima uang dari Bapak. Ada rasa tidak tega dan ingin menangis rasanya saat menerima uang itu, tetapi kusembunyikan perasaanku. Aku tak mau orangtuaku tahu bahwa sebenarnya aku merasa rendah diri di lingkungan kuliahku. Dengan hasil penjualan sapi itu aku membeli mesin gambar yang murah, namun sudah lengkap dengan meja gambarnya. Sampai sekarangpun mesin gambar itu tetap kusimpan di rumahku. Sebagai penanda bagiku, bahwa dulu Bapak membelikanku dengan menjual sapi miliknya. Meski rasa minder itu terus bercokol, akhirnya aku bisa menyelesaikan kuliahku. Dari 80 orang seangkatanku, kalau tidak salah sampai saat aku wisuda baru ada sebelas orang yang lulus. Baru aku sadari, ternyata lulusan sekolah kota kecil Temanggung, asal tekun hasilnya juga tidak mengecewakan.
Bekerja! Lulus. Memang kata itu sangat menyenangkan! Tetapi hanya berumur sebentar karena di depanku kini terbentang tantangan, akan bekerja di mana aku? Aku mencoba melamar ke beberapa tempat, dan setelah bekerja di beberapa tempat akhirnya aku “terdampar” di Perum Perhutani. Aneh juga aku ini. Seorang arsitek bekerja di perusahaan yang mengelola hutan? Lucu memang!
Tetapi disinilah aku akhirnya bekerja menetap. Mencari nafkah untuk keluargaku. Bahkan saat ini aku juga dipercaya memegang sebuah jabatan di perusahaanku. Meski penghasilanku tidak berlebih, tetapi cukup untuk biaya hidup keluarga kami, untuk biaya sekolah anak-anakku. Bahkan akupun tidak mengira kalau aku akan bisa sampai pada titik ini.
Menghubungkan titik-titik kehidupan. Ada beberapa momen dalam hidupku, yang ternyata itu menjadi sangat bermakna. Dulu ketika aku menyusun Tugas Akhir (di Jurusan Arsitektur setelah menyusun skripsi, harus menyelesaikan Tugas Akhir dengan masuk studio selama tiga bulan). Waktu itu aku mengambil Bangunan Vihara. Dalam kegiatan mencari data untuk bahan Tugas Akhir ini, aku pergi ke Vihara Mendut. Disana aku bertemu dengan Biksu Sri Pannavaro (waktu itu beliau selaku Sekjen Sangha Theravada Indonesia). Dari Biksu yang cukup terkenal inilah aku belajar banyak hal. Tentang Kesabaran, cinta kasih, pelayanan dan perhatian kepada sesama. Ketika kami berdiskusi, ternyata banyak kecocokan diantara kami berdua. Akibat kecocokan tersebut, aku sempat beberapa kali bekerjasama dengan beliau setelah lulus kuliah. Aku membantu mendisain ornamen banguan untuk Vihara Mendut. Beliau mengutarakan maksud dan falsafah yang terkandung didalamnya, kemudian saya menuangkannya dalam gambar desain.
Inilah yang dapat aku katakan sebagai titik balik hidupku! Aku adalah pribadi yang minder, tidak berani bergaul. Tetapi Biksu Pannavaro ini memberikan perhatian kepadaku dengan baik, seorang tokoh yang dihormati menaruh kepercayaan kepadaku. Bahkan coretan-coretanku dipakai oleh beliau. Akhirnya aku yang semula masih ragu-ragu dalam menarik garis, dan mencoret sketsa idea. Ketika karyaku mendapat apresiasi, lama-lama aku menjadi semakin berani menuangkan ide-ide melalui goresan pensil dan rapido. Selanjutnya… beberapa pekerjaan disain ornamen berhasil kuselesaikan. Terpasang di Bangunan berskala Nasional salah satunya di Vihara Mendut ini (dari tempat inilah prosesi Waisak dimulai dan berakhir di Candi Borobudur). Pada saat Vihara Bodhivamsa di Klaten dibangun, kembali aku bergabung dengan tim perencana bangunannya. Arsitek Bastian yang telah lama malang melintang di Jepang memegang disain bangunannya, kembali aku yang membuat disain ornamen guna mempercantik bangunan. Disinilah aku bertemu dengan Bu Lanny, melalui Bu Lanny ini yang membuat aku dapat berkenalan dengan Adi W Gunawan (penulis best seller) dan Andrie Wongso (Motivator number one in Indonesia). Dari merekalah aku belajar memaknai hidup dan mendefinisikan ulang akan arti kesuksesan. -oOo-
Perusahaan tempat aku bekerja, erat sekali hubungannya dengan hutan dan lingkungan sehingga membentukku lebih mencintai lingkungan. Aku suka pohon-pohon yang hijau, hutan yang lebat dan alam bebas. Pekerjaan yang kugeluti memungkinkan aku bisa melihat dari dekat kehidupan di sekitar hutan dan juga satwa yang ada didalamnya. Tentu saja aku tidak kesulitan karena aku adalah ‘cah ndesa! -oOoPada waktu aku bertugas di Cepu, aku mempunyai waktu luang cukup banyak, pada sore dan malam hari. Akhirnya aku memutuskan untuk mengisinya dengan menulis. Pada saatsaat aku berkeinginan untuk bisa menulis… aku tidak tahu mengapa, setelah itu aku berkesempatan berjumpa dengan beberapa penulis handal. -oOoPasti tidak cukup menuliskan kisah secara lengkap, karena sesungguhnya ada banyak sekali titik-titik tertentu dalam kehidupanku, yang ketika itu dihubungkan antara satu dengan yang lainnya akhirnya membentuk diriku seperti sekarang ini. Bahkan ketika aku flashback kembali, bagian-bagian yang tidak menyenangkan, pada bagian yang menyakitkan itu… ternyata mempunyai arti khusus dalam hidupku. Aku tahu rasanya rendah diri, dan aku juga tahu persis rasa minder itu seperti apa. Dari situ pula akhirnya aku bisa berempati kepada mereka yang memiliki perasaan seperti itu. Kemudian sedapat mungkin menitipkan sebuah pesan, atau berharap dapat memberi motivasi dan semangat bahwa Sukses adalah hak semua orang dan keberhasilan bisa dicapai oleh siapapun tanpa terkecuali!
Menulis Akibat bertemu dengan beberapa penulis, akupun mulai belajar menulis. Satu buku berhasil kutulis dan diterbitkan untuk kalangan terbatas. Menyusul buku kedua kemudian ke tiga, empat dan lima. Semua itu kutulis kurang lebih selama tiga tahun. Pada mulanya kegiatan menulis ini hanyalah untuk mengisi waktu senggangku saja. Kemudian aku mendapatkan masukan dari beberapa teman yang telah membaca tulisanku. Mereka menyarankan untuk mem’publish tulisanku. Akupun mencoba melamarkan naskahku ke Gramedia. Eee… ternyata dapat diterima. Aku rasa itu adalah hasil dari aku belajar menulis di buku-buku sebelumnya. Jika pada awal aku belajar dulu, naskahnya langsung aku lamarkan ke penerbit. Kemungkinan besar juga tidak akan langsung diterima. Semuanya butuh ketekunan, semua butuh pembelajaran, perjuangan dan kerja keras. Oh ya… aku menulis bukan untuk mencari uang, setidaknya untuk saat ini. Jadi seluruh royalty-nya aku sumbangkan (donasikan) untuk kegiatan sosial. Mungkin karena aku berniat mendanakan seluruh royalti penulisan buku tersebut, akhirnya aku mendapat banyak ‘bantuan’ kebaikan yang tidak aku sangka-sangka sebelumnya. Bukuku yang
berjudul Secangkir Teh Hangat Kedamaian” diulas di berbagai media massa : harian Bernas, harian sore Wawasan, majalah Waktu dan majalah Luar Biasa, di samping juga dikupas di acara dialog interaktif oleh RRI Provinsi Jawa Tengah. Sebenarnya aku sempat diundang oleh Radio Sonora FM, hanya saja waktunya tidak berjodoh, sehingga aku tidak dapat menghadiri undangan itu. Setelah itu aku diminta kembali menulis oleh pihak Gramedia dan kusempatkan lagi menulis buku berikutnya. Sehingga terbitlah Edelweiss bagi Jiwa yang Menginginkannya. Kembali aku berniat untuk mendonasikan seluruh royalti ke panti asuhan atau sejenisnya. Ini yang akan aku ceritakan sebagai titik-titik kehidupan yang harus kulewati itu.
Seandainya… Aku tidak dilahirkan sebagai ‘cah ndesa’ mungkin kepekaan sosialku tidak akan terasah. Seandainya aku tidak pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi orang tidak punya dan bergelut dengan rasa minder, mungkin akupun tidak akan menuliskan pesan di akhir tulisan ini! Seandainya aku tidak kuliah di arsitek (yang waktu itu seperti bukan duniaku), mungkin aku tidak belajar mengenai seni dan keindahan. Ternyata itu banyak membantu dalam aku menulis. Disamping itu aku pasti juga tidak diberi kesempatan membuat disain pada bangunan-bangunan monumental berskala Nasional seperti Vihara Mendut dan Vihara Watugong Semarang. Seandainya pula… aku tidak bertemu dengan orang-orang yang mendarmakan hidupnya untuk kebaikan seperti Biksu Pannavaro, Ibu Lanny dan Ibu Priska (pendiri The School of life) mungkin aku tidak akan pernah berani menatap dunia ini, seperti keong yang tidak berani keluar dari cangkangnya. Mungkin juga aku tidak akan bisa mendefinisikan ulang arti kesuksesan hidup. Mungkin pula aku akan mengartikan sukses hanya pada sebuah kedudukan tertentu, pada ketenaran dan nama harum atau hidup yang berkecukupan dengan materi. Dan seandainya aku mencari materi… kemudian memasang harga untuk disainku… mungkin pula kesempatan-kesempatan besar itu takkan pernah datang kepadaku.
Di penghujung tulisanku… aku mempunyai sebuah pesan, untuk adik-adikku: Kala ituterlahir seorang anak kampong sangat penakut- tidak mempunyai rasa percaya diri. Jika engkau sekarang ini sedang berada di posisi itu.. minder, kurang percaya diri dan menjadi bahan ejekan teman. Merasa tidak berarti dan tidak berprestasi baik.Jangan pedulikan ejekan itu,
Jika engkau saat ini merasa menjadi pribadi yang hebat dan berprestasi..tolong jangan remehkan yang lain,semampumu bantulah teman-temanmu untuk dapat maju sepertimu! Dengan begitu engkau telah melakukan sesuatu yang mulia!, bukankah engkau sedang merajut masa depanmu sendiri? Aku tegaskan bahwa Sukses adalah hak siapapun juga, tidak dibatasi olehapapun statusmusaat ini… Yang diperlukan hanyalah ketekunan dan kerja keras. Engkau pasti memiliki keduanya itu,asal engkau mau! Ya.. bukankah semua orang bisa bertekun dan bisa bekerja keras? Kemudian landasilah ketekunan itu dengan doa dan ketulusan hati! Ehm.. satu lagi pesanku… Apabila engkau telah berhasil dalam hidupmu kelak, jangan lupakan sesamamu.. berbagilah karena disitulah martabat kita sebagai manusia. Kalau hanya kerja keras dan keberhasilan… hewanpun tahu akan konsep dan prinsip itu! Mereka telah menggunakan prinsip itu selama berabad-abad: Yang “kuat” dialah yang akan menjadi pemenang. (dalam hal ini arti “kuat” bisa berarti prestasi, kepandaian,ketrampilan,perjuangan, kecerdikan, keuletan dll) Tetapi kita ini manusia yang didalam hati kita ditanamkan benih-benih kebaikan. Kita memiliki hati nurani. Kalau aku memiliki beberapa titik yang bias kuhubungkan dalam hidupku, tentunya engkaupun memilikinya juga. Sekarang kita tak tahu apa makna dibalik titik-titik itu, tetapi nanti.. kita akan tahu bahwa itu sangat berarti! Mungkin engkau bukan hanya memiliki titik-titik, melainkan justru simpul-simpul kehidupan… karena kalian akan jauuuh lebih besar daripadaku! Oh ya masih ada satu lagi… Temanggung bukanlah kota kecil yang tidak mempunyai arti! Dari kota kecil di lereng gunung Sindoro dan Sumbing ini, telah banyak menelurkan puteraputeri terbaik bangsa ini… jadi kalianpun dapat mewarisi hal itu. Menjadi putera dan puteri terbaik untuk negeri ini! Salam!
Saya Adalah Calon Dirjen
Hasyim Afandi Parakan
Setiapkali mengeluarkan kartu mahasiswasemasa masih kuliah di IAIN Sunan KalijagaYogyakarta, yang ada dalam benak saya - Saya adalah calon dirjen di Departeman Agama (sekarang Kementerian Agama). Namun rupanya perjalanan seseorangtak selalu sepertiyang diinginkan. Idealisme-pun hancurkarena sebuah kenyataan. Bahkan hingga duduk di SMA, saya tak pernah punya citacita, hendak kemana dan mau jadi apa kelak? Jangankancita-cita, dalam memilih sekolahtak pernah ada pengarahanbaik dari guru maupun orang tua. Selepas lulus SD, saya masuk SMP Al-Iman Parakan, yang dikenal sebagai sekolah agama. Sehingga muncul olok-olokseorang teman, “Selamat mengaji !!”. Setamat SMP Al-Iman, saya melanjutkan ke SMA Negeri. Tahun 1963, ketika masuk SMA, terbilangmasa yang sulitterutamaterkaittransportasi. Karena saya tinggal di Parakan, setiap hari harus ‘nglajo’. Kereta api uap atau biasa disebut ‘sepur kluthuk’merupakan satu-satunya alat transportasi murah. Banyak anak sekolah asal Parakan ketika itumemanfaatkan alat transportasi iniuntuk ‘nglajo’. Celakanya, jadwal kereta api dari Parakan sekitar pukul empat pagi, sedangkereta dari Magelangmenuju Parakan, sampaistasiun Temanggung masih sekitar pukul tiga sore. Supaya bisa mengejar kereta, saya harus berangkat sebelum subuh bersama teman-teman, baik yang sekolah di Temanggung maupun di Magelang. Sampai di Temanggung hari masih gelap, sehingga tidak langsung ke sekolahnamun istirahat sembari shalat subuh di Mushala di Rolikuran.Pada saat pulang-punharus menunggu kedatangan kereta dari Magelangsekitar pukul tiga sore. Saya bersama beberapa temantidur-tiduran di mushala yang sama. Perjalanan menggunakan kereta ini saya jalani sampai dua tahun. Ketika naik kelas tiga, kereta api berhenti beroperasi. Apa boleh buat, meski ongkos sedikit mahal, anakanakberganti naik bus. Bus paling terkenal saat ituBus Dieng jurusan Magelang-Wonosobo. Setelah lulus SMA, jangankan cita-cita, gambaran mau meneruskan kuliah sajatidak tahu. Lagi-lagi tak ada pengarahan, baik dari guru maupun orang tua. Lalu kenapa saya akhirnya sampai di kampus IAIN Sunan Kalijaga dan menjadi mahasiswa jurusan Ushuludin?
Ini berawal dari ketidaksengajaan. Ketikasaya bersama seorang temanmelihat pasar malam peringatan Dwi Abad Yogyakarta.KebetulanSyaeful Islamsalah satu teman sekampung yang tengah kuliah di IAIN Sunan Kalijaga - fakultas Ushuludin. Saat bertemu Syaeful Islam, dia bertanya,“mau kuliah kemana ?”.“Saya tidak tahu”, jawab saya. Akhirnya dia mengajak mendaftar di IAIN jurusan Ushuludin. Padahal saya tidak tahu apa itu Ushuluddin. Ada peristiwa lucupada saat kuliah pertama. Ketika mata kuliah Ilmu Kalam, kita harus menulis Arab.Seorang teman yang kemudian saya ketahui bernama Mursyidi Ridwan melihat tulisan saya, diabilang “kok tulisan Arabnya jelek sekali”.Saya hanya tersenyum kecut, maklum karena lulusan SMA. Pada ujian pertamaada perubahan waktu masuk kuliah. Atas keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, masa ajaran tahun ajaran 1965/1966 diperpanjangsampai akhir tahun 1966. Mulai tahun 1967, tahun ajaran dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi diubah dandisesuaikantahun kalender, yaitu dimulai bulan Januari dan diakhiri bulan Desember setiap tahunnya. Di saat menunggu kuliah saya aktif di IPNU dan jadi pemain drumband. Selama aktif berorganisasi itulah, saya merasakan ternyata ngurus kegiatan danorganisasi sangat besarmanfaatnya.Kelihatannya hanya ngumpul-ngumpul, ‘ubyang-ubyung’, namun manfaatnya kita rasakan sampai tua. Setelah aktif ikut organisasi saya baru merasa, bahwa saya keliru masuk IAIN. Sebab saya lulusan SMA, seharusnya yang masuk ke IAIN itu tamatan SP IAIN, PGA atau Gontor. Dan sayamulai tahu, mestinyamasuk di fakultas hukum atau sastra Inggris, karena kedua bidang ilmu inilah sesungguhnya yang saya sukai. Setelah tingkat III,saya ingin rangkap kuliah. Lalu mendaftar di fakultas Hukum UGM, sekaligusmendaftar di fakultas sastra Inggris IKIP Negeri. Ternyata dua-duanyaditerima. Untuk masuk ke UGM atau IKIPharus membayarRp. 4000,- sama dengan besarnya biaya kuliah di IAIN. Ketika saya bilang kepada emak (ibu), beliau hanya berkata, “Kalau kamu mau kuliah rangkap - silahkan, tapiemak tak lagi bisa ‘kulakan’ kedelai untuk membuat tahu, karena semua uanguntuk biaya kuliahmu”. Saya tidak mampu berbuat apa-apa, lalu saya bilang kepada kakak. Jawabannya begini,“Kamu berapa tahun lagi kuliah di IAIN ?”, Saya jawab dua tahun lagi. Mendengar jawaban itu, kakak bilang, “ya sudah selesaikan secepatnya kuliah kamu, lalu bekerja kemudian kuliah lagi dengan biaya sendiri”. Sejak itu, bagai satu pemicu agar saya bisa secepatnya meraih sarjana di IAIN dan sejak itu pula dunia saya hanya berkutat antara //kos-kosan//dan kampus - tanpa acara nonton bioskop - tanpa pacaran juga tanpa organisasi-organisasian. Sampai selesai kuliahkegiatan saya hanya tahajud, membaca alquran, lalu shalat subuh. Sehabis shalat subuh terus ‘ngliwet’ kemudian membaca buku atau bahan kuliah, terus kuliah,puasa Senin-Kamis tidak pernah ketinggalan, setiap lima belas hari khatam alquran.
Selama kuliah, mata kuliah paling menjadi momok adalah mata kuliah Mukti Ali. Karena tidak setiap orang bisa lulus dengan mudah. Jika ada yang sekali majululus akan terbilang sangat //jempolan//. Ujian mata kuliah Mukti Ali ini, bisa-bisa sampai tujuh kali barululus.Karena begitu takutnyasayajustru mentargetkan sekali lulus. Dalam belajarberbagi tugas dengan teman saya Jaizun, masing-masing membaca bukuberbahasa Inggris dan Arab. Pada setiap kali mata kuliah Mukti Ali, hanya berlangsung sepuluh menit,sedang buku yang dipejarienam buah. Beliau hanya menyebutkanjudul, pengarang, tahun penerbitan dan isi. Selebihnyamembaca sendiri dan membuat resume. Dengan metode belajar yang saya lakukan,alhamdulilllah, hanya sekali maju langsung lulusdengan kategori baik. Bahkan isi enam buku tadi boleh dibilang‘nglothok’ di luar kepala. Caranya ? Setiap buku saya buat ringkasan menjadi satu skrip, kemudian skripdiringkas jadi satu halaman, lalu saya ringkas lagi menjadi kode-kode, lalu saya tempel di pintu kamar //kos-kosan//. Setiap mau tidur saya hafalkan itu. Nah ketika tidak hafal, saya buka ringkasan. Jika satu halaman belum hafal, baca skrip dan bila skrip tidak hafal saya baca bukunya. Ternyata ketika ujian, saya //apal kecipal// semua materi ujian. Dan saya dinyatakan lulus dengan nilai cukup baik. Lantaran itu pula, maka sampai sekarang danmungkin sampai tua nanti saya tak bakal berkumis. Sebab itu nadhar saya, jika lulus mata kuliah Pak Mukti Ali, akan cukur kumis dan tak berkumis. Dansatu haldi luar perkiraan, buku-buku tersebut dipinjam seseorang, teman perempuan, yang ternyata menjadi isteri saya. Dari pengalaman itu, saya baru faham. Pak Mukti tidak sekedar memberi mata kuliah, tetapi sekaligus memberikan pencerahan, bagaimana metode belajar yang baik itu.
Idealisme VS Kenyataan Setelah lulus IAIN, bayangan saya adalah bekerja, dan setiap memandangkartu mahasiswa, tulisannya tetap saja terbaca ‘Saya adalah Calon Dirjen’. Artinya, karena selalu saya kantongi, yang ada dalam kantong ini adalah calon dirjen. Ketika itu datang tawaran menjadi pegawai KUA, tapi saya tidak mau karena setelah lulus bayangan saya adalah calon Dirjen. Untuk itu saya mengirim lamaran ke IAIN Semarang, ke Akmil, Polda. Tetapi semua nihil, karena ada yang telat dan surat lamaran hilang. Sementara anak sudah dua, bayangan menjadi Dirjen pun tak kunjung menjadi kenyataan,padahal setiap hari harus ada beras untuk dimakan. Idealisme, ternyata harus menyerah kalah dengan kenyataan. Karena saya harus berpikir bagaimana besok bisa punya beras. Ketika menjadi dosen di STAINU Temanggung, kebetulan pulangnya lewat Rolikuran. Saat melihat penjual minyak gorengsaya tertarik dan menghampiri. Setelah bertanya-tanya, ternyata harga minyak goreng di Temanggung lebih murah Rp. 500,- per blek-nya.
Begitu sampai rumah, saya copot sepatu dan pergi lagi ke Temanggungmembeli empat blek minyak goreng. Di Parakan,minyak tersebut saya jual Rp. 500 lebih tinggi,artinya mendapat keuntunganRp. 2.000,-. Keuntungan sebanyak itu lalu saya belikan beras untuk makan seminggu. Ketika ditanya seorang mahasiswa terkait bisnis ‘ngompreng’ dengan cara berdagang minyak ini, saya hanya bilang, yang penting anak tidak nangis dan bisa membeli beras. Ada juga pengalaman laintak terlupakan. Ketika mengajar di Mts Bani Rasyid, Ngadirejo, saya melihat petani menjual kedelai lebih murah dibandingkan harga pasar. Saya berpikir, untuk memproduksi tahu – usaha orang tua saya, kenapa tidak membeli kedelai di Ngadirejo saja - harganya lebih murah?. Nah, tak canggung-canggung setiap pulangmengajar, dengan mengajak salah satu pembantupabrik tahu milik orang tua, saya dan bersama-sama memanggul karung berisi kedelai. Saya lulus sarjanaIAIN tahun 1971, satu-satunyaorangbergelar Drs di Parakan. Karena paling top ketika itu hanyalah bergelar BA. Karena harus menghadapi kenyataan, akhirnya saya menjadi guru di beberapa sekolah, di antaranya SMP Al-Iman, Mualimin dan PGA. Karena satu-satu-nya orang bertitel Drs., saya merasa paling ‘pinter dewe’. Selain itu juga mengajar di Ponpes Zaedatul Maarif. Setelah bergaul dan terjun kemasyarakat dan kenal dengan banyak kalangan. Ternyata, keGR-an saya yang merasa “pintar sendiri”spontan luntur dan berubah. Ternyata dengan kyai kampung pun kalah pinter. Ketika masih jadi mahasiswa, semua saya kritik, termasukAbu Bakar, Imam Syafi’i dan lainlain, karena saya memang merasa ‘pinter dewe’.Namun setelah menyadari, bahwa kyai kampung lebih pinter, barulahsaya merasa prihatin dan terpanggil untuk mulai belajar lagi. Hal itu saya awali ketika mulai mengajar di Zaedatul Maarif. Saya memilih mengajar kitab-kitabberisikan filsafat. Saya maui materi yang susah - ya, itung-itung belajar. Disitujuga saya mengajar kitab dhurotunasiin (puisi). Al hasil, Ponpes saya rasakan sebagai sekolah kedua setelah IAIN. Selain di Ponpes, ternyata masyarakat juga menuntut saya untuk lebih banyak belajar lagi, tidak hanya masalah Ushuludin. Sebab yang sering ditanyakan oleh masyarakat sangat beragam, dari soal syariat, fiqih dan lain-lain, tidak hanya masalahterkait dengan bidang ushuludin. Ini memacu sayabelajar lebih banyak haldan kemudian mendirikan kegiatan pengajian, termasuk Ihwanusofa. Tahun 1977 saya diterima sebagai CPNS di Depag Temanggung. Dan karena sudah banyak belajar di masyarakat, jadilah saya PNS yang benar-benar sudah mantab. Pertama jadi pegawai diminta mengisi hikmah halal bi halal. Ketika itu saya sudah berusia 32 tahun. Padahal untuk menjadi pegawai itu idealnya 25 tahun, sehingga sering menggunggat Allah, kenapa saya tidak dilahirkan setahun lebih awal agar tidak terkena peraturan. Sebab setelah Mukti Ali jadi Menteri Agama, tidak ada penerimaan pegawai selama enam tahun. Kalau saja saya lahir setahun sebelumnya, tentu tidak akan terkena kebijakan Mukti Ali.
Namun setelah menyadari, maka gugatan terhadap Allah itu berubah drastis menjadi sebuah prasangka baik.Allah ternyata telah membuat sebuah skenario besar buat saya. Tahun 1977, ada penataran P4, saya ikut dan dinyatakan sebagai yang terbaik. Padahal belum pernah ada pegawai dari depag mencapai prestasi itu. Dan saya jadi satu-satunya pegawai yang statusnya masih Capeg tetapi dipromosikan menjadi pejabat eselon empat, yaitu Kasi Penerangan Agama Islam (Penais) di Depag Temanggung. Lalu dikirim penataran Adum,saya pun dinyatakan mendapat hasil terbaik se Jateng-DIY. Hadiahnya ?, percepatan kenaikan pangakat dari empat tahun menjadi dua tahun. Tahun 1982 saya direkrut partai politik dan akhirnya menjadi anggota DPRD Temanggung periode 1982-1987. Kemudian periode 1987-1992kembali terpilih. Namun baru berjalan satu setengah tahun saya mundur, karena saya berpikirakan lebih bermanfaat apabila tetap di Depag. Lalu saya dipromosisebagai Kepala Depag Kabupaten Magelang.Disitu mulai memahami lebih banyak lagi hal. Pengalaman menjadi Kakandepag banyak menambah ilmu, karena harus mengelola pegawai yang jumlahnya paling banyak se Jawa tengah yaitu sekitar 4.000 pegawai, serta mengelola koperasi terbesar. Tahun 1999 sampai 2004 menjadi Bupati Magelang. Saya menjadi bupati bukankarena pangkatatau karena pinter,tapi karena kesempatan yang diberikan Allah. Pada waktu itu, Bupati Magelang berhenti, DPRD \\woro-woro// melalui radio, “Siapamau mencalonkan figur untuk menjadi bupati Magelang ?”. Hasil dari //woro-woro// tadi, DPRD menerima usulan dari masyarakat. Sebanyak 13 nama, termasuksaya. Setidaknya ada 53 surat usulan untuk saya yang merupakan usulan paling banyak, dengan motivasibermacam-macam. Saya tidak mengira, dari hal sepele yang pernah saya lakukan sebagai Kakandepag, ternyata menjadi sesuatu yang luar biasa bagi masyarakat. Satu contoh, ketika saya menjadi Kakandepag, saya melihat ada penghulu yang menikahkan warga - bahasa jawanya sangat jelek, lalu saya kursuskan ke Permadani. Ternyata para budayawan yang mengusulkan nama saya menilai, bahwa saya dianggap ‘nguri-uri’ budaya Jawa, apalagi orang Depag ‘kok’ sanggup melakukan hal itu. Atau ketika peringat HUT Depag, saya tampilkan kethoprak dengan lakon ‘Sunan Kalijaga’. Otomatis selama persiapan harus mengundang seniman kethoprak untuk melatih. Padahal biasanya HUT Depag hanya menyuguhkan ‘samrohan’. Para seniman menilai, bahwa ketika di bawah kepemipinan saya Depag sangat peduli dengankethoprak. Dari 13 orang yang menyampaikan visi - misi di depan DPRD, tinggalah lima orang. Setelah diajukan ke pusat sisa tiga. Di DPRD saya meraih 23 tiga suara, mengalahkan Kol Noor Mohammad (13) dan Kinkin Pinandoyo (4). Pengalaman Di Magelangmenambah wawasan hidup saya. Ternyata, jika keinginan menjadi bupati muluk-muluk itu //kecelik//.Setelah dua sampai tiga tahun jadi Bupati, keinginan saya hanya satu, yakni bercerita ‘apa yang saya rasakan jadi Bupati’.
‘Nek wang liya ora padha, luweh’,yang penting - yang saya rasakan. Orang menjadi Bupati itu biasanya berkeinginan mendapat kehormatan, kebanggaan dan gampang mencari duit. Tapi itu fatamorgana semua. Kehormatan,ituternyata terletak pada bagaimana kita menghormati orang lain. Jadi,sebuah kehormatan seorang Bupati itu sesungguhnya hanya tempelan ‘njaba’. Kehormatan seorang pejabat itu kalau tidak menyadari esensi dirinya, maka hanya akan didapatkan selama ia menjabat saja, selanjutnya hilang karenasekedar menempel. Kehoramatan itu jati diri. Kehormatan itu sebenarnya pengorbanan, bukan sesuatu yang dibanggakan. Kenapa saya katakan sebagai pengorbanan? ada suatu pengalamandalam sebuah upacara bersama dengan Dandim, Kapolres dan pejabat lain – sayamenjadi inspektur upacara. Ketika saya berjalan, saya tegak-tegakkan (badan saya). Semua orang hormat kepada saya. Namun ada sesuatu yang saya rasakan cukup menyiksa. Sekitar satu jam saya harus berdiri di mimbar dan di bawah terik matahari. Pada saat keringat mulai membasuh wajah,ingin rasanya tangan segera mengusap. Namunpantas-kah pada saatsikap sempurna saya bergerak-gerak membersihkan keringat?. Masih ditambah lagi, rupanya kedua kaki saya sudah terasa kesemutan. Dalam kondisi seperti itu, ketika semua orang memberi hormat, saya harus tetap bersikap sempurna. Saya tidak bisa membayangkan, kalau ada bagian tubuh yang tiba-tiba merasa gatal dari harus digaruk?... Ada satu pengalaman lain, suatu ketika saya mendapat perintahdari gubernur supaya menemani presiden Polandiaberkunjung ke Borobudur. Gubernur memberi perintah supaya menyediakankendaraan terbaik. Nah, kendaraan terbaik itu tentunya kendaraan dinas Bupati AA 1 B (Magelang). Karena mobil dinas hendak digunakan Presiden Polandia, saya bersama isteri menggunakan mobil lain dan berjalan di belakang mobil dinas.Ketika kami keluardari komplek Pemkab dan saat mobil dinas Bupati melewati depan Satpol PP, mereka langsung memberi hormat. Begitu pula ketika melewati pertigaan, semua polisi langsung hormat pula. Saya berbisik kepada istri saya, “Buk..lihat itu Buk…semua menghormati mobil dinas…”, Artinya, ketika mereka hormat itu sebetulnya bukan hormat kepada kita - tapi kepada mobil dinas. Nyatanya kita -di mobil ini - tidak diberi hormat… Dengan peristiwa-peristiwa itu, saya dapat mengambil kesimpulan, kehormatan sebagai Bupati itu sesungguhnya semu. Menurut saya, kalau saya dihormati itu karena sayamenghormati. Kalau kita melihat kehormatan dari kulit luar, maka yang didapat - ya kulit luar itu saja. Kita akan mendapat kehormatan ketika kita mau menghormati orang lain. Hidup itu berlaku hukum timbal balik. SedangKebanggaan, menurut saya bagai sedang memegang ‘mowo’ (bara api). Kalau jadi Bupati - dibanggakan orang kampung, istri dan anak. Kalau //ledha-ledhe// atau korupsi tentu akan mengecewakan mereka yang membanggakan. Baik saat menjadi Bupati Magelang maupun Temanggung, saya pegang betul bara itu, Jadi Bupati kalau tidak amanah - bara akan segera mati, walau memegang amanah itu memang panas, karena menjadi bupatibanyak godaan.
Ketika saya ketahuan melakukan haltidak terpuji, korupsi misalnya, semua akan ‘gela’ dan semua tidak mengakui juga tidak senang terhadap saya, maka hilanglah kebanggaan itu. Saya tidak akan menghilangkan kebanggan seseorang karena berkelakukan tidak baik. Karena kebanggaan itubara api, maka ketika saya tamat dari Magelang (kurang setengah tahun), diundang Ketua PPP - orang Magelang masih ingin macalonkan,tetapi saya sudah tidak mau. Jadi Bupati itu ibarat‘kaki kiwo’ berdiri di tepi nerakadan satu kakinyaditepi tebing, jika keseimbangan hilang akan tergelincir. Menyelamatkan dirisendiri saja susah, apalagi menyelamatkan orang banyak. Saya ingat ketika berpamitan kepada Gubernur Jateng Pak Mardiyanto. Saya mohon maaf tidak bisa lagi menjadi Bupati, tetapi beliau minta saya maju lagi. Tetapi saya hanya bilang, bahwa saya ingin mati membahagiakan yang hidup, pinginnya menjadi guru, lebih suka menjadi guru daripada menjadi Bupati. Sebab menjadi gurukalau mati yang melayat banyak. Banyaknya orang melayat akan membahagiakan mereka yang masih hidup. Tapi rupanyaAllah menggariskan lain, atas permintaan masyarakat, saya kembali terpilih menjadi Bupati di Temanggung. Saya kembali pegang ‘bara’ itu. Lagi-lagi ini karena sebuah kesempatan. Temanggung, ketika itu tengah terbelit masalahyang didahului sebuah ‘ontran-ontran’ pelengseran Bupati Totok Ary Prabowo yang ketika itu berpasangan dengan H. M. Irfan.Menjelang pilkada, sejumlah tokoh masyarakat datang ke rumah saya. Mereka minta supaya saya bersedia dicalonkan untuk kembali menjadi Bupati. Sayaberpikir berulangkali. Sebelum memutuskan kesediaanuntuk maju, kepada orang-orang itu saya minta bukti kalau masyarakat memang mencalonkan saya. Saya minta agar mereka menemui kalangan ulama dari berbagai golongan. Beberapa hari kemudian mereka datang lagi dan meyakinkan saya dengan mengatakanmereka telah menemui beberapa kiai dan tokoh masyarakat. Intinya tokoh– tokoh itu memberi dukungan. Namun demikian saya belum memutuskan kesediaan untuk maju. Baru setelah tokoh dua partai politik datang, saya menyatakan kesediaan untuk maju, namun dengan syarat, tidak ada kontrak politikdalam bentuk apapun. Sebab saya tidak mau jadi Bupatinya partai A atau partai B. Tetapi kalau terpilih, ya jadi Bupati Temanggung, Bupatinya semua orang Temanggung. Setelah ada kesepakatan, akhirnya dengan bulat saya terima pencalonan itu. Seperti ketika menjadi Bupati Magelang, untuk maju ke pilkada ini-pun saya tidak mencalonkan diri, namun karena dicalonkan. Jabatanituamanat yang harus dipertanggungjawabkan, tidak hanya kepada rakyat melainkan juga kepada Tuhan. Karenasaya merasakan hal aneh ketika melihat banyak orang kepingin jadi penguasa. Padahal sekali lagi,jika kehormatan, kebanggaan dan
kemudahan mencari uang yang dicari, semua itu hanya fatamorgana. Dan kalaupun didapat – semu sifatnya. Barangkali sayalah satu-satunya Bupati yang tidak punya rumah pribadi. Lalu kemana harus pulang ketika habis masa jabatan?. Saya, dengan bantuan banyak orang tengah membuat sebuah pondok pesantren. Jika masih ada umur, kesanalah saya nanti pulang, sekaligus kembali mengabdi sebagai guru.
Seputar Penulis Nama: Hasyim Afandi Lahir: Parakan 1 Juli 1846 Setelah lulus sarjana IAIN, pada kurun waktu tahun 1971-1976 menjadi guru di sejumlah sekolah, seperti SMP Al Iman Parakan, PGA, MTS dan pengasuh Ponpes Zaedatul Maarif. Tahun 1978 diangkat penjadi PNS definitif di Depag Kabuapaten Temanggung. Setahun setelah diterima, langsung diangkat menjadi pejabat eselon IV tanpa melalui eselon V sebagai Kasi Penais. Tahun 1982 hingga tahun 1987 menjadi anggota DPRD Temanggung dari Fraksi Golkar. Kemudian terpilih lagi untuk periode 1987-1992. Namun baru satu setengah tahun mundur dari anggota dewan dan kembali ke Depag. Kemudian diangkat menjadi Kakandepag Kabupaten Magelang periode 1991 hingga 1999. Tahun 1999 terpilih sebagai Bupati Magelang periode 1999-2004. Setelah selesai masa jabatan, kembali ke Parakan. Kegiatan sehari-hariberdakwah dan menjadi ketua MUI Temanggung. Tahun 2008, terpilih sebagai Bupati Temanggung periode 2008-2013.
Berkat Nasihat Emak
HAWIQNYO Bongos, Jumo
Kampung Bongos, Desa Jumo, Kecamatan Jumo berjarak kurang lebih 17 Km dari Kota Temanggung. Jarak yang tidak terlalu jauh itu saat ini cukup ditempuhsekitar 20 menit dengan kendaraan bermotor. Jalan yang dilalui-pun ada tiga alternatif, melalui Kandangan ke barat, melalui Kedu ke utara, atau melalui Parakan, Ngadirejo ke timur dengan kondisi jalan yang semuanyabaik.Di situlah aku dilahirkan dan dibesarkan. Akuanak kedua dari tujuh bersaudara. Tahun 1972 setamatSekolah Dasar Negeri Jumo, aku masukSekolah Teknik (ST) Negeri Temanggung Jurusan Bangunan Gedung,di Jln. Dr. Sutomo Temanggung yang menjadi keinginankumelanjutkan sekolah. Karena sulitnya kendaraan dari Jumo ke Temanggung saat itu, maka aku terpaksa indekos. Beberapa alamat sempat aku tempati di Temanggung: Rolikuran,Kepatihan, Kemantrendan terakhir di Banyutarung. Walaujarak Jumo-Temanggung tidak jauh, tetapi saat itu sulit dijangkau karena pada tahun 1970-an masih jarang kendaraan umum sampai ke Jumo, terutama di pagi hari untuk berangkat sekolah. Hari demi hari sekolahku di Temanggungkulalui, hingga pada tahun keduaku di Temanggung aku bertemu dengan paman yang bekerja dan tinggal di Surabaya. Saat itu beliau bertanya mengenai sekolahku tak kuduga ternyata beliau tidak suka kalau sekolahku di ST. Beliau langsung menyuruhkupindah ke SMP. Aku menjadi bimbang tentang apa yang sedang aku tekuni di sekolah, padahaaku sudah kelas dua. Kalauharus masuk SMP berarti harus mengulang dari kelas satu lagi... Emak, orangpaling mengerti tentang apa yang seharusnya dilakukananak-anaknya. Beliau menasihati: “Sudahlah jangan terlalu dipikir harus pindah sekolah, kalau memang kamu ingin tetap sekolah di ST, selama kamu tekun pasti akan bermanfaat bagi kehidupanmu”. Begitulah nasihat emak demikian sangat memperhatikan pendidikan putra-putrinya yang berjumlah tujuh orang. Cita-cita emak ingin menyekolahkan semua anaknya setinggi mungkin. Mengapa ?, ternyata beliau punya kenangan memrihatinkan sewaktu sekolah di SGB di Kranggan.Waktu itu, emak sampai ditarik pulangkakekku, karena takut bila emak jadi guru akan ditempatkanjauh dari Jumo. Akhirnyaaku tetap melanjutkan sekolah di ST sesuai nasihat emakhingga tamat pada tahun 1975. Saat sekolahku di ST aku aktif ikut kegiatan Pramukahinggapernah mengikuti Jambore Jawa Tengah di Semarang pada tahun 1974. Aku masuktim Kabupaten Temanggung bersama
dengan teman-teman dari SMP Negeri 1 dan SMP Negri 2 Temanggung.Kalau tidak salah saat itu di Temanggung baru ada 3 buah SMP Negeri.Ternyata kegiatan pramuka membuat diriku menjadi lebih percaya diri, lebih bisa bergaul, banyak teman, dan mampu mandiri.
