( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net BAB II TINJAUAN TEORETIS A. Sejarah Pertumbuhan Pesantren 1. Pengertian dan Tujuan Pesantren Menurut pengertian dasarnya, pesantren adalah “tempat belajar para santri”. Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat sederhana yang terbuat dari bambu. Di samping itu, kata “pondok” mungkin juga berasal dari bahasa Arab “funduq” yang berarti “hotel atau asrama”. Istilah pesantren berasal dari kata santri kemudian mendapat awalan pe- dan akhiran an- yang berarti tempat tinggal santri. C.C. Berg berpendapat bahwa istilah santri berasal dari istilah “shastri” yang dalam bahasa India berarti orang-orang yang mengetahui buku-buku suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata “shastra” yang berarti buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa, istilah dan sistem tersebut kemudian diambil oleh para penyebar agama Islam di Jawa. Istilah pesantren sendiri seperti halnya “mengaji” bukanlah berasal dari kata Arab, melainkan dari India. Istilah pesantren mulanya lebih dikenal di Jawa, karena pendidikan Jawa kuno, yang pada saat itu dikenal dengan istilah padepokan dengan guru dan anak didik hidup bersama dalam suatu tempat yang merupakan pencangkokan budaya pra Islam. Pesantren, jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya Masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke -13.
Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk tersebut kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian selanjutnya disebut pesantren. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami dasar hukum Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan beragama. Dengan pondok pesantren dimaksudkan suatu bentuk pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Kata pondok (kamar, gunuk, rumah kecil) dipakai dalam bahasa Indonesia yang menekankan kesederhanaan bangunan. Mungkin juga pondok diturunkan dari kata Arab funduq (ruang tidur, wisma, hotel sederhana). Pesantren merupakan cikal bakal Lembaga Pendidikan Islam yang khas di Indonesia. Nyantri menurut adat keraton berarti mengabdi dalam rangka mempersiapkan diri untuk menjadi pengantin. Ini dilakukan oleh calon pengantin pria. Dari kata-kata itulah dikenal pesantren adalah tempat berkumpulnnya para santri dengan tujuan untuk mendapatkan pelajaran agama Islam. Sedangkan menurut Zimek, kata pondok (kamar, gubuk, rumah) dipakai dalam bahasa Indonesia yang menekankan kesederhanaan bangunan. Pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang mengajarkan, mengembangkan dan menyebarkan ilmu-ilmu agama Islam yang secara umum memiliki lima komponen dasar, yaitu: (1) masjid sebagai tempat aktifitas, (2) santri yang belajar di pondok, (3) kiai atau ustadz yang mengajar, (4) pondok sebagai asrama santri, (5) pengajaran kitab-kitab klasik Islam. Mengenai tujuan pesantren bahwa pendidikan di pesantren tidak menjanjikan kepada muridnya (kalangan santri) untuk menjadi insan yang berorientasi pada kehidupan duniawi semata, akan tetapi pesantren membekali
kaum santri dengan seperangkat
pengetahuan agama secara konvensional, sehingga kelak bias membina masyarakat di daerahnya. Oleh karena itu dengan segala ajaran dan didikan kesederhanaannya, kaum santri dituntut untuk bisa memberikan keteladanan di tengah-tengah masyarakat. M. Dawam Raharjo dalam bukunya mengatakan bahwa tujuan pendidikan pesantren kiranya berada di sekitar terbentunya manusia yang memiliki kesadaran setinggi-tinginya akan bimbingan agama Islam yang sifatnya menyeluruh dan diperlengkapi dengan kemampuan setinggi-tingginya unduk mengadakan responsive terhadap segala tantangan-tantangan dan tuntutan dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Dalam kompleks pesantren terdapat tempat kediaman para guru (ustadz) beserta keluarganya dengan semua fasilitas keluarga dan tidak ketinggalan masjid yang dipelihara bersama. Pendidikan dan pengajaran di langgar dan pesantren terdapat di
Jawa,
sedangkan di Sumatera terdapat penggabungan antara kedua system tersebut. Pesantren tidak dipisahkan dari lima elemen dasar , yaitu: pondok, masjid, santri, kiai, dan pengajaran buku-buku Islam klasik (kitab kuning). Sebagai lembaga pendidikan Islam yang termasuk tertua, sejarah pendidikan pondok pesantern memiliki model-model pengajaran yang bersifat non klasikal, yaitu model system pendidikan dengan metode pengajaran wetonan dan sorogan. Di Jawa Barat, model tersebut diistilahkan dengan “bandungan”. Secara garis besar, (Depag RI) menjelaskan bahwa penyelenggaraan system pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren dewasa ini dapat digolongkan ke dalam tiga bentuk, yaitu: a. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non klasikal (sistem bandongan dan sorogan) di mana seorang kiai mengajarkan
santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal di dalam pondok atau asrama pesantren tersebut. b. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren yang tersebut di atas, namun tinggal di seluruh penjuru desa keliling pesantren tersebut (santri kalong), di mana cara dan metode pendidikan agama Islam diberikan dengan cara atau system wetonan, yaitu dengan cara santri datang berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu. c. Pondok pesantren dewasa ini merupakan lembaga gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan, ataupun wetonan dengan para santri disediakan pondokan ataupun merupakan santri kalong yang dalam istilah pendidikan pondok modern memenuhi kriteria pendidikan non formal, serta menyelenggarakan pula pendidikan formal seprti madrasah dan bahkan sekolah umum
dalam berbagai banyak tingkatan dan aneka kejuruan menurut
kebutuhan masyarakat masing-masing. Sejak awal kehadirannya, pesantren memiliki sifat lentur (flexible) yang mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu juga sekarang, pesantren telah mampu menampilkan dirinya aktif mengisi kemerdekaan dan pembangunan, terutama dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas. Dari waktu ke waktu pesantren senantiasa membuat inovasi-inovasi baru untuk mensukseskan cita-cita pendidikannya. Dari sebuah lembaga swadaya masyarkat yang
khusus mengkaji masalah-masalah agama, pesantren kini telah merambah dunia baru ilmu dan teknologi modern. Pergeseran waktu dan pertukaran jaman telah memaksa pesantren untuk menyesuaikan kemajuan yang ada. Kini, tidak asing lagi bagi pesatren untuk belajar ilmu pengetahuan umum dengan menggunakan media teknologi canggih. Di samping ilmu pengetahuan umum, kemajuan yang paling penting yang ditunjukkan pesantren adalah diguankan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa komunikasi sehari-hari di lingkungan pesantren. Persoalan histories, tentang asal-usul pesantren tidak dapat diselesaikan seluruhnya, sebelum problematikan lainnya diselesaikan terlebih dahulu, yaitu tentang kedatangan Islam di Indonesia. Seperti diketahui bahwa kedatangan Islam di Indonesia jarang melalui peperangan, tetapi sebagian besar melalui jalan damai, dengan jalan menyingkirkan agama lain secara perlahan-lahan. Bentuk pesantren yang tersebar luas di Indonesia dewasa ini mengandung unsur-unsur berikut sebagai cirinya: Kyai sebagai pendiri, pelaksana dan guru, pelajar (santri) yang secara pribadi langsung diajar berdasarkan naskah Arab Klasik tentang pengajaran faham dan akidah ke-Islaman diajarkan berdasarkan naskah Arab Klasik tentang pengajaran faham dan akidah ke-Islaman, yaitu pesantren berbentuk asrama (tempat pendidikan dengan pemondokan dan makan). Biaya belajar, santri membawa dari rumah untuk jangka waktu tertentu. Untuk keperluan makan, santri biasanya masak sendiri secara bersama-sama atau dengan sendiri di tempat yang telah disediakan oleh pesantren. Bagi anak (santri) yang tidak mampu dan ingin tetap belajar di pesantren, mereka belajar sambil ikut bekerja disekitar lingkungan pesantren (desa). Dan tidak jarang beberapa santri tertentu ikut bekerja di rumah kiai. Mereka mengerjakan apa saja yang diperintahkan oleh kiai di siang hari, dan di malah hari
mereka berlajar bersama-sama dengan santri yang lain. Dalam istilah jawa disebut “ngawula” yaitu berniat untuk pergi ke pesantren untuk belajar, karena tidak ada biaya, mereka mengerjakan pekerjaan apa saja yang diperintahkan kiai dan hal ini dilakukan semata-mata ingin mendapatkan ridho dari guru dan kiai. Secara fisik, sebuah pesantren biasanya terdiri dari unsur-unsur dasar berikut: di pusatnya ada sebuah masjid, langgar, atau surau, yang dikelilingi bangunan tempat tinggal Kyai, dan asrama. Pesantren sering ada di batas desa yang terpisah, dengan dibatasi pagar. Sistem administrasi yang dikendalikan oleh pusat geografis dan jantung pesantren di atas yang diperankan oleh seorang yang eksklusif yang disebut dengan lurah pondok sesuai dengan mandat kyai yang diberikan kepadannya. Sekali lurah pondok bertindak sebagai :mentro” menggantikan kyai dalam melaksanakan proses belajar mengajr melalui sistem bandingan maupun sorongan. Lurah pondok biasnaya dipilih dari santri yang mempunyai integritas moral dan intelektual. Dalam beberapa kasus jika kyai tidak punya anak laki-laki, lurah pondok biasanya menjadi putra mahkota setelah masuk dalam keluarga kyai melalui perkawainan. Suksesi dunia pesantren sering berlangsung secara demikian. Pesantren tidak mempunyai jadwal yang tetap, santri belajar tidak menggunakan jadwal dengan alokasi waktu yang tetap. Guru atau kyai mengajar santri dengan sekehendaknya sendiri, tanpa adanya pembatasan waktu. Hal ini mengakibatkan sulitnya untuk membantu kurikulum atau menetapkan target penyelesaian materi pelajaran (kitab-kitab klasik) berdasarkan ketetapan waktu tertentu. Penguasaan santri terhadap materi pelajaran akan berbeda-beda sesuai dengan kerajinannya masing-masing. menjelaskan, orang mengaji berdasarkan pada kecepatan masing-masing belajar sebanyak-banyaknya atau sekedarnya menurut kebutuhannya mereka sendiri.
