ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 425 K/AG/2014 TENTANG CERAI GUGAT Muhibbuthabary
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh Indonesia Jl. Syeikh Abdul Rauf Kopelma Darussalam Banda Aceh E-mail:
[email protected]
Abstract: Juridical Analysis on the Decision of Supreme Court of Republic of Indonesia Number: 425 K/Ag/2014 Concerning Divorce Suit. A Court ruling is a statement declared by judge in a court of law, aiming to end or to settle a lawsuit/disputes between parties. Every decision of the Court should contain the principle of justice, benefit, and legal certainty. This paper attempts to analyze the Supreme Court Decision No. 425 K/AG/2014 concerning divorce, from the aspect of material and procedural law. The results showed that the decision has fulfilled the above-three elements, on account of : (1) from the material aspect, the decision clearly included and considered all the requests of the parties, and did not violate the provisions of material law on divorce. (2) from the formal aspect, the decision was in accordance with the provisions of article 184 paragraph 1 of H.I.R, Article 178 of H.I.R and Article 189 of R.Bg.
Keywords: divorce suit, court decisions, judex facti
Abstrak: Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 425 K/Ag/2014 tentang Cerai Gugat. Putusan pengadilan adalah suatu pernyataan hakim yang diucap kan di muka persidangan dengan tujuan untuk mengakhiri atau menye lesaikan suatu perkara/sengketa. Setiap putusan Pengadilan harus mengandung nilai keadilan, nilai kemanfaatan, dan nilai kepastian hukum. Tulisan ini mencoba menganalisis putusan Hakim Nomor: 425 K/ AG/2014 tentang cerai gugat, ditinjau dari aspek hukum materil dan hukum formil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan tersebut telah memenuhi ketiga unsur di atas, karena : (1) dari aspek materil, putusan ini secara jelas telah mencantumkan dasar permohonan, mempertimbangkan semua tuntutan para pihak, dan tidak menyalahi ketentuan hukum materil tentang percerain; (2) dari aspek formal, putusan ini telah sesuai dengan ketentuan pasal 184 ayat (1) H.I.R, pasal 178 H.I.R, dan pasal 189 R.Bg.
Kata Kunci: permohonan cerai gugat, putusan pengadilan, judex facti
Pendahuluan Secara normatif pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan. Sedangkan putusannya merupakan mahkotanya yang dikeluarkan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan. Dalam rangka dan upaya menemukan dan menerapkan keadilan putusan hakim harus memiliki tujuan, yaitu: pertama, harus merupakan solusi autoritatif artinya dapat memberikan solusi terhadap masalah hukum yang dihadapi para pihak;
kedua, harus mengandung efisiensi, artinya mudah, cepat, dan biaya ringan; ketiga, harus sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar putusan pengadilan; keempat, harus mengandung aspek stabilitas yaitu ketertiban sosial dan ketertiban masyarakat; dan kelima, putusan hakim harus ada fairness, yaitu memberikan kesempatan yang sama kepada pihak yang berperkara.1 1
755
Deni K. Yusup, “Pengembangan Teori dan Metode
756| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015 Suatu putusan pengadilan dianggap baik apabila memberi rasa keadilan kepada pihakpihak yang berperkara, untuk mendapatkan putusan yang baik maka harus ditangani oleh hakim yang profesional dan berjiwa progresif agar dalam menerapkan pertimbangan hukum dapat mengikuti perkembangan zaman. Dengan demikian putusan hakim bukan hanya memiliki nilai yuridis (kepastian hukum), tetapi juga harus memiliki nilai sosiologis (kemanfaatan) dan nilai filosofis (keadilan). Tulisan ini akan mengkaji analisis putusan Mahkamah Agung Nomor: 425 K/AG/2014 yang memutus perkara cerai gugat. Ringkasan perkara dalam putusan ini akan dijelaskan sebagai berikut: Pertama, pada tingkat pertama, Penggugat mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama Cibinong dengan bebe rapa alasan, di antaranya: antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada lagi kecocokan dalam membina rumah tangga sehingga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran; Adanya Pihak ke-3 wanita idaman lain; Tergugat sering berkata kasar dan sering bersikap kasar kepada Penggugat; serta Tergugat tidak memberikan nafkah lahir dan nafkah batin. Atas alasan tersebut, penggugat mendalilkan bahwa hal tersebut telah cukup alasan untuk mengajukan cerai gugat dan termasuk pda alasan perceraian berdasarkan Pasal 19 (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (f ) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa “perceraian dapat terjadi karena alasan antara suami istri terus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.2 Terhadap duduk perkara tersebut, pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Agama Cibinong mengabulkan gugatan Penggugat Analisis Putusan Pengadilan”, makalah Diskusi Diktum Himpunan Mahasiswa Jurusan Al-Ahwal al-Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung tanggal 18 November 2014. 2 Lihat ketentuan Pasal 19 (f ) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Lihat pula Pasal 116 huruf (f ) Kompilasi Hukum Islam.
dengan mengeluarkan putusan Nomor: 0169/Pdt.G/2013/PA.Cbn yang menyatakan dalam bagian amar putusannya “Menjatuhkan talak satu bain sughra dari Tergugat terhadap Penggugat.”3 Kedua, pada tingkat banding, atas permohonan Tergugat putusan Pengadilan Agama Cibinong tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Bandung dengan putusan Nomor: 191/Pdt.G/2013/ PTA.Bdg. yang dalam amarnya mengadili sendiri menolak gugatan Penggugat; dan Ketiga, pada tingkat kasasi, atas permohonan Penggugat, majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut mengabulkan permohonan kasasi yang isinya membatalkan putusan pengadilan Nomor: 191/Pdt.G/2013/PTA. Bdg. tersebut dan menyatakan bahwa Pengadilan Agama Cibinong telah tepat. Sehingga mengabulkan gugatan perceraian dengan menjatuhkan talak satu bain sughra dari Tergugat terhadap Penggugat. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam putusan pengadilan yang difokuskan pada kajian aspek hukum materil dan aspek hukum formil mengenai penyelesaian sengketa cerai gugat. Dalam aspek hukum materil akan menganalisis putusan dari segi fikih sedangkan aspek hukum formil akan menganalisis putusan dari segi hukum acara tentang tata cara penyelesaian cerai gugat. Ketentuan Hukum Perceraian dalam Hukum Perkawinan Hukum Materil Cerai Gugat 1. Ketentuan Cerai Gugat dalam Hukum Perkawinan Indonesia Perceraian dalam istilah fikih disebut thalaq atau furqah. Adapun arti dari talak (thalaq) adalah melepaskan ikatan atau membatalkan 3 Lihat Putusan Pengadilan Agama Cibinong mengabulkan gugatan Penggugat dengan mengeluarkan putusan Nomor: 0169/Pdt.G/2013/PA.Cbn yang menya takan dalam bagian amar putusannya “Menjatuhkan talak satu bain sughra dari Tergugat terhadap Penggugat.”
