Membangun Resiliensi Sistem Ekologi-Sosial Melalui Traditional Ecological Knowledge (TEK)1 Malikkul Shaleh, S.Pi., M.I.L Indonesian Resource of Indigenous Knowledge Center (INRIK) LPPM Unpad Jln. Banda No. 40 Bandung, Indonesia 40115; Email :
[email protected] Penghantar Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu pengetahuan ilmiah barat telah memberikan sumbangan luar biasa bagi peradaban manusia, baik melalui berbagai temuan teknologi maupun kontribusinya terhadap konsepsi sistem pengelolaan sumber daya alam. Namun belakangan kemajuan tersebut juga ternyata memberikan efek negatif sehingga menyisakan berbagai masalah yang diketahui telah mengerosi resiliensi sistem ekologi-sosial, sistem dimana manusia tinggal dan bergantung kepadanya. Oleh karenanya pada titik ini, diperlukan sebuah “pengetahuan alternatif” sebagai dasar pengembangan teknologi dan sistem pengelolaan yang tidak hanya memberikan manfaat ekonomi namun juga berdimensi kultural-ekologis dan adaptif terhadap perubahan. Sistem pengetahuan semacam itu dipercaya terdapat dalam indigenous knowledge system (IKs) atau sistem pengetahuan tradisional. Makalah singkat ini akan mencoba mengulas bagaimana Traditional Ecological Knowledge (TEK) sebagai bagian dari IK mampu berkontribusi dalam upaya membangun resiliensi sistem ekologi-sosial dan implikasinya kepada konsepsi dan praktik pengelolaan sumber daya alam menggunakan perspektif resilience thingking. Sistem Ekologi-Sosial Secara ekofilosofis hubungan manusia dengan lingkungan merupakan suatu keniscayaan. Abdillah (2001) bahkan menyebut manusia adalah makhluk lingkungan (homo ecologius) karena dalam melaksanakan fungsi dan perannya manusia selalu memiliki kecenderungan untuk selalu mengerti akan lingkungannya. Kecenderungan ini merupakan bagian dari adaptasi atau respon manusia terhadap lingkungannya sebagai makhluk berakal. Hubungan ini lebih jauh dapat dilihat dari interaksi keduanya dalam sebuah kesatuan sistem, tidak hanya sistem sosial dimana manusia saling berinteraksi dengan sesamanya namun juga ekosistem dengan komponen biotik-abiotik secara bersamaan dan terus-menerus. Oleh karenanya digunakan istilah sistem ekologi-sosial untuk menekankan hubungan terintegrasi tersebut dengan asumsi bahwa garis pemisah antara kedua sistem tersebut cenderung buatan dan tidak tetap (Berkes and Folke 1998 dalam Folke, 2006). Sistem ekologi-sosial merupakan sistem yang terpadu dari alam dan manusia dengan hubungan yang timbal balik (Carpenter et al. 1999). Sistem dari unit biologi/ekosistem dalam konteks ini dihubungkan dengan dan dipengaruhi oleh satu atau lebih sistem sosial sehingga membentuk ko-operasi dan hubungan saling tergantung dengan orang yang lain (Anderies et al., 2004). Gilbert et al (2011) mendefinisikan sistem ekologi-sosial sebagai : “a spatially-bounded region in which living organisms and nonliving substances interact to produce exchanges of materials, energy and information amongst components, and in some cases across the boundary”
1
Paper pada acara Diskusi Ilmiah Bulanan yang diselenggarakan oleh Indonesian Resource of Indigenous Knowledge Center (INRIK) LPPM Unpad. Bandung, 4 Juli 2014
Contoh dari sistem ekologi-sosial dapat dilihat pada agrosistem, sistem hutan, sistem perairan laut atau sistem perairan air tawar. Dalam sistem ekologi-sosial tersebut, sumber daya alam sebagai hasil proses biokimia dari energi menjadi materi dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan hidupnya. Petani melakukannya dengan bercocok tanam di sawah dan nelayan menangkap ikan di laut atau dengan membudidayakannya di kolam. Adapun praktik dan teknologi yang digunakan masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya alam didasarkan informasi mengenai karakteristik ekosistem bersamaan dengan dinamika perubahannya. Informasi dari lingkungan didapatkan melalui observasi panjang dan proses trial and error yang adaptif terangkum dalam knowledge system. Dalam proses pemanfaatan inilah interaksi sistem sosial dengan ekosistem berlangsung. Pemahaman tentang hubungan manusia dan lingkungannya secara ilmiah telah berkembang bahkan mengalami evolusi. Tercatat terdapat beberapa pandangan konsepsi besar mengiringi perkembangan tersebut sekaligus digunakan sebagai pendekatan konseptual oleh bidang ekologi manusia. Rambo (1983) dalam laporan penelitian berjudul “Conceptual Approaches to Human Ecology” menyebutkan bahwa pemahaman tentang hubungan manusia dan lingkungannya secara kronologis dimulai dari munculnya teori dominasi lingkungan disusul dengan teori kemungkinan, teori ekologi budaya, model berbasis ekosistem, dan model berbasis aktor hingga akhirnya muncul sebuah pendekatan konseptual alternatif yaitu model sistem dari ekologi manusia.
