CATATAN AKHIR TAHUN IMPLEMENTASI UU NO. 14/2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK (UU KIP) DI INDONESIA
FREEDOM OF INFORMATION NETWORK – INDONESIA DESEMBER 2010
Catatan Akhir Tahun, Implementasi UU No. 14/2008, Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Indonesia
1i
ii
Freedom of Information Network – Indonesia, Desember 2010
BAGIAN I PENDAHULUAN Tahun 2010 merupakan momen penting bagi Indonesia untuk mewujudkanan tatakelola pemerintahan dan Negara yang lebih transparan, partisipatif dan akuntabel. Pasalnya pada tahun ini, tepatnya pada 30 April, telah diberlakukan Undang-Undang No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Harapan ini tidak berlebihan mengingat UU KIP merupakan perangkat legal yang secara spesifik mewajibkan Badan-badan Publik untuk melayani informasi kepada masyarakat. UU ini juga memberikan jaminan seluas-luasnya kepada publik untuk mendapatkan berbagai informasi dari Badan-badan Publik. Yang dimaksud dengan informasi di sini adalah segala macam data, dokumen dan keterangan yang berkaitan dengan kondisi internal Badan Publik dan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Badan Publik, termasuk anggaran pendukungnya. Menilik sedikit perjalanan kelahirannya, UU KIP boleh dibilang sebagai produk hukum yang menjadi puncak tujuan (ultimate goal) dari agenda reformasi. Sebagaimana dipahami bahwa gerakan reformasi yang didorong pada 12 tahun lalu adalah upaya untuk mewujudkan terselenggaranya tatapemerintahan yang terbuka. Gerakan reformasi hendak mengoreksi tatapemerintahan sebelumnya yang tertutup dan sentralistik, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme dan praktik manipulasi lainnya. Berkaca pada pengalaman masa lalu, monopoli informasi oleh otoritas kekuasaan terbukti telah merugikan masyarakat. Praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme tumbuh subur. Sumber-sumber daya publik dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir elit. Sementara masyarakat terus didera penderitaan dan kemiskinan karena maraknya kebijakan yang hanya berpihak pada kekuasaan. Di sisi lain masyarakat tidak berdaya untuk menjalankan peran checks and balances terhadap kekuasaan. Itu semua terjadi karena akses informasi kepada publik ditutup sama sekali. Berlandaskan semangat untuk mengoreksi praktik penyelenggaraan negara di masa lalu yang buruk itulah, UU KIP diterbitkan. Pada awalnya produk hukum yang berhasil digolkan dalam rangka mendorong gerakan keterbukaan adalah Tap MPR XVII/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Pada Pasal 20 Tap tersebut dinyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.” Kemudian pada pasal 21 dinyatakan, “Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Pada tahap selanjutnya jaminan keterbukaan informasi semakin kuat karena dikukuhkan secara jelas dan eksplisit dalam konstitusi. Dalam Pasal 28 F UUD 1945 Catatan Akhir Tahun, Implementasi UU No. 14/2008, Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Indonesia
21
hasil amandemen ke-2 dinyatakan, “Setiap orang berhak atas berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Barulah kemudian dalam Tap MPR VIII/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme direkomendasikan untuk menyusun UU yang mengatur tentang Kebebasan Mendapatkan Informasi Publik. Berdasar pada Tap tersebut, kemudian DPR dan Pemerintah berhasil menyusun dan mengesahkan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Sejatinya, UU KIP tidak hanya terbatas mengatur soal informasi. UU ini juga memberikan jaminan adanya partisipasi warga negara dalam turut menentukan kebijakan. Hal ini tercermin dari Tujuan UU KIP itu sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3, UU KIP antara lain bertujuan mendorong partisipasi publik dan meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik. Ini artinya, UU KIP gagal diimplementasikan jika ruang-ruang partisipasi publik tidak terbuka secara luas. Terimplementasikannya sebuah UU tergantung pada kesadaran dan komitmen dari subjek-subjek yang disebutkan di dalamnya. Secara umum subjek-subjek yang diatur dalam UU KIP adalah warga negara, Badan Publik, dan Komisi Informasi. Warga negara adalah setiap orang yang secara jurisdiksi hukum Republik Indonesia sah diakui sebagai warga negara. Warga negara menurut UU KIP dijamin haknya untuk dipenuhi kebutuhan informasinya oleh Badan Publik. Sedangkan Komisi Informasi adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan persoalan jika terjadi sengketa antara warga negara dan Badan Publik dalam kaitannya dengan pemenuhan hak atas informasi. Ketiga subjek hukum UU KIP tersebut penting untuk terus didorong untuk menjalankan peran dan fungsinya masing-masing. Jika UU KIP diimplementasikan secara konsisten dan konsekuen, ke depannya diharapkan tidak ada lagi monopoli informasi oleh otoritas pemerintahan. Pengelolaan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sebagai substansi demokrasi benar-benar akan terwujud. Menyambut momentum pemberlakuan UU KIP, serta didorong keinginan untuk memberikan kontribusi bagi terwujudnya implementasi UU KIP secara konsekuen, Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) melakukan uji akses dengan meminta informasi kepada Badan-badan Publik yang ada. Uji akses bukan saja dilakukan setelah UU ini diberlakukan, namun juga saat awal-awal UU ini disahkan. FOINI sendiri adalah jaringan kelompok masyarakat sipil yang peduli terhadap gerakan keterbukaan informasi dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Jaringan ini dibentuk untuk menguatkan langkah-langkah kelompok masyarakat sipil dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas sebagai perwujudan good governance. 2
Freedom of Information Network – Indonesia, Desember 2010
3
Paparan hasil uji akses tiap-tiap kelompok masyarakat sipil pada laporan ini tidak seragam. Hal ini karena masing-masing mengacu pada indikatornya. Namun terlepas dari itu, secara umum laporan ini masih dapat menggambarkan respon yang diberikan oleh Badan Publik terhadap permintaan informasi, kondisi internal Badan Publik, dan variable-variabel yang mempengaruhi sikap dan kondisi Badan Publik tersebut. Lebih dari itu, laporan diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran bersama masyarakat untuk lebih menyadari akan haknya atas informasi, sekaligus juga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi berbagai pihak yang berkepentingan dalam upaya peningkatan kapasitas Badan-badan Publik dalam pelayanan informasinya.
