ANALISIS DINAMIKA HUBUNGAN SOSIAL-EKOLOGI DI HUTAN MANGROVE (Studi Kasus: Masyarakat Pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)
Oleh: Nendy Rizka Halandevi NRP. I34070064
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ANALISIS DINAMIKA HUBUNGAN SOSIAL-EKOLOGI DI HUTAN MANGROVE (Studi Kasus: Masyarakat Pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)
Oleh: Nendy Rizka Halandevi NRP. I34070064
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ABSTRACT Mangrove ecosystem has a very important role in the existence of biological diversity to support the balance of the environtment, both on land and at sea. This natural resource wealth was not able to provide prosperity for the community. As RTH in urban areas in Jakarta, the degradation of mangrove forest could directly affect the coastal communities, because its own characteristic that could not be separated from the use of and access to mangrove resources. This study has two objectives. First, to identify the forms of socialecological interactions among the people of Muara Angke, the private sector, and government in the mangrove forest environtment. Second, to identify the changes arising from the social-ecological interactions Muara Angke community. The research was conducted in the Coastal Area of Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara from November to December 2010. The primary data were obtained through questionnaires to the respondents and indepth interview to the informant, while the secondary obtained from another relevant sources. Respondent were selected using stratified random sampling technique to find 50 respondents. The result showed that the type of socialecological interaction occur in a associative and dissociative patterns differentiated by the actors involved. There’s conlict between communities and private sector (PIK). Private sector had a greater authority to use natural resources than the communities. However, the remains associative form of relationship among communities and the government of mangrove forest related to the concept of local wisdom to protect the coastal ecosystem. The effect is the changes in the quality of carrying capacity such as the intensity of flood, wildlife disturbance to residential areas and declining catches of the fisherman as the systemic impact of a series community interaction. Especially in the upstream an downstream of Kali Angke. These conditions prove the hypothesis that “socialecological interactions had an impact on the coastal environtment of Muara Angke”, these changes lead to ecological crisis at the sites.
Keywords:
Social-ecological interactions, associative interaction, dissociative interaction, conflict, interactions impact, and ecological crisis
RINGKASAN
NENDY RIZKA HALANDEVI. Analisis Dinamika Hubungan Sosial-Ekologi di Hutan Mangrove (Studi Kasus: Masyarakat Pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara). Dibawah bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN Salah satu kekayaan hayati yang terdapat di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Sering kali, ia disebut dengan hutan payau atau hutan bakau. Namun, hutan mangrove memiliki sedikit perbedaan dengan hutan bakau, bahwa istilah bakau hendaknya digunakan hanya untuk jenis-jenis tumbuhan tertentu saja yaitu dari marga Rhizopora, sedangkan istilah mangrove digunakan untuk segala tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas ini (Nontji, 2005). Ekosistem mangrove ini memiliki peranan yang sangat penting dalam keberadaan keanekaragaman hayati (biodiversity) guna menunjang keseimbangan lingkungan hidup baik di darat maupun di laut. Kekayaan sumberdaya alam ini ternyata belum mampu memberi kemakmuran bagi masyarakat. Terkait dengan karakteristik masyarakat pesisir yang tidak pernah terlepas dari penggunaan dan akses akan sumberdaya mangrove, maka degradasi sumberdaya alam hutan mangrove tampak pada ekosistem bakau sebagai area ruang terbuka hijau perkotaan di Jakarta. Kawasan ini dikelilingi oleh jalan raya, gedung dan pemukiman penduduk yang rapat dan kumuh. Pohon bakau (Rhizophora sp) yang mencirikan kawasan ini hanya tersisa di bagian selatan disekitar pos Polisi Hutan dan sepanjang tepian sungai. Namun demikian mengingat lokasinya yang memiliki aksesibilitas yang sangat tinggi dan berinteraksi langsung dengan masyarakat, maka resiko pencurian satwa sangat tinggi. Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini memiliki dua tujuan. Pertama, mengidentifikasi bentuk interaksi sosial-ekologis yang terbangun antara masyarakat Muara Angke dengan swasta dan pemerintah di lingkungan hutan mangrove. Kedua, mengidentifikasi perubahan yang ditimbulkan dari interaksi sosial-ekologis masyarakat Muara Angke. Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara sejak bulan November-Desember 2010. Data primer diperoleh melalui penyebaran kuesioner kepada responden dan wawancara mendalam kepada informan, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Responden penelitian dipilih dengan menggunakan teknik stratified random sampling dengan memilih reponden sebanyak 50 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk interaksi (hubungan) sosialekologi terjadi pada pola asosiatif dan disosiatif yang dibedakan berdasarkan pihak yang terlibat. Adapun pihak yang terlibat adalah interaksi sosial-ekologi sesama masyarakat, masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan swasta, serta masyarakat dengan alam sekitarnya (khususnya hutan mangrove). Hubungan
v
sosial-ekologi yang cenderung mencolok adalah bentuk hubungan disosiatif antara masyarakat dengan swasta yang memiliki kewenangan lebih besar akan pemanfaatan sumberdaya alam. Namun, masih terjadi bentuk hubungan yang asosiatif antara masyarakat dengan pemerintah terkait hutan mangrove dengan konsep kearifan lokal untuk menjaga ekosistem pesisir. Sekecil apapun interaksi antara semama manusia dan manusia kepada alam akan membawa konsekuensi perubahan lingkungan yang menyertainya. Hutan mangrove di Muara Angke merupakan satu-satunya kawasan hutan di pesisir Jakarta yang masih tersisa dari derasnya arus pembangunan. Pengelolaaan dan pemanfaatan hutan mangrove juga tidak terlepas dari kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Angke yang ikut mengairi hutan. Pengaruh yang bisa dilihat adalah dari perubahan kualitas daya dukung lingkungan seperti intensitas terjadinya banjr, gangguan satwa ke pemukiman penduduk, hungga menurunnya hasil tangkapan nelayan sebagai dampak sistemik dari rangkaian interaksi masyarakat dari hulu dan khususnya di hilir. Kondisi ini membuktikan hipotesis penelitian bahwa “interaksi sosial-ekologi membawa pengaruh pada lingkungan pesisir Muara Angke”, perubahan ini mengarah pada krisis ekologi di lokasi penelitian. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setiap aktivitas manusia yang terangkum dalam hubungan (interaksi) baik yang bersifat asosiatif dan disosiatif terkait dengan sumberdaya hutan mangrove, membawa perubahan lingkungan yang cenderung merugikan akibat tekanan pembangunan dan kebutuhan manusia. Interaksi sosial-ekologi yang disosiatif justru membawa kerugian jangka panjang bagi lingkungan dan hanya menguntungkan bagi pihak yang mengeksploitasi.
ANALISIS DINAMIKA HUBUNGAN SOSIAL-EKOLOGI DI HUTAN MANGROVE (Studi Kasus: Masyarakat Pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)
Nendy Rizka Halandevi I34070064
SKRIPSI Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
LEMBAR PENGESAHAN DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama
: Nendy Rizka Halandevi
NRP
: I34070064
Judul
: Analisis Dinamika Hubungan Sosial-Ekologi di Hutan Mangrove (Studi Kasus: Masyarakat Pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan KPM 499 pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M. Sc, Agr NIP. 19630914 199003 1 002 Mengetahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus Ujian:
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS DINAMIKA HUBUNGAN SOSIAL-EKOLOGI DI HUTAN MANGROVE. Studi Kasus: Masyarakat Pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara” INI BENAR-BENAR HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA
DAN
SAYA
BERSEDIA
MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.
Bogor, Desember 2011
Nendy Rizka Halandevi I34070064
RIWAYAT HIDUP Nendy Rizka Halandevi dilahirkan di Kota Malang, Jawa Timur tepatnya pada 21 April 1989. Anak pertama dari dua bersaudara, buah hati dari pasangan suami istri Drs. H. Paeni, M.H dan Dra. Hj. Erni Prasetyawati. Sebagai pelajar, Penulis menenpuh pendidikan di TK Bustanul Athfal selama dua tahun, SDN Kebonsari Kulon II selama genap enam tahun. Kemudian, dilanjutkan di SMPN 3 Peterongan Jombang dan SMAN 1 Probolinggo masing-masing ditempuh selama tiga tahun. Selanjutnya, penulis menempuh pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor tepatnya di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia memalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Semasa sekolah dasar penulis pernah meraih prestasi Juara II Siswa Teladan seKotamadya Probolinggo serta Juara IV Lomba Cerdas Cermat SD se-Jawa Timur. Penulis aktif di bidang kesenian sholawat pada saat di SMP di Kabupaten Jombang. Penulis juga sempat mengikuti seleksi Olimpiade Biologi tingkat SMA se-Kotamadya Probolinggo. Penulis mulai aktif berorgnisasi sejak SMA yaitu sebagai kru redaksi majalah sekolah Lentera. Hal ini berlanjut hingga di bangku kuliah yaitu berkiprah di Komisi C Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) TBB IPB, kemudian di Pokja SPP DPM-BEM TPB IPB, Panitia Open House Mahasiswa baru TPB IPB divisi Dana dan Usaha 2008, serta Kebinet Heroic Departemen Sosial dan Lingkungan Hidup Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEMA IPB. Pencapaian organisasi tertinggi yang dijalani adalah sebagai Ketua Pelaksana Desa Mitra Fakultas Ekologi Manusia (SAMISAENA) 2009-2010.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skirpsi ini
dengan sebaik-baiknya. Adapun skripsi yang penulis beri judul Analisis Dinamika Hubungan Sosial-Ekologi di Hutan Mangrove (Studi Kasus: Masyarakat Pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara) merupakan hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pola hubungan baik sosial dan ekologi besera perubahan yang menyertainya di Muara Angke Kelurahan Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara. Interaksi yang terjadi antar beberapa pihak khususnya masyarakat Muara Angke dengan sesama manusia dan kepada alam secara langsung atau tidak langsung saling mempengaruhi keseimbangan ekosistem hutan mangrove dan pesisir. Pembanguan yang pesat dan padatnya jumlah penduduk menuntut tersedianya sarana perumahan di kawasan pesisir Jakarta, salah satunya terjadi di Muara Angke, Kelurahan Pluit. Beberapa bentuk interaksi manusia terhadap alam yang merugikan, tentu ikut menentukan kualitas daya dukung lingkungan yang semakin lama semakin berkurang serta menimbulkan kerugian bagi banyak kalangan. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gelar sarjana, disamping itu untuk memperoleh pengetahuan terkait dengan kegiatan perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
Bogor, Desember 2011
Nendy Rizka Halandevi I34070064
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT Tuhan bagi alam semesta berkat nikmat iman, rahmat, dan ridhoNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Analisis Dinamika Hubungan SosialEkologi di Hutan Mangrove (Studi Kasus: Masyarakat Pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)”. Rasa syukur ini dihaturkan karena dalam penyusunan Skripsi ini, penulis dapat menyelesaikannya dengan proses yang panjang dan memberi pembelajaran berharga. Penulis tidak lupa menyapaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada beberapa pihak yaitu: 1. Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc, Agr. selaku dosen pembimbing skripsi atas ketulusan dalam membimbing, mengarahkan, mendidik, memberi motivasi kepada penulis agar dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar. 2. Bapak Dr. Arif Satria, SP, M.S selaku dosen penguji utama dan Ibu Ir. Yatri Indah Kusumastuti, M.Si sebagai dosen penguji perwakilan Departemen SKPM yang telah memberikan saran dan arahan untuk menyempurnakan skripsi ini. 3. Bapak Martua Sihaloho, SP, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik sekaligus dosen uji petik skripsi yang membantu penulis dalam mengarahkan rencana studi dan membantu menyelesaikan masalah akademik. 4. Masyarakat nelayan Kampung Kali Adem dan warga Perumahan Nelayan Muara Angke sebagai responden penelitian ini. Terimakasih karena telah membuka mata hati dan nurani penulis akan arti kehidupan, khususnya untuk Pak Naling, Pak Naman yang telah bersedia menerima penulis dengan baik dalam proses pengumpulan data dan informasi, Pak Tanton selaku polisi hutan Suaka Marga Satwa Muara Angke yang membantu dalam pengurusan administrasi penelitian dan keluangan waktu serta bersedia menemani berkeliling Muara Angke untuk mengumpulkan data. 5. Ayahanda tercinta Drs. H. Paeni Effendy, MH. dan Ibunda tersayang Dra. Hj. Erni Prasetyawati yang telah melahirkan seorang anak serta melimpahkan kasih sayang, cinta, spirit juang yang tidak tergantikan oleh siapapun.
xii
6. Tidak lupa kepada Almarhum adik tersayang Wildan Nuril Furqony yang menjadi inspirasi dan motivasi untuk selalu menjadi yang terbaik dan berbakti kepada orang tua dan keluarga. 7. Keluarga besar dari Mama dan Papa yang ada di Depok, Bekasi dan di Jawa Timur yaitu Mbahe, Tante Arie yang kebaikannya sudah seperti ibu penulis sendiri, Dik Fawwaz, Nabila, Rayhan, Bilqis yang memberi tambahan kasih sayang, motivasi dan hiburan kepada penulis untuk berjuang di perantauan. 8. Mas Rastra Randhy Rakasiwi yang selama ini senantiasa mendampingi dari jauh dalam memberikan kasih, perhatian, motivasi, mendengarkan keluh kesah, memberi kekuatan lebih kepada penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 9. Tante Yayuk selaku keluarga merangkap “bodyguard” dalam menghadapi kerasnya dan bahaya yang dijumpai di lokasi penelitian serta bersedia menemani penulis mondar-mandir untuk mengumpulkan data di Muara Angke. 10. Mery Purnamasarie dan Anies Wahyu yang banyak memberi semangat, memberi arahan dan tempat untuk menumpang dalam penyelesaian skripsi ini. Tidak lupa Anas, Ima, Ira, Andra, Zessy, Nung, Risma, serta teman-teman seDepartemen SKPM, teman-teman di Departemen lain di IPB yang telah memberikan semangat kepada penulis, serta teman lainnya tidak bisa disebutkan satu per satu. 11. Rinda sahabatku serta teman-teman satu kosan “Edelweiss” Nana, Ufa, Rischa, Retno, Mey, Lusi yang mendukung dan memberi bantuan Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI…………………………………………………………….. DAFTAR TABEL………………………………………………………. DAFTAR GAMBAR……………………………………………………. BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN…………………………………………… 1.1 Latar Belakang……………………………………….... 1.2 Perumusan Masalah……………………………………. 1.3 Tujuan Penelitian………………………………………. 1.4 Kegunaan Penelitian…………………………………… TINJAUAN PUSTAKA……………………………………. 2.1 Tinjauan Pustaka………………………………………. 2.1.1 Pengertian Mangrove………………………….. 2.1.2 Fungsi Mangrove……………………………… 2.1.3 Fungsi Mangrove……………………………… 2.1.3.1 Proses Asosiatif……………………... 2.1.3.2 Proses Disosiatif…………………….. 2.1.4 Hubungan Sosial dan Ekologis dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam……………….. 2.1.4.1 Lingkungan Sosial Pesisir atau Nelayan……………………………… 2.1.5 Struktur Agraria Hutan Mangrove dan Pesisir... 2.1.6 Pengertian Konflik…………………………….. 2.1.6.1 Pemetaan dan Pengelolaan Konflik…. 2.1.7 Faktor Penyebab Degradasi Mangrove………... 2.1.7.1 Pencemaran………………………….. 2.1.7.2 Konversi Lahan Hutan………………. 2.1.8 Konflik Pemanfaatan Kawasan Ekosoistem Mangrove di Wilayah Pesisir…………………. 2.2 Kerangka Pemikiran………………………………….... 2.3 Hipotesis Penelitian……………………………………. 2.4 Definisi Konseptual…………………………………… 2.5 Definisi Operasional…………………………………… METODOLOGI PENELITIAN…………………………... 3.1 Metode Penelitian…………………………………….... 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………... 3.3 Teknik Pengumpulan Data…………………………….. 3.4 Teknik Pengambilan Sampel…………………………... 3.5 Teknik Analisis Data…………………………………... PROFIL LOKASI PENELITIAN…………………………
xiii xvi xvii 1 1 3 5 5 7 7 7 8 9 11 12 13 14 16 17 19 20 20 21 23 24 26 26 27 33 33 33 34 35 36 37
xiv
BAB V
BAB VI
4.1 Kondisi Geografis……………………………………... 4.2 Kependudukan……………………………………….... 4.3 Tingkat Pendidikan……………………………………. 4.4 Mata Pencaharian……………………………………… 4.5 Agama, Sosial dan Budaya……………………………. 4.6 Ekonomi dan Sarana Umum…………………………... BENTUK INTERAKSI SOSIAL-EKOLOGIS DI SEKITAR HUTAN MANGROVE YANG TERBANGUN PADA MASYARAKAT PESISIR MUARA ANGKE……. 5.1 Akses Masyarakat Pesisir Muara Angke terhadap Hutan Mangrove……………………………………….. 5.2 Interaksi Sosial-Ekologi di Hutan Mangrove Bersifat Asosiatif……………………………………………….. 5.2.1 Interaksi Sosial-Ekologi bersifat Asosiatif antar Manusia………………………………………... 5.2.1.1 Gotong Royong……………………… 5.2.1.2 Kemitraan…………………………… 5.2.1.3 Gerakan Penghijauan………………... 5.2.2 Interaksi Berdasarkan Etika Ekosentrisme antara Manusia dengan Alam…………………. 5.2.2.1 Pelestarian Satwa Liar………………. 5.2.2.2 Pemanenan Hasil Hutan……………... 5.2.2.3 Penggunaan Alat Tangkap Ikan yang Ramah Lingkungan………………….. 5.2.3 Interaksi Sosial-Ekologi bersifat Disosiatif antar Manusia………………………………………... 5.2.3.1 Marginalisasi…………………………. 5.2.3.2 Ancaman……………………………... 5.2.3.3 Konflik………………………………. 5.2.3.4 Unjuk Rasa (Demonstrasi)…………… 5.2.3.5 Bentrokan……………………………. 5.2.4 Interaksi Sosial-Ekologi Berlandaskan Etika Antroposentrisme antara Manusia dengan Alam…………………………………………… 5.3 Ikhtisar…………………………………………………. PERUBAHAN YANG DITIMBULKAN DARI INTERAKSI SOSIAL-EKOLOGIS MASYARAKAT MUARA ANGKE DI SEKITAR HUTAN MANGROVE………………………………………………... 6.1 Dimensi Perubahan Sosial pada Masyarakat Pesisir Muara Angke…………………………………………... 6.1.1 Sistem Norma, Nilai, dan Tata Aturan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Hutan Mangrove………………………………………
37 38 39 40 41 42
44 44 46 47 47 49 55 57 57 60 61 61 62 64 65 72 72 73 75
78 78 78
xv
6.1.2
Ketidakjelasan Aturan Main dan Pengikisan Nilai-Nilai Sosial sebagai Akar Konflik Pemanfaatan Hutan Mangrove………………… 6.2 Dimensi Perubahan Lingkungan……………………….. 6.2.1 Bencana Banjir………………………………… 6.2.2 Penurunan Hasil Tangkapan Nelayan…………. 6.2.3 Gangguan Satwa Liar ke Pemukiman Masyarakat…………………………………….. 6.3 Ikhtisar…………………………………………………. BAB VII PENUTUP…………………………………………………... 7.1 Kesimpulan…………………………………………….. 7.2 Saran…………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… LAMPIRAN……………………………………………………………...
80 83 83 85 88 89 91 91 93 95 98
xvi
DAFTAR TABEL No 1
Hal Luas Wilayah Kelurahan Pluit menurut Peruntukan Tanahnya Tahun 2009…………………………………………………………
37
Komposisi Penduduk Kelurahan Pluit Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2009…………………………………………
38
Jumlah Penduduk Kelurahan Pluit Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2009…………………………………………….
39
Jumlah Penduduk Kelurahan Pluit Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian Tahun 2009…………………………………………...
40
5
Jumlah dan Jenis Sarana Ekonomi di Kelurahan Pluit Tahun 2009
42
6
Peranan Instansi Terkait dalam Kegiatan Perekonomian Kelurahan Pluit Tahun 2009…………………………………………………...
43
Bentuk Interaksi Sosio-Ekologi Berdasarkan Etika Antroposentrisme antara Manusia dengan Alam Tahun 2010……..
77
Bentuk Interaksi Sosio-Ekologi Bersifat Disosiatif antar Manusia beserta Aktor-aktor yang Terlibat Tahun 2010…………………….
106
Bentuk Interaksi Sosio-Ekologi Bersifat Disosiatif antara Manusia dengan Alam Tahun 2010………………………………………….
107
2
3
4
7
8
9
DAFTAR GAMBAR
No 1
Komponen Lingkungan Hidup……………………………….......
Hal 13
2
Kerangka Analisis Penelitian…………………………………......
25
3
Distribusi Masyarakat Pesisir Muara Angke Berdasarkan Keikutsertaan pada Kegiatan Gotong Royong Tahun 2010……...
48
Jumlah Persentase Dukungan Masyarakat Pesisir Muara Angke terhadap Kebijakan Konservasi Hutan Mangrove oleh Pemerintah Tahun 2010…………………………………………..
50
Kawasan Hutan Mangrove Muara Angke di Tengah Pembangunan Perumahan dan Pusat Industri Tahun 2009……….
53
4
5
6 7
8
Respon Masyarakat Pesisir Muara Angke terhadap Pembangunan Kawasan Elit dan Industri oleh Pihak Swasta Tahun 2010……… Persentase Masyarakat Muara Angke yang Ikut Terlibat dalam Kegiatan Penghijauan Tahun 2010……………………………….
54 56
Persentase Interaksi Masyarakat Pesisir Muara Angke dalam Upaya Melindungi Satwa Liar di Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke Tahun 2010………………………………………..
58
Persentase Jenis Pemanfaatan Hasil Hutan Mangrove di SMMA oleh Masyarakat Pesisir Muara Angke Tahun 2010……………...
60
Persentase Masyarakat Pesisir Muara Angke Berdasarkan pada Sikap terhadap Keberadaan Kawasan Komersil dan Hunian PIK Tahun 2010……………………………………………………….
65
Bentuk dan Kedalaman Konflik dari Beberapa Pihak Terkait dengan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Mangrove Tahun 2010……………………………………………………………….
66
12
Pemetaan Interaksi Sosial dan Konflik antar Aktor………………
71
13
Persentase Masyarakat Pesisir Muara Angke yang Membuang Sampah di Muara Sungai Angke Tahun 2010
74
9
10
11
14
Perubahan Frekuensi Terjadinya Bencana Banjir di Muara Angke
xviii
Sebelum dan Pasca Reklamasi Tahun 2010
84
Persentase Nelayan Muara Angke yang Mengalami Penurunan Hasil Tangkapan Tahun 2010…………………………………….
86
Persentase Masyarakat Pesisir Muara Angke yang Mengalami Gangguan Satwa di Lingkungan Pemukimannya Tahun 2010…..
88
Kondisi Pemukiman Nelayan Muara Angke (Kampung Kali Adem)…………………………………………………………….
108
18
Pemukiman Nelayan Tampak dari Dalam Hutan Mangrove……..
108
19
Sampah di Pinggiran Hutan Mangrove…………………………...
108
20
Kawasan Perumahan Elit dan Pertokoan di Seberang Hutan Mangrove…………………………………………………………
108
Banjir Rob dan Tumpukan Sampah di Pemukiman Nelayan Muara Angke……………………………………………………..
109
Aktivitas Nelayan dan Deretan Pemukiman Kumuh Nelayan di Sekitar Hutan Mangrore………………………………………….
109
15
16
17
21
22
DAFTAR LAMPIRAN
No
Hal
1
Jadwal Pelaksanaan Penelitian 2011……………………………
99
2
Catatan Harian………………………………………………….
100
3
Peta Muara Angke………………………………………………
105
4
Tabel Bentuk Interaksi Sosial-Ekologi di Muara Angke……………..
106
5
Dokumentasi Penelitian…………………………………………
108
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sumberdaya hayati di Indonesia memiliki keanekaragaman yang relatif kompleks dan kaya, khususnya sumberdaya hayati di wilayah pesisir dan bahari. Menurut Nontji (2005), luas seluruh wilayah Indonesia dengan jalur laut 12 mil adalah 5 juta km², laut teritorial 0.3 juta km² sedangkan perairan pedalaman atau perairan kepulauan seluas 2.8 juta km². Ini berarti luas seluruh laut Indonesia berjumlah 3.1 juta km² atau sekitar 62 persen dari seluruh wilayah Indonesia. Indonesia memiliki cadangan hutan mangrove tropis terluas di dunia dengan luas sekitar 3.5 juta ha pada tahun 1996 atau sekitar 30 – 40 persen jumlah seluruh hutan mangrove dunia. Hutan mangrove di Indonesia terpusat di Irian Jaya dan Maluku (38 persen), Sumatra (19 persen), Kalimantan (28 persen), namun dalam perkembangannya saat ini sudah mengalami kerusakan hampir 68 persen. Sedangkan menurut data FAO (2007), luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3,062,300 ha atau 19 persen dari luas hutan mangrove di dunia, dan ini merupakan luas hutan mangrove yang terbesar di dunia melebihi Australia (10 persen) dan Brazil (7 persen). Salah satu kekayaan hayati yang terdapat di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Sering kali, ia disebut dengan hutan payau atau hutan bakau. Namun, hutan mangrove memiliki sedikit perbedaan dengan hutan bakau, bahwa istilah bakau hendaknya digunakan hanya untuk jenis-jenis tumbuhan tertentu saja yaitu dari marga Rhizopora, sedangkan istilah mangrove digunakan untuk segala tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas ini (Nontji, 2005). Ekosistem mangrove ini memiliki peranan yang sangat penting dalam keberadaan keanekaragaman hayati (biodiversity) guna menunjang keseimbangan lingkungan hidup baik di darat maupun di laut. Kekayaan sumberdaya alam ini ternyata belum mampu memberi kemakmuran bagi masyarakat. Pengelolaan
2
sumberdaya alam di Indonesia masih sering diwarnai dengan sengketa atau konflik serta ketimpangan kebijakan dan perundang-undangan (Nontji, 2005). Sebagai contoh dalam pengelolaan sumberdaya hutan mangrove, fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan betapa cepatnya laju pengerusakan ekosistem ini seperti kerusakan hutan mangrove yang terjadi di Sumatra Barat. Berdasarkan data Ditjen RRL (1999), total luas hutan mangrove di Sumatera Barat sebesar 51915.14 ha. Hutan mangrove yang terletak di daratan Sumatera Barat terdapat di dalam kawasan hutan seluas 6060.98 ha dan di luar kawasan hutan seluas 13253.76 ha, sedangkan sisanya terletak di Kepulauan Mentawai seluas 32600 ha. Dari luasan hutan mangrove yang berada di daratan Sumatera Barat tersebut hanya sejumlah 4.7 persen (909.82 ha) yang kondisinya baik, sementara sebesar 95.3 persen (18404.92 ha) dalam keadaan rusak. Fakta ini bisa dijadikan cerminan bahwa hutan mangrove di Indonesia mengalami degradasi. Degradasi sumberdaya alam khususnya ekosistem hutan mangrove sejatinya disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kesalahan dalam pengelolaan wilayah pesisir yang juga menimbulkan sengketa atau konflik. Masyarakat pesisir yang sebagian besar merupakan masyarakat nelayan memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Perbedaan ini dikarenakan keterkaitannya yang erat dengan karakterstik ekonomi wilayah pesisir, latar belakang budaya dan ketersediaan sarana dan prasarana penunjang. Pada umumnya masyarakat pesisir mempunyai nilai budaya yang berorientasi selaras dengan alam, sehingga teknologi memanfaatkan sumberdaya alam adalah teknologi adaptif dengan kondisi wilayah pesisir. Kehidupan sosial masyarakat pesisir Jakata tidak berbeda jauh dengan kehidupan sosial masyarakat pesisir lainnya yang ada di Indonesia, misalnya rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas hasil tangkapan ikan yang sangat tergantung pada musim dan cuaca, terbatasnya modal usaha, kurangnya sarana penunjang, buruknya mekanisme pasar dan lamanya transfer teknologi dan komunikasi yang mengakibatkan pendapatan masyarakat pesisir menjadi tidak menentu. Terkait dengan karakteristik masyarakat pesisir yang tidak pernah terlepas dari penggunaan dan akses terhadap sumberdaya hutan mangrove, maka degradasi sumberdaya alam hutan mangrove tampak pada ekosistem bakau yang
3
dibuka menjadi ruang terbuka hijau perkotaan di Jakarta. Kawasan ini dikelilingi oleh jalan raya, gedung dan pemukiman penduduk yang rapat dan kumuh. Pohon bakau (Rhizophora sp) yang mencirikan kawasan ini hanya tersisa di bagian selatan disekitar pos Polisi Hutan dan sepanjang tepian sungai. Namun demikian mengingat lokasinya yang memiliki aksesibilitas yang sangat tinggi dan dekat dengan pemukiman masyarakat, maka resiko pencurian satwa sangat tinggi. (Anonymous, 2010). Fuad dan Maskanah (2000) berpendapat bahwa potensi konflik melekat bersamaan dengan integrasi kelompok-kelompok sosial masyarakat ke dalam domain negara. Sebagaimana terjadi di Indonesia, khususnya selama masa Orde Baru, banyak konflik yang didekati dengan melihatnya dari kacamata ideologi pembangunan. Sesungguhnya konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam merupakan konsekuensi logis atas pilihan strategi pembangunan yang umumnya ditempuh oleh negara-negara berkembang, yaitu apa yang disebut industrialisasi. Pendayagunaan sumberdaya alam secara maksimal, padahal sumberdaya alam itu terbatas, atas nama pembangunan, telah menimbulkan bencana demi bencana bagi masyarakat itu sendiri. Sengketa sumberdaya alam pada suatu wilayah telah menjadi konflik yang berekskalasi dan berakibat pada tumpang tindih wewanang dan kepentingan. Tumpang tindih kepentingan merupakan suatu bentuk interaksi disosiatif yang tidak terhindarkan. Rusaknya hutan mangrove akan mengakibatkan kerusakan kualitas dan kuantitas potensi sumberdaya ekosistem pesisir dimana hutan mangrove itu berada serta menurunnya bahkan hilangnya fungsi lindung lingkungan dari hutan mangrove tersebut. Namun, berbagai bentuk pemanfaatan dan penggunaan yang mengancam kelestarian hutan mangrove dan berbagai faktor pendukung penyebab kerusakan tersebut masih terus berlangsung. Oleh karena itu, bagaimana prospek hutan mangrove di Indonesia di masa depan sangat tergantung pada bagaimana semua pihak berperan secara aktif dan optimal sesuai kapasitas dan kewenangannya dalam mengatasi berbagai ancaman yang berpotensi merusak hutan mangrove dan ekosistemnya serta mendukung berbagai upaya rehabilitasi mangrove (Kusmana dan Onrizal, 2003).
