KELEMBAGAAN LOKAL: BENTUK ADAPTASI SOSIO-EKOLOGI DAERAH RAWAN LONGSOR (Kasus Kampung Sirnagalih, Desa Sukaraksa, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
SUKMA TARONIARTA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Kelembagaan Lokal : Bentuk Adaptasi Sosio-Ekologi Daerah Rawan Longsor (Kasus Kampung Sirnagalih, Desa Sukaraksa, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2012
Sukma Taroniarta I353100121
iii
ABSTRACT SUKMA TARONIARTA. 2012. Local Institution: A Form of Socio-Ecological Adaptation in Landslide-Prone Areas (A Case of Landslide-Prone Community in Sukaraksa Village, Bogor Regency, West Java Province). Supervised by NURMALA K. PANDJAITAN and FREDIAN TONNY. Landslides have damaged the cultivated land, settlements, and other infrastructures. Such damages have led the people to make adaptation as a survival strategy. The objective of this study are to describe and analyze: (1) the reality of landslides, (2) the people perceptions of both environment and their ability as well as self-confidence (3) the shapes of socio-ecological adaptation landslide-prone, and (4) the local institutions of landslides areas. The location of this study in Sirnagalih Kampong, Sukaraksa Village, Bogor Regency, West Java. The study used a combination of two techniques of data collection: a quantitative technique to measure perception, and a qualitative technique to explore the reality of landslides, the forms of socio-ecological adaptation and the local institutions of landslide communities. The result of this study reveals that the reality of landslides-prones have changed the people perceptions about environment, and pushed the shapes of socio-ecological adaptation. Further, the shape of adaptation is followed by the norms to manage and use the natural resources. Besides, the shapes of adaptation affect the availability of local institutions in landslide-prones communities. Keywords
:
perception, socio-ecological communities, local institutions
adaptation,
landslide-prones
iv
RINGKASAN SUKMA TARONIARTA. 2012. Kelembagaan Lokal : Bentuk Adaptasi SosioEkologi Daerah Rawan Longsor (Kasus Kampung Sirnagalih, Desa Sukaraksa, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh NURMALA K. PANDJAITAN dan FREDIAN TONNY. Dampak peristiwa longsor atau pergerakan tanah adalah terjadinya kerusakan pada lahan garapan, pemukiman serta sarana infrastruktur lainnya. Kerusakan tersebut membawa perubahan yang menuntut masyarakat pada daerah rawan longsor untuk melakukan tindakan adaptasi sebagai strategi bertahan hidup. Dalam rangka penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi maka dibutuhkan kehadiran seperangkat pranata-norma (kelembagaan) agar kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat tetap dapat berjalan baik. Tujuan dilakukannya kajian adalah (1) memperoleh gambaran tentang setiap kejadian longsor dan perubahan-perubahannya pada suatu daerah rawan longsor secara obyektif, reflektif, interpretatif dan decisional (ORID), (2) mengetahui persepsi warga setempat tentang fenomena longsor serta kemampuannya menanggulangi longsor, (3) mendeskripsikan tentang bentukbentuk adaptasi sosio-ekologi pada daerah rawan longsor dan (4) mendeskripsikan sekaligus menganalisa bentuk dan peran kelembagaan lokal sebagai bentuk adaptasi sosio-ekologi pada daerah rawan longsor. Kajian dilakukan pada Kampung Sirnagalih yang secara administratif berada di Desa Sukaraksa, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kajian ini menggabungkan dua teknik pengambilan data yakni kuantitatif dan kualitatif. Kuantitatif dilakukan untuk mengukur persepsi lingkungan dan kemampuan diri, dengan menggunakan metode sensus. Responden yang dipilih adalah suami atau istri dari masing-masing keluarga yang secara keseluruhan berjumlah 55 KK. Kualitatif dilakukan untuk menggali informasi tentang realitas longsor, bentuk-bentuk adaptasi sosio-ekologi, serta keberadaan pranata-norma yang menjadi bentuk kelembagaan lokal pada daerah rawan longsor. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan melakukan pengamatan dan wawancara mendalam. Hasil kajian menunjukkan, pertama tentang realitas longsor pada Kampung Sirnagalih yang telah terjadi selama 4 tahun terakhir. Peristiwa longsor di Sirnagalih merupakan fenomena alam yang terjadi karena faktor alam dan faktor manusia. Berbagai dampak dan perubahan secara sosio-ekologis telah terjadi. Upaya penanggulangan sebagai bentuk adaptasi telah dilakukan baik yang bersifat temporer maupun jangka menengah dan panjang. Kedua, persepsi menjadi titik awal terjadinya bentuk adaptasi. Hasil pengukuran persepsi menunjukkan bahwa warga Sirnagalih memahami perubahan yang terjadi pada lingkungan mereka, khususnya tanah-lahan. Warga melihat bahwa tanah-lahan telah mengalami penurunan kualitas, sehingga membutuhkan perlakuan yang berbeda untuk tetap dapat bertahan. Perlakuan berbeda tersebut diwujudkan dalam bentuk adaptasi mulai dari perubahan polateknik menanam yang dibarengi dengan alih fungsi lahan (lahan basah menjadi lahan kering), perubahan pola-gaya hidup akibat terkonsentrasinya pemukiman warga di tempat hunian sementara (huntara), perubahan struktur dan sumber nafkah (peralihan mata pencaharian) serta penambahan fungsi dan peran sosial dalam hal kebencanaan. Kemampuan masyarakat Sirnagalih dalam melakukan
v
adaptasi didukung oleh tingginya optimisme dan kepercayaan-keyakinan diri (self efficacy) yang kuat dalam bertahan dan menangani persoalan longsor. Ketiga, bentuk-bentuk adaptasi ditemukan dalam 4 unsur yang menjadi inti (core) perubahan sosio-ekologi warga Sirnagalih. Empat core tersebut diawali dengan perubahan (1) teknologi yakni berubahnya teknik-cara pemanfaatan lahan serta hadirnya bantuan tempat tinggal hunian sementara (huntara). Perubahan teknologi tersebut selanjutnya mempengaruhi unsur core lainnya yakni (2) populasi dengan perubahan pola pemukiman, pola interaksi dan gaya hidup, serta arus migrasi, (3) kelembagaan ekonomi dengan perubahan sistem livelihood, pola produksi-distribusi, serta kehadiran pasar „jalan‟, dan (4) organisasi sosial-politik dengan kehadiran-keberadaan peran dan aturan untuk penanggulangan bencana. Dalam proses terbentuk dan berjalannya adaptasi, secara sosio-ekologi telah melahirkan berbagai perubahan sehingga dibutuhkan seperangkat pranatanorma agar tetap tercipta keselarasan. Pranata-norma yang dimaksud adalah rules of the games yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Hasil kajian menunjukkan bahwa beberapa norma telah hidup dan terinternalisasi dalam aktivitas keseharian sedangkan beberapa norma lainnya hadir sebagai bentuk modifikasi. Pranata-norma tersebut berjalan seiring dengan kehadiran organisasi sosial baik pada aspek sosial-ekonomi maupun pada aspek kebencanaan. Keberadaan pranata-norma serta organisasi sosial merupakan bentuk keberadaan kelembagaan lokal pada komunitas rawan longsor di Kampung Sirnagalih. Keberadaan kedua bentuk kelembagaan lokal tersebut merupakan pondasi terbentuknya ketahanan sosial yang akan menjaga sustainabilitas kehidupan masyarakat Sirnagalih. Katakunci : Persepsi, Adaptasi Sosio-Ekologi, Kelembagaan Lokal, Komunitas pada Daerah Rawan Longsor
vi
©Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karyatulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
atau
vii
KELEMBAGAAN LOKAL: BENTUK ADAPTASI SOSIO-EKOLOGI DAERAH RAWAN LONGSOR (Kasus Kampung Sirnagalih, Desa Sukaraksa, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
SUKMA TARONIARTA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr.
ix
x
PRA KATA Sembah sujud syukur Penulis kepada Sang Pencipta atas segala bentuk nikmat & karuniaNYA sehingga penelitian yang dilaksanakan selama 3 bulan dapat berjalan lancar. Penelitian berjudul “Kelembagaan Lokal: Bentuk Adaptasi Sosio-Ekologi pada Daerah Rawan Longsor” ini berawal dari kegelisahan Penulis terhadap persoalan bencana yang akhir-akhir ini kerap terjadi dan menyebabkan keterpurukan pada hampir seluruh aspek kehidupan (ekologi, sosial, ekonomi dan budaya). Kegelisahan Penulis berlanjut dan menjadi sebuah ketertarikan terhadap mereka yang berjuang hidup di tengah kerentanan sumberdaya. Mengapa mereka bertahan, bagaimana mereka beradaptasi, seperti apa kondisi mereka di masa yang akan datang dan bagaimana peran-kepedulian pihak lain atas persoalan yang mereka hadapi. Melalui kesempatan ini, Penulis berkesempatan untuk memberikan apresiasi dan ucapan terimakasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Kedua Dosen pembimbing yakni Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS. DEA. dan Ir. Fredian Tonny, MS. yang telah berjasa dalam memberikan tuntunan, bimbingan, bekal ilmu dan spirit, sehingga Penulis senantiasa optimis, serta mampu berfikir dan bekerja dalam kerangka berfikir yang sistematis dan ilmiah. 2. Dr.Ir.Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr. selaku Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan sekaligus sebagai Dosen Penguji yang telah melakukan penilaian untuk kelayakan tulisan ini. Saran dan masukan konstruktif telah membantu Penulis melakukan penyempurnaan sehingga hasil karya ini benar-benar layak untuk disumbangkan dan dimanfaatkan oleh para pihak. 3. Institusi Kementerian Kehutanan yang telah memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan S2 melalui jalur karyasiswa Kemenhut. 4. Para warga korban longsor di Desa Sukaraksa yang telah menerima kehadiran Penulis dan memberikan keceriaan meski berada dalam kondisi yang memprihatinkan. 5. Teman-teman seperjuangan, khususnya Sosiologi Pedesaan Angkatan 2010, “Terimakasih atas diskusi, candatawa dan perdebatannya. Semoga cita-cita kita untuk menjadi manusia-manusia yang berguna dapat tercapai dan tali persaudaraan diantara kita tetap terjalin”. 6. Kedua orangtua yang telah membesarkan dan senantiasa melindungi Penulis melalui kiriman doa dan ridhanya. 7. Suami Penulis M.Mugni Budi M, S.Hut, serta Permata hatiku Fairuz, “Terimakasih telah tumbuh menjadi anak yang cerdas, sabar dan penuh pengertian. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi dan menyayangimu, Amin. Akhir kata, semoga hasil karya Penulis yang tertuang dalam Tesis ini dapat bermanfaat bagi negeri tercinta yang kini menjadi „negeri bencana‟. Saran, masukan dan kritik yang membangun akan Penulis terima sebagai tanda bahwa kita semua peduli pada nasib negeri ini, pada mereka yang sedang bertarung hidup melawan ancaman bencana. Bogor, September 2012
Sukma Taroniarta
xi
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, pada tanggal 9 Maret 1980, dari pasangan Bapak Drs. Mattaro Nurdin Arta, MM dan Ibu Dra. Rosmini. Penulis memiliki satu orang kakak Firman Tarodinarta, SS serta dua orang adik Sabda Tarotrinarta, S.Kom dan Titah A.Taroniarta. Pada Tahun 2006, Penulis menikah dengan M. Mugni Budi M, S.Hut dan telah dianugerahi dua putri yakni (Alm.) Nadya Ulya dan Thalita Fairuz Nayla (3 Tahun). Penulis menempuh pendidikan mulai dari SD.Inp.Baraya I Ujung Pandang, SMP IMMIM Putri Pangkep, dan SMUN 54 Jakarta. Selanjutnya pendidikan jenjang S1 penulis tempuh di Universitas Hasanuddin Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Jurusan Sosiologi. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa S2 di Program Studi Sosiologi Pedesaan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB Tahun 2010 melalui jalur karyasiswa Kementerian Kehutanan. Penulis merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) aktif di salah satu UPT Kementerian Kehutanan sejak Tahun 2002 dan bertugas sebagai Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Tk. Ahli Muda.
xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................... DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................
xii xiv xv xvii
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ..........................................................................
1 5 7 7 8
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bencana Alam Longsor : Faktor Alam & Perbuatan Manusia ...................... 2.2 Persepsi Terhadap Lingkungan .................................................................. 2.3 Adaptasi Lingkungan : Dinamika Interaksi Antara Manusia & Alam ........... 2.4 Kelembagaan Lokal .................................................................................... 2.5 Kerangka Pemikiran....................................................................................
9 13 18 23 28
III 3.1 3.2 3.3
METODE PENELITIAN Lokasi & Populasi Penelitian ....................................................................... Teknik Pengambilan Data ........................................................................... Teknik Pengolahan & Analisis Data ............................................................
31 31 34
IV PROFIL DESA 4.1 Keadaan Fisik Desa Sukaraksa .................................................................. 4.1.1 Letak dan Luas wilayah ..................................................................... 4.1.2 Topografi............................................................................................ 4.1.3 Iklim .................................................................................................. 4.1.4 Tanah ................................................................................................ 4.2 Keadaan Masyarakat Desa Sukaraksa ....................................................... 4.1.1 Demografi & Kependudukan ............................................................. 4.1.2 Pola-pola Adaptasi Ekologi ............................................................... 4.1.3 Aksi-aksi Kolektif Kelembagaan ........................................................ 4.3 Keadaan Kampung Sirnagalih ....................................................................
35 35 35 36 36 36 36 41 45 48
xiii
4.4 Keadaan Potensi Sumberdaya Alam Kampung Sirnagalih ......................... 4.4.1 Lahan-Tanah...................................................................................... 4.4.2 Sumberdaya Air ................................................................................ 4.4.3 Hutan ................................................................................................ 4.4.4 Batu Bara ..........................................................................................
52 53 55 55 56
V REALITAS (FENOMENA) BENCANA ALAM LONGSOR 5.1 Faktor Penyebab Longsor Realitas Longsor (Tahun 2009-Sekarang) ........ 5.2 Realitas Longsor (Tahun 2009-Sekarang) ................................................. 5.3 Pengaruh dan Dampak Bencana Alam Longsor ........................................ 5.4 Upaya Penanggulangan Bencana Longsor . .............................................. 5.5. Ikhtisar ........................................................................................................
57 62 64 67 70
VI
PERSEPSI TERHADAP LINGKUNGAN & KEMAMPUAN DIRI
6.1 Persepsi terhadap Lingkungan ................................................................... 6.1.1 Penyebab Longsor ............................................................................ 6.1.2 Kondisi Lingkungan sebagai Daerah Rawan Longsor ....................... 6.1.3 Dampak Bencana Longsor ................................................................ 6.2 Persepsi terhadap Kemampuan Diri .......................................................... 6.2.1 Kemampuan Bertahan Hidup ............................................................ 6.2.2 Kemampuan Mencegah Longsor ...................................................... 6.3 Ikhtisar ....................................................................................................... VII
75 75 79 82 83 84 87 91
BENTUK ADAPTASI SOSIO-EKOLOGI DAERAH RAWAN LONGSOR
7.1 Potensi dan Kondisi Sumber Daya Alam .................................................... 7.2 Adaptasi Sosio-Ekologi Pasca Longsor ...................................................... 7.2.1 Bentuk Pemanfaatan Teknologi ........................................................ 7.2.2 Populasi ............................................................................................ 7.2.3 Kelembagaan Ekonomi ..................................................................... 7.2.4 Organisasi Sosial-Politik .................................................................... 7.3 Ikhtisar .......................................................................................................
94 95 95 101 108 115 120
VIII KELEMBAGAAN LOKAL KOMUNITAS RAWAN LONGSOR 8.1 Tata aturan dalam Pengelolaan Property Rights ........................................ 8.2 Pengorganisasian Sosial Komunitas Rawan Longsor ................................
123 131
IX PENUTUP 9.1 Kesimpulan ................................................................................................ 9.2 Saran .........................................................................................................
133 134
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL No.
Judul Tabel
Halaman
1.
Daftar Kejadian dan Korban Bencana Tanah Longsor 2003-2005 di Indonesia
11
2.
Karakteristik Populasi pada Lokasi Penelitian
32
3.
Jumlah & Persentase Penduduk Menurut Mata Pencaharian Desa Sukaraksa, Tahun 2012
38
4.
Pembagian Wilayah Administratif Desa Sukaraksa, Tahun 2012
39
5.
Jumlah & Persentase Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Desa Sukaraksa, Tahun 2012 Pemanfaatan Lahan Menurut Luas Penggunaannya di Desa Sukaraksa
40
7.
Jenis Kelompok-Organisasi Sosial Desa Sukaraksa, Tahun 2012
46
8.
Karakteristik Sosio-Ekologi Kampung Sirnagalih
48
9.
Karakteristik Potensi Sumberdaya Alam di Kp. Sirnagalih
53
10
Faktor-Indikasi Penyebab Longsor di Kp. Sirnagalih
61
11.
Rekapitulasi Data Korban-Kerugian Longsor di Kp. Sirnagalih
65
12.
Bentuk-bentuk Penanggulangan Bencana Longsor di di Kp. Sirnagalih
68
13.
69
14.
Distribusi Pemanfaatan ahan (Leuweung Titipan) di Kampung Sirnagalih Realitas Longsor selama 4 Tahun Terakhir di Kampung Sirnagalih
15.
Persepsi Warga tentang Faktor Penyebab Longsor
76
16.
Persepsi Warga tentang Tanda-tanda Kerusakan Hutan di Leuweung Titipan
78
17.
Persepsi Warga tentang Leuweung Titipan
Hutan
79
18.
81
19.
Persepsi Warga tentang Kesesuaian Pemanfaatan-Penggunaan Lahan di Dalam Kampung Persepsi Warga tentang Dampak Longsor
20.
Penyebab Warga Bertahan Hidup di Daerah Rawan Longsor
85
21.
Persepsi Warga tentang Cara Bertahan Hidup di Daerah Rawan Longsor
87
22.
Persepsi Warga tentang Cara (Mekanisme) Pencegahan Longsor
89
23.
Persepsi Warga tentang Faktor Pendukung Keberhasilan MencegahMenanggulangi Longsor
89
24.
Persepsi Warga tentang Pihak yang dianggap mampu Mambantu Mencegah-Menanggulangi Longsor
90
25. 26.
Potensi serta Pemanfaatan & Kondisi SDA di Kampung Sirnagalih Perubahan Sosio-Ekologi Daerah Rawan Longsor di Kp. Sirnagalih
94 121
27.
Penerapan Aturan-Kesepakatan dalam Pengelolaan & Pemanfaatan Property Rights
130
6.
Faktor
Penyebab
Kerusakan
44
72
83
xv
DAFTAR GAMBAR
No.
Judul Gambar
Halaman
1. 2.
Skema Persepsi oleh Paul A.Bell, dkk (1978) The Model of Cultural Ecology By. Julian Steward
14 19
3.
Kerangka Pemikiran “Kelembagaan Lokal: Bentuk Adaptasi Sosio-Ekologi pada Daerah Rawan Longsor” Struktur Penduduk Desa Sukaraksa Berdasarkan Jenis Kelamin
30
5.
Struktur Penduduk Desa Sukaraksa Berdasarkan Usia Produktif & Non Produktif
37
6.
Struktur Usia Produktif Berdasarkan Jenis Kelamin
38
7.
Jenis Alat Tradisional untuk Menambang Pasir
43
8.
Struktur Mata Pencaharian Utama Warga di Kp. Sirnagalih
49
9.
Distribusi Penguasaan Lahan Pertanian di Kp. Sirnagalih
49
10
Kondisi Lahan yang Rusak Akibat Gejala Longsor yaki Tanah Retak Salah satu Bekas Lokasi Penambangan Batubara di Kp. Sirnagalih Sketsa Lokasi Rawan Longsor di Desa Sukaraksa
50
13.
Kerusakan Akibat Retak Tanah pada Sawah (kiri) dan Pemukiman (rumah) Warga di Kampung Sirnagalih (kanan).
64
14.
Persepsi Warga tentang Kondisi Hutan di Desa Sukaraksa dan Sekitarnya Persepsi Warga tentang Kondisi (struktur) Tanah yang Mudah Longsor
80
16.
Persepsi Warga tentang Iklim (Curah Hujan)
82
17.
Persepsi Warga tentang Kelayakan Kampung untuk Tetap Dihuni
84
18.
Persepsi Warga tentang Kemampuan Diri untuk Bertahan Hidup
86
19.
Persepsi Warga tentang Kemampuan Diri untuk Mencegah Longsor
88
20.
Tingkat Keragaman Persepsi Komunitas Rawan Longsor
92
21.
Ilustrasi Perubahan Pola Tanam Sebelum Longsor (Pola A) dan Sesudah Longsor (Pola B & C) Distribusi Petani dalam memilih Perubahan Pola Tanam
99
4.
11. 12.
15.
22. 23.
Penduduk
Desa
Sukaraksa
Perubahan Pemanfaatan Lahan Sebelum (Tipe A) dan Sesudah Longsor (Tipe B)
37
54 57
80
100 101
xvi
24.
Bangunan Hunian Sementara (Huntara)
102
25.
Sumur dan Kamar Mandi di Huntara (kiri), Salah Satu Lokasi Pancuran di Areal Persawahan (kanan)
107
26.
Kepadatan Penduduk Berdasarkan Satuan Geografis dan Agraris Kp. Sirnagalih
109
27.
Perubahan Pola Distribusi-Konsumsi Tanaman Pangan
113
28.
Skema Kelembagaan Tanggap Bencana (Tagana) Daerah Rawan Longsor Kp.Sirnagalih Untuk Peristiwa Hujan Deras
117
29.
Skema Kelembagaan Tanggap Bencana (Tagana) Daerah Rawan Longsor Kp.Sirnagalih Untuk Peristiwa Retak Tanah
118
30.
Skema Kelembagaan Lokal Komunitas Rawan Longsor
127
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Judul Lampiran
Halaman
1.
Identitas Responden
152
2.
Hasil Pengolahan Data Kuantitatif
154
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam merupakan fenomena yang terjadi sepanjang sejarah kehidupan manusia di berbagai belahan bumi. Peristiwa bencana muncul dalam berbagai bentuk dengan frekwensi keparahan yang berbeda-beda. Letusan gunung merapi, gempa bumi, angin puting beliung, tsunami, banjir dan tanah longsor adalah berbagai bentuk bencana alam yang kerap melanda Indonesia dalam kurun waktu satu dekade terakhir (BNPB 2009). Secara umum, bencana alam dapat dikategorikan ke dalam 2 bentuk yakni bencana yang terjadi secara alami, seperti; gempa bumi, tsunami, angin puting beliung, serta bencana yang terjadi karena perbuatan buruk manusia, yang merusak lingkungan, seperti; banjir, longsor, kekeringan dan kebakaran hutan. Penyebab bencana akibat perilaku manusia mulai terlihat sejak revolusi industri berlangsung di negara-negara maju. Lingkungan global secara signifikan mulai terkontaminasi dan membawa dampak pada perubahan iklim mikro dan makro (Hadad 2010). Salah satu jenis bencana alam yang kerap terjadi akibat ulah perilaku manusia serta didukung oleh perubahan iklim yang ekstrem adalah tanah longsor. Peristiwa tanah longsor merupakan bencana alam yang sering dikaitkan dengan degradasi hutan dan lahan akibat alih fungsi. Isu lain yang berkembang sebagai penyebab bencana longsor adalah pengembangan kegiatan yang tidak sesuai dengan karakteristik kawasan, misalnya pengembangan budidaya (BPDAS Citarum-Ciliwung 2008). Ditambah dengan pembangunan yang tidak sesuai dengan tata ruang wilayah. Berbagai kegiatan
pengembangan
dan
pembangunan
tersebut
bertujuan
untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga solusinya dilegalkan melalui perijinan pemerintah setempat. Pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi menyebabkan perubahan perilaku manusia, sehingga kondisi alampun semakin terdegradasi. Perubahan perilaku manusia dalam perspektif dominasi lingkungan dijelaskan oleh Auguste Comte (Susilo, 2008) bahwa telah terjadi peralihan perkembangan masyarakat dari tahap teologi dan metafisik menuju tahap positif (ilmiah), dimana
2
kerusakan lingkungan yang ditengarai sebagai akibat dari revolusi industri merupakan tahap dimana lingkungan tidak lagi mendominasi kehidupan manusia. Sebaliknya, manusialah yang mendominasi bahkan mengendalikan lingkungan melalui penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi (modernisasi dan industrialisasi). Merujuk pada Beck (2000), perubahan iklim akibat perubahan perilaku manusia yang bergeser dari pola-pola tradisional menuju perilaku ”moderen” yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan industrialisasinya telah mengantarkan Indonesia berada pada risk society yakni kondisi masyarakat yang kian dicengkram oleh individualistik dan kekuatan pasar yang disebabkan manufactured risk (bencana akibat perbuatan dan keputusan politik yang tidak tepat). Indonesiapun mendapat julukan baru sebagai negeri bencana alam. Dampak dari bencana alam bukan pada penurunan kualitas pada aspek ekologi saja, namun aspek sosial-ekonomi, budaya bahkan politik juga ikut terganggu. Beragam persoalan berpotensi menimbulkan dan atau memperparah persoalan kemiskinan, keamanan, ketersediaan pangan, kesehatan dan perencanaan tata kota yang telah hadir lebih dulu. Pada akhirnya persoalan ekologi, sosial, ekonomi dan budaya menjadi satu matarantai yang saling terkait (hubungan kausalitas) dan membutuhkan penanganan yang bersifat terpadu dan sustainable bukan temporer dan parsial. Kompleksnya
persoalan
yang
ditimbulkan
oleh
bencana
alam
membutuhkan penanganan secara mikro (lokal) maupun makro (nasional hingga global) yang membutuhkan perhatian dan tanggungjawab besar serta sinergi dari para pihak, khususnya pemerintah. Lebih jauh tentang bagaimana menangani daerah rawan bencana dituangkan ke dalam Undang-undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang kemudian diikuti dengan keluarnya beberapa turunan Undang-undang tersebut yakni Peraturan Presiden No. 08/2008
tentang
Badan
Nasional
Penanggulangan
Bencana,
Peraturan
Pemerintah No.21/2008 tentang Penyelenggaraan penanggulangan bencana, Peraturan Pemerintah No.22/2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, Peraturan Pemerintah No.23/2008 tentang Peran serta lembaga internasional dan lembaga asing non pemerintah dalam penanggulangan bencana.
Lahirnya
Undang-undang
tersebut
memperlihatkan
keseriusan
3
pemerintah memberikan payung hukum bagi para pihak untuk menangani daerah rawan bencana secara lebih baik. Terkait dengan keseriusan pemerintah dalam menanggulangi bencana, pihak Bappenas telah melakukan evaluasi penanggulangan bencana pada tahun 2009 ke beberapa daerah dan masih ditemukan berbagai persoalan yang menyebabkan lemahnya perhatian pemerintah dan pihak terkait lainnya ke masyarakat yang tinggal di titik-titik rawan bencana. Tak jarang ditemui sejumlah aksi dan program yang mengatasnamakan solidaritas dan kepedulian namun tidak saling terkordinir sehingga terkesan masing-masing beraksi lebih dikarenakan adanya kepentingan lain. Aksi saling tumpah tindih dan cenderung tidak terkoordinasi bukannya meringankan penderitaan warga yang terdampak, justru menambah penderitaan mereka (Schiller et.al. 2008) Pada akhirnya, penanggulangan bencana masih bersifat teknis, temporer dan parsial. Penanggulangan bencana masih sering didefinisikan sebagai bantuan dan pertolongan, belum dianggap sebagai program penanggulangan yang menyeluruh, sehingga pelaksanaannya baru bersifat reaktif dan kurang konsepsional (Andjasmaja 1994). Belum
optimalnya
pelaksanaan
peran
dan
fungsi
pemerintah
mengakibatkan kondisi masyarakat yang hidup pada daerah rawan bencana sulit memperoleh jaminan keamanan dan kenyamanan, meskipun kelembagaan formal telah dibangun oleh pemerintah guna menanggulangi bencana alam seperti Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB) yang kemudian digantikan fungsinya oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Upaya penanggulangan bencana memang tidak seharusnya dibebankan ke pundak pemerintah saja. Seluruh komponen masyarakat harus terlibat aktif dalam upaya penanggulangan bencana. Sebagus apapun program pemerintah, tanpa dukungan dari berbagai pihak maka upaya penanggulangan tidak akan berjalan optimal, demikian halnya sebaliknya. Kahn dan Barondess (2008) mengatakan bahwa kerangka konstitusional, hukum dan sosial suatu negara merupakan penentu kunci terkait fungsinya dalam merespon bencana. Pemerintah
selaku
pihak
yang
memiliki
power
seyogyanya
mampu
mengintegrasikan unsur-unsur masyarakat untuk bersama-sama menanggulangi bencana.
4
Terlepas dari kelemahan pemerintah dalam menanggulangi bencana alam, masyarakat yang tinggal dan bergantung hidup di daerah rawan bencana harus tetap bertahan dan melanjutkan hidup mereka dengan kondisi yang sangat riskan. Keterbatasan pilihan untuk bertahan hidup pada kondisi yang rentan terhadap bencana alam khususnya longsor membuat masyarakat setempat harus menjalaninya dengan cara-cara yang dianggap relevan. Pola atau perilaku sehari-hari masyarakat pada daerah rawan longsor mencerminkan cara mereka beradaptasi terhadap tempat tinggal. Pada daerah dengan peristiwa atau kondisi kerentanan yang sama, belum tentu melahirkan cara adaptasi yang sama, begitupun sebaliknya. Cara-pola adaptasi sedikit banyak dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana.
Masing-masing daerah
memiliki cara-bentuk adaptasi yang berbeda dan sebagian perbedaan tersebut dipengaruhi oleh interpretasi atau persepsi yang berbeda dalam memaknai peristiwa longsor (Donie 2006). Beberapa cara-pola adaptasi yang diterapkan oleh komunitas yang tinggal di daerah rawan longsor menunjukkan bagaimana pandangan mereka terhadap bahaya
longsor
sehingga perlu melakukan berbagai kegiatan mitigasi.
Diantaranya membentuk kelembagaan (organisasi) lokal Kelompok Masyarakat Peduli Bencana (KMPB) yang berfungsi memantau gejala awal terjadinya longsor serta evakuasi dini, membentuk sistem peringatan dini dengan pembagian peran antar
warga untuk memantau gejala awal terjadinya longsor,
bahkan
membangun kembali rumah dengan dengan beton bertulang, bagi yang kurang mampu mereka membangun rumah dengan bahan kayu agar terhindar dari bahaya longsor (Parlindungan dkk. (2008), Mukhlis dkk. (2008), Hariyanto dkk. (2009)). Manusia sebagai makhluk adaptif akan mengoptimalkan kekuatan-potensi yang dimiliki sembari belajar untuk hidup selaras dengan kondisi alam bahkan bersahabat dengan bencana (longsor). Bentuk adaptasi terhadap lingkungan di beberapa tempat telah berjalan lama bahkan telah mengakar dan menjadi sebuah kelembagaan lokal yang sarat akan nilai-nilai luhur, misalnya akar falsafah Tri Hita Karana di Bali, Berguru pada Alam di Minangkabau dan Hamemayu Hayuning Bawana serta tradisi seperti nyabuk gunung, bersih desa, serta larangan-larangan (pamali) di pedesaan Jawa dan lainnya.
5
Keberadaan dan atau kehadiran kelembagaan lokal baru pada komunitas rawan longsor dalam tingkatan norma (cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat istiadat) merupakan wujud adaptasi sosio-ekologi yang yang perlu dikaji dan terus dikembangkan agar kapasitas masyarakat terus meningkat untuk menghadapi perubahan lingkungan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. 1.2. Perumusan Masalah Terkait dengan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat pada daerah rawan longsor serta bagaimana mereka beradaptasi untuk dapat bertahan hidup maka dalam Undang-undang Penanggulangan Bencana No.24 Tahun 2007 terlihat bahwa peran Pemerintah dalam penanggulangan bencana masih menitikberatkan pada upaya minimalisasi kerugian (harta benda dan korban jiwa). Bagian-bagian yang menyatakan mengenai kelembagaan, penghargaan terhadap budaya lokal, kearifan lokal dan proses penyadaran masyarakat masih minim. Padahal sebagai bangsa Indonesia yang kaya akan warisan nilai-nilai moral dan etika luhur, sangat penting untuk mengkaji dan mengangkat kembali ke dalam kehidupan masyarakat saat ini. Berangkat dari persoalan tersebut serta latar belakang penelitian ini maka kajian tentang kelembagaan lokal yang memuat norma-nilai serta kearifankearifan lokal pada sebuah komunitas rawan longsor merupakan hal penting yang perlu digali dalam kehidupan masyarakat, khususnya bagi mereka yang hidup di tengah keterpurukan kondisi lingkungan. Kajian tentang kelembagaan lokal dapat dimulai dengan melihat (1) bagaimana fenomena-realitas bencana longsor yang terjadi pada suatu daerah rawan longsor ? Fenomena alam berupa bencana
longsor
yang
kerap
menimpa
suatu
menimbulkan suatu efek-pengaruh pada manusia.
wilayah
tentunya
akan
Pengaruh pertama yang
dapat diketahui adalah bagaimana pandangan mereka terhadap lingkungan sekitar yang secara ekologi telah mengalami penurunan kualitas. Semakin negatif pandangan mereka terhadap lingkungan di sekitar mereka maka secara psikologi akan menimbulkan rasa ketidaknyamanan dan ketidakamanan (stres). Masyarakat yang memilih untuk tetap bertahan tinggal dan tetap menggantungkan hidup mereka pada daerah yang rawan bencana tentunya akan melakukan tindakan atau perubahan sebagai bentuk adaptasi agar mereka dapat hidup dengan kondisi yang lebih baik. Oleh karenanya, untuk mengetahui sejauhmana cara pandang (persepsi) mempengaruhi tindakan penyesuaian
6
(adaptasi) yang dilakukan oleh anggota masyarakat maka penting untuk mengetahui (2) persepsi anggota masyarakat terhadap bencana longsor yang terjadi di daerah mereka. Mengacu dari perihal persepsi yang kemudian melahirkan sebuah tindakan adaptasi maka salah satu bentuk adaptasi terkait dengan persoalan longsor adalah adaptasi ekologi. Adaptasi ekologi merupakan tindakan penyesuaian yang akan terkait langsung dengan interaksi terhadap alam. Sebagai makhluk adaptif, maka manusia tidak akan pernah berhenti melakukan perubahan agar dapat hidup nyaman dan selaras dengan alam sekitarnya. Adapun wujud dari adaptasi ekologi tidak dapat dipisahkan dari perubahan-perubahan sosiologis lainnya, karena sebagai makhluk sosial dan makhluk ekonomi, manusiapun akan terus berinteraksi dengan sesamanya sehingga keselarasan dalam sebuah ekosistem (biotik-abiotik) dapat terjadi. Maka dari itu penting untuk mengetahui (3) bentuk adaptasi sosio-ekologi komunitas rawan longsor. Dalam
proses
adaptasi
dibutuhkan
pranata-tata
aturan
untuk
menyeimbangkan interaksi antara manusia dan alam. Untuk melahirkan sebuah paranata-tata aturan maka dibutuhkan kesepakatan-kesepakatan dalam sebuah komunitas. Kesepakatan-kesepakatan tersebut akan menjadi pondasi lahirnya kelembagaan lokal yang menjadi acuan dalam berinteraksi ataupun beraktivitas dalam rangka bertahan hidup pada kondisi ekologi yang rentan. Oleh sebab itu ke-3 permasalahan di atas akan saling terkait dan menjadi penting untuk menjelaskan (4) keberadaan dan kehadiran kelembagaan lokal sebagai bentuk adaptasi sosio-ekologi pada daerah rawan longsor. Dari uraian di atas, pertanyaan penelitian ini dirangkum sebagai berikut : 1.
Bagaimana fenomena-realitas bencana longsor yang terjadi pada suatu daerah rawan longsor ?
2.
Bagaimana persepsi anggota masyarakat terhadap bencana longsor ?
3.
Bagaimana bentuk adaptasi sosio-ekologi masyarakat pada daerah rawan longsor ?
4.
Bagaimana bentuk dan peran kelembagaan lokal sebagai bentuk adaptasi sosio-ekologi pada daerah rawan longsor
7
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian pada rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan : 1. Memperoleh gambaran tentang setiap kejadian longsor dan perubahanperubahannya pada suatu daerah rawan longsor secara obyektif, reflektif, interpretatif dan decisional (ORID). 2. Mengetahui persepsi warga setempat tentang fenomena longsor serta kemampuannya menanggulangi longsor 3. Mengetahui dan menganalisa bentuk-bentuk adaptasi sosio-ekologi pada daerah rawan longsor. 4. Mengetahui dan menganalisa bentuk dan peran kelembagaan lokal pada daerah rawan longsor sebagai bentuk terjadinya adaptasi sosio-ekologi. 1.4. Manfaat Penelitian Kajian tentang adaptasi sosio-ekologi pada masyarakat yang hidup di daerah rawan longsor merupakan salah satu bentuk penanggulangan bencana yang berbasis komunitas, dengan menggali potensi kelembagaan lokal berupa nilai-nilai, kearifan dan budaya yang selaras dengan alam. Harapannya adalah masyarakat yang mengalami bencana dapat survive dan ketika bencana terjadi kerugian materiil maupun non materiil dapat diminimalisir. Secara analitis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran terhadap analisa persoalan lingkungan yang berdampak pada berubahnya sistem ketahananan sosial suatu komunitas, begitupun sebaliknya menganalisis perubahan sosio-ekologis yang berdampak pada terjadinya bencana alam. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menyajikan bentuk kelembagaan lokal pada daerah rawan longsor sebagai wujud terjadinya adaptasi sosio-ekologi, sehingga dapat menjadi bahan masukan, informasi dan refleksi untuk perumusan kebijakan dalam pengambilan keputusan dan penetapan langkah dan upaya oleh instansi dan pihak-pihak terkait lainnya yang peduli terhadap komunitas yang hidup di daerah rentan bencana.
8
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup kelembagaan lokal (mulai dari cara, kebiasaan, tata kelakuan hingga nilai/adat istiadat) pada daerah yang telah disinyalir sebagai daerah rawan longsor, dengan melihat bagaimana bentuk adaptasi sosio-ekologi yang telah dilakukan. Adapun bencana yang dimaksud adalah bencana alam longsor yang terjadi sebagai akibat perubahan perilaku manusia yang didukung oleh gejala-gejala alam seperti kondisi tanah dan perubahan iklim mikro. Kajian dibatasi pada daerah yang (1) secara geologi memiliki karakteristik alam yang potensial melahirkan bencana longsor, dan (2) secara yuridis telah ditetapkan sebagai daerah rawan longsor oleh pemerintah, dalam hal ini BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Bencana Alam Longsor: Faktor Alam dan Perbuatan Manusia Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU 24/2007). Definisi lain tentang bencana yakni suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri (ISDR 2004). Bencana dapat dikategorikan menjadi 3 bentuk yakni bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial. Longsor merupakan salah satu jenis bencana alam yang ditandai dengan runtuhnya tanah secara tiba-tiba atau pergerakan tanah atau bebatuan atau puing-puing dalam jumlah besar ke arah bawah atau keluar secara tiba-tiba atau berangsur, di bawah pengaruh gravitasi bumi (Nugraha 2010). Bencana alam juga merupakan fenomena sosial akibat tingkat kemampuan komunitas lebih rendah dibandingkan dengan ancaman yang mungkin terjadi (Utami dkk. 2010). Pada umumnya longsor (gerakan tanah) terjadi karena lereng yang gundul atau kondisi tanah dan bebatuan yang rapuh dan tidak stabil. Hujan deras menjadi pemicu utama terjadinya tanah longsor. Lebih jauh Agus (2011) mengungkapkan peristiwa tanah longsor merupakan peristiwa terjadinya perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran yang bergerak ke bawah atau ke luar lereng. Proses terjadinya tanah longsor muncul ketika air yang meresap ke dalam tanah menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan atau ke luar dari lereng.
10
Nugraha (2010) menjelaskan secara detail tentang salah satu penyebab longsor yakni kemiringan suatu lereng. Semakin curam sudut kemiringan lereng suatu kawasan, semakin besar peluang terjadinya longsor. Hal tersebut disebabkan oleh material bumi pada lereng memiliki sudut mengaso atau stabil. Bebatuan kering akan tetap ditempatnya hingga kemiringan 30 derajat, akan tetapi tanah yang basah akan mulai meluncur jika sudut lereng lebih dari 1 atau 2 derajat. Lebih jauh lagi dijelaskan tentang gejala umum terjadinya bencana longsor (pergerakan-perpindahan massa tanah) dalam jumlah yang lebih besar yakni : 1.
Keretakan pada tanah, lantai, dan dinding bangunan. Bentuk-bentuk keretakan ada yang bersifat konsentris (terpusat) atau paralel dengaan lebar beberapa centimeter dan panjang retakan beberapa meter.
2.
Nampak reruntuhan bagian-bagian tanah dengan jumlah besar
3.
Muncul retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing. Biasanya retakan muncul setelah hujan deras
4.
Muncul mata air baru pada lereng secara tiba-tiba dengaan keadaan air yang keruh
5.
Tebing rapuh dan berkerikil, bebatuan mulai berjatuhan
6.
Terjadi penggembungan pada tebing lereng atau dinding penguat lereng
7.
Terjadi tanah amblas pada lereng
8.
