BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka,.1 Indonesia dikenal sebagai salah satu negara kepulauan dengan kekayaan sumberdaya alam yang sangat melimpah. Kekayaan sumberdaya alam tersebut seharusnya bisa dioptimalkan sebagai potensi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian negara secara merata dan menyeluruh. Sebagai sebuah negara berkembang dengan kemampuan pembangunan masih berada dalam tahap factor-driven economy, yakni proses pembangunan yang bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya alam, maka sudah seharusnya setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat dan kebijakan yang dibuat pemerintah memperhatikan keberlanjutan dari keberadaan sumberdaya tersebut.2
1
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Analisa dan Evaluasi Hukum Tentang Prosedur Perizinan Pertambangan Rakyat,: BPHN, Jakarta, 1995, hal 1 2 Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal.1.
Melimpahnya sumberdaya alam yang ada di Indonesia menyebabkan banyak
penduduk
yang
menggantungkan
hidup
dengan
memanfaatkan
sumberdaya alam yang ada sebagai mata pencaharian mereka. Salah satu sumberdaya alam yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat adalah sumberdaya alam yang berasal dari sektor pertambangan. Di Indonesia terdapat beberapa wilayah yang memiliki potensi pertambangan, baik itu pertambangan batu bara, minyak bumi, gas, perak, emas dan lain-lain. Manusia tidak dapat lepas dari kebutuhan akan bahan tambang dalam hidupnya. Hampir setiap aspek kehidupan manusia memerlukan bahan tambang untuk keperluan hidup sehari-hari. Bahan galian (tambang) yang meliputi emas, perak, tembaga, batu bara, minyak bumi, gas bumi dan lain-lainnya dikuasai oleh Negara. Hak penguasaan Negara berisi wewenang untuk mengatur, mengurus dan mengawasi pengelolaan atau pengusahaan bahan galian, serta berisi kewajiban mempergunakannya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pengusahaan bahan galian (tambang), pemerintah dapat melaksanakan sendiri atau menunjuk kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah. Apabila usaha pertambangan dilaksanakan oleh kontraktor, kedudukan pemerintah adalah memberikan izin kepada kontraktor yang bersangkutan. Izin yang diberikan oleh pemerintah berupa kuasa pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu-bara, dan kontrak production sharing.3
3
Ibid, halaman 1-2.
Dalam hal ini sayangnya, tidak semua pertambangan yang ada memperoleh izin dari pemerintah. Kebanyakan pertambangan tersebut dikerjakan secara ilegal tanpa ada pengawasan dari pemerintah sehingga menimbulkan banyak kerugian dari pada manfaat bagi masyarakat maupun Negara. Perusakan alam dan pencemaran lingkungan banyak terjadi karena penambang ilegal tidak mempedulikan kelestarian alam, Negara kehilangan pendapatan karena para penambang tidak membayar pajak dan royalti. Pertambangan ilegal di Indonesia juga bukan suatu hal yang baru kita dengar, bahkan pertambangan ilegal sudah marak terjadi hampir disetiap wilayah yang berpotensi kaya akan bahan tambang. Ada banyak jenis pertambangan ilegal namun pertambangan ilegal yang paling berkembang pesat adalah pertambangan emas. Pertambangan emas ilegal atau sering di singkat dengan PETI (Pertambangan Emas Tanpa Izin) merupakan tambang yang jumlah pencemaran bahan tambangnya paling tinggi. Seperti yang terjadi di Daerah pesisir sungai Kapuas, wilayah yang dijadikan tempat pertambangan mulai dari Hulu sungai sampai ke hilir sungai tersebut, bahkan para penambang terus menambang emas sampai ke anakan sungai tersebut. Sehingga yang sudah pasti terjadi sungai kapuas menjadi sungai dengan pencemaran bahan tambang yang cukup tinggi. Disepanjang sungai ini kira-kira hampir terdapat, untuk saat ini setidaknya ada 2.000 mesin diesel di sepanjang Sungai Kapuas dan anak-anakannya. Jumlah pekerja diperkirakan mencapai lebih dari 10 ribu orang yang terbagi dalam 1.400an kelompok penambang. Ironisnya, mayoritas penambang itu tak berizin alias penambang liar. Para penambang itu umumnya berpindah-pindah. Pasalnya,