Catatan Akhir Tahun, Implementasi UU No. 14/2008, Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Indonesia
43
BAGIAN II PELAKSANAAN PERMINTAAN INFORMASI Pelaksanaan permintaan informasi ada yang dilakukan setelah UU ini disahkan – Mei 2008-, ada pula yang dilakukan setelah UU KIP diberlakukan -Mei 2010. Ada empat kelompok besar yang melakukan permintaan informasi, yang berhasil didokumentasikan dalam laporan ini. Pertama, adalah kelompok yang diorganisir oleh Indonesian Parliamentary Center (IPC). IPC mengorganisir kelompok masyarakat sipil di sepuluh daerah untuk melakukan permintaan informasi di Badan-badan publik setempat. Kesepuluh daerah tersebut adalah Sumatera Barat, Bengkulu, Serang, Garut, Jawa Tengah, Malang, Pontianak, Bali, NTB, dan Sulawesi Tengah. Kedua, permintaan informasi yang dilakukan oleh Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA). Seknas FITRA melakukan permintaan informasi kepada Badan Publik di tingkat pusat yang meliputi Kementerian, lembaga non kementerian, lembaga Negara (Komisi) dan badanbadan lainnya. Informasi yang diminta adalah dokumen anggaran, yakni Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Ketiga, permintaan informasi oleh jaringan Pusat Analisis Telaah Informasi Regional (Pattiro). Jaringan Pattiro melakukan permintaan informasi kepada Badan-badan Publik yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan tambang minyak bumi dan gas (migas) di Blok Cepu. Keempat, permintaan informasi yang dilakukan oleh LSM Hijau Indonesia terhadap Badan-badan Publik di Bojonegoro. Terhadap permintaan informasi yang dilakukan, pada umumnya Badan Publik terkesan kurang serius meresponnya. Badan publik masih menganggap bahwa permintaan informasi bukan bagian dari pelayanan publik pada umumnya. Oleh karena itu ada beberapa surat permintaan yang tidak dapat dilacak lagi keberadaannya akibat ketidakseriusan petugas penerimanya. Petugas juga seringkali mencari-cari alasan untuk menolak permintaan informasi. Misalnya saja, suatu ketika peminta informasi datang mengatasnamakan pribadi. Permintaan itu tidak dilayani, dan harus disampaikan dengan mengatasnamakan organisasi/lembaga. Namun pada saat peminta datang lagi dengan mengatasnamakan lembaga, kembali ditolak dengan alasan sibuk. Badan Publik baru akan responsif jika fakta-fakta negatif tersebut mendapat sorotan media. Petugas mereka akan menghubungi peminta informasi dan menyampaikan informasi yang diminta, meskipun informasi yang diberikan tidak sesuai dengan keinginan.
4
Freedom of Information Network – Indonesia, Desember 2010
5
Di luar fakta negatif tersebut, tentu saja masih ada Badan Publik yang responsif dan memberikan informasi yang diminta. Secara kuantitatif, hasil permintaan informasi yang dilakukan oleh FOINI terungkap sebagai berikut.
A.
Hasil Uji Akses yang diorganisir oleh IPC di Sepuluh Daerah
Dari 347 permintaan informasi yang diajukan, tidak sampai separuhnya yang diterima, yakni hanya 102. Selebihnya ditolak (152) dan diabaikan (93). Kategori ditolak dan diabaikan pada hakikatnya sama: informasi tidak diberikan. Perbedaannya, kalau ditolak memang ada pernyataan penolakan secara jelas. Sedangkan diabaikan, permintaan informasi yang disampaikan tidak ditindaklanjuti, dijanjikan terus menerus tetapi tidak diberikan, bahkan ada juga surat permintaan informasi yang hilang ketika dikonfirmasi. Tabel 1. Respons Terhadap Permintaan Informasi RESPON DITOLAK DIABAIKAN DITERIMA JUMLAH
JUMLAH 152 93 102 347
Grafik 1. Prosentase Respons Terhadap Permintaan Informasi
Namun demikian, bukan berarti permintaan informasi yang diterima atau dikabulkan juga sesuai dengan informasi yang diminta atau diinginkan. Dari 102 permintaan informasi yang dikabulkan, hanya 69 permintaan yang dikabulkan dengan data yang tepat dan lengkap.
Catatan Akhir Tahun, Implementasi UU No. 14/2008, Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Indonesia
65
Tabel 2. Detil Respons Terhadap Permintaan Informasi RESPON DITOLAK DAN DIABAIKAN DITERIMA / DATA TIDAK TEPAT DITERIMA / DATA TEPAT TAPI TIDAK LENGKAP DITERIMA / DATA TEPAT DAN LENGKAP JUMLAH
JUMLAH 245 2 31 69 347
Grafik 2. Detil Respons Terhadap Permintaan Informasi
Terhadap permintaan informasi yang ditolak dan diabaikan, lebih banyak tidak disertai dengan alasan. Jikapun ada, terkesan alasan yang diberikan tidak diterima secara akal sehat, sehingga terkesan mengada-ada. Misalnya ada petugas Badan Publik yang menolak memberikan informasi karena bukan kewenangannya untuk memberikan. Semestinya alasan ini tidak perlu ada, karena bisa saja petugas yang bersangkutan meneruskan surat permintaan kepada pihak yang mempunyai kewenangan untuk memberikan informasi. Kemudian ada juga yang menyatakan alasan sistem komputer rusak. Alasan ini juga kurang dapat diterima, karena semestinya selain dilakukan secara online pengelolaan dokumen dapat dijalankan secara offline. Alasan-alasan yang tidak masuk akal ini pada dasarnya merupakan upaya untuk menghindar dari kewajiban petugas Badan Publik untuk melayani informasi publik. Alasan penolakan terhadap permintaan informasi dapat dilihat pada Tabel 3. 6
Freedom of Information Network – Indonesia, Desember 2010
7
Tabel 3. Alasan Penolakan terhadap Permintaan Informasi ALASAN PENOLAKAN/PENGABAIAN TANPA PENJELASAN/KETERANGAN TIDAK JELAS
JUMLAH 41
DATA TIDAK DIMILIKI
18
TIDAK BISA DIBERIKAN PADA INDIVIDU MENUNGGU KEPUTUSAN PIMPINAN BADAN PUBLIK TIDAK ADA SURAT REKOMENDASI DARI DINAS KESBANGLINMAS
41
37
RAHASIA
13
PETUGAS SURAT TIDAK DI TEMPAT TIDAK ADA ALAMAT LOKAL DALAM SURAT
24
SISTEM INFORMASI KOMPUTER RUSAK
1
DATA SUDAH TERSEDIA DI WEB
1
HARUS MELALUI SURAT TIDAK BERANI MEMBERIKAN DATA TERTULIS KHAWATIR DOKUMEN TIDAK DIKEMBALIKAN
5
SURAT TIDAK FORMAL
7
DALAM PROSES PENYIDIKAN DOK. SUDAH DISERAHKAN KE DPRD
2
28
1
2 1
1
LEMBAGA/ALAMAT/KEPENTINGAN PEMOHON TIDAK JELAS TUJUAN SURAT TERLALU UMUM
12
BUKAN KEWENANGAN
2
JUMLAH
8 245
Tabel 4. Respons terhadap Permintaan berdasarkan Sebaran Daerah
DAERAH BALI NTB MALANG JAWA TENGAH SERANG
DITOLAK 11 3 68 3 36
DIABAIKAN DITERIMA 1 23 3 3 2 32 13 4 53 20
TOTAL 35 9 102 20 109
Catatan Akhir Tahun, Implementasi UU No. 14/2008, Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Indonesia
87
GARUT SULAWESI TENGAH SUMATERA BARAT PONTIANAK BENGKULU JUMLAH
1 4 21 2 3 152
4 7 5 3 2 93
2 1 5 0 12 102
7 12 31 5 17 347
Dari sepuluh daerah, tampak hanya Bali yang banyak mengabulkan/menerima permintaan informasi. Dari data ini bisa saja disimpulkan bahwa Badan Publik di Bali responsif terhadap permintaan informasi. Namun tidak dipungkiri juga bahwa data ini muncul karena memang permintaan informasi yang disampaikan oleh jaringan kelompok masyarakat sipil di sana sebagian besar disampaikan secara lisan. Begitupun informasi yang diminta pada umumnya bukan informasi data/dokumen yang dapat disampaikan dalam bentuk lisan. Berbeda dengan daerah lainnya yang sebagian besar informasi yang diminta berupa data. Selain itu, data yang dimintapun bukan dokumen sederhana, misal dokumen anggaran. (Lihat Tabel 5) Dikabulkannya permintaan sederhana yang dapat disampaikan secara lisan, menunjukkan bahwa pada dasarnya Badan Publik masih belum siap dalam hal manajemen data. Permintaan informasi berupa data/dokumen, selain banyak ditolak dengan alasan yang tidak jelas, seringkali juga diabaikan dengan mengulur-ulur waktu atau menjanjikan terus menerus tanpa realisasi.
