ANALISIS PROFITABILITAS SERTA NILAI TAMBAH USAHA TAHU DAN TEMPE (Studi Kasus di Kecamatan Tegal Gundil dan Cilendek Timur Kota Bogor)
SKRIPSI
ANDINI TRIBUANA TUNGGADEWI H 34066013
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN ANDINI TRIBUANA TUNGGADEWI. Analisis Profitabilitas serta Nilai Tambah Usaha Tahu dan Tempe (Studi Kasus di Kecamatan Tegal Gundil dan Cilendek Timur Kota Bogor). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Dibawah bimbingan RITA NURMALINA - SURYANA). Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia, kebutuhan konsumsi protein harian Indonesia dalam bentuk kacang kedelai pun ikut meningkat. Tingkat konsumsi kedelai nasional meningkat dari 1.880.000 ton pada tahun 2006, menjadi 2.010.000 ton pada tahun 2007. Namun disisi ketersediaannya produksi kacang kedelai di Indonesia pada tahun 2006 hanya mencapai 747.611 ton, belum dapat mencukupi tingkat konsumsi kedelai nasional pada tahun yang sama. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan nasional, Indonesia mengimpor sebagian besar persediaan kacang kedelai. Pada tahun 2006 volume impor kacang kedelai Indonesia sendiri mencapai 3 juta ton lebih dengan nilai 830.836.021 US$, berdasarkan itu terlihat bahwa Indonesia mengalami ketergantungan pasokan kedelai impor cukup banyak. Akibatnya saat harga kacang kedelai meningkat dari Rp 2.500 per kilogram menjadi Rp 8.000 per kilogram pada tahun 2007, banyak pengrajin tahu dan tempe yang mengalami kerugian dan menghentikan usahanya. Sebagai bagian dari agroindustri dalam bentuk industri kecil dan rumah tangga atau yang umum dikenal Usaha Kecil Menengah (UKM), pengrajin tahu dan tempe secara langsung memiliki peranan penting dalam perekonomian suatu negara termasuk Indonesia. Peranan UKM dalam perekonomian antara lain dapat meningkatkan pendapatan para pelaku usaha, menyerap tenaga kerja, meningkatkan perolehan devisa, dan mendorong munculnya industri yang lain. Pada sisi lain harga jual dari tahu dan tempe itu sendiri sulit untuk naik, yang membuat para pengrajin tahu dan tempe kesulitan dalam menentukan harga jual dari produk mereka. Permasalahan yang timbul akibat kenaikan harga kedelai ini tidak hanya mempengaruhi pengrajin tahu dan tempe nasional, tapi juga pengrajin tahu dan tempe di Kota Bogor. Berdasarkan wawancara dengan pengurus PRIMKOPTI Kota Bogor, diketahui saat harga kedelai naik pada tahun 2007 PRIMKOPTI tidak dapat menyediakan pasokan kacang kedelai bagi para pengrajin. Bahkan saat itu jumlah anggota pengrajin tahu dan tempe terjadi penurunan, dari 177 pengrajin menjadi 156 pengrajin. Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis keragaan usaha tahu dan tempe, (2) menjelaskan langkah-langkah penyesuaian yang dilakukan usaha tahun dan tempe, (3) menganalisis profitabilitas usaha tahu dan tempe, dan (4) menganalisis nilai tambah usaha tahu dan tempe. Penelitian ini merupakan studi kasus, dengan mengambil dua lokasi usaha yang berbeda sesuai dengan produk yang dihasilkan. Untuk produk tahu mengambil usaha yang berlokasi di Jalan Arzimar II RT 02/VIII, Kelurahan Tegal Gundil, Kecamatan Tegal Gundil, sedangkan untuk produk tempe mengambil usaha yang berlokasi di Komplek Perumahan Bumi Menteng Asri, Kampung Pabuaran RT 02/02, Kecamatan Cilendek Timur. Waktu penelitian dilakukan 2
mulai dari bulan Desember 2008 sampai dengan April 2009. Penelitian ini menggunakan Break Event Point untuk menentukan besarnya profitabilitas yang dihasilkan dan metode Hayami untuk menganalisis nilai tambah pengolahan kedelai pada masing-masing usaha. Usaha tahu yang menjadi objek studi dalam penelitian adalah usaha milik Bapak Mumu, yang mengawali karir pada usaha tahu sebagai kuli di tempat usaha orang lain pada tahun 1987. Setelah itu beliau pun mencoba berdagang untuk mempelajari masalah pemasaran, akhirnya pada tahun 1997 beliau memulai untuk membuka usaha tahu sendiri. Terdapat 12 peralatan yang digunakan untuk proses produksi pada usaha tahu, antara lain mesin diesel dan giling, pompa air, tungku semen, cetakan, tanggok besi, baksemen, ember, serok, kain, bak air dan biang. Adapun total biaya secara keseluruhan untuk peralatan produksi pada usaha tahu adalah sebesar Rp 11.140.000. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tahu antara lain; kacang kedelai, garam, kunyit, dan asam cuka; dimana dalam satu hari usaha yang bersangkutan mengolah kedelai rata-rata sebanyak 300 kilogram, dan garam kurang lebih sebanyak 30 kilogram. Usaha tempe yang menjadi objek dalam penelitian adalah usaha milik Bapak Sularno, yang mengawali usahanya pada tahun 1979 di daerah Malabar. Pada tahun 1981 beliau menjadi anggota PRIMKOPTI, kemudian tahun 1983 Bapak Sularno berpindah tempat tinggal dan memulai usahanya sendiri dengan nama usaha Unit Fermentasi KOPTI Kota Bogor. Terdapat tujuh peralatan yang digunakan dalam proses produksi pada usaha tempe, antara lain mesin giling, jembung plastik dengan ukuran 50 kilogram dan 700 liter, drum besi sepanjang 70 cm, papan anyaman, bambu, tusukan, dan geblekan. Adapun total biaya peralatan produksi secara keseluruhan pada usaha tempe adalah sebesar Rp 12.230.000. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tempe antara lain kacang kedelai dan ragi, dimana setiap hari usaha tempe mengolah kacang kedelai ratarata sebanyak 400 kilogram dengan ragi yang digunakan kurang lebih dua kilogram. Hasil penelitian yang dilakukan pada salah satu usaha tahu dan tempe di Kota Bogor, diketahui terdapat beberapa langkah penyesuaian yang dilakukan kedua usaha. Langkah penyesuaian tersebut antara lain penetapan harga jual yang berbeda untuk beberapa konsumen, penggunaan bahan bakar alternatif, dan menghasilkan bahan baku penunjang dan peralatan produksi sendiri. Hasil perhitungan profitabilitas menunjukkan bahwa tingkat profitabilitas usaha yang lebih tinggi adalah usaha tahu sebesar 38 persen, sedang usaha tempe sebesar 28 persen. Perhitungan analisis nilai tambah juga menunjukkan bahwa usaha yang memiliki nilai tambah lebih besar adalah usaha tahu dengan nilai sebesar Rp 6.881, sedang untuk menjadi tempe sebesar Rp 4.947. Berdasarkan itu maka perlu dilakukan penghematan biaya pada usaha tempe, agar struktur biayanya lebih efisien dan mendapatkan keuntungan lebih besar. Salah satunya dengan menghemat biaya perawatan, menggunakan peralatan produksi yang lebih tahan lama dan menjaga kebersihan peralatan. Khusus untuk usaha tempe biaya pengemasannya dapat dihemat, dengan menggunakan kemasan daun pisang untuk seluruh produknya.
3
ANALISIS PROFITABILITAS SERTA NILAI TAMBAH USAHA TAHU DAN TEMPE (Studi Kasus di Kecamatan Tegal Gundil dan Cilendek Timur Kota Bogor)
ANDINI TRIBUANA TUNGGADEWI H 34066013
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 4
Judul Skripsi
: Analisis Profitabilitas serta Nilai Tambah Usaha Tahu dan Tempe (Studi Kasus di Kecamatan Tegal Gundil dan Cilendek Timur Kota Bogor)
Nama
: Andini Tribuana Tunggadewi
NRP
: H 34066013
Disetujui, Pembimbing
Dr.Ir. Rita Nurmalina - Suryana, MS NIP 19550713 198703 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manjemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus : 5
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Profitabilitas serta Nilai Tambah Usaha Tahu dan Tempe (Studi Kasus di Kecamatan Tegal Gundil dan Cilendek Timur Kota Bogor)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2009
Andini Tribuana Tunggadewi H 34066013
6
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 27 April 1986 di Bandung, adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, pasangan Dr. Ir. H. Dodi Supriadi, MSc. dan Hj. Euis Salnesih. Tahun 1997 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Pengadilan 3 Bogor, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTPN 8 Bogor yang diselesaikan pada tahun 2000. Penulis kemudian menyelesaikan pendidikan lanjutan menengah atas di SMU Kesatuan Bogor pada tahun 2003, dilanjutkan dengan mengambil pendidikan Program Studi D3 Analisis Lingkungan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Petanian Bogor yang diselesaikan pada tahun 2006. Penulis kemudian melanjutkan pendidikannya ke jenjang S1 di Program Sarjana Agribisnis Penyelenggaraan Khusus Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalus seleksi pada tahun 2006.
7
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Analisis Profitabilitas serta Nilai Tambah Usaha Tahu dan Tempe (Studi Kasus di Kecamatan Tegal Gundil dan Cilendek Timur Kota Bogor)”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis seberapa besar tingkat kemampuan usaha tahu dan tempe selaku usaha rumah tangga dalam menghasilkan laba atau profit serta menganalisis nilai tambah antara kedua usaha tersebut. Namun demikian, sangat disadari masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan pada skripsi ini dehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juli 2009 Andini Tribuana Tunggadewi
8
UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada : 1.
Orangtua, keluarga, dan Okwan Himpuni atas doa, semangat, serta masukan yang diberikan pada penulis selama masa penyusunan skripsi.
2.
Dr. Ir. Rita Nurmalina-Suryana, MS selaku dosen pembimbing atas waktu, arahan, dan kesabarannya pada penulis dalam penyusunan skripsi.
3.
Ir. Dwi Rachmina, MS selaku dosen evaluator pada seminar proposal dan dosen penguji pada ujian sidang, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan saran dan kritik pada penulis.
4.
Ir. Narni Farmayanti, MSc selaku dosen komdik pada ujian sidang, yang telah memberikan saran dan kritik pada penulis.
5.
M. Pintor Nasution, selaku pembahas pada seminar atas saran dan kritik yang diberikan pada penulis.
6.
Pihak PRIMKOPTI dan Deperindag Kotamadya Bogor, atas waktu dan informasi yang diberikan untuk kelancaran serta penulisan skripsi.
7.
Bapak Mumu dan keluarga, atas waktu, kesempatan, informasi, dan dukungan yang diberikan pada penulis.
8.
Bapak Sularno dan Mas Roin, atas waktu, kesempatan, informasi, dan dukungan yang diberikan pada penulis.
9.
Pihak-pihak yang bekerja pada usaha tahu dan tempe, atas waktu dan informasi yang diberikan guna kelengkapan penyusunan skripsi ini.
10. Sahabat dan teman-teman X-AGB angkatan 1, atas semangat, saran, dan masukan yang diberikan pada penulis selama masa penyusunan skripsi. 11. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam penulisan skripsi.
Bogor, Juli 2009
9
Andini Tribuana Tunggadewi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................
12
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
14
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
15
I
PENDAHULUAN ............................................................................ 1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1.2. Perumusan Masalah .................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 1.4. Kegunaan Penelitian ...................................................................
16 16 19 22 23
II
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
24
2.1. Kedelai sebagai Bahan Baku ....................................................... 2.2. Latar Belakang Usaha Tahu dan Tempe ..................................... 2.2.1. Sejarah Tahu ..................................................................... 2.2.2. Sejarah Tempe .................................................................. 2.2.3. Karakteristik Tenaga Kerja ............................................... 2.2.4. Saluran Pemasaran ............................................................ 2.3. Penelitian Terdahulu ................................................................... 2.3.1. Penelitian Mengenai Profitabilitas ..................................... 2.3.2. Penelitian Mengenai Analisis Nilai Tambah ......................
24 25 25 25 27 28 28 28 29
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................
18
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ...................................................... 3.1.1. Konsep Biaya ..................................................................... 3.1.2. Penetapan Harga Jual ......................................................... 3.1.3. Analisis Titik Impas dan Profitabilitas .............................. 3.1.4. Analisis Nilai Tambah ....................................................... 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ...............................................
18 18 19 21 24 27
METODE PENELITIAN .................................................................
28
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 4.2. Metode Penentuan Sampel .......................................................... 4.3. Desain Penelitian ......................................................................... 4.4. Data dan Instrumentasi ................................................................ 4.5. Metode Pengumpulan Data ......................................................... 4.6. Metode Pengolahan Data ............................................................ 4.6.1. Analisis Biaya Produksi ..................................................... 4.6.2. Analisis Titik Impas ........................................................... 4.6.3. Profitabilitas Usaha ............................................................ 4.6.4. Analisis Nilai Tambah .......................................................
28 28 30 30 31 31 31 32 33 33
III
IV
10
V
VI
GAMBARAN UMUM USAHA .......................................................
36
5.1. Keragaan Usaha .......................................................................... 5.1.1. Usaha Tahu ....................................................................... 5.1.1.1. Peralatan Produksi Tahu ...................................... 5.1.1.2. Produksi Tahu ...................................................... 5.1.2. Usaha Tempe ...................................................................... 5.1.2.1. Peralatan Produksi Tempe .................................... 5.1.2.2. Produksi Tempe ................................................... 5.2. Langkah Penyesuaian Usaha Terhadap Kenaikan Harga Kedelai ..............................................................................
36 36 37 39 41 41 43 45
ANALISIS PROFITABILITAS SERTA NILAI TAMBAH USAHA TAHU DAN TEMPE ......................................
48
6.1. Analisis Biaya ............................................................................. 6.1.1. Biaya ................................................................................. 6.1.1.1. Biaya Tetap .......................................................... 6.1.1.2. Biaya Variabel ...................................................... 6.1.1.3. Total Biaya Usaha ................................................ 6.1.2. Volume Penjualan dan Harga Jual .................................... 6.1.2.1. Usaha Tahu .......................................................... 6.1.2.2. Usaha Tempe ........................................................ 6.1.3. Analisis Profitabilitas ........................................................ 6.1.3.1. Usaha Tahu .......................................................... 6.1.3.2. Usaha Tempe ........................................................ 6.2. Analisis Nilai Tambah ................................................................ 6.2.1. Usaha Tahu ....................................................................... 6.2.2. Usaha Tempe .....................................................................
48 48 48 56 59 62 62 65 67 68 71 75 75 77
PERBANDINGAN HASIL ANALISIS PROFITABILITAS SERTA NILAI TAMBAH USAHA TAHU DAN TEMPE .......................................................................
80
7.1. Analisis Profitabilitas .................................................................. 7.2. Analisis Nilai Tambah ................................................................
80 81
KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................
84
8.1. Kesimpulan ................................................................................. 8.2. Saran ............................................................................................
84 84
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
86
LAMPIRAN ...................................................................................................
88
VII
VIII
11
DAFTAR TABEL Nomor 1. Komposisi Kedelai per 100 gram Bahan ...............................
Halaman 16
2.
Konsumsi Kacang Kedelai Indonesia untuk Rumah Tangga Tahun 2005 sampai dengan 2007 ………………………….
16
3.
Produksi Kacang Kedelai Indonesia Tahun 2004-2008 ……
17
4.
Impor Kedelai per Negara Asal Tahun 2006 .........................
17
5.
Perkembangan Jumal Pelaku Usaha dan Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Skala Usaha Tahun 2006-2007 ……………
18
6.
Kebutuhan Kedelai Anggota dan Non Anggota Pengrajin Tahu Tempe Kota Bogor Tahun 2008 ...................................
21
7.
Rincian Singkat Penelitian Terdahulu ……………………...
32
8.
Kebutuhan Kedelai Usaha Tahu di Kecamatan Tegal Gundil Tahun 2008 …………………………………………………
43
9.
Kebutuhan Kedelai Usaha Tempe di Kecamatan Cilendek Timur Tahun 2008 ………………………………………….
44
10.
Perhitungan Nilai Tambah Menurut Metode Hayami ……...
49
11.
Inventarisasi Peralatan Produksi Tahu Usaha Bapak Mumu
52
12.
Kebutuhan Bahan Baku Produksi Tahu per Hari …………..
54
13.
Inventarisasi Peralatan Produksi Tempe Usaha Bapak Sularno ……………………………………………………...
57
14.
Biaya Investasi Usaha Tahu ………………………………..
64
15.
Biaya Peralatan Usaha Tahu ………………………………..
65
16.
Biaya Non Produksi Usaha Tahu per Tahun ……………….
66
17.
Biaya Peralatan Usaha Tempe …….………………………..
68
18.
Biaya Non Produksi Usaha Tempe per Tahun ……………..
69
19.
Biaya Bahan Baku Usaha Tahu …………………………….
72
20.
Biaya Bahan Baku Usaha Tempe ………………..…............
73
21.
Total Biaya Usaha Tahu per Tahun ………………………...
75
22.
Total Biaya Usaha Tempe per Tahun …………………........
76
23.
Penjualan Usaha Tahu ……………………………………...
78
24.
Penjualan Usaha Tempe ……………………………………
81 12
25.
Perhitungan Bobot Tempe dalam Kilogram ………………..
82
26.
Perbandingan Titik Impas dengan Kondisi Aktual Usaha Tahu ………………………………………………………...
85
27.
Perbandingan Titik Impas dengan Kondisi Aktual Usaha Tempe ……………..………………………………………..
88
28.
Analisis Nilai Tambah Usaha Tahu ………………………...
90
29.
Analisis Nilai Tambah Usaha Tempe …………………........
92
30.
Perbandingan Hasil Analisis Profitabilitas …………………
94
31.
Perbandingan Hasil Analisis Nilai Tambah ...........................
96
13
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Proporsi Kontribusi UKM dan Usaha Besar (UB) terhadap PDB Nasional Tahun 2006-2007 …………………………..
19
2.
Titik Impas, Laba, dan Volume Penjualan …………………
38
3.
Nilai Tambah dan Marjin Hasil Pengolahan ……………….
40
4.
Alur Kerangka Pemikiran Konseptual ……………………..
42
5.
Proses Produksi Tahu ………………………………………
55
6.
Proses Produksi Tempe …………………………………….
59
7.
Tahu Putih …………………………….……………………
105
8.
Tahu Kuning ……………………………………………….
105
9.
Peralatan Produksi Mesin Giling Usaha Tahu ......................
106
10.
Peralatan Produksi Tungku Semen Usaha Tahu ...................
106
11.
Peralatan Produksi Bak Semen 1 Usaha Tahu ......................
107
12.
Peralatan Produksi Bak Semen 2 Usaha Tahu ......................
107
13.
Bubur Kedelai yang Telah Menjadi Adonan Tahu ...............
108
14.
Proses Pencetakan Tahu ........................................................
108
15.
Tempat Usaha Tempe ............................................................
109
16.
Tempat Pengolahan Kedelai Menjadi Tempe .......................
109
17.
Peralatan Produksi Mesin Giling Usaha Tempe ....................
110
18.
Rak Tempat Proses Fermentasi .............................................
110
19.
Proses Perebusan Kedelai ......................................................
111
20.
Tempat Proses Produksi Tempe ............................................
111
21.
Tempat Pembungkusan Tempe .............................................
112
22.
Salah Satu Bentuk Tempe yang Akan Dikembangkan .........
112
14
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Perhitungan Beberapa Faktor dalam Tabel 22 …………….
103
2.
Perhitungan Beberapa Faktor dalam Tabel 23 …………….
104
3.
Dokumentasi Tempat Usaha ………………………………
105
15
I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Persediaan kacang kedelai di Indonesia sebanyak 50 persen dikonsumsi
dalam bentuk tempe, 40 persen dalam bentuk tahu, dan sisanya 10 persen dikonsumsi dalam bentuk produk lain 1. Tahu dan tempe merupakan salah satu jenis makanan olahan kacang kedelai yang dapat menambah asupan protein bagi tubuh. Komposisi kandungan gizi makanan olahan kacang kedelai dalam bentuk tahu dan tempe dapat terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kedelai per 100 gram Bahan KOMPONEN Protein Lemak Karbohidrat Air
KADAR (%) 35 – 45 18 – 32 12 – 30 7
Sumber : Esti dan Sediadi (2000)
Tabel 1 memperlihatkan dalam 100 gram tahu atau tempe, mengandung kadar protein sebesar 35 persen sampai dengan 45 persen. Hal ini menunjukkan bahwa produk olahan kacang kedelai yaitu tahu dan tempe, memiliki kandungan protein tinggi yang sangat dibutuhkan tubuh. Oleh karena itu upaya meningkatkan asupan protein untuk tubuh, dapat dilakukan dengan melakukan peningkatan konsumsi pada produk olahan kacang kedelai berupa tahu dan tempe. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia, kebutuhan konsumsi protein harian Indonesia dalam bentuk kacang kedelai pun ikut meningkat seperti yang terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Konsumsi Kacang Kedelai Indonesia untuk Rumah Tangga Tahun 20052007 Tahun 2005 2006
Konsumsi Volume (juta ton) Persentase (%) 1,89 1,88 -0,53
1
Wikipedia. Kedelai. http:// id.wikipedia.org//
16
2007 Laju Pertumbuhan Rata-rata (% per tahun)
2,01
6,91 0,70
Sumber : BPS (2008)
Pada Tabel 2 menunjukkan tingkat konsumsi kedelai di Indonesia cenderung fluktuaktif. Ini terlihat dari penurunan konsumsi kedelai pada tahun 2005 sebesar 1.890.000 ton menjadi 1.880.000 ton pada tahun 2006, yang kemudian pada tahun 2007 terjadi peningkatan konsumsi menjadi 2.010.000 ton. Jika dilihat dari sisi ketersediaannya, produksi kacang kedelai di Indonesia hanya dapat memenuhi sebagian kebutuhan kacang kedelai nasional (Tabel 3). Tabel 3. Produksi Kacang Kedelai Indonesia Tahun 2004-2008 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008
Luas Area (Ha) 565.155 621.541 580.534 459.116 579.593
Produktivitas (Qu/Ha) 12,8 13,01 12,88 12,91 13,13
Produksi (ton) 723.483 808.353 747.611 592.534 761.206
Sumber : //www.bps.go.id/sector/agri/pangan/table3_2008.shtml
Pada Tabel 3 dapat dilihat produksi kedelai nasional dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 mengalami penurunan. Jumlah produksi kacang kedelai nasional pada tahun 2007 yang sebesar 592.534 ton, belum dapat mencukupi tingkat konsumsi kedelai nasional pada tahun yang sama. Oleh karena itu Indonesia mengimpor sebagian besar persediaan kacang kedelai untuk memenuhi kebutuhan nasional, dimana volume impor ini secara jelas dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Impor Kedelai per Negara Asal Tahun 2006 Negara United States Argentina India Brazil Malaysia Lainnya TOTAL
Volume (kg) 1.233.447.895 1.026.362.770 624.638.500 396.891.778 17.771.065 81.138.243 3.380.250.251
Nilai (US$) 325.061.683 237.496.990 140.175.177 94.758.879 8.420.300 24.922.992 830.836.021
Sumber : www.deptan.go.id
17
Tabel 4 menunjukkan bahwa volume impor kacang kedelai Indonesia pada tahun 2006 mencapai 3 juta ton lebih dengan nilai 830.836.021 US$, dimana negara pengimpor terbesarnya adalah Amerika Serikat. Berdasarkan data tersebut, terlihat Indonesia mengalami ketergantungan pasokan kacang kedelai impor yang cukup banyak. Akibatnya saat harga kacang kedelai meningkat dari Rp 2.500 per kilogram menjadi Rp 8.000 per kilogram pada tahun 2007, banyak pengrajin tahu dan tempe yang mengalami kerugian dan menghentikan usahanya 2. Sebagai bagian dari agroindustri dalam bentuk industri kecil dan rumah tangga atau yang umum dikenal Usaha Kecil Menengah (UKM), pengrajin tahu dan tempe secara langsung memiliki peranan penting dalam perekonomian suatu negara termasuk Indonesia. Peranan UKM dalam perekonomian antara lain dapat meningkatkan
pendapatan
para
pelaku
usaha,
menyerap
tenaga
kerja,
meningkatkan perolehan devisa, dan mendorong munculnya industri yang lain (Soekartawi,2000). Banyaknya usaha dan tenaga kerja yang terserap oleh industri kecil dan kerajinan rumah tangga ini dapat dialihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perkembangan Jumlah Pelaku Usaha dan Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Skala Usaha Tahun 2006-2007 3 No.
