ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL
OLEH DHINTA RACHMAWATI H14053127
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
DHINTA RACHMAWATI. Analisis Kinerja Ekonomi dan Potensi Keuangan Daerah Kota Bogor Sebelum dan Selama Desentralisasi Fiskal (dibimbing oleh BAMBANG JUANDA).
Pelaksanaan otonomi daerah berimplikasi pada penerapan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan wewenang pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pada masa otonomi daerah, pengelolaan dan pembangunan daerah merupakan wewenang pemerintah daerah. Pelaksanaan otonomi daerah mendorong pemerintah daerah untuk menggali potensi keuangan daerah secara optimal serta memiliki keleluasaan dalam mengelola perekonomian daerah. Potensi keuangan daerah sangat berkaitan erat dengan kinerja ekonomi daerah. Kemampuan pengelolaan daerah oleh pemerintah daerah diuji pada masa desentralisasi fiskal. Pemerintah daerah diharapkan mampu menetapkan kebijakan yang tepat, baik dari sisi potensi keuangan maupun kinerja ekonomi daerah, sehingga meningkatkan pembangunan daerah. Kondisi geografis dapat menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan perekonomian suatu wilayah. Kota Bogor memiliki letak geografis yang sangat strategis, yaitu berdekatan dengan ibukota Negara. Pelaksanaan otonomi daerah mendorong pemerintah Kota Bogor untuk meningkatkan pendapatan dan perekonomian daerah. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah, total pendapatan daerah mengalami peningkatan yang pesat dan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil. Penelitian ini bertujuan menganalisis kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah Kota Bogor sebelum dan selama desentralisasi fiskal. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data time series dari tahun 1993 hingga tahun 2007 yang diperoleh dari beberapa instansi terkait. Analisis dilakukan dengan metode Two Stage Least Square (2SLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa PDRB Kota Bogor pada masa desentralisasi fiskal mengalami peningkatan, akan tetapi laju pertumbuhan ekonomi daerah pada masa itu relatif rendah dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Potensi keuangan daerah Kota Bogor semakin meningkat pada masa desentralisasi fiskal. Peningkatan potensi keuangan terjadi pada seluruh komponen pendapatan daerah. Peningkatan pendapatan daerah sebagian besar disumbangkan oleh dana perimbangan yang terdiri dari dana bagi hasil dan dana transfer untuk mendukung pelaksanaan pemerintahan daerah. Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, maka kebijakan yang bisa diambil oleh pemerintah sebagai bahan pertimbangan adalah meningkatkan pendapatan daerah terutama yang berasal dari komponen PAD. Selain itu, pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan perekonomian daerah dengan cara meningkatkan pengeluaran pembangunan sehingga investasi daerah pun akan meningkat.
ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL
OLEH DHINTA RACHMAWATI H14053127
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi : Analisis Kinerja Ekonomi dan Potensi Keuangan Daerah Kota Bogor Sebelum dan Selama Desentralisasi Fiskal Nama
: Dhinta Rachmawati
NIM
: H14053127
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Bambang Juanda, MS NIP. 19640101 198803 1 061
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Dhinta Rachmawati H14053127
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Dhinta Rachmawati dilahirkan pada tanggal 20 Agustus 1987 di Bogor. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, dari pasangan Mulyoto Achlan dan Lien Nurlaeni. Pendidikan dasar penulis ditempuh di SDN Polisi V Bogor, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2002. Selanjutnya, penulis melanjutkan ke SMU Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun kedua di IPB, penulis diterima pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif pada berbagai kepanitiaan. Penulis pernah menjadi Tim Pengajar Assoy (Klub Belajar Ilmu Ekonomi) dan ikut serta di berbagai kepanitiaan acara. Selain itu, penulis juga aktif dalam kegiatan menulis. Beberapa prestasi yang sempat diraih oleh penulis selama menjadi mahasiswa IPB antara lain sebagai juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah Universitas Sebelas Maret dan juara II Pemikiran Kritis Mahasiswa Bidang Kewirausahaan Tingkat Nasional.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Kinerja Ekonomi dan Potensi Keuangan Daerah Kota Bogor Sebelum dan Selama Desentralisasi Fiskal”. Penelitian ini mengkaji kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah pada masa sebelum dan selama desentralisasi fiskal, khususnya Kota Bogor. Skripsi ini merupakan hasil karya yang tercipta karena bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada: (1). Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing penulis baik secara teknis maupun teoritis selama proses penyusunan skripsi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. (2). Dr. Wiwiek Rindayati selaku dosen penguji yang telah bersedia menguji hasil skripsi ini. Semua saran dan kritik merupakan hal yang sangat berharga dalam perbaikan skripsi ini. (3). Syamsul Hidayat Pasaribu, M.Si selaku komisi pendidikan. Terima kasih atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. (4). Orang tua tercinta, Ayahanda Mulyoto Achlan dan ibunda Lien Nurlaeni atas doa, motivasi dan kasih sayang sehingga penulis tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. (5). Saudara-saudara penulis: Teguh Darmawan, Adhitya Alisyahbana, Irma Suryani, Dessy Tresna dan keponakanku tersayang Nazya Destya Alisyahbana atas doa dan dukungannya. (6). Tofan Randy Wijaya atas doa, motivasi, dukungan dan pengertian yang selalu diberikan kepada penulis selama enam tahun. (7). Teman-teman satu bimbingan: Annisa Irdhania, A’laa dan Iqbal Valiri atas motivasi, doa, dan kesediaannya dalam membantu penulis.
(8). Riri, Tanjung, Etty, Lina, Yuli, Secha, Ristia, Rininta, Meirisa, Diana, Merlynda dan teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 42 lainnya atas kebersamaannya selama tiga tahun. (9). Seluruh staf Dinas Pendapatan Daerah, Kantor Arsip Daerah, Badan Pusat Statistik Kota Bogor dan instansi terkait lainnya atas bantuannya selama penulis mencari data dan informasi mengenai Kota Bogor. (10). Seluruh staf Fakultas Ekonomi dan Manajemen dan staf Departemen Ilmu Ekonomi yang telah membantu kelancaran administrasi selama penulis menjalani pendidikan. (11). Selain itu, penulis juga berterimakasih kepada seluruh pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2009
Dhinta Rachmawati H14053127
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... vii I.
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................... 5 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................... 6 1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................. 7 1.5. Ruang Lingkup ...................................................................................... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 9 2.1. Desentralisasi Fiskal ............................................................................. 9 2.2. Kinerja Ekonomi Daerah ...................................................................... 10 2.2.1. Konsumsi Rumah Tangga .......................................................... 11 2.2.2. Investasi Daerah ........................................................................ 12 2.2.3. Pengeluaran Pemerintah ............................................................. 13 2.3. Potensi Keuangan Daerah .................................................................... 14 2.4. Sumber-Sumber Penerimaan Daerah .................................................... 15 2.4.1. Pendapatan Asli Daerah ............................................................. 15 2.4.1.1. Pajak Daerah ................................................................. 16 2.4.1.2. Retribusi Daerah ........................................................... 16 2.4.1.3. Bagian Laba Bersih Perusahaan Daerah ........................ 17 2.4.2. Dana Transfer ............................................................................ 18 2.4.2.1. Dana Bagi Hasil ............................................................ 18 2.4.2.2. Dana Alokasi Umum..................................................... 19 2.4.2.3. Dana Alokasi Khusus .................................................... 19 2.4.3. Pinjaman Daerah........................................................................ 20 2.5. Hasil Penelitian Terdahulu ................................................................... 21 2.6. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 23
2.7. Hipotesis .............................................................................................. 28 III. METODE PENELITIAN ............................................................................ 31 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 31 3.2. Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 31 3.3. Estimasi Model .................................................................................... 32 3.4. Identifikasi Model ................................................................................ 35 3.5. Metode Analisis ................................................................................... 38 3.5.1. Metode Deskriptif ...................................................................... 38 3.5.2. Metode Estimasi ........................................................................ 39 3.5.2.1. Metode Two-Stage Least Square (2SLS) ....................... 39 3.5.2.2. Uji Kriteria Statistik ...................................................... 39 3.5.2.3. Uji Kriteria Ekonometrika ............................................. 43 IV. GAMBARAN UMUM ............................................................................... 48 4.1. Lokasi dan Geografi Kota Bogor .......................................................... 48 4.2. Pertumbuhan Penduduk ....................................................................... 49 4.3. Tinjauan Perekonomian........................................................................ 50 4.3.1. Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor ............................. 51 4.3.2. Pendapatan Perkapita Kota Bogor ............................................... 51 V.
PEMBAHASAN ........................................................................................ 53 5.1. Kinerja Ekonomi Daerah Kota Bogor ................................................... 53 5.1.1. Komponen Kinerja Ekonomi Daerah ......................................... 55 5.1.1.1. Konsumsi Rumah Tangga ............................................. 55 5.1.1.2. Investasi Daerah............................................................ 58 5.1.1.3. Pengeluaran Pemerintah ................................................ 62 5.2. Pendapatan Daerah Kota Bogor............................................................ 66 5.2.1. Perkembangan Komponen Pendapatan Daerah Kota Bogor........ 68 5.2.2. Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Kota Bogor .................. 73 5.2.3. Potensi Keuangan Daerah .......................................................... 75 5.2.3.1. Pajak Daerah ................................................................. 75 5.2.3.2. Retribusi Daerah ........................................................... 79 5.2.3.3. Laba Perusahaan Daerah ............................................... 82
5.1.3.4. Dana Bagi Hasil ............................................................ 86 5.1.3.5. Dana Transfer ............................................................... 89 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 93 6.1 Kesimpulan ........................................................................................... 93 6.2 Saran..................................................................................................... 94 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 96 LAMPIRAN ................................................................................................... 99
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1.1.
Total Pendapatan Daerah Kota Bogor Tahun 2001-2007 .................. 4
3.1.
Identifikasi Model ............................................................................ 37
4.1.
Jumlah Penduduk Kota Bogor Tahun 2000-2007 .............................. 50
4.2.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor Tahun 2004-2007 ........................................................................................ 51
4.3.
Pendapatan Perkapita Kota Bogor Tahun 2002-2007 ........................ 52
5.1.
Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga Kota Bogor ......................... 56
5.2.
Model Dugaan Konsumsi Rumah Tangga Kota Bogor....................... 57
5.3.
Pertumbuhan Investasi Daerah Kota Bogor ....................................... 59
5.4.
Model Dugaan Investasi Daerah Kota Bogor .................................... 60
5.5.
Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah Kota Bogor ............................ 63
5.6.
Model Dugaan Pengeluaran Pemerintah Daerah Kota Bogor ............ 64
5.7.
Perkembangan Pajak Daerah Kota Bogor .......................................... 76
5.8.
Model Dugaan Pajak Daerah Kota Bogor ......................................... 77
5.9.
Perkembangan Retribusi Daerah Kota Bogor ..................................... 79
5.10. Model Dugaan Retribusi Daerah Kota Bogor..................................... 80 5.11. Perkembangan Laba Perusahaan Daerah Kota Bogor ......................... 83 5.12. Model Dugaan Laba Perusahaan Daerah Kota Bogor ........................ 84 5.13. Perkembangan Dana Bagi Hasil Kota Bogor ..................................... 86 5.14. Model Dugaan Dana Bagi Hasil Kota Bogor .................................... 87 5.15. Perkembangan Dana Transfer Kota Bogor ......................................... 89 5.16. Model Dugaan Dana Transfer Kota Bogor ........................................ 90
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
2.1.
Hubungan Investasi dan Suku Bunga Riil ......................................... 13
2.2.
Bagan Alur Pemikiran ...................................................................... 26
2.3.
Bagan Alir Model Kinerja Ekonomi dan Potensi Keuangan ............. 27
5.1.
Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor Tahun 1993-2007 ...... 53
5.2.
Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Bogor Tahun 1993-2007 ... 54
5.3.
Perkembangan Konsumsi Rumah Tangga ......................................... 55
5.4.
Pola Hubungan antara Pendapatan Disposabel (Yd) dan Konsumsi Rumah Tangga (CT) ......................................................................... 57
5.5.
Perkembangan Investasi Daerah ....................................................... 59
5.6.
Pola Hubungan antara Pertumbuhan PDRB (G_PDRB) dan Investasi Daerah (I) .......................................................................... 60
5.7.
Pola Hubungan antara Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah (G_DE) dan Investasi Daerah (I) ...................................................... 61
5.8.
Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ........................................... 62
5.9.
Pola Hubungan antara PDRB dan Pengeluaran Pemerintah (G) ........ 64
5.10. Pola Hubungan antara Pendapatan Asli Daerah (LOR) dan Pengeluaran Pemerintah (G) ............................................................. 65 5.11. Total Pendapatan Daerah Kota Bogor Tahun 1993-2007 .................. 66 5.12. Perkembangan Komponen Pendapatan Daerah Kota Bogor Tahun 1993-2007 ............................................................................. 68 5.13. Perkembangan Komponen Pendapatan Asli Daerah Kota Bogor Tahun 1993-2007 ............................................................................. 70 5.14. Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Kota Bogor ......................... 74 5.15. Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Pajak Daerah (TAX) .................................................................................. 77 5.16. Pola Hubungan antara Populasi (POP) dan Pajak Daerah (TAX) ...... 78 5.17. Pola Hubungan antara Jumlah Wisatawan (REC) dan Retribusi Daerah (NTAX) ............................................................................... 80 5.18. Pola Hubungan antara Inflasi (INF) dan Retribusi Daerah (NTAX)81 5.19. Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Retribusi
Daerah (NTAX) ............................................................................... 82 5.20. Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Laba Perusahaan Daerah (PRFT) .............................................................. 85 5.21. Pola Hubungan antara Jumlah Kendaraan Bermotor (VEH) dan Dana Bagi Hasil (SHR) .................................................................... 87 5.22. Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Dana Bagi Hasil (SHR) ............................................................................. 88 5.23. Pola Hubungan antara Peningkatan Pengeluaran Pemerintah (K_LTE) dan Dana Transfer (TRSF) ................................................ 91 5.24. Pola Hubungan antara Populasi (POP) dan Dana Transfer (TRSF) .... 91 5.25. Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Dana Transfer (TRSF) ............................................................................... 92
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1.
Estimasi Output dari Persamaan Konsumsi Rumah Tangga .............. 99
2.
Estimasi Output dari Persamaan Investasi Daerah ............................. 100
3.
Estimasi Output dari Persamaan Pengeluaran Pemerintah Daerah ..... 101
4.
Estimasi Output dari Persamaan Pajak Daerah .................................. 102
5.
Estimasi Output dari Persamaan Retribusi Daerah ............................ 103
6.
Estimasi Output dari Persamaan Laba Perusahaan Daerah ................ 104
7.
Estimasi Output dari Persamaan Dana Bagi Hasil ............................. 105
8.
Estimasi Output dari Persamaan Dana Transfer ................................ 106
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sejarah pembangunan ekonomi nasional menunjukkan bahwa sebelum
pelaksanaan desentralisasi fiskal, Indonesia menganut sistem pemerintahan yang terpusat (sentralistis). Pada sistem pemerintahan ini, pemerintah pusat memiliki dominasi yang sangat besar dalam hal merencanakan dan menetapkan prioritas pembangunan di daerah. Kebijakan dan tugas umum pemerintahan serta implementasi pembangunan di daerah merupakan wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat. Penyelenggaraan pemerintahan yang terpusat menyebabkan kurangnya keterlibatan dan peran serta pemerintah daerah dalam mengambil keputusan untuk pembangunan daerah sehingga menimbulkan ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat serta panjangnya birokrasi pelayanan publik. Pemerintah daerah tidak lagi memiliki kemandirian karena pemerintah daerah harus menunggu setiap keputusan dari pemerintah pusat. Pada era sentralisasi, pembangunan nasional lebih di dominasi oleh pemerintah pusat. Upaya pembangunan yang sentralistik ini ternyata tidak menghasilkan pembangunan yang merata, tidak optimalnya pembangunan daerah dan terjadi ketimpangan antar wilayah. Ketimpangan antar wilayah yang terjadi baik dari segi pendapatan daerah maupun pertumbuhan ekonomi. Menurut Hasugian (2006), ketimpangan pendapatan daerah terjadi di propinsi Jawa Barat. Pendapatan asli daerah (PAD) perkotaan cenderung lebih besar daripada PAD
daerah kabupaten. Kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah perkotaan berkisar antara 15 hingga 32 persen sedangkan daerah kabupaten berkisar antara 1 hingga 25 persen. Kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah terbesar terjadi di Kota Bandung sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Tasikmalaya. Ketimpangan antar daerah ini tentu saja akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat antar daerah. Dasar pemikiran penyelenggaraan desentralisasi fiskal tercantum dalam UU Otonomi Daerah yang terdiri dari UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pada tahun 2001, kerangka pembangunan nasional yang dilaksanakan di Indonesia mulai diarahkan untuk mendorong terjadinya pembangunan daerah secara merata melalui desentralisasi fiskal. Hal ini diharapkan dapat memacu terjadinya pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah, meningkatkan potensi keuangan daerah serta kinerja ekonomi daerah secara optimal. Pemberlakuan peraturan desentralisasi fiskal yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menegaskan mengenai konsekuensi otonomi daerah yang menyebabkan pelaksanaan wewenang pemerintahan dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Penyerahan wewenang pelaksanaan pemerintahan ini dilakukan dengan tujuan untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta untuk menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi. Pada masa desentralisasi fiskal, pengelolaan dan pembangunan daerah lebih dititikberatkan pada pemerintah daerah. Pada masa desentralisasi fiskal, proses pembangunan daerah disesuaikan dengan potensi daerah sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan daerah tersebut. Desentralisasi fiskal merupakan bagian penting dari otonomi daerah. Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan yang leluasa bagi pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah secara optimal. Sumber penerimaan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan pendapatan daerah lainnya yang sah. Sumber-sumber pendapatan tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk membiayai pembangunan daerah. Selain itu, dengan terciptanya potensi keuangan daerah yang optimal dan diiringi dengan pengelolaan daerah yang efektif dan efisien, maka pemerintah daerah dapat meningkatkan kinerja perekonomian daerah secara optimal pula. Kota Bogor merupakan salah satu Kota di Propinsi Jawa Barat yang mengalami peningkatan total pendapatan daerah yang tajam sejak pelaksanaan desentralisasi fiskal. Total pendapatan daerah Kota Bogor pada periode 20012007 mengalami peningkatan secara berkala (Tabel 1.1). Pada tahun 2001, total pendapatan daerah yang diperoleh Kota Bogor sebesar 232.806,15 juta rupiah dan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya hingga sebesar 707.545,38 juta rupiah pada tahun 2007. Kondisi ini cukup menunjukkan bahwa pemerintah
daerah Kota Bogor telah memanfaatkan kewenangan yang dimilikinya untuk meningkatkan pendapatan daerah secara optimal pada masa desentralisasi fiskal. Tabel 1.1. Total Pendapatan Daerah Kota Bogor Tahun 2001-2007 Tahun Total Pendapatan Daerah (Juta Rupiah) Pertumbuhan (%) 2001 232.806,15 2002 289.468,15 24,34 2003 363.218,33 25,48 2004 398.659,59 9,76 2005 447.504,94 12,25 2006 589.273,02 31,68 2007 707.545,38 20,07 Sumber : BPS Kota Bogor, 2001-2007 (diolah).