Tabel 5. Renspons Permintaan Informasi berdasarkan Jenis Informasi yang Diminta
8
JENIS INFORMASI DATA JUMLAH ATLET DATA PERDAGANGAN DAERAH
DITOLAK 0 0
DIABAIKAN 1 0
DITERIMA 0 2
APBD DAN DOKUMEN TERKAIT
42
30
12
DATA PAJAK
4
3
3
ANGGARAN INTERNAL BADAN PUBLIK
6
3
0
DATA APBS
0
3
0
HASIL AUDIT BPK PROGRAM BANTUAN UNTUK MASYARAKAT DATA ASET BADAN PUBLIK
3
2
0
11
7
8
0
2
1
DATA INTERN BADAN PUBLIK
3
11
4
DOKUMEN MoU BADAN PUBLIK
1
0
0
Freedom of Information Network – Indonesia, Desember 2010
9
PROGRAM KERJA
2
0
1
LAPORAN KINERJA
0
0
2
PELAYANAN PUBLIK
9
5
44
DATA KEPEGAWAIAN KONDISI SOSIAL MASYARAKAT
1 3
5 1
0 5
11
0
6
2
0
1
SDA/LINGKUNGAN DATA KASUS HUKUM
9 11
6 6
5 0
PERATURAN PERUNDANGAN
33
1
5
DATA PELANGGAN BADAN USAHA
0
6
2
DATA BADAN USAHA
1
1
1
152
93
102
DATA KEPENDUDUKAN DAN ADMISTRASI WILAYAH DOKUMEN PENATAAN KOTA/JALAN
JUMLAH
Pada tabel 5 tampak bahwa jenis informasi pelayanan publik terlihat paling banyak diterima. Hal ini karena permintaan informasi yang diinginkan berupa informasi lisan dan sederhana, misalnya informasi tentang mekanisme pengurusan KTP, informasi tentang jadwal penerimaan murid baru di sekolah, program beasiswa dan sejenisnya. Lain halnya jika yang diminta adalah informasi berupa data/dokumen, terlebih dokumen anggaran. Dari 84 permintaan informasi hanya 12 yang diterima, sisanya ditolak dan diabaikan. Sedangkan berdasarkan jenis Badan Publiknya, respon yang diberikan atas permintaan informasi adalah sebagaimana terlihat pada tabel berikut. Tabel 6. Respons Permintaan informasi berdasarkan jenis Badan Publik BADAN PUBLIK LEMBAGA NEGARA/INSTANSI VERTIKAL
DITOLAK DIABAIKAN DITERIMA TOTAL 19
12
14
45
KANWIL
2
7
1
10
SKPD
92
39
41
172
KANTOR KECAMATAN
4
2
8
14
KANTOR KELURAHAN
1
0
18
19
DPRD
14
8
2
24
KUA
3
0
2
5
PENGADILAN
5
2
0
7
KEJAKSAAN
3
3
0
6
KEPOLISIAN
3
0
0
3
RUMAH SAKIT/PUSKEMAS
1
0
10
11
Catatan Akhir Tahun, Implementasi UU No. 14/2008, Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Indonesia
109
BUMN/D
0
7
0
7
SEKOLAH
5
13
6
24
JUMLAH
152
93
102
347
Secara ekstrim dapat dilihat, Badan Publik yang sama sekali tidak mengabulkan permintaan adalah Badan Publik yang berkaitan dengan penegakkan hukum: Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian; dan Badan Usaha Milik Daerah/Negara (BUMD/N). Dapat dipahami bahwa aktivitas kedua jenis lembaga tersebut berkaitan dengan hal-hal yang sensitive. Secara normatif memang informasi tentang penegakkan hukum dan persaingan usaha menurut UU KIP dikategorikan sebagai informasi yang dikecualikan/rahasia. Namun dalam kasus uji akses FOINI, informasi yang diminta kepada kedua jenis lembaga tersebut tidak berkaitan langsung, dan tidak akan mengganggu jalannya proses penegakan hukum dan persaingan usaha.
B. Hasil Uji Akses oleh Seknas FITRA Berbeda dengan permintaan informasi yang dilakukan oleh tingkat Pusat, yang terdiri dari 3 Badan Publik Legislatif, 19 publik lainnya.
informasi yang diorganisir oleh IPC, permintaan Seknas FITRA ini ditujukan kepada Badan Publik di 34 Badan Publik eksekutif, 5 Badan Publik Yudikatif, Lembaga Negara Non-Kementerian, dan 8 Badan
Informasi yang diminta adalah Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun 2010 yang berisi rincian pelaksaaan program dan kegiatan. Dari hasil uji akses yang dilakukan, hanya 17 Badan Publik yang merespon dan memberikan informasi. Selebihnya merespon namun tidak memberikan data, dan mengabaikan atau diam saja. Selengkapnya lihat Tabel 7.
10
Freedom of Information Network – Indonesia, Desember 2010
11
Tabel 7. Respons terhadap permintaan informasi DIPA
Tabel 8. Badan Publik yang Merespon dan Memberikan Informasi Eksekutif
1. 2. 3. 4. 5.
Legislatif
1. 2. 1. Non- 1. 2. 3. 1. 2. 3.
Yudikatif Lembaga Kementerian Badan Lain
Negara
4. 5. 6.