4
1.2 Perumusan Masalah Kawasan pesisir merupakan kawasan dengan karakteristik sosial-ekonomi dan sosial-ekologi yang kompleks. Kompleksitas di kawasan ini dicirikan dengan keberadaan pengguna sumberdaya alam (multiple resource users) yang berada bersama-sama di kawasan pesisir. Kecenderungan untuk memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya pesisir (salah satunya adalah hutan mangrove) oleh berbagai pihak yang berdimensi jangka pendek dengan motif dan rencana masingmasing, menyebabkan timbulnya konflik kepentingan. Konflik di kawasan pesisir yang berkatan dengan pemanfaatan sumberdaya alam meliputi konflik kepentingan dan konflik kewenangan antar sektor dan stakeholder lainnya (Deni, 2009). Pengelolaan hutan mangrove sebagai bagian dari kawasan pesisir di wilayah DKI Jakarta
tercermin dari dimensi hubungan sosial-ekologi yang
terbentuk antara berbagai pihak dan berbagai sektor. Menurut Riyadi , Birdieni, Rusdianto (2010), gagasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan Reklamasi Pantai Utara (Pantura) Jakarta, seluas 2700 ha, sepanjang 32 km, meliputi 3 wilayah provinsi, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten, adalah momok yang sangat menakutkan banyak pihak, khususnya kalangan pemerhati dan pecinta lingkungan. Hal ini dianggap menakutan, karena pengalaman telah membuktikan bahwa reklamasi hanya akan berbuah dampak negatif, sebagaimana potret buram reklamasi oleh pengembang hunian elit PIK. Reklamasi mengakibatkan hilangnya hutan mangrove Muara Angke dan juga berdampak pada degradasi lingkungan. Penetapan hutan mangrove sebagai kawasan konservasi di DKI Jakarta berimplikasi pada terjadinya berbagai pola hubungan sosial-ekologi yang mengarah pada konflik antara pemerintah dan masyarakat. Interaksi sosialekologis tidak hanya terjalin antara pemerintah dan masyarakat, melainkan juga dengan swasta (private sektor) yang menjadi pelaku utama kegiatan konversi hutan mangrove dalam skala luas yang besar. Contoh populer dan kontroversial adalah kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) di Jakarta. Kawasan pemukiman elit ini dianggap sebagai penyebab timbunya banjir di kawasan pesisir. Kawasan
5
tersebut pada awalnya merupakan kawasan pantai yang lebat dengan hutan mangrovenya (Siahaan, 2004). Pengklasifikasian fungsi kawasan pantai dan hutan mangrove di Indonesia belum sepenuhnya mengikuti peraturan perundangan yang ada. Hal ini berakibat kepada timbulnya berbagai pelanggaran-pelanggaran pengelolaan lahan dan perusakan kawasan pantai. Pengelolaan kawasan lindung pantai seharusnya lebih menitikberatkan kepada pertimbangan ekologisnya daripada kajian sosial ekonomisnya (Dephut, 2010). Secara fisik, Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) dikelilingi oleh berbagai aktivitas manusia karena letaknya berada di wilayah ibu kota negara dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang tinggi telah menyebabkan kawasan ini mendapatkan berbagai tekanan. Tekanan-tekanan tersebut antara lain perambahan kawasan untuk permukiman, penebangan liar serta pencemaran oleh sampah dan limbah industri (LPPM, 2000). Keterlibatan berbagai aktor dalam pengelolaan hutan mangrove serta dampak lingkungan seperti yang telah disebutkan di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagaimana terangkum dalam dua pertanyaan berikut ini : 1. Bagaimana
bentuk
interaksi
sosial-ekologi
antar
berbagai
aktor
(stakeholder) dalam pengelolaan hutan mangrove di lokasi penelitian? 2. Bagaimana perubahan lingkungan yang ditimbulkan dari interaksi sosialekologi antar berbagai aktor (stakeholder) dalam pengelolaan hutan mangrove di lokasi penelitian?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan pada masalah penelitian yang telah diajaukan, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan yaitu sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi bentuk interaksi sosial-ekologi antar berbagai aktor (stakeholder) dalam pengelolaan hutan mangrove di lokasi penelitian. 2. Mengidentifikasi perubahan lingkungan yang ditimbulkan dari interaksi sosial-ekologi antar berbagai aktor (stakeholder) dalam pengelolaan hutan mangrove di lokasi penelitian.
6
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk dapat menggambarkan secara jelas mengenai interaksi sosial-ekologis pengelolaan sumberdaya alam hutan mangrove yang terjadi pada masyarakat pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Jakarta Utara melalui identifikasi bentuk kedalaman interaksi sosial-ekologi di hutan mangrove. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pengetahuan baru di bidang akademisi dan insititusi pemerintahan dalam permasalahan sosial yang terjadi pada sumberdaya hutan mangrove di masyarakat pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Jakarta Utara. Sehingga, masyarakat dan pemerintah sebagai institusi yang berwenang dapat saling bekerja sama menentukan arah kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove yang berbasis masyarakat lokal demi pelestarian sumberdaya hayati pesisir dan penyelesaian konflik atau tindakan disosiatif yang dapat merusak lingkungan dan tataran sosial masyarakat.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Mangrove Hutan mangrove merupakan salah satu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, dan muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi dengan garam. Berdasarkan letaknya tersebut, hutan mangrove berperan penting sebagai pemyambung (interface) antara ekosistem daratan dan lautan yang oleh karenanya hutan mangrove dikategorikan sebagai ekosistem hutan yang unik (Kusmana dan Onrizal, 2003). Wibisono (2005) menyatakan bahwa ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu tipe hutan hujan tropis yang terdapat di sepanjang garis panta perairan tropis yang mempunyai ciri-ciri tersendiri yang sangat unik. Hutan ini merupakan peralihan habitat lingkungan darat dan lingkungan laut, maka sifatsifat yang dimiliki tidak persis sama seperti sifat-sifat yang dimiliki hutan hujan tropis di daratan. Kenyataan menunjukkan bahwa keberadaan komunitas mangrove ini biasanya tumbuh selain di wilayah pantai tropis juga bisa ditemui di wilayah sub tropis1. Selain itu, areal tumbuh hutan mangrove umumnya terletak di sekitar muara sungai (estuaria), pantai karang, teluk yang tenang dan pulau-pulau di dalam teluk tersebut. Wilayah hutan mangrove di Indonesia meliputi tempattempat seperti Pantai Cilacap dan sekitarnya termasuk pantai di Segara Anakan dan Pantai Nusa Kambangan, daerah Ujung Kulon, Pantai Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu, sedikit di pantai utara Jawa Barat, Pantai timur Sumatra sampai Sumatra Selatan, Pantai Kalimantan Timur dan sedikit di Kalimantan Barat, Pantai Sulawesi Selatan (sekitar Kabupaten Wulu), Pantai Teluk Tomori (Morowari), dan Pantai di Papua Barat.
1
Biasanya sampai pada lintang geografis 25⁰ LU dan 25⁰ LS. Bahkan di pantai timur Afrika, pantai Australia, dan Selandia Baru, sebaran mangrove masih bisa tumbuh sampai pada posisi lintang antara 35⁰-40⁰ LS.
8
Mengacu pada pengertian mangrove yang telah disebutkan di atas, maka ekosistem mangrove tidak hanya sebagai ekosistem yang terdiri dari monokultur kehidupan
melainkan
multikultur
biota
hayati
yang
sangat
kompleks.
Keanekaragaman hayati yang dimiliki ekosistem mangrove mampu beradaptasi pada kondisi perairan laut dan daratan. Komponen yang terdapat pada ekosistem mangrove baik berupa komponen biotik (beragam flora, fauna, serta organisme lainnya yang memiliki kekhasan tersendiri) dan komponen abiotik (tanah, air, bebatuan) yang terangkum membentuk kesatuan kawasan penyangga kehidupan di laut dan daratan. Namun, sebaran hutan mangrove kini mengalami pengurangan di setiap tahunnya akibat ulah manusia.
2.1.2 Fungsi Mangrove Menurut Kusmana dan Onrizal (2003), beberapa penelitian menunjukkan bahwa ekosistem mangrove memiliki fungsi yang sangat penting di dalam menjaga kestabilan ekosistem di sekitarnya. Secara fisik, keberadaan hutan mangrove dapat mengendalikan abrasi pantai, mengurangi tiupan angin kencang dan terjangan gelombang laut atau memperkecil gelombang tsunami, menyerap dan mengurangi pencemaran (polutan), mempercapat laju sedimentasi sehingga daratan bertambah luas,dan mengendalikan intrusi laut. Secara biologis, hutan mangrove berfungsi sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground) dan tepat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis biota laut. Selain itu ekosistem mangrove juga sebagai tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung dan sumber plasma nutfah. Secara ekonomis, hutan mangrove dapat menghasilkan kayu, madu, obat-obatan, minuman, makanan, tanin, dll. Selain itu, untuk kegiatan produksi dan tujuan lain ekosistem mangrove berfungsi untuk pemukiman, pertambangan, industri, infrastruktur, transportasi, rekreasi, dan lain-lain. Wibisono (2005) menyebutkan terdapat 4 fungsi ekosistem hutan mangrove yaitu sebagai berikut: 1. Sebagai tempat peralihan dan penghubung antara lingkungan darat dan lingkungan laut, karena itu sifat-sifat biota yang hidup di dalamnya mempunyai ciri-ciri khas yang merupakan pertemuan antara biota yang
9
sepenuhnya hidup di darat dengan biota yang sepenuhnya hidup di perairan laut. Biota ini misalnya terdiri dari berbagai jenis ketam, kepiting (Scylla serata), mimi (Limulus tachypleus), berbagai jenis burung merandai yang hidupnya tergantung dari biji-bijian yang terdapat dalam hutan bakau, berbagai jenis reptil terutama ular, berbagai jenis primata terutama bekantan, dan berbagai jenis ikan. 2. Sebagai penahan erosi pantai karena hempasan ombak dan angin serta sebagai pembentuk daratan baru. Hal ini dimungkinkan mengingat sistem perakaran vegetasi hutan bakau yang begitu rumit tersebar di bawah permukaan tanah, dengan demikian pantai bisa bertahan dari bahaya erosi. Selain itu, gambaran sistem perakaran tersebut juga mampu sebagai penampung sedimentasi baik yang berasal dari aliran sungai maupun dari dasar perairan laut atau pantai yang tersapu ombak sehingga terbentuk daratan baru. 3. Merupakan tempat yang ideal untuk berpijah (nursery ground) dari berbagai jenis larva ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting seperti larva ikan julung-julung (Hemiramphus far), ikan belanak (Mugil cephalus), larva udang dari jenis Peneus merguiensis (banana prawn), dan sebagainya. 4. Sebagai cadangan sumber alam (bahan mentah) untuk dapat diolah menjadi komoditi perdagangan yang bisa menambah kesejahteraan penduduk setempat. Pemanfaatan tersebut tetap harus mengacu kepada kepentingan keseimbangan dan kelestarian daya dukung lingkungan hutan bakau. 2.1.3 Interaksi atau Hubungan Sosial Interaksi sosial merupakan salah satu bentuk umum dari proses sosial karena sebagai pusat aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang perorangan ataupun antara orang dengan kelompok atau bisa juga antar kelompok dengan kelompok (Gillin dan Gillin, 1954 dalam Soekanto, 2002). Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia dapat terjadi pada aras masyarakat yang akan terlihat mencolok apabila terjadi perbenturan antara kepentingan perorangan
10
dengan kepentingan kelompok. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok sosial tersebut tidak bersifat pribadi. Syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak sosial (social-contact) dan komunikasi (Soekanto, 2002). Proses sosial yang terjadi ini kemudian mengalami dinamika sosial lain yang disebut perubahan sosial yang terus-menerus bergerak secara simultan dalam sistem-sistem sosial yang lebih besar. Syarat terjadinya interaksi sosial adalah kontak sosial dan komunikasi. Menurut Soekanto (2002), kontak sosial secara harfiah adalah bersamasama menyentuh. Secara fisik kontak sosial baru terjadi apabila ada hubungan fisikal. Sebagai gejala sosial hal itu bukanlah semata-mata hubungan badaniah, karena hubungan sosial dapat terjadi tdak hanya dengan menyentuh seseorang, tetapi seseorang dapat berhubungan dengan orang lain tanpa harus menyentuhnya. Kontak sosial dapat terjadi dalam lima bentuk yaitu: a. Proses sosialisasi yang berlangsung antara pribadi orang-perorang yang memungkinkan seseorang dapat mempelajari norma-norma yang terdapat di lingkungannya. Menurut Bungin (2001), proses ini terjadi melalui proses objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. b. Kontak sosial antara orang per orang dengan suatu kelompok masyarakat atau sebaliknya. c. Kontak sosial antara suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya dalam satu komunitas. d. Kontak sosial antara orang per orang dengan komunitas masyarakat global di dunia internasional. e. Kontak sosial antara orang per orang, kelompok, masyarakat, dan dunia global dimana kontak sosial terjadi secara simultan di antara mereka. Hubungan atau interaksi sosial menurut Gillin dan Gillin (1954) dalam Soekanto (2002), interaksi sosial terdiri dari dua macam yaitu proses yang asosiatif dan proses yang disosiatif. Proses asosiatif singkatnya dapat berarti hubungan sosial yang bersifat mendekatkan sedangkan proses disosiatif bersifat menjauhkan pihak-pihak yang terlibat dalam satuan interaksi tersebut.
11
2.1.3.1 Proses Asosiatif Menurut Gillin dan Gillin (1954) dalam Soekanto (2002), proses asosiatif adalah suatu proses terjadinya saling pengertian dan kerjasama timbal balik antara orang per orang atau kelompok satu dengan yang lainnya, dimana proses ini menghasilkan pencapaian tujuan akhir bersama. 1) Kerjasama (cooperation) adalah usaha bersama antara individu atau kelompok untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Proses cooperation terjadi apabila di antara individu atau kelompok tertentu menyadari adanya kepentingan atau ancaman yang sama. Kerjasama terbagi lagi ke dalam bentuk: a. Gotong royong adalah proses yang berupa aktivitas tolong-menolong dan pertukaran tenaga, barang, maupun emosi dalam bentuk timbal balik antara mereka. b. Bargaining adalah proses kerjasama dalam bentuk perjanjian pertukaran kepentingan,kekuasaan, barang, ataupun jasa yang terjadi antara dua pihak atau lebih di bidang politik, budaya, hukum, maupun militer. c. Co-optation adalah proses kerjasama yang terjadi di antara invidu atau kelompok yang terlibat dalam sebuah organisasi atau negara dimana terjadi proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik untuk menciptakan stabilitas. d. Coalition adalah interaksi yang terjadi pada dua oraganisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama kemudia melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan tersebut. Coalition pada umumnya tidak menyebabkan ketidakstabilan struktur di masing-masing organisasi, karena coalition biasanya terjadi pada unit program dan dukungan politis. e. Joint-venture adalah kerjasama dua atau lebih organisasi perusahaan bisnis untuk pengerjaan proyek-proyek tertentu. 2) Akomodasi (accomodation) merupakan proses sosial yang menunjukkan pada suatu keadaan yang seimbang (equilibrium) adalam interaksi sosial antara individu dan kelompok di dalam masyarakat, terutama yang ada hubungannya dengan norma dan nilai sosial yang berlaku. Bentuk-bentuk akomodasi adalah sebagai berikut:
12
a. Coersion adalah bentuk akomodasi yang terjadi karena adanya paksaan maupun kekerasan fisik atau psokologis. b. Compromise merupakan proses akomodasi dimana pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai penyelesaiannya oleh pihak ketiga atau badan yang lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan pihak yang berselisih. c. Mediation adalah proses akomodasi yang dibantu oleh pihak ketiga yang netral. d. Conciliation ialah bentuk akomodasi yang melalui usaha untuk mempertemukn kepentingan-kepentingan pihak yang berselisih. e. Tolerantion merupakan bentuk akomodasi yang terjadi secara tidak formal dan dikarenakan adanya pihak-pihak yang menghindari diri dari pertikaian. f. Stalemate merupakan pencapaian akomodasi yang bertikai dan memiliki kekuatan yang sama berhenti pada satu titik tertentu dan menahan diri. g. Adjudication adalah kondisi dimana proses akomodasi mengalami jalan buntu sehingga diselesaikan di pengadilan. 3) Asimilasi, yaitu proses percampuran dua atau lebih budaya yang berbeda sebagai akibat dari proses sosial, kemudan menghasilkan budaya baru yang berbeda dengan budaya aslinya. 2.1.3.2 Proses Disosiatif Proses disosiatif adalah proses perlawanan (oposisi) yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok dalam proses sosial yang terjadi di antara mereka dalam suatu masyarakat (Soekanto, 2002). Bentuk-bentuk proses disosiatif dapat digolongkan seperti persaingan, kompetisi, dan konflik. Interaksi yang bersifat disosiatif terkait pemanfaatan dan pengelolaan alam, dapat dilihat pada suatu pola hubungan antara kelompok masyarakat yang memiliki hak, baik hak mengelola dan hak mengatur kewenangan, sementara itu kelompok masyarakat lain tidak memiliki kekuasaan (powerless). Struktur semacam ini menyebabkan watak individualisme berkembang subur. Akibatnya, tidak jarang jika masyarakat yang sebenarnya tidak terlibat dalam perusakan lingkungan, tetapi justru ikut menanggung akibatnya. Tidak hanya itu, watak
13
egoisme ini i memberri kesempaatan kelomp pok perusaak lingkunggan untuk dapat menyelam matkan diri ke tempatt yang leb bih baik seebab memilliki sumberrdaya materiil yang y bisa digunakan d u untuk mem mbeli daerahh jauh berkkualitas (Susilo, 2009).
2.1.4 Hub bungan Sosial dan Ekoologis dalam Pengelollaan Sumb berdaya Ala am Sebagai makhhluk sosial, manusia tiidak pernahh bisa hidupp seorang diri d di mana pun dan kapan pun, manussia senantiaasa melakukkan kerjasam ma dengan pihak p lain. Mannusia mem mbentuk peengelompok kan sosial (social gr grouping) dalam d upayanya mempertaahankan dan d mengembangkan kehidupannnya. Interraksiinteraksi sosial s itulaah yang kem mudian meelahirkan yaang dinamaakan lingku ungan sosial. Liingkungan sosial terssebut sebag gai tempatt berlangsuungnya berrbagai macam intteraksi sosiaal antara orang atau keelompok maasyarakat beeserta pranaatanya dengan siimbol dan nilai serta norma yan ng sudah m mapan2 sertta terkai deengan lingkungaan alam (ekoosistemnya)) dan lingku ungan binaaan atau buataan (tata ruan ng). Secara skeematis kom mponen-kom mponen interrakstif lingkkungan hiduup tersebut dapat digambarkkan ke dalam m tiga aspekk, yaitu asp pek alam (naatural aspecct), sosial (ssocial aspect), dan d binaan (man-madee/build aspeect). Walauupun ada tigga aspek namun dalam praaktik masinng-masing kategori tiidak dapat tidak dapat dikaji secara s parsial, karena k ketiiganya meerupakan saatu kesatuuan integraal yang diisebut ekosistem m (Soetaryonno, 2002). Lingkungan m Alam
Linggkungan Sosial
Lingkungan Binaan / Buatan
Kesaatuan lingkunngan hiduup manusia daalam kajiaan pengelolaaan lingkkungan hidupp (wilayah yang dikkelola dan berbasiskan ekossistem, tata ruuang, dan prannata sosial)
Gambar 1. Komponen G K Lingkungan L n Hidup Sumbber: Soetary yono (2002))
2
Kemapanaan ditandai dengan d adanyya pemahamaan dan kepatuuhan setiap aanggota masy yarakat terhadap praanata, simbol,, nilai, dan noorma yang dissepakati bersaama dan berlaangsung secaraa terus menerus darri generasi ke generasi berikkutnya melalu ui proses sosiaalisasi.
14
Relasi manusia belangsung dalam komunitas ekologis yang berarti bahwa manusia bisa berkembang menjadi penuh dan utuh justru dalam relasi dengan semua kenyataan kehidupan dan alam. Manusia tidak hanya memiliki hubunganhubungan dengan manusia saja. Relasi manusia seharusnya memperhatikan dirinya sebagai ecological self dalam artian bahwa manusia harus menyadari ia akan berhasil menjadi manusia yang sempurna hanya dalam kesatuan asasi dengan alam atau memalui interaksi positif manusia dengannya secara keseluruhan dan dengan bagian lain dari alam (Susilo, 2009). Perilaku tidak ramah lingkungan dengan paham antroposentrisme3 mengabaikan masalah-masalah lingkungan yang tidak langsung menyentuh kepentingan manusia. Kepentingan manusia untuk mengeksploitasi selalu berubah dan berbeda kadarnya. Manusia hanya memikirkan kepentingan jangka pendek yang berorientasi pada kepentingan ekonomi. Paham antroposentrisme mewarnai interaksi antara manusia dengan lingkungan, tidak lepas dari rasa percaya diri manusia yang berlebihan. Hukum alam bisa dikesampingkan, sebab ia memiliki sifat yang pasif dan bergantung pada manusia, sedangkan kebutuhan manusia berubah dengan sifat tidak terbatas (Susilo, 2009). 2.1.4.1 Lingkungan Sosial Pesisir atau Nelayan Menurut Purba (2002), pengertian lingkungan sosial pesisir kurang lebih sama dengan konsep masyarakat pesisir atau komunitas pesisir yang dpakai oleh beberapa kalangan. Dalam pendekatan geografi-budaya lingkungan sosial pesisir secara umum mencakum kesatuan-kesatuan hidup manusia yang berdiam dan mengembangkan kehidupan sosial di daerah yang relatif dekat dengan laut dan secara khas menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di atas perairan laut. Bagi komunitas ini, ketergantungan hidup mereka kepada sumberdaya alam daratan juga sama besarnya dengan ketergantungan mereka kepada sumberdaya perairan. Masrakat pesisir dibagi menjadi beberapa kategori seperti: a. Masyarakat Perairan Masyarakat Peairan merupakan kesatuan sosial yang hidup dari sumberdaya perairan (laut, sungai atau pantai), cenderung terasing dari kontak 3
Memendang alam sebagai suatu yang perlu dikuasai. Alam yang menguntungkan manusia saja yang perlu dilindungi dan dimanfaatkan, sementara alam yang tidak menguntungkan ditelantarkan (Yusuf, 2000).
15
kontak dengan masyarakat lain, lebih banyak berada di lingkungan perairan daripada darat, dan berpindah-pindah tempat di suatu wilayah (teritorial) perairan tertentu. Kehidupan sosial mereka cenderung egaliter, dan hidup dalam kelompokkelompok kekerabatan setingkat klen kecil. b. Masyarakat Nelayan Masyarakat nelayan pada umumnya pada umumnya telah bermukim secara tetap di daerah-daerah yang mudah mengalami kontak dengan masyarakat lain. Golongan masyarakat pesisir yang dapat dianggap paling banyak memanfaatkan hasil laut dan potensi lingkungan perairan dan pesisir untuk kelangsungan hidupnya. Sistem ekonomi mereka tidak lagi berada pada tingkat subsisten yaitu sudah masuk ke sistem perdagangan, karena hasil laut yang mereka peroleh tidak dikonsumsi sendiri, tetapi didistribusikan kepada pihak lain. c. Masyarakat Pesisir Tradisional Masyarakat pesisir ini memang berdiam dekat dengan perairan laut, akan tetapi sedikit sekali menggantungkan kelangsungan hidupnya dari sumberdaya laut. Mereka sebagian besar hidup dari pemanfaatan sumberdaya daratan. Dalam kehidupan sehari-hari nampak sekali mereka lebih menguasai pengetahuan mengenai lingkungan darat daripada perairan, lebih mengembangkan kearifan lingkungan darat daripada laut. Sementara itu, menurut Purba (2002) permasalahan yang kerap dihadapi masyarakat pesisir terkait pemanfaatan lingkungan hidup adalah penurunan daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang berbanding terbalik dengan tekanan akibat peningkatan jumlah populasi manusia dan penggunaan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Akibat tuntutan hidup dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong manusia untuk lebih mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan pesisir. Sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup dan berkat dukungan teknologi modern daerah pesisir sekarang dieksploitasi. Pantai tidak sekedar digali tetapi juga ditimbun, sehingga daratan menjadi lebih luas (reklamasi) untuk dijadikan pemukiman, pabrik, pelabuhan dan lahan wisata. Lingkungan pesisir semakin banyak kehilangan dukungan bagi keanekaragaman hayatinya, dan selanjutnya menimbulkan kerugian bagi masyarakat pesisir
16
tradisional yang selama ini menggantungkan hidup kepada sumberdaya alamiah tersebut. 2.1.5 Struktur Agraria Hutan Mangrove dan Pesisir Berdasarkan konsepsi pendekatan terpadu didalam pengelolaan ruang kawasan pantai dan hutan mangrove, terdapat pembagian dua kelompok besar kawasan pantai, yaitu kawasan pantai berhutan (bervegetasi) dan kawasan pantai tak berhutan. Selanjutnya berdasarkan daya dukung dan daya topang masingmasing kelompok kawasan ini dapat diperuntukkan sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan yang termasuk di dalam kawasan lindung adalah: 1. Hutan produksi terbatas 2. Hutan lindung terdiri dari kawasan lindung pantai/hutan lindung mutlak, bantaran sungai dan jalur hijau sepanjang pantai dan sekeliling danau dan sekitar, sumber air di wilayah pesisir, kawasan pelindung pantai dari ancaman bencana alam, serta lahan gambut pesisir yang peka akan degradasi lingkungan. 3. Kawasan suaka alam dan suaka margasatwa 4. Kawasan konservasi alam lainnya seperti taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, cagar biosfir, cagar budaya dan laboratorium lapangan. Pengklasifikasian fungsi kawasan pantai dan hutan mangrove di Indonesia belum sepenuhnya mengikuti peraturan perundangan yang ada. Hal ini berakibat kepada timbulnya berbagai pelanggaran-pelanggaran pengelolaan lahan dan perusakan kawasan pantai. Pengelolaan kawasan lindung pantai seharusnya lebih menitikberatkan kepada pertimbangan ekologisnya daripada kajian sosial ekonomisnya (Dephut, 2010). Menurut Kusumastanto (2007), persoalan penting yang menjadi penyebab kemiskinan nelayan adalah ketimpangan struktur agraria di pesisir, yang dapat dibedakan antara isu agraria di desa pesisir yang berada di pulau besar (main land) dan di desa pesisir yang berada di pulau kecil (small island). Desa pesisir di pulau besar memuliki sejmlah isu-isu kritis baik di tanah maupun di air. Pada sumber agraria tanah, isu yang muncul adalah tentang status lahan pemukiman, pola penguasaan areal pertambakan, pola penguasaan lahan produksi garam dan
17
mangrove. Permasalahan utama dalam isu itu adalah siapa yang dominan dalam penguasaan lahan. 2.1.6 Pengertian Konflik Menurut Fisher et al. (2000) seperti yang dikutip oleh Ilham (2006), konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Konflik timbul karena keseimbangan antara hubungan-hubungan sosial, seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah diskriminasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak terelakkan, yang dapat bersifat positif
atau
negatif.
Aspek
positif
muncul
ketika
konflik
membantu
mengidentifikasi proses pengelolaan sumberdaya dan lingkungan yang berjalan tidak efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalahpahaman (Hendricks, 2008). Konflik adalah pertentangan antar banyak kepentingan, nilai, tindakan, atau arah, serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada. Maka konflik merupakan suatu kesatuan yang tak terelakkan, yang dapat bersifat positif maupun negatif. Aspek positif konflik muncul ketika konflik membantu mengidentifikasi sebuah proses pengelolaan lingkungan dan sumberdaya yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalahpahaman. Konflik akan selalu dijumpai dalam kehidupan manusia atau kehidupan masyarakat sebab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia melakukan berbagai usaha yang dalam pelaksanaannya selalu dihadapkan pada sejumlah hak dan kewajiban. Sejauh mana dan bagaimana bentuk hak yang dimiliki seseorang akan bersifat dinamis. Jika hak yang dimiliki seseorang merupakan bagian dari hak sekelompok orang (hak komunal), atau bila hak itu memerlukan pengakuan oleh orang lain, maka dalam merealisasikannya dapat menimbulkan benturanbenturan. Benturan akan semakin nampak terutama apabila terdapat rasa tidak adil
18
dalam merealisasikan hak tersebut, dan faktor inilah yang merupakan pemicu bagi konflik dan sengketa yang kemudian timbul. Kriekhoff (1993) sebagaimana dikutip oleh Fuad dan Maskanah (2000) berpendapat bahwa konflik dapat timbul di antara individu satu dengan yang lain (antar individu) dan antar kelompok individu. Konflik antar individu meliputi: (a) antara individu dengan individu lain dari kelompok yang berbeda, dan (2) antara individu-induvidu dalam suatu kelompok (within a group atau inter group), misalnya perebutan tanah antar anggota suku, yang disebut pula konflik interhouse atau inter generational. Sedangkan yang termasuk konflik antar kelompok (intra goup atau intra house) dapat berupa konflik antar sub-sub kelompok yang otonom dalam satu kelompok, dan konflik antar kelompok besar yang otonom dalam masyarakat. Fisher et al (2001) membagi dan menjelaskan konflik berdasarkan tipetipe yang selalu ada dalam kehidupan masyarakat yaitu sebagai berikut: 1.
Tanpa konflik, berarti bahwa konflik sedang terjadi. Konflik memiliki kesan umum yang lebih baik, terasa suasana damai pada kondisi ini dan senantiasa tetap terjaga jika masing-masing pihak saling mengganggu serta hidup bersemangat dan dinamis.
2.
Konflik laten, sifatnya tersembunyi sehingga perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif.
3.
Konflik terbuka, konflik ini berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.
4.
