ANALISIS PENGARUH PAJAK DAERAH TERHADAP PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH
RAHMI BUDHY FATMASARI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pengaruh Pajak Daerah terhadap Pelaksanaan Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2015 Rahmi Budhy Fatmasari NIM H14110049
ABSTRAK RAHMI BUDHY FATMASARI. Analisis Pengaruh Pajak Daerah terhadap Pelaksanaan Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Tengah.Dibimbing oleh SRI HARTOYO. Pajak daerah merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah daerah dalam mendukung kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh pajak daerah terhadap pelaksanaan pembangunan daerah di Provinsi Jawa Tengah, dengan menggunakan model ekonometrika sistem persamaan simultan serta menggunakan data kombinasi time series tahunan dan cross section 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasil analisis menunjukkan bahwa dugaan parameter model sesuai dengan teori. Pajak daerah berpengaruh signifikan dalam menurunkan tingkat konsumsi masyarakat dan tingkat kemiskinan, namun tidak signifikan dalam mempengaruhi investasi dan peningkatan nilai IPM. Berdasarkan hasil simulasi, peningkatan pajak daerah dapat menurunkan nilai PDRB serta tidak berpengaruh terhadap penurunan kemiskinan dan peningkatan nilai IPM. Hal ini mengindikasikan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah masih rendah dan tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat justru semakin meningkat di era otonomi daerah. Kata Kunci: Jawa Tengah, Pajak Daerah, Pembangunan, Persamaan Simultan
ABSTRACT RAHMI BUDHY FATMASARI. Analysis of Tax on Implementation of Regional Development in Central Java Province. Supervised by SRI HARTOYO. Tax is one source of revenue for local government, in support of the government program and development. This study aims to analyze the influence of taxes to the implementation of regional development in Central Java province, by using econometric model system of simultaneous equations and using a combination of data annual time series and cross section 35 districts/cities in Central Java province. The analysis showed that the allegations in accordance with the theoretical model parameters. Taxes have a significant effect in lowering levels of consumption and poverty, but not significant in influencing investment and an increase in value of HDI. Based on simulation results, an increase in taxes may hold up the GDP growth rate and does not affect the reduction of poverty and the increase in value of HDI. This indicates that the financial performance of local governments is still low and the level of dependence of local governments on the central government actually increased in the era of regional autonomy. Keywords: Central Java, Tax, Development, Simultaneous Equation
ANALISIS PENGARUH PAJAK DAERAH TERHADAP PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH
RAHMI BUDHY FATMASARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelirian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah pembangunan daerah, dengan judul Analisis Pengaruh Pajak Daerah terhadap Pelaksanaan Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Tengah. Terima kasih penulis ucapkan kepada orang tua Bapak Ir. H. Budi Santoso, MM dan Ibu Hj. Siti Mafricha atas segala do’a dan dukungan yang selalu diberikan. Selain itu ucapan terima kasih juga ditujukan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan dan saran dalam membantu penulis menyelesaikan skripsi ini 2. Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku dosen penguji utama dan Ibu Heni Hasanah, SE., M.Si selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas kritik dan saran yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini. 3. Saudara kandung penulis (Atika Budhy Setyani dan Farah Budhy Fauziyah) yang senantiasa memotivasi dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Sahabat penulis (Intan Fitria Sari, Ina Marlina, Aulia Novita, Fauziah Nur Annisa, Yoga Afif Nurrahman dan Ajeng Agustianty) atas doa dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Teman satu bimbingan skripsi (Cynthia A, Marsha Marlupi Maharani, Khodijah Mustaqimah, Rizki Dwi dan Fadhlan Ihsanudin) yang saling membantu dan memotivasi dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Teman OMDA KKB (Dika, Sherly, Ani, Aulia, Venza, Reza, Fatku, Sefri dan Rahmat) yang banyak memberikan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Teman-teman Ilmu Ekonomi 48 (Siska, Diah, Masayu, Ririn, Sari, Ina Fleury, Dian Rahmadhani, Ditta, Faisal, Randy, Idham dan Doni) yang turut membantu dan memotivasi dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2015 Rahmi Budhy Fatmasari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
3
KERANGKA TEORI
3
METODE
5
Jenis dan Sumber Data
5
Metode Pengolahan dan Analisis Data
5
Identifikasi Model
7
Validasi Model Simulasi
7
GAMBARAN UMUM
8
Perkembangan Pajak Daerah
8
Perkembangan Retribusi Daerah
9
Perkembangan Laba Daerah
10
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah
11
Perkembangan Konsumsi
12
Perkembangan Investasi
13
Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto
14
Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin
15
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia
15
HASIL DAN PEMBAHASAN
16
Pendugaan Model Analisis
16
Analisis Model Pertumbuhan Ekonomi
17
Analisis Model Kemiskinan
21
Analisis Model Indeks Pembangunan Manusia
24
Hasil Simulasi Pajak Daerah
26
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
27 27
Saran
28
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
31
RIWAYAT HIDUP
33
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
Identifikasi model persamaan simultan Hasil pendugaan parameter model konsumsi Hasil pendugaan parameter model investasi Hasil pendugaan parameter model kemiskinan Hasil pendugaan parameter model indeks pembangunan manusia Hasil simulasi pajak daerah
7 17 19 21 24 26
DAFTAR GAMBAR 1 Kurva Laffer 2 Perkembangan Nilai Pajak Daerah Jawa Tengah tahun 2009-2013 (ribu rupiah) 3 Perkembangan Nilai Retribusi Daerah Jawa Tengah tahun 2009-2013 (ribu rupiah) 4 Perkembangan Nilai Laba Daerah Jawa Tengah tahun 2009-2013 (ribu rupiah) 5 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Jawa Tengah tahun 20092013(ribu rupiah) 6 Perkembangan Nilai Konsumsi Jawa Tengah tahun 2009-2013 (ribu rupiah) 7 Perkembangan Nilai Investasi Jawa Tengah tahun 2009-2013 (ribu rupiah) 8 Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Jawa Tengah tahun 2009-2013(ribu rupiah) 9 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Jawa Tengah tahun 20092013 (jiwa) 10 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Jawa Tengah tahun 2009-2013
4 8 9 10 11 12 13 14 15 16
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil pendugaan parameter model pajak daerah 2 Hasil pendugaan parameter model retribusi daerah 3 Hasil pendugaan parameter model laba daerah
31 31 32
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan pembangunan dengan segala sesuatu yang dipersiapkan dan dilaksanakan oleh suatu daerah, mulai dari perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan hingga pertanggungjawabannya. Lahirnya Undangundang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur pelaksanaan pemerintahan daerahnya sendiri. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah dengan sistem pemerintahan desentralisasi yang terdiri dari 35 kabupaten/kota. Kebijakan otonomi daerah yang berlaku di Provinsi Jawa Tengah memberikan kewenangan lebih besar bagi tiap daerah untuk mengatur dan mengurus kegiatan pemerintahannya secara mandiri. Sejalan dengan kewenangan tersebut, pemerintah daerah (Pemda) diharapkan mampu menggali sumber keuangan untuk pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui PAD (Pendapatan Asli Daerah). PAD merupakan sumber penerimaan yang berpengaruh terhadap pembiayaan rutin dimana perolehannya dihasilkan secara mandiri sesuai dengan potensi dan sumber daya yang dimiliki. Otonomi daerah dapat diwujudkan apabila didukung dengan otonomi keuangan yang efektif. Namun kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan masih terkendala dalam upayanya meningkatkan PAD. Derajat kemandirian suatu daerah dalam pelaksanaan otonomi dapat dilihat dari rasio PAD terhadap total penerimaan daerah. Semakin besar rasionya maka semakin besar pula tingkat kemandirian suatu daerah. Perolehan PAD kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah hanya mencapai 9-12 persen dari total penerimaan daerah. Sementara itu nilai rasio total PAD kabupaten/kota terhadap total penerimaan daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah mengalami stagnasi selama tiga tahun, yakni pada tahun 2009 hingga tahun 2011 nilai rasionya adalah 0,10. Kemudian nilai rasio PAD terhadap total penerimaan daerah mengalami peningkatan pada tahun 2012 dan 2013 yakni naik menjadi 0,11 dan 0,13 (BPS Jateng 2015). Rendahnya nilai rasio tersebut menunjukkan masih tingginya ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam pelaksanaan otonomi, terutama dalam hal keuangan. Guna mendukung pelaksanaan otonomi, maka masing-masing daerah harus mampu meningkatkan penerimaan yang salah satunya bersumber dari pajak. Pajak daerah merupakan salah satu sumber penerimaan yang digali secara mandiri dan penerimaannya ditujukan untuk mengoptimalkan nilai PAD guna mendukung pelaksanaan pemerintahan serta pembangunan. Secara nyata, penerimaan daerah yang besar akan berpengaruh positif terhadap kegiatan pembangunan daerah. Namun pembangunan daerah juga dapat mempengaruhi besaran penerimaan masing-masing daerah karena berhasilnya pembangunan daerah yang ditinjau dari tingkat kesejahteraan masyarakat, akan menentukan pajak yang dibayarkan, bisnis usaha yang dijalankan serta meluasnya investasi dengan banyaknya pendirian bangunan di suatu daerah. Oleh karena itu kebijakan untuk penentuan pajak perlu dikaji terlebih dahulu karena pajak memiliki konsekuensi positif dan negatif terhadap pembangunan daerah. Sebagai
2 perannya dalam meningkatkan penerimaan daerah, penulis ingin melihat bagaimana pengaruh pajak daerah terhadap pelaksanaan pembangunan daerah di Provinsi Jawa Tengah yang ditinjau dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah penduduk miskin dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Perumusan Masalah Lahirnya UU nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan dasar pendukung pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Sebagai salah satu daerah yang menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi, Provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari 35 kabupaten/kota memeiliki kewenangan untuk mengatur kegiatan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya secara mandiri, serta menggali sumber dana untuk mendukung pelaksanaan kegiatan otonomi daerah tersebut. Derajat kemandirian suatu daerah otonom dapat dilihat dari perbandingan nilai PAD dengan total penerimaan daerah. Provinsi Jawa Tengah memiliki nilai rasio berkisar antara 0,10 hingga 0,13 pada tahun 2009-2013. Hal tersebut mengindikasikan masih lemahnya kinerja keuangan pemerintahan daerah. Upaya memperbesar penerimaan daerah salah satunya dengan meningkatkan penerimaan pajak daerah. Besar kecilnya penerimaan daerah memiliki hubungan timbal balik dengan kegiatan pembangunan daerah. Sebagai suatu kebijakan, pajak memiliki konsekuensi positif dan negatif. Untuk itu perlu pengkajian yang matang mengenai dampak yang akan ditimbulkan dari pemberlakuan pajak. Dari penjabaran di atas dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan yang akan ditelaah dalam penelitian ini yakni bagaimana pengaruh dari pajak daerah serta dampak peningkatan penerimaannya terhadap pelaksanaan pembangunan daerah di Provinsi Jawa Tengah, dengan dihubungkan pada tiga indikator pembangunan yaitu PDRB, jumlah penduduk miskin serta IPM.
Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum ditujukan untuk menganalisis pengaruh pajak daerah dan dampak peningkatan penerimaannya terhadap pelaksanaan pembangunan daerah di Provinsi Jawa Tengah.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pengetahuan mengenai pengaruh peningkatan pajak daerah terhadap pelaksanaan pembangunan daerah di Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi aparatur pemerintah (khususnya aparatur Pemerintah Provinsi Jawa Tengah) yang dapat menjadi bahan masukan dalam pengembilan kebijakan pemberlakuan pajak daerah pada masa yang akan datang.
3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada 35 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 hingga 2013. Peningkatan pembangunan daerah difokuskan pada aspek ekonomi dan sosial, yakni PDRB, Kemiskinan dan IPM yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh pajak daerah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari BPS Provinsi Jawa Tengah.
KERANGKA TEORI Prakosa (2005) menyatakan bahwa pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan daerah. Perubahan penerimaan pajak daerah akan berdampak langsung terhadap perolehan PAD kabupaten/kota. Sebagai suatu kebijakan, pajak daerah ditujukan untuk mengoptimalkan perolehan PAD karena nilai penerimaannya yang besar di setiap kabupaten/kota. Selain itu perannya sebagai kebijakan, pajak daerah tentu memiliki konsekuensi positif dan negatif jika diterapkan di suatu daerah. Konsekuensi positif yang dapat dihasilkan dari pemberlakuan pajak daerah adalah perannya sebagai pengaturan ekonomi dan meningkatkan penerimaan daerah. Sementara konsekuensi negatif yang ditimbulkan adalah pajak daerah dapat meningkatkan harga-harga yang harus dibayarkan oleh pelaku ekonomi sehingga beban yang ditanggung turut meningkat. Tikson (2005) menyatakan beberapa indikator keberhasilan pembangunan daerah, yaitu laju PDRB suatu daerah, angka penduduk miskin, struktur ekonomi yang ditinjau dari besaran UMR, angka tabungan serta total nilai IPM suatu daerah. Karena keterbatasan data yang diperoleh, indikator keberhasilan pembangunan daerah yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai PDRB, kemiskinan, dan nilai IPM, yang mana telah mencakup aspek ekonomi dan sosial dalam pembangunan. Oleh karena itu untuk melihat pengaruh pajak daerah terhadap pelaksanaan pembangunan daerah, maka dapat dihubungkan dengan tiga indikator keberhasilan pembangunan, yakni PDRB, kemiskinan dan IPM. Apabila dihubungkan dengan PDRB sebagai representasi pertumbuhan ekonomi, pajak daerah memiliki pengaruh yang negatif terhadap tingkat konsumsi dan investasi. Pemberlakuan pajak daerah menyebabkan biaya yang ditanggung produsen dalam melaksanakan kegiatan/layanan tertentu menjadi tinggi. Karena orientasi produsen adalah keuntungan, maka sebisa mungkin produsen akan menekan biaya produksinya, yang salah satunya dilakukan dengan membagi beban pajak yang ditanggungnya kepada konsumen yang menggunakan jasa pelayanan kegiatan yang disediakan oleh produsen. Akibatnya tingkat harga yang harus dibayarkan oleh konsumen menjadi tinggi, sehinga permintaan akan barang dan jasa yang disediakan oleh produsen menjadi turun. Perubahan konsumsi masyarakat selanjutnya akan secara langsung mempengaruhi besar kecilnya nilai
4 perolehan PDRB. Nilai PDRB akan mempengaruhi kegiatan investasi di suatu daerah tertentu. Pemberlakuan pajak daerah merupakan salah satu faktor yang dapat menghambat perluasan kegiatan investasi, karena dengan adanya pajak daerah pendapatan investor akan berkurang dan tidak ada ketertarikan dari investor untuk memperluas kegiatan investasinya. Berkurangnya investasi akan mempengaruhi nilai IPM, karena ketersediaan lapangan pekerjaan yang turun, jumlah pengangguran bertambah dan pendapatan masyarakat yang dapat dialokasikan untuk kebutuhan bukan makanan menjadi berkurang. Nilai IPM salah satunya diukur melalui Angka Harapan Hidup (AHH). AHH menunjukan kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan meningkatkan kesehatan masyarakat pada khususnya, yang ditinjau dari meningkatnya perawatan kesehatan melalui puskesmas dan meningkatnya daya beli masyarakat yang akan meningkatkan akses pelayanan kesehatan. Maka apabila pendapatan masyarakat turun, alokasi pengeluaran masyarakat yang dapat digunakan untuk kebutuhan bukan makanan menjadi berkurang. Sehingga penggunaan fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit menjadi rendah. Berkurangnya penggunaan fasilitas kesehatan tersebut tentu akan mempengaruhi perolehan retribusi daerah yang salah satunya dipungut dari puskesmas dan rumah sakit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan nilai IPM akan berdampak pada berkurangnya perolehan retribusi daerah. Rendahnya penerimaan retribusi daerah akansecara langsung mengurangi perolehan PAD. PAD merupakan salah satu bagian dari total penerimaan daerah, maka apabila perolehan PAD mengalami penurunan, secara tidak langsung akan mempengaruhi besaran pengeluaran pemerintah yang akan digunakan untuk pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah. Dalam konteks desentralisasi fiskal, komponen penerimaan daerah tidak hanya mencakup PAD, namun untuk melihat derajat kemandirian suatu daerah dalam pelaksanaan otonomi, masing-masing daerah otonom harus memiliki nilai rasio antara PAD dengan total penerimaan daerah minimalsebesar 20 persen. Apabila perolehan PAD kurang dari 20 persen maka daerah tersebut akan kehilangan kredibilitasnya sebagai kesatuan yang mandiri (World Bank, 1998). Laffer (1978) menyatakan bahwa tarif pajak yang lebih tinggi tidak selalu menghasilkan pendapatan pajak yang lebih tinggi.Tarif pajak yang lebih tinggi akan menghambat aktivitas ekonomi dan mengakibatkan pendapatan pajak menurun.
5
Penerimaan
0
t*
100
TarifPajak (%)
Gambar 1 Kurva Laffer Dengan rentang nilai 0-100 persen, logika sederhana menunjukkan apabila tarif pajak yang diberlakukan adalah nol maka pendapatan pajak juga akan nol. Namun pada tarif 100 persen, secara rasional akan memberikan dorongan kepada pembayar pajak untuk tidak bekerja, karena berapapun pendapatan yang diterima pada akhirnya akan digunakan seluruhnya untuk membayar pajak. Hal ini menimbulkan pemikiran pada pembayar pajak untuk tidak bekerja. Akibatnya penerimaan pajak akan kembali turun. Dengan asumsi tax rate continues antara 0100 persen, maka penerimaan pajak akan mengalami peningkatan sampai pada titik maksimum tertentu dan terus kembali turun menuju titik nol. Guna mengukur keberhasilan pembangunan daerah dalam mengurangi jumlah penduduk miskin dan meningkatkan nilai IPM, maka besaran perolehan PAD menjadi salah satu faktor yang digunakan untuk melihat keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Dipilihnya PAD sebagai salah satu faktor yang berpengaruh, karena penelitian ini ditujukan untuk melihat kinerja keuangan pemerintah daerah dalam mendukung pelaksanaan pembanguan daerah. Pajak daerah yang berperan sebagai penerimaan daerah selanjutnya akan menentukan besar kecilnya perolehan PAD dan digunakan untuk mendukung pengeluaran pemerintah yang salah satunya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Pengaruh PAD terhadap kemiskinan selanjutnya akan kembali mempengaruhi besarnya pajak yang dapat dibayarkan oleh masyarakat, serta pengaruh PAD terhadap IPM selanjutnya akan kembali mempengaruhi penerimaan retribusi daerah. Selain itu perubahan yang terjadi pada nilai PDRB, akan kembali mempengaruhi nilai pajak daerah, retribusi daerah dan laba daerah yang berperan sebagai sumber penerimaan daerah. Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan sebab akibat antara penerimaan daerah dengan pelaksanaan pembangunan daerah
6 .
METODE Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel pooled time series-cross section. Cross section dimaksud adalah seluruh (35) kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah, sedangkan time series dimaksud yakni data tahunan untuk periode 2009 hingga 2013. Pembangunan daerah yang dimaksud didasarkan pada tiga indikator yakni PDRB, kemiskinan dan IPM. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, Badan Pusat Statistik Kabupaten/Kota, artikel dan jurnal terkait. Data yang memiliki nilai satuan rupiah telah diriilkan dengan pembagi Indeks Harga Konsumen (IHK).