Kementerian Sekretariat Negara Kementerian Perindustrian Kementerian Pertanian Kementerian Perhubungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Dewan Perwakilan Daerah Majelis Permusyawaratan Rakyat Komisi Pemberantasan Korupsi Arsip Nasional Republik Indonesia Badan Pusat Statistik Komisi Pemilihan Uumum Badan Pengawas Pemilu Badan Narkotika Nasional Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi Badan Standarisasi Nasional Komisi Nasional HAM
Catatan Akhir Tahun, Implementasi UU No. 14/2008, Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Indonesia
1211
Pada awalnya MPR dan Komnas HAM tidak merespons permintaan informasi. Namun setelah Seknas FITRA melakukan launching hasil uji akses dan mendapat liputan media yang cukup luas, barulah kedua lembaga tersebut merespon dan memberikan informasi yang diminta. Namun demikian, setelah DIPA diterima ternyata ada beberapa yang tidak lengkap, yaitu: Tidak ada Halaman 3-4 yang berisi informasi pengadaan kendaraan pada DIPA Kementerian Sekretariat Negara. Tidak ada hal Halaman II-11 dan II-12, berisi anggaran peningkatan kelembagaan pada DIPA BPPT. Halaman 4 pada DIPA BNN tidak dapat diidentifikasi. Pada DIPA Bawaslu tidak dapat diidentifikasi jenis belanja, karena kategori belanja digeneralisir menjadi belanja lain-lain. Pada DIPA BSN tidak ada lampiran II, III, dan IV yang berisi anggaran perjalanan dinas keluar negeri. Sedangkan 13 Badan Publik hanya merespon pemintaan tetapi tidak memberikan DIPA yang diminta. Diantara bentuk respon tersebut berupa penolakan tidak bisa memberikan salinan DIPA kepada pihak pemohon. Berikut ini adalah 13 Badan Publik yang merespon tetapi tidak memberikan DIPA beserta dengan keterangannya.
Tabel 9. Badan Keterangannya No
Publik
yang
Menolak
Memberikan
Informasi
beserta
Badan Publik
Keterangan/Alasan Setelah konsultasi ke BPK dan BPKP, DIPA dapat disalahgunakan oleh pihak ketiga. DIPA tidak ada di Kemhan, mintanya ke kemkeu
6
Kementerian Luar Negeri Kementerian Pertahanan Kementerian Dalam Negeri Kementerian Pekerjaan Umum Kementerian Komunikasi dan Informasi Kementerian Riset dan
12
Freedom of Information Network – Indonesia, Desember 2010
1 2 3 4 5
Janji mau memberikan tetapi belum juga diterima Merasa sudah dishare di website Kementerian yang bersangkutan Hanya memberikan soft-file DIPA, tetapi menyertakan passwordnya sehingga data tidak dapat dibuka. Menunggu hasil kordinasi dengan Kementerian 13
Teknologi
Keuangan DIPA sedang direvisi
9
Kem. Pemberdayaan Perempuan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Badan Atom Nasional
10
Bapeten
Buka di website kemkeu, tetapi tidak ada
11
Dewan Ketahanan Nasional Perpustakaan Nasional
7 8
12 13
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Mempersilakan ambil di kantor, tetapi sesampai di sana tidak dilayani dengan baik, dioper dari satu meja ke meja lainnya (ping-pong)
Surat belum diterima, tidak bisa informasi (setelah diajukan keberatan)
memberikan
Di luar lembaga tersebut di atas adalah lembaga-lembaga yang tidak merespons sama sekali permintaan informasi yang diajukan. Tabel 10. Badan Publik yan Tidak Merespon Permintaan Informasi Eksekutif
1
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
2
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
3
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
4
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
5
Kementerian Keuangan
6
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
7
Kementerian Perdagangan
8
Kementerian Kehutanan
9
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
10
Kementerian Kesehatan
11
Kementerian Pendidikan Nasional
12
Kementerian Sosial
13
Kementerian Agama
Catatan Akhir Tahun, Implementasi UU No. 14/2008, Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Indonesia
14 13
14
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
15
Kementerian Lingkungan Hidup
16
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
17
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal
18
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
19
Kementerian Badan Usaha Milik Negara
20
Kementerian Perumahan Rakyat
21
Kementerian Pemuda dan Olahraga
Legislatif
1
Dewan Perwakilan Rakyat RI
Yudikatif dan Penegakan Hukum
1
Mahkamah Agung
2
Mahkamah Konstitusi
3
Kejaksaan agung RI
4
Kepolisian RI
Lembaga NonKementerian
14
1
Badan Intelijen Negara (BIN)
2
Badan Kepegawaian Negara (BKN)
3
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
4
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
5
Badan Pertanahan Nasional (BPN)
6
Badan Urusan Logistik (BULOG)
7
LAPAN
8
BKPM
9
BPK
10
BI
11
LIPI
Freedom of Information Network – Indonesia, Desember 2010
15
Badan Lain
1
Komisi Yudisial
2
Komisi Ombudsman Nasional
C. Hasil Uji akses LSM Hijau Indonesia Bojonegoro LSM HI merupakan lembaga di tingkat lokal yang mendorong transparansi di wilayah Kabupaten Bojonegoro. Selain mendorong keterbukaan dalam pengelolaan kebijakan publik secara umum, HI juga mendorong transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan eksploitasi migas. Kabupaten Bojonegoro merupakan bagian dari wilayah yang masuk dalam Blok Cepu. Oleh karenanya, Badan Publik yang diakses pun bukan hanya badan publik pemerintah, tetapi juga perusahaan yang menyelenggarakan eksploitasi. Pengelolaan Blok Cepu bukan hanya semata-mata urusan pemerintah daerah, tetapi juga ada bagian urusan pemerintahan pusat. Atas dasar itulah selain mencoba melakukan akses terhadap pemerintah daerah, HI juga melakukan akses informasi kepada Badan Publik pemerintah pusat. Terhitung ada 28 surat permintaan informasi yang dilayangkan ke berbagai Badan Publik, baik di tingkat Kabupaten maupun Pusat. Dari seluruhnya, hanya sebagian kecil saja yang dipenuhi, selebihnya ditolak atau diabaikan dengan berbagai alasan. Diabaikan pada hakekatnya ditolak juga, karena pada akhirnya informasi yang diminta tidak dikabulkan. Grafik 3.Respon terhadap Permintaan Informasi
Catatan Akhir Tahun, Implementasi UU No. 14/2008, Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Indonesia
16 15
Jenis-jenis informasi yang diminta dan Badan Publik yang dituju selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Jenis Informasi yang Diminta dan Badan Publik yang Dituju. No. Jenis Informasi 1. Jumlah pendapatan dari retribusi rumah makan dan restoran 2. Informasi tentang Corporate Social Responsibility oleh Mobile Cepu Limited sebagai operator tambang kepada warga Bojonegoro selama tahun 2005-2010, yang meliputi: a. Besaran dana b. Peruntukannya c. Bentuk program d. Data warga penerima 3. Besaran penerimaan pajak dari perusahaan tambang Jumlah kendaraan bermotor dan jumlah penerimaan pajak dari pemilik kendaraan bermotor dan Pajak Parkir Berlangganan di Bojonegoro Tahun 2008 - 2010
Badan Publik Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah -
MCL BP Migas Pusat Departemen Keuangan Departemen ESDM Bank BNI Bojonegoro Bank BRI Bojonegoro
Kantor Pajak Pratama Bojonegoro Dinas Pendapatan Jawa Timur kantor Bojonegoro
Dari seluruh Badan Publik yang diajukan permintaan informasi, hanya Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Bojonegoro yang memenuhi permintaan informasi. Selebihnya menolak atau mengabaikan. Ternyata respons positif ini tidak diikuti oleh Dinas Pendapatan Jawa Timur. Permintaan informasi tentang pajak kendaraan bermotor tidak direpson dengan baik. Pegawai Unit Pelayanan Terpadu Daerah Dinas pendapatan Jatim beralasan tidak berwenang memberikan informasi kecuali ada izin dari Dinas Pendapatan Jatim. Izin tidak juga diberikan, akhirnya HI melaporkan penolakan ini kepada Gubernur Jawa Timur. Surat telah dikirimkan, tetapi setiap hendak melakukan konfirmasi, nomor telepon selalu tidak aktif atau bernada sibuk. 16
Freedom of Information Network – Indonesia, Desember 2010
17
Data CSR yang semestinya vital juga tidak didapat. MCL menolak dengan alasan bahwa pihaknya bukan termasuk sebagai Badan Publik sebagaimana diatur dalam UU KIP, sehingga terlepas dari kewajiban untuk mengabulkan permohonan informasi. Badan Publik di tingkat Pusat semuanya menolak permintaan informasi. Alasan atau keterangan penolakan/pengabaian dalat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Alasan/Keterangan Penolakan/Pengabaian No.