Konflik di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi. Menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik dapat berwujud konflik
tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Konflik tertutup (latent) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutub konflik, bahkan yang paling potensial sekalipun. Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian
19
masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk bernegosiasi, mungkin pula menemukan jalan buntu. Berdasarkan level permasalahannya, terdapat dua jenis konflik yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat diketahui. Sedangkan konflik horizontal terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam kaitan makro agak sulit untuk digambarkan dengan jelas. Pengkajian lingkungan selalu dicirikan dengan konflik dan kontroversi. Ini merupakan konsekuensi perbedaan nilai dan kepentingan yang terdapat pada masyarakat majemuk dalam kaitannya dengan penggunaan dan pengeloaan tanah, air, dan sumber alam. Penyelesaian sengketa biasanya sulit dicapai untuk dua hal yang saling berkaitan. Pertama, keuntungan dan dan kerugian pembangunan cenderung terbagi tidak merata termasuk hal-hal tak terukur yang sulit untuk dibandingkan. Kedua, banyak kelompok dengan pandangan dan interpretasi yang berbeda selalu terlibat (Sadler dan Armour, 1987 sebagaimana dikutip oleh Mitchell, 2007). 2.1.6.1 Pemetaan dan Pengelolaan Konflik Pada proses pemetaan dan selanjutnya pada tahap pengelolaannya, diperlukan tahapan seperti (1) identifikasi tahap-tahap konflik berserta aktor (stakeholder) yang telibat di dalamnya; (2) mencari solusi; (3) mengembangkan pendekatan untuk manajemen konflik (Hendricks, 2008). Khususnya dalam konflik yang menyakngkut pengelolaan sumberdaya alam, terdapat definisi sekaligus alternatif penyelesaiannya seperti yang termaktub dalam perundangundangan yang mengatur tentang wewenang pengelolaan ligkungan hidup dalam pasal 8 ayat (1) Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23 Tahun 1997) yang meyebutkan bahwa sumberdaya alam yang dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh Pemerintah. Kemudian dijelaskan pada ayat (2) butir (3) bahwa untuk melaksanakan ketentuan berdasarkan pasal (1), pemerintah mengatur pembuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subyek
20
hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, termasuk suberdaya genetika (Harjasumantri, 2000). Ketika sengketa muncul berkaitan dengan berbedanya kepentingan tentang alokasi sumberdaya dan lingkungan, paling tidak empat pendekatan dapat dipakai untuk penyelesaiannya: (1) politis, (2) administrasi, (3) hukum, dan alternatif penyelesaian masalah. Berbagai pendekatan ini tidak selalu berdiri sendiri, beberapa dapat digunakan secara bersama (Mitchell, 2007). 2.1.7 Faktor Penyebab Degradasi Mangrove Dewasa ini area pesisir semakin banyak yang mengalami penurunan kualitas karena salah satu penyebabnya adalah degradasi ekosistem hutan mangrove: 1. Pertumbuhan penduduk. 2. Meningkatnya
tuntutan
ekonomi
dan
teknologi
masyarakat
(Harjasumantri: 2000) 3. Pengalihan fungsi hutan mangrove menjadi pemukiman, tambak, pabrik, kawasan wisata, dan lain-lain 4. Perebutan sengketa lahan dan pemanfaatan hutan mangrove oleh berbagai pihak (negara, swasta, dan masyarakat) sehingga menyebabkan ekosistem mangrove menjadi kawasan yang open access yang tidak mendapatkan control penuh dari pihak-pihak yang berkonflik. 5. Rendahnya
kesadaran
masyarakat
dan
tingginya
ketergantungan
masyarakat untuk hidup di wilayah pesisir. Sedangkan menurut Kusmana dan Onrizal (2003) terdapat tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2) konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan yang berlebihan. Beberapa faktor pendukung lainnya turut pula menimbulkan terjadinya kerusakan dengan berbagai dampaknya pada hutan mangrove. 2.1.7.1 Pencemaran Pencemaran yang terjadi pada areal mangrove terutama disebabkan oleh minyak dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran areal mangrove ini merupakan dampak negatif dari areal pelayaran, industri, serta kebocoran pada pipa/tanker industri dan tumpahan dalam pengangkutan. Pencemaran dapat
21
meracuni tumbuhan dalam rumpun mangrove serta biota yang hidup di dalamnya. Bahkan, pencemaran akibat minyak dan logam berat akan berdampak pada kualitas sumberdaya pesisir dan mengurangi pendapatan masyarakat nelayan yang hidupnya bergantung pada sumberdaya pesisir khususnya ekosistem hutan mangrove (Kusmana dan Onrizal, 2003). 2.1.7.2 Konversi Lahan Hutan Lebih dari 70% penduduk Indonesia tinggal dan kehidupannya bergantung pada ekosistem hutan mangrove4. Sebagian dari berbagai praktik eksploitasi terhadap hutan mangrove justru mengancam kelestarian sumberdaya hutan mangrove itu sendiri yang pada akhirnya akan mengancam kehidupan masyarakat sendiri dan generasi yang akan datang. Beberapa bentuk kegiatan yang melakukan konversi hutan mangrove antara lain adalah sebagai berikut: 1. Budidaya Perikanan Konversi hutan mangrove untuk budidaya perikanan, terutama untuk tambak udang windu (Penaeus monodon, P. merguensis dan P. indicus) maupun tambak ikan telah menyebabkan terdegradasinya hutan mangrove yang subur dalam skala yang cukup luas. Luas areal tambak di ekosistem mangrove meningkat sebesar 14.4 persen dalam kurun dua tahun (dari tahun 1999 samai 2001) atau 7.2 persen per tahun, yaitu dari 393196 ha (1999) menjadi 450000 ha (2001)5. 2. Pertanian Sebagian besar pertanian di areal mangrove terdiri atas padi sawah dan perkebunan kelapa. Kegiatan ini dilakukan di kawasan pesisir dengan terlebih dahulu menebang habis (clear cutting) tegakan mangrovenya, sehingga sangat potensial menyebabkan hilangnya fungsi lindung lingkungan dari hutan mangrove. 3. Jalan raya, industri serta jalur dan pembangkit listrik
4
Widjojo, S. 2002. Pola Kerjasama antar Instansi Pusat dan Daerah dalam Pengelolaan Ekosistem Mengrove. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mengrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002. 5 Ditjen Perikanan Budidya. 2002. Pengelolaan Ekosistem Mengrove untuk Perikanan Budidaya. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mengrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002.
22
Areal mengrove banyak yang dikonversi untuk pembuatan jalan raya, bandara, pelabuhan, pembangunan pembangkit dan jalur listrik guna mendukung arus transportasi hasil industri, perdagangan, penduduk dan hasil-hasil lainnya yang melewati kawasan mangrove. 4. Produksi garam Garam dihasilkan dari air laut yang pembuatannya banyak dilakukan di areal mangrove. Tempat pembuatan garam ini merupakan areal mengrove yang dikonversi dan tingkat kerusakannya bersifat irreversible. Kegiatan produksi garam di Indonesia umumnya dilakukan pada areal mangrove yang memiliki curah hujan kurang dari 1.000 mm per tahun, misalnya contoh kasus masyarakat di Desa Oesapa Barat, Nusa Tenggara Timur yang memanfaatkan lahan mangrove untuk areal tambak garam (Therik, 2008). 5. Perkotaan Urbanisasi menyebabkan terjadinya konversi hutan mangrove yang lokasinya
berdekatan
dengan
perkotaan.
Selain
dijadikan
lokasi
pemukiman, hutan mangrove tersebut dikonversi pula untuk keperluan pembangunan infrastruktur pendukung, seperti jalan raya, pelabuhan, prasarana sanitasi/pembuangan limbah, dan lain-lain. 6. Pertambangan Pertambangan terutama minyak bumi, cukup banyak dilakukan di areal hutan mangrove. Lahan yang cukup luas diperluan untuk tempat penggalian sumur bor, tempat menyimpan minyak mentah, pipa, pelabuhan, perkantoran, dan pemukiman pekerja. Untuk keperluan tersebut tentunya dengan menebang habis hutan mangrovenya terlebih dahulu, sehingga memicu terjadinya degradasi mangrove. Selain itu, minyak yang mencemari mangrove dalam berbagai cara juga menyebabkan degradasi mangrove. 7. Daerah wisata Meningkatnya aktivitas ekonomi dan pembangunan, pada sisi lain akan mendorong meningkatnya kebutuhan untuk berekreasi atau wisata. Tentunya hal ini akan meningkatkan kebutuhan akan lahan sebagai tempat
23
pembangunan prasarana wisata, di mana salah satu pilihannya adalah dengan mengkonversi areal hutan mangrove.
2.1.8 Konflik Pemanfaatan Kawasan Ekosoistem Mangrove di Wilayah Pesisir. Konflik sumberdaya mangrove sebagaimana peristiwa konflik yang lain berawal pada ketimpangan kepentingan dari beberapa pihak. Selain itu, sumberdaya mangrove sebagai salah satu komponen sumberdaya pesisir (SDP) yang menjadi obyek konflik antara masyarakat dan pemerintah. Satria (2009) menyebutkan bahwa konflik antara pemerintah dan masyarakat pesisir diakibatkan oleh kuatnya intervensi kebijakan dari pemerintah. Parahnya, kebijakan itu seringkali tidak memihak masyarakat namun justru mengeliminasi hak-hak masyarakat dalam mengakses dan mengontrol SDP khususnya dalam konteks ini adalah sumberdaya mangrove. Konflik pemanfaatan lahan pesisir dapat disebut sebagai salah satu bagian dari konflik sumberdaya perikanan. Menurut Charles (2000), pemanfaatan lahan terjadi antara pihak pihak pesisir dengan pihak lain. Pihak lain tersebut memiliki motif-motif tertentu yang berseberangan dengan kepentingan masyarakat pesisir seperti motif ekonomi. Sementara menurut Sinurat (2000), konflik dalam sumberdaya pesisir terbagi menjadi dua yakni konflik pemanfaatan ruang dan konflik kewenangan dari ketimpangan berbagai sektor seperti sektor perikanan dan kelautan, sektor kehutanan, sektor perindustrian, sektor pariwisata dan sektor lainnya yang terkait. Menurut Yulianti (2006), pangkal permasalahan konflik pesisir adalah tidak adanya pengelolaan wilayah pesisir yang bersifat sistematis, terpadu dan komprehensif. Berkaitan dengan penjelasan sebelumya, Rudianto (2004) menyebutkan beberapa penyebab konflik di wilayah pesisir sebagai berikut: 1. Batas-batas status tanah kepemilikan yang tidak jelas (seperti hak milik, hak guna usaha, hak bangunan, hak pakai, hak membuka tanah dan hak memungut hasil sumberdaya), 2. Terjadi transfer of ownership, 3. Eksklusivisme penggunaan lahan karena adanya power of money.
24
4. Pemerintah daerah tidak konsisten menerapkan rencana tata ruang wilayah. 5. Lemahnya penegakan hukum (law enforcement). 2.2
Kerangka Pemikiran Gambar 2 menjelaskan tentang tata kelola sumberdaya mangrove yang
dilatarbelakangi oleh kebijakan konservasi hutan mangrove yang pada umumnya dilakukan dengan pendekatan top down oleh pemerintah. Pemasungan dan pembatasan hak akses masyarakat tentu akan terjadi sebagai suatu konsekuensi pengalihan kuasa dan fungsi pemanfaatan hutan mangrove. Kejadian ini tentu akan menimbulkan pola hubungan atau interaksi sosialekologi antara pihak yang saling bersentuhan dan memiliki kepentingan akan hutan mangrove. Pihak yang terlibat dalam hubungan atau interaksi sosial-ekologi di kawasan hutan mangrove adalah pemerintah dan masyarakat pesisir terkait dengan adanya ketetapan konservasi hutan mangrove berupa Suaka Marga Satwa Muara Angke. Hubungan atau interaksi sosial-ekologi terbagi menjadi interaksi yang bersifat asosiatif dan disosiatif yang dilihat dari segi keberagaman aktivitas yang dilakukan masyarakat pesisir di kawasan hutan mangrove. Hal ini akan menyebabkan timbulnya perubahan sosio-ekologis pada tataran kehidupan bermasyarakat yang dilihat dari perubahan kondisi hutan mangrove dan kohesivitas hubungan sosial-ekologi antara masyarakat dengan pemerintah ataupun dengan pihak swasta.
25
Kebijakan Konservasi dari Pemerintah (topdown)
HUTAN MANGROVE
Pemerintah
Swasta
Masyarakat
Hubungan/Interaksi Sosial-Ekologi Manusia-Alam: • Ekosentrisme • Antroposentrisme
Manusia-Manusia • Asosiatif • Disosiatif
• Penggunaan alat tangkap • Pembuangan limbah rumah tangga (sampah). • Pemanfaatan hasil hutan • Dukungan terhadap kebijakan pemerintah • Penangkapan satwa liar • Pembukaan lahan untuk bangunan, pemukiman. (luas lahan bukaan) • Dukungan dan rekasi terhadap pembangunan oleh swasta • Hubungan antar sesama masyarakat
Perubahan sosio-ekologis • Dimensi Perubahan Sosial • Kondisi ekosistem pesisir (banjir, hasil tangkapan nelayan, gangguan satwa liar ke pemukiman)
Gambar 2. Kerangka Analisis Penelitian
26
2.3
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian, peneliti mengajukan
beberapa dugaan mengenai hasil penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan pola hubungan atau interaksi sosial-ekologi antar aktor (stakeholder) terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Muara Angke. 2. Terdapat interaksi sosial-ekologi yang bersifat asosiatif antar berbagai aktor (stakeholder) terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Muara Angke. 3. Terdapat interaksi sosial-ekologi yang bersifat disosiatif antar berbagai aktor (stakeholder) terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Muara Angke. 4. Terdapat perubahan lingkungan sebagai akibat dari interaksi sosialekologis antar berbagai aktor (stakeholder) terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Muara Angke.
2.4
Definisi Konseptual 1. Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersamasama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria, 2009). 2. Pemerintah adalah kelembagaan atau institusi formal yang memiliki wewenang dan kekuasaan legal untuk mengatur dan mengelola kehidupan dan lingkungan di wilayahnya melalui intervensi peraturan atau kebijakan. 3. Responden adalah anggota suatu rumahtangga masyarakat pesisir. 4. Konservasi hutan mangrove adalah upaya perlindungan untuk menjaga kelestarian dan eksistensi hutan mangrove beserta seluruh ekosistem hayati yang terdapat di dalamnya. 5. Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yangn dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-
27
kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia (Gillin dan Gillin, 1954 sebagaimana dikutip Soekanto,2002). 6. Interaksi ekologis adalah hubungan dinamis yang terjadi antara manusia dengan alam sekitarnya. 7. Interaksi sosial yang asosiatif adalah hubungan sosial yang sifatnya saling mendekatkan atau mempererat antara pihak-pihak yang terlibat yaitu masyarakat pesisir Muara Angke dengan pemerintah. Contohnya, akomodasi, kerjasama, gotong-royong. 8. Interaksi sosial yang disosiatif adalah hubungan sosial yang sifatnya saling menjauhkan antara pihak-pihak yang terlibat yaitu masyarakat pesisir Muara Angke dengan pemerintah. Contohnya, persaingan,pertentangan, konflik, dan perusakan. 2.5
Definisi Operasional 1. Penggunaan alat tangkap ikan adalah perilaku atau cara yang digunakan masyarakat pesisir untuk mendapatkan atau memanen hasil perikanan dengan menggunakan beberapa macam alat tangkap yang dimiliki. Penggunaan alat tangkap ini dapat dilihat dari tingkatan yang paling tidak ramah lingkungan sampai yang ramah lingkungan. Pengukuran: a. Menggunakan bom ikan = skor -2 b. Menggunakan racun pottasium = skor -1 c. Menggunakan jala atau kail biasa = skor 0 d. Menggunakan telapak tangan = skor +1 e. Tidak menangkap ikan untuk menjaga ekosistem = +2 2. Pembuangan limbah rumah tangga adalah perilaku atau cara masyarakat membuang limbah rumah tangga (berupa sampah dapur, sampah plastik, kertas, bekas bahan bangunan, selokan) yang dikaitkan dengan tempat yang digunakan sebagai pembuangan akhir sampah tersebut di kawasan hutan mangrove. Pengukurannya dapat dilihat dari tingkatan yang paling tidak ramah lingkungan sampai yang paling ramah lingkungan: a. Membuang semua limbah rumah tangga di hutan mangrove = skor -2 b. Membuang sampah plastik, kertas di muara sungai kawasan mangrove = skor -1
28
c. Tidak membuang sampah sembarangan di muara sungai dan hutan mangrove = skor 0 d. Memunguti sampah yang ada di muara sungai dan hutan mangrove = skor +1 e. Memunguti dan mendaur ulang sampah menjadi barang yang bermanfaat = skor +2 3. Pemanfaatan hasil hutan adalah perilaku arau cara yang digunakan masyarakat pesisir untuk memanen hasil hutan mangrove berupa kayu, ranting, daun untuk obat-obatan, madu guna memenuhi kehidupan ekonomis masyarakat. Pengukurannya dapat dilihat dari tingkatan yang paling eksploitatif sampai yang paling preservatif: a. Menebang habis kawasan hutan mangrove = skor -2 b. Mengambil kayu bakar, ranting, memanen madu, obat-obatan = skor -1 c. Tidak memanfaatkan atau memanen hasil hutan = skor 0 d. Menjaga kelestarian ekosistem hutan mangrove = skor +1 e. Menjaga kelestarian ekosistem hutan mangrove dengan menggunakan zonasi dan peraturan sesuai kearifan lokal = skor +2 4.
Gotong royong adalah suatu kegiatan rutin kemasyarakatan yang bersifat kerjasama saling bahu membahu dalam hal menjaga kebersihan lingkungan, khususnya kawasan pesisir dan bantaran Kali Angke. Pengukuran kegiatan ini dapat dilihat dari frekuensi waktu pelaksanaan kegiatan, yaitu: a.
Tidak pernah sama sekali = skor -2
b.
Setiap empat bulan = skor -1
c.
Setiap tiga bulan = skor 0
d.
Setiap dua bulan = skor +1
e.
Setiap bulan (rutin) = skor +2
5. Gerakan penghijauan hutan mangrove adalah kegiatan penanaman kembali pada kawasan hutan yang gundul sebagai upaya rehabilitasi fungsi dan eksistensi hutan mangrove di Muara Angke. Sikap responden terhadap kegiatan penghijuan hutan mangrove dapat dilihat dari pengukuran sebagai berikut:
29
a.
Mengabaikan, tidak mau tahu kondisi hutan mangrove dan menggagalkan upaya penghijauan di hutan mangrove = skor -2
b.
Melakukan penanaman mangrove karena terpaksa atau mengharap imbalan berupa uang intensif = skor -1
c.
Memiliki kesadaran untuk menanam mangrove, namun tidak pernah melakukannya = skor 0
d.
Melakukan penanaman mangrove untuk menjaga kelestarian hutan mangrove (kesadaran diri sendiri) = skor +1
e.
Mempelopori dan menjadi bagian penggeak warga serta melakukan penanaman mangrove bersama-sama dengan masyarakat = skor +2
6. Dukungan terhadap kebijakan pemerintah adalah sikap yang ditunjukkan masyarakat untuk mau atau tidak mau mematuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan hutan mangrove. Pengukurannya dapat dilihat dari tingkatan yang paling melanggar sampai yang paling mematuhi: a. Melanggar dan menentang peraturan secara brutal/perlawanan dengan merusak hutan mangrove yang masuk zona inti perlindungan = skor -2 b. Menentang tanpa ada perlawanan (aksi nyata) terhadap peraturan terkait dengan hutan mangrove = skor -1 c. Bersikap biasa saja terhadap peraturan yang ditetapkan pemerintah = skor 0 d. Mendukung, mematuhi, dan melaksanakan peraturan yang ditetapkan pemerintah terkait dengan hutan mangrove = skor +1 e. Mendukung dan ikut menghimbau warga lain untuk sama-sama mematuhi atau melaksanakan peraturan pemerintah = skor +2 7. Sikap responden terhadap pembangunan kawasan industri dan hunian elit PIK di sekitar lingkungan pemukiman responden dan hutan mangrove. a.
Sangat tidak setuju = skor -2
b.
Tidak setuju = skor -1
c.
Tidak tahu/netral = skor 0
d.
Setuju = +1
e.
Sangat setuju = +2
30
8. Bentuk reaksi responden terhadap pihak swasta yang melakukan pembangunan perumahan elit dan pertokoan di lingkungan Muara Angke. a.
Mendukung, ikut terlibat dan membantu pihak swasta, serta ikut mengambil keuntungan dari kegiatan tersebut = skor -2
b.
Mendukung namun tidak melibatkan diri dalam kegiatan tersebut dan tidak ada perlawanan terhadap pihak swasta = skor -1
c.
Tidak ada reaksi apapun terkait kegiatan yang dilakukan pihak swasta = skor 0
d.
Menentang namun tidak ada aksi nyata terhadap kegiatan tersebut = skor +1
e.
Menentang dan melakukan berbagai gerakan dan aksi sosial serta aksi politik dalam melawan bahkan menghentikan kegiatan yang dilakukan swasta di kawasan hutan mangrove = skor +2
9. Bentuk konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pihak pemerintah dan atau swasta terkait dengan akses dan pemanfaatan di sekitar kawasan hutan mangrove. a.
Terjadi pertentangan antara kedua belah pihak hingga menimbulkan tragedi saling bunuh = skor -2
b.
Terjadi kekerasan dalam bentuk pekelahian/persaingan perebutan hak pengelolaan hutan mangrove misalnya: kerusuhan, tawuran = skor -1
c.
Terjadi kondisi saling mengancam pada kedua belah pihak yang berselisih = skor 0
d.
Terjadi perdebatan (beda pendapat) dan perbedaan kepentingan antara kedua pihak. = skor +1
e.
Terjadi penyebaran desas-desus (gossip) atau isu yang saling mejelekkan dan berprasangka secara sembunyi-sembunyi antara kedua belah pihak = skor +2
10. Penangkapan satwa liar adalah tindakan yang dilakukan warga untuk menangkap satwa liar yang terdapat pada kawasan lindung hutan mangrove guna dipelihara, diperjual-belikan, atau untuk dibunuh. Pengukurannya dapat dilihat dari tingkatan yang paling eksploitatif sampai yang paling preservatif:
31
a. Menangkap dan membunuh seluruh satwa yang ditemui di kawasan hutan mangrove = skor -2 b. Menangkap satwa untuk diperjual-belikan atau dipelihara = skor -1 c. Bersikap biasa saja atau tidak acuh pada keberadaan satwa liar di hutan mangrove = skor 0 d. Tidak menangkap dan membunuh satwa yang ada di hutan mangrove = skor +1 e. Tidak menangkap, membunuh, bahkan menkonservasi satwa yang ada di hutan mangrove bersama-sama dengan semua lapisan masyarakat = skor +2 11. Pembukaan lahan untuk bangunan dan pemukiman adalah tindakan yang dilakukan untuk mengurangi luasan lahan tutupan mangrove. Pengukuran dapat dilihat dari luasan lahan bukaan mangrove yang diakibatkan dari yang paling besar sampai yang paling kecil: a. Luas bukaan lahan ≥ 10 ha = skor -2 b. Luas bukaan lahan 0-10 ha = skor -1 c. Tidak memiliki lahan bukaan di kawasan hutan mangrove = skor 0 d. Menghindari untuk membuka lahan mangrove yang dilindungi untuk mendirinkan bangunan atau tambak = skor +1 e. Mencegah dan menghimbau warga untuk tidak membuka lahan di kawasan lindung hutan mangrove = skor +2 12. Hasil tangkapan ikan yang menjadi konsekuensi dari turunnya kualitas ekosistem pesisir diukur dari jumlah sabagai berikut: a.
Berkurang lebih dari setengah hasil tangkapan = skor -2
b.
Berkurang tidak lebih dari setengah hasil tangkapan = skor -1
c.
Tidak terjadi penurunan hasil tangkapan = skor 0
d.
Kenaikan hasil tangkapan kurang dari setengah hasil tangkapan = skor +1
e.
Kenaikan hasil tangkapan lebih dari setengah hasil tangkapan = skor +2
32
13. Banjir sebagai konsekuensi dari berkurangnya luasan hutan mangrove (setelah reklamasi pesisir dan sebelum reklamasi pesisir) sehingga terjadi kenaikan air laut dan merupakan dampak dari rusaknya ekosistem sungai Angke dari hulu ke hilir diukur menurut frekuensi sebagai berikut: a.
Banjir terjadi harian (hampir setiap hari) = skor -2
b.
Banjir terjadi mingguan = skor -1
c.
Banir terjadi bulanan = skor 0
d.
Baniir terjadi tahunan = skor +1
e.
Tidak terjadi banjir = skor +2
14. Gangguan satwa liar ke pemukiman penduduk akibat rusaknya atau menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove dapat diukur dengan melihat frekuensinya sebagai berikut: a.
Gangguan satwa terjadi harian (hampir setiap hari) = skor -2
b.
Gangguan satwa terjadi mingguan = skor -1
c.
Gangguan satwa terjadi bulanan = skor 0
d.
Gangguan satwa terjadi tahunan = skor +1
e.
Tidak terjadi gangguan satwa = skor +2
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan ditunjang oleh pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk lebih memahami fakta sosial yang menjadi fokus penelitian (Singarimbun, 1989). Pendekatan kuantitatif yang dipilih oleh peneliti adalah pendekatan yang mampu memberikan penjelasan
hubungan
dan
intensitas
kedalaman
antar
variabel
melalui
penghitungan data yang dikuantifikasikan, sehingga dapat memperlihatkan gambaran hubungan antar variabel penelitian tersebut. Penelitian ini juga mengkombinasikan dengan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan pendukung agar didapatkan data yang lebih mendalam dan yang belum bisa digambarkan dari penggunaan pendekatan kuntitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode survai yaitu melakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen utama dalam pengambilan data kuantitatif. Sedangkan pendekatan kualitatif menggunakan metode non-survai dengan menggali data melalui studi kasus, observasi atau pengamatan di lapangan, dan wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan panduan pertanyaan
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitaian ini dilaksanakan di Permahan Nelayan Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa pada lokasi tersebut terdapat permasalahan pengelolaan hutan mangrove sebagai salah satu ruang hijau terbuka (RTH) yang dilindungi pemerintah menjadi Suaka Marga Satwa Muara Angke di kawasan ibukota DKI Jakarta, yaitu berdasarkan ketetapan perundangan berupa Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 755/Kpts-II/1998. Berdasarkan fakta tersebut, maka menarik jika dilakukan studi mengenai dinamika interaksi sosial-ekologis masyarakat pesisir Muara Angke yang memiliki tingkat heterogenitas dan kepadatan penduduk yang
34
sangat tinggi. Proses penelitian ini berlangsung di lapangan selama satu bulan dimulai dari bulan November tahun 2010. Kemudian dilanjutkan dengan proses pengolahan data dan penulisan hasil penelitian hingga bulan Desember tahun 2011. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data primer dalam penelitian ini adalah dengan metode triangulasi yaitu melalui wawancara kuesioner, wawancara pendalam, dan pengamatan berperan serta terbatas. Data primer diperoleh dari wawancara kuesioner, wawancara pendalam, dan pengamatan berperan serta terbatas. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi literatur (analisis dokumen) tentang profil Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara serta berbagai kajian literatur yang mendukung dan terkait dengan interaksi sosialekologis masyarakat pesisir Kelurahan Pluit terkait pengelolaan sumberdaya alam hutan mangrove. Kuesioner digunakan pada unit analisis individu yaitu masyarakat pesisir yang terlibat pada akses pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam hutan mangrove dan pesisir untuk mendapatkan data mengenai karakteristik dirinya. Kuesioner juga digunakan untuk mendapat data mengenai seberapa jauh akses dan kontrol masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove. Pengamatan berperan serta terbatas dilakukan untuk melihat, merasakan, dan memaknai, dunia beserta ragam peristiwa dan gejala sosial sebagaimana tineliti melihat, merasakan, dan memaknainya. Pengamatan berperan serta terbatas dilakukan untuk mendapatkan data mengenai kajian potensi atau faktor yang menyertai keberlangsungan interaksi sosial-ekologis yang salah satunya menyangkut profil akses dan kontrol masyarakat pada sumberdaya pesisir khususnya ekosistem hutan mangrove. Analisis atau studi dokumen dilakukan untuk mendapatkan data profil dan potensi wilayah Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakata Utara. Adapun data yang didapatkan berkisar pada profil kelurahan yang meliputi kondisi geografis, kependudukan, potensi pemanfaatan sumberdaya pesisir khususnya ekosistem hutan mangrove, dan kelembagaan masyarakatnya. Analisis dokumen
35
menggunakan sumber dokumen dari monografi kelurahan dan desa, data statistik, laporan tahunan dari instansi pemerintahan. 3.4 Teknik Pengambilan Sampel Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumahtangga. Penggunaan rumahtangga sebagai unit analisis didasarkan pada karakteristik rumahtangga yang memiliki peranan penting dalam pengambilan keputusan dan penentuan pengalokasian sumberdaya berkaitan dengan hutan mangrove. Kerangka sampling yang yang digunakan adalah masyarakat pesisir Muara Angke yang bermukim dan memiliki kedekatan geografis dan fungsional dengan sumberdaya hutan mangrove. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat pesisir Muara Angke yang bertempat tinggal dekat dengan kawasan hutan mangrove Suaka Marga Satwa Muara Angke (faktor kedekatan geografis). Populasi sasaran dalam penelitian ini berjumlah sekitar 219 yang terdiri dari warga Kampung Kali Adem dan RW 01 Kelurahan Pluit. Metode pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah pengambilan sampel Acak Distratifikasi (Stratified Random Sampling). Metode pengambilan sampling ini dipilih untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat populasi yang heterogen dengan membagi populasi dalam kerangka sampling ke dalam lapisan-lapisan yang seragam dan dari setiap lapisan dapat diambil sampel secara acak. RW yang terpilih merupakan RW yang didasarkan pada kedekatan jarak dengan Suaka Margasatwa Muara Angke. Wilayah RW yang dipilih adalah RW 01 dan kawasan Kampung Kali Adem yang dianggap paling representatif untuk penelitian ini karena dapat memberikan gambaran mengenai dinamika hubungan atau interaksi sosialekologis masyarakat pesisir Muara Angke di kawasan hutan mangrove secara keseluruhan. Pemilihan sampel di lokasi tersebut juga berdasarkan pertimbangan bahwa warga Kampung Kali Adem adalah warga yang bersentuhan langsung terhadap keberadaan hutan mangrove di Muara Angke. Sampel yang diambil sebanyak 50 orang perwakilan dari masing-masing wilayah RW yang sudah direkomendasikan oleh tokoh masyarakat.
