Mimpi Anak Penjual Donat Januar Christianto Terik matahari di tanah Sumatera ternyata berbeda dengan Jawa, hanya debu jalan rayanya saja yang mirip dengan Pantura. Berbagai kendaraan beroda besar melintas di depan kantor tempatku bekerja, sembrawut sekali. Tak ada lampu merah di persimpangan, tak ada petugas satuan lalu lintas, seakan melengkapi kekacauan di daerah dekat pelabuhan Belawan ini. Semua orang tak mau mengalah, apalagi para pengemudi supir angkot yang seenaknya saja menaikkan dan menurunkan penumpang. Seakan tak ada celah, para pejalan kaki harus berani untuk menyebrang jalan yang penuh dengan polusi itu. Mereka hanya bisa mengelus dada. Jarum jam tepat diangka 12, suara bising printer Epson L-300 sudah tak terdengar. Sepi. Mereka yang tak berpuasa pergi mencari makan, sementara kami beristirahat sambil menunggu adzan dzuhur berkumandang. Sebagian besar mereka yang bekerja di kantor adalah kristiani, yang muslim bisa dibilang menjadi kaum minoritas. Lampu indikator Blackberry ku menyala, segera ku tengok, sebuah pesan baru di akun facebook. Seorang kawan kuliah memintaku untuk segera menyelesaikan tulisan ini. Tanpa kusadari dateline tinggal satu minggu lagi, yah inilah aku dengan segala kelemahanku, malas. Kesibukanku sebagai internal auditor di salah satu perusahaan pestisida membuatku lupa kalau aku punya kewajiban untuk merampungkan tulisan ini, maafkan aku teman.
1
Aku bukanlah seorang pujangga atau bahkan seorang sarjana sastra yang bisa merangkai berbagai kata menjadi kalimat yang indah. Aku hanya seorang sarjana akuntansi yang mempunyai mimpi besar untuk selalu bisa membahagiakan semua orang yang ada di sekelilingku. Rasanya begitu sulit untuk beralih profesi sementara menjadi seorang penulis. Butuh perjuangan agar bisa menghasilkan tulisan yang menarik dan enak dibaca oleh semua kalangan. Inilah aku Januar Christianto, seorang perfectionist dengan segala kekurangan dan kelebihan di dalamnya. Sebuah film yang berjudul “kehidupan” dengan aku sebagai aktor utamanya yang berusaha menjalankan skenario dari Tuhannya dengan sebaikbaiknya. Alloh Azza Wa Jalla, kuniatkan sebagai ibadah kepada-Mu, semoga bermanfaat. Born to Win Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Itulah salah satu sabda-Nya. Jutaan sel sperma berlomba dan hanya satu yang bisa membuahi sel telur. Itulah kita. Percayalah, dari awal kita terlahir sebagai pemenang, tinggal bagaimana kita menyikapi itu semua. Terlahir dari sepasang insan yang berbeda agama, memaksaku untuk menentukan pilihan hidup. Inilah bukti kedahsyatan cinta dan indahnya perbedaan. Dua puluh satu tahun silam, tepat di hari Rabu pukul sebelas siang, tangis bayi terdengar di salah satu ruang persalinan RS Hasan Sadikin Bandung. 29 Januari 1992 seakan menjadi angka keberuntunganku. Tangis bahagia bercampur segala rasa berkecamuk dalam jiwa sepasang kekasih yang 2
memadu cinta karena Tuhan atas kelahiranku. Merekalah orangtuaku, seorang wanita muslim sholehah dengan pria khatolik Jawa; Deti Nurhayati dan Nono Sugiono. Sungguh besar perjuangan seorang ibu. Jika kurunut ke belakang, ibu adalah sosok pahlawan sejati. Mengandung selama sembilan bulan lamanya, menahan segala rasa sakit demi melindungi kita. Tak ada keluhan apalagi tangis penyesalan, apa yang kita inginkan selalu dia penuhi. Saat tiba yang dinanti, pertaruhan nyawa demi seorang jiwa baru, dimulai. Dia rela mati demi kita. Berjam-jam menahan rasa sakit, dibantu enam dokter spesialis seakan melengkapi kegelisahan ayahku. Akulah satu-satunya putra dari mereka yang proses persalinannya sangat sulit, penuh dengan ketegangan. Air mata sempat menetes, tak ada suara tangis bayi ketika proses persalinan selesai. Ibuku terbaring lemas, khawatir. Seorang dokter menepuk bokong mungilku yang masih berlumuran darah, berkali-kali. Tangis bayi pun terdengar diiring senyuman dari orang yang menanti. Semua bertasbih, mengucap rasa syukur. Alhamdulillah. Lega. Kumadang adzan dari serambi masjid rumah sakit seakan mengiringi kelahiranku, alunan merdu dari sang muadzin menggetarkan seluruh jiwa membuat bulu kuduk merinding. Inilah bukti kekuasaan Tuhan dalam proses penciptaan manusia. Alam pun berdamai dengan jiwa. Last Child Awan hitam masih menggelayut di langit angkasa, riuh angin pun tak henti-hentinya bertiup. 3
