2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Terumbu Karang Terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis. Meskipun terumbu karang ditemukan diseluruh perairan dunia, tetapi hanya di daerah tropis terumbu karang dapat berkembang. Terumbu terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCo3) yang dihasilkan organisme karang, alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Ekosistem
terumbu
karang
mempunyai
produktivitas
organik
dan
keanekaragaman spesies penghuninya yang tinggi. Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan keanekaragaman jenis biota laut seperti: (1) beraneka ragam avertebrata: terutama karang batu (stony coral), berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan serta ekinodermata seperti bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan leli laut; (2) beraneka ragam ikan : terutama 50 – 70% ikan karnivora oportunistik, 15% ikan herbivora dan sisanya omnivora; (3) reptil seperti ular laut dan penyu laut; (4) ganggang dan rumput laut seperti alga koralin, alga hijau berkapur dan lamun (Bengen 2001). Terumbu karang (Coral reef ) merupakan masyarakat organisme yang hidup didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme-organisme yang dominan hidup disini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan terumbu karang diatas dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral ) sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral reef ) sebagai suatu ekosistem (Sorokin 1993). Terumbu karang (coral reef ) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1993).
Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatifik adalah karang yang dapat membentuk bangunan karang yang dikenal menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan didaerah tropis. Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini merupakan kelompok yang tersebar luas diseluruh dunia. Perbedaan yang mencolak antara kedua karang ini adalah bahwa di dalam jaringan karang hermatik terdapat sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis (hidup bersama) yang dinamakan zooxanthellae, yaitu sejenis algae unisular (Dinoflagellata unisular), seperti Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di jaringan-jaringan polip binatang karang dan melaksanakan fotosistesis. Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium karbonat yang struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang. Karang hermatipik mempunyai sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototeopik positif. Umumnya jenis karang ini hidup di perairan pantai /laut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu untuk hidup binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 oC (Nybakken 1986). Menurut (Veron 1995) terumbu karang merupakan endapan massif (deposit) padat kalsium (CaCo 3) yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) dan organisme organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat (CaCo 3). Dalam proses pembentukan terumbu karang maka karang batu (Scleractina) merupakan penyusun yang paling penting atau hewan karang pembangun terumbu (reef-building corals). Karang batu termasuk ke dalam Kelas Anthozoa yaitu anggota Filum Coelenterata yang hanya mempunyai stadium polip. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul, morfologi dan fisiologi. Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien (oligotrofik). Menurut Sumich (1992) dan Burke et al (2002) sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae
menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae. Cahaya matahari memiliki peranan penting bagi proses pembentukan terumbu karang (Nybakken 1986). Cahaya diperlukan bagi proses fotosintesis alga simbotik (zooxanthellae). Kedalaman penetrasi sinar mempengaruhi kedalaman pertumbuhan karang hermatipik. Kebutuhan oksigen untuk respirasi fauna di suatu terumbu karang dapat diatasi dengan adanya alga simbiotik yang disebut zooxanthellae. Oksigan tambahan tersebut dihasilkan dari proses fotosintesis yaitu proses yang hanya berlangsung apabila ada cahaya matahari. Intensitas dan kualitas cahaya yang dapat menembus air laut merupakan hal penting untuk fotosintesis yaitu proses yang hanya berlangsung apabila ada cahaya matahari. Intensitas dan kualitas cahaya yang dapat menembus air laut merupakan hal yang penting untuk fotosintesis zooxanthellae yang selanjutnya akan menentukan pula sebaran vertikal karang batu yang mengandungnya. Semakin dalam laut semakin kurang intensitas cahaya yang dapat mencapainya, berarti semakin kecil pula produksi oksigen oleh zooxanthellae (Soekarno et al. 1993). Salinitas berpengaruh besar terhadap produktifitas terumbu karang. Teumbu karang dapat hidup dengan baik pada kisaran salinitas 32 – 35 %o namun terdapat juga terumbu karang yang dapat mentoleransi salinitas sampai dengan 42 %o (Nybakken 1992). Sedangkan Nontji (1987) mengemukakan bahwa toleransi organisme karang terhadap salinitas berkisar antara 27–40 %o. Pertumbuhan terumbu karang ke arah atas dibatasi oleh udara. Banyak karang yang mati karena terlalu lama berada di udara terbuka, sehingga pertumbuhan kearah atas terbatas hanya sampai tingkat air surut terendah. Kekeringan terlalu lama akibat surut besar mengakibatkan kematian karang Nybakken (1992). Pergerakan air laut atau arus diperlukan untuk kelangsungan hidup terumbu karang, kebutuhan makanan dan oksigen maupun menghindarkan karang dari timbunan endapan atau bahan pencemar lainnya. Pada siang hari pasokan oksigen diperoleh dari hasil fotosintesis, sedangkan pada malam hari sangat diperlukan arus kuat yang dapat memberikan oksigen cukup bagi fauna di terumbu karang.
Selain itu kondisi substrat sangat berperan bagi pertumbuhan karang. Substrak yang keras dan bersih diperlukan sebagai tempat melekatnya larva planula, sehingga memungkinkan pembentukan koloni baru.
