1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Pembangunan Ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional,
merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut selaras dengan arah kebijakan pembangunan di bidang hukum dalam menyeimbangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional. Kegiatan pembangunan di bidang ekonomi tentu membutuhkan penyediaan modal yang besar. Demikian pula halnya dengan suatu usaha yang bergerak dalam bidang ekonomi dalam upaya
meningkatkan proses produksinya akan
membutuhkan pendanaan seperti sebagai salah satu sumber dana yang diantaranya dalam bentuk penyediaan perkreditan. Kredit adalah penyaluran dana pinjaman oleh bank kepada masyarakat. Dalam praktek perbankan untuk lebih mengamankan dana yang disalurkan bank (kreditur) kepada peminjam (debitur) diperlukan pengaman berupa jaminan. Adapun jaminan yang banyak digunakan adalah jaminan tanah didasarkan pada pertimbangan bahwa tanah paling aman dan mempunyai nilai ekonomi relatif tinggi. Jaminan hak tanggungan berupa tanah dianggap paling aman dan efektif karena mudahnya dalam mengidentifikasi obyek hak tanggungan, jelas dan pasti
2
eksekusinya. Disamping itu, hutang yang dijamin dengan hak tanggungan harus dibayar terlebih dahulu dari tagihan lainnya dengan uang hasil pelelangan tanah yang menjadi obyek hak tanggungan.1 Secara umum mengenai jaminan telah diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi hak tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Rumusan dari Pasal 1131 KUHPerdata tersebut mengandung 2 (dua) hal yang mendasar, yaitu : 1.
Ketentuan tersebut memberi pengertian bahwa setiap subyek hukum adalah menyandang hak dan kewajiban sendiri, yang dalam hal ini terwujud dalam kepemilikan harta kekayaan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang dimiliki oleh subyek hukum tersebut.
2.
Ketentuan tersebut menentukan bahwa harta kekayaan seseorang dapat berubah dari waktu ke waktu karena perikatan yang dibuat dilakukan maupun sebagai akibat peristiwa hukum yang terjadi atas diri subyek hukum tersebut dari waktu ke waktu. Hal ini tercermin dari pernyataan yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari.
Hak tanggungan itu sendiri, tidak dapat dilepaskan dari keadaan-keadaan yang terjadi pada saat pemberian hak tanggungan, karena pada dasarnya hak tanggungan harus dihadiri dan dilakukan oleh pihak bank sebagai kreditur dan
1
Agus Yudha Hernoko, 1998, Lembaga Jaminan Hak Tanggungan Sebagai Penunjang
Kegiatan Perkreditan Perbankan Nasional, Tesis, Pascasarjana UNAIR, Surabaya, h.7.
3
pihak debitur dihadapan pejabat yang berwenang yaitu Notaris/PPAT. Hal ini dapat dipahami mengingat pemberi hak tanggungan sebagai pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum membebankan hak tanggungan atas obyek yang dijadikan jaminan. Dalam kehidupan masyarakat yang dinamis dengan berbagai raga kegiatan dan rutinitas kesehariannya dapat berimplikasi pada kemungkinan seseorang tidak bisa hadir atau berhalangan pada saat seharusnya dilakukan penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Apabila terjadi hal demikian maka dapat dilakukan dengan cara pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan. Dalam Pasal 1972 KUHPerdata ditetapkan bahwa pemberian kuasa adalah suatu perjanjian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa. 2 Berkaitan dengan pemberian kuasa ini perlu diperhatikan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas tanah Berserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disebut Undang-Undang Hak Tanggungan). Menurut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, yang menyatakan bahwa : “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta Notaris atau Akta PPAT dan memberikan persyaratan sebagai berikut: a.
Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan;
2
Retnowulan Sutantio, 1999, Penelitian Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit,
Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman RI, Jakarta, h.8.
4
b.
Tidak memuat kuasa substitusi
c.
Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah hutang dan nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan Pemberian Hak Tanggungan.” Menurut Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan, yang
menyatakan bahwa : “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.” Selanjutnya menurut Pasal 16 ayat (6) Undang-Undang Hak Tanggungan, ditetapkan bahwa : “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana pada ayat (3) batal demi hukum”. Dalam Pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut memberikan pengaturan mengenai ketentuan formal dan materiil dari suatu surat kuasa yang akan diperlukan untuk memberikan jaminan kebendaan dalam bentuk Hak Tanggungan. Pengertian mengenai Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan sendiri tidak dipaparkan secara jelas dalam Undang-Undang Hak Tanggungan namun dapat ditarik kesimpulan bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan adalah suatu pernyataan yang berbentuk surat, dimana dalam surat tersebut memuat tentang kuasa dari debitur kepada kreditur untuk memasangkan Hak Tanggungan atas obyek yang ditunjuk sebagai jaminan atas kredit yang diberikan kreditur terhadap debitur. Dalam perjanjian kredit, SKMHT ini sangat penting, karena SKMHT dapat menjamin kepastian hukum bagi kreditur, dimana dana telah dicairkan oleh
5
kreditur sedangkan objek Hak Tanggungan belum dipasangkan Hak Tanggungan, dengan alasan sedang dalam proses di Kantor Pertahanan. Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan menentukan bahwa : ”Kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga, kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya. Dalam tataran empiris seiring kita dapatkan dalam pemberian kredit kepada debitur yaitu berupa Kredit Pemilikan Rumah atau Kredit Multi Guna dengan menggunakan jaminan berupa sertifikat tanah. Jaminan ini akan diserahkan oleh pihak Debitur tersebut sudah dibuatkan pengalihan haknya dalam bentuk akta jual beli yang dibuat dihadapkan Notaris/PPAT dan sudah didaftarkan di Kantor Badan Pertahanan Nasional (BPN) akan tetapi sertifikatnya belum terbit atas nama debitur. Pembebanan hak tanggungan atas jaminan ini tidak bisa dilakukan bersamaan dengan perjanjian pengikatan kreditnya. Pengikatan jaminan atas jaminan ini hanya bisa
dilakukan dengan pembuatan SKMHT dan biasanya
disertai dengan Covernote atau surat keterangan dari Notaris/PPAT yang membuat akta jual beli tersebut yang isinya menerangkan bahwa sertifikat yang akan dipakai sebagai jaminan kredit sedang dalam proses balik nama di Kantor Badan Pertahanan Nasional (BPN) dan apabila sudah selesai diproses akan segera diserahkan kepada bank tanggungan. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan, jangka waktu SKMHT untuk hak tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan pemberian hak tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan, sedangkan
6
penyelesaian sertifikat untuk tanah yang masih dalam proses balik nama sering terjadi memakan waktu lebih dari 1 (satu) bulan dan bahkan lebih dari 1 (satu) tahun. Terhadap kondisi yang demikian ini secara yuridis kedudukan bank selaku kreditur menjadi lemah sekali, hal ini disebabkan antara lain: a.
Karena pembebanan hak tanggungan atas jaminan tersebut belum bisa dilakukan, dan pembebanan hak tanggungan itu baru bisa dilakukan kembali apabila sertifikat tersebut sudah selesai diproses dan hal inipun baru bisa dilakukan dengan menghadirkan kembali debitur atau pemilik jaminan tersebut dihadapan Notaris/PPAT untuk menandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan yang baru. Konsekuensinya bisa saja terjadi terhadap debitur nakal yang mengetahui celah atau kelemahan ini untuk mengulur-ulur waktu yang atau bahkan tidak mau lagi untuk menandatangani akta pembebanan hak tanggungan.
b.
Apabila selama proses penyelesaian sertifikat tersebut ada permohonan sita yang lebih dahulu masuk ke Kantor Badan Pertahanan Nasional (BPN), maka pembebanan hak tanggungan atas jaminan ini tidak bisa dilakukan.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan dari uraian latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka
dapat dikemukakan beberapa permasalahan yaitu :
7
1.
