ANALISIS USAHA PENGRAJIN TAHU SUMEDANG SEBELUM DAN SETELAH KENAIKAN HARGA KEDELAI (Studi Kasus: Kecamatan Tanjungsari, Sumedang)
KIKY FITRIA AMBARWANGI
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Usaha Pengrajin Tahu Sumedang Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai (Studi Kasus: Kecamatan Tanjungsari, Sumedang) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2014 Kiky Fitria Ambarwangi NIM H34100049
ABSTRAK KIKY FITRIA AMBARWANGI. Analisis Usaha Pengrajin Tahu Sumedang Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai (Studi Kasus: Kecamatan Tanjungsari, Sumedang). Dibimbing oleh RATNA WINANDI. Kedelai merupakan salah satu bahan pangan dengan tingkat harga yang berfluktuatif. Kenaikan harga kedelai akan berpengaruh terhadap industri pengolahan kedelai, salah satunya adalah tahu. Kenaikan harga kedelai diduga akan berpengaruh terhadap struktur biaya, penerimaan, keuntungan, dan efisiensi usaha. Penelitian ini mencoba untuk menganalisis usaha tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai. Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian adalah metode sensus. Data di analisis secara kuantitatif dan kualitatif. Alat analisis yang digunakan adalah R/C ratio, uji t-paired, dan uji anova. Hasil analisis secara total dari 20 pengrajin tahu menunjukkan bahwa kenaikan harga kedelai berpengaruh terhadap biaya variabel, penerimaan, keuntungan, dan R/C ratio, begitupun dengan analisis internal antar skala usaha. Akan tetapi, hasil analisis pada berbagai tingkat skala usaha tidak berbeda. Hal ini dikarenakan jumlah sampel yang kecil pada setiap skala usaha serta strategi yang dilakukan relatif sama pada setiap skala usaha, sehingga tidak bisa mewakili seluruh populasi yang ada di Kecamatan Tanjungsari, Sumedang. Kata kunci : biaya, kenaikan harga kedelai, efisiensi, keuntungan, uji beda
ABSTRACT KIKY FITRIA AMBARWANGI. Analysis of Tofu Industry Before and After the Soybean Price Increase (Case Study: Tanjungsari District, Sumedang). Supervised by RATNA WINANDI. Soybean is one of the food that the price level is fluctuated. The soybean price increase will affect the soybean processing industry, one of which is tofu industry. The soybean prices increase are expected to affect the structure of cost, revenue, profit, and the efficiency of a business. This research aimed to analyze of tofu industry business before and after the soybean price increase. The method that used in the study was a census method. Data were analyzed quantitatively and qualitatively. The analytical tool used is the R / C ratio, paired t-test, and anova test. The results of the analysis of a total of 20 respondents showed that the soybean price increase has effect on the cost, revenue, profit, and the R/C ratio, as well as with an internal analysis of business scale. However, the results of the analysis at different levels of scale of business is no different. This is due to the small sample size in each scale of business and strategy performed relatively the same at every scale of business, so it can not represent the whole population in the District Tanjungsari, Sumedang. Keywords: cost, different test, efficinecy, profit, the soybean price increase
ANALISIS USAHA PENGRAJIN TAHU SUMEDANG SEBELUM DAN SETELAH KENAIKAN HARGA KEDELAI (Studi Kasus: Kecamatan Tanjungsari, Sumedang)
KIKY FITRIA AMBARWANGI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Analisis Usaha Pengrajin Tahu Sumedang Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai (Studi Kasus: Kecamatan Tanjungsari, Sumedang) Nama : Kiky Fitria Ambarwangi NIM : H34100049
Disetujui oleh
Dr Ir Ratna Winandi, MS Pembimbing Skripsi
Diketahui oleh
Dr Ir Dwi Rachmina, MSi Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Usaha Pengrajin Tahu Sumedang Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai (Studi Kasus: Kecamatan Tanjungsari, Sumedang)”. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin dan suri teladan terbaik bagi umat manusia. Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua penulis yang selalu memberikan kasih sayang, cinta, nasehat, motivasi dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada dosen pembimbing Ibu Dr. Ir. Ratna Winandi, MS atas kesabarannya dalam memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini. Terima kasih kepada dosen penguji utama Ibu Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si dan kepada dosen penguji komisi pendidikan Ibu Dr. Ir. Netti Tinaprilla, MM atas saran dan masukan kepada penulis untuk perbaikan skripsi ini. Terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Harianto, MS selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan yang telah diberikan, seluruh dosen yang telah mendidik dan berbagi ilmunya kepada penulis, serta staf Departemen Agribisnis yang telah banyak membantu selama proses perkuliahan. Tidak lupa, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh pengrajin tahu sumedang yang sudah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Boyd Thoriqul Abrar yang bersedia menjadi pembahas dalam seminar, atas saran dan masukan yang diberikan dalam skripsi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan beasiswa full studi yaitu melalui Bidik Misi IPB. Penulis mengucapkan terima kasih dan sukses untuk teman-teman Agribisnis 47 khususnya teman sebimbingan, keluarga besar UKM FORCES IPB dan IPB Mengajar, serta para sahabat atas dukungan, motivasi, semangat dalam penyelesaian tugas akhir. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, April 2014 Kiky Fitria Ambarwangi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
xii
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
6
Manfaat Penelitian
7
Ruang Lingkup Penelitian
7
TINJAUAN PUSTAKA
7
KERANGKA PEMIKIRAN
9
Kerangka Pemikiran Teoritis
9
Konsep Biaya
10
Penerimaan dan Keuntungan
11
Pengaruh Perubahan Harga Input Terhadap Penggunaan Input
12
Analisis Penerimaan-Biaya (R/C)
14
Skala Usaha dan Biaya Produksi
15
Metode Penilaian Investasi
16
Kerangka Pemikiran Operasional METODE PENELITIAN
17 19
Lokasi dan Waktu Penelitian
19
Jenis dan Sumber Data
19
Metode Pengumpulan Sampel
19
Metode Analisis Data
20
Analisis Struktur Biaya
20
Penerimaan, Keuntungan, dan Efisiensi (R/C ratio)
22
Analisis Statistik Uji Beda T-Paired
23
Analisis Statistik Uji Anova
25
Strategi untuk Menyiasati Kenaikan Harga Kedelai
25
GAMBARAN UMUM
26
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
26
Karakteristik Responden
28
Gambaran Usaha Tahu Sumedang
33
HASIL DAN PEMBAHASAN
39
Analisis Struktur Biaya Tahu Sumedang
39
Biaya Tetap Usaha Tahu Sumedang
39
Biaya Variabel Usaha Tahu Sumedang
41
Biaya Total Usaha Tahu Sumedang
45
Biaya Tunai dan Non Tunai Usaha Tahu Sumedang
47
Biaya Eksplisit dan Implisit Usaha Tahu Sumedang
48
Analisis Penerimaan Tahu Sumedang
48
Analisis Keuntungan dan Kelayakan Tahu Sumedang
51
Analisis Uji T-Paired
53
Analisis Uji Anova
58
Strategi untuk Menyiasati Kenaikan Harga Kedelai
59
SIMPULAN DAN SARAN
60
Simpulan
60
Saran
61
DAFTAR PUSTAKA
61
LAMPIRAN
63
RIWAYAT HIDUP
72
DAFTAR TABEL
1 Produksi, konsumsi, impor, serta ketergantungan kedelai di Indonesia tahun 2014-2013 2 Perkembangan harga kedelai lokal dan kedelai impor tahun 2007-2012 3 Potensi produk olahan kedelai di Kabupaten Sumedang tahun 2013 4 Harga kedelai impor sebelum dan setelah kenaikan yang diterima oleh masing-masing pengrajin tahu di Kabupaten Sumedang 5 Jumlah pengrajin tahu setiap kecamatan di Sumedang tahun 2012 6 Struktur biaya produksi usaha tahu di Kecamatan Tanjungsari 7 Rincian peralatan untuk produksi tahu 8 Kependudukan Kecamatan Tanjungsari berdasarkan kelompok umur 9 Kondisi sosial kependudukan Kecamatan Tanjungsari berdasarkan mata pencaharian tahun 2013 10 Kondisi sosial kependudukan Kecamatan Tanjungsari berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2013 11 Sebaran responden pengrajin tahu sumedang berdasarkan jenis kelamin tahun 2014 12 Sebaran responden pengrajin tahu sumedang berdasarkan kelompok usia tahun 2014 13 Sebaran responden pengrajin tahu sumedang berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2014 14 Sebaran responden pengrajin tahu sumedang berdasarkan jumlah anggota keluarga tahun 2014 15 Sebaran responden pengrajin tahu sumedang berdasarkan lama usaha tahun 2014 16 Sebaran responden pengrajin tahu sumedang berdasarkan alasan memilih usaha tahun 2014 17 Sebaran responden pengrajin tahu sumedang berdasarkan jumlah kedelai per hari sebelum kenaikan 18 Sebaran responden pengrajin tahu sumedang berdasarkan rata-rata jumlah tenaga kerja tahun 2014 19 Harga kedelai dan jumlah produksi kedelai sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Tanjungsari 20 Jumlah peralatan dan biaya peralatan pada usaha tahu sumedang 21 Sebaran responden pengrajin tahu sumedang berdasarkan cara penjualan tahun 2014 22 Komponen biaya tetap usaha tahu sumedang di Kecamatan Tanjungsari pada skala produksi kecil, menegah, dan besar 23 Rata-rata penggunaan kedelai per hari sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari pada setiap skala usaha 24 Penggunaan input produksi per hari tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari pada skala usaha kecil, menengah, dan besar tahun 2014
2 2 3 4 5 20 21 26 27 27 28 29 29 30 30 31 31 32 34 36 38 40 41
42
25 Komponen biaya variabel usaha tahu sumedang sebelum kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari pada skala usaha kecil, menengah, dan besar per hari bulan Februari 2014 26 Komponen biaya variabel usaha tahu sumedang setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari pada skala usaha kecil, menengah, dan besar per hari bulan Oktober 2013 27 Komponen biaya total usaha tahu sumedang sebelum kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari pada skala usaha kecil, menengah, dan besar per hari bulan Februari 2014 28 Komponen biaya total usaha tahu sumedang setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari pada skala usaha kecil, menengah, dan besar per hari bulan Oktober 2013 29 Persentase perubahan biaya setelah kenaikan harga kedelai tahun 2014 30 Perbandingan komposisi biaya tunai dan non tunai sebelum kenaikan harga kedelai pada setiap skala usaha 31 Perbandingan komposisi biaya tunai dan non tunai setelah kenaikan harga kedelai pada setiap skala usaha 32 Jumlah output tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari pada skala usaha kecil, menengah, dan besar per hari 33 Rata-rata harga jual output tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari pada skala usaha kecil, menengah, dan besar per hari (dalam Rp) 34 Rata-rata persentase kenaikan harga jual tahu di Kecamatan Tanjungsari pada skala usaha kecil, menengah, dan besar tahun 2014 35 Rata-rata penerimaan usaha tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari pada skala usaha kecil, menengah, dan besar (dalam Rp) 36 Rata-rata keuntungan dan efisiensi usaha tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari pada skala usaha kecil, menengah, dan besar per hari 37 Analisis uji beda t-paired biaya produksi pengrajin tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai per hari pada setiap skala usaha 38 Analisis uji beda t-paired rata-rata penerimaan pengrajin tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai per hari pada setiap skala usaha 39 Analisis uji beda t-paired rata-rata keuntungan pengrajin tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai per hari pada setiap skala usaha 40 Analisis uji beda t-paired rata-rata R/C ratio pengrajin tahu pengrajin tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai per hari pada setiap skala usaha 41 Biaya variabel, penerimaan, keuntungan, dan R/C ratio pada seluruh pengrajin tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai 42 Hasil analisis uji beda t-paired pada seluruh pengrajin tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai 43 Hasil analisis uji anova untuk biaya produksi, penerimaan, dan keuntungan antar skala usaha pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai
42
43
45
45 46 47 47
48
49 50
50
51 53 54 55
56 57 57
58
44 Strategi yang dilakukan untuk menyiasati kenaikan harga kedelai berdasarkan skala usaha di Kecamatan Tanjungsari tahun 2014
59
DAFTAR GAMBAR
1 Pengaruh perubahan harga input terhadap permintaan input 2 Skala produksi ekonomis dan tidak ekonomis 3 Kerangka pemikiran operasional 4 Proses pembuatan tahu sumedang
14 16 18 37
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kebutuhan kedelai per hari pengrajin tahu sumedang untuk setiap skala usaha 2 Peralatan dan fungsi peralatan pada usaha tahu sumedang 3 Rata-rata biaya per hari (dalam Rp) yang dikeluarkan pengrajin tahu sumedang sebelum kenaikan harga kedelai pada setiap skala usaha tahun 2014 4 Rata-rata biaya per hari (dalam Rp) yang dikeluarkan pengrajin tahu sumedang setelah kenaikan harga kedelai pada setiap skala usaha tahun 2014 5 Penerimaan, keuntungan, dan R/C ratio sebelum kenaikan harga kedelai pada setiap skala usaha 6 Penerimaan, keuntungan, dan R/C ratio setelah kenaikan harga kedelai pada setiap skala usaha
63 64
66
68 70 71
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia. Jumlah penduduk Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 total jumlah penduduk di Indonesia sekitar 242 013 800 jiwa dan diperkirakan pada akhir tahun ini mencapai 250 juta jiwa (BPS 2013). Kebutuhan terhadap pangan akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Sampai tahun 2050, kebutuhan pangan diprediksi meningkat sebanyak 70 persen dibandingkan saat ini (Rudy 2013). Akan tetapi, kondisi ini tidak diimbangi dengan meningkatnya ketahanan pangan di Indonesia. Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun. Indonesia masih mengalami kekurangan untuk menyuplai bahan pangan, sehingga masih dilakukan impor dari negara lain. Salah satu bahan pangan yang tergolong rawan adalah kedelai. Bahan pangan tersebut diperkirakan masih akan tetap impor, misalnya untuk kedelai Indonesia yang tergantung pada produksi dan impor dari Amerika Serikat. Kedelai merupakan bahan pangan yang dianggap penting karena komoditas ini mengandung protein nabati yang tinggi, sumber lemak, vitamin, dan mineral. Sehingga apabila tersedia dalam jumlah yang cukup di dalam negeri akan mampu memperbaiki gizi masyarakat, yaitu melalui konsumsi kedelai segar maupun melalui konsumsi barang olahan yang berasal dari kedelai seperti tahu, tempe, tauco dan kecap. Akan tetapi, pada kenyataannya ketersediaan kedelai pada tahun 2013 diramalkan akan minus 1.113 juta ton, padahal kebutuhan kedelai nasional tahun 2013 sebesar 2.2 juta ton (BPS 2013). Konsumsi kedelai diperkirakan akan semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia. Produksi kedelai lokal yang rendah menyebabkan ketidakcukupan kedelai lokal memenuhi permintaan industri pengolahan kedelai. Hal ini menyebabkan semakin tergantungnya industri-industri pengolahan kedelai pada kedelai impor. Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa produksi kedelai di Indonesia tahun 2004-2013 cenderung menurun, walaupun penurunan yang terjadi setiap tahun tidak terlalu besar. Produksi kedelai Indonesia pernah mencapai jumlah tertinggi pada tahun 2009 yaitu 974 512 ton. Produksi kedelai di Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, sehingga Indonesia melakukan impor. Tahun 2012 impor kedelai Indonesia mencapai peningkatan tertinggi yaitu 2 128 763 ton, sementara produksi dalam negeri hanya mencapai 843 153 ton. Jumlah produksi kedelai di dalam negeri dan impor kedelai yang dilakukan Indonesia dapat mencerminkan kebutuhan konsumsi kedelai di dalam negeri. Sehingga dapat terlihat bahwa terjadi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan konsumsi kedelai di dalam negeri. Di sisi lain, kebutuhan konsumsi kedelai di dalam negeri tetap harus dipenuhi, maka pemerintah mengimpor kedelai dari pasar dunia. Tabel produksi, konsumsi, impor, serta ketergantungan kedelai impor di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.
2 Tabel 1 Produksi, konsumsi, impor, serta ketergantungan kedelai di Indonesia tahun 2004-2013 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013a
Produksi (ton) 723 483 808 353 747 611 592 534 775 710 974 512 907 031 851 286 843 153 847 157
Konsumsi (ton) 1 839 315 1 894 574 1 815 314 1 994 153 1 854 172 2 174 396 2 278 536 2 763 304 2 971 944 1 412 030
Impor (ton) 1 115 832 1 086 221 1 067 703 1 401 619 1 078 462 1 199 884 1 371 505 1 912 018 2 128 791 564 873
Tingkat ketergantungan impor (%) 60.66 57.33 58.81 70.28 58.16 55.18 60.19 69.19 71.63 40.00
a
angka sementara Sumber: Departemen Pertanian (2014)
Tabel 1 menunjukkan bahwa kebutuhan konsumsi dalam negeri tidak diimbangi dengan produksi di dalam negeri. Indonesia hanya mampu meproduksi kedelai dalam negeri sekitar 800 000 ton setiap tahunnya. Secara keseluruhan tingkat ketergantungan impor kedelai terhadap konsumsi pada tahun 2004 hingga 2013 rata-rata sekitar 66 persen dari total konsumsi, sedangkan hanya 34 persen dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Harga kedelai terus melonjak beberapa tahun terakhir ini, bahkan cenderung mengalami peningkatan. Pada kenyataannya yang meningkat bukan harga kedelai, melainkan tarif impor yang naik. Hal ini menyebabkan peningkatan harga kedelai setelah sampai di Indonesia. Rostiani (2013) menjelaskan bahwa faktor utama yang menyebabkan kenaikan harga kedelai adalah 1)produksi kedelai dalam negeri masih minim sehingga mengharuskan negara mengimpor kedelai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, 2)gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang menyebabkan nilai rupiah anjlok dan tentu saja mempengaruhi tarif impor kedelai, 3)kekacauan cuaca di tempat produsen kedelai terutama di Amerika Serikat. Perkembangan harga kedelai lokal dan impor dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Perkembangan harga kedelai lokal dan kedelai impor tahun 2007-2012 Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Harga kedelai lokal (Rp/kg) 3 200 7 500 7 900 8 088 8 946 9 669
Perubahan (%) 0.00 134.38 5.33 2.38 10.61 8.08
Harga kedelai impor (Rp/kg) 3 225 5 822 5 030 5 258 8 291 9 394
Perubahan (%) 0.00 80.53 -13.60 4.53 57.68 13.30
Sumber: Dinas Industri dan Perdagangan (2013)
Dari tabel 2 dapat terlihat bahwa harga kedelai sangat berfluktuatif dan cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2007-2012 harga kedelai lokal dan kedelai impor mengalami peningkatan setiap tahunnya. Harga kedelai lokal mengalami peningkatan tertinggi pada tahun 2008 sebesar 134.38 persen dari
3 harga awal Rp3 200/kg menjadi Rp7 500/kg. Sama halnya dengan kedelai impor yang mengalami peningkatan tertinggi pada tahun 2008 sebesar 80.53 persen dari harga awal Rp3 225/kg menjadi Rp5 822/kg. Penggunaan kedelai untuk bahan makanan manusia harus diolah terlebih dahulu. Pengolahan kedelai dapat dikelompokan menjadi dua macam yaitu dengan fermentasi dan tanpa fermentasi. Pengolahan melalui fermentasi akan menghasilkan kecap, oncom, tauco, dan tempe. Sedangkan bentuk olahan tanpa melalui fermentasi adalah susu kedelai, tahu, tauge dan tepung kedelai. Salah satu makanan olahan kedelai yang digemari masyarakat Indonesia adalah tahu. Umumnya industri tahu termasuk ke dalam industri kecil yang dikelola oleh rakyat dan beberapa diantaranya masuk dalam wadah Koperasi Pengusaha Tahu (KOPTI). Sebagian dari konsumsi kedelai Indonesia dipergunakan untuk diolah menjadi tahu. Oleh karena itu, apabila terjadi kenaikan harga kedelai di Indonesia, tentu akan mempengaruhi industri tahu yang ada. Rostiani (2013) juga menjelaskan bahwa kenaikan harga kedelai ini memaksa para produsen tahu menurunkan produksi hingga 40 persen. Menurut pengamatannya, sebagian produsen tahu menutup usaha untuk sementara dan sebagian lainnya tetap memproduksi walaupun harga kedelai masih tetap mahal. Sumedang adalah salah satu daerah dengan produk olahan kedelai yang paling unggul yaitu tahu. Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa total industri olahan kedelai di Kabupaten Sumedang berjumlah 331 unit usaha dan bidang usaha yang terbanyak adalah tahu, dibandingkan dengan produk olahan kedelai lainnya. Industri tahu di Kabupaten Sumedang terdiri dari 232 unit usaha, serta menyerap tenaga kerja 812 orang dengan nilai investasi sebesar Rp1 358 967 000. Potensi produk olahan kedelai di Kabupaten Sumedang dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3 Potensi produk olahan kedelai di Kabupaten Sumedang tahun 2013 No 1 2 3
Bidang usaha Tahu Tempe Oncom Jumlah
Unit usaha (unit) 232 89 10 331
Tenaga kerja (orang) 812 209 62 1 083
Nilai investasi (Rp) 1 358 967 000 106 128 000 38 989 000 1 504 084 000
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sumedang (2013)
Pengrajin tahu di Kabupaten Sumedang terpaksa menurunkan produksinya hingga 20-30 persen sebagai akibat dari kenaikan harga kedelai yang diakibatkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar. Para pengrajin kesulitan untuk mendapatkan kedelai. Bahkan dengan kenaikan harga kedelai tersebut banyak pengrajin tahu, terutama pengrajin tahu kecil gulung tikar (Rahmat 2013). Berdasarkan uraian sebelumnya, maka perlu dilakukan penelitian mengenai usaha pada pengrajin tahu sumedang. Mengingat sektor ini mewakili sebagian besar volume produksi kedelai yang dikonsumsi sebagai pangan, serta terkait dengan peran biaya bahan baku kedelai dalam struktur biaya produksi tahu yang merupakan komponen terbesar di dalam biaya total produksi. Sehingga adanya kenaikan harga kedelai akan berpengaruh pada usaha pengrajin tahu sumedang.
