PERGURUAN TINGGI DAN PERKEMBANGAN SUATU SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Oleh: Abdul Muin Razmal*
Abstrak: Perguruan tinggi umumnya didirikan baik oleh pemerintah maupun swasta, bukan untuk mencari keuntungan, tetapi untuk melayani masyarakat dan menyediakan sarana dalam bidang pendidikan tinggi demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Motivasi utamanya adalah menyediakan pendidikan tinggi bagi para pelajar lulusan sekolah menengah atas (umum). Yang ingin meneruskan pendidikannya pada tingkat lebih tinggi. Tujuan yang mendasar perguruan Tinggi adalah menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan professional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Kata-kata Kunci: Perguruan Tinggi, Sistem, Pendidikan Pendahuluan Dalam undang-undang RI. Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa; (1) Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institute, atau universitas, (2) Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, (3) Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik. Profesi, dan/atau vokasi. (Undangundang Sistem Pendidikan Nasional, 2005:16). Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi. Di Indonesia pendirian lembaga Perguruan Tinggi mengalami proses yang agak panjang, karena pemerintah Belanda senantiasa berusaha menekan perkembangan bangsa Indonesia dengan menyajikan pendidikan *
Abd. Muin Razmal, Dosen tetap STAIN Palopo dan sementara mengikuti pendidikan di program Pascasarjana (S3) UIN Alauddin Makassar
68
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
69
yang paling sederhana dengan biaya yang serendah-rendahnya, walaupun dengan kepentingan mereka sendiri, yang memerlukan tenaga yang terdidik, memaksa mereka mengembangkan pendidikan juga secara vertical yang akhirnya melahirkan lembaga perguruan tinggi. S. Nasution mengomentari pendirian lembaga Perguruan Tinggi di Indonesia bahwa; pada tahun 1919 di mulai pembangunan gedung Perguruan Tinggi Teknik di Bandung yang secara resmi di buka pada tahun 1920. Dalam tahun akademik 1920-1921 Sekolah Teknik Tinggi (yang kemudian menjelma menjadi ITB) mempunyai 28 mahasiswa di antaranya 22 orang Belanda, 4 orang Cina dan 2 orang Indonesia. Sekolah ini menghasilkan lulusan pertama pada tahun 1923-1924 yakni 9 Belanda 3 Cina dan tak seorang pun orang Indonesia. Orang Indonesia pertama lulus pada tahun akademik 1925-1926, yakni sekaligus 4 orang diantaranya Ir. Soekarno yang kemudian menjadi Presiden pertama Republik Indonesia. (S. Nasution, 2001:144). Perguruan tinggi mempunyai tujuan yaitu: 1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan professional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. 2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Berkenaan dengan tujuan Perguruan Tinggi, Tilaar mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: 1. Berfungsi sebagai pusat pengembangan sumber daya manusia. 2. Berfungsi dalam pembangunan nasional 3. Berfungsi dalam pembangunan daerah 4. Berfungsi dalam kerjasama regional 5. Berfungsi dalam kerjasama serta persaingan global. (H.A.R. Tilaar, 1998:318-319). Dengan demikian perguruan Tinggi dituntut mampu mengeluarkan alumni yang bermutu yaitu yang mampu memberikan ketahanan bangsa dalam era global. A. Kondisi Perguruan Tinggi di Indonesia Perguruan tinggi umumnya didirikan baik oleh pemerintah maupun swasta, bukan untuk mencari keuntungan, tetapi untuk melayani
70
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