Bagaimanakah kedudukan surat kuasa membebankan hak tanggungan yang dibuat oleh Notaris yang belum menjadi PPAT dalam perjanjian kredit bank?
2.
Bagaimanakah akibat hukum terhadap surat kuasa membebankan hak tanggungan yang tidak dilanjutkan ke Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dalam hal terjadinya hutang?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Penelitian akan dilakukan dalam kerangka Hukum Perdata yang meliputi
mengenai kedudukan SKMHT dalam perjanjian kredit, serta juga akan mengkaji akibat hukum apabilan SKMHT tersebut tidak dilanjutkan dengan pemasangan APHT.
1.4 a.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum 1. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis. 2. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa. 3. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan umum. 4. Untuk pembulat studi mahasiswa di bidang ilmu hukum.
8
b. Tujuan Khusus Untuk mengkaji dan menganalisis kedudukan kuasa hak tanggungan yang tidak dilanjutkan dengan APHT, serta menganalisis dan mengkaji akibat hukum dalam hal kuasa hak tanggungan yang tidak dilanjutkan ke Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dalam proses Kredit Perbankan.
c.
Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan sumbangan pemikiran yang bersifat teoritis dan pemahaman konsep-konsep tentang kuasa hak tanggungan.
d. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada masyarakat tentang hal-hal yang harus dilakukan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan kuasa hak tanggugan, khususnya dalam proses Kredit Perbankan.
1.5 a.
Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir Landasan Teoritis Kuasa hak tanggungan awalnya sangat asing terdengar bagi orang awam
yang tidak pernah menggunakan tanah sebagai jaminan untuk meminjam uang di bank, tetapi bagi sebagai orang yang pernah bahkan sering meminjam uang di bank dengan menggunakan tanah sebagai jaminan, Kuasa hak tanggugan sudah
9
terbiasa terdengar bahkan menjadi salah satu pihak yang disebutkan dalam Kuasa Hak Tanggungan. Kuasa Hak Tanggungan ini dibutuhkan apabila ada masyarakat yang hendak meminjam uang di bank dengan menggunakan tanah sebagai jaminannya, maka Kuasa Hak Tanggungan ini dibutuhkan agar bank selaku kreditur dapat memasangkan hak tanggungan pada jaminan yang berupa tanah tadi. Bila dikaji lebih jauh dalam kehidupan sehari-hari kata kredit, bukanlah merupakan perkataan yang asing bagi masyarakat. Perkataan kredit tidak saja dikenal masyarakat, tapi sampai di desa-desa pun kata kredit tersebut sudah sangat popular. Pengertian kredit menurut Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah : “Kredit adalah penyediaan uang yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajiibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”. Kredit yang diberikan oleh kreditur kepada debitur perlu diamankan, untuk itu pihak kreditur memerlukan jaminan agar uang kredit yang diberikan dikembalikan sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan. KUHPerdata tidak memberikan pengertian tentang jaminan, tetapi hanya mengatur ketentuan umum tentang jaminan yaitu Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada
10
maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Jaminan berdasar Pasal 1131 KUHPerdata tersebut bersifat umum, berlaku untuk seluruh kreditur. Sedangkan Pasal 1132 KUHPerdata, menyatakan diperbolehkan hak jaminan yang bersifat istimewa dan didahulukan (khusus), misalnya dalam bentuk Hak Tanggungan. Tanah sebagai benda tidak bergerak dapat di jadikan jaminan, dan tanah tersebut akan dipasangkan hak tanggungan sebagai tanda bahwa tanah tersebut diajukan di bank, Hak Tanggungan bersifat tidak dapat dibagi-bagi, dan obyek hak tanggungan menurut Pasal 4 ayat (1) adalah : 1. Hak milik; 2. Hak guna usaha; 3. Hak guna bangunan Kaitannya