Media Briefing 1/2015
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.....” Potret Hukuman Mati dalam Peradilan Pidana (Studi atas 42 Putusan Pengadilan)
Jakarta, April 2015
Disusun oleh Supriyadi W. Eddyono Senior Researcher Associate Erasmus A.T. Napitupulu Researcher Associate Yonatan Iskandar Chandra Junior Researcher Associte Lisensi Hak Cipta
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License. Diterbitkan oleh: Institute for Criminal Justice Reform Jl. Cempaka No 4, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 12530 Phone/Fax (62-21) 7810265 icjr.or.id | @icjrid |
[email protected]
2
Daftar Isi Bab I Pendahuluan .................................................................................................................................... 4 Tujuan Penelitian ............................................................................................................................. 6 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................................................. 6 Metode Penelitian ........................................................................................................................... 6 Bab II Potret Umum Putusan Pengadilan dalam Pidana Mati ................................................................... 7 Gambaran Umum Identitas Terpidana Mati .................................................................................... 7 Gambaran Umum Putusan Pengadilan ............................................................................................ 11 Bab III Potret Khusus Putusan Pidana Mati ................................................................................................ 17 Penyiksaan/Intimidasi ...................................................................................................................... 17 Akses terhadap Bantuan Hukum/Advokat....................................................................................... 19 Penggunaan “Saksi Mahkota”: Pelanggaran Prinsip Non Self Incrimination ................................... 20 Pengakuan Terdakwa ....................................................................................................................... 21 Penggunaan Saksi Penyidik (Verbalisan): Melanggengkan Kekerasan dalam Praktek Penyidikan Pidana ............................................................................................................... 22 Terpidana Mati: Anak dan Remaja................................................................................................... 23 Ketimpangan Pembuktian................................................................................................................ 24 Pelaku Utama Yang (Tak Pernah) Dijerat ......................................................................................... 24 Inkonsistensi Mahkamah Agung dan Masalah Peninjauan Kembali (PK) ........................................ 25 Administrasi Peradilan ..................................................................................................................... 29 Bab IV Simpulan dan Rekomendasi ............................................................................................................. 33 Simpulan .......................................................................................................................................... 33 Rekomendasi.................................................................................................................................... 33 Lampiran
3
Bab I Pendahuluan Perdebatan mengenai hukuman mati di Indonesia memasuki babak baru setelah Presiden Joko Widodo menginstruksikan Jaksa Agung untuk melakukan eksekusi terhadap enam terpidana mati pada 18 Januari 2015.1 Persoalan makin meruncing setelah Presiden Joko Widodo tidak mengindahkan kecaman dari dunia internasional, setelah Presiden Joko Widodo kemudian menginstruksikan Jaksa Agung untuk melakukan eksekusi terpidana mati gelombang ke-dua. Eksekusi mati ini didasarkan atas jargon bahwa Indonesia sebagai negara darurat narkotika dan kesebelas orang terpidana mati yang keseluruhannya terlibat kasus narkotika bersiap untuk diseksekusi.2 Sebelumnya, atas dasar percepatan eksekusi hukuman mati, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran yang kontroversial karena bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). MK melalui putusan No. 34/PUU-XI/2013, telah menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP, yang menguraikan permintaan Peninjauan Kembali (PK) hanya dapat dilakukan satu kali saja, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Konsekuensi dari putusan ini, terpidana dapat mengajukan permohonan kembali lebih dari satu kali sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur. MK menilai bahwa PK merupakan pengejewantahan hakikat proses peradilan perkara pidana yang pembuktiannya harus meyakinkan Hakim mengenai kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau kebenaran materil, yaitu kebenaran yang di dalamnya tidak terdapat keraguan. Dalam mencapai kebenaran materil ini, tidak seharusnya ketentuan yang bersifat formalitas membatasi upaya terpidana dan hakim untuk mencari kebenaran materil. MA pada akhir 2014 kemudian mengeluarkan SEMA No. 7 tahun 2014 (SEMA 7/2014) yang pada intinya menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali atas dasar ditemukannya bukti baru hanya dapat diajukan satu kali, sedangkan permohonan peninjauan kembali dengan dasar adanya pertentangan putusan dapat diajukan lebih dari satu kali. Keputusan MA mengeluarkan SEMA disinyalir atas intervensi dari Jaksa Agung dan Menkumham yang menyatakan bahwa PK lebih dari satu kali akan mengganggu eksekusi hukuman mati.3 Oleh MK, keputusan MA tersebut dianggap menciderai konsepsi negara hukum dan pembangkangan terhadap Konstitusi.4 Problem peradilan pidana di Indonesia memang menjadi isu khusus, beberapa laporan lembaga nonpemerintah menunjukkan bahwa problem peradilan pidana di indonesia cukup memprihatinkan.5 Angka penyiksaan dan kekerasan oleh aparat dalam proses peradilan berbanding lurus dengan angka 1
Enam terpidana mati telah dieksekusi di Nusakambangan dan Boyolali, Diakses pada http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/01/150117_eksekusi_narkoba 2 Persiapan Eksekusi Mati Gelombang Kedua Telah Final, Diakses pada http://nasional.news.viva.co.id/news/read/611054-persiapan-eksekusi-mati-gelombang-kedua-telah-final 3 Bahas PK Lebih dari Sekali, Menkum HAM Undang Pakar, Diakses pada http://www.jawapos.com/baca/artikel/11252/Bahas-PK-Lebih-dari-Sekali-Menkum-HAM-Undang-Pakar 4 MK Nilai MA Langgar Konsepsi Negara Hukum, Diakses pada http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54aaac4f8e2fb/mk-nilai-ma-langgar-konsepsi-negara-hukum 5 ICJR, Laporan Situasi Reformasi Hukum di Sektor Pidana: “Catatan di 2014 dan Rekomendasi di 2015”, Diakses pada http://icjr.or.id/laporan-situasi-reformasi-hukum-di-sektor-pidana-catatan-di-2014-dan-rekomendasi-di2015/
4
pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan oleh masyarakat.6 Beberapa kali MA, dalam putusannya, menyatakan bahwa telah terjadi rekayasa kasus yang dilakukan oleh kepolisian. Tidak hanya kepolisian yang “disindir”, dalam beberapa putusannya, MA mengatakan bahwa Jaksa sering tidak mendakwa seseorang sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya hanya atas dasar agar terdakwa dijatuhi pidana yang berat.7 Masalah fair trial menjadi hal yang belum terjawab dalam peradilan pidana di Indonesia, setidaknya sejauh ini fakta bahwa minimnya pengawasan terhadap kewenangan aparat penegak hukum terlihat jelas dalam regulasi yang ada di Indonesia. Termasuk dalam KUHAP yang hanya menyisahkan Praperadilan sebagai lembaga komplain dan kontrol horizontal terhadap kewenangan aparat penegak hukum dalam fase penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.8 Sementara problem fair trial masih jadi tanda tanya di Indonesia, pada “High-Level Panel Discussion on the Question of the Death Penalty: Regional Efforts Aiming at the Abolition of the Death Penalty and Challenges Faced in that Regard” dalam Sidang Dewan HAM PBB Sesi ke-28 yang dilaksanakan pada tanggal 4 Maret 2015, di Markas Besar PBB Jenewa, Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa menyatakan bahwa seluruh putusan pidana mati di Indonesia telah sesuai dengan prinsip Fair Trial. Argumen yang dinyatakan oleh RTRI di Jenewa tersebut ditujukan untuk menjawab desakan dan kritikan dari dunia internasional terhadap sikap Indonesia yang kukuh melanjutkan serangkaian eksekusi mati terhadap terpidana mati di Indonesia. Berdasarkan Pasal 6 ayat 2 jo. Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (Kovenan Sipol), di negara yang masih menerapkan hukuman mati, maka jaminan atas prinsip fair trial menjadi mutlak diberlakukan. Semua hak yang melekat pada terdakwa dalam proses peradilannya harus diberikan dan dijamin tanpa ada celah sedikitpun.9 Fair trial menjadi alat uji yang harus dilekatkan pada praktik peradilan dimana seseorang dituntut dengan hukuman mati. Persoalan penerapan fair tria terjadi hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Berdasarkan Laporan Amnesty International, Indonesia masuk ke dalam beberapa negara yang masih belum menerapkan prinsip fair trial untuk menjamin hak-hak terpidana mati serta ketentuan internasional lainnya.10 Tak lama setelah PTRI mengumumkan bahwa fair trial terhadap seluruh terpidana mati telah dilakukan, negara ini seakan tertampar dengan temuan atas putusan pidana yang dijatuhkan pada anak atas nama Yusman Telambanua. Tidak hanya atas dasar dirinya seorang anak, kejanggalan kasus Yusman dan kakak iparnya Rasulah Hia yang juga terpidana mati, menyeruak ke publik. 6
Polisi paling banyak diadukan ke Komnas HAM, Diakses pada http://beritagar.com/p/polisi-paling-banyakdiadukan-ke-komnas-ham-18326 dan Kontras: Aparat Masih Gunakan Metode Penyiksaan, Diakses pada http://m.tribunnews.com/nasional/2014/01/12/kontras-aparat-masih-gunakan-metode-penyiksaan 7 ICJR: Problem Pasal 111 dan 112 UU Narkotika terhadap Pengguna narkotika, Harus Menjadi Perhatian Serius, Diakses pada http://icjr.or.id/icjr-problem-pasal-111-dan-112-uu-narkotika-terhadap-penggunanarkotika-harus-menjadi-perhatian-serius/ 8 Institusi Praperadilan sudah layak dimusiumkan, Diakses pada http://icjr.or.id/institusi-praperadilan-sudahlayak-dimusiumkan/ 9 Mufti Makarim, Beberapa Pandangan Tentang Hukuman Mati (Death Penalty) Dan Relevansinya Dengan Perdebatan Hukum Di Indonesia, Elsam, Diakses pada http://referensi.elsam.or.id/wpcontent/uploads/2014/12/BEBERAPA-PANDANGAN-TENTANG-HUKUMAN-MATI-DEATH-PENALTY-DANRELEVANSINYA-DENGAN-PERDEBATAN-HUKUM-DI-INDONESIA.pdf 10 Amnesty International, Death Sentences And Executions 2014, Diakses pada https://www.amnesty.org/en/documents/act50/0001/2015/en/
5
Yusman dan Rasulah Hia terindikasi disiksa oleh oknum penyidik dan kasusnya diduga direkayasa, Yusman dan Rasulah Hia juga tidak mendapatkan bantuan hukum dan advokat yang layak. Penasihat Hukum kedunya malah meminta agar Pengadilan menjatuhkan pidana mati terhadap mereka.11 Kasus Yusman dan Rasulah Hia bisa jadi hanya awal dari masalah fair trial lainnya yang belum terungkap di Indonesia. Standar penjatuhan pidana mati yang telah diatur secara internasional berdasarkan standar HAM kini jadi tantangan serius bagi Indonesia. Atas dasar tersebut, ICJR berinisatif untuk melakukan kajian terhadap beberapa putusan hukuman mati guna melihat sejauh mana prinsip fair trial diperhatikan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat sejauh mana prinsip fair trial diperhatikan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, khususnya terhadap seorang yang diancam dengan pidana mati. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi bahan dasar untuk advokasi dan kerja-kerja reformasi sistem peradilan pidana dan hukum pidana di Indonesia. Ruang Lingkup Penelitian Lingkup bahasan dalam penelitian ini secara garis besar adalah memberikan gambaran situasi penerapan prinsip fair trial dalam peradilan terhadap seseorang yang diancam dan dijatuhi hukuman mati. Gambaran tersebut didapatkan dengan menguraikan, memberikan kritik, dan menguji ketentuan normatif terhadap data faktual yang direpresentasikan oleh putusan pengadilan. Selain itu, turut dipotret pelaksanaan suatu peradilan pidana secara utuh terhadap terpidana mati. Terutama dengan memberikan penekanan pada beberapa aspek dan isu tertentu. Metode Penelitian Penelitian ini menjadikan putusan pengadilan menjadi dasar analisis. Putusan yang akan dikaji merupakan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pembacaan dilakukan terhadap 42 (Empat puluh dua) putusan yang dijadikan bahan analisis pada penelitian ini. Berdasarkan putusan tersebut setidaknya diasumsikan dapat memberikan gambaran umum mengenai potret situasi fair trial bagi terpidana mati dalam putusan pengadilan. Pemilahan terhadap putusan tersebut dilakukan secara ketat dengan kriteria bahwa putusan adalah putusan yang terdakwanya dijatuhi pidana mati baik di tingkatan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung. Hasil dari analisis putusan ini dirumuskan dalam model persentase dan rata-rata serta dimuat dalam bentuk grafik. Turut juga diberikan interpretasi mengenai hasil analisis putusan tersebut.
11
KontraS nilai kasus vonis mati Yusman penuh rekayasa, diakses http://www.merdeka.com/peristiwa/kontras-nilai-kasus-vonis-mati-yusman-penuh-rekayasa.html
6
pada
Bab II Potret Umum Putusan Pengadilan dalam Pidana Mati 1. Gambaran Umum Identitas Terpidana Mati 1.1. Usia Jika dilihat dari rata-rata usia dalam putusan, diketahui bahwa rata-rata usia tertinggi yang dikenai pidana mati adalah usia produktif yakni usia 21-30 tahun dengan jumlah 20 orang. Setalah itu disusul dengan rata-rata usia 31-40 tahun dengan jumlah 17 orang. Terdapat juga usia yang masih tergolong usia remaja yang dikenakan pidana mati, yakni 3 orang yang masih berusia rata-rata 18-20 tahun.
RATA-RATA USIA 25 20 20 17 15
10
5
3
3
3 0
0 18-20 tahun 21-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun >60 tahun
7
1.2. Kebangsaan Dari latar belakang kebangsaan para terpidana mati, didominasi oleh Warga Negara Indonesia (WNI) dengan jumlah 30 terpidana mati, sedangkan Warga Negara Asing (WNA) berjumlah 13 terpidana mati. Dari 13 terpidana mati WNA ini terdiri dari beberapa negara diantaranya Australia (2), Nigeria (3), Sierra Leone, Sinegal, Pakistan, India, Inggris, Zimbage, Belanda dan Philipina. Dengan demikian, lebih dari 70% terpidana mati yang dijatuhi hukuman mati adalah WNI.
Kebangsaan 35
33
30 25 20 15 10 5
2
3
1
1
1
1
0
Kebangsaan WNA 28,26%
WNI 71,74 %
8
1
1
1
1
Namun jika dilihat secara jenis perkara, untuk perkara Narkotika didominasi oleh WNA yakni sebanyak 60%. Sedangkan untuk Perkara Pembunuhan Berencana secara keseluruhan dilakukan oleh WNI.
Kebangsaan (Tindak Pidana Narkotika) WNI 40 %
WNA 60 % 1.3. Jenis Kelamin
Kemudian jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, Jenis kelamin Laki-Laki mendominasi dengan prosentasi lebih dari 80%.
