perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS KEUANGAN DAERAH DI KOTA SURAKARTA PERBANDINGAN SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH (Periode 1990-2009)
Skripsi Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Me menuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : HILMY FADLLAN NIM. F0106098
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
ANALISIS KEUANGAN DAERAH DI KOTA SURAKARTA PERBANDINGAN SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH (Periode 1990-2009)
HILMY FADLLAN NIM. F0106098
Salah satu tolok ukur keberhasilan otonomi daerah adalah dengan melihat kemampuan keuangannya. Sehingga berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah di Kota Surakarta beserta tingkat kemandiriannya. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dan kuantitatif. Adapun analisisnya adalah DDF, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya/Posisi Fiskal, Matriks Potensi PAD, Rasio Aktivitas PAD, Rasio Efektivitas PAD, serta Rasio Kemandirian Daerah. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari instansi pemerintah terkait mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surakarta dalam kurun waktu 1990-2009. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa secara rerata sebelum dan selama era otonomi daerah pertumbuhan APBD, kontribusi PAD terhadap APBD, maupun pertumbuhan PDRB mengalami penurunan. Jika dilihat dari hasil analisis kuantitatifnya, terjadi penurunan rasio PAD terhadap TPD pada era sebelum dan selama otonomi daerah dari 12,54% menjadi 7,30%. Menurut analisis rasio kemandirian, baik sebelum maupun selama otonomi daerah Kota Surakarta memiliki rasio kurang dari 50%. Berdasarkan hasil penelitian, secara umum dapat dikatakan bahwa kemampuan keuangan daerah Kota Surakarta masih rendah (belum mandiri) dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu diharapkan Pemerintah Daerah Kota Surakarta lebih mengutamakan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber PAD yang potensial, menciptakan daya tarik dan iklim yang kondusif bagi investor untuk menanamkan modalnya sehingga laju pertumbuhan ekonomi daerah dan PDRB meningkat. Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan Kota Surakarta dapat mewujudkan eksistensi kemandirian daerah khususnya dalam bidang fiskal. Kata Kunci: DDF, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya/Posisi Fiskal, Matriks Potensi PAD, Rasio Aktivitas PAD, Rasio Efektivitas PAD, Rasio Kemandirian Daerah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
REGIONAL FINANCIAL ANALYSIS IN SURAKARTA CITY COMPARISON BEFORE AND DURING THE REGIONAL AUTONOMY (Period 1990-2009)
HILMY FADLLAN NIM. F0106098
One measure of the success of decentralization is to look at their financial capabilities. So based on this, this study aims to determine the ability of local finance in Surakarta city and their level of independence. The method of analysis used in this study is descriptive and quantitative analysis methods. The analysis is DDF, Fiscal Need, Fiscal Capacity, Effort/Fiscal Position, PAD Potential Matrix, PAD activity ratio, PAD Effectiveness Ratio, and Ratio of Local Self-Reliance. The data used are secondary data from relevant government agencies regarding the Budget Revenue and Expenditure (Budget) of Surakarta in the period 1990-2009. The research was conducted by using descriptive analysis and quantitative analysis. The results of descriptive analysis showed that the average before and during the era of regional autonomy budget growth, the contribution of PAD to the budget, as well as GDP growth declined. If seen from the results of quantitative analysis, a decline in the ratio of PAD for TPD before and during the era of regional autonomy from 12.54% to 7.30%. According to the analysis of self-sufficiency ratio, both before and during the autonomous region of Surakarta has a ratio of less than 50%. Based on this research, in general it can be said that the financial capacity of Surakarta city is still low (not standalone) in the framework of the implementation of regional autonomy. For Local Government is expected to prefer the Surakarta effort intensification and extension of the sources of potential revenue, create attraction and a conducive environment for investors to invest so that the pace of regional economic growth and rising GDP. With these efforts are expected to realize the existence of Surakarta region's autonomy, especially in the fiscal field. Keywords: DDF, Fiscal Need, Fiscal Capacity, Effort/Fiscal Position, PAD Potential Matrix, PAD Activity Ratio, PAD Effectiveness Ratio, Ratio Independence Regional
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“There is no secret to success. It’s the result of preparation, hard work, and learning from mistakes made along the way” (Collin Powell)
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (Al-Faatihah: 1)
“Karena sesunggunhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Alam Nasyrah: 5)
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain” (Alam Nasyrah: 7)
“Orang-orang yang terbaik adalah mereka yang selalu mencoba untuk terus memperbaiki dirinya” (Imam Gozali)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Karya ini kuhadiahkan untuk : 1. Ayah dan Ibuku Tercinta 2. Kakakku Tersayang 3. Sahabat dan teman-temanku. 4. Me, I, and Myself
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, dan karunia-Nya, sehingga dengan kemampuan yang ada, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “ANALISIS KEUANGAN DAERAH DI KOTA SURAKARTA PERBANDINGAN SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH (PERIODE 1990-2009)”. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan serta kerja sama yang baik dari berbagai pihak tidak bisa mewujudkan skripsi ini. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Drs. Kresno Sarosa Pribadi, M.Si. selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar telah membimbing dan memberikan pengarahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dan semoga Allah SWT membalasnya dan memberikan kemuliaan kepadanya. 2. Dr. Wisnu Untoro, MS. selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Drs. Supriyono, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan. 4. Izza
Mafruhah, S.E.,
M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Ekonomi
Pembangunan. 5. Seluruh Dosen Fakultas Ekonomi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas ilmu yang diberikan dan bimbingannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Seluruh Staf Karyawan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya. 7. Ayah dan Ibuku yang selalu senantiasa memberikan dorongan, nasehat, doanya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kakak Anisa yang tiada henti-hentinya memberikan dorongan, supaya penulisan skripsi ini cepat diselesaikan. Karena perjuangan belum berakhir, masih ada dunia kerja yang harus aku jalani.. 8. Teman-teman EP angkatan 2006, kakak angkatan 2004, 2005 serta adik angkatan 2007, 2008, 2009 dan 2010 serta semua sahabat-sahabatku, terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya. 9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu baik secara langsung maupun tidak atas bantuannya
kepada penulis hingga
terselesaikannya penelitian ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam rangka kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat dan sumbangan pikiran untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Surakarta, Juni 2012 Penulis
HILMY FADLLAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
ABSTRAK...................................................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................... iv HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................
v
HALAMAN MOTTO.................................................................................. vi HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. vii KATA PENGANTAR ................................................................................. viii DAFTAR ISI ...............................................................................................
x
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xvi
BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................
1
B. Perumusan Masalah .......................................................... 14 C. Tujuan Penelitian .............................................................. 15 D. Manfaat Penelitian ........................................................... 15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................... 16 A. Otonomi Daerah ................................................................ 16 1. Pengertian Otonomi Daerah ..................................... 16 2. Landasan Hukum Otonomi Daerah .......................... 19 3. Maksud Dan Tujuan Otonomi Daerah .................... 21 4. Titik Berat Otonomi Daerah .................................... 25 5. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah ...................... 27
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Keuangan Daerah ............................................................. 30 1. Asas Umum Keuangan Daerah ............................... 30 2. Manajemen Keuangan Daerah ................................ 32 3. Keuangan Daerah di Era Transisi ............................ 34 4. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ............. 36 5. Sumber-Sumber Keuangan Daerah .......................... 43 a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ..................... 44 b. Dana Perimbangan Pinjaman Daerah ............. 45 c. Lain-Lain Pendapatan yang Sah ..................... 46 6. Kebijakan Anggaran Daerah .................................... 46 7. Indikator Kinerja Keuangan Daerah ........................ 48 C. Penelitian Terdahulu .......................................................... 50 D. Kerangka Pemikiran .......................................................... 53 E. Hipotesis ............................................................................ 54
BAB III
METODE PENELITIAN ....................................................... 55 A. Ruang Lingkup Penelitian ................................................. 55 B. Jenis dan Sumber Data ...................................................... 55 C. Definisi Operasional Variabel ........................................... 56 D. Teknik dan Model Analisis Data ...................................... 58
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ............................ 63 A. Deskripsi Wilayah Kota Surakarta .................................... 64 1. Keadaan Geografis ..................................................... 64 a. Letak Kota Surakarta ........................................ 64 b. Luas Wilayah .................................................... 64 c. Kondisi Sumber Daya Alam ............................. 65 2. Penduduk dan Tenaga Kerja ....................................... 66 a. Pendudukan ....................................................... 66 b. Ketenagakerjaan ................................................ 67
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Kondisi Sosial Ekonomi ............................................. 68 a. Kondisi Sosial Masyarakat................................ 68 1) Bidang Pendidikan ..................................... 68 2) Kesehatan Penduduk .................................. 69 b. Kondisi Perekonomian Daerah ......................... 70 1) Keuangan Daerah ....................................... 70 2) Pertumbuhan Ekonomi (PDRB)................. 70 B. Hasil Analisis dan Pembahasan ......................................... 72 1. Analisis Deskripsi....................................................... 72 a. Pertumbuhan PAD............................................... 72 b. Kontribusi PAD terhadap APBD ........................ 74 c. Proporsi Pengeluaran Daerah Terhadap APBD .. 76 2. Analisis Kuantitatif ..................................................... 77 a. Derajat Desentralisasi Fiskal ............................... 77 b. Kebutuhan Fiskal................................................. 80 c. Kapasitas Fiskal................................................... 82 d. Upaya Fiskal ........................................................ 85 e. Matrik Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) .. 87 f. Rasio Aktivitas (Keserasian) ............................... 89 g. Efektivitas PAD................................................... 92 h. Kemandirian Keuangan Daerah dan Pola Hubungannya .............................................. 94
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 97 A. Kesimpulan ..................................................................... 97 B. Saran................................................................................ 99
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB ) Menurut Lapangan Usaha, Pendapatan Perkapita dan Pertumbuhan Atas Dasar Harga Berlaku Kota Surakarta Tahun 2005-2007.. 10 Tabel 1.2 Data Realisasi Penerimaan Daerah Tahun 2005-2007 ............. 12 Tabel 1.3 Data Realisasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Kota Surakarta Tahun 2005-2007 ............................................. 13 Tabel 2.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) .. 43 Tabel 3.1 Matrik Potensi Jenis Pajak atau Retribusi................................. 60 Tabel 3.2 Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah ................... 62 Tabel 4.1 Pertumbuhan PDRB Kota Surakarta Atas Harga Konstan Dan Berlaku Tahun 2001-2009................................................. 71 Tabel 4.2 Pertumbuhan APBD Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ........... 73 Tabel 4.3 Kontribusi PAD Terhadap APBD Kota Surakarta ................... 74 Tabel 4.4 Proporsi Pengeluaran Daerah Terhadap APBD Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ............................................. 76 Tabel 4.5 Ukuran Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ............................................. 77 Tabel 4.6 Rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ............................................. 78 Tabel 4.7 Rata-Rata Kebutuhan Fiskal (KF) Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ...................................................................... 81 Tabel 4.8 Rata-Rata Kapasitas Fiskal Propinsi Jateng dan Kota Surakarta Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1990-2009 .......... 83 Tabel 4.9 Tabel PAD dan PDRB Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ....... 85 Tabel 4.10 Hasil Penghitungan Pendapatan Asli Daerah Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ............................................. 87
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.11 Hasil Penghitungan Model Matrik Potensi dari Retribusi Daerah Kota Surakarta Tahun 1990-2009................. 88 Tabel 4.12 Rasio Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan Terhadap Total APBD Kota Surakarta Tahun 1990-2009........................ 90 Tabel 4.13 Rata-Rata Efektivitas PAD Sebelum Otonomi Daerah dan Selama Otonomi Daerah ........................................................... 92 Tabel 4.14 Pola Hubungan dan Kemandirian Keuangan Daerah Kota Surakarta Tahun 1990-2009 ............................................. 95
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran .............................................................. 53
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 - Tabel Rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Surakarta Lampiran 2 - Tabel Rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar Se-Jawa Tengah dan Kota Surakarta Lampiran 3 - Tabel Rata-rata Kapasitas Fiskal Standar Se-Jawa Tengah dan Kota Surakarta Lampiran 4 - Tabel Pertumbuhan PAD dan PDRB Kota Surakarta Lampiran 5 - Tabel Hasil Matriks Potensi dari Pajak Daerah Kota Surakarta Lampiran 6 - Tabel Matriks Potensi dari Pos Retribusi Kota Surakarta Lampiran 7 - Tabel Rasio Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan Terhadap Total APBD Kota Surakarta Lampiran 8 - Tabel Rata-Rata Efektifitas PAD Kota Surakarta Lampiran 9 - Pola Hubungan dan Rata-rata Tingkat Kemandirian Kota Surakarta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
ANALISIS KEUANGAN DAERAH DI KOTA SURAKARTA PERBANDINGAN SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH (Periode 1990-2009)
HILMY FADLLAN NIM. F0106098
Salah satu tolok ukur keberhasilan otonomi daerah adalah dengan melihat kemampuan keuangannya. Sehingga berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah di Kota Surakarta beserta tingkat kemandiriannya. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dan kuantitatif. Adapun analisisnya adalah DDF, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya/Posisi Fiskal, Matriks Potensi PAD, Rasio Aktivitas PAD, Rasio Efektivitas PAD, serta Rasio Kemandirian Daerah. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari instansi pemerintah terkait mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surakarta dalam kurun waktu 1990-2009. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa secara rerata sebelum dan selama era otonomi daerah pertumbuhan APBD, kontribusi PAD terhadap APBD, maupun pertumbuhan PDRB mengalami penurunan. Jika dilihat dari hasil analisis kuantitatifnya, terjadi penurunan rasio PAD terhadap TPD pada era sebelum dan selama otonomi daerah dari 12,54% menjadi 7,30%. Menurut analisis rasio kemandirian, baik sebelum maupun selama otonomi daerah Kota Surakarta memiliki rasio kurang dari 50%. Berdasarkan hasil penelitian, secara umum dapat dikatakan bahwa kemampuan keuangan daerah Kota Surakarta masih rendah (belum mandiri) dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu diharapkan Pemerintah Daerah Kota Surakarta lebih mengutamakan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber PAD yang potensial, menciptakan daya tarik dan iklim yang kondusif bagi investor untuk menanamkan modalnya sehingga laju pertumbuhan ekonomi daerah dan PDRB meningkat. Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan Kota Surakarta dapat mewujudkan eksistensi kemandirian daerah khususnya dalam bidang fiskal. Kata Kunci: DDF, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya/Posisi Fiskal, Matriks Potensi PAD, Rasio Aktivitas PAD, Rasio Efektivitas PAD, Rasio Kemandirian Daerah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
REGIONAL FINANCIAL ANALYSIS IN SURAKARTA CITY COMPARISON BEFORE AND DURING THE REGIONAL AUTONOMY (Period 1990-2009)
HILMY FADLLAN NIM. F0106098
One measure of the success of decentralization is to look at their financial capabilities. So based on this, this study aims to determine the ability of local finance in Surakarta city and their level of independence. The method of analysis used in this study is descriptive and quantitative analysis methods. The analysis is DDF, Fiscal Need, Fiscal Capacity, Effort/Fiscal Position, PAD Potential Matrix, PAD activity ratio, PAD Effectiveness Ratio, and Ratio of Local Self-Reliance. The data used are secondary data from relevant government agencies regarding the Budget Revenue and Expenditure (Budget) of Surakarta in the period 1990-2009. The research was conducted by using descriptive analysis and quantitative analysis. The results of descriptive analysis showed that the average before and during the era of regional autonomy budget growth, the contribution of PAD to the budget, as well as GDP growth declined. If seen from the results of quantitative analysis, a decline in the ratio of PAD for TPD before and during the era of regional autonomy from 12.54% to 7.30%. According to the analysis of self-sufficiency ratio, both before and during the autonomous region of Surakarta has a ratio of less than 50%. Based on this research, in general it can be said that the financial capacity of Surakarta city is still low (not standalone) in the framework of the implementation of regional autonomy. For Local Government is expected to prefer the Surakarta effort intensification and extension of the sources of potential revenue, create attraction and a conducive environment for investors to invest so that the pace of regional economic growth and rising GDP. With these efforts are expected to realize the existence of Surakarta region's autonomy, especially in the fiscal field. Keywords: DDF, Fiscal Need, Fiscal Capacity, Effort/Fiscal Position, PAD Potential Matrix, PAD Activity Ratio, PAD Effectiveness Ratio, Ratio Independence Regional
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Daerah Otonom akan banyak tergantung pada kemampuan daerah dalam mengumpulkan dan mengelola keuangan daerah dan strategi pembangunan daerah yang melibatkan partisipasi anggota masyarakat setempat. Dari titik pandang ekonomi makro, melalui pelaksanaan
otonomi
daerah-daerah
diharapkan
akan
dapat
mengalokasikan secara mudah dana pembangunan daerahnya didasarkan pada karakteristik dan potensi dari masing-masing daerah, sehingga dicapai hasil maksimal. Dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah, peranan sektor swasta sangat penting mengingat ketergantungan yang besar dari pengelolaan pembangunan terhadap pembangunan ekonomi daerah tersebut. Dalam hal ini, peranan sektor swasta diperlukan dan memainkan peranan penting dalam memberikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Di Era Reformasi, untuk mewujudkan Pemerintahan Daerah yang mandiri maka Pemerintah Pusat mengambil kebijakan Desentralisasi atau yang biasa dikenal dengan Otonomi Daerah. Untuk mendukung legalitas kebijakan Otonomi Daerah, Pemerintah menetapkan 2 (dua) UndangUndang, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Daerah. Momentum Reformasi adalah saat yang tepat bagi realisasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Otonomi Daerah, dan merupakan kesempatan menentukan pilihan yang tepat mengenai bentuk Pemerintahan di daerah serta mengupayakan pengembangan potensi sumber daya daerah agar dapat terangkat dalam Era Globalisasi. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan Pemerintah dan pelayanan masyarakat. Misi Otonomi Daerah dijabarkan dalam Penjelasan Umum UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999: “Misi utama dari kedua Undang-Undang tersebut bukan hanya pada keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya Keuangan Daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan
pelayanan
kepada
masyarakat.
Untuk
itu
semangat
desentralisasi, transparansi dan akuntabilitas menjadi sangat dominan dalam mewarnai proses pengelolaan Keuangan Daerah pada khususnya.” Dari kedua Undang-Undang tersebut diatur tentang titik berat Otonomi Daerah yaitu terletak pada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dengan pertimbangan bahwa Pemerintah Daerah dan Kota yang lebih langsung berhubungan dengan
masyarakat.
Sehingga
diharapkan aspirasi masyarakat di daerah dan kota yang lebih langsung
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berhubungan
dengan
masyarakat.
