Analisis Kebijakan Pemberian PTKP Tahun 2013 Berdasarkan Kemampuan Membayar Pajak Kaitannya Dengan Kecukupan Kalori Arieza Wahyu Widodo1, Gunadi1 1
Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal, Departemen Ilmu Administrasi, FISIP UI Email:
[email protected]
ABSTRAK Skripsi ini membahas mengenai pemberian PTKP tahun 2013 berdasarkan kemampuan membayar pajak yang dikaitkan dengan kecukupan kalori yang dibutuhkan manusia sebagai kebutuhan dasar sebagai penghasilan yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini adalah menentukan penghasilan yang tidak seharusnya dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan kemampuan membayar pajak kaitannya dengan kecukupan kalori. Dari hasil penelitian menyarankan agar pemerintah mengkaji ulang mengenai penghasilan yang dijadikan dasar pengenaan Pajak Penghasilan, agar penghasilan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan minimum bebas dari Pajak.
Analysis of provision of Non-Taxable Income Policy in 2013 Based on Ability to Pay Taxes Relation With Calories Adequacy ABSTRACT The focus of this study discusses the provision of non-axable income policy in 2013, based on ability to pay taxes relation with adequacy of calories that human needs as basic necessities as income exempt from income tax. This research is a qualitative descriptive research, result of this study was to determine the income that should not be tax based on ability to pay related to the adequacy of calories. From the results of the study suggest that government should review the basis on which income imposition of income tax, so the income is used to meet the basic need not taxed. Keyword: Income Tax, foods needs based on calories, basic needs, ability to pay taxes
PENDAHULUAN “the difference between current revenues and current costs” (Weitzman, 2003, p. 42). Menurut Weitzman, penghasilan merupakan selisih antara penerimaan saat ini dan biaya saat ini. Sebelum dibawa pulang, penghasilan tersebut akan dikenakan pajak demi kelangsungan kegiatan pemerintahan. “Pada dasarnya yang dimaksud penerimaan negara adalah, pajakpajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri” (Subiyantoro, 2004, p. 89).
Analisis kebijakan..., Arieza Wahyu Widodo, FISIP-UI, 2013
“Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi merupakan jenis pajak subyektif yang pengenaannya harus memperhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak, refleksi tersebut diwujudkan dengan pemberian batas pemajakan dalam bentuk PTKP yang jumlahnya dikaitkan dengan keadaan wajib pajak pada awal tahun pajak” (Gunadi, 2001, p. 95). PPh orang pribadi adalah pajak perorangan yang pembebanannya diesuaikan dengan penghasilan yang dimiliki. Pengenaan PPh semestinya memperhatikan keadaan pribadi subjek pajak, tidak dikenakan pajak sebesar penghasilan yang digunakan untuk mempertahankan penghasilan tersebut, termasuk pemenuhan kebutuhan dirinya dan anggota keluarga yang dimiliki. Konsep penghasilan yang menjadi dasar pengenaan PPh seharusnya diperjelas. Penghasilan yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar berbeda dengan penghasilan yang dikategorikan pertambahan ekonomis atau kekayaan. “PPh dapat menjadi pajak yang terbaik jika diterapkan sesuai dengan (ability to pay principle), salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pembebasan kebutuhan dasar dan dengan menerapkan tarif pajak progresif” (Mansury, 1992, p. 41). Oleh karena itu, prinsip pengenaan PPh berdasarkan kemampuan membayar pajak (ability to pay). Wajib Pajak dikatakan mampu membayar pajak ketika semua kebutuhan dasar dirinya dan tanggungan keluarga yang dimiliki telah terpenuhi. Pembayar pajak biasanya tidak membayar pajak hingga penghasilannya mencapai level tertentu, dan level dimana pembayar pajak memulai membayar tergantung pada jumlah tanggungan yang dimilikinya (Lewis, 1984) Biaya-biaya yang muncul sebagai upaya untuk memperoleh penghasilan dianggap bukan merupakan biaya untuk konsumsi, karena digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, dan juga bukan merupakan tambahan kemampuan ekonomis karena dianggap tidak untuk menambah kekayaan. Jika biaya tersebut dianggap penghasilan yang dikenakan pajak, artinya tidak ada penghasilan yang dapat digunakan mencukupi kebutuhan hidup diri sendiri dan tanggungannya. Jika kebutuhan hidup minimum tidak terpenuhi maka tidak mungkin seseorang dapat bekerja untuk mendapatkan penghasilan (1992, p. 88). Berdasarkan UU PPh Pasal 4 ayat 1, “Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.” Dengan demikian, telah dijelaskan bahwa biaya-biya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan serta biaya pemenuhan kebutuhan dasar bukan merupakan
Analisis kebijakan..., Arieza Wahyu Widodo, FISIP-UI, 2013
pertambahan kekayaan. Atas penghasilan tersebut tidak boleh dikenakan PPh jika dilihat dari Ability to Pay Principle dan regulasi yang ada. Jika penghasilan tersebut masih dikenakan PPh, maka akan terganggu aktifitas dan kesejahteraan Wajib Pajak beserta tanggungan keluarga yang dimiliki. Penghasilan Tidak Kena Pajak merupakan satu-satunya kebijakan yang melindungi biayabiaya tersebut, sehingga menjadi pengurang penghasilan neto sebelum dikenakan pajak. Menurut Joseph A. Peachman, pembenaran yang mendasar untuk pembebasan penghasilan dasar adalah bahwa masyarakat berpenghasilan sangat rendah tidak memiliki kemampuan dalam membayar pajak. Pengenaan pajak tinggi hingga menembus kebutuhan minimum akan menurunkan tingkat kesehatan dan menghasilkan vitalitas ekonomi yang rendah, kurang produktif, dan menyebabkan pembiayaan pelayanan publik semakin tinggi (Peachman, 1971). Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) merupakan awal mula penetapan besarnya PTKP dan diterapkan pada tahun 1984. dalam kurun waktu 29 tahun, besarnya PTKP telah disesuaikan sebanyak 8 (delapan) kali. Sebagimana diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh, Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat RI menyesuaian besarnya PTKP dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter, serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya. Tabel 1, Sejarah Besarnya PTKP (Tahun 1983-2013)
Masa
Wajib Pajak
Wajib Pajak
Berlaku
Sendiri
Kawin
Keluarga Sedarah dan Semenda (Maks. 3 Orang)
1984
Rp.