JENIS KELAMIN Perempuan 13,04 %
Laki - Laki 86,96 %
30 24
25 20
16
15
Laki-Laki
10
Perempuan
5
4
2
0 Tindak Pidana Narkotika
Tindak Pidana Pembunuhan Berencana
9
Jika dilihat dari jenis tindak pidana, Laki-laki tetap mendominasi dengan angka 16 untuk tindak pidana narkotika dan 24 untuk tindak pidana pembunuhan berencana. Sedangkan wanita memiliki angka 4 orang dan 2 orang untuk tindak pidana narkotika dan pembunuhan berencana. 1.4. Pekerjaan Berdasarkan pekerjaan yang dimiliki terpidana mati, terlihat bahwa peringkat tertinggi adalah dengan profesi Wiraswasta, Tani, dengan angka 7 terpidana mati. Sedangkan pada bagian Lain-lain terdiri dari profesi Tukang Elektronik, Pelayan Toko, Konstruksi, Tukang Pelitur, Tukang Ojek, Ibu Rumah Tangga, Businessman, Nambang Sampan, Pembantu Rumah Tangga, Supir, konsultan Pertanian dan Bisnis Sepatu. Sedangkan yang tidak ada informasi mengenai pekerjaan berjumlah 7 terpidana mati. Melihat dari komposisi pekerjaan, maka pekerjaan informal cukup mendominasi.
Pekerjaan 14 12 10 8 6 4 2 0
13 7
7 3
2
4
7 3
1.5. Agama Jika dilihat dari latar belakang agama, Terpidana mati yang akan dieksekusi didominasi oleh Islam dengan prosentase 47,83% dari keseluruhan total terpidana mati. Disusul dengan agama Kristen/Kahtolik dengan prosentase 43,48%. Untuk Agama lainnya seperti Hindu terdapat 2 terpidana mati, dan untuk agama Budha dan Tidak memiliki Agama masingmasing 1 orang terpidana.
Agama/Kepercayaan
Buddha 1 orang 2,17 % Hindu 2 orang 4,35 %
Kristen/Katholi Islam k 22 orang 20 orang 47,83 % 43,48 %
10
Tidak Beragama 1 orang 2,17 %
2. Gambaran Putusan Pengadilan 2.1. Sebaran Putusan Mengenai asal pengadilan Negeri yang memeriksa dan mengadili Perkara Hukuman Mati, Pengadilan Negeri Tangerang menempati peringkat teratas dengan memeriksa dan mengadili 8 perkara, disusul dengan Pengadilan Negeri Depok dengan jumlah 4 Perkara.
Asal Pengadilan Negeri PN. Tangerang PN. Denpasar
1
1
1
1
PN. Medan
2
PN. Jakarta Selatan PN. Jakarta Pusat PN. Jakarta Utara PN. Jakarta Barat
PN. TANGERANG 8
1 1 1 1
PN. Sekayu PN. Depok PN. Lamongan
3
PN. Lubuk Pakau PN. Kuala Tungkai
1
PN. Surabaya
1
1 1 3
2
1
1
1 1
PN DEPOK 4
2 2
PN. Palembang PN. Tanjung Balai Karimun PN. Rangkasbitung PN. Bale Bandung PN. Pontianak PN. Kendari PN. Amlapura PN. Sleman PN. Makale PN. Palu PN. Gunungsitoli
2.2. Tahun Putusan Berdasarkan waktu memutus perkara, pada Tahun 2002 adalah tahun dengan putusan pidana mati terbanyak, yakni 7 terpidana mati dan berikutnya yaitu pada Tahun 2009 (6) dan Tahun 2005 (5).
11
8
2002
7 7
2003
6
2004
6 5
2005
5
2006
4 4
2007
3
3
3
3
2008
3 2
2
2
2
2
2009 2010
1
2011 2012
0
2013
TAHUN PUTUSAN 2.3. Putusan berdasarkan Provinsi
Berdasarkan letak provinsi, Provinsi Jawa Barat menempati urutan pertama dengan 11 perkara yang dihukum mati. Menyusul dengan Provinsi DKI Jakarta sebanyak 6 perkara, Provinsi Bali dengan 5 perkara, Provinsi Sumatra Utara dengan 4 perkara dan dengan jumlah masing-masing 3 perkara yakni Provinsi Banten dan Jawa Timur. SULAWESI SULAWESI KALIMANTANTENGGARA SELATAN 1 BARAT 1 1 RIAU 1 JAMBI 1
BERDASARKAN PROVINSI
SULAWESI TENGAH 1
JAWA BARAT JAWA TIMUR
BANTEN 3
DKI JAKARTA 6 BALI 5
JAWA TENGAH
JAWA BARAT 11
SUMATRA UTARA SUMATRA SELATAN BALI
JAWA TIMUR 3
DKI JAKARTA BANTEN
JAWA JAMBI TENGAH RIAU 1 KALIMANTAN BARAT SUMATARA SULAWESI TENGGARA UTARA 2
SUMATRA SELATAN 4
12
2.4. Pasal Tuntutan dalam perkara Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan tren tuntutan dalam perkara Narkotika, pasal yang sering digunakan adalah Pasal 82 ayat (1) huruf a UU 35 Tahun 2009, pada urutan kedua yakni Pasal 82 ayat (3) huruf a UU 35 Tahun 2009. Terdapat juga JPU yang mengajukan Tuntutan dengan sifat kumulatif atau dengan menuntut 2 Pasal dalam Tuntutan. Terdapat 2 Pasal yang digunakan, yang pertama Pasal 82 ayat (2) huruf a UU 35 tahun 2009, Pasal 23 ayat (5) jo. Pasal 36 ayat (5) UU 9 tahun 1976 dan Pasal 62 UU 9 tahun 1976. Pasal 82 UU 22 Tahun 1997 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : (a) mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima,menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan I, dipidanadengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling paling banyak Rp 1.000.000.000,00(satu milyar rupiah);
Pasal 82 UU 22 Tahun 1997 (3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam : (a) ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).
Pasal 23 UU 9 Tahun 1976 (4)Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika.
Pasal 114 jo. 132 ayat (1) UU 35 Tahun 2009
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). (1) Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal tersebut.
13
12
Pasal 82 ayat (1) huruf a UU 22/1997 Pasal 82 ayat (3) huruf a UU 22/1997 Pasal 23 ayat (4) jo. Pasal 36 ayat (4) UU 9/1976 Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) UU 35/2009 Pasal 78 ayat (1) huruf a UU 22/1997 Pasal 59 ayat (1) huruf e jo. Pasal 59 ayat (2) UU 9/1976 Pasal 59 ayat (1) huruf c jo. Pasal 59 ayat (2) UU 9/1976 Pasal 59 ayat (1) huruf b UU 9/1976 Pasal 82 ayat (2) huruf a UU35/2009 Pasal 23 ayat (5) jo. Pasal 36 ayat (5) UU 9/1976 Pasal 62 UU 9/1976
10 10
8
6
4
3 2
2
1
2 1 1 1 1
1 1
0
PASAL TUNTUTAN PERTAMA
PASAL TUNTUTAN KEDUA
2.5. Pasal Tuntutan dalam perkara Pembunuhan Berencana Pada perkara pembunuan berencana, Pasal yang digunakan tidak variatif layaknya Narkotika, yang mendominasi adalah Pasal 340 KUHP sebagai Pasal Tuntutan yang sering digunakan. Namun terdapat juga pasal tuntutan lain yang juga digunakan, yakni 363 ayat (1) ke-3 KUHP. Sama hal nya dengan Tindak Pidana Narkotika, terdpaat juga Tuntutan yang bersifat kumulatif dengan Pasal-Pasal diantaranya; Pasal 292 KUHP, Pasal 82 UU 23 taun 2002, Pasal 480 KUHP, Pasal 378 KUHP, Pasal363 ayat (1) ke-3 dan Pasal 351 KUHP. 30 25
Pasal 340 KUHP
24
Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP Pasal 292 KUHP
20
Pasal 82 UU 23/ 2002
15
Pasal 480 KUHP
10 5
Pasal 378 KUHP
1
1
1
1
1
1
0 PASAL TUNTUTAN PERTAMA
Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP 351 KUHP
PASAL TUNTUTAN KEDUA
Pasal 340 Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
14
2.6. Vonis dan Alur Putusan Jenis Putusan Penjara Penjara, Denda Seumur Hidup Seumur Hidup, Denda Mati Mati, Denda NO Tidak Diketahui/Tidak Mengajukan
Jumlah Tuntutan 1 7 1
Putusan PN
Putusan PT
Putusan MA
Putusan PK
1 1 3 -
2 1 -
-
1 1 2 -
37 -
36 4 -
35 4 2
34 3 3 4
19 1 20
Dari 46 terpidana mati mati yang terdapat di dalam 42 putusan, terlihat bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan tuntutan paling sering menggunakan Tuntutan Pidana mati dengan angka 37 perkara. Sedangkan pada tingkat Pengadilan Negeri, pidana mati masih mendominasi dengan angka 36 putusan dengan vonis pidana mati. Pada tingkat Banding, tingkat Kasasi sampai pada tingkat Peninjauan Kembali (PK), pidana mati masih tetap menempati dengan angka secara berurutan 35, 34 dan 19 perkara. NO
Perubahan Alur
3
Seumur Hidup Mati, Denda
4 5
Mati Mati
Putusan PN Penjara, Denda Seumur Hidup Mati, Denda Mati Mati
6
Mati
Mati
7
Mati
8 9 10
Seumur Hidup Mati Mati Mati
11
Mati
12
Mati
1 2
Tuntutan Mati
Mati Mati Mati, Denda Mati, Denda Mati, Denda
Jumlah
Putusan PT Penjara, Denda Seumur Hidup
Putusan MA Mati
Putusan PK Penjara, Denda
2
Mati
Seumur Hidup
1
Mati, Denda
Mati, Denda
Penjara
1
Mati Mati
Mati Mati
16 1
Tidak Diketahui/Tida k Mengajukan Mati
Mati Tidak Diketahui/Tid ak Mengajukan NO
Mati
1
Mati
Mati
1
Mati Mati Mati, Denda
Mati NO Mati, Denda
-
7 2 1
Mati, Denda
Mati
-
1
Mati, Denda
Mati, Denda
-
2
15
13
15 16
Seumur Hidup Penjara, Denda Penjara Mati
17 18
Mati Mati
14
Mati
Mati
Mati
-
3
Mati
Mati
Mati
-
1
Penjara Seumur Hidup Mati Mati
Mati Mati
Mati -
-
1 1
Mati
Tidak Diketahui/Tid ak Mengajukan
NO
3 1
Terdapat beberapa model perubahan alur putusan dari 42 putusan. Alur dengan bentuk dari tuntutan sampai dengan putusan Peninjauan Kembali adalah Pidana Mati, merupakan bentuk alur yang paling sering tampil dari total keseluruhan putusan yang ada dengan angka 16 perkara. Menyusul dengan alur dari tuntutan sampai dengan Tingkat kasasi saja berjumlah 7 perkara. Hal menarik dari perubahan alur ini adalah terdapat 3 jenis alur yang putusan pada tingkat Kasasinya mengalami koreksi saat masuk ke tingkat Peninjauan Kembali. Alur yang pertama adalah terdapat 2 putusan yang bentuk alurnya adalah Pidana Mati dari tuntutan Jaksa, Penjara dan Denda pada tingkat pertama, Penjara dan Denda pada tingkat banding, Pidana Mati pada tingkat Kasasi dan pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) adalah Penjara dan Denda. Dalam hal ini dapat terlihat, bahwa perubahan vonis yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi masih belum baik, dikarenakan pada tingkat PK hakim menilai harus dilakukan koreksi pada putusan tersebut. Terdapat juga alur yang hanya pada putusan Kasasi saja menjatuhkan hukuman mati dan pada tingkat PK dilakukan koreksi. Dan terdapat juga alur putusan yang dari tingkat pertama sampai dengan tingkat kasasi adalah hukuman mati namun pada tingkat PK dilakukan koreksi pada bagian vonis. Hal ini memperlihatkan adanya ketidakhati-hatian dari para hakim dalam menjatuhkan vonis, padahal vonis yang akan dijatuhkan adalah hukuman mati kepada si terpidana mati.