Muhibbuthabary: Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung |757
perjanjian. Sedangkan furqah artinya bercerai atau lawan dari berkumpul. Kemudian kedua kata itu dipakai oleh para ahli fikih sebagai satu kesatuan istilah yang berarti perceraian antara suami dan istri. Disyariatkannya perceraian merupakan jalan keluar atau pintu darurat ketika suatu ikatan pernikahan yang kuat (mitsâqan ghalîzhan) sudah tidak dapat dipertahankan lagi karena berbagai alasan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga.4 Ketika rumah tangga sudah sulit untuk dibina dan sudah tidak ada harapan untuk rukun maka baik pihak istri maupun suami telah diberikan peluang yang sama di mata hukum untuk memutuskan hubungan per kawinan tersebut. Untuk mencegah per ceraian yang semena-mena maka hukum telah mengatur bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah telebih dahulu upaya untuk mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil. Menurut ketentuan pasal 114 Kompilasi Hukum Islam, ketika perkara perceraian diajukan oleh pihak suami maka hukum mengartikulasikannya dengan sebutan cerai talak dan manakala pihak istri yang me ngajukan perkara perceraian hukum meng artikulasikannya dengan cerai gugat. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 113 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 38 telah ditegaskan bahwa putusnya suatu ikatan pernikahan dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena kematian; kedua, karena perceraian, dan ketiga, karena atas putusan pengadilan. Dalam sistem hukum perkawinan Islam di Indonesia, putusnya suatu ikatan per nikahan melalui perceraian terbagi menjadi dua macam, yaitu perceraian yang berawal dari inisiatif/kehendak suami dinamakan cerai talak dan perceraian yang berawal dari inisiatif/kehendak istri dinamakan cerai gugat. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), h. 103. 4
86 ayat (1), bahwa seorang suami yang beragama Islam, yang akan menceraikan istrinya harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama guna mengadakan sidang untuk menyaksikan ikrar talak.5 Sedangkan dalam perspektif hokum Islam, meskipun talak merupakan sesuatu yang dibenci oleh Allah dan tidak diharapkan oleh semua orang, namun dalam kajian Ilmu Ushul Fiqh sebagian ulama menyebutkan makruh. Hukum Makruh yang dimaksud di sini salah satunya disandarkan kepada sabda Nabi Muhammad Saw. yang menegaskan bahwa “perbuatan halal yang dibenci Allah Swt. adalah talak”.6 Dengan kata lain, walau pun perceraian diperbolehkan dalam agama Islam, namun ia merupakan sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas hukum Islam. Perceraian diperbolehkan oleh agama, tetapi pelaksanaannya harus didasari oleh alasan yang kuat, dan merupakan jalan teakhir yang ditempuh oleh suami istri, apabila cara-cara lain yang diusahakan sebelumnya tetap tidak bisa mengembalikan keutuhan hidup rumah tangga suami-istri. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah Swt. telah menyediakan sebuah solusi atau semacam pintu darurat untuk digunakan dalam kondisi tertentu dan terakhir, ketika tidak ada harapan untuk memperbaiki dan meneruskan ikatan perkawinan dan setelah melalui tahapan-tahapan perbaikan yang dilakukan sendiri oleh masing-masing suami istri, keluarga, sampai ke Pangadilan. Solusi ini dapat dibenarkan apabila dalam keadaan terpaksa dan dengan memenuhi beberapa persyaratan tertentu. Artinya, perceraian hanyalah jalan terakhir yang sifatnya darurat apabila tidak ditemukan lagi kata sepakat untuk melangsungkan ikatan perkawinan.7 Pelaksanaan perceraian pada umumnya 5 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.t.), h. 257. 6 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dâr al-Fath Lil I‘lâm Al-‘Arâbî, 2000), jilid 2, h. 420. 7 Muhammad Bagir, Fiqh Praktis, (Bandung: Mizan, 2002), h.183.
758| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015 didahului dengan adanya gugatan atau permohonan ke depan Pengadilan, dan atau dari pihak yang menginginkannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 39 ayat 1 Undang-undang tentang Perkawinan yang berbunyi “perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belak pihak”. Selanjutnya, dalam tulisan ini akan dikhususkan pada penyelesaian perkara cerai gugat. Istilah gugatan berasal dari kata gugat yang mana mendapatkan akhiran, sehingga menjadi gugatan. Menurut bahasa gugatan adalah tuntutan, kritikan, senggahan, dan celaan.8 Sedangkan menurut istilah, menurut Mukti Arto, gugatan adalah tuntutan hak yang didalamnya mengandung sengketa.9 Gugatan sendiri mempunyai pengertian untuk memulai dan menyelesaikan perkara perdata yang diantara anggota masyarakat, salah satu pihak yang bersengketa harus mengajukan permintaan pemeriksaan ke pada Pengadilan. Para pihak yang dilanggar haknya dalam perkara perdata disebut penggugat yang mengajukan gugatan di Pengadilan dan ditujukan pada pihak yang melanggar (tergugat) dengan mengemukakan duduk perkara (posita) dan dan disertai apa yang menjadi tuntutan penggugat. 10 Gugatan juga dapat diartikan sebagai penga duan yang dapat diterima oleh Hakim, dimaksudkan untuk menuntut hak pada pihak lain. 11 Adapun cerai gugat ialah pemutusan perkawinan dengan putusan Pengadilan atau gugatan pihak istri yang telah melangsungkan perkawinan menurut ajaran agama Islam.
W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Tnp., 1982), h. 373. 9 Mukti Arto, Praktik Pekara Perdata, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 39. 10 Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Pengadilan Agama, (Bandung: Alumni, 1993), h.14. 11 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 105. 8
a. Alasan-alasan Cerai Gugat Dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak meninggal dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan Pengadilan. Kemudian dalam pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan yaitu antara suami istri tidak akan hidup rukun dalam rumah tangga. Alasan perceraian menurut pasal 116 Kompilasi Hukum Islam terdapat 8 poin sebagai berikut: pertama, salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan; kedua, salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; ketiga, salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; keempat, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; kelima, salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri; keenam, antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; ketujuh, suami melanggar taklik talak; dan kedelapan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Begitupun dalam Peraturan pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 pada pasal 19 juga menjelaskan tentang alasan-alasan terjadinya perceraian yang tidak lain memiliki poin-poin sama dengan yang disebutkan oleh pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Hanya saja dalam PP tidak ada alasan poin ke-7 dan ke-8, hal ini dikarenakan PP tersebut berlaku umum bukan saja untuk umat Islam, sedangkan alasan poin ke-7 dan ke-8 dalam KHI berlaku untuk orang yang beragama Islam.