Gambar 1. Model Interaksi Antara Sistem Sistem Sosial dan Eksosistem Menurut pendekatan teori sistem, atom, sel, organisme, ekosistem, masyarakat manusia bahkan bumi dan jagad raya dianggap sebagai satu kesatuan. Sistem sosial dipandang memiliki hubungan dengan ekosistemnya melalui suatu proses saling tukar energi, materi, dan informasi yang kemudian mempengaruhi struktur dan fungsi sistem keduanya. Proses saling tukar ini dimaknai sebagai sebuah proses interaksi yang memperkuat integritas keduanya sebagai sebuah kesatuan sistem dimana setiap perubahan struktur dipengaruhi oleh dinamika internal didalamnya. Bagaimanapun hubungan antara ekosistem dan sistem sosial sangatlah
dinamis dan kompleks (Rambo, 1983) (Gambar 1). Berkenaan dengan kajian makalah ini, maka teori sistem dapat menjadi titik awal untuk menjelaskan hubungan interaksi antara manusia dan lingkungan dalam sebuah kesatuan sistem sosial-ekologis. Teori sistem pada dasarnya muncul dari perkembangan terkait konsep “living systems” yang pertama kali diformulasikan oleh Ludwig von Bertalanffy sepanjang tahun 1940-an dan tertulis dalam paper pertamanya berjudul “general system theory”. Kendati demikian karakteristrik dari system thingking telah muncul terus-menerus selama tahun 1920-an dari beberapa disiplin ilmu khususnya biologi yang menekankan cara pandang terhadap organisme hidup sebagai suatu kesatuan. Terdapat beberapa karakteristik kunci dalam teori sistem yang pada dasarnya saling tergantung satu sama lain, yaitu (Capra, 1996): 1. Pergeseran pemahaman dari bagian “the part” kepada keseluruhan “the whole” dan dari objek (A) kepada relasi (B) (Gambar 2) 2. Terdapat kumpulan sistem dalam sistem yang lain dimana level sistem yang berbeda menggambarkan tingkat kompeksitas yang berbeda 3. Persepsi bahwa bumi sebagai jaringan relasi atau “web of relationship”
Gambar 2. Gambar Pergesaran dari objek menjadi relasi (Capra, 1996) Kemunculan teori sistem tidak hanya mengubah pemahaman tentang bagaimana cara memandang hubungan antara sistem sosial dan ekosistem, tapi juga mengeser paradigma ilmu pengetahuan barat yang bercirikan mekanistik sehingga mengarahkan kepada sebuah cara berpikir baru yang memiliki makna keterkoneksian, hubungan/relasi dan konteks. Bagaimana pun teori sistem lebih kontekstual dari pada isolasi, non fundamental entities dari pada dominasi, dan melihat setiap struktur sebagai manifestasi proses yang lebih mendasar dari pada hanya pada struktur fundamental tertentu (Capra, 1996)
Resiliensi Seperti halnya eksosistem, sistem ekologi-sosial sendiri berprilaku sebagai complex adaptive systems dengan pemicu perubahan yang selalu berganti sehingga berpotensi untuk eksis pada satu atau lebih rejim dengan fungsi, struktur dan feedbacks yang juga berbeda. Guncangan dan gangguan pada sistem inilah yang dapat mengantar sistem melintas batas menuju rejim yang berbeda secara sering disertai kejutan yang tidak terduga (Walker, 2005; Pisano, 2012). Sistem ekologi-sosial cenderung berproses pada pola siklus yang disebut “adaptive cycle” dan fungsi
sistemnya terjadi pada sebuah lintas hirarki skala yang disebut “Panarchy” (Gambar 3) (Gunderson and Holling, 2002 dalam Folke, 2006).