Pendapatan daerah yang meningkat seharusnya dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah untuk pengeluaran yang produktif atau dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak. Keberhasilan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah seharusnya diimbangi oleh peningkatan kinerja ekonomi daerah untuk membangun daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal dan bermatapencaharian di Kota Bogor. Upaya peningkatan potensi keuangan daerah merupakan amanat UU Otonomi Daerah yang sangat terkait dengan kinerja ekonomi daerah. Kinerja ekonomi daerah dicerminkan oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2001, PDRB Kota Bogor sebesar 2.823.430,21 juta rupiah dan terus meningkat hingga sebesar 4.012.743,18 juta rupiah. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor selama desentralisasi fiskal mengalami peningkatan setiap tahunnya, yaitu berkisar antara 5,68 persen hingga 6,12 persen. Kinerja ekonomi daerah yang baik akan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Hal ini merupakan tujuan dari
desentralisasi fiskal yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan potensi keuangan dan kinerja ekonomi daerahnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Berdasarkan pemaparan diatas, maka penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul : “Analisis Kinerja Ekonomi dan Potensi Keuangan Daerah Kota Bogor Sebelum dan Selama Desentralisasi Fiskal”.
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999, dijelaskan bahwa sumber
pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk tugas dalam rangka desentralisasi bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam UU tersebut dijelaskan pula bahwa untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, yang didukung oleh perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta antara propinsi dan kabupaten atau kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintahan daerah (Saragih, 2003). Pelaksanaan otonomi daerah diiringi dengan desentralisasi fiskal atau pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pelimpahan kewenangan ini memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk menggali potensi keuangan daerah secara optimal serta mengelola perekonomian daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal dimanfaatkan oleh pemerintah Kota Bogor untuk meningkatkan pendapatan daerah. Hal ini tercermin dari total pendapatan daerah
Kota Bogor yang meningkat dari tahun ke tahun selama desentralisasi fiskal berlangsung. Potensi keuangan daerah sangat berkaitan erat dengan kinerja ekonomi daerah. Oleh karena itu diperlukan perumusan masalah untuk menganalisis lebih lanjut mengenai kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah Kota Bogor sebelum dan selama desentralisasi fiskal. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : (1). Bagaimanakah kinerja ekonomi daerah Kota Bogor sebelum dan selama desentralisasi fiskal serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja ekonomi daerah Kota Bogor ? (2). Bagaimanakah potensi keuangan daerah Kota Bogor sebelum dan selama desentralisasi fiskal serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi potensi keuangan daerah Kota Bogor?
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis kinerja ekonomi
dan potensi keuangan daerah sebelum dan selama desentralisasi fiskal. Secara khusus, tujuan penelitian ini bertujuan untuk menjawab perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : (1). Menganalisis kinerja ekonomi daerah Kota Bogor sebelum dan selama desentralisasi fiskal serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja ekonomi daerah Kota Bogor.
(2). Menganalisis potensi keuangan daerah Kota Bogor sebelum dan selama desentralisasi fiskal serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi potensi keuangan daerah Kota Bogor.
1.4.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik
bagi para akademisi, lembaga pemerintahan maupun bagi masyarakat Bogor pada khususnya. Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : (1). Bagi penulis, menambah pemahaman mengenai ilmu yang telah diperoleh selama kuliah dan dapat diaplikasikan secara nyata. (2). Bagi para pengambil keputusan, dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan
dan
masukan
sebelum
membuat
keputusan
untuk
meningkatkan kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah, khususnya kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah Kota Bogor. (3). Bagi para akademisi dan pembaca pada umumnya, memperoleh informasi untuk melakukan penelitian lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
1.5.
Ruang Lingkup Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah menganalisis kinerja ekonomi
dan potensi keuangan daerah sebelum dan selama desentralisasi fiskal. Ruang lingkup wilayah kajian adalah daerah tingkat II dimana Kota Bogor sebagai unit analisis.
Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah asumsi
perekonomian tertutup dimana kinerja ekonomi daerah tercermin dari konsumsi
rumah tangga, investasi daerah dan pengeluaran pemerintah. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder PDRB menurut pengeluaran, akan tetapi data yang tersedia di daerah adalah PDRB menurut lapangan usaha. Oleh karena itu, pengeluaran rutin pemerintah daerah digunakan sebagai proxy pengeluaran pemerintah sedangkan investasi daerah menggunakan data investasi yang telah terealisasi. Untuk data konsumsi rumah tangga merupakan sisa dari PDRB setelah dikurangi pengeluaran rutin pemerintah dan investasi daerah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dari tahun 1993 hingga 2007. Selama periode penelitian, terdapat perubahan luas wilayah Kota Bogor yang terjadi pada tahun 1995, namun hal ini tidak termasuk dalam ruang lingkup penelitian. Data dana transfer yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penjumlahan dari dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Penelitian ini menggunakan metode two stage least square. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program E-Views 4.1 dan Minitab. Selain itu, referensi penelitian diperoleh dari perpustakaan IPB, perpustakaan BPS, tesis pascasarjana IPB, jurnal-jurnal dan referensi lainnya yang mendukung penelitian.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Desentralisasi Fiskal Pengertian desentralisasi fiskal secara jelas dijabarkan dalam UU Nomor
22 Tahun 1999 pasal 1 dan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 butir 5 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan kedua UU Otonomi Daerah tersebut, dijelaskan bahwa desentralisasi fiskal merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). UU Otonomi Daerah pun menegaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Wewenang daerah kabupaten dan kota sebagai daerah otonom, sudah diatur secara jelas di dalam Pasal 11 ayat 1 dan 2 UU Nomor 22 Tahun 1999 dengan secara tegas disebutkan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi, dan tenaga kerja (Saragih, 2003). Prinsip pemberian otonomi kepada pemerintah daerah pada dasarnya adalah untuk membantu pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Otonomi daerah umumnya diikuti dengan kebijakan desentralisasi
fiskal. Menurut Rasyid dalam Saragih (2003), tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah di satu pihak dalam rangka mendukung kebijakan makro nasional yang bersifat strategis dan di lain pihak dengan desentralisasi kewenangan pemerintahan ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Selain itu, otonomi daerah bertujuan untuk : (1). Mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi ekonomi daerah, (2). Mempercepat
pembangunan pedesaan dalam
rangka
pemberdayaan
masyarakat terutama petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana, pembangunan sistem agribisnis, industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi dan pemanfaatan sumber daya alam, (3). Meningkatkan kualitas sumber daya manusia di daerah sesuai dengan potensi dan kepentingan daerah melalui penyediaan anggaran pendidikan yang memadai, (4). Meningkatkan pembangunan di seluruh daerah berlandaskan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.
2.2.
Kinerja Ekonomi Daerah Kinerja ekonomi daerah menggambarkan kondisi perekonomian daerah
yang tercermin dari PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian ini, hubungan ekonomi regional dan keuangan daerah dicoba didekatkan dengan menggunakan analisis makroekonomi dalam sistem ekonomi tertutup. Kondisi
perekonomian suatu daerah tercermin dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dalam asumsi perekonomian tertutup, suatu Negara atau daerah tidak melakukan perdagangan dengan Negara atau daerah lain. Perekonomian tertutup memiliki tiga penggunaan untuk barang dan jasa yang dihasilkannya. Tiga komponen PDRB ini ditunjukkan dalam identitas pos pendapatan, sebagai berikut: Y=C+I+G
(2.1)
Y = PDRB = C + I + G
(2.2)
Model tersebut memiliki arti rumah tangga mengkonsumsi sebagian output perekonomian, perusahaan dan rumah tangga menggunakan sebagian output untuk investasi dan pemerintah membeli sebagian output untuk kepentingan publik. Oleh karena itu dalam perekonomian tertutup, PDRB dialokasikan di antara ketiga penggunaan tersebut.
2.2.1. Konsumsi Rumah Tangga Rumah tangga menerima pendapatan dari tenaga kerja dan modal yang mereka miliki, membayar pajak kepada pemerintah, dan kemudian memutuskan berapa banyak dari pendapatan selama pajak digunakan untuk konsumsi dan berapa banyak yang ditabung. Pendapatan yang diterima rumah tangga sama dengan output perekonomian Y. Sedangkan pendapatan yang dapat dibelanjakan merupakan pendapatan selama dikurangi pajak atau disebut sebagai disposable income. Kita asumsikan tingkat konsumsi bergantung secara langsung pada tingkat disposable. Semakin tinggi pendapatan disposabel, maka semakin tinggi pula tingkat konsumsi rumah tangga.
Y–T=S+C
(2.3)
Yd = S + C
(2.4)
C = a + bYd, 0 < b < 1
(2.5)
S = a + (1-b)Yd
(2.6)
Model (2.5) di atas menyatakan bahwa konsumsi adalah fungsi dari disposable income. Hubungan antara konsumsi dan disposable income disebut fungsi konsumsi. Kecenderungan mengkonsumsi marjinal (marginal propensity to consume, MPC) adalah jumlah perubahan konsumsi ketika pendapatan disposabel meningkat satu satuan mata uang. Nilai MPC berkisar antara nol dan satu, sehingga jika terjadi kenaikan pendapatan disposabel sebesar satu rupiah, maka akan meningkatkan konsumsi kurang dari satu rupiah dan sisanya akan digunakan untuk menabung. Nilai penjumlahan MPC dan MPS (marginak propensity to save) adalah satu. Oleh karena itu, tingkat konsumsi tidak hanya dipengaruhi oleh disposable income, tetapi juga dipengaruhi oleh suku bunga. Peningkatan suku bunga akan mendorong masyarakat untuk menabung dan mengurangi tingkat konsumsinya.
2.2.2. Investasi Daerah Baik perusahaan maupun rumah tangga membeli barang-barang investasi. Jumlah barang-barang yang diminta bergantung pada tingkat bunga yang mengukur biaya dari dana yang digunakan untuk membiayai investasi. Agar proyek investasi menguntungkan, hasilnya harus melebihi biayanya. Jika suku
bunga meningkat, lebih sedikit proyek investasi yang menguntungkan, dan jumlah barang-barang investasi yang diminta akan turun. Tingkat suku bunga riil adalah tingkat suku bunga nominal yang telah dikoreksi untuk menghilangkan pengaruh inflasi. Tingkat suku bunga riil mengukur biaya pinjaman yang sebenarnya dan menentukan jumlah investasi. Secara ringkas, model yang mengaitkan investasi pada tingkat suku bunga riil adalah sebagai berikut : I = I(r)
(2.7)
Jika suku bunga riil naik, maka investasi akan turun. Fungsi investasi ini ditunjukkan pada gambar di bawah ini : suku bunga riil
R1 R2 I(r)
Sumber
I1 I2 investasi : Mankiw, 2003 Gambar 2.1. Hubungan Investasi dan Suku Bunga Riil
2.2.3. Pengeluaran Pemerintah Pembelian pemerintah atau belanja pemerintah adalah komponen ketiga dari permintaan terhadap barang dan jasa. Menurut Dornbusch (1997), pengeluaran pemerintah adalah pembelian pemerintah atas barang dan jasa, yang mencakup pengeluaran untuk pertahanan nasional, pembuatan jalan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan gaji pegawai negeri.
Pengeluaran pemerintah adalah semua pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah sehubungan dengan operasionalnya dan dalam hal mana pemerintah menerima balas jasa langsung darinya seperti membayar gaji PNS dan ABRI. Jumlah pengeluaran pemerintah dipengaruhi oleh proyeksi jumlah pajak yang diterima, tujuan ekonomi yang ingin dicapai, dan pertimbangan politik dan keamanan (Putong, 2003).
2.3.
Potensi Keuangan Daerah Potensi keuangan daerah adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk
menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Pengertian keuangan daerah dalam PP Nomor 105 Tahun 2000 adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kerangka APBD. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 78 ayat 1 menegaskan bahwa penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan DPRD dibiayai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Hal ini berarti bahwa dana APBD diperuntukkan bagi pelaksanaan tugas pemerintahan
daerah,
termasuk
tugas
dan
wewenang
penyelenggaraan
pemerintahan yang sudah dilimpahkan atau didesentralisasikan pusat ke daerah. Menurut Saragih (2003), keuangan daerah merupakan bagian penting dalam pelaksanaan otonomi daerah atau desentralisasi, khususnya dalam kaitannya
dengan
kebijakan
desentralisasi
fiskal.
Ada
tiga
bentuk
pertanggungjawaban pengelolaan (manajemen) keuangan (daerah) jika dilihat dari
aspek kewenangan yang dimiliki oleh pemda dalam hal keuangan daerah, yaitu sebagai berikut : (1). Pertanggungjawaban dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi. (2). Pertanggungjawaban dalam kerangka tugas pembantuan. (3). Pertanggungjawaban dalam kerangka tugas dekonsentrasi.
2.4.
Sumber-Sumber Penerimaan Daerah Pendapatan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah tidak
hanya bersumber dari APBN, tetapi juga berasal dari sumber-sumber pendapatan sendiri yang digali dari potensi daerah. Selama ini, sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, baik propinsi, kabupaten dan kota berdasarkan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sumber pendapatan daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana transfer, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
2.4.1. Pendapatan Asli Daerah Pendapatan asli daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Bratakusumah, 2004). Pedapatan asli daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, Potensi PAD adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan
PAD. Penerimaan PAD bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba dari BUMN, dan lain-lain PAD yang sah.
2.4.1.1. Pajak Daerah Pengertian pajak daerah yang dijelaskan dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Berdasarkan pemaparan tersebut ditegaskan bahwa pajak daerah merupakan iuran wajib yang dapat dipaksakan kepada setiap orang (wajib pajak) tanpa kecuali dan diperuntukan bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Jenis pajak daerah dibagi atas dua wilayah, yaitu pajak daerah propinsi dan pajak daerah kabupaten atau kota. Jenis pajak daerah propinsi terdiri atas pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Sedangkan jenis pajak daerah kabupaten atau kota terdiri atas 6 (enam) jenis, yaitu : pajak hotel dan restoran, pajak penerangan jalan, pajak reklame, pajak hiburan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C dan pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
2.4.1.2. Retribusi Daerah Pengertian retribusi daerah dijelaskan dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan UU tersebut, retribusi
daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Menurut Saragih (2003), perbedaan antara pajak daerah dan retribusi daerah tidak hanya didasarkan atas objeknya, tetapi juga perbedaan atas pendekatan tarif. Oleh sebab itu, tarif retribusi bersifat fleksibel sesuai dengan tujuan retribusi dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah masing-masing untuk melaksanakan atau mengelola jenis pelayanan publik di daerahnya. Semakin efisien pengelolaan pelayanan publik di suatu daerah, maka semakin kecil tarif retribusi yang dikenakan. Jenis retribusi daerah menurut UU Nomor 34 Tahun 2000 terdiri atas retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu.
2.4.1.3. Bagian Laba Bersih Perusahaan Daerah Laba bersih perusahaan daerah merupakan keuntungan bersih yang diperoleh oleh perusahaan daerah atau BUMD atas jasa dan layanan yang telah diberikan oleh perusahaan tersebut. Posisi perusahaan daerah di era otonomi daerah sebenarnya sangat penting dan strategis sebagai salah satu institusi milik daerah dalam meningkatkan penerimaan PAD. Pembinaan dan pengembangan BUMD merupakan wewenang pemerintah daerah atas restu DPRD. Memang dalam tahap awal otonomi daerah, tidak banyak yang dapat diharapkan dengan kehadiran BUMD untuk menambah kas daerah selama BUMD tersebut rugi terus. Kendati kekayaan BUMD terpisah dari
kekayaan daerah dalam APBD, tetapi bisa saja pemda sewenang-wenang melakukan ekspansi usaha BUMD dengan menggunakan dana APBD. Hal inilah yang dapat menyebabkan kebangkrutan keuangan daerah, termasuk krisis anggaran daerah. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan BUMD harus terpisah dan dilakukan secara professional sebagaimana perusahaan swasta lainnya (Saragih, 2003).
2.4.2. Dana Transfer Dana transfer merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintahan daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Dana transfer terdiri dari dana otsus, dana penyesuaian dan dana perimbangan. Dalam UU Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dijelaskan bahwa dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.
2.4.2.1. Dana Bagi Hasil Dana bagi hasil merupakan alokasi yang pada dasarnya memperhatikan potensi daerah penghasil. Dana bagi hasil merupakan bagian dari dana perimbangan dimana sumber penerimaannya berasal dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil yang diperoleh pemerintah daerah berasal dari pemerintah pusat dan propinsi. Dana bagi hasil yang bersumber dari pemerintah pusat terdiri
atas : Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan atas hak tanah dan bangunan dan penerimaan Sumber Daya Alam. Selain itu, dana bagi hasil yang berasal dari propinsi terdiri atas : pajak kendaraan bermotor (PKB) atau bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) serta pajak pemanfaatan air bawah tanah dan pajak pemanfaatan air permukaan.
2.4.2.2. Dana Alokasi Umum Alokasi dana pusat ke daerah dalam bentuk dana alokasi umum ini merupakan transfer yang bersifat block grants. Di samping itu, kebijakan DAU merupakan instrumen penyeimbang fiskal antar daerah karena tidak semua daerah mempunyai struktur dan kemampuan fiskal yang sama. Oleh karena itu, dana alokasi umum berfungsi sebagai faktor pemerataan fiskal antara daerah-daerah serta memperkecil kesenjangan kemampuan fiskal atau keuangan antar daerah (Saragih, 2003). Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Bratakusumah dan Solihin, 2004).
2.4.2.3. Dana Alokasi Khusus Dana alokasi khusus adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu dan bertujuan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus daerah. Pengalokasian
dana alokasi khusus memperhatikan ketersediaan dana dalam APBN, yang berarti bahwa besaran dana alokasi khusus tidak dapat dipastikan setiap tahunnya. Dana alokasi khusus digunakan khusus untuk membiayai investasi pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang. Pengelolaan dana alokasi khusus kepada daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan selama memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri teknis terkait dan instansi yang membidangi perencanaan pembangunan nasional. Pemeriksaan atas penggunaan dana alokasi khusus oleh daerah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Bratakusumah dan Solihin, 2004).
2.4.3. Pinjaman Daerah Pinjaman daerah adalah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang dicatat dan dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dana pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah yang ada dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman, serta memberikan mufakat bagi pelayanan masyarakat. Selain itu, daerah dimungkinkan pula melakukan pinjaman dengan tujuan lain, seperti mengatasi masalah jangka pendek yang berkaitan dengan arus kas Daerah (Bratakusumah dan Solihin, 2004).