Pondok pesantren pada dasarnya tidak menggunakan pembatasan umur maupun jangka waktu pendidikan. Hal ini sesuai dengan pengertian secara harfiah dari salah satu hadist nabi Uthlubul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi (tuntutlah ilmu sejak buaian hingga ke liang lahat). Dari pengertian ini, konsep pendidikan pesantren sesungguhnya menerapkan konsep pendidikan seumur hidup atau long life education. Santri boleh belajar kapan saja, bermukim di situ atau selamanya jika dikehendaki atau pulang ke tempat asal bila mereka merasa cukup dan mampu mengembangkan sendiri. Pondok pesantren tidak ada istilah lulus atau tamat dari pesantren tertentu. Santri yang telah menyelesaikan beberapa kitab tertentu atau guru (kyai) menggap yang telah cukup, kyai memberikan mandat kepada santri tersebut untuk pergi ke suatu pesantren yang ditunjuk, guna untuk memperdalam atau mempelajari kitab tertentu. Atau memberikan kebebasan untuk memilih sendiri. Mereka yang tidak tamat atau belum menyelesaikan dari pondok itu, tetapi menginginkan untuk meninggalkan pondok itu diperbolehkan. Santri yang telah menyelesaikan mempelajari kitab-kitab tertentu secara bersamaa-sama, maka diselenggarakan suatu upacara yang disebut khataman. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang mandiri dan dikelola seutuhnya oleh kyai dan santri, keberadaan pesantren pada dasarnya berbeda diberbagai tempat baik kegiatannya maupun bentuknya. Namun demikian, secara umum dapat dilihat adanya pola yang sama yang menandai adanya sebuah pesantren, yaitu (1) kyai sebagai pengajar dan pendidik; (2) santri sebagai siswa terdidik; (3) masjid sebagai tempat untuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, sholat dan sebagainya; dan (4) pondok sebagai tempat tinggal siswa. Sementara itu, komponen non fisik adalah pengajian yang disampaikan dengan berbagai metode yang secara umum memiliki keragaman, yaitu standarisasi tentang keragka sistem nilai baik dan buruk, tentang patut dan tidak patut yang
menjadi dasar kehidupan dan perkembangan pondok pesantren. Fenomena lain yang menjadi ciri kepribadian pondok pesantren adalah jiwanya yaitu roh yang medasari dan meresapi seluruh kegiatan yang dilakukan oleh segenap keluarga pondok. Jiwa pondok tersebut seperti yang dirumuskan oleh K.H. Imam Zarkasyi dengan Panca Jiwa Pondok berupa (1) keikhlasan, (2) kesederhanaan, (3) persaudaraan, (4) menolong diri sendiri, dan (5) kebebaasan. Pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin, mempunyai fungsi pemeliharaan dan pendidikan mental.selain pola umum pesantren tersebut ada, namun tidak selalu demikian dalam kenyataannya, karena banyak pesantren yang menerapkan sistem klasikal yang mengadaptasi sistem sekolah modern. Tetapi untuk bidang ilmu tertentu pola tersebut masih dipakai. Di samping itu, bagi anak-anak yang cerdas dan memiliki kemampuan daripada yang lain diberi perhatian istimewa dan selalu didorong untuk selalu mengembangkan diri dan menerima kuliah pribadi secukupnya. Sebeneranya ada beberapa aspek yang diperhatikan pesantren, selain karena ia merupakan warisan budaya Indonesia. Pertama pada sistem pondok. Karena pada sistem itu pendidik bisa melalukan tuntutan dan pengawasan secara langsung. Di sini ia menekankan aspek pengaruh sistem pondok dalam proses pendidikan. Kedua, ia melihak keakraban hubungan kyai dan santri sehingga bisa memberikan pengetahuan yang hidup. Ketiga, pesantren telah mampu mencetak orang-orang yang bisa memasuki semua lapangan pekerjaan yang bersifat merdeka. Keempat, tertarik pada kehidupan kyai yang sederhana, tetapi dengan penuh kesenangan dan kegembiraan dalam memberikan penerangan bagi bangs kita yang miskin. Kelima, pesantren merupakan sistem pendidikan yang murah biaya penyelenggaranaannya untuk menyebarkan kecerdasan bangsa. 2. Sejarah Pertumbuhan Pesantren Sejarah munculnya pondok pesantren di Indonesia, tidak lepas dari sejarah
masuknya Islam di Indonesia. Karena dengan masuknya Islam itulah dikenal istilah “Pondok Pesantren”. Pondok pesantren merupakan sebutan baru dari pada faham yang masa sebelumnya telah ada. Pada seminar tentang “Masuknya Islam di Indonesia” yang dilaksanakan di Medan tahun 1963, menetapkan bahwa: masuknya Islam di Indonesia sejak abad pertama hijriah (antara abad VII dan VIII M). Dengan pertama yang dimasuki agama Islam adalah pesisir utara pantai Sumatra. Dijelaskan pula kerajaan Islam pertama adalah Lamuri Pasehi dan Perlak. Dalam kaitan ini, penelusuran asal-usul pesantren merupakan bahasan pokok yang harus disentuh jika ingin membahas lintasan sejarah yang dilaluinya. Karel Steenbrink dan Clifford Greets sepakat bahwa, pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional asli Indonesia. Mereka menambahkan bahwa pesantren merupakan kreasi anak bangsa setelah mengalamai persentuhan budaya pra-Islam, karena pesantren memiliki kesamaan dengan sistem pendidikan Hindu dan Budha. Nurchalis Madjid pernah menegaskan bahwa: Pesantren adalah artefak peradaban Indonesia yang dibangun sebagai institusi keagamaan bercorak tradisional, unik dan indigious. Karena Islam dsebarkan oleh para pedagang maka pesantren dapat dikatakan bahwa ia tumbuh dan berkembang dari kawasan pesisir, sehingga pendidikan Islam di Jawa keadannya berlainan dengan yang ada di Sumatra, Kalimantan, dan Maluku. Maulana Malik Ibrahim pendiri pesantren pertama di Jawa adalah di Gresik, dan tokoh lain yang berhasil mendidik ulama dengan mengembangkan pesantren adalah Sunan Ampel Denta Surabaya. Alumnus-alumnusnya mendirikan pesantren di Giri (Sunan Giri), di Tuban (Sunan Bonang), di Lamongan (Sunan Drajat), dan Demak (Raden Patah). Kesemuannya itu terletak di pesisir utara pulau Jawa. Penyebaran Islam di Jawa terjadi dalam dua gelombang. Gelombang pertama adalah pengislaman orang Jawa menjadi orang Islam sekedarnya, yang selesai pada abad
ke-16. Gelombang kedua, memantapkan mereka yang betul-betul menjadi orang Islam taat, yang secara pelan-pelan menggantikan cara hidup lama. Proses pemantapan berlangsung pada saat sultan-sultan Demak dan Pajang serta sultan Agung Mataram, tetapi terjadi hambatan oleh pemerintah kolonial. Kontak antara Islam dari Jawa dan negara-negara Islam yang lain sangat terabtas. Hal ini sebagai akibat dari politik Belanda dalam bidang keagamaan yang sangat membatasi kontak demikian. Adanya tekanan-tekanan pemerintah kolonial itulah yang cenderung mengembangkan pola kehidupan keagamaan yang bersifat kejawen daripada memilih menjadi santri. Di antara santri dari pesantren Ampel Denta, hanya Raden Patah yang secara khusus mempergiat usaha pendidikan dan pengajaran Islam dengan terencana dan teratur. Di mana sekitar tahun 1476 ia membentuk organisasi pendidikan dakwah “Bayangkare Islah” (Angkatan Pelopor Perbaikan). Itulah organisasi pendidikan Islam pertama yang dibentuk di Indonesia, yang sebenarnya telah dirintis oleh Sunan Ampel dalam proses pengkaderan ulama dan formalnya berdiri tahun 1476 oleh Raden Patah. Organisasi Bhayangkara Islah, dalam merencanakan programnya antara lain disebutkan: a. Tanah Jawa-Madura dibagi atas beberapa bagian untuk lapangan pekerjaan bagi pendidikan dan pengajaran. Pimpinan pekerjaan ditiap bagian wilayah dikepalai oleh seorang wali dan seorang badal (pembantu). b. Agar mudah diterima masyarakat, maka pendidikan dan pengajaran Islam, harus melalui jalan kebudayaan yang hidup di masyarakat setempat asal tidak menyalahi hukum syara’ c. Para wali dan badal selain harus pandai ilmu agama, harus pula memelihara budi pekerti diri sendiri dan berakhlak mulia, supaya menjadi suri tauladan bagi
masyarakat sekitarnya. d. Di Demak Bintara harus segera didirikan masjid agung untuk menjadi sumber ilmu dan pusat kagiatan usaha pendidikan pengajaran Islam. Di tempat-tempat sentral didirikan masjid, sementara wali diberi gelar resmi sunan ditambah dengan nama daerahnya, sedangkan badal diberi gelar kyai ageng. Para wali terkenal ialah Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Muria, dan sebagainya. Sedangkan badal yang terkenal ialah kyai ageng Sela, kyai ageng Tarup, kyai ageng Butuh, kyai ageng Gribig, dan lain sebagainya. Untuk memperlancar ajaran Bhayangkara Islah, maka oleh Wali Songo dari kerajaan Demak diambil keputusan supaya semua cabang kebudayaan, yaitu filsafah hidup, kesenian, kesusasteraan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan sebagainya sedapat mungkin diisi dengan unsur-unsur pengajaran dan pendidikan Islam. Pelaksana keputusan sendiri ditugaskan kepada Raden Syahid yang bergelar Sunan Kalijaga dan Raden Paku yang bergelar Sunan Giri. Usaha ini berhasil misalnya Sunan Kalijaga mengarang cerita wayang baru yang membawa cerita dewa-dewa Hindu menjadi Islam. Dewasa ini, sumber pendidikan Islam tidak sekedar dilakukan di masjid-masjid dan pesantren-pesantren, melainkan juga ditempuh melalui sistem pendidikan masyarakat. Raden Paku atau yang terkenal dengan Syakh Ainul Yakin yang bergelar Sunan Giri sebagai salah satu pelaksana keputusan Bayangkare Islah, dikenal sebagai seorang tokoh pendidikan, yang juga melaksanakan pendidikan Islam dengan berbagai cara permainan (role playing) berjiwa agama yang diberikan untuk anak-anak, seperti Jelungan, Jamuran,
Gendi Derit, Jor, Gula ganti, Cublak-cublak Suweng, Ilir-ilir, dan sebagainya. Demikian pula dengan penampilan wayang gedong maupun wayang kulit dan kitab panji-panji. Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan pesantren ini mendapat perhatian daripada sultan, tidak sedikit pesantren yang mendapat perhatian dan bantuan dari Sultan. Tegalsari merupakan salah satu pesantren hadiah sultan kepada kyai atas jasa-jasanya. Pesantren Tegalsari sampai abad ke-19 merupakan pondok yang terkemuka di Jawa, bahkan banyak santri yang berasal dari Sumatra, Kalimantan dan lain-lain. Sebagai pembuktian sejarah disebutkan disini bahwa pada waktu rombongan kapal laut yang berbendera Belanda di bawah pimpinan Cornelius de Houtman mendarat di salah satu kepualauan Indonesia (pulau Jawa) pada tahun 1596, mereka melihat kenyataan bahwa pulau itu terdapat perguruan rakyat yang telah dipengaruhi oleh paham Hindu dan Islam. Perguruan semacam ini tetap bertahan dalam perkembangan sejarah yang panjang, yang kemudian dikenal dengan sebutan pondok pesantren. Pada zaman pemerintah Daendels, pihak penjajah beranggapan bahwa sekolah-sekolah pemerintah (staat onderwys) tidak banyak mendatangkan hasil bagi kepentingan penjajah. Alasannya sekolah-sekolah itu hanya merupakan alat meninggikan akhlak rakyat saja dan dianggap sumber semangat perjuangan rakyat saja. Akibat penjajahan banyak masalah yang timbul, pihak penjajah tidak menghiraukan masalah pendidikan bagi rakyat Indonesia, bagitu pula pesantren yang jumlahnya mencapai ribuan dibiarkan hidup tanpa bantuan dari pihak penjajah. Melihat mengakarnya pendidikan Islam ditengah-tengah masyarakat, maka dengan perencanaan dan penelitian bertahun-tahun pemerintahan Belanda terus berusaha menghancurkan Islam.