4 Perumusan Masalah Kedelai merupakan bahan baku utama pada industri tahu dan merupakan komponen biaya terbesar yang dikeluarkan pengrajin dalam memproduksi tahu. Pengrajin tahu sumedang menggunakan 100 persen kedelai impor untuk mengolah tahu. Hal ini dikarenakan kedelai yang tersedia di pasar adalah kedelai impor, serta kualitas kedelai impor yang lebih baik dibandingkan dengan kedelai lokal. Kedelai merupakan bahan pangan dengan tingkat harga yang berfluktuatif, termasuk harga kedelai yang diterima oleh para pengrajin tahu sumedang. Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa harga kedelai yang diterima setiap pengrajin tahu cenderung mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan nilai tukar rupiah yang sedang anjlok terhadap dollar AS, sehingga harga kedelai meningkat. Kenaikan harga kedelai ini merupakan kenaikan tertinggi yang diterima oleh pengrajin tahu yang terjadi pada bulan Oktober 2013. Persentase kenaikan harga kedelai di Kabupaten Sumedang mencapai angka rata-rata 13.9 persen. Harga kedelai impor sebelum dan setelah kenaikan yang diterima oleh masing-masing pengrajin tahu di Kabupaten Sumedang dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4 Harga kedelai impor sebelum dan setelah kenaikan yang diterima oleh masing-masing pengrajin tahu di Kabupaten Sumedang No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rata-rata
Sebelum kenaikan harga kedelai Harga kedelai (Rp/kg) 8 500 8 000 8 400 7 000 8 550 8 600 8 500 8 000 8 500 8 600 8 600 8 500 8 000 8 000 8 400 8 000 8 500 8 100 8 500 8 400 8 283
Setelah kenaikan harga kedelai Harga kedelai (Rp/kg) 9 500 8 900 9 600 8 700 9 600 9 400 9 500 10 000 9 500 10 000 10 000 10 000 9 000 9 000 9 600 9 000 9 700 9 000 9 000 9 500 9 425
Persentase kenaikan harga (%) 11.8 11.3 14.3 24.3 12.3 9.3 11.8 25.0 11.8 16.3 16.3 17.6 12.5 12.5 14.3 12.5 14.1 11.1 5.9 13.1 13.9
Adanya kecenderungan peningkatan harga kedelai, membuat biaya produksi pengrajin tahu cenderung meningkat sehingga membuat keuntungan pengrajin tahu menurun. Santosa (2013) menjelaskan bahwa kenaikan harga kedelai di Indonesia semakin mengancam kebangkrutan pengrajin tahu. Alasannya karena
5 meningkatnya biaya produksi tidak bisa serta merta dialihkan pada harga jual produk karena sebagian besar merupakan pengrajin skala usaha mikro. Pengrajin tahu sumedang membutuhkan jumlah kedelai yang berbeda untuk memproduksi tahu. Jumlah penggunaan kedelai setiap hari dijadikan sebagai ukuran skala usaha, yaitu skala usaha kecil, menengah, dan besar. Beragamnya skala usaha akan mengakibatkan struktur biaya yang berbeda-beda pada masingmasing skala usaha. Secara teoritis, dengan meningkatnya skala usaha akan mengakibatkan struktur biaya yang semakin rendah. Maka dari itu dalam menentukan skala usaha harus mempertimbangkan struktur biaya yang akan terjadi apabila suatu skala usaha dilakukan. Salah satu daerah yang dikenal sebagai penghasil tahu adalah Kabupaten Sumedang seperti terlihat dalam tabel 5. Masyarakat mengenal tahu dari daerah tersebut dengan nama tahu sumedang. Diduga para pengrajin tahu di Kabupaten Sumedang akan merasakan pengaruh yang sama dengan pengrajin di daerah lain ketika harga kedelai mengalami kenaikan. Tabel 5 Jumlah pengrajin tahu setiap kecamatan di Kabupaten Sumedang tahun 2012 Pengrajin tahu Tenaga kerja Persentase tenaga No Kecamatan (orang) (orang) kerja (orang) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Sumedang Utara Sumedang Selatan Tanjungsari Cisitu Pamulihan Jatinunggal Cimanggumg Jatigede Situraja Conggeang Ujung Jaya Tanjungkerta Wado Cibugel Cimalaka Darmaraja Paseh Jatinangor Ganeas Tomo Jumlah
53 33 27 8 10 15 8 7 17 6 4 5 10 4 9 8 3 3 1 1 232
148 125 104 76 50 46 39 32 30 28 26 22 21 19 16 12 8 6 2 2 812
18.23 15.39 12.81 9.36 6.16 5.66 4.80 3.94 3.69 3.45 3.20 2.71 2.59 2.34 1.97 1.48 0.98 0.74 0.25 0.25 100
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sumedang (2012)
Pada penelitian ini yang menjadi fokus utama adalah industri tahu di Kecamatan Tanjungsari, Sumedang. Kecamatan tersebut mempunyai pengrajin tahu sekitar 27 orang pengrajin, serta menyerap tenaga kerja sebesar 12.81 persen atau sekitar 104 orang. Namun pada kenyataannya pengrajin tahu sumedang di kecamatan Tanjungsari hanya berjumlah 20 pengrajin yang masih aktif, sedangkan yang lainnya sudah tidak aktif dengan alasan beralih profesi dan ada
6 juga yang gulung tikar. Alasan utama kecamatan tersebut menjadi objek penelitian karena menurut informasi dari Koperasi Tahu Tempe (KOPTI) Kabupaten Sumedang, pengrajin tahu di kecamatan tersebut memiliki skala usaha yang beragam sehingga dapat dijadikan sebagai perbandingan untuk menganalisis usaha pengrajin tahu sumedang, seperti struktur biaya, penerimaan dan keuntungan untuk pengrajin pada setiap skala usaha. Kedelai merupakan bahan baku dalam pembuatan tahu yang mengambil porsi terbesar atas biaya total produksi. Dengan naiknya harga kedelai di duga akan mempengaruhi struktur biaya dari pengrajin tahu. Sehingga diduga akan mempengaruhi penerimaan dan keuntungan yang diperoleh pengrajin tersebut. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut maka pengrajin tahu harus melakukan strategi agar tetap dapat berproduksi dan mendapatkan keuntungan maksimal. Berdasarkan uraian tersebut menjadi penting untuk mengkaji permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana struktur biaya, penerimaan, keuntungan dan efisiensi pada berbagai tingkat skala usaha pengrajin tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari? 2. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada struktur biaya, penerimaan, keuntungan dan efisiensi di lihat dari berbagai tingkat skala usaha, seluruh pengrajin tahu, dan antar skala usaha pengrajin tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai Kecamatan Tanjungsari? 3. Strategi apa saja yang dilakukan pengrajin tahu sumedang dalam menyiasati kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari?
Tujuan Penelitian Secara umum, tujuan dari penelitian ini didasarkan pada latar belakang dan perumusan masalah, yaitu: 1. Menganalisis struktur biaya, penerimaan, keuntungan dan efisiensi pada berbagai tingkat skala usaha pengrajin tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari. 2. Mengetahui ada atau tidak perbedaan yang signifikan pada struktur biaya, penerimaan, keuntungan dan efisiensi di lihat dari berbagai tingkat skala usaha, seluruh pengrajin tahu, dan antar skala usaha pengrajin tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari. 3. Mengidentifikasi strategi yang telah dilakukan oleh pengrajin tahu dalam menyiasati kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari.
7 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk memperbaiki apa yang sedang diteliti saat ini. Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: 1. Menambah wawasan bagi pihak yang berkepentingan, khususnya para pengrajin tahu di Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang dalam mengambil kebijakan terkait dengan pengembangan usaha. 2. Bagi penulis sebagai sarana untuk mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh selama kegiatan perkuliahan. 3. Pembaca sebagai wawasan ilmu pengetahuan dan bahan rujukan untuk penelitian mengenai industri tahu selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini yaitu kajian mengenai analisis usaha yang dilihat dari struktur biaya, penerimaan, keuntungan dan efisiensi pengrajin tahu di Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai. Data harga sebelum kenaikan merupakan harga pada bulan Februari 2014 pada saat kedelai dalam kondisi harga yang normal, sedangkan data harga setelah kenaikan merupakan harga pada bulan Oktober 2013 pada saat kedelai mencapai harga tertinggi. Kemudian dilakukan analisis uji beda terhadap struktur biaya, penerimaan, keuntungan dan efisiensi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai pada berbagai tingkat skala usaha, untuk seluruh pengrajin tahu sumedang, dan antar skala usaha. Selain itu, dalam penelitian ini diidentifikasi pula strategi yang telah dilakukan oleh pengrajin tahu dalam menyiasati kenaikan harga kedelai.
TINJAUAN PUSTAKA Dalam penelitian ini memerlukan suatu sumber informasi yang digunakan sebagai referensi yaitu melalui penelitian-penelitian terdahulu. Hal yang dikaji dalam penelitian terdahulu adalah subjek yang diteliti dan alat analisis yang digunakan. Ada lima penelitian terdahulu yang dikaji dalam penelitian ini antara lain, Nursiah (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap kinerja usaha industri tempe di Kecamatan Citeurep, Bogor. Azis (2012) melakukan penelitian tentang adaptasi ekonomi pengusaha agribisnis tahu dalam menghadapi kenaikan harga kedelai di Kabupaten Banjar. Kurniasari (2010) melakukan penelitian tentang analisis dampak kenaikan harga kedelai di sentra industri tempe kelurahan Semanan Jakarta Barat. Patmawaty (2009) melakukan penelitian tentang analisis dampak kenaikan harga kedelai terhadap pendapatan usaha pengrajin tahu skala kecil dan rumah tangga di Desa Bojong
8 Sempu Kecamatan Parung, Bogor. Mustofa (2008) melakukan penelitian tentang analisis pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi tahu. Nursiah (2013) dalam penelitiannya terkait dengan pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap kinerja usaha industri tempe di Desa Citeurep Kabupaten Bogor. Dalam melakukan analisa unit usaha tempe dilokasi penelitian dibedakan dalam skala I, II dan III yang didasarkan pada banyaknya jumlah produksi kedelai yang dilakukan setiap hari. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pada produksi skala III mengeluarkan biaya total rata-rata yang lebih rendah dibandingkan pada skala I dan II baik pada saat sebelum dan setelah adanya kenaikan harga kedelai. Sementara, adanya kenaikan harga kedelai menyebabkan keuntungan yang diterima menjadi menurun disebabkan tidak adanya pilihan lain yang dilakukan pengrajin tempe di Desa Citeureup. Dengan demikian menunjukkan adanya kenaikan harga kedelai menurunkan kinerja pengrajin tempe di Desa Citeureup. Azis (2012) melakukan penelitian tentang adaptasi ekonomi pengusaha agribisnis tahu dalam menghadapi kenaikan harga kedelai di Kabupaten Banjar. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kenaikan harga kedelai yang signifikan telah membuat pengusaha agribisnis tahu melakukan adaptasi dengan cara mengurangi pembelian bahan baku kedelai, mengurangi produksi tahu, serta menaikkan harga jual tahu. Dengan dilakukannya adaptasi tersebut maka biaya total, penerimaan total, keuntungan usaha, dan kelayakan usaha mengalami penurunan. Kurniasari (2010) melakukan penelitian tentang analisis dampak kenaikan harga kedelai di sentra industri tempe kelurahan Semanan Jakarta Barat. Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis struktur biaya pengrajin tempe dan menganalisis dampak kenaikan harga kedelai pada industri tempe, khususnya dilihat dari perubahan jumlah penggunaan kedelai, keuntungan, dan jumlah penggunaan jam tenaga kerja luar keluarga. Adanya kenaikan harga kedelai membuat pengrajin tempe skala kecil dan menengah memperkecil ukuran tempe yang mereka hasilkan, sedangkan pada pengrajin skala besar cenderung untuk mengurangi jumlah jam penggunaan tenaga kerja luar keluarganya. Berdasarkan hasil analisis Linear Programming, pengrajin tempe skala kecil paling sensitif terhadap kenaikan harga kedelai relatif terhadap sumberdaya yang dimiliki pengrajin yaitu tenaga kerja dalam keluarga dan kere (kajang) bambu yang dimiliki pengrajin. Sebaliknya pengrajin skala menengah paling tidak sensitif terhadap kenaikan harga kedelai juga relatif terhadap sumberdaya yang dimiliki pengrajin skala menengah. Pengrajin skala menengah cenderung memiliki kelebihan ketersediaan jumlah jam tenaga kerja dalam keluarga potensial dan jumlah kere yang dimiliki. Patmawaty (2009) melakukan penelitian tentang analisis dampak kenaikan harga kedelai terhadap pendapatan usaha pengrajin tahu skala kecil dan rumah tangga di Desa Bojong Sempu Kecamatan Parung, Bogor. Penelitian ini menggunakan tiga analisis, yaitu analisis pendapatan, analisis R/C rasio dan analisis titik impas. Industri tahu di desa ini memiliki skala usaha kecil dengan modal terbatas, penggunaan peralatan yang masih tradisional dan sederhana, volume produksi tahu yang masih kecil, sebagian besar menggunakan tenaga kerja keluarga, dan jangkauan pemasaran yang masih kecil. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa dengan adanya kenaikan harga kedelai yang mencapai 92.94 persen berdampak pada kemampuan pengrajin dalam produksi, diantaranya
9 perubahan siklus produksi, penurunan volume produksi, penurunan penggunaan faktor input, peningkatan harga jual, penurunan penerimaan dan penurunan pendapatan usaha. Selain itu, hasil analisis rasio penerimaan dan biaya menyatakan bahwa usaha tahu masih menguntungkan dan masih layak untuk dijalankan dan berdasarkan analisis titik impas untuk tetap dapat mempertahankan usahanya dan tidak mengalami kerugian, pengrajin harus meningkatkan volume penjualan dan meningkatkan penerimaan. Mustofa (2008) menganalisis pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi tahu di Jakarta Selatan. Alat analisis yang digunakan adalah penerimaan R/C rasio dan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa faktor-faktor produksi pada usaha skala besar yang memberikan pengaruh nyata pada output produksi tahu adalah variabel kedelai, sedangkan yang tidak berpengaruh nyata yaitu variabel coko dan tenaga kerja. Pada faktor produksi skala kecil yang berpengaruh nyata adalah variabel kedelai, tenaga kerja dan air, sedangkan yang kurang berpengaruh nyata adalah variabel coko. Nilai elastisitas faktor produksi usaha tahu skala kecil lebih kecil dari pada nilai elastisitas pada usaha skala besar. Nilai elastisitas pada skala besar 1.005 sehingga berada pada skala usaha kenaikan hasil yang semakin meningkat (increasing return to scale). Nilai elastisitas pada usaha skala kecil sebesar 0.486, nilai elastisitas kurang dari satu dan lebih dari nol mempunyai arti bahwa tambahan sejumlah input tidak diimbangi secara proporsional oleh tambahan output yang diperoleh atau berada pada skala usaha kenaikan hasil yang semakin menurun atau berada pada tahap decreasing return to scale. Penelitian ini mengambil subjek penelitian yang sama dengan Azis (2012), Patmawaty (2009), dan Mustofa (2008) yaitu usaha tahu. Perbedaan penelitian ini yaitu membandingkan usaha tahu antara sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai. Selain itu, dalam penelitian ini juga dilakukan analisis uji beda untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada struktur biaya, penerimaan dan keuntungan sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai, serta diteliti juga berbagai strategi yang telah dilakukan oleh pengrajin untuk menyiasati kenaikan harga kedelai. Obyek penelitian yang diteliti yaitu difokuskan kepada para pengrajin tahu yang berada di Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang. Penelitian terdahulu dijadikan sebagai referensi dan perbandingan dengan penelitian ini.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran dalam penelitian ini meliputi kerangka pemikiran teoritis dan kerangka pemikiran operasional. Kerangka pemikiran teoritis berisi teori-teori yang berkaitan dengan penelitian ini. Teori tersebut meliputi konsep biaya, penerimaan dan keuntungan, pengaruh perubahan harga input terhadap
10 penggunaan input, analisis penerimaan-biaya (R/C), skala usaha dan biaya produksi, serta metode penilaian investasi. Konsep Biaya Pengertian biaya menurut Semaoen dan Kiptiyah (2011) adalah nilai moneter dari semua input yang digunakan dalam memproduksi output, pada periode waktu tertentu. Kombinasi input yang memungkinkan menghasilkan output tertentu berkaitan dengan teknologi, kombinasi input yang feasible berbeda pada teknologi yang berbeda. Sedangkan Rosyidi (2003) menjelaskan biaya produksi adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha untuk dapat diambil kesimpulan bahwa biaya apa saja yang diperlukan untuk membuat produk, baik barang maupun jasa. Biaya produksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Biaya eksplisit Biaya eksplisit adalah pengeluaran-pengeluaran nyata dari kas perusahaan untuk membeli atau menyewa jasa-jasa faktor produksi yang dibutuhkan dalam berproduksi. Contoh: biaya tenaga kerja, sewa gedung, dan lain-lain. 2. Biaya implisit Biaya implisit adalah biaya yang tidak terlihat. Biaya implisit ini tidak dikeluarkan langsung dari kas perusahaan. Biaya implisit diperhitungkan dari faktor-faktor produksi yang dimiliki sendiri oleh perusahaan. Contoh: penggunaan gedung milik perusahaan sendiri. Selain itu, dijelaskan pula bahwa biaya produksi dapat dibedakan berdasarkan periode produksi yaitu: 1. Biaya jangka pendek a. Biaya tetap (fixed cost, FC) Biaya tetap adalah biaya yang timbul akibat penggunaan sumber daya tetap dalam proses produksi. Sifat utama biaya tetap adalah jumlahnya tidak berubah walaupun jumlah produksi mengalami perubahan (naik atau turun). Keseluruhan biaya tetap disebut biaya total (total fixed cost, TFC). b. Biaya variabel (variable cost, VC) Biaya variabel atau sering disebut biaya variabel total (total variable cost, TVC) adalah jumlah biaya produksi yang berubah menurut tinggi rendahnya jumlah output yang akan dihasilkan. Semakin besar output atau barang yang akan dihasilkan, maka akan semakin besar pula biaya variabel yang akan dikeluarkan. c. Biaya total (total cost, TC) Biaya total adalah keseluruhan biaya yang terjadi pada produksi jangka pendek. d. Biaya rata-rata Biaya rata-rata dibedakan menjadi 3, yaitu: a) biaya tetap rata-rata (average fixed cost, AFC) adalah hasil bagi antara biaya tetap total dan jumlah barang yang dihasilkan, b) biaya variabel rata-rata (average variable cost, AVC) adalah biaya variabel satuan unit produk, c) biaya total rata-rata (average cost, AC) adalah biaya per satuan unit output (produksi). e. Biaya marginal (marginal cost, MC)
11 Biaya marginal adalah perubahan biaya total akibat penambahan satu unit output (Q). 2. Biaya jangka panjang Jangka panjang dalam pengertian ini tidak terkait dengan waktu. Penyebutan jangka panjang oleh para ekonom menandai suatu proses produksi dimana sumber daya yang digunakan tidak ada lagi yang bersifat tetap. Semua sumber daya yang digunakan dalam proses produksi bersifat variabel atau jumlahnya dapat berubah-ubah. Produksi dalam jangka panjang memungkinkan perusahaan untuk mengubah skala produksi (tingkat produksi) dengan cara mengubah, baik mengubah maupun mengurangi jumlah sumberdaya. Hal ini tentu akan berdampak pada biaya yang ditimbulkan. Dalam jangka panjang hanya dikenal biaya total ratarata (ATC). Hafsah (2003) menjelaskan biaya produksi adalah semua pengeluaran yang digunakan di dalam mengorganisasi dan melaksanakan proses produksi (termasuk di dalamnya modal, input-input dan jasa-jasa yang digunakan di dalam produksi). Biaya produksi dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori atau kelompok biaya sebagai berikut: a. Biaya tetap (fixed cost) Biaya yang penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi. Besarnya biaya tidak tergantung pada jumlah output yang diproduksi dan tetap harus dikeluarkan walaupun tidak ada produksi. Komponen biaya tetap antara lain pajak tanah, penyusutan alat, biaya kredit/pinjaman, mesin dan gaji manajer. Tenaga kerja keluarga dapat dikelompokkan pada biaya tetap bila tidak ada biaya imbangan dalam penggunaannya atau tidak adanya penawaran untuk itu. b. Biaya variabel atau biaya tidak tetap (variable cost) Biaya yang besar kecilnya sangat tergantung kepada biaya skala produksi. Komponen biaya variabel antara lain tenaga kerja upahan, bahan baku, dan biaya pengangkutan bahan baku. Jadi biaya produksi atau total cost merupakan penjumlahan fixed cost dengan variabel cost (TC=FC+VC). c. Biaya tunai Biaya tunai dari biaya tetap dapat berupa pajak tanah, sedangkan biaya tunai yang sifatnya variabel antara lain berupa biaya untuk pemakaian bahan baku dan tenaga kerja luar keluarga (tenaga upahan). d. Biaya tidak tunai (diperhitungkan) Meliputi biaya tetap seperti penyusutan alat-alat dan lain-lain. Sedangkan biaya yang diperhitugkan dari biaya variabel antara lain biaya untuk tenaga kerja keluarga. Penerimaan dan Keuntungan Astuti (2008) mendefinisikan bahwa penerimaan atau revenue adalah semua penerimaan produsen dari hasil penjualan barang atau outputnya. Untuk memperoleh keuntungan, produsen selalu membandingkan biaya produksi dengan penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan outputnya. Secara matematis, total penerimaan (total revenue) dapat dirumuskan sebagai berikut: TR = P x Q...................................................................................................(1)
12 dimana :
TR P Q
= total revenue (Rp) = harga pasar (Rp) = hasil produksi/output (satuan)
Total penerimaan ini merupakan penerimaan total produsen yang diperoleh dari hasil penjualan outputnya. Total penerimaan diperoleh dengan memperhitungkan output dikalikan harga jualnya. Sedangkan total penerimaan dikurangi biaya adalah keuntungan (profit) yang dirumuskan sebagai berikut : Keuntungan
=
dimana :
Π TR TC Py Px TFC Y X
Π = Total Penerimaan-Total Biaya = TR-TC = Py. Y - TVC - TFC = Py. Y – Px. X - TFC.......................................................(2) = keuntungan (Rp) = total penerimaan (Rp) = biaya total (Rp) = harga jual produk (Rp) = harga beli input produksi = Total Fixed Cost (Biaya Tetap Total) = jumlah output = jumlah input
Persamaan (2) menunjukkan bahwa keuntungan dipengaruhi oleh input produksi. Dalam praktiknya produsen menggunakan lebih dari satu input, namun untuk penyederhanaan maka dalam penjelasan tersebut diasumsikan bahwa input yang digunakan hanya satu. Bila harga input meningkat, sesuai dengan teori permintaan, maka permintaan akan input menjadi menurun. Akibatnya produksi menjadi berkurang dan pada akhirnya keuntungan perusahaan akan menurun pula. Pengaruh Perubahan Harga Input Terhadap Penggunaan Input Pengrajin tahu sumedang sebagai sebuah industri tentu membutuhkan input dalam menjalankan kegiatan produksinya. Dengan demikian permintaan dari pengrajin tahu adalah input-input yang dibutuhkan untuk memproduksi tahu, seperti kedelai, garam, minyak goreng, tenaga kerja, dan bahan bakar. Permintaan akan input-input tersebut dikenal sebagai derived demand (permintaan turunan). Hal ini disebabkan permintaan akan input timbul dari permintaan tahu sebagai output dari pengrajin tahu yang diminta oleh konsumen. Jumlah input yang diminta oleh pengrajin tahu, tergantung pada jumlah tahu yang akan diproduksinya. Jumlah tahu yang akan diproduksi tergantung pula pada tingkat keuntungan yang diharapkan pengrajin tahu. Sebagai produsen yang rasional pengrajin tahu tentu akan menerapkan prinsip profit maximization dalam menjalankan usahanya. Astuti (2008) menjelaskan bahwa berdasarkan persamaan (2), untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum yaitu turunan pertama dari fungsi keuntungan terhadap biaya variabel harus di buat sama dengan nol, secara matematis yaitu:
13 = Py . =
Py . MPP – Px = 0
= MPP = = NPM = Px .....................................................................................................(3) Persamaan (3) menunjukkan bahwa untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum atau kondisi yang optimal yaitu rasio harga input dengan output harus sama dengan turunan output terhadap input atau harga output dikalikan dengan produksi marginal (NPM) harus sama dengan harga input. Dengan kata lain hasil tambahan dari input yang terakhir harus sama dengan biaya input tambahan. Dapat juga dikatakan rasio harga input (Px) terhadap harga output (Py) harus sama dengan hasil produksi fisik marginal dari input (MPP = ). Apabila Px meningkat, maka rasio Px dengan Py menjadi semakin besar sehingga MPP menjadi lebih kecil dari rasio Px dengan Py. Akibatnya produsen harus melakukan penyesuaian agar tetap mendapatkan keuntungan yang maksimum yaitu dengan mengubah MPP, bukan mengubah Px atau Py karena diasumsikan produsen berada pada struktur Pasar Persaingan Sempurna (PPS). Adapun asumsi dalam PPS yaitu: (1) produsen dianggap sebagai pembeli “kecil” di pasar input, sehingga produsen tidak dapat memengaruhi harga input di pasar; (2) terdapat banyak produsen sejenis di pasar, sehingga tidak ada kekuatan produsen untuk mempengaruhi harga output, dengan demikian produsen sebagai price taker sehingga relatif sulit bagi produsen untuk merubah harga outputnya dan sulit pula produsen memengaruhi perubahan harga input. Dengan demikian ketika Px meningkat, maka produsen melakukan penyesuaian dengan mengurangi jumlah input, dan sebagai akibatnya jumlah output yang dihasilkan menurun pula. Berdasarkan syarat untuk memaksimumkan keuntungan seperti yang ditunjukkan persamaan (3), dapat dilihat bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhinya yaitu harga hasil produksi atau output (Py), harga input (Px), dan hubungan produksi fisik yang memengaruhi hasil produksi marginal ( Penjelasan syarat keuntungan maksimum dapat pula didekati dari kurva produksi dan garis rasio harga input dengan output. Kurva produksi adalah kurva yang menggambarkan hubungan antara penggunaan input dengan output yang diproduksi. Dengan demikian kurva ini menjelaskan bahwa output yang diproduksi tergantung dari input yang digunakan. Di sisi lain, input yang digunakan dipengaruhi oleh harga input. Gambar 1 menjelaskan untuk mendapatkan jumlah penggunaan input yang dapat menghasilkan kondisi yang optimal ( dicapai ketika garis rasio harga input dengan output bersinggungan dengan kurva produksi, sehingga didapatlah jumlah penggunaan input yang optimum di X0. Ketika harga input meningkat menjadi Px1, maka rasio harga input dengan output akan semakin besar, sehingga kemiringan garis rasio harga akan meningkat. Ketika garis rasio harga setelah adanya peningkatan harga input ini disinggungkan kembali dengan kurva
14 produksi, akan menyebabkan penggunaan input menjadi menurun (X1). Titik-titik yang optimal yaitu ketika garis rasio harga bersinggungan dengan kurva produksi diturunkan ke dalam kurva hubungan antara jumlah penggunaan input dengan harga input, maka akan didapat garis permintaan input yang memiliki slope negatif. Hubungan antara input yang digunakan dengan harga input dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1 Pengaruh perubahan harga input terhadap permintaan input Sumber: Astuti (2008) Analisis Penerimaan-Biaya (R/C) Andrianto (2004) menjelaskan bahwa pendapatan yang besar tidak selalu menunjukkan efisiensi yang tinggi karena ada kemungkinan pendapatan yang besar itu diperoleh dari investasi yang berlebihan. Oleh karena itu analisis pendapatan selalu disertai dengan pengukuran efisiensi. Efisiensi suatu usaha atau kegiatan produksi terhadap penggunaan satu unit input digambarkan oleh nilai rasio penerimaan dan biaya yang merupakan perbandingan antara penerimaan kotor yang diterima usahatani dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam proses
15 produksi. Analisis imbangan antara jumlah penerimaan dengan jumlah biaya merupakan suatu pengujian keuntungan suatu jenis usaha. Analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio) didapat berdasarkan pembagian antara total penerimaan dengan total biaya. Kriteria yang digunakan dalam analisis ini adalah apabila nilai R/C lebih besar dari satu maka usaha dikatakan untung, karena memberikan penerimaan yang lebih besar dari pengeluaran. Nilai R/C lebih kecil dari satu dikatakan rugi, karena penerimaan yang diterima lebih kecil dari jumlah pengeluaran. Nilai R/C sama dengan satu dikatakan impas yaitu kondisi dimana usaha memberikan jumlah penerimaan sama dengan jumlah pengeluaran. Semakin besar nilai R/C rasio, maka semakin menguntungkan usaha tersebut. Skala Usaha dan Biaya Produksi Skala usaha dapat dibedakan berdasarkan indikator-indikator tertentu. Indikator tersebut antara lain dilihat dari penggunaan jumlah tenaga kerja, kapasitas produksi, modal, dan teknologi. Pada akhirnya perbedaan indikator tersebut merujuk industri tahu menjadi tiga skala produksi. Skala produksi industri tahu meliputi skala produksi kecil, menengah, dan besar. Dilihat dari sisi penggunaan jumlah tenaga kerja, BPS (2010) mengelompokkan industri secara umum, termasuk industri tahu ke dalam skala kecil bila mempekerjakan kurang dari 20 orang tenaga kerja, sedangkan industri tergolong skala menengah dan besar bila mempekerjakan dua puluh orang atau lebih. Di sisi lain berdasarkan kapasitas produksinya, industri tahu juga dapat dikelompokkan menjadi skala industri kecil, menengah, dan besar. Pengrajin tahu berdasarkan skala produksi atau size of businessnya oleh Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) di Kabupaten Sumedang terbagi menjadi tiga skala yaitu pengrajin tahu skala kecil, menengah dan besar. Pengrajin tahu yang termasuk ke dalam skala kecil adalah pengrajin yang mengolah kurang dari 250 kg kedelai per hari. Pengrajin skala menengah adalah pengrajin yang mengolah mulai dari 251 hingga 350 kg kedelai setiap harinya, sedangkan pengrajin skala besar adalah pengrajin yang mengolah diatas 350 kg kedelai setiap harinya. Jangka panjang merupakan periode waktu yang cukup panjang sehingga memungkinkan perusahaan untuk mengubah jumlah semua input yang digunakannya. Di dalam jangka panjang tidak ada faktor produksi tetap dan tidak ada biaya tetap, dan perusahaan dapat mengembangkan skala operasinya pada berbagai tingkatan (Salvatore 2006). Rahardja dan Manurung (2008) menjelaskan bahwa skala produksi ekonomis (economies of scale) adalah interval tingkat produksi di mana penambahan output akan menurunkan biaya produksi jangka panjang per unit. Sebaliknya, skala produksi tidak ekonomis (diseconomies of scale) adalah interval tingkat produksi di mana penambahan tingkat produksi justru menaikkan biaya produksi jangka panjang per unit. Hal ini karena skala usaha menunjukkan hubungan antara biaya produksi rata-rata dengan perubahan dalam ukuran (size) usaha. Dengan demikian, bila perluasan usaha bertambah, tetap atau berkurang dapat pula mencerminkan bahwa perluasan usaha tersebut diikuti oleh biaya produksi rata-rata yang menurun, tetap atau bertambah. Skala produksi ekonomis dan tidak ekonomis ditunjukkan oleh gambar 2.
