ANALISIS DAYA SAING KOMODITI TANAMAN HIAS DAN ALIRAN PERDAGANGAN ANGGREK INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
Oleh :
MAYA ANDINI KARTIKASARI NRP. A14105684
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ANALISIS DAYA SAING KOMODITI TANAMAN HIAS DAN ALIRAN PERDAGANGAN ANGGREK INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
Oleh :
MAYA ANDINI KARTIKASARI NRP. A14105684
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN EKSEKUTIF MAYA ANDINI KARTIKASARI, Analisis Daya Saing Komoditi Tanaman Hias dan Aliran Perdagangan Anggrek Indonesia di Pasar Internasional. (Di bawah bimbingan NUNUNG NURYARTONO) Perkembangan usaha tanaman hias cukup pesat dan telah mampu memenuhi pasar lokal maupun pasar ekspor di mancanegara. Eksistensi usaha tanaman hias cenderung memberikan prospek yang baik terkait dengan trend masyarakat kini yang menyukai keindahan serta nilai estetika dari suatu tanaman. Dalam beberapa tahun ini, ekspor tanaman hias Indonesia ke beberapa negara tujuan mengalami peningkatan yang cukup signifikan, baik dari volume maupun nilainya. Pasar ekspor tanaman hias Indonesia terbesar adalah negara Jepang, diikuti Korea, Belanda, Amerika Serikat dan Singapura. Salah satu komoditi unggulan tanaman hias Indonesia adalah anggrek. Anggrek merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan sangat prospektif untuk dibudidayakan. Selain itu, permintaan anggrek dinilai cukup tinggi dan komoditi ini memiliki cakupan wilayah ekspor yang luas. Negara tujuan utama ekspor tanaman hias Indonesia diantaranya adalah Jepang, Korea, Singapura, Belanda dan Amerika Serikat. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia ke lima negara tersebut setiap tahunnya berfluktuasi. Jika dibandingkan dengan Thailand, perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke negara tujuan jauh lebih rendah. Jika perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia lebih rendah dibandingkan Thailand, maka secara hipotetik penguasaan pasar tanaman hias Indonesia di negara tujuan lebih kecil dibandingkan Thailand. Berdasarkan masalah yang terjadi dalam industri tanaman hias Indonesia, maka tujuan dari penelitian ini adalah mengukur daya saing komoditi tanaman hias Indonesia dengan Thailand di pasar Jepang, Korea, Singapura, Amerika Serikat dan Belanda. Selanjutnya Menganalisis aliran perdagangan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor anggrek sebagai komoditi tanaman hias yang diunggulkan Indonesia ke negara-negara tujuan. Hasil yang diperoleh dari analisis daya saing tanaman hias dengan metode RCA menunjukkan bahwa perkembangan industri tanaman hias Indonesia lebih lambat dibandingkan dengan Thailand sebagai kompetitor utama di pasar tanaman hias dunia untuk kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut dilihat dari perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia selama periode 1996-2006 jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Thailand. Selain itu pangsa ekspor tanaman hias Indonesia di negara tujuan secara umum lebih rendah dibandingkan dengan Thailand. Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk komoditi tanaman hias di pasar Korea, sementara di pasar Jepang, Amerika Serikat dan Belanda Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif. Hal ini berarti tanaman hias Indonesia memiliki daya saing yang tinggi di pasar Korea. Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk komoditi tanaman hias di pasar Singapura pada tahun 1996 dan 1999 selanjutnya sampai dengan akhir periode daya saing tanaman hias Indonesia di
pasar Singapura cenderung menurun. Thailand memiliki keunggulan komparatif untuk komoditi tanaman hias di pasar Jepang dan Korea. Di pasar Singapura, Thailand memiliki keunggulan komparatif untuk komoditi tanaman hias pada periode 2004-2006 sedangkan di pasar Amerika Serikat pada periode 2005-2006. Berdasarkan hasil estimasi model gravity aliran perdagangan anggrek Indonesia ke lima negara tujuan diketahui bahwa metode fixed effect merupakan metode yang paling sesuai digunakan. Aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni waktu tempuh, pendapatan per kapita, populasi, harga anggrek Indonesia dan nilai tukar. Sementara itu faktor harga anggrek di negara tujuan tidak berpengaruh terhadap model aliran perdagangan. Rendahnya daya saing tanaman hias Indonesia khususnya anggrek di pasar negara tujuan disebabkan oleh banyak faktor yang satu sama lain saling terkait. Adapun faktor yang mempengaruhi tersebut diantaranya pemanfaatan sumberdaya alam yang kurang maksimal, rendahnya penguasaan teknologi, minimnya dukungan pemerintah, kurangnya peranan lembaga keuangan sebagai penyandang dana, serta faktor non teknis lainnya yang menghambat terciptanya industri tanaman hias yang memiliki daya saing tinggi.
Judul Skripsi : Analisis Daya Saing Komoditi Tanaman Hias dan Aliran Perdagangan Anggrek Indonesia di Pasar Internasional Nama
: Maya Andini Kartikasari
NRP
: A.14105684
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS NIP. 132 104 952
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian IPB
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian : 16 Mei 2008
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA KARYA TULIS INI BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA TULIS ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Mei 2008
Maya Andini Kartikasari NRP. A14105684
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada tanggal 22 Juni 1983 dari pasangan Ir. H. Darmadji WK, MM dan Hj. Yayah Rosida. Penulis terlahir sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis masuk pendidikan Taman Kanak-kanak Teratai di Muara Teweh Kalimantan Tengah pada tahun 1987 dan lulus pada tahun 1989. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar Pengadilan V Bogor pada tahun 1989 dan lulus pada tahun 1995. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri IV Bogor dan lulus pada tahun 1998. Pendidikan tingkat atas dapat diselesaikan penulis pada tahun 2001 di Sekolah Menengah Umum Negeri I Bogor. Pada tahun 2001, penulis diterima menjadi mahasiswa di Program Diploma III Manajemen Agribisnis, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur tes umum. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti kegiatan kemahasiswaan dalam Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian periode 20032004 dalam bidang Hubungan Masyarakat. Tahun 2006 penulis melanjutkan studinya ke jenjang strata satu di program ekstensi Manajemen Agribisnis dan lulus tahun 2008.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini tepat pada waktunya. Penelitian yang berjudul “Analisis Daya Saing Komoditi Tanaman Hias dan Aliran Perdagangan Anggrek Indonesia di Pasar Internasional” bertujuan untuk menganalisis daya saing komoditi tanaman hias Indonesia dan membandingkan kinerja ekspor tanaman hias Indonesia dengan Thailand sebagai negara yang maju dalam industri tanaman hias. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis aliran perdagangan anggrek Indonesia di beberapa negara tujuan. Dengan demikian dapat diketahui faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi ekspor komoditi tanaman hias Indonesia ke masing-masing negara tujuan. Penulis tertarik mengambil topik perdagangan komoditi tanaman hias karena bisnis ini mempunyai peluang yang cukup baik untuk dikembangkan. Disisi lain, Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk mengembangkan bisnis tanaman hias karena memiliki kekayaan sumberdaya hayati. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat dan menjadi informasi yang berguna bagi semua pihak. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang.
Bogor, Mei 2008
Maya Andini K A.14105684
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahhirobbil’alamiin,
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga memberikan kekuatan dan kemudahan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi. Adapun penyelesaian penulisan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, kerjasama dan dukungan banyak pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua tercinta, yang penuh dengan kasih sayang dan selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis. 2. Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS sebagai dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, masukan dan informasi yang berguna dalam penulisan skripsi penulis. 3. Ir. Yayah K Wagiono, MEc selaku dosen penguji utama, dan Ir. Popong Nurhayati, MM selaku wakil dari komisi pendidikan serta dosen evaluator pada seminar proposal penelitian.. 4. Miftah Farid Said atas cinta dan kasih sayangnya yang telah dilimpahkan kepada penulis. 5. Nurrayan Armada atas dukungan dan semangat yang diberikan sebagai teman yang terbaik. 6. Teman-teman ekstensi MAB angkatan 14 yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................... i UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................ iii DAFTAR TABEL .......................................................................................... v DAFTAR GAMBAR.....................................................................................vi DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... vii BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 7 1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 11 1.4 Kegunaan Penelitian ................................................................... 11 1.5 Ruang Lingkup Penelitian .......................................................... 12 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Usaha Tanaman Hias .................................................. 14 2.2 Penelitian Terdahulu.................................................................. 14 2.2.1 Penelitian Tentang Tanaman Hias ..................................... 19 2.2.2 Penelitian Tentang Daya Saing .......................................... 20 2.2.3 Penelitian Tentang RCA.................................................... 22 2.2.4 Penelitian Tentang Gravity Model ..................................... 23 BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................... 25 3.1.1 Teori Perdagangan Internasional ....................................... 25 3.1.2 Ekspor dan Impor.............................................................. 29 3.1.2.1 Pengertian Ekspor ................................................. 29 3.1.2.2 Pengertian Impor................................................... 30 3.1.3 Keunggulan Kompetitif ..................................................... 31 3.1.4 Keunggulan Komparatif .................................................... 32 3.1.5 Teori Revealed Comparative Advantage ........................... 33 3.1.6 Teori Model Gravity ......................................................... 34 3.1.7 Data Panel ......................................................................... 42 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional.............................................. 44 3.3 Hipotesis .................................................................................. 49 BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1 Jenis dan Sumber Data.............................................................. 51 4.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data ...................................... 51 4.3 Revealed Comparative Advantage ............................................ 52 4.4 Gravity Model .......................................................................... 53 4.5 Pengujian Model ...................................................................... 55
4,6 Pengujian Kesesuaian Model .................................................... 57 4.7 Pengujian Asumsi ..................................................................... 58 BAB V. GAMBARAN UMUM 5.1 Karakteristik Negara Tujuan ..................................................... 61 5.1.1 Perkembangan Industri Tanaman Hias Jepang .................. 61 5.1.2 Perkembangan Industri Tanaman Hias Rep.Korea ............ 65 5.1.3 Perkembangan Industri Tanaman Hias Singapura ............. 68 5.1.4 Perkembangan Industri Tanaman Hias Amerika Serikat ... 72 5.1.5 Perkembangan Industri Tanaman Hias Belanda ................ 76 BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia....... 80 6.1.1 Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Jepang............................ 80 6.1.2 Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Korea ............................ 86 Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Singapura ....................... 92 6.1.4 Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Amerika Serikat ............. 98 6.1.5 Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Belanda ....................... 103 6.2 Aliran Perdagangan Ekspor Anggrek Indonesia Ke Negara Tujuan................................................................... 107 6.2.1 Analisis Regresi Gravity Model Aliran Perdagangan Ekspor Anggrek Indonesia Ke Negara Tujuan ................ 108 6.2.2 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Aliran perdagangan Ekspor Anggrek Indonesia Ke Negara Tujuan .......................................................... 111 6.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing Tanaman Hias dan Aliran Perdagangan Ekspor Anggrek Indonesia................ 116 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ............................................................................ 122 7.2 Saran ...................................................................................... 123 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 125
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Volume Dan Nilai Ekspor Komoditi Hortikultura Tahun 2001-2004 .... 3
2.
Data Produksi Tanaman Hias Indonesia Tahun 1997-2006 ................... 5
3.
Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia Dan Thailand Ke Jepang Tahun 1996-2006 ............................................................................... 63
4.
Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia Dan Thailand Ke Korea Tahun 1996-2006 ............................................................................... 67
5.
Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia Dan Thailand Ke Singapura Tahun 1996-2006 ............................................................................... 71
6.
Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia Dan Thailand Ke Amerika Serikat Tahun 1996-2006 ..................................................... 74
7.
Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia Dan Thailand Ke Belanda Tahun 1996-2006 ............................................................................... 78
8.
Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia Dan Thailand Di Pasar Jepang Tahun 1996-2006 ..................................................... 81
9.
Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia Dan Thailand Di Pasar Korea Tahun 1996-2006 ....................................................... 87
10.
Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia Dan Thailand Di Pasar Singapura Tahun 1996-2006................................................. 93
11.
Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia Dan Thailand Di Pasar Amerika Serikat Tahun 1996-2006 ....................................... 99
12.
Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia Dan Thailand Di Pasar Belanda Tahun 1996-2006.................................................. 103
13.
Hasil Pengolahan Gravity Model Dengan Menggunakan Metode Pooled OLS ...................................................................................... 110
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Keseimbangan dalam perdagangan internasional ................................ 28
2.
Kerangka pemikiran operasional ........................................................ 48
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Nilai Ekspor Indonesia Ke Lima Negara Tujuan ............................... 128
2.
Nilai Impor Lima Negara Tujuan...................................................... 130
3.
Nilai Ekspor Thailand Ke Lima Negara Tujuan ................................ 132
4.
Pangsa Ekspor Tanaman Hias Indonesia dan Thailand...................... 134
5.
Data Variabel Dalam Gravity Model ................................................ 136
6.
Estimasi Model Gravity .................................................................... 138
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Sektor pertanian sampai saat ini masih menjadi salah satu sumber devisa
non-migas yang cukup diandalkan di Indonesia. Data menunjukkan pada periode Januari sampai Oktober 2007 telah terjadi peningkatan ekspor senilai US$ 93,26 miliar atau mengalami peningkatan sebesar 13,36 persen dari tahun sebelumnya. Sementara itu, pada periode yang sama ekspor non migas mencapai nilai US$ 75,91 miliar atau meningkat sebesar 17,31 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan ekspor non-migas salah satunya didukung oleh meningkatnya ekspor komoditi pertanian, yakni sebesar 12,69 persen dari tahun sebelumnya.1 Produk pertanian yang diekspor terdiri dari beragam jenis, mulai dari produk segar sampai produk yang telah mengalami berbagai tingkat pengolahan. Sektor pertanian mampu memberikan kontribusi yang cukup besar dalam hal peningkatan produksi bagi penyediaan bahan pangan dan bahan baku industri. Selain itu, kemajuan di sektor pertanian dapat meningkatkan pendapatan petani dan dapat menjadi penyumbang bagi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Pertumbuhan PDB Indonesia pada triwulan ketiga tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 3,9 persen terhadap triwulan kedua. Fenomena tersebut terjadi pada semua sektor ekonomi dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor pertanian, yakni meningkat sebesar 10,2 persen.2 Hal serupa juga terjadi pada periode tahun 2002 sampai 2005, yang mana dalam pertumbuhan PDB sektor pertanian menjadi penyumbang terbesar dalam peningkatan PDB Indonesia.
Salah satu usaha dalam sektor pertanian, yang berpotensi untuk dikembangkan adalah hortikultura. Dalam era globalisasi perdagangan saat ini, keberadaan produk-produk pertanian Indonesia di pasar dunia harus bersaing dengan produk sejenis dari negara lain. Nilai PDB hortikultura tahun 2006 merupakan nilai tertinggi dibandingkan dua tahun sebelumnya, yakni sebesar Rp. 66,892 triliun. Sedangkan pada tahun 2004 dan 2005 nilai PDB hortikultura masing-masing sebesar Rp. 56,845 triliun dan Rp. 61,791 triliun.3 Produk hortikultura meliputi buah-buahan, diikuti sayuran, tanaman hias dan tanaman biofarmaka. Dari keempat komoditi hortikultura tersebut, komoditi tanaman hias mempunyai potensi besar untuk dikembangkan. Data volume dan nilai ekspor komoditi hortikultura dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Komoditi Hortikultura Tahun 2001-2004 Tahun
Tanaman Hias
Sayuran
Buahbuahan
Tanaman Biofarmaka
Total
Volume (Ton) 2001
16.662
146.753
188.040
1.515
352.970
2002
19.905
157.568
225.365
2.162
405.000
2003
14.671
133.042
189.648
2.774
340.135
2004
15.427
114.855
210.182
3.668
344.642
Nilai (Ribu US$) 2001
9.834
63.084
100.629
2.108
175.655
2002
12.134
56.942
138.373
2.211
209.660
2003
13.871
59.240
131.500
3.341
207.952
2004
14.446
59.465
122.836
3.630
200.377
Sumber : Direktorat Jendral Hortikultura (www.hortikultura.go.id).
Dalam industri perdagangan tanaman hias, negara-negara yang berada dalam kawasan Asia melakukan perdagangan ke negara-negara lain baik yang
berada di dalam kawasan Asia maupun di luar kawasan Asia. Negara-negara yang berada di kawasan Asia yang menjadi pasar potensial tanaman hias diantaranya Jepang, Korea, Taiwan, China dan Singapura. Hal ini dikarenakan tingkat konsumsi tanaman hias di negara-negara tersebut tergolong tinggi.4 Adapun keuntungan yang diperoleh dari perdagangan antar negara-negara di kawasan Asia adalah jarak antar negara yang relatif dekat, biaya lebih rendah dan prosedur pengiriman lebih mudah. Selain di kawasan Asia, negara-negara lain yang merupakan pasar potensial tanaman hias diantaranya Amerika Serikat, Canada, Columbia, Belanda, Italia, dan Jerman. Pasar di kawasan Amerika dan Eropa rata-rata menyukai tanaman hias yang didatangkan dari kawasan Asia Tenggara karena dinilai mempunyai harga relatif lebih murah dan banyak menghasilkan ragam jenis terutama hasil persilangan. Meskipun demikian, eksportir tanaman hias Asia Tenggara mengalami ketidakuntungan dalam biaya pengiriman yang tinggi karena jarak tempuh antar negara cukup jauh.5 Dalam beberapa tahun ini, ekspor tanaman hias Indonesia ke beberapa negara tujuan mengalami peningkatan yang cukup signifikan, baik dari volume maupun nilainya. Pasar ekspor tanaman hias Indonesia terbesar adalah negara Jepang, Korea, Singapura, Amerika Serikat dan Belanda. Pada tahun 2006, nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke dunia sebesar US$ 15.512.920, meningkat sebesar 9,4 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang mencapai 21,4 persen dari total ekspor tanaman hias Indonesia ke dunia.6
Keragaman jenis dan keunikan bentuk yang dimiliki tanaman hias Indonesia tidak hanya digemari oleh konsumen dalam negeri, namun juga diminati oleh konsumen luar negeri. Salah satu komoditi unggulan tanaman hias Indonesia adalah anggrek. Selain anggrek, Indonesia masih mempunyai beberapa jenis tanaman hias yang menjadi andalan komoditi ekspor seperti ; krisan, mawar, sedap malam, lily, anthurium, melati dan sebagainya. Peningkatan volume dan nilai ekspor tanaman hias Indonesia salah satunya didukung oleh berkembangnya kegiatan produksi. Data produksi tanaman hias dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Data Produksi Tanaman Hias Indonesia Tahun 1997-2006 Tahun
Anggrek
Anthurium
Gladiol
Krisan
Mawar
Melati
Palm
(Ton)
(Ton)
(Ton)
(Ton)
(Ton)
(Kg)
(Pohon)
1997
6.502.669
4.282.433
12.504.879
10.062.753
123.439.324
7.584.660
3.051.940
1998
7.780.202
1.670.465
6.471.772
4.445.770
63.291.838
25.052.464
2.401.066
1999
3.206.992
404.127
2.532.171
1.468.213
33.594.352
13. 450.881
3. 002.643
2000
3.260.858
583.728
4.843.188
2.281.125
78.147.515
15.134.842
754.067
2001
4.450.787
773.299
4.448.199
7.387.737
84.951.741
19.524.815
426.964
2002
4.995.735
1.006.075
10.876.948
25.804.630
55.708.137
18.233.644
1.189.617
2003
6.904.109
1.263.770
7.114.382
27.406.464
50.766.656
15.740.955
668.154
2004
8.127.528
1.112.724
14.416.172
29.503.257
57.983.747
21.622.699
445.126
2005
7.902.403
2.615.999
14.512.619
47.465.794
60.719.517
22.552.537
751.505
2006
11.370.266
1.984.514
10.483.851
62.947.649
40.184.312
15.662.855
1.036.641
Sumber : Ditjen Bina Produksi Hortikutura (www.Hortikultura.go.id).
Bertambahnya minat masyarakat akan tanaman hias membuat para petani berupaya meningkatkan produktivitasnya. Bisnis tanaman hias yang dinilai cukup menjanjikan tidak hanya mendorong para petani tanaman hias itu sendiri, namun juga berdampak pada banyaknya para petani yang beralih tanam. Lebih dari itu, masyarakat
awam
pun
tergerak
untuk
mengusahakan
tanaman
hias.
Berkembangnya tanaman hias dalam negeri akan mampu meningkatkan pendapatan petani, memenuhi tuntutan keindahan lingkungan, menjadikan
kompleks perumahan, perhotelan dan perkantoran bertambah asri serta menunjang pembangunan industri pariwisata. Pembangunan industri tanaman hias juga diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja, menambah devisa negara dan membuka peluang tumbuhnya industri sarana produksi, produk sekunder dan jasa transportasi.
1.2
Rumusan Masalah Setelah masa krisis ekonomi (2001-2004) pertumbuhan ekspor komoditi
pertanian Indonesia sebesar 13,4 persen dan pangsa ekspor komoditi pertanian di dunia sebesar 1,87 persen. Sementara itu pertumbuhan ekspor komditi pertanian Thailand sebesar 12,7 persen dengan pangsa ekspor di pasar dunia mencapai 2,84 persen. Untuk komoditi pertanian yang diekspor Indonesia tidak semua memiliki daya saing di pasar dunia. Beberapa komoditi pertanian Indonesia yang memiliki daya saing di pasar dunia diantaranya adalah ikan dan berbagai produk olahannya, kopi, teh, coklat, lada dan tembakau. Sedangkan komoditi pertanian Thailand yang memiliki daya saing di pasar dunia antara lain daging dan produk olahannya, ikan dan produk olahannya, sereal dan produk olahannya, sayuran, buah-buahan serta gula dan produk olahannya. Dapat disimpulkan bahwa meskipun Indonesia memiliki ketersediaan sumberdaya alam yang cukup melimpah, namun Indonesia belum maksimal dalam mengolah lebih lanjut berbagai produk pertanian untuk memenuhi permintaan pasar. Padahal dengan meningkatkan produksi berbagai produk olahan dari komoditi pertanian, Indonesia dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan mengekspor dalam bentuk segar saja. Dalam industri tanaman hias, Indonesia mempunyai potensi besar untuk mengembangkan bisnis ini. Berdasarkan kekayaan alamnya, Indonesia menempati
urutan ke tiga setelah Brazil dan Columbia. Akan tetapi penanganan tanaman hias di Indonesia diakui memang jauh tertinggal dengan negara-negara lain. Jika dilihat dari perkembangan usaha tanaman hias di kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih berada di bawah negara Thailand dan Malaysia yang merupakan negara maju dalam industri tanaman hias. Terlebih jika dibandingkan dengan negara Belanda, Amerika Serikat dan Columbia, keberadaan Indonesia di pasar tanaman hias dunia masih memiliki porsi yang kecil. Dari fenomena bebarapa negara tersebut di atas, mengindikasikan bahwa peranan tanaman hias dalam dunia perdagangan begitu penting dalam menghasilkan pendapatan negara. Thailand bahkan memposisikan tanaman hias dalam prioritas utama untuk dikembangkan. Para pelaku bisnis tanaman hias mampu menangkap peluang pasar sehingga terus mengupayakan agar industri tanaman hias dapat berkembang, selain untuk memenuhi permintaan pasar, juga untuk mensejahterakan produsen dan masyarakat negara tersebut. Dari berbagai macam jenis tanaman hias, tanaman anggrek merupakan jenis tanaman hias yang paling diunngulkan Indonesia. Selain karena Indonesia kaya akan keragaman jenis anggrek, tanaman anggrek juga memiliki nilai jual yang cukup tinggi dan banyak diminati oleh masyarakat baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan demikian, berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini mencakup : 1. Apakah Indonesia memiliki daya saing untuk komoditi tanaman hias dibandingkan dengan negara Thailand di pasar Jepang, Korea, Singapura, Amerika Serikat dan Belanda?
2. Bagaimana aliran perdagangan anggrek Indonesia dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja ekspor anggrek ke negara tujuan ?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah : 1. Mengukur daya saing komoditi tanaman hias Indonesia dengan Thailand di pasar Jepang, Korea, Singapura, Amerika Serikat dan Belanda. 2. Menganalisis aliran perdagangan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor anggrek sebagai komoditi tanaman hias yang diunggulkan Indonesia ke negara-negara tujuan.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini bermanfaat dalam memberikan informasi kepada berbagai
pihak mengenai daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Jepang, Korea, Singapura, Belanda dan Amerika Serikat. Selain itu, penelitian ini juga dapat memberikan informasi tentang bagaimana aliran perdagangan anggrek Indonesia ke negara tujuan serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor anggrek ke negara tujuan. Adapun kegunaan penelitian ini secara khusus memberikan manfaat kepada : 1. Pemerintah sebagai pengambil keputusan dalam penetapan kebijakan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai kondisi daya saing tanaman hias Indonesia di negara tujuan, Dengan demikian dapat berguna sebagai bahan masukan dalam pembuatan kebijakan yang mendukung kegiatan perdagangan tanaman hias.
2. Petani dan pelaku pasar, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dalam merencanakan pengembangan agribisnis tanaman hias dan dapat menjadi masukan dalam penetapan strategi yang akan diterapkan pada masa kini maupun masa datang. 3. Penulis dan khalayak pembaca, penelitian ini dapat menjadi sarana pembelajaran dalam menganalisis daya saing dan aliran perdagangan tanaman hias Indonesia di pasar dunia. Selain itu dapat dijadikan bahan litertur dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Sehubungan
dengan
keterbatasan
waktu,
ketersediaan
data
serta
kemampuan dalam melakukan penelitian, maka ruang lingkup penelitian ini terbatas pada : 1. Penelitian ini menganalisis serta membandingkan daya saing tanaman hias Indonesia dengan Thailand dari segi keunggulan komparatif dan menganalisis aliran perdagangan anggrek sebagai komoditi tanaman hias yang diunggulkan Indonesia ke negara tujuan yakni Jepang, Korea, Singapura, Belanda dan Amerika Serikat. 2. Negara-negara yang menjadi objek penelitian ditentukan berdasarkan negara tujuan ekspor terbesar tanaman hias Indonesia. 3. Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor anggrek Indonesia dilihat dari sisi penawaran dan permintaannya. 4. Dalam analisis perdagangan tanaman hias Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor, komoditi anggrek dipilih berdasarkan keberadaannya sebagai komoditi tanaman hias yang diunggulkan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Tinjauan Usaha Tanaman Hias Tanaman hias baik bunga maupun daun telah lama dikenal luas dalam
kehidupan masyarakat. Selain sebagai komoditi yang mengandung nilai estetika dan memberi kepuasan psikologis, beberapa jenis tanaman hias juga dianggap mempunyai mitos tertentu yang dapat memberikan pengaruh baik ataupun buruk bagi pemiliknya. Adapun kegunaan lain tanaman hias adalah dapat digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan untuk menyatakan suatu simbol dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Indonesia memiliki selera yang unik dan beragam dalam memilih tanaman hias. Jika melihat perkembangan tanaman hias di Indonesia, telah terjadi beberapa perubahan trend dalam jenis dan bentuk tanaman hias. Pada tahun 1970-an, bunga nusa indah banyak disukai dan dicari oleh para pecinta tanaman hias. Warna bunganya yang putih dan merah cerah dianggap melambangkan kesejahteraan pemiliknya, sehingga hampir disetiap tempat baik itu di perumahan maupun perkantoran memajang bunga nusa indah. Memasuki tahun 1980, selera masyarakat beralih pada bunga bugenvil atau kembang kertas. Pada era tahun 1990-an, trend tanaman hias beralih pada jenis tanaman untuk lanskap atau taman terbuka, yakni jenis palem-paleman. Jenis palem yang terkenal dan yang diminati masyarakat saat itu adalah palem botol, palem raja dan ekor tupai. Pada saat itu, jenis tanaman palem berharga sangat mahal. Satu pohon palem dewasa bisa dihargai lima sampai tujuh juta rupiah.