Jenis Informasi
Badan Publik
Alasan/Keterangan Penolakan/Pengabaia n
1.
2.
Besaran dana CSR yang
BP Migas Pusat
telah dikeluarkan oleh
konfirmasi handpone
pihak perusahaan MCL
petugas yang
kepada warga
menerima surat
Bojonegoro mulai tahun
permintaan informasi
2005 s/d 2010
dan telepon kantor selalu bernada sibuk.
Peruntukan dana CSR
HP Tidak Aktif dan
yang dikeluarkan MCL
Telephone Kantor BP
kepada warga
Migas Jakarta nada
Bojonegoro tahun 2005
sibuk.
– 2010 3.
Ketika dilakukan
Bentuk program program CSR MCL kepada warga Bojonegoro tahun 2005 – 2010
4.
Data warga yang menerima dana CSR MCL kepada warga Bojonegoro tahun 2005 – 2010
5.
Besaran dana CSR yang
Kantor Mobile Cepu
Memberikan jawaban
telah dikeluarkan oleh
Limited selaku Operator
tertulis melalui surat
pihak perusahaan MCL
tambang Minyak di
bernomor:
Catatan Akhir Tahun, Implementasi UU No. 14/2008, Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Indonesia
18 17
kepada warga
Bojonegoro
100420.001/PGA-MCL
Bojonegoro mulai tahun
yang menyatakan
2005 s/d 2010
bahwa MCL tidak dapat memenuhi permintaan karena MCL bukan termasuk “badan publik” sebagaimana diatur di
6.
dalam UU KIP
Peruntukan dana CSR yang dikeluarkan MCL kepada warga Bojonegoro tahun 2005 – 2010
7.
Bentuk program program CSR MCL kepada warga Bojonegoro tahun 2005 – 2010
8.
Data warga yang menerima dana CSR MCL kepada warga Bojonegoro tahun 2005 – 2010
9.
Tentang CSR kepada siapa dan berapa jumlah dan rincian penggunaan dana CSR
10.
18
Besaran dana CSR yang
Departemen Keuangan
Freedom of Information Network – Indonesia, Desember 2010
Tidak ada respon dan 19
telah dikeluarkan oleh
jawaban.
pihak perusahaan MCL kepada warga Bojonegoro mulai tahun 2005 s/d 2010 11.
Peruntukan dana CSR yang dikeluarkan MCL kepada warga Bojonegoro tahun 2005 – 2010
12.
Bentuk program program CSR MCL kepada warga Bojonegoro tahun 2005 – 2010
13.
Data warga yang menerima dana CSR MCL kepada warga Bojonegoro tahun 2005 – 2010
14.
Data penerimaan pajak
KPP Pratama (kantor pajak
Informasi yang
perusahaan tambang
Bojonegoro)
diminta adalah informasi yang dilindungi sesuai dengan UU No. 16/2009.
15.
Tentang CSR kepada
Departemen ESDM
Tidak ada alasan yang
siapa dan berapa
jelas, bahkan justru
jumlah dan rincian
mempertanyakan
penggunaan dana CSR
profil HI dan kapasitasnya sehingga melakukan permintaan informasi.
Catatan Akhir Tahun, Implementasi UU No. 14/2008, Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Indonesia
20 19
16.
Besaran dana CSR yang
Bank BNI Bojonegoro
telah dikeluarkan oleh
Menunggu izin dari Kantor BNI Pusat.
pihak perusahaan MCL kepada warga Bojonegoro mulai tahun 2005 s/d 2010 17.
Peruntukan dana CSR yang dikeluarkan MCL kepada warga Bojonegoro tahun 2005 – 2010
18.
Bentuk program program CSR MCL kepada warga Bojonegoro tahun 2005 – 2010
19.
Data warga yang menerima dana CSR MCL kepada warga Bojonegoro tahun 2005 – 2010
20.
Besaran dana CSR yang
BRI Cabang Bojonegoro
Mengarahkan
telah dikeluarkan oleh
permintaan kepada
pihak perusahaan MCL
Kantor BRI Pusat.
kepada warga Bojonegoro mulai tahun 2005 s/d 2010 21.
Peruntukan dana CSR yang dikeluarkan MCL kepada warga Bojonegoro tahun 2005 – 2010
22.
Bentuk program program CSR MCL
20
Freedom of Information Network – Indonesia, Desember 2010
21
kepada warga Bojonegoro tahun 2005 – 2010 23.
Data warga yang menerima dana CSR MCL kepada warga Bojonegoro tahun 2005 – 2010
24.
