PENGGUNAAN GAYA BAHASA PADA KUMPULAN CERPEN HUJAN KEPAGIAN KARYA NUGROHO NOTOSUSANTO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (S.Pd.)
Oleh Meizar Fatkhul Izza NIM 1110013000043
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK
Meizar Fatkhul Izza, 1110013000043, “Penggunaan Gaya Bahasa pada Kumpulan Cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Rosida Erowati, M.Hum., September 2014. Penelitian ini beranjak dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Gaya bahasa apa sajakah yang terdapat dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto? 2. Apa makna gaya bahasa yang terdapat dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto? 3. Bagaimana implikasi penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk mendeskripsikan data yang berupa gaya bahasa dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto. Teknik penelitian yang digunakan adalah analisis dokumen yaitu kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto dan studi pustaka untuk mencari dan mengumpulkan data dari kepustakaan yang berupa buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian yaitu gaya bahasa. Hasil penelitian menemukan delapan jenis gaya bahasa dari lima puluh lima gaya bahasa, antara lain gaya bahasa 1) Perumpamaan, 2) Personifikasi, 3) Antitesis, 4) Hiperbola,5) Metonimia, 6) Sinekdoke, 7) Epizeukis, 8) Anadilopsis. Gaya bahasa yang digunakan Nugroho Notosusanto maknanya terkesan menekankan dan menguatkan. Gaya bahasa yang terdapat dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMA kelas XI, dengan Standar Kompetensi memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan cerpen. Siswa mampu mengidentifikasi gaya bahasa dan mengaitkan makna gaya bahasa dengan kehidupan sehari-hari. Kata Kunci: Cerita Pendek, Gaya Bahasa, Hujan Kepagian. i
ABSTRACT
Meizar Fatkhul Izza, 1110013000043, "The usage of language style in the Short Story Collection of Hujan Kepagian,Nugroho Notosusanto and its implication in Indonesian Language Learning and Literature". Indonesia Language and Literature Education Departemen, Faculty of Tarbiya and Teaching, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Advisor: Rosida Erowati , M. Hum, September 2014 . This research based on the formulation of the problem as follows : 1. What are the language style in the short story collection of Hujan Kepagian? 2. What is the meaning of the language style in the short story collection of Hujan Kepagian? How is the implication of the usage of language style in Hujan Kepagian in Indonesian Language Learning and Literature. This study used qualitative method to describe the data about language style in the short story collection of Hujan Kepagian. The technique of the study used document analysis about language style in the short story collection of Hujan Kepagian and literature review to find and collect the data from the books that is related with the object of the study; language style. The results of the study is finding eight language styles of fifty-five language styles, such as : language style, 1 ) Parable , 2 ) Personification , 3 ) antithesis , 4 ) Hyperbole , 5 ) metonymy , 6 ) Sinekdoke , 7 ) Epizeukis , 8 ) Anadilopsis . Style of language used Nugroho Notosusanto meaning impressed emphasize and strengthen. The language style in short story collection of Hujan Kepagian can be implicated in Indonesian Language and Literature Learning in Senior High School XI, the competence standard in literature discourse understanding through reading poetry and short stories. The students are able to identify the language stylesand associate the language styles with daily life .
Keywords: Short Story, Style, Hujan Kepagian
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur senantiasa atas limpahan rahmat, nikmat, dan hidayah serta inayah Allah Swt. penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam senantiasa tercurah kepada Baginda Nabi Agung, khotamulanbiya, Nabi Muhammad saw. yang telah membawa umatnya keluar dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang. Penyusunan skripsi ini diselesaikan dengan baik karena adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA selaku penasihat Akademik yang selalu memberikan nasihat-nasihat yang berguna bagi penulis. Dra. Hindun M, Pd. Novi Diah Haryanti, M.Hum. dan Ahmad Bahtiar, M.Hum. juga para dosen lainnya yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan yang berguna kepada penulis. 3. Rosida Erowati, M.Hum. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini 4. Ucapan yang paling istimewa untuk kedua orang tua, Buntomo, S.pd dan Siti Royanah, serta adik yang tercinta Dwi Rizqi Amalia atas segala bentuk cintanya yang tak pernah ada batasnya kepada Ananda. 5. KH. Drs. Misbahul Anam Attijani selaku orang tua yang selalu memberi motivasi moral dan materil. 6. Ucapan terima kasih untuk Raras Oktaviany, seseorang yang selama ini menjadi patahan hidup dalam kehidupan penulis. Terima kasih untuk cinta, semangat, motivasi, dan semua hal yang sudah dilakukan untuk penulis.
iii
7. Ucapan spesial untuk orang-orang hebat di sekeliling penulis, Dimas Albiyan, Fahrudin Mualim, Puguh Apria Rantau, Aris Fadilah dan segenap keluarga Kemangilodi Sastra Indonesia. Terima kasih untuk kebersamaan kita selama ini. Semoga kesuksesan senantiasa menyertai kita semua. 8. Sahabat-sahabat Pojok Seni Tarbiyah (Postar) yang selalu mendukung, memotivasi, serta mendengarkan keluh-kesah penulis. 9. Teman-teman angkatan 2010, khususnya Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis. 10. Para tutor dan staf Homeschooling Kak Seto Pusat yang telah memberi semangat dan bantuan moral dan materil. Penulis berdoa dan berharap semoga semua pihak yang telah membantu dengan kebaikan dan ketulusan selalu mendapat balasan dari Allah Swt. Penulis pun sadar masih banyak sekali kekurangan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi seluruh pembacanya.
Jakarta, 21 September 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK.... ..................................................................................................
i
ABSTRACT ....................................................................................................
iii
KATA PENGANTAR.. ..................................................................................
iv
DAFTAR ISI ...................................................................................................
vi
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah. ......................................................................
1
B. Identifikasi Masalah.. ...........................................................................
3
C. Pembatasan Masalah ............................................................................
3
D. Rumusan Masalah.. ..............................................................................
4
E. Tujuan Penelitian.. ...............................................................................
4
F. Manfaat Penelitian ...............................................................................
4
G. Metode Penelitian………………………………………………………
6
BAB II LANDASAN TEORI.......................................................................
9
A. Hakikat Gaya Bahasa ...........................................................................
9
1. Pengertian Gaya Bahasa………………………………………….
9
2. Jenis Gaya Bahasa………………………………………………..
10
B. Hakikat Cerpen.....................................................................................
25
1. Pengertian Cerpen.. ..........................................................................
25
2. Ciri-Ciri Cerpen ...............................................................................
27
C. Penelitian yang Relevan .......................................................................
30
D. Pembelajaran Sastra .............................................................................
31
BAB III PROFIL NUGROHO NOTOSUSANTO ......................................
34
A. Biografi Nugroho Notosusanto ............................................................
34
B. Karya Nugroho Notosusanto ................................................................
38
C. Pemikiran Nugroho Notosusanto .........................................................
42
v
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN CERPEN HUJAN KEPAGIAN 46 A. Deskripsi Data ......................................................................................
46
1. Penggunaan Gaya Bahasa untuk Menyampaikan Intrinsik Cerpen Senyum dan Cerpen Bayi dalam Kumpulan Cerpen Hujan Kepagian Karya Nugroho Notosusanto………………………………………...46 B. Gaya Bahasa yang terdapat dalam Kumpulan Cerpen Hujan Kepagian...71 C. Analisis Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Hujan Kepagian………98 D. Makna Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Hujan Kepagian……….100 E. Implikasi terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia .......... ...102 BAB V PENUTUP .......................................................................................... 104 A. Simpulan .............................................................................................. 104 B. Saran ..................................................................................................... 105 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra dapat digunakan seseorang untuk menyampaikan
ide pikirannya.
Dalam perkembangannya, sastra memiliki peranan penting dalam perkembangan zaman. Sastra dapat mempersatukan suku-suku di suatu negara dan bahkan menyatukan bangsa-bangsa yang ada di dunia. Penggunaan bahasa sastra juga ditentukan oleh faktor-faktor nonlinguistik atau luar bahasa, antara lain faktor sosial yang merupakan
faktor
yang
berpengaruh dalam sastra
bahasa. Pandangan
demikian memang cukup beralasan karena pada dasarnya sastra adalah bagian dari suatu sistem sosial. Bahasa pengarang memiliki ciri khas yang membedakan bahasa satu dengan bahasa yang lain. Bahasa memiliki bentuk dalam membedakanya. Proses saling mempengaruhi antar bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak bisa dihindarkan. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa bahasa adalah simbol yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk berinteraksi. Gaya bahasa merupakan bagian dari pilihan
kata atau diksi.
Diksi
merupakan penentuan kata yang tepat sesuai dengan tata bahasanya. Gaya bahasa sendiri merupakan optimalisasi atas kekayaan bahasa yang dimiliki oleh seseorang baik itu dari hasil tulisan ataupun hasil tuturan. Gaya bahasa menentukan keindahan dalam wacana secara imajinatif. Gaya bahasa merupakan hal yang sangat menarik di dalam karya sastra khususnya dalam cerpen. Gaya bahasa juga sebagai perantara bagi pengarang untuk menyampaikan gagasan yang sesuai dengan tujuannya. Gaya bahasa mempunyai keterkaitan dengan sebuah karya sastra. Dalam hal ini mempunyai keterkaitan dengan cerpen. Gaya bahasa digunakan penulis untuk mengungkapkan ide-idenya. Pengarang menggunakan bahasa secara tepat bertujuan untuk mempengaruhi pembaca agar
1
2
menjadi suatu ciri dalam karyanya. Wacana memiliki banyak gaya dalam cerpen. Pengarang menggunakan gaya bahasa agar terkesan memberikan keindahan dalam karyanya. Selain itu, gaya bahasa dapat diartikan sebagai media untuk menyampaikan isi dalam sebuah cerpen. Sejak zaman dahulu, telah banyak sastrawan yang menggunakan karya sastra untuk menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di zamannya hidup. Karyakarya sastra tersebut bersifat abadi, sehingga di kemudian hari orang-orang yang ada pada zaman yang jauh setelah karya sastra tersebut ditulis, tetap bisa mengetahui gambaran sejarah peristiwa yang tertuang dalam karya sastra tersebut. Sastra dan sejarah merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Di Indonesia lahir banyak sastrawan yang mampu menuliskan sejarah peristiwa perjalanan Bangsa Indonesia dalam karyanya. Di antaranya merupakan orang-orang yang berlatarbelakang jurnalis, aktivis, bahkan
politikus. Mereka
melalui karya sastra yang ditulisnya mampu mencerminkan sejarah perjalanan bangsanya, juga melakukan kritik sosial, penyebaran gagasan untuk kemerdekaan, perlawanan terhadap penguasa, penjajahan, penindasan, dan ketidakadilan. Dalam sejarah sastra Indonesia, nama Nugroho Notosusanto dikenal sebagai sastrawan yang berlatarbelakang tentara. Karyanya banyak menceritakan tentang sejarah perjalanan bangsa. Tidak sedikit dari karya sastra yang menampilkan kisahkisah di sekitar revolusi. Karya sastra yang mencerminkan sejarah perjalanan bangsa, misalnya karya Nugroho Notosusanto yaitu, kumpulan cerpen Hujan Kepagian. Kumpulan
cerpen
Hujan
Kepagian
Nugroho
Notosusanto
berhasil
mencerminkan peristiwa yang dialaminya dengan gaya bahasa yang khas. Penggunaan gaya bahasa ini sangat menarik dan menggugah hati. Penggunaan gaya bahasanya mampu memperjelas makna yang ingin disampaikan pengarang. Berdasarkan latar belakang tersebut, Penggunaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Hujan Kepagian Karya Nugroho Notosusanto menarik untuk diteliti. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis berpendapat bahwa perlu
3
dilakukannya sebuah penelitian terhadap penggunaan gaya bahasa dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian yang berisikan cerpen-cerpen karya Nugroho Notosusanto. Dalam menganalisis cerpen Hujan Kepagian peneliti membatasi pada menurut Tarigan. Dengan melakukan kajian gaya bahasa tersebut, kita dapat melihat gambaran dengan jelas kondisi yang digambarkan oleh Nugroho Notosusanto dalam cerpen-cerpennya tersebut. Judul dari penelitian ini adalah “Penggunaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Hujan Kepagian Karya Nugroho Notosusanto dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. B. Identifikasi Masalah Pengkajian dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian
karya Nugroho
Notosusanto ini terdapat beberapa pokok permasalahan antara lain: 1. Gaya bahasa yang terdapat dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto. 2. Makna gaya bahasa yang digunakan dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto. 3. Belum adanya implikasi tentang kajian pembahasan penggunaan gaya bahasa dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. C. Pembatasan Masalah Kegiatan analisis sebuah karya sastra tidak harus meliputi semua aspek yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Penulis membatasi masalah yang akan diteliti. Penulis mengambil masalah yang berkaitan dengan penggunaan gaya bahasa atau majas dalam cerpen Senyum dan cerpen Bayi yang ada dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto dan Makna gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen Senyum dan cerpen Bayi dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto.
4
D. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah mengenai gaya bahasa yang akan dianalisis, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Gaya bahasa apa saja yang ada dalam kumpulan cerpen Hujan kepagian karya Nugroho Notosusanto? 2. Apakah
makna gaya bahasa yang digunakan dalam kumpulan cerpen
Hujan kepagian karya Nugroho Notosusanto? 3. Bagaimana implikasi penggunaan gaya bahasa dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA. E. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan gaya bahasa yang ada dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto. 2. Mendeskripsikan makna gaya bahasa yang digunakan dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto. 3. Mendeskripsikan implikasi penggunaan gaya bahasa dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA F. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat
teoretis, hasil penelitian ini dapat menambah
keilmuan dalam
pengajaran
bidang
bahasa
dan
khususnya tentang gaya bahasa dan pembelajaran sastra.
khasanah
sastra Indonesia,
5
2. Manfaat praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak, antara lain. a. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban dari masalah yang dirumuskan. Selain
itu, dengan
selesainya
penelitian
ini diharapkan
dapat menjadi motivasi bagi peneliti untuk semakin aktif dan kreatif menyumbangkan hasil karya ilmiah bagi dunia sastra dan pendidikan. b. Bagi Guru Hasil penelitian ini memberikan pendekatan struktural pembelajaran
genetik
gambaran bagi
untuk
dijadikan
guru tentang
pedoman
dalam
sastra yang menarik, kreatif, dan inovatif.
c. Bagi Pembaca Hasil memahami
penelitian
ini
bagi
pembaca
diharapkan
isi kumpulan cerpen Hujan Kepagian
manfaat
darinya.
dalam
memilih
Selain itu, diharapkan bahan
dan
pembaca
dapat
lebih
mengambil semakin
jeli
bacaan dengan memilih cerpen-cerpen yang
mengandung pesan moral yang baik dan dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk sarana pembinaan watak diri pribadi. d. Bagi Institusi Hasil penelitian ini memberikan gambaran mengenai gaya bahasa untuk dijadikan acuan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia serta diharapkan agar institusi semakin jeli dalam memilih bahan bacaan khususnya cerpen untuk media pembinaan kepribadian.
6
G. Metode Penelitian Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang peneliti dalam memilih metode yang digunakan, seperti jenis data yang akan diteliti serta kerangka berpikir yang menyertainya sehingga tujuan peneliti bisa tercapai. Metode penelitian ini adalah kualitatif. Melalui metode ini, peneliti dilibatkan langsung dalam situasi yang sedang dipelajari. Analisis metode kualitatif ini memfokuskan penempatan
pada data
penunjukkan pada
makna,
konteksnya
deskripsi,
masing-masing
penjernihan, dan
dan
seringkali
menggambarkannya dalam bentuk kata-kata daripada dalam bentuk angkaangka. Format desain penelitian kualitatif secara teoretis berbeda dengan format penelitian kuantitatif, namun perbedaannya terletak pada kesulitan di dalam membuat desain penelitian kualitatif itu sendiri karena umumnya penelitian kualitatif yang tidak berpola.1 Menurut Moleong, penelitian kualitatif yaitu: “penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan sebagainya secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk katakata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.”2 1. Objek Penelitian Sesuai tujuan penelitian, yang menjadi objek penelitian ini adalah gaya bahasa dalam cerpen Senyum dan Bayi dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto. 2. Data dan Sumber Data Penelitian a. Data Data penelitian ini berupa kutipan-kutipan kata, kalimat, dan wacana yang terdapat dalam cerpen
Senyum dan Bayi pada kumpulan cerpen Hujan
1
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi,Eekonomi,Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Kencana, 2007), h.67 2
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 6
7
Kepagian karya Nugroho Notosusanto yang di dalamnya terkandung gagasan mengenai unsur-unsur cerita. b. Sumber Data Sumber data penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. 1) Sumber Data Primer Sumber data primer dalam penelitian ini adalah cerpen Senyum dan Bayi dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto diterbitkan pada tahun 1990 oleh Balai Pustaka. 2) Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder dalam penelitian ini yaitu buku maupun artikel yang berkaitan dengan penelitian-penelitian dan karya-karya Nugroho Notosusanto. 3. Teknik Pengumpulan Data a. Membaca buku kumpulan cerpen Hujan Kepagian khususnya cerpen Senyum dan Bayi secara berulang. b. Mencatat kalimat-kalimat yang menyatakan penggunaan gaya bahasa. c. Mengurutkan kalimat-kalimat yang menyatakan penggunaan gaya bahasa yang diteliti. d. Menentukan kalimat-kalimat yang sesuai dengan penggunaan gaya bahasa yang diteliti. e. Menyimpulkan kalimat-kalimat yang sesuai dengan penggunaan gaya bahasa yang diteliti. f. Menyimpulkan makna gaya bahasa yang diteliti
4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis mengalir yang meliputi tiga komponen, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. a. Reduksi data
8
Pada langkah ini data yang diperoleh dicatat dalam uraian yang terperinci. Data-data yang dipilih hanya data yang berkaitan dengan masalah yang akan dianalisis, yaitu gaya bahasa yang terdapat dalam cerpen Senyum dan Bayi pada kumpulan cerpen Hujan Kepagian.
b. Penyajian data Pada langkah ini, data-data yang sudah ditetapkan kemudian disusun secara teratur dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut kemudian dianalisis sehingga diperoleh deskripsi mengenai gaya bahasa yang digunakan. c. Penarikan simpulan Pada tahap ini dibuat kesimpulan mengenai hasil dari data yang diperoleh sejak awal penelitian. Penarikan kesimpulan memuat hasil data berupa gaya bahasa apa saja yang digunakan pengarang dan apa makna gaya bahasa digunakan pengarang dalam buku kumpulan cerpen Hujan Kepagian.
BAB II
KAJIAN TEORETIS A. Hakikat Gaya Bahasa 1. Pengertian Gaya Bahasa Soepomo Poedjosoedarmoe dalam Made Sukada membicarakan gaya bahasa sebagai salah satu variasi bahasa, yaitu termasuk ragam, yang ditandai oleh suasana indah1. Thrall dan Hibbard dalam Made Sukada menekankan gaya bahasa sebagai cara pengaturan kata-kata, untuk menyatakan individualitas penulis, ide, dan maksud dalam pikirannya.2 Menurut Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seseorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan3. Gaya bahasa dapat memperkaya makna sehingga dapat menggapai pesan yang diinginkan secara lebih intensif hanya dengan sedikit kata. Dale dalam Tarigan berpendapat bahwa gaya bahasa adalah bahasa indah
yang
digunakan
untuk
meningkatkan
efek
dengan
jalan
memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Secara singkat penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu.4 Sementara itu, Keraf membatasi gaya bahasa sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).5 1
Made Sukada, Pembinaan Kritik Sastra Indonesia Masalah Sistematika Analisa Struktur Fiksi (Bandung: Angkasa, 1987), h.84 2
Ibid
3
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), h.276
4 5
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 5 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 113
9
10
Keraf berpendapat bahwa gaya bahasa harus memiliki sendi sebagai syarat bahasa yang baik. Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut, yaitu kejujuran, sopan-santun, dan menarik.6 Kejujuran dalam bahasa berarti mengikuti aturan-aturan serta kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Pemakaian kata-kata yang kabur dan tak terarah, serta penggunaan kalimat yang berbelit-belit adalah jalan untuk mengundang ketidakjujuran. Ukuran sopan-santun dalam bahasa dilihat dari kejelasan dan kesingkatan kata atau kalimat yang digunakan. Sebuah gaya bahasa harus pula menarik. Gaya bahasa dalam bentuk tulisan atau lisan yang digunakan dalam karangan bertujuan untuk mewakili perasaan dan pikiran dari pengarang. Sebuah gaya bahasa yang menarik dapat diketahui melalui beberapa hal berikut, yaitu variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup, dan penuh daya imajinasi. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah ciri khas pengarang dalam menuangkan ide atau gagasan ke dalam tulisan atau karyanya melalui bahasa yang khas dan indah.