Muhibbuthabary: Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung |759
b. Jenis-jenis Talak Pada hukum perceraian keluarga Muslim, berdasarkan boleh atau tidaknya rujuk, secara umun talak terbagi menjadi dua jenis: pertama, talak raj’i dan kedua, talak ba’in. talak raj’i adalah talak yang ketika suami berhak rujuk ketika istri masih berada dalam masa iddah. Artinya, bisa terjadi pada talak satu atau talak dua. Sedangkan talak ba’in adalah talak yang putus secara penuh artinya mantan suami tidak berhak rujuk lagi dengan mantan istri. Talak ba’in terbagi menjadi dua bagian, yaitu talak ba’in shughra dan talak ba’in qubra. Talak ba’in shughra adalah talak yang mana suami tidak bisa rujuk, tetapi boleh menikah lagi dengan akad pernikahan yang baru tanpa mantan istri dinikahi terlebih dahulu oleh orang lain. Sedangkan talak ba’in qubra adalah talak suami yang tidak dapat rujuk lagi, tetapi boleh nikah lagi dengan akad pernikahan yang baru setelah mantan istri tersebut menikah lagi dengan orang lain dan telah bercerai serta habis pula masa iddahnya. Talak ba’in shughra adalah jenis putusnya perkawinan/talak yang paling dominan di Pengadilan Agama. Hal ini selain karena cakupan talak ba`in shughra cukup luas untuk mengakomodir sebagian lembaga fasakh, juga karena ia meru pakan fasilitas talak yang diberikan kepada kaum istri guna menganulir dhirar terhadapnya. Banyak penilaian yang dapat diberikan terhadap fakta tersebut. Namun tulisan ini tidak akan menengahkan hal itu, tetapi hanya materi hukumnya saja.12 Perbedaan mendasar talak ba`in shughra dengan talak raj’i adalah pada karakteristik putusnya. Ba’in akan bersifat memutus perkawinan secara utuh (nyata), sehingga mengharuskan nikah baru untuk kembali, sementara talak raj’i cenderung bersifat mengurangi kadar ikatan nikah saja dan tidak sampai memutusnya, sehingga pasca talak
raj’i, masa iddah yang ada menjadi masa di mana ikatan itu dapat dirajut lagi, dan hubungan saling mewarisi dapat tetap terjaga. Namun, berakhirnya masa iddah talak raj’i, akan menyebabkan sifat putus itu menjadi utuh, dan hanya diperkenankan kembali dengan akad nikah baru, dan berakhir pula hubungan saling mewarisi secara relatif.13 Dalam praktiknya di Indonesia, terdapat kerancuan mengenai talak ba’in shughra, jenis talak ini dijatuhkan dengan bilangan talak satu ba’in shughra. Logikanya, akan ada talak dua ba’in shughra. Namun logika tersebut dianulir dalam praktik peradilan agama, sebab kapanpun talak satu bain shughra dijatuh kan, maka konsekuensinya jika ingin bersatu lagi, adalah dengan nikah baru. Pernikahan baru itu, dalam konteks umumnya fikih, menimbulkan konsekuensi hukum baru, artinya bilangan talak pun baru. Adanya angka “satu” dalam talak ba’in shugra (selain qabla al dukhul), telah mem buat rancu pemahaman banyak praktisi. Namun akhirnya angka satu itu, dipahami sebagai bobot talak bukan bilangan. Bahwa talak yang dijatuhkan itu adalah senilai satu kali talak, bukan dua kali talak yang dijatuhkan sekaligus dalam satu waktu. Hal ini selaras dengan bahwa talak itu hanya dapat dijatuh satu demi satu (marratan ba’da marrah atau marratani), dan hukum positif tidak mengenal penjatuhkan talak sekaligus. Khusus tentang konsekuensi akad nikah baru dalam ba’in shughra ini, perlu dirinci antara qabla dukhûl dan yang ba’da dukhûl. Dalam talak ba’in shugra qabla dukhûl, jika suami istri itu mau kembali dengan nikah baru, maka tidak ada bilangan talak yang berkurang, dan tercipta hukum baru dengan hak/bilangan talak tiga kali. Sementara dalam ba’in shughra yang ba’da dukhûl, jika suami istri mau kembali lagi, meskipun nikah baru, namun berdasarkan beberapa fatwa yang penulis baca, talak yang pertama tersebut
Lihat Erfani Aljan Abdullah, “Kapita Selekta Talak Ba‘in Shughra”, artikel yang dipublikasikan dalam www.badilag. net. diakses tanggal 26 Oktober 2015.
Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuh, (Damsyiq: Dâr al-Fikr, 1989), h. 90.
12
13
760| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015 harus dinyatakan telah mengurangi bilangan talaknya dalam pernikahan baru.14 Karenanya tidak pernah terdengar, ada putusan yang menjatuhkan talak dua ba’in shughra. Mengapa ada bilangan “talak satu”, salah satunya bisa jadi disebabkan oleh adanya ketentuan dalam Pasal 161 Kompilasi Hukum Islam bahwa putusnya perkawinan karena khuluk (bentuk talaknya juga ba’in shughra) mengurangi jumlah talak. Kendati demikian, perlu dilakukan respon terhadap terma talak satu ba’in shughra, karena berdasarkan sifat putusnya, tidak ada peluang terjadinya talak dua ba’in, karena akan selalu dalam nikah baru. Secara ekplisit, adanya bilangan kesatu dan kedua dalam talak itu, sejatinya khusus pada talak raj’i,15 senada dengan Alquran Surah al-Baqarah [2]: 229 yang berbunyi:
Jika talak raj’i dalam ayat itu dan/ atau dalam pasal 118 KHI itu, dimaknai secara simbolik-esensial, yaitu pada maksud putusnya perkawinan sepasang suami-istri tak peduli apa bentuk putusnya, maka dapat saja dilakukan analogi ke putusnya perkawinan selain talak raj’i, yang artinya talak bain pun akan ada satu dan dua. Demikian pula jika bilangan talak ‘satu’ bain itu diasumsikan kepada atau sebab adanya masa ‘‘iddah bagi istri dalam khuluk, fasakh, dan li’an sebagaimana Pasal 155 KHI, maka terjadi kekeliruan dalam hal memukul rata karakteristik masa ‘iddah di semua jenis putusnya perkawinan.16 Dengan demikian penulis dapat me rumuskan bahwa masa ‘iddah talak raj’i merupakan kesempatan dan peluang rujuk selain ada fungsi bara’aturrahim. Namun masa ‘iddah talak bain, tidak merupakan kesempatan rujuk, melainkan murni menuju maksud bara’aturrahim. Karenanya jika suami ingin kembali, boleh di masa ‘iddah itu untuk nikah baru, sementara terhadap orang lain, harus setelah ‘iddah berakhir agar tidak terjadi semacam ketidakjelasan nasab. Karenanya jika istri ternyata hamil, harus menjalani ‘iddah sampai melahirkan baru boleh nikah dengan orang lain.