Jumlah penerimaan
Dinas Pendapatan Jawa
Pegawai UPTD Dinas
pajak dari pajak
Timur c/q UPTD dinas
Pendapatan Jatim
kendaraan bermotor
pendapatan Jatim di
menyatakan tidak
dan Pajak Parkir
Bojonegoro
berwenang
Berlangganan Tahun
memberikan
2008 s/d 2010
informasi kecuali ada izin dari Dinas Pendapatan Jatim. Setelah diminta ke Dinas Pendapatan Jatim pun informasi tetap tidak diberikan. Penolakan ini dilaporkan kepada Gubernur sebagai atasan. Namun dalam
25.
Jumlah Total Kendaraan Bermotor di Bojonegoro tahun 2008 s/d 2010
26.
proses konfirmasi no telepon kantor Gubernur tidak dapat dihubungi.
Jumlah penerimaan pajak dari Mobil yang ada di Bojonegoro tahun 2008 s/d 2010
27.
Jumlah Total Mobil di Bojonegoro beserta
Catatan Akhir Tahun, Implementasi UU No. 14/2008, Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Indonesia
22 21
rincianya (jenisnya) tahun 2008 s/d 2010
D. Hasil Uji Akses oleh Jaringan Pattiro Untuk mengetahui apakah informasi migas bisa diakses oleh masyarakat, jaingan Pattiro melakukan permintaan informasi (uji akses) yang melibatkan segenap unsur masyarakat sipil, baik organisasi masyarakat, LSM, Media/Pers, maupun warga masyarakat. Uji akses dilakukan terhadap informasi dan dokumen penting yang terkait dengan pendapatan dari Blok Cepu, menggunakan ketentuan yang berlaku dalam UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Permintaan informasi yang ditujukan kepada 13 Badan Publik di tingkat pusat maupun Daerah ini dilakukan dengan melayangkan surat permintaan secara tertulis yang dikirim maupun diantar langsung ke Badan Publik/instansi terkait. Badan Publik yang dimaksud meliputi instansi pemerintah pemerintah, BUMN, dan BUMD di tingkat pusat maupun daerah. Tabel. 13. Sebaran Jenis Permintaan Informasi di Berbagai Badan Publik Badan Publik
Jumlah Jenis Informasi
Jenis Informasi
Jumlah Peminta Informasi
Bagian SDA Kab. Bojonegoro Bappeda Kab. Bojonegoro DPRD Kab. Bojonegoro PT.Asri Dharma Sejahtera Distamben Kab. Blora Bappeda Kab. Blora DPRD Kab. Blora
4
KKS, POD, WP&B, Lifting Lifting, DBH,PI, Pajak, APBD 2009 KKS, POD, WP&B, DBH, PI, APBD 2009 KKS, POD, WP&B, PI
8
Jumlah Permintaan Informasi tiap Badan Publik 32
8
40
9
54
9
36
12
48
17
85
12
72
12
48
5 6 4 4 5 6
PT. Blora Patragas 4 Hulu 22
KKS, POD, WP&B, Lifting Lifting, DBH,PI, Pajak, APBD 2009 KKS, POD, WP&B, DBH, PI, APBD 2009 KKS, POD, WP&B, PI
Freedom of Information Network – Indonesia, Desember 2010
23
Kementerian ESDM BP Migas
4
Kemenkeu
4
DPR RI
4
PT Pertamina
3
4
KKS, POD, WP&B, Lifting KKS, POD, WP&B, Lifting Lifting, DBH,PI, Pajak, APBN 2009 KKS, DBH, APBN 2009 KKS, POD, WP&B
6
24
5
20
4
16
5
20
3
9
Keterangan: KKS : Kontrak Kerja Sama POD : Plan of Development /Rencana Pengembangan WP&B: Work Program & Budget Lifting: Angka Produksi Terjual DBH : Dana Bagi Hasil PI : Participating Interest Dari 9 (sembilan) jenis informasi yang diminta, hanya DBH Migas saja yang diberikan oleh Badan Publik, informasi yang lainnya seperti Kontrak (KKS), rencana pengembangan (POD), serta program kerja & anggaran (WP&B), rata-rata dijawab dengan penolakan diam (33%), tidak dimiliki &dialihkan/direkomendasikan (30%), selebihnya ditolak dengan berbagai alasan diantaranya dengan alasan informasi rahasia (confidential), namun tidak disebutkan alasan kenapa termasuk informasi confidential. Badan Publik yang melakukan Penolakan Diam (tidak menjawab), ketika dikonfirmasi perkembangan surat permintaan yang diajukan oleh pemohon informasi cenderung melemparkan ke bagian lain, beralasan bahwa pejabat yang bersangkutan tidak berada di tempat, atau menjanjikan akan memberi jawaban secepatnya, bahkan justru menanyakan informasi tentang data-data lembaga yang mengajukan permintaan informasi (struktur organisasi, dasar hukum, dan lain sebagainya). Dari 13 Badan Publik yang dimintai informasi, rata-rata belum memiliki petugas khusus yang mengelola dan melayani informasi. Petugas khusus yang dimaksud adalah sebagaimana ketentuan dalam UU KIP No.14/2008 yakni PPID (Pejabat Pengelola Informasi & Dokumentasi). Dimana PPID berfungsi untuk mengumpulkan, menyimpan, mengolah dan menyajikan data dan informasi serta dokumentasi yang menjadi kewenangan Badan Publik tersebut. Termasuk fungsi PPID dalam hal ini adalah melayani setiap permintaan informasi, serta membuat laporan atas pencapaian kinerja dan evaluasi dari pelayanan informasi yang Catatan Akhir Tahun, Implementasi UU No. 14/2008, Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Indonesia
24 23
diberikan. Rata-rata pemohon ditemui oleh bagian front office, sekretaris, atau petugas keamanan (satpam) yang bertugas pada Badan Publik tersebut. Sebagian besar Badan Publik tidak menyediakan form khusus bagi peminta informasi, kecuali di DPRD Bojonegoro, Departemen ESDM, dan Departemen Keuangan. Sebagaimana ketentuan dalam UU KIP, form ini seharusnya disediakan oleh Badan Publik tersebut yang berisikan antara lain data pemohon, jenis informasi yang diminta, cara pemberian informasi, lama waktu pemberian informasi dan biaya yang dibutuhkan jika ada. Lama waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh Badan Publik untuk merespon/menjawab permintaan informasi yang diajukan sangat bervariasi. DPRD Blora dan Bappeda Blora, membutuhkan waktu terlama, yakni 17 hari kerja untuk menjawab permintaan informasi; sedangkan PT. BPH Blora memberikan respon/jawaban atas permintaan informasi dalam rentang waktu tercepat, yakni 7 hari. Lama waktu yang dibutuhkan oleh Badan Publik ini menjadi salah satu parameter dari pelayanan informasi publik, yang menjadi salah satu standar pelaksanaan dan pelayanan informasi, yakni sederhana, cepat, dan terjangkau. Konsistensi Badan Publik dalam merespon permintaan informasi dari peminta informasi yang berbeda (NGO/LSM, Masyarakat, Media/Pers) bervariasi. 8 (delapan) di antara 13 Badan Publik merespon dengan jawaban yang sama terhadap setiap peminta informasi yang berbeda. Sedangkan 5 (lima) Badan Publik sisanya merespon dengan jawaban yang bervariasi terhadap permintaan informasi yang diajukan oleh peminta informasi yang bervariasi. Dari segi konsistensi jawaban, dapat dikatakan bahwa 8 Badan Publik dinilai konsisten dalam memberikan respon terhadap permintaan informasi, sedangkan 5 Badan Publik sisanya tidak konsisten dalam merespon permintaan informasi yang diajukan oleh peminta informasi yang berbeda. 5 Badan Publik yang tidak konsisten tersebut dapat dikatakan melakukan diskriminasi atau pembedaan dalam memberikan jawaban atau merespon permintaan informasi dari kalangan masyarakat yang berbeda.
