Majalah Ilmiah Unimus
Informasi Komunikasi dan Pengkajian Iptek
Citra Seni Banda Aceh Oleh : A.D. Pirous, Teuku Muda Aryadi & Win Konadi Abstrak Kelompok etnik Aceh adalah salah satu kelompok "asal" di daerah Aceh yang kini merupakan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Orang Aceh yang biasa menyebut dirinya Ureueng Aceh. Sejak awal, filsafat orang Aceh adalah holistik. Sejarah Banda Aceh yang panjang mengalami beberapa kali pergantian paradigma budaya yang signifikan : para islam - tamaddun islam – kolonial - pos kolonial. Hal ini mengalami adanya penurunan dari tradisi yang pluralistik menjadi modern yang individualis dan kini mengahadapi tantangan baru yang cenderung menghilangkan makna yang terkandung. Kutaraja sebagai arketipe “kuta” (benteng) yang dilupakan dalam merancang tata kota dapat menjadi sebuah pelajaran penting terhadap perencanaan rekonstruksi Aceh pascabencana. Banda Aceh memang khas, atmosfir kota yang kaya dengan benda dan kegiatan kesenian, membuat masyarakatnya jadi lebih kreatif dan berselera. Pusat-pusat kegiatan kesenian dan berbagai tempat hiburan yang baik, serta sarana untuk beribadah yang baik dan khusuk turut menciptakan suasana kota yang bahagia agamis dan manusiawi. Oleh karena perlu penanganan serius mengangkat lagi citra Banda Aceh. Dalam tahun-tahun akhir ini, kota Banda Aceh yang semakin terkenal, mempunyai peluang yang besar untuk menjadi kota yang damai, aman dan mengundang. Kata Kunci – Citra Seni, Banda Aceh
A. Pendahuluan Dalam abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai daerah transit barang-barang komoditi dari Timur ke Barat. Komoditi dagang dari nusantara seperti pala dan rempahrempah dari Pulau Banda, cengkeh dari Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari Aceh dikumpul disini menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negeri. Aceh sebagai bandar paling penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara. Aceh juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama Islam ke nusantara. Para pedagang dari Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India yang beragama Islam singgah di Aceh dalam perjalanan mereka mencari berbagai komoditi dagang dari nusantara. Aceh yang terletak di jalur pelayaran internasional merupakan
VARIASI, ISSN: 2085-6172
daerah pertama yang mereka singgahi di Asia Tenggara. Kemudian sekitar akhir abad ke XIII di Aceh telah berdiri sebuah kerajaan besar yaitu Kerajaan Pasai yang bukan saja bandar paling penting bagi perdagangan, namun juga sebagai pusat penyebaran agama Islam baik ke Nusantara maupun luar negeri. Portugis pertama sekali mendarat di Aceh dalam tahun 1509 mengunjungi Kerajaan Pedir (Pidie) dan Pasai untuk mencari sutra. Kemudian dalam tahun 1511 Portugis menaklukkan Malaka (sekarang Malaysia) yang menyebabkan Sultan Aceh marah. Kerajaan Aceh kemudian mengirim armadanya untuk membebaskan kembali Malaka dari tangan penjajah, namun tidak berhasil dan banyak tentara Kerajaan Aceh yang gugur dan dikebumikan di sana. Menurut sumber yang dapat dipercaya Syech Syamsuddin Assumatrani yaitu salah
Volume 2, Edisi Khusus - Desember 2010
Hal - 50
Majalah Ilmiah Unimus
Informasi Komunikasi dan Pengkajian Iptek
seorang ulama besar Aceh tewas dalam suatu peperangan dengan Portugis di Malaka dan kuburannya ada disana. Kemudian pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636), barulah Malaka bisa dibebaskan kembali dari cengkraman Portugis dan jalur perdagangan di Selat Malaka kembali dikuasai oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Pada saat itu Aceh dan Turki telah menjalin hubungan yang erat sehingga banyak ahli persenjataan dan perkapalan dari Turki datang serta menetap di Aceh. Bukti sejarah yang masih tersisa adalah mesjid, tugu dan batu nisan orang Turki yang ada di desa Bitai (± 3 km dari Banda Aceh). Kelompok etnik Aceh adalah salah satu kelompok "asal" di daerah Aceh yang kini merupakan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Orang Aceh yang biasa menyebut dirinya Ureueng Aceh, menurut sensus penduduk tahun 1990 mencatat jumlah sebesar 3.415.393 jiwa, dan Sensus 2010 tercatat 4,83 juta penduduknya, dimana orang Aceh tentunya merupakan kelompok mayoritas. Orang Aceh merupakan penduduk asli yang tersebar populasinya di Daerah Istimewa Aceh. Mereka mendiami daerahdaerah Kotamadya Sabang, ibukota provinsi Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Selatan, dan Aceh Barat. Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austro-nesia yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang. Di Propinsi Aceh terdapat pula sedikitnya tujuh sukubangsa lainnya, yaitu : Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Simeuleu, Kluet, dan Gumbok Cadek. Identitas bersama berda-sarkan ikatan kebudayaan dan agama mencerminkan kesatuan suku-suku bangsa di propinsi ini. Dalam pergaulan antarsuku bangsa jarang sekali penduduk asli Aceh menyebut dirinya orang Gayo, Alas, Tamiang, dan seterusnya. Mereka lebih suka menyebut diri sebagai "Orang Aceh", sehingga Aceh patut dipandang sebagai suatu sukubangsa besar yang didukung oleh sejumlah subsukubangsa dengan identitas masingmasing. Ciri-ciri ini pula yang
mengukuhkan propinsi Aceh sebagai Daerah Istimewa, dan memiliki citra tersendiri – dipandang dari segala aspeknya.
VARIASI, ISSN: 2085-6172
B. Banda Aceh Aceh pascatsunami demikian terbuka terhadap globalisasi, dibanjiri degan ideide yang beragam dan mungkin saling bertabrakan. Di dalamnya termasuk aliran dekontruksi yang cenderung merayakan budaya “permukaan’ (free play of signs), apapun sah (“anything goes”) tanpa peduli apa “kedalaman” makna (Kamal Arief, 2009). Padahal makna sangat penting yang mewarisi kearifan lokal berupa makna lahir dan makna batin dari tradiksi sufi. Situasi ini dapat menimbulkan chaos, sehingga ide tentang proses daur ulang dari chaos (kekacauan) menuju cosmos (keteraturan) menjadi amat esensial. Sejak awal, filsafat orang Aceh adalah holistik. Sejarah Banda Aceh yang panjang mengalami beberapa kali pergantian paradigma budaya yang signifikan : para islam - tamaddun islam – kolonial - pos kolonial. Hal ini mengalami adanya penurunan dari tradisi yang pluralistik menjadi modern yang individualis dan kini mengahadapi tantangan baru yang cenderung menghilangkan makna yang terkandung. Sehingga untuk mengungkap dan untuk menciptakan raga citra kota Banda Aceh yang bermakna dan bertanggung jawab, diperlukan interprestasi terhadap sejarah, memori dan arketipe dan arsitekturnya. Aceh Darussalam adalah earthly paradise, dan ia merupakan warisan yang ingin kita bangkitkan kembali melalui proses daur ulang budaya. Aset air yang demikian banyak mengalir di kota ini melalui Krueng Aceh, Daroy, Neng, Doy (Dhoe) dan lueng paga, dapat dijadikan inspirasi cermin. Ide kota waterfront yang menghadapkan wajahnya ke batang air, akan mampu menghadirkan keindahan panorama melalui pantulan bayangannya, laksana cermin. Citra bahasa yang amat pekat di zaman kesultanan perlu di daur ulang
Volume 2, Edisi Khusus - Desember 2010
Hal - 51
Majalah Ilmiah Unimus
Informasi Komunikasi dan Pengkajian Iptek
kembali. Banda Aceh di masa itu pernah menjadi salah satu negeri di selat Malaka yang berperan penting sebagai enterprot (pelabuhan antara), tempat pedagangpedagang asing saling bertemu, mencari keperluan masing-masing dan melakukan transaksi dagang. Nama Banda Aceh sebaga kota “Bandar” tempat berlabuhnya kapal-kapal manca negara, semestinya bukan cuma nostalgia. Kota air yang telah amat lama melupakan jati dirinya ini, mustinya mampu memaknai ayat-ayat (tandatanda) yang disampaikan melalui peristiwa terdamparnya PLTD Apung dan kapal Lampulo di dalam kota. Mereka ingin menunjukan eksistensinnya kembali untuk mewujudkan citra bahari di kota ini (Kamal Arif, 2009).