2.2. Ikan Karang Banyak spesies ikan menunjukkan kesukaan terhadap habitat tertentu. Menurut Robetson (1996) Komunitas ikan karang (kelimpahan dan struktur) dipengaruhi oleh interaksi kompetisi diantara spesies tersebut. Menurut Choat dan Bellwood (1991) interaksi ikan karang dengan terumbu karang dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu : 1.
Interaksi langsung sebagai tempat berlindung dari predator bagi ikan-ikan muda
2.
Interaksi dalam mencari makan bagi ikan yang mengkonsumsi biota pengisi habitat dasar, meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang dan alga
3.
Interaksi tidak langsung antara struktur terumbu karang dan kondisi hidrologi serta sedimentasi dengan pola makan ikan pemakan plankton dan karnivor. Keberadaan ikan karang di sekitar terumbu karang tergantung dari kondisi
terumbu karang itu sendiri. Prsentasi tutupan karang hidup yang tinggi tentunya akan berdampak pada kelimpahan ikan-ikan karang. Dan sebaliknya, bila presentasi tutupan karang buruk tentunya kelimpahana ikan karang akan sangat berkurang. Berdasarkan peranannya Adrim (1993) dan English et al (1997) membagi ikan-ikan karang atas tiga kelompok yaitu : 1. Ikan Target. Ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan kosumsi seperti; Serranidae, Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae Labridae (Chelinus, Himigymnus, choerodon) dan Haemulidae. 2. Ikan Indikator. Sebagai ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat hubunganya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan dari Famili Chaetodontidae (kepe-kepe). 3. Ikan Lain (Mayor Famili). Ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan dijadikan ikan hias air laut (Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae, Pomacanthidae, Labridae, Apogonidae dan lain-lain).
Berdasarkan periode aktif mencari makan, maka ikan karang terbagi atas : 1. Ikan Nokturnal (aktif ketika malam hari), contohnya pada ikan-ikan dari Suku Holocentridae (Swanggi), Suku Apogoninade (Beseng), Suku Hamulidae, Priacanthidae (Bigeyes), Muraenidae (Eels), Seranidae (Jewfish) dan beberapa dari suku dari Mullidae (Goat fishes) dan lain-lain. 2. Ikan Diurnal (aktif ketika siang hari), contohnya pada ikan-ikan dari Suku Labraidae (wrasses), Chaetodontidae (Butterfly fishes), Pomacentridae (Damsel fishes), Scaridae (Parrot fishes), Acanthuridae (Surgeon fishes), Bleniidae (Blennies), Balistidae (Trigger fishes), Pomaccanthidae (Angel fishes),
Monacanthidae,
Ostracionthidae (Box fishes),
Etraodontidae,
Canthigasteridae dan beberapa dari Mullidae (Goat fishes) 3. Ikan Crepuscular (aktif diantara) contohnya pada ikan-ikan dari suku Sphyraenidae (Baracudas), Serranidae (Groupers), Carangidae (Jacks), Scorpaenidae (Lion fishes), Synodontidae (Lizard fishes), Carcharhinidae, Lamnidae, Spyrnidae (Sharks) dan beberapa dari Muraenidae (Eels). Menurut Aninomous (2005), jenis dan komposisi ikan karang pada daerah rataan terumbu karang di perairan Pulau Liwutongkidi pada tiap stasiun bervariasi antara 8 – 49 jenis dengan jumlah individu 128 – 1972 ekor untuk kedalaman 3 meter dan untuk kedalaman 10 meter jumlah jenis bervariasi antara 10 – 65 jenis dengan jumlah individu antara 214 – 1817 ekor. Sedangkan pada daerah tubir jenis ikan berkisar 10 – 25 jenis dan 29 – 52 jenis dengan jumlah individu perjenis masing-masing berkisar 259 – 883 ekor dan 399 – 1076 ekor. Jenis biota yang ditemukan pada terumbu karang sangat bervariasi, dan sangat potensial dalam mendukung pengembangan ekowisata bahari. Beberapa jenis biota yang banyak ditemukan diantaranya; crustace (lobster dan kepiting), molusca, (kerang-kerangan, teripang), dan Echinodermata (bulu babi). Jenis ikan karang yang banyak ditemukan diantaranya; Pterocaesio digrama (617 individu ), Abodefduf vaigiensis (200 individu), Pterocaesio tesselata (148 individu), Chroronis ambonensis (101 invidu), Apogon nigrofasciatus (96 individu), Centropige ravissimus (92 individu), Chaetodon klenii (92 individu), Apogon deoderleinii (76 individu), Centropige nox (63 individu), dan Apogon novemfasciatus ( 48 individu) (Aninomous 2005).
