Pembangunan Hukum Islam di Indonesia
Al-Risalah
ISSN: 1412-436X
Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan
Vol. 15, No. 2, Desember 2015 (hlm. 285-295)
PEMBANGUNAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA (STUDI POLITIK HUKUM ISLAM DI INDONESIA DALAM KERANGKA AL-MASALIH)
Absori Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Jalan A. Yani Tromol Pos 1, Pabelan Kartasura E-mail:
[email protected]
Fatkhul Muin Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang Banten Jl. Raya Jakarta KM. 4 Pakupatan Kota Serang E-mail:
[email protected]
Naskah diterima tangal 10 September 2015. Revisi pertama tanggal 5 Oktober 2015, revisi kedua 4 November 2015.
Abstract: This essay attempts to reveal the political Islamic law in Indonesia as the basic construction of the Islamic law in Indonesia, using a normative paradigm with doctrinal approach. Developments of Islamic law in Indonesia in childbirth periodization legal political configuration. The birth of Djakarta charter that reduces the values of Islam as the value of Indonesian life is the beginning of the desire of the Indonesian people to establish Islamic law in Indonesia. The existence of Islamic law in Indonesia cannot be separated from the political perspective of law, so that the development of Islamic law in Indonesia must be oriented to the values of "al-masalih", which is the integration of positive law and the values of Islamic law. Keywords: Construction law, law politics, Islamic law, al-masalih.
Abstrak: Tulisan ini mencoba mengungkap politik hukum Islam di Indonesia sebagai konstruksi dasar dari pembangunan hukum Islam di Indonesia, dengan mengunakan paradigma normative dengan pendekatan doctrinal. Pekembangan hukum Islam di Indonesia dalam beberapa periodesasi melahirkan konfigurasi politik hukum. Lahirnya piagam Djakarta yang mereduksi nilai-nilai Islam sebagai nilai kehidupan bangsa Indonesia merupakan awal dari keinginan bangsa Indonesia untuk membentuk hukum Islam di Indonesia. Eksistensi hukum Islam di Indonesia tidak terlepas dari persepektif politik hukum, sehingga pembangunan hukum Islam di Indonesia harus berorentasi kepada nilai-nilai “al-masalih”, yang merupakan integrasi hukum positif dan nilai-nilai hukum Islam. Kata Kunci: Pembangunan hukum, politik hukum, hukum Islam, al-masalih.
Al-Risalah
Vol. 15, No. 2, Desember 2015
285
Absori dan Fatkhul Muin
embrio dari lahirnya hukum. Berkaitan dengan hukum Islam, secara historis pada abad Ke-17 M, Belanda mulai mengeluarkannya terhadap keberadaan Hukum Islam. Melalui kantor dagang Belanda VOC (1602-1880), pada 25 Mei 1760 yang dikeluarkan Resolutie der Indesche Regeering yang berisi ketentuan berlakunya sekumpulan aturan perkawinan dan kewarisan menurut Islam. Resolusi ini dekenal dengan Compendium Freiyer ini dalam batasan-batasan tertentu, bisa dikatakan sebagai legislasi hukum Islam pertama di Indonesia.3 Lahirnya hukum Islam pertama kali di Indonesia, maka tidak terlepas dari peran besar kepentingan umat Islam dan kolonial Belanda yang membatasi daya laku terhadap hukum Islam. Dalam perkembangan pasca kemerdekaan, maka wacana konstitusi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari syariat Islam. Hal ini terkait dengan keberadaan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 yang menentukan kewajiban untuk melaksanakan syariat Islam bagi para pemeluknya. Namun, setelah terjadi perubahan atas rumusan Piagam Jakarta yang menghilangkan kewajiban melaksanakan syariat Islam itu, maka terjadi perdebatan mengenai legalitas konstitusional syariat Islam dalam sistem hukum nasional.4 Pengakuan dan jaminan konstitusional itu belakangan diperkuat oleh MPR-RI melalui Perubahan Keempat UUD 1945 tertanggal 10 Agustus 2002 yang menetapkan : UUD Negara RI 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali den-
Pendahuluan
