-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
ANALISIS TINGKAT KESANTUNAN BAHASA ACEH DIALEK ACEH BESAR PADA PENGGUNAAN PRONOMINA PERSONA DI DAYAH BABUL JANNAH BANDA ACEH Rika Kustina dan Risa Yulia Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah STKIP Bina Bangsa Getsempena
[email protected] &
[email protected]
Abstract Politeness Aceh can be seen from the use of spoken vocabulary, one of the use is for a personal pronoun. This research is titled an analysis of politeness of Aceh Language particularly the dialect of Aceh Besar on the use of Pronouns conducted at Babul Jannah Islamic boarding school. This research aims to determine how the level of politeness and how to shape mismatches personal pronoun usage of Aceh dialect Aceh. The method used in this research is a qualitative method. A method that attempts to re lect the results of the research by data description. Based on the analysis, Babul Jannah Islamic boarding school students have not all using the personal pronoun according to indicators of politeness, which is seen from a social distance, social status, and the sociolinguistic situation. There are still some students who are not polite in the use of personal pronoun, as for the shape incompatibility among other, the use of irst singular person, there are students who say kee (you), both in the use of second singular person, there are students who say kah (you), and third on the use of second plural person, there are students who say whether bandum (you all). Based on these descriptions can be concluded that Babul Jannah Islamic boarding school students have not all using the personal pronoun Acehnese language according to the indicator of politeness. Keywords: analysis, politeness Aceh, Aceh Besar dialect, personal pronoun
Abstrak Kesantunan berbahasa Aceh dapat dilihat dari penggunaan kosakata yang diucapkan, salah satunya dari penggunaan kata ganti orang atau pronomina persona. Penelitian dengan judul Analisis Tingkat Kesantunan Bahasa Aceh Dialek Aceh Besar pada Penggunaan Pronomina Persona di Dayah Babul Jannah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tingkat kesantunan dan bagaimana bentuk ketidaksesuaian penggunaan pronomina persona bahasa Aceh dialek Aceh Besar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Sebuah metode yang berusaha menggambarkan hasil penelitian secara jelas sesuai data yang ada. Berdasarkan hasil analisis, santri Dayah Babul Jannah belum semuanya menggunakan pronomina persona sesuai dengan indikator kesantunan, yaitu dilihat dari jarak sosial, status sosial, dan situasi sosiolinguistik. Masih terdapat beberapa santri yang tidak santun dalam penggunaan pronomina persona, adapun bentuk ketidaksantunan atau ketidaksesuaiannya antara lain pertama, pada penggunaan persona pertama tunggal, terdapat santri yang mengucapkan persona kèe (aku), kedua pada penggunaan persona kedua tunggal, terdapat santri yang mengucapkan persona kah (kau), dan ketiga pada penggunaan persona kedua jamak, terdapat santri yang mengucapkan kah bandum (engkau semua). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa santri Dayah Babul Jannah belum semuanya menggunakan pronomina persona bahasa Aceh sesuai dengan indikator kesantunan. Kata Kunci: analisis, kesantunan, dialek, pronomina persona
Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahasa. Berbagai bahasa daerah dimiliki oleh setiap suku bangsa, salah satunya bahasa Aceh yang berasal dari suku Aceh. Mayoritas suku Aceh menggunakan bahasa Aceh sebagai alat interaksi. Menurut Sulaiman (1999:3), bahasa Aceh merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh, bahasa pertama, bahasa yang melahirkan ide, mengungkapkan perasaan, dan sumber kebudayaan serta persatuan untuk lingkungan daerah tersebut. Di dalam bahasa terdapat ragam atau variasi. Ragam atau variasi bahasa berdasarkan latar belakang geogra i disebut dialek. Dialek ini lazim disebut dialek regional atau
123
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