Tidak hanya palem, tahun 1990-an juga menjadi trend tanaman peneduh seperti kamboja dan cemara.7 Trend tanaman hias cepat berganti seiring dengan pergantian tahun. Pada tahun 2000, jenis tanaman adenium, euphorbia dan aglaonema menjadi andalan di pasar tanaman hias. Jenis tanaman tersebut sebagian besar merupakan hasil silangan yang didatangkan dari Thailand dan Taiwan.8 Ketiganya sempat menjadi jenis tanaman yang paling banyak diminati oleh para kolektor dan pecinta tanaman hias. Di tahun 2007, jenis tanaman anthurium menjadi sangat populer di industri tanaman hias baik di dalam maupun di luar negeri. Meskipun demikian, beberapa jenis tanaman hias yang sempat menjadi trend pada masanya adalah jenis tanaman yang sudah lama dikenal. Anthurium sudah banyak dikenal sejak 40 tahun yang lalu, begitu juga dengan adenium atau kamboja jepang, euphorbia dan aglaonema yang sudah dikenal lama di kalangan pecinta tanaman hias.9 Suatu jenis tanaman hias dapat menjadi trend di pasar jika tanaman tersebut dijadikan ’baru’ melalui teknik persilangan. Melalui teknik persilangan dapat dihasilkan varietas-varietas baru dengan warna dan corak yang beragam sesuai dengan keinginan masyarakat. Ada beberapa faktor yang membuat suatu jenis tanaman menjadi diminati dan harganya menjadi sangat mahal. Kelangkaan adalah faktor utama yang menyebabkan suatu tanaman mempunyai nilai jual yang sangat tinggi. Selain itu, keunikan bentuk, warna dan corak tanaman juga ikut mempengaruhi daya tarik suatu tanaman. Untuk tanaman hias bunga, masyarakat lebih menyukai bunga yang berwarna cerah, sedangkan untuk tanaman hias daun, daun yang bermotif dan berwarna unik (merah tua, pink, hijau kemerahan) sangat disukai masyarakat.10
Namun demikian, jika dibandingkan dengan beberapa jenis tanaman hias yang pernah menjadi trend pada masanya, tanaman anggrek selalu mendapatkan tempat di hati para penggemarnya. Dengan kata lain, keberadaan anggrek tidak pernah lekang oleh waktu. Di Indonesia terdapat 5.000 jenis anggrek yang keberadaannya tersebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia. Diperkirakan setengah dari spesies ini terdapat di Irian Jaya, sedangkan 2.000 spesies lainnya terdapat di Kalimantan dan sisanya tersebar di pulau-pulau lain. Di pulau Jawa sendiri, menurut data Kebun Raya Bogor terdapat 713 spesies anggrek yang sudah teridentifikasi. Jenis anggrek yang paling banyak diminati diantaranya Dendrobium, Phalaenopsis, Vanda, Cymbidium, Bullbophilum dan Coelogyne. Selera konsumen terhadap mutu bunga potong anggrek sangat spesifik dan berkembang sangat dinamis ke arah yang lebih serasi dan sempurna dari segi keindahan, warna, ukuran, susunan, daya tahan dan bentuk bunga tersebut. Selera masyarakat terhadap bunga dipengaruhi dan ditentukan oleh produsen dan trend luar negeri. Pada tahun 1983, selera konsumen terhadap anggrek Vanda lebih tinggi dibandingkan Aranthera dan Dendrobium. Sedangkan pada tahun 1986 selera konsumen mulai beralih, kesukaan konsumen terhadap Vanda sama dengan kesukaan terhadap Dendrobium. Pada saat ini, anggrek yang dominan disukai masyarakat adalah Dendrobium, diikuti Oncidium, Cattleya dan Vanda.11 Anggrek Dendrobium lebih disukai karena bunganya relatif lebih tahan lama bila digunakan untuk dekorasi, warna lebih bervariasi dan harganya relatif lebih murah. Apabila dibandingkan dengan anggrek jenis lain seperti Cattleya, anggrek jenis ini bunganya berukuran besar namun tidak tahan lama dan harganya lebih tinggi. Bunga ini hanya digunakan sebagai pemanis dalam rangkaian bunga
anggrek. Sedangkan Vanda, jarang sekali digunakan untuk rangkaian karena tangkainya kaku. Anggrek Vanda banyak digunakan sebagai pemanis gelas minuman dan simbol ungkapan dukacita. Perkembangan teknologi memungkinkan untuk menghasilkan anggrek yang berwarna-warni, tahan lama dan harga yang relatif terjangkau. Pemilihan warna bunga anggrek yang dikonsumsi banyak dipengaruhi oleh maksud penggunaannya. Pada hari natal, warna bunga yang disukai didominasi oleh warna putih. Pada hari imlek bunga yang disukai berwarna merah, pink dan ungu sedangkan untuk tanda belasungkawa, umumnya digunakan bunga berwarna kuning atau ungu. Dari segi ekonomi, bisnis anggrek dinilai cukup menjanjikan. Hal itu dikarenakan harga jual anggrek yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman hias lain. Namun sangat disayangkan sampai saat ini belum terdapat fasilitas kredit bank untuk lebih menunjang usaha ini, sehingga para pengusaha tanaman hias di tanah air umumnya berjalan sendiri dengan dukungan yang minim dari pemerintah. Seiring dengan berkembangnya teknologi dan selera masyarakat, tanaman hias kini mempunyai banyak ragam. Hal tersebut didukung adanya peningkatan pengetahuan dan teknologi, seperti rumah kaca, hidroponik, terrarium, verikultur, aeroponik, dan lain-lain. Era globalisasi mengakibatkan komoditi tanaman hias semakin meluas. Indonesia memiliki potensi besar untuk pengembangan tanaman hias, ditinjau aspek ketersediaan sumberdaya genetik, sumberdaya manusia, tanah dan iklim kondusif. Namun potensi tersebut sejauh ini belum dimanfaatkan secara optimal, mengingat keterbatasan pengetahuan, modal dan promosi. Data Badan
Pusat Statistik (BPS, 2007) menunjukkan kenaikan volume ekspor tanaman hias Indonesia per tahunnya sebesar 15-20 persen dan nilainya rata-rata sebesar US$ 12 juta, sangat jauh dari proyeksi pasar florikultur dunia yang menargetkan nilai perdagangan tanaman hias pada tahun 2007 sebesar US$ 80 miliar. Saat ini perkembangan industri tanaman hias Indonesia menempati urutan ke-51 di dunia.12 Hal itu membuktikan bahwa pertumbuhan industri tanaman hias di Indonesia berjalan lambat dan sektor ini tampaknya belum menjadi andalan untuk meningkatkan devisa. Disisi lain peluang pasar domestik dan internasional sangat prospektif. Oleh karena itu sudah saatnya Indonesia memanfaatkan dan mengembangkan potensi nasional menjadi industri tanaman hias yang tangguh dan mempunyai daya saing tinggi. Pada saat ini usaha tanaman hias sudah mulai tumbuh, meskipun pertumbuhannya relatif kecil dibandingkan dengan negara lain seperti Thailand, Taiwan, Columbia dan China.13 Terlebih jika ingin membandingkan dengan Belanda sebagai produsen utama tanaman hias dunia, posisi Indonesia masih tertinggal jauh. Hal ini terjadi karena investasi di bidang tanaman hias masih sangat rendah bila dibandingkan dengan sektor lainnya. Potensi Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki kekayaan hayati dan florikultur yang melimpah belum digarap dengan baik. Untuk mengejar ketinggalan dari negara lain, maka dibutuhkan kerjasama dengan semua pihak agar tercipta penguatan di semua segmen dalam sistem agribisnis. Hal tersebut akan mendorong interaksi di tingkat hulu hingga hilir dalam sistem agribisnis tanaman hias.
2.2
Penelitian Terdahulu
2.2.1 Penelitian Tentang Tanaman Hias Chaizar (2007) melakukan penelitian tentang analisis pendapatan usahatani philodendron dan tanaman hias puring. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pendapatan usahatani yang diperoleh petani tanaman hias serta menganalisis produk apakah yang dapat dijadikan produk unggulan pada PD Atsumo. Alat analisis yang digunakan untuk pengolahan data adalah microsoft excel dan analisis R/C untuk menganalisis produk usahatani yang paling efisien. Hasil yang diperoleh dari urutan nilai R/C memperlihatkan bahwa bunga potong menempati urutan pertama sebagai produk tanaman hias unggulan. Produk dengan tingkat biaya paling tinggi memberikan pendapatan yang tinggi pula. Urutan kedua adalah euphorbia dan tanaman puring yang posisinya lebih bergantung terhadap trend yang sedang berkembang. Akibatnya, produk tersebut mengalami penurunan harga jual yang sangat drastis. Penelitian yang dilakukan oleh Rositasari (2006) tentang strategi pemasaran tanaman hias daun. Penelitian ini mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan eksternal dan internal pemasaran tanaman hias daun potong di Pesona Daun Mas Asri, Bogor. Selain itu juga merumuskan alternatif strategi pemasaran dan pemilihan strategi yang tepat. Metode yang digunakan adalah analisis lingkungan pemasaran (internal dan eksternal), analisis IFE dan EFE, analisis IE dan SWOT, serta Proses Hierarki Analitik (PHA). Hasil nilai rata-rata matriks EFE adalah sebesar 2,4075 yang artinya perusahaan mempunyai kemampuan memanfaatkan peluang dan mengatasi ancaman mendekati rata-rata. Nilai IFE sebesar 2,678 artinya perusahaan
mempunyai posisi internal yang kuat dan mampu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk menutupi kelemahan. Dalam matriks SWOT diperoleh strategi utama yakni (S-O) strategi penetrasi pasar di wilayah DKI Jakarta dan diversifikasi serta pengembangan produk. Sedangkan hasil dari analisis PHA diperoleh strategi penetapan kebijakan harga yang fleksibel. Saepuloh (2005) menggunakan metode snowbolling dengan jumlah sample sebayak 16 responden. Penelitian ini menganalisis tingkat pendapatan pedagang pengecer tanaman hias dan menganalisis pola pemasarannya. Dari hasil yang diperoleh dinyatakan bahwa usaha tanaman hias di kota Bogor menguntungkan petani, dengan nilai R/C rasio 1,34 dan R/C biaya total 1,23. para pelaku pasar tanaman hias antara lain petani, pedagang perantara, pedagang pengecer dan konsumen akhir. Adapun penelitian tentang kelayakan usahatani lainnya dilakukan oleh Dorkas (2004). Penelitian ini mengkaji keragaan usaha tanaman hias serta menganalisis kelayakan usaha finansial dan tingkat kepekaan investasi. Metode yang digunakan adalah NPV, Net B/C, IRR dan PP. Dari hasil analisis aspek finansial dikatakan bahwa tanaman hias layak diusahakan. Berdasarkan analisis sensitivitas, penurunan output lebih sensitif dibandingkan dengan kenaikan input.
2.2.2 Penelitian Tentang Daya Saing Penelitian tentang daya saing dilakukan oleh Rudianto (2003) mengenai Analisis Daya Saing dan Efisiensi Pemasaran Komoditas Lidah Buaya di Kota Pontianak. Penelitian ini menganalisis komponen biaya dalam usaha tani lidah buaya, menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif dan menganalisis tingkat efisiensi pemasarannya. Dalam menganalisis keunggulan komparatif dan
kompetitif lidah buaya, metode yang digunakan adalah analisis Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) untuk mengetahui koefisien BSD dan hasil keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan secara umum lidah buaya memiliki keunggulan finansial dan ekonomi. Nilai KBSD yang diperoleh untuk orientasi promosi ekpor pada tahun pertama dan kedua masing-masing sebesar 0,5658 dan 0,1382. Sedangkan nilai BSD untuk tahun pertama dan kedua adalah Rp. 5.860,27 dan Rp. 1.431,96. nilai KBSD dan BSD tersebut menandakan komoditi lidah buaya di daerah penelitian layak untuk diusahakan untuk memenuhi kebutuhan promosi ekspor atau lebih menguntungkan untuk memproduksi lidah buaya daripada mengimpornya. Penelitian Tatakomara (2005) mengenai Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Teh dan Daya Saing di Pasar Internasional. Penelitian ini menggambarkan perkembangan ekspor teh Indonesia, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor teh serta potensi daya saing teh Indonesia di pasar internasional. Metode kuantitatif yang digunakan untuk menganalisis faktor pengaruh ekspor teh adalah model regresi linear berganda dengan metode 2SLS. Hasil regresi model menunjukkan variabel-variabel yang mempengaruhi ekspor teh diantaranya produksi teh domestik, volume ekspor teh tahun sebelumnya, harga teh dunia, harga teh dunia tahun sebelumnya, nilai tukar rupiah tahun sebelumnya, konsumsi teh domestik dan harga teh domestik. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi teh Indonesia memiliki keunggulan absolut karena sumberdaya lahan yang melimpah. Sedangkan untuk keunggulan kompetitif, Indonesia harus meningkatkan daya saingnya dari berbagai sisi
terutama mutu tehnya. Peningkatan produksi perlu didukung oleh peningkatan mutunya sehingga ekspor dapat ditingkatkan semaksimal mungkin. Penelitian Monsaputra (2007) tentang daya saing durian serta dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani durian di Sumatera Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Policy Analisys Matriks (PAM). Hasil penelitian menunjukkan usahatani durian di Sumatera Barat menguntungkan secara finansial dan ekonomi serta memiliki daya saing baik pada harga aktual maupun pada harga ekonomi. Hal tersebut diketahui dari nilai PCR dan DRC di keempat kecamatan sampel yang kurang dari satu. Adapun kebijakan pemerintah terhadap usahatani durian belum memberikan dampak yang signifikan. Diketahui dari nilai OT yang negatif dan NPCO bernilai kurang dari satu.
2.2.3
Penelitian Tentang Revealed Comparative Advantage (RCA) Penelitian yang dilakukan oleh Firdaus (2007) tentang Analisis Daya Saing
dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia di Pasar Amerika Serikat. Penelitian ini menggunakan metode Constant Market Share Analysis (CMSA) dalam mengukur dinamika tingkat daya saing yang dilanjutkan dengan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk menganalisis keunggulan TPT Indonesia dan China di pasar Amerika Serikat. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor TPT Indonesia ke Amerika Serikat, digunakan metode Vector Error Correction Model (VECM) . Hasil menunjukkan bahwa kekuatan penawaran ekspor Indonesia yang dicerminkan oleh kekuatan daya saing dari TPT Indonesia masih berada di bawah TPT China. Dari hasil CMSA diketahui efek daya saing Indonesia lebih rendah dari China dalam kontribusi ekspor. Daya saing secara komparatif untuk komoditi
pakaian jadi Indonesia lebih baik dibandingkan China. Hal itu karena ekspor pakaian jadi Indonesia ke Amerika Serikat memberikan kontribusi yang besar terhadap total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Perkembangan indeks RCA menunjukkan bahwa pangsa pasar Indonesia di Amerika Serikat untuk komoditi pakaian jadi, kain dan benang cenderung berfluktuasi setiap tahunnya dan pangsa pasar China di Amerika Serikat cenderung bertambah. Dalam penelitian yang dilakukan Yastuti (2004) menunjukkan kategori tekstil dan produk tekstil unggulan Indonesia adalah kategori serat sintetis, kain tertentu, dan pakaian jadi. Selama tahun 1998 sampai 2002 produk-produk tersebut menunjukkan nilai indeks yang lebih besar dari satu dan nilainya meningkat. Sementara itu dari posisi keunggulan kompetitif belakangan ini industri TPT Indonesia kehilangan daya saingnya yang disebabkan oleh kepabenan, pembiayaan usaha dan kredit, pajak pertambahan nilai dan pajak bumi dan bangunan yang dinilai cukup mahal.
2.2.4 Penelitian Tentang Gravity Model Penelitian yang menggunakan metode gravity model dilakukan oleh Sunenti (2005). Penelitian ini membahas mengenai perkembangan ekspor meubel rotan Indonesia ke beberapa negara tujuan. Penelitian ini mengkaji potensi ekonomi negara tujuan, menganalisis aliran perdagangan meubel rotan serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor meubel rotan ke negara tujuan. Secara keseluruhan model aliran perdagangan yang didekati dengan gravity model mampu menjelaskan terjadinya aliran perdagangan meubel rotan dari titik produksi hingga ke titik konsumsi. Parameter bebas yang terdiri dari unsur gravity yang digunakan untuk menganalisis aliran perdagangan mampu
menjelaskan variasi dari parameter tak bebas yaitu volume meubel rotan yang diekspor. Hal ini dibuktikan dengan nilai R2 yang tinggi sebesar 77,5 persen, sedangkan sisanya sebesar 22,5 persen tidak dapat dijelaskan oleh model. Berdasarkan
unsur-unsur
gravity
yang
dianalisis
terhadap
aliran
perdagangan meubel rotan, pendapatan per kapita berpengaruh positif dan nyata pada taraf lima persen terhadap volume ekspor rotan. Jarak Indonesia dengan negara tujuan ekspor meubel rotan berpengaruh negatif terhadap volume ekspor meubel rotan dan tidak nyata pada taraf lima persen. Biaya transportasi berpengaruh negatif dan nyata pada taraf lima persen. Jumlah penduduk di negara tujuan ekspor berpengaruh negatif dan nyata pada taraf lima persen. Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar berpengaruh positif dan tidak nyata pada taraf lima persen. Harga meubel rotan berpengaruh negatif terhadap volume ekspor meubel rotan dan tidak nyata pada taraf lima persen. Ringkasan mengenai penelitian terdahulu ditampilkan dalam Tabel 3. Dari beberapa penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa untuk komoditi tanaman hias belum pernah dilakukan penelitian tentang daya saing serta aliran perdagangan anggrek Indonesia ke negara tujuan. Dalam penelitian ini untuk mengukur daya saing komoditi tanaman hias Indonesia di pasar negara tujuan dilakukan dengan menggunakan metode RCA. Ada beberapa metode yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur daya saing suatu komoditi yang diperdagangkan mulai dari tingkat hulu hingga tingkat hilir. Adapun metode yang dapat digunakan diantaranya analisis Biaya Sumberdaya Domestik (BSD), Policy Analisys Matriks (PAM), Constant Market Share Analysis (CMSA) dan Revealed Comparative Advantage (RCA).
Pemilihan metode RCA sebagai alat untuk mengukur daya saing tanaman hias Indonesia di negara tujuan karena relatif lebih mudah digunakan. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat menunjukkan kondisi daya saing tanaman hias Indonesia di negara tujuan secara komparatif. Analisis aliran perdagangan anggrek Indonesia di negara tujuan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan model gravity karena bertujuan untuk mengetahui apakah faktor ekonomi dan non ekonomi negara tujuan dapat mempengaruhi kuantitas ekspor anggrek Indonesia. Variabel-vaiabel yang dinilai sesuai untuk dianalisis dalam aliran perdagangan angrek Indonesia ke negara tujuan meliputi waktu tempuh, biaya transportasi, pendapatan per kapita, populasi, harga anggrek, nilai tukar USD.
Tabel 3. Ringkasan Penelitian Terdahulu Nama
Tahun
Tujuan penelitian Menganalisis pendapatan usahatani philodendron dan tanaman hias puring Menganalisis startegi pemasaran tanaman hias daun Menganalisis tingkat pendapatan pedagang pengecer tanaman hias Menganalisis kelayakan usaha finansial dan tingkat kepekaan investasi Menganalisis komponen biaya usahatani lidah buaya, menganalisis keunggulan kompetitif dan komparatif serta efisiensi pemasarannya Menganalisis daya saing teh dan faktorfaktor yang mempengaruhi ekspor teh
Metode penelitian R/C Ratio
Chaizar
2007
Rositasari
2006
Saepulloh
2005
Dorkas
2004
Rudianto
2003
Tatakomara
2005
Monsaputra
2007
Menganalisis daya saing durian dan dampak kebijakan pemerintah
Policy analisys matriks (PAM)
Firdaus
2007
CMSA, VECM
Sunenti
2005
Menganalsis daya saing dan faktor yang mempengaruhi ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia di pasar Amerika Serikat Menganalisis perkembangan ekspor meubel rotan
Hasil penelitian Produk dengan tingkat biaya paling tinggi memberikan pendapatan yang tinggi pula
IFE, EFE, IE, SWOT, PHA.
Strategi penetrasi pasar dan strategi kebijakan harga
R/C Ratio
Usaha tanaman hias menguntungkan petani, R/C Ratio 1,34 Secara finansial tanaman hias layak diusahakan
NPV, Net B/C, IRR dan PP
Analisis Biaya Sumberdaya Domestik (BSD)
Lidah buaya layak diusahakan untuk ekspor.
Persamaan Regresi linear berganda
Indonesia memiliki keunggulan absolut untuk komoditi teh. Faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor teh diantaranya, produksi teh domestik, volume ekspor teh tahun sebelumnya, harga teh dunia, harga teh dunia tahun sebelumnya, nilai tukar rupiah tahun sebelumnya, konsumsi teh domestik, harga teh domestik. Durian memiliki daya saing dan menguntungkan secara finansial. Kebijakan pemerintah terhadap usaha durian tidak berpengaruh. Efek daya saing Indonesia lebih rendah dari China. Pakaian jadi Indonesia mempunyai keunggulan komparatif.
RCA,
Gravity model
Ekspor rotan dipengaruhi oleh GDP per kapita, biaya transportasi, populasi.
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1
Teori Perdagangan Internasional Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh
penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar individu, antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Perdagangan internasional merupakan suatu ”mesin pertumbuhan” bagi negara-negara yang terlibat didalamnya, terutama bagi negara-negara berkembang. Dengan melakukan kegiatan ekspor secara intensif, maka suatu negara akan mengalami kemajuan pesat dalam pertumbuhan dan pembagunan ekonomi, oleh karena mendapatkan keuntungan dan meningkatkan pendapatan negara (Salvatore, 1996). Perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP serta turut mendorong industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional. Perdagangan internasional dapat memberi kontribusi yang berharga bagi proses pembangunan suatu negara. Setiap negara yang terlibat dalam hubungan dagang antarnegara akan terdorong untuk melakukan spesialisasi produksi dan ekspor komoditi tertentu yang memiliki keunggulan komparatifnya. Dengan demikian masing-masing negara akan terfokus pada bidang keahlian atau keunggulannya sehingga output dunia akan menjadi lebih besar dan setiap negara yang terlibat akan diuntungkan (Salvatore, 1996).
Melalui hubungan perdagangan internasional, suatu negara berkembang dapat beranjak dari titik produksinya yang tidak efisien dan menciptakan lahanlahan investasi dan pasar baru yang akan menyerap produk-produk yang tidak bisa dijual di dalam negeri. Hal itu berarti akan tercipta penyaluran surplus bagi komoditi pertanian dan bahan-bahan mentah di suatu negara berkembang. Manfaat lain dari perdagangan internasional adalah dapat memperoleh produk yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri, sehingga setiap negara mampu memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa yang tidak diproduksi sendiri atau mengalami keterbatasan produksi. Banyak faktor yang mempengaruhi suatu negara melakukan perdagangan internasional. Selain untuk memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa dalam negeri, juga karena adanya perbedaan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam
mengolah
sumberdaya
ekonomi.
Dengan
melakukan
perdagangan internasional maka akan terjadi transfer teknologi modern yang memungkinkan suatu negara mempelajari suatu teknik produksi yang lebih efisien. Hubungan kerjasama perdagangan antar negara dapat berimplikasi pada kerjasama politik serta perolehan dukungan dari negara lain. Di era globalisasi seperti saat ini, setiap negara tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan negara lain. Hal itu dikarenakan semakin meningkatnya jumlah populasi penduduk suatu negara yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan dan berkembangnya selera masyarakat yang beragam. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam negeri, maka suatu negara akan memperolehnya dari negara lain. Dengan demikian suatu negara akan bergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan penduduknya.
Konsep daya saing diperkenalkan oleh Ricardo dikenal dengan model Ricardian Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law of Comparative Advantage). Menurut Ricardo, meskipun sebuah negara kurang efisien dibandingkan negara lain (mengalami kerugian absolut) dalam memproduksi kedua komoditas, namun kedua negara tersebut masih dapat melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara yang mengalami kerugian absolut lebih kecil harus berspesialisasi dalam memproduksi komoditas tersebut dan mengekspornya kepada negara yang mengalami kerugian absolut lebih besar. Sebaliknya, negara akan mengimpor komoditas yang mengalami kerugian absolut lebih besar atau mengalami kerugian komparatif (Salvatore, 1996). Teori keunggulan komparatif yang lebih modern adalah teorema Heckscher-Ohlin (1933). Menurut H-O, sebuah negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu. Dalam waktu yang bersamaan negara tersebut akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal dalam memproduksinya. Melalui perdagangan bebas maka akan terjadi interaksi peningkatan ekspor dan impor yang mengakibatkan pada peningkatan GDP. Dengan demikian seluruh dunia mendapatkan manfaat dari perdagangan dan kedua belah pihak sekurang-kurangnya sama sejahteranya dengan atau tanpa perdagangan (Lindert dan Charles, 1995). Perdagangan antar kedua negara terjadi karena adanya perbedaan penawaran dan permintaan pada masing-masing negara. Gambar 1 menunjukkan perdagangan yang dilakukan dua negara yakni, negara 1 dan negara 2. Masing-
masing melambangkan kurva permintaan dan kurva penawaran untuk komoditi X di negara 1 dan negara 2. Panel A Pasar di Negara 1 untuk Komoditi X Px/Py
Px/Py
Panel C Pasar di Negara 2 untuk Komoditi X
Panel B Hubungan Perdagangan Internasional dalam Komoditi X Px/Py
Sx
Sx
Ekspor P2 P1 0
S
A”
P3
E*
E
B
A* X
A’ B’
B*
A Dx
P3
E’
Impor D
0
Dx X
0
X
Gambar 1. Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional Sumber: Salvatore (1996)
Panel A memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif P1, kuantitas komoditi X yang ditawarkan (QSX) akan sama dengan kuantitas yang diminta (QDX) oleh konsumen di negara 1, demikian pula halnya dengan negara 1 yang tidak akan mengekspor komoditi X sama sekali. Hal tersebut memunculkan titik A* pada kurva S di panel B yang merupakan kurva penawaran ekspor negara 1. Panel A juga memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif P2 maka akan terjadi kelebihan penawaran (QSX) apabila dibandingkan dengan tingkat permintaan untuk komoditi X (QDX) dan kelebihan itu sebesar BE. Kuantitas BE merupakan kuantitas komoditi X yang akan diekspor oleh negara 1 pada harga relatif P2. BE sama dengan B*E* dalam panel B dan terdapat titik E* yang berpotongan dengan kurva penawaran ekspor komoditi X dari negara 1 atau S. Panel C memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif P3, maka penawaran dan permintaan untuk komoditi X akan sama besarnya (QDX = QSX)
pada titik A’, sehingga negara 2 tidak akan mengadakan impor komoditi X sama sekali. Hal itu dilambangkan oleh titik A’ yang terletak pada kurva permintaan impor komoditi X negara 2 (D) yang berada di panel B. Panel C juga menunjukkan bahwa berdasarkan harga relatif P2 akan terjadi kelebihan permintaan (QDX > QSX) sebesar B’E’. Kelebihan itu sama artinya dengan kuantitas komoditi X yang akan diimpor negara 2 berdasarkan harga relatif P2, jumlah tersebut sama dengan B*E* pada panel B yang menjadi kedudukan titik E* yang melambangkan jumlah atau tingkat permintaan impor komoditi X dari penduduk di negara 2 (D). Berdasarkan harga relatif P2, kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh negara 2 (B’E’ dalam panel C) sama dengan kuantitas ekspor komoditi X yang ditawarkan negara 1 (BE dalam panel A). Hal itu diperlihatkan oleh perpotongan antara kurva D dan kurva S setelah komoditi X diperdagangkan antara kedua negara (panel B). Dengan demikian, P2 merupakan harga relatif ekuilibrium untuk komoditi X setelah erdagangan internasional berlangsung. Dari panel B dapat dilihat bahwa apabila PX/PY lebih besar dari P2 maka kuantitas ekspor komoditi X yang ditawarkan akan melebihi tingkat permintaan impor sehingga lambat laun harga relatif komoditi X akan mengalami penurunan sehingga pada akhirnya akan sama dengan P2. 3.1.2 Ekspor dan Impor 3.1.2.1 Pengertian Ekspor Ekspor merupakan penjualan output ke luar negeri sebagai akibat adanya kelebihan penawaran domestik suatu negara. Suatu negara melakukan ekspor karena mempunyai keunggulan komparatif dalam memproduksi komoditi tertentu
baik dalam kelimpahan sumberdaya maupun efisien dalam proses produksinya. Dalam suatu negara, kegiatan ekspor mempunyai peranan penting dalam peningkatan devisa. Berkembangnya kegiatan ekspor suatu negara maka akan memajukan sektor riil dan memajukan pembangunan dalam negeri. Kinerja ekspor suatu negara ditentukan oleh penawaran dan permintaan baik di dalam maupun di luar negeri. Penawaran ekspor suatu komoditi merupakan jumlah dari komoditi yang ingin dijual oleh perusahaan atau produsen pada tingkat harga tertentu. Banyaknya suatu komoditi yang dihasilkan dan ditawarkan oleh produsen dipengaruhi oleh banyak variabel, diantaranya harga komoditi tersebut, harga komoditi lain, biaya faktor produksi, sasaran perusahaan dan tingkat teknologi. Besarnya kuantitas ekspor suatu negara ditentukan dari selisih penawaran domestik dengan permintaan domestik. Dengan demikian, kelebihan penawaran suatu komoditi di dalam negeri akan dijual ke negara lain yang mengalami kelebihan permintaan akan komoditi tersebut. Permintaan adalah jumlah suatu komoditi yang ingin dibeli oleh semua rumah tangga. Dengan demikian permintaan ekspor merupakan penjumlahan dari permintaan-permintaan individu negara lain terhadap suatu komoditi yang dihasilkan dari negara tertentu. Permintaan ekspor suatu komoditi dipengaruhi beberapa faktor diantaranya, harga komoditi di negara pengimpor, harga komoditi di negara pengekspor, pendapatan perkapita di negara pengimpor, selera masyarakat negara pengimpor dan jumlah penduduk negara pengimpor.
3.1.2.2 Pengertian Impor Impor adalah pengeluaran domestik atas barang dan jasa mancanegara (Mankiw, 2003). Impor terjadi sebagai akibat terjadinya kelebihan permintaan
domestik terhadap suatu komoditi, sehingga untuk memenuhinya negara mendatangkannya dari luar negeri. Dalam neraca perdagangan, impor bersifat negatif karena mengurangi pendapatan negara. Namun dalam perdagangan internasional dan sistem perekonomian terbuka, ekspor dan impor tidak dapat dihindari. Bagi beberapa negara perdagangan internasional merupakan hal yang sangat penting. Pentingnya perdagangan internasional dalam suatu negara dapat dilihat dari persentase ekspor dan impor dalam PDB. Namun demikian suatu negara harus tetap berupaya agar neraca perdagangan bernilai positif (surplus) dengan meningkatkan ekspor atau mengurangi jumlah impor.
3.1.3 Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif (daya saing) merupakan kemampuan perusahaan, industri, daerah, negara atau antar daerah untuk menghasilkan faktor pendapatan dan faktor pekerjaan yang relatif tinggi dan berkesinambungan untuk menghadapi perdagangan internasional. Sedangkan menurut Simanjuntak dalam Novianti (2003), daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah. Dengan demikian pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional, dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh laba yang mencukupi sehingga dapat mempertahankan biaya produksinya. Dengan kata lain, daya saing komoditas tercermin dari harga jual yang bersaing dan kualitas mutu yang baik. Globalisasi pada dasarnya adalah fenomena yang mendorong perusahaan maupun para pengusaha untuk meningkatkan efisiensi agar mampu bersaing di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Dengan adanya globalisasi maka
akan meningkatkan tantangan sekaligus peluang bagi semua perusahaan baik kecil, menengah maupun besar. Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditi tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditi dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
3.1.4 Keunggulan Komparatif Hukum keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantage) menyatakan
bahwa
perdagangan
memungkinkan
suatu
negara
untuk
menghasilkan barang-barang tertentu yang lebih banyak dan relatif lebih efisien. Kemudian negara tersebut dapat mengekspornya untuk ditukar dengan barangbarang yang kurang memiliki keunggulan komparatif ( Lindert, 1995). Hal itu berarti suatu negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan jika melakukan spesialisasi komoditi yang dapat diproduksi dengan lebih efisien dan mengimpor komoditi yang kurang efisien. Sekalipun sebuah negara kurang efisien dibandingkan negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih dapat melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam memproduksi komoditi yang mempunyai kerugian absolut yang lebih kecil. Dari komoditi tersebut negara yang bersangkutan mempunyai keunggulan komparatif dan akan mengimpor komoditi yang mempunyai kerugian
absolut yang lebih besar. Dari komoditi inilah negara mengalami kerugian komparatif (Salvatore, 1996).