Pohon-pohon atau tiang-tiang yang terpancang pada lereng menjadi miring Gejala perubahan tersebut mengindikasikan dua hal yakni kerusakan
lingkungan serta penurunan kualitas lahan, landskap dan ekosistemnya. Indonesia dengan karakteristik wilayah yang terdiri atas dataran tinggi dan rendah, curah hujan yang relatif tinggi, dan berada pada rangkaian ring of fire sangat rentan terhadap kejadian tanah longsor. Setidaknya terdapat 918 lokasi rawan longsor di Indonesia. Oleh karenanya, wilayah Indonesia memiliki tingkat resiko yang tinggi terhadap bencana tanah longsor. Setiap tahun kerugian yang ditanggung akibat bencana tanah longsor sekitar Rp 800 miliar, sedangkan jiwa yang terancam sekitar 1 juta (Nugraha 2010). Wilayah rawah longsor yang ada di Indonesia tersebar merata di hampir seluruh Propinsi. Hasil survey Vulkanologi Indonesia (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral) mengungkapkan data sebaran titik rawan longsor sebagai berikut; (1) Jawa Tengah 327 lokasi, (2) Jawa Barat 276 lokasi, (3) Sumatera
11
Barat 100 lokasi, (4) Sumatera Utara 53 lokasi, (5) Yogyakarta 30 lokasi, (6) Kalimantan Barat 23 lokasi dan sisanya tersebar di NTT, Riau, Kalimantan Timur, Bali, dan Jawa Timur (www.esdm.go.id/batubara/doc/489-pengenalan-gerakantanah.html). Berdasarkan data Departemen ESDM tahun 2009, Provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang paling tinggi frekwensi bencana longsornya. Disusul Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat,Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Papua. Peristiwa longsor yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia tersebut telah menimbulkan berbagai kerugian materiil, mulai dari korban jiwa, kerusakan rumah, lahan pertanian serta sarana infrastruktur berupa jalan. Jumlah kejadian berikut kerugian materil yang ditimbulkan oleh bencana longsor dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1
Daftar Kejadian dan Korban Bencana Tanah Longsor 2003-2005 di Indonesia
Korban Jiwa Jumlah RH Kejadian MD LL 1. Jawa Barat 77 166 108 198 2. Jawa Tengah 15 17 9 31 3. Jawa Timur 1 3 4. Sumatera Barat 5 63 25 16 5. Sumatera Utara 3 126 1 6. Sulawesi Selatan 1 33 2 10 7. Papua 1 3 5 Jumlah 103 411 149 256 Sumber : Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (2009) No.
Propinsi
Keterangan :
RR
RT
1.751 22 27 14 40 1.854
2.290 200 8 2.498
LPR (Ha) 140 1 70 540 751
JL (m) 705 75 60 80 920
MD = Meninggal Dunia, LL = Luka-luka, RH = Rumah Hancur, RR = Rumah Rusak, RT = Rumah Terancam, LPR = Lahan Pertanian Rusak, JL = Jalan Terputus.
Peristiwa longsor sering dikaitkan sebagai bencana akibat perbuatan buruk manusia
terhadap
alam.
Eksploitasi
lahan
secara
berlebihan
dengan
mengabaikan kondisi ekologi merupakan perilaku manusia yang dianggap sebagai
cerminan
perilaku
antroposentrisme.
Keangkuhan
paham
Antroposentrisme yang mengagungkan ilmu pengetahuan dan teknologi perlahan luruh akibat kelemahannya yang mengabaikan persoalan lingkungan, menganggap manusia sebagai makhluk tertinggi yang “bisa” mengeksploitasi alam demi pemenuhan kebutuhan (Keraf dalam Susilo 2008). Lebih jauh Susilo (2008) dan Usman (1998) menjelaskan bahwa perilaku buruk manusia sebagai dampak dari paham Antroposentrisme telah melampaui
12
batas ketika menganggap bahwa; (1) alam terbentang luas tidak akan habis digunakan oleh manusia karena alam memiliki kemampuan recovery, (2) teknologi bisa menyelesaikan segala persoalan manusia, terbukti dengan berbagai pencapaian ilmu pengetahuan moderen yang menghasilkan teknologi canggih di berbagai bidang; transportasi hingga kesehatan. Teknologi bahkan dianggap mampu menyelesaikan dampak-dampak negatif sebagai akibat pengrusakan lingkungan, terbukti dengan dihasilkannya mesin daur ulang sampah, alat pendeteksi pergerakan tanah, konstruksi bangunan tahan gempa, dan sebagainya, (3) etika untuk terus maju (growth ethic) dimana kemajuan manusia modern diukur melalui keberhasilan mengumpulkan kekayaan material (akumulasi materiil). Semakin berhasil manusia melakukan eksploitasi sumber daya alam, semakin sukses manusia mengendalikan hidupnya dan semakin banyak material income yang diperoleh, (4) kemoderenan yang diukur dengan tindakan konsumtif, alam menjadi sarana pemuas nafsu dan gaya hidup manusia-manusia moderen, dan (5) individualisme dimana sikap mementingkan kepentingan dan kebutuhan pribadi/golongan dengan mengabaikan keberadaan pihak lain yang akan terkena imbasnya. Pada akhirnya perubahan perilaku manusia yang mengeksploitasi alam, dengan dalih apapun telah menuai hasil yang merugikan ekosistem bahkan menelan korban jiwa. Bencana alam (termasuk longsor) telah menunjukkan kepada manusia bahwa kemampuan manusia yang mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi tidaklah menjawab persoalan bahkan membawa keburukan jika tidak dimanfaatkan secara bijaksana. Keprihatinan akibat bencana alam terus berkembang, di perkotaan maupun pedesaan. Perkotaan yang sarat dengan dukungan berbagai sarana-prasarana dan fasilitas teknis untuk menjalankan roda pembangunan ekonomi makro sangat bergantung oleh sustanabilitas pembangunan ekonomi mikro di pedesaan yang memiliki peran vital sebagai pendukung bagi keseimbangan alam, penyedia sumber pangan dan sumberdaya alam lainnya (Sudibyakto, dkk. 2010). Bencana alam yang terjadi akan saling mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi bahkan budaya dua wilayah, desa dan kota. Baik perkotaan maupun pedesaan membutuhkan perhatian dan penguatan kapasitas untuk mengurangi kerentanan terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh bencana alam. Penguatan kapasitas akan menjadikan masyarakat memiliki
13
ketahanan sehingga masyarakatpun lebih tangguh menghadapi bencana. Twigg (2007) mendefinisikan ketahanan masyarakat dalam 3 kategori yakni (1) kapasitas
untuk
menyerap
tekanan
atau
kekuatan-kekuatan
yang
menghancurkan melalui perlawanan atau adaptasi, (2) kapasitas untuk mengelola atau mempertahankan fungsi-fungsi dan struktur-truktur dasar tertentu selama kejadian-kejadian yang mendatangkan malapetaka, (3) kapasitas untuk memulihkan diri atau „melenting balik‟ setelah terjadinya bencana. Fokus pada ketahanan berarti memberikan penekanan yang lebih besar pada apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat bagi diri sendiri dan pada cara untuk memperkuat kapasitas. Dalam rangka peningkatan ketahanan masyarakat pada daerah rawan bencana maka keadaan sosial-budaya masyarakat harus dipahami dalam 6 tahap kejadian bencana (Marsella et.al. 2008) mulai dari pra bencana (sejarah kebencanaan), peringatan dan ancaman bencana (pengetahuan mengenai sistem sosial masyarakat dalam menciptakan tanggap bencana), kejadian bencana dan dampaknya, tanggap darurat (peran pengetahuan dan kearifan lokal), rekonstruksi serta tahap pembelajaran dan pencegahan (peran aktif masyarakat untuk melakukan aktivitas mitigasi) 2.2
Persepsi terhadap Lingkungan Alam merupakan lingkungan tempat manusia hidup dan berkembang.
Keberadaan alam di sekitar manusia akan mempengaruhi cara pandang dan pola interaksinya baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam itu sendiri. Jika manusia melihat alam sebagai suatu potensi yang dapat dinikmati namun juga dijaga kelestariannya maka manusia akan menciptakan interaksi yang harmonis. Namun jika manusia memandang alam sebagai alat-sarana pemenuh bahkan pemuas kebutuhan saja maka alam pun akan dieksploitasi. Cara pandang tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, internal dan eksternal. Faktor internal dan eksternal dapat dipahami dengan melihat bagaimana manusia
membentuk
persepsinya.
Faktor
internal
individu
(misalnya;
pengetahuan, wawasan, kepekaan) didukung oleh faktor eksternal yakni objek yang menjadi fokus perhatian (misalnya; lahan, lingkungan, cuaca) akan saling mempengaruhi dan berhubungan dalam membentuk persepsi. Seorang petani dengan pengetahuan dan kepekaannya mengamati siklus musim yang semakin
14
tidak menentu sehingga berdampak pada menurunnya produktivitas lahan akan membentuk persepsi petani tersebut tentang dampak perubahan iklim. Perihal tersebut secara tegas tersirat dalam konsep yang dikemukakan oleh Paul A.Bell, et al. (1978) tentang persepsi individu terhadap lingkungannya. Jika persepsi berada dalam batas-batas optimal maka individu dikatakan dalam keadaan homeostatis, yaitu keadaan yang serba seimbang. Sebaliknya, jika objek dipersepsikan sebagai di luar batas-batas optimal
maka individu akan
mengalami stress dalam dirinya. Tekanan-tekanan energi dalam dirinya meningkat sehingga orang itu harus melakukan coping untuk menyesuaikan dirinya atau lingkungan pada kondisi dirinya. Skema persepsi yang dikemukakan oleh Paul A.Bell, et al. (1978) dapat dilihat pada gambar 1.
Objek Fisik
Homeo statis
Dalam batas optimal Persepsi
Sukses Di luar batas optimal
Individu
Adaptasi / Adjusment
Coping Gagal
Stress Berlanjut
Gambar 1 Skema Persepsi oleh Paul A.Bell, et al. (1978)
Cara pandang manusia terhadap lingkungannya akan mempengaruhi bentuk adaptasi masyarakat tersebut. Semakin mereka memaknai “negatif” kondisi lingkungan di sekitar mereka maka semakin besar pula upaya (adaptasi) yang dilakukan untuk dapat bertahan hidup. Pada kondisi lingkungan yang sama bisa dijumpai bentuk-pola adaptasi yang berbeda. Perbedaan adaptasi tersebut disebabkan oleh persepsi yang tidak sama
terhadap
suatu
lingkungan.
Persepsi
yang
berbeda-beda
akan
menghasilkan pilihan-pilihan strategi adaptasi yang berbeda-beda pula meski pada akhirnya keberhasilan yang diperoleh dalam beradaptasi belum tentu memiliki kualitas yang berbeda jauh. Seperti yang dikemukakan oleh Bell, et al. (1978) tentang pembentukan adaptasi yang diawali dari persepsi terhadap lingkungan maka kajian longsor ini akan mengacu pada konsep tersebut. Namun demikian untuk melengkapi konsep-teori yang telah dikemukakan oleh Bell, et al. maka unsur lain yang
15
memiliki keterkaitan langsung terhadap persepsi dan lahirnya adaptasi yakni persepsi diri terhadap kemampuan diri (self efficacy). Kepercayaan akan kemampuan diri disini berarti bahwa manusia atau suatu komunitas akan mampu melakukan
perubahan-penyesuaian
(adaptasi)
jika
mereka
memandang
(menpersepsikan) bahwa keadaan dan lingkungan yang berbahaya dapat diatasi dan dipertahankan dengan memunculkan hal-hal yang baik serta meninggalkan hal-hal yang dapat menambah kerusakan lingkungan. Adaptasi pada dasarnya merupakan suatu kerangka teoritis untuk memahami mekanisme yang diciptakan manusia untuk menyesuaikan diri mengatasi atau menyesuaikan lingkungan dengan kehidupan dan keinginankeinginannya. Untuk itu, dapat dikatakan bahwa adaptasi merupakan suatu proses di mana organisme atau kelompok organisme, termasuk kelompokkelompok sosial seperti keluarga, kerabat, suku bangsa, negara atau pada pokoknya masyarakat dan ekosistemnya, mempertahankan keseimbangan (homeostasis) untuk menghadapi lingkungannnya. Perbedaan sikap dan tindakan sebagai bentuk adaptasi manusia dipengaruhi dari seberapa besar persepsi mampu melahirkan sikap dan keyakinan atau kepercayaan diri yang tinggi (self efficacy). Peranan dan pengaruh dari self efficacy menumbuhkan keyakinan untuk mampu mengatasi kecemasan dan depresi (Cheung dan Sun 2000 dalam Baron dan Byrne 2003). Self efficacy pada daerah rawan longsor dapat dilihat dari cara mereka menpersepsikan penyebab bencana. Sifat fatalistik cenderung pasrah sehingga tidak melakukan tindakan yang lebih baik untuk melakukan upaya panggulangan merupakan indikasi rendahnya self efficacy yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Misalnya, pada Desa Purwoharjo yang disinyalir sebagai daerah rawan longsor memiliki pola adaptasi yang berbeda antar sesama warga yang tua dan warga muda. Warga tua menganggap bahwa bencana longsor adalah hukuman akibat ulah warga yang menebang pohon sehingga cenderung pasrah menerima “hukuman” dan tidak melakukan hal-hal yang lebih baik, berbeda dengan warga lain yang menyadari bahwa longsor sebagai akibat dari perbuatan warga yang melakukan pengrusakan hutan sehingga mereka memperbaiki kesalahan dengan tidak melakukan penebangan dan memberikan sanksi berat kepada yang melanggar. Adapun warga muda menganggap bahwa bencana longsor terjadi akibat kualitas lahan tempat mereka tinggal dan bercocoktanam sudah
16
tidak baik sehingga untuk dapat hidup aman mereka harus mencari lahan yang baru dan pindah (Donie 2006). Kajian lain yang serupa adalah di Gunung Kidul. Gunung Kidul merupakan daerah yang telah disinyalir oleh pemerintah sebagai daerah rawan longsor. Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut, mereka menganggap bahwa longsor adalah jatuh-amblasnya tanah secara besar, sehingga longsor kecil dianggap sepele dan akibatnya pola bercocok tanam masyarakatpun tidak berubah (Mardiatno, dkk 2001). Persepsi manusia terhadap bencana memang tidak selalu berada dalam batas-batas kendali tingkah laku manusia, khususnya bencana alam seperti longsor. Selain itu, sifat bencana adalah tidak terduga, kejadiannya tiba-tiba, dalam jumlah atau kekuatan yang besar sehingga menimbulkan kerugian yang besar pula. Kerugian material maupun jiwa itu timbul karena manusia bersangkutan
tidak
siap
untuk
menghadapi
bencana.
Kesiapan
untuk
menghadapi bencana itu bisa dilakukan karena sebagian bencana alam bisa diramalkan atau diperhitungkan datangnya melalui ilmu pengetahuan baik yang bersifat tradisional yakni tanda-gejala alam maupun hasil deteksi teknologi canggih. Persepsi tentang bencana alam yang merupakan bagian dari persepsi terhadap lingkungan mendapat perhatian khusus dalam psikologi lingkungan (Umar 2009). Melalui pendekatan psikologi lingkungan diharapkan akan muncul pembentukan sikap yang positif terhadap pelestarian lingkungan dan dalam berbagai situasi dapat diupayakan timbulnya sikap yang lebih waspada dan berjaga-jaga terhadap kemungkinan datangnya bencana susulan. Misalnya, menipisnya kawasan hutan yang disebabkan oleh lahan-lahan yang diokupasi penduduk
dan
dimanfaatkan
untuk
kawasan
permukiman,
pariwisata,
perindustrian, atau pertanian. Jelaslah bahwa penduduk yang memanfaatkan lahan-lahan bekas hutan itu tidak menyadari bencana yang bisa ditimbulkan dengan perilaku mereka. Dengan kata lain, bencana itu tidak terekam dalam persepsi mereka, ataupun kalau terekam ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan mereka kurang memberi perhatian pada masalah ini. Sejalan dengan hasil kajian Marfai dan Khasanah (2012), perbedaan cara pandang akan melahirkan bentuk partisipasi yang tidak maksimal oleh kalangan masyarakat, dan hal tersebut berdampak pada terhambatnya penanganan
17
bencana. Sejauhmana masyarakat memandang persoalan bencana akan membawa dampak kepada perilaku manusia. Burton dan Kates dalam Sarwono (1992) menyebutkan bahwa suatu bencana akan melahirkan tiga efek terhadap manusia, yakni efek kritis, efek tanggul dan efek adaptasi. a.
Efek kritis (crisis effect), terjadi pada awal bencana dan selama bencana itu berlangsung. Pada saat itu orang berusaha mengatasi bencana dan menyelidiki penyebab bencana itu. Namun masalah yang ditimbulkan oleh bencana itu sendiri baru bisa diatasi setelah bencana itu berlalu. Efek kritis melahirkan gagasan tentang bagaimana mengatasi bencana jika terjadi lagi pada masa yang akan datang.
b.
Efek tanggul (levee effect), tindakan yang diambil untuk mencegah bencana berikutnya. Manusia memang cenderung untuk mengatur lingkungan di sekitar mereka dengan membuat berbagai macam mekanisme perlindungan, misalnya membuat tanggul untuk mencegah banjir. Efek tanggul ini adalah tindak lanjut dari gagasan yang timbul sebagai akibat efek krisis.
c.
Efek adaptasi merupakan penyesuaian-perubahan yang dilakukan manusia secara konsisten dan akhirnya menjadi permanen (efek tanggul yang permanen). Misalnya, orang yang tinggal di daerah banjir membuat rumahrumah panggung sehingga air banjir tidak menjangkau ruangan dalam rumah. Mereka pun menyediakan perahu-perahu untuk sarana transportasi selama musim banjir. Namun di lain sisi, adaptasi bisa berbahaya karena ada peningkatan ambang toleransi terhadap bahaya sehingga kepekaan terhadap bencana berkurang. Akibatnya, jika bencana itu terjadi lagi, orang kembali tidak siap sehingga usaha dari efek tanggul tidak ada gunanya. Contohnya adalah petani-petani di lereng-lereng bukit. Walaupun beberapa tahun sekali kampung dan sawah mereka rusak dan habis dilanda longsor, tetapi setelah efek krisis berlalu beberapa waktu, mereka mulai lagi bertani dan membangun perkampungan di tempat lama, sampai tiba saatnya mereka kembali dilanda bencana. Efek adaptasi yang meningkatkan ambang toleransi merupakan faktor yang
perlu diwaspadai sebab akan mengurangi kewaspadaan dan sikap siaga terhadap bencana selanjutnya. Berbeda dengan hasil kajian Siegel dkk. (2003) pada korban gempa California yang menyatakan bahwa luka psikis pasca
18
bencana akan membuat seseorang lebih siap dalam menghadapi bencana berikutnya 2.3
Adaptasi Lingkungan: Dinamika Interaksi antara Manusia dan Alam Persoalan bencana alam seolah memaksa manusia untuk mengakui
bahwa manusia tidak dapat hidup dengan mengabaikan keberadaan alam. Dalam kehidupannya, manusia akan senantiasa berinteraksi dengan alam, dan interaksi tersebut telah menjadi perhatian banyak peneliti. Banyak kajian yang dilahirkan mulai tahun 1910-1980 yang melahirkan 6 teori tentang perkembangan hubungan interaksi antara manusia dengan lingkungannya, yaitu (1) environmental determinisme, (2) environmental possibilisme, (3) cultural ecology, (4) the ecosystem-based model of human ecology, (5) the actor-based model of human ecology dan (6) the systems model of human ecology (Rambo, 1983). Hasil interaksi manusia dengan alam merupakan sebuah bentuk penyesuaian manusia terhadap lingkungan sekitarnya atau biasa dikenal dengan istilah adaptasi ekologi. Terkait dengan adaptasi ekologi, salah satu kajian populer yang menggambarkan tentang interaksi masyarakat terhadap lingkungan adalah hasil kajian Julian Steward (1955) yang dikenal dengan teori Cultural Ecology pada komunitas Indian Shosone. Menurut Steward, ekologi manusia didasarkan pada asumsi bahwa kebudayaan telah berkembang dalam lingkungan-lingkungan lokal yang tidak lepas dari kebudayaan inti (a cultural core). Dari sudut pandang ekologi budayanya, Steward mengemukakan adaptasi sebagai suatu strategi penanggulangan oleh manusia dalam merespon umpan balik negatif dari suatu ekosistem. Umpan balik yang dimaksud adalah segala perubahan yang disebabkan oleh lingkungan, baik ekosistem itu sendiri (lingkungan biofisik) maupun sistem sosial. Secara konseptual, pandangan tersebut sejalan dengan persoalan ekologi yang dihadapi oleh masyarakat yang hidup di daerah rawan longsor. Dalam konteks ekologi budaya, Julian Steward (1955) lebih jauh membedakan aspek budaya ke dalam 2 kategori yakni inti (core) dan non inti. Core budaya yang dimaksud adalah teknologi, populasi, kelembagaan ekonomi dan organisasi sosial. Adapun non core yakni ideologi, agama, kesehatan hingga
19
bahasa merupakan faktor yang juga memberikan kontribusi lahirnya tindakan adaptif. Lebih jauh Steward menekankan bahwa diantara keempat core budaya, teknologilah yang memiliki hubungan timbal balik secara intens terhadap lingkungan. Adapun bagian-bagian kebudayaan yang berada di luar (non inti) yakni agama, bahasa, nilai dan seni merupakan hasil difusi dari lingkungan sosial yang ikut mempengaruhi bentuk organisasi sosial yang ada pada suatu komunitas. Steward menggambarkan model Cultural Ecology tersebut seperti yang terlihat pada gambar 2.
Pembauran Difusi dari Masy.Lain LINGKUNGAN SOSIAL
Ideologi
Kesehatan
Agama Non Inti budaya
Bahasa Organisasi Sosial Politik Inti (Core) Budaya
Populasi Penduduk Teknologi Pengelolaan SDA
Kelembagaan Ekonomi
Pengaruh EkologiPembauran Difusi dari Masy.Lain
LINGKUNGAN-ALAM
Gambar 2 The Model of Cultural Ecology By.Julian Steward (Rambo 1983)
Secara teknis, pandangan Steward yang membedakan budaya menjadi 2 bagian yakni core dan non core juga berguna dan efektif untuk melihat sejauhmana lingkungan alam dan sosial mempengaruhi perubahan (adaptasi) suatu komunitas, termasuk komunitas yang hidup pada daerah rawan longsor. Ilustrasi sederhana misalnya, (1) penggunaan teknologi dalam hal pengelolaan SDA seperti teknik konservasi tanah dengan membuat terasering sehingga luncuran air tanah di lahan-lahan miring tidak deras dan dapat tertahan secara bertahap atau teknik menanam yang disesuaikan dengan kondisi tanah, misalnya menanam jenis tanaman yang meiliki akar yang kuat sehingga mampu mengikat tanah dan menekan laju pergerakan tanah. (2) Unsur Populasi merupakan faktor manusia yang secara langsung akan mempengaruhi lingkungan sekitar. Mulai dari jumlahnya, pola pemukiman, penyebaran dan
20
pengaruh-tekanan terhadap lahan dan SDA. Adapun (3) kelembagaan ekonomi dan (4) organisasi sosial dan politik merupakan faktor yang akan mempengaruhi kebijakan, perubahan dan dinamika interaksi antara manusia dengan manusia serta manusia dan alam. Permasalahan yang dihadapi oleh komunitas rawan longsor serupa dengan persoalan yang dihadapi oleh komunitas Indian Shosone yang hidup di habitat semi-padang pasir gersang. Kedua komunitas memiliki kualitas ekologi yang sama-sama tidak memadai. Study Steward (1955) pada komunitas Indian Shosone menggambarkan tentang populasi yang sedikit, band-band kecil dan tersebar, pola pemukiman yang fleksibel, dan kelangkaan teritori serta kelangkaan pemimpin-pemimpin yang kuat merefleksikan ketidakmampuan teknologi Shosone dalam mengekstraksi suatu suplai pangan stabil pada suatu sumberdaya yang tersedia di lingkungan yang gersang. Kesesuaian konsep dan kegunaan serta efektifitas pandangan Steward tersebut menjadi alasan tersendiri untuk menggunakan konsep Cutural Ecology pada kajian ini. Selain itu, pertimbangan bahwa teori Steward sebagai ilmuwan pertama yang mengkaji tentang pengaruh budaya yang mempengaruhi interaksi antara alam dan manusia merupakan konsep dasar (pondasi) yang masih relevan bahkan terus berkembang dan menjadi inspirasi lahirnya teori-teori serupa oleh para ilmuwan. Tokoh ekologi budaya lainnya, Alland (1975) yang didukung oleh Harris (1968) dan Moran (1982) bahwa adaptasi adalah suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap perubahanperubahan ingkungan dan sosial. Hingga saat ini, kajian serupa terus mengalami perkembangan yang signifikan dengan masuknya berbagai bidang ilmu seperti; Antropologi, Ekonomi, Sosiologi, Geografi, Sejarah hingga Politik (Adiwibowo 2010). Kasus Indian Shosone pada kajian Steward didukung oleh Cliford Geertz (1963) yang meyatakan bahwa hubungan timbal balik antara kebudayaan dan lingkungan sangatlah jelas. Mereka memandang bahwa dinamika organisasi sosial
budaya
sebagai
produk
dari
proses adaptasi
manusia
dengan
lingkungannya. Pada kondisi lingkungan tertentu akan tumbuh beberapa pranata atau institusi yang berpola tertentu.
21
Menurut pandangan mereka (Steward dan Geertz), kebudayaan terbentuk dari pengaruh ekologi yang ada di lingkungan alam dan dari difusi sifat-sifat bawaan yang ada pada lingkungan sosial. Kebudayaan dan lingkungan hidup memiliki peran besar yang saling mempengaruhi. Lingkungan hidup (alam) memiliki pengaruh atas budaya dan perilaku manusia dan dalam waktu yang bersamaan, manusia juga mempengaruhi perubahan-perubahan lingkungan hidupnya. Data ilmiah menunjukkan bahwa perilaku manusia sangat bervariasi antara kultur (budaya) yang satu dan yang lainnya (Hall & Barongan 2002). Kajian Clifford Geertz (1983) tentang
pola adaptasi masyarakat di
Indonesia menjelaskan bahwa kondisi alam yang berbeda ekosistem akan mempengaruhi pola kebudayaannya. Geertz membedakan antara ekosistem Indonesia Dalam (Inner Indonesia) seperti Jawa, Bali, dan Lombok, yang menerapkan sistem sawah karena kondisi tanahnya yang lebih subur (muda, kaya hara), sedangkan Indonesia Luar (Outer Indonesia) yakni pulau-pulau yang ada di luar Pulau Jawa seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua mempraktekkan sistem ladang berpindah karena tanahnya yang kurang subur (tua, miskin hara) dengan kepadatan penduduk yang masih rendah. Hal senada juga diungkapkan oleh Bennet (1976) yang mengemukakan bahwa manusia akan selalu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya, baik secara biologis/genetik maupun secara budaya. Masyarakat dapat survive meski dalam kondisi rentan jika mampu beradaptasi dengan mengoptimalkan kekuatan yang tersedia. Lebih jauh Bennet menyatakan bahwa unsur-unsur kebudayaan dan efeknya pada unsur-unsur lingkungan hidup merupakan hasil prilaku manusia yang dikendalikan oleh keputusan dan pilihan tertentu. Keputusan dan pilihan itu merupakan ekspresi adaptasi terhadap lingkungan hidup dan proses-proses perubahannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa adaptasi sebagai suatu prilaku yang secara sadar dan aktif dapat memilih dan memutuskan apa yang ingin dilaksanakan sebagai usaha penyesuaian. Proses adaptasi terkait dengan pengetahuan dan perilaku dimana manusia fokus pada cara-cara aktif dari pertalian manusia dengan fenomena alam. Hal itu menunjuk pada mekanisme bagaimana manusia memperoleh keinginannya atau menyesuaikan hidupnya kepada lingkungan pergaulannya atau sebaliknya menyesuaikan lingkungan kepada tujuan-tujuan hidupnya.
22
Haviland (1981) juga mengemukakan bahwa pada prinsipnya adaptasi merupakan proses penyesuaian diri manusia (sebagai bagian dari sistem sosial) untuk merespon terhadap perubahan-perubahan di sekelilingnya, termasuk lingkungan fisik dan sosial budaya. Asumsi penjelasan di atas berkembang karena adanya pemikiran bahwa manusia dan lingkungannya bukan merupakan suatu hal yang bersifat stagnan atau statis. Proses adaptasi sangatlah dinamis karena lingkungan dan populasi manusia terus berubah. Menurut Usman (1998), bentuk adaptasi terhadap lingkungan sebagian ditentukan oleh arah interaksi sosial. Karena itu, strategi-strategi yang dipilih untuk melakukan adaptasi seringkali tidaklah murni datang darinya, tetapi juga merupakan hasil diskusi dengan orang lain, bahkan sebagian produk imitasi. Masyarakat akan membangun apa yang lazim disebut idea wolds yaitu pola fikir yang dilembagakan dalam masyarakat, dijadikan reference bagi anggotanya dalam bersikap dan bertindak terhadap lingkungan. Apabila masyarakat telah memiliki
dan
mengetahui
konsep-konsep
penanganan
lingkungannya,
diasumsikan bahwa mereka juga akan memiliki tingkat cara sendiri dalam menangani masalah lingkungan. Beberapa kajian yang menjelaskaan tentang bentuk adaptasi masyarakat lokal terhadap lingkungannya di Indonesia telah banyak ditemukan. Diantaranya adalah strategi adaptasi masyarakat Kampung Naga, Jawa Barat yang membagi kawasan ke dalam 3 bagian yakni (1) kawasan suci berupa kawasan hutan yang tidak boleh dikunjungi oleh sembarang orang yakni leuweung larangan yang artinya hutan penuh pantangan, (2) kawasan bersih berupa pemukiman tempat untuk pemukiman, lumbung padi, masjid dan bale pertemuan, (3) kawasan kotor berpa kawasan yang diperuntukkan bagi bangunan penunjang dalam bentuk sederhana seperti tempat mencuci, mandi, kandang ternak, kolam, dan sebagainya. Pembagian kawasan merupakan bentuk teknologi sederhana masyarakat Kampung Naga yang didasarkan pada kearifan dan pengetahuan lokal untuk menselaraskan hubugan antara alam dan manusia. Kawasan Suci berfungsi sebagai pengatur sistem hidrologi (tata air), memelihara iklim mikro serta menjaga habitat satwa liar. Dalam kehidupan sehari-hari, Masyarakat Kampung Naga masih menjaga tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal yang ditunjukkan dalam bentuk ritual-ritual serta ketaatan mematuhi dan tidak melanggar pantangan (Iskandar 2009).
23
Bentuk teknologi lainnya yang mencerminkan cara-cara memperlakukan alam agar kehidupan selaras dapat terus bertahan ditemukan pada komunitas Suku Kajang di Bulukumba-Sulawesi Selatan (Sylviani 2005). Terdapat satu falsafah hidup yang mereka junjung tinggi yakni pandangan para leluhur mereka bahwa pendidikan Pasang ri Kajang hampir sama dengan pendidikan formal di sekolah, sehingga sejak dini falsafah tersebut telah ditanamkan. Pasang ri Kajang merupakan pemahaman tentang kesakralan hutan-alam yang tidak dapat diganggu. Kearifan ekologi untuk pelestarian lingkungan mereka lakukan sepanjang masa hingga saat ini. Bentuk-bentuk adaptasi yang dilakukan oleh beberapa komunitas tersebut merupakan bentuk adaptasi kultural yakni penyesuaian dengan norma dan pranata sosial, adat istiadat dan berbagai aktivitas manusia dari waktu ke waktu dan pada akhirnya menyatu dengan manusianya. 2.4
Kelembagaan Lokal Kelembagaan lokal dalam kajian ini lebih menekankan pada konsep
kelembagaan lokal yang didefinisikan oleh Uphoff (1986) yakni suatu himpunan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang biasa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Dalam hal ini kelembagaan lokal merupakan upaya pemenuhan kebutuhan bersama yang dilembagakan1. Menurut tingkatan pengambilan keputusan dan aktivitas suatu kelompok maka istilah lokal oleh Uphoff dibagi menjadi 3 kategori yakni locality level, community level dan group level. Konsep lokal pada kajian ini mengacu pada community level (tingkat komunitas) dengan ciri memiliki kemampuan untuk memanfaatkan dan mengelola potensi sumberdaya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan sosial-ekonomi pada wilayah/area tertentu. Dari ciri tersebut maka komunitas dapat dikatakan sebagai sekumpulan orang di suatu kawasan yang membangun kehidupan sosio-budayanya berdasarkan potensi sumberdaya alam yang dimiliki dalam rangka bertahan bahkan berkembang. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan bersama, konsep Uphoff (1986) sejalan dengan pemikiran Harton dan Hant dalam Taneko (1984) yang 1
Soekanto mengidentifikasinya atas empat hal, yaitu a) memenuhi kebutuhan pokok manusia, b) memberi pedoman pada anggota masyarakat bagaimana mereka bersikap dan bertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia, c) menjaga keutuhan masyarakat, dan d) memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial. (Soekanto, 1990).
24
menyatakan bahwa kelembagaan itu sebagian besar muncul dari kehidupan bersama dan merupakan hal yang tidak direncanakan. Masyarakat pada awalnya mencari cara-cara yang dapat digunakan sebagai wadah memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kemudian mereka menemukan beberapa pola yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dalam proses selanjutnya diperkuat melalui kebiasaan yang dibakukan. David dan Nort dalam Hayami dan Kikuchi (1981) mengklasifikasikan kelembagaan (institusional) dalam dua sub kategori yaitu : 1. Lingkungan pranata dasar (the basic institutional environment) yakni seperangkat aturan-aturan keputusan dasar dan hak-hak pemilihan yang dapat dispesifikasikan ke dalam hukum formal atau prinsip-prinsip adat kebiasaan yang dianggap suci oleh tradisi. 2. Susunan pranata sekunder (the secondary institusional arrangement) yakni bentuk-bentuk persetujuan khusus yang mengatur cara-cara bagaimana unitunit ekonomi dapat berkompetisi atau bekerjasama dalam pemakaian sumberdaya. Konsep tersebut secara implisit menyatakan bahwa keberadaan sebuah kelembagaan dalam bentuk rules of the game pada akhirnya muncul sebagai bentuk adaptasi yang tidak lepas dari pilihan masyarakat setempat dalam bertindak
(beraktifitas)
dengan
memanfaatkan
kesempatan
yang
ada.
Kelembagaan sebagai aturan main oleh Schmid (1987) diartikan sebagai suatu gugus aturan tentang hubungan antar individu dalam sistem sosial yang mencerminkan hak dan kewajiban. “Seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung-jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan/atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu”. Sejalan dengan konsep kelembagaan tersebut, penting mengkaji 3 ciri kelembagaan yang dikemukakan oleh Schmid (1987), yakni (1) batas yurisdiksi (yurisdiction of boundary); (2) hak kepemilikan (property rights); (3) aturan-aturan representasi (rules of representation). Pertama, batas yurisdiksi diartikan sebagai wilayah kekuasaan atau batas wewenang yang dimiliki oleh suatu komunitas. Kehadiran dari kelembagaan lokal yang terbentuk semestinya diterima oleh
25
komunitas setempat dalam menghadapi perubahan lingkungan yang terjadi secara ekstrem (longsor). Kedua, hak kepemilikan dimaksudkan sebagai hasil kesepakatankesepakatan sosial yang mengatur hubungan antar individu, kelompok keluarga dan desa dalam kepemilikan sumberdaya dan memperoleh akses bantuan. Kepemilikan sumberdaya yang dimaksud adalah jenis hak kepemilikan yang terkait erat dengan kondisi lingkungan-SDA yang tersedia seperti lahan, tanaman, ternak, air, dan lain-lain, sedangkan hak atas akses-bantuan yang dimaksud bantuan baik yang sifatnya langsung dapat dinikmati (materi) maupun yang sifatnya non materi seperti; penyebarluasan informasi tentang ancaman longsor, kaidah konservasi tanah & air, dan sebagainya. Ketiga, terkait dengan batas yurisdiksi dan hak kepemilikan maka perlu suatu aturan atau representasi berupa norma-nilai yang mencerminkan peran dan tanggungjawab antar sesama warga terhadap korban longsor atau bagaimana komunitas setempat mampu berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang aman dan tetap nyaman. Tonny (2004) mengatakan bahwa kelembagaan mengarahkan perilaku individu dan masyarakat agar sejalan dengan tujuan umum (publik) yang ditetapkan. Ketiga karakteristik kelembagaan tersebut dapat dikenali pada struktur kelembagaan lokal yang tidak formal, tetapi nilai dan aturan mainnya tersosialisasikan
secara
melembaga,
sehingga
kelembagaan
lokal
terinternalisasikan secara terus-menerus. Norma-norma yang ada di masyarakat memiliki kekuatan mengikat yang berbeda-beda sesuai dengan tingkatannya. Soekanto (2009) menyebutkan bahwa norma yang paling lemah kekuatannya dikenal sebagai cara (usage), lalu kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), dan yang paling kuat adalah adat istiadat (custom). Suatu norma tertentu dikatakan telah melembaga jika norma tersebut diketahui, dipahami/dimengerti, ditaati dan dihargai. Keberadaan norma sebagai bentuk kelembagaan lokal merupakan rules of the game yang menjadi acuan-pedoman masyarakat dalam berinteraksi dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kajian kelembagaan pada komunitas rawan longsor menjadi penting karena fungsinya yang dirasakan oleh suatu komunitas. Fungsi norma sebagai rules of the games tidak dapat dipisahkan dari kehadiran organisasi sosial. Organisasi sosial akan menjadi bingkai pelaksanaan pranata-aturan/norma yang
26
disepakati oleh masyarakat. Kelembagaan sebagai organisasi sosial dibedakan oleh
Koentjaraningrat
(1986)
dalam
beberapa
bentuk
yakni:
a)
kekerabatan/domestik, b) ekonomi (mata pencaharian, produksi, menimbun dan distribusi kekayaan), c) pendidikan, d) ilmiah, e) politik (mengatur kehidupan kelompok besar atau kehidupan negara), f) keagamaan (untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan), g) estetika dan rekreasi (untuk menyatakan rasa keindahannya dan rekreasi), dan h) somatik (jasmaniah manusia). Kelembagaan lokal bisa muncul dan tenggelam seiring dengan kebutuhan masyarakatnya. Kelembagaan akan tetap eksis jika dirasakan fungsional oleh masyarakatnya, dan akan ditinggalkan jika dirasakan sudah disfunction. Berbeda dengan konsep kelembagaan lainnya (Weber dengan Rasionalitas Birokrasinya) yang melihat fungsi dan peran suatu kelembagaan dari struktur peran dan tanggungjawab yang muncul dalam bentuk asosiasi-organisasi formal dan baku. Kelembagaan lokal disini lebih bersifat non formal namun sarat akan nilai dan kearifan lokal yang merupakan totalitas pengetahuan dan keterampilan yang bersumber dari pengalaman trial and error dan berasal dari proses adaptasi dan akomodasi terhadap keadaan dan lingkungan yang senantiasa berubah. Dalam istilah Geertz (2003), pengetahuan lokal berakar pada pengalaman dan ruang spasial. Hasil kajian Zamroni (2011) mendukung bahwa salah satu bentuk pengetahuan lokal masyarakat di Gunung Merapi yakni kepercayaan, turut mewarnai makna dan pemahaman terhadap erupsi merapi karena pengalaman masyarakat dalam berinteraksi selama puluhan bahkan ratusan tahun.
Masyarakat menganggap bahwa erupsi merapi adalah bagian dari
keseharian mereka yang tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Bentuk-bentuk
kelembagaan
lokal
tidak
terlepas
dari
pola-pola
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya khususnya lahan (bentuk adaptasi ekologi). Terdapat sejumlah penelitian tentang kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan dengan fokus dan tujuan beragam. Di negara-negara berkembang terjadi kebangkitan kelembagaan lokal karena dipandang dapat membantu memecahkan masalah kemiskinan dan berperan dalam pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan (Ghate & Nagendra 2005). Beberapa penelitian lainnya telah mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mendukung keberhasilan kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan yaitu adanya property right yang jelas, dimilikinya aturan main tentang
27
pengelolaan sumberdaya hutan, serta sistem kelembagaan lokal yang meliputi norma (norm), sanksi (sanction) nilai (value) dan kepercayaan (belief), yang mengakar dan diterima secara luas oleh masyarakat dan telah menciptakan keseimbangan interaksi antar sesama manusia, dan antara manusia dengan sumberdaya alam (Ostrom (1990); Balland & Platteu (1996); Murray et al. (2006)). Dari bebagai kajian tersebut terlihat bahwa keberhasilan kelembagaan lokal sebenarnya merupakan pernyataan terselubung yang mengakui bahwa kehidupan tradisional yang sarat akan nilai, moral dan etika luhur jauh lebih arif dalam menyeimbangkan kehidupan antara alam, manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga mampu menjadi komunitas tangguh dan berkelanjutan. Etika Biosentrisme dan Ekosentrisme2 mengajak agar manusia kembali kepada nilainilai moral dan kearifan lokal serta meninggalkan cara pandang ilmu pengetahuan yang Antroposentris dan Cartesian3. Kelembagaan sebagai nilai, kearifan-pengetahuan lokal, norma, aturan perilaku dan aturan main, menurut Giddens dalam Scott 2008 memberikan kedamaian bagi kehidupan sosial dan dukungan pada sistem sosial. Dalam analisis Scott (1989) keberadaan kelembagaan komunitas di pedesaan prakapitalis berfungsi sebagai “asuransi terselubung” dan “energi sosial” dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan. Kelembagaan terbentuk karena didorong oleh adanya fungsi yang menjadi kebutuhan bersama dari anggota untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan kesejahteraan. Atas dasar kajian dan berbagai penjelasan tentang makna kelembagaan lokal maka Peneliti meyakini bahwa bentuk kelembagaan yang lebih alami, tidak kaku, dibangun sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta mempunyai daya tahan yang lebih tinggi akan lebih fungsional dibandingkan dengan keberadaan kelembagaan formal lainnya.
2
1) Biosentrisme menyatakan bahwa bukan hanya manusia dan komunitasnya yang pantas mendapatkan pertimbangan moral, melainkan juga dunia binatang (seluruh spesies wajib dilindungi), (2) Ekosentrisme sejalan dengan biosentrime namun lebih luas, bahwa penyelamatan dan kepedulian terhadap lingkungan bukan hanya untuk makhluk hidup saja tapi setara untuk seluruh unsur kehidupan, (3) ekofeminisme lebih memandang bahwa antroposentrisme adalah pandangan kaum patriarkhal yang menganggap alam sama dengan perempuan sehingga harus ditundukkan. Alam rusak karena dikendalikan oleh kaum patriarchal, akan berbeda jika alam di „kuasai‟ oleh perempuan yang lebih memiliki kepedulian dan kepekaan, hal.89-117 (Susilo 2008) 3 Cara pandang ilmu pengetahuan modern yang sekular, mekanistis dan reduksionis yang bertumpu pada logika Cartesian, yakni manusia memandang dirinya sebagai bagian yang terpisah dan berada di atas alam, hal. 91 (Keraf A.Sonny 2010)
28
2. 6 Kerangka Pemikiran Gejala alam pergerakan tanah (longsor) di Desa Sukaraksa telah terlihat sejak tahun 2009 dan terus berulang hingga peristiwa longsor besar terjadi pada akhir tahun 2011. Kondisi Desa Sukaraksa yang rentan terhadap bencana alam hingga saat ini masih tetap dihuni oleh ratusan warga meskipun telah diklaim oleh Pemerintah sebagai daerah rawan longsor. Secara fisik, kualitas sebagian lahan di Desa Sukaraksa telah mengalami penurunan kualitas. Fenomena longsor merupakan salah satu faktor eksternal yang akan mempengaruhi persepsi warga tentang lingkungan tempat tinggal mereka. Jika mereka menpersepsikan lingkungan tempat tinggal berada di luar batas optimal maka secara psikologis telah terjadi tekanan-tekanan yang menimbulkan stres. Stres terjadi karena warga menilai bahwa peristiwa longsor yang terjadi di daerah mereka mulai mengancam keselamatan jiwa, harta benda serta sumber nafkah. Masyarakat yang memiliki ketergantungan terhadap lahan garapan dan tempat tinggal akan melakukan upaya-upaya agar dapat bertahan dan kembali pada kondisi yang dianggap seimbang (homeo statis). Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan dalam 2 bentuk yakni adaptasi dengan melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan yang berubah atau dengan bentuk adjusment yakni melakukan perubahan pada lingkungan. Unsur penting yang mutlak dimiliki oleh warga setempat dalam melakukan adaptasi/adjusment adalah self efficacy yakni persepsi diri yang menghasilkan keyakinan dan optimisme (percaya diri yang kuat) terhadap kemampuan untuk melakukan
tindakan
perubahan
(adaptasi).