2. Jenis Gaya Bahasa Tarigan membagi jenis gaya bahasa menjadi empat jenis, yaitu (1) gaya bahasa perbandingan, meliputi perumpamaan, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, antitesis, pleonasme dan tautologi, perifrasis, antisipasi atau prolepsis, serta koreksio atau epanortosis, (2) gaya bahasa pertentangan, meliputi hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralepsis, zeugma dan silepsis, satire, inuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, anastrof atau inversi, apofasis atau preterisio, histeron proteron, hipalase, sinisme, serta sarkasme, (3) gaya bahasa pertautan, meliputi
metonimia,
sinekdoke,
alusi,
eufemisme,
eponim,
epitet,
antonomasia, erotesis, paralelisme, elipsis, gradasi, asindeton, serta polisindeton, dan (4) gaya bahasa perulangan, meliputi aliterasi, asonansi,
6
Ibid
11
antanaklasis, kiasmus, epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodilopsis, epanalepsis, serta anadiplosis.7 Keraf membagi jenis gaya bahasa ke dalam empat kelompok, yaitu (1) berdasarkan pilihan kata, yang terdiri atas gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan, (2) berdasarkan nada, yang terdiri atas gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, serta gaya menengah, (3) berdasarkan struktur kalimat, yang terdiri atas klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi, (4) berdasarkan langsung tidaknya makna, yang terdiri atas gaya bahasa retoris, meliputi aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufimismus, litotes, histeron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis dan zeugma, koreksio atau epanortosis, hiperbol, paradoks, serta oksimoron, dan gaya bahasa kiasan, meliputi
persamaan atau
simile, metafora,
alegori,
personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, satire, inuendo, antifrasis, serta pun atau paronomasia.8 Sementara itu, Ratih Mihardja dalam Buku Pintar Sastra Indonesia membagi jenis gaya bahasa ke dalam empat kelompok, yaitu (1) Majas Perbandingan, meliputi alegori, alusio, simile, metafora, antropomorfisme, sinestesia, antonomasia,aptronim, metonimia, hipokorisme, litotes, Hiperbola, personifikasi, depersonifikasi, parsprototo, totum pro parte, eufimisme, disfemisme, fable, parable, perifrase, eponim, simbolik, (2) majas sindiran, meliputi ironi, sarkasme, sinisme, satire, innuendo, (3) majas penegasan meliputi, apofasis, pleonasme, repetisi, pararima, aliterasi, paralelisme, tautologi, sigmatisme, antanaklasis, klimaks, antiklimaks, inverse, retoris, ellipsis, koreksio, polisindenton, asindenton, interupsi, ekskalamasio, enumerasio, preterito, alonim, kolokasi, silepsis, zeugma, (4) majas pertentangan meliputi, paradox, oksimoron, antitesis, kontradiksi interminus, 7 8
Henry Guntur Tarigan, op.cit., h. 6 Ibid., h. 115-145
12
anakronisme.9 Damayanti dalam Buku Pintar Sastra Indonesia membagi jenis gaya bahasa ke dalam empat kelompok, yaitu (1) gaya bahasa perulangan, meliputi aliterasi, asonansi, antanaklasis, kiasmus, epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodilopsis, epanalepsis, dan anadiplosis, (2) gaya bahasa perbandingan, meliputi perumpamaan, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, antitesis, pleonasme dan tautologi, perifrasis, antisipasi, dan koreksio, (3) gaya bahasa pertentangan, meliputi hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, zeugma dan silepsis, satire, inuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, anastrof, apofasis, histeron proteron, hipalase, sinisme, dan sarkasme, (4) gaya bahasa pertautan, meliputi metonimia, sinekdoke, alusio, eufimisme, eponim, antonomasia, epitet, erotesis, paralelisme, elipsis, gradasi, asindeton, dan polisindeton.10 Sedangkan Semi membedakan jenis gaya bahasa berdasarkan persamaan (metafora), meliputi alegori, personifikasi, hiperbola, litotes, dan eufemisme, serta berdasarkan hubungan (metonimia), meliputi sinekdoke pars prototo, sinekdoke totem proparte, ironi, inversi, repetisi, koreksi, klimaks, antiklimaks, antitesis, pertanyaan retoris, alusio, paralelisme, sarkasme, simbolik, pleonasme, paradoks, proterito, asindeton, dan polisindeton.11 Berdasarkan beberapa pendapat di atas, penulis cenderung mengacu pada pendapat Tarigan bahwa jenis gaya bahasa dapat dibagi dalam empat jenis, yaitu (1) gaya bahasa perbandingan, (2) gaya bahasa pertentangan, (3) gaya bahasa pertautan, dan (4) gaya bahasa perulangan. Adapun penjelasan masing-masing jenis gaya bahasa di atas adalah sebagai berikut.
a. Gaya Bahasa Perbandingan Gaya bahasa perbandingan adalah gaya bahasa yang bermaksud membandingkan dua hal yang dianggap mirip atau memiliki kesamaan sifat
9
Ratih Mihardja, Buku Pintar Sastra Indonesia (Jakarta: Laskar Aksara), h. 28-39
10 11
D. Damayanti, Buku Pintar Sastra Indonesia, (Yogyakarta: Araska, 2013), h. 43-61 M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), h. 50-56
13
(bentuk). Gaya bahasa yang termasuk ke dalam jenis gaya bahasa perbandingan di antaranya adalah sebagai berikut: 1) Perumpamaan Perumpamaan atau simile adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama.12 Contoh: kedua kakak beradik itu bagaikan pinang dibelah dua wajahnya. 2) Metafora Tarigan berpendapat bahwa metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat, tersusun rapi. 13 Contoh: Dio mata keranjang. 3) Personifikasi Tarigan berpendapat bahwa personifikasi ialah jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak.14 Contoh: Bulan tersenyum senang. 4) Depersonifikasi Gaya bahasa depersonifikasi atau pembendaan adalah kebalikan dari gaya bahasa
personifikasi
atau
penginsanan.15
Apabila
personifikasi
menginsankan atau memanusiakan benda-benda, maka depersonifikasi justru membendakan manusia atau insan. Contoh: kalau dikau menjadi samudra, maka daku menjadi bahtera. 5) Alegori Alegori adalah cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang. Alegori biasanya mengandung sifat-sifat moral atau spiritual manusia. Biasanya alegori merupakan cerita-cerita yang panjang dan rumit dengan maksud dan tujuan yang terselubung namun bagi pembaca yang jeli justru jelas dan nyata.16 Contoh: fabel kancil dan buaya. 12
Henry Guntur Tarigan, op.cit., h. 9 Ibid., h. 15 14 Ibid., h. 17 15 Ibid., h. 21 13
16
Ibid., h. 24
14
6) Antitesis Ducrot & Todorov dalam Tarigan berpendapat bahwa antitesis adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan.17 Contoh: dia bergembira-ria atas kegagalanku dalam ujian ini.
7) Pleonasme dan Tautologi Menurut Poerwadarminta dalam Tarigan, pleonasme adalah pemakaian kata yang mubazir (berlebihan) yang sebenarnya tidak perlu. 18 Contoh: saya telah mencatat kejadian itu dengan tangan saya sendiri. 8) Perifrasis Perifrasis adalah sejenis gaya bahasa yang mirip dengan pleonasme. Namun pada gaya bahasa perifrasis, kata-kata yang berlebihan itu dapat diganti dengan sebuah kata saja.19 Contoh: ayahanda telah tidur dengan tenang dan beristirahat dengan damai buat selama-lamanya (maksudnya meninggal). 9) Antisipasi atau Prolepsis Kata antisipasi berasal dari bahasa Latin „anticipatio‟ yang berarti „mendahului‟ atau „penetapan yang mendahului tentang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau akan terjadi‟.20 Contoh: kami sangat gembira, minggu depan kami memperoleh hadiah dari Bapak Bupati. 10) Koreksio atau Epanortosis Koreksio atau epanortosis adalah gaya bahasa yang berwujud mula-mula ingin menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memeriksa dan memperbaiki
17
Ibid., h. 27 Ibid., h. 29 19 Ibid., h. 31 20 Ibid., h. 33 18
15
mana-mana yang salah.21 Contoh: dia benar-benar mencintai Neng Tetty, eh bukan, Neng Terry.
b. Gaya Bahasa Pertentangan Gaya bahasa pertentangan adalah gaya bahasa yang maknanya bertentangan dengan kata-kata yang digunakan. Gaya bahasa yang termasuk ke dalam jenis gaya bahasa pertentangan di antaranya sebagai berikut: 1) Hiperbola Hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya dengan maksud memberi
penekanan
memperhebat,
pada
meningkatkan
suatu kesan
pernyataan dan
atau
situasi
pengaruhnya.22
untuk Contoh:
tendangannya membelah cakrawala. 2) Litotes Litotes adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikecil-kecilkan, dikurangi dari kenyataan sebenarnya, misalnya untuk merendahkan diri.23 Contoh: kemenangan kami ini tidak ada artinya sama sekali. 3) Ironi Ironi ialah majas yang menyatakan makna yang bertentangan, dengan maksud berolok-olok.24 Contoh: tepat waktu sekali kamu, dari sepuluh pagi baru datang. 4) Oksimoron Keraf dalam Tarigan berpendapat bahwa oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frase yang sama.25 Contoh: olahraga mendaki gunung memang sangat menarik hati walaupun sangat berbahaya. 21
Ibid., 34 Ibid., h. 55 23 Ibid., h. 58 24 Ibid., h. 61 25 Ibid., h. 63 22
16
5) Paronomasia Paronomasia adalah gaya bahasa yang berisi penjajaran kata-kata yang sama bunyinya tetapi artinya berbeda.26 Contoh: oh adinda sayang, akan kutanam bunga tanjung di pantai tanjung hatimu. 6) Paralipsis Paralipsis adalah gaya bahasa yang merupakan suatu formula yang digunakan sebagai sarana untuk menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan apa yang tersirat dalam kalimat itu sendiri.27 Contoh: tidak ada orang yang menyenangi kamu (maaf) yang saya maksud membenci kamu di desa ini. 7) Zeugma dan Silepsis Zeugma dan silepsis adalah gaya bahasa yang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan cara menghubungkan sebuah kata dengan dua atau lebih kata lain yang pada hakikatnya hanya sebuah saja yang mempunyai hubungan dengan kata yang pertama.28 Dalam zeugma terdapat gabungan gramatikal dua buah kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan, contoh: paman saya nyata sekali bersifat sosial dan egois. Sedangkan dalam silepsis, konstruksi yang digunakan itu secara gramatikal benar, tetapi secara semantic salah, contoh: wanita itu kehilangan harta dan kehormatannya. 8) Satire Keraf dalam Tarigan berpendapat bahwa satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis maupun estetis.29 Contoh: jemu aku dengan bicaramu.
26
Ibid., h. 64 Ibid., h. 66 28 Ibid., h. 68 29 Ibid., h. 70 27
17
9) Inuendo Inuendo adalah sejenis gaya bahasa yang berupa sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Gaya bahasa ini menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung dan tampaknya tidak menyakitkan hati kalau ditinjau sekilas.30 Contoh: dia berhasil masuk sekolah negeri dengan sedikit menyuap. 10) Antifrasis Antifrasis adalah gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Antifrasis akan dapat diketahui dan dipahami dengan jelas bila pembaca atau penyimak dihadapkan pada kenyataan bahwa yang dikatakan itu adalah sebaliknya.31 Contoh: lihat! Mahasiswa paling rajin baru datang. (maksudnya terlambat) 11) Paradoks Keraf dalam Tarigan berpendapat bahwa paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.32 Contoh: di dalam keramaian aku masihmerasa sepi. 12) Klimaks Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasangagasan sebelumnya.33 Contoh: untuk bisa terwujud terampil dalam pengajaran bahasa Indonesia, harus menguasai keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca dan keterampilan menulis. 13) Antiklimaks Antiklimaks adalah kebalikan dari gaya bahasa klimaks. Antiklimaks merupakan suatu acuan yang berisi gagasan-gagasan yang diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting.34 Contoh: jangankan sejuta, seratus, atau sepuluh, serupiahpun aku tak punya. 30
Ibid., h. 73 Ibid., h. 75 32 Ibid., h. 77 33 Ibid., h. 79 34 Ibid., h. 80 31
18
14) Apostrof Apostrof adalah sejenis gaya bahasa yang berupa pengalihan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir.35 Contoh: wahai roh-roh nenek moyang kami yang berada di negeri atas, tengah, dan bawah, lindungilah desa kami ini. 15) Anastrof atau Inversi Menurut Keraf dalam Tarigan, anastrof atau inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Dengan kata lain perubahan urutan subjek-predikat menjadi predikat-subjek.36 Contoh: pergi merantaulah dia ke negeri sebrang tanpa meninggalkan apa-apa. 16) Apofasis atau Preterisio Apofasis atau preterisio adalah gaya bahasa yang digunakan oleh penulis, pengarang, atau pembicara untuk menegaskan sesuatu tetapi tampaknya menyangkalnya.37 Contoh: saya tidak ingin menyingkapkan dalam rapat ini bahwa putrimu itu telah berbadan dua. 17) Histeron Proteron Keraf dalam Tarigan berpendapat bahwa histeron proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar.38 Contoh: kalau kamu lulus ujian SMP nanti, maka kamu akan menduduki jabatan yang tinggi di kantor ini. 18) Hipalase Hipalase menurut Keraf dalam Tarigan adalah sejenis gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari suatu hubungan alamiah antara dua komponen gagasan.39 Contoh: aku menarik sebuah kendaraan yang resah. (yang resah adalah aku, bukan kendaraan)
35
Ibid., h. 83 Ibid., h. 84 37 Ibid., h. 86 38 Ibid., h. 87 39 Ibid., h. 89 36
19
19) Sinisme Sinisme adalah sejenis gaya bahasa yang berupa sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati.40 Sinisme lebih kasar dari ironi. Contoh: kamu memang yang paling tampan di bumi, yang mampu memperistri semua gadis di muka bumi. 20) Sarkasme Menurut Poerwadarminta dalam Tarigan, sarkasme adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dan menyakiti hati. Ciri utama sarkasme adalah selalu mengandung kepahitan dan celaan yang getir, menyakiti hati, dan kurang enak di dengar. 41 Contoh: Mulutmu harimaumu, lihat kelakuan dirimu sendiri sebelum menilai orang lain!
c. Gaya Bahasa Pertautan Gaya bahasa pertautan adalah gaya bahasa yang maknanya saling bertautan dengan kata-kata yang digunakan. Gaya bahasa yang termasuk ke dalam jenis gaya bahasa pertautan di antaranya sebagai berikut: 1) Metonimia Metonimia adalah sejenis gaya bahasa yang mempergunakan nama sesuatu barang bagi sesuatu yang lain berkaitan erat dengannya. 42 Contoh: Keluarga kami selalu minum Aqua. 2) Sinekdoke Moeliono dalam Tarigan berpendapat bahwa sinekdoke ialah majas yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya atau sebaliknya.43 contoh: (1) pars pro toto: sudah lama dia tidak kelihatan batang hidungnya. (2) totem pro parte: SMA Negeri 1 Tangerang menang dalam pertandingan bulu tangkis melawan SMA Negeri 2 Tangerang. 40
Ibid., h. 91 Ibid., h. 92 42 Ibid., h. 121 43 Ibid., h. 123 41
20
3) Alusi Alusi atau kilatan adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh berdasarkan anggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca serta adanya kemampuan para pembaca untuk menangkap pengacuan itu.44 contoh: apakah peristiwa Madiun akan terjadi lagi? (kilatan yang mengacu ke pemberontakan kaum komunis). 4) Eufemisme Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar yang dianggap merugikan atau yang tidak menyenangkan.45 Contoh: tunaaksara pengganti buta huruf. 5) Eponim Eponim adalah semacam gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu.46 contoh: Hercules menyatakan kekuatan. 6) Epitet Epitet adalah semacam gaya bahasa yang mengandung acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khas dari seseorang atau sesuatu hal.47 Contoh: lonceng pagi bersahut-sahutan menyongsong mentari yang menerangi alam. (lonceng pagi = ayam jantan). 7) Antonomasia Antonomasia adalah gaya bahasa yang merupakan penggunaan gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti nama diri.48 Contoh: Gubernur DKI Jakarta akan meresmikan pembukaan jalan layang di Jakarta Pusat minggu depan.
44
Ibid., h. 124 Ibid., h. 125 46 Ibid., h. 127 47 Ibid., h. 128 48 Ibid., h. 129 45
21
8) Erotesis Erotesis adalah sejenis gaya bahasa yang berupa pertanyaan yang digunakan dalam tulisan atau pidato yang bertujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar serta sama sekali tidak menuntut suatu jawaban.49 Contoh: apakah sudah wajar bila kesalahan atau kegagalan itu ditimpakan seluruhnya kepada guru? 9) Paralelisme Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frase-frase yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama.50 Contoh: baik kaum pria maupun kaum wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama secara hukum. 10) Elipsis Elipsis adalah gaya bahasa yang berupa penghilangan salah satu atau beberapa unsure penting dalam konstruksi sintaksis yang lengkap.51 Contoh: mereka ke Jakarta minggu lalu. (penghilangan predikat pergi atau berangkat) 11) Gradasi Gradasi adalah gaya bahasa yang mengandung suatu rangkaian atau urutan paling sedikit tiga kata atau istilah yang secara sintaksis bersamaan yang mempunyai suatu atau beberapa ciri semantic secara umum dan yang di antaranya paling sedikit suatu ciri diulang-ulang dengan perubahanperubahan yang bersifat kuantitatif.52 Contoh: aku mempersembahkan cintaku padamu, cinta yang bersih dan suci, suci murni tanpa noda, noda yang selalu kujauhi dalam hidup ini, hidup yang berpedomankan perintah Tuhan, Tuhan pencipta alam semesta yang kupuja selama hidupku.
49
Ibid., h. 130 Ibid., h. 131 51 Ibid., h. 133 52 Ibid., h. 134 50
22
12) Asindeton Asindeton adalah semacam gaya bahasa yang berupa acuan padat dan mampat di mana beberapa kata, frase, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk tersebut biasanya dipisahkan oleh tanda koma.
53
Contoh: ayah, ibu, anak, merupakan inti
suatu keluarga. 13) Polisindeton Polisindeton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton. Dalam polisindeton, berapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung.54 Contoh: akhirnya saya menemuinya kemudian memegang tangannya dan memeluknya karena begitu rindunya.
d. Gaya Bahasa Perulangan Gaya bahasa perulangan atau repetisi adalah gaya bahasa yang mengandung perulangan bunyi, suku kata, kata, frase, ataupun bagian kalimat yang dianggap penting untuk member penekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Gaya bahasa yang termasuk ke dalam jenis gaya bahasa perulangan di antaranya sebagai berikut: 1) Aliterasi Keraf dalam Tarigan berpendapat bahwa aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk perhiasan atau untuk penekanan.55 Contoh: dalam malam kelam aku tenggelam. 2) Asonansi Asonansi adalah sejenis gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan vokal yang sama. Biasanya dipakai dalam karya puisi ataupun dalam prosa
53
Ibid., h. 136 Ibid., h. 137 55 Ibid., h. 175 54
23
untuk memperoleh efek penekanan atau menyelamatkan keindahan.56 Contoh: ini muka penuh luka siapa punya. 3) Antanaklasis Antanaklasis adalah gaya bahasa yang mengandung ulangan kata yang sama dengan makna yang berbeda.57 Contoh: saya selalu membawa buah tangan untuk buah hati saya, jika saya pulang dari luar kota. 4) Kiasmus Menurut Ducrot dan Todorov dalam Tarigan, kiasmus adalah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus pula merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat.58 Contoh: yang kaya merasa dirinya miskin, sedangkan yang miskin justru merasa dirinya kaya. 5) Epizeukis Epizeukis adalah gaya bahasa perulangan yang bersifat langsung, yaitu kata yang ditekankan atau yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut.59 Contoh: ingat, kamu harus bertobat, bertobat, sekali lagi bertobat agar dosa-dosamu diampuni oleh Tuhan. 6) Tautotes Keraf dalam Tarigan berpendapat bahwa tautotes adalah gaya bahasa perulangan atau repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi.60 Contoh: aku menuduh kamu, kamu menuduh aku, aku dan kamu saling menuduh, kamu dan aku berseteru. 7) Anafora Anafora adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata pertama pada
setiap
baris
atau
setiap
kalimat.61
Contoh:
kaulah
yang
menginginkanku jadi pendampingmu, kaulah yang mengajakku untuk bersamamu, tapi kaulah yang menghancurkan hatiku berkeping-keping.
56
Ibid., h. 176 Ibid., h. 179 58 Ibid., h. 180 59 Ibid., h. 182 60 Ibid., h. 183 61 Ibid., h. 184 57
24
8) Epistrofa Epistrofa adalah semacam gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata atau frase pada akhir baris atau kalimat berurutan.62 Contoh: Bahasa resmi adalah bahasa Indonesia. Bahasa nasional adalah bahasa Indonesia. Bahasa kebanggaan adalah bahasa Indonesia. 9) Simploke Keraf dalam Tarigan berpendapat bahwa simploke adalah sejenis gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut.63 Contoh: Ibu bilang saya pemalas. Saya bilang biar saja. Ibu bilang saya lamban. Saya bilang biar saja. Ibu bilang saya manja. Saya bilang biar saja. 10) Mesodilopsis Mesodilopsis adalah sejenis gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan kata atau frase di tengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan.64 Contoh: Para pendidik harus meningkatkan kecerdasan bangsa. Para dokter harus meningkatkan kesehatan masyarakat. Para polisi harus meningkatkan keamanan umum. 11) Epanalepsis Epanalepsis adalah semacam gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata pertama dari baris, kalusa, atau kalimat menjadi terakhir.65 Contoh: saya akan tetap berusaha mencapai cita-cita saya.
62
Ibid., h. 186 Ibid., h. 187 64 Ibid., h. 188 65 Ibid., h. 190 63
25
12) Anadiplosis Anadiplosis adalah sejenis gaya bahasa repetisi di mana kata atau frase terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frase pertama dari klausa atau kalimat berikutnya.66 Contoh: Dalam raga ada darah Dalam darah ada tenaga Dalam tenaga ada daya Dalam daya ada segala B. Hakikat Cerpen 1. Pengertian Cerpen Cerpen merupakan karya sastra nonilmiah yang berbentuk prosa naratif. Cerpen sesuai dengan namanya, adalah cerita yang pendek. Akan tetapi, berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak ada kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam, suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel.67 Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan lebih banyak, secara implisit dari sekedar apa yang diceritakannya.68 Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan, cerita pendek adalah akronim dari cerita pendek..69 Sedangkan Nugroho Notosusanto berpendapat bahwa cerita pendek adalah cerita yang panjangnya di sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri.70 66
Ibid., h. 191
67
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), h. 10 68 Ibid., h. 11 69
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008, cet. Keempat), h. 264 70 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra (Bandung: Angkasa, 1993), h. 176
26
Pendapat lain diungkapkan oleh Kosasih bahwa cerita pendek (cerpen) merupakan cerita yang menurut wujud fisiknya berbentuk pendek. Cerita pendek merupakan cerita yang habis dibaca sekitar sepuluh menit atau setengah jam. Jumlah katanya sekitar 500-5000 kata. Oleh karena itu, cerita pendek pada umumnya bertema sederhana, jumlah tokohnya terbatas, jalan ceritanya sederhana, dan latarnya meliputi ruang lingkup yang terbatas.71 Sementara Ellery Sedgwick dalam Tarigan mengatakan bahwa cerita pendek adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan yang memberikan kesan yang tunggal pada jiwa pembaca. Cerita pendek tidak boleh dipenuhi dengan hal-hal yang tidak perlu.72 Selanjutnya Ajip Rosidi memberi batasan dan keterangan bahwa cerpen atau cerita pendek adalah cerita yang pendek dan merupakan suatu kebulatan ide73. Semua bagian dari sebuah cerpen mesti terikat pada suatu kesatuan jiwa: pendek, padat, dan lengkap. Tak ada bagian-bagian yang boleh dikatakan “lebih dan bisa dibuang”. Jeremy Hawthorn menambahkan bahwa: “The short story typically limits itself to a brief span of time, and rather than showing its characters developing and maturing will show them at some revealing moment of crisis – whether internal or external. Short stories rarely have complex plots; again the focus is upon a particular episode or situation rather than a chain of events.”74 Menurut Iwan Gunadi, Cerpen-cerpen itu lebih berfungsi sebagai jalan para penulisnya
untuk masuk ke dunia sastra sekaligus mematahkan
ekslusivitas sebutan sastrawan.75 Menurut Widjojoko, cerita pendek adalah suatu cerita yang melukiskan suatu peristiwa atau kejadian apa saja yang 9
E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra (Bandung: Yrama Widya, 2012), h. 34 Tarigan, op. cit., h. 176 73 Ibid. 72
74
Jeremy Hawthorn, Studying the Novel: an Introduction, (New York: Great Britain, 1989), h. 23 Ahmadun Yosi Herfanda, Sastra Kota Bunga Rampai Esai Edisi Temu Sastra Jakarta 2003 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2003), h.87
75
27
menyangkut
persoalan
jiwa
atau
kehidupan
manusia.
Dilihat
dari
perkembangannya, cerita pendek dibagi dua, yaitu cerita pendek sastra (cerita serius) yakni cerpen yang mengandung nilai sastra (moral, etika, dan estetika) dan cerita pendek hiburan (cerpen pop) yakni cerita pendek yang umumnya untuk menghibur yang mengutamakan selera pembaca dan kurang memperhatikan unsur didakatis, moral, dan etika.76 Stanton mengungkapkan bahwa satu yang terpenting yaitu cerita pendek haruslah berbentuk padat. Jumlah kata dalam cerpen harus lebih sedikit ketimbang jumlah kata dalam novel.77 Ada cerpen yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali berkisar 500-an kata, ada cerpen yang panjangnya cukupan (middle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan atau bahkan beberapa puluh ribu kata.78 Berdasarkan beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa cerpen merupakan suatu karangan atau cerita nonilmiah yang menceritakan suatu peristiwa pokok
mengenai
kehidupan yang singkat tetapi padat dan berisi. Walaupun sama-sama pendek, panjang cerpen itu sendiri bervariasi.