960.000
Rp.
480.000
Rp.
480.000
1990
Rp.
1.440.000
Rp.
720.000
Rp.
720.000
1994
Rp.
1.728.000
Rp.
864.000
Rp.
864.000
1999
Rp.
2.880.000
Rp.
1.440.000
Rp.
1.440.000
2005
Rp.
12.000.000
Rp.
1.200.000
Rp.
1.200.000
2006
Rp.
13.200.000
Rp.
1.200.000
Rp.
1.200.000
2009
Rp.
15.840.000
Rp.
1.320.000
Rp.
1.320.000
2013
Rp.
24.300.000
Rp.
2.025.000
Rp.
2.025.000
Sumber: Dari berbagai sumber, diolah penulis (2013).
Analisis kebijakan..., Arieza Wahyu Widodo, FISIP-UI, 2013
Menakertrans dalam Lampiran Peraturan Menakertrans Nomor 13 tahun 2012 tentang komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) telah merinci komponen KHL menjadi 60 (enam puluh) komponen yang dibagi menjadi 7 (tujuh) jenis kebutuhan, yaitu makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transortasi, serta rekreasi dan tabungan. Komponen No.1 sampai 11 (pangan) merupakan kebutuhan yang sangat fital, karena bersangkutan dengan kelangsungan hidup setiap manusia. Kelaparan di Indonesia masing sering diperbincangkan, keadaan tersebut menyebabkan penurunan kekebalan tubuh yang berakibat memudahkan masuknya segala macam penyakit. Karena kelaparan, busung lapar, dan gizi buruk merupakan problematika kaum menengah kebawah, hal ini akan berefek domino terhadap biaya pelayanan public khususnya kesehatan. Pangan merupakan kebutuhan primer, artinya kebutuhan yang akan dipenuhi paling awal ketika seseorang memiliki penghasilan. Untuk mempertahankan berat badan, manusia harus berada dalam keseimbangan kalori. Keseimbangan kalori terjadi apabila kilokalori (Kkal) yang dikonsumsi setara dengan pengeluaran energi harian (Marks et al., 1996). Kalori digunakan sebagai sumber energi manusia untuk melakukan aktifitas sehari-hari. Sehingga harus dipenuhi kebutuhan dasar tersebut sesuai dengan aktifitas, jenis kelamin dan usia tiap individu.
Keputusan
Menkes
Nomor
1593/MENKES/SK/XI/2005,
salah
satunya
mengklasifikasikan kebutuhan kalori berdasarkan usia sesuai dengan berat dan tinggi badan. Tabel 2, Angka Kecukupan Energi Rata-Rata Perhari
Golongan
0 – 6 bulan 7 – 12 bulan 1 – 3 tahun 4 – 6 tahun 7 – 9 tahun Pria 10 – 12 tahun 13 – 15 tahun 16 – 18 tahun 19 – 29 tahun 30 – 49 tahun 50 – 64 tahun
Berat Badan
Tinggi Badan
Energi
(Kg)
(cm)
(Kkal)
6 8,5 12 17 25
60 71 90 110 120
550 650 1000 1550 1800
35 46 55 56 62 62
138 150 160 165 165 165
2050 2400 2600 2550 2350 2250
Analisis kebijakan..., Arieza Wahyu Widodo, FISIP-UI, 2013
65 tahun keatas
62
165
2050
Wanita 10 – 12 tahun 13 – 15 tahun 16 – 19 tahun 20 – 45 tahun 46 – 59 tahun 50 – 64 tahun 65 tahun deatas
37 48 50 52 55 55 55
145 153 154 156 156 156 154
2050 2350 2200 1900 1800 1750 1600
Hamil Timester 1
+180
Timester 2 Timester 3
+300 +300
Menyusui 6 bl pertama 6 bl kedua
+500 +550
Seseorang dapat dikatakan mampu apabila dirinya tidak memiliki beban dan tanggung jawab lainnya. Penderita rabun jauh tentunya tidak mampu melihat jauh secara jelas, maka terdapat beban yang menghalanginya yaitu rabun jauh. Sesuai dengan pengenaan PPh, Wajib Pajak tidak dapat membayar pajak karena penghasilan yang dimiliki sebatas kebutuhan dasar. Karena PPh merupakan pajak subjektif, pengenaannya perlu melihat kondisi Wajib Pajak tersebut. Maka besarnya PTKP semestinya setara dengan biaya pemenuhan dasar tersebut. Sehingga PPh tidak menembus penghasilan yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar serta sesuai dengan prinsip Ability to Pay. TINJAUAN TEORITIS Teori-teori terkait yang digunakan mencakup teori penghasilan, teori Ability to Pay, teori penghasilan yang tidak dikenakan pajak, PPh, Konsep Penghasilan Tidak Kena Pajak, Kebutuhan Hidup Layak, serta Tunjangan Penghasilan Rendah dan Pajak Negatif. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data berupa studi literature dan tinjauan lapangan. Berdasarkan tujuan, penelitian ini termasuk Descriptive Research, merupakan gambaran detail mengenai suatu situasi. Informan meliputi pihak
Analisis kebijakan..., Arieza Wahyu Widodo, FISIP-UI, 2013
pemerintahan, praktisi bidang perpajakan, praktisi bidang kesehatan, akademisi bidang perpajakan, akademisi bidang kesehatan, objek penelitian serta kios-kios pada pasar tradisional. Informan yang dipilih digolongkan kedalam key informant, yang sengaja dipilih peneliti dan berjumlah sekitar 8 informan. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Ukuran PTKP tahun 2013 yang sesuai dengan kemampuan membayar pajak dengan berorientasi pada kecukupan pangan berdasarkan kebutuhan kalori Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan tax relief yang dianut dalam sistem Pajak Penghasilan Orang Pribadi di Indonesia. PTKP merupakan adaptasi dari bentuk tax relief berupa personal exemption atau allowance. PTKP adalah batas penghasilan yang tidak dikenakan pajak sehingga untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak dari wajib pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan neto dikurangi dengan PTKP. Ketentuan mengenai PTKP diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah beberapakali, terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-196/PMK.011/2012 tahun 2012. Dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan kebutuhan pokok setiap tahunnya, besarnya PTKP dapat disesuaikan yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat RI. Dalam perkembangan perekonomian, Pemerintah menimbang bahwa besarnya PTKP yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Sebagai salah satu tolak ukur kebutuhan pokok minimal masyarakat adalah besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) yang besarannya ditetapkan dengan didasarkan atas Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Pertimbangan lain mengenai perlunya perubahan PTKP adalah terkait dengan dibutuhkannya kebijakan untuk mengantisipasi perlambatan ekonomi global, sebagai dampak krisis finansial Eropa dan Amerika Serikat, yang berpotensi menurunkan daya beli masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu faktor pertumbuhan ekonomi suatu negara dengan Produk Domestik Bruto sebagai ukurannya, adalah tingkat konsumsi masyarakat dan investasi. Dengan menaikkan PTKP diharapkan dapat meningkatkan daya beli konsumen (disposable income), yang kemudian dapat berdampak domino pada peningkatan Produk Domestik Bruto nasional, baik melalui konsumsi maupun peningkatan tabungan (saving). Dalam dunia bisnis dan ekonomi, daya beli konsumen adalah kunci utama pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran
Analisis kebijakan..., Arieza Wahyu Widodo, FISIP-UI, 2013
konsumen yang lancar akan berimbas pada kenaikan penjualan barang impor, output manufaktur, bisnis dan investasi hingga pertumbuhan lapangan kerja. Penelitian ini berfokus pada besarnya PTKP tahun 2013 yang dikaitkan dengan kebutuhan pangan berdasarkan kecukupan energi. Oleh karena itu, dalam membahas kebijakan penyesuaian PTKP tahun 2013 akan dikaitkan dengan kebutuhan pangan dengan kecukupan energi sebagai ukurannya. Untuk tahapan perumusan masalah kebijakan, telah dilaksanakan oleh pemerintah sehingga terbentuk besarnya PTKP tahun 2013 sebesar Rp.24.300.000 per tahun. Dengan demikian, kebijakan penyesuaian PTKP tahun 2013 akan dibahas dari segi formulasi kebijakan yaitu kebijakan penyesuaian PTKP tahun 2013 dan formulasi kebijakan pemberian PTKP tahun 2013 yang sesuai dengan kemampuan membayar pajak dengan berorientasi pada pangan berdasarkan kebutuhan kalori. Sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh, PTKP disesuaikan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter, serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya. Maka, inflasi dijadikan sebagai dasar perhitungan besarnya PTKP. Pada tahun 1984, PTKP untuk Wajib Pajak sendiri sebesar Rp.960.000 dan dilakukan penyesuaian kembali pada tahun 1990 yaitu sebesar Rp.1.440.000. Inflasi yang terjadi dari tahun 1984 sampai 1989 sebesar 42,24%, maka PTKP awal yaitu Rp.960.000 dikalikan 42,24% lalu ditambah dengan PTKP awal. Sehingga PTKP yang wajib diberikan oleh pemerintah pada tahun 1990 adalah sebesar Rp.1.365.504, sedangkan realisasi besarnya PTKP tahun 1990 adalah Rp.1.440.000. Untuk besarnya PTKP Wajib Pajak sendiri tahun 2009 yang ditetapkan pemerintah adalah Rp.15.840.000 dan dilakukan penyesuaian kembali tahun 2013 yaitu sebesar Rp.24.300.000. Inflasi yang terjadi tahun 2009 sampai tahun 2012 sebesar 17,83%, maka PTKP yang diberikan pada tahun 2013 sesuai dengan UU RI Nomor 36 tahun 2008 adalah Rp.18.664.272. Sedangkan PTKP untuk tanggungan keluarga sedarah dan semenda sebesar Rp.1.320.000, maka pada tahun 2013 PTKP yang diberikan sebesar Rp.1.555.356. Dengan demikian, besarnya PTKP tahun 2013 baik untuk Wajib Pajak maupun tanggungan keluarga sedarah dan semenda sudah sesuai dengan UU RI Nomor 36 tahun 2008. Kebijakan pemberian PTKP di Indonesia sebetulnya tidak dimaksudkan sebagai pengganti pengeluaran biaya hidup Wajib Pajak beserta tanggungan keluarga. Hal ini jelas terlihat, regulasi menetapkan jumlah tanggungan keluarga maksimal yang dapat diperhitungkan dalam penentuan besarnya PTKP sebanyak 3 (tiga) orang dan istri 1 (satu) orang. Demikian pula
Analisis kebijakan..., Arieza Wahyu Widodo, FISIP-UI, 2013
anak yang lahir setelah tanggal 1 januari 2013 diperhitungkan dalam PTKP pada tahun berikutnya. Dengan demikian, jelas bahwa PTKP tidak didasarkan atas kebutuhan minimum Wajib Pajak beserta tanggungan keluarga. Penyesuaian PTKP dimaksudkan untuk melindungi daya beli masyarakat akibat perkembangan ekonomi, atau menurunnya daya beli masyarakat akibat inflasi. Disisi lain, pemerintah harus lebih konsen kepada potensial loss yang diakibatkan kenaikan PTKP tersebut. Beberapa pandangan berpendapat, dengan kenaikan PTKP otomatis daya beli masyarkat meningkat yang mengakibatkan konsumsi juga meningkat, maka dari sisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga ikut meningkat. Kenaikan besarnya PTKP secara langsung akan menyebabkan penurunan penerimaan pajak, khususnya dari Pajak Pengasilan (PPh) Pasal 25/29 orang pribadi dan pemotongan PPh Pasal 21 karyawan. Penyesuaian PTKP sebesar 53,4% tersebut, berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan berpotensi pada penurunan penerimaan pajak bersih sekitar Rp.13,3 triliun. Potential loss ini berasal dari penurunan penerimaan pajak penghasilan, khususnya PPh orang pribadi dan PPh Pasal 21. Sebaliknya, kebijakan penyesuaian PTKP tersebut berpotensi pada peningkatan penerimaan pajak yang berasal dari PPN, pajak impor, dan PPh Badan serta peningkatan penerimaan negara bukan pajak, sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Namun demikian, berdasarkan data historis, penyesuaian PTKP
