5 SISTEM SOSIAL EKOLOGI WILAYAH PENELITIAN 5.1
Sistem Ekologi
5.1.1 Batasan Wilayah Secara geografis Provinsi Sulawesi Selatan diapit oleh tiga wilayah laut dan pantai yaitu ; Teluk Bone di sebelah timur, Laut Flores di sebelah selatan dan Selat Makassar di sebelah barat. Provinsi ini memiliki banyak gugusan pulau seperti Kepulauan Spermonde di Selat Makassar, Kepulauan Taka Bonerate di Laut Flores yang merupakan atol terbesar ketiga di dunia dan Kepulauan Sembilan di Teluk Bone. Perairan Selat Makassar di Sulawesi Selatan merupakan salah satu wilayah penyebaran terumbu karang yang cukup luas terutama di kawasan kepulauan Spermonde. Hampir seluruh pulau yang ada ditumbuhi oleh terumbu karang tepi dan terumbu karang penghalang. Jumlah pulau kecil yang terdapat pada kepulauan Spermonde sekitar 120 buah dengan luas keseluruhannya mencapai 150 km2 . Kumpulan pulau-pulau yang terletak di wilayah selatan Selat Makassar atau di sisi barat semenanjung Sulawesi Selatan dikenal sebagai dangkalan Spermonde (Spermonde Shelf) yang terlepas dari dangkalan sunda (Sunda Shelf) (Molengraaf 1992; Umbgrove 1974 in Moka 1995). Beberapa pulau atau daerah terumbu karang yang terletak di tepi barat dangkalan Spermonde merupakan daerah terumbu karang penghalang (barrier reef). Hutchinson (1945) in Moka (1995) membagi kepulauan Spermonde ke dalam empat zona sepanjang arah utaraselatan. Zona pertama atau zona tedekat dengan daratan banyak dipengaruhi oleh daratan utama Sulawesi Selatan dengan dasar pantai berupa pantai lumpur. Zona kedua lebih kurang 5 km dari pantai Makassar, mempunyai kedalaman yang kurang lebih 30 meter dan memiliki banyak pulau diantaranya. Zona ke tiga, sejauh kurang lebih 12,5 km mempunyai kedalaman yang bervariasi antara 30 50 meter. Pada zona ini banyak dijumpai daerah-daerah yang dangkal ("tak a" dalam bahasa makassar). Zona keempat atau zona terluar dari kepulauan Spermonde yang merupakan zona terumbu penghalang mempunyai jarak terdekat
112 lebih kurang 30 km dari daratan Sulawesi Selatan. Sisi timur da ri pulau-pulau yang terdekat di zona ini mempunyai kedalaman kurang lebih 50 meter. Pada sisi barat, tebing terumbu sangat terjal dengan kedalaman dapat mencapai 800 meter atau lebih (Gambar 15).
Gambar 15 Pembagian Pulau-pulau Spermonde (Sumber : Coremap Kabupaten Pangkajene Kepulauan 2007)
113 Menurut de Klerk (1983) in Moka (1995), be ntuk pulau yang terbesar di Kepulauan Spermonde sangat bervariasi, dari bentuk memanjang utara-selatan sampai ke bentuk bolong atau bundar. Hampir setiap pulau memiliki rataan terumbu yang sangat luas di sisi barat, sedang sisi selatan luas terumbu karang hampir sama atau sedikit lebih kecil dari terumbu sisi barat. Di sisi utara luas terumbu karang kadang-kadang setengah atau kurang dari luas terumbu karang sisi barat. Hampir semua pulau memiliki terumbu yang sempit di sisi timur, seperti halnya pulau-pulau yang terdapat di Kabupaten Pangkajene Kepulauan. Kabupaten Pangkajene Kepulauan memiliki wilayah kepulauan sebanyak 117 buah pulau, 80 pulau di antaranya berpenghuni dengan jumlah sekitar 80.000 jiwa. Luas daratan pulau-pulaunya sekitar 351,5 km², sedangkan luas wilayah lautnya sekitar 17.000 km², dengan ekosistem terumbu karang yang diperkirakan mempunyai luas sebesar 36.000 Ha. Kabupaten Pangkajene Kepulauan memiliki 3 kecamatan kepulauan, yakni Liukang Tupabbiring, Liukang Kalmas dan Liukang Tangngaya. Kecamatan Liukang Tupabbiring merupakan wilayah dengan jumlah pulau yang lebih banyak dan jarak pulau yang umumnya lebih dekat dengan pesisir kabupaten. Kecamatan ini merupakan gugusan 42 buah pulaupulau kecil di Selat Makassar yang terletak pada kisaran 4o – 5o Lintang Selatan dan 12o – 13o Bujur Timur. Luas total wilayah daratan kepulauan ini adalah 140 km2 . Kecamatan ini berbatasan dengan Kabupaten Barru di sebelah Utara dan dengan Kota Makassar disebelah Selatan.