Sehingga
diharapkan
aspirasi
masyarakat di daerah atau kota dapat tersampaikan dan terpenuhi. Penyerahan urusan-urusan Pemerintah kepada Pemerintah Daerah atau Kota dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan Daerah atau Kota yang bersangkutan. Dengan demikian, isi otonomi itu berbeda antara daerah/kota yang satu dengan lainnya. Otonomi
nyata
merupakan
keluasan
daerah
untuk
menyelenggarakan kewenangan Pemerintah dibidang tertentu yang hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggungjawab maksudnya ialah berupa
perwujudan pertanggungjawaban sebagai
konsekwensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, yaitu berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi keadilan dan pemerataan. Serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Mardiasmo (2002) kebijakan pemberian Otonomi Daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis Pemerintah Pusat dalam mengatasi permasalahan lokal bangsa Indonesia yang berupa kemiskinan, pemerataan distribusi pendapatan yang tidak merata dan masalah peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah. Selain hal itu, otonomi daerah dan desentralisasi juga ditujukan dalam menyongsong Era Globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan ditetapkan kedua Undang-Undang di atas, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dituntut untuk lebih produktif dan kreatif dalam membangun daerahnya masing-masing. Selain itu, Otonomi Daerah merupakan sebuah peluang dan tantangan baru bagi Pemerintah Kabupaten/Kota untuk membangun daerahnya secara optimal setelah peran pemerintah pusat mulai berkurang. Masyarakat diharapkan juga lebih aspiratif dalam memberikan kontibusinya dalam pembangunan di daerah masing-masing. Menurut UU No. 22 Tahun 1999, tujuan dari Otonomi Daerah diarahkan untuk meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu. Sedangkan menurut UU No. 25 Tahun 1999, Penyelenggaraan pemerintah oleh Daerah diharapkan mampu untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan Pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat. Salah satu pertimbangan yang ada dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang menyangkut masalah penyelenggaraan Otonomi Daerah, yaitu perlunya penekanan pada pelakasanaan prinsip-prinsip demokrasi, serta penggalian potensi dan keanekaragaman daerah. Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999, Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah adalah suatu Sistem Pembiayaan Pemerintah dalam kerangka
Negara
Kesatuan yang mencangkup
perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
potensi, kondisi dan transparan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut termasuk pengelolaan dan pengawasaan keuangannya. Sebagaimana penjelasan dalam kedua Undang-Undang di atas maka pelaksanaan Otonomi Daerah ditandai dengan adanya desentralisasi kewenangan (power sharing) dan desentralisasi keuangan (fiscal decentralization) yang pelaksanaan secara penuh sejak 1 Januari 2001. Pelaksanaan kewenangan yang luas, nyata serta bertanggungjawab kepada Pemerintah Daerah secara proporsional yang dilengkapi dengan berbagai petunjuk mengenai peraturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta aspek perimbangan antara Pusat dan Daerah. Seiring dengan perkembangan kebutuhan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, kedua Undang-Undang tersebut disempurnakan dan diganti dengan Undang-Undang yang baru, yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Implementasi pelaksanaan Otonomi Daerah akan dapat berhasil jika memperhatikan 5 (lima) kondisi strategis berikut: (i) Self Regulatoring Power, yaitu kemampuan mengatur dan melaksanakan Otonomi Daerah demi kepentingan masyarakat di daerahnya; (ii) Self Modifying Power, berupa kemampuan menyesuaian terhadap peraturan yang telah ditetapkan secara nasional sesuai dengan kondisi daerah, termasuk terobosan inovatif kearah kemajuan dalam menyikapi potensi Daerah; (iii) Creating Local
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Political Support, dalam arti penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang mempunyai legitimasi kuat dari masyarakatnya, baik dari Kepala Daerah Eksekutif maupun DPRD Sebagai Pemegang kekuasaan legislatif; (iv) Managing Financial Resource, dalam arti mampu mengembangkan kompetensi dalam mengelola secara optimal sumber penghasilan dari keuangan guna pembiayaan aktifitas Pemerintahan pembangunan dan pelayanan masyarakat; serta (v) Developing Brain Power, dalam arti membangun Sumber Daya Manusia yang handal dan selalu bertumpu pada kapabilitas penyelesaian masalah (Rasyid dan Paragoan dalam Mulyanto, 2003:3) Menurut Kaho dalam Mulyanto (2003:2), untuk menentukan keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Setidaknya ada 4 (empat) faktor yang harus dipenuhi, yaitu: (i) faktor manusia sebagai subjek penggerak dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, (ii) faktor keuangan yang merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya aktivitas Pemerintah Daerah, (iii) faktor peralatan yang merupakan
sarana
pendukung
bagi
terselenggaranya
aktivitas
Pemerintahan Daerah, serta (iv) faktor organisasi dan manajemen yang merupakan sarana untuk menyelenggarakan Pemerintahan Daerah secara baik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut
Mardiasmo
(2002),
dalam
upaya
pemberdayaan
Pemerintahan Daerah ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan Keuangan Daerah adalah sebagai berikut: 1. Pengelolaan Keuangan Daerah harus bertumpu pada kepentingan publik/masyarakat. 2. Misi prngelolaan Keuangan Daerah harus jelas. 3. Desentralisasi Pengelolaan Keuangan dn kejelasan peran instansi yang terkait dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. 4. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi, dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, transparansi dan akuntabilitas. 5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan pihak-pihak yang terkait. 6. Ketentuan-Ketentuan yang diperlukan seperti bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi-tahunan. 7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih professional. 8. Prinsip akuntansi Pemerintah Daerah, laporan keuangan, peran DPRD, dan akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran dan transparansi anggaran kepada publik. 9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparatur Pemerintah Daerah. 10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang ideal adalah apabila setiap tingkat Pemerintah dapat independen di bidang keuangan untuk membiayai pelaksanaan tugas dan wewenang masingmasing. Adapun kewenangan yang dimiliki Daerah Otonom, antara lain (Mulyanto, 2003): a. Kewenangan dalam mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertangguangjawab untuk memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. b. Kewenangan di wilayah laut, meliputi: (i) Eksplorasi; (ii) Pengaturan kepentingan administratif; (iii) Pengaturan tata ruang; (iv) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan keamanan dan Kedaulatan Negara. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas laut daerah propinsi. c. Bidang Pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Kota, sebagaimana yang dimuat dalam UU No. 22 Tahun 1999, meliputi 10 (sepuluh) bidang yaitu: Pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam pengaplikasian dari pelaksanaan desentralisasi fiskal, maka sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah menegaskan bahwa Pengelolaan Keuangan Daerah seharusnya dilaksanakan secara tertib taat pada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan tetap memperhatikan atas keadilan dan kepatutan. Kemampuan Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan akan dituangkan dalam APBD yang secara langsung ataupun tidak langsung akan mencerminkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas Pemerintahan, Pembangunan dan Pelayanan Sosial Masyarakat. Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang berada di Propinsi Jawa Tengah, dimana dalam pembangunannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, namun disesuaikan dengan potensi dan permasalahan pembangunan di daerahnya. Kota Surakarta merupakan bagian dari kawasan ekonomi Subosukawonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karangayar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten) memiliki kondisi geografis yang cukup strategis untuk menjalankan Pembangunan Ekonomi serta meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Lapangan Usaha, Pendapatan Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi Atas Dasar Harga Berlaku Kota Surakarta Tahun 2005-2007 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (Jutaan Rp.) Lapangan Usaha 2005 2006 2007 (1) (2) (3) (4) 1. Pertanian 3.502,98 3.760,34 4.259,39 2. Pertambangan dan 2.227,96 2.304,36 2.525,78 Penggalian 3. Industri Pengelolaan 1.475.697,87 1.554.314,71 1.681.790,25 4. Listrik, Gas dan Air 144.699,63 166.228,03 186.120,50 5. Bangunan 720.012,60 809.243,40 924.664,68 6. Perdagangan 1.330.461,23 1.507.159,41 1.711.786,42 7. Pengangkutan & 643.368,20 729.036,31 802.106,24 Komunikasi 8. Keuangan, 638.280,54 697.231,13 763.887,99 Persewaan & Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa 627.525,83 720.834,86 831.953,32 PDRB 5.585.776,84 6.190.112,55 6.909.094,57 Pendapatan Perkapita 10.451.467 11.350.818 12.281.416 Pertumbuhan Ekonomi 5,15 5,43 5,82 Sumber: BPS Kota Surakarta
Berdasarkan data dari BPS Kota Surakarta (Surakarta Dalam Angka) dalam distribusi produk domestik regional bruto (PDRB) menurut Lapangan Usaha, Income Perkapita dan pertumbuhan ekonomi atas dasar harga berlaku menunjukkan bahwa Kota Surakarta mempunyai sektor unggulan pada sektor Perdagangan yaitu sebesar Rp. 1.711.786.420.000 Atau sebesar 24,78% dari jumlah PDRB sebesar Rp. 6.909.094.570.000 Pada tahun 2007.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 1.1 di atas menggambarkan bahwa di Kota Surakarta lapangan usaha yang bergerak pada bidang Perdagangan merupakan sektor yang sumber pendapatan terbesar di Kota Surakarta pada tahun 2007. Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian merupakan sektor terkecil penerimaannya, sesuai dengan kondisi Kota Surakarta yang tidak kaya sumber daya alamnya. Pendapatan perkapita penduduk Kota Surakarta pada tahun 2007 sebesar Rp. 12.281.416 Dalam setahun dan ada kenaikan dibandingkan dengan tahun 2006 sebesar Rp. 11.350.818 Sehingga hal tersebut mengakibatkan adanya pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 5,43% pada tahun 2006 dan naik menjadi 5,82% pada tahun 2007.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 1.2 Data Realisasi Penerimaan Pe merintah Daerah Kota Surakarta Tahun 2005-2007 (Jutaan Rp.) Uraian Penerimaan Tahun Daerah 2005 2006 2007 (1) (2) (3) (4) 1. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu 2. PAD a. Pajak Daerah b. Retribusi Daerah c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan d. Lain-lain PAD yang sah 3. Dana Perimbangan a. BHPBP b. DAU c. DAK d. Dana Lokasi dari Propinsi 4. Penerimaan Lainnya yang Sah Jumlah
13.519.167 8.290.892 3.036.198 152.894
14.065.493 8.335.898 3.173.891 239.478
15.655.512 9.414.041 3.335.923 368.356
2.039.183
2.296.226
2.537.192
322.276.570 34.487.396 254.104.174 12.820.000 20.865.000
472.232.958 38.242.492 393.424.466 15.986.000 24.580.000
588.863.966 87.541.331 427.582.635 31.960.000 41.780.000
28.875.210
33.842.410
55.981.150
364.670.947
520.120.861
660.500.628
Sumber: Dipenda Kota Surakarta (beberapa tahun) Realisasi pendapatan daerah Kota Surakarta
Dapat dilihat pada tabel di atas, minimal tiga tahun terakhir dari penelitian bahwa jumlah realisasi penerimaan Kota Surakarta selalu meningkat pada tahun 2005 jumlah realisasi penerimaan Kota Surakarta sebesar
Rp.364.670.947.000.000
meningkat
menjadi
Rp.520.120.861.000.000 pada tahun 2006 dan Rp.660.500.628.000.000 pada tahun 2007.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 1.3 Data Realisasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Kota Surakarta Tahun 2005-2007 (Jutaan Rp.) Uraian Pengeluaran Tahun Daerah 2005 2006 2007 (1) (2) (3) (4) A. Belanja Rutin 258.736.519 439.311.172 499.186.466 B. Belanja Pembangunan 95.901.878 73.617.054 157.061.226 Jumlah 354.638.398 512.928.227 656.247.692 Sumber: Dipenda dan BPS Kota Surakarta, (beberapa tahun) perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah Kota Surakarta.
Jumlah realisasi pengeluaran Kota Surakarta seperti yang ditunjukkan pada tabel 1.3 dari tahun 2005-2007 mengalami peningkatan yaitu
mulai
tahun
2005
realisasi
pengeluarannya
sebesar
Rp.354.638.398.000.000 menjadi Rp.512.928.227.000.000 di tahun 2006 dan kembali meningkat sebesar Rp.656.247.692.000.000 di tahun 2007. Walaupun berdasarkan data di atas menunjukkan realisasi pengeluaran yang meningkat, Pemerintah Daerah Kota Surakarta masih mempunyai beban untuk melakukan peningkatan penggalian potensi terhadap PAD dikarenakan dalam kajian ini hanya menampilkan realisasi penerimaan dan pengeluaran selama tiga tahun terakhir dari penelitian serta semakin besar dana yang dibutuhkan oleh daerah untuk kegiatan pembangunan terbukti dengan semakin bertambahnya realisasi pengeluaran dari tahun ke tahun. Berdasarkan latar belakang di atas, Penelitian ini dilakukan dengan mengambil judul “ANALISIS KEUANGAN DAERAH DI KOTA SURAKARTA
PERBANDINGAN
SEBELUM
OTONOMI DAERAH (Periode 1990-2009).”
commit to user
DAN
SELAMA
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah ada perubahan yang mendasar mengenai keuangan daerah di Kota Surakarta pada era sebelum otonomi daerah dam pada era otonomi daerah berdasarkan Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya dan Posisi Fiskal, Potensi Keuangan, Rasio Aktivitas, dan Efektivitas PAD? 2. Bagaimana upaya pemerintah agar keuangan daerah tetap menjadi tumpuan bagi jalannya pemerintahan yang diukur dengan Rasio Kemandirian dan Pola Hubungannya? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisa tingkat perubahan yang mendasar tentang Keuangan Daerah di Kota Surakarta selama diberlakukan Otonomi Daerah berdasarkan Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya Fiskal, Matriks Potensi PAD, Rasio Aktivitas (Keserasian), dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah (PAD). 2. Untuk mengetahui dan menganalisa keuangan daerah agar menjadi tumpuan bagi jalannya pemerintahan yang diukur melalui Rasio Kemandirian dan Pola Hubungannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari Penelitian ini adalah: 1. Bagi Peneliti Untuk melatih menganalisa, mempelajari dan menerapkan serta membuat perbandingan antara ilmu yang diperoleh dengan praktek secara langsung. 2. Bagi Pemerintah Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukkan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daeah (PAD) dari berbagai sektor yang mempunyai
potensi
dalam
pembangunan
daerah
dan
masyarakatnya
dan/dengan
rangka
menunjang
kesejahteraan tujuan
akhir
kelancaran
seluruh untuk
warga
mencapai
kemandirian Keuangan Daerah tanpa harus bergantung dengan Pemerintah Pusat. 3. Bagi Pihak Lain Sebagai tambahan wawasan atau literature mengenai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan merupakan tambahan perbendaharaan perpustakaan untuk kepentingan ilmiah dan bahan informasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah 1. Pengertian Otonomi Daerah Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di dalam Negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi, dikenal adanya struktur pemerintah pusat (central government) sarta daerah-daerah yang menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Hal ini dapat diartikan bahwa daerah-daerah tersebut mempunyai hak, kewajiban, wewenang dan bertanggungjawab untuk mengatur rumah tangga sendiri yang disebut juga dengan otonomi. Sehubungan hal tersebut, Sjaffrudin (1988) mangatakan bahwa “istilah otonomi” mempunyai makna kebebasan atas kemandirian (Zelfstandheid)
tetapi
bukan
kemerdekaan
(Onafhankelijkheid).
Kebebasan yang terbatas atas kemandirian itu adalag wujud pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan Otonomi Daerah memberikan wewenang yang lebih nyata dan luas serta bertanggungjawab kepada pemerintah daerah. Dengan adanya perluasan wewenang pemerintah daerah ini dapat
menciptakan
Local
Accountability
yaitu
meningkatnya
kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak masyarakat terutama pada penyediaan barang publik (Smith dalam Halim, 2001:176). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1999, memaknai Otonomi Daerah sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan
sumber
daya
nasional
yang
berkeadilan
serta
perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ini memberikan kewenangan otonomi kepada daerah Kabupaten dan daerah Kota didasarkan atas desentralisasi dalam otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Prinsip otonomi nyata dapat diartikan sebagai kekuasaan daerah untuk menangani urusan pemerintahan, dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi dan kekhasan daerah. Oleh sebab itu, isi dan jenis otonomi untuk setiap Daerah tidak selalu sama dengan Daerah lainnya. Maksud otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi
yang dalam
penyelenggaraannnya harus benar-benar sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Otonomi Daerah dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai maka pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Disamping itu, diberikan pula standar arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan dan evaluasi. Bersamaan itu wajib memberikan fasilitas berupa pemberian peluang kemudahan, bantuang dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Landasan Hukum Otonomi Daerah Otonomi Daerah sebagai perwujudan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan atas dasar Desentralisasi yang diwujudkan dengan otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab dilaksanakan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diatur dalam kerangka landasannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 antara lain: (i) pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik”, (ii) pasal 18 yang menyatakan “Pemerintah Daerah dibentuk atas dasar pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan ditetapkan
dengan
Undang-Undang,
dengan
memandang
dan
mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara dan hak-hak, asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Dari sisi sejarah perkembangan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, telah dihadirkan berbagai aturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan di daerah, antara lain pada tahun 1920an ada upaya mengambil langkah Desentralisasi untuk membentuk lembaga-lembaga perwakilan di beberapa propinsi, kabupaten dan kota tertentu (Legge, 1961:6). Tujuan utamanya adalah sama agar memperlancar administrasi dan membuka peluang bagi daerah untuk mengemukakan kenginannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah pertama kali dibuat pada tahun 1948, yang meletakkan sendi pola pemerintahan yang sekarang ini dengan meletakkan sebagian besar berdasarkan pada pembagian wilayah administrasi Belanda dan banyak menggunakan pendekatan terpusat. Karena tuntutan dari daerah sangat kuat khususnya pulau diluar pulau jawa untuk memisahkan diri, maka UU diubah kembali pada tahun 1957 No. 32 yang memberikan kadar otonomi yang lebih besar pada daerah (Legge, 1961:53), namun UU ini tidak berlangsung lama karena Presiden Soekarno memperkenalkan “Demokrasi Terpimpin” tahun 1959. Pemerintah orde lama dalam menghadapi masalah-masalah daerah dan pemerintah daerah cenderung menanti krisis dan sering mengubah UU. Setelah berdirinya orde baru tahun 1966 membuka peluang untuk memulai awal yang baru dan membuka masa hubungan yang relatif stabil antara pemerintah pusat dan daerah. Undang-Undang baru yang mengatur tentang pemerintah daerah disahkan pada tahun 1974 No. 5, yang merupakan langkah penting dalam
usaha
membentuk sistem yang jelas dan menyeluruh mengenai hubungan pusat dan daerah dan mengenai Pemerintah Daerah (MacAndrews, 1986:13). Dengan lebih menekankan pada pengertian “Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggungjawab” dan meletakkan dalam hubungan dengan penyediaan jasa masyarakat dengan tegas pada pemerintah daerah tingkat dua.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui Kebijakan Otonomi Daerah dan perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diatur dalam satu paket Undang-Undang yaitu UU No. 32 Tahun 2004 pengganti dari UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 pengganti dari UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Pengalaman dalam melaksanakan berbagai aturan perundangan tersebut telah menunjukan berbagai masalah yang mempunyai dampak tersendiri, baik terhadap keutuhan Negara, stabilitas politik, serasian hubungan pusat dan daerah, maupun implikasi lain terhadap kelancaran penyelenggaraan pemerintahan. Namun demikian masalah yang ditimbulkan tidak sampai mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. 3. Maksud Dan Tujuan Otonomi Daerah Menurut pengalaman dalam pelaksanan bidang-bidang tugas tertentu sistem Sentralistik tidak dapat menjamin kesesuaian tindakantindakan Pemerintah Pusat dengan keadaan di daerah-daerah. Maka untuk
mengatasi
hal
ini,
pemerintah
kita
menganut
sistem
Desentralisasi atau Otonomi Daerah. Hal ini disebabkan wilayah kita terdiri dari berbagai daerah yang masing-masing memiliki sifat-sifat khusus terdiri yang dipengaruhi oleh faktor geografis (keadaan alam, iklim, flora-fauna, adat-istiadat, kehidupan ekonomi dan bahasa), tingkat pendidikan dan lain sebagainya. Dengan sistem Desetralisasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diberikan kekuasaan kepada daerah untuk melaksanakan kebijakan pemerintah sesuai dengan keadaan khusus di daerah kekuasaan masing-masing, dengan catatan tetap tidak boleh menyimpang dari garis-garis politik dan jiwa dari pada instruksi dari Pemerintah Pusat. Jadi pada dasarnya maksudnya dan tujuan diadakannya pemerintahan di daerah adakah untuk mencapai efektivitas pemerintahan. Tujuan dari pemberian Otonomi Daerah sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004 adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat
melalui
peningkatan
pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas dasar pencapaian tujuan di atas, prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman dalam pemberian Otonomi Daerah adalah sebagai berikut (Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004): Prinsip Otonomi Daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk member pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintah daerah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dann maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Pemerintah Daerah Otonom: a) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi Badan Legislatif Daerah baik fungsi legislasi, fungsi pengawas
maupun
fungsi
anggaran
Pemerintah Daerah;
commit to user
atas
penyelenggaraan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b) Pelaksanaan Asas Dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam
kedudukannya
sebagai
wilayah
Administrasi
untuk
melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu yang dilimpahka kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat; c) Pelaksanaan atas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada Daerah, tetapi juga pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, tetapi juga dari pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan
kewajiban
melaporkan
pelaksanaan
dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Tujuan utama penyelenggaraan Otonomi Daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajuan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanakan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal, yaitu (Mardiasmo, 2002:59): a) Meningkatkan kualitas dan kuantitas palayanan public dan kesehteraan masyarakat; b) Menciptakan efisien dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah; c) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Otonomi Daerah dengan menggunakan Atas Desentralisasi dan membawa berbagai kebaikan bagi Negara kita, antara lain (Kaho, 1988:13): a) Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan; b) Dalam menghadapi masalah yang mendesak, perlu membutuhan tindakan yang cepat daerah tidak perlu menunggu lagi intruksi dari pusat; c) Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setia keputusan dapat segera dilaksanakan; d) Dalam sistem Desentralisasi, dapat diadakan perbedaan dan pengkhususan bagi kepentingan tertentu; e) Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat. 4. Titik Berat Otonomi Daerah Mengacu pada UU No. 22 Tahun 1999, berikut perubahan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa titik berat pelaksanakan Otonomi Daerah diletakkan pada daerah kabupaten, sedangkan penjelasannya dikatakan bahwa dalam rangka meningkatan
pelayanan
kepada
masyarakat
maka
titik
berat
pelaksanakan Otonomi Daerah diletakkan pada daerah kabupaten dengan memandang pentingnya daerah kabupaten yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga diharapkan lebih dapat mengetahui serta memahami aspirasi masyarakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Beberapa pertimbangan yang mendasari penetapan daerah kabupaten dan daerah kota sebagai titik berat pelaksanakan Otonomi Daerah adalah (Kuncoro, 1995:4): a) Dari dimensi politik, daerah kabupaten dan daerah kota kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi masyarakat federasi secara relatif bisa minim; b) Dari dimensi administratif penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif; c) Daerah Kabupaten dan Kota merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan pembangunan sehingga Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang lebih mengetahui potensi rakyat di daerahnya. Penyelenggarakan Otonomi Daerah dengan menitikberatkan pada Daerah Kabupaten/Kota adalah merupakan suatu kebijakan yang harus didukung, artinya Daerah Kabupaten/Kota akan menjadi basis penyelenggaraan Otonomi Daerah. Namun hal lain yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan otonomi Daerah yang menitikberatkan pada Daerah Kabupaten/Kota adalah apakah kebijakan ini sesuai dengan
prinsip-prinsip
demokrasi
pemerintahan di daerah.