Dengan usaha-usaha
pemerintah Hindia
Belanda
untuk
menghancurkan pendidikan Islam, justru mendapat tantangan dari bebagai golongan bangsa Indonesia. Di antaranya mereka tidak puas dengan sekolah-sekolah negeri karena tidak memberikan pelajaran agama. Hal ini disebabkan dikeluarkan ketetapan bersama raja tahun 1871, isinya melarang memberikan pelajaran agama di sekolah, oleh sebab itu anak-anak negeri, umumnya sore hari pergi mengaji di pesantren dan surau. Dari hal yang tidak memuaskan justru memunculkan organisasi Muhammadiyah yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan mendirikan sekolah-sekolah berdasarkan agama Islam. Demikian kaum santri pesantren juga mengadakan pembaharuan sistem pendidikannya dan pengajaran Islam, seperti pengajaran pengetahuan umum dan bahasa Indonesia, Ilmu Bumi, Ilmu Hitung, bahasa Belanda, dan Sejarah. Bahkan pemerintah Belanda sendiri dinilai sebagai pemerintah kafir yang menjajah agama dan bangsa mereka. Konfrontasikuam santri dengan pemerintah Hindia Belanda terlihat dari letak pesantren yang berada di pinggiran kota dan desa, bahkan di tempat-tempat kota atau desa. Melihat kenyataan yang demikian, maka pemerintah Hindia Belanda tahun 1925 mengeluarkan ordonasi yang mempersempit gerakan pembaharuan Islam, yaitu ordonasi dalam staatblad 1925 No. 219, justru jumlah santri semakin besar di tahun 1930-an. Dari kalangan santri inilah yang nantinya banyak menjadikan dirinya sebagai produk militer dari pesatren seperti Hisbullah dan Sabilillah. Pada masa setelah kemerdekaan minat anak muda terhadap pendidikan pesantren tetap tinggi. Baru setelah penyerahan kedaulatan pada bulan Desember 1949 mulai adanya penurunan secara drastic. Hal ini diakibatkan pemerintah Indonesia mengembangakan sekolah-sekolah umum seluas-luasnya, dan di samping itu jabatan-jabatan dalam administrasi modern terbuka bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut.
Hal semacam ini mengakibatkan jumlah anak muda yang tertarik oleh pendidikan pesantren semakin menurun dibandingkan dengan yang mereka mengikuti pendidikan sekolah umum. Kebanyakan pesantren-pesantren kecil mati, pesantren-pesantren besar tetap bertahan, tetapi setelah memasukkan lembaga-lembaga pendidikan formal dalam lingkungan pesantren, kini semakin banyak pesantren yang menyelenggarakan sekolah SMP, MTs, MA maupun SMU, dan satu dua telah membuka universitas-universitas yang memiliki fakultas dalam cabang pengetahuan umum. Namun demikian, tidak semua pesantren mengalami perubahan yang sama. Kini telah berkembang bermacam-macam tipe pendidikan pesantren yang masing-masing mengikuti kecenderungan yang berbeda-beda. Secara garis besar lembaga-lembaga pesantren dewasa ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar, yaitu: 1) Pesantren salafi yang tetap mempertahankan pengajaran kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Sistem madrasah ini diterapkan untuk memudahkan sistem sorongan yang dipakai dalam lembaga-lembaga
pengajian
bentuk
lama,
tanpa
mengenalkan
pengajaran pengatahuan umum. 2) Pesantren khalafi yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah – madrasah yang dikembangkan, atau membuka tipe sekolah-sekolah umum di lingkungan pesantren. Pondok Modern Gontor tidak lagi mengajarkan kitab-kitab Islam Klasik, Rejoso di Jombang telah membuka SMP, SMU dan Universitas, dan sementara itu tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik. 3. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Sebagai lembaga pendidikan, pesantren tentu saja memiliki tujuan yang ingin
dicapainya. Untuk mengidentifikasi tujuan pendidikan pesantren tersebut dipelukan identifikasi terhadap pesantren itu sendiri. Semakin lengkap elemen suatu pesantren, semakin luas pula tujuan yang ingin dicapai oleh pesantren tersebut. Pesantren adalah merupakan salah satu bentuk lembaga pendidikan dan lembaga sosial dalam usaha pendidikan mental spiritual dan pendidikan rohani, di samping juga memberikan pengetahuan ilmu agama dan umum. Dalam mewujudkan usahanya sebagai lembaga pendidikan, pesantren tidak hanya banyak memberikan bantuan terhadap masyarakat sekitarnya, melainkan juga ikut membantu usaha-usaha pemerintah dalam memeratakan pendidikan. Sebagai lembaga sosial, pesantren menjadi sarana bagi pembangunan para muslim, para santri, di samping berusaha dilakukan karena adanya kesadaran bahwa pesantren merupakan bagian dari masyarakat yang mana tidka bisa lepas dari masalah-maslah sosial yang terus berkembang. Dari kedua fungsi tersebut, lembaga pesantren lebih banyak memberikan bekal kepada para santri untuk bermanfaat. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan pesantren yaitu untuk menjadikan anak didik berbudi pekerti luhur dan sanggup hidup mandiri atau sanggup berdiri sendiri dalam kedudukannya sebagai hamba Allah. 4. Sistem Pendidikan Pesantren Dalam Islam, pendidikan mempunyai tempat dan nilai yang tinggi. Belajar dianggap sebagai ibadah kepada Allah. Konsep ini mempunyai tiga akibat penting. Waktu yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan tidak dianggap hilang. Karena itu tidak mustahil bila ada orang Islam mencurahkan waktu bertahun-tahun untuk belajar bahasa Arab tingkat permulaan dalam upaya memusatkan pada berbagai karya dan komentar ulama kuno. Karena itu proses belajar sangat lamban dan tidak menjadi persoalan berabad-abad. Tidak
ada sesuatu seperti ijazah yang diharapkan sebagai hasil berlajar kecuali sebagai ibadah kepada Allah yang dilakukan atas dasar ketaatan bukan mencari keuntungan. Pesantren telah, dibangun selama berabad-abad atas motivasi utama belajar itu sendiri. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam meiliki kekhasan, baik dari segi sistem maupun unsur pendidikan yang dimiliknya. Perbedaan dari segi sistem, terlihat dari proses belajar mengajar yang cenderung tergolong sederhana, meskipun harus diakui ada juga pesantren yang memadukan sistem modern dalam permbelajarannya. Tujuan pendidikan memperoleh nilai lebih dalam rangka mencapai kesejahteraan lahir dan batin. Makin banyak ilmu yang diperoleh manusia tetapi juga makin resiko yang dihadapi. Oleh karena itu nilai yang mendasar didirikannya lembaga pendidikan dan nilai-nilai yang diajarkan di dalamnya adalah nilai-nilai Islam sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad menurut ajaran Islam, semua yang diciptakan oleh Allah dengan sengaja dan penuh makna dan tujuan. Manusia diciptakan Allah untuk beribadah kepadaNya dengan jalan menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Secara mikro, pesantren mempunyai fungsi kontribusi dan transformasi nilai-nilai Islam yang ada di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Tetapi secara makro, pesantren diharapkan dapat berperan aktif dan memberi kontribusi berbobot di dalam sosial engineering dan transformasi sosial cultural. Untuk itu, ia harus memiliki ciri tertentu. Ada beberapa ciri pesantren yang masih relevan dan sejalan dengan berlangsungnya perubahan. Ada tiga matra (dimensi) ciri yang selalu melekat pada pesantren untuk menjalankan peranannya yang bermakna dalam proses sosial dan memberi arah pada transformasi sosial cultural. Ketiga dimensi tersebut adalah dimensi kultural, edukatif, dan sosial.
Watak mandiri merupakan ciri kultural yang harus dipertahankan, meskipun harus dijaga tidak berkembang ke arah isolasionisme. Karena itulah soladiritas yang spontan dan tak terarah ditingkatkan menjadi solidaritas yang terorganisasi dalam hubungan akademis dengan fungsional intern pesantren. Watak sederhana harus dipertahankan oleh masyarakat yang memerlukan pemupukan modal untuk membangun, tanpa menjurus ke arah peningkatan yang berlebihan terhadap kehidupan duniawi. Dimensi edukatif dapat dilihat pada output pendidikan. Secara tradisional proses pendidikan di pesantren menghasilkan pemimpin keagamaan (religius leader) atau setidak-tidaknya religius common people yang berorientasi pada masyarakat desa setempat. Makin berkembangnya deferensiasi dan spesialisasi serta adanya tuntutan dan kebutuhan baru dalam proses transformasi sosial cultural akan semakin bermakna bila ia dapat menjawab tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan baru. Menurut Tabba, ada tiga tipe output pendidikan pesantren yang dapat dikejar, yaitu: a. Religius Skillful People, yang akan menjadi tenaga-tenanga terampil tetapi sekaligus mempunyai iman yang teguh dan utuh oleh religius dalam sikap dan perilaku, yang akan mengisi kebutuhan kerja di dalam berbagai sektor pembangunan b. Religius Community Leader, yang akan menjadi penggerak yang dinamis di dalam transformasi sosial cultural dan sekaligus menjadi penjaga gawang terhadap akses pembangunan dan mampu membawakan aspirasi masyarakat terutama golongan the silent majority serta melakukan pengendalian sosial (sosial control). c. Religius Intelectual, yang mempunyai integritas kukuh serta cakap melakukan analisis ilmiah dan concern terhadap masalah sosial.
Dengan dimensi sosial, pesantren dapat dikembangkan menjadi lembaga pusat kegiatan belajar masyarakat (community learning center) yang berfungsi menyampaikan teknologi baru yang cocok buat masyarakat setempat dan memberikan pelayanan sosial dan keagamaan. Di sisi lain, masyarakat setempat dapat berfungsi sebagai laboratorium sosial, yakni pesantren melakukan eksperimen pengembangan masyarakat. Dengan demikian, terciptalah hubungan timbal balik antara pesantren dengan masyarakat setempat yang bersifat simbiosis mutualisme (saling menguntungkan). Tugas dan kewajiban pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan dalam garis besarnya dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Pembinaan kesadaran keagamaan bagi seluruh warga negara/kesadaran pendidikan dalam Ketuhanan Yang Maha Esa bagi manusia. 2) Pusat kegiatan keagamaan dari masyarakat sekitarnya. 3) Pusat pencetak dan pembina calon kader pengajar agama yang berwenang dapat dipertanggungjawabkan. 4) Pusat penelitian dan sumber pengembangan ilmu agama dalam masyarakat. 5) Sebagai pusat pendidikan, penyempuranaan pendidikan agama, di dalam lembaga sekolah, keluarga, maupun masyarakat negara. Hampir semua pesantren pertama-tama mengajarkan pelajaran tingkat dasar dalam tulisan fonetik Arab, agar santri dapat mudah membaca dan mengulang tulisan-tulisan Arab klasik, karena melafadzkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam bahasa Arab itu sendiri dianggap berpahala di sini terdapat motif, untuk menghafalkan ayat suci ini dan karenanya harus melafadzkannya secara harfiah di luar kepala. Tahap permulaan dalam penguasaan pengetahuan di pendidikan pesantren, santri baru diharuskan untuk menguasai cukup tentang bahasa Arab klasik sebagai syarat untuk
mendalami ayat-ayat keagamaan, filsafat, hukum, dan karya ilmuah (tulisan, intonasi, sintaksis, tatabahasa, dan semantic), sebagai ilmu penolong sangat memakan waktu dan merentang sepanjang seluruh masa studi sejalan dengan bertambahnya tingkatan, arinya berlangsung secara simultan dengan mempelajari kitab. Santri tingkat lanjutan, guru atau kiai membaca naskah atau ayat tersebut kata demi kata dan sekaligus menterjemahkannya. Sebab kebanyakan santri muda belum mengeri bahasa Arab, mereka menghafalkannya di luar kepala, atau mencatat keterangannya dalam bahasa Jawa dengan menggunakan huruf Arab (pegon). Secara umum spektrum naskah agama yang harus diperlajari oleh santri menurut Dhofier, mencakup kelompok berikut: a) Sintaksis Arab (Nahwu) dan Morfologi (Sharf). b) Hukum Islam (Fiqih). c) Sistem Yurisprudensi Islam (Ushul Fiqh). d) Hadist (kumpulan kata-kata dan perbauatan Nabi maupun tradisi yang beranjak dari sunnah). e) Tafsih Al-Qur’an. f) Teologi Islam (Tauhid). g) Sufisme/mistik (Tasawwuf). h) Berbagai naskah tentang Sejarah Islam (Tarikh) dan Retorika (Balaghah). Sedangkan untuk mencapai tujuan penbinaan mental spiritual, maka pesantren mengajarkan ilmu tauhid, ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu nahwu, ilmu sorf, ilmu ma’ani, ilmu badi’, ilmu bayan, dan ilmu mantiq. Pengajaran tersebut sering distrandardisasi dengan kitab wajib (al-kutub al muqarrarah) yang dikenal dengan kitab kuning. Ada beberapa metode pengajaran yang
digunakan mendalami kitab-kitab di pesantren yaitu metode wetonan, metode sorongan atau bandongan, metode muhadtsah, metode mudzakarah, dan metode majlis ta’lim. Uraian metode-metode tersebut sebagai berikut: (1) Metode Wetonan Kata wetonan berasal dari bahasa Jawa Weton. Penyelenggaraan pengajian model ini tidak dilakukan setiap hari, tetapi lima hari sekali berdasar hari pasaran. Pelaksanaannya, kiai membaca kitab dalam suatu waktu tertentu, dan santri menyimak dan mendengarkan. Metode ini bebas, sehingga tidak ada sistem kenaikan kelas, siapa yang cerdas akan cepat menyelesaikan kitab. Metode ini mendidik anak-anak kreatif. Jadi lama tidaknya santri menyelesaikan kitab. Caranya, santri mengakui kyai yang membaca, menerjemahkan, menjelaskan, mengulas kitab dalam bahasa Arab. Kelompok santri ini disebut halaqah yang berarti “lingkaran kecil”. (2) Metode Sorongan / Bandongan Sorogan/bandungan dari makna kata dalam bahasa Arab halaqah, maksudnya santri menerima ilmu dari kiai seperti halnya sorogan. Akan tetapi penyelenggaraannya dilakukan berbarengan. Kiai membaca kitab, sedang santri mendengarkannya sambil menyimak makna materi yang diberikan. Metode ini paling sulit, sebab murid membutuhkan kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi. Santri yang pandai mensorongkan (mengajukan) sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca di depan kiai tersebut. Kalau terdapat kesalahan langsung dibenarkan oleh Kiai. (3) Metode Muhadatsah Kegiatan latihan bercakap-cakap berbahasa Arab, latihan ini biasa digabung dengan mudzakarah atau khitabah yang bertujuan untuk latihan pidato.