2.
Ciri-Ciri Cerpen Menurut E. Kosasih, ciri-ciri cerpen sebagai berikut: a. Alur lebih sederhana. b. Tokoh yang dimunculkan hanya beberapa orang. c. Latar yang dilukiskan hanya sesaat dan dalam lingkup yang relatif terbatas.79 Sementara itu, menurut Tarigan, ciri-ciri cerpen sebagai berikut: a. Singkat, padu, intensif (brevity, unity, intensity).
76
Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006), h. 37 77 Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 76 78 Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 10 79 E. Kosasih, op.cit., h. 34
28
b. Unsur-unsur utama cerita pendek adalah adegan, tokoh, dan gerak (scene, character, and action). c. Cerita pendek harus mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan, baik secara langsung ataupun tidak langsung. d. Sebuah cerita pendek harus menimbulkan satu efek dalam pikiran pembaca. e. Cerita pendek harus menimbulkan perasaan pada pembaca bahwa jalan ceritalah yang pertama-tama menarik perasaan dan baru kemudian menarik pikiran. f. Cerita pendek mengandung detail-detail dan insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja, dan yang bisa menimbulkan pertanyaanpertanyaan dalam pikiran pembaca. g. Dalam sebuah cerita pendek sebuah insiden yang terutama menguasai jalan cerita. h. Cerita pendek harus mempunyai seorang pelaku yang utama. i. Cerita pendek bergantung pada satu situasi. j. Cerita pendek memberikan impresi tunggal. k. Cerita pendek memberikan suatu kebulatan efek. l. Cerita pendek menyajikan satu emosi.80
Pendapat lain dikemukakan Lubis dalam Tarigan bahwa cerpen harus mempunyai satu efek atau memberi kesan yang menarik. Sedangkan menurut Morris dalam Tarigan, bahasa cerita pendek haruslah tajam, sugestif, dan menarik perhatian.81 Notosusanto dalam Tarigan berpendapat bahwa ciri-ciri cerpen yaitu jumlah kata-kata yang terdapat dalam cerita pendek biasanya di bawah 10.000 kata, tidak boleh lebih dari 10.000 kata (atau kira-kira 33 halaman kuarto spasi rangkap).82
80
Henry Guntur Tarigan, op.cit., h. 177 Ibid 82 Ibid., h. 178 81
29
Widjojoko mengemukakan ciri-ciri cerita pendek sebagai berikut: a. Penyampaian cerita secara singkat dan padat. b. Jalinan jiwa dan kejadian bulat dan padu, yang di dalamnya mengandung unsur pertikaian yang akhirnya mencapai klimaks dan diakhiri dengan penyelesaian masalah. c. Tema cerita tentang nilai kemanusiaan, moral, dan etika. d. Membicarakan masalah tunggal dan dapat dibaca dalam waktu singkat. e. Memusatkan perhatian pada tokoh protagonis. f. Unsur utama yang terdapat dalam cerpen adalah adegan, tokoh, dan gerak. g. Adanya kebulatan kisah (cerita). h. Bahasa yang digunakan dalam cerpen tajam, sugestif, dan menarik perhatian. i. Sebuah cerita pendek mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung. j. Sebuah cerita pendek harus menimbulkan efek dalam pikiran pembaca. k. Dalam cerita pendek terdapat satu kejadian atau persoalan yang menguasai jalan cerita. l. Cerita pendek bergantung pada satu situasi. m. Pelaku utama mengalami perubahan nasib dan cerita berkembang secara memusat. n. Alur cerita berpusat pada peristiwa yang member rangsangan pada pembaca. 83
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ciriciri cerpen yaitu bersifat tidak ilmiah atau fiktif, singkat, padat, jelas, naratif,
83
Widjojoko dan Endang Hidayat, op.cit., h. 37
30
menggambarkan satu peristiwa, dan menarik. Cerpen yang bagus yaitu cerpen yang dapat menarik pembaca ke dalam cerita serta membangkitkan gairah pembaca dalam memahami cerita. C. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian ini dan dapat dijadikan acuan serta masukan dalam penelitian ini antara lain penelitian yang dilakukan oleh Novita Rihi Amalia dengan judul “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai-Nilai Pendidikan Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata” Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam kesimpulannya, gaya bahasa yang digunakan dalam novel Sang Pemimpi antara lain (1) perbandingan meliputi, hiperbola, metonimia, personifikasi, perumpamaan, metafora, sinekdoke, alusio, simile, asosiasi, epitet, eponim, dan parsprototo; (2) perulangan meliputi, aliterasi, anafora, anadiplosis, simploke, epizeukis, mesodiplosis; (3) pertentangan meliputi, litotes, antitesis, oksimoron; (4) penegasan meliputi, repetisi dan epifora. Gaya bahasa yang paling dominan digunakan dalam novel Sang Pemimpi adalah personifikasi karena Andrea Hirata ingin menyampaikan nilai-nilai pendidikan yang sangat bermanfaat bagi para pembaca dengan menghidupkan isi cerita di dalamnya. Alasan penulis memilih penelitian Novita Rihi Amalia sebagai penelitian yang relevan karena sama-sama meneliti tentang gaya bahasa. Perbedaannya yaitu penelitian Novita selain meneliti gaya bahasa juga meneliti nilai-nilai pendidikan pada novel, sedangkan penulis meneliti gaya bahasa serta implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pada cerpen. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Evi Selviawati dengan judul “Penggunaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Laluba Karya Nukila Amal yang Mengacu pada Karya Grafis M. C. Escher: Analisa Stiliska” Universitas Indonesia. Dalam kesimpulannya, gaya bahasa yang digunakan dalam kumpulan cerpen Laluba bab Para Penatap dan Para Pencerita yang mengacu pada karya grafis M. C. Escher memberikan penjelasan mengenai bagaimana Nukila Amal menarasikan karya grafis M. C. Escher ke dalam
31
cerpen-cerpennya dengan menggunakan gaya bahasa yang digunakannya. Alasan penulis memilih penelitian Evi ini karena sama-sama meneliti gaya bahasa. Perbedaannya yaitu penelitian Evi hanya sebatas pada gaya bahasa, sedangkan penulis mencakup gaya bahasa serta implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Vina Esti Suryani dengan judul “Pemanfaatan Gaya Bahasa dan Nilai-Nilai Pendidikan pada Novel Rembulan Tenggelam di wajahmu Karya Tere Liye” Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam kesimpulannya, gaya bahasa yang digunakan dalam novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu karya Tere Liye didominasi oleh simile karena melalui gaya bahasa ini nilai-nilai pendidikan yang ingin disampaikan akan mudah dipahami oleh pembaca. Adapun pemajasan lain yang terdapat dalam novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu adalah metafora, hiperbola, personifikasi, metonimia, antitesis, ironi, sarkasme, sinisme, paralelisme, parsprototo, asindenton, polisidenton, apostrof, ellipsis, pleonasme, perifrasis, anafora, hipalase, paradox, dan epizeukis; pemaknaan gaya bahasa dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Perbedaannya yaitu penelitian Vina pada gaya bahasa dan nilai pendidikan, sedangkan penelitian penulis mencakup gaya bahasa serta implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. D. Pembelajaran Sastra Sastra itu mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka pengajaran sastra dipandang sebagai sesuatu yang penting yang patut menduduki tempat yang selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah yang nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat.84 Sastra memang dianggap kurang begitu penting di jenjang pendidikan dan disisihkan oleh para guru terutama bagi guru yang berpengetahuan apresiasi sastranya rendah. 84
B, Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra Pegangan Guru Pengajar Sastra (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 15
32
Bagi masyarakat Indonesia sastra dianggap kurang berperan karena masyarakat Indonesia saat ini cenderung mengedepankan konsep yang pasti atau eksak yang dianggap lebih penting untuk didapatkan. Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. Kompetensi apresiasi yang diasah dalam pendidikan ini adalah kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra. Kegiatan apresiasi sastra tidak hanya diajarkan dalam bentuk pembacaan karya sastra oleh siswa. Kegiatan ini dapat juga diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan dengan berbagai teknik pembelajaran. Dengan pendidikan semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung. Mereka berkenalan dengan sastra tidak melalui hafalan nama-nama judul karya sastranya atau sinopsisnya saja, tetapi langsung berhadapan dengan karya sastranya.85 Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu ketrampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.86 Minat baca yang kurang di sekolah membuat karya sastra kurang begitu diminati oleh siswa. Hal demikian dapat dilihat dalam pembelajaran Bahasa Indonesia yang sedikit sekali pembahasan tentang sastra. Akibatnya, tidak sedikit siswa yang mengerti dan paham tentang sastra dan Bahasa dan Sastra Indonesia belum mampu menjadi mata pelajaran yang disenangi dan dirindukan oleh siswa. Gaya bahasa dan kosakata mempunyai hubungan erat, hubungan timbal balik. Kian kaya kosakata seseorang, kian beragam pulalah gaya bahasa yang dipakainya. Peningkatan pemakaian gaya bahasa jelas turut memperkaya kosakata pemakainya. Itulah sebabnya maka dalam pengajaran bahasa, pengajaran gaya bahasa merupakan suatu teknik penting untuk mengembangkan kosakata 85
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 168
86
Rahmanto, op. cit., h. 16
33
para siswa.87 Pembelajaran sastra di sekolah harus dilakukan dengan metode yang tepat mengacu pada kemampuan afektif siswa sehingga menjadi apresiatif dan kreatif.
87
Henry Guntur Tarigan, op.cit., h. 5
BAB III PROFIL NUGROHO NOTOSUSANTO Dalam dunia sastra Indonesia, nama Nugroho Notosusanto sedikit tak asing. Nama Nugroho Notosusanto seolah-olah terlupakan dalam kesusastraan Indonesia. Penulis hanya sedikit menemukan profil Nugroho Notosusanto. A. Biografi Nugroho Notosusanto Nugroho Notosusanto dilahirkan di Rembang 15 Juli 1930. Ia terkenal sebagai penulis prosa, terutama pengarang cerpen. Tetapi sesungguhnya ia pertama-tama menulis sajak-sajak yang sebagian besar dimuat juga dalam majalah yang dipimpinnya, Kompas. Tidak merasa mendapat kepuasan dalam menulis sajak, ia lalu mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai. Ia menjadi kepala Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata dan sejak 1968 diangkat menjadi kolonel titular, kemudian brigadir jendral. Ia merupakan salah seorang pengambil inisiatif untuk mengadakan simposium sastra Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta tahun 1953 yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai dengan tahun 1958. Ia sendiri pada simposium tahun 1957 menjadi salah seorang pemrasaran yang mengemukakan prasaran tentang cerita pendek1. Ketika Nugroho sedang giat-giatnya dalam gerakan mahasiswa, ia berkenalan dengan Irma Sawitri Ramelan (Lilik). Perkenalan itu kemudian diteruskan ke jenjang perkawinan pada tangal 12 Desember 1960 di Hotel Indonesia. Istri Nugroho adalah keponakan istri Prof. Dr. B.J. Habibie. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai tiga orang anak, yang pertama bernama Indrya Smita tamatan FIS UI, yang kedua Inggita Sukma, dan yang ketiga Norottama. Nugroho meninggal dunia hari Senin, 3 Juni 1985, pukul 12.30, di rumah kediamannya karena serangan pendarahan otak akibat
1
Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. (Bandung: Binacipta. 1991), h.130
34
35
tekanan darah tinggi. Ia adalah menteri keempat di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada masa Orde Baru yang meninggal dunia dalam masa tugasnya. Ia meninggal dunia pada bulan yang mulia bagi umat Islam, yaitu pada bulan Ramadan, dan di kebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Lingkungan dan pendidikannya yang pertama ini agaknya memberi pengaruh yang besar sekali pada sikap dan pandangan hidupnya.2 Pendidikan yang pernah diperoleh Nugroho adalah Europese Legere School (ELS) yang tamat 1944, kemudian menyelesaikan SMP di Pati, Tahun 1951 tamat SMA di Yogyakarta. Setamat SMA, ia masuk Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah, Universitas Indonesia, dan tamat tahun 1960. Tahun 1962 ia memperdalam pengetahuan di bidang Sejarah dan Filsafat di University of London. Ketika tamat SMA, sebagai seorang prajurit muda, ia dihadapkan pada dua pilihan, yaitu meneruskan karier militer dengan mengikuti pendidikan perwira atau menuruti apa yang diamanatkan ayahnya untuk menempuh karier akademis. Ayahnya dengan tekun dan sabar mengamati jejaknya. Setelah 28 tahun, keinginan ayahnya terkabul, yaitu Nugroho dikukuhkan sebagai guru besar FSUI. Namun, ayahnya tidak dapat menyaksikan karena ayahnya telah wafat pada tanggal 30 April 1979. Selain itu, ia juga berkarier di militer. Pada tahun 1977 ia memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra bidang sejarah dengan tesis The Peta Army During the Japanese Occupation in Indonesion, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tentara Peta pada Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia, yang diterbitkan oleh penerbit Gramedia pada tahun 1979. Nugroho mendapat pendidikan di kota besar, seperti, Malang, Jakarta, dan Yogyakarta. Pengalaman Nugroho Notosusanto di bidang kemiliteran, adalah sebagai angota Tentara Pelajar (TP) Brigade 17 dan TKR Yogyakarta. Sejak Nugroho menjadi anggota redaksi harian Kami, ia semakin menjauh dari dunia sastra, akhirnya ia tinggalkan sama sekali. Ia kemudian beralih ke dunia sejarah dan tulisannya 2
Kun Mariatin, Nugroho Notosusanto Tugas Sastera. (Jakarta : SMA Sumbangsih 1970), h. 1
36
mengenai sejarah semakin banyak. Pada tahun 1967, Nugroho mendapatkan pangkat tituler berdasarkan SK Panglima AD No. Kep. 1994/12/67 berhubungan dengan tugas dan jabatannya di AD. Sejak tahun 1964, ia menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI. Ia juga menjadi anggota Badan Pertimbangan Perintis Kemerdekaan serta aktif dalam herbagai pertemuan ilmiah di dalam dan di luar negeri. Pada tahun 1981 namanya disebutsebut berkenaan dengan bukunya Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara. Buku itu menimbulkan polemik di berbagai media massa. Bahkan, banyak pula yang mengecam buku itu sebagai pamflet politik. Di bidang pendidikan Nugroho memegang peranan penting. Ia pernah menjadi Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan FSUI dan menjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, UI. Tahun 1971--1985 Nugroho menjadi wakil Ketua Harian Badan Pembinaa Pahlawan Pusat. Ketika Nugroho dilantik menjadi Rektor UI, ia disambut dengan kecemasan dan caci maki para mahasiswa UI. Mahasiswa menganggap Nugroho adalah seorang militer dan merupakan orang pemerintah yang disusupkan ke dalam kampus untuk mematikan kebebasan kehidupan mahasiswa. Pada tanggal 15 Januari 1982 Nugroho dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam Kabinet Pembangunan IV. Ia dikenal sebagai orang yang kaya ide. Semasa menjadi menteri, ia mencetuskan banyak gagasan, seperti konsep wawasan almamater, pendidikan sejarah perjuangan bangsa, dan pendidikan humaniora. Di samping itu, ia banyak jasanya dalam dunia pendidikan karena ia yang mengubah kurikulum dengan menghapus jurusan di SMA, dan mencetuskan sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru (sipenmaru). Walaupun Nugroho hanya dua tahun menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, banyak hal yang telah digarapnya, yaitu UT sebagai perguruan tinggi negeri yang paling bungsu di Indonesia. Program Wajib Belajar, Orang Tua Asuh, dan pendidikan kejuruan di sekolah menengah.
37
Nugroho adalah satu-satunya menteri yang mengeluarkan Surat Keputusan tentang Tata Laksana Upacara Resmi dan Tata Busana Perguruan Tinggi. Akan tetapi, sebelum SK ini terlaksana Nugroho telah dipanggil Tuhan Yang Maha Esa. Puncak pengakuan atas sumbangan Nugroho terhadap bangsa Indonesia adalah diberikannya Bintang Dharma, Bintang Gerilya, Bintang Yudha, Dharma Naraya, dan Satyalencana Penegak.3 Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh FSUI tahun 1963, Nugroho membawakan makalahnya yang berjudul Soal Periodesasi dalam Sastra Indonesia. Dia mengemukakan bahwa sesudah tahun 1950 ada periode kesusastraan baru yang tidak bisa lagi dimasukkan ke dalam periodisasi sebelumnya. Menurut Nugroho, pengarang yang aktif mulai menulis pada periode 1950-an adalah mereka yang mempunyai tradisi Indonesia sebagai titik tolaknya, dan juga mempunyai pandangan yang luas ke seluruh dunia. Selain sebagai seorang sastrawan, nugroho juga seorang sejarawan. Namun sayangnya, berbagai kontroversi yang mengiringi perjalanannya sebagai seorang sejarawan. Salah satu hal yang paling disorot adalah ketika Nugroho dimanfaatkan oleh ABRI maupun Orde Baru untuk menulis sejarah menurut versi pihak-pihak tersebut. Pada 1964 ABRI menggunakan Nugroho untuk menyusun sejarah militer menurut versi militer karena khawatir bahwa sejarah yang akan disusun oleh pihak Front Nasional yang dikenal sebagai kelompok kiri pada masa itu akan menulis Peristiwa Madiun secara berbeda, sementara militer lebih suka melukiskannya sebagai suatu pemberontakan pihak komunis melawan pemerintah.Ketika diangkat sebagai menteri pendidikan pada 1984, Nugroho menggunakan kesempatan itu untuk menulis ulang kurikulum sejarah untuk lebih menekankan peranan historis militer.
3
Artikel diakses pada 26 Februari 2014 dari http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/tokoh/286/Nugroho%20Notosusanto
38
Pada tahun ini pula Nugroho ikut menulis skenario untuk film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang memuat versi resmi Orde Baru tentang tragedi tersebut. Film ini kemudian dijadikan tontonan wajib untuk murid-murid sekolah di seluruh Indonesia, dan belakangan diputar sebagai acara rutin setiap tahun di TVRI pada malam tanggal 30 September hingga tahun 1997. Peranan Nugroho dalam penulisan sejarah versi Orde Baru paling menonjol adalah ketika dia mengajukan versinya sendiri mengenai pencetus Pancasila. Menurut Nugroho, Pancasila dicetuskan oleh Mr. Muhammad Yamin, bukan oleh Soekarno. Soekarno hanyalah penerus. Akibatnya, tanggal 1 Juni tidak lagi diperingati sebagai hari lahir Pancasila oleh pemerintah Orde Baru.4
B. Karya Nugroho Notosusanto 1) Cerpen Sebagai penulis cerita pendek ia menonjol dengan kisah-kisah yang berlatarbelakangkan revolusi seperti yang dialami oleh para pelajar yang terjun membela tanah airnya dari penjajahan kembali Belanda. Ceritaceritanya memperlihatkan ketangkasan dan kecermatan, dengan latar belakang kemanusiaan yang lebih luas, sehingga membuat penulisnya menjadi salah seorang pengarang cerita pendek penting pada masa itu.5 Bakat Nugroho dalam mengarang sudah terlihat ketika ia masih kecil. Ia mempunyai kesenangan mengarang cerita bersama Budi Darma. Cerita Nugroho selalu bertema perjuangan. Pada waktu itu Republik Indonesia memang sedang diduduki oleh Belanda. Dari cerita yang ditulis Nugroho
4
Artikel Riset dan Analisa: Fathimatuz Zahroh diakses pada 26 Februari 2014 dari
http://profil.merdeka.com/indonesia/n/nugroho-notosusanto/ 5
Ajip rosidi, “Nugroho Notosusanto dan Sastera Indonesia” , Majalah Basis, Jakarta, 12 Desember 1993, h. 465
39
waktu itu, tampak benar semangat nasionalismenya. Menurut ayahnya, Nugroho mempunyai jiwa nasionalisme yang besar. Sebagai sastrawan, pada mulanya Nugroho menulis sajak dan sebagian besar karyanya itu dimuat di harian Kompas. Karena tidak pernah mendapat kepuasan dalam menulis sajak, Nugroho kemudian mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen, dan esai. Karyanya pernah dimuat di berbagai majalah dan surat kabar seperti Gelora, Kompas, Mahasiswa, Indonesia, Cerita, Siasat, Nasional, Budaya, dan Kisah. Karena Nugroho cukup lama bertugas dalam militer, ia dapat membeberkan peristiwa militer, perang, dan suka duka kehidupan, seperti dalam cerpennya yang berjudul Jembatan, Piyama, Doa Selamat Tinggal, Latah, Karanggeneng, Nini, dan Mbah Dukun. Kumpulan cerpen Hujan Kepagian berisi enam cerita pendek yang semuanya menceritakan masa perjuangan menghadapi agresi Belanda. Buku itu memberi gambaran berbagai segi pengalaman manusia yang terjadi dalam peperangan. Bukunya yang berjudul Tiga Kota berisi sembilan cerita pendek yang ditulis tahun 1953-1954. Judul Tiga Kota diambil karena latar cerita terjadi di tiga kota, yaitu Rembang, Yogyakarta, dan Jakarta, kota yang paling banyak memberinya inspirasi untuk lahirnya cerita. Menilik nada dan suasananya, walaupun kumpulan ini terbit tahun 1959, sedangkan Hujan Kepagian terbit tahun 1958, tetapi kedua kumpulan ini tampaknya ditulis dalam waktu yang sangat berdekatan. Sehingga nada dasar kedua kumpulan ini juga hampir bersamaan. Hanya saja, Tiga Kota lebih banyak mereflesikan latar tempat, sebagaimana yang disarankan oleh judul tiap-tiap bagian. Karena pengarang
40
memahami benar-benar persoalan setting,ceritanya dapat mereflesikan setting (tempat dan waktu) secara sinkronis6. Kumpulan cerita pendek Hijau Tanahku Hijau Bajuku diterbitkan oleh Balai Pustaka dalam rangka “Seri sastra Modern di 16 halaman, terbit tahun 1963 dengan dua cerita pendek, Panser dan Kepindahan. Keduanya tampak tidak beda dengan cerpen-cerpen dalam Hujan Kepagian, yaitu menampilkan suasana medan tempur dengan tentara yang masih muda belia. Kisah panser melukiskan pengalaman seorang prajurit yang bertugas di garis depan dan ternyata istri yang ditinggalkannya di kota, sakit kemudian meninggal dunia. Sedangkan cerpen Kepindahan menceritakan kepindahan letnan Sukanda dari daerah pedalaman, yang mana letnan itu ternyata dicintai istri bupati. Letnan Sukanda merasa kepindahannya itu merupakan jalan terbaik baginya untuk memutuskan hubungan batin itu. Ternyata dalam perjalanannya yang sendiri, Letnan Sukanda dihadang musuh, dan ia tewas.7 Rasa Sayange merupakan kumpulan cerita pendek yang terbit tahun 1961. Di dalamnya terhimpun sepuluh cerpen, Ular, Jembatan, Nini, Piyama, Doa Selamat tinggal, Latah, Raden Satiman, Karanggeneng, Persalinan, dan Sungai. Rembang melatari cerita kenangan Mbah Danu, Penganten, dan Tayuban. Yogyakarta dan Jakarta melatari cerita Jeep 04-1001 Hilang dan Vickers Jepang. Dalam cerpen tersebut penulis mengalami peristiwa yang dituturkannya. Sehingga cerpen tersebut kelihatan hidup. 2) Karya Terjemahan Nugroho dikenal sebagai penulis produktif. Di samping sebagai sastrawan dan pengarang, ia juga aktif menulis buku ilmiah dan makalah dalam berbagai bidang ilmu. Buku terjemahannya yang diterbitkan berjumlah 6
Korrie Layun Rampan, “Nugroho Notosusanto sebagai Sastrawan, Cerpen-Cerpennya Menanamkan Jiwa Nasionalisme”, Harian Suara Karya, 18 November 1983, h. 4 7 Ibid
41
dua puluh satu judul. Buku itu sebagian besar merupakan lintasan sejarah dan kisah perjuangan militer. Karena wawasannya yang mendalam mengenai sejarah perjuangan ABRI, dia mampu mengedit film yang berjudul Pengkhianatan G.30S/PKI. Nugroho menghasilkan karya terjemahan, yaitu Kisah Perang Salib di Eropa (1968) dari Dwight D. Eisenhower, Crusade in Europe, Understanding Histotry: A Primer of Historical Method, dan terjemahan tentang bahasa dan sejarah, yaitu Kisah daripada Bahasa (1971) (Mario Pei, The Story of Language) dan Mengerti Sejarah.
