4 SISTEM SOSIO EKOLOGI HUTAN 4.1. TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK: 4.1.a. Perkembangan Status Taman Nasional Gunung Halimun Salak Dan Implikasinya Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang selanjutnya disebut sebagai TNGHS merupakan kawasan hutan konservasi (taman nasional darat) yang terletak di dua Provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten dan 3 (tiga) Kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. Jumlah desa yang berada di dalam kawasan adalah 114 desa dan 26 kecamatan. Sejarah TNGHS berawal dari kawasan Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) sejak tahun 1935 yang memiliki luas 40.000 ha. Kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Pebruari 1992 dengan luas 40.000 ha dibawah pengelolaan sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Perubahan luas dan nama menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dilakukan sejak tahun 2003 dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang Penunjukkan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas Pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak Seluas 113.357 Hektar di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Penunjukan Gunung Halimun, Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasan hutan disekitarnya sebagai kawasan taman nasional (TNGHS), karena kawasan ini mempunyai karakteristik kawasan pegunungan yang masih memiliki ekosistem hutan hujan tropis di Jawa. Kawasan ini selain berfungsi sebagai kawasan tangkapan air juga merupakan habitat satwa yang unik, seperti Owa Jawa, Elang Jawa dan Macan Tutul. Selanjutnya dengan dimasukkannya Gunung Salak sebagai kawasan taman nasional, membuat kawasan ini juga menjadi potensi wisata yang unik yaitu “Kawah Ratu”. 65
Secara
administrasi,
kawasan
taman
nasional
memiliki
sejarah
perkembangan tersendiri dengan beberapa perubahan status. Adapun sejarah lahirnya dan perkembangan perubahan status dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dapat dikemukakan sebagai berikut: Tabel 2. Perkembangan Status Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak TAHUN PERUBAHAN STATUS 1924-1934 Status hutan lindung dibawah Pemerintah Belanda dengan luas mencakup 39.941 hektar 1935-1961 Status cagar alam dibawah Pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/ Djawatan Kehutanan Jawa Barat 1961-1978 Status cagar alam dibawah pengelolaan Perhutani Jawa Barat 1979-1990 Status cagar alam dibawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam III yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I 1990-1992 Status cagar alam dikelola Taman Nsional Gunung Gede Pangrango 1992-1997 Status taman nasional dikelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 1997-2003 Status taman nasional dibawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun setingkat eselon III. 2003Status penunjukan kawasan menjadi Taman Nasional Gunung sekarang Halimun Salak seluas 113.357 hektar merupakan penggabungan kawasan lama TNGH dengan eks Hutan Lindung Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut dan hutan produksi di sekitarnya. Sumber: Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 2010 Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan 175/Kpts-II/2003 luas total TNGHS adalah ±113.357 hektar, akan tetapi lampiran peta pada surat keputusan tersebut kurang sesuai dengan kondisi dan batas kawasan yang ada di lapangan. Kawasan TNGHS terbagi menjadi 3 Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTNW) yaitu: 1. SPTNW I Lebak terdiri dari 4 resort, yaitu: Resort Gunung Bedil; Resort Cibedug; Resort Gunung Bongkok dan Resort Cisoka; 2. SPTNW II Bogor terdiri dari 6 resort, yaitu: Resort Gunung Talaga; Resort Gunung Kencana; Resort Gunung Botol; Resort Gunung Butak; Resort Gunung Salak II dan Resort Gunung Salak I; 3. SPTNW III Sukabumi terdiri dari 4 resort, yaitu: Resort Kawah Ratu; Resort Gunung Kendeng; Resort Cimantaja dan Resort Gunung Bodas.
66
4.1.b. Desa Sirna Resmi dan Masyarakat Kasepuhan Salah satu desa yang paling dekat dan berada dalam kawasan taman nasional adalah Desa Sirna Resmi. Secara administratif, Desa Sirna Resmi berada di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat yang merupakan wilayah penyangga Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNHGS). Tipologi desa ini adalah desa di sekitar hutan dan terisolasi. Posisi desa dalam hal jarak ke lokasi ibu kota kecamatan dan kabupaten adalah sebagai berikut: jarak terdekat dari Desa Sirna Resmi ke pusat kecamatan adalah 23 kilometer yang dapat dicapai dalam 1 jam, jarak dari Desa Sirna Resmi ke pusat kabupaten adalah 33 kilometer yang dapat dicapai dalam 1,5 jam. Curah hujan di daerah ini cukup tinggi, yang memiliki 5 bulan hujan. Suhu di setiap desa relatif sejuk dengan suhu rata-rata 20oC. Desa ini juga tertutup kabut. Kondisi cuaca (sejuk, curah hujan tinggi dan berkabut) disebabkan oleh keberadaan lokasi di dataran tinggi dan di sekitar hutan. Ketinggian desa adalah berkisar dari 600 meter di atas permukaan laut (mdpl) hingga 1600 mdpl. Desa Sirna Resmi memiliki luas wilayah 4917 hektar, yang sebagian besar adalah hutan lindung (4000 hektar). Penduduknya berjumlah 4803 orang. Desa Sirna Resmi terdiri atas 23 kampung menurut pembagian adat Kasepuhan. Sementara berdasarkan wilayah pemerintahan, terdapat tujuh dusun, yaitu Sirna Resmi, Cibongbong, Cikaret, Cimapag, Situ Murni, Cipulus, dan Cipta Gelar. Dari 7 dusun tersebut, 3 dusun berada di dalam kawasan, yaitu Dusun Cipulus, Cipta Gelar, dan Situ Murni. Desa Sirna Resmi dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang dibantu oleh perangkat desa yang berfungsi menjalankan administrasi di tingkat desa. Namun dalam kehidupan sehari-hari peran ketua adat lebih dominan dari peran kepala desa. Bahkan dalam hal memerintahkan masyarakat untuk melakukan kerja bakti. Perintah ketua adat lebih diikuti daripada perintah kepala desa. Desa Sirna Resmi menjadi khas karena dihuni oleh Masyarakat Kasepuhan. Ada banyak faktor yang membedakan Masyarakat Kasepuhan dari masyarakat lokal lainnya yang hidup di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan karakteristik masyarakat tersebut:
67
Tabel 3. Kondisi Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak Mata Pencaharian (Livelihood)
Masyarakat Kasepuhan Pertanian padi
Zonasi Hukum Tradisional/ Adat Pengelolaan Hutan Kepala Suku Modal Sosial Sistem Ketahanan Pangan Ritual
Ada Ada Ada Ada Kuat Ada Ada
Masyarakat Non Kasepuhan Pertanian padi Pekerjaan lain Tidak Tidak Tidak Tidak Lemah Tidak Tidak
Sumber: Hasil Penelitian, 2010-2012 Di Desa Sirna Resmi terdapat 3 (tiga) pusat Kasepuhan, yaitu Kasepuhan Sinar Resmi yang terletak di Dusun Sirna Resmi (Abah Asep), Kasepuhan Cipta Gelar di Dusun Cipta Gelar (Abah Ugi) dan Kasepuhan Cipta Mulya (Abah Hendrik) di Dusun Sirna Resmi. Namun demikian, wilayah adat setiap Kasepuhan tersebut tidak dibatasi oleh kampung. Tidak ada batas teritorial yang jelas untuk setiap Kasepuhan. Sebagai satu kesatuan adat, satu Kasepuhan memiliki anggota yang tersebar di seluruh wilayah di sekitar desa ini, bahkan sampai keluar desa atau keluar pulau Jawa. Ketiga Kasepuhan tersebut memiliki norma dan adat kebiasaan yang sama, baik dalam hal pertanian, institusi sosial, sistem kepercayaan maupun pengetahuan tentang lingkungan termasuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Setiap komunitas memiliki rumah adat sendiri yang disebut Imah Gede. Rumah ini digunakan untuk banyak fungsi, seperti tempat tinggal kepala suku dan istrinya, tempat pertemuan, tempat mempersiapkan ritual, guest house dan lainlain. Rumah ini cukup unik. Semua pilar terbuat dari potongan besar dari bambu, dinding anyaman bambu dan atap dari ijuk memiliki model khas dan berwarna hitam. Setiap komunitas dipimpin oleh abah. Abah menjabat sebagai kepala suku sejak diangkat sampai meninggal. Sebagai pemimpin adat, abah memiliki kekuasaan absolut pada kehidupan rakyatnya atau pengikutnya (disebut incuputu), terutama dalam prosedur mata pencaharian yang bergantung pada pertanian padi. Kasepuhan memiliki jajaran kepengurusan untuk melayani abah dan istrinya dan urusan-urusan Masyarakat Kasepuhan yang disebut “tukang”.
68
Abah merupakan pusat untuk membuat keputusan. Namun dalam pengambilan keputusan, abah mengacu pada "wangsit". Wangsit adalah arahan dari nenek moyang yang datang melalui mimpi. Misalnya ketika mereka akan memilih kepala suku baru. Tidak ada pemilihan umum seperti dalam masyarakat modern. Mereka memilih kepala suku berikutnya berdasarkan wangsit. Wangsit datang kepada abah atau kepada kepala perwakilan (Kokolot-Kampung) di setiap desa, selanjutnya dimusyawarahkan dalam Badan Musyawarah. Kasepuhan memiliki badan musyawarah, seperti badan legislatif dalam masyarakat modern. Badan ini terdiri dari kokolot kampung dan memiliki tugas untuk memberikan pertimbangan kepada abah sebelum mengambil keputusan. 4.1.c. Sistem Mata Pencaharian dan Pertanian Masyarakat Kasepuhan Mata pencaharian utama Masyarakat Kasepuhan adalah bertani baik di ladang dan sawah. Pertanian pola Kasepuhan didasarkan pada pengetahuan turuntemurun tentang metode pertanian yang mengandalkan keberadaan kepercayaan terhadap alam. Luas penguasaan lahan masyarakat sulit untuk diukur, karena masyarakat setempat memiliki pengukuran sendiri, seperti untuk lahan pertanian mereka menggunakan jumlah benih sebagai pengukuran atau produksi padi. Sementara itu, untuk halaman atau taman, tidak ada pengukuran untuk perbandingan di semua unit. Ada dua jenis petani, sebagai pemilik (petani) dan sebagai pekerja (buruh). Sebenarnya, para buruh memiliki tanah ladang, namun luas tanahnya sangat kecil, maka mereka menjadi pekerja di tanah orang lain setelah mereka selesai mengerjakan tanah mereka sendiri. Gaji sebagai pekerja (buruh tani) diatur oleh sistem 05:01. Ini berarti bahwa pemilik mendapatkan 80% dan pekerja mendapatkan 20% dari hasil padi. sedangkan jika membayar secara tunai, kurang lebih sebesar Rp. 30.000 per hari, sejak jam 08:00 AM sampai 15:00 WIB.
Dalam hal bekerja pada pertanian padi, posisi pria dan wanita (suami dan istri) seimbang, mereka bekerja sama, ada bagian yang harus dilakukan oleh lakilaki dan ada bagian yang harus dilakukan oleh perempuan. Sebagai contoh dalam kasus "ngasek" (membuat lubang di tanah), tugas laki-laki adalah untuk membuat lubang di tanah, maka perempuan menempatkan benih padi ke dalam lubang. Masyarakat Kasepuhan menanam padi lokal bernama Pare Ageung. Mereka mengenal lebih dari 100 jenis padi. Namun umumnya orang menggunakan sekitar 50 spesies. Selanjutnya Abah Asep menjelaskan bahwa ‘Padi paling unggul 69
adalah Sri Kuning, bijinya banyak, namun rasanya kurang puleun (kurang enak). Jenis padi cere mempunyai biji kecil-kecil tapi rasanya puleun (enak)”. Berdasarkan penjelasan Abah Asep diketahui bahwa Masyarakat Kasepuhan mengembangkan beragam jenis padi lokal. Sebagaimana yang disampaikan oleh Abah Asep di Kasepuhan Sinar Resmi, bahwa: “Pada zaman Aki Harjo, ada 113 jenis padi lokal, namun sejalan dengan perkembangan zaman, sekarang hanya tingal 46 jenis yang dibudidayakan oleh Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Adapun jenis-jenis padi tersebut antara lain: (1) Padi Raja Denok, (2) Padi Raja wesi, (3) Padi Sri Kuning, (4) Padi Sri Maki, (5) Padi Nemol, (6) Padi Angsana, (7) PadiTampey, (8) Padi Terong, (9) Padi Jambu, (10)Padi Rogol Beureum, (11) Padi Rogol Bodas, (12) Padi Beureum Beunying, (13) Padi Kewal, (14)Padi Peuteuy, (15) Padi Gadog, (16) Padi Maringgeung, (17) Padi Kadut, (18) Padi Harawa Benter, (19) Padi Hawara Nani, (20) Padi Hawara Jeuni, (21) Padi Cere Geulas, (22) Padi Cere Layaung, (23) Padi Cere Kawat, (24) Padi Cere Marilen, (25) Padi Cere Uni, (26) Padi Cere Murag, (27) Padi Ketan Beledug, (28) Padi Ketan Cikur, (29) Padi Ketan Rante, (30) Padi Ketan Lepo, (31) Padi Ketan Bogor, (32) Padi Ketan Hideung. Di sawah abah sendiri hanya mengembangkan beberapa jenis padi saja, antara lain: (1) Padi Sri Kuning, (2) Padi Raja Denok, (3) Padi Nemol, (4) Padi Angsana, (5) Padi Rogol, (6) Padi Ketan Beledug, (7) Padi Ketan Cikur, (8) Padi Cere Layung, (9) Padi Cere Gelas, (10) Padi Cere Marilen, (11) Padi Cere Uni”.
Dalam hal pertanian, Masyarakat Kasepuhan memiliki prinsip: “saeutik mahi loba nyesa” (sedikit cukup banyak bersisa). Hal inilah yang mendasari pola pertanian Kasepuhan yang tidak mengejar produktivitas melainkan keselarasan hidup dengan alam. Sehingga aktivitas pertanian masyarakat diusahakan tidak merusak lingkungan. Oleh karena itu, ada banyak larangan yang dibuat oleh Kasepuhan dalam menjalankan usaha pertaniannya, salah satunya adalah dilarang menggunakan pupuk kimia atau pestisida. Konsep pertanian yang dijalankan oleh Masyarakat Kasepuhan, tentu berbeda dengan konsep pertanian modern. Prinsip pertanian modern adalah pada pencapaian produktivitas yang tinggi dari lahan pertanian. Jika memungkinkan untuk menanam padi yang dapat dipanen dalam waktu 3-4 bulan, sehingga lahan sawah dapat ditanami selama 2-3 kali dalam setahun. Konsep ini menjadi kebijakan pertanian Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan produksi pertanian melalui program intensifikasi. Seiring dengan adanya introduksi pertanian modern dari negara, telah terjadi perubahan pola pertanian pada Masyarakat Kasepuhan. Kebijakan negara tentang pertanian pada masa revolusi hijau telah menyebabkan masyarakat melakukan pelanggaran atas tradisi budayanya. Penggunaan jenis padi hibrida, pupuk kimia 70
termasuk menjual hasil padi yang tadinya dilarang oleh Kasepuhan menjadi dilanggar oleh beberapa orang masyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh Abah Asep bahwa “Pada tahun 1977, pada zaman revolusi hijau, pada zaman Kasepuhan masih dipegang oleh Abah Harjo, pemerintah menerapkan program komoditi unggulan, dengan mengarahkan masyarakat untuk menanam padi unggul yaitu PW5, PW8. Padi ini memiliki pola tanam satu tahun 2 (dua) kali. Hal ini bertentangan dengan pola tanam Masyarakat Kasepuhan yang memiliki pola tanam satu tahun satu kali. Masyarakat sebagian ada yang mengikuti anjuran pemerintah, namun sebagian lagi, khususnya dalam lingkaran adat kasepuhan tetap bertahan dengan menanam padi lokal. Abah Harjo bilang ingin tahu ditandingkan antara padi lokal dengan padi pemerintah, mana yang paling bagus. Ternyata padi pemerintah dalam hal produksi lebih unggul, lebih banyak namun tidak tahan lama. Baru 2 (dua) tahun disimpan di lumbung, padi pemerintah sudah lapuk, sementara padi lokal dari jumlah produksi memang lebih sedikit karena hanya panen satu kali dalam satu tahun, namun bijinya lebih berat, nilai kandungan gizinya lebih banyak dan ketahanannya lebih lama, bisa bertahan sampai 5 (lima) tahun”.