Skala Usaha
Jumlah Pelaku Usaha (usaha) 2006 2007
(%)
Jumlah Tenaga Kerja (orang) 2006 2007
(%)
1.
Usaha Mikro
46.746.567
47.702.310
2,04
75.453.589
77.061.669
2,13
2.
Usaha Kecil
1.917.897
2.017.926
5,22
9.599.480
9.970.644
3,87
3.
Usaha Menengah
114.687
120.253
4,85
4.494.693
4.720.005
5,01
Usaha Kecil dan Menengah 4.
48.779.151
49.840.489
2,18
89.547.762
91.752.318
2,46
Usaha Besar
4.398
4.527
2,93
2.445.595
2.520.707
3,07
JUMLAH
48.783.549
49.845.016
2,18
91.993.357
94.273.025
2,48
Tabel 5 menunjukkan UKM merupakan usaha terbesar yang ada di Indonesia, dengan jumlah usaha sebanyak 48.779.151 usaha pada tahun 2006 yang meningkat pada tahun 2007 menjadi 49.840.489 usaha. Tenaga kerja yang terserap pada UKM juga merupakan yang terbesar, dengan jumlah sebanyak 89.547.762 orang pada tahun 2006 yang meningkat menjadi 91.752.318 orang 2
3
Kompas Cyber Media. Bogor : Pengrajin Tempe Tahu Berharap Kedelai Stabil. http//: www.kompas.com//. Senin, 14 Januari 2008 DEPKOP. Statistik Usaha Kecil dan Menengah Tahun 2006-2007. http//:www.depkop.go.id//. Senin, 13 Juli 2009
18
pada tahun 2007. Besarnya jumlah UKM di Indonesia membuat usaha tersebut memiliki kontribusi cukup besar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, yang dengan jelas dapat terlihat pada Gambar 1.
100%
Persentase
80%
43,94%
43,91%
16,76%
16,84%
39,30%
39,25%
2006
2007
60% 40% 20% 0%
UK
UM
UB
Tahun
Gambar 1. Proporsi Kontribusi UKM dan Usaha Besar (UB) Terhadap PDB Nasional Tahun 2006-2007 4 Pada Gambar 1 terlihat bahwa kontribusi UKM terhadap PDB nasional merupakan yang terbesar, dengan total persentase sebesar 56,06 persen pada tahun 2006, yang meningkat pada tahun 2007 menjadi 56,09 persen. Berdasarkan hal tersebut maka jelas UKM memang memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional, termasuk didalamnya adalah usaha tahu dan tempe. 1.2.
Perumusan Masalah Terkait dengan kenaikan harga kedelai beberapa waktu lalu, pemerintah
sempat mengeluarkan kebijakan subsidi untuk kacang kedelai sebesar Rp 1.000 untuk pembelian tiap kilogram kedelai selama kurang lebih empat bulan 5. Ini dilakukan guna meningkatkan semangat para pengrajin tahu dan tempe untuk tetap berproduksi dan tidak lama setelah kebijakan tersebut dikeluarkan harga kedelai turun menjadi Rp 6.000 per kilogram. Pada sisi lain harga jual dari tahu dan tempe itu sendiri sulit untuk naik, yang membuat para pengrajin tahu dan tempe kesulitan dalam menentukan harga jual dari produk mereka. Hal ini terjadi karena kebanyakan konsumen menganggap tahu dan tempe merupakan produk murah, padahal bahan baku tahu dan tempe sebagian besar 4 5
DEPKOP. Statistik Usaha Kecil dan Menengah Tahun 2006-2007. http//:www.depkop.go.id//. Senin, 13 Juli 2009 KCM. Pengrajin Tahu Tempe Segera Disubsidi. http//: www.kompas.com// . Selasa, 15 Juli 2008.
19
diperoleh secara impor 6. Harga jual untuk tahu dan tempe yang kini beredar di pasaran, tidak berbeda jauh dengan harga jual pada saat sebelum adanya kenaikan harga kedelai. Saat ini tahu berada dalam kisaran harga Rp 200 sampai dengan Rp 400 per potong, sedangkan untuk tempe berada dalam kisaran harga Rp 1.000 sampai dengan Rp 6.000 per potong. Permasalahan yang timbul akibat kenaikan harga kedelai ini tidak hanya mempengaruhi pengrajin tahu dan tempe nasional, tapi juga pengrajin tahu dan tempe di Kota Bogor. Berdasarkan wawancara dengan pengurus Primer Koperasi Tahu Tempe Indonesia (PRIMKOPTI) Kota Bogor, diketahui saat harga kedelai naik pada tahun 2007 PRIMKOPTI tidak dapat menyediakan pasokan kacang kedelai bagi para pengrajin. Bahkan saat itu terjadi penurunan jumlah anggota pengrajin tahu dan tempe, dari 177 pengrajin menjadi 156 pengrajin. Banyaknya jumlah pengrajin tahu dan tempe di Kota Bogor baik yang merupakan anggota maupun non anggota PRIMKOPTI saat ini dapat dilihat pada Tabel 6.
6
KCM. Pengrajin Tahu Tempe Segera Disubsidi. http//: www.kompas.com// . Selasa, 15 Juli 2008.
20
Tabel 6. Kebutuhan Kedelai Anggota dan Non Anggota Pengrajin Tahu Tempe Kota Bogor Tahun 2008 Wilayah Kecamatan Tegallega I Tegallega II Tegallega III Bantarjati I Bantarjati II Bantarjati III Tegal Gundil I Ciluar Kebonpedes I Kebonpedes II Cimanggu Cilendek Timur Cilendek Barat Lawanggintung Bondongan Empang Pasir Kuda Gugahsari Jumlah Anggota Non Anggota TOTAL
Jenis Produksi Tempe Tahu 8 10 7 3 2 5 18 4 16 5 7 2 1 15 19 5 2 11 3 1 3 1 4 109 43 47 19 156 62
Tauco
3
3 3
Kebutuhan Kedelai (Kg/Bulan) 15.850 16.900 22.300 10.900 23.220 9.850 9.620 6.150 11.000 2.600 6.000 26.950 10.225 7.500 12.200 2.500 10.000 6.000 209.795 91.599 301.394
Sumber : PRIMKOPTI (2008)
Tabel 6 menunjukkan PRIMKOPTI pada Tahun 2008 memiliki anggota sebanyak 155 yang terdiri dari pengrajin tahu sebanyak 43 orang, tempe sebanyak 109 orang, dan tauco sebanyak 3 orang. Menurut wilayah kecamatan terlihat kebutuhan kedelai terbesar untuk pengrajin tahu berada pada wilayah Kecamatan Tegalgundil I sebesar 9.620 kilogram per bulan, sedangkan untuk pengrajin tempe berada pada wilayah Cilendek Timur sebesar 26.950 kilogram per bulan. Berdasarkan keterangan tersebut maka penelitian ini pun dilakukan pada kedua wilayah kecamatan tersebut, dengan mengambil salah satu usaha sebagai objek studi kasus pada masing-masing wilayah. Usaha tahu yang menjadi objek studi dalam penelitian ini mengambil usaha milik Bapak Mumu yang berada di Kecamatan Tegalgundil, sedangkan untuk usaha tempe mengambil usaha milik Bapak Sularno yang berada di Kecamatan Cilendek Timur. Masing-masing pengrajin tahu dan tempe yang 21
menjadi objek studi tersebut menyatakan, bahwa mereka menetapkan harga jual tahu dan tempe berdasarkan keinginan konsumen tanpa mengetahui kondisi usaha mereka sebenarnya untung, rugi, atau impas. Padahal harga jual yang ditetapkan seharusnya dapat menutupi semua ongkos produksi, bahkan lebih dari itu yaitu untuk mendapatkan laba (Swastha dan Sukotjo, 1998). Terkait dengan kenaikan harga kedelai yang terjadi pada dua tahun lalu, data produksi dan penjualan pada kedua usaha yang menjadi objek penelitian secara pasti tidak dapat ditampilkan karena tidak adanya pencatatan yang detail. Akan tetapi berdasarkan hasil wawancara kedua pengrajin tersebut yang merupakan anggota PRIMKOPTI menyatakan, usaha mereka sedikit terganggu dengan adanya kenaikan harga kedelai secara tiba-tiba pada beberapa waktu lalu. Berdasarkan uraian tersebut maka terlihat beberapa pokok permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini, antara lain : 1.
Langkah-langkah penyesuaian apa yang dilakukan pengrajin untuk mempertahankan usaha?
2.
Berapa besar keuntungan yang diperoleh oleh pengrajin tahu dan tempe, dengan mengambil studi kasus pada pengrajin tahu di Kelurahan Tegal Gundil dan pengrajin tempe di Kelurahan Cilendek Timur?
3. 1.3.
Berapa nilai tambah kacang kedelai untuk tahu dan tempe? Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1.
Menganalisis keragaan usaha tahu dan tempe.
2.
Menjelaskan langkah-langkah penyesuaian yang dilakukan usaha tahun dan tempe.
3.
Menganalisis profitabilitas usaha tahu dan tempe.
4.
Menganalisis nilai tambah usaha tahu dan tempe.
22
1.4.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan berguna bagi :
1.
Peneliti sebagai wadah pengaplikasian materi-materi yang didapat selama masa perkuliahan.
2.
Pihak pengrajin tahu dan tempe sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam menjalankan usahanya.
3.
Khalayak umum juga pemerintah guna menambah informasi mengenai kondisi industri tahu dan tempe saat ini.
4.
Civitas akademika, untuk menambah pengetahuan ataupun dijadikan sebagai bahan perbandingan serta acuan dalam melakukan penelitian selanjutnya.
23
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Kedelai sebagai Bahan Baku Kedelai telah dibudidayakan di Cina sejak 1000 tahun sebelum Masehi
dan Negara tersebut merupakan asal tanaman kedelai. Suku Jawa merupakan penduduk yang paling awal mengadopsi tanaman kedelai kedalam usaha taninya, karena adanya hubungan perdagangan antara pedagang Cina dengan masyarakat di Jawa. Dalam tahun 1918 tercatat, luas areal panen kedelai di Indonesia mencapai 158.900 Ha. Pada awal pengembangannya di Indonesia pusat pertumbuhan kedelai pertama kali didapati di Jawa Tengah yang kemudian menyebar ke Jawa Timur dan bagian Jawa lainnya. Dari Jawa kemudian kedelai menyebar ke pulau-pulau lainnya di Indonesia. Dalam mencapai tingkat produksi yang optimal, pengembangan kedelai harus disesuaikan dengan kriteria kesesuaian biofisik lingkungan, sistem usahatani, dan kondisi sosial ekonomi petani. Terdapat kriteria kesesuaian lahan dalam mengembangkan kedelai, antara lain lahannya tergolong lahan yang sangat sesuai dengan suhu 23oC sampai dengan 28oC, curah hujan sekitar 2500 mm per tahun, pH 6,0 sampai dengan 6,9, hara NPK cukup, dan salinitas 2,5 mmhcs per cm. Selain faktor fisik tersebut, tingkat produksi yang optimal juga ditentukan oleh hubungan timbal balik antara tanaman kedelai dengan organisme pengganggu tumbuhan (hama) yang perkembangannya ditentukan oleh faktor fisik lingkungan dan manajemen petani. Selain faktor teknis, faktor sosial ekonomi seperti tujuan petani, kelembagaan, pemasaran, dan harga juga turut menentukan tingkat produktivitas yang tercapai. Kebutuhan akan kedelai dan produk-produk olahannya semakin meningkat dan belum dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, yang mengakibatkan impor kedelai pun meningkat. Produk olahan seperti tahu, tempe, tauco, kecap, dan minyak kedelai tidak hanya diminati oleh penduduk menengah kebawah Jawa, akan tetapi sudah menjangkau seluruh lapisan masyarakat luar Jawa. Dengan
24
demikian maka kedelai tidak hanya penting sebagai sumber protein, tapi juga penting sebagai bahan baku industri 7. 2.2.
Latar belakang Usaha Tahu dan Tempe
2.2.1. Sejarah Tahu Tahu merupakan makanan yang sangat menyehatkan dan mengandung zatzat yang dibutuhkan untuk memperbaiki gizi masyarakat, karena terbuat dari kacang kedelai yang kaya akan kandungan protein. Kata ‘tahu’ berasal dari bahasa asing, yaitu bahasa Cina tao hu, teu hu, atau tokwa, dimana kata tao atau teu memiliki arti kacang, kacang kedelai putih yang digunakan dalam pembuatan tahu disebut wong teu, dan hu atau kwa memiliki arti rusak, lumat, hancur menjadi bubur. Oleh karena itu jika kedua kata tersebut digabungkan akan menjadi ‘tahu’, yang bermakna makanan yang terbuat dari kedelai yang dilumatkan atau dihancurkan menjadi bubur. Dalam pembuatan tahu, terdapat beberapa hal yang penting untuk diperhatikan agar tahu yang dihasilkan sesuai dengan harapan. Adapun hal penting tersebut antara lain kebersihan lingkungan kerja, menjaga kualitas tahu, serta memilih peralatan yang cocok dan tepat. Selain itu dari proses produksi tahu ini terdapat hasil sampingan berupa limbah yang dapat menjadi produk turunan dari tahu. Hasil sampingan dari tahu ini salah satunya adalah kulit kedelai dan ampas tahu untuk campuran makanan ternak. Selain itu juga terdapat kembang tahu, yaitu sisa sari pati kedelai yang direbus yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk masakan 8. 2.2.2. Sejarah Tempe Berbeda dengan tahu yang berasal dari cina, tempe merupakan makanan tradisional Indonesia dan sudah menjadi industri rakyat. Tidak jelas kapan pembuatan tempe dimulai, namun demikian makanan tradisonal ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Pada salah satu catatan sejarah yang
7 8
Manwan, Ibrahim dan Sumarno dalam Beddu Amang dkk. 1996. Ekonomi Kedelai. Kastyanto, FL. Widie. 1994. Membuat Tahu.
25
tersedia menunjukkan bahwa ada kemungkinan pada mulanya tempe diproduksi dari kedelai hitam. Kata "tempe" diduga berasal dari bahasa Jawa Kuno, dimana pada waktu itu terdapat makanan berwarna putih terbuat dari tepung sagu yang disebut tumpi. Tempe segar yang juga berwarna putih terlihat memiliki kesamaan dengan makanan tumpi tersebut. Selain itu pada tahun 1875 dalam sebuah kamus bahasa Jawa-Belanda menyatakan, bahwa pembuatan tempe diawali semasa era Tanam Paksa di Jawa. Tempe dikenal oleh masyarakat Eropa melalui orang-orang Belanda pada tahun 1895, dimana Prinsen Geerlings (ahli kimia dan mikrobiologi dari Belanda) melakukan usaha yang pertama kali untuk mengidentifikasi kapang tempe. Perusahaan-perusahaan tempe yang pertama di Eropa dimulai di Belanda oleh para imigran dari Indonesia. Melalui Belanda akhirnya tempe menjadi populer di Eropa sejak tahun 1946. Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Tempe memiliki kegunaan untuk melawan radikal bebas, sehingga dapat menghambat proses penuaan dan mencegah terjadinya penyakit degeneratif (aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, kanker, dan lain-lain). Selain itu tempe juga mengandung zat antibakteri penyebab diare, penurun kolesterol darah, pencegah penyakit jantung, hipertensi, dan lainlain. Komposisi gizi tempe baik kadar protein, lemak, dan karbohidratnya tidak banyak berubah dibandingkan dengan kedelai. Namun karena adanya enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam kedelai. Oleh karena itu, tempe sangat baik untuk diberikan kepada segala kelompok umur (dari bayi hingga lansia), sehingga bisa disebut sebagai makanan semua umur. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap, dan dimanfaatkan tubuh dibandingkan dengan yang ada dalam kedelai. Pengolahan kedelai menjadi tempe akan menurunkan kadar raffinosa dan stakiosa, yaitu suatu senyawa penyebab timbulnya gejala flatulensi (kembung 26
perut) 9. Tempe itu sendiri dibuat dengan cara fermentasi atau peragian dengan menggunakan bahan baku berupa kacang kedelai. Proses peragian pada tempe disebabkan oleh semacam kapang atau jamur, yang memberikan semacam lapuk berwarna putih yang semakin lama akan menjadi hitam. Kapang pada tempe dalam bahasa ilmiah disebut juga Rhizopus oryzae, yang pada keadaan normal hanya terdiri dari Rhizopus oligosporus. Adanya proses peragian ini membuat kedelai pada tempe memiliki rasa yang lebih enak serta lebih mudah dicerna, daripada kedelai yang dimakan tanpa proses fermentasi terlebih dahulu. Selain itu dengan adanya proses fermentasi, membuat bau langu pada kedelai hilang sehingga cita rasa dan bau aromanya pun lebih sedap. Proses fermentasi pada tempe ini membuat protein dalam kedelai terurai menjadi komponen-komponen asam amino, yang membuat penyerapan zat-zat makanan dalam tubuh lebih lancar. Adapun Tempe yang baik adalah tempe yang bentuknya keras dan kering, serta didalamnya tidak mengandung kotoran dan campuran bahan-bahan lain. Tempe itu sendiri memiliki daya tahan paling lama dua hari, karena lebih dari itu jamur tempe pun akan mati. Selanjutnya akan tumbuh jamur atau bakteri-bakteri lain yang dapat merombak protein, sehingga tempe pun menjadi busuk 10. 2.2.3. Karakteristik Tenaga Kerja Tahu dan tempe merupakan salah satu bagian dari industri kecil yang dapat menyerap tenaga kerja yang cukup banyak, karena umumnya industri kecil tidak membutuhkan tingkat pendidikan tinggi. Oleh karena itu cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana. Disatu sisi sifat industri kecil yang sederhana ini memberikan dampak positif bagi tenaga kerja tidak terdidik untuk masuk ke sektor industri. Dalam proses produksi dan teknologi yang digunakan industri kecil bersifat padat karya, karena potensi bahan baku yang dimiliki dari suatu wilayah dan kemampuan teknologinya masih turun-menurun. Penggunaan teknologi dan proses produksi yang sederhana juga ditunjukkan pada industri tahu dan tempe, 9
WIKIPEDIA. Sejarah Tempe. http//:id.wikipedia.com//. Minggu, 1 Juli 2008. Sarwono, B. 1994. Membuat Tempe dan Oncom.
10
27
dimana dalam proses pengolahan kedelai menjadi tahu atau tempe bisa diselesaikan oleh 1-2 orang. Adapun tenaga kerja yang digunakan umumnya berasal dari dalam keluarga, sedangkan yang menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga hanyalah beberapa pengrajin saja. 2.2.4. Saluran Pemasaran Pemasaran untuk menyalurkan tahu dan tempe dari produsen ke konsumen pada industri kecil masih merupakan masalah, karena kurangnya informasi pasar terkait dengan pola permintaan konsumen. Selain itu kemampuan dalam strategi pemasaran pada industri rumah tangga ini masih kurang, karena umumnya pengusaha tahu dan tempe industri kecil kurang atau tidak mengetahui produk yang sedang gencar di pasaran. Bahkan terkadang pengusaha tidak mampu menghasilkan produk dengan mutu yang sesuai dengan tuntutan pasar, selera konsumen, dan kurang mampu memproduksi dalam jumlah yang besar dalam waktu cepat sehingga permintaan pasar tidak dapat dipenuhi. Terdapat dua cara umum penyaluran hasil produksi tahu dan tempe dari produsen ke konsumen yaitu dengan menjual langsung kepasar, dimana pengrajin tempe langsung menjual produknya dengan konsumen; dan melalui pedagang perantara. Sebagian besar pengrajin tahu dan tempe memasarkan hasil produksinya dengan langsung menjual ke pasar, yang secara tidak langsung akan membutuhkan biaya pemasaran untuk sampai di lokasi pemasaran. Oleh karena itu nilai suatu produk dapat ditetapkan dengan menghitung jumlah total dari biaya produksi dan biaya pemasaran untuk satu satuan produk yang diproduksinya 11. 2.3.
Penelitian Terdahulu
2.3.1. Penelitian Mengenai Profitabilitas Damayanti (2004) meneliti tentang penetapan harga pokok produksi menggunakan metode Full Costing, terkait dengan titik impas dan profitabilitas perusahaan teh. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perhitungan harga pokok menggunakan metode Full Costing menurunkan harga pokok produksi yang 11
UNIKA. Industri Tahu dan Tempe : Tenaga Kerja dan Teknologi. http//:www.unika.ac.id. Kamis, 18 Desember 2008.