cadangan emas Kapuas diduga menipis setelah dikeruk massal pasca krisis moneter 1997.4 Sungai Kapuas hanyalah salah satu contoh wilayah yang dijadikan tempat pertambangan emas ilegal, masih banyak lagi sungai yang berada di wilayah Indonesia yang dijadikan sektor pertambangan emas ilegal. Bukan hanya terbatas di sungai-sungai saja para penambang liar itu sudah merambah ke daratan, mereka mengeruk bukit-bukit bahkan sampai masuk kepegunungan. Mereka menganggap pegunungan ataupun bukit-bukit tertentu berpotensi menyimpan emas. Bukit tersebut akan dikeruk untuk mendapatkan emas yang ada di dalam batu-batuan itu. Banyak masyarakat yang tertarik dan mencari tempat-tempat baru untuk mencari lokasi yang diprediksi berisi emas. Orang-orang yang datang bukan hanya dari daerah sekitar bahkan ada yang datang dari luar daerah untuk mencari peruntungan. Para investor yang memiliki modal berdatangan ke lokasi, dengan merusak alam dan mencemari lingkungan. Bukan hanya itu bahaya juga mengancam para pekerja penggali lubang, nyawa mereka menjadi taruhannya. Itu karena tidak adanya izin dari pemerintah ataupun para penegak hukum sehingga pemilik modal hanya memikirkan bagaimana caranya mendapatkan hasil yang banyak tanpa memikirkan keselamatan para pekerjanya. Seperti yang terjadi di Sumatera Utara, tepatnya di Kabupaten Mandailing Natal kecamatan Huta Bargot, daerah itu seperti sudah menjadi surganya para penambang emas ilegal. Sudah tak terhitung banyaknya penambang illegal yang
4
“Pertambangan Emas di Bumi Khatulistiwa”, melalui http://keluargakecilsehat .blogspot. com /2011/01/pertambangan-emas-ilegal-di-bumi.html diakses pada 27 juli 2015
datang kesana untuk membuka lokasi atau istilahnya membuat lubang untuk mencari emas. Ratusan tenda pekerja didirikan disekitar lokasi tambang, pekerja yang datang bukan hanya dari sekitar daerah tersebut bahkan ada yang berasal dari pulau jawa. Mereka berdatangan dengan harapan bisa mendapatkan rezeki sebagai pekerja tambang emas. Tanpa mempedulikan keselamatan diri, mereka menggali lubang hingga bermeter-meter ke dalam tanah demi mencari batu yang diangap menyimpan emas. Mereka tidak dibekali alat-alat penyelamat apapun, hanya dengan bermodalkan peralatan sederhana mereka mempertaruhkan nyawa menggali batubatu tersebut. Selain itu bahaya longsor akibat kondisi tanah yang tidak stabil akibat lubang-lubang galian yag saling tumpang tindih juga mengancam nyawa pekerja. Banyaknya penambang di Kecamatan Huta Bargot menjadikan daerah itu rawan longsor akibat banyaknya tanah-tanah yang digali dan penebangan pohon yang dilakukan secara sembarangan. Bahkan sampai saat ini belum ada tindakan dari Pemkab Madina untuk mendisiplinkan para penambang liar. Ironisnya para pengusaha tambang itu mengatasnamakan masyarakat kecil untuk memodali pembukaan tambang emas ilegal ini. Badan Perwakilan Desa (BPD) Huta Bargot, Wazik, mengatakan, tambang liar tersebut tidak sepenuhnya milik warga sekitar Huta Bargot justru lebih dari 75 persen tambang emas ilegal tersebut dikendalikan pengusaha maupun oknum yang memiliki modal dari luar kecamatan ini warga sekitar tidak mampu menguasai lokasi tambang ini karena butuh modal puluhan juta untuk melakukan penambangan. Tambang liar ini tetap eksis karena para pemodal mengatasnamakan warga atau rakyat yang tidak memiliki pekerjaan
banyak berkeliaran untuk melakukan tambang yang tanpa prosedur ini.Tambang emas ilegal tersebut sudah menjadi incaran pengusaha, karena saat ini tambang diperkirakan beromset milyaran rupiah per bulan. Mereka mempekerjakan masyarakat sekitar sehingga mereka tidak mau melapor kepada pemerintah apabila terjadi kecelakaan kerja atau telah terjadi perusakan lingkungan yang mengancam nyawa masyarakat sekitar daerah penambangan. Warga takut apabila melapor tambang emas ilegal itu akan ditutup sedangkan mereka menggantungkan hidup pada tambang ilegal tersebut. Akhir-akhir ini telah terjadi kasus kematian yang terjadi dilokasi penambangan liar di Desa Huta Nauli Kecamatan Huta Bargot. Korban tewas akibat menghirup zat beracun yang ada di dalam lubang tambang tersebut, korban tewas sebanyak 4 orang, diduga korban yang tewas disebakan karena zat asam yang terdapat di dalam lubang sehingga dari zat asam tersebut menyebabkan korban mengalami sesak atau sulit bernafas karena zat tersebut sehingga korban tidak sempat meninggalkan lubang tersebut dan akhirnya korban pun tewas di dalam lubang, diperkirakan ada lebih dari 400 lubang tambang emas di hutan lindung Hutabargot yang mengakibatkan kondisi tanah labil dan mudah longsor, namun hingga kini belum ada tindakan tegas dari pemerintah daerah setempat.5 Berdasarkan fakta yang ditemukan maka merasa tertarik untuk membuat suatu tulisan mengenai kasus meninggalnya pekerja tambang tersebut dengan judul Kajian Hukum Pidana Terhadap Pertambangan Emas Tanpa Izin Di Kecamatan Hutabargot Kabupaten Mandailing Natal “Empat
5
Penambang Liar Di Huta Bargot “http://m.liputan6.com”/diakses pada tanggal 02 Agustus 2015
tewas
Keracunan”