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa kedua nya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orangorang yang zalim.
Hukum Formil Putusan Pengadilan Dalam dunia peradilan dibedakan antara putusan dan penetapan hakim.17 Suatu putusan diambil untuk memutuskan atau menye lesaikan suatu perselisihan atau sengketa yang lazim terjadi dalam peradilan yang disebut jurisdiksi contentiuse, misalanya gugatan perceraian, gugatan harta bersama, gugatan sengketa waris, dan sebagainya. Sedangkan suatu penetapan diambil berhubung dengan
14 15
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 352. Lihat Pasal 118 Kompilasi Hukum Islam.
16 Erfani Aljan Abdullah, “Kapita Selekta Talak Ba`in Shughraa” artikel dalam www.badilag.net. diakses tanggal 26 Oktober 2015. 17 Putusan hakim dalam bahas Belanda disebut vonnis untuk putusan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap, gewijsde untuk putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkracht. Sedangkan Penetapan hakim dalam bahasa Belanda disebut beschikking.
Muhibbuthabary: Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung |761
adanya suatu permohonan yang sering disebut dengan jurisdiksi voluntair, seperti misalnya izin poligami, isbat nikah, dispensasi nikah, wali adhal, pengangkatan wali, pengangkatan anak dan lain sebagainya. Permohonan tidak ada unsur sengeketanya sehingga tidak ada pihak lawan dan produknya berupa penetapan. Secara istilah, menurut Sudikno Mertokusumo, putusan pengadilan adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak.18 a. Asas-asas Putusan Pengadilan Asas-asas putusan ini dijelaskan dalam pasal 178 H.I.R. pasal 189 R.Bg. dan terdapat pula di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman. Ketentuan formil dalam kedua pasal tersebut mengatur poin-poin berikut: 1) Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci. Asas ini terdapat dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 178 ayat (1) H.I.R.,19 dengan demikian, putusan pengadilan yang tidak dapat cukup pertimbangan adalah masalah yuridis (kepastian hukum). Sehingga mengakibatkan putusan hakim yang seperti itu, dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi.20 2) Wajib mengadili seluruh bagian gugatan. Asas ini berasal dari Pasal 178 ayat (2) H.I.R. bahwa Hakim wajib mengadili atas segala bahagian gugatan yang di ajukan. Hakim tidak boleh hanya me meriksa dan memutus sebagian saja, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2007), h. 210. 19 Dalam penjelasannya dijelaskan bahwa maksud alasanalasan hukum yaitu pasal-pasal dari peraturan-peraturan undang-undang yang digunakan sebagai dasar tuntutan Penggugat, atau dasar yang digunakan hakim untuk meluluskan atau menolak tuntutan Penggugat. 20 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 798. 18
dan mengabaikan gugatan selebihnya.21 3) Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan (ultra petitum partium). Asas ini ditegaskan dalam Pasal 178 ayat (3) H.I.R., Pasal 189 ayat (3) R.Bg. dan Pasal 50 Rv. Menurut asas ini hakim yang menga b ul k an melebihi posita maupun petitum gugat, dianggap telah melampaui batas wewenang (ultra vires) yakni bertindak melampaui we wenangnya (beyond the powers of his authority).22 Asas ini ditegaskan dalam putusan Mahkamah Agung No m or: 1001 K/Sip/1972 yang melarang hakim mengabulkan hal-hal yang tidak diminta atau melebihi dari apa yang diminta. Berdasarkan uraian tersebut, maka apabila hakim melakukan ultra petitum maka putusan tersebut bisa dibatalkan oleh pengadilan pada tingkat banding maupun pada tingkat kasasi. 4) Diucapkan di muka umum. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Keha k iman, yaitu: Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Meskipun perceraian diperiksa secara tertutup namun Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa putusan gugatan perceraian harus tetap diucap kan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Jika tidak maka mengakibatkan putusan yang dijatuhkan menjadi tidak sah atau tidak mempunyai kekuatan hu kum, sebagaimana yang ditegaskan oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 1974 yang dikeluarkan pada tanggal 16 September 1974. Asas ini juga dipertegas oleh Pasal 121 ayat (1) H.I.R. dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan 21 22
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 801. M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 801.
762| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015 Kehakiman, yang menentukan pengucapan putusan dilakukan secara terbuka di dalam sidang pengadilan.23 b. Struktur Putusan Pengadilan Berdasarkan pasal 184 ayat (1) H.I.R. struktur putusan terdiri dari bagian-bagian, yang lebih rinci dijelaskan sebagai berikut: 1) Kepala putusan pengadilan. Putusan pengadilan agama di Indonesia pada bagian atasnya memakai judul “PUTUSAN”, kemudian dibawahnya mencantumkan nomor putusan, dan selanjutnya pada bagian bawahnya memuat kalimat yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” serta harus pula mencantumkan kata “Bismillahirrah manirrahim” pada bagian atasnya. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 57 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Jadi kepala putusan yang berbunyi demikian itu memiliki fungsi formal. Apabila kepala putusan tidak dicantumkan dalam suatu putusan pengadilan, maka putusan hakim tidak dapat dilaksanakan (non eksekutabel). 2) Identitas para pihak yang berperkara. Setiap perkara perdata dalam perkara gugatan sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang saling berhadapan satu sama lain, yaitu sebagai Penggugat dan Tergugat, atau turut Tergugat yang dikenal dalam praktik peradilan. Dalam putusan Pengadilan Agama harus pula dimuat identitas masing-masing pihak tersebut (nama, umur, agama, pekerjaan, dan alamat lengkap). Jika terdapat kuasa hukum (advokat), maka dicantumkan juga identitasnya. 3) Dalil gugatan. Hal ini didasari Pasal 184 ayat (1) H.I.R.. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor: 312 K/ Sip/1974. bahwa putusan yang tidak mencantumkan posita gugatan maka batal demi hukum. Selain itu ditegaskan pula dalam putusan Mahkamah Agung Nomor: 177 K/ Sip/1976. Dikatakan, putusan pengadilan yang memenuhi syarat, harus memenuhi isi gugatan Peng gugat dan jawaban Tergugat.24 (Yahaya Harahap 2010:808). 4) Mencantumkan jawaban dalam proses pemeriksaan. Pencantuman jawaban menurut pasal 184 ayat (1) H.I.R. cukup secara ringkas dan jelas tidak hasus secara keseluruhan. Tetapi cukup diambil yang pokok-pokok saja dan relevan dengan syarat. Pengertian jawaban dalam arti luas, meliputi replik dan duplik serta konklusi, bahwa kelalaian tidak mencantumkan jawaban ini mengaki bat kan putusan dapat dinyatakan batal demi hukum, karena bertentangan dengan Pasal 184 ayat (1) H.I.R.. Hal ini ditegaskan dalam putusan MA Nomor: 177 K/Sip/1976. Dikatakan, putusan penga dil an yang memenuhi syarat, harus memenuhi isi gugatan Penggugat dan jawaban Tergugat. 5) Pertimbangan hukum. Dalam Pasal 184 H.I.R. dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokokpokok Kekausaan Kehakiman. Khusus bagi Pengadilan Agama ada ketentuan Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan UndangUn dang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, bahwa segala penetapan dan putusan harus memuat dasar-dasar dan alasan-alasannya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sum ber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.25 Bahkan Mahkamah Agung berpendapat bahwa
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 808. Wahyu Muljono, Teori dan Praktik Peradilan Perdata di Indonesia , (Jakarta Selatan: Pustaka Yustisia, 2012), h. 38. 24 25
23
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 805.