3.1.5 Teori Revealed Comparative Advantage Salah satu cara untuk mengukur daya saing tanaman hias Indonesia di pasar negara tujuan adalah dengan metode RCA. Metode RCA merupakan metode yang memungkinkan untuk digunakan dalam membandingkan daya saing tanaman hias Indonesia dengan Thailand. Hal ini dikarenakan metode ini cukup mudah digunakan dan ketersediaan data yang dibutuhkan memungkinkan untuk menggunakan metode ini. Revealed Comparative Advantage (RCA) merupakan alat analisis yang mengukur keunggulan suatu produk dalam perdagangan internasional. Konsep RCA pertama kali diperkenalkan oleh Bela Balassa pada tahun 1965 yang mengasumsikan bahwa pola keunggulan komparatif suatu negara dapat diamati dari data perdagangan yang sudah ada. Dampak positif yang ditimbulkan dari perkembangan perdagangan yang mengarah pada liberalisasi secara tidak langsung dapat diukur dengan menggunakan metode RCA. RCA dipergunakan sebagai indikator keunggulan komparatif suatu produk dan sebagai acuan spesialisasi perdagangan internasional. Indeks RCA mengukur antara pangsa ekspor komoditas atau sekelompok komoditas suatu negara terhadap pangsa ekspor secara keseluruhan di dunia perdagangan. Rumus RCA sebagai berikut : RCA =
X ij / Xit Xwj / Xwt
Dimana : Xij = Nilai ekspor komoditi j di negara i Xit = Nilai total ekspor negara i Xwj = Nilai ekspor dunia komoditi j
Xwt = Nilai total ekspor dunia Jika nilai RCA untuk komoditi j bernilai lebih dari satu, maka negara i mempunyai keunggulan komparatif dalam perdagangan di dunia. Sebaliknya, jika nilai RCA kurang dari satu maka negara i mempunyai ketidakunggulan komparatif komoditi j dalam perdagangan dunia. Setiap metode mempunyai keunggulan dan kelemahannya, begitu pula dengan metode RCA. Keunggulan yang terdapat dalam metode ini adalah sangat sederhana dan mudah digunakan serta mengurangi dampak pengaruh campur tangan pemerintah. Dengan demikian, keunggulan komparatif suatu negara akan terlihat jelas dapat terlihat jelas pada setiap periode waktunya. Sedangkan kelemahannya adalah : 1. Suatu negara diasumsikan mengekspor semua komoditi 2. Dalam indeks RCA tidak dijelaskan mengenai pola perdagangan yang sedang berlangsung, apakah sudah optimal atau belum. 3. Tidak
dapat
mendeteksi
dan
memprediksi
produk-produk
yang
mempunyai potensi untuk dikembangkan di masa datang. 4. Hasil perhitungan keunggulan komparatif suatu negara dapat terjadi kemungkinan bukan keunggulan komparatif yang sebenarnya. Hal itu dapat diakibatkan oleh adanya kebijakan pemerintah seperti kebijakan nilai tukar, kebijakan ekspor dan sebagainya.
3.1.6 Teori Model Gravity Aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan secara ekonometrika dapat dianalisis dengan menggunakan persamaan gravity model. Model gravity dalam perdagangan atau model gravitasi perdagangan Model ini pertama kali diterapkan oleh Walter Isard pada tahun 1954. Model ini dalam
ekonomi internasional serupa dengan model gravity pada ilmu sosial. Model gravitasi
pada
perdagangan
internasional
memprediksikan
bahwa
arus
perdagangan bilateral antar kedua negara didasari pada ukuran perekonomian yang diukur dari PDB masing-masing negara dan jarak antar kedua negara tersebut. Model gravity menyajikan sebuah analisa yang lebih empiris dari pola perdagangan. Model gravity pada dasarnya memprediksikan perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan interaksi antar negara dalam ukuran ekonominya.
Model
ini
meniru
hukum
gravitasi
Newton
yang
juga
memperhitungkan jarak dan ukuran fisik diantara dua benda. Model ini telah terbukti menjadi kuat secara empiris oleh analisa ekonometri. Faktor lain seperti tingkat pendapatan per kapita, hubungan diplomatik dan kebijakan perdagangan juga dimasukkan dalam versi yang lebih besar dari model ini. Model
gravitasi
perdagangan
digunakan
dalam
suatu
hubungan
internasional untuk mengkaji dampak yang ditimbulkan dari perjanjian dan persekutuan dalam perdagangan. Model ini digunakan untuk menguji tingkat keefektifan dari suatu perjanjian perdagangan, seperti NAFTA dan WTO. Selain itu, model gravitasi perdagangan juga biasa digunakan untuk menguji suatu hipotesis yang bersumber pada teori murni ekonomi perdagangan. Abilava (2006) menerapkan persamaan gravity model dalam menganalisis faktor yang mempengaruhi aliran modal investasi langsung luar negeri. Adapun variabel yang diduga mempengaruhi aliran modal investasi langsung luar negeri antara lain jarak antar kedua negara, GDP kedua negara, upah pekerja, nilai impor, nilai tukar antar kedua negara dan tingkat suku bunga. Dengan demikian
persamaan gravity model perdagangan antara kedua negara (i dan j) dapat dimodelkan dalam bentuk sebagai berikut : Ln (ASij) = α1 + ln (Si) + ln (Mj) – β1 ln (Dij) Dimana : ASij
= Besarnya arus modal investasi dari negara i ke negara j
α1
= Intersep
Si
= Faktor penawaran negara i
Mj
= Faktor permintaan negara j
Dij
= Jarak dari negara i ke negara j Berdasarkan hasil tinjauan studi terdahulu dari beberapa penelitian yang
telah dilakukan, maka variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap aliran perdagangan anggrek Indonesia ke negara tujuan meliputi waktu tempuh, pendapatan per kapita, populasi, harga anggrek dan nilai tukar. 1.
Waktu Tempuh Waktu tempuh merupakan proksi dari jarak antar kedua negara yang
melakukan perdagangan. Waktu tempuh merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam melakukan perdagangan antar negara. Selain menentukan besarnya biaya yang harus ditanggung, lamanya waktu tempuh suatu negara menentukan cara perlakuan suatu produk selama proses pengiriman. Data mengenai lamanya waktu tempuh pengiriman ekspor melalui jalur laut dari Indonesia ke negara tujuan berdasarkan data yang diperoleh dari PT. Pos Indonesia. Semakin jauh jarak suatu negara dengan negara lain, maka semakin lama waktu tempuh yang dibutuhkan serta besar pula biaya transportasi yang harus
dikeluarkan. Tingginya biaya transportasi yang ditanggung eksportir, akan dibebankan kepada produk yang diperdagangkan sehingga nilai jual produk tersebut akan naik. Disamping itu, lamanya waktu tempuh untuk mencapai negara tertentu menetukan cara perlakuan suatu produk selama proses pengiriman, seperti halnya teknologi yang akan digunakan dalam pengiriman. Sebagai contoh untuk produk agribisnis yang sifatnya cepat rusak dan tidak tahan lama, maka diperlukan penanganan khusus selama proses pengiriman agar produk tidak rusak saat tiba di tujuan. 2.
Pendapatan Per Kapita Produk domestik bruto (gross domestic product) menyatakan pendapatan
total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa. PDB sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian. Ada dua cara untuk melihat aktivitas ekonomi suatu negara, salah satunya adalah dengan melihat PDB sebagai pendapatan total dari setiap individu di dalam perekonomian (Mankiw, 2003). Besarnya output yang diperoleh dalam GDP tergantung pada jumlah input, yang disebut faktor produksi dan kemampuan untuk mengubah input menjadi output yang ditunjukkan dalam fungsi produksi. Input terpenting dalam faktor produksi adalah modal dan tenaga kerja. Sedangkan fungsi produksi mencerminkan teknologi yang digunakan untuk mengubah modal dan tenaga kerja menjadi output. Jika ada cara yang lebih baik untuk memproduksi barang, maka akan dihasilkan output lebih banyak yang diperoleh dari modal dan tenaga kerja yang sama. Dengan demikian, perubahan teknologi mempengaruhi fungsi produksi.
Pendapatan per kapita (PDB per kapita) adalah ukuran berapa banyak perolehan pendapatan setiap individu dalam perekonomian. Pengertian lain mengenai pendapatan per kapita adalah jumlah yang tersedia bagi rumah tangga atau perusahaan untuk melakukan pengeluaran. Dengan demikian tingkat konsumsi atau kemampuan konsumsi (daya beli) suatu negara atas suatu komoditi dapat diukur dari pendapatan per kapita penduduknya. Jika pendapatan per kapita suatu negara dinilai cukup tinggi, maka dapat dikatakan suatu negara tersebut merupakan pasar potensial bagi pemasaran suatu komoditi ataupun produk tertentu. Data pendapatan per kapita masing-masing negara yang digunakan dalam analisis aliran perdagangan gravity model diperoleh dari economics data statistics world bank. 3.
Populasi Populasi atau jumlah penduduk di semua negara senantiasa mengalami
perubahan jumlah setiap tahunnya. Perubahan angka populasi berimplikasi pada perubahan ukuran atau jumlah angkatan kerjanya. Perubahan populasi juga terjadi pada kepemilikan modal, karena setiap negara berusaha untuk mengerahkan seluruh sumberdaya yang dimilikinya untuk menciptakan dan mengakumulasikan modal. Kenaikan kepemilikan tenaga kerja di suatu negara akan mendorong peningkatan produksi di negara yang bersangkutan. Menurut teorema Rybezynski, pada harga-harga komoditi yang konstan, setiap kenaikan dalam kepemilikan atau jumlah salah satu produksi akan meningkatkan output dari komoditi yang lebih banyak menggunakan faktor produksi itu ketimbang faktor produksi lainnya dan dalam waktu bersamaan akan menurunkan output komoditi lain (Salvatore, 1996).
Sebagai contoh, di satu negara terjadi penambahan faktor produksi tenaga kerja, sementara penambahan modal hanya terjadi sedikit atau tetap, maka output komoditi yang padat karya akan meningkat dan melampaui output komoditi yang padat modal. Bahkan secara relatif output komoditi padat modal akan menurun pada tingkat harga yang konstan. 5.
Harga Keunggulan komparatif merupakan penentu dalam persaingan tingkat
dunia. Apabila suatu negara mempunyai keunggulan dalam kelimpahan sumberdaya dan efisien dalam biaya untuk menghasilkan sebuah produk, maka negara tersebut akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor produknya ke negara yang memiliki ketidakunggulan komparatif. Negara yang mempunyai keunggulan komparatif tentu akan menghasilkan produk yang nilai jualnya lebih rendah dibandingkan dengan negara yang memiliki ketidakunggulan komparatif. Dengan demikian, pada tingkat harga produk di pasar internasional, produsen memperoleh keuntungan yang cukup besar. Dalam
perdagangan
internasioal,
penentuan
harga
produk
yang
diperdagangkan sangat mempengaruhi terhadap daya saing produk itu sendiri di pasar dunia. Efisiensi produksi berimplikasi pada skala ekonomis sehingga nilai jual produk per satuannya menjadi lebih murah. Dengan nilai jual produk yang lebih murah dibandingkan dengan kompetitor, secara otomatis meningkatkan volume penjualan sebagai dampak dari meningkatnya permintaan. Harga anggrek yang digunakan dalam analisis perdagangan anggrek Indonesia ke negara tujuan yakni harga anggrek Indonesia dan harga anggrek di negara tujuan. Harga anggrek Indonesia yang digunakan sebagai bentuk dari penawaran ekspor anggrek ke
negara tujuan, sedangkan harga anggrek di negara tujuan sebagai bentuk dari variabel yang mempengaruhi permintaan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan. 5.
Nilai Tukar Nilai tukar perdagangan (terms of trade) dari suatu negara merupakan rasio
harga komoditi ekspor terhadap harga komoditi impornya. Kurs antar dua negara adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk melakukan perdagangan. Besarnya nilai tukar suatu negara tidak dapat dijadikan satu-satunya alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan negara. Perubahan dalam nilai tukar perdagangan suatu negara pada dasarnya merupakan dampak dari berinteraksinya berbagai kekuatan ekonomi negara tersebut (Salvatore, 1996). Nilai tukar mata uang antar negara mempengaruhi besarnya nilai ekspor yang diperoleh. Jika kurs riil suatu negara lebih rendah, maka produk domestik relatif lebih murah dibandingkan produk luar negeri sehingga ekspor neto akan lebih besar. Sebaliknya, jika kurs riil suatu negara lebih tinggi, maka produk domestik akan lebih mahal dari produk luar negeri yang berdampak pada pengurangan ekspor neto dan peningkatan impor. Nilai tukar yang digunakan dalam analisis aliran perdagangan anggrek Indonesia adalah rata-rata nilai tukar mata uang negara tujuan terhadap mata uang Dollar rata-rata dalam satu tahun selama periode 1996-2006. Data nilai tukar mata uang negara tujuan terhadap mata uang Dollar Amerika berdasarkan data yang diperoleh dari data statistik International Monetary Fund.
3.1.7
Data Panel Data panel digunakan untuk mengawasi dalam menghilangkan variabel
bias dengan mengamati perubahan yang terdapat dalam variabel dependen (Abilava, 2006). Selain itu data panel juga digunakan untuk mengatasi keterbatasan ketersediaan data yang digunakan untuk mewakili variabel yang digunakan dalam penelitian. Menurut Abilava (2006) dengan menggunakan data panel maka dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik dengan terjadinya peningkatan jumlah observasi yang berimplikasi terhadap peningkatan derajat bebas dan memungkinkan untuk dapat menangkap karakteristik antar individu dan antar waktu yang berbeda. Regresi data panel berbeda dengan regresi time-series atau regresi crosssection karena dalam regresi data panel setiap variabel mengandung subscript ganda it. Rumus umum untuk regresi data panel sebagai berikut : Yit = α + βxit + uit,
i = 1,...,N ; t = 1,....,T
Dimana i menunjukkan rumah tangga, individu, perusahaan, negara dan sebagainya, sedangkan t menunjukkan waktu. Dimensi cross-section ditandai oleh i dan dimensi waktu ditandai oleh t. α adalah intersep, β adalah slope dan xit merupakan explanatory variable pada pengamatan it. Menurut Abilava (2006) dalam analisis model data panel dikenal tiga macam teknik estimasi yakni pendekatan kuadrat terkecil (pooled least square), pendekatan efek tetap (fixed effect) dan pendekatan efek acak (random effect). Teknik pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel adalah dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa yang diterapkan dalam data gabungan antara cross-section dan time series (pooled). Dalam pendekatan
dengan metode pooled least square diasumsikan bahwa data gabungan yang ada, menunjukkan kondisi yang sesungguhnya. Hasil analisis regresi dianggap berlaku pada semua objek di semua waktu. Metode ini sering disebut dengan common effect. Kelemahan asumsi ini adalah ketidaksesuaian model dengan keadaan yang sesungguhnya. Kondisi setiap objek adalah berbeda satu sama lain, bahkan satu objek pada suatu waktu akan sangat berbeda dengan kondisi objek tersebut pada waktu yang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu model yang dapat menunjukkan perbedaan konstan antar objek, meskipun dengan koefisien regresor yang sama. Metode fixed effect dapat memperbaiki kelemahan yang ada pada metode common effect. Regresi fixed effect digunakan untuk menghilangkan variabel yang berbeda antara kasus masing-masing negara namun konstan sepanjang waktu. Variabel yang diubah adalah bersifat konstan sepanjang waktu namun berbeda pada tiap kasusnya. Untuk membedakan satu objek dengan objek yang lainnya, digunakan variabel semu (dummy). Oleh karena itu, model ini sering juga disebut dengan Least Square Dummy Variables atau disingkat LSDV. Selain dengan metode fixed effect regresi data panel dapat dilakukan dengan pendekatan metode random effect. Random effect digunakan untuk mengatasi kelemahan metode fixed effect yang menggunakan variabel semu, sehingga model mengalami ketidakpastian. Tanpa menggunakan variabel semu, metode random effect menggunakan residual yang diduga memiliki hubungan antar waktu dan antar objek. Namun untuk menganalisis dengan metode random effect ini ada satu syarat, yaitu objek data silang (cross section) harus lebih besar daripada banyaknya koefisien.
Menurut Abilava (2006) keuntungan penggunaan data panel dalam gravity model adalah : 1. Dapat mengidentifikasi karakteristik antar individu (daerah) yang melakukan perdagangan pada dimensi waktu yang berbeda. 2. Dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik daripada dengan teknik OLS data time-series atau cross-section saja. 3. Terjadi peningkatan derajat bebas dan mengurangi hubungan kolinear antar variabel bebas. 4. Mengurangi masalah yang timbul dari penghilangan variabel yang relevan.
3.2
Kerangka Pemikiran Operasional Era globalisasi dalam lingkup perdagangan bebas antar negara membawa
dampak ganda, dimana pada satu sisi era globalisasi membuka kesempatan kerja sama yang luas antar negara, namun di sisi lain akan membawa persaingan yang semakin ketat. Globalisasi akan memberikan perbaikan ekonomi kepada negara yang efisien dan kompetitif di pasar internasional. Indonesia sebagai salah satu negara yang potensial dalam perekonomian dunia harus segera mempersiapkan segala sesuatunya menuju globalisasi ekonomi. Tantangan utama di masa mendatang adalah meningkatkan daya saing dan keunggulan kompetitif di semua sektor industri dan sektor jasa dengan mengandalkan kemampuan sumberdaya manusia, teknologi dan manajemen. Dalam bisnis produk hortikultura, Indonesia mempunyai prospek yang baik untuk mengembangkan komoditi tanaman hias, mengingat perkembangannya cukup pesat baik di dalam negeri maupun di dunia. Sebagai negara yang kaya akan sumberdaya hayati, Indonesia mempunyai peluang yang besar untuk
memajukan industri tanaman hias di dalam negeri. Hal itu didukung pula dengan meningkatnya permintaan dunia akan tanaman hias yang sejalan dengan peningkatan ekspor tanaman hias Indonesia setiap tahunnya. Untuk dapat memasuki pasar tanaman hias dunia, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk dapat besaing dengan negara-negara yang lebih maju dalam pembudidayaan tanaman hias. Di kawasan Asia Tenggara, negara Thailand merupakan negara kompetitor utama yang maju dalam penerapan teknologi untuk menghasilkan berbagai jenis tanaman hias unggulan. Dengan demikian, tanaman hasil dari persilangan Thailand umumnya disukai pasar dan bernilai jual tinggi. Sejak tahun 1996 sampai dengan 2006, Indonesia memiliki lima negara tujuan ekspor terbesar tanaman hias, antara lain Jepang, Korea, Singapura, Belanda dan Amerika Serikat. Dalam usaha merebut pangsa pasar, Indonesia harus bersaing dengan Thailand sebagai negara pengekspor terbesar tanaman hias di Asia Tenggara. Negara Jepang merupakan negara tujuan ekspor utama Indonesia dan Thailand. Tahun 2006 nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang mencapai 21,4 persen dari total ekspor tanaman hias Indonesia ke dunia. Sementara itu, di tahun yang sama nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Jepang mencapai 32,64 persen dari total ekspor tanaman hias Thailand ke dunia. Selain itu, perkembangan ekspor tanaman hias Indonesia ke lima negara tujuan tersebut setiap tahunnya mengalami fluktuasi. Hal tersebut diduga karena adanya berbagai faktor yang mempengaruhi (ekonomi dan non ekonomi) baik yang datang dari dalam maupun dari luar negeri. Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk mengukur daya saing tanaman hias Indonesia
dengan Thailand di lima negara tujuan dengan menggunakan metode RCA. Metode RCA adalah metode yang menganalisis daya saing suatu komoditi dilihat dari kontribusi ekspor suatu komoditi terhadap ekspor total komoditi suatu negara. Dengan demikian hasil yang diperoleh dari analisis dengan RCA dapat mengacu pada spesialisasi suatu negara terhadap komoditi tertentu. Mengukur daya saing tanaman hias Indonesia dan Thailand dengan metode RCA relatif mudah dilakukan dan sangat sederhana dibandingkan menggunakan metode lain namun dapat langsung menggambarkan kondisi persaingan antar kedua negara. Daya saing komoditi tanaman hias Indonesia di pasar internasional dapat dikatakan kuat jika nilai RCA yang diperoleh lebih dari satu, artinya Indonesia mempunyai keunggulan komparatif untuk komoditi tanaman hias di negara tujuan. Dengan demikian, dari hasil perhitungan RCA dapat diukur daya saing tanaman hias Indonesia di negara tujuan dan membandingkannya dengan Thailand. Kemudian penelitian ini juga menganalisis aliran perdagangan anggrek sebagai salah satu komoditi tanaman hias yang diunggulkan Indonesia ke beberapa negara tujuan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor anggrek dengan menggunakan persamaan dalam gravity model. Model gravity dinilai tepat untuk menganalisis aliran ekspor anggrek ke negara tujua. Dengan menggunakan metode gravity, maka dapat diketahui apakah dalam melakukan perdagangan anggrek jarak (waktu tempuh) antara Indonesia dengan negara lain mempengaruhi kuantitas anggrek yang diperdagangkan. Adapun berbagai variabel yang diduga mempengaruhi aliran perdagangan anggrek Indonesia ke negara tujuan antara lain waktu tempuh antara Indonesia dengan
negara tujuan, pendapatan per kapita negara tujuan, harga anggrek Indonesia, harga anggrek di negara tujuan dan nilai tukar antara mata uang negara tujuan terhadap Dollar Amerika Serikat. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai daya saing tanaman hias Indonesia dan Thailand secara komparatif selama 11 tahun. Selain itu juga dapat diperoleh informasi mengenai aliran perdagangan tanaman anggrek ke beberapa negara tujuan sehingga dari hasil perhitungannya dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi aliran perdagangan tanaman anggrek Indonesia ke negara tujuan. Dengan demikian hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan volume ekspor dan perluasan pangsa pasar tanaman hias Indonesia. Gambaran lengkap mengenai kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 2.
Perkembangan ekspor tanaman hias Indonesia di lima negara tujuan ekspor berfluktuatif setiap tahun
Mengukur daya saing tanaman hias Indonesia dengan Thailand sebagai kompetitor utama di beberapa negara tujuan ekspor
Analisis daya saing secara komparatif (RCA)
Perbandingan daya saing tanaman hias Indonesia dengan Thailand di negara tujuan periode 1996-2006
Usaha peningkatan daya saing dan perluasan pangsa pasar tanaman hias Indonesia di pasar negara tujuan
Analisis aliran perdagangan anggrek sebagai komoditi tanaman hias unggulan Indonesia di beberapa negara tujuan. Analisis kuantitatif penawaran dan permintaan ekspor anggrek (Data Panel)
Gravity Model 1. Waktu tempuh 2. Pendapatan per kapita 3. Populasi 4. Harga anggrek di negara tujuan 5. Harga anggrek Indonesia 6. Nilai tukar negara tujuan dengan USD
Faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor anggrek ke negaranegara tujuan
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional
3.3
Hipotesis Berdasarkan studi penelitian terdahulu yang telah dilakukan, maka dalam
penelitian ini diajukan beberapa hipotesis, diantaranya : 1. Indeks RCA lebih dari satu berarti telah terjadi peningkatan pangsa pasar di negara tujuan ekspor. Sedangkan bila nilai kurang dari satu berarti telah terjadi penurunan pangsa pasar. 2. Waktu tempuh berhubungan negatif dengan volume anggrek yang di ekspor Indonesia ke negara tujuan. Semakin jauh jarak negara tujuan yang berarti semakin besar biaya transportasi ke negara tujuan, maka volume anggrek yang diperdagangkan akan semakin berkurang. 3. Pendapatan per kapita berhubungan positif dengan volume anggrek yang diekspor. Semakin tinggi pendapatan per kapita suatu negara, maka peluang daya beli atau tingkat konsumsi masyarakat terhadap anggrek akan tinggi pula. 4. Populasi berhubungan positif terhadap volume anggrek yang diekspor. Semakin besar populasi suatu negara maka negara tersebut semakin potensial untuk perluasan pangsa pasar. 5. Harga anggrek Indonesia di negara tujuan berhubungan negatif terhadap permintaan ekspor anggrek ke negara tujuan. Jika harga anggrek Indonesia lebih tinggi dari harga anggrek di negara tujuan maka anggrek Indonesia tidak mampu bersaing dengan komoditas anggrek lokal di negara tujuan. 6. Harga anggrek di negara tujuan berhubungan positif terhadap penawaran ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan. Jika harga anggrek di negara tujuan lebih tinggi dari harga anggrek Indonesia maka peluang ekspor
anggrek Indonesia lebih besar sehingga akan meningkatkan volume ekspor anggrek ke negara tujuan. 7. Nilai tukar mata uang negara tujuan terhadap USD berhubungan positif terhadap volume ekspor anggrek. Jika terjadi peningkatan nilai tukar mata uang negara tujuan terhadap Dollar, maka eksportir akan meningkatkan volume ekspor anggrek karena akan menambah keuntungan dari nilai yang diperoleh, dan sebaliknya.
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa pengusaha tanaman hias (eksportir) seperti Godong Ijo Nursery, Hara Nursery, Hans Garden, Aglaonema Florist dan pengusaha anggrek baik dari skala kecil sampai menengah. Data sekunder diperoleh dari dalam negeri maupun luar negeri dalam bentuk time series tahunan. Data tahunan yang diperoleh berada dalam kurun waktu 11 tahun (1996-2006) untuk melihat perkembangan nilai ekspor tanaman hias Indonesia di pasar dunia. Data yang dikumpulkan adalah data dari tujuh negara, yakni meliputi Indonesia, Thailand, Jepang, Korea, Singapura, Amerika Serikat dan Belanda. Data nasional yang digunakan diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Ditjen Hortikultura, jurnal, skripsi, thesis serta dari berbagai literatur lainnya seperti media cetak dan berbagai situs di internet. Sedangkan data yang digunakan dari beberapa negara diperoleh dari hasil browsing di beberapa situs internet seperti departemen pertanian masing-masing negara, World Bank, WTO, FAO, AFTA, UNComtrade maupun jurnal dan informasi lainnya.
4.2
Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif dan metode
kuantitatif.
Metode
deskriptif
digunakan
untuk
menganalisis
dan
menginterpretasikan data-data yang terkumpul dan digunakan dalam penelitian
ini. Adapun metode kuantitatif digunakan untuk mengukur daya saing tanaman hias Indonesia serta analisis aliran perdagangan anggrek ke negara tujuan. Untuk mengetahui daya saing tanaman hias Indonesia di negara tujuan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Adapun metode yang dapat digunakan diantaranya analisis Biaya Sumberdaya Domestik (BSD), Policy Analisys Matriks (PAM), Constant Market Share Analysis (CMSA) dan Revealed Comparative Advantage (RCA). Diantara metode tersebut, metode RCA dipilih untuk mengukur daya saing tanaman hias Indonesia dan Thailand. Hal ini karena metode RCA relatif lebih mudah digunakan dan minimal dapat dipakai untuk dapat mengetahui daya saing tanaman hias Indonesia dan Thailand. Selain itu periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini tidak terlalu panjang (11 tahun) dan ketersediaan data yang ada memungkinkan untuk menggunakan metode ini. Aliran perdagangan anggrek Indonesia ke negara tujuan dilakukan dengan analisis regresi data panel gravity model. Pendekatan gravity model digunakan untuk menganalisis apakah jarak (waktu tempuh) berpengaruh terhadap perdagangan anggrek Indonesia ke negara tujuan. Persamaan gravity model berbeda dengan model lain yang juga digunakan untuk faktor yang mempengaruhi ekspor suatu komoditi karena tidak menyertakan variabel jarak dalam persamaannya. Selain itu analisis gravity model digunakan untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi aliran perdagangan anggrek Indonesia ke negara tujuan berdasarkan faktor penawaran dan permintaan ekspor. Teknik estimasi model dilakukan dengan menggunakan data panel (pooled data) dan diolah dengan menggunakan paket program komputer E-views 5.1 yang hasilnya kemudian diinterpretasikan.