Metode Pengolahan dan Analisis Data Model yang digunakan dalam menganalisis adalah sistem persamaan simultan. Dapat dibuktikan bahwa setiap persamaan yang dibentuk bersifat teridentifikasi berlebih (over identified), sehingga teknik pendugaan parameter yang tepat untuk digunakan adalah metode Two Stage Least Square (2 SLS) untuk data panel (Baltagi, 1995). Pendugaan nilai-nilai parameter dalam model dilakukan dengan menggunakan program komputer SAS versi 9.1 dan Microsoft Excel 2007. Berikut adalah model persamaan dalam penelitian ini: 1. Pajak Daerah
2. Retribusi Daerah 3. Laba Daerah 4. Pendapatan Asli Daerah 5. Konsumsi 6. Investasi
7. Kemiskinan 8. Indeks Pembangunan Manusia 9. Produk Domestik Regional Bruto
Keterangan:
7 PDt RDt LDt LLPADSt PADt PDRBt MSKNt IPMt PPLt HTLt WSTt INDUSt INVt Gt LJUMRt LJTKt UMRt PNMt INFt Ct
: pajak daerah riil tahun t (ribu Rupiah) : retribusi daerah riil tahun t (ribu Rupiah) : laba daerah riil tahun t (ribu Rupiah) : lain-lain PAD yang sah riil tahun t (ribu Rupiah) : nilai PAD riil tahun t (ribu Rupiah) : nilai PDRB riil tahun t(ribu Rupiah) : kemiskinantahun t (jiwa) : indeks pembangunan manusia tahun t (antara nol sampai seratus) : populasi/jumlah penduduk tahun t (jiwa) : jumlah hoteltahun t (unit) : jumlah wisatawan tahun t (unit) : jumlah industritahun t (unit) : investasi riil tahun t (ribu Rupiah) : belanja pemerintah riil tahun t(ribu Rupiah) : laju perubahan upah minimum tahun t (persen) : laju perubahan tenaga kerja tahun t (persen) : upah minimum regionaltahun t (ribu Rupiah) : pengeluaran bukan makanan tahun t(ribu Rupiah) : inflasitahun t (persen) : konsumsi riil tahun t (ribu Rupiah) : error term Identifikasi Model
Pada model persamaan simultan, identifikasi model ditentukan atas dasar “order condition” sebagai syarat keharusan dan “rank condition” sebagai syarat kecukupan. Dalam suatu persamaan dapat terjadi 3 kemungkinan identifikasi, yaitu persamaan dinyatakan secara tepat (exactly identified), secara berlebih (over identified), atau tidak teridentifikasi (unidentified). Hasil identifikasi pada setiap persamaan struktural haruslah memenuhi exactly identified atau over identified untuk dapat menduga parameter-parameternya. Pada Tabel 1 model persamaan simultan yang dibangun pada penelitian ini adalah over identified, maka model dapat diestimasi dengan menggunakan metode 2SLS (Two Stage Least Square). Metode ini dapat menghasilkan nilai dugaan parameter yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah (Nanga, 2006). Identifikasi persamaan simultan dengan cara order contition dilakukan dengan tiga cara, yaitu apabila (K-M) > (G-1) maka dikategorikan sebagai over identified, apabila (K-M) = (G-1) dikategorikan sebagai exactly identified dan apabila (K-M) < (G-1) dikategorikan sebagai unidentified. Dengan K adalah jumlah variabel dalam model (peubah endogen dan predetermined), M adalah jumlah variabel eksogen dan endogen dalam model persamaan tertentu dan G adalah jumlah variabel endogen dalam model/total persamaan Tabel 1 Identifikasi model persamaan simultan Persamaan Pajak Daerah Retribusi Daerah Laba Daerah
K 26 26 26
M 7 4 3
G 9 9 9
Keterangan Over Identified Over Identified Over Identified
8 Konsumsi Investasi Kemiskinan IPM
26 26 26 26
5 6 6 4
9 9 9 9
Over Identified Over Identified Over Identified Over Identified
Validasi Model Simulasi Setelah persamaan struktural dapat diduga maka dapat dilakukan simulasi. Tujuan simulasi adalah untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen secara simultan. Pada simulasi, persamaan pajak daerah dihilangkan karena simulasi hanya dapat dilakukan pada variabel eksogen. Sebelum model digunakan untuk simulasi alternatif kebijakan, perlu dilakukan uji validitas model terlebih dahulu. Uji validitas model yang sering digunakan adalah kesalahan rataan kuadrat terkecil (Root Mean Squares Percent Error, RMSPE) dan koefisien ketidaksamaan Theil (Theil Inequality Coefficient, U). RMSPE adalah rata-rata kuadrat dari proporsi perbedaan nilai estimasi dengan nilai pengamatan suatu variabel endogen. Semakin kecil nilai RMSPE maka estimasi variabel endogen semakin valid. Nilai U maksimum bernilai satu dan minimum bernilai nol. Apabila nilai U semakin mendekati nol maka estimasi variabel endogen dikatakan sempurna, namun jika nilai U=1 maka hasil simulasi semakin buruk.
GAMBARAN UMUM Perkembangan Pajak Daerah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa hasil pajak daerah adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ditetapkan melalui peraturan daerah. Dalam penelitian ini perkembangan penerimaan pajak daerah di Provinsi Jawa Tengah digambarkan melalui penerimaan total pajak daerah dari 35 kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut. Di masing-masing daerah terdapat beberapa jenis pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah, yakni pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, pengambilan bahan galian golongan C serta parkir kendaraan.
9
Milyar Rupiah
2 500 2 000 1 500 Pajak Daerah
1 000 500 0 2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015 (diolah) Gambar 2 Perkembangan Nilai Pajak Daerah Provinsi Jawa Tengah Upaya pemerintah daerah dalam mengoptimalkan PAD salah satunya dilakukan dengan meningkatkan penerimaan pajak daerah. Pada tahun 2009 penerimaan pajak daerah adalah sebesar 487 milyar rupiah, dimana perolehannya mencapai angka 19 persen dari total PAD. Penerimaan pajak daerah dapat ditingkatkan setiap tahunnya dengan meningkatkan tarif pajak dan perluasan obyek pengenaan pajak, hingga pada tahun 2013 penerimaan pajak daerah mencapai 234 milyar rupiah. Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS Jawa Tengah, nilai rasio penerimaan pajak daerah terhadap total PAD pada tahun 20092013 mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2009 nilai rasionya adalah sebesar 19 persen, kemudian meningkat menjadi 25 persen pada tahun 2010. Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing daerah otonom dalam melaksanakan kegiatan pemerintahannya adalah menetapkan peraturan daerah (Perda) guna meningkatkan penerimaan daerah melalui pajak daerah. Seiring berjalannya waktu, banyak Perda yang telah ditetapkan berkaitan dengan pajak daerah, sehingga pada tahun 2011-2013 rasio penerimaan pajak daerah terhadap total PAD berturut-turut adalah sebesar 32 persen, 34 persen dan 39 persen. Perkembangan Retribusi Daerah Riduansyah (2003) menyatakan bahwa retribusi daerah merupakan penerimaan yang diterima oleh pemerintah daerah setelah memberikan pelayanan tertentu kepada penduduk yang mendiami wilayah yuridiksinya. Dimana kontribusi diberikan secara langsung oleh pemerintah daerah kepada penduduk yang membayar retribusi tersebut. Retribusi daerah yang diberlakukan di masingmasing kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah terdiri dari retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perijinan tertentu. Pada dasarnya retribusi daerah dikenakan pada setiap aktivitas ekonomi tertentu. Di era otonomi daerah, penetapan retribusi daerah semakin meluas seiring dengan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing daerah dalam menggali sumber dana dari dalam derahnya.
10
Milyar Rupiah
1000 950 900 Retribusi Daerah
850 800 750 2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015 (diolah) Gambar 3 Perkembangan Nilai Retribusi Daerah Provinsi Jawa Tengah Total penerimaan nilai retribusi daerah di setiap kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah cenderung berfluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2009 total penerimaan retribusi adalah sebesar 947 milyar rupiah. Kemudian mengalami kenaikan sebesar 2 persen pada tahun 2010 yakni penerimaannya mencapai angka 966 milyar rupiah dan kembali mengalami penurunan sebesar 2 persen pada tahun 2011 yakni 950 milyar rupiah. Fluktuasi yang terjadi pada penerimaan retribusi daerah salah satunya dipengaruhi oleh aktivitas perekonomian. Ketika kegiatan perekonomian sedang giat, maka pungutan yang dikenakan pada setiap pelaku ekonomi juga akan meningkat begitu juga sebaliknya. Penerimaan retribusi daerah turun secara drastis sebesar 13 persen pada tahun 2012, namun penerimaannya dapat ditingkatkan kembali pada tahun 2013 yakni sebesar 944 milyar rupiah. Apabila dilihat dari nilai rasio penerimaan retribusi daerah terhadap total PAD, kontribusi retribusi daerah terhadap PAD mengalami penurunan pada tahun 2009-2013. Besarnya nilai rasio pada tahun 2009 adalah 37 persen dan terus mengalami penurunan hingga mencapai angka 16 persen pada tahun 2013. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi penerimaan retribusi daerah terhadap total PAD masih rendah dan mengalami penurunan setiap tahunnya. Perkembangan Laba Daerah Nurcholis (2007) menyatakan bahwa bagi masing-masing daerah yang memiliki BUMD seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Bank Pembangunan Daerah (BPD), dan Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat (BPR), pasar, tempat hiburan/rekreasi, villa, pesanggrahan dan lain-lain, dimana keuntungannya merupakan penghasilan bagi daerah yang bersangkutan. Meskipun perusahaan daerah merupakan salah satu komponen yang diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah, namun tujuan utama dari pendirian perusahaan daerah tidak berorientasi pada keuntungan, melainkan untuk memberikan jasa dan menyediakan manfaat bagi masyarakat umum. Maka sudah sewajarnya jika daerah sering menanggung dan menutupi kerugian dari perusahaan daerah tersebut karena tujuan utamanya didasarkan pada kesejahteraan rakyat.
11 Penerimaan laba daerah di Provinsi Jawa Tengah memiliki nilai yang tidak sebesar perolehan pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini dikarenakan alasan yang telah disebutkan, bahwa orientasi dari pendirian perusahaan daerah tidak mengacu pada keuntungan semata, namun lebih ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerahnya. Seringkali perusahaan daerah seperti PDAM mengalami kerugian, karena tarif yang ditetapkan tergolong rendah, mengingat kesejahteraan masyarakat merupakanorientasi dari pendirian perusahaan daerah.
Milyar Rupiah
250 200 150 Laba Daerah
100 50 0 2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015 (diolah) Gambar 4 Perkembangan Nilai Laba Daerah Provinsi Jawa Tengah Penerimaan laba daerah kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah rata-rata mengalami peningkatan sebesar 10-16 persen setiap tahunnya. Namun penerimaan laba daerah meningkat secara drastis sebesar 31 persen pada tahun 2012 yakni berjumlah 199 milyar rupiah. Tingginya penerimaan tersebut dipengaruhi oleh semakin meluasnya kegiatan perekonomian dan meningkatnya kinerja perusahaan daerah dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat. Selain faktor meningkatnya pertumbuhan ekonomi, besarnya penerimaan laba daerah juga dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan masyarakat. Karena dengan semakin baiknya tingkat kesejahteraan masyarakat, maka kinerja perusahaan daerah akan meningkat karena pelayanan yang diberikan kepada masyarakat menghasilkan dampak positif dan kerugian perusahaan daerah dapat ditekan. Namun apabila dilihat dari nilai rasio laba daerah terhadap total PAD, kontribusi laba daerah sebagai sumber penerimaan daerah tergolong sangat kecil. Pada tahun 2009 nilai rasio penerimaan laba daerah terhadap total PAD adalah sebesar 5 persen. Nilai rasio tersebut tergolong sangat kecil apabila dibandingkan dengan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah. Mengingat orientasi dari perusahaan daerah adalah untuk kesejahteraan masyarakat, maka tidak heran jika perusahaan daerah sering menanggung kerugian dan menetapkan tarif yang rendah kepada masyarakat, untuk mendapat pelayanan dari kegiatan perusahaan daerah. Hingga pada tahun 2010-2013 kontribusi retribusi daerah terhadap total PAD adalah stagnan, yakni hanya mencapai angka 4 persen.