pada periode-periode
sebelumnya hanya menimbulkan dampak penerimaan pajak yang bersifat sementara. Kenaikan besarnya PTKP mempengaruhi secara signifikan pertumbuhan penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi, namun tidak menyebabkan penurunan penerimaan pajak secara nominal. Pengaruh terhadap pertumbuhan penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi tersebut bersifat sementara, yaitu hanya terjadi dalam kurun waktu 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) tahun dan selanjutnya mengalami pertumbuhan normal kembali. Outlier adalah pada tahun 2009 sebagai dampak dari krisis ekonomi tahun 2008, sementara penerimaan PPh diluar PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi dan total pajak lainnya mengalami pertumbuhan negatif, kenaikan PTKP ternyata tetap memberikan pertumbuhan positif pada penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi. Panitia kerja akhirnya sepakat untuk Penghasilan Tidak Kena Pajak Tahun 2013 per tahun diberikan paling sedikit sebesar:
Analisis kebijakan..., Arieza Wahyu Widodo, FISIP-UI, 2013
1. Rp.24.300.000 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi; 2. Rp.2.025.000 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; 3. Rp.24.300.000 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang istri yang berpenghasilan digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan 4. Rp.2.025.000 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang setiap keluarga. Besarnya PTKP tahun 2013 naik dari Rp.15.840.000 menjadi Rp.24.300.000. Sedangkan untuk untuk istri dan keluarga sedarah dan keluarga semenda mengalami kenaikan dari Rp.1.320.000 menjadi Rp.2.025.000 untuk maksimal 3 (tiga) orang. Kenaikan PTKP ini menandai adanya peningkatan kualitas kebijakan perpajakan yang memperhatikan keadaan ekonomi dan moneter. Harus diperjelas terlebih dahulu mengenai penghasilan yang seharusnya dikenakan dan yang tidak boleh dikenakan PPh. PPh merupakan fungsi budgeter pajak sebagai fungsi utama yaitu sebagai pengisi kas negara yang artinya untuk menghimpun dana dari masyarakat bagi penerimaan negara untuk membiayai kegiatan Pemerintah, baik pembiayaan rutin maupun pembangunan (Nurmantu, 2005, p. 30,36). PPh dapat diartikan sebagai sarana untuk mengalihkan kekayaan dari rakyat kepada negara. Karena untuk membiaya kegiatan pemerintah, maka PPh dikenakan semaksimal mungkin dengan menggali potensi pajak seperti sosialisasi kepada masyarakat untuk memiliki NPWP. Disamping itu, Montesquieu membagi penghasilan seseorang menjadi 3 (tiga) lapis, yaitu (1) yang mutlak untuk hidup (Necessery), (2) yang bermanfaat (Utilitarian), dan (3) yang berlebihan (Superfull). Mereka yang berada pada lapis pertama atau yang dienal dengan neccesery harus dibebaskan dari pajak agar tidak mengganggu kesejahteraan minimalnya karena adalah tugas setiap negara untuk melindungi kehidupan dan mengusahakan kesejahteraan rakyatnya. Jelas dikatakan bahwa tidak semua penghasilan harus dikenakan PPh, jika hal tersebut tetap dilakukan maka tidak mungkin Wajib Pajak dapat bekerja untuk mendapatkan penghasilan tersebut serta kesejahteraan diri sendiri dan tanggungan keluarga akan menurun. Salah satu dosen FISIP UI bidang perpajakan menyatakan: Sebetulnya PTKP itu kalo orang Belanda
Analisis kebijakan..., Arieza Wahyu Widodo, FISIP-UI, 2013
bilang bestand minimum, minimum kehidupan supaya orang itu hidup maka harus diberikan suatu jumlah tertentu untuk dia bisa hidup.” (Wawancara langsung dengan Safri Nurmantu). PTKP merupakan satu-satunya kebijakan yang diberikan pemerintah Indonesia, maka besarnya PTKP seharusnya dapat melindungi sejumlah penghasilan dari pengenaan PPh. Yaitu penghasilan yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan minimum yang dikenal dengan penghasilan mutlak untuk hidup salah satunya adalah kebutuhan pangan. Untuk menentukan kecukupan makanan terlebih dahulu harus diketahui kebutuhan kalori manusia. Kemudian harga bahan makanan yang dikategorikan sumber kalori yang dibutuhkan per hari. Kecukupan makanan untuk mempertahankan kehidupan secara layak dapat diukur dengan kecukupan kalori yang dikonsumsi. Menkes menganjurkan asupan bagi orang Indonesia salah satunya
berupa
energi.