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana Dampak Pertambangan Emas Di Kecamatan Hutabargot Kabupaten Mandailing Natal ? 2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana bagi penambang emas tanpa izin ? 3. Apa saja hambatan yang di temui dalam pemberian sanksi pidana terhadap tambang emas tanpa izin di Kecamatan Hutabargot, Kabupaten Mandailing Natal? C. Tujuan dan Manfaat Skripsi ini sebagai suatu karya ilmiah yang kiranya dapat bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia. Adapun tujuan dari skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui dampak pertambangan emas di kecamatan hutabargot kabupaten mandailing natal 2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana bagi penambang emas tanpa izin 3. Untuk mengetahui hambatan apa yang di temui dalam pemberian sanksi pidana terhadap tambang emas tanpa izin di Kecamatan Hutabargot, Kabupaten Mandailing Natal
Skripsi ini juga memberikan manfaat yang tidak dapat di pisahkan dari tujuan penulisanyang telah di uraikan diatas, yaitu : 1. Manfaat Teoritis Dengan adanya penulisan skripsi ini kiranya dapat menambah wawasan dan kaedah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana yang berkaitan dengan pertambangan emas tanpa izin serta pertanggungjawaban pidananya. 2. Manfaat Praktis Diharapkan dari hasil penulisan ini agar bermanfaat bagi masyarakat umum agar mendapat pemahaman hukum secara praktis dan efisien tentang pertambangan emas tanpa izin, serta juga dapat member masukan bagi aparat penegak hukum dalam memberantas tindak pidana ini dan menyadarkan masyarakat dalam peran sertanya untuk ikut dalam usaha tersebut. D. Keaslian Penulisan “ Kajian Hukum Pidana Terhadap Pertambangan Emas Tanpa Izin Di Kecamatan Hutabargot Kabupaten Mandailing Natal ” yang di angkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ditulis di fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara maupun di Fakultas Hukum Universitas lain yang ada di Indonesia. Skripsi ini merupakan hasil karya dari penulis sendiri melalui pemikiran, referensi buku – buku, referensi internet dan bantuan dari pihak lain.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Hukum Pidana Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar – dasar dan aturan – aturan untuk : 6 a. Menentukan perbuatan – perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancamanatau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. b. Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan – larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Sudarto7, mendefinisikan hukum pidana hukum pidana sebgai hukum yang memuat aturan – aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan – perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat pidana. Sejalan dengan hal ini, maka Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) memuat dua hal pokok, yaitu : a. Memuat pelukisan – pelukisan dari perbuatan – perbuatan yang diancam pidana, yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Jadi, di sini seolah – olah negar menyatakan kepada umum
6
Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta 2002, hal 1 Sudarto dalam Mahrus Ali, Dasar – Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Yogyakarta, 201, hal 3 7
dan juga kepada para penegak hukum, perbuatan – perbuatan apa yang dilarang dan siapa yang dapat dipidana. b. KUHP menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan – perbuatan yang dilarang itu. Dalam hukum pidana modern reaksi ini tidak hanya berupa pidana akan tetapi juga apa yang disebut dengan tindakan, yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan – perbuatan yang merugikannya. Hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran – pelanggaran dan kejahatan, terhadap kepentingan umum, pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan dan siksaan bagi yang bersangkutan, dari definisi tersebut dapat diputuskan bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma –norma yang baru, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran – pelanggaran dan kejahatan – kejahatan terhadap norma – norma hukum mengenai kepentingan umum.8 Dapat dilihat dari garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama dan sumber pokok hukum pidana, maka hukum pidana itu adalah bagian hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang: a. Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif
8
41
Berlin Nainggolan, Diktat Pengantar Hukum Indonesia, Fak. Hukum USU, 2012 , hal
maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa (straf) bagi yang melanggar larangan itu. b. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi sipelanggar untuk dapat dijatuhkan sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbutan yang dilanggarnya. c. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan Negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum
pidana
dalam
rangka
usaha
Negara
menentukan,
menjatuhkan dan melaksanakan saksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan Negara dalam upaya Negara menegakkan hukum pidana tersebut.9
Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang pelanggaranpelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau sanksi.10 Setiap kita berhadapan dengan hukum, pikiran kita menuju kearah sesuatu yang mengikat prilaku seseorang di dalam masyarakatnya. Di dalamnya terdapat ketentuan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, serta akibatnya. Yang pertama disebut dengan norma sedang akibatnya dinamakan 9
Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagaian I,. Rajawali pers, Jakarta 2002.
hal 2 10
C.S.T. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 2002, hal 257
sanksi. Yang membedakan hukum pidana dengan hukum yang lainnya, diantaranya adalah bentuk sanksinya, yang bersifat negatif yang disebut dengan sebagai pidana (hukuman). Bentuknya bermacam-macam dari dipaksa diambil hartanya
dikarenakan
harus
membayar
denda,
dirampas
kebebasannya
dikarenakan dipidana kurungan atau penjara, bahkan dapat pula dirampas nyawanya, jika di putuskan dijatuhi hukuman mati.11 2. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidna atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek
atau Kitab Undang – Undang
Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.12 Moeljatno dalam Mahrus Ali mengatakan bahwa pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tertentu.13 Defenisi dalam konsep KUHP tindak pidana diartikan sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. dalam konsep juga dikemukakan bahwa untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan harus juga bersifat melawan hukum
11
Teguh Prasetyo. Hukum Pidana. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2010. hal 1 Wirjono Prodjodikoro, Asas – Asas Hukum Pidana Di Indonesia,Refika Aditama. Bandung, 2003, hal 59 13 ibid 12
atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.14 Dalam perbuatan pidana yang bersifat melawan hukum menurut pandangan Moeljatno dan Roeslan Saleh, ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya, maka unsur-unsur perbuatan pidana meliputi beberapa hal15: a. Perbuatan itu berwujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum. b. Kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam pengertiannya yang formil maupun materiil. c. Adanya hal-hal dan keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum. Dari ketiga unsur tersebut, unsur ketiga yang ketiga ini terkait dengan beberapa hal yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan Pasal hukum pidan yang ada dalam undang-undang. Misalnya berkaitan dengan diri pelaku perbuatan pidana, tempat terjadinya perbuatan pidana, keadaan sebagai syarat tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan. Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan – perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman/ pidana yang 14
Ibid. halaman 98 MR. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung jawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 100 15
termuat dalam pasal – pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan denda. Dengan adanya perkumpulan – perkumpulan dari orang – orang, yang sebgai badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, tibul gejala – gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, jelas masuk perumusan pelbagai tindak pidana. Dalam hal ini, sebagai perwakilan yang terkena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu orang – orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, seperti misalnya seorang direktur dari suatu perseroan terbatas yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi. Maka, timbul dan kemudian merata gagasan bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subjek suatu tindak pidana. Hukuman pidana ini tentunya hanya yang berupa denda, yang dapat dibayar dari kekayaan perkumpulan. Semacam hukuman pidana sudah lama dapat dikenakan kepada perkumpulan badan hukum yang dalam tindakannya menyimpang dari anggaran dasar yang telah disahkan oleh Departemen Kehakiman, yaitu secara pencabutan kedudukan perkumpulan sebagai badan hukum oleh pemerintah setelah ada tuntutan dari kejaksaan dan penyertaan dari Mahkamah Agung.16 Pengertian perbuatan pidana telah banyak dikemukakan oleh para ahli hukum pidana. Antara satu pengertian perbuatan pidana dengan pengertian pidana yang lain secara umum terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang memisahkan secara tegas antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban
16
Ibid hal 59-60
pidana,
dan
kelompok
yang
menyamakan
perbuatan
pidana
dan
pertanggungjawaban pidana.17 pengertian perbuatan pidana semata menunjuk kepada perbuatan baik secara aktif maupun secara pasif. Sedangkan apakah pelaku ketika melakukan perbuatan pidana patut dicela atau memiliki kesalahan bukan merupakan wilayah perbuatan pidana, tetapi sudah memasuki diskusi pertanggungjawaban pidana.