16
BAB III Potret Khusus Putusan Pidana Mati 3.1. Penyiksaan/Intimidasi ICJR menemui setidaknya dari 42 kasus, ada 11 kasus yang terindikasi terjadi penyiksaan maupun intimidasi dari aparat penegak hukum. Klaim penyiksaan dan Intimidasi tidak hanya terjadi pada pelaku saja, nemun juga terjadi pada saksi dalam ruang sidang dengan tujuan untuk mempermudah pembuktian. Dalam Putusan MA No. 2253 K/PID/2005 dengan terpidana mati Zulfikar Ali, terpidana mati dan beberapa saksi bahkan memberikan pengakuan telah diintimidasi dan disiksa oleh penyidik, hasilnya, meraka bersama-sama mencabut keterangan pada saat di BAP. Dalam bukti rekaman persidangan yang dilampirkan kuasa hukum Zulfikar Ali pada memori kasasi, terungkap bahwa Terpidana mati, saksi Ginong Pratidina dan saksi Gurdip Singh mencabut BAP dikarenakan adanya “tekanan fisik dan mental pada tahap penyidikan”. Dalam putusan MA No. 254 K/PID/2013 dengan terpidana mati Rahmat Awafi Alias Awif Als Drego dan Krisbayudi Als Kris Bin Suherman, adanya intimidasi justru terlihat dari memori kasasi yang diajukan jaksa sendiri, dalam memori kasasinya jaksa menyebutkan : “setelah diinterogasi secara intensif mengakui dengan sejujurnya pembunuhan hanya dilakukan oleh para Terdakwa berdua....” dalam persidangan tersebut, untuk membuktikan tidak terjadi penyiksaan, Jaksa kemudian mengajukan saksi verbal lisan, atau saksi penyidik yang kemudian menyatakan tidak terjadi penyiksaan. Dalam perkara tersebut, masing-masing terdakwa mengaku diintimidasi. Intimidasi juga terlihat terjadi karena dalam persidangan, Jaksa menyimpulkan tidak adanya bantahan pada saat saksi verbal lisan diajukan, adalah bentuk ketidakmampuan terdakwa untuk membuktikan adanya intimidasi. “Bahwa atas keterangan para saksi perbalisan tersebut para Terdakwa hanya terdiam dan tidak menyampaikan keberatannya sebagaimana sebelum saksi perbalisan diperiksa para Terdakwa telah menyangkal dan mengakui diintimidasi.” Dalam perkara PK dengan No. 18.PK/Pid/2007 dengan Pemohon PK bernama Humprey Ejike Alias Doctor, terdapat saksi yang melihat langsung terjadinya penyiksaan, penyiksaan tersebut menurut saksi bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dan keterangan dari Pemohon PK. “Surat pernyataan dan kesaksian DENNIS ATTAH, (sedang menjalani pidana di LP cipinang ) yang mengatakan bahwa ketika pemohon PK diinterogasi di Polda Metro Jaya di kantor Bapak Hendra Jhoni, polisi melakukan pemukulan selama berjam-jam kepada pemohon PK bahkan pemohon PK tidak diperkenankan duduk dan tetap berdiri dalam keadaan tangan diborgol serta mata tertutup dan kaki pemohon PK di jepit dan terlihat pemohon PK sangat kelelahan. Dan ketika setiap pertanyaan dijawab oleh pemohon PK tidak tau, lalu dipukul sampai mengeluarkan darah dan akhirnya polisi mengarahkan pemeriksaan kepada pengakuan pemohon PK yang isinya sudah diatur oleh polisi;”
17
Dalam pertimbangan putusan PK Hillary K. Chimezie dengan putusan No. 45 PK/Pid.Sus/2009,: Bahwa selalin itu ternyata dalam proses penyidikan terhadap saksi - saksi pendukung yaitu IZUCHUKWU OKOLOAJA dan MICHAEL TITUS IGWEH yang menerangkan bahwa telah di lakukan kekerasan dari petugas penyidik, sehingga keterangannya tidak obyektif dan penuh rekayasa dari petugas dan kenyataannya terhadap saksi mahkota atau saksi yang mempunyai nilai pembuktiian yang akurat (saksi kunci ) atas nama MARLENA dan IZUCHUKWU OKOLOAJA alias KHOLISAN NKOMO dinyatakan telah meninggal dunia pada saat di tahanan Polisi; Hal - hal tersebut di atas perlu dijadikan pertimbangan oleh Majelis Peninjauan Kembali dalam memutus perkara a quo meskipun secara formil telah di atas sumpah keteranganketerangan dari saksi - saksi yang meninggal dunia tersebu t ; Dalam kasus yang sama, salah satu Hakim Agung yaitu Timur P. Manurung bahkan memasukkan alasan adanya intimidasi dan penyiksaan pada saksi yang mengakibatkan saksi meninggal dunia “... Bahwa kesaksian saksi kunci ke-2 MARLENA/almarhumah juga di persidangan, ternyata juga hanya dibacakan, namun walaupun dibacakan, ternyata juga tidak mengaitkan pada Pemohon Peninjauan Kembali/ Terpidana dalam kegiatannya , dan kedua saksi aquo yaitu saksi MARLENA dan saksi IZUCHUKWU OKOLOAJA, telah meninggal oleh tindak kekerasan ditahanan Penyidik Polri dan karenanya juga kesaksian in casu tidak dapat di terima , apalagi dalam kesaksiannya saksi menyatakan bahwa selama di tahanan Penyidik , saksi telah menerima intimidasi dan kekerasan pisik ;...” Selain penyiksaan dan intimidasi yang ditujukan pada terpidana mati maupun saksi, tekanan ataupun intimidasi juga didapat oleh pengadilan sendiri, bahkan juga terjadi pada kuasa hukum, sehingga jalannya sidang berada dibawah tekanan pikologis yang kuat. Dalam Putusan MA No. 558 K/Pid/2009 dengan terpidana mati bernama Yohanes Martinus Alias Dado Alias Martin Bin Tedi Gunawan, suasana sidang yang digambarkan dalam memori kasasi menunjukkan adanya intimidasi kepada hakim dan kuasa hukum terpidana mati. “Bahwa Pengadilan Negeri Depok/Majelis Hakim tidak lagi bersikap objektif di dalam menilai perkara ini karena berada di bawah tekanan atau pressure dari pihak keluarga korban yang setiap persidangan selalu membawa massa lebih dari 9 orang yang selalu bersikap anarkis dan melakukan pengerusakan terhadap mobil yang dipakai Penasehat Hukum Terdakwa (Berita Harian Surat Kabar Nasional dan media TV tertanggal 5 September 2008)” Dalam perkara lainnya, yaitu putusan MA No. No. 2473 K/Pid/2007 dengan terpidana mati bernama Syekh Abdul Rahim Alias Daeng Rahim, mengklaim bahwa terjadi tekanan publik yang begitu besar, initmidasi berupa ancaman terjadi terhadap hakim untuk menjatuhkan hukuman mati kepada terpidana mati. “Bahwa Pengadilan Negeri telah menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa yang maksimal hanya karena desakan dan permintaan serta tekanan dari keluarga dan simpatisan korban yang secara sporadis datang setiap hari ke Pengadilan Negeri Kendari berunjuk rasa dan
18
mengancam selama proses persidangan atas diri Terdakwa berlangsung dan meminta Terdakwa dihukum mati, bukan atas fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan.” Klaim penyiksaan juga bahkan sudah diajukan dalam sidang di PN, namun tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim, klaim tersebut terdapat contohnya dalam Putusan No. 503 K/Pid/2002, dengan terpidana mati Zainal Abidin Bin Mahmud Badaruddin. Kuasa hukum terpidana mati menyatakan bahwa : “Bahkan pada saat pemeriksaan Terdakwa, Terdakwa menyangkal BAP yang dibuat oleh Kepolisian itu adalah hasil karangan Terdakwa saja sebab pada saat BAP dibuat pada tanggal 21 Desember 2000 Terdakwa telah dipukuli dan diintimidasi oleh penyidik untuk menghindari cacat phisik sehingga Terdakwa mengarang cerita; Bahwa Penasehat Hukum Terdakwa memperlihatkan adanya pukulan bagian badan Terdakwa yang membekas...” 3.2. Akses terhadap Bantuan Hukum/Advokat Dalam standar hak asasi manusia salah satu unsure penting dalam sistem peradilan pidana adalah tersedianya akses terhadap bantuan hukum atau advokat secara efektif. Dari 42 putusan terdapat 7 putusan dimana para terdakwa (saat ini terpidana Mati) tidak memiliki advokat, dan umumnya ketiadaan advokat justru berada ditingkatan penyidikan dan penuntutan, yang merupakan tahap paling penting dalam mempersiapkan pembelaan. Dari 42 putusan, ada 11 putusan tidak diketahui apakah terpidana mati memiliki advokat atau bantuan hukum. ICJR mengkategorikan 11 putusan tersebut diragukan karena dalam putusan terjadi indikasi ketidakhadiran bantuan hukum, misalnya terjadi persoalan formal dan prosedur pengajuan upaya hukum yang lazim terjadi akibat ketidaktahuan terpidana mati serta tidak adanya bantuan hukum. Dalam kasus Zainal abidin dengan putusan No. 503 K/Pid/2002, penasehat hukum baru hadir mendampingi dirinya beberapa hari setelah pemerikaan/BAP dilakukan. “Pada halaman depan alinea pertama tertulis pada hari Kamis tanggal 21 Desember 2000 jam 12.00 Wib. Dst….dan pada bagian akhir halaman 6 BAP dibuat catatan bahwa Terdakwa pada saat pemeriksaan didampingi oleh Penasehat Hukum, padahal Penasehat Hukum baru mendampingi Terdakwa Mgs. Zainal Abidin bin Mgs. Mahmud Badaruddin pada tanggal 23 Desember 2000 surat kuasa khusus.” Dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun No. 178/PID.B/2009/PN.TBK, dengan terpidana mati Raja Syahrial Bin Raja Muzahar Als. Herman Als. Wak Ancap, terpidana mati baru didampingi oleh Avokat yang ditunjuk oleh Hakim PN Tanjung Balai Karimun pada tanggal 29 September 2009, padahal terpidana mati sudah ditahan oleh penyidik dari mulai tanggal 28 Juni 2009. “Menimbang, bahwa terdakwa di dampingi Penasihat Hukum SURYADI, SH, Advokat/Penasihat Hukum yang ditunjuk oleh Hakim Ketua Majelis berdasarkan Penetapan Nomor : 178/Pen.Pid/BH/2009/PN.TBK tertanggal 29 September 2009”
19
Penunjukan advokat diruang sidang juga terjadi dalam Putusan No. 07/Pid.B/2013/PN-GS, dengan terpidana mati Rusula Hia dan Putusan No. 08/Pid.B/2013/PN-GS dengan terpidana mati bernama Yusman TelaumBanua, dalam putusan tersebut, Penasehat Hukum keduanya baru ditunjuk oleh hakim PN pada tanggal 29 Januari 2013, sedangkan keduanya telah ditahan pada 14 September 2012. Selain dari penunjukkan langsung yang dilakukan hakim, tidak adanya Advokat atau bantuan hukum juga terlihat dari surat permohonan PK yang diajukan sendiri oleh pemohon. Isi keberatan dalam permohonan PK juga menunjukkan bahwa pemohon PK membuat sendiri permohonannya. Hal ini terlihat dalam Dalam Putusan PK No. 53 PK/Pid/2002, dengan terpidana mati Turmudi bin Kasturi dan Putusan PK No. 22 PK/Pid/2003 dengan terpidana mati Jurit bin Abdullah. Dalam Putusan PK Turmudi bin Kasturi misalnya, mengajukan permohonan PK sendiri ke PN Kuala Tungkal pada 6 Maret 2002, dengan bunyi keberatan sebagai berikut : 1. Saya menyadari dan menyesali sepenuhnya perbuatan yang saya lakukan dan saya berjanji sepenuh hati untuk tidak akan mengulangi perbuatan yang melanggar hukum. Tetapi dalam hal ini, saya tidak mempunyai rencana sama sekali untuk melakukan pembunuhan seperti dituduhkan kepada saya; 2. Saya masih ingin hidup untuk bertaubat dan mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa dan saya akan memperbaiki diri seraya mohon ampun kehadirannya; 3. Saya masih memiliki tenaga dan kemampuan yang dapat saya sumbangkan pada Bangsa dan negara semampu saya; 4. Saya mohon dengan kerendahan hati agar hukuman saya mendapatkan keringanan; Selain dari ketersediaan bantuan hukum dan advokat, kualitas bantuan hukum juga menjadi isu yang perlu diperhatikan. Dalam putusan PN Gunung Sitoli No. 07/Pid.B/2013/PN-GS, dengan terpidana mati Rusula Hia dan Putusan No. 08/Pid.B/2013/PN-GS dengan terpidana mati bernama Yusman TelaumBanua, Penasihat Hukum keduanya tidak melakukan pembelaan, bahkan dalam pendapat yang berbeda, Penasihat Hukum kedua terpidana mati yang juga sama yaitu Laka Dodo Laila, SH, MH dan Cosmas Dohu Amazihono, SH, MH., meminta kliennya untuk dijatuhi hukuman mati. “...Menimbang, bahwa dalam pembelaan pribadinya terdakwa menyatakan mengakui kesalahannya dan memohon kepada Majelis Hakim menjatuhkan hukuman yang seringanringannya sedagkan Penasihat Hukum terdakwa mempunyai pendapat berbeda yang memohon kepada Majelis hakim agar terdakwa dijatuhi hukuman mati karena apa yang telah dilakukan terdakwa bersama dengan pelaku lainnya sangat kejam dan sadis...” 3.3. Penggunaan “Saksi Mahkota”: Pelanggaran Prinsip Non Self Incrimination Saksi mahkota merupakan alat bukti paling efektif yang dimiliki oleh Jaksa karena dalam beberapa kasus, Jaksa bahkan tidak memiliki alat bukti maupun saksi lainnya. Dalam kasus-kasus hukuman mati, Pengadilan harusnya diberikan pilihan bukti lebih banyak untuk memberikan keyakinan lebih besar bagi hakim untuk menjatuhkan pidana mati, ketimbang hanya untuk memenuhi formalitas
20
pembuktian semata. ICJR menemukan angka yang cukup tinggi terkait keberadaan saksi mahkota, dari 42 putusan yang diteliti, 17 putusan diantaranya memuat pertimbangan saksi mahkota. Dalam Putusan MA No. 2253 K/PID/2005 dengan Terpidana mati Zulfikar Ali, Jaksa mengajukan Gurdip Singh sebagai saksi mahkota, Gurdiph Singh dipidana dalam kasus yang sama. Dalam memori kasasi Zulfikar Ali, disebutkan bahwa Gurdiph Singh bersedia melakukan kesaksian atas terpidana mati Zulfikar Ali dengan iming-iming dari penyidik untuk mendapatkan hukuman ringan: “...saksi Gurdiph Singh sebagai saksi kunci dalam perkara ini justru mencabut kesaksiannya dan menyatakan bahwa ia terpaksa menyebut nama Pemohon Kasasi sebagai pemilik Heroin yang ada pada saksi karena saksi dijanjikan oleh penyidik akan mendapat hukuman ringan namun justru kesaksiannya diabaikan...” ICJR melihat bahwa pola penggunaan saksi mahkota sebagai modus untuk “saling memberatkan atau saling menjebak” tidak hanya ditemukan di kasus Zulfikar Ali saja, dalam putusan PK MA No. 18.PK/Pid/2007 dengan Pemohon PK bernama Humprey Ejike Alias Doctor, kuasa hukum Pemohon PK menyerahkan surat pernyataan dari salah seorang saksi mahkota dalam kasus Humprey Ejike Alias Doctor : “Surat pernyataan dari saksi UGOCHUKINU IBIAM OKORO,tanggal 6 Juni 2004, (sedang menjalani pidana di LP Cipinang ), yang mengatakan, bahwa KELLY sakit hati kepada pemohon PK karena curiga kalau pemohon PK yang menjebak KELLY sampai ditengkap polisi bahkan Pemohon PK dicurigai sebagai orang yang memberi informasi kepada polisi tentang keterlibatan KELLY dalam masalah narkotika,sehingga dia menjebak pemohon PK dengan cara menyuruh Ifany menaruh / menyimpan narkotika di restaurant recon dan melapor kepolisi agar pemohon PK ditangkap polisi” Dalam contoh penggunaan saksi mahkota lainnya, terdapat tiga orang terdakwa yang masing-masing berkas perkaranya dipisah, menjadi saksi mahkota bergantian di sidang satu sama lainnya, hal ini terdapat dalam Putusan MA No. 554 K/Pid/2009 dengan terpidana mati Mulyadi Dwi Asmono Als Acong Bin Fadilah, Putusan MA No. 558 K/Pid/2009 dengan terpidana mati Yohanes Martinus Alias Dado Alias Martin Bin Tedi Gunawan dan Putusan MA no. No. 558 K/Pid/2009 dengan terpidana mati Maulana Reza Alias Item Bin Nazarudin. Ketiganya didakwa dengan tindak pidana secara bersama-sama dan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam putusan MA No. 2473 K/Pid/2007 dengan terpidana mati Syekh Abdul Rahim Alias Daeng Rahim, ditemui klaim dari terpidana mati yang menyatakan bahwa Hakim PN menjatuhkan pidana mati dengan pertimbangan hanya dari satu saksi, yaitu KASRI Alias Heri Bin Lasri, yang juga merupakan saksi mahkota, keduanya disidangkan secara terpisah meskipun melakukan tindak pidana dalam perkara yang sama. 3.4.Pengakuan Terdakwa Pengakuan terdakwa mempunyai kaitan yang sangat erat dengan isu fair trial lainnya, mulai dari isu penyiksaan, penggunaan saksi mahkota sampai ketimpangan kesempatan dalam pembuktian. ICJR
21
menemukan beberapa pengakuan terdakwa yang kemudian ditarik oleh para terdakwa dengan alasan terdapat penyiksaan atau intimidasi. Dalam Putusan No. 503 K/Pid/2002, dengan terpidana mati Zainal Abidin Bin Mahmud Badaruddin, dirinya mengaku mengarang cerita karena disiksa oleh penyidik. Dalam Putusan No. 18.PK/Pid/2007 dengan Pemohon PK bernama Humprey Ejike Alias Doctor juga mengaku disiksa dan mengaku jika seluruh keterangannya telah diarahkan oleh penyidik. Dalam putusan MA No. 254 K/PID/2013 dengan terpidana mati Rahmat Awafi Alias Awif Als Drego dan Krisbayudi Als Kris Bin Suherman juga mengaku terintimidasi dan memberikan pengakuan atas dasar intimidasi tersebut. Dalam beberapa putusan, hakim bahkan mendasari putusannya pada pengakuan terpidana mati sebagai alasan utama dijatuhinya pidana mati. Dalam putusan PN Gunung Sitoli No. 07/Pid.B/2013/PN-GS, dengan terpidana mati Rusula Hia dan Putusan No. 08/Pid.B/2013/PN-GS dengan terpidana mati bernama Yusman TelaumBanua,12 Hakim PN Gunung Sitoli menyatakan bahwa pengakuan terpidana mati dan permohonan Penasehat Hukum Terpidana mati agar terpidana mati dihukum mati menjadi alasan keduanya dihukum mati, padahal sebelumnya jaksa menuntut keduanya dengan hukuman seumur hidup. 3.5. Penggunaan Saksi Penyidik (Verbalisan): Melanggengkan Kekerasan dalam Praktek Penyidikan Pidana Saksi verbalisan atau disebut juga dengan saksi penyidik adalah seorang penyidik yang kemudian menjadi saksi atas suatu perkara pidana karena terdakwa menyatakan bahwa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) telah dibuat di bawah tekanan atau paksaan. Dengan kata lain, terdakwa membantah kebenaran dari BAP yang dibuat oleh penyidik yang bersangkutan. Sehingga, untuk menjawab bantahan terdakwa, penuntut umum dapat menghadirkan saksi verbalisan ini. Namun anehnya dalam beberapa kasus Jaksa malah justru mempersiapkan saksi verbalisan sedari awal. Dalam putusan MA No. 254 K/PID/2013 dengan terpidana mati Rahmat Awafi Alias Awif Als Drego dan Krisbayudi Als Kris Bin Suherman, saksi verbalisan dijadikan dasar untuk membuktikan tidak terjadi penyiksaan, sebelumnya kedua terdakwa yang salah satunya adalah terpidana mati mengaku disiksa dan diintimidasi. Penggunaan saksi verbalisan yang sudah pasti tidak akan melakukan pengakuan kemudian dijadikan dasar oleh Jaksa dan Hakim Agung dalam kasus yang sama sebagai dasar bahwa tidak terjadi tindakan penyiksaan dan intimidasi, sehingga terpidana mati dijatuhi hukuman mati. Dalam kasus yang menjerat Zainal Abidin Bin Mahmud Badaruddin dengan putusan MA No. 503 K/Pid/2002, kehadiran saksi verbalisan bahkan sudah ada dalam dakwaan jaksa : Pada hari Sabtu tanggal 16 Desember 2000 orang bernama Sulaiman dan Eko memesan ganja masing-masing seberat 2 Kilogram kepada Terdakwa Mgs. Zainal Abidin dan memberi panjar uang sebesar Rp.200.000,- dan Sulaiman belum memberi panjar, selain itu orang bernama Toyib juga mengambil ganja seberat 1 Kilogram kepada Terdakwa Mgs. Zainal Abidin dengan memberi panjar uang sebesar Rp.500.000,-.