masyarakat dan menyediakan sarana dalam bidang pendidikan tinggi demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Motivasi utamanya adalah menyediakan pendidikan tinggi bagi para pelajar lulusan sekolah menengah atas (umum). Yang ingin meneruskan pendidikannya pada tingkat lebih tinggi. (R. Eko Indra dan R. Djoko Pranoto, 2006:135). Oleh karena itu, banyak perguruan tinggi rela meneruskan usahanya walaupun dilanda defisit terus menerus dan terpaksa mengatasinya dengan segala macam jalan yang tidak mudah. Adapun penyelengaraan pendidikan tinggi, dalam peraturan pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang pendidikan tinggi mengatur bahwa penyelenggaraan perguruan tinggi yang dilakukan oleh masyarakat haruslah berbentuk yayasan atau badan yang bersifat sosial. Untuk perguruan tinggi negari, perguruan tinggi sendiri sudah merupakan Badan hukum Milik Negara (BUMN) yang bersifat Nirlaba, sejajar dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam perkembangan lebih lanjut, ada usaha untuk mengubah perguruan tinggi milik swasta menjadi bahan hukum sendiri. Motifasi ini didorong oleh penilaian bahwa adanya dua jenjang penyelenggaraan perguruan tinggi negeri dan swasta menimbulkan birokrasi yang tinggi, sehingga menghambat kelancaran gerak perguruan tinggi swasta. Dengan menjadi badan hukum sendiri, maka perguruan tinggi swasta dapat bertindak lebih mandiri dan otonomi serta tidak memerlukan badan hukum lain sebagai penopangya. Badan hukum adalah badan yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti subyek hukum orang. Walaupun Badan Hukum Pendidikan (BHP) itu sendiri masih controversial dan banyak ditolak oleh kalangan penyelenggara pendidikan tinggi, meskipun sudah dicantumkan dalam Undang-undang. (R. Eko Indra dan R. Djoko Pranoto, 2006:6). Susunan organisasi, rincian tugas, fungsi, dan tata kerja setiap perguruan tinggi yang dilaksanakan oleh pemerintah (PTN) diatur dalam statuta perguruan tinggi yang bersangkutan, yang ditetapkan oleh menteri atas usulan serta perguruan tinggi tersebut. Sementara, untuk hal yang sama pada perguruan tinggi swasta, ditetapkan oleh badan penyelenggara perguruan tinggi swasta atas usulan senat perguruan tinggi yang bersangkutan. Muchtar, 2003:34). Organisasi setiap perguruan tinggi, memiliki perbedaan, namun secara anatomik, dari segi struktural setiap perguruan tinggi memiliki komponen yang sama, yaitu; komponen suprastruktural, struktural, non struktural, infrastruktural, intrastruktural, dan komponen ekstrastruktural. (Muchtar, 2003:34-35).
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
71
Mengenai organisasi perguruan tinggi sebagai Badan Hukum Milik Negara (BUMN), perguruan tinggi tersebut harus terdiri atas unsur-unsur majelis amanah, dewan audit, senat akademik, pimpinan, dosen, tenaga administrasi, pustakawan, teknisi, unsur pelaksana akademik, unsur pelaksana administrasi, dan unsur penunjang. (Eko Indrajit dan Djoko Pranoto, 2006:6). Adapun perguruan tinggi yang dikelola oleh masyarakat, maka berbentuk yayasan. Kepengurusannya terdiri atas Pembina, pengurus, pimpinan perguruan tinggi (Rektor, pembantu Rektor), badan usaha, penyertaan usaha, dekan-dekan fakultas, biro-biro dan unsur penunjang. (Eko Indrajit dan Djoko Pranoto, 2003:7). Peluang untuk berkembangnya perguruan tinggi, sangat dimungkinkan dengan adanya otonomi yang diberikan kepada perguruan tinggi. Aspek otonomi yang diberikan kepada perguraun tinggi menurut sufyarma ada tiga hal: Pertama, otonomi eksternal dalam bentuk pemberian status sebagai badan hukum, kedua, otonomi organisasi, perguruan tinggi memiliki kebebasan untuk menetapkan struktur organisasi, termasuk menetapkan struktur program studi dan kegiatan akademik serta merencanakan sumber daya. Ketiga, otonomi kelembagaaan yang responsive. (Sufyarma, 204:159). Selanjutnya Sufyarma menyebutkan tujuan dan manfaat otonomi bagi perguruan tinggi. Tujuan aotonomi bagi perguruan tinggi: 1. Untuk mengambil keputusan secara bebas sesuai dengan potensi dan kemajuan Iptek. 