Dari hasil perbandingan antara pengetahuan pertanian yang diintrodusir oleh pemerintah baik dalam hal penggunaan bibit padi maupun pupuk kimia sampai pada pola tanam satu tahun dua kali telah membuktikan bahwa pengetahuan lokal lebih unggul dibandingkan dengan pengetahuan pemerintah. Sekalipun jumlah produksi padi hibrida dan penggunaan pupuk kimia membuat produksi lebih banyak dibandingkan dengan padi lokal, namun karena tidak tahan lama dan terpaksa dijual, membuat keberadaan padi tersebut tidak cukup untuk mendukung hidup petani sampai panen berikutnya. Oleh karena itu, masyarakat kembali menggunakan cara-cara lokal. Sebagaimana yang dituturkan oleh Abah Asep lebih lanjut: “Dulu pada tahun 1971, awalnya melalui Koperasi Unit Desa (KUD) pemerintah bukan hanya mengarahkan masyarakat menanam jenis padi hibrida, melainkan juga memberikan subsidi pupuk kimia (PSP dan Urea), selanjutnya membuat demplot percobaan”. Keberadaan pupuk kimia tersebut jelas bertentangan dengan kebiasaan Masyarakat Kasepuhan yang mengharuskan penggunaan pupuk organik. Dilihat dari aspek, dulu waktu menggunakan pupuk organik, 1 (satu) hektar sawah menghasilkan 4 ton, sedangkan setelah menggunakan pupuk kimia 1 (satu) hektar menghasilkan 4,5 ton. Namun dari sisi ketahanan, padi yang menggunakan pupuk kimia hanya bertahan 3 tahun, sedangkan padi yang menggunakan pupuk organik bisa bertahan sampai 5 tahun. Karena padi pemerintah tidak tahan lama, sehingga masyarakat terpaksa menjual padi tersebut, melanggar aturan adat yang melarang menjual padi. Akibatnya padi tidak cukup untuk biaya hidup dalam satu tahun sampai panen berikutnya”.
71
Dalam pengelolaan lahan untuk pertanian, sangat terlihat bagaimana Masyarakat Kasepuhan menghargai alam. Alam ditempatkan sebagai faktor penting dalam kehidupan manusia. Konsep Ibu Bumi, Bapak Langit dan Guru Mangsa mengajarkan bagaimana Masyarakat Kasepuhan mengerjakan tanah dan mengolah lahan untuk pertanian. Sebagaimana dikemukakan oleh Rahmawati (2012), bahwa: “In general, Kasepuhan Community is still maintaining traditional farming methods. They work the land and plant it once a year. They do it for the sake of respect to Mother Earth. "You could not force mother for giving birth twice a year”. This earth is an organism. Therefore, the tradition teaches agricultural rites. Prior to cultivate the land, they do a ceremony. According to their beliefs, before they cultivate the land, they need to get permission from the ancestor, because this earth is an organism that has been contaminated. That is what they do.” Masyarakat menanam padi hanya satu kali dalam satu tahun. Hal tersebut dilakukan untuk kepentingan terhadap Ibu bumi. Ibu bumi yaitu Dewi Sri (Dewi padi). Konsep Ibu bumi adalah penghormatan terhadap padi. Padi dalam konsep Kasepuhan dimaknai sebagai Dewi Sri, sehingga mulai dari tanam sampai panen, memasak dan memakannya menggunakan tata cara penghormatan tertentu. Ada banyak upacara adat yang berhubungan dengan pertanian padi. Upacara adat diawali dari pertanian huma baru diikuti oleh pertanian sawah. Misalnya mipit (panen) pertama di huma, melak (menanam) padi pertama di huma, begitupun dengan ngasek (melobangi tanah) dilakukan untuk pertama kalinya di huma, baru diikuti oleh kegiatan pertanian di sawah. Adapun upacara-upacara ritual yang mengiringi sejumlah aktivitas pertanian, sebagai berikut: 1. Ngored (mensiangi rumput) 2. Ngasek (melobangi tanah) dilanjutkan dengan melak (menanam padi) 3. Sapangjadian (1 minggu setelah ngasek) 4. Selametan Pare Nyiram (mulain tumbuh buah) 5. Mipit (panen) 6. Seren Tahun (upacara adat setelah selesai panen) tujuannya adalah untuk ngampihkeun pare ka leuit (menyimpan padi pertama ke lumbung). Seren tahun dilakukan pada hari Jum’at, Sabtu dan Minggu tiga hari secara berturutturut. Pada kesempatan ini juga diserahkan secara simbolik seikat padi dari 72
incu-putu kepada abah dan uang sebesar Rp. 100,- sebagai simbol kepengikutan incu-putu tersebut. 7. Rosulan (hari Senin) dilakukan setelah seren tahun tujuannya adalah bersyukur karena telah mengalami serangkaian kegiatan pertanian sampai tuntas. Jika seren tahun terbuka untuk umum, maka rosulan hanya dilakukan oleh keluarga dalam Kasepuhan saja. Konsep “Bapak langit” menunjukkan adanya pengetahuan lokal yang didasarkan pada peristiwa alam semesta (langit) dalam hal pengolahan lahan pertanian, yaitu dalam menentukan waktu untuk bekerja pada lahan dengan melihat bintang-bintang Kerti dan Kidang. Kerti dan Kidang adalah rasi bintang yang dilihat di langit pada malam hari. Kerti adalah bintang ngaronyok (kumpulan bintang), Kidang adalah bintang waluku/ nu tilu (bintang yang berbentuk seperti layang-layang). Dalam menentukan tanggal untuk kegiatan pertanian, digunakan hukum alam. “Ketika sudah timbul kerti maka guru mangsa untuk turun besi” (menyiapkan pakarang/ alat-alat pertanian), “Ketika timbul kidang guru mangsa untuk turun kujang nibakeun sri ka bumi“ (waktunya untuk menanam padi), karena dianggap tanah sudah dingin. Penerapan hukum-hukum alam Kerti dan Kidang adalah sebagai berikut: Ketika bintang Kerti terlihat, masyarakat harus turun besi, maka mereka harus sudah mempersiapkan peralatan; ketika Kidang telah muncul, petani diperbolehkan untuk turun ke ladang atau untuk bekerja pada lahan pertanian. Guru Mangsa berarti bahwa mereka mempelajari alam semesta dalam hal menentukan waktu untuk mulai tanam atau tidak. Tujuan dari pengetahuan ini adalah untuk bersaing dengan makhluk lain, untuk “ngudag akuan” (mengejar hak atas tanah). Bintang Kerti menjadi tanda awal untuk bekerja di darat. Meskipun hujan tidak turun lagi, mereka masih menanam sesuai dengan tradisi. Pada bulan September sampai April, tanah adalah hak petani, sementara itu, pada bulan Mei hingga Agustus, itu adalah hak makhluk lainnya, seperti serangga dan lain-lain (itu tidak boleh disebut). Setelah menanam padi, lahan pertanian dipagar dengan ajian (doa): ”Ulah arek comokot kana tetendenan aing, ulah herey, ulah bader (jangan mengambil simpanan aku, jangan main-main, jangan nakal)”. Di
73
bulan Mei-Agustus selain menanam padi, masyarakat diperbolehkan untuk menanam tanaman yang lain (tumpang sari) seperti tanaman palawija. Sampai saat ini, konsep “ibu bumi, bapak langit dan guru mangsa” masih digunakan oleh Masyarakat Kasepuhan. Pengetahuan mereka datang dari alam. Kerti dan Kidang adalah jenis bintang. Mereka digunakan sebagai tanda untuk memulai bertani. Tetapi orang yang memutuskan untuk memulai itu adalah abah. Ketika Kerti dan Kidang tidak muncul (tidak terlihat), maka abah akan mengambil keputusan berdasarkan "wangsit". Ukuran produktivitas pertanian dalam Masyarakat Kasepuhan berbeda dengan ukuran produktivitas menurut negara atau menurut konsep umum. Dalam Masyarakat Kasepuhan dikenal adanya konsep hidup: “beuteung seubeuh, imah pageuh, baju weuteuh, pamajikan reuneuh” (perut kenyang, rumah kokoh, baju baru/ bagus, istri hamil). Hal tersebut bermakna bahwa tujuan hidup Masyarakat Kasepuhan adalah “perut kenyang, rumah kokoh, baju baru dan istri hamil”. Ini bermakna bahwa produktivitas hanya sebatas perut kenyang. Batasannya adalah bisa makan setiap hari sampai panen berikutnya. Selanjutnya rumah kokoh adalah memiliki rumah yang layak menurut konsep Masyarakat Kasepuhan, rumah yang bisa memberi tempat berteduh dengan atap injuk. Baju baru artinya mereka memiliki uang untuk membeli baju baru dan dapat membeli baju baru untuk setiap perayaan, misalnya ketika lebaran atau pada saat seren tahun. Adapun istri hamil bermakna bahwa Masyarakat Kasepuhan harus mempunyai keturuan dan meneruskan tradisi Kasepuhan. 4.1.d. Pengetahuan Masyarakat Adat Kasepuhan Tentang Tata kelola Hutan Masyarakat
Kasepuhan,
memiliki
pengetahuan
tata
kelola
hutan.
Pengetahuan ini bukan hanya sekedar mengatur hutan, tetapi terpadu mengatur hubungan manusia dengan manusia dan mengatur hubungan manusia dengan alam (lingkungan) termasuk dengan hutan, tumbuhan dan hewan di dalamnya, bahkan dengan roh nenek moyang yang dipercayai menempati dan menjaga alam dan hutannya. Dalam memahami hubungan manusia dengan manusia, setiap masyarakat memiliki pengetahuan dan aturan adat masing-masing. Dalam Masyarakat Kasepuhan misalnya, ada konsep tentang “sara, nagara dan mokaha”. Konsep 74
tersebut mengajarkan bahwa Masyarakat Kasepuhan harus melaksanakan sara, nagara jeung mokaha. Sebagaimana dikemukakan oleh Rahmawati (2012) bahwa: “There is a motto of Kasepuhan Community, namely "SARA, NAGARA, and MOKAHA". SARA is acronym from words "Suku (ethnic), Agama (religion), Ras (Race), Anatomi (anatomy). NAGARA is state or government; MOKAHA is custom or tradition. This motto implies that Kasepuhan community appreciate to other ethnic, other religion, other race, and other anatomy or organism (like tall or short, black or white, human or animal). Then They recognize as part of the state and obey to laws of state. But, they have own custom. Because of this motto, SARA (including Religion), NAGARA (law of State) and MOKAHA (traditional value) must run in harmony. Because of this motto, they accept Islam as their religion, but in practice, they believe ancestor religion. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Rahmawati (2012) tersebut, bahwa konsep
“sara,
nagara
jeung
mokaha”
pada
Masyarakat
Kasepuhan
mengisyaratkan bahwa dalam hubungan manusia dengan manusia, Masyarakat Kasepuhan menghargai adanya perbedaan dengan berbagai macam suku, ras, agama bahkan bentuk tubuh. Konsep ini diwujudkan dalam bentuk aturan kepengikutan, dimana Kasepuhan membuka pintu bagi siapa saja dari berbagai ras, agama dan suku bangsa untuk menjadi anggota (incuputu) Kasepuhan. Dibuktikan dengan adanya incuputu Kasepuhan yang berasal dari Perancis. Konsep “SARA” inilah maka Masyarakat Kasepuhan menerima Islam sebagai agama mereka walaupun dalam prakteknya mereka masih menjalankan agama nenek moyang. Agama Islam ditempatkan sejajar dengan agama nenek moyang dalam tradisi Kasepuhan. Konsep “NAGARA” terkandung makna bahwa dalam menjalankan kehidupannya, Masyarakat Kasepuhan menghargai dan menghormati negara selaku pemegang kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik negara dalam arti pemerintahan pusat dan negara dalam arti pemerintah daerah. Masyarakat Kasepuhan mempunyai kewajiban untuk menghormati seluruh kebijakan negara. Adapun “MOKAHA” terkandung makna Ksepuhan atau dengan kata lain adat, yaitu Masyarakat Kasepuhan mempunyai kewajiban menjalankan tradisi dan adat istiadat Kasepuhan termasuk didalam pergaulan dengan manusia lainnya.