2.3. Tipe Terumbu Karang Menurut Nybakken (1986) terumbu karang dikelompokan menjadi tiga tipe struktural umum yaitu : 1. Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef ) 2. Terumbu karang penghalang (Barrier reef) 3. Terumbu karang cincin (atol) Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono, 1998). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang sebagai berikut : 1. Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang ini tumbuh keatas atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat. 2. Terumbu karang tipe penghalang (barrief reef ) terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan – akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah the greaat barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil. 3. Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman goba didalam atol sekitar 45 m jarang sampai 100 m seperti terumbu karang penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan. 2.4. Ancaman Terhadap Terumbu Karang Berbagai usaha pemanfaatan sumberdaya laut telah dilakukan, tetapi masih banyak pula usaha pemanfaatan yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku Penyimpangan usaha pemanfaatan sumberdaya laut akan menimbulkan masalahmasalah bagi kelestarian sumberdaya alam yang ada. Beberapa masalah yang terjadi di perairan pesisir disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia, di antaranya pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebagai sumber pangan, sumber bahan
bangunan, komoditas perdagangan ikan hias sebagian besar di karenakan oleh penggunaan bahan peledak, tablet potas dan sianida. Permasalahan pengelolaan sumberdaya pesisir terutama pada ekosistem terumbu karang yang disebabkan oleh (1) rendahnya pemahaman masyarakat tentang nilai sumberdaya pesisir ini berakibat pada eksploitasi yang cenderung dan kurang ramah lingkungan (2) perlindungan dan kelestarian laut hanya dapat secara efektif dilaksanakan apabila ditunjang dengan kerangka hukum yang memadai; (3) terlalu banyak pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir; (4) jumlah dan keragaman kepentingan masyarakat di wilayah pesisir adalah tinggi; (5) pengambilan karang yang khas untuk dijual sebagai hiasan pada akuarium; (6) keserakahan. 2.5. Kawasan Konservasi Konservasi dalam pengertian adalah pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang. Konservasi bukan saja untuk menjaga sumberdaya dan mempertahankan keberadaan plasma nutfa, namun kawasan konservasi laut juga dapat memainkan peran penting di dalam pengelolaan perikanan dan pariwisata. Dengan upaya konservasi ini berarti tersedia juga sarana bagi pengembangan pemanfaatan, pendidikan, pariwisata dan penelitian. Kawasan konservasi menuntut adanya proses perencanaan dan tahapan pengelolaan dari suatu kerangka pengelolaan kawasan konservasi. Pengelolaan suatu sumberdaya alam haruslah mengacu pada strategi konservasi yaitu : 1. Melindungi terhadap sistem penyangga kehidupan, dengan menjamin terpeliharanya
proses
ekologi
bagi
kelangsungan
hidup
biota
dan
ekosistemnya. 2. Pengawetan keanekaragaman sumber plasma nutfah yaitu menjamin terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya bagi kepentingan manusia. 3. Pelestarian di dalam pemanfaatan baik jenis maupun ekosistemnya yaitu dengan mengendalikan cara-cara pemanfaatannya sehingga diharapkan dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan.
Dalam upaya penyelamatan dan pemeliharaan kekayaan sumberdaya laut dimasa mendatang perlu diadakan suatu sistem pengelolaan disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan nasional dengan memperhatikan kategari yang telah diperkenalkan oleh IUCN (International Union for Concervation Nature and Natural Resources). Selanjutnya (Salm dan Clark 2000) mengemukakan enam kategori manajemen kawasan konservasi yang dapat dikembangkan. Kategorikategori tersebut adalah : 1.
Kategori I adalah Kawasan Suaka Alam yang ditetapkan untuk pengelolaan kehidupan liar (kategori Ib) sedangkan Cagar Alam untuk kepentingan ilmu pengetahuan dimasukan kedalam kategori Ia.
2. Kategori II adalah Taman Nasional yang merupakan suatu kawasan lindung yang dikelola terutama untuk perlindungan ekosistem atau rekreasi 3. Kategori III adalah Monumen Alam yang merupakan suatu kawasan lindung yang dikelola terutama untuk melindungi daerah yang memiliki keadaan alam khusus. 4. Kategori IV adalah Pengelolaan Daerah Habitat Suatu Jenis tertentu yang merupakan suatu kawasan lindung yang dikelola terutama untuk perlindungan ekosistem atau rekreasi 5. Kategori V adalah Perlindungan Landsekap Darat dan Perairan
adalah
pengelolaan daerah perlindungan terutama untuk kegiatan konservasi maupun wisata. 6. Kategori VI adalah Pengelolaan Daerah Sumberdaya yang dilindungi terutama untuk pemanfaatan sumberdaya alam yang secara berkelanjutan. Zona perairan konservasi merupakan wilayah yang dijaga dan dilindungi kelestariannya. Wilayah ini dinyatakan terlarang untuk eksploitasi dan eksplorasi serta merupakan daerah penyangga. Pengelolaan zona dalam kawasan konservasi didasarkan pada luasnya berbagai pemanfaatan sumberdaya kawasan. Kawasan konservasi laut sering dianggap sebagai kawasan yang diperuntukkan bagi konservasi keanekaragaman hayati. Namun kawasan konservasi laut juga dapat memainkan peran penting di dalam pengelolaan perikanan dan pariwisata. Aktivitas didalam setiap zona ditentukan oleh tujuan kawasan konservasi sebagaimana ditetapkan dalam rencana pengelolaan (Bengen 2001).