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah
12 Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka 18, menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Kebijakan keuangan daerah diarahkan untuk meningkatkan PAD sebagai sumber utama penerimaan daerah yang dapat dipergunakan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah. Upaya pemerintah dalam mengoptimalkan perolehan PAD terus dilakukan dengan cara meningkatkan penerimaan dari masing-masing bagian PAD, yakni pajak daerah, retribusi daerah, laba daerah dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Upaya yang dilakukan masing-masing daerah otonom di Provinsi Jawa Tengah disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi daerah sesuai dengan peraturan perundangan yang diberlakukan. Terlepas dari tujuan pemerintah daerah untuk memperbesar penerimaannya, tingkat kesejahteraan masyarakat tetap diperhatikan karena dapat berpengaruh secara timbal balik terhadap besaran penerimaan daerah. 7000 Milyar Rupiah
6000 5000 4000 PAD
3000 2000 1000 0 2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015 (diolah) Gambar 5 Perkembangan Nilai Pendapatan Asli Daerah Provinsi Jawa Tengah Secara umum total perolehan PAD Provinsi Jawa Tengah yang diakumulasi dari PAD 35 kabupaten/kota mengalami peningkatan setiap tahunnya. Perolehan PAD rata-rata meningkat sebesar 15-25 persen pada tahun 2009 hingga tahun 2013. Besarnya perolehan PAD pada tahun 2009 adalah 2,5 milyar rupiah dan pada akhir tahun 2013 perolehannya mencapai 6,1 milyar rupiah. Peningkatan perolehan PAD di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan upaya pemerintah daerah di masing-masing kabupaten/kota dalam meningkatkan kemandirian fiskal yang terus ditingkatkan dan mengalami perbaikan. Meskipun perolehan PAD terus meningkat setiap tahunnya, namun nilainya hanya mencapai 9-12 persen dari total penerimaan daerah, yang terdiri dari PAD, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Batas 20 persen perolehan PAD merupakan batas minimum untuk menjalankan otonomi daerah yang efektif. Apabila perolehan PAD kurang dari 20 persen maka daerah otonom tersebut akan kehilangan kredibilitasnya sebagai kesatuan yang mandiri. Perolehan PAD yang kurang dari 20 persen tersebut mengindikasikan
13 masih rendahnya kinerja keuangan pemerintah daerah dan tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat semakin tinggi.
Perkembangan Konsumsi
Ribu Rupiah
Menurut Dumairy (1996) konsumsi merupakan pembelanjaan yang dilakukan oleh rumah tangga atas barang-barang akhir dan jasa-jasa dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut atau pendapatan yang dibelanjakan. Tingkat konsumsi masyarakat Jawa Tengah baik untuk makanan maupun bukan makanan besarannya hampir sama meskipun tingkat konsumsi untuk makanan rata-rata lebih besar 7 persen dari konsumsi bukan makanan. Tingkat pengeluaran masyarakat yang diukur melalui besaran konsumsi berbanding lurus dengan tingkat pendapatan atau upah minimum. Besarnya konsumsi masyarakat mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu daerah, artinya semakin tinggi konsumsi maka semakin sejahtera masyarakat tersebut. 648 646 644 642 640 638 636 634 632 630
Konsumsi
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015 (diolah) Gambar 6 Perkembangan Konsumsi Masyarakat Provinsi Jawa Tengah Tingkat konsumsi masyarakat di Provinsi Jawa Tengah mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya upah minimum yang ditetapkan atas dasar Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Pada tahun 2009 tingkat konsumsi masyarakat adalah sebesar 636,39 ribu rupiah dan meningkat sebesar 14 persen pada tahun 2010 yakni menjadi 637,27 ribu rupiah. Standar penetapan upah yang didasarkan pada KHL berimplikasi pada peningkatan upah minimum seiring dengan kebutuhan hidup masyarakat yang semakin meningkat setiap tahunnya. Akibatnya konsumsi masyarakat pada tahun 2011 hingga tahun 2013 mengalami peningkatan hingga mencapai lebih dari 45 persen. Dengan demikian semakin bertambahnya tingkat konsumsi masyarakat,akan berpengaruh terhadap peningkatan nilai PDRB Provinsi Jawa Tengah.
Perkembangan Investasi
14 Perkembangan perekonomian daerah tidak terlepas dari peranan investasi yang ditanamkan di suatu wilayah. Meluasnya investasi yang ditandai dengan semakin banyaknya pendirian bangunan di tiap-tiap daerah memberikan dampak positif seperti bertambahnya lapangan pekerjaan, penyerapan tenaga kerja serta peningkatan aktivitas ekonomi seiring dengan bertambahnya produktifitas output dan tenaga kerja. Badan Penanaman Modal Daerah Jawa Tengah menyatakan bahwa usaha domestik masih mendominasi, hal ini dikarenakan para investor lokal mayoritas ingin memperluas investasinya di wilayah yang lebih murah biaya upahnya. Selain itu faktor yang mendorong investor untuk memperluas investasinya adalah keberhasilan dari rekan bisnis yang mendapat keuntungan yang tinggi. Tekstil merupakan salah satu investasi yang menjanjikan di Provinsi Jawa Tengah. Terdapat banyak perusahaan yang bergerak di bidang industri tekstil seperti PT. Sritex, PT. Tyfountex, PT. Apac Inti Corpora, PT. Mutu Gading Tekstil dan sebagainya. Mitra usaha juga mulai tertarik pada komoditi getah pinus, batik, logam, garam, peternakan sapi, kayu, enceng gondok, kain tenun dan bahan bangunan. Guna mendukung kegiatan perekonomian dan investasi, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah meningkatkan sarana penunjang seperti bandara, pelabuhan dan infrastuktur jalan.
Milyar Rupiah
140 135 130 125
Investasi
120 115 110 2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015 (diolah) Gambar 7 Perkembangan Nilai Investasi Provinsi Jawa Tengah Realisasi investasi di Provinsi Jawa Tengah rata-rata mengalami peningkatan penerimaan sebesar 1-4 persen setiap tahunnya. Peningkatan laju investasi yang tinggi terjadi pada tahun 2010, dimana besarnya nilai investasi adalah 125 milyar rupiah yang meningkat sebesar 4,3 persen dibanding tahun 2009. Peningkatan nilai investasi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal, seperti besarnya upah yang dibayarkan kepada pekerja, banyaknya jumlah tenaga kerja pada suatu daerah tertentu serta iklim investasi yang dapat mempengaruhi investor untuk berinvestasi. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Perkembangan ekonomi suatu daerah tidak terlepas dari keterkaitan dengan perekonomian daerah lainnya. Salah satu indikator pertumbuhan ekonomi
15 yang sering digunakan adalah adalah nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), yang mana dapat dihitung berdasarkan PDRB harga berlaku dan PDRB harga konstan. Peningkatan nilai PDRB di suatu daerah menggambarkan besarnya nilai tambah dari barang dan jasa yang dihasilkan faktor-faktor produksi dan berbagai lapangan usaha. Besaran nilai PDRB Jawa Tengah terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini didukung oleh kontribusi dari seluruh sektor ekonomi, manusia, sistem dan potensi-potensi lain di dalamnya, baik berupa investasi, sumber daya manusia, kebijakan daerah, belanja daerah dan faktor lainnya.
Milyar Rupiah
200 150 100
PDRB
50 0 2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015 (diolah) Gambar 8 Perkembangan nilai PDRB Provinsi Jawa Tengah Gambar di atas menunjukkan nilai PDRB Jawa Tengah yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2009 besarnya perolehan PDRB Provinsi Jawa Tengah adalah sebesar 148 milyar rupiah. Kemudian meningkat sebesar 5-6 persen setiap tahunnya, hingga pada tahun 2013 perolehan PDRB sebesar 183 milyar rupiah. Nilai PDRB tertinggi di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah dihasilkan oleh Kabupaten Cilacap, sementara nilai PDRB terkecil dihasilkan oleh Kabupaten Wonosobo. Peningkatan nilai PDRB di Jawa Tengah dipengaruhi oleh banyaknya tingkat konsumsi masyarakat dan kegiatan investasi yang semakin meluas di setiap kabupaten/kota. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Tingkat kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan masyarakat dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan, yang diukur dari sisi pengeluaran. Situasi perekonomian yang semakin membaik menyebabkan berkurangnya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, yang ditunjukkan dengan penurunan jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun.Dalam menanggulangi angka kemiskinan, upaya Pemprov Jawa Tengah terus ditingkatkan melalui berbagai program bantuan sosial yang diadakan.
Ribu Jiwa
16 5800 5600 5400 5200 5000 4800 4600 4400 4200
Kemiskinan
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015 (diolah) Gambar 9 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Tengah Upaya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam menekan laju penduduk miskin dilaksanakan melalui program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) dan program khusus lainnya sebagai upaya menanggulangi permasalahan yang muncul akibat pengurangan subsidi BBM. Hal tersebut terlihat dari grafik jumlah penduduk miskin Provinsi Jawa Tengah yang dapat ditekan pada tahun 2009 hingga tahun 2013, dimana setiap tahunnya jumlah penduduk miskin berkurang pada kisaran angka 0,02-0,07 persen. Jumlah penurunan tersebut masih tergolong rendah, karena banyaknya kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan seperti ketidaksesuaian tujuan kebijakan, konsep, implementasi serta partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat.
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia IPM mengukur pencapaian hasil pembangunan dari suatu daerah/wilayah dalam tiga dimensi dasar pembangunan, yaitu lamanya hidup, pengetahuan/tingkat pendidikan dan standar hidup layak. Indikator yang sering digunakan dalam menghitung nilai IPM suatu negara/daerah adalah Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH), Angka Partisipasi Kasar gabungan (APK) dan Purchasing Power Parity (PPP). Semakin tinggi nilai IPM suatu daerah menunjukkan pencapaian pembangunan sosial yang semakin baik. Provinsi Jawa Tengah memiliki peringkat IPM ke 16 dari seluruh provinsi di Indonesia. Nilai IPM Provinsi Jawa Tengah meningkat setiap tahunnya pada tahun 2009 hingga 2013. Nilai IPM pada tahun 2009-2013 berturut-turut adalah 72,1, 72,49, 72,94, 73,36 dan 74,05. Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berpengaruh terhadap IPM dilakukan melalui program-program bantuan sosial seperti dana bantuan siswa miskin, Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), BPJS dan sebagainya. Program bantuan sosial tersebut ditujukan untuk masyarakat menengah ke bawah dengan tujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat teruatama dalam hal pendidikan dan kesehatan.
17 74.5 74 73.5 73 IPM
72.5 72 71.5 71 2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015 (diolah) Gambar 10 Perkembangan nilai IPM Provinsi Jawa Tengah Peringkat nilai IPM tertinggi di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 20092013 adalah Kota Surakarta.Sementara peringkat IPM terendah adalah Kabupaten Brebes. IPM kabupaten/kota masih sangat perlu ditingkatkan guna meningkatkan kualitas hidup penduduk di tiap kabupaten/kota khususnya dan untuk mendukung pencapaian kualitas masyarakat Jawa Tengah pada umumnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pendugaan Model Analisis Hasil pendugaan model memberikan nilai koefisien determinasi (R2) pada masing-masing persamaan yang cukup besar, yaitu antara 0,59 hingga 0,99. Hal ini menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas di dalam model dapat menjelaskan variasi setiap peubah endogen dengan relatif baik. Selain itu, peubah endogen didalam persamaan dipengaruhi secara nyata oleh sebagian besar peubah penjelas secara individu pada taraf nyata (α) 0,10. Tanda dugaan parameter dalam setiap persamaan struktural pada umumnya sesuai dengan teori dan logika ekonomi. Maka berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model cukup memadai untuk menganalisis pengaruh penerimaan pajak daerah terhadap pelaksanaan pembangunan daerah di Provinsi Jawa Tengah.