3) Esai dan Kritik Nugroho digolongkan sebagai sastrawan Angkatan 66, sedangkan oleh Ajip Rosidi digolongkan sebagai sastrawan angkatan baru (periode 50-an). Di antara pengarang semasanya, Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Sebagian besar pengarang waktu itu hanya menulis cerpen dan sajak, tetapi Nugroho banyak menulis esai, terutama tentang sastra dan kebudayaan. Tulisannya antara lain berisi pembelaan para sastrawan muda. Ketika terdengar suara tentang krisis kesusastraan, Nugroho Notosusanto tertarik dalam dunia sastra Indonesia. Nugroho memprakarsai simposium sastra FSUI pada tahun 1953, yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai tahun 1958. Nugroho banyak menulis esai dan kritik di antaranya dimuat dalam majalah Kompas, Gelanggang/Siasat, ruangan “Persada”/Kisah atau lainnya. Esai-esainya memperlihatkan wawasan yang segar dan luas jangkauannya, kelihatan tegar di tengah-tengah para sastrawan lain sebayanya yang kebanyakan hanya produktif mencipta sajak dan cerita pendek saja. Karangan yang berjudul Situasi 1954 yang termuat dalam kompas berturut-turut empat nomor itu, dimulai dengan membahas polemik dalam harian Nieuwsieger (yang berbahasa Belanda) sekitar pertengahan
1954, di antara Tjalie
Robinson, Sutan Muhammad Sjah, Sitor Situmorang, Samuel Intama, Mas
42
Soed dan kemudian juga Savitri (=Mochtar Lubis) dalam surat kabarnya Indonesia Raya.8
4) Karya Tulis Dalam bidang keredaksian ia pernah memimpin majalah Gelora, menjadi pemimpin redaksi Kompas, anggota dewan redaksi Mahasiswa bersama Emil Salim tahun 1955-1958, menjadi ketua juri hadiah sastra, dan menjadi pengurus BMKN. Sewaktu di perguruan tinggi ia menjadi koresponden majalah Forum, dan menjadi menjadi redaksi majalah Pelajar. Nugroho juga aktif dalam berbagai pertemuan ilmiah, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dalam tahun 1959-1976 Nugroho menghadiri pertemuan ilmiah internasional sebanyak empat kali. Nugroho membuat beberapa karya tulis diantaranya, Pemberontakan Peta Blitar Melawan Jepang 14 Februari (1944), The Coup Attempt of the September 30 Movement in Indonesia (bersama Ismail Saleh, 1968), The Dual Function of the Indonesian Armed Forces Especially since 1966. Selain itu Nugroho berperan dalam membuat naskah proklamasi yang otentik dan rumusan pancasila yang otentik, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI (Editor), Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara.9 C. Pemikiran Nugroho Notosusanto Nugroho Notosusanto banyak mengisahkan tentang kemerdekaan. Sejak ia menyandang gelar “cerpenis”, ia selalu protes. Mungkin karena masa remajanya sampai dewasa ia selalu hidup di dunia serba keras. Ia menikmati bagaimana para penjajah, Belanda seenaknya menindas bangsa kita. Protes kekejaman Belanda tak lepas 8
Ajip Rosidi, loc. Cit. Artikel diakses pada 26 Februari 2016 dari http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/notosusanto.html 9
43
mempengaruhi pikirannya. Sehingga betapa, tajamnya nada protes di dalam cerpencerpennya. Tidak heranlah bila suatu penerbit memberi kata pada cerpen Nugroho, katanya cerpen Nugroho ini merupakan kesaksian tentang revolusi kemerdekaan. Tidak banyak karya sastranya yang menampilkan kisah-kisah disekitar revolusi itu yang mengalami sendiri oleh pengarangnya.10 Nugroho Notosusanto mengartikan “angkatan” sama dengan “periode”. Dalam tulisannya yaitu Boejoeng Saleh berkata bahwa pembagian periode-periode sastra itu berdasarkan atas pola-pola kebudayaan (cultural patterns) yang sudah menimbulkan sesuatu keadaan kemasyarakatan terhadap mana lahir bentuk-bentuk mereaksi tertentu berwujud cara berpikir dan merasa cara mengungkapkan (memberikan bentuk) kepada pikiran dan perasaan tersebut.11 Konsep Nugroho Notosusanto dengan membombong sambil membimbing mempunyai makna lain bagi anak-anak remaja. Di tengah-tengah masyarakat yang mudah mengecam setiap tindakan kaum pelajar, remaja sebagai produk yang brengsek. Membombong (membesarkan hati) memang seharusnya dilakukan. Karena sebenarnya tidak benar kalau produk generasi yang sekarang sebagai sesuatu yang brengsek, narkotik, minum-minuman keras atau berkelahi belaka. Banyak generasi muda, terutama kaum remaja yang sebenarnya mampu berkarya, mampu memperlihatkan bahwa mereka sebenarnya patut diterima sebagai calon pengganti generasi tua. Kecintaannya pada anak didik, membuatnya selalu trenyuh setiap kali bocah-bocah kecil berkeliaran di jalan dengan dagangannya. Itu pulalah yang mendorongnya untuk melahirkan ide orang tua asuh. Ia ingin semua anak negeri ini tahu apa itu sekolah. Namun begitu tak berarti ia memanjakan yang sudah berkemauan sekolah.12
10
Anonim, “In Memoriam Nugroho Notosusanto, Cerpenis yang selalu ingin Merdeka”, Harian Yudha Minggu, Jakarta, 23 Juni 1985, h. 7. 11 Ajip Rosidi, Masalah Angkatan dan Periodisasi Sedjarah Sastra Indonesia, (Tjupumanik, 1970), h.10. 12 Eni S. Bahari Putri, “Nugroho di mata Wartawan Muda, Dia yang Tak Mengenal Lelah”, Harian Umum Pelita, Jakarta 6 Juni 1985, h. 18.
44
Nugroho Notosusanto menjunjung tinggi suatu kemerdekaan. Bukan saja tidak mau bangsanya dijajah oleh Belanda dan Jepang, tapi dirinya sendiri pun harus bebas, merdeka. Di sinilah, semangat idealisme Nugroho yang tidak bisa diabaikan oleh para mahasiswa, para prajuriyt, atau para pejabat lainnya, sebab semangat yang merindukan kemerdekaan sangat dibutuhkan Negara berkembang seperti Negara Indonesia. Apalagi, semangat itu tidak diam meminta merdeka, setelah mendapatkan kemerdekaan ia terus merindukan mengisi kemerdekaan itu dengan berbagai kesibukan, tentunya tidak mengarah ke hal yang negatif sifatnya.13 Sebagai seorang yang banyak bergerak dilapangan masyarakat dan organisasi pemuda, serta pula pernah giat dalam ketentaraan pelajar, Nugroho tak dapat dikatakan tidak punya pengalaman. Kesan membaca cerita-cerita Nugroho ialah ia tak dapat menghayati suasana dan tokoh-tokohnya oleh kekurangan pengalaman batin dan kekurangan daya imajinasi. Nugroho bukan orang yang berjiwa Patetis, sebaliknya otaknya dingin menganalisa. Nugroho tidak mencoba jadi diri orang lain, tapi tetap dirinya sendiri, memandang dari sudut pandangnya sendiri.14 Adanya kelesuan, impasse atau krisis dalam kesusastraan Indonesia pada awal tahun 1950-an bagi Nugroho tidak lebih dari satu mitos, “mythe”. Hal itu jelas dikemukakan dengan tegas di dalam paling tidak dua buah tulisannya. Dalam melihat situasi kesusastraan Indonesia yang mendapat tuduhan seakan-akan sedang menghadapi krisis atau impasan itu, Nugroho melakukan penilikan yang meluas dan mendalam. Meluas dengan menempatkan persoalan kesusastraan dalam rangka budaya Indonesia secara keseluruhan. Mendalam dengan mengadakan analisis pada setiap seginya dengan cermat.15
13
Anonim. loc. cit. H.B Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam kritik dan esai, (Jakarta: Gunung Agung, 1967), h.7 15 Ajip Rosidi. loc. cit. 14
45
Nugroho menyatakan dalam tulisannya bahwa seni dan sastra adalah hanya sebagian kecil dari budaya seluruhnya, dan tak dapat berwatak lain daripadanya. Tokoh-tokoh Pramoedya tak mungkin menyalahi anggapan-anggapan pengarangnya, dan anggapan-anggapan pengarang terbentuk oleh budayanya. Dia juga mengakui bahwa filsuf-filsuf besar mempengaruhi masyarakatnya, mempengaruhi alam pikiran zamannya.
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN CERPEN HUJAN KEPAGIAN
A. Deskripsi Data 1. Penggunaan Gaya Bahasa untuk Menyampaikan Intrinsik Cerpen Senyum dan Cerpen Bayi dalam Kumpulan Cerpen Hujan Kepagian Karya Nugroho Notosusanto a. Tema Tema merupakan hal utama pembicaraan yang mendasari cerita. Tema bersifat menyelaraskan keseluruhan cerita dan mempunyai pengelompokan yang luas. Oleh karena itu, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi harus disimpulkan dari seluruh cerita, tidak hanya bagian-bagian tertentu dari cerita saja. Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema sebagai salah satu unsur karya fiksi sangat berkaitan erat dengan unsur-unsur yang lainnya. Tema dalam cerpen Senyum yaitu perjuangan realisasi mental melawan penjajah. Hal itu dominan ditemukan dalam setiap paragraf cerpen tersebut. Penggunaan gaya bahasa dalam cerpen Senyum menguatkan tema yang ada. Pertama, ketika tokoh Aku mengungkapkan perasaannya ketika sedang terkena serangan. Awalnya tokoh Aku sudah merasa putus asa atas apa yang menimpanya ketika sedang bertempur.
Ketika pada suatu ketika zat cair asin yang menetes pada lidahku hangat, aku sadar, bahwa air mata sudah keluar, Aku berterima kasih kepada Tuhan, bahwa tak ada orang yang menyaksikan veteran menangis cengeng karena luka di lengan kaki. Belum ususnya keluar seperti Arya Panangsang dari cerita lama.1 1
Nugroho Notosusanto, Hujan Kepagian, (Jakarta:Balai Pustaka, 1990), h. 19.
46
47
Kutipan di atas menggambarkan tentang tokoh Aku sebagai seorang pejuang yang berjuang ketika perang. Semangat dan rela berkorban yang tergambar pada kutipan di atas membuktikan perjuangan tokoh Aku dalam melawan penjajah. Kaitannya dengan penggunaan gaya bahasa, gaya bahasa digunakan oleh pengarang untuk lebih memaparkan temanya. Pengarang menggunakan gaya bahasa perbandingan dalam menguatkan kutipan tersebut kepada tema. Usus yang keluar itu dibandingkan dengan cerita lama Arya Panangsang, kaitanya sama dengan peperangan. Gaya bahasanya memperjelas tema perjuangan melawan penjajah. Kedua, peristiwa ketika tokoh Aku menyerang musuh. Tokoh Aku menyerang ketika keadaan sedang sepi. Dalam perlawanannya terhadap penjajah, tokoh Aku tidak mengendurkan serangan. Aku lihat mata-mata itu jongkok. Dahinya lebar. “Tembak!” dan aku menembak. Dahi lebar itu berlubang kecil kemudian badan di bawah dahi itu jatuh terlentang. “Sembelih saja !” aku dengar suara bengis, dan pisauku menggorok leher manusia. Bau amis memualkan. “Sikat!” aku dengar bisikan serak. Pandanganku menegang, melihat 15 uniform hijau berjalan beriringiringan, di atas uniform itu kepala merah seperti kulit anak babi.2 Kutipan tersebut disampaikan oleh tokoh Aku sesaat ketika mendapat serangan dari pihak musuh. Tokoh Aku menerima perintah untuk menghabisi musuh sehingga dia langsung melaksanakannya dengan menembak dan membunuhnya. Ketiga, peristiwa ketika tokoh Aku berusaha keras untuk tetap melanjutkan hidup untuk masa depan yang lebih baik. Aku merangkak terus. Aku harus mengusir Belanda untuk Tati, pikirku kabur. Aku harus sampai ke Terugvalbasis. Aku harus sembuh. Tati sudah ingin sekolah. Aku harus meneruskan hidup begini, biar Tatiku kelak bisa sekolah dengan tenang. Tati dan teman-temannya. Untuk itu generasiku menghabiskan
2
Ibid., h. 20.
48
sebagian hidupnya di lumpur dan kotoran medan perang. Generasiku dapat panggilan untuk melaksanakan peletakkan dasar-dasar zaman yang damai. Peristiwa tersebut menunjukkan tema perjuangan melawan penjajah yang tergambar dalam cerita cerpen Senyum. Peristiwa tersebut juga menunjukkan bahwa tokoh Aku ingin memperkuat rasa nasionalisme dan menjadi tonggak sejarah bagi perjuangan bangsa. Dalam cerpen Bayi temanya ialah keikhlasan untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan. Panggilan untuk menolong yang membutuhkan pertolongan tanpa jasa dan tanpa pamrih, tanpa mengenal kawan atau lawan, yaitu menolong lahirnya seorang bayi. Kenapa ada pertempuran tak memadamkan lampu, pikirku dibuai marah dan kasihan. Rumah itu miskin benar, tidak punya dapur istimewa. Cuma sebuah kotak persegi dari bambu. Pak Simin tidak miskin dalam artian tanah, Mbok Simin masih muda dan tidak jelek, namun suci di tengah-tengah prajuritprajurit.3 Dalam kutipan di atas, tokoh aku merasa iba dan ada perasaan ingin menolong orang yang ada di rumah miskin itu, yaitu Mbok Simin. Tokoh Aku ingin menolong yang ada di rumah miskin itu karena dalam keadaan perang lampu di dalam rumah tidak dipadamkan sehingga menurut tokoh aku kemungkinan rumah itu dapat di serang ketika peperangan berlangsung. Kemudian peristiwa ketika tokoh Aku sedang baku tembak dengan tentara Belanda. Hal demikian dapat dilihat dari kutipan berikut ini. Bayi itu masuk hitungan juga, bahkan suaranya yang paling keras. Bayi itu harus diselamatkan. Sebentar lagi mungkin terjadi perbenturan di sini. Tangis bayi itu bikin aku sentimental. Aku terkenang adikku yang masih bayi di rumah. Dia enak aman dalam kelonan ibu. Tapi bayi itu sekalipun di dalam
3
Ibid., h.56.
49
kelonan ibunya tidak aman bahkan ibunya saja tidak aman. Aku yang wajib mengamankan mereka. Tapi aku sendiri juga tidak aman.4 Ia mencoba tersenyum, masih agak ragu-ragu.Kemudian mengulurkan tangan kanannya. Aku melihat pada tangannya, ke wajahnya kemudian kepada Mbok Simin dan bayi yang terbaring di bale-bale. Dan kami berjabat tangan.5
Kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam situasi peperangan tokoh Aku ingin menolong dan mengamankan bayi dan Mbok Simin. Padahal tokoh Aku sendiri juga tidak aman tetapi tokoh Aku berusaha untuk menolong dengan ikhlas Mbok Simin dan bayinya. b. Tokoh dan Penokohan Tokoh merupakan pribadi atau individu yang mengalami berbagai peristiwa dalam sebuah cerita. Sedangkan , penokohan merupakan watak pelaku dalam sebuah cerita yang dikembangkan oleh pengarang. Tokoh dan penokohan saling berkaitan. Tiap-tiap tokoh biasanya memiliki karakter, sikap, sifat dan kondisi fisik yang disebut dengan perwatakan/karakter. Gaya bahasa dalam cerita memberi penguatan dalam karakter masing-masing tokoh yang diceritakan. Dalam cerita terdapat tokoh protagonis (tokoh utama), antagonis (lawan tokoh protagonis) dan tokoh figuran / tokoh pendukung cerita. Dari segi peranan, tokoh dapat dibedakan atas tokoh primer, tokoh sekunder, dan tokoh komplementer. Pemberian sifat pada pelaku-pelaku cerita. Sifat yang diberikan akan tercermin pada pikiran, ucapan, dan pandangan tokoh terhadap sesuatu. Tokoh dan penokohan dalam cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto adalah sebagai berikut.
4 5
Ibid., h. 59 Ibid., h. 61.
50
1) Aku Aku dalam cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto ini hadir sebagai tokoh utama atau protagonis. Tokoh Aku adalah seorang laki-laki yang bekerja sebagai pejuang dan merupakan tokoh primer. Rasa setia dan rasa kuat dalam persahabatan dimiliki oleh tokoh aku. Meskipun temannya yang sesama pejuang telah meninggal di medan perang, tokoh Aku masih menjalin hubungan persahabatannya dengan mengunjungi makamnya. Hal ini terlihat pada kutipan berikut. Aku berjongkok di muka makam itu. Bungkusan daun pisang berisi bunga melati yang kubeli di pasar distrik, aku buka bau bunga yang segar dan bau boreh yang kental menyelinap ke dalam hidung. Aku tak bisa berdoa. Aku memejamkan mata. Mencoba mengheningkan cipta. Melati aku taburkan semua dan aku teringat akan perjuangan antara kota dan desa di makam Jono. Sebelum duduk di bawah tugu, sebagai orang kota sejati aku beberkan sapu tanganku ke rumput. Sambil duduk, Leica kubuka lagi dan kubidikkan pada bukit itu. Jelas kelihatan tanduknya yang coklat pada latar belakang langit biru. 6 Kutipan di atas menunjukkan bahwa latar belakang tokoh Aku ialah orang kota. Biasanya perbedaan yang mencolok antara orang kota dengan orang desa pada zaman penjajahan adalah pakaian dan pernak-perniknya yang memberi kesan bahwa orang kota tidak mau disamakan dengan orang desa. Kemudian dijelaskan lagi tokoh aku membuka Leica yang berarti penangkap gambar atau kamera yang menunjukan pernak-pernik yang digunakan oleh orang kota serta ingin menjelaskan bahwa orang kota ingin selalu berusaha mengabadikan setiap peristiwa penting yang dialaminya. Tokoh aku memiliki rasa penakut yang tinggi, hal tersebut dapat dilihat kaitannya dengan gaya bahasa simile yang 6
Ibid., h. 12.
51
terdapat dalam penggalan kutipan cerpen “Aku sudah hampir putus asa, nafasku seperti gulali yang menetes ke bawah”.7 Gaya bahasa simile yang terdapat dalam kutipan tersebut memperkuat karakter tokoh aku yaitu penakut. Selain itu, tokoh Aku juga kerap tidak mematuhi perintah orang tua. Tokoh aku membangkang perintah orang tua semata-mata karena keinginanya untuk berangkat ke medan perang, hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut. Aku dengar Bapak berkata di telingaku, “Engkau harus belajar terus, engkau punya tugas sebagai intelektual.” Tapi aku toh berangkat ke medan pertempuran. Aku selalu berangkat tanpa ijin, sudah jadi tradisi sejak umur 14. Dan aku merangkak terus.8 Tokoh aku juga selalu ingin menunjukkan sisi orang kotanya dengan menggunakan hal-hal atau pernak-pernik yang sering digunakan orang kota atau kaum modern, gaya bahasa metonimia memberi penguatan akan tokoh aku. “Aku pandang tamasya di sekitar bukit lewat lindungan sejuk Ray Ban.”9 Dalam cerita selanjutnya, tokoh Aku mengalami ketakutan yang menimpa dirinya. Ketakutannya tidak melemahkan semangatnya untuk berjuang melawan tentara penjajah. Tokoh Aku mengalami luka di beberapa tubuhnya, hal itu yang membuat rasa takut bagi dirinya karena sementara itu penjajah menyerang tanpa berhenti. Tapi ketakutanku tertangkap oleh KL, lebih besar. Eddystone aku raih dan merangkak ke bawah. Lengan kiri dan lutut kanan ngilu, telapak kaki seperti di cabe. Aku merangkak terus diburu takut, dihimbau oleh harapan.10
7
Ibid., h. 14. Ibid., h. 19. 9 Ibid., h. 14. 10 Ibid., h.17. 8
52
Beberapa waktu kemudian tokoh Aku mengingat kenangan masa lalunya ketika dia dalam keadaan tubuh yang terluka dan ketakutan yang menimpanya. Ia masih memikirkan kenangan yang pernah dialami. Hal itu menunjukkan bahwa tokoh Aku mempunyai ingatan kenangan yang cukup kuat. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut. Tapi air mata susah sekali membendungnya. Untuk mengimbangi, kenangan aku biarkan pula mengalir sebebas-bebasnya.11 Sifat pantang menyerah yang dilakukan oleh tokoh Aku menjadikan semangat dan maju terus dalam bertempur. Dari awal cerita sampai akhir cerita tokoh aku tidak berubah akan sifatnya, semangat dan pantang menyerah membuatnya kuat. Sehingga tokoh Aku merupakan tokoh datar karena dari awal sampai akhir cerita watak dan sifatnya tidak berubah. Aku tersentak bangun oleh kesadaran, bahwa aku tidak bermimpi. Aku luka. Aku harus menyelamatkan diri. Aku harus maju terus. Dan aku merangkak lagi.12 2) Bocah Bocah digambarkan dengan anak kecil yang berumur lima tahun. Tokoh Bocah ini juga digambarkan dengan kepala botak dan matanya bulat besar dan polos. “Makamnya di atas di bukit itu, Pak,” kata bocah cilik yang Cuma pakai celana kolor hitam dan membawa pecut. Aku tersenyum sambil membelai kepala botaknya.13 Selain itu, Bocah merupakan tokoh yang jujur dalam menyampaikan sesuatu. Ia lahir di tahun 1949 tepatnya ketika masih ada perang. Tokoh Bocah ini juga merupakan tokoh komplementer yang merupakan tokoh tambahan sebagai pelengkap dalam cerita. Ia hanya muncul di awal cerita saja ketika
11
Ibid., h.19. Ibid., h.21. 13 Ibid., h. 9. 12
53
penjelasan mengenai makam Jono. Ciri fisik lainnya, Bocah itu mempunyai perut gendut, wajah dan dada penuh debu. Kemudian kupandang bocah itu dengan seksama. Kepalanya bulat, mata hitam, mulut kecil, perut gendut, wajah dan dada penuh debu. Celana hitamnya sampai ke bawah lutut. Kurasa tanganku gatal melihat perupaannya.14 Bocah dalam cerpen Senyum yang ada dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto merupakan tokoh datar. Dari awal hingga akhir cerita Bocah mempunyai sifat dan sikap polos serta jujur. Dengan kepolosan dan kejujurannya ia menjawab berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh tokoh Aku. 3) Pak Karto Seperti yang terjadi dengan Bocah, Pak Karto juga merupakan tokoh pendukung dalam cerita. Ia merupakan tokoh komplementer, pelengkap dalam cerita. Pak Karto digambarkan sebagai tokoh politisi yang sedang berjuang di Pemilihan Umum. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut. Pak Karto dan tetangga-tetangganya berubah. Bahwa ia punya almari palang merah berisi obat-obatan dan pembalut di mejanya penuh berserakan buku-buku dan brosur-brosur buta huruf PPK serta selebaran Pemilihan Umum di mana dulu hanya terdapat tembakau krosok di dalam slepen dan teko berisi teh encer, hanyalah tanda-tanda lahir daripada perubahan jiwa. Perubahan-perubahan yang hakiki tampak, kalau mereka berbicara tentang koperasi, transmigrasi dan pajak seperti ekonom sejati dan membicarakan arti republik serta kesehatan rakyat seperti negarawan yang berpengalaman. Dan betapa bangganya mereka akan gedung SMP baru yang kira-kira lima tahun yang lalu dimulai pelajaranpelajarannya oleh anak-anak Mobilisasi Pelajar.15 Pak Karto digambarkan sebagai seorang yang sedang memperebutkan kursi jabatan dalam Pemilihan Umum. Ia berkampanye dengan selebaran Pemilihan
14 15
Ibid., h.10. Ibid., h.11.