16
Gambar 2 Skala produksi ekonomis dan tidak ekonomis Sumber: Rahardja dan Manurung (2008) Metode Penilaian Investasi Yogi (2006) menjelaskan bahwa salah satu cara dalam mengembangkan suatu usaha adalah dengan melakukan investasi baru. Sebelum melakukan investasi perlu dilakukan perencanaan bisnis untuk memperkirakan apakah investasi yang dilakukan layak atau tidak, salah satunya di tinjau dari sisi keuangan. Pada umumnya ada 2 metode yang biasa dipertimbangkan untuk di pakai dalam penilaian investasi, yaitu: 1. Metode Non Diskonto Metode non diskonto merupakan metode yang tidak memperhatikan nilai uang dalam waktu yang berbeda (time value of money). Karena nilai rupiah yang di terima pada tahun pertama di anggap sama dengan nilai rupiah yang di terima pada tahun-tahun berikutnya tanpa memperhitungkan tingkat bunga atau discount rate. 2. Metode Diskonto Metode diskonto merupakan metode yang secara eksplisit mempertimbangkan nilai uang dalam waktu yang berbeda (time value of money). Penilaian investasi dengan metode ini terdiri dari: a. Metode Net Present Value (NPV), biasanya digunakan untuk investasi yang bernilai besar dan berjangka waktu relatif panjang. b. Profitability Index (PI), metode yang harus dinyatakan dalam indeks dari nilai investasi yang mana berapa besarnya investasi. c. Internal Rate of Return (IRR), suatu discount rate dimana present value dari net cash inflow sama dengan present value dari investasi. Metode penilaian investasi yang digunakan dalam menganalisis usaha pengrajin tahu sumedang adalah metode non diskonto. Metode ini digunakan karena bisa cepat dipakai terutama untuk investasi yang nilainya tidak terlalu besar. Fokus dalam penelitian ini yaitu terhadap harga kedelai sebelum dan setelah kenaikan dengan perhitungan biaya yaitu biaya operasional sesaat, sehingga tidak memperhatikan nilai waktu terhadap uang (time value of money).
17 Selain itu, pengrajin tahu merupakan perusahaan yang miskin kas sehingga investasi yang dipilih merupakan investasi yang cepat pengembaliannya walaupun tingkat keuntungannya rendah dari pada investasi dengan keuntungan yang tinggi tapi lama pengembaliannya.
Kerangka Pemikiran Operasional Kedelai merupakan bahan pangan yang mengandung protein nabati yang tinggi, sumber lemak, vitamin dan mineral. Sebagai sumber protein yang tidak mahal, kedelai telah lama dikenal dan digunakan dalam beragam produk makanan, seperti tempe, tahu, dan kecap. Selain itu kedelai juga merupakan bahan baku industri yang penting terutama bagi industri makanan ternak. Akan tetapi, produksi kedelai di Indonesia berfluktuasi bahkan cenderung mengalami penurunan. Artinya produksi kedelai di Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Lebih dari 50 persen kebutuhan kedelai dalam negeri dipenuhi oleh kedelai impor, sehingga Indonesia masih ketergantungan terhadap kedelai impor. Harga kedelai dalam negeri cenderung mengikuti harga kedelai impor. Selain itu, pada akhir-akhir ini nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar AS. Akibat gejolak nilai tukar rupiah tersebut, menyebabkan kenaikan terhadap harga kedelai. Kenaikan harga kedelai ini mempengaruhi industri tahu karena bahan baku utama pembuatan tahu adalah kedelai. Sehingga apabila terjadi kenaikan harga kedelai, maka dapat mengurangi keuntungan yang diperoleh pengrajin karena dapat mempengaruhi struktur biaya, baik biaya tetap maupun biaya variabel. Dengan adanya kenaikan harga kedelai diduga akan meningkatkan pengeluaran dan menurunkan keuntungan. Sehingga harus ada keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran. Untuk menyiasati hal tersebut, maka pengrajin tahu perlu melakukan berbagai strategi untuk menyiasati kenaikan harga kedelai. Dalam hal ini strategi yang dilakukan seperti memperkecil ukuran produk, mengurangi jumlah produksi, mengganti bahan bakar, mengurangi pemakaian bahan baku, mengurangi tenaga kerja dan lain-lain. Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis usaha yang dilihat dari struktur biaya, penerimaan, keuntungan dan efisiensi pengrajin tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang. Selain itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada perbedaan secara signifikan atau tidak pada struktur biaya, penerimaan, keuntungan dan efisiensi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai, serta mengidentifikasi strategi apa saja yang dilakukan oleh pengrajin untuk menyiasati keadaan tersebut. Berikut adalah alur pemikiran operasional dari penelitian dapat dilihat pada gambar 3.
18
Kenaikan harga kedelai di pasar internasional
Kenaikan harga kedelai impor di dalam negeri
Analisis usaha pengrajin tahu sumedang
Sebelum kenaikan harga kedelai
Setelah kenaikan harga kedelai
Struktur biaya Penerimaan Keuntungan Efisiensi
Pada berbagai tingkat skala usaha (kecil, menengah, dan besar)
Struktur biaya Penerimaan Keuntungan Efisiensi
Pada seluruh pengrajin tahu sumedang
Analisis Statistik Uji T-Paired
Antar skala usaha pengrajin tahu sumedang
Analisis Statistik Uji Anova
Ada atau tidak perbedaan yang signifikan sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai
Strategi yang dilakukan oleh pengrajin tahu
Saran
Gambar 3 Kerangka pemikiran operasional
19
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa kawasan tersebut merupakan salah satu sentra industri tahu di Kabupaten Sumedang. Selain itu, pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan pertimbangan bahwa menurut informasi dari Koperasi Tahu Tempe (KOPTI) Kabupaten Sumedang, pengrajin tahu di kecamatan tersebut memiliki skala usaha yang beragam sehingga dapat dijadikan sebagai perbandingan pada struktur biaya, penerimaan, keuntungan dan kelayakan untuk pengrajin pada setiap skala usaha. Kegiatan pengumpulan data dilakukan selama bulan Februari 2014.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei kepada para pengrajin tahu menggunakan teknik wawancara dipandu dengan kuesioner yang telah disiapkan. Data primer pada penelitian mencakup karakteristik usaha produksi tahu seperti teknik pengolahan kedelai menjadi tahu, jumlah produksi, biaya produksi, upaya yang dilakukan dalam menghadapi kenaikan harga kedelai, serta informasi lainnya yang berguna untuk menunjang penelitian ini. Data sekunder merupakan pelengkap yang bersumber dari literatur-literatur yang relevan. Data sekunder diperoleh dari catatan, laporan, maupun dokumen dari pihak terkait, seperti Badan Pusat Statistik, Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Sumedang, serta berbagai literatur yang berhubungan dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Data harga kedelai yang digunakan sebelum kenaikan merupakan harga pada bulan Februari 2014 pada saat kedelai dalam kondisi harga yang normal, sedangkan data harga setelah kenaikan merupakan harga pada bulan Oktober 2013 pada saat kedelai mencapai harga tertinggi.
Metode Pengumpulan Sampel Responden yang dijadikan sampel berjumlah 20 orang yang merupakan para pengrajin tahu yang terdaftar di Kecamatan Tanjungsari. Metode pengumpulan sampel adalah dengan menggunakan metode sensus yaitu keseluruhan dari pengrajin tahu di Kecamatan Tanjungsari, Sumedang. Pengrajin tahu berdasarkan skala produksi atau size of businessnya oleh Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) di Kabupaten Sumedang terbagi menjadi tiga skala yaitu
20 pengrajin tahu skala kecil, menengah dan besar. Pengrajin tahu yang termasuk ke dalam skala kecil adalah pengrajin yang mengolah kurang dari 250 kg kedelai per hari sebanyak tujuh orang. Pengrajin skala menengah adalah pengrajin yang mengolah mulai dari 251 hingga 350 kg kedelai setiap harinya sebanyak lima orang, sedangkan pengrajin skala besar adalah pengrajin yang mengolah diatas 350 kg kedelai setiap harinya sebanyak 8 orang.
Metode Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui struktur biaya, penerimaan, dan efisiensi dari produksi tahu. Kemudian dilakukan statistik uji beda t-paired dan uji anova. Data tersebut ditampilkan dalam bentuk tabulasi dan grafik untuk menyederhanakan data agar mudah dibaca. Dalam penelitian ini analisis kuantitatif dilakukan dengan bantuan alat perangkat lunak (software) Microsoft Excel 2007, khususnya program SPSS (Statistical Product and Service Solutions) 16. Sedangkan analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui gambaran umum dan karakteristik usaha produksi tahu, serta untuk mengetahui strategi yang dilakukan oleh pengrajin tahu dalam mengatasi kenaikan harga kedelai. Analisis Struktur Biaya Analisis struktur biaya dilakukan dengan mengelompokkan biaya-biaya yang dikeluarkan pada usaha produksi tahu. Struktur biaya tersebut terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel. Metode perhitungan struktur biaya tersebut dapat dilihat pada tabel 6: Tabel 6 Struktur biaya produksi usaha tahu di Kecamatan Tanjungsari Uraian Biaya Variabel Kedelai Garam Minyak goreng Tenaga Kerja (total) Bahan Bakar : Serbuk gergaji Gas Kayu Bakar Jumlah Biaya Variabel Rata-Rata Biaya Tetap Penyusutan peralatan Penyusutan pabrik Transportasi Listrik (air) Jumlah Biaya Tetap Rata-Rata
Sebelum kenaikan harga
Setelah kenaikan harga
21 Secara matematis, perhitungan total biaya (total cost) yang merupakan jumlah dari biaya tetap (TFC) dan biaya variabel (TVC) dapat dirumuskan seperti di bawah ini: TC = TFC + TVC Sedangkan, untuk menghitung total biaya rata-rata (average total cost) adalah penjumlahan biaya tetap rata-rata (TFC) dengan biaya variabel rata-rata. Rumus yang digunakan yaitu: AC = AFC + AVC Penentuan skala usaha yang efisien berdasarkan struktur biaya diketahui dengan melihat total biaya rata-rata paling rendah dengan rumus sebagai berikut:
dimana:
AC = biaya rata-rata jangka pendek AFC = biaya tetap rata-rata jangka pendek AVC = biaya variabel rata-rata jangka pendek
Pada struktur biaya tersebut, terdapat penyusutan alat sebagai biaya tetap. Penyusutan alat di sini artinya pengurangan nilai suatu alat oleh berlalunya waktu. Rincian peralatan yang digunakan dalam produksi tahu yang kemudian akan digunakan untuk perhitungan biaya penyusutan dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7 Rincian peralatan untuk produksi tahu Jenis alat
Jumlah (unit)
Harga beli (Rp)
Umur pakai (tahun)
Mesin penggiling kedelai Tahang Drum Ember Tangok Saringan Ancakan Katel Cetakan Serokan
Salvatore (2006) menyatakan bahwa dalam jangka pendek, satu atau lebih (tetapi tidak semua) faktor produksi jumlahnya adalah tetap. Biaya tetap total (TFC) mencerminkan seluruh kewajiban atau biaya yang ditanggung oleh perusahaan per unit waktu atas semua input tetap. Biaya variabel total (TVC) adalah seluruh biaya yang ditanggung oleh perusahaan per unit waktu atas semua input variabel yang digunakan. Biaya total (TC) adalah TFC ditambah TVC. Selain itu, biaya total rata-rata dapat dihitung dengan menjumlahkan antara biaya tetap rata-rata (AFC) dengan biaya variabel rata-rata (AVC).
22 Sementara itu Warren CS, Reeve JM, Fess PE. (2005) menjelaskan bahwa aset tetap seperti peralatan, bangunan, dan pengembangan tanah akan kehilangan kemampuan mereka seiring dengan berlalunya waktu, untuk menyediakan manfaat kepada perusahaan sehingga harus ditransfer dari biaya ke beban. Hal tersebut disebut dengan penyusutan. Dalam hal ini memang perlu untuk menghitung biaya penyusutan peralatan produksi yang nantinya akan masuk ke dalam perhitungan biaya tetap. Metode yang digunakan adalah metode garis lurus, yaitu nilai pembelian dikurangi nilai sisa, kemudian dibagi dengan umur ekonomis dari peralatan tersebut. Berikut adalah sistematis perhitungannya. Penyusutan =
Penerimaan, Keuntungan, dan Efisiensi (R/C ratio) Penerimaan atau revenue adalah semua penerimaan pengrajin dari hasil penjualan barang atau outputnya, dalam penelitian ini output yang dihasilkan adalah tahu dan ampas. Untuk memperoleh keuntungan, pengrajin tahu selalu membandingkan biaya produksi dengan penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan outputnya. Secara matematis, total penerimaan (total revenue) dapat dirumuskan sebagai berikut: TR = P x Q dimana :
TR P Q
= total revenue (Rp) = harga tahu dan ampas tahu (Rp) = jumlah tahu dan ampas yang dihasilkan (satuan)
Total penerimaan ini merupakan penerimaan total pengrajin tahu yang diperoleh dari hasil penjualan outputnya. Total penerimaan diperoleh dengan memperhitungkan output dikalikan harga jualnya. Sedangkan total penerimaan dikurangi biaya adalah keuntungan (profit) yang dirumuskan sebagai berikut : Π = TR – TC dimana :
Π TR TC
= keuntungan pengrajin tahu (Rp) = total penerimaan pengrajin tahu (Rp) = biaya total yang dikeluarkan oleh pengrajin tahu (Rp)
Selain itu, untuk mengetahui nilai efisiensi usaha digunakan analisa Revenue Cost Ratio (RCR). Nilai R/C rasio ini dapat dilihat dengan membandingkan antara penerimaan dan biaya produksi (Soekartawi 1995). Secara matematis dapat digunakan rumus sebagai berikut :
dimana :
= efisiensi usaha
23 TR TC
= penerimaan total (Rp) = biaya total (Rp)
Nilai R/C > 1 menunjukkan bahwa usaha efisien, artinya penerimaan lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. R/C = 1 menunjukkan bahwa usaha balik modal, artinya penerimaan sama dengan biaya yang dikeluarkan. Sedangkan R/C < 1 menunjukkan bahwa usaha belum efisien, artinya penerimaan lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan (usaha tidak menguntungkan). Analisis Statistik Uji Beda T-Paired Uji beda dipergunakan untuk mencari perbedaan, baik antara dua sampel data atau antara beberapa sampel data. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji t-paired. Uji ini digunakan pada sampel berpasangan yaitu pada sebuah sampel dengan subjek yang sama namun mengalami dua perlakuan atau pengukuran yang berbeda. Sugiyono (2011) menjelaskan bahwa statistik parametris yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif rata-rata dua sampel bila datanya berbentuk interval atau ratio adalah menggunakan t-test. Uji t-paired ini digunakan untuk melihat perbedaan pada berbagai tingkat skala usaha (skala kecil 7 pengrajin, skala menengah 5 pengrajin, dan skala besar 8 pengrajin), serta pada seluruh responden (20 pengrajin tahu) tanpa memperhatikan stratifikasi. Berikut adalah prosedur uji t-paired yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel yang berkorelasi. 1. Menentukan formulasi hipotesis. 2. Menentukan taraf nyata dan nilai t-test yang ditentukan dengan derajat bebas (db) = n-1. Taraf nyata yang digunakan untuk penelitan ini adalah 10 %. 3. Menentukan kriteria pengujian sebagai berikut:
Dengan kriteria uji: Jika t-hitung t-tabel, maka diterima dan tidak diterima. Jika t-hitung t-tabel, maka tidak diterima dan diterima. 4. Menentukan nilai statistik uji sebagai berikut.
dimana
:
5. Membuat kesimpulan.
t
= nilai t hitung
SD N
= rata-rata selisih pengukuran 1 dan 2 = standar deviasi selisih pengukuran 1 dan 2 = jumlah sampel
24 Analisis uji t-paired dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui ada atau tidak perbedaan yang signifikan pada usaha yang dijalankan oleh pengrajin tahu sumedang, dilihat dari struktur biaya, penerimaan, keuntungan dan kelayakan sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang. Berikut adalah hipotesis yang digunakan dalam penelitian. a. Uji Beda untuk Struktur Biaya dimana :
hipotesis :
= rata-rata struktur biaya sebelum kenaikan harga kedelai = rata-rata struktur biaya setelah kenaikan harga kedelai = Tidak ada perbedaan antara rata-rata struktur biaya sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai = Ada perbedaan antara rata-rata struktur biaya sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai
b. Uji Beda untuk Penerimaan (TR) dimana :
hipotesis :
= rata-rata penerimaan (TR) sebelum kenaikan harga kedelai = rata-rata penerimaan (TR) setelah kenaikan harga kedelai = Tidak ada perbedaan antara rata-rata penerimaan (TR) sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai = Ada perbedaan antara rata-rata penerimaan (TR) sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai
c. Uji Beda untuk Keuntungan ( dimana :
hipotesis :
= rata-rata keuntungan ( = rata-rata keuntungan (
sebelum kenaikan harga kedelai setelah kenaikan harga kedelai
= Tidak ada perbedaan antara rata-rata keuntungan ( sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai = Ada perbedaan antara rata-rata keuntungan ( sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai
d. Uji Beda untuk R/C ratio dimana :
hipotesis :
= rata-rata R/C ratio sebelum kenaikan harga kedelai = rata-rata R/C ratio setelah kenaikan harga kedelai
= Tidak ada perbedaan antara rata-rata R/C ratio sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai = Ada perbedaan antara rata-rata R/C ratio sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai Pada analisis uji t-paired semua responden dalam populasi dimasukkan ke dalam perhitungan. Sedangkan untuk perhitungan biaya, penerimaan, keuntungan, dan R/C ratio secara absolut hanya menghitung rata-rata dari responden dalam
25 populasi yang ada. Oleh karena itu, hasil yang diperoleh melalui analisis uji tpaired menggambarkan signifikansi pada biaya, penerimaan, keuntungan, dan R/C ratio yang lebih baik dibandingkan dengan analisis yang lain karena memperhitungkan seluruh populasi yang ada di Kecamatan Tanjungsari. Analisis Statistik Uji Anova Anova digunakan untuk melihat perbandingan rata-rata beberapa kelompok biasanya lebih dari dua kelompok. Anova satu arah digunakan pada kelompok yang berasal dari sampel yang berbeda tiap kelompok. Jadi dapat disimpulkan bahwa anova bertujuan untuk membandingkan rata-rata kelompok lebih dari dua dengan sampel yang berbeda per kelompok. Dalam penelitian ini uji anova digunakan untuk membandingkan rata-rata biaya produksi, penerimaan, dan keuntungan antar skala usaha pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai. Kriteria pengujiannya sebagai berikut:
Rumus uji anova:
dimana:
Sb2 = Varian between Sw2 = Varian within
hipotesis :
= Rata-rata (biaya, penerimaan, keuntungan) masing-masing kelompok adalah sama antar skala usaha = Rata-rata (biaya, penerimaan, keuntungan) masing-masing kelompok adalah berbeda antar skala usaha
sinifikansi:
sig (p-value) > 0.05, maka terima sig (p-value) < 0.05, maka tolak
Strategi untuk Menyiasati Kenaikan Harga Kedelai Untuk mengetahui strategi pengrajin tahu dalam menyiasati kenaikan harga kedelai, maka dilakukan analisis kualitatif yaitu dengan melakukan analisis deskriptif terhadap hasil wawancara yang dilakukan terhadap pengrajin tahu mengenai strategi yang dilakukan dalam menanggapi kenaikan harga kedelai. Strategi yang di analisis dalam penelitian ini adalah strategi yang mungkin dapat menekan kerugian akibat kenaikan harga kedelai, seperti memperkecil ukuran produk, mengurangi jumlah produksi, mengganti bahan bakar, mengurangi pemakaian bahan baku, mengurangi tenaga kerja, meningkatkan harga jual dan lain-lain.