Secara
umum zona – zona di suatu kawasan konservasi dapat dikelompokan atas 3 (tiga) zona yaitu : 1. Zona inti adalah zona yang memiliki nilai konservasi tinggi, juga sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan dan hanya dapat mentolerir sedikit aktifitas manusia. Zona ini harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi, serta tidak dapat diijinkan adanya aktvitas eksploitasi. 2. Zona Penyangga merupakan zona yang bersifat terbuka, tetapi dikontrol dari beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diijinkan. Penyangga disekeliling zona perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi dari berbagai aktivitas pemanfaatan yang dapat mengganggu, dan melindungi kawasan konservasi dari pengaruh eksternal. 3. Zona Pemanfaatan adalah zona yang masih memiliki nilai konservasi tertentu, tetapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia, dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan konservasi di pesisir dan laut. Identifikasi dan pemilihan lokasi potensial untuk kawasan konservasi di pesisir dan laut menuntuk penerapan kriteria. Penerapan kriteria ini sangat membantu dan mengidentifikasi dan memilih lokasi perlindungan secara objektif. 2.6. Pemanfaatan Terumbu Karang Luas terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar 50.000 km 2 dan mempunyai kaenekaragaman jenis dan produktivitas primer yang tinggi. Namun dibalik potensi tersebut, aktivitas manusia dalam rangka pemanfaatan potensi sumberdaya alam didaerah pantai, baik secara langsung maupun tidak langsung sering merusak terumbu karang.
Menurut (Supriharyono
2000) beberapa
aktivitas pemanfaatan terumbu karang yaitu : (1). Perikanan terumbu karang Masalah
perikanan
merupakan
bagian
dari
ekosistem
bahkan
keanekaragaman karang dapat mencerminkan keanekaragaman jenis ikan. Semakin beragam jenis terumbu karang akan semakin beraneka ragam pula jenis ikan yang hidup di ekosistem tersebut. Oleh karena itu masalah perikanan tidak bisa
diabaikan
pada
pengelolaan
ekosistem
terumbu
karang.
Dengan
meningkatnya jumlah penduduk saaat ini maka jumlah aktivitas penangkapan ikan di ekosistem terumbu karang juga meningkat. Apabila hal ini dilakukan secara
intensif, maka kondisi ini memungkinkan terjadinya penurunan stock ikan di ekosistem terumbu karang. Keadaan ini akan memakan waktu lama untuk bisa pulih kembali. Pengelolaan yang efektif harus didasarkan pada pengetahuan biologis target spesies, sehingga teknik penangkapan yang tepat dapat ditentukan. Pengelolaan terumbu karang ini cenderung lebih banyak ditekankan pada pengambilan karang atau aktivitas manusia seperti pengeboman ikan karang, dan yang lainnnya secara tidak langsung dapat merusak karang. (2). Penangkapan Ikan Karang Sumberdaya perikanan dapat berupa sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan dan sumber daya
buatan manusia
yang digunakan untuk
memanfaatkan sumberdaya ikan. Pemanfaatan sumberdaya ikan oleh manusia berhubungan erat dengan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut tinggal. Adanya interaksi antara sumberdaya ikan, lingkungan perairan
serta manusia sebagai
pengguna, maka diperlukan sebuah pengelolaan agar ketiga interaksi tersebut dapat berjalan secara seimbang dalam sebuah ekosistem (Nikijuluw 2002). Artinya pengelolaan sumberdaya ikan adalah penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan manusia sebagai pengguna. Lebih lanjut (Murdiyanto 2004) menyatakan bahwa dalam sebuah pengelolaan sumberdaya perikanan pantai, para pengelola harus dibekali dengan pengetahuan dan fasilitas yang memadai. Ketersedian data dan informasi yang akurat, sumberdaya manusia yang handal, dana, serta kesadaran dan partisipasi masyarakat adalah hal-hal yang dibutuhkan agar pengelolaan sumberdaya perikanan dapat berhasil dengan baik Manusia dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya akan melakukan kerja apa pun juga. Nelayan dalam upaya memenuhi permintaan pasar akan ikan laut hias tentunya akan berusaha sekuatnya untuk memenuhi permintaan tersebut. Namun kadangkala, nelayan lupa akan kaidah kelestarian sumberdaya ikan sehingga pada saat menangkap ikan laut hias akan dilakukan dengan berbagai upaya (dengan menggunakan jaring khusus) bahkan sampai merusak terumbu karang sekalipun (dengan menggunakan bius potassium sianida).