Ibukota kecamatan Liukang
Tupabbiring berada di Kelurahan Mattiro Sompe, yaitu Pulau Balang Lompo yang berjarak 22 km dari Ibukota Kabupaten Pangkajene Kepulauan. Pulau yang terjauh adalah Pulau Gondo ng Bali, Desa Mattiro Ujung yang berjarak 60 km sebelah Barat Ibukota Kabupaten Pangkajene Kepulauan. Kecamatan Liukang Tupabbiring, terdiri atas 15 desa pulau, yakni: 1. Desa Mattiro Sompe, meliputi Pulau Balanglompo, Balangcaddi, Langkadea dan Panambungan. 2. Desa Mattaro AdaE, meliputi Pulau Sanane. 3. Desa Mattiro Deceng, meliputi Pulau Badi dan Pajenekang. 4. Desa Mattiro Bone, meliputi Pulau Bontosua.
114 5. Desa Mattiro Langi, meliputi Pulau Sarappoca’di dan Sarappolompo. 6. Desa
Mattiro
Dolangeng,
meliputi
Pulau
Podang-podanglompo,
Podangpodangcaddi, Lamputang, Cangke dan Pala. 7. Desa Mattiro Bulu, meliputi Pulau Karanrang. 8. Desa Mattiro Labangeng, meliputi Pulau Laiya dan Polewali. 9. Desa Mattiro Uleng, meliputi Pulau Kulambing dan Bangko-bangkoang. 10. Desa Mattiro Baji, meliputi Pulau Saugi, Satando, Sapuli dan Cambacambaya. 11. Desa Mattiro Kanja, meliputi Pulau Sabutung. 12. Desa Mattiro Bombang, meliputi Pulau Salemo, Sabangko, Sagara, dan Sakoala. 13. Desa Mattiro WaliE, meliputi Pulau Samatellulompo, Samatellupe’da, Samatelluborong, Salebo, Jangang-jangangang, dan Reang-reang. 14. Desa Mattiro MataE, meliputi Pulau Kondongbali, Pamanggangan, Suranti dan Tambakulu. 15. Desa Mattiro Ujung, meliputi Pulau Kapoposang dan Pandangan. 5.1.2 Kondisi Fisik Oceanografi A Pasang Surut Pengukuran pasang surut dilakukan melalui pengamatan tinggi muka air selama 15 piantan (1–15 Desember 2007), dengan menggunakan rambu pasang sur ut yang dipasang di dermaga Pulau Balang Lompo pada posisi 4o 56’ 55" LS dan 119o 24' 04,5" BT. Hasil pengolahan data pasang surut dengan metode admiralty kemudian dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui karakteristik pasang sur ut wilayah kajian di perairan Spermonde seperti pada Tabel 20. Tabe l 20 Parameter Pasang Surut Pulau-pulau yang dika ji Parameter Bilangan Formzahl, F Tipe pasang surut Muka Air Rata-rata (MSL) Kisaran Pasang Surut (Tidal Range) Air Tinggi Tertinggi Rata-rata Air Rendah Terendah Muka surutan (Zo)
Besar/ Jenis 1,68 Campuran, cenderung tunggal 244 cm 156 cm 324 cm 160 cm 78 cm
115 B Arus Nilai kecepatan arus yang didapatkan di lokasi penelitian berkisar antara 0,04 m/s - 0,16 m/s. Kecepatan arus yang tinggi terdapat di stasiun Utara pada zona reef flat yaitu 0,16 m/s, sedangkan kecepatan arus yang rendah terdapat di stasiun Selatan pada zona reef flat yaitu 0,04 m/s. Tabe l 21 Kisaran Beberapa Parameter Fisik Oseanografi Pada Setiap Stasiun dan Zona Lokasi Penelitian Dipulau Balang Lompo
Stasiun
Barat
Selatan
Utara
Timur
Zona Reef Flat Reef Crest Reef Slope Reef Base Reef Flat Reef Crest Reef Slope Reef Base Reef Flat Reef Crest Reef Slope Reef Base Reef Flat Reef Crest Reef Slope Reef Base
Parameter Lingkungan Kec. Arus Kedalaman Kekeruhan (m/s) (m) (NTU) 0,06 1,00 9,00 0,07 4,67 7,33 0,07 9,33 3,33 0,07 12,00 2,33 0,04 1,67 9,00 0,07 2,67 7,00 0,07 10,00 6,00 0,07 13,33 5,00 0,16 1,00 7,00 0,07 3,00 6,00 0,07 9,33 3,67 0,07 12,33 2,67 0,14 1,08 9,00 0,07 3,33 9,00 0,07 8,00 7,00 0,07 11,33 2,67