Besarnya pinjaman daerah perlu disesuaikan dengan kemampuan daerah, karena dapat menimbulkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Derah tahuntahun berikutnya yang cukup besar sehingga perlu didukung dengan keterampilan perangkat daerah dalam mengelola pinjaman daerah. Jenis pinjaman daerah ini dapat bersumber dari pinjaman dalam negeri maupun luar negeri. Pinjaman daerah dari dalam negeri bersumber dari pemerintah pusat, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, masyarakat dan sumber lainnya sedangkan pinjaman daerah dari luar negeri dapat berupa pinjaman bilateral atau multilateral.
2.5.
Hasil Penelitian Terdahulu Hermani (2007) meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap
perekonomian di Kabupaten Brebes dan Kota Tegal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan desentralisasi fiskal dari aspek kinerja fiskal, kinerja perekonomian dan tingkat kemiskinan. Di samping itu, penelitian tersebut menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kinerja
fiskal,
kinerja
perekonomian dan tingkat kemiskinan, serta dampaknya terhadap kinerja fiskal, kinerja perekonomian dan tingkat kemiskinan di Kabupaten Brebes dan Kota Tegal. Penelitian ini menggunakan model simultan dengan metode analisis 2-SLS (Two Stages Least Square). Secara umum penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa desentralisasi fiskal meningkatnya kinerja fiskal dan kinerja perekonomian daerah serta menurunnya tingkat kemiskinan daerah. Hasugian (2006) menganalisis mengenai kinerja keuangan daerah dan kemiskinan di Kabupaten dan Kota Propinsi Jawa Barat sebelum dan sesudah
desentralisasi fiskal. Metode analisis yang dilakukan adalah analisis deskriptif dan analisis regresi dengan menggunakan metode panel data. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah kinerja keuangan daerah dari sisi penerimaan daerah menunjukkan bahwa tingkat kemandirian daerah yang semakin rendah sesudah implementasi desentralisasi fiskal. Keuangan daerah dari sisi pengeluaran daerah menunjukkan bahwa pengeluaran rutin selama desentralisasi fiskal meningkat. Laju dan profil kemiskinan di Kabupaten atau Kota di Propinsi Jawa Barat sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal menunjukkan kenaikan dan penurunan jumlah penduduk miskin. Hakki (2008) menganalisis mengenai penerimaan pajak dan retribusi daerah sebelum dan pada masa otonomi daerah di Kota Bogor. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk mengetahui perkembangan penerimaan dan komponen PAD Kota Bogor selama tahun 2001-2005 dan metode analisis
komponen utama untuk mengetahui
faktor-faktor
utama
yang
mempengaruhi penerimaan pajak dan retribusi daerah. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah penerimaan Kota Bogor lebih didominasi oleh bagian dana perimbangan sepanjang tahun 2001-2005. Selain itu, hasil analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pajak dan retribusi daerah menunjukkan bahwa pajak daerah dipengaruhi oleh tingkat inflasi. Retribusi daerah dipengaruhi oleh variabel tingkat inflasi, uji kendaraan bermotor, dan jumlah pengunjung objek wisata. Yuliati (2002) menganalisis mengenai potensi keuangan daerah, derajat desentralisasi fiskal dan dampaknya terhadap kinerja ekonomi daerah di
Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, dan Kota Tegal. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis dan mengevaluasi hubungan kinerja ekonomi dan potensi keuangan pemerintah daerah, dampak derajat desentralisasi fiskal, dan perilaku pemerintah kabupaten/kota dalam rangka implementasi otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 22 dan UU No. 25 Tahun 1999. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis 2-SLS (Two Stages Least Square). Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian tersebut antara lain kinerja ekonomi daerah lebih didorong oleh kecenderungan mengkonsumsi dibanding investasi; potensi keuangan pemerintah daerah berkaitan erat dengan kinerja ekonomi
daerah;
kebijakan
desentralisasi
fiskal
dari
sisi
penerimaan
mempengaruhi kinerja ekonomi dan potensi keuangan pemerintah daerah; dampak derajat desentralisasi fiskal terhadap pengeluaran pembangunan infrastruktur publik tidak dapat netral dari pengaruh faktor lain; dan dalam proses penyusunan APBD terdapat indikasi adanya bias kepentingan dari pihak-pihak yang terlibat yang dapat mengarah kepada terjadinya inefisiensi dan inefektifitas alokasi anggaran akibat kurang optimalnya penerapan disiplin dan prioritas anggaran.
2.6.
Kerangka Pemikiran Otonomi daerah diatur dalam UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 dan
diperbaharui kembali dalam UU Nomor 32 dan 33 Tahun 2004. Pelaksanaan otonomi darah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengelola, mengatur dan memanfaatkan sumber keuangan daerah dalam rangka meningkatkan kinerja
perekonomian daerah. Hal ini yang menjadi acuan dalam mengembangkan kerangka pemikiran yang digunakan dalam melakukan analisis potensi keuangan dan kinerja ekonomi daerah. Kerangka pemikiran dibuat untuk menganalisis kinerja ekonomi dan potensi keuangan Kota Bogor. Analisis kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah dilakukan secara deskriptif dan permodelan dugaan dalam model simultan. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui kondisi kinerja ekonomi daerah sebelum dan selama desentralisasi fiskal, untuk mengetahui perkembangan dan kontribusi masing-masing komponen APBD terhadap total pendapatan daerah serta untuk mengetahui tingkat kemampuan keuangan daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal ditujukan untuk meningkatkan kinerja ekonomi daerah. Pemerintah daerah diberikan keleluasaan dalam mengelola perekonomian daerah. Indikasi dari kemajuan perekonomian daerah adalah tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto. Kinerja ekonomi Kota Bogor dinilai berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang ditinjau dari konsumsi rumah tangga masyarakat Kota Bogor, investasi daerah dan pengeluaran pemerintah daerah. Potensi keuangan daerah sangat berkaitan erat dengan kinerja ekonomi daerah. Identifikasi potensi keuangan daerah yang baik tercermin oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Potensi keuangan daerah tercermin dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dana perimbangan. Komponen PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah dan laba usaha daerah sedangkan dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil dan dana transfer. Kewenangan yang
dimiliki pemerintah daerah pada masa desentralisasi fiskal akan mendorong pemerintah daerah menetapkan berbagai kebijakan untuk mengoptimalkan potensi keuangan daerah dalam rangka meningkatkan total pendapatan daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah. Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah diuji pada era desentralisasi fiskal. Penetapan kebijakan yang tepat dalam mengelola kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah diharapkan mampu menciptakan pembangunan daerah.
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal Undang-undang No. 22 dan 25 Tahun 1999 Undang-undang No. 32 dan 33 Tahun 2004 Kewenangan Pemerintah Daerah
Analisis Deskriptif Mengetahui kinerja ekonomi Mengetahui perkembangan dan kontribusi masing-masing komponen pendapatan daerah Mengetahui tingkat kemampuan keuangan daerah
Keterangan : = Alur Penelitian = Ruang Lingkup Analisis Simultan = Ruang Lingkup Analisis Deskriptif
Keuangan Daerah
Kinerja Ekonomi Daerah
Potensi Keuangan Daerah
Produk Domestik Regional Bruto
Pajak Retribusi Laba Perusahaan Daerah Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak Dana Transfer
Konsumsi Ruamah Tangga
Pembangunan Daerah
Gambar 2.1. Bagan Alur Pemikiran
Investasi Daerah
Pengeluaran Pemerintah
It-1
G_DEt
SBRt It G_PDRBt
Ydt PDRBt
Ct
Gt
LORt OTHt
SBt POPt
INF
PRFTt PDRBCt
WTRt
PRFTt-1
TAXt
HTLt
TRSFt NTAXt K_LOSHRt
RECt
SHRt NTAXt-1
K_LTEt VEHt
LTRt DDF
PSYt BOt
: Variabel eksogen
: Variabel endogen
Gambar 2.2. Bagan Alir Model Kinerja Ekonomi dan Potensi Keuangan
2.7
Hipotesis Secara teori potensi keuangan daerah berkaitan erat dengan kinerja
ekonomi. Pelaksanaan desentralisasi fiskal mendorong peningkatan potensi keuangan dan kinerja ekonomi daerah. Oleh karena itu, hipotesis dibangun untuk melihat pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah. Kinerja perekonomian suatu daerah dalam sistem perekonomian tertutup dapat dilihat dari produk domestik regional bruto (PDRB) suatu daerah yang dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga, investasi daerah serta pengeluaran pemerintah. Setiap komponen ekonomi daerah dipengaruhi oleh berbagai variabel dengan hubungan sebagai berikut : (a). Tingkat konsumsi rumah tangga di daerah dipengaruhi oleh disposable income, populasi, tingkat suku bunga dan dummy desentralisasi. Variabel disposable income, populasi dan dummy desentralisasi berpengaruh positif terhadap tingkat konsumsi rumah tangga sedangkan tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap tingkat konsumsi rumah tangga. Semakin tinggi suku bunga maka kecenderungan marginal untuk konsumsi berkurang sedangkan kecenderungan menabung meningkat sehingga konsumsi rumah tangga akan berkurang. (b). Investasi daerah dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pembangunan, investasi tahun lalu, tingkat suku bunga dan dummy desentralisasi
fiskal.
Variabel
pertumbuhan
ekonomi,
pengeluaran
pembangunan, investasi daerah tahun lalu dan dummy desentralisasi akan berpengaruh positif terhadap tingkat investasi di daerah sedangkan variabel
suku bunga dan inflasi berpengaruh negatif terhadap tingkat investasi di daerah. (c). Pengeluaran pemerintah daerah dipengaruhi oleh PDRB, pendapatan asli daerah, inflasi dan dummy desentralisasi. Variabel PDRB, pendapatan asli daerah dan dummy desentralisasi berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah sedangkan tingkat inflasi akan berpengaruh negatif terhadap pengeluaran pemerintah daerah. Peningkatan kinerja ekonomi daerah diduga akan meningkatkan prndapatan per kapita. Pendapatan per kapita merupakan ukuran kemampuan membayar pajak dan pungutan lainnya sehingga peningkatan pendapatan per kapita ini diduga akan meningkatkan potensi keuangan daerah. Potensi keuangan daerah yang dapat diperoleh oleh pemerintah daerah bersumber dari pajak, retribusi, laba bersih perusahaan daerah, dana bagi hasil pajak dan bukan pajak serta dana transfer. Setiap komponen penerimaan tersebut akan dipengaruhi oleh berbagai variabel dengan hubungan sebagai berikut : (a). Pajak daerah dipengaruhi oleh PDRB per kapita, populasi, inflasi, jumlah kamar hotel, dan dummy desentralisasi fiskal. Hubungan antara variabelvariabel penjelas dengan pajak daerah diharapkan berpengaruh positif. (b). Retribusi daerah dipengaruhi oleh PDRB per kapita, inflasi, pendapatan retribusi tahun lalu, jumlah pengunjung tempat wisata dan dummy desentralisasi fiskal. Hubungan antara variabel-variabel penjelas dengan retribusi daerah diharapkan berpengaruh positif.
(c). Laba bersih perusahaan daerah dipengaruhi oleh PDRB per kapita, suku bunga, jumlah konsumsi air minum, laba perusahaan daerah tahun lalu dan dummy desentralisasi fiskal. Keseluruhan variabel penjelas tersebut diharapkan berpengaruh positif terhadap laba bersih perusahaan daerah. (d). Dana bagi hasil pajak dan bukan pajak dipengaruhi oleh PDRB per kapita, inflasi, jumlah kendaraan bermotor dan dummy desentralisasi fiskal. Keseluruhan variabel penjelas tersebut diharapkan berpengaruh positif terhadap dana bagi hasil pajak dan bukan pajak. (e). Dana transfer dipengaruhi oleh PDRB per kapita, jumlah pendapatan daerah sendiri, jumlah pengeluaran pemerintah, populasi dan dummy desentralisasi fiskal. Jika asumsi transfer adalah stimulatif maka hubungan kapasitas penerimaan transfer dengan semua variabel penjelasnya diharapkan positif. Jika asumsi transfer adalah untuk substitutif maka hubungan kapasitas transfer dengan tingkat pendapatan per kapita, populasi, total pengeluaran pemerintah daerah dan dummy desentralisasi diharapkan positif sedangkan hubungan pendapatan daerah sendiri diharapkan negatif.
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor, dengan pertimbangan bahwa Kota
Bogor memiliki letak geografis yang sangat strategis. Letaknya yang berdekatan dengan ibukota Negara merupakan potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa serta perkembangan sektor industri, perdagangan, transportasi, komunikasi dan pariwisata. Letak yang strategis ini menyebabkan Kota Bogor memiliki potensi keuangan daerah yang cukup tinggi dan diharapkan mampu
memiliki
kinerja
perekonomian
yang
baik
untuk
menunjang
pembangunan daerah. Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari hingga Juli 2009 yang meliputi kegiatan pengumpulan data dan literatur, pengolahan data, analisis data, hingga penulisan hasil penelitian dalam bentuk skripsi.
3.2.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam
bentuk time series data selama periode 1993 hingga 2007. Data yang dikumpulkan untuk menunjang penelitian ini, antara lain: total pendapatan daerah, pengeluaran pembangunan daerah, PDRB Kota Bogor, jumlah penduduk, inflasi, pajak, retribusi, laba bersih perusahaan daerah, dana bagi hasil, dana transfer, jumlah wisatawan dan data lainnya yang menunjang penelitian ini. Data sekunder yang digunakan berasal dari : Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Bogor, dan instansi terkait lainnya.
3.3.
Estimasi Model Model merupakan penjelasan sederhana dari dunia nyata dimana setiap
kegiatan ekonomi yang akan dianalisis terangkum dalam model tersebut. Model dugaan yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada model penelitian Yuliati (2002). Model dugaan yang digunakan untuk menganalisis kinerja ekonomi suatu daerah antara lain model dugaan konsumsi rumah tangga, investasi daerah dan pengeluaran pemerintah daerah. Sedangkan model model dugaan yang digunakan untuk menganalisis potensi keuangan daerah, antara lain model dugaan pajak daerah, retribusi daerah, laba bersih perusahaan daerah, dana bagi hasil pajak dan bukan pajak serta dana transfer. Model-model tersebut dipengaruhi oleh berbagai variabel seperti yang tergambar pada model dibawah ini : (1). Kinerja Ekonomi Daerah Model Dugaan Konsumsi Rumah Tangga Ct = a0 + a1 Ydt + a2 POPt + a3 SBt + a4 DDF + µ1
(3.1)
Parameter estimasi yang diharapkan a1, a2, a4 > 0; a3 < 0 Model Dugaan Investasi Daerah It =b0 +b1G_PDRBt + b2G_DEt + b3It-1 + b4SBRt + b5DDF +µ2 (3.2) Parameter estimasi yang diharapkan b1, b2, b3, b5 > 0; b4 < 0 Model Dugaan Pengeluaran Pemerintah Daerah Gt = c0 + c1 PDRBt + c2 LORt + c3 INFt + c4 DDF + µ3 Parameter estimasi yang diharapkan c1, c2, c4 > 0; c3 < 0 (2). Potensi Keuangan Daerah Model Dugaan Pajak Daerah
(3.3)
TAXt =d0 +d1PDRBCt +d2POPt +d3INFt +d4HTL +d5DDF +µ4 (3.4) Parameter estimasi yang diharapkan d1, d2, d3, d4, d5 > 0 Model Dugaan Retribusi Daerah NTAXt=e0+e1PDRBCt+e2RECt+e3INFt+e4NTAXt-1+e5DDF+µ5 (3.5) Parameter estimasi yang diharapkan e1, e2, e3, e4, e5 > 0 Model Dugaan Laba Bersih Perusahaan Daerah PRFTt =f0 +f1PDRBCt +f2SBt +f3 WTRt +f4PRFTt-1 +f5DDF+µ6 (3.6) Parameter estimasi yang diharapkan f1, f2, f4, f3, f5 > 0 Model Dugaan Dana Bagi Hasil Pajak atau Bukan Pajak SHRt =g0 +g1 PDRBCt +g2 INFt +g3 VEHt +g4 DDF + µ7
(3.7)
Parameter estimasi yang diharapkan g1, g2, g3, g4 > 0 Model Dugaan Dana Transfer TRSFt = h0 + h1 PDRBCt + h2 K_LOSHRt + h3 K_LTEt + h4 POPt + h5 DDF + µ8
(3.8)
Asumsi substitutif, hipotesisnya adalah h1, h3, h4, h5 > 0; h2 < 0 Asumsi stimulatif, hipotesisnya adalah h1, h2, h3, h4, h5 > 0 (3). Model-model identitas a. Model Pendapatan Asli Daerah LORt = TAXt + NTAXt + PRFTt + OTHt
(3.9)
b. Model Total Penerimaan Pemerintah Daerah LTRt = PSYt + LORt + SHRt + TRSFt + BOt
(3.10)
c. Model Product domestic Regional Bruto (PDRB) PDRBt = Ct + It + Gt
(3.11)
d. Model Pendapatan per Kapita PDRBC =
(3.12)
e. Model Pendapatan disposable Yd = PDRBt - TAXt
(3.13)
dimana : BOt
: Pendapatan lainnya yang sah (juta rupiah),
Ct
: Konsumsi rumah tangga (juta rupiah),
DDF
: Dummy desentralisasi fiskal (0=sebelum desentralisasi fiskal, 1=selama desentralisasi fiskal),
Gt
: Pengeluaran pemerintah daerah (juta rupiah),
G_DEt
: Pertumbuhan pembangunan pemerintah daerah (%),
G_PDRBt
: Pertumbuhan ekonomi daerah (%),
HTL
: Jumlah kamar hotel (unit),
It
: Investasi daerah (juta rupiah),
It-1
: Investasi daerah tahun lalu (juta rupiah),
INFt
: Inflasi daerah (%),
K_LOSHRt
: Peningkatan pendapatan daerah sendiri, LOR + SHR (juta rupiah),
K_LTEt
: Peningkatan pengeluaran pemerintah (juta rupiah),
LORt
: Pendapatan asli daerah (juta rupiah),
LTRt
: Total pendapatan daerah (juta rupiah),
OTHt
: Pendapatan asli daerah lainnya yang sah (juta rupiah),
PDRBt
: Produk Domestik Regional Bruto (juta rupiah/tahun),
PDRBCt
: Produk Domestik Regional Bruto per kapita (juta rupiah/kapita),
POPt
: Populasi (orang),
PRFTt
: Laba bersih perusahaan daerah (juta rupiah/Tahun),
PRFTt-1
: Laba bersih perusahaan daerah tahun lalu (juta rupiah/Tahun),
PSYt
: Perhitungan sisa tahun lalu (juta rupiah),
NTAXt
: Retribusi daerah (juta rupiah),
NTAXt-1
: Retribusi daerah tahun lalu (juta rupiah),
RECt
: Jumlah pengunjung tempat wisata (orang),
SBt
: Suku bunga (% / tahun),
SBRt
: Suku bunga riil (% / tahun),
SHRt
: Bagi hasil pajak dan bukan pajak (juta rupiah),
TAXt
: Pajak daerah (juta rupiah),
TRSFt
: Dana transfer yang terdiri atas DAU dan DAK (juta rupiah),
VEHt
: Jumlah kendaraan bermotor (unit),
WTRt
: Jumlah konsumsi air minum (m3),
Ydt
: Pendapatan disposable (juta rupiah).