STM Yudya Karya Magelang Tiga tahun berikutnya aku selesaikan sekolahdi STM Yudya Karya Magelang. Karena memang tidak ada jalur sekolah lain kecuali melanjutkan ke STM.Disinilah aku mencoba lebih serius sesuaicita-citaku dan nasihat emak. Walauaku sekolah di sekolah teknik tapibenakku memiliki keinginan kuat harus melanjutkan sekolahbukan untuk bekerja. Di STM nilai sekolahku termasuk sebagai kelompok unggulan di jurusan Bangunan Gedung. Pada tahun 1977 aku pernah mewakili STM Yudya Karya mengikuti lomba keterampilan siswa di STM Negeri Purworejo. Walautidak berhasil menjadi juara, aku memiliki pengalaman mengikuti lomba. Saat dikelas dua, aku mendapatkan beasiswasekolah.Kalaitu, bagi STM Yudya Karya merupakan kali pertama memberikan beasiswakepada siswanya, dan akulah salah satu penerima beasiswa itu.Lumayan.Beasiswaberupa pembebasanuang sekolah sejak kelas dua hingga kelas tiga.Orangtuadiundang ke sekolah untuk menerima beasiswa. Masih ingat, Kepala SekolahBapak Soepadiono menyerahkan beasiswa itu. Selain Kepala sekolah ia juga guru Bahasa Inggris. Satu ucapan Pak Soepadionomasih terngiang di telingaku dan ucapan itulahtelah membuatku lebih gigihbelajar. Ketika mengajar di kelasku beliau memberipertanyaan kepada kelas dan memintaku menjawab. “Kalau tidak bisa menjawab beasiswanya tak cabut”. Walau sambil guyon,cukup membuatku deg-degan.Untungbisa menjawab. Aku dapat menunjukkantidak salah memberikan beasiswa kepadaku. Terima kasih Pak Soepadiono. Di samping Pak Soepadiono ada lagi seorangmemberikan motivasi agar aku terus belajar dengan baik. Dia, bapak kosku diKedungsari Magelang.Beliau Pak Abdul Rachim berpesan dan selalu mengingatkan agar terus belajar - mengurangi nonton TV. Walau acara TVpaling digemari waktu itu Kethoprak dan Kamera Ria, beliau selalu mematikan TV apabila waktu belajar.
Politeknik Pertanian IPB Tahun 1979tamat STM. Sesuai dengan cita-citaku ingin melanjutkan sekolahbukanbekerja, aku mendaftarkan ke beberapa perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Dengan nilai raporlumayan bagus aku sempat masuk di Universitas Tidar Magelang selama 6 hari sebelum diterima di Program Diploma IKIP Yogyakarta jurusan Bangunan Gedung. Di IKIP Yogyakarta hanya 10 hari sebelum akhirnyatanggal 1 September kuliah di Program Diploma Guru Kejuruan Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB). Kuliah di IPB tidaklah mudah, modaldari STM sebenarnya tidak memadai untuk kuliah di IPB. Tetapitambahansemangat dan dukungan orang tua yangsangat mendukung agar anak-
anaknya sekolah setinggiakhirnya3 tahun dapat menyelesaikan Diploma III. Selain nasihat emakyang selalu kupegang erat agar tekunbelajar, beliau juga selalu mengingatkan dengan contohcerita wayang, bahwa dalam berjuang selaluada halangan. Halangansering membuat orang gagal, seperti dicontohkanArjuna. Tokoh ini selalu menangmenghadapiperang siapapun musuhnya, namun kalah oleh “sampur”. Rupanya emaktidak terus terang ingin menasihatkan janganlah tergodawanita sebelum sekolahselesai. Lagi-lagiaku mendapatkan beasiswa selama tiga tahun belajar di IPB, aku sangat bersyukur orangtuatidak terlalu berat membiaya(saat itu ekonimi kami sangat sulit). Sebetulnya aku jarang ketemu emak. Jam 4 pagi beliau sudah berangkat membeli dagangan ke kampungkampung, lalu dagangan dibawa langsungke kota untuk dijual. Agar esok pagi dapat memperoleh dagangan lagi, tidak jarang emak pulang larut hingga pukul 22.00 karena harus menunggu dagangandibayarjuragan. Hebatnya, orang tuaku berhasil mengantarkan anak-anaknya sekolah di perguruan tinggi negri, bahkan 4 dari 5 adikku berhasil kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Penugasan Ketika masih kuliah aku masih tetap mengikuti kegiatan pramuka, bahkan tahun 1981 aku ikutJambore Nasional di Cibubur.Tamatan Pendidikan Guru Kejuruan Pertanian (PGKP) IPB ini sebetulnya disiapkanmenjadi guru di Sekolah Menengah Kejuruan Pertanian yang tersebar di seluruh Indonesia. Setelah tamat dari D3, aku tidak langsung menjadi guru, sebab terdapat 7 orang yang ternyata dipersiapkan untuk menjadi instruktur pada Pusat Pengembangan Penataran Guru Pertanian (PPPG Pertanian) di Cinajurdan aku termasuk salah satuyang ditugaskan. Namun karenalokasi PPPG Pertanian belum siap, kami bertuju ditugaskandi Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan di Jakarta mulai Juli 1982 hingga Juni 1984. Barulah pada Juni 1984 aku mulai berjuang untuk cikal bakal PPPG PertanianCianjur bersamapimpinan proyek BuSutarti, MSc. Walaumasih di pulau Jawa, namun Desa Sukajadi, Karangtengah Cianjur termasuk daerah terpencil. Berjaraksekitar 13 Km dari kota Cianjur. Kendaraan umum hanya sampai jam 4 sore, setelah itu tidak ada lagi. Tidak seperti sekarang24 jam tersedia transportasi umum. Tinggal di tengah-tengah kebun karet tanpa listrik. Generator hidup hingga pukul 24:00, itupun kalau punya bahan bakarnya. Bila sedang habis,ya.. dengan lampu Petromas dan lampu teplok.Begitulah, aku jalani bersama beberapa orang teman. Barulah tahun 1986 penghunimulai bertambah. Tahun 1989 bangunan PPPG Pertanian dibangun dan selesai pada tahun 1991. Saat ini jumlah pegawaiPPPG Pertanian lebih dari 300 orang dan telah berganti nama menjadi Pusat Pengambangan dan PemberdayaanPendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK). Ibu Ir. Adiati Sudradjat, salah satu orang yang sangat berjasa dalam perkembangan tugasku.Beliau selalu mendorong agar tamatan D3 IPBterus berkembang. Program pengembangan SDM untuk PPPG Pertanianpun terus digulirkan. Salah satu
programnyamembawaku hingga ke negara Kanguru, Australia, tahun 1986. Selama satu tahunmengikuti program pelatihan di Australia, belajar tentang Bangunan Pertaniansesuai dengan latar belakang sekolahkuSTM jurusan Bangunan. Aku menyadarisekolahku baru sampai D3. Maka,aku harus berjuang terus untuk melanjutkan sekolah ke tingkat lebih tinggi. Bersyukur, S1 bidang Psikologi Pendidikan dan BimbinganSekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Cianjur menghantarku mendapatkan gelar sarjana pada tahun 1992. Ditahun yang sama aku mendapatkan jabatan Widyaiswara, sebutan salah satu jabatan fungsional. Tak mau berhenti hingga disitu, aku melanjutkan kuliah ke jenjang pendidikan S2 Magister Manajemen bidang Manajemen Sumber Daya Manusia dan selesaitahun 2001. Tahun 2003aku diberi kesempatanpindah jabatan dari fungsional menjadi struktural, menjadi Kepala Seksi Tatalaksana Penataran di PPPG Pertanian Cianjur hingga 2006. Setelah22 tahun di Cianjur (1984-2006), aku diberi kesempatanpindah tugas ke Jakarta. Pada tahun 2006 aku resmi pindah di Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, menjadi Kepala Sub Bagian Atase dan Sekolah Indonesia. Tugasnyamengurusi Atase Pendidikandi KBRI dan sekolah Indonesia yang berada di luar negeri.Initantangan barukarena selama di Cianjur hanya menangani penataran guru. Tentang sekolah Indonesia di luar negeri bagiku tidak terlalu asing, karenadi PPPG Pertanian disamping mengurusi penataran guru juga banyak membahas pengembangan sekolah kejuruan pertanian.Namunmenangani administrasiAtase Pendidikanmerupakan tantangan baru yang perlu ditekuni. Akhirnya setelah dua tahun menjalani tugas tersebutaku berkesempatan mengunjungi beberapa sekolah Indonesia di luar negeri antara lain di Kuala Lumpur, Tokyo, Mesir, Riyadh, Jedah, Mekah, dan Den Haag. Dalam suasana selalu bersyukur, tahun 2008 aku diberi kepercayaan lebih besar menjadi Kepala Bagian Kerjasama Luar Negeri, initantangan baru. Walaupun sewaktu di Cianjurbanyak terlibaturusan kerjasama luar negeri, tetapi menjadi Kepala Bagian Kerjasama Luar Negeri merupakan tugassangat menantang. Pada jabatan ini, banyakperjanjian kerja sama maupun pelayanan atau fasilitasi kerjasama bagi universitas maupun institut di Indonesia dengan lembaga pendidikan di luar negeri yang aku kerjakan, melaui kegiatan joint working group. Tantangan yang cukup menyita pikiran ketika mempersiapkanpertemuan-pertemuan internasional,baikdilaksanakan di dalam negeri maupun di luar negeri, mengingat banyakharus dipersiapkan matang seperti naskah perjanjian, tanggapan - usulan atau permintaan dukunganprogram dari negara lain. Termasuk bagaimana pemerintah kita meminta dukungan negara lain atas sebuah usulan program. Dan hal paling menarik bila aku ikut pada pertemuan-pertemuan internasionalbaiktingkat Asia Tenggara maupun tingkat dunia. Setelah dua tahunbertugas sebagai Kepala Bagian Kerjasama Luar Negeri,aku diberi kesempatan lagi menjadi Kepala Bagian Tata Usaha pada Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kementerian Pendidikandan Kebudayaan, pada januari 2011. Pekerjaan ini sebetulnya tidak terlalu asing, namun aku harus belajar lagikarena cukup lama tidak berkecimpung dibidang ketatausahaan. Pada bidang ini banyak mengerjakanpengadaan
barang dan jasa untuk keperluan informasi kepada masyarakat, seperti spot TV maupun radio mengenai Ujian Nasional, Biaya Operasional sekolah (BOS), Pendidikan Karakter, talkshow di TV maupun radio,pembuatan umbul-umbul, spanduk, penerbitan Majalah Dikbud, Tabloid Asah Asuh, pelayanan call center Kementerian, dll. Semua pekerjaan harus dilakukan dengan tekunpenuh dedikasi agar menjadi berkah dan manfaat bagi banyak orang. Betapa tugas-tugasku ini semakin jauh dari latar belakang pendidikanku – bidang STM jurusan Bangunan.Tetapiitulah yang membuatku terus belajar, sehingga saat inipun aku masih melanjutkan sekolah S3 di Universitas Negeri Jakarta.Mudah-mudahan studiku tidak lama lagi selesai. Amin. Usiaku memang sudah tidak muda lagi, tetapi semangat harus tetapmenyala. Bila aku renungkan selain harus tekun menghadapi pelajarandi bangku sekolah, tetapi perlumengikuti kegiatan – kegiatan untuk menambah pengetahuan keterampilan dan sikap yang tidak akan didapat di dalam kelas. Kegiatan-kegiatan seperti kepramukaan, klub olah raga, keagamaan, palang merah remaja dan sebagainya itu akan sangat membantu kita untuk dapat berperilaku lebih baik di tempat kerja. Tentu saja, tidaksemua harus diikuti, pilih beberapa yang dianggap paling cocok dengan diri kita. Pintar secara intelektual saja tidak cukup, harus ditambahpengalaman berorganisasi, semasa belajar di sekolah.
Seputar Penulis. Hawignyo Kepala Bagian Tata Usaha Pusat Informasi dan Humas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Gedung C lt 4, Jln. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta Rumah: Griya Sasmita No. C19, Serua, Bojongsari, Depok Jawa Barat
SUKSES ITU BUKAN KEBERUNTUNGAN
Martono Hardjo Soemarto Ngadirjo
Bapakku orang yang keras. Meski wong ndesa tapi pemikirannya maju. Beliau menjadi tokoh partai yang disegani di kabupaten, bahkan seorang Hadi Soebeno (Walikota Semarang di awal tahun 1950, Pemrakarsa Pembangunan Tugu Pemuda Semarang, Tokoh Nasional salah satu partai besar saat itu) mengenal dan sering singgah di rumahku, yang cuma rumah berdindinggedhek. Aku anak bungsu, namun diperlakukan sama dengan kangmas mbakyuku. Karena sarana pendidikan di Ngadirejo saat itu terbatas, maka kangmas mbakyuku begitu lulus SD meneruskan di Purwokerto (ikut pakde) atau Semarang (ikut pakde) atau di Jogja (indekos). Setidaknya kos di Temanggung. Karena aku sendiri—jarak usia dengan kangmas mbakyuku jauh—maka ketika aku lulus SD tahun 1970, hanya dikelas 1 SMP saja di Ngadirejo (di SMP Persiapan Negeri Ngadirejo), selanjutnya tahun 1971 bapakku meminta agar aku ikut mbakyuku di Bandung (suami mbakyuku dinas di TNI AU Bandung, sementara mbakyuku sendiri mengajar di SMAN Cimahi). Tahun 1972, ketika kelas 2 SMP aku pindah sekolah dari Ngadirejo ke Bandung. Ini memerlukan adaptasi mengingat masyarakat Sunda di kota besar jelas sangat berbeda dengan masyarakat Jawa di desa. Belum lagi masih berusia 13 tahun aku harus berpisah dengan bapak simbokserta teman-teman di kampung. Berat rasanya meninggalkan kampung. Semula, mas iparku menginginkan agar akusekolahdi sebuah SMP di lingkungan TNI AU mengulang dari kelas 1 lagi, namun Kepala Sekolah SMP tersebut meminta dicoba dulu. Jika dalam kwartal pertama tidak bisa mengikuti, baru mengulang dari kelas 1. Alhamdulillah aku bisa mengikuti, bahkan meskipun jarak ke sekolah dari rumah sekitar 4 km dan setiap hari aku harus jalan kaki atau naik sepeda, namun setidaknya aku bisa menduduki rank (peringkat) ke 3. Bahkan sering pula aku disertakan dalam lomba-lomba keilmuan eksakta (matematika atau IPA). Lulus dari SMP, kakakmemintaku meneruskan di STM, agar selesai sekolah bisa bekerja atau masuk dinas ketentaraan. Namun aku tidak mau, meskipun itu mengecewakan kakak. Masuk di SMA,jarak sekolahku semakin jauh. Jarak dari rumah sampai ke sekolah mencapai 6-7 km. Itu pun aku tempuh dengan berjalan kaki. Memang sesekali aku naik angkutan umum,tetapi mengingat perumahan TNI AU jauh di dalam kompleks aku lebih suka jalan kaki, agar uang sakubisa kupakai buat beli buku. Prestasi sekolahkutidaklah jelek, terbukti tidak sedikit teman sekolahku yang rela mengantarkan aku pulang sekolah dengan sepeda motor atau nraktirnonton bioskop atau
nraktir makan asal dibantu mengerjakan tugas-tugas sekolah atau diajari beberapa mata pelajaran seperti matematika, fisika atau kimia. Singkat cerita luluslah aku dari SMA tahun 1976. Sementara teman-teman mempersiapkan kemana mereka akan melanjutkan kuliah, aku bingung dihadapkan pada pilihan yang sulit. Kakakmemintaku masuk ke AKABRI AU agar tidak perlu biaya sekolah karena di AKABRIdibiayai negara, namun aku tidak suka. Aku ingin memenuhi harapan bapakyang mengharapkanmenjadi Insinyur. Dan aku sendiri lebih suka kuliah diteknik. Jika aku kuliah (tidak masuk AKABRI), suatu saat harus siap, manakala masku pindah dinas (mutasi)—TNI memang sering dimutasikan dari satu daerah ke daerah lain—maka masalah pembiayaan kuliahku harus mencari sendiri. Demi mencapai cita-citaku dan demi memenuhi harapan bapak, akhirnya aku memilih kuliah. Bapakmemberi sejumlah uang untuk melanjutkan kuliah. Aku menyadari bahwa uang itu hanya pas untuk membayar uang masuk di salah satu perguruan tinggi. Pengumuman pertama aku diterima di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) dankedua di Teknik Mesin Institut Teknologi Tekstil (ITT). Sementara tahap pertama ujian SKALU (Sekretariat Kerjasama Antar Lima Universitas) aku lolos, tinggal menunggu lulus tidaknya pilihanku di ITB jurusan Elektro. Karena timbul rasa tidak percaya diri, takut tidak diterima di Elektro ITB, akhirnya aku memutuskan kuliah di ITT. Setelah 3 bulan kuliah di ITT, ternyata aku diterima di Elektro ITB. Disitu aku sungguh-sungguh dirundung kebingungan. Disatu sisi Elektro ITB adalah cita-citaku tetapi uang sudah dipakai untuk membayar di ITT, sementara aku tidak mungkin meminta uang lagi pada bapakapalagikakak. Akhirnya kupendam cita-citaku masuk ITB dan aku tekuni kuliah di ITT. Aku salurkan hasrat elektronikku dalam bentuk hobi. Hobi ini yang dikemudian hari ternyata menjadi tumpuan masa depanku. Untuk mencari tambahan biaya kuliahku, aku bekerja serabutan. Dari mulai menjadi sopir angkutan, sopir pribadi seorang pejabatatau nyuci mobil, nyablon kaos, masang instalasi listrik, bikin alarm, sampai ngasih les matematik dan IPA untuk anak SD atau SMP atau SMA. Sambilan yang paling aku sukai adalah membantu dosen membuat system control electronic untuk industri tekstil, laboraturium kimia dan peralatan apa saja. Hubungan dengan dosen menjadikanku dikenal dikalangan dosen-dosen ITT dan teman-teman kuliahku terutama masalah otomatisasi. Bahkan disaat aku masih kuliah, jusru aku membantu teman-temanku menyelesaikan kuliahnya dengan membuatkan peralatanperalatan otomasisasi. Tahun 1982 aku baru bisa menyelesaikan sarjana mudaku. Bersamaan dengan itu kakakpindah tugas di Jakarta, dan mau tak mau seperti janjiku sendiri, aku harus menghidupi hidupku sendiri dan membiayai kuliahku. Karena mbakyujuga pindah mengajar ke Jakarta, maka aku beranikan diri melamar mengajar di SMA Cimahi dimana kakakmengajar. Aku diterima mengajar Fisika di SMAN 2 Cimahi. Karena awal tahun ajarandan aku diberitugas mengajarkelas 1, maka aku menjadi tidak canggung.Ketika aku berkesempatan pulang menengok beliau yang mulai sakit-sakitan bapakmrebes milsetelah mengetahui sepak terjangku hidup sendiri di Bandung.
Mengajar Fisika adalah suatu aktivitas yang sangat menyenangkan. Aku bisa dengan cepat beradaptasi dalam mengajar. Tahun berikutnya 1983 aku sudah mengajar di kelas 2, menjadi walikelas sekaligus dimintamenjadi koordinator Laboraturium Fisika, Kimia dan Laboraturium Bahasa Inggris, selain menjadi guru mentor bagi guru-guru fisika yang baru. Kesibukan mengajarpun semakin padat dengan permintaan mengajar dibeberapa SMA swasta di Cimahi. Dan kuliah pun tetap kujalani termasuk membantu dosen membuat instrumentasi elektronik dalam industri tekstil dan terkadang harus asistensi dosen. Untuk kelengkapan laboraturium Fisika (termasuk elektronik)di SMA dimana aku mengajar, aku sendiri yang membuat alat-alat peraga untuk memudahkan siswa memahami hukumhukum Fisika. Kuliah di ITT-pun baru aku selesaikan di tahun 1989 setelah 11 (sebelas) tahun kuliah. Teman-temanku sudah menduduki jabatan yang lumayan, aku baru lulus dan mencari pekerjaan yang tetap. Pertama tawaran datang dari pihak ITT yang kala itu berubah menjadi STTT (Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil), aku diminta menjadi dosen otomatisasi, karena memang saat itu Dosen Otomatisasi adalah lulusan Rusia tahun enampuluhan, sehingga wawasan teknologi elektroniknya sangat ketinggalan. Karena masalah politis, aku mengurungkan bergabung di ITT. Selanjutnya aku mencoba melamar di sebuah perusahaan konsultan dan kontraktor pertambangan swasta yang cukup ternama di Indonesia bernama PT Geoservices. Pertengahan tahun 1989 aku begabung di Geoservice yang bidangnya sama sekali tidak aku kenal, sungguh sangat menantang. Karena pihak managemen menempatkan posisiku sebagai Teknisi untuk peralatan-peralatan survei Geofisika (Geofisika adalah bidang keilmuan untuk mempelajari sifat-sifat fisik dari geologi). Posisi Teknisi memang posisi lulusan SMK Elektronik, namun karena aku suka dengan pekerjaan yang bakal ditangani, maka kulepaskan status kesarjanaanku dengan memilih pekerjaan ini. Di kemudian hari ternyata pilihan ini yang mengantarkanku pada keadaan seperti saat ini. Gaji yang didapat di PT Geoservice jauh lebih kecil dari pada gaji ketika aku menjadi guru di SMA. Meski demikian aku berusaha mengabaikan pendapatanku dengan bekerja sebaikbaiknya. Banyak yang harus aku pelajari, terutama prinsip-prinsip dasar survey Geofisika. Belasan macam alat harus diperbaiki, diservis, dikalibrasi (disetel agar pengukurannya benar), dan diuji. Karena setiap peralatan mempunyai fungsi pengukuran yang berbedabeda, maka aku harus mempelajari prinsip-prinsip dasar pengukuran yang dilakukan. Ini mendorongku untuk terus belajar dan belajar untuk memudahkan melaksanakan tugastugasku. Hal yang sangat membantu, bahwa hobby-ku dielektronik, kuliahku di Teknik Mesin, dan aku pernah mengajar Fisika dan Matematika, menjadikanku tidak begitu sulit mempelajari ilmu Geofisika. Aku pun seringkali harus ikut ke lapangan (istilah lain pergi ke lokasi eksplorasi tambang). Masuk ke hutan, atau rawa-rawa, menyusuri sungai, mendaki gunung, menuruni jurang, dan tempat-tempat lain yang terkadang belum dijamah oleh manusia. Lapangan-lapangan itu berada di belantara Sumatera, Kalimantan, Sulawesi bahkan Papua (Hanya propinsi Timor Timur-lah yang belum kukunjungi, sampai Timor Timur terpisah dari NKRI). Dari jalan kami berpuluh kilometer, berhari-hari, naik pesawat terbang, naik helikopter, naik
perahu, sampai naik kuda untuk mencapai lokasi kerja pernah kulakukan. Selama dilapangan harus bisa bertahan dengan makanan seadanya dan membosankan. Tahun-tahun berikutnya perusahaan memercayakanmengikuti training di perusahaanperusahaan Peralatan Survei di Singapura dan Australia. Kesempatan itu aku pergunakan sebaik-baiknya dalam mempelajari peralatan-peralatan survey Geofisika. Banyak perusahaan yang menggunakan Peralatan Survey Geofisika di Indonesia seperti PT Aneka Tambang, Pertamina Geothermal, atau lembaga-lembaga milik pemerintah seperti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Tekmira (Teknologi Mineral dan Batubara), Batan (Badan Tenaga Nuklir Nasional) bidang Geologi Nuklir, serta lembaga-lembaga pendidikan seperti ITB (Institut Teknologi Bandung) Fakultas Geofisika dan Meterologi. Mereka tidak dapat memperbaiki peralatan-peralatannya yang rusak. Perlu diketahui bahwa peralatan peralatan survey harganya sangat mahal. Ada yang ratusan juta bahkan sampai milyaran. Bila rusak, biasanya mereka mengirimkan ke pabrik pembuatnya di negara asalnya. Selain memerlukan biaya yang mahal, juga waktunya sangat lama. Ternyata kondisi ini membawa berkah bagiku. Dari mulut ke mulut, makin lama aku makin dikenal mereka, yang akhirnya aku memutuskan membuka bengkel servis di rumah. Siang hari aku bekerja di kantor, malam hari atau hari libur aku bekerja di rumah menerima servis perbaikan alat-alat survey. Aku mendapatkan penghasilan dengan membuka bengkel servis dirumah justru berlipat kali besarnya dari pada gajiku bekerja di kantor. Karena selama di PT Geoservices aku juga memodifikasi alat-alat survey agar dapat dengan mudah dipergunakan di lokasi di Indonesia (Alat-alat biasanya dibuat di Amerika, Australia, Eropa atau Jepang yang secara geografis mempunyai kondisi yang berbeda dengan di Indonesia, sehingga perlu penyesuaian). Kebiasaan memodifikasi alat menjadikanku bisa membuat peralatan-peralatan survey sendiri. Itu sebabnya tahun 1992 aku dipercaya menjadi Technical Manager untuk mengelola Divisi Geophysical Logging. Karena divisi ini sangat menguntungkan maka tahun 1995 divisi ini memisahkan diri menjadi anak perusahaan PT Geoservices yang bernama PT Primaquip Nusantara. Perusahaan ini bergerak khusus di bidang Geophysical Logging, yakni pelayanan untuk mendeteksi lapisanlapisan apa saja yang ada dibawah tanah. Setelah dilakukan pemboran (membuat sumur bor hingga kedalaman tertentu), alat Geophysical Logging dimasukkan kedalam sumur bor hingga dasar. Pada waktu dinaikkan dilakukan perekaman lapisan-lapisan geologi tanah. Metode ini dapat dipergunakan untuk mendapatkan informasi dimana lapisan tanah yang mengandung minyak atau lapisan berupa batubara. PT Primaquip Nusantara berkembang pesat, dan aku berkesempatan mengikuti training baik di Australia, Inggris dan Amerika untuk mempelajari peralatan survei. Tahun 1997 aku diangkat menjadi General Manager yang bertugas membantu Direktur Utama dalam menjalankan perusahaan. Meskipun tugas-tugasku lebih banyak di manajemen, namun aku terus belajar dan belajar untuk mengembangkan peralatan-peralatan survey geofisika terutama peralatan Geophysical Logging. Pelajaran ketika mengikuti training sungguh sangat bermanfaat. Sehingga aku sendiri menemukan inovasi-inovasi baru dalam membuat peralatan Geophysical Logging.
Tahun 1998 terjadi krisis moneter international. Krisis ini melanda Indonesia disemua sektor termasuk sektor pertambangan. Kantor pun melakukan PHK besar-besaran, termasuk induk perusahaan PT Geoservices. Bersyukur krisis tidak melanda bengkelku, karena justru perusahaan-perusahaan pertambangan yang memiliki peralatan survey lebih senang pemperbaiki peralatan yang rusak kebengkelku yang ongkosnya lebih murah. Namun memang tidak se ramai sebelum krisis. Kondisi PT Primaquip Nusantara sendiri kian payah, karyawan pun hanya tinggal beberapa orang. Pendapatan perusahaan turun drastis. Aku menyikapi kondisi ini dengan mencoba mencari peluang lain yakni bersama saudara-saudaraku mendirikan perusahaan meuble di Ngadirejo yang waktu itu cukup menjanjikan. Namun karena aku masih bekerja di Bandung, maka perusahaan meuble pun menjadi tidak terurus dengan baik. Pertengahan tahun 2003 disaat dunia pertambangan mulai pulih, PT Primaquip Nusantara berencana pindah ke Jakarta. Aku dihadapkan pada pilihan yang sulit. Jika keluarga ikut pindah ke Jakarta maka keluargaku perlu adaptasi dengan kehidupan di Jakarta, pindah rumah, pindah sekolah, dll. Bila keluargaku di Bandung aku kerja di Jakarta, maka harus hidup dengan 2 dapur dan harus pulang balik seminggu sekali. Keduanya perlu biaya besar. Akhirnya setelah aku diskusikan dengan keluargaku, aku putuskan untuk mengundurkan diri dari PT Primaquip Nusantara. Rencananya aku akan pulang kampung dan menekuni usaha mebel yang semakin tidak terurus. Ternyata keluargaku tidak mau pindah ke Ngadirejo, memilih tetap di Bandung. Bekas anak buahku-pun yang ikut pindah ke Jakarta sangat berat kehidupannya. Dua orang diantaranya mendatangiku. Mereka bilang, mengapa kita tidak membuat perusahaan seperti PT Primaquip Nusantara. Alasan mereka dulu aku yang memajukan PT Primaquip Nusantara. Dengan mendirikan perusahaan sendiri mereka yakin akan dapat berjalan dan bersaing dengan PT Primaquip Nusantara. Kesulitan ada pada masalah permodalan untuk membuat peralatan. Akhirnya kami bertiga bersepakat, masing-masing mencari dana. Aku mendapatkan dana dari uang pesangon. Satu temanku dapat pinjaman dari pamannya yang baru pensiun dari Pertamina, sementara yang satu lagi masih bingung. Bulan Januari 2004 seorang teman dari sebuah perusahaan batubara di Bengkulu menghubungiku dan mengatakan bahwa 2 unit peralatan Geophysical Logging (alat ini adalah buatanku sendiri waktu di PT Geoservices) mereka hendak dijual karena eksplorasinya sudah selesai. Bak pucuk dicinta ulam tiba, aku memutuskan pergi ke Bengkulu untuk melihat kondisi peralatan. Alhamdulillah kondisi alat masih baik, meskipun teknologinya sudah jauh tertinggal. Dengan uang pesangonku dua alat itu bisa kubeli (padahal 1 unit peralatan baru semacam itu harganya hampir 4 kali pesangon yang aku terima). Alat kubawa ke Bandung dan kuperbaiki. Seorang teman menghubungiku. Ternyata dia menginginkan proyek eksplorasi diperusahaannya ingin agar aku yang menangani. Ini adalah pucuk dicinta ulam tiba yang kedua kalinya. Akhirnya terjadi kesepakatan, 2 unit alat yang ada akan digunakan. Dalam operasioanal ternyata uang temanku yang pinjam dari pamannya tidak mencukupi, sementara temanku yang lainnya masih dalam pengajuan ke Bank. Akhirnya aku gadaikan sepeda motor, menjual perhiasan istriku. Dan terakhir menggadaikan rumahku.
Setelah 3 bulan berjalan, ada permintaan pekerjaan lagi dari perusahaan lain. Ini adalah pucuk dicinta ulam tiba yang ketiga kalinya. Disaat kami butuh modal untuk membuat alat baru, pinjaman bank pun keluar. Semangat kami makin menggebu dan semakin percaya diri untuk mendirikan perusahaan. Akhirnya bulan September 2004 perusahaan PT Recsalog Geoprima berdiri dengan jumlah karyawan 5 orang. Dua diantaranya adalah karyawan yang keluar dari PT Primaquip Nusantara karena tidak mau pindah ke Jakarta. Perusahaan ini berdiri di rumahku yang menempati ruang tamu berukuran 3 x 3 meter. Ruang itu menjadi kantor sekaligus bengkel. Aku dibantu satu temanku terus berusaha untuk memperbaiki system yang sudah aku buat. Bulan November 2004 aku menemukan system baru yang langsung aku terapkan dan berhasil dioperasikan dengan hasil yang sangat memuaskan. Akhir tahun 2004, perusahaan sudah memiliki 6 unit peralatan. Jika peralatan ini beli dari Australia atau Inggris harganya dapat mencapai angka 800 juta hingga 1200 juta (1,2 M). Sedangkan aku hanya perlu biaya seperempatnya, namun hasil surveynya sama. Awal tahun 2005 bengkel aku pindahkan di atas garasi. Aku bangun dari keuntungan yang aku dapatkan, sementara ruang tamu dijadikan sebagai ruang administrasi. Kantor-kantor perwakilan perusahaan pertambangan umumnya ada di Jakarta. Lobbymarketing yang kulakukan dengan cara mendatangi mereka. Memberikan presentasi dan meyakinkan pada mereka bahwa produk buatan Indonesia pun tidak kalah kwalitasnya. Aku sering menawarkan dengan gratis agar orang percaya pada produk buatan perusahaanku. Metoda ini sungguh jitu, terbukti pada akhir 2006 perusahaan sudah memiliki 14 unit alat, dan karyawan sudah sekitar 20 orang. Memasuki tahun 2007 perusahaan sudah dapat membeli ruko 3 lantai di kawasan elit di daerah Padalarang Bandung Barat. Pengembangan pun terus berlanjut. Dan metoda marketing dilakukan dengan cara yang sama, yakni menjemput bola. Akhir tahun 2007 orang sudah mulai melirik peralatan Geophysical Logging buatan PT Recsalog Geoprima. Dan tahun 2007 berhasi menjual sekitar 6 unit, sementara jumlah unit yang dimiliki hingga akhir tahun 2007 telah mencapai 26 unit dengan jumlah karyawan telah mencapai lebih dari 40 orang. Tahun 2008 perusahaan kembali membeli 2 ruko lagi karena tempat sudah tidak memadai serta membuka kantor cabang di Balikpapan sebagai basis operasional dan workshop (bengkel). Akhir tahun 2008 jumlah unit telah mencapai 48 unit dengan karyawan sekitar 70 orang, sementara penjulan tahun 2008 mencapai 8 unit. Sepanjang tahun 2009, 2010 dan 2011 merupakan prestasi gemilang dari PT Recsalog Geoprima. Dalam 3 tahun tersebut penambahan unit menjadi lebih dari 100 unit, karyawan menjadi 170 orang, dan membuka cabang selain di Balikpapan (Kaltim) juga di Kalteng dan Kalsel dengan jumlah 5 kantor cabang, serta melakukan penjualan lebih dari 30 unit. Perlu diketahui bahwa hampir setengah dari karyawan di PT Recsalog Geoprima berasal dari Kabupaten Temanggung. Yang membanggakanku adalah, bahwa perusahaanku menjadi perusahaan terbesar di Asia Tenggara yang melayani Geophysical Logging Survey untuk Batubara. Pengalamanku di bidang Geophysical Logging, Survey Geofisika maupun pemanfaatan Ketenaga-nukliran sering diminta di perusahaan-perusahaan pertambangan, terutama
perusahaan batubara, untuk memberikan training mengenai metoda-metoda survey pertambangan. Beberapa kali diminta mencadi pembicara dalam seminar Nasional atau memberikan kuliah umum di beberapa perguruan tinggi terkenal di Bandung.
Jadi : Jangan pernah menyerah jika kita punya keterbatasan Jangan berfikir mau dapat uang berapa dalam bekerja, tapi bekerjalah dulu dengan baik dan bersungguh-sungguh Jangan pernah berhenti belajar Jangan kecil hati karena berasal dari desa Selalurendah hatilah dan belajar dari pengalaman
“Semua Dapat Mewujudkan Keinginananya,bila Tahu Bakat dan Cara Mendayagunakannya MAT SAHUDI Karang Wetan, Ngimbrang, Bulu.
Aku Ingin SekolahTanpa BiayaOrang Tua Namaku Mat Sahudi.Ibuku bernama Parisah, Bapakbernama Suharto. Terlahir di dusun Karang Wetan, Desa Ngimbrang, Kecamatan Bulu. Sekolah Dasarku di SDN Ngimbrang. Setelah itu melanjutkanke SMPBulu.Lulus SMP, aku melanjutkan ke STM Pembangunan Temanggung. Setelah merampungkan sekolah di STM Pembangunan Temanggung, aku melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB). Riwayat hidupselama masa-masa sekolah dan kuliah banyak diwarnai oleh halhalberhubungan dengan kondisi ekonomi keluargaku, yaitu wong ora duwe di satu sisi dan di sisi lainpenginterus arep sekolah.Sehubunganhal-hal yang demikian, tema hidupselama masa-masa sekolah dan kuliah kurang lebih adalah“Bagaimana caranya mewujudkan keinginanku agar bisa tetap sekolah, tetapi tanpa bergantung kepada orang tua,,,?”
Aku Buruh Macul Aku hidup pada kondisi zaman yang belum maju.Ketika aku sekolah di SD, di tahun 1970an, aku jarang memakai sepatu.Listrik pun—sampai aku duduk di bangku SMP—belumjuga masuk di kampungku, sehingga kalau belajar memakai lampu teplok. Pada kondisi zaman yang belum maju itu,aku harus menghadapi persolan besar “bagaimana aku bisa melanjutkan sekolah, sementara kondisi orang tuaku termasuk orangtidak punya? Dalam kondisi jaman dan keadaan orang tuaseperti itu, ternyata hatitidak surut niat.Aku tetap ngotot ingin sekolah.Aku ngotot kepada orang tua, “Aku ingin sekolah.Aku ingin melanjutkan sekolah.”Aku Tak ada kesedihan yang lebih menyadaridan juga yakin, bahwa orang tuakupun mengguncangkan hatiku, kecuali tangisan menginginkan supaya aku tetap sekolah..”.
dan kesedihan orang tua yang disebabkan
Aku tidak mau orang tuaku bersedih lagi karena tak oleh ulahku mampu memenuhi beban biaya sekolah,seperti ketika aku masih SD. Tak ada tangisan dan kesedihan yang lebih mengguncangkan hatiku, kecuali kesedihan orang tuaku yang disebabkan oleh ulahku. Oleh sebab itu, untuk membantu orangtua memperoleh rejeki, sejak SMP aku ikut menjadi buruh macul di tempat ndoro manten.Ndoro Manten, begitu kita biasa menyebut, bagiku ia adalah orang kaya di kampungku yang sawahnya banyak dan bersedia menerima anakanak kecil usia SD-SMP untuk belajar dan bekerja menjadi buruh mencangkul, babat damen dan pekerjaan-pekerjaan pertanian lainnya. Dari buruh macul itu, aku mendapat upah.Seluruh upahaku serahkan kepada orang tuaku, terserah bagaimana orang tua akan mengaturnya.