Keterangan: a. Data arus terukur di zona reef flat dengan menggunakan layang-layang arus. b. Data arus terukur di zona reef crest, reef slope da n reef base dengan menggunakan current meter. C Kekeruhan Hasil pengukuran dilokasi penelitian, kisaran nilai kekeruhan yang didapatkan berkisar antara 2,33 - 9 NTU. Nilai kekeruhan tertinggi didapatkan di stasiun Barat dan Selatan pada zona reef flat dan stasiun Timur pada zona reef flat
116 dan reef crest yaitu 9 NTU. Nilai kekeruhan terendah didapatkan di stasiun Barat pada zona reef base yaitu 2,33 NTU. Menurut KEPMEN. KLH No.2/1988 tentang Standar Baku Mutu Air Laut Untuk Daerah Konservasi da n Biota Laut adalah 5 30 NTU. Kekeruhan dan sedimentasi yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan karang karena mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis karang oleh zooxanthella. D Angin Keadaan angin selama lima tahun terakhir, diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika Makassar, diolah untuk mendapatkan persentase arah angin terbanyak pada saat hembusan angin dalam kecepatan maksimum (Tabel 23). Pada Tabel 22 terlihat bahwa persentase angin terbesar adalah dari arah Tenggara yang mencapa i 30%, disusul dari arah Barat Laut (28,33%) dan arah Barat (17,46%). Kecepatan angin maksimum pada musim Barat (musim hujan) terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari yakni berkisar antara 12,34 m/det – 22 m/det dan berkurang pada musim peralihan dan musim Timur. Tabe l 22 Data Persentase Arah Angin Tahun 2009 – 2010 Kec.Angin (m/det) 5-10 10,1 – 15 15,1 – 20 Jumlah
U 1,57 1,57
TL 1,57 1,57 3,14
T 4 4 1,55 9,55
Arah Angin (%) Tg S BD 13 5,67 17 5 30 10,67
B 10 5,63 1,83 17,46
BL 15 8,33 5 28,33
Keterangan : U (Utara), S (Selatan), TL (Timur Laut), BD (Barat Daya), T (Timur); B (Barat),Tg (Tenggara), BL(Barat Laut). Angin merupakan faktor yang dapat mempengaruhi aktifitas nelayan dalam melakukan penangkapan. Pada saat angin kencang, nelayan tidak dapat melaut dan terjadi terutama selama musim Barat, yang dikenal dengan musim paceklik pada bulan Desember–Maret. Musim peralihan di Kepulauan Spermonde terjadi pada bulan April–Juni dan Oktober-Nopember, sedangkan musim Timur pada bulan Juli–September.
117 5.1.3 Kondisi Morfologi Wilaya h Kondisi terumbu karang yang ada di wilayah penelitian dapat dilihat pada diagram batang di bawah ini : 40 35 30 25
Acropora
20
Non Acropora
15
Abiotik
10 5
Biotik
0
Karang Mati
Gambar 16 Persentase Terumbu Karang di Wilayah Penelitian Histogram di atas (Gambar 16) menunjukkan bahwa persentase karang jenis acropora terbesar di Pulau Balang Lompo yaitu sekitar 37%, sedangkan yang terendah terdapat di wilayah Pulau Badi yaitu sekitar 16 %. Kondisi persentase non acropora terbesar terdapat di wilayah Pulau Panambungan da n Pulau Sanane yaitu 32% da n yang terenda h di Pulau Pajeneka ng. Pengamatan Biotik tertinggi terdapat di Pulau Pajenekang dengan persentase sebesar 36% dan persentase terendah terdapat di Pulau Panambungan da n Pulau Bontosua yaitu sekitar 15%. Persentase biotik tertinggi terdapat di Pulau Balang Caddi yaitu sekitar 15% dan terendah terdapat di Pulau Sanane yaitu sekitar 8%. Persentase karang mati yang tertinggi terdapat di Pulau Badi yaitu berkisar 26% da n terenda h di Pulau Balang Lompo yaitu sekitar 11%. Sementara lamun yang banyak dijumpai yaitu jenis Thalassia sp. Jenis ikan yang banyak dijumpai yaitu jenis amphiprion percula. Jenis organisme lain yang banyak ditemukan adalah jenis sea urchin (Diadema setosum), juga beberapa giant clam, teripang dan starfish.