2. Untuk meningkatkan kualitas inovasi dalam iptek, dan untuk meningkatkan kegiatan sosial sebagai perwujudan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi. Adapun manfaat otonomi bagi perguruan tinggi: 1. Dapat merencanakan, melaksanakan, dan mengontrol sumber daya perguruan tinggi secara efektif. 2. Lebih fleksibel dan dinamis dalam menentukan kebijakan perguruan tinggi tanpa menunggu petunjuk dan persetujuan Dikti. 3. Lebih realistis untuk melaksanakan visi dan misinya. 4. Dalam jangka panjang perguruan tinggi menjadi institut yang independen dari pemerintah, kekuasaan sosial, ekonomi dan politik lainnya. (Sufyarma, 2004:160). Hanya saja perguruan tinggi masih menghadapi beberapa permasalaahn terkait dengan otonomi perguruan tinggi. Kendala tersebut diantaranya adalah:
72
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
1. Kualitas sumber daya manusia terbatas. 2. Sikap dan budaya kerja yang kurang disiplin 3. Terbatasnya sumber daya pemerintah untuk menyediakan biaya operasi tahap awal. 4. Terbatasnya kemampuan orang tua untuk menyekolahkan anaknya dengan pembayaran SPP yang tinggi. 5. Kurangnya kesabaran dosen, teknisi dan tenaga administrasi untuk berjuang bersama dengan penghargaan terbatas sebelum perguruan tinggi menghasilkan cukup dana dari usaha swadana. (Sufyarma, 2004:164). Perguruan tinggi dalam menghadapi tantangan global harus dikelolah dengan professional, sebab tanpa professional, sebab tanpa profesionalitas dalam pengelolaanya, perguruan tinggi tersebut tidak akan mampu bersaing di era kompetitif sekarang ini. Pengelolaan professional perguruan tinggi ini menurut Sufyarma M. meliputi: 1. Profesional Personal Adapun yang dimaksud dengan karakteristik professional Personal adalah sebagai berikut: a. Bangga atas pekerjaan dengan komitmen pribadi yang kuat atas kreatifitas. b. Memiliki tanggung jawab yang besar, antisipasis dan penuh inisiatif. c. Ingin selalu mengerjakan pekerjaan dengan tuntas dan ikut terlibat dalam berbagai tugas diluar yang ditugaskan kepadanya. d. Ingin terus belajar untuk meningkatkan kemapuan kerja dan kemampuan melayani. e. Mendengar kebutuhan pelanggan dan dapat bekerja dengan baik dalam suatu tim. f. Dapat dipercaya, jujur, terus terang, dan loyal. g. Terbuka terhadap kritik yang bersifat konstruktif serta siap untuk meningkatkan dan menyempurnakan diri. 2. Profesional Institusional Adapun karakteristik professional adalah sebagai berikut: a. Perkuliahan berjalan lancar, dinamis, dan dialogis. b. Masa studi mahasiswa tidak lama sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan memperoleh indeks prestasi yang tinggi. c. Minat masyarakat yang memasuki perguruan tinggi adalah besar, karena perguruan tinggi yang bersangkutan adalah legitimate dan credible.
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
73
d. Memiliki sifat pengajar yang lulus studi lanjut (S.2 dan S3) dan aktif dalam e. Pertemuan ilmiah serta produktif dalam karya ilmiah f. Pengelolaan perguruan tinggi, baik akademik maupun administrasi harus disusun secara sistematis, sistemik dan berkelanjutan. g. Kampus harus dibenahi secara bersih, hijau dan sejuk. h. Alumni perguruan tinggi harus mampu bersaing secara kompotitif, baik secara nasional maupun global. Mengenai kualitas perguruan tinggi Indonesia oleh Sufyarma M, menyatakan bahwa pada umumnya perguruan tinggi di Indonesia masih ketinggalan kualitas jika dibandingkan dengan berbagai perguruan tinggi yang berada pada Negara-negara industry maju. Ketinggalan perguruan tinggi Indonesia bila ditinjau dari segi masukannya, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana yang dimilikinya, biaya rutin dan pembangunan pendidikan di Negara maju lebih tinggi dibandingkan di Indonesia. Menurutnya hal ini