commit to user
dalam
penyelenggaraan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Penyelenggaraan Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan Daerah.
Bahwa
penyelenggaran
Desentalisasi
masyarakatkan
pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintahan dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan pemerintahan. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan Negara secara keseluruhan, antara lain: Politik Luar Negeri, Pertahanan dan Keamanan, Moneter, Yustisi dan Agama. Dan bagian urusan tertentu pemerintahan lainnya yang berskala nasional tidak diserahkan kepada daerah. Disamping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat coucerrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan coucerrent secara proporsional antara Pemerintahan, Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi: Eksternalitas, Akuntabilitas dan Efisiensi dengan pertimbangan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kriteria Eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan
mempertimbangkan
dampak/akibat
yang
ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampaknya lokal maka menjadi kewenangan Kabupaten/Kota, jika dampak dari urusan bersifat regional menjadi kewenangan Propinsi
dan
apabila
lingkup
nasional
menjadi
kewenangan
Pemerintah. Kriteria Akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan
dengan
pertimbangan
bahwa
tingkat
pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang langsung/dekat dengan dampak akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Kriteria Efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana dan peralatan) untuk mendapatkan ketetapan, kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaran bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penangannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasil guna
untuk
dilaksanakan oleh Daerah Propinsi dan atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh pemerintah maka urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Propinsi dan atau Daerah Kabupaten/Kota, begitu juga sebaliknya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian hubungan yaitu pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan
yang
(interkoneksi),
saling
berbeda,
bersifat
tergantung
saling
(inter-pendensi)
berhubungan dan
saling
mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan
manfaatnya.
Namun
dari
semua
pembagian
urusan
pemerintahan tersebut, Pemerintah tetap melakukan verifikasi terlebih sebelum memberikan pengaturan atas bagian urusan-urusan yang akan dilaksanakan oleh daerah. Urusan yang menjadi kewenangan daerah ada dua urusan yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib ialah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan yang bersifat pilihan berkaitan erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan Daerah atas Desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah dibidang tertentu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Ke uangan Daerah 1. Asas Umum Keuangan Daerah Pelaksanaan
otonomi
daerah
membawa
perubahan
pada
pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan pengelolaan APBD pada khususnya yang sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah. Dalam PP No.
105/2000, dikemukakan asas umum
pengelolaan keuangan daerah, yang meliputi: a. Pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif dan bertanggungjawab; b. Semua penerimaan daerah dan pengeluarkan daerah dicatat dalam APBD, perubahan APBD dan perhitungan APBD; c. Daerah dapat membentuk dana cadangan; d. Daerah dapat mencari sumber-sumber pembiayaan lainnya, selain sumber pembiayaan yang telah ditetapkan, seperti kerjasama dengan pihak lain; e. Pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dalam Perda (peraturan daerah); f. APBD disusun dengan pendekatan kinerja. Peraturan pemerintah tersebut sudah memberikan arahan secara umum kepada Pemerintah Daerah dalam menyusun dan melaksanakan APBD. Di samping itu, daerah dituntut lebih terampil dalam proses penyusunan maupun dalam pelaksanaan APBD dengan menggunakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pendekatan kinerja. Anggaran dengan kinerja merupakan suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan (penjelasan PP No. 105/2000). Hal ini juga berarti bahwa hasil yang dicapai harus sepadan atau lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Di samping itu, setiap penganggaran dalam pos pengeluaran dalam APBD harus didukung oleh adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. APBD disusun dengan pendekatan kinerja, dalam penyusunannya paling tidak harus memuat 3 (tiga) hal yaitu (BAB III, Bagian kedua, Pasal 20 ayat 1, PP No. 105/2000): (i) Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja; (ii) Standar pelayanan yang diharapkan dan pemikiran biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; (iii) Bagian pendapatan APBD yang membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal pembangunan. Selanjutnya dalam (BAB III, bagian kedua, pasal 20 ayat 2, PP No. 105/2000) disebutkan bahwa untuk mengukur kinerja Pemerintah Daerah, dikembangkan: (i) Standar analisa belanja, yaitu penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap suatu kegiatan; (ii) Tolak ukur kinerja, yaitu ukuran keberhasilan yang dicapai pada setiap unit organisasi perangkat daerah; dan (iii) Standar biaya, yaitu harga saham satuan unit biaya yang berlaku bagi masingmasing daerah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Manajemen Ke uangan Daerah Tuntutan globalisasi perekonomian dan pembangunan nasional menekankan pada pelaksanaan Otonomi Daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab. Oleh karena itu, guna mendukung pelaksanaan otonomi daerah yang didambakan tersebut maka diperlukan anggaran baru yang berkaitan dengan manajemen Keuangan Daerah yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan yang dibagi menjadi manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Perubahan
paradigma
anggaran
daerah
diharapkan
dapat
menghasilkan anggaran daerah yang benar-benar mencerminkan kepentingan masyarakat daerah setempat. Pengelolaan keuangan daerah secara ekonomis, transparan, efisien dan efektif tersebut dapat dipenuhi dengan kriteria sebagai berikut (Mardiasmo, 2002:166): a. Anggaran Daerah bertumpu pada kepentingan publik b. Anggaran Daerah dikelola dengan hasil yang baik dan biaya yang rendah (work better and cost less) c. Anggaran
Daerah
mampu
memberikan
transparansi
dan
akuntabilitas secara nasional untuk keseluruhan siklus anggaran d. Anggaran
Daerah
dikelola
dengan
pendekatan
kinerja
(performance orientied) untuk seluruh jenis pengeluaran maupun pendapatan e. Anggaran Daerah mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap organisasi yang terkait
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
f. Anggaran Daerah dapat memberikan keleluasaan bagi para pelaksanaannya untuk memaksimalkan pengelolaan dananya dengan memperhatikan prinsip value for money. Setiap bentuk organisasi, sektor swasta ataupun sektor publik untuk mencapai visi dan misinya akan melakukan penganggaran dan manajemen keuangan daerah yang dilaksanakan sesuai dengan prinsipprinsip pokok tertentu, antara lain adalah (World Bank dalam Mardiasmo, 2002:106-107): a. Anggaran Daerah dan Manajemen Keuangan Daerah dilaksanakan secara komprehensif dan disiplin; b. Pengangguran
Daerah
dan
Manajemen
Keuangan
Daerah
Keuangan
Daerah
dilakukan dengan prinsip Fleksibilitas; c. Penganggaran
Daerah
dan
Manajemen
dilakukan dengan prinsip terprediksi; d. Terdapat informasi yang benar dan jelas dalam Anggaran Daerah dan Manajemen Keuangan Daerah tentang laporan biaya, output dan dampak dari suatu kebijakan yang diambil; e. Penganggaran
Daerah
dan
Manajemen
Keuangan
Daerah
dilaksanakan secara transparan dan memperhatikan prinsip akuntabilitas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Ke uangan Daerah di Era Transisi Pelaksanaan Otonomi Daerah sejak awal bulan Januari 2001 merupakan masa transisi bagi Pemerintah Daerah dari kebiasaan sentralisasi
berubah
ke
permulaan
tugas
menyusun
sendiri
anggarannya (APBD). Seiring hal tersebut kemudian muncul beberapa ekses seperti kekurangan gaji pegawai dan beberapa daerah mengalami APBD defisit. Beberapa daerah menuntut tambahan Dana Alokasi Umum (DAU), selanjutnya Pemerintah Pusat mengalokasikan Dana Kontigensi dan sebagainya. Beberapa ekses ini terjadi disebabkan oleh adanya misallocation dari adanya kebijakan transfer fiskal yaitu transfer dari APBN ke APBD dalam bentuk Dana Perimbangan, Khususnya Dana Alokasi Umum (DAU) yang dulu merupakan Subsidi Daerah Otonom (SDO), Dana Inpres (Instruksi Presiden), sebagian dana Daftar Isian Kegiatan (DIK) dan Daftar Isian Proyek (DIP) dan sebagainya. Demikian juga ekses yang ditimbulkan oleh adanya limpahan pegawai dari Propinsi ke Kabupaten/Kota. Bagi daerah-daerah yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), akan mendapatkan alokasi dana dari pos Dana Bagi Hasil (DBH) SDA dalam jumlah yang sangat besar sehingga dampak alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) relatif kurang bermasalah. Gejala ini memberikan indikasi bahwa banyak Daerah yang APBDnya masih tergantung dan mengandalkan pada pembagian DAU dari Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, untuk APBD tahun-tahun berikutnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pemerintah Daerah dapat meningkatkan jumlah pendapatan dalam APBDnya melalui berbagai upaya: (1) Kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD); (2) Kegiatan Land and Building valuation sehingga meningkatkan bagi hasil dari pos Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); (3) Melakukan penyempurnaan variable penentu Dana Alokasi Umum (DAU) dengan cara dan perhitungan yang disusun oleh masing-masing Daerah yang kemudian diajukan sebagai usulan ke Pemerintah Pusat; dan (4) Pengelolaan asset daerah dan penyusunan neraca Sumber Daya Alam (SDA). Pelaksanaan anggaran daerah harus dilandasi oleh keingan untuk mewujudkan tata Pemerintahan yang baik (good governance) dan manajemen keuangan yang efisien (cash management efficiency). Sebagai dasar aplikasi perubahan sistem akuntansi keuangan daerah adalah Peraturan Daerah yang dikeluarkan Kepala Daerah sedangkan Pemerintah Pusat akan membuat sistemnya dan membantu dalam kegiatan desimensi dan pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM) aparat pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemahaman mengenai pentingnya manajemen keuangan daerah oleh berbagai pihak akan menunjang keberhasilan dalam pembangunan umumnya dan pengelolaan keuangan daerah khususnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Reformasi Keuangan Daerah sebagai konsekuensi logis dari otonomi daerah memberikan peluang untuk menunjukkan kemampuan dalam mengelola anggaran daerah tanpa banyak campur tangan Pemerintah Pusat atau propinsi (Pasal 40 PP No.105/2000). Dapat dikatakan bahwa yang menjadi perhatian utama dalam Pengelolaan Keuangan Daerah adalah adanya paradigma baru dalam manajemen atau pengelolaan anggaran daerah. Anggaran daerah sebagai suatu arahan kegiatan operasional, anggaran daerah sebagai suatu alat komunikasi terhadap publik. Masing-masing maksud atau tujuan
tersebut
mempunyai
kriteria-kriteria
tersendiri
untuk
evaluasinya (Coe (1989) dalam Mardiasmo, 2002:108). Anggaran Daerah adalah rencana kerja Pemerintah Daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Anggaran daerah atau anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan Kapabilitas dan Efektivitas Pemerintah Daerah menjalankan fungsi dan peranannya secara efisien, sedangkan Efektivitas diartikan sebagai upaya untuk menyelaraskan Kapabilitasnya dengan tuntutan dan kebutuhan dan kebutuhan publik (World Bank (1997) dalam Mardiasmo, 2002:177).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Reformasi anggaran berarti anggaran harus disusun dengan pendekatan kinerja yaitu pengelolaan anggaran daerah berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja (pasal 8 PP No. 105/2002). Anggaran daerah harus mampu secara optimal difungsikan sebagai alat menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran dimasa-masa yang akan dating, sumber pengembangan ukuran-ukuran standard untuk evaluasi kinerja, alat unyuk memotivasi para pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja (Jones Prendlebury (1999) dalam Mardiasmo, 2002:177). Kemampuan
pemerintah
dalam
mengelola
keuangannya
dituangkan dalam APBD yang langsung maupun tidak langsung mencerminakan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintah, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat pada satu tahun anggaran, APBD memuat seluruh perkiraan dalam bentuk angka-angka baik pada sisi pendapatan (penerimaan) maupun sisi pengeluaran (belanja) maka sistem Pengelolaan Keuangan Daerah dimulai dari proses perencanaan, pengangguran sampai pada kebutuhan riil masyarakat disesuaikan dengan kondisi dan potensi daerah. Anggaran daerah otonom hakekatnya merupakan salah satu alat memegang peranan penting dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan potensi keanekaragaman daerah,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
maka dari itu APBD harus memperhatikan prinsip-prinsip anggaran sebagai berikut (Halim, 2001:79-80): a. Keadilan Anggaran. Pembiayaan Pemerintah Daerah dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dipilih oleh segenap lapisan
masyarakat
daerah.
Untuk
itu
pemerintah
wajib
mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian layanan; b. Disiplin Anggaran.