3.4.
Identifikasi Model Model yang digunakan dalam model ini adalah model persamaan simultan.
Peubah-peubah yang ada dalam model persamaan simultan dapat digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu : (1). Endogenous variable, yaitu peubah-peubah yang nilainya ditentukan dalam model,
(2). Predetermined variable, yaitu peubah yang nilainya ditentukan di luar model. Predetermined variable digolongkan lagi menjadi dua, yaitu endogenous variable (peubah eksogen) dan lagged endogenous variable. Sebelum melakukan pendugaan terhadap model model simultan, terlebih dahulu dilakukan identifikasi terhadap model tersebut. Fungsi dari identifikasi model adalah untuk mengetahui apakah model tersebut dapat diduga atau tidak. Gujarati
(1978),
menyatakan
untuk
menilai
identifiabilitas
(dapat
diidentifikasikannya) suatu persamaan struktural, orang bias menerapkan teknik persamaan bentuk yang direduksi, tetapi prosedur yang memakan waktu ini dapat dihindarkan dengan mengambil jalan baik ke kondisi ordo (order condition) atau kondisi tingkat identifikasi. Setelah melakukan identifikasi model, maka dapat ditentukan metode estimasi yang akan digunakan dalam mengestimasi model. Prinsip umum identifikasi tersebut adalah : (1). Exactly identified
: jika (K - M) = (G - 1),
(2). Over identified
: jika (K - M) > (G - 1),
(3). Unidentified
: jika (K - M) < (G - 1),
dimana : K
= jumlah semua variabel yang terdapat dalam model,
M = jumlah variabel endogen dan eksogen yang dimasukkan dalam suatu persamaan, G
= jumlah persamaan yang ada dalam sistem persamaan simultan. Hasil identifikasi model dapat digunakan sebagai petunjuk dalam memilih
jenis metode pendugaan yang akan digunakan. Model simultan dikatakan
teridentifikasi dengan tepat (exactly identified) jika diperoleh pendugaan parameter yang khas (unik) (Juanda, 2009). Suatu model simultan yang berada dalam kondisi exactly identified, metode pendugaan yang tepat untuk digunakan adalah Indirect Least Square (ILS). Suatu model simultan dikatakan over identified jika diperoleh dugaan parameter model struktural yang tidak khas (lebih dari satu nilai) dari model reduced form. Suatu model simultan yang berada dalam kondisi over identified, metode pendugaan yang digunakan adalah Two Stage Least Square (2SLS). Dalam 2SLS, peubah endogen diganti dengan nilai dugaannya sendiri dengan memperhitungkan seluruh peubah-peubah eksogen, sehingga metode ini mengasumsikan bahwa peubah-peubah eksogen dalam model telah diketahui secara lengkap. Metode 2SLS dapat juga ditertapkan pada kasus exactly identified. Jika metode OLS dipaksakan untuk menduga sistem model simultan, maka akan menghasilkan nilai pendugaan yang bias dan tidak konsisten. Tabel 3.1. Identifikasi Model Nama model
K
M
G
K-M
G-1
Kategori
Konsumsi Rumah Tangga
32
5
13
27
12
Over identified
Investasi Daerah
32
6
13
26
12
Over identified
Pengeluaran Pemerintah Daerah
32
5
13
27
12
Over identified
Pajak Daerah
32
6
13
26
12
Over identified
Retribusi Daerah
32
6
13
26
12
Over identified
Laba Bersih Perusahaan Daerah
32
6
13
26
12
Over identified
Dana Bagi Hasil
32
5
13
27
12
Over identified
Dana Transfer
32
6
13
26
12
Over identified
Karena seluruh model dugaan tersebut termasuk ke dalam kategori over identified, maka pendugaan parameternya dapat dilakukan dengan metode 2SLS (Two Stage Least Square). Metode 2SLS diterima sebagai pendekatan model tunggal yang paling penting untuk mendugamodel yang bersifat over identified dan menggambarkan pemakaian yang bersifat lebih umum.
3.5. Metode Analisis 3.5.1 Metode Deskriptif Metode deskriptif dilakukan untuk mengetahui kinerja ekonomi daerah, mengetahui perkembangan dan kontribusi masing-masing komponen pendapatan daerah dan mengetahui tingkat kemampuan keuangan daerah. Analisis kinerja ekonomi dilakukan untuk mengetahui perkembangan kondisi perekonomian Kota Bogor sedangkan potensi keuangan daerah tercermin dari komponen pendapatan daerah yang terdiri dari PAD, dana bagi hasil dan dana transfer. Masing-masing komponen tersebut memiliki kontribusi yang berbeda terhadap total pendapatan daerah. Tingkat
kemampuan
keuangan
daerah
menggambarkan
besarnya
presentase kontribusi pendapatan daerah sendiri (PAD dan dana bagi hasil) terhadap total pendapatan daerah. Indikator tersebut menggunakan data time series untuk mengetahui perkembangan kontribusinya dari segi besaran dan presentasenya. Tingkat kemampuan keuangan daerah merupakan salah satu indikator dari tingkat keberhasilan suatu daerah melakukan kewenangan desentralisasi fiskal pada masa desentralisasi fiskal ini. Kemampuan daerah
merupakan kemampuan kabupaten/kota dalam membiayai urusan-urusan rumah tangganya khususnya yang berasal dari pendapatan daerahnya sendiri.
3.5.2. Metode Estimasi 3.5.2.1.Metode Two-Stage Least Square (2SLS) Menurut Juanda (2009), metode Kuadrat Terkecil Dua-Tahap (2SLS) merupakan suatu prosedur untuk menduga parameter model struktural yang overidentified. Metode ini menggunakan informasi yang tersedia dari spesifikasi model sistem model simultan untuk memperoleh dugaan yang unik untuk masingmasing parameter struktural. Tahapan-tahapan metode 2SLS adalah sebagai berikut : (1). Lakukan pendugaan koefisien bentuk tereduksi untuk semua peubah endogen dengan menggunakan metode OLS, (2). Menduga koefisien strukturalnya dengan menggunakan dugaan peubah endogen yang diperoleh pada langkah pertama. Pada metode 2SLS, peubah endogen diganti dengan nilai dugaannya sendiri dengan memperhitungkan seluruh peubah-peubah eksogen, sehingga metode ini mengasumsikan bahwa peubah-peubah eksogen dalam model telah diketahui secara lengkap. Metode 2SLS dapat juga diterapkan pada kasus exactly identified.
3.5.2.2 Uji Kriteria Statistik (uji F, uji t, dan R2) Pengujian kriteria statistik diperlukan untuk melihat korelasi antar variabel model, yaitu dengan menggunakan uji t, uji F dan R2.
(1). Uji t Uji t dilakukan pada masing-masing parameter untuk melihat tingkat signifikansi variabel bebas, artinya apakah variabel bebas berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tak bebas. Perbandingan antara nilai t-statistik dengan nilai t-tabel dapat menunjukan daerah atau wilayah penolakan. Selain itu, uji ini digunakan untuk melihat keabsahan dari hipotesis dan membuktikan bahwa koefisien regresi dalam model secara statistik signifikan atau tidak. Hipotesis : H0
: βi = 0
H1
: βi ≠ 0
dimana i = 1, 2, 3, …., n β = dugaan parameter
Statistik uji yang dilakukan dalam uji-t adalah sebagai berikut : t-hitung =
(3.14)
dimana : b
= Koefisien regresi parsial sampel,
B
= Koefisien regresi parsial populasi,
Sb
= Simpangan baku koefisien dugaan. Hasil t-hitung tersebut dibandingkan dengan t-tabel. Kriteria uji yang
digunakan dalam melakukan uji t adalah sebagai berikut : t-hitung > t α/2(n-k) , maka tolak H0, t-hitung < t α/2(n-k) , maka terima H0. Jika t-hitung > t-tabel maka tolak H0, kondisi ini memiliki arti bahwa variabel yang digunakan berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas (endogen) pada taraf nyata α. Sedangkan apabila t-hitung < t-tabel maka terima H0, kondisi
ini berarti bahwa varibel yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas pada taraf nyata α. (2). Uji F Uji F dilakukan terhadap model penduga untuk melihat pengaruh variabel bebas (eksogen) terhadap variabel tak bebas (endogen) secara keseluruhan dengan menggunakan pengujian F-hitung. Selain itu, uji F juga dilakukan untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Hipotesis yang digunakan dalam uji F adalah sebagai berikut : H0 : β0 = β1 = β2 = … = βi = 0, artinya tidak ada satu pun variabel-variabel bebas dalam model yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas H1 : minimal salah satu βi ≠ 0, artinya paling sedikit ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas dimana : i = 1. 2. 3. …, n β = dugaan parameter Statistik uji yang dilakukan dalam uji-F adalah sebagai berikut :
F-hitung =
dimana : R2
= koefisien determinasi,
(3.15)
n
= banyaknya data,
K
= jumlah koefisien regresi dugaan. Hasil dari F-hitung tersebut lalu dibandingkan dengan F-tabel. Kriteria uji
yang dilakukan dalam melakukan uji F adalah sebagai berikut : F-hitung > F α(k-1, n-k), maka tolak H0, F-hitung < F α(k-1, n-k), maka terima H0. Jika hasil F-hitung > F-tabel maka tolak H0, kondisi ini memiliki arti bahwa minimal ada satu variabel bebas dalam model yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Sedangkan jika F-hitung < F-tabel maka terima H0, kondisi ini memiliki arti bahwa tidak ada satu pun variabel yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. (3). Uji Koefisien Determinasi (R2) dan Adjusted R2 Koefisien determinasi (R2) dan Adjusted R2 digunakan untuk melihat sejauhmana variabel bebas mampu menerangkan keragaman variabel tak bebasnya dan untuk melihat seberapa kuat variabel yang dimasukkan ke dalam model dapat menerangkan model tersebut. Gujarati (2003) menyatakan bahwa terdapat dua sifat R2, yaitu : (a). Merupakan besaran non-negatif, (b). Batasnya adalah 0 ≤ R2 ≤ 1. Jika R2 bernilai 1 berarti adanya suatu kecocokan sempurna, sedangkan jika R2 bernilai 0 berarti tidak ada hubungan antara variabel tak bebas dengan variabel bebasnya. Nilai koefisien determinasi dapat dihitung sebagai berikut : R2 =
(3.16)
dimana : ESS = jumlah kuadrat yang dijelaskan (explained sum square), TSS = jumlah kuadrat total (total sum square). Besaran R2 tersebut dikenal sebagai koefisien determinasi (sampel) dan merupakan besaran yang paling lazim digunakan untuk mengukur kebaikan suai (goodness of fit) garis regresi. Secara verbal, R2 mengukur proporsi (bagian) atau prosentase total varians dalam Y yang dijelaskan oleh model regresi.
3.5.2.3.Uji Kriteria Ekonometrika Dalam
menggunakan
metode
regresi dapat
ditemukan
beberapa
permasalahan yang dihadapi, yaitu masalah autokorelasi, heteroskedastisitas dan multikolinieritas. (1). Uji Autokorelasi Menurut Gujarati (1978), autokorelasi merupakan korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperi dalam data deret waktu) atau ruang (seperti dalam data cross-sectional). Autokorelasi akan menyebabkan parameter koefisien regresi tidak bias, konsisten, mempuanyai standar eror yang lebih kecil dari nilai yang sebenarnya sehingga nilai statistik ujit tinggi (overestimate) dan penduga OLS menjadi tidak efisien lagi. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dapat menggunakan metode gambar atau dengan menggunakan uji Durbin-Watson untuk data time series. Hipotesis yang digunakan dalam uji Durbin-Watson adalah sebagai berikut : H0
: tidak terdapat autokorelasi
H1
: terdapat autokorelasi Untuk menguji ada tidaknya autokorelasi, dapat dilihat dari nilai statistik
Durbin-Watson (DW) dengan perhitungan sebagai berikut : et
DW
et
2 1
et 2
21
ˆ
(3.17)
Aturan penggunaan statistik Durbin-Watson adalah sebagai berikut : (1). 4-dL < DW < 4
artinya tolak H0; ada autokorelasi negatif,
(2). 4-du < DW < 4-dL
artinya tidak terdeteksi autokorelasi,
(3). du < DW < 4-du
artinya terima H0; tidak terdapat autokorelasi,
(4). du < DW < dL
artinya tidak terdeteksi autokorelasi,
(5). 0 < DW < dL
artinya tolak Ho; ada autokorelasi positif.
Menurut Juanda (2009), jika dalam model regresi ada peubah bebas yang merupakan peubah lag respons, maka nilai statistik uji DW sering mendekati dua meskipun ada autokorelasi. Statistik uji yang digunakan adalah statistik Durbin h untuk menguji autokorelasi. Durbin telah menunjukkan bahwa statistik-h mendekati sebaran normal baku, sehingga keputusan ada tidaknya autokorelasi dapat menggunakan tabel normal baku (z). Statistik Durbih h dapat didefinisikan sebagai berikut :
h
1
DW 2
dimana : h
: Statistik Durbin h,
DW
: Durbin Watson,
T 1 T Var ( ˆ2 )
(3.18)
T
: Jumlah pengamatan,
Var (β2)
: Dugaan ragam dari koefisien peubah lag respons (Yt-1).
(2). Uji Heteroskedastisitas Suatu model dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedastisitas (tidak terjadi heteroskedastisitas) atau memiliki ragam error yang sama. Heteroskedastisitas adalah suatu penyimpangan asumsi dalam bentuk varians gangguan estimasi yang dihasilkan oleh estimasi yang tidak bernilai konstan. Heteroskedastisitas tidak merusak sifat ketidakbiasan dan konsistensi dari penaksir tetapi penaksir yang dihasilkan tidak lagi mempunyai varians minimum (efisien). Menurut Gujarati (1993), jika terjadi heteroskedastisitas maka akan berakibat sebagai berikut : a. Estimasi dengan menggunakan OLS tidak akan memiliki varians yang minimum atau estimator tidak efisien, b. Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya akan mempunyai varians yang tinggi, sehingga prediksi menjadi tidak efisien, c. Tidak dapat diterapkannya uji nyata koefisien atau selang kepercayaan dengan menggunakan formula yang berkaitan dengan nilai varians. Untuk memeriksa keberadaan heteroskedastisitas salah satunya dapat ditunjukkan dengan White-Heteroskedasticity Test, dimana tidak perlu asumsi normalitas dan relatif mudah. Hipotesis : H0
: γ = 0 (homoskedastisitas),
H1
: γ ≠ 0 (heteroskedastisitas).
Kriteria uji yang digunakan untuk melihat adanya heteroskedastisitas adalah sebagai berikut : a. Apabila nilai probability Obs*R-squared-nya > taraf nyata yang digunakan maka
hipotesis
H0
diterima
yang
berarti
tidak
terdapat
gejala
heteroskedastisitas pada model, b. Apabila nilai probability Obs*R-squared-nya < taraf nyata yang digunakan maka hipotesis H0 ditolak yang berarti terdapat gejala heteroskedastisitas pada model. Solusi dari masalah ini adalah mencari transformasi model asal sehingga model yang baru akan memiliki error-term dengan varians yang konstan. (3). Uji Multikolinieritas Istilah multikolinieritas mula-mula ditemukan oleh Ragnar Frisch. Multikolinieritas adalah adanya hubungan linear yang sempurna atau pasti diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi. Konsekuensi dari terjadinya multikolinieritas adalah koefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir dan nilai standard error setiap koefisien regresi menjadi tidak terhingga. Gujarati (1993) mengemukakan tanda-tanda adanya multikolinieritas adalah : a. Tanda tidak sesuai dengan yang diharapkan, b. R-squared-nya tinggi tetapi uji individu tidak banyak bahkan tidak ada yang nyata, c. Korelasi sederhana antara variabel individu tinggi (r ij tinggi),
d. R2 < rij menunjukkan adanya masalah multikolinieritas. Untuk memperbaiki dari masalah multikolinieritas menurut Gujarati (1993) adalah sebagai berikut : a. Menggunakan extraneous atau informasi sebelumnya, b. Mengkombinasikan data cross-sectional dan data deretan waktu, c. Meninggalkan variabel yang sangat berkorelasi, d. Mentransformasikan data, e. Mendapatkan tambahan data baru.
IV. GAMBARAN UMUM
4.1.
Lokasi dan Geografi Kota Bogor Kota Bogor merupakan salah satu kota yang terdapat pada provinsi Jawa
Barat. Kota Bogor memiliki letak geografis yang sangat strategis. Kota Bogor terletak diantara 1060 43’30” BT – 1060 51’00” BT dan 60 30’30” LS - 60 41’00” LS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter, maksimal 350 meter dengan jarak dari ibukota ± 60 km. Letaknya yang berdekatan dengan ibukota Negara merupakan potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa serta perkembangan sektor industri, perdagangan, transportasi, komunikasi dan pariwisata. Pada tahun 1995, luas wilayah Kota Bogor mengalami perubahan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1995 tentang perubahan wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor yang dijabarkan lebih lanjut dalam Inmendagri Nomor 30 Tahun 1995 dan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat II Jawa Barat Nomor 32 Tahun 1995, tentang pengaturan lebih lanjut penetapan batas wilayah kotamadya Daerah Tingkat II Bogor dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor. Pelaksanaan serah terima wilayah dalam rangka perubahan batas wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor dilaksanakan pada tanggal 24 Agustus 1995. Semenjak pelaksanaan serah terima tersebut, luas wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor berubah menjadi 118,50 km². Jumlah penduduk yang awalnya dipadati oleh 266.994 orang pada
tahun 1994 menjadi 647.912 orang pada tahun 1995. Secara administratif, Kota Bogor terbagi menjadi 6 Kecamatan dan 68 kelurahan. Batas-batas wilayah Kota Bogor adalah sebagai berikut : 1. Sebelah Selatan : Kecamatan Cijeruk dan kecamatan Caringin Kabupaten Bogor 2. Sebelah timur
: Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor.
3. Sebelah Utara
: Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojong Gede dan Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor.
4. Sebelah barat
: Kecamatan Kemang dan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.
4.2.
Pertumbuhan Penduduk Pada masa desentralisasi fiskal ini, keberhasilan pembangunan daerah
sangat ditentukan oleh partisipasi masyarakatnya dalam proses pembangunan daerah. Jumlah penduduk di suatu daerah akan sangat mempengaruhi pembangunan daerah tersebut. Semakin besar jumlah penduduk akan memacu pembangunan ekonomi suatu daerah secara maksimal, namun hal tersebut perlu diiringi dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang memadai. Jumlah penduduk Kota Bogor sepanjang tahun 2000-2007 mengalami peningkatan setiap tahunnya (Tabel 4.1). Pada tahun 2000, jumlah penduduk Kota Bogor tercatat sebanyak 714.711 jiwa dan terus bertambah hingga 905.132 jiwa pada tahun 2007.
Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Kota Bogor Tahun 2000-2007 Tahun Jumlah Penduduk (jiwa) Laju Pertumbuhan (%) 2000 714.711 2001 760.329 6,38 2002 789.423 3,83 2003 820.707 3,96 2004 831.571 1,32 2005 855.085 2,83 2006 855.846 0,09 2007 905.132 5,76 Sumber : BPS Kota Bogor, 2000-2007 (diolah).
4.3.
Tinjauan Perekonomian Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk memberikan gambaran
kondisi perekonomian di suatu daerah serta untuk mengkaji dan mengevaluasi perekonomian adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhan ekonomi. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sendiri menurut pengertian produksi adalah jumlah nilai produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi dalam suatu wilayah pada suatu jangka waktu tertentu. Perhitungan PDRB dilakukan dalam dua cara, yaitu PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga tiap tahun dan menunjukkan pendapatan yang mungkin dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah. Perhitungan PDRB atas dasar harga konstan merupakan PDRB yang dinilai atas dasar harga tetap suatu tahun tertentu dan dapat digunakan untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun sektoral dari tahun ke tahun.
4.3.1. Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor Kemampuan produksi atau kinerja ekonomi Kota Bogor tercermin dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan, tingkat inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor disajikan dalam dua perhitungan, yaitu PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. Sebagaimana terlihat pada Tabel 4.2, perekonomian Kota Bogor yang tercermin melalui Produk Domestik Regional Bruto, perekonomian Kota Bogor sepanjang tahun 2004-2007 mengalami laju pertumbuhan sekitar 6 persen per tahunnya sedangkan tingkat inflasi yang terjadi sepanjang tahun 2004-2007 berkisar antara 6,62-18,14 persen. Tingkat inflasi Kota Bogor sempat mengalami peningkatan sebesar 18,14 persen pada tahun 2005. Tabel 4.2. Produk Domestik Regional (PDRB) Kota Bogor Tahun 2004-2007 Tahun PDRB Atas Dasar PDRB Atas Dasar Inflasi Laju Harga Berlaku Harga Konstan (%) Pertumbuhan (Jutaan Rupiah) Tahun 2000 Ekonomi (%) (Jutaan Rupiah) 2004 5.245.746,82 3.361.438,93 7,8 6,10 2005 6.191.918,90 3.567.230,91 18,14 6,13 2006 7.257.742,09 3.782.273,71 6,62 6,03 2007 8.558.035,70 4.012.743,18 9,75 6,08 Sumber : BPS Kota Bogor, 2004-2007.
4.3.2. Pendapatan Perkapita Kota Bogor Pendapatan perkapita merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi pendapatan perkapita suatu daerah, maka tingkat kesejahteraan penduduk daerah tersebut akan meningkat.
Tabel 4.3. Pendapatan Perkapita Kota Bogor Tahun 2002-2007 Pendapatan Perkapita Tahun Harga Berlaku (Rupiah) Harga Konstan Tahun 2000 (Rupiah) 2002 4.227.462,01 3.847.014,40 2003 4.605.734,59 4.002.598,43 2004 5.106.140,89 4.161.733,51 2005 7.510.609,11 4.326.942,49 2006 8.626.510,51 4.495.588,79 2007 9.975.450,00 4.677.350,00 Sumber : BPS Kota Bogor, 2002-2007.
Pendapatan perkapita Kota Bogor, baik berdasarkan harga berlaku maupun berdasarkan harga konstan sepanjang tahun 2002-2007 mengalami peningkatan. Pada tahun 2002, pendapatan perkapita Kota Bogor berdasarkan harga berlaku sebesar 4.227.462,01 rupiah dan terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2007 sebesar 9.975.450,00 rupiah. Untuk melihat tingkat kesejahteraan Kota Bogor secara riil dapat dilihat dari pendapatan per kapita berdasarkan harga konstan. Pada tahun 2002, pendapatan per kapita berdasarkan harga konstan sebesar 3.847.014,40 rupiah dan terus mengalami peningkatan hingga sebesar 4.677.350,00 rupiah pada tahun 2007. Peningkatan pendapatan perkapita ini mencerminkan peningkatan kesejahteraan masyarakat Kota Bogor.
V. PEMBAHASAN
5.1.
Kinerja Ekonomi Daerah Kota Bogor Pelaksanaan
perekonomian
desentralisasi
daerah.
Pemerintah
fiskal daerah
diharapkan diberikan
dapat
mendorong
keleluasaan
untuk
meningkatkan perekonomian daerah berdasarkan karakteristik daerahnya. Kondisi perekonomian daerah tercermin dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan dan laju pertumbuhan ekonomi. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor tercermin pada gambar di bawah ini :
Juta Rupiah
5000000.00 4000000.00 3000000.00 2000000.00
PDRB
1000000.00 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
0.00
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.1. Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor Tahun 1993-2007
Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa PDRB Kota Bogor berdasarkan harga konstan tahun 2000, sepanjang tahun 1993 hingga 2007 mengalami peningkatan. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal, PDRB Kota Bogor berkisar antara 1.238.285,65 juta rupiah hingga 2.671.607,24 juta rupiah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal sejak tahun 2001 diharapkan dapat mendorong perekonomian daerah. Pada tahun 2001, PDRB Kota Bogor sebesar 2.823.430,21
juta rupiah dan terus meningkat hingga sebesar 4.012.743.18 juta rupiah pada
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
LPE
1994
70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 -10.00
1993
LPE dalam %
tahun 2007.
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Bogor Tahun 1993-2007
Laju pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 1993 hingga 2007 mengalami fluktuasi. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada tahun 1995 dimana pada saat itu terjadi perluasan wilayah Kota Bogor sehingga meningkatkan PDRB Kota Bogor sebesar 64,86 persen. Di sisi lain, laju pertumbuhan ekonomi terendah terjadi pada saat krisis ekonomi tahun 1998, yaitu sebesar -3,48 persen. Sepanjang tahun 2001 hingga 2007 laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor relatif stabil dan mengalami sedikit peningkatan setiap tahunnya, yaitu berkisar antara 5,68 persen hingga 6,12 persen. Jika dibandingkan dengan sebelum desentralisasi fiskal, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi selama desentralisasi fiskal relatif lebih rendah dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebelum desentralisasi fiskal sebesar 12,52 persen sedangkan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi selama desentralisasi fiskal sebesar 5,98 persen. Oleh karena itu, diduga kondisi perekonomian Kota Bogor selama desentralisasi fiskal relatif menurun.
5.1.1. Komponen Kinerja Ekonomi Daerah Tidak hanya laju pertumbuhan ekonomi, kinerja ekonomi daerah pun dapat dianalisis dengan menggunakan PDRB atas dasar harga konstan. Kinerja ekonomi daerah yang dianalisis dalam model dugaan ini menggunakan pendekatan makroekonomi dengan asumsi perekonomian tertutup sehingga kinerja ekonomi daerah tercermin dari konsumsi rumah tangga, investasi daerah dan pengeluaran pemerintah.
5.1.1.1. Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga merupakan output ekonomi yang dibelanjakan oleh rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung. Konsumsi rumah tangga berdasarkan harga konstan tahun 2000, sepanjang tahun 1993 hingga 2007 relatif mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2001, konsumsi rumah tangga sempat mengalami sedikit penurunan.
Juta Rupiah
4000000.00 3000000.00 2000000.00
1000000.00 2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
0.00
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.3. Perkembangan Konsumsi Rumah Tangga
Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga sepanjang tahun 1993 hingga 2007 mengalami fluktuasi. Pada awal pelaksanaan desentralisasi fiskal, konsumsi
rumah tangga Kota Bogor mengalami penurunan hingga sebesar -1,43 persen namun sepanjang tahun 2002 hingga 2007 pertumbuhan konsumsi rumah tangga Kota Bogor relatif stabil, yaitu berkisar antara 6,12 hingga 8,78 persen. Rata-rata pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebelum desentralisasi fiskal relatif lebih besar daripada selama desentralisasi fiskal. Rata-rata konsumsi rumah tangga sebelum
desentralisasi
fiskal
sebesar
19,38
persen
sedangkan
selama
desentralisasi fiskal sebesar 5,91 persen. Tabel 5.1. Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga Kota Bogor Tahun Pertumbuhan Konsumsi Rata-Rata Pertumbuhan Rumah Tangga (%) Konsumsi Rumah Tangga (%) 1993 13,32 1994 24,01 1995 80,51 Sebelum Desentralisasi Fiskal 1996 22,04 19,38 1997 6,59 1998 2,40 1999 1,51 2000 4,68 2001 -1,43 2002 7,39 2003 8,78 Selama Desentralisasi Fiskal 2004 7,04 5,91 2005 6,12 2006 6,20 2007 7,26 Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).
Pendugaan model konsumsi rumah tangga didasarkan atas hipotesis yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Tingkat konsumsi rumah tangga diduga dipengaruhi oleh disposable income, jumlah populasi, suku bunga dan dummy desentralisasi fiskal. Variabel disposable income, jumlah populasi dan dummy desentralisasi berpengaruh positif sedangkan variabel suku bunga berpengaruh negatif terhadap konsumsi rumah tangga.
Nilai R2 dari model dugaan konsumsi rumah tangga ini sebesar 0,995. Artinya, model dugaan konsumsi rumah tangga ini dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya dengan baik. Konsumsi rumah tangga Kota Bogor secara signifikan dipengaruhi oleh disposable income dan dummy desentralisasi pada taraf nyata 5 persen. Tabel 5.2. Model Dugaan Konsumsi Rumah Tangga Kota Bogor Variabel Parameter Dugaan T-hitung Intersep -480304,0 -5,884 Pendapatan disposable 0,975069 11,133 Populasi 0,223374 0,727 Suku Bunga -1846,367 -1,344 Dummy desentralisasi -133327,4 -2,323 R2=0.995 R2-adj=0.993 F-hitung=491,765(0,000)
Peluang α 0,000 0,000* 0,484 0,209 0,043* DW=1,693
Pendapatan disposable berpengaruh positif terhadap konsumsi rumah tangga dengan nilai parameter dugaan sebesar 0,975069. Artinya, jika pendapatan disposable meningkat sebesar satu juta rupiah akan meningkatkan konsumsi rumah tangga sebesar 0,975069 juta rupiah (ceteris paribus). Pernyataan ini diperkuat dengan pola hubungan antara pendapatan disposable dan konsumsi rumah tangga yang menunjukkan bahwa pola hubungan yang positif terhadap konsumsi rumah tangga (Gambar 5.4). Scatterplot of CT vs Y d 3500000 3000000
CT
2500000 2000000 1500000 1000000
1000000
1500000
2000000
2500000 Yd
3000000
3500000
4000000
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.4. Pola Hubungan antara Pendapatan Disposable (Yd) dan Konsumsi Rumah Tangga (CT)
Variabel dummy desentralisasi menunjukkan pengaruh yang negatif. Artinya, konsumsi rumah tangga menurun selama desentralisasi fiskal. Kondisi ini terjadi diduga disebabkan oleh penurunan konsumsi rumah tangga pada tahun 2001. Selain itu, rata-rata pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada masa desentralisasi fiskal yang relatif lebih rendah dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Rata-rata pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebelum desentralisasi fiskal sebesar 19,38 persen sedangkan setelah desentralisasi fiskal sebesar 5,91 persen. Jika dilihat data perkembangan konsumsi rumah tangga sepanjang tahun 2001 hingga 2007 menunjukkan peningkatan. Peningkatan konsumsi rumah tangga ini diduga didorong oleh variabel lain, yaitu disposable income. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, variabel disposable income berpengaruh nyata dan positif terhadap konsumsi rumah tangga. Variabel suku bunga tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi rumah tangga. Hal ini diduga terjadi karena terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi keputusan konsumsi rumah tangga, seperti kebutuhan masyarakat, besarnya biaya kebutuhan pokok masyarakat, pendapatan masyarakat dan lain sebagainya.
5.1.1.2. Investasi Daerah Investasi
daerah
merupakan
salah
satu
instrumen
yang
dapat
mempengaruhi kinerja ekonomi daerah. Perkembangan investasi Kota Bogor berdasarkan harga konstan tahun 2000, sepanjang tahun 1993 hingga 2007 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2001, investasi daerah Kota Bogor sempat
mengalami peningkatan, namun sepanjang tahun 2001 hingga 2007 relatif menurun.
500000.00
I
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
0.00
1993
Juta Rupiah
1000000.00
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.5. Perkembangan Investasi Daerah
Laju pertumbuhan investasi daerah sepanjang tahun 1993 hingga 2007 relatif berfluktuasi. Rata-rata pertumbuhan investasi daerah selama desentralisasi fiskal lebih besar dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Rata-rata pertumbuhan investasi daerah selama desentralisasi fiskal sebesar 3,24 persen sedangkan sebelum desentralisasi fiskal hanya sebesar -3,59 persen. Tabel 5.3. Pertumbuhan Investasi Daerah Kota Bogor Tahun Pertumbuhan Investasi Rata-Rata Pertumbuhan Daerah (%) Investasi Daerah (%) 1993 -3,12 1994 -17,22 1995 34,12 Sebelum Desentralisasi Fiskal 1996 -24,09 -3,59 1997 -4,53 1998 -36,38 1999 16,39 2000 6,11 2001 32,10 2002 -5,68 2003 -8,35 Selama Desentralisasi Fiskal 2004 -8,18 3,24 2005 15,74 2006 2,02 2007 -4,95 Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).
Untuk melihat berbagai variabel yang mempengaruhi investasi daerah di Kota Bogor, maka dapat dilakukan pendugaan model investasi. Berdasarkan Tabel 5.4, investasi daerah Kota Bogor dipengaruhi secara signifikan oleh pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan pengeluaran pembangunan dan suku bunga pada taraf nyata 5 persen. Tabel 5.4. Model Dugaan Investasi Daerah Kota Bogor Variabel Penjelas Parameter T-hitung Dugaan Intersep 447089,4 4,627 Pertumbuhan ekonomi 1672,548 2,310 Pertumbuhan Pengeluaran pembangunan 646,4223 3,035 Suku bunga riil -10777,21 -2,515 Investasi tahun lalu 0,266685 2,232 Dummy desentralisasi -47831,76 -2,050 R2=0,843 R2-adj=0,756 F-hitung=9,675(0,002) DW=2,337
Peluang α 0,001 0,046* 0,014* 0,033* 0,053 0,071 h=-0,737
Variabel investasi daerah didorong oleh pertumbuhan ekonomi dengan dugaan parameter sebesar 1672,548. Jika pertumbuhan ekonomi meningkat satu persen, maka investasi daerah akan meningkat sebesar 1672,548 juta rupiah. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan investasi daerah yang cenderung positif (Gambar 5.6). Scatterplot of I vs G_PDRB 550000 500000 450000
I
400000 350000 300000 250000 200000 0
10
20
30 G_PDRB
40
50
60
70
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.6. Pola Hubungan antara Pertumbuhan PDRB (G_PDRB) dan Investasi Daerah (I)
Variabel pertumbuhan pengeluaran pembangunan berpengaruh positif terhadap investasi Kota Bogor dengan nilai dugaan parameter sebesar 646,4223. Artinya investasi di Kota Bogor didorong oleh pertumbuhan pengeluaran pembangunan. Semakin meningkat pertumbuhan pengeluaran pembangunan maka investasi daerah akan semakin meningkat pula. Jika pengeluaran pembangunan pemerintah daerah meningkat satu persen, maka investasi daerah pun akan meningkat sebesar 646,4223 juta rupiah. Scatterplot of I vs G_DE 550000 500000 450000
I
400000 350000 300000 250000 200000 -100
-50
0
50
100
150
G_DE
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.7. Pola Hubungan antara Pertumbuhan Pengeluaran Pembangunan (G_DE) dan Investasi Daerah (I)
Suku bunga berpengaruh negatif dengan nilai dugaan sebesar 10777,21. Artinya, jika suku bunga meningkat sebesar satu persen, maka investasi daerah akan berkurang sebesar 10777,21 juta rupiah. Berdasarkan hasil regresi model dugaan investasi daerah, variabel investasi tahun lalu dan dummy desentralisasi tidak berpengaruh nyata terhadap investasi daerah. Hal tersebut diduga terjadi karena terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi keputusan investor untuk berinvestasi di Kota Bogor, seperti prosedur birokrasi yang relatif panjang, kondisi perekonomian daerah, potensi daerah, kondisi masyarakat dan lain sebagainya. Lokasi instansi pemerintah daerah yang tidak terpusat di suatu tempat
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan panjangnya birokrasi untuk berinvestasi di Kota Bogor. Oleh karena itu, pelaksanaan desentralisasi fiskal tidak berpengaruh nyata terhadap investasi daerah.
5.1.1.3. Pengeluaran Pemerintah Komponen ketiga dalam analisis kinerja ekonomi Kota Bogor adalah pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah yang dianalisis merupakan semua pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah sehubungan dengan kegiatan operasionalnya. Perkembangan pengeluaran pemerintah sepanjang tahun 1993 hingga 2007 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada awal desentralisasi fiskal, pengeluaran pemerintah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan pengeluaran pemerintah ini sangat terkait dengan besarnya biaya
250000.00 200000.00 150000.00 100000.00 50000.00 0.00 2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
G
1993
Juta Rupiah
penyelenggaraan pemerintahan daerah pada masa desentralisasi fiskal.
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.8. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
Laju pertumbuhan pengeluaran pemerintah sepanjang tahun 1993 hingga 2007 relatif berfluktuasi. Pada tahun 2001, pertumbuhan pengeluaran pemerintah meningkat pesat hingga sebesar 141,00 persen. Pertumbuhan pengeluaran
pemerintah selama desentralisasi fiskal pun meningkat setiap tahunnya. Rata-rata pertumbuhan pengeluaran pemerintah selama desentralisasi fiskal relatif lebih tinggi yaitu 25,79 persen sedangkan sebelum desentralisasi fiskal hanya sebesar 12,29 persen. Tabel 5.5. Pertumbuhan Pengeluaran Pengeluaran Pemerintah Tahun Pertumbuhan Pengeluaran Rata-Rata Pertumbuhan Pemerintah (%) Pengeluaran Pemerintah (%) 1993 44,99 1994 -7,76 1995 4,37 Sebelum Desentralisasi fiskal 1996 28,13 12,29 1997 21,31 1998 -4,78 1999 16,70 2000 -4,66 2001 141,00 2002 11,24 2003 -1,51 Selama Desentralisasi fiskal 2004 19,91 25,79 2005 -8,65 2006 10,99 2007 7,56 Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).
Pengeluaran pemerintah yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah pengeluaran
untuk
konsumsi.
