( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Relevansi dengan Penelitian Sebelumnya Perkembangan ekonomi Islam di tanah air semakin hari semakin pesat, hal ini ditandai dengan semakin banyaknya institusi keuangan bank syariah maupun lembaga keuangan lainnya. Namun seiring dengan perkembangan tersebut, muncul banyak permasalahan yang membutuhkan pemecahan. Bank syariah sebagai lembaga intermediasi harus mampu melakukan perannya dengan maksimal. Produk funding maupun financial harus mampu mengakomodir keinginan masyarakat akan kebutuhan dana dan transaksi yang murni sesuai dengan prinsip syariah. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang dilakukan pada peneliti sebelumnya maupun terhadap buku-buku yang telah diterbitkan, ditemukan berbagai hasil penelitian dan buku yang relevan dengan pembahasan tesis ini yaitu “Efektivitas Analisis 5C terhadap Pembiayaan Bank Syariah Mandiri Cabang Pembantu Bone-Makassar di Kabupaten Bone”.
Andi Nasmayani, Pengaruh Analisis 5C terhadap Produk Pembiayaan BMT At-Taqwa Kab. Soppeng. Penelitian ini mendeskripsikan dan menjelaskan sistem pembiayaan pada BMT At-Taqwa Kabupaten Soppeng dan pengaruh analisis 5C terhadap sistem pembiayaan BMT At-Taqwa Kabupaten Soppeng. Dalam skripsi tersebut, penulis hanya menununjukkan adanya pengaruh Analisis 5C terhadap pembiayaan. Sedangkan dalam penelitian ini, penulis melihat dan mengungkap dari sisi efektivitas analisis 5C terhadap pembiayaan dan efektivitas analisis 5C terhadap setiap transaksi pembiayaan yang dilakukan. Baharuddin Harahap. Kedudukan, Fungsi dan Problematika Jaminan dalam Perjanjian Syariah.
Pembiayaan Penelitian
ini
17
Mud}a>rabah
pada
Perbankan
menitikberatkan
pada
kedudukan
jaminan sebagai penjamin agar pelaku usaha tidak melanggar perjanjian yang telah disepakati dan menjamin agar tidak terjadinya pelanggaran yang terpaku pada pembiayaan mud}a>rabah. Sedangkan dalam penelitian ini, penulis melihat efektivitas analisis collateral atau jaminan untuk meminimalisir kecurangan penyaluran pembiayaan dan melihat jaminan sebagai salah satu perikatan dalam akad pembiayaan. Penelitian lain yang mempunyai relevansi dengan masalah yang akan diteliti adalah Akhyar Adnan. Analisis Hubungan Simpanan, Modal Sendiri, NPL, Prosentase Bagi Hasil dan Markup Keuntungan terhadap Pembiayaan Pada Perbankan Syariah Studi Kasus pada Bank Muamalat Indonesia (BMI). Penelitian ini menitikberatkan hubungan simpanan, modal sendiri, NPL, presentase bagi hasil dan markup keuntungan terhadap besarnya pembiayaan pada perbankan syariah. Hasil penelitian ini adalah simpanan mempunyai hubungan positif dan signifikan terhadap pembiayaan sementara variabel yang lain tidak mempunyai hubungan yang signifikan.
Sedangkan dalam penelitian ini, penulis melihat efektivitas analisis
5C terhadap
pembiayaan yang diberikan oleh Bank Syariah Mandiri Cabang Pembantu Bone – Makassar Kabupaten Bone. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Herri et. al dalam Studi Peningkatan Peran BPR dalam Pembiayaan Usaha Mikro Kecil (UKM) di Sumatera Barat. Penelitian ini dilakukan atas kerjasama Bank Indonesia dan Centre for Banking Research (CBR) Andalas University. Permasalahan yang diangkat memfokuskan peran BPR selaku lembaga keuangan syariah di Sumatera Barat untuk meningkatkan pembiayaan UKM. Penelitian ini mengedepankan pihak BPR untuk mempromosikan keberadaannya dengan tetap menghimbau kepada tokoh masyarakat harus turut serta mensosialisasikan informasi lembaga keuangan. Sedangkan dalam penelitian tesis ini, peneliti memfokuskan peran Bank Syariah Mandiri memberikan pembiayaan kepada Masyarakat dengan mendasarkan pemberian keputusan pembiayaan pada analisis 5C yaitu meliputi character, capacity, capital, collateral, dan condition. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Sitti Aisyah dalam Konstribusi Umara dan Ulama dalam Pengembangan Perbankan Syariah di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan kontribusi umara sangat signifikan dengan memainkan perannya selaku regulator dengan melakukan penyempurnaan kebijakan-kebijakan demi pengembangan BPRS dan aktif mengawasi serta memantau perkembangan BPRS baik dari sisi regulasi maupun dari sisi kepatuhan terhadap syariah dan tetap melakukan sosialisasi. Peran ulama masih belum signifikan dalam hal pengawasan maupun sosialisasi. Sedangkan dalam penelitian ini, penulis melihat peran lembaga keuangan dalam hal ini Bank Syariah Mandiri memberikan fasilitas pembiayaan kepada masyakat dengan menggunakan analisis 5C dalam pengambilan
keputusan pembiayaan. Muhammad dalam bukunya Manajemen Pembiayaan Mud}a>rabah di Bank Syariah menjelaskan bahwa analisis pembiayaan atribut kemampuan bisnis, jaminan, reputasi mud}a>rib, komitmen usaha merupakan atribut proyek yang dipertimbangkan oleh pelaku bank syariah yang dapat dibiayai dengan pembiayaan mud}a>rabah yang secara efektif dapat memperkecil munculnya masalah agency. Penelitian ini menitik beratkan pada efektivitas analisis 5C sebagai penilaian untuk dipertimbangkan mendapatkan fasilitas pembiayaan. Apabila dikaji beberapa hasil penelitian yang telah dikemukakan terdahulu dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa peneliti tidak menemukan sebuah penelitian yang membahas efektivitas 5C untuk meminimalisir kesalahan penyaluran dana pembiayaan dan melihat sisi efektivitas 5C untuk menciptakan sebuah transaksi yang murni berdasarkan prinsip syariah. B. Konsep Efektivitas 1. Pengertian Efektivitas Efektivitas dalam bahasa Inggris effectiveness yang berarti kemanjuran, kemudahan, kemujaraban, keefektivan. Efektivitas dalam bahasa Indonesia yaitu efektivitas, keefektifan yang berarti keadaan berpengaruh, hal berkesan, kemanjuran, kemujaraban, keberhasilan. Efektivitas pada dasarnya berarti sebuah kemanjuran dan keberhasilan terhadap suatu rencana yang ditetapkan sebelumnya. Efektivitas jika dikaitkan dengan sistem kerjasama perusahaan, menurut Chester Barnard
mendefenisikan
“effectiveness
of
cooperative
effort
relates
to
accomplishment of on objective of the system and it is determined with a view to the system’s requirement” artinya efektivitas dari usaha kerja sama (antara individu)
berhubungan dengan pelaksanaan yang dapat mencapai suatu tujuan dalam suatu sistem, dan hal itu ditentukan dengan suatu pandangan dapat memenuhi kebutuhan sistem itu sendiri. Konsep efektivitas sesungguhnya merupakan suatu konsep yang luas, mencakup berbagai faktor di dalam maupun di luar organisasi. Konsep efektivitas ini oleh para ahli belum ada keseragaman pandangan, dan hal tersebut dikarenakan sudut pandang yang dilakukan dengan pendekatan disiplin ilmu yang berbeda, sehingga melahirkan konsep yang berbeda pula di dalam pengukurannya. Namun demikian, banyak juga ahli dan peneliti yang telah mengungkapkan apa dan bagaimana mengukur efektivitas itu. Menurut Liang Gie, efektivitas adalah suatu keadaan yang terjadi karena dikehendaki. Kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu dan memang dikehendaki, maka pekerjaan orang itu dikatakan efektif bila menimbulkan akibat atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki sebelumnya.
Samodra Wijaya menjelaskan bahwa manusia dalam berorganisasi bertujuan untuk mencapai tujuan dalam setiap situasi yang diupayakan. Efektivitas itu paling baik dapat dimengerti jika dilihat dari sudut padang sejauhmana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usahanya mengejar tujuan organisasi. Masalah efisiensi dan efektivitas organisasi, dijelaskan pula oleh Gibson dalam Steers bahwa :
“Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah bermula dari efektivitas individu yang dipengaruhi oleh kemampuan, keahlian, dan pengetahuan individu, latar belakang pendidikan formalnya, memang tidak selamanya begitu, namun paling tidak berdasarkan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan keteknisannya
akan mempengaruhi dalam cara bersikap, motivasi, yang akhirnya bila tidak dapatmemenuhi tuntutan psikologis atau sesuai harapan, dapat menimbulkan stress. Selain itu, menurut Kamaruddin bahwa efektivitas atau “effectiveness” berarti suatu keadaan yang menunjukkan tingkatan keberhasilan (atau kegagalan) kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Tercapainya tujuan manajemen (artinya manajemen efektif) tidak selamanya disertai dengan efisiensi yang maksimum. Dengan perkataan lain manajemen yang efektif tidak selalu perlu disertai manajemen yang efesiensi. Tercapainya tujuan mungkin hanya dapat dilakukan dengan pemborosan-pemborosan. Soewarno
Hadayaningrat
menyatakan
bahwa
efektivitas
merupakan
pengukuran dalam arti terperincinya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Efektivitas menunjukkan tingkat keberhasilan dari kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu, dengan demikian program yang direncanakan dapat tercapai. Sesuatu dikatakan efektif jika sasaran dan tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dapat tercapai dengan baik. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat diketahui bahwa efektivitas merupakan suatu konsep yang sangat penting karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai sasarannya atau dapat dikatakan
bahwa
efektivitas
merupakan
tingkat
ketercapaian
tujuan
dari
aktivasi-aktivasi yang telah dilaksanakan dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya. 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Defenisi efektivitas organisasi yang telah dikemukakan sebelumnya maka
dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas organisasi adalah sebagai berikut: (1) Adanya tujuan yang jelas, (2) Struktur organisasi. (3) Adanya dukungan atau partisipasi masyarakat, (4) Adanya sistem nilai yang dianut. Organisasi akan berjalan terarah jika memiliki tujuan yang jelas. Adanya tujuan akan memberikan motivasi untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Selanjutnya tujuan organisasi mencakup beberapa fungsi diantaranya yaitu memberikan pengarahan dengan cara menggambarkan keadaan yang akan datang yang senantiasa dikejar dan diwujudkan oleh organisasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi organisasi harus mendapat perhatian yang serius apabila ingin mewujudkan suatu efektivitas. Richard M Steers menyebutkan empat faktor yang mempengaruhi efektivitas yaitu: 1. Karakteristik organisasi adalah hubungan yang sifatnya relatif tetap seperti susunan sumber daya manusia yang terdapat dalam organisasi. Struktur merupakan cara yang unik menempatkan manusia dalam rangka menciptakan sebuah organisasi. Dalam struktur, manusia ditempatkan sebagai bagian dari suatu hubungan yang relatif tetap yang akan menentukan pola interaksi dan tingkah laku yang berorientasi pada tugas. 2. Karakteristik Lingkungan, mencakup dua aspek. Aspek pertama adalah lingkungan ekstern yaitu lingkungan yang berada di luar batas organisasi dan sangat berpengaruh terhadap organisasi, terutama dalam pembuatan keputusan dan pengambilan tindakan. Aspek kedua adalah lingkungan intern yang dikenal sebagai iklim organisasi yaitu lingkungan yang secara keseluruhan dalam lingkungan organisasi. 3. Karakteristik pekerja merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap
efektivitas. Di dalam diri setiap individu akan ditemukan banyak perbedaan, akan tetapi kesadaran individu akan perbedaan itu sangat penting dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Jadi apabila suatu rganisasi menginginkan keberhasilan, organisasi tersebut harus dapat mengintegrasikan tujuan individu dengan tujuan organisasi. 4. Karakteristik manajemen adalah strategi dan mekanisme kerja yang dirancang untuk mengkondisikan semua hal yang di dalam organisasi sehingga efektivitas tercapai. Kebijakan dan praktek manajemen merupakan alat bagi pimpinan untuk mengarahkan setiap kegiatan guna mencapai tujuan organisasi. Dalam melaksanakan kebijakan dan praktek manajemen harus memperhatikan manusia, tidak hanya mementingkan strategi dan mekanisme kerja saja. Mekanisme ini meliputi penyusunan tujuan strategis, pencarian dan pemanfaatan atas sumber daya, penciptaan lingkungan prestasi, proses komunikasi, kepemimpinan dan pengambilan keputusan, serta adaptasi terhadap perubahan lingkungan inovasi organisasi. Menurut pendapat di atas, dapat dipahami bahwa: 1) organisasi terdiri atas berbagai unsur yang saling berkaitan, jika salah satu unsur memiliki kinerja yang buruk, maka akan mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan; 2) Keefektifan membutuhkan kesadaran dan interaksi yang baik dengan lingkungan; 3) kelangsungan hidup organsiasi membutuhkan pergantian sumber daya secara terus menerus. Suatu perusahaan tidak memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas organisasi, akan mengalami kesulitan dalam mencapai tujuannya tetapi apabila suatu perusahaan memperhatikan faktor-faktor tersebut maka tujuan yang ingin dicapai dapat lebih mudah tercapai hal itu dikarenakan efektivitas akan selalu dipengaruhi oleh
faktor-faktor tersebut. 3. Kriteria Pengukuran Efektivitas Organisasi Tercapainya
tingkat
efektivitas
yang
tinggi
perlu
memperhatikan
kriteria-kriteria efektivitas sebagaimana yang dikemukakan oleh Richard M Steers sebagai berikut: (1) Produktivitas. (2) Kemampuan berlaba. (3) Kesejahteraan pegawai. Secara lebih operasional, Emitai Atzoni yang dikutip oleh Indrawijaya mengemukakan “efektivitas organisasi akan tercapai apabila organisasi tersebut memenuhi kriteria mampu beradaptasi, berintegrasi, memiliki motivasi, dan melaksanakan produksi dengan baik”. Sondang P Siagian mengungkapkan beberapa hal yang menjadi kriteria dalam pengukuran efektivitas yaitu efektivitas dapat diukur dari berbagai hal, yaitu: kejelasan tujuan yang hendak dicapai, kejelasan strategi pencapaian tujuan, proses analisa dan perumusan kebijakan yang mantap, perencanaan yang matang, penyusunan program yang tepat, tersedianya sarana dan prasarana kerja, pelaksanaan yang efektif dan efisien, sistem pengawasan dan pengendalian yang mendidik. Kemudian apabila dilihat sarana dan prasarana gedung kantor sebagai pusat pelayanan, menurut Sodang P. Siagian bahwa perkantoran sebagai sarana pelayanan dan manusia sebagai pengelola organisasi mempunyai hubungan ketergantungan guna mencapai efisiensi, efektivitas, dan produktivitas. Bahwa manusia sebagai pengelola tanpa sumber daya, dana, dan sarana prasarana kerja pada dirinya tidak dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas kerja.