28
dihitung oleh perusahaan sebesar 5 sampai 15 persen, dari Rp 5.780,41 menjadi Rp 5.757,19 diikuti penurunan biaya produksi dari Rp 13.122.668.550 menjadi Rp 10.463.401.277. Titik impasnya pun juga terpengaruh menjadi lebih kecil dari 1.386.970 kilogram menjadi sebesar 752.103 kilogram secara unit, sedang secara rupiah berubah dari Rp 11.712.903.770 menjadi Rp 6.351.477.810. Ini juga diikuti dengan perubahan kemampuan perusahaan menghasilkan profit dari 9,53 persen menjadi 27,86 persen. Selain itu penelitian lain tentang profitabilitas juga pernah dilakukan oleh Pratiwi (2003), yang meneliti tentang nilai tambah menggunakan metode Hayami dan profitabilitas menggunakan titik impas serta Marginal of Safety (MOS) dan Marginal Income Ratio (MIR) pada agroindustri kripik tempe Perusahaan Ardani Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan produksi kripik tempe pada perusahaan bersangkutan memiliki nilai tambah yang terus meningkat dari tahun 1998 sampai dengan 2002, dengan peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2000 yaitu 35,78 persen. Analisis titik impas pada Perusahaan Ardani memperlihatkan keadaan yang fluktuaktif, dengan nilai terendah terjadi pada tahun 2000 sebesar 7,11 persen sedang pada tahun 2001 terjadi kenaikan sebesar 5,74 persen dan 2,02 persen pada tahun 2002. 2.3.2. Penelitian Mengenai Analisis Nilai Tambah Puspitasari (2007) meneliti tentang keragaan usaha industri tahu skala kecil dan rumah tangga dengan mengambil studi kasus industri tahu skala kecil dan rumah tangga di Kecamatan Mampang Prapatan. Penelititan ini menggunakan analisis biaya dan analisis nilai tambah metode Hayami, untuk melihat keragaan objek studinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa industri tahu, khususnya pengrajin tahu skala rumah tangga di Kecamatan Mampang Prapatan mengalami penurunan pendapatan. Ini terlihat dari penurunan sebesar 6,87 persen pada penerimaan pengrajin dari tahun 2005 sampai dengan 2006, yang juga sekaligus menurunkan keuntungan yang diperoleh sebesar 1,55 persen. Pada pengrajin tahu skala kecil tidak terjadi penurunan kinerja, dimana dari tahun 2005 sampai dengan 2006 terdapat peningkatan pendapatan sebesar 7,77 persen dan keuntungan sebesar 29
41,75 persen. Dari analisis biaya, selama tahun 2005 sampai dengan 2006 terjadi kenaikan biaya tetap pada pengrajin tahu skala rumah tangga dan skala kecil sebesar 17,04 persen dan 10,49 persen per papan untuk tahu putih, serta 24,71 persen dan 11,33 persen untuk tahu goreng. Pada pengrajin tahu skala rumah tangga, nilai tambah dari tahu putih pada tahun 2005 dan 2006 masing-masing sebesar Rp 1.555,54 dan Rp 2.041,08, sedangkan untuk tahu goreng sebesar Rp 1.584,22 dan Rp 2.179,55. Sedangkan untuk pengrajin tahu skala kecil nilai tambah dari tahu putih pada tahun 2005 dan 2006 masing-masing sebesar Rp 1.987,02 dan Rp 2.74,26, serta Rp 2.136,35 dan Rp 3.130,05 untuk tahu goreng. Selain itu jika dilihat dari besarnya balas jasa yang diterima pengrajin terdapat penurunan sebesar 8,56 persen dan 8,61 persen dalam memproduksi tahu putih dan tahu goreng, sedangkan balas jasa yang diterima oleh tenaga kerjanya mengalami peningkatan sebesar 41,71 persen dan 34,05 persen. Sinaga (2008) melakukan penelitian tentang nilai tambah dan dampak kebijakan pemerintah terhadap industri tempe di Kabupaten Bogor menggunakan metode Hayami dan analisis Policy Analysis Matrix. Hasil penelitian menunjukkan nilai faktor konversi industri tempe sebesar 1,6 dimana tiap satu kilogram kedelai yang diolah menghasilkan 1,6 kilogram tempe, dengan nilai tambah yaitu Rp 2.198,91 per kilogram input kedelai dan rasio nilai tambah sebesar 21,14 persen. Tenaga kerja memiliki nilai koefisien sebesar 0,02 yang menandakan bahwa untuk memproduksi satu kilogram kedelai menjadi tempe membutuhkan 0,02 HOK (Hari Orang Kerja). Berdasarkan analisis kebijakan pemerintah pada sisi output, industri tempe di daerah penelitian memiliki Transper Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) sebesar Rp -1.555,14 dan 0,8699 (NPCO < 1). Pada sisi input memiliki Transfer Input (TI) sebesar Rp 180,25 dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) sebesar 1,0765 dengan nilai transfer faktor sebesar Rp 261,91. Analisis Kebijakan input-output didekati menggunakan indikator Transfer Bersih (TB), Koefisien Efektif Bersih (EPC), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi Produsen (SRP), dengan nilai masing-masing sebesar 0,8192; Rp 1.997,30; 0,5247; dan -0,2540. 30
Furqanti (2003) melakukan penelitian analisis nilai tambah terhadap pengolahan buah jeruk nipis. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pengolahan tiap satu kilogram buah jeruk nipis pada tahun 2000 mendapatkan nilai tambah sebesar Rp 3.609,87 atau 29,82 persen dari nilai output dan pada tahun 2001 meningkat menjadi Rp 4.433,78 atau 33,54 persen dari nilai output. Sedangkan bagian untuk imbalan tenaga kerja pada tahun 2000 sebesar 22,51 persen atau senilai Rp 812,46 dan pada tahun 2001 meningkat menjadi Rp 1.072,51 atau 24,19 persen dari nilai tambah yang diperoleh. Asnawi (2003) meneliti tentang nilai tambah ubi kayu menjadi tepung tapioka, menyatakan untuk mengolah satu kilogram ubikayu membutuhkan tenaga kerja per HOK sebesar Rp 13.000. Nilai tepung tapioka yang dihasilkan dari setiap kilogram ubikayu sebesar Rp 218,50 sedangkan nilai tambah pengolahan ubikayu menjadi tepung tapioka adalah Rp 57,91 per kilogram. Rasio nilai tambah terhadap nilai produk yaitu 30,07 persen, yang menunjukkan setiap Rp 100 produk akan diperoleh nilai tambah sebesar Rp 30,07. Keuntungan yang didapat dari tepung tapioka adalah Rp 57,91 per kilogram bahan baku, sedang bagian keuntungan dari nilai tambah sebesar 88,13 persen. Ini jauh lebih baik dibanding bagian keuntungan untuk tenaga kerja sebesar 11,87 persen, yang menandakan keuntungan Rp 57,91 per kilogram bahan baku ubikayu hanya dinikmati pemilik dan pengelola Ittara sedangkan petani belum mendapatkan bagian. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan dengan penelitian-penelitian terdahulu terletak pada objek penelitian dan alat analisisnya. Walaupun terdapat kesamaan alat analisis, namun objek yang dijadikan bahan kajian pada penelitian terdahulu adalah agroindustri kripik tempe. Sedang penelitian yang dilakukan mengambil objek kajian pada salah satu usaha tahu dan tempe yang ada di Kota Bogor. Rincian singkat mengenai penelitian terdahulu dapat dilihat secara mudah pada Tabel 7 berikut.
31
Tabel 7. Rincian Singkat Penelitian Terdahulu Nama Penulis
Tahun
Dessy Furqanti
2003
Robet Asnawi
2003
Judul Analisis Nilai Tambah dan Kemampulabaan Usaha Pengolahan Buah Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia swingel) Analisis Fungsi Produksi Usaha Tani Ubikayu dan Industri Tepung Tapioka Rakyat di Provinsi Lampung Analisis Nilai tambah dan
Elok
2003
Pratiwi Aprilia Ritma Damayanti
2004
Tiya Puspitasari
2007
Merika Sondang Sinaga
2008
Profitabilitas Agroindustri Kripik Tempe Analisis Perubahan Penetapan Harga Pokok Produksi Teh Dalam Kaitannya dengan Titik Impas dan Profitabilitas Perusahaan Keragaan Usaha Industri Tahu Skala Kecil dan Rumah Tangga Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor
Alat Analisis
Metode Hayami Fungsi Produksi CobbDouglass, Metode Hayami Titik Impas, MIR, MOS, Metode Hayami Metode Full Costing, Titik Impas Analisis Biaya, Metode Hayami Metode Hayami, Policy Analysis Matrix
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan terhada penelitianpenelitian terdahulu, terlihat bahwa suatu usaha apa pun itu memiliki profitabilitas yang berbeda-bedar. Perbedaan profitabilitas antar usaha ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti skala dan struktur biaya usaha yang bersangkutan. Semakin tinggi total biaya suatu usaha, semakin kecil kemampuan usaha dalam menghasilkan keuntungan atau laba. Begitu pula dengan nilai tambah suatu usaha, ditentukan oleh beberapa faktor, seperti jenis usaha dan skala usaha. Semakin besar skala produksi suatu usaha, maka semakin besar nilai tambah dari usaha yang bersangkutan.
32
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Konsep Biaya Menurut Mulyadi (1999), biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi, yang diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi atau yang kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu dan tidak dapat dihindarkan. Tiap usaha yang bertujuan mencari laba maupun yang tidak bertujuan mencari laba, mengolah masukan berupa sumber ekonomi untuk menghasilkan keluaran berupa sumber ekonomi lain yang nilainya harus lebih tinggi dari pada nilai masukannya. Dengan laba atau sisa hasil usaha tersebut, usaha bersangkutan akan memiliki kemampuan untuk berkembang dan tetap mampu mempertahankan eksistensinya di masa yang akan datang. Oleh karena itu dibutuhkan informasi biaya, untuk mengukur kegiatan usaha menghasilkan laba atau tidak. Tanpa informasi biaya, pihak pengelola tidak memiliki ukuran apakah masukan yang dikorbankan memiliki nilai ekonomi yang lebih rendah daripada nilai keluarannya. Selain itu tanpa informasi biaya, pengelola juga tidak memiliki dasar untuk mengalokasikan berbagai sumber ekonomi yang dikorbankan dalam menghasilkan sumber ekonomi lainnya. Dalam hubungannya dengan pembuatan produk terdapat dua kelompok biaya, yaitu biaya produksi dan non produksi (Mulyadi, 1999). Biaya produksi merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam pengolahan bahan baku menjadi produk, sedangkan biaya non produksi seperti kegiatan pemasaran dan kegiatan administrasi dan umum. Berdasarkan perilakunya dalam hubungan dengan perubahan volume kegiatan, biaya dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu biaya tetap, variable, dan semi variabel (Mulyadi, 1999). a. Biaya Tetap 33
Merupakan biaya yang jumlah totalnya tetap dalam perubahan volume kegiatan tertentu, dimana biaya tetap per satuan berubah. Biaya tetap atau biaya kapasitas adalah biaya untuk mempertahankan kemampuan beroperasi perusahaan pada tingkat kapasitas tertentu, yang besarnya dipengaruhi oleh kondisi perusahaan jangka panjang, teknologi, dan metode serta strategi manajemen. Jika biaya tetap mempunyai proporsi lebih tinggi dibanding biaya variabel, maka kemampuan manajemen dalam menghadapi perubahan-perubahan kondisi ekonomi jangka pendek akan berkurang. Contoh biaya tetap antara lain; gaji, pajak, pemeliharaan dan perbaikan bangunan, sewa, dan masih banyak lagi. b. Biaya Variabel Merupakan biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan, dimana biaya variabel per unit konstan. Contoh dari biaya variabel yaitu perlengkapan, peralatan kecil, biaya komunikasi, biaya pengiriman, biaya pengangkutan, dan masih banyak lagi. c. Biaya Semi Variabel Biaya semi variabel adalah biaya yang memiliki unsur tetap dan variabel di dalamnya. Unsur biaya tetap merupakan jumlah biaya minimum untuk menyediakan jasa, sedangkan unsur variabel merupakan bagian dari biaya semivariabel yang dipengaruhi oleh perubahan volume kegiatan. Contoh biaya semi variabel adalah biaya listrik, telepon, air, bensin, dan masih banyak lagi. 3.1.2. Penetapan Harga Jual Umumnya harga jual produk dan jasa standar ditentukan oleh perimbangan permintaan dan penawaran di pasar, sehingga biaya bukan merupakan penentu harga jual. Berdasarkan itu maka dalam keadaan normal, setiap pengusaha harus memperoleh jaminan bahwa harga jual produk atau jasa yang dijual di pasar dapat menutupi biaya penuh untuk menghasilkan produk atau jasa tersebut dan dapat menghasilkan laba wajar. Akan tetapi permintaan 34
konsumen, selera konsumen, jumlah pesaing yang memasuki pasar, dan harga jual yang ditentukan pesaing itu sulit untuk diramalkan, sehingga akan ada ketidakpastian dalam penentuan harga jual (Mulyadi, 2001). Menurut Mulyadi (2001), satu-satunya faktor yang memiliki kepastian relative tinggi yang berpengaruh dalam penentuan harga jual adalah biaya. Melalui biaya dapat terlihat batas bawah suatu harga jual harus ditentukan, dimana akan terjadi kerugian jika harga jual berada dibawah biaya penuh produk atau jasa. Kerugian ini dalam jangka waktu tertentu dapat mengganggu pertumbuhan perusahaan dan dapat mengakibatkan perusahaan akan berhenti, dengan demikian dalam pengambilan keputusan penentuan harga jual memerlukan informasi biaya produk atau jasa. Harga menurut Swastha (1998) adalah sejumlah uang yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari barang beserta pelayanannya. Berdasarkan pernyataan sebelumnya maka selain penetapan harga pokok produksi, penetapan harga jual juga menjadi hal penting untuk memperoleh laba. Terdapat dua pendekatan yang bisa digunakan dalam melakukan penetapan harga jual, antara lain pendekatan biaya dan pendekatan pasar (Swastha, 1998). 1. Penetapan Harga Jual dengan Pendekatan Biaya a. Cost Plus Pricing Method Dalam metode ini harga jual per unit ditentukan dengan menghitung jumlah seluruh biaya per unit, ditambah jumlah tertentu untuk menutup laba yang dikehendaki pada unit tersebut atau disebut juga marjin. b. Mark Up Pricing Method Penetapan harga jual dengan metode ini hampir sama dengan penetapan harga cost plus (biaya plus), dimana pedagang yang membeli barang dagangan menentukan harga jual setelah menambah harga beli dengan sejumlah mark up atau kelebihan yang merupakan laba. c. Break Even Pricing 35
Merupakan suatu metode penetapan harga berdasarkan permintaan pasar dengan mempertimbangkan biaya, dimana suatu usaha terbilang dalam kondisi break even jika pendapatan sama dengan ongkos produksinya. Analisa break even atau titik impas adalah suatu cara untuk mengetahui pada volume penjualan atau produksi berapa suatu usaha mencapai laba atau kerugian tertentu. Titik impas selain untuk volume produksi atau penjualan, juga dapat digunakan untuk mengetahui kaitan antara harga jual, biaya produksi, biaya lainnya yang bervariasi dan tetap, serta laba dan rugi. 2. Penetapan Harga Jual dengan Pendekatan Pasar Pada pendekatan pasar penentuan harga jual tidak berdasarkan biaya, tetapi justru harga yang menentukan biaya bagi perusahaan. Penjual atau perusahaan dapat menentukan harga sama dengan tingkat harga pasar agar dapat ikut bersaing, atau dapat juga menentukan lebih tinggi atau lebih rendah dari tingkat harga dalam persaingan. 3.1.3. Analisa Titik Impas dan Profitabilitas Menurut Limbong dan Sitorus (1985), selain digunakan untuk menentukan harga jual dan mengetahui volume produksi atau penjualan, juga merupakan dasar atau landasan dalam merencanakan kegiatan operasional dalam usaha mencapai laba tertentu atau profit planning. Terdapat beberapa asumsi dalam menggunakan analisa titik impas, antara lain : a) Biaya-biaya
yang
terjadi
dalam
perusahaan
yang
terkait
dapat
diidentifikasikan sebagai biaya variabel dan tetap. b) Biaya tetap adalah konstan. c) Biaya variabel bertambah dengan bertambahnya volume produksi. d) Harga jual per unit tetap. e) Perusahaan terkait menjual atau memproduksi hanya satu jenis produk. Menurut Mulyadi (2001) impas atau break even merupakan keadaan suatu usaha yang tidak memperoleh laba dan tidak menderita kerugian. Tujuan dari 36
analisa impas adalah suatu cara untuk mengetahui volume penjualan minimum agar suatu usaha tidak menderita rugi, tetapi juga belum memperoleh laba atau nol. Dalam menentukan titik impas atau Break Even Point (BEP) terdapat dua cara, yaitu :
1. Pendekatan Teknik Persamaan Secara matematis, titik impas produktivitasnya dihitung sebagai berikut :
Keadaan impas adalah jika keuntungan (π) sama dengan 0 (nol), maka :
Keterangan : Q
= Jumlah produk
P
= Harga jual produk
TVC
= Biaya total variabel
TFC
= Biaya total tetap
AVC = Biaya rata-rata variabel 2. Pendekatan Grafis 37
Pendekatan ini menentukan titik impas dengan melihat pertemuan antara garis pendapatan penjualan dengan garis biaya dalam suatu grafik, dimana titik pertemuan antara keduanya merupakan titik impas. Pendekatan grafis secara jelas dapat terlihat pada Gambar 2 berikut.
Pendapatan, Biaya TR TC A TVC
P
TFC B O
Q
Volume Penjualan
Gambar 2. Titik Impas, Laba, dan Volume Penjualan Sumber : Mulyadi (2001)
Keterangan : TR
= Penerimaan total
TC
= Biaya total 38
TVC
= Biaya variabel total
TFC
= Biaya tetap total
Daerah A
= Daerah laba atau untung
Daerah B
= Daerah rugi
P
= Pendapatan, biaya
Q
= Volume penjualan Berdasarkan Gambar 2 terlihat titik impas terjadi pada titik
perpotongan TR dan TC, saat volume penjualan sebesar Q menghasilkan pendapatan sebesar P. Jika penjualan lebih kecil dari Q (sebelah kiri) maka usaha terkait akan mengalami kerugian, karena pendapatan yang menurun membuat biaya total tidak tertutupi dan akan untung jika yang terjadi sebaliknya. Titik impas ini dapat berubah dengan adanya perubahan harga input, output, dan teknologi. Menurut Prawironegoro dan Ari (2008), semua produk seyogyanya harus dihitung titik impasnya, guna mengetahui apakah usaha yang bersangkutan memperoleh laba atau menderita kerugian. Setelah mengetahui titik impas, maka kemudian dapat diketahui kemampuan suatu usaha dalam memperoleh laba yang disebut juga profitabilitas. Profitabilitas dapat ditentukan oleh besarnya nilai Margin of Safety (MOS) dan Maginal Income Ratio (MIR). Menurut Munawir (1995), MOS menunjukkan tingkat penurunan produksi atau penjualan yang dapat ditoleransi. MIR yaitu bagian hasil penjualan yang tersedia untuk menutup biaya tetap dan laba. Semakin besar nilai MOS dan nilai MIR suatu usaha, maka semakin besar nilai kemampuan usaha tersebut dalam memperoleh laba dan sebaliknya jika semakin kecil. 3.1.4. Analisis Nilai Tambah
39
Menurut Hardjanto dalam Furqanti (2003), nilai tambah merupakan pertambahan nilai suatu komoditi karena adanya input fungsional pada komoditi terkait. Input fungsional dapat berupa proses mengubah bentuk atau form utility, memindahkan tempat place utility, maupun menyimpan time utility. Analisis nilai tambah merupakan metode perkiraan sejauh mana bahan baku yang mendapat perlakuan mengalami perubahan nilai. Selain itu analisis nilai tambah juga menunjukkan bagaimana kekayaan perusahaan tercipta melalui proses produksi dan bagaimana distribusi kekayaan tersebut dilakukan. Komoditas pertanian yang memperoleh perlakuan mengalami perubahan nilai sehingga menimbulkan nilai tambah, yang dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan dalam proses pengolahan. Besarnya nilai tambah karena proses pengolahan didapat dari pengurangan biaya bahan baku dan input lainnya terhadap nilai produk yang dihasilkan, tidak termasuk tenaga kerja. Dengan kata lain, nilai tambah merupakan imbalan bagi tenaga kerja dan keuntungan pengolah (Gambar 3).
= Nilai Tambah
Keuntungan Pengolah (Imbalan bagi Modal dan Manajemen)
= Bahan Baku
Imbalan bagi Tenaga Kerja
= Input Lainnya
Input Lainnya Bahan Baku
+
= Marjin
Gambar 3. Nilai Tambah dan Marjin Hasil Pengolahan Sumber : Soeharjo (1991)
Melalui analisis nilai tambah, maka dapat teranalisa faktor mana dari proses produksi yang menghasilkan atau menaikkan nilai tambah dan sebaliknya. Analisis nilai tambah juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode Hayami, 40
dimana perhitungannya berdasarkan satu satuan bahan baku utama dari produk jadi (Hayami, 1987). Analisis nilai tambah melalui metode Hayami ini dapat menghasilkan beberapa informasi penting, antara lain berupa : a) Perkiraan nilai tambah, dalam rupiah b) Rasio nilai tambah terhadap nilai produk jadi, dalam persen c) Imbalan jasa tenaga kerja, dalam rupiah d) Bagian tenaga kerja, dalam persen e) Keuntungan yang diterima perusahaan, dalam rupiah f) Tingkat keuntungan perusahaan, dalam persen 3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Berdasarkan perumusan masalah dalam penelitian ini, maka untuk melihat
perkembangan usaha tahu dan tempe yang menjadi objek penelitian diperlukan analisa pada aspek keuangannya. Analisa aspek keuangan ini dapat dilakukan melalui pendekatan analisis biaya dengan penelaahan pada komponen biaya, volume penjualan, dan harga jual. Dari analisis biaya ini kemudian dapat terlihat bagaimana kondisi usaha tahu dan tempe yang menjadi objek studi, menggunakan analisis titik impas dan nilai tambah. Melalui analisis titik impas akan terlihat nilai impas atau kondisi rugi tidak rugi usaha yang selanjutnya akan terkait dengan profitabilitas usaha yang menjadi objek penelitian. Berdasarkan analisis profitabilitas dapat terlihat seberapa besar kemampuan usaha tahu dan tempe yang menjadi objek studi dapat memperoleh laba atau untung. Analisis profitabilitas dilihat melalui nilai MOS dan MIR usaha terkait, yang dihitung berdasarkan nilai impas. Analisis nilai tambah yang dilakukan menunjukkan besarnya nilai tambah dari proses pengolahan kedelai pada usaha tahu dan tempe. Analisis nilai tambah pada penelitian ini menggunakan alat analisis metode Hayami, dimana berdasarkan analisis yang dilakukan dapat terlihat pengolahan mana yang memiliki nilai tambah yang lebih besar. Selain itu informasi lain yang bisa 41
diperoleh antara lain besarnya produktivitas produksi, besarnya marjin, serta distribusi marjin untuk faktor-faktor produksi yang digunakan selain bahan baku. Berdasarkan analisis profitabilitas serta nilai tambah yang dilakukan pada usaha tahu dan tempe, akan diketahui sampai sejauh mana kedua usaha tersebut telah mencapai tujuannya terutama dalam memperoleh keuntungan. Secara ringkas alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.