2.7. Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Dari ancaman – ancaman terhadap terumbu karang saat ini hal yang sangat mendesak yang perlu dilakukan adalah tindakan penilaian ekonomi terhadap berbagai macam fungsi terumbu karang baik sebagai pensuplai barang dan jasa. Penilaian bisa dianalogkan dari nilai perikanan atau nilai sebagai pelindung pantai yang mempunyai nilai pasar. Dimana nilai bisa diturunkan berdasarkan pada permintaan (demand), penawaran (supply), harga (price) dan biaya (Cost) (Spurgeon 1992). Selanjutnya Barton (1994) menjelaskan bahwa nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang merupakan nilai dari seluruh instrument yang ada padanya termasuk sumber makanan dan jasa ekologis. Nilai dari seluruh instrumen yang terdapat pada ekosistem terumbu karang dapat dikuantifikasi melalui metode valuasi ekonomi total (Total Economic Valuation/TEV). Berdasarkan teori ekonomi neoklasik seperti consumer surplus dan willingness to pay dapat didekati nilai ekosistem terumbu karang yang bersifat tiada nilai pasar (non market value). Menurut Fauzi (2004) valuasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan baik atas nilai pasar (market value) maupun nilai non pasar (non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh suatu sumberdaya alam. Tujuan dari penilaian ekonomi antara lain digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi sumberdaya alam dan pembangunan ekonomi, maka valuasi ekonomi dapat menjadi suatu peralatan penting dalam peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan itu sendiri. Dijelaskan juga oleh Fauzi (2004) bahwa terdapat tiga ciri yang dimiliki oleh sumberdaya yaitu: 1. Tidak dapat pulih kembali, tidak dapat diperbaharuinya apabila sudah mengalami kepunahan. Jika sebagai asset tidak dapat dilestarikan, maka kecenderungannya akan musnah.
2. Adanya ketidakpastian, misalnya terumbu karang rusak atau hilang. Akan ada biaya potensial yang harus dikeluarkan apabila sumberdaya alam tersebut mengalami kepunahan. 3. Sifatnya yang unik, jika sumberdaya mulai langka, maka nilai ekonominya akan lebih besar karena didorong pertimbangan untuk melestarikannya. Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu bentuk penilaian yang komprehensif. Dalam hal ini tidak saja nilai pasar (market value) dari barang tetapi juga nilai jasa (nilai ekologis) yang dihasilkan oleh sumberdaya alam yang sering tidak terkuantifikasi kedalam perhitungan menyeluruh sumberdaya alam. Menurut Constanza dan Folke (1997) in Adrianto (2006) tujuan valuasi ekonomi adalah menjamin tercapainya tujuan maksimisasi kesejahteraan individu yang berkaitan dengan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi. Selanjutnya Constanza (2001) in
Adrianto (2005) menyatakan untuk tercapainya ke tiga
tujuan diatas, perlu adanya valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama yaitu efisiensi, keadilan, dan keberlanjutan . Menurut Charles (1993) pembangunan perikanan berkelanjutan harus mengadopsikan
konsep pembangunan perikanan yang mengandung beberapa
aspek yaitu : 1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pengelolaan ekologi secara berkelanjutan biomasa atau stok harus diperhatikan sehingga tidak melewati daya dukung serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi perhatian utama. 2. Socioeconomic pembangunan
sustainability perikanan
(keberlanjutan
harus
sosio-ekonomi)
memperhatikan
keberlanjutan
adalah dari
kesejahteraaan penduduk dan pengurangan kemiskinan. Dengan kata lain mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. 3. Community
sustainability
merupakan
suatu
kerangka
keberlanjutan
kesejahteraan yang menyangkut komunitas masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan berkelanjutan. 4. Institutional
sustainability
(keberlanjutan
kelembagaan)
keberlanjutan
kelembagaan menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat.
2.8. Nilai dan Fungsi Terumbu Karang Strategi dunia mengenai konservasi terumbu karang diidentifikasikan sebagai salah satu komponen utama yang sangat penting sebagai penunjang berbagai macam kehidupan yang dibutuhkan produksi makanan, kesehatan dan berbagai aspek dari kehidupan manusia dan juga dalam pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Dahuri et al (2001) beberapa nilai fungsi dari terumbu karang antara lain: 1. Nilai ekologis, terumbu karang menjaga keseimbangan kehidupan biota laut dan hubungan tibal balik antara bitao laut dengan faktor abiotik. 2.
Nilai ekonomis, sumberdaya ini dapat dikembangkan sebagai komoditi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.
3.
Nilai estetika, terumbu karang membentuk panorama yang indah di kedalaman laut yang dapat dimanfaatkan sebagai wisata bahari.
4.
Nilai biologis, yakni sebagai penghasil oksigen perairan dan pengatur keseimbangan ekosistem perairan.
5.
Nilai edukasi, yakni sebagai obyek penelitia dan pendidikan.
Selain itu terumbu karang mempunyai fungsi yang penting antara lain: 1. Sebagai habitat sumberdaya ikan, dalam hal ini dikenal sebagai tempat memijah, bertelur, mengasuh, mencari makan dan berlindung bagi biota laut. 2. Sebagai sumber benih alami bagi pengembangan budi daya perikanan. 3. Sebagai sumber berbagi makanan dan bahan baku subtansi aktif yang berguna bagi dunia farmasi dan kedokteran. 4. Sebagai pelindung dari pantai dari gelombang laut sehingga pantai dapat terhindar dari degrasi dan abrasi.
2.9.
Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat
banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan suatu konsep penataan ruang (spatial plan) serta berbagai pilihan objek pembangunan yang serasi. Dalam konteks ini maka keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir mengandung 5 dimensi dalam Integrated Coastal and Ocean Management (ICOM)
yaitu (1) keterpaduan antar sektor; (2)
keterpaduan spasial; (3) keterpaduan pengelolaan berbasis pengetahuan; (4)
keterpaduan kelembagaan; dan (5) keterpaduan internasional. Keterpaduan secara sektoral di wilayah pesisir berarti diperlukan adanya suatu kooordinasi tugas, wewenang, dan tanggung jawab antar sektor atau instansi (horizontal integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai pemerintah pusat (vertical integration). Sedangkan keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan wilayah
pesisir
hendaknya
dilaksanakan
atas
dasar
interdisiplin
ilmu
(interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Hal ini wajar dilakukan mengingat wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis (Cicin-Sain and Knecht 1998). Di dalam proses pengelolaan dilakukan identifikasi dan analisis mengenai berbagai isu pengelolaan atau pemanfaatan yang ada maupun yang diperkirakan akan muncul dan kemudian menyusun serta melaksanakan kebijakan dan program aksi untuk mengatasi isu yang berkembang. Proses pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan ini paling kurang memiliki empat tahapan utama : (1) penataan dan perencanaan, (2) formulasi, (3) implementasi, dan (4) evaluasi (Cicin-Sain and Knecht 1998). Pada tahap perencanaan dilakukan pengumpulan dan analisis data guna mengidentifikasi kendala dan permasalahan, potensi dan peluang pembangunan dan tantangan. Atas dasar ini, kemudian ditetapkan tujuan dan target pengelolaan atau pemanfaatan dan kebijakan serta strategi dan pemilihan struktur implementasi untuk mencapai tujuan tersebut. Pembangunan meningkatkan taraf
yang
merupakan
suatu
proses
perubahan
untuk
hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan
sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada ekosistem pesisir dan lautn itu sendiri. Perubahanperubahan tersebut tentunya akan memberikan pengaruh pada mutu lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan di wilayah pesisir dan laut, makin tinggi pula tingkat pemnfaatan sumberdaya alamnya. Pemanfaatan dengan tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dapat menurunkan mutu lingkungan hidup dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan ekosistem wilayah pesisir. (Dahuri et al.
2001 ). Oleh karena itu dalam perencanaan pembangunan
berkelanjutan, perlu diperhatikan prinsip-prinsip ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan.
2.10.
Pengelolaan Berbasis Ekosistem
Pengelolaan berbasis ekosistem adalah merupakan suatu konsep pengelolaan sumberdaya alam secara modern. Selanjutnya (Cornett 1994) mendefinisikan pengelolaan ekosistem berbasis perikanan dalam paradigma biofisik dan sosial sebagai indikator yang perlu diperhatikan dari sudut pandang keindahan, kesehatan dan kehidupan ekosistem itu secara berkelanjutan. Terumbu karang dilihat dari produktifitas, keanekaragaman biota dan estetikanya memiliki potensi sumberdaya yang sangat besar. Sumberdaya ini dapat dimanfaatkan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat dengan memperhatikan keberlanjutannya dan kelestariannya. Upaya pemanfaatan yang optimal perlu dilakukan agar dapat menunjang pembangunan secara berkelanjutan, dan menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan-tujuan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan, maka perlu dirumuskan suatu pengelolaan (strategic plan), mengintegrasikan setiap kepentingan dalam keseimbangan (proporsionality) antar dimensi ekologis, dimensi sosial, antar sektoral, disiplin ilmu dan segenap pelaku pembangunan (stakeholders). Agar potensi sumberdaya alam ini dapat dimanfaatkan sepanjang masa dan berkelanjutan diperlukan upaya pengelolaan yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan dalam arti memperoleh manfaat yang optimal secara ekonomi akan tetapi juga sesuai dengan daya dukung dan kelestarian lingkungan. Sehingga dalam pengelolaan tidak memanfaatkan akan tetapi juga memelihara dan melestarikannya.
hanya
Pengelolaan berbasis ekosistem di suatu kawasan, harus ada payung hukum dalam melindungi lingkunagan, dan mempertahankan ekosistem agar keanekaragaman sumberdaya hayati selalu terjaga dan dimanfaatkan secara berkelanjutan dan lestari. Berdasarkan pengelolaan ekosistem perikanan yang dikembangkan oleh United Nations Environmental Programme (UNEP) dengan pendekatan pengelolaan dalam pengembangan Ecosistem Based Management (EBM) perlu mempertimbangkan hal-hal yang terkait dengan kondisi wilayah ekologi, sosial dan ekonomi yaitu : 1. Integrasi kondisi ekologis, sosial-ekonomi dan tujuan pengelolaan perlu melibatkan masyarakat sebagai komponen penting dari ekosistem. 2. Batasan pengelolaan perlu mempertimbangkan kondisi ekologi dan politik. 3. Pengelolaan adaptip perlu dilakukan untuk menghadapi perubahan dan ketidak kepastian akibat dari proses alam dan sistem sosial.
4. Pemahaman tentang bagaimana proses dan ekosistem merespons gangguan lingkungan. 5. Keberlanjutan pengelolaan ekosistem pesisir dan laut Oleh sebab itu guna mencapai pemanfaatan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan manusia
terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, maka diperlukan pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan ekologi. Hal ini dikenal dengan pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu berbasis masyarakat (Zamani dan Darmawan 2000). Di samping itu juga diperlukan upaya peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat umumnya dan khususnya penduduk yang ada di wilayah pesisir terhadap pentingnya sumberdaya alam dalam menunjang kehidupan saat ini dan generasi mendatang. 2.11.
