Evaluasi Penerapan Keselamatan Kebakaran Gedung Menggunakan Computerized Fire Safety Evaluation System (Cfses) Di Sekretariat Wakil Presiden Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Tika Prasetyani, Sjahrul Meizar Nasri 1. 2.
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok – Indonesia Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok – Indonesia
[email protected]
ABSTRAK Angka kebakran gedung perkantoran di DKI Jakarta masih cukup tinggi. Pada umumnya gedung perkantoran pemerintahan di DKI Jakarta merupakan bangunan tua dengan proteksi kebakaran belum memadai. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan keselamatan kebakaran di gedung Sekretariat Wakil Presiden Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. Metodologi menggunakan desain studi deskriptif yang bersifat observasional dengan pendekatan semi kuantitatif dan dibantu dengan Computerized Fire Safety Evaluation System (CFSES) yang mengacu pada 12 parameter keselamatan yang ada di NFPA 101A: Guide on Alternate Approaches to Life Safety dengan standar NFPA 101: Life Safety Code. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan keselamatan kebakaran di Gedung Sekretariat Wakil Presiden, Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia belum memenuhi persyaratan keselamatan minimum NFPA 101A Guide on Alternate Approaches to Life Safety. Kata kunci : CFSES, keselamatan kebakaran, gedung
Evaluation of Fire Safety Buildings Using Computerized Fire Safety Evaluation System (CFSES) In Vice President Secretariat Ministry of State Secretariat the Republic Indonesia 2014 ABSTRACT Figures fire office buildings in Jakarta are still quite high. Government office buildings in Jakarta is an old building with inadequate fire protection. This study aimed to evaluate the application of fire safety in the Secretariat Vice President building of Ministry of State Secretariat of Republic Indonesia. The methodology using descriptive study design was an observational semi-quantitative approach and aided by Computerized Fire Safety Evaluation System (CFSES) which refers to the 12 safety parameters in NFPA 101A: Guide on Alternate Approaches to Life Safety standards NFPA 101: Life Safety Code . The results showed that the application of fire safety in the Secretariat of the Vice President building, Ministry of State Secretariat of Republic Indonesia does not meet the minimum safety requirements of NFPA 101A Guide on Alternate Approaches to Life Safety. Keyword
: CFSES, fire safety, building
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
Pendahuluan Kebakaran merupakan suatu kejadian yang masih sering terjadi. Peristiwa kebakaran yang terjadi dapat menimbulkan kerugian harta benda dan korban jiwa. Menurut National Fire Incident Reporting System, korban jiwa pada kejadian kebakaran dapat disebabkan karena terlalu banyak menghirup asap, luka bakar yang cukup parah, meninggal akibat melompat dari gedung yang terbakar untuk menyelamatkan diri dan serangan jantung pada saat terjadinya kebakaran (Ahrens & Cooke, 2003). Berdasarkan data Dinas Pemadam Kebakaran wilayah DKI Jakarta, jumlah kebakaran pada tahun 2009 mencapai 769 kasus. Sepanjang tahun 2011, terjadi peningkatan angka kebakaran menjadi 890 kasus dan menurut Gamawan Fauzi Kemendagri yang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri pada saat itu mengatakan bahwa angka kebakaran tertinggi yaitu di wilayah DKI Jakarta (www.newsdetik.com). Sedangkan pada tahun 2012, total kebakaran yang terjadi di wilayah DKI Jakarta meningkat tajam menjadi 1.008 kasus (Manalu & Sandur, 2013). Namun tahun 2013 terjadi penurunan angka kebakaran menjadi 997 kasus dan menelan korban jiwa sebanyak 42 orang. Dinas Pemadam DKI Jakarta mencatat angka kebakaran yang terjadi di gedung perkantoran yaitu sebanyak 212 kasus atau sebesar 21,26% dari total keseluruhan kebakaran yang terjadi di Jakarta. Banyaknya kasus kebakaran diperkantoran disebabkan oleh belum tersedianya atau kurangnya perawatan terhadap peralatan proteksi kebakaran. Data yang ada pada tahun 2010 menyebutkan bahwa dari 1.400 gedung bertingkat yang ada di Jakarta terdapat 40% gedung memiliki potensi kebakaran yang cukup tinggi (www.jakarta.go.id). Kejadian kebakaran juga melanda sejumlah gedung pemerintahan yang ada di Jakarta. Berdasarkan data Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta tahun 2006, pada umumnya gedung perkantoran pemerintah di wilayah Jakarta merupakan bangunan tua yang rawan terhadap kebakaran (news.detik.com). Hal ini terbukti oleh banyaknya kasus kebakaran di gedung pemerintahan yang ada di Jakarta seperti gedung Bank Tabungan Negara, Pelni, Kantor Pajak Pusat, Sekretariat Negara, Mahkamah Agung, Pertamina, Bank Negara Indonesia, Bank Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM dan Kantor Pemilihan Umum. Tindakan yang perlu dilakukan untuk mencegah kebakaran ialah dengan melakukan evaluasi sistem keselamatan proteksi kebakaran yang telah diterapkan pada suatu gedung. Kantor Sekretariat Wakil Presiden merupakan salah satu gedung perkantoran pemerintahan
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
yang terletak di wilayah DKI Jakarta dan berisiko mengalami kebakaran. Tindakan pencegahan seperti evaluasi sistem keselamatan kebakaran gedung menggunakan CFSES berdasarkan NFPA 101A belum dilakukan oleh Kantor Sekretariat Wakil Presiden. Oleh karena itu, penilaian mengenai penerapan keselamatan kebakaran perkantoran pemerintahan di Sekretariat Wakil Presiden menggunakan Computerized Fire Safety Evaluation System (CFSES) tahun 2014 perlu dilakukan sehingga dapat diketahui sejauh mana ketahanan sistem keselamatan kebakaran yang telah diterapkan guna mencegah terjadinya kebakaran.
Tinjauan Teori Timbulnya api terjadi karena adanya proses kimiawi antara uap bahan bakar dengan oksigen dan bantuan panas. Teori ini disebut dikenal sebagai teori segitiga api atau fire triangle. Kebakaran dapat terjadi apabila ketiga faktor tersebut saling berinteraksi satu sama lain. Tanpa salah satu unsur tersebut, maka api tidak dapat terjadi (Ramli, 2010). Computerized Fire Safety Evaluation System (CFSES)
merupakan software yang
dikembangkan berdasarkan NFPA 101A yang bertujuan untuk mengevaluasi sistem penerapan keselamatan kebakaran gedung. CFSES digunakan dengan menilai 12 parameter yaitu konstruksi gedung, segregasi bahaya, bukaan vertikal, alarm kebakaran, pendeteksi asap, interior finish, pengendali asap, akses keluar, jalur penyelamatan, koridor atau kompartemen dan pelatihan tanggap darurat. CFSES melakukan sistem penilaian dengan cara membandingkan nilai yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian dengan nilai standar yang harus dipenuhi oleh sebuah gedung sesuai dengan NFPA 101 tentang Life Safety Code (NFPA 101A, 2013).