(4) Metode Mudzakarah Pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniah. Metode ini dibedakan dua tingkat kegiatan yaitu (1) dilaksanakan sesama santri untuk memecahkan masalah yang mempergunakan kitab yang telah tersedia; dan (2) yang dipimpin oleh kiai, metode ini dilakukan jika menyangkut problem yang dianggap tinggi.
(5) Metode Majlis Ta’lim Berupa pengajian umum dan pesertanya bebas, isinya berupa nasehat-nasehat keagamaan yang disampaikan oleh kiai. Dalam pesantren modern, program pendidikan jauh lebih besar. Spectrum pendidikan pesantren, yang terdiri dari program khusus tetap, sebagian dalam bentuk pelajaran kelas, sebagian lain dalam kelompok-kelompok belajar terbuka. Spectrum pelajaran dilengkapi dengan apa yang disebut kegiatan ekstrakurikuler seperti olah raga, pendidikan budaya, latihan kerajinan, keterampilan, kelompok kerja untuk kegiatan pembangunan desa. Ekstrakurikuler ditetapkan sebagai pelengkap dan tidak diwajibkan santri untuk mengikutinya. Sistem pendidikan dalam pondok pesantren dengan ciri khasnya pengajaran klasik juga pustaka (kitab) klasik masih banyak dianut di sejumlah pesantren di Indonesia. Dan pengajaran klasik ini masih dipertahankan, khususnya pesantren-pesantren yang berdiri di lingkungan masyarakat ini belum banyak menerima pengaruh kebudayaan dari luar. Sifat keklasikan dewasa ini, telah banyak mengalami perubahan-perubahan. Proses perubahan berdasarkan kenyataan, dimana pesantren pada perkembangannya ini selalu dalam keadaan
tegang dan mandeg sistem klasiknya. Perubahan pesantren dapat dilihat dengan jelas khususnya pada beberapa pesantren yang berdiri di lingkungan masyarakat perkotaan/masyarakat yang telah banyak menerima pengaruh kebudayaan dari luar. Pada pesantren ini, meskipun tetap dipertahankan ciri-ciri klasiknya tetapi lebih lunak dan menerima unsur-unsur baru yang lebih berguna tertama dalam pelaksanaan penyesuaian kegiatan pendidikan. Pada pesantren salafi dengan sistem pendidikan klasiknya, pendidikan tersusun tidak teratur. Tetapi dengan adanya perubahan yang berlangsung dari pesantren bersifat keagamaan murni telah menyesuaikan diri dengan unsur-unsur pendidikan formal. Dengan menambah kurikulum dan mata pelajaran buku agama (umum) berkembang menjadi “madrasah terpadu”. Sebuah bentuk sekolah, disini terdapat kumpulan pranata pendidikan tradisional, keagamaan, di samping sekolah formal. Yang dalam rencana pengajarannya menguikuti petunjuk-petunjuk Departemen Pendidikan Nasional juga Departemen Agama. Oleh karena itu, isinya hampir tidak dapat diberdakan dengan sekolah negeri. Menurut Wahid A menyatakan bahwa : Akhir-akhir ini jenis sekolah ketiga dalam pesantren. Pendidikan yang seluruhnya non-agama seperti SMTP dan SMTA mulai timbul di berbagai tempat, juga menggabungkan pelajaran jam-jam sekolah dan di luar sekolah. Melalui orientasi berbeda itu pesantren tidak pernah kehilangan peranannya yang khas dalam memberikan dasar keagamaan untuk umum (baik mingguan maupun bulanan). Kemudian (para kyai) bagi penduduk desa untuk berkonsultasi mengenai masalah-masalah keagamaan atau duniawi, dan jaringan komunikasi untuk menunjang timbulnya kelas baru di daerah pedesaan. Tekanan yang lebih berat dalam waktu-waktu ini, pelajaran agama di lingkungan negeri harus pula dilihat dalam indoktrinisasi yang meningkat seperti halnya terdapat dalam pendidikan nasional. Sekarang pesantren melalui jalan non-konvensional baru di bidang pendidikan formal intern, telah memasukkan pendidikan formal di lingkungan pesantren. Di samping aktifitas keagamaan telah dikembangkan dan diberikan program pelajaran umum dan juga
pelajaran yang berorientasi pada kejuruan. Oleh karena aktifitas yang berorientasi pada lingkungan dan kejujuran, mendobrak kerangka program pendidikan intern khususnya ditujukan
pada siswa santri dan dilaksanakan dengan kerjasama yang erat dengan
penduduk pedesaan. Orientasi pendidikan yang diarahkan kepada pesantren, santri siswa diwajibkan untuk mengikuti kegiatan yang diprogramkan pesantren dengan tidak menggunggu kegiatan-kegiatan lainnya, misalnya, pendidikan formal yang diikuti santri siswa di lingkungan pesantren. Pesantren yang telah memasukkan sistem pendidikan formal di dalamnya, kegiatan-kegiatan pendidikan lebih banyak yang disesuaikan dengan pendidikan formal. Dalam arti adanya koordinasi alokasi pengaturan waktu, penyampaian isi/kurikulum secara bersama. Sehingga kegiatan-kegiatan yang diikuti santri siswa tidak mempengaruhi prestasi pada pendidikan formal intern. 5. Keberadaan Pesantren di Masyarakat Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama yang umumnya bersifat tradisional, tumbuh dan berkembang di masyarakat pedesaan melalui proses sosial yang unik. Pada masa pertumbuhan dan juga di masa perjuangan bangsa, pesantren mempunyai peran serta yang besar terhadap perjuangan bangsa terutama di bidang sosial budaya asli bangsa Indonesia. Dekade terakhir pesantren mengalami penurunan pengaruh dari masyarakat. Masyarakat mulai pudar dukungan terhadap pesantren. Lembaga ini mulai berada di ambang krisi, ketika nilai kemandiriannya tercampur dengan pendidikan orientasi ijazah. Cita-cita untuk mengabdi kepada masyarakat sebagai pendidikan agama sambil berwiraswasta makin hilang dari pikiran lulusannya, untuk digantikan dengan cita-cita
menjadi pegawai. Gejala ini telah dilihat oleh Senouch Hurgronje mengatakan, adanya kecenderungan sampai tahun 1890 jumlah pesantren bertambah, sedangkan dua puluh tahun kemudian sekolah-sekolah tipe Belanda yang semakin dapat menarik murid yang lebih banyak. Ini berarti bahwa anak-anak muda yang cerdas dan penuh ambisi semakin tertarik kepada pendidikan formal, sebab mereka akan menikmati kesempatan memperoleh pekerjaan pada birokrasi dan perusahaan modern yang semakin terbuka bagi penduduk. Kondisi ini pada gilirannya banyak sekali pesantren yang tergoda untuk larut dalam alur umum pendidikan nasional, yaitu pendidikan yang menjadikan pendidikan sebagai komoditi. Oleh karena itu, tugas yang dipandang penting adalah tetap menjaga keberadaan pesantren sebagai lembaga yang tetap diperlukan oleh rakyat dan masyarakat dengan lestari dan dinamis. Untuk mengantisipasi eksistensi pesantren yang telah dipertahankan dimata masyarakat, perlu adanya pengembangan kekuatan sosial ekonomi masyarakat yang mulai menurun. Menurut Azra, upaya untuk menata kembali semua struktur, termasuk struktur pendidikan Islam, adalah bentuk pembaruan yang terjadi dalam ranah pemikiran dan kelembagaan Islam. Oleh karena itu, pada bagian berikut akan dibahas secara berturut-turut tentang keberadaan pesantren di masyarakat antara lain, (1) pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat dan (2) lembaga sosial. a. Pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat Pesantren yang telah berumur puluhan tahun atau lebih lahir atau tuntan pengembangan masyarakat yang tentu saja berbeda dengan pengembangan masyarakat yang dikenal dewasa ini. Apa yang dikemukakan oleh pihak pesantren untuk membina masyarakat selalu disesuaikan dengan keadaan setempat dan mengikuti alur perubahan
masyarakat. Pesantren sebagai lembaga pedesaan dan perkotaan memiliki potensi untuk terlibat dalam kegiatan pengembangan partisipasi masyarakat. Salah satu modal utamanya adalah nilai-nilai keagamaan yang digumuli sehari-hari, yang bagi masyarakat sekitarnya bisa dijadikan motivasi untuk peningkatan kehidupan mereka. Bentuk-bentuk kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh pesantren juga bisa dijadikan sebagai saluran komunikasi yang cukup efektif. Pesantren dapat dijadikan sebagai lembaga untuk pengembangan partisipasi masyarakat atau kegiatan-kegiatan sosial engineering pada umumnya, sekalipun sangat tergantung pada sikap keterbukaan pesantren terhadap inovasi khususnya yang datang dari luar. Tumbuhnya kesadaran baru yang kuta ini adalah upaya mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (masyarakat yang sejahtera diampuni oleh Tuhan). Cita-cita kemasyarakatan akan efektif disalurkan dalam program pembangunan sosial, pendidikan, dan dakwah. Kegiatan pengembangan masyarakat melalui pondok pesantren sudah berlangsung cukup lama. Akan tetapi, masih banyak kekurangan dalam pelaskanaan di masa-masa mendatang. Prosedur pembinaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang dinamis dan mampu mengembangkan masyarakat. Menurut Djailani, pengembangan masyarakat harus didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) Pada dasarnya pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, oleh karena itu dalam pengembangannya harus merupakan pemantapan dari pendidikan tersebut, dan mengarahkan kepada tujuan pondok pesantren. 2) Dalam pengembangannya, pondok pesantren sangat berbeda-beda bentuk potensinya. Oleh karena itu, dalam pengembangan pendidikan dan keterampilan harus singkron dengan potensi yang dimiliki pondok pesantren. Demikian juga