Konsep efektivitas dapat diukur berdasarkan pencapaian tujuan atau rencana yang telah ditentukan sebelumnya dengan beberapa kriteria meliputi: 1. Produktivitas dalam hal mendapatkan laba
2. Mampu beradaptasi, berintegrasi, memiliki motivasi, dan melaksanakan produksi dengan baik. 3. Kemampuan, keahlian, dan pengetahuan individu, latar belakang pendidikan formalnya
Jadi efektivitas yang dimaksudkan penulis pada penelitian ini adalah keberhasilan dari segi terlaksananya penilaian prinsip analisis 5C yang meliputi character, capacity, capital, collateral
dan condition of economy dalam sebuah
analisis pembiayaan mampu memberikan respon yang efektif untuk meminimalisir kesalahan pembiayaan dengan analisis. Efektivitas tersebut dapat ukur berdasarkan kriteria-kriteria efektivitas meliputi produktivitas dalam hal mendapatkan laba, kemampuan beradaptasi, berintegrasi, memiliki motivasi, dan melaksanakan produksi dengan baik serta kemampuan, keahlian, dan pengetahuan individu, latar belakang pendidikan formalnya. Sehingga analisis tersebut mampu memberikan pengaruh
efektivitas terhadap organisasi atau lembaga calon nasabah. C. Konsep Dasar Bank Syariah 1. Pengertian Bank Syariah Lembaga perbankan merupakan salah satu instrumen yang penting dalam sistem ekonomi. Hampir di seluruh negara yang menjalankan kegiatan ekonominya melibatkan lembaga perbankan. Masalah yang kemudian muncul, terdapat sekelompok masyarakat Islam yang sulit menerima sistem perbankan dalam kehidupan karena adanya unsur-unsur yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Keadaaan inilah yang membuat umat Islam dilemma. Di satu sisi umat Islam menyadari akan perlunya lembaga keuangan untuk menggairahkan kegiatan ekonominya yang berarti juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun di sisi lain mereka dihadapkan pada ajaran agama yang mengharuskan menghindari
atau paling tidak membatasi keterlibatannya sistem keuangan yang mengandung unsur-unsur riba. Bank merupakan istilah yang diberikan oleh masyarakat untuk menami realitas yang mereka ciptakan. Bank sebagai lokomotif pembangunan ekonomi dan mempunyai beberapa tujuan. Menurut Muhammad dengan mengutip pendapat Metwally bahwa tujuan bank Islam ialah mendorong dan mempercepat kemajuan ekonomi suatu masyarakat dengan melaksanakan semua kegiatan perbankan, finansial, komersial dan investasi dengan prinsip-prinsip Islam. Bank Islam atau selanjutnya disebut dengan bank syariah adalah bank beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan bank bebas tanpa bunga adalah lembaga/perbankan yang operasionalnya dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Alquran dan hadis atau dengan kata lain, bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang operasionalnya sesuai dengan prinsip syariat Islam. Berbeda halnya dengan Antonio Syafi’i mendefenisikan dua pengertian yaitu bank Islam dan bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah Islam. Bank Islam adalah (1) bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah Islam; (2) bank yang tata cara beroperasinya mengacu pada ketentuan Alquran dan hadis. Sedangkan bank yang beroperasi sesuai prinsip syariah Islam adalah bank yang dalam operasionalnya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Dikatakan lebih lanjut bahwa dalam tata cara bermuamalah itu dijauhi praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan
perdagangan. Menurut Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjelaskan bahwa bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah. Bank dalam melakukan perannya sebagai intermediasi antara pihak yang membutuhkan dana dan pihak yang memiliki kelebihan dana tanpa mengesampingkan prinsip-prinsip syariah. Bank syariah muncul menjadi solusi bagi masyarakat yang menginginkan transaksi keuangan yang bebas dari sistem bunga dan menerapkan sistem berdasarkan prinsip syariah. Ini menunjukkan bahwa bank syariah merupakan lembaga keuangan yang segala kegiatan usahanya didasarkan pada prinsip syariah sehingga segala transaksinya bebas dari hal-hal yang dilarang oleh syariah yang menjadi perbedaan dengan sistem perbankan konvensional yang tidak melihat aspek tersebut. 2. Falsafah Dasar Bank Syariah Bank syariah adalah salah satu lembaga keuangan syariah yang memiliki dua fungsi utama yaitu mengumpulkan dana dan menyalurkan dana. Penyaluran dana yang dilakukan bank syariah adalah pemberian pembiayaan kepada debitur yang membutuhkan, baik untuk modal usaha maupun untuk konsumsi. Syariah Islam sebagai syariah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. mempunyai keunikan tersendiri. Syariah ini bukan saja menyeluruh atau komprehensif, tetapi juga universal. Karakter istimewa ini diperlukan sebab tidak akan adanya syariah lain yang datang untuk menyempurnakannya. Komprehensif berarti merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Demikian
pula dengan keuniversalannya dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat hingga hari akhir nanti. Universalitas ini tampak jelas terutama pada bidang muamalah. Selain memiliki cakupan yang luas dan fleksibel, muamalah tidak membeda-bedakan antara muslim dan non muslim. Kenyataan ini tersirat dalam suatu ungkapan yang diriwayatkan oleh Sayidina Ali yang artinya “dalam bidang muamalah kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita.” Lebih lanjut Syafi’i Antonio dalam Arfin Hamid menjelaskan bahwa mengenai aktualisasi prinsip tazkiyah ialah mengakui keberadaan tahapan-tahapan proses ekonomi yang seluruhnya memang harus jelas, boleh dan halal untuk dilaksanakan. Jangan sampai menjerumuskan dalam proses yang samar-samar, merugikan bahkan mendatangkan dosa. Tanggung jawab pelaku ekonomi syariah berada pada tiga tahap yaitu (1) dimulai pada tahapan awal dengan menunjukkan atau menyediakan objek usaha dan kegiatan (jasa) yang benar-benar sah dan halal untuk dijalankan; (2) kemudian dalam proses pengelolaan harus pula jelas, sah, dan halal yang ditunjang dengan prinsip manajerial islami yang menempatkan kejujuran, transparansi, dan profesionalitas dalam proses ekonomi tersebut; dan (3) terhadap hasil (output) dari sebuah proses ekonomi juga harus jelas, sah dan halal. Ketiga tahapan proses ekonomi inilah yang disebut dengan sistem produksi atau sistem perolehan dalam pengelolaan harta benda secara islami. Pihak perbankan dalam hal ini selaku praktisi ekonomi Islam memiliki tanggung jawab yang sama dengan para umara dan ulama untuk menerapkan sistem ekonomi Islam yang sebenarnya, dalam hal ini praktisi perbankan menyediakan produk perbankan yang murni berdasarkan prinsip syariah, proses penghimpunan dan penyaluran dana yang jelas dan sah, output atau hasil produknya pun harus jelas, sah
dan halal. Muhammad Abdul Mannan dalam bukunya Teori dan Praktek Ekonomi Islam, menjelaskan bahwa bila menganalisis berbagai perintah agama Islam dengan saksama, maka dapat kita memperoleh empat prinsip yang berkaitan dengan prinsip pembiayaan konsumtif yaitu (1) prinsip kemurnian, (2) prinsip perjanjian, (3) prinsip pembayaran, dan (4) prinsip bantuan. Lebih lanjut Muhammad Abdul Mannan menjelaskan bahwa perbankan syariah didasarkan pada prinsip syarikah (mitra usaha), artinya seluruh sistem perbankan pemegang saham, dipositor, investor dan peminjam akan berperan serta atas dasar mitra usaha. Mitra usaha tersebut diatur pada kode etik ekonomi yang didasarkan pada prinsip mud}a>rabah, mura>bahah dan musya>rakah. Di sisi lain, Muhammad menjelaskan bahwa melihat kenyataan syariah Islam sebagai syariat yang dibawa rasulullah mempunyai keunikan tersendiri, tidak hanya komprehensif, tetapi universal. Komprehensif berarti merangkum seluruh aspek kehidupan baik ritual, maupun social (ibadah maupun muamalah). Selain itu, bersifat universal dalam artian bahwa dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai hari akhir nanti. Oleh karena itu, sifat eternal muamalah ini dimungkinkan karena adanya t}awabit wa mutaqayyirat (prinsip dan variabel) dalam Islam. Menghindari segala yang menyimpang dari tuntunan agama seperti menjauhkan diri dari unsur riba dan menerapkan system bagi hasil dan perdagangan. Dalam
menjalankan
aktivitasnya,
bank
syariah
menganut
beberapa
prinsip-prinsip seperti prinsip keadilan, kesederajatan dan prinsip ketenteraman. Dengan sistem operasional yang berdasarkan profit and loss-sharing system, bank Islam memiliki kekuatan tersendiri yang berbeda dari sistem perbankan konvensional.