12
Lihat pengakuan dan permohonan penasehat hukum terdakwa agar terdakwa dihukum mati.
22
Ternyata perbuatan Terdakwa Mgs. Zainal Abidin tersebut diketahui oleh saksi M. Darwis dan saksi Tasyono selaku anggota Polri dari Poltabes Palembang. 3.6.Terpidana Mati: Anak dan Remaja Dalam pengamatan ICJR pada 42 putusan, setidaknya terdapat tiga putusan dimana terpidana mati masih berusia remaja dan berada dibatas kategori anak yang berusia maksimal 18 tahun, ketiga terpidana mati berusia 19 tahun pada saat melakukan tindak pidana. Dalam Putusan MA No. 1835 K/Pid/2010 dengan terpidana mati Herri Darmawan Alias Sidong Bin Firdaus, dirinya dihukum mati karena bersalah melakukan pembunuhan berencana. Pada tingkat kasasi, permohonannya ditolak oleh MA dan dirinya tetap dijatuhi hukuman mati, namun dalam putusan tersebut terdapat dissenting opinion dari Hakim Agung Surya Jaya, yang pada intinya menyebutkan bahwa : Terdakwa yang berumur 19 tahun merupakan suatu masa peralihan/transisi dari suasana psikologis anak memasuki fase remaja . Seorang yang berada pada masa transisi seperti ini berada pada kondisi emosional yang fluktuatif atau bersifat labil. Perbuatan orang yang berada pada kelompok ini cenderung dipengaruhi oleh dorongan perasaan/emosiona l yang sifatnya spontanitas , dan bukan didasarkan pada kesadaran atau suatu keinsyafan atas suatu akibat dari suatu perbuatan yang dilakukannya Dalam putusan lainnya di tingkatan MA, Scott Anthony Rush terpidana mati dan pemohon PK pada putusan No. 28 PK/Pid.Sus/2011 memiliki nasib yang lebih baik. Hakim Agung dalam putusan Scott Anthony Rush ternyata memiliki pandangan berbeda dengan Hakim dalam perkara Herri Darmawan Alias Sidong Bin Firdaus. Scott Anthony Rush kemudian dijatuhi pidana penjara seumur hidup, dalam putusannya, Hakim Agung menyatakan bahwa : “...namun penjatuhan pidana mati terhadap Pemohon Peninjauan Kembali /Terpidana tersebut yang masih berusia muda ketika tertangkap yaitu 19 tahun dan kini sudah berusia 26 tahun dengan perannya sebagai orang yang digunakan sebagai media oleh sindikat kejahatan Narkotika yang bersifat transnasional dengan iming-iming berwisata ke Bali, dipandang kurang atau tidak memenuhi rasa keadilan sehingga tentang penjatuhan pidana terhadap Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana dapat dipertimbangkan aspek perbuatan dan perannya maupun pelaku/daader yang bersangkutan...” “Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana terbilang masih muda usianya yaitu 19 tahun secara yuridis dapat menjadi keadaan-keadaan yang meringankan sebagaimana di tentukan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP” Selain dua kasus diatas, terdapat juga Putusan PN Gunung Sitoli No. 08/Pid.B/2013/PN-GS dengan terpidana mati bernama Yusman TelaumBanua. Dalam pertimbangannya, hakim sama sekali tidak mempertimbangkan usia Yusman yang masih berusia 19 tahun, bahkan hakim memutus Yusman
23
dengan pidana mati, lebih tinggi dari tuntutan jaksa yaitu semur hidup. Saat ini berkembang fakta baru bahwa Yusman masih berusia 16 tahun pada saat memulai proses pidana.13 3.7. Ketimpangan Pembuktian Baik Jaksa dan terdakwa pada dasarnya memiliki kesempatan pembuktian yang sama di ruang sidang. Hakim dalam KUHAP berposisi sebagai pengadil, dengan kata lain bahwa kedua belah pihak harus diberikan kesempatan baik penuntutan dan pembelaan yang sama. Dalam kasus-kasus yang dapat dijatuhi pidana mati, seharusnya Hakim memiliki peran yang lebih sentral, dalam posisi ini Hakim harus memberikan semua kemungkinan yang bisa dilakukan untuk membuktikan seseorang tidak bersalah, atau setidak-tidaknya tidak dijatuhi hukuman mati. Berdasarkan hasil pengamatan ICJR, ketimpangan pembuktian terjadi di beberapa kasus, putusan MA No. No. 2473 K/Pid/2007 dengan terpidana mati bernama Syekh Abdul Rahim Alias Daeng Rahim, dalam memori Kasasinya disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Terpidana mati untuk mengajukan pembelaan secara penuh dan maksimal, sedangkan ancaman hukuman terhadap Terpidana mati sangat berat. Syekh Abdul Rahim Alias Daeng Rahim hanya diberikan kesempatan untuk mengajukan pembelaan secara lisan pada saat itu juga sesaat setelah surat tuntutan dibacakan dan atau diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dirinya juga dipersulit untuk mengajukan dan atau menghadirkan saksi a de charge. 3.8. Pelaku Utama Yang (Tak Pernah) Dijerat Hukuman mati merupakan pidana paling berat di Indonesia, untuk itu pidana ini seharusnya dijatuhkan pada mereka yang terbukti bersalah dan perannya paling besar dalam suatu tindak pidana. Untuk kasus-kasus yang terorganisi maupun dilakukan secara bersama-sama, biasanya jaksa menidentifikasi pelaku utama dalam suatu kejahatan. Namun dalam praktiknya, hukuman mati tetap dijatuhkan pada terpidana mati yang perannya sangat minim, bahkan tidak ikut dalam perencanaan kejahatan tersebut. Menariknya, banyak pelaku utama yang justru masih DPO dan belum tertangkap. Dari 42 putusan terdapat 9 putusan yang menyatakan tersangka lain masih DPO, baik sebagai pelaku utama atau masih belum diketahui perannya. Dalam pengamatan ICJR, terdapat beberapa putusan yang terang-terang memposisikan terpidana mati bukan sebagai pelaku utama, sering kali hal ini diabaikan oleh Hakim dalam persidangan. Dalam putusan Scott Anthony Rush, terpidana mati dan pemohon PK pada putusan No. 28 PK/Pid.Sus/2011, baru pada tingkatan MA lah perannya yang hanya sebagai kurir dipertimbangkan oleh majelis Hakim, sebelumnya dirinya dijatuhi pidana mati oleh hakim di tingkat pertama maupun banding. Dalam Putusan PN Gunung Sitoli No. 08/Pid.B/2013/PN-GS dengan terpidana mati bernama Yusman TelaumBanua, Hakim PN bahkan mempertimbangkan posisi terpidana mati yang hanya melakukan perbantuan untuk membuang mayat, namun oleh Hakim PN dirinya dijatuhi pidana mati meskipun jaksa telah menuntut dengan pidana seumur hidup. Sedangkan pelaku utama masih DPO hingga hari ini. Kasus dimana perencana utama masih DPO juga terjadi dalam Putusan PK No. 29 PK/PID/2009 13
Lihat Siaran Pers Kontras http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=2020
24
dengan terpidana mati Ronald Sagala dan Nasib Purba Alias Boy AlIas Purba, Paulus Simanjuntak yang sampai dengan putusan PK dibacakan belum tertangkap. Dalam kasus tersebut para terpidana mati kemudian menyerahkan diri karena mengaku hanya menerima ajakan dari Paulus Simanjuntak. Dari memori PK keduanya, disebutkan bahwa bahkan setelah melakukan pembunuhan, keduanya diperintahkan lari oleh Paulus Simanjuntak, sedangkan Paulus Simanjuntak tetap tinggal dengan tujuan tidak dicurigai sebagai pelaku pembunuhan. Dalam kasus lain, Markus Pata Sambo Alias Markus dengan putusan No. 79 PK/Pid/2008, dalam memori kasasinya memaparkan tentang ketidakseusain putusan yang menyidangkan 6 terdakwa lainnya secara terpisah. Dalam putusan Putusan Banding No.07/PID/2007/PT Mks atas nama Benediktus Budi Sopian alias Budi, yang juga terdakwa dalam kasus yang sama, menyatakan bahwa : “Menimbang, Bahwa saksi Agustinus Sambo alias Agus dengan tegas menyatakan bahwa sebenarnya "Saksilah Pelaku Tunggal" dalam menghabisi nyawa dari diri kedua korban dan anaknya Israel yang dilatar belakangi karena setiap ia menagih hutang Lk.Andarias (korban), selalu dijawab tidak ada uang, jadi sama sekali bukan berlatar belakang Tanah Tongkonan,hal itu hanya rekayasa polisi semata" ; Putusan Banding No.07/PID/2007/PT Mks Hal. 80 ;” Dalam putusan tersebut kemudian terungkap bahwa pemohon PK Markus Pata Sambo Alias Markus, bukanlah pelaku utama. Kasus tersebut menjerat Pemohon PK Markus Pata Sambo Alias Markus, Agustinus Sambo alias Agus dan Benediktus Budi Sopian alias Budi, bersama-sama melakukan pembunuhan berencana. Namun, dengan bukti yang sudah dilampirkan dengan adanya ketidaksesuaian fakta dalam putusan, Hakim MA menolak untuk mengabulkan PK dari pemohon PK Markus Pata Sambo Alias Markus, dirinya tetap dijatuhi pidana mati. Pada kasus lainnya, yaitu kasus narkotika, terdapat kasus Ranni Andriani alias Melisa Aprillia, dalam Putusan PK No. 11 PK/PID/2002, Pemohon PK Ranni Andriani alias Melisa Aprillia telah menyatakan bahwa dirinya adalah kurir yang disuruh oleh Terdakwa lain dengan nama Ola dan dirinya pun pernah menggunakan Pasal 57 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, yaitu pasal yang memungkinkan dirinya sebagai Justice Collaborator, karena dirinya menungkapkan adanya jaringan pengedar narkotika yang menjerat dirinya sebagai kurir, namun fakta ini tidak dipertimbangkan oleh Hakim pada tingkat PN sampai dengan Kasasi. 3.9.Inkonsistensi Mahkamah Agung dan Masalah Peninjauan Kembali (PK) Pasal 183 KUHAP berbunyi “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya” Pemaknaan pada Pasal 183 KUHAP mengikat bagi Hakim PN untuk memperhatikan alat bukti dan pembuktian diruang sidang sehingga menimbulkan keyakinannya. Penjatuhan pidana sepanjang berat ringannya pidana merupakan tugas utama dari Judex facti yaitu pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Judex Facti berwenang untuk memeriksa fakta-fakta yang ada di ruang sidang sehingga dapat menilai berat ringannya putusan yang dapat dijatuhkan pada terdakwa.
25
Disisi lain, apabila kemudian dalam memeriksa fakta-fakta tersebut terjadi kesalahan penerapan hukum, maka tugas pemeriksaan beralih ke tangan Judex Juris. Judex Juris berwenang untuk menilai penerapan hukum dari putusan-putusan hakim di tingkat PN dan Banding. Kasasi bertujuan untuk mengoreksi terhadap kesalahan putusan dan pengadilan bawah, menciptakan dan membentuk hukum baru serta pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum.14 Pandangan bahwa berat ringannya putusan merupakan domain dari Judex Facti digambarkan dalam Putusan MA No. 39 PK/Pid.Sus/2011 dengan pemohon PK Hanky Gunawan Alias Hanky, dalam pertimbangannya, Majelis Hakim MA yaitu M. Imron Anwari, Achmad Yamanie dan M. Hakim Nyak Pha, memberikan pertimbangan bahwa : “...Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berlaku umum bahwa mengenai berat ringannya/ukuran hukuman adalah menjadi wewenang Judex Facti, bukan wewenang Judex Juris (tidak tunduk pada kasasi)...” Dalam putusan tersebut, akhirnya Majelis Hakim MA mengabulkan permohonan Pemohon PK dan menjatuhkan pidana 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 4 bulan kurungan. Pemohon PK sebelumnya dipidana 15 tahun penjara dan denda Rp. 500 juta subsidair 4 bulan kurungan di tingkat PN, lalu 18 tahun penjara dan denda Rp. 600 juta subsidair 6 bulan kurungan di tingkat Banding, dan di MA dijatuhi pidana mati. Hakim pada tingkat Peninjauan Kembali menilai tidak seharusnya Judex Juris dalam hal ini Hakim tingkat Kasasi atau MA menjatuhkan pidana yang lebih berat. Namun putusan MA yang menyatakan bahwa berat ringannya putusan bukan merupakan domain MA tidak berlaku dalam putusan MA lainnya. Dalam putusan No. 15 PK/Pid/2004 dengan pemohon PK bernama Raheem Agbaje Salami, MA pada tingkat Kasasi menjatuhkan pidana Mati, setelah sebelumnya di tingkat PN dan Banding Raheem Agbaje Salami dijatuhi pidana Seumur Hidup dan Pidana 20 tahun penjara. Dalam permohonan PK nya, kuasa hukum Raheem Agbaje Salami menyatakan bahwa : “Bahwa di dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Nopember 1999 No: 1195/Pid/1999 tersebut Mahkamah Agung TELAH MELAMPAUI BATAS KEWENANGANNYA DAN TIDAK MENGURAIKAN SECARA TEGAS MENGAPA Mahkamah Agung merubah pidana penjara dari 20 tahun yang telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur pada tanggal 12 Juli 1999 No:160/Pid/1999/PT.Sby, dengan PIDANA MATI, padahal perubahan pidana tersebut bukanlah menjadi kewenangan Hakim Agung tingkat Kasasi dengan demikian Hakim Agung dalam pemeriksaan pada tingkat Kasasi dalam mengambil putusan telah bertentangan dengan pasal 30 Undang-Undang No 14 tahun I985 tentang Mahkamah Agung”
14
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, 2008. hlm 539 – 542.