54
umum dan juga menarik hati masyarakat dengan fasilitas kesehatan yang disediakannya. Pak Karto tidak begitu banyak diceritakan dalam cerita. 4) Jono Dalam cerpen Senyum Karya Nugroho Notosusanto, Jono merupakan tokoh sekunder. Peran Jono juga penting dalam cerita karena ia merupakan tokoh sekunder yang merupakan tokoh penting kedua setelah tokoh Aku. Jono menjadi tokoh yang cukup banyak mengambil peranan penting dalam cerita karena ia merupakan pihak yang paling banyak diceritakan oleh tokoh primer. Jono dalam cerita memiliki sifat berani dan rela berkorban bagi bangsa dan negaranya. Hal demikian dapat dilihat dari kutipan berikut. Kami temui badanmu tertelungkup. Pakaianmu koyak-koyak. Lengan kaki kanan remuk. Badanmu kami telentangkan. Dan kami semua heran, karena engkau tersenyum. Kita semua sudah kerap melihat anak-anak yang gugur. Wajahnya ada yang tenang seperti tidur, tetapi kebanyakan wajahnya menyeringai atau matanya membelalak karena kesakitan.16 Jono meninggal pada tanggal 7 Mei 1949 di usia 18 tahun. Ia juga sangat sayang terhadap adik kecilnya yang bernama Tati. Ketika ia meninggal masih menyimpan foto adiknya di saku pakaiannya. Di bawahnya ada sepotong marmer yang ditulisi nama Jono selengkapnya, di bawah tertulis gugur di tempat ini pada usia 18 tahun, di bawah lagi 7 Mei 1949.17 Dalam saku-sakumu hanya kami temukan lap senjata, buku nyanyian dan ORI Rp 100,00. Masih ada juga foto Tati, adikmu tunggal.18
5) Tati Tati merupakan tokoh pelengkap dalam cerita cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto. Tati digambarkan dengan seorang gadis kecil berumur tiga tahun yang bermain-main dengan kucingnya. Ia bersifat polos dan lucu. 16
Ibid., h. 13. Ibid., h. 12. 18 Ibid. h. 14. 17
55
Tati, adikku tunggal yang umurnya baru tiga tahun, bercakap-cakap dengan temannya. Ia bertolak pinggang dan berganti-ganti berdiri pada kaki kiri dan kaki kanan. Senyumnya mengiming-imingi lucu sambil berkata, “Mas Jon beljuang, masku punya bedil.”19 Selain itu Tati juga penakut. Tati sangat takut terhadap Belanda. Yang paling ia takuti ialah kalau Jono, kakaknya ditangkap oleh Belanda. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut. “Nanti Mas Jon dibawa oleh Belanda!” Tati dipeluknya. Tati melepaskan diri dari pelukan lalu lari kepadaku sambil menangis dan kemudian memeluk pinggangku. Dan ibu berkata, “st, jangan keras-keras, nanti Belanda datang.” Dan Tati menyembunyikan mukanya ke dada ibu.20 6) Ibu Dalam cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto, Ibu merupakan tokoh komplementer atau pelengkap. Ibu dalam cerita digambarkan dengan sifatnya yang bijak dan selalu mengingatkan. “Hus Tatik, tak boleh berkata begitu!” Kemudian kudengar ibu mengucapkan A’udzubillah biar perkataan Tati jadi kenyataan.21 Tokoh dan Penokohan dalam cerpen Bayi karya Nugroho Notosusanto adalah sebagai berikut. 1) Aku Dalam cerpen Bayi karya Nugroho Notosusanto, tokoh Aku merupakan tokoh primer. Selain tokoh protagonis atau tokoh utama, tokoh aku memiliki sifat pemberani. Sifat pemberaninya ini ia buktikan ketika melawan rasa takut untuk melawan tentara Belanda. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.
19
Ibid., h. 21. Ibid., h. 22. 21 Ibid., 20
56
Aku jalan terus setengah merangkak kalau-kalau ada “kiriman timah” dari tempat pertempuran. Payah sayap kanan disodok lebih dahulu oleh Belanda, tapi sayap kiri yang masih sepi. Keringatku sudah mulai bercucuran dan tanganku mulai gugup. Untuk kesekian kalinya aku mulai pergulatan dengan takut, suatu pekerjaan rutin, namun sama beratnya setiap kali harus dilakukan. Kalau takut sudah aku kalahkan.22 Kenyataannya seorang prajurit pun ketika menghadapi situasi pertempuran akan merasa gugup dan takut, hal tersebut dialami oleh tokoh aku. Gaya bahasa hiperbola menjadi penambah watak tokoh aku yang penakut, yaitu ketika ketika keringatnya mulai bercucuran dan tangannya mulai gugup. Selain penakut dan pemberani, tokoh Aku juga mempunyai sifat penolong dan rela berkorban. Tokoh Aku termasuk tokoh bulat karena dari awal sampai akhir cerita sifatnya berubahubah. Ketika ia sedang bertempur dalam perang dan ia mendengarkan suara tangis bayi Mbok Simin, ia ingin membantu menolongnya. Bayi itu masuk hitungan juga, bahkan suaranya yang paling keras. Bayi itu harus diselamatkan. Sebentar lagi mungkin terjadi perbenturan di sini.23 2) Mbok Simin Mbok Simin digambarkan sebagai seorang ibu yang bertanggung jawab, melindungi anaknya, dan ibu yang lemah. Ia juga memiliki ciri-ciri fisik masih muda dan tidak jelek. Mbok Simin masih muda dan tidak jelek, namun suci di tengah-tengah prajuritprajurit. Ia mengangguk. Kami menghampiri tempat itu. Mbok Simin terbaring menghadap ke dinding seolah mau melindungi bayinya. Ia merintih lembutlembut. Ia menjadi tokoh komplementer atau pelengkap dalam cerpen Bayi karya Nugroho Notosusanto. Keberadaannya membuat tambahan dalam cerita selain tokoh primer dan tokoh sekunder.
22 23
Ibid., h. 55. Ibid., h. 59.
57
3) Tentara Belanda Tentara Belanda merupakan tokoh sekunder. Kehadirannya juga dianggap penting dalam cerpen Bayi Karya Nugroho Notosusanto. Tentara Belanda menjadi tokoh yang cukup banyak menambil peranan dan bagian dalam cerita. Ia digambarkan dengan tokoh hijau dan bule. Tentara Belanda peduli dan ingin menolong keselamatan Mbok Simin dan bayinya. Ia bersifat penolong. Tak hanya itu, ia juga digambarkan sebagai sosok yang ramah terhadap musuh yang dalam cerita ialah tokoh Aku. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut. Ia mencoba tersenyum, masih agak ragu-ragu. Kemudian mengulurkan tangan kanannya. Aku melihat pada tangannya, ke wajahnya kemudian pada Mbok Simin dan bayi yang terbaring.24 4) Kromo Kromo dalam cerita merupakan tokoh komplementer. Kehadirannya hanya sebagai pelengkap dalam cerita. Ia hanya terdapat di akhir cerita. Hal demikian dapat dilihat dari kutipan berikut. Kromo yang mula-mula ketakutan. Dengan beberapa perkataan aku terangkan namun ia curiga. Mungkin dia kira aku mata-mata.25 Ia memiliki sifat takut dan curiga karena belum tahu akan niat tokoh Aku yang sebenarnya. Tokoh aku menghampiri rumah Kromo dengan Tentara Belanda. Hal itu yang membuat curiga bagi Kromo. Padahal, tokoh aku dan Tentara Belanda hanya ingin menolong Mbok Simin dan Bayinya untuk diselamatkan di rumah Kromo demi perlindungan keamanan.
24 25
Ibid., h. 61. Ibid., h. 62
58
c. Alur Alur dalam sebuah cerita merupakan rangkaian peristiwa yang membentuk sebuah cerita. Peristiwa-peristiwa yang menhubungkan ceritanya ada yang penting untuk jalannya cerita dan ada yang tidak penting, tetapi saling melengkapi untuk menjadikan cerita itu menarik. Penggunaan gaya bahasa dalam alur cerpen menjadi penjelas situasi dalam rentetan peristiwa. Alur yang digunakan dalam cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto adalah alur mundur. Tahap-tahapnya adalah sebagai berikut. 1) Tahap Penyituasian Tahap pemberian informasi awal atau pembukaan cerita, terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. Tahap ini berisi tentang penggambaran pengenalan situasi tokoh dan latar cerita. Tahap penyituasian pada cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto terletak pada awal cerita. Pada awal cerita dipaparkan pengenalan tokohtokoh, seperti Bocah, Jono, Pak Karto dan lain-lain. Hal pertama yang ditemui dalam penyituasian ini yaitu tentang pertemuan tokoh Aku dengan Bocah. Perkenalan dengan bocah itu dilanjutkan dengan cerita tentang makam Jono. “Bapak sudah tahu,” kataku. “Berapa umurmu, Gus?” “Lima tahun Pak,” jawaban lancer dan tak malu-malu. “Lima tahun,” kataku pada diri sendiri.”Kini tahun 1954, jadi lahirmu tahun 1949 persis.”26 Selanjutnya adalah tahap penyituasian yang terjadi di makam Jono. Bermula dari tokoh Aku yang datang ke makam Jono dan mengingat akan hal Jono. 26
Ibid., h. 9.
59
Aku sandarkan kepalaku pada tugu Jono. Aku pandang tamasya di sekitar bukit lewat lindungan sejuk Ray Ban. Pribadi Jono akulah yang paling kenal. Rumahnya dekat rumahku. Sejak SMP hingga SMA duduk sebangku atau berdampingan. Pasukan kami juga sama.27 2) Tahap Pemunculan Konflik Tahap pemunculan konflik merupakan tahap dimana masalah dan peristiwa memicu terjadinya konflik. Tahap pemunculan konflik ini sendiri merupakan tahap awal munculnya konflik. Gaya bahasa menjadi sarana dalam pemunculan konflik. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan sebagai berikut. “Simfoni tembakan mengatasi deru samudra dan desau angin.”28 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa hiperbola karena tembakan dianggap berlebihan karena bisa mengatasi deru samudra dan desau angin. Di sinilah muncul konflik gencatan senjata dan perang dimulai. Konflik dapat berkembang pada tahap selanjutnya. Peristiwaperistiwa yang menjadi inti dari cerita juga semakin menegangkan. Tahap pemunculan konflik yang terjadi dalam cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto adalah pada saat tokoh Aku menyalakan sebatang rokok pada saat itu ia ingat akan perintah Jono. Tokoh Aku mulai mengingat tentang perintah itu. Aku nyalakan sebatang wembley lagi dan Jono berkata dari makamnya, “Ketika perintah hengkang diberikan, aku segera menuruni bukit Derkuku. Tapi aku ketinggalan karena kakiku sakit, lecet karena berjalan dari kota. Saat-saat pertama kepalaku kosong, aku cuma lari, lari sejauh jalanku bisa disebut lari. Aku dalam kedudukan tidak baik, aku kurang deking.29 Kutipan tersebut menjelaskan bagaimana saat peristiwa awal pemunculan konflik yaitu, ketika diucapkan perintah mundur. Dalam keadaan 27
Ibid., h. 14. Ibid., h. 55. 29 Ibid., h. 14 28
60
kaki lecet dan kurang pasukan untuk membantu. Gaya bahasa metonimia menjadi penguat dalam tahap pemunculan konflik, kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa metonimia karena menggunakan nama benda lain yang menjadi merek atau ciri khas. Wembley merupakan salah satu jenis nama rokok. 3) Tahap Peningkatan Konflik Tahap ini merupakan tahap dimana konflik menjadi meningkat. Konflik bertambah menjadi semakin menegangkan. Tahap peningkatan konflik pada cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto adalah ketika tokoh Aku mendapat serangan granat dari penjajah. Hal demikian dapat dilihat dari kutipan berikut ini. Sebuah granat merobek apa yang telah aku alami. Aku terbanting ke tanah lebih jauh lagi ke bawah. Pemandangan gelap. Aku seperti melihat batu mengoyak permukaan danau yang bopeng oleh titik-titik air hujan. Di atasku hujan timah tak berhenti. Aku duduk, mencoba menghimpun pikiran. Satu shock besar menggoncang kesadaranku, Eddystoneku tidak ada!30 4) Tahap Klimaks Tahap klimaks merupakan tahap dimana konflik-konflik yang terjadi atau ditimpakan kepada para tokoh cerita telah mencapai titik kapasitas puncak yang biasanya dialami oleh tokoh-tokoh utama. Klimaks dalam cerita akan dialami oleh tokoh protagonis atau tokoh utama. Tahap klimaks dalam cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto adalah pada saat keadaan fisik tokoh Aku semakin menurun ketika diserang oleh penjajah. Ledakan semakin menjadi-jadi membuat tokoh Aku semakin terpuruk dengan keadaannya. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. Hati mencapai puncak ketetapan, kemudian moril merosot lagi. Akhirnya kepalaku sudah sampai ke tepi tegalan di atas. Tapi justru 30
Ibid., h. 15.
61
kepalaku pusing bukan main, pemandanganku gelap, perutku yang belum diisi, mengerik, tapi tanganku erat menggenggam akar. Aku sadar oleh sebuah ledakan, sebuah lagi, sebuah lagi, terus-menerus, makin lama makin dekat. Sebuah granat meledak dekat sekali, tanah dan kerikil menepis badanku. Instinktif aku rebah ke tanah, mukaku kutekankan keras-keras ke bumi.Granat jatuh dua bersama-sama.31 5) Tahap Penyelesaian Tahap klimaks ini merupakan tahap dimana konflik sudah diatasi/diselesaikan oleh tokoh dalam cerita. Cerita dapat diakhiri dengan gembira ataupun sedih. Konflik-konflik tambahan diberi jalan keluar, kemudian cerita di akhiri, disesuaikan dengan tahap akhir. Tahap penyelesaian dalam cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto adalah pada saat tokoh Aku mulai semangat untuk mengusir Belanda. Selain itu, tokoh Aku juga ingin memberi kehidupan yang lebih baik untuk generasi yang akan datang. Tokoh Aku juga mengingat akan keberadaan Tati yang penting baginya. Tati ingin sekolah. Penjelasan tahap penyelesaian tersebut dapat dilihat di akhir cerita. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. Aku merangkak terus. Aku harus mengusir Belanda untuk Tati, pikirku kabur. Aku harus sembuh. Tati sudah ingin sekolah. “Engkau boleh senyum lega, Jon,” kataku pada makam. “Tati sudah kelas tiga sekarang.” Sementara itu, Alur dalam cerpen Bayi maju karena mengisahkan dari awal perang. Tahap-tahapnya adalah sebagai berikut. 1) Tahap Penyituasian Tahap penyituasian pada cerpen Bayi karya Nugroho Notosusanto terletak pada awal cerita. Pada awal cerita dipaparkan pengenalan tokoh Aku yang menjelaskan tentang suasana dan kondisi pada saat peperangan melawan penjajah. Hal demikian dapat dilihat dalam kutipan berikut. Simfoni tembakan mengatasi deru samudra dan desau angin. Aku makin merendah ke tanah ketika tiba di bukit kecil dan mulai 31
Ibid., h. 16.
62
mendekati lerengnya. Ah ya, daripada proyektil yang jatuh dan aku tidak merebahkan diri, pikirku memaafkan pohon kelapa. Ketika itu timah makin banyak beterbangan dan instinktif sten aku lepaskan hamernya dari perkuncian.32 2) Tahap Pemunculan Konflik Tahap pemunculan konflik berarti awal munculnya konflik. Konflik dapat berkembang pada tahap selanjutnya . Peristiwa-peristiwa yang menjadi inti dari cerita juga semakin menegangan. Tahap pemunculan konflik yang terjadi dalam cerpen Bayi karya Nugroho Notosusanto adalah pada saat ada suara tangisan bayi di saat peperangan. Tangisan bayi tersebut merupakan bayi mbok Simin. Hal tersebut membuat tokoh Aku ingin menolong bayi dan mbok Simin yang sedang terjebak dalam peperangan. Bayi! Tiba-tiba sepi direnggut dari suasana oleh tangis bayi. Kurang hati-hati aku cepat mendekat. Aku dengar perempuan merintih. Mbok simin melahirkan, pikirku. Dan terbayang olehku ibu waktu melahirkan adikku. Aku menerobos kebun ketela dan terengah-engah berdiri di muka pintu belakang.33 Kutipan di atas menunjukkan kebingungan tokoh Aku ketika ada masalah bayi dan mbok Simin yang terjebak dalam peperangan. Tokoh Aku ingin menolongnya. 3) Tahap Peningkatan Konflik Tahap peningkatan konflik pada cerpen Bayi karya Nugroho Notosusanto adalah ketika tokoh aku hendak menolong bayi dan mbok Simin akan tetapi serangan dari penjajah berdatangan. Tidak hanya itu, Pak simin juga ternyata tidak ada di rumah sehingga konflik semakin meningkat. Hal demikian dapat dilihat dari kutipan berikut ini. Ketika itu ledakan-ledakan granat mortir makin dekat. Peluru-peluru juga sibuk berdesingan di atas bukit, mengganggu kepalaku yang 32 33
Ibid., h. 55. Ibid., h. 56.
63
sebentar-sebentar mau ke bawah saja. Pak Simin rupa-rupanya tidak ada di rumah. Mungkin mengambil pembantu atau dukun bayi. Ibu dan bayi harus diungsikan.34 4) Tahap Klimaks Tahap klimaks dalam cerpen Bayi karya Nugroho Notosusanto adalah pada saat tokoh Aku dan tentara Belanda bertemu dan sama-sama menolong bayi dan mbok Simin. Awalnya tokoh Aku merasa takut. Tidak hanya itu ternyata tentara Belanda juga mengalami apa yang dirasakan oleh tokoh Aku. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. Seperti dalam mimpi aku lihat sebuah Thomson maju ke muka, kemudian sebuah lengan hijau, kemudian berhenti. Dengan gemetar aku memperlihatkan sten-ku, kemudian ia muncul sama sekali. Kami berjongkok berhadap-hadapan. Kami berdiri. Ia menyaluri. Kemudian ia maju mendapatkan aku, hijau, besar dan berbulu.35 5) Tahap Penyelesaian Tahap penyelesaian dalam cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto adalah ketika mbok Simin dan bayinya telah berhasil diungsikan ke rumah Kromo. Mulanya Kromo merasa takut akan kehadiran tentara Belanda dan tokoh Aku. Hal demikian dapat dilihat dalam kutipan berikut. Kami sampai ke rumah Kromo yang mula-mula ketakutan. Dia dan aku berpamitan. Sebelum ke luar rumah kami berhenti sebentar, berpikir. Kemudian aku ambil sebutir peluru dan aku berikan padanya. Ia membayar kontan tanpa rente.36
34
Ibid., h. 57. Ibid., h. 61. 36 Ibid., h. 62. 35
64
d. Latar Penggunaan gaya bahasa dalam latar sebagai pemberi penekanan tentang latar yang terjadi dan memperkuat latar yang terjadi. 1) Latar Tempat Latar tempat merupakan keterangan tempat peristiwa dalam cerita itu terjadi. Dengan latar tempat pembaca akan lebih mudah membayangkan di mana peristiwa dalam cerita itu terjadi. Latar tempat dalam cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto antara lain di beberapa tempat berikut ini. ► Di sebuah desa Latar tempat pertama yang terdapat dalam cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto adalah sebuah desa. Ketika tokoh Aku datang ke sebuah desa ia menjumpai seorang bocah dan dia menuju makam Jono. Makam Jono terletak di desa. Di batas desa yang rindang aku berhenti sebentar. Ku ikuti jalan setapak dengan pandangku, mula-mula turun kemudian naik, mendaki lereng sebuah bukit penuh tegalan singkong.37
► Bukit Derkuku Setelah tokoh Aku berjumpa dengan seorang bocah, ia melanjutkan ke bukit. Sebelumnya, ia mengambil gambar suasana di desa. Bukit itu pun hampir-hampir tak berubah kecuali tegalannya dan makam itu. Lima tahun yang lalu bukit itu hampir-hampir gundul dan makam itu belum ada.38
37 38
Ibid., h. 9. Ibid., h. 11.
65
► Tugu Setelah mendaki puncak bukit kemudian tokoh Aku melanjutkan ke Tugu. Tugu tembok putih itu berdiri di tengah-tengah tempat yang ditumbuhi rumput dengan subur. Di bawah tugu itu tanah menjulang sedikit ke atas.39 ► Makam Jono Di makam Jono ini tokoh Aku mengingat akan kejadian masa lalunya bersama Jono teman seperjuangannya. Jono merupakan teman tokoh Aku dari kecil. Aku berjongkok di muka makam itu. Bungkusan daun pisang berisi bunga melati yang kubeli di pasar distrik, aku buka bau bunga yang segar dan bau boreh yang kental menyelinap ke dalam hidung.40 ► Kaki Bukit Kuwuk Di kaki bukit kuwuk ini merupakan tempat terjadinya serangan dari penjajah. Tokoh aku menerima serangan berupa ledakan granat dari penjajah. Aku berusaha untuk berpikir. Aku lihat ledakan-ledakan granat hanya sampai ke kaki bukit kuwuk ini. Tembakan-tembakan peluru lebih jauh, tetapi kalau sudah jauh jadi lemah.41 Latar tempat dalam cerpen Bayi karya Nugroho Notosusanto antara lain di beberapa tempat berikut ini. ► Bukit Peristiwa awal dalam cerita Senyum karya Nugroho Notosusanto berlatar tempat di bukit. Di bukit ini merupakan tempat terjadinya perang. 39
Ibid., h. 12. Ibid., 41 Ibid., h. 17. 40
66
Aku makin merendah ke tanahketika tiba di bukit kecil dan mulai mendekati lerengnya. Payah sayap kanan disodok lebih dulu oleh Belanda, tapi syap kiri yang masih sepi ini mungkin sebentar lagi berantakan juga kalau keadaan bukit itu tidak diketahui dan musuh menggasak.42 Setiap tonjolan, setiap semak, setiap batu besar dapat aku kenali, dan kenangan membual keluar.”43 Penggunaan gaya bahasa personifikasi memperjelas latar. Kata membual merupakan kata yang dipakai oleh manusia. Selain itu juga karena menganggap kenangan bisa membual seperti manusia.