4.3
Revealed Comparative Advantage (RCA) Keberadaan daya saing komoditi tanaman hias Indonesia di pasar
internasional dapat diketahui dengan menggunakan metode RCA. Metode ini didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki suatu negara. Analisis daya saing dengan metode RCA dilakukan satu per satu pada setiap negara. Langkah pertama mengukur daya saing ekspor tanaman hias Indonesia dengan negaranegara tujuan ekspor, seperti Indonesia-Jepang, Indonesia-Korea, IndonesiaSingapura, Indonesia-Amerika Serikat dan Indonesia-Belanda. Selanjutnya adalah mengukur daya saing ekspor tanaman hias Thailand dengan negara-negara tujuan ekspor, seperti Thailand-Jepang, Thailand-Korea, Thailand-Singapura, ThailandAmerika Serikat dan Thailand-Belanda,. Variabel yang diukur dalam metode ini adalah kinerja ekspor tanaman hias Indonesia dan Thailand ke negara-negara tujuan ekspor dengan menghitung nilai ekspor tanaman hias Indonesia (Thailand) ke negara Jepang, Korea, Singapura, Amerika Serikat dan Belanda terhadap nilai total ekspor Indonesia (Thailand). Selanjutnya adalah membandingkan hasil yang telah diperoleh dengan nilai ekspor tanaman hias dunia ke negara Jepang, Korea, Singapura, Amerika Serikat dan Belanda. Rumusannya adalah sebagai berikut : RCA =
X ij / Xit Xwj / Xwt
Dimana : Xij = Nilai ekspor komoditi tanaman hias Indonesia/Thailand ke negara (Jepang/Korea/Singapura/Belanda/Amerika Serikat) Xit = Nilai total ekspor Indonesia/Thailand
ke negara (Jepang/Korea/Singapura/Belanda/Amerika Serikat) Xwj = Nilai ekspor dunia komoditi tanaman hias ke negara (Jepang/Korea/Singapura/Belanda/Amerika Serikat) Xwt = Nilai total ekspor dunia ke negara (Jepang/Korea/Singapura/Belanda/Amerika Serikat) Indeks RCA merupakan perbandingan antara nilai RCA sekarang dengan nilai RCA sebelumnya. Rumus indeks RCA sebagai berikut : RCAt Indeks RCA = RCAt-1 RCAt = Nilai RCA tahun ke-t RCAt-1 = Nilai RCA tahun sebelumnya Indeks RCA berkisar antara nol sampai tak hingga. Nilai indeks RCA sama dengan satu berarti tidak terjadi kenaikan RCA atau kinerja ekspor tanaman hias Indonesia di negara i tahun sekarang sama dengan tahun lalu.
4.4
Gravity Model Analisis data dengan menggunakan pendekatan gravity model digunakan
model persamaan regresi linear yang mampu menunjukkan berapa besar persentase variabel tak bebas dapat dijelaskan oleh variabel bebas dengan nilai R2. Kemudian dilakukan uji T untuk melihat apakah variabel-variabel bebasnya berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tak bebas. Bentuk umum dari fungsi regresi adalah : Y = a0 + ΣaiXi + Ei Dimana : Y
=
Peubah tak bebas
a0
=
Intersep
Xi = Peubah bebas yang menjelaskan peubah Y ai
=
Parameter penduga Xi
Ei = Pengaruh sisa (error term) i
=
Banyaknya peubah dalam fungsi tersebut
Perumusan Model Persamaan gravity model yang digunakan dalam aliran perdagangan anggrek Indonesia ke negara tujuan adalah sebagai berikut : LogXij = β1- α1logDij + α2logYj + α3logNj + α4logPj - α5logPi + α6logERj + Eij Dimana : β1
=
Intersep
αn
=
Parameter yang diduga, n = 1,2,3...dst
Xij
= Volume
tanaman anggrek yang diperdagangkan dari negara Indonesia ke
negara (Jepang/Korea/Singapura/Belanda/Amerika Serikat) (Kg) Dij =Waktu tempuh dari negara Indonesia ke negara (Jepang/Korea/Singapura/Belanda/Amerika Serikat) (hari) Yj
= Pendapatan
per kapita di negara (Jepang/Korea/Singapura/Belanda/Amerika
Serikat) (US$) Nj
=
Populasi di negara (Jepang/Korea/Singapura/Belanda/Amerika Serikat) (jiwa)
Pj
=
Harga anggrek di negara (Jepang/Korea/Singapura/Belanda/Amerika Serikat) (US$/pot)
Pi
=
Harga anggrek Indonesia (US$/pot)
ERj = Nilai tukar mata uang asing negara (Jepang/Korea/Singapura/Belanda/Amerika Serikat) (US$/ERj)
Eij 4.5
=
Random error
Pengujian Model Pengujian model bertujuan untuk melihat nyata atau tidaknya pengaruh
variabel yang dipilih terhadap variabel-variabel yang diteliti. Pengujian model dalam persamaan regresi data panel dapat menggunakan uji statistik parsial (Ujit), uji signifikansi model (Uji F) dan koefisien determinasi atau R2. Dalam uji t, nilai t-hitung digunakan untuk menguji apakah koefisien regresi dari masingmasing peubah bebas (Xi) berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah tak bebas (Y). Langkah-langkah pengujian signifikansi dengan statistik uji-t adalah sebagai berikut : Ho : βi = 0
Hipotesis
H1 : βi ≠ 0 Statistik Uji t hitung :
βi
; (n-k-1,tα/2)
S (βi) Dimana : βi = nilai koefisien regresi dugaan S = standar deviasi untuk bi α = taraf nyata n = jumlah pengamatan k = jumlah variabel dependent dalam model tanpa konstanta i = 1,2,3,.....,k Kriteria uji : Jika t-hit ≤ tα/2 maka terima Ho, artinya variabel independent yang diuji pada persamaan tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependent. Jika t-
hit ≥ tα/2 maka tolak Ho, artinya variabel independent yang diuji pada persamaan tersebut berpengaruh nyata terhadap variabel dependent. Pengujian variabel-variabel dalam persamaan regresi sederhana dengan uji F bertujuan untuk menguji signifikansi model secara menyeluruh. Dengan demikian, apakah peubah bebas yang digunakan dalam persamaan gravity model secara keseluruhan berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah tak bebas (Y). Langkah-langkah pengujian dengan uji F adalah : Ho : β1 = β2 = βk = 0
Hipotesis
H1 : minimal ada satu nilai β1 yang tidak sama dengan nol Statistik uji
F hitung :
R2/k (1-R2)/(n-k-1)
Dimana : R2 = koefisien determinasi α = taraf nyata n = jumlah pengamatan k = jumlah variabel dependent dalam model tanpa konstanta i = 1,2,3,.....,k Kriteria uji : F hitung > F α (k;n-k-1) maka tolak Ho F hitung < F α (k;n-k-1) maka terima Ho Jika keputusan yang diperoleh adalah tolak Ho, berarti secara keseluruhan peubah bebas yang berada dalam persamaan gravity berpengaruh nyata terhadap volume produk yang diperdagangkan. Sebaliknya, jika keputusan yang diperoleh adalah terima Ho, maka secara keseluruhan peubah bebas yang berada dalam persamaan gravity tidak berpengaruh nyata terhadap volume produk yang diperdagangkan.
Koefisien determinasi atau R2 digunakan untuk mengukur keragaman variabel dependent yang dapat diterangkan oleh variabel independent. Semakin besar nilai koefisien determinasi maka model tersebut semakin baik. Rumus R2 adalah sebagai berikut : R2 =
Jumlah kuadrat regresi (JKR) = 1- Jumlah kuadrat galat (JKG) Jumlah kuadrat total (JKT)
4.6
JKT
Pengujian Kesesuaian Model Pengolahan data panel dalam persamaan gravity model menggunakan tiga
macam pendekatan yakni common effect atau pooled least square (PLS), fixed effect dan random effect. Oleh karena objek cross section lebih kecil dari banyaknya koefisien (variabel yang dianalisis) maka persamaan gravity model dalam penelitian ini tidak dilakukan dengan metode random effect. Untuk menentukan model mana yang dinilai paling tepat untuk pengolahan data panel, maka terdapat beberapa pengujian yang dapat dilakukan, sebagai berikut: Chow Test Chow test adalah pengujian untuk memilih model yang digunakan yakni pooled least square (PLS) ataukah fixed effect. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut : Ho : Model PLS (restricted) H1 : Model fixed effect (unrestricted) Dasar penolakan terhadap hipotesa nol tersebut adalah dengan menggunakan F statistik seperti yang dirumuskan : (RRSS – URSS) / (N – 1) CHOW = URSS / (NT – N – K)
Dimana : RRSS = Restricted Residual Sum Square (Sum Square Residual PLS) URSS = Unrestricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Fixed) N
= Jumlah data cross section
T
= Jumlah data time series
K
= Jumlah variabel penjelas
Pengujian ini mengikuti distribusi F statistik yaitu FN-1,
NT-N-K
. Jika nilai Chow
statistics (F stat) hasil pengujian lebih besar dari F tabel, maka cukup bukti bagi kita untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya.
4.7
Pengujian Asumsi Regresi linear sederhana bertujuan mempelajari hubungan linear antara dua
variabel, yakni variabel bebas dan variabel tak bebas. Variabel bebas adalah variabel yang bisa dikontrol, sedangkan variabel tak bebas adalah variabel yang mencerminkan respon dari variabel bebas. Dalam analisis regresi, terdapat tiga asumsi yang harus dipenuhi yaitu autokolerasi, heteroskedastisitas dan multikolinieritas. a.
Autokolerasi Autokolerasi adalah adanya kolerasi antara anggota serangkaian observasi
dalam bentuk hubungan linear antar error yang diurutkan menurut waktu. Pengujiannya dapat dilakukan dengan uji Durbin Watson (DW) yang dapat dilihat pada hasil output estimasi data panel. Untuk melihat ada tidaknya autokolerasi dapat digunakan ketentuan sebagai berikut : •
Nilai DW kurang dari 1,1 maka ada autokolerasi
•
Nilai DW antara 1,1 – 1,54 maka tidak ada kesimpulan
•
Nilai DW antara 1,55 – 2,46 maka tidak ada autokolerasi
•
Nilai DW antara 2,47 – 2,9 maka tidak ada kesimpulan
•
Nilai DW 2,91 atau lebih maka ada autokolerasi
b.
Heteroskedastisitas Jika seluruh faktor pengganggu pada model tidak memiliki varian yang
konstan maka diduga model mengalami masalah heteroskedastisitas. Selain itu dapat pula dideteksi dengan membandingkan sum square residual pada weighted statistics dengan sum square residual unweighted statistic. Jika sum square residual pada weighted statistic lebih kecil dibandingkan dengan sum square residual unweighted statistic maka dapat disimpulkan terjadi heteroskedastisitas. Masalah tersebut dapat diatasi dengan metode White Heteroskedasticity yang diestimasi dengan GLS yang diperoleh dari program Eviews 5.1
c.
Multikolinearitas Dalam model regresi linear yang terdiri dari banyak variabel independen
terkadang dijumpai masalah multikolinearitas. Multikolinearitas adalah hubungan linear yang kuat antara variabel-variabel independen dalam persamaan regresi berganda. Adanya multikolinearitas menyebabkan pendugaan koefisien regresi tidak nyata walaupun nilai R2 nya tinggi. Hal tersebut dapat dideteksi dari nilai R² yang tinngi (0,7 – 1) tetapi tidak terdapat atau hanya sedikit sekali koefisien dugaan yang berpengaruh nyata. Multikolinearitas dapat diatasi dengan memberi perlakuan GLS (cross section weight), sehingga parameter dugaan pada taraf uji tertentu menjadi signifikan.
BAB V GAMBARAN UMUM 5.1
Karakteristik Negara Tujuan Utama Negara tujuan utama ekspor tanaman hias Indonesia di pasar internasional
antara lain Jepang, Rep.Korea, Singapura, Belanda dan Amerika Serikat. Kelima negara tersebut dijadikan sebagai negara tujuan utama dalam penelitian ini dikarenakan perolehan nilai ekspor tanaman hias ke lima negara tujuan tersebut adalah yang terbesar diantara negara tujuan lainnya. Masing-masing lima negara tujuan tersebut memiliki perbedaan karakteristik baik dalam hal ekonomi maupun non ekonomi. Gambaran umum karakteristik dari negara tujuan utama ekspor tanaman hias Indonesia bertujuan untuk melihat potensi perdagangan tanaman hias negara tujuan utama serta membandingkan kinerja ekspor tanaman hias Indonesia dan Thailand ke negara tujuan utama.
5.1.1 Perkembangan Industri Tanaman Hias Jepang Sebagai negara paling maju di Asia, Jepang merupakan mitra dagang utama banyak negara di dunia termasuk Indonesia. Bagi Indonesia sendiri Jepang memiliki peranan penting baik dalam hubungan diplomatik maupun perdagangan. Jepang merupakan sumber dana, sumber teknologi dan pasar bagi produk Indonesia. Jepang termasuk negara yang padat penduduk dengan luas daratan 374.835 Km², dengan jumlah penduduk pada tahun 2006 mencapai 127,7 juta jiwa. Mata uang Yen Jepang merupakan mata uang yang banyak diperdagangkan di bursa foreign exchange. Mata uang Yen juga dinilai sangat stabil nilai tukarnya dengan mata uang Dollar Amerika, dengan nilai tukar rata-rata 116,29 Yen per
USD pada tahun 2006. Selain itu, Jepang memiliki pendapatan per kapita yang tinggi setelah Amerika Serikat dan Belanda. Pendapatan per kapita Jepang tahun 2005 sebesar US$ 35.593 dan meningkat menjadi US$ 38.410 di tahun 2006. Jepang merupakan pasar yang sangat potensial untuk komoditi tanaman hias Indonesia. Di pasar tanaman hias dunia, Jepang merupakan pasar yang paling potensial untuk kawasan Asia. Jepang merupakan salah satu negara konsumen terbesar bunga potong. Negara-negara yang berada di kawasan Asia-Pasifik merupakan suplier utama tanaman hias ke negara Jepang dan Hongkong. Negara New Zealand mampu mengekspor sebesar 70 persen dari total ekspor tanaman hias ke Jepang, sementara itu ekspor tanaman hias Taiwan ke Jepang lebih dari 90 persen dari total ekspor tanaman hias ke dunia. Seperti negara Belanda, Amerika Serikat dan Italia, Jepang juga merupakan salah satu negara produsen utama tanaman hias potong maupun tanaman hias pot. Namun demikian produksi tanaman hias di Jepang lebih diutamakan untuk memenuhi pasar domestiknya. Produksi tanaman hias di Jepang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Di tahun 2004 luas lahan produksi bunga potong mencapai 18.000 Ha, sedangkan produksi tanaman hias pot mencapai 2.000 Ha. Komoditi utama tanaman hias yang diproduksi Jepang antara lain krisan, anyelir dan mawar. Memasuki tahun 2002 sampai dengan tahun 2006, perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang menduduki peringkat teratas dengan nilai ratarata mencapai diatas US$ 2 juta. Perkembangan nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tahun 2006, nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang mencapai US$ 3.313.216. Selepas masa krisis
ekonomi tahun 1998, nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang mengalami peningkatan. Nilai tukar Rupiah yang terdepresiasi terhadap Dollar Amerika berdampak pada peningkatan kinerja ekspor tanaman hias Indonesia ke pasar internasional. Komoditi tanaman hias Indonesia yang diekspor ke Jepang diantaranya anggrek, tanaman hias untuk akuarium, mawar maupun bunga potong lainnya. Namun, diantara sejumlah komoditi tanaman hias yang diekspor tersebut, tanaman anggrek paling tinggi permintaannya baik dalam bentuk seedling, anggrek potong maupun tanaman anggrek. Negara Indonesia bahkan sudah mengekspor anggrek ke Jepang sejak tahun 1996. Tabel 4. Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia dan Thailand ke Jepang Tahun 1996-2006 Negara Tahun
Thailand
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
39.411.786 34.639.203 31.415.959 16.698.718 18.193.901 18.391.394 21.127.537 23.765.598 24.933.964 31.769.606 31.334.995
Indonesia Nilai (US$) 752.930 539.815 173.607 1.067.461 1.222.651 1.445.300 3.211.914 2.849.330 3.208.638 2.848.571 3.313.266
Sumber : UNComtrade, 2007
Kuantitas ekspor anggrek Indonesia ke Jepang cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2004, volume ekspor tanaman hias Indonesia sebesar 737.874 Kg dengan nilai mencapai US$ 3.208.638. Dari total volume ekspor tanaman hias, ekspor anggrek Indonesia ke Jepang sebesar 107.760 Kg dengan
nilai mencapai US$ 874.684 atau sekitar 27,3 persen dari nilai total ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang. Tahun 2005, volume ekspor anggrek Indonesia ke Jepang meningkat menjadi 216.691 Kg senilai US$ 1.119.988 atau sekitar 39,31 persen dari nilai total ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang. Tahun 2006, volume ekspor anggrek Indonesia ke Jepang mengalami penurunan menjadi 177.186 Kg dengan nilai mencapai US$ 948.456 atau sekitar 28,63 persen dari nilai total ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang. Negara Jepang juga menjadi negara tujuan ekspor utama negara Thailand. Selain Thailand, Jepang juga menjadi negara tujuan ekspor utama tanaman hias negara China, Malaysia dan Singapura. Nilai ekspor tanaman hias China ke Jepang sebesar 34 persen dari total ekspor tanaman hias ke dunia. Sementara itu kontribusi nilai ekspor tanaman hias ke Jepang negara Malaysia dan Singapura berturut-turut adalah 64 persen dan 46 persen dari nilai total ekspor tanaman hias. Pada tahun 2006, nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Jepang mencapai US$ 31.334.995 dari total ekspor tanaman hias ke dunia senilai US$ 95.989.052. Dari data yang ditampilkan pada Tabel 3, menunjukkan bahwa negara Thailand sudah lebih dulu menguasai pasar Jepang dibandingkan Indonesia. Sama halnya dengan Indonesia, ekspor tanaman hias Thailand ke Jepang didominasi tanaman anggrek, terutama anggrek potong. Pasar Jepang cenderung lebih menyukai bunga potong dibandingkan tanaman pot. Diantara ragam jenis bunga potong, anggrek mempunyai tingkat permintaan yang relatif lebih tinggi. Hal tersebut dikarenakan anggrek merupakan tanaman hias khas negara tropis yang mempunyai keunikan tersendiri. Oleh karena itu, sebagai negara yang maju dalam
pembudidayaan anggrek, Thailand mampu menjadi negara eksportir anggrek terbesar untuk negara Jepang di kawasan Asia Tenggara.
5.1.2 Perkembangan Industri Tanaman Hias Korea Penduduk Korea merupakan masyarakat yang homogen dengan jumlah sebesar 48,4 juta jiwa dan pendapatan per kapita mencapai US$ 17.690 di tahun 2006. Untuk mensejahterakan perekonomian penduduknya, Korea memfokuskan diri pada peningkatan kinerja ekspornya. Korea sudah memulai untuk memproduksi hortikultura dan ternak sejak tiga dasawarsa lalu, terutama untuk produksi beras sebagai makanan pokok masyarakat Korea. Di sisi lain, impor pangan Korea juga terus meningkat seiring dengan peningkatan permintaan dalam negeri. Amerika Serikat merupakan eksportir utama Korea termasuk komoditi pertanian. Tahun 2006 nilai total impor Korea Selatan dari Amerika Serikat mencapai US$ 2,85 milyar dan untuk komoditi pertanian senilai US$ 1,8 milyar, Mulai tahun 1990, komoditi hortikultura di negara Korea seperti buahbuahan, sayuran dan tanaman hias mulai ditingkatkan produksinya. Peningkatan produksi komoditi pertanian di Korea berdampak pada peningkatan ekspornya. Dengan demikian pesatnya perkembangan ekspor komoditi pertanian Korea memberikan kontribusi pendapatan petani yang cukup besar. Untuk komoditi buah-buahan, produk andalan yang diekspor adalah apel, pear dan jeruk. Komoditi sayuran yang menjadi andalan ekspor adalah ketimun, terung, wortel, tomat dan bawang. Sementara itu untuk komoditi tanaman hias, Korea mengekspor bunga mawar, anyelir, krisan, lili, kaktus dan anggrek. Korea unggul dalam produksi dan ekspor bunga mawar. Pada tahun 1994 sampai 1997, ekspor bunga mawar rata-rata tumbuh sekitar 8,7 persen tiap
tahunnya, padahal jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor produk pertanian lainnya hanya mencapai 4,5 persen setiap tahunnya. Selain unggul dalam produksi mawar, Korea juga unggul dalam produksi bunga anyelir. Tingkat konsumsi bunga anyelir di Korea relatif tinggi. Bunga anyelir merupakan salah satu dari 10 bunga yang diunggulkan Korea dan juga merupakan satu dari tujuh bunga yang diunggulkan Belanda. Korea merupakan negara tujuan ekspor tanaman hias Indonesia terbesar kedua setelah Jepang. Pada tahun 2004, tercatat volume ekspor tanaman hias Indonesia ke Korea mencapai 5.036.732 Kg. Dari total ekspor tanaman hias Indonesia ke Korea, ekspor bunga potong mencapai 1.265.080 Kg. Komoditi tanaman hias Indonesia untuk bunga potong yang paling dominan diekspor ke Korea yakni mawar dan krisan. Sementara itu untuk bunga anyelir, Indonesia hanya mengekspor dalam jumlah yang sangat sedikit mengingat produksinya hanya berkisar dua juta ton per tahunnya. Kuantitas ekspor anggrek Indonesia ke Korea berfluktuatif setiap tahunnya. Pada tahun 2002, Indonesia mampu mengekspor anggrek ke Korea sebanyak 299.100 Kg, akan tetapi jumlahnya kemudian terus menurun hingga tahun 2005. Tahun 2004 Indonesia bahkan hanya mengekspor anggrek sebanyak 2.000 Kg saja dan hanya berupa anggrek seedling. Akan tetapi, di tahun 2006 volume ekspor anggrek ke Korea mencapai 1.625.540 Kg dengan nilai sebesar US$ 507.839. Peningkatan volume ekspor anggrek yang cukup signifikan tersebut, salah satunya didukung oleh peningkatan produksi anggrek potong yang mencapai 10.903.444 tangkai pada tahun 2006, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 7.902.403 tangkai.
Tabel 5. Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia dan Thailand ke Korea Tahun 1996-2006 Negara Tahun
Thailand
Indonesia Nilai (US$)
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
3.820.978 3.242.024 1.407.457 725.295 1.079.476 1.488.968 1.892.217 1.803.285 1.722.567 1.969.939 2.427.324
804.378 491.225 47.661 1.030.690 2.197.136 1.699.544 1.817.675 1.510.938 1.978.484 2.916.112 2.706.573
Sumber : UNComtrade, 2007
Berdasarkan perkembangan nilai ekspor tanaman hias Indonesia dan Thailand ke negara Korea (Tabel 5), diketahui bahwa kinerja ekspor tanaman hias Indonesia ke Korea berfluktuatif setiap tahunnya. Namun demikian setelah masa krisis moneter ekspor tanaman hias Indonesia ke pasar Korea mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal tersebut terlihat dari nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke negara Korea cenderung meningkat dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2006, meskipun terjadi penurunan nilai di tahun-tahun tertentu. Nilai impor tanaman hias dari Indonesia tahun 2006 sebesar 4,6 persen dari total impor tanaman hias Korea. Apabila dibandingkan dengan negara Thailand, kinerja ekspor tanaman hias Indonesia ke Korea mampu bersaing dengan Thailand. Pada tahun-tahun tertentu, Indonesia bahkan lebih unggul dalam perolehan nilai ekspor tanaman hias dibandingkan Thailand. Indonesia berpotensi untuk mengembangkan ekspor tanaman hias dengan memperluas pangsa pasar di negara Korea. Upaya
peningkatan kuantitas ekspor tanaman hias ke Korea dapat ditempuh dengan cara antara lain meningkatkan produksi mawar, krisan maupun anyelir sebagai komoditi yang permintaannya lebih tinggi. Cara lain yang dapat dilakukan yakni melakukan perbaikan kualitas dan perbaikan penanganan pasca panen terutama dalam hal pengepakan. Dengan demikian, maka diharapkan Indonesia dapat memenuhi permintaan ekspor komoditi bunga potong di negara Korea dan komoditi yang ditawarkan dapat sepenuhnya diserap pasar Korea.
5.1.3 Perkembangan Industri Tanaman Hias Singapura Singapura merupakan negara maju dengan tingkat pendapatan per kapita yang relatif tinggi yakni mencapai US$ 29.320 pada tahun 2006. Singapura juga merupakan negara padat penduduk dengan luas daratan 682,7 Km². Penduduk singapura kurang lebih berjumlah 4,39 juta jiwa pada tahun 2006. Singapura merupakan mitra dagang utama Indonesia dalam ekspor komoditi non migas setelah Jepang dan Amerika Serikat. Perekonomian Singapura bergantung pada sektor jasa dan pariwisata. Kegiatan produksi pertanian maupun kegiatan eksplorasi sumberdaya alam sepenuhnya tidak dapat dilakukan di negara ini karena keterbatasan sumberdaya lahan dan alam. Oleh karena itu Singapura menjadi pengimpor utama berbagai produk kebutuhan hidup dari Indonesia dan Malaysia. Dengan kemajuan teknologi, Singapura mampu menggali potensi sumberdaya alamnya meskipun dengan segala keterbatasan yang ada. Salah satu contoh, dalam industri tanaman hias dunia Singapura merupakan salah satu negara yang unggul dalam produksi anggrek dan menjadi salah satu eksportir utama anggrek potong. Singapura banyak mengimpor anggrek seedling dari Indonesia
dan kemudian mengekspornya kembali ke negara lain dalam bentuk bunga potong maupun tanaman dewasa. Selain itu Singapura juga maju dalam teknologi persilangan anggrek, sehingga mampu menghasilkan anggrek-anggrek jenis baru dengan kualitas tinggi. Singapura mampu menguasai 15 persen pangsa pasar tanaman hias di dunia. Anggrek yang dihasilkan Singapura terkenal dengan keindahannya dan kualitasnya yang baik sehingga mempunyai daya tahan yang relatif lama terutama untuk anggrek potong. Di tahun 2004, nilai ekspor anggrek dan tanaman hias lain Singapura mencapai US$ 56 juta. Wilayah ekspor tanaman hias Singapura mencakup lebih dari 30 negara di dunia. Jepang merupakan negara tujuan ekspor utama Singapura. Nilai ekspor Singapura ke Jepang mencapai US$ 18 juta atau 63 persen dari total ekspor Singapura. Selain Jepang, wilayah ekspor Singapura juga meliputi Australia, Yunani, Amerika Serikat dan Kanada. Perkebunan anggrek terbesar di Singapura adalah Mandai Argotechnology Park dan dibangun diatas lahan seluas 43 Ha. Perkebunan anggrek tersebut mempunyai koleksi sekitar 2 juta tanaman anggrek dan mampu menghasilkan 20 juta tangkai anggrek setiap tahunnya. Singapura menargetkan produksi anggrek di negaranya dapat memenuhi permintaan pasar baik di tingkat pasar domestik maupun luar negeri. Lebih dari setengah jumlah anggrek yang diekspor ke luar negeri diserap oleh pasar Jepang, Taiwan, Australia dan Amerika Serikat. Dalam program Singapore Tourism Board, pemerintah Singapura menetapkan sentra perkebunan anggrek sebagai edu-tourism farm. Pemerintah negara Singapura cukup serius mengembangkan industri tanaman hias dalam negeri, terutama tanaman anggrek. Proses produksi anggrek
sampai dengan penanganan pasca panen dilakukan dibawah pengawasan pemerintah. Dengan adanya fasilitas penunjang yang modern dan kemampuan produksi yang baik, Singapura menjadi salah satu kompetitor utama dalam pedagangan tanaman hias dunia di kawasan Asia Tenggara. Singapura merupakan salah satu negara pesaing Indonesia dalam ekspor tanaman hias, terutama anggrek. Pada tahun 2000, Indonesia mengekspor tanaman dan benih anggrek ke negara Singapura senilai US$ 52.211. Sementara itu, pada tahun yang sama Indonesia mengimpor tanaman dan benih anggrek dari Singapura senilai US$ 119.163. Persaingan yang tinggi dalam industri tanaman hias ditambah dengan melimpahnya produk impor yang lebih berkualitas, mengakibatkan harga tanaman hias (terutama anggrek) di tingkat petani semakin dihargai rendah, sehingga menyebabkan usahatani anggrek semakin terpuruk. Ekspor anggrek Indonesia ke Singapura berfluktuatif setiap tahunnya. Volume ekspor anggrek terbesar yakni tahun 2006 jumlahnya mencapai 239.019 Kg. Sementara itu volume ekspor anggrek terendah yakni pada tahun 1999 sebesar 760 Kg. Pada tahun 2004 total volume ekspor tanaman hias Indonesia ke Singapura sebesar 1.109.691 Kg. Dari total volume ekspor tanaman hias ke Singapura, ekspor anggrek sebesar 18.170 Kg dengan nilai US$ 13.669. Tahun 2005, volume ekspor anggrek menurun menjadi 4.394 Kg dengan nilai US$ 23.223 dan kembali meningkat di tahun 2006. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Singapura tahun 1996-2006 dapat dilihat pada Tabel 5. Data perkembangan ekspor tanaman hias Indonesia ke Singapura yang ditampilkan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa berdasarkan perolehan nilai ekspor tanaman hias pasca krisis ekonomi, kinerja ekspor tanaman hias Indonesia ke
Singapura berfuktuatif setiap tahunnya. Pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, Indonesia lebih tinggi dalam perolehan nilai ekspor tanaman hias dibandingkan Thailand. Namun memasuki tahun 2003 hingga 2006 perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Singapura jauh di bawah Thailand. Tahun 2006, nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Singapura sebesar 2,34 persen dari total nilai ekspor tanaman hias ke dunia. Tabel 6. Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia dan Thailand ke Singapura Tahun 1996-2006 Negara Tahun
Thailand
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1.255.060 1.156.604 1.120.528 643.433 791.118 922.348 930.310 1.323.727 2.048.821 2.111.819 2.248.649
Indonesia Nilai (US$) 1.734.626 326.408 222.417 2.535.462 1.287.697 1.373.220 1.003.419 1.022.595 863.162 943.898 648.091
Sumber : UNComtrade, 2007
Dalam industri tanaman hias, Singapura mampu bersaing dengan Thailand dalam menghasilkan tanaman hias yang berkualitas. Singapura mempunyai reputasi yang baik di mata dunia sebagai negara produsen anggrek yang mempunyai kualitas tinggi. Selain itu, Singapura merupakan pusat distribusi tanaman hias untuk kawasan Asia Tenggara yang menjadi kunci dalam hubungan perdagangan internasional. Kemajuan industri tanaman hias di Singapura dan Thailand menjadikan kedua negara tersebut sebagai eksportir terbesar untuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
5.1.4 Perkembangan Industri Tanaman Hias Amerika Serikat Negara Amerika Serikat secara geografis berada di kawasan Amerika bagian utara. Amerika Serikat memiliki jumlah penduduk yang sangat tinggi, yakni mencapai 298 juta jiwa pada tahun 2006 dengan jumlah angkatan kerja kurang lebih 149 juta jiwa. Selain negara yang memiliki populasi terbesar, Amerika Serikat juga memiliki tingkat pendapatan per kapita paling tinggi dibanding Belanda dan Jepang. Tahun 2005, pendapatan per kapita Amerika Serikat sebesar US$ 41.768 dan pada tahun 2006 meningkat menjadi US$ 44.970. Dalam kegiatan perdagangan perdagangan dunia, Amerika Serikat menduduki peringkat pertama untuk ekspor jasa komersial dan menjadi peringkat kedua untuk ekspor merchandise. Namun Amerika Serikat juga menduduki peringkat utama impor jasa komersial dan merchandise. Hal tersebut menunjukkan bahwa Amerika Serikat sangat aktif melakukan perdagangan internasional. Mitra dagang ekspor utama Amerika Serikat antara lain Kanada (23 persen), Uni-Eropa (20,6 persen), Meksiko (13,3 prsen), Jepang (6,1 persen) dan China (4,6 persen). Dari produk yang diekspor Amerika Serikat, komposisi ekspor produk pertanian sebesar 9,2 persen, terbesar kedua setelah produk manufaktur sebesar 81 persen dan bahan bakar sebesar 5,6 persen. Dalam industri tanaman hias Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat konsumsi yang tinggi terhadap bunga potong. Tahun 2006 nilai konsumsi bunga potong Amerika Serikat mencapai US$ 1,15 juta. Besarnya tingkat konsumsi bunga potong Amerika Serikat, sebagian besar dipenuhi dengan impor. Tahun 2006 Amerika Serikat mengimpor kurang lebih tiga milyar ikat bunga potong senilai US$ 768 juta, sementara itu untuk ekspor bunga potong
Amerika Serikat nilainya hanya sebesar US$ 27 juta. Jenis bunga potong yang paling diminati dan paling tinggi konsumsinya di Amerika Serikat adalah lili. Tingkat konsumsi lili di tahun 2006 sebesar 66 persen dari total konsumsi tanaman hias Amerika Serikat, sementara itu 34 persen lainnya merupakan tingkat konsumsi mawar dan tulip. Nilai impor bunga potong Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman pot maupun tanaman hias daun. Tahun 1996 Amerika Serikat mengimpor bunga potong sebanyak 30 juta tangkai dan meningkat menjadi 43 juta tangkai di tahun 2006. Hampir semua jenis bunga potong meningkat kuantitas impornya, seperti lili, tulip, anggrek, krisan, anyelir dan mawar. Nilai impor bunga potong Amerika Serikat pada tahun 2006 sebesar US$ 768 juta, meningkat dari US$ 610 juta pada tahun 2000. Di sisi lain nilai ekspor bunga potong Amerika Serikat mengalami penurunan sejak tahun 2000 sampai dengan 2006. Tahun 2000 nilai ekspor bunga potong Amerika Serikat mencapai US$ 39 juta, namun pada tahun 2006 nilainya turun menjadi US$ 27 juta. Penurunan ekspor bunga potong Amerika Serikat disebabkan oleh jumlah produksinya yang menurun setiap tahun. Amerika Serikat hanya unggul dalam produksi lili dan tulip sehingga produksinya meningkat. Sementara itu produksi bunga potong lainnya seperti anggrek, mawar, krisan dan anyelir berfluktuasi setiap tahunnya dan cenderung menurun. Produksi anggrek potong di Amerika Serikat sejak tahun 1996 sampai tahun 2003 mengalami peningkatan, namun produksinya menurun pada tahun 2004 sampai 2006. Tahun 2003 produksi anggrek potong Amerika Serikat sebesar 12 juta tangkai dan menurun jumlahnya menjadi 9 juta tangkai pada tahun 2006.