Perbedaaan ini nampak jelas bahwa dalam sistem bagi hasil terkandung dimensi keadilan dan pemerataan. D. Penghimpunan Dana Bank Syariah Sama halnya dengan produk pada bank konvensional, produk perbankan syariah dalam penghimpunan dana ini disebut simpanan, giro maupun deposito. Namun yang membedakan diantara keduanya adalah akad yang digunakan dalam setiap produknya yaitu akad wadi’ah dan mud}a>rabah. Implementasi prinsip syariah dalam produk penghimpunan dana pada bank syariah dapat dilihat sebagai berikut: 1. Giro, dapat menggunakan akad wadi’ah maupun mud}a>rabah. Giro yang menggunakan akad wadi’ah, pihak bank selaku penerima titipan dana dapat menggunakan
dana
tersebut
dengan
menggunakan
akad
wadi’ah
ad-d}amanah, sehingga biasanya bank memberikan memberikan imbalan kepada nasabah penyimpan sejumlah bonus yang besarnya sesuai dengan kebijakan bank dan tidak diperjanjikan diawal. Sedangkan dalam hal menggunakan akad mud}a>rabah dalam operasionalnya maka didalamnya terdapat penentuan nisbah bagi hasil antara bank dan nasabah diawal perjanjian. Pada giro wadi’ah nasabah terhidar dari resiko kehilangan/berkurangnya dana yang disimpan, sedangkan pada giro mud}a>rabah nasabah menanggung resiko berkurangnya dana yang disimpan dan sekaligus peluang untuk mendapatkan keuntungan finansial dengan mendapatkan kompensasi berupa bagi hasil yang besarnya sesuai dengan nisbah sebagaimana telah diperjanjikan diawal. 2. Deposito. Produk deposito memang ditujukan sebagai sarana investasi, dalam
praktek perbankan syariah hanya digunakan akad mud}a>rabah. Melalui akad mud}a>rabah, di awal perjanjian sudah ditentukan berapa nisbah bagi hasil baik pihak nasabah maupun pihak bank syariah. 3. Tabungan. Seperti halnya pada giro, maka produk tabungan ini nasabah dapat memilih untuk menggunakan akad wadi’ah dan mud}a>rabah. Keuntungan maupun resiko yang ada sama halnya dengan giro. Perbedaannya terletak pada mekanisme pengambilan dana yang disimpan oleh nasabah. Produk penghimpunan dana pada bank syariah pada dasarnya menggunakan dua akad yaitu wadi’ah atau titipan baik titipan yang dapat digunakan dananya maupun yang tidak dapat digunakan. Selain itu, menggunakan akad mud{a>rabah dengan bagi hasil antara nasabah deposan selaku s{a>hibul ma>l dan bank selaku pemegang amanah dana untuk kemudian digunakan kembali untuk diinvestasikan pada usaha yang berdasarkan prinsip syariah. E. Pembiayaan Bank Syariah 1. Jenis Pembiayaan di Bank Syariah Bank syariah sebagai lembaga intermediasi, di samping melakukan kegiatan penghimpunan dana secara langsung kepada masyarakat dalam bentuk simpanan, juga menyalurkan dana tersebut dalam bentuk pembiayaan (financing). Instrument bunga yang digunakan oleh bank konvensional diganti dengan akad-akad transaksi yang berdasarkan prinsip syariah. Menurut Syafi’i Antonio pembiayaan merupakan fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit. Menurut penggunaanya, pembiayaan pada bank syariah dapat dibagi menjadi dua hal berikut yaitu: (a) pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi, (b) pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua yaitu: a. Pembiayaan Modal Kerja Pembiayaan modal kerja merupakan pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan produksi baik secara kuantitatif maupun secara kualitas dan pembiayaan untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang. Unsur-unsur modal kerja terdiri atas komponen-komponen alat liquid (cash), piutang dagang (receivable), dan persediaan (inventory) yang pada umumnya terdiri dari persedian bahan baku (raw material), persedian barang dalam proses (work in process), dan persediaan barang jadi (finished goods). Oleh karena itu, pembiayaan modal kerja merupakan salah satu kombinasi dari pembiayaan likuiditas (cash financing), pembiayaan piutang (receivable financing), dan permbiayaan persediaan (inventory financing). Bank konvensional memberikan kredit modal kerja tersebut, dengan cara memberikan pinjaman sejumlah uang yang dibutuhkan untuk menandai seluruh kebutuhan yang merupakan kombinasi dari komponen-komponen modal kerja tersebut, baik untuk keperluan maupun perdagangan untuk jangka waktu tertentu, dengan imbalan berupa bunga. Berbeda dengan bank syariah dapat membantu memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja tersebut bukan dengan meminjamkan uang, melainkan dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah. Bank bertindak sebagai penyandang dana (s}ahi>bul ma>l), sedangkan nasabah sebagai pengusaha (mud}a>rib). Skema pembiayaan semacam ini disebut dengan mud{a>rabah (trust
financing). Fasilitas ini dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara periodic dengan nisbah yang disepakati. Setelah jatuh tempo, nasabah mengembalikan jumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasil yang menjadi bagian bank. 1) Pembiayaan likuiditas Pembiayaan likuiditas umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang timbul akibat terjadinya ketidaksesuaian (mismatched) antara cash inflow dan cash outflow pada perusahaan nasabah. Fasilitas yang biasa digunakan oleh bank konvensional adalah fasilitas cerukan (overdraf facilities) atau yang biasa disebut dengan rekening Koran. Atas pemberian fasilitas ini, bank memperoleh imbalan manfaat berupa bunga atas jumlah rata-rata pemakaian dana yang disedikan dalam fasilitas tersebut. Bank syariah dalam hal ini dapat menyediakan fasilitas semacam ini dalam bentuk qard} timbal balik atau yang disebut dengan compasation balance. Melalui fasilitas ini nasabah harus membuka rekening giro dan bank tidak memberikan bonus atas giro tersebut. Bila nasabah mengalami situasi mismatched, nasabah bisa menarik dana melebihi saldo yang tersedia sehingga menjadi negatif sampai jumlah yang disepakati dalam akad. Atas fasilitas ini bank tidak dibenarkan meminta imbalan apa pun kecuali sebatas biaya administrasi pengelolaan fasilitas tersebut. Bank konvensional dalam memberikan pembiayaan likuiditas memperoleh imbalan dalam bentuk bunga dari rekening koran yang diberikan. Berbeda dengan bank syariah yang tidak dibenarkan, akan tetapi hanya berupa biaya administrasi dari pengelolaan fasilitas yang diberikan. Ini menunjukkan bahwa bank syariah memberikan fasilitas pembiayaan bukan berdasarkan prinsip bunga yang bertentangan dengan
prinsip syariah. 2) Pembiayaan piutang Kebutuhan pembiayaan piutang timbul pada perusahaan yang menjual barang dengan kredit, tetapi baik jumlah maupun jangka waktu yang melebihi kapasitas modal kerja yang dimilikinya. Bank konvensional biasanya memberikan fasilitas berupa sebagai berikut: a) Pembiayaan piutang Bank memberikan pinjaman dana kepada nasabah untuk mengatasi kekurangan dana karena masih tertanam dalam piutang. Atas pinjaman itu, bank meminta tagihan kepada nasabah tersebut. Pada dasarnya, nasabah berkewajiban menagih sendiri piutangnya. Akan tetapi, bila bank merasa perlu, dengan menggunakan tagihan tersebut, bank berhak untuk menagih langsung kepada pihak yang berhutang. Hasil penagihan tersebut pertama-tama digunakan untuk membayar kembali pinjaman nasabah berikut bunganya dan selebihnya dikreditkan ke rekening nasabah. Bila ternyata piutang tersebut tidak tertagih, nasabah wajib membayar kembali pinjaman tersebut berikut bunganya. b) Anjak piutang Fasilitas ini diberikan oleh bank dalam bentuk pengambilalihan piutang nasabah. Untuk keperluan tersebut, nasabah mengeluarkan draf (wesel tagih) yang diaksep oleh pihak yang berutang atau promissory notes (promes) yang diterbitkan oleh pihak yang berutang, kemudian di-endors
oleh nasabah. Draf atau promes
tersebut dibeli oleh bank dengan diskon sebesar tingkat bunga yang berlaku atau disepakati untuk jangka waktu yang tertera dalam draf atau promes tersebut. Bila pada saat jatuh tempo draf atau promes tersebut ternyata tidak tertagih, nasabah wajib
memnbayar kepada bank sebesar nilai nominal draft tersebut. Bagi bank syariah, untuk kasus pembiayaan piutang seperti ini dilakukan dengan bentuk al-qard}, pihak bank tidak boleh meminta imbalan kecuali biaya administrasi. Untuk kasus anjak piutang, bank dapat memberikan fasilitas pengambilalih piutang, yaitu yang disebut hiwalah. Akan tetapi, untuk fasilitas ini pun bank tidak dibenarkan meminta imbalan kecuali biaya layanan atau biaya administrasi dan biaya penagihan. 3) Pembiayaan persediaan Pada bank konvensional dapat dijumpai adanya kredit modal kerja yang dipergunakan untuk mendanai pengadaan persediaan (inventory financing). Pola pembiayaan ini pada prinsipnya sama dengan kredit untuk mendanai komponen modal kerja lainya, yaitu memberikan pinjaman dengan bunga. Bank syariah memiliki mekanisme tersendiri untuk memenuhi kebutuhan pendanaan persediaan tersebut, yaitu antara lain dengan menggunakan prinsip jual beli (al-bai’) dalam dua tahap. Tahap pertama, bank mengadakan (membeli dari supplier secara tunai) barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Tahap kedua, bank menjual barang tersebut kepada nasabah pembeli dengan pembayaran tangguh dan dengan pengambilan keuntungan yang disepakati bersama antara bank dan nasabah. 4) Pembiayaan Modal Kerja untuk Perdagangan Pembiayaan modal kerja untuk perdagangan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu: a) Perdagangan umum Perdagangan umum adalah perdagangan yang dilakukan dengan target pembeli siapa saja yang dating membeli barang-barang yang telah disediakan di tempat penjual,
baik penjual eceran (retailer) maupun pedagang besar (whole saller). Pada umumnya perputaran modal kerja untuk perdagangan ini sangat tinggi, tetapi pedagang harus mempertahankan sejumlah persediaan yang cukup karena barang-barang yang dijual itu sebatas jumlah persediaan yang ada atau telah dikuasai penjual. Untuk pembiayaan modal kerja perdagangan ini skema yang paling tepat adalah skema mud}a>rabah. b) Perdagangan berdasarkan pesanan Perdagangan berdasarkan pesanan biasanya dilakukan atau diselesaikan di tempat penjual, yaitu seperti perdagangan antarkota, antarpulau atau perdagangan antarnegara. Pembeli memesan terlebih dulu barang yang dibutuhkan kepada penjual berdasarkan contoh barang atau daftar barang yang ditawarkan. Biasanya pembeli hanya akan membayar apabila barang-barang yang dipesan telah diterima. Hal ini untuk menghindari kemungkinan resiko akibat ketidakmampuan penjual memenuhi pesanan atau ketidaksesuaian jumlah dan kualitas barang yang dikirim. Berdasarkan pesanan itu, penjual lalu mengumpulkan barang-barang yang diminta dengan cara membeli atau memesan, baik dari produsen maupun dari pedang lainnya. Setelah terkumpul, barulah dikirim ke pembeli sesuai dengan pesanan. Apabila barang telah dikirim, penjual juga menghadapi kemungkinan resiko tidak terbayarnya barang yang dikirimnya. Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi kedua belah pihak, bank konvensional telah memberikan jalan keluarnya, yaitu fasilitas letter of credit (L/C), Bank syariah telah dapat mengadopsi mekanisme L/C dengan menggunakan skema wakalah, musya>rakah, mud}a>rabah, ataupun mura>bahah. Dalam hal wakalah, bank syariah hanya memperoleh pendapatan berupa fee atas jasa yang diberikan. b. Pembiayaan Investasi
Pembiayaan investasi diberikan kepada para nasabah untuk keperluan investasi, yaitu keperluan penambahan modal guna mengadakan rehabilitasi, perluasan usaha, atau pendirian proyek baru. Adapun ciri-ciri pembiayaan investasi adalah
untuk
pengadaan barang-barang modal, mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan terarah, dan berjangka waktu menengah dan panjang. Pada umumnya, pembiayaan investasi diberikan dalam jumlah besar dan pengendapannya cukup lama. Oleh karena itu, perlu disusun proyeksi arus kas (projected cash flow) yang mencakup semua komponen biaya dan pendapatan sehingga akan dapat diketahui berapa dana yang tersedia setelah semua kewajiban terpenuhi. Setelah itu, barulah disusun jadwal amortisasi yang merupakan angsuran (pembayaran kembali) pembiayaan. Penyusunan proyeksi arus kas harus disertai dengan perkiraan keadaan-keadaan pada masa yang akan datang, mengingat pembiayaan
investasi
memerlukan
waktu
yang
cukup
panjang.
Untuk
memperkirakannya perlu diadakan perhitungan dan penyusunan proyeksi neraca dan rugi laba selama waktu pembiayaan. Dari perkiraan inilah diketahui kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya. Melihat luasnya aspek yang harus dikelola dan dipantau maka untuk pembiayaan investasi bank syariah menggunakan skema musya>rakah mutanaqis{ah. Dalam hal ini, bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan, dan secara bertahap bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan menghambil alih kembali, baik dengan menggunakan surplus cash flow yang tercipta maupun dengan menambah modal, baik yang berasal dari setoran pemegang saham yang ada maupun dengan mengundang pemegang saham baru.
Skema lain yang dapat digunakan oleh bank syariah adalah al-ija>rah al-mantahia bit-tamlik, yaitu menyewakan barang modal dengan opsi diakhiri dengan pemilikan. Sumber perusahaan untuk pembayaran sewa ini adalah amortisasi atas barang modal yang bersangkutan, surplus, dan sumber-sumber lain yang dapat diperoleh. c. Pembiayaan Konsumtif Pembiayaan konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada umumnya, bank konvensional membatasi pemberian kredit untuk pemenuhan barang tertentu yang dapat disertai dengan bukti kepemilikan yang sah seperti kendaraan bermotor dan rumah, yang kemudian menjadi barang jaminan utama (main collateral). Adapun untuk pemenuhan kebutuhan jasa, bank meminta jaminan berupa barang lain yang dapat diikat sebagai collateral. Sumber pembayaran kembali atas pembiayaan tersebut berasal dari sumber lain dan bukan dari ekploitasi barang yang dibiayai dari fasilitas ini. Bank syariah dapat menyediakan pembiayaan komersial untuk pemenuhan kebutuhan barang konsumsi dengan menggunakan skema: a) al-bai’ bis|man ajil atau jual beli dengan angsuran, b) al-ija>rah al-mantahia bit-tamlik atau sewa beli, c) al-musya>rakah mutanaqis{ah atau descreasing participation, bank secara bertahap menurunkan jumlah partisipasinya, dan d) Al-rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa jenis pembiayaan yang diberikan kepada masyakat didasarkan pada kebutuhan masyarakat. Setiap jenis pembiayaan didasarkan pada akad yang berbeda. Bank syariah memiliki produk pembiayaan baik berupa pembiayaan
2. Mekanisme Produk Pembiayaan Bank Syariah Produk penyaluran dana di bank syariah dikembangkan dengan tiga model yaitu transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli, transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa dan transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk usaha kerja sama guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa dengan prinsip bagi hasil. a. Produk Pembiayaan Prinsip Jual Beli Pembiayaan dengan prinsip jual beli dibagi atas beberapa produk sebagai berikut: 1) Pembiayaan Mura>bahah Mura>bahah adalah akad jual beli atas barang tertentu, dimana penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian barang kepada pembeli, kemudian mensyaratkan batas laba/keuntungan dalam jumlah tertentu. Landasan syariah pola mura>bahah tertuang dalam firman Allah swt. dalam QS. Al-baqarah/2 : 275 sebagai berikut:
اَبِّرلا َمَّرَحَو َعْيَبلا ُهللا َّلَحَأَو. Terjemah: “… Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …” Ayat tersebut menjelaskan bahwa sistem jual beli dibolehkan, namun dalam praktek jual beli tidak dibenarkan mengandung riba dalam transaksinya. Sehingga konsep mura>bahah menjadi salah satu alternatif akad dalam transaksi jual beli yang kemudian menjadi salah satu konsep dasar dalam produk perbankan syariah. Demikian pula dijelaskan dalam hadis Nabi berikut ini:
ُّلُكَو ِهِدَيِب ِلُجَّرلا ُلَمَع ِبْسَكلا ُلَضْفَأ ٌرْوُرْبَم ِعْيَب. Artinya: “Perolehan yang paling afdhal adalah hasil seseorang dan jual beli mabrur Secara teknis perbankan mura>bahah adalah akad jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati. Berdasarkan akad jual beli tersebut, bank membeli kepada nasabah. Harga jual balik adalah harga beli dari suplier ditambah keuntungan yang disepakati. Bank harus memberi transparan dan jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. Produk mura>bahah yang diberikan bank kepada nasabah harus jelas berapa harga pembelian ditambah keuntungan yang diminta oleh bank sehingga terjadi transparansi dan keadilan diantara kedua belah pihak. Di samping itu, dalam akad mura>bahah ini perlu diperhatikan rukun dari mura>bahah yang terdiri dari penjual (ba’i), pembeli (musytari), objek jual beli (mabi’), harga (s#aman) dan ijab kabul. Produk mura>bahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah. Mura>bahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya. Pembayaran mura>bahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Selain itu mura>bahah juga bisa tanpa pesanan dari nasabah. Mengenai pembebanan biaya para ulama berbeda pendapat tentang biaya apasaja yang dapat dibebankan kepada harga jual barang tersebut. Ulama mazhab Maliki membolehkan beban biaya-biaya yang lansung terkait dengan transaksi jual beli
itu dan biaya-biaya yang tidak terkait langsung terkait dengan transaksi tersebut, namun memiliki nilai tambah pada barang itu. Ulama mazhab Syari’i membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri karena komponen ini termasuk dalam keuntungannya. Begitu pula biaya-biaya yang tidak menambah nilai barang tidak boleh dimasukkan sebagai komponen biaya. Ulama mazhab Hanafi membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli, namun tidak membolehkan biaya yang mesti dikerjakan oleh penjual. Ulama mazhab Hambali berpendapat bahwa semua biaya langsung maupun tidak langsung dapat dibebankan pada harga jual selama biaya-biaya itu harus dibayarkan kepada pihak ketiga dan akan menambah nilai barang yang dijual. Produk mura>bahah pada dasarnya didasarkan pada harga barang yang diperjualbelikan ditambah dengan keuntungan yang diminta oleh bank dengan memperhatikan rukun mura>bahah, sehingga produk bank syariah khususnya produk yang berdasarkan prinsip jual beli benar-benar berbeda dengan dengan bank konvensional dan menerapkan prinsip syariah. 2) Pembiayaan salam Secara etimologi, salam artinya salaf
(pendahuluan). Secara terminologi
muamalah salam adalah penjualan suatu barang yang disebutkan sifat-sifatnya sebagai persyaratan jual beli dan barang tersebut masih dalam tanggungan penjual, dimana syarat-syarat tersebut diantaranya adalah mendahulukan pembayaran pada waktu di akad majlis (akad disepakati). Landasan syariah dalam konsep salam terdapat dalam QS. Al-baqarah/2 : 282 berikut ini:
@ىَلِإ ٍنْيَدِب ْمُتْنَياَدَت اَذِإy_r& ىَّمَسُم
ُهْوُبُتْقاَف. Terjemah: “Hai orang-orang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim menjelaskan tentang salam yaitu:
ٍنْزَوَو ٍمْوُلْعَم ٍلْيَك ىِف ْفِلْسْيْلَف َفَلْسَأ ِنَم ٍمْوُلْعَم ٍلَجَأ ىَلِإ ٍمْوُلْعَم. Artinya: “Siapa yang melakukan salaf, hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai batas waktu tertentu. Bank dapat bertindak sebagai pembeli dan atau penjual dalam suatu transaksi salam. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara salam, maka hal tersebut disebut salam pararel. Salam pararel adalah suatu transaksi bank melakukan dua akad salam dalam waktu yang sama. Dalam akad pertama bank melakukan pembelian suatu barang kepada pihak penyedia barang dengan pembayaran di muka dan pada akad salam kedua bank menjual kembali kepada pihak lain dengan jangka waktui penyerahan disepakati bersama. Pelaksanaan kewajiban bank dalam akad salam kedua tidak tergantung pada akad salam pertama. Teknis perbankan, salam adalah akad jual beli suatu barang (komoditi) harga dibayar dengan segera (pada saat akad disepakati), sedangkan barang akan diserahkan kemudian dalam jangka waktu yang disepakati. Rukun dalam akad salam yang harus dipenuhi salam transaksi ada beberapa yaitu (a) pelaku akad, yaitu muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang, dan muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok atau
memproduksi barang pesanan; (b) objek akad, yaitu barang atau hasil produksi (muslam fi>h) dengan spesifikasi; (c) harga, dan (d) s}igah yaitu ijab kabul. Produk salam ini diutamakan untuk pembelian dan penjualan hasil produksi pertanian atau peternakan atau perkebunan. Kesepakatan kedua belah pihak antara bank dan nasabah sangat diperlukan dalam menentukan keputusan dan akan memperlancar urusan. Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang sama, serta menjaga amanan dana masyarakat. Selain itu jaminan diperlukan untuk memperkecil resiko-resiko yang merugikan bank, ini merupakan salah satu bentuk penerapan prinsip kehati-hatian. Dokumentasi merupakan salah satu transaksi/perikatan antara nasabah dan bank. Produk salam menggunakan prinsip jual beli, pihak pembeli memesan barang dengan melakukan pembayaran dimuka dengan menyepakati spesifikasi barang pesanan dan penyerahannya dilakukan belakangan berdasarkan kesepakatan. Bank dapat melakukan dua akad salam dalam dua transaksi, bank selaku pembeli atau pemesan dan bank juga bisa sebagai penjual. 3) Istis}na’ Skim fikih lainnya yang juga populer digunakan dalam perbankan syariah adalah skim jual beli istis}na’. Transaksi istis}na’ hukumnya boleh (jawaz) dan telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak masa awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya. Istis}na’ secara terminologi muamalah adalah akad jual beli antara produsen (s}anni) ditugaskan untuk membuat sebuah barang (pesanan) oleh mustas}ni’ (pemesan0. Istis}na’ adalah memesan kepada perusahaan untuk memproduksi barang atau komoditas tertentu untuk pembeli/pemesan. Istis}na’ merupakan salah satu bentuk jual beli dengan pemesanan yang mirip dengan salam
yang merupakan bentuk jual beli forward kedua yang dibolehkan oleh syariah. Dalil yang membolehkan konsep istis}na’ terdapat dalam QS. Al-baqarah/2 : 29 sebagai berikut:
uqèd Ï%©!$# Yn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ . Terjemah: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit dan dia Maha mengetahui segala Sesuatu” Fatwa DSN-MUI Nomor 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istis}na’ dijelaskan bahwa jual beli istis}na’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli) dan penjual (pembuat). Pada kontrak jual beli istis}na’ pembeli memesan barang kepada penjual untuk memproduksi barang tertentu, namun barang yang dipesan harus sesuai dengan kriteria yang telah disepakati kedua belah pihak pada saat dilakukan akad. Perbedaan antara akad jual beli istis}na’ dan mura>bahah terletak pada sistem pembayaran yang dilakukan, istis}na’ pada dasarnya pembayarannya diserahkan belakangan dengan cara cicilan. Istis}na’ adalah jual beli dalam bentuk pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pesanan (pembeli, mustas}ni’) dan penjual (pembuat, s}ani’). Jika pembeli dalam akad istis}na’ tidak mewajibakan bank untuk membuat sendiri barang pesanan, maka untuk memenuhi kewajibannya
pada akad pertama, bank dapat mengadakan akad istis}na’ kedua dengan pihak ketiga (subkontraktor). Akad istis}na’ kedua ini disebut istis}na’ pararel. Akad istis}na’ dapat dihentikan jika kedua belah pihak telah memenuhi kewajibannya. Jaminan dalam akad istis}na’ diperlukan untuk memperkecil adanya resiko-resiko merugikan bank serta juga untuk melihat kemampuan nasabah dalam menanggung pembayaran kembali atas utang yang diterima dari bank. Rukun dalam akad istis}na’ yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa yaitu (a) pelaku akad, yaitu mustas}ni’ (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang, dan s}ani’ (penjual) adalah pihak yang memasok atau memproduksi barang pesanan; (b) objek akad, yaitu barang atau jasa (mas}nu’) dengan spesifikasi; (c) harga, dan (d) s}igah yaitu ijab kabul. Sebagai bentuk jual beli forward, istis}na’ mirip dengan salam. Namun ada beberapa hal yang membedakan di antara keduanya yaitu: 1) Objek istis}na’ selalu barang yang harus diproduksi, sedangkan objek salam bisa untuk barang apa saja, baik harus diproduksi libih dahulu maupun tidak diproduksi lebih dahulu. 2) Harga dalam akad salam harus dibayar penuh di muka, sedangkan istis}na’ tidak harus dibayar penuh di muka, melainkan dapat juga dicicil atau dibayar di belakang. 3) Akad salam efektif tidak dapat diputuskan secara sepihak, sementara istis}na’ akad dapat diputuskan sebelum perusahaan mulai memproduksi. 4) Waktu pembayaran tertentu merupakan bagian penting dalam akad salam, namun dalam akad istis}na’ tidak merupakan keharusan. Waktu penyerahan barang
tidak harus ditentukan dalam akad istis}na’ ,
namun pembeli dapat menetapkan waktu penyerahan maksimum yang berarti bahwa jika perusahaan terlambat memenuhinya, pembeli tidak terikat untuk mnerima barang dan membayar harganya. Namun harga istis}na’
dapat dikaitkan dengan waktu
penyerahan. Jadi boleh disepakati bahwa apabila terjadi keterlambatan penyerahan harga dapat dipotong sejumlah tertentu berdasarkan kesepakatan. Dalam aplikasinya bank syariah melakukan istis}na’ pararel, yaitu bank sebagai penerima pesanan menerima pesanan barang dari nasabah, kemudian bank sebagai pemesan memesan permintaan barang nasabah kepada produsen penjual dengan pembayaran di muka, dicicil atau di belakang, dengan jangka waktu penyerahan berdasarkan kesepakatan bersama.
b. Produk Pembiayaan Prinsip Bagi Hasil Akad bank syariah yang utama dan paling penting yang disepakati oleh para ulama adalah akad dengan pola bagi hasil dengan prinsip mud}a>rabah (trustee profit sharing) dan musyara>kah. Sebagaimana yang dijelaskan Al-Oman dan Khan yang dikutip oleh Ascarya bahwa prinsipnya adalah al-ghunm bi’l-gurm atau al-khara>j bi’l dama>n, yang berarti bahwa tidak ada bagian keuntungan tanpa ambil bagian dalam resiko, atau untuk setiap keuntungan ekonomi riil harus ada biaya ekonomi riil. Konsep bagi hasil yang digambarkan dalam buku fikih pada umumnya diasumsikan bahwa para pihak yang bekerja sama bermaksud untuk memulai atau mendirikan suatu usaha patungan (joint venture) ketika semua mitra usaha turut berpartisipasi sejak awal beroperasi dan tetap menjadi mitra usaha hingga usaha berakhir pada waktu semua aset dilikuidasi. Jarang sekali ditemukan konsep usaha
yang terus berjalan ketika mitra usaha bisa datang dan pergi setiap saat tanpa mempengaruhi jalannya usaha. Hal ini disebabkan buku-buku fikih Islam ditulis pada waktu usaha tidak sebesar dan serumit sekarang ini, sehingga konsep running business tidak mendapat perhatian. Namun demikian, itu tidak berarti bagi hasil tidak dapat diterapkan untuk pembiayaan suatu usaha yang sedang berjalan. Konsep bagi hasil berdasarkan pada beberapa prinsip dasar. Selama prinsip dasar itu terpenuhi, detail dari aplikasinya akan bervariasi dari waktu ke waktu. Beberapa konsep dasar bagi hasil adalah sebagai berikut: 1) Bagi hasil tidak berrti meminjamkan uang, tetapi merupakan partisipasi dalam usaha. Dalam hal musyara>kah, keikutsertaan aset dalam usaha hanya sebatas proporsi pembiayaan masing-masing pihak. 2) Investor atau pemilik dana harus ikut menanggung resiko kerugian usaha sebatas proporsi pembiayaannya. 3) Para mitra usaha bebas menentukan, dengan persetujuan bersama, rasio keuntungan untuk masing-masing pihak, yang dapat berbeda dari rasio pembiayaan yang disertakan. 4) Kerugian ditanggung oleh masing-masing pihak harus sama dengan proporsi investasi mereka. Pola bagi hasil yang diterapkan bank syariah harus didasarkan prinsip dasar tersebut, sehingga produk yang ditawarkan tidak memudaratkan nasabah. Jika proyek pembiayaan mengalami kerugian, maka resiko kerugian ditanggung berdasarkan proporsi pembiayaan. Bukan hanya berbagi pada keuntungan melainkan berbagi dalam hal resiko kerugian. Inilah yang kemudian menjadi titik perbedaan antara bank konvensional, prinsip bagi hasil antara nasabah dan bank yang sama-sama saling
membantu tanpa menzalimi pihak lain. Aplikasi bagi hasil tertuang dalam produk pembiayaan sebagai berikut: 1) Mud}a>rabah Mud}a>rabah berasal dari kata ad{-d{arbu fi al-ard { yang berarti bepergian untuk urusan dagang. Disebut juga qirad} yang berasal dari kata al-qard{ yang berarti al-qat}’u (potongan), karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya. Secara praktisnya berarti pemilik modal (s}ahibul ma>l) menyerahkan modalnya kepada pekerja/pedagang (mud}a>rib) untuk diperdagangkan/diusahakan, sedangkan keuntungan dibagi menurut kesepakatan bersama. Akad mud}a>rabah diperbolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dan seseorang yang memiliki keahlian dalam mengelolah uang untuk usaha atau perdagangan. Mud}a>rib sebagai entrepreneur adalah sebagian dari orang-orang yang mencari karunia dan ridha Allah. Sebagaimana dalam QS. Al-muzammil/73: 20 berikut ini:
ْنِم َنْوُغَتْبَي ِضْرَألا ىِف َنْوُبِرْضَي َنْوُرَخاَو ِهللا ِلْضَف. Terjemah: “… Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah swt. …” (QS. Al-Muzammil/73: 20). Teknis perbankan, akad mud}a>rabah adalah akad kerjasama antara bank selaku pemilik modal (s}ahibul ma>l) dengan nasabah selaku mud}a>rib yang mempunyai keahlian atau keterampilan untuk mengelola usaha yang produktif dan halal. Hasil keuntungan dana tersebut dibagi bersama berdasarkan nisbah yang telah disepakati. Aspek teknis perbankan ada beberapa hal yang sangat penting yaitu a) musyawarah dan kesepakatan antara bank dan nasabah sangat diperlukan dalam
menentukan keputusan dan memperlancar usaha, dua belah pihak masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang sama serta bersama menjaga amanah dana masyarakat; b) jaminan yang diperlukan untuk memperkecil resiko-resiko yang merugikan bank akibat kelalaian, kesalahan atau kelanggaran akad yang dilakukan oleh nasabah selaku mud}a>rib; c) dokumentasi adalah syarat transaksi/perikatan yang harus dilakukan oleh nasabah dengan bank yang dipergunakan sebagai data masuk dan bukti dari perjanjian; d) Saksi, persaksian merupakan alat bukti bagi hakim untuk memutuskan perkara jika terjadi sengketa; e) wanprestasi diberlakukan bila nasabah melakukan cidera janji, yaitu tidak menetapi kewajibannya terhadap bank dalam suatu akad perjanjian, f) rukun mudharabah yang terdiri dari pemilik modal (s}ahibul ma>l), nasabah (mud}a>rib), modal (ma>l), usaha, keuntungan dan ijab kabul. 2) Mud}a>rabah muqayyadah Mud}a>rabah muqayyadah adalah akad mudharabah pemilik dana (s}ahibul ma>l) memberikan batasan kepada pengelola dana (mud}a>rib) mengenai tempat, cara, dan objek innvestasi. Bank bertindak sebagai agen penyalur dana investor (chanelling agent) kepada nasabah yang bertindak sebagai pengolah dana. Secara teknis bank bertindak sebagai agen penyalur dana investor kepada nasabah yang bertindak sebagai pengelola dana untuk kegiatan usaha dengan persyaratan dan jenis usaha yang ditentukan oleh investor. Modal yang diberikan dalam bentuk tunai atau barang. Fee atau imbalan, bank sebagai agen penyalur dana dapat menerima imbalan yang perhitungannya diserahkan kesepakatan para pihak. Bank sebagai agen penyalur dana milik investor tidak menanggung resiko kerugian usaha yang dibiayai. Investor sebagai pemilik dana menanggung seluruh resiko keuangan usaha kecuali jika nasabah melakukan kecurangan, lalai atau menyalahi akad
perjanjian sehingga mengakibatkan kerugian usaha.