Self
efficacy
juga
akan
menumbuhkan semangat dan motivasi masyarakat pada rawan longsor untuk bertahan dan berjuang hidup. Longsor sebagai bencana alam yang terjadi akibat perbuatan manusia dapat dikendalikan atau diminimalisir dengan merubah perbuatan manusia juga. Butuh proses yang panjang dan waktu yang tidak singkat untuk mengatasi persoalan longsor namun keyakinan akan kemampuan diri (self efficacy) untuk merubah suatu keadaan akan memiliki pengaruh besar dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Persepsi warga terhadap lingkungan yang kemudian melahirkan bentuk adaptasi/adjusment tidak dapat dipisahkan dari pengaruh sosial budaya dan
29
ekonomi masyarakat setempat, sehingga bentuk-bentuk adaptasi yang lahir pun akan mengarah pada bentuk adaptasi kelompok/komunitas. Salah satu bentuk adaptasi komunitas yang erat kaitannya dengan peristiwa longsor adalah adaptasi ekologi. Titik tolak terjadinya sebuah adaptasi ekologi pada suatu kelompokkomunitas diawali dengan penggunaan teknologi pengelolaan SDA. Teknologi dapat berupa sebuah metode-teknik, alat ataupun bantuan yang dilakukan atau diperoleh
oleh
komunitas
rawan
longsor
dimana
penggunaanya
akan
mempengaruhi aspek penting lainnya, yakni populasi, kelembagaan ekonomi dan organisasi sosial-politiknya. Dalam proses melakukan upaya-upaya penyesuaian terhadap lingkungan rawan longsor maka diperlukan aturan-pranata sebagai faktor pendukung terbentuknya suatu pola adaptasi. Tata aturan-pranata yang ada merupakan bentuk kelembagaan lokal yang disebut sebagai norma-nilai. Misalnya, dalam konteks daerah rawan bencana maka petani diharapkan melakukan pengolahan lahan (bercocoktanam) dengan mengikuti kaidah konservasi tanah diantaranya memperhatikan kemiringan lahan serta jenis tanaman yang cocok untuk ditanam pada lahan-lahan miring, atau masyarakat dilarang bermukim, membangun tempat tinggal di lahan-lahan yang rawan longsor. Hal tersebut untuk menjaga keseimbangan ekosistem yang sustainable sehingga membawa kemaslahatan bagi petani serta alam-lingkungan untuk jangka waktu yang lebih panjang. Seberapa tinggi tingkatan dari kelembagaan lokal tersebut maka dapat dilihat dari seberapa besar perubahan prilaku masyarakat setempat terjadi. Apakah hanya sebatas cara, kebiasaan atau telah berubah menjadi sebuah tata kelakuan dan pada akhirnya menjadi sebuah adat istiadat. Cara, kebiasaan, tataprilaku dan adat istiadat merupakan bentuk dan wujud dari keberadaan sebuah kelembagaan lokal. Dari bentuk kelembagaan lokal tersebut akan memperlihatkan sejauhmana efektifitas peran kelembagaan lokal dalam upaya penanggulangan bencana longsor maka ada 3 hal yang akan diamati yakni representasi (aturan), property rights dan batas yurisdiksi. Melalui kesepakatan-kesepakatan yang tidak tertulis, komunitas
rawan
longsor
menciptakan
aturan
atau
norma-nilai
lokal
(representasi) yang mengatur tentang property rights (pembagian hak dan akses dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya) serta batas yurisdiksi (batas
30
kekuasaan dan wewenang dalam mengatur-mengelola sumberdaya). Semakin jelas keberadaan dari ke-tiga unsur tersebut maka semakin efekif pelaksanaan fungsi kelembagaan. Fungsi kelembagaan yang dirasakan membawa kebaikan akan berpotensi membentuk suatu pola adaptasi baik sosio maupun ekologi, karena akan menjadi acuan-pedoman dalam membangun hubungan sosial antara sesama manusia dan alam. Pada komunitas rawan longsor, munculnya kelembagaan lokal berdasarkan fungsinya akan mengarah pada fungsi ekonomi karena potensi lahan dan sumberdaya lainnya lebih dimanfaatkan sebagai sumber nafkah dan penghidupan. Bencana Longsor
Persepsi Lingkungan
Persepsi Diri
Di luar batas optimal
Adaptasi / Adjusment
Pola Adaptasi Ekologi Populasi
Teknologi Pengelolaan SDA
Kelembagaan Ekonomi
Organisasi Sosial-Politik
Kelembagaan Lokal (Norma-Nilai2 Kearifan Lokal)
Property Rights
AturanRepresentasi
Batas Yurisdiksi
Gambar 3 Kerangka Pemikiran “Kelembagaan Lokal: Bentuk Adaptasi SosioEkologi Daerah Rawan Longsor”
Kerangka pemikiran tersebut dibangun dengan menggunakan 3 teorikonsep yang dianggap oleh Peneliti saling berhubungan dan saling mendukung satu sama lainnya. Ke-3 teori yang dimaksud adalah teori Persepsi terhadap Lingkungan (Bell, et al.) yang didukung oleh teori Persepsi Diri (self efficacy), teori Ekologi Budaya (Julian Steward) serta teori Kelembagaan Lokal (Uphoff) yang didukung oleh teori kelembagaan lainnya (Schmid).
31
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Lokasi & Populasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kampung Sirnagalih,
Desa Sukaraksa,
Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor-Jawa Barat. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada beberapa hal yakni (1) telah beberapa kali mengalami kejadian dan atau gejala longsor dalam kurun waktu 4 tahun, (2) mata pencaharian penduduknya sebagian masih tergantung pada lahan, (3) terdapat ratusan penduduk yang masih bermukim. Kampung Sirnagalih merupakan komunitas rawan longsor yang memiliki karakteristik sosial, ekonomi dan budaya dengan tingkat homogenitas yang cukup tinggi, baik dari tingkat pendidikan, jenis mata pencaharian, agama-keyakinan serta suku. 3.2. Teknik Pengambilan Data Data yang diperoleh dari lapangan ada 2 jenis yakni data sekunder dan data primer: a.
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber tertulis berupa dokumen, media cetak (koran), arsip. Data sekunder juga bisa berasal dari hasil-hasil penelitian, seperti hasil kajian berupa dokumentasi laporan, artikel, jurnal, dan sebagainya. Data sekunder tersebut diperoleh dari stakeholders dan instansi terkait baik pusat maupun daerah, lembaga informal dan sebagainya. Data sekunder sifatnya sebagai data pendukung dan penunjang untuk melengkapi data primer.
b.
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari objek yang akan diteliti di lapangan. Perolehan data primer didasarkan pada 2 pendekatan yakni kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan utama pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan
dukungan
pendekatan
kuantitatif.
Pendekatan
kuantitatif
dalam
penelitian sosial lebih mengacu kepada keakuratan deskripsi setiap variabel dan keakuratan hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya (Irawan 2007). Adapun pendekatan kualitatif yang dilakukan menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis dan tingkah laku yang diamati dari orang-orang yang diteliti (Taylor dan Bogdan 1984 dalam Hendrarso 2008).
32
Aplikasi kedua pendekatan tersebut secara teknis menggunakan metode sebagai berikut : (1) Kuantitatif (metode sensus) menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok untuk mengetahui persepsi warga terhadap lingkungan dan kemampuan diri. Pengukuran persepsi dilakukan pada suami atau istri dari seluruh keluarga atau rumahtangga yang terdapat di Kampung Sirnagalih. Jumlah rumahtangga di Sirnagalih sama dengan jumlah keluarga, yakni 55. Sensus dilakukan dengan pertimbangan populasi pada Kampung Sirnagalih termasuk kecil dan dianggap efektif untuk mengetahui persepsi warga dari seluruh lapisan sosial yang ada. Adapun karakteristik populasi dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Karakteristik Populasi pada Lokasi Penelitian No Karakteristik Populasi 1. Tingkat Pendidikan 2. Mata Pencaharian Utama 3. Agama 4. Suku Jumlah Populasi Jumlah Responden
Tamatan SD Petani Islam Sunda 55 KK 55 Orang (1 responden mewakili 1 keluarga/rumahtangga)
Pada aspek mata pencaharian utama sebagai petani, luas lahan rata-rata yang dimiliki para petani di Desa Sukaraksa, khususnya Kampung Sirnagalih berkisar antara 0,25 sampai 0,5 ha (hasil wawancara dengan Sekretaris Desa Sukaraksa). Tenaga kerja yang lebih banyak melibatkan anggota keluarga (digarap sendiri) menunjukkan status sosial para petani tergolong pada kelas sosial menengah ke bawah. Hanya sebagian kecil petani yang berstatus sebagai petani penggarap di lahan milik warga lain yang berasal dari luar Desa (seperti Jakarta dan Jawa). Hasil pengelolaan dan pemanfaatan lahan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari warga sehingga perlu menjalani strategi nafkah ganda di sektor jasa untuk seperti; berdagang, buruh, tukang ojek, dan lain-lain. Pengukuran persepsi dikelompokkan ke dalam 2 bagian yaitu (1) persepsi lingkungan meliputi 3 aspek yakni penyebab longsor, dampak bencana longsor dan kondisi tanah-iklim, (2) persepsi diri meliputi 2 aspek yakni kemampuan diri untuk bertahan dan kemampuan diri mencegah longsor. Pengukuran yang dimaksud lebih mengarah pada pengelompokan jawaban responden dalam bentuk persentase.
33
Perolehan persepsi pada masing-masing bagian telah disediakan sejumlah pilihan jawaban dimana responden boleh memilih jawaban lebih dari satu. Pilihan jawaban yang paling banyak dipilih (persentase tertinggi) menunjukkan persepsi yang dominan dalam komunitas. Hal tersebut akan menunjukkan seberapa besar persentase jawaban responden dalam menilai pemahaman dan kemampuan diri untuk menghadapi bencana longsor. (2)
Kualitatif akan dilakukan pada key informan yang dipilih secara
purpossive dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu diantaranya yang dipilih adalah aparat desa (kepala desa dan sekretaris desa), ketua Satgas BPBD Kab. Bogor, tokoh masyarakat atau tokoh kampung serta warga yang mengalami langsung peristiwa longsor mulai dari tahun 2009. Pemilihan informan kemudian dilanjutkan dengan cara snowball sampling atau pemilihan informan secara berantai berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan kunci sebelumnya. Adapun pengambilan data primer melalui metode kualitatif menggunakan 2 teknik yaitu: a. Pengamatan, yakni data dikumpulkan melalui pengamatan langsung dengan cara observasi lapangan. b. Wawancara mendalam (indepth interview), yakni tatap muka langsung dengan informan untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan dengan menggunakan panduan wawancara yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sebelumnya sehubungan dengan hal-hal yang hendak diketahui. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara bertanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya
(pewawancara)
dengan
si
penjawab
(responden)
dengan
menggunakan alat panduan wawancara (Nazir 2009). Wawancara dilakukan pada beberapa informan kunci yang kemudian dilanjutkan secara mendalam (indepth interview) kepada informan lainnya dengan teknik snowball. Data yang diambil terkait dengan profil desakampung, realitas longsor, bentuk-bentuk adaptasi sosio-ekologi, dan bentuk kelembagaan lokal.
34
3.3
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dibedakan berdasarkan 2 pedekatan yang digunakan.
Untuk data kuantitatif maka pengolahan data persepsi akan dilakukan dengan mengelompokkan jawaban responden yang kemudian disajikan dalam bentuk tabulasi angka/persentase. Analisa dan pengolahan data kuantitatif hanya dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan persepsi. Data-data yang bersifat kualitatif seperti realitas longsor,
perubahan-
perubahan beserta bentuk adaptasi sosio-ekologi, hingga kelembagaan lokal, akan diolah dengan melakukan beberapa tahap yakni reduksi data, kategorisasi, sintesisasi dan kesimpulan.
Pengolahan dan analisa data dilakukan dengan
proses mereduksi data. Reduksi dalam proses pengumpulan data meliputi kegiatan : (1) meringkas data; (2) mengkode ; (3) menelusur tema ; (4) membuat gugus-gugus; (5) membuat partisi; (6) membuat memo. Kegiatan ini berlangsung semenjak pengumpulan data sampai dengan penyusunan laporan. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kesimpulan akhir (Sitorus, 1998). Penggunaan 2 pendekatan hanya dilakukan pada tahap pengambilan dan pengolahan data. Hal tersebut sengaja dilakukan oleh Peneliti dengan alasan kemudahan namun tetap mengutamakan akurasi data. Kajian yang menggunakan 2 pendekatan-metode ini pada akhirnya menggunakan analisis dengan lebih menekankan pada metode kualitatif yang menggunakan pejelasan secara emik. Penjelasan emik adalah suatu penjelasan tentang gejala atau fenomena yang mengungkapkan fikiran pengetahuan, tindakan serta harapan informan sesuai dengan apa yang disampaikan oleh informan (native’s point of view).
35
BAB IV PROFIL DESA
Gambaran umum Desa Sukaraksa memotret 2 keadaan yakni aspek fisik dan aspek kemasyarakatan. Aspek fisik digambarkan untuk menjelaskan kondisi alam Desa Sukaraksa mulai dari topografi, curah hujan serta jenis tanah sehingga diketahui alasan mengapa Sukaraksa dikatakan sebagai daerah rawan longsor. Aspek kemasyarakatan menggambarkan keadaan mulai dari kepadatan penduduk,
mata
pencaharian,
tingkat
pendidikan,
hingga
kepercayaan
masyarakat. Kedua aspek merupakan aspek yang penting digambarkan sebagai faktor yang mendukung terjadinya permasalahan sekaligus penanganan bencana. 4.1
Keadaan Fisik Desa Sukaraksa
4.1.1 Letak dan Luas Wilayah Secara administratif, Desa Sukaraksa merupakan salah satu desa pada Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor Jawa Barat dengan luas wilayah sebesar 524.792 Ha. Adapun batas wilayah Desa Sukaraksa sebagai berikut : Bagian utara
: Desa Cigudeg,
Bagian timur
: Desa Parakan Muncang,
Bagian selatan : Desa Harkat Jaya Bagian barat
: Desa Sukajaya.
Secara geografis, Desa Sukaraksa berada di hulu 2 wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yakni DAS Cisadane dan Sub DAS Cidurian. 4.1.2
Topografi Topografi Desa Sukaraksa secara umum berbukit dengan ketinggian
mulai dari 320 meter hingga 350 meter dari permukaan laut (mdpl). Topografinya Desa Sukaraksa dapat dikategorikan sebagian kecil datar dan lebih banyak yang bergelombang, berbukit sampai bergunung-gunung dengan notasi kemiringan 25 persen sampai 30 persen. Perbedaan notasi kemiringan menyebabkan sebagian besar kepadatan pemukiman dan aktivitas bertani terkonsentrasi pada daerah yang agak datar.
36
4.1.3
Iklim Keadaan iklim di lokasi penelitian merujuk pada data sekunder dari Badan
Meteorologi dan Geofisika Bogor menyatakan bahwa berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim Desa Sukaraksa termasuk tipe iklim B dengan curah hujan tahunan rata-rata 3000 milimeter pertahun. Temperatur udara ratarata maksimal 33,75 derajat celcius dan rata-rata minimal 22,03 derajat celcius dengan kelembaban rata-rata maksimal 99,42 persen dan rata-rata minimal 56 persen. Adapun evaporasi rata-rata harian pada musim hujan adalah 3,4 mm dan pada musim kemarau 3,8 milimeter. Kecepatan angin rata-rata maksimal 12,08 knot dan rata-rata minimal 1,35 knot, dengan tekanan udara rata-rata maksimal 1014,37 milibar dan rata-rata minimal 1009,85 milibar dan persentase lamanya penyinaran matahari rata-rata maksimal 60,00 persen dan rata-rata minimal 32,00 persen. 4.1.4
Tanah Berdasarkan data dari Dinas ESDM Bogor jenis tanah yang mendominasi
Desa Sukaraksa adalah podsolik merah kuning dan latosol, serta jenis tanah alluvial untuk daerah tepi sungai. Bahan induk tanah tersebut berasal dari batuan beku dan endapan. Namun untuk beberapa titik yang berada di pegunungan jenis tanahnya dikategorikan rapuh dan kurang padat dengan jenis tanah lempung, breksi, batu pasir, kuarsa dan andesit serta mengandung batu bara. 4.2 Keadaan Masyarakat Desa Sukaraksa 4.2.1 Demografi dan Kependudukan Tingkat kepadatan penduduk Desa Sukaraksa secara geografis cukup tinggi yakni 1.623 jiwa/km persegi dengan jumlah penduduk sebanyak 8.516 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki berjumlah sebesar 4.438 jiwa sedangkan jumlah penduduk perempuan sebesar 4.078 jiwa. Persentase jumlah penduduk Sukaraksa berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada gambar 4.
37
Gambar 4 Struktur Penduduk Desa Sukaraksa Berdasarkan Jenis Kelamin
48% 52% Laki-laki Perempuan
Sumber: Data Monografi Desa, Tahun 2012
Berdasarkan klasifikasi usia produktif dan non produktif, pada gambar 5 terlihat distribusi penduduk Desa Sukaraksa yang dibedakan menjadi dua golongan, yaitu usia non poduktif sebanyak 3.326 jiwa (39 persen) serta usia produktif pada umur 15 sampai 59 tahun sebanyak 5.190 jiwa (61 persen). Adapun usia non produktif terbagi atas umur 0 sampai 15 tahun sebanyak 2.868 jiwa (86,23 persen) dan di atas 60 tahun sebanyak 458 jiwa (13,77 persen). Struktur umur tersebut menggambarkan bahwa usia penduduk di Desa Sukaraksa lebih didominasi oleh usia produktif. Gambar 5 Struktur Penduduk Desa Sukaraksa Berdasarkan Usia Produktif & Non Produktif
39% 61% Umur produktif
Umur non produktif
Sumber: Data Monografi Desa, Tahun 2012
Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar penduduk berusia kurang dari 35 tahun sudah tidak memiliki lahan (tuna kisma). Akibatnya lapangan kerja di sektor pertanian sangat terbatas sehingga sebagian warga harus menjalani strategi nafkah ganda dengan merantau dan bekerja sebagai pedagang kecil, kuli bangunan, dan pekerjaan lain di luar Desa Sukaraksa. Mengacu pada Data Monografi Desa Tahun 2012, potensi tenaga kerja produktif di Desa Sukaraksa maka pada penduduk produktif laki-laki laki-laki masih lebih banyak dibandingkan penduduk penduduk produktif perempuan.
38
Distribusi usia produktif berdasarkan jenis kelamin tersebut dapat dilihat pada gambar 6. Gambar 6 Struktur Usia Produktif Penduduk Desa Sukaraksa Berdasarkan Jenis Kelamin
53%
47% Perempuan
Laki-laki
Sumber: Data Monografi Desa, Tahun 2012
Kondisi demografi di Sukaraksa seharusnya membawa keuntungan karena tanggungan terhadap usia non produktif lebih sedikit, namun ketersediaan lapangan kerja di sektor formal-informal Desa Sukaraksa dan sekitarnya belum mendukung penyerapan tenaga kerja bagi mereka yang berusia produktif. Pada tabel 4 terlihat bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk Sukaraksa yang bekerja di luar sektor pertanian, seperti swasta, buruh pabrik dan bangunan terdapat di luar desa sehingga banyak penduduk Sukaraksa yang merantau ke kota. Tabel 3 Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Mata Pencaharian Desa Sukaraksa, Tahun 2012 No. Jenis Mata Pencaharian
Jumlah (Jiwa)
Persentase (%)
1.
Petani*)
923
14, 18
2.
Pedagang
1.050
16,14
3.
Swasta
2.015
30,98
4.
Buruh Pabrik
135
2,08
5.
Tukang Bangunan
2.109
32,42
6.
Tukang Ojek
225
3,46
7.
Lain-lain**)
48
0,74
6.505
100,00
Jumlah Sumber: Data Monografi Desa, Tahun 2012
Keterangan : *) Petani Pemilik yang tidak memiliki alternatif mata pencaharian lain selain bertani **) Penduduk yang merantau untuk bekerja
Secara birokrasi, struktur organisasi pemerintahan Desa Sukaraksa dipimpin oleh Kepala Desa dan membawahi 4 dusun. Masing-masing dusun dipimpin oleh Kepala Dusun (Kadus) yang membawahi unsur wilayah atau RW
39
dengan jumlah keseluruhan sebanyak 10 RW. Pada tabel 3 terlihat pembagian daerah berdasarkan unit terkecil, dimulai dari tingkat RW yang membawahi RT yang berjumlah 35 RT. Selain wilayah administratif yang terbagi dalam wilayah pemerintahan, Desa Sukaraksa
juga terbagi dalam 17 kampung. Kampung-
kampung tersebut bukanlah merupakan wilayah pemerintahan yang dipimpin oleh kepala kampung melainkan hanya sebagai wilayah geografis yang dibedakan menurut tanda-tanda alam seperti perbukitan, dataran, sungai atau didasarkan pada suatu rumpun keluarga. Tabel 4 Pembagian Wilayah Administratif dan Kondisi Topografi Desa Sukaraksa, Tahun 2012 Dusun
RW
I II
III
IV
01 02 03
Jumlah RT 3 3 6
Jumlah Kampung 1 1 6
04
4
2
05 06 07 08 09
3 4 3 2 2
1 1 1 1 1
10
5
5
Nama Kampung Kp. Juga Raksa Kp. Juga Raya Kp. Manglid, Kp. Tangseng, Kp. Babakan Manglid, Kampung Sirnagalih, Kp. Juga Jembatan Kp. Ciruwuk, Kp. Juga Jalan Kp. Parakantiga -sda-sdaKp. Kebon Kelapa Kp. Jambu Manis Kp. Sipugur, Kp. Babakan Saga, Kp. Babakan Urug, Kp. Warung Dua, Kp. Babakan Pendeuy
Kondisi Topografi Bergelombang Berbukit dan bergunung
Berbukit Landai
Landai dan Bergelombang
Bergelombang
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, Tahun 2012
Secara umum, karakteristik sosial-ekonomi masyarakat di Desa Sukaraksa masih bersifat homogen dengan karakteristik; Pertama, mata pencaharian utama para warganya masih berbasis lahan dan SDA yakni petani sawah, kebun dan ladang, penambang pasir sungai, peternak kambing-sapi serta budidaya ikan kolam, meskipun secara kuantitatif data monografi desa menunjukkan jumlah mata pencaharian non lahan seperti wiraswasta dan pedagang lebih besar. Mereka yang terdata berprofesi sebagai wiraswasta, pedagang dan tukang bangunan sebenarnya adalah petani (petani pemilik ataupun petani penggarap) yang memiliki strategi nafkah ganda
40
Kedua, memeluk agama Islam dan masih memegang teguh beberapa kepercayaan terkait dengan keberadaan hutan di desa mereka. Larangan pamali memasuki hutan (leuweung tutupan) untuk mengambil hasil kayu maupun non kayu masih mereka taati dengan alasan demi keselamatan dan menjaga agar kampung-desa mereka aman dari gangguan. Kata-kata pamali bagi warga merupakan sebuah aturan, larangan keras yang sangat pantang untuk dilanggar karena mengandung resiko besar meskipun tidak dapat dinalar secara ilmiah. Ketiga, tingkat pendidikan yang masih rendah yakni rata-rata tingkat pendidikan warga setempat adalah tamatan SD (tabel 5). Kesadaran warga untuk menyekolahkan anak masih terbilang rendah, baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan, meskipun di Desa Sukaraksa terdapat 1 unit Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) selain 4 unit Sekolah Dasar (SD). Persoalan biaya pendidikan serta aksesibilitas menjadi faktor utama para orangtua lebih memilih menikahkan anak perempuannya pada usia dini dan berharap anak lakilaki lebih cepat bekerja agar dapat membantu orangtua. Tabel 5. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Tingkat Pendidikan Desa Sukaraksa No. Tingkat Pendidikan
Jumlah (Jiwa)
Persentase (%)
613
0,07
1.
Tidak Tamat SD
2.
Tamat SD
4.966
58,31
3.
Tamat SLTP
1.030
0,12
4.
Tamat SLTA
903
0,11
5.
Tamat Akademi & Perguruan Tinggi
6
0,70
6.
Sedang Pendidikan (SD, SLTP, SLTA)
2.818
33,09
7.
Belum Sekolah Jumlah
998 8.516
11,71 100,00
Sumber : Data Monografi Desa, Tahun 2012
Keempat, keeratan hubungan sosial antar warga masih baik, saling mengenal, peduli dan masih membudayakan kebiasaan bergotongroyong. Hubungan antara masyarakat setempat dengan aparat pemerintah (Desa maupun Kecamatan serta Instansi lainnya) juga terlihat baik. Hal tersebut terlihat dari jalinan komunikasi antara aparat desa dengan warga yang ditandai dengan adanya rasa saling percaya. Aspirasi warga yang disalurkan melalui wakil masyarakat yang duduk di Badan Perwakilan Desa (BPD) pada kegiatan musrembang serta unsur-unsur masyarakat dari tingkat RT/RW hingga
41
kelompok-kelompok masyarakat seperti Kelompok Karang Taruna, LPM, Linmas, dan sebagainya, berjalan bersama-sama untuk merumuskan program yang berguna bagi pembangunan desa dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keinginan warga untuk mengadopsi berbagai saran, informasi dan bantuan dari luar terkait untuk perubahan hidup ke arah yang lebih baik juga mendapatkan perhatian dan fasilitas dari aparat setempat dengan sistem kekeluargaan. Salah satu contoh adalah pelaksanaan program pinjaman bergulir dari PNPM Mandiri yang sering terhambat pengembaliannya. Aparat desa dan pengurus yang duduk di kelompok PNPM tidak segan untuk menutupi pinjaman tersebut dan tetap memberi kesempatan kepada warga yang belum atau tidak sanggup melunasinya. 4.2.2
Pola-pola Adaptasi Ekologi Bentuk adaptasi ekologi masyarakat di Desa Sukaraksa yang masih
tergantung pada pemanfaatan lahan dapat dilihat dari sistem pengelolaan SDA mulai penggunaan teknologi (alat-modal yang digunakan), kebutuhan hidup (subsisten, semi-subsisten, komersiil) serta pola pemukiman penduduk. Mata pencaharian utama masyarakat di Desa Sukaraksa adalah bertaniberladang dengan sistem pengairan irigasi; modern dan konvensional. Dari 4 Dusun dengan jumlah 17 kampung, hanya di Dusun III (Kampung Parakan Tiga, Kampung Juga Raya, Kampung Juga Raksa) yang terdapat bangunan irigasi untuk mengairi persawahan Desa Sukaraksa. Pembangunan irigasi tersebut didukung oleh topografi Dusun III yang lebih landai-datar. Pola penyebaran pemukiman penduduknya pun berkelompok dimana sebagian besar terkonsentrasi pada daerah yang mendapat pengairan irigasi. Pemukiman penduduk di Desa Sukaraksa terpusat di Dusun III yang lebih dikenal oleh warga setempat dengan sebutan Kampung Parakan Tiga. Kondisi geografis
kampung
yang
lebih
datar
serta
terdapat
bangunan
irigasi
menyebabkan Kampung Parakan Tiga dan sekitarnya menjadi sasaran utama warga untuk bermukim. Lebih dari 50 persen penduduk Desa Sukaraksa hidup di Kampung Parakan Tiga. Berbeda dengan beberapa kampung lainnya yang berada di dataran tinggi atau perbukitan, para petani menggunakan pengairan dengan sistem pengairan konvensional yakni tadah hujan dan dibantu alat sederhana berupa bambu-
42
bambu yang disambung dari beberapa sumber mata air. Akibatnya, pola pemukiman sebagian penduduk Sukaraksa terkonsentrasi mengikuti keberadaan lahan berupa kebun, ladang yang memiliki karakteristik geografis berbukit. Para petani yang menerapkan pola pertanian tadah hujan melakukan kegiatan penanaman berdasarkan musim. Pada musim penghujan para petani melakukan pola pertanian lahan basah dengan menanam padi. Pada musim kemarau petani melakukan pola pertanian lahan kering dengan menanam tanaman palawija seperti kacang, Pisang, timun, jagung, Singkong dan cabai. Para petani di Desa Sukaraksa merupakan petani menetap yang memenuhi kebutuhannya dengan menjalankan etika semi-subsisten yakni hasil pertanian yang dihasilkan berupa padi digunakan untuk konsumsi keluarga sedangkan hasil tegalan berupa tanaman palawija-kacang-kacangan dan hasil kebun berupa buah-buahan (Pisang, nangka, Singkong) sebagian dibawa ke pasar kecamatan untuk dijual. Hasil penjualan digunakan untuk membeli kebutuhan lainnya yang tidak dapat diproduksi sendiri, termasuk untuk kebutuhan tersier. Selain tanaman palawija dan buah-buahan, hasil lainnya yang dapat dimanfaatkan adalah hasil hutan-kebun milik berupa kayu dan bambu. Kayu dan bambu tersebut oleh sebagian warga digunakan untuk kebutuhan pribadi seperti membangun rumah, namun oleh warga lainnya diperuntukan khusus sebagai komoditas bahan bangunan yang dipersiapkan untuk dijual meskipun hanya skala kecil. Minimnya lahan yang dimiliki oleh para petani juga menjadi salah satu faktor mengapa masih banyak yang menggunakan peralatan pertanian sederhana seperti cangkul, arit, garu dan parang, serta lebih memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk kandang. Upaya tersebut untuk menekan biaya produksi. Petani sedapat mungkin mengeluarkan biaya produksi hanya untuk pembelian bibit. Untuk pupuk, para petani lebih memilih menggunakan pupuk kandang meskipun sebagian kecil telah menggunakan pupuk urea sebagai campuran. Pada umumnya petani di Desa Sukaraksa juga memelihara hewan ternak yakni ayam dan kambing. investasi
yang
dapat
Beternak Kambing, selain dijadikan sebagai alat
digunakan
memanfaatkan kotorannya sebagai
dalam
keadaan
pupuk kandang.
darurat,
juga
untuk
Warga yang memiliki
43
ternak dapat menekan biaya produksi untuk pembelian pupuk sejumlah Rp. 2.000/karung untuk kotoran kambing dan Rp.5.000/karung untuk kotoran ayam. Penekanan biaya produksi juga terlihat dalam pelibatan tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja lebih sedikit karena luas lahan yang dimiliki para petani tergolong kecil sehingga masih dapat dikerjakan oleh diri sendiri beserta keluarga dekat. Hanya pada masa panen, beberapa warga biasanya diupah untuk ikut membantu dengan bayaran sukarela dari pemilik lahan. Bentuk mata pencaharian lainnya yang berbasis SDA adalah menambang pasir sungai. Pekerjaan ini menjadi alternatif mata pencaharian lainnya untuk menambah penghasilan khususnya di musim hujan. Pekerjaan sebagai penambang pasir secara hukum tidak dibenarkan (ilegal) namun minimnya pendapatan warga khususnya bagi mereka yang tidak lagi memiliki lahan garapan (tuna kisma) menyebabkan aparat desa membiarkan dan tidak memberikan sanksi terhadap warganya yang melakukan penambangan pasir. Alat yang digunakan untuk menambang pasir termasuk sederhana berupa pengki4, cerangka5 (gambar 7), cangkul dan karung. Pasir diambil oleh para pekerja yang kemudian menjualnya kepada penadah dengan menggunakan alat transportasi seperti mobil kecil dan truk.
Gambar 7 Jenis Alat Tradisional untuk Menambang Pasir; Pengki Carang, Pengki Kerep, Cerangka (Dari kiri ke kanan) Pada musim kemarau, sebagian warga memilih untuk tidak melakukan penambangan. Selain karena minimnya stok pasir yang tersedia di sungai, warga 4
Pengki terbagi menjadi 2 jenis yakni pengki cerangka merupakan alat untuk memisahkan (menyaring) pasir dari batu sungai serta pengki kerep yang berfungsi untuk mengambil pasir yang telah disaring 5 Alat pengangkut pasir dari sungai menuju ke tempat yang lebih kering
44
lebih memilih untuk membersihkan dan memelihara tanaman kebun-ladang bagi yang memiliki kebun. Bagi yang tidak memiliki lahan, biasanya memilih alternatif pekerjaan lainnya seperti menjadi kuli bangunan, membersihkan lahan warga lainnya bahkan banyak yang merantau untuk sementara waktu. Secara umum, Desa Sukaraksa sebenarnya memiliki potensi SDA lainnya yang bernilai tinggi yakni tambang batu bara.
Informasi yang diperoleh dari
Kementerian Energi & Sumberdaya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa daerah mereka mengandung hasil tambang bumi (batu bara) dengan kadar 6,8 (menghampiri kualitas baik yakni 7) namun masyarakat setempat tidak ada yang melakukan kegiatan penambangan. Pihak dari luar pun tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan penambangan kecuali mereka sanggup memberi ganti rugi 2 kali lipat dari harga lahan masyarakat. Ketatnya persyaratan tersebut sengaja dilakukan warga untuk melindungi lahan mereka dari incaran pihakpihak yang ingin mengeksploitasi hasil bumi di lahan milik warga. Masyarakat di Desa Sukaraksa sangat memahami keterbatasan lahan dan potensi SDA yang ada di desa mereka. Mereka berupaya memanfaatkan lahan dan potensi SDA dalam batas-batas toleransi yang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Warga tidak berupaya melakukan kegiatan yang bersifat eksploitasi meskipun mereka bisa saja melakukan. Salah satu contoh perilaku warga yang tidak ingin merusak lahan adalah tidak melakukan (menghentikan) aktivitas penambangan batu bara meskipun beberapa warga sudah pernah melakukan aktivitas penambangan. Adapun pembagian lahan berdasarkan pemanfaatannya terangkum pada tabel 6. Tabel 6 Pemanfaatan Lahan Menurut Luas Penggunaannya di Desa Sukaraksa No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jenis Pemanfaatan
Pemukiman & Pekarangan Sawah Ladang (huma) Jalan Pemakaman-Kuburan Perkantoran Lapangan Olah Raga Bangunan Penddikan Bangunan Peribadatan Tanah Kas Desa Total Luas
Sumber: Data Monografi Desa, Tahun 2012
Luas Lahan (Ha) 15.160,00 16.742,00 125,00 5,65 9,00 0,03 0,01 0,26 1,10 13,54 32.056,59
45
4.2.3 Aksi-aksi Kolektif Kelembagaan Dinamika kehidupan sosial-budaya masyarakat Desa Sukaraksa tercermin dari pola interaksi antar warganya dalam relasi-relasi sosial antar kelompok maupun antar anggota kelompok. Secara formal dan informal, Desa Sukaraksa memiliki 8 jenis kelompok yang aktif bergerak berdasarkan bidang masingmasing sesuai dengan peran dan fungsinya. Keragaman kelompok-organisasi sosial tersebut lahir berdasarkan aspirasi masyarakat dan juga karena tuntutan regulasi yang ada di tingkat desa. Wujud pelaksanaan dari fungsi dan peran dari kelompok-organisasi sosial tersebut adalah berjalannya berbagai aktivitas (aksi) serta munculnya kebiasaankebiasaan bahkan sebagian telah menjadi tata perilaku masyarakat di Desa Sukaraksa. Diantaranya adalah kegiatan Jumat Bersih (Jumsih) yang sejak lama sudah dilakukan oleh warga. Kegiatan jumsih dilakukan oleh para warga minimal satu kali dalam sebulan. Pemilihan hari Jumat biasanya diumumkan oleh Kepala Desa melalui masing-masing Ketua RT. Pada pelaksanaannya, aksi jumsih juga dikoordinir oleh marbot6 bersama aparat Desa-RT dengan tujuan tak lain untuk menjaga agar budaya gotong royong tidak hilang. Bagi sebagian tokoh masyarakat, budaya gotong royong juga berfungsi menguatkan hubungan-relasi sosial antara warga yang perlahan mulai pudar akibat budaya cuek yang mulai terjadi di kalangan para pemuda yang jumlahnya lebih banyak dari warga tua. Beberapa aksi kelembagaan lainnya di beberapa bidang juga terlihat meskipun dalam skala kecil, tidak melibatkan semua warga desa, namun tujuannya tetap diarahkan untuk kemaslahatan warga desa. Adapun nama dan jumlah anggota dari ke-8 jenis kelompok tersebut sebagaimana terlihat pada tabel 7.
6
Orang yang bertanggungjawab atas kebersihan masjid dan sekitarnya serta mengkoordinir aktivitas keagamaan lainnya yang diselenggarakan di masjid.
46
Tabel 7 Jenis Kelompok-Organisasi Sosial Desa Sukaraksa, Tahun 2012 No. Bidang/Aspek 1. Pemerintahan 2. Pembangunan Desa 3. Keamanan 4. Keterampilan Perempuan 5. Agama
6. Kesehatan 7. Kepemudaan & Olah Raga 8. Pertanian
Jenis Kelompok-Organisasi Sosial BPD LPM (LKMD) Linmas PKK (1) MUI Desa (2) Dewan Kerja Masjid (3) Kelompok Pengajian Kampung Kelompok Kader Posyandu Kelompok Karang Taruna Kelompok Tani (KT) Usaha Ekonomi Produktif : (1) KT. Saluyu (2) KT. Rahayu (3) KT. Sabilulungan (4) KT. Sri Rahayu
Jumlah Anggota 11 orang 5 orang 10 orang 11 orang 3 orang 11 orang 17 Kelompok 27 orang 13 orang
30 orang 30 orang 35 orang 32 orang
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer & Sekunder, Tahun 2012
Seberapa jauh kelompok-organisasi sosial tersebut memberikan manfaat dapat terlihat dari peran dan fungsi masing-masing kelompok seperti pada uraian di bawah ini : (1) BPD (Badan Pewakilan Desa) bertugas menampung aspirasi masyarakat dan menyampaikan kepada kepala desa, baik dalam pertemuan yang bersifat formal seperti musrembang ataupun dalam pertemuan yang bersifat informal. Warga yang duduk di BPD merupakan wakil dari masing-masing RW yang dipilih berdasarkan suara terbanyak. Saat ini yang duduk di BPD adalah para orang tua yang ditokohkan dan dianggap mampu menjalin kerjasama yang baik terhadap pihak desa (kepala desa beserta aparatnya). (2) LPM (LKMD) merupakan lembaga yang berfungsi sebagai penerima bantuan pembangunan dan menyalurkan kepada masyarakat. LPM juga berperan mengawasi jalannya pembangunan (proses) hingga selesai. Kehadiran LPM sangat penting untuk mengontrol pelaksanaan dan penyerapan dana bantuan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah desa. (3) Linmas
atau
Perlindungan
Masyarakat
merupakan
suatu
lembaga
perlindungan di tingkat desa yang berfungsi untuk melakukan penertiban khususnya pada acara-hajatan rakyat. Linmas juga dapat berperan sebagai perpanjangan tangan pihak kepolisian untuk melakukan penangkapanpenahanan terhadap warga yang melakukan pelanggaran atau tindakan
47
kriminal. Linmas merupakan lembaga lokal yang muncul karena kebutuhan masyarakat dan kemudian berubah menjadi organisasi formal sebagai bagian dari pendukung Pemerintahan Desa yang mendapatkan bayaran/gaji meskipun belum memadai. Anggota Linmas saat ini sebanyak 10 orang. (4) PKK adalah kelompok yang seluruh anggotanya perempuan/ibu-ibu dan lebih banyak berperan sebagai pendukung di bidang konsumsi pada acaraacara formal di tingkat desa. (5) MUI Desa dan DKM yang beranggotakan para marbot berfungsi untuk mengkodinir kegiatan di bidang keagamaan. MUI Desa beperan pada acaraacara besar keagamaan islam seperti tarawih keliling, isra‟ mi‟raj, dan sebagainya. DKM atau lebih dikenal dengan sebutan marbot merupakan bentuk kelembagaan lokal yang sudah ada sejak dulu dan berfungsi untuk mengkoordinir kegiatan kegamaan di tingkat masjid. Kegiatan jumat bersih, gotong royong merupakan salah satu kegiatan DKM yang masih bertahan hingga saat ini di tingkat kampung. (6) Kelompok Kader Posyandu merupakan kelompok yang beranggotakan para pemudi yang telah dikader untuk membantu tugas bidan dalam pelayanan kesehatan untuk ibu dan balita. (7) Kelompok Karang Taruna adalah kelompok pemuda yang bergerak di bidang olehraga dan berfungsi untuk menyalurkan minat para pemuda di bidang keolahragaan. Kelompok ini juga terlihat aktif pada acara-acara besar kenegaraan seperti peringatan proklamasi. (8) Kelompok Tani Usaha Ekonomi Produktif merupakan kelompok di bidang pertanian yang tujuannya untuk membantu para petani meningkatkan produksi pertanian mereka melalui program bantuan pemerintah berupa bibit, pupuk dan saprodi. Aksi-kegiatan lainnya juga datang dari luar desa berupa program-program pembangunan seperti PNPM Mandiri dan TNI masuk Desa. Program pembangunan tersebut pada umumnya telah memiliki aturan tersendiri yang kemudian disesuaikan dengan kondisi masyarakat.