Analisis Model Pertumbuhan Ekonomi Dalam penelitian ini pertumbuhan ekonomi yang dapat diukur melalui besaran nilai PDRB, dijelaskan melalui model konsumsi dan investasi. Hasil estimasi model persamaan simultan terhadap konsumsi menunjukkan bahwa model yang dibangun signifikan pada taraf nyata 10 persen dan mampu menjelaskan permasalahan dengan cukup baik. Hal ini terlihat dari nilai R2 yaitu 0,98 yang berarti model cukup mampu menjelaskan keragaman masalah sebesar 98 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel di luar model.
18
Tabel 2 Hasil pendugaan parameter model konsumsi
Variabel Intersep PDRB Inflasi Pajak Daerah Konsumsi tahun sebelumnya R2 Durbin Watson F hitung Pr>F
Parameter Dugaan Koefisien Koefisien Elastisitas 643,99420 3,70E-07 -0,00002 -36,64890 0,85731 0,98 1,85 1817,71 0,00
0,003 -0,002 -0,041 -
Probabilita s 0,00 0,01 0,01 0,00 0,00
Hasil pendugaan persamaan konsumsi menunjukkan bahwa tingkat konsumsi masyarakat dipengaruhi oleh nilai PDRB, inflasi, pajak daerah dan tingkat konsumsi pada tahun sebelumnya. Peubah PDRB berpengaruh signifikan secara positif terhadap tingkat konsumsi. Dari hasil estimasi didapatkan bahwa setiap peningkatan PDRB sebesar satu persenakan mampu meningkatkan konsumsi sebesar 0,003 persen dengan asumsi cateris paribus. Hasil dugaan tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhuda (2013), dimana hasil penelitiannya menyatakan bahwa nilai PDRB memiliki hubungan positif dengan konsumsi masyarakat. Yakni nilai PDRB yang menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi, apabila mengalami peningkatan maka pendapatan masyarakat turut meningkat. Peningkatan pendapatan menyebabkan daya beli masyarakat naik dan berimplikasi terhadap peningkatan permintaan barang dan jasa, sehingga konsumsi masyarakat akan naik seiring dengan meningkatnya nilai PDRB. Keynes (1936) menyatakan dalam teorinya yang dikenal dengan absolute income hypothesis, bahwa adanya hubungan positif antara konsumsi dengan pendapatan, yakni semakin tinggi pendapatan maka semakin banyak tingkat konsumsi yang dilakakukan oleh rumah tangga. Hal tersebut sesuai dengan sifat manusia yang terdapat dalam teori perilaku konsumen, dimana keinginan manusia bersifat tidak terbatas namun kemampuan untuk memenuhi keinginannya tersebut dibatasi oleh perubahan faktor-faktor produksi atau pendapatan yang dimilikinya. Maka dapat disimpulkan, semakin tinggi pendapatan maka semakin banyak pula pembelanjaan rumah tangga. Peubah inflasi berpengaruh signifikan secara negatif terhadap tingkat konsumsi masyarakat. Dari hasil estimasi pada model didapatkan bahwa setiap peningkatan inflasi sebesar satu persen maka maka tingkat konsumsi masyarakat akan turun sebesar 0,002 persen dengan asumsi cateris paribus. Inflasi merupakan keadaan dimana harga-harga mengalami kenaikan secara umum dan terus menerus. Ketika harga barang dan jasa mengalami kenaikan, daya beli masyarakat
19 akan turun karena beban yang harus dibayarkan menjadi tinggi. Oleh karena itu kenaikan inflasi akan berimplikasi terhadap penurunan konsumsi masyarakat. Guritno (1998) menyebutkan inflasi memiliki hubungan yang kuat dengan konsumsi. Dimana kenaikan harga barang dan jasa akan menyebabkan turunnya nilai riil dari pendapatan. Sehingga dapat melemahkan daya beli masyarakat terutama pada produksi dalam negeri, dan berakibat pada penurunan konsumsi masyarakat. Dalam jangka pendek kenaikan laju inflasi dapat mengurangi nilai konsumsi, karena masyarakat dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah lebih memilih untuk mencari substitusi dari barang yang mengalami kenaikan harga ke barang yang lebih murah namun memiliki manfaat yang hampir sama. Berbeda dengan pengaruhnya dalam jangka panjang, inflasi berpengaruh positif terhadap konsumsi masyarakat, karena masyarakat telah menyesuaikan tingkat kebutuhannya dengan tingkat harga yang ada. Peubah pajak daerah berpengaruh signifikan secara negatif terhadap tingkat konsumsi masyarakat. Dari hasil estimasi didapatkan bahwa setiap kenaikan nilai pajak daerah sebesar satu persen maka akan mengurangi tingkat konsumsi masyarakat sebesar 0,041 persen dengan asumsi cateris paribus. Pajak daerah yang diberlakukan di setiap kabupaten/kota terdiri dari pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, pengambilan bahan galian golongan C serta parkir kendaraan. Pajak daerah yang diberlakukan tersebut merupakan pajak yang dikenakan atas pelayanan kegiatan tertentu. Ketika tarif pajak diberlakukan untuk setiap pelayanan, maka biaya produksi yang ditanggung oleh produsen/pemilik suatu unit usahaakan meningkat. Guna mengurangi beban biaya produksi yang ditanggungnya, produsen membagi beban pajak yang ditanggungnyakepada konsumen melalui peningkatan harga yang harus dibayarkan, apabila konsumen ingin mendapat pelayanan tersebut. Pembagian beban pajak dari produsen kepada konsumen tentu akan mengurangi pendapatan konsumen karena harga yang dibayarkan untuk setiap pelayanan kegiatan menjadi lebih tinggi. Akibatnya konsumen akan menurunkan tingkat konsumsinya sebagai akibat diberlakukannya pajak daerah, yang menyebabkan harga-harga untuk mendapat pelayanan/jasa tertentu menjadi lebih tinggi. Sehingga hasil dugaan yang menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara pajak daerah dengan konsumsi masyarakat adalah benar, karena tingkat konsumsi masyarakat akan turun seiring dengan meningkatnya hargaharga yang harus dibayarkan sebagai akibat pemberlakuan pajak daerah. Peubah tingkat konsumsi pada tahun sebelumnya berpengaruh signifikan secara positif terhadap tingkat konsumsi masyarakat. Dari hasil estimasi pada model didapatkan bahwa setiap peningkatan konsumsi pada tahun sebelumnya sebesar satu persen akan meningkatkan konsumsi sebesar 0,906 persen dengan asumsi cateris paribus. Dornbush dan Fisher (2001) mengemukakan tentang sifat konsumsi, yaitu tingkat konsumsi bersifat interdependensi terhadap tingkat pendapatan yang tinggi atau kebiasaan yang terjadi sebelumnya. Selain itu tingkat konsumsi bersifat irreversible, yang bermakna bahwa apa yang terjadi saat pendapatan naik tidak selalu merupakan kebalikan jika pendapatan turun. Fakta yang ada menunjukkan apabila tingkat konsumsi sebelumnya pernah tinggi akibat kenaikan pendapatan, maka pada saat pendapatan turun, penurunan konsumsi tidak proporsional dengan penurunan pendapatan.
20 Kemudian untuk hasil pendugaan persamaan investasi ditunjukkan bahwa model yang dibangun signifikan pada taraf nyata 10 persen dan mampu menjelaskan permasalahan dengan cukup baik.Hal ini terlihat dari nilai R2 yaitu 0,99 yang berarti bahwa model cukup mampu menjelaskan keragaman masalah sebesar 99 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel di luar model. Tabel 3 Hasil pendugaan parameter model investasi
Variabel Intersep PDRB tahun sebelumnya Laju UMR tahun sebelumnya Laju tenaga kerja Pajak daerah Investasi tahun sebelumnya R2 Durbin Watson F hitung Pr>F
Parameter Dugaan Koefisien Koefisien Elastisitas -693 162 0,053 -5 012 396 2 702 349 -0,259 0,942 0,99 2,58 17471,3 0,00
0,069 -0,013 0,004 -0,002 -
Probabilita s 0,08 0,17 0,08 0,07 0,17 0,00
Hasil pendugaan persamaan investasi menunjukkan bahwa nilai investasi secara nyata dipengaruhi oleh PDRB tahun sebelumnya, laju upah minimum pada tahun sebelumnya, laju tenaga kerja, pajak daerah dan investasi pada tahun sebelumnya. Peubah PDRB berpengaruh signifikan secara positif terhadap investasi. Dari hasil pendugaan pada model didapatkan bahwa nilai PDRB tidak berpengaruh signifikan terhadap kegiatan investasi di Provinsi Jawa Tengah. Soediono (1981) menyatakan bahwa terdapat dua teori fungsi investasi terhadap pendapatan, yaitu fungsi investasi autonomous dan fungsi investasi terpengaruh. Fungsi investasi autonomous menyatakan bahwa apabila pendapatan naik maka investasi tidak akan mengalami perubahan atau dapat dikatakan bahwa investasi tidak terpengaruh oleh pendapatan. Berbeda dengan fungsi investasi terpengaruh yang menyatakan bahwa apabila pendapatan naik maka investasi akan naik dan investasi akan turun apabila pendapatan mengalami penurunan. Maka dapat disimpulkan bahwa hasil pendugaan model mengacu pada fungsi autonomous, dimana apabila PDRB naik maka nilai investasi di wilayah Provinsi Jawa Tengah adalah tetap. Peubah laju upah minimum pada tahun sebelumnya berpengaruh signifikan secara negatif terhadap investasi. Dari hasil pendugaan pada model didapatkan bahwa setiap kenaikan laju upah minimum pada tahun sebelumnya sebesar satu persen akan menurunkan nilai investasi sebesar 0,013 persen dengan asumsi cateris paribus. Salah satu startegi yang sering digunakan investor untuk memperluas investasi adalah dengan melihat tingkat upah yang berlaku di suatu daerah. Apabila investor ingin menanamkan modalnya pada tahun sekarang, tentu investor akan melihat perkembangan laju upah minimum yang berlaku pada tahun
21 sebelumnya. Besaran upah minimum yang berlaku pada tahun sebelumnya akan mempengaruhi besaran upah yang akan diberlakukan pada tahun yang akan datang. Maka apabila upah minimum yang berlaku pada tahun sebelumnya adalah rendah, maka investor akan tertarik untuk memperluas investasinya karena rendahnya biaya produksi yang akan dikeluarkan. Octivaningsih (2006) menyatakan bahwa adanya hubungan negatif antara upah minimum kabupaten/kota dengan investasi. Dengan semakin tingginya nilai UMK, maka jumlah modal yang diinvestasikan akan turun karena upah diperhitungkan sebagai biaya produksi. Jika biaya produksi tinggi, maka keuntungan yang akan didapatkan oleh investor menjadi rendah. Hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan utama dari para investor selaku produsen, yakni mendapatkan keuntungan yang maksimal dengan biaya produksi seminimal mungkin. Peubah laju tenaga kerja berpengaruh signifikan secara positif terhadap investasi. Dari hasil pendugaan pada model didapatkan bahwa setiap peningkatan laju tenaga kerja sebesar satu persen maka akan meningkatkan investasi sebesar 0,004 persen dengan asumsi cateris paribus. Salah satu faktor yang mempengaruhi besar kecilnya perluasan investasi adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Todaro (2000) menyebutkan bahwa pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan tenaga kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah penduduk yang lebih besar akan menambah jumlah tenaga kerja yang selanjutnya akan menambah tingkat produksi. Laju pertumbuhan tenaga kerja memperlihatkan adanya peningkatan kualitas SDM.Hal ini tentu menjadi daya tarik bagi para investor untuk memperluas investasinya karena didukung dengan tenaga kerja yang potensial. Peubah pajak daerah tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap nilai investasi.Hasil dugaan yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara investasi dan pajak daerah sudah sesuai dengan teori. Ulum (2004) menyatakan dalam penelitiannya bahwa adanya hubungan terbalik antara pajak daerah dengan investasi, yakni apabila peringkat daya tarik investasi suatu kabupaten/kota semakin tinggi, maka jumlah pajak daerahnya akan semakin kecil. Maka teori yang digunakan dalam membangun model ini adalah tepat untuk menjelaskan hubungan pajak daerah dan investasi, yakni apabila penerimaan pajak daerah naik maka investasi akan mengalami penurunan. Namun pada hasil dugaan ditunjukkan bahwa pajak daerah tidak berpengaruh signifikan secara negatif terhadap investasi. Di era otonomi yang sedang berkembang saat ini, pemerintah daerah berlomba-lomba menerapkan strategi untuk memperbesar penerimaan daerahnya melalui investasi. Salah satu strategi yang diterapkan adalah dengan menurunkan tarif pajak daerah yang diberlakukan. Stiglitz (1997) menyatakan bahwa guna menarik investor, pemerintah daerah akan akan menawarkan berbagai insentif salah satunya melalui pengurangan pajak. Dengan demikian investor akan berhasil didapatkan, namun masyarakat lokal menjadi kehilanganpenerimaan pajak yang bisa digunakan untuk penyediaan barang publik. Namun karena penerimaan investasi jauh lebih besar jika dibandingkan dengan penerimaan dari pajak daerah, maka dengan emningkatnya investasi tentu akan memperbesar penerimaan daerah yang selanjutnya dapat kembali digunakan untuk meningkatkan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah. Maka dapat disimpulkan bahwa pajak
22 daerah yang diberlakukan di masing-masing kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah, tidak signifikan dalam menghambat perluasan investasi. Kemudian untuk peubah investasi pada tahun sebelumnya berpengaruh signifikan secara positif terhadap nilai investasi pada tahun sekarang. Dari hasil pendugaan pada model didapatkan bahwa setiap peningkatan nilai investasi pada tahun sebelumnya sebesar satu persen, maka akan meningkatkan nilai investasi sebesar 0,971 persen dengan asumsi cateris paribus. Meningkatnya realisasi investasi pada tahun sebelumnya akan mendorong para investor untuk lebih memperluas investasinya, karena muncul suatu harapan dari para investor melihat keberhasilan kegiatan investasi yang telah dijalankan di suatu daerah tertentu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberhasilan investasi tahun sebelumnya memiliki pengaruh yang besar terhadap perluasan investasi pada tahun berikutnya.