36
3.5 Teknik Analisis Data Data primer yang telah diperoleh kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk tabulasi frekuensi untuk memperlihatkan jenis hubungan atau interaksi sosial-ekologi masyarakat pesisir dengan pemerintah beserta kedalamannya. Data primer yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk tabulasi data kemudian diberikan penjelasan bagaimana relevansinya dengan tujuan penelitan yang telah ditentukan.. Data yang diperoleh akan diolah dengan
menggunakan estimasi
(menaksir) parametrik yang dengan membuat titik taksiran. Kemudian dilanjutkan dengan proses editing, coding, scoring, entry, cleaning dan analisis data dengan menggunakan program Microsoft Excel. Triangulasi metode pengumpulan data (studi literatur, wawancara mendalam, pengamatan berperan serta) nantinya akan menghasilkan data kulitatif dalam bentuk catatan-catatan harian berupa uraian rinci maupun kuipan langsung peneliti bersama tineliti (Sitorus, 1998). Menurut Taylor dan Bogdan (1984) sebagaimana dikutip oleh Sitorus (1998), data kualitatif merupakan data deskriptif berupa kata-kata lisan atau tulisan. Catatan harian adalah instrumen utama pada pengumpulan data kualitatif yang berisi hasil pengamatan dan wawancara di lapangan. Miles dan Hunberman (1992) sebagaimana dikutip oleh Sitorus (1998), menguraikan tiga jalur analisis data kualitiatif yaitu berupa reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Data kualitatif yang diperoleh dari studi literatur, wawancara mendalam, pengamatan berperan serta yang mendukung hasil penelitian kemudian direduksi melalui proses pemilihan dan pengkategorian data sesuai dengan permasalahan, tujuan penetihan, serta kerangka pemikuran pemikiran. Setelah melewati tahap reduksi data, selanjutnya dilakukan penyajian data kualitatif berupa teks naratif (kutipan langsung dan uraian), matriks, grafik, jaringan, atau bagan. Kemudian, proses tersebut dikahiri dengan penarikan kesimpulan.
BAB IV PROFIL LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Kelurahan Pluit merupakan salah satu wilayah kelurahan yang secara administratif masuk ke dalam wilayah Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Letak Kelurahan Pluit diatur dalam surat keputusan Gubernur DKI Jakarta No 1251/1986 tanggal 29 Juli 1986 tentang pemecahan, penyatuan, penetapan batas perubahan nama kelurahan di DKI Jakarta dan Penegasan Walikota Kotamadya Jakarta Utara, bahwa mengenai batas wilayah Kelurahan Pluit sebelah Timur dengan batas Kelurahan Penjaringan adalah sepanjang Waduk Pluit bagian Timur, dengan demikian Kelurahan Pluit mempunyai luas wilayah 771,19 Ha dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara
: Laut Jawa
Sebelah Timur
: Sepanjang tepi Waduk Pluit bagian Barat
Sebelah Selatan
: Jalan Pluit Karang Selatan – Jalan Pluit Selatan
Sebelah Barat
: Sungai Muara Angke – Sungai Cisadane
PT. Jakarta properti memiliki kuasa pengelolaan tanah untuk wilayah Muara Karang dan Pluit, sedangkan untuk wilayah Muara Angke berada di bawah pembinaan Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. Peruntukan tanah di wilayah kelurahan Pluit dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Wilayah Kelurahan Pluit menurut Peruntukan Tanahnya Tahun 2009 No Peruntukan Tanah Luas (ha) Persentase (%) 1. Perumahan 665.51 86.30 2. Fasilitas Umum 38.56 500 3. Fasilitas Sosial 57.06 740 4. Lain-lain 20.06 130 771.19 100.00 Jumlah Sumber: Laporan Bulanan Kelurahan Pluit (2009) Secara umum, keadaan Muara Angke, Kelurahan Pluit merupakan lahan reklamasi yang keadaannya masih labil. Kawasan ini mempunyai kontur permukaan tanah datar, dengan ketinggian 0 sampai 1 meter di atas permukaan laut. Geomorfologi pantai lunak sehingga menyebabkan daya dukung tanah
38
rendah dan proses intrusi air laut tinggi. Sedimen dasar laut didominasi oleh lumpur. (Hilakore dkk, 2004). 4.2 Kependudukan Kelurahan Pluit memiliki 20 Rukun Warga (RW) dengan total jumlah penduduk sebesar 46319 jiwa. Sebanyak 99.82% dari penduduknya atau sekitar 46236 jiwa adalah Warga Negara Indonesia , selain itu sebanyak 0.18% atau 83 jiwa merupakan Warga Negara Asing. Dari Tabel 2, bahwa rasio jenis kelamin penduduk kelurahan Pluit adalah 109 yang berarti terdapat 109 jiwa laki-laki diantara 100 jiwa perempuan. Jumlah penduduk Kelurahan Pluit ini tersebar di 20 wilayah Rukun Warga (RW) dengan jumlah Rukun Tetangga (RT) sebanyak 242 RT. Tabel 2. Komposisi Penduduk Kelurahan Pluit Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2009
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Umur (Tahun)
0–4 5–9 10 – 14 15 – 19 20 –24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 – 69 70 –74 75 – keatas Jumlah
WNI
Keterangan
WNA
L (Jiwa)
P (Jiwa)
Jumlah
1.674 1.746 1.694 1.814 1.751 1.808 1.903 1.898 1.774 1.829 1.744 1.662 1.587 666 476 76
1.594 1.676 1.639 1.609 1.576 1.668 1.716 1.584 1.611 1.503 1.533 1.489 1.391 811 587 147
3.268 3.422 3.333 3.423 3.327 3.476 3.619 3.482 3.385 3.332 3.277 3.151 2.978 1.478 1.063 223
24.102
22.134
46.236
L (jiwa) 1 3 2 2 3 4 4 8 5 3 4 2 2
P (Jiwa) 2 1 3 4 2 4 3 4 4 4 1 6 2
3 4 5 6 5 8 7 12 9 7 5 8 4
3.268 3.422 3.333 3.426 3.331 3.481 3.625 3.487 3.393 3.338 3.289 3.160 2.985 1.483 1.071 227
43
40
83
46.319
Jumlah
Jumlah
Sumber : Monografi Kelurahan (2009) Struktur penduduk khususnya di wilayah Muara Angke sendiri menurut pemukinannya terbagi menjadi 2 (dua kelompok), yaitu (1) Penduduk atau pemukim tetap. Penduduk tetap ini menempati pemukiman nelayan permanen yang telah disediakan oleh Pemerintah secara terstruktur dalam sistem RW dan RT. Walaupun menempati perumahan nelayan, tidak semua dari mereka berprofesi sebagai nelayan namun ada juga yang bekerja sebagai pedagang kaki
39
lima, pedagang ikan di pasar ikan Muara Angke, dan tukang ojek. Karena sistem pemukiman mereka sudah terstruktur, sebagian besar mereka telah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta. (2) Penduduk tidak tetap (musiman), pada umumnya mereka pendatang dari Jawa khususnya Indramayu dan Cirebon. Mereka sebagian besar adalah nelayan tradisional yang di kampung halamannya juga memiliki pekerjaan lain sebagai petani atau pedagang. Kegiatan sebagai nelayan mereka lakukan untuk mengisi waktu luang ketika musim tanam di kampung halaman telah usai. Masa tinggal mereka di Muara Angke bervariasi mulai dri mingguan, bulanan, dan satu semester (6 bulan). Dahulu, mereka tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta namun kini mereka telah memiliki KTP DKI Jakarta karena kini mereka telah meninggalkan pekerjaan di kampung halamannya dan menetap di Muara Angke sebagai nelayan. Mereka menempati rumah di bantaran sungai Angke (Kampung Kali Adem) dengan kondisi yang kurang layak.
4.3 Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Pluit pada umumnya sudah mampu mengenyam pendidikan yang juga didukung oleh keberadaan sarana dan prasarana pendidikan negeri ataupun swasta. Walaupun masih ada penduduk yang memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah yaitu tidak bersekolah, tidak tamat SD, tamat SD dan tamat SMP. Adapun jumlah penduduk Kelurahan Pluit berdasarkan tingkat pendidikannya dapat dilihat ada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah Penduduk Kelurahan Pluit Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2009 No.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk Jumlah Kepala Keluarga Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Akademi/P.T.
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan (Jiwa) (Jiwa) 24145 22174 13534 2703 781 933 2648 3459 4847 4911 5506 5599 7347 5419 2942 1776
Jumlah (Jiwa) 46319 16237 1714 6107 9758 11105 12766 4718
Persentase (%)
3.700% 13.18% 21.07% 23.97% 27.56% 10.19%
Sumber: Monografi Kelurahan Pluit (2009)
40
Menurut tabel di atas, dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan masyarakat Pluit relatif cukup baik,hal ini tercermin dari 82.79% penduduknya telah mengenyam bangku sekolah. Sebanyak 27.56% penduduk Kelurahan Pluit adalah tamatan SMA yang menjadi persentase terbesar pada tingkat pendidikan. Namun, kenyataannya masih ada 3.7% masyarakat yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali dan 13% penduduknya hanyalah tamatan Sekolah Dasar (SD). Kelurahan Pluit memiliki sarana pendidikan berupa sekolah yang terdiri dari 14 Sekolah Dasar (SD), 10 Sekolah Menengah Pertama (SMP), serta 5 Sekolah Menengah Atas (SMA).
4.4 Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Pluit serdasarkan jumlah persentasenya sebagian besar bermata pencaharian sebagai karyawan Swasta/negeri/ABRI sebanyak 13741 jiwa atau 29.67%. Penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan hanya berjumlah sekitar 2682 jiwa atau 5.79% yang berarti jumlah ini hanya sebagian kecil dari jumlah total penduduk di Kelurahan Pluit. Masyarakat Pesisir yang juga sebagian besar berprofesi sebagai nelayan ini sebagian besar bermukim di sektor perumahan nelayan berdekatan dengan kawasan konservasi hutan mangrove. Adapun jumlah penduduk Kelurahan Pluit berdasarkan jenis mata pencahariannya adalah seperti pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah Penduduk Kelurahan Pluit Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian Tahun 2009 No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Mata Pencaharian Jumlah Penduduk Jumlah Kepala Keluarga Pekerjaan Karyawan Swasta/Negeri/TNI Pedagang Nelayan Pensiunan Pertukangan Penganguran Fakir miskin Lain-lain
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan (Jiwa) (Jiwa) 24145 22174 13534 2703
Jumlah (Jiwa)
Persentase (%s)
46319 16237
8057
5684
13741
29.67%
6924 2682 529 21 608 347 831
3792 212 342 239 1903
10716 2682 741 21 950 586 2734
23.13% 5.79% 1.60% 0.05% 2.05% 1.26% 5.90%
Sumber: Monografi Kelurahan Pluit (2009)
41
4.5 Agama, Sosial dan Budaya. Penduduk Kelurahan Pluit sebagian besar memeluk agama Islam dari total jumlah penduduk yang ada. Fasilitas peribadatan di Kelurahan Pluit meliputi 5 (lima) masjid, 5 (lima) unit mushala, 7 (tujuh) unit gereja dan 4 (empat) unit vihara. Keluahan Pluit sendiri memiliki kawasan pesisir dengan potensi perikanan yang tinggi berpusat pada PPI Muara Angke. Masyarakat Muara Angke secara umum memiliki gambaran yang hampir sama dengan masyarakat DKI Jakarta. Sementara, hal unik yang dimiliki oleh masyarakat Muara Angke adalah ciri khas masyarakat pantai, kenelayanan, dan kelautan. Karakteristik tersebut ikut serta mempengaruhi pola hubungan sosial, kohesi sosial dan kekerabatan antara masyarakat Muara Angke. Keterkaitan pada segi sosial,ekonomi, dan kebudayaan berlandaskan pada aktivitas mereka yang bergerak di sektor perikanan (nelayan, pengusaha perikanan, dan buruh nelayan) maupun non perikanan. Masyarakat nelayan Muara Angke sendiri terbagi ke dalam lapisan (strata) sosial berdasarkan lingkungan pemukiman mereka. Strata sosial pertama ditempati oleh mereka yang tinggal di kawasan perumahan elit (real estate) yang berada dan berbatasan dengan
kawasan pemukiman nelayan Muara Angke.
Pemukiman elit ini dijaga sangat ketat oleh petugas keamanan komplek sehingga interaksi sosial mereka dengan masyarakat di luar komplek sangat kurang. Secara umum, warga yang mendiami perumahan elit ini adalah warga etnis Tionghoa. Strata sosial kedua yaitu mereka yang pada umumnya tinggal di komplek pemukiman nelayan permanen yang disiapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Secara kasat mata, keadaan penduduk yang bermukim di komplek perumahan nelayan ini tergolong cukup mapan dan lebih teratur. Selain berprofesi sebagai nelayan, mereka yang berada di komplek perumahan ini banyak yang bergerak di usaha perikanan (industri pembuatan ikan asin, tukang ojek, pegawai negeri/swasta, dan pedagang). Lain halnya dengan strata sosial pertama dan kedua , masyarakat nelayan yang tinggal di pemukiman di daerah pinggiran muara pantai tergolong pada strata sosial ketiga. Mereka menempati rumah darurat (mirip lapak/gubuk) yang didirikan dengan fasilitas sangat minimal. Rumah tersebut rata-rata terbuat dari bambu, kardus, triplek, asbes dan sebagainya yang berada di bibir pantai dan di
42
pinggir muara sungai Angke. Kondisi hidup di tengah lingkungan yang tidak sehat ini membuat mereka rentan terhadap permasalahan sosial seperti kemiskinan, kesehatan, konflik antar pribadi, dan masalah lainnya. Masyrakat nelayan memiliki semacam kepercayaan terkait dengan hutan mangrove bahwa terdapat banyk makhluk halus dan satwa yang mendiami hutan mangrove dianggap memiliki kekuatan gaib sehingga hal ini membuat mereka tidak berani untuk mengganggu satwa apalagi merusak hutan mangrove.
4.6 Ekonomi dan Sarana Umum Sarana umum yang dimiliki Kelurahan Pluit terkait dengan kegiatan perekonomian tergolong sangat banyak. Sebagian besar fasilitas ekonomi bergerak di bidang perniagaan/perdagangan dilihat dari banyaknya jumlah pasar yang mencapai jumlah 315 unit dengan jenis pasar inpres dan swalayan. Selain itu terdapat 175 toko klontong, dan 265 unit sarana bagi pedagang kaki lima. Kegiatan ekonomi juga didukung dengan sarana yang bergerak di bidang pariwisata seperti hotel dan tempat penginapan sebagaimana yang tercermin pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah dan Jenis Sarana Ekonomi di Kelurahan Pluit Tahun 2009 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Sarana Pasar Pabrik/Industri Toko Hotel Pondok Penginapan Pedagang Kaki Lima Lain-lain
Jenis Usaha Inpres/Swalayan Rumah Tangga Klontong Pariwisata Pariwisata Terdaftar -
Jumlah 315 25 175 1 1 265 -
Sumber: Monografi Kelurahan Pluit (2009) Pemerintah Kelurahan Pluit bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta instansi lainnya untuk mengembangkan perekonomian masyarakat pesisir dengan mendukung kegiatan nelayan yang berkaitan dengan sektor perikanan. Pengadaan fasilitas perekonomian dan pendampingan masyarakat terwujud dalam Koperasi sebagai lembaga ekonomi mikro kerakyatan. Peran dan kegiatan koperasi dapat dilihat pada Tabel 6.
43
Tabel 6. Peranan Instansi Terkait dalam Kegiatan Perekonomian Kelurahan Pluit Tahun 2009 No. 1.
Nama Koperasi dan Jenisnya Koperasi serba Usaha (KSU)
Jumlah Anggota 88
2.
Fungsional : Koperasi perikanan Mina jaya Kopas Muara Angke Kopas Pluit Kopeg PLTU Kopkar Jakarta Propertindo Koperasi Nelayan Kepulauan Seribu
1.235 261 240 445 57 65
Jumlah = 8 unit
3.470
Usaha Pembinaan yang dilakukan Mengadakan Pembinaan Pengurus Memberikan Petunjuk Langsung mengenai perkembangan Koperasi Mengadakan penyuluhan tentang peranan koperasi dirangkaikan dengan kegiatan LKMD/K Silahturahmi pengurus KSU dengan Dewan Kelurahan Pluit Mengadakan penyuluhan tentang Peranan Koperasi dirangkaikan dengan kegiatan LKMD/K
Sumber: Monografi Kelurahan Pluit (2009)
BAB V BENTUK INTERAKSI SOSIAL-EKOLOGIS DI SEKITAR HUTAN MANGROVE YANG TERBANGUN PADA MASYARAKAT PESISIR MUARA ANGKE 5.1 Akses Masyarakat Pesisir Muara Angke terhadap Hutan Mangrove Secara alamiah masyarakat pesisir Muara Angke memiliki kaitan dengan kawasan hutan mangrove yang sejak lama telah mendukung keberlangsungan ekosistem. Hutan mangrove di pantai utara Jakarta semakin mendekati kondisi kritis akibat upaya reklamasi yang marak dilakukan baik oleh pihak pemerintah, swasta maupun individu. Sejarah hutan mangrove Muara Angke sudah melekat dengan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sekitarnya. Hutan Mangrove yang kini pengelolaannya berada di bawah pemerintah dalam bentuk Suaka Margasatwa Muara Angke, dahulu merupakan Cagar Alam sejak pemerintahan Kolonial Hindia Belanda tepatnya pada 17 Juni 1939. Luasan Cagar Alam yang semula 15.04 ha diperluas menjadi 1344.62 pada tahun 1960-an. Cagar Alam Muara Angke lambat laun mengalami kerusakan seiring dengan berkurangnya daya dukung lingkungan akibat tekanan penduduk. Kondisi ini menyebabkan kawasan Cagar Alam statusnya berubah menjadi Suaka Margasatwa Muara Angke yang luas totalnya 25.02 ha pada tahun 1998 berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 097/Kpts-II/1998 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 755/Kpts-II/1998 dengan tujuan untuk merehabilitasi kawasan yang rusak (BKSDA DKI Jakarta, 2010). Status pengelolaan hutan yang dimiliki negara (state property) menyebabkan
masyarakat
sekitar
tidak
dapat
leluasa
memasuki
dan
memanfaatkan potensi sumberdaya alam di dalamnya. Keadaan tersebut berlangsung sejak ditetapkannya kawasan hutan menjadi Cagar Alam hingga kini berubah menjadi Suaka Margasatwa Muara Angke. Akses untuk memasuki kawasan hutan hanya diperuntukkan bagi warga atau pihak yang mendapatkan izin dari Kantor Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) DKI Jakarta berupa Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) untuk kepentingan studi, penelitian, dan kegiatan pendidikan lainnya.
45
Masyarakat Muara Angke pada mulanya masih bisa memanfaatkan hasil hutan untuk dikonsumsi misalnya buah nipah (Nypa fruticans) untuk dimakan dan hasil hutan lainnya. Namun, hal itu berlangsung hanya pada saat hutan masih berstatus Cagar Alam dan sejak menjadi Suaka Margasatwa penjagaan semakin ketat sehingga masyarakat tidak dapat lagi mengambil hasil hutan. Nah, kalau orang dulu itu masih suka makan buah nipah, untuk dimasak dan dibuat cemilan. Pada waktu itu kami masih bisa ambil sedikit-sedikit di hutan, tapi tidak sampai tebang pohon, ambil seperlunya saja. Nelayan pun sudah mengerti dan tahu soal itu. Tapi sekarang selain sudah tidak boleh sembarangan masuk hutan, orangorang sudah tidak terbiasa lagi makan buah nipah, sudah tidak doyan.
(Bapak H.Nam, 50 tahun, Tokoh Masyarakat Muara Angke) Berdasarkan hasil penelitian kepada 50 responden, ternyata semua responden yang berarti 100 persen tidak memiliki hak akses masuk dan pemanfaatan hutan mangrove. Akses dalam hal ini termasuk pada kegiatan dan pemilikan bukaan lahan mangrove yang didapat pada data penelitian, yang menunjukkan bahwa 100 persen responden tidak memiliki lahan bukaan di dalam kawasan hutan mangrove. Masyarakat Muara Angke sudah mengetahui dan paham pada peraturan pemerintah bahwa keberadaan hutan mangrove tidak dapat diganggu dengan aktivitas manusia. Sementara itu, nelayan di Muara Angke hanya memanfaatkan kawasan pinggiran hutan mangrove sebagai tempat merapat dan istirahat setelah seharian melaut. Kawasan pinggiran hutan mangrove juga kerap dijadikan tempat nelayan untuk memperbaiki kapal yang rusak, karena kini di pantai utara Jakarta sulit lagi ditemui tempat merapat yang nyaman. Hampir semua garis pantai Jakarta sudah berubah menjadi perumahan, kawasan industri, pelabuhan, dan sebagainya. Aktivitas nelayan yang seperti ini dianggap tidak menjadi masalah dan tidak termasuk melanggar peraturan pemerintah, sehingga tidak mendapat teguran dari polisi hutan setempat selama nelayan tidak memasuki dan merusak kawasan konservasi. Lain halnya dengan nelayan Muara Angke yang telah paham pada peraturan pemerintah terkait konservasi hutan mangrove, petugas polisi hutan biasanya menindak nelayan yang berasal dari luar Jakarta seperti nelayan Lampung, Banten, Cirebon dan sebagainya. Nelayan pendatang yang memasuki
46
perairan Jakarta
umumnya belum mengetahui peraturan terkait perlindungan
hutan mangrove sehingga masih saja ditemui aktivitas pemotongan ranting pohon bakau, penangkapan burung dan satwa lain yang dilindungi undang-undang. Fenomena ini sesuai dengan data kualitatif yang diperoleh dari salah satu informan yaitu sebagai berikut. Selama saya bertugas di sini, jarang sekali atau malah tidak pernah memergoki warga asli Muara Angke yang melanggar. Biasanya yang suka masuk diam-diam itu nelayan yang dari luar Jakarta seperti dari Lampung, Banten, Cirebon sama yang warga lain. Biasanya mereka mengambil ranting untuk kayu bakar, menangkap burung-burung, memancing umpan. Kalau mereka ketahuan, ya saya tegur dulu pada awalnya. Nanti kalau ternyata masih tetap diteruskan ya terpaksa saya rampas, terus saya bawa ke pos supaya diproses sama teman-teman dan atasan saya. Jadi warga sini rata-rata sudah paham masalah peraturan SMMA. (Bapak Tan, 38 tahun, polisi hutan Suaka Margasatwa
Muara Angke) Akses masyarakat Muara Angke terhadap hutan mangrove terbentur dengan kebikajan pemerintah yang secara top down menetapkan kawasan hutan sebagai kawasan konservasi (dari Cagar Alam menjadi Suaka Margasatwa). Meskipun begitu, masyarakat Muara Angke dapat memahami dan mematuhi pertauran pemerintah, namun yang justru menjadi hambatan bagi pengelolaan dan perlindungan hutan mangrove adalah ancaman konversi lahan mangrove untuk pembangunan serta warga yang berasal dari luar Muara Angke yang sengaja menyusup ke kawasan hutan untuk memburu satwa. 5.2. Interaksi Sosial-Ekologi di Hutan Mangrove bersifat Asosiatif Interaksi sosial-ekologi memiliki cakupan yang besar pada lingkungan hidup dan menimbulkan suatu keterkaitan pada setiap unsur-unsur lingkungan hidup itu sendiri. Interaksi sosial-ekologi juga berangkat dari definisi lingkungan hidup oleh Purba (2002) yang dibuat dengan mempertimbangkan keterkaitan antara seluruh komponen yang terdapat di dalamnya, bukan semata-mata interaksi sosial beserta pranata, simbol, nilai, dan normanya saja tetapi juga kaitannya dengan unsur-unsur lingkungan hidup seprti alam dan lingkungan binaan/buatan. Sebagaimana yang dirumuskan oleh Gillin dan Gillin (1954) yang dikutip Soekanto (2002) bahwa proses asosiatif adalah suaru proses terjadinya saling pengertian dan kerjasama timbal balik antara orang per orang atau kelompok satu dengan yang lainnya, dimana proses ini menghasilkan pencapaian tujuan akhir
47
bersama. Kasus interaksi sosial-ekologis masyarakat pesisir Muara Angke bersifat asosiatif yang melibatkan aktor sesama manusia terbagi menjadi beberapa golongan menurut klasifikasi spesifik pihak yang terlibat, yaitu interaksi masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan swasta. Sedangkan interaksi sosial-ekologi asosiatif juga terjadi antara manusia dengan alam. 5.2.1. Interaksi Sosial-Ekologi bersifat Asosiatif antar Manusia Interaksi yang bersifat asosiatif antar masyarakat pesisir Muara Angke dilihat dari segi aktor yang terlibat dan mempunyai keterkaitan satu sama lain. Masyarakat Muara Angke merupakan suatu kesatuan sosial majemuk yang tingkat keberagamannya tinggi, mulai dari keberagaman budaya, etnis, mata pencaharian, status sosial dan ekonomi. Sedangkan di wilayah Muara Angke sendiri terdapat sumberdaya hayati penunjang kehidupan Kota Jakarta yang harus dilindungi dan dilestarikan yaitu kawasan hutan mangrove Muara Angke-Kapuk. Upaya perlindungan hutan mangrove di Jakarta menuntut adanya peran serta dari berbagai stakeholder yaitu pemerintah sebagai penggagas sekaligus pembuat kebijakan dan masyarakat yang disertai dukungan dari pihak swasta. Berbagai elemen masyarakat di atas saling bersentuhan kepentingan dan motivasi dalam hal pemanfaatan dan perlindungan hutan mangrove, yang pada akhirnya melahirkan berbagai macam interaksi salah satunya hubungan asosiatif. Interaksi asosiatif antar manusia bisa berlangsung dalam bentuk kerjasama seperti kegiatan gotong royong, kemitraan, penghijauan hutan mangrove, serta kegiatan untuk hiburan masyarakat. Adapun uraian dari berbagai bentuk interaksi asosiatif antar masyarakat terkait pengelolaan hutan mangrove adalah sebagai berikut: 5.2.1.1 Gotong Royong Kebiasaan dan rutinitas masyarakat Muara Angke dalam melakukan gotong royong guna menjaga serta membersihkan lingkungan khususnya aliran Kali Angke yang juga mengairi hutan mangrove. Aktivitas sosial kemasyarakatan ini, lebih bersifat informal yang dikendalikan oleh tokoh masyarakat di Kampung Kali Adem atau di perumahan nelayan Muara Angke. Kondisi perairan bantaran Kali Angke yang terhubung langsung dan menjadi satu kesatuan dengan ekosistem hutan mangrove memang penuh dengan tumpukan sampah oganik dan
48
anorganik. Hal ini tentu dapat mengganggu keseimbangan dan keanekaragaman hayati di hutan mangrove. Gotong royong diperuntukkan lebih bagi kebersihan lingkungan tempat tinggal warga Muara Angke. Kegiatan membersihkan sampah dai bantaran Kali Angke merupakan kegiatan utama karena selain menyangkut kebersihan lingkungan, juga untuk upaya pencegahan bencana banjir yang kerap melanda warga Kampung Kali Adem. Data yang menggambarkan keikutsertaan masyarakat pada kegiatan gotong royong di Muara Angke dapat dilihat pada Gambar 3. f.