Disisi lain, Amerika Serikat mengimpor anggrek potong senilai US$ 4,6 juta di tahun 2000 dan meningkat menjadi US$ 10 juta tahun 2006. Amerika Serikat mengimpor tanaman hias yang berasal dari banyak negara di belahan dunia. Untuk kawasan Asia Tenggara, eksportir terbesar bunga potong ke Amerika Serikat adalah negara Thailand dan Singapura. Nilai impor bunga potong Amerika Serikat pasca krisis moneter meningkat setiap tahunnya. Nilai impor bunga potong Amerika Serikat dari kawasan Asia Tenggara tahun 2006 sebesar US$ 7,9 juta. Nilai impor bunga potong dari Thailand sebesar US$ 7 juta dan Singapura sebesar US$ 0,4 juta. Berikut ini adalah tabel perkembangan nilai ekspor tanaman hias Indonesia dan Thailand ke Amerika Serikat yang ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia dan Thailand ke Amerika Serikat Tahun 1996-2006 Negara Tahun
Thailand
Indonesia Nilai (US$)
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
8.378.921 7.967.026 6.130.691 5.876.846 8.084.792 9.617.725 11.409.504 13.980.301 14.174.970 16.773.230 19.474.664
183.894 100.508 258.224 906.596 1.125.225 1.424.717 1.682.722 1.384.982 1.973.566 2.158.730 2.290.694
Sumber : UNComtrade, 2007
Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa kinerja ekspor tanaman hias Indonesia ke Amerika Serikat cenderung meningkat setiap tahunnya. Namun demikian jika dibandingkan dengan Thailand, perolehan nilai ekspor tanaman hias
Indonesia ke Amerika Serikat jauh lebih kecil. Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor kedua Thailand setelah Jepang. Tahun 2006, ekspor tanaman hias Thailand ke Amerika Serikat sebesar 20,3 persen dari total ekspor tanaman hias ke dunia. Kinerja ekspor anggrek Thailand ke Amerika Serikat selalu meningkat setiap tahunnya. Tahun 2002 sampai dengan tahun 2005 volume ekspor anggrek Thailand ke Amerika Serikat berturut-turut adalah 297 ton, 344 ton, 331 ton dan 417 Ton. Pada tahun 2006 Thailand mampu mengekspor anggrek ke Amerika Serikat sebanyak 783 Ton dengan nilai US$ 4,6 juta, sementara itu Indonesia hanya mampu mengekspor anggrek sebanyak 21.333 Kg senilai US$ 217.951. Kinerja ekspor anggrek Indonesia ke Amerika Serikat berfluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2000, Indonesia mengekspor anggrek ke Amerika Serikat sebanyak 9.550 Kg, hingga tahun 2006 peningkatan volumenya hanya mencapai 11.783 Kg. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi anggrek, Amerika Serikat mengimpor tanaman anggrek dari beberapa negara antara lain Taiwan, Thailand, Belanda, Canada, China dan Korea Selatan. Diantara beberapa negara eksportir anggrek tersebut, negara Taiwan, Thailand dan Canada merupakan eksportir terbesar. Tahun 2006 kuantitas impor anggrek dari Taiwan, Thailand dan Canada berturut-turut yakni 1.103 ton, 783 ton dan 612 ton.
5.1.5 Perkembangan Industri Tanaman Hias Belanda Belanda merupakan negara kaya yang memiliki tingkat pendapatan per kapita yang tinggi setelah Amerika Serikat. Tahun 2005 pendapatan per kapita Belanda mencapai US$ 38.296 dan meningkat menjadi US$ 42.670 tahun 2006. Tingkat inflasi di Belanda relatif rendah, rata-rata per tahunnya sebesar 1,6 persen
dari tahun 2004 sampai tahun 2006. Jumlah penduduk Belanda tahun 2006 mencapai 16,3 juta jiwa dengan tingkat pengangguran yang rendah. Dalam industri tanaman hias dunia, Belanda berada di peringkat pertama sebagai negara eksportir tanaman hias. Belanda sangat unggul dalam memproduksi tanaman hias. Hampir semua jenis tanaman hias mampu diproduksi Belanda. Pemerintah Belanda sangat serius dalam menangani sektor pertaniannya, salah satu bentuk keseriusannya adalah dengan memberikan subsidi untuk kegiatan produksi pertanian. Nilai ekspor tanaman hias Belanda ke dunia mencapai US$ 7 miliar. Negara tujuan ekspor utama Belanda yakni Jerman dan Inggris. Tahun 2006 nilai ekspor tanaman hias Belanda ke kedua negara tersebut masing-masing mencapai lebih dari US$ 1 miliar. Setiap tahunnya, Belanda mensuplai tanaman hias ke Jerman lebih dari 170.000 ton. Selain Belanda, negara lain yang menjadi eksportir tanaman hias terbesar yakni Columbia, Kenya, Israel dan Ekuador. Diantara negara-negara eksportir tanaman hias terbesar di dunia, posisi Belanda berada di tingkat teratas. Belanda menguasai pasar tanaman hias dunia sekitar 65 persen. Negara Belanda terkenal dengan bunga tulipnya. Namun demikian hampir semua jenis tanaman hias mampu diproduksi di Belanda. Pemerintah Belanda selalu mengawasi ekspor dan pelelangan tanaman hias. Belanda mempunyai sistem distribusi yang baik, baik melalui jalur darat maupun jalur udara. Jika di Indonesia penjual tanaman hias umumnya berada di pinggir jalan, lain halnya dengan pedagang tanaman hias di Belanda. Di Belanda, tanaman hias tidak dijajakan di pinggiran jalan, melainkan di pertokoan maupun di supermarket yang khusus menjual tanaman hias. Dengan demikian konsumen
akan mendapatkan kenyamanan serta kepuasan dalam berbelanja. Untuk menjamin ketersediaan produk, supermarket membeli langsung tanaman hias dari suplier besar dengan sistem kontrak jangka panjang. Bagi bangsa Belanda, tanaman hias bukan hanya sekedar aksesori rumah tinggal melainkan sudah menjadi kebutuhan hidup sehari-hari sebagai pengganti materi dalam menjalin hubungan sosial. Pemerintah negara Belanda sangat serius menggarap potensi tanaman hias yang dimiliki negaranya. Salah satu bentuk keseriusan itu adalah dengan mengadakan pameran bunga internasional setiap 10 tahun sekali yang didukung oleh instansi pemerintah dan pihak swasta. Tujuan dari pameran tersebut adalah untuk mengingatkan masyarakatnya akan kepedulian terhadap keindahan lingkungan. Selama pameran berlangsung, diadakan demonstrasi varietas baru dan rekayasa genetika tanaman hias dan bunga. Tanaman anggrek begitu diminati hampir di seluruh negara, begitu pula di Belanda. Dengan kemajuan teknologi rekayasa genetika, anggrek yang semula merupakan tanaman khas negara tropis, kini anggrek dapat dibudidayakan di negara empat musim. Di Belanda pengelolaan tanaman hias dilakukan dengan penerapan teknologi yang sangat canggih. Mulai dari pembenihan, pembibitan dan penanaman dalam pot untuk pembesarannya dilakukan bukan dengan tenaga manusia, melainkan dengan menggunakan robot. Tahun 2004, tanaman anggrek menjadi populer di pasar tanaman hias Belanda. Pasar Belanda cenderung lebih menyukai anggrek Phalaenopsis diantara berbagai jenis anggrek lainnya. Hal itu dapat dilihat dari tingkat penjualan anggrek pot Phalaenopsis lebih tinggi dibandingkan anggrek jenis lain. Di Belanda terdapat 300 pengusaha anggrek pot dan 90 diantaranya adalah
pengusaha yang khusus membudidayakan Phalaenopsis. Tahun 2003, Belanda mampu memproduksi 18 juta pot anggrek Phalaenopsis. Tingkat penjualan anggrek Phalaenopsis meningkat sebesar 33 persen dari tahun 2002 ke tahun 2003. Harga anggrek di Belanda relatif lebih tinggi dibandingkan tanaman hias lainnya. Satu pot anggrek Phalaenopsis ukuran 12 cm di tingkat pelelangan senilai E 4,90 dan setelah di pasarkan berharga E 7,50 sampai E 25, bahkan ada yang mencapai harga E 50. Tabel 8. Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia dan Thailand ke Belanda Tahun 1996-2006 Negara Tahun
Thailand
Indonesia Nilai (US$)
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
3.328.555 3.293.640 3.564.633 1.506.826 2.185.765 2.133.971 3.297.372 3.781.919 3.588.013 4.861.520 4.287.300
99.067 15.442 377.159 1.843.730 1.064.022 1.346.493 868.358 1.284.325 959.746 1.544.275 2.325.720
Sumber : UNComtrade, 2007
Tahun 2006 Belanda merupakan negara tujuan ekspor tanaman hias Indonesia dengan nilai terbesar ketiga setelah Korea. Begitu pula dengan Thailand, Belanda merupakan salah satu dari lima negara tujuan ekspor terbesar tanaman hias. Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Belanda cenderung mengalami peningkatan meskipun pada tahun-tahun tertentu mengalami penurunan. Tahun 2006, perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Belanda sebesar 15 persen dari total nilai
ekspor tanaman hias Indonesia ke dunia. Di tahun yang sama, kontribusi nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Belanda sebesar 5,06 persen dari total nilai ekspor tanaman hias Thailand ke dunia. Kinerja
ekspor
anggrek
Indonesia
ke
Belanda
setiap
tahunnya
berfluktuatif. Namun demikian, volume ekspor anggrek pada tahun 2006 menurun apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tahun 2005, Indonesia mengekspor anggrek ke Belanda sebanyak 129.049 Kg senilai US$ 92.015 dan tahun 2006 jumlahnya menurun menjadi 31.218 Kg senilai US$ 56.040. Indonesia mengalami penurunan kuantitas ekspor anggrek terbesar ke Belanda pada tahun 2004, yakni jumlahnya hanya sebanyak 14.167 Kg dengan nilai US$ 47.390. Saat ini pemerintah Indonesia mengupayakan agar komoditi tanaman hias dan bunga potong Indonesia yang masuk ke Belanda jumlahnya dapat ditingkatkan. Negara Belanda merupakan pasar yang potensial bagi Indonesia. Hal itu dikarenakan Belanda merupakan pintu masuk perdagangan tanaman hias ke Uni Eropa.
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1
Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia Daya saing suatu produk maupun komoditi suatu negara dapat diukur
dengan keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Pada penelitian ini daya saing komoditi tanaman hias Indonesia diukur dari sisi keunggulan komparatifnya saja. Analisis keunggulan komparatif pada penelitian ini menggunakan metode analisis Revealed Comparative Advantage atau RCA. Nilai RCA yang diperoleh dapat menggambarkan kinerja ekspor tanaman hias Indonesia. Nilai RCA berkisar antara nol sampai tak hingga. Jika nilai RCA lebih dari satu maka maka dianggap memiliki kinerja ekspor yang baik dan sebaliknya. Komoditi dengan nilai RCA lebih dari satu dikatakan memiliki daya saing atau memiliki keunggulan komparatif. Perkembangan pangsa ekspor relatif komoditi tanaman hias Indonesia dapat diketahui dengan perhitungan indeks RCA tanaman hias antara periode sekarang dan periode sebelumnya. Nilai indeks RCA yang lebih dari satu menunjukkan bahwa ekspor tanaman hias Indonesia mengalami peningkatan relatif dibandingkan negara-negara lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pangsa pasar tanaman hias Indonesia di negara tujuan meningkat.
6.1.1 Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Jepang Berdasarkan hasil perolehan nilai RCA dapat diketahui bahwa Indonesia tidak mempunyai keunggulan komparatif pada komoditi tanaman hias di pasar Jepang. Hal itu terlihat dari nilai RCA yang kurang dari satu selama periode 1996-
2006. Nilai RCA tanaman hias Indonesia yaitu dengan kisaran angka 0,015 sampai dengan 0,308. Sementara itu, pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di pasar Jepang juga relatif kecil dengan jumlah yang kurang dari satu persen. Hal ini dikarenakan kontribusi nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang relatif kecil dibandingkan nilai total ekspor Indonesia ke Jepang. Hal inilah yang menjadi faktor utama mengapa tanaman hias Indonesia tidak mempunyai daya saing di Jepang. Sementara itu, komoditi tanaman hias Thailand mempunyai keunggulan komparatif cukup baik di pasar Jepang. Hal tersebut ditunjukkan dari perolehan nilai RCA yang selama kurun waktu 11 tahun selalu lebih besar dari satu. Nilai RCA tanaman hias Thailand berkisar antara 1,638 sampai 3,141. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand di pasar Jepang lebih besar dibandingkan Indonesia. Periode 1996 sampai dengan 1998, pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand di Jepang sebesar lebih dari delapan persen. Kemudian mengalami penurunan menjadi empat persen pada periode 1999 dan meningkat menjadi enam persen di akhir periode. Melihat tingginya nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Jepang yang kemudian tercermin dalam perolehan nilai RCA, maka Thailand merupakan kompetitor utama Indonesia dalam mengekspor tanaman hias ke Jepang. Kontribusi nilai ekspor tanaman hias Thailad ke Jepang dibandingkan dengan nilai total ekspornya relatif lebih besar, sehingga hal inilah yang menjadi faktor utama daya saing tanaman hias Thailand di Jepang. Perolehan nilai RCA dan indeks RCA negara Indonesia dan Thailand dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 9. Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Jepang Tahun 1996-2006 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
RCA 0,046 0,038 0,015 0,083 0,083 0,103 0,239 0,197 0,308 0,176 0,184
Indonesia Indeks RCA 0,826 0,395 5,533 1 1,241 2,320 0,824 1,563 0,571 1,045
RCA 3,007 3,141 3,050 1,638 1,751 1,727 1,906 1,956 1,830 2,351 2,283
Thailand Indeks RCA 1,045 0,971 0,537 1,068 0,986 1,104 1,026 0,936 1,285 0,971
Analisis yang lebih spesifik berdasarkan masing-masing periode dapat dijelaskan sebagai berikut :
Periode 1996-1999 Indeks RCA Indonesia periode 1996-1998 adalah kurang dari satu yakni
sebesar 0,826 dan 0,395. Rendahnya indeks RCA tersebut menunjukkan daya saing tanaman hias Indonesia melemah dan telah terjadi penurunan pangsa pasar. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia tahun 1997 turun sebesar US$ 213.115 atau 28,3 persen dari tahun sebelumnya. Pada saat yang bersamaan, nilai impor tanaman hias Jepang juga mengalami penurunan sebesar US$ 57,863 juta atau 12,9 persen. Pada tahun 1998 dimana sedang terjadi krisis ekonomi moneter, daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Jepang mencapai tingkat terendah yakni sebesar 0,015. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang turun sebesar US$ 366.208 atau 67,8 persen dari tahun sebelumnya. Pada periode ini juga nilai impor tanaman hias Jepang menurun sebesar US$ 36,85 juta atau 9,4 persen. Untuk dapat mempertahankan pangsa nilai ekspor tanaman hias, Indonesia harus mampu
mengekspor tanaman hias ke Jepang sebesar (100%-9,4%) x US$ 539.815 = US$ 489.072, namun realisasinya Indonesia hanya mampu mengekspor senilai US$ 173.607. Hal ini menunjukkan bahwa sebesar US$ 315.465 atau 0,05 persen pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Jepang beralih ke negara pesaing. Tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mengalami masa recovery atau pemulihan. Kondisi industri tanaman hias dalam negeri pun kembali membaik yang dicerminkan dari peningkatan nilai ekspor tanaman hias ke negara tujuan, termasuk Jepang. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang naik sebesar US$ 800 ribu atau lebih dari 500 persen, sementara itu impor tanaman hias Jepang naik sebesar 8,37 persen. Indeks RCA menguat dengan nilai sebesar 5,533 yang berarti telah terjadi peningkatan pangsa pasar. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Jepang naik menjadi 0,28 persen atau naik sebesar US$ 879.323 terhadap impor tanaman hias Jepang. Indeks RCA tanaman hias Thailand tahun 1997 menguat dengan nilai sebesar 1,045. Namun pada tahun 1998 sampai tahun 1999, daya saing tanaman hias Thailand di pasar Jepang melemah yang ditunjukkan dari perolehan nilai indeks RCA sebesar 0,971 dan 0,537. Nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Jepang dari tahun 1996 sampai dengan tahun 1999 mengalami penurunan. Tahun 1996 nilai ekspor tanaman hias Thailand sebesar US$ 39 juta, namun sampai dengan tahun 1999 nilainya turun menjadi US$ 16 juta. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand pada periode 1996-1998 ratarata sebesar 8,8 persen terhadap nilai impor tanaman hias Jepang. Pada periode tersebut pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand tidak mengalami penurunan meskipun nilai ekspornya menurun. Hal ini dikarenakan penurunan nilai impor
tanaman hias Jepang lebih besar dari penurunan ekspor tanaman hias Thailand. Di tahun 1999 pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand turun menjadi 4,36 persen. Hal ini dikarenakan penurunan nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Jepang cukup signifikan yakni hampir mencapai 47 persen. Dengan kata lain, Thailand kehilangan pangsa nilai ekspor tanaman hias ke Jepang senilai US$ 17,3 juta yang beralih ke negara pesaing.
Periode 2000-2006 Pada tahun 2000 nilai indeks RCA tanaman hias Indonesia sebesar satu.
Artinya tidak terjadi peningkatan maupun penurunan daya saing. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang naik sebesar 14,5 persen, sedangkan impor tanaman hias Jepang naik sebesar 1,9 persen. Di tahun 2001, daya saing tanaman hias Indonesia menguat dengan nilai indeks RCA sebesar 1,241. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia meningkat menjadi 0,38 persen seiring dengan peningkatan nilai ekspornya yakni sebesar 18 persen. Tahun 2002, daya saing tanaman hias Indonesia kembali menguat dengan nilai 2,32. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia melonjak naik menjadi senilai US$ 3,2 juta dari US$ 1,4 juta pada tahun sebelumnya. Pada periode ini Indonesia memperoleh peningkatan pangsa nilai ekspor tanaman hias sebesar US$ 1,7 juta. Tahun 2003 daya saing tanaman hias Indonesia menurun dengan nilai indeks RCA kurang dari satu. Pada saat itu diduga Indonesia telah kehilangan pangsa pasar tanaman hias di Jepang. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia turun menjadi US$ 2,8 juta (11 persen), sementara itu nilai impor tanaman hias Jepang justru meningkat sebesar 8,6 persen. Di tahun berikutnya, daya saing tanaman hias Indonesia menguat dengan nilai 1,563. Nilai ekspor tanaman hias kembali
meningkat dan naik sebesar 12,6 persen. Daya saing tanaman hias Indonesia kembali menurun tahun 2005 yang mengakibatkan Indonesia kehilangan pangsa nilai ekspor sebesar US$ 379.640. Tahun 2006 nilai indeks RCA tanaman hias Indonesia sebesar 1,045. Hal ini berarti Indonesia telah mampu meningkatkan daya saing dan pangsa pasar tanaman hias di Jepang. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia kembali mencapai angka US$ 3 juta dengan pangsa nilai ekspor sebesar 0,7 persen. Kondisi daya saing tanaman hias Thailand di pasar Jepang pada periode 2000-2006 berfluktuatif setiap tahunnya. Daya saing tanaman hias Thailand menguat di tahun 2000 dengan nilai lebih dari satu persen. Namun pada tahun selanjutnya, daya saing tanaman hias Thailand kembali menurun dengan nilai 0,986. Menurunnya daya saing tanaman hias Thailand di pasar Jepang yang dicerminkan dari nilai indeks RCA, seharusnya mencerminkan terjadi penurunan pangsa pasar. Akan tetapi kondisi yang terjadi tidak demikian, nilai ekspor tanaman hias Thailand justru meningkat sebesar satu persen dan pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand naik menjadi sebesar 4,8 persen. Hal ini dikarenakan pada periode yang sama, terjadi penurunan nilai total ekspor Thailand, nilai total impor dan nilai impor tanaman hias Jepang. Pada periode 2002-2005, nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Jepang meningkat dengan jumlah yang cukup signifikan. Tahun 2002 nilai ekspor tanaman hias Thailand sebesar US$ 21 juta, dan sampai dengan tahun 2005 nilainya naik hingga mencapai US$ 31,7 juta. Peningkatan nilai ekspor tanaman hias Thailand tidak selalu berimplikasi pada peningkatan daya saingnya. Tahun 2004, daya saing tanaman hias Thailand menurun dengan nilai indeks RCA
sebesar 0,936. Hal ini dikarenakan peningkatan nilai ekspor tanaman hias Thailand diiringi dengan peningkatan yang lebih besar pada nilai impor tanaman hias Jepang. Akibatnya, Thailand kehilangan pangsa nilai ekspor tanaman hias di pasar Jepang senilai US$ 1,8 juta. Secara hipotetik, untuk dapat mempertahankan pangsa nilai ekspornya Thailand butuh mengekspor tanaman hias senilai US$ 26,8 juta, namun aktualnya Thailand hanya mampu mengekspor senilai US$ 24,9 juta. Di akhir periode, nilai ekspor tanaman hias turun menjadi US$ 31,3 juta yang berdampak pada menurunnya daya saing tanaman hias Thailand di pasar Jepang. Pada periode yang sama nilai impor tanaman hias Jepang meningkat sebesar 3,6 persen. Dengan demikian, Thailand telah kehilangan pangsa nilai ekspor tanaman hias sebesar US$ 1,5 juta yang beralih ke negara pesaing.
6.1.2 Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Korea Berdasarkan hasil estimasi nilai RCA diketahui bahwa Indonesia mempunyai keunggulan komparatif yang cukup baik pada komoditi tanaman hias di pasar Korea. Hal itu terlihat dari perolehan nilai indeks RCA Indonesia yang pada tahun-tahun tertentu terdapat nilai lebih dari satu selama periode 1996-2006. Meskipun demikian padas beberapa tahun daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea melemah dengan nilai indeks RCA kurang dari satu. Adapun perolehan nilai indeks RCA yaitu dengan kisaran angka 0,927 sampai dengan 1,839. Perolehan pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Korea berfluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2000, pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Korea mencapai angka tertinggi yakni sebesar tujuh persen. Sementara tahun 1998 pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia berada pada
angka terendah yakni hanya sebesar 0,37 persen. Pada periode 1999-2006 kontribusi nilai ekspor tanaman hias Indonesia terhadap nilai total ekspor ke Korea meningkat. Hal ini mengakibatkan nilai RCA yang diperoleh pada periode tersebut menjadi lebih besar yakni lebih dari satu. Hasil estimasi nilai indeks RCA Thailand pada periode yang sama, menunjukkan bahwa kinerja ekspor tanaman hias Thailand ke Korea berfluktuasi setiap tahunnya. Dengan demikian daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea pun berfluktuasi. Di beberapa tahun daya saing tanaman hias Thailand mengalami peningkatan, namun di tahun-tahun tertentu daya saing tanaman hias Thailand menurun. Kisaran angka perolehan nilai indeks RCA Thailand yakni antara 0,312 sampai 1,433. Jika dibandingkan dengan perolehan nilai indeks RCA Indonesia, maka keberadaan tanaman hias Indonesia di pasar Korea mampu bersaing dengan tanaman hias Thailand. Hal tersebut dikarenakan pada tahuntahun tertentu penguasaan pangsa ekspor tanaman hias Indonesia di Korea lebih tinggi dibandingkan Thailand. Hasil perolehan nilai RCA dan indeks RCA Indonesia dan Thailand dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 10. Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Korea Tahun 1996-2006 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
RCA 0,927 0,508 0,134 1,571 2,774 2,099 1,964 1,965 3,144 2,121 1,839
Indonesia Indeks RCA 0,548 0,264 11,723 1,766 0,757 0,936 1 1,6 0,675 0,867
RCA 11,850 9,038 12,95 4,034 4,765 5,645 6,006 6,379 5,056 4,512 4,770
Thailand Indeks RCA 0,763 1,433 0,312 1,181 1,185 1,064 1,062 0,793 0,892 1,057
Analisis yang lebih spesifik berdasarkan masing-masing periode dapat dijelaskan sebagai berikut :
Periode 1996-1999 Indeks RCA pada tahun 1997 sebesar 0,548 (kurang dari satu). Rendahnya
indeks RCA tersebut menunjukkan bahwa daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea menurun dan diduga telah terjadi penurunan pangsa pasar. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Korea turun sebesar US$ 313.153 atau 38,9 persen. Sementara itu impor Korea justru meningkat sebesar 1,29 persen. Indeks RCA Thailand pada tahun 1997 sebesar 0,763. Perolehan nilai indeks RCA tersebut menunjukkan bahwa daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea juga melemah. Tahun 1997 nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Korea turun sebesar 15,15 persen. Indeks RCA Thailand pada tahun 1997 sebesar 0,763. Perolehan nilai indeks RCA tersebut menunjukkan bahwa daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea juga melemah. Tahun 1997 nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Korea turun sebesar 15,15 persen. Daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea kembali melemah pada tahun 1998. Dampak yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi moneter mengakibatkan ekspor tanaman hias Indonesia ke Korea menurun tajam sebesar 90,3 persen. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Korea menurun sebesar 0,85 persen dari tahun sebelumnya. Di sisi lain, impor tanaman hias Korea juga mengalami penurunan senilai US$ 27,4 juta atau 68 persen. Pada tahun 1998 daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea justru meningkat yang ditunjukkan dengan indeks RCA sebesar 1,433. Namun demikian, nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Korea turun sebesar US$ 1,8 juta atau 56,58 persen.
Meskipun ekspor tanaman hias Thailand ke Korea mengalami penurunan, namun daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea justru meningkat. Hal itu dikarenakan penurunan impor tanaman hias Korea lebih besar dari penurunan ekspor tanaman hias Thailand. Melemahnya daya saing tanaman hias Indonesia pada periode 1996-1998 dikarenakan kontribusi nilai ekspor tanaman hias Indonesia terhadap nilai total ekspor ke Korea sangat kecil. Hal ini dikarenakan pada periode tersebut kuantitas ekspor tanaman hias Indonesia belum sebesar pada periode 2000-2006. Hal lain yang mempengaruhi kecilnya perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia yakni kondisi nilai tukar USD terhadap Rupiah masih relatif rendah jika dibandingkan periode 1998-2006. Sedangkan pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis perekonomian yang berdampak pada semua sektor termasuk usaha tanaman hias. Dengan demikian daya saing tanaman hias Indonesia pada periode 1996-1998 tidak mempunyai keunggulan komparatif di pasar Korea Pada tahun 1999 daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea meningkat dengan indeks RCA sebesar 11,723. Ekspor tanaman hias Indonesia ke Korea meningkat sebesar US$ 983.029 (lebih dari 2.000 persen) dan impor tanaman hias Korea meningkat sebesar 83,7 persen. Untuk mempertahankan besarnya pangsa nilai ekspor tanaman hias seperti tahun lalu, Indonesia hanya butuh mengekspor tanaman hias ke Korea senilai US$ 87.553. Realisasinya Indonesia mampu mengekspor hingga senilai US$ 1.030.690. Artinya, Indonesia memperoleh peningkatan pangsa nilai ekspor tanaman hias sebesar US$ 943.137 yang beralih dari negara pesaing.