• Konsumsi kedelai nasional lebih besar daripada produksi kedelai nasional • Sebagian besar persediaan kedelai nasional berasal dari impor • Harga kacang kedelai yang fluktuaktif
Tahu dan Tempe 42
• Harga jual tahu dan tempe yang sulit naik K
t
d h
Analisis Biaya
Analisis Nilai Tambah
• Biaya • Volume Penjualan • Harga Jual
Metode Hayami • Produktivitas Produksi • Nilai Output
Analisis Titik Impas
• Nilai Tambah • Balas Jasa Tenaga Kerja
Profitabilitas
Tujuan Usaha : Memperoleh Laba Keterangan : : Alur Pemikiran : Ruang Lingkup Penelitian
Gambar 4. Alur Kerangka Pemikiran Konseptual
IV METODE PENELITIAN 4.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada usaha tahu dan tempe di Kota Bogor, dimana
untuk usaha tahu mengambil tempat yang berlokasi di Kecamatan Tegal Gundil. 43
Sedang untuk usaha tempe mengambil tempat yang berlokasi di Kecamatan Cilendek Timur. Penelitian dilakukan selama lima bulan yang dimulai dari bulan Desember 2008 sampai dengan bulan April 2009. 4.2.
Metode Penentuan Sampel Penelitian pada usaha pengrajin tahu dan tempe di Kota Bogor dilakukan
dengan mengambil salah satu usaha untuk masing-masing produk (tahu dan tempe) secara sengaja (purpossive). Tabel 6 menunjukkan wilayah kecamatan yang lebih banyak mengolah kedelai menjadi tahu saja adalah wilayah Kecamatan Tegal Gundil. Adapun jumlah total kedelai yang diolah pada Kecamatan Tegal Gundil setiap bulannya adalah 9.620 kilogram, dengan jumlah usaha yang berproduksi tahu pada wilayah kecamatan tersebut adalah 16 usaha. Banyaknya kedelai yang dibutuhkan untuk diolah pada masing-masing usaha tahu di wilayah Kecamatan Tegal Gundil, secara jelas dapat terlihat pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Kebutuhan Kedelai Usaha Tahu di Kecamatan Tegal Gundil Tahun 2008 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Nama Pengrajin H.E. Kosasih H.E. Koswara Supardi Jaenudin Pupung Mumu Toyib Nana H. Nana S. Olih Een S. A. Fadillah Ade Caca Kundang M. Suherman Maman
Kebutuhan Kedelai (kg/bulan) 1.160 640 520 400 400 2.100 400 350 400 400 300 350 300 1.000 500 400
Sumber : PRIMKOPTI (2008)
Pada Tabel 8 terlihat banyaknya kedelai yang dibutuhkan usaha tahu di Kecamatan Tegal Gundil tidak merata. Berdasarkan data pada Tabel 8, maka penelitian pun dilakukan dengan mengambil salah satu usaha pada kecamatan bersangkutan. Selain itu Tabel 8 juga memperlihatkan bahwa usaha tahu yang mengolah kedelai paling banyak adalah usaha tahu milik Bapak Mumu sebesar 44
2.100 kilogram per bulan, yang menjadikan usaha beliau sebagai objek pada penelitian. Pemilihan usaha yang mengolah kedelai lebih besar sebagai objek penelitian dilakukan, karena usaha dengan skala produksi tinggi lebih bisa mengefisiensikan beberapa jenis biaya terutama biaya tetap. Sama halnya seperti usaha tahu, berdasarkan data pada Tabel 6 menunjukkan wilayah kecamatan yang lebih banyak mengolah kedelai menjadi tempe adalah wilayah Kecamatan Cilendek Timur. Adapun jumlah total kedelai yang diolah pada Kecamatan Cilendek Timur adalah 26.950 kilogram, dengan jumlah usaha yang berproduksi tempe saja sebanyak 15 usaha. Banyaknya kedelai yang dibutuhkan untuk diolah pada masing-masing usaha tempe di wilayah Kecamatan Cilendek, secara jelas dapat terlihat pada Tabel 9. Tabel 9. Kebutuhan Kedelai Usaha Tempe di Kecamatan Cilendek Timur Tahun 2008 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Nama Pengrajin Marjani Kasman Kartijan Amat K. Sularno Noto Fadoli Cahyono Hambali Mustadi M. Khusen Rusdi M. Khasan Wargiono Abdul Chalim
Kebutuhan Kedelai (kg/bulan) 1.750 1.000 1.400 2.000 9.000 2.000 1.400 1.400 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Sumber : PRIMKOPTI (2008)
Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa sama halnya seperti usaha tahu, banyaknya kedelai yang dibutuhkan usaha tempe di Kecamatan Cilendek Timur juga tidak merata. Ini menjadikan penelitian dilakukan dengan mengambil salah satu usaha pada kecamatan bersangkutan, dengan melihat jumlah pengolahan kedelai yang terbesar. Adapun usaha tempe dengan kebutuhan dan pengolahan 45
kedelai terbesar adalah usaha milik Bapak Sularno sebanyak 9.000 kilogram per bulan. 4.3
Desain Penelitian Penelitian analisis profitabilitas serta nilai tambah pada usaha tahu dan
tempe, menggunakan metode kasus yang dilakukan pada salah satu usaha tahu dan tempe di Kota Bogor dengan tujuan penelitian dapat dilakukan secara detail dan mendalam. Berdasarkan hal tersebut, maka hasil perhitungan pada penelitian ini bukan merupakan gambaran industri tahu dan tempe secara keseluruhan. Penelitian ini merupakan gambaran bagaimana kondisi salah satu usaha tahu dan tempe di Kota Bogor, terkait dengan adanya kenaikan harga kedelai sebagai bahan baku dari tahu dan tempe itu sendiri. Pemilihan kedua lokasi usaha ditentukan secara sengaja, dengan melihat faktor jumlah kedelai yang dibutuhkan dan diolah oleh masing-masing usaha. Adapun usaha tahu yang dijadikan objek penelitian adalah usaha milik Bapak Mumu yang berlokasi di Jalan Arzimar II RT 02/VIII, Kelurahan Tegal Gundil, Kecamatan Tegal Gundil. Usaha tempe yang dijadikan objek penelitian merupakan usaha milik Bapak Sularno yang berlokasi di Komplek Perumahan Bumi Menteng Asri, Kp. Pabuaran RT 02/02, Kecamatan Cilendek Timur. 4.4.
Data dan Instrumentasi Data dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data, yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data yang berasal dari hasil observasi langsung dan menggunakan responden, sedang data sekunder adalah data yang telah terdokumentasi sebelumnya. Instrumentasi atau alat pengumpul yang digunakan pada penelitian beragam, antara lain daftar pertanyaan, alat perekam berupa hand phone, alat pencatat berupa alat tulis, dan timbangan untuk mengukur bobot tahu dan tempe. 4.5. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitian menghabiskan waktu kurang lebih tiga bulan yang dimulai dari bulan Desember 2008 sampai dengan bulan Februari 2009 dan dilakukan di tempat usaha yang menjadi objek penelitian. Data primer 46
pada penelitan dikumpulkan dengan cara observasi, wawancara langsung dan mendalam pada pengrajin selaku pemilik usaha. Adapun data yang diperoleh antara lain gambaran umum dan karakteristik usaha, aktivitas produksi dan penjualan, serta data kuantitatif yang diperlukan untuk penelitian. Data sekunder dalam penelitian berasal dari instansi atau lembaga yang terkait, seperti PRIMKOPTI, Badan Pusat Statistik (BPS), Perpustakaan LSI IPB, serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan (DEPERINDAG). Selain itu terdapat juga data sekunder yang diperoleh melalui penelusuran internet, buku, juga literatur-literatur yang terkait dengan penelitian. 4.6.
Metode Pengolahan Data Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis secara kuantitatif,
diolah menggunakan microsoft excel dan kalkulator untuk disajikan dalam bentuk tabulasi guna mempermudah perhitungan dan pendeskripsian. Periode analisis yang digunakan adalah satu tahun, dimana hari efektif kerja masing-masing usaha untuk satu bulannya yaitu 25 hari (satu tahun = 300 hari kerja). Metode analisis yang digunakan untuk analisis profitabilitas usaha adalah perhitungan titik impas, Marginal Income Ratio (MIR), dan Marginal of Safety (MOS) yang dihasilkan berdasarkan data produksi, penjualan, dan biaya. Sedangkan untuk analisis nilai tambah, metode analisis yang digunakan adalah metode Hayami. 4.6.1. Analisis Biaya Produksi Tujuan perusahaan pada umumnya adalah untuk memperoleh laba, dimana besar kecilnya laba yang dapat dicapai akan menjadi ukuran suksesnya pengelola usaha bersangkutan. Oleh karena itu pemilik usaha harus mampu merencanakan dan sekaligus memperoleh laba besar agar dapat dikatakan sukses. Perencanaan usaha ini antara lain berisi taksiran penghasilan yang akan diperoleh dan biayabiaya yang akan terjadi untuk memperoleh penghasilan tersebut 12. Biaya merupakan faktor penting dalam perencanaan laba dalam suatu usaha, karena biaya akan menentukan harga jual yang akan mempengaruhi volume penjualan dan produksi. Terkait dengan penelitian pada usaha tahu dan tempe, maka struktur biaya pada usaha bersangkutan harus dianalisis terlebih 12
Munawir. 1995. Analisis Laporan Keuangan.
47
dahulu dengan melakukan kunjungan lapang langsung. Biaya-biaya yang dianalisis pada usaha tahu dan tempe ini memperhitungkan semua unsur biaya produksi yaitu biaya bahan baku langsung, tenaga kerja langsung, dan overhead pabrik, yang kemudian diklasifikasikan menurut perilakunya menjadi biaya tetap dan variabel. Adapun rumus yang digunakan untuk perhitungan total biaya produksi sebagai berikut :
Selain itu terdapat biaya penyusutan untuk peralatan produksi dari kedua usaha, yang merupakan bagian dari biaya tetap. Perhitungan biaya penyusutan dilakukan dengan menghitung persentase penyusutan per tahunnya terlebih dahulu, kemudian dikalikan dengan besarnya biaya peralatan. Rumus yang digunakan dalam perhitungan persentase dan biaya penyusutan per tahun adalah sebagai berikut : a. Persentase Penyusutan per Tahun
b. Biaya Penyusutan per Tahun
4.6.2. Analisis Titik Impas Secara matematis, titik impas dihitung sebagai berikut : a. Titik Impas atau BEP dalam unit
b. Titik Impas atau BEP dalam rupiah
48
Keterangan : Q
= Jumlah produk
P
= Harga jual produk per unit
TFC
= Biaya total tetap
AVC = Rata-rata biaya variabel 4.6.3. Profitabilitas Usaha Profitabilitas merupakan perhitungan untuk melihat kemampuan usaha dari tahu dan tempe dalam memperoleh laba, yang diperoleh melalui hasil perkalian antara MOS atau Margin of Safety dan MIR atau Marginal Income Ratio. Rumus yang digunakan dalam menghitung profitabilitas adalah sebagai berikut :
Keterangan : MOS = Margin of Safety MIR
= Marginal Income Ratio
Π
= Profitabilitas usaha
TVC
= Biaya rata-rata variabel
4.6.4. Analisis Nilai Tambah Dalam menganalisis nilai tambah kacang kedelai untuk memproduksi tahu dan tempe, menggunakan metode Hayami dimana pada akhirnya akan diperoleh hasil berupa produktivitas produksi, nilai output, nilai tambah, balas jasa tenaga 49
kerja, dan keuntungan pengolahan. Perhitungan melalui metode Hayami tersaji dalam bentuk tabel seperti pada Tabel 10. Tabel 10. Perhitungan Nilai Tambah Menurut Metode Hayami No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Variabel Output, Input, dan Harga Output yang dihasilkan (kg/hari) Bahan baku yang digunakan (kg/hari) Tenaga Kerja (jam/hari) Faktor konversi (1/2) Koefisien tenaga kerja (3/2) Harga output (Rp/kg) Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/jam) Pendapatan dan Keuntungan Harga bahan baku (Rp/kg bahan baku) Sumbangan input lain (Rp/kg output) Nilai output (4 x 6) (Rp) a. Nilai tambah (10 – 9 – 8) (Rp) b. Rasio nilai tambah ((11a/10) x 100%) a. Imbalan tenaga kerja (5 x 7) (Rp) b. Bagian tenaga kerja ((12a/11a) x 100%) a. Keuntungan (11a – 12a) (Rp) b. Tingkat keuntungan ((13a/11a) x 100%) Marjin (10 – 8) (Rp) a. Pendapatan tenaga kerja ((12a/14) x 100%) b. Sumbangan input lain ((9/14) x 100 %) c. Keuntungan perusahaan ((13a/14) x 100%)
Nilai a b c d = a/b e = c/b f g h i j=dxf k=j–h–i l (%) = (k/j) x 100 % m=exg n (%) = (m/k) x 100% o=k–m p (%) = (o/k) x 100% q=j–h r (%) = (m/q) x 100% s (%) = (i/q) x 100% t (%) = (o/q) x 100%
Sumber : Hayami, 1987
Faktor konversi pada Tabel 10, menunjukkan banyaknya produk olahan yang dihasilkan dari satu kilogram bahan baku. Koefisien tenaga kerja dalam tabel menunjukkan banyaknya tenaga kerja yang diperlukan untuk mengolah satu satuan input. Nilai output pada tabel menunjukkan nilai produk yang dihasilkan dari satu satuan input yang digunakan. Adapun langkah-langkah dalam menggunakan metode Hayami antara lain (Hayami, 1987) :
50
1. Membuat arus komoditi yang menunjukkan bentuk-bentuk komoditi, lokasi, lama penyimpanan, dan berbagai perlakuan terhadap komoditi bersangkutan. 2. Mengidentifikasi setiap transaksi yang terjadi menurut perhitungan finansial. 3. Memilih dasar perhitungan, yang mana dalam penelitian ini didasarkan pada per satuan input utama atau bahan baku. Metode Hayami sendiri memiliki kelebihan dan kelemahan, adapun kelebihan dari metode Hayami ini antara lain (Ramdiany dalam Furqanti, 2003) : 1. Dapat diketahui besarnya nilai tambah dan output 2. Dapat diketahui besarnya balas jasa terhadap pemilik faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja, modal, sumbangan input lain, dan keuntungan 3. Prinsip nilai tambah menurut Hayami dapat digunakan untuk subsistem lain selain pengolahan, seperti analisis nilai tambah pemasaran Kelemahan dari metode Hayami, yaitu (Ernawati dalam Furqanti, 2003) : 1. Pendekatan rata-rata tidak tepat jika diterapkan pada unit usaha yang menghasilkan banyak produk dari satu jenis bahan baku 2. Tidak dapat menjelaskan nilai output produk sampingan 3. Sulit menentukan pembanding yang dapat digunakan untuk mengatakan apakah balas jasa terhadap pemilik faktor produksi sudah layak atau belum.
51
V GAMBARAN UMUM USAHA 5.1.
Keragaan Usaha
5.1.1. Usaha Tahu Usaha tahu yang menjadi objek studi dalam penelitian adalah usaha milik Bapak Mumu, yang berlokasi di Jalan Arzimar II, Kelurahan Tegal Gundil, Kecamatan Bogor Utara. Bapak Mumu mengawali karir pada usaha tahu sebagai kuli di tempat usaha orang lain pada tahun 1987, setelah itu beliau pun mencoba berdagang untuk mempelajari masalah pemasaran. Pada tahun 1997 beliau akhirnya memulai untuk membuka usaha tahu sendiri, namun krisis moneter yang melanda di pertengahan tahun saat itu mempengaruhi usaha beliau secara tidak langsung. Krisis moneter yang berlangsung pada waktu itu membuat harga kedelai meningkat dari Rp. 1250 per kilogram menjadi Rp. 6000 per kilogram. Tak hanya usaha Bapak Mumu saja tetapi usaha-usaha kecil lainnya yang ada di Indonesia pun ikut terpengaruhi. Pemerintah saat itu pun mengeluarkan kebijakan berupa subsidi pinjaman yang disalurkan melalui departemen perdagangan, untuk membantu usaha-usaha yang terkena dampak krisis moneter. Bapak Mumu sendiri pada saat itu menerima bantuan subsidi pinjaman sebesar Rp. 5.000.000 dan harus dikembalikan lagi, sehingga beliau pun saat itu belum dapat menikmati hasil usahanya sendiri. Setelah beberapa tahun berjalan usaha beliau akhirnya menghasilkan keuntungan, hingga kini usaha beliau masih bertahan dan merupakan salah satu usaha tahu yang cukup maju di Kota Bogor. Kenaikan harga kedelai yang juga terjadi sepanjang tahun 2008 diakui Bapak Mumu cukup mempengaruhi usahanya, namun ini masih dapat teratasi dengan manajemen yang baik dari beliau selaku pemilik usaha. Pada sisi legalitas, usaha ini telah memiliki beberapa perijinan berupa izin usaha, produksi, Departemen Kesehatan (Depkes), dan sertifikat halal MUI yang membuat usaha tahu tersebut memiliki nilai lebih 52
tersendiri bagi konsumen. Adapun jumlah tenaga kerja yang bekerja pada usaha tahu kini adalah lima orang, yang berasal dari luar Kota Bogor dengan jam kerja per hari kurang lebih 10 jam. Terdapat dua investasi penting pada usaha tahu yang menunjang kelancaran kegiatan usaha, yaitu tempat usaha dan kendaraan operasional untuk mencari bahan baku. Tanah dan bangunan yang kini menjadi tempat produksi tahu, dibeli pada tahun 1997 saat pemilik memulai usahanya sendiri. Adapun luas tempat usaha tahu seluas 150 m2, dengan harga beli saat itu Rp 3.000.000. Kemudian pemilik usaha pun melakukan renovasi sederhana terhadap tempat tersebut yang menghabiskan biaya sebesar Rp 1.500.000, juga menambahkan akses menuju jalan utama berupa jembatan besi yang menghabiskan biaya sebesar Rp 25.000.000. Sepuluh tahun kemudian pemilik usaha melakukan renovasi ulang terhadap tempat usaha secara total untuk menjaga ketahanan bangunan agar lebih lama, yang menghabiskan biaya sebesar Rp 200.000.000. Kendaraan opersional yang digunakan pada usaha untuk memperlancar kegiatan usaha berupa kendaraan pick up kecil seharga Rp 45.000.000, yang digunakan untuk membeli bahan baku dan bahan bakar. 5.1.1.1. Peralatan Produksi Tahu Terdapat beberapa hal yang harus dipersiapkan sebelum berproduksi yaitu peralatan dan bahan baku. Peralatan yang digunakan dalam memproduksi tahu masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda. Adapun peralatan-peralatan yang digunakan dalam produksi dapat lebih jelas terlihat pada Tabel 11. Tabel 11. Inventarisasi Peralatan Produksi Tahu Usaha Bapak Mumu No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Uraian Mesin Diesel Mesin Giling Tungku Semen Tanggok Besi Bak Semen Pompa Air Cetakan (6 loyang) Ember (10 liter) Serok
Jumlah (unit) 1 1 2 1 4 2 1 3 3
Biaya (Rp/unit) 2.500.000 250.000 1.500.000 1.000.000 500.000 300.000 600.000 10.000 70.000
Total (Rp) 2.500.000 250.000 3.000.000 1.000.000 2.000.000 600.000 600.000 30.000 210.000 53
10. Kain (50 cm x 50 cm) 6 2 11. Bak Air (1m ) 1 12. Bak Biang (1 m2) 3 Total Biaya Peralatan Produksi (Rp)
0 500.000 150.000
0 500.000 450.000 11.140.000
Pada Tabel 11 terlihat bahwa terdapat 12 peralatan yang digunakan untuk proses produksi, antara lain mesin diesel dan giling, pompa air, tungku semen, cetakan, tanggok besi, baksemen, ember, serok, kain, bak air dan biang. Mesin diesel dan giling yang dimiliki usaha ada sebanyak satu unit, dengan biaya untuk mesin diesel sebesar Rp 2.500.000 sedang mesin giling sebesar Rp 250.000. Adapun kegunaan mesin diesel adalah untuk menambah energi listrik yang dibutuhkan dalam proses produksi tahu, sedang mesin giling berfungsi untuk menggiling kacang kedelai menjadi bubur. Tungku semen pada usaha merupakan tungku yang terbuat dari semen yang dicor membentuk tungku, yang berfungsi sebagai tempat merebus kedelai yang sudah digiling. Usaha tahu memiliki tungku semen sebanyak dua unit dengan biaya per unit sebesar Rp 1.500.000, maka total biaya tungku sebesar Rp 3.000.000. Bak semen pada usaha juga merupakan bak yang terbuat dari semen, dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan kedelai yang sudah menjadi bubur. Satu unit bak semen pada usaha menghabiskan biaya sebesar Rp 500.000, dengan total empat unit yang dimiliki maka total biaya untuk bak semen sebesar Rp 2.000.000. Usaha ini memiliki dua unit pompa air, yang berfungsi untuk memudahkan akses penggunaan air yang dibutuhkan dalam proses produksi. Biaya satu unit pompa adalah sebesar Rp 300.000, sehingga total biaya untuk pompa air sebesar Rp 600.000. Satu unit cetakan yang dimiliki usaha menghabiskan biaya sebesar Rp 600.000, dengan fungsi sebagai tempat mencetak kedelai yang sudah diolah untuk menjadi tahu. Ember dan bak biang pada usaha masing-masing ada sebanyak tiga unit, dimana ember berfungsi untuk menampung air sedang bak biang berfungsi untuk tempat kedelai yang sudah menjadi bubur dan siap untuk dicetak. Adapun biaya untuk ember per unitnya sebesar Rp 10.000 sedang untuk bak biang sebesar Rp 150.000 per unit, sehingga total biaya keseluruhan unit untuk ember sebesar Rp 30.000 dan untuk bak biang sebesar Rp 450.000. 54
Berdasarkan uraian di atas, maka total biaya secara keseluruhan untuk peralatan produksi pada usaha tahu adalah sebesar Rp 11.140.000. Dalam rangka menjaga ketahanan peralatan, maka secara berkala pemilik usaha melakukan pemeliharaan. Pemeliharaan peralatan produksi yang dilakukan oleh pemilik usaha bertujuan agar kegiatan produksi dapat berjalan lancar, yaitu dengan membersihkan sebagian peralatan dan mengganti beberapa bagian pada mesin yang sudah karat. 5.1.1.2. Produksi Tahu Bahan baku utama dalam pembuatan tahu adalah kacang kedelai, dimana besaran jumlah yang dibutuhkan untuk tiap produksi pada usaha kecil umumnya ditentukan oleh banyaknya pesanan. Usaha tahu pada penelitian ini membutuhkan kurang lebih tiga kuintal kacang kedelai untuk memproduksi tahu per harinya. Selain itu juga dibutuhkan beberapa bahan baku penunjang lainnya dalam menghasilkan tahu, yang dapat terlihat lebih jelas pada Tabel 12. Tabel 12. Kebutuhan Bahan Baku Produksi Tahu per Hari No 1. 2. 3. 4.