Analisis Model Kemiskinan Hasil pendugaan model persamaan simultan terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa model yang dibangun signifikan pada taraf nyata 10 persen dan mampu menjelaskan permasalahan dengan cukup baik.Hal ini terlihat dari nilai R2 yaitu 0,74 yang berarti bahwa model cukup mampu menjelaskan keragaman masalah sebesar 74 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel di luar model. Tabel 4 Hasil pendugaan parameter model kemiskinan
Variabel Intersep G PAD UMR Jumlah Penduduk Inflasi tahun sebelumnya R2 Durbin Watson F hitung Pr>F
Parameter Dugaan Koefisien Koefisien Elastisitas 166 397,5 -1,592 -1,05E-06 -24,950 0,219 5 181,956 0,74 0,86 77,51 0,00
-0,672 -0,009 -1,044 1,424 0,150
Probabilitas 0,00 0,00 0,02 0,00 0,00 0,00
Hasil pendugaan persamaan kemiskinan menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin secara nyata dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah, PAD, upah minimum, jumlah penduduk dan inflasi pada tahun sebelumnya. Peubah pengeluaran pemerintah, PAD dan upah minimum memiliki hubungan negatif dengan tingkat kemiskinan. Untuk peubah pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh yang sigifikan secara negatif terhadap jumlah penduduk miskin. Dari hasil pendugaan pada model didapatkan bahwa setiap kenaikan belanja pemerintah sebesar satu persen akan mengurangi kemiskinan sebesar 0,673 persen dengan asumsi cateris paribus.
23 Belanja pemerintah daerah terdiri dari belanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, barang dan jasa serta modal. Sementara belanja tidak langsung terdiri dari belanja pegawai, hibah, bantaun sosial, bagi hasil kepada kabupaten/kota, keuangan dan belanja tak terduga. Dalam program penanggulangan kemiskinan, alokasi dana yang digunakan berasal dari APBN dan APBD. Maka besarnya belanja pemerintah baik belanja langsung maupun tidak langsung yang dikeluarkan akan mempengaruhi laju penurunan penduduk miskin di suatu daerah. Widodo, Waridin dan Maria (2011) dalam hasil penelitiannya turut mengemukakan adanya pengaruh signifikan yang negatif dari pengeluaran pemerintah terhadap kemiskinan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa alokasi pengeluaran pemerintah sektor publik tidak secara langsung mempengaruhi IPM ataupun kemiskinan., namun secara bersama-sama (simultan) pengeluaran sektor publik dan IPM dapat mengurangi kemiskinan. Pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan dapat mempengaruhi kemiskinan jika pengeluaran tersebut dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pembangunan manusia. Peubah PAD berpengaruh signifikan secara negatif terhadap jumlah penduduk miskin. Dari hasil pendugaan pada model didapatkan bahwa setiap peningkatan penerimaan PAD sebesar satu persen akan mampu mengurangi kemiskinan sebesar 0,009 persendengan asumsi cateris paribus. Secara teori PAD merupakan salah satu sumber penerimaan daerah. PAD memiliki hubungan tidak langsung terhadap kemiskinan, dimana perolehan PAD akan mempengaruhi total penerimaan daerah yang selanjutnya akan digunakan untuk belanja pemerintah. Apabila masing-masing daerah otonom mampu meningkatkan kemampuannya dalam menggali sumber dana dari dalam daerahnya, maka total penerimaan daerah akan meningkat dan selanjutnya pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan dapat ditingkatkan. Budi Santosa (2013) menyatakan dalam penelitiannya bahwa PAD berpengaruh signifikan terhadap penurunan kemiskinan daerah. Hal tersebut menunjukan adanya kesesuaian dengan tujuan pelaksanaan otonomi daerah, yang pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat di daerah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun cukup baik dalam menjelaskan pengaruh perolehan PAD terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Peubah upah minimum berpengaruh signifikan secara negatif terhadap kemiskinan. Dari hasil estimasi pada model didapatkan bahwa setiap peningkatan upah minimum sebesar satu persen akanmengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 1,044 persen di Provinsi Jawa Tengah dengan asumsi cateris paribus. Prastyo (2010) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah adalah besaran upah minimum. Upah merupakan hasil balas jasa yang diterima oleh pekerja berdasarkan lama waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan pekerjaan. Kenaikan upah mengindikasikan peningkatan pendapatan masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat akan turut meningkat seiring dengan kenaikan upah yang diterima Hasil pendugaan model sesuai dengan tujuan penetapan upah minimum dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per-01/Men/1999 dan UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, yaitu upah minimum ditetapkan untuk
24 meningkatkan kesejahteraan pekerja, sehingga terbebas dari kemiskinan. Berdasarkan data yang diperoleh, upah minimum kabupaten di masing-masing kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah selalu meningkat setiap tahunnya. Peningkatan upah tersebut akan secara langsung mempengaruhi tingkat kesejahteraan seorang pekerja karena pendapatan yang dimiliki guna memenuhi kebutuhan hidupnya meningkat. Peubah jumlah penduduk dan inflasi pada tahun sebelumnya berpengaruh signifikan secara positif terhadap jumlah penduduk miskin. Dari hasil estimasi pada model didapatkan bahwa setiap peningkatan jumlah penduduk sebesar satu persen akan mampu meningkatkan kemiskinan sebesar 1,424 persen dengan asumsi cateris paribus. Malthus (1978) menjelaskan bahwa semakin meningkatnya populasi secara terus menerus akan membebani kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Peningkatan jumlah penduduk dapat menimbulkan berbagai permasalahan baru, yakni apabila peningkatan jumlah penduduk tidak diiringi dengan peningkatan lapangan pekerjaan dan ketersediaan pangan maka jumlah penduduk miskin akan semakin bertambah. Kuncoro (1997) menjelaskan bawa jumlah penduduk dalam pembangunan ekonomi suatu daerah merupakan permasalahan mendasar. Karena pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dapat mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pembangunan ekonomi yaitu, kesejahteraan rakyat dan penurunan angka penduduk miskin. Terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai pengaruh penduduk pada pembangunan, yakni pandangan pesimistis dan optimis. Ehrlich (1981) memaparkan mengenai pandangan pesimistis, yakni meningkatnya jumlah penduduk dapat menimbulkan berbagai permasalahan sosial. Sementara Malthus (1978) menjelaskan mengenai pandangan optimis, dimana penduduk merupakan asset yang memungkinkan untuk mendorong pengembangan ekonomi dan inovasi teknologi. Namun Siregar dan Dwi (2007) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa jumlah penduduk lebih memiliki pengaruh negatif terhadap pembangunan daerah. Dimana dalam penelitiannya menjelaskan bahwa jumlah penduduk berhubungan positif dengan kemiskinan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun untuk menjelaskan pengaruhjumlah penduduk yang dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin telah sesuai dengan teori-teori ekonomi dan penelitian terdahulu. Kemudian untuk peubah inflasi tahun sebelumnya, dari hasil estimasi pada model didapatkan bahwa setiap peningkatan laju inflasi pada tahun sebelumnya sebesar satu persen akan mampu meningkatkan kemiskian sebesar 0,150 persen dengan asumsi cateris paribus. Besar kecilnya laju inflasi yang terjadi pada tahun sebelumnya, akan mempengaruhi pergerakan inflasi pada tahun yang akan datang. Selanjutnya inflasi yang merupakan fenomena kenaikan harga-harga secara umum, akan menyebabkan daya beli masyarakat menjadi rendah dan tingkat kesejahteraan menurun. Suparno (2010) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa tingkat inflasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan. Dimana peningkatan laju inflasi menyebabkan daya beli masyarakat menurun dan berakibat pada penurunan permintaan terhadap barang dan jasa. Akibatnya banyak perusahaan yang mengurangi jumlah produksinya dan berimplikasi terhadap pengurangan
25 tenaga kerja. Sehingga pengangguran akan semakin bertambah dan pada akhirnya jumlah penduduk miskin sulit untuk dikendalikan.