Hukum yang merupakan seperangkat norma memiliki daya ikat dan daya laku terhadap setiap individu, kelompok dan status warga Negara. Dalam istilah bahasa Arab, hukum diartikan sebagai al-hukm, dimana megandung arti sebagai berikut:1 Pertama, Al-hukm yang berarti hikmah (bijaksana) dari al-ilm (pengetahuan), lafadz al-hakim seperti al-alim yang berarti yang memiliki kebijaksanaan. Allah SWT adalah al-hakim yang berarti mempunyai hukum. Lafadz al-hikmah adalah ibarat utuk mengetahui sebaik-baik perkara dengan sebaik-baik pengetahuan. Maka orang yang mahir dan mengetahui ditailnya produksi juga disebut al-hakim. Sedangkan mengetahu perintah jika dia memahaminya secara detail, dan melaksanakan sesuai dengan apa yang diinginkan. Lafadz al-hukm dan al-hakim dengan arti alhakim adalah hakim (qadli), maka sesuai dengan format fa’il dengan arti fa’il subyek yang menghukumi sesuatu dari undang-undang atau benar-benar memahaminya. Sedangkan lafadz hukma berarti menjadi hakiman (bijaksana). Kedua, al-hukm dalam arti al-ilm dan al-fiqh. Allah berfirman dalam Surah Maryam ayat 12: “Wa atainahu al hukmu shabiyyah”, yang berarti pengetahuan dan pemahaman, ini apa yang dikemukakan Yahya Ibn Zakariya yaitu bentuk mashdar dari hakama yahkumu. Ketiga, al-Hukm yang berarti al-man’u atau mencegah dari kelaliman.2 Keempat, al-hukm dengan arti al-qadlau bi al-‘adl (putusan secara adil), pluralnya adalah ahkam. Perkembangan hukum sebagai norma tidak terlepas dari politik hukum sebagai 3 Absori, et. al., Hukum Profetik, Kritik Terhadap 1 Said Agil Husin Al Munawar, Membangun Metodologi Ushul Fiqh, Telaah Konsep Al-Nadb dan Al-Karahah dalam Istimbath Hukum Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2004), hlm. 9-11. 2 Ibid, hlm. 10.
286
Paradigma Hukum Non Sistemik (Yogyakarta: Genta Publishing, 2015), hlm. 382. 4 Aidul Fitriacida Azhari, Catatan Kritis Konstitusi, Hukum Tata Negara, Politik, Hukum Islam, (Solo: Penerbit Nutrisi Peradaban, 2009), hlm. 313.
Vol. 15, No. 2, Desember 2015
Al-Risalah
Pembangunan Hukum Islam di Indonesia
gan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 serta untuk siap hukum itu berlaku. Ia akan dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 mempunyai nilai-nilai yang lebih penting Juli 1959 oleh DPR-RI. Penetapan Perubahan bilamana umat Islam tersebut memperKeempat UUD 1945 itu menegaskan kembali lakukan dan melaksanakan ketentuannya kedudukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, mendengan sebaik-baiknya, sedangkan kalau gakui syariat Islam yang terkandung dalam ia bersikap sebaliknya dapat menimbulPiagam Jakarta 22 Juni 1945. Dengan demikikan dampak negatif terhadap kedudukan an, pengakuan dan jaminan konstitusional atas hukum Islam itu sendiri. belakunya syariat Islam di Indonesia semakin 2. Sekalipun Negara Republik Indonesia bukuat dengan adanya penetapan oleh MPR-RI kan negara Islam akan tetapi dengan meyang menurut UUD 1945 merupakan lembanetapkan Pancasila sebagai dasar negara ga yang memiliki otoritas untuk menetapkan dan satu-satunya asas dalam kehidupan 5 UUD. Penetapan tersebut sebagai bagian dari berbangsan dan bernegara, Hukum Islam hak dan kewenangan kelembagaan atas pensecara tidak langsung menempati posisi gakuan adanya hukum Islam di Indonesia. yang sangat penting sekali. Sila KetuDalam perspektif sosial umat Islam di hanan Yang Maha Esa adalah sejalan denIndonesia, maka dapat dilihat dari pandangan gan ajaran tauhid yang merupakan sendiAbdurrahman, bahwa bagaimana arti pentingsendi pokok dari ajaran Islam dan hukum nya hukum Islam bagi kehidupan berbangsa Islam memberikan landasan idiil yang dan bernegara di Indonesia dapat kita lihat dacukup kokoh untuk melaksanakan keten6 lam tiga aspek: tuan Hukum Islam dalam negara hukum 1. Secara faktual umat Islam di Indonesia buyang berdasarkan kepada Pancasila. Kekan hanya sekedar merupakan kelompok mudian dalam UUD 1945 ditegaskan pula mayoritas di Indonesia tetapi juga merupabahwa negara menjamin kemerdekaan kan kelompok terbesar dari umat Islam di tiap-tiap penduduk untuk memeluk agadunia. Hukum Islam sebagai hukum yang manya masing-masing dan untuk beribadibuat dan berlaku terutama bagi umat dat menurut agama dan kepercayaannya. tersebut adalah terutama hukum dengan Landasan konstitusional ini merupakan subjek yang besar. Sehingga betapapun jaminan formal dari setiap