Jaminan diperlukan untuk
mengantisipasi resiko akibat kelalaian atau kecurangan, pemilik dana dapat meminta jaminan atau agunan dari nasabah. Bank melakukan pengawasan terhadap nasabah yang dibiayai sehingga antara pemilik dana dan pengelola tetap saling koordinasi. Pengembalian modal dapat dilakukan pada akhir periode akad atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) dari usaha nasabah. Dokumentasi menjadi hal yang penting karena akan menjadi bukti bagi bank dan nasabah bahwa terjadi transksi pembiayaan yang meliputi surat persetujuan prinsip, akad mud}a>rabah muqayyadah, perjanjian perikatan jaminan, surat permohonan realisasi pembiayaan dan tanda terima uang atau barang oleh nasabah. Pola pembiayaan mud}a>rabah muqayyadah menekankan pada keinginan pemilik dana untuk menetapkan jenis, cara dan objek investasi. Bank dalam hal ini hanya selaku mediator atau penyalur dana investor kepada pengelola usaha, sehingga secara teknis bank tidak menanggung resiko dari kerugian pembiayaan. Pemilik modal dan pengelola yang menanggung resiko dari pembiayaan jika terjadi masalah pembiayaan. 3) Musya>rakah Musya>rakah berasal dari kata syirkah yang berarti percampuran. Para fuqaha mendefinisikannya sebagai akad antara orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Kemudian musya>rakah mengalami perkembangan makna sebagai akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, masing-masing pihak memberikan konstribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Landasan syariah yang membolehkan musya>rakah sebagaimana dalam firman Allah swt. dalam
QS. S}a>d (38) : 24 sebagai berikut:
¨bÎ)ur #ZÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt/ 4n?tã CÙ÷èt/ wÎ) tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qè=ÏJtãur
ÏM»ysÎ=»¢Á9$# Terjemah: “… Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh…”. Ayat di atas, menjelaskan bahwa dibolehkannya bertransaksi atau berserikat, namun yang perlu diperhatikan adalah pihak yang berserikat hendaknya memiliki niat yang baik dalam setiap transaksi yang dilakukan, agar transaksi mendapat keuntungan finansial dan falah. Selain itu, ada beberapa sunnah Rasulullah saw. bahwa Allah telah berfirman dalam Allah memberkati dua orang bersekutu dalam hal urusan harta sebagai berikut:
ُهَبِحاَص اَمُهُدَحَأ ْنُخَي ْمَلاَم ِنْيَكْيِرَّشلا ُثِلاَثاَنَأ اَمِهِنْيَب ْنِم ُتْجَرَخ ُهَبِحاَص اَمُهَدَحَأ َناَخ ْنِإَف. Artinya: “Aku ini ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah seorang mereka tidak menghianati temannya. Apabila salah seorang telah berhianat terhadap temannya, Aku keluar dari antara mereka,” (HR. Abu Daud). Ayat dan hadis tersebut menunjukkan bahwa perkenan dan pengakuan Allah swt akan adanya perserikatan dalam pemilikan harta, selama perikatan tersebut bebas dari unsur penghianatan. Atas dasar itu, akad musya>rakah dijadikan salah satu prinsip dalam produk pembiayaan pada bank syariah. Musya>rakah merupakan akad bagi hasil ketika dua atau lebih pengusaha
pemilik dana/modal bekerja sama sebagai mitra usaha, membiayai investasi usaha baru atau yang sudah berjalan. Mitra usaha pemilik modal berhak ikut serta dalam manajemen usaha, tetapi itu tidak merupakan keharusan. Para pihak membagi pekerjaan mengelola usaha sesuai dengan kesepakatan dan mereka dapat juga meminta gaji/upah untuk tenaga dan keahlian yang mereka curahkan untuk usaha tersebut. Proporsi keuntungan dibagi diantara kedua belah pihak menurut kesepakatan yang ditentukan sebelum akad sesuai proporsi modal yang disertakan (menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i) atau dapat pula berbeda dari proporsi modal yang mereka sertakan (Imam Ahmad). Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda dari proporsi modal pada kondisi normal. Namun demikian, mitra yang memutuskan menjadi sleeping partner, proporsi keuntungannya tidak boleh melebih proporsi modalnya. Sementara kerugian, apabila terjadi kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan proporsi penyertaan modal masing-masing. Ini menunjukkan bahwa dalam akad musya>rakah keuntungan dibagi berdasarkan pada kesepakatan para pihak dan kerugian ditanggung bersama sesuai dengan proporsi penyertaan modal masing-masing pihak. Oleh karenanya perlu diperhatikan rukun akad agar transaksi pembiayaan jelas dan saling menguntungkan. Rukun akad musya>rakah yang harus dipenuhi yaitu a) pelaku akad yang terdiri dari mitra usaha; b) objek akad yaitu modal (ma>l), kerja (d}ara>bah) dan keuntungan (ribh) dan; c) ijab kabul. Sedangkan
posisi jaminan untuk mengantisipasi resiko akibat kelalaian atau
kecurangan, bank dapat meminta jaminan atau agunan dari nasabah. Pola pembiayaan musya>rakah ini bank dan nasabah dituntut memberikan konstribusi dalam pendirian atau pengembangan usaha. Pemilik modal atau s}ahibul ma>l maupun pengelola atau mud}a>rib sama sama produktif untuk mendapatkan
keuntungan. Keuntungan yang diperoleh dari usaha dibagi berdasarkan kesepakatan diantara mitra usaha. Jika usaha mengalami kerugian, maka kerugian ditanggung bersama berdasarkan proporsi dana yang disertakan oleh bank dan nasabah. Jadi bukan hanya mud}a>rib yang akan menanggung resiko, tetapi pemilik modal atau s}ahibul ma>l juga menanggung resiko. c. Produk Pembiayaan Prinsip Sewa Transaksi non bagi hasil selain berpola jual beli adalah transaksi berpola sewa atau ija>rah. Ija>rah
biasa juga disebut sewa, jasa, atau imbalan, adalah akad
pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri. Ija>rah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-‘iwad}u. Oleh karena as{-s{awab (pahala) disebut juga ajru (upah). Menurut pengertian syara’, al-ija>rah adalah suatu jenis akad untuk mengambil atau pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui penggantian pembayaran upah sewa. Jadi hakikatnya ija>rah adalah penjualan manfaat barang atau jasa. Ini menunjukkan bahwa ija>rah merupakan salah satu akad yang digunakan dalam muamalah pemindahan manfaat barang atau jasa dengan melalui penggantian atau pembayaran sewa atas barang tersebut. 1) Ija>rah Ija>rah atau sewa adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikutin dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Maksud manfaat adalah berguna, yaitu barang yang mempunyai banyak manfaat dan selama menggunakannya barang tersebut tidak mengalami perubahan atau musnah. Manfaat yang diambil tidak berbentuk zatnya melainkan sifatnya dan dibayar sewa. Landasan syariah ija>rah
terdapat pada firman Allah dalam QS. Al-baqarah/2 : 233 sebagai berikut:
÷bÎ*sù
#y#ur&
$uKåk÷]ÏiB
»w$|ÁÏù
9ãr$t±s?ur
$yJÍkön=tã
3
÷bÎ)ur
(#þqãèÅÊ÷tIó¡n@
`tã xsù
<Ú#ts? yy$oYã_
öN?ur&
br&
ö/ä.y»s9÷rr&
xsù
yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä
Å$rá÷èpRùQ$$Î/
(#qà)¨?$#ur
©!$#
3
(#þqßJn=ôã$#ur
¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ×ÅÁt/ . Terjemah: “Dan, jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak berdosa bagimu apabila kamu memberikan pemnbayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” Ayat di atas, menjelaskan bahwa dibolehkannya transaksi ijarah, praktek ini dicontohkan dalam hal persusuan. Dijelaskan dibolehkannya menerima sewa atas menyusukan bayi, dalam hal ini bukan jual beli air susunya, namun jasa atas menyusukan bayi. Ija>rah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi kebutuhan hidup seperti sewa-menyewa atau kontrak. Ayat tersebut menegaskan akan dibolehkannya praktek sewa dalam hal ini jasa, dengan pembayaran yang patut. Jasa atas disusukan atas manfaat air susu dengan pembayaran sepatutnya menunjukkan adanya praktek sewa dalam bentuk jasa. Ija>rah atau sewa dapat dipakai sebagai bentuk pembiayaan, pada mualanya bukan merupakan bentuk pembiayaan, tetapi merupakan aktivitas usaha seperti jual
beli. Individu yang membutuhkan pembiayaan untuk membeli aset dapat mendatangi pemilik dana, dalam hal ini bank untuk membiayai pembelian aset produktif. Pemilik dana kemudian membeli barang tersebut dan kemudian menyewakannya kepada yang membutuhkan aset. Bentuk pembiayaan ini merupakan salah satu teknik pembiayaan ketika kebutuhan pembiayaan investor untuk membeli aset terpenuhi, dan investor hanya membayar sewa pemakaian tanpa harus mengeluarkan modal yang cukup besar untuk membeli aset tersebut. Rukun dari akad ija>rah yang harus dipenuhi dalam transaksi yaitu a) pelaku akad yaitu musta’jir (penyewa) adalah pihak yang menyewa aset, dan mu’jir/muajir (pemilik) adalah pihak yang menyewakan aset; b) objek akad, yaitu mu’jar (aset yang disewakan) dan uja>rah (harga sewa) dan; c) ijab kabul. Selain itu ada dua hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan ija>rah sebagai kontrak pembiayaan. Pertama, beberapa syarat harus dipenuhi agar hukum syariah terpenuhi, yaitu sebagai berikut: a) Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebuh harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak. b) Kepemilikan aset tetap ada pada yang menyewakan yang bertanggung jawab atas pemeliharaannya sehingga aset tersebut terus dapat memberikan manfaat kepada penyewa. c) Akad ija>rah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak dalam periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku, dan d) Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila aset akan dijual, harganya akan ditentukan pada saat kontrak berakhir.
Syarat-syarat tersebut menunjukkan bahwa pemilik dana atau pemilik aset tidak memperoleh keuntungan tertentu yang ditetapkan sebelumnya. Tingkat keuntungan (rate of return) baru dapat diketahui setelahnya. Kedua, sewa aset tidak dapat dipakai sebagai patokan tingkat keuntungan dengan alasan: a) Pemilik aset tidak mengetahui dengan pasti umur aset yang bersangkutan. Aset hanya akan memberikan pendapatan pada masa produktifnya. Selain itu, harga aset tidak diketahui apabila akan dijual pada saat aset tersebut masih produktif. b) Pemilik aset tidak tahu pasti sampai kapan aset tersebut akan terus disewakan selama masa produktif. Pada saat sewa pertama terakhir, pemilik belum tentu langsung mendapatkan penyewa berikutnya. Apabila sewa diperbaharui, harga sewa mungkin berubah mengingat kondisi produktivitas aset yang mungkin telah berkurang. 2) Ija>rah Muntahiya bittamlik Ija>rah muntahiya bittamlik (IMBT) adalah transaksi sewa dengan pernjanjian untuk menjual atau menghibahkan objek sewa di akhir periode, sehingga transaksi ini diakhiri dengan alih kepemilikan objek sewa. Tujuan produk pembiayaan ini untuk memberikan fasilitas kepada nasabah yang membutuhkan manfaat atas barang dengan sistem sewa dan pada akhir sewa nasabah mempunyai hak opsi. Objek sewa untuk ija>rah muntahiya bittamlik yaitu properti, alat transportasi, dan alat-lat berat, dengan ketentuan jumlah, ukuran dan jenis objek sewa harus diketahui jelas serta tercantum dalam akad, objek sewa dapat berupa barang yang telah dimiliki bank. Objek dan manfaat barang sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara spesifik
dan dinyatakan dengan jelas termasuk pembayaran sewa dan jangka waktunya. Objek sewa dapat dipindahkan kepemilikannya melaui hibah, penjualan pada akhir masa sewa dengan pembayaran tertentu yang disepakati diawal akad, penjualan sebelum akhir akad dengan harga yang sebanding dengan cicilan Ija>rah muntahiya bittamlik yang masih tersisa dan penjualan secara bertahap. d. Produk Pembiayaan prinsip Qard Hasan 1) Qard} Qard} atau iqra>d} secara etimologi berarti pinjaman. Secara terminologi muamalah adalah memiliki sesuatu yang harus dikembalikan dengan penggantian sama. Hukum qard} itu mubah yang didasarkan atas asas saling menolong dalam kebaikan (ta’awanu ‘ala al birri). Pengertian qard} adalah kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pinjaman tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Rukun qard} meliputi peminjam (muqtarid}), pemberi pinjaman (muqrid}), jumlah dana (qard}) dan ijab kabul. Bank dapat memberikan pinjaman qard} untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan. Bank dapat membebankan biaya administrasi sehubungan dengan pemberian qard}. Biaya administrasi ditetapkan dengan nominal tertentu, tanpa terikat dengan jumlah dan jangka waktu pinjaman. Bank dapat memperpanjang jangka waktu pengembalian atau menghapus buku sebagaian/seluruh pinjaman nasabah atau beban kerugian bank, apabila nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian/seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati karena nasabah tidak mampu. Bank dapat menjatuhkan sanksi kewajiban pembayaran atas keterlambatan pembayaran atau menjual agunan nasabah untuk menutup kewajiban pinjaman nasabah, apabila nasabah
digolongkan mampu dan tidak mengembalikan sebagaian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang disepakati. Pola pembiayaan qard} diperuntukkan nasabah dengan ketentuan dana yang diberikan kepada nasabah dalam bentuk pinjaman dikembalikan kepada bank dengan imbalan sesuai dengan kemampuan nasabah berdasarkan kesepakatan. Akad qard }dibebankan biaya administrasi yang berkaitan dengan pemberian pinjaman, bank dapat memberikan sanksi kepada nasabah atas keterlambatan pembayaran.