dialek geogra i. Terdapat beberapa dialek dalam bahasa Aceh, yaitu dialek Aceh Besar, dialek Pidie, dialek Peusangan, dialek Pase, dialek Lamno, dialek Aceh Barat, dan dialek Aceh lainnya. Proses interaksi, dibutuhkan suatu prinsip kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa akan tampak ketika terjadinya proses komunikasi secara verbal Pada hakikatnya kesantunan berbahasa merupakan norma seseorang dalam bersosialisasi di masyarakat dengan menggunakan pilihan kata yang tepat dan sesuai. Penilaian kesantunan berbahasa dilihat dari bagaimana cara penutur berujar dan siapa mitra tuturnya. Jika kesantunan dalam berbahasa tersebut masih kurang maka ini akan berdampak buruk untuk pengembangan bahasa ke depannya, khususnya bahasa Aceh. Aturan atau kaidah kesantunan dalam bahasa Aceh tidak hanya dilihat dari penggunaan kosakata yang diucapkan, namun juga pada penggunaan kata ganti orang atau pronomina persona. Sulaiman (1999:34) menyebutkan “Ada enam kata ganti di dalam bahasa Aceh, yaitu ; (1) kata ganti orang; (2) kata ganti mandiri; (3) kata ganti empunya; (4) kata ganti penunjuk; (5) kata ganti penanya; (6) kata ganti tak tentu”. Pada penelitian ini, penulis akan mengkaji mengenai kata ganti orang atau dikenal juga sebagai pronomina persona. Beberapa bentuk pronomina persona yang santun di dalam bahasa Aceh yaitu lôn (saya), kamoe/geutanyoe (kami/kita), droeneuh/gata (anda), gobnyan/jih (dia), dan awaknyan (mereka). Penggunaan pronomina tersebut pada kaidahnya diucapkan ketika penutur berbicara dengan lawan tutur yang lebih tua, sebaya, maupun yang lebih muda. Selain yang telah disebutkan, terdapat pula pronomina persona bahasa Aceh yang kurang santun, yaitu kèe (aku), kah (kau), dan kah bandum (kau semua). Ketidaksantunan dalam penggunaan pronomina persona ini dapat menimbulkan berbagai hal negatif yang akan berdampak buruk pada proses interaksi. Apabila hal ini dibiarkan maka kaidah kesantunan di dalam bahasa Aceh akan semakin memburuk. Santri Dayah Babul Jannah merupakan salah satu kelompok masyarakat pengguna bahasa Aceh dialek Aceh Besar yang tuturannya harus memperhatikan norma-norma kesantunan. Dalam masyarakat dayah, kesantunan ketika berbicara dengan teman sebaya, senior, junior, dewan guru, dan sebagainya sangat diperhatikan. Hal itu menunjukkan nilai-nilai agama yang telah tertanam di dalam jati diri mereka melalui arahan dari dewan guru. Perhatian terhadap sikap kesantunan akan membawa suatu interaksi sosial yang nyaman dan disenangi masyarakat pengguna bahasa tersebut. Pada ruang lingkup ini terjadi interaksi yang memandang kesantunan sebagai nomor satu. Tata krama tersebut tidak hanya ditunjukkan melalui tingkah laku, namun juga dari cara berbahasa. Jadi, akan terlihat jelas bentuk kesantunan dan ketidaksantunan. penggunaan pronomina persona yang dituturkan setiap santri di Dayah Babul Jannah Desa Ceurih Dusun Pande Meuh Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan tingkat kesantunan dan bentuk ketidaksantunan penggunaan pronomina persona bahasa Aceh dialek Aceh Besar pada santri Dayah Babul Jannah. Landasan Teori 1. Kesantunan Berbahasa Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa santun berarti halus dan baik (budi bahasanya maupun tingkah lakunya). Sebuah proses tuturan memerlukan kerja sama antara penutur dan mitra tutur. Sejalan dengan hal tersebut, Chaer dan Agustina (2004:172), menyatakan “Etika berbahasa erat berkaitan dengan pemilihan kode bahasa, norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat”. Jadi, kesantunan merupakan aturan atau norma yang telah disepakati bersama oleh suatu kelompok masyarakat dan menjadi pertimbangan yang harus diperhatikan dalam proses interaksi. 124
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Dalam berbahasa, kesantunan menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial yang dapat menghubungkan bahasa dengan berbagai aspek dalam struktur sosial sebagaimana halnya dengan aturan perilaku dan etika. Dengan demikian, kesantunan merupakan aturan atau norma yang telah disepakati bersama oleh suatu kelompok masyarakat dan menjadi pertimbangan yang harus diperhatikan dalam proses interaksi. 2. Indikator Kesantunan Penggunaan Pronomina Persona Dalam mengukur tingkat kesantunan santri Dayah Babul Jannah ini, ada tiga indikator yang dijadikan tolak ukur penilaian, sebagaimana yang dirumuskan oleh Brown dan Levinson (dalam Wijana, 1989:64) “ada tiga parameter pragmatik mengenai indikator kesantunan penggunaan pronomina persona” yaitu a. Tingkat jarak sosial (distance rating) antara penutur dan lawan tutur yang ditentukan berdasarkan parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar sosiokultural. Misalnya tuturan antara satu santri dengan teman sebaya atau pun seniornya. b. Tingkat status sosial (power rating) yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi ruang lingkup penggunaan pronomina persona yang didasarkan atas kedudukan