Aku tidak bersedih lagi dengan kondisi masa laluku.Bahkan aku bersyukur dengan kondisi masa laluku yang telah Allah berikan untukku.Sebab bila dipikir-pikir, dengan pengalaman menjadi buruh waktu itu ternyata secara tidak disengaja telah memberikan kepadaku pendidikan tentang perilaku tanggung jawab, kemandirian,kerajinan, disiplindan semangat berkompetisi. Aku harus bertanggungjawab dengan hasil tugas babatan-ku atau cangkulanku, itulah hasil kerjaku. Dengan bekerja padaorang lain,secara tidak sadar aku telah belajar membiasakan diri menjadi manusia yang bertangung jawab. Dengan ikut menjadi buruh,aku dididik dan diberi kesempatanmandiri.Sebab dengan bekerja menjadi buruh, aku mendapat upah.Dengan upah itu, aku bisa membantu mencukupi kebutuhanku.Dengan demikian,berarti aku telah membantu meringankan beban orang tua. Melalui kejadian tersebut, aku juga sudah belajar memberi, setidaknya memberi bantuan meringankan beban bagi keluargaku. Dengan menjadi buruh mencangkul, aku tidak tumbuh menjadi anak pemalas.Aku bekerja sebagai buruh mencangkul ketika hari libur atau setelah pulang sekolah - antara waktu sehabis salat Dhuhur dan Ashar. Dari kebiasaan seperti itulah lama-lama aku termasuk golongan anak yang rajin. Di samping itu, disaat aku bekerja terbesit juga keinginan untuk meningkatkan prestasi kerjaku. Aku ingin hasil kerjaan cangkulanku lebih baik dan prestasinya lebih banyak dibandingkan dengan kawan-kawan seumuranku.Dengan hasil seperti itu, aku ingin mendapat upah yang lebih banyak. Mempunyai motivasi kerja seperti ini, lama-lama aku terbiasa untuk selalu meningkatkan hasil kerjaku atau prestasi belajarku.
Aku Memperoleh Beasiswa Di samping aku menjadi buruh dan membantu orang tua, aku berkeinginan pula memperoleh hadiah dari berbagai lomba yang diadakan untuk anak-anak sekolah. Seperti lomba mengarang, penelitian ilmiah, cerdas tangkas, dll.Aku juga ingin memperoleh beasiswa. Walau ingin mendapatkan hadiah dan beasiswa itu sebetulnya menjadi pilihan kedua, utamanya supaya aku bisa memperoleh uang. Bila keinginanku itu terwujud maka cita-citaku untuk bisa sekolah tanpa meminta duit dari orang tua pasti akan menjadi kenyataan. Makin lama kupikirkan, semakin akuyakin bahwa impianku ini akan tercapai.Pokoknya yang selalu ada dalam pikiranku adalah bagaimana agar aku bisa sekolah dengan tidak menyusahkan orang tua! Untuk bisa mendapatkan beasiswa aku harus pintar.Untuk Belajar itu mudah bila tahu caranya. bisa menjadi pintar aku harus mendapat nilai yang bagus. Untuk bisa mendapat nilai yang bagus, aku harus belajar dengan cara yang benar.Aku merasa bukan anak yang pintar, tetapi aku merasa cara belajarku-lah yang membantuku memperoleh nilai bagus.Alhamdulillah nilaiku sangat bagus ketika aku belajar di STM Pembangunan Temanggung. Aku belajar setiap hari.Selesaisekolah, setelah makan dan mengerjakan salat dhuhur aku bekerja sepertimencari pangananuntuk kerbau (damen, rumput), mencangkul atau buruh maculsampai sekitar waktu ashar.Setelah salat ashar, aku biasanya mempunyai waktu santai atau kuisi dengan olah raga sepakbola.
Setelah salat magrib, aku mengaji sampai salat Isyak.Setelah salat isyak baru aku mempelajari mata pelajaran yang diajarkan tadi siang di sekolah (termasuk mengerjakan PR) sampai jam 9 malam.Dari jam 9 malam aku meneruskan belajar sampai jam 11 malam untuk mata pelajaran yang akan diajarkan atau di ulangkan besok. Aku bangun jam 4 pagi.Dari jam 4 pagi aku belajar sampai jam 5.Kemudian aku mandi, bersih-bersih, sarapan dan mengerjakan pekerjaan lainnya hingga jam 6 pagi. Menurutku, cara belajar yang paling tepat adalah cara belajar yang sesuai dengan gaya belajar masing-masing pribadi.Bila kita lebih mudah belajar melalui visual (indra penglihatan) maka lebih banyaklah kita menggunakan cara dengan melihat atau membaca.Tapi bila kita lebih cocok dengan gaya belajar Auditory (indra pendengaran), maka lebih baik kita belajar dengan menggunakan alat pembelajaranyang bisa kita dengar,seperti selalu memperhatikan dengan sungguh-sungguh keterangan dari guru, kaset,diskusi dll. Tetapi bila gaya belajar kita adalah Kinesthetic (Indra gerakan dan sentuhan tubuh) maka lebih baik yang dilakukan adalah dengan praktek dan latihan secara langsung.Intinya belajar itu mudah bila kita mengetahui caranya sesuai dengan tipe belajar kita. Prestasiku di STM Pembanguan Temanggung, alhamdulillah bagus.Aku memperoleh beasiswa prestasi sebesar Rp. 12.000,- per bulan.Beasiswa ini merupakan salah satu impianku sejak kecil. Dengan beasiswa ini aku tidak merepotkan orang tua untuk keperluanku. Biaya sekolahku (SPP) per bulan cuma Rp. 500,- sementara biaya untuk uang saku (sangu) ke sekolah sekitar Rp.100,- per hari atau Rp. 2.400,- per bulan. Total pengeluaranku dalam sebulan hanya sekitar Rp. 2.900,-. Jadi bila dihitung-hitung, aku masih mendapat untung Rp. 9.100,- (Sembilan Ribu Seratus Rupiah).Aku mendapat beasiswa di STM Pembangunan Temanggung selama 3 tahun. Uang beasiswa aku serahkan sepenuhnya kepada orang tuaku. Setiap pergi ke sekolahaku disangoni seratus rupiah oleh orang tua.Dari Ngimbrang akuberjalan kaki ke kedu, membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Dari Kedu aku naik bus ke Maron, dengan ongkos dua puluh lima rupiah, lama perjalanan bus ini sekitar 10-15 menit. Dengan naik bus seperti itu, maka setiap hari uang saku ku masih tersisa selawe (Rp. 25,).Aku tak pernah jajan, kecuali kalau ada acara olah raga, praktikum atau ekstra kulikuler di sore hari. Aku membiasakan untuk selalu menabung.Uang tabungan ini sangat membantu ketika orang tuaku tidak bisa memberi saku kepadaku. Dengan mempunyai uang tabungan, aku juga menjadi merasa aman. Sebab bila sewaktuwaktu orang tuaku tidak punya duit untuk memenuhi kebutuhanku, aku sudah mempunyai cadangan.
Aku Juara II Fisika Tingkat Nasional Sekolah di STM Pembangunan Temanggungterasa sangat berat, sekaligus sangat membanggakan bagi diriku.Sewaktu di STM PembangunanTemanggung, prestasiku cukup bagus, bahkan sampai di tingkat nasional dalam Lomba karya Ilmiah Remaja LIPI-TVRI. Tahun 1982/1983 : Juara Harapan I Kimia Tingkat Nasional LIPI-TVRI
Tahun 1983/1984 : Juara II FisikaTingkat Nasional LIPI-TVRI Tahun 1983/1984 : Juara Harapan Kimia Tingkat Nasional LIPI-TVRI Tahun 1983/1984 : Finalis Lomba Penelitian Ilmiah Remaja DepDidknas Di antara karya-karya penelitian itu, yang paling mengesan bagiku adalah dalam bidang Fisika. Sebab juara I nya ternyata tidak ada dan tema penelitianku sangat menarik, yaitu tentang “Mengapa Akar bambu Bercahaya?” Hasil penelitianku tentang mengapa akar bambu bercahaya, mengungkapkan bahwa akar bambu bercahaya, bukan disebabkan oleh peristiawa fisika yaitu fosporilasi sepertiyang dianggap oleh banyak orang selama ini, akan tetapi disebabkan oleh peristiwa biokimia,yaitu adanya bakteri luminesen. Terkait dalam lomba-lomba ini, aku sangat berterima kasih sekali pada semua sivitas akademika STM Pembangunan Temanggung atas bantuan dan fasilitasnya. Terutama sekali saya ucapkan terima kasih kepada Kepala Sekolahku, yang waktu itu dijabat oleh Bapak Ir. Theo Soemarsono, Laboratorium Mikrobiologi Pak Sri Warsono, Laboratorium Pengawasan Mutu Ibu Sri Paranggonowati dan semua guru-guruku serta rekan-rekan kerjaku. Melalui prestasiku dalam karya-karyailmiah remaja itu, aku dipanggil oleh Rektor IPB waktu itu, Prof Andi Hakim Nasoetion yang juga ketua Yuri Lomba LKIP untuk masuk IPB tanpa tes. Di IPB aku mengambil bidang keahlian Mikrobiologi pada Jurusan Biologi, Fakultas MIPA.
Qua sera-sera Otto Sigit Budianto Kedungdot, Tlogowungu, Kaloran
Ayahberasal dari dukuh Kedunggot, Tlogowungu,Kecamatan Kaloran. Seperti umumnya kehidupan di desa Tlogowungu adalah petani ladang. Seperti juga eyangku Sastro Dihardjo yang lebih dikenalmBah Sastro Surat adalah petani ladang yangmempunyai sedikit kebun Vanili dan Kopi. Seperti Petani tradisionalumumnya, kehidupan ekonomi eyangtentutidak lebih dari cukup atau boleh dibilang sederhana. Sedang Ibu, asli dan dibesarkan di Kelurahan Kertosari Temanggung dari Keluarga sederhana dengan mata pencarian simbah sebagai berdagang Karena menginginkankehidupanlebih baik dikemudian hari, membuat Keluargaku harus pergi merantau keluar jawa, tepatnya kedaerah Lampung. Awalnya ayahseorang Guru SMP di Temanggung,kemudian menjadi Pegawai Negeri Sipil di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasihingga pensiun. Setiap Orang tua akan mengharapanaknya berhasil kelak dikemudian haridengan membekalinya Pendidikanbermutu, dan orang tuakuberpendapatmembekali pendidikan ditanah jawalebih baik. Jadilah aku beserta kakakpergi ke Kota Temanggungmelanjutkan sekolah tingkat SMP, kami masuk di SMP Kanisius Temanggung. Ketika lulus aku melanjutkan ke SMA Negeri di Jl. Kartini, sedang kakakmelanjutkan ke STM Dr. Sutomo. Selama di Temanggung kami tinggal bersama eyang, baik di Kaloran maupun di Temanggung.EyangSastrodihardjo, walauseorang petani ladang di Kaloran, namun beliaumantan pejuang,sehingga setiap sore atau malam, bila ada kesempatanselalu menceritakan saat-saat berjuangmelawan penjajah. Aku sangat senang dan banggatentang sejarah masa mudanya. Eyangtahu benarsejarahsekitar Kaloran, sehinggamampu menceritakan asal usul dan nama-nama dukuh maupun desadi Kec. Kaloran, seperti desa Ngasalan, desa Sapuangin, desa Pringsurat, dukuh Kedunggot dsb. Cerita perjuangan eyang menumbuhkan rasa nasionalisme dan jiwa juang dalam diriku. Intinya, untuk meraih sesuatu harusdengan perjuangan.KenanganmasaSMP maupun SMA cukup berkesan dalam perjalanan hidup. Aku bersama teman-temandari Kaloran, apabila tidak mendapat tumpangan naik Colt atau Chevroletnya pak Indardjo,maka kami beramairamai nglajuberangkat ke sekolahberjalan kaki,melintas dan memotong jalan setapak, karena jalanansebagianbelum beraspal sedang kendaraansangat terbatas. Kami berangkat pukul 4 pagi - membawa obor, laki-laki - perempuan berbarengan sambil bercanda bahkan setengah berlarimenempuh jarak sekitar12 km. Sehingga pukul 6sudah harussampai di sekolah masing-masing demi menyongsong masa depan.Pulang sekolah, terkadang kami bertemu kembali di-stanplat kecil (terminal) jurusan Kaloran,di Rolikuran ataudi Kwaluhan.Kami berjejalan - bergantungan dalam colt atausedan bututyang ketika melaju di turunan mesin sengaja dimatikan untuk menghemat bensin, kata sopir.
Setelah lulus SMA tahun 1980, layaknya teman-teman satu angkatan, sebagian besar kami mengarah ke Jogja dengan tujuan utama UGM karena UGM merupakan simbol lembaga prestisius yang ada di Indonesia kususnya pelajar Jawa Tengah dan Yogyakarta. Maka, aku mencoba memilih jurusan Tehnik Kimia karena menurutku, Kimia terbilang lumayan dibanding pelajaran IPA lainnya. Dengan terlebih dulu mengikuti bimbingan belajar yang bertaburan di kota Jogja, aku semangat untuk bisa mendudukan pantatku di bangku kuliah. UGM!! Seperti umumnya cerita klasik dari desa yaitu alasan pendanaan dan situasi ekonomi yang kurang mendukung karena orang tuaku harus mendahulukan kakak lulus dari STM Dr. Sutomo. Kebetulan lulusnya juga bersamaan, jadi aku harus mengalah dan menunggu tahun depan. Impian untuk kuliah di Jogja pun hanyalah impian sampai sekarang. Di tengah masa penantian, akhirnya aku berangkat ke Jakarta, untuk menunggu setahun kemudian. Ketika itu seorang sahabatku mengajak untuk mendaftar ke Sekolah Penerbang TNI Angkatan Udara yang baru pertama kali di buka untuk umum dari lulusan SMA. Aku pun ikut saja karena sebelumnya aku ini miskin Informasi. Biasanya pemberian motivasi dari senior2 atau kakak kelas hanya sekitar dunia perkuliahan, ataupun yang sering menjadi primadona masuk ke Akabri di Magelang. Setelah mendapat penjelasan dari sahabatku di Jakarta, pada akhirnya aku dapat membayangkan seorang perwira muda dengan seragam Pilot Tempur (Cover-all lengkap dengan emblem bordiran pesawat di kedua dada, dan gambar burung rajawali di lengan) serta kaca mata Rayban turun dari pesawat tempur dengan membawa Crash Helmet, dengan senyum Jaim-nya. Wow, keren… Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Samar samar terdengar lagu lama, lagu favorit gadis idaman yang nggak pernah jadi, hehehe ”..kalau ibuku,..cari menantu…, pilih lah dia, sersan mayorku……dst, Angkatan Udara negaraku,….alangkah gagahnya, …..”
dst,.. Juru terbang
Awal Masa Depanku Aku cukup berbangga hati dan sangat bersyukur, ternyata dari saringan tes masuk yg begitu ketat dengan sistem gugur, di antara 6000 pelamar seluruh Indonesia, aku salah satu bersama empat puluh empat rekan yang terpilih untuk mengikuti Pendidikan Dasar kemiliteran di Pangkalan Udara Adi Sumarmo selama empat bulan. Masuk kawah Candradimuka adalah masa pembentukan, dan penggemblengan fisik, mental, dan disiplin yang cukup ketat untuk menjadi seorang prajurit (Prawira, Jujur dan Irit) yang tahan banting. Bukan hanya kenangan suka maupun duka yang kami dapat, tetapi ditempat ini kami dapat melatih jiwa korsa dan jiwa juang sebagai insan yang nantinya menjadi pagering praja. Aku bersyukur sewaktu SMA aku mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sebagai anggota Pramuka, yang mengajarkan ilmu dasar yang berkaitan dengan kemiliteran. Aku pernah sedikit belajar tali temali, meluncur, camping, lintas medan, jurit malam, membaca
peta, baris berbaris, dll. Kebetulan pada hari Minggu aku juga sering membantu kakak pembina untuk membina adik-adik Pramuka di Kortan (kwaran-red), seperti Kandangan, Tembarak, Ngadirejo, dsb. Aku ingat beberapa temanku di SMA yang latihan bersama di sanggar Pramuka setiap hari minggu ataupun outing camping bersama seperti, Trihadi, Binarko, Agus P, Ninik, Yanti, Susan, Dhani, dan si pinggang ramping, Okhi Dewi, dll, yang sekarang mereka sudah sukses di jalannya masing masing.
….Sayap Tanah Air…. Selesai Pendidikan Dasar, kami melanjutkan pendidikan penerbang di Pangkalan TNI – AU Adi Sutjipto Yogyakarta, untuk melaksanakan fase Bina Terbang, dengan pesawat Piston, pesawat Turbo fan, maupun pesawat jet (untuk yang jurusan Tempur) selama kurang lebih 2 tahun. Di sinilah titik awal perjalanan hidupku. Tidak terbayang sebelumnya aku dapat duduk di kokpit pesawat-pesawat latih tempur TNI-AU. Kami diajarkan untuk terbang dengan manuver- manuver yang cukup heroik, fantastik dan adventure bagi anak-anak muda, seperti Terbang Aerobatik, terbang malam, terbang formasi dengan tiga atau empat pesawat, bahkan menembak, meroket dan mengebom sasaran di arat dari udara dengan pesawat. Di sini kami dilatih untuk menjadi penerbang tangguh yang andal yang nantinya akan menjadi sayap tanah air untuk melindungi kedaulatan negara di udara. Selain itu juga menjadi insan dirgantara yang mampu mengukir langit dan menembus ke luar angkasa!! Saat terbang malam adalah suasana yang cukup indah bagiku, karena terlihat lampulampu landasan berwarna kuning dan biru dan udara yang nyaman. Sementara, lazuardi langit mulai menghilang, terasa damai dan sejuk di hati. Terbang Aerobatik merupakan manuver, yang menuntut keberanan dan skill serta kondisi badan yang prima. Mengapa? Karena kita harus berjumpalitan di udara. Sebagai anak muda yang menyukai tantangan, aku tidak pernah merasa takut, bahkan bangga dan menikmati setiap manuver yang ada. Walaupun hasilnya tidak harus sempurna namun pengalaman yang didapat tidak mudah untuk bisa terulang kembali, termasuk saat kita dihukum oleh instruktur, dengan berlari di pinggir landasan di siang yang terik seraya membawa parasut di punggung seberat 18 kg , sebagai hadiah kegoblokan siswa. Ya kami jalani dengan senang. Sayang setiap pertempuran di udara atau Dog Fight, aku selalu tertembak jatuh oleh musuhku, begitu pula setiap latihan meroket atau mengebom target, aku selalu meleset, sehingga aku tidak bisa masuk ke jurusan tempur, tetapi hanya di Jurusan Transpor. Waktu itu ada tiga jurusan di korps Penerbang yaitu : Tempur, Transpor dan Helikopter.
Wing Day “Wing day”, adalah suatu pencapaian dan kebanggaan seorang kadet Pilot. Pada saat itu Upacara penyematan wing penerbang kelas dua di dada oleh orangtua. Waktu itu, kami, 39 penerbang muda yang berhasil lulus dari 45 siswa yang masuk, berjalan tegap di bawah jajar kehormatan adik-adik lifting dengan pakaian dinas upacara kebesaran. Sementara di udara melintas terbang formasi pesawat pesawat TNI sebagai ucapan selamat telah
melaksanakan pendidikan Candradimuka Penerbang, dan sekaligus sebagai pengantar tugas ke dunia pengabdian sesungguhnya. Aku melihat tetes air mata mengalir ketika ibuku menyematkan wing di dadaku. Aku tidak tahu gejolak apa yang ada di hatinya, yang pasti beliau hari itu bangga, sementara ayahku duduk di podium kehormatan menyaksikan dengan senyum penuh arti. Aku ingat ucapan ayahku waktu aku masih kecil, besok kalau kamu sudah besar, aku sebagai orang tua tidak akan pernah minta materi atau balas jasa dari anak-anaknya tetapi “berikan kebanggaan kepada orang tuamu”. Mungkin inilah jawaban dari yang beliau kehendaki. Selesai pendidikan, aku ditempatkan di Skadron Udara 32, Pangkalan Udara Abd. Saleh di Malang, dengan pangkat letnan muda, dan bertugas untuk menerbangkan pesawat C130 Hercules Angkut Berat. Awal pengabdianku adalah sebagai prajurit pejuang. Sebagai penerbang militer, tugas utama lebih banyak melaksanakan latihan, latihan, dan latihan, baik latihan keterampilan terbang agar selalu siap apabila negara dalam keadaan darurat, atau ancaman dari luar dating dan didukung latihan fisik agar kesehatan tetap prima dan fit. Beberapa latihan keterampilan yang aku jalani sangat beragam. Latihan perorangan sebagai penerbang, latihan bersama dengan satuan lain, atau dengan angkatan lain, latihan dengan matra darat seperti penerjunan pasukan, atau logistik, atau dengan matra laut. Juga latihan gabungan, baik latihan taktis ataupun strategis. Akupun sempat mengikuti latihan bersama dengan negara tetangga seperti Elang Indopura (dengan Singapore), Elang Malindo (Malaysia), Elang Thaenesia ( Thailand) dll, Aku begitu bangga dengan tugas- tugasku sebagai awak pesawat, dan aku sangat mencintai profesiku. Aku juga selalu bersyukur karena walaupun aku bukan orang yang pintar, tetapi selalu beruntung dan sering mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan tambahan. Aku pernah terpilih sebagai salah satu penerbang yg mempunyai kualifikasi sebagai penerbang Airef(Air Refuling). Airef adalah pengisian bahan bakar di udara, di mana pesawat2 tempur yang akan melaksanakan pegeboman ke sasaran yang cukup jauh dan tidak ada pangkalan udara atau yang bisa mendukung tugas tugas operasional. Dengan demikian, dibutuhkan pengisian bahan bakar di udara melalui Pesawat KC (Tank Cargo) Hercules. Nah, di sinilah tugas pesawat KC untuk menambah bahan bakar dengan melaksanakan pengisian bahan bakar di udara dan sekaligus mengarahkan pesawat tempur untuk menuju kesasaran, atau mengisi bahan bakar setelah pesawat tempur kembali dari penyerangan karena bahan bakar yang ada tidak mencukupi untuk sampai ke pangkalan induk. Manuver ini cukup krusial dan berisiko tinggi dan dibutuhkan bukan hanya kerjasama dan skill yang tinggi baik oleh Pilot Pesawat Tempur maupun Pilot Pesawat KC, tetapi juga professional dalam memanajemen navigasi dan flight planning. Selama pengabdian di TNI-AU, beberapa tugas yang pernah aku kerjakan adalah Operasi Penerjunan Pasukan didaerah perbatasan dan daerah objek vital Indonesia, Operasi Bakti, Pengiriman logistik di daerah bencana dan daerah Papua. Aku juga pernah ditugaskan di Bumi lorosae Timor Timur, untuk tugas tugas Recee (pengintaian) dengan pesawat C401/2 Cessna, pada saat konflik dengan pasukan Fretilin. Aku benar-benar terharu ….
Mengukir Langit Tiada Batas
Kehidupan di militer yang terlalu hierarkis kadang membuat hati kecilku bergolak. Jiwaku selalu ingin terbang bebas tanpa batas, menyenangi tantangan dan ingin menjadi diriku sendiri. Karena itu, aku harus mengambil suatu keputusan yang tidak pernah aku sesali, dan anehnya apa yang aku putuskan selalu didukung oleh istriku tercinta yang juga tidak menyukai formalitas dalam berkehidupan, seorang wanita kelahiran kota Surabaya yang menjadi belahan hidupku dan selalu aku kagumi hingga kini, Seorang Ibu yang dari rahimnya yang suci telah melahirkan ke tiga putra-putriku: Yogi, Aries, dan Yossy, yang semua nya kini sedang mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi dan juga sangat mengagumi dan menyayangi Ibunya. Anak-anak adalah harta karun yang tak terhingga yang diberikan yang Kuasa kepada kami untuk selalu menjaganya,.. Thanks to the God.. Setelah sepuluh tahun mengabdi di TNI-AU, dengan berbagai pertimbangan aku memutuskan tidak melanjutkan karierku di militer dan beralih profesi ke penerbang Airlines. Banyak yang menyayangkan bahkan tidak sedikit yang tidak menyetujui keputusanku ini, termasuk Komandan Satuan tempat aku bertugas. Namun kemudian aku menyadari keputusanku belakangan banyak yang mengikuti dan tidak pernah aku sesali. Pengambilan keputusan adalah suatu keberanian moral dan mental untuk bisa mempertanggung jawabkan dan merupakan suatu sikap Leadership dari seseorang. Pertama kali sebagai Pilot Airlines, aku merasakan filsofinya sangat berbeda dengan Pilot Militer, baik dalam doktrin tugas maupun operasional. Yang sama hanyalah sama-sama menerbangkan burung besi di udara. Dalam setiap perbedaan aku selalu memandang ke depan secara positif. Aku melihat adanya opportunity untuk bisa menjadi peluang dan uang. Secepatnya aku harus beradaptasi dengan lingkungan tugasku. Modal awal sebagai Pilot Airlines yang aku punya hanyalah skill sebagai penerbang yang aku dapatkan baik di Jogja ataupun di Malang Setelah mendapatkan Comercial Pilot License (CPL) maupun ATPL (Airlines Transport Pilot License) aku bergabung ke salah satu penerbangan swasta nasional yang ketika itu sedang naik daun dan menjadi icon penerbangan Indonesia, yang mempunyai tag lines ”We mean Business”. Aku dikirim untuk mengikuti pelatihan pesawat boeing 737 seri 200, di Kuala Lumpur. Saat itu aku tidak banyak mengalami kendala yang berarti dan akupun lulus jadi Copilot atau First Officer. Bermula dari copilot dengan dua bar, aku tidak pernah berpikir untuk berkarier lebih cepat. Yang ada di benakku, aku harus menjalankan tugasku sebaikbaiknya dan bersyukur karena bisa mendapatkan penghasilan tiga kali lipat dari gajiku sebelumnya. Selain itu, juga lingkungan kerjaku lebih style dan dikelilingi pramugari yang cantik- cantik (hahaha … GeEr nh ye..). Dirgantara dan angkasa begitu luas dan indah. Aku begitu menikmati permainan di udara. Banyak tantangan yang ingin aku tundukkan. Untuk mewujudkan hal tersebut aku harus kreatif dan innovatif serta ekstra kerja kera sebagaimana istilah “no lunch free”, tidak ada perjuangan tanpa hasil. Aneh memang. Tetapi belakangan aku menyadari bahwa semua itu sudah menjadi lakonku yang harus aku jalani.
Kepakkan Sayap Lebih Luas..
Setelah empat tahun terbang di penerbangan swasta nasional, aku ingin mengembangkan karierku di pesawat yang lebih modern baik dalam sisi teknologi maupun dari sisi performance. Aku ingin bisa melihat dunia luar secara lebih nyata sehingga aku ingin bekerja di perusahaan penerbangan kelas dunia. Ya, semuanya harus dicapai dengan perjuangan, doa dan dukungan Istri tercinta (selain unsur luck..). Berbekal Bahasa Inggris yang minim (walaupun aku pernah kuliah di Sekolah Tinggi Bahasa Asing di Malang), aku mencoba menundukkan dan mencari karier di dunia penerbangan internasional. Target pertama adalah perusahaan penerbangan nasional milik pemerintah Malaysia (Flag Carrier), yaitu MAS: Malaysian Airlines System yang berpangkalan di Kuala Lumpur. Kami bertiga dari Indonesia berhasil lulus seleksi dan diterima di MAS. Dan diantara kami bertiga aku menjadi yang pertama lulus sebagai Captain. Dalam mengikuti sistem pelatihan, awalnya aku merasa kesulitan di negeri bekas koloni Inggris ini, karena beda culture dan system. Ditambah banyaknya tenaga kerja Indonesia yang bekerja di bidang unskill, membuat negeri jiran ini memandang sebelah mata terhadap tenaga professional Indonesia. Kurang lebih setahun aku di Malaysia, krismon melanda negara-negara Asia termasuk Indonesia. Perusahaan Sempati Air colaps, semua kru di-PHK dan jobless. Aku sedih mengetahui situasi yang tidak menyenangkan tersebut. Bahkan aku mendengar ada teman seprofesiku beralih profesi sebagai sopir taksi hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok. Sementara aku terbang di luar negeri, diselamatkan oleh Yang Gawe Gesang, aku tidak terkena dampak krismon, bahkan pengasilanku naik beberapa kali lipat. Aku bersyukur karena aku terlepas dari krisis, mungkin karena waktu itu aku mengikuti kata hati, sehingga aku terselamatkan, Setelah menyelesaikan kontrak dengan Malaysia Airlines aku semakin melihat dunia luar makin dekat, indah dan menantang. Aku melamar di perusahaan yang punya tipe pesawat lebih modern dan bergengsi. Aku mencoba ke Mandarin Airlines, anak perusahaan China Airlines yang berpangkalan di Taipeh, Taiwan untuk mengambil rating pesawat Boeing 737 NG. Di Taiwan aku hanya bertahan setahun sebelum kemudian aku masuk ke perusahaan kelas dunia Singapore Airlines. Di sini penerbang ekspatriat seluruh kewarganegaraan hampir terwakili. Tempat ini aku jadikan sarana untuk menguji keprofesionalan diriku sebagai airlines pilot, apakah aku mampu duduk sama rendah atau berdiri sama tinggi teradap semua awak pesawat yang ada di perusahaan ini, sebuah perusahaan yang mempunyai standar cukup tinggi, atau istilahnya “Kiatsu”, “No room for Error.” Di sini aku masuk dan belajar dan terbang pesawat Wide Body Airbus 310 dan aku tinggal di kota sekaligus negara yang tidak lebih besar dari Jakarta, namun devisa negaranya beberapa kali dari Indonesia-Singapura. Aku begitu bangga terhadap profesiku. Dunia makin mudah aku taklukan. Dengan semboyan Napoleon Banaparte, Vini, Vidi, Vici, aku menaklukkan dunia penerbangan. Panggilan hatiku menuntun aku kembali ke tanah air. Aku mendapat tugas dari salah satu pemerintah daerah untuk men-set up perusahaan penerbangan di Indonesia. Awalnya aku gagap duduk dibelakang meja. Bagaimana tidak? Aku biasa bekerja di ruangan cockpit yang banyak dengan tombol-tombol maupun instrumen mesin, listrik maupun instumen navigasi yang merupakan pusat syaraf pengendali pesawat terbang. Kadang aku sangat merasakan
betapa tiada berartinya manusia dibandingkan dengan ciptaan Illahi, yang begitu Mahakuasa dan sempurnanya. Di sini aku banyak belajar, ternyata selama ini aku terlalu egois dan merasa menjadi superman, terbukti aku harus banyak belajar lagi, khususnya bagaimana me-running sebuah perusahaan penerbangan. Kemampuanku di managemen penerbangan sempat menjadikan Head Hunter untuk membidik dan merekrut untuk membuat perusahaan penerbangan baru di Indonesia dan aku diberi kepercayaan untuk menduduki posisi salah satu Board of Director. Sebagai seorang instruktur penerbang aku sudah banyak mencetak siswa-siswa penerbang menjadi pilot-pilot handal yang sekarang telah menyebar di beberapa maskapai penerbangan yang ada. Selain itu aku sering mendapatkan tugas-tugas yang cukup membanggakan dan menantang. Sebagai contoh aku pernah menjadi ketua tim awak pesawat dan satu satunya pilot yang menerbangkan/membawa kepala-kepala negara Asia Afrika dalam rangka mendukung 50 Tahun KAA di Bandung di luar maskapai flag Carrier Garuda . Aku juga pernah ditugasi sebagai pilot airlines pertama yang membawa 170 tim relawan masuk ke Bumi Serambi Mekah pada saat terjadi tsunami besar melanda negeriku. Ketika itu sarana penerbangan sangat minim dan semua dalam kondisi darurat, baik landasan beserta sarana dukungnya termasuk lampu lampu landasan, ataupun pengatur lalu- intas udaranya. Aku terbang bersama pilot terpilih lainnya. Take-off langsung dari bandara Soekarno-Hatta pukul 22.00, menuju Bandara Sultan Iskandar muda yang sudah porak poranda. Ketegangan terjadi ketika aku mau mengurangi ketinggian jelajah tetapi menara ataupun petugas traffic udara tidak bisa menghandel pesawat dikarenakan sarana radio pengontrol/ATC: Air Traffic Controller tidak mendukung. Aku berputar-putar dan harus mengatur penerbangan pesawatku. Pada saat yang bersamaan aku juga harus memantau pergerakan pesawat lain yang cukup padat karena saat itu banyak yang akan mendarat untuk membawa bantuan darurat bagi korban bencana tsunami. Aku betul-betul tegang dan stress karena kesulitan mendapatkan slot untuk mendarat. Namun pada akhirnya aku bisa mendaratkan pesawat dengan sisa bahan bakar yang sangat minim. Tugas kemanusiaan telah aku jalankan dengan membawa 170 tim relawan untuk membantu saudaraku yang terkena korban tsunami. Sikap tegas dan tidak mau berkompromi dengan hal-hal yang menyangkut dengan safety penerbangan menjadikan aku kadang harus bertabrakan dengan kebijaksanaan dari owner perusahaan yang hanya berorientasi kepada bisnis semata. Ini menjadikan aku harus mengundurkan diri dari perusahaan yang telah aku rintis mulai dari nol, hingga menjadi perusahaan nomor tiga terbesar di negeri ini. Dengan alasan beda prinsip, aku harus mengundurkan diri dan kembalilah aku ke-habitat-ku di-cockpit sebagai pilot dan mulai terbang ke luar negeri lagi.
…Kembali ke Habitat… Kembalilah aku ke internet. Aku mulai rajin membuat lamaran. Sasaranku adalah perusahaan penerbangan di luar negeri karena aku ingin menjadi pegawai nternasional. Aku mau menjadi Expatriate Pilot, menjual profesiku dengan gaji yang tinggi seperti yang pernah aku jalani. Qatar Airways di Timur Tengah dengan pesawat- pesawat baru, modern
dan wide body terbang lintas benua, dan Pacific Airlines di Asia Timur memberi kesempatan bagiku untuk bisa bergabung, tentunya setelah melalui proses seleksi yang cukup ketat. Aku memilih pilihan kedua, karena di perusahaan ini aku masih diberi kesempatan untuk bisa duduk di managemen sekaligus sebagai instruktor pilot (belakangan aku menyadari tidak banyak pilot dari Indonesia yang bisa dan diberi kesempatan untuk duduk di management atau menjadi instructur di luar negeri), Mungkin ini hikmah yang aku dapat dari cobaaan yang pernah aku dapatkan. Di usia yang relatif belum tua, perjalanan panjang sudah aku lalui. Dari sisi profesi, aku pun sudah mencapai karier sebagai seorang pilot, bukan hanya sebagai kapten pilot, dengan bar empat di pundak, tetapi aku sudah menjalani profesi sebagai instruktur pilot lengkap (Ground Instruktor, Simulator Instuctor, Fligt Instruktor, maupun Checker Pilot) bahkan sebagai Test Pilot (dimana aku harus melaksanakan Test Flight/terbang pesawat yang baru menyelesaikan perawatan, sehingga laik dan certified), sudah aku capai. Di Luar negeri pun aku pernah diberi tanggung jawab sebagai Foreign Pilot Recruitement bagian dari tim rekrutmen pilot-pilot asing termasuk pilot dari Asia, Eropa maupun Amerika. Tentunya semua dengan kompensasi penghasilan yang cukup besar bagi orang Temanggung seperti aku. Ketika aku melanglang buana ke negeri ginseng, anak-anakku sudah kuliah dan aku tinggal di Seoul seorang diri. Tiga minggu sekali aku balik ke Indonesia, selain istriku setiap bulan datang kesana. Keluargaku tinggal di Jakarta. Kebetulan mempunyai talenta yang sungguh dahsyat. Usaha Istriku maju pesat, sehingga mengharuskan aku untuk membantu usaha yang sudah dirintis. Kebetulan tidak jauh dari bidang industri penerbangan. Jadilah Virtual Management bersama Tatik untuk membesarkan usaha, diantara lebih dari seratus karyawan yang ada. Aku senang karena hidupku bisa berarti buat orang lain. Di usia yang sudah kepala lima, aku jadikan terbang bukan lagi sebagai profesi, melainkan sekedar hobi. Saat ini aku terbang di perusahaan private yang berpangkalan di Halim Perdanakusuma Int’l Airport untuk menerbangkan pesawat privat jet jenis Challenger 6013A maupun Legacy-145 yang kapasitasnya tidak lebih dari 12 seat. Aku banyak menerbangkan orang-orang VIP, baik orang pemerintahan, bisnisman, politisi, ataupun orang-orang kaya yang ingin berpergian secara privat dengan pesawat mewah dan pelayanan khusus. Bukan hanya terbang domestik Indonesia, atau kota -kota besar Asia, tetapi juga sampai kedaratan Amerika dan Eropa. Dunia penerbangan dunia semakin kecil, cantik dan makin indah menawan, seindah senyum pramugariku yang selalu mengawal tugas-tugasku.
…….Banjar Wijaya, Tangerang, 5 April 2012……….