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif yang bersifat observasional dengan pendekatan semi kuantitatif. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengevaluasi penerapan sistem keselamatan kebakaran di Gedung Sekretariat Wakil Presiden sesuai dengan Fire Safety Evaluation System NFPA 101A (2013): Guide on Alternative Approaches to Life Safety dan dilanjutkan dengan analisis menggunakan software yaitu CFSES (Computerized Fire Safety Evaluation System). Penelitian ini dilaksanakan di Sekretariat Wakil Presiden, Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia yang terletak di Jalan Kebon Sirih No. 14 Jakarta Pusat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2014. Penelitian ini menggunakan
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan observasi di lapangan terhadap 12 parameter keselamatan kebakaran, yaitu konstruksi gedung, segregasi bahaya, bukaan vertikal, alarm kebakaran, pendeteksi asap, interior finish, pengendali asap, akses keluar, jalur penyelamatan, koridor atau kompartemen dan pelatihan tanggap darurat dengan menggunakan checklist sesuai dengan NFPA 101A. Selain itu, penulis juga menggunakan data sekunder berupa dokumen gedung terkait keselamatan kebakaran gedung. Data-data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisi menggunakan software CFSES. Penilaian terhadap masing-masing parameter dipengaruhi oleh tabel bridging dan hasil checklist. Nilai pada parameter akan mengalami penurunan tergantung dari persentase tabel bridging dan hasil checklist yang diperoleh. Rumus Perhitungan Penurunan Nilai :
[(
)
]
Keterangan: A = Penurunan nilai B = Nilai terendah pada parameter C1 = Persentase nilai awal parameter pada CFSES C2 = Persentase tabel bridging C3 = Persentase hasil checklist D = Jumlah nominal nilai pada parameter, dihitung berdasarkan nilai terendah hingga nilai tertinggi Hasil Penelitian Gedung Sekretariat Wakil Presiden terdiri dari empat gedung, dimana dua gedung merupakan wilayah kerja wakil presiden dan dua gedung merupakan gedung perkantoran. Penelitian dilakukan pada gedung tertinggi, yaitu gedung yang memiliki 5 lantai karena memiliki risiko yang lebih tinggi terjadi kebakaran. Berikut ini merupakan hasil penilaian tiap gedung yang dinilai menggunakan CFSES.
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
Gambar 1 Hasil Penilaian Keselamatan Kebakaran Gedung 1
Gambar 2 Hasil Penilaian Keselamatan Kebakaran Gedung 2
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
Pembahasan 1.
Konstruksi Gedung Konstruksi gedung tergolong konstruksi Tipe III (211) dan mendapat nilai 0. Hal ini
disebabkan karena batu bata digunakan sebagai material penyusun dinding. Batu bata merupakan material tidak tahan api, apabila terpapar api secara terus-menerus dapat menjadi bara api yang berpotensi terhadap penyebaran api (NFPA 220, 2012). Selain penilaian terhadap material konstruksi gedung, penilaian terhadap parameter ini juga dipengaruhi oleh elektrikal, ventilasi dan hidran gedung. Menurut Mincks dan Johnston (2010), elektrikal merupakan salah satu penyebab kebakaran yang sering terjadi. Elektrikal berpengaruh terhadap kontruksi gedung karena sistem elektrik terpasang diseluruh bagian gedung. Apabila terjadi kebakaran pada sistem elektrik, maka berpotensi terhadap penyebaran api ke seluruh bagian gedung. Menurut NFPA 90A (2012), sistem pendingin udara harus mati secara otomatis apabila terjadi kebakaran. Sistem pendingin udara merupakan alat yang dapat mensuplai oksigen (Furness & Muckett, 2007). Apabila sistem pendingin udara tidak mati maka dapat mensuplai oksigen yang merupakan salah satu elemen dari terbentuknya api dan berpotensi membentuk kebakaran yang lebih besar. Menurut NFPA 24 (2013), jarak pemasangan hidran dengan bangunan tidak lebih 12 m. Hidran harus didukung dengan sistem pompa kebakaran yang diposisikan standby sehingga jika terjadi kebakaran maka pompa dapat bekerja secara otomatis. Pompa mampu menanggulangi dan mencegah perambatan api ke bangunan terdekat. Namun apabila pompa kebakaran mengalami kerusakan, maka hidran tidak akan mendapatkan suplay air dan menjadi tidak dapat digunakan sebagaimana fungsinya yaitu menanggulangi kebakaran. 2.
Segregasi Bahaya Segregasi bahaya merupakan pemisahan area yang berpotensi tinggi terhadap terjadinya
kebakaran. Area yang dimaksud adalah area di dalam gedung yang penggunaannya tidak sama dengan kegunaan gedung serta memiliki potensi terhadap terjadinya kebakaran. Contoh area yang tidak sesuai dengan penggunaan gedung adalah area yang terdapat bahan mudah terbakar seperti area pembuangan sampah, ruang penyimpanan ataupun ruang panel listrik (NFPA 101A, 2013; Hughes Associates, Inc., 2000). Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa apabila terjadi kebakaran pada suatu ruangan pada Gedung Sekretariat Wakil Presiden dapat berpotensi terjadinya flashover. Flashover merupakan proses pengapian yang berjalan secara cepat dan membakar benda-
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
benda yang terdapat pada suatu ruangan, kemudian menghasilkan asap panas dengan suhu mendekati 500°C sehingga menyebabkan kobaran api yang lebih besar dan sulit dikendalikan. Area berbahaya seperti panel listrik dapat berpotensi menyebabkan kebakaran. Kebakaran akan menjadi lebih besar apabila pada area panel terdapat benda mudah terbakar. Panel listrik perlu diproteksi dengan kompartemen, detektor dan pintu tahan api untuk mencegah penyebaran api. 3.
Bukaan Vertikal Bukaan vertikal adalah suatu lubang yang menghubungkan setiap lantai secara vertikal.