APBD disusun dengan orientasi pada
kebutuhan masyarakat tanpa harus meninggalkan keseimbangan antara pemerintah, pembangunan dan pelayanan masyarakat; c. Transparansi dan Akuntabilitas. Anggaran daerah harus mampu memberikan informasi yang lengkap, akurat dan tepat waktu dan dilaksnakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis dan ekonomis kepada pihak terkait, baik masyarakat, Pemerintah Pusat maupun pihak-pihak yang bersifat independent yang memerlukannya; d. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran. Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e. Format Anggaran. Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran defisit (defisit budget format). Selisih antara pendapatan dan belanja mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran. Pengeluaran belanja daerah berdasarkan pada konsep Value for Money yang tercermin dalam indikator 3-E (Ekonomi, Efisien dan Efektivitas). Pengertian dari indikator 3-E dapat disajikan sebagai berikut (Kurniawati dalam Mulyanto, 2003:49): a. Ekonomi; Indikator ekonomi dihasilkan dari suatu perbandingan antara input (masukan) dengan input value (nilai uang). Indikator ekonomi juga menunjukkan adanya praktek pemberian barang dan jasa pada kualitas yang diinginkan dan pada harga yang terbaik yang dimungkinkan (spending tess). Pengertian ekonomi sebaiknya mencangkup juga pengertian bahwa pengeluaran daerah hendaknya dilakukan secara berhati-hati (prudency) dan keuangan daerah harus digunakan secara optimal tanpa pemborosan (hemat); b. Efisiensi; Indikator efisiensi erat kaitannya dengan konsep produktivitas yaitu rasio yang membandingkan antara output (keluaran) yang dihasilkan terhadap input (masukan) yang digunakan. Proses kegiatan operasional telah dilakukan secara efisien, apabila suatu target kinerja tertentu dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan biaya yang serendah-rendahnya dibandingkan secara relatif terhadap kinerja usaha sejenis atau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
antar kurun waktu (spending well). Indikator efesiensi diukur dengan rasio antara output (keluaran) dan secondary input (masukan sekunder); c. Efektivitas; Indikator efektivitas merupakan perbandingan antara outcome (pencapaian/dampak) dengan output (keluaran). Kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir dari suatu kebijakan (spending wisely) yang telah ditetapkan. Indikator efektivitas juga berarti dapat diselesaikannya suatu kegiatan pada waktunya dan di dalam batas anggaran yang disediakan atau dapat mencapai tujuan program (yaitu outcome atau hasilnya dalam mencapai tujuan fungsional dan tujuan akhir). Bila dilihat dari proses penyusunan APBD, maka tahap-tahap proses penyusunan APBD adalah sebagai berikut: a. Perumusan kebijakan umum APBD antara Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan mempertimbangkan aspirasi dan masukan dari masyarakat; b. Penyusunan strategi dan prioritas oleh Pemerintah Daerah; c. Penyusunan RAPBD yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah; d. Pembahasan RAPBD yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah bersma DPRD; e. Penetapan RAPBD dengan peraturan daerah;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
f. Apabila DPRD tidak menyetujui RAPBD yang diusulkan, maka dipergunakan APBD tahun sebelumnya; g. Perubahan RAPBD ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan Menurut PP No. 105/2000, struktur dalam APBD merupakan suatu kesatuaan yang terdiri dari: (i) Pendapatan Daerah; (ii) Belanja Daerah; (iii) Pembiayaan. Selisih lebih dari pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut surplus anggaran, sedangkan selisih kurang dari pendapatan daerah disebut Defisit Anggaran. Jumlah pembiayaan sama dengan jumlah surplus/defisit anggaran. Apabila diperkirakan pendapatan daerah lebih kecil dari rencana belanja daerah, maka daerah dapat melakukan pinjaman sebagaimana yang diatur dalam PP No. 107/2000 tentang Pinjaman Daerah. Komponen APBD menurut PP No. 105/2000 disusun dengan muatan sebagai berikut: a. Pendapatan Daerah; b. Belanja Operasional Pemerintah; c. Belanja Modal (capital investment). Investasi modal dalam suatu proyek, hasilnya di sampiung untuk menambah pendapatan daerah, juga harus digunakan untuk mengangsur proyek surplus/defisit;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Aset Daerah Aset daerah dicatat nilainya pada awal tahun anggaran kemudian menjelang akhir tahun anggaran diadakan evaluation, dan dicatat apakah terjadi mutasi selama tahun anggaran berjalan; e. Pembiayaan; 1) Dana Daerah; 2) Pinjaman; 3) Pemerintah Pusat; 4) Masyarakat; 5) Luar Negeri. Dalam rangka mengelola keuangan daerah, dapat membentuk dana cadangan yang bersumber dari Pemerintah Daerah, guna membiayai kebutuhan tertentu. Dana cadangan dapat disediakan dari sisa anggaran tahun lalu dan/atau sumber pendapatan daerah. Dana cadangan dibentuk dan diadministrasikan secara terbukti tidak dirahasiakan, disimpan dalam bentuk kas atau yang mudah diuangkan, dan semua transaksi harus dicantumkan dalam APBD. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 25 Tahun 1999 menjadi UU No. 33 Tahun 2004 serta PP No. 105 Tahun 2000 dapat dilihat pada tabel 2.1 sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 2.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) No. I
II
III IV
Uraian Jumlah PENERIMAAN 1. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu 2. Pendapatan Asli Daerah a. Hasil Pajak Daerah b. Hasil Restribusi Daerah c. Hasil BUMD dan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan d. Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah 3. Dana Perimbangan a. Bagian Daerah Dari Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum c. Dana Alokasi Khusus PENGELUARAN 1. Pengeluaran Belanja a. Belanja Rutin 1) Administrasi Umum a) Belanja Pegawai b) Belanja Barang c) Belanja Perjalanan Dinas d) Belanja Pemeliharaan b. Operasi Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Umum 2) Belanja Investasi a) Publik b) Aparatur 2. Pengeluaran Transfer a. Angsuran Pinjaman dan Bunga b. Bangunan c. Dana Cadangan 3. Pengeluaran tak Tersan gka SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN PEMBIAYAAN 1. Dalam Negeri 2. Luar Negeri Keterangan: Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Sesuai Undang-Undang No. 22 dan No. 25 Tahun 1999 serta PP No.l 105 Tahun 2000) Sumber: Abdul Halim (2001). Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN, hal. 14
5. Sumbe r-Sumber Ke uangan Daerah Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 adalah pengganti Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sumber-sumber penerimaan terdiri atas:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli daerah merupakan penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dan wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan Perundangundangan yang berlaku yang terdiri dari: 1) Hasil Pajak Daerah Ketentuan mengenai Pajak Daerah ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan penentuan tarif dan tata cara pemungutan pajak daerah ditetapkan dengan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2) Hasil Restribusi Daerah Retribusi adalah pungutan yang dikenakan kepada pemakai jasa tertentu yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Sebagaimana pajak daerah ketentuan mengenai restribusi daerah juga ditetapkan dengan Undang-Undang. Sementara penentuan tarif dan tata cara pemungutan restribusi daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Hasil Perusahaan Milik Daerah 4) Hasil Pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan 5) Sumber Lain Pendapatan yang Sah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Dana Perimbangan Pinjaman Daerah Dana
perimbangan adalah dana
yang bersumber dari
penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Sumber-sumber dan yang berasal dari pos dana perimbangan antara lain: 1) Bagian Hasil Daerah Bagian hasil daerah dapat berasal dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Penerimaan dari sumber daya alam (SDA) 2) Dana Alokasi Umum Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan Pemerataan Keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 3) Dana Alokasi Khusus Dana alokasi khusus adalah dana yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus tertentu. Kebutuhan khusus yang dimaksud menggunakan kriteria: (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus dana alokasi umum, dan/atau (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Lain-Lain Pendapatan yang Sah Lain-lain Penerimaan daerah yang sah, antara lain bersumber dari: hibah, dana darurat dan penerimaan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6. Ke bijakan Anggaran Daerah Kebijakan anggaran yang sering juga disebut sebagai kebijakan fiskal, secara umum dapat diartikan sebagai upaya dari pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah di dalam menyelenggarakan pembanguan untuk mencapai suatu tujuan tertentu melalui pengelola APBD. Tujuan dari pengelolaan anggaran ini, paling tidak ditujukan untuk mengatasi permasalahan dan fungsi pemerintah dibidang alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi alokasi berkaitan dengan upaya Pemerintah di dalam menyediakan dana bagi kebutuhan masyarakat banyak yang tidak mungkin disediakan oleh pihak swasta. Dengan kata lain fungsi alokasi merupakan wujud campur tangan atau intervensi dari Pemerintah terhadap kebijakan/program/kegiatan yang tidak diminati oleh sektor swasta agar terjadi alokasi anggaran yang merata ke seluruh masyarakat melalui penyediaan atau pengadaan barang-barang dan jasa-jasa publik (public goods and services). Berdasarkan skala prioritas yang ditetapkan, Pemerintah Daerah dapat mengalokasikan nilai belanja tertentu untuk kebutuhan atau kegiatan tertentu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Fungsi distribusi berkaitan dengan upaya pemerintah untuk menyalurkan
anggaran,
khususnya
melalui
pos
belanja
pembangunan/belanja publik untuk menciptakan pemeratan atau mengurangi tingkat kesenjangan pendapatan antar wilayah, sektor maupun antar golongan/anggota masyarakat. Melalui fungsi distribusi, Pemerintah dapat membuat suatu kebijakan yang memastikan lapisan masyarakat yang kaya disuatu wilayah dan juga suatu sektor yang member kontribusi besar terhadap pembangunan secara keseluruhan, untuk kemudian mendistribusikan ke lapisan masyarakat yang lebih miskin melalui program atau kegiatan yang direncanakan dalam anggaran daerah. Fungsi stabilisasi, dimaksudkan bahwa melalui pengelolaan anggaran (APBN), Pemerintah daerah dapat menciptakan tingkat kesempatan kerja yang memadai, kestabilan tingkat harga atau tingkat inflasi serta pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Apabila terjadi angan yang ekstrem, misalnya terjadi tingkat pengangguran yang tinggi, melalui program atau kegiatan yang direncanakan dalam anggaran Pemerintah dapat menciptakan lapangan kerja baru atau memperluas kesempatan kerja yang sudah ada untuk menyerap tenaga kerja yang berlimpah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari dimensi manajerial, pengelola anggaran yang dilaksanakan melalui kebijakan fiskal mempunyai beberapa fungsi: 1) Memberikan
pedoman
bagi
Pemerintah
Daerah
untuk
melaksanakan tugasnya pada periode yang akan datang; 2) Sebagai produk politik yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif atas nama kepentingan masyarakat dan pembebanan konsekuensi terhadap masyarakat juga, oleh karena itu anggaran bias berfungsi sebagai alat kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan yang dibuat Pemerintah; 3) Anggaran dapat dipakai masyarakat untuk menilai seberapa jauh pencapaian Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan dan program-program yang direncanakan. 7. Indikator Kinerja Keuangan Daerah Pada dasarnya terdapat dua hal yang dapat dijadikan sebagai indikator kinerja, yaitu Kinerja Anggaran dan Anggaran Kinerja. Kinerja anggaran merupakan instrumen yang dipakai oleh DPRD untuk mengevaluasi kinerja Kepala Daerah, sedangkan Anggaran Kinerja merupakan instrumen yang dipakai oleh Kepala Daerah untuk menevaluasi unit-unit kinerja yang ada di bawah kendali Daerah selaku manager eksekutif. Penggunaan indikator kinerja sangat penting untuk mengetahui apakah suatu program kerja telah dilaksanakan secara efisien dan efektif (Mardiasmo, 2002:19).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan konsep Musgrave dalam buku ekonomi publik oleh Reksohadiprojo (2001: 153-158), indikator keuangan daetah adalah sebagai berikut: 1) Data Desentralisasi Fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada umumnya ditujukan oleh variable-variabel: (i) Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), (ii) Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Daerah (BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) dan (iii) Rasio Sumbangan Bantuan Daerah (SBD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD). 2) Kebutuhan Fiskal Variabel-variabel
kebutuhan
daerah
dibagi
atas
variabel
kependudukan dan variabel kewilayahan. Variabel kependudukan meliputi jumlah penduduk dan Indeks Kemiskinan Relatif. Sedangkan variabel kewilayahan meliputi luas wilayah dan Indeks harga Bangunan (Mardiasmo, 2002:160). 3) Kapasitas Fiskal Kapasitas Fiskal adalah sejumlah pajak yang seharusnya mampu dikumpulkan dari dasar pajak, yang biasanya berupa pendapatan perkapita. Upaya peningkatan kapasitas fiskal daerah sebenarnya tidak hanya menyangkut peningkatan PAD. Peningkatan kapasitas fiskal daerah pada dasarnya adalah optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Variabel-variabel potensi daerah terdiri dari potensi PAD dan potensi Penerimaan Bagi Hasil (PBB, BHPBP, PPh Perorangan dan SDA). 4) Usaha Fiskal Usaha pajak dapat diartikan sebagai rasio antara penerimaan pajak dengan kapasitas membayar disuatu daerah. Salah satu indikator yang dapat digunakan mengetahui kemampuan membayar pajak masyarakat adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto. Jika PDRB
meningkat
maka
membayar pajak juga
kemampuan daerah-daerah dalam meningkat. Hal ini berarti bahwa
administrasi penerimaan daerah dapat meningkatkan daya pajak. C. Penelitian Terdahulu Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Wibowo (2006) yang berjudul Analisis Kinerja Keuangan Daerah sebelum dan pada masa Otda (studi kasus di Kabupaten Sragen tahun anggaran 1996/1997-2005). Tujuan penelitian disebutkan adalah untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah Kabupaten Sragen baik sebelum dan pada masa Otonomi Daerah. Data yang dipergunakan adalah data APBD sepuluh tahun anggaran dari tahun 1996/1997-2005. Teknik analisis deskriptif menunjukan bahwa APBD Kabupaten Sragen mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hasil dari analisis deskriptif menunjukkan bahwa APBD Kabupaten Sragen mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hasil dari analisis kuantitatif menunjukkan bahwa Kabupaten Sragen belum mampu dan mandiri secara keuangan dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membiayai
penyelenggaraan
kegiatan
pemerintah.
Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa proporsi PAD terhadap TPD tergolong rendah baik sebelum dan sesudah Otonomi Daerah. Dimana Rasio PAD rata-rata sebelum Otonomi Daerah yaitu 15,21% dan Rasio PAD rata-rata sesudah Otonomi Daerah adalah 9,45%. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Kurniawati (2004) dengan judul Analisis
Kemampuan
Keuangan
Daerah
di
Kabupaten
Sukoharjo
(Perbandingan Era Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah). Kesimpulan dari penelitian menyatakan bahwa pada era sebelum otonomi daerah, Kabupaten Sukoharjo mempunyai rata-rata rasio PAD terhadap Total Penerimaan Daerah lebih tinggi daripada rata-rata rasio PAD terhadap Total Pengeluaran Daerah setelah
otonomi
daerah.
Perhitungan
tentang
kemandirian
daerah
menunjukkan bahwa Kabupaten Sukoharjo memiliki kemampuan keuangan yang rendah sekali yaitu dibawah 25%. Penelitian yang dilakukan oleh Prayitno pengadakan penelitian tentang keuangan daerah di Kabupaten Sleman periode 1990/1991-2003. Kesimpulan penilitian menunjukkan bahwa Kabupaten Sleman belum mampu dalam mengumpulkan PAD. Perhitungan derajat desentralisasi fiskal menunjukkan pada era sebelum otonomi daerah, Kabupaten Sleman mempunyai rata-rata rasio PAD data data-data rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pada era otonomi daerah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Zahra (2008) yang berjudul Analisis Keuangan Daerah di Kabupaten Karangayar Perbandingan sebelum dan selama Otonomi Daerah (Periode 1994/1995-2006). Tujuan penelitian disebutkan adalah untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah agar menjadi tumpuan untuk menjalankan pemerintahan sebelum dan pada masa Otonomi Daerah. Data yang dipergunakan adalah data APBD tiga belas tahun anggaran dari tahun 1994/1995-2006. Teknik analisis deskriptif menunjukan bahwa APBD Kabupaten Karangayar mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Hasil dari analisis kuantitatif. Hasil dari analisis deskriptif
menunjukkan bahwa APBD Kabupaten Karangayar mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hasil dari analisis kuantitatif menunjukkan bahwa Kabupaten Karangayar belum mampu dan mandiri secara keuangan dalam membiayai
penyelenggaraan
kegiatan
pemerintah.
Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa proporsi PAD terhadap TPD tergolong rendah baik sebelum dan sesudah Otonomi Daerah. Dimana Rasio PAD rata-rata sebelum Otonomi Daerah yaitu 22,82% dan Rasio PAD rata-rata sesudah Otonomi Daerah adalah 8,18%.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Kerangka Pemikiran PDRB
Jumlah Penduduk
Bantuan dan Sumbangan
PAD
Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
Derajat Desentralisasi
Rasio Keuangan
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Pada era Otonomi Daerah sekarang ini, pemerintah daerah dituntut untuk dapat lebih mandiri dalam menjalankan pemerintahan. Ketergantungan pemerintah daerah pada pemerintah pusat harus mulai dikurangi, untuk itu pemerintah daerah harus mengoptimalkan setiap sumber daya yang dimiliki. Untuk membuat suatu perencanaan pembangunan ekonomi daerah diperlukan bermacam-macam data yang digunakan sebagai bahan analisis. Dalam hal ini unsur-unsur penentu perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) antara lain adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dan jumlah penduduk. Apabila jumlah penduduk semakin banyak, maka pendapatan asli daerah semakin meningkat, karena masyarakat semakin banyak untuk membayar pajak daerah dan restribusi daerah karena termasuk kedalam pendapatan asli daerah. Sedangkan untuk menghitung Derajat Desentralisasi Fiskal antara lain Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pajak dan bukan pajak dan sumbangan. Pemerintah Daerah mendapat sumbangan antara lain dari Pemerintah Negara Asing, Badan atau Lembaga Asing, Pemerintah, Lembaga Dalam Negeri atau Perseorangan dan Lembaga Internasional. Dalam hal ini pemerintah diberi dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang atau jasa termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali. Sehingga rasio keuangan daerah dapat disimpulkan apakah Pemerintah Kota Surakarta telah mandiri dari segi posisi keuangan daerah dihitung dari derajat desentralisasi fiskal. E. Hipotesis Hipotesis pada dasarnya merupakan suatu kesimpulan sementara tentang perilaku variabel-variabel dalam model yang digunakan, juga akan dibuktikan kebenarannya melalui syarat uji statistik. Berkenaan dengan hal itu maka hipotesis yang dirumuskan untuk penelitian ini adalah: 1. Kota Surakarta diduga belum mampu secara keuangan selama pelaksanaan Otonomi Daerah apabila ditinjau dari beberapa indikator kemampuan Keuangan Daerah yang meliputi: Derajat Desentralisasi Fiskal, Potensi Keuangan Daerah, Rasio Aktivitas dan efisiensi PAD. 2. Kota Surakarta diduga belum mandiri secara keuangan dalam membiayai penyelenggaraaan Otonomi Daerah bila diukur dengan Rasio Kemandirian dan Pola hubungannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kuantitatif dan deskriptif. Penelitian ini merupakan studi menyeluruh mengenai Derajat Desentralsasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya Fiskal, Matrik Potensi PAD, Rasio Aktivitas (Keserasian), dan Efektivitas PAD. Data yang digunakan meliputi APBD Kota Surakarta tahun 1990-2009 dan data PDRB atas dasar harga berlaku maupun konstan periode tahun 19902009. B. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang diperoleh dari beberapa sumber. Adapun data yang digunakan meliputi: 1. Data Realisasi PAD Kota Surakarta diperoleh dari perhitungan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kota Surakarta (Dipenda) 2. Data Realisasi PAD Jawa Tengah (BPS) 3. Data Realisasi pengeluaran daerah Kota Surakarta diperoleh dari perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Surakarta (Dipenda dan BPS) 4. Data Realisasi pengeluaran Jawa Tengah (BPS) 5. Data gambaran umum Kota Surakarta diperoleh dari Surakarta dalam angka (BPS)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Data PDRB Kota Surakarta dan Propinsi Jawa Tengah diperoleh dari PDRB Surakarta dan Jawa Tengah (BPS) 7. Data jumlah penduduk Kota Surakarta dan Jawa Tengah diperoleh dari Jawa Tengah dalam angka (BPS) C. Definisi Operasional Variabel Penelitian
ini menggunakan beberapa indikator beserta variable-variabel
guna melihat kondisi keuangan daerah suatu kabupaten/kota. Definisi Operasional masing-masing variabel tersebut adalah sebagai berikut: 1. Anggaran (budget) adalah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran organisasi yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun (Suparmoko, 1992:49) 2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah. Dinyatakan dalam rupiah (UU Nomor 33 Tahun 2004, Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah) 3. Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sumbersumber dalam wilayah sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah. Dinyatakan dalam rupiah (UU Nomor 33 Tahun 2004, Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah) 4. Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau lembaga yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangundangan
yang
berlaku,
yang
digunakan
untuk
membiayai
penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Dinyatakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam rupiah (UU Nomor 33 Tahun 2004, Perimbanga Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah) 5. Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembiayaan atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah. Dinyatakan dalam rupiah (UU Nomor 33 Tahun 2004, Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah) 6. Kemandirian
Keuangan
Daerah
(Otonomi
Fiskal)
menunjukkan
kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah (Halim, 2004:150) 7. Rasio Efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan, dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2004:152) 8. Rasio
Aktivitas
menggambarkan
memprioritaskan alokasi
dananya
bagaimana
pemerintah
pada
rutin dan belanja
biaya
daerah
pembanguan secara optimal (Halim, 2004:153) 9. Kapasitas Fiskal adalah sejumlah pajak yang seharusnya mampu dikumpulkan dari dasar pajak (tax base), yang biasanya berupa pendapatan perkapita (Suparmoko, 1987:320)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Teknik dan Model Analisis Data Penelitian ini menggunakan dua teknik analisis, yaitu: 1. Analisis Deskriptif Analisis Deskriptif merupakan teknik analisis data yang tidak berwujud angka, analisis ini berdasarkan pendapatan atau pikiran yang penyajiannya dalam bentuk keterangan-keterangan, penjelasan dan pembahasan secara tertulis. Analisis Deskriptif dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang perkembangan komponen APBD Kota Surakarta dari waktu ke waktu. 2. Analisis Kuantitatif Analisis Kuantitatif merupakan analisis yang berdasarkan perhitungan yang menjadi objek secara ilmiah yang berwujud dalam angka. a. Hipotesis I Untuk menguji hipotesis I digunakan rumus: 1) Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) antara penerimaan pusat dan daerah digunakan ukuran sebagai berikut (Reksohadiprojo, 2001:155)
TPD=PAD+BHPBP+SBD Keterangan: kalau hasilnya tinggi, maka derajat desentralisasinya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
besar atau mandiri. 2) Kebutuhan Fiskal (Fiskal Need) dengan menghitung indeks
pelayanan publik perkapita (IPPP) dengan formula sebagai berikut (Sukanto, 2001:155).