Berbagai
variabel
diduga
mempengaruhi
pengeluaran pemerintah daerah, oleh karena itu dirumuskan sebuah model untuk menggambarkan kondisi pengeluaran pemerintah daerah. Pengeluaran pemerintah diduga dipengaruhi oleh PDRB, pendapatan asli daerah, inflasi dan dummy desentralisasi. Berdasarkan hasil regresi model dugaan pengeluaran pemerintah, variabel PDRB dan dummy desentralisasi berpengaruh signifikan terhadap pengeluaran pemerintah.
Tabel 5.6. Model Dugaan Pengeluaran Pemerintah Daerah Kota Bogor Variabel Penjelas Parameter Dugaan T-hitung Peluang α Intersep -7617,882 -0,398 0,699 PDRB 0,028399 3,926 0,003* Pendapatan asli daerah -0,078807 -0,184 0,858 Inflasi -33,27183 -0,126 0,902 Dummy desentralisasi 100198,8 9,002 0,000* R2=0,977 R2-adj=0,967 F-hitung=104,962(0,000) DW=1,582
Variabel PDRB berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah dengan nilai dugaan parameter sebesar 0,028399. Artinya, jika PDRB meningkat satu juta rupiah, maka pengeluaran pemerintah pun akan meningkat sebesar 0,028399 juta rupiah. Pernyataan ini diperkuat dengan pola hubungan antara PDRB dan pengeluaran pemerintah yang cenderung positif (Gambar 5.9). Variabel dummy desentralisasi secara signifikan mempengaruhi pengeluaran pemerintah pada taraf kepercayaan 5 persen. Variabel dummy desentralisasi yang secara signifikan berpengaruh positif, artinya pengeluaran pemerintah semakin meningkat sejak diberlakukannya desentralisasi fiskal. Scatterplot of G vs PDRB 225000 200000 175000
G
150000 125000 100000 75000 50000 1000000
1500000
2000000
2500000 PDRB
3000000
3500000
4000000
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.9. Pola Hubungan antara PDRB dan Pengeluaran Pemerintah (G)
Variabel pendapatan asli daerah dan inflasi tidak berpengaruh nyata terhadap pengeluaran pemerintah daerah. Peningkatan PAD tidak berpengaruh
terhadap pengeluaran pemerintah. Hal ini diduga terjadi karena keputusan pengeluaran pemerintah lebih dipengaruhi oleh kebutuhan daerah. Semakin meningkat kondisi perekonomian daerah maka kebutuhan daerah pun akan semakin meningkat. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah secara nyata dipengaruhi oleh PDRB Kota Bogor. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara pendapatan asli daerah dan pengeluaran pemerintah yang cenderung tidak berpola dan acak (Gambar 5.10) sedangkan pola hubungan antara PDRB dan pengeluaran pemerintah cenderung positif (Gambar 5.9). Scatterplot of G vs LOR 225000 200000 175000
G
150000 125000 100000 75000 50000 15000
20000
25000
30000 LOR
35000
40000
45000
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.10. Pola Hubungan antara Pendapatan Asli Daerah (LOR) dan Pengeluaran Pemerintah (G)
Selain itu, variabel inflasi tidak berpengaruh terhadap pengeluaran pemerintah. Hal ini diduga terjadi karena pengeluaran pemerintah daerah sebagian besar digunakan untuk pengeluaran rutin, terutama pengeluaran belanja pegawai. Oleh karena itu, walaupun inflasi daerah mengalami peningkatan atau penurunan, pengeluaran pemerintah akan tetap dilakukan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah.
5.2.
Pendapatan Daerah Kota Bogor Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan cerminan
dari program-program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah selama periode waktu tertentu. APBD dijadikan sebagai acuan bagi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan. Pada masa desentralisasi fiskal, terjadi pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. pemerintah daerah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan tugas daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini ditegaskan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang keuangan daerah yang menyatakan bahwa penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan DPRD dibiayai dari dan atas beban Anggaran
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
800000.00 700000.00 600000.00 500000.00 400000.00 300000.00 200000.00 100000.00 0.00 1993
Juta Rupiah
Pendapatan dan Belanja Daerah.
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.11. Total Pendapatan Daerah Kota Bogor Tahun 1993-2007
Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa total pendapatan daerah Kota Bogor sepanjang tahun 1993 hingga 2007 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal (1993-2000) total pendapatan
Kota Bogor relatif rendah, yaitu di bawah 100.000,00 juta rupiah. Total pendapatan daerah pada tahun 1993 sebesar 25.990,17 juta rupiah dan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya hingga sebesar 86.884,82 juta rupiah tahun 2000. Pelaksanaan desentralisasi fiskal merupakan penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan potensial yang ada di daerahnya. Pemberlakuan desentralisasi fiskal memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Untuk itu, dilaksanakan anggaran berbasis kinerja, yang menuntut pemerintah daerah untuk dapat membangun dan memajukan masyarakat atas kemampuannya sendiri dan berusaha mengatasi hambatan dan kelemahan yang dihadapi dalam menangkap dan memanfaatkan peluang yang tersedia. Berdasarkan prinsip tersebut, maka pemerintah daerah berusaha untuk mengoptimalkan pendapatan daerahnya berdasarkan potensi yang ada di daerah. Sejak
pelaksanaan desentralisasi
fiskal,
total pendapatan daerah
mengalami peningkatan yang sangat pesat. Pada tahun 2000, total pendapatan daerah hanya sebesar 86.884,82 juta rupiah dan mengalami peningkatan hingga sebesar 232.806,15 juta rupiah pada tahun 2001. Pada tahun 2001, pendapatan daerah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, yaitu sebesar 167,95 persen. Sejak tahun 2001, total pendapatan daerah Kota Bogor semakin meningkat dari tahun ke tahun. Total pendapatan daerah yang diperoleh Kota Bogor pada tahun 2002 sebesar 289.468,15 juta rupiah dan terus meningkat hingga sebesar 707.545,38 juta rupiah pada tahun 2007.
5.2.1. Perkembangan Komponen Pendapatan Daerah Kota Bogor Struktur APBD Kota Bogor terdiri atas dua bagian, yaitu : pendapatan daerah dan pengeluaran daerah. Berbagai sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang tercantum dalam pendapatan daerah, antara lain : sisa lebih APBD tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan pendapatan lainnya yang sah. PAD merupakan pendapatan yang diperoleh daerah berdasarkan sumber-sumber yang terdapat di wilayahnya. Komponen PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, laba usaha daerah dan lain-lain PAD yang sah. Dana perimbangan merupakan pendapatan daerah yang berasal dari APBN, terdiri dari dana bagi hasil dan dana transfer. Dana bagi hasil tersebut terdiri dari dana bagi hasil pajak dan bukan pajak sedangkan dana transfer yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penjumlahan dari dana alokasi umum
400000.00 350000.00 300000.00 250000.00 200000.00 150000.00 100000.00 50000.00 0.00
PAD SHR
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
TRSF
1993
Juta Rupiah
dan dana alokasi khusus.
Sumber : BPS Kota Bogor (1993-2007), diolah Gambar 5.12. Perkembangan Komponen Pendapatan Daerah Kota Bogor Tahun 1993-2007
Gambar 5.12 menunjukkan perkembangan PAD, dana bagi hasil dan dana transfer yang diperoleh Kota Bogor selama tahun 1993 hingga 2007. Ketiga
komponen tersebut rata-rata mengalami peningkatan setiap tahunnya, terutama sejak diberlakukannya desentralisasi fiskal. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal telah mendorong pendapatan daerah yang berasal dari PAD, dana bagi hasil dan dana transfer dengan proporsi yang berbeda pada setiap komponennya. Salah satu sumber pendapatan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) sepanjang tahun 1993 hingga 2000 mengalami fluktuasi (Gambar 5.12). Pada tahun 1993, PAD Kota Bogor sebesar 11.166,51 juta rupiah dan terus meningkat hingga sebesar 24.089,07 juta rupiah pada tahun 1997. Sejak tahun 1998 hingga 2000, jumlah PAD yang diperoleh Kota Bogor mengalami penurunan. Pendapatan PAD yang diperoleh pada tahun 1998 hanya sebesar 19.971,60 juta rupiah dan terus menurun hingga sebesar 16.059,46 juta rupiah pada tahun 2000. Pendapatan asli daerah yang diperoleh Kota Bogor tahun 2001 sebesar 26.787,46 juta rupiah. Nilai PAD ini mengalami peningkatan cukup pesat jika dibandingkan tahun 2000. Sejak pemberlakuan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki keleluasaan untuk meningkatkan pendapatan daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal dimanfaatkan oleh pemerintah Kota Bogor untuk menetapkan sejumlah peraturan daerah guna meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Pada awal desentralisasi fiskal, PAD Kota Bogor sebesar 26.787,46 juta rupiah dan terus meningkat hingga 79.818,13 juta rupiah pada tahun 2007.
Komponen PAD, baik sebelum atau selama penetapan desentralisasi fiskal, tidak mengalami banyak perubahan. Komponen pendapatan dari PAD terdiri dari empat, yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah, dan lain-lain PAD yang sah (hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan, penjualan kendaraan bermotor, penjualan milik daerah lainnya dan jasa giro). Sepanjang tahun 1993 hingga 2007, pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari pajak daerah setiap tahunnya mengalami peningkatan, sedangkan retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan bagian lain-lain PAD yang sah mengalami fluktuasi (Gambar 5.13).
Juta Rupiah
40000.00 30000.00
Pajak Retribusi
20000.00
Laba BUMD 10000.00
Lain-lain PAD yang sah 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
0.00
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.13. Perkembangan Komponen Pendapatan Asli Daerah Kota Bogor Tahun 1993-2007
PAD Kota Bogor sebagian besar bersumber dari pajak dan retribusi daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal, mendorong pemerintah daerah memanfaatkan kewenangan yang dimilikinya untuk menggali potensi daerah dalam bentuk pajak dan retribusi daerah. Pemerintah daerah memiliki keleluasaan dalam menentukan jenis dan besarnya pungutan pajak dan retribusi daerah serta mengelola perusahaan daerah. Kewenangan dalam menentukan jenis dan besarnya
pungutan pajak dan retribusi daerah ini diharapkan tidak menimbulkan biaya ekonomi tinggi yang berdampak pada perekonomian daerah. Sejak penetapan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah Kota Bogor melaksanakan pemungutan terhadap 6 (enam) jenis pajak, yang terdiri dari pajak penerangan jalan, pajak restoran, pajak hotel, pajak parkir, pajak reklame dan pajak hiburan. Di sisi lain, pungutan retribusi daerah dilakukan terhadap 30 (tiga puluh) jenis retribusi. Berbagai peraturan daerah mengenai pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan oleh pemerintah daerah pada era desentralisasi fiskal, maka tidak heran jika pendapatan daerah yang berasal dari pajak dan retribusi memiliki kontribusi yang besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat pula bahwa kontribusi ketiga terhadap PAD adalah lain-lain PAD yang sah. Di sisi lain, kontribusi bagian laba usaha daerah memberikan kontribusi paling rendah terhadap PAD. Hal ini menunjukkan bahwa kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah pada masa desentralisasi fiskal telah mendorong peningkatan PAD yang bersumber dari pajak dan retribusi daerah akan tetapi pemerintah Kota Bogor masih belum berhasil meningkatkan pendapatannya yang bersumber dari laba usaha daerah. Fenomena ini terjadi disebabkan oleh skala usaha dari perusahaan daerah yang relatif masih kecil, pengelolaan perusahaan daerah yang dinilai kurang efektif dan efisien dan prioritas pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat sehingga kontribusinya terhadap PAD relatif rendah. Sebagai contoh, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Bogor masih belum mampu memberikan pelayanannya kepada seluruh masyarakat Kota Bogor.
Pelayanan PDAM saat ini hanya dapat dimanfaatkan oleh 47 persen penduduk Kota Bogor. Komponen kedua dari total pendapatan daerah menurut APBD adalah dana perimbangan. Dana perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk pelaksanaan pemerintahan daerah yang terdiri dari dana bagi hasil dan dana transfer. Dana bagi hasil merupakan penerimaan daerah dari penerimaan pajak dan penerimaan dari sumber daya alam. Dana bagi hasil merupakan alokasi yang berdasarkan potensi daerah penghasil sedangkan dana transfer merupakan dana yang ditransfer oleh pemerintah pusat yang bertujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah. Potensi daerah yang rendah serta kebutuhan daerah yang besar merupakan faktor yang mempengaruhi besarnya dana transfer yang diperoleh suatu daerah. Perkembangan dana bagi hasil dan dana transfer yang diperoleh Kota Bogor pada masa sebelum desentralisasi fiskal mengalami peningkatan setiap tahunnya, kecuali tahun 2000. Pendapatan dana bagi hasil tahun 1993 sebesar 2.229,70 juta rupiah dan terus meningkat hingga sebesar 13.622,75 juta rupiah pada tahun 1999. Dana transfer yang diperoleh Kota Bogor pada tahun 1993 sebesar 10.452,39 juta rupiah dan terus meningkat hingga 56.842,77 juta rupiah pada tahun 1999. Dana bagi hasil dan dana transfer yang diperoleh Kota Bogor tahun 2000 mengalami penurunan, yaitu sebesar 13.547,20 juta rupiah dan 51.092,90 juta rupiah. Tidak hanya PAD, pendapatan daerah yang bersumber dari dana bagi hasil dan dana transfer pun mengalami peningkatan pada masa desentralisasi fiskal.
Dana transfer yang diperoleh Kota Bogor merupakan komponen pendapatan daerah yang mengalami peningkatan sangat pesat. Pada tahun 2001, dana transfer yang diperoleh Kota Bogor sebesar 161.025,02 juta rupiah sedangkan dana transfer yang diperoleh pada tahun 2000 hanya sebesar 51.092,90 juta rupiah. Peningkatan dana transfer ini berkaitan dengan diselenggarakannya desentralisasi fiskal. Pelaksanaan desentralisasi fiskal menyebabkan beban pengeluaran pemerintah daerah semakin meningkat. Fenomena ini terjadi karena adanya pelimpahan pegawai dari Departemen dan kantor wilayah yang beralih status menjadi pegawai Pemerintah Kota Bogor akibat adanya kebijakan pemerintah pusat dan pemberlakuan desentralisasi fiskal serta adanya kebijakan kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) melalui Keppres Nomor 64 Tahun 2001 tentang gaji pokok PNS. Pelimpahan pegawai ini menyebabkan pengeluaran pemerintah daerah meningkat pesat, oleh karena itu pemerintah pusat meningkatkan alokasi dana perimbangan (dana alokasi umum) kepada pemerintah daerah. Peningkatan dana transfer ini lah yang menyebabkan total pendapatan daerah pada masa desentralisasi fiskal meningkat tajam.
5.2.2. Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Kota Bogor Pendapatan utama yang sering kali menjadi parameter untuk menentukan derajat desentralisasi fiskal yang dimiliki oleh suatu daerah adalah pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah, yaitu pendapatan yang diterima yang berasal dari sumber-sumber yang dikelola oleh pemerintah daerah itu sendiri. Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan dana bagi hasil merupakan faktor penting bagi kemampuan daerah dalam melaksanakan pemerintahan daerah. Tingkat kemampuan daerah tercermin dari kontribusi pendapatan daerah sendiri (PAD dan dana bagi hasil) terhadap total pendapatan daerah. Besarnya nilai rasio pendapatan daerah sendiri menunjukkan tingkat kemandirian keuangan daerah. Sepanjang tahun 1993 hingga tahun 2007, kontribusi pendapatan daerah sendiri terhadap total pendapatan daerah berkisar antara 26,36 persen hingga 51,54 persen. 80 70 60 50 40 30 20 10 0
R_LOSHR R_TRSF
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah) Gambar 5.14. Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Kota Bogor
Pendapatan daerah Kota Bogor sebagian besar berasal dari dana transfer. Sejak tahun 1997, kontribusi dana transfer terhadap total pendapatan daerah relatif lebih besar dan meningkat setiap tahunnya, yaitu berkisar antara 29,33 persen hingga 69,17 persen (Gambar 5.14). Peningkatan rasio dana transfer tertinggi terjadi pada tahun 2001. Sepanjang tahun 2001 hingga 2007, kontribusi dana transfer terhadap pendapatan daerah mengalami penurunan. Pada studi kasus kota Bogor ini, walaupun pemerintah Kota Bogor telah berhasil meningkatkan PAD dan dana bagi hasil, namun beban pemerintah daerah akibat desentralisasi fiskal meningkat sangat pesat sehingga kontribusi pendapatan
daerah sendiri terhadap APBD pada era desentralisasi fiskal relatif lebih rendah. Selang tertinggi antara rasio pendapatan daerah sendiri dan rasio dana transfer terjadi pada tahun 2001. Hal ini terjadi karena dana transfer yang diperoleh Kota Bogor meningkat tajam akibat pelimpahan pegawai. Sejak tahun 2002 hingga 2007 selang antara kedua rasio tersebut semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi pendapatan daerah sendiri terhadap total pendapatan daerah meningkat sedangkan kontribusi dana transfer relatif menurun. Artinya pada masa desentralisasi fiskal, tingkat kemampuan keuangan daerah Kota Bogor cenderung meningkat.
5.2.3. Potensi Keuangan Daerah Pelaksanaan
desentralisasi
fiskal
memberikan
kewenangan
bagi
pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah. Kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dimanfaatkan untuk membuat kebijakan dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah, seperti kebijakan peningkatan PAD, dana bagi hasil dan dana transfer. Potensi keuangan yang dianalisis dalam model dugaan terdiri dari pajak daerah, retrubusi daerah, laba usaha daerah, dana bagi hasil dan dana transfer.
5.2.3.1. Pajak Daerah Pajak merupakan salah satu komponen PAD Kota Bogor. Kota Bogor melakukan pungutan terhadap enam jenis pajak, yang dari hasil pemungutan pajak tersebut diharapkan dapat membiayai tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan di Kota Bogor dalam rangka mencapai masyarakat adil dan makmur. Pendapatan pajak daerah Kota Bogor sepanjang tahun 1993 hingga 2007 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tabel 5.7. Perkembangan Pajak Daerah Kota Bogor Tahun Pajak Daerah (Juta Rupiah) 1993 1.926,36 1994 2.759,52 1995 3.713,92 1996 4.906,46 1997 5.926,39 1998 5.691,48 1999 7.398,62 2000 7.638,15 2001 12.668,42 2002 14.635,49 2003 17.881,73 2004 20.962,98 2005 27.289,32 2006 32.238,37 2007 37.504,97 Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).