muslim dan dalam dalam kondisi yang demikian huumat Islam di Indonesia untuk melaksankum Islam menempati posisi yang sanakan ketentuan-ketentuan hukum Islam gat startegis bukan saja bagi umat Islam dalam hidup dan kehidupannya ditengah Indonesia tetapi bagi dunia Islam pada masyarakat dan bangsa Indonesia serta umumnya dan sekaligus juga menempati dalam kehidupan bernegara. posisi yang startegis dalam sistem hukum 3. Bangsa Indonesia dan Negara Republik Indonesia. Akan tetapi, arti pentingnya Indonesia dalam rangka kegiatan pembanyang demikian akan sangat bergantung gunannya telah menempatkan pembinaan pada posisi dan kedudukan Umat Islam hukum nasional sebagai salah satu bidang garapannya. Selama beberapa abad 5 Ibid, hlm, 315-316. ini kita masih disibukan dengan berbagai 6 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Inkegiatan merancang apa dan bagaimana donesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), hukum nasional yang akan kita bentuk hlm. 2-4. Al-Risalah
Vol. 15, No. 2, Desember 2015
287
Absori dan Fatkhul Muin
nanti. Dalam proses yang demikian Hukum Islam mempunyai peluang yang besar untuk dapat masuk sebagai salah satu bahan pokok yang sangat diperlukan untuk membina hukum nasional tersebut. Disamping bahan-bahan hukum lainnya seperti yang berasal dari hukum Barat dan hukum adat. Dalam hubungan ini bilamana hukum Islam ingin mendapatkan tempat yang lebih luas dalam kehidupan hukum Nasional yang akan datang ia harus dapat menunjukan keunggulan keunggulan komperatifnya dari berbagai hukum yang lainnya. Hal tersebut memberikan gambaran terhadap konstruksi hukum Islam di Indonesia dalam pembangunan hukum nasional, sehingga hak-hak konstitusional dalam bergama tidak diartika sebagai makna yang bersifat abstrak, tetapi lebih memberikan makna yang bersifat konkrit melalui hukum formal yang memiliki nilai-nilai materil sebagai dasar dalam penguatan sistem hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional. Menurut Alwi Sihab yang dikutip oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan bahwa secara umum kebijakan hukum Islam yang berlaku di Indonesia sebelum kemerdekaan yang disarankan oleh Hurgronje didasarkan kepada 3 (tiga) prinsip utama, yaitu:7 1. Dalam semua masalah ritual keagamaan, atau aspek ibadah dalam Islam, rakyat Indonesia harus diberikan bebas menjalankannya. Logika dibalik kebijakan ini adalah membiarkan munculnya keyakinan dalam pikiran banyak orang bahwa pemeintah kolonial Belanda tidak ikut
campur dalam masalah keimanan mereka. Ini merupakan wilayah yang peka bagi kaum muslimin karena hal itu menyentuh nilai-nilai keagaman mereka yang paling dalam. Dengan berbuat demikian pemerintah akan berhasil merebut hati banyak kaum muslim, menjinakan mereka dan sejalan dengan itu akan mengurangi jika tidak menghilangkan sama sekali pengaruh perlawanan “kaum muslim fanatik” terhadap pemerintah kolonial. 2. Bahwa sehubungan dengan lembaga-lembaga sosial Islam, atau aspek muamalat dalam Islam seperti perkawinan, warisan, wakaf, dan hubungan sosial lain, pemerintah harus berupaya mempertahankan dan menghormati keberadaannya. Meskipun demikian, pemerintah harus berusaha menarik sebanyak mungkin perhatian orang-orang Indonesia terhadap berbagai keuntungan yang dapat diraih dari kebudayaan barat. Hal itu dilakukan dengan harapan agar mereka bersedia menggantikan lembaga-lembaga sosial Islam di atas lembaga-lembaga sosial di Barat. 3. Paling penting adalah bahwa dalam masalah-masalah politik, pemerintah dinasehatkan untuk tidak menoleransi kegiatan-kegiatan apapun yang dilakukan oleh kaum muslim yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan-Islamisme yang menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintaha kolonial. Kekuatan-kekuatan hukum Islam di Indonesia yang lahir dari kehendak masyarakat menghasilkan produk hukum Islam di Indonesia dalam masa beberapa periode terakhir ini. 7 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Dalam padangan Ahmad Syafii Maarif8, bahHukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KIH) (Jakarta: Kanana, 2004), hlm, 16.