F. Analisis Pembiayaan dan Jenis Analisis Pembiayaan 1. Analisis Pembiayaan Muhammad menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam analisis pembiayaan di bank syariah yang kemudian dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan pembiayaan yaitu: a) Pendekatan analisis pembiayaan Ada beberapa pendekatan analisis pembiayaan yang dapat diterapkan oleh para pengelola bank syariah dalam kaitannya dengan pembiayaan yang akan dilakukan yaitu: (1) Pendekatan jaminan, artinya bank dalam memberikan pembiayaan selalu memperhatikan kuantitas dan kualitas jaminan yang dimiliki oleh peminjam. (2) Pendekatan karakter, artinya bank mencermati secara sungguh-sungguh terkait dengan karakter nasabah. (3) Pendekatan kemampuan pelunasan, artinya bank menganalisis kemampuan nasabah untuk melunasi jumlah pembiayaan yang telah diambil. (4) Pendekatan dengan studi kelayakan, artinya bank memperhatikan kelayakan usaha yang dijalankan oleh nasabah peminjam. (5) Pendekatan fungsi-fungsi bank, artinya bank memperhatikan fungsinya sebagai lembaga intermediary keuangan, yaitu mengatur mekanisme dana yang dikumpulkan dengan dana yang disalurkan. b) Prinsip analisis pembiayaan Prinsip analisis pembiayaan adalah beberapa konsep yang kemudian dijadikan parameter untuk mengukur seorang calon nasabah layak atau tidak diberikan pembiayaan. Prinsip analisi dikenal dengan 5C yang meliputi character (karakter),
capacity (kapasistas), Capital (kemampuan modal), collateral (jaminan) dan condition (kondisi). Disamping itu para praktisi perbankan menambahkan aspek satu C yaitu constraints artinya hambatan-hambatan yang mungkin mengganggu usaha. Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada Bagian Kedua Kelayakan Penyaluran Dana pada Pasal 23 (1) Bank Syariah dan atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah penerima fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan atau UUS menyalurkan dana kepada nasabah penerima fasilitas. (2) Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari calon nasabah penerima fasilitas. c) Tujuan analisis pembiayaan Analisis pembiayaan memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum analisis pembiayaan adalah pemenuhan jasa pelayanan terjadap kebutuhan masyarakat dalam rangka mendorong dan melancarkan perdagangan, produksi, jasa-jasa, bahkan konsumsi yang kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sedangkan tujuan khusus analisis pembiayaan antara lain untuk menilai kelayakan usaha calon nasabah, menekan resiko akibat tidak terbayarnya pembiayaan dan menghitung kebutuhan pembiayaan yang layak. d) Prosedur analisis pembiayaan Aspek-aspek penting dalam analisis pembiayaan yang perlu diperhatikan oleh
pengelola bank syariah adalah 1) berkas dan pencatatan, 2) data pokok dan analisis pendahuluan yang meliputi realitas dan rencana pembelian, produksi dan penujualan, jaminan, laporan keuangan dan data kuantitatif dari calon debitur, 3) penelitian data, 4) penelitian atas realitas usaha, 5) penelitian atas rencana usaha, penelitian dan penilaian barang jaminan, 6) laporan keuangan dan penelitiannya. Ini
memberikan indikasi bahwa dalam pemberian pembiayaan dibutuhkan
proses yang panjang dalam menganalisis pembiayaan yang akan diberikan kepada calon nasabah. Langkah selanjutnya dalam analisis pembiayaan adalah keputusan permohonan pembiayaan,
aspek yang dianalisis, alat analisis, rumusan hasil analisis dan
rekomendasi analisis. Prosedur inilah yang menjadi dasar bank syariah memberikan keputusan pembiayaan pada bank syariah. Manajer pembiayaan melakukan analisis yang saksama terhadap calon nasabah baru maupun nasabah lama, dengan analisis yang tepat dan ketat meminimalisir terjadinya penyimpangan terhadap pembiayaan. Berdasarkan penjelasan tersebut, memberikan indikasi bahwa dalam pemberian pembiayaan dibutuhkan proses yang panjang dalam menganalisis pembiayaan yang akan diberikan kepada calon nasabah. Analisis dilakukan dengan beberapa pendekatan yaitu jaminan, karakter, kemampuan pelunasan, studi kelayakan usaha dan pendekatan fungsi-fungsi bank. Demikian pula dengan analisis 5C yang dijadikan dasar analisis pembiayaan, sehingga pembiayaan yang diberikan perbankan telah sesuai dengan prosedurnya dan benar-benar telah menjalankan prinsip-prinsip syariah yang menjadi identitas bank syariah. 2. Jenis Analisis Pembiayaan Analisis pembiayaan yang dilakukan perbankan baik konvensional maupun bank
syariah terdiri dari beberapa macam analisis. Salah satu adalah analisis pembiayaan didasarkan pada rumus 5C yaitu: 1) character artinya sifat atau karakter nasabah pengambil pinjaman, 2) capacity artinya kemampuan nasabah untuk menjalankan usaha dan mengembalikan pinjaman yang diberikan, 3) capital artinya besarnya modal yang diperliukan peminjam, 4) collateral artinya jaminan yang telah dimiliki yang diberikan peminjam kepada bank, dan 5) condition artinya
keadaan usaha atau
nasabah prospek atau tidak. Prinsip 5C tersebut terkadang ditambahkan dengan satu C, yaitu constraint artinya hambatan-hambatan yang mungkiin mengganggu proses usaha. Selain analisis pembiayaan tersebut, bank juga menerapkan prinsip lain dalam menilai kelayakan pembiayaan yang dikenal dengan prinsip 5P yaitu: a) Party (para pihak) Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian pembiayaan. Untuk itu pihak bank harus memperoleh suatu “kepercayaan” terhadap para pihak, dalam hal ini debitur. Bagaimana karakternya, kemampuan dan sebagainya. b) Purpose (tujuan) Tujuan dari pemberian fasilitas pembiayaan juga sangat penting diketahui oleh pihak kreditur. Harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal yang positif yang benar-benar dapat menaikkan income perusahaan dan harus pula diawasi agar pembiayaan tersebut benar-benar dipergunakan untuk tujuan sebagaimana diperjanjikan dalam suatu akad. c) Payment (pembayaran) Harus diperhatikan sumber pembayaran pembiayaan dan calon nasabah cukup
tersedia, sehingga dengan demikian diharapkan bahwa pembiayaan yang diberikan dapat dibayar kembali oleh debitur yang bersangkutan.
Jadi harus dilihat dan
dianalisis apakah setelah pemberian pembiayaan, debitur punya sumber pendapatan, dan
apakah
pendapatan
tersebut
mencukupi
untuk
membayar
kembali
pembiayaannya. d) Profitabilitas (perolehan laba) Unsur perolehan laba oleh debitur penting dalam hal pemberian pembiayaan. Bank harus berantisipasi laba yang diperoleh oleh perusahaan lebih besar dan apakah pendapatan perusahaan dapat menutupi pembayaran kembali kepada bank. e) Protection (perlindungan) Diperlukan suatu perlindungan terhadap pembiayaan oleh perusahaan debitur. Untuk itu, perlindungan dan kelompok perusahaan, atau jaminan dan holding, atau jaminan pribadi pemilik perusahaan penting diperhatikan. Hal ini dilakukan untuk berjaga jika terjadi masalah agency. Di samping menggunakan prinsip pemberian pembiayaan tersebut, bank dalam memberikan pembiayaan juga menggunakan prinsipo 3 (tiga) R yaitu: a) Returns (hasil yang diperoleh) Returns, yakni hasil yang diperoleh oleh debitur, dalam hal ini ketika pembiayaan telah dimanfaatkan dan dapat diantisipasi oleh calon nasabah. Artinya perolehan tersebut mencukupi untuk membayar kembali pembiayaan beserta bagi hasil, ongkos-ongkos, disamping membayar keperluan perusahaan lainnya seperti untuk cash flow, pembiayaan lain dan sebagainya. b) Repayment (pembayaran kembali) Kemampuan membayar dan pihak debitur tentu saja perlu dipertimbangkan,
kemampuan bayar sudah sesuai dengan jadwal pembayaran kembali dan pembiayaan yang akan diberikan. Hal ini tidak boleh diabaikan demi kelancaran pembiayaan yang diberikan. c) Resk Bearing Ability (kemampuan menanggung resiko) Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah kemampuan debitur untuk menanggung resiko. Misalnya terjadinya hal-hal di luar antisipasi kedua belah pihak. Terutama jika dapat menimbulkan pembiayaan macet. Di samping itu jaminan dan/atau asuransi barang atau pembiayaan cukup aman menutupi resiko tersebut. Menurut Hassel bahwa selain analisis 5C, metode analisis 6A adalah metode yang lebih teliti dan akurat. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, pihak bank (pemberi pinjaman) diharuskan untuk melakukan penelitian yang saksama terhadap kesanggupan dan kemampuan nasabah debitur untuk melakukan proyeknya. Analisis 6A meliputi: a) Analisis Aspek Yuridis Analisis
pada
aspek
ini
pada
dasarnya
bertujuan
untuk
meneliti
ketentuan-ketentuan legalitas dari perusahaan atau badan hukum yang akan memperoleh fasilitas pembiayaan dari bank. b) Analisis Aspek Pasar dan Pemasaran Analisis pada aspek ini pada dasarnya bertujuan untuk meneliti kemungkinan pangsa pasar yang dapat diraih bagi produk atau jasa yang diproduksi dari proyek yang dibiayai dengan pembiayaan bank serta meneliti strategi pemasaran apa yang digunakan oleh investor atau pengelola proyek agar perusahaan memenangkan persaingan yang kompetitif. c) Analisis Aspek Teknis
Analisis pada aspek ini pada dasarnya bertujuan untuk meneliti seberapa jauh kemampuan
pengelola
proyek
dalam mempersiapkan
dan
melaksanakan
pembangunan proyek serta kesiapan teknis perusahaan dalam melakukan operasinya kelak sebagai suatu business entity. d) Analisis Aspek Manajemen Analisis pada aspek ini pada dasarnya bertujuan untuk meneliti kemampuan dan kecakapan dari manajemen pengelola proyek atau manajemen perusahaan dalam menjalankan bisnisnya. e) Analisis Aspek Keuangan Analisis pada aspek ini pada dasarnya bertujuan untuk meneliti kemampuan dan kecakapan dari manajemen pengelola proyek atau manajemen perusahaan dalam bidang keuangan. f) Analisis Aspek Sosial-Ekonomi Analisis pada aspek ini pada dasarnya bertujuan untuk meneliti sejauh mana proyek akan dibangun dan dibiayai dengan dana bank melalui value added yang tinggi dilihat dari sudut pandang sosial maupun makro ekonomi. Berdasarkan dari beberapa jenis analisis pembiayaan pada dasarnya analisis ini digunakan untuk menilai segala kemampuan yang dimiliki oleh calon nasabah untuk memenuhi kewajibannya kepada perbankan untuk membayar kembali dana yang telah diberikan. Penilaian dilakukan untuk setiap aspek dari calon nasabah baik dari individu maupun dari manajemen perusahaan. Hal ini dilakukan untuk menekan resiko yang akan timbul dari pembiayaan. G. Analisis 5C (Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition) 1. Character
Proses analisis penyediaan dana pembiayaan kepada calon nasabah dilakukan secara teliti. Hal itu dilakukan untuk menghindari terjadinya pembiayaan yang bermasalah atau pembiayaan macet. Pihak perbankan khususnya manajer pembiayaan melakukan screening atau penyeleksian terhadap atribut calon nasabah secara efektif. Langkah pertama yang dilakukan mengenal character
atau sikap calon nasabah,
sehingga mengurangi timbulnya masalah agency dalam kontrak pembiayaan. Menurut M. Kaberat dalam bekerja diperlukan profesionalisme, demikian juga dalam
hal
kesungguhan
calon
nasabah
untuk
mendapatkan
pembiayaan.