26
GAMBARAN UMUM
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Gambaran umum lokasi penelitian ini terdiri dari beberapa yaitu letak geografis dari Kecamatan Tanjungsari, kependudukan dan kondisi sosial. Letak geografis lebih membahas pada letak kecamatan dan kondisi lokasi tersebut. Sementara untuk kependudukan dan kondisi sosial lebih membahas pada jumlah penduduk yang ada di Kecamatan Tanjungsari, mata pencaharian, serta latar belakang dari pendidikan penduduk. Letak Geografis Kecamatan Tanjungsari Tanjungsari merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Kecamatan Tanjungsari memiliki luas 3 888.10 ha dan terdiri dari 12 desa. Ketinggian dari permukaan laut yang terendah adalah 500 mdpl dan tertinggi adalah 2 000 mdpl. Perbatasan wilayah Kecamatan Tanjungsari secara geografis dapat dilihat sebagai berikut. Sebelah Utara : Kecamatan Rancakalong Sebelah Timur : Kecamatan Pamulihan Sebelah Selatan : Kecamatan Cimanggung Sebelah Barat : Kecamatan Sukasari Luas lahan di Kecamatan Tanjungsari adalah 2 277.608 ha dengan luas sawah 704.15 ha dan luas darat 1 573.458 ha. Penggunaan tanah terbesar untuk hutan sebesar 1 100.74 ha dan terendah untuk padang rumput sebesar 43.46 ha. Kependudukan Jumlah penduduk Kecamatan Tanjungsari sebanyak 73 908 jiwa, terdiri atas 37 286 jiwa laki-laki dan 36 622 jiwa perempuan. Jumlah kepala keluarga di kecamatan ini sebanyak 22 044 kepala keluarga dengan kepadatan 2 135 per km 2. Data mengenai jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di Kecamatan Tanjungsari dapat dilihat pada tabel 8. Tabel 8 Kependudukan Kecamatan Tanjungsari berdasarkan kelompok umur tahun 2013 Kelompok umur 0-4 5-6 7-12 13-15 16-18 19-25 26-35 36-45 46-55 56-65 65-ke atas
Jumlah jiwa Laki-laki 2 485 1 411 3 717 2 010 1 975 4 186 5 262 5 068 4 217 3 467 2 823
Sumber: Monografi Kecamatan Tanjungsari (2013)
Perempuan 2 617 1 387 3 472 1 924 1 973 3 973 5 584 4 504 4 110 3 126 2 828
Jumlah (jiwa) 5 102 2 798 7 189 3 934 3 948 8 159 10 846 9 572 8 327 6 593 5 651
27 Kondisi Sosial Kondisi sosial kependudukan Kecamatan Tanjungsari di bagi dalam beberapa kelompok mata pencaharian. Kelompok pekerjaan terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, buruh/karyawan, PNS dan YNI, serta wiraswasta. Berdasarkan tabel 9 menunjukkan bahwa mata pencaharian penduduk Tanjungsari paling banyak adalah petani, sedangkan paling sedikit adalah PNS dan YNI. Kondisi sosial kependudukan di Kecamatan Tanjungsari dapat dilihat pada tabel 8. Tabel 9 Kondisi sosial kependudukan Kecamatan Tanjungsari berdasarkan mata pencaharian tahun 2013 No 1 Petani 2 Buruh tani 3 Pedagang 4 Buruh/Karyawan 5 PNS dan YNI 6 Wiraswasta Jumlah total
Pekerjaan
Jumlah 7 788 5 094 4 616 4 283 2 214 3 736 27 731
Sumber: Monografi Kecamatan Tanjungsari (2013)
Kondisi sosial lainnya adalah kependudukan yang dikelompokkan berdasarkan tingkat pendidikan. Dari tabel 10 dapat dilihat bahwa penduduk di Kecamatan Tanjungsari paling banyak adalah tamatan SD dengan jumlah 21 521 jiwa dan paling sedikit adalah penduduk yang tidak pernah sekolah dengan jumlah 65 jiwa. Data lengkapnya dapat dilihat pada tabel 10. Tabel 10 Kondisi sosial kependudukan Kecamatan Tanjungsari berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2013 No Tingkat Pendidikan 1 Tamat SD 2 Tamat SMP 3 Tamat SMU 4 Tamat Perguruan Tinggi 5 Tidak Tamat SD 6 Tidak Tamat SMP 7 Tidak Tamat SMU 8 Tidak Tamat Perguruan Tinggi 9 Tidak Pernah Sekolah 10 Belum Sekolah Jumlah Total Sumber: Monografi Kecamatan Tanjungsari (2013)
Jumlah 21 521 9 553 8 310 3 041 3 847 316 378 1 438 65 5 250 53 719
28 Karakteristik Responden Karakteristik pengrajin tahu sumedang diperoleh melalui hasil wawancara sebanyak 20 pengrajin tahu, terdiri dari 7 pengrajin tahu skala kecil, 5 pengrajin tahu skala menengah dan 8 pengrajin tahu skala besar. Karakteristik pengrajin meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, lama usaha, alasan memilih usaha, penggunaan jumlah kedelai dan tenaga kerja. Jenis Kelamin Berdasarkan survei yang dilakukan pada 20 pengrajin tahu sumedang dapat diketahui bahwa sebagian besar pengrajin di Kecamatan Tanjungsari adalah lakilaki. Pengrajin tahu laki-laki sebanyak 17 orang, sedangkan pengrajin tahu perempuan hanya berjumlah 3 orang. Hal ini dikarenakan laki-laki memiliki peranan yang kuat sebagai kepala keluarga dan bertanggungjawab memberikan nafkah kepada keluarga, sedangkan perempuan berperan sebagai seorang istri yang bertugas mengurus rumah tangga dan membantu suami dalam usahanya membuat tahu sumedang. Sebaran jenis kelamin beragam pada setiap skala usaha, untuk skala kecil semua responden adalah laki-laki dengan jumlah 7 orang, untuk skala menengah berjumlah 5 orang dengan jumlah laki-laki 3 orang dan perempuan 2 orang, sedangkan untuk skala besar berjumlah 8 orang dengan jumlah laki-laki 7 orang dan perempuan 3 orang. Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 11. Tabel 11 Sebaran responden pengrajin tahu sumedang berdasarkan jenis kelamin tahun 2014 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Kecil
Skala usaha Menengah 7 3 0 2 7 5
Besar 7 1 8
Total (responden) 17 3 20
Persentase (%) 85 15 100
Usia Berdasarkan usianya responden pengrajin tahu sumedang dibedakan berdasarkan empat kelompok, yaitu kelompok usia 21-30 tahun, 31-40 tahun, 4150 tahun, dan lebih dari 50 tahun. Berdasarkan tabel 11 dapat dilihat bahwa ratarata pengrajin tahu sumedang berusia antara 40 tahun dengan usia termuda 27 tahun. Jumlah responden terbanyak yaitu yang berusia 31 hingga 40 tahun yang berjumlah 11 orang atu 55 persen dari total responden. Sebaran usia paling banyak beragam pada setiap responden, untuk skala kecil dan skala menengah usia terbanyak pada rentang usia 31 hingga 40 tahun dengan jumlah empat orang, sedangkan untuk skala besar usia terbanyak pada rentang 41 hingga 50 tahun dengan jumlah empat orang. Tabel tersebut menunjukkan bahwa besarnya skala pengrajin tahu sumedang di Kecamatan Tanjungsari tidak dipengaruhi oleh usia pengrajin. Sebaran responden berdasarkan kelompok usia dapat dilihat pada tabel 12.
29 Tabel 12 Sebaran responden pengrajin tahu sumedang berdasarkan kelompok usia tahun 2014 Usia (tahun) 21-30 31-40 41-50 >50 Jumlah
Kecil 1 4 1 1 7
Skala usaha Menengah 1 4 0 0 5
Besar 0 3 4 1 8
Total (responden) 2 11 5 2 20
Persentase (%) 10 55 25 10 100
Tingkat Pendidikan Secara umum tingkat pendidikan yang dimiliki oleh para pengrajin tahu sumedang masih sangat rendah. Secara rinci sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel 13. Tabel 13 Sebaran responden pengrajin tahu sumedang berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2014 Tingkat pendidikan SD SMP SMA Perguruan Tinggi Jumlah
Kecil 3 3 1 0 7
Skala usaha Menengah 2 2 1 0 5
Besar 3 0 4 1 8
Total (responden) 8 5 6 1 20
Persentase (%) 40 25 30 5 100
Hal ini dapat dilihat pada hasil survei bahwa sebagian besar pengrajin hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) dengan jumlah delapan orang (40 persen), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan jumlah lima orang (25 persen), Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan jumlah enam orang (30 persen), sedangkan hanya satu pengrajin (5 persen) yang mempunyai pendidikan formal tertinggi Perguruan Tinggi (PT). Dari sebaran tersebut tingkat pendidikan paling banyak pada setiap skala berbeda. Pengrajin skala kecil dan menengah sebagian besar adalah lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), sedangkan pengrajin skala besar sebagian besar adalah lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Tingkat pendidikan yang masih rendah dikarenakan dalam usaha membuat tahu sumedang tidak diperlukan pendidikan yang tinggi, tetapi cukup keterampilan membuat tahu sumedang yang diwariskan dari generasi sebelumnya, sehingga para orang tua tidak mementingkan pendidikan formal, disamping juga biaya pendidikan yang tidak murah. Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga memiliki pengaruh yang cukup penting dalam menggeluti usaha tahu sumedang. Bagi kebanyakan pengrajin, anggota keluarga dapat dijadikan sebagai sumber tenaga kerja untuk memproduksi tahu sumedang. Semakin banyak jumlah anggota keluarga yang dimiliki pengrajin tahu, berarti semakin besar pula kebutuhan dan pengeluaran biaya hidup yang harus ditanggung oleh pengrajin karena pada umumnya para pengrajin ini tidak memiliki pekerjaan lain atau usaha sampingan selain memproduksi tahu. Jumlah
30 anggota keluarga yang dimiliki oleh para pengrajin tahu juga cukup beragam. Anggota keluarga terdiri dari istri, anak, orang tua dan saudara yang menjadi tanggungan keluarga dan bertempat tinggal pada rumah yang sama. Berdasarkan tabel 14 dapat dilihat rentang jumlah anggota keluarga pengrajin mulai dari dua hingga lebih dari enam tanggungan. Sebagian besar jumlah anggota keluarga pada pengrajin skala kecil, menengah dan besar paling banyak memiliki tanggungan keluarga dengan jumlah empat hingga lima orang dengan persentase 55 persen dari total responden. Secara rinci sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada tabel 14. Tabel 14 Sebaran responden pengrajin tahu sumedang berdasarkan jumlah anggota keluarga tahun 2014 Jumlah anggota
Kecil
2−3 4−5 ≥6 Jumlah
2 3 2 7
Skala Usaha Menengah 1 3 1 5
Besar 1 5 2 8
Total (responden) 4 11 5 20
Persentase (%) 20 55 25 100
Lama Usaha Pekerjaan menjadi pengrajin tahu sumedang merupakan mata pencaharian utama bagi mereka. Lama usaha setiap pengrajin dalam menjalani usahanya sangat beragam. Secara rinci sebaran responden berdasarkan lama usaha dapat dilihat pada tabel 15. Tabel 15 Sebaran responden pengrajin tahu sumedang berdasarkan lama usaha tahun 2014 Lama usaha 1−5 6−10 11−15 ≥15 Jumlah
Kecil 4 1 0 2 7
Skala Usaha Menengah 4 0 1 0 5
Besar 2 1 2 3 8
Total (responden) 10 2 3 5 20
Persentase (%) 50 10 15 25 100
Berdasarkan tabel 15 dapat dilihat dari 20 pengrajin tahu sumedang sebagian besar baru menjalankan usahanya antara satu hingga lima tahun dengan persentase 50 persen. Lama usaha pengrajin berbeda pada setiap skala usaha, untuk skala kecil dan menengah sebagian besar menjalankan usahanya antara satu hingga lima tahun dengan jumlah 4 orang. Sedangkan untuk skala besar sebagian besar sudah menjalankan usahanya lebih dari 15 tahun dengan jumlah 3 orang. Berdasarkan uraian tersebut, maka lama pengalaman usaha bukanlah jaminan apakah usaha produksi tahu sumedang mampu berkembang dengan baik atau tidak karena masih ada faktor lain seperti keterbatasan modal yang dimiliki maupun motivasi pengrajin untuk mengembangkan usahanya. Alasan Memilih Usaha Alasan memilih usaha tahu sumedang sebagai sumber penghasilan keluarga bagi sebagian besar pengrajin karena merupakan usaha turun-temurun dengan
31 persentase 35 persen dari total responden. Alasan memilih usaha berbeda pada setiap skala, untuk skala kecil sebagian besar memilih menjadi pengrajin tahu karena turun-temurun dengan jumlah 5 orang, untuk skala menengah sebagian besar memilih menjadi pengrajin tahu karena modal yang diperlukan tidak terlalu besar dengan jumlah 3 orang, sedangkan untuk skala besar sebagian besar memilih menjadi pengrajin tahu sebagai upaya untuk memperbaiki ekonomi dengan jumlah 5 orang. Secara rinci sebaran responden berdasarkan alasan memilih usaha dapat dilihat pada tabel 16. Tabel 16 Sebaran responden pengrajin tahu sumedang berdasarkan alasan memilih usaha tahun 2014 Alasan memilih usaha
Kecil
Turun-temurun Modal kecil Banyak permintaan Proses sederhana Perbaikan ekonomi Jumlah
5 1 0 0 1 7
Skala Usaha Menengah 1 3 1 0 0 5
Besar 1 2 0 0 5 8
Total (responden) 7 6 1 0 6 20
Persentase (%) 35 30 5 0 30 100
Penggunaan Jumlah Kedelai Penggunaan jumlah kedelai yang digunakan setiap hari menjadi patokan untuk pengelompokkan skala usaha dalam penelitian ini. Penggunaan jumlah kedelai yang digunakan didasarkan pada modal yang dimiliki oleh pengrajin. Semakin banyak memiliki modal maka jumlah kedelai yang digunakan semakin banyak. Modal yang digunakan untuk mendirikan usaha diperoleh dari modal sendiri, namun ada beberapa pengrajin yang memperoleh modal dari hasil pinjaman bank. Sebagian besar pengrajin menyebutkan bahwa pada awal mula mereka mendirikan usaha pembuatan tahu sumedang menggunakan modal sedikit karena pada waktu memulai usaha harga kedelai masih rendah. Jumlah kedelai yang digunakan oleh pengrajin tahu sumedang berbeda pada setiap skala. Hal ini dikarenakan beragamnya kemampuan pengrajin dalam membeli kedelai. Secara rinci sebaran responden berdasarkan jumlah kedelai per hari dapat dilihat pada tabel 17. Tabel 17 Sebaran responden pengrajin tahu sumedang berdasarkan jumlah kedelai per hari sebelum kenaikan harga kedelai Jumlah kedelai (kg/hari) 111 330 969 Jumlah
Kecil 7 0 0 7
Skala Usaha Menengah 0 5 0 5
Besar 0 0 8 8
Total (responden) 7 5 8 20
Persentase (%) 35 25 40 100
Berdasarkan tabel 17, karakteristik responden dapat dibedakan berdasarkan jumlah kedelai yang digunakan untuk produksi tahu sumedang setiap harinya. Pada skala kecil jumlah kedelai paling sedikit yang digunakan adalah 50 kg dan pada skala besar paling banyak adalah 2 800 kg (lampiran 1). Sebaran responden
32 dengan skala kecil atau dengan jumlah penggunaan kedelai per hari rata-rata 111 kg sebanyak 7 orang (35 persen), skala menengah atau penggunaan kedelai per hari rata-rata 330 kg sebanyak 5 orang (25 persen), dan skala besar atau penggunaan kedelai per hari rata-rata 969 kg sebanyak 8 orang (40 persen). Tenaga Kerja Tenaga kerja adalah salah satu faktor dalam produksi yang penting. Usaha dapat berjalan dengan baik jika tenaga kerja yang ada memiliki kemampuan yang baik. Dalam hal pembuatan tahu sumedang tenaga kerja yang digunakan tidak memiliki kualifikasi tertentu karena membuat tahu tidak terlalu sulit. Dalam pembuatannya hanya diperlukan tenaga, kejujuran, dan kerajinan. Tenaga kerja yang digunakan bervariasi ada tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga. Tenaga kerja dalam keluarga yang terlibat dalam proses produksi adalah istri, anak, menantu dan saudara terdekat dari responden. Sedangkan tenaga kerja luar keluarga yang terlibat selama proses produksi berasal dari warga sekitar yang masih berada di wilayah penelitian. Secara rinci sebaran responden berdasarkan jumlah tenaga kerja dapat dilihat pada tabel 18. Tabel 18 Sebaran responden pengrajin tahu sumedang berdasarkan rata-rata jumlah tenaga kerja tahun 2014 Tenaga kerja Tenaga kerja dalam keluarga Tenaga kerja luar keluarga Tenaga kerja dalam dan luar keuarga Jumlah
Skala Usaha Menengah
Kecil
Besar
Total (responden)
Persentase (%)
4
0
0
4
20
3
4
5
12
60
0 7
1 5
3 8
4 20
20 100
Berdasarkan tabel 18 dapat dilihat bahwa sebagian pengrajin tahu sumedang menggunakan tenaga kerja luar keluarga dalam usahanya sebanyak 12 responden atau 60 persen dari total responden. Alasan mereka menggunakan tenaga kerja luar keluarga karena kebanyakan masing-masing dari keluarganya lebih memilih untuk mengelola usaha sendiri. Sehingga pada akhirnya para pengrajin mengambil tenaga kerja dari luar. Tenaga gabungan antara keduanya hanya 20 persen dari total responden. Penggunaan tenaga kerja oleh pengrajin tahu sumedang berbeda pada setiap skala. Berdasarkan tabel 18 dapat dilihat bahwa untuk skala kecil sebanyak empat responden menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Hal ini dikarenakan mereka beranggapan bahwa tenaga kerja dalam keluarga lebih loyal dan akan lebih mudah diawasi. Skala menengah dan besar paling banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga dengan jumlah masing-masing adalah empat responden dan lima responden. Kenaikan harga kedelai tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap penggunaan tenaga kerja. Responden tetap mempertahankan para pekerjanya karena merasa kasihan tidak ada pekerjaan yang lain walaupun dengan resiko pendapatan yang diperoleh lebih sedikit. Sistem upah yang diterapkan oleh para pengrajin, baik skala kecil, menengah, maupun besar adalah sistem upah harian.
33 Tenaga kerja tersebut diberi upah setelah pekerjaannya selesai. Upah tenaga kerja dalam keluarga tidak dibayarkan secara tunai, namun dihitung dalam biaya diperhitungkan.
Gambaran Usaha Tahu Sumedang Kegiatan Produksi Tahu Sumedang di Kecamatan Tanjungsari Kegiatan produksi tahu sumedang di Kecamatan Tanjungsari memiliki beberapa tahapan. Setiap tahap memerlukan ketelitian yang tinggi dari pengolahannya karena kualitas dari produk yang dihasilkan sangat tergantung dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada setiap tahap produksi. Antara satu pengrajin dengan pengrajin lainnya memiliki perbedaan dalam mengolah bahan baku kedelai menjadi tahu, walaupun pada dasarnya pengolahan tetap sama. Hal ini tergantung dari pengalaman dan keahlian yang mereka miliki. Untuk mendapatkan tahu sumedang dengan kualitas yang baik diperlukan kedelai dengan kualitas yang baik pula, air yang bersih dan pengolahan yang teliti baik dari segi kebersihannya maupun ketepatan waktu pengolahan. Dalam mengolah kedelai menjadi tahu, para pengrajin menggunakan satuan yang dikenal dengan nama jirangan, banyaknya kedelai per jirangan berbeda antara satu pengrajin dengan pengrajin lainnya. Ada yang menggunakan satu jirangan berisi 6.5 kg kedelai, ada pula yang 7 kg kedelai dan bahkan ada yang berisi 8 kg kedelai. Perbedaan jirangan tersebut tergantung dari keinginan masing-masing pengrajin. Kegiatan produksi tahu sumedang di Kecamatan Tanjungsari membutuhkan sarana produksi yang cukup banyak. Pengarajin harus menyediakan mesin penggiling kedelai, tahang (tungku memasak), drum (gentong untuk menyimpan air), ember, lawon (kain saringan), ancakan, serokan, katel, cetakan dan tangok (alat penyaring dari bambu). Perbedaan pada setiap skala, baik skala kecil, menengah dan besar hanya terletak pada jumlah kepemilikan sarana produksi. Dalam hal tenaga kerja juga berbeda untuk setiap skala, ada yang menggunakan tenaga kerja dalam keluarga maupun luar keluarga. Pengadaan Bahan Baku Bahan baku yang digunakan pengrajin untuk memproduksi tahu sumedang adalah kedelai, bahan bakar (solar, kayu bakar, gas), garam, air, cuka bibit. Untuk bahan bakar, para pengrajin menggunakan bahan bakar yang berbeda dalam melakukan proses produksinya yaitu menggunakan kayu bakar, serbuk gergaji, dan gas. Pengrajin mendapatkan kayu bakar dari agen-agen kayu di sekitar Kecamatan Tanjungsari. Untuk serbuk gergaji pengrajin mendapatkannya dari tukang kayu, sedangkan untuk gas para pengrajin biasa membeli dari agen atau warung-warung terdekat dengan membayar langsung pada saat pembelian. Bahan baku lain seperti garam para pengrajin membelinya dari pasar Tanjungsari atau warung-warung terdekat. Untuk air pengrajin menggunakan air yang berasal dari sumur atau mata air. Sedangkan untuk cuka bibit berasal dari penggumpalan pembuatan tahu yang sudah berumur dua hingga tiga hari.
34 Bahan baku kedelai yang digunakan oleh pengrajin adalah kedelai impor karena selain kedelai impor yang tersedia di pasar, kualitas kedelai impor juga lebih bagus. Para pengrajin biasa mendapatkan kedelai dari agen-agen yang terdapat di daerah sekitar tempat tinggal mereka, yaitu di daerah Tanjungsari Sumedang dan bahkan ada yang mendapatkan kedelai dari agen yang berada di Bandung. Pembelian bahan baku kedelai oleh pengrajin dilakukan secara individu. Pengrajin tahu membeli kedelai dengan sistem yang berbeda tergantung dari modal yang dimiliki. Pengrajin yang memiliki modal besar biasa membayar lunas saat pembelian, biasanya dilakukan oleh pengrajin skala besar. Sedangkan untuk pengrajin skala kecil dan menengah yang memiliki modal terbatas membayar separuh harga dan melunasi saat pembelian hari berikutnya, bahkan ada yang mengambil kedelai terlebih dahulu dan membayarnya pada saat pembelian berikutnya setelah tahu terjual. Berdasarkan hasil penelitian, sebelum kenaikan harga kedelai para pengrajin tahu sumedang di Kecamatan Tanjungsari biasa melakukan pembelian kedelai seminggu sekali sekaligus sebagai bahan persediaan (stok). Namun setelah terjadi kenaikan harga kedelai, sebagian besar pengrajin tahu sumedang melakukan pembelian kedelai menjadi dua atau setiap hari setelah mendapatkan uang dari hasil penjualan. Sebelum kenaikan harga kedelai, sebagian besar pengrajin biasa membeli kedelai dalam hitungan karung (kwintal), namun setelah kenaikan harga kedelai pengrajin membeli kedelai secara eceran sesuai dengan kebutuhan. Adapun harga kedelai pada saat penelitian berlangsung rata-rata Rp8 283 dan pada saat harga kedelai mengalami kenaikan rata-rata pengrajin membeli dengan harga Rp9 425 dengan persentase perubahan 13.9 persen. Sedangkan jumlah produksi rata-rata sebelum kenaikan sebesar 509 kg dan setelah kenaikan sebesar 434.5 kg. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 19. Tabel 19 Harga dan jumlah produksi kedelai sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari, Sumedang Sebelum kenaikan harga kedelai Skala usaha
Kecil
Menengah
Besar
Rata-rata
Harga kedelai (Rp/kg) 8 500 8 000 8 400 7 000 8 550 8 600 8 500 8 000 8 500 8 600 8 600 8 500 8 000 8 000 8 400 8 000 8 500 8 100 8 500 8 400 8 283
Jumlah produksi (kg) 100 100 50 100 80 250 100 300 300 350 350 350 2 800 800 700 1 000 700 700 400 650 509
Setelah kenaikan harga kedelai Harga kedelai (Rp/kg) 9 500 8 900 9 600 8 700 9 600 9 400 9 500 10 000 9 500 10 000 10 000 10 000 9 000 9 000 9 600 9 000 9 700 9 000 9 000 9 500 9 425
Jumlah produksi (kg) 80 100 50 100 80 250 80 300 200 350 350 350 1 750 800 700 800 700 700 300 650 434.5
Persentase kenaikan harga (%) 11.8 11.3 14.3 24.3 12.3 9.3 11.8 25 11.8 16.3 16.3 17.6 12.5 12.5 14.3 12.5 14.1 11.1 5.9 13.1 13.9
35 Bahan baku kedelai yang dipilih adalah kedelai dengan kualitas baik. Hal ini disebabkan karena kualitas kedelai sangat berpengaruh pada kualitas tahu yang dihasilkan. Kualitas kedelai yang buruk akan menyebabkan kesulitan pada proses pengolahan sehingga tahu menjadi gagal atau tidak mencapai standar kualitas seperti biasa. Hal ini akan menyulitkan pengrajin dalam memasarkan tahunya karena akan menimbulkan keluhan dari para pelanggan. Peralatan Produksi Peralatan yang digunakan dalam membuat tahu sumedang merupakan peralatan yang sederhana, namun tetap dibutuhkan pengalaman dan keterampilan yang cukup untuk dapat menghasilkan tahu sumedang yang baik. Peralatan yang digunakan oleh pengrajin baik skala kecil, menengah dan besar adalah sama, sedangkan yang membedakan hanya dari jumlah peralatan saja. Pada proses pembuatan tahu sumedang peralatan yang digunakan adalah mesin penggiling kedelai, tangok, tahang, kain saringan, drum, ember, ancak (rak bambu), serokan, katel (wajan) dan cetakan. Berdasarkan tabel 20 menunjukkan bahwa peralatan yang dimiliki oleh pengrajin tahu pada setiap skala sama. Akan tetapi, yang membedakannya hanya pada jumlah kepemilikannya saja, serta harga peralatan yang dibeli oleh pengrajin. Penggilingan kedelai dilakukan dengan mesin penggiling kedelai berkapasitas 5-15 kilogram per 10 menit kedelai basah. Mesin penggiling kedelai sudah lebih modern yaitu dengan menggunakan dinamo listrik. Setiap pengrajin memiliki jumlah mesin penggiling kedelai yang bervariasi sesuai dengan skala usahanya. Rata-rata untuk pengrajin skala kecil memiliki satu buah mesin penggiling kedelai dengan harga rata-rata Rp3 757 143. Untuk pengrajin skala menengah rata-rata memiliki dua buah mesin penggiling kedelai dengan harga rata-rata Rp2 400 000. Sedangkan untuk skala besar rata-rata memiliki mesin penggiling kedelai tiga buah dengan harga rata-rata Rp6 312 500. Mesin penggiling kedelai ini mempunyai nilai ekonomis yang panjang sekitar empat tahun. Peralatan lain adalah tangok yang digunakan untuk penyaringan sari kedelai yang sudah di godok. Rata-rata untuk pengrajin skala kecil memiliki satu buah tangok dengan harga rata-rata Rp448 571. Untuk pengrajin skala menengah ratarata memiliki dua buah tangok dengan harga rata-rata Rp290 000. Sedangkan untuk skala besar rata-rata memiliki tangok empat buah dengan harga rata-rata Rp325 000. Tangok ini mempunyai nilai ekonomis yang panjang sekitar tiga tahun. Tahang dan kain saringan digunakan untuk menampung sari kedelai. Ratarata pengrajin skala kecil memiliki tahang dua buah dengan harga rata-rata Rp1 142 857, sedangkan kain saringan berjumlah empat buah dengan harga rata-rata Rp12 714. Rata-rata pengrajin skala menengah memiliki tahang dua buah dengan harga rata-rata Rp1 400 000, sedangkan kain saringan berjumlah delapan buah dengan harga rata-rata Rp11 800. Rata-rata pengrajin skala besar memiliki tahang empat buah dengan harga rata-rata Rp1 875 000, sedangkan kain saringan berjumlah 11 buah dengan harga rata-rata Rp25 813. Tahang memiliki umur ekonomis yang panjang yaitu sekitar empat tahun, sedangkan kain saringan memiliki umur ekonomis sekitar satu bulan.