50%
46%
40% 28%
g.30% h.20% 10%
16% 10%
0% setiap bulan
setiap dua bulan
setiap tiga bulan
tidak pernah
Gambar 3. Distribusi Masyarakat Pesisir Muara Angke Berdasarkan Keikutsertaan pada Kegiatan Gotong Royong Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Gambar 3. di atas menunjukkan bahwa dari 50 responden terdapat 28 persen
(14 orang) yang tidak pernah melakukan gotong royong. Sementara
responden yang mengaku pernah bergotong royong dengan frekuensi tiga bulan sekali sejumlah 46 persen (23 orang). Kegiatan gotong royong yang dilakukan dua bulan sekali diikuti oleh 16 persen warga (8 orang) dan dengan frekuensi satu bulan sekali sebanyak 10 persen (5 orang). Keguyuban yang terbangun antara masyarakat pesisir Muara Angke terkait pengelolaan hutan mangrove tergolong rendah karena jumlah masyarakat yang melibatkan dirinya secara aktif (rutin setiap bulan) dalam kegiatan gotong royong hanya 10 persen dari 50 responden. Masyarakat yang mengaku tidak pernah dan jarang mengikuti kegiatan gotong royong disebabkan oleh faktor kesibukan sebagai nelayan yang waktu kerjanya lebih banyak dihabiskan di laut dari pada di darat, sebagaimana yang dituturkan oleh masyarakat:
49 Banyak warga yang tidak pernah ikut gotong royong. Warga saya saja hanya itu-itu saja yang suka ikut kami gotong royong. Sibuk melaut terus. Ya tahu sendiri kan kalo melaut itu butuh waktu yang lama, bisa semalaman, bisa berhari-hari. Apalagi sekarang tangkapan makin sedikit, jadi nelayan juga lebih lama melautnya. Kalau nelayan tidak pergi melaut dan tidak dapat uang ya nanti kasihan keluarganya. Mungkin karena itu juga kegiatan gotong royong hanya bisa diikuti oleh warga yang bukan nelayan. Padahal gotong royong juga untuk kepentingan semua warga (Bapak Mul, 48 tahun, Warga Kampung
Kali Adem). Kegiatan gotong royong yang diadakan masyarakat dalam hal bersihbersih lingkungan sekitar sungai dan hutan mangrove justru banyak yang menganggap tidak terlalu menguntungkan dari segi ekonomi. Nelayan banyak yang mementingkan kegiatan melaut untuk menambah pendapatannya. Hal ini tidak sepenuhnya dapat dijadikan alasan bahwa penumpukan sampah di muara Kali Angke adalah kesalahan warga Muara Angke. Mengingat sampah adalah masalah induk dari pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang saling terkait dari hulu ke hilir. 5.2.1.2 Kemitraan Interaksi asosiatif juga bisa dalam bentuk kemitraan yang berarti keberadaan elemen masyarakat yang satu bersifat saling menguntungkan dengan elemen masyarakat yang lainnya. Bentuk kemitraan yang terjalin pada lingkup masyarakat Muara Angke melibatkan beberapa aktor seperti warga Muara Angke dengan pemerintah, warga dengan pihak swasta (pelaku bisnis dan industri), serta kemitraan yang terbangun antar warga sendiri. Pola kemitraan berdasarkan aktornya dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat pesisir Muara Angke. Bentuk kemitraan ini merupakan pola kerjasama yang berkaitan langsung dengan pemanfaatan, pelestarian, dan perlindungan hutan mangrove. Interaksi antara masyarakat pesisir Muara Angke dengan Pemerintah (dalam hal ini adalah pemerintah pengelola hutan mangrove) yaitu Suaka Margasatwa Muara Angke berkaitan dengan kebijakan yang diturunkan menjadi peraturan mengenai upaya konservasi hutan mangrove dan ekosistem di dalamnya. Ketentuanketentuan umum tentang konservasi sumberdaya alam dapat ditemukan dalam UUPLH (Pasal 1 ayat 15) bahwa konservasi sumberdaya alam merupakan
50
pengelolaan
sumberdaya
alam
tidak
terbaharui
untuk
menjamin
pemanfaatannya secara bijaksana, serta sumberdaya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya, dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. Upaya
konservasi
sumberdaya
mangrove
yang
dilakukan
oleh
pemerintahan DKI Jakarta (yang terdiri dari Kementrian Kehutanan dan Pemda DKI Jakarta melalui lembaga konservasi Suaka Marga Satwa Muara Angke ) pasti menimbulkan konsekuensi sosial pada masyarakat yang memiliki kedekatan secara geografis dan sejarah dengan keberadaan sumberdaya tersebut. Respon atau tanggapan masyarakat Muara Angke mengenai peraturan yang ditetapkan pemerintah untuk melindungi ekosistem hutan mangrove berbeda-beda. Adapun gambaran dukungan masyarakat pesisir Muara Angke terhadap kebijakan pemerintah dalam hal penelolaan hutan mangrove dapat dilihat pada Gambar 4. Dukung, melaksanakan, dan ikut menghimbau masyarakat
34%
Dukung dan melaksanakan
38%
Biasa saja (tidak acuh)
26%
Tidak mendukung Menentang dan melanggar kebijakan pemerintah
2% 0% 0%
5%
10% 15% 20% 25% 30% 35% 40%
Gambar 4. Jumlah Persentase Dukungan Masyarakat Pesisir Muara Angke terhadap Kebijakan Konservasi Hutan Mangrove oleh Pemerintah Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Data pada gambar di atas dapat diinterpretasikan bahwa secara umum masyarakat pesisir Muara Angke menanggapi secara positif akan kebijakan pemerintah dalam upaya perlindungan dan rehabilitasi hutan mangrove. Dukungan masyarakat yang sangat mendalam terhadap kebijakan konservasi mangrove oleh
pemerintah tercermin pada kemauan masyarakat untuk tidak
hanya sekedar mematuhi peraturan tetapi juga ikutserta melestarikan ekosistem hutan mangrove atau bahkan ikut mengajak warga lain agar mematuhi peraturan pemerintah. Persentase responden (n = 50 orang) yang termasuk dalam golongan
51
tersebut adalah sebesar 34 persen (17 orang ). Kemudian responden yang hanya sebatas memberi dukungan dengan cara mematuhi secara sadar terhadap peraturan pemerintah adalah sejumlah 34 persen (19 orang). Sementara itu, ada responden yang tidak acuh atau menganggapnya biasa saja tanpa merasa ada keterkaitan dan kedekatan dengan pihak pemerintah yang merumuskan kebijakan tersebut yaitu sebesar 26 persen (13 orang) serta hanya sejumlah dua persen (1 orang) yang tidak mendukung kebikajan pemerintah untuk melindungi hutan mangrove. Interaksi asosiatif terlihat dari banyaknya masyarakat mendukung dan melaksanakan peraturan pemerintah (SMMA) dan merasa bahwa masyarakat memang memiliki hubungan yang erat dengan ekosistem hutan mangrove. Lain halnya dengan masyarakat yang tidak acuh bahkan enggan untuk mendukung dan mematuhi kebijakan pemerintah, karena pemerintah (SMMA selaku pelaksana kebijakan pemerintahan di lapangan) kurang menjalin kedekatan dan sosialisasi dengan warga. Pola hubungan seperti ini membuat beberapa responden merasa tidak perlu mematuhi peraturan pemerintah terkait pengelolaan hutan mangrove. Petugas SMMA yang secara intensif berada di lapangan untuk menjalankan pemantauan dan penjagaan kawasan hutan mangrove juga mengakui keadaan tersebut. Memang saya akui, selama ini pihak kami kurang melihat secara langsung pada kondisi masyarakat. Belum tahu persis akan kondisi yang masyarakat rasakan. Malah baru tahu ya pas ikut Dik Nendy wawancara ambil data di masyarakat. Saya rasa, mungkin karena itu juga ada saja masyarakat yang masih tidak tanggap sama peraturan SMMA. Mungkin juga mereka hanya berpikir yang penting gimana caranya menaikkan pendapatan dan hasil tangkapnya (Bapak Tan, 38 tahun, polisi hutan
Suaka Marga Satwa Muara Angke). Bentuk dukungan masyarakat pesisir Muara Angke khususnya nelayan yang tinggal di dekat hutan mangrove yaitu kerap membantu tugas para petugas SMMA dengan ikut menegur warga yang kedapatan sedang mengambil hasil hutan dan menagkap satwa di hutan mangrove secara ilegal. Warga yang melanggar peraturan pemerintah tersebut pada umumnya bukanlah warga Muara Angke melainkan warga dari luar Kelurahan Pluit bahkan dari luar Jakarta. Selain ikut menegur, masyarakat juga tidak segan untuk melaporkan kepada petugas SMMA jika ada kejadian penyusupan para oknum di hutan mangrove seperti kasus pada Bapak Asi (40 tahun).
52 Saya tahu kalau ada oknum yang menangkap satwa di hutan sini. Tapi itu bukan orang sini kok, rata-rata mereka berasal dari luar Muara Angke. Karena saya merasa sungkan dan menghormati binatang di hutan ini, jadi ketika saya berangkat/pulang melaut kebetulan ada yg ketahuan menangkap hewan ya saya tegur, saya usir biar pergi dan tidak jadi menangkap. Terkadang, saya juga adukan ke petugas (Bapak Asi, 40 tahun, warga Kampung Kali Adem).
Penuturan Bapak Asi tersebut juga diperkuat dengan penuturan Bapak Was (42 tahun) selaku polisi hutan yang bertugan untuk mengamankan dan menjaga kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA). Bulan ini (Desember2010) saja sudah ada yang menangkap burung di SMMA. Tetapi pelakunya bukan warga Muara Angke, melainkan warga Kamal Muara. Kebanyakan warga di sini tidak ada yang berani macammacam tangkap dan melukai satwa karena selain sudah tahu peraturannya juga ada kepercayaan yang diyakini kalau menangkap satwa pasti nanti akan terjadi sesuatu hal seperti kesurupan. Ketika ada orang yang menyusup ke hutan, saya sering mendapat laporan dari warga sini (Bapak Was, 42 tahun, polisi hutan Suaka Marga Satwa Muara Angke ).
Warga yang secara suka rela mendukung dan mengajak warga lainnya untuk mematuhi peraturan pemerintah (SMMA) adalah mereka yang memang menyadari pentingnya keberadaan hutan mangrove untuk mendukung kehidupan nelayan. Seperti kasus yang terjadi pada Bapak Nim (55 tahun). Tahun 1970-an, Kelurahan Pluit ini masih banyak sekali hutannya. Rumah masih sepi. Kalau banyak hutan seperti dulu itu rasanya hidup itu indah. Ini serius lho ya. Jangan sampai habis hutan ini. Tidak hanya masyarakat miskin yang sengsara, tetapi kita semua nanti yang sengsara. Saya orang Angke asli juga suka bilang ke tetangga atau teman-teman, bahwa saya paling tigak setuju kalau hutan ini habis, yang ada sekarang ini ya harus dijaga jangan sampai jadi rumah lagi (Bapak Nim, 55 tahun, warga Perumahan Nelayan Muara Angke).
Berdasarkan uraian di atas, maka secara singkat bentuk dukungan dan interaksi positif antara masyarakat Muara Angke dengan pemerintah pengelola hutan mangrove yaitu dengan mematuhi peraturan (tidak sembarangan masuk kawasan hutan dan mengambil hasil hutan serta satwa yang dilindungi) dan membantu tugas polisi hutan dalam menjaga dan memantau kondisi sekitar hutan dari penyusupan pihak lain. Sedangkan masyarakat yang tidak mendukung disebabkan karena merasa petugas SMMA tidak pernah menjalin kedekatan dengan mereka.
53
b) Kemitraan antara warga pesisir Muara Angke dengan para pelaku bisnis dan industri (swasta). Pembangunan dan laju pertumbuhan ekonomi dan bisnis berkembang pesat khususnya di pantai utara Jakarta, mengingat kawasan ini merupakan kawasan niaga sejak masa kolonial Belanda. Ekosistem hutan mangrove di Muara Angke semakin lama juga semakin terdesak seiring pesatnya industrialisasi di bidang bisnis property dan pariwisata. Pembukaan lahan oleh pihak swasta (sebagai contoh: pengembang perumahan elit PIK) pun tidak dapat terhindarkan dan sudah dilakukan sejak tahun 1970-an, 1980an, bahkan berlanjut hingga kini. Berikut adalah gambaran bagaimana kawasan hutan mangrove yang diapit oleh keberadaan pemukiman warga dan kawasan industri.
Hutan Mangrove Muara Angke Kawasan Swasta (Perumahan elit, Industri, dan Pariwisata)
Gambar 5. Kawasan Hutan Mangrove Muara Angke di Tengah Pembangunan Perumahan dan Pusat Industri Tahun 2009 Sumber: Pencitraan Satelit oleh Google Earth (2009) Gambar 5. dapat menampilkan sebuah fenomena keberadaan hutan mangrove terdapat di tengah-tengah kawasan pembangunan industri (komplek pertokoan/ruko, kantor, usaha periwisata dan tempat hiburan) dan hunian elit. Padahal sebelum berdirinya kawasan industri dan hunian elit, kawasan tersebut merupakan kawasan hutan mangrove yang lebat dan rawa yang menunjang daya dukung lingkungan di area pesisir Jakarta. Keberadaan kawasan industri yang mengapit hutan mangrove secara langsung atau tidak langsung dapat menggambarkan interaksi sosial antara pihak swasta selaku pemilik modal dengan masyarakat pesisir Muara Angke. Terdapat pro dan kontra mengenai kegiatan pembanguan yang dilakukan oleh pihak swasta di kalangan masyarakat pesisir Muara Angke yang dapat dilihat pada Gambar 6.
54
90%
100% 80% 60% 40% 20%
0%
0%
Sangat setuju
8% Setuju
0%
2%
Tidak tahu/netral
Tidak setuju
Sangat tidak setuju
Gambar 6. Respon Masyarakat Pesisir Muara Angke terhadap Pembangunan Kawasan Elit dan Industri oleh Pihak Swasta Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Data yang diambil dari 50 orang responden menyatakan bahwa hanya delapan persen (4 orang) responden yang setuju pada kegiatan pembangunan oleh swasta di Muara Angke. Jumlah ini merupakan pertanda sebagian besar responden menyatakan bahwa diri mereka kontra terhadap kegiatan pembangunan di Muara Angke oleh pihak swasta. Responden yang menyatakan setuju adalah wakil dari masyarakat berprofesi bukan sebagai nelayan melainkan sebagai tukang ojek, satpam (security hunian elit) dan pedagang yang memang memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) dengan adanya pembangunan sektor hunian dan industri. Pendapatan mereka tergantung pada keberadaan pihak swasta, dan pihak swasta sebagai penggerak industri (sektor formal) memang juga tergantung pada jenis pekerjaan sektor informal di sekitarnya. Para tukang ojek dan pedagang yang pada umumnya mendapat pelanggan dari penduduk perumahan elit merasa keberadaan kawasan ini justru membantu menaikkan taraf ekonominya. Interaksi yang berlangsung hanya sebatas motif kebutuhan ekonomi masing-masing pihak yaitu masyarakat Muara Angke dengan pihak pengembang hunian elit (swasta). Sedangkan untuk kelompok responden yang tidak setuju bahkan sangat tidak setuju terhadap pembangunan kawasan komersil dan hunian elit disekitar hutan mangrove adalah perwakilan dari masyarakat yang haknya terpinggirkan akibat pembangunan tersebut. Pembangunan dan pertumbuhan industri yang pesat dan cenderung berorientasi profit membuat kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan
55
menjadi terabaikan. Masyarakat merasakan lebih banyak kerugian dari pada keuntungan atas keberadaan kawasan komersil tersebut, seperti sering terjadinya banjir kiriman maupun banjir rob yang harus dialami warga. Selain masalah bencana banjir, masalah sosial pun kerap muncul seiring dengan pesatnya pertumbuhan kawasan komersil yaitu pemingggiran lapangan pekerjaan (khususnya nelayan), ketidakharmonisan hubungan warga akibat kesenjangan sosial-ekonomi yang sangat timpang, serta keterdesakan lahan pemukiman masyarakat nelayan akibat penggusuran untuk pembangunan kawasan komersil. c) Kemitraan antara sesama masyarakat pesisir Muara Angke. Hubungan ini sangat tampak pada kelembagaan informal masyarakat seperti pola hubungan patron-klien antara pelaku industri rumahan di bidang pengolahan ikan dengan para nelayan Muara Angke. Pelaku industri pengolahan ikan bertindak sebagai patron yang mengumpulkan hasil tangkapan nelayan untuk dijadikan bahan baku utama industrinya. Nelayan yang melakukan transaksi perniagaan dengan pelaku industri pengulahan ikan adalah nelayan tradisional Kali Adem. Keterbatasan jumlah tangkapan membuat meraka tidak memasok di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke. Hubungan ini lebih bersifat simbiosis mutualisme antara pelaku industri dengan nelayan.
5.2.1.3 Gerakan Penghijauan Tingginya laju pertumbuhan penduduk dan perkembangan industri di pantai utara Jakarta menyebabkan reklamasi semakin marak, sehingga luas hutan mangrove pun semakin lama semakin menyempit. Hal ini membuat pemerintah (Kementrian Kehutanan dibantu oleh Pemprov DKI Jakarta) mengambil langkah untuk melakukan gerakan penghijauan dengan menggerakkan masyarakat setempat untuk terlibat. Pemerintah juga beberapa kali melakukan sosialisasi pentingnya penanaman mangrove kepada masyarakat agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem hutan mangrove bagi lingkungan dan menumbuhkan minat untuk melakukan penanaman mangrove. Upaya tersebut dapat digolongkan pada bentuk interaksi asosiatif yang berkaitan dengan pengelolaan hutan mangrove karena mengandung unsur kebersamaan dan kerjasama yang mengarah pada perubahan positif pada lingkungan dan sosial
56
kemasyarakatan. Keterlibatan masyarakat dalam program penghijauan dapat dilihat pada Gambar 7. 72%
80% 60% 40%
18%
20% 0%
0%
0%
A
B
C
D
10%
E
Gambar 7. Persentase Masyarakat Muara Angke yang Ikut Terlibat dalam Kegiatan Penghijauan Tahun 2010. Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Keterangan: A = mengabaikan dan menggagalkan penghijauan, B = melakukan pengijauan karena insentif/imbalan, C = memiliki kesadaran penghijauan namun tidak melakukan, D = memiliki kesadaran dan mau melakukan penghijauan, E = mempelopori atau ikut menggerakkan dan melakukan gerakan penghijauan,
Berdasarkan data pada Gambar 7, dapat dilihat bahwa memang masih banyak responden (dari total responden = 50 orang) yang belum pernah terlibat dalam kegiatan penghijauan hutan mangrove namun telah memiliki kesadaran pentingnya penghijauan yaitu sebanyak 72 persen (36 orang). Jumlah tersebut mewakili masyarakat yang memang telah sadar serta merasa memiliki ikatan erat dengan hutan mangrove sebagai penyangga keseimbangan lingkungan hidup dan biota laut. Namun, karena faktor kesibukan mereka tidak melakukan penghijauan. Lain halnya dengan responden yang ikut melakukan penghijauan, jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan responden yang tidak melakukan penghijauan yaitu sebanyak 18 persen (9 orang). Sedangkan responden yang mempelopori sekaligus ikut melakukan penghijauan jumlahnya 10 persen (5 orang) saja. Dari keterangan di atas, tampak bahwa ada hubungan yang bersifat kerjasama, saling terkait dan membutuhkan antara pemerintah dengan masyarakat, meskipun jumlah reponden yang telah ikut serta melakukan penghijauan lebih sedikit dari yang tidak melakukannya. Gerakan penghijauan juga kerap dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan pelajar dari dan di luar wilayah DKI Jakarta. Hal ini menggambarkan adanya hubungan asosiatif antara pemerintah dengan institusi pendidikan sebagai bagian dari masyarakat yang lebih umum.
57
5.2.2 Interaksi Berdasarkan Etika Ekosentrisme antara Manusia dengan Alam Kehidupan ekosistem sekitar hutan mangrove dan pesisir memang sudah menjadi suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan masyarakat Muara Angke. Eksistensi hutan mangrove memiliki peran yang begitu penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya sebagai kawasan ruang hijau terbuka (RTH) berupa hutan yang hanya satu-satunya terdapat di Jakarta. Banyak keuntungan yang dirasakan masyarakat dengan adanya hutan mangrove yaitu sebagai penyuplai oksigen, tempat pemijahan biota laut, pencegah erosi/abrasi pantai, tempat tinggal (habitat) beberapa satwa, pencegah banjir, dan sebagainya. Masyarakat Muara Angke rupanya mempunyai cara untuk menjaga eksistensi dan kelestarian hutan mangrove yang sejak lama terjalin hubungan timbal balik antar keduanya. Peranan hutan mangrove sangat dirasa penting khususnya bagi nelayan. Kali Angke sebagai satu kesatuan ekosistem hutan mangrove merupakan kawasan strategis lalu lintas kapal untuk merapat. Selain itu, hutan mangrove menjadi tempat berpijahnya ikan dan biota laut lainnya yang tentu sangat menguntungkan nelayan. Jika tidak ada hutan mangrove, maka nelayan akan kehilangan tempat merapat yang aman dari ancaman badai dan gelombang laut, serta kehilangan tempat untuk mencari tangkapan ataupun umpan. Oleh karena itu, terdapat beberapa bentuk interaksi yang menghubungkan manusia dengan alam (ekosistem hutan mangrove) yaitu dengan upaya perlindungan satwa liar, pemanenan hasil hutan yang terkontrol, dan upaya penjagaan keanekaragaman hayati kawasan pesisir dengan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan.
5.2.2.1 Pelestarian Satwa Liar Seperti upaya masyarakat dalam berinteraksi dan memperlakukan satwa serta vegetasi yang terdapat di dalam hutang mangrove. Bentuk interaksi asosiatif antara masyarakat Muara Angke dengan satwa liar yang selama ini banyak diburu oleh manusia menunjukkan jumlah masyarakat yang tidak menangkap satwa bahkan ikut serta melindunginya melalui cara tradisional yang telah ada sejak lama. Adapun jenis satwa hutan Muara Angke yang kerap menjadi buruan
58
manusia antara lain biawak (Varanus salvator), ular, burung kutilang (Pycnonotus aurigaster) serta berbagai jenis burung lainnya, monyet, dan sebagainya. 80% 60%
60%
34%
40% 20% 0%
0%
0%
A
B
6% C
D
E
Gambar 8. Persentase Interaksi Masyarakat Pesisir Muara Angke dalam Upaya Melindungi Satwa Liar di Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Keterangan: A = Menangkap dan membunuh satwa untuk dijual, B = Menangkap satwa untuk jadi hewan peliharaan C = Tidak acuh terhadap keberadaan satwa liar di hutan mangrove D = Tidak berani menangkap satwa liar E = Ikut mengkonservasi satwa liar dengan menggunakan kearifan lokal.
Hubungan dan perilaku masyarakat dalam memperlakukan satwa tampak pada Gambar 8. Berdasarkan pengelompokan jenis interaksinya yang diperoleh dari 50 orang responden. Terdapat 6 persen responden (3 orang) yang tidak acuh terhadap keberadaan satwa liar di hutan mangrove Muara Angke. Sikap tidak peduli akan keberadaan satwa liar di hutan mangrove disebabkan oleh pengetahuan dan kesadaran yang minim tentang peleatarian lingkungan. Tidak ada reponden atau nol persen yang menangkap bahkan membunuh satwa untuk dijadikan komoditas kegiatan jual-beli maupun untuk dijadikan hewan peliharaan. Sebaliknya, terdapat 34 persen responden (17 orang) yang tidak menangkap satwa liar yang berhabitat di hutan mangrove karena mereka tidak berani dan sudah paham dengan peraturan pihak pengelola SMMA tentang larangan menagkap satwa. Masyarakat Muara Angke tidak hanya menaati peraturan pemerintah (SMMA), namun juga melakukan upaya konservasi yang telah diketahui dan dijalankan secara tradisi turun-temurun. Kelompok masyarakat diwakili oleh responden berjumlah 60 persen (30 orang) yang menggunakan tradisi kepercayaan (mitos) yang mereka yakini terkait dengan sejarah dan satwa liar yang terdapat di hutan mangrove Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA).
59
Masyarakat pesisir Muara Angke meyakini bahwa satwa yang mendiami hutan mangrove memiliki kekuatan-kekuatan gaib sebagai representasi atau penjelmaan dari penunggu gaib hutan mangrove. Masyarakat yang mengganggu, menangkap, bahkan membunuh satwa liar nanti akan mendapatkan kesialan berupa kerasukan, dilanda penyakit dan sebagainya. Hal ini didasarkan pada penuturan responden: Kalau penduduk sini tidak ada yang berani mengganggu binatang di hutan. Mereka takut, dik. Jadi, hewan seperti buaya, ular, monyet yang ada di hutan ini itu bukan binatang biasa. Istilahnya ya hewan itu dianggap siluman, dik. Jadi kalo binatang itu manpir ke tempat kami, ya kami tidakak berani menangkap apalagi membunuh. Kami biarkan saja sampai binatang itu pergi sendiri. Orang sini percaya kalau kita jahat sama binatang di hutan, pasti nanti ada yang kesurupan lah, jatuh lah, banyak pokoknya. Sekarang kan sudah jaman modern, ya masih banyak orang yang tidak mau percaya hal seperti itu, tetapi buktinya mereka itu yang masih nekat mengganggu hewan di hutan sini, malamnya ada yang kesurupan, adajuga yang sakit tapi tidak tahu penyakitnya apa padahal sudah ke dokter. Kejadian seperti itu sudah banyak (Bapak Mul, 48 tahun, warga Kampung Kali Adem). Wah, monyet di hutan seberang itu bukan sembarang monyet. Ada yang “menjaga” mereka di hutan. Tapi yang menjaga ya bukan manusia. Kami selaku orang sini percaya, seperti yang dikatakan orang sunda: ‘pamali’. Orang sini rata-rata sudah tahu, jadi tidak ada yang berani macam-macam kepada monyet-monyet itu (Bapak Iwa, 40 tahun, warga Kampung Kali Adem )
Penuturan warga tersebut mengimplikasikan bahwa terdapat suatu sistem kepercayaan dan nilai yang dibangun bersama secara turun-temurun oleh sistem sosial masyarakat pesisir dan hutan mangrove. Mitos yang melekat pada satwa liar hutan mangrove terbentuk dari tradisi dan cara pandang masyarakat terhadap alamnya. Mitos tentang satwa di hutan mangrove ini termasuk bagian dari kearifan lokal yang masih bertahan dari tradisi dan budaya masyarakat pesisir Muara Angke. Mitos juga membentuk pengalaman, memberikan arah, dan pedoman kepada manusia untuk bertindak bijaksana6. Masyarakat Muara Angke kini melestarikan dan tetap mempercayai mitos ini dalam rangka perlindungan satwa di hutan mangrove walaupun semakin lama semakin terkikis oleh arus modernisasi, kemajuan teknologi dan pembangunan yang pesat di Jakarta. Upaya 6
Minsarwati, Wisnu. 2002. Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi: Menguak Bahasa Mitos dan Kehidupan Masyarakat Jawa Pegunungan. Yogyakarta: Kreasi Kencana
60
semacam ini dapat digolongkaan bahwa masyarakaat Muara A Angke mem miliki n ekosistem m hutan manngrove. kearifan lookal dalam menjaga keeseimbangan 5.2.2.2 Peemanenan Hasil H Hutan n Huutan mangrrove juga dapat menyumbangkkan hasil hutannya untuk u kepentingaan hewan dan manuusia. Seiring dengan menyempittnya luas hutan h mangrove di Jakartaa, maka pola p peman nfaatan hasil hutan juuga harus lebih dikendalikkan agar tiidak terjadii kepunahaan sumberddaya hayati.. Interaksi yang berlandaskkan etika ekosentrism e me antara masyarakat m M Muara Anggke juga teerlihat dari bagaimana pola pemanfaata p an hasil hutaan yang selaama ini ternnyata masyaarakat tidak lagi mengambill manfaat daari vegetasi mangrove yang beraggam, seperti yang A E B 0% % 0% 0%
tapak padaa Gambar 9. 9 D 322%
C 68%
Gambar 9. Persentasse Jenis Pem manfaatan Hasil H Hutan Mangrove di SMMA oleh Maasyarakat Peesisir Muaraa Angke Taahun 2010 Sumbber: Hasil Pengolahan Data D Kuantiitatif (2010)) Keterangan:: A = Menebaang habis kaw wasan hutan mangrove m B = Mengam mbil kayu bakkar, ranting, memanen m madu u, obat-obatann C = Tidak memanen m hasill hutan D = Tidak memanen m dan memelihara keanekaragam k man flora di huutan E = Menjagga kelestarian ekosistem huutan mangrov ve dengan meenggunakan zoonasi dan perraturan sesuai kearifan lokall.
Maasyarakat pesisir p Muaara Angke kini tidak memanfaattkan hasil hutan h dalam benntuk apapunn untuk meemenuhi keebutuhan hidupnya, teerlihat dari tidak adanya ressponden yaang mengam mbil hasil hu utan dalam bentuk kayyu, ranting, kayu, buah, dauun, bunga dan bagiann tumbuhan n lain sertta madu m mengingat fungsi f mangrove sebagai penyedia p b bahan pang gan, papann dan kebbutuhan lainnya. Fenomenaa tersebut terjadi seirring perubaahan status hutan maangrove meenjadi
61
kawasan lindung (Suaka Margasatwa) yang ditetapkan pemerintah sejak tahun 1998. Namun sebaliknya, dari 50 responden terdapat 32 persen (16 orang) responden yang tidak mengambil manfaat dari hasil hutan mangrove dan sebesar 68 persen (34 orang) yang juga tidak mengambil manfaat serta turut melestarikannya dengan menggunakan dan menyebarkan mitos-mitos terkait hutan mangrove. Hutan mangrove di Muara Angke pada mulanya memang sempat digunakan masyarakat untuk menjadi tempat penyedia kebutuhan pangannya, seperti buah nipah yang dulu kerap diolah menjadi masakan oleh warga. Namun, karena sekarang pola konsumsi masyarakat sudah berubah dan tidak lagi tergantung pada hasil hutan serta modernisasi dan kemudahan untuk memperoleh bahan pangan lainnya di pasaran. 5.2.2.3 Penggunaan Alat Tangkap Ikan yang Ramah Lingkungan Sebagian besar masyarakat pesisir Muara Angke, khususnya di Kampung Kali Adem merupakan nelayan tradisional yang ditandai dengan kepemilikan kapal dan alat tangkap yang sangat sederhana. Jarak yang mereka tempuh saat melaut pun tidak jauh seperti nelayan modern yang berkeliling ke hampir seluruh wilayah nusantara. Mereka melaut hanya di sebatas perairan Teluk Jakarta dan pada umumnya masih bergantung pada ekosistem hutan mangrove untuk mencari umpan. Dalam penggunaan alat tangkap pun responden yang berprofesi sebagai nelayan tradisional Muara Angke (39 orang) hanya menggunakan alat tangkap jaring dan kail saat melaut dan mengambil kerang di muara sungai yang berdekatan dengan kawasan hutan mangrove. Nelayan tidak menggunakan alat yang berbahaya seperti bom air, racun potassium dan alat lainnya karena mereka sadar hal itu hanya akan membawa keuntungan sesaat dan dapat merugikan nelayan lainnya dengan mencemari perairan dan mematikan biota laut. 5.2.3 Interaksi Sosial-Ekologi Bersifat Disosiatif antar Aktor Manusia Muara Angke sebagai salah satu kawasan pesisir di Jakarta yang mengalami perkembangan yang pesat di sektor pembangunan baik dalam bentuk perumahan, industri, perkantoran dan pariwisata yang didirikan pada lahan yang dulunya merupakan rawa dan hutan mangrove. Letak Muara Angke yang strategis dan dekat dengan pusat pemerintahan kelurahan Pluit dan ditunjang dengan
62
kedekatannya dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta membuat para investor tertarik untuk mengembangkan usaha di sana. Pemerintah selaku pemangku kekuasaan tentu mengatur pergerakan para investor dengan adanya kebijakan dan peraturan.
Namun
dalam
pengaturannya,
pemerintah
belum
mampu
mengendalikan manuver pihak swasta sehingga menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan di Kelurahan Pluit dan khususnya kawasan hutan mangrove Muara Angke. Interaksi semacam ini menimbulkan korban yaitu masyarakat umum yang secara langsung atau tidak langsung dirugikan baik dari segi sosial maupun ekologis. Manusia dan alam sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sering kali terjadi pola dan arus hubungan yang tidak seimbang sehingga salah satu pihak mengalami kerugian dan pihak lain diuntungkan. Interaksi yang tidak seimbang inilah yang terjadi pada kasus Masyarakat Muara Angke dengan beberapa pihak (stakeholder) seperti sesama manusia yaitu antar masyarakat, pemerintah dan swasta serta dengan alam itu sendiri. Interaksi secara sosial yang tidak seimbang antara pihak-pihak ini menimbulkan marginalisasi, ancaman dari masing-masing pihak kepada pihak yang lain, konflik dengan derajat kedalaman tertentu pada setiap aktor yang terlibat sehingga dapat bermuara pada terjadinya aksi demonstrasi dan bentrokan. 5.2.3.1 Marginalisasi Masyarakat pesisir Muara Angke yang didominasi oleh kehidupan nelayan yang hubungan kekerabatannya tinggi dan bersifat patron-klien yang secara normatif menjadi modal sosial dalam membangun sebuah sistem sosial pesisir. Pembangunan pantai utara Jakarta yang semakin lama mengarah pada pembangunan ekonomi dan industri, membuat rakyat kecil yang diwakili oleh warga Kampung Kali Adem jadi pihak yang terabaikan dari sisi ekonomi dan sosial. Kebijakan pemerintah juga turut andil dalam proses peminggiran hak masyarakat pesisir Muara Angke dengan dibukanya Hutan Angke-Kapuk menjadi kawasan perumahan elit. Sebagian kawasan hutan Angke-Kapuk (HAK) mulai dilepaskan oleh pemerintah dimulai sejak tahun 1988. Keputusan Menteri Kehutanan dengan SK
63
No. 097/KPTS-II/98 telah melepaskan kawasan hutan mangrove Angke-Kapus seluas 831.63 ha dalam rangka pembangunan kawasan komersial PIK. Setelah pembangunan kawasan komersil PIK berlangsung selama beberapa tahun, masyarakat kawasan Kelurahan Kapuk dan Muara Angke mulai merasakan dampak buruknya. Lingkungan menjadi sering tergenang air akibat intrusi air laut ke daratan. Dampak buruk ini mengakibatkan masyarakat menanggung kerugian sosial dan ekonomi. Hak masyarakat Muara Angke untuk hidup di kawasan yang aman dari musibah banjir juga terabaikan akibat pembangunan PIK. Puncaknya terjadi pada tahun 2003 dan 2005 ketika sebagian besar wilayah Jakarta dilanda banjir. Peristiwa ini membuat kemarahan serta kekecewaan warga di wilayah kelurahan Kapuk dan Kelurahan Pluit menjadi suatu keniscayaan.