Keterangan: SKbFPJATENG : Rata-rata Kebutuhan Fiskal Standart Se-Jawa Tengah SKbFPSKA
: Kebutuhan Fiskal Kota Surakarta
PPP
: Jumlah
Pengeluaran
Rutin
dan
Pembangunan
perkapita masing-masing daerah atau Pengeluaran aktual perkapita untuk Jasa Publik Jika hasilnya tinggi maka kebutuhan akan fiskalnya rendah. 3) Kapasitas Fiskal (Fiscal Capasity/KaF)
Keterangan: SKaFKJATENG : Rata-rata Kebutuhan Fiskal Standart Se-Jawa Tengah SKaFKP SKA
: Kapasitas Fiskal Kota Surakarta
Jika hasilnya tinggi, maka kapasitas fiskalnya tinggi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Upaya/Posisi Fiskal (Tax Effort) Upaya/Posisi Fiskal suatu daerah dihitung dengan mencari koefisien elatisitas PAD terhadap PDRB. Semakin elastis PAD suatu daerah, maka struktur PAD di daerah tersebut makin baik (Halim, 2001:105)
5) Matrik Potensial PAD (Pendapatan Asli Daerah) Untuk Menilai pajak atau retribusi dapat digunakan matrik klasifikasi potensi pajak atau retribusi (Kirana dalam Mulyanto, 2001:24-25) Tabel 3.1 Matrik Potensi Jenis Pajak atau Retribusi Proporsi Pertumbuhan Prima
Berkembang
Potensial
Terbelakang
Sumber: Mulyanto (2001). Identifiksi dan Analisis Potensi Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah di Eks-Karisidenan Surakarata hal. 24-25.
Keterangan: Yi : Jenis Pajak/Retribusi Q : Nilai Rata-rata Jenis Pajak/Retribusi ∆Yi : Total Penerimaan Suatu Pajak/Retribusi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
∆Q : Total Tambahan Penerimaan Suatu Pajak/Retribusi 6) Rasio Aktivitas (Keserasian) merupakan keserasian antara Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan dapat diformulasikan sebagai berikut (Halim, 2004:153)
7) Analisis Efektifitas dan Efisiensi PAD, menggambarkan
kemampuan
Pemerintah
Rasio Efektivitas Daerah
dalam
merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibanding dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Sedangkan Rasio Efisiensi menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima (Halim, 2004:152)
b. Hipotesis II Untuk menguji Hipotesis II dengan menghitung Rasio Kemandirian dengan rumus sebagai berikut:
Untuk mengetahui tingkat kemandirian keuangan daerah Kota Surakarta digunakan analisis Rasio Kemandirian dengan rumus sebagai berikut (Halim, 2004:189).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 3.2 Pola Hubungan dan Tingkat Ke mampuan Daerah Ke mampuan Ke mandirian Pola Hubungan Ke uangan Rendah Sekali 0%-25% Instruktif Rendah 25%-50% Konsultatif Sedang 50%-75% Partisipatif Tinggi 75%-100% Delegatif Sumber: Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah (Halim, 2004:189)
Pola Hubungan Instruktif menunjukkan bahwa peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemenitah daerah (daerah tidak mampu melaksanakan otonomi daerah). Pola Hubungan Konsultatif menunjukkan bahwa campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi daerah. Pola Hubungan Partisipatif menunjukkan bahwa pemerintah pusat semakin berkurang mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi. Pola Hubungan Delegatif menunjukkan bahwa campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Bab IV ini akan mendeskripsikan daerah penelitian yang meliputi gambaran umum daerah penelitian; keadaan geografis; kondisi demografis; kondisi sosial ekonomi meliputi kondisi sosial masyarakat, kondisi perekonomian daerah ditinjau dari keuangan daerah, pertumbuhan ekonomi (PDRB) perkapita. Dalam bab ini juga akan diuraikan hasil analisis data yang meliputi analisis data yang meliputi analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif dapat memberikan gambaran mengenai kondisi perkembangan daerah Kota Surakarta dengan melihat pertumbuhan APBD dari tahun ke tahun baik disisi penerimaan maupun pengeluarannya dan kontribusi PAD terhadap APBD. Analisis kuantitatif dimaksudkan untuk menghitung seberapa besar kemampuan keuangan daerah (perkembangan keuangan daerah), kemandirian dan kinerja Kota Surakarta di era sebelum maupun selama Otonomi Daerah serta kesiapan Pemerintah Daerah Kota Surakarta dalam menghadapi Otonomi Daerah. Untuk menguji hipotesis pertama, yaitu Kota Surakarta mampu secara keuntungan selama pelaksanaan Otonomi Daerah dihitung dengan besarnya Derajat Desentralisasi, Potensi Keuangan, Rasio Aktivitas, Efektifitas dan Efisiensi PAD. Untuk menguji hipotesis kedua, yaitu bagaimana kemandirian keuangan daerah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kota Surakarta dalam membiayai penyelenggaraan Otonomi Daerah jka diukur dengan Rasio Kemandirian dan Pola Hubungannya. A. Deskripsi Wilayah Kota Surakarta 1. Keadaan Geografis a. Letak Kota Surakarta Kota Surakarta merupakan salah satu Kota besar di Jawa Tengah yang menunjang kota-kota lainnya seperti Semarang maupun Yogyakarta. Wilayah Kota Surakarta atau lebih dikenal dengan “Kota Solo”. SOLO berbatasan di sebelah Utara dengan Kabupaten Boyolali, sebelah Timur dengan Kabupaten Karanganyar, sebelah Selatan dengan Kabupaten Sukoharjo. Kota Surakarta terletak antara Bujur Timur dan antara
dan
dan Lintang Selatan. Kota
Surakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian ± 92 meter dari permukaan laut serta beriklim tropis dengan suhu udara rata-rata berkisar antara
. Sedangkan kelembaban udara berkisar
antara 64% - 85%. b. Luas Wilayah Luas Wilayah Kota Surakarta mencapai 44,06 Km2 yang terbagi dalam 5 Kecamatan yaitu: Kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres dan Banjarsari. Sebagian besar lahan dipakai sebagai tempat pemukiman sebesar 61,68%. Sedangkan untuk kegiatan ekonomi juga memakan tempat yang cukup besar juga yaitu berkisar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
antara 20% dari luas lahan yang ada. Luas penggunaan lahan di Kota Surakarta yaitu pertama untuk Perumahan atau Pemukiman sebesar 2.723 Ha, Jasa 427,13 Ha, Perusahaan sebesar 287,48 Ha, Industri sebesar 101,42 Ha, Tanah Kosong sebesar 53,38 Ha, Tegalan sebesar 81,96 Ha, Sawah sebesar 146,17 Ha, untuk Kuburan sebesar 72,86 Ha, Lapangan OR sebesar 65,14 Ha, Taman Kota sebesar 31,60 Ha, dan lainnya sebesar 399,44 Ha. c. Kondisi Sumber Daya Alam Kondisi iklim di Kota Surakarta adalah tropis dengan musim hujan dan kemarau saling bergantian di sepanjang tahun. Berdasarkan data dari 6 stasiun pengukur yang ada di Kota Surakarta, banyaknya hari hujan selama tahun 2009 adalah hari dengan rata-rata curah hujan pada bulan Januari dan terendah terjadi pada bulan Juni sampai Oktober. Secara hidrografis Kota Surakarta memiliki berbagai sumber air yang antara lain disebabkan oleh letaknya yang berada di kaki gunung lawu dimana keadaan tanahnya makin ke barat makin datar dan banyak sumber air yang berasal dari gunung lawu. Dilihat dari aspek topografi Kota Surakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 80 meter hingga 130 meter. Ketinggian 80-110 meter mencakup beberapa wilayah antara lain Laweyan, Serengan dan Pasar Kliwon; Ketinggian 80-120 meter
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mencakup wilayah Banjarsari; dan Ketinggian 80-130 meter mencakup wilayah Jebres.
2. Penduduk dan Tenaga Ke rja a. Pendudukan Jumlah penduduk di Kota Surakarta pada tahun 2009 adalah sebesar 528.202 jiwa, yang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 249.287 orang, dan penduduk perempuan sebanyak 278.915 orang. Apabila dibandingkan dengan kondisi di tahun 2008 dengan jumlah penduduk 522.935 orang, terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 247.245 orang dan penduduk perempuan 275.690 orang. Kecamatan dengan penduduk terbanyak adalah Kecamatan Banjarsari, yaitu sebanyak 86.315 orang (atau sebesar 31,45%); kemudian Kecamatan Jebres yaitu sebanyak 138.624 orang (atau sebesar 12,58%); dan Kecamatan Laweyan yaitu sebanyak 111.315 orang (atau sebesar 8,63%); Sedangkan Kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kecamatan Pasar Kliwon yaitu sebanyak 74,145 orang (atau sebesar 4,82%); dan Kecamatan Serengan yaitu sebanyak 44.120 orang (atau sebesar 3,19%). Tingkat kepadatan penduduk di Kota Surakarta juga cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 tingkat kepadatan penduduk mencapai 11.996 jiwa/Km2. Kepadatan penduduk perkotaan secara umum cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kecmatan dengan tingkat kepadatan paling tinggi adalah kecamatan Pasar Kliwon, yaitu 15.383 jiwa/Km2dan yang paling rendah adalah Kecamatan Laweyan yaitu sebesar 10.002 jiwa/Km2. b. Ketenagakerjaan Jumlah penduduk bekerja di Kota Surakarta pada tahun 2009 mencapai 275.546 orang atau sebesar 65,02% dari seluruh penduduk Kota Surakarta. Penduduk Laki-laki usia kerja lebih rendah (48,30%) dari pada penduduk Perempuan (51,70%). Ini menunjukkan bahwa peran perempuan di Kota Surakarta cukup tinggi dalam peningkatan kesejahteraan keluarga. Stuktur penduduk menurut kelompok umur usia produktif tertinggi pada kelompok umur 20-24 tahun sebesar 58.776 jiwa. Keadaan ini sangat dimungkinkan karena Kota Surakarta merupakan basis dari pendidikan dan tenaga kerja yang berpotensi pada usia tersebut. Penduduk usia kerja ini biasanya menjadi yang cukup besar dalam ketenagakerjaan. Total jumlah penduduk usia kerja (15 tahun) keatas mencapai 423.800 orang. Jumlah tersebut terbagi menjadi angkatan kerja (bekerja dan pengangguran) sebanyak 275.546 orang (65,02%) sedangkan bukan angkatan kerja (sekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya) sebesar 148.254 orang (34,98%). Dari jumlah angkatan kerja, jumlah pengangguran ini perlu ditangani secara serius karena adanya krisis global yang mempengaruhi tenaga kerja di Indonesia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut jenis pekerjaan bagi penduduk Kota Surakarta tercatat sebanyak 35,84% (89.995 orang) dari jumlah penduduk (246.531 orang) bekerja sebagai tenaga usaha penjualan dan diikuti oleh tenaga produksi sebesar 28,40% (71.314 orang). Menurut lapangan usaha, terdapat 43,13% bergerak dibidang perdagangan, diikuti oleh jasa-jasa sebesar 24,23%. Pekerjaan disektor perdagangan dan jasa di Kota Surakarta memang cukup menjanjikan karena Kota Surakarta merupakan Kota Perdagangan dan Jasa. 3. Kondisi Sosial Ekonomi a. Kondisi Sosial Masyarakat 1) Bidang Pendidikan Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Surakarta, pada tahun 2009 jumlah SD/MI sebanyak 286 buah, SMP/MTs 89 buah, SMA/MA 51 buah, SMK N 8 buah. Jumlah Perguruan Tinggi di Kota Surakarta 50 buah. Jumlah murid SD/MI sebanyak 129.316 siswa dengan jumlah guru sebanyak 3.722 orang sehingga rasio guru : murid sebanyak 1 : 34,744. Jumlah murid SLTP/MTs sebanyak 36.133 siswa dengan guru sebanyak 2.466 orang sehingga rasio guru : murid sebanyak 1 : 14,652. Jumlah SMA/MA sebanyak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20.506 siswa, dengan jumlah guru sebanyak 1.815 orang sehingga rasio guru : murid sebanyak 1 : 11.298. Pada tahun 2009 penduduk Kota Surakarta usia 5 tahun keatas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan terdiri dari tidak/belum pernah sekolah sebanyak 105.834 orang, belum tamat SD sebanyak 66.799 orang. Tidak tamat SD 44.051 orang. Tamat SD sebanyak 98.118 orang, Tamat SLTP sebanyak 101.351 orang, Tamat SMA sebanyak 71.143 orang, dan tamat Perguruan Tinggi/Akademi sebanyak 35.639 orang. 2) Kesehatan Penduduk Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Surakarta tahun 2009 menunjukkan bahwa jumlah fasilitas kesehatan yang ada terdiri dari 12 Rumah Sakit; 15 Puskesmas; 25 Puskesmas Pembantu; 9 Rumah Bersalin Swasta; dan 35 Balai Pengobatan Swasta. Perkembangan jumlah tenaga kerja di Kota Surakarta pada tahun 2009, terdiri dari Dokter Umum sebanyak 276 orang; Dokter Gigi sebanyak 68 orang; Bidan sebanyak 261 orang dan Perawat sebanyak 2.027 orang. Selama tahun 2009, jenis penyakit yang banyak diderita oleh pasien dan yang berobat ke Puskesmas adalah jenis ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan) yang jumlahnya mencapai 18.052
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
orang atau sebesar 22,36% dari total penderita, yang jumlahnya adalah 80.734 penderita.
b. Kondisi Perekonomian Daerah 1) Ke uangan Daerah Berdasarkan Neraca Daerah dan aliran Kas Kota Surakarta Tahun
2009,
anggaran
pendapatan
Rp.710.827.482.180,-; atau 108,05%
ditetapkan
sebesar
Rinciannya
adalah
sebagai berikut Pendapatan Asli Daerah (PAD) dianggarkan sebesar Rp.71.002.320.000,-; sedangkan realisasinya sebesar Rp.76.127.372.000,-; atau 107,22%.