75
Selanjutnya dalam kosmologi Kasepuhan menyebutkan bahwa SARA, NAGARA dan MOKAHA ini harus bersatu. Setiap keputusan yang diambil oleh Kasepuhan harus mengacu pada prinsip: ‘kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mufakat jeung balarea’ (harus mengacu kepada hukum, mendukung negara, mufakat dengan orang banyak). Hal tersebut bermakna bahwa Kasepuhan menghargai pendapat umum dan mengutamakan musyawarah untuk mufakat, walaupun sebenarnya peran abah dalam Kasepuhan sangat dominan. Dalam Masyarakat Kasepuhan, hubungan manusia dengan alam tergambar dari apa yang dikemukakan oleh Adimihardja (1989) bahwa Masyarakat Kasepuhan juga menyatakan diri mereka sebagai "pancer pangawinan". Pancer berarti asal (lulugu), sedangkan pangawinan berarti sebagai tombak dalam upacara pernikahan. Upacara perkawinan dipandang sebagai penggabungan manusia dengan tanah tempat mereka tinggal. Artinya manusia dengan tanah dan sumberdaya alam lainnya harus bisa hidup selaras dan menjaga kelestarian alam, menikah dengan alam artinya menjadikan alam sebagai bagian dari hidupnya, termasuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Dalam hal mengelola hutan, Masyarakat Kasepuhan membagi hutan kedalam empat wewengkon (dalam konsep modern disebut zonasi), yaitu leuweung titipan (zona inti), leuweung tutupan (zona rimba), leuweung cawisan (zona cadangan) dan leuweung garapan (zona pemanfaatan). Masing-masing dapat dijelaskan, sebagai berikut: a. Leuweung Titipan adalah hutan yang dianggap titipan nenek moyang untuk dijaga, dimana masyarakat terlarang untuk datang ke tempat ini, baik untuk mengambil kayu maupun hasil hutan lainnya, bahkan untuk menginjak wilayah ini perlu izin dari abah dan melakukan upacara terlebih dahulu sebelum datang ke tempat ini. b. Leuweung Tutupan adalah hutan yang menutupi hutan titipan yaitu hutan cadangan dimana hutan ini terlarang untuk diambil kayunya, tetapi jika di wilayah lain tidak ada, maka dapat mengambil kayu di wilayah ini hanya untuk kepentingan membuat rumah sendiri dan bukan untuk diperjual belikan. Untuk mengambil kayu dari wilayah ini juga butuh izin dari abah selaku ketua adat. 76
c. Leuweung Cawisan dengan istilah lain yaitu hutan produksi terbatas, yaitu hutan yang sumberdayanya dapat dimanfaatkan dalam kondisi terbatas, misalnya kayunya bisa digunakan untuk membangun rumah pribadi atau untuk membangun fasilitas sosial. Jika kayu yang dibutuhkan di tempat ini tidak ada, maka dapat mengambilnya di leuweung titipan. Untuk mengambil kayu di tempat ini juga perlu izin atau memberitahu kepada abah selaku ketua adat. Selain kayunya boleh diambil, di wilayah ini juga boleh dilakukan perburuan yang sifatnya terbatas, misalnya berburu kijang pada saat mau melakukan upacara seren tahun. d. Leuweung Garapan yaitu hutan produksi. Di tempat ini adalah lahan garapan/ kawasan pertanian masyarakat dimana masyarakat menanaminya dengan padi. Pada masa lalu (sebelum tahun 2003), Perhutani menanami kawasan ini dengan kayu besar. Ada simbiosis mutualisma antara masyarakat dan Perum Perhutani. Berdasarkan aturan zonasi di atas, Masyarakat Kasepuhan mengelola hutan Gunung Halimun Salak. Dalam mengelola hutan tersebut, Masyarakat Kasepuhan memiliki aturan tentang aktivitas yang dibolehkan atau dilarang untuk dilakukan di kawasan hutan. Tabel 4. Aturan Yang Dibolehkan dan Dilarang Pada Masyarakat Kasepuhan Kegiatan Yang dibolehkan Kegiatan Yang Dilarang Menanam di zona pemanfaatan Masuk ke zona inti Mengambil kayu bakar untuk kebutuhan Mengambil kayu untuk dijual konsumsi sendiri Memotong kayu untuk membangun rumah Menjual beras sendiri Penggunaan pupuk organik Penggunaan pupuk kimia Selain aturan yang dibolehkan dan dilarang dalam mengelola hutan, Masyarakat Kasepuhan juga mengatur mengenai pemanfaatan hutan, khususnya kayu. Jika masyarakat akan menebang pohon (kayu), maka harus menanam terlebih dahulu. Pada Masyarakat Kasepuhan, jika masyarakat akan menebang satu pohon kayu, maka dia terlebih dahulu harus menanam 10 sampai 20 batang pohon kayu tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Abah Asep, sebagai berikut:
77
“Bagaimanapun juga masyarakat adat butuh keberadaan hutan, karena itu masyarakat dituntut bukan hanya dapat memanfaatkan hutan tapi harus juga menjaga dan melestarikannya. Melalui hukum adat diatur tatacara pemanfaatan hutan. Kalau mau nebang 1 tangkal (memotong satu pohon kayu), maka sebelum menebang pohon tersebut harus menanam terlebih dahulu 10 sampai 20 tanaman dan itupun baru bisa dilakukan setelah ada izin dari abah. Kalau menebang tanpa izin dari abah maka jatuhnya disebut sebagai pencuri. Denda untuk pencuri menjadi lebih banyak. Kalau mencuri kayu 2 (dua) pohon maka dendanya harus menanam pohon sebanyak 100 pohon. Dua pohon tersebut apabila sudah dipotong-potong, kra-kira akan menghasilkan menjadi 3 kubik (setara dengan 3 kubik kayu).” Besarnya denda yang harus dibayar bukan merupakan alasan satu-satunya yang menyebabkan masyarakat menjaga hutannya, ada alasan lain yang lebih ditakuti yaitu keberadaan roh nenek moyang yang menjaga hutan (kekuatan supranatural yang dipercaya oleh Masyarakat Kasepuhan menjaga hutan). Apabila hasil hutan diambil tanpa izin maka akan terkena “kualat”, sehingga kemungkinan masyarakat adat melakukan pencurian kayu di hutan adat atau menebang kayu melebihi ketentuan sangat kecil karena pertimbangan aspek supranatural tersebut. Sebagaimana dijelaskan oleh Sekretaris abah tentang kualat melalui contoh sebagai berikut: “Suatu hari ada incuputu abah yang pergi ke hutan titipan tanpa izin dari abah, orang tersebut hilang tiga hari di hutan istilah adat namanya “katalimeung”. Batas hutan yang boleh maupun yang tidak boleh dimasuki tersebut ditandari oleh adanya batu kembar. Itu juga kata orang tua karena saya sendiri belum pernah masuk ke wilayah tersebut. Katanya ada batu pacakup (batu seperti bentuk pintu gerbang). Hanya orang tertentu saja yang bisa masuk ke wilayah tersebut”.
4.2. HUTAN SUNGAI UTIK: 4.2.a. Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat Kabupaten Kapuas Hulu adalah kabupaten terujung di wilayah timur Provinsi Kalimantan Barat yang langsung berbatasan dengan Negara Malaysia. Luas wilayah Kabupaten Kapuas Hulu 29.842 km2 atau 20,33% dari luas total Provinsi Kalimantan Barat secara keseluruhan mencapai 146.807 km2. Kabupaten Kapuas Hulu memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata yang tercatat pada Stasiun Meteorologi Pangsuma tahun 2010 adalah 26,7°C. Tingginya suhu udara di Kapuas Hulu disebabkan antara lain karena letak Kabupaten Kapuas Hulu yang relatif dekat dengan garis khatulistiwa dan struktur geografis Kabupaten Kapuas Hulu yang secara umum berada pada wilayah dataran cukup tinggi. 78
Melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Nomor 144 Tahun 2003 Kabupaten Kapuas Hulu telah ditetapkan sebagai Kabupaten Konservasi. Penetapan ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi faktual wilayah Kabupaten Kapuas Hulu dimana kawasan lindung 834.140 ha dan taman nasional 930.940 ha berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) Nomor 259/Kpts-II/2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Kalimantan Barat
Seluas 9.178.760 Hektar. Akan tetapi, walaupun sudah
ditetapkan sebagai Kabupaten Konservasi bukan berarti tidak ada ancaman kehancuran ekologis. Faktanya adanya ancaman konversi kawasan hutan menjadi perkebunan dan pertambangan dengan dikeluarkan izin yang sudah mencapai angka 1.636.484 ha. Kabupaten Kapuas Hulu terdiri atas 25 kecamatan (tahun 2010). Kecamatan Embaloh Hulu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Kapuas Hulu yang terluar. Meskipun bukan merupakan kecamatan yang terletak di perbatasan Indonesia-Malaysia, namun suasana kental khas Malaysia sudah terlihat dari berbagai produknya yang banyak digunakan oleh penduduk setempat. Kecamatan Embaloh Hulu ini memiliki setidaknya dua lokasi cagar budaya, yaitu Sui Utik (Sungai Utik) dan Dusun Bukung yang telah ditetapkan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Putussibau. Namun cagar budaya Dusun Bukung yang juga memiliki Rumah Betang sedikit berbeda dengan Sui Utik, karena disana atapnya sudah diganti dengan seng. Dusun/ Kampung Sungai Utik dipilih sebagai lokasi penelitian karena beberapa alasan, sebagai berikut: Pertama, dusun ini merupakan lokasi cagar budaya, namun disisi lain kawasan ini termasuk kawasan hutan hak pengusahaan hutan (HPH) atau kawasan izin usaha pemenfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Kedua, Dusun ini dihuni oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yang memiliki pengetahuan tentang tata kelola hutan yang sudah mendapatkan sertifikat Ecolabeling dari Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI).
4.2.b. Kampung Sungai Utik (Sui Utik) Kampung Sungai Utik dinamai dengan “Sungai Utik” karena pada kawasan Sungai Utik mengalir sebuah sungai dari arah hulu Hutan Sungai Utik yang airnya sangat jernih. ’Sungai Utik” artinya adalah air bersih. Sungai ini mencerminkan 79
ikatan antara masyarakat dengan hutan dan sungai sangatlah erat. Sungai berasal dari mata air Hutan Sungai Utik, dimana pada bagian hulunya sungai tersebut menjadi sumber air bersih, sedangkan pada bagian hilirnya berfungsi sebagai tempat mandi maupun mencuci baju. Sungai juga menjadi salah satu sumber pangan masyarakatnya, karena sungai menyediakan berbagai jenis ikan. Ikan-ikan tersebut menjadi sumber penghidupan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Secara administratif, Kampung/ Dusun Sungai Utik merupakan salah satu Dusun di wilayah Desa Batu Lintang. Desa ini merupakan hasil pemekaran dari Desa Rantau Perapat Kecamatan Embaloh Hulu. Desa Batu Lintang terdiri atas dua dusun yaitu Dusun Sungai Utik dan Dusun Kulan. Secara administratif berstatus dusun, namun masyarakat lebih suka menyebutnya kampung. Dusun/ Kampung Sungai Utik merupakan dusun yang sangat istimewa karena sebagian besar wilayahnya (72,53%) adalah kawasan rimba (hutan). Hutan di Sungai Utik masih merupakan hutan perawan dimana dalam kawasan tersebut masih ada kawasan yang belum pernah dimanfaatkan kayunya. Berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan oleh masyarakat secara partisipatif, telah diketahui luas wilayah Sungai Utik termasuk tata guna lahannya, yaitu seluas 9.453,50 ha. Adapun luas kawasan Sungai Utik berdasarkan tataguna lahannya sebagai berikut: Tabel 5. Luas wilayah Kampung Sungai Utik dan pembagian tataguna lahannya TATAGUNA LAHAN Damun Danau Engkabang Kebun Karet Keramat Payak Pemukiman Rimba Tembawai JUMLAH
LUAS (Hektar) 2,085,21 0,68 26,25 168,56 11,76 284,86 3,18 6.856,77 16,23 9,453,50
Sumber: Dokumen Tertulis Dusun Sungai Utik Desa Batu Lintang, 2012 Dilihat dari kemajuan pembangunan, Kampung Sungai Utik masih memiliki fasilitas yang terbatas. Di daerah ini belum ada listrik. Masyarakat menggunakan mesin diesel untuk penerangan. Namun sudah ada fasilitas air bersih yang disalurkan melalui pipa ke setiap rumah. Air bersih tersebut diambil dari hulu 80
Sungai Utik. Fasilitas sosial lainnya yang ada di kampung ini adalah rumah ibadat (gereja Katolik). Namun pendeta tidak setiap minggu datang ke tempat ini. Masyarakat baru beribadah di gereja ketika ada pendeta yang datang. Fasilitas pendidikan yang ada di Dusun Sungai Utik adalah Sekolah Dasar (SD) – Sekolah Menengah Pertama (SMP) satu atap. Apabila penduduk Sungai Utik ingin melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Atas (SMA), maka harus ke Martinus (ibukota Kecamatan Embaloh Hulu) atau ke Putussibau (ibukota Kabupaten Kapuas Hulu). Prestasi pendidikan yang pernah dicapai oleh penduduk Sungai Utik adalah 14 orang penduduk lulusan Sarjana berbagai bidang ilmu, 3 orang Diploma dan 2 orang masih mahasiswa. Fasilitas transportasi juga masih terbatas. Letak Kampung Sungai Utik tidak jauh dari jalan besar (jalan raya) yang menghubungkan Kota Putussibau dan Kota Badau. Namun fasilitas alat transfortasi umum di daerah ini masih terbatas. Satu hari hanya ada satu bis umum yang melewati daerah ini ke arah putussibau maupun ke arah Badau. Keterbatasan alat transportasi tersebut menyebabkan aksesibilitas Masyarakat Sungai Utik ke luar lokasi menjadi terbatas. 4.2.c. Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik Kampung Sungai Utik merupakan wilayah yang didiami oleh Suku Dayak Iban. Satuan pemukiman Masyarakat Sungai Utik disebut rumah panjae (rumah panjang/ rumah betang). Pembangunan rumah panjang Sungai Utik dilakukan untuk pertama kalinya sejak tahun 1972. Namun sebelum pembangunan tersebut, persiapan untuk mengumpulkan bahan bangunannya membutuhkan waktu kurang lebih 5 tahun. Tahun 1978 pertama kalinya rumah panjang Sungai Utik ditempati. Rumah tersebut pada saat itu mempunyai panjang 196 meter, dan lebar 12 meter dengan jumlah bilik 28 bilik. Jumlah penduduk Sungai Utik saat ini sebanyak 279 orang. Di rumah panjang Sungai Utik dipimpin oleh seorang “tuai rumah” (ketua rumah panjang), namanya Apai Janggut. Tuai rumah mempunyai kewenangan mengatur tata tertib rumah panjang dan adat istiadat sehari-hari. Tugas lain yang diatur oleh tuai rumah adalah mempersiapkan gawai (gawak), mengatur adat penti pemali, memimpin musyawarah untuk menghukum masyarakat yang melakukan kesalahan di wilayahnya, seperti mencuri buah/ ternak, memberi izin untuk 81
membangun rumah baru, memperbaiki rumah rusak dan memberi izin untuk berladang. Secara administratif Dusun Sungai Utik dipimpin oleh seorang kepala dusun (kadus). Tugas kepala dusun ini merupakan kepanjangan dari tugas kepala desa (kades), sehingga dalam menjalankan tugasnya kepala dusun bertanggung jawab kepada kepala desa. Selain kepala dusun, ada juga yang disebut dengan kepala adat (kadat). Kepala adat ini memiliki tugas untuk memastikan bawa adat di setiap dusun tersebut berjalan. Kepala adat dibutuhkan biasanya pada saat dilakukannya berbagai upacara adat, termasuk gawai sebagai puncak dari upacara adat di setiap rumah panjae (rumah panjang). Kepala adat adalah representasi kepala desa pada setiap rumah panjang yang bertugas membantu tuai rumah dalam penyiapan berbagai upacara adat. Dalam kehidupan sehari-hari, Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki aturan sendiri dalam pengurusan wilayah adatnya. Aturan pengurusan wilayah ini merupakan aturan yang telah ada secara turun temurun yang sampai saat ini masih menjadi pegangan mereka dalam melangsungkan kehidupannya, baik dalam mengatur kehidupan sehari-hari, cara berladang maupun dalam mengatur wilayah hutannya. Aturan tersebut diatur dalam hukum adat yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan alam sekitarnya dan dipastikan melalui kepemimpinan tuai rumah. Hukum adat tersebut ada delapan bagian yaitu: Adat Pati Nyawa, Adat Ngangus, Adat Belaki-Bebini, Adat Mencuri, Adat Ngelanggar, Adat Laya’, Adat Pemalu dan Adat Penti Pemali. 4.2.d. Sejarah Migrasi Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik Penghuni Kampung Menua Sungai Utik berasal dari Lanjak kurang lebih 80 km ke arah Malaysia. Perpindahan mereka dari Lanjak disebabkan karena ladang mereka sering terserang hama belalang besi. Pindahlah mereka menuju ke Sungai Abau, tepatnya di Sungai Kersik. Tanpa diketahui alasan yang jelas dari Sungai Kersik mereka pindah ke Lanjak lagi, dan dari Lanjak pindah ke Sungai Abau. Akibat perpindahan ini terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok Ijon. Kelompok Ijon pindah ke Palapintas dengan jumlah 6 (enam) buah pintu dan Ijon selaku tuai rumah. Kelompok ini selanjutnya melahirkan Tembawai Palapintas Merundup, yang pada 82