Tahun 1999 nilai indeks RCA Thailand mengalami penurunan menjadi 0,312. Hal tersebut memperlihatkan daya saing dan pangsa pasar tanaman hias Thailand di pasar Korea mengalami penurunan. Nilai ekspor tanaman hias Thailand turun hingga 48,5 persen, padahal Thailand butuh mengekspor tanaman hias senilai US$ 2,585 juta untuk mempertahankan pangsa nilai ekspornya. Realisasinya, Thailand hanya mampu mengekspor senilai US$ 0,725 juta. Dengan demikian, Thailand kehilangan pangsa nilai ekspor sebesar US$ 1,86 juta. Pada periode ini, daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea lebih tinggi dibandingkan Thailand. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Korea sebesar 4,35 persen, sedangkan Thailand hanya sebesar tiga persen saja.
Periode 2000-2006 Indeks RCA tanaman hias Indonesia tahun 2000 sebesar 1,766 yang
menunjukkan bahwa Indonesia masih mampu mempertahankan daya saing tanaman hias di pasar Korea. Akan tetapi tahun 2001 terjadi penurunan nilai ekspor tanaman hias ke Korea sebesar 22,65 persen yang mengakibatkan melemahnya daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea. Pada tahun 2001 nilai indeks RCA adalah sebesar 0,757 atau turun dari tahun sebelumnya. Di tahun ini impor tanaman hias Korea justru meningkat sebesar US$ 1,5 juta atau 5,28 persen. Pada tahun 2000 nilai indeks RCA Thailand mengalami peningkatan menjadi 1,181. Dengan demikian, daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea kembali menguat. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 48,8 persen. Kendati daya saing tanaman hias Thailand mulai menguat pada periode ini, namun pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Korea lebih tinggi dibandingkan Thailand. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di
Korea sebesar 7,64 persen, sedangkan Thailand hanya 3,75 persen saja. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea masih menguat dengan nilai indeks RCA sebesar 1,185 di tahun 2001. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 37,9 persen. Meskipun pada tahun ini nilai ekspor tanaman hias Indonesia menurun, namun pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Korea sebesar 5,6 persen, lebih tinggi dari Thailand yang hanya sebesar 4,9 persen. Tahun 2002 nilai indeks RCA sebesar 0,936 hal ini menunjukkan bahwa daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea masih melemah. Kendati demikian nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Korea meningkat sebesar 6,95 persen, namun peningkatannya diikuti oleh peningkatan total ekspor Indonesia ke Korea yang lebih besar. Impor tanaman hias Korea meningkat sebesar 13,2 persen. Peningkatan impor tanaman hias Korea yang lebih tinggi dibandingkan ekspor tanaman hias Indonesia mengakibatkan pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia turun sebesar 0,31 persen. Pada tahun 2003 indeks RCA bernilai satu. Hal ini berarti tidak terjadi peningkatan atau penurunan pada daya saing pasar tanaman hias Indonesia di pasar Korea. Pada periode ini penurunan ekspor tanaman hias Indonesia lebih tinggi dibandingkan penurunan impor tanaman hias Korea. Ekspor tanaman hias Indonesia mengalami penurunan sebesar US$ 306.737 atau 16,9 persen. Di sisi lain, penurunan nilai impor tanaman hias Korea sebesar 7,23 persen. Pada tahun 2002 dan 2003 daya saing tanaman hias Thailand masih menguat nilai sebesar 1,064 dan 1,062. Nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Korea meningkat sebesar 27 persen di tahun 2002, namun pada tahun 2003 nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Korea turun sekitar 4,7 persen. Penurunan nilai ekspor tanaman hias Thailand tidak menyebabkan penurunan daya saing. Hal
ini dikarenakan tingkat penurunan ekspor tanaman hias Thailand lebih rendah dibandingkan penurunan impor tanaman hias Korea. Tahun 2004 nilai indeks RCA kembali meningkat menjadi 1,6. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea. Tahun 2004 nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Korea meningkat sebesar 30,94 persen. Pada tahun 2005 nilai indeks RCA turun menjadi 0,675. Daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea kembali mengalami penurunan. Namun demikian nilai ekspor tanaman hias Indonesia justru meningkat sebesar 47,39 persen. Melemahnya daya saing tanaman hias Indonesia dikarenakan kontribusi dari peningkatan nilai ekspor tanaman hias lebih kecil dari peningkatan nilai total ekspornya yang mencapai 107 persen. Nilai impor tanaman hias Korea juga meningkat sebesar 22,72 persen di tahun yang sama. Pada tahun 2004, nilai indeks RCA Thailand turun menjadi 0,793. Nilai ekspor tanaman hias Thailand ke pasar Korea turun sebesar 4,48 persen. Sementara itu di tahun 2005 daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea masih melemah dengan nilai indeks RCA sebesar 0,892. Nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Korea meningkat sebesar 14,4 persen, namun diiringi oleh peningkatan yang lebih besar dari impor tanaman hias Korea dan total ekspor Thailand yakni sebesar 30 persen dan 16,5 persen. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea menguat dengan nilai indeks RCA sebesar 1,057. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 32,2 persen. Untuk mempertahankan pangsa nilai ekspornya Thailand butuh mengekspor tanaman hias ke Korea senilai US$ 2,29 juta. Aktualnya Thailand mampu mengekspor
hingga US$ 2,4 juta. Dengan demikian, maka Thailand memperoleh tambahan pangsa nilai ekspor tanaman hias senilai US$ 128.011. Di akhir periode, daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea masih melemah dengan nilai indeks RCA sebesar 0,867. Pada tahun 2006 nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Korea menurun sebesar 7,2 persen. Di sisi lain impor tanaman hias Korea meningkat sebesar US$ 8,4 juta atau 16,72 persen. Indonesia butuh mengekspor tanaman hias sebesar US$ 3,4 juta. Sementara itu aktualnya Indonesia hanya mampu mengekspor senilai US$ 2,7 juta. Dengan demikian Indonesia kehilangan pangsa nilai ekspor tanaman hias sebesar US$ 697.113 yang diduga beralih ke negara pesaing. Pada akhir periode ini Indonesia masih lebih unggul dalam penguasaan pangsa ekspor tanaman hias di Korea. Meskipun mengalami penurunan pangsa ekspor tanaman hias, namun pangsa ekspor tanaman hias Indonesia di Korea masih lebih tinggi dibandingkan Thailand yakni sebesar 4,57 persen, sedangkan Thailand hanya sebesar 4,1 persen.
6.1.3 Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Singapura Berdasarkan perolehan estimasi nilai RCA diketahui bahwa Indonesia tidak mempunyai keunggulan komparatif yang cukup baik pada komoditi tanaman hias di pasar Singapura. Hal tersebut ditunjukkan dari perolehan nilai indeks RCA Indonesia yang berkisar antara 0,107 sampai 1,341. Tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Singapura melemah dengan nilai kurang dari satu. Daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Singapura menguat pada tahun 1996 dan tahun 1999 yakni sebesar 1,001 dan 1,341, namun kemudian menurun hingga tahun 2006.
Hasil estimasi nilai indeks RCA Thailand menunjukkan bahwa Thailand mempunyai keunggulan komparatif yang lebih baik dibandingkan Indonesia, meskipun pada tahun-tahun tertentu daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura menurun. Nilai RCA Thailand berkisar antara 0,331 sampai 4,65. Sejak tahun 1997 hingga 2003 daya saing tanaman hias Thailand melemah dengan nilai RCA kurang dari satu, namun dari tahun 2004 sampai 2006 daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura mengalami peningkatan. Hasil perolehan nilai RCA dan indeks RCA Indonesia dan Thailand dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 11. Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Singapura Tahun 1996-2006 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
RCA 1,001 0,159 0,107 1,341 0,588 0,693 0,524 0,628 0,622 0,535 0,347
Indonesia Indeks RCA 0,159 0,673 12,53 0,438 1,179 0,756 1,198 0,99 0,86 0,649
RCA 4,65 0,452 0,634 0,331 0,4 0,476 0,468 0,75 1,26 1,26 1,30
Thailand Indeks RCA 0,097 1,402 0,522 1,212 1,19 0,983 1,603 1,684 1 1,032
Analisis yang lebih spesifik berdasarkan masing-masing periode dapat dijelaskan sebagai berikut :
Periode 1996-1999 Tahun 1996 Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk komoditi
tanaman hias di pasar Singapura namun pada tahun 1997 daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Singapura mengalami penurunan yang ditunjukkan oleh nilai indeks RCA 0,159. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia turun sebesar US$ 1,4 juta atau 81 persen. Sebaliknya, impor tanaman hias Singapura meningkat sebesar
0,8 persen. Akibat dari penurunan nilai ekspor tanaman hias, Indonesia kehilangan pangsa nilai ekspor tanaman hias di Singapura sebesar 2,85 persen atau senilai US$ 1,4 juta. Hal ini dikarenakan kuantitas ekspor tanaman hias Indonesia ke Singapura mengalami penurunan yang cukup besar yakni sekitar 80 persen sehingga berdampak pada penurunan nilai ekspor yang diperoleh. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura juga mengalami penurunan dari tahun 1996-1997 dengan nilai indeks RCA sebesar 0,097. Nilai ekspor tanaman hias Thailand turun sebesar US$ 98.456 atau 7,8 persen sedangkan nilai total ekspor Thailand ke Singapura justru meningkat lima persen. Dengan demikian kontribusi ekspor tanaman hias Thailand terhadap nilai total ekspor ke Singapura menjadi lebih kecil dari tahun sebelumnya sehingga nilai RCA Thailand menurun. Pada tahun ini Indonesia dan Thailand mengalami penurunan pangsa nilai ekspor tanaman hias di pasar Singapura. Tahun 1998 daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Singapura masih melemah dengan nilai indeks RCA sebesar 0,673. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia semakin rendah yakni sebesar US$ 222.417, turun sebesar 31,9 persen. Disisi lain, impor tanaman hias Singapura juga mengalami penurunan sebesar 19,2 persen. Nilai ekspor tanaman hias Thailand ke pasar Singapura juga mengalami penurunan sebesar 3,12 persen. Namun demikian hal tersebut tidak menurunkan daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura justru meningkat yang ditunjukkan oleh nilai indeks RCA sebesar 1,402. Hal ini disebabkan oleh penurunan ekspor tanaman hias Thailand lebih rendah dibandingkan penurunan impor tanaman hias Singapura.
Pada tahun 1999 daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Singapura mengalami peningkatan dengan nilai indeks RCA sebesar 12,53. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan yakni sebesar 5,1 persen. Ekspor tanaman hias Indonesia meningkat sebesar US$ 2,3 juta dan nilai total ekspor Indonesia turun sebesar US$ 787,8 juta. Sementara itu, impor tanaman hias Singapura meningkat sebesar 5,73 persen. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura justru mengalami penurunan, dengan nilai indeks RCA sebesar 0,522. Nilai ekspor tanaman hias Thailand turun sebesar 42,5 persen. Pada tahun 1999, daya saing tanaman hias Indonesia di Singapura lebih tinggi dibandingkan dengan Thailand. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia sebesar 5,6 persen, sedangkan pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand sebesar 1,51 persen saja.
Periode 2000-2006 Tahun 2000 nilai indeks RCA kembali mengalami penurunan menjadi
0,43 yang memperlihatkan bahwa daya saing tanaman hias Indonesia di Singapura juga menurun. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia turun sebesar US$ 1,2 juta atau 49 persen. Sementara itu nilai impor tanaman hias Singapura meningkat sebesar 5,46 persen. Nilai indeks RCA Thailand mengalami peningkatan dengan nilai sebesar 1,212. Hal ini berarti daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura mengalami peningkatan. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 23 persen. Meskipun Indonesia mengalami penurunan nilai ekspor tanaman hias ke Singapura, namun pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan Thailand. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia sebesar 2,87 persen, sedangkan Thailand sebesar 1,76 persen.
Pada tahun 2001 daya saing tanaman hias Indonesia mengalami peningkatan. Nilai indeks RCA meningkat menjadi 1,179. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Singapura meningkat sebesar 6,6 persen. Disisi lain, impor tanaman hias Singapura justru menurun sebesar 4,61 persen. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura masih menguat dengan nilai indeks RCA sebesar 1,19. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 16,6 persen. Tahun 2002 daya saing tanaman hias Indonesia mengalami penurunan dengan nilai indeks RCA sebesar 0,756. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia menurun sebesar 27 persen. Hal serupa juga terjadi pada nilai impor tanaman hias Singapura yang turun sebesar 2,63 persen. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura juga mengalami penurunan dengan nilai indeks RCA sebesar 0,983. Melemahnya daya saing tanaman hias Thailand dikarenakan peningkatan ekspor tanaman hias diikuti oleh peningkatan yang lebih besar pada total ekspornya. Nilai ekspor tanaman hias Thailand naik sebesar 0,86 persen, sementara nilai total ekspor Thailand ke Singapura naik sebesar 5,8 persen. Tahun 2003 nilai indeks RCA sebesar 1,198 menunjukkan bahwa daya saing tanaman hias Indonesia mengalami peningkatan. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia meningkat sebesar 1,9 persen dan nilai impor tanaman hias Singapura masih mengalami penurunan yakni sebesar 1,43 persen. Nilai indeks RCA Thailand juga mengalami peningkatan menjadi 1,603 yang memperlihatkan bahwa daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura menguat. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 42,3 persen. Tahun 2004 daya saing tanaman hias Indonesia kembali mengalami penurunan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai indeks RCA sebesar 0,99. Nilai ekspor
tanaman hias Indonesia menurun sebesar 15,6 persen. Disisi lain, impor tanaman hias Singapura juga masih mengalami penurunan sebesar 2,25 persen. Tahun 2005 daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Singapura masih melemah dengan nilai indeks RCA sebesar 0,860. Kendati demikian, nilai ekspor tanaman hias Indonesia justru meningkat sebesar 9,35 persen, namun diiringi dengan peningkatan yang lebih besar pada total ekspor Indonesia ke Singapura sebesar 30,6 persen dan peningkatan impor tanaman hias Singapura sebesar 12,03 persen. Daya saing tanaman hias Thailand tahun 2004 masih menguat dengan nilai indeks RCA sebesar 1,684. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar US$ 0,725 juta atau 54,8 persen. Sementara di tahun 2005 daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura tidak mengalami peningkatan atau penurunan. Hal ini ditunjukkan dari nilai indeks RCA yang bernilai satu. Nilai ekspor tanaman hias Thailand naik sebesar 3,07 persen lebih rendah dari peningkatan impor tanaman hias Singapura. Pada tahun 2006 periode ini daya saing tanaman hias Indonesia masih melemah dengan nilai indeks RCA sebesar 0,649. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia semakin menurun menjadi US$ 648.091 atau turun sebesar 31,3 persen. Disisi lain, nilai impor tanaman hias Singapura meningkat sebesar 11 persen. Indonesia butuh mengekspor tanaman hias senilai US$ 1,04 juta untuk mempertahankan pangsa nilai ekspornya namun realisasinya, nilai ekspor tanaman hias Indonesia lebih rendah dari kebutuhannya. Thailand mampu mempertahankan daya saing tanaman hiasnya di pasar Singapura. Nilai indeks RCA Thailand meningkat menjadi 1,032 dari periode sebelumnya. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 6,48 persen.
Oleh karena peningkatan nilai ekspor Thailand lebih rendah dari peningkatan nilai impor tanaman hias Singapura, maka pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand mengalami penurunan. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura lebih tinggi dibandingkan Indonesia sejak tahun 2004 sampai akhir periode. Nilai ekspor tanaman hias terus menurun sehingga nilainya menjadi kurang dari US$ 1 juta. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Singapura cenderung menurun bahkan semakin rendah dibandingkan Thailand. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand di Singapura sebesar 4,5 persen, sedangkan pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia hanya 1,3 persen saja. Pada periode 2004-2006 tanaman hias Thailand memiliki keunggulan komparatif di pasar Singapura. Pada periode tersebut ekspor tanaman hias Thailand ke Singapura mengalami peningkatan yang cukup signifikan yang juga berdampak pada peningkatan nilai ekspornya. Hal ini diduga karena pada periode tersebut trend tanaman hias yang terjadi adalah Adenium, Euphorbhia dan Aglaonema yang merupakan tanaman hias yang banyak dibudidayakan di Thailand. Dengan demikian ekspor tanaman hias Thailand menjadi meningkat baik ke Singapura maupun ke negara lain.
6.1.4 Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Amerika Serikat Komoditi tanaman hias Indonesia di pasar Amerika Serikat tidak mempunyai keunggulan komparatif. Hal ini ditunjukkan oleh hasil estimasi nilai RCA yang berkisar 0,02 sampai 0,232. Indonesia memiliki pangsa ekspor yang relatif kecil di pasar tanaman hias Amerika Serikat. Selama kurun waktu sepuluh
tahun, pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Amerika Serikat kurang dari satu persen. Tanaman hias Indonesia di pasar Amerika Serikat tidak mempunyai keunggulan komparatif dalam kurun waktu 11 tahun. Meskipun demikian pada periode 2000-2006 telah terjadi peningkatan nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Amerika Serikat yang salah satunya dipengaruhi oleh peningkatan nilai tukar USD terhadap Rupiah. Namun kontribusi nilai ekspor tanaman hias Indonesia terhadap nilai total ekspor ke Amerika Serikat relatif rendah, sehingga dalam ekspor tanaman hias, Indonesia tidak memiliki daya saing. Komoditi tanaman hias Thailand di pasar Amerika Serikat juga tidak mempunyai keunggulan komparatif yang cukup baik. Namun pada periode 2005 dan 2006 perolehan nilai RCA Thailand meningkat menjadi lebih dari satu. Hal ini berarti, pada periode akhir kinerja ekspor tanaman hias Thailand mengalami peningkatan. Perolehan nilai RCA Thailand berkisar antara 0,33 sampai 1,105. Hasil perolehan nilai RCA dan indeks RCA Indonesia dan Thailand dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Amerika Serikat Tahun 1996-2006 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
RCA 0,020 0,011 0,027 0,109 0,123 0,161 0,202 0,168 0,175 0,232 0,227
Indonesia Indeks RCA 0,055 2,455 4,037 1,128 1,308 1,255 0,832 1,042 1,326 0,978
RCA 0,525 0,460 0,330 0,384 0,507 0,642 0,769 0,920 0,714 1,046 1,105
Thailand Indeks RCA 0,876 0,717 1,164 1,320 1,27 1,198 1,196 0,78 1,465 1,056
Analisis yang lebih spesifik berdasarkan masing-masing periode dapat dijelaskan sebagai berikut :
Periode 1996-1999 Nilai indeks RCA tanaman hias Indonesia tahun 1997 sebesar 0,055. Hal
ini menunjukkan bahwa daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Amerika Serikat relatif rendah. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia turun sebesar 45 persen, sementara itu nilai impor tanaman hias Amerika Serikat meningkat sebesar 7,67 persen. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Amerika Serikat juga mengalami penurunan yang ditunjukkan dari penurunan nilai RCA menjadi 0,46 dan nilai indeks RCA sebesar 0,876. Nilai ekspor tanaman hias Thailand turun sebesar 4,9 persen. Tahun 1998 nilai indeks RCA Indonesia mengalami peningkatan menjadi sebesar 2,455. Hal ini berarti diduga telah terjadi peningkatan pangsa pasar tanaman hias Indonesia di pasar Amerika Serikat. Kondisi Indonesia yang berada dalam krisis ekonomi justru meningkatkan semangat para pengusaha tanaman hias untuk mengekspor tanaman hias ke Amerika Serikat. Nilai tukar mata uang USD yang terapresiasi terhadap Rupiah akan menguntungkan eksportir tanaman hias karena berimplikasi pada perolehan nilai ekspor yang tinggi. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia meningkat sebesar 157 persen. Sementara itu nilai impor tanaman hias Amerika Serikat meningkat sebesar 5,96 persen. Nilai indeks RCA Thailand pada tahun 1998 justru mengalami penurunan yang ditunjukkan dari nilai indeks RCA sebesar 0,717. Nilai ekspor tanaman hias Thailand turun sebesar US$ 1,8 juta atau 23 persen. Nilai ekspor tanaman hias Thailand berada di bawah
kebutuhannya. Dengan demikian Thailand kehilangan pangsa nilai ekspor tanaman hias karena beralih ke negara pesaing. Pada tahun 1999 daya saing tanaman hias Indonesia mengalami peningkatan meskipun masih relatif rendah dengan nilai RCA sebesar 0,109. Di sisi lain nilai RCA tanaman hias Thailand di Amerika Serikat lebih besar dengan nilai 0,384. Ekspor tanaman hias Indonesia meningkat menjadi senilai US$ 906.596 sedangkan ekspor tanaman hias Thailand mencapai US$ 5,8 juta.
Periode 2000-2006 Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia di pasar Amerika Serikat
mengalami peningkatan sehingga daya saing tanaman hias Indonesia meningkat dan terjadi peningkatan pangsa pasar. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan nilai RCA dan nilai indeks RCA sebesar 1,128 di tahun 2000. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia periode ini sebesar US$ 1,1 juta atau meningkat sebesar 24 persen. Kinerja ekspor tanaman hias Thailand di pasar Amerika Serikat juga mengalami peningkatan. Tahun ini nilai indeks RCA Thailand sebesar 1,320 yang artinya telah terjadi peningkatan daya saing dan pangsa pasar tanaman hias Thailand. Ekspor tanaman hias Thailand meningkat senilai US$ 2,2 juta atau 37,6 persen. Sementara itu nilai impor tanaman hias Amerika Serikat meningkat sebesar 6,3 persen. Pada tahun 2001 daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Amerika Serikat masih menguat seperti tahun sebelumnya. Nilai indeks RCA sebesar 1,308 menunjukkan bahwa Indonesia mampu meningkatkan pangsa pasar tanaman hias di Amerika Serikat. Peningkatan pangsa pasar tanaman hias di Amerika Serikat juga terjadi pada negara Thailand yang ditunjukkan oleh nilai indeks RCA sebesar
1,27. Tahun 2002 nilai indeks RCA Indonesia masih berkisar lebih besar dari satu yakni sebesar 1,255 yang artinya Indonesia mampu meningkatkan daya saing serta pangsa pasar tanaman hias di pasar Amerika Serikat. Sejalan dengan Indonesia, Thailand juga mampu meningkatkan daya saing serta pangsa pasar tanaman hias di Amerika Serikat. Ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 18,6 persen menjadi US$ 11,4 juta. Pada tahun 2003 daya saing tanaman hias Indonesia mengalami penurunan yang ditunjukkan dari nilai indeks RCA sebesar 0,832. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia ke pasar Amerika Serikat mengalami penurunan sebesar 17,7 persen yang mengakibatkan terjadi penurunan pangsa nilai ekspor. Disisi lain, impor tanaman hias Amerika Serikat meningkat sebesar 10,09 persen. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia sebesar US$ 1,3 juta, sedangkan kebutuhan ekspor untuk tetap mempertahankan pangsanya yakni senilai US$ 1,8 juta. Daya saing tanaman hias Thailand masih mengalami peningkatan dengan nilai indeks RCA sebesar 1,196. Kinerja ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar US$ 2,5 juta atau 22,5 persen. Nilai ekspor tanaman hias Thailand mencapai US$ 13,9 juta, sementara kebutuhan ekspornya sebesar US$ 12,5 juta. Tahun 2004 kinerja ekspor tanaman hias Indonesia meningkat sebesar 42,5 persen sehingga daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Amerika Serikat kembali menguat. Pangsa pasar tanaman hias Indonesia mengalami peningkatan yang ditunjukkan oleh nilai indeks RCA sebesar 1,042. Sebaliknya, daya saing tanaman hias Thailand di pasar Amerika Serikat mengalami penurunan. Nilai indeks RCA Thailand sebesar 0,78. Nilai ekspor tanaman hias Thailand
meningkat sebesar 1,4 persen sementara itu peningkatan impor tanaman hias Amerika Serikat meningkat lebih tinggi yakni sebesar 10,5 persen. Tahun 2005 daya saing tanaman hias Indonesia kembali mengalami peningkatan. Nilai indeks RCA Indonesia sebesar 1,326 menunjukkan bahwa Indonesia telah mampu meningkatkan kembali pangsa pasarnya. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia meningkat sebesar 9,4 persen menjadi senilai US$ 2,15 juta. Daya saing tanaman hias Thailand juga masih menguat dengan nilai RCA 1,046. Artinya, Thailand memiliki keunggulan komparatif cukup baik untuk komoditi tanaman hias di Amerika Serikat. Pada akhir periode, daya saing tanaman hias Indonesia justru mengalami penurunan. Nilai indeks RCA Indonesia yakni sebesar 0,978. Hal ini diakibatkan peningkatan nilai ekspor tanaman hias Indonesia diikuti oleh peningkatan yang lebih besar pada total ekspornya. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia meningkat sebesar 6,1 persen, sementara peningkatan total ekspor Indonesia sebesar 13,8 persen. Daya saing tanaman hias Thailand masih menguat dengan nilai indeks RCA sebesar 1,056. Kinerja ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 16 persen. Sementara itu peningkatan impor tanaman hias Amerika Serikat hanya sebesar 5,55 persen. Nilai RCA Thailand masih berkisar lebih dari satu, artinya Thailand masih memiliki keunggulan komparatif yang cukup baik untuk komoditi tanaman hias di pasar Amerika Serikat.
6.1.5 Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Belanda Indonesia tidak mempunyai keunggulan komparatif untuk komoditi tanaman hias di pasar Belanda. Hal ini ditunjukkan oleh hasil estimasi nilai RCA
yang berkisar 0,0018 sampai 0,252. Indonesia memiliki pangsa nilai ekspor yang relatif kecil di pasar tanaman hias Belanda, dengan jumlah kurang dari satu persen selama periode 1996-2006. Komoditi tanaman hias Thailand di pasar Belanda juga tidak mempunyai keunggulan komparatif. Nilai estimasi RCA Thailand berkisar antara 0,145 sampai 0,676. Pangsa ekspor tanaman hias Thailand di Belanda juga kurang dari satu selama periode sepuluh tahun. Namun, pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand lebih besar dibandingkan Indonesia. Indonesia dan Thailand tidak memiliki keunggulan komparatif untuk ekspor tanaman hias ke Belanda. Kontribusi nilai ekspor tanaman hias Indonesia terhadap nilai total ekspor ke Belanda sangat kecil. Dengan demikian Indonesia tidak memiliki daya saing untuk ekspor tanaman hias ke Belanda. Jika dibandingkan dengan Indonesia, nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Belanda lebih besar, namun hal ini juga tidak menjadikan Thailand memiliki keunggulan komparatif di Belanda. Belanda merupakan negara yang sangat maju dalam pembudidayaan tanaman hias di dunia. Belanda menguasai pasar tanaman hias dunia dengan tingkat produksi dan ekspor tanaman hias yang sangat tinggi. Selain itu Uni Eropa menetapkan syarat yang sangat ketat untuk tanaman hias yang akan diperdagangkan. Dengan demikian patut diduga bahwa untuk memasuki pasar tanaman hias Belanda relatif lebih sulit dibandingkan ke negara lainnya. Hasil perolehan nilai RCA dan indeks RCA Indonesia dan Thailand dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Belanda Tahun 1996-2006 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
RCA 0,013 0,0018 0,051 0,252 0,123 0,184 0,096 0,181 0,105 0,114 0,218
Indonesia Indeks RCA 0,138 28,33 4,941 0,489 1,496 0,522 1,896 0,577 1,086 1,912
RCA 0,529 0,535 0,676 0,145 0,207 0,216 0,315 0,316 0,272 0,292 0,333
Thailand Indeks RCA 0,904 1,264 0,214 1,428 1,043 1,46 1 0,86 1,073 1,140
Analisis yang lebih spesifik berdasarkan masing-masing periode dapat dijelaskan sebagai berikut :
Periode 1996-1999 Pada tahun 1997 nilai indeks RCA Indonesia sebesar 0,138. Hal ini
memperlihatkan bahwa daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Belanda melemah. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia menurun sebesar 84,4 persen. Sementara itu, nilai impor tanaman hias Belanda naik sebesar 5,56 persen. Nilai indeks RCA Thailand sebesar 0,94. Daya saing tanaman hias Thailand juga melemah di pasar tanaman hias Belanda. Kinerja ekspor tanaman hias Thailand turun sebesar 1,04 persen. Tahun 1998 daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Belanda menguat meskipun masih relatif rendah karena nilai RCA bernilai kurang dari satu. Nilai indeks RCA meningkat menjadi sebesar 28,33 yang menunjukkan bahwa pangsa pasar tanaman hias Indonesia mengalami peningkatan. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia naik senilai US$ 361.717 atau lebih dari 2000 persen. Nilai indeks RCA Thailand sebesar 1,264 yang berarti daya saing tanaman hias Thailand di
pasar Belanda mengalami peningkatan. Kinerja ekspor tanaman hias Thailand naik sebesar 8,23 persen. Tahun 1999 kinerja ekspor tanaman hias Indonesia kembali meningkat, yang ditunjukkan dari peningkatan nilai indeks RCA menjadi 4,941. Peningkatan nilai ekspor tanaman hias Indonesia lebih besar dari peningkatan impor tanaman hias Belanda yakni sebesar 3,71 persen. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia naik sebesar US$ 1,46 juta atau 388 persen. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Belanda justru melemah dengan nilai indeks RCA sebesar 0,214. Kinerja ekspor tanaman hias Thailand turun sebesar US$ 2 juta atau 57,7 persen.