Profesionalisme dalam pandangan Islam dicirikan oleh tiga hal yaitu: (1) kafa’ah yakni adanya keahlian dan kecakapan dalam bidang perkejaan yang dilakukan, (2) himmatul ama>l yakni memiliki semangat atau etos kerja yang tinggi, dan (3) amanah yakni terpercaya dan bertanggung jawab dalam menjalankan berbagai tugas dan kewajibannya serta tidak berkhianat terhadap pekerjaannya. Menurut Hessel bahwa penilaian watak atau keperibadian calon debitur dimaksudkan untuk
mengetahui kejujuran dan itikad baik calon debitur untuk
melunasi atau mengembalikan pinjamannya, sehingga tidak akan menyulitkan bank di kemudian hari. Hal ini dapat diperoleh terutama berdasarkan kepada hubungan yang telah terjalin diantara bank dan calon nasabah atau informasi yang diperoleh dari pihak lain yang mengetahui moral, kepribadian dan perilaku calon debitur dengan kehidupan kesehariannya. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Abdul Ghofur bahwa character atau watak calon nasabah, dilihat dari kejujurannya lewat investigasi yang dilakukan oleh maker, keadaan lingkungan keluarga calon nasabah, dan riwayat peminjaman yang
telah
lalu
(apabila
calon
nasabah
sebelumnya
pernah
mengajukan
pembiayaan/kredit pada bank lain). Selain itu hal yang terpenting yang harus perhatikan adalah adanya unsur kemauan dari calon nasabah untuk melunasi pembiayaan yang diberikan oleh lembaga keuangan atau lembaga keuangan syariah yang bersangkutan. Demikian pula dijelaskan Lukman Dendawijaya bahwa dalam melakukan analisis berkaitan dengan integritas dari calon debitur. Integritas ini sangat menentukan willingness to pay atau kemauan membayar kembali nasabah atas kredit/pembiayaan yang telah dinikmatinya. Penilaian terhadap itikad atau kemauan baik nasabah untuk memenuhi kewajibannya memang agak sukar untuk dilaksanakan, khususnya terhadap calon nasabah yang baru dikenal oleh bank. Penilaian lebih mudah dilakukan jika telah terjalin hubungan antara bank dengan calon debitur atau mencari informasi yang mendukung baik dari kalangan perbankan maupun dari kalangan bisnis. Informasi
dari
kalangan
perbankan
diperoleh
melalui
surat
menyurat/korespondensi antara bank yang dikenal dengan bank information, termasuk permohonan resmi ke Bank Indonesia untuk memperoleh informasi tentang calon debitur, baik mengenai pribadinya maupun perusahaan (bisnis) yang dimilikinya. Berbicara analisis character atau moral, Yusuf Qard}awi menjelaskan bahwa ada empat nilai pokok dalam ekonomi islam, yaitu (1) nilai ketuhanan (ilahiyah), (2) nilai akhlak (khuluqiyyah), (3) kemanusiaa (insaniyah), dan (4) nilai pertengahan (al-wust}a). Nilai akhlak memiliki keterkaiatan erat dengan kegiatan ekonomi dan pertimbangan ekonomi tidak boleh mengabaikan nilai akhlak. Dengan menempatkan akhlak sebagai bagian yang tidak terlepaskan dari kegiatan ekonomi, merupakan ciri pembeda dengan sejumlah system ekonomi yang telah ada serta cenderung menempatkan moral dibawah kepentingan ekonomi.
Kegiatan ekonomi sebagai bagian dari mu’amalah tidak dapat dipelaskan desngan urgensi akhlak, Islam sangat mempertautkan akhlak dalam proses mu’amalah yaitu dengan sikap berlaku jujur, amanah, berbuat kebajikanah, adil, ihsan dan berbuat kebajikan, silaturahmi dan kerjasama (ta’awun). Berbicara mengenai karakter, sifat-sfat dasar dalam prophetic values of business and management yang melekat pada diri Rasulullah saw. yaitu: 1. Siddiq, benar, nilai dasarnya ialah integritas, nilai-nilai dalam bisnisnya berupa kejujuran, ikhlas, terjamin, keseimbangan emosional. 2. Amanah, nilai dasarnya terpercaya, dan nilai-nilai dalam bisnisnya ialah adanya kepercayaan, tanggung jawab, transparan dan tepat waktu. 3. Fat{anah, nilai dasarnya adalah memiliki pengetahuan luas, nilai-nilai bisnis ialah memiliki visi, pemimpin yang cerdas, sadar produk dan jasa, serta belajar berkelanjutan. 4. Tabligh, nilai dasarnya ialah komunikatif dan nilai bisnisnya adalah supel, penjual yang cerdas, deskripsi tugas, delegasi wewenang, kerja tim, koordinasi dan ada kendali dan supervise. 5. Ada satu sifat lagi yang lupa, dan perlu ditambahkan yaitu syaja>’ah, artinya berani, nilai bisnisnya, mau dan mampu mengambil keputusan, menganalisis data, keputusan yang tepat, cepat tanggap. Berdasarkan dari pendapat beberapa ahli tersebut, dapat dipahami bahwa dalam mengenali character atau watak calon nasabah agar terhidar dari efek agency dapat dilihat dari: moral calon debitur meliputi kejujuran, keahlian calon nasabah, keadaan lingkungan keluarga, kemauan untuk melunasi pembiayaan (willingness to pay), terpercaya, dan bertanggung jawab.
2. Capacity Mengenal capacity atau kemampuan calon nasabah langkah kedua setelah mengenal character calon nasabah. Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh calon nasabah, dengan kemampuan yang diberikan diharapkan memberikan return kepada bank berupa pengembalian pembiayaan yang diberikan. Kapasitas yang dimiliki oleh calon nasabah terkait pada kemampuan mengelolah usaha, disamping kemampuan lainnya. Kemampuan mengolah usaha tidak lepas dari etos kerja dari calon nasabah. Islam memandang bahwa bekerja merupakan sebuah kewajiban. Dengan bekerja manusia akan dapat mengekspresikan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di dunia. Karakteristik etos kerja yang islami, digali dan dirumuskan berdasarkan konsep iman sebagai pondasi utama. Secara normatif mestinya Islam mampu menjadi motivasi yang kuat dalam mewujudkan etos kerja, di samping memandang penting semua bentuk kerja yang produktif. Selain itu, Islam juga mengajarkan dalam setiap transaksi baik jual beli maupun kerja sama dalam rukunnya adalah orang yang baliq atau berakal, hal ini disebabkan karena Islam menginginkan transaksi yang dilakukan dipahami dan dimengerti oleh orang yang bertransaksi agar tidak ada kecurangan didalamnya. Di samping itu, dalam rukun mud{a>rabah dijelasan bahwa ijab dan qabul yang dikeluarkan dari yang memiliki keahlian. Ini menunjukkan bahwa dalam akad mud{a>rabah, sebaiknya dilakukan oleh orang yang ahli dalam berusaha agar dana yang diberikan sebagai amanah untuk dikelolah atau diinvestasikan dapat bermanfaat dan menghasilkan keuntungan. Sehingga nasabah mendapatkan bagi hasil dari hasil usaha demikian pula dengan pihak bank.
Hassel menjelaskan bahwa dalam hal penilaian kemampuan bank harus meneliti tentang keahlian calon nasabah dalam bidang usahanya dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan dibiayai dikelola oleh orang-orang yang tepat. Dengan demikian calon debitur dalam jangka waktu tertentu mampu melunasi atau mengembalikan pinjamannya. Alquran menjelaskan bahwa dalam hal mengelola harta diharuskan memiliki kemampuan untuk mengelolahnya, sebagaimana dalam QS. An-nisa/4 : 6 sebagai berikut: (#qè=tGö/$#ur #sÎ)
4yJ»tGuø9$#
(#qäón=t/
Läêó¡nS#uä
yy%s3ÏiZ9$#
öNåk÷]ÏiB
#Ó¨Lym ÷bÎ*sù #Yô©â
(#þqãèsù÷$$sù öNÍkös9Î) öNçlm;ºuqøBr& ...
Terjemah: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. Ayat di atas, menjelaskan bahwa anak yatim yang belum dewasa dan tidak berakal hendaknya menyerahkan hartanya untuk dikelolah oleh orang lain. Kriteria anak yatim yang dapat mengelolah hartanya yaitu cukup umur dan telah cerdas untuk mengelolah sendiri hartanya. Kata rusyd menunjukkan bahwa orang yang diberikan amanah untuk menelolah harta adalah cerdas dalam artian memiliki kemampuan ilmu maupun keahlian dalam mengelola harta. Lebih lanjut Hassel menjelaskan jika kemampuan bisnisnya kecil, tentunya tidak layak diberikan kredit dalam skala besar. Demikian juga jika trend bisnisnya atau
kinerja bisnisnya menurun, maka kredit/pembiayaan semestinya tidak diberikan. Kecuali jika penurunan itu karena kekurangan biaya. Sehingga dapat diantisipasi dengan tambahan biaya lewat peluncuran kredit/pembiayaan, maka trend atau kinerja bisnis tersebut dipastikan akan semakin membaik. Pemerintah dalam hal pembiayaan memberikan regulasi tentang perbankan syariah. Regulasi tersebut ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang RI Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang mengatur hal kelayakan penyaluran dana kepada calon nasabah. Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada bagian kedua Kelayakan Penyaluran Dana pasal 23 ayat (2) pada penjelasannya bahwa penilaian kemampuan calon nasabah penerima fasilitas terutama bank harus meneliti tentang keahlian nasabah penerima fasilitas dalam bidang usahanya dan/atau kemampuan manajemen calon nasabah sehingga bank syariah dan/atau usaha unit syariah merasa yakin bahwa usaha yang akan dibiayaai dikelola oleh orang yang tepat. Langkah ini diambil untuk menghindari terjadinya pembiayaan yang bermasalah atau pembiayaan macet. Karena pembiayaan yang macet akan memberikan dampak yang buruk terhadap keuangan perbankan. Disamping itu keahlian yang dimiliki oleh nasabahpun tak kalah pentingnya, karena tanpa itikad yang baik dari calon nasabah untuk memenuhi kewajibannya, maka bank akan berfikir untuk mengabulkan permohonan pembiayaan. Menurut Lukman bahwa capacity adalah penilaian terhadap calon nasabah dalam hal kemampuan memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian pinjaman atau akad pembiayaan, yakni melunasi pokok pinjaman disertai bagi hasil sesuai dengan ketentuan atau syarat-syarat diperjanjikan. Kemampuan-kemampuan
calon nasabah yang harus diukur adalah sebagai berikut: a. Kemampuan calon nasabah menyediakan dana untuk pembiayaan. b. Kemampuan calon nasabah untuk membangun proyek-proyeknya. c. Kemampuan calon nasabah untuk menghasilkan produk dari proyeknya. d. Kemampuan calon nasabah untuk menjual hasil produksinya. e. Kemampuan calon nasabah untuk memperoleh laba dari penjualan tersebut. f. Kemampuan calon nasabah untuk menyediakan cash yang memadai untuk membayar kewajiban-kewajibannya kepada bank. Lebih lanjut dijelaskan Lukman bahwa hal-hal yang dianalisis adalah sebagai berikut: a. Jadwal pembangunan proyek yang akan dibiayai bank dan nasabah b. Rencana produksi dan penjualan (produk maupun jasa) c. Proyeksi laba/rugi atau projected income statement (misalnya selama lima tahun atau selama jangka waktu kredit). d. Proyeksi arus kas (projected cash flow) e. Kemampuan manajerial dari pimpinan perusahaan dalam mengelolah bisnisnya kelak. f. Kemampuan nasabah untuk memenuhi kewajiban-kewajiban pada pihak lain. Demikian pula menurut Abdul Ghofur menjelaskan bahwa kemampuan calon nasabah untuk melunasi pembiayaan yang diberikan oleh lembaga keuangan syariah, dilihat dari usaha nasabah yang menjadi sumber pelunasan pembiayaan yang dimaksud. Misalnya dalam pembiayaan mud}a>rabah untuk tujuan konsumtif, hal ini dapat diprediksi secara jelas, tetapi untuk pembiayaan mura>bahah untuk tujuan produktif
pihak bank harus benar –benar selektif dalam melakukan penilaian. Di sini pihak bank harus benar-benar memperhitungkan aspek-aspek yang anda antara lain aspek hukum, aspek pemasaran, aspek keuangan, aspek manajemen, dan analisis dampak lingkungan (AMDAL). Penilaian terhadap calon nasabah khususnya mengenai capacity atau kemampuan, akan memberikan keyakinan kepada bank bahwa calon nasabah memiliki kemampuan untuk mengelola usaha dengan memperlihatkan kinerja perusahaan yang akan berimbas pada peningkatan hasil usaha. Peningkatan hasil usaha akan berpengaruh pada laba yang dimiliki yang pada akhirnya perusahaan calon nasabah mampu memenuhi kewajiban membayar pinjaman kepada bank. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat pahami bahwa dalam analisis capacity calon nasabah dapat dilihat dari kemampuan yang dimiliki antara lain kemampuan penyedian dana, kemampuan membangun proyek-proyeknya, kemampuan menghasilkan produk dari proyeknya, kemampuan menjual hasil produksinya, kemampuan memperoleh laba dan kemampuan membayar pinjaman.
3. Capital Pembiayaan suatu proyek akan dijalankan debitur tidak seluruhnya berasal dari bank, tetapi dibiayai bersama antara bank dan debitur. Oleh karena itu, pihak calon debitur wajib memiliki sejumlah dana guna dapat berpartisipasi dalam pembiayaan proyeknya. Perbandingan antara besarnya pembiayaan dari bank dengan besarnya modal sendiri yang dapat disediakan nasabah tersebut dengan debt to equity ratio. Penilaian terhadap permodalan sangat erat hubungannya dengan nilai modal yang dimiliki calon nasabah guna membiayai proyek yang akan dijalankannya.
Besarnya kemampuan modal calon nasabah dapat diketahui dari laporan keuangan perusahaan yang dimilikinya. Semakin besar perusahaan yang dimiliki calon nasabah,
semakin
mudah
memperoleh
data
tentang
modal
sendiri.