SEMANGAT BESAR DARI KOTA KECIL PRAMESTI GRIANA DEWI Mbendo, Kertosari, Temanggung “Temanggung itu di mana ya?, apa di Jawa Timur ?” Pertanyaan itu yang sering terlontar ketika pertama kali aku bertemu dengan kenalan baru. Dalam hati aku menggerutu ,“Apa memang kotaku yang terlalu kecil atau orang ini yang kurang gaul sih?” Setahuku, sejak dulu rasanya kotaku ini cukup terkenal. Ya, sebagai kota terbersih maupun sebagai penghasil tembakau berkualitas dunia. Hem... Tapi mungkin itu belum cukup membesarkan nama Temanggung. Masa Kecilku Temanggung di masa kecilku benar-benar pantas mendapat predikat kota kecil terbersih seJawa Tengah atau mungkin malah se-Indonesia. Ini memang pantas karena sejak masuk gerbang timur kota di Kowangan, mata kita akan dimanjakan dengan taman hijau dan jalan serta trotoar yang tertata rapi, lengkap dengan ciri khas fondasi batu bulat berdicat kontras hitam putih. Jalan kabupaten dan gang-gang kecil semuaberaspal mulus. Pasar Lor dan Pasar Kidul yang dibelah oleh jalan raya juga terbilang rapi dan bersih, untuk ukuran sebuah ‘pasar besar’. Di kota itulah aku terlahir di tengah–tengah sebuah keluarga besar. Kami 8 bersaudara, aku nomor 6. Bapak, Pangarso Padmowiharjo,seorang PNS di Dinas Pertanian Magelang, sedang ibu, Wahyumurti, seorang pendidik di SMPN 1 Temanggung. Kami tinggal di Jalan Jend.Sudirman 126, di Dusun Bendo, Desa Kertosari, Kecamatan Temanggung. Rumah kami di pinggir jalan utama kota. Aku selalu merasa bangga dengan kesejukan dan keindahan kotaku ini. Setiap ada kesempatan mengajak teman-teman dari luar kota untuk berkunjung ke rumah selalu kusempatkan membawa mereka jalan-jalan di sekitar rumah. Di depan rumahku ada mata air alam yang selalu memancarkan air jernihnya sepanjang waktu. Namanya Kali Rowali. Disana dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk mandi, mencuci dan segala aktivitas harian. Jalan menuju ke mata air itu menurun cukup terjal, dengan pemandangan sawah luas di kiri kanannya. Kalau sudah terlihat pohon beringin besar di bawah sana, berarti sudah hampir sampai di mata air Kali Rowali itu. Sejuk sekali air yang menggericik dari pipa-pipa bambu disitu, ditambah hembusan lembut angin sepoi di daun-daun beringin, sungguh sangat damai dan menyenangkan. Masa kecilkulewati dengan penuh keceriaan. Jam bermain selalu kuluangkan bersama kakak-kakak, adik dan tetangga. Yang paling seru adalah bermain di Gumuk Lintang, sebuah bukit kecil yang terletak di sebelah timur rumah. Di sana kami bisa mendaki sedikit untuk sampai di puncaknya, dan dari puncak akan terlihat pemandangan indah berupa rumah-rumah kecil dan jalan raya berliku. Yang sangat terkenal dari Gumuk Lintang inipohon asem landa(asam belanda, mungkin untuk membedakannya dengan asam jawa),
cukup banyak tumbuh di puncaknya. Biasanya kami akan berlomba mencari buah asem landa masak yang jatuh sendiri dari pohon. Ataunyenggeti memakai bambu panjang. Buahini hijau kulitnya namun bila sudah matang kuning. Isinya beberapa biji berwarna putih. Rasanya manis-manis asam, enaakk...sekali. Maklum, waktu itu segala makanan hanya ada 2 rasa: enak dan enaaak sekali. Hehe... Permainan masa kecil juga tidak kulewatkan bersama teman-teman sebayatetangga di sekitar rumah. Kami sering bermain sepak sekong, yaitu semacam petak umpet dengan menggunakan bola sepak sebagai penanda anak yang mendapat giliran untuk jaga. Biasanya anak-anaklebih besarmempermainkan anakterkecil sehingga dia terpaksajaga berkali-kali,“dikungkum sak bubare”. Kalau sudah begitu, si anak terkecil lama-lama sadar dan memilih menangis, lalu pulangmengadu kepada ibunya.Maka selesailah permainan hari itu. TK dan SD dekat rumah Awal usia sekolahku diTK Cor Jesu yang berlokasi di dekat rumah. Sistem pendidikan di situ sangat menonjolkedisiplinannya. Salah satu yang masih kuingat adalah kebiasaanmencuci tangan sebelum masuk kelas setelah waktu istirahat. Di depan kelas disediakan ember besar berisi air, lalu anak-anak berbaris antre cuci tangan satu-satu. Walaupun cara itu belum sesuai dengan kaidah hygiene perorangan karena air yang dipakai bukan air mengalir, tetapi prinsip kebersihannya sudah bisa diterima untuk masa itu. Di dalam kelas biasanya sudah tersedia segelas susu murni dan kudapan untuk kami santap bersama. Nikmat banget! Saat ini, 35 tahun kemudian, ternyata membiasakan anak-anak untuk cuci tangan dengan benar masih menjadi tugas besar bagi para pendidik dan petugas kesehatan. Jangankan di pelosok desa, di kota kecamatan ataupun kota kabupaten sekalipun masih ada sekolah yang belum punya wastafel atau tempat cuci tangan yang betul. Sebenarnya bisa diupayakan wastafel sederhana, yaitu semacam padasan (tempat mengambil air wudu) dari ember plastik atau gentong kecil, sehingga air untuk mencuci tangan adalah air bersih yang selalu mengalir. Di TK dua tahun, lalu melanjutkan ke SD di kompleks itu juga, SD Pangudi Utami. Di sekolah inipun kedisiplinan sangat diutamakan. Ketika itu guru pengajarsemua wanita dan masih single. Para guru selalu sanggulan (menata rambutnya dengan menaikkan ke bagian belakang kepala), rapi, cantik dan berwibawa. Entah mengapa di usia sangat dini itu aku begitu terkesan dengan kerapian dandanan guru-guruku. Sampai ketika duduk di kelas 4 kami pernah disuruhbu gurumembuat karangan bebas. Dengan penuh semangat aku memilih judul “Guruku”. Aku tumpahkan segala kesan, penilaian dan pendapatku tentang bu guru yang mengajarku-termasuk sanggulnya. Eeee…ternyata paginyadimintabu gurumembacakan karanganku itu di depan kelas. Wah malujadinya, sebab rasanya seperti sedang ngrasani di depan beliau dan teman-teman sekelas. Ha ha ha… Di kelas 5 aku dididik seoranggurusangat intens mendorong semangat kami untuk berlomba-lomba berprestasi. Salah satu caranya dengan memasang nama anak yang nilai pelajarannya tertinggi, setiap minggu. Suatu kali, di awalpelajaran prakarya kami disuruh membuatpapan nama terbuat dari kertas karton dengan nama kami masing-masing. Setelah dinilai satu-satu, tiba-tiba bu guru menyuruhku membuat 1 lagi. Mungkin karyaku kurang bagus pikirku. Namun sudah kuserahkan yang ke-2 - ternyata masih harus membuat 1 lagi. Wah kenapa ya?. Hari Senin
baru terjawab, ternyata 3 buah papan namaku terpasang semua di daftar nilai tertinggi, untuk mata pelajaran Matematika, IPA dan Bahasa Indonesia. SMP Gumuk Lintang Kami sekeluarga“pelanggan setia” SMP Negeri 1 Temanggung, letaknya di Jalan Kartini, dimana halaman belakangmenyatudengan Gumuk Lintang. Saking dekatnya jarak rumah ke sekolah, kami hafal dengan jalan-jalan “alternatif” menujusekolah. Bahkan kalau berangkat sekolah kesiangan, kami bisa mbludhus pager, nerobos lewat jalan kecil di samping makamlangsungpintu belakang sekolah. Aku dan seluruh kakak-adikku melewati masa SMTP di SMP ini. Disamping ibusudah mengabdipuluhan tahun hingga pensiunnya, rasanya SMP Gumuk Lintangbenar-benarseperti “rumah kedua” bagi kami sekeluarga. Kadang, ingatanku berputar kembali ke masa-masa tahun 78-79saat aku duduk di kelas 2 SMP. Dengan usaha dan keberuntunganku alhamdulillah aku terpilih menjadi juara 1 Pelajar Teladan SMP tingkat kabupaten Temanggung dan berhak maju ke lomba serupa di tingkat provinsi Jawa Tengah. Di BPG Srondol Semarang aku dan wakil dari seluruh kabupaten seJawa Tengah berlomba menampilkan kebolehan kami masing-masing, baik di bidang akademis maupun ketrampilan non akademis. Masih teringat jelas saat itu aku tidur sekamar dengan wakil dari salah satu kabupaten ternama. Dia membawa buku banyak sekali. Aku sampai heran, bengong dan ‘mengkeret’. Sedang aku hanya membawa satu buah prakarya yang akan kutunjukkan ke juri besok. Dengan polosaku sempat bertanya“Apa nanti buku-bukunya juga dinilaimbak...?”. Alhamdulillah juri berbaik hati padaku, ternyata yang dinilai bukan banyaknya buku yang dibawa, sehingga pada saat pengumuman akuberbesar hati karena berhasil meraih juara 2 Pelajar Teladan SMP Jawa Tengah. Lumayan… Juara 1dari kabupaten Kudus, cowok (nantinya, saat kuliah kami menjadi teman seangkatan di UGM). Sedang juara 3bukan temanku sekamar yang bawa buku banyak tadi…. Suatu hari aku dipanggil ke ruang Kepala Sekolah, ternyata disana sudah menunggu seorang wartawan surat kabar akan mewawancaraiku. Itulah pengalaman perdana diwawancarai wartawan, grogi banget. Ketika ditanya cita-cita, aku jawab sekenanya saja – “dokter”. Eeeh ternyata dikejar Tanya oleh si wartawan “dokter apa ?”, Wah,dokterapa aja ya pikirku ? Sekejap ingat praktikum biologi tadi pagiacaranya membelah perut kodok untuk melihat-lihat organ dalamnya.”Dokter ahli penyakit dalam”jawabku mantap. Belakangan barutahuDokter Ahli Penyakit Dalam itu TIDAK PERNAH membelah perut orang untuk melihat-lihat organ dalamnya...hahaha. Masa Indah SMA Setelahkelulusan SMPtiba saatnyahunting mencari sekolahlanjutan. Sesuai “tradisi”keluarga, lulusSMPN 1ya… pasti lanjut ke SMANdi Jalan Kartini, satu-satunya SMA Negeri di Temanggung. Awalnya aku juga mengikuti tradisi keluarga, ikut tes masuk SMAN Temanggung. Sehari setelah tes, aku baca pengumuman tes untuk masuk SMA 1 Teladan Yogyakarta. Tiba-tiba terbersit dalam benakku, “Kaya apa sih sulitnya tes masuk SMA Teladan Jogja ?”. Yang namanya SMA Teladan Jogjajauh diangan. Sekolah paling favorit di kota pelajar Yogyakarta. Yang diterima siswa-siswa pilihanpasti tes masuknya sulit sekali. Entah ada
kekuatan dari mana, tiba-tiba aku memberanikan diri maturibu, apaboleh ikut tes di SMA Teladan Jogja. Ibu sebenarnya agak keberatan, tapi aku berusaha meyakinkan beliau bahwa aku cuma pengen nyoba, pengen tahu kaya apa tes masuk SMA Teladan itu. Kalaupun diterima tidak akan masuk kesana, begitu kilahku. Alhamdulillah, ternyata tes masuk SMA Teladankulalui, namaku tercatat dalam pengumuman. Wah,eman-eman juga kalau nggak dimasuki ya... Akhirnya dengan bantuan provokasi dan “komporisasi” dari mbakyu yang sudah kuliah di Jogja, akhirnya Bapak Ibu mengizinkan aku sekolah di SMA Teladan Yogyakarta. Hari pertama masuk,hari Senin, upacara bendera di halaman sekolah. Selesai upacara ada pengumuman juara-juara kelas, dari kelas 3, kelas 2, dan juga...kelas 1 yang baru masuk, yaitu 3 besar nilai tes masuk kemarin. Ketika dipanggil rank (peringkat) ke 1, seorang siswa putra lulusan SMPN 5 Yogyakarta. Gemuruh tepuk sorak dari kakak-kakak kelas 2 dan 3. Selanjutnya dipanggil rank ke 2, ”Pramesti Griana Dewi, dari SMP Negeri 1 Temanggung”.“Huuuuuuu....!!!” sorakanterdengar jelas di telingaku. Sorakan kecewa-kah ? Nggak percaya-kah ? Melecehkan-kah ? Atau nggak tahu Temanggung itu dimana ?, entahlah … Sedikit rasa sedih dan kecil hati melingkupiku, apakah aku bisa bertahan di sekolah ini? Apakah aku bisa diterima di sekolah ini? Sekolahsangat asinguntukku. Jauh dari rumah, jauh dari orang tua-kakak adik, tidak ada seorang pun kakak kelas atau guru yang kukenal. Akan jauh berbedajika aku masuk SMAN Temanggung. Disana pasti sudah banyak yang mengenalku, kakak-kakakku, atau bahkanmenjadi murid ibuku di SMPN 1 Temanggung. Namun disini aku harus tegak berdiri membawa panji-panjiku sendiri. Mampukah aku mengibarkan benderaku sendiri ? Cukup kuatkah kakiku melangkah di lingkungan asing ini sendiri ? Tiga tahun berlalu, alhamdulillah tanpa halangan berarti, sesuai “tradisi” lagi, kurang lebih 80 persen lulusan SMA ini diterima di jalur Perintis 1 (sistem penerimaan mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri waktu itu). Aku bersama 7 orang temanku seangkatan lolos ke Fakultas kedokteran UGM. Kami berjanji waktu pengembalian fomulir pendaftaran sehingga nomor mahasiswa kami bisa agak berurutan (he he....sampai kepikir segitunya yaa..). Dan patut dibanggakan bahwa ada beberapa putra Temanggung yang berkesempatan menuntut ilmu di bangku kuliah FK UGM ini.Seangkatanku, ada dik Nanung (Nurhayati, putri bapak Soekadi Joewono Kauman), adik kelasku ada Vita Nur Aeny (putri ibu Larsi guru SMPN 1) danada adik kelas yang juga adik kandungku sendiriDewi (Pramestiamurti Karunia Dewi). Di tahun-tahun selanjutnya pasti masih ada nama-nama lain putra-putri Temanggung yang pernah, atau saat ini sedang kuliah disini. Iniharus menjadi pemicu dan pemacu semangat adik-adikku yang sekarang masih duduk di SLTP/SLTA. Tidak ada yang tidak bisa, tidak ada yang tidak mungkin. Kalau kita bertekad bulat untuk meraihnya, semua akan terwujud. Putra-putri Temanggung, kota kecil yang kita cintai ini, punya semangat besar yang akan menjadi mesin pendorong menuju tercapainya setiap mimpi. Keterbatasan fasilitas bukanlah alasan untuk tidak menggantungkan cita-cita kita tinggi di atas. Segala keterbatasan bisa diatasi dengan kemauan, tekad dan semangat besar untuk maju dan terus berjuang. Hal-hal yangsekarang initidak mungkin, belum tentu di masa datang tetap demikian. Bahkan bisa berbalik menjadi sangat mungkin.Kuncinya, ada di tangan kita masing-masing…
Bengkulu-Temanggung Wisuda dokter tahun 1989masih secara otomatis diangkat menjadi CPNS tetapi harus mengikuti Wajib Kerja Sarjana (WKS). Awalnya aku gamang menentukan pilihan,pilih daerah mana ? Di Jawa apa di luar Jawa ? Almarhum Bapakmenyarankan untuk pilih Jawa Tengah saja (nggak nantang banget pilihannya yaa...he he). Tetapi...subhanallah, ternyata Allah telah menuliskan jalan hidupku sedemikian rapi. Belum sampai terbit SK pengangkatan,aku dipertemukan dengan laki-lakijodohku, teman seprofesi alumni FK UNPADasliBandung. “Jadian”6 bulan, Allah mengizinkan kami menikah. Langsung aku diboyongmengikuti WKS-nya diBengkulu. Jauh, sepi, asing, sendiri, dan serba prihatin. Tapi karena masih masa honeymoon yaa....enjoy aja lagee...he he… Empat tahun di Bengkulu,suamimendapat kesempatan melanjutkan pendidikan spesialisasi Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan di UGM. Kamipun boyongan pulang ke Jawa. Suami kos di Jogja, aku dan Anja anak sulungku belok ke Temanggung. Pertimbangannya, kalau di Temanggung mungkin aku bisa praktik demi menyambung hidup, maklum suami tidak akan bisa praktik selama pendidikan. Aku mendapat tempat di Puskesmas Ngadirejo 4 tahun dan di Puskesmas Bejen 1 tahun, tapi tempat tinggalku di rumah dinas RSI Kedu sebab aku juga membantu praktik disitu. Rencana kami semula setelah setahun atau dua tahunakan menyusul mengambil spesialisasi. TapiTuhan menetapkan lain. Di tahun ke-3 kami dianugerahi anak ke-2, seorang putri cantik yang sudah kami tunggu selama 5 tahun. Akhirnya rencana mengalami “modifikasi”, aku memilihmelanjutkan ke jenjang S2 saja. Kebetulanada penawaran beasiswa dari proyek HP5 untuk studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat di FK UGM. Setelah mengikuti seleksicukup ketat, aku mendapat kesempatankembali ke kampus, studi Pasca Sarjana jurusan IKM minat utama Manajemen Pelayanan Kesehatan. Rencana Tuhan memang selalu indah. Suami selesai spesialis, aku selesai S2, Anja juara kelas di SD 2 Kedu, Dwinda mulai belajar sekolah di TK ABA Kedu. He he he, indah yaa... Ganti KTP Cilacap Tiba saatnya penempatan dokter spesialis. Setelah survei beberapa tempat dan terbit SK Penempatan, maka Bismilahirrohmannirrohiim....kami memulai hidup baru di kota baru, Majenang, sebuah kota kecamatan di Kabupaten Cilacap. Benar-benar episode baru dalam perjalanan hidup kami sekeluarga, sebab suamiku sekarang bisa mengembangkan kemampuan dengan lebih maksimal. Berawal dari klinik bersalin kecil di garasi rumah dinas kami, kemudian berkembang menjadi Rumah Sakit Bersalin Duta Mulya dengan 25 tempat tidur pada tahun ke-4dan sekarang insyaallah akan kami kembangkan menjadi Rumah Sakit Ibu dan Anak dengan kapasitas 50 tempat tidur. Kenikmatan Allah sungguh tak terhitung banyaknya. Di tahun ke delapan kami tinggal di Majenang,alhamdulillah kamimenempati rumah disamping Rumah Sakit Bersalin, sehingga suami tidak perlu lagi jauh-jauh meninggalkan kamar tidur pada saat ada pasien yang memerlukan tindakan di malam hari. Setahun tinggal di rumah baru, Allah menganugerahkan amanah yang luar biasa indahnya, aku melahirkan anak ke-3 di usia yang ke 45. Subhanallah walhamdullillah...syukur yang tiada habisnya Ya Rabb... Musibah Terberat
Waktu terus berjalan, Anja sudah lulusSMA Taruna Nusantara Magelang dan kuliah di FK UGM. Dwinda masukSMP Semesta Semarang dan tinggal di asrama sekolah - Gunung Pati. Saat itulah Allah SWT menurunkan musibah dan cobaan terberat bagi kami sekeluarga. Diya, putri kecil kami dipanggil ke hadiratNya di usia 2,5 tahun. Sungguh,cobaan yang teramat berat Ya Allah.Diya Kau panggil di saat-saat terindahnya, di saat bicaranya mulai lancar, di saat segala tingkahnya lucu menggemaskan, di saat semua yang mengenalnya sayang padanya. Tanpa tanda-tanda sebelumnya, tanpa penyakit yang terlalu parah, tanpa penderitaan yang berkepanjangan. Kau ambil Diya dari pelukan kami, Ya Allah.(Semoga Allah menempatkannya di surga mahaindah…Amin). Luar biasa dalamduka kami, Ya Rabb.... Namun kami harus kuat dan ikhlas menerima. Kamiyakin Ya Rabb.. Engkau Maha Menentukan, Engkau Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk kami. Kamiyakin Ya Rabb.. Diya sudah bahagia di sisiMu, Diya yangsuci, Diya yangcantik, Diya yang amat kami sayangi, pasti sedang bergembira bermain bersama para malaikat pengasuhnya di taman surgaMu. Ya Rabb.. Ijinkan peluk cium kami selalu menebar untuk Diya, Kami semua,selalu menyayanginya. Ya Rabb.. Ya Rahman Ya Rahiim... Ampunilah segala dosa dan kesalahan kami, Izinkanlah kelak kami bertemu-berkumpulbersama Diya dan semua yang kami sayangidalam surga abadiMu....amiin
Majenang, 18 Maret 2012 Pramesti Griana Dewi Pangarso (Rina) PRAMESTI GRIANA DEWI TK Cor Yesu, SD Pangudi Utami, Temanggung, lulus tahun 1977 SMP Negeri 1, Temanggung, lulus tahun 1980 SMA Negeri 1, Yogyakarta, lulus tahun 1983 Untuk adik-adikku pelajar: "Segala hal yang sekarang terlihat besar pasti dimulai dari hal kecil. Semua orang yang sekarang dianggap orang besar, dulunya juga pernah menjadi orang kecil. Jangan pernah kalah sebelum berperang. Jangan pernah menyerah sebelum berjuang. Tuhan menyayangi orang-orangtidak kenal lelah dalam berusaha dan berupayamendapatkan hal terbaik bagi dirinya, keluarganya dan masyarakatnya." Kepada Bapak dan Ibu Guru: "Walau tanpa tanda jasa apapun, Bapak dan Ibu Guru akan
tetap selalu menjadi Pahlawan di hati setiap muridnya." Seputar penulis. Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta, lulus tahun 1989 Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat UGM Yogyakarta minat Manajemen Pelayanan Kesehatan, lulus tahun 2001 Pasca Sarjana Manajemen Pemerintahan Daerah Universitas Galuh Ciamis, lulus tahun 2005
Melakukan yang Seharusnya, Membagikan Keberuntungan
Singgih Susilo Kartono Kandangan
Saya lahir21 April 1968, anak bungsu 5 bersaudaradari pasangan guru Ibu Soebijah dan Pak Djarot Erjonggo.Hari kelahiran saya bertepatanHari Kartini kemudian diabadikan di nama belakang saya, Kartono. Meskipun keduanya PNS, namun untuk membiayai lima anak dan beberapa kerabat yang tinggal bersama, gaji mereka jauh dari memadai. Oleh karena itu selain bekerjaPNS bapak juga berwirausaha. Kegiatan usaha yangsaya ingat, pembibitan cengkeh, persewaan kursi, dan penggilingan padi. Bapak, memang seorang yang peka untuk menangkap peluang, tegas, disiplin dan pekerja keras. Ibuseorang yang lembut, seseorang yang selalu melindungi saya. Seorang yang hemat, dan telaten mengatur keuangan keluarga. Saya pikir selain pemasukan dari usaha bapak, sifat ibu yang gemi-setitiitulah, membuat semua anak-anaknya akhirnya bisa kuliah.Saya ingat bagaimana ibumenghemat pengeluaran. Untuk sarapan pagi,beliau akan membuat telur dadar berukuransangat besar - hampir 1 wajan dan tebal, dengan warnakemerah-merahan. Maklumlah,harus menyiapkan sarapan untuk putra-putrinya yang memang banyak. Telur dadar, agar jadi “besar” volumenyaselain mengocoknya harus sampai mumpluk, juga diberi filler parutan wortel. Memang sedap bau khas telur dadarnya, tetapi rasanya tentu tidak sesuai harapan… Paduanbapak yang keras - tegas dan ibu yang lembut ternyata kurang menguntungkan bagi perkembangan kepribadian saya. Saya justru tumbuh menjadi bocah clingus dan minder, di samping saya merasa memiliki fisik paling jelek, kepala besar dan bagian belakang ponyol, kulit hitam, rambutkemerahan, kaki-tangan busik, mata rembesan dan gembeng. Saya memiliki penyakittidak sembuh-sembuh, yaitu mataterus berair dan lutut sering terasa keju. Tiap pagi, tangan lembut ibu selalu setia mengambil sejumput nasi hangat dari dandang,menempelkan pada kedua pelupuk mata demi mencoba mengobati penyakit mata saya.Penyakit mata sembuh setelah saluran air mata saya di-“bor” di RS Mata Dr. Yap di Jogjakarta. Penyakit dhengkul keju pun kemudian hilang dengan sendirinya setelah saya SMA. TK dan SD saya lalui di Desa Kandangan, SMPbersekolah di SMPN 2 Temangung meskipun di Desa Kandangan sudah berdiri SMP Negeri. Kemudian melanjutkan ke SMAN 1 Temanggung mengikuti tradisi keluarga. Dikala masih SD, ibu menjabat Kepala Sekolah, sehingga saya sangat mudah mendapatkan akses membaca buku-buku di perpustakaan sekolah.Salah satu buku sangat berkesan adalah biografi Thomas Alva Edison. Di kelas 4SD, ceritaEdison sang penemu – pemilik ribuan hak paten itu menumbuhkan keinginan kuat kepada saya ingin menjadi seorang
penemu yang kelak juga memiliki hak paten. Saya kemudian tertarik untuk melakukan berbagai ‘percobaan’, misal membuat elektro magnet dari paku dudur yang dililit kawat tembaga, membuat battery dan lain sebagainya. Saya biasa melakukan sepulang sekolah. Selain suka melakukan ‘percobaan-percobaan’, saya juga seperti anak-anak lain suka membuat mainan sendiri.Permainan-permainan itu memiliki ‘musim’. Saat musim panen padi - di sawah banyak jerami, anak-anak membuat gubug-gubugan. Sensasi membangun rumah yang bisa dipakai tidurbenar-benar mengasyikkan, meskipun kulit akan gatal-gatal dan perih karena gesekan batang jerami. Saat musim kemarau dan angin, anak-anak membuat layang-layang sendiri.Saat musim permainan “tulup”, saya dan beberapa teman mencari sumber bambu tulup, jenis bambu ini diameternya kecil, panjang dan dindingnya tipis.Tempatnya jauh di daerah Rawaseneng. Lokasinya juga di pinggir jurang cukup dalam, tetapi tetap saja ditempuh anak-anak. Membuat mobil-mobilan dari kayu sepertinya merupakan salah satu mainan favorit saya. Kecintaan saya pada dunia senirupa sudah dimulaisejak usia SD. Bapak sebetulnya tidak pintar menggambar atau melukisnamun mencintai senirupa. Ini terlihat pada barangbaranguntuk keluarga, bentuk bangunan rumah dan tata ruang. Bapakmerancang cabinetuntuk wadah televisi – pintunyadibuka dengan cara digeser. Sedang saya memang sudah sejak kecilsuka menggambar, saya ingat saat SD sering diminta gurumenggambar di papan tulis untuk contoh gambar bagi anak-anak yang lain. Ketertarikan saya pada senirupa menjadi semakin kuat lagi karena Mas Lik kakak saya sangat pandai melukis, saya kagum melihat lukisancat minyaknyadi kain kanvas, dia memang seniman. Kamar Mas Lik juga sangat unik. Kakak saya membuat pintu geser memanfaatkan rel gorden. Wah, saat itu terasa sangat canggihmeski membukanya kadang agak susah. Meja belajarjuga bisa dilipat dan ditempel di dinding. Dinding kamar penuh gambar-gambar menarik dan poster para artis beken. Saat SMP, hobi saya bergeser ke elektronika, pengajarnya Pak Wagiman. Pelajaran ini juga memiliki ruang lab tersendiri, terletak dibelakang ruang kepala sekolah. Banyak peralatan peraga yang sungguh membuat saya tertarik.Proyek prakarya elektronika saat itumembuat lampu flip flop dengan lampu LED warna-warni untuk Pameran Pembangunan di Gedung Pemuda. Saya mengusulkan agar lampu LED diletakkan dibelakang kaca es, cahaya akan terlihat bagus akibat efek optis, dan hasilnya memang menakjubkan. Di luar pelajaran keterampilan di sekolah. saya juga sedang membuat proyek-proyek sendiri dirumah. Saat itu yang menarikmembuat alat walki-talkie dan pemancar radio. Skema elektronik bisa didapat dari berbagai buku, bahkan di toko elektronik bisa dibeli kit elektronik yang sudah lengkap, kita tinggal menyolder komponen ke pcb yang sudah tercetak.Untuk menambah pengetahuan elektronika, sayabelajar ke Mbah Manten Sriwungu setiap hari minggu. Untuk mencapai tempat tersebut, saya dan 2 orang teman - Edi Susilo dan Muhammad Yusuf - harus berjalan lewat pematang sawahsekitar 2 km. Kalau capek dan lapar kami mampir di warung makanan kecil di pinggir jalan menuju rumah Mbah Manten. Makanan kesukaan kamigorengan dan wedang cao yang rasanya manis“ampang”.Terus terang saya tidak sepenuhnya berhasil dalam membuat proyek pemancar seperti yang diajarkan beliau.
Setelah masuk SMA, masa-masa ini sesungguhnya merupakan masapaling tidak jelas dalam proses tumbuh kembang saya.Saya mulai melakukan pencarian jati diri. Pelajaran sekolah mulai kehilangan daya tarik, juga hobi-hobi yang saya tekuni sejakSD-SMP mulai jarang saya lakukan. Saya mulaiterpengaruh Mas Wid kakak saya. Dia masih duduk di kelas 3 saat saya masuk kelas 1 SMA. Sebenarnya saya paling tidak akrab dengan kakak saya ini, dan pernah berkelahi gara-gara satu hal yang sepele. Saya tidak pernah menjadi saya sesungguhnya, saya ingin menjadi (seperti) kakak saya, tapi sebenarnya saya punya dasar kepribadian yang berbeda.Jadilah saya anak “ndhugal” yang gagal. Dalam kegelisahan dan ketidakjelasan masa SMA, datanglah ke sekolah seorang mahasiswa desain produk ITB asal alumni SMAN 1 Temanggung. Namanya Mas SaktiosoHananto, orangnya kecil pakai kacamata. Dia mengenalkan bidang studi desain, khusus desain produk.Syukurlah, meskipun saya nggak karuan saat SMA, saya masih punya sedikit pikiran waras, dan sungguh saya tidak mau jadi siswa yang mbiying sekaligus bodoh.Bagaimanapun saya tetap punya kebiasaan belajar dan mengerjakan tugas sekolah.Nilai-nilai saya cukup lumayan.Saat kelas 3 SMA saya mulai sedikit punya kesadaran, bahwa saya harus kuliah di universitas negeri.Universitas swasta saat itu dinilai kurang bergengsi. Saya mulai belajar menggambar lagi.Selain berlatih menggambar, saya juga melakukan sholat hajat tiap malam, bahkan saya pernah sholat hajat sendirian ke masjid desa yang suasananya seram dan temaram selepas tengah malam.Mengetahui saya sering bangun dan sholat malam, ibu kerap kali menemani saya sholat malam.Saya melakukan sholat malam sebulan penuh. Akhirnya saya memang bisa lolos masuk Senirupa ITB dalam satu kali test, sesuatu saya rasakan sebagai keajaiban. Karena kemudian saya mengetahui, cukup banyak mahasiswa Senirupa ITB yang harus mengikuti ujian beberapa kali baru bisa diterima. Meskipun saya kuliah di jurusan pilihan saya, namun tahun pertama kuliah sungguh bikin stress. Saya baru merasakan bahwa pengetahuan dan skill senirupa saya masih sangat minim, sementara banyak teman-teman kuliah yang terlihat lebih ‘jago’. Lingkungan baru, uang kiriman yang terbatas dan beratnya tugas-tugas kuliah hampir membuat saya putus asa. Yang membuat saya bertahan dan bangkit, karena saya ingin bertanggungjawab atas doa saya. Proses atau periode sebelum saya diterima dan setahun setelah saya diterima, memberikan pemahaman pada saya, bahwa jika kita memohon dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan, maka Tuhan akan mengabulkan permohonan kita, namun setelah itu, kita akan diuji untuk mempertanggungjawabkan doa kita tersebut… Selepas tahun pertama saya memilih Studio Desain Produk, karena saya lihat profesi ini sepertinya cukup keren, saya membayangkan bisa menjadi desainer mobil, furniture dan lain-lain. Profesi ini juga sepertinya lebih mendekatkan saya ke mimpi masa kecil saya menjadi seorang penemu. Karena nilai-nilai saya cukup baik untuk mata kuliah 3 dimensi, saya dengan mudah masuk Studio Desain Produk. Makin naik tingkat, biaya kuliah makin besar. Saat itu untuk menambah uang kuliah, saya bekerjasama dengan produsen kaos yang mensuplai Kokesma (Koperasi Kesejahteraan Mahasiswa ITB), saya membuat desain dan kemudian mendapat royalti atas desain yang laku.Kaos bikinan saya yang sangat laku saat itu adalah kaos bergambar Albert Einstein
dengan rambut khas acak-acakan.Selain kaos, juga membuat beberapa produk souvenir ITB dari kayu. Saya tidak hanya membuat desain kaos untuk ITB, tetapi juga untuk kampus-kampus lain. Pengalaman ini menyadarkan saya bahwa Senirupa itu gudangnya orang kreatif dan ITB merupakan kampus yang punya nama besar. Saya kemudian mengusulkan pada Himpunan Mahasiswa Desain untuk mendirikan toko souvenir ITB. Selain akan memberikan tambahan pendapatan ke mahasiswa, kegiatan tersebut akan memberikan pemasukan dana bagi himpunan mahasiswa juga. Kegiatan ini disetujui dan lahirlah sebuah kegiatan usaha yang bernama “Toko Oleh-Oleh Ganesha” (TOOG). Namun ternyata sungguh tidak mudah merintis sebuah kegiatan yang baru. Meskipun itu kegiatan himpunan, saat awal saya harus merintisnya sendiri. Saya memetik sebuah pengalaman berharga bahwa ide bagusdalam lingkungan potensialpun tidak selaluserta merta berhasil tumbuh, karena, kadang kita harus memulainya sendiri. Orang,biasanya baru akan membantu ketika kegiatan mulai jalan dan ini kemudian saya temui pada hampir semua aktivitas baru yang saya bangun. TOOG pernah mencatat rekor penjualan kaos terlaris di ITB, sebuah kaos dengan gambar Ganesha yg mengadaptasi karakter grafis merk jamu. Hanya dicetak pada kaos putih, dengan sablon tipis yang sederhana. Kaos ini terjual ribuan! Doronganmenjalani hidup sebagai wirausaha memang saya rasakan mulai munculsejak kuliah.Bukan hanya karena tuntutan mencari tambahan biaya hidup dan biaya kuliah, namun ada beberapa temansudah mulai merintis usaha.Ide radio kayu sesungguhnya muncul pertama kali saat saya main ke rumah teman yang saat itu sudah mulai memiliki perusahaan.Saat itu,secara kebetulan saya melihat ada keranjang bambu terletak berjejeran dengan kotak speaker. Saya melihat, adanya kesamaan anyaman bambu dengan grill speaker.Terlintas gagasan untuk membuat speaker dari bahan anyaman bambu untuk grill-nya. Walau, mungkin saja bagi orang lain kejadian tersebut sama sekali tidak menarik. Mulai dari titik tersebut saya kemudian melakukan eksplorasi sendiri, dan saya lihat produk radio merupakan produk yang lebih menarik untuk dikembangkan. Gagasan ini akhirnya saya ajukan untuk Proyek Tugas Akhir kuliah saya. Tugas Akhir (TA) selalu membutuhkan biaya besar dan saya tidak tahu kenapawaktu itutidak minta bantuan kepada orang tuameski saya juga tidak punya cukup dana. Namun, dorongan untuk mencari sponsor jauh lebih kuat. Saya sungguh beruntung karena akhirnya saya bisa mendapatkan sponsor dan bimbingan dari seseorang yang visioner. Pak Surya Pernawa, mantan Dosen Seni Patung ITB yang banyak melakukan upaya pengembangan kerajinan tangan (craft) di Indonesia. Pak Surya sungguh merupakan inspirator dan Guru saya. Selain mendapatkan bantuan dana, konsultan ahli di bidang kerajinan tangan, saya juga diperbolehkan menggunakan fasilitas kantor untuk mengerjakan tugas akhir saya. Akhirnya saya bisa menyelesaikan TA ini dengan mendapatkan nilai A. Tugas Akhir saya kemudian juga memberikan pengaruh pada almamater saya. Jika dahulu tema kerajinan tangan dilecehkan, sekarang tema tersebut sering diambil oleh adik-adik kelas untuk tugas kuliah. FSRD ITB pun sekarang ada jurusan Kriya.