► Rumah Bambu Ketika mendapat serangan tembakan dari penjajah, tokoh aku menuju rumah bambu. Di rumah bambu juga ia tetap terkena serangan. Ketika itu timah makin banyak beterbangan dan intinktif sten aku lepaskan hamernya dari perkuncian. Rumah bambu itu kini terang tercetak pada langit yang gelap-terang oleh ledakan-ledakan mortir.44 ► Rumah Mbok Simin Pertempuran sedang berlangsung dan rumah mbok Simin menjadi masalah bagi tokoh Aku. Rumah mbok Simin tidak dipadamkan pada saat terjadinya perang. Ternyata mbok Simin sedang melahirkan. Rumah itu miskin benar, tidak punya dapur istimewa. Cuma sebuah kotak persegi dari bambu. Pak Simin tidak miskin dalam artian tanah, mbok Simin masih muda dan tidak jelek.45
42
Ibid., h. 55. Ibid., h. 12. 44 Ibid., 45 Ibid., h. 56. 43
67
► Rumah Kromo Rumah Kromo merupakan tempat mengungsi mbok Simin dan bayinya. Di tempat itu pula tokoh Aku dan tentara Belanda sama-sama menolong mbok Simin dan bayinya. Kami sampai ke rumah Kromo yang mula-mula ketakutan. Dengan beberapa perkataan aku terangkan namun ia curiga.46 2) Latar Waktu Latar waktu merupakan keterangan tentang kapan peristiwa dalam cerita itu terjadi. Latar waktu dalam cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto adalah pada tahun 1954. “Lima tahun,” kataku pada diri sendiri. “Kini tahun 1954, jadi lahirmu tahun 1949 persis,”47 Selain itu, latar waktu dalam cerpen Senyum adalah sore hari. Ketika tokoh Aku mengingat tentang Tati. Sore hari itu aku lihat Tati, adikku tunggal yang umurnya baru 3 tahun, bercakap-cakap dengan temannya. Ia bertolak pinggang dan bergantiganti berdiri pada kaki kiri dan kaki kanan.48 Latar waktu dalam cerpen Bayi karya Nugroho Notosusanto adalah malam hari pada saat peperangan melawan penjajah. Cuma tanaman singkong dan jagung yang jahanam itu yang mempersukar pemandangan pada malam yang begini gelap.49
46
Ibid., h. 62. Ibid., h. 9. 48 Ibid., h. 21. 49 Ibid., h. 55. 47
68
3) Latar Sosial Latar sosial ini merupakan latar di mana peristiwa dalam cerita ada hubungan dengan kejadian yang penting pada masanya. Dengan diketahuinya latar sosial, pembaca akan lebih mengetahui latar belakang peristiwa sosial yang terjadi dari peristiwa dalam cerita. Latar sosial dalam cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto adalah peristiwa peperangan melawan penjajah Belanda pada tahun 1949. Aku merangkak terus. Aku harus mengusir Belanda untuk Tati, pikirku kabur. Aku harus sampai ke terugvalbasis. Aku harus sembuh.50 Latar sosial dalam cerpen Bayi karya Nugroho Notosusanto adalah latar Jawa yang kental. Latar sosial dapat secara kental menggambarkan kedaerahan. Mbok Simin, pak Simin, dan Kromo merupakan contoh namanama orang Jawa. “Asyuuuu!” Belanda itu hampir mencukur kepalaku. Telingaku sampai sakit diliwati peluru sekian banyaknya bersama-sama.51 Kutipan di atas terutama di bagian awal kalimat adalah kata “asyuuuu!”. Kata tersebut merupakan kata sumpahan atau kata yang tidak sopan dalam bahasa Jawa. Makna dari kata tersebut adalah anjing dalam bahasa Jawa. Hal tersebut menunjukan latar sosial dalam cerita Bayi karya Nugroho Notosusanto. e. Sudut Pandang Sudut pandang dalam cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto adalah sudut pandang orang pertama pelaku utama. Tokoh Aku mengetahui segala sesuatu yang terjadi dan dialami oleh setiap tokoh dalam cerita. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut. 50 51
Ibid., h. 23. Ibid., h. 58.
69
Aku mulai merangkak lagi. Di mukaku ada batu besar. Dengan sendirinya aku menuju ke sana. Desingan peluru keras karena aku memasuki daerah tembakan lagi. Di dekat batu itu aku tiduran menelungkup badan gemetaran semua.52 Tapi air mata susah sekali membendungnya. Untuk mengimbangi kenangan aku biarkan mengalir sebebas-bebasnya.53 Kutipan tersebut menjelaskan bahwa sudut pandang yang digunakan dalam cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto adalah sudut pandang orang pertama pelaku utama. Sementara itu, sudut pandang dalam cerpen Bayi karya Nugroho Notosusanto juga sudut pandang orang pertama pelaku utama. Hal demikian dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut. Puput angin sejuk menggigilkan badanku yang kurang lemak. Peluru sudah agak kurang lewat dan aku berdiri setengah-setengah sambil menghampiri rumah itu.54 Bagaimana Belanda itu, pikirku berat seperti mau memecahkan soal aljabar. Bukankah dalam matanya aku seorang bandit.55 Kedua kutipan tersebut menunjukkan bahwa sudut pandang yang digunakan dalam cerpen Bayi adalah sudut pandang orang pertama pelaku utama. f. Amanat Dalam suatu karya sastra khususnya cerpen tentu mengandung pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya kepada pembaca maupun pendengar. Pesan itu bisa berupa harapan, nasehat, kritik dan sebagainya. Dalam cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto amanat atau pesan yang dapat diambil dari berbagai peristiwa yang terjadi di dalam cerita banyak sekali. Akan tetapi, dari berbagai peristiwa dalam cerita yang paling terlihat 52
Ibid., h. 17. Ibid., h. 19. 54 Ibid., h. 56. 55 Ibid., h. 59. 53
70
dari cerpen Senyum adalah tidak boleh menyerah dalam menghadapi masalah, harus berjuang sekuat tenaga dan jangan mengharapkan imbalan serta menghargai
jasa-jasa
para
pahlawan
yang
telah
mempertahankan
kemerdekaaan dengan cara belajar dengan baik. Untuk itu generasiku menghabiskan sebagian hidupnya di lumpur dan kotoran medan perang. Generasiku dapat panggilan untuk melaksanakan peletakan dasar-dasar zaman yang damai. Suatu zaman yang serba cukup, suatu zaman yang punya kebanggaan.56 Berdasarkan kutipan di atas, terdapat pesan yang tersirat. Pengarang mencoba mengajak pembaca berpikir bahwa untuk zaman sekarang tinggal meneruskan apa yang telah para pejuang lakukan demi bangsa. Tak hanya itu pengarang juga mengingatkan akan pentingnya menghargai jasa para pahlawan. Dalam cerpen Bayi karya Nugroho Notosusanto amanat atau pesan yang dapat diambil dari berbagai peristiwa yang terjadi di dalam cerita juga banyak sekali. Akan tetapi, dari berbagai peristiwa dalam cerita yang paling terlihat dari cerpen Bayi adalah agar menolong orang lain tanpa memperhitungkan kawan atau lawan tanpa melihat status sosial atau apapun dan dengan bekerja sama masalah akan cepat terselesaikan. Ia mencoba tersenyum, masih agak ragu-ragu. Kemudian mengulurkan tangan kanannya. Aku melihat pada tangannya, ke wajahnya kemudian kepada mbok Simin dan bayinya yang terbaring di bale-bale. Dan kami berjabat tangan.57 Dari kutipan di atas dapat diperoleh amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang. Pengarang dengan jelas menampilkan tindakan menolong yang dilakukan oleh tokoh Aku dan tentara Belanda walaupun keduanya bermusuhan.
56 57
Ibid., h. 23. Ibid., h. 61.
71
B. Gaya Bahasa yang Terdapat dalam Kumpulan Cerpen Hujan Kepagian
Uraian data analisis gaya bahasa dan makna gaya bahasa yang didapat dari dua judul cerita masing-masing sebagai berikut: 1. “Senyum” Dalam cerita Senyum, diperoleh sebanyak 59 kalimat yang menggunakan gaya bahasa diantaranya sebagai berikut. a. Gaya Bahasa Perbandingan 1) Simile Hasil analisis dalam cerpen Senyum diperoleh 25 data kalimat gaya bahasa simile, yaitu sebagai berikut. a) “ Kemudian kacamata Ray Ban kupakai dan pemandangan jadi sejuk seperti
suasana
dusun
di
belakangku”.58
Kalimat
tersebut
dikategorikan sebagai gaya bahasa simile karena mempunyai bandingan yang implisit yaitu pemandangan jadi sejuk dengan menggambarkan keadaan suasana dusun dan juga ditandai dengan kata seperti yang cenderung menjadi ciri khas dalam gaya bahasa perumpamaan. Makna gaya bahasa simile dia atas dalam kalimat yang ada dalam cerpen Senyum adalah mendeskripsikan, bahwa dengan menggunakan kacamata Ray Ban itu layaknya seperti sebuah suasana di dusun. b) “Enak Pedes! katanya sambil mendesis-desis seperti lokomotif”.59 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai gaya bahasa simile karena mendesis-desis diumpamakan sebagai lokomotif. Seperti dalam 58 59
Ibid., h. 9. Ibid., h. 10.
72
kalimat tersebut menunjukkan pengibaratan. Makna gaya bahasa simile dalam kalimat tersebut adalah menegaskan pengibaratan bahwa mendesis-desis itu ibarat lokomotif. c) “Bentuknya seperti awan ledakan bom-H bagian atas”.60 Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena mempunyai bandingan yang implisit yaitu bentuk yang diibaratkan dengan awan ledakan bom-H bagian atas. Kalimat tersebut juga menggunakan kata seperti yang menjadi ciri dari penggunaan gaya bahasa simile. Makna gaya bahasa yang digunakan dalam kalimat tersebut adalah mendeskripsikan pengibaratan. d) “Segarnya seperti kebanggaan penduduk di sekitar tempat itu akan pahlawannya”.61 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang menggunakan gaya bahasa simile karena segar diumpamakan sebagai kebanggaan penduduk di sekitar tempat itu. Terdapatnya kata seperti yang menjadi ciri dari gaya bahasa simile juga menjadi alasan kalimat tersebut termasuk kategori gaya bahasa perumpamaan atau simile. Makna gaya bahasa dalam kalimat tersebut adalah menegaskan. Kata “segarnya” menegaskan pengibaratan dengan kebanggaan penduduk sekitar. e) “Melodi “Melati Suci” Hario Singgih mengalun perlahan ke dalam kalbu, mesra seperti doa”.62 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena melodi diibaratkan sebagai doa dan juga karena terdapat kata seperti yang merupakan ciri dari simile. Makna gaya bahasa dalam kalimat tersebut adalah menguatkan. Melodi menguatkan pengibaratan bahwa melodi itu seperti doa.
60
Ibid., h. 11. Ibid., h. 12. 62 Ibid 61
73
f) “Harinya juga persis seperti ini, cerah dan panas”.63 Kalimat tersebut dapat dikategorikan gaya bahasa simile karena terdapat kata seperti yang merupakan ciri dari gaya bahasa simile. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam kalimat di atas adalah menekankan. Kalimat “Harinya juga persis seperti ini” menekankan pengibaratan dengan cerah dan panas. g) “Kami menyusun jalan setapak yang menghubungkan bukit Derkuku dan bukit Kuwuk yang kini juga masih terentang seperti lima tahun yang lalu”.64 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena masih terentang diumpamakan sebagai lima tahun yang lalu. Selain itu, terdapat kata seperti yang merupakan ciri dari gaya bahasa simile. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam kalimat di atas adalah memaparkan. Kalimat “Kami menyusun jalan setapak yang menghubungkan bukit Derkuku dan bukit Kuwuk yang kini masih terentang memaparkan ibarat dengan lima tahun yang lalu. h) “Wajahnya ada yang tenang seperti tidur”.65 Kalimat tersebut dikategorikan gaya bahasa simile karena mempunyai bandingan antara wajah ada yang tenang dengan tidur. Kalimat tersebut juga menggunakan kata seperti yang merupakan ciri dari gaya bahasa simile.
Makna
menekankan.
gaya
bahasa
dalam
kalimat
tersebut
adalah
Kalimat “wajahnya ada yang tenang” menekankan
pengibaratan dengan tidur. i) “Aku sudah hampir putus asa, nafasku seperti gulali yang menetes ke bawah”.66 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena nafas diibaratkan dengan gulali. Kalimat tersebut juga menggunakan kata seperti yang menjadi ciri dalam gaya 63
Ibid., h.13. Ibid 65 Ibid. 66 Ibid., h. 14. 64
74
bahasa simile. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam kalimat di atas adalah menegaskan. Kalimat sebelum kata nafasku member penegasan pengibaratan dengan gulali yang menetes ke bawah. j) “aku jatuh ke tanah lagi seperti bom”.67 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena jatuh ke tanah lagi diibaratkan dengan bom. Kalimat tersebut juga menggunakan kata seperti yang merupakan ciri dari gaya bahasa simile. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam kalimat tersebut adalah menyampaikan gagasan tidak langsung. Kalimat “aku jatuh ke tanah lagi” menyampaikan gagasan tidak langsung dengan pengibaratan seperti bom. k) “Asap dan tanah menyembur ke tanah seperti pancuran air”.68 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat bermajas simile karena mengibaratkan asap dan tanah yang menyembur sebagai pancuran air. Selain itu, kalimat tersebut juga menggunakan kata seperti yang merupakan ciri dari gaya bahasa simile. Makna gaya bahasa dalam kalimat tersebut adalah mendeskripsikan. l) “Kulit telapak tadinya lecet dan gembung serta berisi air kini terkelupas seperti sol sepatu tua sehingga kulit dalam yang masih biru tak terlidung”.69 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena kulit yang terkelupas diumpamakan dengan sol sepatu tua dan kalimat tersebut juga menggunakan kata seperti yang menjadi ciri dalam gaya bahasa simile. Makna gaya bahasa dalam kalimat di atas adalah memaparkan. Kalimat sebelum kata seperti memaparkan pengibaratan dengan sol sepatu tua.
67
Ibid., h. 15. Ibid 69 Ibid 68
75
m) “Napasku sudah seperti kuda Bandung yang menghela kretek naik ke utara”.70 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena napas diibaratkan dengan kuda Bandung yang menghela kretek naik ke utara. Kalimat tersebut juga menggunakan kata seperti yang menjadi ciri dari gaya bahasa simile. Makna gaya bahasa dalam kalimat tersebut adalah menguatkan. n) “Lengan kiri dan lutut kanan ngilu, telapak kaki seperti di cabe”.71 Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena terdapat kata seperti yang merupakan ciri dari gaya bahasa simile. Makna gaya bahasa dalam kalimat di atas adalah menekankan. Kalimat “Lengan kiri dan lutut kanan ngilu, telapak kaki” menekankan makna dengan pengibaratan di cabe. o) “Aku bayangkan bahwa sorga itu rupanya seperti bukit Kuwuk di hadapanku”.72 Kalimat tersebut dapat dikategorikan gaya bahasa simile karena rupa sorga diibaratkan dengan bukit Kuwuk. Makna gaya
bahasa
yang
terdapat
dalam
kalimat
di
atas
adalah
mendeskripsikan, Kalimat “Aku bayangkan bahwa sorga itu rupanya” menekankan pengibaratan dengan bukit Kuwuk. p) “Lenganku gemetar seperti kebanyakan main Sandow”.
73
Kalimat
tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena terdapat kata seperti yang merupakan ciri gaya bahasa perumpamaan. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam kalimat tersebut adalah menegaskan. q) “Aku punya kecenderungan untuk meninggalkannya begitu saja, karena terasa beratnya seperti Watermantel”.74 Kalimat tersebut dapat 70
Ibid., h. 16. Ibid., h. 17. 72 Ibid 73 Ibid 74 Ibid., h. 18. 71
76
dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena kecenderungan untuk meninggalkan diibaratkan dengtan Watermantel atau jenis senapan mesin besar. Selain itu, kalimat tersebut juga menggunakan kata seperti yang menjadi ciri dari simile. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam kalimat tersebut adalah menekankan pengibaratan. r) “Kemudian seluruh badanku seperti kena listrik dan semua gelap lagi”.75 Kalimat tersebut dapat dikategorikan gaya bahasa simile karena terdapat kata seperti yang merupakan ciri dari gaya bahasa similen. Makna gaya bahasa yang digunakan dalam kalimat tersebut adalah memaparkan. s) “Belum ususnya keluar seperti Arya Panangsang dari cerita lama”.76 Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena usus yang keluar diibaratkan dengan apa yang terjadi pada Arya Panangsang. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam kalimat tersebut adalah menekankan pengibaratan. t) “Rangkakanku sudah seperti kadal, perutku sudah mulai lecet kena tanah”.77 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena mengibaratkan rangkakan dengan kadal. Makna gaya bahasa yeng terdapat dalam kalimat tersebut adalah memaparkan pengibaratan. u) “Lengan kaki kananku terbakar dan kepala seperti ada mesin pabrik besi yang bergerak memalu”.78 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena mengibaratkan kaki kanan yang terbakar dengan mesin pabrik besi yang bergerak memalu.
75
Ibid Ibid., h. 19. 77 Ibid 78 Ibid 76
77
Makna gaya bahasa yang terdapat dalam kalimat tersebut adalah mendeskripsikan pengibaratan yang ada. v) “Ledakan-ledakan yang terjadi di belakangku seperti mimpi buruk yang baru lewat”.79 Kalimat tersebut dapat dikategorikan kalimat yang bergaya bahasa simile karena ledakan diibaratkan dengan mimpi buruk yang baru lewat. Makna gaya bahasa yang digunakan dalam kalimat tersebut adalah menyampaikan gagasan tidak langsung. w) “Di atas uniform itu kepala merah seperti kulit anak babi”.80 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena terdapat kata seperti yang merupakan ciri dari gaya bahasa perumpamaan. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam kalimat tersebut adalah mendeskripsikan. x) “Malaikat-malaikat pada turun dari langit yang penuh bintang, persis seperti yang digambarkan di dalam buku-buku sejarah Injil”.81 Kalimat tersebut dikategorikan gaya bahasa simile karena terdapat kata seperti yang merupakan ciri gaya bahasa simile. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam penggalan kalimat di atas adalah menekankan pengibaratan. y) “Badanku lembek seperti tengah hari kalau berpuasa”.82 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena badan yang lembek diibaratkan dengan tengah hari kalau berpuasa. Kalimat tersebut juga menggunakan kata seperti yang merupakan ciri dari simile. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam penggalan kalimat tersebut adalah memaparkan pengibaratan.
79
Ibid., h. 20. Ibid 81 Ibid., h. 21. 82 Ibid 80
78
Perumpamaan- perumpamaan dalam kalimat-kalimat yang diuraikan tersebut mempunyai makna mendeskripsikan, menekankan, menegaskan, menguatkan, memaparkan dan menyampaikan gagasan tidak langsung. Gaya bahasa simile yang terdapat dalam cerpen Senyum terdapat 7 makna gaya bahasa mendeskripsikan, 5 makna menekankan, 4 makna menegaskan, 2 makna menguatkan, 5 makna memaparkan, serta 2 makna gagasan tidak langsung. Dengan demikian dapat disimpulkan makna yang lebih banyak digunakan adalah menekankan. 2) Personifikasi Diperoleh delapan belas kalimat yang menggunakan gaya bahasa personifikasi, yaitu sebagai berikut. a) “Leica yang bergantung pada leher, memukul-mukul dada.”83 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena menganggap Leica yang maksudnya adalah alat untuk mengambil gambar dianggap layaknya manusia yang bisa memukul-mukul. Kata memukul-mukul dada digunakan dalam penggalan kalimat di atas mempunyai makna menekankan sifat-sifat insani “Leica” sebagai barang yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak. b) “Bau bunga yang segar dan bau boreh yang kental menyelinap ke dalam hidung.”84 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena
bau dianggap bisa
menyelinap seperti manusia. Kata menyelinap dalam kalimat tersebut mengacu pada penggunaaan gaya bahasa personifikasi yang bermakna menguatkan kualitas pribadi orang kepada bau bunga yang segar dan bau boreh. 83 84
Ibid., h. 10. Ibid., h. 12.
79
c) “Setiap tonjolan, setiap semak, setiap batu besar dapat aku kenali, dan kenangan membual keluar.”85 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat
yang
bergaya
bahasa
personifikasi
yang
bermakna
menegaskan penginsanan langsung. Kata membual merupakan kata yang dipakai oleh manusia. Selain itu juga karena menganggap kenangan bisa membual seperti manusia. d) “Tiga peluru kartets membelai telingaku, menyokong pikiranku yang belum berhenti.”86 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena menganggap tiga peluru seperti manusia bisa membelai dan bisa menyokong. Gaya bahasa tersebut bermakna memaparkan keindahan dalam penginsanan. e) “Sebuah granat merobek apa yang tengah aku alami.”87 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena granat dianggap bisa merobek seperti manusia. Makna gaya bahasa personifikasi dalam kalimat tersebut adalah menguatkan penginsanan sebuah granat. f) “Aku seperti melihat batu mengoyak permukaan danau.”88 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena batu dianggap bisa mengoyak seperti manusia. Makna gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam penggalan kalimat tersebut adalah menekankan sifat insani yaitu mengoyak terhadap benda batu. g) “Ketika nyeri menusuk dari bawah dan aku jatuh lagi ke tanah.”89 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena menganggap nyeri bisa menusuk seperti 85
Ibid., h. 12. Ibid., h. 14. 87 Ibid., h. 15. 88 Ibid 89 Ibid 86
80
manusia. Gaya bahasa personifikasi dalam penggalan kalimat tersebut bermakna mendeskripsikan sifat insani yaitu menusuk. h) “Pikiranku tak mudah lagi mengaturnya, berkeliaran ke manamana.”90 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena menganggap pikiran bisa berkeliaran seperti manusia. Gaya bahasa personifikasi yang teradapat dalam penggalan kalimat di atas bermakna menegaskan sifat insani yaitu berkeliaran ke mana-mana. i) “Keringat memandikan badan dari ujung rambut sampai ke telapak kaki yang hampir terlepas.”91 Kalimat tersebut tergolong sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena keringat dianggap bisa
memandikan
layaknya
manusia.