3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si pelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tindak dipidana tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan pidana. Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan
17
Ibid. halaman 97
oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. Dalam
pengertian
perbuatan
pidana
tidak
termasuk
hal
pertanggungajwaban. Perbuatan hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apakah orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis: “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat.18 Pelaku tindak pidana tidak dapat mempertanggungjawabkan atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah19 : a. Melakukan perbuatan pidana, b. Mampu bertanggung jawab, 18 19
MR. Roeslan Saleh, Op.Cit hal. 75 Ibid, hal. 78-79
c. Dengan kesengajaan atau kealpaan, d. Tidak ada alasan pemaaf. Menurut Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.20 Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. 4. Pengertian Pertambangan Pengertian pertambangan dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian, penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral, batubara, panas bumi, minyak dan gas)21. Dalam Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pengertian Pertambangan terdapat pada Pasal 1 (1) yang berbunyi sebagai berikut “pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolahan dan pengusahaan mineraql atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkatan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang”22
20
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, 1996, hal .11 21 “Pertambangan”, https:/id.m.wikipedia.org/wiki/Pertambangan Diakses pada 26 September 2015 Pukul 10.25 WIB 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, Pertambangan Mineral Dan Batubara
5. Pengertian Bahan Berbahaya dan Beracun Bahan berbahaya dan beracun adalah bahan yang karena sifatnya dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya , baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. Pengertian bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah menurut PP Nomor 19 Tahun1994 dan di sempurnakan dalam PP Nomor 12 Tahun 1995 limbah adalah bahan sisa pada suatu kegiatan dan /atau proses produksi. Limbah bahan berbahaya dan beracun yang di singkat dengan (B3) adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung dan/atau membahayakan kesehatan manusia.23 Pemanfaatan limbah B3 yang mencakup kegiatan daur ulang (reclying), perolehan kembali (recovery) dan penggunaan kembali (reuse) merupakan satu mata rantai penting dalam pengolahan limbah B3. Dengan tekhnologi pemnfaatan limbah B3 di satu pihak dapat dikurangi jumlah B3 sehingga biaya pengolahan limbah B3 juga dapat di tekan, dan di lain pihak akan meningkatkan kemanfaatan bahan baku. Hal ini, pada gilirannya akan mengurangi kecepatan pengurasan sumber daya alam. Kegiatan pemanfaatan limbah B3 mempunyai resiko bahaya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia apabila tidak dikelola dengan baik, oleh sebab itu, pengolahan limbah B3 bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi sifat berbahaya dan beracun limbah B3 agar tidak membahayakan kesehatan manusia dan untuk mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan 23
E.Y.Kanter. S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Alumni AHM-PTHM. Jakrta. 2002, Hal 249
lingkungan. Setiap orang atau badan usaha dilarang membuang limbah B3 secara langsung ke dalam air, tanah, atau udara. Karena itu pemanfaatn limbah B3 juga harus mematuhi ketentuan yang berlaku bagi penghasil limbah B3. Pengolahan terhadap limbah B3, di wajibkan kepada para pengolah limbah B3 untuk membuat AMDAL, RKL, dan RPL untuk menyelenggarakan kegiatannya baik secara sendiri maupun secara terintegrasi dengan kegiatan utamanya. Di bidang perizinan, setiap badan usaha yang melakukan kegiatan pengumpulan dan/atau pengolahan limbah B3 wajib memiliki izin dari Kepala Badan Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedal). Pengangkutan limbah B3 wajib memiliki surat izin dari manteri perhubungan setelah mendapt rekomendasi dari kepala Bapedal, sedangkan pemanfaatan limbah B3 wajib memiliki izin dari pimpinan instansi pembina yang bersangkutan,setelah mendapat rekomendaasi dari kepala Bapedal. 6. Perjanjian Kerja Pengertian perjanjian kerja ada beberapa menurut undang – undang yaitu : a. Pasal 1601 Kitab Undang _ Undang Hukum Perdata “perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak keasut si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menrima upah”24