Uraian Kacang Kedelai Garam Kunyit Asam Cuka
Jumlah 300 kg 30 kg 10 kg secukupnya
Berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa dalam satu hari usaha ini mengolah rata-rata sebanyak 300 kilogram kacang kedelai, dengan garam yang digunakan kurang lebih sebanyak 30 kilogram. Kunyit dalam pembuatan tahu digunakan sebagai pewarna pada tahu untuk jenis tahu kuning. Selain itu usaha ini juga menggunakan asam cuka secukupnya, guna mengendapkan bubur kedelai yang disaring agar memadat menjadi tahu. Adapun proses produksi dari tahu itu sendiri dapat terlihat dengan jelas pada Gambar 5.
55
Air untuk Rendaman
Digiling
Diendapkan dengan Asam Cuka
Gambar 5. Proses Produksi Tahu Berdasarkan Gambar 5 terlihat terdapat beberapa tahapan untuk mengolah kedelai menjadi tahu. Sebelum dan setelah direndam selama satu jam, kedelai harus dicuci agar kulit kacangnya mengelupas dan kebersihannya terjaga sehingga tidak cepat masam. Setelah itu kedelai tersebut ditiriskan, untuk kemudian dilumat menggunakan mesin giling bersamaan dengan penambahan air hangat hingga menjadi bubur. Bubur kedelai tersebut kemudian dimasak hingga muncul gelembunggelembung kecil pada suhu 70o - 80o C. Setelah sedikit mengental bubur kedelai kemudian disaring lalu diendapkan dengan asam cuka, yang mana dalam pengerjaannya Bapak Mumu menggunakan air tahu dari sisa hasil proses produksi. Air tahu ditambahkan secukupnya hingga hasil saringan bubur kedelai membentuk dan bisa dicetak, sisa hasil saringan yang berupa ampas tahu yang 56
dapat dijual atau diolah kembali menjadi oncom. Bapak Mumu sendiri mengolah sisa ampas tahu, dengan cara menjualnya pada harga Rp. 5000 per kilogram.
5.1.2. Usaha Tempe Usaha tempe yang menjadi objek dalam penelitian adalah usaha milik Bapak Sularno, yang berlokasi di Komplek Perumahan Bumi Menteng Asri, Kelurahan Cilendek Timur, Kecamatan Bogor Timur. Berbeda dengan Bapak Mumu, Bapak Sularno mengawali usahanya pada tahun 1979 di daerah Malabar. Bapak Sularno turut berusaha di sana bersama pengusaha tempe lainnya selama kurang lebih empat tahun, dimana pada tahun 1981 beliau ikut bergabung menjadi anggota PRIMKOPTI. Pada tahun 1983, Bapak Sularno memutuskan berpindah tempat tinggal dan memulai usahanya sendiri pada lokasi usaha yang hingga saat ini beliau tempati bersama keluarga. Usaha tempe ini memiliki nama usaha Unit Fermentasi KOPTI Kota Bogor, dimana kini untuk urusan manajemen dalam usaha beliau telah diteruskan oleh anaknya yang bernama Mas Roin. Selaku pengurus Mas Roin mengakui bahwa harga kedelai yang berfluktuaktif sepanjang tahun 2008 secara tidak langsung mempengaruhi usahanya, namun hal tersebut dapat diatasi oleh beliau dengan baik sehingga usaha ini masih dapat bertahan. Pada sisi legalitas usaha tempe tidak jauh berbeda dengan usaha tahu, memiliki izin produksi, usaha, serta label halal dari MUI. Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada usaha tempe ini yaitu enam orang, dengan asal dan jumlah jam kerja yang sama dengan usaha tahu. 5.1.2.1. Peralatan Produksi Tempe Peralatan yang digunakan pada pengolahan kedelai menjadi tempe berbeda dengan pembuatan tahu, karena keduanya memiliki proses produksi yang berbeda. Akan tetapi sama dengan pembuatan tahu, peralatan dalam pembuatan tempe juga bermacam-macam. Peralatan yang dibutuhkan dalam proses produksi tempe pada usaha ini dapat dengan jelas terlihat pada Tabel 13.
57
Tabel 13. Inventarisasi Peralatan Produksi Tempe Usaha Bapak Sularno No Uraian
Jumlah (unit) 1
1. Mesin Giling 2. Jembung Plastik - Ukuran 50 kg 12 - Ukuran 700 liter 2 Drum 3. 9 (ukuran 70 cm) 4. Papan 260 5. Rak Anyaman 30 6. Tusukan 4 7. Geblekan 10 Total Biaya Peralatan
Biaya (Rp/unit)
Total (Rp)
1.700.000
1.700.000
80.000 450.000
960.000 900.000
150.000
1.350.000
27.000 10.000
7.020.000 300.000 0 0 12.230.000
Tabel 13 menunjukkan terdapat tujuh peralatan yang digunakan dalam proses produksi tempe, antara lain mesin giling, jembung plastik dengan ukuran 50 kilogram dan 700 liter, drum besi sepanjang 70 cm, papan anyaman, bambu, tusukan, dan geblekan. Peralatan produksi berupa mesin giling pada usaha ada sebanyak satu unit yang digunakan untuk menggiling kedelai, dengan biaya sebesar Rp 1.700.000. Jembung plastik pada usaha untuk ukuran 50 kilogram ada sebanyak 12 unit dengan biaya sebesar Rp 80.000 per unit, sedang untuk ukuran 700 liter ada sebanyak dua unit dengan biaya sebesar Rp 450.000. Berdasarkan itu maka total biaya jembung plastik, untuk ukuran 50 kilogram sebesar Rp 960.000 dan untuk ukuran 700 liter sebesar Rp 900.000. Adapun kegunaan kedua peralatan ini adalah untuk merendam kedelai dan sebagai tempat pencampuran kedelai dengan ragi. Drum besi pada usaha ada sebanyak sembilan unit dengan biaya sebesar Rp 150.000 per unit atau Rp 1.350.000 untuk keseluruhan unit, dimana peralatan ini memiliki kegunaan sebagai tempat menyaring sisa air yang ada pada kedelai yang direndam.
58
Papan anyaman pada usaha ada sebanyak 260 unit dan bambu ada sebanyak 30 unit, dimana keduanya berfungsi sebagai tempat kedelai yang telah diolah untuk berfermentasi. Biaya per unit papan anyaman dan bambu secara berurutan adalah sebesar Rp 27.000 dan 10.000, maka total biaya masing-masing untuk keseluruhan unit sebesar Rp 7.020.000 untuk papan anyaman dan Rp 300.000 untuk bambu. Tusukan dan geblekan pada pembuatan tempe diperoleh dengan cara membuatnya sendiri, memiliki fungsi untuk memberikan udara dan membuat bentuk olahan kedelai yang terbungkus dalam plastik. Adapun total biaya peralatan produksi secara keseluruhan pada usaha tempe adalah sebesar Rp 12.230.000. Semua peralatan ini harus dipelihara dengan baik agar bertahan lama dan dapat digunakan dalam jangka waktu lama sehingga dapat menghemat biaya. Pemeliharaan yang dilakukan untuk merawat peralatan pada pembuatan tempe tidak berbeda jauh dengan peralatan pada pembuatan tahu, antara lain dengan membersihkan secara berkala dan melakukan penggantian bagian mesin yang sudah karat. 5.1.2.2. Produksi Tempe Seperti halnya tahu kacang kedelai juga menjadi bahan baku utama dalam pembuatan tempe, dimana setiap harinya usaha tempe ini mengolah rata-rata sebanyak 400 kilogram kedelai. Selain kacang kedelai pembuatan tempe juga membutuhkan bahan lainnya berupa ragi yang berperan penting dalam produksi untuk proses fermentasi. Usaha tempe dalam proses produksinya menggunakan kurang lebih dua kilogram ragi, adapun proses produksi tempe itu sendiri dapat terlihat jelas pada Gambar 6.
59
KEDELAI
Direbus Didiamkan satu malam Digiling Disaring Dicuci Proses Fermentasi Disaring Proses Pengemasan Didiamkan satu malam Dirapihkan
TEMPE Gambar 6. Proses Produksi Tempe
60
Berdasarkan Gambar 6 terlihat, bahwa pembuatan tempe membutuhkan waktu yang agak lama dibanding pembuatan tahu. Jika tahu hanya membutuhkan waktu satu hari dalam pembuatannya, maka tempe membutuhkan waktu empat hari untuk satu kali produksi. Ini karena kedelai yang diolah sebelum menjadi tempe melewati proses fermentasi, dengan menambahkan ragi yang akan memunculkan lapuk berwarna putih atau kapang pada kedelai tersebut. Tahap awal sebelum memulai pengolahan, kedelai direbus dan didiamkan dalam jembung plastik terlebih dahulu selama satu malam, kemudian digiling dengan mesin penggiling. Kedelai yang telah digiling lalu disaring terlebih dahulu guna melepas kulit arinya, kemudian dicuci lalu disimpan dalam luak dan dicampur dengan ragi. Setelah seperempat jam kemudian kedelai yang telah dicampur ragi disaring, dengan cara memiringkan luak tempat kedelai tersebut disimpan agar air dalam luak hilang. Setelah air dalam luak hilang kemudian dilakukan proses pengemasan ke dalam plastik, dengan berbagai ukuran sesuai pesanan dan didiamkan selama satu malam. Keesokan harinya kedelai yang telah terfermentasi dan mengeras, dirapihkan dan disiapkan berdasarkan pesanan untuk diantar ke konsumen pada sore atau esok harinya. 5.2.
Langkah Penyesuaian Usaha Terhadap Kenaikan Harga Kedelai Terdapat lima fungsi utama dalam suatu manajemen usaha, antara lain
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, dan pengawasan. Kelima fungsi manajemen ini penting dalam setiap kali menjalankan kegiatan usaha, agar kegiatan yang dilakukan dapat berjalan lancar dengan baik sehingga tujuan yang ditetapkan dapat tercapai. Setiap kegiatan usaha tentunya memiliki tujuan, dimana untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu perencanaan terlebih dahulu yang mengambarkan tentang apa, bagaimana, mengapa, dan kapan dilakukan. Perencanaan merupakan fungsi terpenting dari semua fungsi manajemen yang ada, karena menjadi pedoman awal suatu usaha berjalan. Kegunaan dari perencanaan itu sendiri antara lain dapat mengurangi ketidak pastian serta perubahan pada waktu mendatang, agar dapat fokus pada tujuan, dan untuk meringankan biaya. Naiknya harga kacang kedelai beberapa waktu lalu yang 61
secara langsung mempengaruhi usaha tahu tempe di berbagai daerah, maka fungsi manajemen perencanaan haruslah sangat berperan penting agar berupa langkahlangkah penyesuaian dapat meringankan biaya produksi. Berdasarkan studi kasus di salah satu usaha tahu dan tempe di Kota Bogor, terlihat adanya langkah-langkah penyesuaian yang dilakukan masing-masing pengrajin saat sebelum dan setelah terjadi peningkatan harga kedelai pada usahanya. Jauh sebelum terjadi peningkatan harga kedelai, baik usaha tahu atau usaha tempe sama-sama melakukan pengelolaan dalam penjualan berupa penetapan harga jual yang berbeda untuk beberapa konsumennya. Perbedaan penetapan harga jual pada beberapa konsumen ini dilakukan, karena tahu dan tempe yang dijual oleh kedua usaha merupakan produk dengan harga jual yang sulit untuk naik. Dengan menetapkan harga jual yang berbeda untuk beberapa konsumen, pengrajin berharap akan memperoleh keuntungan yang lebih. Hal ini terbukti pada saat terjadi kenaikan harga kedelai, kedua usaha tersebut masih dapat bertahan dan mampu menghasilkan keuntungan dengan juga melakukan beberapa langkah penyesuaian pada struktur biaya usaha. Langkah penyesuaian yang dilakukan salah satunya dengan beralih menggunakan bahan bakar alternatif, dari minyak tanah menjadi kayu bakar dan serbuk kayu. Selain itu untuk menghemat biaya produksi masing-masing usaha berusaha untuk menghasilkan bahan baku penunjang lainnya sendiri, seperti usaha tahu menggunakan air sisa pengolahan kedelai menjadi pengganti asam cuka. Usaha tempe juga melakukan hal yang sama dengan membuat sendiri sebagian ragi untuk proses fermentasi kedelai menjadi tempe, yang dibuat dari sisa pengolahan kedelai. Selain bahan bakar dan bahan baku, kedua usaha juga melakukan penghematan biaya pada beberapa peralatan produksinya dengan membuatnya sendiri menggunakan bahan yang ada disekitar usahanya. Peralatan produksi tersebut untuk usaha tahu antara lain berupa kain sebagai penutup cetakan, sedang untuk usaha tempe yaitu tusukan dan geblekan untuk meratakan dan memberi udara pada tempe yang sudah dicetak. Harga jual untuk masing-masing usaha tidak mengalami perubahan, kecuali tahu yang menaikkan harga sebanyak Rp 100 sampai dengan Rp 200 untuk tahu yang dijual 62
secara per potong. Dari segi output produk, kedua pengelola usaha tetap mempertahankan bobot dan bentuk outputnya. Ini dilakukan agar eksistensi kedua usaha tetap terjaga mengingat persaingan untuk industri tahu dan tempe sangat ketat, yaitu dengan mempertahankan kepercayaan konsumen yang telah lama menjadi pelanggan tetap. Berdasarkan uraian sebelumnya terlihat baik usaha tahu maupun usaha tempe, telah melakukan perencanaan yang cukup baik dalam kegiatan usahanya. Oleh karena itu kedua usaha tersebut masih dapat bertahan dan menghasilkan laba sampai dengan saat ini.
63
VI ANALISIS PROFITABILITAS SERTA NILAI TAMBAH USAHA TAHU DAN TEMPE 6.1.
Analisis Biaya
6.1.1. Biaya Sebelum menganalisis profitabilitas suatu usaha, biaya dalam usaha yang bersangkutan harus teranalisis terlebih dahulu. Biaya itu sendiri terdiri dari berbagai macam jenis tergantung kebutuhan dari usaha bersangkutan, terutama yang menyangkut tentang proses produksi. Dalam hubungannya dengan perubahan volume kegiatan, biaya itu sendiri dapat digolongkan menjadi biaya tetap, semifixed, semivariabel dan variabel. Terkati dengan itu berikut ini akan dipaparkan struktur biaya dari usaha tahu dan tempe yang menjadi objek dalam penelitian, terbagi kedalam biaya tetap dan biaya variabel. 6.1.1.1. Biaya Tetap Biaya tetap merupakan biaya yang jumlah totalnya tetap dalam kisaran volume kegiatan tertentu, yang terdiri dari beberapa faktor tergantung jenis kegiatan usahanya. Berdasarkan itu maka jelas biaya tetap suatu usaha berbeda dengan usaha lainnya, yang juga berlaku pada usaha tahu dan tempe yang menjadi objek dalam penelitian ini. Faktor-faktor yang menjadi biaya tetap pada masingmasing usaha antara lain biaya penyusutan investasi, biaya peralatan, biaya penyusutan peralatan, dan biaya lain-lain. 1.
Usaha Tahu Investasi pada usaha tahu terdiri dari tanah dan bangunan, kendaraan
operasional, serta jembatan besi. Ketiga investasi tersebut penting bagi usaha yang bersangkutan, karena dapat menunjang keberlangsungan usaha. Adapun biaya
64
investasi pada usaha dapat terlihat secara jelas pada Tabel 14, yang juga disertai dengan biaya penyusutan dari investasi tersebut.
Tabel 14. Biaya Investasi Usaha Tahu Uraian
Umur Ekonomi (tahun)
Biaya (Rp)
Penyusutan per Tahun (%)
Tanah dan Bangungan (150 m2) Kendaraan Operasional Jembatan Besi
25 20 30
200.000.000 45.000.000 25.000.000
4 5 3
No 1 2 3
Total
270.000.000
Biaya Penyusutan per Tahun (Rp) 8.000.000 2.250.000 833.333 11.083.333
Berdasarkan Tabel 14 terlihat total biaya investasi usaha tahu adalah sebesar Rp 270.000.000, yang terdiri dari investasi tempat sebesar Rp 200.000.000, investasi kendaraan operasional sebesar Rp 45.000.000, dan investasi jembatan untuk akses menuju jalan utama sebesar Rp 25.000.000. Tempat usaha berupa tanah dan bangunan memiliki persentase penyusutan per tahun sebesar empat persen, sehingga biaya penyusutannya sebesar Rp 8.000.000 per tahun. Persentase penyusutan per tahun untuk kendaraan operasional pada usaha adalah sebesar lima persen, dengan biaya penyusutan per tahunnya sebesar Rp 2.250.000. Persentase penyusutan untuk investasi terakhir berupa jembatan per tahunnya sebesar tiga persen atau sebesar Rp 833.333 per tahun, sehingga diperoleh total biaya penyusutan investasi per tahun sebesar Rp 11.083.333. Suatu usaha memerlukan peralatan yang memadai guna menunjang keberhasilan proses produksi, dimana dalam hal pengadaannya dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Adapun biaya penyusutan untuk peralatan produksi pada usaha tahu, secara jelas dapat dilihat pada Tabel 15.
65
1
Mesin Diesel
1
Umur Ekonomi (tahun) 15
2
Mesin Giling
1
10
250.000
10
25.000
25.000
3
Tungku Semen
2
5
1.500.000
20
300.000
600.000
4
Tanggok Besi
1
15
1.000.000
7
66.667
66.667
5
Bak Semen
4
5
500.000
20
100.000
400.000
6
Pompa Air
2
7
300.000
14
42.857
85.714
7
Cetakan (6 loyang)
1
15
600.000
7
40.000
40.000
8
Ember (10 liter)
3
5
10.000
20
2.000
6.000
9
Serok
3
1
70.000
100
70.000
210.000
6
1
0
100
0
0
1
5
500.000
20
100.000
100.000
3
5
150.000
20
30.000
90.000
No
10 11 12
Uraian
Jumlah
Kain (50 cm x 50 cm) 2
Bak Air (1m ) 2
Bak Biang (1 m )
7
Penyusutan per Unit (Rp) 166.667
Biaya Penyusutan (Rp) 166.667
Biaya (Rp/unit)
Penyusutan (%)
2.500.000
Total per Tahun (Rp)
1.790.048
Tabel 15. Biaya Peralatan Usaha Tahu Sama halnya seperti penyusutan pada investasi, persentase penyusutan untuk masing-masing peralatan produksi usaha tahu juga berbeda sesuai umur ekonominya. Peralatan produksi yang berumur ekonomi 15 tahun memiliki persentase penyusutan sebesar tujuh persen per tahun, antara lain mesin diesel, tanggok besi, dan cetakan. Adapun biaya penyusutan per tahunnya sebesar Rp 166.667 untuk mesin diesel, untuk tanggok besi sebesar Rp 66.667, dan Rp 40.000 untuk cetakan. Persentase penyusutan per tahun untuk mesin giling yan berumur ekonomi sepuluh tahun adalah sebesar sepuluh persen, dengan biaya penyusutan sebesar Rp 25.000 per tahun. Pompa air yang berumur ekonomi tujuh tahun memiliki persentase penyusutan sebesar 14 persen atau Rp 42.857 per tahun untuk tiap 66
pompa, maka total penyusutan untuk keseluruhan pompa air sebesar Rp 85.714. Peralatan yang berumur ekonomi lima tahun memiliki persentase penyusutan sebesar 20 persen per tahun, yang terdiri dari tungku semen, bak semen, ember, bak air dan bak biang. Besar biaya penyusutan per tahun untuk tungku semen sebesar Rp 300.000 per unit, sehingga diperoleh total biaya penyusutan untuk semua unit sebesar Rp 600.000. Bak semen yang terdiri dari empat unit total biaya penyusutannya sebesar Rp 400.000 per tahun atau Rp 100.000 untuk tiap unitnya, sedang bak air yang hanya satu unit memiliki biaya penyusutan sebesar Rp 100.000 per tahun. Biaya penyusutan untuk ember per unitnya sebesar Rp 2000 per tahun, dimana total biaya penyusutan untuk tiga unit sebesar Rp 6.000. Besar biaya penyusutan untuk bak biang per unitnya sebesar Rp 30.000, sehingga total biaya penyusutan untuk tiga unit yang dimiliki per tahunnya sebesar Rp 90.000. Berbeda dengan peralatan lainnya, peralatan produksi yang umur ekonominya satu tahun memiliki penyusutan utuh sebesar 100 persen atau senilai biaya peralatan yang bersangkutan. Adapun total biaya penyusutan peralatan secara keseluruhan adalah sebesar Rp 1.790.048 per tahun. Perhitungan struktur biaya pada penelitian ini menggunakan periode waktu satu tahun, maka biaya peralatan yang memiliki umur ekonomi satu tahun termasuk kedalam biaya tetap. Peralatan produksi berumur satu tahun antara lain serok dan kain, yang merupakan biaya tetap bersama dengan biaya penyusutan investasi dan peralatan. Ketiga faktor biaya yang masuk kedalam biaya tetap tersebut merupakan biaya produksi, karena ketiganya berhubungan dengan proses produksi baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain biaya produksi terdapat juga biaya non produksi yang termasuk kedalam biaya tetap usaha tahu, yang secara rinci dapat terlihat pada Tabel 16. Tabel 16. Biaya Non Produksi Usaha Tahu per Tahun No Uraian 1. Biaya Listrik 2. Biaya Telepon 3. Biaya Perawatan - Kendaraan Operasional - Mesin Giling
Biaya (Rp) 2.100.000 720.000 3.400.000 400.000 67
Total Biaya
6.620.000
Berdasarkan Tabel 16 terlihat bahwa biaya non produksi pada usaha tahu terdiri dari biaya listrik, biaya telepon, dan biaya perawatan. Biaya listrik dikeluarkan setiap satu bulan sekali sebesar Rp 175.000, sehingga total dalam setahun sebesar Rp 2.100.000. Biaya telepon juga dikeluarkan setiap satu bulan sekali dengan biaya sebesar Rp 60.000, maka biaya telepon dalam satu tahun sebesar Rp 720.000. Biaya perawatan pada usaha tahu terdiri dari biaya perawatan terhadap kendaraan operasional dan mesin giling. Perawatan terhadap kendaraan terbagi menjadi perawatan bulanan berupa ganti oli secara berkala dan tahunan berupa pergantian spare part mobil. Perawatan bulanan pada kendaraan mengeluarkan biaya sebesar Rp 200.000, sehingga dalam setahun biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 2.400.000. Perawatan tahunan menghabiskan biaya sebesar Rp 1.000.000, maka total biaya perawatan untuk kendaraan sebesar Rp 3.400.000 per tahun. Perawatan terhadap mesin giling dilakukan setiap tiga bulan sekali berupa pergantian spare part, dengan biaya sebesar Rp 100.000 per satu kali periode. Berdasarkan itu maka dalam satu tahun dilakukan empat kali perawatan, dengan total biaya perawatan mesin giling yang dikeluarkan sebesar Rp 400.000 per tahun. Adapun total biaya non produksi usaha tahu yang menjadi biaya tetap adalah sebesar Rp 6.620.000 per tahun. 2.