Makna
gaya
bahasa
personifikasi dalam penggalan kalimat tersebut adalah menekankan sifat insani yaitu memandikan yang dilakukan oleh keringat. j) “Pasir menyerbu ke mata dan tumpuan kakiku.”92 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bermajas personifikasi karena menganggap pasir bisa menyerbu seperti manusia, padahal pasir merupakan benda mati. Gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam penggalan kalimat tersebut bermakna menguatkan sifat insani, yaitu menyerbu. k) “Sebuah granat meledak dekat sekali, tanah dan kerikil menepis badanku.”93 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena menganggap tanah dan kerikil bisa menepis seperti manusia, padahal tanah dan kerikil merupakan benda mati. Gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam
90
Ibid Ibid., h. 16. 92 Ibid 93 Ibid 91
81
penggalan kalimat di atas bermakna memaparkan sifat insani, yaitu menepis. l) “Pemandanganku gelap lagi, perut berbunyi, tapi sakit dan takut mengatasi lapar.”94 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena menganggap sakit dan takut bisa mengatasi seperti perbuatan dan tingkah laku manusia. Makna gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam penggalan kalimat di atas adalah menekankan sifat insani dalam kata menatasi. m) “Di dekat batu aku tiduran menelungkup badan gemetar semua, ketakutan dan harapan mendorongku maju.”95 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena menganggap ketakutan dan harapan mendorong seperti manusia. Gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam penggalan kalimat di atas bermakna menguatkan sifat
insani dengan
menggunakan kata mendorongku. n) “Meskipun lelah dan sakit, angin yang bermain pada pantat telanjang itu terasa juga.”96 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena kata kerja bermain dilakukan oleh manusia. Makna gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam penggalan kalimat tersebut adalah memaparkan sifat insani dengan menggunakan kata bermain. o) “Aku merangkak terus diburu takut, dihimbau oleh harapan.”97 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena diburu digunakan untuk kegiatan yang dilakukan manusia. Gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam penggalan
94
Ibid., h. 17. Ibid 96 Ibid 97 Ibid. 95
82
kalimat tersebut mempunyai makna menegaskan sifat insani dengan kata diburu. p) “Tapi nyeri dari bawah melemparkan kepalaku ke atas.”98 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena nyeri dianggap bisa melemparkan kepala, padahal nyeri bukan merupakan manusia. Gaya bahasa personifikasi yang digunakan dalam penggalan kalimat tersebut mempunyai makna menekankan sifat insani dengan menggunakan kata melemparkan yang dilakukan oleh nyeri. q) “Hatiku
mau
lari
lewat
kerongkongan.”99
Kalimat
tersebut
dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena hati dianggap bisa lari seperti manusia. Gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam penggalan kalimat di atas bermakna menguatkan sifat insani. r) “Pertanyaanku membakar dada, sama panasnya dengan luka di bawah.”100 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena menganggap pertanyaan bisa membakar dada seperti manusia. Gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam penggalan kalimat di atas bermakna menekankan sifat insani. Personifikasi-personifikasi dalam kalimat-kalimat yang diuraikan tersebut mempunyai arti menekankan, menguatkan, menegaskan, memaparkan, dan mendeskripsikan. Gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam cerpen Senyum terdapat 6 makna gaya bahasa menekankan, 5 makna menguatkan, 3 makna menegaskan, 3 makna
98
Ibid., h. 19. Ibid., h. 20. 100 Ibid., h. 21. 99
83
memaparkan, dan 1 makna mendeskripsikan. Dengan demikian dapat disimpulkan makna yang lebih banyak digunakan adalah menekankan. 3) Antitesis Diperoleh satu kalimat yang menggunakan gaya bahasa antitesis, yaitu sebagai berikut. a) “Semangatku nyala-padam.”101 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa antitesis karena kata nyala dan kata padam merupakan dua kata yang bertentangan dan lawan yang tepat. Gaya bahasa antitesis pada penggalan kalimat tersebut bermakna menguatkan komparasi atau perbandingan
b) Gaya Bahasa Pertentangan 1) Hiperbola Hiperbola merupakan ungkapan kata yang melebih-lebihkan atau membesar-besarkan. Hasil analisis dalam cerpen Senyum terdapat lima kalimat yang menggunakan gaya bahasa hiperbola, yaitu sebagai berikut. a) “Senjata
itu
nyawaku
yang
kedua”.102
Kalimat
tersebut
dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa hiperbola karena melebih-lebihkan senjata sebagai nyawa yang kedua. Senjata dianggap sebagai nyawa yang kedua sehingga terlalu berlebihan. Gaya
bahasa
hiperbola
dalam
kalimat
tersebut
bermakna
menguatkan pernyataan yang berlebihan dan memberi efek keindahan.
101 102
Ibid., h. 18.
84
b) “Terasa keringat meleleh pada kulit sekujur tubuh.”103 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa hiperbola karena kata meleleh dalam kalimat tersebut berlebihan digunakan dalam keringat. Gaya bahasa hiperbola dalam kalimat tersebut bermakna menekankan pernyataan yang berlebihan dan memberi efek keindahan dalam kalimat tersebut. c) “Satu shock besar menggoncangkan kesadaranku.”104 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa hiperbola karena penggunaan kata “menggoncangkan” dipasangkan dengan kata sebelumnya yang terlalu berlebihan dalam kalimat. Gaya
bahasa
hiperbola
dalam
kalimat
tersebut
bermakna
menegaskan pernyataan yang berlebihan dan memberi efek keindahan. d) “Pikiranku mengilat ke rumah.”105 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa hiperbola karena terdapat kata mengilat yang seolah membuat kilat yang berlebihan. Gaya bahasa hiperbola dalam kalimat tersebut bermakna menguatkan pernyataan yang berlebihan dan memberi efek keindahan. e) “Waktu itu sering disuruh lari sampai hampir pingsan dan kaki pedas karena lecet.”106 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa hiperbola karena terdapat kata pedas yang membuat berlebihan. Gaya bahasa hiperbola dalam kalimat tersebut bermakna menekankan pernyataan yang berlebihan dan memberi efek keindahan.
103
Ibid., h. 12. Ibid., h. 15. 105 Ibid., h. 14. 106 Ibid., h. 17. 104
85
Hiperbola-hiperbola dalam kalimat-kalimat yang diuraikan tersebut mempunyai arti menekankan, menguatkan, dan menegaskan. Gaya bahasa hiperbola yang terdapat dalam cerpen Senyum terdapat 2 makna gaya bahasa menekankan,
2 makna menguatkan, dan 1 makna
menegaskan. Dengan demikian dapat disimpulkan makna yang lebih banyak digunakan adalah menekankan dan menguatkan. c) Gaya Bahasa Pertautan 1) Metonimia Diperoleh tujuh kalimat yang menggunakan gaya bahasa metonimia, diantaranya sebagai berikut. a) “Aku merogoh kantong dan mengeluarkan wembley. aku nyalakan sebatang.”107 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa metonimia karena menggunakan nama benda lain yang menjadi merek atau ciri khas. wembley merupakan salah satu nama rokok. Gaya bahasa metonimia dalam kalimat tersebut bermakna menekankan nama suatu barang dalam hal ini wembley bagi sesuatu yang lain yang berkaitan erat yaitu nama rokok. b) “Leica yang bergantung pada leher, memukul-mukul dada.”108 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa metonimia karena menggunakan nama benda lain yang menjadi merek atau ciri khas. Leica merupakan salah satu nama kamera atau alat untuk mengambil gambar. Gaya bahasa metonimia dalam kalimat tersebut bermakna menguatkan nama suatu barang dalam hal ini Leica bagi sesuatu yang lain yang berkaitan erat yaitu nama kamera.
107 108
Ibid., h. 10. Ibid.
86
c) “Kemudian aku memandang pada makam sambil menyalakan sigaret lagi.”109 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa metonimia karena menggunakan nama benda lain yang menjadi ciri khas. Sigaret merupakan salah satu ciri khas dari rokok. Gaya bahasa metonimia dalam kalimat tersebut bermakna menegaskan nama suatu barang dalam hal ini sigaret berkaitan erat yaitu dengan rokok. d) “Leica kubuka lagi dan kubidikkan pada bukit itu.”110 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa metonimia karena menggunakan nama benda lain yang menjadi merek atau ciri khas. Leica merupakan salah satu nama kamera atau alat untuk mengambil gambar. Gaya bahasa metonimia dalam kalimat tersebut bermakna menekankan nama suatu barang dalam hal ini Leica bagi sesuatu yang lain yang berkaitan erat yaitu nama rokok. e) “Aku pandang tamasya di sekitar bukit lewat lindungan sejuk Ray Ban.”111 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa metonimia karena menggunakan nama benda lain yang menjadi merek atau ciri khas. Ray Ban merupakan salah satu nama kacamata. Gaya bahasa metonimia dalam kalimat tersebut bermakna menguatkan nama suatu barang dalam hal ini Ray Ban bagi sesuatu yang lain yang berkaitan erat yaitu kacamata. f) “Aku nyalakan sebatang wembley lagi dan Jono berkata dari makamnya.”112 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa metonimia karena menggunakan nama benda lain yang menjadi merek atau ciri khas. Wembley merupakan salah satu 109
Ibid., h. 12. Ibid 111 Ibid., h. 14. 112 Ibid 110
87
jenis nama rokok. Gaya bahasa metonimia dalam kalimat tersebut bermakna menekankan nama suatu barang dalam hal ini wembley bagi sesuatu yang lain yang berkaitan erat yaitu nama rokok. g) “Tatik mau lekas sekolah, Bu,” si nakal itu merengek terus.”113 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa metonimia karena menggunakan nama lain yang menjadi ciri khas. Dalam kalimat tersebut menggunakan nama lain Tati dengan si nakal. Gaya bahasa metonimia dalam kalimat tersebut bermakna menekankan nama orang dalam hal ini si nakal. Metonimia-metonimia
dalam
kalimat-kalimat
yang
diuraikan
tersebut mempunyai arti menekankan, menguatkan, dan menegaskan. Gaya bahasa hiperbola yang terdapat dalam cerpen Senyum terdapat 3 makna gaya bahasa menekankan, 2 makna menguatkan, dan 2 makna menegaskan. Dengan demikian dapat disimpulkan makna yang lebih banyak digunakan adalah menekankan dan menguatkan. 2) Sinekdoke Diperoleh satu kalimat yang menggunakan gaya bahasa sinekdoke, lebih tepatnya pars pro toto atau mempergunakan sesuatu untuk menyatakan keseluruhan. Kalimatnya adalah sebagai berikut. “Akhirnya kepalaku sudah sampai ke tepi tegalan di atas.”114 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa sinekdoke karena kata kepala menyatakan suatu hal untuk keseluruhan. Gaya bahasa sinekdoke dalam penggalan kalimat tersebut bermakna menegaskan suatu bagian untuk keseluruhan.
113 114
Ibid., h. 22. Ibid., h. 16.
88
d) Gaya Bahasa Perulangan 1) Epizeukis Dalam cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto terdapat satu kalimat yang menyatakan penggunaan gaya bahasa epizeukis. Kalimat yang menggunakan gaya bahasa epizeukis adalah sebagai berikut. “Aku sadar oleh sebuah ledakan, sebuah lagi, sebuah lagi, terus menerus, makin lama makin dekat.”115 Kalimat tersebut dikategorikan kalimat yang bergaya bahasa epizeukis karena kata yang dianggap penting yaitu kata ledakan diulang beberapa kali dan berturut-turut. Gaya bahasa epizeukis pada penggalan kalimat tersebut bermakna menguatkan kata yang ditekankan atau yang dipentingkan diulang beberapa kali. 2) Anadilopsis Dalam cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto terdapat satu kalimat yang menggunakan gaya bahasa anadilopsis. Kalimat tersebut adalah sebagai berikut. “Tapi sakitnya bukan main, seperti luka saja, luka yang belum pernah aku alami.”116 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa anadilopsis karena kata terakhir dari kalimat menjadi kata berikutnya dalam kalimat, yaitu kata luka. Gaya bahasa anadilopsis pada penggalan kalimat tersebut bermakna menekankan kata terakhir yang ditekankan atau yang dipentingkan diulang beberapa kali. 2. “Bayi” Dalam cepen Bayi karya Nugroho Notosusanto, diperoleh sebanyak 30 kalimat yang menggunakan gaya bahasa di antaranya sebagai berikut. a) Gaya Bahasa Perbandingan 1) Simile 115 116
Ibid. Ibid., h. 20.
89
Diperoleh sembilan kalimat yang menggunakan gaya bahasa simile, kalimatnya adalah sebagai berikut. a. Keringatku seperti air mandi yang belum dikeringkan.”117 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena mengibaratkan keringat dengan air mandi yang belum dikeringkan. Selain itu, kalimat tersebut juga menggunakan kata seperti yang juga menjadi ciri dalam penggunaan gaya bahasa simile. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam penggalan kalimat tersebut adalah memaparkan pengibaratan. Keringat dalam kalimat tersebut dipaparkan pengibaratannya dengan air mandi oleh kata seperti. b. “Dinding dadaku seperti dari logam bunyinya dipukul jantung.”118 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa perumpamaan karena mengibaratkan dinding dada dengan logam yang bunyinya dipukul jantung. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam penggalan kalimat tersebut adalah menekankan pengibaratan. Dinding dadaku dalam kalimat tersebut ditekankan pengibaratannya dengan logam oleh kata seperti. c. “Seperti terkena arus listrik aku terpaku di tanah melihat bayangan bergerak di sebelah sana rumah.”119 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena menggunakan kata seperti yang merupakan ciri dari gaya bahasa simile. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam penggalan kalimat tersebut adalah menegaskan
pengibaratan.
Bayangan
dalam
kalimat
tersebut
ditegaskan pengibaratannya dengan arus listrik oleh kata seperti.
117
Ibid., h. 56. Ibid. 119 Ibid 118
90
d. “Kemudian aku maju lagi selangkah, dua langkah seperti bayi baru belajar berjalan.”120 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena mengibaratkan maju lagi selangkah dengan bayi. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam penggalan kalimat tersebut adalah menguatkan pengibaratan. langkah dalam kalimat tersebut dikuatkan pengibaratannya dengan bayi yang baru berjalan oleh kata seperti. e. “Pikiranku agak kabur seperti kebanyakan menelan kinine.”121 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa perumpamaan karena pikiran yang kabur diibaratkan dengan kebanyakan menelan kinine. f. “Mbok Simin berdoa keras seperti orang kedinginan.”122 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena membandingkan berdoa keras seperti orang yang kedinginan. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam penggalan kalimat tersebut adalah menekankan pengibaratan. Berdoa keras dalam kalimat tersebut ditekankan pengibaratannya dengan orang kedinginan oleh kata seperti. g. “Pikirku berat seperti mau memecahkan soal aljabar.”123 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena mengibaratkan pikirku berat dengan memecahkan soal aljabar. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam penggalan kalimat tersebut adalah menguatkan pengibaratan. Pikirku berat dalam kalimat tersebut dikuatkan pengibaratannya dengan memecahkan soal aljabar oleh kata seperti.
120
Ibid Ibid., h. 58. 122 Ibid 123 Ibid., h. 59. 121
91
h. “Suaranya
seperti
senapan
Eddystone.”124
Kalimat
tersebut
dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena membandingkan dan mengibaratkan suara seperti senapan. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam penggalan kalimat tersebut adalah menguatkan pengibaratan. suaranya dalam kalimat tersebut dikuatkan pengibaratannya dengan senapan oleh kata seperti. i. “Aku jatuh ke tanah seperti batu.”125 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa simile karena jatuh ke tanah diibaratkan dengan batu. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam penggalan kalimat tersebut adalah menekankan pengibaratan. Jatuh ke tanah dalam kalimat tersebut ditekankan pengibaratannya dengan batu oleh kata seperti. Simile-simile mempunyai
arti
dalam
kalimat-kalimat
memaparkan,
yang
menekankan,
diuraikan
tersebut
menguatkan,
dan
menegaskan. Gaya bahasa simile yang terdapat dalam cerpen Bayi terdapat 4 makna gaya bahasa menekankan, 3 makna menguatkan, 1 makna memaparkan, dan 1 makna menegaskan. Dengan demikian dapat disimpulkan makna yang lebih banyak digunakan adalah menekankan. 2) Personifikasi Diperoleh sebanyak lima belas kalimat yang menggunakan gaya bahasa personifikasi. Kalimat tersebut adalah sebagai berikut. a) “Bunyi”blug” melemparkan aku tertelungkup ke tanah.”126 Kalimat tersebut
dikategorikan
sebagai
kalimat
yang bergaya bahasa
personifikasi karena bunyi dianggap bisa melemparkan seperti yang dilakukan oleh manusia, padahal bunyi bukan merupakan benda hidup. 124
Ibid., h. 61. Ibid., h. 57. 126 Ibid., h. 55. 125
92
Gaya bahasa personifikasi yang digunakan dalam penggalan kalimat tersebut mempunyai makna menekankan sifat insani dengan menggunakan kata melemparkan yang dilakukan oleh bunyi. b) “Aku tidak merebahkan diri, pikirku memaafkan pohon kelapa.”127 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena pikiran dianggap bisa memaafkan seperti manusia. Gaya bahasa personifikasi yang digunakan dalam penggalan kalimat tersebut mempunyai makna menguatkan sifat insani dengan menggunakan kata memaafkan yang dilakukan oleh pohon kelapa. c) “Kenapa ada pertempuran tak memadamkan lampu, pikirku dibuai marah dan kasihan.”128 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena menganggap pikiran bisa membuai marah dan kasihan. Gaya bahasa personifikasi yang digunakan dalam penggalan kalimat tersebut mempunyai makna menegaskan sifat insani dengan menggunakan kata dibuai yang dilakukan oleh pikirku. d) “Puputangin yang sejuk menggigilkan badanku yang kurang lemak.”129 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena menganggap puputangin bisa menggigilkan seperti manusia. Gaya bahasa personifikasi yang digunakan dalam penggalan kalimat tersebut mempunyai makna menguatkan sifat insani dengan menggunakan kata menggigilkan yang dilakukan oleh sejuk. e) “Di
kejauhan
menyalak.”
130
mortir-mortir
mengaum
dan
senapan-senapan
Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang
bergaya bahasa personifikasi karena mortir dianggap bisa mengaum. 127
Ibid Ibid., h. 56. 129 Ibid 130 Ibid 128
93
Gaya bahasa personifikasi yang digunakan dalam penggalan kalimat tersebut mempunyai makna menekankan sifat insani dengan menggunakan kata menyalak yang dilakukan oleh senapan. f) “Indra keenam mengerem langkah yang gegabah itu.”131 Kalimat tersebut
dikategorikan
sebagai
kalimat
yang bergaya bahasa
personifikasi karena indra keenam dianggap bisa mengerem seperti kendaraan. Gaya bahasa personifikasi yang digunakan dalam penggalan kalimat tersebut mempunyai makna menekankan sifat insani dengan menggunakan kata mengerem yang dilakukan oleh langkah. g) “Peluru-peluru juga sibuk berdesingan di atas bukit.”132 Kalimat tersebut
dikategorikan
sebagai
kalimat
yang bergaya bahasa
personifikasi karena peluru dianggap sibuk seperti manusia. Gaya bahasa personifikasi yang digunakan dalam penggalan kalimat tersebut
mempunyai
makna menguatkan sifat
insani
dengan
menggunakan kata sibuk yang dilakukan oleh peluru. h) “Bau mesiu mengejarku dari muka dan tangis bayi makin meruwetkan keadaan.”133 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena bau mesiu dianggap bisa mengejar layaknya manusia. Gaya bahasa personifikasi yang digunakan dalam penggalan kalimat tersebut mempunyai makna menegaskan sifat insani dengan menggunakan kata mengejarku yang dilakukan oleh bau mesiu. i) “Di
belakangnya
pemandangan.”
134
aku
mengusap
peluh
yang
menggelapkan
Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat
yang bergaya bahasa personifikasi karena menganggap peluh 131
Ibid Ibid., h. 57 133 Ibid 134 Ibid 132
94
menggelapkan seperti kegiatan manusia. Gaya bahasa personifikasi yang digunakan dalam penggalan kalimat tersebut mempunyai makna menegaskan sifat insani dengan menggunakan kata menggelapkan yang dilakukan oleh peluh. j) “Kesadaranku sebentar-bentar dikaburkan kenangan.”135 Kalimat tersebut
dikategorikan
sebagai
kalimat
yang bergaya bahasa
personifikasi karena menganggap kenangan melakukan kegiatan kabur. Gaya bahasa personifikasi yang digunakan dalam penggalan kalimat tersebut mempunyai makna menguatkan sifat insani dengan menggunakan kata dikaburkan yang dilakukan oleh kesadaranku. k) “Aku lihat laras senjataku menggigil lalu jatuh ke tepi lesung itu.”136 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena menganggap laras senjata bisa menggigil. Gaya bahasa personifikasi yang digunakan dalam penggalan kalimat tersebut mempunyai makna menekankan sifat insani dengan menggunakan kata menggigil yang dilakukan oleh senjataku. l) “Brondongan mortir yang seolah-olah mau mencengkam bukit itu dengan tiga orang yang berada di atasnya makin mendekat.”137 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena mortir dianggap mencengkam. Gaya bahasa personifikasi yang digunakan dalam penggalan kalimat tersebut mempunyai makna menekankan sifat insani dengan menggunakan kata mencengkam yang dilakukan oleh mortir. m) “Sebuah pikiran menyerbu ke dalam kepala.”138 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena pikiran dianggap bisa menyerbu seperti hal yang bisa dilakukan 135
Ibid. h. 58. Ibid 137 Ibid., h. 59. 138 Ibid., h. 61. 136
95
manusia. Gaya bahasa personifikasi yang digunakan dalam penggalan kalimat tersebut mempunyai makna menegaskann sifat insani dengan menggunakan kata menyerbu yang dilakukan oleh pikiran. n) “Jantungku memukul-mukul lagi dari dalam.”139 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa personifikasi karena menganggap jantung melakukan kegiatan pukul seperti manusia. Gaya bahasa personifikasi yang digunakan dalam penggalan kalimat tersebut mempunyai makna menguatkan sifat insani dengan menggunakan kata memukul-mukul yang dilakukan oleh jantung. o) “Sebuah ledakan hebat melemparkan kami ke tanah.”140 Kalimat tersebut
dikategorikan
sebagai
kalimat
yang bergaya bahasa
personifikasi karena menganggap ledakan melakukan kegiatan melempar. Gaya bahasa personifikasi yang digunakan dalam penggalan kalimat tersebut mempunyai makna menekankan sifat insani dengan menggunakan kata melemparkan yang dilakukan oleh ledakan. Personifikasi-personifikasi dalam kalimat-kalimat yang diuraikan tersebut mempunyai arti menekankan, menguatkan, dan menegaskan. Gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam cerpen Bayi terdapat 6 makna gaya bahasa menekankan, 5 makna menguatkan, dan 4 makna menegaskan. Dengan demikian dapat disimpulkan makna yang lebih banyak digunakan adalah menekankan. b) Gaya Bahasa Pertentangan 1) Hiperbola Diperoleh tiga kalimat yang menggunakan gaya bahasa hiperbola. Kalimat tersebut adalah sebagai berikut. 139 140
Ibid Ibid., h. 62.
96
a) “Simfoni tembakan mengatasi deru samudra dan desau angin.”141 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa hiperbola karena tembakan dianggap berlebihan karena bisa mengatasi deru samudra dan desau angin. Gaya bahasa hiperbola dalam kalimat tersebut bermakna menguatkan pernyataan yang berlebihan dan memberi efek keindahan. b) “Jantungku
melonjak-lonjak
di
dada.”142
Kalimat
tersebut
termasuk dalam kalimat yang bergaya bahasa hiperbola karena berlebihan dalam menggunakan kata melonjak-lonjak. Gaya bahasa hiperbola dalam kalimat tersebut bermakna menekankan pernyataan yang berlebihan dan memberi efek keindahan. c) “Ledakan
yang
memekakkan
puputangin yang keras.”