26
Dalam pertimbangannya, Hakim MA yang memeriksa PK Raheem Agbaje Salami menyatakan bahwa: “Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena tidak termasuk dalam salah satu alasan peninjauan kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a, b dan c KUHAP...” Perbedaan pandangan ini juga terjadi dalam beberapa putusan lainnya, Dalam Putusan MA No. 1835 K/Pid/2010 dengan terpidana mati Herri Darmawan Alias Sidong Bin Firdaus dan Putusan terhadap Scott Anthony Rush terpidana mati dan pemohon PK pada putusan No. 28 PK/Pid.Sus/2011, MA terkesan memberikan pertimbangan berbeda dalam hal usia dari terpidana mati. Keduanya dijatuhi pidana mati sampai dengan tingkat MA, bedanya adalah dalam perkara Scott Anthony Rush, pertimbangan usianya yang masih 19 tahun dijatdikan salah satu pertimbangan untuk meringankan pidananya menjadi seumur hidup, sedangkan dalam putusan Herri Darmawan Alias Sidong Bin Firdaus, usia 19 tahun tidak menjadi pertimbangan MA untuk meringankan putusan dari pidana mati, meskipun dalam putusan tersebut telah terjadi dissenting opinion oleh Hakim Agung Surya Jaya. Lebih jauh pandangan MA tentang hukuman mati menjadi hal yang menarik. Dalam beberapa putusan, MA menggunakan alasan konstitusional menjadi dasar MA untuk menganulir hukuman mati terhadap seorang terdakwa atau terpidana mati. Namun inkonsistensi terhadap pemikiran ini terlihat ketika ada beberapa kasus lain yang justru menekankan bahwa hukuman mati masih konstitusional di Indonesia. Dalam putusan Hanky Gunawan Alias Hanky, Hakim MA mempertimbangkan : Bahwa mendasari Declaration of Human Right article 3 : “everyone has the right to life, liberty and security of person”. Bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu. Hukuman MATI bertentangan dengan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 dan melanggar Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1989 tentang HAM yang berbunyi : “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan dan oleh siapa pun”. Bahwa dengan adanya klausul tidak dapat dikurangi dalam keadaan dan oleh siapa pun dapat diartikan sebagai tidak dapat dikurangi, dan diabaikan oleh siapa pun termasuk dalam hal ini oleh pejabat yang berwenang sekalipun, tidak terkecuali oleh putusan Hakim/Putusan Pengadilan. Bahwa dengan adanya kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata oleh Majelis Hakim dalam tingkat Kasasi dalam memutus perkara No. 455 K/Pid.Sus/2007 tanggal 28 November 2007 serta demi memenuhi Rasa Keadilan dan Hak Asasi Manusia, maka beralasan hukum apabila putusan Kasasi tersebut dibatalkan oleh Majelis Peninjauan Kembali ;
27
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas menurut Majelis Peninjauan Kembali, terdapat cukup alasan untuk membatalkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.455 K/Pid.Sus/2007, tanggal 28 November 2007 jo putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No.256/Pid/2007/PT.SBY., tanggal 11 Juli 2007 jo putusan Pengadian Negeri Surabaya No.3412/Pid.B/2006/PN.SBY., tanggal 17 April 2006 dan Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara tersebut ; Pertimbangan atas dasar konstitusionalitas hukuman mati dan hak asasi manusia juga pernah digunakan dalam kasus lainnya, dalam putusan PK Hillary K. Chimezie dengan putusan No. 45 PK/Pid.Sus/2009.15 Dalam salah satu pertimbangannya di halaman 105 Majelis PK memberikan pertimbangan: “Bahwa terlepas dari semua uraian-uraian tersebut di atas, mengenai amar putusan Judex Juris terhadap Terdakwa (Pemohon Peninjauan Kembali) dengan (berupa) hukuman mati , majelis akan memberikan pertimbangan sebagai berikut : Bahwa hukuman mati sangat bertentangan dengan ketentuan dalam pasal 28 A UndangUndang Dasar 1945 (Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya) selain itu bertentangan pula dengan Pasal 1 ayat (1) jo . Pasal 4 UndangUndang No.39/1999 tentang Hak azasi Manusia 10 Declaration of Human Right article 3: “everyone has the right of life, liberty and security of person, artinya : setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu ; ” Dalam pertimbangan sebelumnya, Hakim MA mempertimbangkan bahwa dalam perkara tersebut terdapat dugaan penyiksaan serta rekayasa bukti yang dilakukan oleh penyidik. Dalam putusan tersebut kemudian terjadi dissenting opinion oleh Hakim Agung Timur P Manurung, atas dasar ditemukannya bukti rekayasa kasus dan penyiksaan, Hakim Agung Timur P Manurung berpendapat bahwa pemohon PK harusnya dibebaskan dari seluruh dakwaan. Namun 2 orang hakim agung lainnya memutuskan untuk mengubah sanksi yang dijatuhkan kepada Terpidana mati dari pidana mati menjadi 12 tahun penjara. Putusan PK ini diputus pada tanggal 6 Oktober 2010, hampir setahun sebelum putusan Hanky Gunawan, dengan ketua majelis yang sama dengan PK Hanky Gunawan, yaitu Imron Anwari dan Timur P Manurung dan Suwardi sebagai anggota-anggota majelis.16 Hal yang perlu diperhatikan adalah MA memberikan pertimbangan Inkonstitusional hukuman mati dalam Putusan PK Hanky Gunawan pada tanggal 16 Agustus 2011, dan sebelumnya dalam putusan PK Hillary K. Chimezie pada tanggal 6 Oktober 2010 berbeda jauh dengan putusan PK MA pada 5 juli 2012 atas pemohon PK Very Idham H alias Ryan dengan putusan PK No. 25 PK/Pid/2012 yang berselang hanya sebelah bulan. Dalam putusan PK Very Idham H alias Ryan, MA menolak menganulir hukuman mati dirinya dengan alasan apapun, majelis hakim putusan tersebut terdiri dari Artidjo Alkotsar sebagai ketua majelis dan Salman Luthan serta T. Gayus Lumbuun sebagai anggota majelisnya.
15
Arsil, Pembatalan Hukuman Mati oleh MA atas Dasar Inkonstitusionalitas Pidana Mati : Anotasi Atas Beberapa Putusan Penting Mahkamah Agung, LeIP, 2012. 16 Ibid
28
Penolakan Hakim MA terhadap pandangan bahwa hukuman mati adalah inkonstitusional dan melanggar hak asasi manusia tersebar dalam beberapa putusan. Dalam putusan PK No. 38 PK/Pid.Sus/2011 dengan pemohon PK Myuran Sukumaran, MA menolak PK darinya dengan alasan bahwa hukuman mati masih dapat diberlakukan di Indonesia. Hal yang menarik adalah karena Hakim dalam perkara Myuran Sukumaran yaitu M. Imron Anwari, Suwardi dan Achmad Yamanie adalah Hakim MA yang sama yang menganulir hukuman mati dengan alasan inkonstitusional dan melanggar hak asasi manusia dalam Putusan PK Hanky Gunawan (Hakim Agungnya adalah M. Imron Anwari, Achmad Yamanie dan M. Hakim Nyak Pha) dan putusan PK Hillary K. Chimezie (Hakim Agungnya adalah M. Imron Anwari, Suwardi dan Timur P. Manurung). Dalam putusannya, Majelis Hakim MA menyatakan bahwa : “...Bahwa walaupun dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang paling mendasar yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan dalam TAP MPR No. XVII/MPR/1998 menyatakan bahwa hak asasi meliputi hak untuk hidup dan berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pada bagian III Pasal 6 ayat (1) menyatakan setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya, hak ini wajib dilindungi oleh hukum, tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang, akan tetapi dalam ayat (2) menyatakan bahwa di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut ;...” Keanehan ini ternyata tidak terjadi hanya dalam putusan PK Myuran Sukumaran, dalam putusan lainnya juga terdapat kejanggalan terkait inkonsistensi Hakim MA. Dalam putusan PK No. 144 PK/Pid.Sus/2011 dengan pemohon PK Okwudili Ayotanze. Hakim kemudian menolak permohonan PK tersebut pada tanggal 4 Januari 2012, atau sekitar lima bulan setelah putusan Hanky Gunawan, dengan Majelis Hakim M. Imron Anwari, Suwardi, SH dan Achmad Yamanie. Lalu putusan Kasasi No. 1069 K/Pid/2012 dengan terpidana mati Asep Dudung Budiman, tertanggal 8 Agustus 2012 atau kurang lebih setahun setelah putusan Hanky Gunawan. Asep Dudung Budiman dijatuhi hukuman mati sampai dengan tingkat kasasi, meskipun menggunakan dasar kasasi yang sama yaitu hak asasi manusia, namun Hakim MA yang terdiri dari dua hakim agung yang sebelumnya dalam putusan Hanky Gunawan menyatakan hukuman mati inkonstitusional, yaitu Hakim Nyak Pha dan Achmad Yamanie, memperkuat putusan Pengadilan sebelumnya dengan tetap menjatuhkan hukuman mati. 3.10. Administrasi Peradilan Dalam catatan ICJR tidak sedikit problem administrasi peradilan yang kemudian mengganjal seorang terpidana mati atau terdakwa untuk mencari keadilan. Permasalahan administrasi peradilan tidak hanya datang dari peraturan perundang-undangan, dalam pengamatan ICJR beberapa faktor menyumbang hambatan tersebut, seperti ketidaktahuan dari terpidana mati atas upaya hukum dan tidak hadirnya kuasa hukum. Dalam beberapa putusan, beberapa ciri tersebut dapat terlihat. PK menjadi bagian penting dalam beberapa putusan hukuman mati, minimal terdapat tiga putusan dimana hakim mengubah pidana mati menjadi pidana lainnya pada putusan PK, yaitu dalam Putusan PK No. 39 PK/Pid.Sus/2011 dengan pemohon PK Hanky Gunawan Alias Hanky, putusan PK No. 45 29
PK/Pid.Sus/2009 dengan pemohon PK Hillary K. Chimezie dan Scott Anthony Rush terpidana mati dan pemohon PK pada putusan No. 28 PK/Pid.Sus/2011. Dalam ketiga putusan tersebut Majelis Hakim PK mengatakan bahwa telah terjadi kesalahan dalam putusan Kasasi, sehingga permohonan PK dapat diterima. Ketiga putusan tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya kemungkinan bahwa terjadi kesalahan dalam menjatuhkan pidana sangat mungkin terjadi. Dalam putusan PK No. 45 PK/Pid.Sus/2009 dengan pemohon PK Hillary K. Chimezie, Hakim Agung Timur P. Manurung yang memberikan pendapat berbeda dengan hakim lainnya menyatakan bahwa : “...Bahwa sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa sistem peradilan pidana tidaklah sempurna dan peradilan pidana dapat saja keliru dalam menghukum orang- orang yang tidak bersalah, Karena Polisi, jaksa Penuntut umum maupun hakim adalah manusia biasa yang bisa saja keliru menjalankan tugasnya. Berkaitan dengan hukuman mati, maka kekeliruan tersebut dapat berakibat fatal karena penerapan hukuman mati irreversible. Orang yang dihukum mati tidak dapat dihidupkan lagi, walaupun dikemudian hari diketahui bahwa yang bersangkutan tidak bersalah ; Bahwa ketidak sempurnaan sistem peradilan pidana merupakan suatu yang dimungkinkan, karena merupakan Hasil karya manusia dan bahkan di Negara maju sekalipun, kegagalan sistem peradilan pidana untuk menghukum orang yang tidak bersalah cukup sering terjadi, dimana sejak di Amerika sejak tahun 1973, lebih dari 120 orang yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati, kemudian dibebaskan karena di temukan bukti bahwa ternyata mereka sama sekali tidak bersalah ; Bahwa di Indonesia, kegagalan sistem hukum peradilan pidana terjadi pada perkara Sengkon dan Karta tahun 1976, yang kemudian menjadi acuan atau pemicu diadakannya upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap ;...” Masih belum sempurnanya sistem peradilan pidana di Indonesia juga mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengeluarkan putusan No. 34/PUU-XI/2013, dalam putusan terssebut MK menyatakan bahwa : “... Kebenaran materiil mengandung semangat keadilan sedangkan norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan. Oleh karena itu, upaya hukum untuk menemukan kebenaran materiil dengan tujuan untuk memenuhi kepastian hukum telah selesai dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan menempatkan status hukum terdakwa menjadi terpidana. Hal tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 268 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut”... Menimbang bahwa benar dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet yakni setiap perkara harus ada akhirnya, namun menurut Mahkamah, hal itu berkait dengan kepastian hukum, sedangkan untuk keadilan dalam perkara pidana asas tersebut tidak secara rigid dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum). Hal itu justru bertentangan
30
dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan... “ Pertimbangan dalam putusan PK No. 45 PK/Pid.Sus/2009 dan putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 menunjukkan bahwa tujuan utama dari peradilan pidana adalah kebenaran materil sehingga alasanalasan yang sifatnya administratif dan formil dapat dikesampingkan. Pada akhir 2014, MA akhirnya mengeluarkan SEMA 7/2014 yang pada intinya menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali atas dasar ditemukannya bukti baru hanya dapat diajukan satu kali, sedangkan permohonan peninjauan kembali dengan dasar adanya pertentangan putusan dapat diajukan lebih dari satu kali, dasar pijakan MA sudah bisa diduga yaitub alasan kepastian hukum. Bahwa lahirnya SEMA 7/2014 ternyata telah menimbulkan masalah yang jauh lebih rumit lagi. SEMA 7/2014 dianggap sebagai suatu bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, bahkan Mahkamah Konstitusi sendiri menganggap bawah kejadian ini merupakan suatu bentuk pembangkangan dari konstitusi.17 Permohonan PK lebih dari satu kali dalam praktiknya ternyata juga dibutuhkan oleh terpidana mati, dalam putusan PK No. 108 PK/Pid/2007 dengan pemohon PK Ibrahim Bin Ujang, MA menolok permohonan PK dari Ibrahim Bin Ujang dengan alasan bahwa ini kali kedua dirinya mengajukan PK. Dilain sisi juga masih terdapat putusan lain dimana hakim terlihat ragu dalam menjatuhkan pidana, dalam putusan PK No. 45 PK/Pid.Sus/2009 dengan pemohon PK Hillary K. Chimezie, salah satu hakim agung, Timur P. Manurung meminta agar pemohon PK dibebaskan. Apabila melihat ketentuan SEMA 7/2014, maka Hillary K. Chimezie tidak dapat lagi mengajukan PK atas kasusnya yang bisa dianggap kontroversi, bahkan apabila dirinya mendapatkan novum lagi. Problem terkait PK tidak berhenti dimasalah pembatasan semata. Dalam SEMA 1 tahun 2012 (SEMA 1/2012) tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, yang pada intinya bahwa pengajuan PK harus dihadiri langsung oleh Pemohon PK dan tidak dapat diwakili oleh advokat atau penasehat hukumnya, dalam SEMA tersebut dinyatakan bahwa : “...Atas dasar ketentuan tersebut di atas dan juga ketentuan Pasal 265 ayat (2) DAN (3) KUHAP, Mahkamah Agung menegaskan bahwa permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung hanya dapat diajukan oleh terpidana sendiri atau ahli warisnya. Permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung...” SEMA 1/2012 menunjukkan bahwa alasan administratif dan formil masih menjadi pertimbangan utama dari MA. SEMA ini disinyalir keluar karena kontroversi dari PK yang diajukan oleh terpidana mati yang melarikan diri.18 Masalahnya, SEMA 1/2012 kemudian tidak mempertimbangkan perihal terpidana mati atau pemohon PK lain yang memiliki kepentingan. Hadir sendiri dalam mengajukan PK tentu saja tidak mudah, melihat dari proses perizinan yang harus dilalui apabila misalnya 17
Lihat MK Nilai MA Langgar Konsepsi Negara Hukum, Diakses pada http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54aaac4f8e2fb/mk-nilai-ma-langgar-konsepsi-negara-hukum 18 Lihat Sikap MA Terbelah Tentang Pengajuan PK oleh Advokat, Diakses pada http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b9a65f16afe3/sikap-ma-terbelah-tentang-pengajuan-pk-olehadvokat
31
pemohon PK adalah seorang terpidana, sehingga minimal membutuhkan izin keluar dari Lapas. Belum lagi apabila terpidananya adalah terpidana mati, yang kebanyakan akan dipindahkan ke Lapas di Nusa Kambangan, untuk bisa mengajukan PK dirinya harus mengakses Pengadilan Negeri tempatnya diadili, maka akan ada biaya yang sangat besar. Praktik biaya besar ini tentu saja bertentangan dengan asas biaya murah dalam peradilan pidana. Kehadiran SEMA 1/2012 juga menimbulkan tanda tanya besar terkait hak atas bantuan hukum. Kehadiran advokat, terutama bantuan hukum untuk orang miskin atau terpidana mati sangat penting, maka pembatasan terhadap hak dan kewenangan advokat adalah masalah besar. Lebih jauh melanggar hak atas bantuan hukum dan juga secara prinsip melanggar hak advokat yang dilindungi oleh UU untuk mewakili kliennya. Kehadiran advokat menjadi penting setidaknya untuk memberikan pemahaman kepada terdakwa atau terpidana mati terkait hak-hak nya, misalnya hak untuk mengajukan upaya hukum ke pengadilan. Dalam kasus Rusula Hia dan Yusman TelaumBanua, terpidana mati dalam putusan No. 07/Pid.B/2013/PN-GS dan Putusan No. 08/Pid.B/2013/PN-GS, tidak melakukan upaya hukum sama sekali, 19 kualitas dan kehadiran advokat menjadi alasan kuat mengapa keduanya tidak mengajukan upaya hukum. Masalah administrasi peradilan juga ditemukan dalam Putusan MA No. 554 K/Pid/2009 dengan terpidana mati Mulyadi Dwi Asmono Als Acong Bin Fadilah dan Putusan MA No. 558 K/Pid/2009 dengan terpidana mati Maulana Reza Alias Item Bin Nazarudin, MA menyatakan kasasi keduanya tidak dapat diterima, namun tidak diketahui mengapa keduanya terlambat dalam mengirimkan beras, sebab dalam putusan yang langsung menerima putusan PT adalah terpidana mati, tidak menyebutkan kehadiran advokat atau bantuan hukum lainnya. MA memberikan pertimbangan yang sama persis yaitu : “...Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah diberitahukan dengan hadirnya Pemohon Kasasi/Terdakwa pada tanggal 19 Januari 2009 dan Pemohon Kasasi/Terdakwa mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 10 Februari 2009, akan tetapi memori kasasi yang memuat alasan-alasan permohonannya untuk pemeriksaan perkara tersebut dalam tingkat kasasi baru diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Depok pada tanggal 24 Februari 2009 jadi melewati tenggang waktu 14 (empat belas) hari, sebagaimana ditentukan dalam pasal 248 (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No: 8 Tahun 1981), oleh karena itu hak untuk mengajukan permohonan kasasi gugur, dan dengan demikian permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima ;...”
19
Lihat Kejatisu Tunggu Upaya Hukum Dua Terpidana Mati Nias, Diakses pada http://www.posmetromedan.com/kejatisu-tunggu-upaya-hukum-dua-terpidana-mati-nias/
32
BAB IV Simpulan dan Rekomendasi 4.1. Simpulan Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan beberapa hal yaitu : 1. Pada dasarnya hukum acara pidana di Indonesia tidak membedakan standar proses peradilan bagi orang - orang yang diancam pidana mati. Hampir semua ketentuan yang terdapat dalam hukum acara pidana di Indonesia memberikan standar peradilan yang sama antara proses peradilan bagi tersangka/terdakwa yang diancam pidana mati dan tersangka/terdakwa pada kasus-kasus lainnya. 2. Masih ditemukannya permasalahan penerapan prinsip fair trial dalam peradilan pidana di Indonesia, khusus bagi tersangka/terdakwa yang diancam pidana mati. Hal tersebut dapat terlihat dari masih banyaknya persolan yang ditemukan dalam berbagai putusan pidana yang menjatuhkan pidana mati, persoalan-persoalan tersebut tampak menyeluruh dan berulang, seperti kehadiran akses bantuan hukum yang efektif, minimnya pembuktian dari jaksa, penyidikan yang eksesif, sampai dengan inkonsistensi putusan hakim. 3. Problem administratif dan masih diutamakannya kepentingan formil dari pada mencari kebenaran materil sangat kental dengan dikeluarkannya beberapa aturan oleh Mahkamah Agung. Dikeluarkannya SEMA 1/2012, SEMA 7/2014 dan aturan lainnya yang memberikan batasan-batasan serta hambatan kepada pencari keadilan menjadi persoalan serius yang masih perlu untuk dibenahi.Rekomendasi 4.2. Rekomendasi Dari kesimpulan diatas didapat beberapa rekomendasi, yaitu : 1. Mendesak pemerintah untuk melakukan review ulang pada semua putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana mati, harus dipastikan bahwa semua putusan sudah sesuai dengan prinsip fair trial dan prinsip universal terkait penjatuhan pidana mati. 2. Mendesak pemerintah untuk melakukan moratorium eksekusi bagi terpidana mati dan penjatuhan pidana mati selama masih belum adanya hukum acara pidana yang sesuai standar fair trial. Setidaknya pemerintah harus segera melakukan pembahasan dengan segera terkait perubahan KUHAP untuk memberikan standar baru bagi proses peradilan pidana terhadap tersangka/terdakwa yang diancam pidana mati. 3. Mendesak Mahkamah Agung untuk segera mencabut SEMA 1/2012 dan SEMA 7/2014 yang memberikan batasan-batasan serta hambatan kepada pencari keadilan. Peninjauan Kembali (PK) seharusnya diatur lebih komprehensif dalam KUHAP atau UU khusus mengenai Peninjauan Kembali sehingga tidak menimbulkan pembatasan terhadap hak terpidana mati seperti pengaturan saat ini.
33
Lampiran
IDENTITAS TERDAKWA No.
No Perkara
Nama Terdakwa
Tempat/ Tanggal Lahir
Umur
Jenis Kela min L/ P
1
1127 K/ Pid/ 2002
Okwudili Ayotanze
-
31
L
Nigeri a
2
1771 K/ Pid/ 2002
Merri Utami Binti Siswandi
28
P
WNI
3
1888 K/ Pid/ 2004
Okonkwo Nonso Kingkeys
29
L
4
2107 K/Pid/ 2004
Seck Osmane
29
L
5
2253 K/ Pid/ 2005
Zulfiqar Ali alias Ali
41
L
6
22/PK/Pid/2003
Jurit bin Abdullah
32
L
WNI
7
24/PK/Pid/2003
Siswanto alias Robot
33
L
WNI
8
25 PK/Pid/2012
31
L
WNI
9
27 PK/Pid/2010
29
L
WNI
22
L
WNI
10
29 PK/PID/2009
22
L
WNI
25
L
WNI
25
P
WNI
29
P
WNI
29
L
Nigeri a
Sukohardjo, 30 Januari 1974 Sierra Leone, 07 September 1974 Sinegal, 16 April 1974 Lahore, 1 Januari 1964 Talang Andong
VERY IDHAM HENYANSYAH alias RYAN H. NURHASAN YOGI MAHENDRA Ronald Sagala Nasib Purba
Pekalongan Jawa Tengah, 4 Juni 1963 Jombang, 01 Pebruari 1978 Lamongan, 05 Juni 1975 Sialang buah, 14 Oktober 1984 Lau Balang, 21 Juni 1983
Turmudi bin Kasturi
Demak
Ranni Andriani alias Melisa Aprilia Merika Franola alias Ola alias Tania
Cianjur, 26 September 1975 Jakarta, 23 November 1970 Nigeria, 5 September 1974
Warga Negara
Sierra Leone Sinega l Afrika Pakist an
11
53 PK/Pid/2002
12
11 PK/Pid/2002
13
14 PK/Pid/2002
14
18 PK/Pid/2007
Humprey Ejike alias Doctor
15
39 PK/Pid/2003
Ayodhya Prasad Chaubey
India, 1 Juli 1939
36
L
India
16
67/Pid/2012/PT.BTN
Gareth Dane Cashmore
Wakafield (Inggris), 8 Maret 1979
32
L
Inggris
17
503 K/Pid/2002
Palembang
36
L
WNI
18
178/PID.B/2009/PN. TBK
Bukit Salembak Durai 23 Januari 1985
24
L
WNI
Mgs. Zainal Abidin bin Mahmud Badaruddin RAJA SYAHRIAL BIN RAJA MUZAHAR ALS. HERMAN ALS. WAK ANCAP
34
Agama
Khat olik Khat olik Krist en Krist en Isla m Isla m Isla m Isla m Isla m Krist en Krist en Isla m Isla m Isla m Krist en Hind u Tida k Bera gam a Isla m Isla m
MULYADI DWI ASMONO Als ACONG Bin FADILAH YOHANES MARTINUS alias DADO alias MARTIN bin TEDI GUNAWAN MAULANA REZA alias ITEM bin RAHMAT AWAFI alias AWIF als DREGO;
19
554 K/Pid/2009
20
558 K/Pid/2009
21
560 K/Pid/2009
22
254 K/PID/2013
23
1731 K/Pid/2008
Sabirin alias Oyon bin Oma
24
1069 K/Pid/2012
ASEP DUDUNG BUDIMAN bin UJU
25
1135 K/ Pid/ 2002
Ozias Sibanda
26
1835 K/ Pid/ 2010
27
2473 K/Pid/2007
28
38 PK/Pid.Sus/2011
Myuran Sukumaran/ Mark
29
731 K/PID.SUS/2009
JAT LIE CHANDRA alias CECE
30
1443 K/Pid.Sus/2009
SIEGFRIED METS
31
39 PK/Pid.Sus/2011
HANKY GUNAWAN
32
28 PK/Pid.Sus/2011
SCOTT ANTHONY RUSH
33
108 PK/Pid/2007
IBRAHIM BIN UJANG
34
65 PK/PID/2010
I Putu Suaka als. Keteg
HERRI DARMAWAN alias SIDONG bin FIRDAUS SYEKH ABDUL RAHIM ALIAS DAENG RAHIM
987 K/Pid. Sus/2011
MARY JANE FIESTA VELOSO
36
79 PK/Pid/2008
MARKUS PATA SAMBO ALIAS MARKUS
90 / PID / 2012 / PT.DPS
HERU HENDRIYANTO Als. E’EN Als. KOMANG, PUTU ANITA SUKRA DEWI
38
72/PK/Pid/2002
25
L
WNI
isla m
Jakarta 7 Maret 1986
22
L
WNI
Khat olik
25
L
WNI
25
L
WNI
40
L
WNI
32
L
WNI
33
L
Zimba ge
19
L
WNI
51
L
WNI
24
L
Austra lia
39
L
WNI
57
L
Beland a
36
L
WNI
19
L
Austra lia
36
L
WNI
45
P
WNI
25
P
Philipi na
Khat olik
31
L
WNI
Krist en
25
L
WNI
Isla m
21
P
WNI
Isla m
55
L
WNI
Khat olik
Jakarta 19 Desember 1983 Lampung 09 September 1986 Pandeglang, 5 Juni 1967 Sumedang, 20 Desember 1980 Bulilimamangwe Zimbage, 1969 Pontianak, 3 April 1990 Atappange, Sengkang, 1956 London/ 17 Agustus 1981 Jakarta/ 21 Desember 1967 Semarang / 23 Mei 1951 Surabaya / 09 Agustus 1970 Brisbane/ 03 Des 1985 Talang Andong, Sumatera Selatan Bali 1963
35
37
Jakarta21 Desember 1983
Fabianus Tibo,
35
Baliung Bilacan , Philipina, 10 Januari 1985 Makale Tanah Toraja / 28 Pebruari 1975 Terdakwa 1 situbondo / 18 Maret 1985., Terdakwa 2 Buleleng 3 Agustus 1990 Terdakwa I Flores NTT,
Isla m Isla m Isla m Isla m Isla m Isla m Isla m Krist en Bud ha Khat olik Krist en Khat olik Isla m Hind u
Dominggus Dasilva Alias Domi,
39 40 41 42
08/Pid.B/2013/PNGS 07/Pid.B/2013/PNGS 1014/Pid.B/1998/PN .SBY No. 45 PK/Pid.Sus/2009
Marinus Riwu
Terdakwa II Maomere NTT, Terdakwa III Kupang NTT
Yusman TelaumBanua
Hilonozega, 1993
19
L
WNI
Rusula Hia
Gunung Tua, 1984
28
L
WNI
Raheem Agbaje
Cordova
33
L
WNI
HILLARY K. CHIMEZIE
Nigeria, 10 Februari 1969
34
L
Nigeri a
37 43
L
WNI
L
WNI
Khat olik Khat olik Krist en Krist en Isla m Krist en
PEKERJAAN TERDAKWA
No.