48
4.3 Keadaan Kampung Sirnagalih Diantara 17 kampung yang ada di Desa Sukaraksa, terdapat Kampung Sirnagalih yang dihuni oleh 55 keluarga dengan total jumlah penduduk sebanyak 238 jiwa. Kampung Sirnagalih merupakan kampung yang dinilai memiliki potensi longsor yang cukup tinggi. Secara geografis, letak Sirnagalih cukup rawan karena berada di areal perbukitan-pegunungan dengan kemiringan 30 derajat, serta memiliki struktur tanah yang labil. Pada tabel 8 menggambarkan secara ringkas karakteristik ekologi dan sosial-ekonomi warga di Sirnagalih. Tabel 8 Karakteristik Sosio-Ekologis Kampung Sirnagalih No.
Karakteristik
Kampung Sirnagalih
1. 2. 3.
Topografi
Bukit-Gunung
Kondisi tutupan lahan
Masih rapat
Jenis Tanah
4. 5. 6. 7.
Luas lahan
Tanah lempung, breksi, batu pasir, kuarsa dan andesit serta mengandung batu bara + 15 Ha
Kepemilikan lahan
Seluruhnya masih milik warga kampung
Mata pencaharian utama
Petani
Mata pencaharian sampingan
Buruh/kuli (bangunan & tumbuk), pedagang, tukang ojek, dan lain-lain Besar; 238 jiwa
8. Populasi 9. Aksesibilitas ke sarana umum 10. Bantuan dari Pemerintah &
+ 1 Km dari jalan utama desa Cukup
pihak lain Sumber : Analisis Data Primer dan Sekunder, Tahun 2012
Kampung Sirnagalih memiliki potensi lahan dan sumberdaya alam yang dimanfaatkan oleh warganya sebagai sumber nafkah sekaligus tempat bermukim. Warga bermukim mengikuti lahan dan keberadaan SDA lainnya yang menjadi mata pencaharian mereka. Berbagai jenis vegetasi masih banyak ditemukan adalah Puspa, Sengon, Lame, dan sebagainya. Jenis-jenis tanaman tersebut tergolong pada jenis tanaman keras. Selain itu, terdapat juga jenis tanaman MPTS atau multi purpose tree species yakni Nangka, Mangga, Cempedak serta tanaman semusim seperti sayuran dan kacang-kacangan.
Selain itu, potensi SDA yang ada bukan hanya sebagai sarana mencari nafkah dan tempat tinggal namun juga sebagai sarana membangun relasi sosial dan kultural dengan lingkungannya. Ikatan sosial kultural masyarakat dengan
49
lingkungannya terlihat dari bagaimana mereka berinteraksi dan mengelola SDA di sekitar. Bercocoktanam di ladang, sawah, dan kebun, merupakan aktivitas sehari-hari. Keseharian warga kampung Sirnagalih sebagian besar memang dicurahkan untuk aktivitas bercocoktanam sebab mata pencaharian mereka adalah bertani. Pada gambar 8 memperlihatkan persentase mata pencaharian utama masyarakat di Sirnagalih. Gambar 8 Struktur Mata Pencaharian Utama Warga di Kampung Sirnagalih
33% 45% 22%
Petani
Buruh Tani
Lain-lain
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, Tahun 2012
Keterbatasan lahan yang dijadikan sebagai lahan garapan membuat para petani di Sirnagalih tidak semuanya menjadi petani yang menggarap lahannya sendiri. Mengacu pada property rights Schmid (1987), maka dapat dilihat pada gambar 9 persentase petani berdasarkan kepemilikan lahan. Gambar 9 Distribusi Status Pemilikan dan Pemanfaatan Lahan Pertanian di Kampung Sirnagalih
33% 62% 5%
Pemilik lahan
Penyewa Lahan
Penggarap
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, Tahun 2012
Para petani yang memiliki lahan berarti memiliki hak penuh dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan garapan, begitupun dengan para petani yang menggarap lahan dengan menyewa. Perbedaan kepemilikan hanya pada status kepemilikan lahan. Sebagian kecil menjadi petani tuna kisma yakni petani yang tidak memiliki lahan melainkan bekerja dengan menggarap lahan milik orang lain. Jumlah petani tuna kisma di Sirnagalih sebanyak 12 orang (33 persen). Para petani yang tidak memiliki lahan tersebut hanya memiliki hak untuk
50
ikut menggarap dengan memperoleh upah (bagi hasill) pada saat panen. Para petani yang masih memiliki lahan tidak berarti memiliki penghidupan yang jauh lebih baik dibandingkan mereka yang tidak memiliki lahan, sebab luas lahan yang dimiliki hanya sebesar 0,25 sampai sampai 0,5 Ha dan harus mereka garap secara bersama-sama. Kampung Sirnagalih merupakan kampung yang dihuni oleh satu rumpun keluarga yang terdiri dari 55 keluarga. Pembagian lahan secara umum terbagi atas dua yakni leuweung tutupan berupa hutan yang tidak boleh diganggu yakni Gunung Batu Kaca) dan leuweung titipan berupa lahan yang boleh dimanfaatkan sebagai lahan garapan (kebun campuran, sawah, ladang-tegalan), pemukiman, serta sarana umum (mushalla). Batas pengelolaan antara leuweung tutupan dan leuweung titipan mengikuti kondisi geografis, yakni leuweung tutupan yang dinamai Gunung Batu Kaca dengan luas sekitar 1 sampai 2 Ha berada pada bagian atas (hulu) Kampung Sirnagalih serta leuweung titipan berada dibawah hutan Gunung Batu Kaca. Leuweung tutupan tersebut dijaga, dilindungi dan tidak boleh diubah menjadi hutan produktif. Pantang melakukan penebangan atau sekedar memanfaatkan hasil hutan baik berupa kayu maupun non kayunya. Pohon matipun pamali untuk diambil. Keyakinan tersebut mereka pegang hingga kini, terlebih setelah adanya kejadian kebakaran di salah satu kampung7 yang juga terdapat di Desa Sukaraksa pada 15 tahun silam (Tahun 1997). Sejak saat itu, para warga semakin tidak berani untuk melanggar dan mengambil hasil hutan Gunung Batu Kaca meskipun untuk alasan pembangunan sarana umum. Warga setempat menganggap Gunung Batu Kaca sebagai hutan keramat warisan nenek moyang mereka yang tidak boleh diganggu. Hingga saat ini pantangan tersebut masih ditaati dan bukan hanya oleh warga Kampung Sirnagalih namun semua warga Desa Sukaraksa termasuk para pendatang
akan
diberikan peringatan.
Kepatuhan warga
menjaga dan
melestarikan leuweung tutupan merupakan fenomena menarik mengingat status Gunung Batu Kaca sebagai hutan rakyat biasa, bukan hutan lindung, bukan pula 7
Kp. Juga Raya mengalami peristiwa kebakaran tak lama setelah beberapa warganya mengambil satu pohon Puspa yang tumbang akibat angin kencang dari hutan Gunung Batu Kaca. Warga meyakini bahwa kebakaran tersebut merupakan hukuman bagi Kp. Juga Raya yang telah berani mengambil dan memanfaatkan kayu dari Gunung Batu Kaca. Konon setelah terjadinya peristiwa kebakaran, para warga banyak yang menyaksikan kehadiran “Penunggu” Gunung Batu Kaca (Macan). Peristiwa tersebut menyebabkan banyak warga di Kp. Juga Raya kehilangan tempat tinggal.
51
hutan adat. Sebagian menganggap bahwa Gunung Batu Kaca merupakan hutan bersama yang diwakafkan-diwariskan dari leluhur mereka. Hal menarik lainnya adalah minimnya keberadaan tokoh masyarakat yang dituakan sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi generasi muda untuk tetap melestarikan Gunung Batu Kaca. Hingga saat ini keyakinan para generasi muda berdasarkan cerita-mitos tentang Gunung Batu Kaca masih kuat. Mereka percaya bahwa siapapun yang berani menebang atau mengambil pohon dari GunungBatu Kaca akan terkena bencana atau kutukan. Selain keyakinan warga terhadap cerita-mitos tersebut, sebagian warga juga meyakini bahwa leuweung tutupan berfungsi untuk mempertahankan sumber mata air. Masyarakat masih memegang teguh batas pengelolaan dan pemanfaatan lahan antara leuweung titipan dan leuweung tutupan, tak lain untuk tetap mempertahankan ketersediaan air di daerah mereka. Warga Sirnagalih menyadari bahwa leuweung tutupan Batu Kaca menjadi benteng terakhir yang dapat menjaga kelestarian ekosistem kampung dan desa. Berbeda dengan leuweung titipan yang pengelolaan dan pemanfaatannya merupakan hak masing-masing warga. Keberadaan lahan di Sirnagalih yang terbagi ke dalam 2 batas pengelolaan yakni leuweung tutupan dan leuweung titipan menjadi acuan yang hingga saat ini masih dipatuhi. Seiring
dengan
pertumbuhan
penduduk
yang
terus
terjadi
serta
peningkatan kebutuhan hidup, leuweung titipan milik warga mulai mengalami perubahan pengelolaan.
Lahan yang tadinya berupa hutan mulai berubah
menjadi kebun campuran dengan jenis tanaman didominasi oleh bambu dan pohon kayu, ladang, sawah, pemukiman bahkan penambangan batubara. Meskipun keberadaan tanaman asli masih banyak ditemui namun perubahan tersebut sedikit banyak telah mempengaruhi debit air tanah serta berpotensi membuat struktur tanah menjadi labil karena berbagai aktivitas yang dilakukan oleh warga. Perubahan dari hutan menjadi kebun campuran, sawah dan ladang tak lain karena tuntutan kebutuhan hidup. Perkembangan kebutuhan kemudian menuntut warga di Kampung Sirnagalih untuk melakukan berbagai aktivitas ekonomi. Komposisi tanaman yang dipilih pun lebih ke arah jenis tanaman yang dianggap bernilai ekonomis. Ekonomis yang dimaksud adalah secara finansial pengeluaran
52
dapat ditekan sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli makanan pokok (beras). Petani juga memilih tanaman semusim seperti Singkong, Pisang, Labu, Kacang-kacangan karena dianggap mampu menjadi makanan pendamping yang dapat dikonsumsi sehari-hari. Selain tanaman yang berorientasi sebagai sumber pangan, petani juga tetap mempertahankan tanaman kayu atau tahunan untuk tabungan sehingga pada masa-masa tertentu dapat dimanfaatkan. Biasanya mereka mengambil kayu (menebang pohon) jika ada keperluan mendesak seperti nikahan dan membangun rumah. Pada intinya semua jenis tanaman dipilih oleh Petani atas dasar untuk memenuhi kebutuhan harian bukan untuk mencari keuntungan (subsisten). Rata-rata kepemilikan lahan di Kampung Sirnagalih berkisar 0,25 sampai 0,5 Ha. Minimnya luas kepemilikan tersebut menutut sebagian warga untuk mencari alternatif nafkah lainnya ke luar desa. Profesi yang paling banyak dilakukan di luar desa adalah menjadi pedagang dan kuli bangunan. Kegiatan lainnya seperti beternak kambing juga merupakan mata pencaharian sebagian warga setempat, meskipun tidak banyak namun dianggap mampu menjadi sumber penghasilan di waktu-waktu darurat. 4.4 Keadaan Potensi Sumberdaya Alam Kampung Sirnagalih Jenis sumberdaya alam yang dimiliki oleh Sirnagalih merupakan potensi yang keberadaannya menjadi sumber penghidupan bagi warga setempat. Peristiwa longsor berupa gejala tanah retak yang menimpa Sirnagalih selama 4 tahun terakhir telah membawa perubahan-penurunan kualitas. Perubahan tersebut akan mempengaruhi perubahan lainnya sehingga penting untuk melihat sejauh mana perubahan ekologis sumberdaya alam di Sirnagalih, sebelum dan sesudah peristiwa longsor. Pada tabel 9 terlihat perubahan-perubahan ekologis yang menggambarkan keadaan sumberdaya alam, sebelum dan sesudah peristiwa longsor.
53
Tabel 9 Karakteristik Potensi Sumberdaya Alam di Kampung Sirnagalih Jenis SDA
PeruntukanPemanfaatan
Kondisi Kampung Sirnagalih Sebelum Longsor Sesudah Longsor (Tahun 2009) (Tahun 2009)
1. Lahan-Tanah
Pemukiman, kebunHR, ladang, sawah
Bagus
Rusak
2. Sumberdaya Air
Kebutuhan dasar & Rumahtangga
Bersih dan mencukupi
Air tanah mulai berkurang & air sungai tersedimentasi
3. Hutan: Milik Bersama (GunungBatu Kaca) dan milik pribadi
Pengatur siklus hidrologi, kebutuhan RT (primer dan sekunder)
GunungBatu Kaca bagus & Kebun talun mulai berkurang kerapatannya
GunungBatu Kaca tetap bagus & Kebun talun tetap berkurang kerapatannya (tidak menuruntidakmeningkat)
4. Batubara
Dijual-ditambang (sebagian kecil)
Bagus (dimanfaatkan)
Bagus (tidak dimanfaatkan)
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, Tahun 2012
4.4.1 Lahan-Tanah Kebutuhan warga terkait dengan keberadaan tanah-lahan tidak lepas dari kebutuhan untuk; (1) memenuhi kebutuhan pangan, (2) memperoleh pendapatan guna menunjang kelangsungan hidup, (3) mendirikan rumah sebagai tempat tinggal, serta (4) mendirikan sarana sosial seperti masjid/mushalla untuk kebutuhan spiritual. Kebutuhan tersebut dipenuhi dengan memanfaatkan dan mengelola leuweung titipan. Pemahaman warga tentang penggunaan sumberdaya lahan di leuweung titipan dibedakan atas lahan basah-sawah dan lahan kering. Tata guna lahan basah diperuntukkan sebagai sawah tadah hujan yang digunakan untuk menanam padi. Pada waktu-waktu tertentu ketika curah hujan minim maka para petani mengganti tanaman padi mereka dengan jenis tanaman palawija. Tata guna lahan kering mencakup pemanfaatan lahan untuk pekarangan, ladang dan kebun campuran. Secara umum lahan kering juga dipahami oleh warga sebagai hutan kampung (hutan rakyat) yang telah dibagi berdasarkan kepemilikannya. Kedua jenis lahan (basah dan kering) tersebut pada mulanya berawal dari kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan harian dengan cara
54
membuka hutan menjadi ladang, sawah, kebun campuran, serta kebutuhan untuk tempat tinggal. Ladang dan kebun di Sirnagalih dibedakan atas dasar jenis dan susunan tanaman yang ditanam. Ladang didominasi oleh jenis tanaman semusim dan memerlukan curahan waktu dan tenaga untuk merawatnya, misalnya ditanami Singkong dan Pisang. Singkong dan Pisang ditanam oleh warga karena dianggap dapat menjadi sumber pangan kedua setelah beras. Selain Singkong dan Pisang,
tanaman sayuran seperti Labu, Kacang-kacangan juga ditemui.
Tanaman tersebut lebih banyak dikonsumsi sendiri daripada dijual. Berbeda dengan ladang, kebun campuran (talun) adalah sebidang tanah yang
ditanami
berbagai
jenis
tanaman
semusim
dan
tahunan
yang
keragamannya relatif tinggi (agroforestry). Tanaman tahunan atau jenis tanaman keras diperuntukkan sebagai bahan kayu bakar, bahan bangunan serta dijual, seperti Sengon (Jenjeng), Puspa, Afrika dan Bambu. Pengelompokan lahan kering dan basah ditemukan meski dengan luas kepemilikan lahan yang minim (rata-rata petani memiliki lahan sekitar 0,25 sampai 0,5 Ha). Pengelolaan lahan benar-benar dimanfaatkan secara optimal karena sawah, kebun, ladang dan pekarangan masih sepenuhnya menjadi milik warga Kampung Sirnagalih. Kondisi kedua jenis lahan saat ini sangat memprihatinkan. Akibat peristiwa longsor yang terjadi, lahan garapan para petani mengalami kerusakan. Lahan garapan menjadi retak bahkan ada yang terbelah dengan kondisi yang cukup membahayakan (Gambar 10)
Gambar 10
Kondisi Lahan (Sawah dan Kebun) yang Rusak Akibat Gejala Longsor; Tanah Retak.
55
Retak tanah tersebut hingga saat ini (Mei 2012) terus terjadi dengan pola memanjang sehingga hampir semua lahan mengalami kerusakan. Kerusakan lahan khususnya sawah, berdampak pada menurunnya produktivitas lahan. Warga terancam tidak memiliki lagi lahan yang layak untuk dijadikan sebagai tempat bercocoktanam maupun sebagai tempat tinggal. 4.4.2 Sumberdaya Air Potensi sumberdaya alam lainnya yang sangat penting bagi kehidupan warga setempat adalah air bersih. Ketersediaan air masih baik dan masih dapat memenuhi kebutuhan warga meskipun pada musim kemarau, debit air agak berkurang. Air diperoleh dari berbagai sumber yakni mata air, sumur, sungai dan air hujan yang ditadah di sawah. Air untuk memenuhi kehidupan sehari-hari rumahtangga diperoleh dari sumur (air tanah). Untuk kebutuhan sawah diperoleh dari hujan dan sungai. Pada kondisi tertentu ketika air berkurang maka warga memanfaatkan sungai sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Secara fisik, warga menganggap bahwa kualitas air tanah masih baik, bersih, jernih dan tidak berbau. Berbeda dengan air sungai yang di saat musim hujan banyak mengandung lumpur akibat sedimentasi yang terjadi di hulu. Sungai yang melintas di Kampung Sirnagalih merupakan anak-anak sungai yang berasal dari Sungai Cisadane dan Sungai Cidurian. Kondisi anak sungai tersebut menunjukkan kualitas air yang sudah menurun, warna keruh dan pada musim kemarau mengalami kekeringan. Letak sungai di Kampung Sirnagalih berada di bagian bawah, dan jauh dari pemukiman sehingga tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Airnya tidak dapat dialirkan ke tempat dimana sawah para petani berada di bagian atas. Kebutuhan pengairan untuk sawah terpenuhi dari menadah air hujan sehingga sawah-sawah yang ada di Kampung Sirnagalih disebut sebagai sawah tadah hujan. 4.4.3 Hutan Keberadaan hutan rakyat yang terdapat di Kampung Sirnagalih terdiri atas 2 bentuk yakni kebun campuran (talun) dan hutan keramat Gunung Batu Kaca. Dikategorikan sebagai hutan sebab habitat awal ke dua kampung merupakan ekosistem hutan yang perlahan bergeser dan berubah fungsi. Hanya lahan berupa hutan Gunung Batu Kaca yang tetap dijaga sebagai hutan keramat,
56
sedangkan lahan lainnya telah beralih fungsi. Sebagian menjadi kebun dan tegalan, sebagian lagi menjadi pemukiman. Kondisi kedua hutan tersebut berbeda. Hutan yang dinamakan Gunung Batu Kaca, kondisi tutupan lahannya masih rapat dengan jenis pohon dan satwa liar yang ada didalamnya. Hingga saat ini, hutan yang dikeramatkan tersebut masih bagus dan berfungsi sebagai penyangga ekosistem Kampung Sirnagalih. Adapun kondisi hutan rakyat dengan bentuk kebun campuran (talun) masih terlihat bagus dengan kondisi lahan yang masih tertutup baik. Perubahan terlihat pada umur tanaman yang tinggi dan diameternya tidak lagi sebesar tanaman yang ada di hutan Gunung Batu Kaca. Hal tersebut disebabkan karena peruntukan hutan rakyat sebagai hutan produktif yang dapat dimanfaatkan hasilnya oleh warga. 4.4.4 Batubara Potensi lain yang dimiliki Sirnagalih adalah hasil tambang batu bara (gambar 11). Keberadaan batubara diyakini oleh seluruh warga, meskipun belum semua lahan warga teruji mengandung batubara. Batubara yang ditemukan dinilai memiliki kadar yang menghampiri sempurna (nilai 7).
Gambar 11 Salah Satu Bekas Lokasi Penambangan Batu Bara di Kampung Sirnagalih Aktivitas penambangan batu bara di Kampung Sirnagalih pernah dilakukan oleh 3 warga (Tahun 2005) namun saat ini aktivitas tersebut telah dihentikan. Aktivitas penambangan tidak dilanjutkan karena banyaknya desakan dari warga lain yang prihatin terhadap kondisi kampung mereka terlebih setelah peristiwa longsor terjadi. Aktivitas penambangan tidaklah luas, masih berkisar pada 100 meter persegi. Namun demikian, aktivitas tersebut telah merusak ekosistem sekitar akibat pembukaan-pembersihan lahan yang dilakukan dengan menebang pohon.
57
BAB V REALITAS BENCANA ALAM (LONGSOR) Secara faktual, Kampung Sirnagalih telah mengalami kejadian longsor (pergerakan tanah) sejak Tahun 2009. Desa Sukaraksa sebagai daerah rawan longsor juga telah ditetapkan oleh Pemerintah (BNPB) sebagai salah satu kebijakan untuk memberikan penanganan kepada Desa Sukaraksa. Kajian tentang realitas longsor selama 4 tahun terakhir penting untuk dipahami sebagai pengetahuan awal kondisi ekologis Sirnagalih. Dengan mengangkat fenomena longsor mulai dari realitas, pengaruh dan dampak, penyebab serta upaya penanggulangan maka realitas longsor Sirnagalih dapat dipahami secara komprehensif. Pada gambar 12 nampak bahwa daerah yang menjadi titik-titik longsor adalah daerah pemukiman dan areal persawahan. Ke-2 titik tersebut merupakan daerah yang dianggap labil karena selain memiliki struktur tanah yang rapuh juga menjadi pusat aktivitas warga sirnagalih dalam sehari-hari.
Gambar 12 Sketsa Lokasi Rawan Longsor di Desa Sukaraksa
5.1. Faktor Penyebab Longsor Kondisi geologi Kampung Sirnagalih hampir sama yakni memiliki struktur dan kontur tanah yang mudah bergeser. Kandungan tanah berupa batuan campuran dengan beragam jenis yakni breksi, batu pasir, lempung, kuarsa dan
58
andesit menyebabkan tanah menyerap air dengan cepat sehingga menyebabkan tanah juga menjadi lebih cepat jenuh (Dinas ESDM Kab.Bogor). Gejala-gejala alam secara umum menampakkan bahwa kondisi alam Kampung Sirnagalih memang termasuk dalam kategori rawan longsor. Potensi longsor tersebut menjadi lebih berat ketika lahan telah beralih fungsi menjadi pemukiman, persawahan dan perkebunan. Jenis tanaman endemik (asli) seperti bambu mulai berganti dengan jenis tanaman lain seperti Singkong dan Pisang. Menurut para ahli Geologi dari Dinas ESDM Kab. Bogor serta pakar konservasi tanah dan air IPB, peristiwa longsor yang terjadi pada daerah rawan longsor di Desa Sukaraksa yakni Kampung Sirnagalih merupakan fenomena alam geologis dengan tipe translasi. Tipe translasi merupakan salah satu jenis longsor yang kerap terjadi di Indonesia (Nugraha 2010). Longsoran translasi merupakan pergerakan tanah yang terjadi akibat pergerakan massa tanah dan batuan pada bidang gelincir yang berbentuk rata atau menggelombang landai. Gejala longsor yang ditunjukkan oleh Kampung Sirnagalih merupakan parameter umum akan terjadinya perpindahan tanah dalam jumlah besar dengan gejala terjadi keretakan tanah, lantai dan dinding bangunan. Bentuk-bentuk keretakan tanah bisa berupa bentuk konsentris (terpusat seperti lingkaran) atau paralel dengan lebar beberapa sentimeter dan panjang beberapa meter sehingga dapat dibedakan dengan gejala retakan biasa (Nugraha 2010). Dari berbagai kajian dan analisa para ahli yang menerangkan tentang kondisi
geomorfologi
kampung,
maka
terdapat
beberapa
faktor
yang
menyebabkan terjadinya gerakan tanah. Secara umum faktor-faktor tersebut dikelompokkan ke dalam dua kategori yakni faktor alamiah dan faktor manusia (Mukhlis T.,dkk 2008). Pertama, faktor alamiah yang menjadi faktor pemicu longsor adalah curah hujan yang tinggi yakni 3000 mm3/tahun dengan intensitas yang semakin meningkat pada bulan-bulan tertentu yakni November, Desember, Januari, Pebruari, Maret. Faktor alamiah lainnya yang menjadi pemicu adalah faktor geomorfologi lainnya seperti kecuraman lereng, kondisi tanah dan bebatuan. Kedua, kondisi alamiah tersebut menjadi semakin kritis dengan perubahanperubahan lingkungan yang disebabkan oleh manusia dalam hal ini adalah
59
warga setempat. Warga setempat menyatakan bahwa perubahan fungsi lahan serta berkurangnya jenis tanaman tertentu yang menjadi tanaman endemik lokal (Puspa, Lame dan Bambu) dengan fungsi sebagai pengikat air tanah mulai terjadi sekitar awal Tahun 2000. Perubahan tersebut disinyalir sebagai salah satu indikasi terjadinya longsor, meskipun secara ekologis tutupan lahan berupa kebun campuran masih terlihat didominasi oleh tanaman tahunan lainnya yakni Sengon. Kampung Sirnagalih merupakan habitat tanaman bambu yang merupakan jenis tanaman dengan akar kuat dan baik untuk pengikat air tanah. Selain bambu, tanaman endemik lainnya seperti Puspa, Lame masih terlihat, meskipun kini tanaman Sengon lebih banyak ditemui. Hal tersebut nampak dari kondisi alam yang masih menyisakan tanaman bambu di beberapa kebun milik warga. Menurut pengakuan salah satu warga sepuh (tua) di Sirnagalih, tanaman bambu sejak awal telah banyak ditemui dan dikembangkan oleh warga sebagai tanaman pendukung untuk membuat rumah. Seiring perkembangan jumlah penduduk dan kebutuhan hidup, pengakuan warga Sirnagalih mengakui bahwa di beberapa tempat tanaman bambu telah digantikan dengan jenis tanaman lain yang lebih bernilai ekonomis seperti Singkong dan Pisang. Kedua jenis tanaman pengganti bukan merupakan tanaman kayu-kayuan serta tidak memiliki akar yang kuat yang dapat berfungsi sebagai pengikat air tanah. Namun Singkong dan Pisang dapat menjadi sumber pangan aternatif warga selain beras. Fakta di lapangan memperlihatkan bahwa keberadaan jenis tanaman tersebut (Singkong dan Pisang) sebenarnya tidaklah banyak namun oleh pihak Pemerintah dianggap sebagai pemicu terjadinya longsor. Selain sebagai habitat tanaman bambu, awalnya Kampung Sirnagalih merupakan bukit yang lebih banyak ditumbuhi rumput liar, semak belukar dan beberapa tanaman endemik seperti Puspa dan Lame. Kini Kampung Sirnagalih telah berubah dan didominasi oleh kebun campuran (tanaman tahunan seperti sengon), sawah tadah hujan dan pemukiman. Bagaimanapun juga, akivitas tersebut disinyalir menyebabkan bertambahnya beban pada tanah yang strukturnya memang rapuh. Tanahpun menjadi semakin rapuh, retak, turun dan akhirnya menyebabkan tanah amblas seperti yang terjadi di areal pemukiman warga.
60
Ketiga, aktivitas pertanian sawah di bagian atas yakni di Kampung Sirnagalih
juga disinyalir sebagai faktor pemicu terjadinya longsor karena
keberadaan air sawah yang terus menerus ada di permukaan dan meresap ke bawah permukaan. Pengairan pada sawah menjadikan intensitas air yang terus menerus sehingga terjadi perubahan karakteristik tanah dan menurunkan kuat geser tanah secara signifikan. Kondisi persawahan juga akan menambah beban lereng yang menyebabkan terjadiya longsoran. Faktor keempat adalah adanya indikasi pergerakan tanah yang disebabkan oleh aktivitas penambangan batu bara yang pernah dilakukan di jalur Selatan Kampung Sirnagalih sejauh 400 meter. Aktivitas penambangan batu bara secara tradisional pernah dilakukan (berawal pada Tahun 2005) oleh 3 warga di Kampung Sirnagalih, dan sejak 2 tahun terakhir telah berhenti (tidak beroperasi lagi). Desa Sukaraksa memang disinyalir merupakan daerah yang memiliki potensi hasil bumi batu bara dengan kadar 6,8 menghampiri kadar kualitas baik yakni 7. Secara keseluruhan, lokasi yang disinyalir memiliki kandungan batu bara di Desa Sukaraksa seluas 30 Ha termasuk yang terdapat di Kampung Sirnagalih dan beberapa kampung di sekitarnya (Wawancara dengan Kades Sukaraksa). Penambangan batu bara pernah dilakukan di 3 titik pada tahun 1990 dan 2005. Penambangan yang dilakukan oleh perusahaan kecil tersebut tidak berlangsung lama dan hingga kini tidak ada lagi aktivitas penambangan batu bara karena tingginya biaya produksi serta persoalan kondisi lahan. Benturan antara kepentingan ekonomi beberapa warga serta kepentingan ekologis yang berdampak pada keselamatan seluruh warga merupakan realitas yang dilematis. Di sisi lain warga mengetahui potensi finansial yang dapat diperoleh dari pengelolaan batu bara namun di sisi lain warga juga tak mau kehilangan tempat tinggal akibat kerusakan lahan yang disebabkan olek eksploitasi batu bara. Dari berbagai uraian di atas, oleh pihak ESDM dan masyarakat, selain keempat faktor tersebut beberapa faktor lainnya yang diindikasikan sebagai penyebab longsor di Sirnagalih juga ditemukan, seperti yang terlihat pada tabel 10. Namun demikian faktor-faktor tersebut tetap memerlukan kajian yang lebih lanjut untuk mengetahui seberapa besar-kuat pengaruh dari masing-masing faktor.
61
Tabel 10 Faktor-Indikasi Penyebab Longsor di Kampung Sirnagalih Indikasi Penyebab
Faktor Alam : (1) Jenis tanah dan batuan
(2) Kecuraman bukit (3) Curah hujan (4) Getaran (5) Erosi (6) Material timbunan (7) Bidang Diskontinuitas Faktor Manusia : (1) Jenis tata lahan
(2) Pemotonganpengikisan tebing (Beban tambahan) (3) Penggantian jenis tanaman
(4) Penebangan liar (5) Penambangan (6) Sistem irigasi
Uraian
Kurang padat; Tanah lempung, breksi, batu pasir, kuarsa dan andesit serta batu bara Curam; 30 derajat Tinggi; 3000 mm3/tahun Daerah rawan gempa Pengikisan tanah akibat penggundulan hutan Tempat pembuangan sampah Pertemuan bidang yang tidak sinambung. Pemukiman, Sawah, Kebun-Tegalan, Hutan Pembangunan rumah
Bobot
+ + + +/+/-
+ +
Jenis kayu-kayuan dan berakar kuat menjadi tanaman semusim dan tidak berakar kuat Penebangan pohon tanpa melakukan penanaman ulang Penggalian hasil bumi berupa batu bara Tidak memperhatikan sistem aliran air.
pertanian
+ +/+/-
Sumber: Analisis Data Primer dan Sekunder, Tahun 2012 Keterangan : + = Indikasi Kuat, - = Indikasi Lemah,
+/- = Perlu kajian lebih detail
Pada tabel 10 dijelaskan bahwa antara faktor alam dan faktor manusia, keduanya menunjukkan pengaruh dan peran yang kuat (+) sebagai penyebab longsor. Kuatnya indikasi tersebut didukung oleh hasil kajian dari beberapa pihak seperti Dinas ESDM dan ilmuwan dari perguruan tinggi IPB dan ITB. Selain yang berindikasi kuat, terdapat juga beberapa aspek yang dianggap memiliki kontribusi namun tidaklah berperan besar dalam menyebabkan longsor atau dianggap lemah (-). Beberapa faktor lain yang diindikasikan sebagai penyebab namun belum dianalisis secara ilmiah, hanya sebagai dugaan semata juga dimasukkan dengan harapan tetap menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan faktor penyebab sekaligus untuk mencari bentuk penanggulangan.
62
Mengacu dari faktor-faktor penyebab tejadinya longsor oleh Nugraha (2010) serta kondisi geomorfologi Kampung Sirnagalih maka beberapa indikasi yang menjadi
penyebab longsor baik alam maupun manusia menjelaskan
bahwa pertemuan kedua faktor yakni kondisi geomorfologi (alam) yang dipengaruhi oleh faktor pemicu yang disebabkan oleh manusia yakni alih fungsi dan tata guna lahan serta tingginya curah hujan akan mempercepat ketidakstabilan lereng sehingga menyebabkan Kampung Sirnagalih mengalami longsoran. 5.2. Realitas Longsor (Tahun 2009 sampai Sekarang) Kampung Sirnagalih telah menunjukkan gejala-gejala longsor dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Gejala longsor di Kampung Sirnagalih telah ada sejak Tahun 2009 dengan gejala yang agak berbeda dari gejala longsor yang pada umumnya terjadi. Longsor yang terjadi berupa tanah retak (bukan tanah yang jatuh). Peristiwa longsor berawal dari munculnya retakan tanah di dinding dan lantai rumah salah satu warga yakni Pak Adun. Skala retakan yang terjadi masih kecil (15 sampai 25 Cm) dan baru pertama kali terjadi. Gejala serupa kembali muncul pada Tahun 2010 yang juga terjadi pada salah satu rumah warga lainnya yakni Pak Rahmat. Lantai dan dinding rumah juga mengalami retak-retak kecil sepanjang 15 sampai 35 Cm. Oleh pemilik rumah dilakukan penambalan menggunakan semen untuk merapatkan kembali lantai dan dinding yang retak. Kejadian tersebutpun oleh warga Kampung Sirnagalih belum dianggap sebagai gejala longsor karena hanya terjadi di salah satu rumah warga dan tidak menimbulkan bahaya. Dua kejadian tersebut oleh warga setempat belum dianggap sebagai gejala longsor karena masih berskala kecil dan belum membawa dampak yang membahayakan meskipun upaya sederhana dengan melakukan penambalan retakan tetap dilakukan. Warga memahami peristiwa longsor sebagai peristiwa bencana alam yang menimbulkan bahaya sehingga mendatangkan kerugian besar. Ketika longsor dianggap tidak berbahaya maka warga belum menganggap kejadian tersebut sebagai sebuah bencana. Berbeda dengan konsep longsor yang secara teknis diartikan oleh para ahli sebagai suatu fenomena alam yakni terjadinya pergerakan tanah meskipun belum menimbulkan bencana, namun pergerakan tanah selalu diprediksikan akan menimbulkan bahaya dan kerugian.
63
Pada akhir tahun 2011, tepatnya tanggal 11 bulan november tahun 2011, pergerakan tanah berupa tanah retak seperti tahun-tahun sebelumnya kembali terjadi dan menimpa 3 rumah warga yakni Pak Salim, Pak Misnan dan Pak Jimro. Dinding rumah mengalami retak kecil. Retak di dinding sempat berhenti, hingga pada awal Desember 2011 gejala retak tanah dan dinding kembali terjadi dan tidak berhenti bahkan mulai menimpa beberapa rumah warga lainnya. Peristiwa tersebut terjadi seiring dengan hujan deras yang terus mengguyur Kampung Sirnagalih. Pada hari Selasa, tanggal 13 Desember 2011 frekwensi pergerakan tanah terjadi semakin cepat dan menimpa 33 rumah dengan gejala serupa yakni dinding dan lantai rumah retak bahkan mulai turun.
Retakan yang awalnya
hanya berkisar 5 Cm terus melebar hingga 30 Cm. Terdapat 12 rumah yang menunjukkan gejala serius dengan kerusakan yang cukup parah. Puncak longsor terjadi pada hari Kamis tanggal 15 Desember 2011. Ke-33 rumah akhirnya mengalami kerusakan berat sehingga tidak lagi aman dan layak untuk dihuni. Dinding rumah warga roboh, lantai rumah terbongkar bahkan amblas. Sebagian rumah warga lain yang mengalami kerusakan ringan sebanyak 9 unit. Seluruh rumah yang tidak dapat lagi dihuni mengakibatkan 42 keluarga (160 Jiwa) harus mengungsi dan meninggalkan rumah mereka. Seluruh warga yang rumahnya rusak dipastikan tidak dapat kembali. Selain karena faktor keamanan dan kelayakan, kondisi geologi terus menunjukkan terjadinya pergerakan tanah hingga sekarang (bulan Mei 2012). Panjang retakan telah mencapai 200 meter dengan lebar 300 meter. Kedalaman retakan sejauh 5 meter dan diperkirakan dapat mencapai 8 meter. Penurunan tanahpun telah mencapai 30 sampai 50 Cm. Selain pemukiman, retakan tanah juga menimpa areal persawahan. Ada 25 petani yang lahan garapannya rusak, khususnya lahan berupa sawah yang tidak dapat lagi ditanami padi. Luas areal persawahan yang rusak ditaksir masingmasing petani berkisar 0,25 sampai 0,5 Ha. Kondisi tanaman padi mulai kering karena air untuk mengairi sawah tidak dapat tergenang melainkan terus mengalir dan jatuh ke dalam retakan tanah.
64
5.3. Pengaruh dan Dampak Bencana Alam Longsor Mengacu pada realitas longsor yang terjadi sejak tahun 2009 hingga saat ini, terlihat bahwa dampak dan pengaruh yang ditimbulkan dalam rentang waktu 4 tahun tersebut berbeda. Longsor yang terjadi pada tahun 2009 dan 2010 hanya menimbulkan kerusakan kecil di 2 rumah yakni rumah Pak Adun dan Pak Rahmat. Dari peristiwa tersebut, belum memperlihatkan dampak dan pengaruh yang nyata dalam aktivitas keseharian warga Sirnagalih. Warga belum menganggap retak tanah yang menimpa 2 rumah tetangga mereka sebagai hal yang membahayakan sehingga perubahan cara pandang yang berdampak pada perubahan perilaku belum nampak secara signifikan. Dampak dan pengaruh besar mulai terjadi ketika peristiwa longsor (pergerakan tanah) terjadi pada Tahun 2011 hingga saat ini. Pergerakan tanah telah mengakibatkan kerugian materiil berupa kerusakan rumah dan lahan garapan serta kerugian immateril lainnya berupa hak untuk hidup nyaman dan tenang. Kerugian berupa kerusakan yang menimpa pemukiman dan lahan garapan warga menghasilkan beberapa perubahan secara sosio maupun ekologis, seperti yang terlihat pada gambar 13.
Gambar 13 Kerusakan Akibat Retak Tanah pada Sawah (kiri) dan Pemukiman (rumah) Warga di Kampung Sirnagalih (kanan). Pada gambar 13, terlihat kerusakan pada sawah mengakibatkan air yang menggenangi tanaman menjadi surut. Kerusakan tersebut menyulitkan warga untuk menggarap sawahnya. Selain kerusakan pada sawah, pergerakan tanah juga mengakibatkan rumah-rumah warga menjadi hancur dan runtuh bahkan
65
amblas. Pergerakan tanah berupa tanah retak tersebut menyebabkan kerugian materiil seperti yang terurai pada tabel 11. Tabel 11 Rekapitulasi Data Korban-Kerugian Longsor di Kampung Sirnagalih No A. B. C. 1. 2. 3.
4.
Uraian Korban-Kerugian Tahun 2009 Bangunan (Rumah) Rusak Ringan Tahun 2010 Bangunan (Rumah) Rusak Ringan Tahun 2011 Jumlah KK Jumlah Jiwa Jumlah Bangunan (Rumah) - Rusak Berat - Rusak Ringan Sawah
Jumlah 1
Unit
1
Unit
42 160 42 33 9 15
KK Jiwa Unit Unit Unit Petak
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer & Sekunder, Tahun2012
Mengacu pada konsep Cultural Ecology Steward, maka pemanfaatan teknologi menjadi awal perubahan pada 3 aspek inti lainnya yakni perubahan pada aspek kependudukan (populasi), aspek kelembagaan ekonomi dan aspek organisasi sosial-politik. Perubahan sosio-ekologi pada Kampung Sirnagalih yang diawali dari pemanfaatan teknologi dibagi menjadi 2 hal yakni pertama, rusaknya lahan garapan petani yang berdampak pada perubahan teknik dan pola tanam. Perubahan tersebut terjadi karena retak tanah di lahan garapan khususnya sawah menjadi rusak. Rusaknya sawah berakibat pada menurunnya produktivitas lahan untuk menghasilkan beras, sementara beras masih menjadi makanan pokok warga setempat. Warga pun mulai mengalihfungsikan sawahnya menjadi kebun campuran, dengan jenis tanaman pangan lainnya yang dianggap dapat mengenyangkan yakni Singkong dan Pisang. Ada juga yang mengisi sebagian lahan mereka dengan tanaman tahunan seperti Sengon. Perubahan tersebut juga menyebabkan berubahnya pola produksi-distribusi pangan. Kerusakan lahan selain merubah pola teknik dan pola tanam juga merubah pola fikir dan perilaku sebagian warga untuk mencari alternatif mata pencaharian yang tidak berbasis lahan. Munculnya jenis pekerjaan baru di bidang jasa seperti menjadi tukang ojek dan buruh tumbuk emas di luar desa merubah struktur nafkah mereka menjadi nafkah ganda. Dari curahan waktu, pekerjaan bertani tetap sebagai yang utama.