permai, Darussalam dan serambi Mekah, perlu dilestarikan, agar Aceh yang kini telah sedimikian terbuka tidak larut dalam permainan langgam global yang cenderung tanpa makna. Darussalam adalah arketipe yang senantiasa muncul dalam berbagai vatian bentuk dalam setiap periode. Indra patra adalah “negeri santosa” yang juga berarti Darussalam di jaman para islam. Di zaman kesultanan Aceh darussalam, Darussalam dilambangkan dengan Taman Bustanus-salatin yang didalamnya mengalir sungai Darul Isyki (Krueng Daroy) bagaikan air surga firdaus yang didalamnya mengalir sungai-sungai. Di zaman kemerdekaan, Gubernur A. Hasjmy menggagas kopelma Darussalam. Darussalam yang semula taman raja-raja menjadi ilmu pengetahuan. Di era reformasi, Darussalam dikembalikan lagi menjadi nama negeri ini: Nanggroe Aceh Darussalam, sebagai upaya pencitraan negeri damai (Darussalam) dan bukan negeri konflik (darul harb). Ragam arketipe yang telah disimpulkan dalam disertasi dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat dalam membangun Aceh kembali, sehingga Banda identitasnya sejak dulu: Aceh Lhee Sagoe, Banda Aceh, Aceh Darussalam, Aceh Serambi Mekah dan Kutaraja. Melalui pemaknaan terhadap arketipearketipe ini diharapkan nama dan gelar yang melekat pada Banda Aceh dapat benar-benar terwujud, bukan hanya sekedar nama. Rancangan kreatif berdasarkan arketipe yang dipandu dengan konsep heritage trails, dan waterfront city akan memunculkan ragam citra Banda Aceh secara utuh. Identitas kota Banda Aceh sewajarnya didasarkan pada realitas masa kini, namun tetap mempertahankan kekhasannya sehingga ia memiliki keunikannya sendiri, ditangani secara spesifik, dan bukan generalisasi. Sungai, empang, dan hutan bakau adalah karakter kota ini yang kini terabaikan. Angin yang bertiup kencang, menyebabkan Rumoh Aceh memliki rongga penyalur angin berupa tulak angen. Matahari terik dan budaya malu bagi wanita muslim menyebabkan
C. Gagasan Citra Banda Aceh Bencana Tsunami, 26 Desember 2004 yang melanda aceh dan beberapa daerah sekitarnya telah meluluh-lantakan sebagian besar kawasan pantai kota Banda Aceh hingga 4-5 km dari garis pantai. Daerah pantai dan bekas rawa-rawa yang dipadati perumahan tersapu gulungan air, dan menghancurkan segala macam unsur alam dan kreasi manusia yang berdiri di atas kawasan itu. Kutaraja sebagai arketipe “kuta” (benteng) yang dilupakan dalam merancang tata kota dapat menjadi sebuah pelajaran penting terhadap perencanaan rekonstruksi Aceh pascabencana. Hutan bakau yang di dekat pantai berfungsi benteng alam untuk melindungi kota dari bahaya gelombang laut menyebabkan Aceh mampu bertahanan. Tapi sejak empang-empang diuruk dan hutan bakau ditebang, lalu dijadikan lahan perkantoran dan pemukiman, maka hilanglah benteng perlindungan dan pertahanan kota ini (Kamal Arif, 2009). Aceh Lhee Sagoe yang bermakna keseimbangan, keselarasan dan kesetaraan, perlu dihidupkan kembali, agar perencanaan kota ini di masa depan dapat menerapkan paradigma holistik yang telah menjadi jati diri orang Aceh sejak lama. Citra Banda Aceh sebagai kota air yang