No Perkara
Nama Terdakwa
Pekerjaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1127 K/ Pid/ 2002 1771 K/ Pid/ 2002 1888 K/ Pid/ 2004 2107 K/Pid/ 2004 2253 K/ Pid/ 2005 22/PK/Pid/2003 24/PK/Pid/2003 25 PK/Pid/2012 27 PK/Pid/2010
10
29 PK/PID/2009
11 12 13 14 15 16 17
53 PK/Pid/2002 11 PK/Pid/2002 14 PK/Pid/2002 18 PK/Pid/2007 39 PK/Pid/2003 67/Pid/2012/PT.BTN 503 K/Pid/2002
Pedagang Tidak Ada Tukan Elektronik Tidak Ada Wiraswasta (Garment) Pekerja Buruh Tuna Karya Swasta Swasta Tani Tidak Ada Tani Tidak Ada Tidak Ada Pedagang Pelayan Toko Konstruksi Tukang Pelitur
18
178/PID.B/2009/PN.TBK
19
554 K/Pid/2009
20
558 K/Pid/2009
21 22
560 K/Pid/2009 254 K/PID/2013
Okwudili Ayotanze Merri Utami Binti Siswandi Okonkwo Nonso Kingkeys Seck Osmane Zulfiqar Ali alias Ali Jurit bin Abdullah Siswanto alias Robot VERY IDHAM HENYANSYAH alias RYAN H. NURHASAN YOGI MAHENDRA Ronald Sagala Nasib Purba Turmudi bin Kasturi Ranni Andriani alias Melisa Aprilia Merika Franola alias Ola alias Tania Humprey Ejike alias Doctor Ayodhya Prasad Chaubey Gareth Dane Cashmore Mgs. Zainal Abidin bin Mahmud Badaruddin RAJA SYAHRIAL BIN RAJA MUZAHAR ALS. HERMAN ALS. WAK ANCAP MULYADI DWI ASMONO Als ACONG Bin FADILAH YOHANES MARTINUS alias DADO alias MARTIN bin TEDI GUNAWAN MAULANA REZA alias ITEM bin RAHMAT AWAFI alias AWIF als DREGO;
23
1731 K/Pid/2008
Sabirin alias Oyon bin Oma
Tukang Ojek
24
1069 K/Pid/2012
ASEP DUDUNG BUDIMAN bin UJU
Wiraswasta
36
Wiraswasta Wiraswasta Wiraswasta Tidak Ada Karyawan
25
1135 K/ Pid/ 2002
26
1835 K/ Pid/ 2010
27
2473 K/Pid/2007
Ozias Sibanda HERRI DARMAWAN alias SIDONG bin FIRDAUS SYEKH ABDUL RAHIM ALIAS DAENG RAHIM
28
38 PK/Pid.Sus/2011
Myuran Sukumaran/ Mark
29 30 31 32 33 34 35 36
731 K/PID.SUS/2009 1443 K/Pid.Sus/2009 39 PK/Pid.Sus/2011 28 PK/Pid.Sus/2011 108 PK/Pid/2007 65 PK/PID/2010 987 K/Pid. Sus/2011 79 PK/Pid/2008
37
90 / PID / 2012 / PT.DPS
JAT LIE CHANDRA alias CECE SIEGFRIED METS HANKY GUNAWAN SCOTT ANTHONY RUSH IBRAHIM BIN UJANG I Putu Suaka als. Keteg MARY JANE FIESTA VELOSO MARKUS PATA SAMBO ALIAS MARKUS HERU HENDRIYANTO Als. E’EN Als. KOMANG, PUTU ANITA SUKRA DEWI Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva Alias Domi, Marinus Riwu Yusman TelaumBanua Rusula Hia
Tani Mantan Karyawan Statestreet Bank & Trust Ibu Rumah Tangga Karyawan Restoran Wiraswasta Buruh Buruh Swasta Pembantu Rumah Wiraswasta Supir Tidak Ada Tani Tani Tani Karyawan Perkebunan Tani
Raheem Agbaje
Konsultan Pertanian
HILLARY K. CHIMEZIE
Bisnis Sepatu
72/PK/Pid/2002 38 39 40 41 42
08/Pid.B/2013/PN-GS 07/Pid.B/2013/PN-GS 1014/Pid.B/1998/PN.SB Y No. 45 PK/Pid.Sus/2009
Businessman Nambang Sampan
MODEL DAKWAAN
No.
No Perkara
Jenis Perkara
Model Dakwaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1127 K/ Pid/ 2002 1771 K/ Pid/ 2002 1888 K/ Pid/ 2004 2107 K/Pid/ 2004 2253 K/ Pid/ 2005 22/PK/Pid/2003 24/PK/Pid/2003 25 PK/Pid/2012 27 PK/Pid/2010 29 PK/PID/2009 53 PK/Pid/2002 11 PK/Pid/2002 14 PK/Pid/2002 18 PK/Pid/2007 39 PK/Pid/2003 67/Pid/2012/PT.BTN 503 K/Pid/2002 178/PID.B/2009/PN.
Narkotika Narkotika Narkotika Narkotika Narkotika Pembunuhan Berencana Pembunuhan Berencana Pembunuhan Berencana Pembunuhan Berencana Pembunuhan Berencana Pembunuhan Berencana Narkotika Narkotika Narkotika Narkotika Narkotika Narkotika pembunuhan berencana
Subsidaritas Subsidaritas Alternatif Subsidaritas Subsidaritas Subsidair Kombinasi Subsidair dan Kumulatif Kombinasi Subsidair dan Alternatif Subsidair Subsidair Subsidair Subsidaritas Subsidaritas Subsidaritas Subsidaritas Subsidaritas Subsidaritas kombinasi
37
19 20 21 22
TBK 554 K/Pid/2009 558 K/Pid/2009 560 K/Pid/2009 254 K/PID/2013
Pembunuhan Berencana Pembunuhan Berencana Pembunuhan Berencana Pembunuhan Berencana
Alternatif Alternatif Alternatif Subsidiaritas
23
1731 K/Pid/2008
Pembunuhan Berencana
Kombinasi Alternatif - Subsidiaritas
24 25 26 27 28 29
Pembunuhan Berencana Narkotika Pembunuhan Berencana Pembunuhan Berencana Narkotika Narkotika
Alternatif Subsidaritas Subsidaritas Kombinasi alternatif Subsidaritas Subsidair Kombinasi Subsidair alternatif kumulatif
Narkotika
Kombinasi Subsidair Alternatif
31 32 33 34 35
1069 K/Pid/2012 1135 K/ Pid/ 2002 1835 K/ Pid/ 2010 2473 K/Pid/2007 38 PK/Pid.Sus/2011 731 K/PID.SUS/2009 1443 K/Pid.Sus/2009 39 PK/Pid.Sus/2011 28 PK/Pid.Sus/2011 108 PK/Pid/2007 65 PK/PID/2010 987 K/Pid. Sus/2011
Kombinasi Alternatif Kumulatif Subsidair Subsidair Kumulatif Alternatif
36
79 PK/Pid/2008
Narkotika Narkotika Pembunuhan Berencana Pembunuhan Berencana Narkotika Pembunuhan Berencana dan Pemerkosaan
37
90 / PID / 2012 / PT.DPS
Pembunuhan Berencana
38
72/PK/Pid/2002
Pembunuhan Berencana
30
39 40 41 42
08/Pid.B/2013/PNGS 07/Pid.B/2013/PNGS 1014/Pid.B/1998/P N.SBY No. 45 PK/Pid.Sus/2009
Kumulatif Kombinasi Kombinasi Kombinasi Kombinasi Kombinasi
Pembunuhan Berencana
Alternatif Subsidaritas
Pembunuhan Berencana
Alternatif Subsidaritas
Narkotika
Subsidaritas
Narkotika
Alternatif Subsidaritas
PASAL DAKWAAN
No.
No Perkara
1
1127 K/ Pid/ 2002
2
1771 K/ Pid/ 2002
Dakwaan Pertama
Dakwaan Kedua
Pasal 82 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997
Pasal 81 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 81 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997
38
Dakwaan Dakwaan Ketiga Pasal 78 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 78 ayat (1) huruf b UU No. 22 Tahun 1997
Dakwaan Keempat
Dakwaan Kelima
-
-
-
-
3
1888 K/ Pid/ 2004
4
2107 K/Pid/ 2004
5
2253 K/ Pid/ 2005
6
22/PK/Pid/2003
7
24/PK/Pid/2003
8
25 PK/Pid/2012
9
27 PK/Pid/2010
10
29 PK/PID/2009
11
12
53 PK/Pid/2002
11 PK/Pid/2002
13
14 PK/Pid/2002
14
18 PK/Pid/2007
tentang Narkotika Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 340 jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP Pasal 65 (1) KUHP jo Pasal 340 KUHP
tentang Narkotika Pasal 81 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 78 ayat (1) huruf b UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 78 ayat (1) huruf b UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 338 jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP Pasal 65 (1) KUHP jo Pasal 338 KUHP
Pasal 351 (1) ke3 KUHP jo Pasal 55 (1) KUHP Pasal 65 (1) KUHP jo Pasal 292 KUHP
Pasal 340 KUHP
Pasal 339 KUHP
Pasal 340 jo Pasal 65 (1) KUHP Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 (1) ke-1 KUHP
Pasal 338 KHUP jo Pasal 65 (1) KUHP Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP
Pasal 340 KUHP Pasal 82 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP Pasal 82 ayat (1) a UU No. 22 Tahun 1997 jo. Pasal 55 KUHP Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No.
tentang Narkotika Pasal 78 ayat (1) huruf b UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Pasal 338 KUHP
Pasal 365 ayat (3) KUHP
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Pasal 338 KUHP
Pasal 355 ayat 2 KUHP
Pasal 354 ayat 2 KUHP
Pasal 351 ayat 3 KUHP
Pasal 81 ayat (1) huruf a UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP
Pasal 78 ayat (1) huruf b UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
-
-
Pasal 78 ayat (1) UU No 22 Tahun 1997 jo. Pasal 55 KUHP
Pasal 78 ayat (1) huruf b UU No.22 Tahun 1997
-
-
-
-
Pasal 81 ayat (1) a UU No. 22 Tahun 1997 jo Pasal 55 KUHP 78 ayat (1) huruf b UU No.
39
15
16
17
18
39 PK/Pid/2003
67/Pid/2012/PT.BTN
503 K/Pid/2002
178/PID.B/2009/PN. TBK
19
554 K/Pid/2009
20
558 K/Pid/2009
21
560 K/Pid/2009
22
254 K/PID/2013
23
1731 K/Pid/2008
22 Tahun 1997 Pasal 23 ayat (4) jo Pasal 36 ayat (4) b UU No. 9 Tahun 1976 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Pasal 114 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika jo. Pasal 132 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997
22 Tahun 1997 Pasal 56 ayat (1) KUHP jo. Pasal 23 ayat (4) jo Pasal 36 ayat (4) b UU No. 9 Tahun 1976 Pasal 113 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo Pasal 132 ayat (1) UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 78 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
Pasal 48 UU No 9 Tahun 1976
Pasal 23 ayat (5) b UU No 9 Tahun 1976 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP
-
Pasal 112 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo Pasal 132 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
-
-
-
-
-
Pasal 365 Ayat (4) KUHP
Pasal 82 Undang Undang R.I No.23 Tahun 2002 Jo Pasal 55 ayat (1) KUH Pidana
-
Pasal 365 ayat (4) KUHP
-
-
Pasal 365 ayat (4) KUHP
-
-
Pasal 365 ayat (4) KUHP
-
-
-
-
-
-
pasal 338 KUHP Jo pasal 55 ayat
pasal 355 Ayat (2) KUHP Jo
pasal 354 ayat (2)
-
Pasal 340 KUH Pidana Jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP
PidanaPasal 339 KUHP Pidana Jo pasal 55 Ayat (1) KUHP
Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pasal 340 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana dalam Pasal 338 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pasal 340 KUHP Jo pasal 55 ayat
Pasal 339 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pasal 339 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pasal 339 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
40
24
1069 K/Pid/2012
25
1135 K/ Pid/ 2002
26
1835 K/ Pid/ 2010
27
2473 K/Pid/2007
28
29
30
31
38 PK/Pid.Sus/2011
(1) ke-1 KUHP Jo pasal 64 ayat (1) KUHP
(1) ke-1 KUHP Jo pasal 64 ayat (1) KUHP.
pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo pasal 64 ayat (1) KUHP.
pasal 365 ayat (4) KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo pasal 64 ayat (1) KUHP.
pasal 204 ayat (2) KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo pasal 64 ayat (1) KUHP
pasal 378 KUHP jo pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP
-
-
Pasal 340 KUHP
Pasal 339 KUHP
Pasal 356 ayat (3) KUHP
Pasal 480 ke1 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
-
Pasal 82 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a UU Narkotika 340 KUHP Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Pasal 81 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a UU Narkotika 339 KUHP Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
-
-
-
-
Pasal 365 ayat (1) dan (4) KUHP
-
-
Pasal 82 ayat (3) UU Narkotika
Pasal 82 ayat (2) huruf a UU Narkotika
Pasal 82 (2) huruf a jo. Pasal 83 UU Narkotika jo. 53 (1) KUHP
Pasal 78 ayat (2) UU Narkotika
-
Pasal 78 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU Narkotika 338 KUHP
731 K/PID.SUS/2009
Pasal 59 ayat (1) huruf c jo. ayat (2) UU Psikotropika
Pasal 59 ayat (1) huruf c UU Psikotropika jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Pasal 59 ayat (1) huruf e UU Psikotropika jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
1443 K/Pid.Sus/2009
Pasal 59 ayat (1) huruf c jo. Pasal 59 ayat (2) UU Psikotropika
Pasal 59 ayat (1) huruf c UU Psikotropika jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 e KUHP
Pasal 59 ayat (1) huruf e jo. Pasal 59 ayat (2) UU Psikotropika
39 PK/Pid.Sus/2011
Pasal 59 ayat (1) huruf b jo. Pasal 59 ayat (2) UU Psikotropika jo Pasal 64 ayat (1) KUHP
Pasal 59 ayat (1) huruf b UU Psikotropika jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP
Pasal 59 ayat (1) huruf b jo Pasal 69 UU Psikotropika jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP
41
KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal 59 ayat (1) huruf e UU Psikotropika jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pasal 59 ayat (1) huruf e UU Psikotropika jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 e KUHP Pasal 59 ayat (1) huruf c UU Psikotropika jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat
-
-
-
Pasal 82 ayat (1) huruf a UndangUndang RI . No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
28 PK/Pid.Sus/2011
Pasal 82 ayat (3) huruf a UU RI. No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika
Pasal 82 ayat (2) huruf a UndangUndang RI No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
33
108 PK/Pid/2007
Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ke-1 KUHP
Pasal 338 KUHP Jo. Pasal 55 (1) ke- 1 KUHP
34
65 PK/PID/2010
Pasal 340 KUHP
Pasal 338 KUHP
987 K/Pid. Sus/2011
Pasal 114 ayat (2) Undangundang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Pasal 113 ayat (2) Undangundang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Pasal 112 ayat (2) UndangUndang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
79 PK/Pid/2008
Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana
Pasal Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana ( putusan tidak mencantumkan Pasal yang lengkap)
Pasal 351 ayat (1) dan ayat (3) jo. Pasa1 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana
90 / PID / 2012 / PT.DPS
Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP
Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP
Pasal 339 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP
38
72/PK/Pid/2002
Pasal 340 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP
Pasal 338 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP
39
08/Pid.B/2013/PNGS
Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1)
Pasal 338 jo. Pasal 55 ayat (1)
32
35
36
37
42
Pasal 351 (3) KUHP jo. Pasal 55 (1) ke-1 KUHP Pasal 363 ayat (1) ke-3e KUHP
Pasal 187 ke- 1 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP
Pasal 365 ayat (2) ke-2 dan
(1) KUHP Pasal 82 ayat (1) huruf a UndangUndang RI . No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika jo Pasal 53 (1) KUHP jo. Pasal 83 UndangUndang Narkotika. Pasal 339 KUHP Pasal 115 ayat (2) UndangUndang RI Nomor 35 Tahun 2009 ten tang Narkotika
Pasal 285 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana
Pasal 365 ayat (1), ayat (2) ke-1, 2 dan ayat (3) KUHPidana Pasal 351 ayat (1) Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP -
-
-
-
-
-
-
-
-
ke-1 KUHP Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
40
07/Pid.B/2013/PNGS
41
1014/Pid.B/1998/PN .SBY
Pasal 82 ayat (1) huruf a UU 22/1997 tentang Narkotika
No. 45 PK/Pid.Sus/2009
Pasal 82 ayat (3) huruf a UndangUndang No.22 Tahun 1997 jo . Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP jo . Pasal 84 ayat (2) KUHAP
42
ke-1 KUHP Pasal 338 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pasal 81 ayat (1) huruf a UU 22/1997 tentang Narkotika Pasal 82 ayat (1) huruf a UndangUndang No.22 Tahun 1997 jo . Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP jo . Pasal 84 ayat (2) KUHAP
ayat (3) KUHP Pasal 365 ayat (2) ke-2 dan ayat (3) KUHP Pasal 78 ayat (1) huruf b UU 22/1997 tentang Narkotika Pasal 78 ayat (3) UndangUndang No.22 Tahun 1997 jo . Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP
-
-
-
-
Pasal 78 ayat (1) huru f b UndangUndang No.22 Tahun 1997 jo . Pasal 64 ayat (1) KUHP;
-
PASAL TUNTUTAN
No.