Berdasarkan
Lampiran
Keputusan
Menkes
Nomor
1593/MENKES/SK/XI/2005, Menkes menggolongkan kebutuhan berdasarkan berat dan tinggi badan yang direfleksikan dengan rentang usia dan jenis kelamin. Salah satu dosen FKM UI menyatakan: Ukuran kecukupan kalori itu di Indonesia kita menggunakan yang disebut AKG atau Angka Kecukupan Gizi yang akan ditinjau per empat tahun. Tahun terakhir itu 2012 tetapi kita masih menggunakan patokan di tahun 2004.” (Wawancara langsung dengan Wahyu Kurnia Yusrin Putra). Untuk mempertahankan berat badan, manusia harus berada dalam keseimbangan kalori. Senada dengan pendapat yang dikemukakan Marks: Keseimbangan kalori terjadi apabila kilokalori (Kkal) yang dikonsumsi setara dengan pengeluaran energi harian.” (Marks et al., 1996). Kelebihan energi dari energi yang dikeluarkan akan diubah menjadi lemak tubuh sehingga berat badan berlebih atau kegemukan. Sebaliknya, bila asupan energi kurang dari yang dikeluarkan, mengakibatkan berat badan lebih rendah dari normal atau ideal. Besarnya PTKP tahun 2013 untuk wajib pajak sebesar Rp.24.300.000, jika perlindungan penghasilan tersebut hanya untuk pangan sudah mencukupi. Sedangkan jenis KHL yang ditetapkan oleh Menakertrans berjumlah 60 (enam puluh) jenis yang didalamnya termasuk 11 (sebelas) jenis KHL pangan. Agar pajak tidak menghambat kelangsungan hidup dan aktifitas Wajib Pajak beserta tanggungan, maka penghasilan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan transportasi seharusnya dibebaskan dari pajak. Jika jenis KHL pangan ditambah dengan jenis KHL transportasi, maka besarnya adalah Rp.7.143.332 per tahun untuk setiap individu.
Analisis kebijakan..., Arieza Wahyu Widodo, FISIP-UI, 2013
Jika pendekatan penentuan besarnya PTKP adalah kecukupan makanan berdasarkan kebutuhan kalori, maka perhitungan PTKP yang sesuai dihitung secara personal dengan melihat keadaan wajib pajak. Kebutuhan kalori untuk tiap-tiap jenis kelamin dan usia berbeda, maka perlu dihitung satu per satu mulai dari Wajib Pajak hingga keluarga sedarah dan keluarga semenda yang dimiliki. Dengan demikian, proses pengadministrasian akan lebih rumit dibanding menyeragamkan besarnya PTKP untuk istri dan keluarga sedarah semenda. Disamping itu, harga komponen KHL yang ditetapkan Menakertrans berbeda-beda disetiap daerah, hal ini menyulitkan perhitungan PTKP yang sewajarnya diberikan agar penghasilan untuk kebutuhan dasar bebas dari PPh. 2. Dampak penghasilan dan biaya kebutuhan seluruh anggota keluarga terhadap kemampuan membayar pajak. Penghasilan dapat diperoleh dari pengorbanan seseorang dengan bekerja. Penghasilan dapat diartikan sebagai selisih antara pendapatan saat ini dan biaya saat ini. Penghasilan tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, konsumsi, maupun investasi. Perbedaan penghasilan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan konsumsi adalah terdapat pandangan bahwa penghasilan untuk memenuhi kebutuhan minimum bukan merupakan tambahan ekonomis karena tidak menambah kekayaan, sedangkan konsumsi dapat diartikan sebagai penggunaan penghasilan setelah kebutuhan minimum terpenuhi. PPh seharusnya membedakan pula penghasilan yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan minimum. Dengan kebutuhan minimum, seorang individu dapat mempertahankan kehidupan serta penghasilan itu sendiri. Penghasilan tersebut jangan sampai dikenai pajak agar tidak membebani Wajib Pajak dalam mencapai kesejahteraan. “PTKP secara teori diharapkan dapat melindungi penghasilan untuk kebutuhan minimum. Tapi sekali lagi berapa disposable income kalo hanya sekedar ala kadarnya, ya telah dikenakan pajak jadi engga banyak kebutuhan minimum sekedar tidak mati saja.” (Wawancara dengan Safri Nurmantu). Untuk penghasilan anggota keluarga, setiap tambahan individu yang bekerja secara tidak langsung menambah penghasilan keluarga tersebut. “Dengan satuan pemajakan adalah keluarga, total beban pajak akan meningkat atau menurun tergantung pada penghasilan yang dimiliki anggota keluarga, misalnya istri juga bekerja dan melakukan pemisahan harta dengan suami akan menyebabkan perbedaan beban pajak” (Zee, 2005, p. 17). Jadi, jika istri dan anak bekerja, maka penghasilan dapat digabung dengan Wajib Pajak termasuk anak yang belum
Analisis kebijakan..., Arieza Wahyu Widodo, FISIP-UI, 2013