VARIASI, ISSN: 2085-6172
Volume 2, Edisi Khusus - Desember 2010
Hal - 52
Majalah Ilmiah Unimus
Informasi Komunikasi dan Pengkajian Iptek
dinding serambi Rumah Aceh tidak memiliki bukaan yang besar dan lebar. Hubungan antara ide penciptaan melalui air (kosmologi akuatik) dengan keseharian hidup muslim di aceh amat erat. Dala rangka bersuci, setiap muslim senantiasa melakukan Thaharah, baik mandi maupun berwudhu. Oleh karena itu, proses turunnya hujan, air pasangsurut, air bah dan peristiwa Tsunami dengan segenap upaya rehabilitasi dan rekontruksinya dilihat sebagai bagian dari proses regenerasi itu, dengan tetap mewariskan konsep-konsep arkaik dalam bentuk dan kreasi baru bahkan futuris. Lima citra utama kota Banda Aceh yang dikemukakan Kamal Arif dalam Disertasi Dokternya di Unpar Bandung (2009), adalah citra melalui pendekatan interprestasi sejarah, memori kolektif dan arketipen arsitektur itu dapat menjadi pijakan dasar dalam perencanaan, perancangandan pegembangan tata ruang kota Banda Aceh di masa datang. Sehingga disertasi beliau yang dilengkapi dengan peta heritage trails dan market rekonstruksi taman Bustanussalatin ini juga menjadi dasar dan acuan bagi program-program revitalisasi, konservasi dan rekontruksi Aceh pascatsunami, khususnya yang telah dan sedang dikerjakan oleh tim Yayasan Bustanussalatin Aceh-Bandung.
Atmosfir kota yang kaya dengan benda dan kegiatan kesenian, membuat masyarakatnya jadi lebih kreatif dan berselera. Pusat-pusat kegiatan kesenian dan berbagai tempat hiburan yang baik, serta sarana untuk beribadah yang baik dan khusuk turut menciptakan suasana kota yang bahagia agamis dan manusiawi. Kajian aktual dalam perencanaan kota, tata ruang dan arsitektur, dikenal semacam kriteria baru dalam menentukan persyaratan untuk pengambilan keputusan menanamkan modal (investment) untuk sebuah usaha (pabrik atau industri). Bahwa kota yang syarat dengan pembangunan fisik yang spektakuler saja, tidak cukup; tetapi dibutuhkan sebuah kematangan hidup, dari sebuah komunitas, lingkungan kota yang serasi , yang akrab dengan budaya (kaya rohaninya). Barulah kemudian aspek yang berkaitan dengan faktor ekonomi, industri, perburuhan dan lain-lain, menjadi pertimbangan. Investasi lebih dahulu memilih kota (yang nyaman), baru melihat sikon pendukung yang lain. Pandangan seperti ini semakin populer dalam era global sekarang. Ibu kota Banda Aceh merupakan gapura utama masuk ke daerah istimewa yang kemudian lebih dikenal dengan NanggrÖ Aceh Darussalam, yang kemudian berganti nama lagi menjadi Provinsi Aceh, dikepalai oleh seorang gubernur dan seorang wakil gubernur termuda, Muhammad Nazar, dan kotamadya dikepalai oleh Wali Kota Banda Aceh. Sebagai sebuah kota, Banda Aceh terus berkembang sejak abad ke-13, zaman Sultan Johansyah sampai dengan sekarang. Kota Banda Aceh mengalami perkembangan yang lumayan pesat setelah peristiwa Tsunami, ditandai dengan dibangunnya ribuan perumahan (pemukiman baru), disamping beberapa gedung-gedung penting oleh sebuah kota, seperti museum Tsunami, hotel-hotel, jalan baru dan berbagai sarana lainnya.