akhirnya berpindah ke tembawai pantak. Kelompok kedua adalah kelompok Pateh Judan. Kelompok ini pindah ke Belatong dengan jumlah 7 (tujuh) buah pintu dan Pateh Judan selaku tuai rumah. Selanjutnya melahirkan Tembawai Sungai Belatong. Pindah ke tembawai pinang, dan seterusnya. Lebih jelasnya, sejarah perpindahan masyarakat dari rumah panjang satu ke rumah panjang lainnya, dapat dikemukakan sebagai berikut: Tabel 6. Sejarah Perpindahan Rumah Panjae Masyarakat Dayak Sui Utik Nama Rumah Panjae 1. Palapintas Merundup 2. Sungai Belatong 3. Pinang
Pintu/ Bilek 6
Tahun
Asal Pindah
TK
Lanjak
7 TK
TK TK
4. Injak 5. Sungai Aji 6. Gerunggang 7. Rerak 8. Mugang 9. Pantap 10. Kenyalang 11. Dampak Sungai Aji Puntul
19 27 14 15 16 19 18 TK
1844 – 1874 1874 – 1894 1894 - 1899 1899 - 1907 1907 - 1922 1922 - 1950 1950 - 1956 1956 - 1957
Lanjak Sungai Belatong Pinang Injak Sungai Aji Gerunggang Rerak Mugang Pantap Kenyalang
12. Uji Bilik
25
1957 - 1972
13. Sungai Utik
28
1972-sekarang
Tuai Rumah Ijon
Alasan TK
Pateh Judan TK Pateh Judan Banjir TK TK TK TK TK TK TK TK
Dampak TK Sungai Aji Puntul Uji Bilik Bandi
TK TK TK TK TK TK Penyakit Penyakit & rumah rusak Rumah rusak -
Keterangan : TK = tidak diketahui (Sumber: Dokumen Tertulis Kampung Sungai Utik, 2012) 4.2.e. Sistem Pertanian Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik Sumber penghidupan utama Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik berasal dari pertanian dengan sistem perladangan lahan kering (umai pantai) dan lahan basah (umai payak). Konsep pertanian pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik juga tidak jauh berbeda dengan Masyarakat Kasepuhan, yaitu satu kali dalam satu tahun dengan pertanian utama adalah padi ladang. Hanya cara-cara bertaninya yang sedikit beda, tetapi prinsip-prinsipnya relatif sama. Dalam berladang tersebut, Masyarakat Dayak Iban menggunakan sistem berladang gilir balik (daur ulang menghindari istilah peladang berpindah karena memiliki konotasi negatif sebagai perusak hutan, sedangkan peladangan daur ulang memiliki konsep yang 83
lebih lestari), yang artinya setelah 10 sampai 15 tahun mereka baru boleh menggarap lokasi ladang itu kembali. Disamping menanam padi, mereka juga menanam sayur-sayuran serta umbi-umbian di ladang tersebut. Tempat untuk berkebun sayur-sayuran disebut redas. Adapun berbagai jenis padi yang biasanya ditanam oleh masyarakat, antara lain: Padi Puan (padi tertua dalam Masyarakat Dayak Iban), Padi Sangking, Padi Manjin, Padi Papau dan lain-lain, dan padi jenis pulut seperti: Pulut Besai Leka, Pulut Celum, Pulut Rangkang dan lain-lain. Dalam membuat ladang padi tersebut ada tahapannya, yang selalu dimulai dengan upacara adat pedarak. Tahapan membuat ladang pada suku Iban sebagai berikut: a. Menentukan lokasi (cari mimpi, upacara adat pedarak) b. Nebas (memotong/ membersihkan ladang dari alang-alang dan rumput liar) c. Nebang (memotong kayu-kayu liar) d. Bakar ladang (membakar seluruh tanaman liar yang masih tersisa termasuk kayu, alang-alang dan rumput-rumput liar) e. Nugal (melubangi tanah) f. Mali umai g. Nunu Lilin (mendatangkan induk lebah) h. Ngambil tangkai i. Ngancau penyedai j. Ngetau k. Mungkal kuyan l. Nyimpan di lumbung m. Gawak (tutup tahun) Dalam berbagai aktivitas tradisi mereka, misalnya ketika akan menanam padi atau aktivitas apapun, mereka selalu melakukan persembahan dalam bentuk sesaji yang dipersembahkan kepada “Betara”. Sesaji-sesaji tersebut dapat ditemui disepanjang jalan menuju sungai, ladang, hutan, maupun jalan yang menuju perkampungan. Sesaji ini dipersiapkan untuk memohon perlindungan dan keselematan. Sesaji juga dipersembahkan untuk menghindari amarah dari para arwah penghuni kawasan.
84
Selain ada beberapa keharusan yang dilakukan melalui upacara ritual, Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik juga mengenal adanya berbagai larangan yang tidak boleh dilakukan baik oleh orang Dayak Iban maupun orang luar. Jika larangan ini dilanggar maka akan terjadi malapetaka bagi yang melanggarnya yang disebut sebagai “tulah”. Larangan-larangan tersebut, antara lain pada waktu sudah mulai mendekati panen (mulai panen) bulan 1 dan 2, tidak boleh menebang kayu di tempat dekat ladang orang, atau kedengaran bunyi kayu sampai ke ladang tersebut. Apabila hal tersebut dilakukan, maka dikenakan denda hukum adat, berupa potong ayam, sesaji pada piring kaca, uang sebesar Rp. 50.000,-. Jika tidak dilakukan maka hasil panennya bisa kurang bagus. Larangan lain yaitu tidak boleh menarik rotan dipinggir ladang, tidak boleh makan melewati ladang, makan sambil jalan tidak boleh, kalau duduk boleh. Tidak boleh mengambil
buah
mentimun sebelum panen, kemudian dimakan sambil jalan melewati ladang. Sementara itu, sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa hasil panennya tidak boleh dijual, hanya untuk keperluan sendiri. Selain pemberian sesaji kepada roh nenek moyang dan Betara, ada tradisi besar yang selalu dilakukan oleh Masyarakat Dayak Iban yaitu “gawai (gawak)”. Tradisi ini merupakan pesta panen yang dilakukan setiap tahun sekali setelah panen (panen padi) selesai. Hari gawai sendiri diperingati setiap tanggal 1 Juni sesuai yang ditetapkan oleh Dayak Iban di Malaysia. Namun biasanya setiap koloni Dayak Iban mempunyai kalender sendiri, sehingga jatuh hari gawai bervariasi bisa dimulai pada pertengahan sampai akhir bulan Mei atau justru selama awal sampai pertengahan bulan Juni. Untuk kepentingan gawai ini, penduduk diwajibkan menyiapkan berbagai keperluan, antara lain penyediaan tuak dan penyediaan makanan serta berbagai sesaji. Selain menyiapkan tuak, masyarakat secara bersama sama juga harus menyiapkan makanan baik berupa sayur-sayuran, ikan maupun daging. Sayur yang biasa dimasak untuk hari gawai adalah sayur pulut (yang berasal dari akar/ bagian bawah pohon seperti pohon sawit, sayur terong asam, dan daun singkong. Adapun untuk keperluan ikan biasanya diperoleh dari hasil memancing atau menjaring ikan di Sungai yang dilakukan oleh bapak-bapak secara berkelompok. Untuk mengambil ikan tersebut seringkali mereka menginap sampai dua hari di 85
Sungai. Adapun untuk kebutuhan daging, biasanya mereka melakukan perburuan (berburu). Namun sekarang sudah sulit untuk mendapatkan babi hutan, kadangkadang hanya mendapatkan kancil, mencak atau landak. Upacara gawai pada tahun 2012 diadakan pada tanggal 27 mei 2012, dengan upacara nimang cucung tahun. Upacara ini dimulai sejak tanggal 26 Juli 2012 (satu hari sebelumnya) dengan prosesi pengumpulan benih padi di gereja dan di bilik tuai rumah, pemotongan babi 1 ekor dan 1 ekor ayam di salib dan 1 ekor babi dan 1 ekor ayam di tanah keramat. Adapun prosesi acara gawai pada tanggal 27 Mei diawali dengan penyambutan para tamu (istilah Dayak Iban disebut penyambang). Para tamu masuk dari pintu arah hilir yang disambut di atas tangga oleh tuai rumah. Tamu pertama adalah orang yang dianggap dituakan, yaitu Tuai Rumah Dusun Mungguk. Upacara gawai ini ada berbagai macam jenis, ada yang disebut nimang cucung tahun, nimang bunga tahun, ada yang disebut kelingkang, babi lemai. Selain adanya berbagai ritual dalam setiap tahapan kegiatan pertanian, sebagai petani ladang, Suku Dayak Iban juga menggunakan bintang sebagai petunjuk dalam memulai aktivitas pertanian. Ketika rasi bintang tertentu sudah terlihat maka mereka akan memulai untuk melakukan aktivitas membuka ladang. Namun dalam melihat hasil panen pun mereka melakukan peramalan dengan melihat rasi bintang. Rasi bintang yang paling dikhawatirkan oleh mereka adalah jika rasi bintang “salib” condong kearah Barat atau Timur, karena itu merupakan pertanda bahwa hasil panen padi musim itu akan sedikit. Langit, bumi, dan sungai merupakan tiga unsur penting yang turut menciptakan tradisi Iban sampai sekarang. 4.2.f. Pengetahuan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik Tentang Tata Kelola Hutan Pada Masyarakat Dayak Iban, pengetahuan dan pengaturan tata kelola hutan terpadu dengan pengetahuan dan pengaturan tata guna tanah, fungsi tanah, hutan dan alam yang dimaknai sebagai warisan dari nenek moyang untuk anak cucu mereka di masa depan. Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik mempercayai bahwa manusia tidak hidup sendiri, setiap tempat ada penghuninya. Begitulah yang menjadi dasar filosofi dalam setiap gerak dan laku orang Iban. Meskipun 86
beragama Katholik, namun kepercayaan mereka terhadap arwah nenek moyang tidaklah luntur. Nenek moyang yang selalu mengarahkan mereka dalam mengambil keputusan. Jika dalam kegiatan rohani atau keagamaan mereka percaya kepada Allah, namun dalam tradisi mereka juga percaya kepada roh leluhur atau “Betara”. Roh leluhur inilah yang mengatur hubungan manusia dengan alam. Oleh karena itu, pemanfaatan alam termasuk kayu, binatang maupun ikan di Sungai harus seizin roh nenek moyang. Ketaatan terhadap adat dan kepercayaan akan adanya roh nenek moyang sebagai pemilik pertama dari sumberdaya alam yang mereka miliki, membuat hidup mereka selaras dan menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Dalam hubungannya dengan sumberdaya hutan, Masyarakat Dayak Iban mempunyai pengetahuan dan pengaturan tata kelola hutan yang berbasis pengalaman dan sejarah yang diwariskan secara turun temurun. Pengetahuan lokal tentang tata kelola hutan tersebut mengatur pengelolaan hutan dengan membagi hutan Sungai Utik ke dalam 3 (tiga) kawasan yang memiliki fungsi berbeda, yaitu: kampong taroh, kampong galao, dan kampong endor kerja. Lebih jelasnya konsep pengelolaan hutan pada Masyarakat Dayak Iban dapat digambarkan, sebagai berikut: 1. Kampong Taroh, merupakan kawasan hutan yang tidak boleh diladangi dan tidak boleh diambil kayunya. Dalam kawasan ini terdapat sumber mata air, tanah berantu dan tempat berkembang biak dan mencari makan binatang. Letaknya agak di perhuluan sungai, disana kita menemukan danau kecil yang rasanya agak asin. Danau ini suku Dayak Iban sebut dengan sepan jelu, tempat binatang hutan minum. Kampong taroh disebut juga hutan simpan, yaitu suatau kawasan hutan yang dilindungi, yang berfungsi sebagai hutan cadangan, dan merupakan milik umum orang sekampung. Kawasan ini tidak boleh diladangi atau secara sengaja ditebang kayunya secara besar-besaran sehingga menjadi gundul. 2. Kampong Galao, merupakan kawasan hutan cadangan produksi terbatas. Masyarakat mengambil tanaman obat-obatan, kayu api atau batang kayu untuk membuat sampan. Pengambilan hasil hutan dalam kawasan ini dilakukan secara terbatas dan diawasi dengan ketat. Tidak seorang pun boleh berladang, 87
apalagi merusak hutannya. Sanksi hukum adat bagi pelanggar sudah disiapkan. Orang yang berhak memanfaatkannya hanya penduduk dalam kampung yang berada dalam kawasan tersebut. Dalam kawasan hutan ini juga bisa dijumpai sepan jelu, tanah mali dan tanah berantu. Pada kawasan Kampong galao, ada yang disebut dengan pulau, yaitu suatu kawasan hutan yang berfungsi sebagai hutan cadangan yang penguasaannya secara pribadi yang secara sadar diperuntukan bagi keberlanjutan eksistensi generasi Masyarakat Dayak Iban. Kawasan ini tidak boleh dijadikan areal ladang dan kayu yang ada hanya boleh dimanfaatkan sebatas untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan tidak untuk diperjual belikan, sekalipun itu milik pribadi. 3. Kampong Endor Kerja, merupakan kawasan produksi berkelanjutan yang dikelola secara adil dan lestari. Dalam kawasan ini terdapat tanah mali dan tanah bertuah yang tidak boleh menjadi kawasan produksi. Masyarakat menghindari
menebang
kayu
dalam
dua
lokasi
tersebut.
Sehingga
keberlanjutan produksi dengan sistem ini sangat dimungkinkan. Sumber bibit kayu atau tumbuhan lainnya masih tersedia cukup dalam dua lokasi ini. Selain itu, Masyarakat membiarkan anakan kayu dengan diameter di bawah 30 cm dan kayu kecil lainnya yang siap menggantikan pohon yang sudah ditebang. Dalam kawasan ini ada yang disebut umai, yaitu suatu kawasan yang secara khusus diperuntukan sebagai areal ladang, yang dalam bahasa lokal disebut umai pantai (ladang lahan kering). Pada Masyarakat Dayak Iban juga terdapat hukum adat yang mengatur pengelolaan sumberdaya hutan. Melalui hukum adat mereka, mereka mengatur pembatasan pengambilan kayu sekalipun kayu yang diambil tersebut berada pada wilayah lahan garapan mereka (hutan produksi) maupun lahan hutan adat (hutan produksi terbatas). Seperti dijelaskan oleh Bapak CB, sebagai berikut: “Pada Masyarakat Dayak Iban Sui Utik ada pembatasan menebang kayu. Maksimal satu orang boleh menebang kayu tidak lebih dari 30 pokok. Apabila melebihi maka akan dikenakan sanksi berupa denda yang besarnya disepakati bersama. Dulu pernah ada juga masyarakat yang melanggar ketentuan adat dan terkena sanksi adat berupa denda, namun kejadian ini sudah lama terjadi. Segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran nilai-nilai adat dikenakan denda, yang sekarang 88
sebagian besar dendanya sudah dikonversi ke dalam bentuk uang. Semakin besar tingkat pelanggaran maka semakin besar pula denda yang harus dibayarkan. Seperti dijelaskan oleh Bapak CB bahwa ada satu kasus dimana anak TMG dulu pernah menebang pohon dari hutan, lalu kayu-kayunya dihanyutkan ke sungai dengan tujuan akhir di Pontianak. Namun bisnis ini dipandang tidak menguntungkan karena biaya yang dikeluarkan jauh lebih banyak dibandingkan dengan keuntungannya, disamping dia harus mendapatkan hukuman adat ketika diketahui oleh Tuai Rumah selaku penjaga adat Sungai Utik. Karena kapok, semenjak kejadian tersebut dia tidak pernah melakukan hal serupa. Kini ia hanya berladang dan menyadap karet.