24
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Pasal 1 angka 14 Undang – Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan “perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja / buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat – syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.” 25 Selain pengertian normatif seperti tersebut diatas, Imam Soepomo berpendapat bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu buruh, mengikatkan dirinya untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lain yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar gaji.26
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penulisan skripsi ini agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan maka jenis penelitian yang dipergunakan adalah bersifat deskriptif yaitu menerangkan dan menjelaskan suatu peristiwa dengan maksud mengetahui keadaan sesuatu mengenai apa dan bagaimana, berapa banyak, sejauh mana dan bagaimana, mengingat permasalahan yang diteliti adalah mengenai pertambangan tanpa emas izin yang terjadi di dalam masyarakat.
25
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Imam Supomo dalam Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2000, Hal 36 26
2. Lokasi Penelitian Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian terhadap tambang emas tanpa izin ini di Kecamatan Hutabargot, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara
3. Sumber Data Sumber data penulisan skripsi ini didapatkan melalui data sekunder. Sumber data sekunder yang terdiri dari: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang dipakai dalam penulisan ini adalah UndangUndang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, serta KUHP b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang dipakai dalam penulisan ini berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti c. Bahan hukum tertier Bahan hukum tertier yang dipakai yaitu dengan menggunakan kamus hukum maupun kamus umum dan website internet baik melalui Google. 4. Metode Pengumpul Data Metode yang dipergunakan dalam mengumpulkan data pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan dan wawancara. 5. Analisis Data
Dalam mengolah data yang didapatkan dari penelusuran studi dokumen dan kepustakaan, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Dengan menggunakan analisis kualitatif maka teori-teori maupun data yang ditemukan dapat dipaparkan dalam pembahasan hasil skripsi.
G. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan dapat pula memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya yang dapat dilihat sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar belakang penulisan skripsi ini, permasalahan dalam skripsi ini, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan menguraikan tentang tinjauan kepustakaan yang membahas mengenai pengertian hukum pidana dan tindak pidana, unsur – unsur tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, pertambangan, bahan berbahaya dan beracun, dan perjanjian kerja. Dalam skripsi ini juga terdapat metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II Dampak Pertambangan Emas Di Kecamatan Hutabargot Kabupaten Mandailing Natal
Bab ini akan memberikan pemaparan tentang tinjauan umum lokasi pertambangan, sejarah mulainya pertambangan emas tanpa izin di Kecamatan
Hutabargot
Kabupaten
Mandailing
Natal,
dampak
pertambangan emas tanpa izin Bab III Pertanggungjawaban Pidana Bagi Penambang Emas Tanpa Izin Pada bab ini penulis akan membahas tentang aspek hukum pertambangan emas tanpa izin dan ketentuan pidananya Bab IV Hambatan Yang Ditemui Dalam Pemberian Sanksi Pidana Terhadap Tambang Emas Tanpa Izin Di Kec. Hutabargot, Kab. Mandailing Natal Pada ma mini penulis menerangkan hambatan apa saja dalam pemberian sanksi yaitu berupa : hambatan masyarakat, Hambatan dalam penerapan hukum, dan penyelesaian masalah oleh pemerintah. Bab V Penutup Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari masalah – masalah yang telah dibahas pada bab – bab terdahulu dan saran yang berguna bagi semua pihak untuk mengantisipasi pertambangan emas tanpa izin yang terjadi pada saat ini.