118 5.2
Sistem Sosial
5.2.1 Keadaan Penduduk Keadaan kependudukan pulau-pulau kajian dapat dilihat pada Tabel 23 (Rincian terdapat pada Lampiran 1). Dari jumlah pe nduduk di pulau-pulau kajian menunjukkan persentase penduduk berjenis kelamin perempuan lebih besar yaitu sekitar 62% da n pe nduduk berjenis kelamin laki- laki sekitar 38%, dengan laju pertumbuhan penduduk tiap tahunnya 2,4%. Tingkat kepadatan penduduk 427 orang/m2 , dengan rata-rata jumlah 6 orang/ rumah tangga. Tabe l 23 Kondisi Pulau, Luas da n Jumlah Penduduk Nama Pulau P. Badi P. Pajenekang P. Balang Lompo P. Panambungan P. Balang Caddi P. Langkadea P. Bonto S ua P. Sanane
Kondisi Pulau Berpenghuni Berpenghuni Berpenghuni Tidak berpenghuni Berpenghuni Tidak berpenghuni Berpenghuni Berpenghuni
Luas (km2) 9 2 8 2 7 0,7 3,5 2,5
Jumlah Penduduk 2651 1473 3507 1640 1137 1326
5.2.2 Pras arana dan Sarana Sebagai pusat pemerintahan kelurahan dan sekaligus kecamatan, prasarana dan sarana umum yang tersedia di Pulau Balang Lompo relatif cukup baik. Prasarana dan sarana umum tersebut mencakup prasarana da n sarana pe ndidika n, kesehatan, penerangan (listrik), transportasi, komunikasi (wartel), tempat pengisian bahan bakar (tangki), tempat ibadah (masjid dan mushallah), sarana olah raga, dan lain- lain. Berkaitan dengan pendidikan, di Pulau Balang Lompo dan Balang Caddi terdapat 7 (tujuh) buah gedung Sekolah Dasar (SD) dengan jumlah guru dan mur id masing- masing sebanyak 23 orang dan 927 orang. Sedangkan gedung Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 2 (dua) buah dengan jumlah guru dan murid masing- masing 20 orang dan 132 orang. Di kedua pulau ini, juga
119 terdapat 2 (dua) buah gedung madrasah dengan jumlah guru dan murid masingmasing 2 (dua) orang dan 94 orang. Di bidang kesehatan, di Pulau Balang Lompo dan Balang Caddi terdapat sebuah Puskesmas dan sebuah Puskesmas Pembantu (Pustu) serta beberapa Posyandu. Jumlah tenaga kesehatan seba nyak 14 orang yang terdiri atas 2 (dua) orang dokter umum, 1 (satu) orang dokter gigi, 5 (lima) orang perawat, dan 3 (tiga) orang bidan. Selain itu, juga terdapat dukun bayi sebanyak 4 (empat) orang yang telah mendapat pembinaan dari Dinas Kesehatan. Prasarana dan sarana transportasi yang tersedia di pulau ini terdiri atas perahu motor sebanyak 57 buah, perahu layar sebanyak 137 buah, sepeda sebanyak 145 buah, sepeda motor sebanyak 79 buah, dan gerobak sebanyak 32 buah. Sedangkan untuk
telekomunikasi, di pulau
ini terdapat warung