Gambar 3. Panarchy, sebuah model adaptive renewal cycles (Folke, 2006) Proses dalam ekosistem pada dasarnya terhubung melintas skala ruang dan waktu dengan kerumitan dan kompleksitas yang beragam. Oleh karena kompleksitas sistem dan berbagai macam feedback – baik positif maupun negatif – pada skala berbeda tersebut maka tentu sangat sulit untuk dapat memprediksi sistem ekologi dengan tepat. Hal ini membuat ekosistem seolah menjadi “moving target” bagi pengelolaan (Holling, 1993 dalam Olsson, 2003) sehingga menuntut untuk sistem sosial menyesuaikan pola tersebut dan memastikan bahwa ekosistem dapat terus memberikan manfaatnya (sumber daya alam dan layanan ekosistem). Perubahan dan gangguan adalah bagian dari dinamisasi perkembangan ekosistem sehingga perpindahan sistem melintas batas antar sistem (tresholds) kepada kondisi yang berbeda dari sebelumnya (regime shift) sangatlah terbuka terlebih pada sistem ekologi-sosial. Seperti yang dikatakan oleh Walker (2005) : “In systems with a single, dominant threshold and associated regime shift both the theory and application are clear But in more complex social-ecological systems where two, three or even more possible regime shifts can occur, at different scales and in different domains (ecological, social, economic)...” Perpindahan rejim yang terjadi dalam ekosistem menandakan bawah complex adaptive systems cenderung memiliki beragam kondisi kesetimbangan “multiple stable states” atau domain stabilitas (Holling 1973). Adalah pengelolaan selama ini mencoba untuk mempertahankan stabilitas sistem kembali kepada suatu titik kesetimbangan (equillibrium) tersebut setelah terjadi gangguan. Namun terdapat properti lain dari ekosistem yang disebut resiliensi yaitu kapasitas untuk bertahan pada sebuah domain saat menghadapi perubahan sehingga resiliensi dapat menentukan persistensi hubungan dalam sistem. Dalam makna lainnya, resiliensi merupakan ukuran kemampuan sistem untuk menyerap dan mengarahkan perubahan, disamping tetap mempertahankan keadaan variabelnya (Holling 1973).
