BAB IV ( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.netBAB IV MANHAJ A. HASSAN DALAM TAFSIR AL-FURQAN Terdapat karakteristik umum bahwa tafsir Alquran berbahasa non Arab ('ajamy) dalam tahapan penafsirannya senantiasa merujuk pada tafsir berbahasa Arab. Perujukan ini dapat menimbulkan dua kemungkinan. Pertama, terjadi pemindahan isi, ide atau gagasan buku tafsir Alquran berbahasa Arab kedalam penafsiran Alquran yang dilakukan oleh mufassir berbahasa non Arab ('ajamy). Kedua, penerapan metode tafsir atau dasar penafsiran tafsir sumber dalam penafsiran Alquran yang dilakukan oleh mufassir 'ajamy. Untuk itu ada beberapa aspek yang penulis kaji, pada bangunan metodologi yang melingkupi mufassir dalam kitab Tafsir al-Furqan, di antara aspek-aspek tersebut sebagai berikut: A. Deskripsi Singkat tentang Kitab Tafsir al-Furqan Tafsir al-Furqan adalah kitab tafsir berbahasa Indonesia yang dikarang oleh A. Hassan. Berdasarkan penelusuran penulis, kitab karya A. Hassan ini diberi judul kitab al-Furqa>n fi> Tafsi>r Alquran, atau yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Furqan (sebagaimana tertulis di sampul kitab tersebut), dengan warna sampul depan merah bertinta emas. Pada lembaran atas (top page) tertulis A. Hassan,
kemudian
ditengah
sampul
bertuliskan
يِف ُناَقْرُفْلَا
ِنَأْرُقْلا ِريِسْفَت, dan di lembaran bawah (Bottom page) tertulis Tafsir Qur'an al-Furqan Edisi Asli.
MANHAJ A. HASSAN DALAM TAFSIR AL-FURQAN Terdapat karakteristik umum bahwa tafsir Alquran berbahasa non Arab ('ajamy) dalam tahapan penafsirannya senantiasa merujuk pada tafsir berbahasa Arab. Perujukan ini dapat menimbulkan dua kemungkinan. Pertama, terjadi pemindahan isi, ide atau gagasan buku tafsir Alquran berbahasa Arab kedalam penafsiran Alquran yang dilakukan oleh mufassir berbahasa non Arab ('ajamy). Kedua, penerapan metode tafsir atau dasar penafsiran tafsir sumber dalam penafsiran Alquran yang dilakukan oleh mufassir 'ajamy. Untuk itu ada beberapa aspek yang penulis kaji, pada bangunan metodologi yang melingkupi mufassir dalam kitab Tafsir al-Furqan, di antara aspek-aspek tersebut sebagai berikut: A. Deskripsi Singkat tentang Kitab Tafsir al-Furqan Tafsir al-Furqan adalah kitab tafsir berbahasa Indonesia yang dikarang oleh A. Hassan. Berdasarkan penelusuran penulis, kitab karya A. Hassan ini diberi judul kitab al-Furqa>n fi> Tafsi>r Alquran, atau yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Furqan (sebagaimana tertulis di sampul kitab tersebut), dengan warna sampul depan merah bertinta emas. Pada lembaran atas (top page) tertulis A. Hassan,
kemudian
ditengah
ِنَأْرُقْلا ِريِسْفَت,
sampul
bertuliskan
يِف ُناَقْرُفْلَا
dan di lembaran bawah (Bottom page) tertulis
Tafsir Qur'an al-Furqan Edisi Asli. Adapun sebab penamaan kitab ini
ِريِسْفَت يِف ُناَقْرُفْلَا
ِنَأْرُقْلا, setelah penulis menelusuri di dalam kitab tafsir tersebut dan pada
kitab-kitab yang lain, penulis belum menemukan ungkapan A. Hassan sendiri tentang apa yang menjadi latar belakang penamaan kitab tersebut. Akan tetapi, penulis dapat mengindikasikan penamaan kitab ini melalui hasil bacaan A. Hassan dan melalui pengertian kata ناَقْرُفْلَا. Kata al-Furqan jika dihubungkan dengan kata dasarnya