Masalah lain yang
muncul yaitu peminggiran hak Masyarakat Muara Angke di sektor ekonomi terkait dengan akses dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove. Keterdesakan ekonomi membuat sebagian masyarakat nelayan Muara Angke (khususnya nelayan tradisional Kampung Kali Adem) terkadang harus memulung sampah di bantaran Kali Angke dan di dalam kawasan komersial dan hunian PIK. Mereka sering mengalami pengusiran oleh penghuni dan pengelola kawasan hunian PIK karena dianggap mengganggu kenyamanan dan keindahan kawasan sebagaimana yang diutarakan responden: Dulu anak-anak kami masih bisa main-main ke sana (kawasan hunian elit), sambil memulung sampah untuk membantu orang tua. Tetapi sekarang sudah tidak boleh lagi. Lihat saja, pagar pembatas kompleknya sudah lebih dibuat tinggi, jadi kami tidak bisa masuk ke sana lagi. Kata mereka (penghuni hunian elit), anak-anak kami itu suka mencuri di situ. Kami jadi jengkel jika dibilang begitu. Kami tidak terima jadinya kami ada sedikit cek-cok dengan mereka (Bapak Kar, 27 tahun, warga Kampung Kali Adem)
Polemik lain pun bermunculan seperti penangkapan nelayan oleh pihak keamanan kawasan komersil dan hunian PIK. Penangkapan ini dilakukan karena nelayan dianggap memasuki kawasan hutan mangrove yang diklaim milik PIK pada saat kapal merapat di tepi batas hutan, tanpa melalui proses sosialisasi yang memadai. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pihak swasta yang diwakili oleh PIK mempunyai kewenangan dan kuasa yang lebih atas akses dan kontrol
64
terhadap sumberdaya hutan mangrove. Marginalisasi tampak pada peminggiran nelayan tradisional dari sisi menyempitnya area tangkap. Dengan begitu, nelayan harus menempuh jarak lebih jauh untuk memperoleh tangkapan dan umpan sebagaimana keterangan responden: Orang komplek kaya sempat buat rugi karena kelompok nelayan saya sempat ditangkap oleh pihak swasta pengelola perumaham elit yang akan dibangun di kawasan lahan mangrove yang sudah direklamasi. Tidak ada sosialisasi sebelumnya kalau ada pembangunan di situ, ada peraturan, jadi nelayan tidak tahu. Swasta selalu mencurigai nelayan. Nelayan terpaksa mencari tangkapan ikan di tempat lain yang jaraknya jauh dan menyebabkan hasil tangkapan menurun, bahkan hanya mendapat uji umpan berupa lintah dan yuyu merah saja. (Bapak Suk, 42 tahun, warga Perumahan Nelayan Muara Angke)
Tindakan marginalisasi oleh pihak swasta yang membatasi wilayah melaut terasa sangat merugikan bagi nelayan, mengingat tingginya biaya operasional (terlebih untuk biaya bahan bakar solar dan biaya makan) yang dibutuhkan untuk menempuh jarak jauh dalam mencari tangkapan. Keadaan ekonomi nelayan pun menjadi makin terpuruk, terlebih dengan ditambah berkurangnya kelimpahan biota laut akibat polusi dan perusakan habitat, membuat hasil tangkapan ikan semakin berkurang.
5.2.3.2 Ancaman Kerasnya kehidupan di pesisir utara Jakarta membuat maraknya tindak premanisme yang tumbuh pada struktur sosial kemsyarakatan. Pelabuhan dan pasar pelelangan ikan Muara Angke menjadi tempat para preman berkuasa. Keberadaan preman membawa dampak positif dan negatif bagi para nelayan dan warga pada umumnya. Preman dianggap dapat menjaga kawasan pasar dan pelabuhan menjadi kondusif untuk aktivitas perniagaan. Namun, terkadang para nelayan juga sering mendapat ancaman dari preman, jika nelayan hendak melapor pada polisi hutan ketika para preman secara sengaja masuk di kawasan hutan konservasi. Warga juga kerap merasa takut karena beberapa anggota preman terlibat dalam tindakan kejahatan seperti, mencopet, memeras pedagang di pasar ikan Muara Angke, dan sebagainya.
65
5.2.3.3 Konflik Konflik yang terjadi di kawasan pesisir Muara Angke dpat dibedakan berdasarkan aktor yang terlibat yaitu sebagai berikut: a) Konflik antara masyarakat Muara Angke dengan pihak swasta yang diwakili oleh pengembang kawasan komersi dan hunian PIK. Kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh swasta menyebabkan timbulnya perlawanan oleh masyarakat. Tindakan marginalisasi oleh pihak swasta (PIK) terhadap masyarakat pesisir Muara Angke bermuara pada munculnya konflik. Tumpang tindih wewenang dan kepentingan antara kedua belah pihak membuat konflik semakin berkskalasi.
Menentang,aksi dan gerakan sosial
46%
Menentang, tidak ada aksi nyata
46%
Tidak ada reaksi apapun
0%
Mendukung, tidak melibatkan diri Mendukung, ikut terlibat dan membantu pihak swasta
8% 0% 0%
10%
20%
30%
40%
50%
Gambar 10. Persentase Masyarakat Pesisir Muara Angke Berdasarkan pada Sikap terhadap Keberadaan Kawasan Komersil dan Hunian PIK Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Masyarakat yang melakukan pertentangan dengan swasta, seperti yang tertera pada Gambar 10 dilihat dari sikapnya terhadap keberadaan kawasan komersial dan hunian PIK. Berdasarkan data 50 responden terdapat 46 persen (23 orang) yang menentang keberadaan swasta namun hanya berdiam diri dan juga terdapat warga yang menentang swasta serta melakukan aksi/gerakan nyata dengan jumlah perentase yang sama yaitu 46 persen. Aksi atau gerakan nyata yang dilakukan berupa protes, demonstrasi, bahkan upaya dialog dengan pemerintahan dan wakil rakyat (DPRD DKI Jakarta). Upaya-upaya tersebut mereka lakukan untuk menyuarakan kepentingan mereka sebagai pihak yang terpinggirkan hak-hak sosial-ekonominya akibat pembangunan kawasan komersil dan hunian elit PIK. Sedangkan hanya terdapat 8 persen (4 orang) yang
66
mendukung kegiatan swasta karena motif ekonomi seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya yaitu hubungan asosiatif masyarakat dengan PIK terkait kemitraan yang menyediakan lapang kerja bagi masyarakat Muara Angke. Letak perumahan elit PIK, apartemen dan deretan pertokoan (ruko) yang berbatasan langsung dengan hutan mangrove dan pemukiman nelayan menyebabkan persinggungan kepentingan. Bentuk konflik masyarakat Muara Angke dengan pihak swasta juga dapat dilihat pada Gambar 11 dengan interpretasi terdapat 16 persen (7 orang) dari 46 responden yang tidak menyetujui kegiatan swasta (merujuk pada gambar 6). Mereka adalah yang warga pernah terlibat peristiwa kekerasan dengan pihak swasta terkait upaya penggusuran pemukiman nelayan yang berada di bantaran sungai oleh swasta yang difasilitasi pemerintah Kelurahan Pluit (akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian bentuk interaksi disosiatif: Bentrokan). Beberapa bentuk interaksi disosiatif yang terdapat pada beberapa aktor dapat dilihat pada Gambar 11 yang interpretasi masing-masing bagiannya akan dijelaskan pada sub bab berikutnya. 100%
88%
88%
80% 60% 40% 20% 0%
12% 0% 0% 0%
12% 0% 0% 0%
Masyarakat Masyarakat
Masyarakat Pemerintah
30%30% 24% 16% 0% Masyarakat - Swasta
perang (saling bunuh)
kekerasan (anarchism)
adu pendapat
desas-desus (gossip)
saling ancam
Gambar 11. Bentuk dan Kedalaman Konflik dari Beberapa Pihak Terkait dengan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Mangrove Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Kemudian, responden yang mengalami keadaan saling megancam dengan pihak swasta pada Gambar 11 yaitu sebesar 24 persen (11 orang) sebelum bentrok dengan swasta terjadi pada tahun 1990-an. Ancaman yang didapat warga adalah berupa surat peringatan untuk segera pergi dari kawasan yang akan disterilkan dari pemukiman kumuh. Namun warga masih bersikukuh untuk tidak
67
pindah dari tempat tinggalnya sehingga muncul ketegangan dari kedua pihak. Sedangkan responden yang terlibat dalam adu pendapat dengan swasta adalah sebesar 30 persen (14 orang) dengan jenis saling tidak terima dengan perilaku masing-masing pihak. Keterdesakan ekonomi membuat masyarakat nelayan (khususnya nelayan kecil) terkadang harus memulung sampah di kawasan elit dan mereka sering diusir oleh penghuni dan pengelola komplek real estate karena dianggap mengganggu kenyamanan seperti yang diutarakan oleh Bapak Kar (27 tahun) dan Bapak Suk (42 tahun). Interaksi yang berat sebelah antara penghuni perumahan elit dengan masyarakat seperti penuturan Bapak Kar (27 tahun) dan Bapak Suk (42 tahun) di atas selain menimbulkan adu pendapat antara masyarakat dengan swasta, juga dapat menjadi isu yang kerap diperbincangkan oleh masyarakat atau menjadi desas-desus yang berkembang. Selain itu, penangkapan nelayan juga secara otomatis membuat hubungan yang semakin memburuk dengan pihak swasta (PIK). Konflik kewenangan ini menunjukkan bahwa swasta memiliki kuasa yang lebih besar atas sumberdaya hutan mangrove dari pada masyarakat sekitarnya. Responden yang masuk dalam kelompok ini berdasarkan Gambar 11 adalah sebesar 30 persen (14 orang) menjadikan persoalannya dengan swasta menjadi sebuah isu yang berlandaskan pada prasangka dan perasaan dongkol yang tidak berani mereka ungkapkan secara langsung kepada pihak lain. Ada konflik dengan swasta tentang tanah, mbak. Tetapi sebagian warga tidak bisa berbuat apa-apa. Lama-lama lahan di sini dicaplok oleh swasta. Tidak tahu ya, bagaimana kerjanya pemerintah kok bisa seperti itu. Hal itu membuat cemburu pada kami. Kami sebagai warga asli di sini tetapi orang Cina yang malah punya tanah luas-luas di sini, ditambah lagi mereka memakai cara mengurug hutan bakau. Teman-teman saya yang tinggal di bantaran kali kan otomatis bisa diusir. Tetapi saya tidak berani bicara langsung pada pihak pembangun (Bapak Sar, 55 tahun, warga Perumahan Nelayan Muara Angke).
Kasus yang dialami oleh Bapak Sar (55 tahun) di atas menggambarkan sebuah
prasangka
kepada
pihak
pengembang
swasta
yang
melakukan
pembangunan tanpa memperhatikan dampak negatif yang dirasakan masyarakat. Selain itu, ketimpangan seperti ini keberpihakan pemerintah yang cenderung kepada swasta tentu meyebabkan kecemburuan masyarakat. Swasta tidak akan
68
dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa didukung kebijakan dan perizinan dari pemerintah. Konflik antara masyarakat dengan swasta dapat disimpulkan sudah ada dalam tahap konflik terbuka yang saling melakukan intervensi dan perlawanan nyata satu sama lain, namun belum sampai pada taraf terjadi tragedi pembunuhan. Konflik dalam konteks masyarakat pesisir Muara Angke ini juga tergolong konflik pemanfaatan ruang dan konflik kewenangan pada sektor kehutanan mangrove yang banyak dimanfaatkan untuk kawasan perumahan elit, sehingga membuat posisi masyarakat semakin terdesak. b) Konflik antar masyarakat nelayan Muara Angke dengan nelayan pendatang. Interaksi masyarakat terkait dengan pemanfaatan hutan mangrove dan sumberdaya pesisir yang bersifat disosiatif atau merugikan pihak lain tidak terlalu tampak pada masyarakat Muara Angke satu sama lain. Bentuk interaksi disosiatif antara sesama masyarakat Muara Angke adalah konflik yang derajat kedalamannya rendah. Sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 11 bahwa bentuk konflik yang terjadi antara masyarakat (50 responden) adalah adu pendapat dan timbulnya desas-desus (gossip). Masyarakat yang mengaku pernah terlibat dalam peristiwa adu pendapat dengan pihak lain terkait dengan pemanfaatan hutan mangrove adalah sejumlah 12 persen (6 orang). Mereka terlibat adu pendapat ketika sedang mencoba menegur warga lain untuk tidak mengambil hasil hutan atau menangkap satwa, dan direspon dengan perlawanan dari warga yang diingatkan tersebut. Selain itu, permasalahan juga dilatarbelakangi persaingan penguasaan wilayah tangkap ikan antara nelayan lokal tradisional Muara Angke dengan nelayan pendatang. Kemudian, konflik yang berkembang dalam masyarakat Muara Angke juga dalam bentuk desas-desus (gossip) sebesar 88 persen (44 orang) yang berarti bahwa sebagian besar responden pernah memendam prasangka dengan warga luar Muara Angke yang mengganggu ekosistem hutan mangrove tanpa berani memberi peringatan dan mengusirnya. Tidak ada (nol persen) responden yang mengaku pernah terlibat dalam insiden saling mengancam, kekerasan, dan pembunuhan warga lain.
69
Prasangka yang timbul di kalangan masyarakat biasanya berkisar tentang konflik antarpribadi yang tidak ada hubungannya dengan interaksinya dengan hutan mangrove. Jenis interaksi disosiatif di kalangan manyarakat ini adalah bentuk/tipe konflik tertutup (latent) yang hanya dirasakan pergolakan dalam individu masnyarakat. c) Konflik antara masyarakat pesisir Muara Angke dengan pemerintah (Pengelola Suaka Marga Satwa Muara Angke) Hubungan sosial yang terjalin antara masyarakat pesisir Muara Angke dengan pemerintah dalam hal ini adalah SMMA dapat dilihat pada Gambar 11. mengenai derajat konflik yang pernah mereka alami. Responden yang diambil adalah sebesar 50 orang dengan responden yang mengalami adu pendapat dengan pemerintah terkait kebijakan konservasi hutan mangrove adalah sejumlah 12 persen (6 orang). Biasanya, masyarakat nelayan Muara Angke yang kapalnya merapat dan bersandar di tepi kawasan hutan dilarang oleh petugas polisi hutan SMMA karena diduga dapat merusak dan mengganggu ekosistem hutan. Peristiwa ini menimbulkan adu argumentasi antara kedua pihak yang mencoba memberi alasan dan pembenaran akan tindakannya. Adu pendapat tidak lagi terjadi seiring upaya pemerintah untuk memahami kondisi nelayan yang kini tidak mempunyai tempat merapat. Kemudian, terdapat 88 persen responden (44 orang) yang sebatas menyimpan prasangka dan mengungkapkannya dengan sesama warga lainnya terkait hubungannya dengan pemerintah pengelola SMMA. Selama ini, memang petugas SMMA kurang mengenal dan bersosialosasi dengan masyarakat pesisir Muara Angke sehingga menimbulkan prasangka bahwa petugas SMMA cenderung eksklusif dan menutup diri. Sebagaimana kasus yang dialami oleh Bapak Nap (34 tahun) yaitu sebagai berikut: Petugas sering keliling sisir kali Angke ini mungkin untuk memantau orang-orang yang akan masuk ke hutan. Saya yang tinggalnya di bantaran kali Angke ini kan dekat dengan hutan, dekat sekali. Bisa dibilang kami ini tetangga mereka. Tapi jarang ya saya liat petugas itu mampir ke sini, mau mendengarkan dan tehu akan kondisi kami. Paling cuma Pak Nam (orang dinas kehutanan, warga asli Muara Angke) yang kami kenal dengan baik, yang lainnya sepertinya cuek-cuek ya. (Bapak Nap, 34 tahun, warga Kampung Kali Adem)
70
Kondisi yang dirasakan masyarakat ini memang tidak pernah diketahui oleh petugas SMMA dan hanya sebagai desas-desus yang menjadi pembicaraan satu warga dengan warga yang lainnya. Bentuk konflik desas-desus ini menandakan bahwa konflik masyarakat dengan pemerintah pengelola SMMA berada pada tataran konflik laten (tersembunyi) dicirikan dengan adanya tekanantekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutub konflik, bahkan yang paling potensial sekalipun. Pengelolaan hutan mangrove dan sumberdaya pesisir di Muara Angke bersifat multi aktor dengan karakteristik dan interest berbeda-beda yang dibawa oleh masing-masing aktor. Interaksi sosial-ekologi terbangun pada setiap dimensi dan lingkup aktor yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu interaksi antara pemerintah, masyarakat nelayan Muara Angke dan swasta (PIK). Interaksi bersifat asosiatif terjalin antara pemerintah dengan pihak swasta terkait dukungan pemerintah dalam bentuk legalisasi kawasan PIK. Pemerintah dengan masyarakat nelayan tradisional Muara Angke juga membangun hubungan positif dalam bentuk kerjasama penjagaan kawasan hutan mangrove. Kemudian, nelayan Muara Angke menjalin hubungan patron-klien dengan pengusaha rumahan pengolahan hasil tangkapan. Konflik sebagai salah satu bentuk interaksi disosiatif juga digambarkan dengan membaginya menjadi dua jenis konflik yaitu konflik terbuka dan konflik tertutup. Konflik terbuka terjadi pada interaksi swasta (PIK) dengan nelayan tradisional Muara Angke dilatarbelakangi ketimpangan wewenang penguasaan sumberdaya pesisir dan pengerusakan lingkungan yang ditudingan kepada swasta sebagai akibat dari reklamasi pantai utara Jakarta. Konflik terbuka antara masyarakat dengan PLTU Muara Karang juga terjadi bermula dari isu pencemaran lingkungan dan penurunan hasil tangakapan nelayan. Sedangkan konflik antara masyarakat nelayan tradisional Muara Angke dengan nelayan pendatang bermula dari persoalan perbedaan alat tangkap, persaingan wilayah tangkap hingga isu perusakan lingkungan pesisir dan hutan mangrove yang kerap dilakukan nelayan pendatang. Berdasarkan penjelasan mengenai beberapa bentuk konflik di atas dapat digambarkan pemetaan jaring sosial antar aktor yang terlibat di dalamnya yaitu pada Gambar 12 berikut:
71
Warga PIK
legalisasi kawasan PIK Pengelola PIK
Pemerintah Daerah DKI Jakarta & Jakarta Utara
SWASTA • Ketimpangan wewenang penguasaan lahan pesisir • Pengerusakan lingkungan HUTAN MANGROVE
Desas-desus (prasangka)
PEMERINTAH
Kementrian Kehutanan RI : BKSDA DKI Jakarta
MASYARAKAT PESISIR
Penjagaan kawasan hutan mangrove
Pencemaran lingkungan
Nelayan Tradisional Muara Angke
Hubungan dagang (patronklien)
PLTU Muara Karang
• Beda alat tangkap • Persaingan wilayah tangkap • Perusakan lingkungan pesisir dan hutan mangrove Nelayan Pendatang
Pengusaha Pengolahan Hasil Perikanan
Keterangan: : konflik terbuka : konflik tertutup : kerjasama : keterkaitan ekologis : lingkup aktor
Gambar 12. Pemetaan Interaksi Sosial dan Konflik antar Aktor
72
5.2.3.4 Unjuk Rasa (Demonstrasi) Gerakan unjuk rasa yang kerap dilakukan oleh nelayan Muara Angke adalah upaya untuk menentang tindakan pembuangan limbah di muara sungai yang dilakukan oleh perusahaan pemerintah PLTU Muara Karang. Limbah industri berdampak langsung pada kualitas perairan yang menggenangi hutan mangrove, sehingga secara otomatis dapat merusak keanekaragaman hayati ekosistem pesisir. Nelayan merasa sangat dirugikan karena limbah dapat membuat hasil tangkapan mereka menjadi berkurang drastis akibat banyaknya biota laut yang mati. Tokoh masyarakat Muara Angke sudah menempuh jalur hukum dan sering mengadu ke pemerintah (Pemerintah Kota Jakarta Utara), tetapi kasus pencemaran ini belum mendapat tanggapan yang tegas dari pihak yang berwenang. Masalah pencemaran perairan sungai dan pesisir di Muara Angke dan pesisir utara Jakarta hingga kini masih belum menemui titik tengah penyelesaian. Masyarakat yang merasa dirugikan akibat pencemaran (seperti nelayan) masih sering melakukan upaya demonstrasi untuk memperjuangkan hak mereka. Pemerintah kurang dapat mengambil tindakan tegas karena kasus pencemaran ini melibatkan perusahaan pemerintah yaitu PLTU Muara Karang.
5.2.3.5 Bentrokan Bentokan merupakan puncak dari konflik yang berekskalasi antara masyarakat pesisir Muara Angke dengan pengembang kawasan komersil PIK. Peran pemerintah dalam mendukung pihak swasta (PIK) juga menjadi faktor penyebab kemarahan masyarakat. Konflik pemanfaatan lahan antara pengembang PIK dengan warga Kali Adem
muncul akibat tingginya laju pertumbuhan
kawasan kumuh yang mengelilingi daerah pemukiman mewah. Kawasan pemukiman kumuh (Kampung Kali Adem) sendiri terbentuk akibat status open access pada wilayah bantaran Kali Angke. Bentuk konflik masyarakat Muara Angke dengan pihak swasta yang mengarah pada terjadinya bentrokan juga dapat dilihat pada Gambar 11 dengan hasil terdapat 16 persen (7 orang) dari 46 responden yang tidak menyetujui kegiatan swasta. Mereka adalah yang warga pernah terlibat peristiwa kekerasan
73
dengan pihak swasta terkait upaya penggusuran pemukiman nelayan yang berada di bantaran sungai oleh swasta yang difasilitasi pemerintah Kelurahan Pluit dan Pemerintah daerah Kota Jakarta maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebagaimana yang telah dijelaskan Rudianto (2004), penyebab konflik pemanfaatan lahan di pesisir Muara Angke dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) batas dan status kepemilikan sumberdaya tidak jelas (Izin Mendirikan Bangunan, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai); (2) Terjadi “transfer of ownership”; (3) Eksklusivisme penggunaan lahan untuk industri, pemukiman, perdagangan dan jasa yang disebabkan adanya “power of money”; (4) Pemerintah daerah tidak konsisten menerapkan rencana tata ruang wilayah yang sudah menjadi produk Peraturan Daerah dan (5) Lemahnya penegakan hukum (law enforcement). Pemerintah memiliki sudut pandang kawasan pemukiman kumuh harus digusur karena menyalahi peruntukan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS). Upaya penggusuran inilah yang melahirkan perlawanan keras dan terjadilah bentrokan warga Muara Angke melawan Pemerintah. Hal ini berdasarkan pada keterangan dari responden: Tahun 1990-an kawasan Kampung Kali Adem sempat akan digusur oleh petugas kamtib. Warga sudah diperingatkan berkali-kali tapi kami di sini tetap bertahan saja bagaimana pun kondisinya. Kami kan sudah tinggal di sini (Kampung Kali Adem) terhitung sudah bukan setahun-dua tahun, tetapi sudah puluhan tahun. Orang-orang menggusur kami ya untuk membangun apartemen dan komplek perumahan orang kaya itu. Kami sudah tidak punya lahan dan apaapa lagi di kampung halaman. Jadi, kami tetap bertahan sampai pihak Pemkot benar-benar menggusur kami. Kami sempat melakukan perlawanan dengan banyak yang membawa golok, pentungan untuk bersiap melawan petugas trantib. Tetapi akhirnya pihak Pemkot tidak jadi mennggusur karena kami melawan. Alasan dari Pemerintah menggusur rumah kami katanya agar kota jadi rapi dan bagus, karena yang dilihat kan rumah-rumah elit bukan penduduk seperti kami ini (Bapak Asi, 40 tahun, warga Kampung Kali Adem)
5.2.4 Interaksi Sosial-Ekologi Berlandaskan Etika Antroposentrisme antara Manusia dengan Alam Masyarakat pesisir Muara Angke yang hidup di sekitar hutan mangrove yang dihubungkan dengan bentangan Sungai Angke juga memiliki perilaku yang unik dalam memperlakukan sungai yang mengairi hutan mangrove. Pengumpulan
74
data kuanntitatif yangg dilakukan pada 50 reesponden menunjukka m n interaksi yang disosiatif pada p sumbeerdaya alam mnya seperti pada Gambbar 13 berikkut.
0% 1 12%
26%
32% 30%
Membuangg semua jenis sampah di sungai s Angke Membuangg sampah anorganik di d sungai Angke Tidak mem mbuang sampah h di sungai Memungutii sampah Memungutii dan mendaurr ulang samppah di sungai
Gambbar 13. Perseentase Masyyarakat Pesiisir Muara Angke A yangg Membuan ng Saampah di Muuara Sungaii Angke Tahhun 2010 Sumbber: Hasil Pengolahan Data D Kuantiitatif (2010)) Reesponden yaang tidak membuang m sampah di sungai dann memungu utinya sebesar 133 persen (66 orang) yaang meman ng secara saadar memunnguti samp pah di sungai unntuk memperlancar daan tidak menghambat m kapal nelaayan yang akan melaut. Teerdapat 32 persen respponden (16 orang) yanng tidak meembuang sam mpah di sungai karena k di linngkungan mereka m mem mang terseddia sistem peengangkutan dan pengolahaan sampahh yang diisiapkan oleh o penguurus RW masing-maasing. Respondenn yang masuk m dalaam golongan ini meerupakan rresponden yang bermukim m di kompllek perumaahan nelayaan permaneen yang meemang mem miliki struktur dan d sistem pengelolaaan sampah yang jelaas, seperti tersedianyaa bak sampah dan d tempat penampunngan sampah sementaara di setiiap wilayah h RT sebelum sampah dianngkut oleh petugas p kebeersihan Pem mda Jakarta Utara. Sedangkan, teerdapat 30 persen p respo onden (15 orang) o mengaku memb buang sampah (jenis sampahh anorganikk) di sungaii secara senngaja. Kemuudian terdap pat 26 persen (133 orang) ressponden yanng membuaang segala jenis sampahh (limbah ru umah tangga, saampah orgaanik,dan annorganik) dii sungai. Perilaku P warrga yang sangat tidak ram mah lingkunngan ini diisebabkan oleh o keadaaan tempat tinggal mereka m (warga Kaali Adem) yang y tidak terdapat sisttem pengeloolaan sampaah seperti halnya h warga yanng bermukkim di peruumahan nellayan Muarra Angke. Kondisi teempat
75
tinggal yang kumuh dan berada di atas aliran sungai (rumah terapung) membuat mereka selalu membuang sampah di sungai, padahal mereka juga menggunakan air sungai tersebut untuk keperluan mandi, cuci, kakus (MCK). Selama ini, keluarga saya buang sampah di sungai ini. Ya, mau bagaimana lagi. Di Kampung Kali Adem kan tidak ada temapt sampah dan tidak ada yang mengumpulkan (mengatur) seperti yang ada di komplek perumahan bagus itu. Jadi, sampah mau dikumpulkan di mana? Kampung kami saja letaknya di atas kali begini. Tidak di atas tanah. Jadi, ya mau tidak mau sampah langsung dibuang di kali. (Bapak Asi, 40 tahun, warga Kampung Kali Adem)
Pernyataan Bapak Asi (40 tahun) mengenai kebiasaannya membuang sampah di Sungai Angke mewakili alasan masyarakat yang sampai saat ini masih membuang sampah di Sungai Angke.
Aktivitas semacam ini tentu dapat
mecemari Sungai Angke yang juga airnya mengaliri hutan mangrove di SMMA, sehingga mempengaruhi kondisi kebersihan hutan mangrove yang tampak dari banyaknya sampah yang menyangkut dan masuk di kawasan hutan. Mereka juga belum memiliki kesadaran bahwa perilaku mereka yang membuang sampah di sungai dapat mencemari air laut sehingga dapat mengurangi hasil tangkapan ikan nelayan. Selain itu, perilaku membuang limbah industri oleh para pelaku industri, contohnya PLTU Muara Karang , juga dapat tergolong interaksi disosiatif antara manusia dengan alam. Limbah industri berbahaya bagi kondisi perairan pesisir yang menggenangi hutan mangrove serta dapat mengancam biodeversity ekosistem pesisir.
Limbah
juga dapat
memperburuk
dan
menghambat
pertumbuhan tanaman bakau sehingga luas hutan mangrove semakin menyempit. Hal ini patut diwaspadai mengingat hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting bagi keseimbangan lingkungan.
5.3 Ikhtisar Status pengelolaan hutan yang dimiliki negara (state property) menyebabkan
masyarakat
sekitar
tidak
dapat
leluasa
memasuki
dan
memanfaatkan potensi sumberdaya alam di dalamnya. Keadaan tersebut berlangsung sejak ditetapkannya kawasan hutan menjadi Cagar Alam hingga kini berubah menjadi Suaka Margasatwa Muara Angke. Akses untuk memasuki
76
kawasan hutan hanya diperuntukkan bagi warga atau pihak yang mendapatkan izin dari Kantor Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) DKI Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian kepada 50 responden, ternyata semua responden yang berarti 100 persen tidak memiliki akses masuk dan pemanfaatan hutan mangrove. Akses dalam hal ini termasuk pada kegiatan dan pemilikan bukaan lahan mangrove. Masyarakat Muara Angke sudah mengetahui dan paham pada peraturan pemerintah bahwa keberadaan hutan mangrove tidak dapat diganggu dengan aktivitas manusia. Interaksi asosiatif dan disosiatif terbagi menjadi dua golonngan besar yaitu antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam. Interaksi asosiatif dan disosiatif
antar
sesama
manusia
berdasarkan
keterlibatan
setiap
aktor
(stakeholder). Bentuk interaksi sosio-ekologis bersifat Disosiatif antar Manusia terbagi menjadi lima kelompok yaitu marginalisasi, ancaman, konflik, demonstrasi dan bentrokan. Adapun penjelasan singkat dan terperinci dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9 secara terlampir. Interaksi sosio-ekologis berlandaskan etika lingkungan ekosentrisme antara manusia dengan alam menyangkut dengan upaya masyarakat dalam melindungi sumberdaya hutan mangrove seperti perlindungan satwa liar, menjaga ekosistem hutan dengan tidak memanen hasil hutan mangrove, dan penggunaan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Sedangkan interaksi berlandaskan etika antroposentrisme antara manusia dengan alam berupa perilaku membuang sampah dan limbah industri yang masih belum bisa dikendalikan seperti halnya yang dirinci dalam Tabel 7.