yang asimetris antara penutur dan lawan tutur di dalam konteks pertuturan. Misalnya tuturan antara santri dan dewan guru. c. Tingkat peringkat tindak tutur (rank rating) yang didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lain. Misalnya tuturan pada saat santri meminjam sepeda motor pada dewan guru, apabila hal itu dilakukan pada situasi normal maka akan dipandang kurang sopan, namun akan terlihat wajar apabila si santri meminjamnya untuk mengantar teman santrinya yang sakit. Sejalan dengan hal tersebut di atas, Sulaiman (1999:36) juga menyatakan “penggunaan pronomina persona dalam konteks bahasa Aceh senantiasa sejalan dengan sikap kebahasaan yang berkaitan dengan tata kesopanan, tingkat umur, dan jabatan yang mencerminkan ketinggian budi bahasa seseorang”. 3. Pronomina Persona Bahasa Aceh Pronomina persona merupakan suatu kata yang menjadi pengganti sebutan suatu objek acuan. Terdapat beberapa jenis pronomina persona atau kata ganti orang dalam bahasa Aceh. Pembagian pronomina persona bahasa Aceh secara khusus dapat kita lihat pada tabel di bawah ini. Tabel Daftar Pronomina Persona Bahasa Aceh
No. 1.
Pronomina Persona
Keterangan
Tunggal Jamak Kata ganti Ulôn tuan, ulôn, lôn (saya), kèe Kamoe (kami), geutanyoe (kita) orang pertama (aku)
Kata ganti 2. orang kedua
Droeneuh bandum (tuan/Anda Droeneuh (tuan/Anda), gata semua), gata bandum (Anda/ (saudara/ Anda), kah (engkau/ saudara semua), kah bandum kamu) (kamu semua/engkau semua)
Kata ganti orang ketiga
Gobnyan bandum (mereka), jih Gobnyan (dia/beliau), dan jih (dia/ bandum (mereka), awak nyan ia) (mereka), droeneuh nyan bandum (beliau semua)
3.
Sumber: Budiman Sulaiman, 1999
125
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian yang bertujuan memberikan jawaban permasalahan secara jelas. Menurut Moleong (2004:73) metode deskriptif adalah metode yang memusatkan perhatiannya pada penemuan fakta-fakta (fact inding) sebagaimana keadaan sebenarnya. Lebih lanjut ditambahkan oleh Sugiyono (2013:62) di dalam metode deskriptif terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. Data dalam penelitian ini diperoleh secara empiris sesuai dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti. Data diperoleh secara primer. Adapun data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari pelaku yang melihat dan terlibat langsung dalam penelitian/ kegiatan yang dilakukan para santri dan guru . Dalam hal ini, data primer didapatkan dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi. Sumber data dalam penelitian ini adalah santri Dayah Babul Jannah yang berjumlah 38 santri/siswa, yang terdiri dari santri laki-laki dan perempuan. Teknik pengumpulan data merupakan bagian yang paling penting dalam penelitian, karena tujuan utamanya yaitu mendapatkan data (Sugiyono, 2013:26). Melalui teknik pengumpulan data inilah seorang peneliti mendapatkan data yang diinginkan. Pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam penelitian untuk memecahkan masalah yang akan diteliti. (Nazir, 2014:153). Ada beberapa teknik dalam pengumpulan data, antara lain melalui observasi, wawancara, dokumentasi, dan triangulasi. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisis data merupakan pengelompokan, urutan, manipulasi, serta penyingkatan data sehingga mudah dibaca (Nazir, 2014:315). Analisis data dilakukan dengan mengolah semua data atau informasi yang diperoleh dari hasil observasi, data lisan dan data tulisan, wawancara, dan dokumentasi. Setelah semua data terkumpul, selanjutnya data akan diklasi ikasikan sesuai dengan pokok permasalahan penelitian. Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada bagian ini akan dijabarkan hasil analisis data yang dihubungkan dengan tiga indikator prinsip kesantunan penggunaan pronomina persona bahasa Aceh dialek Aceh Besar. Adapun indikator tersebut antara lain jarak sosial, status sosial, dan situasi sosiolinguistik. 1. Penggunaan Pronomina Persona Pertama Tunggal Pronomina persona pertama tunggal bahasa Aceh secara umum yaitu ulôn tuan, ulôn, lôn (saya), kèe (aku). Dalam penelitian ini tampak para santri sering menggunakan persona lôn (saya), namun ditemukan pula tuturan yang menggunakan kèe (aku). Adapun beberapa bentuk tuturan tersebut antara lain sebagai berikut. Data I a. Raudhah: “Kak Devi dilè tengku, Lôn han jet lom.” b. Nazar:
(“Kak Devi dulu tengku, Saya belum bisa.”) “Kajok ju hai, malè Kè kujak kenan blah ineng.” (“Kasih terus hai, malu Aku pergi ke situ sebelah cewek.”)