jurusan dan arah pengembangannya. 3) Di samping lembaga pendidikan, pondok pesantren sekaligus sebagai lembaga kemasyarakatan. Oleh karena itu, pengembangan pondok pesantren, serta bantuan dari pemerintah pusat. Kegiatan pengembangan masyarakat ini sebenarnya terbatas sebagai katalisator yang berusaha mendorong supaya pondok pesantren itu sendiri bisa meningkatkan peran kemasyarakatannya, atau membantu kalangan pondok pesantren untuk menyesaikan dirinya terhadap tuntutan proses modernisasi atau pembangunan. Salah satu tujuannya adalah bagaimana pesantren bisa semakin berperan dalam proses pembangunan desa. Keberadaan pesantren sebagai lembaga yang didirikan oleh dan untuk masyarakat. Namun demikian untuk diterimannya pikirannya mengenai pembangunan masyarakat yang lebih terencana itu bagaimana pun tergantung dari persepsi dan sikap keterbukaan kyai dan watak pembangunan itu sendiri. Pembangunan yang berwatak kemanusiaan, suatu pembangunan yang mempenglimakan harkat dan martabat insaniyah, sudah tentu sebagai penyantun umat manusia (orang-orang desa) sehingga hidupnya beranjak menjadi lebih sejahtera dan bahagian. Jika pesantren-pesantren yang kyaitannya mempunyai wawasan dan cisi yang luas, serta jelas mengenai watak pembangunan masyarakat, program pengembangan masyarakat melalui pesantren bisa berjalan dengan lancar. Wujud pengembangan masyarakat oleh pesantren kini dapat dilihat hubungan tradisional pesantren dengan masyarakat yang berbentuk pengajian, kini diubah dengan upaya menumbuhkan kesabaran perlunya peningkatan kualitas hidup masyarakat yang berjalan baik itu dijadikan sarana kampanye program pemerintah seperti transmigrasi dan keluarga berencana. Bahkan, sebagian besar pesantren di Jawa mengadakan usaha bersama dengan
warga masyarakat sekitanya. Sebagai contoh, pesantren Cipasung yang didirikan tahun 1930 membentuk Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM) tahun 1978 yang bertugas menyelenggarakan usaha bersama dengan pedagang kecil, koperasi sekolah, pendidikan dan latihan, program kesehatan masyarakat, teknologi tepat guna, penelitian sosial keagamaan. Dengan demikian, diperlukan tenaga-tenaga pelaksana dari program di atas. Biasanya tenaga diambil dari santri-santri sendiri, yang dididik sebelumnya sesuai dengan keperluan pesantren masing-masing. Berbagai bentuk keterampilan diberikan dalam bentuk khusus dan pelatihan. Program pengembangan masyarakat yang dijalankan pesantren biasanya dibantu oleh lembaga-lembaga luar, seperti Lembaga Penelitian dan Pendidikan, dan penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Departemen Agama dan organisasi-organisasi non pemerintah lain, baik dalam maupun luar negeri. Ini membuktikan bahwa pesantren tidak lagi merupakan suatu lembaga keagamaan yang tertutup dan selalu curiga kepada pihak-pihak luar, sebagaimana digambarkan oleh sebagian pengamat. Sebagai kelompok sasaran dari program ini adalah masyarakat yang berada di sekitar pesantren. Pada umumnya, mereka itu berada pada satu desa dengan pesantren, tetapi juga mencakup warga masyarakat dari beberapa desa yang masih dalam jangkauan. Secara umum menekankan agar masyarakat yang dilibatkan dalam kegiatan pembangunan masyarakat ini diutamakan kelompok yang perlu mendapatkan perhatian. Dari sini dapat disebutkan kriteria kelompok sasaran program adalah masyarakat lapisan bawah yang selama ini kurang tersentuh kegiatan pembangunan. Dan dari kriteria semacam itu, maka kelompok sasaran pengembangan masyarakat melalui pesantren ini mencakup: pedagang kecil, pengusaha kecil, pengrajin rumah tangga, buruh tani, petani berlahan sempit, nelayan, bahkan termasuk peningkatan gizi balita.
b. Pesantren sebagai lembaga sosial Pada awalnya pesantren merupakan lembaga keagamaan sebagai sarana sosialisasi nilai-nilai agama Islam yang efektif. Dan akhir-akhir ini terdapat suatu kecenderungan, beberapa pesantren memperluas fungsi dirinya, tidak hanya sebagai lembaga agama saja, melainkan sebagai lembaga sosial. Dengan keunikan dan kekhasan lembaga pesantren mengundang pihak luar untuk memperluas fungsinya, terutama berkaitan dengan pengembangan wawasan keilmuan, baik ilmu agama (Islam) itu sendiri maupun ilmu pengetahuan umum, serta keterampilan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Tugas kemasyarakatan pesantren sebenarnya tidak mengurangi arti tugas keagamaan, karena dapat berupa penjabaran nilai-nilai kehidupan keagamaan bagi kemaslahatan masyarakat luas. Dengan tugas pesantren seperti itu akan menjadikan nilai bersama, didukung dan dipelihara oleh kalangan yang lebih luas serta akan berkesempatan melihat pelaksanaan nilai hidup keagamaan dalam kehidupan sehari-hari, dan bukan hanya kegiatan dalam tempat peribadatan dan ritual saja. Dengan
fungsi
sosial,
pesantren
diharapkan
peka
dalam
menanggapi
persoalan-persoalan kemasyarakatn, seperti: mengatasi kemiskinan, memelihara tali persaudaraan, memberantas pengangguran, memberantas kebodohan, menciptakan kehidupan yang sehat, dan sebagainya. Usaha-usaha yang mempunyai watak sosial ini bukan saja kegiatan-kegiatan yang langsung ditujukan kepada masyarakat, melainkan juga menjadi program internal (kurikuler) pesantren. Hal terakhir ini justru menjadi semacam investasi sosial jangka panjang bagi kelangsungan hidup bersama. Materi pendidikan pesantren, pendekatan-pendekatan yang dijalankan hendaknya dikaji dan relevansi kemasyarakatan dengan bentuk perubahan. Dengan demikian, membuat pesantren hidup tidak hanya bercorak agama saja, melainkan
membawa persoalan nyata dimasyarakat ke dalam pesantren, mencoba memahami persoalan tersebut, dan mencari kemungkinan pemecahannya atas dasar aspirasi-aspirasi ajaran agama dengan pedoman-pedoman kailmuan dan kemasyarakatan. Jika sementara ada yang mempermasalahkan keberadaan pesantren dan santri saat ini dalam hubungannya dengan pembangunan umat, untuk hal ini dapat dan kondisi-kondisi objektif pesantren dan santri dewasa ini, sehingga diperoleh model yang diinginkan bagi santri dan pesantren. Bagaimana pesan santri dalam perpektif pembangunan umat sering dipertahankan, sehingga menimbulkan banyak definisi yang beraneka ragam. Menurut K.H. Wahid Zaini, santri memiliki tiga ciri, pertama, peduli terhadap kewajiban ‘ainiyah (ihtimam bil furudhi ‘ainiyah); kedua, menjaga hubungan dengan khaliq (khusnul mu’amalah ma’a al-khaliq); dan ketiga, menjaga hubungan baik dengan sesama makhluk (khusnul mu’amalah ma’a al-khalqi). Dengan demikian, di mata masyarakat modern, pesantren dipandang sebagai lembaga yang sangat berhasil dalam sosialisasi nilai-nilai dan ajaran agama Islam di kalangan generasi muda, karena itu ia dipandang mempunyai kekuatan dalam membendung arus perilaku yang menyimpang di kalangan generasi muda. Kenyataan ini didukung oleh banyaknya orang tua yang mengirimkan anak muda yang telah terjerumus dalam perilaku menyimpang, ke lembaga pendidikan pesantren. c. Pesantren sebagai tempat pembinaan generasi muda Generasi muda secara umum menjadi pewaris dan penerus perjuangan bangsa yang mempunyai fase dan siklus pembentukan kepribadian manusia. Dan dalam fase ini mempunyai ciri-ciri khusus yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Ciri yang menonjol adalah peranannya dalam masa peralihannya menuju suatu kedudukan yang bertanggung jawab dalam tatanan masyarakat.
Generasi muda dapat dipandang sebagai the young man recources (sumber daya manusia muda), dalam aktivitas pembangunan fisik dan mental dalam rangka cita-cita rasional. Sebagai sumber kekuatan pembangunan nasional dari aspek human kapital tentunya memiliki seperangkat potensi awal pada dirinya. Karenanya, pelibatan secara menyeluruh potensi generasi muda dalam pembangunan nasional sangat besar artinya bagi keberhasilan proses pembangunan itu sendiri. Dalam struktur sosial Indonesia, generasi muda menduduki posisi yang strategis, artinya keberadaan serta aktifitasnnya memberikan konsekuensi langsung terhadap pola dan arah perkembangan sosial dan politik. Secara kuatitatif, hampir separo penduduk Indonesia terdiri dari generasi muda atau pemuda. Ini menunjukkan bahwa secara potensial bangsa Indonesia memiliki modal manusia dalam pembangunan yang besar dari kalangan generasi muda. Dari kondisi tersebut penting adanya pengembangan, pembinaan, dan pemanfaatan sumber daya manusia berupa generasi muda. Generasi muda adalah harapan bangsa, oleh karena itu perlu untuk mengarahkan dan mengolah sumber potensi generasi muda untuk mengabdikan kemampuannya secara maksimal bagi kepentingan bangsa dan negara. Tingkat keberhasilan dari pembangunan bangsa sangat tergantung daripada pembinaan dan pengembangan pendidikan generasi muda. Wajar dewasa ini program pemerintah lebih ditekankan pada pengembangan potensi generasi muda seperti disebutkan dalam TAP MPR No. 11/MPR/1988, 9 (6) mengarahkan untuk membentuk pemuda Indonesia menjadi kader bangsa yang tangguh yang memiliki wawasan kebangsaan yang luas dan utuh dan diupayakan pula sebagai usaha mengatasi berbagai tantangan pembangunan seperti antara lain masalah lapangan pekerjaan dan pendidikan. Dilihat dari aspek regenerasi masalah pembinaan dan pengembangan pemuda
menjadi lebih penting, karena sebagai generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, pemuda-pemuda Indonesia harus diarahkan dan dipersiapkan dengan matang guna memberikan jaminan masa depan bangsa dalam rangka melestarikan Pancasila dan UUD 194 serta kesinambungan pembangunan nasional. Kaum muda dalam perkembangannya, dihadapkan pada masalah-masalah generasi dan reskonstruksi sosial politik serta kebudayaan. Kemajuan dan perubahan kondisi politik merupakan realitas lingkungan generasi muda yang harus disikapi secara wajar dan proporsional. Oleh karena itu, pendidikan dan pembinaan generasi muda menjadi semakin sentral. Pemberian bekal dan usaha-usaha yang bersifat motivatif terhadap dinamika dan kreativitas generasi muda dalam keseluruhan aspek perkembangan nampaknya tuntutan yang tak terelakkan. Lingkungan pendidikan secara khusus memberikan pembinaan generasi muda untuk mengantarakannya ke jenjang kehidupan yang realistis dan dinamis. Upaya-upaya pembinaan generasi muda diperlukan, mengingat berbagai hal yang menjadi dasar pertimbngan dan merupakan masalah yang dihadapi generasi muda dalam bidang pendidikan antara lain: 1) Adanya gejala semakin menurunnya, wibawa guru terahadap anak didik di satu pihak dengan perubahan tingkah laku generasi muda, di lain pihak yang menghendaki pola-pola lain. 2) Cukup banyak jumlah anak-anak yang berhenti sekolah dari berbagai tingkat pendidikan formal. B. Remaja dan Permasalahannya 1.