disebabkan oleh sistem manajemennya yang belum ptrofesional, sedangkan faktor eksternalnya adalah antara lain masih panjang dan lamanya proses birokrasi dan berbagai ketentuan yang harus diikuti oleh penyelenggraaan pendidikan. (Sufyarma,133). Lebih secara regional perguruan tinggi di Indonesia pada umumnya masih termasuk papan bawah. Kondisi perguruan Tinggi di Indonesia dapat dilihat dari jumlah angka partisipasi mahasiswanya maupun dari hasil penelitian atas kualitas dan reputasi perguruan tinggi selama ini. Bila ditinjau dari angka partisipasi mahasiswa untuk Negara-negara tetangga terdekat (ASEAN), seperti Filipina sudah mencapai angka partisipasi lebih kurang 30%, Thailand angka partisipasinya 28% dan Malaysia angka pasrtisipasinya mencapai lebih kurang 18%, sedangkan Indonesia baru mencapai lebih kurang 11%. Bila dibandingkan dengan Korea Selatan salah satu Negara industri baru, angka partisipasinya lebih kurang 38%. Partipasi mahasiswa Jepang sebagai salah satu Negara industri maka angka partisipasinya adalah lebih kurang 53%. (Sufyarma, 135). Berdasarkan data tersebut di atas, maka angka partisipasi mahasiswa Indonesia adalah paling rendah dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN, apalagi bila ingin dibandingkan dengan Negara industri maju. Berkenaan dengan kualitas perguruan tinggi, perguruan tinggi Indonesia masih ketinggalan pada tingkat Asia. Penilaian ini pernah dilakukan oleh Asiaweek di akhir tahun 1997 lalu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perguruan tinggi di Indonesia yang tergolong terkemuka seperti ITB, UI, UGM, Unair dan UNDIP, hanya menduduki
74
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
peringkat masing-masing ke 19, 32, 37, 28 dan 42 di Asia. Berdasarkan data ini, dapat pula dibayangkan berapakah peringkat perguruan tinggi di Indonesia yang tidak tergolong terkemuka di Asia. B. Gambaran Perkembangan Sistem Pendidikan Perguruan Tinggi di Indonesia Perguruan tinggi adalah lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi kelanjutan pendidikan menengah untuk menyiapkan peserta didik yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, dan memiliki kemampuan akademiki, professional, dan atau vokasi yang dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. Dalam persaiangan global, perguruan tinggi diharapkan mampu mengambil peran dan berkiprah pada situasi internasional, bukan hanya tataran Nasional, apalgi local. Untuk pencapaian kearah itu, perguruan tinggi harus memiliki Strong commitment menuju perguruan tinggi yang compatible yaitu: 1. Perguruan tinggi yang menekankan pada standar kendali mutu dengan menetapkan target-target tertentu yang harus ddicapai. 2. Pemberdayaan semua sumber daya yang ada, seperti dosen, karyawan, sarana, dan fasilitas pendukung lainnya. 3. Menerapkan birokari dan organisasi pendidikan yang terbuka dan sehat. 4. Professional kerja dengan pemanfaatan sarana dan teknologi yang mendukung. 5. Melakukan inovasi-inovasi, baik dalam organisasi maupun dalam proses pembelajaran. 6. Lectural exchange,yaitu pertukaran dosen dengan perguruan tinggi di Negara tertentu. Dalam upaya meningkatkan mutu mahasiswa di perguruan tinggi harus ditempuh berbagai langkah dengan cepat dan tepat. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa mutu pendidikan perguruan tinggi, masih rendah, harus dibenahi. Salah satu upaya pembenahan (rekonstruksi) tersebut diantaranya; a) pembenahan kurikulum, b) pembenahan tenaga Dosen, c) Sarana Prasarana. Pada faktor kurikulum, dengan menyikapi otonomi pendidikan, kurikulum harus responsive terhadap arahan nasional disatu pihak, namun dipihak lain harus akomodatif pada tuntunan lokal, karena kurikulum yang sentralistik telah membuat mahasiswa asing dilingkunganya sendiri.