َقَرَف
bermakna membedakan, sedangkan kata ناَقْرُفberarti membedakan antara yang hak dan yang batil. J.J.G. Jansen dalam bukunya yang diterjemahkan dengan judul Diskursus Tafsir Alquran Modern menyebutkan bahwa tafsir-tafsir klasik menjelaskan kata Furqan sebagai “segala sesuatu yang menjadi pemisah dan pembeda antara kebenaran dan kepalsuan”. Melalui beberapa pengertian tadi, A. Hassan berusaha mengarang sebuah kitab tafsir diberi nama ناَقْرُفْلَا, dengan maksud agar supaya masyarakat dapat memahami ayat-ayat Alquran dan mampu menjalankan syariat sehingga dapat membedakan mana yang hak dan mana yang batil. Pada penelitian ini, Penulis menggunakan kitab tafsir edisi asli tanpa adanya perubahan bahasa, dan izin penerbitannya telah disetujui oleh seluruh ahli waris A. Hassan, yang dicetak oleh penerbit al-Ikhwan, cetakan keempat, tahun percetakan 2007. Kitab tafsir tersebut, telah mengalami beberapa kali percetakan di berbagai penerbit, adapun Penerbit al-Ikhwan (tempat cetakan yang menjadi penelitian penulis) telah mencetak sebanyak empat kali cetakan. Dimulai cetakan pertama pada tahun 1986, cetakan kedua pada tahun 1986, cetakan ketiga pada tahun 2004, dan cetakan keempat pada tahun 2007. Kitab tafsir ini berjumlah satu jilid, dengan memuat keseluruhan juz Alquran yaitu sebanyak 30 juz, dan 1240 halaman.
Kitab Tafsir al-Furqan adalah kitab tafsir keempat yang ditulis oleh A. Hassan, sebelumnya A. Hassan telah menyusun beberapa kitab tafsir seperti kitab tafsir yang berkonsentrasi pada surah tertentu yaitu Risalah Fatihah, dan Tafsir Surah Yasin, adapun yang berkonsentrasi pada juz-juz tertentu yaitu al-Hidayah Tafsir Juz Amma. Jika dibandingkan dari sisi metodologi antara kitab Tafsir al-Furqan dan kitab Tafsir al-Hidayah, maka terdapat perbedaan yang sangat nampak di antara keduanya. Tafsir al-Hidayah menggunakan metode tahli>li>, sementara Tafsir al-Furqan menggunakan metode ijma>li>. Lebih lanjut terdapat perbedaan pada corak kedua tafsir tersebut. pada kitab Tafsir al-Hidayah, corak yang nampak ialah corak penafsiran al-adabi> al-ijtima>‘i> (sosial kemasyarakatan), sementara kitab Tafsir al-Furqan lebih cenderung kepada corak umum. Dalam pendahuluan tafsirnya, A. Hassan menulis latar belakang penulisan kitab Tafsir al-Furqan bahwa kitab tersebut mula-mula terbit pada bagian pertama di bulan Muharram 1347 H., atau Juli 1928 M., tetapi lantaran penerbitannya diselingi dengan beberapa kitab yang dianggap perlu oleh anggota-anggota "Persatuan Islam", maka pada tahun 1941 baru dapat disambung sampai surah Maryam. Kemudian pada tahun 1953, tuan Sa'ad Nabhan (seorang penerbit dan pedagang buku di Surabaya), meminta A. Hassan berhenti sampai di situ dan menulis keseluruhan kitab Tafsir al-Furqan dari awal sampai akhir; dan ia sanggup menerbitkannya dengan lengkap 30 juz. Pada penelitian ini, penulis juga berusaha membandingkan kitab Tafsir al-Furqan edisi asli tersebut dengan edisi bahasa Indonesia mutakhir, bahkan dengan kitab asli yang mula-mula diterbitkan.