288
8 Ahmad Syafii Maarif, Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah (Bandung: Mizan, 2009), hlm. 15.
Vol. 15, No. 2, Desember 2015
Al-Risalah
Pembangunan Hukum Islam di Indonesia
wa sebagai penduduk yang mayoritas beragam Islam, seharusnya umat Islam tidak hanya mempersoalkan berkaitan dengan hubungan Islam semata, keindonesiaa dan aspek kemanusiaan, tetapi pada tiga konsep tersebut, maka yang diperlukan bagi Islam adalah dengan menyatukan 3 (tiga) konsep tersebut menjadi satu sehingga dapat melahirkan Islam yang rahmah, terbuka, inklusif, dan mampu memberikan solusi terhadap semua problematika kebangsaan di Indonesia. ketiga konsep tersebut harus melahirkan konsep dasar sebagai Islam yang rahmatan lil alamin. Oleh karena itu dalam kajian ini ada dua pokok permasalah yang menjadi dasar kajian, yaitu: (1) Bagaimana peran umat Islam Indonesia dalam mendorong terwujudnya sistem hukum Islam di Indonesia? dan (2) Bagaimana politik hukum dalam mewujudkan hukum Islam di Indonesia yang berorentasi kepada al-masalih? Dalam penulisan ini dimana menggunakan paradigm kualitatif dengan pendekatan doctrinal. Peran Umat Islam Indonesia Islam merupakan agama mayoritas bagi umat Islam sebelum kemerdekaan Indonesia sampai dengan saat ini. Dalam masa penjajah hukum Islam sudah berkembang di Indonesia secara terbatas, hal tersebut sesuai dengan pendapat Carel Frederik Winter, seorang ahli tertua mengenai soal-soal Jawa Javaichi yang lahir dan meninggal di Yogyakarta (1799-1857), Solomon Keuzer (1823-1868) maha guru ilmu bahasa dan ilmu kebudayaan Hindia Belanda, terakhir Prof. Mr. Lodewijke Willem Christian Van den Berg (1845-1927), yang dalam tahun 1845 menulis buku Muhammadansch Rechts (Asas-asas hukum Islam), menyatakan bahwa, “Hukum Islam diperlukan bagi orang-orang Islam bumiputra walaupun dengan sedikit Al-Risalah
penyimpangan-penyimpangan”.9 Selain itu, secara umum konflik sistem hukum di Indonesia digerakan oleh kebutuhan-kebutuhan kolonialisme dimasanya, konflik berkembang karena dua sistem hukum (hukum barat dan hukum adat) disokong penuh oleh penguasa waktu itu. Hal tersebut dapat dilihat dari politik hukum yang diskriminatif terhadap hukum Islam dan usaha-usaha penguasa mengecilkan peran dan fungsi peradilan agama.10 Sehingga dengan kondisi seperti itu, maka hukum Islam 9 Sayuti Tahlib, “Receptio a Contrario, (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam)”, Dalam Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hlm. 54. Menurut Sayuti Thalib, pendapat tersebut sesuai dengan Regeerings Reglements (Stastsblad 1884 No. 129 di Negeri Belanda Jo. S. 1885 No. 2 di Indonesia, terutama diatur dalam pasal 75, pasal 78 Jo. Pasal 109 RR tersebut), pada waktu itu dikenal dengan Receptio in Complexu. Pasal 75 ayat (3) R.R. tersebut mengatur: “apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam oleh Hakim Indonesia haruslah diperlakukan hukum Islam Gronsdienstig Wetten dan kebiasaan mereka”. Sedangkan dalam ayat (4) pasal 75 R.R. itu disebut: “Undang-undang agama, adat dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka oleh Hakim Eropa pada pengadilan yang Huger Beroep, bahwa dalam hal ini terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau mereka yang dipersamakan dengan orang Indonesia, maka mereka tunduk kepada keputusan Hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut undang-undang agama atau ketentuan lama merkea” Menurut pasal 109 R.R. ditentukan pula: “Ketentuan seperti tersebut dalam pasal 75 dan pasal 78 itu berlaku juga bagi mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Indonesia, yaitu orang-orang Arab, Moor, orang Cina, dan semua mereka yang beragama Islam, maupun orang-orang yang tidak beragama Islam”. Ibid. 10 Bustanul Arifin, “Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia”, dalam Basiq Djalil, Peradilan Islam (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 185.