36 Drum dan ember digunakan untuk menampung dan memindahkan air, serta merendam kedelai. Rata-rata pengrajin skala kecil memiliki drum delapan buah dengan harga rata-rata Rp157 857, sedangkan ember berjumlah sembilan buah dengan harga rata-rata Rp18 143. Rata-rata pengrajin skala menengah memiliki drum enam buah dengan harga rata-rata Rp127 000, sedangkan ember berjumlah delapan buah dengan harga rata-rata Rp16 000. Rata-rata pengrajin skala besar memiliki drum 11 buah dengan harga rata-rata Rp145 000, sedangkan ember berjumlah 20 buah dengan harga rata-rata Rp13 250. Drum memiliki umur ekonomis enam bulan, sedangkan ember memiliki umur ekonomis satu bulan. Jumlah peralatan dan biaya yang dikeluarkan untuk peralatan produksi dapat dilihat pada tabel 20. Tabel 20 Jumlah peralatan dan biaya peralatan pada usaha tahu sumedang Uraian Mesin penggiling kedelai Tahang Drum Ember Tangok Saringan Ancak Katel Cetakan Serokan
Skala kecil Jumlah Harga (unit) (Rp) 1 2 8 9 1 29 72 2 6 2
3 757 143 1 142 857 157 857 18 143 448 571 12 714 12 429 2 160 000 307 143 35 000
Skala Menengah Jumlah Harga (unit) (Rp) 2 2 6 8 2 19 190 3 7 2
2 400 000 1 400 000 127 000 16 000 390 000 11 800 11 000 2 139 000 390 000 122 000
Skala Besar Jumlah Harga (unit) (Rp) 3 4 11 20 4 52 481 7 15 8
6 312 500 1 875 000 145 000 13 250 325 000 25 813 13 250 4 037 500 455 000 93 250
Peralatan lainnya adalah ancak (rak bambu), serokan, katel dan cetakan. Ancak digunakan sebagai tempat tahu mentah hasil cetakan yang terbuat dari anyaman bambu yang berfungsi sebagai peniris. Selain itu, ancak (rak bambu) juga digunakan sebagai tempat tahu yang sudah di goreng. Serokan dan katel digunakan pada saat menggoreng tahu. Sedangkan cetakan merupakan alat yang digunakan untuk mencetak tahu yang terbuat dari kayu atau bambu dengan ukuran 42 x 42 x 5 cm yang dialasi oleh kain saringan kemudian ditutup dan dirumpuk untuk mengeluarkan air yang masih tersisa. Secara rinci peralatan produksi dan fungsinya dapat dilihat pada lampiran 2. Proses Produksi Tahu Sumedang Secara umum pengrajin tahu sumedang di Kecamatan Tanjungsari dibedakan menjadi tiga skala berdasarkan kebutuhan kedelai per hari. Akan tetapi, dalam hal proses produksi tidak berbeda. Proses produksi pada setiap skala masih sederhana. Proses pembuatannya dilakukan di pabrik masing-masing, dimana status pabrik mereka adalah milik sendiri. Sedangkan untuk proses produksi tahu sumedang meliputi perendaman kedelai, penggilingan, pemasakan, penyaringan, penggumpalan, penyaringan, pencetakan dan pematangan tahu. Proses pembuatan tahu sumedang dapat dilihat pada gambar 4.
37
Perendaman kedelai
Penggilingan kedelai
Pencetakan tahu
Penggumpalan
Penggorengan tahu
Perebusan kedelai
Penyaringan
Tahu matang
Gambar 4 Proses pembuatan tahu sumedang Berdasarkan gambar 4 dapat dilihat langkah awal yang dilakukan para pengrajin untuk membuat tahu adalah dengan melakukan perendaman kedelai selama kurang lebih empat jam di dalam ember. Perendaman biasanya dilakukan pada saat malam hari sehingga siap untuk digiling pada pagi harinya. Kedelai yang telah direndam dalam air dimasukkan ke dalam alat kemudian digiling dengan menggunakan mesin penggiling kedelai yang berbahan bakar solar ataupun dynamo listrik. Dalam hal ini semua pengrajin baik pada skala kecil, menengah, maupun besar memiliki mesin penggiling kedelai sendiri. Kedelai yang telah digiling kemudian dimasukkan ke dalam drum untuk dimasak. Bahan bakar yang digunakan oleh para pengrajin untuk memasak bubur kedelai berbeda satu dengan yang lain, ada yang menggunakan gas dan ada juga yang menggunakan kayu bakar. Kayu bakar harganya lebih murah daripada gas. Akan tetapi, para pengrajin yang memilih menggunakan gas dengan alasan mudah diperoleh. Sedangkan untuk kayu bakar sudah sangat sulit didapatkan. Kemudian bubur kedelai yang sudah dimasak disaring dengan saringan kerucut dari bambu/besi (tangok) dan kain saringan (lawon) yang diletakkan di dalam tahang. Setelah itu, di tekan dengan papan kayu sekuat-kuatnya sehingga diperoleh sari kedelai secara optimal. Proses selanjutnya adalah penggumpalan, yaitu sari kedelai yang masih hangat dan berwarna kekuning-kuningan ditambahkan dengan penggumpal.
38 Penggumpal yang digunakan adalah air biang yang berasal dari pembuatan tahu sebelumnya. Penggumpalan ini dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan sari kedelai dengan cairan tahu (biang). Kemudian sari kedelai dimasukkan ke dalam cetakan yang bagian alasnya dihamparkan kain saringan. Setelah itu ditutup kembali oleh kain saringan dan bagian atas diberi penutup dari bambu kemudian ditutup oleh penutup cetakan dari kayu, lalu ditumpuk atau diberi beban batu besar untuk mengeluarkan sisa air agar mendapatkan bentuk yang sempurna. Tahu yang sudah dicetak ditiriskan di rak agar airnya dapat terbuang sempurna. Tahu yang sudah ditiriskan dan terbentuk kemudian dipotong berdasarkan ukuran, jumlah dan harga yang diinginkan. Tahu yang telah dipotong kemudian direndam selama kurang lebih dua menit dalam air garam. Setelah itu, tahu tersebut kemudian digoreng. Cara Penjualan Penjualan merupakan aspek yang sangat penting setelah kegiatan produksi karena melalui penjualan ini pengrajin dapat memperoleh penghasilan. Berdasarkan hasil penelitian, pengrajin tahu sumedang di Kecamatan Tajungsari melakukan penjualannya dengan dua cara, yaitu di jual sendiri ke pasar dan melalui perantara. Untuk pengrajin yang menjual melalui perantara artinya pedagang-pedagang dari pasar mengambil langsung tahu kepada pengrajin, sehingga pengrajin tidak mengeluarkan biaya transportasi. Sedangkan untuk pengrajin yang menjual sendiri memerlukan biaya untuk tranportasi ke pasar. Pasar yang dijadikan sebagai tempat penjualan yaitu daerah Bandung, Garut dan ada pula yang hanya memasarkan di daerah Tanjungsari. Untuk lebih jelasnya sebaran responden berdasarkan cara penjualan dapat dilihat pada tabel 21. Tabel 21 Sebaran responden pengrajin tahu sumedang berdasarkan cara penjualan tahun 2014 Penjualan Di jual sendiri Melalui perantara Jumlah
Skala Usaha Kecil Menengah 0 1 7 4 7 5
Besar 0 8 8
Total (responden) 1 19 20
Persentase (%) 5 95 100
Berdasarkan tabel 21 dapat dilihat bahwa cara penjualan pengrajin sebanyak 95 persen melalui perantara, artinya para pedagang yang mengambil langsung tahu ke tempat pengrajin. Cara penjualan berbeda pada setiap skala, untuk skala kecil semua pengrajin menjual melalui perantara, yaitu sebanyak tujuh orang. Untuk pengrajin skala menengah empat orang menjual melalui perantara dan hanya satu orang yang menjualnya sendiri. Sedangkan untuk pengrajin skala besar semua pengrajin menjual melalui perantara, yaitu sebanyak delapan orang. Perlu diungkapkan bahwa dalam pemasaran produk tahu, umumnya produsen melakukan diversifikasi ukuran, dan proporsi masing-masing ukuran disesuaikan dengan selera golongan pembeli yang dihadapi. Pengrajin tahu skala kecil, sedang dan besar proporsi terbesar golongan pembeli yang dihadapi adalah pedagang perantara. Penjualan produk tahu sumedang dengan lebih mengandalkan golongan pembeli, yaitu pedagang perantara, secara tidak langsung telah memperluas jangkauan penjualan produk
39 tahu yang bersangkutan, dan yang lebih penting produk tahu yang dijual lebih cepat terjual habis. Konsekuensinya, produk tahu membutuhkan waktu penjualan relatif lebih cepat. Sistem pembayaran dalam penjualan produk tahu sumedang umumnya secara tunai karena apabila pembayaran yang dilakukan terutama oleh pedagang perantara tertunda jelas akan mengganggu kelancaran produksi tahu sumedang. Dalam hal penjualan tahu sumedang, pengrajin tahu umumnya memberikan potongan harga khususnya kepada pedagang perantara. Hal ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan baik antara pengrajin dengan pelanggan, dan disamping itu umumnya pedagang perantara membeli dalam volume yang relatif besar. Dengan kata lain harga jual yang berlaku adalah harga grosir.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Struktur Biaya Tahu Sumedang Setiap kegiatan produksi tidak terlepas dari biaya, begitu pula kegiatan produksi tahu sumedang. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi tahu sumedang meliputi biaya pembelian kedelai, garam, minyak goreng, bahan bakar, tenaga kerja, biaya transportasi, listrik, serta biaya penyusutan peralatan produksi. Dengan demikian, biaya produksi adalah semua pengeluaran yang dilakukan pengrajin tahu sumedang untuk memperoleh bahan baku produksi yang akan digunakan untuk memproduksi tahu sumedang. Biaya Tetap Usaha Tahu Sumedang Biaya tetap yang dikeluarkan oleh pengrajin tahu sumedang di Kecamatan Tanjungsari terdiri dari biaya penyusutan peralatan produksi, penyusutan pabrik, biaya transportasi dan biaya pembayaran listrik. Biaya ini harus tetap dikeluarkan oleh pengrajin tahu berapapun jumlah produksi tahu yang dihasilkan. Untuk biaya penyusutan peralatan produksi dilakukan dengan metode garis lurus. Peralatan merupakan input produksi yang digunakan sebagai alat bantu usaha. Pada proses pembuatan tahu sumedang peralatan yang digunakan adalah mesin penggiling kedelai, tangok, tahang, kain saringan, drum, ember, ancak (rak bambu), serokan, katel (wajan) dan cetakan. Secara rinci peralatan yang digunakan untuk pembuatan tahu sumedang telah dijelaskan pada subbab peralatan produksi. Sedangkan bangunan atau pabrik digunakan sebagai tempat produksi. Biaya listrik digunakan untuk penerangan, air, dan dinamo termasuk ke dalam biaya tetap karena jumlah pemakaian listrik tersebut tidak dipengaruhi oleh besarnya jumlah produksi tahu sumedang yang dihasilkan pengrajin. Dengan demikian bila pengrajin menambah atau mengurangi jumlah penggunaan kedelainya yang nanti akan meningkatkan jumlah produksi tahu, tidak akan mempengaruhi besarnya biaya listrik yang dibayarkan pengrajin tahu. Biaya transportasi digunakan untuk mengangkut tahu yang akan dijual ke pasar. Biaya ini dikeluarkan oleh pengrajin yang menjual tahunya sendiri, sehingga dibutuhkan biaya transportasi. Pada umumnya, semua pengrajin tidak
40 mengeluarkan biaya transportasi karena penjualan tahu dilakukan melalui perantara. Namun pada skala menengah masih ada pengrajin yang menjual tahu sendiri ke pasar. Biaya transportasi termasuk pada biaya tetap dikarenakan biaya tersebut tidak dipengaruhi oleh besarnya jumlah produksi tahu sumedang yang dihasilkan pengrajin. Dengan demikian apabila melakukan pengurangan atau penambahan jumlah produksi, maka biaya transportasi ini akan tetap. Berdasarkan tabel 22 dapat dilihat komponen biaya tetap yang dikeluarkan pengrajin tahu sumedang berdasarkan skala usaha. Jumlah responden yang ada pada skala kecil adalah tujuh responden, skala menengah lima responden, dan skala besar delapan responden. Biaya penyusutan peralatan pada masing-masing skala sebesar Rp72 966 (80 persen) untuk skala kecil, Rp97 688 (65 persen) untuk skala menengah, dan Rp335 156 (78 persen) untuk skala besar. Untuk komponen biaya penyusutan peralatan yang paling rendah dialami pada pengrajin skala kecil. Hal ini dikarenakan dalam produksi tahu skala kecil memerlukan jumlah peralatan yang lebih sedikit. Sehingga semakin banyak kedelai yang diolah menjadi tahu sumedang, semakin banyak pula peralatan yang dibutuhkan. Dengan demikian, pengrajin skala besar mengeluarkan biaya penyusutan terbesar yaitu Rp335 156 (78 persen) dibandingkan dengan dua skala lainnya. Selain itu ada biaya penyusutan pabrik, untuk pengrajin skala kecil sebesar Rp4 266 (lima persen), skala menengah sebesar Rp5 079 (tiga persen), dan skala besar sebesar Rp6 548 (dua persen). Biaya penyusutan pabrik terbesar ada pada skala besar karena jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membuat pabrik juga lebih besar. Biaya transportasi hanya dikeluarkan oleh skala menengah saja. Hal ini dikarenakan pada skala menengah masih ada pengrajin yang menjual tahu nya sendiri, sedangkan untuk dua skala lainnya tahu sudah di ambil langsung oleh pedagang ke tempat pengrajin sehingga tidak ada biaya transportasi. Biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pengrajin skala menengah sebesar Rp10 000 (tujuh persen). Sedangkan komponen biaya terakhir pada biaya tetap adalah biaya listrik. Listrik tersebut digunakan untuk penerangan, air, dan untuk dinamo pada saat penggunaan mesin penggiling kedelai. Biaya listrik yang dikeluarkan oleh pengrajin skala kecil, menengah, dan besar berturut-turut adalah Rp13 980 (15 persen), Rp38 286 (25 persen) dan Rp89 554 (21 persen). Berikut data mengenai jumlah rata-rata biaya tetap yang dikeluarkan oleh pengrajin tahu sumedang untuk skala kecil, menengah, dan besar. Tabel 22 Komponen biaya tetap usaha tahu sumedang di Kecamatan Tanjungsari pada skala produksi kecil, menengah, dan besar per hari Uraian Biaya Penyusutan peralatan Penyusutan pabrik Transportasi Listrik Total biaya tetap Biaya tetap per ancak tahu
Skala kecil (n = 7) % Rp/pengrajin 80 72 966 5 4 266 0 0 15 13 980 100 91 212
Skala menengah (n = 5) % Rp/pengrajin 65 97 688 3 5 079 7 10 000 25 38 286 100 151 053
Skala besar (n = 8) % Rp/pengrajin 78 335 156 2 6548 0 0 21 89 554 431 258 100
1 448
808
776
41 Untuk mengetahui skala produksi yang paling rendah atau efisien dalam mengeluarkan biaya tetap, yaitu dengan membagi total biaya tetap yang dikeluarkan masing-masing pengrajin pada tiap skala dengan jumlah per ancak tahu yang dihasilkan masing-masing skala pengrajin tahu. Sehingga di dapat biaya tetap rata-rata per ancak tahu. Berdasarkan tabel 22 terlihat biaya tetap rata-rata yang dikeluarkan pengrajin untuk setiap skala usaha berbeda, untuk skala kecil sebesar Rp1 448, skala menengah sebesar Rp808, dan skala besar sebesar Rp776. Terlihat kecencenderungan bahwa semakin besar skala usaha, semakin rendah biaya tetap rata-rata per ancak tahu yang dihasilkan. Sehingga pengrajin tahu skala besar merupakan pengrajin yang paling ekonomis karena mengeluarkan biaya tetap per ancak tahu paling rendah dibandingkan dua skala lainnya. Biaya Variabel Usaha Tahu Sumedang Biaya variabel yang dikeluarkan oleh pengrajin tahu sumedang di Kecamatan Tanjungsari terdiri dari biaya pembelian bahan baku kedelai, garam, minyak goreng, bahan bakar, dan tenaga kerja. Biaya ini dikeluarkan oleh pengrajin tahu sesuai dengan jumlah produksi tahu yang dihasilkan. Komponen biaya variabel terbesar dalam pembuatan tahu sumedang adalah biaya pembelian kedelai yang merupakan bahan baku utama. Dengan adanya kenaikan harga kedelai, rata-rata jumlah kedelai yang digunakan pengrajin untuk produksi tahu per hari mengalami penurunan. Berdasarkan tabel 23, dapat dilihat bahwa penggunaan jumlah kedelai berbeda pada setiap skala usaha. Sebelum kenaikan harga kedelai pengrajin skala kecil menggunakan kedelai sebanyak 111 kg per hari, sedangkan setelah kenaikan harga kedelai pengrajin menggunakan kedelai sebanyak 106 kg per hari. Untuk pengrajin skala menengah menggunakan kedelai sebanyak 330 kg per hari sebelum kenaikan harga kedelai, sedangkan setelah kenaikan harga kedelai pengrajin menggunakan kedelai sebanyak 310 kg per hari. Pengrajin skala besar menggunakan kedelai sebanyak 969 kg per hari sebelum kedelai mengalami kenaikan, sedangkan pengrajin menggunakan kedelai sebanyak 800 kg per hari setelah kedelai mengalami kenaikan. Rata-rata penggunaan kedelai per hari untuk setiap skala usaha dapat dilihat pada tabel 23. Tabel 23 Rata-rata penggunaan kedelai per hari sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari pada setiap skala usaha Skala Usaha Skala Kecil Skala Menengah Skala Besar
Rata-rata Penggunaan Kedelai (kg/hari) Sebelum Kenaikan Harga Setelah Kenaikan Harga Kedelai Kedelai 111 106 330 310 969 800
Persentase Penurunan (%) -4.5 -6.0 -17.4
Perbedaan penggunaan kedelai per hari setelah adanya kenaikan harga kedelai mempengaruhi input yang digunakan oleh pengrajin tahu sumedang. Input yang digunakan diantaranya adalah kedelai, garam, minyak goreng, bahan bakar, dan tenaga kerja. Sehingga dengan adanya perbedaan tersebut akan berpengaruh terhadap biaya variabel. Secara rinci input yang digunakan dapat dilihat pada tabel 24.