Bukaan vertikal yang dimaksud yaitu lift, saluran binatu, saluran pembuangan sampah, saluran pipa, saluran ventilasi. Adanya bukaan vertikal dapat memberikan dampak terhadap perpindahan api ke lantai atas serta mempercepat penyebaran asap (NFPA 101, 2012). Gedung 1 dan 2 Sekretariat Wakil Presiden memiliki beberapa bukaan vertikal seperti elevator, shaft pipa dan shaft kabel. Elevator, shaft pipa dan shaft kabel menghubungkan lantai 1 hingga lantai 5, maka bukaan vertical mendapat nilai -10. Menurut Solomon (2013) shaft pipa dan kabel dapat mempengaruhi penyebaran asap dan api ke setiap lantai. Shaft kabel dan pipa dengan posisi vertikal akan mempercepat penyebaran api dan asap ke lantai lain apabila tidak terdapat fire stop maerial. Kebakaran dapat merambat ke lantai lain tergantung dari ada atau tidaknya fire stop material, seperti gypsum yang dapat menahan penyebaran api selama 30 menit atau mortar selama 2 jam dan pintu tahan api pada kompartemen. Selain itu, perambatan api juga dipengaruhi oleh jenis bahan bakar yang tersedia. Api akan lebih cepat merambat ke lantai yang menyimpan benda dengan tingkat penyebaran api yang tinggi dibandingkan dengan lantai yang terdapat benda dengan tingkat penyebaran api yang lebih rendah. 4.
Sprinklers Gedung Sekretariat Wakil Presiden tidak dilengkapi dengan sprinklers. Oleh karena itu,
parameter ini mendapat nilai 0. Sprinkler berfungsi sebagai pengendali api pada awal terjadinya kebakaran. Selain itu, sprinkler juga dapat mencegah pertumbuhan dan penyebaran api serta memberikan tanda berupa sinyal ke ruang kontrol sehingga alarm dapat diaktifkan. Sprinkler bekerja dengan cara memancarkan air apabila terdeteksi adanya panas akibat kebakaran (NFPA 13, 2013; Ramli, 2010). Menurut NFPA 13 (2013) gedung yang memiliki lebih dari tiga lantai sebaiknya dilengkapi dengan sprinkler. Namun, jumlah lantai tidak menjadi acuan karena perlu dipertimbangkan dengan potensi bahaya kebakaran dan kerugian yang ditimbulkan. Gedung
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
yang memiliki tidak lebih dari tiga lantai namun menyimpan dokumen penting perlu mempertimbangkan pemasangan sprinkler. Kemampuan sprinkler dalam menaggulangi kebakaran juga dipengaruhi oleh pompa kebakaran dan kapasitas bak penampungan air khusus pemadam. Pompa kebakaran berfungsi untuk memompa air dari bak penampungan dan menyalurkan air ke hidran dan sprinkler. Gedung Sekretariat Wakil Presiden tidak memiliki penampungan air khusus pemadam. Air khusus pemadam dan air bersih ditampung pada penampungan yang sama. Penampungan air yang berada di bawah tanah membuat pompa kebakaran bersifat negative. Hal ini disebabkan karena pompa memerlukan energy yang lebih tinggi untuk melakukan penyedotan air yang berasal dari penampungan air dibawah tanah untuk disalurkan ke sprinkler ataupun hidran pada gedung. Akan berbeda apabila bak penampungan air diletakan di lantai gedung paling atas. Pompa pemadam dapat langsung menyalurkan air ke sprinkler atau hidran tanpa perlu melakukan penyedotan air terlebih dahulu. NFPA 14 (2013) menyebutkan bahwa pompa hidran harus mampu menyemburkan air setidaknya 30 menit. Gedung Sekretariat Wakil Presiden memiliki luas bak penampung air 60 m3 (15850 gallon) pada gedung 1 dan 77 m3 (20341 gallon) pada gedung 2. Dalam waktu 30 menit pompa hidran dengan kapasitas 500 GPM mampu menyemburkan air sebanyak 15.000 gallon. Air pemadam dan air bersih ditampung dalam bak penampungan yang sama sehingga dikhawatirkan hidran atau sprinkler tidak memiliki persediaan air yang cukup. 5.
Sistem Alarm Kebakaran Menurut NFPA 101 (2012), sistem alarm kebakaran adalah suatu sistem yang berfungsi
memberikan petunjuk dan peringatan akan adanya bahaya kebakaran. Peringatan tanda adanya kebakaran diketahui melalui sinyal audio berupa sirine, maupun sinyal visual berupa lampu strobe. Sistem alarm kebakaran merupakan sistem peringatan dini yang sangat penting. Alarm kebakaran pada sebuah gedung berfungsi untuk memberi peringatan kepada penghuni gedung tentang adanya kondisi bahaya seperti adanya api sehingga penghuni gedung dapat segera dilakukan evakuasi secara aman (Burke, 2007). Gedung Sekretariat Wakil Presiden dilengkapi dengan sistem alarm kebakaran gedung. Sistem alarm kebakaran gedung 1 bersifat conventional dimana alarm hanya dapat mendeteksi zona kebakaran tanpa mengetahui detektor mana yang mendeteksi adanya asap. Sistem alarm kebakaran tidak terhubung secara langsung dengan Dinas Pemadam Kebakaran setempat. Sistem alarm kebakaran pada gedung ini dilengkapi dengan pemberitahuan secara audio berupa bell alarm dan pemberitahuan melaui floor call. Oleh karena itu, parameter ini
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
mendapat nilai 2. Penilaian terhadap sistem alarm kebakaran pada gedung 1 juga dipengaruhi oleh
fire alarm system judgement. Berdasarkan penilaian tersebut, fire alarm system
judgement mendapatkan persentase sebesar 55,38% dan checklist terhadap parameter alarm sebesar 66,67% sehingga parameter ini mengalami penurunan dari 2 menjadi 1,5. Sedangkan pada gedung 2 sistem alarm kebakaran mengalami kerusakan sudah lebih dari satu tahun dan tidak dilakukan upaya perbaikan. Berdasarkan fire alarm system judgement mendapat persentase sebesar 0%. Hal ini disebabkan oleh sistem alarm kebakaran yang rusak atau tidak berfungsi sehingga tidak mampu bekerja sesuai fungsinya yaitu memberikan peringatan adanya kebakaran. Karena sistem alarm kebakaran pada gedung 2 mengalami kerusakan, maka parameter ini mendapat nilai paling rendah, yaitu -2. Sistem alarm kebakaran pada suatu gedung merupakan hal yang penting, mengingat pada gedung Sekretariat Wakil Presiden memiliki potensi terhadap terjadinya kebakaran. Sistem alarm kebakaran yang aktif dapat memberikan peringatan dini kepada penghuni akan adanya kebakaran pada suatu gedung dan dapat segera dilakukan proses evakuasi. Sistem alarm kebakaran juga dapat menunjukkan area kebakaran yang terjadi sehingga petugas dapat mengetahui lokasi kebakaran dan memadamkan kebakaran tersebut. Apabila sistem alarm kebakaran tidak aktif, maka penghuni gedung terlambat mengetahui adanya kebakaran dan memiliki waktu yang lebih pendek untuk menyelamatkan diri. Sistem alarm kebakaran yang tidak terintegrasi dengan sistem AC berpotensi menyebabkan kebakaran yang lebih besar. AC merupakan pensuplay oksigen yang merupakan salah satu elemen terbentuknya api. Apabila sistem AC tidak mati pada saat terjadi kebakaran maka kadar oksigen akan bertambah dan berpotensi menciptakan kebakaran yang lebih besar. Sistem alarm kebakaran sebaiknya terintegrasi dengan dinas pemadam kebakaran. Alarm yang terintegrasi dengan pemadam kebakaran dapat memberikan sinyal kebakaran secara otomatis, sehingga tidak memerlukan waktu yang lebih lama untuk menghubungi pemadam kebakaran. 6.