Usaha Tempe Lahan dan bangunan yang menjadi tempat usaha tempe merupakan milik
PRIMKOPTI, yang sengaja disediakan sebagai bentuk kerja sama dengan pengelola usaha. Berdasarkan itu maka investasi usaha tempe hanya berupa kendaraan operasional mobil pick up, yang berumur 20 tahun dengan biaya sebesar Rp 55.000.000. Adapun persentase penyusutan untuk kendaraan tersebut adalah lima persen atau sebesar Rp 2.750.000 per tahun. Selain penyusutan pada investasi pada peralatan produksi juga terdapat biaya penyusutan, yang dapat terlihat jelas pada Tabel 17. 68
Tabel 17. Biaya Peralatan Usaha Tempe No
Uraian
1.
Mesin Giling
2.
Jembung Plastik - Ukuran 50 kg
1
Umur Ekonomi (tahun) 10
12
8
80.000
13
10.000
120.000
2
8
450.000
13
56.250
112.500
Jumlah (unit)
10
Penyusutan per Unit (Rp) 170.000
Biaya Penyusutan (Rp) 170.000
Biaya (Rp/unit)
Penyusutan (%)
1.700.000
- Ukuran 700 liter Drum (ukuran 70 cm) Papan
9
5
150.000
20
30.000
270.000
260
3
27.000
33
9.000
2.340.000
5.
Rak Anyaman
30
3
10.000
33
3.333
100.000
6.
Tusukan
4
1
0
100
0
0
7.
Geblekan
10
1
0
100
0
0
3. 4.
Total per Tahun (Rp)
3.112.500
Peralatan produksi mesin giling yang berumur ekonomi sepuluh tahun memiliki persentase penyusutan sebesar sepuluh persen per tahun, yaitu sebesar Rp 170.000. Jembung plastik yang berumur ekonomi delapan tahun memiliki persentase penyusutan sebesar 13 persen atau Rp 10.000 per tahun untuk tiap unitnya yang berukuran 50 kilogram, sedang untuk yang berukuran 700 liter sebesar Rp 56.250 per tahun untuk tiap unitnya. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka total penyusutan untuk keseluruhan unit jembung plastik yang berukuran 50 kilogram adalah sebesar Rp 120.000, sedang untuk yang berukuran 700 liter sebesar Rp 112.500. Drum besi pada usaha tempe memiliki umur ekonomi lima tahun dengan persentase penyusutan sebesar 20 persen per tahun atau sebesar Rp 30.000 per unit, sehingga total untuk keseluruhan sembilan unit adalah sebesar Rp 270.000. Peralatan produksi yang berumur ekonomi tiga tahun memiliki persentase penyusutan sebesar 33 persen per tahun, dimana peralatan tersebut antara lain papan anyaman dan bambu. Besar biaya penyusutan untuk papan anyaman dan 69
bambu per unitnya secara berurutan adalah sebesar Rp 9.000 dan Rp 3.333, dengan biaya penyusutan keseluruhan unit untuk masing-masing peralatan sebesar Rp 2.340.000 dan Rp 100.000. Berbeda dengan peralatan produksi lainnya tusukan dan geblekan yang umur ekonominya satu tahun tidak memiliki biaya penyusutan, karena kedua peralatan tersebut diperoleh dengan cara membuatnya sendiri. Adapun total biaya penyusutan peralatan produksi secara keseluruhan adalah sebesar Rp 3.112.500 per tahun. Faktor biaya lainnya yang juga termasuk dalam biaya tetap adalah biaya non produksi,yang secara jelas dapat terlihat pada Tabel 18. Tabel 18. Biaya Non Produksi Usaha Tempe per Tahun No Uraian 1. Biaya Perawatan - Mesing Giling - Luak; 4 drum - Drum u/ rebus - Dapur - Kendaraan Operasional 2. Biaya Pemasaran; Kuli Angkut 3. Biaya Lain-lain - Komisi Penjualan - Listrik - Komunikasi - Konsumsi Harian Total Biaya Non Produksi (Rp)
Biaya Tahunan 400.000 3.600.000 900.000 300.000 3.400.000 4.500.000 12.000.000 2.400.000 2.400.000 90.000.000 119.900.000
Berdasarkan Tabel 18 terlihat adanya tiga faktor biaya yang termasuk kedalam biaya non produksi, antara lain biaya perawatan, biaya pemasaran, dan biaya lain-lain. Biaya perawatan usaha tempe merupakan biaya perawatan yang dilakukan pada mesin giling, luak, drum, dapur, dan kendaraan operasional dengan periode waktu perawatan berbeda-beda. Perawatan untuk mesin giling dilakukan setiap tiga bulan sekali; luak dan drum dilakukan setiap dua bulan sekali; renovasi dapur dilakukan setiap setahun sekali; sedang perawatan untuk kendaraan terbagi menjadi dua. Perawatan untuk kendaraan terdiri dari ganti oli yang dilakukan setiap satu bulan sekali, dan pergantian suku cadang mobil yang dilakukan setiap satu tahn 70
sekali. Biaya perawatan mesin giling adalah sebesar Rp 100.000 per periode, dalam satu tahun perawatan terhadap mesin giling dilakukan sebanyak empat kali sehingga total biaya perawatan mesin giling adalah sebesar Rp 400.000 per tahun. Perawatan luak pada satu drum membutuhkan biaya sebesar Rp 150.000 per periode, dalam setahun dilakukan perawatan terhadap luak sebanyak enam kali maka total biaya perawatan untuk dua drum per tahun sebesar Rp 3.600.000. Biaya untuk perawatan drum besi per periode sebesar Rp 150.000, dalam satu tahun perawatan terhadap drum dilakukan sebanyak enam kali sehingga total biaya perawatan untuk drum sebesar Rp 900.000 per tahun. Perawatan pada dapur berupa renovasi dilakukan sebanyak satu kali dalam setahun, biaya yang dihabiskan untuk perawatan dapur adalah sebesar Rp 300.000. Perawatan terhadap kendaraan operasional untuk ganti oli per bulannya menghabiskan biaya sebesar Rp 200.000, maka total biaya ganti oli per tahun adalah sebesar Rp 2.400.000 sedang biaya untuk pergantian suku cadang adalah sebesar Rp 1.000.000 per tahun. Berdasarkan uraian di atas, maka jumlah keseluruhan biaya perawatan pada usaha tempe per tahunnya sebesar Rp 8.600.000. Biaya pemasaran pada usaha tempe yang masuk dalam biaya tetap adalah biaya untuk kuli angkut, yang menurunkan dan mengantarkan tempe dari mobil ke tempat pesanan. Biaya untuk kuli angkut dikeluarkan setiap kali pengelola melakukan pengantaran, yaitu sebesar Rp 15.000 per hari atau Rp 4.500.000 per tahun. Faktor biaya non produksi usaha tempe lainnya yang masuk dalam biaya tetap antara lain komisi penjualan, biaya listrik, dan komunikasi yang dikeluarkan setiap satu bulan sekali, serta biaya konsumsi harian bagi tenaga kerja. Biaya listrik per bulannya adalah sebesar Rp 200.000 atau Rp 2.400.000 per tahun, biaya komunikasi per bulannya adalah sebesar Rp 200.000 atau Rp 2.400.000 per tahun. Sedangkan untuk komisi penjualan biaya per bulannya adalah sebesar Rp 1.000.000 atau per tahunnya sebesar Rp 12.000.000, yang dikeluarkan untuk tiga pelanggan tetap yang merupakan pengusaha catering. Biaya untuk konsumsi harian yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 300.000 per hari atau per tahunnya sebesar Rp 90.000.000. Berdasarkan uraian sebelumnya maka diperoleh total biaya non produksi usaha tempe yang menjadi 71
biaya tetap adalah sebesar Rp 119.900.000 per tahun. Faktor biaya terakhir yang termasuk dalam biaya tetap pada usaha tempe adalah biaya pengemasan, berupa plastik dan daun pisang. Setiap harinya usaha tempe menggunakan plastik untuk mengemas produknya sebanyak lima ikat dengan biaya per ikatnya sebesar Rp 15.000 per ikat, dimana biaya yang dikeluarkan per harinya adalah sebesar Rp 75.000 atau Rp 22.500.000 per tahun. Daun pisang untuk mengemas sebagian besar tempe per harinya menggunakan sebanyak lima ikat dengan biaya per ikat sebesar Rp 5.000, dimana biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 25.000 per hari atau Rp 7.500.000 per tahun. 6.1.1.2. Biaya Variabel Biaya variabel adalah biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan, dimana sama sepert biaya tetap setiap usaha memiliki biaya varibel yang berbeda-beda. Faktor-faktor biaya yang menjadi biaya variabel antara lain biaya bahan baku, biaya bahan bakar, dan biaya tenaga kerja. Adapun faktor-faktor biaya yang menjadi biaya variabel pada usaha tahu dan tempe secara jelas terlihat pada uraian berikut. 1.
Usaha Tahu Faktor biaya pertama yang termasuk kedalam biaya varibel pada usaha
tahu yaitu biaya bahan baku, terdiri dari kedelai, garam, dan kunyit. Bahan baku yang digunakan pada usaha tahu terbagi menjadi dua, yaitu bahan baku utama dan bahan baku penunjang. Kacang kedelai termasuk dalam bahan baku utama, karena merupakan bahan baku dasar dari tahu. Sedangkan garam dan kunyit termasuk kedalam bahan baku penunjang, karena merupakan bahan baku penolong yang melengkapi proses produksi. Banyaknya volume bahan baku yang diolah dan biaya yang dikeluarkan oleh usaha per periode produksi secara jelas dapat terlihat pada Tabel 19, dimana satu kali periode produksi tahu membutuhkan waktu satu hari.
72
Tabel 19. Biaya Bahan Baku Usaha Tahu No.
Uraian
Jumlah
Biaya (Rp/satuan)
1. Kacang Kedelai (kg) 300 2. Garam (kg) 30 3. Kunyit (kg) 10 Total Biaya Bahan Baku (Rp)
6.500 700 1.500
Total per Hari (Rp) 1.950.000 21.000 15.000 1.986.000
Total per Tahun (Rp) 48.750.000 525.000 375.000 49.650.000
Berdasarkan Tabel 19 terlihat volume bahan baku utama berupa kedelai yang digunakan per hari rata-rata sebanyak 300 kilogram, sedangkan untuk bahan baku penunjang berupa garam dan kunyit yang digunakan per hari rata-rata sebanyak 30 dan sepuluh kilogram. Biaya bahan baku utama pada usaha tahu per harinya adalah sebesar Rp 1.950.000 atau Rp 48.750.000 per tahun, sedang untuk biaya bahan baku penunjang keseluruhan sebesar Rp 36.000 per hari atau Rp 900.000 per tahun. Adapun total biaya bahan baku secara keseluruhan untuk usaha tahu adalah sebesar Rp 1.986.000 per hari atau Rp 49.650.000 per tahun. Selain biaya bahan baku, terdapat juga biaya bahan bakar yang terdiri dari kayu bakar dan solar sebagai. Kayu bakar digunakan sebagai bahan bakar dalam proses pengolahan kedelai, sedangkan solar digunakan sebagai bahan bakar untuk mesin diesel pada usaha. Usaha tahu setiap hari menggunakan kayu bakar dalam proses produksinya rata-rata sebanyak satu penuh bak mobil pick up kecil, sedang untuk solar digunakan rata-rata sebanyak sepuluh liter per hari. Biaya yang dikeluarkan untuk kayu bakar adalah sebesar Rp 300.000 per hari atau Rp 90.000.000 per tahun, sedangkan untuk solar sebesar Rp 45.000 per hari atau Rp 13.500.000 per tahun. Faktor biaya terakhir dalam biaya variabel adalah biaya tenaga kerja, dimana upah untuk seluruh tenaga kerja pada usaha tahu per harinya adalah sebesar Rp 5.000 per hari untuk setiap 10 kg kedelai yang diolah. Setiap hari usaha tahu mengolah 300 kg kedelai, maka biaya yang dikeluarkan untuk seluruh tenaga kerja per harinya sebesar Rp 150.000 atau Rp 45.000.000 per tahun. 73
2.
Usaha Tempe Sama seperti usaha tahu, bahan baku yang digunakan pada usaha tempe
juga terbagi menjadi dua yaitu bahan baku utama dan bahan baku penunjang. Seperti halnya usaha tahu bahan baku utama dalam pembuatan tempe adalah kacang kedelai, sedangkan yang termasuk dalam bahan baku penunjang adalah ragi. Berbeda dengan usaha tahu yang memiliki waktu produksi lebih singkat, tempe memiliki waktu produksi lebih lama per periode produksinya yaitu empat hari. Namun usaha tersebut tetap mengolah kedelai setiap hari untuk penjualan tiga hari berikutnya, begitu pula dengan hari selanjutnya untuk tiga hari selanjutnya dan seterusnya. Banyaknya volume bahan baku yang diolah dan biaya yang dikeluarkan pada usaha per periode produksi secara jelas dapat terlihat pada Tabel 20. Tabel 20. Biaya Bahan Baku Usaha Tempe Biaya Total per Hari (Rp/satuan) (Rp) 1 Kedelai (kg) 400 6.500 2.600.000 2 Ragi (kg) 2 10.000 20.000 Total Biaya Bahan Baku (Rp) 2.620.000
No
Uraian
Jumlah
Tahunan (Rp) 780.000.000 6.000.000 786.000.000
Berdasarkan Tabel 20 terlihat bahwa volume bahan baku utama yaitu kedelai yang digunakan untuk proses produksi per hari rata-rata sebanyak 400 kilogram, sedangkan untuk bahan baku penunjang berupa ragi, per hari digunakan rata-rata sebanyak dua kilogram. Bahan baku utama setiap harinya menghabiskan biaya sebesar Rp 2.600.000 atau Rp 780.000.000 per tahun, sedangkan biaya yang dihabiskan untuk bahan baku penunjang per harinya adalah sebesar Rp 20.000 atau Rp 6.000.000 per tahun. Adapun total biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku adalah sebesar Rp 2.620.000 per hari atau Rp 786.000.000 per tahun. Faktor biaya lainya termasuk dalam biaya variabel pada usaha tempe adalah biaya bahan bakar, yang terdiri dari serbuk kayu sebagai bahan bakar 74
pembakaran dan bensin untuk bahan bakar kendaraan operasional usaha. Banyaknya serbuk kayu yang digunakan dalam proses produksi adalah sebanyak enam karung dengan biaya per karungnya sebesar Rp 10.000, sehingga biaya yang dikeluarkan per harinya adalah sebesar Rp 60.000 atau Rp 18.000.000 per tahun. Pengisian bensin untuk kendaraan operasional usaha dilakukan setiap dua hari sekali sebanyak 23 liter dengan harga Rp 4.500 per liter, sehingga biaya yang dikeluarkan per pengisian bensin adalah sebesar Rp 103.500 atau Rp 15.525.000 per tahun. Faktor biaya terakhir dalam biaya variabel adalah biaya tenaga kerja, dimana upah untuk tiap tenaga kerja pada usaha tempe per harinya adalah sebesar Rp 600.000 per bulan. Jumlah tenaga kerja yang dimiliki oleh usaha tempe adalah sebanyak enam orang, maka biaya tenaga kerja secara keseluruhan yang dikeluarkan per bulan sebesar Rp 3.600.000 atau Rp 43.200.000 per tahun. 6.1.1.3. Total Biaya Usaha Total biaya dari suatu usaha merupakan jumlah keseluruhan biaya, yang terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Tiap usaha memiliki total biaya yang berbeda-beda, dimana besarnya total biaya suatu usaha ditentukan oleh besarnya biaya tetap dan variabel usaha bersangkutan. Uraian mengenai biaya tetap dan biaya variabel pada usaha tahu dan tempe yang menjadi objek dalam penelitian telah disampaikan sebelumnya, adapun total biaya dari kedua usaha tersebut dapat terlihat pada Tabel 21 dan 22 berikut.
75
Tabel 21. Total Biaya Usaha Tahu per Tahun No Uraian Jumlah (Rp) Biaya Tetap 1 Serok 2 Telepon 3 Listrik 4 Biaya Penyusutan Peralatan Produksi 5 Biaya Penyusutan Investasi 6 Biaya Perawatan - Kendaraan Operasional - Mesin giling Total Biaya Tetap Biaya Variabel 7 Kacang Kedelai 8 Garam 9 Kunyit 10 Bensin Solar 11 Kayu Bakar 12 Upah Tenaga Kerja Total Biaya Variabel Total Biaya
210.000 720.000 2.100.000 1.790.048 11.083.333 3.400.000 400.000 19.703.381 585.000.000 6.300.000 4.500.000 13.500.000 90.000.000 45.000.000 744.300.000 764.003.402
Tabel 21 menunjukkan total biaya usaha tahu sebesar Rp 764.003.402 per tahun, yang merupakan jumlah dari biaya tetap sebesar Rp 19.703.381 per tahun dan biaya variabel sebesar Rp 744.300.000 per tahun. Total biaya usaha tempe berbeda dengan usaha tahu dan dapat terlihat dengan jelas pada Tabel 22.
76
Tabel 22. Total Biaya Usaha Tempe per Tahun No Uraian Jumlah (Rp) Biaya Tetap 1 Biaya Perawatan - Mesin Giling - Luak; 4 drum - Drum u/ rebus - Kendaraan Operasional - Dapur 2 Biaya Pemasaran; Kuli Angkut 3 Biaya Kemasan - Daun Pisang - Plastik 4 Biaya Lain-lain - Komisi Penjualan - Listrik - Komunikasi - Konsumsi Harian 5 Biaya Penyusutan Peralatan Produksi 6 Biaya Penyusutan Investasi Total Biaya Tetap Biaya Variabel 7 Bensin; 23 liter 8 Kedelai (kg) 9 Ragi (kg) 10 Serbuk Kayu (50 kg per karung) 11 Biaya Tenaga Kerja Total Biaya Variabel Total Biaya
400.000 3.600.000 900.000 3.400.000 300.000 4.500.000 7.500.000 22.500.000 12.000.000 2.400.000 2.400.000 90.000.000 3.112.500 2.750.000 155.762.500 15.525.000 780.000.000 6.000.000 18.000.000 43.200.000 862.725.000 1.018.487.500
Berdasarkan Tabel 22 terlihat bahwa usaha tempe memiliki total biaya sebesar Rp 1.018.487.500 per tahun, dengan total biaya tetap sebesar Rp 155.762.500 per tahun dan total biaya variabel sebesar Rp 862.725.000 per tahun. Jika struktur biaya kedua usaha dibandingkan, maka terlihat bahwa usaha tempe memiliki total biaya yang lebih besar dari usaha tahu. Berdasarkan Tabel 21 dan
77
22 terlihat bahwa usaha tempe memiliki biaya tetap yang cukup tinggi, sehingga total biaya usaha pun menjadi tinggi. Ini terjadi karena usaha tempe menghabiskan biaya yang cukup besar dalam melakukan perawatan terhadap peralatan produksinya, dimana usaha tempe masih menggunakan peralatan produksi yang tidak permanen. Berbeda dengan usaha tahu yang menggunakan peralatan lebih permanen dalam bentuk semen, sehingga perawatan yang dilakukan terhadap peralatan produksinya tidak mengeluarkan biaya besar. Pada segi pemasaran terlihat usaha tahu tidak melakukan pengantaran produk sehingga tidak ada biaya pemasaran yang dikeluarkan, karena konsumen atau pelanggan dari usaha tersebut yang datang sendiri ke tempat. Selain itu dari segi kemasan, usaha tahu terlihat lebih sederhana dibanding usaha tempe yang menggunakan plastik dan daun pisang. Berdasarkan itu maka jelas terlihat bahwa usaha tahu memiliki struktur biaya yang lebih hemat, sehingga total biaya usahanya lebih kecil dibanding usaha tempe. 6.1.2. Volume Penjualan dan Harga Jual 6.1.2.1. Usaha Tahu Usaha tahu menjual tahu dalam bentuk cetakan yang dapat dipotongpotong kecil berdasarkan keinginan konsumen, dimana satu cetakan tahu dapat menghasilkan 60 sampai dengan 100 potong. Adapun konsumen yang membeli tahu pada usaha ini merupakan konsumen lama atau pelanggan yang terdiri dari tukang sayur dan gorengan, rumah sakit, restoran, serta konsumen individu yang datang sendiri. Konsumen usaha tahu dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen antara adalah konsumen yang membeli tahu untuk diolah terlebih dahulu kemudian dijual kembali, seperti tukang sayuran dan pedagang keliling seperti batagor, siomay, dan gorengan, serta pelanggan restoran dan rumah sakit. Konsumen akhir yang menjadi pelanggan usaha ini merupakan konsumen individu atau per orang-an, yang datang sendiri ke tempat usaha dan membeli tahu untuk dikonsumsi sendiri. Usaha tahu ini dalam satu hari mampu menghasilkan sebanyak 150 cetak tahu, yang dibagi menjadi 32 cetak tahu kuning 78
dan 118 cetak tahu putih. Adapun total penjualan usaha tahu Bapak Mumu dalam satu tahun dapat terlihat jelas pada Tabel 23.
Tabel 23. Penjualan Usaha Tahu No
Tahu Putih (per Hari) Jumlah Harga (Rp) (Rp/cetak)
Konsumen
Jumlah (cetak)
Tahu Kuning (per Hari) Jumlah (cetak)
Harga (Rp/cetak)
Jumlah (Rp)
Total per Hari (Rp)
Total per Tahun (Rp ribuan)
1.
Tukang Sayuran
25
25.000
625.000
25
25.000
625.000
1.250.000
375.000
2.
Pedagang keliling
60
25.000
1.500.000
0
25.000
0
1.500.000
450.000
3.
Restoran
25
30.000
750.000
2
30.000
60.000
810.000
243.000
4.