66
Kedua, dipindahkannya warga ke tempat hunian sementara (Huntara). Sejak kejadian longsor besar hingga saat ini warga telah 2 kali dievakuasi yakni ke tenda pengungsian dan ke hunian sementara (Huntara). Bantuan awal yang diterima warga adalah 43 tenda pengungsian sebagai tempat tinggal yang bersifat darurat. Selama lebih kurang 3 bulan warga hidup di tenda, hingga akhirnya dievakuasi ke hunian sementara (Huntara). Bangunan Huntara didesain non permanen, lebih menyerupai barak dengan ukuran petak (7x5 m), terbuat dari triplek, dan berada dalam satu area seluas 2.300 meter persegi. Lokasi Huntara berjarak 500 meter dari pusat terjadinya longsor. Tidak dapat dipastikan akan berapa lama warga akan tinggal di Huntara tersebut dan di mana mereka akan diberikan tempat tinggal, sebab masih menunggu pencairan dana pemerintah serta hasil kajian geologi dan geografi untuk memastikan tempat yang aman dan layak untuk mereka hidup. Satusatunya harapan warga dan pemerintah terkait dengan pemindahan mereka kelak ke tempat tinggal yang tetap adalah warga dipindahkan tidak jauh dari kampung mereka agar tetap mudah mengakses lahan garapan mereka. Direlokasinya para korban ke Huntara menimbulkan banyak perubahan yang berujung pada perilaku adaptasi meski sekilas terlihat tidak terjadi perubahan drastis. Namun secara psikologis dan sosiologis, banyak hal yang mempengaruhi pola interaksi para warga khususnya sesama korban longsor. Hidup di tenda ataupun di Huntara yang tidak memiliki sekat/batas pemisah antara kamar orangtua maupun anak telah menghambat kebutuhan biologis orangtua, andaipun dipaksakan maka akan berpengaruh buruk bagi anggota keluarga lainnya. Perubahan prilaku dan gaya hidup sesama warga Huntara pun ikut berubah. Diantaranya, penggunaan fasilitas umum seperti kamar mandi/toilet (MCK) yang harus dimanfaatkan secara bersama. Para pengungsi mulai belajar cara berbagi. Para anak sekolah harus mengantri mandi di jam pagi. Sebagian anak bahkan orangtua lebih memilih ke pancuran sawah. Pentingnya keberadaan air bersih sebagai kebutuhan utama membuat warga dan pihak lain (TNI) membantu membangun 3 unit sumur di sekitar lokasi pengungsian. Persoalan lain yang harus dihadapi oleh para pengungsi adalah kesehatan. Beberapa pengungsi mengalami diare, demam dan alergi. Minimnya air bersih yang „memaksa‟ warga untuk memanfaatkan air sawah sebagai alat untuk membersihkan badan, pakaian, bahkan untuk membuang hajat, semakin
67
menambah peluang terjangkitnya penyakit diare dan alergi. Hidup di Huntara yang jauh dari kehangatan dan kenyaman membuat daya tahan tubuh beberapa pengungsi menjadi rentan terhadap penyakit. Keterbatasan-keterbatasan
tersebut
menuntut
warga
untuk
melakukan
penyesuaian (adaptasi) agar tetap dapat menikmati hidup mereka ke depan sampai waktu yang belum pasti. Dalam keterbatasan itu mereka juga dituntut untuk saling berbagi. Di satu sisi para korban longsor tidak dapat kembali ke rumah mereka, namun di sisi lain mereka juga akan tetap bertahan karena tidak memiliki lahan lain yang dapat dijadikan seagai sumber penghidupan selain yang ada di kampung mereka. 5.4
Upaya Penanggulangan Bencana Longsor pada Daerah Rawan Longsor Fenomena longsor merupakan fenomena alam yang sedikit banyak
mendapatkan intervensi dari manusia. Intervensi tersebut berupa pemanfaatan lahan dengan cara mengubah kondisi lahan dari habitat aslinya menjadi areal yang lebih berfungsi sebagai lahan penopang kebutuhan hidup. Untuk melakukan upaya penanggulangan maka perlu beberapa perlakuan manusia sebagai pihak yang juga berperan dalam menyebabkan longsor. Bentuk-bentuk penanggulangan bencana longsor yang telah dilakukan oleh warga Sirnagalih dapat dibedakan menurut skala waktu yakni jangka pendek, menengah dan jangka panjang, seperti yang terlihat pada tabel 12. Pada umumnya bentuk penanggulangan yang dilakukan untuk jangka pendek lebih bersifat temporer dan insidentil sedangkan yang jangka menengah dan panjang akan lebih memperhitungkan sustainabilitas kehidupan warga setempat. Keamanan dan keselamatan jiwa serta kestabilan ekosistem adalah tujuan dilakukannya upaya penanggulangan longsor yang bersifat jangka panjang.
68
Tabel 12 Bentuk-bentuk Penanggulangan Bencana Longsor di Kampung Sirnagalih Skala Waktu
Jangka Pendek
Jangka Menengah & Panjang
Bentuk Penanggulangan
Kategori Tindakan Menurut Bell,dkk.
1. Menutup/menambal retakan dengan tanah padat 2. Memperbaiki sistem pengaliran/pembuangan air
Adjustment
1. Tidak melakukan alih fungsi lahan
Adjustment
2. Memanfaatkan lahan pertanian dengan pola lahan kering
Adjusment
3. Tidak mendirikan bangunan pada lereng bukit 4. Tidak menambah beban lahan
Adjustment
Adaptasi Adaptasi Adaptasi
5. Tidak menebang pohon sembarangan,
Adjustment
6. Memelihara dan melakukan penanaman ulang dengan jenis kayu-kayuan serta pohon berdaya akar kuat untuk mengikat tanah
Adjustment
7. Membuat-membersihkan drainase (aliran air) 8. Tidak melakukan aktivitas yang mengganggu kestabilan lereng, seperti penambangan.
Adaptasi
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer, Tahun 2012
Berdasarkan saran dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ada beberapa upaya yang patut dilakukan oleh warga di Kampung Sirnagalih. Upaya tersebut merupakan langkah konkret dan bersifat teknis dengan tujuan mencegah terjadinya longsor yang lebih besar. Oleh Bell, dkk. sebagian upaya tersebut merupakan tindakan adjusment dimana warga melakukan perubahan pada lingkungannya untuk mencegah terjadinya longsor susulan. Beberapa upaya di atas telah dilakukan oleh warga Sirnagalih. Misalnya melakukan penambalan pada retakan-retakan yang terdapat di dinding dan lantai rumah. Upaya ini dilakukan pada saat peristiwa pergerakan tanah masih berskala kecil dan belum meruntuhkan rumah warga. Saat ini retakan-retakan tanah yang
69
terjadi dan terus mengalami pelebaran retak, dibiarkan saja karena warga berasumsi bahwa retakan tersebut akan terus melebar dan membutuhkan tanah yang banyak untuk menutupnya. Warga khawatir pengambilan tanah untuk menutup
retakan
justru
mengakibatkan
persoalan
baru
pada
tempat
pengambilan tanah. Upaya lain yang juga telah dilakukan oleh warga adalah tidak melakukan penebangan pohon, juga tidak melakukan aktivitas penambangan meskipun di kampung mereka diklaim mengandung batu bara. Aktivitas penambangan batu bara yang pernah dilakukan pada tahun 1990 dan berulang pada tahun 2005 tidak lagi beroperasi dan benar-benar berhenti sejak terjadinya longsor. Warga juga mentaati batasan lahan yang boleh digarap dan tidak boleh digarap (leuweung tutupan dan leuweung titipan). Pada leuweung titipan pun warga membuka lahan dengan tidak melewati batas kepemilikan. Di Kampung Sirnagalih lahan yang boleh mereka garap sebagai sawah, kebun dan ladang hanya berkisar 11 Ha (tabel 13). Lahan itulah yang terus mereka garap dan mereka wariskan dari dulu hingga sekarang. Tabel 13 Distribusi Pemanfaatan Lahan (Leuweung Titipan) Kampung Sirnagalih No.
Jenis Pemanfaatan
Luas (Ha)
1.
Sawah Tadah Hujan
3,50
2.
Kebun Campuran
6,00
3.
Ladang
1,50
4.
Pemukiman
3,25
Total
14,25
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer dan Sekunder, Tahun 2012
Ketidakcukupan hasil produksi lahan sebagai penopang ekonomi keluarga akibat bertambahnya anak-cucu, mereka atasi dengan mencari pekerjaan lain yang tidak berbasis lahan seperti menjadi pedagang kecil di pasar Cigudeg dan Leuwliang,menjadi tukang ojek dan buruh tumbuk. Selama 5 tahun terakhir, beberapa suami malah merantau ke Jakarta meninggalkan istri dan anaknya untuk bekerja. Ada yang menjadi pedagang, ada juga yang menjadi buruh bangunan.
70
Kendati demikian, dari berbagai bentuk-upaya penanggulangan longsor ada juga beberapa larangan yang terlanjur dilakukan oleh warga, seperti melakukan aktivitas pertanian dengan pola basah. Di Kampung Sirnagalih terdapat 3,5 Ha lahan yang dimanfaatkan sebagai persawahan dan sebagian besar dari sawah tersebut telah mengalami gejala longsor berupa retak tanah. Oleh pemilik sawah ke depan akan mengganti dengan tanaman pangan (palawija) lainnya yang diselingi dengan tanaman kayu-kayuan yang dianggap cocok dengan kondisi lahan seperti Jenjeng dan Puspa, Upaya lain yang dilakukan adalah mempertahankan sebagian tanaman bambu yang masih tersisa di kampung meskipun sebagian warga terlanjur mengganti dengan tanaman pangan seperti Singkong dan Pisang. Warga juga tidak lagi berminat untuk mendirikan bangunan rumah dengan konstruksi yang permanen. Sebagian warga lebih memilih membangun rumah dengan dinding bilik yang terbuat dari anyaman bambu dengan alasan lebih aman dan murah. Bahkan sebagian warga rela untuk direlokasi dan tidak lagi berminat untuk membangun-memperbaiki rumah dengan alasan keselamatan diri. 5.5
Ikhtisar Konsep longsor secara harfiah adalah terjadinya gejala pergerakan tanah.
Realitas lonsor yang terjadi selama kurun waktu 4 tahun (2009 sampai sekarang) di Kampung Sirnagalih menunjukkan gejala pergerakan tanah (longsor) berupa tanah retak.
Gejala tersebut berbeda dari peristiwa longsor yang umumnya
terjadi yakni berupa tanah runtuh. Dari berbagai kajian (pihak ESDM dan Kehutanan) serta hasil pengamatan di lapangan, gejala pergerakan tanah yang terjadi disebabkan oleh 2 faktor yakni kondisi alam yang didukung oleh aktivitas manusia. Dari 2 faktor tersebut maka muncul beberapa tindakan yang mengarah untuk meminimalisir aktivitas manusia yang dianggap dapat memperparah kondisi ekologi Sirnagalih. Pemahaman terhadap faktor penyebab longsor sangat penting untuk diketahui, khususnya bagi mereka yang bersentuhan langsung dengan pengelolaan lahan (Petani), agar upaya penanggulangan longsor dapat terwujud dalam tindakan atau aktivitas sehari-hari warga.
71
Bukan hal yang mudah bagi warga untuk mengaplikasikan upaya penanggulangan longsor dalam aktivitas keseharian warga. Akan muncul berbagai kendala yang disebabkan oleh perubahan kualitas ekologi, khususnya lahan. Penurunan kualitas lahan telah berdampak pada perubahan-perubahan sosiologis, sebab lahan bagi warga setempat mempunyai makna yang besar yakni sebagai sumber penghidupan; sebagai sumber nafkah serta sebagai tempat untuk bermukim. Perubahan ekologis akibat kerusakan lahan berdampak pada kehilangan warga terhadap tempat tinggal, selain itu para petani terancam kehilangan sumber mata pencaharian. Perubahan tersebut dihadapi oleh warga dengan munculnya perubahan lain sebagai bentuk-upaya penanggulangan. Upaya penanggulangan yang dilakukan oleh warga berdampak pada upaya penanganan yang bersifat jangka pendek, menengah dan panjang. Upaya jangka pendek lebih kepada penanganan pada persoalan yang bersifat temporer sedangkan jangka menengah dan panjang lebih berdampak pada sustainabilitas kehidupan masyarakat Sirnagalih. Penanggulangan dilakukan dengan mengacu pada sumber penyebab longsor yang telah diindikasikan oleh beberapa pihak yang memiliki kompetensi di bidangnya seperti Dinas ESDM dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Faktor permasalahan diindikasikan terjadi karena faktor alam dan manusia. Meskipun dugaan faktor alam lebih kuat namun penanganan yang mengarah pada perilaku manusia juga dilakukan. Pada akhirnya, penanganan yang bersifat komprehensif mutlak diperlukan dan dipertahankan sebab kondisi geologi Kampung Sirnagalih telah dinyatakan sebagai daerah rawan longsor. Longsor di Sirnagalih dapat dipahami secara komprehensif dengan menggali kondisi dan fenomena alam yang terjadi selama 4 tahun terakhir, mulai dari faktor penyebab, pengaruh dan dampak yang ditimbulkan, serta upaya penanggulangan yang telah dilakukan. Kondisi, penyebab, dampak dan upaya penanggulangan secara ringkas terangkum pada Tabel 14.
72
Tabel 14 Realitas Longsor selama 4 Tahun Terakhir di Kampung Sirnagalih Realitas Longsor Objects (Kondisi Fenomena)
Reflective (Pengaruh/ Dampak)
Interpretative (Penyebab) Decisional (Upaya Penanggulangan)
2009 Retak tanah sepanjang 15-25 Cm yang menjalar ke beberapa bagian dinding dan lantai rumah warga (Pak Adun) Hanya menimbulkan kerusakan ringan di salah satu rumah warga (Pak Adun), sehingga tidak memberi pengaruh dan dampak yang berarti
Periode 2009-2012 2011 Retak tanah Retak tanah dengan panjang sepanjang 15dan lebar 35 Cm yang retakan + 300 M menjalar ke dan amblas beberapa sedalam > 1 M bagian dinding di areal dan lantai pemukiman rumah warga warga (Pak Rahmat) 2010
Hanya Menimbulkan kerusakan ringan di salah satu rumah warga (Pak Rahmat) di Kampung Sirnagalih, sehingga tidak memberi pengaruh dan dampak yang berarti
- Sebanyak 42 RT (160 jiwa) kehilangan tempat tinggal di Kampung Sirnagalih - Pemerintah Daerah dibantu BPBD Kab. Bogor merelokasi warga Kampung Sirnagalih ke tenda pengungsian dan kini warga telah menempati Huntara (hunian sementara)
2012 Retak tanah sepanjang > 200 M dan lebar retakan + 1 M di areal persawahan & kebun milik warga (hingga saat ini terus bergerak)
- Merusak lahan garapan dan para petani di Kampung Sirnagalih terancam kehilangan sumber nafkah utama - Perubahan komposisi bahan dasar pangan harian - Warga Kampung Sirnagalih mulai mencari alternatif nafkah yang tidak berbasis lahan - Pola pemukiman terkonsentrasi di satu titik - Perubahan prilaku & gaya hidup
Faktor alam : (1) Jenis tanah dan batuan kurang baik, (2) Curah hujan tinggi 3 (3000 mm /tahun), (3) kecuraman daerah 30 derajat Faktor Manusia: (1) Perubahan/alih fungsi lahan, (2) Pernah dilakukan penambangan batu bara, Pola bercocoktanam tidak sesuai (pola tanam basah) Jangka Pendek : (1) Menutup/menambal retakan dengan tanah padat, (2) memperbaiki sistem pengaliran/pembuangan air Jangka Menengah & Panjang : (1) Tidak melakukan alih fungsi lahan, (2) Memanfaatkan lahan pertanian dengan pola lahan kering, (3) Tidak mendirikan bangunan pada lereng bukit, (4) Tidak menambah beban lahan, (5) Tidak menebang pohon, memelihara dan melakukanpenanaman pohon kayu-kayuan serta pohon berakar kuat untuk mengikat tanah, (6) Tidak melakukan aktivitas yang mengganggu kestabilan lereng, seperti pengeboran, pengerukan dan penambangan.
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer dan Sekunder, Tahun 2012
73
Peristiwa longsor di Sirnagalih menunjukkan bahwa perubahan ekologis yang terjadi merupakan pertemuan antara faktor alam dan faktor manusia. Hasil kajian menunjukkan bahwa faktor alam lebih mendominasi mulai dari struktur tanah, kondisi geografis yang berbukit dengan kemiringan 30 derajat serta tingginya curah hujan. Kondisi tersebut menjadi lebih berat karena campur tangan manusia yang sedikit banyak ikut memberi dampak. Alih fungsi lahan menjadi pemukiman, melakukan pengelolaan lahan basah serta mulai berkurangnya kerapatan tanaman merupakan beberapa faktor yang disinyalir ikut memperburuk kondisi lingkungan. Perubahan ekologis yang terjadi di Sirnagalih membawa pengaruh dan dampak yang cukup memprihatinkan bagi kelangsungan hidup komunitas rawan longsor. Dampak yang ditimbulkan disebabkan oleh rusaknya tempat tinggal serta lahan garapan. Akibatnya, perubahan ekologis yang terjadi tidak lepas dari perubahan sosiologis yang menyertainya. Perubahan-perubahan tersebut merupakan indikasi awal munculnya berbagai penyesuaian (adaptasi) yang dilakukan sebagai strategi untuk bertahan hidup. Salah satunya melalui upaya-upaya penanggulangan longsor yang dilakukan baik dalam waktu jangka pendek yang bersifat temporer ataupun untuk jangka waktu panjang yang akan mendukung sustainability kehidupan komunitas rawan longsor di Sirnagalih.
74
75
BAB VI PERSEPSI TERHADAP LINGKUNGAN DAN KEMAMPUAN DIRI
Tingginya homogenitas warga dalam hal pendidikan, agama bahkan suku dan budaya tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap persepsi warga mengenai keadaan lingkungannya. Bahkan dalam beberapa hal, persepsi antar warga nampak sama. Perbedaan persepsi sedikit nampak mengenai perubahan pola pemanfaatan dan pengelolaan lahan yang didasarkan oleh mata pencaharian serta penguasaan lahan. Persepsi warga terhadap lingkungan disajikan dalam bentuk tabulasi angka dan persentase yang menunjukkan popularitas jawaban responden. Seberapa besar responden memberikan pandangan yang sama terhadap lingkungan akan merepresentasikan kondisi lingkungan mereka saat ini. 6.1 Persepsi terhadap Lingkungan Pengukuran persepsi terhadap lingkungan dilakukan kepada warga Kampung Sirnagalih yang secara riil merupakan korban longsor yang telah mengalami kerugian secara materiil. Lebih dari 60 persen warga mengalami kerusakan tempat tinggal bahkan kehilangan rumah dan mereka yang bekerja sebagai petani terancam kehilangan mata pencaharian sebab lahan garapan juga mengalami kerusakan. Persepsi para warga terhadap lingkungan merupakan titik awal mengetahui sejauhmana mereka memahami kondisi lingkungan yang telah diklaim sebagai daerah rawan longsor. Indikator persepsi warga terhadap lingkungan terbagi dalam 3 kategori yakni penyebab longsor, kondisi lingkungan (kualitas fisik kampung; iklim, tanah, sungai, hutan), serta dampak yang ditimbulkan oleh longsor. 6.1.1 Penyebab Longsor Secara teknis dan keilmuan, penyebab longsor di kedua kampung telah banyak dianalisis oleh para pihak seperti Dinas ESDM, ahli kehutanan IPB dan pakar geologi ITB. Secara non teknis, berdasarkan pengalaman dan kedekatan terhadap lingkungan sekitar, faktor penyebab longsor juga dapat diketahui melalui persepsi warga.
76
Hasil pengukuran persepsi lingkungan menunjukkan bahwa berbagai faktor utama yang diprediksi oleh berbagai ahli/pakar geologi sebagai faktor penyebab terjadinya longsor di Kampung Sirnagalih, sebagian besar juga dipahami oleh warga. Dari berbagai pilihan yang disediakan pada kuesioner, mayoritas warga memilih bahwa kondisi tanah merupakan faktor utama terjadinya longsor di kampung mereka. Beberapa warga mengatakan bahwa “kampung mereka dulu aman-aman saja tapi sekarang tanahnya memang sudah tidak baik”. Pengetahuan warga tentang kondisi tanah yang tidak baik diperoleh dari hasil pengamatan warga sehari-hari yang menyaksikan pergeseran tanah. Selain itu, hasil kajian dari pihak Dinas ESDM Kab. Bogor yang ditransformasikan ke warga semakin memperkuat pandangan warga terhadap kondisi lahan di kampung mereka. Pada tabel 15 terlihat bahwa, selain faktor tanah, warga setuju bahwa realitas longsor di Sirnagalih juga disebabkan oleh beberapa faktor penyebab lainnya. Hal tersebut terlihat dari variasi jawaban responden yang juga memilih faktor lain, sehingga dapat dikatakan bahwa longsor tidak disebabkan oleh faktor tunggal namun oleh banyak faktor. Tabel 16 Persepsi Warga tentang Faktor Penyebab Longsor (n=55) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Faktor Penyebab Longsor Kondisi tanah yang tidak baik Bercocoktanam di lahan miring Hujan deras (iklim) Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai Membangun rumah di perbukitan Kerusakan Hutan Takdir Tuhan
Distribusi Responden (%) Ya
Tidak
98 93 82 80 80 75 55
2 7 18 20 20 25 45
Faktor lain yang dipilih oleh warga sebagai aktivitas yang ikut menjadi penyebab terjadinya longsor adalah bercocoktanam di lahan miring. Meski kondisi riil di Kampung Sirnagalih pemanfaatan lahan miring masih tergolong baik sebab jenis tanaman yang banyak ditanam adalah tanaman tahunan seperti Sengon dan Puspa. Pemanfaatan lahan miring lainnya adalah sebagai sawah tadah hujan dengan sistem terasering. Terasering merupakan salah satu cara pengelolaan lahan yang cocok untuk daerah miring. Pemahaman warga tentang pemanfaatan lahan miring sebagai lahan garapan cukup memadai.
77
Faktor lainnya adalah pemanfaatan lahan yang tidak sesuai. Warga memilih jawaban bahwa pemanfaatan lahan tidak sesuai di kampung mereka sehingga menyebabkan longsor. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai tersebut adalah pemanfaatan lahan sebagai rumah-tempat tinggal. Hal ini sesuai dengan faktor penyebab longsor lainnya yakni dibangunnya rumah di areal perbukitan. Dari beberapa faktor teknis yang dianggap sebagai penyebab longsor, terdapat faktor non teknis yang juga dipilih oleh sebagian warga sebagai faktor mutlak penyebab terjadinya longsor, yakni tingginya curah hujan dan takdir Tuhan. Peristiwa longsor yang terjadi kerap diiringi oleh hujan deras. Kondisi tersebut dianggap warga sebagai faktor penyebab longsor yang sulit untuk dihindari, demikian halnya dengan Takdir Tuhan. Sebagai makhluk beragama, warga meyakini bahwa setiap peristiwa terjadi karena ijin Tuhan, meski di sisi lain sebagian besar responden juga setuju bahwa faktor teknis seperti kondisi tanah, kesalahan dalam pemanfaatan dan pengolahan lahan serta kerusakan hutan ikut menjadi faktor penyebab terjadinya longsor. Kerusakan hutan juga menjadi salah satu faktor yang dipilih warga sebagai penyebab terjadinya longsor. Hutan yang dimaksud di sini adalah hutan rakyat (kebun campuran/talun) yang dikelola dan dimanfaatkan secara pribadi. Hutan rakyat di Kampung Sirnagalih ada 2 bentuk yakni hutan bersama yang dikeramatkan disebut Gunung Batu Kaca serta hutan rakyat berupa kebun talun. Kondisi kedua jenis hutan tersebut berbeda. Hutan Gunung Batu Kaca masih terjaga kelestariannya bahkan masih virgin. Berbeda dengan kondisi kebun talun, meski masih terlihat „hijau‟ namun kerapatannya sudah renggang. Kerapatan antar
pohon
berkurang
akibat
penebangan
yang
dilakukan.
Meskipun
penebangan dilakukan masih berskala kecil karena masih mempertimbangkan usia pohon dan kebutuhan namun diameter pohon pengganti tidak lagi sebesar pohon-pohon sebelumnya. Pohon tua sudah tidak banyak dibandingkan pohon muda. Perubahan tersebut dianggap oleh warga bahwa kondisi hutan di kampung mereka sudah tidak sebaik dulu. Sebagian kecil masih terdapat responden yang memilih menjawab bahwa kerusakan hutan tidaklah menjadi penyebab longsor (25 persen) dengan alasan bahwa mereka masih melihat kampung Sirnagalih masih „hijau‟. Secara ekologis kondisi Sirnagalih sebenarnya masih dikelilingi oleh tanaman bambu dan
78
berbagai jenis tanaman tahunan lainnya (seperti Sengon, Puspa, Lame dan Afrika) meski secara kualitas dan kuantitas telah mengalami penurunan. Seberapa jauh dampak dari kerusakan hutan tersebut juga terlihat dari gejala-gejala fisik lingkungan seperti yang terlihat pada tabel 16. Sebagian besar responden menjawab bahwa tanda-tanda kerusakan hutan telah mereka rasakan yakni ketersediaan air di musim kemarau menjadi berkurang, sebagian tanah terlihat kering dan agak retak, di musim hujan air sungai berubah warna menjadi keruh, jumlah pohon (kerapatan) pun mulai berkurang sehingga nampak renggang karena pohon-pohon yang ada sekarang memiliki diameter yang kecil (lebih banyak pohon baru). Tabel 16
No.
Persepsi Warga tentang Tanda-tanda Kerusakan Hutan di Leuweung Titipan (n=55) Tanda-tanda Kerusakan Hutan (Leuweung Titipan)
Distribusi Responden (%) Ya
1. 2. 3. 4.
Persediaan air berkurang di musim kemarau Tanah kering dan retak di musim kemarau Air sungai keruh-coklat di musim hujan Jumlah pohon berkurang
95 95 95 95
Tidak 5 5 5 5
Pada tabel 17, lebih jauh menggali tentang penyebab kerusakan hutan di leuweung titipan. Kerusakan hutan titipan disebabkan karena adanya kebutuhan terhadap kayu oleh warga itu sendiri. Sebagian besar responden menjawab bahwa pemilik lahan menebang pohon mereka untuk kebutuhan membangun rumah. Selain itu, pohon dengan jenis kayu-kayuan yang ditanam juga dijadikan sebagai alat investasi yang bisa dijual untuk kebutuhan yang mendesak. Ketika warga mengalami kesulitan perekonomian maka pohon yang mereka miliki menjadi sumber nafkah lainnya. Kondisi tersebut biasanya terjadi jika warga benar-benar membutuhkan biaya dan tidak dapat diperoleh dari sumber lainnya. Pemilik tanaman akan memilih pohon yang akan ditebang berdasarkan usia. Biasanya usia pohon yang ditebang paling rendah 4 sampai 5 tahun. Tanaman yang paling sering diambil adalah tanaman Bambu dan Jenjeng (Sengon). Selain tuntutan kebutuhan, faktor lain yang menyebabkan kerusakan hutan adalah hujan deras dan angin kencang, meskipun bencana alam tersebut tidak sampai menimbulkan kerusakan besar. Sebagian kecil responden juga menjawab bahwa pencurian kayu pernah menjadi penyebab rusaknya hutan
79
mereka, namun sebagian besar responden menjawab bahwa pencurian kayu terjadi di waktu lampau dan dilakukan oleh orang luar. Pada rentang waktu 5 sampai 7 tahun terakhir sudah tidak ada lagi pencurian kayu di kampung mereka. Tabel 17 No.
Persepsi Warga tentang Faktor Penyebab Kerusakan Hutan di Leuweung Titipan (n=55) Faktor Penyebab Kerusakan Hutan ( Leuweung Titipan)
Distribusi Responden (%) Ya
Tidak
1.
Pengambilan kayu untuk membangun rumah
89
11
2.
Pengambilan kayu untuk dijual
78
22
3.
Bencana alam (hujan deras dan angin kencang)
71
29
4.
Pencurian kayu (illegal loging) oleh orang luar
25
75
Mengacu pada tabel 18 di atas, maka ke-4 faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori. Pertama, faktor internal dimana penyebab kerusakan hutan disebabkan oleh perilaku warga dari Kampung Sirnagalih sendiri. Kedua, faktor eksternal dimana penyebabnya berasal bukan dari perilaku warga Sirnagalih melainkan karena alam dan karena perilaku orang luar (illegal loging). 6.1.2 Kondisi Lingkungan sebagai Daerah Rawan Longsor Indikator lain tentang persepsi warga terhadap lingkungan adalah pandangan warga tentang kondisi lingkungan mereka secara umum. Khususnya aspek-aspek yang dianggap sebagai faktor penyebab terjadinya longsor di daerah mereka. (1)
Kondisi Hutan Rakyat (Leuweung Tutupan dan Leuweung Titipan) Peristiwa longsor merupakan fenomena alam yang tidak mengenal batas
administrasi. Secara geografis, kerusakan ekosistem akan mempengaruhi unsurunsur kehidupan lainnya, seperti kerusakan hutan yang akan berdampak pada berkurangnya debit air, hilangnya kekuatan tanah, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut maka secara umum perlu diketahui bagaimana pandangan warga terhadap seluruh kondisi hutan yang ada di desa mereka dan di sekitarnya. Pada gambar 14 terlihat sebagian besar responden setuju bahwa kondisi hutan di sekitar mereka sebagian telah rusak namun sebagian lagi masih bagus (sedang). Responden yang memilih setuju bahwa hutan mereka masih bagus
80
adalah hutan bersama yakni Gunung Batu Kaca yang merupakan hutan keramat yang dijaga dan dilindungi. Meskipun status hutan tersebut adalah hutan milik bersama (hutan wakaf) desa yang memungkinkan warga untuk mengakses dan memanfaatkannya namun warga tidak berani memanfaatkan isi hutan tersebut apalagi merusaknya. Gambar 14 Persepsi warga tentang Kondisi Hutan di Desa Sukaraksa dan sekitarnya
24%
25%
51%
(2)
Bagus
Rusak
Sedang
Kondisi (Struktur) Tanah Faktor penyebab utama terjadinya longsor yang dipilih oleh warga adalah
kondisi tanah yang memang tidak baik, labil dan rapuh. Secara teknis, warga memang tidak mengerti unsur-unsur yang terkandung dalam tanah di kampung mereka, namun warga telah banyak mendapatkan informasi dari berbagai pihak yang ahli di bidangnya, yang menyatakan bahwa tanah di daerah mereka tergolong labil sehingga mudah longsor. Informasi tersebut diterima karena sesuai dengan kondisi yang ada yakni tanah retak yang terjadi di rumah dan lahan garapan mereka. Diterimanya informasi tersebut oleh warga terlihat jelas dari gambar 15 dimana 54 responden menjawab bahwa kondisi tanah termasuk labil (mudah longsor). Gambar 15 Persepsi Warga tentang Kondisi (Struktur) Tanah Mudah Longsor 2%
98% Mudah Longsor
Tidak Mudah Longsor
81
(3)
Kesesuaian Pemanfaatan Lahan di Dalam Kampung Faktor penyebab longsor lainnya yang dipilih oleh responden terkait
dengan kondisi tanah yang tidak baik adalah pemanfaatan lahan di dalam kampung. Lahan di dalam kampung sebagian besar dipergunakan untuk pemukiman, sawah, kebun campuran (talun), serta ada sebagian kecil yang pernah dimanfaatkan sebagai lahan penambangan batubara. Pada tabel 18, sebagian besar warga setuju bahwa peruntukan lahan sebagai kebun-tegalan masih cocok. Alasan responden berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa lahan yang ditanami pohon justru membantu mencegah longsor besar, ada yang mengatakan jika berubah menjadi lahan kering (bukan sawah) masih cocok, ada juga yang mengatakan bahwa lahan mereka dari dulu adalah hutan dan kebun sehingga masih sesuai dengan kondisi tanah. Hanya sebagian kecil responden yang setuju bahwa pemukiman, persawahan dan penambangan batu bara masih sesuai di kampung mereka. Tabel 18 Persepsi Warga tentang Kesesuaian Pemanfaatan-Penggunaan Lahan di Dalam Kampung (n=55) No.
Pemanfaatan-Penggunaan Lahan
Distribusi Responden (%) S TS
1.
Pemukiman
7
93
2.
Persawahan
11
89
3.
Kebun & Tegalan
67
36
4.
Penambangan batu bara
5
95
Keterangan : S = Sesuai
TS = Tidak Sesuai
Mengacu pada tabel 18, semakin menegaskan bahwa bagi warga, lahan (leuweung titipan) pada kampung mereka sebenarnya tidak lagi sesuai untuk dijadikan sebagai pemukiman, sawah dan areal penambangan. Mereka menganggap bahwa kerusakan lahan yang menimbukan retakan-retakan tanah, tidak lagi kondusif untuk dijadikan sebagai tempat tinggal begitupun dengan menerapkan pola lahan basah (sawah), terlebih lagi dengan melakukan penambangan batu bara. (4)
Kondisi Iklim (Curah Hujan) Tingginya curah hujan di beberapa tempat disinyalir menjadi salah satu
pemicu terjadinya bencana longsor. Desa Sukaraksa memiliki curah hujan yang
82
cukup tinggi, namun sejauhmana warga memahami kondisi tersebut sebagai suatu penyebab terjadinya longsor cukup penting untuk diketahui. Peristiwa longsor dan tingginya curah hujan di Desa Sukaraksa merupakan satu mata rantai hubungan sebab akibat yang tidak dapat dibantah. Para responden memberikan gambaran yang tidak jauh berbeda tentang curah hujan (3.000 mm3 setiap tahun) di daerah mereka. Pengetahuan warga tentang iklim atau curah hujan terlihat pada gambar 16. Mayoritas responden setuju bahwa curah hujan di daerah mereka termasuk tinggi sehingga menyebabkan terjadinya longsor. Hal tersebut mereka pahami sebab peristiwa longsor yang terjadi selalu diawali dengan hujan deras. Sebagian kecil menjawab curah hujan termasuk sedang dengan asumsi bahwa dari dulu hingga sekarang curah hujan di tempat mereka tidak mengalami perubahan, sehingga mereka menganggap curah hujan di kampung mereka adalah curah hujan yang biasa saja-sedang. Sebagian lagi ada yang menjawab curah hujan rendah karena dalam waktu-waktu tertentu (musim kemarau) hujan tidak ada. Artinya, kehadiran hujan di daerah mereka dengan daerah yang lain tidak jauh berbeda, tetap berdasarkan musim. Gambar 16 Persepsi Warga tentang Iklim (Curah Hujan)
9% 9%
82%
Tinggi
Sedang
Rendah
6.1.3 Dampak Bencana Longsor Aspek lain yang sangat penting untuk diketahui adalah bagaimana masyarakat setempat melihat longsor sebagai suatu fenomena alam yang membahayakan. Seluruh responden setuju bahwa longsor sebagai peristiwa yang membahayakan karena beberapa dampak yang ditimbulkan oleh longsor. Mereka setuju bahwa longsor berbahaya sebab dapat menyebabkan kematian,
83
merusak tempat tinggal, merusak lahan dan tanaman, hingga menimbulkan trauma (tabel 19). Pada tabel 19, terlihat bahwa kerusakan rumah, lahan garapan, dan tanaman merupakan kerusakan yang bersifat materil yang menggambarkan tingginya keprihatinan dan kekhawatiran warga terhadap harta benda mereka. Warga menganggap bahwa kerusakan harta benda tersebut akan mengganggu kestabilan kondisi perekonomian mereka. Saat ini, bahaya tersebut lebih diartikan oleh warga sebagai bahaya yang mengancam harta benda dan sumber penghidupan mereka. Tabel 19 Persepsi warga tentang Dampak Longsor (n=55) No. 1. 2. 3. 4. 5.
Dampak Longsor Menyebabkan kematian Merusak rumah Merusak lahan garapan Merusak tanaman Menimbulkan trauma
Distribusi Responden (%) Ya Tidak 91 100 100 100 100
9 0 0 0 0
6.2 Persepsi terhadap Kemampuan Diri Setelah melihat bagaimana persepsi warga terhadap lingkungan yang secara kualitas telah mengalami penurunan, maka hal penting berikutnya adalah mengetahui bagaimana warga melihat dan menilai kelayakan kampung mereka untuk tetap dihuni dan dijadikan sebagai tempat untuk bergantung hidup. Penilaian tersebut akan berdampak pada optimisme warga (self efficacy) dalam mengukur kapasitas mereka, sanggup atau tidak bertahan hidup serta mampukah melakukan upaya-upaya (adaptasi) yang dapat memperbaiki kondisi lahan di kampung mereka. Pada gambar 17 memperlihatkan bahwa mayoritas responden menjawab kampung mereka sudah tidak layak untuk dihuni. Alasan mereka hampir sama bahwa kondisi kampung tidak lagi memberikan keleluasaan untuk berinteraksi, baik kepada sesama warga maupun kepada lingkungan. Artinya, bahwa kondisi warga yang sebagian besar tinggal di hunian sementara (Huntara) menyulitkan mereka untuk beraktivitas seperti dulu. Berbagai fasilitas peribadi yang biasa dinikmati kini harus dibagi dan dinikmati bersama, seperti air bersih, kamar mandi bahkan ketenangan. Aktivitas terhadap lingkungan seperti menggarap lahanpun
84
mulai berubah karena kerusakan yang ditimbulkan oleh longsor. Warga menganggap kesulitan-kesulitan tersebut sebagai ukuran bahwa kampung mereka tidak lagi memberikan kenyamanan sehingga tidak lagi layak untuk ditempati seperti kampung-kampung lainnya. Gambar 17 Persepsi Warga tentang Kelayakan Kampung untuk Tetap Dihuni
15%
85%
Layak
Tidak layak
6.2.1 Kemampuan Bertahan Hidup Banyaknya warga yang setuju bahwa kampung mereka tadak lagi layak dijadikan sebagai tempat tinggal bukan berarti dengan serta merta mereka pergi mencari tempat baru dan meninggalkan kampung serta lahan garapan mereka. Hingga saat ini belum ada satupun warga yang telah menyatakan diri pindah ke tempat lain dengan alasan mencari tempat yang lebih aman. Tabel 20 menggambarkan berbagai faktor penyebab yang masih menjadi pertimbangan warga sehingga masih tetap bertahan meskipun telah mengetahui kondisi kampung yang tidak lagi layak untuk dihuni. Mayoritas memilih alasan bertahan karena mereka tidak memiliki lahan lain. Sebagian lagi menjawab karena lahan-tanah yang mereka tempati adalah tanah (warisan) leluhur. Hanya sebagian kecil yang setuju bahwa kampung mereka masih nyaman dan aman. Pilihan responden bahwa lahan mereka masih subur juga rendah. Pilihan jawaban para responden tersebut sangat beragam karena alasan mereka yang juga berbeda-beda. Warga yang merasa nyaman karena mereka warga telah akrab dan mengenal kampung mereka sejak kecil. Secara psikologis, ikatan emosional telah terbangun. Sebagian lagi ada yang menganggap masih aman terlebih setelah mereka diungsikan ke tenda dan Huntara meskipun hanya bersifat sementara. Jawaban lain yang kurang menjadi alasan warga adalah karena lahan mereka mengandung batu bara, sering
85
mendapat bantuan dari pihak lain serta tidak memiliki kerabat yang dapat menolong. Berbagai pertimbangan tersebut menjadi alasan warga mengapa masih bertahan. Namun jika ditanya lebih jauh tentang faktor yang paling sulit untuk mereka atasi adalah tidak adanya lahan lain untuk pindah. Beberapa responden yang kebetulan memiliki lahan lain juga merasa enggan pindah karena merasa bahwa di tempat baru nanti mereka belum tentu memiliki nasib yang lebih baik. Tabel 20 Penyebab Warga Bertahan Hidup di Daerah Rawan Longsor (n=55) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Faktor Penyebab
Distribusi Responden (%)
Tidak memiliki lahan lain Masih merasa nyaman Masih merasa aman Tidak memiliki keluarga di luar kampung-desa Warisan leluhur Kesuburan lahan Sering mendapat bantuan dari pihak luar Tanah mengandung batubara
Ya 96 56 56 53 38 27 13 5
Tidak 4 44 44 47 62 73 87 95
Dengan berbagai jawaban tersebut, secara riil warga memang tetap bertahan. Mereka menganggap bahwa saat ini mereka tidak memiliki pilihan hidup yang lebih baik untuk bisa keluar dari kampung. Sebelum pilihan hidup yang lebih baik ada maka pilihan untuk tetap bertahan dengan kondisi yang sulit menjadi konsekwensi warga untuk mampu bertahan. Dari seluruh responden, sebagian besar warga memilih menjawab bahwa mereka masih sanggup untuk bertahan menjalani aktivitas hidup sehari-hari di kampung. Sebagaimana terlihat pada gambar 18. Meskipun di sisi lain sebagian warga menjawab bahwa mereka sudah tidak mampu lagi untuk bertahan namun pada akhirnya tetap memaksakan diri untuk surive di kampung dengan kondisi yang sulit. Hal tersebut semakin memperkuat keadaan warga yang memang tidak memiliki alternatif penghidupan lain yang lebih baik.
86
Gambar 18 Persepsi Warga tentang Kemampuan Diri untuk Bertahan Hidup 4%
Mampu
Tidak Mampu
96%
Pilihan
untuk
tetap
bertahan
dan
kesanggupan
diri
untuk
tidak
meninggalkan kampung berdampak pada munculnya beberapa alternatif cara bertahan hidup. Secara praktis, warga memahami dasar bertahan hidup yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari yakni pangan. Pada tabel 21, terlihat beberapa cara bertahan hidup yang dipilih oleh warga. Seluruh responden memilih jawaban tentang perlunya mencari tambahan pendapatan dari pekerjaan lain. Sebagian juga memilih untuk merubah cara bercocok tanam dari lahan basah menjadi lahan kering. Mayoritas warga di kedua kampung masih tergantung dengan keberadaan lahan. Jawaban lain yang dipilih adalah meminta bantuan. Peristiwa longsor yang membawa kerusakan ekologis mengancam sumber nafkah sehingga warga mulai berfikir untuk mengupayakan cara-cara sebagai bentuk survive. Pertama, mencari alternatif nafkah lainnya yang tidak berbasis lahan. Sebagian warga mulai beternak kambing meskipun masih dalam jumlah yang kecil. Sebagian lagi menganggap bahwa pekerjaan di sektor jasa seperti menjadi tukang ojek, berdagang hingga mencari pekerjaan ke kampung-desa tetangga merupakan alternatif mata pencaharian yang paling memungkinkan untuk dilakukan, mengingat minimnya lapangan kerja yang tersedia di dalam desa. Kedua, merubah pola bercocoktanam dengan menyesuaikan kondisi lahan saat ini. Hal tersebut dilakukan oleh warga khususnya mereka yang bekerja sebagai petani sekaligus sebagai pemilik lahan dimana lahan garapan telah mengalami kerusakan. Selain pola bercocoktanam, pemilihan jenis tanaman juga disesuaikan berdasarkan kebutuhan pangan dan kondisi tanah. Mereka yang menjadikan perubahan pola bercocoktanam sebagai strategi bertahan hidup adalah mereka yang bergantung hidup dari lahan (bertani). Pada umumnya mereka adalah para petani yang berkuasa atas lahan garapan (pemilik dan
87
penyewa). Meski demikian, tidak semua petani (buruh tani) merasa sanggup merubah pola bercocoktanam sebab mereka bukan sebagai pemilik lahan sehingga tidak mempunyai wewenang untuk melakukan perubahan. Ketiga, meminta bantuan dari pihak lain juga menjadi salah satu alternatif strategi bertahan, yakni kepada pemerintah dan keluarga. Banyak warga yang memilih cara ini karena mereka menyadari bahwa permasalahan yang mereka hadapi tidak dapat diselesaikan sendiri. Warga membedakan jenis bantuan yang diharapkan. Kepada pemerintah warga lebih berharap bantuan yang bersifat materiil dan non materiil yang sustainable. Materiil disini berupa bantuan untuk pembangunan tempat tinggal yang lebih layak di lahan yang aman, sedangkan non materiil berupa pengembangan kapasitas warga berupa transformasi pengetahuan melalui penyuluhan serta membuka lapangan kerja yang tidak berbasis lahan. Kepada kerabat keluarga, warga lebih memilih meminta bantuan yang bersifat temporer pada kondisi darurat, sedangkan kepada sesama tetangga warga lebih membangun kekuatan dan kerjasama (toleransi) dalam menghadapi perubahan lingkungan. Tabel 21 Persepsi Warga tentang Cara Bertahan Hidup di Daerah Rawan Longsor (n=55) No.