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
75
Kurikulum perguruan tinggi harus adaftif, mengingat pergeseran paradigma pendidikan yang sesuai dengan tantangan abad 21 sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Surya adalah: 1. Dari terminal belajar ke belajar sepanjang hayat. 2. Dari belajar yang berfokus pada penguasaan pengetahuan ke belajar holistik. 3. Dari citra hubungan guru siswa ke yang bersifat kemitraan 4. Dari pengajaran yang menekankan penguasaan pengetahuan skolastik ke keseimbangan fokus pendidikan nilai, 5. Dari melawan buta aksara ke literasi teknologi, budaya dan computer. (Mohammad Surya, 1997:18-21). Disisi lain kurikulum harus menerapkan konsep belajar tuntas dan membangun sikap kreatif, inovastif, demokratis, dan mandiri pada mahasiswa. Kendala lain pada perguruan tinggi adalah karena selama ini, kurikulum banyak melakukan pada aspek kognitif (pengetahuan) semata sehingga fungsi dan peran yang dimainkan kurang menyentuh kebutuhan masyarakat. Akibat kelemahan kurikulum di perguruan tinggi mengakibatkan mutu lulusannya masih kurang memenuhi harapan masyarakat, dan sumbangannya pada pengembangan ilmu, juga kurang signifikan. Kelemahan aspek kurikulum tersebut menurut Arief Furrchan dkk, yaitu: (1) Kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat; banyak prodi yang tidak diminati masyarakat tetap dipertahankan; (2) kurang efektif, yakni tidak menjamin dihasilkan lulusan yang sesuai dengan harapan; (3) kurang efisien, yakni banyaknya mata kuliah dan sks tidak menjamin dihasilkan lulusan yang sesuai dengan harapan; (4) kurang fleksibel, yakni PT kurang berani kreatif dan bertanggung jawab mengubah kurikulum guna menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat (setempat, nasional atau global); (5) readability rendah, tidak komunikatif; (6) hanya berupa mata kuliah/penyampaian materi, bukan pada tujuan kurikuler/hasil belajar /mutu lulusan; dan (7) hubungan fungsional antar mata kuliah yang mengacu pada tujuan kurang jelas. (Arief Furchan, 2005:33). Seiring dengan penekanan pada faktor kurikulum maka faktor dosen yang nota bene adalah tenaga peangajar pada perguruan tinggi, juga sangat memegang peranan penting dalam menentukan berhasil tidaknya program pembelajaran. Sebab, kualitas lulusan pendidikan amat ditentukan oleh kualitas pembelajaran. Peranan dosen dapat dilihat dari strategi bersaing dalam pengembangan proses pembelajaran.
76
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
Dalam pengembangan proses pembelajaran, peranan dosen adalah: 1. Dosen adalah mitra bagi peserta didik. Untuk itu dosen perlu memerlukan peserta didik sebagai mitra belajar. 2. Penyusunan silabus mata pelajaran tidak boleh kaku, sehingga dalam pelaksanaannya memungkinkan untuk dikembangkan berdasarkan kekhasan kompetensi dosen, keterbukaan peserta didik dan organisasi tinggi yang bersangkutan. 3. Dosen perlu meningkatkan kemapuan untuk memadukan berbagai metodologi pembelajaran dengan tujuan meningkatkan pemahaman konseptual dan kompotensi praktis secara seimbang. Pimpinan perguruan tinggi perlu menunjang upaya ini dengan menyediakan sarana yang diperlukan. 4. Organisasi perguruan tinggi perlu menggunakan pendekatan sistem untuk menggerakkan dan menjaga keseimbangan proses pembelajaran yang efektif. (Sufyarma,140). Dalam hubungannya dengan tenaga edukatif pendidikan tinggi, sebagian perguruan tinggi masih menghadapi kendala berupa adanya latar belakang dosen yang belum memadai. Sementara tenaga administrasi dan penunjang akademik harus cukup memadai, karena tenaga administrasilah yang akan memainkan dinamika administrasi perguruan tinggi. Tidak cukup hanya dengan pembelajaran yang perlu mendapat perhatian, sarana dan prasarana penunjang perkuliahanpun harus mendapat perhatian dengan pengelolaan yang baik. Kebutuahan terhadap fasilitas kampus ini tidak dapat dielakkan lagi, karena hal ini merupakan salah satu tumpunan kemajuan akademik mahasiswa dan dosen. Kaitannya dengan sarana dan prasarana dalam Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Bab XII Pasal 45 ayat 1 ditegaskan bahwa setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan posisi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, Undang-Undang Guru dan Dosen, t.th.:92). Selain itu faktor kemahasiswaan yang merupakan in put yang juga stake holder sekunder sekaligus yang akan menjadi produk out put pada perguruan tinggi, harus pula mendapat perhatian. Langkah-langkah yang diperlukan untuk menarik peserta didik terbaik menurut Sufyarma adalah:
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
77
1. Pimpinan perguruan tinggi perlu menyebarkan pengertian karakteristik peserta didik terbaik. 2. Menyebarkan visi dan misi perguruan tinggi serta mengimformasikan profil peserta didik kepada masyarakat. 3. Pemberian beasiswa bagi mahasiswa yang berprestasi dan memberikan bantuan jasa tenaga kerja bagi lulusan perguruan tinggi yang bersangkutan. 4. Harus mengembangkan instrument seleksi yang valid dan reliable untuk menjaring calon peserta didik yang diharapkan. 5. Membina reputasi perguruan tinggi dengan mengutamakan profil perguruan tinggi. (Muchtar, 2003:277). Kesalahan lain adalah pada persepsi masyarakat misalnya berorientasi pada alumni yang ingin menjadi pegawai bukan mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sedikit banyaknya akan mempengaruhi semangat belajar dan ingin tahu dari mahasiswa itu sendiri. Walaupun aspek ini adalah kesalahan dari mahasiswa itu sendiri, namun tidak berarti perguruan tinggi harus melalaikan aspek ini. Dengan berbagai upaya pembenahan-pembenahan di atas, akan semakin menguatkan perguruan tinggi secara kelembagaan. Penutup Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan: 1. Kondisi perguruan tinggi Indonesia dari segi kualitas masih rendah dibandinggkan dengan perguraun tinggi yang berada pada Negara industri maju. Ini disebabkan oleh sistem manajemennya yang belum professional, serta masih panjang dan lamanya proses birokrasi yang harus diikuti oleh penyelenggara pendidikan. Dengan demikian pembenahan aspek manajemen adalah suatu keharusan. 2. Bahwa dalam menyikapi segala tantangan yang dihadapi perguruan tinggi, agar tetap eksis sebagai sebuah perguruan tinggi yang dapat berkompoten di zaman sekarang dan akan datang, maka sistem pendidikan perguruan tinggi di Indonesia harus menata kembali manajemen dan profesionalisme kelembagaan. 3. Profesionalisme kelembagaan harus diarahkan pada; (a) melaksanakan pembaharuan kurikulum untuk menyelaraskan kebutuhan pendidikan dengan kondisi yang akan dihadapi oleh masyarakat, (b) meningkatkan kemapuan manajemen sebagai langkah antisifatif dalam mengendalikan jalannya organisasi
Volume 12, Nomor 2, Juni 2010
78
perguruan tinggi, (c) meningkatkan mutu dosen dan karyawan, (d) mengembangkan potensi kreativitas, minat dan bakat mahasiswa, (e) menyempurnakan desain penataan dan pemanfaatan fasilitas serta peralatan dan teknologi pendidikan, (f) mengembangkan mutu penelitian, (g) meningkatkan kredibilitas kepemimpinan secara kerjasama nasional dan internasional. 4. Visi professionalisme memerlukan adanya format akademik dengan tujuan akhir adalah upaya mencetak sumber daya manusia yang unggul dalam bidang-bidang profesioanl. Hanya saja format akademik seperti di atas haruslah dilakukan dengan cermat dan tetap memperhatikan berbagai asprek potensi yang dimiliki oleh perguruan tinggi yang bersanggkutan. Daftar Rujukan Tim Editor. 2005. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar. S. Nasution. 2001. Sejarah Pendidikan di Indonesi. Cet, II; Jakarta: Bumi Aksara. H.A.R. Tilaar.1998. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia. R. Eko Indra dan R. Djoko Pranoto. 2006. Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta; Andi Offset. Muchtar. 2003. Merambat Manajemen Baru Pendidikan Tinggi Islam. Jakarta, CV. Misaka Gazali. Sufyarma. 2004. Kapita Selekta Manajemen Pendidikan. Bandung, Alfabeta. Mohammad Surya. 1997. Pergesaran Paradigma Pendidikan Menyongsong Abad ke-21, dalam Mimbar Pendidikan. Edisi ke 4: Tahun XIV. Arief Furchan, dkk. 2005. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Perguruan Tinggi Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajaran. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, UndangUndang Guru dan Dosen Jakarta: Cemerlang.