RS
3
30.000
90.000
0
30.000
0
90.000
27.000
5.
Individu : Uk 12 x 12 = 144 potong/cetak Uk 9 x 9 = 81 potong/cetak
3
28.800
86.400
2
57.600
115.200
201.600
60.480
2
27.300
54.600
3
40.500
121.500
176.100
52.830
150.000
45.000
4.177.700
1.253.310
6.
Ampas Kedelai Total
118
-
3.106.000
32
-
921.700
Berdasarkan Tabel 23 terlihat adanya perbedaan volume penjualan antara tahu putih dan kuning, serta volume penjualan untuk tiap jenis konsumen. Ini terjadi karena volume pembelian yang dilakukan oleh masing-masing konsumen beragam tergantung kebutuhannya. Penjualan yang pertama dilakukan terhadap tukang sayur yang merupakan gabungan beberapa tukang, dimana setiap harinya membeli tahu sebanyak 50 cetak yang terdiri dari 25 cetak tahu putih dan 25 cetak tahu kuning. Penjualan yang kedua adalah penjualan terhadap pedagang keliling yang juga merupakan gabungan beberapa pedagang, dimana tahu yang dibeli hanya tahu putih sebanyak 60 cetak per hari. Penjualan yang ketiga adalah penjualan terhadap restoran dengan total penjualan sebanyak 27 cetak, yang terdiri dari 25 cetak tahu putih dan dua cetak tahu kuning. Penjualan keempat adalah penjualan yang dilakukan kepada rumah sakit terdekat yaitu Palang Merah Indonesia (PMI) dan Bogor Medical Centre (BMC), dimana jenis tahu yang dibeli oleh pihak 79
rumah sakit adalah tahu putih dengan total pembelian sebanyak tiga cetak per hari. Berbeda dengan konsumen lainnya penjualan untuk individu atau per orang-an tidak dalam hitungan per cetak namun per potong, dimana untuk penjualan ini pihak pengelola khusus menyediakan masing-masing lima cetak untuk tiap jenis tahu. Adapun ukuran potong tahu pada usaha ini terdiri dua jenis ukuran, yaitu ukuran 12 cm x 12 cm; untuk tahu putih sebanyak tiga cetak dan tahu kuning sebanyak dua cetak, dan ukuran 9 cm x 9 cm; untuk tahu putih sebanyak dua cetak dan tahu kuning sebanyak tiga cetak. Secara keseluruhan setiap hari usaha tahu menghasilkan 150 cetak tahu atau 45.000 cetak tahu per tahun yang terjual habis, dimana per cetaknya memiliki bobot sebesar 5,4 kilogram sehingga per harinya sebesar 810 kilogram atau 243.000 kilogram per tahun . Tak hanya volume penjualan, perbedaan lainnya yang ditemukan adalah adanya penetapan harga jual yang berbeda untuk beberapa jenis konsumen. Pihak pengelola menetapkan harga jual secara per cetak untuk konsumen antara dan harga jual per potong untuk konsumen akhir. Harga jual yang ditetapkan bagi tukang sayur dan pedagang keliling sebesar Rp 25.000 per cetak untuk semua jenis tahu, sedangkan harga jual yang ditetapkan untuk pihak restoran dan rumah sakit sebesar Rp 30.000 per cetak untuk semua jenis tahu. Berbeda dengan konsumen antara harga jual yang ditetapkan untuk konsumen individu per cetaknya untuk tahu putih, ukuran 12 cm x 12 cm adalah Rp 28.800 dan untuk ukuran 9 cm x 9 cm adalah Rp 27.300. Harga jual tahu kuning per cetak yang ditetapkan untuk ukuran 12 cm x 12 cm sebesar Rp 57.600, sedang untuk ukuran 9 cm x 9 cm adalah Rp 40.500. Perbedaan harga jual per cetak pada konsumen akhir terjadi karena pembeliannya yang dilakukan secara potongan, membuat harga jual per cetaknya ditentukan oleh banyaknya potong tahu yang dihasilkan dalam satu cetak. Banyaknya potong tahu yang dihasilkan ukuran 12 cm x 12 cm adalah 144 potong tahu, adapun harga jual per potongnya sebesar Rp 200 untuk tahu putih dan Rp 400 untuk tahu kuning. Banyaknya potong tahu yang dihasilkan ukuran 9 cm x 9 cm adalah 81 potong tahu, sedang harga jual per potong untuk tahu putih 80
sebesar Rp 300 dan untuk tahu kuning sebesar Rp 500. Selain menjual tahu sebagai produk utamanya usaha tahu juga menjual limbah atau produk sisa proses produksi berupa ampas kedelai, dengan harga jual yang ditetapkan sebesar Rp 5.000 untuk tiap ampas yang dihasilkan dari sepuluh kilogram kedelai yang diolah. Setiap hari usaha ini mengolah kedelai sebanyak 300 kilogram, maka total pendapatan yang diperoleh dari penjualan ampas kedelai sebesar Rp 150.000 per hari atau Rp 45.000.000 per tahun. Total pendapatan yang diperoleh dari penjualan produk utama atau tahu per harinya adalah sebesar Rp 4.027.700 atau per tahunnya sebesar Rp 1.208.310.000. Adapun total pendapatan keseluruhan yang berasal dari penjualan tahu dan ampas tahu sebesar Rp 4.177.700 per hari atau Rp 1.253.310.000 per tahun. 6.1.2.2. Usaha Tempe Penjualan tempe pada usaha ini dilakukan berdasarkan jenis ukuran tempe dan terbagi kedalam dua jenis bungkus, yaitu bungkus plastik dan daun disesuaikan dengan keinginan konsumen. Sama halnya seperti usaha tahu, konsumen pada usaha tempe merupakan konsumen tetap yang telah lama menjadi pelanggan. Konsumen pada usaha tempe juga terbagi menjadi dua, yaitu konsumen antara yang terdiri dari tukang sayur di pasar dan usaha catering; dan konsumen akhir berupa individu atau per orang-an. Terdapat dua lokasi pasar berbeda milik tukang sayur yang menjadi langganan usaha ini, yaitu Pasar Bogor yang terdiri dari dua kios dan satu kios pada Pasar Ciawi. Sedangkan untuk pelanggan berupa usaha catering, terdapat tiga usaha catering berbeda yang telah menjadi pelanggan tetap usaha ini. Pada satu kali periode produksi volume tempe yang dihasilkan berbeda untuk tiap ukurannya, ini dapat terlihat secara rinci pada Tabel 24.
81
Tabel 24. Penjualan Usaha Tempe No
1.
2.
Jenis Ukuran
20 cm x 35 cm
Harga Jual (Rp/lembar)
Penjualan per Hari (Rp)
10
8.000
80.000
620
6.000
3.720.000
33
6.000
198.000
60
4.000
240.000
40
5.000
200.000
Jumlah (lembar)
20 cm x 30 cm
3.
14 cm x 25 cm
60
1.500
90.000
4.
13 cm x 20 cm
60
1.000
60.000
883
-
4.588.000
Total
Penjualan per Tahun (Rp) 24.000.000 1.116.000.000 59.400.000 72.000.000 60.000.000 27.000.000 18.000.000
Keterangan Bungkus Plastik Bungkus Plastik Bungkus Daun Bungkus Plastik Bungkus Plastik Bungkus Plastik Bungkus Plastik
1.376.400.000
‐
Berdasarkan Tabel 24 terdapat empat jenis ukuran tempe yang dihasilkan dan dijual pada usaha tempe, antara lain 20 cm x 35 cm, 20 cm x 30 cm, 14 cm x 25 cm, dan 13 cm x 20 cm. Tempe dengan ukuran 20 cm x 35 cm memiliki dua macam harga, yaitu Rp 8.000 dan Rp 6.000 per lembar. Banyaknya lembar tempe yang dihasilkan secara keseluruhan untuk ukuran 20 cm x 35 cm adalah 663 lembar, yang terbagi menjadi sepuluh lembar dalam bungkus plastik dan 33 lembar dalam bungkus daun untuk tukang sayur dan individu. Sisanya 620 lembar dibungkus dengan plastik, yang merupakan pesanan dari tiga usaha catering yang berbeda. Tempe dengan ukuran 20 cm x 30 cm memiliki dua harga, yaitu Rp 4.000 per lembar sebanyak 60 lembar dan Rp 5.000 per lembar sebanyak 40 lembar. Harga yang ditetapkan untuk tempe dengan ukuran 14 cm x 25 cm dan 13 cm x 20 cm adalah Rp 1.500 dan Rp 1.000 per lembar, dengan volume penjualan masing-masing sebanyak 60 lembar. 82
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka diperoleh total volume produksi usaha tempe per harinya adalah 883 lembar atau 322.295 lembar per tahun yang terjual habis. Adapun total tempe yang dihasilkan dalam satuan kilogram dapat terlihat secara jelas pada Tabel 25.
Tabel 25. Perhitungan Bobot Tempe dalam Kilogram No
Jenis Ukuran
1
20 cm x 35 cm
2
20 cm x 30 cm
3 4
14 cm x 25 cm 13 cm x 20 cm Total output
Jumlah (potong) 10 620 33 60 40 60 60 883
Bobot (kg/potong) 1,15 1,15 1,15 0,7 0,7 0,35 0,25 -
Bobot total (kg/hari) 11,50 713,00 37,95 42,00 28,00 21,00 15,00 868,45
Pada Tabel 25 terlihat dalam total tempe yang dihasilkan jika dikonversi dalam kilogram adalah sebesar 868,45 kilogram per hari atau per tahunnya sebesar 260.535 kilogram. Adapun total pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan per harinya pada usaha tempe sebesar Rp 4.588.000 atau Rp 1.376.400.000 per tahun. 6.1.3. Analisis Profitabilitas Analisis profitabilitas adalah suatu analisis yang mengukur seberapa besar kemampuan suatu usaha untuk memperoleh laba atau untung, yang dipengaruhi oleh biaya, harga jual dan volume penjualan. Untuk dapat menganalisis profitabilitas suatu usaha, maka terlebih dahulu harus menghitung titik impas usaha uang terkait. Titik impas atau break even pada suatu usaha adalah keadaan atau kondisi usaha yang tidak memperoleh laba dan tidak menderita kerugian.
83
Titik impas mampu memberikan informasi mengenai tingkat volume penjualan, serta hubungannya dengan kemungkinan memperoleh laba menurut tingkat penjualan bersangkutan. Penjualan pada tingkat tertentu akan menentukan besar kecil pendapatan yang diperoleh oleh suatu usaha. Berdasarkan hal tersebut maka uraian berikutnya akan membahas pendapatan yang diperoleh dari penjualan, dilanjutkan dengan perhitungan titik impas dan analisis profitabilitas dari masing-masing usaha yang menjadi objek penelitian.
6.1.3.1. Usaha Tahu Usaha tahu memperoleh pendapatan total sebesar Rp 1.253.310.000 per tahun, berasal dari dua jenis penjualan yaitu penjualan tahu sebagai produk akhir dan penjualan ampas kedelai sebagai produk sisa atau limbah. Pihak pengelola menjual kembali produk sisa dengan harga Rp 5000 per 10 kilogram kedelai dari 300 kilogram kedelai yang diolah setiap hari. Berdasarkan itu maka pendapatan yang diperoleh usaha bersangkutan melalui penjualan ampas per harinya sebesar Rp 150.000 atau Rp 45.000.000 per tahun, sedangkan pendapatan yang beliau peroleh dari hasil penjualan tahu sebesar Rp 4.027.700 per hari atau Rp 1.208.310.000 per tahun. Setelah semua biaya dan pendapatan per tahun diketahui barulah perhitungan titik impas dapat dimulai dengan menghitung komponenkomponennya terlebih dahulu. Komponen-komponen dalam titik impas antara lain adalah Total Fixed Cost (TFC) atau total biaya tetap, Price (P) yang merupakan harga jual, dan Average Variable Cost (AVC) atau rata-rata biaya variabel. Adapun total biaya tetap per pada usaha tahu sebesar Rp 19.703.381 per tahun. Harga jual yang ditetapkan pada usaha tahu beragam, sehingga komponen harga jual pada perhitungan titik impas menggunakan harga jual rata-rata. Harga jual rata-rata adalah total penjualan per hari dibagi dengan total produk yang terjual dalam satu hari. Perhitungan harga jual rata-rata ini dengan jelas dapat terlihat pada uraian berikut : 84
=
= Rp 4.972 per kg
Komponen terakhir dalam perhitungan titik impas adalah rata-rata biaya variabel, yang diperoleh melalui pembagian antara total biaya variabel dengan jumlah produk yang dihasilkan. Total biaya variabel pada usaha tahu sebesar Rp 744.300.000 per tahun, maka diperoleh rata-rata biaya variabel sebagai berikut :
=
= Rp 3.063 per kg
Perhitungan titik impas pada penelitian ini dibedakan menjadi dua didasarkan atas satuannya, yaitu unit dan rupiah. Adapun perhitungan titik impas pada usaha tahu per tahunnya dapat terlihat melalui uraian berikut ini :
=
= Rp 51.308.791 Dalam keadaan impas atau break even laba usaha adalah nol atau tidak ada, yang menunjukkan tingkat minimum produksi dan pendapatan yang harus diperoleh agar usaha tidak merugi. Berdasarkan uraian perhitungan di atas terlihat 85
bahwa pihak pengelola pada usaha tahu minimal harus memproduksi dan menjual habis tahu yang dihasilkan sebanyak 10.319 kilogram per tahun atau sekitar 34 kilogram tahu per hari agar tidak merugi. Sedangkan pendapatan minimal yang harus diperoleh berdasarkan perhitungan titik impas adalah sebesar Rp 51.308.791 per tahun atau Rp 171.029 per hari. Adapun perbandingan antara hasil perhitungan titik impas dengan kondisi aktual usaha dapat dengan jelas terlihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Perbandingan Titik Impas dengan Kondisi Aktual Usaha Tahu Keterangan Dalam Unit (kg) Dalam Rupiah (Rp)
Titik Impas Per Tahun Per Hari 10.319 34 51.308.791 171.029
Keadaan Aktual Per Tahun Per Hari 243.000 810 1.208.310.000 4.027.000
Bedasarkan Tabel 26 terlihat bahwa usaha tahu kondisinya berada di atas keadaan titik impas. Ini terlihat dari kemampuan usaha dalam memproduksi dan menjual habis sebanyak 243.000 kg tahu yang dihasilkan per tahun, serta memperoleh pendapatan sebesar Rp 1.208.310.000 per tahun. Kelebihan pendapatan penjualan di atas biaya variabel pada usaha tahu, menunjukkan usaha tersebut mampu menutupi biaya tetap dan menghasilkan laba. Seberapa besar kemampuan usaha tersebut menutup biaya tetap dan menghasilkan laba ini dapat terlihat melalui perhitungan Marginal Income Ratio (MIR). MIR merupakan pembagian antara selisih dari hasil penjualan dan Total Variable Cost (TVC) atau total biaya variable, dengan hasil penjualan itu sendiri. Hasil penjualan pada perhitungan MIR adalah total pendapatan usaha dari hasil penjualan produk utama atau tahu dalam satu tahun sebesar Rp 1.208.310.000, sedangkan TVC untuk perhitungan MIR sebesar Rp 744.300.000 per tahun. Adapun perhitungan MIR untuk usaha tahu ini dapat terlihat pada uraian berikut :
86
=
x 100 % = 38 % Uraian di atas menunjukkan bahwa setiap tahun usaha tahu mampu
memberikan 38 persen dari hasil penjualannya, untuk menutupi biaya tetap usaha dan mendapatkan laba. Hasil penjualan pada tingkat break even ini jika dihubungkan dengan penjualan aktual, maka akan diperoleh informasi tentang seberapa jauh volume penjualan boleh turun sehingga usaha tidak merugi atau disebut juga Margin of Safety (MOS). MOS merupakan ukuran tingkat keamanan bagi usaha dalam melakukan penurunan penjualan, dimana perhitungan MOS untuk usaha tahu ini dapat terlihat pada uraian berikut :
= 96 % Hasil perhitungan berdasarkan uraian di atas menunjukkan, bahwa tingkat penjualan bagi usaha tahu tidak boleh turun lebih dari 96 persen dari hasil penjualan aktual agar usaha yang bersangkutan tidak merugi. Persentase dari MOS dapat dihubungkan langsung dengan tingkat keuntungan usaha atau MIR, guna menunjukkan tingkat profitabilitas usaha. Profitabilitas merupakan ukuran seberapa besar kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan laba, dimana perhitungan profitabilitas untuk usaha tahu adalah sebagai berikut :
= 37 % Uraian di atas menunjukkan usaha tahu memiliki tingkat profitabilitas sebesar 37 persen. Ini berarti bahwa apabila usaha tersebut mampu menjual seluruh hasil produksi, maka laba atau profit yang diperoleh dari hasil penjualan adalah 37 persen. 6.1.3.2. Usaha Tempe
87
Usaha tempe memperoleh pendapatan yang berasal dari penjualan tempe, dimana tempe yang dijual terdiri dari beberapa ukuran. Hasil penjualan untuk tempe dengan ukuran 20 cm x 35 cm sebesar Rp 3.998.000 per hari, sedang untuk tempe dengan ukuran 20 cm x 30 cm menghasilkan pendapatan sebesar Rp 440.000 per hari. Tempe dengan ukuran 14 cm x 25 cm dan 13 cm x 20 cm masing-masing menghasilkan pendapatan sebesar Rp 90.000 dan Rp 60.000 per hari, sehingga total pendapatan keseluruhan usaha tempe per hari sebesar Rp 4.588.000 atau per tahunnya sebesar Rp 1.376.400.000. Setelah semua biaya dan pendapatan per tahun diketahui kemudian dilakukan perhitungan terhadap komponen-komponen titik impas, seperti TFC atau total biaya tetap, P atau harga jual, dan AVC atau rata-rata biaya variabel. Adapun total biaya tetap usaha tempe per tahun sebesar Rp 155.762.500. Sama halnya seperti usaha tahu, harga jual yang ditetapkan pada usaha tempe juga beragam yang membuat komponen harga jual untuk perhitungan titik impas menggunakan harga jual rata-rata. Perhitungan harga jual rata-rata untuk usaha tempe dapat terlihat pada uraian berikut :
= Rp 5.283 per kg Komponen lainnya yang perlu dihitung dalam perhitungan titik impas adalah rata-rata biaya variable dari usaha tempe. Rata-rata biaya variabel usaha tempe diperoleh melalui pembagian antara total biaya variabel dengan jumlah produk yang dihasilkan. Total biaya variabel pada usaha tempe adalah Rp 862.725.000 per tahun, maka rata-rata biaya variabelnya adalah sebagai berikut:
88
=
= Rp 3.311 per kg
Seperti halnya usaha tahu, perhitungan titik impas untuk usaha tempe juga dibedakan menjadi dua berdasarkan satuannya, yaitu unit dan rupiah. Adapun perhitungan titik impas pada usaha tempe per tahun dapat terlihat melalui uraian berikut ini :
=
= Rp 417.367.995 Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa batas minimal usaha tempe untuk memproduksi dan menjual habis tempenya, yaitu sebanyak 79.002 kilogram tempe per tahun atau 263 kilogram tempe per hari agar tidak merugi. Pendapatan minimal yang harus diperoleh berdasarkan perhitungan titik impas sebesar Rp 417.367.995 per tahun atau Rp 1.391.227 per hari. Jika dibandingkan dengan kondisi aktualnya, maka usaha tempe ini berada di atas keadaan titik impas, yang secara jelas dapat terlihat pada Tabel 27 berikut. Tabel 27. Perbandingan Titik Impas dengan Kondisi Aktual Usaha Tempe Keterangan Dalam Unit (kg)
Titik Impas Per Tahun Per Hari 79.002 263
Keadaan Aktual Per Tahun Per Hari 260.535 868,45 89
Dalam Rupiah (Rp)
417.367.995 1.391.227 1.376.400.000
4.588.000
Pada Tabel 27 terlihat bahwa usaha tempe mampu menjual habis 79.002 kilogram tempe yang dihasilkannya per tahun dan memperoleh pendapatan sebesar Rp 1.376.400.000 per tahun. Kelebihan pendapatan penjualan di atas biaya variabel pada usaha tersebut, menunjukkan usaha yang bersangkutan mampu menutup biaya tetap dan menghasilkan laba. Seberapa besar kemampuan usaha beliau untuk menutup biaya tetap dan menghasilkan laba dapat terlihat melalui perhitungan MIR, dimana perhitungan MIR untuk usaha tempe dapat terlihat pada uraian berikut :
=
x 100 %
= 37 % Hasil perhitungan MIR menunjukkan bahwa usaha tempe mampu memberikan 37 persen dari hasil penjualannya untuk menutupi biaya tetap usaha dan mendapatkan laba. Hasil penjualan pada tingkat break even yang dihubungkan dengan penjualan aktual, akan diperoleh informasi tentang MOS. Adapun perhitungan MOS untuk usaha tempe dapat terlihat pada uraian berikut :
= 70 % Uraian di atas menunjukkan usaha tempe memiliki tingkat keamanan cukup tinggi yaitu 70 persen, yang juga menunjukkan batas penurunan tingkat penjualan agar usaha tidak merugi. Persentase dari MOS yang dihubungkan langsung dengan tingkat keuntungan usaha atau MIR dapat menunjukkan tingkat profitabilitas usaha bersangkutan. Profitabilitas adalah ukuran kemampuan suatu 90
usaha untuk menghasilkan laba, dimana perhitungan profitabilitas untuk usaha tempe adalah sebagai berikut :
= 26 % Hasil perhitungan di atas menunjukkan usaha tempe memiliki tingkat profitabilitas sebesar 26 persen, yang menunjukkan besarnya laba atau profit yang diperoleh dari hasil penjualan atau pendapatan bila usaha beliau mampu menjual habis seluruh hasil produksi. 6.2. Analisis Nilai Tambah 6.2.1. Usaha Tahu Analisis nilai tambah merupakan metode perkiraan sejauh mana bahan baku
yang
mendapat
perlakuan
mengalami
perubahan
nilai,
sehingga
menimbulkan nilai tambah yang dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan dalam proses pengolahan. Melalui analisis nilai tambah maka dapat teranalisa faktor mana dari proses produksi yang menghasilkan atau menaikkan nilai tambah dan sebaliknya, dimana dalam penelitian ini menggunakan metode Hayami dalam menganalisinya. Adapun analisis nilai tambah pengolahan kedelai menjadi, dapat terlihat pada Tabel 28. Tabel 28. Analisis Nilai Tambah Usaha Tahu No
Variabel Output, Input, dan Harga
1
Output (kg/hari)
2
Bahan baku (kg/hari)
3
Tenaga Kerja (jam/hari)
4
Faktor konversi (1/2)
5
Koefisien tenaga kerja (3/2)
6
Harga output (Rp/kg)
Nilai 810 300 50 2,7 0,17 4.972
91
7
Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/jam)
3.000
Pendapatan dan Keuntungan 8
Harga bahan baku (Rp/kg bahan baku)
9
Sumbangan input lain (Rp/kg output)
10
Nilai output (4 x 6) (Rp)
11
a. Nilai tambah (10 – 9 – 8) (Rp) b. Rasio nilai tambah ((11a/10) x 100%)
12
a. Imbalan tenaga kerja (5 x 7) (Rp) b. Bagian tenaga kerja ((12a/11a) x 100%)
13
a. Keuntungan (11a – 12a) (Rp) b. Tingkat keuntungan ((13a/11a) x 100%)
14
Marjin (10 – 8) (Rp) a. Pendapatan tenaga kerja ((12a/14) x 100%) b. Sumbangan input lain ((9/14) x 100 %) c. Keuntungan perusahaan ((13a/14) x 100%)
6.500 44 13.426 6.881 51 500 7 6.381 93 6.926 7 1 92
Berdasarkan Tabel 28 terlihat bahwa bobot berat tahu yang dihasilkan per hari adalah 810 kilogram. Bahan baku yang masuk dalam perhitungan nilai tambah adalah bahan baku utama yaitu kacang kedelai, dimana setiap hari usaha tahu mengolah kacang kedelai sebanyak 300 kilogram. Perbandingan antara bobot berat tahu dengan jumlah bahan baku dalam satu hari menghasilkan faktor konversi sebesar 2,7, yang menandakan bahwa setiap kilogram kedelai yang diolah menghasilkan 2,7 kilogram tahu. Tabel 28 memperlihatkan bahwa dalam satu hari seluruh tenaga kerja pada usaha tahu bekerja selama 50 jam, yang jika dibagi dengan faktor konversi maka diperoleh hasil perhitungan koefisien tenaga kerja sebesar 0,17. Koefisisen tenaga kerja yang sebesar 0,17 ini berarti waktu yang dibutuhkan tenaga kerja untuk mengolah tiap kilogram kedelai agar menjadi tahu adalah 0,17 jam. Harga bahan 92
baku utama berupa kacang kedelai adalah Rp 6.500 per kilogram, sedangkan untuk sumbangan input lainnya adalah Rp 44 per kilogram output atau tahu yang dihasilkan. Nilai output tahu yang diperoleh dari perkalian antara faktor konversi dengan harga output atau tahu adalah sebesar Rp 13.426, menandakan bahwa nilai tahu yang dihasilkan dari tiap kilogram kedelai adalah sebesar Rp 13.426. Nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan kacang kedelai menjadi tahu adalah sebesar Rp 6.881 per kilogram kacang kedelai, dengan rasio sebesar 51 persen. Rasio nilai tambah terhadap nilai output yang sebesar 51 persen, menunjukkan bahwa setiap Rp 100 nilai output tahu, akan diperoleh nilai tambah sebesar Rp 51. Keuntungan yang didapat usaha tahu berdasarkan perhitungan nilai tambah adalah sebesar Rp 6.381, dengan bagian keuntungan yang diperoleh adalah 92 persen. Ini berarti bahwa distribusi keuntungan nilai tambah untuk pemilik usaha jauh lebih besar, dibandingkan dengan bagian keuntungan untuk tenaga kerja yaitu sebesar tujuh persen atau Rp 500 per hari. Adapun perhitungan sebagian faktor pada analisis nilai tambah ini dapat terlihat pada Lampiran 1. 6.2.2. Usaha Tempe Selain melakukan analisis nilai tambah menggunakan metode Hayami terhadap pengolahan kedelai menjadi tahu, penelitian ini juga melakukan analisis nilai tambah terhadap pengolahan kedelai menjadi tempe. Adapun perhitungan nilai tambah pada usaha tempe dapat terlihat jelas pada Tabel 29.