Distribusi Responden (%)
Cara Bertahan
Ya
Tidak
1.
Mencari pekerjaan tambahan
100
-
2.
Merubah pola bercocoktanam
60
40
3.
Meminta bantuan dari pihak lain (Pemerintah, Keluarga dan sesama Tetangga)
64
36
6.2.2 Kemampuan Mencegah Longsor Selain kemampuan diri untuk tetap bertahan, kemampuan lain yang tak kalah pentingnya adalah melihat kemampuan warga melakukan tindakantindakan untuk mencegah longsor. Pada penjelasan sebelumnya, secara eksplisit, mayoritas responden menyatakan ketidaksanggupan mereka untuk mencegah
longsor
susulan
disebabkan
oleh
pemahaman
warga
yang
menganggap bahwa penyebab longsor lebih kepada faktor non teknis yakni takdir Tuhan serta faktor teknis yakni kondisi tanah, iklim dan seterusnya. Ketidaksanggupan tersebut sebenarnya merupakan gambaran warga yang lebih menilai longsor sebagai peristiwa alam yang tidak dapat dihindarkan jika Tuhan telah berkehendak. Namun secara implisit, sikap dan perilaku warga serta
88
keinginan warga untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik sangat terlihat. Hal tersebut terlihat pada gambar 19. Gambar 19 Persepsi Warga tentang Kemampuan Diri untuk Mencegah Longsor
20%
Mampu
Tidak Mampu
80%
Alasan sebagian kecil responden yang menyatakan ketidaksanggupannya lebih kepada rendahnya pendidikan serta kemampuan finansial. Warga menganggap ke-2 alasan tersebut merupakan kendala yang membuat warga merasa tidak mempunyai daya untuk mencegah longsor. namun demikian, kemampuan warga mencegah longsor tidak dapat dipahami secara eksplisit. Cara-tindakan dan keseharian warga dalam berinteraksi dengan lingkungan tanpa mereka sadari sebenarnya merupakan bentuk-upaya warga untuk mencegah terjadinya longsor atau minimal dapat meminimalisir tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh bencana longsor. Pada tabel 22 terlihat bentuk-bentuk upaya warga untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat memperparah kondisi fisik lingkungan dan tetap mempertahankan pola perilaku yang dianggap masih relevan dengan kondisi lahan merupakan bentuk upaya pencegahan terjadinya lonsor. Sebagian perilaku merupakan bentuk tindakan adaptasi dan adjusment yang telah ada selama ini, seperti tetap melestarikan hutan Gunung Batu Kaca, mempertahankan tanaman bambu serta menanam kembali setelah melakukan penebangan. Adapun bentuk pencegahan lainnya seperti melaksanakan pola tanam kering, tidak mendirikan rumah di titik longsor, dan lain-lain adalah cara baru yang mucul dan diyakini oleh warga dapat mencegah atau setidaknya dapat meminimalisir frekwensi bahaya longsor. Beberapa adaptasi ekologi telah dilakukan oleh warga untuk mencegah terjadinya longsor besar dan berharap dapat memperpanjang usia kampung mereka. Beberapa tindakan yang telah dilakukan dan akan tetap dipertahankan adalah tidak melakukan penebangan pohon sebelum masa panen (termasuk menjaga kampung mereka dari aktivitas illegal loging yang pernah terjadi), setiap
89
pohon yang tiba masa panen boleh ditebang dengan melakukan kembali penanaman ulang, tetap mempertahankan habitat bambu, mengganti pola tanam basah ke pola tanam kering agar tanah tidak jenuh, tidak lagi membangun rumah di titik longsor, selain untuk keamanan juga untuk menghindari terjadinya kelebihan beban terhadap tanah yang rawan, serta membuat aliran air di sekitar tempat tinggal untuk menjaga terjadinya genangan air yang dapat membuat tanah semakin jenuh. Tabel 22 Persepsi Warga tentang Cara (Mekanisme) Pencegahan Longsor (n=55) No.
Distribusi Responden (%) Ya Tidak
Cara Pencegahan
1.
Tidak menebang pohon sembarangan
95
5
2.
Mempertahankan tanaman berakar kuat (bambu)
95
5
3.
Melakukan penanaman ulang
67
33
4.
Melaksanakan pola lahan kering
67
33
5.
Tidak mendirikan rumah di titik longsor
98
2
6.
Membuat drainase (aliran air)
93
7
Untuk mendukung perubahan yang dilakukan oleh warga, maka pada tabel 23 memperlihatkan beberapa faktor yang dianggap oleh warga sebagai pendukung keberhasilan perubahan tersebut. Warga setuju bahwa tindakan yang mereka lakukan hanya mampu berhasil jika upaya-upaya tersebut dipahami dan disadari bersama melalui partisipasi serta kerjasama warga. Perihal lainnya yang juga penting adalah dibuatnya aturan-aturan beserta sanksi yang menjadi kesepakatan bersama antar warga. Aturan tersebut dianggap penting agar dapat mengikat menjadi kontrol para warga dalam menjaga kelestarian kampung mereka. Upaya tersebut merupakan faktor internal yang
menjadi
dasar
utama
terbangunnya
kelembagaan
lokal
untuk
menanggulangi longsor. Tabel 23 memperlihatkan faktor pendukung yang secara internal harus dibangun antar warga.
90
Tabel 23 Persepsi Warga tentang Faktor Pendukung Keberhasilan MencegahMenanggulangi Longsor (n=55) No.
Faktor Pendukung Keberhasilan PencegahanPenanggulangan Longsor
Distribusi Responden (%) Ya
Tidak
1.
Peningkatan kesadaran dan partisipasi warga
98
2
2.
Kerjasama antar warga
98
2
3.
Membuat aturan tentang upaya penanggulangan longsor
98
2
4.
Memberikan sanksi bagi warga yang melanggar aturan tentang penanggulangan longsor
91
9
Mengacu pada tabel 23 terlihat bahwa pemberian sanksi kepada warga yang melanggar aturan lebih rendah dibandingkan ke-3 unsur pendukung lainnya. Hal tersebut disebabkan karena masih tingginya toleransi warga terhadap sesama dan lebih memilih untuk memperkuat ke-3 unsur lainnya yakni meningkatkan kesadaran dan partisipasi, membangun kerjasama serta membuat aturan penanggulangan longsor. Secara internal, warga Sirnagalih akhirnya memahami bahwa mereka mampu melakukan upaya pencegahan terhadap bencana longsor. Selanjutnya, pada tabel 24 warga juga setuju bahwa faktor eksternal sangat dibutuhkan. Sebagian warga setuju dan berharap adanya dukungan dari pemerintah sebagai pihak yang memiliki kekuasaan, keahlian dan kemampuan yang lebih baik. Selain pemerintah, keluarga-kerabat juga menjadi pilihan untuk meminta bantuan dalam keadaan terdesak. Satu faktor lain yang dipilih oleh seluruh responden sebagai satu kekuatan yang sangat besar adalah kehendak Tuhan untuk tidak memberikan bencana longsor di kampung mereka. Warga yakin bahwa sebesar apapun usaha yang mereka lakukan hanya dapat berhasil jika Tuhan berkehendak. Keyakinan tersebut merupakan satu bentuk pemahaman warga terhadap ajaran agama Islam yang dianut yakni manusia wajib mempercayai adanya takdir baik dan takdir buruk. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa warga benar-benar menyadari peristiwa longsor sebagai peristiwa yang juga disebabkan oleh kondisi alam dan mereka tidak memiliki alternatif penghidupan lainnya sehingga hanya bisa berserah diri dan mengharapkan pertolongan kepada Tuhan.
91
Tabel 24
No.
Persepsi Warga tentang Pihak yang Dianggap Mampu Membantu Pencegahan-Penanggulangan Longsor (n=55)
Pihak yang Dianggap Mampu Membantu
Distribusi Responden (%) Ya
Tidak
1.
Warga Kampung
87
13
2.
Pihak lain (Pemerintah & Keluarga)
67
33
3.
Tuhan
100
-
Dari seluruh uraian di atas, terlihat bahwa sebagian besar responden setuju dalam memberikan pandangan yang sama terhadap lingkungan. Kesamaan tersebut merepresentasikan kondisi lingkungan mereka saat ini. Persepsi lingkungan yang dikemukakan oleh Bell, dkk sangat terlihat dari hasil pengukuran persepsi warga di Kampung Sirnagalih. Persepsi warga terhadap lingkungannya memperlihatkan bahwa kondisi daerah yang rawan longsor telah menyebabkan lingkungan sekitar mereka menjadi tidak seimbang (homeo statis). Akibatnya, muncul tekanan yang menyebabkan perasaan tidak aman dan tidak nyaman. Dalam ketidaknyamanan tersebut, sebagai makhluk adaptif, warga melakukan berbagai upaya penyesuaian (coping) yang mengarah pada adaptasi dimana terjadi perubahan sikap dan perilaku. Persepsi warga terhadap kemampuan diri untuk bertahan dan mencegah longsor, akan menjadi representasi warga terhadap kapasitas mereka untuk melakukan tindakantindakan adaptif. Begitupun sebaliknya, tindakan adaptasi yang muncul dan perlahan membentuk suatu pola akan menggambarkan representasi sosial warga terhadap daya adaptasi dan kemampuan untuk membentuk suatu tatanan norma-nilai yang menjadi panduan baru dalam menghadapi perubahan lingkungan. Begitupun persepsi terhadap kemampuan diri untuk bertahan dan mencegah longsor, akan menjadi representasi warga terhadap kapasitas mereka untuk melakukan tindakan-tindakan adaptif. 6.3
Ikhtisar Pemahaman warga tentang bahaya longsor, kualitas lingkungan, bentuk
adaptasi yang dipahami sebagai cara bertahan hidup dan kemampuan diri untuk bertahan,
merupakan
konsep
yang
telah
melahirkan
pemahaman
dan
92
pemaknaan bersama. Hampir semua warga memberikan pandangan yang serupa dalam beberapa hal, sehingga tingkat homogenitas jawaban responden pada akhirnya memperlihatkan persepsi mereka secara nyata berdasarkan keeratan hubungan terhadap lingkungan sekitar. Persentase persepsi warga dalam memaknai bersama terhadap bahaya longsor sangat tinggi. Begitupun dengan persepsi warga tentang kondisi kampung mereka yang telah rusak. Pada gambar 20 memperlihatkan tingginya grafik kesamaan persepsi dalam memaknai bahaya longsor. Persepsi tersebut seiring dengan tingginya kesamaan warga mempersepsikan kemampuan mereka untuk bertahan dan melakukan tindakan adaptasi. Tingkat kesamaan warga dalam menpersepsikan lingkungan dan kemampuan diri, merepresentasikan kemampuan warga dalam mengenali perubahan lingkungan serta mengenali kapasitas mereka dalam menciptakan pola adaptasi atas perubahan lingkungan yang terjadi. Tingginya tingkat kesamaan cara pandang (persepsi) para warga menjadi modal dasar untuk menciptakan penanganan-penanggulangan bencana, baik oleh masyarakat itu sendiri maupun oleh pihak luar, seperti pemerintah dan pihak pemerhati bencana lainnya. Peran dan partisipasi aktif masyarakat untuk saling melindungi dan bersikap toleran lebih mudah dilakukan dibandingkan jika persepsi antar warga terhadap keadaan lingkungan saling berbeda. Gambar 20 Tingkat Keragaman Persepsi Masyarakat Sirnagalih 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Tinggi Sedang Rendah
Bahaya Longsor
Kerusakan Lingkungan
Kemampuan Bertahan & Mencegah Longsor
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer, Tahun 2012
Kesamaan cara pandang dapat menjadi pintu masuk untuk melakukan perubahan secara bersama-sama. Tentunya perubahan yang dimaksud adalah perubahan
yang
mengarah
pada
tindakan
adaptasi
yang
mampu
93
menyeimbangkan kehidupan-aktivitas warga terhadap perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan yang mengalami penurunan kualitas seyogyanya mendapatkan
perlakuan
yang
berbeda
agar
sustainabilitas
kehidupan
masyarakat di Kampung Sirnagalih bisa bertahan lebih lama tanpa menanggung resiko tinggi. Pada
akhirnya,
cara
pandang
(persepsi)
yang
sama
juga
akan
memudahkan terbentuknya kesepakatan-kesepakatan (konsensus) yang diakui bersama. Kesepakatan atau konsensus secara tidak langsung akan merangsang munculnya
kontrol
sosial
dalam
masyarakat,
baik
norma
yang
telah
terinternalisasi ataupun sekedar nilai-etika yang harus ditaati bersama, demi keberlangsungan hidup manusia dan lingkungannya.
94
95
BAB VII BENTUK ADAPTASI SOSIO-EKOLOGI DAERAH RAWAN LONGSOR
Secara ekologis, komunitas yang hidup pada daerah rawan longsor terdapat di Desa Sukaraksa memiliki cara dan bentuk bertahan hidup yang sangat
tergantung
pada
sumberdaya
alam.
Potensi
sumberdaya
alam
dimanfaatkan secara sederhana dengan penggunaan alat dan teknologi yang juga masih tradisional. Seiring perkembangan waktu yang ditandai dengan perubahan-perubahan, baik dari manusia itu sendiri ataupun lingkungannya, maka dalam satu rentan waktu perubahan telah terjadi. Perubahan terbesar yang terjadi adalah penurunan kualitas lahan akibat peristiwa longsor yang beberapa tahun terakhir terjadi. Dengan kemampuan akal, penyesuaian yang mengarah pada pola adaptasi dibutuhkan untuk menghadapi perubahan lingkungan tersebut. Penyesuaian dapat dilakukan dengan melakukan perubahan baik secara internal dimana manusia yang melakukan perubahan serta eksternal dimana lingkungan yang diubah, atau bahkan keduanya ikut berubah, misal dengan memodifikasi sistem-tatanan yang telah ada sehingga terjadi saling penyesuaian antara manusia dan lingkungan. Perubahan mana yang menjadi pilihan tergantung pada kemampuan manusia itu sendiri. Pada bab 6, warga telah menpersepsikan keadaan lingkungannya sebagai suatu keadaan yang berbahaya sehingga perlu melakukan beberapa perubahan sosio-ekologi dan mempertahankan beberapa tatanan yang dianggap masih sejalan dengan kondisi lingkungan. Untuk mengetahui perubahan-penyesuaian sosio-ekologi yang dilakukan oleh komunitas rawan longsor di Kampung Sirnagalih maka hal mendasar yang perlu diketahui adalah (1) kondisi sumberdaya alam yang menjadi sumber penghidupan warga, serta (2) teknologi yang dikembangkan sesuai dengan kondisi sumberdaya alam saat ini. Penggunaan teknologi akan memperlihatkan kemampuan komunitas menghadapi perubahan lingkungan dalam tiap aspek kehidupan yang menjadi inti/core, yakni aspek kependudukan, kelembagaan ekonomi hingga organisasi sosial-politik. Selanjutnya perubahan dalam tiap aspek tersebut diharmoniskan
96
dengan aturan dan tatanan yang telah ada ataupun yang baru. Kemampuan dalam beradaptasi terhadap perubahan-perubahan tersebut menjadi tolok ukur seberapa besar eksistensi komunitas untuk hidup di daerah rawan longsor. 7.1
Potensi dan Kondisi Sumberdaya Alam Saat ini, potensi SDA yang dimiliki oleh Kampung Sirnagalih telah
mengalami penurunan kualitas. Penurunan tersebut diakibatkan oleh perubahan alam itu sendiri serta beberapa campur tangan manusia, seperti yang terlihat pada tabel 26. Potensi-potensi tersebut bagi warga di Kampung Sirnagalih berfungsi untuk memenuhi seperangkat kebutuhan dasar. Pemanfaatan sumberdaya alam yang mengarah pada komersialisasi terlihat masih rendah. Berikut adalah kondisi SDA yang telah mengalami berbagai perubahan akibat penurunan kualitas lingkungan. Tabel 26. Potensi serta Pemanfaatan dan Kondisi SDA di Kampung Sirnagalih Kampung Sirnagalih Pemanfaatan Kondisi
Jenis SDA 1. Lahan-Tanah a. Kering : - Pemukiman - Kebun Campuran - Ladang/Tegalan b. Basah (Sawah) 2. Air a. Tanah b. Sungai c. Mata Air 3. Hutan Milik-Rakyat a. Hutan Bersama (Gunung Batu Kaca) 4. Batu Bara Keterangan :
× × × ×
-
×
+ +
× ×
+ +
= masih dimanfaatkan × = tidak dimanfaatkan + = baik - = buruk (rusak)
Mengacu pada tabel 26, terlihat bahwa kondisi lahan ataupun tanah di Sirnagalih telah mengalami penurunan kualitas (-), baik yang dimanfaatkan sebagai pemukiman maupun sebagai lahan garapan. Namun demikian, buruknya kondisi lahan-tanah tersebut oleh warga sebagian masih dimanfaatkan ( ) meski sebagian lagi sudah tidak bisa dimanfaatkan dengan alasan keamanan. Selain lahan-tanah, sumberdaya air juga khususnya air sungai mengalami penurunan kualitas akibat sedimentasi yang ditimbulkan oleh peristiwa pergerakan tanah.
97
Sumberdaya alam yang masih baik kualitasnya (+) adalah hutan bersama yakni Gunung Batu Kaca dan batubara. Ke-2 sumberdaya alam tersebut meskipun memiliki kondisi yang baik namun tidak dimanfaatkan (x) dengan alasan untuk menjaga keseimbangan ekologi Sirnagalih serta mencegah terjadinya peristiwa longsor yang lebih besar. 7.2
Adaptasi Sosio-Ekologi Pasca Longsor
7.2.1 Bentuk Pemanfaatan Teknologi Potensi
sumberdaya
alam
yang
ada
di
Kampung
Sirnagalih
menggambarkan kondisi yang beragam. Sumberdaya alam yang rusak seperti lahan garapan dan air sungai sebagian rusak sehingga menyulitkan warga untuk bisa mengoptimalkan pengelolaan lahan. Sebagian lagi seperti; batu bara, pasirbatu sungai, hutan masih dalam kondisi baik namun beresiko jika dimanfaatkan secara tidak tepat. Pada kondisi ekologi tersebut, dibutuhkan teknologi sebagai salah satu alat-metode untuk membantu mengatasi persoalan manusia dan lingkungan. Teknologi disini merupakan cara-teknik atau alat dan bantuan yang digunakan dalam menangani persoalan yang dihadapi, sehingga suatu kelompok mampu bertahan (survive) bahkan meningkatkan kualitas hidup. Penggunaan teknologi dapat menggambarkan sejauhmana kemampuan-kapasitas suatu kelompok-komunitas beradaptasi terhadap lingkungannya. Kampung Sirnagalih merupakan komunitas warga yang hidup di daerah rawan longsor dengan kondisi yang secara fisik kualitas lingkungannya mengalami penurunan, sehingga juga berdampak pada menurunnya kualitas hidup sosial-ekonomi bahkan budaya. Untuk dapat bertahan, maka komunitas rawan longsor mutlak membutuhkan teknologi. Teknologi yang diterapkan tidak lepas dari sejauhmana masyarakat mampu mengadopsi bantuan ataupun caracara yang ditawarkan oleh pihak luar. Selain itu, cara atau metode bertahan hidup lainnya yang dapat digunakan adalah hasil trial error yang didasarkan oleh pengalaman dan pengetahuan lokal terhadap lingkungan. Keberadaan teknologi dikelompokkan dalam 2 hal yakni; pertama, teknologi internal dimana alat-teknik berasal dari pengetahuan-kearifan lokal. Misalnya merubah pola tanam, jenis tanaman dan pemanfaatan lahan yang merupakan
pengetahuan
lokal,
mempertahankan
penggunaan
alat
98
bercocoktanam yang masih tradisionil (cangkul, arit, kapak) karena dianggap masih dan lebih sesuai dengan kondisi lahan saat ini. Kedua, eksternal yakni bantuan atau teknik yang diadopsi atau diperoleh dari luar komunitas. Misalnya bangunan Huntara dan pinjaman tenda-tenda pengungsian, informasi dan sebagainya. a.
Perubahan Pola Tanam sebagai Teknik Pemanfaatan Lahan Mengacu pada kondisi lahan Kampung Sirnagalih saat ini, dimana para
petani masih sangat tergantung pada keberadaan lahan garapan sehingga untuk tetap dapat memanfaatkan, para petani melakukan berbagai penyesuaian. Longsor berupa tanah retak telah merusak lahan garapan yakni sawah dan kebun. Kerusakan tersebut menjadikan lahan terbagi menjadi beberapa bagian mengikuti retak tanah. Keretakan yang terjadi di kebun dan sawah memiliki dampak buruk pada tanaman padi. Keretakan di sawah menyeabkan air tidak dapat tergenang karena air yang digunakan untuk mengairi sawah jatuh mengalir ke dalam retakan. Kondisi tersebut mengakibatkan sawah-sawah menjadi kering. Tanaman padipun rusak dan para petani di Sirnagalih mengalami gagal panen. Kekeringan yang dialami sawah-sawah tersebut menyebabkan para petani mulai mengalihkan fungsi lahan garapan mereka menjadi ladang dan kebun. Para petani disini adalah mereka yang berkuasa atas kepemilikan lahan dan pengelolaannya atau dengan kata lain mereka yang berstatus sebagai petani pemilik-penyewa sekaligus penggarap. Buruh tani tidak memiliki hak atas peralihan fungsi lahan. Pengalihan fungsi tersebut menyebabkan terjadinya perubahan pola bercocoktanam dari lahan basah menjadi lahan kering. Jenis tanaman yang dipilih oleh para petani kebanyakan Singkong dan Pisang. Singkong dan Pisang merupakan alternatif pangan yang dipilih untuk menggantikan padi. Selain Singkong dan Pisang, tanaman palawija dan sayur-sayuran seperti labu, kacangkacangan juga ada. Petani memilih jenis tanaman tersebut lebih didasarkan pada kebutuhan pangan dan kesesuaian lahan. Jika dalam waktu satu bulan tanaman tidak terlihat tumbuh subur maka petani pun segera menggantinya dengan tanaman lain yang dianggap sesuai. Para petani melakukan penyesuaian tersebut berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka sebagai petani.
99
Selain mengganti tanaman padi dengan tanaman pangan lainnya, ada juga petani yang menanam tanaman tahunan (Sengon). Petani yang memilih menanami sebagian lahan mereka dengan Sengon didasarkan oleh dua hal yakni sebagai investasi pada 4 sampai 5 tahun ke depan serta anggapan bahwa tanaman Sengon pasti sesuai dengan lahan karena belum ada yang menanam sengon dan tidak tumbuh (mati). Selain itu faktor efektifitas waktu dalam hal pemeliharaan juga menjadi alasan mengapa mereka memilih Sengon. Dari beberapa penyesuaian yang dilakukan oleh petani, terlihat bahwa alih fungsi lahan yang awalnya berupa sawah tadah hujan (pola A) telah berubah menjadi ladang dan kebun campuran. Pada gambar 21 memperlihatkan 2 tipe pola pemanfaatan lahan, yakni
pola tanam B dengan kombinasi tanaman
semusim-palawija (ladang) serta pola tanam C dengan kombinasi antara tanaman semusim dengan tanaman tahunan; kebun campuran. Gambar 21 Ilustrasi Perubahan Pola Tanam Sebelum Longsor (Pola A) dan Sesudah Longsor (Pola B & C)
Singkong/Pisang
Palawija
Pola B; Ladang Padi
Pola A; Sawah Tadah Hujan Pisang/Singkong
Sengon
Palawija
Pola C ; Kebun Campuran
Dari jumlah total 25 petani (pemilik maupun penyewa) terdapat 20 petani yang telah mengalami kerusakan lahan garapan, termasuk sawah dan kebun. Kerusakan pada kebun tidaklah merubah perlakuan petani pada lahan. Kebun yang pada dasarnya masih didominasi oleh tanaman tahunan seperti Sengon, Lame, Afrika, Puspa dan Bambu masih dapat bertahan dengan baik. Kerusakan hanya berdampak pada lahan garapan berupa sawah tadah hujan. Ke-20 petani
100
yang mengalami kerusakan pada sawahnya dan memilih beberapa pergantian pola tanam (Pola B dan C) berdasarkan kebutuhan dan kesesuaian lahan. Petani yang memilih pola B menganggap bahwa tanaman semusim lebih cepat panen sehingga lebih cepat juga menghasilkan. Hasil panen sebagian disimpan untuk konsumsi rumahtangga dan sebagian lagi dijual untuk dikonversi ke beras. Jenis tanaman yang dipilih dalam menerapkan pola B diantaranya adalah Singkong, Pisang, Labu, Kacang Panjang, Cabe, Tomat, dan sebagainya. Bagi yang memilih pola C alasannya hampir sama dengan yang memilih pola B hanya saja mereka juga mulai menanam tanaman tahunan seperti sengon dengan alasan tanaman sengon tidak memerlukan perhatian yang intensif sepanjang tahun sehingga waktu luang lebih banyak dan dapat digunakan untuk bekerja sebagai buruh. Pada pola C variasi jenis tanaman semusim dan tahunan lebih terlihat. Adapun persentase jumlah petani yang memilih pola tanam B dan C, terlihat pada gambar 22. Gambar 22 Distribusi Petani dalam memilih Perubahan Pola Tanam
40% 60% Pola B
Pola C
Sumber: Hasil Analisis Data Primer, 2012
Pada gambar 22 terlihat bahwa Petani lebih banyak memilih mengalihkan sawah mereka ke bentuk ladang (pola B) menandakan bahwa perhatian petani lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhan yang bersifat harian atau jangka pendek. Seluruh lahan dimanfaatkan untuk jenis tanaman yang secara ekonomi dianggap lebih cepat menghasilkan. Selain untuk memenuhi kebutuhan pangan di dapur, hasil tanaman palawija juga memudahkan para petani untuk menjual agar dapat membeli beras. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kerusakan lingkungan di Kampung Sirnagalih mengharuskan para petani untuk menjalani etika subsisten.
101
b.
Perubahan Cara Pemanfaatan Lahan Selain merusak lahan garapan, longsor juga mengkibatkan terjadinya tanah
amblas yang meruntuhkan rumah warga di Kampung Sirnagalih. Jumlah rumah yang hancur sebanyak 33 dengan kondisi rusak berat sehingga tidak lagi layak untuk dihuni. Runtuhnya rumah-rumah warga memunculkan lahan kosong. Pada gambar 23 terlihat beberapa warga yang berinsiatif memanfaatkan lahan bekas rumah sebagai kebun dan ladang. Tanaman yang banyak ditanam adalah Pisang, Singkong dan sayuran seperti labu, tomat, cabe. Gambar 23 Ilustrasi Perubahan Pemanfaatan Lahan Sebelum (Tipe A) dan Sesudah Longsor (Tipe B)
Tipe A Bekas Pemukiman
Tipe B Kebun campuran
Pemanfaatan areal bekas pemukiman dengan menanam tanaman palawija lagi-lagi memperlihatkan pilihan warga yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan harian. Setiap peluang yang ada senantiasa dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan pangan harian. c.
Adopsi Bantuan Di sisi lain, warga yang kehilangan tempat tinggal diungsikan ke daerah
yang lebih aman. Untuk membangun tempat hunian baru dibutuhkan lahan yang cukup untuk menampung semua korban. Para korban longsor yang kehilangan tempat tinggal diungsikan ke hunian sementara (Huntara) yang dibangun di atas lahan seluas 2.300 meter persegi. Pada awalnya lahan merupakan kebun campuran milik seorang warga yang kemudian disewa oleh pemerintah dan kemudian difungsikan sebagai bangunan Huntara. Saat ini warga masih berada di Huntara. Pada gambar 26 terlihat bangunan Huntara yang didesain non permanen dengan ukuran 7 x 5 m. Huntara tersebut telah 2 bulan dihuni oleh warga. Dinding terbuat dari anyaman
102
bambu, jendela dari bahan triplek, lantai disemen seadanya dan atap terbuat dari genteng. Kondisi bangunan Huntara yang serba terbatas kini telah mengalami beberapa masalah khususnya bagian atap yang banyak bocor. Dari pengakuan warga, beberapa bahan bangunan tidak sesuai dengan gambar. Dinding yang seharusnya dari papan hanya terbuat dari triplek dan anyaman bambu. Jendela yang seharusnya dari kaca berubah menjadi triplek. Kondisi tersebut membuat warga yang telah mengalami tekanan secara psikis juga harus mengalami tekanan fisik. Cuaca yang dingin serta binatang malam seperti nyamuk & serangga, membuat warga harus mengeluarkan dana ekstra agar terhindar dari tekanan fisik tersebut. Warga membeli terpal untuk melapisi dan menutupi dinding Huntara yang terbuat dari anyaman bambu. Warga berharap 4 bulan ke depan mereka sudah dipindahkan ke tempat yang lebih layak, namun perkembangan saat ini belum menunjukkan tanda-tanda adanya
proses
pembangunan
seperti
pembebasan
lahan
untuk
lokasi
pembangunan.
Gambar 24 Bangunan Huntara Nampak Bagian Depan (kiri) dan Bagian Belakang (kanan). Dari teknik pemanfaatan dan pengelolaan SDA berdasarkan pengetahuan lokal serta bantuan yang diadopsi, menggambarkan bahwa teknologi yang digunakan oleh komunitas rawan longsor di Kampung Sirnagalih masih bersifat sederhana, tradisional serta belum terorganisir secara profesional. Sifat teknologi tersebut akan mempengaruhi 3 unsur inti (core) lainnya yakni populasi, kelembagaan ekonomi serta organisasi sosial dan politik.
103
7.2.2 Populasi Mengacu pada konsep Steward, salah satu unsur inti (core) yang mengalami perubahan sebagai dampak pemanfaatan teknologi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya adalah populasi. Teknologi yang menyebabkan perubahan pada aspek populasi-kependudukan di Sirnagalih adalah adopsi bantuan Huntara yang menyebabkan terjadinya perubahan pada (a) pola pemukiman dan (b) pola interaksi-gaya hidup serta perubahan pola tanam yang menyebabkan terjadinya (c) arus migrasi sirkuler. a. Pola Pemukiman Kampung Jumlah penduduk di Kampung Sirnagalih sebanyak 238 jiwa dengan jumlah keluarga sebanyak 55 KK. Dari 55 keluarga terdapat 42 KK (160 jiwa) yang kehilangan tempat tinggal dan akhirnya mengungsi ke hunian sementara (Huntara). Adapun sisanya sebanyak 13 KK masih menempati rumah masingmasing karena luput dari bencana longsor. Antara penduduk yang kehilangan tempat tinggal dengan yang tidak kehilangan tempat tinggal masih berada dalam kampung yang sama. Hanya saja dengan dibangunnya Huntara maka pola pemukiman Kampung Sirnagalih menjadi berubah. Awalnya, pola pemukiman yang ada di Sirnagalih memiliki bentuk persebaran tempat tinggal yang didasarkan oleh kondisi topografi alam dan aktivitas penduduknya sebagai petani. Kondisi topografi yang berbukit serta pekerjaan sebagai petani membentuk pola pemukiman menyebar mengikuti arah lahan garapan dengan mendirikan tempat tinggal pada lahan yang landai. Mereka yang awalnya bermukim berdasarkan pada kedekatan atau keberadaan lahan garapan, seperti kebun, ladang dan sawah kini harus bergeser dan bermukim pada lahan yang dianggap aman dan layak8. Secara psikis, pola fikir warga kini sangat dipengaruhi oleh faktor keamanan dan kelayakan lahan untuk membangun kembali tempat tinggal. Banyak warga yang enggan untuk membangun kembali rumah mereka di tempat yang sama. Selain karena faktor ekonomi juga karena kekhawatiran terhadap keselamatan jiwa. Beberapa warga yakni 3 keluarga yang kondisi rumahnya hanya rusak ringan dan masih layak ditempati juga enggan untuk kembali ke rumah mereka.
8
Secara geologi lahan dinilai aman-layak oleh Dinas ESDM Kab. Bogor sehingga direkomendasikan untuk dijadikan pemukiman
104
Meninggalkan rumah untuk memilih hidup di Huntara memerlukan pengorbanan yang cukup besar. Kehidupan yang serba terbatas di Huntara, mulai dari minimnya air bersih, listrik, jarak yang jauh, bangunan yang kurang layak membuat mereka harus menjalani pilihan tersebut dengan pertimbangan masih lebih aman dibandingkan harus kembali ke rumah. Penyebaran penduduk meskipun saat ini masih bersifat temporer dimana warga kampung 68 persen (160 jiwa) berada di Huntara, namun dapat dipastikan bahwa faktor kedekatan dengan lahan garapan tidak lagi menjadi faktor utama. Warga lebih memilih faktor keamanan demi keselamatan jiwa sebagai alasan utama untuk memilih tempat tinggal baru meskipun di sisi lain beberapa warga yang bekerja sebagai petani masih berharap agar keberadaan lahan garapan tetap mudah dijangkau. Harapan warga berjalan seiring dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yakni merelokasi korban longsor ke tempat yang lebih aman dan layak untuk dijadikan tempat tinggal sementara. Pemerintah membangun hunian sementara di atas lahan yang telah direkomendasikan oleh Dinas ESDM Kab. Bogor sebagai lahan yang aman dan layak berdasarkan kondisi geologi. b.
Pola Interaksi dan Gaya Hidup Pola pemukiman yang kini lebih mengutamakan faktor keamanan dan
kelayakan lahan, sehingga terkonsentrasi pada satu titik berdampak pada perubahan pola hidup yakni; (1) aksesibilitas terhadap beberapa sektor publik seperti sekolah, pasar, kantor desa, posyandu-balai kesehatan dan tempattempat umum lainnya. Jarak antara pemukiman warga yang baru (Huntara) dengan sarana publik tersebut menjadi lebih jauh dengan medan yang lebih berat.
Warga yang terbiasa berjalan kaki untuk mencapai jalan utama desa
mengeluhkan jarak dengan kondisi jalan yang cukup terjal. Anak-anak yang masih sekolah pun mengeluh dan sering memilih jalan alternatif dengan melewati kebun milik warga meskipun kondisi jalan cukup membahayakan terlebih ketika jalan menjadi licin karena hujan. (2) Selain persoalan aksesibilitas yang semakin jauh, dampak lain dari terkonsentrasinya warga di Huntara adalah perubahan pola interaksi antar sesama tetangga yang kini senasib dan harus tinggal bersama. Pola interaksi tersebut berdampak pada perubahan sikap dan perilaku. Misalnya, perubahan
105
sikap dalam hal berbagi fasilitas umum seperti kamar mandi. Warga dilatih untuk memiliki sifat toleransi yang lebih tinggi. Warga juga belajar cara menghemat penggunaan air dan listrik. Sikap disiplin pada diri anak-anak yang sedang bersekolah juga terlihat. Setiap pukul 4 dinihari anak-anak sudah harus bangun dan antri untuk mandi. Selain berbagi fasilitas umum, warga juga belajar untuk melatih diri berbagi ketenangan dan kenyamanan. Sebagian warga yang terbiasa dengan suara musik keras dan menggangu ketenangan „dipaksa‟ untuk mau menghargai hak orang lain. Persoalan kebersihan juga menjadi kebutuhan umum sehingga beberapa warga muncul sebagai „sukarelawan‟ yang secara rutin membersihkan fasilitas umum seperti kamar mandi atau membakar sampah milik warga. Peran-peran sosial yang didalamnya terdapat hak dan kewajiban muncul tanpa disadari, meskipun dinamika kehidupan sosial di Huntara tidaklah berjalan mulus. Ada saja warga yang belum bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Tidak tanggap dengan keberadaan hak dan kewajibannya sebagai sesama penghuni Huntara. Tanpa disadari sanksi sosial seperti teguran hingga menjadi bahan gunjingan terjadi. Proses tersebut masih dan akan terus berjalan hingga batas waktu yang belum diketahui. (3) Dampak lainnya adalah beberapa kebutuhan warga menjadi berubah akibat perubahan fisik tempat tinggal. Diantaranya adalah pembelian listrik dengan menggunakan voucher elektrik. Di tempat tinggal sebelumnya warga masih menggunakan listrik secara manual (meteran). Di Huntara, listrik disediakan melalui penggunaan voucher elektrik. Perubahan tersebut berdampak pada perubahan konsumsi terhadap listrik. Warga menggunakan listrik secara hemat karena „terpaksa‟, akibat kesulitan memperoleh voucher. Beberapa tindakan penghematan lainnya juga terlihat dari penggunaan alat-alat listrik. Banyak peralatan listrik yang tadinya digunakan sehari-hari kini dibatasi penggunaannya bahkan sebagian warga mamilih untuk tidak lagi menggunakan. Peralatan listrik yang paling banyak digunakan oleh warga adalah lampu dan alat masak „rice cooker’ namun manfaat dari rice cooker hanya digunakan untuk memasak nasi sedangkan fungsi untuk menghangatkan tidak digunakan. Beberapa warga juga ada yang menggunakan TV namun pemakaiannya dibatasi. TV lebih dimanfaatkan oleh anak-anak sebagai alat hiburan. Para orangtua memilih untuk membatasi jam nontonnya. Bahkan
106
sebagian warga memilih untuk tidak menggunakan TV meskpun alat penunjang seperti antena parabola telah mereka miliki. Sebagian lagi membatasi alat hiburannya dengan cukup mendengarkan musik dari pemutar CD. Hanya 2 warga yang menggunakan kulkas dengan alasan untuk menjual minuman dingin. Tidak sedikit warga yang pada akhirnya memilih tidak menggunakan peralatan listrik demi melakukan penghematan. Selain persoalan listrik, perubahan lainnya yang terjadi akibat perubahan fisik tempat tinggal (Huntara) yang berbahan baku dari kayu dan anyaman bambu, adalah perubahan cara memasak. Awalnya semua warga menggunakan tungku dan kayu bakar sebagai media untuk memasak. Kini sebagian warga mulai beralih menggunakan kompor gas dan rice cooker. Warga khawatir jika menggunakan kayu bakar akan membahayakan tempat tinggal mereka. Selain itu, asap pembakarannya pun cukup mengganggu. Meskipun sebagian warga masih ada yang tetap memasak menggunakan kayu bakar dengan dalih tidak pandai menggunakan kompor gas maupun rice cooker namun mereka menjadi lebih bersikap waspada dan berhati-hati. Warga tidak berani meninggalkan tungku jika sedang memasak dan memastikan bara api benar-benar padam ketika selesai memasak. (4) Akibat distribusi penduduk yang tidak menyebar (terkonsentrasi pada satu tempat) juga mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya air menjadi tidak seimbang. Banyaknya warga (160 jiwa) yang hidup di Huntara menyebabkan kebutuhan terhadap air bersih meningkat. Fasilitas penyediaan air berupa air sumur yang dialirkan menggunakan mesin tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar warga (Gambar 25, Kanan). Air bersih pun menjadi barang mahal. Kondisi tersebut menyebabkan warga harus mencari sumber air lainnya yang mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk minum, masak, mencuci dan mandi. Kebutuhan air untuk dikonsumsi langsung masih dipenuhi dari air bersih yang dialirkan ke Huntara, sedangkan untuk kebutuhan membersihkan seperti mandi dan mencuci terpaksa dipenuhi dengan cara memanfaatkan air dari persawahan. Jauhnya jarak antara Huntara dan sumber mata air lainnya yang masih bersih dan layak untuk dikonsumsi membuat warga lebih memilih untuk memanfaatkan air persawahan yang jaraknya lebih dekat.
107
Sebagian warga malah memanfaatkan sebagai tempat untuk keperluan membuang „hajat‟. Kondisi tersebut „memaksa‟ warga menjalani gaya hidup yang tidak sehat. Pada awalnya warga merasa tidak nyaman dengan kondisi air persawahan (Gambar 25, Kiri). Namun lama kelamaan mereka pun akhirnya terbiasa dan kini sudah menjadi hal yang biasa. Apa yang dikatakan Bell, dkk. bahwa salah satu efek dari adaptasi adalah menurunnya batas toleransi sehingga menjadi terbiasa terlihat benar.
Gambar 25 Sumur dan kamar mandi di Huntara (gambar kiri), Salah satu lokasi pancuran di areal persawahan (gambar kanan). Selain pemukiman penduduk yang terkonsentrasi di Huntara, populasi ternak seperti ayam dan kambing juga ikut menyatu dengan Huntara warga. Pada awalnya hewan ternak ditempatkan di sekitar pekarangan rumah dengan posisi yang tidak tentu. Ada yang dibuatkan kandang, ada juga yang hanya ditambat di pohon. Warga yang memiliki pekarangan bebas menempatkan ternak mereka di bagian depan, samping, atau belakang rumah. Semenjak warga tinggal di Huntara, hewan ternak merekapun ikut pindah. Demi kenyamanan bersama, mereka yang memiliki ternak seperti kambing dan ayam harus membuat kandang dan menposisikan kandang-kandang tersebut di bagian belakang Huntara. Ternak mereka pun tidak lagi dikeluarkan dari kandang karena keterbatasan tempat dan dianggap dapat mengganggu kenyamanan para penghuni Huntara. Selain interaksi antara sesama penghuni Huntara, hubungan dengan warga lain yang tidak tinggal di Huntara juga tetap terjalin melalui aktivitas pengajian yang secara rutin diadakan. Tidak ada perubahan mendasar yang
108
terjadi dari hubungan sosial yang telah terbina. Sikap empati dan simpatik justru diperlihatkan oleh warga di luar Huntara. Salah satunya adalah memindahkan tempat pengajian ke mushalla Huntara dengan pertimbangan warga lebih banyak yang tinggal di Huntara. Sikap empati lainnya adalah ketika debit air di sumur Huntara berkurang, maka warga di Huntara dipersilahkan untuk mengambil air bersih dari sumur warga lainnya. Berbagai kondisi di atas memperlihatkan bahwa telah terjadi berbagai bentuk penyesuaian baik yang bersifat internal individu ataupun kolektif. Bentukbentuk penyesuaian tersebut merupakan adaptasi yang dilakukan oleh para warga untuk mencapai „kenyamanan‟ meskipun dalam kondisi yang sebenarnya tidak layak. Dalam ketidaklayakan tersebut, mereka telah memilih cara-cara bertahan hidup yang dianggap paling pantas dan paling memungkinkan untuk dijalankan agar keselarasan dalam berinteraksi terhadap sesama penghuni Huntara dapat tercipta. c.