77
Tabel 7. Bentuk Interaksi Sosio-Ekologi Berdasarkan Etika Antroposentrisme antara Manusia dengan Alam Tahun 2010 Interaksi Aktor Bentuk Kegiatan Warga Kampung Kali Perlindungan satwa liar Adem di sekitar kawasan hutan mangrove dan Suaka Marga Satwa Muara Angke. ASOSIATIF (Antara Pemanfaatan dan Manusia dengan alam) pemeliharaan hutan mangrove. Nelayan Tradisional Penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. Warga Kampung Kali Membuang sampah Adem rumah tangga, plastik, kertas ke Sungai Angke. DISOSIATIF (Antara Manusia dengan alam) Para pelaku industri Membuang limbah seperti PLTU Muara industri di muara sungai. Karang Sumber: Ringkasan Pengolahan Data Kuantitatif dan Kualitatif (2010)
BAB VI PERUBAHAN YANG DITIMBULKAN DARI INTERAKSI SOSIAL-EKOLOGIS MASYARAKAT MUARA ANGKE DI SEKITAR HUTAN MANGROVE
6.1 Dimensi Perubahan Sosial pada Masyarakat Pesisir Muara Angke Interaksi antar elemen masyarakat pesisir Muara Angke tidak hanya meninggalkan konsekuensi pada kualitas dan daya dukung lingkungan hidup. Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya mengenai bentuk interaksi sosialekologi, terdapat beberapa perubahan sosial yang saling beriringan dan berhubungan timbal balik dengan perubahan ekosistem pesisir. Menurut Usman (2002), perubahan sosial di lingkungan pesisir didasarkan pada lingkungan alam sekitar yang membentuk sifat dan perilaku masyarakat. Lingkungan fisik dan biologi mempengaruhi interaksi sosial, distribusi peran sosial, karakteristik nilai, norma sosial, sikap serta persepsi yang melembaga dalam masyarakat. Nilai-nilai sosial yang berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu terjadinya perubahan sosial. 6.1.1 Sistem Norma, Nilai, dan Tata Aturan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Hutan Mangrove Pada kasus konflik yang melibatkan berbagai pihak di Muara Angke terkait pola pengelolaan kawasan hutan mangrove dan meyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan ideologi yang melatarbelakanginya. Masing-masing aktor memiliki pemahaman dan pola pikir yang berbeda terkait pemanfaatan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove. Perbedaan ini tentu berkaitan erat dengan pola interaksi dan perubahan sosialekologi di lingkungan pesisir Muara Angke. Ideologi pemanfaatan sumberdaya pesisir yang dianut masing-masing aktor adalah sebagai berikut: 1) Masyarakat nelayan menganut ideologi welfare orientation yaitu pemanfaatan sumberdaya
pesisir
dan
hutan
mangrove
untuk
tujuan
pemenuhan
kesejahteraan (pola nafkah). Masyarakat nelayan pada umumnya sangat bergantung pada kualitas dan kelimpahan sumberdaya pesisir (termasuk hutan mangrove), mengingat mangrove memiliki banyak fungsi pemijahan ikan.
79
Sehingga kondisi ini sangat berpengaruh pada tingkat produktivitas perikanan tangkap di wilayah Muara Angke, apalagi bagi lingkup nelayan tradisional yang jarak melaut relatif lebih dekat dengan tepi pantai. Ekosistem mangrove yang rusak tentu menjadi salah satu faktor menurunnya hasil tangkapan ikan dan penguranan pendapatan bagi nelayan. Pola pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove yang dianut oleh nelayan tradisional Muara Angke memiliki tata kelola dan sistem nilai berupa kearifan lokal. Kearifan lokal tersebut berupa mitos-mitos yang diciptakan dari generasi ke generasi mengenai hutan mangrove yang dianggap keramat. Masyarakat secara sadar, bahkan tidak berani melakukan kerusakan dan mengganggu satwa yang terdapat di dalam hutan. Kepercayaan yang dianut masyarakat inilah yang secara tidak langsung mengatur interaksi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove. 2) Pengelola Kawasan SMMA sebagai dari Pemerintah pusat menganut ideologi konservasi. Ideologi ini erat dengan konsep perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, dan penyelamatan sumberdaya hutan mangrove dari laju pengerusakan. Status pengelolaan hutan yang dimiliki negara (state property) menyebabkan masyarakat sekitar tidak dapat leluasa memasuki dan memanfaatkan potensi sumberdaya alam di dalamnya. Keadaan tersebut berlangsung sejak ditetapkannya kawasan hutan menjadi Cagar Alam hingga kini berubah menjadi Suaka Margasatwa Muara Angke. 3) Swasta (diwakili oleh PIK) berpegang pada ideologi kapitalisme dan profitifisme yang tercermin pada ekspansi usaha dan peningkatan laju reklamasi pantai utara Jakarta untuk digunakan kawasan bisnis. Pengembangan bisnis di sektor properti dan pemukiman merangsang para investor untuk berlomba-lomba melakukan reklamasi wilayah pantai utara Jakarta guna memperoleh laba sebesar-besarnya. Kondisi ini membuat pihak swasta memiliki kuasa dan otoritas lebih besar untuk memanfaatkan sumberdaya dibandingkan dengan nelayan Muara Angke. Pembangunan dalam skala besar dalam kawasan reklamasi tersebut kini justru mendatangkan petaka bagi sebagian besar masyarakat pesisir Muara Angke yang juga memiliki ikatan dengan sumberdaya pesisir. Tumpang tindih wewenang dan kepentingan antara swasta dengan masyarakat nelayan yang pada akhirnya menyebabkan konflik.
80
4) Pemerintah daerah di level Provinsi DKI Jakarta dan Kotamadya Jakarta Utara yang menganut ideologi integralisme, yaitu pola pikir untuk penyatuan atau penggabungan serta penyelarasan kepentingan berbagai elemen masyarakat demi terwujudnya stabilitas di tingkat lokal. Pemerintah daerah dituntut dapat mewadahi dan mengatur pengembangan wilayah dari segi ekonomi, sosial, budaya, politik, dll. Hanya saja, dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah pesisir, pemerintah masih cenderung berpihak kepada swasta dengan keluarnya kebijakan reklamasi pantai utara Jakarta untuk dijadikan kawasan bisnis dan pemukiman elit. Hal tersebut juga yang mendorong terjadinya konflik (bentrokan) antara masyarakat nelayan Muara Angke dengan pemerintah daerah sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Berdasarkan uraian di atas dapat disarikan bahwa beberapa bentuk interaksi yang bersifat disosiatif antar elemen masyarakat Muara Angke bermuara pada sistem nilai dan norma yang dianut oleh masing-masing aktor. Perubahan sosial yang terjadi tidak hanya berupa konflik dan interaksi disosiatif lainnya. Seiring semakin maraknya ideologi kapitalisme di kalangan elit swasta dan pemerintah yang high consumption dan rakus terhadap sumberdaya alam, ternyata mengakibatkan pengikisan nilai, norma, dan tata aturan.
6.1.2 Ketidakjelasan Aturan Main dan Pengikisan Nilai-Nilai Sosial sebagai Akar Konflik Pemanfaatan Hutan Mangrove Moda produksi dan konsumsi di sektor perikanan yang berubah seiring perkembangan zaman, membuat perubahan tata nilai dan sikap masyarakat terkait pengelolaan sumberdaya pesisir. Fenomena ini juga ditambah dengan dominasi pemerintah dan swasta yang terlalu besar dalam penentuan kebijakan pemanfaatan kawasan pesisir dan hutan mangrove. Sebagaimana yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya mengenai konflik antara berbagai elemen masyarakat Muara Angke, peristiwa ini berawal dari buramnya aturan main dan tidak ada ketegasan regulasi dari pemerintah. Selain itu, persaingan terbuka antar sesama nelayan (tradisonal dan pendatang) juga disebabkan karena tidak ada sistem aturan pembatasan wilayah yang jelas di kawasan pesisir Jakarta.
81
Kasus konflik pengelolaan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove antara Masyarakat Kali Adem dengan PIK dan pemerintah (SMMA dan pemerintah daerah) memiliki akar konflik sebagai berikut: 1) Perbenturan ideologi atau mazhab pemanfaatan kawasan pesisir antar kedua belah pihak. Nelayan yang menganut mazhab welfare orientation berhadapan dengan mazhab profitisme pihak PIK. Sebagaimana yang dikemukakan Dharmawan (2007), ideologi profit-maximizing economy yang dianut oleh para pelaku ekonomi yang selalu melakukan kalkulasi benefit and cost analysis dalam operasionalisasi praktik ekonomi (produksi, distribusi, dan konsumsi) turut mengukuhkan proses kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan. Kondisi tersebut yang memicu ketegangan sosial antar kedua pihak sehingga pecah mencadi konflik yang berekskalasi. 2) Tumpang tindih kewenangan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang didominasi swasta (PIK) dan pemerintah. Konflik warga kampung Kali Adem dengan PIK mengacu pada pergeseran etika lingkungan ke arah etika antroposentrisme yang dianut oleh PIK. Etika ini menitikberatkan pada eksploitasi kawasan pesisir (hutan mangrove)
secara besar-besaran yang
mengabaikan masalah krisis lingkungan. Selain itu, akar konflik juga berasal dari perbedaan status sosial dam ekonomi yang sangat timpang antara warga PIK dengan masyarakat nelayan (timbul prasangka dan kecemburuan sosial), perbedaan suku dan budaya yaitu PIK didominasi oleh suku Tionghoa dan nelayan (suku Jawa, Madura, Bugis, dll). 3) Sedangkan akar konflik masyarakat kali Adem dengan pemerintah lebih pada ketidakjelasan kebijakan yang diambil pemerintah, sehingga membuat bingung masyarakat sekaligus mempersempit ruang akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya hutan mangrove. Hal tersebut mengarah pada masalah pokok yaitu terbenturnya ideologi konservasi (pemerintah) dengan welfare orientation (masyarakat nelayan). Sementara itu, pemerintah daerah juga cenderung memihak PIK dalam operasionalisasi kebijakan yang menimbulkan perlawanan dari nelayan Kampung Kali Adem. 4) Tidak ada aturan yang jelas mengenai batas-batas wilayah konservasi hutan mangrove milik negara (state property) dengan wilayah privat hutan mangrove
82
milik swasta (private property). Sehingga nelayan kerap mengalami pengusiran oleh PIK saat merapat untuk singgah di tepi hutan mangrove yang dianggap nelayan adalah kawasan konservasi. Sedangkan konflik yang melibatkan sesama nelayan (nelayan lokal tradisional dengan nelayan pendatang) Muara Angke juga berkaitan dengan perubahan dan ketidakjelasan tatanan nilai sosial yang diuraikan sebagai berikut: 1) Terjadi tabrakan nilai dan norma antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal tradisional Muara Angke. Nelayan pendatang dari hampir seluruh wilayah nusantara tentu membawa norma dan kebiasaan yang berbeda-beda. Banyak nelayan pendatang yang belum paham aturan konservasi hutan mangrove Muara Angke, sehingga sering terjadi ketegangan dengan nelayan tradisional. Pengusiran terhadap nelayan pendatang oleh nelayan lokal kerap terjadi ketika nelayan pendatang memasuki kawasan hutang mangrove. Mereka biasanya singgah atau melakukan aktivitas penangkapan di perairan Jakarta. Nelayan pendatang rata-rata merupakan nelayan modern, dicirikan dari besarnya kapal dan kelengkapan alat tangkap yang mereka gunakan. 2) Perbedaan alat tangkap antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal juga memicu ketegangan antar kedua pihak. Nelayan pendatang yang menggunakan jaring arad menimbulkan perlawanan dari nelayan lokal. Pengoperasian jaring arad dianggap nelayan lokal dapat merusak lingkungan, padahal nelayan lokal sangat bergantung pada kelestarian lingkungan pesisir untuk menunjang kelangsungan hidupnya. 3) Persaingan wilayah tangkap (fishing ground) antara kedua kelompok nelayan mengingat pantai adalah sumberdaya yang sifatnya open access. 4) Jalur pelayaran yang sangat padat di perairan Jakarta membuat wilayah ini sering terjadi overfshing atau aktivitas penangkapan ikan yang berlebihan, sehingga menyebabkan kelangkaan sumberdaya hayati pesisir. Kelangkaan tersebut kemudian menyebabkan persaingan antar nelayan menjadi semakin ketat.
83
6.2 Dimensi Perubahan Lingkungan Perubahan lingkungan selalu menyertai suatu sistem hubungan sosial yang terjalin dalam sebuah ekosistem seperti yang terjadi pada lingkungan pesisir Muara Angke. Masalah-masalah sosial yang terjadi akibat ketimpangan relasi dan kekuasaan antar aktor pada interaksi sosial maupun ekologis di Muara Angke menambah deret masalah baru berupa degradasi lingkungan. Konflik antara warga dengan pemerintah dan swasta selain mengakibatkan penurunan kualitas hubungan sosial, juga menurunkan daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang selama ini ditopang oleh kelestarian ekosistem hutan mangrove. Akses dan kontrol masyarakat timpang dengan akses dan kontrol pihak pemerintah dan swasta yang memiliki kuasa lebih besar atas sumber daya mangrove. Adapun perubahan yang terjadi adalah terjadinya bencana banjir, penurunan hasil tangkapan nelayan dan intensitas gangguan satwa ke pemukiman penduduk.
6.2.1 Bencana Banjir Hutan mangrove yang berfungsi sebagai lahan resapan dan penahan intrusi (masuknya air laut ke darat) serta erosi/abrasi pantai tampaknya sudah kurang mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Hal ini memang karena tingginya laju pertumbuhan penduduk yang memaksa pembangunan semakin digalakkan terutama oleh pihak swasta guna menyediakan kebutuhan warga akan perumahan dan industri di Muara Angke. Lokasi yang strategis dan akses dekat dengan Bandara Internasional Soekarno-Hatta menarik minat swasta untuk mereklamasi kawasan pesisir Muara Angke menjadi kawasan perumahan dan industri. Frekuensi terjadinya banjir di Muara Angke mengalami perubahan setelah maraknya kegiatan ekspansi usaha oleh swasta yang menggunakan lahan pesisir bermangrove sebagai komoditasnya.
84
Gambarr 14. Perubaahan Frekueensi Terjadinya Bencanna Banjir di Muara Ang gke Sebelum dann Pasca Rek klamasi Tahun 2010 Sumbber: Hasil Pengolahan Data D Kuantiitatif (2010)) Beerdasarkan data d pada Gambar G 14 (dengan ressponden yanng berjumlaah 50 orang) terjjadi kenaikan frekuenssi bencana banjir b hariann saat sebellum dan sessudah marak dilaakukan rekllamasi lahaan mangrov ve di pesisirr Muara Anngke. Respo onden yang menngaku menjaadi korban bencana baanjir harian sebelum reeklamasi seebesar 22 persenn (11 orangg) mengalam mi kenaikaan sebesar 82 persen (41 orang)) saat setelah rekklamasi. Seementara juumlah respo onden yangg merasakann bencana banjir b mingguann menurun dari d sebelum m reklamasi yaitu 78 peersen (39 orrang) menjaadi 18 persen (9 orang) seteelah reklam masi lahan mangrove. m F Fenomena iini selain karena k banjir rob (naiknya permukaan air a laut) jugaa ditambah dengan bannjir kiriman yang bersumberr dari hulu Sungai Anggke. Daahulu, banjir terjadi 5-100 tahun sekalli. Nah, sekarang banjir kok setiap harri. Hanya saja s warga yang tingga al di perum mahan nelayyan (dekat denngan pasar Muara Anggke) itu banjjirnya tidak separah waarga yang tingggal di pingggir kali Anggke. Tetapi tetap t saja beecek karena banjirnya settiap hari (Bapak Nim, 55 tahun, warga w Perum mahan Nelayyan Muara Anngke)
Pemerintah dan swasta sudah s bekerjasama meembantu maasyarakat pesisir p Muara Anngke dengaan membangun tanggu ul untuk meencegah maasuknya airr dari luapan Suungai Angkke dan naikknya permu ukaan air laut. Namunn hal ini belum b mampu mengatasi m beencana banjir yang diraasakan olehh masyarakaat pesisir. Faktor F lain yang memicu terrjadinya bannjir adalah pendangkaalan dasar suungai dan pantai p akibat peenumpukan sampah di d Sungai Angke. Intteraksi yanng timpang g dan pembanguuan dengan merambah hutan man ngrove dapaat membuatt pesisir meenjadi kawasan yang y rentan dilanda bannjir dan keru ugian besarr lainnya.
85
Faktor penyebab banjir di Jakarta tidak hanya menyangkut persoalan reklamasi pantai utara, namun juga pada segi teknis maupun non teknis. Menurut Susmarkanto (2002), penyebab banjir dari segi teknis menyangkut buruknya sistem pengairan atau drainase di hampir seluruh wilayah Jakarta. Buruknya sistem pengairan ini tercermin pada tersendatnya proyek Banjir Kanal Timur sebagai bagian penting dari masterplan pengendalian banjir. Sedangkan dari segi non teknis, banjir Jakarta disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya sebagai berikut: 1. Perubahan iklim global (climate change) yang menyebabkan tingginya curah hujan, ketidakjelasan cuaca, dan tingginya gelombang air laut sehingga banjir rob di kawasan pesisir tidak dapat dihindari. . 2. Rusaknya kawasan hutan konservasi dan konversi lahan di daerah hulu seperti Bogor, Puncak dan Cianjur (BOPONJUR) untuk kepentingan pembangunan vila, hotel, pusat rekreasi dan pemukiman yang tidak terkendali. Hal ini merupakan cerminan meningkatnya luasan lahan kritis di hulu yang berdampak pada peristiwa banjir kiriman ke daerah Ibukota. 3. Penyelewengan aturan mengenai peruntukan lahan rawa-rawa menjadi pemukiman yang sebagian dilakukan oleh PIK. Penyerobotan kawasan hutan mangrove dan rawa-rawa oleh pihak swasta ini menyebabkan hilangnya daerah resapan intrusi air laut, sehingga sering terjadi banjir rob. 4. Buruknya pengelolaan 13 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang melewati Jakarta, yang kadar polusi limbah rumah tangga sudah melampaui batas ambang dengan kadar limbah semakin tinggi ke arah hilir dan muara. Hal ini lambat laun mengakibatkan pendangkalan dan penyempitan sungai. Pendangkalan tersebut yang sering menimbulkan banjir karena daya tampung sungai untuk mengalirkan air hujan ke laut menjadi berkurang.
6.2.2 Penurunan Hasil Tangkapan Nelayan Perubahan lingkungan yang terjadi di kawasan pesisir dan muara Sungai Angke berdampak nyata pada kehidupan nelayan Muara Angke. Kondisi perairan laut yang tidak lagi bagus karena penumpukan sampah serta polusi dari limbah industri menyebabkan matinya beberapa biota laut terutama ikan. Kebutuhan
86
hidup yang semakin meningkat mendorong nelayan untuk menambah jumlah tangkapan guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Berikut adalah persentase nalayan yang mengalami penurunan hasil tangkapan. 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00%
66.67%
33.33%
0% berkurang >0.5 berkurang < 0.5
tetap
0%
0%
bertambah > 0.5 bertambah < 0.5
Gambar 15. Persentase Nelayan Muara Angke yang Mengalami Penurunan Hasil Tangkapan Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Penurunan hasil tangkapan nelayan bervariasi jumlah besarannya mulai dari penguranagan tangkapan kurang dari setengah hasil tangkapan biasanya hingga lebih dari hasil tangkapan. Responden yang diambil datanya adalah sejumlah 39 orang yang berprofesi sebagai nelayan. Persentase nelayan yang mengalami mengurangan hasil tangkapan lebih dari setengahnya adalah sebesar 66.67 persen (26 orang) dan responden yang hasil tangkapannya berkurang tidak sampai setengahnya sejumlah 33.33 persen (13 orang). Berkurangnya tangkapan sejauh ini belum dapat diatasi oleh nelayan karena nelayan Muara Angke merupakan nelayan kecil yang kapalnya bukanlah kapal besar dengan peralatan yang lengkap. Nelayan hanya mengandalkan peralatan tangkap dan terknologi seadanya saat melaut. Sekarang hasil tangkapan sudah jauh berkurang, mbak. Dulu setelah melaut bisa dapat ikan macam-macam, sekarang ikan sudah jarang lagi. Misalnya, dulu saya bisa dapat 20 sampai 30 kg sekarang paling cuma 10 kg. Selain itu, dulu kami melaut tidak perlu jauh-jauh, ya di dekat sinisini saja saya sudah dapat ikan. Tetapi sekarang kami pergi melaut harus jauh sekali sampai jarak 5 mil dari sini tepatnya di perairan Ancol. Belum lagi harga solar yang naik terus. Nelayan kan jadi repot. (Bapak War, 38 tahun, warga Kampung Kali Adem)
Data yang didapat dari keterangan Bapak War (38 tahun) menggambarkan kondisi yang sulit sedang dihadapi nelayan Muara Angke. Tidak hanya masalah penurunan hasil tangkapan, tetapi juga rusaknya ekosistem pesisir terdekat
87
sehingga membuat nelayan semakin jauh melaut untuk mendapatkan tangkapan. Dengan peralatan yang terbatas, jarak terjauh yang ditempuh nelayan hanya sebatas perairan utara Jakarta. Cuaca buruk dan gelombang tinggi juga terkadang menghambat nelayan untuk melaut sehingga hasil tangkapan dan pendapatan nelayan pun berkurang. Menurunnya hasil tangkapan juga bisa berdampak pada menurunnya tingkat pendapatan bahkan berlanjut pada tingginya tingkat kemiskinan pada rumah tangga nelayan, khususnya nelayan tradisional. Selain disebabkan oleh rusaknya hutan mangrove, fenomena ini juga disebabkan oleh beberapa faktor yang kompleks yaitu sebagai berikut: 1. Perubahan iklim (climate change) yang dicirikan fenomena pemanasan global (global warming) juga melanda Indonesia. Peristiwa ini menimbulkan naiknya permukaan air laut yang disertai tingginya gelombang pasang. Nelayan adalah salah satu pihak yang dirugikan akibat global warming, karena mereka menggantungkan pendapatan hasil tangkapan ikan pada kondisi alam. Kini, nelayan sudah tidak dapat leluasa melaut karena mereka lebih mengutamakan keselamatan dari pada terus menerjang tingginya ombak untuk mencari ikan. Jarak melaut nelayan pun yang dahulu bisa melaut jauh dari bibir pantai, kini menjadi terbatasi oleh tingginya ombak dan cuaca buruk. Penurunan hasil tangkapan dan pendapatan nelayan akhirnya tidak dapat dihindari 2. Rusaknya terumbu karang di perairan pesisir utara Jakarta akibat eksploitasi secara berlebihan. Padahal, terumbu karang tidak terpisahkan fungsinya dengan ekosistem mangrove yang juga merupakan tempat beberapa biota laut berkembang biak. Kerusakan ekosistem pesisir secara nyata berpengaruh pada jumlah ikan yang semakin berkurang. Prodiktivitas nelayan dalam hal hasil tangkapan menurun drastis dari masa ke masa, terlebih pasca reklamasi pantai utara Jakarta. 3. Polusi di perairan Jakarta yang bersumber dari limbah industri dan limbah rumah tangga, juga merupakan salah satu penyebab menurunnya jumlah ikan. Nelayan pun kembali menjadi korban karena hasil tangkapan ikan yang semakin berkurang. Tingkat polusi di perairan Muara angke sudah terbilang
88
tinggi mengingat daerah ini sebagai kawasan pesisir yang dikelilingi oleh kawasan industri dan lalu lintas kapal di Teluk Jakarta. 4. Overfishing yaitu aktivitas penangkapan ikan yang berlebihan tanpa mempedulikan ekosistem dan kelestarian biota pesisir, mengingat perairan Jakarta adalah perairan dengan jalur pelayaran yang sangat padat. Kegiatan ini berdampak pada punahnya beberapa spesies ikan dan biota laut lainnya, sehingga kelimpahan sumberdaya hayati pesisir semakin langka. Peningkatan persaingan antar nelayan pun tidak dapat dihindari lagi. Fenomena tersebut pada akhirnya menjadi salah satu faktor penurunan hasil tangkapan ikan nelayan tradisional Muara Angke. 6.2.3 Gangguan Satwa Liar ke Pemukiman Masyarakat Berkurangnya luasan hutan mangrove juga berarti membuat satwa kehilangan habitatnya. Hutan mangrove yang menutupi pantai utara Jakarta semakin terdesak dengan maraknya ambisi pembangunan perumahan mewah, pusat industri dan pusat aktivitas ekonomi lainnya. Padahal tidak hanya biota laut, spesies satwa di udara dan di darat juga sangat tergantung pada keberadaan hutan mangrove. Hal ini berakibat spesies satwa tersebut mencari habitat baru yang menambah persoalan manusia. Fenomena perpindahan satwa dari hutan mangrove ke pemukiman masyarakat dapat tergambar pada Gambar 16. 60%
52%
50% 34%
40% 30% 20%
12%
10% 0% harian
mingguan
bulanan
0%
0%
tahunan
tidak pernah
Gambar 16. Persentase Masyarakat Pesisir Muara Angke yang Mengalami Gangguan Satwa di Lingkungan Pemukimannya Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif (2010) Interpretasi Gambar 16 di atas adalah bahwa dari 50 responden masyarakat Muara Angke, terdapat 52 persen responden yang hampir setiap bulannya menjumpai
satwa
dari
hutan
mangrove
yang
berada
di
lingkungan
pemukimannya. Responden yang mengalami gangguan satwa pada setiap
89
minggunya berjumlah 34 persen dan responden yang terganggu oleh satwa yang mengungsi ke pemukiman setiap harinya sebesar 12 persen. Satwa yang kerap kali ditemui warga adalah utamanya monyet, ular, burung, buaya, biawak dan sebagainya. Satwa yang hampir setiap hari berkunjung ke pemukiman warga pada umumnya adalah monyet. Monyet sebagai satwa yang hidupnya berkoloni berpindah menuju pemukiman warga untuk mencari makanan dengan mengacakacak tempat sampah. Penyempitan luasan hutan mangrove di Muara Angke untuk dijadikan sentra bisnis dan pemukiman, membuat habitat bagi biota laut juga semakin sempit. Hutan mangrove juga menjadi habitat biota darat dan tempat singgah bagi satwa yg hidup di udara. Perambahan hutan mangrove membuat beberapa spesies satwa tersebut bermigrasi mencari habitat baru dan pada akhirnya dapat mengganggu ketentraman manusia yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Berdasarkan kondisi yang dialami masyarakat Muara Angke dapat disimpulkan bahwa kerusakan hutan mangrove dan penyempitan luasan lahan mangrove akibat tekanan pembangunan, dapat berimbas pada hilangnya habitat satwa, sehingga tidak heran apabila sering terjadi serbuan koloni satwa di pemukiman warga.
6.3 Ikhtisar Nilai-nilai sosial yang berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu terjadinya perubahan sosial. Konflik sebagai pengantar pada terjadinya perubahan sosial di Muara Angke, memiliki aspek keterkaitan dengan sistem nilai dan norma (etika ekosentrisme) yang mulai luntur serta ketidakjelasan tata aturan (kelembagaan) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove. Kondisi ini sangat terlihat pada perbenturan ideologi pengelolaan sumberdaya alam dari masing-masing aktor. Kerusakan lingkungan di Muara Angke menjadi sebuah keniscayaan selama interaksi pihak-pihak yang menggunakan
sumberdaya alam hutan
mangrove masih timpang dalam hal penguasaan lahan, pemanfaatan dan konservasi hutan mangrove. Perubahan lingkungan dari serangkaian interaksi sosial dan ekologi yang terjadi pada masyarakat pesisir Muara Angke dilihat dari fenomena bencana banjir, tingkat hasil tangkapan nelayan dan migrasi swasta ke
90
perumahan penduduk yang dapat mengganggu kenyamanan. Ketiga fenomena ini adalah peristiwa yang sering dialami oleh masyarakat seiring dengan laju pembagunan yang berkembang pesat di Jakarta khususnya di kawasan pesisir Muara Angke. Masyarakat Muara Angke kini dapat dilanda banjir (baik banjir rob maupun banjir kiriman) dengan frekuensi yang sangat sering yaitu banjir harian (setiap hari). Masyarakat nelayan juga mengalami penurunan hasil tangkapan dengan kisaran kurang dari setengah hasil tangkapan hingga lebih dari setengah hasil tangkapan. Kemudian, masyarakat juga mengalami gangguan dari satwa akibat migrasi satwa yang habitatnya terdesak dengan pembangunan yang dilakukan swasta. Konsekuensi yang dirasakan masyarakat Muara Angke ini juga ada pengaruh dari perubahan iklim (cuaca buruk, ketidakjelasan iklim, naiknya permukaan air laut dan gelombang tinggi) yang berakibat pada terjadinya banjir dan penurunan hasil tangkapan pada nelayan. Berkurangnya luasan lahan mangrove membuat satwa kehilangan habitatnya sehingga ‘mengungsi’ ke wilayah pemukiman warga dan jika hal ini sering terjadi maka akan merugikan keamanan serta kenyamanan lingkungan rumah warga. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah interaksi sosial-ekologi yang tidak seimbang dan terjadi kontestasi kepentingan dapat menimbulkan dampak sosialekologis yang merugikan. Interaksi yang dilakukan secara tidak adil dan mengabaikan kepentingan pihak lain (termasuk merugikan alam) hanya akan memberikan kuntungan jangka pendek bagi segelintir pihak yang mengeksploitasi namun justru membawa kerugian jangka panjang bagi semua masyarakat.