Pendeteksi Asap Menurut Ramli (2010) detektor asap adalah sistem deteksi kebakaran yang dapat
mendeteksi adanya asap dalam suatu ruangan. Parameter pendeteksi asap pada gedung 1 mendapat nilai tertinggi yaitu 4. Gedung 1 dilengkapi dengan pendeteksi asap yang dipasang di seluruh ruangan dengan jarak 5 meter antar pendeteksi asap. Berdasarkan NFPA 72 (2013) jarak minimal antara detector dengan sistem pendingin ruangan adalah 1,5 meter. Namun penilaian hasil checklist terhadap pendeteksi asap mendapat persentase 80% akan
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
mempengaruhi penilaian terhadap parameter ini, karena ditemukan detektor dengan jarak 1 meter dari AC. Oleh karena itu, parameter ini mengalami penurunan dari 4 menjadi 3,5. Pemasangan detektor yang terlalu dekat dengan pendingin ruangan dapat berpengaruh terhadap kinerja detektor. Pendingin ruangan akan mencegah partikel asap yang akan ditangkap oleh detektor, sehingga asap tidak terdeteksi. Pada gedung 2, detektor asap hanya terpasang pada ruangan saja. Oleh karena itu, parameter ini mendapat nilai 2. Namun nilai parameter ini turun menjadi 0 karena sistem alarm pada gedung 2 tidak berfungsi. Pendeteksi asap merupakan sistem yang terintegrasi dengan alarm kebakaran, jika salah satu komponen terjadi kerusakan maka komponen lain tidak dapat berfungsi secara maksimal. Meskipun detektor berfungsi dengan baik yaitu mendeteksi adanya kebakaran, namun detektor tidak dapat memberikan sinyal kepada alarm kebakaran. Menurut NFPA 72 (2013), pendeteksi asap dipasang dengan jarak 30 ft (9,1 m) dari pendeteksi asap lainnya dan setiap 500 ft2 (46,5 m2) harus terdapat 1 unit pendeteksi asap. Pendeteksi asap pada gedung 1 sudah memenuhi standar, namun pada gedung 2 perlu dilakukan pemasangan pendeteksi asap pada koridor karena detektor asap memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan detektor panas. Detektor asap dapat mendeteksi adanya kebakaran dengan lebih baik dibandingkan dengan detektor panas. Detektor asap akan memberikan peringatan tanda kebakaran apabila terdeteksi adanya partikel asap yang berukuran kecil dan tidak terlihat mata. Sedangkan detektor panas, akan memberikan tanda peringatan kebakaran apabila suhu ruang telah mencapai 39°C.
7.
Interior Finish Interior finish adalah material yang menutupi permukaan interior seperti pada dinding,
lantai, dan langit-langit pada suatu bangunan. Material yang digunakan untuk menutupi permukaan interior biasanya berupa kayu, karpet, wallpaper, dan gipsum. Selain itu dekorasi yang terdapat pada permukaan interior bangunan juga merupakan interior finish, seperti gorden, lukisan, dan poster. Interior finish yang menutupi permukaan bangunan dapat berpotensi terhadap timbulnya asap yang mengandung gas beracun yang dapat berakibat buruk bagi saluran pernapasn. Selain itu, interior finish juga berpengaruh terhadap proses penyebaran api. Adanya material yang terdapat pada bangunan dapat mempercepat api menjalar ke area yang lebih luas (Ferguson & Janicak, 2005; NFPA 101, 2012).
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
Pertimbangan penilaian terhadap parameter ini terletak pada tingkat penyebaran api dari barang-barang yang ada pada gedung. Berdasarkan ASTM E 84, telah ditentukan tingkat penyebaran api yang dilakukan uji coba terhadap material interior finish. ASTM E 84 mengelompokkan menjadi tiga kelas. Tabel 1 Klasifikasi Tingkat Penyebaran Api
Kelas
Tingkat Penyebaran Api
Material
Kelas A
0-25
Beton, Batu bata, Gypsum
Kelas B
26-75
Hemlock, Spruce, Cedar
Kelas C
76-200
Fiberboard, Kayu, Kertas
Sumber: Wujek dan Dagostino (2010)
Pada CFSES, aspek yang dinilai adalah akses jalur penyelamatan atau koridor dan ruangan gedung. Pada koridor di Gedung Sekretariat Wakil Presiden tergolong kelas C karena terdapat material mudah terbakar dengan tingkat penyebaran api tinggi, yaitu papan kayu yang memiliki tingkat penyebaran api lebih dari 75 Btu/sec. Sedangkan pada ruang kerja, terdapat benda-benda mudah terbakar seperti kertas, kayu dan plastik yang juga memiliki tingkat penyebaran api lebih dari 75 Btu/sec. Penilaian terhadap interior finish dipengaruhi oleh APAR. APAR merupakan langkah awal untuk memadamkan kebakaran kecil. APAR pada interior finish yang berfungsi untuk mencegah penyebaran api. Dengan penempatan APAR yang sesuai standar diharapkan dapat memproteksi setiap ruangan ada Gedung Sekretariat Wakil Presiden. 8.