Arus Migrasi Penurunan kualitas lingkungan akibat longsor menyebabkan salah satu
potensi alam yakni sumberdaya lahan menjadi tidak produktif. Ketidakproduktifan tersebut terjadi pada lahan yang tadinya berfungsi dengan baik sebagai lahan garapan serta pemukiman. Akibatnya, beberapa kepala rumahtangga mulai mencoba untuk mencari pekerjaan di luar kampung seperti merantau ke tempat lain (kota). Untuk saat ini, kota yang banyak menjadi sasaran warga adalah Bogor dan Jakarta. Mereka yang merantau adalah para buruh tani yang tidak memiliki lahan namun merasakan dampak dari kerusakan lahan garapan. Penurunan produktivitas membuat para pemilik lahan yang mempekerjakan buruh tani merasa kesulitan untuk memberi upah. Hasil yang diperoleh tidak lagi maksimal sehingga nasib para buruh tani pun menjadi terkatung-katung. Dalam 3 bulan terakhir setelah terjadi longsor beberapa buruh tani (7 orang dari 18 orang) mulai mengadu nasib dengan bekerja di sektor jasa. Ada 4 orang bekerja sebagai buruh tumbuk di Kecamatan Nanggung dan 3 orang ke Jakarta menjadi kuli bangunan. Jumlah buruh tani yang melakukan migrasi memang hanya 39 persen namun realita tersebut menggambarkan bahwa mencari kerja dengan keluar dari
109
kampung merupakan salah satu alternatif warga untuk bertahan hidup. Menurunnya daya dukung daerah asal menjadi faktor utama yang mendorong terjadinya migrasi meski saat ini masih bersifat non permanen (sirkuler)9. Mereka merantau bukan dalam waktu yang lama. Bagi yang merantau ke Bogor, mereka meninggalkan rumah hanya dalam hitungan hari. Dalam seminggu mereka pasti menyempatkan diri untuk balik, sedangkan yang di Jakarta lebih lama. Mereka balik sebulan sekali. Mereka kembali ke kampung biasanya karena pekerjaan di luar sedang tidak ada atau memang telah selesai, sebab pekerjaan yang mereka lakukan sebagai buruh hanya bersifat temporer. Jika kembali ke kampung, mereka menggarap lahan lagi jika ada yang membutuhkan. Jika tidak dibutuhkan mereka lebih memilih untuk mencari kayu bakar di pinggir hutan Batu Kaca. Faktor lain yang membuat mereka melakukan migrasi sementara (non permanen) adalah masih kuatnya ikatan batin dengan istri-anak serta kampung halaman yang ditinggalkan. Mereka semua menyatakan bahwa merantau hanyalah untuk mencari penghasilan tambahan agar dapat bertahan hidup bukan untuk mengejar kekayaan. Penghasilan yang mereka peroleh dari hasil merantau benar-benar digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari saja. Jika melihat kondisi lingkungan serta kepadatan penduduk baik secara geografis maupun agraris di Kampung Sirnagalih, pilihan sebagian warga untuk melakukan migrasi pada prinsipnya adalah tepat. Jumlah penduduk Kampung Sirnagalih sebanyak 226 Jiwa dengan jumlah rumahtangga sebanyak 55 KK. Dari hasil pengolahan data primer, gambar 28 menyajikan data geografis kepadatan penduduk di Kampung Sirnagalih sebanyak 15 jiwa/ha, dan data agraris kepadatan penduduk sebanyak 3 sampai 4 petani/ha. Kepadatan tersebut termasuk tinggi dengan kondisi lingkungan yang mengalami penurunan kualitas. Gambar 26 Kepadatan Penduduk Berdasarkan Satuan Geografis dan Agraris Kampung Sirnagalih Kepadatan Penduduk (KP) Geografis
=
Kepadatan Penduduk (KP) Agraris
=
15, 07 Jiwa/Ha 3, 54 Petani/Ha
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer dan Sekunder, 2012 9
Gerak penduduk dari satu wilayah menuju ke wilayah lain tanpa ada niatan menetap di daerah tujuan (Mantra 2009)
110
Menjadi persoalan bagi daerah tujuan seperti Jakarta dan Bogor
jika
pilihan warga untuk bermigrasi secara permanen dalam hal ini urbanisasi dimana tingkat kepadatan penduduk di kota-kota besar sudah tinggi sedangkan para urban tidak memiliki skill dan keahlian yang memadai. Solusi untuk keluar dari persoalan bencana pun terkesan hanya berpindah tempat meskipun dengan jenis persoalan yang berbeda. 7.2.3 Kelembagaan Ekonomi Konsep Steward yang mengatakan bahwa salah satu unsur inti (core) lainnya akan mengalami perubahan sebagai dampak pemanfaatan teknologi yakni perubahan pada beberapa aspek kelembagaan ekonomi. Perubahan teknik pemanfaatan lahan telah menyebabkan terjadinya (a) perubahan sistem nafkah dan berpotensi merubah (b) pola produksi-distribusi para petani di Sirnagalih. Selain itu, adopsi bantuan berupa Huntara juga telah menyebabkan munculnya (c) pasar „jalan‟ yang berfungsi sebagai wadah untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. a.
Sistem Nafkah sebagai Basis Penghidupan Sistem ekonomi komunitas rawan longsor di Kampung Sirnagalih tidak
lepas dari persoalan pemenuhan kebutuhan hidup warga yang kini menjadi subsisten.
Mayoritas mata pencaharian warga adalah bertani. Bertani disini
diartikan sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan menggarap lahan baik itu lahan basah (sawah) maupun lahan kering (kebun-ladang), dengan status sebagai petani. Potensi lahan lebih dimanfaatkan untuk menanam jenis tanaman yang dapat dijadikan sebagai sumber-bahan pangan serta tanaman tahunan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga lainnya. Pergeseran aktivitas ekonomi warga mulai berubah setelah terjadi perubahan lingkungan yang mengakibatkan sumber-sumber perekonomian warga menyusut. Petani yang masih memiliki lahan dan exis bertahan hidup sebagai petani sawah mulai bergeser menjadi petani ladang. Tanaman palawija seperti Singkong, Pisang dan Sayuran serta tanaman tahunan seperti Sengon merupakan jenis tanaman yang dipersiapkan untuk menggantikan tanaman padi. Pergeseran tersebut disebabkan oleh rusaknya sawah sehingga tidak lagi produktif menghasilkan padi. Pola hidup berladang sangat berbeda dengan bertani sawah. Petani menjadi aktif menanami ladang mereka dengan jenis
111
tanaman pangan lainnya sebagai pengganti beras. Di sisi lain petani juga jadi memiliki waktu yang lebih luang karena perlakuan untuk pemeliharaan tanaman palawija dan tahunan tidak seintensif tanaman padi. Kekosongan waktu tersebut dimanfaatkan oleh beberapa petani khususnya para buruh tani untuk mencari pekerjaan sampingan. Mereka tidak lagi menjadikan lahan garapan sebagai satu-satunya sumber perekonomian dan penghidupan. Mereka mencari pekerjaan lain (tidak berbasis lahan) untuk menghasilkan uang agar tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, khususnya kebutuhan pangan. Berangkat dari kebutuhan yang mendasar dengan kondisi lingkungan yang tidak lagi memadai, dorongan dalam diri masyarakat mulai terlihat dengan membuka diri dan mau mencoba pekerjaan baru yang dianggap menghasilkan. Pergeseran struktur nafkah menyebabkan pola hubungan patron-client juga berubah. Warga yang awalnya bekerja sebagai petani buruh dan hanya bergantung pada kemurahan hati pemilik lahan, kini mulai mencari dan membangun jaringan informasi tentang sumber-sumber mata pencaharian lainnya. Si patron pun tidak keberatan sebab di satu sisi beban patron pun berkurang. Hubungan patron-client tidaklah seperti yang digambarkan oleh Scott dimana seluruh keperluan hidup client dapat dipenuhi oleh patron. Buruh sawah hanya mendapatkan hak atas pekerjaannya berupa pembagian hasil panen sebesar 40 persen, sedangkan buruh kebun mendapatkan hak berupa upah sebesar Rp.20.000/hari. Nasib (status ekonomi) antara patron dan client di Kampung Sirnagalih tidak berbeda jauh, meskipun si patron sebagai pemilik lahan. Minimnya lahan garapan yang harus dikerjakan oleh beberapa petani lebih didasarkan atas rasa empati dan solidaritas antar warga yang notabene masih terikat hubungan kerabat. Kondisi petani Sirnagalih menggambarkan konsep Geertz tentang shared of poverty. Para petani khususnya mereka para buruh tani kini mulai mencari kesempatan kerja yang tidak berbasis lahan meski harus keluar dari desa. Jaringan informasi yang dibangun warga hanya mengandalkan informasi dari mulut ke mulut yang datang dari para warga yang telah bekerja. Warga lebih mudah percaya dan tergiur jika mendengar dan menyaksikan langsung hasil yang diperoleh dari temannya yang telah mengalami. Warga lain yang ingin
112
bergabung dan ikut biasanya akan meminta bantuan dari temannya tersebut karena dianggap telah berpengalaman. Salah satu jenis mata pencaharian yang saat ini marak dilakukan oleh warga Sirnagalih adalah menjadi buruh tumbuk di lokasi penambangan emas yang berada di Kecamatan Nanggung10. Untuk bekerja sebagai buruh tumbuk, warga harus „mendaftar‟ ke salah satu Bos agar diperkenankan ikut menumbuk. Bos akan memberikan biaya makan, rokok dan biaya transport jika hasil tumbukan mengandung emas. Mereka bekerja secara llegal. Hasil yang diperoleh tidak dapat dipastikan (Rp. 20.000/hari/beban)11. Jika beruntung, maka hasil yang diperoleh akan menguntungkan. Biasanya warga memperoleh Rp. 50.000 sampai Rp. 100.000/hari. Jika fisik kuat maka warga bisa menumbuk sebanyak 20 beban dan menghasilkan Rp. 400.000/hari. Satu bos biasanya menanggung hingga 100 orang
pekerja.
Sistem
kerjanya
sederhana,
warga
membawa
sendiri
peralatannya dan Bos hanya menadah hasil tumbukan yang mengandung emas. Warga yang sudah bekerja sebagai buruh tumbuk sebanyak 20 orang. Perubahan lain yang berkaitan dengan perubahan struktur nafkah adalah diferensiasi mata pencaharian di sektor jasa-transportasi yakni menjadi tukang ojek dadakan. Pengaruh aksesibilitas serta sarana infrastruktur jalan kampung yang belum memadai membuat sebagian warga memaksa diri untuk membeli kendaraan roda 2 (motor) dengan membayar secara kredit. Di tengah himpitan ekonomi, kehadiran motor menjadi kebutuhan alternatif bagi warga setempat. Beberapa kebutuhan tidak dapat diperoleh dari dalam kampung sehingga warga harus keluar dari kampung untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan. Meskipun frekuensi warga ke luar kampung untuk berbelanja tidaklah tinggi, namun beberapa pemuda melihat peluang tersebut dan menjadikannya sebagai mata pencaharian tambahan di sektor jasa dengan menjadi tukang ojek dadakan.
10
Nanggung merupakan kecamatan yang berbatasan langsung dengan Desa Sukaraksa. Nanggung memang terkenal dengan hasil tambang emasnya sehingga menjadi daya tarik masyarakat luar untuk datang mencari kerja. Salah satu pekerjaan yang banyak dilirik adalah sebagai buruh tumbuk. Mereka menumbuk batu yang diperkirakan mengandung emas di dalamnya. 11 Beban merupakan bongkahan batu yang ditaksir mengandung emas. Satu bongkahan berbedabeda ukurannya serta berbeda-beda tingkat kepadatannya (keras-lunak).
113
Selain itu, pola fikir untuk mulai berinvestasi meskipun hanya untuk jangka waktu pendek juga mulai muncul. Sebagian warga mulai berfikir dan melakukan aktivitas ekonomi lainnya seperti menjadi tukang ojek dadakan, beternak kambing, dan ikut arisan kampung. Berbeda dengan warga yang memelihara kambing dan ikut arisan di kampung lain, mereka menganggap bahwa untuk situasi darurat, menjual kambing atau menggunakan dana arisan adalah cara yang cepat dan efektif untuk mendapatkan dana. Adapun kegiatan berinvestasi dengan cara menanam pohon tanaman keras tetap dilakukan meskipun kondisi lahan mereka sebagian telah rusak. Hal tersebut terlihat dari aktivitas para petani yang tetap melakukan pengayaan dan permudaan kebun-hutan dari bekas penebangan. b.
Pola Produksi-Distribusi Mengacu pada perubahan teknologi yakni perubahan pada teknik dan pola
tanam pada lahan garapan yang tadinya sebagai sawah tadah hujan (monokultur) lalu berubah menjadi ladang dan kebun campuran, maka terjadi penurunan hasil produksi bahkan berpotensi melenyapkan sawah karena kerusakan yang terjadi. Jarak waktu antara peristiwa longsor yang merusak lahan garapan para petani hingga terjadinya perubahan pola tanam memang belum lama. Para petani masih berharap dapat menikmati panen meskipun hasilnya sangat rendah, sehingga pergantian pola tanampun tidak serta merta dilakukan. Perubahan pola tanam dilakukan secara perlahan dan hingga kini alih fungsi lahan tersebut telah dilakukan namun belum sampai pada masa panen. Meski demikian para Petani telah mampu menggambarkan seperti apa mekanisme hasil produksi selanjutnya, seperti yang terlihat pada gambar 27. Gambar 27 Perubahan Pola Distribusi-Konsumsi Tanaman Pangan Konsumsi (semua untuk kebutuhan pangan harian)
Produksi (Jenis tanaman; padi & palawija)
Produksi (Jenis tanaman palawija)
Distribusi (Dijual tanpa perantara)
Konsumsi (sebagian u/ kebutuhan harian, sebagian dijual u/dikonversi ke beras )
PRA LONGSOR
PASCA LONGSOR
114
Menurunnya hasil produksi sawah menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dengan tujuan lahan garapan para petani tetap produktif meski dengan hasil yang berbeda. Beralihnya pilihan petani menjadi kebun menyebabkan mereka harus menjual sebagian besar hasil panen untuk dikonversi menjadi beras. Ke depan, para petani tidak lagi dapat menyimpan hasil lahan garapan berupa padi. Hasi tanaman pengganti padi (palawija) sebagian harus melewati proses distribusi agar dapat dikonversi menjadi beras. Perubahan tersebut sangat terasa bagi para petani yang awalnya selalu menikmati langsung hasil garapan mereka berupa beras. Para petani telah menprediksikan bahwa secara kuantitas hasil penjualan tanaman palawija yang dikonversi ke beras tidak akan memadai (kurang). Harga jual tanaman palawija, Singkong ataupun Pisang tidak sama (lebih murah) dibandingkan harga beli beras di pasar. Untuk menutupi kekurangan pangan rumahtangga para petani, maka mereka tidak menjual seluruh hasil garapan namun sebagian disimpan untuk dikonsumsi sehari-hari sebagai makanan pendamping. Para petani yang memang telah terbiasa dengan menyediakan PisangSingkong sebagai cemilan di rumah mengatakan bahwa bisa jadi mereka akan lebih banyak mengkonsumsi Pisang dan Singkong jika persediaan beras lebih sedikit. Saat inipun, meski para petani belum ada yang melakukan panen terhadap tanaman yang baru ditanam namun minimnya hasil panen sawah telah membuat mereka mulai mengkonsumsi Pisang dan Singkong lebih banyak dari biasanya. Tidak semua petani telah melakukan perubahan pola makan tersebut, namun beberapa petani memilih merubah pola makan sebagai salah satu strategi untuk tetap bertahan hidup. Meskipun perubahan pola makan tersebut belum teratur secara sistematis namun pengurangan dalam mengkonsumsi nasi sudah terlihat dalam kehidupan sehari-hari sebagian warga. c.
Pasar ‘Jalan’ Persoalan ekonomi lainnya terkait dengan pemenuhan kebutuhan adalah
aksesibilitas warga terhadap pasar. Pasar disini merupakan sarana-tempat yang secara fisik menyediakan berbagai kebutuhan warga, khususnya kebutuhan
115
sandang dan pangan. Untuk memenuhi kebutuhan harian warga maka diciptakan „pasar jalan‟ yakni para pedagang (penjual) mendatangi pembeli dengan jenis jualan yang beragam. Jauhnya lokasi pemukiman (Huntara) menjadi peluang bagi beberapa pedagang kecil untuk menjajakan jualannya ke Kampung Sirnagalih.
Para
penghuni Huntara pun secara aktif menyetujui kehadiran para penjual dan „mempersilahkan‟ agar para penjual mengunjungi mereka secara bergiliran. Jadwal jualan dibuat agar tidak terjadi konflik antara penjual. Warga menyetujui penjadwalan tersebut dengan melakukan pesanan barang sesuai dengan jadwal kunjungan. Misalnya, Bu Ros (usia 38 Th) saat itu membutuhkan barang dan memesannya kepada salah satu penjual yakni Mas Joko (usia 42 Th). Jadwal Mas Joko berjualan setiap hari rabu, maka Bu Ros harus konsisten menunggu Mas Joko membawakan barangnya meskipun sebelum Mas Joko ada penjual lain yang datang membawa barang yang sama. Berdasarkan jenis barang yang dijual maka para pedagang dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama adalah pedagang sayuran, ikan dan bumbu dapur terdiri atas 2 orang dengan jadwal berdagang setiap hari. Pedagang sayuran tersebut saling bergiliran mengunjungi kampung Sirnagalih. Kelompok kedua adalah pedagang yang menjual perabotan rumah-dapur, bahan makanan seperti minyak, terigu, gula, dan lain-lain. Kelompok ini juga ada 2 orang dan beroperasi secara bergantian pada hari Senin, Selasa dan Kamis. Khusus hari Kamis, salah satu pedagang juga membawa barang lain untuk dijual yakni pakaian. Kelompok ketiga adalah pedagang yang menjual obat-obatan dan vitamin. Pedagang yang terlibat hanya satu orang dan khusus datang setiap hari Jumat. Jenis kebutuhan lain yang tidak terpenuhi dari para pedagang tersebut, seperti beras harus diperoleh dengan membeli ke kios yang ada di pusat desa. Kebutuhan terhadap beras dipenuhi jika sumber pangan yang berasal dari sawah dan kebun (Singkong dan Pisang) sudah habis. Diantara penghuni Huntara sebenarnya ada yang membuka kios namun jenis yang dijual lebih banyak untuk dikonsumsi anak-anak seperti permen, es lilin, kerupuk, dan sebagainya. Barang rumahtangga yang dijual hanya berupa pasta gigi, sabun cuci dan sabun mandi.
116
Kehadiran pasar „jalan‟ tersebut tidak menguntungkan satu pihak saja (para penjual) namun juga warga yang menghuni Huntara (mutualisme). Sifat mutualisme tersebut yang memperlihatkan bahwa terbangun relasi ekonomi yang bersifat sederhana. Penjual diuntungkan karena mendapat tempat dan pelanggan sedangkan pembeli (warga Huntara) diuntungkan karena tidak perlu turun gunung untuk memenuhi kebutuhan sehingga tenaga, biaya transportasi dan waktu menjadi lebih efisien. Selain itu, warga juga dapat mengambil barang terlebih dahulu jika tidak memiliki uang (utang). Warga Huntara bisa saja memilih untuk turun gunung pada waktu-waktu tertentu secara periodik untuk membeli kebutuhan rumahtangga, namun mereka tidak melakukannya. Mereka lebih memilih untuk membangun dan menjaga ikatan sosial kepada para penjual di „pasar jalan‟ karena lebih merasa nyaman dengan kemudahan-kemudahan yang diperoleh. Dari seluruh uraian tentang kelembagaan ekonomi yang terbangun pada komunitas rawan longsor di Kampung Sirnagalih, mulai dari perubahan struktur nafkah, perubahan pola produksi-distribusi hingga kehadiran pasar „jalan‟, menggambarkan bahwa pilihan-pilihan warga merupakan bentuk adaptasi terhadap upaya pemenuhan kebutuhan hidup pada kondisi yang sulit. Mengacu pada kelembagaan ekonomi Steward, maka dapat dikatakan bahwa hampir seluruh warga di Sirnagalih melakukan tindakan rasional dengan asumsi bahwa pilihan-pilihan atau perubahan-perubahan yang mereka lakukan adalah yang paling efisien dan memungkinkan untuk mereka lakukan agar tetap survive dalam kondisi yang rentan. Sistem ekonomi komunitas rawan longsor, kini tidak dapat lepas dari persoalan pemenuhan kebutuhan hidup yang masih bersifat subsisten, yakni pemenuhan kebutuhan hidup lebih kepada pemenuhan kebutuhan dasar harian bukan untuk keperluan komersil ataupun untuk kebutuhan jangka panjang. Ciri ini seperti pada masyarakat pra kapitalis umumnya yang jika melakukan pertukaran (kegiatan ekonomi) tidak ditujukan untuk pasar dan tidak untuk menghasilkan laba. Ciri tersebut menggambarkan kehidupan subsisten para keluarga di Kampung Sirnagalih adalah self-sufficient system yakni sistem dimana barangbarang diproduksi dan disimpan oleh anggota keluarga untuk digunakan sendiri. Andaipun sebagian produksi dijual bukan ditujukan sebagai tambahan modal
117
atau pengembangan perekonomian keluarga melainkan untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya yang tidak dapat diproduksi sendiri. 7.2.4 Organisasi Sosial-Politik Selain populasi dan aspek-aspek kelembagaan ekonomi, konsep Steward juga mengatakan bahwa unsur inti (core) lainnya yang akan mengalami perubahan adalah kehadiran organisasi sosial-politik. Organisasi sosial-politik disini merupakan suatu bentuk adaptasi terhadap perubahan sosial-politik yang menghadirkan fungsi dan peran baru, baik secara formal maupun informal dalam rangka penanganan dan penanggulangan bencana longsor. Secara non formal, komunitas di Kampung Sirnagalih telah menciptakan satu
mekanisme
peringatan
dini
yang
dilakukan
secara
sederhana.
Kelembagaan Tagana (Tanggap Bencana) yang dibangun memang bersifat sederhana. Kelembagaan tersebut merupakan bentuk organisasi sosial yang ditujukan untuk mengantisipasi jatuhnya korban longsor. Pada gambar 28 dan gambar 29 terlihat model kelembagaan Tagana yang dibangun berdasarkan 2 peristiwa-fenomena alam, yakni hujan deras dan retak tanah. Gejala alam : (1) Hujan deras
Kepala Desa handphone Ketua RT
Warga
Warga
Warga
Gambar 28 Skema Kelembagaan Tanggap Bencana (Tagana) Daerah Rawan Longsor Kampung Sirnagalih Untuk Peristiwa Hujan Deras Pertama, ketika terjadi hujan deras di Sirnagalih maka para warga berinsiatif untuk saling mengingatkan. Kepala Desa yang berada jauh dari Kampung Sirnagalih secara rutin memberikan warning melalui media telephone ke Ketua RT untuk waspada. Secara pribadi, Ketua RT pun melakukan pengawasan dan peringatan sederhana terhadap warganya untuk tetap mawas diri. Bentuk Tagana pada peristiwa hujan deras terlihat bahwa upaya peringatan dini yang dilakukan lebih didasarkan pada kesadaran diri (insiatif) masing-masing
118
pihak dan kemudian ditularkan ke pihak lain sehingga terbentuk mekanisme peringatan dini.
Gejala alam : (2) Retak tanah
KaDes / SekDes
handphone
Dinas ESDM / BPBD Kab.Bogor
Ketua RT
Warga
Gambar 29
Warga
Warga
Skema Kelembagaan Tanggap Bencana (Tagana) Daerah Rawan Longsor Kampung Sirnagalih Untuk Peristiwa Retak Tanah
Kedua, peristiwa tanah retak yang biasanya muncul setelah hujan deras juga menjadi fenomena alam yang diwaspadai oleh warga. Biasanya warga segera ke kebun, sawah untuk melihat apakah kondisi lahan mereka masih aman atau mengalami keretakan. Sesama warga akan saling memberikan informasi jika terjadi retak tanah yang baru. Informasi akan disampaikan ke Ketua RT dan dilanjutkan ke Kepala Desa. Kepala Desa akan melanjutkan informasi tersebut kepada Dinas ESDM Kab. Bogor sebagai bahan laporan untuk ditindaklanjuti. Pada peristiwa retak tanah, kelembagaan Tagana yang dibangun juga lebih didasarkan pada kesadaran diri masing-masing pihak khususnya para warga. Pengetahuan mereka terhadap munculnya tanah retak baru harus segera disampaikan ke pihak lain untuk ditindaklanjuti. Kelembagaan Tagana di sini telah melibatkan pihak luar yakni Dinas ESDM/BPBD Kab. Bogor. Keterlibatan pihak luar dianggap penting untuk melakukan evaluasi teknis yang lebih mendalam terhadap kondisi tanah di Sirnagalih. Secara formal, penanganan para korban longsor juga merupakan bagian dari tanggungjawab Pemerintah. Realitas longsor berupa pergerakan (retak) tanah di Kampung Sirnagalih mengakibatkan kampung tersebut masuk dalam daftar penanganan bencana yang diprioritaskan oleh Pemerintah Daerah maupun Pusat. Bukan hanya Pemerintah, beberapa pihak juga mengambil bagian dalam penanganan bencana di kampung tersebut dengan memberikan
119
bantuan. Penyaluran bantuan oleh para pihak dikelola langsung oleh Pemerintah Desa dibantu ketua RT. Dari berbagai bantuan baik dari Pemerintah maupun pihak lain (Parpol dan Lembaga Pendidikan) lebih bersifat fisik. Para korban longsor Sirnagalih lebih dipandang sebagai korban yang membutuhkan barang yang bersifat materiil. Pihak pendonor selain pemerintah lebih membarikan bantuan berupa makanan dan obat-obatan, sedangkan pemerintah yang melihat warga Kampung Sirnagalih sebagai korban yang kehilangan tempat tinggal (bukan kehilangan kesempatan untuk hidup lebih layak) memberikan bantuan berupa tenda dan Huntara. Pemerintah pun memberikan bantuan fisik yang dibagi dalam 3 tahap. Pertama penanganan yang lebih bersifat tanggap darurat, diawali dengan pemberian bantuan tenda dan bahan makanan. Kedua, penanggulangan yang bersifat jangka pendek yakni korban longsor mendapatkan tempat hunian semetara yang bersifat temporer. Dalam penanganan bencana, Huntara hanya diperuntukkan
selama
6
bulan.
Ketiga,
pemerintah
bertanggungjawab
memindahkan warga ke tempat yang lebih aman dengan bangunan fisik yang juga lebih layak. Dalam proses pemberian bantuan tersebut ditemukan berbagai masalah dan kendala yang melibatkan beberapa aktor. Aktor-aktor tersebut antara lain; Pemerintah Daerah mulai dari tingkat Desa (Pemerintahan Desa) yang bertugas melakukan pendataan dan menginventarisir kerusakan yang diakibatkan bencana longsor, Pemerintahan Kecamatan (Camat) yang menerima secara formal laporan dari Desa dan meneruskan ke Pemerintah Kabupatan (Bupati) untuk ditindaklanjuti oleh satker yang terkait dengan penanganan bencana dalam hal ini Dinas Sosial. Selain Pemerintah Daerah terlibat juga lembaga formal lainnya yakni Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kab. Bogor yang bertugas untuk terus memantau perkembangan di lapangan dan mempersiapkan aksi-aksi tanggap darurat selama proses evakuasi warga mulai dari tenda pengungsian ke Huntara hingga ke tempat tinggal yang permanen. Untuk merealisasikan program bantuan tersebut setidaknya dibutuhkan 2 hal yang harus dipenuhi yakni lahan dan jaminan keamanan atas lahan tersebut. Jaminan keamanan atas lahan diperoleh dari hasil identifikasi pihak Dinas ESDM
120
Kab. Bogor yang menyatakan bahwa lahan tersebut layak dan aman untuk ditempati dalam waktu yang lama. Di sisi lain, kebutuhan terhadap lahan itu sendiri menjadi semakin sulit. Lahan-lahan yang dianggap potensial berada di luar kampung dan merupakan milik orang-orang dari luar Desa. Mereka mulai menpermainkan harga tanah yang awalnya hanya Rp. 50.000/Meter kini naik menjadi 3 kali lipat. Kondisi tersebut menyulitkan Pemerintah yang telah mengalokasikan anggaran sesuai dengan standar harga tanah di desa. Jaringan bantuan yang ada seharusnya membantu warga bangkit dari keterpurukan,
namun
oleh
beberapa
oknum
disalahartikan.
Kekuasaan
Pemerintah selaku elit tidak berari dibandingkan kekuasaan para pemegang hak tanah. Upaya-upaya pendekatan telah dilakukan oleh Pemerintah Desa namun karena para pemegang hak tanah bukanlah penduduk asli Desa Sukaraksa, merekapun bermukim di luar desa, sehingga proses negosiasi menjadi sulit. Mengacu pada realita tersebut, terlihat bahwa terdapat penambahan peran dan fungsi pemerintah untuk Kampung Sirnagalih dalam upaya penanggulangan bencana.
Berdasarkan
Undang-undang
No.24/Tahun
2007
tentang
Penanggulangan Bencana, peran dan fungsi pemerintah seyogyanya dilakukan untuk membantu masyarakat yang menjadi korban bencana dengan merangkul para stakeholders. Pada realitanya pelaksanaan peran dan fungsi tersebut tidak mudah direalisasikan. Merangkul aktor-aktor yang dianggap bertalian langsung dengan permasalahan yang dihadapi oleh komunitas rawan longsor di Kampung Sirnagalih merupakan tantangan tersendiri yang harus segera ditangani oleh Pemerintah selaku pihak yang (seharusnya) lebih berkuasa. Kehadiran 2 bentuk (formal dan informal) mekanisme penanganan dan penanggulangan bencana pada aspek organisasi sosial-politik menggambarkan bagaimana bentuk adaptasi masyarakat dalam mengorganisasikan fungsi dan peran sosial. Secara informal masyarakat telah aktif membentuk kelembagaan Tagana yang bersifat sederhana, dan secara formal, kehadiran pemerintah dan donatur lainnya dalam memberikan bantuan juga diterima oleh warga melalui pemerintah desa (distribusi bantuan langsung oleh Aparat Desa). Secara organisasi, terdapat beberapa wadah yang (seharusnya) dapat membantu para warga yang menjadi korban longsor. Keberadaan organisasi tersebut dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kapasitas sehingga mampu
121
menciptakan masyarakat yang tanggap terhadap bencana. Namun realita menunjukkan hal yang berbeda. Keberadaan organisasi di tingkat desa seperti LPM (LKMD), BPD, Karang Taruna, dan seterusnya belum mampu menyentuh permasalahan kebencanaan yang dialami oleh Kampung Sirnagalih. Akibatnya ada kesan bahwa para korban longsor di Sirnagalih harus menghadapi persoalan bencana alam secara sendiri (mandiri). Lebih memprihatinkan adalah ditemukannya pihak-pihak tertentu yang justru
„memanfaatkan‟
penderitaan
warga
untuk
mengeruk
keuntungan.
Pernyataan ini didasari oleh pengakuan warga yang menyebutkan bahwa kampung mereka pernah dikunjungi oleh salah satu stasiun TV Swasta ternama (beserta 2 artis Indonesia) dan dijadikan salah satu program TV yang kemudian ditayangkan. Warga mengatakan tidak ada bantuan yang diperoleh kecuali hanya berupa hiburan sesaat. Fenomena tersebut menggambarkan bahwa pihak luar belum mengerti sepenuhnya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di Sirnagalih sehingga belum mampu memberikan kontribusi-manfaat penting yang dapat menjadi penopang keberlanjutan hidup para korban. Masyarakat pun hanya dijadikan sebagai objek komersialisasi. Belum tersentuhnya persoalan kebencanaan oleh para pihak baik internal desa maupun eksternal, menunjukkan bahwa kesadaran para pihak dalam mengatasi persoalan bencana masih rendah dan cenderung membebankan ke pundak para korban. Perhatian yang diberikan lebih kepada menunjukkan sikap simpati dan empati. Rendahnya tingat pendidikan dan perekonomian warga Sirnagalih sepertinya juga berdampak pada rendahnya tingkat percaya diri warga untuk aktif membangun jaringan dan membuka jalur informasi terhadap pihak luar. Masyarakat lebih bersikap pasif dan menunggu respon dari pihak luar yang ingin memberikan bantuan. Beberapa warga menganggap bahwa pada prinsipnya mereka sangat membutuhkan dorongan support, motivasi dan bimbingan atau pengembangan wawasan di bidang lingkungan dan kebencanaan, namun mereka tidak percaya diri jika harus memulai apalagi untuk meminta bantuan. Budaya malu dan tidak
122
enak (sungkan) untuk merepotkan orang lain tergambar dari sikap mereka. Akibatnya, warga di Sirnagalih dibiarkan berjuang untuk menghadapi persoalan kebencanaan dengan mengandalkan kemampuan (modal) yang sangat terbatas. Mengacu pada konsep bencana, Sirnagalih sebagai daerah rawan longsor dengan tingkat bahaya yang cukup tinggi bagi sendi-sendi kehidupan sosialekonomi, dapat diminimalisir jika warganya memiliki tingkat ketahanan yang baik terhadap bencana. Bentuk-bentuk adaptasi yang terangkum dalam unsur inti (core) kehidupan komunitas rawan longsor Sirnagalih merupakan bentuk adaptasi yang menggambarkan kapasitas atau daya ketahanan. Seperti yang dikemukakan oleh Twight (2007) bahwa masyarakat yang memiliki daya ketahanan sosial yang tinggi terhadap bencana adalah masyarakat yang memiliki tingkat kolaborasi, saling percaya, saling menghormati dan tercipta kerjasama antar unsur masyarakat, baik di saat menghadapi bencana ataupun tidak. Di tingkat desa unsur-unsur ketahanan tersebut nampak masih lemah namun di tingkat kampung ketahanan sosial masyarakat Sirnagalih terhitung baik. Hal ini terlihat dari perubahan-perubahan yang dilakukan, mulai dari penyesuaian pola dan teknik pemanfaatan lahan, pengaturan perilaku antar warga di tempat pengungsian, hingga kesadaran bersama untuk saling mengingatkan bahaya longsor dengan mengamati gejala alam. Meski harus diakui bahwa ketahanan sosial yang terdapat di Kampung Sirnagalih merupakan ketahanan yang belum bisa dianggap sustain mengingat peristiwa longsor yang mereka alami belum lama namun telah menjadi indikasi awal yang dapat menjaga sustainability kehidupan sosial-ekonomi warga. 7.3
Ikhtisar Bentuk-bentuk
adaptasi
sosio-ekologi
pada
Kampung
Sirnagalih
dipengaruhi oleh terjadinya perubahan lingkungan yakni rusak dan menurunnya kualitas lahan. Peristiwa pergerakan tanah (longsor) di akhir Tahun 2011 secara cepat telah menyebabkan munculnya berbagai upaya penyesuaian di berbagai aspek dalam pemanfaatan teknologi, perubahan populasi, kelembagaan ekonomi serta organisasi sosial-politik. Secara ringkas perubahan-perubahan tersebut disajikan pada tabel 26.
123
Tabel 26 Perubahan Sosio-Ekologi Komunitas Rawan Longsor Kampung Sirnagalih Aspek
Sebelum Longsor ( < Tahun 2005)
1. Teknologi : a. Teknik dan Pola Tanam pada sawah tadah hujan
b.
c.
-
Monokultur (Padi) Berdasarkan kebutuhan pangan dan rumahtangga
-
-
Alih fungsi Pemanfaatan Lahan Adopsi bantuan berupa tempat tinggal
2. Populasi : a. Pola Pemukiman
Setelah Longsor ( > Tahun2005)
-
Pemukiman
-
Rumah dengan milik pribadi
-
status
-
Berdasarkan kedekatan dengan lahan garapan
-
Permanen Saling menolong
-
Ladang & kebun campuran : tanaman semusim, tanaman tahunan Berdasarkan kebutuhan pangan dan rumahtangga serta kesesuaian lahan Ladang (tanaman palawija)
Hunian sementara bersifat semi permanen dan status kepemilikan sementara
-
b.
Pola interaksi & gaya Hidup
c.
Migrasi
Hanya 2 orang dengan migrasi tetap
3. Kelembagaan Ekonomi : a. Pola Produksi Hasil garapan dikonsumsi langsung b.
Pola Makan
c.
Struktur Nafkah;
d.
Relasi Ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan harian
3 kali sehari, cemilan 1 kali (sore hari) Hanya 1 mata pencaharian; Petani atau Pedagang Keluar kampung
4. Organisasi Sosial-Politik : a. Peran Sosial Tidak ada Tagana Masyarakat Lokal b. Tanggung Tidak ada Tagana jawab Pemerintah Desa Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Tahun2012
Berdasarkan keamanan kelayakan lahan Non permanen
Saling menolong dan ikap toleran semakin meningkat, dan saling menghargai dalam memanfaatkan sumberdaya Mulai banyak (buruh tani) dengan migrasi non permanen
Hasil garapan dikonsumsi setelah didistribusikan dan dikonversi Tiga kali sehari (porsi terbatas), cemilan 2 kali Nafkah ganda; Petani+Buruh Tumbuk, Tukang Ojek, Kuli Bangunan, dan lain-lain. Di dalam kampung muncul Pasar „Jalan‟
Ada Tagana dengan sistem peringatan dini yang sederhana Aktif melaporkan setiap perubahan lingkungan dan dampaknya, menyalurkan bantuan
&
124
Hal mendasar yang berubah akibat kerusakan lahan adalah menyusutnya sumber
penghidupan
masyarakat
Sirnagalih
yang
sebagian
besar
bermatapencaharian sebagai petani. Mengacu pada Cutural Ecology Steward, maka perubahan adaptasi akan bermula pada penerapan teknologi oleh suatu komunitas. Kondisi lingkungan saat ini „memaksa‟ para petani di Sirnagalih untuk melakukan perubahan teknologi (internal) yakni berubahnya teknik, pola tanam, jenis tanaman serta alih fungsi lahan. Adopsi bantuan (eksternal) juga dianggap sebagai teknologi yang pemanfaatannya membawa pengaruh signifikan bagi kehidupan sosial-budaya masyarakat di Sirnagalih. Perubahan (internal dan eksternal) tersebut pada akhirnya mengantarkan berbagai perubahan pada aspek inti lainnya (populasi, kelembagaan ekonomi hingga organisasi sosialpolitik). Bentuk adaptasi sosio-ekologi pada pada Kampung Sirnagalih merupakan bentuk pilihan bagi masyarakat untuk bertahan hidup dengan asumsi bahwa pilihan-pilihan
tersebut
adalah
yang
terbaik
karena
dianggap
mampu
memberikan „kenyamanan‟ untuk saat ini. Mengacu pada Bell, dkk. maka makna kenyamanan yang dimaksud adalah berada pada tahap homeo statis dimana para warga masih dapat mentolerir perubahan di lingkungan mereka dalam batas-batas yang dianggap wajar. Pada perjalanan proses perubahan dalam bentuk adaptasi, juga terlihat seperti apa peran para pihak yang berada di luar Kampung Sirnagalih. Persoalan kebencanaan seyogyanya menjadi tanggungjawab bersama agar masyarakat Sirnagalih mampu bangkit menata dan membangun kembali sendi-sendi kehidupan mereka, khususnya dalam hal peningkatan kapasitas dan ketahanan sosial. Disayangkan, peran para pihak masih minim dan belum menyentuh kebutuhan utama para korban. Terkesan bahwa penanggulangan bencana hanya menjadi beban dan tanggungjawab masyarakat Sirnagalih semata.