Muhibbuthabary: Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung |763
suatu putusan yang tidak lengkap atau ku rang cukup dipertimbangkan, yang sering dalam praktik disebut onvolduende gemetivereed merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan26. 6) Ketentuan Perundang-Undangan. Hal ini digariskan dalam Pasal 184 ayat (2) H.I.R. dan Pasal 25 ayat (1) UndangUndang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan- alasan dan dasardasar putusan, harus juga memuat pasalpasal tertentu dan peraturan perundangan yang menjadi landasan putusan, atau juga menyebut dengan jelas sumber hukum tak tertulis yang menjadi dasar pertimbangan dalam putusan. Apabila dalam putusan hakim tidak menyebutkan dengan tegas pasal atau peraturan mana yang dijadikan dasar. Menurut MA hal demikian tidak menyebakan putusan batal tetapi cukup hanya diperbaiki pada tingkat banding atau kasasi.27 7) Amar putusan. Amar atau dictum me rupakan jawaban majlis hakim terhadap petitum gugatan Penggugat.28 8) Mencantumkan biaya perkara. Mengenai biaya perkara diatur dalam Pasal 181 (1), 182, dan 183 H.I.R./192 (1), 193, dan 194 RBg yang pada dasarnya menen tukan bahwa biaya perkara seluruhnya dibebankan kepada pihak yang kalah yang mutlak, namun dalam perkara perceraian biaya perkara di be bankan kepada Penggugat atau Pemohon.29 Dengan demikian, apabila suatu putusan pengadilan agama telah mencant umkan berdasarkan struktur putusan tersebut di
atas, maka dapat dipastikan putusan tersebut memiliki kekuatan hukum artinya memiliki kekuatan untuk dieksekusi. c. Prosedur dan Proses Penanganan Perkara Cerai Gugat Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Isteri) atau Kuasanya pada saat persiapan atau sebelum persidangan:30 1) Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah (Pasal 118 HIR, 142 R Bg jo Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989); 2) Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah tentang tata cara membuat surat gugatan (Pasal 118 HIR,142 R Bg jo Pasal 58 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989); 3) Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.31 4) Gugatan tersebut diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat (Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989). Apabila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Pasal 32 ayat(2) Undang-Undang
Wakil Panitera PA Semarang, “Prosedur & Proses Penanganan Perkara Cerai Gugat”, dalam http://pa-semarang. go.id/prosedur-penanganan-perkara/cerai-gugat. diakses tangal 25 Oktober 2015. 31 Gugatan soal penguasan anak, nafkah anak, natkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86 ayat(1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989). 30
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 808. Lihat Yurisprodensi MA Nomor 638K/Sip/1969 tanggal 22 Juli 1970 dan Yurisprodensi MA Nomor 672 K/Sip/1972. 27 Lihat Yurisprudensi MA Nomor 80 K/Sip/1968. 28 Abd. Rasyid As’ad, “Metode dan Teknik Penyusunan Putusan”, dalam web http://www.badilag.net. diakses tanggal 25 Oktober 2015. 29 Lihat Pasal 89 UU Nomor 7 Tahun 1989. 26
764| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015 Nomor 1 Tahun 1974). Kemudian, apabila Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun l989). Dan apabila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan (Pasal 73 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989). 5) Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (41) HIR, 145 ayat (4) R Bg Jo Pasal 89 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R Bg). 6) Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah (Pasal 121, 124, dan 125 HlR, 145 R Bg). Tahapan Persidangan, yaitu: pertama, pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989); kedua, apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi;32 ketiga, apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Tergugat dapat mengajukan gugatan rekonvansi (gugat balik) (Pasal 132a HIR, 158 R Bg). 7) Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah cerai gugat adalah sebagai berikut:
32
Lihat (PERMA No.1 Tahun 2008)
pertama, gugatan dikabulkan. Apabila ternyata Tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah tersebut; kedua, gugatan ditolak. Penggugat dapat meangajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah tersebut; ketiga, Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan permohonan baru. 8) Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak. Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor: 425 K/Ag/2014 Gambaran Umum Kasus Posisi Eti Mulyawati, S.E. binti Suwito Atmodjo, sebagai Penggugat, menggugat suaminya, Mohamad Haryadi Bin Mohamad Tohir, selanjutnya disebut Tergugat, melalui Pengadilan Agama Cibinong dengan posita sebagai berikut: Pertama, Penggugat telah melangsungkan pernikahan dengan Tergugat di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat, pada tanggal 24 Agustus 1980 sebagaimana tercatat dalam Buku Kutipan Akta Nikah Nomor: 445/023/VIII/1980. Selama pernikahaan tersebut, telah dikaruniai dua orang anak, yaitu Bunga Kastella, perempuan, lahir di Jakarta tanggal 30 Agustus 1980 dan Yuki Aviana, perempuan, lahir di Jakarta tanggal 9 November 1987. Kedua, pada awalnya rumah tangga Penggugat dan Tergugat berjalan rukun dan harmonis, akan tetapi sejak awal tahun 1987 pernikahan tersebut mulai tidak ada keharmonisan sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan: Antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada lagi kecocokan dalam membina rumah tangga
Muhibbuthabary: Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung |765