Pertumbuhan (%) 43,25 34,59 32,11 20,79 -3,96 29,99 3,24 65,86 15,53 22,18 17,23 30,18 18,14 16,34
Komponen pajak merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang mengalami peningkatan cukup signifikan pada masa desentralisasi fiskal. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal, pajak daerah Kota Bogor berkisar antara 1.926,36 juta rupiah hingga 7.638,15 juta rupiah sedangkan pada masa desentralisasi fiskal berkisar antara 12.668,42 juta rupiah hingga 37.504,97 juta rupiah. Pada tahun 2000, pajak daerah yang diperoleh Kota Bogor sebesar 7.638,15 juta rupiah dan meningkat hingga sebesar 12.668,42 juta rupiah dengan laju pertumbuhan sebesar 65,86 persen pada tahun 2001. Untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi pajak daerah di Kota Bogor, maka dirumuskan model dugaan pajak daerah. Berbagai variabel yang
diduga mempengaruhi pajak daerah antara lain : PDRB per kapita, jumlah populasi, inflasi, jumlah hotel dan dummy desentralisasi. Hasil regresi model dugaan pajak daerah terlihat pada Tabel 5.8 di bawah ini : Tabel 5.8. Model Dugaan Pajak Daerah Kota Bogor Variabel Parameter Dugaan T-hitung Peluang α Intersep -15211,85 -3,818 0,004 PDRB per kapita 3819,073 4,616 0,001* Populasi 0,014829 4.628 0,001* Inflasi -26,54479 -1,311 0,222 Jumlah Kamar Hotel 0,530458 0,290 0,778 Dummy desentralisasi 1024,239 0,969 0,358 2 2 R =0,965 R -adj=0,946 F-hitung=50,173(0,000) DW=1,571
Hasil pengolahan model dugaan pajak daerah menunjukkan bahwa penerimaan pajak daerah di Kota Bogor secara signifikan dipengaruhi oleh PDRB per kapita dan jumlah populasi pada taraf nyata 5 persen (Tabel 5.8). Variabel PDRB per kapita berpengaruh positif terhadap pajak daerah. Artinya, jika PDRB per kapita meningkat satu juta rupiah, maka pajak daerah akan meningkat sebesar 3819,073 juta rupiah. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara PDRB per kapita dan pajak daerah yang secara nyata menunjukkan pola hubungan yang cenderung positif. Scatterplot of TAX vs PDRBC 17500
15000
TAX
12500
10000
7500
5000 3.2
3.4
3.6
3.8
4.0 PDRBC
4.2
4.4
4.6
4.8
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.15. Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Pajak Daerah (TAX)
Tidak hanya variabel PDRB per kapita saja yang berpengaruh positif, variabel populasi pun berpengaruh positif dan nyata terhadap pajak daerah dengan nilai parameter dugaan sebesar 0,014829. Artinya, jika terjadi peningkatan populasi sebanyak satu orang, maka pajak daerah akan meningkat sebesar 0,014829 juta rupiah. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara populasi dan pajak daerah yang menunjukkan hubungan yang cenderung positif (Gambar 5.16). Scatterplot of TAX vs POP 17500
15000
TAX
12500
10000
7500
5000 200000
300000
400000
500000
600000 POP
700000
800000
900000
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.16. Pola Hubungan antara Populasi (POP) dan Pajak Daerah (TAX)
Variabel inflasi, jumlah kamar hotel dan dummy desentralisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap pajak daerah. Inflasi daerah tidak berpengaruh nyata terhadap pajak daerah. Hal ini diduga terjadi karena pajak merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh badan atau pribadi kepada daerah. Oleh karena itu walaupun tingkat inflasi daerah mengalami peningkatan atau penurunan, para wajib pajak tetap harus membayar pajak daerah kepada pemerintah daerah. Tidak hanya itu, pelaksanaan desentralisasi fiskal tidak berpengaruh secara nyata terhadap pajak daerah. Peningkatan pajak daerah pada masa desentralisasi fiskal lebih dipengaruhi oleh peningkatan PDRB per kapita dan populasi.
5.1.3.2. Retribusi Daerah Retribusi daerah merupakan komponen kedua yang memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan asli daerah Kota Bogor. Pendapatan retribusi daerah Kota Bogor pada masa sebelum desentralisasi fiskal berfluktuasi, berkisar antara 5.998,02 juta rupiah hingga 12.100,14 juta rupiah. Retribusi daerah Kota Bogor pada masa desentralisasi fiskal mengalami peningkatan yang cukup pesat. Retribusi daerah pada tahun 2000 sebesar 7.638,15 juta rupiah dan meningkat hingga sebesar 12.668,42 juta rupiah dengan pertumbuhan sebesar 54,21 persen pada tahun 2001. Tabel 5.9. Perkembangan Retribusi Daerah Kota Bogor Tahun Retribusi Daerah (Juta Rupiah) 1993 5.998,02 1994 7.611,80 1995 9.647,13 1996 11.277,00 1997 12.100,14 1998 7.859,63 1999 7.675,35 2000 7.276,74 2001 11.221,26 2002 12.823,88 2003 18.736,97 2004 22.557,86 2005 23.951,25 2006 27.284,33 2007 28.319,58 Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).
Pertumbuhan (%) 26,91 26,74 16,89 7,30 -35,05 -2,34 -5,19 54,21 14,28 46,11 20,39 6,18 13,92 3,79
Untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi retribusi daerah, maka dirumuskan model dugaan retribusi daerah. Model dugaan retribusi daerah dipengaruhi oleh PDRB per kapita, inflasi, jumlah wisatawan, retribusi tahun lalu dan dummy desentralisasi. Nilai R2 dan R2–adj sebesar 0,959 dan 0,936 (Tabel
5.10). Nilai ini menunjukkan bahwa model dugaan retribusi daerah tersebut sangat baik menginterpretasikan kondisi yang sebenarnya. Retribusi daerah secara signifikan dipengaruhi oleh inflasi daerah, jumlah wisatawan dan penerimaan retribusi tahun lalu pada taraf nyata sebesar 5 persen. Tabel 5.10. Model Dugaan Retribusi Daerah Kota Bogor Variabel Parameter Dugaan T-hitung P-value Intersep -1869,160 -0,586 0,572 PDRB per kapita -673,2295 -0,846 0,419 Inflasi -248,6573 -8,875 0,000* Jumlah wisatawan 0,003382 3,689 0,005* Retribusi tahun lalu 1,116110 12,471 0,000* Dummy desentralisasi fiskal 1643,328 2,047 0,071 2 2 R =0,959 R -adj=0,936 F-hitung=41,691(0,000) DW=2,743 h=-1,535
Variabel jumlah wisatawan dan retribusi daerah tahun lalu berpengaruh positif terhadap retribusi daerah dengan nilai dugaan parameter sebesar 0,003382 dan 1,116110. Artinya jika terjadi peningkatan jumlah wisatawan sebanyak satu orang (ceteris paribus), maka pendapatan retribusi daerah Kota Bogor akan meningkat sebesar 0,003382 juta rupiah. Pernyataan ini diperkuat dengan pola hubungan antara jumlah wisatawan dengan retribusi daerah yang cenderung positif (Gambar 5.16). Scatterplot of NTAX vs REC 22000 20000 18000
NTAX
16000 14000 12000 10000 8000 6000 1000000
1200000
1400000
1600000 REC
1800000
2000000
2200000
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.17. Pola Hubungan antara Jumlah Wisatawan (REC) dan Retribusi Daerah (NTAX)
Begitu pula variabel retribusi daerah tahun lalu yang berpengaruh positif terhadap retribusi daerah. Peningkatan retribusi daerah tahun lalu (tahun ke t-1) akan mendorong peningkatan retribusi yang diperoleh Kota Bogor saat ini (tahun ke-t) (ceteris paribus). Variabel inflasi berpengaruh negatif terhadap retribusi daerah dengan nilai parameter dugaan sebesar -248,6573. Hal ini berarti bahwa jika inflasi meningkat sebesar satu persen, maka jumlah penerimaan retribusi daerah akan menurun sebesar 248,6573 juta rupiah. Pernyataan ini diperkuat dengan pola hubungan antara inflasi dan retribusi daerah yang cenderung negatif (gambar 5.18). Scatterplot of NTAX vs INF 22000 20000 18000
NTAX
16000 14000 12000 10000 8000 6000 0
10
20
30 INF
40
50
60
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.18. Pola Hubungan antara Inflasi (INF) dan Retribusi Daerah (NTAX)
Kondisi ini berbanding terbalik dengan hipotesis semula. Hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh inflasi yang akan mengurangi kecenderungan masyarakat untuk memanfaatkan jasa pemerintah daerah. Sebagaimana diketahui bahwa retribusi daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Kenaikan inflasi ini menyebabkan masyarakat Kota Bogor mengurangi konsumsi atas jasa yang
disediakan dan diberikan oleh pemerintah, seperti jasa atas tempat rekreasi dan olah raga, sehingga mengurangi pendapatan daerah yang bersumber dari retribusi daerah. Variabel PDRB per kapita tidak berpengaruh nyata terhadap retribusi daerah pada taraf nyata 5 persen. Hal ini diduga terjadi karena peningkatan PDRB per kapita tidak serta-merta mendorong masyarakat untuk meningkatkan konsumsinya atas jasa publik dan pemberian ijin yang disediakan oleh pemerintah Kota Bogor. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara PDRB per kapita dengan retribusi daerah dimana pola tersebar acak dan tidak berpola (Gambar 5.19). Selain itu, pelaksanaan desentralisasi fiskal tidak serta-merta meningkatkan retribusi daerah. Peningkatan retribusi daerah pada masa desentralisasi fiskal lebih didorong oleh faktor-faktor lain seperti jumlah wisatawan dan lain sebagainya. Scatterplot of NTAX vs PDRBC 22000 20000 18000
NTAX
16000 14000 12000 10000 8000 6000 3.2
3.4
3.6
3.8
4.0 PDRBC
4.2
4.4
4.6
4.8
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.19. Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Retribusi Daerah (NTAX)
5.2.3.3. Laba Perusahaan Daerah Kota Bogor memiliki tiga perusahaan daerah yang memberikan pelayanan kepada masyarakat pada umumnya. Perusahaan daerah yang dimiliki Kota Bogor antara lain : Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Pakuan, Perusahaan
Daerah Bank Pasar dan Perusahaan Daerah Transportasi. Pengelolaan perusahaan daerah tersebut harus dilakukan secara efektif dan efisien untuk menghasilkan kinerja perusahaan daerah yang baik. Tabel 5.11. Perkembangan Laba Perusahaan Daerah Kota Bogor Tahun Laba Perusahaan Daerah (Juta Rupiah) Pertumbuhan (%) 1993 1.168,32 1994 1.562,85 33,77 1995 1.552,94 -0,63 1996 1.777,49 14,46 1997 1.866,64 5,02 1998 1.274,85 -31,70 1999 778,96 -38,90 2000 693,81 -10,93 2001 1.528,04 120,24 2002 1.771,93 15,96 2003 980,42 -44,67 2004 718,58 -26,71 2005 3.652,55 408,30 2006 4.266,52 16,81 2007 5.391,23 26,36 Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).
Laba perusahaan daerah merupakan komponen PAD yang mengalami fluktuasi sepanjang tahun 1993 hingga 2007. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal, laba perusahaan daerah Kota Bogor relatif rendah, yaitu berkisar antara 693,81 juta rupiah hingga 1.866,64 juta rupiah. Pada tahun 2000, laba perusahaan daerah Kota Bogor sebesar 693,81 juta rupiah dan mengalami peningkatan hingga sebesar 1.528,04 juta rupiah pada tahun 2001. Laba perusahaan daerah selama desentralisasi fiskal mengalami fluktuasi namun relatif lebih besar dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Laba perusahaan daerah lebih didorong oleh kinerja perusahaan daerah itu sendiri.
Berbagai variabel diduga mempengaruhi laba bersih perusahaan daerah, antara lain PDRB per kapita, suku bunga, jumlah konsumsi air minum, laba perusahaan daerah tahun lalu dan dummy desentralisasi. Model dugaan laba perusahaan daerah berdasarkan Tabel 5.12 menunjukkan bahwa laba perusahaan daerah secara signifikan dipengaruhi oleh laba perusahaan daerah tahun lalu pada taraf nyata 5 persen. Tabel 5.12. Model Dugaan Laba Perusahaan Daerah Kota Bogor Variabel Penjelas Parameter T-hitung Peluang α Dugaan Intersep -1189,814 -0,480 0,643 PDRB per kapita 734,2023 1,461 0,178 Suku bunga 9,142051 0,496 0,632 Jumlah konsumsi air minum -0,000071 -0,914 0,385 Laba perusahaan daerah tahun lalu 0,768155 3,129 0,012* Dummy desentralisasi 257,8184 0,305 0,767 R2=0,715 R2-adj=0,556 F-hitung=4,497(0,025) DW=1,940 h=0,378
Variabel laba perusahaan daerah tahun lalu berpengaruh positif terhadap laba perusahaan daerah dengan nilai parameter sebesar 0,768155. Artinya, kenaikan laba perusahaan daerah tahun lalu (t-1) akan mendorong perusahaan daerah meningkatkan laba usaha daerah tahun ke-t (ceteris paribus). Kondisi ini sesuai dengan hipotesis yang dipaparkan sebelumnya. Variabel PDRB per kapita tidak berpengaruh nyata terhadap laba perusahaan daerah pada taraf nyata 5 persen. Hal ini diduga terjadi karena tidak semua masyarakat Kota Bogor memanfaatkan pelayanan dan jasa yang disediakan oleh perusahaan daerah. Sebagai contoh, perusahaan daerah air minum (PDAM) hingga saat ini hanya mampu memberikan pelayanannya kepada 47 persen masyarakat Kota Bogor. Selain itu, peningkatan PDRB per kapita tidak serta-
merta mendorong masyarakat untuk meningkatkan konsumsi air minum. Oleh karena itu, peningkatan PDRB per kapita tidak berpengaruh nyata terhadap laba perusahaan daerah. Pernyataan ini diperkuat dengan pola hubungan antara PDRB per kapita dan laba perusahaan daerah yang tidak berpola dan acak. Scatterplot of PRFT vs PDRBC 3500 3000
PRFT
2500 2000 1500 1000 500 3.2
3.4
3.6
3.8
4.0 PDRBC
4.2
4.4
4.6
4.8
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.20. Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Laba Perusahaan Daerah (PRFT)
Variabel suku bunga, jumlah konsumsi air minum dan dummy desentralisasi tidak berpengaruh nyata terhadap laba perusahaan daerah pada taraf nyata 5 persen. Hal ini diduga terjadi karena skala usaha perusahaan daerah yang relatif kecil. Skala usaha yang kecil menyebabkan pengelolaan perusahaan daerah menjadi kurang efektif dan efisien sehingga peningkatan suku bunga dan jumlah air minum tidak mampu meningkatkan laba perusahaan daerah karena biaya pengelolaan perusahaan daerah yang relatif lebih besar. Selain skala usaha yang kecil, prioritas pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat Kota Bogor merupakan salah satu alasan variabel suku bunga, konsumsi air minum dan dummy desentralisasi fiskal tidak berpengaruh nyata terhadap laba perusahaan daerah serta rendahnya laba usaha daerah.
5.2.3.4. Dana Bagi Hasil Dana bagi hasil yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah dana bagi hasil pajak dan bukan pajak. Dana bagi hasil yang diperoleh Kota Bogor sepanjang tahun 1993 hingga 2000 relatif rendah, yaitu berkisar antara 2.229,70 juta rupiah hingga 13.547,20 juta rupiah. Sejak pelaksanaan desentralisasi fiskal, dana bagi hasil yang diperoleh Kota Bogor meningkat pesat hingga sebesar 36.097,20 juta rupiah dan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya hingga sebesar 141.210,73 juta rupiah pada tahun 2007. Tabel 5.13. Perkembangan Dana Bagi Hasil Kota Bogor Tahun Dana Bagi Hasil (Juta Rupiah) 1993 2.229,70 1994 2.845,94 1995 3.126,79 1996 5.772,58 1997 7.405,61 1998 10.613,87 1999 13.622,75 2000 13.547,20 2001 36.097,20 2002 45.118,73 2003 84.484,22 2004 111.650,47 2005 126.193,63 2006 153.577,12 2007 141.210,73 Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).
Pertumbuhan (%) 27,64 9,87 84,62 28,29 43,32 28,35 -0,55 166,45 24,99 87,25 32,16 13,03 21,70 -8,05
Untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi dana bagi hasil yang diperoleh Kota Bogor, maka dilakukan perumusan model dugaan dana bagi hasil. Model dana bagi hasil pajak dan atau bukan pajak diduga dipengaruhi oleh PDRB per kapita, jumlah kendaraan bermotor, inflasi dan dummy desentralisasi. Nilai R2 model dugaan dana bagi hasil sebesar 0,921 yang berarti bahwa model tersebut
cukup baik menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Tabel 5.14 menunjukkan bahwa dana bagi hasil secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah kendaraan bermotor dan dummy desentralisasi pada taraf nyata 5 persen. Tabel 5.14. Model Dugaan Dana Bagi Hasil Kota Bogor Variabel Penjelas Parameter Dugaan T-hitung Peluang α Intersep -281,7277 -0,011 0,992 PDRB per kapita 1635,645 0,231 0,822 Jumlah Kendaraan Bermotor 0,232348 2,805 0,019* Inflasi 28,72504 0,145 0,887 Dummy desentralisasi 31063,64 3,862 0,003* R2=0,921 R2-adj=0,890 F-hitung=29,224(0,000) DW=1,248
Nilai parameter dugaan jumlah kendaraan bermotor sebesar 0,232348. Nilai parameter dugaan tersebut memiliki arti bahwa dalam kondisi ceteris paribus, peningkatan jumlah kendaraan bermotor sebesar satu unit akan meningkatkan dana bagi hasil pajak dan bukan pajak sebesar 0,232348 juta rupiah. Pernyataan ini diperkuat dengan pola hubungan antara jumlah kendaraan bermotor dengan dana bagi hasil pada Gambar 5.21. Pola hubungan antara jumlah kendaraan bermotor terhadap dana bagi hasil yang diperoleh Kota Bogor cenderung positif. Scatterplot of SHR vs VEH 80000 70000 60000
SHR
50000 40000 30000 20000 10000 0 0
50000
100000 VEH
150000
200000
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.21. Pola Hubungan antara Jumlah Kendaraan Bermotor (VEH) dan Dana Bagi Hasil (SHR)
Tidak hanya jumlah kendaraan bermotor, variabel dummy desentralisasi fiskal pun berpengaruh positif dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Hal ini berarti bahwa pendapatan daerah Kota Bogor yang berasal dari dana bagi hasil semakin meningkat sejak dilaksanakannya desentralisasi fiskal. Berdasarkan hasil regresi dana bagi hasil, variabel PDRB per kapita tidak berpengaruh nyata terhadap dana bagi hasil pada taraf nyata 5 persen. Peningkatan PDRB per kapita tidak mendorong peningkatan dana bagi hasil. Kondisi ini diduga terjadi karena tidak semua masyarakat Kota Bogor menjadi wajib pajak yang dikenakan beban pungutan pajak dan bukan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan propinsi. Sebagai contoh, pungutan pajak kendaraan bermotor hanya diberlakukan bagi masyarakat Kota Bogor yang memiliki kendaraan bermotor. Pola hubungan antara PDRB per kapita terhadap dana bagi hasil tercermin pada gambar 5.22. Scatterplot of SHR vs PDRBC 80000 70000 60000
SHR
50000 40000 30000 20000 10000 0 3.2
3.4
3.6
3.8
4.0 PDRBC
4.2
4.4
4.6
4.8
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.22. Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Dana Bagi Hasil (SHR)
Tidak hanya variabel PDRB per kapita, variabel inflasi daerah pun tidak berpengaruh nyata terhadap dana bagi hasil. Hal ini diduga terjadi karena pajak merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh badan atau pribadi kepada daerah.