125
BAB VIII KELEMBAGAAN LOKAL KOMUNITAS RAWAN LONGSOR Fenomena pergerakan tanah (longsor) di Kampung Sirnagalih telah digambarkan berdasarkan realitasnya, penyebab, dampak-pengaruh serta upaya penanggulangan yang dilakukan (Bab 5). Peristiwa longsor telah merubah pemahaman dan pemaknaan warga terhadap lingkungan sehingga berdampak pada perubahan cara pandang (persepsi) dan pada akhirnya melahirkan bentukbentuk adaptasi sosio-ekologi. Beberapa pemahaman dan pemaknaan yang merubah persepsi warga terhadap lingkungan adalah pertama, longsor dimaknai sebagai peristiwa terjadinya tanah retak yang menimbulkan kerusakan di rumah dan di lahan garapan, sehingga membahayakan nyawa dan juga mengancam mata pencaharian warga sebagai petani. Kedua, pemahaman warga tentang adaptasi sosio-ekologi sebagai strategi bertahan hidup. Secara sosio-ekologis, masyarakat bertahan hidup dengan berbagai cara, mulai dari mengikuti kebijakan Pemerintah yakni pindah ke tempat pengungsian dan merubah pola interaksi dengan berbagi peran-peran sosial, hingga melakukan perubahan perlakuan pada lahan garapan dengan memilih jenis tanaman dan pola tanam yang sesuai kondisi lahan saat ini. Sebagian bahkan lebih memilih pekerjaan lain yang secara ekologis dianggap aman karena tidak menambah beban kerusakan lahan di kampung mereka. Pada bab 6 telah mengulas tentang tingginya tingkat pemahaman warga yang sama dalam memaknai lingkungan tercermin pada keragaman persepsi warga yang cenderung homogen. Tingkat homogenitas persepsi tersebut mampu melahirkan sikap dan tindakan adaptif. Tindakan adaptif yang terus berulang dan bertahan akan membentuk suatu pola yang mengarah pada tingginya intensitas dan kesepakatan dalam membangun aturan-aturan hidup berupa norma dan sistem nilai. Pada bab 7, potensi tersebut telah diuraikan secara detail tentang bentuk-bentuk adaptasi yang telah dilakukan oleh warga Sirnagalih. 8.1. Tata aturan dalam Pengelolaan Property Rights Pada proses pembentukan pola adaptasi, dibutuhkan kelembagaan lokal berupa
pranata
atau
aturan-aturan,
norma
dan
sistem
nilai
untuk
mengharmoniskan berbagai perubahan yang terjadi. Munculnya perubahan-
126
penyesuaian telah melahirkan berbagai aturan berupa kesepakatan-kesepakatan yang tidak tertulis (norma-nilai) karena fungsinya yang dirasakan oleh warga. Kelembagaan lokal disini merupakan aturan atau kesepakatan-kesepakatan tidak tertulis, dan muncul berdasarkan pengetahuan dan kearifan lokal. Kelembagaan lokal pada Kampung Sirnagalih ikut mengalami perubahan bentuk karena mengikuti kebutuhan masyarakat. Fungsi dari kehadiran kelembagaan dalam bentuk yang baru tak lain untuk mengatur kembali tatanan hidup komunitas Sirnagalih yang hidup pada daerah rawan longsor. Seiring dengan keberadaan aturan-norma tersebut, menurut Giddens (Scott 2008) kehadiran kelembagaan lokal akan memberikan kedamaian bagi kehidupan sosial dan dukungan pada sistem sosial. Pada masyarakat Sirnagalih, kehadirankeberadaan kelembagaan lokal dalam bentuk kebiasaan, tata perilaku dan adat dalam pengelolaan property (public & private) merupakan dukungan sistem sosial untuk memberikan kehidupan yang lebih baik. Mengacu pada paparan sebelumnya yakni realitas longsor, persepsi lingkungan dan diri hingga bentuk adaptasi sosio-ekologi, maka terlihat bentukbentuk aturan, norma yang merupakan wujud keberadaan atau kehadiran kelembagaan lokal komunitas rawan longsor. Secara non formal, bentuk-bentuk kelembagaan lokal tersebut diwujudkan ke dalam
aturan-kesepakatan dalam
pengelolaan SDA. Meskipun kesepakatan-kesepakatan tersebut tidaklah tertulis namun merujuk
pada Schmid (1987), perangkat kesepakatan tersebut
merupakan (1) aturan representasi yang menyediakan jaminan sosial dan perlindungan ekonomi karena mengandung (2) batas yurisdiksi dan mengatur pengelolaan dan pemanfaatan (3) hak kepemilikan (property rights) baik berupa private maupun public property Aturan-aturan representasi (rules of representation) berupa norma-nilai mencerminkan peran sosial dan tanggungjawab antar sesama warga untuk tetap dapat menikmati kehidupan yang aman dan nyaman. Secara non formal, warga „sepakat‟ untuk tidak melakukan beberapa hal yang berpotensi menambah kerusakan di kampung mereka, di sisi lain warga juga tetap mempertahankan hal-hal yang dianggap masih relevan dengan kondisi daerah mereka. Pada gambar 30, aturan-aturan tersebut telah mengatur mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan hak kepemilikan (property rigths) baik yang bersifat private maupun public.
127
ATURAN YANG DIPERTAHANKAN Larangan merusak & memanfaatkan Ht.Batu Kaca (pu) Melakukan penebangan pohon berdasarkan kebutuhan & usia pohon (pr) Pergeseran tata batas lahan (kebunsawah) tidak merubah hak kepemilikan (pr) kepemilikan tanaman dan rumah berdasarkan kepemilikan awal (pr) Melakukan penanaman ulang (pr) Mempertahankan tanaman berakar kuat (bambu & tanaman kayu) (pr)
Private : Lahan, tanaman, tempat tinggal.
KELEMBAGAAN LOKAL (Aturankesepakatan2 tidak tertulis berdasarkan pengetahuan & kearifan lokal yang berfungsi untuk mengatur kembali tatanan hidup komunitas rawan longsor).
Mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hak kepemilikan (property rights) komunitas rawan longsor
Public :: Ht. Batu Kaca, air bersih, kenyamanan hidup
-
ADAT (Custom)
TATA PERILAKU (Mores)
KEBIASAAN (folkways)
ATURAN YANG DIMODIFIKASI Larangan penambangan batubara (pr)
TATA PERILAKU (Mores)
Kepemilikan Huntara-tenda bersifat temporer (pu berdasarkan wewenang Pemerintah setempat (pu) Jenis tanaman berdasarkan kebutuhan pangan dan kesesuaian lahan (pr)
CARA (usage)
Pola tanam berdasarkan kondisi lahan (pr) Pemanfaatan fasilitas umum (air bersih, Huntara-tenda) berdasarkan kebutuhan dasar/mendesak (pu) Membangun sikap toleransikesadaran yang tinggi antar sesama warga (pu) ex.tidak membangun rumah di titik longsor.
KEBIASAAN (folkways)
Pelaksanaan peran dan fungsi sosial,secara formal maupun informal (pu) Pelaksanaan tg.jwb organisasi kebencanaan (BPBD, Aparat DesaKetua RT) (pu) Keterangan : Pu = Public (milik umum) Pr = Private (milik pribadi)
Gambar 30 Skema Kelembagaan Lokal (Tata Aturan) Kampung Sirnagalih
128
a.
Aturan yang dipertahankan 1. Tetap menjaga hutan Batu Kaca sebagai kawasan penyangga meskipun dari segi luasan Batu Kaca hanya sebesar 2 ha namun warga menyadari bahwa kelestarian hutan Batu Kacalah yang masih mempertahankan ketersediaan air bersih di dalam Kampung Sirnagalih dan kampungkampung sekitarnya 2. Tetap mempertahankan tanaman bambu sebagai tanaman yang mendukung kelestarian ekologis serta tetap berfungsi sebagai bahan bangunan yang mendatangkan penghasilan tambahan. 3. Tetap mempertahankan jenis tanaman keras (Sengon, Lame, Puspa, dan lain-lain) sebagai tanaman investasi yang ditebang setelah masa panen (minimal 4 sampai 5 tahun) 4. Melakukan penebangan pohon berdasarkan kebutuhan dan usia pohon 5. Melakukan penanaman ulang setiap selesai melakukan penebangan. 6. Kepemilikan lahan berdasarkan tata batas yang telah disepakati sejak dulu. Pergeseran batas yang disebabkan oleh longsor tidak merubah hak pemilik lahan. 7. Kepemilikan tanaman berdasarkan kepemilikan lahan 8. Kepemilikan tempat tinggal (bangunan beserta pekarangan) berdasarkan kepemilikan awal.
b.
Aturan yang dimodifikasi 1. Tidak melakukan ekploitasi lahan dengan tidak membiarkan terjadinya penambangan batu bara, meskipun warga menyadari betul potensi finansial yang bisa dihasilkan. 2. Pola tanam disesuaikan dengan kondisi lahan. Misalnya melakukan perubahan pola tanam yang awalnya sebagai sawah tadah hujan kini beralih menjadi ladang-kebun. Jenis tanaman pun ikut disesuaikan, yang awalnya padi (monokultur) berubah menjadi kebun campuran dengan beragam tanaman semusim dan tahunan. 3. Jenis tanaman yang ditanam berdasarkan kebutuhan pangan dan rumahtangga serta kesesuaian lahan. 4. Pemanfaatan fasilitas umum (air bersih, Huntara-tenda) berdasarkan kebutuhan dasar/mendesak 5. Kepemilikan Huntara-tenda bersifat temporer wewenang Pemerintah setempat
yang didasarkan oleh
129
6. Membangun sikap toleransi-kesadaran yang tinggi antar sesama warga.. Warga memahami dan menyadari bahwa salah satu cara untuk tetap bertahan hidup di kampung adalah mengungsi ke Huntara/tenda, oleh sebab itu warga melakukan berbagai penyesuaian dengan berbagi peran sosial kepada sesama warga. Setiap peran sosial yang terbentuk mengandung hak dan kewajiban beserta konsekwensi jika terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya. 7. Pelaksanaan peran dan fungsi sosial,secara formal maupun informal 8. Pelaksanaan mitigasi bencana melalui upaya tanggap bencana (Tagana) Secara tegas, ke-2 bentuk hak atas kepemilikan property tersebut meliputi : a.
Private property yakni lahan, tanaman, tempat tinggal.
b.
Public Property yang bersifat fisik yakni hutan bersama (GunungBatu Kaca), sumberdaya air dan non fisik berupa kenyamanan, keamanan, keselamatan hidup. Representasi
berupa
aturan-norma
tersebut
juga
menggambarkan
kejelasan kepemilikan property rigths melalui batas yurisdiksi (yurisdiction of boundary) sehingga jelas wilayah kekuasaan atau batas wewenang yang dimiliki oleh suatu komunitas. Batas wewenang disini untuk mempertegas setiap aturan mengikat siapa saja, seluruh warga Sirnagalih atau juga masyarakat di luar Sirnagalih. Kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana longsor telah menggeser bahkan merubah dan menghilangkan batas-batas kepemilikan warga khususnya private property yang dapat berimbas pada public property. Beberapa persoalan mengenai private property yang muncul akibat peristiwa longsor diantaranya adalah berkurangnya luas lahan garapan akibat tanah retak-tanah jatuh. Bahkan di beberapa titik terlihat retak tanah menyebabkan sebagian lahan menyatu dengan lahan milik warga lain. Meskipun demikian, warga yang seolah mendapatkan tambahan lahan mengerti bahwa lahan tersebut bukanlah haknya sehingga dibuat batas baru. Jika lahan yang bergeser berupa lahan kering maka diberi patok baru berupa tanaman atau ajir, jika yang bergeser lahan basah maka dibuat batas dari tanah dengan cara mengelilingi lahan. Potensi konflik akibat pergeseran lahan yang disebabkan oleh retak tanah dapat memicu ketegangan antar pemilik lahan, namun kondisi tersebut sejauh ini
130
masih dapat diselesaikan dengan sikap saling mengerti, percaya dan menyadari hak masing-masing. Di sisi lain ikatan kekeluargaan karena masih memiliki ikatan kekerabatan terasa masih kental. Ikatan-ikatan yang selama ini terjalin baik menjadi modal sosial dalam menangani persoalan yang ditimbulkan oleh bencana longsor, termasuk pergeseran tata batas lahan. Potensi konflik lainnya akibat kerusakan lahan adalah tumbangnya beberapa pohon (tanaman) dan jatuh ke lahan warga lain. Tanaman yang tumbang tetap menjadi hak pemiliknya meskipun tanaman yang tumbang tersebut merusak tanaman milik warga lain, namun mereka tidak menuntut ganti rugi karena menyadari bahwa kejadian tersebut murni disebabkan oleh faktor alam. Private property lainnya yang tak kalah pentingnya adalah tempat tinggal. Para korban longsor mengalami kerusakan rumah sehingga mengakibatkan sebagian warga kehilangan tempat tinggal. Lahan yang diatasnya dibangun rumah meskipun telah rusak namun warga masih mempunyai hak atas lahan tersebut. Sebagian warga memanfaatkan lahan bekas rumah mereka dengan menanam sayuran seperti jagung, Pisang, terong, labu dan cabai. Warga tetap memiliki hak untuk merubah fungsi lahan mereka. Alih fungsi tersebut dilakukan semata-mata untuk memanfaatkan lahan yang dianggap masih berpotensi untuk memenuhi kebutuhan pangan harian warga. Saat ini warga telah tinggal di Huntara tempat pengungsian. Tiap warga yang menjadi korban longsor berhak atas tempat tinggal yang saat ini dihuni. Tiap rumahtangga berhak mendapatkan satu bilik (Huntara) ataupun satu tenda. Meskipun non permanen, namun warga selain memiliki hak, juga memiliki kewajiban untuk menjaga tempat tinggal sementara tersebut. Keberadaan private property yakni lahan dan tempat tinggal akan terkait dengan keberadaan public property yakni air bersih. Berkurangnya air bersih di Huntara menyebabkan warga mengalihkan beberapa akivitas rumahtangga seperti mandi dan mencuci ke pancuran air yang terdapat di areal persawahan. Pada prinsipnya pemilik sawah tidaklah keberatan namun warga lain juga harus memikirkan dampak yang ditimbulkan akibat aktivitas mereka. Bahan kimia dari detergent, sabun dan shampo dapat merusak tanaman padi. Oleh beberapa warga dibuatkan saluran aliran agar air bekas mandi dan cucian warga tidak
131
langsung mengalir ke sawah namun terurai sepanjang saluran aliran. Selain itu warga juga menggunakan bahan pembersih dalam jumlah yang tidak berlebihan. Public property lainnya yang bersifat non materi adalah ketenangan, keamanan, kenyamanan dan keselamatan. Kepemilikan pubic property non materi tidaklah seperti private atau public property lainnya yang bersifat materi dimana hak akses dan pemanfaatannya lebih nyata dan jelas.
Property ini
merupakan hak semua warga namun hanya dapat dinikmati jika masing-masing warga mengetahui batas-batas pemanfaatan property lainnya dan menyadari bahwa ada hak orang lain atas hak yang dimiliki. Pada dasarnya, ketiga karakteristik kelembagaan tersebut telah ada dan dapat dikenali pada struktur kelembagaan lokal yang meskipun tidak formal, tetapi nilai dan aturan mainnya tersosialisasikan sehingga secara perlahan mulai melembaga. Proses melembaganya aturan-aturan tersebut dapat bertahan jika dirasakan bermanfaat oleh para warga. Besarnya manfaat dari keberadaan aturan-norma yang ada akan berpotensi menciptakan suatu sistem nilai berupa tata perilaku (mores) bahkan adat-istiadat (custom) selama terinternalisasikan secara terus-menerus. Saat ini, aturan-norma yang telah ada dan hidup dalam komunitas rawan longsor Sirnagalih menunjukkan kekuatan yang berbeda-beda. Dari rentang waktu dan sejarah, perilaku yang telah terinternalisasi dan tingkatannya telah sejajar dengan adat-istiadat (custom) adalah perilaku menjaga kelestarian Hutan Gunung Batu Kaca. Dari mitos yang hidup di masyarakat menggambarkan betapa tingginya keyakinan warga untuk tidak merusak dan terus menjaga kelestarian hutan keramat tersebut. Warga meyakini bahwa siapapun yang berani merusak maka hukuman akan langsung datang dari penunggu hutan seperti yang telah terjadi sebelumnya. Dari hasil identifikasi aturan-norma ditemukan masih ada yang merupakan sebuah cara (usage), sebagian berupa kebiasaan (folkways) dan sebagian lagi telah menjadi tata kelakuan (mores). Meskipun jangka waktu peristiwa longsor yang benar-benar merusak dan merubah kehidupan warga belum (hampir 6 bulan), namun daya adaptasi warga terhadap lingkungan fisik dan sosial telah memperlihatkan berbagai perubahan yang menjadi acuan dalam berinteraksi.
132
Pada tabel 27 dapat dilihat berbagai bentuk kelembagaan lokal berupa aturan beserta sanksi berdasarkan tingkatannya. Keberadaan aturan-aturan tersebut tidak baku dan formal sehingga sanksinya pun masih bersifat sanksi moral; teguran, gunjingan dan yang terberat dilaporkan ke aparat desa. Namun demikian tingkat pelaksanaan dari aturan-aturan tersebut berpotensi menguat (terinternalisasi) karena fungsinya sangat dirasakan oleh warga. Tabel 27 Penerapan Aturan-Kesepakatan dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Property Rights Property Rights
Public (Kepemilikan bersifat umum)
Private (Kepemilikan bersifat Pribadi)
Aturan-Kesepakatan Tidak Tertulis
Sanksi atas Pelanggaran
Tingkatan Norma
1. Larangan merusak & memanfaatkan Ht.Batu Kaca
Dikutuk
Adat
2. Kepemilikan Huntara-tenda bersifat temporer berdasarkan wewenang Pemerintah setempat
Dilaporkan, dihukum
Tata Perilaku
3. Pemanfaatan fasilitas umum (air bersih, Huntara-tenda) berdasarkan kebutuhan dasar/mendesak
Dicela
Kebiasaan
4. Membangun sikap toleransi-kesadaran yang tinggi antar sesama warga ex.tidak membangun rumah di titik longsor.
Dicela
Kebiasaan
5. Pelaksanaan peran dan fungsi sosial sesama korban longsor oleh anggota masyarakat
Dicela
Kebiasaan
6. Pelaksanaan tg.jwb organisasi kebencanaan (BPBD, Aparat Desa-RT)
Dilaporkan ke aparat
Tata Perilaku
1. Melakukan penebangan pohon berdasarkan kebutuhan & usia pohon
Dicela
Kebiasaan
2. Pergeseran tata batas lahan (kebunsawah) tidak merubah hak kepemilikan
Dilaporkan, dihukum
Tata Perilaku
3. kepemilikan tanaman dan rumah berdasarkan kepemilikan awal
Dilaporkan, dihukum
Tata Perilaku
4. Melakukan penanaman ulang
Dicela
Kebiasaan
5. Mempertahankan tanaman berakar kuat (bambu & tanaman kayu)
Dicela
Kebiasaan
6. Larangan penambangan batubara
Dilaporkan, dihukum
Tata Perilaku
7. Pola tanam berdasarkan kondisi lahan
Dicela
Kebiasaan
8. Jenis tanaman berdasarkan kebutuhan pangan dan kesesuaian lahan
Cara
Dianggap Janggal/aneh
Sumber : Hasil Analisa Data Primer, Tahun 2012
133
8.2. Pengorganisasian Sosial Komunitas Rawan Longsor Kehidupan komunitas rawan longsor di Sirnagalih tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya yang juga dipengaruhi oleh kapasitas masyarakat setempat. Lemah dan kuatnya kapasitas masyarakat, salah satunya tercermin pada kemampuan masyarakat menciptakan keteraturan sosial untuk bersama-sama menghadapi dan menangani perubahan lingkungan. Kehadiran pranata sosial untuk mempertahankan-menciptakan keteraturan merupakan wujud keberadaan kelembagaan lokal yang tidak dapat dipisahkan dari kehadiran organisasi sosial. Organisasi sosial akan menjadi bingkai pelaksanaan pranata-aturan/norma yang disepakati oleh masyarakat. Mengacu pada uraian sebelumnya, beberapa perubahan yang menjadi bentuk adaptasi khususnya pada 3 (tiga) aspek inti (core) menggambarkan keberadaan pengorganisasian sosial yang tidak formal namun menjadi wadah pelaksanaan kesepakatan antar warga. Pada aspek (1) populasi dimana pola penyebaran pemukiman yang kini terkonsentrasi pada satu titik yakni pada daerah aman tempat dibangunnya hunian sementara (Huntara), yang kemudian menghadirkan berbagai fungsi dan peran-peran sosial antar sesama. Hal itu tergambar pada pembagian tugas serta terbangunnya kesadaran-toleransi terhadap keberadaan hak dan kewajiban antar sesama penghuni Huntara. Kehadiran pemimpin (ketua RT) sebagai orang yang disegani dan didengar menjadi faktor pendukung terlaksananya keteraturan di tempat tinggal, Huntara. Pada aspek kelembagaan ekonomi, pengorganisasian sosial yang tercipta adalah terjaganya hubungan kerja antar patron (pemilik lahan garapan) dengan client-nya (buruh tani) meskipun si client mulai membangun hubungan kerja terhadap patron lain (bos tumbuk). Kerusakan yang ditimbulkan oleh gejala longsor di lahan garapan membuat para client harus mencari alternatif nafkah selain menjadi buruh tani. Keputusan para buruh tani juga menjadi jalan tengah bagi para pemilik lahan garapan mengingat produktivitas lahan garapan mereka telah menurun. Salah satu mekanisme yang diterapkan oleh para client yang berperan ganda sebagai buruh tani dan buruh tumbuk adalah alokasi waktu dalam bekerja. Meskipun aturan pembagian waktu tidaklah baku namun menjadi penting untuk tetap menjaga hubungan kerja terhadap 2 (dua) patron.
134
Pada aspek organisasi sosial, fokus pengorganisasian lebih mengarah pada upaya penanganan bencana yakni penyaluran bantuan serta peringatan dini (tanggap bencana). Pembagian peran antara aparat desa dengan ketua RT dan warganya merupakan bentuk organisasi yang meskipun sederhana namun efektif membantu masyarakat dalam menghadapi bencana. Mengacu pada teori Steward yang mengemukakan cultural ecology, maka bentuk-bentuk pengorganisasian sosial pada aspek inti (core) masyarakat di Sirnagalih merupakan bentuk kelembagaan lokal yang hadir untuk mendukung terciptanya keteraturan sosial dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya. Kelembagaan lokal berupa kehadiran tata-aturan yakni norma/pranata sosial serta bentuk-bentuk pengorganisasian sosial merupakan dua sisi yang akan saling melengkapi satu sama lainnya dan akan menjadi pondasi ketahanan masyarakat Sirnagalih dalam menghadapi ancaman longsor di masa mendatang.
135
BAB IX PENUTUP 9.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian pada daerah rawan longsor yang terdapat di Desa Sukaraksa, tepatnya di Kampung Sirnagalih maka diketahui bahwa telah terjadi perubahan lingkungan secara drastis yang membawa dampak pada perubahan sosio-ekologi. Dalam perubahan-perubahan tersebut, kajian ini menemukan beberapa fakta sosial sebagai berikut : a.
Dalam rentang waktu 4 tahun (tahun 2009 sampai tahun 2012), gejala pergerakan tanah (longsor) telah terjadi. Pada akhir tahun 2011 peristiwa longsor membawa kerugian akibat kerusakan lingkungan, berupa tanah retak dan tanah amblas hingga merusak lahan garapan petani bahkan meruntuhkan pemukiman. Dampak dari kerusakan menyebabkan berbagai perubahan sosio-ekologis mulai dari perubahan pola dan gaya hidup, perubahan pola bercocok tanam, hingga perubahan pada strukutur nafkah. Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan bentuk adaptasi terhadap lingkungan yang semakin hari terus mengalami penurunan kualitas.
b.
Peristiwa longsor yang menimbulkan kerugian telah merubah cara pandang warga terhadap lingkungan mereka. Persepsi warga terhadap lingkungan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya tentang pengetahuan warga dalam memaknai perubahan alam dan kedekatan terhadap sumberdaya alam. Persepsi atau cara pandang warga terhadap lingkungan merupakan titik awal lahirnya tindakan adaptasi/adjusment. Selain itu, persepsi terhadap kepercayaan-kemampuan diri (self efficacy) untuk bertahan juga menjadi unsur penting yang mendorong warga untuk melakukan berbagai perubahan-penyesuaian (adaptasi).
c.
Bentuk-bentuk adaptasi sosio-ekologi terlihat jelas dalam setiap perubahan pada empat unsur inti (core) kehidupan masyarakat Sirnagalih, yakni (1) teknologi mencakup teknik pemanfaatan dan pengelolaan lahan serta adopsi bantuan berupa tempat pengungsian (hunian sementara), (2) perubahan populasi mencakup perubahan kependudukan mulai dari pola pemukiman, pola dan gaya hidup serta arus migrasi, (3) perubahan kelembagaan ekonomi terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup
136
harian, mencakup perubahan pola distribusi, pola makan, struktur nafkah dan relasi ekonomi, serta (4) organisasi sosial-politik berupa kelembagaan Tanggap Bencana (Tagana) serta penambahan peran dan fungsi sosial lainnya dalam hal mitigasi bencana. d.
Bentuk-bentuk adaptasi masyarakat di Sirnagalih membutuhkan penataan kembali atas berbagai perubahan sosio-ekologi. Perubahan dalam empat unsur inti (core) kehidupan masyarakat Sirnagalih telah melahirkan dan mempertahankan beberapa tatanan pranata yang telah ada. Kelembagaan lokal berupa kebiasaaan (folkways), tata-perilaku (mores) dan adat (custom) hadir dengan fungsinya untuk mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hak kepemilikan property (public & private) masyarakat Sirnagalih.
9.2 Saran a.
Perlu kajian lanjutan yang menggali tentang potensi konflik akibat pergeseran tata batas lahan pada tanah warga yang mengalami keretakan tanah serta upaya untuk penanganan konflik agraria.
b.
Perlu kajian lanjutan untuk membuktikan eksistensi komunitas rawan longsor pada ruang waktu yang lebih lama sehingga terukur dengan jelas seberapa kuat bentuk adaptasi dapat terwujud sebagai pola adaptasi.
c.
Dalam rangka menjaga tingkat survival komunitas rawan longsor maka penting melakukan peningkatan kapasitas warga untuk membangun jaringan kerjasama dan informasi terhadap pihak luar khususnya lembaga, instansi yang bergerak di bidang terkait.
137
DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo. 2010. Ekologi Manusia. Ragam Pendekatan Studi Ekologi Manusia. Bahan Ajar. Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor. Bogor: Tidak Diterbitkan. Alland A.Jr. 1975. Adaptation. Annual Review of Anthropology 4 (59-73). New York. Andjasmaja MS. 1994. Strategi Penanggulangan Bencana di Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Bantuan Sosial-Departemen Sosial. Disampaikan pada Simposium nasional mitigasi Bencana Alam di UGM 16-17 September. Yogyakarta: Tidak Diterbitkan. Baland J, Plateau J. 1996. Halting Degradation Of Natural Resources: Is There A Role For Rural Communities? A Meta-study From Community Forests Throughout The World. Society and Natural Resources. Baron RA, Byrne D. 2003. Psikologi Sosial. Jilid 1. Edisi 10. Jakarta: Erlangga. Beck U. 2000. Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research Programmes in J. Van Loon (ed). The Risk Society and Beyond Critical Issues for Social Theory. London: Sage. Bell PA, Greene TC, Fisher JD, & Baum A. 2001. Environmental Psychology (5Th Edition). California: Wadsworth Thomson Learning, Inc. Bennet JW. 1976. The Ecological Transition: Cultural Anthropology and Human Adaptation. New York: Pergamon Press Inc. [BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2007. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Jakarta. [BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum Ciliwung-Kemenhut. 2008. Laporan Pengelolaan DAS Terpadu DAS Ciliwung. Bogor: Tidak Diterbitkan. [BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum Ciliwung-Kemenhut. 2010. Laporan Hasil Monev Daerah Rawan Bencana. Bogor: Tidak Diterbitkan. Donie S. 2006. Masyarakat yang Tinggal di Daerah Rawan Longsor: Interpretasi Penyebab dan Strategi Adaptasi (Kasus di Desa Purwoharjo, Kec.Samigaluh, Kulonprogo, Yogyakarta). Tesis Program Master Jurusan Ilmu-ilmu Sosial, Sosiologi Pembangunan Masyarakat Desa Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada: Tidak diterbitkan. Geertz C. 1983. Two Types of Ecosystems. In his Agricultural Involution: The Processes og Ecological Change In Indonesia. Barkeley CA: University of California Press.
138
Geertz C. 2003. Pengetahuan Lokal: Esai-Esai Lanjutan Antropologi Interpretatif. Yogyakarta. Ghate R, Nagendra H. 2005. Role of monitoring in institutional performance: Forest management in Maharashtra, India. Conservation and Society Vol 3. No. 21. USA. Hadad I. 2010. Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban. Prisma. Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi. Jakarta: LP3ES. Hall, Gordon CN, Barongan, Christy. (2002). Multicultural Psychology. New Jarsey: Person Education.Inc. Harris M. 1968. The Rise of Anthropological Theory. New York: Thomas Y.Crowell. Hariyanto, Erni S. 2009. Prefensi Permukiman dan Antisipasi Penduduk yang Tinggal Di Daerah Rawan Longsor Di Kota Semarang. Jurnal Geografi. Volume 6 No. 2. FIS. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Hayami Y, Kikuchi M. 1987. Dilema Ekonomi Desa Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubaan Kelembagaan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hendrarso ES. 2008. Penelitian Kualitatif Sebuah Pengantar. Di dalam: Suyanto B dan Sutinah, editor. Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan. Edisi pertama Cetakan keempat. Jakarta: Prenada Media Group. Irawan P. 2007. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Cetakan Kedua. Departemen Ilmu Administrasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Iskandar J. 2009. Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Bandung: Universitas Padjajaran. Kahn LH, Barondess JA. 2008. Preparing for Disaster. Response Matrices in The USA and UK. Journal of Urban HealTahun Bulletin of the New York Academy of Medicine. Vol.85. No 6. USA: New York Academy of Medicine. Keraf S. 2010. Etika & Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas. Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Mantra IB. 2009. Demografi Umum. Edisi Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Marfai MA, Khasanah TJ. 2012. Kerawanan dan Kemampuan Adaptasi Masyarakat Pesisir Terhadap Bahaya Banjir Genangan dan Tsunami. Integrasi Kajian Kebencanaan dan Sosial-Budaya dalam Konstruksi Masyarakat Tangguh Bencana. Bandung: MizanMU.
139
Marsella, Anthony J, Johnson JL, Watson P, Gryczynski J. 2008. Ethnocutural Perspective on Disaster and Trauma. Foundation, Issues, and Appilcations. New York: Springer. Moran EF. 1982. Human Adaptability. An Introduction to Ecoloical Anthropology. Colorado: Westview Press.Inc. Mukhlis T, Teuku FF, Sudarno. 2008. Perencanaan Sistem Peringatan Dini Bencana Tanah Longsor di Dusun Lucu Palongan Desa Campoan Kecamatan Mandingan Kab. Situbondo Jawa Timur. Jurnal Forum Teknik Sipil No. XVIII/3-September. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Murray G, Neis B, Jhonsen JP. 2006. Lesson Learned from Reconstructing Interactions Between Local Ecological Knowledge, Fisheries Science, and Fisheries Management in the Commercial Fisheries of Newfoundland and Labrador, Canada. Human Ecology Vol. 34 No. 2. USA Nazir M. 2009. Metode Penelitian. Cetakan ke-7. Bogor: Ghalia Indonesia. Nugraha E. 2010. Tanggap Bencana Alam. Tanah Longsor. Bandung: Angkasa Bandung. Ostrom E. 1990. Governing the Common: The Evolution of Institutions for Collective Action. New York: Cambridge University Press. Parlindungan RR, Teuku FF, Dwikorita K. 2008. Mitigasi Bencana Berbasis Masyarakat pada Daerah Rawan Longsor di Desa Kalitlaga, Kecamatan Pagetan, Kab. Banjarnegara Jawa Tengah. Jurnal Forum Teknik Sipil No. XVIII/3-September. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Polanyi K, Arensberg C, Pearson H. 1971. Trade and Market in The Early Empires. Economic in History and Theory. Chicago: Henry Regnery Comp. Rambo AT. 1981. Conceptual Approaches to Human Ecology. A Soucebook on Alternative Paradigms for The Study of Human Interactions with The Environment. Hawaii:East-West Environment and Policy Institute. Sarwono WS. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo Widiasarana Indonesia. Schmidt A. 1987. Propety, Power and an Inquiry Into Law and Economic. New York: Preeger. Schiller, Jim, Lucas A, Sulistiyanto P. 2008. Learning form the East Java Mudflow. Disaster Politics in Indonesia. Jurnal Indonesia. Vol. 85. Jakarta. Scot, Richard W. 2008, Institutions and Organizations, Idea and Interest. Los Angeles: Sage Publications. Sigel JM, Shoaf KI, Afifi AA, Bourque LB. 2003. Surviving Two Disasters. Does Reaction to The First Predict Response to The Second? Environment and Behavior. Vol.35. No.5. New York.
140
Sitorus MT, Felix. 1998. Penelitian Kualitatif. Suatu Pengenalan. Diterbitkan oleh Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial IPB. Bogor. Soekanto S. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Susilo RKD. 2008. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Steward J. 1968. Cultural Ecology. In International Encyclopedia of the Social Science 4 New York: Mac Millan. Sudibyakto, Retnowati A, Suryanti ED, Hisbaron D. 2012. Menuju Masyarakat Tangguh Bencana. Tinjauan dari Fenomena Multi-bencana di Indonesia dalam Konstruksi Masyarakat Tangguh Bencana. Bandung: MizanMU. Sylviani. 2005. Kajian Sistem Penguasaan dan Pemanfaatan Lahan Adat. Makassar: Universitas Hasanuddin. Taneko SB. 1984. Struktur dan Proses Sosial. Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. Jakarta: CV Rajawali. Tonny F. 2004. Perspektif Kelembagaan dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citanduy. Studi Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pemerintahan Sumberdaya Alam. Bogor: Pusat Studi Pembangunan-IPB. Twigg J. 2007. Charasterictic of a Disaster-Resilient Community. DFID Disaster Risk Reduction Interagency Coordination Group. Uphoff NT. 1986. Local Institutional Development. An Analytical Sourcebook with Cases. For The Rural Development Committee. USA: Kumarian Press. Usman S. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Utami, Nuryani HU, Maas, Darmanto, dkk. 2010. Daya Dukung Lahan Kawasan Lereng Merapi untuk Pertanian dan Peternakan Pasca Erupsi. Laporan Hibah Merapi. Yogyakarta: Pusat Studi SDL UGM. www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8844/ www.esdm.go.id/batubara/doc/489-pengenalan-gerakan-tanah.html). Zamroni MI. 2011. Islam dan Kearifan Lokal Dalam Penanggulangan Bencana di Jawa. Jurnal Penanggulangan Bencana Vol.2 No.1. Jakarta: BNPB.
143 Lampiran 1. Identitas Responden pada Desa Sukaraksa-Kampung Sirnagalih No.
Nama Responden
Jenis Kelamin
Status
Umur (th)
Pendidikan Terakhir
Pekerjaan Pokok
Pekerjaan Sampingan
Lahan Garapan Jenis
Luas (Ha)
1.
Dirman
Laki-Laki
Suami / KRT
40
SD
Bertani
Beternak
Sawah, Kebun
0,25
2.
Inan
Laki-Laki
Suami / KRT
37
SD
Bertani
-
Sawah, Kebun
0.50
3.
Sai’
Laki-Laki
Suami / KRT
52
SD
Bertani
Beternak
Sawah, Kebun
0.50
4.
Anim
Laki-Laki
Suami / KRT
45
SD
Bertani
Beternak
Sawah, Kebun
0,25
5.
Sukanta
Laki-Laki
Suami / KRT
52
SD
Bertani
Beternak
Sawah
0,20
6.
Wendi
Laki-Laki
Suami / KRT
28
SD
Kuli Bangunan
Tk.Ojek
-
-
7.
Ardi
Laki-Laki
Suami / KRT
46
SD
Bertani
-
Sawah
0.20
8.
Bohari
Laki-Laki
Suami / KRT
37
SD
Bertani
Beternak
Sawah, Kebun
0,50
9.
Amin
Laki-Laki
Suami / KRT
42
SD
Bertani
-
Sawah
0,25
10.
Agung
Laki-Laki
Suami / KRT
26
SD
Tk. Ojek
Buruh Tumbuk
-
-
11.
Restu
Laki-Laki
Suami / KRT
60
SD
Bertani
Buruh Tumbuk
-
-
12.
Rustam
Laki-Laki
Suami / KRT
51
SD
Bertani
-
-
-
13.
Bagas
Laki-Laki
Suami / KRT
30
SD
Tk. Ojek
Kuli Bangunan
-
-
14.
Marnata
Laki-Laki
Suami / KRT
51
SD
Bertani
-
Sawah, Kebun
0,50
15.
Mattoha
Laki-Laki
Suami / KRT
48
SD
Bertani
Beternak
Sawah, Kebun
0,50
16.
Aruna
Laki-Laki
Suami / KRT
35
SD
Bertani
-
-
-
17.
Rasalim
Laki-Laki
Suami / KRT
35
SD
Bertani
Buruh Tumbuk
-
-
18.
Budi
Laki-Laki
Suami / KRT
37
SD
Bertani
Beternak
-
-
19.
Diman
Laki-Laki
Suami / KRT
40
SD
Bertani
-
-
-
20.
Karmin
Laki-Laki
Suami / KRT
36
SD
Bertani
Kuli bangunan
-
-
21.
Sutisna
Laki-Laki
Suami / KRT
31
SD
Kuli bangunan
Buruh Tumbuk
-
-
22.
Udin
Perempuan
Janda / KRT
49
SD
Bertani
-
Kebun
0,50
23.
Pendi
Laki-Laki
Suami / KRT
42
SD
Bertani
Beternak
Sawah, Kebun
0,25
24.
Misnan
Laki-Laki
Suami / KRT
50
SD
Bertani
-
Sawah
0,15
25.
Tarna
Laki-Laki
Suami / KRT
27
SD
Tk. Ojek
-
-
-
26.
Ade
Laki-Laki
Suami / KRT
54
SD
Bertani
Beternak
Sawah
0,25
27.
Salim
Laki-Laki
Suami / KRT
36
SD
Bertani
Beternak
Sawah
0,25
28.
Ruslam
Laki-Laki
Suami / KRT
42
SD
Bertani
Kuli bangunan
-
-
29.
Jimro
Laki-Laki
Suami / KRT
53
SD
Bertani
-
Sawah
0,25
30.
Yati
Perempuan
Janda / KRT
47
SD
Dagang
-
-
-
31.
Asep
Laki-Laki
Suami / KRT
40
SD
Bertani
Buruh tumbuk
-
-
32.
Udin
Laki-Laki
Suami / KRT
37
SD
Bertani
Beternak
-
-
33.
Adun
Laki-Laki
Suami / KRT
52
SD
Bertani
Beternak
Sawah
0,25
34.
Ujang
Laki-Laki
Suami / KRT
55
SD
Bertani
-
Sawah
0,25
35.
Rahmat
Laki-Laki
Suami / KRT
58
SD
Dagang
Bertani
Sawah, Kebun
0,75
36.
Asep
Laki-Laki
Suami / KRT
59
SD
Bertani
-
Sawah, Kebun
0,50
37.
Uus
Laki-Laki
Suami / KRT
31
SD
Tk. Ojek
-
-
-
38.
Karna
Laki-Laki
Suami / KRT
30
SD
Buruh serabutan
-
-
-
39.
Miftoha
Laki-Laki
Suami / KRT
49
SD
Dagang
Bertani
Kebun
0,75
144
No.
Nama Responden
Jenis Kelamin
Lahan Garapan
Status
Umur (th)
Pendidikan Terakhir
Pekerjaan Pokok
Pekerjaan Sampingan
Jenis
Luas (Ha)
40.
Parmin
Laki-Laki
Suami / KRT
53
SD
Bertani
Buruh tumbuk
-
41.
Restu
Laki-Laki
Suami / KRT
37
SD
Bertani
Kuli bangunan
-
-
42.
Hambali
Laki-Laki
Suami / KRT
41
SD
Wirausaha
-
-
-
43.
Taufan
Laki-Laki
Suami / KRT
42
SD
Beternak
Kuli serabutan
-
-
44.
Jimra
Laki-Laki
Suami / KRT
51
SD
Bertani
-
Kebun
0,75
45.
Harman
Laki-Laki
Suami / KRT
33
SD
Beternak
Kuli serabutan
-
-
46.
Wawan
Laki-Laki
Suami / KRT
35
SD
Dagang
-
-
-
47.
Basir
Laki-Laki
Suami / KRT
45
SD
Bertani
-
Sawah, Kebun
0,75
48.
Bahri
Laki-Laki
Suami / KRT
40
SD
Wirausaha
-
-
-
49.
Masna
Laki-Laki
Suami / KRT
43
SD
Wirausaha
Beternak
-
-
50.
Tatang
Laki-Laki
Suami / KRT
50
SD
Bertani
Beternak
Sawah
0,50
51.
Parmin
Laki-Laki
Suami / KRT
31
SD
Dagang
-
-
-
52.
Anton
Laki-Laki
Suami / KRT
34
SD
Ternak
Kuli serabutan
-
-
53.
Rudi
Laki-Laki
Suami / KRT
28
SD
Tk.Ojek
-
-
-
54.
Alo’
Laki-Laki
Suami / KRT
50
SD
Bertani
Beternak
Sawah, Kebun
0,50
55.
Hasari
Laki-Laki
Suami / KRT
30
SD
Tk. Ojek
Kuli serabutan
-
-
Jumlah Rata2 Keterangan: KRT = Kepala Rumah Tangga
-
11,50 3,6
145 Lampiran 2. Hasil Pengolahan dan Tabulasi Data Kuantiatif
KODE No. Responden
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
JUMLAH
a 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 55
A. Persepsi Lingkungan (Penyebab, Dampak dan Kondisi Lingkungan) 2 1 a b c d e a b b c a b a b a b a b a b a b a b 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 50
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 55
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 55
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 55
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 55
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 41
0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 14
1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 44
0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 11
3 c
d
e
a 0 0 1
b 1 1 0
a 0 0 0
b 1 1 1
a 0 0 0
b 1 1 1
0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 10
1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 45
0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 54
0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 14
1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 1 41
146
(Lanjutan 1) A. Persepsi Lingkungan (Penyebab, Dampak dan Kondisi Lingkungan) 3 5 4 KODE f a b c d a a b a b c a b a b a b a b a b No. 1 1 0 0 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 Responden 2 0 1 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 3 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 JUMLAH
1 0 0 1 0 1 0 1 1 0 1 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 1 25
0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 0 30
1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0 1 1 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 28
0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 14
0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 13
1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 52
0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3
1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 52
0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3
1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 52
0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3
1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 52
0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3
1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 39
0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 16
6 b
c
d
a 0 1 0
b 1 0 1
a 0 0 1
b 1 1 0
a 1 1 0
b 0 0 1
1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 38
0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0
0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 14
1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 41
1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 39
0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 16
0 0 0 17
147 (Lanjutan 3) A. Persepsi Lingkungan (Penyebab, Dampak dan Kondisi Lingkungan) 9
KODE No. Responden
JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
a 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 51
b 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4
10 c 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
a 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 0 1 1 1 1 44
b 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 11
c 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
148
b
a
B. Penyebab Warga Masih Bertahan 1 b c d e b c a b a b a b a
1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 1 0 24
0 1 0 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0 1 1 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 31
1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 1 0 24
a KODE No. Responden
JUMLAH
a 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
0 1 0 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0 1 1 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 31
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 53
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 15
0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 40
1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 52
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3
1 0 1 1 0 0 1 0 1 0 1 1 0 1 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 22
f
g
2
3
4
b
a
b
a
b
a
b
a
b
0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 33
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 7
1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 48
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 55
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 55
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 55
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
149 C. Persepsi Diri tentang Kemampuan Bertahan & Mencegah Longsor 5 1 a
b
a
b
a
b
a
4 b
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 55
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 47
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 8
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 53
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 55
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
KODE No. Responden
JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
2
3
a
b
c
d
c
a
b
a
b
a
b
a
b
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 55
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 33
0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 22
1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 35
0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 20
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 0 1 1 1 0 44
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 0 1 11
150
(lanjutan) C. Persepsi Diri tentang Kemampuan Bertahan & Mencegah Longosr KODE No. Responden
JUMLAH
6 b
a 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
a 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 48
b 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 6
a 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 37
7 c b 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 1 1 0 0 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 18
a 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 55
a b 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
a 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 55
b b 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
a 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 37
c b 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 1 1 0 0 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 18
a 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 52
d b 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 3
a 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 51
e b 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 4
a 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 33
f b 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 22
a 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 54
b 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1