42 Tabel 24 Penggunaan input produksi per hari tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari pada skala usaha kecil, menengah, dan besar Uraian Kedelai (kg) Garam (kg) Minyak Goreng (kg) Bahan Bakar : Serbuk Gergaji (karung) Gas (unit) Kayu Bakar (kubik) Tenaga Upahan Tenaga kerja keluarga
Sebelum Kenaikan Harga Kedelai Skala Skala Skala Kecil Menengah Besar 111 330 969 16 47 139
Setelah Kenaikan Harga Kedelai Skala Skala Skala Kecil Menengah Besar 106 310 800 15 44 115
22
66
194
21
62
160
2
0
0
2
0
0
2
4
18
2
4
17
4
8
25
4
8
19
2
4
8
2
4
8
1
2
2
1
2
2
Berdasarkan tabel 24 dapat dilihat bahwa kenaikan harga kedelai berpengaruh terhadap input produksi. Besarnya input produksi yang digunakan oleh pengrajin tahu sumedang untuk tiap skala berbeda. Hal tersebut dikarenakan rata-rata penggunaan jumlah kedelai pada setiap skala menurun dengan adanya kenaikan harga kedelai. Sedangkan untuk rata-rata biaya variabel yang dikeluarkan pengrajin pada masing-masing skala sebelum kenaikan harga kedelai dapat dilihat pada tabel 25. Tabel 25 Komponen biaya variabel usaha tahu sumedang sebelum kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari pada skala usaha kecil, menengah dan besar per hari pada bulan Februari 2014 Uraian Biaya Kedelai Garam Minyak goreng Bahan bakar SerbukGergaji Gas KayuBakar Tenaga Upahan Tenaga Kerja Keluaga Total biaya variabel Biaya variabel per ancak tahu
Skala kecil Biaya Persentase (Rp) (%) 922 000 60.6 15 714 1.0
Skala menengah Biaya Persentase (Rp) (%) 2 789 000 61.3 46 800 1.0
Skala besar Biaya Persentase (Rp) (%) 7 895 000 66.8 165 625 1.4
268 857
17.7
792 000
17.4
2 218 750
18.8
4 500 81 429
0.3 5.4
0 400 000
0.0 8.8
0 286 250
0.0 2.4
106 857
7.0
134 400
3.0
403 750
3.4
74 857
4.9
258 600
5.7
665 000
5.6
46 286
3.0
128 000
2.8
188 750
1.6
1 520 500
100.0
4 548 800
100.0
11 823 125
100.0
24 135
24 325
21 265
43 Berdasarkan tabel 25 dapat dilihat bahwa komponen biaya variabel terbesar pada setiap skala usaha sebelum kenaikan harga kedelai adalah pembelian bahan baku kedelai, skala kecil sebesar 60.6 persen, skala menengah sebesar 61.3 persen, dan skala besar 66.8 persen. Komponen terbesar lainnya adalah minyak goreng dan bahan bakar. Begitu pula setelah harga kedelai mengalami kenaikan dengan komponen biaya variabel terbesar adalah pembelian bahan baku kedelai. Secara rinci dapat dilihat pada tabel 26 (lihat halaman 43). Berdasarkan tabel 25 dan 26 dapat dilihat bahwa biaya pembelian kedelai merupakan komponen biaya variabel yang terbesar di setiap skala pengusahaan tahu sumedang. Dari data tersebut terlihat bahwa pengrajin skala besar mengeluarkan biaya pembelian kedelai yang terbesar karena jumlah kedelai yang dibutuhkan oleh skala tersebut memang lebih besar dibandingkan dengan dua skala lainnya. Harga kedelai yang berlaku pada saat sebelum kenaikan harga ratarata adalah Rp8 283 per kg. Sedangkan pada saat harga kedelai mengalami kenaikan rata-rata pengrajin membeli dengan harga Rp9 425 per kg. Berdasarkan tabel 25 dan 26 dapat dilihat bahwa pada skala kecil dan menengah, harga pembelian kedelai meningkat meskipun produksi berkurang. Sedangkan pada skala besar, harga pembelian kedelai menurun karena disertai dengan penurunan produksi yang cukup besar yaitu 17.4 persen. Selain itu, pada pengrajin skala besar selisih harga kedelai sebelum dan setelah kenaikan relatif lebih rendah dibandingkan dengan dua skala lainnya. Tabel 26 Komponen biaya variabel usaha tahu sumedang setelah kenaikan harga Kedelai di Kecamatan Tanjungsari pada skala usaha kecil, menengah dan besar per hari pada bulan Oktober 2013 Uraian Biaya Kedelai Garam Minyak goreng Bahan bakar SerbukGergaji Gas KayuBakar Tenaga Upahan Tenaga Kerja Keluaga Total biaya variabel Biaya variabel per ancak tahu
Skala kecil Biaya Persentase (Rp) (%) 982 571 64.1 14 857 1.0
Skala menengah Biaya Persentase (Rp) (%) 3 080 000 65.0 44 000 0.9
Skala besar Biaya Persentase (Rp) (%) 7 354 375 68.7 139 875 1.3
255 143
16.6
744 000
15.7
1 840 000
17.2
4 500 67 143
0.3 4.4
0 360 000
0.0 7.6
0 271 250
0.0 2.5
95 429
6.2
134 400
2.8
304 000
2.8
70 143
4.6
252 000
5.3
606 875
5.7
43 929
2.9
123 600
2.6
183 750
1.7
1 533 714
100.0
4 738 000
100.0
10 700 125
100.0
25 995
26 920
23 312
Komponen biaya lainnya adalah penggunaan bahan bakar. Bahan bakar yang digunakan oleh setiap pengrajin berbeda-beda. Ada pengrajin yang
44 menggunakan serbuk gergaji, gas dan ada pula pengrajin yang masih menggunakan kayu bakar. Semakin banyak kedelai yang akan di olah maka penggunaan bahan bakarnya juga akan semakin banyak. Untuk pengrajin skala kecil bahan bakar yang digunakan adalah serbuk gergaji, gas dan kayu bakar. Sedangkan untuk pengrajin skala menengah dan besar mereka hanya menggunakan gas dan kayu bakar. Selain itu, minyak goreng juga merupakan salah satu komponen terbesar dalam produksi tahu sumedang karena pedagang-pedagang dari pasar membeli tahu dalam bentuk masak. Harga minyak goreng yang berlaku pada saat penelitian berkisar antara Rp11 000 hingga Rp12 500 per kg. Untuk mengolah 100 kg kedelai maka dibutuhkan minyak goreng sekitar 20 kg. Maka tidak heran jika biaya produksi yang dikeluarkan untuk minyak goreng juga cukup besar. Komponen lainnya dalam biaya produksi tahu sumedang adalah garam. Garam digunakan untuk merendam tahu yang sudah di cetak. Penggunaan garam sebenarnya bervariasi tergantung dari pengrajin itu sendiri. Akan tetapi, secara umum untuk merendam 100 kg kedelai maka dibutuhkan garam sebanyak 7 kg. Semakin banyak kedelai yang di olah maka akan semakin meningkatkan pula kebutuhan garam. Komponen lainnya adalah penggunaan tenaga kerja. Untuk pengrajin tahu sumedang baik skala kecil, menengah, maupun besar lebih banyak mengolah tahu dengan menggunakan tenaga upahan. Untuk sistem upah tidak ada perbedaan antara tenaga kerja upahan, maupun tenaga kerja dalam keluarga. Sistem upah untuk pengrajin tahu sumedang dihitung berdasarkan banyaknya gilingan. Upah dalam satu gilingan sampai tahu masak sekitar Rp8 500/gilingan. Upah tenaga kerja keluarga dimasukkan ke dalam biaya variabel karena pada dasarnya menerapkan sistem upah yang sama dengan tenaga upahan sehingga dimasukkan ke dalam perhitungan biaya variabel. Akan tetapi pada kenyataannya tenaga kerja keluarga ini termasuk ke dalam biaya yang diperhitungkan (non tunai). Tabel 25 dan 26 juga menunjukkan bagaimana komponen biaya variabel pada kondisi setelah adanya kenaikan harga kedelai. Pada kondisi tersebut komponen biaya yang berubah adalah pada harga kedelai, sedangkan biaya variabel lainnya adalah tetap. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa biaya bahan baku selain kedelai berubah (menurun). Hal ini lebih dikarenakan jumlah produksi kedelai yang menurun. Dengan demikian ada penyesuaian pada bahan baku lain yang digunakan. Selain itu, pengurangan jumlah produksi juga merupakan salah satu cara penyesuaian yang dilakukan untuk menyiasati kenaikan harga kedelai. Setelah adanya kenaikan harga kedelai jumlah biaya yang digunakan untuk pembelian kedelai pun meningkat, sehingga menyebabkan jumlah biaya total variabel pun meningkat. Jika biaya variabel menurun sebenarnya diakibatkan oleh jumlah produksi yang menurun. Biaya variabel rata-rata per ancak tahu akan lebih murah pada skala besar, baik pada keadaan sebelum kenaikan harga kedelai maupun setelah kenaikan harga kedelai. Dikarenakan pada skala ini relatif dapat menekan biaya variabel yang dikeluarkan, artinya skala usaha yang paling ekonomis adalah skala besar. Namun di sisi lain pada penelitian ini menunjukkan bahwa dari biaya variabel rata-rata per ancak tahu, skala kecil lebih ekonomis daripada skala menengah dikarenakan pengrajin skala menengah memperoleh harga kedelai yang lebih tinggi dari agen tempat pemasoknya berasal, baik sebelum maupun setelah harga kedelai naik.
45 Biaya Total Usaha Tahu Sumedang Biaya total adalah penjumlahan dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan oleh pengrajin tahu sumedang yang meliputi biaya tetap ditambah biaya variabel. Semakin besar skala pengrajin tahu sumedang, kecenderungannya semakin besar pula biaya produksi yang dikeluarkan oleh pengrajin. Biaya total yang dikeluarkan pengrajin pada masing-masing skala sebelum kenaikan harga kedelai dapat dilihat pada tabel 27 (lihat halaman 45). Secara rinci rata-rata biaya usaha terdapat pada lampiran 3 dan 4. Tabel 27 Komponen biaya total usaha tahu sumedang sebelum kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari untuk skala usaha kecil, menengah dan besar per hari bulan Februari 2014 Uraian Biaya Biaya tetap Biaya variabel Total Biaya Total biaya per ancak tahu
Skala kecil 5.66 94.34 100
Skala menengah % Rp 151 053 3.21 4 548 800 96.79 4 699 853 100
25 583
25 133
%
Rp 91 212 1 520 500 1 611 712
Skala besar Rp % 431 258 11 823 125 12 254 383
3.52 96.48 100 22 040
Berdasarkan tabel 27 dapat dilihat bahwa komponen biaya variabel pada setiap skala usaha merupakan komponen terbesar, yaitu 94.34 persen untuk skala kecil, 96.79 persen untuk skala menengah, dan 96.48 persen untuk skala besar. Sama halnya dengan kondisi setelah kenaikan harga kedelai. Biaya total yang dikeluarkan pengrajin pada masing-masing skala setelah kenaikan harga kedelai dapat dilihat pada tabel 28. Tabel 28 Komponen biaya total usaha tahu sumedang setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari untuk skala usaha kecil, menengah dan besar per hari bulan Oktober 2013 Uraian Biaya Biaya tetap Biaya variabel Total Biaya Total biaya per ancak tahu
Skala kecil Rp 91 212 1 533 714 1 624 926
5.61 94.39 100
Skala menengah % Rp 151 053 3.09 4 738 000 96.91 4 889 053 100
27 541
27 779
%
Skala besar Rp % 431 258 10 700 125 11 131 383
3.87 96.13 100 24 251
Berdasarkan tabel 27 dan 28 dapat ditentukan besarnya total biaya produksi usaha tahu sumedang per ancak tahu. Dari tabel tersebut terlihat kecenderungan bahwa semakin besar skala pengrajin, maka akan menurunkan biaya total rata-rata yang dikeluarkan pengrajin. Pengrajin dengan skala kecil cenderung menunjukkan skala yang paling mahal dalam mengeluarkan biaya produksi relatif terhadap pengrajin skala menengah dan besar. Bila seluruh biaya dihitung, baik biaya yang dikeluarkan secara tunai maupun biaya non tunai (biaya yang diperhitungkan), maka skala pengrajin yang paling murah biayanya dalam berproduksi adalah pengrajin tahu skala besar. Total biaya per ancak diperoleh dari hasil perbandingan antara biaya total dengan rata-rata jumlah per ancak tahu yang dihasilkan. Berdasarkan tabel 27 dan
46 28 dapat dilihat bahwa total biaya per ancak tahu untuk skala kecil, menengah, dan besar sebelum kenaikan harga kedelai adalah Rp25 583, Rp25 133, dan Rp22 040. Sedangkan total biaya per ancak tahu setelah kenaikan harga kedelai untuk skala kecil, menengah, dan besar adalah Rp27 541, Rp27 779, dan Rp24 251. Pada tabel 27 dan 28 menunjukkan bahwa pada skala kecil dan menengah terjadi peningkatan atas biaya total pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai. Sedangkan pada skala besar terjadi penurunan atas biaya total. Penurunan tersebut lebih dikarenakan terjadinya penurunan volume produksi tahu sumedang yang besar yaitu 17.4 persen. Selain itu, pada tabel tersebut dapat dilihat pula bahwa total biaya per ancak tahu untuk pengrajin yang berada pada skala besar, cenderung memperlihatkan skala yang paling rendah biaya produksinya atau paling ekonomis dibandingkan dengan dua skala lainnya. Pengrajin skala besar cenderung mendapatkan harga kedelai yang lebih murah dari agen karena membeli dalam jumlah yang banyak dan setia untuk membeli di satu agen tertentu saja. Kondisi ini seperti ada kontrak tidak tertulis atau adanya hubungan kepercayaan yang membuat pengrajin tidak membeli kedelai di agen lainnya. Dengan kata lain pengrajin besar cenderung loyal dengan salah satu agen kedelai tertentu. Berbeda dengan pengrajin skala kecil dan menengah yang bebas untuk membeli kedelai di agen penyuplai kedelai manapun. Dengan kata lain pengrajin skala besar merupakan pengrajin yang paling ekonomis. Akan tetapi, biaya total per ancak tahu pada pengrajin skala menengah lebih besar daripada skala kecil setelah kedelai mengalami kenaikan. Hal ini dikarenakan harga kedelai yang diperoleh pengrajin setelah kenaikan lebih besar dibandingkan dengan pengrajin skala lainnya. Berdasarkan tabel 29 dapat dijelaskan kenaikan harga kedelai terhadap total biaya usaha tahu sumedang pada saat sebelum kenaikan harga kedelai. Dari total biaya usaha pengeluaran terbesar digunakan untuk biaya variabel. Untuk biaya tetap tidak terjadi perubahan baik sebelum kenaikan harga kedelai dan setelah adanya kenaikan harga kedelai. Pada biaya variabel untuk skala kecil terjadi peningkatan sebesar 0.86 persen setelah adanya kenaikan harga kedelai. Peningkatan biaya variabel pada skala kecil tidak terlalu besar dikarenakan pengrajin tahu juga menurunkan jumlah produksinya. Pada biaya variabel skala menengah mengalami peningkatan sebesar 3.99 persen setelah adanya kenaikan harga kedelai. Peningkatan ini terjadi karena harga pembelian kedelai yang diterima pengrajin skala menengah lebih tinggi dibandingkan dengan skala lainnya. Sehingga meskipun jumlah produksi dikurangi tetap saja biaya variabelnya tinggi. Pada skala besar mengalami penurunan biaya variabel sebesar 10.50 persen. Hal ini dikarenakan jumlah produksi pada skala besar menurun. Persentase perubahan biaya setelah kenaikan harga kedelai dapat dilihat pada tabel 29. Tabel 29 Persentase perubahan biaya setelah kenaikan harga kedelai Uraian Biaya Biaya tetap Biaya variabel Total Biaya
Persentase perubahan biaya (%) Skala Menengah Skala Besar 0 0 0 0.86 3.99 -10.50 0.81 3.87 -10.09
Skala kecil
47 Biaya Tunai dan Non Tunai Tahu Sumedang Selain perhitungan biaya tetap dan biaya variabel, penting juga untuk diketahui bagaimana komponen biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan (biaya non tunai) terhadap biaya produksi. Biaya tunai merupakan pengeluaran tunai usaha tahu yang dikeluarkan oleh pengrajin itu sendiri. Sedangkan biaya non tunai merupakan biaya yang tidak dibayar dengan uang, tapi diperlukan untuk memperhitungkan berapa besar nilai sumberdaya yang telah dikeluarkan dalam usaha tahu sumedang. Komponen biaya tunai dan non tunai pada setiap skala usaha tidak terdapat perbedaan. Komponen biaya tunai pada skala kecil, menengah, dan besar meliputi biaya pembelian kedelai, garam, minyak goreng, bahan bakar, tenaga kerja upahan, listrik, dan transportasi. Sementara untuk komponen biaya non tunai pada skala kecil, menengah, dan besar adalah tenaga kerja keluarga, penyusutan peralatan produksi, dan penyusutan pabrik. Berdasarkan tabel 30, biaya yang dikeluarkan pada skala kecil, menengah, dan besar sebagian besar merupakan komponen biaya tunai. Komponen biaya tunai pada skala kecil sebesar 92.34 persen, skala menengah sebesar 95.09 persen, dan skala besar sebesar 95.67 persen. Perbandingan komposisi biaya tunai dan non tunai pada masing-masing skala usaha sebelum kenaikan harga kedelai dapat dilihat pada tabel 30. Tabel 30 Perbandingan komposisi biaya tunai dan non tunai sebelum kenaikan harga kedelai pada setiap skala usaha Uraian Biaya Biaya tunai Biaya non tunai
Skala kecil Rp/pengrajin % 1 488 194 123 518
92.34 7.66
Skala menengah Rp/pengrajin % 4 469 086 230 767
95.09 4.91
Skala besar Rp/pengrajin % 11 723 929 530 454
95.67 4.33
Kondisi yang sama terjadi pada saat harga kedelai mengalami kenaikan, komponen biaya tunai pada setiap skala usaha merupakan komponen biaya terbesar. Berdasarkan tabel 31, biaya yang dikeluarkan pada skala kecil, menengah, dan besar sebagian besar merupakan komponen biaya tunai. Komponen biaya tunai pada skala kecil sebesar 92.54 persen, skala menengah sebesar 95.37 persen, dan skala besar sebesar 95.28 persen. Perbandingan komposisi biaya tunai dan non tunai pada masing-masing skala usaha setelah kenaikan harga kedelai dapat dilihat pada tabel 31. Tabel 31 Perbandingan komposisi biaya tunai dan non tunai setelah kenaikan harga kedelai pada setiap skala usaha Uraian Biaya Biaya tunai Biaya non tunai
Skala kecil Rp/pengrajin % 1 503 765 121 161
92.54 7.46
Skala menengah Rp/pengrajin % 4 662 686 226 367
95.37 4.63
Skala besar Rp/pengrajin % 10 605 929 525 454
95.28 4.72
Komposisi biaya tunai pada semua skala usaha memiliki persentase yang relatif sama. Hal ini dikarenakan biaya yang dikeluarkan sepenuhnya untuk kegiatan usaha tahu sumedang. Selain itu, komponen biaya tunai di hitung karena
48 penting untuk mengukur manajemen usaha tahu sumedang, tetapi ukuran tersebut tidak menceritakan keadaan seluruhnya. Biaya Eksplisit dan Implisit Tahu Sumedang Biaya yang dikeluarkan oleh pengrajin tahu sumedang selain biaya tetap, variabel, tunai, dan non tunai, ada juga biaya eksplisit dan implisit. Biaya eksplisit adalah biaya yang secara nyata dikeluarkan pengrajin tahu atau biaya yang dikeluarkan dimana terdapat pembayaran kas. Sedangkan biaya implisit adalah nilai dari input yang dimiliki pengrajin tahu yang digunakan dalam proses produksi, tetapi tidak sebagai pengeluaran nyata yang dikeluarkan pengrajin. Biaya implisit yang berkaitan dengan setiap keputusan jauh lebih sulit untuk dihitung. Biaya-biaya ini tidak melibatkan pengeluaran kas dan karena itu sering diabaikan dalam analisis keputusan. Biaya eksplisit yang dikeluarkan oleh pengrajin tahu sumedang yaitu pengeluaran untuk membeli bahan baku produksi (kedelai, garam, minyak goreng, bahan bakar), biaya untuk membayar tenaga kerja langsung yang berkaitan dengan produksi, biaya listrik dan biaya transportasi. Sedangkan biaya implisit yang dikeluarkan oleh pengrajin tahu sumedang yaitu penggunaan pabrik milik sendiri, serta pengeluaran yang termasuk biaya penyusutan barang modal.
Analisis Penerimaan Tahu Sumedang Penerimaan diperoleh dari hasil penjualan barang atau outputnya. Penerimaan pada usaha tahu sumedang di Kecamatan Tanjungsari diperoleh dari hasil penjualan tahu sumedang dan ampasnya. Jumlah tahu sumedang yang dijual kepada para pedagang dihitung dalam satuan ancak (papan). Dalam satu jirangan dibutuhkan kedelai sebanyak tujuh kilogram, sehingga menghasilkan tahu sebanyak empat ancak (papan). Sedangkan untuk ampas dihitung per satu jirangan. Secara rinci jumlah output yang dihasilkan oleh pengrajin pada setiap skala usaha dapat dilihat pada tabel 32. Tabel 32 Jumlah output usaha tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari pada skala usaha kecil, menengah, dan besar per hari Uraian
Sebelum Kenaikan Harga Kedelai Skala Skala Skala Kecil Menengah Besar
Setelah Kenaikan Harga Kedelai Skala Skala Skala Kecil Menengah Besar
Jumlah Output: Tahu (ancak) Ampas (jirangan)
63 16
187 47
556 139
59 15
176 44
459 115
Berdasarkan tabel 32 dapat dilihat bahwa jumlah output yang dihasilkan oleh pengrajin tahu setiap skala berbeda, baik pada kondisi sebelum maupun setelah kenaikan harga kedelai. Sebelum kenaikan harga kedelai pengrajin skala kecil menghasilkan tahu 63 ancak dan ampas 16 jirangan, sedangkan setelah
49 kenaikan harga kedelai menghasilkan tahu 59 ancak dan ampas 15 jirangan. Sebelum kenaikan harga kedelai pengrajin skala menengah menghasilkan tahu 187 ancak dan ampas 47 jirangan, sedangkan setelah kenaikan harga kedelai menghasilkan tahu 176 ancak dan ampas 44 jirangan. Sedangkan untuk pengrajin skala besar sebelum kenaikan harga kedelai menghasilkan tahu 556 ancak dan ampas 139 jirangan, sedangkan setelah kenaikan harga kedelai menghasilkan tahu 459 ancak dan ampas 115 jirangan. Secara keseluruhan rata-rata output yang dihasilkan oleh pengrajin tahu sumedang menurun setelah adanya kenaikan harga kedelai dikarenakan menurunnya jumlah produksi. Harga yang ditetapkan oleh pengrajin untuk menjual tahu dan ampas berbeda-beda. Untuk pengrajin skala kecil menetapkan harga antara Rp25 000 per ancak hingga Rp32 000 per ancak, sedangkan ampas dijual dengan harga antara Rp3 000 hingga Rp7 000 per jirangan. Untuk pengrajin skala menengah menetapkan harga Rp30 000 per ancak, sedangkan ampas dijual dengan harga antara Rp2 000 hingga Rp5 000 per jirangan. Untuk pengrajin skala besar menetapkan harga antara Rp30 000 per ancak hingga Rp35 000 per ancak, sedangkan ampas dijual dengan harga antara Rp3 000 hingga Rp4 500 per jirangan. Namun, ada juga pengrajin yang tidak menjual ampasnya dikarenakan pengrajin tersebut mempunyai ternak sehingga ampasnya digunakan sendiri oleh pengrajin tersebut. Rata-rata harga jual output dari tahu sumedang dapat dilihat pada tabel 33. Tabel 33 Rata-rata harga jual output usaha tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari pada skala usaha kecil, menengah, dan besar per hari (dalam Rp) Uraian Harga Jual : Tahu (Rp/ancak) Ampas (Rp/jirangan)
Sebelum Kenaikan Harga Kedelai Skala Skala Skala Kecil Menengah Besar 29 429 4 000
30 000 3 400
31 375 3 188
Setelah Kenaikan Harga Kedelai Skala Skala Skala Kecil Menengah Besar 31 643 4 000
31 700 3 400
33 500 3 188
Ketika harga kedelai mengalami kenaikan, maka beberapa pengrajin meningkatkan harga jual tahu per ancaknya. Selain itu, ada juga pengrajin yang menurunkan jumlah produksinya. Rata-rata harga jual output usaha tahu sumedang berbeda pada setiap skala. Pada saat kenaikan harga kedelai, pengrajin hanya meningkatkan harga jual tahu per ancak sedangkan harga ampas tidak berubah. Sebelum kenaikan harga kedelai pengrajin skala kecil menetapkan harga jual tahu sebesar Rp29 429 per ancak dan ampas Rp4 000 per jirangan, sedangkan setelah kenaikan harga kedelai pengrajin menetapkan harga jual tahu Rp33 643 per ancak. Sebelum kenaikan harga kedelai pengrajin skala menengah menetapkan harga jual tahu sebesar Rp30 000 per ancak dan ampas Rp3 400 per jirangan, sedangkan setelah kenaikan harga kedelai pengrajin menetapkan harga jual tahu tahu sebesar Rp31 800. Sedangkan untuk pengrajin skala besar sebelum kenaikan harga kedelai menetapkan harga jual tahu sebesar Rp31 700 per ancak dan ampas Rp3 188 per jirangan, sedangkan setelah kenaikan harga kedelai pengrajin menetapkan harga jual tahu Rp33 500 per ancak. Secara keseluruhan
50 rata-rata harga jual output tahu yang dihasilkan oleh pengrajin tahu sumedang meningkat setelah adanya kenaikan harga kedelai. Persentase peningkatan harga jual tahu rata-rata sebesar 6.6 persen, sedangkan persentase kenaikan berbeda pada setiap skala. Untuk pengrajin skala kecil sebesar 7.5 persen, skala menengah sebesar 5.6 persen, dan pengrajin skala besar sebesar 6.7 persen. Secara rinci dapat dilihat pada tabel 34. Tabel 34 Rata-rata persentase kenaikan harga jual tahu di Kecamatan Tanjungsari pada skala usaha kecil, menengah, dan besar Skala Usaha Skala Kecil Skala Menengah Skala Besar Rata-rata
Persentase kenaikan harga jual tahu (%) 7.5 5.6 6.7 6.6
Penerimaan yang diperoleh pengrajin tahu sumedang sangat dipengaruhi oleh skala usahanya. Hal ini berarti setiap peningkatan skala usaha, maka penerimaan yang diperoleh pengrajin semakin besar. Hal ini dikarenakan jumlah output yang dihasilkan semakin banyak. Tabel 35 memperlihatkan bahwa besaran penerimaan yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh tingkat produksi tahu sumedang dan harga jualnya. Secara rinci rata-rata penerimaan dan harga jual yang diperoleh pengrajin tahu sumedang pada setiap skala dapat dilihat pada lampiran 5 dan lampiran 6. Rata-rata penerimaan usaha tahu sumedang dapat dilihat pada tabel 35. Tabel 35 Rata-rata penerimaan usaha tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari pada skala usaha kecil, menengah, dan besar per hari (dalam Rp) Uraian Penerimaan rata-rata
Sebelum Kenaikan Harga Kedelai Skala Skala Skala kecil Menengah Besar 1 968 429
5 773 200
17 882 938
Setelah Kenaikan Harga Kedelai Skala Skala Skala kecil Menengah Besar 1 994 429
5 715 600
15 912 250
Penerimaan pengrajin tahu memperhitungkan output dengan harga jualnya. Berdasarkan tabel 35 dapat dilihat bahwa penerimaan yang diperoleh pengrajin tahu sumedang berbeda setiap skala. Sebelum kenaikan harga kedelai penerimaan pengrajin skala kecil sebesar Rp1 968 429, sedangkan setelah kenaikan harga kedelai penerimaannya sebesar Rp1 994 429. Untuk pengrajin skala menengah sebelum kenaikan harga kedelai memperoleh penerimaan sebesar Rp5 773 200, sedangkan setelah kenaikan harga kedelai penerimaannya sebesar Rp5 715 600. Sementara pengrajin skala besar memperoleh penerimaan sebesar Rp17 882 938 sebelum kenaikan harga kedelai, sedangkan penerimaan setelah kenaikan harga kedelai sebesar Rp15 912 250. Penerimaan yang diperoleh pengrajin skala menengah dan besar pada kondisi sebelum maupun setelah kenaikan harga kedelai menurun. Akan tetapi, sebenarnya penurunan penerimaan tersebut dikarenakan rata-rata jumlah produksi menurun, sedangkan harga jual yang ditetapkan oleh pengrajin tahu meningkat. Sedangkan pengrajin skala kecil penerimaannya
51 meningkat karena penurunan jumlah produksi rata-rata hanya 4 kilogram, disertai dengan peningkatan harga jual yang tinggi dibandingkan dengan skala lainnya yaitu 7.5 persen.