Bodin dan Wiman (2004) mengatakan bahwa terminologi resiliensi (resilience) berasal dari pemikiran klasik yang berkembang dalam domain matematika dan teknik, namun kemudian perlahan-lahan hadir dalam domain ekologi. Konsep resiliensi pada konteks sistem ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Holling (1973) lewat sebuah tulisannya dalam the Annual Review of Ecology and Systematics tentang hubungan antara resiliensi dan stabilitas. Namun dalam perkembangannya, keleluasaan konsep resiliensi telah pula digunakan dalam domain sosial untuk mengkaji institusi, modal sosial, kepemimpinan, dan kemampuan belajar (Miller et al., 2010). Gagasan tentang resiliensi juga berkembang menjadi sebuah konsep yang digunakan untuk memahami, mengelola, dan mengatur keterhubungan sistem ekologi-sosial antara manusia dan alam (Pisano, 2012). Resiliensi sebagai aplikasi di dalam integrasi sistem ekologi-sosial mencakup a) sejumlah gangguan dalam sistem yang pada dasarnya dapat diserap dan mungkin tersisa di dalam keadaan atau domain atraksi yang sama, b) derajat kemampuan sistem dalam mereorganisasi dan c) derajat kemampuan sistem dalam membangun dan meningkatkan kapasitasnya untuk belajar dan beradaptasi (Carpenter et al., 2001 dalam Folke et al., 2002). Gangguan yang dimaksud disini terjadi dalam berbagai skala dan membentuk siklus yang adaptif yang oleh sistem ekologi-sosial direorganisasi, diperbaharui, dipelajari, dan diadaptasi (Resilience Alliance, 2007). Folke (2006) berpendapat bahwa resiliensi tidak hanya memiliki makna sebagai ukuran kemampuan suatu sistem, tapi juga mencakup segala kemungkinan untuk terjadinya rekombinasi struktur dan proses, perbaharuan, serta kemunculan lintasan baru pada sistem yang awalnya dipicu oleh gangguan tertentu sehingga dengan kata lain membentuk suatu siklus yang adaptif atau adaptive capacity (Resilience Alliance, 2007; Folke, 2006). Sistem dengan kemampuan adaptasi tinggi akan dapat kembali mengkonfigurasi diri tanpa menyebabkan kemunduran berarti pada fungsi ekologi dan sosial saat terjadi perubahan, karena jika sistem ekologi-sosial yang non-resilien tidak mampu muncul pada periode perubahan itu, maka sistem tersebut akan bergerak menjauh menuju lintasan yang tidak diinginkan (Brown, 2007). Penggunaan konsep resiliensi memunculkan sebuah pendekatan baru tentang bagaimana memahami sistem ekologi-sosial sebagai sistem yang kompleks, adaptif dan dinamis yang oleh para peneliti resiliensi disebut sebagai “resilience thingking” (Folke et al., 2010). Pendekatan resilience thingking, dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan sangat berbeda dari pada pendekatan konvensional selama ini. Selain karena penekanan resilience thingking lebih sistem dan holistik dimana melihat sistem ekologi-sosial sebagai sebuah kesatuan, juga karena resilience thingking memfokuskan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan kepada resiliensi dari pada produk dan komoditas (Berkes, 2003) yang cenderung membuat sistem ekologi-sosial rapuh dan rentan. Dalam resilience thingking terdapat tiga aspek kunci, yaitu resilience, adaptibility, dan transformatibility (Pisano, 2012) , yaitu : “Resilience in this context is the capacity of a SES to continually change and adapt yet remain within critical thresholds; Adaptability is part of resilience. It represents the capacity to adjust responses to changing external drivers and internal processes, and thereby allow for development along the current trajectory (stability domain); and Transformability is the capacity to cross thresholds into new development trajectories.” Untuk mendapatkan pemahaman mendalam terkait konsep resilience thingking, anda dapat mengikuti perjalanan Resilience Network sebuah program riset yang kemudian dikenal
sebagai Resilience Alliance (www.resalliance.org) dan jurnalnya yaitu Ecology and Society (www.ecologyandsociety.org) berisikan berbagai literatur berbasiskan penelitian yang dapat diunduh secara gratis.