Pengendali Asap Salah satu kunci utama keselamatan adalah kontrol dari penyebaran asap. Tersedianya
pengendali asap dapat mencegah penyebaran asap sehingga proses evakuasi mempunyai tenggang waktu yang lebih lama. Asap pembakaran jika terhirup dapat mengganggu saluran pernapasan, selain itu asap dapat memperpendek jarak pandang seseorang. Pada saat proses evakuasi, jika seseorang menghirup asap dalam jumlah banyak dan pandangannya terhalang oleh asap, maka dapat memperlambat waktu evakuasi (Schroll, 2002). Pada gedung 1 mendapat nilai 3 karena memiliki sistem pengendalian asap pasif. Metode pengendalian asap secara pasif di gedung ini menggunakan pemisah ruangan atau kompartemenisasi. Hasil checklist pengendali asap mendapat persentase sebesar 60 % akan
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
mempengaruhi penilaian terhadap parameter ini. Hal ini disebabkan terdapat kompartemen yang tidak dilengkapi dengan pintu otomatis dan pengendali asap pada jalur keluar. Pintu otomatis yang dimaksud adalah pintu yang dilengkapi self-closer. Pintu otomatis tersebut bertujuan untuk meminimalisasi pergerakan asap menjadi lebih luas. Berdasarkan hasil perhitungan penurunan nilai, parameter ini mengalami penurunan dari 3 menjadi 2,2. Pada gedung 2 memiliki sistem pengendalian pasif maupun aktif. Pengendali asap pasif berupa kompartemen dengan pintu yang dilengkapi door closer, sedangkan pengendali asap aktif berupa pressurized fan. Pressurized fan yang dipasang pada tangga darurat akan bekerja secara otomatis apabila terjadi kebakaran. Parameter pengendali asap mendapat nilai 3, namun hasil checklist yang mendapat persentase 80% akan mempengaruhi penilaian terhadap parameter ini. Hal ini disebabkan belum pernah dilakukan uji coba terhadap pressurized fan pada tangga darurat. Berdasarkan perhitungan penurunan nilai, parameter pengendali asap mengalami penurunan nilai menjadi 2,6. Hal ini disebabkan karena pressurized fan yang ada belum pernah dilakukan uji coba. Menurut Ahrens dan Cooke (2003) penyebab kematian tertinggi korban kebakaran disebabkan banyaknya asap yang terhirup. Asap hasil pembakaran mengandung Carbon Monoxide (CO). CO yang terhirup akan mengikat hemoglobin dalam darah dan akan membentuk Carboxy Hemoglobin (COHb). CO dapat mengikat hemoglobin dalam darah lebih cepat dibandingkan dengan O2 sehingga kadar oksigen dalam tubuh menjadi menurun. CO merupakan gas yang sangat berbahaya karena dengan konsentrasi rendah mampu mengikat hemoglobin menjadi COHb. Apabila terhirup secara terus-menerus maka seseorang akan kehabisan oksigen, bahkan meninggal dunia (NFPA, 2012). Pengendali asap seperti pintu self-closer dan pressurized fan sangat diperlukan untuk mencegah penyebaran asap dan mencegah terhirupnya asap pada saat kebakaran. Pressurized fan sebaiknya dilakukan uji coba untuk mengetahui kinerja alat tersebut apabila terjadi kebakaran. Selain itu, perlu dilakukan pengecekan dan pemeliharaan secara rutin terhadap pressurized fan agar dapat bekerja secara maksimal apabila terjadi kebakaran.
9.
Akses Keluar Gedung 1 Sekretariat Wakil Presiden, terdapat jalan buntu yang panjangnya lebih dari
50 feet. Jarak tempuh dari tempat kerja terjauh menuju tangga darurat adalah 21 meter (68,9 feet). Oleh karena itu, parameter akses keluar mendapat nilai -1. Hasil checklist mendapat persentase sebesar 23,1 % akan mempengaruhi penilaian terhadap parameter ini. Hal ini disebabkan karena gedung belum dilengkapi tanda petunjuk arah keluar gedung, serta tidak
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
dilengkapi dengan sistem penerangan darurat. Selain itu, terdapat hambatan pada akses keluar. Berdasarkan perhitungan penurunan nilai, parameter akses keluar pada gedung 1 mengalami perurunan nilai dari -1 menjadi -1,3. Pada gedung 2 terdapat dua jalur penyelamatan sehingga dapat disimpulkan bahwa gedung 2 tidak terdapat jalan buntu. Jarak terjauh dari tempat kerja menuju pintu darurat adalah 18 meter (59 feet) sehingga parameter akses keluar mendapat nilai 1. Akses keluar dilengkapi dengan tanda petunjuk jalan keluar berupa tulisan “EXIT”. Akan tetapi hasil checklist menunjukkan bahwa akses keluar masih terdapat kekurangan sehingga mendapat persentase sebesar 61,2 % dan akan mempengaruhi penilaian terhadap parameter ini. Hal ini disebabkan karena gedung tidak dilengkapi dengan sistem penerangan darurat dan terdapat hambatan pada akses keluar sehingga mengakibatkan terhambarnya proses evakuasi. Berdasarkan perhitungan penurunan nilai, parameter akses keluar mengalami penurunan nilai menjadi 0,7 Sistem penerangan darurat merupakan salah satu fasilitas yang diperlukan apabila terjadi kebakaran. Sistem penerangan darurat mampu menerangi akses keluar hingga jalur penyelamatan dan tanda petunjuk jalan keluar. Penerangan darurat diperlukan untuk mempercepat proses evakuasi.
10.
Jalur Penyelamatan Jalur penyelamatan merupakan jalur aman yang disediakan untuk penghuni gedung agar
dapat menyelamatkan diri jika terjadi keadaan darurat misalnya kebakaran. Penghuni gedung dapat menyelamatkan diri dari titik manapun di dalam gedung ke tempat aman yang berada di luar gedung tanpa bantuan dari pihak manapun selain pengelola gedung (Furness & Muckett, 2007). Parameter jalur penyelamatan pada gedung 1 mendapat nilai terendah yaitu -6. Pertimbangan terhadap penilaian ini adalah gedung 1 hanya memiliki satu buah tangga. Gedung ini tidak memiliki jalur penyelamatan khusus darurat. Tangga yang tersedia digunakan sebagai akses antar lantai yang digunakan sehari-hari. Jalur penyelamatan juga tidak dilengkapi dengan sistem penerangan darurat, pintu tahan api dan tanda petunjuk arah. Parameter jalur penyelamatan pada gedung 2 mendapat nilai 3. Pada awalnya, nilai parameter ini adalah 3 karena tangga darurat terdapat pressurized fan yang bekerja mencegah masuknya asap ke tangga darurat. Hasil checklist mendapatkan persentase sebesar 72,2 %, hal ini disebabkan karena jalur penyelamatan tidak memenuhi standar NFPA 101A (2013), yaitu pressurized fan belum diuji coba, tidak dilengkapi dengan sistem penerangan darurat, pintu
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
darurat terkunci dan tangga darurat tidak digunakan sesuai fungsinya yaitu sebagai jalur penyelamatan ke luar gedung apabila terjadi keadaan darurat, malainkan digunakan sebagai tempat penyimpanan. Berdasarkan hasil penurunan nilai, diperoleh hasil akhir untuk parameter ini turun menjadi 2,3.