Vol. 15, No. 2, Desember 2015
289
Absori dan Fatkhul Muin
tidak dapat berkembang secara maksimal. Dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia, secara konkrit menjadikan hukum Islam menjadi bagian dalam hukum formal, maka terbagi kedalam tiga kategorisasi, dimana ketiga kategorisasi tersesebut dikonstruksikan berdasarkan perkembangan kenegaraan di Indonesia. Pada tahap awal, tentu yang disampaikan diatas yaitu pada awal menuju tahap kemerdekaan, terjadinya perdebatan terhadap dasar negara Indonesia, pada akhirnya bersepakat dengan memasukan kata kunci Ketuhanan Yang Maha Esa sebaga pola hidup bernegara, dimana perundang-undangan yang pertama kali diajukan diajukan pada tahun 1967, tepatnya pada tanggal 22 Mei, diserahkan ke DPR “Rancangan Undang-undang Pokok Peraturan Pernikahan Umat Islam, yang jelas-jelas mengacu pada Piagam Jakarta, pada konsidrannya dan dasar mengingat dan penjelasannya sebagai berikut:11 Menimbang: a. bahwa dinyatakan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan UUD 1945 oleh Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959, berakibat bahwa bagi pemeluk agama Islam dapat diciptakan perundang-undangan yang sesuai dengan syari’at Islam.
Penjelasan-penjelasan yang terdapat dalam Undang-undang tersebut, sebagai berikut: Hampir seluruh isi Piagam Jakarta tersebut telah masuk dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, kecuali anak kalimat pada aline empat kata: “Ke-Tuhanan”. Dengan adanya Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tersebut, maka sesudah kata “Ke 11 Andree Feillard, Islam et Armee Dans L’Indonesie Contemporaine Les Pionniers de la Tradition, L’Harmattan-Association Archiple, diterjemahkan oleh Lesmana, NU Vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 117-118.
290
Tuhanan Yang Maha Esa” dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 harus dianggap tertulis anak kalimat tersebut diatas. Jadi bunyinya lalu menjadi “Ke Tuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Pada tahap kedua, yaitu pada tahap rencana penyusunan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, UndangUndang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Peradilan Agama12 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagai rumusan awal dari proses legislasi hukum Islam di Indonesia dengan merumuskan hal-hal yang bersifat kepentingan secara khusus bagi umat Islam pada periodesasi Orde Baru. Pada tahap ketiga, dirumuskan beberapa peraturan perundangundangan yang merupakan bagian dari kepentingan umat Islam, yaitu Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,13 12 Dalam bidang Peradilan Agama telah mengalami beberapa kali perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, yaitu dengan beberapa perubahan melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama Atas UndangUndang No. 7 Tahun 1989 dan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. 13 Menurut Menurut Gondon Radityo Gambiro salah satu anggota dewan dari Fraksi Partai Demokrat, ada dua alasan pokok kenapa Undang-Undang Zakat yang lama diganti. Pertama, masyarakat belum memperoleh manfaat secara signifikan atas pengelolaan zakat, baik bagi muzaki maupun mustahik. Kedua, kebutuhan akan pengaturan pengelolaan zakat yang komprehensip demi tercapainya tujuan pengelolaan zakat di Indonesia. Puji Kurniawan, “Legislasi UndangUndang Zakat”, Jurnal Ar-Risalah, Volume 13 Nomor 1 Mei 2013, hlm 101; atau lihat di http:// www.uin-alauddin.ac.id/download-7.%20PujiKurniawan_zakat.pdf.). Selain itu dalam penjelasan UU No. 21 Tahun 2008, bahwa Salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat dalam perekonomian nasional tersebut adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan nilai Islam (Syariah) dengan mengang-
Vol. 15, No. 2, Desember 2015
Al-Risalah
Pembangunan Hukum Islam di Indonesia
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang tentang Wakaf, dan Undang-Undang No. 13 Zakat,14 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Pada periode ketiga tipologi perkembankat prinsip-prinsipnya ke dalam Sistem Hukum gan hukum Islam yang masuk dalam legislasi Nasional. Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimban- nasional berpengaruh terhadap perkembangan gan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). implementasinya, ini dapat terlihat dari data Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan implementasi UU Zakat, wakaf dan sodaqah, perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah sebagaimana dalam Grafik 1. yang disebut Perbankan Syariah. Prinsip PerPerkembangan zakat, infak sodaqoh sebankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu bagai bagian dari upaya pembangunan hukum prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan Islam di Indonesia melalui legislasi hukum riba dalam berbagai bentuknya, dan mengguna- Islam menjadi hukum positif di Indonesia, sekan sistem antara lain prinsip bagi hasil. Dengan lain itu pada bidang perbankan syariah, bahprinsip bagi hasil, Bank Syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena se- wa terlihat perkembangan perbankan syariah mua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan di Indonesia berdasarkan indikator-indikator maupun potensi risiko yang timbul sehingga akan yang telah ditentukan, seperti dalam Grafik 2. menciptakan posisi yang berimbang antara bank Perkembangan perbankan syariah Indan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini donesia yang menempati peringkat keempat akan mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak hanya dinikmati di dunia berdasarkan kepada variabel yang oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh pen- ditentukan15, menunjukan bahwa pada tahap gelola modal. ketiga tipologi perkembangan hukum Islam 14 Dalam Penjelasan Undang-Undang No. 23 Tahun di Indonesia mengalami perkembangan dari 2011, bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- aspek impelemntasinya. Selain perkembanmasing dan untuk beribadat menurut agamanya gan hukum Islam pada tingkat nasional, maka dan kepercayaannya itu. Penunaian zakat meru- pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. pakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu Keberadaan peraturan daerah yang bernuansa sesuai dengan syariat Islam. Zakat merupakan syariah dianggap bertentangan dengan konpranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan. Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat. Menurut Yusuf Qardawi, bahwa Zakat dalam pandangan Islam mempunyai karakteristik lain. Sesungguhnya Islam telah menjadikan Zakat salah satu rukun dari pada rukun-rukun lainnya, salah satu syiar daripada syiar-syiar lainnya, salah satu pengabdian dari berbagai pengabdian kepada-Nya. Seorang muslim memenuhi kewajiban Zakat ini, dengan sifatnya, sebgai kewajiban agama yang suci, dalam rangka melaksanakan peritahnya dan mencari ridha-Nya. Yusuf Qardawi, Fiqhuz-Zakat,
Al-Risalah
Terj. Salman Harus, Didin Hafihudin dan Hasasuddin (Bandung: Litera AntarNusa dan Mizan, 1999), hlm. 844. 15 Menurut Muhammad Daud Ali, bahaw nilai-nilai dasar ekonomi Islam, yaitu : (1). Nilai dasar kepemilikan, menurut sistem ekonomi islam, (a). pemilik bukan penguasa mutlak atas sumbersumber ekeonomi Islam. (b). lama pemilikan manusia atas suatu benda tergantung kepada manusia hidup. (c). sumber-sumber kekayaan umum yang menrupakan sumber hajat orang banyak harus menjadi milik negara. (2). Keseimbangan, keseimbangan merupaka nilai dasar yang mempengaruhi berbagai aspek tingkat ekonomi orang muslim. (3). Keadilan. Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press, 1988), hlm. 7-9.
Vol. 15, No. 2, Desember 2015
291
Absori dan Fatkhul Muin Grafik 1. Implementasi UU Zakat, wakaf dan sodaqah
Sumber: BAZNAS Tahun 2015. Grafik 2. Peringkat perbankan syariah di Indonesia di antara sejumlah negara
Sumber: Bank Indonesia Tahun 2015.
stitusi, sehingga ketika dilaksanakan harmon- lam Islam, maka posisi politik hukum tidak isasi, banyak yang tidak dapat diberlakukan di terlepas dari proses lahirnya hukum, sehdaerah-daerah. ingga peran para mujtahid diperlukan dalam menghasilkan hukum Islam. Nilai-nilai masalih merupakan salah satu dasar dari adanya Politik Hukum yang Berorentasi kepada pemikiran hukum Islam, sehingga orientasi “al-Masalih” dari lahirnya suatu hukum harus memberikan Pemikiran tentang politik hukum, maka tidak nilai-nilai dasar kemaslahatan bagi umat materlepas dari pemikiran Mahfud MD yang nusia, bukan melahirkan nilai-niali kemafsamemetakan politik hukum di Indonesia.16 Dadatan bagi umat manusia. Hukum Islam sendiri merupakan repre16 Ringkasan tema besar yang hadir dalam tulisan sentasi pemeikiran Islam, manifestasi yang Marx sendiri dan Marxis dalam pendekatan hukum adalah Hukum Tak Terelakkan Politik Atau paling khas dari pandangan hidup Islam, dan Hukum Adalah Salah Satu Dari Politik. Alan intisari dari Islam itu sendiri. Hukum Islam Hunt, Explorations in Law and Society, Toward a Constitutive Theory of Law, (London: Routledge, 1993), hlm. 249. Lihat juga Mahfud MD, Poli-
292
tik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo, 2012), hlm. 33.