Pengertian remaja Masa remaja merupakan masa yang tidak jelas posisi dan batasannya. Ia tidak
termasuk golongan anak, tetapi tidak pula termasuk golongan orang dewasa dan orang tua. Golongan anak adalah mereka yang masih belum selesai perkembangannya, golongan dewasa sudah dapat dianggap penuh, ia sudah menguasai sepenuhnya fungsi-fungsi pisik dan
psikisnya,
dan
golongan
tua
adalah
umumnya
dapat
dilihat
dari
kemunduran-kemunduran terutama dalam fungsi pisiknya, seperti perubahan kulit menjadi keriput, rambutnya memutih, dan lain sebagainya. Sedang masa remaja ada di antara anak dan orang dewasa, sehingga masa ini biasanya disebut dengan masa adolensi. Masa adolensi menurut oleh sebagian ahli psikologi anak juga biasa disebut dengan masa physiological learning dan social learning (masa yang sedang mengalami pematangan pisik dan sosial). Aristoteles memberikan definisi berdasarkan perkembangan biologis. Masa remaja atau pubertas adalah masa peralihan dari masa anak menuju masa dewasa yang berumur di antara 14 sampai 21 tahun. Fase ini ditandai dengan mulai bekerjanya perlengkapan kelamin(misalnya kelenjar). Pada masa inilah alat-alat kelamin manusia mecapai kematangan. Atau, masa remaja atau pubertas adalah suatu masa dimana alat-alat kelamin seseorang telah mencapai bentuk dan berfungsi secara sempurna. Masa ini biasanya ditandai dengan keluarnya darah haid pertama bagi perempuan dan keluarnya sperma bagi laki-laki. Persoalanannya adalah pada pertanyaan, pada usia berapa perisnya seseorang mengeluarkan darah haid atau sperma pertama kali? Nampaknya hal ini terkait dengan kondisi tumbuh seseorang, tepatnya pada keadaan gizi yang ada pada masung individu. Semakin baik keadaan gizi seseorang. Maka akan semakin mempercepat pertumbuhan organ-organ seksualnya, sehingga tidak memberikan kalau ada yang mengeluarkan darah haid pertamanya pada usia 9 tahun, namun ada juga yang berumur 17 tahun baru memperoleh haidnya yang pertama.
WHO (badan kesehatan dunia) mendefinisikan remaja menurut 3 (tiga) kriteria, yakni; biologik, psikologik, dan sosial ekonomi, sehingga bunyi lengkapnya definisi itu adalah sebagai berikut: Remaja adalah suatu masa di mana (1) individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksial sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, (2) individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, dan (3) terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang telatif lebih mandiri. Dalam Islam, menurut Al-Zuhayly, remaja dikenal dengan istilah baligh (cukup umur), seseorang yang dianggap baligh bila ia sudah mengalami mimpi basah bagi laki-laki dan mengeluarkan darah haid bagi perempuan. Sedang menurut Imam Malik adalah saat sempurnanya umur 12 tahun, dan menurut Imam Abu Hanifah adalah saat umur 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Sedangkan menurut Jumhur ul-ulama adalah 15 tahun sampai umur dewasa. Adapun mengenai awal umur dewasa tidak ada penjelasan, tetapi ada indikator yang dapat dijadikan ukuran, yakni setelah mampu mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Walaupun ada perbedaan dalam menetapkan permulaan usia bagi masa remaja, namun mereka ada kesepakatan dengan batas keluarnya haid bagi wanita dan mimpi basah bagi laki-laki. Penetapan umur tersebut sebenarnya hanyalah untuk memberi batasan bagi mereka yang tidak pernah mimpi basah bagi laki-laki dan mengeluarkan darah haid bagi perempuan sedangkan ia sudah nampak dewasa, sedangkan mengetahui awal remaja dalam hukum Islam sangatlah penting, sebab saat itulah seseorang mulai dibebani (mukallaf) dengan segala kewajiban agama. 2.
Fase-fase perkembangan remaja Ketidakjelasan batasan masa remaja di atas, menyebabkan perbedaan dalam
penetapan fase-fase perkembangan remaja. Di antar psikologi ada yang membagi menjadi dua fase dan ada yang membaginya menjadi tiga fase dengan pembagian usia yang berbeda-beda. Zakiah Darajat membagi masa remaja menjadi dua tingkat, yaitu pertama masa awal remaja awal, kira-kira dari umur 13 sampai dengan umur 16 tahun, dimana pertumbuhan jasmani dan kecerdasan berjalan sangat cepat. Kedua, masa remaja akhir, yaitu kira-kira antara umur 17 tahun sampai umur 21 tahun, yang meruoakan akhir dari perubahan (pertumbuhan dan perkembangan) yang sangat cepat dari fase remaja khususnya dalam pembinaan pribadi dan sosial. Sedang kemantapan beragama dicapai pada usia 24 tahun. Berbeda dengan Zakiah, Nawawi membagi masa adolesen menjadi tiga fase, yaitu yang disebut dengan masa pra-remaja (early adolesence) yang berkisar antaa usia 12-15 tahun, masa pubertas yang berlangsung pada usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir (late adolecence) yang berkisar antara 18-21 tahun yang juga biasa disebut dengan “Masa Awal Kedewasaan”. Sedang ada yang membagi masa remaja atau adolesen dalam masa pra-pubertas, pubertas dan adolensi tanpa memberikan tapi hanya memberikan indikator-indikator pada masing-masing fase tersebut sebagaimana yang tertera dalam akhir pembahasan fase-fase ini. Psikolog modern, umumnya sudah mulai membedakan perbedaan usia antara perempuan dengan laki-laki dalam perkembangan dan pertumbuhan yang didasarkan atas suatu kenyataan bahwa umumnya perempuan lebih cepat 1 (satu) tahun dalam mencapai kematangan daripada laki-laki dalam setiap fase perkembangan, sehingga secara detilnya adalah berikut ini: Masa pra-pubertas 10 ½ - 13 tahun (perempuan) dan 12-14 tahun (laki-laki). Masa pubertas bagi perempuan 13-15 ½ dan 14 – 16 tahun bagi laki-laki, masa krisis remaja perempuan antara usia 15 ½ - 16 ½ tahun dan laki-laki 16 – 17 tahun,
sedangkan masa adolensi bagi perempuan antara usia 16 ½ - 20 tahun bagi perempuan dan 17 – 21 tahun bagi laki-laki. Sebenarnya batas yang tegas terhadap perkembangan dan pertumbuhan dengan berdasarkan usia tidak akan mungkin dapat diberikan, sebab perkembangan dan pertumbuhan sangat tergantung pada faktor pembawaan dan lingkungan masing-masing individu. Namun untuk keperluan penelitian dan agar tidak terlalu terjebak dalam perselisihan periodisasi di atas dengan mempetimbangkan keberagamannya, maka dalam penelitian ini memakai pembagian sebagai berikut: a. Masa pra-remaja, atau pubertas Masa pra-remaja atau pubertas adalah periode sekitar kurang lebih dua tahun sebelum terjadinya pemasakan seksual yang sesungguhnya, tetapi sudah terjadi perkembangan fisiologis yang berhubungan dengan pemasakan beberapa kelenjar endokrin. Zat-zat yang dikeluarkannya disebut dengan hormon. Hormon-hormon tadi memberikan rangsangan-rangsangan tertentu, suatu rangsangan hormonal yang menyebabkan anak merasa tidak tenang, suatu perasaan yang belum pernah ia rasakan dan tidak dapat dimengertinya. Masa inilah yang memisahkannya dengan masa kanak-kanak yang serba menyenangkan. b. Masa remaja atau pubertas Pubertas berasal dari kata puber (Inggris = puberty) yang kata latinnya pubescere yang berarti masa pertumbuhan rambut di daerah tulang pusic (di wilayah kemaluan). Masa pubertas atau biasa disebut baligh ini diawali dengan mimpi basah atau haid pertama. Tanda-tanda yang lain adalah; tumbuhnya payudara yang nampak dengan sedikit mencuatnya bagian putting susu bagi perempuan dan adanya perubahan suara bagi laki-laki
dan perempuan. Dalam bidang seksualitas, masa ini terjadi perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksualitas (libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah-laku seksual tertentu, sedangkan hasrat tersebut tidak dapat tersalurkan dengan cepat karena ada aturan-aturan dari agama dan masyarakat yang melarang pergaulan bebas (seperti: mastrubasi, onani, berciuman). Adanya pembatasan umur dalam undang-undang tentang perkawinan (sedikitnya 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki), juga tuntutan norma social makin lama makin menuntut persyaratan makin tinggi untuk perkawinan (seperti: tingkat pendidikan, pekerjaan, persiapan mental, dan lain sebagainya), sehingga bagi remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat kecenderungan untuk melanggar larangan-larangan tersebut. Massa remaja atau pubertas dapat diketahui dari pertumbuhan physik yang berjalan lebih cepat daripada sebelumnya, terutama tinggi dan berat badan serta bagian-bagian tubuh yang lain. Pada anak perempuan, masa ini ditandai dengan menstruasi yang pertama, sedang yang laki-laki biasanya ditandai dengan mimi basah yang pertama kali. Pada periode ini juga, para remaja mulai mengadakan penyesuaian sosial. Mereka suka dengan hidup berkelompok dan mulai timbuh minat terhadap lawan jenis. c. Masa remaja pertengahan Masa remaja pertengahan adalah suatu masa yang krisis bagi perkembangan remaja. Ia dalam kondisi kebimbingan karena sulitnya menentukan identitas dirinya; sebagai individu yang peka atau tidak peduli, ikut ramai-ramai atau menyendiri (memilih kematangan), optimis atau pesimis, idealis atau materialis, dan sebagainya. Di satu sisi ia sangat mendambakan banyak teman yang menyukainya dan juga mempunyai kecenderungan narcisistic, yaitu mencintai diri sendiri dan menyukai teman-teman yang
mempunyai kesamaan sikap dengan dirinya. Pada tahap ini, remaja pria harus membebaskan diri dari oedipus complex, yakni perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak dan remaja wanita harus membebaskan diri dari electa complex, yakni perasaan cinta kepada ayah, dengan mempererat hubungan dengan teman-temannya dari lain jenis. d. Masa remaja akhir Masa ini adalah suatu tahap konsolidasi menuju periode kedewasaan. Pada masalah seksual juga terjadi kegoncangan. Hal ini diakibatkan oleh besarnya dorongan seksualnya, sedangkan norma agama, masyarakat, dan negara telah mengatur dengan ketat tentang penyaluran nafsu seksual tersebut, sedangkan di sisi lain terlihat banyak orang lain yang melanggar aturan-aturan tersebut. Pada saat itulah keselamatan remaja ditentukan oleh pemahaman keagamaan, perhatian orang tua, dan kepedulian guru. Namun di satu sisi, egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) telah diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain dan tumbuhnya “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (public), sehingga pada fase ini perhatian remaja sudah mulai besar terhadap persoalan-persolan yang menyangkut nasib rakyat, masa depan bangsa, dan kedudukannya (peranannya) dalam masyarakat.