telekomunikasi (wartel) yang menggunakan fasilitas city call. Selain itu 85% jumlah pe nduduk telah memiliki handphone sebagai sarana komunikasi. Pulau ini juga terdapat prasarana listrik yang beroperasi antara jam 17.00 - 24.00 wita dan mampu melayani seluruh rumah serta mesjid dan seluruh infrastruktur yang ada di pulau Balang Lompo. Prasarana dan sarana olah raga juga cukup tersedia di daerah ini. Prasarana dan sarana tersebut meliputi lapangan sepak bola, lapangan bola voli dan lapangan bulu tangkis yang masing- masing sebanyak dua buah, lapangan tenis sebanyak satu buah, dan tenis meja sebanyak empat buah. Mengingat bahwa seluruh penduduk Pulau Balang Lompo beragama Islam, maka prasarana dan sarana ibadah yang tersedia di pulau ini hanya terdiri atas 2 masjid d an 1 mushollah. Prasarana dan sarana dan pendidikan yang tersedia di Pulau Balang Cadd i meliputi SD 2 unit dan SMP 1 unit, dengan kondisi bangunan yang baik. Di wilayah ini juga terdapat sarana kesehatan berupa puskesmas pembantu, penerangan (listrik) da n transportasi berupa angkutan motor laut sebanyak 4 unit, yang mengantarkan penduduk pulau ke kota (Makassar) untuk mendapatkan kebutuhan sehari- hari pe nduduk p ulau. Pulau Langkadea merupakan pulau yang sejak tahun 1995, ditetapkan sebagai pulau yang diperuntukkan untuk tempat rekreasi, dengan bangunan
120 cottage sebanyak 10 unit, yang dilengkapi dengan 1 musholla, 1 lapangan tenis, 1 ruangan yang diperuntukkan untuk restoran dan aula pertemuan, I unit darmaga tempat penyeberangan perahu yang besar dengan panjang 50 meter dan lebar 5 meter. Namun sarana dan fasilitas rekreasi yang terdapat di pulau ini, sekarang telah rusak dan tidak dapat digunakan lagi. Pulau Badi memiliki fasilitas pendidikan berupa bangunan SD 2 unit, SMP terbuka 1 unit dan SMA terbuka 1 unit, mesjid 1 unit, pusat pelayanan kesehatan pembantu 1 unit. Prasarana da n sarana umum yang tersedia di Pulau Bontosua cukup baik. Prasarana dan sarana umum tersebut mencakup sarana dan prasarana pendidikan berupa SD, SMP, kesehatan, penerangan (listrik), transportasi, tempat ibadah (masjid), sarana olah raga, dan lain- lain. Prasarana da n sarana transportasi yang tersedia di pulau ini terdiri atas perahu motor angkutan sebanyak 4 buah, sepeda sebanyak 65 buah, sepeda motor sebanyak 23 buah, dan gerobak sebanyak 12 buah. Pulau ini juga terdapat prasarana listrik yang beroperasi antara jam 18.00 23.00 wita dan mampu melayani seluruh rumah serta mesjid dan seluruh infrastruktur yang ada di pulau Bontos ua. Prasarana dan sarana yang terdapat di Pulau Sanane meliputi sarana pendidikan berupa SD 1 unit dan SMP terbuka 1 unit. Fasilitas kesehatan berupa Posyandu dan tenaga kesehatan berupa 2 tenaga medis (perawat), tempat ibadah berupa mesjid 1 unit. Karena pulau ini sering terjadi abrasi, maka sekeliling pantai dibangun breakwaters sepanjang 350 meter. Prasarana dan sarana transportasi yang tersedia di pulau ini terdiri atas perahu angkutan umum sebanyak 4 buah, yang mengangkut barang dan manusia dari Pulau Sanane ke Kota Makassar. 85% penduduk telah memiliki handphone sebagai sarana komunikasi. Pulau ini juga terdapat prasarana listrik yang beroperasi antara jam 18.00 - 23.00 wita dan mampu melayani seluruh rumah serta mesjid dan seluruh infrastruktur yang ada di pulau Sanane.