11.
Koridor/Kompartemen Koridor atau kompartemen adalah bagian horizontal atau vertikal berupa dinding atau
lantai yang digunakan untuk memisahkan setiap ruangan pada suatu bangunan. Adanya kompartemen dapat membatasi perambatan api menjadi lebih luas dan membatasi penyebaran asap jika terjadi kebakaran. Kompartemen yang baik harus dapat membatasi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh panas dan asap yang disebabkan oleh api. Secara tidak langsung, kompartemen dapat melindungi keselamatan penghuni pada saat keadaan darurat serta dapat melindungi properti atau aset yang dimiliki (Furness & Muckett, 2007). Gedung 1 memiliki koridor dan kompartemen yang terbuat dari bata ataupun kaca dengan rangka kayu. Kayu memiliki sifat ketahanan api yang rendah sehingga mudah terbakar. Material pintu pada gedung ini pada umumnya terbuat dari kaca dengan pinggiran kayu yang dilengkapi dengan door closer. Berdasarkan material penyusun kompartemen, dapat diambil kesimpulan bahwa kompartemen hanya mampu menahan penyebaran asap sehingga mendapat nilai 0. Penurunan nilai dapat dipengaruhi besarnya persentase hasil checklist. Hasil checklist memperoleh persentase 50 %. Hal ini disebabkan karena pintu yang tidak dilengkapi dengan door self closer, penyusun kompartemen dan pintu yang terbuat dari material yang tidak tahan api. Berdasarkan perhitungan penurunan nilai, parameter ini mengalami penurunan nilai dari 0 menjadi -0,7. Pada gedung 2 kompartemen terdiri dari material bata yang dilapisi semen ataupun kaca dengan rangka alumunium. Kompartemen juga dilengkapi dengan pintu kaca dengan rangka alumunium yang dilengkapi door closer. Kompartemen yang terbuat dari kaca dan alumunium mampu manahan api selama 45 menit. Oleh karena itu parameter koridor/kompartemen pada gedung 2 mendapat nilai 3 karena mampu menahan asap dan api selama lebih dari 20 menit. Pada komparteen gedung 2 hasil checklist mendapat persentase 100% sehingga tidak dilakukan penurunan nilai. Seperti yang sudah dijelaskan pada parameter pengendali asap, bahwa asap dapat mengurangi kadar oksigen dalam darah. Adanya kompartemen yang dilengkapi dengan door self-closer dapat mencegah penyebaran asap dan api sehingga asap tidak mengganggu proses evakuasi.
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
12.
Program Tanggap Darurat Untuk memastikan bahwa proses evakuasi yang dilakukan dapat berjalan dengan cepat,
tidak hanya mengandalkan disain bangunan, sarana yang memadai untuk melarikan diri, sistem alarm kebakaran, pencahayaan darurat, dan lain-lain. Akan tetapi, juga diperlukan personil yang terlatih dalam membantu proses evakuasi (Furness & Muckett, 2007). Pelatihan tanggap darurat pada Kantor Sekretariat Wakil Presiden dilaksanakan satu kali setiap tahun. Pelatihan tanggap darurat dilaksanakan dengan melakukan simulasi evakuasi dan cara pemadaman api menggunakan APAR dan hidran. Sekretariat Wakil Presiden memiliki kerja sama dengan pihak dinas pemadam kebakaran dalam melakukan pelatihan tersebut. Pelatihan kebakaran ini melibatkan pegawai, teknisi dan petugas keamanan dimana terdapat pembagian tugas oleh masing-masing individu. Pelatihan pemadam kebakaran yang dilakukan secara rutin setiap tahun dan telah terbentuk organisasi tanggap darurat sehingga mendapat nilai 1. Penurunan nilai dapat dipengaruhi besarnya persentase hasil checklist. Hasil checklist terhadap program tanggap darurat mendapat persentase 54,4%. Hal ini disebabkan pelatihan tidak dilakukan dengan melibatkan seluruh penghuni gedung, tidak terdapat tanda tempat berkumpul, tidak dilakukan pemeriksaan dan pemeliharaan sistem pencegahan / penanggulangan kebakaran secara rutin, serta tidak dilakukan sistem pencatatan atau dokumentasi secara rinci mengenai kegiatan apa saja yang telah dilakukan dan hambatan yang dihadapi. Berdasarkan hasil perhitungan nilai, parameter tanggap darurat mengalami penurunan nilai dari 1 menjadi 0,4. Menurut NFPA 101A (2013), pelatihan tanggap darurat sebaiknya dilakukan secara rutin, minimal 1 tahun sekali. Akan lebih baik jika pelatihan tanggap darurat dilaksanakan 2 hingga 3 kali setiap tahun dan memiliki organisasi dan prosedur tanggap darurat formal. Pelatihan tanggap darurat yang dilakukan secara rutin oleh seluruh penghuni gedung dapat melatih penghuni agar tidak panik apabila terjadi kebakaran, bertindak secara cepat untuk segera menyelamatkan diri dan mampu menggunakan APAR untuk memadamkan api. Kesimpulan 1.
Penerapan keselamatan kebakaran pada Gedung Sekretariat Wakil Presiden tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan NFPA 101: Life Safety Code dimana penilaian dilakukan dengan melihat tiga kategori yaitu kontrol penyebaran api, sistem jalan keluar dan keselamatan kebakaran umum yang berada di bawah nilai yang telah ditetapkan.
2.