D. Upaya Mengangkat Citra Banda Aceh 1. Arus Investasi Modern, Memilih Kota yang Nyaman Dalam kajian arsitektur dan perencanaan kota, akhir-akhir ini, sering disimpulkan bahwa pembangunan fisik kota yang hebat saja, kurang memadai. Disadari kebutuhan yang tinggi sekali terhadap penataruangan kota yang artistik, nyaman dan berbudaya. Profil kota harus kaya dengan elemen rupa yang mearik, hijau, bersih,tertib. Kehidupan warga kota, terbuka dan senantiasa merasa betah hidup di luar rumah. Selingan hidup menikmati kegiatan kesenian yang tumbuh subur sebagai bagian dari warna kehidupan di kota.
VARIASI, ISSN: 2085-6172
Volume 2, Edisi Khusus - Desember 2010
Hal - 53
Majalah Ilmiah Unimus
Informasi Komunikasi dan Pengkajian Iptek
Dalam tahun-tahun akhir ini, kota Banda Aceh yang semakin terkenal, mempunya peluang yang besar untuk menjadi kota yang damai, aman dan mengundang.
seadanya ingin mengembalikan keasrian sungai ke-alam semula jadinya, yang segar, bersih, dan berkhasiat. Kalau kita bertanya,”Bagaimana kita bisa mengembalikan kejernihan air sungai milik kota Banda Aceh ini, sehingga nyaman dan bersih serta sehat untuk diminum?” Pertanyaan yang musykil dan musthil untuk dapat di jawab. Kota Banda Aceh telah berobah. Perobahan yang paling signifikan adalah penduduk dan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Manusia kian ramai, taman makin sempit dan sungai menjadi penampung sampah kota. Diperlukan kesadaran masyrakat untuk terus menerus memelihara kepedulian pada lingkungan hidup. Masyarakat berkewajiban untuk berpartisipasi membantu pemeliharaan kota. Aktif menjga kebersihan sungai, aktif menjaga kehijauan pepohonan, cinta pada tanaman agar senantiasa berbunga dan ikut menjaga keberadaan monumen kota yang mencerminkan kepedulian pada benda-benda budaya dan seni. Sebuah cita-cita ini selalu mekar dalam relung hati setiap warga dan mereka berbuat sesuatu. Bukankah ucapan, ”Keindahan kota yang Darussalam, apabila warganya betah berada di luar rumah, memenuhi setiap ruang publik yang disediakan dengan rasa aman. Mimpi rakyat Nanggro Aceh Darussalam untuk sebuah kota idaman yang nyaman, insya Allah dapat terwujud adalah bagian dari iman ?”, adalah nafas islami yang menyatu dalam kehidupan rakyat Aceh sejak dulu, yang mekar pada ucapan : ” Innallaha jamilun, yuhhibbul jamalun ” Bahwasanya Allah itu indah dan mencintai keindahan.
2. Peranan Pemerintah Daerah dan Lembaga/Organisasi Kemasyarakatan Kehidupan artistik sebuah kota akan tumbuh serasi dan tertib, bila mendapat perhatian yang benar, serius dan berkesinambungan dari Bagian Kebudayaan Pemerintahan Kota. Dalam hal ini besarnya peranan dari seorang gubernur, Walikota, Bupati sampai kejajaran di bawahnya. Seoreang Gubernur atau Walikota, tidaklah perlu membuat programnya sendiri, dan melakukan serta mengawasinya sendiri, tetapi berkewajiban meletakan garis pokok pentingnya saja, kemudian memberikan akses yang stimulatif pada kelompok dan masyarakat kotanya; berupa team ahli atau kelompok yang profesional. Mereka adalah team yang terdiri dari para arsitek, perencana tata-kota, seniman, pelukis, pematung, arsitek,pertamanan, dan para ahli yang berwawasan luas tentang pertumbuhan kota yang modern dan berbudaya. 