Ibuku sibuk mengemas barang dagangan yang dipajang di depan rumah untuk dimasukkan. Sebuah lagu dari Ebiet G Ade mengalun dari radio Ardan yang biasa ibu setel. Sementara aku masih asyik bermain di halaman, sesekali melihat ke langit terkagum akan kilat yang menyambar. Indah sekali. Hujan pun turun membasahi tanah Pasundan. Aku tumbuh di daerah Cisitu Indah, Dago Atas. Kampungku tepat di belakang perumahan elit di Dago Resort Doser. Tak heran banyak tetanggaku yang menjadi pembantu rumah tangga di perumahan itu. Kala itu aku berusia lima tahun, teman-temanku berusia dua tahun di atasku dan mereka sudah bersekolah sementara aku belum. Ada rasa iri ketika mereka hendak pergi sekolah, ingin rasanya pergi bersama mereka. Namun apa daya, berkali-kali merengek, ibuku tak pernah memberi jawaban. Akhirnya aku pun belajar sendiri, minta diajari oleh kakakku. Sepertinya aku lupa bercerita tentang keunikan keluargaku. Ayah dan ibuku adalah sama-sama seorang single parent yang telah memiliki anak sebelumnya, Tuhan mempertemukan mereka dalam cinta yang damai, dan atas izin-Nyalah lahirlah aku dari buah cinta mereka. Aku adalah anak bungsu yang tidak memiliki saudara kandung. Ayahku seorang muallaf, sehingga aku tumbuh menjadi seorang muslim walaupun namaku berbau kristiani. Kembali ke masa kecilku. Dengan bebagai kesibukannya, kakakku hanya mengajariku cara membaca saja, setelah itu aku pun belajar sendiri. Mengeja setiap huruf yang ada di koran bekas atau mengeja setiap judul film kartun di hari Minggu. 4
Senang rasanya bisa belajar sambil bermain. Melihat kesungguhanku, ibuku mulai memberikan jalan agar aku bisa sekolah. Tahun 1997/1998 aku tercatat sebagai siswa baru di SD Sangkuriang II Bandung, walaupun dengan proses negosiasi yang rumit karena umurku yang belum cukup. Aku dianggap sebagai anak bawang, tapi biarlah orang berkata apa yang penting bisa sekolah. Satu tahun berlalu, perlahan aku mulai bisa menyesuaikan diri. Aku bukanlah anak bawang lagi, terbukti dengan nilai raportku yang bagus dan berhasil masuk tiga besar. Sekarang aku berubah menjadi cabe rawit. Bersaing dengan anak-anak yang lain yang notabene usianya di atasku dan sudah mengenyam pendidikan di taman kanak-kanak, rasanya akan begitu sulit, tapi hasil membuktikan, dengan kesungguhanku aku mampu bersaing dengan mereka. Mulai saat itu, akupun mulai yakin dengan kemampuanku. Usia bukanlah penentu bisa atau tidaknya seseorang, tapi kesungguhan dan keyakinanlah yang paling penting. Tahun 1998 ayahku memutuskan untuk move dari Bandung. Sebuah kota kecil di perbatasan Jawa Barat bagian selatan menjadi pilihan, Banjar Patroman. Sebuah perumahan tipe 21 SS menjadi hunian baru kami. Gersang, panas yang kurasa, karena letaknya di samping pegunungan cadas. Belum banyak penghuni di perumahan baru itu. Sepi. Rumahku adalah rumah terujung dan paling dekat dengan gunung. Suasana baru, lingkungan baru, teman baru. Hari berganti, kami mulai menikmati kehidupan baru kami, jauh dari kebisingan kota. Damai. Kesedihan muncul ketika kami harus ditinggal oleh ayah, dia adalah seorang PNS yang ditugaskan di 5