24
Freedom of Information Network – Indonesia, Desember 2010
25
BAGIAN III REFLEKSI Selama lebih dari tiga dekade, Indonesia dijalankan dengan sistem tertutup dan sentralistik oleh rejim Orde Baru. Begitu lamanya rejim ini berkuasa, sampai-sampai ketertutupan telanjur menjadi suatu paradigma dalam penyelenggaraan birokrasi. Begitu Orde Baru runtuh, upaya untuk mewujudkan keterbukaan pada akhirnya banyak menemui kendala. Bahkan ketika UU KIP sudah diberlakukan pun, birokrasi masih saja terkesan enggan untuk transparan. Karena ketertutupan sudah telanjur menjadi paradigma, tidak heran jika hasil uji akses yang dipaparkan di atas masih banyak menggambarkan kurang responsifnya Badan Publik. Masih banyak Badan Publik yang mengabaikan dan menolak permintaan informasi. Bukti bahwa paradigma ketertutupan masih dipegang adalah, masih banyaknya alasan rahasia terhadap permintaan informasi. Sebagaimana dipahami, pada era rejim Orde Baru, tuntutan atas keterbukaan selalu dijawab dengan alasan rahasia negara, rahasia instansi, hingga rahasia jabatan. Padahal sesungguhnya seluruh terma kerahasiaan yang dikedepankan itu tidak jelas dasar hukumnya. Bukti lain yang menunjukkan masih kentalnya paradigma ketertutupan adalah kecurigaan terhadap aktivitas permintaan informasi. Dalam pandangan Badan Publik, peminta informasi nantinya akan menggunakan informasi yang dimilikinya itu untuk kepentingan tertentu, termasuk kepentingan untuk mendiskreditkan pihaknya. Semestinya jika Badan Publik jeli memahami UU KIP, kekawatiran ini tidak perlu terjadi. Sebab, dalam UU KIP sendiri terdapat pasal sanksi terhadap pihak-pihak yang menggunakan informasi secara melawan hukum. (Lihat Pasal 51). Bisa jadi kekawatiran ini muncul karena pada dasarnya Badan Publik belum dapat membedakan antara kritik dengan diskredit. Akibatnya, setiap upaya mengkritisi Badan Publik senantiasa diidentikkan dengan tindakan mendiskreditkan. Padahal dalam konteks demokrasi, kritik terhadap berbagai kebijakan merupakan tindakan yang sah sebagai bentuk kontrol publik dan checks and balances. UU KIP sendiri secara eksplisit membuka ruang bagi publik untuk memberikan input, termasuk kritik dalam kebijakan, baik dari mulai level perencanaan hingga evaluasi. (Lihat Pasal 3) Kuatnya rejim ketertutupan juga berpengaruh terhadap pandangan Badan Publik terhadap informasi itu sendiri. Badan publik terkesan masih menganggap informasi bukan bagian dari bentuk layanan publik. Pelayanan terhadap permintaan informasi bukan dianggap sebagai bagian dari pelayanan publik pada umumnya. Padahal dalam rejim keterbukaan, informasi itu sendiri merupakan aspek vital yang mutlak
Catatan Akhir Tahun, Implementasi UU No. 14/2008, Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Indonesia
26 25
dimiliki oleh publik, sehingga, pelayanan terhadap permintaan informasi pun semestinya wajib dilayani sebaik mungkin. Fakta lain yang terefleksikan dari proses uji akses adalah pada umumnya Badan Publik cenderung masih menganggap UU sebagai perangkat legal yang tidak secara otomatis berlaku sebelum ada peraturan turunannya yang lebih operasional. Demikian juga pandangan mereka terhadap UU KIP. Permintaan informasi terhadap Badan Publik tidak dilayani dengan baik karena dalam pandangan mereka, UU KIP belum dapat diimplementasikan tanpa adanya Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, dst. Padahal UU KIP tidak mensyaratkan terbitnya peraturan turunan untuk implementasinya. Artinya, UU KIP sudah dapat otomatis berlaku meskipun aturan-aturan turunan tersebut belum, bahkan tidak diterbitkan sama sekali. Peraturan turunan yang dimandatkan oleh UU KIP sendiri sebenarnya adalah Peraturan Komisi Informasi. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 23 UU KIP, Komisi Informasi menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik. Problemnya, Komisi Informasi sendiri merupakan lembaga baru. Oleh karenanya, butuh waktu yang relatif lama untuk memperkenalkan hal-hal yang berkaitan dengan fungsi, kewenangan, dan peraturan-peraturan yang dihasilkan secara luas kepada Badan-badan Publik. Belum lagi Komisi Informasi baru hanya terbentuk di tingkat Pusat. Padahal jika mengacu pada ketentuan Pasal 60 UU KIP, Komisi Informasi di tingkat provinsi paling lambat sudah harus terbentuk dua tahun setelah diundangkannya UU ini. Artinya, 2010 ini semestinya sudah terbentuk Komisi Informasi di seluruh provinsi. Namun pada kenyataannya, dari 33 provinsi yang ada sedikitnya baru 4 provinsi yang telah berhasil membentuk Komisi Informasi, yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan Lampung. Lambatnya pemerintah provinsi membentuk Komisi bisa jadi merupakan representasi dari sikap keengganan terhadap keterbukaan itu sendiri, dan representasi dari paradigma ketertutupan yang cukup kuat. Meskipun secara struktur, Komisi Informasi tidak memiliki garis hirarki terhadap Badan-badan Publik, namun keberadaannya teap diharapkan dapat membantu proses akselerasi implementasi di tingkat lokal. Paling tidak dalam menyosialisasikan peraturan-peraturan operasional tentang pelayanan informasi. Badan-badan Publik di tingkat lokal, terutama badan publik pemerintah secara struktural mempunyai garis hirarki dengan Kementerian Dalam Negeri. Jadi, upaya memaksimalkan kinerja pemerintah daerah dalam melayani informasi dapat diperankan oleh Kementerian ini. Sayangnya, Kementerian Dalam Negeri terkesan lambat merespon keberadaan UU KIP ini. Kementerian ini baru menerbitkan peraturan teknis pelaksanaan UU KIP pada 14 Mei 2010, yang dituangkan dalam Permendagri No. 35/2010. Semestinya Permendagri ini segera diterbitkan begitu UU 26
Freedom of Information Network – Indonesia, Desember 2010
27