Kontrol penyebaran api diketahui dengan menilai 8 dari 12 parameter CFSES yang dapat mempercepat atau memperlambat penyebaran api apabila terjadi kebakaran. Pada gedung
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
Sekretariat Wakil Presiden Penyebaran terdapat bukaan atau lubang vertikal, dimana api akan lebih cepat merambat secara vertikal dibandingkan horizontal. Selain itu, tingkat penyebaran api juga dipengaruhi oleh banyaknya material mudah terbakar yang terdapat di gedung seperti kertas dokumen dan kompartemen yang terbuat dari papan kayu yang memiliki tingkat penyebaran api yang cepat. Penyebaran api dapat dikontrol dengan adanya sistem proteksi kebakaran seperti detektor, alarm kebakaran dan sprikler. Namun pada gedung tidak terdapat sprinkler dan terdapat alarm yang rusak, apabila terdapat api pada gedung maka terdapat kemungkinan terjadi keterlambatan dalam memadamkan api sehingga berpotensi terhadap penyebaran api menjadi lebih luas. 3.
Sistem jalan keluar diketahui dengan menilai 8 dari 12 parameter CFSES yang mempengaruhi proses evakuasi penghuni gedung apabila terjadi kebakaran. Sistem jalan eluar sangat dipengaruhi oleh pemisahan area berbahaya dengan jalur keluar gedung karena dapat menghambat akses keluar gedung pada saat proses evakuasi. Selain itu, pengendali asap pada sistem jalan keluar dapat mempengaruhi kecepatan proses evakuasi. Asap kebakaran dapat memperpendek jarak pandang dan apabila menghirup asap terlalu banyak dapat mempengaruhi sistem pernapasan.
4.
Keselamatan Kebakaran Umum diketahui dengan menilai 12 parameter secara keseluruhan dimana belum memenuhi standar yang telah ditetapkan. Hasil penilaian terhadap keselamatan kebakaran umum sangat dipengaruhi oleh bukaan/lubang vertikal yang menghubungkan lima lantai.
5.
Konstruksi Gedung Sekretariat Wakil Presiden tergolong konstruksi Tipe III (211) karena menggunakan batu bata sebagai penyusun dinding. Penilaian terhadap konstruksi dipengaruhi oleh elektrikal, AC dan hidran. Instalasi listrik terpasang pada seluruh bagian gedung, apabila terjadi kebakaran dapat berpotensi terhadap penyebaran api. AC yang tidak mati secara otomatis dapat menambah kadar oksigen yang merupakan salah satu elemen terjadinya api. Sedangkan hidran dapat berfungsi untuk menggulangi dan mencegah perambatan api.
6.
Tempat berbahaya Terdapat area berbahaya yang berada di ruang kerja dan berada di jalur keluar. Area berbahaya dapat menyebabkan flashover, apabila terjadi maka kebakaran akan sulit dikendalikan. Apabila panel listrik terbakar, maka dapat menghambat proses evakuasi bahkan menutup akses menuju tangga darurat. Jalur keluar yang tertutup api dapat berpotensi menyebabkan korban jiwa karena tidak memiliki akses keluar gedung.
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
7.
Bukaan vertikal Pda gedung 1 dan 2 terdapat bukaan vertikal yang menghubungkan lima lantai. Bukaan pada shaft kabel dan pipa dengan posisi vertikal akan mempercepat penyebaran api dan asap ke lantai lain apabila tidak terdapat fire stop maerial.
8.
Sprinklers Sprinklers hanya terdapat di basement gedung 2. Akan tetapi Sprinklers tidak didukung oleh pompa pemadam aktif yang berfungsi untuk memompa air dari penampungan air dan menyalurkan air ke hidran dan sprinkler. Penampungan air khusus pemadam pada gedung 1 dan 2 ditampung dengan air bersih. Apabila terjadi kebakaran dikhawatirkan tidak memiliki persediaan air yang cukup. Penampung air khusus kebakaran berada di bawah tanah, akan berpengaruh terhadap kemampuan pompa pemadam. Hal ini disebabkan karena pompa memerlukan energy yang lebih tinggi untuk melakukan penyedotan air yang berasal dari penampungan air dibawah tanah untuk disalurkan ke sprinkler ataupun hidran pada gedung.
9.
Sistem alarm kebakaran Pada gedung 2 sistem alarm kebakaran mengalami kerusakan. Sistem alarm kebakaran pada suatu gedung merupakan hal yang penting, mengingat pada gedung Sekretariat Wakil Presiden memiliki potensi terhadap terjadinya kebakaran. Sistem alarm kebakaran yang aktif dapat memberikan peringatan dini kepada penghuni akan adanya kebakaran pada suatu gedung dan dapat segera dilakukan proses evakuasi. Sistem alarm kebakaran juga dapat menunjukkan area kebakaran yang terjadi sehingga petugas dapat mengetahui lokasi kebakaran dan memadamkan kebakaran tersebut. Apabila sistem alarm kebakaran tidak aktif, maka penghuni gedung terlambat mengetahui adanya kebakaran dan memiliki waktu yang lebih pendek untuk menyelamatkan diri.
10. Pendeteksi asap Pada gedung 1 pendeteksi asap didukung dengan sistem alarm kebakaran yang aktif. Akan tetapi pada gedung 2 sistem alarm mengalami kerusakan. Pendeteksi asap merupakan sistem yang terintegrasi dengan alarm kebakaran, jika salah satu komponen terjadi kerusakan maka komponen lain tidak dapat berfungsi secara maksimal. Meskipun detektor berfungsi dengan baik yaitu mendeteksi adanya kebakaran, namun detektor tidak dapat memberikan sinyal kepada alarm kebakaran. 11. Interior finish Gedung 1 dan 2 terdapat material mudah terbakar yang memiliki flame spread rating antara 10-200 Btu/ pada jalur keluar dan ruang kerja. Apabila terjadi kebakaran, api akan
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
cepat merambat ke dinding ataupun plafon jalur keluar sehingga dapat menghambat proses evakuasi. 12. Sistem pengendali asap Pada gedung 1 menggunakan pengendali asap pasif, sedangkan gedung 2 menggunakan pengendali asap pasif dan aktif berupa pressurized fan. Pengendali asap merupakan aspek yang berpengaruh terhadap kecepatan proses evakuasi. Asap dapat memperpendek jarak penglihatan dan dapat mengganggu pernapasan karena kadar oksigen dalam darah menjadi berkurang. 13. Akses keluar Pada gedung 1 terdapat jalan buntu, sedangkan gedung 2 tidak memiliki jalan buntu. Jalan buntu ditentukan berdasarkan jumlah jalur penyelamatan. Gedung yang hanya memiliki satu buah jalur penyelamatan dikategorikan memiliki jalan buntu. Apabila terjadi kebakaran pada akses keluar, dikhawatirkan penghuni terjebak pada gedung dan tidak dapat mencapai tangga darurat. 14. Jalur penyelamatan Gedung 1 memiliki 1 jalur penyelamatan, sedangkan gedung 2 memiliki 2 jalur penyelamatan. Jalur penyelamatan gedung 2 tidak dilengkapi dengan sistem penerangan darurat, pintu darurat terkunci dan tangga darurat tidak digunakan sesuai fungsinya yaitu sebagai jalur penyelamatan ke luar gedung apabila terjadi keadaan darurat, malainkan digunakan sebagai tempat penyimpanan. Hal tersebut dapat memperlambat proses evakuasi. 15. Koridor/kompartemen Kompartemen gedung 1 terbuat dari material yang tahan asap, sedangkan gedung 2 terbuat dari material yang tahan asap dan tahan api. Kompartemen berfungsi untuk mencegah penyebaran asap dan api sehingga proses evakuasi dapat berjalan secara lancar. 16. Program tanggap darurat Dilakukan satu tahun sekali, namun pelatihan belum melibatkan seluruh penghuni gedung. Pelatihan tanggap darurat yang dilakukan secara rutin oleh seluruh penghuni gedung dapat melatih penghuni agar tidak panik apabila terjadi kebakaran, bertindak secara cepat untuk segera menyelamatkan diri dan mampu menggunakan APAR untuk memadamkan api.