Dan bagian Dana
Perimbangan
Rp.621.726.198.000,-
dianggarkan
sebesar
Realisasinya sebesar Rp.651.173.021.000,- ;atau 104,74%. Dan lain-lain pendapatan yang sah dianggarkan sebesar Rp. 0,sedangkan realisasinya sebesar Rp. 0,- atau sebesar 100%. 2) Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) Kondisi perekonomian daerah dapat diketahui dengan menghitung ekonomi. Pertumbuhan ekonomi digunakan untuk mengetahui perkembangan perekonomian denghan melihat besar produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baik atas harga berlaku maupun konstan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.1 Pertumbuhan PDRB Kota Surakarta Atas Harga Konstan dan Berlaku Tahun 2001-2009 PDRB Pertumbuhan PDRB Pertumbuhan Tahun Konstan PDRB Berlaku PDRB (Jutaan Rp.) Konstan (Jutaan Rp.) Berlaku 2001 3.372.850,36 12,79 3.113.668,99 4,12 2002 3.772.737,68 26,16 3.268.559,64 9,30 2003 4.251.845,59 42,18 3.468.276,94 15,98 2004 4.756.559,53 59,06 3.669.373,45 22,70 2005 5.585.776,84 86,79 3.858.169,67 29,02 2006 6.190.112,55 107 4.067.529,95 36,02 2007 6.909.094,57 131,04 4.304.287,37 43,93 2008 7.901.886,06 164,24 4.549.342,95 52,13 2009 8.880.691,24 196,97 4.817.877,63 61,11 Rerata 5.735.728,27 91,80 3.901.898,51 30,48 Sumber: BPS Kota Surakarta. (Beberapa Tahun)
Berdasarkan tabel 4.1 di bawah dapat diketahui besar pertumbuhan PDRB atas harga konstan dan berlaku Kota Surakarta pada masa selama Otonomi Daerah. Pertumbuhan PDRB
atas
harga
konstan
Kota
Surakarta
cenderung
mengalami peningkatan, dimana kenaikan tertinggi dicapai pada tahun 2009 yaitu sebesar 196,97% sedangkan yang paling rendah yaitu sebesar 12,79% terjadi pada tahun 2001. Jika ditinjau dari pertumbuhan PDRB atas harga berlaku maka pertumbuhan PDRB Kota Surakarta yang tertinggi adalah tahun 2009 sebesar 61,11% dan terendah pada tahun 2001 sebesar 4,12%.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Inflasi Selama tahun 2009 inflasi di Kota Surakarta mencapai 2,63%. Inflasi tertinggi jatuh pada bulan Februari, sebesar 0,67% dan terendah pada bulan Desember sebesar -0,29%. Penyumbang inflasi terbesar adalah kelompok Bumbu-bumbuan mencapai 10,06%, kemudian kelompok sebesar 6,96% dan ketiga adalah kelompok Bahan Makanan sebesar 6,25%. Diikuti oleh kelompok Makanan Jadi sebesar 5,65% dan kelompk Perumahan sebesat 2,28%. Penyumbang inflasi terendah adalah kelompok Perumahan yaitu 2,28% dan kelompok
sebesar
Bumbu-bumbuan 10,06% B. Hasil Analisis dan Pembahasan 1. Analisis Deskripsi a. Pertumbihan PAD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan kebijaksanaan keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang disusun berdasarkan
instruksi
menteri
dalam
negeri
serta
berbagai
pertimbangan lainnya dengan maksud agar penyusunan, pemantauan, pengendalian, dan evaluasi APBD mudah dilakukan. Dari sisi lain, APBD dapat pula menjadi sarana bagi pihak tertentu untuk dapat melihat atau mengetahui kemampuan keuangan daerah. Pertumbuhan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
APBD Kota Surakarta tahun 1990-2009 dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini. Pada tabel 4.2 di bawah ini, dapat diketahui bahwa pertumbuhan APBD Kota Surakarta era sebelum otonomi daerah mengalami pertumbuhan rata-rata 16,22%. Sedangkan pada era selama otonomi daerah, pertumbuhan rata-rata APBD sebesar 15,43% atau mengalami penurunan sekitar 0,79% dari era sebelum otonomi daerah. Tabel 4.2 Pertumbuhan APBD Kota Surakarta Tahun 1990-2009 APBD Pertumbuhan Tahun (Jutaan Rp.) APBD (%) 1990 16.633.379 1991 22.014.288 24,44 1992 24.586.680 10,46 1993 26.832.883 8,37 1994 33.845.062 20,72 1995 40.091.557 15,58 1996 48.334.925 17,05 1997 63.329.878 23,68 1998 66.531.359 4,81 1999 91.374.002 27,19 2000 101.419.602 9,90 Rerata* 48.635.783 16,22 2001 212.094.519 52,18 2002 251.994.832 15,83 2003 359.410.690 29,89 2004 351.968.337 -2,11 2005 354.638.398 0,75 2006 512.928.227 30,86 2007 656.247.692 21,84 2008 760.080.857 13,66 2009 612.610.012 -24,07 Rerata** 452.441.507 15,43 Catatan: *) Sebelum Otda **) Selama Otda Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Kontribusi PAD terhadap APBD Kontribusi Mengukur besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Total APBD Kota Surakarta. Tabel 4.3 Kontribusi PAD Terhadap APBD Kota Surakarta Tahun 1990-2009 PAD APBD Kontribusi Tahun (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) (%) 1990 3.029.181 16.633.379 18,21 1991 3.462.985 22.014.288 15,73 1992 3.729.192 24.586.680 15,17 1993 4.028.878 26.832.883 15,01 1994 4.315.434 33.845.062 12,75 1995 5.569.932 40.091.557 13,89 1996 6.325.182 48.334.925 13,09 1997 7.269.896 63.329.878 11,48 1998 7.811.435 66.531.359 11,74 1999 8.841.838 91.374.002 9,68 2000 12.816.761 101.419.602 12,64 2001 15.880.342 212.094.519 7,49 2002 20.943.463 251.994.832 8,31 2003 24.656.991 359.410.690 6,86 2004 27.395.768 351.968.337 7,78 2005 29.089.223 354.638.398 8,20 2006 35.589.770 512.928.227 6,94 2007 41.404.086 656.247.692 6,31 2008 44.981.954 760.080.857 5,92 2009 51.823.682 612.610.012 8,46 Rerata sebelum otda 5.438.395 43.357.401 12,54 Rerata selama otda 30.458.204 417.339.317 7,30 Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan tabel 4.3 di atas, besarnya kontribusi PAD Kota Surakarta yang paling tinggi pada tahun 1990 adalah sebesar 18,21%, sedangkan yang paling rendah pada tahun 2008 sebesar 5,92%. Jika dilihat dari reratanya, kontribusi PAD terhadap APBD cenderung mengalami penurunan, yaitu dari 12,54% pada era sebelum otonomi daerah menjadi 7,30% di era otonomi daerah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah Kota Surakarta masih perlu menggali potensi daerahnya yang mungkin untuk dapat meningkatkan kontribusi PAD terhadap APBD.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Proporsi Pengeluran Daerah Terhadap APBD Tabel 4.4 Proporsi Pengeluaran Daerah Terhadap APBD Kota Surakarta Tahun 1990-2009 Proporsi Pengeluaran Pengeluran Daerah APBD Tahun Daerah Terhadap (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) APBD (%) 1990 12.538.367 16.633.379 75,38 1991 12.938.377 22.014.288 58,77 1992 13.029.379 24.586.680 52,99 1993 13.398.277 26.832.883 49,93 1994 13.672.878 33.845.062 40,40 1995 13.988.290 40.091.557 34,89 1996 14.001.989 48.334.925 28,97 1997 14.325.624 63.329.878 22,62 1998 12.330.184 66.531.359 18,53 1999 12.508.074 91.374.002 13,69 2000 29.651.289 101.419.602 29,24 2001 33.216.856 212.094.519 15,66 2002 37.035.103 251.994.832 14,70 2003 41.774.908 359.410.690 11,62 2004 47.566.695 351.968.337 13,51 2005 55.857.769 354.638.398 15,75 2006 61.901.126 512.928.227 12,07 2007 69.090.946 656.247.692 10,53 2008 79.018.861 760.080.857 10,40 2009 80.483.229 612.610.012 13,14 Rerata sebelum otda 13.273.144 143.357.401 9,26 Rerata selama otda 53.559.678 427.339.317 12,53 Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
Berdasarkan ada tabel 4.4 besarnya pengeluran daerah terhadap APBD Kota Surakarta yang paling tinggi pada tahun 1990 sebesar 75,38%, sedangkan yang paling rendah pada tahun 2008 sebesar 10,40%. Jika dilihat dari reratanya, pengeluaran daerah terhadap APBD yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
cenderung mengalami penurunan yaitu 9,26% sebelum Otonomi Daerah menjadi 12,53% selama Otonomi Daerah. 2. Analisis Kuantitatif a. Derajat Desentralisasi Fiskal Derajat Deasentralisasi Fiskal (DDF) digunakan untuk mengukur kinerja Kota Surakarta dalam mengumpulkan pendapatannya sesuai dengan potensi daerahnya. Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) dapat diukur dengan tiga formula. Formula pertama yaitu membandingkan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Pendapatan Daerah (TPD) yang disebut dengan DDF1. Besar DDF1 menunjukkan kemandirian murni Kota Surakarta. Formula kedua yaitu dengan membandingkan antara Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) terhadap Total Pendapatan Daerah (TPD), yang disebut dengan DDF2. DDF2 menunjukkan kemandirian semu Kota Surakarta, formula ketiga adalah dengan membandingkan antara Sumbangan dan Bantuan dengan Total Pendapatan Daerah (TPD), yang disebut DDF3 menunjukkan ketergantungan Kota Surakarta terhadap Pemerintah Pusat. Tabel 4.5 Ukuran Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) Kota Surakarta Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) Kemampuan Keuangan Daerah < 50% Rendah > 50% Tinggi Sumber: Reksohadiprodjo. (2001). Ekonomika Publik, Edisi I. Yogyakarta: BPFE-UGM
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.6 Rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) Kota Surakarta Tahun 1990-2009 Derajat Desentralisasi Fiskal Tahun PAD/TPD BHPBP/TPD SBD/TPD 1990 18,211 50,225 38,855 1991 15,731 37,988 29,406 1992 15,168 34,079 26,408 1993 15,015 31,269 24,225 1994 12,751 24,820 19,237 1995 13,893 21,025 16,288 1996 13,086 17,643 13,555 1997 11,479 13,313 10,487 1998 11,741 12,368 10,312 1999 9,677 9,300 8,387 2000 12,637 10,696 8,037 2001 7,487 8,116 5,272 2002 8,311 7,022 7,129 2003 6,860 6,475 7,317 2004 7,784 9,845 7,158 2005 8,203 9,725 7,165 2006 6,939 7,456 7,670 2007 6,309 13,340 6,516 2008 5,918 12,908 6,589 2009 8,459 16,786 9,506 Rerata Sblm Otda 13,675 25,203 19,716 Rerata Slm Otda 7,891 10,237 7,236 Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
Berdasarkan tabel 4.6 jika ditinjau dari besar DDF1 dapat diketahui bahwa Kota Surakarta cenderung mempunyai kemandirian murni yang rendah. Hal tersebut disebabkan oleh angka DDF1 yang cenderung menunjukkan prosentase di bawah 50% pada era sebelum maupun selama Otonomi Daerah. DDF1 tertinggi dicapai pada tahun 1990
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yaitu sebesar 18,21%, sedangkan yang terendah adalah sebesar 5,92% pada tahun 2008. Jika dibandingkan, rerata antara sebelum Otonomi Daerah yang sebesar 13,68% dengan rerata selama Otonomi Daerah sebesar 7,89%, maka Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Surakarta cenderung mengalami penurunan. Dari hasil rerata ini dapat dikatakan bahwa PAD Kota Surakarta cebenderung masing mempunyai proporsi yang relatif kecil terhadap Total Pendapatan Daerahnya. Dari tabel DDF2 di atas dapat diketahui bahwa Kota Surakarta cenderung mempunyai tingkat kemandirian semu yang rendah. Hal ini disebabkan oleh angka
DDF2
yang cenderung
menunjukkan
prosentase di bawah 50% baik pada era sebelum maupun selam Otonomi Daerah. DDF2 yang paling tinggi dicapai pada tahun 1990 sebesar 50,22%, sedangkan terendah terjadi pada tahun 2003 sebesar 6,48%. Jika dibandingkan, rerata antara sebelum Otonomi Daerah yang sebesar 25,20% dengan rerata selama Otonomi Daerah sebesar 10,24% maka Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Surakarta cenderung mengalami penurunan. Berdasarkan rerata ini dapat dikatakan bahwa BHPBP Kota Surakarta cenderung masih mempunyai proporsi yang relatif kecil terhadap Total Pendapatan Daerah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari tabel DDF3 di atas dapat diketahui bahwa Kota Surakarta mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi. Hal ini disebabkan angkan DDF3 yang cenderung menunjukkan prosentase di atas 50% baik pada era sebelum maupun selama Otonomi Daerah. DDF3 tertinggi dicapai pada tahun 1990 sebesar 38,86%, sedangkan yang terendah terjadi pada tahun 2001 sebesar 5,27%. Jika dibandingkan, rerata antara sebelum Otonomi Daerah yang sebesar 19,72% dengan rerata selama Otonomi Daerah sebesar 7,24%, maka Derajat Desentralisasi Kota Surakarta cenderung mengalami kenaikan. Dari hasil rerata ini dapat dikatakan bahwa Sumbangan dan Bantuan Kota Surakarta cenderung masih mempunyai proporsi yang relatif besar terhadap Total Pendapatan Daerahnya. b. Ke butuhan Fiskal Kebutuhan fiskal dapat menggambarkan seberapa besar kebutuhan perkapita penduduk jika jumlah seluruh pengeluaran (pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan) dibagi secara adil kepada seluruh penduduk daerah tersebut. Kebutuhan fiskal juga menunjukkan besarnya indeks pelayanan publik perkapita Kota Surakarta. Tabel kebutuhan Fiskal Propinsi Jawa Tengah dan Kota Surakarta dapat dilihat dari tabel berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.7 Rata-rata Kebutuhan Fiskal (KF) Kota Surakarta Tahun 1990-2009 Kebutuhan Fiskal Kebutuhan Fiskal Standar Tahun Kota Surakarta se-Jateng (SKbFP Yk) (%) (SKbFK Ska) 1990 1,381 17,567 1991 1,369 18,170 1992 1,361 18,286 1993 1,351 18,659 1994 1,358 18,871 1995 1,419 18,394 1996 1,467 17,693 1997 1,531 17,233 1998 0,785 28,734 1999 0,942 24,142 2000 0,908 59,004 2001 1,252 47,832 2002 1,410 52,818 2003 1,550 52,783 2004 1,713 51,937 2005 2,035 53,562 2006 2,504 48,013 2007 2,757 48,629 2008 3,178 47,543 2009 3,430 44,423 Rerata Sblm Otda 1,387 18,234 Rerata Slm Otda 2,074 50,654 Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari tabel 4.7 di atas dapat diketahui bahwa pada era sebelum dan selama Otonomi Daerah, Standar Kebutuhan Fiskal Kota Surakarta (Kapasitas Fiskal Propinsi Jawa Tengah) cenderung mengalami peningkatan dari tahun 1993 ke tahun 1997, namun turun pada tahun 1998 dan cenderung mengalami peningkatan kembali pada tahun 2000-2009. Secara rerata, Standar Kebutuhan Fiskal Kota Surakarta (Kapasitas Fiskal Propinsi Jawa Tengah) cenderung mengalami peningkatan yaitu dari 1,387 pada era sebelum Otonomi Daerah menjadi 2,074 pada era selama Otonomi Daerah. Di samping itu, Indeks Pelayanan Publik Perkapita (Kebutuhan Fiskal Kota Surakarta) mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, secara rerata cenderung mengalami peningkatan yaitu dari 18,234 pada era sebelum otonomi daerah menjadi 50,654 pada era selama Otonomi Daerah. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kebutuhan Fiskal Kota Surakarta yang sangat besar. c. Kapasitas Fiskal Kapasitas Fiskal menunjukkan seberapa besar usaha dari daerah yang diwujudkan dalam PDRB untuk memenuhi kebutuhannya, dalam hal ini adalah total pengeluaran rutin dan total pengeluran pembangunan. Hasil dari Indeks Kapasitas Fiskal menunjukkan seberapa besar hasil yang didapatkan setiap penduduk dalam setiap daerah. Berikut adalah tabel Kapasitas Fiskal Propinsi Jawa Tengah dan Kota Surakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.8 Rata-rata Kapasitas Fiskal Propinsi Jateng dan Kota Surakarta Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1990-2009 Kapasitas Fiskal Kapasitas Fiskal Tahun Standar se-Jateng Kota Surakarta (SKaFP Jateng) (SkaFK Ska) 1990 0,022 186,782 1991 0,026 171,952 1992 0,030 154.450 1993 0,033 146,618 1994 0,038 129,015 1995 0,045 118,473 1996 0,051 109,686 1997 0,058 102,525 1998 0,079 69,099 1999 0,094 54,877 2000 0,110 49,144 2001 0,123 49,628 2002 0,137 55,381 2003 0,153 54,338 2004 0,171 52,162 2005 0,204 53,562 2006 0,250 48,013 2007 0,268 49,969 2008 0,279 54,136 2009 0,305 55,398 Rerata Sblm Otda 0,047 107,510 Rerata Slm Otda 0,200 52,510 Sumber: BPS Kota Surakarta Dalam Angka; Data diolah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari tabel 4.8 dapat dilihat bahwa Standar Kapasitas Fiskal Propinsi Jawa Tengah cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya, sedangkan Kapasitas Fiskal Kota Surakarta cenderung mengalami penurunan dan berflutuasi pada tahun 2002 sampai tahun 2008. Jika dilihat dari reratanya, Kapasitas Fiskal Kota Surakarta mengalami penurunan dari 107,510 pada era sebelum Otonomi Daerah menjadi 52,210 di era selama Otonomi Daerah. Lain halnya dengan Standar Kapasitas Fiskal Propinsi Jawa Tengah, secara rerata cenderung mengalami peningkatan yaitu dari 0,047 di era sebelum Otonomi Daerah menjadi 0,200 di era selama Otonomi Daerah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Upaya Fiskal Posisi Fiskal dihitung dengan mencari koefisien elastisitas Pendapatan Asli Daerah terhadap PDRB sebagai berikut: Tabel 4.9 Pertumbuhan PAD dan PDRB Kota Surakarta Tahun 1990-2009 Pertumbuhan (%) Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
PAD
0 14,32 7,69 8,04 7,11 29,07 13,56 14,94 7,45 13,19 44,96 23,90 31,88 17,73 11,11 6,18 22,35 16,34 8,64 15,21 Total 313,66 Total Sblm Otda 115,36 Total Slm Otda 198,30 Elastisitas PAD/PDRB Elastisitas PAD/PDRB Sblm Otda Elastisitas PAD/PDRB Slm Otda
PDRB (Harga Berlaku)
PDRB (Harga Konstan)
0 9,55 4,31 7,48 2,55 8,65 4,29 7,27 -7,51 -3,98 5,04 12,79 11,86 12,70 11,87 17,43 10,82 11,62 14,37 12,39 153,50 32,62 120,88 2,04 3,54 1,64
0 10,77 9,37 6,11 8,54 8,65 9,18 4,22 -13,93 1,44 5,04 4,12 4,97 6,11 5,80 5,15 5,43 5,82 5,69 5,90 98,38 44,35 54,03 3,19 2,60 3,67
Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari tabel 4.8 dapat diketahui Upaya/Posisi Fiskal Kota Surakarta dengan melihat elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Berlaku maupun PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Konstan. Selama kurun waktu 20 tahun dari tahun 1990-2009, Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di Kota Surakarta adalah sebesar 2,04 (elastis). Artinya laju pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku berpengaruh terhadap peningkatan PAD yaitu apabila PDRB naik 1% maka PAD akan meningkat sebesar 2,04. Apabila nilai dari Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Kontan selama 20 tahun dari tahun 1990-2009, mempunyai nilai rata-rata Elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Kontan adalah sebesar 3,19. Artinya laju pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan sangat berpengaruh terhadap peningkatan PAD yaitu apabila PDRB naik 1% maka PAD akan meningkat sebesar 3,19 Berdasarkan tabel di atas dapat juga diketahui bahwa Kota Surakarata mempunyai elastisitas PAD terhadap PDRB baik PDRB Atas Harga Berlaku maupun PDRB Atas Harga Kontan yang bersifat Elatis (>1). Besarnya elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di Kota Surakarta sebelum Otonomi Daerah adalah sebesar 3,54. Begitu juga dengan PDRB Atas Dasar Harga Konstan di Kota Surakarta sebelum Otonomi Daerah sebesar 2,60.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Begitu juga selama Otonomi Daerah, terlihat bahwa Kota Surakarta mempunyai nilai Elastisitas PAD terhadap PDRB baik Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan sama-sama bersifat elastis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, apabila PDRB mengalami kenaikana maka PAD juga akan ikut naik. Besarnya elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Konstan sebesar 1,64. Sedangkan besarnya elastisitas PAD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Konstan sebesar 3,67. e. Matrik Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Adapun untuk matrik potensi PAD Kota Surakarta dapat dilihat dari tabel 4.10 berikut ini: Tabel 4.10 Hasil Perhitungan Model Matriks Potensi dari Pajak Daerah Kota Surakarta Tahun 1990-2009 Jenis Pajak P. Hotel & Restoran P. Hiburan P. Reklame P. Penerangan Jalan P. Gol. Galian B&C P. Pemanfaan Air
Pertumbuhan 0,593 0,062 4,958 0,073 0,305 0,429
Proporsi 0,603 0,069 4,934 0,084 0,428 0,514
Catatan: ·Prima, apabila tingkat pertumbuhan dan proporsi >1 ·Potensi, apabila tingkat pertumbuhan <1, proporsi >1 ·Berkembang, apabila tingkat pertumbuhan >1 proporsi <1 ·Terbelakang, apabila pertumbuhan dan proporsi <1 Sumber: Hasil pengelolaan data sekunder
commit to user
Kategori Terbelakang Terbelakang Prima Terbelakang Terbelakang Terbelakang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jenis Pajak Daerah di Kota Surakarta yang mempunyai klasifikasi Pajak Daerah yang berkategori Prima adalah Pajak Penerangan Jalan. Sedangkan Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Golongan dan Galian B & C dan Pajak Pemanfaatan Air berkategori Terbelakang. Maka disimpulkan bahwa sebagian besar Pajak Daerah di Kota Surakarta mempunyai potensi yang kurang bagus. Sementara itu, untuk jenis Retribusi Daerah dapat dilihat pada tabel 4.11 berikut ini: Tabel 4.11 Hasil Perhitungan Model Matrik Potensi dari Retribusi Daerah Kota Surakarta Tahun 1990-2009 Jenis Retribusi Pertumbuhan Proporsi Kategori R. Pelayanan Kesehatan 4,129 4,592 Prima R. Pelayanan Kebersihan 0,089 0,131 Terbelakang R. Penggantian Biaya Cetak KTP 0,803 0,804 Terbelakang R. Parkir Jl. Umum 0,082 0,091 Terbelakang R. Pasar 0,893 0,985 Terbelakang R. Pengujian Kendaraan Bermotor 0,098 0,096 Terbelakang R. Penjualan PUD 0 0 R. Pemakaian Kekayaan Daerah 0,152 0,131 Terbelakang R. Terminal 0,081 0,118 Terbelakang R. Tempat Parkir Khusus 0,017 0,019 Terbelakang R. Potong Hewan 0,031 0,046 Terbelakang R. Rekreasi Olahraga 0,302 0,312 Terbelakang R. Penyeberangan di Atas Air 0,041 0,053 Terbelakang R. Ijin Pengguna Tanah 0,048 0,064 Terbelakang Catatan: · Prima, apabila tingkat pertumbuhan dan proporsi >1 · Potensi, apabila tingkat pertumbuhan <1, proporsi >1 · Berkembang, apabila tingkat pertumbuhan >1 proporsi <1 · Terbelakang, apabila pertumbuhan dan proporsi <1 Sumber: Hasil pengelolaan data sekunder