3. Penyalahgunaan narkoba dikalangan remaja Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa narkoba sudah menjadi hantu masyarakat. Narkoba telah menimbulkan akibat yang fatal terhadap masa depan bangsa
karena korban penyalahgunaan narkoba sebagaian besar anak-anak remaja yang merupakan harapan bangsa, penerus generasi tua. Akhir-akhir ini ada hasil penelitian yang mengejutkan, yakni lebih dari 70% remaja telah mengenal narkoba bahkan telah mencobanya. Penelitian ini mengambil sample anak-anak SMP dan SMU di ibu kota, Jakarta. Ternyata survei terkini menyimpulkan yang lebih mengejutkan lagi bahwa narkoba tidak hanya beredar di kota-kota besar di Jawa seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya melainkan juga beredar di kota-kota bahkan di kampung-kampung. Banyak sudah remaja yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, dan jumlah itu setiap hari semakin meningkat kuantitasnya. Setiap hari televisi menyajikan bagaimana narkoba telah merusak masa depan dan menjadi penyebab merosotnya moral anak bangsa. Pemerkosaan, pencurian, penodongan, pembunuhan, dan tindakan-tindakan kriminal lainnya sering dipicu oleh penyalahgunaan narkoba. Peredaran narkoba juga sulit diberantas. Jaringan perdagangannya sangat rapi dan rahasia. Meskipun polisi setiap hari berhasil menangkap para pengedar narkoba, selalu saja masih ada peredasarn narkoba yang tidak terdeteksi. Setiap kali ditemukan modus-modus baru dalam peredaran narkoba. Untuk menanggulangi penyalahgunaan narkoba, banyak upaya yang telah dilakukan, baik oleh pemerintah, maupun masyarakat. Pemerintah telah menetapkan Undang-undang Anti Narkoba yang menetapkan hukuman berat kepada para pengguna dan pengedar narkoba. Pemerintah juga membentuk Badan Narkoba Nasional (BNN) untuk memberantas peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Masyarakat tidak ketinggalan. Banyak lembaga swadaya masyarakat yang
berpartisipasi dalam penanggulangan penyalahgunaan narkoba, misalnya gerakan anti narkoba (GEMPAR), dan lain sebagainya. Salah satu upaya yang paling digalakkan adalah melalui pendidikan, baik formal maupun non-formal. Sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta berlomba-lomba mengadakan upaya-upaya menanggulangi penyalahgunaan narkoba di kalangan para siswannya. C. Narkoba dan Akibatnya 1. Definisi Narkoba Kata Narkoba berasal dari bahasa yunani purba, asal kata dari “nake” yang artinya beku, lumpuh dan dungu. Pengertian ini diambil dari segi akibatnya bila narkotika disalahgunakan. Masalah narkotika dan obat-obatan berbahaya tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika dan Undang-Undang RI nomor 5 tahun 1997 tentang obat-obatan berbahasa (psikotropika). Djajoesman dalam bukunya “Mari Bersatu Memberantas Bahaya Penyalahgunaan Narkoba”, mengemukakan bahwa: Narkotika dan obat-obatan terlarang adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat mempengaruhi sistem syaraf pusat yang berpengaruh dan merusak fisik maupun psikis yang dapat menimbulkan ketergantungan. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian narkoba adalah suatu zat atau obat yang diproduksi untuk keperluan pengobatan dalam dunia medis. Kerjanya sangat keras, sehingga penggunaannnya harus melalui resep dokter. Jika disalah gunakan akan mempengaruhi fisik dan psikis yang mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan yang berpengaruh pada sususnan syafat pusat dan tidak dibenarkan oleh budaya masyarakat Indonesia. 2. Jenis – Jenis Narkoba
Jenis-jenis
narkoba
pada
umumnya
diibedakan
ke
dalam
beberapa
golongan-golongan sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia no. 12 tahun 1997 dan Undang-undang Republik Indonesi nomor 5 tahun 1997, antara lain: a. Jenis-jenis Narkoba Jenis-jenis narkoba (1) Golongan I antara lain, (a) tanaman Papaver semniferum, (b) opium, (c) kokain, (d) heroin, morfin, (3) ganja, (2) golongan II antara lain; (a) alfesitimetadol, (b) benzetidin, (c) betametadol, (3) golongan III antara lain, (a) asitihidroteina, (b) dokstropresifem, (c) dihidrokomendina. Diantara sekian banyaknya jenis-jenis narkoba, pada umumnya yang sedang populer banyak disalahgunakan pada akhir-akhir ini adalah: 1) Candu (Opium) Berasal dari getah tanaman Papaver somniferum yang mempunyai khasiat farmakologi mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri (analgesik). Bentuknya seperti adonan yang lembek, seperti aspal yang lunak dan sedikit lengket. Biasanya diperdagangkan dalam bukus kantong plastik bungkusan timah hitam. Pemakaiannya dengan cara dihisap/dirokok. 2) Kokain Berasal dari tumbuh-tumbuhan Papever somniferum/erythroxylon coca yang diambil daunnya. Jenis tumbuhan ini banyak tumbuh dilereng gunung Andes di Amerika Selatan. Sejak beberapa abad yang silam, orang-orang Indian Inca Suka mengunyah daun koka dalam upacara ritual atau untuk menahan lapar atau letih. Kokain ketika telah diolah akan berbentuk seperti bubuk kristal berwarna putih, cairan dan tablet. Pemakaiannya dengan cara disuntik, dihisap dan diminum. Akibat dari
pemakaian adalah tidak bisa tidur, tidak ada nafsu makan, hilang rasa letih, kuat dan bersemangat. 3) Morfin Morfin adalah opioda alamiah yang mempunyai daya analgesik yang kuat, berbentuk kristal, berwarna putih dan berubah warna menjadi kecoklatan dan tidak berbau. Berasal dari bahasa Yunani yaitu “Morpheus” yang artinya Dewa Mimpi yang dipuja-puja. Diperoleh dari pengolahan candu mentah secara kimiawi. Bentuknya seperti bubuk/serbuk berwarna putih, cairan, balokan dan tablet disilet dan diminum. Akibat dari pemakaiannya adalah akan mengurangi rasa nyeri, mengganggu jalan pikiran, tersumbatnya pernafasan dan tidur terus. 4) Ganja Berasal dari tumbuhan yang bernama “Cannabis sativa” atau perdu liar yang diambil daunnya
dan
ujung
tangkai
yang
sedang
berbunga.
Bentuknya
seperti
tembakau/rumput-rumputan yang sering dimasukkan ke dalam rokok. Akibat dari pemakaiannya adalah akan menimbulkan rasa kantuk yang berlebihan, apatis, badan kurus. Mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. 5) Heroin/Putaw Berasal dari morfin sebagai proses kimiawi. Daya kerjanya keras. Berikutnya seperti bubuk atau serbuk. Pemakaiannya dengan cara mencampurkan heroin ke dalam kapur, tawas, gips, dan lainnya. Akibat dari pemakaian secara berlebihan akan menghilangkan rasa takut dan memberi ketenangan. b. Jenis – jenis obat berbahaya
Jenis-jenis obat-obat berbahaya (1)golongan I antara lain, (a) MDMA, yang dikenal dengan nama ekstasi, (b) N-etil MDA juga terdapat dalam kandungan ekstasi, (c) MMDA juga terdapat dalam kandungan ekstasi, (2) golongan II antara lain, (a) amfetamin yang dikenal dengan sabu-sabu, (b) deksamfetamin, (c) fentilina, (3) golongan III antara lain, (a) amobarbital, (b) buprenorfina, (c) buralbiral, (4) golongan IV antara lain, (a) diacepam yang dikenal dengan nama nipam, BK dan magadon, (b) metrazepam, (c) nordazepam. Diantara sekian banyaknya jenis-jenis obat-obatan berbahaya, pada umumnya yang sedang popular banyak disalahgunakan pada akhir-akhir ini adalah: 1) Jenis Obat-obatan Berbahaya Golongan I Ekstasi/Ineks. Nama ekstasi dipakai dipasaran gelap. Jenis obat/zat ini tergolong obat perangsang. Bentuknya tablet/pil dan berwarna yang disesuaikan dengan kualitasnya. Akibat dari pemakain yang salah akan mengakibatkan gangguan dalam fungsi berpikir, perasaan dan perilaku seperti tekanan darah tinggi/rendah, mual, berkeringat, kewaspadaan meningkat dan banyak bicara. 2) Jenis Obat-obatan Golongan II Sabu-sabu. Jenis obat ini termasuk golongan II. Bentuknya seperti kristal halus. Akibat dari pemakaiannya akan menimbulkan semangat, tidak bisa tidur, badan kurus dan membuat tubuh terasa lebih kuat. 3) Jenis Obat-obatan Golongan IV a) Pil BK Jenis obat ini termasuk golongan IV. Pil BK/sedatin berbentuk seperti pil atau tablet
yang berwarna. Akibat dari pemakaian yang salah akan mengakibatkan pikiran melayang-layang timbul rasa keberanian untuk melakukan sesuatu dan bicaranya tidak karuan. b) Magadon Jenis obat ini termasuk golongan IV. Magadon berbentuk pil dan kapsul cara pemakaianya dengan dikunyah. Akibat dari pemakaian adalah berani berbicara, badan menjadi lemas. c) Nipam Obat jenis ini termasuk golongan IV. Nipan berbentuk kapsil atau pil ayang berwarna biru dan orange. Cara pemakaian nipam adalah ditelan dengan air. Akibat dari pemakaiannya adalah kepala terasa pusing, tidak berpikir sehat dan menghayal. 3. Sebab–sebab Penyalahgunaan Narkoba Ada banyak faktor penyebab remaja menyalahgunakan narkoba. Ini merupakan masalah yang sulit ditanggulangi. Satu atau dua faktor kemungkinan dapat disembuhkan tetapi karena faktor lain maka kemungkinan menanggulangi semakin sulit. Setiap remaja mempunyai latar belakang masalah sendiri mengapa terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba ini. Hasil survei dari Fakultas Psikologi Gajah Mada dan POLDA Jawa Timur pada tahun 1975 di Surabaya, telah menemukan faktor dominan penyebab penyalahgunaan narkoba oleh remaja, yaitu: a. Mengikuti ajakan teman Remaja makin lama melepaskan diri dari orang tua untuk dapat berdiri sendiri. Adanya kekuranganserasian kepentingan remaja dengan orang tua dapat mengakibatkan
remaja
banyak
mendapatkan
bantuan
emosional/pendapat
dari
kelompok
kawan-kawannya. Kelompok teman yang baik akan menjadikan remaja berkembang keadar positif sedangkan kelompok teman yang kurang baik dan menyeret remaja ke hal-hal yang negatif, salah satunya adalah penyalahgunaan narkoba. b. Untuk memenuhi kebutuhan yang diinginkan Salah satu ciri dari remaja adalah usaha untuk mencapai kebutuhan atau sesuatu yang diinginkan. Keinginan remaja dapat berupa kebutuhan pribadi yang mendesak yang kadang-kadng dipengaruhi oleh teman-temannya.