Bandung, begitupun dengan kakak-kakakku. Ayah pulang sebulan sekali. Waktu itu saat malam tiba diiringi dengan rintik hujan, air mata menetes dari pelupuk mata ibuku, aku pun ikut menangis. Rasanya begitu sedih, tak seperti satu tahun yang lalu. Kami cuma hidup berdua, tidak ada kehangatan dan gelak tawa seperti berkumpul saat di Bandung. Seorang tetangga sampai-sampai datang ke rumah karena mendengar suara tangis dari rumahku. Mak Entar namanya, seorang wanita paruh baya yang mencoba menghibur kami. Sesaat kesedihan pun hilang. Kami mencoba untuk tegar, belajar dari kehidupan Mak Entar yang hanya tinggal berdua dengan suaminya di usianya yang sudah tua, jauh dari anak-anaknya. Terima kasih Mak. Semoga engkau tenang di sana. Kris, itulah panggilan keluargaku. Berbeda dengan di sekolah baruku teman-teman memanggilku Jan. Sekolah negeri di pelosok desa dengan dua nama yang berbeda, SDN Banjar XIV dan SDN Balokang I. Ibuku memasukkanku di SDN Banjar XIV karena kebanyakan anak-anak tetangga bersekolah di situ. Kami selalu bergantian, kadang masuk pagi dan kadang masuk siang. Wajarlah, bangunan sekolahnya hanya satu. Pak Engkos Kosasih adalah Kepala Sekolahku waktu itu, dia adalah seorang seniman Sunda yang tersohor di Kota Banjar. Sebuah vespa klasik menjadi favoritnya kala pergi ke sekolah. Bu Efi adalah guruku dari kelas II-IV, seorang guru lulusan pendidikan Bahasa Inggris. Cantik dan menjadi idaman guru-guru yang lainnya. Prestasiku di tingkat sekolah dasar bisa dibilang cukup bagus, secara akademik aku menjadi langganan di tiga besar sampai aku lulus SD. Hanya sekali saja aku mendapatkan 6
ranking 1, ketika aku naik ke kelas IV. Selebihnya kalau tidak ranking 2 ya rangking 3. Seorang wanita berambut ikal dan berkacamata adalah saingan terberatku. Dialah Tantri. Seorang wanita yang memiliki tulisan sambung yang sangat indah, tapi tidak dengan tulisan pisahnya. Tantri, Wira, Dicky, Ririn, Inggrid, Yeni, Deni, Rohman, Rizal, Ika, Tika, itulah beberapa temanku waktu SD. Ingin rasanya bertemu mereka kembali. Bersama mereka kami berjuang mengharumkan nama baik sekolah dalam berbagai ajang perlombaan, mulai dari cerdas cermat, olympiade sains sampai ke lomba senam. Tak ada yang sia-sia dari perjuangan keras kami, kami berhasil membawa nama sekolah kami menjadi sekolah yang prestatif dan kreatif. Mengalahkan sekolah-sekolah elit lainnya yang ada di kota. Pak Bedjo adalah guru yang selalu menemani kami saat berlomba, seorang pria berambut putih dengan kacamata silinder selalu menyemangati kami saat berlomba. “Lakukanlah yang terbaik yang kalian bisa, karena Tuhan tak pernah melihat dari hasil tapi dari proses yang kalian lakukan”, itulah pesannya kepada kami. Dialah salah seorang yang berjasa akan hidupku begitu juga dengan guru-guru yang lain, tanpa kenal lelah mengajariku membaca, menulis, membuatku mengerti berbagai ilmu pengetahuan, demi satu tujuan, mencerdaskan kehidupan bangsa. Pak Bedjo jugalah yang berjuang memasukkanku ke SMP elit dan favorit, SMPN 1 Banjar. Sungguh besar jasamu. Terima kasih banyak Pak Bedjo. Itulah aku dan sekolahku di masa kecil, berbeda dengan kehidupan di lingkungan rumah. Arief, Ilham, Irvan, Diman, Deni, Ika, Nisa adalah beberapa 7
teman bermainku. Setiap sore kami bermain di lapangan komplek, kadang bermain kasti dan kadang juga bermain bola bertanding dengan anak komplek yang lain. Malamnya sehabis maghrib, kami mengaji dan menghafal Al-Qur’an. Pak Aceng adalah guru mengaji kami dan Pak Agus adalah guru hafidz kami. Bisa dibilang aku adalah anak didik yang paling cepat menghafal Al-Qur’an, setiap perlombaan keagamaan selalu juara, sampai-sampai salah seorang ustadz mengajakku untuk mengikuti lomba hafalan Al-Qur’an di Bogor. Sesuai dengan usiaku, materi yang dilombakan hanya sebatas juz amma saja (Juz ke 30). Bukan juara yang kucari, tapi pengalamanlah yang paling penting. Berjumpa dengan para hafidz seluruh Indonesia itu rasanya senang sekali. Itulah aku dengan masa kecilku yang tak akan pernah aku lupa. Jika Tuhan memberikanku izin, ingin rasanya mengulang kembali masa-masa indah itu. Me & Mom Tahun 2005 sepertinya menjadi tahun yang tak akan terlupan. Ayahku