Analisis Model Indeks Pembangunan Manusia Hasil pendugaan model persamaan simultan terhadap Indeks Pembangunan Manusia menunjukkan bahwa model yang dibangun signifikan pada taraf nyata 10 persen dan mampu menjelaskan permasalahan dengan cukupbaik. Hal ini terlihat dari nilai R2 yaitu sebesar 0,59 persen yang berarti bahwa model cukup mampu menjelaskan keragaman masalah sebesar 59 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Tabel 5 Hasil pendugaan parameter model indeks pembangunan manusia
Variabel Intersep PAD Pengeluaran bukan makanan Investasi R2 Durbin Watson F hitung Pr>F
Parameter Dugaan Koefisien Elastisitas Koefisien 68,644 4,01E-12 0,002 2,66E-10 0,59 0,91 66,26 0,00
0,0001 0,0614 0,0001
Probabilitas 0,00 0,41 0,00 0,47
Hasil pendugaan persamaan Indeks Pembangunan Manusia menunjukkan bahwa nilai IPM dipengaruhi oleh PAD, pengeluaran bukan makanan dan investasi. Peubah PAD memiliki tanda koefisien yang sesuai dengan teori dalam meningkatkan pelaksanaan pembangunan daerah, namun dari hasil pendugaan yang didapatkan PAD tidak signifikan dalam mempengaruhi peningkatan nilai IPM Provinsi Jawa Tengah. Secara teori dengan total penerimaan daerah yang tinggi, alokasi dana PAD untuk bidang pendidikan diharapkan lebih besar untuk kemajuan daerah. Menurut Christy, Andrea dan Adi (2009) belanja modal untuk kesejahteraan masyarakat tidak terlepas dari kebijakan pemerintah suatu daerah. Belanja modal dapat berupa pembangunan gedung, sarana dan prasarana yang memadai untuk kenyamanan bersekolah, sehingga kemajuan dalam pendidikan akan meningkatkan kualitas pembangunan manusia. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan SDM yang didasarkan pada pendidikan tidak hanya menyiapkan peserta didik agar mampu masuk dalam pasar kerja, namun pendidikan juga merupakan salah satu upaya pembangunan watak bangsa. Sehingga pendidikan merupakan landasan untuk menjadikan masyarakat menjadi lebih sejahtera. Namun hasil pendugaan model menunjukkan bahwa PAD tidak signifikan dalam mempengaruhi IPM. Setiap tahunnya perolehan PAD di masing-masing kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah hanya berkisar pada angka 9-12 persen dari total penerimaan daerah. Perolehan tersebut tentu tergolong sangat kecil apabila
26 dibandingkan dengan dana transfer pemerintah pusat yang setiap tahunnya mencapai angka lebih dari 26 persen. Besar kecilnya perolehan PAD suatu daerah akan digunakan salah satunya untuk peningkatan pembangunan manusia melalui perbaikan sarana dan prasarana bidang kesehatan dan pendidikan, serta pemberian bantuan sosial secara langsung seperti dana BOS, raskin dan BPJS. Tidak adanya pengaruh yang signifikan dari peubah PAD terhadap nilai IPM menunjukkan bahwa angka perolehan PAD di Provinsi Jawa Tengah masih rendah dan lebih bergantung terhadap dana transfer dari pemerintah pusat dalam pelaksanaan pembangunan daerahnya. Hal inilah yang menyebabkan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari perolehan PAD terhadap peningkatan nilai IPM. Peubah pengeluaran bukan makanan berpengaruh signifikan secara positif terhadap nilai IPM. Dari hasil pendugaan pada model didapatkan bahwa setiap peningkatan pengeluaran bukan makanan sebesar satu persen akan meningkatkan nilai IPM sebesar 0,0614 persen dengan asumsi cateris paribus. Secara teori IPM diukur melalui empat indikator, yaitu Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH), Angka Partisipasi Kasar gabungan (APK) dan Purchasing Power Parity (PPP). Meningkatnya upah minimum yang diterima oleh masyarakat akan mempengaruhi besarnya pengeluaran untuk makanan maupun bukan makanan. Semakin besarnya upah yang diterima oleh masyarakat, maka alokasi untuk pengeluaran bukan makanan akan semakin besar karena dengan meningkatnya pendapatan, kebutuhan masyarakat tidak hanya mencakup kebutuhan sandang dan pangan saja namun juga bertambah pada kebutuhan lainnya. Pengeluaran bukan makanan digunakan untuk mencukupi kebutuhan seperti pendidikan, kesehatan dan hiburan. Peningkatan pengeluaran bukan makanan akan mempengaruhi kualitas pendidikan masyarakat di suatu daerah yang salah satunya ditinjau dari Angka Melek Huruf. Selain itu pengeluaran bukan makanan juga dialokasikan untuk kebutuhan di bidang kesehatan. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat yang diikuti dengan meningkatnya pengeluaran khususnya untuk pengeluaran bukan makanan, masyarakat akan lebih memperhatikan kesehatannya karena fokus kehidupannya tidak hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan makanan saja, tetapi kebutuhan di bidang kesehatan juga turut diperhatikan. Dengan adanya perhatian masing-masing individu terhadap kesehatannya, maka standar kualitas hidup masyarakat akan meningkat dan berimplikasi pada perbaikan Angka Harapan Hidup. Peubah investasi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai IPM. Secara teori, hasil dugaan yang menunjukkan hubungan positif antara investasi dan IPM sudah benar. Investasi merupakan salah satu faktor penting dalam menggerakkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi baik di suatu negara maupun daerah. Dengan meluasnya investasi, banyak tenaga kerja yang akan terserap dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Perkembangan investasi di Provinsi Jawa Tengah masih didominasi oleh industri domestik, terutama untuk industri tekstil dan makanan. Dalam perluasan investasinya, strategi yang digunakan investor adalah melihat tingkat upah minimum yang berlaku dan kualitas tenaga kerja yang ada pada suatu daerah tertentu. Karena tingkat upah minimum yang berlaku di masing-masing kabupaten/kota masih tergolong rendah dan berada dibawah standar KHL, maka berkembangnya investasi tidak terlalu
27 berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat, namun tetap dapat menyerap tenaga kerja karena ketersediaan lapangan pekerjaan yang luas. Hal ini menunjukkan bahwa meluasnya investasi dengan tingkat upah minimum yang masih tergolong rendah, tidak mampu meningkatkan nilai IPM di Provinsi Jawa Tengah.
Hasil Simulasi Pajak Daerah Simulasi kebijakan pajak daerah bertujuan untuk melihat pengaruh peningkatan penerimaan pajak terhadap pelaksanaan pembangunan di Provinsi Jawa Tengah. Dipilihnya peubah pajak daerah untuk simulasi kebijakan karena peranannya sebagai komponen utama dalam perolehan PAD, dimana perolehan pajak daerah di setiap kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah rata-rata memiliki nilai penerimaan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan komponen PAD lainnya, yaitu retribusi daerah, laba daerah dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Nilai persentase peningkatan pajak daerah didasarkan atas persentase perubahan penerimaan pajak daerah pada tahun 2009-2013. Hasil simulasi pajak daerah diperoleh dengan merata-ratakan hasil dugaan dari masing-masing persamaan. Nilai persentase perubahan diperoleh dari selisih rata-rata hasil dugaan simulasi dasar dengan simulasi akhir. Tabel 6 menunjukkan nilai persentase perubahan pada masing-masing persamaan simultan: Tabel 6 Hasil simulasi jika penerimaan pajak daerah naik 10 persen Persamaan Retribusi Daerah Laba Daerah Investasi Konsumsi Kemiskinan IPM PAD PDRB
Simulasi Dasar 7875631,0 10467068,0 27958766,0 4855,5 145749,0 73,1 19057583,0 28024664,0
Simulasi Pajak Daerah 7875536,0 10467049,0 27950701,0 4854,9 145749,0 73,1 19088542,0 28016598,0
Perubahan (%) -0,0012 -0,0002 -0,0288 -0,0124 0,0000 0,0000 0,1624 -0,0288
Hasil simulasi menunjukkan kenaikan tarif pajak daerah sebesar 10 persen akan menyebabkan penurunan konsumsi masyarakat. Ketika pajak daerah dinaikkan 10 persen maka harga-harga yang harus dibayarkan masyarakat untuk mendapatkan jenis kegiatan/pelayanan tertentu menjadi lebih tinggi, akibatnya konsumsi masyarakat akan turun sebesar 0,0124 persen. Meningkatnya pajak daerah juga memiliki pengaruh negatif terhadap investasi. Hal ini dikarenakan biaya yang harus dikeluarkan untuk berinvestasi menjadi tinggi sehingga pendapatan investor akan berkurang, akibatnya nilai investasi menjadi berkurang sebesar 0,0288 persen. Penurunan nilai konsumsi dan investasi selanjutnya berdampak langsung pada penurunan nilai PDRB sebesar 0,0288 persen.