Oleh karena itu walau tingkat inflasi daerah mengalami peningkatan atau penurunan, para wajib pajak tetap harus membayar pajak daerah kepada pemerintah daerah.
5.2.3.5. Dana Transfer Dana transfer merupakan dana yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan daerah dan penyelelenggaraan pemerintahan daerah. Dana transfer yang dianalisis merupakan dana transfer yang berasal dari APBN, yaitu penjumlahan antara Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Tabel 5.15. Perkembangan Dana Transfer Kota Bogor Tahun Dana Transfer (Juta Rupiah) 1993 10.452,39 1994 14.334,87 1995 18.999,86 1996 20.282,72 1997 31.442,84 1998 43.155,04 1999 56.842,77 2000 51.092,90 2001 161.025,02 2002 165.870,00 2003 201.520,00 2004 211.437,15 2005 218.806,00 2006 310.135,00 2007 376.664,21 Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).
Pertumbuhan (%) 37,14 32,54 6,75 55,02 37,25 31,72 -10,12 215,16 3,01 21,49 4,92 3,49 41,74 21,45
Dana transfer yang diperoleh Kota Bogor meningkat sangat pesat sejak dilaksanakannya desentralisasi fiskal. Pada tahun 2001, dana transfer yang diperoleh sebesar 161.025,02 juta rupiah dengan pertumbuhan sebesar 215,16
persen. Peningkatan dana transfer ini terkait dengan pelimpahan wewenang yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah. Sepanjang tahun 2001 hingga 2007, dana transfer mengalami peningkatan setiap tahunnya hingga sebesar 376.664,21 juta rupiah pada tahun 2007. Dana transfer daerah berdasarkan hipotesis dipengaruhi oleh PDRB per kapita, peningkatan pendapatan daerah sendiri, peningkatan pengeluaran pemerintah, populasi dan dummy desentralisasi. Apabila dana transfer yang diberikan bersifat
stimulatif,
maka keseluruhan variabel tersebut
akan
berpengaruh positif terhadap dana transfer yang diperoleh. Apabila dana transfer ini bersifat substitusi, maka variabel PDRB per kapita, pengeluaran pemerintah, populasi dan dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif sedangkan variabel pendapatan daerah sendiri berhubungan negatif terhadap dana transfer. Tabel 5.16. Model Dugaan Dana Transfer Kota Bogor Variabel Penjelas Parameter T-hitung Peluang Dugaan α Intersep -66544,89 -1,203 0,260 PDRB per kapita 16028,46 1,457 0,179 Peningkatan pendapatan daerah sendiri -0,365993 -1,180 0,268 Peningkatan pengeluaran pemerintah 0,286374 2,536 0,032* Populasi 0,086916 2,755 0,022* Dummy desentralisasi 72972,50 4,501 0,002* 2 2 R =0,977 R -terkoreksi=0,965 F-hitung=77,669(0,000) DW=2,129
Berdasarkan hasil regresi model dugaan dana transfer yang diperoleh Kota Bogor, dana transfer secara signifikan dipengaruhi oleh peningkatan pengeluaran pemerintah, populasi dan dummy desentralisasi fiskal pada taraf nyata 5 persen. Ketiga variabel tersebut berpengaruh positif terhadap dana transfer yang diperoleh Kota Bogor.
Peningkatan pengeluaran pemerintah akan meningkatkan dana transfer yang diperoleh Kota Bogor pada taraf nyata 5 persen. Semakin meningkat pengeluaran pemerintah, maka dana transfer yang diperoleh Kota Bogor pun akan meningkat. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara kedua variabel tersebut yang cenderung positif (Gambar 5.23). Scatterplot of TRSF vs K_LTE 180000 160000 140000
TRSF
120000 100000 80000 60000 40000 20000 -40000
-20000
0
20000
40000 K_LTE
60000
80000
100000
120000
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.23. Pola Hubungan antara Peningkatan Pengeluaran Pemerintah (K_LTE) dan Dana Transfer (TRSF)
Variabel populasi berpengaruh positif dengan nilai dugaan parameter sebesar 0,086916. Artinya, jika terjadi peningkatan populasi sebanyak satu orang maka dana transfer yang diterima oleh pemerintah Kota Bogor akan meningkat sebesar 0,086916 juta rupiah (ceteris paribus). Pernyataan ini pun didukung oleh pola hubungan antara populasi dan dana transfer yang cenderung positif. Scatterplot of TRSF vs pop 180000 160000 140000
TRSF
120000 100000 80000 60000 40000 20000 200000
300000
400000
500000
600000 pop
700000
800000
900000
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.24. Pola Hubungan antara Populasi (POP) dan Dana Transfer (TRSF)
Selain itu, variabel dummy desentralisasi berpengaruh positif terhadap dana transfer. Artinya, dana transfer yang diperoleh pemerintah Kota Bogor semakin meningkat pada masa desentralisasi fiskal. Variabel PDRB per kapita dan peningkatan pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh nyata terhadap dana transfer yang diperoleh Kota Bogor pada taraf nyata 5 persen. Seperti yang diketahui, dana transfer bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan daerah dan penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat. Oleh karena itu, dana transfer cenderung dipengaruhi oleh peningkatan pengeluaran pemerintah, populasi dan dummy desentralisasi fiskal untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat dan membiayai penyelenggaraan pemerintahan pada masa desentralisasi fiskal. Scatterplot of TRSF vs PDRBC 180000 160000 140000
TRSF
120000 100000 80000 60000 40000 20000 3.2
3.4
3.6
3.8
4.0 PDRBC
4.2
4.4
4.6
4.8
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah). Gambar 5.25. Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Dana Transfer (TRSF)
Variabel PDRB per kapita, peningkatan pengeluaran pemerintah, populasi dan dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif sedangkan variabel peningkatan pendapatan daerah sendiri berpengaruh negatif terhadap dana transfer. Hal ini menunjukkan bahwa dana transfer yang diperoleh Kota Bogor bersifat substitusi dalam rangka penyelenggaraan program pemerintahan daerah.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab sebelumnya mengenai kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah Kota Bogor sebelum dan selama desentralisasi fiskal, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : (1). PDRB Kota Bogor mengalami peningkatan setiap tahunnya, baik sebelum maupun selama desentralisasi fiskal, namun laju pertumbuhan ekonomi daerah pada masa desentralisasi fiskal relatif lebih rendah. Berdasarkan asumsi perekonomian tertutup, kondisi ekonomi daerah tercermin oleh konsumsi rumah tangga, investasi daerah dan pengeluaran pemerintah daerah. Variabel disposable income, pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan pengeluaran pembangunan dan PDRB berpengaruh positif terhadap kinerja ekonomi daerah sedangkan variabel suku bunga berpengaruh negatif terhadap perekonomian daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal ternyata memberikan dampak yang berbeda, dimana pelaksanaan desentralisasi fiskal cenderung meningkatkan pengeluaran pemerintah tetapi mengurangi konsumsi rumah tangga. (2). Pendapatan daerah selama desentralisasi fiskal mengalami peningkatan dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Sebagian besar pendapatan daerah berasal dari dana perimbangan (dana bagi hasil dan dana transfer) yang semakin meningkat sejak pelaksanaan desentralisasi fiskal. Pada masa desentralisasi fiskal, PAD yang diperoleh Kota Bogor mengalami
peningkatan. PAD Kota Bogor sebagian besar bersumber dari pajak dan retribusi daerah sedangkan laba perusahaan daerah menempati posisi paling rendah dalam memberikan kontribusinya terhadap penerimaan PAD. Variabel jumlah populasi, jumlah wisatawan, jumlah kendaraan bermotor, retribusi tahun lalu, laba perusahaan tahun lalu dan peningkatan pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap potensi keuangan daerah. Selain itu, PDRB per kapita pun berpengaruh positif terhadap pajak daerah sedangkan inflasi berpengaruh negatif terhadap retribusi daerah. Pengaruh desentralisasi fiskal ditunjukkan oleh dummy desentralisasi yang secara nyata berpengaruh positif terhadap dana bagi hasil dan dana transfer. Hal ini menunjukkan bahwa potensi keuangan daerah pada masa desentralisasi fiskal meningkat.
6.2. Saran (1). Pendapatan daerah sebagian besar berasal dari dana transfer. Hal ini diharapkan dapat menjadi perhatian bagi pemerintah daerah, khususnya pemerintah Kota Bogor untuk lebih meningkatkan pendapatan daerahnya yang berasal dari pendapatan asli daerah serta meningkatkan kinerja perusahaan daerah agar lebih efektif dan efisien. (2). PDRB Kota Bogor pada masa desentralisasi fiskal mengalami peningkatan sedangkan laju pertumbuhan ekonomi pada masa desentralisasi fiskal relatif rendah dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Oleh karena itu, pemerintah Kota Bogor diharapkan dapat lebih serius meningkatkan laju
perekonomian daerah dengan cara meningkatkan pengeluaran pembangunan sehingga investasi daerah pun akan meningkat. (3). Penelitian ini menganalisis dana bagi hasil (dana bagi hasil pajak dan bukan pajak) serta dana transfer (dana alokasi umum dan dana alokasi khusus). Oleh karena itu, diharapkan ada penelitian lanjutan untuk menganalisis mengenai dana bagi hasil pajak, dana bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus secara terpisah dan mendetail. (4). Minimnya data yang tersedia pada
instansi pemerintah sehingga
menyulitkan peneliti mengumpulkan data. Kondisi ini tentu saja akan menyulitkan bagi peneliti untuk melakukan penelitian mengenai Kota Bogor. Oleh karena itu, diharapkan instansi-instansi terkait mampu mengelola dan mendokumentasikan data yang tersedia dengan lebih baik dan lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 1993-2007. Kota Bogor Dalam Angka Tahun 1993-2007. BPS Kota Bogor, Bogor. Badan
Pusat Statistik. 1993-2007. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 1993-2007. BPS Jakarta, Jakarta.
Badan Pusat Statistik . 1993-2007. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 1993-2007. BPS Jakarta, Jakarta. Bratakusumah, D. S dan D. Solihin. 2004. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah . Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dornbusch, R dan S. Fischer. 1997. Ekonomi Makro. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga, Jakarta. Hakki, D. 2008. Analisis Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah di Kota Bogor [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Managemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hasugian, A. 2006. Dampak Desentralisasi Terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Managemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hermani, A. 2007. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian di Kabupaten Brebes dan Kota Tegal [Tesis]. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press, Bogor. Juanda, B. 2009. Ekonometrika: Permodelan dan Peramalan. IPB Press, Bogor. Lutfi, A. 2006. Pemanfaatan Kebijakan Desentralisasi Fiskal Berdasarkan UU No. 34/2000 Oleh Pemda Untuk Menarik Pajak Daerah dan Retribusi Daerah : Suatu Studi di Kota Bogor. http://publik.Brawijaya.ac.id. Mankiw, N. G. 2003. Teori Makroekonomi. Edisi ke-5. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Nachrowi, D. N. dan H. Usman. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta. Nurmaidah, I. 2004. Model Makroekonomi Untuk Mengkaji Potensi Keuangan Daerah dan Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah [Skripsi]. Departemen Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pasaribu, S., D. Hartono, dan T. Irawan. 2005. Pedoman Penulisan Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pemerintah Kota Bogor. 2003. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Walikota Bogor Akhir Masa Jabatan Tahun 1999-2003. Pemerintah Kota Bogor, Bogor. Pemerintah Kota Bogor. 2008. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Walikota Bogor Akhir Masa Jabatan Tahun 2004-2008. Pemerintah Kota Bogor, Bogor. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Republik Indonesia. 2000. Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Putong, I. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. Said, M. M. 2008. Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia. UMM Press, Malang. Saragih, J. P. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.
Winarno, W. W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistik dengan EViews. UPP STIM YKPN, Yogyakarta. Yuliati, T. 2002. Potensi Keuangan Daerah, Derajat Desentralisasi Fiskal dan Dampaknya Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah di Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes dan Kota Tegal [Tesis]. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Estimasi Output dari Persamaan Konsumsi Rumah Tangga Dependent Variable: CT Method: Two-Stage Least Squares Date: 08/25/09 Time: 12:03 Sample: 1993 2007 Included observations: 15 Instrument list: DDF G_DE I_T INF SBR OTH POP G_PDRB PRFT_T REC NTAX_T SB WTR HTL Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
YD POP SB DDF C
0.975069 0.223374 -1846.367 -133327.4 -480304.0
0.087582 0.307175 1374.063 57395.52 81623.30
11.13324 0.727188 -1.343729 -2.322958 -5.884398
0.0000 0.4838 0.2087 0.0426 0.0002
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.994950 0.992929 63993.18 491.7648 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
2266531. 761039.5 4.10E+10 1.692934
Lampiran 2. Estimasi Output dari Persamaan Investasi Daerah Dependent Variable: I Method: Two-Stage Least Squares Date: 08/25/09 Time: 11:52 Sample: 1993 2007 Included observations: 15 Instrument list: DDF G_DE I_T INF SBR OTH POP G_PDRB PRFT_T REC NTAX_T SB WTR HTL Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
G_PDRB G_DE I_T SBR DDF C
1672.548 646.4223 0.266685 -10777.21 -47831.76 447089.4
724.0952 212.9913 0.119470 4285.856 23335.63 96632.46
2.309846 3.034971 2.232245 -2.514600 -2.049731 4.626700
0.0462 0.0141 0.0525 0.0331 0.0706 0.0012
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.843136 0.755990 34615.30 9.674929 0.002020
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
363165.5 70075.16 1.08E+10 2.337298
Lampiran 3. Estimasi Output dari Persamaan Pengeluaran Pemerintah Daerah Dependent Variable: G Method: Two-Stage Least Squares Date: 08/25/09 Time: 12:04 Sample: 1993 2007 Included observations: 15 Instrument list: DDF G_DE I_T INF SBR OTH POP G_PDRB PRFT_T REC NTAX_T SB WTR HTL Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PDRB LOR INF DDF C
0.028399 -0.078807 -33.27183 100198.8 -7617.882
0.007234 0.428984 263.6028 11130.76 19151.03
3.925791 -0.183706 -0.126220 9.001973 -0.397779
0.0028 0.8579 0.9021 0.0000 0.6992
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.976733 0.967426 12911.85 104.9616 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
114277.1 71540.57 1.67E+09 1.581595
Lampiran 4. Estimasi Output dari Persamaan Pajak Daerah Dependent Variable: TAX Method: Two-Stage Least Squares Date: 08/25/09 Time: 12:22 Sample: 1993 2007 Included observations: 15 Instrument list: DDF G_DE I_T INF SBR OTH POP G_PDRB PRFT_T REC NTAX_T SB WTR HTL Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PDRBC POP INF HTL DDF C
3819.073 0.014829 -26.54479 0.530458 1024.239 -15211.85
827.3649 0.003204 20.24915 1.828967 1056.621 3983.758
4.615948 4.628437 -1.310908 0.290031 0.969354 -3.818467
0.0013 0.0012 0.2223 0.7784 0.3577 0.0041
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.965460 0.946271 954.8535 50.17258 0.000003
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
10767.08 4119.403 8205708. 1.571282
Lampiran 5. Estimasi Output dari Persamaan Retribusi Daerah Dependent Variable: NTAX Method: Two-Stage Least Squares Date: 08/25/09 Time: 12:30 Sample: 1993 2007 Included observations: 15 Instrument list: DDF G_DE I_T INF SBR OTH POP G_PDRB PRFT_T REC NTAX_T SB WTR HTL Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PDRBC INF REC NTAX_T DDF C
-673.2295 -248.6573 0.003382 1.116110 1643.328 -1869.160
795.3347 28.01782 0.000917 0.089494 802.8338 3190.460
-0.846473 -8.874970 3.689803 12.47134 2.046910 -0.585859
0.4192 0.0000 0.0050 0.0000 0.0710 0.5724
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.958643 0.935667 1126.806 41.69121 0.000006
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
13977.15 4442.566 11427234 2.743308
Lampiran 6. Estimasi Output dari Persamaan Laba Perusahaan Daerah Dependent Variable: PRFT Method: Two-Stage Least Squares Date: 08/25/09 Time: 12:35 Sample: 1993 2007 Included observations: 15 Instrument list: DDF G_DE I_T INF SBR OTH POP G_PDRB PRFT_T REC NTAX_T SB WTR HTL Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PDRBC SB WTR PRFT_T DDF C
734.2023 9.142051 -7.12E-05 0.768155 257.8184 -1189.814
502.6503 18.42045 7.79E-05 0.245534 845.7891 2478.540
1.460662 0.496299 -0.913790 3.128501 0.304826 -0.480046
0.1781 0.6316 0.3847 0.0122 0.7674 0.6426
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.714505 0.555897 712.7078 4.496646 0.024804
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
2008.063 1069.472 4571571. 1.939589
Lampiran 7. Estimasi Output dari Persamaan Dana Bagi Hasil Dependent Variable: SHR Method: Two-Stage Least Squares Date: 08/25/09 Time: 12:42 Sample: 1993 2007 Included observations: 15 Instrument list: DDF G_DE I_T INF SBR OTH POP G_PDRB PRFT_T REC NTAX_T SB WTR HTL VEH Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PDRBC VEH INF DDF C
1635.645 0.232348 28.72504 31063.64 -281.7277
7076.760 0.082838 197.4826 8043.720 26137.43
0.231129 2.804845 0.145456 3.861850 -0.010779
0.8219 0.0186 0.8872 0.0032 0.9916
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.921196 0.889674 9575.194 29.22417 0.000017
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
33972.04 28827.61 9.17E+08 1.247540
Lampiran 8. Estimasi Output dari Persamaan Dana Transfer Dependent Variable: TRSF Method: Two-Stage Least Squares Date: 08/25/09 Time: 12:44 Sample: 1993 2007 Included observations: 15 Instrument list: DDF G_DE I_T INF SBR OTH POP G_PDRB PRFT_T REC NTAX_T SB WTR HTL VEH K_LOSHR K_LTE Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PDRBC K_LOSHR K_LTE POP DDF C
16028.46 -0.365993 0.286374 0.086916 72972.50 -66544.89
11000.65 0.310145 0.112924 0.031545 16210.82 55313.70
1.457047 -1.180071 2.535986 2.755339 4.501468 -1.203045
0.1791 0.2682 0.0319 0.0223 0.0015 0.2596
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.977350 0.964766 10653.33 77.66919 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
93132.17 56755.22 1.02E+09 2.128566