2016/11/19
Marsiyani, Penyulut Mimpi Anak TKI
Nunukan. Marsiyani pertama kali mengumpulkan dan mengajar anak-anak eks TKI deportasi dari Malaysia yang bekerja di kebun kebun sawit milik warga di Sekapal, Marsiyani mengaku menerima 38 siswa mulai dari kelas 1 hingga kelas 4. Tidak mudah mengaja 38 siswa ditingkat jenjang yang berbeda yang ditempatkan di 3 ruang kelas secara bersamaan. Ruang kelas yang tak berdinding malah memberikan kemudahan kepada Marsiyani untuk berpindah kelas memberikan pelajaran kepada 4 kelas secara bersamaan. Setelah berjuang hampir 10 tahun mengajar sendirian, Marsiyani akhirnya mendapat bantuan tenaga mengajar dari Satuan Tugas Pengamanan Wilayah Perbatasan yang bertugas di Kecamatan Seimenggaris. Sedikit demi sedikit masyarakat juga tergerak untuk membantu menambah papan untuk dinding sekolah meskipun sampai saat ini dinding ruang kelas hanya smpai sebatas kepala orang dewasa. Hal itu lebih dari cukup untuk memberi perlindungan kepada siswa dari hujan dan panas, meski saat hujan deras masih saja ada aliran air hujan yang membuat selokan kecil di antara kaki mereka. Kehadiran SD Filial 009 Sekapal tidak lepas dari peran Markus, ayah Marsiyani. Markus adalah mantan TKI pekerja di Perkebunan Sawit di Malaysia yang memilih bertani di wilayah perbatasan. Pada tahun 1999 Markus menetap di Desa Sekapal Kecamatan Seimenggaris
untuk bertanam sayur sayuran. Markus mendapat tanah seluas 20 hektar. “Dulu kita tanya warga sekitar saja mana ada tanah kosong untuk berkebun. Saya dapat 20 hektar bertanam sayur, baru sawit,” ujar dia. Markus mengaku trenyuh saat pemerintah Malaysia memulangkan puluhan ribu TKI yan bermasalah dengan dokumen ke Kabupaten Nunukan tahun 2001 hingga 2004. Ribuan eks TKI deportasi tersbeut banyak yang akhirnya bekerja di perkebunan sawit milik warga di Desa Sekapal. Para eks TKI tidak banyak memeiliki pilihan bekerja selain menjadi kuli kasar di perkebunan sawit di Malaysia karena tingkat pendidikan yang rendah. “Mayoritas sekolah hanya SD atau tidak sekolah. Kita mikir bagaimana dengan nasib anak anak mereka. Dari situ saya bilang ke anak saya, berbaktilah pada negara dengan mengajar mereka,” ujar Markus. Saat pertama kali mengumpulkan anak anak eks TKI untuk memberikan pelajaran, Markus mengaku hanya memanfaatkan kolong rumahnya sebagai ruang kelas. Setahun kemudian ada bangunan bekas kantor pengerjaan jalan trans kalimantan Utara yang bisa mereka manfaatkan sebagai ruang kelas meski masih jauh dari layak. Untuk menunjang pedidikan anak-anak yang orangtuanya eks TKI, Markus akhirnya menghibahkan 1 hetar tanahnya untuk dibangun fasilitas pendidikan.
Setahun terakhir selain belajar di ruang kelas bekas kantor pembangunan jalan trasn Kalimantan, pemerintah akhirnya mendirikan 3 ruang kelas belajar. Dari 6 kelas yang ada, SD Filial 009 Sekapal saat ini memiliki siswa 48 anak. Meski baru memiliki 3 RKB yang masih minim faslitas, namun semangat belajar siswa di wilayah perbatasan tersebut sangat tinggi. Selain masih kekurangan tenaga pengajar karena dari 6 kelas SD Filial 009 Sekapal baru memiliki 4 guru. Sarana buku di sekolah tersebut juga sangat kurang karena hanya guru yang memegang buku paket. “Di sini masih pakai KTSP, itupun siswa masih nyatat karena buku diktat hanya guru yang punya,” kata Marsiyani. Meski minim fasilitas, buku tidak ada, jarak dari sekolah harus menempuh beberapa kilometer tak menyurutkan semangat Sahiman, siswa kelas VI SD Filial 009 Sekapal. Meski usianya sudah 17 tahun, tak menyurutkan niat Suhiman untuk menjadi dokter. Setelah lulus SD tahun depan, Suhiman bertekad bulat untuk meneruskan sekolah di SMP Negeri di Nunukan. “Ya saya mau jadi dokter. Saya akan sekolah terus sampai saya jadi dokter dan menolong warga sini kalau sakit,” ujarnya. Suhiman juga anak eks TKI dari Malaysia yang harus berpindah-pindah tempat kerja karena tidak banyak perusahaan di Malaysia yang mau menerima mereka karena minimnya pendidikan. Kalau pun ada gajinya juga
tak seberapa. Karena sering berindah pindah dengan penghasilan yang tidak minim membuat orang tua Suhiman tak menyekolahkan anaknya. Hingga mereka kemudian menetap di Desa Sekapal 6 tahun lalu. ”Suhiman tidak sekolah karena orangtuanya selalu berpindah pindah mencari kerja. Baru sekarang mereka menetap disini,” ujar guru sekolah Suhiman, Zaenuddin. Hari ini Marsiyani bersyukur ada beberapa donatur yang membantu kekurangan sarana dan prasarana yang sangat dibutuhkan sekolah. Salah satu prasarana yang sangat dibutuhkan sekolah adalah adanya WC sekolah. Karena selama ini siswa hanya pergi ke kebun sawit untuk buang air besar maupun buang air kecil. Selain itu bantuan laptop, buku, peralatan tulis akan sangat membantu kegiatan belajar mengajar siswa sekolah. “Bersyukur ada yang membantu kekurangan sarana anak anak.Semoga mereka bisa bermimpi lebih tinggi lagi,” katanya. Sejak berdiri tahun 2006 lalu, lulusan SD Filial 009 baru ada 1 yang sampai kuliah hingga perguruan tinggi. Lebih dari 10 tahun Marsiyani bersabar dengan segala kekurangan memberikan pendidikan kepada anak-anak di tapal batas tersebut. Hanya satu keinginanya, yaitu melihat anak-anak eks TKI berpendidikan dan sukses seperti anak-anak bangsa lainnya. Lulusan SMA ini bahkan tak mempersoalkan jika sampai saat ini statusnya
hanya guru honor. Baginya, hidup ini adalah untuk melihat mimpi Suhiman-Suhiman yang lain dari anak anak eks TKI di wilayah perbatasan ini. Sumber: Kompas