Selepas kuliah saya tidak pernah melamar pekerjaan, karena saya langsung ditarik untuk bekerja di perusahaan Pak Surya di Bandung. Ketika saya masuk, perusahaan ini dalam kondisi tidak sehat. Saya lihat konsep industri kerajinan yang disusun Pak Surya sungguh sesuatu yang akan memecahkan banyak permasalahan pengembangan industri kerajinan. Oleh karena itu model kegiatan yang hidup akan sangat membantu menjelaskan konsep pengembangannya. Saya kemudian mengajukan proposal untuk mendirikan model kegiatan produksi di desa kelahiran saya di Temanggung. Singkat cerita, proposal disetujui, dan akhirnya saya pulang ke Kandangan tahun 1995, lebih cepat dari yang saya prediksikan. Pertama datang saya harus mencari tempat untuk workshop, syukurlah ada gudang KUDmenganggur.Saya sebenarnya paling tidak suka bangunan berbentuk gudang dan tertutup, tapi tidak ada pilihan yang lebih baik. Karena Desa Kandangan tidak memiliki background kerajinan tangan, semuanya harus disiapkan dari nol. Bahan, peralatan kerja dan tenaga kerja. Perajin kami latih dari anak-anak muda setempat dengan mendatangkan pelatih dari Bandung. Upaya tahap awal cukup berat, apalagi saya waktu itu mentargetkan pasar ekspor sebagai pasar tujuan. Perusahaan ini akhirnya bisa berjalan, setelah terseok-seok pada beberapa tahun pertama. Perkembangannya justru melesat ketika kita mengalami krisis moneter tahun 1997-1998. Devaluasi mata uang rupiah membuat kami bisa menjual produk untuk pasar ekspor dengan harga terjangkau. Sebelumnya kegiatan ekspor sangat berat karena mata uang rupiah overvalue, sehingga produk Indonesia menjadi mahal di pasaran luar. Perusahaan bersama ini saya rintis danjalankan bersama teman kuliah. Namun di tengah perjalanan sayamerasakan ketidakcocokan yang kuat, salah satunya karena dia tidak mendukung langkahaktif saya di luar kegiatan perusahaan. Program pengembangan masyarakattidak memperoleh dukunganmemadai dari perusahaan dan ini sungguh membuat saya frustrasi. Akhirnya saya memutuskanmundur dari perusahaan yang telah saya rintis bersama hampir 7 tahun - sebuah keputusansangat berat, karenasebenarnya tidak pernah sekalipun berpikir akan mundur apalagi mempersiapkannya. Babak kehidupan selanjutnya saya mulai kembali dari nol, sungguh sangat berat. Karena saya tidak pernah berencana mundur, saya sama sekali tidak memiliki tabungan yang memadai dan saya tidak menarik asset dari perusahaan saya yang lama. Saya terpaksa harus menggunakan ruang tamu rumah kontrakan saya untuk workshop produksi. Untuk modal operasional saya ngutang lagi dari orang tua dan juga dari teman. Situasi awal-awal perintisan sangat berat, bahkan cincin kawinpun sampai kami jual. Saya memulai usaha baru dengan membuat mebel dari besi dan rotan, namun kemudian kandas karena harga besi yang naik beberapa kali lipat. Akhirnya saya kembali menekuni bidang kerajinan kayu, ketika seorang teman menawari saya membuat kaca pembesar lipat dari kayu. Saya sebenarnya agak malas kembali menggunakan material kayu, karena saya ingin membuat produk yang berbeda dengan perusahaan lama saya. Tetapi kaca pembesar kayu tersebut saya buat juga dan saya tunjukan ke teman kakak kelas di kampus. Dulu orangnya sangat sableng dantomboy, saatketemu kembali,orangnya sangat berbeda, dia menjadi sosok serius dan meyakinkan.Saya menunjukkan kaca pembesar lipat dari kayu yang saya buat, lalu dia
bilang kepada saya, “Singgih, kamu itu ada disitu”. Entah mengapa, saya yang biasanya keras kepalamau mendengar nasihatnya.Sampai dirumah, saya mulai mengembangkan desain produk-produk sejenis. Mulailah keluar pelbagai desain seperti staples kayu, tape dispenser kayu, meteran ulurkayu, kompaskayu, cutterkayu… wah ternyata semuanya mengalir lancar. Meskipun kehidupan sehari-hari masih sulit, saya tetaplah seorang pemimpi. Saya merasa malu tinggal di Indonesia, Negara yang kaya dengan kayu, tetapi tidak ada satu produk kayu pun yang menjadi ikon desain dunia.Saya ingin kelak karya saya menjadi salah satu yang mewakilinya. Saya sendiri tidak tahu bagaimana cara meraihnya, saya juga tidak yakin hal itu akan tercapai. Namun saya tetap melangkah dan terus berkarya. Selain terus menjaga agar kegiatan usaha yang masih baru terus bergulir, saya juga terus mengembangkan desain baru. Saya juga mengikuti berbagai kompetisi desain, karena saya pikir profesi desain itu mirip dengan artis, figurnya perlu dikenal, tujuannya agar orang mau menghargai karya dan pemikirannya.Saya melihat kompetisi desain merupakan salah satu jalan yang bisa saya tempuh.Ketika ada pendaftaran even Indonesia Good Design Selection tahun 2005, saya mengajukan beberapa produk stationery dari kayu.Saya tahu, produkkonseptual akan menarik perhatian para juri dan ternyata, saya menang!....sungguh senang saat itu. Kemenangan ini kemudian membuka kesempatan saya ke Korea dan Jepang. Proses persiapan keberangkatan ternyata sangat tidak mudah, karena pada dasarnya saya tidak memiliki dana. Akhirnya saya bisa berangkat atas bantuan teman-teman sehingga saya mendapatkan sponsor. Kekurangan dana saya dapatkan dengan menawarkan radio kayu yang saat itu prototype nya sudah mulai saya buat. Saya mendapat pesanan 35 buah. Ternyata situasi kepepet itulah yang merupakan awal lahirnya Radio Magno. Perjalanan ke Korea dan Jepang saya anggap penting, karena saya ingin memasarkan produk saya di sana, tentu saja saya harus mengenal secara langsung. Akhirnya tibalah saat keberangkatanyang nyarisgagalkarena visa Jepang sangat sulit didapat, karena harus ada undangan dari orang Jepang untuk keperluan tersebut. Saya mencari melalui berbagai teman tetapi tidak berhasil. Indonesia Trade & Promotion Center (ITPC) di Osaka Jepang menolak memberikan surat undangan, karena pernah ada yang menyalahgunakan. Akhirnya saya ingat ada seorang Jepang yang pernah menyurati saya meminjam produk untuk pameran di Jepang. Saya cari kontaknya dan saya hubungi via email.Tepat pada saat batas akhir pengurusan, surat undangan itu datang. Wah, sungguh melegakan.Akhirnya saya bisa berangkat. Perjalanan ke Korea dan Jepang tersebut sesungguhnya tidak sesuai harapan. Respon terhadap produk stationery dari kayu yang saya buat dan tawarkan ternyata ‘dingin-dingin’ saja. Terbayang, kalau perjalanan ini gagal, beban berat akan menunggu sekembali saya di rumah nanti. Namun syukurlah, di Jepang saya mendapatkan order pekerjaan yang sungguh saya tidak bisa membayangkan sebelumnya. Saya mendapat order boneka dari batok kelapa dan serat-serat untuk gantungan handphone, jumlahnya 10.000 bh dan harus selesai dalam 1 bulan. Saya lihat boneka tersebut cukup sederhana dan saya pasti bisa mengerjakannya. Akhirnya proyek tersebut memang terselesaikan meskipun harus
jumpalitan. Yang aneh, nilai uang yang saya terima ternyata nilainya persis sama dengan nilai asset yang saya tinggalkan di perusahaan yang lama. Dulu sewaktu saya masih di perusahaan tersebut saya kadang mencoba menghitung berapa asset perusahaan dan kira2 berapa asset saya sebagai pendiri. Namun selalu muncul bisikan dalam hati yang mengatakan bahwa asset tersebut tidak akan saya miliki. Saya baru menyadari kemudian, bahwa sesungguhnya jika kita peka, kita akan tahu apa yang akan terjadi dengan diri kita di kemudian hari. Usai proyek boneka tersebut, akhirnya saya bisa menambah peralatan produksi, membeli bahan bakulebih baik dan menambah perajin baru. Namun produk-produk Magno belum mendapatkan respon pasar yang baik.Saat itu jumlah perajin sudah mencapai sekitar 6 orang.Produk radio kayuterus saya sempurnakan dengan mencipta desain-desain radiobaru. Sebuah momenyang menentukanMagno tersebar ke seluruh dunia, dimulai dari ketika buyer Jepangmenempatkan produk Magno ini di www.assiston.co.jp, sebuah toko onlinebekerja sama dengan lembaga pemberi penghargaan desain di Jepang. Dalam temposangat cepat, publikasi Magno menyebar melalui internet. Pada tahun 2006, kenalan di Jepang yang dulunya mengirimundangan untuk mengurus visa Jepang - resmi mengajukan diri untuk menjadi distributor Magno di Jepang. Distributorwilayah Eropa yang berbasis di Hamburg saya peroleh dengan cara yang unik. Oliver, nama distributor tersebut, sebenarnya pernah bertemu saat saya ikut pameran Trade Expo di Jakarta. Waktu itu dia tertarikmembeli sample radio, namun saya tolak, karena saya merasa tidak yakin dengan dia. Ternyata penolakan tersebut membuatnya penasaran, karena dia tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu. Hingga suatu saat Oliver mengirimkan e-mail ke saya. Berikut saya lampirkan e-mail-nya. Dear Mr. Kartono, We met 14th october 2006 on Trade Fair in Jakarta . I was fascinated by your little wood radio and I was willing to buy one sample in order to show it to my german collegues. You asked me to send an email. I did last year but I never got an reply. I am still interested in getting to know your radios. Please be so kind to send me some photos of the radio/box, the dimensions, weight. I would like also to get some information about you, the history of the product and the production facilities. Which materials do you use? Is there a special history of the product? I am a marketing-profesional. I have my own advertising company and I can imagine in creating a little side company. I would use my pr-contacts to achieve the biggest possible impact on the media for your interessting product. therefor I still need the following information: Price/Minimum Quantity/How long is the production process? It would be great, hearing from you soon Mitfreundlichen Grüßen Oliver C. Errichiello Markentechniker
Saya kemudian mengirimcerita panjang tentang Magno, rupanya dia bagai menemukan sebuah “harta karun”. Lalu dia mendirikan perusahaan distribusi Magno untuk wilayah Eropa. Meskipun dia pemain baru dan modal yang dimilikinya masih terbatas,back ground dia di bidang marketing dan kecintaannya pada Magno - menjadi hal yang mendasar. Oliver, dengan perusahaannyawww.wooden-radio.com, akhirnya menjadi distributor Magnopaling berhasil. Saya kemudian belajar, bahwa untuk memilih seorang buyer yang paling penting justru pada bagaimana apresiasi dia terhadap produk kita. Tahun 2008-2009 Magno mendapat berbagai penghargaan desain international. Mimpi saya suatu saatmenyematkan logo G-Markhttp://www.g-mark.org/award/detail.php?id=34989 pada produk Magno telah tercapai. G-Markmerupakan bentuk pengakuan kualitas desain dan produk di Jepang dan international. Pada tahun yang sama Magno mendapatkan grand award Design for Asia Award di Hongkong Design Center. Tahun 2009, Magno mendapat Design Plus award dari Jerman dan tahun yang sama Magno jugamenjadi Product of the Year dari Design Museum di London, sebuah penghargaansangat bergengsi mengingat diberikan sebuah museum desain darinegara yang menjadi asal-muasal ilmu desain. Radio Magno sejajar dengan poster kampanye Barack Obama karya desainer Amerika yang saat itu menang untuk kategori desain grafis. Mimpi saya menaruh produk di MoMA New York pun terealisasipada tahun 2009. MoMA (Museum of Modern Art) adalah tempat yang diimpikan para desainer dan seniman dunia untuk bisa menaruh karya disana. Semua penghargaan ini sungguh tidak terbayangkan sebelumnya. Capaian tersebut bahkan saya raih dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama dari sejak Magno diproduksi tahun 2005. Setelah itu publikasi Magno di dunia maya tidak terhitung lagi jumlahnya, bahkan dengan kata kunci “wooden-radio” search via Google, Magno Radio akan muncul paling atas. Sesudah bertahun-tahun menempati workshop sempit di ruang tamu,tahun 2008 kegiatan produksi mulai menempati bangunan barulebih memadai. Bangunan tersebut kami bangun diatas lahan seluas 2.200 M2, suatu tempat dimana sudah saya akrabi semenjak saya remaja - lokasi bekas usaha selepanpadi milik orang tua saya.Bangunan tersebut saya desain sendiritidak seperti sebuah pabrik, namun menjadi rumah kedua bagi para perajin, karena hampir setiap hari mereka selama 7-8 jam berada di workshop ini. Lahan cukup luas ini memberikan sebuah kemungkinan untuk menjalankan keinginan saya menanam kembali tanaman yang digunakan dalam proses produksi radio Magno. Saya ingin menggantinya lebih banyak dan membagikan kepada masyarakat bibit untuk ditanam di kebun mereka sendiri. Program pembibitan saya jalankan dengan menyediakan sekitar 10ribu bibit tanaman per tahun. Sementara dalam 1 tahun kegiatan produksi sebetulnya hanya membutuhkan bahan sekitar 80 batang pohon saja. Kegiatan ini ternyata memberikan dampak positif padaaspek pemasaran.Magno yang tidak pernah saya posisikan sebagai eco-product, ternyata kemudian diposisikan oleh pasar sebagai salah satu green product. Sayaseorang visioner dan pioner, saya mampu membangun sesuatu dari nol sampai berjalan, namun saya akan mandeg ketika sesuatu telah menjadi rutin. Saya sungguh beruntung memiliki pasangan hidup yang bisa melengkapi kekurangan tersebut. Tri Wahyuni, teman SMA saya-biasa di panggil Trien-bukan seorangvisioner, bahkan seringkali membuat saya mbedhedheg dan mangkel kalau membicarakan impian dan
keinginankedepan. Namun, istri saya seorang yang mau dan mampu menjalankan sebuah aktivitas rutin, dia seorang yang telaten. Saat ini, kegiatan produksi telah diurusistri saya, sedang saya memegang urusan pengembangan produk dan pemasaranserta merealisasikan ide-ide memajukan desa. Mimpi sayaberikutnya adalah membangun sektor pertanian di desa. Saya melihat pertanian merupakan akar komunitas desa, sayangnya sekarang ini mengalami kemunduran yang sangat parah. Sektor ini terdesak oleh sektor lain, mandeg dan menuju kehancuran. Sektor ini juga terlihat kusam dan miskin, anak-anak muda tidak ada yang meneruskan profesi orangtua menjadi petani. Sungguh ini memprihatinkan, karena menurut saya, komunitas desa menjadi luar biasa karena kemampuannya memproduksi bahan pangan sendiri. Saya ingin komunitas desa menemukan kembali kekuatan dirinya dan pertanian merupakan sektor yang sangat strategis. Mulai tahun 2010 dengan lahan 2.5 Ha, saya mulai merintis kegiatan pertanian organik. Saya ingin membuat model pertanian yang bukan hanya secara ekonomi bisa bergulir, namun juga ‘good looking’, sehingga anak-anak muda tertarik kembali bekerja di sektor pertanian. Saya juga ingin model ini menjadi bukti bahwa sektor pertanian sesungguhnya merupakan sektor yang memiliki potensi ekonomi, sosial dan budaya yang besar untuk memajukan dan memandirikan komunitas desa. Proyek ini merupakan proyek jangka panjang dan saya perkirakan baru akan terlihat hasilnya minimal setelah 5 tahun. Mimpi saya yang lain adalah membangun fasilitas pendidikanberkualitas di desa saya. Saya menyadari, kualitas sebuah komunitas pasti dipengaruhikualitas penduduknya, sehingga jika sebuah desa ingin tetap survive dan maju, tidak ada jalan lain kecuali menyediakan sarana pendidikan yang berkualitas. Dalam era kemajuan teknologi informasi seperti sekarang ini, informasi telah tersedia dalam jumlah melimpah dan dapat diakses dari tempat-tempat terpencil. Jadi, sesungguhnya tidak jamanlagi kampus-kampus megah itu dibangun di kota, tetapi jauh lebih baik menyediakan fasilitas pendidikanberkualitas baik di desa atau di wilayah sekitar desa. Fasilitas pendidikan tersebut bukan hanya untuk usia anak, namun untuk siapapun, karena manusiamaju tidak pernah berhenti belajar. Fasilitas pendidikan yang memadai dan tersedia di desa akan menahan laju urbanisasi,akan berfungsisemacam komunitasthink tank. Desaakan berkembang akibat tersedianya tenaga ahli yang dididik sesuai dengan potensi dan permasalahan setempat. Sayamemutuskanmendonasikan hidup saya bagi kemajuan kehidupan desa. Ini semua adalah sebuah life time project. Saya lahir di desa, saya tumbuh didesa, saya berusaha menjalankan apa yang seharusnya saya lakukan sebagai anak desa yang memiliki kesempatan pendidikan yang baik dan terus berupaya membagi keberuntungan saya kepada yang lain. Apa yang saya lakukan sekarang ini yakni tetap tinggal dan berkarya di desa juga terinspirasi sebuah buku karya Alvin Tofler berjudul “Future Shock”, yang saya baca saat masih kuliah di ITB. Dia menulis ramalan bahwa akan tiba suatu saat banyak orang yang tinggal di pelosok namun memiliki jaringan internasional akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Saya sungguh bersyukur, saya mempercayai ramalan tersebut dan kemudian membuktikan bahwa ramalan tersebut benar. Sungguh sebuah kenikmatan ketika saya bisa hidup dekat dengan keluarga, orang tua, tetangga yang hidup guyup, biaya hidup murah, udara segar, tiada jalan macet namun hidup saya tidak terisolir,
bahkan saya memiliki jaringan internasional. Bagi saya, desa sesungguhnya merupakan Komunitas Masa Depan…
Seputar Penulis. TK Pertiwi Kandangan SDC Kandangan SMPN 2 Temanggung SMAN 1 Temanggung Desain Produk, FSRD-ITB, Bandung
MENGGAPAI CITA-CITA
Soemadji Karangtejo, Jumo
Dalam bermasyarakat, sering kita jumpai teman, saudara, atau anak anak pintar dan cerdas. Namun setelah dewasa mereka tidak menjadi apa-apa. Kehidupannya pas-pasan atau biasa saja. Bahkan ada yang frustasi serta berperilaku tidak terpuji dalam banyak hal. Mengapa bisa terjadi? Karena sejak dini mereka berlindung dibawah selimut kenyamanan (Comfort Zone). Padahal, untuk berubah kearah lebih baik, sangat dibutuhkan keberanian ekstra keras, demi keluar dari selimut kenyamanan. Harus bergelut dengan ketidaknyamanan! Sepenggalkisah nyata kehidupan ini, untuk mengantarkan kita supaya berusaha melakukan perubahan yang jauh lebih baik dan berkwalitas. Bersyukurlah kepadaNya dan nikmati segalanya yang sekarang kita dapatkan. Tidak harus menunggu sampai nanti setelah menjadi orang sukses, kaya atau berhasil, tetapi semua itu harus disertai usaha maksimal serta disiplin meraih cita cita. Inilah harapan saya kepada seluruh pembaca yang saya hormati, adik adik, anak-anak siswa/pelajar yang saya cintai - yang masih duduk disekolah SD, SMP, SMA, SMK, bahkan di Universitas di seluruh pelosok tanah air Indonesia, khususnya yang sekarang tinggal di Kabupaten Temanggung, tempat yang selalu kita ingat dan kita cintai selamanya.
DESA KECIL TEMPAT KELAHIRANKU Desa Barang Wetan kecamatan Jumo tempat kelahiranku. Sebuah desa kecil di Kabupaten Temanggung. Desa berudara sejuk, tenang, damai dan indah dengan nuansa masyarakat rukun. Sampai sekarang, masyarakat masih konsisten menjalankan cara hidup bergotong royong, menjagasopan santun/etika, penuh pengertian, saling menghargai dan menghormati. Suasana pedesaan yang sangat kucintai dan kurindukan. Sehingga setiap tahun sekali pasti saya dan keluarga menyempatkan waktu berkunjung pulang kampong. Dengan tujuan selain bersilaturachmi bertemu dengan family/sanak saudara, juga berziarah ke Makam Orang tua dan saudara-saudara yang telah mendahului kita, dipanggil oleh Allah Yang Maha Kuasa. Sampai saat ini… disana masih terdengar suara alami, gemericik aliran air sungai Deres dari mata air Jumprit dan aliran sungai-sungai kecil lainnya. Sungai itu mengalir sampai pantai selatan Pulau Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi sungai Progo sekarang, tidak seindah dulu sewaktu saya masih kecil. Kala itu airnya sungguh sangat bersih, banyak ikan seperti: pelus, lele, mujahir, kutes, uceng, unjar gondok, katak hijau,
sumpil, dll. Saya masih ingat menjelang berbuka puasa, mencari lauk nya hanya dengan memancing ikan, di sungai depan desa. Sangat mudah. Desa Barang Wetan tepatnya berada di pertengahan antara Ngadirejo dan Jumo hanya berjarak 5 Km. Bapak - Yasmorejo dan Simbok - Monah. Sering disebut Mbah Semo dan Mbah Monah. Semua telah almarhum sekarang. Beliau orang tua yang selalu kuhormati, kucintai dan kubanggakan. Karena jasa merekalah telah membesarkan, membimbing, mengarahkan, serta membiayai sekolah saya dan saudara-saudara saya. Pekerjaan orang tua saya sebagai Petani, namun Beliau adalah petani yang berbeda bila dibandingkan dengan petani pada umumnya di Desa Barang Wetan. Beliau adalah petani yang sangat handal. Bekerja keras, ulet, gigih, rajin, tekun dan sabar. Yang tidak kalah penting adalah sangat berhemat dengan cara menabung. Hasil panen dari tanah ladang yang tidak luas, kedua orang tua saya dapat membiayai serta menyekolahkan seluruh putra putrinya. Bagi saya itu sungguh luar biasa! Sudah sejak dulu, ternyata orang tua sudah melaksanakan program KB, namun sayang bukan Keluarga Berencana seperti yang kita ketahui dengan slogan sangat baik “Punya 2 (dua) anak cukup“, melainkan singkatan dari Keluarga Besar. Dikarenakan pada waktu itu belum ada program KB, jumlah anak-anaknya 10 orang, yaitu: 1. Kol CPM (Purn) Soegini, tinggal di Jakarta Selatan menikah dengan seorang wanita bernama Kelly Karmilah dari Kota Medan Sumatera Utara. Alamat tinggalnya di Komplek Kostrad Pondok Indah Jakarta Selatan. 2. Subronto (Alm) meninggal karena sakit. Beliau lulusan STM Penerbangan Surakarta. 3. Hj. Srimah Lulusan SMAN 1 Temanggung dan melanjutkan kuliah di APTN, dipersunting Drs. H. Sungkono, Pensiunan Karyawan Direktorat Jendral Pajak, berasal dari Desa Barang Kulon yang masih satu kelurahan. Alamat rumah selalu berpindah-pindah. Diantaranya pernah tinggal di Semarang, Pati, Pekalongan, Jakarta, Denpasar, Pontianak, dll. Sekarang menetap di Desa Barang Kulon yang hanya berjarak 1 km saja dari Desa Barang Wetan. 4. Sukiman, Pensiunan guru SD, lulusan dari Akademi jurusan Olah raga. Menikah dengan seorang wanita bernama Nok Syarofah yang juga sorang guru SDN Sukomarto, salah satu desa di Kecamatan Jumo. Sekarang masih sempat melanjutkan pendidikan di Universitas Terbuka, tinggal di Desa Barang Wetan. 5. H. Sumardiyono. Setelah lulus SMAN 1 Temanggung ikut mencalonkan diri menjadi Kepala Desa Barang dan Alhamdulillah karena masyarakat banyak yang mendukung, maka terpilh menjadi kepala desa selama 3 (tiga) periode (3 x 8 tahun) dari tahun 1983 sampai tahun 2008, dari Zaman Orde Baru sampai Zaman Reformasi. Saya turut berbangga, karena kakak saya ini termasuk mencapai rekor menjabat Kepala Desa terlama di Daerah Kabupaten Temanggung pada zaman reformasi. Kepala desa lain, biasanya hanya menjabat satu periode dan paling banter 2 periode saja. Zaman dahulu kita semua tahu bahwa Kepala desa atau lurah bisa menjabat sampai dengan ia meninggal dunia. Menikah dengan seorang wanita bernama Hj. Sumariah dari desa Karangtejo tidak jauh dari desa Barang Wetan, tinggal di Desa Barang Wetan Kecamatan Jumo. Setelah tidak lagi menjabat sebagai Kepala Desa Barang,
sekarang menjadi petani yang baik, tekun, dan sukses. Seperti yang dilakukan oleh Almarhum Ayah Yasmoredjo. 6. Ir. Soemadji, lulusan ATN Semarang, kemudian melanjutkan kuliah di Universitas Tidar Magelang fakultas Electro. Setelah bekerja selama 30 tahun lamanya di Perusahaan PT. Philips Indonesia. Pada tahun 2010, saya pensiun, menikah dengan Endang Sutji Nurtjahyani. Aht, Lulusan dari PAT Universitas Dipoenegoro Semarang fakultas Kimia, asal Kota Kudus Jawa Tengah. Kami dikaruniani 3 (tiga) anak. Yang pertama bernama Mariana Nurma Dewi, Yang kedua Silka Dwita dan yang ketiga Yuda Triantoro, Tinggal di Jl. Jaha no. 4 Jakarta Timur. 7. Srimarkum lulusan Akademi Kewanitaan di Yogyakarta, bersuami dengan Bae Dhowi. Pada tahun 2009 telah menikmati masa pensiun dari profesi sebagai seorang guru SDN Malebo 2, tinggal di Desa Ngrowo Kecamatan Kandangan Temanggung 8. H. Soebarjo SH, mempersunting seorang bernama Hj. Endang Suharnety BA, lulusan dari Akademi Perbankan di Medan. Pada waktu menunaikan ibadah Haji, bertepatan dengan saat terjadinya musibah terowongan Mina pada tahun 2004, Alhamdulillah Beliau selamat dari bencana tersebut. Adik saya ini Berwiraswasta di Kota Medan dan Jakarta, tinggal di Medan Sumatera Utara 9. Sumarchoni, lulusan Akademi Foreign Language di Jakarta, bekerja dibidang pertambangan batubara di kawasan Palembang, mempersunting Neneng Syamsiah Skm. MM. lulusan Universitas Diponegoro Semarang berasal dari kota Jakarta. Keluarganya menetap di Kota Semarang Jawa Tengah. 10. Sulis Heriwanto SE, Alumnus Universitas Jendral Sudirman Purwokerto, Karyawan (LPEI) Indonesia Exim Bank Jakarta. Menikah dengan seorang wanita bernama Dra. Suryani, berasal dari Kepulauan Natuna, profesi sebagai guru di SMK Panca Sakti Pondok Labu Jakarta Selatan, tinggal bersama Keluarganya di Gardenia Estate Ciputat Tangerang Selatan.
KEGIATAN SEHARI-HARI Hari pertama pergi ke sekolah tahun 1960, merasa senang sekali. Setiap pagi selalu pergi berangkat mengikuti kakak yang sudah bersekolah di SR (Sekolah Rakyat) Karangtejo, sekarang menjadi SDN/Sekolah Dasar Negeri Karangtejo. Dikarenakan saya selalu rajin berangkat setiap pagi dan mengikuti absen di sekolah, maka saya dapat diterima dan didaftar sebagai siswa kelas 1 (satu) SR Karangtejo, Kecamatan Jumo Temanggung. Saya dinilai dapat mengikuti pelajaran di kelas 1 (satu) dengan lancar, walaup usia baru 5 tahun. Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun saya lalui, tak terasa waktu bergulir dengan cepat bak anak panah terlepas dari busurnya. Semua saya jalani dengan ceria dan senang, karena bisa sekolah. Masih terngiang di telinga guru Kelas satu yang berwibawa, pintar dan sabar dalam mengasuh siswa-siswi anak didiknya. Beliau, Pak. Guru Kumpul (Alm), memberikan pelajaran dan memotivasi agar setiap murid harus mempunyai cita cita setinggi langit. Harus pula dibarengi dengan belajar yang serius, agar kehidupan di hari tua bisa berubah lebih baik dibandingkan dengan kehidupan sebelumnya, hidupnya kelak berhasil atau sukses.
Sejak itulah saya berjanji belajar dengan baik dan disiplin. Kata Beliau apabila tidak dilaksanakan dengan baik serta disiplin, maka jawabannya sudah jelas didepan mata, yaitu masa depan seperti saya ini menjadi petani dan hanya memilki sawah sedikit warisan orang tua!. Memang benar, kalau saya tidak belajar dengan baik tentu sekarang saya tetap menjadi orang yang tidak punya ilmu pengetahuan. Pada saat itu kami mengikuti pelajaran tidak menggunakan pensil atau Bolpoin di buku tulis, tetapi dengan alat tulis bernama gerip di atas papan sabak. Pada perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus, saya sering diikutkan bermacam lomba seperti drama, membaca puisi dan lain-lain se Kecamatan Jumo, untuk mewakili teman teman SR Karangtejo.
MENCARI OBAT, BENALU TEH DI DAERAH DIENG Suatu hari saya mendengar pembicaraan kedua orang tua bahwa Bapak ada rencana pergi ke Dataran tinggi Dieng untuk mencarikan Obat berupa daun benalu yang hidup di perkebunan the untuk mengobati sakit kakak saya yang nomor 2 (dua). Konon di Desa Dieng ada seorang Wanita pintar atau orang tua semacam dukun yang sangat terkenal di daerah Temanggung. Beliau telah banyak menolong dan menyembuhkan pasien yang menderita berbagai macam penyakit. Ternyata rencana itu betul juga, pada hari Jumat sore jam 05.00 Wib, Bapak bersiap siap akan pergi ke Dieng. Seketika saya tertarik untuk ikut pergi bersama Bapak. Kemudian sore itu saya matur (bicara) kepada bapak bahwa saya ingin sekali ikut pergi ke desa Dieng menemani bapak. Apa jawaban bapak? Huss….. kamu anak kecil baru kelas III. Setelah pembicaraan dengan Bapak selesai, Simbok memanggil lagi sambil berkata, “Nanti kalau Bapakmu berangkat ke Desa Klesem menumpang mobil pengangkut pupuk kandang, kamu harus lari mengikuti mobil, anggap saja mengikuti lomba lari marathon. Djiik…. kamu pasti bisa kan? Saya menjawab bisa. Yach….itu ide bagus dalam batin saya. Kemudian jam 5 sore saya siap-siap membawa pakaian berupa baju celana, dan membawa nasi serta lauk secukupnya. Dibungkus daun pisang dan kain serbet. Karena saya takut, jangan-jangan besuk perjalanannya sangat jauh. Saya bersiap-siap untuk berlari mengikuti bapak yang sudah naik mobil pickup merk Chevrolet jadul yang mengangkut pupuk. Saya masih teringat saat-saat mendebarkan seperti menjalani start lomba lari marathon. Saya bersemangat! Berlari dengan kencang, mengikuti mobil yang ditumpangi bapak, dari belakang. Beberapa km telah berhasil saya lalui. Sampai di Ngadirejo jalan semakin menanjak terus, karena desa Klesem berada di lereng gunung Sindoro. Nafas, terasa semakin sesak dan terengah-engah kecapaian, namun akhirnya sampailah saya di Desa Klesem kira-kira jam 18.00 WIB. Ketika saya sampai ke rumah Paman, saya masuk. Rupanya Bapak sedang duduk di amben (tempat tidur beralas tikar) dengan Paman,
Bibi, dan saudara-saudara. Mereka sedang membicarakan acara perjalanan besuk pagi ke Dieng. Ketika bapak melihat saya, beliau mengamati penuh tanda Tanya. Keesokan hari, akhirnya bukit demi bukit kami lalui, menuruni beberapa ngarai sangat curam disekitar perkebunan desa Tambi yang indah. Sayup-sayup terdengar suara alami yang syahdu dari daun cemara ketika terkena hembusan angin sepoi-sepoi basah. Khas hawa pegunungan! Wouw…. Subhanallah….. sangat indah dan asyik sekali rasanya. Kira kira jam 3 sore sampailah saya di desa Dieng, walaupun sangat melelahkan namun semua terhapus oleh indahnya panorama gunung Sindoro dan dataran tinggi Dieng, dimana pemandangan ini belum pernah saya jumpai. Yang dapat dipetik dalam kejadian tersebut ialah, apabila kita ada kemauan yang gigih dan bersungguh sungguh, maka Insya Allah akan berhasil dengan baik.
JARI KELINGKING SAYA DIGIGIT ULAR BERBISA Alkisah antara tahun 1962 sampai tahun 1966, area Pertanian tanaman padi, khususnya di kecamatan Jumo dan sekitarnya, berturut-turut tidak pernah panen dengan utuh. Atas gagasan baik dari seluruh guru di Sekola Rakyat (SR) Karangtejo, diputuskan bahwa setiap hari Sabtu selama jam pelajaran sekolah diadakan kegiatan kerja bakti, semua siswa beserta guru SR Karangtejo diharuskan turun ke ladang sawah, untuk memburu dan membasmi hama tikus. Ini demi membantu petani supaya tanaman padi, sayursayuran, palawija serta tanaman lainnya, aman sampai saat dipanen. Beberapa saat kemudian, saya dan teman-teman mendapatkan ratusan tikus yang telah mati dibantai. Kira-kira jam 09.00 WIB, saya masih bersemangat dan terlalu berani memburu. Mengejar salah seekor tikus besar yang lari masuk lubang pematang sawah. Tikus tersebut akhirnya berhasil kupegang, tetapi mendadak tangan saya disambar dan digigit ular Dumung warna hitam berbisa. Ular cukup besar, kira-kira sepanjang satu meter. Dengan sigap, beberapa guru menggotong dan mengantar saya memakai sepeda menuju rumah seorang pawang ular. Saya tidak akan bisa melupakan jasa para Guru juga temanteman yang menolong saya. Termakasih…Pak Guru & teman-teman atas pertolongannya. Ketika saya mengetik kisah sedih perjalanan kehidupan saya dimasa kecil ini, malam telah larut, jam dinding menunjuk pukul 1 dini hari, tak terasa, hangat air mata segera meleleh bulir demi bulir, menetes membasah, bersama hadirnya wajah-wajah penuh ikhlas, penyelamat jiwa saya ….. Bagi saya, peristiwa ini kejadian sangat dahsyat menakutkan. Seandainya terlambat sedikit saja, pasti, jiwa saya tidak tertolong berpisah selama-lamanya..
Walau jari kelingking saya cacat seumur hidup bekas luka gigitan ular sangat berbisa dan ganas, tetapi saya tetap senang, karena bisa membantu Petani membasmi hama tikus di Derah Kecamatan Jumo Temanggung.
KENANGAN SEMASA SEKOLAH DI SMP Setelah lulus SR Karangtejo, saya melanjutkan sekolah di SMP Persiapan Negeri di Ngadirejo Temanggung. Tiap hari senin sampai sabtu, berangkat dan pulang sekolah berjalan kaki menempuh jarak 3,5 Km. Kadang ikut numpang truk pembawa kayu dari daerah kandangan atau Jumo sampai Ngadirejo. Selama 3 (tiga) tahun, kulewati sudah suasana suka dan dukanya. Saya berusaha selalu gembira. Satu hal lain tidak mudah dilupakan hingga sekarang adalah sosok salah satu guru SMP bernama Bapak Sumitro BA, Kepala sekolah SMP Persiapan Ngadirejo. Orangnya pintar, ramah dan berwibawa. Beliau selalu memberi les secara gratis (tidak menerima uang kursus). Mengajar pelajaran matematika di rumah kediamannya setiap hari Sabtu sore, demi menambah pemahaman dan kepandaian untuk menguasai pelajaran matematika. Dimana pelajaran ini saya rasakan begitu sulit, seperti pendapat sebagian besar pelajar SMP. Sampai sekarang, kalau saya pulang kampung, sering menyempatkan walau sebentar, berkunjung dan bersilaturahmi ke rumah Beliau di Ngadirejo.
MERANTAU, SEKOLAH DI SEMARANG Setelah lulus SMP, saya mendaftarkan sekolah di STM N II di Jl. MT Haryono peterongan Semarang. Selepas mengikuti tes seleksi ujian saringan, saya diterima di jurusan Elektro. Nilai rapor mendapat nilai cukup, karena belajarnya kurang sungguh-sungguh. Setelah lulus STM N II Semarang, saya ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan di Universitas. Pilihan saya, kalau tidak di ATN ya Universitas Diponegoro di Semarang. Tetapi kedua orang tua mengatakan kalau kuliah tentu biayanya sangat mahal. Keempat adik saya kemungkinan besar tidak akan bisa melanjutkan sekolah, meskipun hanya sampai SMA. Dengan spontan timbul semangat untuk merubah pemikiran bahwa sekolah atau kuliah itu untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi bagi saya justru sebaliknya. Bekerja dulu lalu uangnya ditabung untuk biaya kuliah. Saya selalu minta saran dan do’a restu Kakak saya Mas. Soegini, apabila ada permasalahan maupun untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi di akademi maupun di Universitas. Pertama kali, saya bekerja di “ CV General Electonics “. Saya ditempatkan dibagian servis electronic. Setelah satu tahun lamanya, sedikit demi sedikit uang gajian saya tabung, selanjutnya, dengan uang tabungan tersebut, ditambah bantuan orang tua, saya mengikuti ujian masuk di ATN (Akademi Teknologi Negeri ) jurusan Teknik Elektro.
Alhasil saya diterima sebagai mahasiswa tahun 1974, yang belakangan diubah menjadi PAT Universitas Diponegoro Semarang. Alhamdulillah saya mendapat bantuan bea siswa Pemerintah sehingga dapat meringankan biaya kuliah selama 3 tahun. Tahun 1975 saya mengawali bekerja di CV “KOKOH“ yang memenangkan Kontrak pemasangan instaalasi Listrik di Komplek gedung Akademi Kepolisian (Akabri Kepolisian) di derah Candi Baru Semarang. Dilanjutkan proyek radar pesawat udara joint operation dengan Perusahaan Perancis di Pelabuhan Udara Jend. A. Yani Semarang, sebagai Coordinator Pelaksana lapangan. Pengalaman pertama naik pesawat udara kecil dan helicopter saat melakukan pengecekan lampu-lampu runway khusunya lampu VASI, serta peralatan radar yang salah satu peralatannya dipasang didalam gedung di daerah Janggli Candi Lama Semarang. Ketika pekerjaan sudah dan mendekati finishing kami beberapa kali diajak naik pesawat terbang kecil selama 2 jam, untuk pengecekan alat-alat penerbangan tersebut.
BEKERJA DI PT. PHILIPS INDONESIA Sebelum lulus ATN Semarang tepatnya pada waktu mengerjakan Skripsi dan tugas akhir, saya mempunyai teman bernama Hendricus Nono, yang sering bermain music bersama, folk song, Band, Kulintang di Semarang. Meskipun group music belum professional dan belum terkenal, namun sering dipanggil untuk mengisi hiburan kesenian pada acara ulang tahun, sunatan, resepsi perkawinan dll. Bahkan pernah mengisi acara di Jakarta, mengiringi dengan alat music gitar untuk ibu-ibu “IWAPI” Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia Jawa Tengah yang dihadiri oleh Ibu Negara RI (Ibu Tien Soeharto. Alm). Yah….Lumayan sih…bisa mendapatkan sedikit uang untuk tambahan biaya kuliah. Teman saya itu menginformasikan bahwa ada lowongan pekerjaan untuk tenaga Project Sales Engineer di perusahaan Om-nya bekerja. Yaitu PT. Philips Ralin Electonics yang berkantor di Jalan Pemuda 116 Semarang, Bersyukur sekali kepada Allah Swt, karena saya diterima menjadi karyawan Perusahaan International pada tanggal 2 Februari 1981, lalu 3 (tiga) bulan saya mengikuti training di Jakarta. Saya termasuk salah satu karyawan PT. Philips Indonesia yang beruntung, karena pada kurun waktu saya bekerja, hasil penjualan Nasional seluruh Indonesia sebagian besar pada akhir tahun selalu mencapai target penjualan. Hingga setiap akhir tahun sering diadakan meeting di Luar Negri diantaranya di Singapura, Bangkok, Australia dll. Disamping itu setiap akhir tahun sering sekali pergi dengan para Pelanggan meninjau pabrik (factory visit) perlampuan dan ballast di Belanda, Belgia, Perancis, lion, tentu saja dengan tidak membayar sendiri alias “ hoelf niet te betalen “. Sebab dibiayai oleh Kantor Philips Ralin Electronics Indonesia. Allah telah memberikan lebih dibanding keinginan sewaktu masih duduk di bangku SMP. Saya masih teringat pada suatu hari saya dipesan oleh Bapak yang artinya: “setelah kamu selesai atau lulus sekolah STM di Semarang, kamu harus bekerja mencari nafkah untuk Keluarga dengan baik, dengan syarat antara lain:
1. Harus Jujur, itu yang terpenting. 2. Pandai, bekerja keras dan disiplin. 3. Setia (Loyal) kepada Perusahaan yang memberikan kamu penghasilan atau uang gaji bulanan. Kata-kata bapak tetap selalu saya ingat dan saya pegang teguh. Insya Allah saya laksanakan.
DISAMPING BEKERJA SAYA MELANJUTKAN KULIAH Dalam kesibukan saya sebagai seorang Project Sales Engineer PT. Philips Indonesia, menangani pemasaran di area Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tahun 1988, saya melanjutkan kuliah di Universitas Tidar Magelang jurusan Elektro. Perjalanan kuliah cukup melelahkan, karena jaraknya lumayan jauh, kira-kira sejauh 75 Km dari Semarang. Berangkat sore hari, pulang larut malam. Namun akhirnya saya dapat menyelesaikan kuliah, lulus dari Universitas Tidar Magelang pada tahun 1992. Tak terasa waktu bergulir dengan cepat, sampailah pada tanggal 28 Januari 2010 umur saya genap 55 tahun. Sesuai dengan peraturan Perusahaan, saya harus menjalani masa pensiun dari perusahaan PT. Philips Indonesia, dimana saya telah bekerja selama hampir 30 tahun lamanya. Saat ini saya masih berkarir di Perusahaan yang baru yaitu PT. Shelter Prtima Perkasa. Dengan bekerja keras, disiplin dan jujur, Alhamdulillah Perusahaan kami yang baru berumur 1 (satu ) tahun dapat memenangkan tender pekerjaan pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Matahari, milik PT. Telkomsel, di kepulauan sekitar Sumatera. Diantaranya adalah Pulau Bangka, Pulau Siberut , Pulau Pinang dll.
MENDIRIKAN GROUP “NSC“ Sampai saya dewasa, bahkan saat saya sedang kuliah di PAT Universitas Diponegoro Semarang, kebiasaan merokok terus berlanjut. Namun, berawal dari melihat beberapa orang pekerja mengiris (merajang) tembakau saat mengasah pisau/Gobang ternyata menggunakan air ludahnya, maka sejak saat itu pula saya tidak tertarik lagi merokok. Kemudian saya memutuskan berhenti merokok. Disamping itu, dalam peraturan agama Islampun termasuk tidak dianjurkan (Makruh). Kemudian saya mulai mendirikan group Persatuan tidak merokok, dengan singkatan “NSC“ (No Smoking Club ). Akhirnya saya mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pembaca, adik-adik dan anak-anak yang masih duduk dibangku SD, SMP, SMU dan SMK. Terutama Penggagas, Poro Kadang “Forum Ikatan Kadang Temanggungan“ (FIKT) kinasih, khususnya Panitia Pengurus penerbitan buku MMC-3, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk berpartisipasi mengisi tulisan kisah nyata ini.
Harapan saya, kisah masa lalu saya ini, mudah-mudahan dapat bermanfaat, untuk perubahan yang lebih baik dimasa yang akan datang. Yang jelek jangan ditiru, yang baik usahakan lebih baik lagi.