BAB VII PENUTUP
7.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian pembahasan pada hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Akesibilitas masyarakat Muara Angke terhadap sumberdaya hutan mangrove terbentur dengan kebijakan pemerintah yang secara top down menetapkan kawasan hutan sebagai kawasan konservasi (dari Cagar Alam menjadi Suaka Margasatwa 2. Bentuk interaksi sosial-ekologi asosiatif yang terdapat di lingkungan masyarakat Muara Angke, Kelurahan Pluit adalah sebagai berikut: a. Interaksi sosial ekologi asosiatif antara sesama manusia berlangsung dalam berbagai bentuk berdasarkan aktor-aktor yang terlibat. Bentuk interaksi asosiatif warga Muara Angke adalah gotong royong. b. Bentuk dukungan dan interaksi positif antara masyarakat Muara Angke dengan pemerintah pengelola hutan mangrove yaitu dengan kemitraan. Pola ini tercermin dengan mematuhi peraturan dan membantu pemerintah dalam menjaga hutan mangrove. Kemudian, bentuk kegiatan penghijauan hutan mangrove yang dirakarsai pemerintah juga dilakukan oleh warga Muara Angke. c. Interaksi asosiatif yang berlangsung antara masyarakat Muara Angke dengan swasta (PIK) yang berlangsung hanya sebatas motif kebutuhan ekonomi masing-masing pihak. d. Interaksi
sosial-ekologi
antara
masyarakat
dengan
alam
(etika
ekosentrisme) yaitu hutan mangrove Muara Angke meliputi penggunaan kearifan lokal berupa mitos untuk menjaga kelestarian alam. Kemudian, dari segi penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. 3. Bentuk interaksi sosial-ekologi disosiatif yang terdapat di lingkungan masyarakat Muara Angke, kelurahan Pluit adalah sebagai berikut: a. Marginalisasi akibat kesenjangan status ekonomi-sosial.
92
b. Ancaman dari keberadaan preman membawa dampak positif dan negatif bagi para nelayan dan warga pada umumnya. c. Konflik yang terjadi antar masyarakat Muara Angke dengan warga daerah lain yaitu pada tataran penyebaran desas-desus dan memendam prasangka serta adu pendapat satu sama lain. Konflik pemanfaatan ruang dan konflik kewenangan pada sektor kehutanan mangrove yang banyak dimanfaatkan untuk kawasan perumahan elit, sehingga membuat posisi masyarakat semakin terdesak. d. Demonstrasi yang kerap dilakukan oleh nelayan Muara Angke adalah upaya untuk menentang tindakan pembuangan limbah di muara sungai yang dilakukan oleh perusahaan pemerintah PLTU Muara Karang. Limbah industri berdampak langsung pada kualitas perairan yang menggenangi hutan mangrove, sehingga secara otomatis dapat merusak keanekaragaman hayati ekosistem pesisir. e. Bentrokan terjadi karena perbedaan sudut pandang antara masyarakat Kampung Kali Adem dengan pihak pengembang PIK yang bersekutu dengan pemerintah. Pemerintah memiliki sudut pandang kawasan pemukiman kumuh di Kali Adem harus digusur karena menyalahi peruntukan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS). Upaya penggusuran inilah yang melahirkan perlawanan keras dan terjadilah bentrokan warga Muara Angke melawan Pemerintah. f. Interaksi antara manusia dengan alam (etika antroposentrisme) terjadi dalam bentuk perilaku: pembuangan sampah di aliran sungai Angke dan pembuangan limbah kimia berbahaya oleh pelaku industri yang dapat membahayakan kualitas air sungai yang mengairi hutan mangrove. 4. Konflik sebagai pengantar pada terjadinya perubahan sosial di Muara Angke, memiliki aspek keterkaitan dengan sistem nilai dan norma (etika ekosentris) yang mulai luntur serta ketidakjelasan tata aturan (kelembagaan) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove. Kondisi ini sangat terlihat pada perbenturan ideologi pengelolaan sumberdaya alam dari masingmasing aktor.Perubahan lingkungan selalu menyertai suatu sistem hubungan sosial yang terjalin dalam sebuah ekosistem seperti yang terjadi pada
93
lingkungan pesisir Muara Angke. Adapun perubahan yang terjadi adalah terjadinya bencana banjir, penurunan hasil tangkapan nelayan dan intensitas gangguan satwa ke pemukiman penduduk.
7.2 Saran Adapun saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagi masyarakat setempat sebaiknya menjaga kebersihan lingkungan pesisir dan DAS Angke dengan membuang sampah pada tempat sampah. Pemantapan kelembagaan dan organisasi sosial juga perlu diadakan pada kelompok nelayan tradisional Muara Angke, sehingga dapat menjadi wadah yang mapan untuk upaya resolusi konflik eksternal maupun internal terkait pengelolaan dan peanfaatan sumberdaya pesisir.
2.
Bagi pihak pemerintah, yang terpenting adalah penegakan aturan yang lebih jelas dan tegas dalam pengelolaan sumberdaya pesisir (hutan mangrove). Perumusan kebijakan yang pro rakyat dan lingkungan merupakan agenda yang sebaiknya diutamakan, mengingat krisis lingkungan yang semakin parah melanda Ibukota Jakarta. Selain itu, sebaiknya lebih dipertegas perencanaan tata ruang sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Proses pendekatan lebih mendalam kepada masyarakat juga perlu dilakukan sehingga dapat berkolaborasi dalam pengelolaan dan perumusan kebijakan atas sumberdaya alam, sehingga menumbuhkan kedisiplinan bagi para pelaku yang hendak melanggar aturan.
3.
Bagi pihak pengelola Suaka Marga Satwa Muara Angke (Kementrian Kehutanan dan BKSDA DKI Jakarta), penting untuk merumuskan kebijakan konservasi yang lebih melibatkan masyarakat lokal. Pendekatan dan sosialisasi lebih intensif kepada masyarakat nelayan lokal dan masyarakat sipil pada umumnya juga sangat perlu dilakukan. Hal ini akan merangsang kesadaran warga untuk ikut serta dalam pelestarian ekosistem hutan mangrove dan sumberdaya pesisir lainnya.
4.
Bagi
pihak
swasta
yang
melakukan
pembangunan
hendaknya
mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang tidak lagi baik di pesisir
94
Jakarta Utara. Kemudian, pihak swasta juga sebaiknya memperhitungkan kerugian jangka panjang bagi kemaslahatan kehidupan bersama agar ekosistem hutan mangrove dan pesisir tidak semakin rusak dan terjadi bencana yang tidak diinginkan. 5.
Perlu ada pengelolaan DAS Angke secara kolaborasi dan terpadu oleh antara semua pihak dari bagian hulu, bagian tengah sampai bagian hilir DAS sehingga dapat menghambat laju degradasi lingkungan yang oaling parah dirasakan oleh masyarakat pesisir di hilir sungai.
95
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2010. ‘Suaka Marga Satwa Muara Angke’. www.ditjenphka.go.id/kawasan_file/SM.%20Muara%20Angke-A.pdf diakses pada tanggal 14 Juni 2010 jam 10.19 WIB. Badan Konservasi Sumberdaya Alam DKI Jakarta. 2010. Pengumpulan Data dan Informasi Suaka Margasatwa Muara Angke & Taman Wisata Alam Angke Kapuk Dalam Rangka Penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Pulau Bokor Periode 2011 – 2030. Laporan Perjalan Dinas. Tidak dipublikasikan. Charles, A. 2000. Sustainable Fishery System. UK: Blackwell Science Ltd. Deni, R. 2009. Bahari Nusantara untuk Kesejahteraan Masyarakat dan Ketahanan Nasional. Jakarta: The Media of Social and Cultural Communication (MSCC). Dephut. 2010. ‘Status Kepemilikan Lahan Pada Kawasan Pantai dan Hutan Mangrove’.www.dephut.go.id/files/STATUS%20KEPEMILIKAN%20L AHAN%20PADA%20KAWASAN%20PANTAI%20DAN%20HUTAN %20MANGROOVE.pdf diakses pada tanggal 27 Januari 2011 jam 21.08 WIB. Dharmawan, A.H. 2007. Dinamika Sosio-Ekologi Pedesaan: Perspektif dan Pertautan Keilmuan Ekologi Manusia, Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik. Sodality. 01(01): 1-40. Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1999. Inventarisasi dan Identifikasi Hutan Bakau (Mangrove) yang Rusak di Indonesia. Laporan Akhir. Jakarta: PT Insan Mandiri Konsultan. http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/RLPS/mangrove.htm diakses pada tanggal 11 Maret 2010 jam 16.29 WIB. FAO. 2007. ‘The World’s Mangroves 1980–2005. Forest Resources Assessment Working Paper No. 153’. Rome: Food and Agriculture Organization of The United Nations. Fisher, S. et al. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi Bertindak. S.N Kartika Sari; M.D Tapitalu; R. Maharani & D.N. Rini (Penerjemah). Terjemahan. Jakarta: The British Counsil Indonesia. Fuad, F.H. dan Maskanah, S. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Bogor: Pustaka LATIN. Harjasumantri, K. 2000. Hukum Tata Lingkungan Edisi VII. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hendricks, W. 2008. Bagaimana Mengelola Konflik, Petunjuk Praktis untuk Manajemen Konflik yang Efektif. Penerjemah Arif Santoso. How to Manage Conflict. Cetakan VII. Jakarta: PT Bumi Aksara.
96
Hilakore A.M. 2004. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Muara Angke di Kelurahan Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara. Makalah. Tidak dipublikasikan. Ilham, M. 2006. Analisis Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam Masyarakat Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Tidak dipublikasikan. Kusmana, C. dan Onrizal. 2003. Prospek Perkembangan Hutan Mangrove di Indonesia. Yogyakarta.: Seminar Mengurangi Dampak Tsunami: Kemungkinan Penerapan Hasil Riset, BPPT – JICA, 11 Maret 2003. Kusumastanto, T. 2007. Membidik Desa Pesisir 2030, Kompas, 13 September 2007: 17. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. 2000. Kondisi potensi dan Permasalahan Suaka Margasatwa Muara Angke. Jakarta: LPPM. Mitchell, B. 2007. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. B. Setiawan; D.H Rahmi (Penerjemah). Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. Purba, J. 2002. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Riyadi MA, Birdieni B, Rusdianto E. 2010 10 Juni. Reklamasi Pantai Kembalikan Mangrove ke Pantai Jakarta. [Internet]. [diakses 2 April 2011]. Gatra nomor 31. Lingkungan: [tidak ada nomor halaman dan kolom]. Dapat diakses dari: http://www.gatra.com/versi_cetak.php?id=138785 Rudianto. 2004. Analisis Konflik Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir (Studi Kasus Pantai Utara Jakarta). Tesis. Tidak dipublikasikan. Satria, A. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor: IPB Press. Siahaan, N.H.T. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga. Singarimbun, M. dan Sofian E. 1989. Motode Penelitian Survei. Jakarta: PT Pustaka LP3ES. Sinurat, R.M. 2000. Analisis Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Wilayah Pesisir Timur Rawa Siagi Kabupaten Lampung Selatan. Tesis. Tidak dipublikasikan. Sitorus, M.T.F.1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Bogor: Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial. Soekanto, S. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rajawali Press. Soetaryono, R. 2002. Dimensi Operasinal Konsep Lingkungan Hidup Sosial dalam Kisi-kisi Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Lokakarya Pengelolaan Lingkungan Sosial yang diselenggarakan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Susilo, R.K.D. 2009. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: rajawali Press
97
Susmarkanto. 2002. Pencemaran Lingkungan Perairan Sungai Salah Satu Faktor Penyebab Banjir di Jakarta. [Internet]. [dikutip tanggal 2 Januari 2012]. Jurnal Teknologi Lingkungan. Volume 3, No.1 Januari 2002 : 13-16. Diunduh dari http://ejurnal.bppt.go.id/ejurnal/index.php/JTL/article/view/186 Tadjudin, D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Bogor: Pustaka Latin. Therik, W.M.A. 2008. Mangrove Ku Sayang, Mangrove Ku Malang (Studi Tentang Pelestarian Mangrove dan Kehidupan Masyarakat Petani Garam di Kelurahan Oesapa Barat, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur). Discussion and Advocation Papers. Institute of Indonesia Tenggara Timur Studies (East Nusa Tenggara Studies). http://www.nttacademia.org/DAP/DAP-05-Mangrove-Kupang-WT-1-2008.pdf diakses pada tanggal 11 Mei 2010 jam 10.46 WIB. Usman, S. 2003. Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wibisono, M.S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Jakarta: PT Grasindo. Yulianti, E. 2006. Tinjauan tehadap Konflik Pemanfaatan Lahan di Wilayah Pesisir (Studi Kasus Wilayah Pesisir Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi). Skripsi. Tidak dipublikasikan.
LAMPIRAN
Lampiran 1 JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN 2011
1 2 3 3 4 5 6
Desember
November
Januari
Desember
November
Oktober
Agustus
Kegiatan
Juli
No
Juni
Bulan (2010-2011)
Pembuatan dan Kolokium Proposal Penyempurnaan Proposal dan Instrumen Penelitian Penjajakan Lokasi Penelitian Pengumpulan Data Pengolahan Data dan Penulisan Laporan Konsultasi dan Perbaikan Laporan Sidang Hasil Laporan
Lampiran 2. Catatan Harian 1. Nama : Bapak H. Nam (50 tahun) Tanggal : 27 November 2011 Bapak H. Nam (50 tahun) adalah seorang tokoh masyrakat yang mempunyai reputasi penting dan sangat dikenal baik oleh masyarakat Muara Angke khususnya para nelayan. Beliau adalah putra asli Muara Angke sehingga tahu betul seluk-beluk dan keadaan masyarakatnya. Beliau juga seorang pegawai negeri sipil yang menjabat di Dinas Kehutanan Jakarta Utara. Sudah sejak zaman nenek saya Muara Angke ini hutannya jadi cagar alam.dari zaman Belanda hutan ini sudaj dilindungi. Tapi penduduk makin padet, makin lama juga makin berkurang luasnya hutan. Sampai pas eranya Orde Baru swasta masuk ke sini buat bangun komplek. Katanya sih dapat izin dari penguasa pas itu, soalnya deket hubungannya. Tahun 98-an hutan ini jadi Suaka Margasatwa. Dari dulu juga warga Angke sih gak ada yang masuk-masuk hutan sembarangan. Rata-rata orang luar. Nah, kalo orang dulu itu masih suka makan buah nipah, buat dimasak, buat cemilan juga. Waktu itu orang kita masih bisa ambil dikit-dikit di hutan, tapi gak sampai tebang pohon, ambil seperlunya saja. Orang nelayan udah ngerti dan tau soal itu. Tapi sekarang selain sudah tidak boleh sembarangan masuk hutan, orang-orang sudah tidak terbiasa lagi makan buah nipah, sudah tidak doyan. Problemnya ya sama pengembang-pengembang perumahan elit itu. Mereka punya apa saja. Hutan lama-lama juga jadi habis jadi rumah, jadi jalan, jadi took, jadi taman, dll. Nelayan juga susah merapat kalau hutan mangrove ini habis. 2. Nama : Bapak Tan (38 tahun) Tanggal : 23 November 2010 Bapak Tan adalah seorang polisi hutan yang kebetulan menjadi pendamping lapang Penulis saat penelitian di Muara Angke. Selama saya bertugas di sini, jarang sekali atau malah tidak pernah memergoki warga asli Muara Angke yang melanggar. Palingan yang suka masuk diam-diam itu nelayan yang dari luar Jakarta seperti dari Lampung, Banten, Cirebon sama yang warga lain. Biasanya mereka ngambil ranting buat kayu bakar, nangkepin burung-burung, mancing umpan. Kalau mereka ketahuan ya saya tegur dulu pada awalnya. Nanti kalau ternyata masih tetap diteruskan ya terpaksa saya rampas terus saya bawa ke pos buat diproses sama teman-teman dan atasan saya. Jadi warga sini rata-rata sudah paham masalah begituan. Memang saya akui selama ini pihak kami kurang melihat secara langsung ke masyarakat. Belum tahu persis sih kondisi yang masyarakat rasakan. Malah baru tau ya pas ikut Dik Nendy wawancara ambil data di masyarakat. Saya rasa mungkin karena itu juga ada aja masyarakat yang masih cuek sama peraturan SMMA. Mungkin juga yang mereka piker yang penting gimana caranya menaikkan pendapatan dan hasil tangkapnya.
101 3. Nama: Bapak Suk (42th) Tanggal: 24 November 2011 (Nelayan yang bermukimdi Kampung Nelayan Blok Eceng RT.06/ RW01) Sesama masyarakat ada cemburu sosial. Swasta dianggap merugikan karena sempat ditangkap oleh pihak swasta pengelola perumaham elit yang akan dibangun di kawasan lahan mangrove yang sudah direklamasi. Pembangunan ini tanpa ada sosialisasi peraturan terlebih dahulu, jadi nelayan tidak tau. swasta selalu mencurigai nelayan.sehingga nelayan terpaksa mencari tangkapan ikan di lokasi lain dan menyebabkan hasil tangkapan menurun, bahkan hanya dapat uji umpan berupa lintah dan yuyu merah saja. Pemerintah daerah ibukota DKI Jakarta dan Pemkot Jakut dinilai kurang peka tentang kondisi lingkungan dan limbah di Muara Angke. Padahal kondisi perairan sungai dan pesisir di MA sudah sangat buruk. Buang sampah tetep di kali karena malas. Di komplek sudah ada sistem pembuangan sampah lengkap dengan ketersediaan tenaga dan alat. Namun, dia pernah memergoki bahwa sistem pembuangan sampah itu tidak berjalan dengan baik, buktinya dia pernah menyaksikan sendiri bahwa petugas kebersihan membuang sampah yang telah dikumpulkan ke sungai Angke. Tahun 1980-an kondisi sungai Angke masih bersih, masih jadi pusat aktivitas warga untuk mandi, mencuci, dll. Tahun ini pernah terjadi serbuan besar-besaran dari satwa/monyet dari hutan lindung dan SMMA. Tidak berani tangkap satwa, bahkan mengkonservasi dengan adanya mitos-mitos gaib. 4. Nama Tanggal
: Bapak Nim (55 tahun) : 02 Desember 2010
Bapak Nim adalah seorang warga Muara Angke asli yang sempat menjadi preman dan nelayan di masa mudanya. Kini beliau adalah seorang petugas kebersihan kantor Suaka Margasatwa Muara Angke. Sebagai warga asli, Dahulu, Sungai Angke bisa buat minum, mandi, dan “segalagalanya di kali”. Sekarang tidak bisa lagi. Thun 70 terjadi pembebasan lahan mangrove oleh PT.Berkat yang sekarang lahan tersebut menjadi perumahan elit PIK Mediterania Boulevard. Tahun 85 Kawasan Kampung Kali Adem yang berbatasan langsung dgn hutan mangrove dan sungai Angke berusaha untuk dibebaskan oleh swasta dan pemprov DKI. Terjadi bentrok hingga ada aksi di DPR. Bisa masuk ke kawasan hutan mangrove karena dekat dengan polhut sejak thun 70. Tahun 70an pluit byk hutan berarti “hidup indah. Jangan sampe habis dah hutan ini. Kita semua nanti yang sengsara . paling ga setuju kalau hutan ini habis, yang ada sekarang ini ya harus dijaga jangan sampai jadi rumah lagi.”Dulu banjir palingan 5-10 tahun sekali. Lha sekarang banjir kok tiap hari. Cuma kalau yang tinggal di perumahan nelayan itu banjirnya gak separah yang di pinggir kali Angke itu. Tapi tetep aja becek banjirnya banjir tiap hari.
102 5. Nama Tanggal
: Bapak Was (42 tahun) : 23 November 2010
Bapak was adalah salah satu pollisi hutan senior di Suaka Marga Satwa Muara Angke yang rajin melakukan pemantauan dan pengawasan kawasan hutan. Bulan ini (Desember2010) aja udah ada yang nangkep burung di SMMA. Tapi pelakunya bukan warga Muara Angke, tapi warga Kamal Muara. Kebanyakan sih warga sini gak ada yang berani macem-macem tangkap dan melukai satwa karena selain sudah tau peraturannya duga ada kepercayaan2 yang diyakini kalo nagkep satwa pasti ntar bakal kenapa2 kayak kesurupan gitu. 6. Nama Tanggal Keterangan
: Bapak Sar (55 tahun) : 25 November 2010 di RT08/RW01 : Nelayan
Ada konflik dengan swasta tentang tanah, mbak. Tapi sebagian warga tidak bisa berbuat apa2. Lha wong lama-lama lahan disini dicaplokin sama swasta. Gak tau deh gimana kerjanya pemerintah kok bisa gitu. Kita ini ya jadi ada cemburu gitu, kita yang warga asli sini tapi orang Cina yang malah punya tanah luas-luas di sini. Pake’ ngurung2 bakau.Lahan bakau mulai dibuka skitar tahu 79 sekarang jadi perumahan elit 7. Nama Tanggal Keterangan
: Bapak Nap (35 tahun) : 25 November 2010 : Nelayan
Jengkel dikit dengan orang yang jaga htan karena kita gak boleh masuk hutan bakau. Petugas sering keliling sisir kali Angke ini mungkin buat mantau orang-
orang yang mau masuk ke hutan. Saya yang tinggalnya di bantaran kali angke ini kan deket ya sama hutan, deket banget, bisa dibilang kita ini tetangga mereka. Tapi jarang ya saya liat petugas itu mampir ke sini, mau dengerin dari kita. Paling cuma Pak Nam (orang dinas kehutanan, wrga asli Muara Angke) yang kita kenal baik,yang lainnya kayaknya cuek-cuek ya. 8. Nama Tanggal Keterangan
: Bapak Asi (40 tahun) : 29 November 2010 : Nelayan
Tahun 90-an kawasan kampong Kali Adem sempat mau digusur sm pemkot. Warga udah diperingatkan berkali-kali tapi kami di sini tetap bertahan aja gimana pun kondisinya. Kami kan udah tinggal di sini (kampong kali Adem) itungannya udah bukan setahun dua tahun, tapi udah puluhan tahun. Kita udah gak punya lahan dan apa2 lagi di kampong. Jadi ya kita tetap bertahan sampe pemkot benar2 mau gusur kita ini. Sampai kita melakukan perlawanan,banyak yang bawa golok, pentungan buat nglawan trantib. Tapi akhirnya karena kita ngelawan pemkot gak jadi gusur. Alasannya sih biar kota jadi rapi. Selama ini keluarga saya buang sampah di Sungai ini. Yah mau gimana lagi. Di Kampung Kali Adem kan gak ada temapt sampah dan gak ada yang mengumpulkan kaya
103 di komplek2 gitu. Jadi sampah mau dikumpulin di mana?kampung kita aja letaknya di atas kali gini gak ada tanah. Jadi yam au gak mau sampah langsung di buang di kali. Pengen sih ikut nanem bakau, saya tahu biasanya orang2 kelurahan ngadain acara gini tapi saya sebagai warga kurang dilirik dan gak pernah diajak. Kalo mau nanem sendiri bibit bakaunya aja gak punya. Saya tahu kalo ada warga yang suka nangkep satwa di hutan sini. Tapi itu bukan orang sini kok, dari luar MA rata2. Karena saya merasa sungkan dan menghormati satwa2 di hutan ini jadi saat saya berabgkat /pulang melaut kalo kebetulan ada yg ketahuan nabgkep ya saya tegur, saya usir! 9. Nama Tanggal Keterangan
: Bapak Kar (27 tahun) : 03 Desember 2010 : Nelayan
Ada prasangka ke perumahan elit/orang cina kaya. Dulu anak-anak kita tuh masih bisa main2 ke sana, sambil mulung-mulung sampah juga buat bantuin orang tua. Tapi sekarang udah gak boleh lagi. Tuh liat aja pager pembatas kompleknya aja ditinggiin jadi kita gak bisa maen2 ke sana lagi. Katannya anak2 kita itu suka nyolong di situ. Kan jadi jengkel kalo dibilang gitu. 10. Nama Tanggal Keterangan
: Bapak War (38 tahun) : 25 November 2010 : Keterangan
Hasil tangkapan sekarang udah jauh berkurang, mbak. Dulu pas melaut bisa dapet ikan macem2, sekarang ikan udah jaran lagi. Udah gitu dulu kita melaut gak perlu jauh2, ya di dekat sini2 aja. Tapi sekarang kita melau harus jauh banget sampai jarak 5 mil dari sini tepatnya di perairan Ancol. 11. Nama Tanggal Keterangan
: BapakNal/Mul (48 tahun) : 19 November 2010 : Nelayan (Ketua kelompok Kampung kali Adem/Mustika)
Tahun 2003 ada penggusuran besar-besaran. Banyak yang dipulangkan ke Indramayu.tapi pemerintah gak ada tindak lanjutnya. karena di kampung kita udah gak punya apa-apa lagi. Udah dicoba jadi nelayan disana tapi kalo di Indramayu dan Cirebon masalahnya kita harus punya kapal yang gede. Jadi kita di sana kalah saing dan gagal. Sempat juga kita ini ada yang jadi pedagang asongan,tukang becak,buruh tani. Tapi gimana ya, orang kita ini kan kemampuan dasarnya jadi nelayan, hidup kita di laut, jadi ga bisa dipaksain buat jadi petani. Jadi sebagian warga balik lagi ke Muara Angke dan bangun rumah lagi di Kali Adem sampai sekarang udah padet gini. Sejak itu, kita gak pernah lagi digusur soalnya kita sudah punya KTP Jakarta. Masalah-masalah sosial yang dialami warga sini sebenarbya udah dapet perhatian dari LSM-LSM lokal bahkan internasional. Pihak PBB dan World Bank juga sering penelitian dan ngadain program di sini. Tapi kayaknya kurang berhasil soalnya pemerintah daerah (Kota dan Kelurahan) masih kurang peduli sama warga MA. Sampai
104 saat ini (sudah 4 tahun), kami menjalin kerjasama dengan LBH atau LDF (Legal development Facility) pusatnya dari Belanda. Harapan kita dengan kerjasama ini bisa ada kesadaran warga akan pentingnya koperasi nelayan. Ada juga perasaan dongkol kepada para pengembang perumahan. Kalo gak dongkol ya ga mungkin lah, itu pasti ada cuma orang sini gak ada yang berani ngomong. Suka disimpen sendiri. Namanya aja mereka secara langsung atau gak langsung kita yang dapet rugi. Kita juga yang jadi kedesek jd gak punya tempat tinggal. Kalo penduduk Muara Angke ini gak ada yang berani ganggu binatang di hutan. Takut dek. Jadi ya buaya, ular, monyet yang ada di hutan ini itu bukan binatang biasa. Istilahnya ya kayak siluman gitu dek. Jadi kalo binatang itu manpir ke tempat kita ya kita gak berani nangkep apalagi bunuh, kita diemin aja sampe dia pergi sendiri. Orang sini percaya kalo kita jahat sama binatang di hutan pasti ntar ada yang kesurupan lah, jatuh lah, banyak pokoknya. Masalah nelayan tu limbah. akhir-akhir ini kita udah dapet bukti limbah yg keluar dari pembuangan PLTU. Kita udah maju sampek ke kelurahan, polsek, pengen juga sampe ke walikota. Tapi sementara ini masih proses. Malah warga sini banyak yang pada ga sabar sampe pengen demo. Masih saya cegah, jangan dulu deh.
Lampiran 3
106 Lampiran 4. Tabel Bentuk Interaksi Sosial-Ekologi di Muara Angke Tabel 8. Bentuk Interaksi Sosio-Ekologi Bersifat Asosiatif antar Manusia beserta Aktor-aktor yang Terlibat Tahun 2010
Bentuk Asosiasi Gotong Royong
Aktor Swasta Masyarakat Pemerintah Warga yang bermukim di pemukiman nelayan Muara Angke. Nelayan Muara Angke. Pengusaha hasil olahan perikanan Pengelola dan Masyarakat pesisir penghuni Kawasan Muara Angke. Hunian Elit PIK Masyarakat nelayan Kali Pengelola SMMA Adem Muara Angke. -
Kegiatan Membersihkan sampah di Sungai Angke serta kegiiatan sosial kemasyarakatan
Kegiatan perniagaan yang bersifat patron-klien (tengkulak dengan nelayan) Penyediaan lapangan pekerjaan, khususnya di sektor informal oleh pihak Kemitraan PIK Laporan dan pengaduan pengerusakan hutan mangrove dan satwa liar dari warga. Masyarakat pesisir Pengelola SMMA, Sosialisasi dan penanaman mangrove Muara Angke. Dinas Kehutanan DKI Jakarta, BKSDA Penghijauan Siswa sekolah SD-SMA Pengelola SMMA, Sosialisasi dan penanaman mangrove di Kelurahan Pluit. Dinas Kehutanan Dki Jakarta, BKSDA Sumber: Ringkasan Pengolahan Data Kuantitatif dan Kualitatif (2010)
107
Tabel 9. Bentuk Interaksi Sosio-Ekologi Bersifat Disosiatif antar Manusia beserta Aktor-aktor yang Terlibat Tahun 2010 Jenis Disosiatif Marginalisasi Ancaman
Konflik
Demonstrasi Bentrokan Sumber:
Aktor Swasta Masyarakat Pengelola hunian elit Masyarakat pesisir PIK Muara Angke Preman pasar ikan Muara Angke Nelayan lokal tradisional-nelayan pendatang Masyarakat nelayan Pengelola hunian elit Kali Adem Muara PIK Angke Warga Kampung Kali Adem vs warga PIK -
Pemerintah -
Kegiatan Pembatasan wilayah melaut dan peminggiran di sektor ekonomi dan peminggiran ekonomi dan sosial akibat bencana alam. Maraknya tindak kriminal oleh preman Perebutan wilayah tangkap serta persaingan penggunaan alat tangkap. Penggusuran pemukiman nelayan oleh PIK
Desas –desus yang diiringi prasangka antar warga (ketimpangan status sosial dan ekonomi). Warga diarang memasuki hunian elit PIK dan memulung sampah di kawasan tersebut.
Warga Kampung Kali Pengelola SM Desas-desus yang diiringi prasangka karena Adem Muara Angke warga merasa kurang diperhatikan oleh pemgelola SMMA. Nelayan tradisional PLTU Muara Pencemaran peraran pesisir oleh limbah Muara Angke Karang industri Pengelola hunian elit Nelayan Kali Adem Pemerintah Daerah Penggusuran pemukiman semipermanen di PIK DKI Jakarta bantaran Kali Angke Ringkasan Pengolahan Data Kuantitatif dan Kualitatif (2010)
Lampiran 5. DOKUMENTASI PENELITIAN Gambar 17. Kondisi Pemukiman Nelayan Muara Angke (Kampung Kali Adem)
Gambar 19. Sampah di Pinggiran Hutan Mangrove.
Gambar 20. Kawasan Perumahan Elit dan Pertokoan di Seberang Hutan Mangrove
Gambar 18. Pemukiman Nelayan Tampak dari Dalam Hutan Mangrove
109
Gambar 21. Banjir Rob dan Tumpukan Sampah di Pemukiman Nelayan Muara Angke
Gambar 22. Aktivitas Nelayan dan Deretan Pemukiman Kumuh Nelayan di Sekitar Hutan Mangrove