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jenis Retribusi Daerah di Kota Surakarta yang mempunyai klasifikasi sebagai Retribusi Daerah yang berkategori Prima adalah Retribusi Pelayanan Kesehatan. Sedangkan retribusi yang lain berkategori terbelakang. f. Rasio Aktivitas (Keserasian) Rasio aktivitas menggambarkan bagaimana Pemerintah Daerah memprioritaskan alokasi dananya pada Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan secara optimal. Dari perhitungan dapat diperoleh ratarata Rasio Aktivitas sebelum Otonomi Daerah dan selama Otonomi Daerah pada tabel 4.12 berikut ini:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.12 Rasio Belanja Rutin dan Belanja Pe mbangunan Terhadap Total APBD Kota Surakarta Tahun 1990-2009 Belanja Rutin Belanja Pembangunan Tahun Terhadap APBD Terhadap Total APBD (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) 1990 10.965.061 5.668.318 1991 14.180.111 7.834.177 1992 16.061.881 8.524.799 1993 18.221.289 8.611.594 1994 19.130.339 14.714.723 1995 21.568.729 18.522.828 1996 24.134.413 24.200.512 1997 46.454.434 16.875.444 1998 48.961.646 17.569.713 1999 63.852.788 27.521.214 2000 63.464.847 37.954.755 2001 191.790.105 20.304.414 2002 212.391.411 39.603.421 2003 262.510.720 96.899.970 2004 257.521.974 94.446.363 2005 258.736.519 95.901.878 2006 439.311.172 73.617.054 2007 499.186.466 157.061.226 2008 323.942.328 436.138.529 2009 418.736.383 193.873.629 Total 3.211.122.616 1.395.844.563 Total (A) Sblm Otda 6,15 Rerata (A) Sblm Otda 0,62 Total (A) Slm Otda 63,55 Rerata (A) Slm Otda 6,35 Total (B) Sblm Otda 3,26 Rerata (B) Sblm Otda 0,33 Total (B) Slm Otda 27,04 Rerata (B) Slm Otda 2,70 Sumber: BPS Kota Surakarta Dalam Angka; Data diolah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari tabel 4.12 di atas dapat dilihat bahwa rata-rata Rasio Belanja Rutin terhadap Total APBD Kota Surakarta selama kurun waktu 20 tahun 1990-2009 adalah sebesar 69,70%. Dengan rasio yang sebesar itu menyebabkan Rasio Belanja Pembangunan terhadap Total Pengeluaran Daerah menjadi kecil yaitu hanya sebesar 30,30%. Apabila dibandingkan dengan perubahan rata-rata Rasio Belanja Rutin sebelum Otonomi Daerah dan selama Otonomi Daerah adalah bahwa rata-rata Rasio Belanja Rutin sebelum Otonomi Daerah lebih kecil dari pada Rasio Belanja Rutin selama Otonomi Daerah dengan persentase sebesar 6,15% dan 0,62%. Begitu juga dengan Rasio Belanja Pembangunan sebelum Otonomi Daerah lebih kecil dari pada selama Otonomi Daerah dengan persentase sebesar 3,26% dan 27,04%. Dari perhitungan tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar dana yang dimiliki Pemerintah Daerah masih diprioritaskan untuk kebutuhan Belanja Rutin sehingga Rasio Belanja Pembangunan terhadap APBD masih relatif kecil.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
g. Efektivitas PAD (Analisis Realisasi dan Target PAD) Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditentukan berdasarkan potensi riil daerah. Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai mencapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100% (seratus persen). Namun demikian semakin tinggi Rasio Efektivitas, menggambarkan Kemampuan Keuangan Daerah yang semakin baik. Tabel 4.13 Rata-rata Efektivitas PAD Sebelum Otonomi Daerah dan Selama Otonomi Daerah (%) Bagian PAD Pajak Daerah Retribusi Daerah Bagian LUMD Penerimaan dari Dinas*
Rerata Sebelum Otda Efektivitas 0,98 1,02 1,03 1,16
Rerata Selama Otda Efektivitas 1,06 1,09 2,02 0
Catatan: * Setelah tahun 1999, Penerimaan dari Dinas dihilangkan sebagai salah satu dari PAD Sumber: BPS Kota Surakarta Dalam Angka; Data diolah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan tabel 4.13 menunjukkan bahwa untuk Pos Pajak Daerah di Kota Surakarta sebelum Otonomi Daerah mempunyai ratarata Efektivitas PAD sebesar 0,98%, sedangkan rata-rata selama Otonomi Daerah sebesar memenuhi
target
1,02%. Untuk Pos Pajak Daerah sudah
yang ditetapkan,
karena
mempunyai
Rasio
Efektivitas cenderung lebih dari 1 (satu) atau di atas 100% (seratus persen). Jika dilihat selama Otonomi Daerah, rata-rata Efektivitas PAD cenderung mengalami penurunan. Untuk Pos Retribusi Daerah di Kota Surakarta sebelum Otonomi Daerah mempunyai rata-rata Efektivitas PAD sebesar
1,03%,
sedangkan rata-rata selama Otonomi Daerah sebesar 1,16%. Untuk Pos Retribusi Daerah sudah memenuhi target yang ditetapkan sehingga mempunyai Rasio Efektivitas lebih dari 1 (satu) atau lebih 100% (seratus persen). Sedangkan untuk Pos Bagian Laba Usaha Milik Daerah mempunyai rata-rata Efektivitas PAD sebesar 1,06% sebelum Otonomi Daerah, sedangkan rata-rata selama Otonomi Daerah sebesar 1,09%. Untuk Pos Bagian Laba Usaha Milik Daerah sebelum Otonomi Daerah sudah mencapai target yang ditetapkan, sedangkan selama Otonomi Daerah belum mencapai target yang diinginkan karena kurang dari 1 (satu) atau kurang dari 100% (seratus persen).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pos penerimaan dari Dinas-dinas mempunyai rata-rata Efektivitas PAD sebesar 1,16% sebelum Otonomi Daerah, sedangkan selama Otonomi Daerah Tidak ada karena mulai tahun 1999 pos ini telah masuk bagian dari Pendapatan Asli Daerah. h. Ke mandiran Keuangan Daerah dan Pola Hubungannya Pola Hubungan dan Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Kota Surakarta menunjukkan seberapa besar Pemerintah Kota Surakarta berusaha untuk membiayai seluruh kegiatan dan kebutuhan daerahnya secara mandiri tanpa menggantungkan bantuan yang terlalu besar dari Pemerintah Pusat. Tabel pola Hubungan dan Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Kota Surakarta sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.14 Pola Hubungan dan Ke mandirian Keuangan Daerah Kota Surakarta Tahun 1990-2009 Kemandirian Kemampuan Tahun Keuangan Daerah Pola Hubungan Keuangan Daerah (%) 1990 18,48 Rendah Sekali Instruktif 1991 21,12 Rendah Sekali Instruktif 1992 22,66 Rendah Sekali Instruktif 1993 24,42 Rendah Sekali Instruktif 1994 26,08 Rendah Konsultatif 1995 33,58 Rendah Konsultatif 1996 38,10 Rendah Konsultatif 1997 43,69 Rendah Konsultatif 1998 0 Rendah Sekali Instruktif 1999 13,27 Rendah Sekali Instruktif 2000 15,72 Rendah Sekali Instruktif 2001 14,20 Rendah Sekali Instruktif 2002 11,66 Rendah Sekali Instruktif 2003 9,38 Rendah Sekali Instruktif 2004 10.87 Rendah Sekali Instruktif 2005 11,45 Rendah Sekali Instruktif 2006 9,05 Rendah Sekali Instruktif 2007 9,68 Rendah Sekali Instruktif 2008 8,98 Rendah Sekali Instruktif 2009 8,27 Rendah Sekali Instruktif Rerata Sblm Otda 27,36 Rendah Konsultatif Rerata Slm Otda 9,85 Rendah Sekali Instruktif Sumber: BPS Kota Surakarta Dalam Angka; Data diolah
Dari tabel 4.14 dapat diketahui besar Kemandirian Keuangan Daerah Kota Surakarta yang cenderung semakin menurun dari 27,36% di era sebelum Otonomi Daerah menjadi 9,85% selama Otonomi Daerah atau cenderung turun sebesar 17,51%.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari tahun 1998-2009 Kota Surakarta, cenderung mengalami Kemampuan Keuangan Daerah yang rendah sekali dan berpola Insruktif,
sedangkan
pada
tahun
1994-1998
Kota
Surakarta
mempunyai kemampuan keuangan daerah yang berpola Konsultatif. Hal tersebut bahwa Pemerintah Daerah Kota Surakarta cenderung mulai berkurang pada bantuan dan sumbangan Pemerintah Pusat. Akan tetapi dari tahun 1998-2009 Kota Surakarta, sekali lagi mempunyai kecenderungan Kemampuan Keuangan Daerah yang rendah sekali dan berpola
Instruktif.
Hal
tersebut
mengandung
maksud
bahwa
Pemerintah Daerah Kota Surakarta cenderung masih sangat tergantung pada bantuan pada bantuan dan sumbangan Pemerintah Pusat, bahkan di sini Pemerintah Pusat sangat mendominasi. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Kota Surakarta masih perlu menggali sektor-sektor potensial yang menjadi andalan daerahnya supaya Pendapatan Asli Daerah (PAD) meningkat sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat dan utamanya kesejahteraan masyarakat tercapai.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan mengenai Kemampuan Keuangan Daerah Kota Surakarta pada era sebelum maupun selama Otonomi Daerah, maka dapat diambil kesimpulan secara deskriptif dan kuantitatif. Hasil kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Analisis Deskriptif a. Rata-rata pertumbuhan APBD Kota Surakarta
mengalami
penurunan dari era sebelum otonomi daerah ke era selama otonomi daerah sebesar 0,79%. b. Kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap APBD Kota Surakarta mengalami penurunan dari 12,54% sebelum otonomi daerah menjadi 7,30% pada era otonomi daerah. Hal ini disebabkan selama otonomi daerah, pemerintah pusat memberikan dana perimbangan yang cukup besar untuk daerah sesuai dengan konsekuensi diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999. c. Rerata pertumbuhan ekonomi menurut PDRB atas dasar harga berlaku sebelum era otonomi daerah sebesar 9,09%, sedangkan era selama
otonomi
daerah
sebesar
11,11%
atau
mengalami
peningkatan sebesar 2,02%. Rarata pertumbuhan ekonomi menurut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PDRB atas dasar harga konstan sebelum era otonomi daerah sebesar 9,09% sedangkan era selama otonomi daerah sebesar 11,11% atau mengalami peningkatan sebesar 2,02%. 2. Analisis Kuantitatif a. Dari hasil analisis kuantitatif tentang Derajat Desentralisasi Fiskal Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya Fiskal, Matrik Potensi PAD, Rasio Aktivitas (Keserasian), Rasio Efektivitas PAD. Sebagai ringkasan dari hipotesis pertama adalah sebagai berikut: 1) Derajat Desentralisasi Fiskal yang telah dihitung dengan menggunakan beberapa indikator atau Rasio PAD dengan Total Pendapatan Daerah, Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak untuk Daerah dengan Total Pendapatan Daerah menunjukkan bahwa: a) Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Surakarta sebelum Otonomi Daerah yang paling tinggi pada tahun 1990 sebesar 18,21%, sedangkan selama Otonomi Daerah yang paling tinggi pada tahun 2009 sebesar 8,46%. b) BHPBP terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Surakarta sebelum Otonomi Daerah yang paling tinggi pada tahun 1990 sebesar 50,23%, sedangkan selama Otonomi Daerah paling tinggi pada tahun 2009 sebesar 16,79%.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c) Sumbangan terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Surakarta sebelum Otonomi Daerah yang paling tinggi pada tahun 1990 sebesar 38,86%, sedangkan selama Otonomi Daerah paling tinggi pada tahun 2009 sebesar 9,51%. 2) Dari hasil Analisis Kuantitatif tentang Kebutuhan Fiskal (KF) menunjukkan bahwa secara rerata, Standar Kebutuhan Fiskal Kota Surakarta (Kebutuhan Fiskal Propinsi Jawa Tengah) cenderung mengalami penurunan pada era sebelum Otonomi Daerah jika dibandingkan dengan Kebutuhan Fiskal pada era selama Otonomi Daerah. Di samping itu, Indeks Pelayanan Publik Per Kapita (Kebutuhan Fiskal Kota Surakarta) berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun secara rerata cenderung mengalami penurunan di era sebelum Otonomi Daerah. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan penurunan kebutuhan Fiskal Kota Surakarta. 3) Dari hasil analisis kuantitatif tentang Kapasitas Fiskal menunjukkan bahwa secara rerata, Kapasitas Fiskal Kota Surakarta cenderung mengalami penurunan pada era sebelum Otonomi Daerah, jika dibandingkan pada era selama Otonomi Daerah. Sama dengan Standar Kapasitas Fiskal Propinsi Jawa Tengah, secara rerata cenderung mengalami peningkatan pada era selama Otonomi Daerah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Dari hasil analisis kuantitatif tentang upaya/posisi fiskal yang dihitung dengan rata-rata perubahan PAD terhadap perubahan APBD menunjukkan hasil yang berbeda. Jika menggunakan APBD atas dasar harga berlaku, maka struktur PAD cukup baik dengan hasil 2,04 (elastis). Begitu juga dengan menggunakan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan hasil yang cukup baik juga yaitu sebesar 3,19 (elastis). Sedangkan rata-rata perubahan PAD terhadap perubahan PDRB pada era sebelum dan selama Otonomi Daerah menunjukkan hasil yang baik yaitu Elastis. Dengan menggunakan PDRB atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga kontan. 5) Hasil analisis Kuantitatif tentang Matrik Potensi PAD menunjukkan bahwa: a) Ada satu jenis Pajak Daerah Kota Surakarta termasuk kategori Prima yaitu Pajak Reklame, sedangkan pajakpajak yang lain memiliki kategori Terbelakang. Bisa dilihat bahwa pajak di Kota Surakarta masih sangat terbelakang. b) Ada satu jenis Retribusi Daerah Kota Surakarta yang memiliki
kategori
Prima
yaitu Retribusi
Pelayanan
Kesehatan, sedangkan Retribusi Daerah yang lain memiliki kategori Terbelakang. Sama dengan Pajak Daerah Kota Surakarta
juga
mempunyai
terbelakang.
commit to user
retribusi
yang
sangat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6) Hasil Analisis Kuantitatif tentang Rasio Aktivitas (Keserasian) antara belanja rutin dan belanja pembangunan menunjukkan bahwa:
Rata-rata
Rasio
Belanja
Rutin terhadap
Total
Pengeluaran Daerah sebelum maupun selama Otonomi Daerah di Kota Surakarta lebih besar dari rata-rata Rasio Belanja Pengeluaran Daerah.
Dengan demikian sebagian besar
anggaran hanya terserap untuk belanja rutin yang digunakan untuk
membiayai
semua
keperluan
daerah.
Hal
ini
menunjukkan bahwa di Kota Surakarta Belanja Rutin lebih besar
daripada
Belanja
Pembangunan,
maka
manfaat
pembangunan yang diperoleh masyarakat Kota Surakarta masih rendah. 7) Analisis Kuantitatif tentang efektivitas PAD menunjukkan bahwa pada era sebelum otonomi daerah memiliki Rasio Efektivitas lebih besar dari Rasio Efektivitas selama Otonomi Daerah. 8) Berdasarkan
perhitungan
analisis
Kuantitatif
tentang
Kemandirian Daerah dan Pola Hubungan sebagai jawaban dari hipotesis ke dua, menunjukkan bahwa Kota Surakarta memiliki Kemampuan Keuangan Daerah yang rendah (Konsultatif) pada tahun 1994-1997, tapi mayoritas kemampuan keuangan daerah Kota Surakarta memiliki kemampuan yang rendah sekali. Artinya
peran
Pemerintah
Pusat
commit to user
lebih
dominan
dari
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kemandirian Pemerintah Daerah (daerah tidak
mampu
melaksanakan Otonomi Daerah). B. Saran Dari kesimpulan diatas maka dapat dikatakan bahwa Pemerintah Daerah Kota Surakarta dalam hal Kemampuan Keuangan Daerah termasuk masih rendah. Untuk itu, dianjurkan kepada Pemerintah Daerah lebih meningkatkan lagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa menimbulkan beban yang semakin berat kepada masyarakat. Disamping itu juga perlu pengelolaan Keuangan Daerah secara optional, agar ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat dapat semakin berkurang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
BPS Kota Surakarta. (Beberapa Edisi). Produk Domestik Regional Bruto Kota Surakarta. Surakarta: BPS Kota Surakarta. BPS Kota Surakarta. (Beberapa Edisi). Statistik Keuangan Pemerintahan Kota Surakarta. Surakarta: BPS Kota Surakarta. BPS Kota Surakarta. (Beberapa Edisi). Surakarta Dalam Angka. Surakarta: BPS Kota Surakarta. BPS Propinsi Jawa Tengah. (Beberapa Edisi). Jawa Tengah Dalam Angka. Semarang: BPS Propinsi Jawa Tengah. BPS Propinsi Jawa Tengah. (Beberapa Edisi). Pendapatan Regional Jawa Tengah. Jawa Tengah: BPS Propinsi Jawa Tengah. BPS Propinsi Jawa Tengah. (Beberapa Edisi). Produk Domestik Regional Bruto Beberapa Edisi. Semarang: BPS Propinsi Jawa Tengah. BPS Propinsi Jawa Tengah. 2001. APBD Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 2000. Semarang: BPS Propinsi Jawa Tengah. BPS Propinsi Jawa Tengah. 2004. Statistik Keuangan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten/Kota seJawa Tengah Tahun 2001-2003. Semarang: BPS Propinsi Jawa Tengah. Halim, Abdul. 2001. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: AMP YKPN. Halim, Abdul. 2004. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: AMP YKPN. Kuncoro, Mudrajad. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Bagaimana Meneliti dan Menulis Tesis?. Jakarta: Erlangga. Kurniawati, Ana Dwi. 2004. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah di Kabupaten Sukoharjo (perbandingan Era Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah. Skripsi Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tidak Dipulikasikan. Josef Riwu Kaho. 1997. Prospek Otonomi Daerah di Negara Indonesia (Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya). Jakarta: Rajawali Press.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi Offset. Mulyanto. 2003. Identifikasi dan Analisis Sektor Ekonomi Unggulan di Kawasan Subosukawonosraten Propinsi Jawa Tengah. Surakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Musgrave, RA dan PB Musgrave. 1993. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Erlangga. Prayitno, Sumardi Agus. 2005. Analisis Keuangan Daerah di Kabupaten Sleman Periode 1990/1991-2003 (Perbandingan Era Sebelum Otonomi Daerah dan Pada Era Otonomi Daerah). Skripsi Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tidak Dipublikasikan. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000. Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 202, Tambahan Negara Nomor 4022). Sukanto, Reksohadiprojo. 2001. Ekonomika Publik. Yogyakarta: BPFE UGM. Suparmoko. 1992. Keuangan Daerah dalam Teori dan Praktek, Edisi IV. Yogyakarta: BPFE UGM Syafruddin, Ateng & Ryaas Rasyid. 2001. Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya. Jakarta: Djambatan Unipress. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Negara Nomor 3839). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Negara Nomor 3848). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Negara Nomor 4437). Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Negara Nomor 4438).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wibowo, Yuandhi Harmanto. 2006. Analisis Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah (Studi Kasus Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 1996/1997-2005). Skripsi Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tidak Dipublikasikan. Zahra, Fatima. 2008. Analisis Keuangan Daerah di Kabupaten Karanganyar Perbandingan Sebelum dan Selama Otonomi Daerah (Periode 1994/19952006). Skripsi Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tidak Dipublikasikan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
LAMPIRAN
commit to user
Lampiran 1: Tabel Rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Surakarta Total Pendapatan PAD BHPBP Sumbangan Daerah Tahun (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) 1990 3,029,181 8,354,104 6,462,979 16,633,379 1991 3,462,985 8,362,707 6,473,622 22,014,288 1992 3,729,192 8,378,998 6,492,808 24,586,680 1993 4,028,878 8,390,508 6,500,189 26,832,883 1994 4,315,434 8,400,298 6,510,901 33,845,062 1995 5,569,932 8,429,109 6,530,203 40,091,557 1996 6,325,182 8,527,810 6,552,005 48,334,925 1997 7,269,896 8,431,422 6,641,177 63,329,878 1998 7,811,435 8,228,715 6,860,594 66,531,359 1999 8,841,838 8,497,681 7,663,221 91,374,002 2000 12,816,761 10,848,290 8,151,134 101,419,602 2001 15,880,342 17,213,991 11,182,211 212,094,519 2002 20,943,463 17,695,212 17,964,887 251,994,832 2003 24,656,991 23,271,998 26,298,525 359,410,690 2004 27,395,768 34,651,055 25,194,745 351,968,337 2005 29,089,223 34,487,396 25,410,417 354,638,398 2006 35,589,770 38,242,492 39,342,446 512,928,227 2007 41,404,086 87,541,331 42,758,263 656,247,692 2008 44,981,954 98,108,598 50,084,542 760,080,857 2009 51,823,682 102,832,677 58,236,262 612,610,012 Rerata Sebelum Otda Rerata Selama Otda Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
Derajat Desentralisasi Fiskal PAD/TPD BHPBP/TPD SBD/TPD 18.211 50.225 38.855 15.731 37.988 29.406 15.168 34.079 26.408 15.015 31.269 24.225 12.751 24.820 19.237 13.893 21.025 16.288 13.086 17.643 13.555 11.479 13.313 10.487 11.741 12.368 10.312 9.677 9.300 8.387 12.637 10.696 8.037 7.487 8.116 5.272 8.311 7.022 7.129 6.860 6.475 7.317 7.784 9.845 7.158 8.203 9.725 7.165 6.939 7.456 7.670 6.309 13.340 6.516 5.918 12.908 6.589 8.459 16.786 9.506 13.675 25.203 19.716 7.891 10.237 7.236
Lampiran 2: Tabel Rata-rata Kebutuhan Fiskal Standar Se-Jawa Tengah dan Kota Surakarta Tahun
Pengeluaran
Pengeluaran
Jumlah
Jumlah
Jateng (Jutaan Rp.)