121 5.2.3 Mata Pencaharian Mayoritas pe nduduk pulau-pulau yang dikaji memanfaatkan sumberdaya perairan yang ada disekitar pulau, dengan berprofesi sebagai nelayan, umumnya dengan menggunakan alat tangkap jaring, alat pancing da n bagang perahu yang dioperasikan di perairan sekitar pulau sampai ke pulau-pulau di Kecamatan Ujung Tanah, Makassar. Jenis ikan hasil tangkapan bagang perahu adalah jenis ikan campuran seperti : ikan teri, cakalang, simbula, layang dan lainnya. Investasi untuk mengusahakan bagang perahu relatif be sar, yaitu sekitar 120 – 250 juta per unit. Dengan investasi yang tinggi ini, maka bagang hanya dimiliki oleh para ponggawa atau juragan kapal. Dalam mengoperasikan alat tangkap bagang perahu, diperlukan sekitar 6 – 12 orang dan dipimpin oleh seorang ponggawa laut. Alat ini umumnya dioperasikan efektif pada malam hari dengan menggunakan cahaya lampu, memanfaatkan sifat ikan yang tertarik pada cahaya (foto taksis positif). Untuk sekali beroperasi, bagang membutuhkan biaya sekitar Rp. 1.500.000 – Rp. 2.500.000, yang meliputi biaya bahan bakar, makanan, termasuk rokok, minuman bagi nelayan serta biaya lainnya. Selain nelayan pengguna alat tangkap bagang perahu, juga terdapat nelayan pengguna gae (purse seine mini) dan pancing. Dalam melakukan aktivitas penangkapannya, nelayan pancing menggunakan pancing rawe atau pancing ulur untuk menangkap ikan katamba, bambangan, sunu, dan kakap merah. Wilayah fishing ground mereka meliputi wilayah sekitar Spermonde hingga perairan sekitar Pulau Kapoposang. Jenis pancing rawe diakui oleh nelayan sebagai jenis pancing yang menghabiskan banyak biaya karena membutuhkan bahan (berupa mata pancing dan tasi) yang banyak. Biasanya nelayan membutuhkan 120 sampai 1.500 buah mata pancing serta tasi da ri dua ukuran yang masing- masing dibutuhkan masing- masing 3 - 14 gulung untuk membuat satu set pancing rawe. Dalam aktifitas penangkapannya, biasanya nelayan membawa dua pancing rawe yang dioperasikan secara bersamaan agar lebih besar peluang untuk menangkap ikan buruannya.
122 Menurut informasi yang diperoleh, terdapat dua waktu pengoperasian pancing rawe yaitu pada waktu siang dan pada waktu malam. Waktu pengoperasian siang biasanya mulai pada pukul 04.00 - 16.00. Sedangkan waktu pengoperasian malam mulai pukul 16.00 sore - 04.00 subuh. Dalam satu kali beroperasi nelayan memasang pancing hingga lima kali. Perbedaan waktu penangkapan berhubungan langsung dengan jenis ikan yang dapat ditangkap. Pada penangkapan malam nelayan biasanya dapat menangkap ikan katamba dan bambangan. Dalam sekali pengoperasian pancing rawe, nelayan membutuhka n biaya sebesar Rp. 200.000,- dengan rincian : a) Rp. 70.000 untuk umpan, b) Rp. 30.000, untuk es, dan c) Rp. 100.000 untuk solar. Ketiga bahan operasional penangkapan tersebut didapatkan dari TPI Rajawali, Makassar. Menurut nelayan, penangkapan ikan dengan pancing rawe dilakuka n hanya jika harga ika n relatif stabil, karena jika harga ika n tur un (saat tangkapa n nelayan melimpah), nelayan merugi karena hasil penjualan tangkapan tidak sebanding dengan biaya operasianal. Saat keadaan seperti itu, nelayan memilih mengubah usaha mereka dari penangkap ikan menjadi pembeli ikan (pabalolang) dengan memanfaatkan jolloro yang dimiliki. Nelayan akan membeli ikan dari nelayan pengguna pukat dan pancing yang melakukan penangkapan di wilayah perairan Makassar. Kegiatan usaha seperti ini dikenal oleh penduduk lokal sebagai “pabalolang patula”. Jalur distribusi pemasaran hasil tangkapan ikan yang menggunakan bagang perahu memiliki 3 (tiga) pola : (1) ponggawa bagang menj ual ke ponggawa besar (di Makassar), (2) nelayan menjual ke pedagang pengumpul dan selanjutnya pedagang pengumpul menjual ke pasar ikan di Makassar, da n (3) nelayan langsung menjual ke pasar ikan di Makassar. Pada pola pertama, aktifitas penangkapan ikan seluruhnya dilakukan oleh bagang terapung. Karena aktifitas tersebut berlangsung relatif cukup lama (sekitar 20 hari), maka pada umumnya hasil tangkapan ikan melebihi kapasitas daya muat bagang terapung. Pada kondisi ini, perahu kecil bermesin (jolloro) bertugas untuk mengantar hasil tangkapan ikan tersebut ke ponggawa besar (di Makassar).