Analisis Keuntungan dan Efisiensi Tahu Sumedang Keuntungan merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya. Jumlah penerimaan yang diterima pengrajin akan mempengaruhi jumlah keuntungan yang diperoleh. Keuntungan menjadi salah satu cara pengukuran dari keberhasilan suatu usaha. Suatu usaha yang dijalankan akan selalu mengharapkan keuntungan maksimal yang diperoleh. Berdasarkan hasil survei di tempat penelitian, pengrajin tahu mengaku keuntungan mereka berkurang setelah terjadi kenaikan harga kedelai. Hal tersebut lebih dikarenakan produksi mereka yang juga berkurang. Harga kedelai yang terus meningkat menyebabkan biaya yang dikeluarkan pengrajin semakin tinggi dan keuntungan yang diperoleh menurun. Untuk lebih jelasnya jumlah keuntungan dan efisiensi (R/C ratio) setiap skala usaha dapat dilihat pada lampiran 5 dan lampiran 6. Tabel 36 Rata-rata keuntungan dan efisiensi usaha tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Kecamatan Tanjungsari pada skala usaha kecil, menengah, dan besar per hari
Uraian Penerimaan rata-rata Total biaya Keuntungan R/C Ratio
Sebelum Kenaikan Harga Kedelai Skala Skala Skala kecil Menengah Besar
Setelah Kenaikan Harga Kedelai Skala Skala Skala kecil Menengah Besar
1 968 429
5 773 200
17 882 938
1 994 429
5 715 600
15 912 250
1 611 712 356 717 1.20
4 699 853 1 073 347 1.23
12 254 383 5 628 555 1.42
1 624 926 369 502 1.18
4 889 053 826 547 1.16
11 131 383 4 780 867 1.40
Berdasarkan tabel 36 menunjukkan bahwa dengan adanya kenaikan harga kedelai akan mempengaruhi keuntungan yang diperoleh pengrajin tahu sumedang di Kecamatan Tanjungsari. Pada saat terjadi kenaikan harga input kedelai, pengrajin tidak dapat melakukan substitusi input tersebut, sehingga pengrajin hanya dapat mengurangi jumlah keuntungan mereka atau mengurangi jumlah kedelai pada setiap jirangan. Hal ini dilakukan menurut beberapa pengrajin relatif paling baik, meskipun tidak semua pengrajin melakukan hal ini. Ada juga pengrajin yang melakukan peningkatan harga jual untuk menutupi peningkatan biaya produksi. Berdasarkan tabel 36 menunjukkan bahwa keuntungan yang diterima pengrajin pada skala menengah dan besar menurun. Hal ini dikarenakan pengrajin pada skala tersebut mengurangi jumlah produksinya, namun peningkatan harga jual sedikit. Sedangkan untuk pengrajin skala kecil keuntungan yang diperoleh meningkat karena harga jual yang ditetapkan jauh lebih tinggi setelah kedelai mengalami kenaikan.
52 Analisis imbangan antara total penerimaan dengan total biaya merupakan suatu pengujian keuntungan jenis usaha. Kriteria yang digunakan dalam analisis ini adalah apabila nilai R/C lebih besar dari satu maka usaha dikatakan untung dan layak untuk dijalankan karena besarnya penerimaan lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Nilai R/C lebih kecil dari satu maka usaha dikatakan merugi dan tidak layak untuk dijalankan karena besarnya penerimaan lebih kecil dari pada biaya yang dikeluarkan. Nilai R/C sama dengan nol maka usaha tahu mengalami break even point atau titik impas usaha karena total penerimaan sama dengan total biaya yang dikeluarkan. Sebelum kenaikan harga kedelai nilai R/C atas biaya total pada skala kecil adalah sebesar 1.20, artinya untuk Rp1 00 biaya yang dikeluarkan mampu memberikan penerimaan sebesar Rp1.20. Setelah kenaikan harga kedelai nilai R/C atas biaya total pada skala kecil menurun menjadi sebesar 1.18, artinya untuk Rp1.00 biaya yang dikeluarkan mampu memberikan penerimaan sebesar Rp1.18. Peningkatan nilai R/C atas biaya disebabkan peningkatan total penerimaan yang lebih besar dari peningkatan biaya total. Sebelum kenaikan harga kedelai nilai R/C atas biaya total pada skala menengah adalah sebesar 1.23, artinya untuk Rp1.00 biaya yang dikeluarkan mampu memberikan penerimaan sebesar Rp1.23. Setelah kenaikan harga kedelai nilai R/C atas biaya total pada skala menengah menurun menjadi sebesar 1.16, artinya untuk Rp1.00 biaya yang dikeluarkan mampu memberikan penerimaan sebesar Rp1.16. Penurunan nilai R/C atas biaya disebabkan penurunan total penerimaan yang lebih besar dari penurunan biaya total. Sebelum kenaikan harga kedelai nilai R/C atas biaya total pada skala besar adalah sebesar 1.42, artinya untuk Rp1.00 biaya yang dikeluarkan mampu memberikan penerimaan sebesar Rp1.42. Setelah kenaikan harga kedelai nilai R/C atas biaya total pada skala besar menurun menjadi sebesar 1.40, artinya untuk Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan mampu memberikan penerimaan sebesar Rp1.40. Penurunan nilai R/C atas biaya disebabkan penurunan total penerimaan yang lebih besar dari penurunan biaya total. Pada pengrajin skala kecil, menengah, dan besar nilai R/C ratio setelah kenaikan harga kedelai, mengalami penurunan. Dari hasil analisis R/C ratio menunjukkan bahwa nilai R/C ratio sebelum kenaikan harga kedelai pada setiap skala usaha lebih besar daripada setelah kenaikan harga kedelai. Hal ini dapat diartikan bahwa pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai lebih efisien daripada setelah kenaikan. Namun kondisi keduanya menunjukkan bahwa usaha tahu sumedang masih layak untuk dijalankan. Keberhasilan usaha tahu di Kecamatan Tanjungsari dapat juga digambarkan oleh hasil analisis penerimaan atas biaya yang dikeluarkan (R/C ratio) pada usaha tersebut. Analisis usaha ini menunjukkan berapa penerimaan yang akan diperoleh pengrajin tahu dari setiap biaya yang dikeluarkan untuk proses pembuatan tahu. R/C atas biaya total dapat diperoleh dari hasil perbandingan antara penerimaan dengan biaya total. Nilai R/C biaya total pada penelitian ini sebagian besar dapat dikatakan efisien dan menguntungkan untuk diusahakan karena nilai R/C rasio pada setiap skala usaha tahu sumedang tersebut lebih besar dari satu. Dilihat pada nilai R/C ratio setiap skala usaha, menunjukkan kecenderungan nilai R/C ratio tertinggi ada pada skala besar.
53 Analisis Uji T-Paired
Untuk menganalisis adanya perbedaan yang signifikan atau tidak pada ratarata biaya produksi, rata-rata penerimaan, rata-rata keuntungan dan rata-rata R/C ratio sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai pada berbagai tingkat skala usaha dan seluruh pengrajin, maka dilakukan analisis uji beda t-paired. Pada analisis uji t-paired semua populasi dimasukkan ke dalam perhitungan, sedangkan analisis R/C ratio hanya menghitung rata-rata dari populasi yang ada. Oleh karena itu, analisis uji t-paired ini lebih baik dibandingkan dengan analisis R/C ratio. Analisis Uji T-Paired Pada Berbagai Tingkat Skala Usaha Pada saat melakukan uji t-paired, biaya yang di uji cukup biaya variabel saja karena biaya ini mempunyai komponen terbesar terhadap perubahan struktur biaya total. Berdasarkan tabel 37 dapat dilihat hasil analisis uji beda t-paired dengan taraf nyata 10 persen pada skala kecil diperoleh nilai t-hitung -0.184 yang lebih kecil dari t-tabel, pada skala menengah diperoleh nilai t-hitung -0.560 yang lebih kecil dari t-tabel, dan pada skala besar diperoleh nilai t-hitung 0.852 yang lebih kecil dari t-tabel. Nilai t-hitung yang lebih kecil dari t-tabel berarti terima Ho dan H1 ditolak, artinya secara uji statistik rata-rata biaya variabel sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai adalah sama (tidak berbeda). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa dengan adanya kenaikan harga kedelai tidak berpengaruh terhadap struktur biaya, khususnya biaya variabel pengrajin tahu sumedang di Kecamatan Tanjungsari. Adapun perbedaan rata-rata biaya variabel produksi per hari pada pengrajin tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai dapat dilihat pada tabel 37. Tabel 37 Analisis uji beda t-paired biaya produksi pengrajin tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai per hari pada setiap skala usaha Biaya Produksi (Rp) Skala Usaha Sebelum Kenaikan Harga Setelah Kenaikan Harga Kedelai Kedelai Skala kecil 1 520 500 1 533 714 Skala menengah 4 548 800 4 738 000 Skala besar 11 823 125 10 700 125 Skala kecil t-hitung : -0.184 t-tabel (0.10 ; 6) : 1.440 (terima Ho) Skala menengah t-hitung : -0.560 t-tabel (0.10 ; 4) : 1.533 (terima Ho) Skala besar t-hitung : 0.852 t-tabel (0.10 ; 7) : 1.415 (terima Ho) Berdasarkan hasil penelitian di Kecamatan Tanjungsari, pengrajin tahu tidak terpengaruh dengan adanya kenaikan harga kedelai. Biaya produksi juga tidak
54 berubah secara signifikan karena para pengrajin tahu tersebut melakukan upaya dengan mengurangi jumlah produksi. Sehingga apabila harga kedelai mengalami kenaikan, rata-rata pengrajin kedelai di Kecamatan Tanjungsari akan mengurangi jumlah penggunaan kedelai. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji t-paired bahwa biaya variabel yang dikeluarkan oleh pengrajin tahu relatif sama. Rata-rata penerimaan pengrajin tahu untuk skala kecil sebelum kenaikan harga kedelai adalah Rp1 968 429, sedangkan penerimaan setelah kenaikan harga kedelai Rp1 994 429. Rata-rata penerimaan pengrajin tahu untuk skala menengah sebelum kenaikan harga kedelai adalah Rp5 773 200, sedangkan penerimaan setelah kenaikan harga kedelai Rp5 715 600. Rata-rata penerimaan pengrajin tahu untuk skala besar sebelum kenaikan harga kedelai adalah Rp17 882 938, sedangkan penerimaan setelah kenaikan harga kedelai Rp15 912 250. Berdasarkan tabel 38 dapat dilihat hasil analisis uji beda t-paired dengan taraf nyata 10 persen pada skala kecil diperoleh nilai t-hitung -0.279 yang lebih kecil dari t-tabel, pada skala menengah diperoleh nilai t-hitung 0.103 yang lebih kecil dari t-tabel, dan pada skala besar diperoleh nilai t-hitung 0.975 yang lebih kecil dari t-tabel. Nilai t-hitung yang lebih kecil dari t-tabel berarti terima Ho dan H1 ditolak, artinya secara uji statistik rata-rata penerimaan pengrajin tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai adalah sama. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa dengan adanya kenaikan harga kedelai tidak berpengaruh secara signifikan terhadap rata-rata penerimaan pengrajin tahu sumedang di Kecamatan Tanjungsari. Hal tersebut dikarenakan harga jual tahu meningkat, meskipun jumlah produksi berkurang. Adapun perbedaan rata-rata penerimaan produksi per hari pada pengrajin tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai dapat dilihat pada tabel 38. Tabel 38 Analisis uji beda t-paired rata-rata penerimaan pengrajin tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai per hari pada setiap skala usaha Penerimaan (Rp) Skala Usaha Sebelum Kenaikan Harga Setelah Kenaikan Harga Kedelai Kedelai Skala kecil 1 968 429 1 994 429 Skala menengah 5 773 200 5 715 600 Skala besar 17 882 938 15 912 250 Skala kecil t-hitung : -0.279 t-tabel (0.10 ; 6) : 1.440 (terima Ho) Skala menengah t-hitung : 0.103 t-tabel (0.10 ; 4) : 1.533 (terima Ho) Skala besar t-hitung : 0.975 t-tabel (0.10 ; 7) : 1.415 (terima Ho) Keuntungan pengrajin tahu sumedang untuk setiap skala diperoleh dari selisih antara penerimaan dengan biaya total produksi. Rata-rata keuntungan pengrajin tahu untuk skala kecil sebelum kenaikan harga kedelai adalah Rp356 717, sedangkan keuntungan setelah kenaikan harga kedelai Rp369 502. Rata-rata
55 keuntungan pengrajin tahu untuk skala menengah sebelum kenaikan harga kedelai adalah Rp1 073 347, sedangkan keuntungan setelah kenaikan harga kedelai Rp826 547. Rata-rata keuntungan pengrajin tahu untuk skala besar sebelum kenaikan harga kedelai adalah Rp5 628 555, sedangkan keuntungan setelah kenaikan harga kedelai Rp4 780 867. Berdasarkan tabel 39 dapat dilihat hasil analisis uji beda t-paired dengan taraf nyata 10 persen pada skala kecil diperoleh nilai t-hitung -0.307 yang lebih kecil dari t-tabel, pada skala menengah diperoleh nilai t-hitung 1.399 yang lebih kecil dari t-tabel, dan pada skala besar diperoleh nilai t-hitung 1.151 yang lebih kecil dari t-tabel. Artinya secara uji statistik rata-rata keuntungan pengrajin tahu skala kecil, menengah, dan besar pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai adalah sama. Adapun perbedaan rata-rata keuntungan pada pengrajin tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai per hari dapat dilihat pada tabel 39. Tabel 39 Analisis uji beda t-paired rata-rata keuntungan pengrajin tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai per hari pada setiap skala usaha Keuntungan (Rp) Skala Usaha Sebelum Kenaikan Harga SetelahKenaikan Harga Kedelai Kedelai Skala kecil 356 717 369 502 Skala menengah 1 073 347 826 547 Skala besar 5 628 555 4 780 867 Skala kecil t-hitung : -0.307 t-tabel (0.10 ; 6) : 1.440 (terima Ho) Skala menengah t-hitung : 1.399 t-tabel (0.10 ; 4) : 1.533 (terima Ho) Skala besar t-hitung : 1.151 t-tabel (0.10 ; 7) : 1.415 (terima Ho) Penerimaan yang diperoleh pengrajin tahu sumedang dan total biaya produksi yang dikeluarkan pengrajin dalam melakukan usahanya kemudian dilakukan analisis ekonomi penerimaan terhadap biaya total produksi, dengan menggunakan analisis R/C ratio untuk mengetahui efisiensi usaha yang dilakukan oleh pengrajin tahu sumedang pada setiap skala. Berdasarkan tabel 40 dapat dilihat hasil analisis uji beda t-paired dengan taraf nyata 10 persen pada skala kecil diperoleh nilai t-hitung 0.637 yang lebih kecil dari t-tabel, pada skala menengah diperoleh nilai t-hitung 0.800 yang lebih kecil dari t-tabel, dan pada skala besar diperoleh nilai t-hitung 0.825 yang lebih kecil dari t-tabel. Artinya secara uji statistik rata-rata R/C ratio pengrajin tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai pada pengrajin skala kecil, menengah, dan besar adalah sama. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa dengan adanya kenaikan harga kedelai tidak berpengaruh secara signifikan terhadap rata-rata R/C ratio pengrajin tahu sumedang untuk skala menengah. Adapun perbedaan rata-rata
56 R/C ratio pada pengrajin tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai per hari dapat dilihat pada tabel 40. Tabel 40 Analisis uji beda t-paired rata-rata R/C ratio pengrajin tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai per hari pada setiap skala usaha Kelayakan (R/C ratio) Skala Usaha Sebelum Kenaikan Harga SetelahKenaikan Harga Kedelai Kedelai Skala kecil 1.20 1.18 Skala menengah 1.23 1.16 Skala besar 1.42 1.40 Skala kecil t-hitung : 0.637 t-tabel (0.10 ; 6) : 1.440 (terima Ho) Skala menengah t-hitung : 0.800 t-tabel (0.10 ; 4) : 1.533 (terima Ho) Skala besar t-hitung : 0.825 t-tabel (0.10 ; 7) : 1.415 (terima Ho) Berdasarkan hasil dari uji t-paired menunjukkan bahwa setelah adanya kenaikan harga kedelai pada pengrajin skala kecil, menengah, dan besar dapat dilihat untuk biaya produksi, penerimaan, keuntungan dan R/C ratio relatif sama. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa sebenarnya kenaikan harga kedelai tidak mempengaruhi pengrajin tahu sumedang pada berbagai tingkat skala usaha di Kecamatan Tanjungsari. Hal ini dikarenakan pengrajin tahu sumedang tersebut melakukan pengurangan jumlah produksi dan peningkatan harga jual untuk menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran. Adanya kenaikan harga kedelai tidak secara otomatis menurunkan volume produksi dan menaikkan harga jual, artinya yang berbeda disini terkait perilaku produsen. Seorang produsen mempunyai satu masalah pokok, yaitu bagaimana dengan sumber daya yang terbatas mampu mencapai hasil yang optimal atau keuntungan yang besar. Perilaku produsen sebenarnya dilakukan semata-mata agar tidak merugikan produsen namun juga tidak memberatkan konsumen, sehingga daya beli masyarakat akan stabil. Analisis Uji T-Paired Pada Seluruh Pengrajin Tahu Sumedang Analisis usaha tahu sumedang juga dilakukan terhadap seluruh responden dengan jumlah 20 pengrajin tahu sumedang di Kecamatan Tanjungsari. Analisis ini dilakukan terhadap seluruh pengrajin tahu tanpa memperhatikan tingkat stratifikasi. Berdasarkan tabel 41 dapat di lihat bahwa sebelum kenaikan harga kedelai pengrajin tahu mengeluarkan biaya variabel sebesar Rp6 398 625, sedangkan setelah kenaikan mengeluarkan biaya variabel sebesar Rp4 001 350. Penerimaan yang dihasilkan oleh pengrajin sebelum kenaikan sebesar Rp9 285 425, sedangkan setelah kenaikan sebesar Rp6 491 850. Keuntungan yang dihasilkan oleh pengrajin sebelum kenaikan sebesar Rp2 475 479, sedangkan setelah kenaikan
57 sebesar Rp1 115 568. R/C ratio sebelum kenaikan sebesar 1.28, sedangkan setelah kenaikan sebesar 1.19. Semua hasil tersebut menunjukkan bahwa kenaikan harga kedelai mempengaruhi biaya variabel, penerimaan, keuntungan, dan R/C ratio pengrajin tahu sumedang, bahkan menyebabkan penurunan. Meskipun demikian berdasarkan hasil R/C ratio dapat dilihat bahwa usaha yang dijalankan pengrajin tahu sumedang masih layak untuk dijalankan. Biaya variabel, penerimaan, keuntungan, dan R/C ratio pada seluruh pengrajin tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai dapat di lihat pada tabel 41. Tabel 41 Biaya variabel, penerimaan, keuntungan, dan R/C ratio pada seluruh pengrajin tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai Sebelum kenaikan harga Setelah kenaikan harga Uraian kedelai kedelai Biaya variabel (Rp) 6 398 625 4 001 350 Penerimaan (Rp)
9 285 425
6 491 850
Keuntungan (Rp)
2 475 479
1 115 568
1.28
1.19
R/C ratio
Setelah menghitung biaya, penerimaan, keuntungan, dan R/C ratio secara absolut, selanjutnya dihitung pula nilai secara statistik melalui uji t-paired untuk seluruh pengrajin tahu sumedang yang berjumlah 20 pengrajin. Analisis uji tpaired dalam penelitian ini tidak hanya digunakan untuk melihat ada atau tidak perbedaan biaya, penerimaan, keuntungan, dan R/C ratio pada berbagai tingkat skala usaha saja. Akan tetapi, dilakukan pula analisis pada seluruh pengrajin tahu sumedang sebanyak 20 responden tanpa memperhatikan tingkat stratifikasi. Hasil analisis uji t-paired untuk biaya produksi, penerimaan, keuntungan, dan R/C ratio pada seluruh pengrajin sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai dapat dilihat pada tabel 42. Tabel 42
Hasil analisis uji t-paired pada seluruh pengrajin tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai
Uraian
Analisis uji t-paired pada seluruh responden
Biaya produksi
1.400
Penerimaan
1.465
Keuntungan
1.359
R/C ratio
1.411 t-tabel (0.10;19) : 1.328
Kesimpulan
Tolak Ho
58 Berdasarkan tabel 42 dapat di lihat bahwa hasil analisis uji t-paired sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai pada taraf nyata 10 persen untuk biaya produksi, penerimaan, keuntungan, dan R/C ratio berturut-turut menghasilkan thitung 1.400, 1.465, 1.359, dan 1.411, maka tolak Ho. Artinya terdapat perbedaan yang signifikan pada biaya produksi, penerimaan, keuntungan, dan R/C ratio sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai pada seluruh pengrajin tahu sumedang. Berdasarkan hasil uji t-paired dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga kedelai berpengaruh terhadap biaya produksi, penerimaan, keuntungan, dan R/C ratio pada seluruh pengrajin tahu sumedang. Pernyataan tersebut menunjukkan hasil yang berbeda dengan uji t-paired apabila memperhatikan stratifikasi atau tingkat skala usaha. Artinya secara keseluruhan kenaikan harga kedelai ini mempengaruhi seluruh pengrajin tahu sumedang di Kecamatan Tanjungsari. Namun apabila di lihat dari berbagai tingkat skala usaha kenaikan harga kedelai tidak berpengaruh. Hal ini dikarenakan jumlah sampel yang kecil pada setiap skala usaha, sehingga tidak bisa mewakili seluruh populasi yang ada di kecamatan tersebut.
Analisis Uji Anova
Uji anova dalam penelitian ini digunakan untuk melihat ada atau tidak perbedaan rata-rata biaya produksi, penerimaan, dan keuntungan antar skala usaha pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai. Hasil analisis uji anova tersebut dapat di lihat pada tabel 43. Tabel 43 Hasil analisis Uji Anova untuk biaya produksi, penerimaan, dan keuntungan antar skala usaha pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai Uraian Biaya Produksi Penerimaan Keuntungan
Sebelum kenaikan harga kedelai Taraf Signifikansi Kesimpulan Nyata 0.005 0.05 Tolak Ho 0.000 0.05 Tolak Ho 0.000 0.05 Tolak Ho
Setelah kenaikan harga kedelai Taraf Signifikansi Kesimpulan Nyata 0.000 0.05 Tolak Ho 0.006 0.05 Tolak Ho 0.000 0.05 Tolak Ho
Berdasarkan tabel 43 dapat dilihat bahwa sebelum kenaikan harga kedelai, nilai signifikansi biaya antar skala usaha sebesar 0.005, penerimaan sebesar 0.000 dan keuntungan sebesar 0.000. Sedangkan setelah kenaikan harga kedelai nilai signifikansi biaya antar skala usaha sebesar 0.000, penerimaan sebesar 0.006, dan keuntungan sebesar 0.000. Dilihat dari nilai signifikansi biaya, penerimaan, dan keuntungan antar skala usaha pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai adalah lebih kecil dari alpha 0.05 persen. Artinya uji anova tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata untuk biaya, penerimaan, dan keuntungan pada skala usaha kecil, menengah, dan besar. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besar skala usaha biaya produksi yang dikeluarkan
59 pun semakin besar karena input yang dibutuhkan semakin banyak. Begitu pula dengan penerimaan yang semakin besar karena output yang dihasilkan juga semakin besar, begitu pula dengan keuntungan yang diperoleh.