dewasa atau usianya dibawah 18 (delapan belas) tahun. Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 tentang ketenagakerjaan, anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun. Pasal 69 masih Undang-undang yang sama, pelarangan anak bekerja dikecualikan bagi anak yang berusia 13-15 tahun sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik. Hal senada didukung oleh UU PPh Pasal 8 ayat (4), Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya. Artinya, ada kemungkinan anak bekerja walaupun usianya dibawah 18 (delapan belas) tahun. Untuk kasus artis cilik atau penyanyi cilik, mereka memperoleh penghasilan dari bermain film maupun menyanyi, sedangkan usia mereka jauh dari usia yang disarankan Menakertrans. Walapun demikian, penghasilan yang diperoleh paling tidak mengalir kepada orangtua dalam hal ini Waib Pajak. Biaya yang dikeluarkan suatu keluarga tergantung jumlah anggota keluarga tersebut. Biaya kehidupan Wajib Pajak kawin tanpa anak tentunya berbeda dengan Wajib Pajak kawin dengan 2 (dua) anak. Hal ini dikarenakan Wajib Pajak akan membiayakan sejumlah penghasilan untuk menghidupi istri dan anaknya agar dapat hidup dengan layak, termasuk jaminan kesehatan dan pendidikan. Dengan demikian, penghasilan Wajib Pajak yang digunakan untuk menghidupi tanggungan merupakan penghasilan untuk kebutuhan minimum. Kaitannya dengan kecukupan pangan berdasarkan kebutuhan kalori, Wajib Pajak mengusahakan penghasilan yang akan digunakan untuk memberi asupan makanan sesuai dengan kebutuhan istri dan anak. Wajib Pajak yang dimaksud merupakan orangtua dari anak sebagai tanggungan, otomatis penghasilan tersebut akan mengalir kepada istri dan anak dalam bentuk kebutuhan hidup tanpa adanya regulasi yang secara khusus mengatur. Sesuai dengan objek penelitian yang bertempat tinggal di Jakarta Selatan, yaitu Ibu Sumiati usia 43 tahun, suami 46 tahun, putra pertama SMA 16 tahun, putra kedua SMP 14 tahun, dan terakhir seorang putri SMP 12 tahun. Maka tingkat kecukupan makanan berdasarkan kebutuhan kalori yang dibutuhkan anggota keluarga Ibu Sumiati adalah sebagai berikut:
1. Ibu Sumiati, usia 43 tahun
Analisis kebijakan..., Arieza Wahyu Widodo, FISIP-UI, 2013
Tingkat kecukupan makanan berdasarkan kalori 1.800 Kkal, maka 3.691.656 x (1.800/3.000) = Rp.2.214.994 per tahun, karena Ibu Sumiati tidak bekerja maka tidak dihitung KHL jenis transportasinya. 2. Suami, usia 46 tahun Tingkat kecukupan makanan berdasarkan kalori 2.350 Kkal, maka 3.691.656 x (2.350/3.000) = Rp.2.891.797 per tahun. Karena Suami bekerja maka dihitung KHL jenis transportasinya. Maka kebutuhan pangan dan transportasi suami Rp.6.491.797 per tahun. 2. Anak Pertama, Laki-laki usia 16 tahun Tingkat kecukupan makanan berdasarkan kalori 2.600 Kkal, maka 3.691.656 x (2.600/3.000) = Rp. 3.199.435 per tahun. Karena Anak Pertama sekolah dan membutuhkan uang transportasi dan lain-lain Rp.10.000 per hari, maka kebutuhan pangan dan transportasi Anak Pertama sebesar Rp. 6.799.435 per tahun. 3. Anak Kedua, Laki-laki Usia 14 tahun Tingkat kecukupan makanan berdasarkan kalori 2.400 Kkal, maka 3.691.656 x (2.400/3.000) = Rp.2.953.324 per tahun. Karena Anak Kedua sekolah dan membutuhkan uang transportsi dan lain-lain Rp.15.000 per hari, maka kebutuhan pangan dan transportasi Anak Kedua sebesar Rp.8.353.324 per tahun. 4. Anak Ketiga, Wanita usia 12 tahun Tingkat kecukupan makanan berdasarkan kalori 2.050 Kkal, maka 3.691.656 x (2.050/3.000) = Rp.2.522.632 per tahun. Karena Anak Ketiga sekolah dan membutuhkan uang transportsi dan lain-lain Rp.15.000 per hari, maka kebutuhan pangan dan transportasi Anak Ketiga sebesar Rp.7.922.632 per tahun. Kebutuhan pangan dan transportasi keluarga Ibu Sumiati Rp.31.782.182 setahun. Pembayar pajak biasanya tidak membayar pajak hingga penghasilannya mencapai level tertentu, dan level dimana pembayar pajak memulai membayar tergantung pada jumlah tanggungan yang dimilikinya (Lewis, 1984). Sesuai dengan teori penghasilan yang diungkapkan Weitzman, maka Rp.22.800.000 dikurangi Rp.32.151.347, hasilnya adalah negatif Rp.9.351.347 setahun. Ketiga orang anak dari Ibu Sumiati dikategorikan belum dewasa dan tidak memiliki penghasilan, maka terdaftar sebagai tanggungan suami dari Ibu Sumiati. Dengan kata lain, keluarga Ibu Sumiati tidak memiliki kemampuan membayar pajak, faktanya untuk memenuhi kebutuhan dasar anggota keluarga, Ibu Sumiati mengalami kekurangan penghasilan.