Perusahaan-perusahaan kecil umumnya tidak memiliki laporan keuangan yang dapat dianalisis oleh bank. Untuk itu, wirakredit (account officer/credit officer) harus melakukan dialog, wawancara, dan kunjuangan ke perusahaan calon nasabah untuk menyusun sendiri laporan keuangan sehingga diperoleh informasi tentang modal sendiri yang bisa digunakan untuk membiayai proyek, di samping pembiayaan yang akan diberikan bank. Menurut Abdul Ghofur menjelaskan bahwa Capital atau modal yang dimiliki oleh nasabah dilihat dari jumlah yang dimiliki nasabah untuk membeli barang yang diperlukannya atau menjalankan kegiatan usahanya. Dengan kata lain, calon nasabah dalam mengajukan permohonan pembiayaan pun harus memiliki setidaknya uang muka untuk membuka rekening yang akan digunakan sebagai cara pelunasan pembiayaan nantinya. Menurut Hassel bahwa dalam penilaian terhadap modal, bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara menyeluruh mengenai masa yang lalu dan yang akan dating, sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon nasabah penerima dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon nasabah yang bersangkutan. Ini menunjukkan bahwa bank menerapkan prinsip kehati-hatian terhadap nasabah, bukan sekedar mendapatkan keuntungan dari dana yang diberikan kepada calon nasabah. Namun menuntut bank untuk terus melakukan screening atau penyeleksian yang ketat hingga nasabah mengembalikan pinjaman yang diberikan.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dalam hal analisis capital kepada calon nasabah hal yang menjadi acuan adalah penilaian terhadap kemampuan yang dimiliki nasabah meliputi modal sendiri yang dimiliki, pinjaman yang dimiliki, tujuan pinjaman akan dipakai usaha, data keuangan perusahaan, dan tabungan yang dimiliki. 4. Collateral Berdasarkan ketentuan yang dikeluarkan pemerintah/Bank Indonesia, setiap pemberian kredit
oleh bank harus didukung oleh adanya jaminan/agunan yang
memadai, kecuali untuk program-program pemerintah. Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Bagian Kedua Kelayakan Penyaluran Dana Pasal 23 ayat (2) dijelaskan bahwa dalam melakukan penilaian terhadap agunan bank syariah dan/atau unit usaha syariah harus menilai barang, proyek atau hak tagih yang dibiayain dengan fasilitas pembiayaan yang bersangkutan dan barang lain, surat berharga atau garansi resiko yang ditambahkan sebagai agunan tambahan, sudah cukup memadai sehingga apabila nasabah penerima fasilitas kelak tidak dapat melunasi kewajibannya. Agunan tersebut dapat digunakan untuk menanggung pembayaran kembali pembiayaan dari bank syariah dan atau unit usaha syariah yang bersangkutan. Menurut
Lukman
menjelaskan
bahwa
Collateral
atau
agunan
kredit/pembiayaan merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum permohonan kredit/pembiayaan disetujui atau dicairkan. Collateral atau agunan pada umumnya adalah barang-barang yang diserahkan peminjam kepada bank sebagai jaminan atas kredit atau pinjaman yang diterimanya. Dengan demikian, collateral atau jaminan tersebut berfungsi sebagai: 1. Bagian dari pelaksanaan prinsip kehati-hatian yang dilakukan oleh bank. 2. Cara yang dilakukan bank untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya
kegagalan usaha atau proyek yang dibiayainya. 3. Cara
untuk
nasabah
agar
mau
bersungguh-sungguh
dalam
melaksanakan/mengelola proyeknya yang ikut dibiayai bank. 4. Penggantian pembiayaan apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada bank, misanya dijual melalui lelang umum dan berbagai cara olain sesuai dengan ketentuan serta perundang-perundangan yang berlaku. Menurut Muhammad bahwa jaminan dalam transaksi pembiayaan dengan pola syariah tidak menempatkan jaminan sebagai suatu aspek yang paling penting. Namun, jaminan diberlakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha. Karena jika pengusaha tidak memberikan jaminan, seakan usaha yang dijalankan tidak ada ikatan yang kuat. Oleh karena itu, para praktisi perbankan syariah menegaskan bahwa jaminan merupakan aspek
yang perlu
diperhatikan untuk memilih nasabah dalam pembiayaan mud{a>rabah. Lebih lanjut Muhammad menjelaskan bahwa jaminan yang dimaksud oleh praktisi perbankan di sini adalah proyek usaha yang akan dibiayai harus ada yang menjamin, baik berupa jaminan personal maupun collateral yang dijaminkan oleh mud}a>rib kepada s}ahi>bul ma>l. Jaminan personal dapat berupa personal garante dari tokoh masyarakat atau pihak yang ditokohkan untuk menjamin mud}a>rib yang akan mendapat pembiayaan. Sementara jaminan collateral merupakan jaminan barang bergerak yang dimiliki oleh mud}a>rib untuk dijaminkan kepada bank syariah. Sejalan dengan pendapat tersebut, Abdul Ghofur menjelaskan bahwa bank syariah juga menerapkan untuk adanya agunan, seperti halnya bank konvensional. Dalan konteks ini berlaku prinsip, bahwa semua bentuk pembiayaan dapat dimintai agunan kecuali pembiayaan mud}a>rabah. Mud}a>rabah tidak perlu ada jaminan
karena resiko pembagian keuantungan dan kerugian sudah jelas. Prakatiknya bahwa pembiayaan mud}a>rabah juga diminta jaminan semata-mata untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian ini. Dalam hal pembiayaan mud}a>rabah yang dijadikan sebagai agunan adalah objek dari pembiayaan mud}a>rabah itu sendiri. Namun apabila nilai dari objek pembiayaan mud}a>rabah tersebut tidak mampu mencukupi untuk menutupi pembiayaan, maka bank dapat meminta barang lain untuk dijadikan sebagai agunan tambahan. Nilai dari agunan itu sendiri harus dapat menutupi jumlah dari pembiayaan yang dimohon oleh calon nasabah. Transaksi yang dilakukan secara tidak tunai dibolehkan adanya jaminan atau agunan sebagai bentuk kehati-hatian, di samping itu pihak yang meminjam memiliki tanggung jawab untuk mengebalikan pinjamannya. Hal ini dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah/2 : 283 sebagai berikut:
bÎ)ur
óOçFZä.
(#rßÉfs? ×p|Êqç7ø)¨B
(
4n?tã
9xÿy
öNs9ur
$Y6Ï?%x.
Ö`»ydÌsù
÷bÎ*sù
Nä3àÒ÷èt/
z`ÏBr&
$VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur
(#qßJçGõ3s?
noy»yg¤±9$#
4
`tBur
$ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ Terjemah: "Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam transaksi atau bermuamalah secara tidak tunai, hendaklah ada barang yang menjadi tanggungan atau jaminan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian dan sebagai antisipasi jika terjadi masalah dalam pengembalian pembiayaan. Namun hal ini tidak menjadi mutlak jika ada kepercayaan diantara pihak yang bertransaksi. Posisi collateral atau agunan dalam perbankan syariah sebagai salah satu bentuk perikatan. Selain agunan atau jaminan yang berupa barang, dalam perbankan syariah juga dikenal dengan personal garante oleh tokoh masyarakat yang dapat menjamin calon nasabah mampu memenuhi kewajibannya kepada pada bank di masa yang akan datang. Namun tidak dipungkiri ketakukan perbankan terhadap resiko pembiayaan yang bermasalah menuntuk bank mengharuskan adanya agunan berupa barang yang mudah untuk dicairkan. Untuk menanggung pembayaran pembiayaan macet, calon debitur umumnya wajib menyediakan
jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah
dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diberikan kepadanya. Untuk itu bank wajib meminta agunan tambahan dengan maksud jika calon debitur tidak dapat melunasi pinjaman, maka agunan tambahan tersebut dapat dicairkan guna menutupi pelunasan atau pengembalian kredit/pembiayaan yang tersisa.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat dipahami bahwa dalam melakukan penilaian collateral
atau jaminan terhadap calon nasabah diharapkan
sebagai: pelaksanaan prinsip kehati-hatian barang yang dijadikan jaminan, jaminan
atas proyek sebagai antisipasi terjadinya kegagalan usaha, perikatan nasabah agar bersungguh-sungguh dalam berusaha, dan penggantian pembayaran apabila tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran pembiayaan.
5. Condition Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur atau condition of economy menuntut bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan di luar negeri baik masa lalu maupun yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran dan hasil proyek atau usaha calon debitur yang dibiayai bank dapat diketahui. Selain itu bank juga harus mengetaui tujuan dari penggunaan pembiayaan dan rencana pengembangan pembiayaannya. Menurut Abdul Ghofur dalam hal penilaian condition of economy atau kondisi ekonomi dilihat dari faktor-faktor luat (ekonomi makro) yang mungkin terjadi dan dapat mempengaruhi kegiatan usaha calon nasabah yang manjadi sumber pelunasan dari pembiayaan dari bank atau lembaga keuangan syariah. Suatu proyek yang akan dibiayai bersama oleh bank dan nasabah pembiayaan tentu memiliki berbagai ciri tertentu, misalnya jenis bisnis yang akan digeluti, jenis produk yang akan diproduksi, sasaran pasar yang akan dituju, harga yang akan ditawarkan, promosi yang akan dijalankan dan sebagainya. Faktor-faktor bisnis yang berada di lingkungan sekitar lokasi proyek akan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap ciri atau corak bisnis atau proyek akan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap ciri atau corak bisnis atau proyek yang akan dibangun, baik proyek maupun proyek perluasan. Dalam rangka proyeksi pemberian pembiayaan, kondisi perekonomian harus
pula ikut dianalisis secara mendalam. Kondisi-kondisi tersebut antara lain meliputi: 1. Kondisi dari sektor industri di mana proyek akan dibangun 2. Ketergantungan terhadap bahan baku yang harus diimpor 3. Nilai kurs valuta terhadap nilai uang domestik 4. Peraturan pemerintah yang berlaku 5. Kondisi perekonomian secara nasional, regional dan global 6. Kemudahan untuk memperoleh sumber daya 7. Tingkat suku bunga kredit yang berlaku dan sebagainya. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa dalam hal penilaian kondisi ekonomi, bank melakukan penilaian dari faktor-faktor luar yang mungkin terjadi dan dapat memepengaruhi kegiatan usaha calon nasabah. Penilaian tersebut didasarkan pada: kondisi dari sektor industri proyek akan dibangun, bahan baku yang harus diimpor, nilai kurs valuta terhadap nilai uang domestik, peraturan pemerintah yang berlaku, kondisi perekonomian secara nasional, regional dan global, kemudahan untuk memperoleh sumber daya, dan tingkat suku bunga kredit yang berlaku. Penilaian terhadap lima aspek yang meliputi karakter calon nasabah, kemampuan yang dimiliki, kemampuan permodalan, aset jaminan yang dimiliki untuk mendukung pembiayaan jika terjadi masalah agency dan kondisi usaha nasabah untuk pengetahui prospek atau tidak untuk diberikan fasilitas pembiayaan. Selain itu analisis ini dilakukan untuk menekan pembiayaan yang bermasalah atau bahkan penyebabkan pembiayaan macet. H. Kerangka Teoritis Prinsip tentang ekonomi syariah telah dijelaskan dalam beberapa Alquran dan hadis yang melandasi muamalah manusia khususnya iqtis}a>d. Pada gilirannya
eksistensi prinsip ini semakin kuat dan mampu menjadi pedoman dalam kegiatan muamalah yang berhubungan dengan ekonomi. Selain prinsip syariah yang telah digariskan oleh Alquran dan hadis, regulasi pemerintah memegang peranan yang tidak kalah penting. Peran pemerintah dibuktikan dengan keseriusan pemerintah dengan dilahirkannya beberapa Undang-Undang diantaranya Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Demikian pula Dewan Syariah Nasional yang mengeluarkan fatwa tentang operasional perbankan syariah. Praktisi ekonomi Syariah, dalam hal ini pihak perbankan, menggunakan prinsip yang dikenal dengan 5C yang meliputi character (karakter), capacity (kapasistas), Capital (kemampuan modal), colateral (jaminan) dan condition (kondisi). Kelima analisis ini menjadi salah satu indikator penilaian terhadap kelayakan seorang calon nasabah atau debitur untuk diberikan fasilitas pembiayaan. Dengan penerapan kelima indikator ini diharapkan pihak perbankan mengenali karakter atau sifat calon nasabahnya, kemampuan untuk memenuhi kewajibannya, kemampuan modal usaha, jaminan yang diberikan calon nasabah sebagai perikatan transaksi dan kondisi yang mendukung usaha calon nasabah. Namun penilaian tidak berhenti sampai disitu, penilaian usaha dan jenis pembiayaan yang akan dijalankan oleh calon nasabah tidak lepas dari pengawasan pihak bank hingga fasilitas pembiayaan selesai. Berhubungan dengan hal tersebut, penelitian ini akan mengkaji efektivitas analisis 5C untuk meminimalisir kecurangan penyaluran pembiayaan pada Bank
Syariah Mandiri Cabang Pembantu Bone-Makassar dan mengkaji efektivitas analisis 5C terhadap kemurnian prinsip syariah pada praktek transaksi pembiayaan pada Bank Syari’ah Mandiri Cabang Pembantu Bone-Makassar di Kabupeten Bone. Gambar 2.1 Skema Kerangka Teoritis Alquran Hadis
Prinsip mud}a>rabah, mura>bahah dan
UU RI No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU RI No. 7 Tahun 1992 Perbankan UU RI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Pembiayaan Bank Syariah Mandiri Cabang
Konsep Efektivitas Prinsip Analisis 5C yaitu Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition Sistem Pembiayaan · ·
Penerapan prinsip syariah
Sistem pembiayaan menggunakan prinsip syariah yang meliputi akad mura>bahah, salam, musya>rakah, mud}a>rabah, ija>rah, qard dan rahn Pelaksanaan prinsip syariah efektif pada pembiayaan pada Bank Syariah Mandiri Capem Bone – Makassar
I. Hipotesis Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti mengemukakan hipotesis yang sebagai berikut: 1. Sistem pembiayaan Bank Syariah Mandiri Cabang Pembantu Bone-Makassar di Kabupaten Bone menggunakan sistem mud}a>rabah, musyara>kah dan mura>bahah. 2. Pelaksanan prinsip syariah efektif terhadap analisis pembiayaan pada Bank Syari’ah Mandiri Cabang Pembantu Bone-Makassar di Kabupaten Bone. 3. Analisis 5C efektif untuk meminimalisir kesalahan penyaluran pembiayaan pada Bank Syari’ah Mandiri Cabang Pembantu Bone-Makassar di Kabupaten Bone.