Kota Surakarta (Jutaan Rp.)
Penduduk Jateng
Penduduk Kota Surakarta
Kebutuhan Fiskal Se-Jateng (SKaFP Jateng)
516,967 519,997 523,455 531,377 533,628 536,005 539,387 542,832 546,469 550,251 553,580 554,630 497,232 510,711 534,540 512,372 514,898 515,372 522,935 528,202 534,037 524,447
1.381 1.369 1.361 1.351 1.358 1.419 1.467 1.531 0.785 0.942 0.908 1.252 1.410 1.550 1.713 2.035 2.504 2.757 3.178 3.430 1.387 2.074
1990 1,380,928,372 21,253,837 28,578,090 1991 1,386,820,123 26,293,838 28,934,662 1992 1,389,018,271 31,302,938 29,154,590 1993 1,390,928,100 33,339,828 29,409,069 1994 1,393,035,658 38,367,288 29,313,421 1995 1,465,860,322 40,398,829 29,519,447 1996 1,525,053,600 41,400,199 29,698,845 1997 1,602,964,269 58,432,562 29,907,476 1998 846,102,225 61,233,018 30,785,445 1999 1,013,732,927 112,508,074 30,761,221 2000 977,829,252 129,651,289 30,775,846 2001 1,361,314,802 233,216,856 31,063,818 2002 1,564,183,005 237,035,103 31,691,866 2003 1,738,527,891 341,774,908 32,052,840 2004 1,942,783,776 347,566,695 32,397,431 2005 2,344,353,233 355,857,769 32,908,850 2006 2,819,967,091 461,901,126 32,177,730 2007 3,124,288,071 469,090,946 32,380,279 2008 3,629,387,083 479,018,861 32,626,390 2009 4,029,373,099 480,483,229 33,563,805 Rerata Sblm Otda 1,339,444,387 46,453,041 29,606,227 Rerata Slm Otda 2,353,200,730 353,559,678 32,163,886 Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
Kebutuhan Fiskal Kota Surakarta (SKaFP Ska) 29.779 36.925 43.931 46.431 52.954 53.123 52.315 70.293 142.696 217.156 257.995 335.831 338.051 431.835 379.500 341.231 358.267 330.167 288.210 265.204 45.065 332.629
Lampiran 3: Tabel Rata-rata Kapasitas Fiskal Standar Se-Jawa Tengah dan Kota Surakarta PDRB Laku Tahun
PDRB Laku
Jumlah
Jateng Kota Surakarta Penduduk (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) Jateng 1990 21,689,283 2,093,827.83 28,578,090 1991 25,980,443 2,293,871.78 28,934,662 1992 30,200,681 2,392,817.07 29,154,590 1993 33,978,909 2,571,873.98 29,409,069 1994 39,303,565 2,637,401.44 29,313,421 1995 46,622,461 2,865,536.62 29,519,447 1996 52,505,361 2,988,456.04 29,698,845 1997 60,296,427 3,205,834.45 29,907,476 1998 84,610,223 2,965,128.91 30,785,445 1999 101,509,194 2,846,979.26 30,761,221 2000 118,404,885 2,990,464.31 30,775,846 2001 133,227,558 3,372,850.36 31,063,818 2002 151,968,826 3,772,737.68 31,691,866 2003 171,881,877 4,251,845.59 32,052,840 2004 193,435,263 4,756,559.53 32,397,431 2005 234,435,233 5,585,776.84 32,908,850 2006 281,996,709 6,190,112.55 32,177,730 2007 304,054,810 6,909,094.57 32,380,279 2008 318,736,052 7,901,886.06 32,626,390 2009 358,027,691 8,880,691.24 33,563,805 Rerata Sblm Otda 49,669,655 2,686,172.74 29,606,227 Rerata Slm Otda 226,616,890 5,461,201.87 32,163,886 Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
Jumlah
Kapasitas Fiskal
Penduduk Kota Surakarta 516,967 519,997 523,455 531,377 533,628 536,005 539,387 542,832 546,469 550,251 553,580 554,630 497,232 510,711 534,540 512,372 514,898 515,372 522,935 525,983 534,037 524,225
Se-Jateng (SKbFK Jateng) 0.022 0.026 0.030 0.033 0.038 0.045 0.051 0.058 0.079 0.094 0.110 0.123 0.137 0.153 0.171 0.204 0.250 0.268 0.279 0.305 0.047 0.200
Kapasitas Fiskal Kota Surakarta (SKbFK Ska) 186.782 171.952 154.450 146.618 129.015 118.473 109.686 102.525 69.099 54.877 49.144 49.628 55.381 54.338 52.162 53.562 48.013 49.969 54.136 55.398 107.510 52.510
Lampiran 4: Tabel Pertumbuhan PAD dan PDRB Kota Surakarta Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
PAD (Jutaan Rp.) 3,029,181 3,462,985 3,729,192 4,028,878 4,315,434 5,569,932 6,325,182 7,269,896 7,811,435 8,841,838 12,816,761 15,880,342 20,943,463 24,656,991 27,395,768 29,089,223 35,589,770 41,404,086 44,981,954 51,823,682
PDRB Laku (Jutaan Rp.)
PDRB Konstan (Jutaan Rp.)
PAD
2,093,827.83 1,890,291.09 0 2,293,871.78 2,093,802.58 14.32 2,392,817.07 2,289,930.31 7.69 2,571,873.98 2,429,888.91 8.04 2,637,401.44 2,637,401.44 7.11 2,865,536.62 2,865,536.62 29.07 2,988,456.04 3,128,651.94 13.56 3,205,834.45 3,260,719.67 14.94 2,965,128.91 2,806,489.55 7.45 2,846,979.26 2,846,979.26 13.19 2,990,464.31 2,990,464.32 44.96 3,372,850.36 3,113,668.99 23.90 3,772,737.68 3,268,559.64 31.88 4,251,845.59 3,468,276.94 17.73 4,756,559.53 3,669,373.45 11.11 5,585,776.84 3,858,169.67 6.18 6,190,112.55 4,067,529.95 22.35 6,909,094.57 4,304,287.37 16.34 7,901,886.06 4,549,342.95 8.64 8,880,691.24 4,817,877.63 15.21 Total 313.66 Total Sblm Otda 115.36 Total Slm Otda 198.30 Elastisitas PAD/PDRB Elastisitas PAD/PDRB Sblm Otda Elastisitas PAD/PDRB Slm Otda Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
PERTUMBUHAN PDRB Laku PDRB Konstan 0 0 9.55 10.77 4.31 9.37 7.48 6.11 2.55 8.54 8.65 8.65 4.29 9.18 7.27 4.22 -7.51 -13.93 -3.98 1.44 5.04 5.04 12.79 4.12 11.86 4.97 12.70 6.11 11.87 5.80 17.43 5.15 10.82 5.43 11.62 5.82 14.37 5.69 12.39 5.90 153.50 98.38 32.62 44.35 120.88 54.03 2.04 3.19 3.54 2.60 1.64 3.67
Lampiran 5: Tabel Hasil Matriks Potensi dari Pajak Daerah Kota Surakarta Tahun Pos 1999 2000 2001 2002 P. Hotel & 629,635 351,321 557,926 631,359 Restoran P. Hiburan 61,251 62,000 13,086 18,533 P. Reklame 41,215 56,942 96,733 140,271 P.PPJU 4,713,062 4,658,800 7,734,822 1,182,794 P. Gol. Galian 67,982 60,832 0 0 B&C P. Pemanfaatan 235,543 250,374 290,330 291,034 Air Jlh Pos Pajak 2,837,298 4,729,308 5,880,304 10,943,451 Pertumbuhan 0 66.68 24.34 86.10 Total Pajak Rata-rata 958,115 906,712 1,448,816 377,332 Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
2003
2004
Total Ayat Pajak
Rasio Pertumbuhan
Rasio Proporsi
Kategori
762,241
784,220
452,824
0.593
0.603
Terbelakang
20,075 70,136 1,804,690
21,048 90,235 2,015,892
382,736 22,018,289 258,127
0.062 4.958 0.073
0.069 4.934 0.084
Terbelakang Prima Terbelakang
0
0
2,819,382
0.305
0.428
Terbelakang
0
0
3,012,980
0.429
0.514
Terbelakang
14,656,998
16,839,109
33.93
14.89
442,857
485,232
Lampiran 6: Tabel Matriks Potensi dari Pos Retribusi Kota Surakarta Tahun Pos 1999 2000 2001 2002 R. Pelayanan 1,035,916 871,372 1,318,396 1,534,342 Kesehatan
2003
2004
Total Ayat Pajak
Rasio Pertumbuhan
Rasio Proporsi
Kategori
1,799,047
26,974,948
33,534,021
4.129
4.592
Prima
R. Peyalana Kebersihan
112,810
84,752
131,181
149,235
181,634
209,531
869,144
0.089
0.131
Terbelakang
R. Penggantian Biaya Cetak KTP
243,914
300,467
622,558
682,616
1,063,203
692,255
3,605,013
0.803
0.804
Terbelakang
84,533 323,939
69,293 361,783
50,451 634,607
123,300 722,741
119,377 834,932
153,729 0
600,682 2,878,002
0.082 0.893
0.091 0.985
Terbelakang Terbelakang
0
0
0
0
199,107
200,294
399,401
0.098
0.096
Terbelakang
0
0
0
0
0
0
0
0
43,474
38,029
66,847
133,504
276,682
301,093
859,630
0.152
0.131
Terbelakang
152,635
197,356
220,555
304,913
331,944
382,782
1,590,183
0.081
0.118
Terbelakang
45,029
48,298
51,890
58,035
0
0
203,252
0.017
0.019
Terbelakang
16,736 253,647
18,273 283,746
22,224 321,536
23,984 377,371
27,330 421,381
31,094 452,817
139,641 2,110,498
0.031 0.302
0.046 0.312
Terbelakang Terbelakang
4,980
4,991
5,012
5,008
5,076
5,089
30,156
0.041
0.053
Terbelakang
0
0
0
0
0
0.048
0.064
Terbelakang
Jml Pos Retribusi 2,830,761 3,029,107 3,505,946 Pertumbuhan Total 0 7.01 15.74 Pos Retribusi Rata-rata 178277.947 175258.543 246089.6873 Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
5,094,782
7,060,009
8,673,162
46,819,622
45.32
38.57
22.85
293931.9669
375693.792
2100259.374
R. Parkir Jl. Umum R. Pasar R. Pengujian Kendaraan Bermotor R. Penjualan PUD R. Pemakaian Kekayaan Daerah R. Terminal R. Tem. Parkir Khusus R. Potong Hewan R. Rekreasi Olga R. Penyeberangan di Atas Air R. Ijin Penggunaan Tanah
0 Terbelakang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lampiran 7: Tabel Rasio Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan Terhadap Total APBD Kota Surakarta Pos Pengeluaran Tahun Belanja Rutin (A) Belanja Pembangunan (B) Total APBD (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) 1990 10,965,061 5,668,318 16,633,379 1991 14,180,111 7,834,177 22,014,288 1992 16,061,881 8,524,799 24,586,680 1993 18,221,289 8,611,594 26,832,883 1994 19,130,339 14,714,723 33,845,062 1995 21,568,729 18,522,828 40,091,557 1996 24,134,413 24,200,512 48,334,925 1997 46,454,434 16,875,444 63,329,878 1998 48,961,646 17,569,713 66,531,359 1999 63,852,788 27,521,214 91,374,002 2000 63,464,847 37,954,755 101,419,602 2001 191,790,105 20,304,414 212,094,519 2002 212,391,411 39,603,421 251,994,832 2003 262,510,720 96,899,970 359,410,690 2004 257,521,974 94,446,363 351,968,337 2005 258,736,519 95,901,878 354,638,398 2006 439,311,172 73,617,054 512,928,227 2007 499,186,466 157,061,226 656,247,692 2008 323,942,328 436,138,529 760,080,857 2009 418,736,383 193,873,629 612,610,012 Total 3,211,122,616 1,395,844,563 4,606,967,179 Total (A) Sblm Otda 283,530,691 Rerata (A) Sblm Otda 28,353,069 Total (A) Slm Otda 2,927,591,925 Rerata (A) Slm Otda 292,759,193 Total (B) Sblm Otda 150,043,322 Rerata (B) Sblm Otda 15,004,332 Total (B) Slm Otda 1,245,801,241 Rerata (B) Slm Otda 124,580,124 Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
commit to user
Lampiran 8: Tabel Rata-Rata Efektifitas PAD Kota Surakarta Keterangan 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi
Pajak Daerah (Jutaan Rp.) 2,225,798 1,240,878 1,245,089 1,258,910 1,265,383 1,270,896 1,324,548 1,335,750 1,445,555 1,463,474 1,552,596 1,588,166 1,827,549 1,947,360 2,733,662 2,853,333 3,045,878 3,192,040 3,891,999 3,915,464 3,886,409 3,961,255 4,581,868 5,288,038 7,296,152 8,894,345 9,094,346 10,065,698 8,465,699 7,739,576
Retribusi Daerah (Jutaan Rp.) 2,993,498 3,012,142 3,028,692 3,034,534 3,041,336 3,053,498 3,058,475 3,084,364 3,091,388 3,138,834 3,159,380 3,383,610 3,420,435 3,529,488 3,647,535 3,697,388 5,329,455 5,432,498 8,872,560 9,066,510 959,227 992,996 1,527,182 1,827,376 2,048,398 2,012,575 2,012,575 2,667,812 2,667,812 2,848,513
Bagian LUMD (Jutaan Rp.) 203,812 205,042 208,588 211,324 213,845 215,268 218,480 221,345 216,592 221,250 243,175 253,198 258,110 261,288 549,210 564,278 329,322 343,410 227,942 250,810 269,985 285,438 36,297 402,720 475,218 466,368 466,368 664,390 664,390 102,712
Penerimaan dari Dinas Penerimaan Lain-lain (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) 208,918 48,238 210,390 51,923 216,110 62,937 236,298 65,004 240,125 72,139 258,268 75,863 267,432 83,736 279,385 87,431 281,510 133,922 391,445 140,821 294,348 210,537 302,490 249,269 308,318 359,063 414,345 393,435 418,598 612,453 421,721 632,861 425,626 0 628,550 0 0 1,769,374 0 1,792,392 0 1,803,998 0 1,828,989 0 1,847,692 0 1,857,383 0 1,882,728 0 1,892,372 0 1,900,234 0 1,902,883 0 1,928,324 0 1,938,283
2005
Target 7,826,440 2,938,152 Realisasi 8,290,892 3,036,198 2006 Target 8,344,901 3,036,198 Realisasi 8,355,898 3,173,891 2007 Target 8,394,660 3,173,891 Realisasi 9,414,041 3,335,923 2008 Target 9,457,812 3,335,923 Realisasi 9,468,556 3,527,609 2009 Target 10,514,632 3,527,609 Realisasi 10,521,638 4,029,167 R. Efektivitas Sblm Otda 0.978 1.019 R. Efektivitas Slm Otda 1.060 1.094 Realisasi Sblm Otda 20,066,270 40,432,866 Realisasi Slm Otda 81,999,937 27,452,060 Target Sblm Otda 20,558,058 39,642,754 Target Slm Otda 77,862,918 25,226,967 Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
129,367 152,894 203,878 239,478 352,148 368,356 380,161 382,981 392,818 402,919 1.028 2.015 2,747,213 3,468,256 2,669,076 3,370,630
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.163 0 3,142,892 0 2,660,985 0
1,993,838 2,039,183 2,203,938 2,296,226 2,296,226 2,537,192 2,638,293 2,693,803 2,719,205 3,029,382 0.958 1.034 3,488,999 22,015,696 3,352,399 21,214,476
Lampiran 9: Pola Hubungan dan Rata-rata Tingkat Kemandirian Kota Surakarta Kemandirian PAD Bantuan/Sumbangan Tahun Keuangan (Jutaan Rp.) (Jutaan Rp.) 1990 3,029,181 16,389,215 18.48 1991 3,462,985 16,400,187 21.12 1992 3,729,192 16,459,810 22.66 1993 4,028,878 16,500,918 24.42 1994 4,315,434 16,548,178 26.08 1995 5,569,932 16,587,810 33.58 1996 6,325,182 16,602,179 38.10 1997 7,269,896 16,641,179 43.69 1998 7,811,435 0 0 1999 8,841,838 66,632,142 13.27 2000 12,816,761 81,511,348 15.72 2001 15,880,342 111,822,114 14.20 2002 20,943,463 179,648,873 11.66 2003 24,656,991 262,985,252 9.38 2004 27,395,768 251,947,455 10.87 2005 29,089,223 254,104,174 11.45 2006 35,589,770 393,424,466 9.05 2007 41,404,086 427,582,635 9.68 2008 44,981,954 500,845,428 8.98 2009 51,823,682 626,965,873 8.27 Rerata Sblm Otda 5,438,395 19,876,162 27.36 Rerata Slm Otda 30,458,204 309,083,762 9.85 Sumber: BPS Kota Surakarta; Surakarta Dalam Angka; Data diolah
Kemampuan Keuangan Rendah Sekali Rendah Sekali Rendah Sekali Rendah Sekali Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Sekali Rendah Sekali Rendah Sekali Rendah Sekali Rendah Sekali Rendah Sekali Rendah Sekali Rendah Sekali Rendah Sekali Rendah Sekali Rendah Sekali Rendah Sekali Rendah Rendah Sekali
Pola Hubungan Instruktif Instruktif Instruktif Instruktif Konsultatif Konsultatif Konsultatif Konsultatif Instruktif Instruktif Instruktif Instruktif Instruktif Instruktif Instruktif Instruktif Instruktif Instruktif Instruktif Instruktif Konsultatif Instruktif