Besarnya denda yang harus dilakukan bukan merupakan alasan satusatunya, ada alasan lain yang lebih ditakuti yaitu keberadaan roh nenek moyang yang menjaga hutan. Apabila hasil hutan diambil tanpa izin maka akan terkena “tulah” dalam istilah Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Tulah memiliki makna yang sama dengan kualat yaitu hukuman supranatural terhadap pelanggaran yang dilakukan Masyarakat. Masyarakat Dayak Iban juga percaya pada kekuatan supranatural. Apabila melanggar aturan adat, termasuk mengambil kayu atau menginjak kawasan yang terlarang oleh adat, seperti berladang atau mengambil kayu pada kawasan hutan “kampong taroh” atau berladang di tanah mali, maka akan terjadi tulah. Tulah ataupun kualat bisa berupa penyakit yang tidak sembuhsembuh. Selain konsep tentang tata kelola hutan, Masyarakat Dayak Iban juga mengenal konsep tentang tata guna lahan. Konsep tata guna lahan tersebut digunakan oleh Masyarakat Dayak Iban dalam mengatur hubungan manusia dengan alam, sebagai berikut: 1. Damun: suatu kawasan bekas ladang a. Temuda : bekas ladang tahun ini b. Krukoh : bekas ladang 2 tahun lalu c. Damun : bekas ladang lebih dari 3 tahun 2. Danau: Kawasan air yang tergenang (Danau). 3. Engkabang:Kebun engkabang 4. Kebun karet, yaitu kawasan perkebunan karet milik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Namun sebenarnya pada kebun karet ini juga terdapat tanaman-tanaman lainnya yang lebih kecil dari pohon karet. 89
5. Keramat: keramat adalah daerah yang tidak boleh dibuka sebagai areal rumah panjae maupun sebagai kawasan ladang. Keramat ini terdiri atas tanah mali dan pendam. a. Tanah Mali: suatu kawasan hutan/tanah pantang, tidak boleh dibuka sebagai areal ladang dan kayu/tanahnya tidak boleh diambil dari tempat ini. Biasanya tanah mali digunakan sebagai tempat untuk menyembelih babi/ayam yang digunakan sebagai bahan pada saat upacara adat mali yang dalam bahasa lokal disebut “pase’ menua”. b. Pendam; suatu tempat yang digunakan sebagai tempat perkuburan. Kawasan ini tidak boleh diladangi. Dalam kehidupan Masyarakat Dayak Iban ada beberapa jenis pendam : i.
Pendam biasa; kuburan yang dapat digunakan secara umum oleh semua warga kampung.
ii.
Rarong; kuburan yang secara khusus diperuntukan bagi orangorang yang usianya tua/berjasa/pahlawan dalam Masyarakat Dayak Iban. Rarong merupakan suatu bentuk kuburan yang tidak dimasukan kedalam tanah (Rarong Terantar), tetapi untuk rarong biasa di masukkan kedalam tanah.
iii.
Pendam anak, kuburan yang dgunakan untuk menguburkan bayi yang belum putus tali pusatnya
6. Payak, disebut juga tanah kerapa, merupakan kawasan lahan basah atau yang biasa dikenal sebagai tanah rawa yang digunakan sebagai areal perladangan, dalam bahasa lokal disebut umai payak (ladang lahan basah). 7. Pemukiman: Kawasan yang diperuntukkan untuk tempat tinggal. Pada kawasan pemukimn ini termasuk taba dan kampong puang. a. Taba’ merupakan suatu tempat/ kawasan yang akan didirikan rumah panjae untuk menentukan taba’ ini tidak bisa dilakukan dengan sembarangan, hal dilakukan harus melalui upacara adat. b. Kampong puang/ tanah adat, yaitu suatu tanah/hutan yang dimiliki secara kolektif/ bersama-sama oleh orang keturunan subsuku Dayak Iban didalam suatu perkampungan tempat didiaminya. Setiap orang
90
Iban yang tinggal dikawasan tersebut berhak atas tanah/ hutan tersebut. 8. Rimba, yaitu kawasan hutan 9. Tembawai (Temawai): Tembawai, adalah suatu kawasan bekas mendirikan rumah panjae atau langkau (pondok). Dalam mempertahankan lahan/ tanah dan sumberdaya alam yang dimilikinya, Masyarakat Dayak Iban memiliki kosmologi: “tanah adalah darah ngau seput kitae”, yaitu tanah adalah nafas. Hal tersebut bermakna bahwa penguasaan masyarakat atas tanah dan kawasan hutan Sungai Utik tersebut bersifat otonom. Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tidak memberi ruang untuk keberadaan negara atau pihak lain dalam penguasaan hutan. 4.2.g. Dusun-Dusun Di Sekitar Dusun Sungai Utik Di sekitar kawasan hutan Sungai Utik terdapat Masyarakat Dayak Iban Ketemenggungan Jalai Lintang, yang terdiri atas: Dusun Sui Utik dan Dusun Kulan yang termasuk wilayah Desa Batu Lintang, Dusun Ungak, Dusun Sungai Teblian dan Dusun Apan yang termasuk dalam wilayah Desa Langen Baru dan Dusun Mungguk dan Dusun Laok Rugun yang masuk ke dalam wilayah administrasi Desa Rantau Perapat. Secara administratif, Dusun Sungai Utik, Kulan, Ungak, Apan, Sungai Teblian, Mungguk dan Laok Rugun masuk kedalam wilayah Kecamatan Embaloh Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Ketujuh dusun di Jalai Lintang tersebut berada di bawah satu Ketemenggungan Jalai Lintang. Setelah ketemenggungan yang dipimpin oleh orang Sui Utik berakhir, kini jabatannya beralih ke Bapak Vincensius Jebang (VJ) yang bertempat tinggal di Dusun Kulan. Temenggung tersebut sebelumnya merupakan Tuai Rumah Dusun Kulan. Seorang temenggung dipilih berdasarkan cara-cara
demokratis
oleh
seluruh
warga
Masyarakat
Dayak
Iban
Ketemenggungan Jalai Lintang. Seseorang dapat diajukan untuk menjadi seorang temenggung dan diakui sebagai pemimpin apabila mereka mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang luas tentang adat dan tradisi, dan biasanya usianya lebih tua daripada warga lainnya. Seorang temenggung, kekuasaannya mencakup 7 kampung di Jalai Lintang. Selain mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi, temenggung juga mempunyai wewenang yang lebih luas. Seorang 91
temenggung dalam menjalankan tugas-tugasnya dibantu oleh dua orang pateh. Pateh memiliki kekuasaannya setingkat di bawah temenggung. Kewenangan temenggung adalah menyelesaikan perkara adat yang tidak mampu diselesaikan oleh pateh dan tuai rumah. Perkara yang tidak mampu ditangani oleh tuai rumah maka ditangani oleh pateh. Perkara yang tidak mampu ditangani oleh pateh maka diselesaikan oleh Temenggung. Seorang temenggung juga dituntut bersikap jujur, bijaksana dan tegas, hal serupa juga berlaku bagi pateh dan tuai rumah. Temenggung adalah kepala suku yang memimpin Masyarakat Dayak Iban di tujuh dusun, sedangkan yang memimpin Masyarakat Dayak Iban di masingmasing dusun adalah tuai rumah. Tuai rumah adalah penguasa di rumah panjang. Tuai rumah inilah yang mengatur dan memimpin masyarakat secara adat tradisi Dayak Iban yang diwariskan dari nenek moyang secara turun temurun. Keadaan jumlah Penduduk saat ini dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 7. Jumlah KK dan Jiwa di Tujuh Dusun Ketemenggungan Jalai Lintang No 1 2 3 4 5 6 7
Nama Kampung Sungai utik Kulan, Ungak Apan, Sungai Teblian Mungguk Lao’ Rugun
Jumlah KK 61 47 35 53 40 TK TK
Jumlah Jiwa 251 271 115 235 126 TK TK
(Sumber: Dokumentasi Tertulis Tiap Dusun, 2012) Dalam memandang hutan, masyarakat di ketujuh Dusun tersebut relatif mempunyai pengetahuan lokal yang hampir sama tentang konservasi hutan. Ada beberapa wilayah dengan sebutan khas untuk mendefinisikan setiap kawasan pada Dusun-Dusun tersebut, yaitu: hutan simpan atau rimba galau; tanah mali; pulau pendam; tembawai; damun. Untuk pemenuhan kebutuhan kayu bakar (kumpang), masyarakat kebanyakan mengambilnya dari tepi Sungai. Selain itu ada juga yang mengambil dari rimba galau. Sekalipun konsep konservasi pada ketujuh Kampung tersebut hampir sama, namun tindakan yang dilakukan oleh ketujuh Kampung terhadap hutan mereka berbeda-beda. Dari tujuh komunitas Dayak Iban, ada beberapa komunitas/ Kampung yang terlibat dalam praktik illegal logging secara langsung, yaitu: Dusun Sungai Teblian, Ungak, Kulan, dan 92
Mungguk. Adapun Dusun Apan, Laok Ruggun dan Sungai Utik tidak pernah melakukan kegiatan sawmill (illegal logging). Ada berbagai perbedaan dan kesamaan dalam karakteristik, persepsi, sikap dan kejadian pada ketujuh dusun dalam Ketemenggungan Jalai Lintang. Perbedaan dan kesamaan ini yang menjadi pembeda karakteristik Dusun Sungai Utik dengan dusun-dusun lainnya. Kesamaannya adalah sama-sama sebagai satu kesatuan Masyarakat Dayak Iban yang memiliki tradisi dan pengetahuan yang sama tentang hidup selaras dengan alam. Kesamaan lain adalah memiliki masalah yang sama yaitu masalah perebutan penguasaan atas sumberdaya hutan baik dengan negara pusat (pemerintah pusat), maupun dengan negara lokal (pemerintah daerah atau pemda); gempuran pengaruh dari pengusaha/ cukong kayu dari Malaysia yang datang menawarkan dollar dan ringgit untuk ditukar dengan kayu. Lebih jelasnya perbedaan dan persamaan kondisi diketujuh Dusun dalam Ketemenggungan Jalai Lintang dapat dikemukakan dalam tabel berikut:
93
Tabel 8. Kondisi Masyarakat di Sekitar Hutan Sungai Utik DAYAK IBAN SUNGAI UTIK Mata Pencaharian Pertanian padi (Livelihood) Utama Perkebunan karet Merantau Ke Malaysia Zonasi Hukum Adat Pengelolaan Hutan
Sedikit Ada Ada Lestari
Luas Hutan Luas Kerusakan Hutan Lahan Kritis/ Damon/ Damun Kepala Suku Modal Sosial Sistem Ketahanan Pangan Ritual
6.856,77 ha 2,370.75 ha
KULAN/ PULAN Pertanian padi Perkebunan karet Banyak Ada Ada Pernah Illegal logging 6,016.89 ha 100 ha 1,381.18 ha
Ada Kuat Ada
Ada Lemah Ada
Adat agama
bercampur Adat bercampur agama
SUNGAI TEBLIAN Pertanian padi Perkebunan karet
APAN
UNGAK
MUNGGUK
Pertanian padi Perkebunan karet Banyak Ada Ada Pernah Illegal logging 1,048.50 ha 100 ha 1,246.60 ha
Pertanian padi Perkebunan karet
2,640.11 ha 100 ha 1,951.86 ha
Pertanian padi Perkebunan karet Banyak Ada Ada Pernah Illegal logging 165.36 ha 100 ha 943.06 ha
Tk 6000 ha Tk
Tk Tk
Merantau Lemah Ada
Ada Lemah Ada
Ada Lemah Ada
Ada Kuat Ada
Ada Kuat Ada
Banyak Ada Ada Pernah Illegal logging
Adat kental
Sedikit Ada Ada Pernah Illegal logging
tidak Agama lebih Adat lebih Adat murni dominan dominan
LAO’ RUGUN Pertanian padi Perkebunan karet Sedikit Ada Ada Lestari
Adat lebih dominan
Sumber: Dokumentasi Tertulis Desa Batu Lintang, Desa Langen Baru, Desa Rantau Prapat, Dokumentasi Tertulis Tiap Dusun dan hasil wawancara Tahun 2012. Keterangan; TK = tidak diketahui
94
Masalah terkini yang sedang dihadapi oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan dusun-dusun lainnya dalam Ketemenggungan Jalai Lintang adalah menghaddapi kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu yang menerbitkan izin usaha perkebunan (IUP) untuk PT. RU berdasarkan Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010 tentang Izin Lokasi untuk Perkebunan Karet Seluar 14.000 Ha di Kecamatan Embaloh Hulu, Bunut Hilir dan Embaloh Hilir, yang kemudian dirubah peruntukannya menjadi sawit dengan Surat Bupati Nomor 525/032/DKH/BPT-A tentang Persetujuan IUP Perubahan dari Karet Menjadi Kelapa Sawit tanggal 10 januari 2011. Keberadaan kebijakan pemerintah tersebut telah memberi tekanan (konflik) pada Masyarakat Dayak Iban Jalai Lintang dan Dayak Embaloh Hulu. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kapuas Hulu, Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu (Putussibau) melihat wilayah Sungai Utik dan Kecamatan Embaloh Hulu sebagai suatu peluang untuk mendorong
pertumbuhan
ekonomi
daerah
dan
peningkatan
pendapatan
masyarakat. Dalam pertimbangannya, apabila wilayah tersebut dibangun melalui dana pemerintah maka pemerintah tidak akan sanggup. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu mencoba mendatangkan investor untuk memanfaatkan kawasan di wilayahnya dengan harapan adanya keuntungan berlipat, seperti dibangunnya infrastruktur jalan, masuknya pendapatan ke kas daerah, tersedianya lapangan pekerjaan, tumbuhnya ekonomi lokal di sekitar kawasan. Atas dasar pertimbangan tersebut, dikeluarkan kebijakan pemberian izin (IUP) untuk mengkonversi lahan hutan menjadi kebun karet dan kebun sawit. Pemikiran Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu tersebut tidak sejalan dengan apa yang dipikirkan oleh masyarakatnya. Ada kekhawatiran di kalangan masyarakat bahwa jika lahan ladang masyarakat digunakan sebagai kebun sawit, maka masyarakat akan kehilangan lahan garapannya, dan terjadinya perubahan mata pencaharian dari petani karet menjadi buruh kasar di kebun sawit. Sementara itu, bekerja di kebun sawit membutuhkan intensitas kerja tinggi, padahal pengalaman kerja di kebun karet itu sangat santai, sehingga mereka khawatir tidak akan memperoleh hasil yang optimal. Hal tersebut menjadi salah satu pemikiran masyarakat untuk menolak kebijakan perkebunan sawit yang 95