2. Pronomina Persona Pertama Jamak Data II a. Nurun: “Betaingat getanyo tasembahyang nyan lam keadaan sengaja ngon sadar.” (“Harus diingat kita salat itu dalam keadaan sengaja dan sadar.”)
126
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
3. Pronomina Persona Kedua Tunggal Data III a. Nurun: “Tengku, buno Dron pegah wate sembahyang isya nyang get sepertiga malam, nyan na saban ngon wate sepertiga malam tahajud?” (“Tengku, tadi Anda bilang waktu sembahyang isya yang baik sepertiga malam, itu ada sama dengan waktu sepertiga malam tahajud?”) b. Razak: “Kah kaim beh, bek karu that.”
(“Kau diam ya, jangan ribut sekali.”)
4. Pronomina Persona Kedua Jamak a. Haikal: “Necok ke dron bandum ju, lôn kana.” (“Ambil untuk Anda semua terus, Saya sudah ada.”) b. Riski: “Kabet ju hai, Kah bandum bate that.” (“Ngaji terus hai, Kau semua bandel sekali.”) 5. Pronomina Persona Ketiga Tunggal Data IV a. Wina:“Maksud Qidam, Allah cit kana, lebeh awai na Gobnyan dari pada bumo.” (“Maksud Qidam Allah memang sudah ada, duluan ada Beliau dari pada bumi.”) b. Siti: “Mese ureng tamong kristen gara-gara jihipnotis, nyan kiban Jih tengku? Na payah qada sembahyang?” (“Misal orang masuk kristen karena dihipnotis, itu bagaimana Dia tengku? Ada harus qada sembahyang?”) 6. Pronomina Persona Ketiga Jamak Data V a. Muna:
“Ulok-ulok that Awak nyan, dilike Tengku mayang.”
(“lucu-lucu sekali Mereka, di depan Tengku bercanda.”) b. Nurul: “Pakon beda ureng murtad ngon ureng pungo? Kon ateh jih bandum sama-sama terna ikan kewajeban?” (“Kenapa beda orang murtad dengan orang gila? Kan atas dia semua sama-sama terna ikan kewajiban?”) Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa lebih banyak santri Dayah Babul Jannah berbicara sesuai dengan ketiga indikator kesantunan penggunaan pronomina persona bahasa Aceh, yaitu jarak sosial, status `sosial, dan situasi sosiolinguistik. Hal ini diperkuat pula oleh hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap dewan guru. Berdasarkan hasil wawancara disimpulkan bahwa santri Dayah Babul Jannah pada umumnya menggunakan pronomina persona dengan santun. Namun demikian, masih ada beberapa santri yang masih menggunakan bentuk-bentuk ketidaksantunan dalam penggunaan pronomina persona bahasa Aceh dialek Aceh Besar seperti, pertama pada penggunaan persona pertama tunggal, terdapat santri yang mengucapkan persona kèe, kedua pada penggunaan persona kedua tunggal, terdapat santri yang mengucapkan persona kah, dan ketiga pada penggunaan persona kedua jamak, terdapat santri yang mengucapkan kah bandum. 127
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Daftar Pustaka Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya. Moleong, Lexy J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet. 20 Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sulaiman, Budiman. 1999. Tata Bahasa Aceh. Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Cet. III; Bandung: CV. Alfabeta. Wijana, I. Dewa Putu. 1989. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
128