143
telinga
dan
mengembuskan
Kalimat tersebut termasuk dalam
kalimat yang bergaya bahasa hiperbola karena berlebihan dalam menggunakan kata memekakkan. Gaya bahasa hiperbola dalam kalimat
tersebut
bermakna
menguatkan
pernyataan
yang
berlebihan dan memberi efek keindahan. Hiperbola-hiperbola
dalam
kalimat-kalimat
yang
diuraikan
tersebut mempunyai arti menekankan dan menguatkan. Gaya bahasa hiperbola yang terdapat dalam cerpen Bayi terdapat 1 makna gaya bahasa menekankan dan
2 makna menguatkan. Dengan demikian
dapat disimpulkan makna yang lebih banyak digunakan adalah menguatkan. c) Gaya Bahasa Pertentangan 1) Metonimia
141
Ibid., h. 55. Ibid., h. 61. 143 Ibid., h. 62. 142
97
Diperoleh dua kalimat yang menggunakan gaya bahasa metonimia. Kalimat tersebut adalah sebagai berikut. a) “Seperti dalam mimpi aku lihat sebuah Thomson maju ke muka.”144 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa metonimia karena menggunakan merek sebagai kata pengganti dalam kalimat tersebut. Kata Thomson merupakan jenis senjata perang. Gaya bahasa metonimia dalam kalimat tersebut bermakna menekankan nama suatu barang dalam hal ini Thomson bagi sesuatu yang lain yang berkaitan erat yaitu nama senjata perang. b) “Aku mengangkat si cengeng yang baunya amis.”145 Kalimat tersebut digolongkan sebagai kalimat yang bergaya bahasa metonimia karena kata si cengeng dalam kalimat tersebut maksudnya adalah bayi. Gaya bahasa metonimia dalam kalimat tersebut bermakna menekankan nama suatu barang dalam hal ini si cengeng bagi sesuatu yang lain yang berkaitan erat dengan bayi. Metonimia-metonimia dalam kalimat-kalimat yang diuraikan tersebut mempunyai arti menekankan dan menguatkan. Gaya bahasa hiperbola yang terdapat dalam cerpen Bayi terdapat 1 makna gaya bahasa menekankan dan
1 makna menguatkan. Dengan demikian
dapat disimpulkan makna yang lebih banyak digunakan adalah menekankan dan menguatkan. 2) Sinekdoke Diperoleh satu kalimat yang menggunakan sinekdoke jenis totum pro parte. Kalimat tersebut adalah sebagai berikut.
144 145
Ibid., h. 61. Ibid., h. 62.
98
“Belanda itu hampir mencukur kepalaku.”146 Kalimat tersebut dikategorikan sebagai kalimat yang bergaya bahasa sinekdoke karena menggunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Makna gaya bahasa sinekdoke dalam kalimat tersebut adalah menegaskan.
C. Analisis Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Hujan Kepagian Berdasarkan hasil analisis data-data yang diuraikan sebelumnya, diperoleh sebanyak delapan puluh sembilan gaya bahasa dari dua judul cerita berbeda berupa kalimat yang menyatakan penggunaan gaya bahasa. Masing-masing jumlah kalimat dari tiap jenis gaya bahasa dengan rincian sebagai berikut. 1. Gaya bahasa perbandingan, meliputi: a. Perumpamaan atau simile berjumlah tiga puluh empat kalimat. b. Personifikasi berjumlah tiga puluh tiga kalimat. c. Antitesis berjumlah satu kalimat. 2. Gaya bahasa pertentangan, meliputi: a. Hiperbola berjumlah delapan kalimat. 3. Gaya bahasa pertautan, meliputi: a. Metonimia berjumlah sembilan kalimat. b. Sinekdoke berjumlah dua kalimat, satu kalimat sinekdoke pars pro toto dan satu kalimat sinekdoke totem pro parte. 4. Gaya bahasa perulangan, meliputi: a. Epizeukis berjumlah satu kalimat. b. Anadilopsis berjumlah satu kalimat.
Hasil analisis gaya bahasa di atas dapat dilihat dengan jelas melalui tabel berikut. Distribusi Frekuensi dan Presentase Penggunaan Gaya Bahasa dalam
146
Ibid., h. 58.
99
Cerpen Senyum dan Cerpen Bayi pada Kumpulan cerpen Hujan Kepagian Karya Nugroho Notosusanto
No.
Gaya Bahasa
Frekuensi
Frekuensi
Presentase
Penggunaan
Relatif
X/∑X x 100%
Data (x)
X /∑X
1
Simile
34
0,382
38,2%
2
Personifikasi
33
0,375
37,5%
3
Antitesis
1
0,011
1,1%
4
Hiperbola
8
0,090
9%
5
Metonimia
9
0,102
10,2%
6
Sinekdoke
2
0,022
2,2%
7
Epizeukis
1
0,011
1,1%
8
Anadilopsis
1
0,011
1,1%
Jumlah
89
100%
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa Nugroho Notosusanto banyak menggunakan gaya bahasa perumpamaan atau simile. Gaya bahasa perbandingan paling banyak mendominasi dalam dua cerpen tersebut dengan hasil 38,2% dan 37,5% data kalimat yang ditemukan dari 89 data kalimat. Dalam tiap karyanya, sebagian
besar
bahasa
yang
digunakan
Nugroho
Notosusanto
terkesan
membandingkan dan mengibaratkan. Nugroho Notosusanto cenderung menggunakan simile dalam cerita dan juga menggunakan personifikasi. Hal tersebut yang menjadi ciri khas dari Nugroho Notosusanto.
100
Tujuan penggunaan gaya bahasa perumpamaan dalam dua cerpen pada kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto adalah menyamakan sesuatu yang sama dengan hal yang lain dengan pengetahuan luas yang dimiliki oleh Nugroho Notosusanto seperti dalam kalimat “kemudian kacamata Ray Ban kupakai dan pemandangan jadi sejuk seperti suasana dusun di belakangku atau dalam kalimat “Malaikat-malaikat pada turun dari langit yang penuh bintang, persis seperti yang digambarkan di dalam buku-buku sejarah Injil, bacaanku waktu jaman Belanda dulu”. Nugroho Notosusanto cenderung menggunakan gaya bahasa perumpamaan untuk membandingkan antara suasana alam dengan keadaan perang. Dalam keadaan perang suasana alam menjadi tidak dikenali seperti biasanya. Maksudnya, alam menjadi terlihat berbeda ketika dalam situasi perang, alam menjadi tidak seperti dikenali pada umumnya. Tujuan penggunaan gaya bahasa personifikasi dalam dua cerpen tersebut adalah untuk menghidupkan isi cerita di dalamnya agar lebih hidup seperti dalam kalimat “bau bunga yang segar dan bau boreh yang kental menyelinap ke dalam hidung.” Bahasa yang digunakan oleh Nugroho Notosusanto terkesan membandingkan karena mengandung makna yang berarti. Perbandingan yang dilakukan oleh Nugroho Notosusanto mengungkapkan tentang keadaan perang bagaimana perasaan manusia, pengorbanan dan pertolongan. Semuanya dikumpulkan begitu bagus oleh Nugroho Notosusanto. D. Makna Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Hujan Kepagian Gaya bahasa dalam setiap karya sastra pasti dapat mewakili penulisnya, karena dalam karya sastra gaya bahasa tergantung pada latar belakang penulis yang dapat memberi beberapa nilai terhadap karakter, latar, kemampuan dan lain-lain. Penggunaan gaya bahasa tidak lepas dari keindahan yang ditimbulkan gaya bahasa
101
yang digunakan, sehingga menambah nilai makna yang ditulis pengarang. Hasil analisis makna gaya bahasa di atas dapat dilihat dengan jelas melalui tabel berikut.
Distribusi Frekuensi dan Presentase Makna Penggunaan Gaya Bahasa dalam Cerpen Senyum dan Cerpen Bayi pada Kumpulan cerpen Hujan Kepagian Karya Nugroho Notosusanto No.
Makna Gaya Bahasa
Frekuensi
Frekuensi
Presentase
Penggunaan
Relatif
X/∑X x 100%
Data (x)
X /∑X
1
Mendeskripsikan
8
0,089
8,9%
2
Menekankan
30
0,337
33,7%
3
Menegaskan
17
0,191
19,1%
4
Menguatkan
23
0,258
25,8%
5
Memaparkan
9
0,101
10,1%
6
Menyampaikan
2
0,022
2,2%
gagasan
tidak langsung Jumlah
89
100%
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa Nugroho Notosusanto banyak menggunakan makna menekankan dalam gaya bahasa. Makna menekankan paling banyak mendominasi dalam dua cerpen tersebut dengan hasil 33,7% dari data kalimat yang ditemukan dari 89 data kalimat. Dalam tiap karyanya, sebagian besar gaya bahasa yang digunakan Nugroho Notosusanto maknanya terkesan menekankan dan menguatkan. Nugroho Notosusanto cenderung menggunakan makna menekankan dalam cerita dan
102
juga menggunakan makna menguatkan. Hal tersebut yang menjadi ciri khas dari Nugroho Notosusanto. Nugroho Notosusanto banyak menggunakan gaya bahasa yang mempunyai makna menekankan. Nugroho Notosusanto menggunakan delapan gaya bahasa dalam dua cerpen. Masing-masing memiliki makna tersendiri. Gaya bahasa simile dalam dua cerpen bermakna menekankan suasana dan menjelaskan gagasan secara lebih hidup dan menarik. Makna gaya bahasa yang terdapat dalam cerpen tersebut mendapat tempat tersendiri dalam diri pembaca sehingga ada keinginan dan minat pembaca untuk membaca cerpen tersebut. Kaitannya dengan dunia siswa dalam pendidikan Dengan pemakaian gaya bahasa yang menarik akan mendorong siswa agar lebih kreatif dalam ketrampilan bahasa dan sastra Indonesia. E. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Dalam kurikulum terbaru, pembelajaran sastra Indonesia mendapat sedikit materi dan jam dalam kegiatan belajar-mengajar. Kompetensi dasar yang dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra Indonesia adalah menganalisis unsur intrinsik dalam cerpen. Pengembangan kompetensi dasar dapat dilakukan dengan cerpen Senyum dan cerpen Bayi karya Nugroho Notosusanto. Pembelajaran sastra Indonesia haruslah berorientasi kepada pemahaman membaca karya sastra Indonesia. Salah satu kegiatan siswa mengapresiasi karya sastra adalah dengan cara pembelajaran unsur intrinsik dalam cerpen Senyum dan cerpen Bayi karya Nugroho Notosusanto. Siswa dapat meningkatkan kemampuan dalam mengapresiasi karya sastra untuk mengetahui lebih dalam dan meningkatkan imajinasi. Pembelajaran sastra Indonesia dinilai masih kurang menarik bagi siswa. Penyebab kurang menariknya pembelajaran sastra Indonesia bukan semata-mata sastra tidak menarik tetapi karena penyampaian guru. Penyampaian guru dalam mengajarkan sastra Indonesia kurang menarik dan membuat siswa tidak begitu mendorong semangat untuk
103
belajar sastra. Dalam pembelajaran sastra Indonesia diperlukan pengetahuan dan pemahaman tentang sastra. Pemahaman membaca karya sastra, khususnya cerpen diharapkan dapat membuat siswa mampu menganalisis tema, penokohan, alur cerita, amanat dan latar yang terdapat dalam cerita. Pembelajaran sastra Indonesia kaitanya dengan cerpen senyum dan Bayi dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto, siswa dapat mengambil amanat dan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat dominan dalam cerita melalui penokohan dan gaya bahasa yang terdapat dalam cerita. Guru dapat mengajarkan kepada siswa menilai ciri khas pengarang dan bahasa yang digunakan pengarang melalui gaya bahasa. Jika siswa dapat memahami gaya bahasa yang terdapat dalam karya sastra, maka siswa dapat membuat karya sastra dengan ciri khas dan gayanya sendiri dengan memperhatikan unsur keindahan. Sebelum memulai dan menjelaskan materi pelajaran, guru perlu membuat rencana pelaksanaan pembelajaran. Rencana pelaksanaan pembelajaran dibuat bertujuan agar materi yang diajarkan dapat disampaikan secara sistematis dan terstruktur serta mampu dipahami oleh siswa dengan baik. Penelitian ini memiliki implikasi terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA, yaitu memberikan gambaran bahwa gaya bahasa tumbuh dan berkembang sejalan dengan kemajuan jaman. Oleh karena itu, penggunaan gaya bahasa dalam cerpen dapat dioptimalkan dengan baik dan benar sehingga dapat mengetahui keindahan, makna gaya bahasa serta ciri khas gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang.
BAB V PENUTUP
A. Simpulan 1. Berdasarkan analisis data yang diuraikan dalam pembahasan, diperoleh sebanyak delapan puluh sembilan data dari dua judul cerita berbeda dalam kumpulan cerpen Hujan Kepagian berupa kalimat yang menyatakan penggunaan gaya bahasa. Kalimat-kalimat tersebut mencakup delapan jenis gaya bahasa dari lima puluh lima gaya bahasa. Gaya bahasa tersebut di antaranya (a) simile berjumlah tiga puluh empat kalimat, (b) personifikasi berjumlah tiga puluh tiga kalimat, (c) antitesis berjumlah satu kalimat, (d) hiperbola berjumlah delapan kalimat, (e) metonimia berjumlah sembilan kalimat, (f) sinekdoke berjumlah dua kalimat, (g) epizeukis berjumlah satu kalimat, (h) anadilopsis berjumlah satu kalimat,. Dari delapan jenis gaya bahasa yang diperoleh, gaya bahasa yang paling dominan digunakan yaitu simile sebanyak tiga puluh empat kalimat. Hal yang mempengaruhi banyaknya penggunaan gaya bahasa simile karena gaya penceritaan Nugroho Notosusanto identik dengan membandingkan yang terkesan menyamakan sesuatu dengan hal lain . Hal tersebut juga menjadi ciri khas Nugroho Notosusanto dalam tiap karyanya. 2. Gaya bahasa yang digunakan Nugroho Notosusanto maknanya terkesan menekankan dan menguatkan. Hal tersebut yang menjadi ciri khas dari Nugroho Notosusanto 3. Implikasi penggunaan gaya bahasa terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dapat diterapkan pada siswa SMA kelas XI dalam aspek membaca, dengan Standar Kompetensi memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan cerpen. Kompetensi Dasar menganalisis keterkaitan gaya bahasa suatu cerpen dengan kehidupan sehari-hari. Siswa mampu mengidentifikasi gaya bahasa dan mengaitkan makna gaya bahasa dengan kehidupan sehari-hari.
104
105
B. Saran Beberapa saran berikut dapat menjadi bahan masukan yang bermanfaat bagi pihak-pihak terkait, di antaranya saran untuk siswa. Dalam membaca karya
sastra, hendaknya siswa tidak hanya membaca ceritanya saja akan tetapi perhatikan juga unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra dan mampu menerapkan hal-hal positif yang terdapat dalam karya sastra untuk kehidupan sehari-hari. Saran untuk guru hendaknya memaksimalkan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia melalui empat aspek keterampilan yang sangat penting bagi peserta didik. Saran untuk pembaca sastra hendaknya mampu mengetahui dan menganalisis unsur-unsur dalam karya sastra yang dibaca, khususnya gaya bahasa, agar dapat membedakan karakteristik dan ciri khas tiap-tiap pengarang. Saran untuk peneliti lain sebaiknya terus meningkatkan penelitian dalam bidang sastra, khususnya gaya bahasa, secara lebih mendalam, karena pada karya ilmiah ini penulis mempunyai kelemahan dalam penelitian agak sulit untuk membedakan antara gaya bahasa yang satu dengan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. In Memorian Nugroho Notosusanto, Cerpenis yang Selalu Ingin Merdeka.
Harian Yudha Minggu. Jakarta: 23 Juni 1985.
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana, 2007. Damayanti, D. Buku Pintar Sastra Indonesia. Yogyakarta: Araska, 2013. Eni S. Bahari Putri. Nugroho di Mata Wartawan Muda, Dia yang Tak Pernah Mengenal Lelah. Harian Umum Pelita, Jakarta 6 Juni 1985.. Hawthorn, Jeremy. Studying the Novel: an Introduction. New York: Great Britain, 1989. Herfanda, Ahmadun Yosi. Sastra Kota Bunga Rampai Esai Edisi Temu Sastra Jakarta 2003. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2003. Jassin, H.B. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan esai. Jakarta: Gunung Agung, 1967. Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009. Kosasih, E. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya, 2012. Lampan, Korrie Layun. Nugroho Notosusanto sebagai Sastrawan, CerpenCerpennya Menanamkan Jiwa Nasionalisme. Harian Suara Karya, 18 November 1983. Mariatin, Kun. Nugroho Notosusanto Tugas Sastera. Jakarta: SMA Sumbangsih, 1970. Mihardja, Ratih. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Laskar Aksara. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005.
Notosusanto, Nugroho. Hujan Kepagian. Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1988. Rosidi, Ajip. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta, 1991. Rosidi, Ajip. Masalah Angkatan dan Periodisasi Sedjarah Sastra Indonesia. Tjupumanik, 1970. Rosidi, Ajip. Nugroho Notosusanto dan Sastera Indonesia. Majalah Basis. Jakarta: 12 Desember, 1993. Semi, M. Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya, 1988. Sukada, Made. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia Masalah Sistematika Analisa Struktur Fiksi. Bandung: Angkasa, 1987. Selviawati, Evi. “Penggunaaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Laluba Karya Nukila Amal yang Mengacu pada Karya Grafis M. C. Escher : Analisa Stiliska”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. 2012 Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008. Suryani, Vina Esti. “Pemanfaatan Gaya Bahasa dan Nilai-Nilai Pendidikan pada Novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu Karya Tere Liye”. Skripsi S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010 Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa, 1985.
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa, 1993. Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: UPI Press, 2006. Dari Internet : Anonim.http://badanbahasa.kemendikbud.go.id/lamanbahasa/tokoh/286/Nugroho %Notosusanto, 26 Februari 2014 Anonim. http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/notosusanto.html , 26 februari 2014 Fathimatuz Zahroh. “Nugroho Notosusanto”, http://profil.merdeka.com/indonesia/n/nugroho-notosusanto/ , 26 Februari 2014
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
SATUAN PENDIDIKAN
: SMA
MATA PELAJARAN
: Bahasa dan Sastra Indonesia
KELAS / SEMESTER
: XI / ganjil
PERTEMUAN KE
:1
ALOKASI WAKTU
: 2 x 45 menit
STANDAR KOMPETENSI : Membaca 4. Memahami cerpen dan puisi melalui kegiatan membaca kritis. KOMPETENSI DASAR
: 4.1. Menganalisis cerpen yang dianggap penting pada setiap periode untuk menemukan standar budaya yang dianut masyarakat falam periode tersebut. (c4)
INDIKATOR
: 1.
Membaca cerpen yang dianggap penting dalam setiap periode.
2. Menemukan unsur-unsur yang ditelaah di cerpen. 3. Menjelaskan standar budaya tentang baik dan buruk, benar dan salah yang dianut oleh gambaran masyarakat cerita tersebut.
I . TUJUAN PEMBELAJARAN : 1.1 membaca cerpen yang dianggap penting dalam setiap periode. 1.2 menemukan unsur-unsur yang ditelaah dalam cerita pendek..
1.3 menunjukkan standar budaya tentang baik buruk, benar salah yang dianut oleh gambaran masyarakat cerita tersebut.
II. MATERI AJAR 2.1 Contoh Cerpen pada kumpulan cerpen Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto 2.2 Unsur intrinsik
III. METODE PEMBELAJARAN 3.1 Pendekatan : kontekstual 3.2 Metode
: presentasi, diskusi, tanya jawab dan penugasan
ALOKASI WAKTU : 2 X 45 MENIT
IV. KEGIATAN PEMBELAJARAN
Tahapan Kegiatan awal
Kegiatan a. Membuka Pelajaran - Guru memberi salam kemudian meminta satu siswa untuk memimpin doa - Guru mengecek kehadiran dan kesiapan peserta didik dengan cara melihat aktivitas siswa sebelum belajar. b. Apersepsi - Guru menjelaskan kompetensi dasar yang harusdicapai - Guru memotivasi siswa agar dapat
Alokasi waktu 10 menit
membaca cerpen c. Memotivasi siswa agar dapat membaca cerpen dengan baik. - Menyiapkan contoh cerpen yang dianggap penting dalam suatu periode. Kegiatan inti
10 menit a. Guru menjelaskan materi membaca cerpen yang baik dan tepat untuk menganalisis sebuah cerpen. b. Guru memberikan contoh cerpen kepada siswa Tahapan: 25 menit a. Eksplorasi - Guru menanyakan isi cerpen meliputi unsur-unsur intriksik - Siswa menyebutkan unsur-unsur cerpen - Siswa menyebutkan unsur-unsur budaya - Guru menuliskan unsur-unsur yang 30 menit ditemukan siswa
b. Elaborasi - Siswa di bagi beberapa kelompok berdasarkan barisan bangku - Siswa bekerja sama mencari fakta pendukung dari unsur-unsur dan standar budaya yang ditemukan - Siswa menuliskan jawaban pada masing-masing buku latihan.
5 menit
c. Konfirmasi - Masing-masing kelompok mengumpulkan hasil kerja - Guru memeriksa hasil kerja siswa
Kegiatan akhir
a. Guru dan siswa menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan proses KBM yang telah dilaksanakan.
10 menit
b. Guru merefleksi kegiatan hari ini c. Guru memberitahukan materi yang akan disampaikan pada pertemuan berikutnya d. Guru menutup pembelajran dengan mengucapkan salam Tugas Tatap Muka 1. Siswa membaca cerpen 2. Siswa menemukan unsur-unsur dalam cerpen 3. Siswa menemukan standar budaya dalam cerpen 4. Siswa mencari bukti/fakta pendukung 5. Siswa menyimpulkn isi cerpen V. ALAT, BAHAN DAN SUMBER BELAJAR 4.1 Cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto 4.2 Slide power point
VI. PENILAIAN 6.1 Penilaian
: tugas kelompok, ulangan harian
6.2 Contoh soal dan pedoman skor Mengetahui Jakarta,.............................. Kepala Sekolah
Guru Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
............................................. NIP. 1962029271....................
Meizar Fatkhul Izza,S.Pd NIP. .......................................
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
MEIZAR FATKHUL IZZA, dilahirkan di Brebes pada 10 Mei 1991, biasa disapa Izar. Ia adalah anak pertama dari dua bersaudara. Anak dari pasangan Buntomo, S.Pd dan Siti Royanah, S.Pd.i ini memulai pendidikannya di Raudhotul Athfal (RA) Alfurqon Brebes selama satu tahun. Selanjutnya meneruskan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Alfurqon desa Jatirokeh kabupaten Brebes selama enam tahun. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Jatibarang selama tiga tahun dan sempat bersekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Brebes selama Tiga tahun. Setelah lulus SMA pada tahun 2009, ia melanjutkan pendidikannya di UHAMKA Jakarta, Fakultas Ilmu Keguruan dengan memilih jurusan Pendidikan Biologi selama setahun. Pada tahun 2010, ia pindah ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan memilih Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Selama kuliah, ia mengajar di Homeschooling Kak Seto Pusat, Tangerang Selatan dan mengajar bimbel Primagama. Selain itu, ia juga aktif mengikuti kegiatan musik di kampus dan pernah menjabat sebagai ketua elemen Band di Pojok Seni Tarbiyah (Postar) dan anggota KMM RIAK UIN Syarif Hidayatullah Jakart. Grup musikalisasi Kemangilodi adalah grup musik prestasi terbesarnya, karena berbagai kejuaraan dan penampilan banyak ditorehkan. Selain bermusik, laki-laki yang menyukai warna hitam-putih ini juga gemar bersepeda. Menjadi penghibur adalah cita-cita utamanya, karena melihat orang lain tersenyum bahagia karena kita adalah anugerah yang terindah.