Vol. 15, No. 2, Desember 2015
Al-Risalah
Pembangunan Hukum Islam di Indonesia
adalah sebuah contoh yang mengandung pelajaran tentang sebuah “hukum suci”. Hukum ini merupakan suatu fenomena yang sangat berbeda dari semua bentuk hukum yang meskipun demikian tentu saja tidak selamanya terdepan dan menentukan.17 Bergantung kepada suatu dan kondisi hukum itu berada. Menurut Imam Ghazali r.a, dalam kitabnya Al-Mustaofa, bahwa tujuan syari’at Islam agama bagi manusia ada lima hal, yaitu memelihara (menjamin dan melindungi) agamanya, dirinya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya. Maka semua yang mencakup jaminan perlindungan yang kelima hal pokok tersebut dikategorikan maslahat (kemaslahahan) dan semua yang mengancam keselamatan atau merugikan keloma pokok itu dikategorikan mafsadat dan upaya menghindarinya adalah juga maslahat.18 Dalam perkembangan zaman, negara menjadi instrumen dalam kehidupan masyarakata saat ini, sehingga dengan keberadaan negara, maka hukum agama akan terbentuk dalam suatu negara dan menjadi sumber hukum dari suatu Negara, dapat dilihat dari lahirnya suatu negara dan bentuk negara tersebut, sehingga keberadaan hukum agama apakah menjadi hukum positive negara yang bersifat secara langsung diundangkannya, atau bersifat parsialitas, tergantung kepada situasi dan kondisi. Asas hukum Islam sendiri ditegaskan bahwa tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman. Ada tiga syarat perubahan peraturan hukum, yaitu:19 17 Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford University Press, London : 1965, Terj. Joko Supomo, (Bandung: Nuansa, 2010), hlm.2223. 18 Alie Yafie, dalam Anang Haris Himawan, et. al., Epistimologi Syar’, Mencari Format Baru Fiqih Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 91. 19 Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kon-
Al-Risalah
a. Adanya tuntutan untuk melakukan perubahan; b. Peraturan tersebut tidak menyangkut subtansi ibadah; c. Perubahan baru itu tertampung oleh nilai dan asas syariah lainnya. Ilmu hukum Profetik sebagai pilar dalam pembangunan hukum Islam berkaitan dengan dengan al-maqasihid, dimana al-maqasid sebagai basis dalam reformulasi hukum Islam melalui Ilmu Ushul Fiqh. Menurut Syahtibi, untuk mengetahui tentang maqasid syari’ah, ada 4 empat cara yaitu:20 a. Kejelasan prinsip-prinsip perintah maupun larangan b. Memperhatikan al’illah dalam suatu perintah dan larangan. c. Mencermati al-mashalih yang mengikuti suatu perintah maupun larangan. d. Sikap diam syariah terhadap suatu perinjinan bersama adanya motif untuk perjanjian. Menurut Ibn Taimiyah dalam belantara temporer (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 5. 20 Asmuni Mth, et. al., Pribumisasi Hukum Islam, Pembacaan Kontemporer Hukum Islam di Indonesia, (Perangkat Teoritik dan Metode Perumusan Maqasid Al-Syar’iah Al-Syatibi), (Yogyakarta: Kaukaba, 2012), hlm. 102. Selain itu, bahwa setiap agama harus menjaga syariatnya secara konsisten, karena syariat diatas merupakan fitrah yang diberikan Tuhan kepada mahlukmahluk-Nya untuk dijadikan sebagai tuntunan hidup. Al-Syathibi juga mengukuhkan, bahwa setiap agama-agama dan aliran kepercayaan lainnya mempunyai nilai-nilai sebagaimana yang diusung oleh Islam, yaitu memelihara agama (hifdz al-din), memelihara jiwa (hifdz-al-nafs), memelihara akal (hifdz al-‘aql), memeihara keturunan (hifdz al-nasl) dan memelihara agama (hifdz alamal). Lihat juga Imam Al-Syathibi, “Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’ah”, dalam Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitan Toleransi, Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil’Alamin (Jakarta: Pustaka Oasis, 2010), hlm. 230.