Pencapaian keinginan remaja
kadang-kadang terpaksa, harus melakukan perbuatan yang nekat yang akhirnya terjerumus ke arah penyalahgunaan narkoba. c. Pelarian dari kesedihan Disebabkan kurangnya kasih sayang dari orangtua atau keadaan rumah tangga yang kurang harmonis. Jika remaja begitu saja mereka akan mereasa terlantar secara psikologi dan menyebabkan timbulnya frustasi yang bertumpuk-tumpuk. Sedang Nugroho Djajoesman menuliskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyalahgunaan narkoba, antara lain: (1) Lingkungan sosial yang meliputi: (a) motif ingin tahu, (b) adanya kesempatan, (c) adanya sarana dan prasarana (1) Faktor kepribadian yang meliputi: (a) rasa rendah diri dalam pergaulan masyarakat, (b) emosi yang labil, (c) lemahnya mental yang mudah dipengaruhi oleh lingkungan untuk bertindak ke hal-hal yang negatif. 4. Gejala Penyalahgunaan Narkoba
jika
disalahgunakan
pemakaiannya dengan berupa:
akan
menimbulkan
gejala/efek
terhadap
a. Euphoria Adalah suatu keadaan kegembiraan atau rasa kesejahteraan yang tideak sesuai dengan kenyatan serta tidak sesuai dengan faktor-faktor obyektif yang ada pada individu yang bersangkutan. Efek ini biasanya karena pemakaian dosis/takaran yang tidak begitu tinggi. b. Delirium Adalah suatu keadaan menurunnya kesadaran disertai kegelisahaan yang agak berat atau hebat yang terjadi secara mendadak, sehingga menyebabkan gangguan koordinasi gerakan-gerakan motorik. Biasanya terjadi bila digunakan dosis yang lebih besar dari dosis pertama (Euphoria) c. Hallusinogen Adalah suatu kesalahan persepsi panca indera dimana seseorang melihat atau
mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada. d. Drawsiness Adalah suatu kesadaran yang menurun jadi seperti setengah tidur dengan disertai ingatan yang kacau balau. e. Weakness Adalah suatu keadaan fisik dan psikisnya sangat lemah, ingin tidur dan malas-malasan saja dan sama sekali tidak ada nafsu bekerja maupun belajar. f. Withrawal symptom Adalah gejala-gejala negatif yang terjadi pada individu pecandu, akibat pemakaian
drugs yang mendadak dihentikan. Gejala ini dapat berupa gangguan fisik dan psikis. Tanda-tanda negatif antara lain perasaan nyeri, timbul sakit perut, muntah-muntah, kejang-kejang dan kematian bisa terjadi. 5. Akibat Penyalahgunaan Narkoba Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan yang berbahaya dapat menimbulkan berbagai macam akibat yang merupakan bencana bagi pemakainya, antara lain: a. K emerosotan mental/jasmani/ tingkah laku Narkoba yang disalahgunakan akan beredar ke seluruh tubuh dan masuk ke dalam jaringan otak. Jika otaknya terganggu maka semuannya akan terganggu juga. b. Kecelakaan Akibat dari penyalahgunaan narkoba yaitu pemakai akan mengalami kesalahan persepsi atau daya penglihatan. Jarak jauh dilihatnya dekat, maka sering terjadi kecelakaan. c. Kerugian harta benda
atau
waktu Harta benda yang dimilikinya dijadikan korban untuk memenuhi kebutuhan pemakaian narkoba. Sedangkan mengenai waktu, para pemakai tidak menghargai sama sekali waktu, karena selama obat itu bereaksi pada tubuhnya pemakai akan malas-malasan. d. Kemelaratan Kemelaratan terjadi harga narkoba sangat mahal sehingga kehabisan uang untuk
membelinya. Pemakai yang sedang menggunakan narkoba dapat melakukan apa saja seperti tidak kekerasan, perampokan, pembunuhan/bunuh diri. Kadang-kadang melukai tubuh sendiri sampai terjadi kematian. Hadiman membuktikan bahwa, Penyalagunaan zat menimbulkan dampak antara lain, merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar, ketikdakmampuan untuk membedakan mana yang baik dan buruk, perubahan perilaku menjadi antisosial, merosotnya produktivitas kerja, gangguan kesehatan mempertinggi kecelakaan lalu-lintas, kriminalitas dan tindak kekerasan yang lainnya baik kuantitatif maupun kualitatif. Selain akibat diatas penyalahgunaan narkoba juga akan dikenai hukuman sesuai dengan Undang-undangan Republik Indonesia nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika dan Undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1997 tentang obat-obatan berbahaya (psikotropika). Tidak banyak orang mengira bahwa penggunaan narkoba secara periodik hubungannya dengan tipe kepribadian tertentu lebih peka daripada orang yang mempunyai tipe kepribadian yang lain. Ini bukan berarti bahwa tiap-tiap penggunaan narkoba terganggu dalam arti psikologis. Kaum remaja yang terkena adiksi terhadap suatu zat mempunyai tipe reaktif, yaitu suatu tipe ketergantungan yang timbul sebagai respon terhadap tekanan-tekanan pertumbuhan, terutama sifat menentang dan kebutuhan menjadi anggota kelompok teman sebaya (the need for peer group acceptance). Tipe lain yang umum yaitu tergantung primer yaitu suatu narkoba dianggap dapat membantu penyesuaian diri dengan problema-problema kepribadian. Kepribadian orang yang terkena ketergantungan menurut Gondodiwirjo ditandai
oleh sifat-sifat : (1) tidak dewasa dalam sikap dan tingkah laku, (2) pasif, (3) tergantung, (4) kurang percaya diri, (5) hubungan sosial kurang baik. Sedangkan menurut Yatim, karakteristik kepribadian penyalahgunaan narkoba oleh seseorang adalah sebagai berikut: 1. Sifat mudah kecewa Gambaran yang sering kita pada kelompok pemakai narkoba adalah adanya toleransi yang rendah terhadap suatu kegagalan. Keadaan ini sering menimbulkan kecenderungan pada individu tersebut untuk cepat menjadi agresif. Cara ini dipakai untuk mengatasi kekecewaannya. Seperti yang dikemukakan oleh Kellen (1980) bahwa terdapat korelasi yang positif antara agresifitas dan penyalahgunaan narkoba. Selanjutnya Kellen menambahkan untuk mengontrol diri sendiri umumnya rendah sekali. 2. Sifat tidak sabar Pada kelompok pemakai seringkali terlihat pola-pola tingkah laku ketidaksabaran untuk mencapai suatu keinginan. Usaha untuk menunda melakukan keinginan yang timbul hampir tidak pernah berhasil dilakukan. Seringkali terlihat penyalahgunaan narkoba tidak dapat dikontrol keinginan-keinginannya sehingga seakan-akan mereka lebih mencintai diri sendiri. Kemampuan untuk mengontrol diri sendiri umumnya rendah sekali. 3. Suka Memberontak Pada kelompok pemakai narkoba tedapat kecenderungan untuk selalu menolak cara atau prosedur yang telah diakui oleh masyarakat, keluarga dan sekolah. Ini dilakukan semata-mata untuk mencapai tujuan memiliki perasaan-perasaan permusuhan yang besar sekali terkadang mencerminkan sikap kekanak-kanakan. Mereka tidak pernah belajar
berusaha bekerjasama dengan segala bentuk otoritas, padahal orang lain melakukan hal itu. 4. Suka mengambil resiko berlebihan Ada kecenderungan kelompok pemakai memperlihatkan tingkah laku yang memiliki resiko tinggi dan melakukan cara-cara yang tidak tepat. Pola-pola semacam ini dilakukan semata-mata untuk mendapatkan perasaan bahwa dirinya dapat diterima atau diakui. 5. Mudah bosan atau jenuh Sifat
bosan
atau
jenuh
seringkali
mendatangkan
perasaan
murung
dan
ketidaksanggupan untuk melakukan sesuatu. Keadaan ini sebetulnya merupakan manifestasi kekuranganmampuan individu untuk melihat atau mencari kegiatan alternartif lain yang dapat dilakukan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa profil kepribadian atau ciri-ciri individu yang menyalahgunakan narkoba kebanyakan oleh remaja. Hal ini sesuai dengan pendapat penulis tentang ciri-ciri yang menonjol pada usia remaja yaitu: kegelisahan, pertentangan, keinginan untuk mencoba segala hal yang belum diketahui, mengkhayal dan berfantasi. Karena itu remaja yang masih berada pada masa transisi (anak-anak ke dewasa) sangat mudah terpengaruh dan menggunakan narkoba. Sedangkan ciri-ciri perkembangan remaja yang kondusif pada gangguan narkoba adalah sebagai berikut: a. Pada masa peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa sering timbul perasaan tertekan ketegangan, keresahan, kebingungan, rasa tidak aman, perasaan sedih bahkan depresi. Zat adiktif sering dipakai oleh remaja untuk menghilangkan perasaan tertentu. b. Adanya kebutuhan akan pergaulan teman sebaya mendorong remaja untuk dapat
diterima sepenuhnya dalam kelompoknya. Diterimanya seseorang remaja dalam kelompoknya merupakan sesuatu yang membanggakan dan meningkatkan harga dirinya. Zat adiktif dapat meningkatkan atau mempermudah interaksi sosial. c. Proses perkembangan jiwa remaja yang normal menuntut perbaikan dari otoritas orang tua dan mengembangkan identitas pola hidup baru yang ditentukan oleh kelompok sebayanya. Gangguan penggunaan narkoba seringkali dianggap sebagai pola hidup baru bagi remaja. d. Pada masa remaja timbuh doronganyang kuat untuk mengeksplorasi dunia sekitarnya, dorongan untuk mencari pengalaman hidup baru termasuk pengalaman mencoba narkoba. e. Gangguan penggunaan narkoba dapat dipandang sebagai simbol kedewasaaan. Para remaja mempunyai keinginan untuk dianggap dewasa terutama apabila orang tuannya masih dianggap dirinya masih anak kecil. f. Gangguann penggunaan zat adiktif dapat pula terjadi akibat usaha remaja untuk mengatasi kecemasan, ketakutan atau perasaan bersalah akibat eksploitas seksualnya. g. Remaja yang berusia sekita 13-17 tahun kadang-kadang mempunyai keyakinan yang khas dan unik, bahwa apa yang terjadi pada orang lain tidak akan terjadi pada dirinya. Ia yakin bahwa penggunaan narkoba dapat merugikan orang lain, tetapi tidak dapat merugikan dirinya, walaupun kenyataannya sebaliknya. D. Kerangka Pikir Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting.
Peneliti dalam penelitian ini, dengan tujuan untuk memudahkan alur pemikiran dan proses pelaksanaannya, menggunakan kerangka pikir sebagai berikut: Pertama, peneliti melihat tentang landasan hukum tentang penyalahgunaan narkoba, baik dalam perspektif teologis normatif maupun yuridis formalnya, yakni Al-Qur’an, al-Hadis, Ijma’ maupun Qiyasnya, dan Undang Undang RI nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, serta nomor 22 tahun 1997 tentang Narkoba. Kedua, peneliti kemudian melakukan pengamatan dan penelitian langsung ke lapangan, yakni di pondok pesantren Babul Khaer Kab. Bulukumba yang menjadi obyek penelitian. Dalam hal ini, yang menjadi fokusnya adalah upaya Pondok Pesantren Babul Khaer Kab. Bulukumba dalam mencegah penyalahgunaan narkoba bagi santri dan masyarakat sekitar, serta faktor pendukung dan penghambatnya, baik dari aspek internal maupun eksternal juga solusi yang ditawarkan dalam mencegah penyalahgunaan narkoba di Kabupaten Bulukumba. Adapun alur bagannya sebagai berikut: Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang arah penelitian ini, secara skematis calon
penulis
gambarkan
sebagai
berikut:
UU. RI No. 5/1997 ttg Psikotropika UU. RI No. 22 Th. 1997 ttg Narkoba
Al-Qur’an dan Hadis Ijma’ dan Qiyas
Partisipasi Pondok Pesantren
Faktor Penghambat:
Faktor Pendukung: Rasa tanggung jawab tinggi sebagai santri, dominasi guru alumni, kegiatan extrakurikuler, dukungan orang tua, dukungan pemerintah, dukungan masyarakat
Upaya Pencegahan Penyalahgunaan
Kekurangan referensi buku, minimnya media (alat peraga), pembolehan santri menggunakan handaphone, lingkungan pesantren dekat dari kota,
SOLUSI: Aktif berkoordinasi dengan pemerintah terkait, memperkatat aturan dan tatib pesantren, pelarangan santri/santriwati memakain handphone, Koordinasi Orang tua santri harus baik, koordinasi dan kerjasama Pemahaman dan antisipasi penyalahgunaan narkoba bagi santri dan masyarakat sekitar