Analisis kebijakan..., Arieza Wahyu Widodo, FISIP-UI, 2013
3. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk membantu keluarga yang tidak memiliki kemampuan mambayar pajak Besarnya tingkat kesenjangan pendapatan merupakan refleksi dari besar-kecilnya kualitas pendistribusian pendapatan, semakin besar kesenjangan pendapatan, semakin serius merusak demokrasi dan menyebabkan konflik sosial. Dengan upaya pendistribusian pendapatan, maka kemiskinan dapat diminimalisir sehingga kelangsungan demokrasi dapat terjamin dengan baik tanpa adanya ancaman konflik sosial yang berkepanjangan. Pada sistem pemberian PTKP dengan teknik Continuing Exemption yang diterapkan di Indonesia, semua wajib pajak diberikan PTKP dengan jumlah yang sama tanpa memperhatikan besarnya penghasilan yang dimiliki. Dengan demikian, semua wajib pajak yang memiliki penghasilan di bawah PTKP dikenakan pajak Rp. 0. Dengan kata lain, pemberian PTKP menghambat pendistribusian pendapatan, golongan pendapatan terendah disamakan dengan golongan pendapatan diatasnya dan berlanjut seiring peningkatan besarnya PTKP. Alternatif untuk mengurangi beban bagi wajib pajak berpenghasilan rendah, adalah meningkatkan tunjangan penghasilan rendah (yang diganti dengan pengurangan standar minimum). Perubahan ini dirancang untuk membantu masyarakat yang paling membutuhkan tanpa menimbulkan kerugian pendapatan yang berat. Dengan tunjangan penghasilan rendah yang dikhususkan bagi golongan berpenghasilan rendah, pemerintah United States dapat melindungi mereka tanpa memerlukan biaya yang besar, yaitu menaikkan besarnya personal exemption yang diberikan untuk seluruh rakyat. Pendapatan yang telah disesuaikan merupakan hasil dari penghasilan kotor dikurangi personal exemption. Penggunaan pengurangan standar sebagai pendamping personal exemption menjadi jauh lebih efisien. Ketentuan ini awalnya diusulkan oleh Seltzer dan kemudian diadopsi untuk tujuan menaikkan kemampuan tingkat bawah. Pemberian pengurangan standar dapat juga berbentuk rasio 3:4:3 yaitu lajang, menikah dan tanggungan anak. Rasio yang dikemukakan Seltzer merupakan rasio sesuai kebijakan pemerintah United States, begitupula persentase tunjangan penghasilan rendah disesuaikan dengan perimbangan anggaran negera. Alternatif lainnya yang dapat diambil oleh Pemerintah guna membantu kekurangan penghasilan yang dimiliki keluarga Ibu Sumiati adalah earned income tax credit. Earned income tax credit diberikan sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk melindungi Wajib
Analisis kebijakan..., Arieza Wahyu Widodo, FISIP-UI, 2013
Pajak pada tingkat penghasilan tertentu. Bentuk paling sederhana dari Pajak Penghasilan Negatif adalah ketika penghasilan lebih kecil dari biaya (Zee, 2005, p.22). Earned Income Tax Credit berkembang selama bertahun-tahun di Amerika Serikat dan dikenal sebagai program yang sangat mahal, yaitu mengakibatkan kerugian negara yang cukup besar. Pada tahun 2001, menyebabkan penurunan pendapatan PPh sekitar US $4,2 miliar dan terjadi sejumlah pengeluaran sekitar US $25,8 miliar, untuk total biaya berkisar US $30 miliar atau setara dengan 0,3% dari PDB Amerika Serikat. Namun, kualitas sumber daya manusia dan produktifitas warga Amerika Serikat meningkat secara signifikan, hal tersebut ditandai dengan peningkatan PDB serta menurunnya pembiayaan pelayanan publik khususnya dibidang kesehatan dan angka kriminalitas. SIMPULAN PTKP merupakan pelindung sejumlah penghasilan dari pengenaan PPh. Penghasilan yang menjadi dasar pengenaan pajak sebagaimana diatur dalam UU PPh Pasal 4 ayat (1) belum diterapkan sebagaimana mestinya. Seluruh manusia pasti mengeluarkan biaya untuk kebutuhan dasar, jika penghasilan yang dimiliki sebatas biaya kebutuhan dasar, penghasilan tersebut bukan suatu pertambahan ekonomis dan tidak menambah kekayaan. PTKP tahun 2013 dibandingkan dengan PTKP yang berorientasi pada pangan berdasarkan kebutuhan kalori khususnya PTKP tambahan untuk tanggungan keluarga sedarah dan semenda kurang dari cukup. Dengan demikian, PTKP tahun 2013 tidak dapat melindungi penghasilan yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar khususnya pangan dari pengenaan PPh. Penghasilan dan biaya pemenuhan kebutuhan dasar suatu keluarga mempengaruhi kemampuan membayar pajak. Wajib Pajak akan memenuhi semua kebutuhan dirinya sendiri beserta tanggungan keluarga yang dimiliki, penghasilan yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk melunasi kewajiban perpajakannya akan terasa lebih ringan apabila kebutuhan tersebut telah terpenuhi. Hal ini dikarenakan, kelangsungan hidup serta aktifitas Wajib Pajak beserta tanggungan keluarga telah terjamin sehingga Wajib Pajak tidak memiliki tanggung jawab lainnya atas penghasilan tersebut selain membayar pajak yang terutang. Dalam UU PPh Pasal 8 ayat (4) memungkinkan anak yang belum dewasa bekerja, penghasilan dari anak akan digabung dengan orang tua otomatis menambah kemampuan membayar pajak keluarga tersebut.