3. Peran Aktif Warga kota dalam membangun lingkungannya Dalam kitab Bustanussalatin, Syeikh Nurudin ar Raniri menuliskan, tentang sungai Darul Isyki, yang sekarang di kenal sebagai Krueng Daroy,sebagai berikut : “Sungai Darul Ishki yang berturap dengan batu, terlalu jenih airnya, lagi amat sejuk, barang siapa meminum dia, sehatlah tubuhnya. Dan adalah terbit mata air iu dari pada fihak magrib di bawah gunung jabalul-a’la, keluarnya daripada batu hitam” Darul isyki ynag jernih, sejuk dan sehat yang dikisahkan dalam Taman Bustanussalatin pada abad ke-17 yang lalu bersumber dari mata air di bawah jabalula’la, kenal sekarang, daerah yang bernama Mata Ie. Kebersihan air sungai itu sangat masih terngiang sampai dengan masa dua-tiga generasi yang lalu. Tetapi kini semuanya sudah nyaris menjadi kesenangan. Kita harus bekerja keras
VARIASI, ISSN: 2085-6172
E. Penutup Dalam seminar “Hari Jadi Kota Banda Aceh” ditetapkan bahwa hari jadinya adalah pada 1 Ramadhan 601 H (22 April 1205), bertepatan dengan didirikannya Istana Kerajaan Aceh Darussalam oleh sultan Johansyah di gampong pande. Dalam catatan sejarah, posisi Gampong
Volume 2, Edisi Khusus - Desember 2010
Hal - 54
Majalah Ilmiah Unimus
Informasi Komunikasi dan Pengkajian Iptek
Pande ini sangat krusial, karena ia adalah cikal bakal berdirinya Banda Aceh. Tapi kini, kawasan itu telah berubah menjadi IPLT (Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja) dan TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Lalu, ke arah manakah zaman akan membawa nilai-nilai history kota Banda Aceh?. Satu demi satu peristiwa memilukan dalam perjalanan aceh telah membuka lapisan-lpisan sejarahnya. Maka, sepatutnyalah kita menghadapinya secara bijak, karena tampaknya tanpa sadar kita mengubur bukti-bukti sejarah kegemilangan Aceh di masa lalu, dan generasi yang terlahir akan menjadi generasi yang ahistorys, generasi yang tidak mengetahui betapa agungnya tanah kelahiran mereka di masa dahulu (Kamal Arif, 2009). Dalam kasus Banda Aceh ini, unsur alam (sungai, pantai) merupakan unsur pembentuk citra yang potensial. Para arsitek lokal dilibatkan sebagai narasumber untuk diskusi lebih lanjut tentang citra. Sehingga fokus mengangkat kembali citra Banda Aceh adalah mencari ensensi dari keragaman citra yang diperoleh dari pembacaan sejarah dan memori kolektif. Relasi tanda-tanda dalam komposisi ragam arketipe itulah yang dapat memberikan makna dan arahan bagi proses kreatif merancang kota.
Pendidikan : Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Studi Desain Grafis di Rochester Institute of Technology, New York, Amerika. Profesi : Dosen Institut Teknologi Bandung (1970),Dekan dan Guru Besar yang mengajar mata kuliah Seni Modern di Kawasan Asia Pasifik (1980) Penghargaan : Anugerah Budaya & Penghargaan 2 abad Kota Bandung (2010)
Pustaka : Kamal A. Arif, 2009. Kutaraja benteng Aceh (dalam Disertasi Doktor Arsitektur Unpar), Bandung. Citra banda Aceh
Ir. T. M. Aryadi, MM Lahir Meulaboh 15 Pebruari 1955, Sarjana Manajemen Industri Unpas dan Magister Manajemen Unpad Bandung. Dosen dan Konsultan Manajemen di Bandung. Ketua-I Perhimpunan Manajemen Sumber Daya Manusia (PMSM) Indonesia - Jabar.
Win Konadi, Drs., M.Si Lektor Bidang Statistik & kependudukan Sarjana Statistika Bandung dan Magister Demografi UI-Depok. Lahir di Lhokseumawe, 6 November 1964. Adalah Dosen Unimus Matangglumpangdua Bireuen, STIE Kebangsaan Bireuen-Aceh, dan STMIK Bina Bangsa Bireuen.
Penulis :
Prof (Emiritus) A. Djalil Pirous Guru Besar Seni ITB Lahir di Meulaboh,Aceh, 11 Maret 1932
VARIASI, ISSN: 2085-6172
Volume 2, Edisi Khusus - Desember 2010
Hal - 55