dipanggil Sang Pencipta di usianya yang ke 63 tahun. Air mata tak henti-hentinya menetes melepas kepergian orang paling berpengaruh dalam hidupku itu. Ingin rasanya meminta kepada Tuhan agar ia bisa dihidupkan kembali, sehingga aku bisa berbakti dan membalas budinya terlebih dahulu. Namun inilah takdir hidup, aku hanya bisa ikhlas. “Jaga ibu baik-baik, jangan nakal dan berbaktilah kepadanya”, itulah pesan singkat yang ia ucapkan kala aku menjenguknya di St. Bromeus Bandung. Ia pergi dengan senyum indah di wajahnya, alam pun berdamai dengan jiwa. Inna lillahi wa inna 8
ilaihi roji’un. Penyebab dari semua ini adalah rokok dan kopi yang terus ia konsumsi, seakan-akan menjadi konsumsi wajib setiap harinya. Itulah sebabnya jantung dan paru-parunya rusak. Mulai saat itu aku benci dengan rokok dan berjanji tak akan pernah menyentuh barang tak berguna itu. I hate cigarette. Mulai saat itu, kujalani hidup berdua dengan ibuku, kakak-kakakku tetap di Bandung. Ibu mulai berpikir bagaimana caranya agar bisa bertahan hidup, akhirnya ia berjualan donat keliling komplek. Aku pun tak tinggal diam, dagangan ibu aku bawa ke sekolah. Awalnya aku malu, karena teman-temanku di SMP adalah orang-orang berada, orang-orang elit. Hanya beberapa saja yang tidak mampu, itu pun bisa masuk karena beasiswa. Waktu berganti aku pun mulai berani untuk berjualan donat di sekolah, setiap istirahat aku berkeliling dari kelas ke kelas menawarkan donat buatan ibuku. Hinaan dan ejekan dari teman-teman yang lain terkadang sampai ke telinga, tapi kubiarkan saja, justru aku jadikan motivasi. Donat ibuku ternyata disukai oleh teman-temanku di sekolah, sampaisampai guruku pun membelinya. Salah satu guruku bahkan menawari ibuku untuk menjadi penyuplai snack di setiap kegiatan sekolah. Prestasiku di tingkat SMP masih bertahan, secara akademis aku selalu menjadi 2 besar dari kelas 1 sampai kelas 3. Berbagai kejuaraan pun berhasil kuraih, bedanya adalah sekarang sudah berlabel sekolah favorit. Bangga rasanya bisa menjadi bagian dari kemajuan sekolah tersebut. Syahdian, Ari Artama, Arie Wirawan, Reni adalah sahabat baikku. Kawan lama yang dulu satu SD pun ada yang masih bersamasama melanjutkan di sekolah yang sama. Sosok siswa 9
idola kala itu adalah Dede Firmansyah, seorang anak desa yang selalu menjadi juara umum. Penampilannya begitu sederhana. Dialah yang selalu menjadi wakil sekolah untuk perlombaan di bidang sains. Sekarang dia berkuliah di Sekolah Tinggi Statistik Negara, sungguh mengagumkan. Pak Aa, Pak Maman dan Bu Isye adalah wali kelas selama di SMP. Mereka sangat baik sekali, apalagi Pak Maman. Teman-temanku biasa mengejeknya Pak P-Man, seperti tokoh kartun waktu kecil. Pak Maman adalah sosok orang yang sederhana, setiap pagi dia kayuh sepeda putihnya ke sekolah. Tak jarang kami selalu berjumpa di jalan. Usianya yang sudah tua dan tingkahnya yang begitu unik, menjadi bahan ejekan bagi anak-anak jahil waktu itu. Pernah waktu itu ban sepeda beliau dikempesi oleh anak-anak yang tak bertanggung jawab itu, sungguh kasihan sekali. Dia adalah guru Geografi, setiap masuk kelas dia selalu setia membawa atlas, peta dan globe. Kami belajar tentang dunia. Jika Pak Maman mengajar Geografi, Pak Aa mengajarkan Matematika. Setiap pagi ia selalu memberikan kami ilmu hidup, ia berharap agar anak didiknya tidak saja bagus IQ nya tapi juga bagus EQ dan SQ nya. Berbeda dengan Bu Isye, yang notabene adalah tetangga dari kompleks sebelah rumahku, dia adalah seorang guru Bahasa Indonesia. Pembawaannya begitu santun, tata bicaranya pun sesuai dengan kaidah yang ditentukan, tapi itu semua luntur ketika ia sedang tertawa. Kontras sekali perbedaannya, berubah total. Salah satu guru yang tak akan saya lupakan adalah Pak Tirta dan Bu Amalia. Dua-duanya memiliki perangai yang sangat keras. Pak Tirta adalah satu-satunya guru yang paling banyak