dengan hal ini, apabila seseorang meminjam uang di bank dan menggunakan tanah sebagai jaminan atas pinjamannya tersebut, maka bank selaku kreditur akan menganalisa dahulu jaminan tersebut, menganalisa jaminan tidak bisa dilakukan dengan waktu singkat, waktu yang dibutuhkan minimal 7 hari. Setelah bank dapat menentukan nilai tanah tersebut, maka bank menyerahkan sertipikat tanah sebagai tanda bukti hak kepada Notaris untuk segera memproses pemasangan hak tanggungan tersebut di Kantor Badan Pertahanan Nasional (BPN), proses inipun juga tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat, terlebih jika tanah tersebut tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh BPN, proses pemenuhan syarat guna memasangkan hak tanggungan inilah yang menyebabkan
11
adanya Kuasa hak tanggungan yang harus ditandatangani oleh bank selaku kreditur dan peminjam selaku debitur, Kuasa hak tanggungan ini adalah berfungsi sebagai pengaman bagi pihak bank, agar tetap memiliki jaminan atas kredit yang diberikan walaupun sertipikat tersebut masih dalam proses di BPN. Kuasa hak tanggugan harus dibuat oleh pejabat yang berwenang, pejabat tersebut adalah notaris. Notaris berasal dari kata Notarius, yaitu nama yang pada jaman Romawi diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Fungsi Notarius pada saat itu sangat berbeda dengan fungsi Notaris pada waktu sekarang. Ada juga pendapat mengatakan bahwa Notarius itu berasal dari kata “nota literaria”3, yaitu yang menyatakan sesuatu perkataan. Kemudian dalam abad kelima dan keenam sebutan Notarius, majemuknya Notarii, diberikan kepada penulis atau sekretaris pribadi dari Raja, sedangkan pada akhir abad kelima sebutan tersebut diberikan kepada pegawai-pegawai istana yang melaksanakan pekerjaan administrative. Adapun pejabat-pejabat yang dinamakan Notarii ini merupakan pejabat yang menjalankan tugas untuk pemerintah dan tidak melayani publik, yang melayani publik dinamakan Tabelliones, yaitu pejabat yang menjalankan pekerjaannya sebagai penulis untuk publik yang membutuhkan keahliannya. Pada dasarnya fungsi dari pejabat ini sudah hampir mirip dengan Notaris pada jaman sekarang, hanya saja tidak mempunyai sifat Ambtelijk, sehingga akta-akta yang dibuatnya tidak mempunyai sifat otentik. Kemudian pada tahun 537 M mengenai pekerjaan dan kedudukan dari Tabelliones ini diatur dalam 3
Nico, 2003, Tanggungjawab Notaris Selaku Pejabat Umum, CDSBL, Yogyakarta, h.31.
12
suatu constitutie, akan tetapi pejabat ini juga tetap tidak mempunyai sifat Ambtelijk.4 Lembaga Notariat telah dikenalkan di Negara Indonesia, yaitu sejak Indonesia dijajah oleh Belanda, semula lembaga ini diperuntukkan bagi golongan Eropa terutama dalam bidang hukum perdata, yaitu Burgelijk Wetboek. Meskipun peruntukan bagi golongan Eropa, masyarakat Indonesia juga dapat membuat suatu perjanjian yang dilakukan dihadapan Notaris, hal ini menjadikan lembaga Notariat semakin dibutuhkan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat. Di dalam perkembangannya lembaga Notariat ini secara diam-diam diadopsi dan menjadi Hukum Notariat Indonesia dan berlaku untuk semua golongan. Berkaitan dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak, dapat dipahami bahwa keadaan profesi notaris merupakan profesi yang sangat penting dan dibutuhkan dalam masyarakat, mengingat fungsi dari Notaris adalah sebagai pembuat alat bukti tertulis mengenai akta-akta otentik sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Adapun yang dimaksud dengan akta otentik berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata adalah : “suatu akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”. Untuk dapat membuat akta-akta otentik, Notaris harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan pegawai negeri. Meskipun pegawai negeri sebagai pejabat juga mempunyai tugas 4
Ibid, h. 32.