direncanakan oleh pemerintah daerah. Pemikiran masyarakat tersebut menjadi sangat beralasan, manakala pengusaha hanya menawarkan harga tanah yang sangat rendah untuk mengganti lahan kebun karet milik masyarakat yang akan dijadikan sebagai kebun sawit. Tanah kebun karet warga dihargai Rp. 500.000,per hektar, sedangkan tanah ladang padi dihargai Rp. 200.000 per ha. Rendahnya penggantian tanah tersebut tentu saja menimbulkan reaksi yang cukup keras dari masyarakat. Masyarakat yang tergabung dalam Ketemenggungan Jalai Lintang bersatu dan mengadakan sumpah beras kuning untuk melakukan penolakan terhadap perkebunan sawit. Selain
kekhawatiran
karena
kehilangan
lahan
garapan,
juga
ada
kekhawatiran kehilangan sumber pendapatan. Jika kawasan karet masyarakat tersebut dirubah menjadi kawasan sawit, ada kekhawatiran dari masyarakat mengenai kehidupan mereka kelak. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan mereka kepada hasil tani dan hasil karet. Hasil pertanian padi baik sawah maupun ladang yang mereka peroleh hanya cukup untuk kebutuhan makan/ beras bagi keluarga mereka sendiri. Sedangkan kebutuhan lain-lainnya bertumpu pada hasil perkebunan karet. Dari hasil menoreh 100 batang pohon karet per hari dapat menghasilkan 3-5 kg karet, dengan harga karet paling murah Rp. 12.000,- dan paling mahal bisa sampai Rp. 19.000 per kg, sehingga rata-rata per hari pendapatan masyarakat yang hanya mampu menoreh karet 100 pohon per hari paling rendah akan memperoleh pendapatan sebesar Rp. 36.000,- dan paling tinggi akan memperoleh pendapatan Rp. 95.000,-.sebagai contoh keluarga Pak RM memiliki 5000 pohon karet, namun kemampuan menyadap karet perorang per hari sangat terbatas, paling banyak hanya bisa mencapai angka 500 pohon perhari. Keluarga rm pernah menyadap karet selama satu minggu (6 hari) mendapat 6 karung karet @ 50 kg, sehingga hasilnya sekitar 300 kg. Pada waktu itu harganya Rp. 19.000 per kg, sehingga dalam seminggu dapat hampir Rp. 5.700.000,-. Berkenaan dengan kebijakan pemerintah daerah tentang penerbitan IUP untuk perkebunan sawit terssebut telah menimbulkan reaksi yang beragam dikalangan Masyarakat Dayak Iban dalam Ketemenggungan Jalai Lintang, termasuk Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Sekalipun menurut keterangan 96
beberapa pihak, Hutan Sungai Utik akan dikecualikan/ dikeluarkan dari kawasan rencana perkebunan sawit, karena Sungai Utik sudah memiliki sertifikat ekolabeling dan penerima penghargaan sebagai “desa teladan perduli hutan”. Namun kondisi hutan yang berdekatan, setidaknya akan mendapat pengaruh langsung dari keberadaan perkebunan sawit bagi kebun karet milik warga. Oleh karena kebijakan pemerintah daerah tersebut menjadi sumber masalah baru dalam konflik sumberdaya hutan. Adapun sikap masyarakat dalam menanggapi permasalahan ‘sawit” ini terbagi dalam tiga sikap, yaitu: 1. Kekhawatiran Masyarakat Dayak Iban lebih didominasi karena faktor ekonomi, yaitu untuk keberlanjutan kehidupan mata pencaharian dan pendapatan mereka, sehingga keberadaan sawit dipandang merugikan untuk daerah-daerah yang kebetulan masyarakatnya memiliki pohon karet paling sedikit 500 pohon setiap rumahnya, seperti di Dusun Mungguk, Laok Rugun dan Sungai Teblian. Namun ketika “sawit” dipandang lebih menguntungkan, masyarakat memilih untuk menerima sawit karena “sawit” dapat memberikan alternatif mata pencaharian, disamping keberadaan sawit akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tersebut dengan dibangunnya berbagai infrastruktur termasuk jalan. Sikap ini ditunjukkan oleh Masyarakat Dusun Ungak. Adapun dusun apan masih bersikap menunggu contoh keberhasilan sawit di tempat lain. Jika menguntungkan, masyarakat bersedia merubah lahannya menjadi perkebunan sawit. 2. Sikap masyarakat yang kedua adalah dilandasi karena pertimbangan ekonomi dan lingkungan, dimana selain pertimbangan faktor mata pencaharian dan terambilnya lahan, juga mereka sudah mulai memikirkan lingkungan. Berdasarkan
pengetahuan
masyarakat
bahwa
tanaman
sawit
dapat
menimbulkan kerusakan lingkungan, karena “sawit” tidak memberi peluang untuk hidup tanaman lain, disamping berbagai zat kimia yang digunakan baik dari penggunaan pupuk atau obat-obatan akan menyebabkan kerusakan lingkungan dari limbah buangannya. 3. Sikap yang ketiga ditunjukkan oleh Masyarakat Sungai Utik dimana pertimbangan utama yang mereka kemukakan untuk menerima dan menolak “sawit” adalah karena faktor bahaya lingkungan. Seringnya Masyarakat 97
Sungai Utik mengikuti berbagai macam lokakarya yang terkait dengan lingkungan membuat pemahaman mereka tentang pentingnya lingkungan jauh lebih baik dibandingkan dengan masyarakat dusun lain. Sekalipun Ketemenggungan Jalai Lintang sudah menolak “perkebunan sawit” dengan sumpah beras kuning, namun beberapa masyarakat memutuskan untuk menerima rencana pemerintah untuk membangun perkebunan sawit seperti yang terjadi di Dusun Ungak. Karena suara terbanyak memutuskan menerima “perkebunan sawit”, maka tuai rumah mengikuti keputusan masyarakat. Suara masyarakat mayoritas akhirnya yang menentukan. Namun demikian, keputusan ini bertentangan dengan keputusan ketemenggungan, sehingga di kalangan Masyarakat Dayak Iban di tujuh dusun dalam Ketemenggungan Jalai Lintang telah terjadi saling mencurigai (konflik laten antar dusun). Dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Masyarakat dapat diketahui bahwa ada kesamaan dan perbedaan pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan Masyarakat Dayak Iban di dusun-dusun lain dalam Ketemenggungan Jalai Lintang. Berdasarkan perbandingan dengan Dusun-Dusun lain dapat dikatakan bahwa Sungai Utik mempunyai kekhasan yaitu sekalipun mengalami masalah yang sama, namun sikap yang ditunjukkan oleh Masyarakat Sungai Utik berbeda. Masyarakat tetap berusaha mempertahankan hutannya sekalipun sikapnya tersebut membawa Sungai Utik berkonflik dengan berbagai pihak. 4.3. Perbandingan TNGHS dan Sungai Utik (Analisis Fisik, Sosial, Politik) Studi ini mengenai konflik sumberdaya hutan pada dua lokasi yang berbeda yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) di Provinsi Jawa BaratBanten dan hutan Sungai Utik Provinsi Kalimantan Barat. Pada wilayah TNGHS, ada konflik antara negara dengan masyarakat adat. Negara dalam konteks ini adalah Departemen Kehutanan yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, sedangkan masyarakat dalam konteks ini adalah Masyarakat Kasepuhan. Di tingkat grassroot, konflik menghadapkan Masyarakat Kasepuhan dengan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) selaku pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Untuk kepentingan penelitian ini akan difokuskan pada Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi di Desa Sirna 98
Resmi di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Adapun di Hutan Sungai Utik ada konflik antara negara pusat dengan masyarakat lokal. Negara pusat dalam konteks ini adalah Departemen Kehutanan yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (BPKH). Adapun masyarakat lokal adalah Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Dalam konflik ini, melibatkan pengusaha pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Konflik di lapangan menghadapkan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan pengusaha pemegang IUPHHK (PT. BRW). Di kawasan Sungai Utik juga terdapat konflik negara lokal dengan masyarakat lokal. Negara lokal adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu, sedangkan masyarakat lokal adalah Masyarakat Dayak Iban dalam Ketemenggungan Jalai Lintang termasuk Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Untuk kepentingan studi ini akan dibatasi fokus perhatian pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik di kawasan Hutan Sungai Utik Desa Batu Lintang Kecamatan Embaloh Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Hutan Sungai Utik memiliki fungsi yang berbeda, sekalipun demikian keduanya memiliki kesamaan, yaitu lahan hutan tersebut diklaim sebagai lahan masyarakat adat. Di Taman Nasional Gunung Halimun Salak ada Masyarakat Adat Kasepuhan, sedangkan di Sungai Utik ada Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik. Perbandingan dua lokasi studi tersebut lebih jelasnya dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini:
99
Matrik 1. Perbandingan Lokasi Studi Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Hutan Sungai Utik Jenis Hutan Wilayah Studi
TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) Konservasi Desa Sirna Resmi
Luas Wilayah
4917 hektar, yang sebagian besar adalah taman nasional (4000 hektar). Masyarakat Masyarakat Kasepuhan yang terdiri Adat Sekitar atas 22 Kasepuhan, yaitu Hutan Di Banten ada 19 Kasepuhan, di Sukabumi 3 Kasepuhan, yaitu Kasepuhan Sinar Resmi, Cipta Mulya, dan Cipta Gelar. Selain itu, masih ada beberapa Kasepuhan di Daerah Gunung Salak.
Masyarakat Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar yang menjadi Resmi (Abah Asep), yang berada di Wilayah Studi Desa Sirna Resmi. Jumlah Penduduk
4803 orang, (penduduk Desa Sirna Resmi)
HUTAN SUNGAI UTIK Produksi Dusun Sungai Utik Desa batu Lintang 9.453,50 Hektar, dengan luas wilayah hutan 6.856,77 hektar Masyarakat Dayak Iban Ketemenggungan Jalai Lintang yang terdiri dari 7 sub suku: Dayak Iban Sungai Utik dan Dayak Iban Kulan (di Desa Batu lintang) Dayak Iban Apan, Dayak Iban Sungai Teblian, dan Dayak Iban Ungak (di Desa langen Baru) Dayak Iban Lauk Rugun dan Dayak Iban Mungguk (di Desa Rantau Prapat) Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik dalam Ketemenggungan Jalai Lintang yang berada di Dusun Sungai Utik Desa Batu Lintang 279 orang (penduduk Dusun Sungai Utik)
Sumber: Data Hasil Penelitian Lapangan, 2010-2012.
4.4. Multiple Basis of Land Rights danMultiple Basis of Access: Dalam memahami penguasaan atas tanah dan sumberdaya alam, ada beberapa konsep yang berlaku di Indonesia. Ada tanah yang dimaknai sebagai hak milik (land right), tetapi ada juga penguasaan tanah yang hanya dimaknai sebagai hak akses. Selanjutnya hak milik dan hak akses ini ada yang didefinisikan oleh negara, ada juga yang didefinisikan berdasarkan adat budaya masyarakat setempat. Adanya definisi hak yang berbeda antara negara dan masyarakat adat inilah yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih pengakuan hak oleh negara dan masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik antara negara dan masyarakat adat. Konflik dalam pengakuan hak atas tanah dan sistem pengelolaan dan penguasaan sumberdaya alam antara negara dan masyarakat adat juga diakui 100
oleh negara dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, dimana konflik terjadi akibat penetapan kawasan hutan secara sepihak dari zaman Hindia Belanda sampai era “Pemerintah Orde Baru” dan masih dipertahankan sampai sekarang.
4.4.a. Kebijakan Pertanahan Menurut Negara 4.4.a.1. Kebijakan Pertanahan Pada Masa Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, persoalan masyarakat adat sudah menjadi
persoalan
tersendiri
untuk
Pemerintah
Belanda,
dan
Belanda
mengakomodasinya dalam peraturan perundang-undangan saat itu. Melalui IGO (Inlandshe Gemeente Ordonantie), Staatsblad 1906 No 83, Pemerintah Belanda mengakui pemerintahan desa di Jawa dan Madura dan IGOB (Inlandshe Gemeente Ordonantie Biutengewsten) Staatsblad 1938, No 490 yang mengakui struktur pemerintahan adat di sepuluh wilayah di luar Jawa-Madura. Oleh karena itu, di era Kolonial Belanda, pemerintah tidak berusaha menciptakan struktur baru bagi masyarakat desa, tetapi memberikan pengakuan hukum terhadap struktur pemerintahan adat di pedesaan (Zakaria, 2000). Dengan keberadaan IGOB tersebut, Pemerintah Kolonial Belanda seakanakan memberikan pengakuan atas keberadaan masyarakat adat, namun ketika dihadapkan dengan penguasaan tanah dan sumberdaya, Pemerintah Kolonial mengeluarkan kebijakan yang lain yang disebut domeinverklaring. Kebijakan ini sudah dimulai sejak zaman Raffles tahun 1813. Ketika itu, Raffles mendeklarasikan bahwa hak penguasaan atas lahan di Jawa disatukan dalam kepentingan kedaulatan Eropa sebagai pewaris kedaulatan Jawa. Untuk menjamin penafsiran ekspansif Deklarasi Raffles, setiap lahan yang tidak digarap atau telah dibiarkan selama lebih dari 3 tahun, dianggap sebagai lahan sisa yang tidak ada pemiliknya. Pemerintah Kolonial Belanda menegakkan kembali Deklarasi Raffles dengan menyatakan bahwa lahan sisa di kawasan Jawa dan Madura merupakan milik negara. Belakangan, konsep ini juga diterapkan di wilayah kekuasaan tidak langsung Belanda, seperti Domeinverklaring untuk Sumatera (Pasal 1, Staatsblad 101
1874-94f), Domeinverklaring untuk Manado (Pasal 1, Staatsblad 1877-55), Domeinverklaring untuk Borneo/ Kalimantan (Pasal 1 Staatsblad 1888-58). (Lihat Lynch dan Harwell, 2002 dalam Steni, 2008). Selanjutnya, dalam pelaksanaan Domeinverklaring tersebut, negara kolonial mempromosikan
sertifikat-sertifikat
tanah.