Vol. 15, No. 2, Desember 2015
293
Absori dan Fatkhul Muin
pemikiran al-maqashid, bagi dia bahwa syariah datang untuk maslahat dan menggugurkan mafsadat. Ibnu Taimiyah tidak setuju dengan cakupan al-dharuriyat al-khums hanya terbatas pada lima aspek, karena bagi beliau menckup pula makna-makna lain seperti cinta dan takut kepada Allah SWT, keikhlasan dalam beragama dan beramal yang berbasis kepada keikhlasan tersebut.21 Menurut Ibnu Taimiyah, Tuhan memerintahkan hambanya untuk berusaha semaksimal mungkin berpegang pada maslahat dan yang lebih maslahat, dan menjauhkan mafsadat dan seterusnya.22 Keberadaan kemaslahatan merupakan tolak ukur utama bagi lahirnya maqasid syariah, sehingga dengan tolak ukur maslahat maka tidak akan menciptakan ke-mafsadat-an terhadap masyarakat umum. Hukum Islam merupakan bagian yang integral dalam kehidupan masyarakat Indonesia, ini dapat dilihat dari keberadaan masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut agama Islam. Transformasi terhadap nilai-nilai Islam dalam sistem hukum di Indonesia tidak terlepas dari kondisi faktual masyarakat Indonesia yang saat ini menghendaki hukum Islam ditansformasikan dalam hukum positif di Indonesia, sehingga nilai-nilai Islam menjadi bagian dari hukum Nasional. Penutup Politik hukum Islam merupakan pemikiran dasar dari bangunan hukum Islam melalui ijtihad para mujtahid. Indonesia sebagai Negara yang merupakan mayoritas beragama Islam, maka peran umat Islam dalam pembangunan hukum Islam di Indonesia besar. Lahirnya Piagam Djakarta sebagai embrio dasar dari lahirnya hukum Islam di Indonesia tidak ter21 22
294
Ibid, hlm. 142. Ibid, hlm. 143.
lepas dari kehendak umat Islam untuk melahirkan hukum Islam di Indonesia. Dalam beberapa dekade, hukum Islam di Indonesia berkembang sejalan dengan perkembangan umat Islam, bahkan keberadaan hukum Islam di Indonesia memiliki karakteristik yang bersifat unik, karena dikonstruksikan hukum Islam dalam hukum nasional. Lahirnya KHI (Kompilasi Hukum Islam), Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan beberapa peraturan perundang-undangan tentang zakat, pengelolaan haji dan perbankan syariah merupakan dimensi kuatnya politik hukum Islam yang beroreantasi kepada nilainilai dasar kemaslahatan bagi umat Islam. Oleh karena itu, integrasi hukum Islam dalam hukum nasional diperlukan sebagai penguatan pembangunan hukum Islam di Indonesia. Bibliography Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992. Absori, et. al., Hukum Profetik, Kritik Terhadap Paradigma Hukum Non Sistemik, Yogyakarta: Genta Publishing, 2015. Ahmad Syafii Maarif, Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung: Mizan, 2009. Aidul Fitriacida Azhari, Catatan Kritis Konstitusi, Hukum Tata Negara, Politik, Hukum Islam, Solo: Penerbit Nutrisi Peradaban, 2009. Alan Hunt, Explorations in Law and Society, Toward a Constitutive Theory of Law, London: Routledge, 1993. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KIH), Ja-
Vol. 15, No. 2, Desember 2015
Al-Risalah
Pembangunan Hukum Islam di Indonesia
karta: Kanana, 2004. Anang Haris Himawan, et. al., Epistimologi Syar’, Mencari Format Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Andree Feillard, Islam et Armee Dans L’Indonesie Contemporaine Les Pionniers de la Tradition, L’Harmattan-Association Archiple, diterjemahkan oleh Lesmana, Yogyakarta: LKiS, 1999. Asmuni Mth, et. al., Pribumisasi Hukum Islam, Pembacaan Kontemporer Hukum Islam di Indonesia, (Perangkat Teoritik dan Metode Perumusan Maqasid AlSyar’iah Al-Syatibi), Yogyakarta: Kaukaba, 2012. Bank Indonesia Tahun 2015. Basiq Djalil, Peradilan Islam, Jakarta: Amzah, 2012. BAZNAS Tahun 2015. Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford University Press, London: 1965, Terj. Joko Supomo, Bandung: Nuansa, 2010. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo, 2012.
Al-Risalah
Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1997. Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988. Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Puji Kurniawan, “Legislasi Undang-Undang Zakat”, Jurnal Ar-Risalah, Volume 13 Nomor 1 Mei 2013. Said Agil Husin Al Munawar, Membangun Metodologi Ushul Fiqh, Telaah Konsep Al-Nadb dan Al-Karahah dalam Istimbath Hukum Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2004. Yusuf Qardawi, Fiqhuz-Zakat, Terj. Salman Harus, Didin Hafihudin dan Hasasuddin, Bandung: Litera AntarNusa dan Mizan, 1999. Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitan Toleransi, Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil’Alamin, Jakarta: Pustaka Oasis, 2010.
Vol. 15, No. 2, Desember 2015
295