KIP disahkan. Dengan demikian, begitu UU KIP diberlakukan pelaksanaan peraturan ini sudah dapat berjalan. Pada kenyataannya kini, badan publik pemerintah daerah belum sepenuhnya melaksanakan Permendagri. Selain karena problem sosialisasi, pemerintah daerah juga butuh waktu untuk menginterpretasikan isinya. Pada akibatnya, mekanisme pelayanan informasi masih belum berjalan secara optimal dan ideal. Sampai saat ini, dapat dikatakan bahwa hamper seluruh Badan Publik pemerintah daerah belum mempersiapkan mekanisme pelayanan informasi sebagaimana dimandatkan dalam UU KIP maupun Permendagri. Suasana ketertutupan dalam tatapemerintahan yang cukup lama di masa rejim Orde Baru lalu juga berdampak buruk bagi masyarakat sendiri. Meskipun kini sudah ada UU KIP yang menjamin hak masyarakat atas informasi, tidak serta merta masyarakat menjadi aktif melakukan akses informasi. Masyarakat tidak berani menuntut hak-haknya sebagai warga Negara, dan pada akhirnya menimbulkan sikap apatis atau masa bodoh. Masyarakat seringkali pasrah dan tidak peduli dengan kebijakan-kebijakan pemerintah meskipun kebijakan tersebut merugikan diri mereka. Sikap yang demikian ini tanpa disadari lama kelamaan menjadi kultur tersendiri. Dan upaya untuk mengubah kultur jauh lebih sulit dibandingkan melakukan perubahan secara structural. Akibatnya, UU KIP yang sekarang ini ada praktis baru dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat sipil atau kalangan LSM saja. Dalam konteks inilah LSM perlu juga diingatkan untuk senantiasa pendidikan publik tentang pentingnya UU KIP bagi pemenuhan kebutuhan informasi masyarakat.
Catatan Akhir Tahun, Implementasi UU No. 14/2008, Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Indonesia
28 27
BAGIAN IV PEMBELAJARAN TERLEPAS DARI hasil yang masih belum memuaskan dari hasil uji akses, tetapi ada proses pembelajaran tersendiri yang dapat diambil dari diberlakukannya UU KIP. Meskipun perlahan, tetapi dengan banyak dan seringnya permintaan informasi yang masuk, Badan Publik mulai sadar dengan keberadaan UU KIP. Diharapkan kesadaran ini akan semakin meningkat sehingga paradigm ketertutupan yang sudah cukup lama tertanam, sedikit demi sedikit akan terkikis. Meskipun sebagian besar Badan Publik belum responsive terhadap permintaan informasi, memberikan pelayanan informasi, namun perlu diakui bahwa ada juga Badan-badan Publik yang memiliki itikad baik melayani permintaan informasi. Terlepas dari mekanisme pelayanan yang diberikan belum memenuhi standar sebagaimana yang disyaratkan oleh UU KIP. Sebagaimana yang terjadi di Pemerintahan Kota Palu. Pihaknya membuka diri untuk bekerjasama dengan LSM untuk membantu menyusun SOP pelayanan informasi publik. Hal yang sama terjadi juga di beberapa daerah lain seperti Kota Semarang, Kabupaten Kendal, dan Provinsi Banten. Pembelajaran lain yang dapat dipetik dari pemberlakuan UU KIP, terutama bagi kalangan LSM adalah pemanfaatan UU ini untuk mendorong masyarakat untuk proaktif melakukan permintaan informasi yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan dalam kehidupan kesehariannya. Sebagai contoh, kalangan LSM di NTB berhasil mendorong publik mendapatkan pelayanan kesehatan gratis setelah mendapatkan informasi yang berkaitan dengannya. Cerita tentang pembelajaran tersebut, bermula dari sebuah diskusi kader PKK dan Posyandu dusun Telage Ngembeng Kabupaten Lombok Barat NTB tentang kondisi kesehatan warga. Inaq Nuripe, seorang ibu rumah tangga beranak tiga menyampaikan keluhan tentang mahalnya biaya kesehatan yang harus ditanggung. Inaq kesulitan memeriksakan penyakit jantungnya karena mahalnya ongkos kontrol sebesar Rp 100 ribu. Keluhan itu sudah sering disampaikan kepada kader Posyandu. Informasi ini diteruskan oleh kader kepada Kepala Dusun, Kepala Desa dan pihak Puskesmas. Namun tetap saja Inaq tidak memperoleh kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat Daerah (Jamkesmasda). Alasannya, pemerintah tidak sembarangan untuk mengeluarkan kartu tersebut. Menurut pihak pemerintah desa, hanya warga yang terdaftar saja yang berhak mendapatkan layanan kesehatan gratis. Inaq tidak termasuk dalam daftar. Informasi ini direspon oleh LSM Somasi. Aktivis Somasi menjelaskan bahwa setiap warga yang tidak mampu berhak menerima layanan kesehatan yang murah meskipun tidak terdaftar sebagai penerima Jamkesmas. Lagipula, banyak daftar yang tidak 28
Freedom of Information Network – Indonesia, Desember 2010
29
valid dan beberapa kuota Jamkesmas di level kabupaten sebagian belum terpenuhi. Para kader Posyandu kemudian menanyakan lebih lanjut cara untuk mendapatkan informasi data penerima dan jumlah kuota Jamkesmas yang lowong. Aktivis Somasi kemudian mendorong warga yang bersangkutan memanfaatkan UU KIP. Dengan difasilitasi oleh Somasi, Inaq dan kader Posyandu kemudian menyampaikan permintaan informasi yang diinginkan kepada Badan Kerjasama Pengelola Jaminan Kesehatan (BKSPJK) Kabupaten. Tiga hari setelah surat permintaan informasi dilayangkan, BKSPJK meresponnya dan memenuhi permintaan informasi yang diinginkan. Dari situlah kemudian diketahui bahwa masih banyak jatah penerima untuk Dusun Telage Ngembeng. Dari 273.452 daftar penerima Jamkesmas, masih ada 12 kuota yang kosong, karena ada penerima yang meninggal dan merantau ke Malaysia sebagai TKI. Dua belas kuota ini bisa digunakan oleh warga Dusun Telage Ngembeng. Karena permintaan informasi yang dilakukan dengan memanfaatkan UU KIP, bukan hanya Inaq yang dapat memeriksakan penyakit jantungnya secara rutin dan bebas biaya. Namun 11 warga lainnya juga merasakan layanan kesehatan secara cuma-cuma.
Catatan Akhir Tahun, Implementasi UU No. 14/2008, Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Indonesia
30 29