Traditional Ecological Knowledge (TEK) Terminologi Traditional Ecological Knowledge (TEK) muncul dan banyak digunakan mulai sekitar tahun 1980-an dan secara sistematis dipelajari oleh para ilmuan di bidang antropologi, dimulai dari penelitian tentang indentifikasi dan klasifikasi spesies (etnobiologi) diteruskan dengan kajian mengenai pemahaman masyarakat tentang proses ekologi dan hubungan mereka dengan lingkungan (ekologi manusia) (Berkes, 1999). TEK banyak diasosiasikan dengan terminologi lain vice versa seperti indigenous technical knowledge (ITK), ethnoecology, people’s science, local knowledge, traditional knowledge, atau folk knowledge sehingga penggunaannya sering tumpang tindih (Ellen and Harris, 2000). Bahkan sering digunakan secara bergantian dengan indigenous knowlegde (IK) yang diketahui memiliki makna lebih luas sebagai “local knowledge that unique to a given culture or society” (Warren et al., 1995). TEK banyak dianggap sebagai subset dari IK yang lebih lebih spesifik kepada pengetahuan ekologis (Berkes et al., 1995; Berkes, 1999). Namun kendati demikian, dalam tulisan ini penggunaan keduanya mengandung makna yang sama karena tidak sedikit IK yang juga fokus kepada apa yang dimaksud dalam TEK terkait ekologi. TEK dapat dijumpai pada masyarakat yang nonindustrial atau berteknologi rendah dimana banyak diantara mereka merupakan indigenous people atau masyarakat adat namun tidak selalu (Berkes et al., 2000). TEK dapat didefinisikan sebagai: “people’s cumulative body of nonscientific knowledge, beliefs, and practice about local ecosystems and their management that evolves through social learning and adaptive processes, and which is supported by customary institutions and handed down through generations by cultural transmission” (Ostrom 1990; Berkes 1999; Berkes et al., 2000) TEK bersifat kumulatif dan dinamis, dibangun melalui pengalaman panjang dan mampu beradaptasi dari perubahan (Berkes, 2003). Hal ini karena TEK berproses “coevolves” bersamaan dengan sistem ekologi-sosial (Baggethum et al., 2013). TEK berkembang secara perlahan dari kebutuhan untuk masyarakat dapat merespon, menghadapi, dan mengelola feedback dari lingkungan (Berkes et al., 1995). TEK berada dibalik kapasitas adaptif berbagai masyarakat desa dan masyarakat indigeneous yang mampu mengkonservasi biodiversitas ekosistem sementara juga meningkatkan mata pencaharian (Mallen and Corbera, 2013) karena TEK sebegitu pula berbagai IK lainnya berpotensi mengandung informasi penting tentang bagaimana membuat sistem produksi mencari beragam dan resilient (Berkes et al., 1995) . TEK juga dinyakini memberikan kontribusi nyata terhadap upaya membangun resiliensi ekologisosial melalui caranya mempromosikan “biocultural diversity” sebagai gambaran keberagaman pengetahuan, praktik dan institusi dari masyarakat lokal (Baggethum et al., 2013). Telah banyak studi mengenai kontribusi TEK terhadap pengelolaan sumber daya alam meliputi kegiatan monitoring, perlindungan total atau temporal pada spesies atau habitat, multiple species management, rotasi sumber daya, succession management, dan mekanisme sosial dibalik kegiatan-kegiatan tersebut seperti kelembagaan lintas-skala, taboo dan regulasi, ritual atau perayaan, atau pun sansi sosial dan agama diantara mereka (Berkes et al., 2000) Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada abad 21 saat ini memerlukan sebuah pendekatan dan trend baru. Hal ini diperlukan untuk menggantikan pendekatan pengelolaan
konvensional yang centralistik, “command-and-control”, berbasiskan pengetahuan barat, bertujuan mengontrol alam dan memperlakukan manusia seperti yang terpisah dari lingkungan (Berkes, 2003). Pendekatan baru itu didasarkan atas asumsi bahwa 1) Penting sekali adanya partisipasi yang luas dari masyarakat lokal ketika merencanakan strategi perencanaan yang dibuat untuk merespon perubahan; 2) Kebutuhan akan pengetahuan, pembelajaran, dan sumber sosial akan adaptibilitas, pembaharuan, dan transformasi menjadi penting; dan 3) Pemahaman akan perubahan dan ketidakpastian sebagai sesuatu yang melekat pada sistem ekologi-sosial (Armitage et al., 2007). Perubahan