Analisis kebijakan..., Arieza Wahyu Widodo, FISIP-UI, 2013
Perbandingan antara penghasilan yang dimiliki dengan biaya yang harus dikeluarkan khususnya untuk kebutuhan dasar, mempengaruhi besar kecilnya kemampuan membayar pajak. Untuk jumlah biaya kebutuhan lebih besar dari penghasilan yang dimiliki, maka telah terjadi Inability to Pay. Keadaan tersebut menggambarkan suatu keluarga atau individu dalam keadaan kekurangan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Otomatis kesejahteraan akan menurun dan terganggunya aktifitas sehari-hari, termasuk tanggungan keluarga yang dimiliki. Beberapa alternatif seperti Tunjangan Penghasilan Rendah dan Earned Income Tax Credit, dirasa tidak dapat diimplementasikan di Indonesia karena kerugian negara yang dihasilkan dari penerapan salah satu alternatif tersebut sangat besar. SARAN PPh seharusnya tidak dikenakan atas penghasilan yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Hal ini menyebabkan kelangsungan hidup serta kesejahteraan rakyat terganggu dan bukan merupakan tugas pemerintah untuk mempertahankan keadaan tersebut. PPh lebih tepat dikenakan atas penghasilan yang tersisa setelah kebutuhan Wajib Pajak beserta tanggungan keluarga terpenuhi. Karena PTKP adalah satu-satunya kebijakan untuk melindungi penghasilan tersebut, maka kebutuhan dasar perlu dijadikan pertimbangan dalam penyesuaian PTKP. Penghasilan dan biaya suatu keluarga seharusnya dipertimbangkan dalam pengenaan PPh. UU PPh mempersilahkan anak yang belum dewasa untuk bekerja, artinya setiap pertambahan penghasilan baik yang dimiliki oleh istri maupun anak otomatis menambah kemampuan membayar pajak suatu keluarga. Pengenaan PPh seharusnya berdasarkan kemampuan membayar pajak Wajib Pajak, tidak semata-mata untuk mengisi kas negara saja. Pemerintah seharusnya dapat menjauhkan PPh dari penghasilan yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Wajib Pajak tentunya memiliki kepentingan yaitu memenuhi kebutuhan dasar diri sendiri serta tanggungan yang dimiliki, jika kebutuhan dasar tidak terpenuhi maka kesejahteraan terganggu. Merupakan tugas suatu negara untuk melindungi kehidupan serta mengusahakan kesejahteraan rakyat. Jika masyarakat tidak sejahtera, maka pembiayaan pelayanan publik akan semakin mahal.
Analisis kebijakan..., Arieza Wahyu Widodo, FISIP-UI, 2013
DAFTAR REFERENSI Berg, Alan. 1986. Peranan Gizi Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta. CV Rajawali. Case, Karl E. dan Fair, Ray C. 2012. Principles of Economics, Tenhth Edition. New Jersey. Pearson Education Inc. Creswell, John W. 2009. Research Design, Third Edition. London. SAGE Publication Inc. Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta. Rajawali Pers. Dunn, William N. 2003. Public Policy Analiysis: An Introduction, Second Edition (Terjemahan). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Gunadi. 2002. Ketentuan Dasar Pajak Penghasilan. Jakarta. PT Salemba Emban Patria. Hoffman, Saul D. dan Seidman, Laurence S. 2003. Helping Working Families: The Earn Income Tax Credit. Michigan. W.E. Upjohn Institute Employment Research. Laswell, et al. 1965. Power and Society a Framework for Political Inquiry. New Haven and London: Yale University Press. Lewis, Stephen R. 1984. Taxation for Development Principles and Application. New York, Oxford. Oxford University Press. Mansury, R. 1992. The Indonesian Icome Tax. Singapore. Asian-Pcific Tax and Investment Reasearch Center. __________. 1996. Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta. IND-HILL-CO. __________. 1996. Panduan Konsep Utama Pejak Penghasilan Indonesia, Jilid 2. Jakarta. PT. Bina Rena Pariwara. Marks, B. Dawn et al,. 1996. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta. EGC. McNulty, John K. 1995. Federal Income Taxation of Individuals. ST. Paul. West Publishing Co. Moekijat, Lauddin. 2006. Analisis Kebijakan Publik. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya. Musgrave, Richard A. dan Musgrave, Peggy B. 1976. Public Finance in Theory and Prctice, Edisi Kedua. Mc. Graw-Hill Inc. Nurmantu, Safri. 2003. Pengantar Perpajakan. Jakarta. Granit 2005. _____________. 1994. Dasar-Dasar Perpajakan, Jilid 1. Jakarta. IND-HILL-CO.
Analisis kebijakan..., Arieza Wahyu Widodo, FISIP-UI, 2013
Peachman, Joseph A. 1971. Federal Tax Policy, Revised Edition. Washington DC. The Brookings Institution. Pratt, W. James et al. 1988. Individual Taxtion 1989 Edition. R.R. Donnelley & Sons Co. Rahardja, Prathama dan Manurung, Mandala. 2008. Pengantar Ilmuu Ekonomi: Mikroekonomi & Makroekonomi Edisi ketiga. Jakarta. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Rosen, Harvey S. 1976. Public Finance, Forth Edition. Dapertement of Economics, USA. Princenton University. Seltzer, Lawrence H. 1968. The Personal Exemptionn in the Income Tax. New York. Nnational Bureau of Economic Research. Smith, Adam. 2005. An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. An Electronical Classics Series Publication. Subiyantoro, Heru dan Siphat, Singgih. 2004. Kebijakan Fiskal. Jakarta. PT Kompas Media Nusantara. Weitzman, Martin L. 2003. Income, Wealth, and the Maximum Principle. London. Harvard University Press. Zee, Howell H. 2005. Peronal Income Tax Reform: Concepts, Issues, and Comperative Country Development. International Monetary Fund Working Paper.
Analisis kebijakan..., Arieza Wahyu Widodo, FISIP-UI, 2013