13
untuk memberikan pelayanan umum, tetapi pegawai negeri dalam hal ini tidak seperti yang dimaksud oleh Pasal 1868 KUHPerdata. Notaris bukan pegawai negeri bagaimana dimaksud oleh peraturan yang mengatur tentang kepegawaian. Notaris dalam hal ini tidak menerima gaji, melainkan honorarium dari Clientnya berdasarkan suatu peraturan. Pengertian Notaris menurut Pasal 1 UU Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang selanjutnya disebut dengan UUJN : “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagai dimaksud dalam undang-undang ini.”5 Dari ketentuan tersebut diatas nampak sekali bahwa Notaris harus berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat dengan memperhatikan peraturanperaturan yang ada. Salah satu ketentuan baru dalam UUJN adalah kewenangan Notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertahanan. Kewenangan ini diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN, serta Pasal 15 ayat (1) UUHT menegaskan bahwa SKMHT wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT. Kewenangan baru ini tentu disambut baik dikalangan Notaris. Diharapkan dimasa yang akan datang pengangkatan Notaris secara otomatis merupakan pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), karena sudah inheren didalam diri Notaris, maka pembinaan, mengangkat Notaris itu
5
Buku Panduan Kongres Luar Biasa dan UpGrading-Refreshing Course Ikatan Notaris
Indonesia, Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, 2005, h. 26.
14
otomatis mengangkat PPAT. Karena tidak perlu ada ujian khusus untuk diangkat menjadi PPAT. Karena PPAT berwenang membuat akta otentik maka ada baiknya mengetahui definisi dari suatu akta, suatu akta adalah suatu tulisan yang memang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti tentang suatu peristiwa yang terjadi. Sehubungan dengan batasan tersebut, Abdulkadir Muhamad, mengemukakan : “Surat akta adalah surat yang bertanggal dan diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atas perikatan yang digunakan untuk pembuktian. 6 Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Dengan demikian para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta Notaris yang akan ditandatanganinya. Menurut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT), menyebutkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1.
Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan.
2.
6
Tidak memuat kuasa substitusi (kuasa pengganti)
Abdulkadir Muhamad, 1982, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung, h.150.
15
3.
Mencantukkan secara jelas obyek hak tanggungan, jumlah utang, nama dan identitas krediturtnya, serta nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi hak tanggungan.
Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih. Kuasa yang demikian dikenal dengan sebutan kuasa khusus. Dengan demikian, apabila SKMHT yang dibuat dalam bentuk akta Notaris, ketentuan mengenai cara pembuatan dan bentuk akta Notaris yang harus diikuti sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, asalkan isi dari SKMHT tersebut harus memenuhi syarat dan mengandung muatan yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, baik dilakukan dengan akta Notaris atau akta PPAT harus memuat hal-hal yang sesuai dengan persyaratanpersyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Dengan perkataan lain, perjanjian pemberian kuasa membebankan hak tanggungan mempunyai sifat memaksa, dalam arti para pihak tidak bebas untuk menentukan sendiri, baik bentuk maupun isi dari perjanjian pembuatan akta SKMHT-nya. Akibat hukum dalam hal debitur melakukan pelunasan utang sebelum SKMHT dilanjutkan ke Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah batalnya pembebanan hak tanggungan pada obyek yang dijadikan agunan pada dalam hal pemberian kredit
16
oleh lembaga perbankan, serta SKMHT yang telah ada tersebut menjadi batal demi hukum. Dalam Pasal 15 ayat (3) UUTH disebutkan SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selanjutnya disebut dengan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah ditandatanganinya SKMHT.
b.