123 Pola kedua, nelayan menjual hasil tangkapan ikannya ke pedagang pengumpul. Transaksi dilakukan baik di daratan (pulau) maupun di tengah laut pada saat aktifitas penangkapan masih berlangsung. Pilihan untuk melakukan transaksi di tengah laut lebih disebabkan oleh: (i) volume hasil tangkapan yang lebih besar dibandingkan dengan kapasitas daya muat perahu motor; dan (ii) posisi perahu motor pada saat melakukan aktifitas penangkapan relatif jauh dari pasar. Selanjutnya, pedagang pengumpul menjualnya ke pasar ikan di Makassar. Pada pola ini, baik nelayan maupun pedagang pengumpul, sama sekali tidak terikat dengan ponggawa, sehingga tidak memiliki kewajiban untuk menjual hasil tangkapannya ke ponggawa. Pola ketiga, nelayan sendiri yang menjual secara langsung hasil tangkapannya ke pasar ikan di Makassar (TPI Paotere dan Rajawali). Nelayan yang mengikuti pola ini pada umumnya memiliki peralatan tangkap yang amat terbatas dan melakukan aktifitas penangkapan hanya disekitar Pulau Balang Lompo. Jumlah nelayan yang berada pada pola ini relatif kecil. Dari TPI Paotere dan Rajawali, hasil tangkapan laut ini kemudian biasanya (a) langsung dibeli oleh konsumen rumah tangga, (b) dibeli oleh pedagang perantara keliling, (c) untuk konsumsi rumah makan dan restoran, dan (d) dibeli supplier/ pemasok untuk swalayan dan hotel. 5.2.4 Tingkat Pendapatan Mengukur tingkat pendapatan nelayan merupakan hal yang cukup sulit, karena sangat dipengaruhi oleh jumlah hasil tangkapan yang fluktuatif sebagai akibat ketergantungan pada kondisi alam. Perbedaan jumlah hasil tangkapan antar musim biasanya sangat ekstrim, dari tidak ada sama sekali sampai berlimpah. Untuk nelayan ya ng umumnya mengoperasikan bagang perahu, biasanya satu unit alat tangkap ini menghasilkan tangkapan 10-50 keranjang per hari. Harga jual ikan hasil tangkapan per keranjang/ per basket antara Rp 50.000 – Rp 100.000. Sehingga perolehan nelayan dalam satu unit tangkapan berkisar antara Rp 500.000 – Rp 5.000.000 per hari. Hasil tangkapan ini kemudian dibagi dengan proporsi yang bervariasi antara nelayan sawi, ponggawa laut da n ponggawa
124 pemilik alat tangkap. Pembagian ini dibagi rata 3 bagian yaitu 1 bagian untuk ponggawa pemilik alat tangkap, 1 bagian ponggawa laut dan 1 ba gian untuk nelayan sawi. Selanjutnya 1 bagian untuk nelayan sawi tersebut dibagi lagi berdasarkan jumlah sawi yang ikut di kapal bagang perahu tersebut. Sedangkan untuk nelayan pengguna rawe dan gae, diperoleh hasil Rp.500.000 hingga Rp. 3.000.000/ trip. 5.2.5 Aspek Sosial Budaya Istilah ponggawa bagi masyarakat menggunakan 3 (tiga) terminologi, yaitu: (i) ponggawa besar, yang merupakan pemilik moda l dan berdomisili di Makassar; (ii) ponggawa bagang, pemilik bagang terapung dan berdomisili di pulau; (iii) ponggawa jolloro, pemilik perahu motor (jolloro) berdomisili di pulau. Pemilik bagang terapung maupun pemilik jolloro juga disebut ponggawa karena mempekerjakan orang (yang selanjutnya disebut sawi). Dalam interaksi antar ketiga ponggawa tersebut, masing- masing ponggawa memiliki peran, kewajiban dan tanggung jawab sendiri. Peran dan tanggung jawab ponggawa besar adalah memberi pinjaman moda l dan membeli hasil tangkapan ponggawa bagang. Peran dan tanggung jawab ponggawa bagang adalah menangkap ikan dan menjualnya ke ponggawa besar serta
memfasilitasi kebutuhan sawi selama
masa
penangkapan. Sedangkan peran dan tanggung jawab ponggawa jolloro adalah mengangkut hasil tangkapan dari bagang terapung ke ponggawa besar (Makassar). Berdasarkan peran, kewajiban dan tanggung jawab pada kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bagang perahu, pembagian hasil tangkapan ditetapkan seluruh hasil tangkapa n ponggawa ba gang harus dijual ke ponggawa besar dan oleh ponggawa besar dilakukan pemotongan sebesar 10% dari total hasil penjualan. Pemotongan tersebut dapat diartikan sebagai pembayaran bunga atas pinjaman modal yang diberikan oleh ponggawa besar kepada
ponggawa bagang. Selanjutnya, setelah dikurangi dengan biaya
operasional, hasil penjualan tersebut dibagi menjadi 3 (tiga) bagian : 2 (dua) bagian diberikan ke ponggawa bagang dan 1 (satu) bagian diberikan ke