Soemadji SR Karangtejo lulus th. 1966, SMP Ngadirejo lulus th 1969, STMN II Semarang lulus th. 1972
DARI LOR KALI KUAS KE LIMA BENUA
SUMPENO DJOPAWIRO Sendang-Walitelon, Temanggung
Setiap kali aku di depan komputer untuk mencari ilham menulis sesuatu, ingatanku selalu kembali ke perjalanan dan pengalaman hidup selama ini. Selain mengelola galeri griya koleksi, di usia senjaku kuisi dengan menyibukkan menulis. Dari dulu hingga purnatugasku, aku memang memiliki jiwa wirausaha atau mencipta sesuatu yang baru. Wirausaha telah aku lakoni sejak kecil, yaitu menulis sesuatu, mengumpulkan dan membuat kliping serta hobi koleksi benda-benda unik. Ternyata, dari wirausaha yang kecill dan sederhana, saat ini menjadi sebagai salah satu kegiatan (utama) mengisi waktu dimasa purnatugas, bahkan diluar dugaan dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi sesama, selain mendapatkan keuntungan finansial. Rasanya aku sangat dimanja Gusti Allah dengan segala nikmat dan kemudahan kehidupan selama ini, berbakti dan berkarya bagi negara selama kurang lebih 40 tahun dan menjalankan pensiun dengan tenang dan nyaman. Aku adalah anak desa. Aku dilahirkan di Desa Sendang Walitelon terletak sebelah utara Kali Kuas, masuk kelurahan Walitelon, Temanggung. Desaku dinamakan Walitelon karena— konon—di kelurahan tersebut terdapat tiga wali (kyai), yang kini hanya tinggal 3 pesareannya saja. Aku pun tidak tahu sebenarnya siapa saja tiga wali tersebut. Aku dilahirkan di sana dua hari sebelum kemerdekaan. Jadi meski hanya dua hari, aku masih mengalami jaman penjajahan Jepang. Aku dilahirkan dari pasangan Djopawiro Rusman dan Rumini Pawit, bungsu dari 6 bersaudara, 5 laki-laki dan 1 perempuan. Latar belakang keluarga orang tuaku tidak terlalu berada, namun juga tidak terlalu berkekurangan, sedang-sedang sajalah. Meski demikian, falsafah orang tuaku walau kondisinya pas-pasan tetapi ayah berprinsipsekuat tenaga membekali anak-anaknya dengan pendidikan semampunya. Doa dan harapan beliau adalah dengan sekolah agar anak cucunya bekerja di tempat teduh. Ternyata falsafah tersebut menurun ke semua anaknya. Hormat dan terimakasih kepada beliau dan kakak-kakakku yang selama ini dengan penuh kesungguhan mendorong dan membiayaiku bersekolah. Kakak pertama dan kedua yang bersekolah di zaman penjajahan Belanda bercerita bahwa almarhum ayah pernah khusus dipanggilkepala sekolah dan Ndoro Camat, untuk ditanya apakah benar sanggup membiayai sekolah anak-anaknya. Diantara keenam bersaudara, semuaberprofesipendidik kecuali mbakyu (perempuan) satusatunya, dan aku sendiri yang tidak menjadi guru, tetapi jadi pegawai negeri. Kehidupan sehari-hari sebagaimana kehidupan keluarga desa, biasa dan tidak ada yang menonjol. Kebetulan adik ibu, mak lik (bibi) tidak mempunyai keturunan sehingga otomatis
kami berenam diaku sebagai anak juga oleh beliau. Kami semua merasa mempunyai dua orang tua yaitu ayah ibu sendiri dan keluarga pak lik. Apalagi aku, dari kecil sering tidur berpindah-pindah dari rumah orang tua ke tempat rumah pak lik yang kebetulan berdekatan. Satu kenangan di masa kecil yang tidak pernah aku lupakan adalah sewaktu ayah meninggal. Waktu itu, aku bermimpi rumahku terbakar. Dalam keadaan menyaksikan terbakarnya rumah, aku dibangunkan dan diberitahuayah meninggal. Waktu itu umurku 8 tahun. Akibatnya, otomatisaku dan pak lik - mak lik makin kental. Kenangan lainmasih selalu kuingatsewaktumenderita sakit tifus. Menurutkakak, sakitku cukup parah, bahkan katanya sudah—barangkali—koma, sehingga semua anggota keluargamenangis. Berkat anjuran seorang tetangga, hidungku digosok bawang merahhingga siuman dan akhirnya dirawat di rumah sakit Magelang selamalebih 1 bulan. Aku tidak ingat apa-apa. Aku baru sadar setelah terkena sinar matahari saat keluar dari rumah sakit. Meski desakudekat dengan wilayah kota Temanggung, tetapi kondisi desa masih terbatas, fasilitas umum masih minim, jalan masih tanah, listrik belum masuk, rumah warga kebanyakanberdinding bambu (gedeg),hanya satu duamemiliki radio dan sepeda, profesi penduduk umumnya petani. Waktu itu hanya beberapa anak bersekolah. Di seluruh kelurahan hanya ada duaSekolah Rakyat (SR), itupunsampai kelas tiga. Masih ingat sewaktu umur 6 tahun akudiopyak-opyak Pak Lurah untuk sekolah karena banyak anak yang menolak dan menangis tidak mau sekolah. Termasuk orang tuayang tidak mengijinkan anak-anaknya bersekolah, karena lebih baik membantu mereka para orang tuabertani atau di-ngenger-kan (diikutkan kepada orang lain lebih berada untuk membantu bekerja). Di SR Gunung Payung, sekolah hanya sampai kelas 3 sehingga bagi yang akan melanjutkan harus pindah ke kota. Akumenginginkansetelah kelas 4 bisa sekolah ke kota, karena sekolah di kotasebuah kebanggaan. Ternyata, setelah selesai kelas 3, dibuka kelas 4 di SR Gunung Payung, meski belajarnyanebeng di rumah Pak Lurah. Demikiantahun berikutnya, setiap naik kelas, selalu dibuka kelas baru sehingga praktissekolah dasarku tidak kesampaian sekolah di kota. Ujian sekolah dasar waktu itu dilakasanakan serentak di seluruh Indonesia dan seperti momok, apalagi sekolah ndesa seperti SR Gunung Payung. Buktinya, dari sekitar 30 orang anak yangujian hanya 3 orang yang lulus. Bagi yang lulus, bisa melanjutkan pendidikanke sekolah negeri seperti SMP, SMEP, SKP, dan STN. Alhamdulilah aku dapat diterima di SMP Negeri I Temanggung.di pinggir jalan arah ke pemandian Mudal,sebelah timur alun-alun. Gedung sekolah masih sederhanademikian juga murid-muridnya. Masih ingat, memakai sepatupun setengah dipaksa kakakkarena malu melihat akunyeker ke sekolah. Maklum selama sekolah di SR selalu nyeker, boro-boro seragam seperti sekarang. Kalau hari Senin saja diwajibkan memakai pakaian putih-putih yang modelnya terserah dan berbeda-beda.
Akupunya cita-citangekos (indekost) dan sekolah diMagelang setelah lulus SMP. Tetapi tahun 1959 di Temanggung dibuka SMA. Alhasil harapan dan cita-cita sekolah di kota besar gagal lagi. Buku-buku dan pakaian cukup nglungsurkakak. Bukucatatan dibuat dua muka, halaman depan untuk bahasa Indonesia sedang halaman belakang untuk Sejarah, dengan buku tulis yang paling murah. Meskipun uang sekolah hanya beberapa puluh rupiah,namun terasa sangat mahal. Kelas 1 SMA pungutanuang gedungRp 500 dan boleh dicicil1 tahun. Ada aturan bagi yang terlambat membayar akan selalu diumumkanguru yang sedang mengajar di kelas. Tentu saja menimbulkan gelak ketawa kalau namaku disebutkan apalagi oleh guru yang kebetulan kakakku sendiri. Aku termasuk angkatan gaya lama (SMA bagian A, B dan C) terakhir. Lulus tahun 1964. Setelah selesai ujian SMA,aku diajak keliling ke para sesepuh dan keluarga untuk silaturahmi dan berpamitan. Semula aku tidak mengerti apa maksudnya. Ternyata oleh keluarga,akudisuruh ngumboro (mengembara-red)mengikuti kakak yang telah mengajar di Tangerang. Berbekalsatu tas pinjaman, aku bawa seluruh “harta kekayaan”pakaian dan uang. Sebagian uang—juga atassaran dari family—disuruh simpan di dalam kaos kaki.
Dijambret Perjalanan ke Jakarta saat itu merupakan perjalanan sangat jauh, harus melalui Semarang atau Yogyakarta. Ke Jakarta memakai kereta apisiang hari. Dari Temanggung favoritnya lewat Semarang. Dengan dititipkan kepada kenalan yang sudah biasa ke Jakarta, pagi hari dengan bus dari Temanggung ke Semarang. Lalu aku menginap satu malam dan pagi harinya berangkat dengan kereta api ekonomi pagi- pagi dari stasiun Tawang. Kereta api cukup penuh dan kebetulan aku duduk dekat pintu sehingga tas barang aku simpan di rak dekat pintu. Menjelang masuk Jakarta, ada kejadian luar biasa. Tasku dijambret orang dari luar dan aku harus berebut atau eneng-enengan dengan penjambret itu. Hasilnya, aku hanya mendapatkan satu tali tas yang terlepas. Dan tas berisi seluruh harta kekayaan lenyap dibawa orang. Aku hanya bisa menangis nelangsa. Sesampai di Tangerang tinggal pakaian yang melekat di badan dan sebagian sangu yang tersimpan di kaos kaki. Bayangan, untuk segera mendapat pekerjaan atausekolah yang murah ternyata tidakmudah terwujud. Akumenggangur. Selamamengganggursempat pulang pergi ke Lampung mengadu nasib mencari pekerjaan, tetapi tidak berhasil. Demikian juga melamar pendidikan berbasis bea siswa atau ikatan dinas ke beberapa tempat tidak berhasil juga.Akademi Penerbangan Indonesia, Curug Tangerang, Akademi Perhotelan Bandung, Akademi Migas Jakarta dan lain-lain pernah aku lamar tetapi tidak diterima. Demikian juga waktu mengikuti tes masuk universitas baru di Magelang (yang baru dibuka) tidak juga lulus. Suatu hari, dalam masa penantian tersebut, kakakmembawa harian Kompasberisi iklan penerimaan pegawai Deplu melalui pendidikan terlebih dahulu yang diadakan oleh Departemen Luar Negeri (Kementerian Luar Negeri sekarang). Selama pendidikan sudah diangkat menjadi pegawai negeri. Kakakmenyarankan aku melamar. Aku persiapkan lamaran beserta lampirannya. Dengan mengucap bismillah dan niatkuat,aku melamar di
Deplu. Ternyata peminatnya banyak dan berasal dari berbagai tempat. Tes berupa tes umum, pengetahuan bahasa, teknik dan wawancara. Atas rida Allah, ternyata akululus seleksi, padahaldilihat dari penampilanku, aku tidak sementerengpemuda dari kota besar lain. Aku hanya memakai sepatu olah raga, maklum tidak punya sepatu kulit. Sewaktu tes teknikaku tunjukkan keluguanapa adanya. Ketika ditanya bisa membetulkan radio transistor?. Aku jawab tidak. Maklumdi rumah tidak punya radio. Beberapa hari kemudian datang surat pemberitahuanaku dinyatakan lulus tesdan dapat mulai mengikuti pendidikannya di Jakarta. Menjelang G 30 S meletus aku sedang mengikuti pendidikan di Jakarta. Karena statusku sudah sebagai calon pegawai Deplu, aku dan kawankawanharus di-screening dan memperoleh ijazah sebagai tanda bersih dari G 30 S, dimana pada jaman Orde Baru sangat penting. Selama pendidikan, perjuangan dimulai. Bulan-bulan pertama berangkat dari Tangerang pagi-pagi dan biasanya numpang naik truk pasir. Karena jarak Tangerang – Jakarta cukup jauh dan memerlukan ongkos cukup banyak. Atas ijin kakak, aku diterimamenumpang di ruang garasi seorang pegawai Deplu yangakan bertugas ke Luar Negeri. Dengan menumpang di garasi (yang tidak perlu bayar) aku harus bisa hidup dengan gajikecil, sehinggamasih perlu bantuan kakak. Gaji yang aku terima sangat pas-pasan. Pernah besarnya gaji hanya senilai harga sepasang kaos kaki. Namun, disamping gaji aku mendapat jatah beras, kadang jagung bahkan pernah bulgur. Kamibertiga dengan teman senasib. Guna mengelola hidup,aku harus sangat hati-hati khususnya dalam urusan makan. Sewaktu mendapatjatah beras, ketika menanak nasi air diperbanyak supaya nasi jadi banyak, sedangpagi sarapan singkong atau ubi rebus. Demikian kehidupan sebagai pegawai negeri permulaan berlangsung sampai 5 tahun. Pada tahun keenam atau tepatnya tahun 1971 aku mendapat penugasan ke luar negri untuk pertama kali, yaitu ke negeri tirai besi (Uni Soviet), sehari sebelum lebaran Idul Fitritahun 1971 dan untuk pertama kalinya bepergian naik pesawat ke luar negeri menuju di KBRI Moskow, Uni Soviet. Bepergian ke luar negeri saat itu tidaksederhana seperti sekarang. Banyak pesan dan nasihat yang aku terima khususnya dari para senior termasuk pimpinan kantor mengenai perjalanan di pesawat. Salah satu pesannya, waktu makan di pesawat terbangharus sesuai dengan aturan, serbet dipasang dengan rapi, pisau di tangan kanan, garpu di tangan kiri, semua makanan harus dipotong kecil-kecil baru dimakan. Sewaktu pertama kali mendapat makan di dalam pesawat, aku praktikkan dan wanti-wanti kepada istri yang duduk disampingku. Secara sembunyi aku melirik bule yang duduk di sebelahku. Ternyata dia dengan enaknya memegang makanan tanpa memotong dengan pisausantai sekali. Pengalaman selama di KBRI Moskow merupakan salah satu pengalaman yang sulit aku lupakan karena keunikannya. Saat itu hubungan Indonesia – Uni Soviet masih diliputi trauma dan kecurigaan terhadap Uni Soviet pada G 30 S, sehingga masih penuh kehatihatian. Tidak saja antarpemerintah, tetapi para staf KBRI pun demikian juga. Bagi orang
asing di Moskow waktu itu masih sangat terbatas fasilitasnya. Rumah-rumah di kosentrasi pada satu apartemen khusus, yang dijaga siang malam. Mendapatkan apartemen pun harus melalui MID (Kementerian Luar Negri Soviet), bahkan mencari pembantu setempat juga demikian juga. Karena rasa ketakutan, makanya setiap saat sepertinya diawasi. Pada waktu keluar masuk kompleks apartemen, kebetulan si penjaga dapat telepon sehingga seolaholah kita dilaporkan. Banyak pengalaman unik lainnya selama bermukim di Uni Soviet antara lain kalau bepergian ke luar negeri naik kereta api, kereta apiganti roda di perbatasan. Pengalaman kelahiran anak pertama yang sangat berlainan dengan di Indonesia dimana isteri seperti di karantina, antre membeli barang-barang yang dirasa baru dan aneh antara lain antre beli kacamata hitam wanita. Indoktrinasi paham mulai kanak-kanak antara lain anakku yang oleh pembantusetempat sampai hafal doktrin antara lain “Ni rabotet ni kuset” artinya siapa yang tidak berkerja tidak makan dan belakangannya ditambah “kata kakek Lenin” (tokoh komunisme). Demikian juga pengalaman di negara lain seperti di Denmark, negeri putri duyung dimana dengan patung kecil ditepi laut di Kopenhagen Denmark (patung putri duyung) dan pusat permainan lego - pulau mainan (pabrik lego) serta pantai tempat bertemuanya dua arus, kesemuanya dikemas untuk menyedot turis asing. Di negeri hitam Nigeria, orang setempat masih membudayakan makan uwi sebagai makanan utama serta semangat hitam yaitu semangat generasi mudanya yang giat merantau ke luar negaranya baik sebagai olahragawan atau teknisi ilmu modern. Demikian juga sewaktu di Madrid, Spanyol, Negeri Matador dan kunjungan ke Cordoba kejayaan Islam. Sebagai daya pikat wisatawan asing adalah Matador dan matahari (pantai untuk berjemur). Lain lagi pengalaman diKualalumpur, Malaysia. Di sini meski sangat berdekatan dengan Indonesia tetapi suasananya lain. Banyak didapati problem TKW, bagaimana negeri jiran ini memajukan pariwisata. Dan tidak kalah mengesankannya adalah sewaktu naik haji di akhir abad 20(1999) berangkat dari negeri jiran. Sebagai akhir penugasan adalah negeri Sakhru Khan, New Delhi, India. Banyak hal yang bisa kita pelajari antara lain pejabat yang diharuskan memakai mobil buatan India sebagai mobil dinas dan kota Mumbai tempat Bolywood atau Holywoodnya India yang ternyata hanya sebuah taman yang luas yang dimanfaatkan sebagai pusat shooting film-film India yang jumlahnya berpuluh judul setiap bulannya. Alhamdulilah dengan penempatan di berbagai negeri serta penugasan tertentu, akhirnya lima benua di dunia pernah aku kunjungi. Begitu besar karunia Allah SWT ing ngatase wong ndesa kok bisa. Di tahun 2005 sebagai akhir purnatugas setelah berdinas sejak tahun 1966, aku berdomisli dan menetap di Jakarta. Saat ini kegiatan utama adalah meneruskan wirausaha sebelumnya yaitu menulis dan hobi koleksi serta mengelola galeri griya koleksi.
Sebagai generasi manula ingin menerapkan pituturJawa “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani” yang artinya di depan memberi contoh teladan, di tengah membimbing dan membangun dan di belakang menyokong dan mendorong. Itulah sekelumit pengalaman yang sengaja ingin ditinggalkan kepada anak cucu Wong Manggung. Harapan dan obsesiku adalah generasi muda khususnya yang masih belajar di bangku sekolah di Temanggung atau di mana saja, manfaatkan segala karunia Allah SWT. Kelebihan atau kekurangan dijadikan sebagai sarana untuk menggapai cita-cita dan masa depan. Manfaatkan segala apa yang ada sebagai dampak kemajuan zaman untuk kegiatan positif seperti tidak harus jalan kaki ke sekolah karena sudah ada transportasi, manfaatkan waktu luang untuk belajar dan kegiatan positif. Belajar sudah tidak dengan lampu teplok lagi, karena penerangan sudah sangat terang. Maka harus dijadikan pemicu dan pemacu giat belajar. Demikian juga berbagai media dan teknologi informasi yang berkembang cepat harus dimanfaatkan untuk menambah pengetahuan dan wawasan. Sejak masih di bangku sekolah, belajarlah wirausaha yaitu mencoba mencipta sesuatu yang baru, baik berbentuk karyapenulisan (ide, gagasan), penemuan sesuatu, atau penelitian yang belum pernah diadakan. Semoga generasi baru Wong Manggung lebih berhasil dan berjaya di segala bidang. Amin
Pondok Labu, Maret 2012 Seputar pendidikan penulis:
SR GUNUNG PAYUNG WALITELON 1958 SMP NEGRI I TEMANGGUNG 1961 SMA NEGRI I TEMANGGUNG 1964
Dari Dongkelan Lor Sampai Timor Lorosae TRI AGUS SUSANTO Dongkelan, Temanggung
Ada tiga kejadian berskala nasional (mungkin internasional) yang masih saya ingat ketika usia anak-anak di Temanggung. Pertama ketika pemakaman presiden pertama Republik Indonesia Soekarno. Saat itu, awal 1970-an, kami siswa SD di Jampiroso (duludipakaiSMP Negeri 2 Temanggung)berhamburan keluar kelasmenyaksikan rombongan pesawat terbangmembawa jenasah Bung Karno dari Jakarta ke Blitar, Jawa Timur. Peristiwa kedua, setelah kejadian Malapetaka 15 Januari 1974 di Jakarta, saya ikut membaca koran milik tetangga, saya lupa nama korannya, yang memberitakan peristiwa kerusuhan di ibukota. Koran itumemuat gambar-gambar mobil buatan Jepang dibakar atau didorong massa ke sungai. Peristiwa Malari bermula protes dari gerakan mahasiswa atas kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kuike Tanaka. Peristiwa ketiga yang membekasketika dua kepala negara, Indonesia dan Australia, pada 1975, melewati jalanan Temanggung. Kedua pemimpin itu, Presiden Soeharto dan PM Gouth Whitlam, berunding empat mata di Wonosobo. Sebagai siswa kami dikerahkan ke jalanan dengan membawa bendera kedua negara. Ketiga peristiwa tadi, tentu saja tak dapat saya mengerti karena masih anak-anak. Namun kelak puluhan tahun kemudian, saya jadi mengerti tentang peristiwa-peristiwa tersebut, bahkan menjadi bagian kecil dari kelanjutan sejarah panjang bangsa ini.
Kemiskinan Bukan Halangan Saya lahir dari keluarga biasa saja, di Dongkelan Lor atau Jampiroso Utara, tepatnya belakang Klenteng - Kantor Polisi Resort Temanggung. Keluarga saya dibilang miskin tidak, tetapi juga bukan keluarga berada. Penghidupan kami dari jualan pakaian di Pasar Kliwon. Nenek kami, berjualan pakaian dari pasar ke pasar dari kecamatan ke kecamatan, seperti Kaloran, Tepusen, Kranggan, Kedu dan lain-lain, sesuai hari pasaran. Saya anak ketiga dari lima bersaudara. Dari keluarga kami – baik keluaga ibu dan ayahsebelumnya tak ada yang menuntut ilmu sampai perguruan tinggi. Paling tinggi lulus SMA. Dalam hal pendidikan, yangmendobrak pertama kali kakak saya, Hariyanto (lahir 1958) alumnus SMA Negeri Temanggung. Kiniseorang doktor lulusan Universitas Gajah Mada dan mengajar di Universitas Negeri Malang, Jawa Timur. Sebelumnya, S-1lulus di IKIP Yogyakarta dan S-2 selesai di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Setelah lulus SD, sebenarnya saya diterimadi SMP Negeri 2 Temanggung, namun karena saat itu keuangan keluarga kami sedang kempis, keluarga memutuskan saya tak masuk
SMP yang saya idamkan, melainkan menyekolahkan saya di SMP Kristen atau BOPKRI yang letaknya di samping kantor Kodim. Bagi saya, yang penting adalah motivasi si pelajar itu sendiri. Sekolah, mungkin biasa-biasa saja. Namun saya bisa mencari kekurangannya di luar sekolah. Di SMPsaya sempat menjadiwakilsekolah dikirim mengikuti kompetisi pelajar teladan se-Kabupaten Temanggung. Ada satu halsaya ingat saat di SMP, yakni dikala istirahat tiba para siswa menikmati makan dan minum di warung sederhana milik ibunda Dhidik Nini Towok, maestro tari, yang terletak di seberang sekolah kami. Meski dari SMP bukan favorit, saya dapat masuk SMA Negeri Temanggung. Kalau tak salah, saya satu-satunya pelajar yang diterima dari SMP tersebut. Selama satu semester atau setahun, beberapa kelas harus menempati ruang kelas di Maron, tepatnya di komplek STM Pembangunan. Seperti remaja lainnya, selain belajar, kegiatan lainantara lain bersepeda, main atau mandi di Pikatan - berenang di sungai Bayurip (Kali Kuas), atau menonton film di gedung bioskop City Theatre, dekat terminal lama. Dua kegiatanSMAmasih terkenang hingga kini adalahmendaki Gunung Sumbing, bersama aktivis lingkungan dan pendaki gunung LS2C (Lembah Sumbing Sindoro Club) dan berkelana ke Candi Gedong Songo hingga Parangtritis dengan menumpang kendaraan terbuka,tidur di tenda yang kami bawa sendiri bersama tiga kawansekampung, Sumarlan, Widhi Setyo Jatiasmoro, Tony, dan Robertus Wiyatno (Bibiek). Pada 1981, saatnaik kelas dua SMA, paman saya Soetimboel, saat itu kepala Dinas Sosial Kabupaten Manokwari Irian Jaya, berkunjung ke Temanggung. Ia mengajak saya sekolah di Manokwari. Tanpa pikir panjang saya mengiyakan. Saya hanya ingin mencari pengalaman hidup diluar Temanggung, sejak itu saya meninggalkan Temanggung, untuk waktucukup lama. Di SMA Negeri 416 Manokwari, satu-satunya SMA negeri di kota itu, saya jadi terlihat paling pandai. Maklum sebagai keluarga pejabat di kota tersebut segala fasilitas terpenuhi. Langganan koran dan majalah nasional, meski datangnya sering terlambat, kebutuhan buku-buku juga tercukupi. Yang paling menyenangkan‘ritus’, mendengarkan radio internasional berbahasa Indonesia seperti Radio Australia, Radio BBC London dan Radio Netherland, Helversum.
Tak Hanya Kuliah di Kampus Lulus SMA di Papua Barat 1982, saya langsung pindah ke Jakarta. Di ibukota saya kuliah di IKIP Jakarta, kini Universitas Negeri Jakarta (UNJ), jurusan Pendidikan Moral Pancasila Kewargaan Negara (PMP-KN). Tak hanya kuliah, saya juga langsung aktif di berbagai kegiatan kampus seperti Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Pers Mahasiswa. Berbagai pelatihan jurnalistik dari tingkat dasar sampai lanjut saya ikuti, baik di kampus sendiri maupun perguruan tinggi lain.
Pers mahasiswalah yang mengenalkan saya kepada dunia politik.Saya mempunyai istilah khusus untuk jaringan aktivis pers mahasiswa antarkampus se-Indonesia, yakni: ukhuwah persiah. Sembari aktif di pers mahasiswa dan LSM, saya bekerja sebagai reporter di beberapa media antara lain majalah Manajemen Indonesia, majalah mingguan berita Editordan majalah keuangan dan perbankan InfoBank, sampai tahun 1994. Tahun 1989 bersama beberapa aktivis pers mahasiswa dari Jakarta dan Yogyakarta, saya mendirikan Yayasan Pijar. Lembaga ini kemudian menjelma menjadi PIJAR Indonesia, Pusat Informasi Jaringan Aksi untuk Reformasi Indonesia. Banyak pengamat menilai kelompok ini kumpulan anak-anak muda pemberang. Sebuah organ perlawanan politik yang disebut oleh Anders Uhlin—pengamat politik Indonesia asal Swedia sebagai penganut ideologi populisme kiri. Kami di PIJAR mengambil posisi politik sebagai oposisi terhadap Presiden Soeharto yang kami pandang sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap rusaknya tatanan Indonesia. Bentuk perlawanan politik kami racik dalam bentuk sedikit “guyonan”, tetapi justru racikan yang tidak lazim dalam perlawanan politik itu memberi pengaruh luar biasa terhadap élan dan militansi aktivis PIJAR.
Penjara Tak Membuat Saya Jera Konsekuensi melawan rezim yang berkuasa adalah masuk penjara. Pada Maret 1995, saya ditangkap polisi dengan tuduhan menghina presiden. Polisi menyatakan melalui penerbitan buletin Kabar dari Pijar (KDP), saya menghina presiden melalui tulisan berjudulAdnan Buyung Nasution“Negeri ini dikacaukan oleh seorang bernama Soeharto”. Polisi menuduh saya melanggar Pasal 134 KUHP, yaitu menghina kepala negara, yang ancaman hukumannya enam tahun penjara. Pasal ini kini sudah tak ada, karena Mahkamah Konstitusi telah menganulirnya. KDP yang menjadi alasan penangkapan saya terbitan 1994. Sejak itu saya harus mendekam di balik jeruji rumah tahanan polisi Jakarta Pusat. Tak seperti para terdakwa kasus korupsi atau kriminal lainnya yang umumnya mendadak berpenampilan alim, saya tidak sama sekali. Penampilan saya di sidang amat santai, tetap ceria, selalu memakai kaos oblong atau t-shirt bertulisan kata-kata kritis. Saya justru menjadikan persidangan itu menjadi panggung politik. Saat itu saya didampingi beberapa pengacara, antara lain Trimedya Panjaitan S.H. dan Bambang Widjojanto, S.H. Trimedya kini anggota Komisi III DPR RI dari PDI Perjuangan, sementara Bambang kini anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Trimedya menganggap saya klien seumur hidup karena berkat kasus saya namanya menjadi diperhitungkan di dunia kepengacaraan. Saat membacakan eksepsi atau keberatan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum, saya menulis sendiri eksepsi dengan penuh humor. Bahkan saya membacakan eksepsi yang ditulis di atas kertas yang disambung hingga menjuntai ke lantai. Pendek kata, pembacaan eksepsi itu seperti pembacaan naskah humor atau sekarang terkenal dengan nama standup comedy.
Pada pembacaan pledoiatau pembelaan saya atas tuntutan empat tahun penjaratak kalah heboh. Saya menulis puluhan halaman pembelaanjauh lebih panjang dan lucu dibanding eksepsi. Pledio berjudul Zaman Edan: Sak beja-bejane wong edan isih luwih becik wong edan tur kuoso. Tak ayal panggung persidangan menjadi seperti pentas comic yang sedang open mic. Kumpulan eksepsi, pledoi ditambah beberana tulisan saat saya di penjara, telah dibukukan dengan kata pengantar Goenawan Mohamad, wartawan senior Tempo. Saya divonis hukuman penjara selama dua tahun. Saya sama sekali tidak menyesal, karena itu merupakan risiko jalan yang saya pilih, dan menjalaninya dengan santai. Banyak pengalaman selamamenjalani hukuman dua tahun di lima penjara, yakni Rutan Polres Jakarta Pusat, Rutan Salemba, LP Cipinang, LP Cirebon, dan LP Subang. Selama di penjara saya menerima kiriman surat dan kartu pos lebih dari 6.000 pucukdari seluruh penjuru duniayang diorganisir oleh Amnesty International. Bahkan saya sempat mengundang kolektor perangko ke Rutan Salemba untuk memiliki koleksi perangko saya, hanya menukar dengan kock bulutangkis. Di LP Cipinang,sempat bertemu dan bersahabat dengan Xanana Gusmao, tokoh perlawanan Timor Lesteyang kini menjadi perdana menteri. Saya juga bersahabat dengan Fernando ‘Lasama’ Araujo, yang kini menjabat sebagai ketua parlemen negeri tetangga tersebut. Wawancara saya dengan Xanana Gusmao (yangdijaga amat ketat), menjadi wawancara pertama antara dia dan seorang wartawan secara face to face. Hasil wawancara, saya selundupkan keluar dan dimuat di media mancanegara. Pihak LP Cipinang menduga sayalah yang melakukan wawancara tersebut. Mereka lalu menghukum saya dengan membuang ke LP Cirebon, penjara yang jauh lebih ketat dan jauh dari ibukota. Kata WS Rendra, dalam sebuah puisinya, penjara tak akan membuat burung elang berubah menjadi nuri. Usai menjalani pidana selama dua tahun, saya tetap berada di barisan gerakan prodemokrasi. Bahkan secara khusus saya mulai ‘mengusik’ isu yang jarang dilakukan orang - tentang Timor Timur. Bagi saya yang tunduk kepada konstitusi UUD 1945, kemerdekaan ialah hak segala bangsa oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.Kalimat Xanana Gusmao yang selalu saya ingat: gerakan prokemerdekaan Timor Leste dan gerakan prodemokrasi Indonesia mempunyai tujuan berbeda tetapi musuh yang sama.
Dari Dongkelan Lor sampai Timor Lorosae Pada 14 Juli 1998, bersama aktivis laintermasuk wartawan dan pengacara, kami mendirikan Solidamor, solidaritas Indonesia untuk Timor Leste. Saya dipercaya menjadi manajer kampanye. Tugas sayamembuat orang Indonesia mengerti apa yang sesungguhnya terjadi di Timor Leste. Berbagai kegiatan dari survei, diskusi, workshop, membuat buku, pentas seni, sampai demontrasi di jalan, dilakukan Indonesia. Puncaknya kegiatan memantau jajak pendapat di 1999. Puluhan wartawan dan ratusan relawan dikerahkan di
buku, peluncuran dan diskusi di Jakarta atau kota lain di Timor Timur pada 30 Agustus daerah yang sedang bergolak
tersebut.Sejarah mencatat, negara baru telah resmi berdiri pada 20 Mei 2002 tersebut dan kini menjadi tetangga Indonesia. Merasa demokrasi sudah kian bersemi di Indonesiadan Timor Leste sudah merdeka, saya mulai memfokuskan perhatian terhadap kampanye demokratisasiBurma atau Myanmar. Salah satu negara ASEAN ini hingga kini belum menghirup udara demokrasi. Sebenarnya sejak 1996, PIJAR telah melakukan kampanye isu Burma, namun baru pada tahun 2000 menjadi lebih fokus ketika berdiri Koalisi Masyarakat Sipil untuk Burma (KMSuB). Di koalisi ini, lagi-lagi saya ditunjuk sebagai manajer kampanye. Selain itu pada saat yang sama saya diminta ALTSEAN Burma–Alternative ASEAN Network on Burma, menjadi perwakilannya di Jakarta. Pada 2007 saya merasa tak ada lagi kegiatan yang membutuhkan terlalu banyak energi seperti sebelum 1998 dan 1999. Karena itu saya kembali menambah ilmu dengan kuliah lagi di Magister Komunikasi Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Kembali ke kampus merupakan saatmenyenangkan. Banyak pengalaman dan kenanganmenjadi aktivis. Pada 1994, ketika tak ada yang berani memenuhi undangan panitia konperensi internasional tentang Timor Leste di Manila, Filipina, dua aktivis PIJAR, termasuk saya menghadiri konperensi. Pada 1997, saya dan beberapa aktivis menghadiri undangan konperensi internasional tentang Timor Leste diUniversitas Porto, Portugal. Selama menjadi aktivis beberapa negara selain Filipina dan Portugal, yang saya kunjungi adalah Thailand, Malaysia, Kamboja, Singapura, Burma, Timor Leste, Belanda, Swiss, Inggris, Jerman, Hongkong, dan Kanada. Bertemu dengan banyak tokoh dunia dan aktivis mancanegara merupakan pengalaman berharga. Setidaknya saya telah bertemu dengan tiga orang pemenang hadiah Nobel Perdamaian, yaitu Jose Ramos Horta dan Uskup Ximenes Belo dari Timor Leste dan Aung San Suu Kyi tokoh demokrasi dari Burma. Selain itu bertemu dengan politisi dan akademisi lintas negara, sungguh memberi pengalaman yang tak ternilai. Salah satu momen penting ketika saya dan kawan-kawan berhasil mempertemukan Abdurrahman Wahid dan Amien Rais dengan Xanana Gusmao di LP Cipinang. Ada pengalaman uniksaat berada di bandara Frankfurt, Jerman, saya bertemu dengan seseorang yang tak terduga. “Cah nDongkelan Temanggung yo?” kata seseorang yang membuat saya kaget. Rupanya dia adalah anak Rolikuran, kampung yang berdempet dengan Pasar Kliwon, tetangga Dongkelan. Kampung ini memang terkenal sebagai kampung yangpemudanya banyak bekerja di kapal internasional.
Transisi dari Aktivis ke Akademisi Kini saya tinggal di Yogyakarta bersama dua anak saya, Helga Natasha Kasih Suukyi dan Shirin Natasya Tresna Prasanti, dan ibu mereka Dyah Paramitha Widikirana. Boleh jadi, saat ini adalah masa transisi saya, dari aktivis ‘jalanan’ menjadi akademisi kampus. Kegiatan rutin saya sekarang adalah mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD”. Selain mengajar, menulis adalah
kegiatan yang tak dapat saya tinggalkan. Menulis artikel opini di koran-koran seperti Koran Jakarta, Jawa Pos, Harian Jogja, Majalah Tempo, Seputar Indonesia, Media Indonesia dan lain-lain, serta saya telah menulis beberapa buku. Kepada adik-adik yang kini masih sekolah di Temanggung, tak ada alasan untuk berhenti bermimpi hanya karena keterbatasan ekonomi keluarga kita. Tak ada yang tak mungkin jika kita serius mencapainya. Berpikirlah out of the box, jadilah orang kreatif dalam bidang masing-masing. Bermimpilah dan berkerja keraslah untuk mencapainya. Selain perdalam ilmu kalian masing-masing, tak lupa, kuasai dua hal: bahasa Inggris dan keahlian dalam hal Informasi Teknologi.
Yogyakarta, 21 April 2012
Seputar Penulis. TRI AGUS SUSANTO Lahir Temangung, 13 Agustus 1963 Beragama Islam, Menikah, 2 anak Alamat Yogyakarta: Perumahan Graha Citra No. 2C, Tegalrejo RT 01/Rw09, Sariharjo, Ngaglik, Sleman 55581, DI Yogyakarta Telpon: 0858 832 41 531, Email:
[email protected] Alamat Temanggung: Jl KH. Ahmad Dahlan 152, Dongkelan Lor,Temanggung Pendidikan: -
Lulus SD Negeri VII Jampiroso di Temanggung 1975 Lulus SMP Kristen “BOPKRI” di Temanggung 1978 Lulus SMA Negeri di Manokwari, Papua Barat, 1982 Lulus S 1 Universitas Negeri Jakarta, jurusan PMP-KN, 1992 Lulus S 2 Universitas Indonesia, FISIP, Jurusan Ilmu Komunikasi, program Magister Manajemen Komunikasi Politik, 2009
Pengalaman Organisasi: -
Ketua Unit Pers Mahasiswa/PimRed Majalah DIDAKTIKA UNJ 1989-1990 Anggota aktif Lembaga Humor Indonesia (LHI), 1990-2000 Pemimpin Redaksi bulletin “Kabar dari Pijar” 1989-1995 Manajer kampanye Solidamor 1998-2003 Manajer kampanye KMSuB (Koalisi Masyarakat Sipil untuk Burma), 2003-2007 Kepala perwakilan ALTSEAN (Alternative ASEAN for Burma) di Jakarta, 2005-2007
Pengalaman Kerja: 1. Wartawan majalah Manjemen Indonesia 1989-1990 2. Wartawan majalah InfoBank 1990-1992
3. 4. 5. 6.
Wartawan majalah Editor 1992-1994 Usaha Dagang PoliTshirt, produksi kaos tema politik 1998-2007 Dosen Ilmu Komunikasi di STPMD “APMD” Yogyakarta, 2011 Sekretaris Prodi Ilmu Komunikasi STPMD APMD Yogyakarta, 2011-2014
Buku / Tulisan: 1. Timor Leste Merdeka, Indonesia Bebas (Solidamor, 1999) kata pengantar Xanana Gusmao 2. Mati Ketawa Cara Timor Leste (Solidamor, 2001) kata pengantar Xanana Gusmao 3. Gerr Aceh Merdeka (Garba Budaya, 2003) 4. Humor Pemilu 2004 (SEAPA Jakarta, 2004) 5. Menghias Cakrawala Indonesia, Biografi Wage Mulyono (mantan Dirut Garuda Indonesia) (Q Communication, 2004) 6. Media dan Pemilu (SEAPA Jakarta, 2005) 7. Senyum Dikulum Tsunami (2006) 8. Dari Stadion Teladan ke Senayan, Biografi Trimedya Panjaitan (Sinar Harapan, 2006) 9. Ensiklomedi Politik Indonesia (Leutika, 2010) 10. Obama Bicara, Kumpulan Pidato Pilihan (Leutika, 2010) 11. Merapi Tak Pernah Ingkari Monarki (GERAM, 2011)
Dari Gembala Itik Menjadi Ahli Eksplorasi Minyak Wahyu Triyono Banjarsari, Ngadirjo
Saya dilahirkan di Lereng Gunung Sindoro, Desa Banjarsari Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung 48 tahun lalu dari keluarga sederhana. Orang tua sayaguru SD,saya anak kedua dari lima bersaudara. Saat saya kecil, desa tempat kami tinggal masih termasuk terpencil. Mobil sangat susahmenjangkau desa saya, sebab jalan masih tanah dan berlumpur. Akses ke kota Ngadirejopunmasih harus berjalan kaki terlebih dahulu. Kondisi ekonomi orang tuasangat minim. Kami menempati sebuah rumah gedek, bahkan di bawah tempat tidur (longan)terpaksa kamipakai untuk kandang kelinci dan bebek. Masih segar dalam ingatan untuk makan nasi saja masih sangat terbatas. Tahun 1970-an harga beras sangat mahal, kami sekeluarga terpaksa makan bulgur (mungkin sekarang untuk makanan burung), terkadangberas tekad (beras sintetisterbuat dari telo-kacang-jagung). Bahkanharus “diganjal” ubi supayamencukupi. Sekolah saya di SD Banjarsari Kec.Ngadirejo sampai kelas 3. Setelah orang tua pindah ke Desa Karang Gedong saya melanjutkan kelas 3 di SD Karang Gedong. Disinilah saya menamatkan sekolah dasardan beruntung mendapat rank (peringkat) 3. Selepas SD melanjutkan sekolah di SMP Negeri Ngadirejo dengan prestasi sekolahtidak terlalu jelek namunbukan rank pertama, mungkin sedikit di atas rata-rata. Setelah itu,melanjutkan di SMA Negeri 1 Temanggungtahun 1980 dan lulus 1983. Selama di SMAprestasi sayasedang-sedang saja, hanya saja saya selalu punya prinsip untuk selalu tekun. Karena ketekunan bisa mengalahkan kecerdasan. Saatlulus SMA saya punya obsesi harus melanjutkan ke Perguruan Tinggi (PT), namun orang tua mensyaratkan harus di PerguruanTinggi Negeri (PTN) karena kalau di swasta tidak mampu. Oleh sebab itu saya punya tekad harus bisa masuk PTN. Sejak memasuki kelas 3 SMA saya tidak pernah lepas dari buku-buku pelajaran, terutama yang bersangkutan dengan persiapan ke UMPTN. Sayabertekadkuatharus kuliah dengan syarat dari orang tuaharus di PTN. Saat itu sedang gencar beberapa bimbingan tes swasta seperti Primagama, Gama 81 dll. Ketika meminta uang kepada ibu untuk ikut bimbingan tes jawaban ibu sangat mengejutkan sekaligus memotivasimengandalkan kuasa Tuhan. Beliau menjawab, “Ibu tidak punya uang untuk bimbingan tes, kamu bimbingan tes dengan Tuhan saja!...”. Perkataan ibubenarbenar memotivasi saya untuk terus mengandalkan kuasa Tuhan dan tetap ulet - tekun, meski keadaan orang tua sangat terbatas.