28 Karena nilai retribusi dan laba daerah salah satunya dipengaruhi oleh nilai PDRB, maka kenaikan pajak daerah sebesar 10 persen yang menyebabkan PDRB turun akan berimplikasi terhadap penurunan nilai retribusi dan laba daerah, yakni retribusi daerah akan turun sebesar 0,0012 dan laba daerah turut mengalami penurunan sebesar 0,0002 persen. Pajak daerah memiliki hubungan yang tidak langsung terhadap kemiskinan. Sebagai sumber penerimaan, kenaikan hasil perolehan pajak daerah akan berpengaruh terhadap besar kecilnya pengeluaran pemerintah yang dapat digunakan untuk melaksanakan program-program bantuan sosial serta peningkatan infrastruktur daerah guna mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan nilai IPM. Kenaikan pajak daerah 10 persen akan meningkatkan perolehan PAD yakni sebesar 0,1624 persen. Namun hasil simulasi menunjukkan bahwa kenaikan pajak daerah sebagai penerimaan, belum mampu mendukung pelaksanaan program pemerintah guna mengurangi jumlah penduduk miskin dan meningkatkan nilai IPM. Hal ini terlihat dari tidak adanya perubahan nilai dari sebelum dan sesudah dilakukannya simulasi peningkatan penerimaan pajak daerah. Tidak adanya perubahan tersebut disebabkan karena rendahnya hasil nilai dugaan dari peubah PAD terhadap kemiskinan dan IPM. Peningkatan tarif pajak dengan tujuan memperbesar penerimaan daerah dapat menyebabkan penurunan penerimaan pajak itu sendiri. Hal ini dikarenakan adanya titik maksimum dalam penerimaan pajak (Growth Maximizing Tax Rate/GMTR), yakni apabila tarif pajak terus dinaikkan hingga melewati batas maksimum maka penerimaannya justru akan turun karena beban yang ditanggung masyarakat melalui pajak menjadi lebih besar dan aktivitas ekonomi menjadi terbatas. Hal inilah yang menyebabkan nilai PDRB akan turun seiring dengan ditingkatkannya tarif pajak daerah guna memperbesar penerimaan. Peranan pajak daerah sebagai suatu kebijakan tentu memiliki konsekuensi positif dan negatif. Nilai perubahan yang dihasilkan dari simulasi peningkatan penerimaan pajak daerah sebesar 10 persen, merupakan konsekuensi negatif yang ditimbulkan oleh pajak daerah sebagai sebuah kebijakan. Melihat dampak negatif yang ditimbulkan tersebut, maka apabila dilakukan simulasi penurunan penerimaan pajak daerah sebesar 10 persen akan didapatkan hasil/nilai perubahan yang sama, hanya saja memiliki tanda bilangan yang berbeda. Dimana ketika penerimaan pajak daerah ditingkatkan 10 persen akan menurunkan nilai retribusi daerah, laba daerah, konsumsi, investasi dan nilai PDRB. Maka ketika penerimaan pajak diturunkan 10 persen hasil yang didapatkan adalah kebalikan dari peningkatan penerimaan pajak sebesar 10 persen.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberlakuan pajak daerah sebagai suatu kebijakan untuk meningkatkan penerimaan daerah, akan berdampak pada penurunan tingkat konsumsi masyarakat. Nilai PDRB dan konsumsi pada tahun sebelumnya berpengaruh signifikan secara positif terhadap konsumsi, sementara tingkat inflasi dan penerimaan pajak daerah berpengaruh signifikan secara negatif
29 terhadap konsumsi. Selanjutnya laju upah minimum yang berlaku pada tahun sebelumnya berpengaruh signifikan secara negatif terhadap investasi. Selain itu laju tenaga kerja dan investasi pada tahun sebelumnya juga berpengaruh signifikan secara positif terhadap investasi. Sementara nilai PDRB pada tahun sebelumnya dan pajak daerah tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap investasi. Belanja pemerintah, PAD dan upah minimum berpengaruh signifikan secara negatif terhadap tingkat kemiskinan, sementara jumlah penduduk dan tingkat inflasi tahun sebelumnya berpengaruh signifikan secara positif terhadap tingkat kemiskinan.Besaran PAD dan investasi tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai IPM, sementara pengeluaran bukan makanan berpengaruh signifikan secara positif terhadap nilai IPM. Apabila penerimaan pajak daerah dinaikkan sebesar 10 persen, maka akan berdampak pada penurunan nilai PDRB sebesar 0,0288 persen karena adanya penururnan konsumsi masyarakat dan investasi, yaitu masing-masing mengalami penurunan sebesar 0,0124 persen dan 0,0288 persen. Sementara pajak daerah yang juga berperan sebagai penerimaan, tidak memberikan pengaruh dalam mengurangi kemiskinan dan meningkatkan nilai IPM. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan pembangunan daerah Jawa Tengah dari aspek sosial selama ini didukung oleh besarnya dana transfer dari pemerintah pusat, dan kinerja keuangan pemerintah daerah masih rendah. Hal ini terlihat dari rendahnya peranan PAD dalam meningkatkan pembangunan sosial, karena nilai perolehan PAD di masingmasing kabupaten/kota yang memang masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan dana transfer dari pemerintah pusat.
Saran Peningkatan penerimaan pajak daerah dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi, serta besaran penerimaannya belum mampu digunakan untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan nilai IPM. Oleh karena itu, tindakan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah dalam upayanya meningkatkan penerimaan daerah melalui peningkatan pajak, adalah pemerintah daerah perlu mempertimbangkan pajak-pajak daerah yang pada dasarnya memang sesuai untuk dijadikan sumber pendapatan. Hal ini ditujukan agar efisiensi dan efektifitas dapat dicapai dalam pemungutan pajak. Selain itu kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebaiknya tidak melebihi batas maksimum (GMTR) karena jika suatu daerah menetapkan tarif pajak di atas tingkat maksimum justru akan menurunkan penerimaan pajak daerah dan tidak dapat berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah daerah seharusnya tidak hanya memfokuskan pada penetapan Perda guna memperbesar penerimaan daerah melalui pajak daerah semata, yang justru dapat menghambat aktivitas perekonomian. Strategi peningkatan ketertarikan investor guna memperluas investasi di daerahnya perlu dilakukan mengingat nilai penerimaan investasi yang lebih besar jika dibandingkan dengan perolehan PAD.
30 DAFTAR PUSTAKA Baltagi, B. H. 1995. Econometrics Analysis of Panel Data. John Wiley & Sons Ltd., Chichester. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Jawa Tengah dalam Angka. Jawa Tengah: BPS [BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai Tahun. Indeks Harga Konsumen dan Inflasi Jawa Tengah. Jakarta: BPS [BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai Tahun. Pemerataan Pendapatan dan Pola Konsumsi Penduduk Jawa Tengah. Jakarta: BPS Christy, Andrea F dan Adi P H. 2009. Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal dan Kualitas Pembangunan Manusia. The Third National Conference UKWMS Surabaya, Oktober 10th 2009. Dornbusch, R. dan S. Fischer. 1992. Makroekonomi, Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga Dumairy.1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta (ID): Erlangga Erlich, Paul R. (diterjemahkan: Inyo Fernandez dan Paul Soge). (1982). Ledakan Penduduk. Jakarta: PT. Gramedia Guritno M. 1998. Teori Ekonomi Makro. Yogyakarta: STIE YKPN. Keynes, J M. 1936. The General Theory of Employment, Interest and Money. Harcourt: Brace and World. Kuncoro M. 1997. Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah dan Kebijakan Edisi Ketiga. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Laffer A. 2004. The Laffer Curve: Past, Present and Future. Washington: The Heritage Foundation. Malthus T R. 1798. Essay on The Principle of Population as Its Affects. Future Improvement of Society. London: Electronics Scholarly Publishing. Nanga M. 2006. Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nurcholis H. 2005. Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo. Nurhuda N, Sentosa S U dan Idris. (2013). Analisis Konsumsi dan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sumatera Barat. Jurnal Kajian Ekonomi 2 (03): 117-118. Octivaningsih A R. 2006. Analisis Pengaruh Nilai Upah Minimum Kabupaten terhadap Investasi, Penyerapan Tenaga Kerja dan PDRB di Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Prakosa K. 2003. Pajak dan Retribusi Daerah. Yogyakarta: UII Pr. Riduansyah M. 2003. Kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Guna Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah Kota Bogor [Skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Santosa B. 2013. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan Daerah terhadap Pertumbuhan, Pengangguran dan Kemiskinan 33 Provinsi di Indonesia. Jurnal Keuangan dan Bisnis5 (2): 140-142. Siregar H dan Wahyuniarti D. 2007.Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap penurunan Jumlah Penduduk Miskin.IPB dan Brighten Institute.
31 Stiglitz J E. 1997. Economics of The Public Sector, Third Edition. London: W.W. Norton and Company Ltd. Suparno.2010. Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian di Indonesia [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Tikson D. 2005.Administrasi Pembangunan. Bandung: Alfabeta Todaro, M P. 2000. Economic Development in The Third World. Seventh Edition. Perason Education Limited, New York Ulum I. 2004.Akuntansi Sektor Publik; Sebuah Pengantar. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Widodo A, Waridin dan Maria J (2011). Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah di Sektor Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Pengentasan Kemsikinan Melalui Peningkatan Pembangunan Manusia di Jawa Tengah. Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan 1(1): 25-42.
32
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil Pendugaan Model Pajak Daerah Source Model Error Corrected Total
Analysis of Variance DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F 6 4,67E+13 7,79E+12 301,9 0,0001 133 3,43E+12 2,58E+10 139 5,02E+13
Root MSE 160614,7 R-Square 0,9316 Dependent Mean 310734 Adj R-Sq 0,92851 Coeff Var 51,68882 Parameter Estimates Variable DF Parameter Standard Error Estimate Intercept -41597,2 1 38568,98 INDUS 42,77084 1 166,4296 HTL 307,2072 1 288,215 WST 0,021777 1 0,021763 PDRB 0,002124 1 0,000666 MSKN -0,15598 1 0,191105
t Value Pr > |t| -1,08 0,26 1,07 1 3,19 -0,82
0,14 0,35 0,14 0,15 0,00 0,20
Durbin-Watson 2,115376 Number of Observations 140 First-Order Autocorrelation -0,06467 Lampiran 2 Hasil Pendugaan Model Retribusi Daerah Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 3,22E+17 1,07E+17 192,53 0,0001 Error 136 7,59E+16 5,58E+14 Corrected Total 139 3,98E+17 Root MSE 23618816 R-Square 8,09E-01 Dependent Mean 7971135 Adj R-Sq 0,80521 Coeff Var 296,3043 Parameter Estimates Variable DF Parameter Standard Error t Value Pr > |t| Estimate Intercept -9239109 1 78946417 -0,12 0,45 PDRB 0,01178 1 0,069734 0,17 0,43
33 IPM LRD
123416,6 1 0,763906 1
1087874 0,033891
0,11 22,54
0,45 0,00
Durbin-Watson 2,347972 Number of Observations 140 First-Order Autocorrelation -0,17399 Lampiran 3 Hasil Pendugaan Model Laba Daerah Source DF Model 2 Error 137 Corrected Total 139
Analysis of Variance Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F 4,087E15 2,043E15 1979,31 0,0001 1,414E14 1,032E12 4,228E15
Root MSE 1016060,64 R-Square 0,96655 Dependent Mean 979 247,958 Adj R-Sq 0,96606 Coeff Var 103,75928 Parameter Estimates DF Parameter Standard Error t Value Pr > |t| Estimate Intercept 1 -5134,9 131763,9 -0,39 0,34 PDRB 1 0,002418 0,002893 0,83 0,20 LLD 1 1,029165 0,017535 58,69 0,00 Variable
Durbin-Watson 1.437335 Number of Observations 140 First-Order Autocorrelation 0.281185
34
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kudus pada tanggal 3 April 1993 dari pasangan Budi Santoso dan Siti Mafricha. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2011 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kudus dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Undangan. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Ekonomi dengan Prodi Ekonomi Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi pengurus Forum Kerohanian Mahasiswa Muslim (FORMASI) pada periode 2012-2013, Ketua Divisi PSDA OMDA KKB periode 2012-2013, Rohis Ekonomi Studi Pembangunan 48. Penulis aktif dalam kepanitiaan acara yang diselenggarakan oleh departemen dan fakultas seperti 9th Hipotex-R, 10th Hipotex-R, 11th Economic Contest dan Canvassing IPB Kabupaten Kudus. Penulis merupakan penerima beasiswa PPA (Pengembangan Prestasi Akademik) dari Dikti pada tahun 2013-2014. Selain itu penulis pernah menjalankan program PKM M (Sosial Masyarakat) yang diselenggarakan oleh Dikti pada tahun 2013. Kegiatan sosial lainnya yang pernah diikuti penulis adalah KKP (Kuliah Kerja Profesi) pada tahun 2014 selama dua bulan di Kabupaten Sukabumi yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.