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
Saran 1.
Sosialisasi dan penegasan kepada penghuni gedung untuk tidak merokok di area berbahaya.
2.
Pemasangan fire stop material, seperti gypsum dan mortar yang dapat menahan penyebaran asap dan api pada bukaan vertical shaft kabel dan pipa.
3.
Pemasangan sprinkler pada setiap gedung.
4.
Perbaikan pompa dan pipa pemadam yang mengalami kebocoran.
5.
Pemisahan penampungan air bersih dengan air khusus pemadam. Penampung air khusus pemadam sebaiknya diletakkan di tempat yang tinggi, misalnya lantai teratas gedung.
6.
Perbaikan sistem alarm kebakaran, dan pengintegrasian sistem alarm kebakaran dengan dinas pemadam kebakaran, serta pengintegrasian sistem alarm kebakaran dengan sistem Ventilation Air Conditioning.
7.
Penempatan APAR sesuai dengan NFPA 10 mengenai Standard for Portable Fire Extinguishers
8.
Sterililasasi jalur penyelamatan dari benda-benda yang dapat menghambat proses evakuasi dan benda mudah terbakar pada area panel.
9.
Melakukan uji coba terhadap pressurized fan yang terdapat pada jalur penyelamatan.
10. Pemasangan self-closer pada pintu yang belum dilengkapi self-closer. 11. Melengkapi akses keluar dengan lampu penerangan darurat. 12. Menambah frekuensi pelatihan-pelatihan tanggap darurat dengan melibatkan seluruh penghuni gedung. 13. Melakukan pemeriksaan dan pemeliharaan sistem keselamatan kebakaran secara rutin. Daftar Referensi Ahrens, M., Stewart, S., & Cooke, P. L. (2003). Fire Protection Handbook19th Edition Volumes I & II. National Fire Protection Association. Quincy MA. Anonim. 40 Persen Gedung Tinggi Tak Aman Dari Kebakaran. 13 Desember 2010. http://www.jakarta.go.id/v2/statrec/detail/862 diunduh 22 Maret 2014 Burke, R. (2008). Fire Protection System and Response. New York: CRC Press. Ferguson, L. H. & Janicak, C. A. (2005). Fundamental of Fire Protection for the Safety Professional. USA: The Scarerow Press, Inc. Furness, A. & Muckett, M. (2007). Introduction to Fire Safety Management. Burlington, MA: Elsevier Ltd.
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014
Hughes Associates, Inc. (2000). Computerized Fire Safety Evaluation System for Business Occupancies Software. Baltimore, MD: Commerce Drive. Manalu, M.P dan Sandur, K. (2013). Kebakaran di Jakarta Ancaman dan Solusinya. Jakarta: Lestari Kirana. Mincks, W & Johnston, H. (2010). Construction Jobsite Management 3rd Edition. United States of America: Delmar Publishers Inc. NFPA 101. (2012). Life Safety Code, Edition 2012. National Fire Protection Association. Quincy MA. NFPA 101A. (2013). Guide on Alternative Approach to Life Safety, Edition 2013. National Fire Protection Association. Quincy MA. NFPA 13. (2013). Standard for the Installation of Sprinkler System, Edition 2013. National Fire Protection Association. Quincy MA. NFPA 14. (2013). Standard for the Installaion of Standpipe and Hose Systems, Edition 2013. National Fire Protection Association. Quincy MA. NFPA 220. (2012). Standard on Types of Building Construction, Edition 2012. National Fire Protection Association. Quincy MA. NFPA 24. (2013). Standard for the Installaion of Private Fire Service Mains and Their Appurtenances, Edition 2013. National Fire Protection Association. Quincy MA. NFPA 72. (2013). National Fire Alarm Code, Edition 2013. National Fire Protection Association. Quincy MA. NFPA 90A. (2012). Standard for the Installation of Air-Conditioning and Ventilating System, Edition 2012. National Fire Protection Association. Quincy MA. NFPA. (2012). Fire Investigator : Principles and Practice to NFPA 921 and 1033 3rd Edition. United Satets of America: Quincy MA. Rachmadin Ismail. Lika-liku Pemadam Kebakaran, Pertaruhkan Nyawa Demi Selamatkan Nyawa. 19 Juni 2012 http://news.detik.com/read/2012/06/19/071635/1944592/10/ ?992204topnews diunduh 21 Maret 2014. Ramadhanny, F. (2006). 40 Persen Kantor Pemerintah di Jakarta Rawan Kebakaran. 22 Oktober 2006. http://news.detik.com/read/2006/09/22/114448/ 680859/10/40-persenkantor-pemerintah-di-jakarta-rawankebakaran?nd771104bcj diunduh 30 April 2014 Ramli, S. (2010). Petunjuk Praktis Manajemen Kebakaran (Fire Management). Jakarta: Dian Rakyat. Schroll, R. C. (2002). Industrial Fire Protection Handbook 2nd Edition. Florida: CRC Press. Solomon, R. (2013). Fire and Life Safety Inspection Manual 9th Edition. United States of America: Jones & Bartlett Learning. Wujek, J & Dagostino, F. (2010). Mechanical and Electrical Systems in Architecture, and Construction 5th Edition. New Jersey: Pearson.
Evaluasi penerapan..., Tika Prasetyani, FKM UI, 2014