Model Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki karakteristik yang
unik dan kompleks. Kompleksitas ditunjukkan oleh keberadaan berbagai pengguna dan berbagai entitas pengelola wilayah yang mempunyai kepentingan dan cara pandang yang berbeda mengenai pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir. Kabupaten/kota di Indonesia masing-masing memiliki karakteristik fisik wilayah pesisir yang satu sama lain berbeda. Disamping itu masing-masing kabupaten/kota juga memiliki perhatian yang berbeda di dalam pengelolaan wilayah pesisir. Konsekuensi dari perbedaan perhatian tersebut menghasilkan kebijakan dan instrumen kelembagaan
yang berbeda satua sama lain dalam
mengelola wilayah pesisirnya. Model pengelolaan wilayah pesisir untuk kabupaten/kota di Indonesia, khususnya dengan keluarnya UU no 22 Tahun 1999 secara formal belum pernah dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Sebagai konsekuensi dengan keluarnya kebijakan desentralisasi melalui UU nomor 22 tahun 1999, pengelolaan wilayah pesisir menjadi kewenangan pemerintah
kabupaten/kota. Model pengelolaan pesisir wilayah kabupaten
disusun berdasarkan karakteristik ekosistem wilayah pesisir dan diturunkan pada instrumen kelembagaan yang ada di pemerintah daerah kabupaten. Dalam
penyusunan model diterapkan prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berbasis ekosistem sebagai sebuah ekosistem yang unik. Membangun sebuah model dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem diperlukan beberapa tahapan sehingga hasilnya dapat dipercaya. Tahapan suatu model dalam ekosistem wilayah pesisir untuk membangun sebuah model Fauzi dan Anna (2008)
diperlukan beberapa tahapan sebagai
berikut : 1. Identifikasi masalah dibangun dari beberapa pertanyaan, menjadi sangat penting untuk membangun suatu model 2. Membangun asumsi-asumsi, hal ini diperlukan untuk menyederhanakan suatu model secara realitas yang kompleks. Oleh karena itu setiap penyederhanaan memerlukan asumsi, sehingga ruang lingkup model berada dalam koridor permasalahan yang akan dicari solusi dan jawabannya. 3. Membuat konstruksi dari model itu sendiri dapat dilakukan melalui diagram alur atau persamaan-persaamaan matematis. Kontruksi model dapat digunakan dengan komputer software maupun secara analitis. 4. Menentukan analisis yang tepat. Tahap ini adalah mencari solusi yang sesuai untuk menjawab pertanyaan yang dibangun pada tahan identifikasi. Dalam analisis pemodelan dilakukan dengan dua cara, pertama dengan melakukan optimasi (apa yang seharusnya terjadi) kedua dengan melakukan simulasi (apa yang akan terjadi). 5. Pengembangan model adalah melakukan interprestasi atas hasil yang dicapai dalam tahap analisis. 6. Validasi adalah model yang valid tidak saja mengikuti kaidah-kaidah teoritis yang sahih, namun juga memberikan interprestasi dari hasil yang diperoleh mendekati kesesuaian dalam hal besaran uji-uji standar seperti statistik dan prinsip-prinsip matematis. Dalam konteks diatas, model perencanaan pengelolaan wilayah pesisir adalah merupakan alat yang penting untuk mengetahui dinamika masyarakat pesisir terkait dengan pola pemanfaatan dan apresiasi terhadap sumberdaya pesisir dan laut. Selanjutnya Adrianto (2009) mengembangkan 6 (enam) tahapan pengembangan siklus pengelolaan pesisir terpadu adalah sebagai berikut :
1. Tahap 1. Persiapan : adalah tahap awal untuk dilakukan pengembangan pengelolaan pesisir terpadu meliputi : (i) menyusun mekanisme program; (ii) mengidentifikasi lokal inisiator yaitu pihak yang melaksanakan program pengelolaan
pesisir
terpadu;
(iii)
menyiapkan
rencana
kerja
bagi
pengembangan program pengelolaan pesisir terpadu; (iv) melaksanakan pelatihan yang diperlukan bagi segenap stakeholder
yang terkait dengan
pengelolaan pesisir terpadu; (v) menyusun sistem monitoring dan evaluasi dan; (vi) mempersiapkan penyusunan status pesisir (state of the coasts) yang akan menjadi obyek pengelolaan terpadu. 2. Tahap 2. Inisiasi, pada tahap ini dibagi 5 jenis kegiatan yaitu : (1) menyusun perencanaan sistem komunikasi dengan stakeholder yang bertujuan untuk meningkatakan kesadaran stakeholder terhadap pentingnya pengelolaan pesisir dan laut; (2) menyusun rencana partisipatif sistem dan menajemen informasi terkait dengan inisiasi pengelolaan pesisir; (3) menyiapkan status pesisir (State of the Coast) yaitu dokumen yang berisis status eksisting dari pesisir yang menjadi obyek pengelolaan; (4) apabila memungkinkan menyusun kajian awal tentang resiko lingkungan pesisir (Itial Risk Assessment; IRA) yang bermanfaat untuk menentukan basis bagi prioritas penyelesaian masalahlingkungan pesisir dan; (5) menyusun rencana pengelolaan pesisir (coastal strategy). 3. Tahap 3. Pengembangan (Development stage) dalam kegiatan ini ada beberapa tahapan