sehingga sering terjadi perselisihan dan perteng karan; Adanya Pihak ke-3 wanita idaman lain; Tergugat sering berkata kasar dan sering bersikap kasar kepada Penggugat; serta Tergugat tidak memberikan nafkah lahir dan nafkah batin. Puncak perselisihan dan pertengkaran tersebut terjadi pada bulan Desember 2012 dimana terjadi peristiwa pertengkaran yang mengakibatkan antara Penggugat dan Tergugat pisah ranjang. Penggugat telah berusaha untuk tetap mem pertahankan keutuhan rumah tangga dengan cara bersabar dan musyawarah secara kekeluargaan agar rukun lagi membina rumah tangga akan tetapi tidak berhasil dan menganggap kerukunan rumah tangga tersebut tidak dapat dibina dan dipertahankan lagi dengan baik sehingga tujuan dari perkawinan yaitu untuk mencapai keluarga yang bahagia dan sejahtera (sakinah, mawaddah, wa rahmah) tidak dapat diwujudkan. Atas alasan tersebut, penggugat men dalilkan bahwa hal tersebut telah cukup alasan untuk mengajukan cerai gugat dan termasuk pda alasan perceraian berdasarkan Pasal 19 (f ) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (f ) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa “perceraian dapat terjadi karena alasan antara suami isteri terus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. Terhadap duduk perkara tersebut, Penggugat mengajukan petitum sebagai berikut: 1) Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya; 2) Menjatuhkan talak satu bain sughro dari Tergugat (Mohamad Haryadi bin Mohamad Tohir) kepada Penggugat (Eti Mulyawati, S.E. binti Suwito Atmodjo); dan 3) Menetapkan biaya perkara menurut peraturan perundang-undangan, atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Berdasarkan posita dan ptitum tersebut, setelah memeriksa dan mengadili, pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Agama Cibinong mengabulkan gugatan Penggugat dengan mengeluarkan putusan Nomor: 0169/
Pdt.G/2013/ PA.Cbn tanggal 16 Juli 2013 M. bertepatan dengan tanggal 7 Ramadhan 1434 H. yang menyatakan dalam bagian amar putusannya “Menjatuhkan talak satu bain sughra dari Tergugat terhadap Penggugat.” Selanjutnya, pada tingkat banding, atas permohonan Tergugat putusan Pengadilan Agama Cibinong tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Bandung dengan putusan Nomor: 191/Pdt.G/2013/ PTA.Bdg. tanggal 9 Desember 2013 M. bertepatan dengan 6 Shafar 1435 H. yang dalam amarnya membatalkan putusan Nomor: 0169/Pdt.G/2013/PA.Cbn dan meng adili sendiri yang berisi menolak gugatan Penggugat. Selanjutnya, sesudah putusan terakhir ini pengadilan memberitahukan kepada Penggugat/Terbanding pada tanggal 4 Februari 2014 kemudian terhadapnya oleh Penggugat/ Terbanding, (dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 14 Februari 2014), diajukan permohonan kasasi pada tanggal 17 Februari 2014 sebagaimana ternyata dari akta permohonan kasasi Nomor 169/Pdt.G/2013/PTA.Bdg. yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Cibinong, permohonan mana diikuti dengan memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama Cibinong tersebut pada tanggal 27 Februari 2014. Setelah itu oleh Tergugat/ Pembanding yang pada tanggal 20 Maret 2014 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Penggugat/ Terbanding, namun tidak diajukan jawaban memori kasasi Pada tingkat kasasi, setelah majelis hakim memeriksa dan mengadili perkara tersebut, pada hari Senin tanggal 29 September 2014 melalui putusan Mahkamah Agung Nomor: 425 K/AG/2014 mengabulkan permohonan kasasi yang isinya membatalkan putusan pengadilan Nomor: 191/Pdt.G/2013/PTA. Bdg. tersebut dan menyatakan bahwa Pengadilan Agama Cibinong telah tepat. Sehingga mengabulkan gugatan perceraian dengan menjatuhkan talak satu ba’in shughra dari Tergugat terhadap Penggugat.
766| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015 Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor: 425 K/Ag/2014 Ditinjau dari Aspek Hukum Materil Sengketa ini berupa gugatan karena diajukan oleh istri sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 73 sampai pasal 86 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Penggugat telah memenuhi ketentuanketentuan tersebut. Mahkamah Agung dalam putusan kasasi nya tanggal 29 September 2014 Nomor: 425 K/AG/2014 menyatakan permohonan kasasi secara formal dapat diterima. Permohona kasasi diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan undang-undang. Karena dalam pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menegaskan bahwa permohonan kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutuskan perkaranya, dalam tenggang 14 hari sesuadah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada Pemohon. Tenggang waktu itu dihitung sejak tanggal pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung kepada pemohon banding (bukan sejak tanggal dikeluarkannya putusan tersebut), yang terjadi pada tanggal 4 Februari 2014. Sedangkan Penggugat sebagai pemohon kasasi, mengajukan permohonan kasasi di Pengadilan Agama Cibinong pada tanggal 17 Februari 2014 atau 13 hari setelah pemberitahuan oleh Pengadilan Agama Cibinong. Selain itu, Pemohon kasasi juga telah menyerahkan memori kasasi pada tanggal 27 Februari 2014 atau 10 setelah pengajuan permohonan kasasi. Hal itu berarti telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yakni pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo, Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang Mahkamah Agung menegaskan bahwa dalam pengajuan permohonan kasasi, pemohon wajib menyampaikan pula memori kasasi yang memuat alasan-alasannya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku daftar. Berdasarkan peraturan Mahkamah Agung tersebut, dapat disimpulkan bahwa syarat formil diterima atau tidaknya suatu permohonan kasasi tergantung dari tiga aspek berikut: tenggang waktu pengajuan permohonan kasasi, adanya memori kasasi, dan tenggang waktu pengajuan memori kasasi tersebut. Dengan demikian, dari ketiga sisi inilah, sudah cukup alasan bagi Mahkamah Agung untuk menyatakan permohonan kasasi secara formal dapat diterima. Selanjutnya, apabila ditinjau dari struktur putusan, putusan Nomor: 425 K/Ag/2014 telah memenuhi ketentuan peraturan per undang-undangan yang dalam putusan tersebut mencantumkan struktur berikut:33 Pertama, terdapat kepala putusan pengadilan. Putusan itu berarti telah sesuai dengan pasal 184 ayat (1) H.I.R. dan ketentuan Pasal 57 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama; Kedua, telah mencantumkan identitas para pihak yang berperkara; Ketiga, telah mencantumkan dalil gugatan (posita) serta alasan-alasan kasasi/memori kasasi. Hal ini telah sesuai pasal 184 ayat (1) H.I.R.,Yurisprudensi MA Nomor: 312 K/ Sip/1974, dan Yurisprudensi MA Nomor: 177 K/Sip/1976; Keempat, mengenai pencantuman jawaban dalam proses pemeriksaan, pada tingkat kasasi dikenal dengan jawaban memori kasasi/kontra memori kasasi. Namun setelah diberitahukan kepada Termohon kasasi bahwa ada pengajuan permohonan kasasi disertai memori kasasi, akan tetapi Termohon kasasi Hal ini bisa dilihat pada halaman 11-12. Pasal 89 UU Nomor 7 Tahun 1989. 33