Saat saya mulai mempersiapkan diri untuk ujian UMPTN, ada sebuah mottoditulispenulis buku persiapan UMPTN - Ir. Jero Wacik, terbitan Ganeca Bandung, sangat memotivasi saya: “Ada dua hal untuk bisa mencapai kesuksesan, yaitu kecerdasan dan ketekunan, sayang sekali hal yang pertama adalah bawaan lahir namun Anda bisa mencapainya dengan cara yang ke dua”, setelah membaca motto ini membuat saya benar-benar termotivasi. Siang malam, bahkan ketika ke sawah pada saat menggembalasapipun saya membawa buku pelajaran. Di manapun sejak saya duduk di kelas 3 SMA, di dalam bus atau dimanapun,selalu membawa buku. Dalam setiap kesempatansaya tidak pernah lepas dari buku persiapan UMPTN. Karena mimpi saya adalah harus bisa masuk PTN. Hal itu membuat motivasi saya teramat sangat kuat, mengalahkan semua rintangan dan halangan. Meski saat di SMA saya harus indekos dan memasak sendiri, bahkan untuk beraspun saya harus membawa dari kampong. Semua keterbatasan ekonomi dan fasilitas dari orang tuatidak membuat saya surut dan minder untuk mencapai obsesi saya,MASUK UNIVERSITAS NEGERI. Berkat kemurahan Tuhan dan hanyakarena anugrahNya saja, saya diterima di 2 PTN yaitu Universitas Gadjah Mada Jurusan Fisika/Geofisika dan Universitas Negeri Sebelas Maret Jurusan Pertanian. Akhirnya saya memilih kuliah di Jurusan Fisika/Geofisika UGM, karena memang ini adalah bidang yang paling saya sukai sejak SMP. Perjuangan tidak sampai di situ. Saat saya kuliah, uang dari orang tua sangat terbatas. Saya tetap mempunyai rasa percaya diripenuh semangat. Selama kuliah saya tetap memasak sendiri dan membawa beras dari rumah. Bahkan (maaf ya..) saya membawa beras jatah pegawai negeri yang baunya sudah tidak sedap, namun karena hanya ituadanya maka saya tidak pernah mengeluh ataucomplain kepada orang tua. Menginjak semester ke 4, saya kuliah sambil bekerja sebagai tenaga tentor di bimbingan tes Prima Gama. Mengajar mata pelajaran Fisika, Matematika dan Bahasa Inggris untuk anak-anak SMA dan SMP. Dari penghasilan itu saya justru bisa membantu uang saku untuk adik saya yang SMA, mengingat, saya dan 5 orang bersaudara menjadi beban orang tua yang cukup berat. Dengan menggunakan sepeda onthel, sehabis kuliah saya menghabiskan waktu keliling Yogya untuk mencari tambahan beaya. Kadang di tengah siang hari bolong harus mengayuh sepeda untuk mengajar. Semua saya jalani dengan sukacita karena satu hal, saya harus bisa menjadi seorang sarjana! Apapun rintangannya, baik biayaterbatas, fasilitasminim dan tantanganberat lainnya, tidak pernah menyurutkan niat untuk menjadi seorang sarjana geofisika!! Akhirnya dengan segala perjuangan danterutamakarena kemurahan Tuhan, sayalulus sarjana dengan prestasicukup baik pada tahun 1989. Rasanyaseperti sebuah mimpisaat saya diwisuda, ibuberkata sambil mencucurkan airmata, “aku tidak pernah sangka anakku yang saat kecil makan bulgur dan kurang gizi bisa menjadi seorang Sarjana Geofisika”. Saat itu,sungguh saya rasakan keharuan yang teramat dalam!. Perjalanan hidupdilanjutkan pada babak baru yang tidak kalah berat!, Yaitu mencari pekerjaan di Jakarta. Saat itu, saya tidak punya saudara atau teman yang bisa saya
tumpangi selama mencari pekerjaan di Jakarta. Saya berangkat ke Jakartatahun 1989dengan bekal uang Rp. 30.000,- dan tidak tahu harus menumpang di mana. Waktu itu, saya sudah punya pacarseorang wanita yang sekarang menjadi pendamping hidup, kebetulan dia mempunyai saudara jauhtinggal di Jakarta. Jadi, ya di situlah saya terpaksa menumpang selama mencari pekerjaan di Jakarta. Dari satu kantor ke kantor lainsaya memasukkan lamaran kerja. Kadang harus berjalan kaki ber kilo-kilo meter menyusuri Jl. Rasuna Said Kuningan, Jl. S.Parman Jakarta Barat dan tempat lain untuk memasukkan lamaran. Samoai akhirnya saya mendapat kesempatan tes di sebuah perusahaan Amerikabernama Petromer Trend. Bersyukur saya diterima. Di situlah saya merintis karier sebagai Junior Ahli Geofisika, tahun 1990 bulan Agustus. Saya bekerja di Perusahaan inilebih dari 7 tahun dan jabatan terakhir sayaSenior Ahli Geofisika. Selama berkarier, saya menemukan beberapa lapangan minyak dan gas di daerah Kepala Burung Irian Jaya. Banyak halsaya dapatkan selamabekerja di perusahaan minyak asing. Satu halpenting adalah rasa percaya diri. Bahwa kita - anak-anak dari pelosok desa Temanggung, tidak akan kalah bersaingdengan orang lain, termasuk dengan bangsa asing! Ada suatu pengalamancukup membuat saya tertantang, yaitu saat akan dilakukan pemboran sumur minyak di Irian yang bernama Sumur Matoa-20. Saya mengusulkan suatu konsep baru, yang sebelumnya belum pernah dipakai. Pada awalnya saya ditentang habishabisan oleh para senior, karena dianggap keluar dari konsep yang sudah “mapan”. Namun karena saya mempunyai alasan teknis yang kuat, saya tetap bertahan dengan konsep saya. Kebetulan pada saat itu ada expatriate (pekerja asing), seorang doctor geologi bule yang baru datang di Indonesia. Saya mempresentasikan apa yang menjadi usulan saya. Setelah mendengar pemaparan saya, dia mendukung untuk di bor. Hasilnya diluar dugaan, ternyata bagus sekali! Sejak saat itu konsep eksplorasi yang saya usulkan terus dipakai sampai sekarangdan akhirnya lebih banyak lagi cadangan minyak dan gasditemukan dengan konsep eksplorasi baru tsb. Dari sini saya melihat, bahwa sebenarnya kita tidak kalah dengan orang daerah lain,termasuktidak kalah dengan bangsa lain! Ada beberapa penemuan lain yang menjadi catatan tersendiri bagi perjalanan karier saya di situ. Setelah berkarier di perusahaan ini selama 7 tahun lebih dengan karier yang cukup bagus, saya ditawarijoin dengan perusahaan asing lain - Premier Oil. Di perusahaan ini saya tidak lama, kemudian pindah ke perusahaan Amerika Gulf Indonesia Resources (sekarang menjadi ConocoPhillips). Di perusahaan ini saya dipercayamengeksplorasi daerah Laut Madura(Ketapang Blok). Tanggung jawab saya mulai dari survey untuk mencari dimana minyak terkumpul, sampai menentukan lokasi pemboran dan kedalaman dimana minyak dan gas berada. Di daerah ini sebenarnya sudah terdapat 8 buah sumurbor, namun selalu gagal. Sumursumur ini di bor oleh beberapa perusahaan minyak asing namun kurang berhasil. Kami bersama tim, dipercayamengevaluasi daerah ini. Ternyata kami melihat ada suatu konsep geologi yang kurang tepatsehingga menjadi penyebab kegagalan pemboran sebelumnya.
Akhirnya kami pelajari dan mengusulkan pemboran dengan konsep pemikiranberbeda dengan sebelumnya. Ternyata hasilnya luar biasa, kami usulkan 4 sumur semuanya dan berhasil menemukan cadangan minyak dan gascukup besar, yaitu: sumur Bukit Tua-1, Bukit Panjang-1, Jenggolo-1 dan Payang-1. Sumur-sumur tersebut saat ini dikelola oleh Petronas Malaysia dan sedang dalam persiapanproduksi. Sekali lagi, membuktikan Anak Desa Temanggung tidak kalah dengan bangsa lain! Setelah penemuan 4 sumur, berita ini menggemparkan lingkungan perminyakan, karena daerah ini, sebelumnya telah dikenal kurang bagus untuk di-explore. Beritapenemuan lapangan minyak ini didengarseorang pengusaha lokal, seorang wanitasedangmerintisbidang eksplorasi minyak dan gas. Saya dipanggil dan dimintamenjadi konsultan dalam proses pembelian sebuah blok calon lapangan minyak dan gas. Setelah berhasil dibeli, saya dimintajoin dengan perusahaan tersebut dan akhirnya saya pindah ke perusahaan tersebut, untuk merintis perusahaan minyak mulai dari nol. Di perusahaan ini saya dan tim benar-benar men-set perusahaan dari awal dan semua karyawannyaorang Indonesia. Diperusahaan ini - RIMS ENERGY, saya mendapat jabatanChief Geophysicist, suatu jabatan tertinggi untuk bidang saya. Di sini saya bertanggung jawab untuk semua pekerjaan yang berhubungan dengan survey dan analisa geofisika serta penentuan lokasi pemboran. Pengalamanmenarik ketika saya belajarmerintis sebuah perusahaan minyak dari nol dan saya harus mencari investor. Kami berhasil menarik investor asing,Petronas Carigali dari Malaysia. Perusahaan pun berubah menjadi Joint Operating Company Petronas-Rims. Banyak halsaya pelajari selama di perusahaan ini. Sebagai contoh saya harus meyakinkan kepada pemilik modal untuk melakukan sebuah pemboran eksplorasi di lepas pantai (offshore) dengan biaya satu sumur sekitar Rp 70 Miliar. Itu belum termasuk biaya survey dan biaya lain-lain yang beresiko sangat tinggi. Hal ini cukup berat karena pemilik modal lokal relatif kurang berani mengambil resiko, mengingat besarnya dana yang harus dipertaruhkan. Dalam hal ini saya dan tim benar-benar mempertaruhkan reputasi sebagai seorang explorasionist. Sekali lagi berkat kemurahan dan bimbinganNya tim kami berhasil menemukan cadangan minyak dan gas dari 3 sumur eksplorasi yaitu Sumur Turitella-1, Sumur Belemnite-1 dan Sumur Nummulites-1. Juga menjadi catatan, di daerah ini sebelumnyapernah dilakukan pemboranperusahaan Amerika, namun tidak berhasil menemukan cadangan minyak dan gas. Sekali lagimembuktikan, kalau kita selalu mengandalkan Tuhan dantekunmelakukan pekerjaan, maka Tuhan akan memberkati setiap apa yang kita lakukan dan menjadikannya berhasil. Dalam setiap pekerjaan saya selalu ingat kata-kata ini,“terkutuklah orang yang mengadalkan manusia dan diberkartilah orang yang mengandalkan Tuhan”. Di perusahaan ini saya bekerja4 tahun. Setelah perusahaan ini bekerjasama dengan Petronas, saya menjadi representative Petronas di Indonesia. Dalam setiap pekerjaan, saya harus mempresentasikan di kantor Pusat Petronas di Kuala Lumpur. Pada kesempatan
seperti ini saya di challenge oleh para ahli eksplorasi dari seluruh dunia. Ini merupakan saat-saattidak pernah terlupakan, karena saya harus mempertahankan pendapat saya. Ada suatu pengalamansangat menarik, setelah berhasil mengebor 3 sumur, pihak perusahaan ingin melakukan pemboran sumur ke-4. Pada saat mengusulkan pemboran sumur ke 4 ini ada perbedaan pendapat antara usulan saya dan usulan seorang expatriate berkebangsaan Amerika. Saatdi adu argumentasi di depan forum, saya bersikukuh dengan pendapat saya, namun sebagian besar mendukung pendapat expatriate Amerika tsb. Tidakdipungkiri bahwa masih banyak orangunder estimate terhadap orang Indonesia, termasuk orang Malaysia - bahkan oleh orang Indonesia sendiri. Mereka menganggap“Bule” selalu lebih pinter. Dalam kesempatan adu argumentasisangat alot selama 2 hari, akhirnya perusahaan memutuskanmengebor seperti usulan expatriate tsb. Saya “kalah”. Namun didalam benak, saya tetap punya keyakinan dengan apa yang saya sampaikan. Oleh karena pelaksanaan pemboran diserahkan kepada saya sebagai representative Petronas di Indonesia, sementara menurut analisa saya dilokasi tersebut tidak terdapat kandungan minyak dan gas, maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, saya menulis email (electronic mail-surat elektronik) kepada pucuk pimpinan Petronas Carigali menyatakan bahwa saya “hanya sebagai pelaksana dan usulan pemboran ini tidak mencerminkan pendapat pribadi saya sebagai seorang ahli”. Hal ini sangat penting karena dalam setiap pelaksanaan pemboran, setiap orang akan diminta pertanggungjawaban. Terlebih lagi kalau gagal atau timbul masalah. Ternyata benar, setelah pemboran dilaksanakan dengan menelan beaya sekitar Rp 70 Milliar, pekerjaan tersebut gagal, tidak menemukan cadangan minyak seperti apa yang sudah saya prediksi sebelumnya - pada saat presentasi di Kuala Lumpur. Setelah selesai pemboran saya dipanggil General Manager,dia memberi selamat, karena ternyata pendapat sayabenar. Di situ, para tim ahliPetronas mulai memberi kepercayaanlebih kepada saya dan tim. Akhirnya kontrak kerja expatriate yang mengusulkan pemboran tersebutlangsung diputus saat itu juga, karena dianggapgagal. Setelah bekerja selama 4 tahun di Petronas-Rims, saya mendapat tawaranbekerja di sebuah perusahaan yang juga baru merintis. Pemiliknya seorang Inggrisberkantor pusat di Singapura, saya dan tim dipercayamerintis perusahaan ini di Indonesia, sebagai perwakilan perusahaan di Indonesia. Perusahaan ini bernama Pearl Energy. Saya menangani beberapa wilayah antara lain daerah Jambi Sumatra, Kepala Burung Irian Jaya, daerah Selat Malaka dan Lepas Pantai Jawa Timur. Saya dipercaya untuk menangani semua pekerjaan operasi dan analisa geofisika di ke empat wilayah tersebut. Suatu kepercayaansangat besar dengan posisi jabatan serta fasilitascukup bagus. Saya harus mempresentasikan pekerjaan ini langsung kepada pemilik perusahaan di Kantor PusatSingapura.Selama di perusahaan ini saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan study S2 pada jurusan Teknik Geologi Minyak Bumi di ITB, dan lulustahun 2009.
Di perusahaan ini saya bekerja sekitar 3 tahun. Usulan sumur yang di bor bernama Lengo1, Lisah-1 dan Liyun-1, yang tidak lainberarti minyak. Nama “minyak tanah”di daerah Temanggung. Lokasi pemborandi daerah Lepas Pantai Jawa Timur,dekat daerah Tubanbernama Bulu Block. Lapangan ini sekarang sedangproses untuk diproduksi. Disamping itu sayaberhasil menemukan cadangan minyak tambahan di daerah Jambi, di sumur Mangoepeh South-1. Setelah bekerja sekitar 3 tahun, saya mendapat tawaran bekerja di Perusahaan Inggris British Petroleum (BP). Di BP saya diberikepercayaanmengevaluasi lapangan-lapangan tua yang sudah dianggap tidak bagus - telah berproduksi puluhan tahun tetapi sudah direncanakan akan ditinggalkan. Daerah operasibernama ONWJ (Offshore Northwest Java), daerah ini membentang dari Lepas Pantai Jakarta sampai ke lepas pantai Cirebon. Salah satunyalapangan minyak yang sudah berproduksi sejak tahun 1980 dan sudah akan ditutup. Saat saya diberi kepercayaanmengevaluasi, sayausulkan beberapa terobosan“mendobrak konsep lama” atau out of the box. Sudah dapat diduga, sebagai orangbaru masuk tetapi tiba-tiba membuat suatu terobosan baru, pasti banyak mendapat tentangan, terutama dari para senior yang sudah lama di perusahaan tersebut. Namun sepertisebelumnya, saya selalu gigih mempertahankan apa yang menjadi pendapat saya danbagus sebagai suatu terobosan. Akhirnya Vice President(VP) memberi kesempatansayamelakukan uji coba metode yang saya usulkan dalam pilot project dengan biaya tidak terlalu banyak. Setelah melewati prosesmelelahkan, akhirnya metodeusulan saya dilakukan. Dilanjutkanpembuktian dengan pemboran. Akhirnya terbukti, lapangan yangsudah masuk dalam skenario penutupan ternyata masih menyimpan cadangan minyaksangat besar. Akhirnya produksi minyak meningkat. Lapangan tersebut sekarangmenjadi lapangan sangat menarik dan terus dikembangkan dengan metode usulan saya. Setelah 2 tahunbekerja di BP, Pertamina mengambil alih saham BP. Ketika Pertamina sebagai operator di ONWJhampir semua karyawan diambil alihPertamina, termasuk saya. Semenjak di Pertamina saya semakin diberi keleluasaanmembuat terobosan-terobosan. Saat inidiberi kepercayaanmengevaluasidaerah-daerah yang sulit dilakukan dengan metode conventional. Saya sedang melakukan studyuntuk membuat terobosanpencarian minyak dan gas bumi, bekerja sama dengan para ahliITB. Sebagai karyawan Pertamina, saya selalu memegang teguh prinsipintegritas dalam pekerjaan dan tidak melakukan kompromi yang bersifat untuk kepentingan sendiri. Itulah perjalanan karier saya di bidang pekerjaan minyak dan gas bumi. Disamping itu, saya juga belajar berbisnis, meski tidak ada latar belakang bisnis namun saya percaya Tuhan akan memampukan setiap orang yang berharap kepadaNya. Tahun 2007memulai bisnismembeli saham perusahaan yang sudah akan gulung tikar, perusahaan ini bergerak di bidang jasa tenaga kerja dan konsultan. Setelah saya beli, istri saya yang menjalankan perusahaan. Diapun tidak memiliki latar belakang bisnis,dulu kuliah di IKIP Semarang, setelah 1 tahun menjadi guru SMA di Magelang dia menjadi ibu rumah tangga.
Keuletan dan ketekunan akan mengalahkan segalanya. Meski pada awal dia bekerjamengoperasikan computer saja tidak bisa, namun dengan keuletan, kemauankeras dan terutama karena tuntunanNya, maka dia dapat menjalankan bisnis. Perusahaan ini sudah berkembang pesat bahkan sudah membuka cabang di beberapa kota besardi Indonesia. Tahun 2008,atas tuntunanNya juga saya mendirikan perusahaan barubergerakbidang jasa perminyakan, bekerjasama dengan para ahliUGM. Salah satu misiusaha ini adalahmemasarkan teknologi hasil penemuan para dosen, yang selama ini hanya sebatas penelitian dan tidak ada nilai komersialnya. Selamalebih 2 tahun, perusahaan ini berusahamemasarkan salah satu teknologi pencarian minyak dan gas bumi terbaru. Teknologi inipenemuan para dosen Jurusan Geofisika UGM dan telah melewati perjalanan panjang untuk meyakinkan para user di perusahaan minyak. Akhirnya teknologi tersebutdiakuidan banyak digunakanbeberapa perusahaan multi nasional. Bisnis ini memberi dampak efek domino, dengan adanya proyek ini ada beberapa halpositif yaitu: teknologi kita diakuipara ahli kelas dunia di kalangan perminyakan, para dosen dan mahasiswa mendapat pengalaman praktek langsung di lingkungan perusahaan minyak yang secara ekonomisangat membantu. Sebab dengan adanya proyek, dosen dan mahasiswa mendapat income secara legal dari hasil penelitiannya. Metode ini sudah dipakai di beberapa perusahaan kelas dunia dan telah terbukti. Suatu kebanggaan bila kita bisa membuat suatu link bisnis secara profesioanal dan menciptakan lapangan kerja bagi banyak orang serta mengangkat derajat bangsa ini dimata dunia internasional. Untuk rencana ke depan, kita akan masuk kepasar global khususnya Asia Tenggara dengan sasaran perusahaan-perusahaan minyak di wilayah tersebut. Di sisi lain, saat ini saya aktif dalam penanganan anak asuh khususnya di kampung halaman dengan cara memberi beasiswa kepada anak-anak SD, SMP dan SMA. Kegiatan ini sudah saya lakukan bertahun-tahun sebagai bukti ucapan syukurkepada Dia yangmemberkati secara luar biasa. Sehingga sudah sepantasnya saya membagikan apa yang saya terima, semua dari Dia oleh Dia dan untuk Dia. Hal ini juga terus saya tularkan kepada orang lain supaya berpartisipasi. Saat ini telah ada sekitar 75 anak, mulai dari SD, SMP dan SMA yang setiap bulan mendapat bantuan pendidikan, baikdi wilayah Temanggung maupunkalangantidak mampu di Jakarta. Ini akan terus saya kembangkan bersama-sama dengan teman-teman yang mempunyai kepedulian terhadap sesama. Disamping bantuan pendidikan, saat ini sayamembantu orang-orangkurang mampu serta menggalang dana lewat teman-teman yang relamemberikan sembako kepada orang-orang yang membutuhkan. Itu kami lakukan secara rutin setiap bulan. Kegiatan lain, sayadipercaya menjadi pembicara diseminar-seminar mengenai eksplorasi minyak dan gas, bekerja sama dengan HAGI (Himpunan Ahli Geofisika Indonesia) dan AAPG (suatu himpunan keahlian di bidang geofisika dan geologi tingkat dunia) di berbagai Universitas, antara lain seperti: UGM, UPN, UNDIP, UNIBRAW, UNIV. LAMPUNG, UNSRI
PALEMBANG, UNIV. MATARAM LOMBOK. Dalam waktu dekat, banyak Tinggimeminta sayamenjadi pembicara seminar tentang eksplorasi tersebut.
Perguruan
Sebagai informasi, untuk seminar semacam ini saya tidak menerima bayaran alias gratis dan disponsoriPertamina, sebagai bentuk kepedulianmeningkatkan keahlian para generasi muda Indonesia di bidang eksplorasi. Demikianpengalaman hidup saya, dari seorang anak yang sejak kecil hidup dalam segala keterbatasan dan kekurangan, namun selama kita memiliki kemauan - Tuhan pasti akan menuntun menuju jalan kesuksesan. Pengalaman ini saya tulis tidak bermaksud untuk memamerkan suatu keberhasilan. Dimata Tuhan, keberhasilansebenarnya adalah kedekatan kita kepadaNya. Namun pengalaman ini saya tulisuntuk memotivasi setiap para pembaca terutama anak-anak muda di wilayah Temanggung termasuk yang tinggal di pelosok-pelosok desa, supaya jangan pernah menyerah kepada keadaan. Baik karena ekonomi orang tua, fasilitasterbatas atau bahkan karena kita merasa tidak mampu. Sebab, kesuksesan bisa diraihmelalui ketekunan. Di lain pihak, apabila Tuhan memberi kepercayaan kepada kita untuk menikmati berkatberkatNya, jangan lupa, semua itu tidak untuk diri sendiri, melainkan harus kita salurkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Halutama adalah, jangan pernah menyombongkan diri dengan apa yang Dia percayakan kepada kita, karena semua hanya karena Dia. Semoga pengalaman hidupini dapat memotivasi para pembaca dan mampu membangkitkan semangat juangtinggi, tidak kenal lelah dan tidak kenal menyerah.
Seputar Penulis: Wahyu Triyono Senior Ahli Eksplorasi dan Produksi PERTAMINA
Perjalanan Hidup Itu, Sudah Ditentukan oleh Allah SWT, Kita Boleh Punya Keinginan dan Cita-Cita, Tetapi Semua Itu Sudah Ada Garisnya, Kita hanya Bisa Berusaha dan Menjalani Hidup Ini Dengan Ikhlas Wardijasa Muntung
Hariistimewa ketika matahari bersinar sangat cerah, angin bertiup kejar kejaran membelah desa kecil nan hijau. Tanggal tigabelas bulan Mei tahun seribu sembilan ratus tiga puluh tujuh, menghantarkan saya terlahir ke dunia, diantarahijau dan rindangnya sebuah desa sangat asri. Ketika saya mulai menempuh kuliah di UGM tahun 1956, awalnya saya memilih Fakultas Kedokteran. Tetapi suasana kuliah membuat saya merasa tidak nyaman. Saya hanya betah mengikuti kuliah selama tiga bulan. Kuliahnya cukup berat, sebab harus berangkat jam empat pagi - khawatir tidak kebagian tempat di bangku depan. Maklum, saat itu belum ada sound system (pengeras suara). Sehingga hanya mahasiswa yang kaya saja yang dapat duduk di depan dan dapat menangkap apa yang dikatakan oleh para dosen, sebab mereka dengan mudah berangkat ke kampus naik sepeda motor, sehingga mereka bisa “ngeblok” duduk di bangku depan. Tak kerasan kondisi seperti itu, saya pun pindah fakultas. Tahun 1956 saya memutuskan pindah ke Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia di perguruan tinggi yang sama - UGM. Saya kuliah di sini hingga tingkat doctoral I. Beruntung, pada tahun1960, saya mendapat tawaran studi ke luar negeri di Kanada dalam program Colombo Plan. Saya ikut tes dan lulus seleksi. Setelah dinyatakan lulus dari Nova Scotia Technical College, Chemical Engineering Department, Kanada tahun 1962, saya kembali ke tanah air dan langsung mengajar di Jurusan Teknik Kimia UGM. Saya sangat senang sebab dapat memenuhi keinginan orang tua saya yang mengharapkan saya menjadi guru, sebuah cita-cita yang luhur tidak terlalu muluk-muluk. Barulah kali ini, cita-cita saya menjadi guru kesampaian, yakni guru di universitas alias menjadi seorang dosen.
Muntung, desa asri nan sejuk
Setelah lulus SD, orang tua saya mengharapkan saya menjadi seorang guru. Saya berusaha memenuhi permintaan mereka. Namun sayang, setiap kali saya mencoba, setiap kali itu pula saya gagal. Setelah lulus dari SD Muntung tahun 1950, saya ingin meneruskan pendidikan ke Sekolah Guru B (SGB) di Magelang. Kalau saja saya berhasil masuk dan belajar selama empat tahun, setelah lulus saya akan langsung mengajar di Sekolah Dasar. Sayang, saya tidak diterima. Jadi, saya terpaksa melanjutkan sekolah ke SMP di Temanggung. Setelah lulus dari SMP pada tahun 1953, saya mencoba kembali mendaftar Sekolah Guru A (SGA) di Semarang, dengan harapan setelah empat tahun sekolah di SGA, akan langsung mengajar di SMP. Lagi-lagi, saya tidak berhasil masuk ke sekolah guru. Akhirnya, saya pun melanjutkan pendidikan ke SMA di Magelang.
Mengajar di Kampus Biru Saat mengajar di JurusanTeknik Kimia UGM, saya sempat menjadi Ketua Jurusan selama dua tahun, yaitu tahun 1964-1966. Namun saya merasa gelisah jika harus terus-menerus mengajar tanpa pernah memiliki pengalaman lapangan. Beruntung kegelisahan itu tidak berlangsung lama. Akhir tahun 1965, Rektor UGM waktu itu, Prof. DR. Ir. Herman Yohannes menugaskan saya melakukan kunjungan kerja ke pabrik pengilangan minyak Shell di Palembang. Sebelum sampai di sana, saya mampir ke PT. Pupuk Sriwijaya (Pusri), yang saat itu merupakan pabrik petrokimia paling modern di Indonesia. Namun, tiba-tiba saya ditawari PT Pusri untuk bekerja di sana. Sesudah saya rundingkan dengan istri yang waktu itu juga sudah bekerja di Fakultas Teknik, serta restu orangtua dan izin dari Rektor dan Dekan Fakultas Teknik UGM, maka saya terima tawaran itu. Dan pada bulan Maret 1966, saya dan keluarga pindah ke Palembang. Ada satu hal yang mengesankan, meskipun telah mengajar dan menjadi Ketua Jurusan selama empat tahun, saya tetap saja diperlakukan sama dengan para peserta tes yang lain. Hal ini saya sadari karena memang saya belum mempunyai pengalaman di lapangan sehingga disamakan dengan para sarjana baru fresh graduate yang dulu pernah saya uji.Namun hal ini saya terima dengan iklas dan ternyata memberikan hikmah dan landasan saya untuk meniti karir selanjutnya. Sejak pertama bekerja di Pusri, saya praktikkan bekerja untuk mengabdi. Saya sangat bersemangat. Bagi saya, bila pekerjaan dilakukan dengan ikhlas, pekerjaan itu akan ringan dan mudah yang sekaligus juga merupakan ibadah. Saya meniti karier di Pusri dari bawah seperti Sarjana baru yang lain. Pada tahun pertama, saya melakukan pekerjaan Shift Foremen Urea Plant. Setahap demi setahap posisi saya naik. Awalnya supervisor, kemudian Kepala Seksi Utilitas hingga Wakil Manajer Produksi di tahun 1970. Pada tahun 1975 sebagai Pimpinan Produksi, tahun 1979 sebagai Pimpinan Umum Pusat Produksi. Dan pada tahun 1981-1986 jabatan Direktur Produksi PT Pusri dipercayakan kepada saya.
Selama di PT Pusri, dan dimanapun saya mengabdi, selalu berusaha untuk memberikan sumbangsih terbaik sebagai salah satu prinsip saya dalam bekerja, termasuk pada pengembangan pabrik PT Pusri ini. Jika awalnya, produksi terpasang PT Pusri 100 ribu ton, delapan tahun kemudian angka produksi mampu mencapai 1,6 juta ton. Dari 1 pabrik bertambah lagi 3 pabrik baru pada tahun 1978 menjadi 4 pabrik besar. Jumlah karyawan juga mengalami peningkatan hingga mencapai 5.000 orang lebih, padahal pada awal berdirinya hanya tercatat sekitar 1.000 orang karyawan. Pabrik pupuk urea ini dibiayai oleh Kreditur-kreditur Luar Negeri antara lain World Bank dan OECF yang merupakan pabrik urea terbesar dalam satu lokasi di dunia pada waktu itu. Pada tahun 1986, saya pindah kerja ke PT Pupuk Kujang, dipercaya sebagai Direktur Utama (Dirut). Gelar kehormatan Satyalencana Pembangunan dari Pemerintah Republik Indonesia dianugerahkan kepadaku oleh Presiden Soeharto pada tahun 1988. Baru tiga tahun berjalan, pada awal PELITA V tahun 1989 jabatan Dirjen Industri Kimia Dasar (IKD) dipercayakan kepada saya dan selanjutnya mendapat tugas sebagai staf ahli Menteri Perindustrian Bidang Potensi Industri untuk Penanaman Modal dan Penyebaran Industri periode 1994-1995 dan menjadi Asisten Menteri Penggerak Dana Investasi merangkap sebagai Deputi Ketua BKPM Bidang Perizinan Industri dan Non-Industri pada tahun 19951997. Selama menjabat Dirjen IKD, saya masih diberi tugas sebagai Komisaris Utama PT. Pupuk Kalimantan Timur, Komisaris PT. Rekayasa Industri, dan Komisaris Utama PT. Kertas Kraft Aceh (PT. KKA). Maka, ketika sampai masa pensiun saya tanggal 1 Oktober 1997, saya merasa sangat berhutang pada almamater saya, Universitas Gadjah Mada, karena dari sanalah saya dihantarkan menjadi seperti ini. Dan saya selalu bersyukur dan berterima kasih kepada Ir. Endang Sri Redjeki, tak lain adalah adik kelas saya semasa kuliah dulu, sosok istri yang sangat setia, mendampingi saya dalam mengemban tugas dan pengabdian sampai dengan saat ini. Panggilan untuk menjadi pengajar tidak pernah luntur dalam benak saya. Ketika bekerja di PT. Pusri, saya bersama teman-teman membantu mengembangkan Universitas Sriwijaya, khususnya Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Kimia. Perjalanan panjang saya, lagi-lagi diperhatikan Pemerintah Republik Indonesia dengan menganugerahkan Bintang Jasa Utama oleh Presiden pada tahun 1996. Dalam lingkup sebuah pengabdian, tingkat kepuasan pengabdian saat bekerja di UGM, PT. Pusri, maupun di Kementrian dan di manapun, rasanya sama. Di PT Pusri, saya ikut bangga karena turut mengembangkan produksi pupuk urea yang secara tidak langsung membantu bidang pertanian.Sampai saya pun tidak menyangka apabila ternyata Indonesia pada tahun 1984 berhasil mendapat penghargaan dari UNICEF atas keberhasilan berswasembada beras. Tidak akan ada perjalanan yang mulus dalam setiap kenyataan, semua memerlukan likaliku perjuangan keras untuk menembus segala halang rintang yang senantiasa menyambut. Orang tua saya yang seorang pensiunan agen Bank BRI yang menjadi petani di desa Muntung Temanggung, begitu mendambakan anak laki-lakinya agar tetap menjadi guru.
Untuk itu, ketika saya hendak pindah bekerja di PT Pusri, saya harus menyakinkan dahulu kepada orang tua. Tanpa penjelasan yang tepat, mustahil saya dapat diijinkan pindah kerja ke PT Pusri. Maka dengan runtut saya perkenalkan kepada masyarakat sekitar tempat tinggal saya di Muntung – Temanggung - pupuk urea - yakni jenis pupuk yang dibuat oleh manusia yang kemudian biasa dikenal dengan nama pupuk buatan, sebab bukan pupuk organik yang berasal dari tumbuhan yang membusuk juga bukan pupuk kandang yang berasal dari kotoran hewan. Kala itu, bapak dan para petani terkagum-kagum keheranan sebab mereka baru mengetahui bahwa ada pupuk yang dibuat dari gas alam, udara serta air dan bukan dari kotoran hewan. Bekerja di PT Pusri sama pengabdiannya seperti sewaktu bekerja di Yogya. Kalau di Yogya saya memintarkan orang dengan menjadi seorang dosen. Sedangkan di PT Pusri saya dapat membuat sesuatu yang dirasakan manfaatnya oleh orang tua dan masyarakat petani Indonesia. Saya sangat bersyukur, karena setelah itu orang tua memberi restu kepada saya untuk pindah ke PT Pusri. Dimanapun bekerja, perencanaan merupakan hal sangat penting. Alhamdulillah selama melaksanakan tugas di BUMN PT. Pusri, PT. Pupuk Kujang dan dilingkungan birokrasi sebagai Dirjen IKD banyak sekali dukungan dari dalam perusahaan maupun dari para pebisnis dan pengusaha. Kita semua tahu bahwa kemajuan industri sebuah negara tidak hanya ditentukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh para pelaku bisnis dan pengusahanya. Pertumbuhan industri Indonesia PELITA V dapat mencapai 16-17%. Maka banyak sekali pabrik yang dibangun dan dapat berkembang sangat pesat, seperti PT Candra Asri dan pabrik kimia yang lain.
Ikhlas dan Rendah Hati Keberhasilan itu tentu saja tidak lepas dari nilai-nilai yang telah membentuk pribadi saya, dan sebagian nilai-nilai itu saya dapatkan dari UGM. Seperti nilai nerimo dan tidak banyak tuntutan, serta sikap loyal. Oleh karena itu, sebaiknya sifat nerimo, tidak banyak menuntut dan loyal, mestinya harus dipertahankan. Di manapun saya bekerja, selalu menerapkan nilai-nilai tersebut di atas. Sehingga saya tidak pernah merasa sedih ketika harus memulai sebuah karier dari posisi rendah. Saya tetap belajar dari banyak kelebihan-kelebihan para rekan sekerja dan para senior saya. Setiap kali naik pangkat, sangat bersyukur, dan hal tersebut saya jadikan sebagai pondasi untuk membangun prestasi-prestasi seterusnya. Kalau bekerja mulai dari jabatan tinggi, seseorang tentu tidak akan tahu kesulitan-kesulitan pekerjaan bawahannya. Karenanya, untuk para lulusan baru, sebaiknya tidak merasa hebat atau merasa tahu segalanya. Mulailah hidup baru dan menyadari belum memiliki pengalaman. Bagaikan sebuah gelas maka harus dikosongi dahulu agar dapat diisi. Keadaan seperti ini tidak akan terjadi tanpa perjuangan panjang di masa lalu. Sulit bagi saya membayangkan bagaimana masa depan saya ketika masih kecil. Setiap hari harus
bersekolah tanpa sepatu alias nyeker. Apabila hujan turun, saya harus mencari daun pisang untuk membungkus baju dan pulang telanjang dada alias ngliga. Mengapa ?, agar esok harinya saya dapat tetap memakai baju. Seseorang itu harus berprinsip kuat. Tidak benar bila segala sesuatu tujuan itu dapat ditempuh dengan jalan pintas. Bila ingin maju, maka bangunlah pondasi yang kuat. Tentu saja dimulai dari membangun diri sendiri dan mulai dari yang paling kecil. Bila saya sedang mengajar kepada para murid (mahasiswa), selalu saya beri nasihat agar selama menjadi mahasiswa jangan hanya belajar, tetapi juga aktif-lah dalam kegiatan social dan organisasi. Di dalam sebuah perusahaan, sebenarnya seseorang itu bekerja untuk mengelola orang lain. Kalau di sekolah sudah terbiasa ber-organisasi biasanya di tempat kerja akan lebih sukses, karena akan memudahkan mereka dalam mengelola orang lain. Mereka yang sukses dalam berkegiatan mahasiswa, kebanyakan mereka akan menjadi leader (pemimpin). Memimpin mahasiswa itu lebih sulit dibanding memimpin sebuah perusahaan. Saya sangat menghargai kepada para mahasiswa yang aktif berorganisasi. Bekal itu akan bermanfaat bagi kehidupan kelak. Tentu saja, diperkuat dengan ilmu ikhlas dan rendah hati. Istri dan anak-anak saya, Ir. Widyatmono, MBA, Ir. Widyastuti, SpM selalu memberikan dukungan terbaik menginjak usia 75 tahun, sehingga kepercayaan yang Presiden Komisaris di PT. Kaltim Methanol Industri, dan Chemical Indonesia dan PT. Samwoo Indonesia, dapat itu, saya juga masih mengabdikan ilmu sebagai adviser pupuk dan petrokimia di Indonesia.