penting yang dilihat adalah sebagai berikut : (i) mempersiapkan
rencana implementasi strategi pengelolaan pesisir; (ii) menyusun rencana monitoring lingkungan; (iii) mengatur mekanisme kelembagaan yang terkait dengan implementasi strategi pengelolaan yaitu meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar institusi; (iv) merancang mekanisme tata ruang di kawasan pesisir; (v) menyusun rancangan sistem pembiayaan yang berkelanjutan terhadap implementasi program dan; (vi) melanjutkan
dan meningkatkan
partisipasi masyarakat. 4. Tahap 4. Tahap
Adopsi ( Adoption Stage ) adalah adopsi dari
rencana
implementasi strategi pengelolaan pesisir (Coastal Starategy Implementation Plan; CISP ). Dengan demikian proses adopsi tidak hanya
melibatkan
eksekutif dalam pemerintah, tatapi juga institusi legislatif karena hasil akhir dari adopsi adalah peraturan daerah atau surat kepuusan eksekutif
yang
disahkan Bupati atau Gubernur tentang rencana implementasi strategi pengelolaan pesisir. 5. Tahap 5. Tahap Implementasi ( Implementation Stage ) adalah imlementasi dari segenap rencana yang sudah disusun hingga tahap adopsi. Hal ini mencakup implementasi dari CISP dengan menggunakan sistem pembiayaan yang sudah ditetapkan dan secara kontinyu melakukan proses monitoring sesuai dengan tahapan setiap strategi yang telah dituangkan dalam rencana implementasi strategi pengelolaan pesisir. 6. Tahap 6. Perbaikan dan Konsolidasi (Raffinement and Consolidation Stage) tahap ini mencakup beberapa kegiatan penting mencakup (i) melakukan kajian terhadap pencapaian hasil implementsi strategi, termasuk didalamnya output dan outcome, relatif terhadap tujuan pengelolaan ; (ii) melakukan proses update terhadap status pesisir (State of the Coast) ; (iii) Apabila diperlukan melakukan perbaikan terhadap dokumen strategi pengeloaaan pesisir (coastal starategy), termasuk Coastal Starategy Implementation
Plan (CSIP) ; (iv)
melakukan kajian terhadap hal-hal penting untuk siklus pengelolaan pesisir berikutnya. Dalam pandangan ecoligical economics, tujuan valuation tidak semata terkait dengan maksimasi kesejahteraan individu atau perorangan, melainkan juga terkait dengan tujuan keberlanjutan ecological dan keadilan distribusi. Selanjutnya Constanza (2001) in Adrianto (2006) menyatakan bahwa valuation berbasis pada kesejahteraan individu semata tidak menjamin tercapainya tujuan ekologi dan keadilan tersebut. Dalam konteks ini, valuasi ecological economics dapat di nilai dengan tiga tujuan dari penilaian itu sendiri, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama efisiensi, keadilan dan berkelanjutan Tingkat Diskusi yang Dasar Diperlukan Preferensi Preferensi Rendah individu Preverensi Tinggi komunitas Preverensi Medium keseluruhan sistem Sumber : Constanza and Folk (1997) in Adrianto (2006) Tujua/Dasar Nilai Efisiensi (Evalue) Keadilan (Ffalue) Keberlanjutan (S-value)
Kelompok Responden Homo Economicus Homo Communicus Homo Naturalis
Tingkat Input Ilmiah yang Diperlukan Rendah Menengah Tinggi
Metode Spesifik Willingnes s to pay Veil of ignorance Modeling
Dari tabel dapat dilihat pandangan ecological-economics, nilai tidak hanya dilihat dari tujuan maksimalisasi prefrensi individu, seperti yang dikemukakan oleh pandangan neoklasik (E-value), melainkan ada nilai-nilai lain, yaitu keadilan (F-value) yang berbasis pada nilai-nilai komunitas, bukan bukan individu. Dalam konteks F-value ini, nilai sebua ekosistem ditentukan berdasarkan tujuan umum yang biasanya dihasilkan dari sebuah konsensis atau kesepakatan antar anggota komunitas (homo communicus) (Adrianto 2006). Selanjutnya dijelaskan oleh Rawls (1971) in Adrianto (2006) metode evaluasi yang tepat untuk tujuan ini adalah veil of ignorance, dimana responden memberikan penilain tanpa memandang status dirinya dalam komunitas. Sementara S-value yang bertujuan untuk unuk mempertahankan tingkat keberlanjutan ekosistem yang dititip beratkan pada kehidupan manusia. Secara empiris, valuasi ekosistem berbsis pada dua nilai terakhir (F-value dan S-value) relatif masih sedikit di lakukan. Namun demikian, hal ini tidak mengurangi semangat dari pandangan ecologocal economics bahwa perlu adanya penyusunan format nilai ekosistem yang lebih komprehensif, tidak hanya berbasis pada preferensi individu, seperti metode standar yang ada.