Muhibbuthabary: Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung |767
tidak memberikan jawaban memori kasasi, dan keterangan ini sudah tercantum dalam putusan kasasi, sehingga tidak menyalahi pasal 184 ayat (1) H.I.R. dan Yurisprudensi MA Nomor: 177 K/Sip/1976; Kelima, Mahkamah Agung telah mem berikan pertimbangan hukum yang terdapat pada halaman 10 putusan ini. Hal ini berarti telah sesuai dengan pasal 184 H.I.R. dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekausaan Kehakiman dan pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama; Keenam, telah mencantumkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan permohonan yang diajukan. Sehingga putusan tersebut telah sesuai dengan Pasal 184 ayat (2) H.I.R. dan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Yurisprudensi MA Nomor 80 K/Sip/1968; Ketujuh, telah mencantumkan amar putusan dan biaya perkara yang dibebankan kepada Pemohon kasasi sesuai Pasal 89 UU Nomor 7 Tahun 1989 jo, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dengan demikian, ditinjau dari struktur putusan, putusan Nomor: 425 K/Ag/2014 telah memenuhi ketentuan peraturan per undang-undangan, oleh karena itu dapat dipastikan putusan tersebut memiliki ke kuatan hukum artinya memiliki kekuatan untuk dieksekusi. Ditinjau dari segi dukungan keabsahan alat bukti, bahwa pada pemeriksaan judex facti Pengadilan Agama Cibinong, Tergugat/ Termohon Kasasi telah mengakui kebenarannya mengenai telah pisah ranjang yang dijadilan alasan Penggugat. Dengan demikian, bukti pengakuan tersebut menandakan ketidak harmonisan dalam rumah tangga. Selain itu terdapat bukti elektronik mengenai adanya pihak ketiga (wanita idaman lain) dalam menjalani rumah tangga, hal ini dibuktikan
berupa bukti Sort Massage Service (SMS) yang tidak semestinya. Atas dasar alat-alat bukti itulah, MA menilai bahwa rumah tangga keduanya tidak manfaat lagi dipertahankan dan judex facti (Pengadilan Tinggi Agama Bandung) telah memutus tanpa mendasari asas-asas keadilan dan kemanfaatan. Dengan demikian, meskipun dalam fakta hukum tidak terbukti adanya pertengkaran yang terus menerus tetapi kenyataannya rumah tangga tersebut talah pecah sehingga MA sudah tepat memutuskan berdasarkan keadilan dan kemanfaatan karena secara langsung di dalamnya terdapat kepastian hukum. Hanya saja dalam pertimbangannya MA tidak men cantumkan dasar hukum selain undangundang untuk dijadikan dasar pertimbangan. Padahal bisa saja mencantumkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 19 Januari 1999 Nomor: 44 K/Ag/1998 yang berisi bahwa bilamana perselisihan dan per tengkaran antara suami dan isteri telah terbukti dalam pemeriksaan di Pengadilan Agama dan didukung oleh fakta tidak berhasilnya Majelis Hakim merukunkan para pihak yang bersengketa sebagai suami isteri, maka sesuai dengan ketentuan pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo. UndangUndang Nomor 1 tahun 1974. Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor: 425 K/AG/2014 Ditinjau dari Aspek Hukum Formil Secara normatif tujuan orang melakukan perkawinan adalah untuk memperoleh kebahagiaan baik di kebahagiaan di dunia maupun kebahagiaan di akhirat kelak. Dalam bahasa Alquran disebutnya dengan sakînah melalui mawaddah dan rahmah. Namun untuk mencapai tujuan tersebut, antara suami dan istri harus memiliki ekpektasi dan visi yang sama untuk mewujudkannya. Seiring perjalanan waktu pasti selalu ada rintangan yang harus dihadapi. Namun ketika rumah tangga berjalan tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan, hampir dapat dipastikan akan terjadinya perpisahan yang mengakibatkan
768| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015 putusnya perkawinan tersebut. Putusnya perkawinan tersebut bisa di sebab kan oleh satu alasan maupun oleh banyak alasan, yang intinya alasan tersebut me nyebabkan tidak tercapainya tujuan per kawinan. Terlepas dari alasan-alasan tersebut, yang terpenting adalah bagaimana menyikapinya ketika terjadinya perceraian agar terdapat keadilan dan kemanfaatan. Oleh karena itu, pada bagian ini, penulis akan menganalisis tentang pemenuhan aspek-aspek hukum materil terhadap putusan tentang per ceraian yang ditinjau dari aspek sebagai berikut: Pertama, ditinjau dari segi pencantuman secara tegas dasar permohonan. Putusan ini secara tegas mencantumkan posita dan petitum sebagaimana yang tercantum dalam surat gugatan. Alasan yang dikemukakan adalah sering terjadinya pertengkaran dan perselisihan, adanya wanita idaman lain, suami sering berkata dan bersikap kasar kepada isteri, dan suami tidak memberikan nafkah lahir kurang lebih selam dua tahun serta tidak memberikan nafkah batin kurang lebih selama delapan bulan. Menyikapi alasan tidak menafkahi isteri tersebut, Allah berfirman dalam Alquran surat al-Nisâ [4]: 34, sebagai berikut:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lakilaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara (mereka). Wanitawanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Berdasarkan ketentuan ayat di atas, suami jelas memiliki kewajiban untuk menafkahi istrinya karena dia sebagia kepala rumah tangga. Namun ketika hal tersebut tidak dilaksanakan, maka para fukaha berbeda pendapat dalam hal ini dalam beberapa keadaan namun mereka bersepakat didalam beberapa keadaan yang lain, sebagai berikut: a. Apabila suami yang menahan dari mem berikan nafkahnya itu memiliki harta yang tampak maka dibolehkan bagi istrinya untuk mengambil nafkahnya itu dari suaminya baik dengan sepengetahuan si suami atau tidak, baik dilakukannya sendiri atau melalui seorang hakim. Dan dalam hal ini tidak ada bagi istrinya hak untuk menuntut pisah karena dimungkinkan baginya untuk mendapatkan nafkahnya itu tanpa perlu adanya pemisahan. Menurut Imam Syafi’i bahwa jika harta suami yang tampak itu ada di hadapannya maka tidak diperbolehkan pemisahan (suami-istri). Akan tetapi jika harta itu berada jauh darinya sejauh jarak qashar salat maka dibolehkan bagi istri untuk menuntut pisah (cerai gugat). b. Apabila seorang suami yang menahan nafkahnya, maka istri dapat meng angkat permasalahan ini kepada hakim untuk menuntut pisah dari suaminya. Tetapi Menurut ulama Hanafi tidak membolehkan meminta bercerai/pisah. Sementara para ulama Maliki dan Hambali memberikan kepadanya pilihan, yaitu: pertama, tetap mempertahankan ikatan suami istri dan menjadikan pembiayaan nafkahnya sebagai utang atas suaminya; atau kedua, mengangkat permasalahan ini kepada hakim untuk menuntut pemisahan