125 ponggawa jolloro. Bagian untuk ponggawa bagang selanjutnya dibagi menjadi 3 (tiga) bagian : 2 (dua) bagian untuk pemilik bagang dan 1 (satu) bagian untuk pekerja/ sawi. Bagian untuk pekerja/ sawi ini selanjutnya dibagi secara merata keseluruh pekerja/ sawi, termasuk ke jur u mudi. Juru mudi disebut secara khusus karena ia memperoleh bagian pula dari pemilik bagang sebesar jumlah yang diterimanya sebagai pekerja/ sawi. Pada umumnya, ponggawa bagang sekaligus merangkap sebagai pemilik bagang, dengan jumlah bagang hanya 1 unit. Kondisi ini terjadi, bukan hanya disebabkan oleh adanya kesulitan memperoleh modal akan tetapi juga karena pertimbangan kemampuan melakukan pengawasan atas bagang terapung yang dimiliki jika lebih dari satu. Meski demikian, dalam kasus yang terbatas, terdapat pula orang yang memiliki lebih dari satu bagang terapung dan karenanya tidak otomatis menjadi ponggawa bagang. 5.2.6 Indeks Pembangunan Manusia Kualitas hidup masyarakat seringka li dicerminka n oleh indikator kualitas pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan; kualitas kesehatan masyarakat maupun lingkungannya serta daya beli atau kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Pendekatan yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup masyarakat adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Metode ini menggunakan tiga indikator yaitu : (i) tingkat pengetahuan yang diukur dari rata-rata lama sekolah dan melek huruf; (ii) derajat kesehatan yang diukur dari angka harapan hidup (life expectancy). (iii) tingkat kesejahteraan yang tercermin pada kemampuan ekonomi atau daya beli (purchasing power). Berdasarkan indikator tersebut dapat dikemukakan bahwa kualitas pendidika n masyaraka t pulau relatif rendah. Berdasarkan data yang tersedia, dari seluruh pe nduduk pulau yang pernah duduk di bangku sekolah, sebagian besar (85,50%) hanya mampu menyelesaikan pendidikannya hingga Sekolah Dasar (SD). Meskipun angka tersebut relatif cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang berumur di atas 13 tahun, nampak tidak jauh
126 berbeda. Gambaran ini menunjukkan bahwa hampir seluruh penduduk pernah duduk d i bangku SD. Meski pulau-pulau yang dikaji masih ditemuka n penduduk yang buta huruf, namun dalam persentase yang amat kecil. Bahkan penduduk yang buta huruf tersebut berumur rata-rata di atas 35 tahun. Di pulau kajian, meski da lam persentase
yang relatif kecil,
sudah terdapat penduduk
yang mampu
menyelesaikan pendidikannya hingga diploma (D1 s/d D3) dan bahkan hingga sarjana (S1). Dari tahun ke tahun, jumlah penduduk yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, terus menunjukkan peningkatan. Tingginya tingkat partisipasi sekolah dari penduduk, paling tidak disebabkan oleh 2 (dua) faktor, yaitu : (i) prasarana dan sarana pendidikan di pulau-pulau sudah terpenuhi, khususnya sekolah dasar (ii) tingkat aksessibilitas untuk memperoleh pendidikan lanjutan di Maka ssar lebih muda h. Kualitas kesehatan penduduk cukup baik, sebagai akibat tersedianya prasarana dan sarana kesehatan yang relatif memadai di pulau ini. Segala fasilitas kesehatan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat (public health) tersedia secara cukup, misalnya Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dokter umum, dokter gigi dan bidan/ perawat. Tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan juga cukup baik. Kesadaran tersebut munc ul karena adanya pemberian informasi dan sosialisasi masalah-masalah kesehatan dari tenaga-tenaga kesehatan maupun media massa de ngan intensitas yang cukup. Aktifitas ekonomi pulau-pulau yang dikaji cukup beragam, dalam artian buka n hanya semata- mata didominasi oleh usaha penangkapan, akan tetapi juga berkembang usaha perdagangan, pertukangan dan usaha jasa. Meski demikian, nampak adanya disparitas pendapatan antar kelompok masyarakat. Kelompok ponggawa bagang, nampaknya memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif lebih baik bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang lain. Bagi masyarakat pulau, indikator yang digunakan untuk menilai apakah seseorang sejahtera atau tidak, adalah ukuran dan kualitas rumah yang dipunyai.
127 Rumah yang bagus selalu identik dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi, dan selalu pula identik dengan rumah ponggawa bagang.