Periode 2000-2006 Daya saing tanaman hias Indonesia melemah di tahun 2000. Nilai indeks
RCA Indonesia turun menjadi 0,489 yang artinya Indonesia mengalami penurunan pangsa pasar. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia turun sebesar 42,3 persen. Disisi lain, nilai impor tanaman hias Belanda naik 3,2 persen. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Belanda menguat dengan nilai indeks RCA sebesar 1,428. Kinerja ekspor tanaman hias Thailand naik 45 persen yang nilainya menjadi US$ 2,18 juta. Tahun 2001 nilai indeks RCA Indonesia meningkat menjadi sebesar 1,496. Artinya, Indonesia telah mampu meningkatkan pangsa pasar tanaman hias di Belanda dari tahun sebelumnya. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia naik sebesar 26,5 persen. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia meningkat menjadi US$ 1,34 juta. sementara itu daya saing tanaman hias Thailand masih menguat yang ditunjukkan dengan nilai indeks RCA sebesar 1,043. Pada tahun 2002 daya saing tanaman hias Indonesia mengalami penurunan. Nilai indeks RCA sebesar 0,522 yang berarti diduga pangsa pasar
tanaman hias Indonesia juga mengalami penurunan. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia turun sebesar 35,5 persen, sedangkan nilai impor tanaman hias Belanda naik sebesar 13 persen. Nilai indeks RCA Thailand sebesar 1,46. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing tanaman hias Thailand masih menguat di pasar Belanda. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 54,5 persen. Tahun 2003 daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Belanda kembali menguat yang ditunjukkan dengan nilai indeks RCA sebesar 1,896. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia meningkat lebih besar yakni 47,9 persen sedangkan nilai impor tanaman hias Belanda hanya meningkat sebesar 16,36 persen. Di tahun yang sama nilai indeks RCA Thailand sebesar satu yang artinya tidak terjadi peningkatan maupun penurunan daya saing tanaman hias Thailand di pasar Belanda. Pada tahun 2004 daya saing tanaman hias Indonesia melemah yang ditunjukkan oleh nilai indeks RCA sebesar 0,577. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia turun sebesar 25,3 persen, sedangkan impor tanaman hias Belanda naik 24,9 persen. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Belanda juga mengalami penurunan dengan nilai indeks RCA sebesar 0,86. Nilai ekspor tanaman hias Thailand turun sebesar 5,13 persen. Selanjutnya, ditahun 2005 daya saing tanaman hias Indonesia kembali mengalami peningkatan dengan nilai indeks RCA sebesar 1,086. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia meningkat sebesar 61 persen dan impor tanaman hias Belanda meningkat sebesar 30,5 persen. Thailand juga mengalami peningkatan daya saing tanaman hias di pasar Belanda. Nilai indeks RCA Thailand sebesar 1,073, yang artinya Thailand mampu meningkatkan pangsa pasar tanaman hias di Belanda dari tahun sebelumnya.
Di akhir periode, daya saing tanaman hias Indonesia masih menguat dengan nilai RCA sebesar 0,218. Nilai indeks RCA Indonesia sebesar 1,912, yang artinya pangsa pasar Indonesia mengalami peningkatan. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia naik sebesar 50,6 persen, sementara impor tanaman hias Belanda turun sebesar 23,74 persen. Indonesia butuh megekspor tanaman hias senilai US$ 1,17 juta untuk mempertahankan pangsa nilai ekspornya. Sementara itu, Indonesia mampu mengekspor tanaman hias hingga mencapai US$ 2,3 juta. Hal ini berarti, Indonesia mampu meningkatkan pangsa nilai ekspor tanaman hias senilai US$ 1,14 juta. Daya saing Thailand juga kembali menguat di akhir periode ini. Nilai RCA Thailand sebesar 0,333 dan nilai indeks RCA sebesar 1,140. Kinerja ekspor tanaman hias Thailand menurun sebesar 11,8 persen. Oleh karena penurunan impor tanaman hias Belanda lebih besar dari penurunan ekspor tanaman hias Thailand, maka Thailand tidak mengalami penurunan daya saing.
6.2
Aliran Perdagangan Ekspor Anggrek Indonesia ke Negara Tujuan Aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan pada
penelitian ini dianalisis dengan menggunakan gravity model. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan. Pengolahan data panel dalam penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan metode pooled OLS dan fixed effect. Hal ini karena jumlah cross section lebih sedikit daripada jumlah variabel yang digunakan dalam model sehingga metode random effect tidak dapat dilakukan. Secara umum gravity model aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia yang dilakukan telah memenuhi beberapa asumsi seperti multikoleniaritas, heteroskedastisitas dan autokolerasi.
Kondisi terjadinya multikolinearitas ditunjukkan dengan menghitung koefisien korelasi antar variabel independen. Apabila koefisiennya rendah, maka tidak terdapat multikolinearitas. Dari perolehan nilai hasil estimasi, terlihat bahwa nilai R² cukup besar (>0.8) dan hanya terdapat satu koefisien dugaan yang tidak berpengaruh nyata, sehingga patut diduga adanya hubungan linear antar variabel. Multikolinearitas dapat diatasi dengan memberi perlakuan GLS (cross section weights), sehingga parameter dugaan pada taraf uji tertentu menjadi signifikan. Asumsi selanjutnya yang telah dipenuhi adalah heteroskedastisitas. Heteroskedasitas ditunjukkan dengan ragam yang tidak konstan. Untuk melihat kehomogenan ragam dapat dilakukan dengan uji Barlett. Selain itu dapat pula dideteksi dengan membandingkan sum square residual pada weighted statistics dengan sum square residual unweigthed statistics. Apabila sum square residual pada weighted statistics lebih kecil dibandingakan sum square residual unweigthed
statistics
maka
dapat
disimpulkan
terjadi
heteroskedasitas.
Berdasarkan perolehan hasil nilai estimasi, dapat dilihat bahwa pada taraf nyata lima persen, nilai P-value kurang dari lima persen yang berarti bahwa ragam tidak homogen (terjadi heteroskedasitas). Untuk mengetahui ada atau tidaknya autokolerasi dapat dilakukan dengan uji Durbin Watson (DW) yang dapat dilihat pada hasil output estimasi data panel. Berdasarkan hasil output estimasi dengan metode pooled OLS maupun fixed effect, dapat dilihat bahwa tidak terdapat autokorelasi. Ini terlihat pada output pooled OLS dimana nilai DW sebesar 1.69 serta pada output fixed effect nilai DW sebesar 2.02. Kedua nilai tersebut berada dalam selang 1,56-2,46 yang artinya tidak ada autokorelasi.
6.2.1 Analisis Regresi Gravity Model Aliran Perdagangan Ekspor Anggrek Indonesia ke Negara Tujuan Untuk mengetahui metode yang terbaik diantara keduanya dalam mengestimasi aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia di negara tujuan maka perlu dilakukan pengujian kesesuaian model dengan Chow Test (uji F) yang perhitungannya adalah sebagai berikut. Chow test Ho: Model PLS (Restricted) H1 : Model Fixed Effect (Unrestricted) F hitung =
(RRSS-URSS)/(N-1) URSS/(NT-N-K)
Dimana: RSSS = Restricted Residual Sum Square (Sum Square Residual PLS) URSS = Unrestricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Fixed) N = Jumlah data cross section T = Jumlah data time series K = Jumlah variabel penjelas F hitung =
(132,2102-99,2724)/(5-1)
= 3,65
99,2724/(5X 11-5-6) Ftabel = F(4,44) = berkisar antara 2,53 – 2,61 Hasil Chow Test dari metode pooled OLS dan metode fixed effect menghasilkan nilai Fhitung sebesar 3,65 sedangkan nilai F tabel yang diperoleh berkisar diantara 2,53-2,61. Dari perhitungan tersebut, maka dapat disimpulkan tolak Ho, yang berarti bahwa metode fixed effect merupakan metode yang sesuai
dalam gravity model aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan. Estimasi gravity model yang menggunakan metode fixed effect telah diberi bobot dengan estimasi GLS dan white heteroscedacity untuk menghilangkan adanya heteroskedasitas. Dari hasil output estimasi diketahui bahwa variabel independent atau peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan berdasarkan nilai probabilitas yang diperoleh pada selang kepercayaan 95 persen (taraf nyata lima persen) adalah pendapatan per kapita di negara tujuan, waktu tempuh dari Indonesia ke negara tujuan, populasi negara tujuan, biaya transportasi dari Indonesia ke negara tujuan dan nilai tukar mata uang asing negara tujuan. Sedangkan variabel yang tidak signifikan pada selang kepercayaan 95 persen adalah harga anggrek Indonesia yang diekspor ke negara tujuan. Hasil estimasi dari pengolahan regresi gravity model dengan fixed effect sebagai berikut : Tabel 14. Hasil Pengolahan Gravity Model Dengan Menggunakan Metode Pooled OLS Variabel C Log(Waktu Tempuh) Log(Pendapatan per Kapita) Log(Populasi) Log(Harga Anggrek Negara Tujuan) Log(Harga Anggrek Indonesia) Log(Nilai Tukar USD di Negara Tujuan) Fixed Effects (Cross) _JPN—C _KOR--C _SING--C _NETH--C _USA--C R-squared Adjusted R-squared Catatan: * Signifikan pada taraf nyata 5 persen
Koefisien Probabilitas 0.31072 0.0011 -0.01563 0.0000* 0.22737 0.0000* -0.29735 0.0000* -0.34675 0.7412 -0.06965 0.0000* 1.42956 0.0000* -2.25470 -0.63758 0.97279 0.40076 1.51873 0.8420 0.80609
Berdasarkan hasil analisis regresi gravity model aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan dengan metode fixed effect diperoleh persamaan : Log(Xij) = 31.073 + Cd - 0.015*log(Dij)d + 0.227*log(Yj)d - 0.297*log(Nj)d -0.346*log(Pj)d - 0.069*log(Pi)d – 1.429*log(ERj)d Ket : d = dummy untuk negara Jepang, Korea, Singapura, Belanda dan Amerika Serikat. Berdasarkan hasil estimasi output pada Tabel 14 menunjukkan bahwa yang mempengaruhi aliran perdagangan anggrek Indonesia ke negara tujuan adalah waktu tempuh, pendapatan perkapita, populasi, harga anggrek Indonesia dan nilai tukar mata uang USD terhadap negara tujuan. Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh dari metode fixed effect adalah sebesar 84,2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa 84,2 persen perubahan volume ekspor anggrek yang diperdagangkan dari Indonesia ke negara tujuan dapat diterangkan oleh variasi peubah-peubah bebas dalam model, sedangkan sisanya diterangkan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam model. 6.2.2 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Aliran Perdagangan Ekspor Anggrek Indonesia Ke Negara Tujuan Waktu Tempuh (Dij) Variabel waktu tempuh dalam gravity model merupakan proksi dari jarak antar negara yang melakukan perdagangan. Lamanya waktu tempuh pengiriman ekspor anggrek terhitung mulai dari barang dikirim sampai dengan tiba di negara tujuan melalui jalur laut. Variabel waktu tempuh memiliki nilai koefisien -0,0156 yang berarti setiap penambahan waktu tempuh antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor maka akan menurunkan volume ekspor anggrek sebesar 0,0156 satuan, cateris paribus. Selain berpengaruh negatif, variabel jarak juga signifikan
pada taraf lima persen yang artinya berpengaruh terhadap aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan. Dalam hal ini, waktu tempuh merupakan hambatan pada kinerja ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan. Semakin jauh jarak antar kedua negara berimplikasi terhadap biaya pengiriman yang harus ditanggung. Selain itu pengiriman anggrek melalui jalur laut berarti semakin membutuhkan waktu yang lama, maka teknologi yang digunakan pun akan semakin tinggi, seperti menggunakan kotak pendingin atau perlakuan khusus agar kualitas anggrek tetap terjaga. Variabel waktu tempuh dapat dipengaruhi oleh Indonesia, artinya Indonesia dapat beralih sarana transportasi untuk ekspor anggrek seperti menggunakan jalur udara. Namun pengiriman ekspor anggrek melalui jalur udara akan menurunkan daya saing anggrek itu sendiri karena harga anggrek Indonesia di negara tujuan akan lebih mahal karena biaya pengiriman ekspor melalui jalur udara lebih besar. GDP Per Kapita Negara Tujuan Sebagai ukuran ekonomi suatu negara, GDP per kapita yang nilainya besar maka mengindikasikan semakin besar peluang kemampuan dari negara tersebut untuk menyerap produk yang dihasilkan oleh negara pengekspor. Dari hasil estimasi regresi gravity model menunjukkan variabel GDP per kapita negara tujuan (Yj) memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan volume ekspor anggrek Indonesia. GDP per kapita negara tujuan berpengaruh positif dengan nilai koefisien 0.227. Jika pendapatan per kapita di negara tujuan meningkat sebesar satu satuan maka volume ekspor anggrek yang diperdagangkan dari Indonesia ke negara tujuan akan mengalami peningkatan sebesar 0.227 satuan, cateris paribus.
Apabila terjadi peningkatan GDP per kapita dari salah satu negara tujuan ekspor anggrek Indonesia, maka hal ini akan berdampak pada peningkatan ekspor anggrek Indonesia. Hasil ini sesuai dengan hipotesis yang ditetapkan pada kerangka pemikiran penelitian, dimana diharapkan variabel GDP per kapita negara tujuan ekspor berpengaruh positif pada peningkatan ekspor anggrek Indonesia. Dapat dikatakan juga bahwa dengan meningkatnya GDP per kapita suatu negara, maka peluang daya beli masyarakat akan meningkat termasuk kemampuan membeli komoditi anggrek. Mengingat kebutuhan akan tanaman hias merupakan kebutuhan tersier dan harga jual tanaman hias di pasar bervariasi menurut jenisnya, maka diasumsikan bahwa pasar tanaman hias terutama anggrek secara umum adalah masyarakat kelas menengah atas. Dengan demikian variabel GDP per kapita negara tujuan menjadi variabel yang penting dalam model aliran perdagangan ini, namun variabel ini tidak dapat dipengaruhi oleh Indonesia. Pendapatan per kapita negara tujuan merupakan faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor anggrek Indonesia, oleh karena itu hal ini dapat dijadikan strategi oleh para eksportir untuk memperluas pasarnya. Populasi Negara Tujuan (Nj) Jumlah populasi di negara tujuan berpengaruh negatif dan signifikan pada taraf lima persen terhadap aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan. Nilai koefisien populasi negara tujuan adalah sebesar -0.297 yang artinya setiap penambahan jumlah populasi negara tujuan maka akan mengakibatkan penurunan ekspor anggrek ke negara tujuan sebesar 0,297 satuan, cateris paribus. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis yang diharapkan bahwa populasi akan berpengaruh positif terhadap ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan.
Jumlah populasi suatu negara merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi jumlah komoditas yang dibeli. Namun fakta yang terjadi justru sebaliknya, negara yang mempunyai populasi cukup besar memiliki jumlah impor anggrek Indonesia yang lebih rendah dibandingkan negara dengan populasi lebih kecil. Hal ini kemungkinan terjadi karena negara tujuan ekspor anggrek Indonesia yang memiliki jumlah populasi tinggi berada pada jarak yang jauh sehingga membutuhkan waktu tempuh yang cukup lama dalam pengiriman ekspor anggrek Indonesia. Harga Anggrek Indonesia Harga anggrek Indonesia berpengaruh negatif dengan nilai koefisien sebesar -0.069. Hal ini berarti kenaikan harga anggrek Indonesia sebesar satu satuan akan menurunkan volume anggrek yang diperdagangkan, cateris paribus. Hasil yang diperoleh sesuai dengan hipotesis yang diharapkan bahwa jika harga anggrek Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan harga di negara tujuan maka anggrek Indonesia tidak memiliki daya saing terhadap anggrek dari negara lain. Dengan demikian hal tersebut akan berdampak pada penurunan kuantitas ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan. Variabel harga anggrek Indonesia dalam aliran perdagangan anggrek ke negara tujuan dapat dipengaruhi oleh eksportir maupun pengusaha anggrek dari dalam negeri. Para pengusaha anggrek dalam negeri dapat memperluas skala usaha maupun efisiensi produksi sehingga dapat menekan harga anggrek, sehingga diharapkan anggrek Indonesia memiliki harga yang bersaing di pasar internasional.
Nilai Tukar USD Negara Tujuan (ERj) Nilai tukar yang digunakan dalam aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia adalah nilai tukar mata uang Dollar Amerika Serikat terhadap negara tujuan. Berdasarkan hipotesis yang diharapkan, nilai tukar mata uang USD berpengaruh positif terhadap ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan. Hal ini sesuai dengan parameter yang diharapkan. Variabel nilai tukar berpengaruh positif dan signifikan pada taraf lima persen dengan nilai koefisien sebesar 1.429. Hal ini berarti setiap terjadi peningkatan nilai tukar USD terhadap mata uang negara tujuan maka akan meningkatkan ekspor anggrek ke negara tujuan sebesar 1.429 satuan, cateris paribus. Nilai tukar USD yang tinggi terhadap mata uang negara tujuan maka akan meningkatkan keuntungan
bagi eksportir Indonesia
karena memperoleh
peningkatan nilai ekspornya. Dengan demikian para eksportir akan berupaya untuk meningkatkan kuantitas ekspor anggrek ke negara yang memiliki nilai tukar yang relatif besar terhadap USD. Variabel nilai tukar mata uang USD terhadap mata uang negara tujuan merupakan faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor anggrek Indonesia, sehingga variabel ini tidak dapat dipengaruhi. Akan tetapi variabel ini dapat menjadi penentuan strategi bagi eksportir untuk perluasan pasarnya. Berdasarkan data yang diperoleh, negara tujuan ekspor yang memiliki nilai tukar relatif lebih tinggi terhadap USD adalah Korea dan Jepang. Hal ini sesuai dengan perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke kedua negara tersebut merupakan nilai tertinggi dibandingkan ke negara tujuan lainnya. Dengan demikian, Korea dan Jepang dapat dikatakan sebagai negara yang mempunyai potensi besar untuk usaha peningkatan ekspor tanaman hias Indonesia terutama
anggrek karena akan memberikan perolehan nilai ekspor yang cukup besar bagi Indonesia. 6.3
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing Tanaman Hias Indonesia Dan Aliran Perdagangan Ekspor Anggrek Indonesia Dalam industri tanaman hias di Indonesia banyak faktor yang
mempengaruhi terciptanya komoditi tanaman hias yang mempunyai daya saing tinggi. Faktor-faktor tersebut juga diduga menjadi faktor lain yang tidak dapat dijelaskan oleh model aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan. Berdasarkan hasil regresi model aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan, diperoleh nilai koefisien determinasi R² sebesar 84,2 persen. Artinya, sebesar 84,2 persen perubahan volume perdagangan anggrek Indonesia ke lima negara tujuan dapat diterangkan oleh faktor-faktor di dalam model, sedangkan 15,8 persen faktor lainnya tidak dapat dijelaskan oleh model. Berdasarkan berbagai informasi yang diperoleh baik berupa literatur maupun hasil diskusi dengan eksportir dan pengusaha tanaman hias, maka diperoleh beberapa faktor yang mempengaruhi ekspor anggrek serta mengakibatkan rendahnya daya saing tanaman hias Indonesia di pasar internasional. Berikut ini adalah beberapa faktor yang mempengaruhi daya saing tanaman hias Indonesia dan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan antara lain : Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah untuk perdagangan dan investasi di bidang tanaman hias belum banyak membantu pelaku usaha dalam pengembangan agribisnis tanaman hias. Kebijakan penurunan tarif impor produk hortikultura sebesar lima persen dan benih sebesar nol persen menyebabkan komoditi tanaman hias terutama anggrek Indonesia kalah bersaing dengan negara lain. Sementara itu tarif
pungutan ekspor anggrek adalah sebesar lima persen (Ditjen Perdagangan, 2002). Selain itu, naiknya jasa karantina lebih dari 100 persen per tanaman dan sulitnya mengurus izin ekspor tanaman hias, menurunkan semangat para pelaku usaha untuk melakukan ekspor komoditi florikultur pada umumnya dan anggrek pada khususnya. Di bidang investasi, belum ada dukungan kebijakan pemerintah dalam impor peralatan laboraturium untuk memproduksi benih secara in-vitro berimplikasi pada tingginya biaya investasi benih. Selain itu kebijakan pemerintah yang kurang mendukung sistem agribisnis tanaman hias berdampak pada minimnya tingkat investasi di sektor bisnis ini. Akibatnya para pengusaha tanaman hias umumnya mengalami kendala dalam permodalan.14 Pemerintah Thailand menaruh perhatian yang cukup besar terhadap komoditi pertanian, terutama hortikultura. Para pengusaha hortikultura diberikan kemudahan untuk memperoleh fasilitas kredit dan fasilitas lainnya yang menunjang
bisnis
tersebut.
Di
Indonesia
sendiri,
pemerintah
sudah
mengalokasikan dana untuk memberikan kredit yang murah bagi produsen anggrek. Namun demikian kredit yang diberikan untuk produsen tanaman hias jumlahnya masih relatif lebih kecil dibandingkan dengan kredit untuk sektor usaha lainnya. Fasilitas kredit yang terbatas bagi produsen tanaman hias mengakibatkan dalam hal perolehannya dinilai sangat sulit oleh sebagian pengusaha tanaman hias. Di lain pihak, untuk melakukan penelitian, percobaan, persilangan dan pembibitan diperlukan biaya yang besar. Maka hanya beberapa produsen saja yang mampu dengan biaya sendiri melakukan usaha seperti itu. Penelitian Kurangnya perhatian pemerintah terhadap lembaga penelitian tanaman hias merupakan salah satu permasalahan yang menyebabkan industri tanaman hias
Indonesia sulit untuk berkembang.15 Hal ini sangat bertolak belakang jika dilihat keberadaan Indonesia yang kaya akan ragam dan jenis tanaman hias, namun untuk mengembangkan jenis varietas baru, bibitnya harus diimpor dari luar negeri. Pemerintah mengalokasikan dana yang jauh lebih sedikit untuk kepentingan penelitian dan pengembangan tanaman hias. Saat ini pemerintah lebih banyak menyediakan alokasi untuk pembangunan lain (konstruksi, transportasi dan informasi) daripada untuk penelitian pertanian. Untuk dapat memproduksi tanaman hias jenis tertentu, para petani harus membeli bibit dari luar negeri dengan harga yang cukup tinggi. Para penangkar sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar oleh karena keterbatasan menghasilkan bibit dari varietas baru. Ketergantungan terhadap produk impor belakangan ini juga berdampak pada industri tanaman hias. Untuk memenuhi selera dan permintaan masyarakat, beberapa jenis tanaman hias harus didatangkan dari luar untuk dibudidayakan para petani lokal. Bibit-bibit bunga yang diimpor tersebut jelas memerlukan biaya yang cukup besar yang berdampak pada peningkatan biaya produksi per satuan tanaman. Hal tersebut merupakan dampak dari keterbatasan teknologi budidaya karena kurangnya perhatian terhadap penelitian dan pengembangan tanaman hias. Dengan demikian tanaman hias Indonesia akan sulit memiliki daya saing yang tinggi karena mempunyai harga relatif lebih mahal. Berbeda dengan negara-negara tetangga seperti Thailand dan Singapura yang mengalokasikan dana dalam jumlah yang sangat besar untuk penelitian dan pengembangan tanaman hias. Dengan demikian banyak kultivar-kultivar baru yang dihasilkan dan masuk di pasar internasional. Namun sebagaimana diketahui,
bahwa banyak bibit tanaman hasil dari persilangan tersebut yang indukannya berasal dari Indonesia, seperti halya anggrek bulan, Vanda, kantung semar, anthurium dan tanaman hias lainnya. Tanaman hias hasil silangan tersebut kembali dipasarkan secara luas di Indonesia dan masyarakat sendiri lebih tertarik dengan tanaman impor yang sebenarnya pada awalnya adalah tanaman asli Indonesia. Biaya Produksi dan Non Produksi Menurut beberapa pengusaha tanaman hias, salah satu penyebab tanaman hias Indonesia sulit bersaing di pasar internasional adalah tingginya beban biaya yang harus ditanggung oleh petani dan eksportir. Di tingkat usahatani, petani harus menanggung biaya mulai dari pengadaan input sampai dengan izin usaha dan pajak penghasilan yang sangat memberatkan para pengusaha. Selain itu kenaikan harga bahan bakar minyak berimplikasi pada melonjaknya biaya transportasi. Di tingkat eksportir, biaya yang harus ditanggung meliputi izin pengangkutan,
biaya
pemeriksaan
(karantina),
biaya
pengiriman,
pajak
perdagangan dan pungutan lainnya. Panjangnya jalur birokrasi dalam pengurusan izin ekspor tanaman hias sering mengakibatkan keterlambatan pengiriman dan menyulitkan para eksportir.16 Selain itu biaya pengiriman ekspor dari Indonesia ke luar negeri merupakan biaya yang paling mahal dibandingkan dengan negara lain. Dengan demikian eksportir anggrek Indonesia akan menanggung biaya yang lebih besar untuk dapat mengirimkan produk ke negara tujuan. Hal tersebut akan berimplikasi pada peningkatan nilai jual anggrek Indonesia di negara tujuan. Penanganan Pasca Panen Tingkat kehilangan akibat penanganan pasca panen yang kurang baik untuk komoditi pertanian masih relatif tinggi. Tingkat kehilangannya berkisar
antara 20 persen sampai 35 persen, baik untuk tanaman pangan, sayuran maupun hortikultura termasuk tanaman hias. Penanganan pasca panen yang kurang tepat mengakibatkan tidak sedikit tanaman hias yang diekspor Indonesia tertahan di badan karantina negara tujuan. Alasan penahanan tersebut diantaranya karena adanya hama penyakit yang terbawa pada tanaman ataupun proses pengepakan yang kurang baik sehingga tanaman masih mengandung tanah. Hal ini tentu akan merugikan pihak eksportir karena negara importir akan menolak dan mengembalikan produk yang sudah dikirim maupun melakukan pengurangan harga secara otomatis (Balai Penelitian Tanaman Hias, 2003). Sarana Pengiriman Dalam hal pengiriman ekspor komoditi tanaman hias, adanya sentra-sentra produksi berskala kecil dan letaknya menyebar dapat menghambat proses pengiriman. Akibatnya pasokan tanaman menjadi terhambat yang berdampak pada ketepatan waktu pengiriman pada eksportir. Akibatnya, banyak eksportir yang terkena klaim akibat pengiriman yang tidak tepat waktu. Rendahnya daya saing produk florikultur di pasar dunia, termasuk anggrek, dipengaruhi oleh belum adanya kebijakan pemerintah dalam transportasi udara. Tidak tersedianya fasilitas cargo pada maskapai penerbangan domestik menyebabkan biaya angkut produk florikultura dikenakan tarif komersial, yang berimplikasi pada tingginya harga tanaman hias Indonesia di pasar dunia.25 Thailand memiliki jaringan pemasaran yang luas dan kegiatan promosi yang rutin. Bahkan untuk angkutan pengiriman, Thai Airways memprioritaskan pengiriman ekspor anggrek potong dengan biaya pengiriman yang rendah. Dengan demikian, eksportir Thailand dapat memenuhi permintaan anggrek potong dari negaranegara di dunia dengan kualitas bunga yang tetap terjaga.
Selain biaya pengiriman ekspor yang cukup mahal dengan melalui jalur udara, sarana dan prasarana transportasi untuk ekspor tanaman hias Indonesia juga masih terbatas. Untuk ekspor impor komoditi tanaman hias khususnya bunga potong anggrek, memerlukan fasilitas ruang pendingin, namun demikian fasilitas tersebut masih terbatas dan memerlukan biaya tinggi. Selera Konsumen Selera konsumen terhadap tanaman hias Indonesia terutama anggrek dari masing-masing negara tujuan sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan setiap negara tujuan ekspor tanaman hias Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Dari kelima negara tujuan ekspor tanaman hias Indonesia, selera terhadap komoditi anggrek secara umum memiliki kesamaan. Negara Jepang, Korea, Singapura dan Amerika Serikat menyukai anggrek potong jenis Dendrobium sedangkan Belanda cenderung menyukai anggrek Phalaenopsis. Selera konsumen memungkinkan untuk disertakan menjadi faktor yang mempengaruhi daya saing dan aliran ekspor anggrek Indonesia, karena setiap individu memiliki selera yang berbeda dalam menyukai tanaman hias termasuk anggrek.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1
Kesimpulan Setelah
memperoleh
hasil
dari
analisis
kuantitatif
dan
menginterpretasikannya secara deskriptif, maka diperoleh kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Kesimpulan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut : 1.
Perkembangan industri tanaman hias Indonesia lebih lambat dibandingkan dengan Thailand sebagai kompetitor utama di pasar tanaman hias dunia untuk kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut dilihat dari perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia selama periode 1996-2006 jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Thailand. Selain itu pangsa ekspor tanaman hias Indonesia di negara tujuan secara umum lebih rendah dibandingkan dengan Thailand.
2.
Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk komoditi tanaman hias di pasar Korea. Hal ini dikarenakan kontribusi nilai ekspor tanaman hias Indonesia terhadap nilai total ekspor ke Korea relatif lebih besar sehingga nilai RCA Indonesia lebih besar dari satu. Dengan demikian komoditi tanaman hias Indonesia memiliki daya saing di pasar Korea. Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk komoditi tanaman hias di pasar Singapura pada tahun 1996 dan 1999 selanjutnya sampai dengan akhir periode daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Singapura cenderung menurun. Hal ini dikarenakan volume ekspor tanaman hias Indonesia ke Singapura pada periode tersebut menurun sehingga perolehan nilai
ekspornya pun menjadi turun. Hal tersebut juga mengakibatkan kontribusi nilai ekspor tanaman hias Indonesia terhadap nilai total ekspor ke Singapura menjadi kecil. 3.
Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif untuk komoditi tanaman hias di Jepang, Amerika Serikat dan Belanda. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang merupakan yang tertinggi dibandingkan ke negara lain namun secara keseluruhan, nilai total ekspor Indonesia ke Jepang juga merupakan yang tertinggi dibandingkan ke negara lain. Hal inilah yang menyebabkan kontribusi ekspor tanaman hias Indonesia terhadap nilai total ekspor ke Jepang menjadi kecil, sehingga nilai RCA tanaman hias Indonesia di pasar Jepang kurang dari satu. Sementara itu, kuantitas ekspor tanaman hias Indonesia ke Amerika Serikat dan ke Belanda relatif lebih rendah jika dibandingkan ke Jepang, Korea dan Singapura. Hal tersebut juga berdampak pada perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Amerika Serikat dan Belanda yang lebih rendah dari ketiga negara yang lain. Faktor lain yang diduga menyebabkan tanaman hias Indonesia tidak memiliki daya saing di pasar Amerika Serikat dan Belanda adalah ketatnya persyaratan yang ditetapkan terutama Belanda (Uni Eropa) untuk ekspor tanaman hias, sehingga sulit untuk menguasai pasar di kedua negara tersebut.
4.
Thailand memiliki keunggulan komparatif untuk komoditi tanaman hias di pasar Jepang dan Korea. Di pasar Singapura, Thailand memiliki keunggulan komparatif untuk komoditi tanaman hias pada periode 20042006 sedangkan di pasar Amerika Serikat pada periode 2005-2006. Pada
periode 2004-2006 tanaman hias asal Thailand menjadi trend di pasar tanaman hias dunia, sehingga pada periode tersebut ekspor tanaman hias Thailand ke Singapura dan Amerika Serikat menjadi meningkat sejalan dengan peningkatan nilai ekspornya. Dalam kurun waktu 11 tahun, Thailand mengalami ketidakunggulan untuk komoditi tanaman hias di Belanda. Meskipun industri tanaman hias Thailand sangat maju dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara, namun tanaman hias Thailand tidak mampu bersaing di pasar Belanda. Hal ini diduga karena Belanda adalah negara yang memiliki pangsa pasar terbesar di pasar tanaman hias dunia sehingga peluang untuk menguasai pasar Belanda menjadi kecil. 5.
Berdasarkan hasil estimasi model gravity aliran perdagangan anggrek Indonesia ke lima negara tujuan diketahui bahwa metode fixed effect merupakan metode yang paling sesuai digunakan. Aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni waktu tempuh antara Indonesia dengan negara tujuan, pendapatan per kapita negara tujuan, populasi negara tujuan, harga anggrek Indonesia dan nilai tukar mata uang USD terhadap mata uang negara tujuan. Sementara itu faktor harga anggrek di negara tujuan tidak berpengaruh terhadap model aliran perdagangan.
6.
Rendahnya daya saing tanaman hias Indonesia khususnya anggrek di pasar negara tujuan disebabkan oleh banyak faktor yang satu sama lain saling terkait. Adapun faktor yang mempengaruhi tersebut diantaranya pemanfaatan sumberdaya alam yang kurang maksimal, rendahnya
penguasaan teknologi, minimnya dukungan pemerintah, kurangnya peranan lembaga keuangan sebagai penyandang dana, serta faktor non teknis lainnya yang menghambat terciptanya industri tanaman hias yang memiliki daya saing tinggi.
7.2
Saran Berdasarkan dari kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini, maka
terdapat beberapa saran yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing tanaman hias Indonesia di pasar internasional pada waktu mendatang. Adapun beberapa saran tersebut antara lain: 1.
Indonesia mempunyai peluang yang besar untuk meningkatkan ekspor tanaman hias ke pasar Korea. Hal ini dikarenakan berdasarkan nilai RCA menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai keunggulan komparatif, yang berarti tanaman hias Indonesia mempunyai daya saing yang tinggi di pasar Korea. Selain itu Indonesia juga mempunyai peluang yang besar untuk meningkatkan ekspor tanaman hias ke Jepang. Meskipun berdasarkan nilai RCA tidak menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk komoditi tanaman hias di Jepang, namun ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang cukup besar dan tingkat konsumsi tanaman hias terutama bunga potong Jepang cukup besar sehingga Indonesia memiliki peluang yang besar untuk perluasan pasar. Dengan demikian diharapkan pada tahun mendatang, Indonesia mempunyai keunggulan komparatif di pasar tanaman hias Jepang.
2.
Berdasarkan aliran perdagangan anggrek Indonesia dengan gravity model menunjukkan bahwa waktu tempuh (jarak) antar Indonesia dengan negara
tujuan
memberikan
pengaruh
negatif.
Dengan
demikian
untuk
meningkatkan ekspor anggrek Indonesia dibutuhkan sarana transportasi yang dapat mempersingkat waktu pengiriman anggrek ke negara tujuan. Sarana transportasi yang dibutuhkan dalam pengiriman anggrek ke negara tujuan adalah armada pesawat terbang. Pemerintah diharapkan dapat memberikan fasilitas pengangkutan jalur udara bagi eksportir anggrek dengan biaya yang tidak memberatkan eksportir. Dengan demikian waktu tempuh bukan menjadi hambatan lagi dalam ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan. 3.
Variabel pendapatan per kapita negara tujuan menjadi pengaruh positif dalam aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia. Hal ini dapat menjadi strategi bagi eksportir anggrek untuk meningkatkan kuantitas ekspor anggrek dan perluasan pasar pada negara-negara yang memiliki pendapatan per kapita tinggi.
4.
Variabel harga anggrek Indonesia memberikan pengaruh negatif terhadap ekspor anggrek ke negara tujuan. Agar harga anggrek Indonesia mampu bersaing dengan negara lain, maka diperlukan adanya riset biaya sehingga tercapai efisiensi produksi yang dapat menekan harga. Adapun langkah selanjutnya adalah para pengusaha (eksportir) memperluas skala usaha agar mampu memproduksi anggrek dalam jumlah besar dengan harga yang rendah. Dengan demikian diharapkan anggrek Indonesia mampu bersaing dengan anggrek negara lain.
5.
Variabel nilai tukar USD terhadap mata uang negara tujuan memberikan pengaruh positif terhadap aliran perdagangan anggrek Indonesia. Hal ini
dapat menjadi strategi bagi eksportir untuk meningkatkan kuantitas ekspor anggrek ke negara-negara yang memiliki nilai tukar yang relatif lebih tinggi terhadap USD. Eksportir mempunyai peluang untuk meningkatkan ekspor anggrek ke negara Jepang dan Korea karena memiliki nilai tukar yang tinggi terhadap USD. Dengan demikian eksportir dapat memperoleh keuntungan yang cukup besar. 6.
Penelitian tentang daya saing tanaman hias Indonesia di pasar internasional masih dapat dilakukan dengan menggunakan metode lain selain RCA seperti CMSA, DRC maupun PAM. Dengan demikian dapat diketahui bagaimana sesungguhnya kondisi persaingan tanaman hias Indonesia di pasar internasional.
7.
Dalam analisis aliran perdagangan anggrek Indonesia ke negara tujuan, agar menghasilkan model yang lebih baik dapat dilakukan dengan menambah jumlah data time series dan cross section serta menambahkan variabel bebas lain seperti jumlah konsumsi anggrek negara tujuan maupun harga jenis tanaman hias lain di negara tujuan. Dengan demikian diharapkan dapat diketahui faktor yang mempengaruhi ekspor anggrek ke negara tujuan dengan lebih luas lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abilava, Hanna. Explaining Foreign Direct Trade Invesment in Transition. Thesis. Master of Art in Economics. Economics Education Research Consortium. Master’s Program in Economics. National University Kyiv-Mohila Academy. 2006. Badan Pusat Statistik. Analisa Komoditi Ekspor 2000-2006. Sektor Pertanian, Industri Dan Pertambangan.2007. Statistik Ekspor Indonesia 1996-2006. Jakarta. 2007. Balai Penelitian Tanaman Hias. Analisis Komoditas dan Identifikasi Masalah Pelaku Bisnis Tanaman Hias. Cianjur. 2003. Bender, Siegfried dan Kui-Wai-Li. The Changing Trade and Revealed Comparative Advantages of Asian and Latin American Manufactures Eksport. Economic Growth Centre. Centre Discussion Paper. Yale University. No. 843. Maret. 2002. Chaizar, Bayu Kurniawan. Analisis Pendapatan Usahatani Phillodendron Millo, Tanaman Hias Euphorbia Dan Tanaman Hias Puring Di PD. Atsumo, Sawangan Depok-Jabar. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 2007. Cheng, I-Hui And Howard J. Wall. Controlling For Heterogeneity In Gravity Models Of Trade And Integration. Federal Reserve Bank Of ST. Louis Review. 2005. Dilla, Zulka Sapta. Analisis Ekspor Lidah Buaya (Aloe Vera) Kal-Bar (Studi Kasus Ekspor ke Malaysia). Jurnal Agrosains. Fakultas Pertanian. Universitas Panca Bakti Pontianak. Vol : 2, No. 1. April. 2005. Dorkas, Karantina. Analisis Kelayakan Usaha Tanaman Hias Pada Perusahaan Lestari Bunga Semerbak, Lembang-Jawa Barat. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 2004. Firdaus, Ahmad Heri. Analisis Daya Saing dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia di Pasar Amerika Serikat. Skripsi. Depertemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. 2007. Firdaus, Muhammad. Analisis Deret Waktu Satu Ragam. IPB Press. 2006.
Hady, Hamdi. Teori Ekonomi Internasional : Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Erlangga. Jakarta. 2004. Hadi, Prajogo U dan Sudi Mardianto. Analisis Komparasi Daya Saing Produk Ekspor Pertanian Antar Negara ASEAN Dalam Era Perdagangan Bebas AFTA. Jurnal Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Social Ekonomi. Volume 22. No 1, Mei 2004. Bogor. 2004. Hutabarat, Budiman dkk. Posisi Indonesia Dalam Perundingan Perdagangan Internasional Di Bidang Pertanian. Analisis Skenario Modalitas. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. 2006. International Financial Statistic. International Monetary Fund. December.2006. Lindert, Peter H dan Charles P Kindle Berger. Teori Ekonomi Internasional. Edisi Delapan. Erlangga. Jakarta. 1995. Mankiw, N. Gregory. Teori Makroekonomi. Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta. 2003. Monsaputra. Daya Saing Durian Di Sumatera Barat (Kasus:Kabupaten Padang Pariaman Dan Kabupaten Tanah Datar). Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian Dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 2007. Novianti, Tanti. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Unggulan Sayuran. Thesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. s2003. Porter, Michael E. Strategi Bersaing : Teknik Menganalisis Industri dan Pesaing. Erlangga. Jakarta. 1980. Prema-Chandra Athukorala. Post Crisis Export Performance : The Indonesian Experience in Regional Perspective. Bulletin of Indonesian Economic Studies. Australian National University. Vol.42. No.2. 2006. Rudianto, Doni. Analisis Daya Saing Dan Efisiensi Pemasaran Komoditas Lidah Buaya (Aloe Vera Sp)(Studi Kasus Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat). Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 2003. Rositasari, Winda Eka. Analisis Strategi Pemasaran Tanaman Hias Daun Dalam Pemanfaatan Sebagai Daun Potong Pada Pesona Daun Mas Asri, Ciawi Kabupaten Bogor. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 2006.
Saepulloh, Aep. Analisis Pendapatan Usaha Dan Pemasaran Tanaman Hias (Florikultur) Kasus Pedagang Pengecer Tanaman Hias Bunga Dan Daun Di Bogor. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 2005. Salvatore, Dominick. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Jilid kesatu. Erlangga. Jakarta. 1996. Sunenti. Analisis Aliran Perdagangan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Meubel Rotan di Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 2005. Tatakomara, Edwin. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Komoditi Teh Indonseia, Serta Daya Saing Komoditi Teh Di Pasar Internasional. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.2004 The Consulat General of Canada. Agri-food Past, Present and Future Report. Philippines. Januari. 2007. United States Department of Agriculture. A Report From The Economic Research Service. 2007. (www.ers.USDA.gov) Winniasri, Evy Fachraini. Analisis Distribusi Spasial Dan Aliran Perdagangan Beras Dari Dan Ke DKI Jakarta. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian Dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 2007. Winarno, Wing Wahyu. Analisis Ekonometrika Dan Statistika Dengan Eviews. UPP STIM YKPN. Yogyakarta. 2007. Yastuti, Titin Indri. Dampak Penghapusan Kebijakan Kuota MFA (Multifibre Arrangement) Terhadap Daya Saing Dan Pemasaran Sektor Tekstil Dan Produk Tekstil. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 2004.
Lampiran 1. Nilai Ekspor Indonesia Ke Lima Negara Tujuan Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia Tahun Negara Nilai 1996 Jepang 752.930 1997 539.815 1998 173.607 1999 1.067.461 2000 1.222.651 2001 1.445.300 2002 3.211.914 2003 2.849.330 2004 3.208.638 2005 2.848.571 2006 3.313.266 1996 Korea 804.378 1997 491.225 1998 47.661 1999 1.030.690 2000 2.197.136 2001 1.699.544 2002 1.817.675 2003 1.510.938 2004 1.978.484 2005 2.916.112 2006 2.706.573 1996 Singapura 1.734.626 1997 326.408 1998 222.417 1999 2.535.462 2000 1.287.697 2001 1.373.220 2002 1.003.419 2003 1.022.595 2004 863.162 2005 943.898 2006 648.091 Amerika 1996 183.894 Serikat 1997 100.508 1998 258.224 1999 906.596 2000 1.125.225 2001 1.424.717 2002 1.682.722 2003 1.384.982 2004 1.973.566 2005 2.158.730 2006 2.290.694
Nilai Total Ekspor Indonesia Tahun Negara Nilai 1996 Jepang 12.885.219.328 1997 12.484.951.040 1998 9.116.024.832 1999 10.397.181.547 2000 14.415.159.855 2001 13.010.151.424 2002 12.045.084.672 2003 13.603.468.587 2004 10.273.756.302 2005 18.049.139.737 2006 21.732.122.929 1996 Korea 3.281.006.592 1997 3.462.228.480 1998 2.567.769.736 1999 3.319.811.635 2000 4.417.861.809 2001 3.772.449.280 2002 4.107.208.448 2003 4.323.745.707 2004 3.419.542.832 2005 7.085.635.813 2006 7.693.540.864 1996 Singapura 4.564.580.864 1997 5.467.830.272 1998 5.718.260.736 1999 4.930.476.534 2000 6.562.350.695 2001 5.363.798.528 2002 5.349.051.392 2003 5.399.630.367 2004 5.999.022.148 2005 7.836.584.739 2006 8.929.849.215 Amerika 1996 6.794.638.848 Serikat 1997 7.154.457.088 1998 7.045.718.528 1999 6.907.973.718 2000 8.488.711.853 2001 7.761.304.064 2002 7.570.444.800 2003 7.386.356.106 2004 8.787.035.104 2005 9.889.195.575 2006 11.259.135.631
Lampiran 1. Nilai Ekspor Indonesia Ke Lima Negara Tujuan (Lanjutan) Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia Tahun Negara Nilai 1996 Belanda 99.067 1997 15.442 1998 377.159 1999 1.843.730 2000 1.064.022 2001 1.346.493 2002 868.358 2003 1.284.325 2004 959.746 2005 1.544.275 2006 2.325.720
Nilai Total Ekspor Indonesia Tahun Negara Nilai 1996 Belanda 1.666.561.536 1997 1.842.337.664 1998 1.512.260.096 1999 1.543.580.032 2000 1.837.383.974 2001 1.498.181.120 2002 1.627.369.984 2003 1.401.454.213 2004 1.797.489.941 2005 2.233.540.708 2006 2.701.548.661
Lampiran 2. Nilai Impor Lima Negara Tujuan Nilai Impor Tanaman Hias Di 5 Negara Tahun Negara Nilai 1996 Jepang 448.116.244 1997 390.253.373 1998 353.398.472 1999 382.984.930 2000 390.280.803 2001 375.757.973 2002 376.144.367 2003 408.728.455 2004 460.937.783 2005 463.778.950 2006 480.419.338 1996 Korea 39.776.376 1997 40.287.976 1998 12.880.041 1999 23.663.789 2000 28.765.594 2001 30.285.640 2002 34.281.148 2003 31.801.436 2004 41.307.587 2005 50.692.396 2006 59.169.880 1996 Singapura 49.443.600 1997 49.840.148 1998 40.273.040 1999 42.579.848 2000 44.904.465 2001 42.833.943 2002 41.707.391 2003 41.109.618 2004 40.183.405 2005 45.016.182 2006 49.951.792 Amerika 1996 1.106.508.160 Serikat 1997 1.191.341.292 1998 1.262.352.465 1999 1.281.176.926 2000 1.361.983.305 2001 1.342.646.925 2002 1.320.971.823 2003 1.454.322.446 2004 1.607.212.626 2005 1.630.955.052 2006 1.721.523.318
Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Nilai Total Impor 5 Negara Negara Nilai Jepang 349.186.101.626 338.842.341.345 280.633.850.895 309.994.471.698 379.662.900.073 349.300.361.949 337.608.873.404 383.451.985.125 455.253.849.684 515.866.387.675 579.063.944.637 Korea 150.334.291.968 144.164.211.584 93.280.911.360 119.751.244.431 160.479.215.616 141.097.041.920 152.124.325.883 178.825.838.592 224.460.885.383 261.235.582.842 309.379.478.872 Singapura 131.339.984.705 132.441.673.839 110.731.540.992 111.060.866.386 134.545.833.415 116.002.463.973 116.446.497.953 136.264.162.376 173.581.211.165 200.050.340.120 238.704.170.692 Amerika 817.627.145.588 Serikat 898.025.469.114 944.350.087.088 1.059.220.066.421 1.258.080.214.155 1.180.073.769.853 1.202.284.426.736 1.305.091.562.675 1.255.268.443.335 1.732.230.797.682 1.918.997.094.449
Lampiran 2. Nilai Impor Lima Negara Tujuan (Lanjutan) Nilai Impor Tanaman Hias Di 5 Negara Tahun Negara Nilai 1996 Belanda 716.592.640 1997 756.431.808 1998 765.462.503 1999 793.857.285 2000 819.168.736 2001 801.052.052 2002 905.055.211 2003 1.053.078.872 2004 1.315.020.502 2005 1.716.083.305 2006 1.308.742.341
Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Nilai Total Impor 5 Negara Negara Nilai Belanda 160.895.811.584 162.359.656.448 156.727.885.824 167.875.451.178 174.670.542.630 164.080.348.152 163.367.358.803 208.995.273.248 257.664.080.096 283.172.009.388 331.496.166.739
Lampiran 3. Nilai Ekspor Thailand Ke Lima Negara Tujuan Nilai Ekspor Tanaman Hias Thailand Tahun Negara Nilai 1996 Jepang 39.411.786 1997 34.639.203 1998 31.415.959 1999 16.698.718 2000 18.193.901 2001 18.391.394 2002 21.127.537 2003 23.765.598 2004 24.933.964 2005 31.769.606 2006 31.334.995 1996 Korea 3.820.978 1997 3.242.024 1998 1.407.457 1999 725.295 2000 1.079.476 2001 1.488.968 2002 1.892.217 2003 1.803.285 2004 1.722.567 2005 1.969.939 2006 2.427.324 1996 Singapura 1.255.060 1997 1.156.604 1998 1.120.526 1999 643.433 2000 791.118 2001 922.348 2002 930.310 2003 1.323.727 2004 2.048.821 2005 2.111.819 2006 2.248.649 Amerika 1996 8.378.921 Serikat 1997 7.967.026 1998 6.130.691 1999 5.876.846 2000 8.084.792 2001 9.617.725 2002 11.409.504 2003 13.980.301 2004 14.174.970 2005 16.773.230 2006 19.474.664
Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Nilai Total Ekspor Tahiland Negara Nilai Jepang 10.212.283.478 9.574.850.296 8.178.332.789 8.250.829.917 10.104.913.544 9.898.255.680 9.946.776.344 11.399.102.396 13.457.060.639 15.029.432.280 16.542.485.097 Korea 1.218.753.024 1.283.565.568 787.061.888 909.786.448 1.263.861.091 1.228.788.019 1.397.993.146 1.589.648.258 1.851.406.780 2.250.156.767 2.661.250.776 Singapura 7.175.494.380 6.790.526.405 4.862.132.736 5.068.431.216 6.013.345.907 5.245.139.290 5.549.360.592 5.871.727.041 7.004.907.106 7.458.833.011 8.425.873.980 Amerika 11.798.393.007 Serikat 13.055.708.489 13.970.533.986 12.659.633.096 14.724.805.501 13.169.935.674 13.506.536.609 13.671.640.196 15.502.663.055 17.024.770.903 19.646.952.237
Lampiran 3. Nilai Ekspor Thailand Ke Lima Negara Tujuan (Lanjutan) Nilai Ekspor Tanaman Hias Thailand Tahun Negara Nilai 1996 Belanda 3.328.555 1997 3.293.640 1998 3.564.633 1999 1.506.826 2000 2.185.765 2001 2.133.971 2002 3.297.372 2003 3.781.919 2004 3.588.013 2005 4.861.520 2006 4.287.300
Nilai Total Ekspor Tahiland Tahun Negara Nilai 1996 Belanda 1.261.886.926 1997 1.320.527.360 1998 1.079.903.918 1999 2.192.872.014 2000 2.250.849.468 2001 2.024.604.360 2002 1.891.344.612 2003 2.372.798.503 2004 2.585.301.823 2005 2.744.764.029 2006 3.256.851.008
Lampiran 4. Pangsa Ekspor Tanaman Hias Indonesia dan Thailand Tahun
Pasar
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Jepang
Korea
Singapura
Amerika Serikat
Indonesia Thailand Pangsa Ekspor Pangsa Ekspor (%) (%) 0,168 8,79 0,138 8,88 0,05 8,89 0,28 4,36 0,313 4,66 0,38 4,89 0,85 5,61 0,7 5,81 0,7 5,41 0,61 6,85 0,7 6,52 2,02 9,6 1,22 8,05 0,37 11 4,35 3,06 7,64 3,75 5,61 4,9 5,30 5,52 4,75 5,57 4,79 4,17 5,75 3,89 4,57 4,1 3,5 2,54 0,65 2,32 0,55 2,78 5,6 1,51 2,87 1,76 3,2 2,15 2,4 2,23 2,5 3,22 2,15 5,1 2,1 4,7 1,3 4,5 0,0166 0,75 0,0084 0,67 0,02 0,48 0,07 0,46 0,0823 0,59 0,106 0,72 0,128 0,86 0,095 0,96 0,123 0,88
Lampiran 4. Pangsa Ekspor Tanaman Hias Indonesia dan Thailand (Lanjutan) Tahun
Pasar
2005 2006 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Amerika Serikat Belanda
Indonesia Thailand Pangsa Ekspor Pangsa Ekspor (%) (%) 0,132 1,03 0,133 1,13 0,014 0,46 0,002 0,44 0,049 0,47 0,23 0,19 0,13 0,27 0,17 0,27 0,096 0,36 0,122 0,36 0,073 0,27 0,09 0,28 0,18 0,33
Lampiran 5. Data Variabel Dalam Gravity Model Tahun
Negara
Log Xij
Log Dij
Log GDPj
Log PopJ
Log Pj
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Jepang
10.43799 10.10557 8.052296 10.46561 6.473891 9.014204 10.33504 11.73045 11.58766 12.28623 12.08496 10.50337 10.00839 6.785588 8.123854 11.84223 11.18573 12.60853 9.546813 7.600902 11.39112 14.30135 11.26972 9.597845 8.300529 11.32655 11.85586 10.59353 12.12210 11.47843 9.807527 8.387995 12.38430 8.385261 6.549651 8.861775 11.00861 10.92194 10.88766 10.47760 11.32044 9.558671 11.76795 10.34875
2.639057 2.639057 2.639057 2.639057 2.639057 2.639057 2.639057 2.639057 2.639057 2.639057 2.639057 2.197225 2.197225 2.197225 2.197225 2.197225 2.197225 2.197225 2.197225 2.197225 2.197225 2.197225 0.693147 0.693147 0.693147 0.693147 0.693147 0.693147 0.693147 0.693147 0.693147 0.693147 0.693147 2.995732 2.995732 2.995732 2.995732 2.995732 2.995732 2.995732 2.995732 2.995732 2.995732 2.995732
10.51121 10.42121 10.32167 10.44287 10.50783 10.37702 10.32941 10.40804 10.48685 10.47990 10.55607 9.415809 9.330343 8.920656 9.167642 9.299998 9.234447 9.356344 9.458216 9.566825 9.709417 9.780755 10.15786 10.16157 9.979893 9.954941 10.04668 9.947361 9.964159 9.997615 10.13305 10.20348 10.28603 10.22608 10.13170 10.16923 10.17664 10.09877 10.12939 10.21288 10.41310 10.52921 10.55310 10.66125
18.64989 18.65231 18.65504 18.65579 18.65911 18.66087 18.66320 18.66414 18.66535 18.66569 18.66577 17.63422 17.64396 17.65345 17.66264 17.67175 17.67315 17.67866 17.68357 17.68842 17.69282 17.69538 15.09977 15.13371 15.16763 15.17487 15.18206 15.23408 15.24374 15.24707 15.26014 15.28380 15.29557 16.55596 16.56067 16.56625 16.57300 16.57956 16.58729 16.59466 16.60006 16.60410 16.60701 16.60877
1.773 1.665 1.587 1.726 1.702 1.660 1.629 1.708 1.776 1.757 1.704 1.662 1.495 1.105 1.272 1.321 1.190 1.220 1.269 1.308 1.420 1.492 2.180 2.131 2.010 2.000 1.982 1.941 1.941 1.969 2.000 2.017 2.066 2.468 2.328 2.311 3.061 2.915 2.886 2.937 2.865 2.773 2.781 2.756
Korea
Singapura
Belanda
Log Pi 1.193 0.223 0.254 0.500 0.463 0.741 0.371 0.875 1.131 1.000 1.252 1.193 0.223 0.254 0.500 0.463 0.741 0.371 0.875 1.131 1.000 1.252 1.193 0.223 0.254 0.500 0.463 0.741 0.371 0.875 1.131 1.000 1.252 1.193 0.223 0.254 0.500 0.463 0.741 0.371 0.875 1.131 1.000 1.252
Log ERj 4.689236 4.795708 4.874434 4.735321 4.679907 4.800408 4.831349 4.752987 4.683889 4.702388 4.756087 6.690159 6.857808 7.245256 7.080716 7.030822 7.163165 7.131770 7.083061 7.043439 6.931589 6.861491 0.343590 0.392042 0.512824 0.524729 0.542324 0.582216 0.582216 0.553885 0.524729 0.506818 0.457425 0.521766 0.668342 0.684611 -0.064005 0.081580 0.110647 0.060154 0.131905 0.223144 0.215111 0.239017
Lampiran 5. Data Variabel Dalam Gravity Model (Lanjutan) Tahun
Negara
1996
Amerika Serikat
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Log Xij
Log Dij
Log GDPj
Log PopJ
Log Pj
Log Pi
Log ERj
7.649216 7.774856 8.453188 10.29857 9.164296 9.659120 8.904087 9.826499 9.622450 9.519001 9.968010
2.890372 2.890372 2.890372 2.890372 2.890372 2.890372 2.890372 2.890372 2.890372 2.890372 2.890372
10.25710 10.30748 10.34929 10.39718 10.44476 10.46616 10.48975 10.52710 10.58497 10.63989 10.71375
19.39699 19.40653 19.41601 19.42546 19.45537 19.46911 19.47975 19.48818 19.49792 19.50726 19.51591
1.699 1.986 2.020 2.022 2.217 2.123 2.130 2.089 2.010 2.075 2.118
1.193 0.223 0.254 0.500 0.463 0.741 0.371 0.875 1.131 1.000 1.252
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
Lampiran 6. Estimasi Model Gravity Metode fixed effect Dependent Variable: LOG(V?) Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 05/18/08 Time: 11:34 Sample: 1996 2006 Included observations: 11 Cross-sections included: 5 Total pool (balanced) observations: 55 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable C LOG(Dij?) LOG(GDPj?) LOG(POPj?) LOG(Pj?) LOG(Pi?) LOG(ERj?) Fixed Effects (Cross) _JPN—C _KOR--C _SING--C _NETH--C _USA--C
Coefficient Std. Error 0.31072 -0.01563 0.22737 -0.29735 -0.34675 -0.06965 1.42956
0.89480 0.63251 0.94708 0.43498 1.04336 0.52438 0.78520
t-Statistic
Prob.
3.47257 -0.02472 -0.24007 -0.68359 -0.33234 -0.13283 -1.82062
0.0011 0.0000* 0.0000* 0.0000* 0.7412 0.0000* 0.0000*
-2.25470 -0.63758 0.97279 0.40076 1.51873 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.8420 0.80609 1.50206 23.4481 1.82225
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
10.8979 3.41105 99.2724 2.02000
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.312456 102.4722
Mean dependent var Durbin-Watson stat
Ket: * signifikan pada taraf nyata 5%
10.08224 2.05545
Lampiran 6. Estimasi Model Gravity (Lanjutan) Metode Pooed OLS Dependent Variable: LOG(V?) Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 05/18/08 Time: 11:32 Sample: 1996 2006 Included observations: 11 Cross-sections included: 5 Total pool (balanced) observations: 55 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable C LOG(Dij?) LOG(GDPj?) LOG(POPj?) LOG(Pj?) LOG(Pi?) LOG(ERj?)
Coefficient Std. Error 0.31115 -0.28228 0.63185 -0.20989 -0.22636 -0.60240 1.00434
0.93579 0.56422 0.74218 0.33204 0.90670 0.44902 0.40458
t-Statistic
Prob.
3.33605 -0.50030 0.85134 -0.63212 -0.24965 -1.34158 2.48240
0.0256 0.0000* 0.0000* 0.0000* 0.8038* 0.0000* 0.0000*
Weighted Statistics
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.73286 0.70560 1.64261 26.88494 5.68024
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
10.90180 3.02737 132.2102 1.69476
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.10339 133.6301
Mean dependent var Durbin-Watson stat
Ket: * signifikan pada taraf nyata 5%
10.08224 1.63505