Tanah
yang
bersertifikat
ini
dikeluarkan dari Domeinverklering. Hal ini tentu saja tidak terjangkau oleh hukum-hukum adat. Domeinverklaring atau pernyataan tanah negara lewat Agrarische Besluit yang melaksanakan Agrariche Wet tahun 1870 dan Bosch Ordonantie (Peraturan Pelaksana Tentang Kehutanan) tahun 1920, sekalipun IGOB mengakui keberadaan masyarakat adat, namun melalui Domeinverklaring ini, negara menggusur penguasaaan sumberdaya oleh masyarakat adat yang tidak memiliki bukti formal. Dengan begitu, pengakuan atas hukum adat adalah bagian dari upaya preservasi agar masyarakat adat tidak memiliki peluang dan kesempatan untuk mengklaim hak-hak yang setara, sebagaimana tertuang dalam semangat hukum liberal. Dengan demikian, di atas tanah-tanah masyarakat adat, hukum Barat secara bebas diterapkan karena kawasan-kawasan tersebut sudah sejak dini ditetapkan sebagai kawasan negara. Struktur-struktur adat pun diakui tetapi sekaligus dimanfaatkan untuk kepentingan kolonial, dimana menunjuk struktur pribumi adalah kecerdikan politik yang canggih karena kekuatan kontrol kolonial melebur masuk jauh ke relung-relung ketaatan tradisional warga adat kepada tetua mereka (Zakaria, 2000, McCarthy, 2001, dalam Steni, 2008). Pada masa
pendudukan Jepang (1942-1945), pengakuan terhadap
masyarakat hukum adat ini tertuang dalam Osamu Seirei No. 27 (2602 atau 1942), kemudian diganti dengan Osamu Seirei No. 30 tahun 1942. Berdasarkan UU Osamu Senrei No.1 Tahun 1942, UU dari pemerintah terdahulu tetap diakui selama tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer. Dengan demikian kebijakan negara pada saat itu sama dengan kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. 4.4.a.2. Kebijakan Pertanahan Setelah Indonesia Merdeka Setelah Indonesia merdeka, Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konsep Negara Republik Indonesia, bahwa hak tanah seutuhnya merupakan hak negara, sebagaimana yang tertulis dalam UUD 1945 Pasal 33 102
Ayat (3), yaitu Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari apa yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar tersebut mengisyaratkan bahwa tanah termasuk sumberdaya hutan adalah milik negara, artinya rightnya ada pada negara. Sebenarnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, telah diatur mengenai hak masyarakat adat, yaitu pada pasal 18B(2), bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Selanjutnya dalam pasal 28I (3) disebutkan bahwa Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Dengan demikian, UUD 1945 mengakui adanya kesatuan masyarakat adat dan hak-haknya dengan syarat bahwa masyarakat hukum adat tersebut sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diatur dalam undang-undang. Selanjutnya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat ini disebutkan dalam penjelasan Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1948, Peraturan tentang penetapan aturan-aturan pokok mengenai pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri. Dalam penjelasan pasal 18 UU ini disebutkan bahwa menurut undang-undang pokok ini, daerah otonom yang terbawah ialah desa, negeri, marga, kota kecil dan sebagainya. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 18 UU tersebut disebutkan bahwa “untuk memenuhi Pasal 33 UUD 1945, negara dengan rakyat Indonesia harus makmur. Untuk mendapatkan kemakmuran ini harus dimulai dari bawah, dari desa”. Oleh karena itu desa harus dibuat dalam keadaan senantiasa bergerak maju, (dinamis). maka untuk kepentingan itu pemerintahan desa dimasukkan didalam lingkungan pemerintahan yang diatur dengan sempurna (modern). Untuk mengatur daerah di bagian Timur Indonesia UU Negara Indonesia Timur Nomor 44 Tahun 1950, telah diterbitkan Undang-Undang Negara Indonesia Timur. Menurut Ayat 5 Pasal 17 Undang-Undang tersebut, Kepala 103
Daerah Swapraja diangkat oleh pemerintah pusat dari keturunan keluarga Swapraja dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat-istiadat di daerah atas pencalonan dari D.P.R.D. (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Swapraja yang bersangkutan. Pada undang-undang inipun tersurat adanya pengakuan atas adat istiadat. Undang-Undang Negara Indonesia Timur (NIT) No.44/1950 adalah satu-satunya undang-undang dari Pemerintahan N.I.T. dahulu yang berlaku di Indonesia Timur dan yang mengatur pokok-pokok tentang pemerintahan daerah. Namun kemudian UU No. 22 Tahun 1948 dan Undang-Undang Negara Indonesia Timur No. 44 Tahun 1950 ini dibatalkan dengan pemberlakukan UU Nomor 1 Tahun 1957 yang selanjutnya diganti dengan UU Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang dilengkapi dengan UU Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja, dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Tonggak penting pengakuan atas tanah dan sumberdaya alam negara maupun masyarakat hukum adat ada pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria disebut UUPA. Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1960 disebutkan bahwa (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Selanjutnya dalam Ayat (2) Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1960 disebutkan bahwa Hak menguasai dari negara termaksud dalam Ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, c. menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Pasal tersebut menegaskan bahwa negara memiliki hak menguasai atas bumi, air dan kekayaan didalamnya. UUPA juga mengakui adanya hak ulayat (pada Pasal 3 Undang-Undang tersebut), sebagai berikut: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum 104
adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Dalam penjelasannya dijelaskan bahwa “Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan negara sebagai yang disebut dalam pasal 1 dan 2 maka didalam pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya didalam alam bernegara dewasa ini. Pasal 3 tersebut menentukan, bahwa: "Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan yang lebih tinggi". Pengaturan mengenai hak masyarakat dan hukum adat ini juga termuat dalam Pasal 5, Pasal 16 UUPA ini. Hukum adat dan hak ulayat mendapat perhatian dalam UU Pokok Agraria ini, bahkan disebutkan dalam Pasal 22, bahwa (1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan pemerintah. Selanjutnya dalam Pasal 50, bahwa (1) Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan undang-undang. Pasal 56 menyebutkan bahwa selama undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Namun dalam penjelasan UU Nomor 5 Tahun 1960 tersebut diterangkan sebagai berikut: “karena sebagai akibat dari politik hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum-adat disamping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum Barat. UUPA bermaksud menghilangkan dualisme itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian. Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum dari pada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada 105
hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat. Agar tidak terjadi dualisme hukum yaitu antara hukum adat dan hukum Barat, maka dalam batang tubuh UUPA disebutkan bahwa sebagai acuan utama adalah hukum adat. Namun dalam penjelasan disebutkan bahwa “Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut didaerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk”. Dengan demikian UUPA hanya menegaskan bahwa negara menguasai tanah dan kekayaan di dalamnya termasuk seluruh sumberdaya alam. Sekalipun ada pengakuan atas hukum adat dan tanah ulayat namun ketika dianggap bertentangan dengan kepentingan negara/ nasional, maka hukum adat dengan tanah ulayatnya harus direlakan untuk kepentingan negara. Pada tahun berikutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, negara melakukan penyeragaman desa, dan masih mengakui desa sebagai kesatuan masyarakat hukum. Undang-undang ini tidak memberi
ruang
bagi
masyarakat
adat
menyelenggarakan
pemerintahan
berdasarkan konsep adatnya, sehingga di beberapa tempat terjadi dualisme kepemimpinan yaitu pemimpin adat dan kepala desa. Selanjutnya, dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, juga ada pengakuan negara terhadap hak ulayat yang dimiliki oleh suatu komunitas. Namun pengakuan ini hanya bersifat retorika, karena dalam prakteknya ada aturan lain dari negara dimana demi kepentingan orang banyak atau demi kepentingan negara, maka klaim atas tanah hak ulayat oleh komunitas adat tersebut bisa digugurkan. Pengakuan terhadap masyarakat adat ini juga disebutkan dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mengakui kesatuan masyarakat hukum, adat istiadat dan asal usul. Selain itu, ada juga pengakuan terhadap masyarakat adat terpencil di dalam Keppres No. 111/1999 106
tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil, dan dalam Keputusan Menteri Sosial (Kepmensos) RI No. 6/PEGHUK/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Dalam hubungannya dengan pengaturan hubungan pemerintahan pusat dan daerah, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat (MHA) juga disebutkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang selanjutnya disebutkan pula dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa. Selanjutnya, dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999, bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (lihat Pasal 2 Ayat 9 UU Nomor 32 Tahun 2004). Begitupun dengan PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa, disebutkan bahwa salah satu kewajiban kepala desa dalam Pasal 15 Ayat 1 Huruf m, yaitu membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat. Berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah dan desa, maka sebetulnya undang-undang ini telah menempatkan masyarakat hukum adat dan adatnya sebagai bagian dari hukum negara yang harus diakui dan dihormati keberadaannya, artinya seluruh peraturan daerah yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan hukum masyarakat adat dan adat istiadat masyarakatnya. Lebih lanjut kebijakan mengenai kelola adat atas hutan diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999, mengakui hutan adat dan hak masyarakat hukum adat di kawasan hutan secara terbatas sekali. Namun UU tersebut belum ditindak lanjuti dengan peraturan pemerintah (PP). Sederet peraturan perundang-undangan Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut hanya mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, hukum adat dan hak ulayat, namun dalam prakteknya masih setengah hati, dimana hukum adat atau hak masyarakat adat diakui ketika tidak bertentangan dengan hak dan hukum negara.
107
4.4..b. Sejarah Penguasaan Tanah Masyarakat Adat Berikut ini akan digambarkan bagaimana masyarakat memaknai hak dan akses terhadap sumberdaya alam. Adapun pemaknaan hak dan akses menurut Mayarakat Adat berbeda-beda. Hak milik dan akses setiap masyarakat memiliki karakteristik berbeda-beda untuk setiap masyarakat/ suku bangsa. Dalam tulisan ini akan ditampilkan dua kasus hak penguasaan dan hak akses pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Pada kedua masyarakat ini mengenal dua sistem penguasaan tanah, yaitu sistem penguasaan komunal dan sistem penguasaan individu. Sekalipun sistem penguasaannya sama, namun penanda atas kekuasaan tersebut dan sejarah penguasaan tanah adat pada Masyarakat Kasepuhan berbeda dengan sejarah penguasaan tanah adat pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik.
4.4.b.1. Penguasaan Tanah Menurut Masyarakat Kasepuhan Sejarah keberadaan Masyarakat Kasepuhan di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak sudah sejak 634 tahun yang lalu. Menurut Abah Asep bahwa dari cerita turun-temurun, diketahui Masyarakat Kasepuhan adalah sisa-sisa kerajaan Pakuan Padjadjaran. Masyarakat Kasepuhan menandai wilayahnya dengan makam keramat. Makam keramat itulah yang menjadi simbol keberadaan Masyarakat Kasepuhan sejak dulu dan menjadi tonggak penguasaan adat atas teritori tersebut. Menurut Abah Asep bahwa “klaim atas wilayah Gunung Halimun Salak oleh Masyarakat Kasepuhan sudah sejak lama, sejak sebelum Indonesia merdeka, bahkan sejak sebelum Indonesia dijajah. Penguasaan tanah adat pada Masyarakat Kasepuhan sudah dimulai sejak 634 tahun yang lalu sejak perpindahan pertama dari Jasinga ke Bogor”
Secara komunal seluruh Masyarakat Kasepuhan mengakui bahwa Kawasan Halimun Salak adalah kawasan adat. Pada kawasan komunal ini dibagi lagi sesuai peruntukkan, ada kawasan hutan, ada kawasan lahan pertanian dan pemukiman. Pada kawasan hutan, penguasaan hutan diakui sebagai penguasaan bersama seluruh Masyarakat Kasepuhan, tidak ada batas yang terpisah untuk masingmasing Kasepuhan. Pengaturannya didasarkan atas tradisi nenek moyang yang dijaga secara turun temurun. 108
Wilayah Kasepuhan, sejak tahun 1932 berpusat di Cicemet, kemudian tahun 1941
meluas ke wilayah Lebak Salak, Cijaha, Jeruk Nipis, Sodong/ Lebak
Nangka, Cisuren. Dalam kawasan tersebut, hak akses masyarakat dibatasi berdasarkan adat aturan nenek moyang, yang dipercaya oleh masyarakat masih mengatur dan mengontrol kawasan tersebut sekalipun mereka sudah tidak ada lagi didunia ini. Berdasarkan tanda leluhur yang ditinggalkan, wilayah adat (batas tanah adat) yang diklaim oleh Masyarakat Kasepuhan, sebagai berikut: 1. Sebelah Selatan adalah Wilayah Jampang (Pandai Domas) 2. Laut sampai ke Puseran Agung 3. Timur di Gunung Sumping 4. Barat di Ujung Kulon 5. Utara di Baduy/ Bogor. Dalam konteks di atas bisa dikatakan bahwa penguasaan lahan atau kawasan tidak pernah berpindah tangan melainkan masih menjadi hak dari para pionir pembuka kawasan yang pertama kali yaitu nenek moyang. Konsep ini hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Li (1996) bahwa hak properti berasal dari pembukaan lahan awal menjadi hak tak terbantahkan untuk menanam pohon komersial dan mengklaim penguasaan sepenuhnya. Kondisi ini masih dipraktekkan di sejumlah kawasan adat di Indonesia termasuk di kawasan Masyarakat Kasepuhan maupun Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Penghormatan terhadap nenek moyang dalam bentuk ritual pemberian sesajen dan sejumlah doa dipanjatkan kepada roh nenek moyang untuk meminta izin manakala mereka mau memasuki kawasan atau untuk mengambil manfaat dari kawasan tersebut termasuk untuk memotong kayu maupun mengolah lahan pertanian, bahkan untuk kawasan tertentu memasukinya saja harus melakukan ritual untuk meminta izin mereka. Mekanisme permintaan izin ini dipimpin oleh abah selaku ketua adat Kasepuhan atau tuai rumah selaku penguasa rumah panjang di Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Pada kawasan lahan pertanian, setiap komunitas Kasepuhan mempunyai klaim penguasaan atas kawasan yang berbeda-beda, dengan batas dan luasan yang sangat jelas. Penguasaan tanah tersebut ada yang bersifat komunal (tanah adat) ada yang bersifat individual. Tanah adat biasanya dikerjakan secara bersama-sama 109
oleh incuputu (warga Masyarakat Kasepuhan), selanjutnya hasilnya akan disimpan di lumbung adat yang pemanfaatannya diatur oleh abah selaku ketua adat (kepala suku). Tanah komunal ini dalam istilah adat disebut tanah ulayat atau tanah adat. Dalam persepsi masyarakat bahwa hak ulayat ini adalah hak milik adat dan dikuasai oleh abah selaku ketua adat. Hak yang dimiliki oleh abah ini adalah hak pakai bukan hak milik. Namun menurut Li (1996), pengakuan atas hak ulayat ini lemah dan tunduk pada kepentingan nasional. Akibatnya, seringkali negara dengan mudah mengambil tanah tersebut. Hak ulayat dimaknai oleh negara sebagai tanah negara (lihat juga Moniaga, 1993). Dalam Masyarakat Kasepuhan, selain penguasaan secara komunal, ada juga penguasaan yang diakui secara individual. Luasan penguasaan individual ini pada masa lalu diperoleh dari hasil kerja individu tersebut, yaitu seberapa jauh dan seberapa luas tanah yang dapat digarap oleh individu tersebut. Dimasa lalu, masyarakat melakukan praktek perladangan berpindah. Kawasan yang pernah dibuka sebagai ladang atau lahan pertanian menjadi hak milik dari orang yang membuka lahan tersebut. Setelah ladang tersebut ditinggalkan, penguasaan lahan tersebut masih menjadi penguasaan pelopor (orang yang pertama membuka ladang) dan diwariskan kepada keturunannya. Jadi orang-orang Kasepuhan sekarang hanya meneruskan apa yang diperoleh nenek moyangnya di masa lalu. Ketika ladang ditinggalkan oleh pemiliknya, karena pemilik ladang tersebut berpindah ke tempat lain yang lebih subur, maka ladang tersebut bisa digarap oleh orang lain melalui hak pinjam. Artinya, orang lain bisa meminjam lahan tersebut untuk digarap sebagai lahan pertaniannya, namun status penguasaannya tetap ada pada orang yang pertama (pioner) dan keturunannya, namun perjanjian peminjaman inipun harus melalui dan seizin dari abah selaku ketua adat. Selain ada hak pinjam, ada juga hak akses yang bisa diperoleh orang lain tanpa harus meminta izin terlebih dahulu, apabila kawasan tersebut memang tidak digarap atau lahan kosong. Akses tersebut berupa mengambil manfaat dari kawasan tersebut, seperti pengambilan kayu bakar, atau tanaman-tanaman yang masih tersisa di lahan tersebut. Namun apabila dilahan tersebut ada pohon kayu komersial atau tanaman komersial lainnya seperti kapolaga, maka akses untuk orang lain tersebut menjadi hilang. Artinya lahan tersebut tidak kosong atau 110
ditinggalkan, melainkan ada pengalihan peruntukan dari ladang pertanian menjadi perkebunan kayu atau tanaman komersial lain. Seperti yang diungkapkan oleh Li (1996), bahwa dalam konsep perladangan berpindah gagasan warisan budaya tidak diuraikan. Tanah terus menjadi milik nenek moyang yang pertama kali membersihkan lahan tersebut, dan semua generasi muda secara efektif meminjam dari mereka. Apa yang dikemukakan Li tersebut terjadi juga pada Masyarakat Kasepuhan dimana generasi sekarang ketika akan menggarap lahan harus mengadakan upacara ritual terlebih dahulu, meminta izin kepada roh nenek moyang untuk menggarap lahan. Dengan demikian, masyarakat generasi sekarang mengerjakan lahan yang dipinjam dari nenek moyang mereka. Lahan tersebut secara adat tidak dapat diperjual-belikan, mereka hanya boleh menggarap lahan tersebut. Jika lahan tersebut penguasaannya akan dialihkan kepada orang lain, maka harus melalui izin nenek moyang melalui upacara ritual yang dipimpin oleh abah. Apabila dilihat dari konteks negara, tanah-tanah penguasaan individu dalam adat Kasepuhan tersebut adalah juga tanah-tanah yang diklaim sebagai tanah hak guna usaha (HGU) yang dikuasai oleh Perum Perhutani dulunya. Secara formal Perum Perhutani memiliki hak property di kawasan tersebut berupa HGU, Masyarakat Kasepuhan memiliki hak tersebut berdasarkan persepsi adat budaya dan tradisi mereka, namun secara formal mereka tidak memiliki hak. Baik Perhutani maupun Masyarakat Kasepuhan keduanya memiliki akses yang sama pada kawasan yang sama. Tumpang tindih klaim penguasaan tersebut di masa lalu tidak menyebabkan konflik, karena ada pengaturan yang disepakati bersama antara Masyarakat Kasepuhan dan Perum Perhutani dalam memanfaatkan kawasan. Masyarakat Kasepuhan memanfaatkan lahan tersebut untuk kawasan pertanian padi, palawija dan pohon-pohon kayu yang tidak komersial, sedangkan Perhutani memanfaatkan lahan tersebut untuk menanam pohon-pohon kayu komersial. Sebagian hasil pertanian masyarakat diberikan kepada Perhutani sebesar 1525% dari hasil tani tergantung besarnya jumlah hasil tani (istilah mereka cukai Perhutani), sesuai kesepakatan.