No Perkara
Tuntutan
1
1127 K/ Pid/ 2002
2
1771 K/ Pid/ 2002
3
1888 K/ Pid/ 2004
4
2107 K/Pid/ 2004
5
2253 K/ Pid/ 2005
6
22/PK/Pid/2003
7
24/PK/Pid/2003
8 9
25 PK/Pid/2012 27 PK/Pid/2010
Pasal 340 jo ps. 55 (1) ke-1 KUHP Ps. 65 ayat (1) dari KUHP jo Ps. 340 dari KUHP dan Ps. 65 ayat (1) dari KUHP jo Ps. 292 dari KUHP Ps. 340 KUHP 340 KUHP jo 65 ayat (1) KUHP
10
29 PK/PID/2009
Ps. 340 KUHP jo. Ps. 55 (1) ke-1 KUHP
Pidana Mati
11
53 PK/Pid/2002
Pidana Mati
12
11 PK/Pid/2002
13
14 PK/Pid/2002
Pasal 340 KUHP Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 jo.
Pasal 82 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
43
Jenis Tuntutan Seumur Hidup Pidana Mati Pidana Mati Pidana Mati Penjara Seumur Hidup & Denda Rp 150.000.000,- ; Subsidair 6 bulan kurungan Pidana Mati Pidana Mati Pidana Mati Pidana Mati
seumur hidup Pidana Mati
Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP dan Pasal 78 ayat (1) b UU No. 22 Tahun 1997 Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 Pasal 23 ayat (4) jo Pasal 36 ayat (4) b UU No. 9 Tahun 1976 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 23 ayat (5) jo. Pasal 36 ayat (5) UU No. 79 Tahun 1976 Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 78 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 340 KUH Pidana Jo pasal 55 Ayat (1) KUH Pidana Dan Pasal 82 Undang Undang R.I No.23 Tahun 2002 Jo Pasal 55 ayat (1) KUH Pidana
14
18 PK/Pid/2007
15
39 PK/Pid/2003
16
67/Pid/2012/PT.BTN
17
503 K/Pid/2002
18
178/PID.B/2009/PN. TBK
19
554 K/Pid/2009
Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
20
558 K/Pid/2009
Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
21
560 K/Pid/2009
Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
22
254 K/PID/2013
23
1731 K/Pid/2008
24
1069 K/Pid/2012
25
1135 K/ Pid/ 2002
26 27 28
1835 K/ Pid/ 2010 2473 K/Pid/2007 38 PK/Pid.Sus/2011
29
731 K/PID.SUS/2009
30
1443 K/Pid.Sus/2009
31
39 PK/Pid.Sus/2011
32
28 PK/Pid.Sus/2011
33 34
108 PK/Pid/2007 65 PK/PID/2010
35
987 K/Pid. Sus/2011
36
79 PK/Pid/2008
Pasal 340 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dan pasal 378 KUHP jo pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP Pasal 340 & Pasal 480 ke-1 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Pasal 82 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a UU Narkotika 340 KUHP Pasal 340 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Ps. 82 ayat (3) UU Narkotika Pasal 59 ayat (1) huruf e jo. ayat (2) UU Psikotropika dan Pasal 62 UU Psikotropika Pasal 59 ayat (1) huruf c jo. Pasal 59 ayat (2) UU Psikotropika Pasal 59 ayat (1) huruf b UU Psikotropika jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 6 ayat (1) sub b UU TPPU Pasal 82 ayat (3) huruf a UU RI. No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 340 KUHP jo pasal 55 (1) ke-1 KUHPi Pasal 363 ayat (1) ke-3e KUHP Pasal 114 ayat (2) Undang- undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana 44
Pidana Mati Pidana Mati Pidana Mati 15 Tahun Penjara Pidana mati pidana mati dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan pidana mati pidana “Mati” dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan Pidana Mati
Pidana Mati
Pidana Mati Seumur Hidup Pidana Mati Pidana Mati Hukuman Mati Hukuman Mati Pidana mati Hukuman Mati Seumur Hidup Seumur Hidup Pidana Mati Seumur Hidup Pidana Mati
37
90 / PID / 2012 / PT.DPS
72/PK/Pid/2002
38 39 40 41
08/Pid.B/2013/PNGS 07/Pid.B/2013/PNGS 1014/Pid.B/1998/PN. SBY No. 45 PK/Pid.Sus/2009
42
dan Pasal 285 jo. Pasal 55 ayat (1) ke1 KUHPidana pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP Pasal 340 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP , Pasal 187 ke- 1 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP dan Pasal 351 ayat (1) Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP Pasal 340 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP , Pasal 187 ke- 1 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP dan Pasal 351 ayat (1) Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP Pasal 340 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP , Pasal 187 ke- 1 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP dan Pasal 351 ayat (1) Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP
Pidana Mati
Pidana Mati
Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Seumur Hidup
Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Seumur Hidup
Pasal 82 ayat (1) huruf a UU22/1997 tentang Narkotika pasal 82 ayat (3) huruf a Undang- Undang RI Nomor 22 Tahun 1997 ten tang Narkot i ka Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP
Pidana Mati Pidana Mati dan denda Rp 500jt subsidair 3 bulan kurungan
ALUR VONIS
No.
No Perkara
Vonis PN
Vonis PT
Vonis MA
1127 K/ Pid/ 2002
Pidana Mati
Menguatkan Putusan PN Menguatkan Putusan PN Menguatkan Putusan PN Menguatkan Putusan PN Menguatkan Putusan PN
Menolak Permohonan Kasasi Menolak Permohonan Kasasi Menolak Permohonan Kasasi Menolak Permohonan Kasasi Menolak Permohonan Kasasi
2
1771 K/ Pid/ 2002
Pidana Mati
3
1888 K/ Pid/ 2004
Pidana Mati
4
2107 K/Pid/ 2004
Pidana Mati & Denda Rp. 100jt
5
2253 K/ Pid/ 2005
Pidana Mati
6
22/PK/Pid/2003
Pidana Mati
Pidana Mati
-
7
24/PK/Pid/2003
Pidana Mati
-
-
8
25 PK/Pid/2012
Pidana Mati
Pidana Mati
9
27 PK/Pid/2010
Pidana Mati
Pidana Mati
10
29 PK/PID/2009
Pidana Mati
Pidana Mati
45
Menolak Permohonan Kasasi Menolak Permohonan Kasasi Menolak
Vonis PK Menolak permohonan PK Menolak permohonan PK Menolak permohonan PK Menolak permohonan PK Menolak
Permohonan Kasasi Menolak Permohonan Kasasi Menolak permohonan kasasi Menolak permohonan kasasi Menolak permohonan kasasi Menolak permohonan kasasi Menolak permohonan kasasi
11
53 PK/Pid/2002
Pidana Mati
Pidana Mati
12
11 PK/Pid/2002
Pidana mati
Pidana Mati
13
14 PK/Pid/2002
Pidana mati
Pidana Mati
14
18 PK/Pid/2007
Pidana mati
15
39 PK/Pid/2003
Pidana mati
16
67/Pid/2012/PT.BTN
Seumur Hidup
Menguatkan Putusan PN Menguatkan Putusan PN Pidana Mati
17
503 K/Pid/2002
18 Tahun
Pidana Mati
18
178/PID.B/2009/PN. TBK
Pidana Mati
-
19
554 K/Pid/2009
Pidana Mati
20
558 K/Pid/2009
Pidana Mati
21
560 K/Pid/2009
Pidana Mati
22
254 K/PID/2013
15 tahun penjara
23
1731 K/Pid/2008
Pidana Mati
24
1069 K/Pid/2012
Pidana Mati
25
1135 K/ Pid/ 2002
Pidana Mati
26
1835 K/ Pid/ 2010
Pidana Mati
27
2473 K/Pid/2007
Pidana Mati
28
38 PK/Pid.Sus/2011
Pidana Mati
Hukuman Mati
29
731 K/PID.SUS/2009
Pidana Mati dan Denda Rp. 750jt
30
1443 K/Pid.Sus/2009
Pidana Mati dan Denda Rp. 750jt Pidana Mati dan Denda Rp. 750jt 15 tahun penjara dan denda Rp. 500jt subsidair 4 bulan kurungan.
Menolak Permohonan Kasasi Menolak Permohonan Kasasi Menolak Permohonan Kasasi Menolak Permohonan Kasasi Menolak Permohonan Kasasi Menolak Permohonan Kasasi Menolak Permohonan Kasasi
Menguatkan
pidana mati
18 tahun penjara dan denda Rp. 600jt subsidar 6 bulan kurungan.
Pidana Mati
Menguatkan
Pidana Mati
31
39 PK/Pid.Sus/2011
32
28 PK/Pid.Sus/2011
Seumur Hidup
33
108 PK/Pid/2007
Pidana Mati
34
65 PK/PID/2010
Pidana Mati
Menguatkan Putusan PN Menguatkan Putusan PN Menguatkan Putusan PN Menguatkan Putusan PN Menguatkan Putusan PN Menguatkan Putusan PN Menguatkan Putusan PN Menguatkan Putusan PN Menguatkan Putusan PN
menguatkan putusan PN Menguatkan
46
Menolak Menolak permohonan PK Menolak permohonan PK Menolak permohonan PK Menolak permohonan PK -
-
-
NO
-
Menolak Permohonan Kasasi
-
NO
-
pidana mati
Menolak permohonan PK 15 tahun penjara dan denda Rp 500jt subsidair 4 bulan kurungan Penjara Seumur Hidup
-
NO
Menolak
Menolak
Putusan PN Menguatkan Putusan PN
Permohonan Kasasi Menolak Permohonan Kasasi
permohonan PK
35
987 K/Pid. Sus/2011
Pidana Mati
36
79 PK/Pid/2008
Pidana Mati
Menguatkan Putusan PN
Menolak permohonan kasasi
Melolak Permohonan PK Pemohon
37
90 / PID / 2012 / PT.DPS
Pidana Mati
Menguatkan Putusan PN
-
-
38
72/PK/Pid/2002
Pidana Mati
Pidana Mati
Menolak permohonan kasasi
Menolak permohonan PK
Pidana Mati
-
-
-
-
-
39 40 41
42
08/Pid.B/2013/PNGS 07/Pid.B/2013/PNGS 1014/Pid.B/1998/PN .SBY No. 45 PK/Pid.Sus/2009
Pidana Mati
-
Seumur Hidup
20 Tahun dan denda 100 juta
Pidana Mati
Seumur Hidup
Pidana Mati dan denda Rp 500jt subsidair 3 bulan kurungan
Menguatkan Putusan PN
Menolak Permohonan Kasasi
12 tahun
MASA PENAHANAN
No.
No Perkara
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1127 K/ Pid/ 2002 1771 K/ Pid/ 2002 1888 K/ Pid/ 2004 2107 K/Pid/ 2004 2253 K/ Pid/ 2005 22/PK/Pid/2003 24/PK/Pid/2003 25 PK/Pid/2012 27 PK/Pid/2010
10
29 PK/PID/2009
11 12 13 14 15
53 PK/Pid/2002 11 PK/Pid/2002 14 PK/Pid/2002 18 PK/Pid/2007 39 PK/Pid/2003 67/Pid/2012/PT.BT N 503 K/Pid/2002 178/PID.B/2009/PN
16 17 18
Rentang Penahanan (dalam hari) Penyidikan Penuntutan PN PT 25 115 58 83 -
35 38 13 18 -
88 89 132 90 -
116 125 91 125 -
49
7
90
108
20
56
90
60
47
MA
Total Masa Penahanan (dalam hari)
163 84 92 139 -
427 451 386 455 254
-
226
19 20 21 22
.TBK 554 K/Pid/2009 558 K/Pid/2009 560 K/Pid/2009 254 K/PID/2013
119 119 119 20
20 20 20 101
190 120 121 149
30 30 120 90
110 110 110 110
469 399 490 470
23
1731 K/Pid/2008
72
20
90
138
142
462
24 25 26 27 28
1069 K/Pid/2012 1135 K/ Pid/ 2002 1835 K/ Pid/ 2010 2473 K/Pid/2007 38 PK/Pid.Sus/2011 731 K/PID.SUS/2009 1443 K/Pid.Sus/2009 39 PK/Pid.Sus/2011 28 PK/Pid.Sus/2011 108 PK/Pid/2007 65 PK/PID/2010 987 K/Pid. Sus/2011 79 PK/Pid/2008 90 / PID / 2012 / PT.DPS
87 59 60 42 119
16 9 11 7 42
104 121 77 35 89
89 90 89 90 145
112 111 111 60 11
408 390 348 234 406
118
34
90
147
51
440
119
42
134
90
111
496
60 60 120 -
7 20 50 -
103 104 89 -
90 88 41 -
110 140 -
370 412 300 -
96
29
150
-
-
275
96
29
150
-
-
275
23
69
150
90
-
332
-
-
-
-
-
-
29 30 31 32 33 34 35 36 37
72/PK/Pid/2002 38 39 40 41 42
08/Pid.B/2013/PNGS 07/Pid.B/2013/PNGS 1014/Pid.B/1998/P N.SBY No. 45 PK/Pid.Sus/2009
48