arah pengelolaan yang berdasarkan asumsi tersebut diatas memerlukan sebuah alternatif naratif tentang pendekatan teori dan praktik pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. TEK sebagai dasar konsepsi dan praktik pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan sangat relevan karena terbukti lebih memperlihatkan keharmonisan antara sistem ekologi dan sosial sehingga cenderung lebih berkelanjutan dan adaptif ketimbang pengelolaan konvensional berbasis ilmu pengetahuan (barat) yang kini banyak mendominasi. TEK memiliki kesamaan dengan “adaptive management” sebuah konsep pengelolaan sumber daya dan lingkungan yang menekankan pada feedback learning dan upaya menangani ketidakpastian dan ketidakmungkinan pada ekosistem (Berkes et al., 2000). Selain itu, TEK sebagai bagian dari IK mampu menyediakan basis informasi yang memfasilitasi komunikasi dan pengambilan keputusan bagi masyarakat lokal (Warren et al., 1995). Fungsi lain TEK ini diyakini menambal kekurangan “command-and-control management” akan partisipasi masyarakat lokal. Dengan kata lain TEK dapat menjadi jembatan untuk dapat menerapkan pengelolaan berbasis masyarakat lokal atau co-management sehingga bisa berjalan lebih efektif (Mallen and Corbera, 2013). Bahkan lebih jauh dari pada itu, TEK mungkin dapat menjadi sebuah dasar dari pendekatan baru dari pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan oleh Armitage et al (2007) disebut sebagai adaptive co-management karena karakteristik TEK yang demokratis (Berkes 2003) dan adaptif (Berkes et al, 2000). Informasi yang berasal dari pengetahuan empirik ini (TEK) bagaimanapun sangat kaya akan kearifan lingkungan sehingga dapat menjadi pelajaran berharga bagi suatu rejim pengelolaan (Kalland, 2000). TEK diyakini mampu menyediakan pedoman bagi design dan pengeimplementasian bagi program kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas (resiliensi) dari sistem ekologi-sosial dalam merespon dan beradapatsi dari tekanan lingkungan dan sosial ekonomi (Baggethum et al., 2013). Adimihardja (1995) lebih jauh melihat bahwa bagaimanapun kekomprehensifan sistem pengetahuan lokal dengan keragaman lingkungan etnik dan kegunaan relevannya sangatlah penting dalam mendukung pembangunan berkelanjutan karena terdapat sebuah traditional wisdom dari masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya alam dan sosial. Namun kendati demikian, keberadaan dan kegunaan TEK masih belum banyak diketahui secara utuh baik karena praktik pengelolaan berbasis TEK kini diduga terancam hilang karena tergerus perubahan global (Baggethum et al., 2013) maupun karena TEK telah bertransformasi (Ellen et al., 2000; Gómez-Baggethun and Reyes-García, 2013). Oleh karenanya diperlukan sebuah upaya sistematis dan berkelanjutan untuk menginventarisasi, menganalisis keberadaan dan kegunaan TEK. Lebih jauh untuk mengelaborasi ide dan gagasan TEK kedalam praktik pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Rujukan Abdillah, M. 2001. Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Quran. Paramadina. Jakarta Adimihardja, K. 1995. Indigenous Knowledge and Development in Indonesia. In : Adimihardja, K., A.M. Kramadibrata., O.S. Abdoellah., and H.S. Martodiharjo (Eds) Adaptation and Development : Interdisciplinary Perspectives On Subsistence and Sustainability in Developing Countries. Proceedings of INRIK international seminars. Bandung Anderies JM, MA Janssen and E Ostrom. 2004. A Framework to Analyze The Robustness of SocialEcological Systems from An Institutional Perspective. Ecology and Society 9 (1), 18 [online] URL http://www.ecologyandsociety.org/vol9/iss1/art18/ Armitage, D., F. Berkes and N. Doubleday (Eds). 2007. Adaptive co-management: collaboration, learning, and multi-level governance. UBC Press. Vancouver, Toronto Berkes, F., C. Folke, and M. Gadgil. 1995. Traditional ecological knowledge, biodiversity, resilience and sustainability. Pages 269–287 in C. Perrings, K.-G. Ma¨ler, C. Folke, C. S. Holling, and B.-O. Jansson, editors. Biodiversity conservation. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, The Netherlands. Berkes, F. 1999. Sacred Ecology. Traditional Ecological Knowledge and Resource Management. Taylor and Francis, Philadelphia and London, UK Berkes, F., J. Colding., and C. Folke. 2000. Rediscovery of Traditional Ecological Knowledge As Adaptive Management. Ecological Applications (5) 10 : 1251–1262 Berkes, F. 2003. Alternatives to Conventional Management : Lessons from Small-scale Fisheries. Environment 31(1) Bodin, P., dan Wiman, B.L.B. 2004. Resilience and other stability concepts in ecology: notes on their origin, validity and usefulness. ESS Bulletin 2(2) Brown, B. 2007. Resilience Thinking Applied to the Mangroves of Indonesia. IUCN & Mangrove Action Project. Yogyakarta Carpenter, S., W. Brockand P. Hanson. Ecological and Social Dynamic in Simple Models of Ecosystem Management. Conservation Ecology 3 (2) : 4 [online] URL : http//www.consecol.org/vol3/ iss2/art(4) Capra, F. 1996. Web of Life : A New Scientific Understanding of Living Systems. Anchor Books. New York Folke, C., S. Carpenter, T. Elmqvist, L. Gunderson, C. Holling, B. Walker, J. Bengtsson, F. Berkes, J. Colding, K. Danell, M. Falkenmark, L. Gordon, R. E. Kasperson, N. Kautsky, A. Kinzig, S. Levin, K. G. Maler, F. Moberg, L. Ohlsson, P. Olsson, E. Ostrom, W. Reid, J. Rockstrom, H. Savenije, and U. Svedin. 2002. Resilience and sustainable development: building adaptive capacity in a world of transformations. Scientific Background Paper on Resilience for the process of the World Summit on Sustainable Development. Environmental Advisory Council to the Swedish Government, Stockholm, Sweden. Folke, C. 2006. Resilience: the emergence of a perspective for social-ecological systems analyses.Global Environmental Change 16:253-267
Folke, C., S. R. Carpenter, B. Walker, M. Scheffer, T. Chapin, and J. Rockström. 2010. Resilience thinking: integrating resilience, adaptability and transformability. Ecology and Society 15(4): 20 [online] URL: http://www.ecologyandsociety.org/vol15/iss4/art20/ Gómez-Baggethun, E., E. Corbera, and V. Reyes-García. 2013. Traditional Ecological Knowledge And Global Environmental Change: Research Findings And Policy Implications. Ecology and Society 18(4): 72. http://dx.doi.org/10.5751/ES-06288-180472 Holling, C. S. 1973. Resilience and stability of ecological systems. Annual Review of Ecology and Systematics (4):1-23. Ellen, R., P. Parkes., and A. Bicker (Eds). 2000. Indigenous Enviromental Khowledge and Its Transformations. Harwood Academic Publisher. Singapore Kalland, A. 2000. Indigenous Knowledge: Prospects and Limitations. In : Ellen, R., P. Parkes., and A. Bicker (Eds) Indigenous Enviromental Khowledge and Its Transformations. Harwood Academic Publisher. Singapore Ruiz-Mallén, I. and E. Corbera. 2013. Community-based conservation and traditional ecological knowledge: implications for social-ecological resilience. Ecology and Society 18(4):12. http://dx.doi. org/10.5751/ES-05867-180412 Miller, F., H. Osbahr, E. Boyd, F. Thomalla, S. Bharwani, G. Ziervogel, B. Walker, J. Birkmann, S. Van der Leeuw, J. Rockström, J. Hinkel, T. Downing, C. Folke, and D. Nelson 2010. Resilience an vulnerability: complementary or conflicting concepts?. Ecology and Society 15(3): 11 Olsson, P. 2003. Building capacity for resilience in social-ecological systems. Doctoral Dissertation. Department of Systems Ecology. Stockholm University. Stockholm-Sweden Ostrom, E. 1990. Governing The Commons: The Evolution Of Institutions For Collective Action. Cambridge University Press, Cambridge, UK. http://dx.doi.org/10.1017/CBO9780511807763 Pisano, U. 2012. Resilience and Sustainable Development: Theory of resilience, systems thinking and adaptive governance. Quarterly Report. ESDN. Austria Resilience Alliance. 2007. Assessing resilience in social-ecological systems. Draft for Testing and Evaluation. A workbook for scientists. Version 1.1 Warren, D. M., L.J. Slikkerveer, and D. Brokensha (eds.). 1995. Indigenous Knowledge Systems : The Cultural Dimensions of Development. Intermediate Technology Publication. London Walker, B. 2005. A Resilience Approach to Integrated Assessment. Bridging Sciences & Policy. Vol. 5 (1) : 77–97