111
Konflik antara negara dan masyarakat terjadi setelah tahun 2003, dimana status HGU Perum Perhutani dicabut dan dialihkan menjadi kawasan taman nasional. Ketika status kawasan tersebut menjadi kawasan taman nasional, maka negara tidak lagi memberi ruang yang bebas termasuk tidak ada pengakuan atas penguasaan masyarakat adat. Masyarakat harus keluar dari wilayah lahan garapan mereka. Ketika lahan garapan yang menjadi livelihood mereka terancam maka konflik masyarakat dan negara menjadi tidak terelakkan. 4.4.b.2. Penguasaan Tanah Menurut Masyarakat Dayak Iban Adapun sejarah penguasaan tanah adat pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik masih baru. Sungai Utik juga berfungsi sebagai bukti penguasaan wilayah sebagaimana perjanjian dengan suku Embaloh. Wilayah adat yang didiami oleh Masyarakat Dayak Iban sekarang ini dulunya merupakan wilayah penguasaan suku Dayak Embaloh. Dayak Iban sendiri dulunya berasal dari Lanjak. Suatu hari beberapa orang Dayak Iban pergi untuk menentukan kawasan yang cocok dan subur bagi lahan pertanian, maka pergilah beberapa orang Iban yaitu Ijon, Tapao, Erman, Kumok, Nawan bersama dengan Unyob dari suku Embaloh, sambil mereka mencari “rotan, nyatu, dan kubal”. Akhirnya mereka menemukan wilayah baru yang subur. Sepulang dari kerja mereka pergi ke Lanjak dan melaporkan kepada Pateh Judan bahwa mereka menemukan daerah baru yang cocok, namun wilayah tersebut adalah wilayah Suku Dayak Embaloh. Oleh Pateh Judan, kemudian meminta wilayah baru tersebut kepada pemiliknya yaitu Malin Apai Melunsa suku Dayak Embaloh, untuk ditempati. Melunsa setuju daerah tersebut ditempati oleh suku Iban. Apalagi suku Iban dianggap sebagai pelindung bagi suku Embaloh dari serangan musuh.
112
Perjanjian antara Suku Dayak Iban dengan suku Dayak Embaloh, sebagai berikut: 1. Kalau suku Iban menempati daerah suku Embaloh (Mbaloh), maka harus mengikuti kebiasaan suku Embaloh dan tidak boleh menggangu orang Embaloh atau orang lain. Dengan bahasa lain yaitu “bedilang besai, bejabung panjai, bedok betalaga darah”. 2. Daerah yang diserahkan Malin Apai Melunsa adalah dari muara sampai uncak Sungai Utik. 3. Apa yang ada di wilayah Sungai Utik, adalah milik orang Sungai Utik, hantu sekalipun. 4. Selama ada orang Iban di Sungai Utik walaupun satu orang saja, apa yang ada masih milik orang tersebut, kecuali orang Iban Sungai Utik pindah semua, baru wilayah kembali ke suku Embaloh. 5. Orang suku Mbaloh Ulak Paoh tidak boleh mengganggu wilayah yang sudah diserahkan kepada orang Iban di Sungai Utik. Untuk mengukuhkan perjanjian tersebut, diadakan sumpah dengan beras kuning, 2 ekor babi, 2 ekor ayam, disertai dengan berkempit darah satu sama lain, juga memakai kujur. Dengan diangkatnya sumpah, baru suku Iban pindah ke wilayah yang diserahkan oleh suku Mbaloh Ulak Paoh tersebut. Ada satu tanda mata dari suku Embaloh yang diberikan dengan suku Iban yaitu tembawang Embaloh..
Sejarah asal usul Dayak Iban Sungai Utik menempati daerah baru ini hampir sama dengan sejarah Dayak di Sanggau (lihat Peluso, 2005). Sekalipun alasan kepindahan dua adat tersebut sedikit berbeda, dimana Dayak Iban pindah ke Sungai Utik dengan suatu konpensasi bahwa mereka harus menjadi pelindung Dayak Embaloh dari serangan musuh dan penguasaan seluruh kawasan Sungai Utik menjadi hak milik Dayak Iban bahkan digambarkan dengan hantu sekalipun yang ada didalamnya diberikan kepada orang Dayak Iban. Sementara Dayak Salako pindah ke Sanggau dengan transaksi jual beli dengan penghuni sebelumnya. Namun demikian, ada suatu kesamaan yang menandai pertukaran tersebut yaitu “tembawang” (bekas rumah panjang). Hal tersebut bermakna bahwa dalam pertukaran tersebut juga dimaksudkan untuk mengakui tenaga kerja dan klaim dari para leluhur yang telah menciptakan sumberdaya yang berharga yaitu hutan ditebang untuk ladang dan tembawang tersebut. Dalam Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dikenal tiga jenis tembawai: a. Tembawai Rumah Panjae, suatu perkampungan yang dihuni selama beberapa tahun, kemudian ditinggalkan, karena pindah ke pemukiman yang baru. Tembawai biasanya ditumbuhi beragam jenis tanaman buah-buahan seperti durian, rambutan, langsat, asam, pinang, cempedak, rambai dan lain-lainnya. Selain ditumbuhi oleh tanaman buah-buahan juga ditumbuhi oleh tanaman 113
lain seperti rotan, tengkawang, dan bermacam jenis tanaman bumbubumbuan. b. Tembawai Dampa’ (sementara), suatu lokasi bekas perkampungan rumah panjae namun sifatnya sementara karena masyarakat lari dari “sesuatu” perkampungan, maka mereka membuat “dampa”. Tembawai ini biasanya ditempati 1-2 tahun, tidak ditanami tanaman buah-buahan, tetapi biasa ditanami pinang. c. Tembawai Langkao Umai, suatu tempat bekas mendirikan pondok ladang. Disekitar pondok ladang biasanya ditanami tanaman sayur-sayuran, bumbubumbuan, pisang, dan lain-lain. Dalam kasus pemindah-tanganan penguasaan tersebut juga diperlukan praktek ritual tertentu untuk menenangkan para leluhur sehingga menerima keberadaan komunitas baru yang akan menempati wilayah tersebut. Dalam menentukan hal pertukaran, para pemimpin adat pada saat itu melakukan pertukaran dengan suatu perjanjian, apa saja yang dipertukarkan termasuk menghitung jumlah pohon berdiri, luas bentang bidang tanah dan jumlah tembawang dalam wilayah yang dipertukarkan. Dalam kasus Sungai Utik, kawasan Sungai Utik dari muara sampai uncak Sungai Utik diserahkan oleh Suku Embaloh Ulak Paoh kepada orang Dayak Iban termasuk seluruh kekayaan yang ada didalamnya. Tiang pancang Tembawang (Tembawai) peninggalan Suku Embaloh masih dipelihara sampai sekarang sebagai tanda pengingat perjanjian di masa lalu. Selama masih ada orang Sungai Utik yang tinggal di daerah ini, kawasan ini masih menjadi milik orang Dayak Iban Sungai Utik, maka keturunan Suku Embaloh tidak boleh mengganggu hak penguasaan orang Dayak Iban di Sungai Utik, namun apabila sudah tidak ada seorangpun dari Suku Dayak Iban yang mau tinggal di daerah ini, maka wilayah tersebut kembali menjadi hak Dayak Embaloh Ulak Paoh. Dalam kasus Sungai Utik, hak yang diperoleh Dayak Iban adalah hak penguasaan total atas lokasi tersebut, sehingga apapun yang akan dilakukan oleh orang Dayak Sungai Utik terhadap kawasan tersebut, suku Embaloh tidak akan menggugat apapun. Hal ini berbeda dengan suku Dayak yang diceritakan oleh Peluso (2005), ketika sekitar tahun 1977, lebih dari 50 tahun setelah ritual 114
transfer, warga desa "baru" memutuskan untuk memindahkan rumah panjang ke sebuah lokasi di hutan di mana sekelompok pohon durian harus dipotong. Berita dari rencana untuk memotong pohon-pohon durian tersebut tersebar dengan cepat. Pemimpin adat saat itu dari desa pertama yang sudah pindah ke arah hilir, menuntut kompensasi tambahan adat, bukan hanya untuk keturunan langsung dari penanam pohon durian tersebut tetapi juga untuk seluruh desa. Pembayaran itu dimaksudkan untuk membiayai pesta dan upacara untuk menenangkan arwah para leluhur yang telah menanam pohon-pohon tersebut. Selain itu, warga "baru" tidak keberatan, mereka membayar denda terkait dengan menebang pohon durian dan memberikan makanan yang diperlukan untuk upacara ritual. Baik dalam kasus Sungai Utik maupun kasus Sanggau (dalam Peluso, 2005), penduduk desa saat ini bersedia untuk mengakui klaim penghuni lama (roh nenek moyang). Pengakuan atas hak “pelopor” tersebut dilakukan melalui upacara ritual, dimana apapun yang akan dilakukan oleh masyarakat terhadap tanah dan hutan serta pepohonan di atasnya, baik untuk menebang pohon karena alasan berladang ataupun untuk memindahkan rumah panjang baru, maka upacara ritual harus dilakukan untuk meminta izin dari roh nenek moyang, sekalipun roh nenek moyang tersebut bukan nenek moyang dari keturunan komunitas baru. Mungkin mereka takut pembalasan spiritual jika nenek moyang dari penanam pohon-pohon tersebut tidak diakui secara ritual. Apapun alasannya, insiden ganti rugi atas pemotongan pohon durian itu mengungkapkan bahwa baik sistem hukum maupun pengertian teritorial masyarakat selalu dan selamanya menentukan apa yang sebenarnya akan terjadi. Dalam kasus Sungai Utik, hak penguasaan tanah selain ada yang bersifat komunal ada juga hak penguasaan pribadi. Hak pribadi ini didasarkan atas kemampuan setiap individu atau keluarga dalam membuka hutan untuk berladang. Selanjutnya mereka akan berpindah ke tempat yang baru untuk berladang di tempat yang lebih subur. Namun setiap bekas ladang yang mereka buka sekalipun sudah mereka tinggalkan, penguasaannya melekat pada orang pertama yang membuka ladang tersebut. Sampai saat ini Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik masih menjalankan pola pertanian ladang berpindah, namun masyarakat sendiri menolak dikatakan 115
seperti itu karena terkesan merusak lingkungan. Mereka lebih suka disebut sebagai pertanian bergulir (gilir balik). Karena menurut mereka, pola pertanian yang mereka lakukan tersebut akan membuat mereka kembali menggarap lahan yang sama setelah jangka waktu sekian tahun, paling cepat setelah 5 (lima) tahun atau paling lama 20 (dua puluh) tahun. Semua lahan bekas ladang yang pernah mereka buka tersebut yang disebut damun (bekas ladang) menjadi hak penguasaan mereka. Bekas ladang ini jumlahnya cukup luas seluas 2,370.75 hektar yang dikatagorikan oleh negara sebagai lahan kritis. Pada lahan bekas ladang menjadi hak penguasaan mereka yang pernah menggarap lahan tersebut. Mereka akan kembali menggarap lahannya apabila dipandang bahwa lahan tersebut sudah subur, biasanya ditandai dengan tumbuh suburnya pohon kayu di lahan tersebut tanpa mereka tanam. Lahan tersebut juga boleh dipinjamkan kepada tetangganya apabila tetangganya kehabisan lahan subur. Menurut mereka, sekarang ini sudah tidak bisa membuka lahan baru, jadi pertanian bergulir mereka hanya diseputar lahan yang ada. Perpindahan dari satu lahan ke lahan yang lain untuk pertanian tersebut tentu harus seizin roh nenek moyang yang akan ditenangkan melalui upacara ritual yang dipimpin oleh “tuai rumah”. Tuai rumah akan membekali mereka dengan berbagai upacara ritual. Pada kasus Dayak Iban Sungai Utik, maka hak property suatu kawasan melekat pada pelopor pertama (nenek moyang), sedangkan manusia masa kini (termasuk keturunannya) hanya memiliki hak akses. Hak akses masyarakat meliputi hak untuk menggarap lahan pertanian dan hak untuk menanami ladang dengan berbagai komoditas komersial pada kawasan kampong endor kerja (kawasan yang diperuntukkan bagi lahan pertanian), hak untuk memotong kayu untuk kebutuhan membangun rumah pada kawasan kampong galou. Namun mereka memiliki beberapa batasan atas hak, ada exclusion dari lokasi, yaitu ada tanah mali dimana mereka sama sekali tidak boleh memasuki wilayah tersebut sekalipun tanah tersebut berada pada kawasan kampong endor kerja.
116