Strategi untuk Menyiasati Kenaikan Harga Kedelai
Adanya kenaikan harga kedelai berpengaruh terhadap pengrajin tahu sumedang di Kecamatan Tanjungsari sehingga para pengrajin melakukan berbagai strategi untuk menyiasatinya. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa strategi pengrajin dalam menghadapi kenaikan harga kedelai cukup beragam. Ada pengrajin yang mengurangi jumlah penggunaan kedelai, memperkecil ukuran tahu, menaikkan harga jual tahu, mengurangi penggunaan jumlah tenaga kerja luar keluarga, dan lain-lain. Strategi yang beragam tersebut ternyata berbeda-beda di setiap skala produksi pengrajin tahu. Data sebaran pengrajin yang menjadi responden dalam penelitian ini berdasarkan strategi apa saja yang mereka lakukan dalam menyiasati kenaikan harga kedelai dapat dilihat pada tabel 44. Tabel 44 Strategi yang dilakukan untuk menyiasati kenaikan harga kedelai berdasarkan skala usaha di Kecamatan Tanjungsari Strategi
Skala Kecil orang
Mengurangi jumlah penggunaan kedelai Memperkecil ukuran tahu Menaikkan harga jual tahu Mengurangi penggunaan jumlah tenaga kerja Berhenti berproduksi Tidak melakukan tindakan apapun Jumlah
%
Skala Usaha Skala Menengah orang %
Skala Besar Orang
Jumlah
%
Persentase %
2
29
-
0
3
38
5
25
-
0
-
0
1
13
1
5
4
57
5
100
4
50
13
65
-
0
-
0
-
0
0
0
-
0
-
0
-
0
0
0
1 7
14 100
5
0 100
8
0 100
1 20
5 100
Berdasarkan tabel 44 dapat dilihat bahwa pengrajin tahu sumedang melakukan berbagai strategi untuk menyiasati kenaikan harga kedelai. Sebagian besar pengrajin, yaitu sebanyak 13 orang (65 persen) meningkatkan harga jual tahu sumedang ketika harga kedelai naik. Strategi yang dilakukan oleh pengrajin pada setiap skala usaha berbeda. Untuk pengrajin skala kecil sebagian besar sebanyak empat orang (57 persen) memilih untuk meningkatkan harga harga jual tahu sumedang dan sebagian lainnya memilih untuk mengurangi jumlah penggunaan kedelai sebanyak empat orang (29 persen), serta satu orang (14
60 persen) tidak melakukan apapun. Seluruh pengrajin skala menengah sebanyak lima orang (100 persen) meningkatkan harga jual tahu ketika harga kedelai naik. Sedangkan pengrajin skala besar sebanyak empat orang (50 persen) memilih untuk meningkatkan harga jual tahu, tiga orang (38 persen) memilih untuk mengurangi jumlah penggunaan kedelai, dan satu orang (13 persen) memilih untuk memperkecil ukuran tahunya. Dalam penelitian ini, diperoleh informasi bahwa ada satu pengrajin pada skala menengah yang melakukan beberapa strategi ketika harga kedelai mengalami kenaikan. Strategi yang dilakukan adalah mengurangi penggunaan jumlah kedelai setiap harinya, disertai dengan peningkatan harga jual yang tinggi. Selain itu, pengrajin tersebut melakukan strategi dengan memperkecil ukuran tahu sumedang yang diproduksinya. Dengan demikian pengrajin tersebut sebenarnya memperoleh keuntungan yang lebih dengan adanya kenaikan harga kedelai. Strategi yang telah dilakukan oleh pengrajin tahu sumedang berbeda sesuai dengan perhitungan pengrajin. Perbedaan strategi yang dilakukan ini sebenarnya memiliki tujuan yang sama yakni menutup penurunan keuntungan akibat kenaikan harga bahan baku tahu, yaitu kedelai yang terus meningkat. Strategi manapun yang dilakukan di nilai efisien oleh pengrajin selama pengrajin tetap mendapatkan keuntungan, serta dapat mencukupi semua pengeluaran dalam menjalankan usaha. Dalam melakukan strategi untuk menyiasati kenaikan harga kedelai, pengrajin tahu sumedang di Kecamatan Tanjungsari tidak ada yang mengurangi jumlah tenaga kerja. Selain itu, tidak ada pengrajin tahu sumedang yang berhenti produksi atau bahkan gulung tikar. Pengrajin tahu yang memilih untuk tidak melakukan tindakan apapun, artinya tidak ada yang berubah dengan adanya kenaikan harga kedelai, baik dalam segi harga jual, ukuran, maupun jumlah kedelai yang digunakan. Sedangkan untuk pengrajin yang memilih meningkatkan harga jual dikarenakan untuk menutupi biaya produksi, walaupun pelanggan mengeluh.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Kesimpulan dari penelitian analisis usaha pengrajin tahu sumedang sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai adalah sebegai berikut. 1. Setelah kenaikan harga kedelai, pengrajin pada semua skala mengeluarkan biaya tetap yang sama. Biaya variabel dan biaya total pada skala kecil dan menengah meningkat, sedangkan pada skala besar menurun karena penurunan jumlah produksi yang cukup besar dan selisih peningkatan harga kedelai yang relatif rendah. Penerimaan, keuntungan, dan R/C ratio pada skala kecil, menengah, dan besar menurun karena jumlah produksi yang berkurang tidak disertai harga jual yang tinggi. 2. Dari hasil uji beda t-paired dengan taraf nyata 10 persen, dengan adanya kenaikan harga kedelai berpengaruh terhadap biaya variabel, penerimaan,
61 keuntungan, dan efisiensi pengrajin tahu sumedang pada seluruh responden yang berjumlah 20 pengrajin tahu, begitupun dengan uji anova antar skala usaha. Akan tetapi, apabila di lihat secara stratifikasi pada berbagai tingkat skala usaha yang berbeda menunjukkan hasil yang relatif sama, artinya kenaikan harga kedelai tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengrajin tahu sumedang. Hal ini dikarenakan jumlah sampel yang kecil pada setiap skala usaha serta strategi yang dijalankan pada setiap skala usaha relatif sama, sehingga tidak bisa mewakili seluruh populasi yang ada di Kecamatan Tanjungsari. 3. Pengrajin tahu sumedang pada semua skala sebagian besar memilih strategi untuk menaikkan harga jual tahu ketika kedelai mengalami kenaikan sebanyak 13 orang (65 persen) dari total responden dan mengurangi jumlah penggunaan kedelai sebanyak 5 orang (25 persen) dari total responden.
Saran Berdasarkan hasil penelitian saran yang dapat disampaikan yaitu : 1. Pengrajin tahu sumedang lebih mengefisienkan penggunaan bahan baku kedelai karena merupakan komponen biaya variabel dan biaya total terbesar. 2. Pengrajin tahu sebaiknya menggunakan bahan bakar kayu karena harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan penggunaan gas yang harganya lebih mahal dan penggunaannnya lebih boros. 3. Penelitian ini terfokus pada tahu sumedang di Kecamatan Tanjungsari, sehingga diperlukan penelitian di lokasi yang lain pada tahu sumedang ataupun tahu yang lainnya seperti tahu kuning, untuk dibandingkan pengaruhnya setelah kenaikan harga kedelai.
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto. 2004. Budi Daya dan Analisis Usaha Tani Kedelai, Kacang Hijau dan Kacang Panjang. Yogyakarta (ID): Absolut. Astuti Y. 2008. Diktat Kuliah Matematika Ekonomi. Jakarta (ID): Pusat Pengembangan Bahan Ajar-UMB. Azis Y. 2012. Adaptasi Ekonomi Pengusaha Agribisnis Tahu Dalam Menghadapi Kenaikan Harga Kedelai di Kabupaten Banjar. Jurnal Agribisnis Pedesaan. Volume 02 Nomor 04 Desember 2012 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Data Statistik Indonesia: Proyeksi Penduduk Indonesia Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2008-2013. Jakarta (ID): BPS Indonesia.
62 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Jumlah Perusahaan Berdasarkan Sub Sektor. Jakarta (ID): BPS Indonesia. [Deptan] Departemen Pertanian. 2014. Data Kedelai. Jakarta (ID): Deptan. [Disperindag] Dinas Perindustrian dan Perdagangan. 2013. Harga Kedelai. Jakarta (ID): Disperindag. [Disperindag Sumedang] Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sumedang. 2012. Potensi Sumedang. Sumedang (ID): Disperindag Sumedang. Hafsah MJ. 2003. Ekonomi Bisnis. Jakarta (ID): Pustaka Sinar Harapan. Kurniasari E. 2010. Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Jakarta Barat. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Mustofa R. 2008. Analisis Pendapatan dan Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Tahu. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nursiah T. 2013. Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Kinerja Industri Tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Patmawaty. 2009. Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Pendapatan Usaha Pengrajin Tahu Skala Kecil dan Rumah Tangga (Studi Kasus: Desa Bojong Sempu, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor). [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rahardja P, Manurung M. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi & Makroekonomi) edisi ketiga. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Rahmat. 2013. Produksi Tahu Tempe di Sumedang Menurun sebagai Imbas Kenaikan Harga Kedelai [internet] [di unduh 2014 Januari 25] tersedia pada http://www.pikiranrakyat.com/node/248428. Rostiani I. 2013. Fluktuasi Harga Kedelai. Jakarta (ID): Universitas Gunadharma. Rosyidi S. 2003. Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta (ID): PT RajaGrafindo Persada. Rudy T. 2013. Kebutuhan Pangan Nasional Meningkat 70 persen [internet] [di unduh 2013 Nov 20] tersedia pada http://berita.plasa.msn.com// Salvatore D. 2006. Mikroekonomi Edisi Empat. New York (US): McGraw-Hill, Inc. Santosa PB. 2013. Kenaikan Harga Kedelai. [internet] [diunduh 2014 Januari 25] tersedia pada http://www.feb.undip.ac.id/index.php/arsip-berita/48-beritabaru/794-prof-purbayu-budi-santosa-kedelai-dan-jati-diri-industri. Semaoen I, Kiptiyah SM. 2011. Mikroekonomi (Level Intermediate). Malang (ID): Universitas Brawijaya Press (UB Press). Soekartawi. 1995. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian dan Apliksinya. Jakarta (ID): Rajawali Press. Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung (ID): Alfabeta. Warren CS, Reeve JM, Fess PE. 2005. Pengantar Akuntansi edisi 21. Jakarta (ID): Salemba Empat. Yogi. 2006. Ekonomi Manajerial Pendekatan Analisis Praktis Edisi II. Jakarta (ID): Prenada Media Group.
63
LAMPIRAN
Lampiran 1 Kebutuhan kedelai per hari pengrajin tahu sumedang untuk setiap skala usaha
No 1 2 3 4 5 6 7
Naya Hafid Ade Eman Otoh Ganda Surnoto Rata-Rata
No 1 2 3 4 5
Nama
Cicih Herman Suhandi Nono TS Kartini Rata-Rata
No
1 2 3 4 5 6 7 8
Nama
Nama
Asep Sarina Subarnas Deni Gugum Somantri Ace Nani Daenudin Rata-Rata
Pengrajin Skala Kecil Kebutuhan kedelai (kg/hari) Sebelum kenaikan harga Setelah kenaikan harga kedelai kedelai 100 80 100 100 50 50 100 100 80 80 250 250 100 80 111 106 Pengrajin Skala Menengah Kebutuhan kedelai (kg/hari) Sebelum kenaikan harga Setelah kenaikan harga kedelai kedelai 300 300 300 200 350 350 350 350 350 350 330 310 Pengrajin Skala Besar Kebutuhan kedelai (kg/hari) Sebelum kenaikan harga Setelah kenaikan harga kedelai kedelai 2800 800 700 1000 700 700 400 650 969
1750 800 700 800 700 700 300 650 800
64 Lampiran 2 Peralatan dan fungsi peralatan pada usaha tahu sumedang Nama peralatan Mesin penggiling kedelai
Gambar
Fungsi Menggiling kedelai untuk menjadi bubur. Mesin yang digunakan sudah lebih modern, menggunakan dinamo listrik.
Tangok
Penyaring yang memisahkan antara pati dengan ampas tahu.
Tahang
Tempat untuk meletakkan bubur kedelai yang telah direbus dan untuk melakukan penggumpalan.
Kain saringan
Sebagai penyaring kedelai yang sudah direbus untuk memisahkan antara pati dan ampas tahu.
Drum
Sebagai tempat meletakkan air.
Ember
Untuk meletakkan merendam kedelai.
untuk
dan
65 Ancak (rak bambu)
Untuk meletakkan tahu yang sudah dicetak.
Serokan
Untuk menggoreng menyaring tahu.
Katel (wajan)
Untuk merebus dan menggoreng tahu hingga matang.
Cetakan
Sebagai pencetak kedelai yang telah di olah menjadi tahu.
dan
2400000 2550000 3010000 3010000 2975000 2789000
1 Cicih 2 Herman 3 Suhandi 4 Nono TS 5 Kartini Rata-Rata
No
(kg/hari) 300 300 350 350 350 330
850000 800000 420000 700000 684000 2150000 850000 922000
(kg/hari) 100 100 50 100 80 250 100 111
Kedelai
Kedelai
Jumlah
Jumlah
Naya Hafid Ade Eman Otoh Ganda Surnoto Rata-rata
Nama
Nama
1 2 3 4 5 6 7
No Dalam 39667 37333 35000 42000 22000 108000 40000 46286
Dalam 90000 112000 140000 170000 128000 128000
TK
Luar 270000 168000 280000 255000 320000 258600
Luar 79334 74666 0 84000 44000 162000 80000 74857
TK
240000 240000 120000 250000 192000 600000 240000 268857
Minyak Goreng Serbuk gergaji 0 31500 0 0 0 0 0 4500 Kayu 0 60000 30000 60000 48000 150000 400000 106857
Bahan Bakar
42000 42000 50000 50000 50000 46800
720000 720000 840000 840000 840000 792000
Minyak Goreng Serbuk gergaji 0 0 0 0 0 0
Kayu 0 0 210000 42000 420000 134400
Gas 400000 0 0 0 0 170000 0 81429
Gas 1000000 1000000 0 0 0 400000
Bahan Bakar
Pengrajin Skala Menengah
Garam
14000 14000 7000 14000 11000 36000 14000 15714
Garam
Pengrajin Skala Kecil
28571 7143 35714 100000 20000 38285,6
Listrik
14286 14286 2143 17857 3571 42857 2857 13980
Listrik
0 0 0 0 50000 10000
Transport
0 0 0 0 0 0 0 0
Transport
4960 5357 4960 4960 5158 5079
Penyusutan Pabrik
4960 4563 4464 4563 3968 3968 3373 4266
Penyusutan Pabrik
104871 66419 116296 123185 77669 97688
Penyusutan Alat
70283 124416 51632 38452 52206 97243 76533 72966
Penyusutan Alat
Lampiran 3 Rata-rata biaya per hari (dalam Rp) yang dikeluarkan pengrajin tahu sumedang sebelum kenaikan harga kedelai pada setiap skala usaha tahu 2014
66
Nama
Asep 1 Sarina 2 Subarnas 3 Deni 4 Gugum 5 Somantri 6 Ace 7 Nani 8 Daenudin Rata-Rata
No
2800 800 700 1000 700 700 400 650 969
(kg/hari)
Jumlah
22400000 6400000 5880000 8000000 5950000 5670000 3400000 5460000 7895000
Kedelai
1080000 350000 800000 1120000 400000 600000 200000 770000 665000
Luar
TK
120000 140000 160000 160000 300000 100000 200000 330000 188750
Dalam 400000 114000 100000 140000 165000 200000 114000 92000 165625
Garam
6160000 1760000 1680000 2400000 1680000 1680000 960000 1430000 2218750
Minyak Goreng
0 0 0 0 0 0 0 0 0
Serbuk gergaji
Pengrajin Skala Besar
1760000 0 0 360000 0 448000 272000 390000 403750
Kayu
Bahan Bakar
0 480000 570000 600000 640000 0 0 0 286250
Gas 285714 25000 71429 100000 35714 71429 20000 107143 89554
Listrik
0 0 0 0 0 0 0 0 0
Transport
7937 6944 5952 6746 5952 6151 5952 6746 6548
Penyusutan Pabrik
825149 268092 349900 250679 297897 329484 173264 186786 335156
Penyusutan Alat
67
Nama
Cicih Herman Suhandi Nono TS Kartini Rata-Rata
1 2 3 4 5
Naya Hafid Ade Eman Otoh Ganda Surnoto Rata-rata
Nama
No
1 2 3 4 5 6 7
No
(kg/hari) 300 200 350 350 350 310
Jumlah
(kg/hari) 80 100 50 100 80 250 80 106
Jumlah
3000000 1900000 3500000 3500000 3500000 3080000
Kedelai
760000 890000 480000 870000 768000 2350000 760000 982571
Kedelai Dalam 31167 37333 35000 42000 22000 108000 32000 43929
Dalam 90000 90000 140000 170000 128000 123600
TK Luar 270000 135000 280000 255000 320000 252000
Luar 62334 74666 0 84000 44000 162000 64000 70143
TK
192000 240000 120000 250000 192000 600000 192000 255143
Minyak Goreng Serbuk gergaji 0 31500 0 0 0 0 0 4500
Bahan Bakar Kayu Bakar Gas 0 300000 60000 0 30000 0 60000 0 48000 0 150000 170000 320000 0 95429 67143
42000 28000 50000 50000 50000 44000
720000 480000 840000 840000 840000 744000
Minyak Goreng
Serbuk gergaji 0 0 0 0 0 0
Bahan Bakar Kayu Bakar Gas 0 1000000 0 800000 210000 0 42000 0 420000 0 134400 360000
Pengrajin Skala Menengah
Garam
11000 14000 7000 14000 11000 36000 11000 14857
Garam
Pengrajin Skala Kecil
28571 7143 35714 100000 20000 38286
Listrik
14286 14286 2143 17857 3571 42857 2857 13980
Listrik
0 0 0 0 50000 10000
Transport
0 0 0 0 0 0 0 0
Transport
Penyusutan Alat 104871 66419 116296 123185 77669 5079
4960 5357 4960 4960 5158 5079
70283 124416 51632 38452 52206 97243 76533 4266
Penyusutan Alat
Penyusutan Pabrik
4960 4563 4464 4563 3968 3968 3373 4266
Penyusutan Pabrik
Lampiran 4 Rata-rata biaya per hari (dalam Rp) yang dikeluarkan pengrajin tahu sumedang setelah kenaikan harga kedelai pada setiap skala usaha tahu 2014
68
Nama
Asep 1 Sarina 2 Subarnas 3 Deni 4 Gugum 5 Somantri 6 Ace 7 Nani 8 Daenudin Rata-rata
No
1750 800 700 800 700 700 300 650 800
(kg/hari)
Jumlah
15750000 7200000 6720000 7200000 6790000 6300000 2700000 6175000 7354375
Kedelai
825000 350000 800000 910000 400000 600000 200000 770000 606875
Luar
Dalam 110000 140000 160000 130000 300000 100000 200000 330000 183750
TK
250000 114000 100000 114000 165000 200000 84000 92000 139875
Garam
3850000 1760000 1680000 1920000 1680000 1680000 720000 1430000 1840000
Minyak Goreng 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Serbuk gergaji
Pengrajin Skala Besar
1120000 0 0 270000 0 448000 204000 390000 304000
Bahan Bakar Kayu Bakar 0 480000 570000 480000 640000 0 0 0 271250
Gas 285714 25000 71429 100000 35714 71429 20000 107143 89554
Listrik
0 0 0 0 0 0 0 0 0
Transport
7937 6944 5952 6746 5952 6151 5952 6746 6548
Penyusutan Pabrik
825149 268092 349900 250679 297897 329484 173264 186786 6548
Penyusutan Alat
69
70 Lampiran 5 Penerimaan, keuntungan dan R/C ratio sebelum kenaikan harga kedelai pada setiap skala usaha
Jumlah Output Responden
Pengrajin Skala Kecil Harga Jual Total (Rp) Keuntungan Penerimaan (Rp) (Rp) Tahu Ampas
R/C ratio
Tahu (ancak)
Ampas (jirangan)
1 2 3 4 5 6
56 56 28 56 44 144
14 14 7 14 11 36
30000 30000 25000 30000 29000 32000
4000 3000 7000 4000 0 6000
1736000 1722000 749000 1736000 1276000 4824000
23470 321236 78761 525128 215255 1303932
1,01 1,23 1,12 1,43 1,20 1,37
7
56
14
30000
4000
1736000
29237
1,02
Rata-rata
63
16 29429 4000 1968429 356 717 Pengrajin Skala Menengah Harga Jual Jumlah Output Total (Rp) Keuntungan Penerimaan (Rp) Tahu Ampas (Rp) (ancak) (jirangan) Tahu Ampas
1,20
Responden
R/C ratio
1 2 3
168 168 200
42 42 50
30000 30000 30000
4000 4000 2000
5208000 5208000 6100000
547598 537081 1413030
1,12 1,11 1,30
4 5
200 200
50 50
30000 30000
2000 5000
6100000 6250000
1504855 1364172
1,33 1,28
Rata-rata
187
47
30000 3400 5773200 1073347 Pengrajin Skala Besar Harga Jual (Rp) Total Keuntungan Penerimaan Tahu Ampas
1,23
Jumlah Output Responden
R/C ratio
Tahu (ancak)
Ampas (jirangan)
1 2 3 4 5 6 7 8
1600 440 400 568 440 400 228 368
400 114 100 142 110 100 57 92
31000 30000 30000 35000 30000 30000 32000 33000
4000 3000 3500 3500 3000 0 4500 4000
51200000 13542000 12350000 20377000 13530000 12000000 7552500 12512000
18161200 3997964 2732719 7239575 4055437 2894936 2207284 3739325
1,55 1,42 1,28 1,55 1,43 1,32 1,41 1,43
Rata-rata
556
139
31375
3188
17882938
5628555
1,42
71 Lampiran 6
Penerimaan, keuntungan dan R/C ratio setelah kenaikan harga kedelai pada setiap skala usaha Pengrajin Skala Kecil
Harga Jual (Rp)
Jumlah Output Responden 1 2 3 4 5 6 7 Rata-rata
Tahu Ampas (ancak) (jirangan) 44 11 56 14 28 7 56 14 44 11 144 36 44 11 59
15
Jumlah Output Responden 1 2 3 4 5 Rata-rata
Tahu Ampas (ancak) (jirangan) 168 42 112 28 200 50 200 50 200 50 176 44 Jumlah Output
Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 Rata-rata
Tahu (ancak)
Ampas (jirangan)
1000 440 400 456 440 400 168 368 459
250 114 100 114 110 100 42 92 115
Tahu Ampas 32000 4000 30000 3000 30000 7000 32000 4000 30000 0 35000 6000 32500 4000
Total Keuntungan Penerimaan (Rp) (Rp) 5970 231236 158761 467128 175255 1535932 12237
1,00 1,16 1,22 1,34 1,15 1,41 1,01
31643 4000 1994429 369502 Pengrajin Skala Menengah Harga Jual Total (Rp) Keuntungan Penerimaan (Rp) (Rp) Tahu Ampas 31000 4000 5376000 115598 32500 4000 3752000 240081 32000 2000 6500000 1323030 32000 2000 6500000 1414855 31000 5000 6450000 1039172 31700 3400 5715600 826547 Pengrajin Skala Besar Harga Jual Total (Rp) Keuntungan Penerimaan (Rp) (Rp) Tahu Ampas
1,18
35000 32000 32000 35000 34000 35000 32000 33000 33500
4000 3000 3500 3500 3000 0 4500 4000 3188
1452000 1722000 889000 1848000 1320000 5256000 1474000
R/C ratio
36000000 14422000 13150000 16359000 15290000 14000000 5565000 12512000 15912250
12976200 4077964 2692719 4977575 4975437 4264936 1257784 3024325 4780867
R/C ratio 1,02 1,07 1,26 1,28 1,19 1,16
R/C ratio 1,56 1,39 1,26 1,44 1,48 1,44 1,29 1,32 1,40
72
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 6 September 1992 dari ayah Cep Agus Zaenal Mutaqin dan ibu Heni Sriwindini. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Tanjungsari dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Forum for Scientific Studies (FORCES) IPB. Penulis juga aktif di beberapa kepanitiaan di kampus, serta mengajar anak-anak SD di bawah binaan IPB Mengajar. Selain itu, penulis aktif dalam beberapa kegiatan sosial dan tergabung dalam komunitas jalanan yang bernama Save Street Child (SSC). Bulan Juni-Agustus 2013 penulis melaksanakan kegiatan Gladikarya di Desa Iwul Kecamatan Parung Kabupaten Bogor dengan menganalisis potensi utama desa tersebut yaitu lele. Penulis juga aktif mengikuti beberapa lomba menulis, baik sastra, karya tulis ilmiah, business plan, atau Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Beberapa prestasi yang pernah di raih penulis antara lain ialah Juara I Lomba Business Plan Tingkat Nasional Red Agritech Festival IPB 2013, Semifinalis Business Plan ITS Expo 2013, Lolos Didanai Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat (PKM-M) Dikti 2013, Finalis Lomba Karya Tulis Nasional ACCOUNTING FAIR Universitas Andalas 2013, Lolos Didanai Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Kewirausahaan (PKM-K) Dikti 2012, Finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional EXIST FAIR Universitas Jambi 2012, Masuk Kategori 10 Surat Terbaik dalam Ajang Menulis Surat untuk Rektor Institut Pertanian Bogor 2011, dan Penerima Beasiswa Bidik Misi IPB.