Muhibbuthabary: Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung |769
pernikahannya.34 Namun pendapat yang kuat adalah bahwa seorang istri yang tidak mendapatkan nafkah dari suaminya memiliki hak untuk menuntut pemisahan dirinya dari suaminya. Kedua, dilihat dari segi pertimbangan hukum yang memadai terkait dasar gugatan. Dalam pertimbangan hukum pada tingkat pertama telah tepat bahwa perkawinan tersebut terbukti telah pecah dengan indikator telah tejadinya pertengkaran yang menyebabkan pisah ranjang meskipun tidak disebutkan terjadi perselisihan yang terus menerus. Hanya saja dalam hal pertimbangannya tidak mencantumkan yurisprudensi yang mendukung hal tersebut. Sementara itu, Pengadilan Tinggi Agama Bandung berpendapat lain. Menurutnya, alasan Penggugat dalam mengajukan gugatannya sama sekali tidak terbukti. Pengadilan Tinggi Agama Bandung melihat bahwa perselisihan yang terjadi tidak bisa dikategorikan kedalam alasan perceraian pasal 116 huruf f KHI tentang alasan terjadinya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus yang tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, karena antara kedua belah pihak masih hidup dalam satu rumah hanya berbeda kamar saja, hal ini menandakan perselisihan belum begitu serius yang masih mungkin untuk dicarikan jalan keluarnya apalagi selama ini belum pernah ditangani secara serius oleh keluarga dekat masing-masing pihak. Akan tetapi menurut Mahkamah Agung bahwa perkawinan tersebut telah pecah berdasarkan fakta hukum yang dikemukakan oleh judex facti Pengadilan Agama Cibinong, sehingga putusannya membatalkan judex facti Pengadilan Tinggi Agama Bandung. Selanjutnya mengenai amar putusan yang berisi kalimat menjatuhkan talak satu ba’in shughra Tergugat terhadap Penggugat. Karena putusan ini telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) maka memberikan Wizârah al-Awqaf wa al-Syu‘ûn, al-Mawsû‘ah alFiqhiyyah, (Kuwait: Tnp. t.t.), juz 2, h. 10.346. 34
konsekuensi kepada kedua belah pihak yaitu perceraian yang terjadi tidak dapat di r ujuk kembali meskipun bilangannya tertulis ‘talak satu’. Karena dalam hal ini, bilangan satu itu dipahami sebagai ‘bobot’ talak bukan ‘bilangan’ artinya bahwa talak yang dijatuhkan itu adalah senilai satu kali talak, bukan dua kali talak yang dijatuhkan sekaligus dalam satu waktu. Hal ini selaras dengan bahwa talak itu hanya dapat dijatuh satu demi satu (marratan ba’da marrah atau marratâni), dan hukum positif Indonesia tidak mengenal penjatuhkan talak sekaligus. Penutup Berdasarkan uraian pembahasan tersebut di atas, maka penulis dapat menarik dua kesimpulan sebagai berikut: pertama, di tinjau dari hukum materil putusan ini telah mencantumkan dasar permohonan secara jelas, telah mempertimbangkan semua yang menjadi tuntutan para pihak artinya telah mempertim bangkan baik dari gugatan Penggugat maupun dari jawaban Tergugat, dan tidak menyalahi ketentuan hukum materil tentang perceraian baik menurut hukum positif Indonesia maupun hukum perkawinan Islam; dan kedua, ditinjau dari aspek hukum formil, putusan ini telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku artinya putusan itu telah memenuhi struktur putusan sebagaimana ketentuan pasal 184 ayat (1) H.I.R. dan sesuai dengan asas putusan dalam pasal 178 H.I.R. pasal 189 R.Bg. serta telah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, berdasarkan dari kedua tinjauan tersebut di atas, maka menurut hemat penulis, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 425 K/AG/2014 dilihat dari aspek hukum materil dan formil telah benar dan tepat. Hal tersebut didasarkan kepada pertimbangan majelis hakim dalam amar putusannya telah memuat nilai dasar putusan pengadilan, yaitu: keadilan (filosofis value); kemanfaatan (sosiologis value); dan kepastian hukum (yuridis value).
770| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015 Pustaka Acuan Abdullah, Erfani Aljan, “Kapita Selekta Talak Ba’in Shughraa” dalam artikel www.badilag. net. diakses tanggal 26 Oktober 2015. Arto, Mukti, Praktik Perkara Perdata, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Ash-Siddieqy, Muhammad Hasbi Teungku, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997. Bagir, Muhammad, Fiqh Praktis, Bandung: Mizan, 2002. Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt). Kompilasi Hukum Islam atas Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun1991. Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2007. Muljono, Wahyu, Teori dan Praktik Peradilan Perdata di Indonesia, Jakarta Selatan: Pustaka Yustisia, 2012. Poerwadaminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Tnp, 1982. Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.t. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Kairo: Dâr al-Fath Lil I‘lâm Al-‘Arâbî, 2000. Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undangundang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 1986. Supramono, Gatot, Hukum Pembuktian di Pengadilan Agama, Bandung: Alumni, 1993.
Syu‘ûn, al-, Wizarah al-Awqaf wa, al-Mawsû‘ah al-Fiqhiyyah, Kuwait: Tnp., t.t. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 temtang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Wakil Panitera PA Semarang, “Prosedur & Proses Penanganan Perkara Cerai Gugat”, dalam http://pa-semarang. go.id/prosedur-penanganan-perkara/ cerai-gugat. Diakses tangal 25 Oktober 2015. Yurisprodensi MA Nomor 638K/Sip/1969 tanggal 22 Juli 1970. Yurisprodensi MA Nomor 672 K/Sip/1972. Yurisprudensi MA Nomor 80 K/Sip/1968. Yusup. Deni K. 2014. “Pengembangan Teori dan Metode Analisis Putusan Pengadilan”, makalah Diskusi Diktum Himpunan Mahasiswa Jurusan AlAhwal al-Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung tanggal 18 November 2014. Zuhaylî, Wahbah, al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuh, Damsyiq: Dâr al-Fikr, 1989.