Retno Rahmayani, MBA, dan Dr. kepada saya yang saat ini sudah diamanatkan kepada saya sebagai sebagai Komisaris di PT. Mitsubishi saya jalankan dengan baik. Selain dan konsultan di beberapa industri
Disamping menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh, perjalanan hidup harus dilambari dengan hati senang dan ikhlas, serta menjaga tali silaturahim dengan sesama. Setiap orang punya kelebihan, jadi, jangan pernah meremehkan orang lain. Pedoman hidup ini sudah terbawa mulai kehidupan desa saya sewaktu kecil, termanifestasi dalam manajemen desa, gotong royong, dan kekeluargaan. Demikianlah sekelumit pengalaman saya dalam menjalani perjalanan hidup yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Jakarta, 9 Mei 2012
Seputar Penulis. Wardijasa
Sekolah: SD Muntung (1950) SMP Negri Temanggung (1953) SMA B Magelang (1956)
Alamat rumah: Jl. Kemang Selatan ID/C11. Kemang Indah – Jakarta Selatan
MUSIBAH TIDAK MEMUPUS HARAPAN
Woro Aryandini S.
Adik-adik, pernahkah Anda terkena musibah, misalterserang penyakityang diperkirakan lama sembuhnya?Bagaimanapikiran Anda? Gelisah? Cemas? Ketakutan?. Atau, “wah, mungkin aku tidak naik kelas”, mungkin demikiansuarabatinAnda!. Tetapi kalau penyakitnya lama bagaimana ya? Apakah aku masih bisa mengharap masa depancerah?. Nah, itu yang pernah Ibu alami 64 tahunlalu. Bagaimana ceritanya? Silahkan ikuti tulisan Ibu, barangkali bisa menjadi cermin atau jawaban bila Anda mengalami musibah yang tentu tidak Anda inginkan atau bahkan tidak pernah Anda bayangkan.Mudah-mudahan tidak terjadi dan hanya menjadi sebuah cerita. Tetapi untuk Ibu, musibah ini benarterjadi. Cerita dimulai ketika Clash Kedua,yaitu ketika Belanda menyerang daerah Republik Indonesia. Kita yang tinggal di kota, mengungsi ke pedalaman, ke desa-desa. Saya saat ituberumur 11 tahun, masihkelas V SD. Di pengungsian, anak-anak pengungsimembuat Sekolah Lanjutan Daruratkarena di desa belum ada sekolah lanjutan. Anak-anak pengungsi yang tinggalberjauhan ini, yang harussudahbersekolah di tingkat sekolah lanjutan pertama, beramai-ramai masukSekolah Lanjutan Darurat tersebut. Gurunya seadanya, ada yangbetul-betul guru SLTP, namun sebagian lain adalah kakak-kakak kita yang duduk di tingkat lanjutan atas. Namun ternyata, ada jugaseorang dosen, pengajar di sebuah perguruan tinggi dan setelah Magelang kembali, beliau kembali ke Bogor dengan gelar professor. Saya yang baru kelas V SD, namun kepingin masuk Sekolah Lanjutan Darurat itu, karena ada Kelas Persiapannya, yaitu persiapan masuk ke sekolah lanjutan pertama. Sekolah, jauh dari desa tempat saya mengungsi. Harus melewati beberapa desa, mungkin4-5 desa. Dengan bersemangatmenimba ilmu, pagi-pagi sudah berangkat, menuruni lereng Gunung Merbabu, karena saya mengungsi di lereng gunung itu. Pulangnya, kembali harus mendaki. Tentu saja jalantidak mulus seperti di kota, melainkan terjal, licin jika hujan, dansungai yang dilalui sering banjir. Sepanjang perjalanan seringterjatuh, tetapitidak mengurangi gairahbersekolah. Ada suatu peristiwatidak mudah dilupakan, karena amat menyenangkan, tetapi jugaamatmendebarkan. Suatu saat kami bepergian seperti ketika masih bersekolah di kota, yaitu pergi ke rumahtemandi desa lain. Kebetulan desanya terletakdi sebelah barat jalan raya Magelang-Semarang, sedangkan desa tempat sekolah kami di sebelah timur jalan raya tersebut.Kami, anak-anak ini, gembira bernyanyi, melewati jalan rayasambil mengibarkan bendera Merah-Putih, karena kami anak-anak Republiken, karena bapak-ibutidak mau bekerjasama dengan Belanda.Ketikasedangbersemangat menyanyikan lagu-lagu perjuangan,tiba-tiba berhentilah di depan barisan kami sebuah jip tentara,berisi beberapa
tentarakulitnya bule berambutpirang. Mungkin itulah KL - Koninkljik Leger, Tentara Kerajaan (Belanda). Salah satu tentaraturun dari jipdan memberhentikan kami, dia minta agar kami tidak berjalan dijalan rayakarenadaerah itu pendudukan Belanda. Seperti diketahui, selama Clash Kedua ituBelandamenguasai kota-kota dan jalan raya yang menghubungkan kota-kota yang diduduki, sedangpara gerilyawantentara Republik Indonesia menguasai wilayah pedesaan. Serdadu Belandaminta kami segera masuk ke daerah Republik. Karena amat berbahaya berjalan disepanjang daerah pendudukan Belanda, apalagi sambil mengibarkanbendera Merah-Putih dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan.Apa boleh buat, kami turuti kemauan serdaduBelanda itu daridi-drel (ditembak mati). Di belakang jipada tiga truk penuhserdadu, tetapi warna kulittidak bule dan rambuttidak pirang. Ada berkulit coklat,kehitam-hitaman, bahkan adayang hitam sekali. Rambuthitam semua, seperti rambut kita. Serdadu dalam truk tadi bernamaKNIL, ya, Koninklijk Nederlands Indische Leger, tentarakerajaan Belanda yang berasal dari orang-orang Hindia Belanda (Indonesia).Tetapi yang hitam sekalimungkin tentara Gurkha, karena tentara Sekutu juga ada serdadu Gurkha-nya. Kami cepat-cepat masukpersawahan yang menghubungkan antar desa. Sambil berlari-lari kecil, sayaberpikir, kok serdadu Belanda tadiberbaik hati memberi nasihat dan tidak sertamerta menghujani kami peluru? Apakah adaaturan atau konvensibahwa anakanakbelum dewasa tidak boleh dibunuh sembarangan?. Oya, saya lihat, di suatu desa ada tanda palang terbuat dari dua potong batang pohon singkong. Katanya, itu tandadi desa tersebut ada yang terluka, jadi sebagaipos kesehatan. Itu pun, katanya tidak akan diserangBelanda. Juga orang-orang yangmenyerah dengan mengangkat tangan, tidak boleh ditembak. Setelah kami pulang, lalu masuk sekolah lagi, kami memperoleh beritaBelanda sudah meninggalkan Republik Indonesia.Kami bersorak-sorakdan segera merencanakan kembali ke kota, karena orangtua mereka akan segera kembali ke masuk kantornya masing-masing. Saya bagaimana? Bapakkan sudah lama pensiun? Tentu tidak akan kembali ke kota. Spontan saya mulai mualmerasa sakit perutkarena menahan perasaan bingungdan sedih. Saya tidak tahumau bersekolah di mana, karena Sekolah Lanjutan Darurat tentu dibubarkan. Mau ke kota, ikut siapa? Mau tetap di desa, sekolahyang pernah saya capai belum ada. Lalu, sayabenar-benarsakit.Mula-mula sakit panas dan badanterasa kaku.Kakitidak dapat bergerak, kemudian menjalar ke seluruh tubuhkecuali lengantelapak tangan sampai ke siku.Di desa pengungsian, dilereng gunung,tentu tidak mudah mencari dokter, maka dicarilahpengobatan yangada di desa. Kesehatan saya semakinburuk. Perutsebah (apa ya bahasa Indonesianya?, barangkali sepertisakit maag..), karena itu saya seringmemegang perutsambil membungkuk. Lama-lama saya menjadi bongkok.Saya tidakpunyai nafsu makan, bila sehari berhasil makan sepotong tahu saja, saya sudah amat bahagia. Saudarasaya sering mengganggudengan memanggil‘SiPongkring’(maksudnya kurus kering)atau ‘Ni Wungkuk’, oya dulu saya mempunyai buku bacaanjudulnya ‘Ni Wungkuk ing Benda Growong.’Disitu diceritakan ada seorang nenektinggal di sebuah lubang pohon
benda. Nenek yang kurus, jelek, rambutawut-awutan).Saya tidak marah oleh panggilan itu, mungkin memang penampilan saya seperti itu, jarang mandi karena sakit panasdan tidakmenyisir rambut karenaperut selalu sebah.Kulitmenjadi keringseperti sisik ular. Setelah kemudian sayasembuhdan kulitmenjadi halus, saudara-saudara yang pernah melihat saya waktu sakit nyletuk “Lho, kok mlungsungi?!” Ah, kayak ular saja. Seorang kakak saya tinggal di Jakarta,suaminya seorang dokter. Ia minta ijinBapak Ibu agar boleh membawa saya ke Jakarta. Mungkin dianggapnya di desa kurang vitamin, sehingga kesehatan saya buruk. Tetapi bapak yang seorang guru, tentu tahu makananbervitamin. Demikian pula ibu, tentu sudah memberi makanbergizi. Tetapi bapak ibu saya, mengijinkan saya dibawa ke Jakarta. . Suatu pagi saya digendongSiwa Kastari, orang desayangakrab dengan bapak, maupun kakek, mengingat kakek Lurah desa itu.Saya digendong menuju setasiun kereta api di Grabag (dahulu masih ada kereta api dari Yogya ke Semaranglewat Grabag. Sekarangtinggal dari Ambarawa ke arah Semarang - untuk pariwisata. Karenanya relmempunyai gigiagar keretatidak meluncur ketika menuruni lembahdan bisa membantumerayap menaiki tebing). Tentu berat menggendong saya yangberumur 13 tahun. Tetapi saya tidak mendengar keluhanSiwa Kastari sepanjang jalan itu. Beliau dengan rela hati menggendong saya. Kemarin, tahun 2010, saya bertemucucunya. Bersamapemuda sedesasedang berusaha merubah rona desayang dikatakandesa tertinggal, karena anakanaksebagian besar tidak bersekolah. Yangtamat SDjarang. Kelas 5 keluar, kelas 3 keluar, karena tidak punya biayasekolah.Sekarang mereka merubah komoditi Pertanian yang dahulujagung dan ketela (padi sedikit, karena sumber air sudah banyak yang mati) ke komoditi pertanian sayuran Eropa (lettuce,brokoli, bloemkool) dan sayuran Jepang (timun kyuri dan sukini) yang masa tanamnya pendek dan harga jualcukup tinggi. Jadi sayapikir, ditahun 1950-an, kakek yang mendukung saya mencari kesembuhan diri,setelah60-tahun saya bertemucucunya yang sekarangmenjadi pendorong gerobag. Mengingat hal tersebut saya amat berterimakasihada peristiwa yang menghubungkan pengalaman60 tahunlalu dengan keadaan sekarang. Mudah-mudahan usaha remaja-remaja ini berhasil, seperti kesembuhan diri saya. Setelah sampaiJakara, setiap pagi dan sore saya dimandikan, karena tidak dapat mandi sendiri.Sesudah mandi pagi,saya digendong-didudukkansekitar meja makan dan mulai sarapan. Kakak iparyang dokter, sebelum mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, melatih tangan sayadigerak-gerakkan ke ataske bawah. Mungkin itunamanya fisioterapi? Wah, sakitbukankepalang. Ketiak saya tidak dapat dibuka, saya sampai mengeluarkan air mata karena kesakitan. Saya diberi obattablet. Pagi-pagipembantumenyapu dan merapikan kamar praktik kakak ipar dan saya suka ikut masuk dan secara diam-diam saya mengambil tablet yang sering diberikan kepada saya, karena dapat mengurangi rasa sakit. Saya tahuitu salah dan berbahaya, tetapi kalau saya minta izin takut tidak diberi, karena sebetulnya saya sudah diberi, banyaknya menurut perhitungandokter. Saya juga dibawa ke koleganya yang juga dokter, digendong sendiri oleh kakak iparmasukdalam mobilmaupun ketika keluar dari mobil. Ada kemajuan kesehatan saya, tetapi tidak signifikan.
Suatu saat ada yang memberitahudi Bandung ada seorang pandai, Ndoro Sosro, begitu panggilan beliau, katanya beliau sering mengobati orang sakit. Kakak sayalainnya, yang masih kuliah,dengan ditemani temanpergi ke Bandung. Pulang dari Bandung,membawa sebotol air putih dari Ndoro Sosro untuk saya minum. Saya tidur di kamar belakang,tidurdekat pintu. Kalau tidur telentang ya telentang terus sampai ada yang memiringkan. Kalaududuk, ya duduk terus, dan seterusnya. Anehnya, begitu saya minum air itu beberapa teguk, tanganbisa diangkat ke atas. Saya dapat menggapai handel pintu!, Hati-hati, pelan-pelan saya berusaha berdiri dengan tetap memegang handel pintu, saya ikut bergerak sesuai gerakan pintu. Akhirnya dengan latihan terus berhari-hari, dengan memanfaatkan pintu itu saya dapat berjalan!. Belakangantahun 2005-an, saya baru tahuNdoro Sosroyang nama lengkapnyaRM Sosrokartonoadalahkakak Raden Ajeng Kartini. Beliauseorang filsuf, banyak menulis di surat kabar, bahkansurat kabarluar negeri. Saya tidak pernah tahu bagaimana sosok beliau. Baru tahun 2005, di rumah Ibu Mooryati Sudibyo pemilik Perusahaan Mustika Ratu, saya ditunjukkan foto beliau, karena beliau masih sepupu (kalau tidak salah) dengan Ibu Mooryati. . Sebelum saya dapat berjalan, sesudah bangun dan dimandikan, lalu didudukkan kakak di kursiluar kamar. Kakakadalah lulusan Sekolah Kepandaian Putri, memberisaya pengisi waktu berupa pekerjaan menjahit, menyulam dan merajut, karena yang dapat bergerak hanya tangansebatas siku. Jadi sampai sekarang, terutama setelah saya sembuh, menikah dan mempunyai anak, semua pakaian dan selimut anak-anak - saya buat sendiri, saya bordir, saya beri renda sendiri, karena saya bisa menyongketselimutdari benang wool. Beberapa tahun yang lalu, Jumat tanggal 26 Oktober 2006, saya di-check jantung di Rumah Sakit Darmais. Sebetulnya saya tidak sakit, tetapi anak saya minta agar saya check kesehatan, karena saya tidak pernah check up. Sabtunyadiajak seorang dokter ke RS Pasar Rebokarena RS Darmais tutup. Sepanjang jalan kami ngobrol, ngomongngomong.Sayaceritakalau saya pernah lumpuhdan saya ceritakan kegiatanketika lumpuh itu. Dokter teman anak saya tersebut melihat kok otot-otot saya tidak mengecil, karena biasanya kalau lumpuh otot-otot jadi mengecil. Dia memberi komentar sendiri, mungkin saya waktu lumpuh itu jari-jari tangan saya bergerak terus karena mengerjakan pekerjaan tangan, ya breien, ya haken, ya borduuren, ya bikin taplak meja yang krawangan (berlubang-lubang sebagai hiasan). Saya cuma mendengarkan komentarnya. Dalam hati saya ikut berpikir, seandainya pekerjaan itulah yang menyebabkanotot-otot saya tetap normal, saya amat berterimakasih kepada kakakyang memberi kegiatan pekerjaan tangan tersebut, yang secara tidak langsung pekerjaan itu jadi semacam fisioterapi. Kakak saya berpikir, mungkin lebih baik dibawa ke tempat yang udaranya lebih menyehatkan.Saat itu, suami kakak saya yang lain menjadi Direktur Penjara Nusakambangan. (Dia adalah direktur bangsa Indonesia pertama, sebelumnya orang-orang Belanda).Karena Nusakambangan dikelilingi lautdan masih banyak pohon-pohonnya, tentu hawanya masih segar.Kalau hari Minggu atau hari libur saya sering diajak ke pantai yang indah, misalnya Pantai Permisan. Pantai itu menghadap ke Laut Selatan, kalau siang hari air
laut pasang, naik sampai pinggir pantai, kalau sore airnya surut sampai agak jauh ke arah laut. Di Nusakambanan pegawaikebanyakan orangMinahasa dan Ambon, meskipun ada jugadaerah lain. Di situ saya pernah dimasukkan ke rumah sakitkarena sakit panas dan perut mengkelang(bahasa Jawanya), semacam perutnya keras begitu? Salah satu pegawainyaOm Hehanussa. Ternyata beliau pandai mengobati juga. Sesudah pulang dari rumah sakit,perut saya yang masihmengkelang dibalur dengan lembaran daun jarak pagar (yang biasanya pohonnya memang menjadi pagar berupa tanaman). Daun jarak itu dilumuriminyak klentik (kelapa) lalu dipanggang. Hangat-hangat lembaran daun jarak tadi ditutupkan di seluruh perut saya, lalu diikat dengan kainsemacam gurita bayi. Lama-lama terasa enak, dan dapat buang air secara teratur. Beliau juga memberi saya ikat pinggang kecildiisi akar-akaranyang selalu saya pakai. Memang saya mendengarorangorang Ambon pandaimengobati dengan ramuan alamiah. Saya kira semua masyarakat, terutama yang masih tradisionalmempunyai keahlian dalam semua bidang kehidupan, termasuk bidang obat-obatan. Ketika saya kuliah dulu,saya mempunyai kakakdari Ambon, ia selalu memakai kalungleontincukup menarikperhatian.Saya bertanyamengapa selalu pakai kalung?Ia menjawabkalung itu untuk menjaga diri,dibawa dari kampong karenapunyai penyakit hemofili, yaitu kalau luka – darah akan mengalir teruskarena sukar membeku. Wah, saya jadi ingat cerita dukun Rasputin, yang selalu mendampingi putra mahkota Tsar Rusia si penderita hemofili. Setelah saya merasa sehat (yang memerlukandua tahun semenjak mengungsi dulu), saya inginsekolah lagi. Diam-diam saya berkirim surat kepada ibudi desa. Ketika ibudatang, kakak yang di Nusakambangan terkejutkarenatidak memberitahuterlebih dahulu. Saya memang tidak memberitahu karena takut, kalau saya terus terang ingin bersekolah nanti tidak diperbolehkan karena takut saya lumpuh lagi. Setibadi Magelang, saya dititipkan ke sepupu, Di situ indekos seorang guru SMP Negeri. Selain guru olahraga, beliauguru Ilmu Ukur. Saya ingin bersekolahtetapi tidak mau mengulang di kelas lima SD lagi, maklum saya sudah tidak bersekolah selama dua tahun. Perbedaan dua tahununtuk anak kecilterasa sekali,saya malujadi murid tertua di kelas lima. Untungpak gurudi rumah sepupuitu mengerti keinginan saya. Tiap hari saya diajak masuk ke SMP-nya, digoncengsepedakarena saat itukendaraanumum Cuma sepeda. Saya belum kuatberjalan agak jauh. Atas seijin kepala sekolah, saya boleh masukdan mengikuti semua kegiatan di kelas, ya mendengarkan pelajaran, ya latihan mengerjakan soal, bahkan ikut ulangan. Tiap malam saya diberilesbapak guru tadi,terutama Ilmu Alam, Aljabar, dan Ilmu Ukur. Waktu itu kenaikan kelas tinggal tiga bulan lagi. Ketika ulangan kenaikan kelas,heran sekali, nilai saya paling bagus untuk kelas saya. Karena nilai ulangan saya bagus, saya naik kelas. Lalu diakui sebagai murid kelas dua di SMP Negeri tersebut!. Sehingga sampai saat ini saya tidak mempunyai ijazah SD. Yang biasajuara kelas marah-marah, mengapa anak baru - dapat mengalahkan. Saya juga tidak tahu mengapabisa. Mungkin energi saya hanya untuk belajar, sehingga yang saya pelajari semuanya masuk ke otak. Kegiatan fisik saya tidak berani melakukannya, saya
takutlumpuh lagi. Jadi nilai olahraga saya ya hanya enam. Itu pun sudah lumayan.Belajar berenang juga tidak sampai bisa berenang. Namun untuk mata pelajaran yang lain saya selalu unggul. Jadi menurut saya, kalau fungsi fisik tidak memadai, maka fungsi otak bisa lebih bagus. Kenaikan kelas ke kelas tiga saya juga juara. Demikian juga pada waktu ujian akhir SMP, nilai saya bagus. Saya lalu masuk ke SMA Negeri Magelang. Waktu itu SMA Negeri Magelang hanya satu. Di SMA ketika naik ke kelas tiga ada pembagian IPA dan IPS. Saya masuk IPA. Cita-cita saya mau masuk ke perguruan tinggi jurusan Teknik Kimia. Memang saya suka Ilmu Kimia. Saya bercita-cita menetralisir air laut sehingga airnya menjadi tawar. Demikian juga ketika ujian akhir SMA saya juga juara.Waktu itu banyak sekali beasiswa seperti dari ITB dan beberapa perguruan tinggi lain. Namun saya tidakmasuk ITB, sehingga tidak mempunyai gelar Insinyur. Itu bukan karena keinginan saya, namun karena keinginan keluarga. Saya amat menghormati keinginan keluarga, apalagi saya pernah lumpuh dan berhasil sehat kembali berkat kasih sayang, dukungan moril dan usaha dari keluarga, bapak Ibudan semua kakak-kakak saya. Meskipun tidak sesuaicita-cita di SMA dulu, saya tetap menikmati dan berterimakasih atas keadaan saya. Memang demikianlah jalan hidup saya. Saya sekarang bergelar Sarjana Sastra (S1), Master dalamBidang Antropologi (Magister Antropologi, S2) dan Doktor Susastra/ udaya (S3), semuadari Universitas Indonesia. Sampai sekarang dalam usia tiga perempat abad, saya masih menjadi pengajar di beberapa perguruan tinggi di Jakarata, bahkan pernah di luar negeri. Saya masih diberiNya kesempatan mengabdi kepada sesama dengan cara mengajar. Demikianlah anak-anak, kelumpuhan saya tidak menyebabkan saya berputus asa.Tuhan memberi berbagai macam jalan, berterimakasihlah atas karuniaNya.
Jakarta, 11-04-2012
Dibalik Pembuatan MCC Kepada pembaca yang budiman, buku yang ada ditangan bapak ibu ini adalah buku ke-3 dari seri Buku Merajut Cita-Cita yang diterbitkan Forum Ikatan Kadang Temanggungan ( FIKT). Perkenankan saya akan menceritakan sejarah terbitnya buku ini. Hasrat itu bermula dari membaca tulisan beberapa kadang temanggungan di milis FIKT seperti Pak Djumali, Yang-Yut dan Pak Panggah, dll. Saat itu saya bergumam, Wah… piyayipiyayi Temanggung ini kalau sudah mengeluarkan ilmunya tak tanggung tanggung… sangat bermutu, sayang kalau hilang percuma tak berbekas, ditumpuk oleh tulisan-tulisan lainnya. Bagaimana kalau dijadikan buku? Ide pembuatan buku secara bersama-sama ini diilhami pada Visi dan Cara Prof. Andi Hakim Nasution (Guru Besar IPB ) yang menganjurkan membuat buku dengan banyak penulis semacam bunga rampai. Dengan semakin majunya teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini, akan semakin mudah melaksanakan kegiatan secara bersamasama. Kekaguman terhadap beberapa tulisan poro kadang yang detil, mengesankan daya ingat yang luar biasa terhadap kisah masa kecil, pasti memberi manfaat bagi generasi yang akan datang. Lia Salsabila ( Sastrawan Melayu ) menulis demikian “ Menulis itu Obat Bagi Lupa, Tali Pengikat Usia”. Jangan berhenti untuk sekedar menuliskan kisah hidup kita! Maka mulailah saya mencoba menulis kisah sekolah, yang tiap hari berangkat sekolah nyeker (tidak bersepatu ), hampir tiap 3 bulan selalu ada kerja bakti membangun atau memperbaiki sekolah MI Muhammadiyah. Mengingat persahabatan dengan 18 teman sekelas. Eh.. diluar dugaan, Pak Widodo tidak mau kalah dengan menuliskan “Kisah Mengikuti Lomba Menggambar dengan Kuas dari Rambut Adiknya dan Kain Jarit Ibunya dibuat kanvas”. Dua cerita itu, menarik perhatian Pak Nithy. Diam-diam beliau membuat program gemar membaca untuk sebuah proyek pembuatan buku Inspirasi. Dengan memberikan pesan “untuk Pak Widodo dan Saya, beliau akan memberikan pesan tersendiri”. Ide tersebut akhirnya diunggah ke milis kadang temanggungan yang akhirnya menyihir beberapa anggota. Mereka kemudian berminat untuk berpartisipasi. Namun berhubung waktu itu sedang terjadi estafet kepemimpinan IKT /FIKT, gagasan itu kemudian dipendam. “Menunggu saat yang tepa”. Kata Pak Nithy Setelah pengurus baru FIKT terbentuk, Pak Nithy kemudian mengirimkan lagi gagasan tersebut secara terbatas. Kenapa? Karena membutuhkan jawaban yang cepat untuk diputuskan. Ternyata dari sepuluh yang di kirim email tersebut, yang memberikan saran dan solusi yang mungkin dapat dijalankan ada 3 orang. Sampai terbersit keinginan, “…Piye mas kita buat saja sendiri lalu difoto copy, iuran masing masing, kita bagikan ke sekolah, saya kira cukup”. Namun saya mempunyai pertimbangan lain. Jika ditulis atas nama individu, selain skala hanya sangat kecil, gaungnya juga tidak akan terasa. Harus massal, untuk itu perlu wadah
organisasi, sehingga dapat diterima di berbagai kalangan. Dengan demikian usaha besar ini akan mempunyai pengaruh yang besar, namun ringan dalam pembiayaan. Kebetulan dalam kepengurusan FIKT, saya direkrut menjadi bendahara. Segera saya mengungkapkan gagasan ini dalam sebuah Acara Nyanyi bersama di Cafe Anya. Mas Anif mengemukakan, kalau di Temanggung akan diadakan acara Temanggung Book Fair (TBF) yang pertama kali. Terus beliau meng’udoroso… kayaknya kalau FIKT ikut ambil bagian dari acara itu dengan menerbitkan buku inspirasi bagus juga ya? Tapi bagaimana menerbitkannya, karena pengurus baru hanya bermodal semangat …? Mas Anif sempat ragu, ini memang agak aneh “ Lha.. orang disuruh nyumbang tulisan kok sekaligus berdana juga, opo biso”. Saya teringat tulisan dalam sebuah buku “Ketika sebuah niat baik dikumandangkan, di sisi yang tak terlihat, kebaikan itu segera menggandakan diri. Langsung bekerja, seperti sel makhluk hidup yang sedang berkembang”. Saya menjawab “sudahlah mas, kita coba saja mudah-mudahan bisa berjalan”. Hmmm.. apa betul ya? Tanggal 29 Mei 2010, saya, pak Nithy, dan mas Anif kemudian bertemu untuk membahas lebih lanjut penerbitan buku ini. Pertemuan di Nyam-Nyam Café Kalibata itu intinya pembagian tugas sesuai dengan pengalamannya masing masing. Untuk masalah pengumpulan naskah dan editing dipercayakan kepada Pak Nithy. Untuk urusan percetakan dipercayakan kepada mas Anif dan saya untuk urusan pengumpulan dana. Pengumuman yang kita rancang bertiga, mulai disebarkan melalui milis, BBM, sms atau atau email japri. Isi pengumuman antara lain adalah: program penulisan inspirasi, jumlah buku yang akan diterbitkan secara gratis, rekening penampung, batas waktu yang telah ditetapkan dan konfirmasi sumbangan dana serta naskah secara transparan. Selain itu diusahakan merekrut para penulis dan donator diluar anggota milis untuk ikut berpartisipasi. Alhamdulillah, beberapa senior di milist bersedia untuk memberikan tulisannya. Begitu juga setelah menghubungi beberapa teman yang bukan anggota milis, ada yang bersedia bergabung. Akhirnya terkumpullah 14 penulis dengan memiliki latar belakang profesi beragam. Bagaimana dengan pengumpulan dananya…? Hari Minggu (sehari) setelah pertemuan itu, saya menemui Bu Maya Anshori mantan bendahara IKT untuk meminta data base IKT, serta meminta petunjuk bagaimana menjalankan kegiatan ini dengan tenggat waktu yang sangat mepet. Dengan data tersebut saya berkomunikasi dengan beberapa Kadang Temanggungan. Ketika saya mengemukakan ide penulisan buku tersebut, tanggapannya beragam ada yang pro dan ada yang kontra. Itu adalah hal wajar, karena baru pertama kali.
Namun usaha getok tular yang sambung-menyambung menyebar dengan cepat, segera terkumpul sejumlah dana yang dibutuhkan. Alhasil ada yang berpartisipasi menyumbangkan dana, ada yang menyumbang tulisan, ada pula yang kedua-duanya. Setiap hari saya selalu mengumumkan perkembangannya via milis dan BB Group Kadang Temanggungan, setalah saya cek di rekening penampung. Sangat membanggakan dedikasi para warga Temanggungan ini! Akhirnya dapat terkumpul sesuai dengan target, cukup untuk mencetak 2.000 Eksemplar. Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, pada tanggal 20 Juni 2010 buku tersebut diluncurkan bersamaan waktunya dengan acara pelatihan menulis dari para guru di Pendopo Kabupaten Temanggung. Sebanyak 1700 buku dikirimkan ke Temanggung, disebarkan ke seluruh sekolah baik tingkat SD, SLTP, SLTA Negeri dan Swasta, yang dibagikan bersamaan dengan jaringan Majalah Lontar. Sementara itu 300 buku sisanya disebarkan kepada penulis dan poro warga Kadang Temanggungan, terutama yang secara langsung menghubungi kami. Kelahiran MCC Edisi Ke-2 Seiring tersebarnya buku ke seluruh pelosok sekolah di Temangung, banyak yang memberikan apresiasi melalui SMS, email atau telepon. Ternyata, terbitnya buku MCC edisi ke-1 ini semakin mempererat jalinan silaturrahmi Kadang Temanggungan. Banyak yang menelpon dan akhirnya jadi kangen-kangenan tentang keadaan Temanggung. Ini memberikan keyakinan bahwa buku tersebut sangat dinanti, diminati dan diharapkan kehadirannya. Ketika bersilaturrahmi dengan Bapak Bupati Temanggung H Hasyim Affandi, sehabis melaksanakan kegiatan Kadang Peduli 2010. Dikemukakan bahwa FIKT berencana menerbitkan kembali buku Merajut Cita Cita Edisi Ke-2, bersamaan dengan kegiatan Temanggung Book Fair 2011. Dorongan untuk segera menulis mulai digalang. Pak Doni Sutopo tak henti-hentinya menyemangati dan mengingatkan kepada poro kadang supaya tidak lupa menulis untuk MCC-2 ini. Mulailah dibuat perencanaan. Ada sedikit perbedaan dalam menerbitkan buku MCC Edisi ke-2 ini. Jika MCC-1, komunikasi yang intensif sudah tebangun diantara para anggota: tentang kisah inspirasi. Buku MCC-2 ini agaknya banyak ditujukan kepada anggota milis yang kurang aktif atau bahkan bukan anggota milis. Menghadapi hal demikian panitia kemudian membuat proposal kepada calon penulis, dengan memberi contoh hasil penulisan seperti pada Buku MCC-1. Alhamdulillah, banyak yang berminat untuk menuliskan kisah dan memberikan bantuan finansialnya. Contohnya Pak Arifun Djamil, setelah menerima kiriman buku MCC-1, bertekad mau ikut ngobong ( membakar) semangat para pelajar dengan mengirimkan naskahnya dari Scotland. Ini member keyakinan bahwa buku akan terbit sesuai dengan target. Sama dengan edisi sebelumnya, dalam penulisan ini, panitia masih menggunakan cara dan strategi yang lama. Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar.
Launching MCC-2 Berbekal pengalaman peluncuran MCC-1, Launching MCC-2 secara khusus diikutsertakan dalam kegiatan Temanggung Book Fair dengan jadwal acara yang terstruktur rapi. Saya mempunyai pengalaman ikut dalam peluncuran buku Cinta di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata di Kemang Village Jakarta Selatan. Dalam peluncuran MCC-2 diharapkan menjadi acara bedah buku dengan harapan isi dan visi dari penulisan buku dapat mencapai sasaran. Setelah melihat contoh Backdrop Andrea Hirata dan Susunan Acara yang dibuat pak Nithy. Pak Widodo dengan senyum-senyum menyanggupi akan membuatkan Backdrop dan Standing Banner terbaik, bahkan Power Point kegiatan FIKT. Rancangan acara launching ini dilaksanakan oleh panitia TBF dan FIKT. Dengan membagibagi tugas yang harus dipersiapkan masing-masing. Alhamdulillah acara berjalan dengan lancar, meski ada sedikit kekurangan. Harapan ramainya diskusi dengan kehadiran undangan khusus yang dilengkapi dengan buku MCC-1 nampaknya tidak terjadi. Meski begitu acara tetap hangat dan seru, karena diantara yang hadir telah ada yang menunggu kedatangan kami. Sebab sudah mengetahui dan membaca MCC-1 dan bersedia memberikan testimoninya. Penyebaran Buku MCC-2 MCC-1 disebarkan sebanyak 1.700 buku, tersebar dari SD sampai SMTA sejumlah 739 sekolah. Sehingga dapat diperkirakan, masing-masing sekolah hanya akan mendapatkan 1 s.d. 2 buku saja. Sudah dapat diduga bahwa buku masih minim dibaca siswa. Terbukti sewaktu kegiatan motivasi siswa dilakukan di Sekolah, hampir semua siswa dan guru yang didatangi para motivator mengatakan belum pernah membaca buku tersebut. Belajar dari pengalaman tersebut, maka untuk penyebaran buku MCC-2 ini dibatasi kepada sekolah Tingkat SLTP dan SLTA, serta SD Alumni penulis saja, dengan memberikan porsi yang lebih banyak untuk tingkat SLTA. Pertimbangannya, Siswa SD belum siap mencerna cerita dari para penulis. Setiap sekolah yang diberikan sumbangan diberi surat pengantar dan diharapkan para kurir mengembalikan tanda terimanya, dengan tujuan Forum IKatan Kadang Temanggungan akan mempunyai data base sekolah sehingga mempermudah kegiatan FIKT dimasa datang. Setiap buku sebelum dikirimkan diberi cap “ Buku Ini Sumbangan dari Forum Ikatan Kadang Temanggungan, Diberikan secara Cuma Cuma, Menjadi milik perpustakaan Sekolah, Tidak Diperjual Belikan” Terima Kasih mbak Denty ( Anggota DPD MPR RI-red ) yang sudah menawarkan diri untuk ikut terlibat dan mengontrol penyebaran buku ini ke sekolah-sekolah, dengan menggerakkan teman-temannya dibawah koordinasi Ibu Nunik Pujiyanti ( Guru SMPN-3 Temanggung ). Kenapa Edisi Kedua diberi nama “ Menjemput Mimpi”?
Sewaktu Mas Anif meminta nama buku edisi ke-2 ini kepada saya, dengan ditambah pesan “Mas ….. nek judule mung Merajut Cita Cita, kurang apik”. Saya ingat pernah mendapat email dari seorang sahabat beberapa tahun sebelumnya. Ass.WrWb. Eli, sahabatku, senang membaca cerita curhat pengalaman hidupnya, itu bisa memperkaya pengalaman kita. Ketulusan, semangat hidup yang tinggi, ketekunan, kegigihan benarbenar selayaknya bisa ditiru. Tentu saja apa yang sudah diraih patut dihargai dan sangat disyukuri karena semua jerih payahnya nggak sia-sia,… Perjalanan masih panjang, masih banyak yang bisa diraih. Artinya masih banyak yg bisa kita perbuat untuk keluarga, juga lingkungan kita. Bener nggak yaa, apa yang kita raih sekarang sebenarnya pernah kita gambarkan dalam angan-angan kita waktu kecil..? Aku termasuk orang yang percaya tentang kekuatan "Sebuah Impian " karena dari impian, bisa menuntun kita untuk menuju kesana. Allah Maha Pemurah, apapun yang kita dambakan Insya Allah akan dikabulkan. Hanya kadangkadang untuk bermimpi saja kita gak berani. Kita sering membatasi diri kita dengan bayangan-bayangan, stigma-stigma tentang diri kita yang belum tentu benar, kita selalu merasa nggak mampu , itu juga yang sering Aku rasakan, padahal pada saat kita yakin mampu, Alhamdulilah kitapun mampu. Kadang takut untuk menggambarkan cita-cita, karena sudah keburu membatasi diri dengan keraguan., Padahal yang aku rasakan, apa yang aku raih sekarang telah terbayang dari dulu...? Aku pernah mengikuti kelas Interpreneur, klasnya Purdi E Candra [ pendiri Primagama] beliau bercerita, Bagaimana seorang Bj. Habibi, Suharto,atau yg lain-lain bisa sukses padahal beliau-beliau berasal dari kalangan orang biasa. Konon dari cerita-ceritanya, sejak kecilpun beliau pernah bercita2 sebagai seorang presiden. Banyak tokoh-tokoh besar yg kita kenal itu konon, karena sebelumnya beliau bermimpi dan bisa menggapainya. Jika Mas Sepakat tentang kekuatan sebuah impian yang terlahir di alam bawah sadar sana itu... …. Iya..ya memang bener apa yg kita angankan dengan sungguh- sungguh akan menginspirasi kita. Kekuatan itu akan menuntun kita menuju kesana. Mari Jemput Impian itu, Salam Your Best Friend Kalimat itu sangat membekas di benakku, dan sepertinya agak sentimental judul itu sangat indah. Maka kucoba mengusulkan kepada Mas Anif, melengkapi dua nama usulan dari Pak Nithy dan Bu Susi Winahyu ( Sekretaris proyek Buku MCC). Bu Susi menjawab ” Saya Pilih No. 3 “Menjemput Impian”. Setelah mempertimbangkannya, Mas Anif memberi nama “Menjemput Mimpi..” MCC Edisi Ketiga…
Respon yang baik atas terbitnya dua buku tersebut memunculkan harapan untuk diterbitkan lagi seri berikutnya. Hal ini mengilhami para pengurus FIKT untuk sedapat mungkin menemukan para kadang Temanggungan, dimana saja mereka berada untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan amal berupa sharing inspirasi. Kebetulan panitia telah berpengalaman dalam mengajak kadang Temanggungan non anggota milis untuk bergabung, dengan membuat proposal dan memberi contoh hasil penulisan seperti pada Buku MCC-2. Poro kadang seperti Mas Irfan, YY, Prof. Djumali, Mas Adi Wiratmo dan lainlain memberikan data putra-putri Temanggung yang kisahnya dapat diteladani. Kegiatan ini, Alhamdulillah tidak menemui kendala yang besar, dan ternyata cukup banyak yang memberikan respon untuk ikut sharing pengalaman. MCC-Edisi ketiga ini diberi nama “ Menggapai Asa”. Sebenarnya masih dengan semangat yang sama dengan edisi kedua, setelah menyaring 20 nama yang muncul dari usulan anggota milis. Demikianlah usaha menghadirkan buku secara bersama sama ini dilakukan. Merupakan kebahagiaan tersendiri , seperti harapan Ketua, bahwa FIKT ini dapat menjadi penghubung diantara mutiara-mutiara anak bangsa dari Temanggung. Khususnya yang telah sukses, bisa memberikan sumbangsih karya yang menginspirasi generasi muda untuk lebih sukses lagi. Mungkin hasilnya akan dipetik beberapa tahun yang akan datang. Yang pasti penulis dan pembaca dapatkan adalah role model agen perubahan menjadi lebih baik. Selamat membaca, jika berkenan, demi pengembangan dan kelanjutan program ini, kiranya dapat mengirim apresiasi, tanggapan, kritik yang kami nantikan di alamat email sbb:
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected], atau Hp. 0811971352, 0811154822, 08989984132 Salam Jurang Mangu Timur, 27-4-2012 Eli Mantofani