Tabel 29. Analisis Nilai Tambah Usaha Tempe No 1
Variabel Output, Input, dan Harga Output (kg/hari)
Nilai 868,45 93
2
Bahan baku (kg/hari)
400
3
Tenaga Kerja (jam/hari)
60
4
Faktor konversi (1/2)
2,17
5
Koefisien tenaga kerja (3/2)
0,15
6
Harga output (Rp/kg)
5.283
7
Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/jam)
2.400
Pendapatan dan Keuntungan 6.500
8
Harga bahan baku (Rp/kg bahan baku)
9
Sumbangan input lain (Rp/kg bahan baku)
10
Nilai output (4 x 6) (Rp)
11.470
11
a. Nilai tambah (10 – 9 – 8) (Rp)
4.947
12
b. Rasio nilai tambah ((11a/10) x 100%)
43
a. Imbalan tenaga kerja (5 x 7) (Rp)
360
b. Bagian tenaga kerja ((12a/11a) x 100%) 13
a. Keuntungan (11a – 12a) (Rp) b. Tingkat keuntungan ((13a/11a) x 100%)
14
23
Marjin (10 – 8) (Rp)
7 4.587 93 4.970
a. Pendapatan tenaga kerja ((12a/14) x 100%)
7
b. Sumbangan input lain ((9/14) x 100 %)
1
c. Keuntungan perusahaan ((13a/14) x 100%)
92
Pada Tabel 29 terlihat bahwa bobot tempe yang dihasilkan per hari adalah 868,45 kilogram, sedangkan jumlah kacang kedelai yang diolah usaha tempe per harinya adalah 400 kilogram. Perbandingan antara bobot berat tahu dengan jumlah bahan baku dalam satu hari menghasilkan faktor konversi sebesar 2,17, yang menandakan bahwa setiap kilogram kedelai yang diolah menghasilkan 2,17 94
kilogram tempe. Hasil perhitungan Tabel 29 menunjukan koefisien tenaga kerja sebesar 0,15, yang berarti bahwa waktu yang dibutuhkan tenaga kerja untuk mengolah tiap kilogram kedelai agar menjadi tempe adalah 0,15 jam. Upah rata-rata tenaga kerja yang bekerja pada usaha tempe adalah Rp 2.400 per jam, sedangkan harga output atau tempe per kilogram adalah Rp 5.283. Nilai sumbangan input lain pada usaha tempe ini adalah Rp 23 per kilogram output atau tempe, sedangkan nilai output tempe pada hasil analisis diperoleh sebesar Rp 11.470. Ini menunjukkan bahwa nilai tahu yang dihasilkan dari tiap kilogram kedelai adalah sebesar Rp 11.470. Nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan kacang kedelai menjadi tempe adalah sebesar Rp 4.947 per kilogram kacang kedelai, dengan rasio nilai tambah sebesar 43 persen yang menunjukkan bahwa setiap Rp 100 nilai output tahu akan diperoleh nilai tambah sebesar Rp 43. Keuntungan yang didapat usaha tempe adalah sebesar Rp 4.487, dengan bagian keuntungan yang diperoleh dari nilai tambah adalah 93 persen. Ini menunjukkan bahwa distribusi nilai tambah untuk pemilik usaha adalah 93 persen, sedangkan bagian keuntungan untuk tenaga kerja adalah tujuh persen. Berdasarkan itu maka terlihat bahwa distribusi keuntungan dari nilai tambah untuk pemilik usaha jauh lebih baik, dibandingkan dengan bagian keuntungan untuk tenaga kerja sebesar Rp 360 per hari. Adapun perhitungan untuk beberapa faktor pada analisis nilai tambah pada usaha tempe ini dapat dilihat pada Lampiran 2.
95
VII PERBANDINGAN HASIL ANALISIS PROFITABILITAS SERTA NILAI TAMBAH USAHA TAHU DAN TEMPE 7.1 Analisis Profitabilitas Berdasarkan hasil perhitungan profitabilitas yang dilakukan terhadap usaha tahu dan tempe, terlihat bahwa kemampuan kedua usaha dalam menghasilkan laba atau profit berbeda. Adapun perbedaan kemampuan kedua usaha dalam menghasilkan laba dapat terlihat dengan jelas pada Tabel 30 berikut. Tabel 30. Perbandingan Hasil Analisis Profitabilitas Keterangan MIR (%) MOS (%) Profitabilitas (%)
Usaha Tahu 38 96 37
Usaha Tempe 37 70 26
Tabel 30 memperlihatkan hasil perhitungan MIR pada usaha tahu yaitu sebesar 38 persen. Ini menunjukkan bahwa usaha tahu mampu memberikan 38 persen dari hasil penjualannya per tahun adalah sebesar Rp 464.010.000 atau per harinya sebesar Rp 1.546.700, untuk menutupi biaya tetap usaha dan mendapatkan laba. Selain itu tingkat keamanan atau MOS dari usaha tahu pun terbilang tinggi, yaitu 96 persen. Hasil perhitungan MOS mengartikan bahwa jika usaha tahu mengalami penurunan produksi dan penjualan, selama penurunan tersebut tidak lebih dari 96 persen maka kondisi usaha tahu masih tetap aman. Nilai MIR yang cukup baik dan MOS yang tinggi pada usaha tahu, membuat usaha tahu memiliki kemampuan menghasilkan laba atau profitabilitas yang cukup baik yaitu 37 persen dari hasil penjualannya sebesar Rp 444.306.619 per tahun atau Rp 1.481.022 per hari. Jika
96
dibandingkan dengan usaha tempe, perhitungan MIR pada usaha tersebut menghasilkan angka sebesar 37 persen. Hasil perhitungan MIR menunjukkan usaha tempe mampu memberikan 37 persen dari hasil penjualannya sebesar Rp 513.675.000 per tahun atau per harinya sebesar Rp 1.712.250, untuk menutupi biaya tetap usaha dan mendapatkan laba. Tingkat keamanan atau MOS dari usaha tempe pun terlihat lebih rendah dari usaha tahu yaitu sebesar 70 persen. Ini berarti usaha tempe lebih rentan mengalami kerugian dibanding usaha tahu, namun selama penurunan tersebut tidak lebih dari 70 persen maka kondisi usaha masih tetap aman. Nilai MIR dan MOS usaha tempe yang lebih rendah dari usaha tahu, membuat usaha tempe memiliki kemampuan menghasilkan laba atau profitabilitas yang lebih rendah yaitu sebesar 26 persen. Tingkat profitabilitas tersebut menunjukkan usaha tempe mampu menghasilkan profit, sebesar 26 persen dari hasil penjualannya sebesar Rp 357.912.500 per tahun atau Rp 1.193.042 per hari. Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka jelas terlihat, bahwa usaha tahu memiliki kemampuan lebih dalam hal menghasilkan laba atau profit dibanding usaha tempe. Perbedaan profitabilitas antara usaha tahu dan tempe dapat terjadi karena adanya perbedaan total biaya pada kedua usaha, dimana total biaya dari masingmasing usaha dapat mempengaruhi besarnya keuntungan yang akan diperoleh. Terlihat dari rincian total biaya pada usaha masing-masing usaha tahu memiliki total biaya yang lebih rendah dibanding usaha tempe, dimana usaha tempe memiliki biaya tetap yang cukup besar. Hal ini menandakan bahwa struktur biaya usaha tempe belum efisien, berbeda dengan struktur biaya usaha tahu yang jauh lebih kecil. 7.2 Analisis Nilai Tambah Analisis nilai tambah yang dilakukan terhadap usaha tahu dan tempe, menunjukkan adanya perebedaan nilai tambah diantara kedua usaha. Perbedaan nilai tambah dari kedua usaha ini secara jelas dapat terlihat pada Tabel 31 berikut.
97
Tabel 31. Perbandingan Hasil Analisis Nilai Tambah No Keterangan 1. Nilai output (Rp) 2. a. Nilai tambah (Rp) b. Rasio nilai tambah (%) 3. a. Imbalan tenaga kerja (Rp) b. Bagian tenaga kerja (%) 4. a. Keuntungan (Rp) b. Tingkat keuntungan (%)
Usaha Tahu 13.426 6.881 51 500 7 6.381 93
Usaha Tempe 11.470 4.947 43 360 7 4.587 93
Tabel 31 menunjukkan nilai output atau produk yang dihasilkan usaha tahu dan tempe dari tiap kilogram kedelai yang diolah, secara berurutan sebesar Rp 13.426 dan Rp 11.470. Nilai tambah dari pengolahan kedelai untuk usaha tahu sebesar Rp 6.881, sedangkan untuk usaha tempe sebesar Rp 4.947. Berdasarkan rasio nilai tambah terhadap nilai output, untuk usaha tahu menunjukan setiap Rp 100 nilai ouput tahu yang dihasilkan akan diperoleh nilai tambah sebesar Rp 51. Begitu pula dengan usaha tempe setiap Rp 100 nilai output tempe yang dihasilkan, usaha yang bersangkutan akan memperoleh nilai tambah sebesar Rp 43. Berdasarkan penjelasan sebelumnya jelas terlihat, bahwa usaha yang memiliki nilai tambah lebih besar adalah usaha tahu. Walau pun usaha tahu memiliki nilai tambah yang lebih besar, namun usaha tahu dan tempe memiliki kesamaan tingkat keuntungan sebesar 93 persen. Besarnya keuntungan yang diperoleh dari pengolahan kedelai yang dilakukan masing-masing usaha, yaitu sebesar Rp 6.381 untuk usaha tahu dan Rp 4.587 untuk usaha tempe. Berdasarkan itu terlihat bahwa usaha tahu memperoleh keuntungan nilai tambah yang lebih besar walau pun kedelai yang diolah usaha tempe lebih, karena proses produksi tahu lebih singkat dibandingkan proses 98
produksi tempe. Ini terjadi karena kedelai yang diolah menjadi tempe harus melalui beberapa tahapan dalam proses produksinya, yaitu perendaman, pencucian, dan fermentasi, dimana masing-masing tahapan tersebut membutuhkan waktu satu hari. Bagian tenaga kerja dari keuntungan nilai tambah yang diperoleh usaha tahu dan tempe sama yaitu satu persen, dengan besar imbalan yang diperoleh tenaga kerja pada masing-masing usaha per harinya sebesar Rp 500 untuk usaha tahu dan Rp 360 untuk usaha tempe. Walau imbalan untuk tenaga kerja pada masing-masing usaha terbilang kecil, namun kedua pemilik usaha telah mengatasinya dengan memberikan fasilitas seperti tempat tinggal dan makanan sehari-hari. Ini dilakukan oleh kedua pemilik usaha, untuk mengatasi keinginan tenaga kerja untuk keluar bekerja dari usaha tersebut.
99
VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Pengrajin tahu dan tempe pada penelitian ini adalah anggota PRIMKOPTI, dimana untuk usaha tempe merupakan cabang unit usaha dari PRIMKOPTI itu sendiri. Bapak Mumu selaku pemilik usaha tahu memulai usahanya sendiri pada tahun 1997, sedang Bapak Sularno selaku pemilik usaha tempe memulai usahanya sendiri dengan bekerja sama dengan PRIMKOPTI pada tahun 1983. Setiap hari kedelai yang diolah rata-rata sebanyak 300 kilogram untuk usaha tahu dan 400 kilogram untuk usaha tempe, dengan output yang dihasilkan per periode produksi sebanyak 810 kilogram untuk tahu dan 868,45 kilogram untuk tempe. Berdasarkan hasil pengamatan pada usaha tahu dan tempe yang menjadi objek studi penelitian ini, terlihat kedua usaha telah melakukan beberapa langkah penyesuaian guna menanggulangi kenaikan harga kedelai beberapa waktu lalu. Langkah-langkah penyesuaian yang diambil oleh kedua usaha tersebut antara lain menetapkan harga jual yang berbeda pada beberapa konsumen, menggunakan bahan bakar alternatif, menghasilkan sendiri sebagian bahan baku penunjang untuk produksi, dan membuat sendiri sebagian peralatan produksi. Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa usaha tahu dan tempe yang menjadi objek penelitian merupakan usaha yang mampu menghasilkan laba (profitable). Namun berdasarkan perhitungan terlihat bahwa usaha tahu mampu menghasilkan laba atau profit lebih besar sebesar 37 persen, dibanding usaha tempe yang mampu menghasilkan laba atau profit sebesar 26 persen. Hasil perhitungan analisis nilai tambah pengolahan kedelai terhadap kedua usaha pun menunjukkan usaha tahu memiliki nilai tambah lebih besar dibanding usaha tempe, dimana nilai tambah untuk usaha tahu adalah sebesar Rp 6.881 sedang usaha tempe sebesar Rp 4.947. 100
8.2. Saran Berdasarkan kesimpulan sebelumnya terlihat bahwa usaha tahu memiliki nilai tambah dan kemampuan lebih besar dalam menghasilkan profit atau laba dibanding usaha tempe. Ini terjadi dikarenakan usaha tempe memiliki total biaya yang lebih tinggi dibanding usaha tahu, sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi lebih kecil. Oleh karena itu perlu dilakukan penghematan biaya pada usaha tempe, agar struktur biayanya lebih efisien dan mendapatkan keuntungan lebih besar. Salah satunya adalah dengan menggunakan peralatan produksi yang lebih tahan lama seperti bak semen untuk pengolahan kedelai, sehingga usaha yang bersangkutan dapat menghemat biaya perawatan. Tak hanya itu kedua usaha baik tahu atau tempe, harus lebih memperhatikan kebersihan peralatan yang digunakan pada saat proses produksi. Ini penting dilakukan selain untuk menjaga kualitas produk, juga dapat mengurangi frekuensi peralatan untuk rusak sehingga dapat bertahan agak lama dan biaya perawatan yang dikeluarkan pun lebih hemat. Untuk usaha tempe dalam hal pengemasan akan lebih baik jika menyamaratakan penggunaan kemasan dengan daun pisang, sehingga dapat menghemat biaya yang dikeluarkan untuk pengemasan. Tahu atau tempe merupakan produk yang bersifat perishable atau mudah rusak, membuat kedua usaha tersebut tidak berani untuk menjual produknya ke lokasi yang berjauhan dengan tempat produksi. Oleh karena itu untuk meningkatkan keuntungan, kedua usaha harus mampu meningkatkan pendapatan penjualannya. Salah satunya adalah dengan membuka cabang produksi yang baru di lokasi yang berdekatan dengan konsumen baru, sehingga kedua usaha dapat memperluas usahanya serta meningkatkan keuntungan yang diperolehnya. Tentunya sebelum hal ini dilakukan perlu dilakukan analisis kelayakan terlebih dahulu untuk melihat apakah perluasan usaha ini perlu dilakukan atau tidak, yang mungkin dapat menjadi bahan penelitian bagi pihak lain.
101
DAFTAR PUSTAKA Amalia S. 2008. Dampak Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usaha Tempe dengan Pendekatan Stochastic Frontier (Studi Kasus Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Asnawi R. 2003. Analisis Fungsi Produksi Usaha Tani Ubikayu dan Industri Tepung Tapioka Rakyat di Provinsi Lampung. http://bbp2tp.litbang.deptan.go.id. [21 Desember 2008]. Badan Pusat Statistik. 2005.Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan Hukum. Jakarta. Bustami, Bastian, Nurlela. 2008. Akuntansi Biaya. Jakarta : Mitra Wacana Media. Damayanti A R. 2004. Analisis Perubahan Penetapan Harga Pokok Produksi Teh Dalam Kaitannya dengan Titik Impas dan Profitabilitas Perusahaan [skripsi]. Bogor : Fakultas Petanian, Institut Pertanian Bogor. Esti, Sediadi A. 2000. Tentang Pengolahan Pangan. http://www.ristek.go.id. [13 Januari 2008]. Furqanti D. 2003. Analisis Nilai Tambah dan Kemampulabaan Usaha Pengolahan Buah Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia swingel) [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hayami Y, Kawagoe T, Morooka Y, Siregar M. 1987. Agricultural Marketing and Processing in Upland Java A Perspective From A Sunda Village. Bogor : CPGRT Centre. [KCM]. Kompas Cyber Media. 31 Mei 2008. Perajin Tahu Tempe Sudah SeninKamis. http://www.kompas.com. [19 Desember 2008]. Manullang. 1994. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Yogyakarta : Liberty. Mulyadi. 1999. Akuntansi Biaya.. Yogyakarta : Aditya Media Mulyadi, 2001. Akuntansi Manajemen. Jakarta : Salemba Empat.
102
Pratiwi E. 2003. Analisis Nilai Tambah dan Profitabilitas Industri Kripik Tempe (Kasus Perusahaan Ardani, Malang) [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Prawironegoro D, Purwanti A. 2008. Akuntansi Biaya. Jakarta : Mitra Wacana Media. Primer Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia. 2008. Daftar Rekapitulasi Kebutuhan Kedelai Anggota dan Non Anggota Pengrajin Tempe Tahu. Bogor : Primkopti. Puspitasari T. 2007. Keragaan Usaha Industri Tahu Skala Kecil dan Rumah Tangga (Dtudi Kasus Industri Tahu Skala Kecil dan Rumah Tangga di Kecamatan Mampang Prapatan) [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sinaga M S. 2008. Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Soeharjo A. 1991. Profil Agroindustri. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Soekartawi. 2000. Pengantar Agroindustri. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Swastha B, Sukotjo I. 1998. Pengantar Bisnis Modern (Pengantar Ekonomi Perusahaan Modern). Yogyakarta : Liberty.
103
LAMPIRAN 104
Lampiran 1. Perhitungan beberapa faktor dalam Tabel 28 1. Output (Rp/kg)
2. Harga Output (Rp/kg)
3. Upah Rata-Rata Tenaga Kerja (Rp/jam)
4. Sumbangan Input Lain (Rp/kg output)
105
Lampiran 2. Perhitungan beberapa faktor dalam Tabel 29 1. Harga Output (Rp/kg)
2. Upah Rata-Rata Tenaga Kerja (Rp/jam)
3. Sumbangan Input Lain (Rp/kg output)
106
Lampiran 3. Dokumentasi Tempat Usaha
Gambar 7. Tahu Putih
107
Gambar 8. Tahu Kuning
Gambar 9. Peralatan Produksi Mesin Giling Usaha Tahu
108
Gambar 10. Peralatan Produksi Tungku Semen Usaha Tahu
Gambar 11. Peralatan Produksi Bak Semen 1 Usaha Tahu
109
Gambar 12. Peralatan Produksi Bak Semen 2 Usaha Tahu
Gambar 13. Bubur Kedelai yang Telah Menjadi Adonan Tahu
110
Gambar 14. Proses Pencetakan Tahu
Gambar 15. Tempat Usaha Tempe
111
Gambar 16. Tempat Pengolahan Kedelai Menjadi Tempe
112
Gambar 17. Peralatan Produksi Mesin Giling Usaha Tempe
Gambar 18. Rak Tempat Proses Fermentasi
113
Gambar 19. Proses Perebusan Kedelai
Gambar 20. Tempat Proses Produksi Tempe
114
Gambar 21. Tempat Pembungkusan Tempe
Gambar 22. Salah Satu Bentuk Tempe yang Akan Dikembangkan
115