Kerangka Berpikir Berdasarkan landasan teoritik yang telah dipaparkan diatas, tidak lepas
dari permasalahan yang telah dirumuskan mengenai penelitian yang berjudul “Kewenangan Notaris dalam Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) pada Proses Kredit oleh Lembaga Perbankan” ditujuk teori bekerjanya hukum sebagaimana digambarkan dibawah ini :
KEWENANGAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) PADA PROSES KREDIT OLEH LEMBAGA PERBANKAN
Hak Tanggungan
APHT Tidak dilanjutkan ke APHT SKMHT batal demi hukum
Kreditur + Debitur (Pihak-Pihak dalam SKMHT)
Perjanjian Kredit Notaris
KREDITUR
DEBITUR
17
Dalam perjanjian kredit, melibatkan dua pihak yaitu kreditur dan debitur, dimana bank disini adalah sebagai kreditur atau penyedia dana. Perjanjian kredit dapat dibuat oleh Notaris dalam bentuk akta Notariil maupun oleh kreditur sendiri dalam bentuk akta dibawah ini. Setelah terjadinya kesepakatan antara kreditur sendiri dalam bentuk akta dibawah tangan. Setelah terjadinya kesepakatan antara kreditur dan debitur, maka segera dilanjutkan ke SKMHT, para pihak yang tercantum dalam SKMHT adalah kreditur dan debitur serta SKMHT tidak memuat kuasa substitusi, dan tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain selain membebankan hak tanggungan. Teori bekerjanya hukum terlihat saat SKMHT harus dilanjutkan ke APHT, dimana Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.
1.6
Hipotesis Adapun hipotesis yang dapat diajukan berdasarkan rumusan permasalahan
diatas adalah sebagai berikut : 1.
Apabila SKMHT dibuat oleh Notaris yang belum sebagai PPAT dengan ditetapkannya Undang-Undang Hak Tanggungan dan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Notaris dapat membuat SKMHT tersebut tetapi tidak dengan APHT.
2.
Apabila debitur melakukan pelunasan utang sebelum SKMHT dilanjutkan ke Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), maka akibat
18
hukumnya adalah batalnya pembebanan hak tanggungan pada obyek yang dijadikan agunan dalam hal pemberian kredit oleh lembaga perbankan, serta SKMHT yang telah ada tersebut menjadi batal demi hukum.
1.7
Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini digunakan penelitian empiris yaitu penelitian yang di dasarkan atas keadaan atau fakta yang terjadi sebagai obyek penelitian.
b. Sifat Penelitian Penelitian dalam skripsi ini adalah bersifat deskriptif. Penelitian yang sifatnya deskriptif yaitu penelitian yang sifatnya bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.
c. Data dan Sumber Data Sebagai sumber data hukum pokok dari penelitian ini terdiri dari data primer, data sekunder dan data tersier (sebagai penunjang data primer dan sekunder).7 Adapun sumber data dari penulisan skripsi ini adalah :
7
Soerjono Soekanto, dan Sri Pamidji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 38.
19
1.
Data primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni UUD RI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk SKMHT, APHT, Buku Tanah Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan.
2.
Data sekunder Adalah data yang memberi penjelasan mengenai data primer yang dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang dapat penelitian 8 yaitu literatur-literatur yang berkaitan dengan Hukum Perdata, Hukum Acara Perdata, Hukum Kenotariatan, Hukum Perjanjian, buku-buku yang membahas tentang Hak Tanggungan, SKMHT, perbankan dan Proses Kredit Perbankan.
3.
Data tertier atau data penunjang Mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap data primer dan sekunder, seperti Kamus Lengkap
8
Bambang Sunggono, 2005, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 214.
20
Inggris-Indonesia, Indonesia, Inggris dan EYD, Kamus, ensiklopedia, dan seterusnya.
d. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah Teknik Wawancara dan Interview. Adapun Teknik Wawancara yaitu teknik pengumpulan data yang sifatnya deskriptif, namun dapat juga digunakan dalam penelitian eksploratif dan eksplanatoris yang digabung dengan teknik pengambilan data lainnya.
e. Pengolahan dan Analisis Data Dari data yang telah dikumpulkan dan diklarifikasikan pada tahap prosedur pengumpulan data maka kemudian data yang ada tersebut diolah dan dianalisa secara yuridis empiris dengan mendeskripsikan bahan hukum yang ada dengan mengkaitkan konsistensi logis atau teori dan asas yang ada dengan aturan hukum yang tersedia, untk mengarahkan pembahasan atas permasalahan yang ada dari suatu jawaban kepada kesimpulan atas penelitian tersebut.