Adapun tujuan dari penerbitan kitab Tafsir al-Furqan, semata-mata ingin merangsang, membangkitkan dan menggugah semangat umat Islam agar selalu mengamalkan apa yang terkandung dalam kitab suci Alquran. Mudah-mudahan dengan terbitnya Tafsir al-Furqan ini, umat Islam bangkit dan bersemangat dalam memahami Alquran. Dengan adanya kitab tafsir tersebut, setidaknya mampu memberikan pengaruh terhadap pemahaman masyarakat Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Terbukti kitab tersebut, menjadi pegangan tafsir bagi masyarakat malaysia, singapura dan thailand, dalam mengkaji Alquran. Di Indonesia sendiri, kitab tersebut merupakan kitab yang sangat monumental bagi organisasi Persis (Persatuan Islam). B. Sistematika dan Karakteristik Penulisan Tafsir al-Furqan 1. Sistematika Penyajian Tafsir al-Furqan Bagian pertama dari aspek teknik penulisan tafsir adalah sistematika penyajian tafsir. Sistematika penyajian tafsir yang dimaksud adalah rangkaian yang dipakai dalam penyajian tafsir. Menurut Islah Gusmian, bahwa dalam sisi sistematika penyajian tafsir, dapat di kelompokkan menjadi dua bagian pokok, Pertama, sistematika penyajian runtut, dan Kedua, sistematika penyajian tematik. Sistematika penyajian runtut adalah model sistematika penyajian penulisan tafsir yang rangkaian penyajiannya mengacu pada, (1) urutan surah yang ada dalam model mushaf standar dan (2) mengacu pada urutan turunnya wahyu. Sedangkan sistematika penyajian tematik adalah suatu bentuk rangkaian penulisan yang
struktur paparannya diacuhkan pada tema tertentu, atau pada ayat, surah, dan juz tertentu. Adapun kitab Tafsir al-Furqan, menggunakan sistematika penyajian runtut, dengan mengacu pada urutan surah yang ada dalam mushaf standar yaitu dimulai dari surah al-Fatihah sampai surah al-Nas. Bentuk tersebut sama dengan bentuk penyajian kitab Tafsir al-Jala>lain, Tafsir al-Qur’a>n al-Kari>m karya Mahmud Yunus, Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka, dan lain lain. Howard M. Federspiel menjelaskan dalam periodisasi literatur tafsir di Indonesia, ia memasukkan Tafsir al-Furqan karya A. Hassan bersama Tafsir al-Qur'a>n al-Kari>m karya Mahmud Yunus, dan Tafsir al-Qur'a>n karya Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs ke dalam periode atau dalam istilahnya generasi kedua (muncul pada pertengahan tahun 1960-an sampai pada tahun 1970-an), yang merupakan penyempurnaan atas generasi pertama (kira-kira dari permulaan abad ke-20 sampai awal tahun 1960-an). Cirinya, biasanya mempunyai beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan kata perkata, dan kadang-kadang disertai indeks yang sederhana. Ciri-ciri yang diutarakan oleh Howard M. Federspiel tersebut, tergambar dalam kitab tafsir A. Hassan, untuk lebih jelasnya, secara garis besar sistematika penyusunan Tafsir al-Furqan sebagai berikut: a. Pendahuluan, meliputi: 1) Latar
belakang penyusunan dan tahun penyusunannya, Selanjutnya
dikemukakan istilah-istilah tertentu yang terkait dengan Alquran yang dibaginya dalam pasal-pasal. Setidaknya ada 35 pasal yang terdapat dalam Tafsir al-Furqan disertai dengan penjelasannya.
2) Terdapat pula indeks Alquran. Sebenarnya indeks tersebut bukan berasal dari penulisnya tetapi ditulis oleh anaknya yaitu Abd. Qadir Hassan. Kemungkinan indeks tersebut tidak terdapat dalam cetakan-cetakan sebelumnya. 3) Setelah indeks tersebut penulis Tafsir al-Furqan menyusun daftar surah-surah menurut abjad, tanpa awalan “AL”yang dimulai dengan awalan “AL”. Dan untuk memudahkan pembaca melihat surah-surah itu maka penulisnya mencantumkan halaman setiap surah bersangkutan, yang di mulai dengan surah Abasa. 4) Setelah menyusun daftar surah menurut huruf alfabetis, A. Hassan juga menyusun bagi yang ingin mencari letak surah berdasarkan urutan surah yang sesuai dengan mushaf standar maka dapat dilihat pada fihrasa>t surah-surah disertai halaman tempatnya. 5) A. Hassan juga menuliskan fihrasa>t surah-surah dengan huruf Arab beserta halamannya. Demikian juga dengan fihrasa>t juz-juz. b. Penafsirannya dimulai dari surah al-Fatihah sampai kepada surah al-Nas sesuai dengan urutan Mushaf Us\ma>ni. c. Format ayat-ayatnya ditulis di sebelah kanan halaman. Sedangkan terjemahan bahasa Indonesianya diletakkan di sebelah kiri. Pada bagian awal setiap surah dijelaskan arti surah tersebut, juznya, nomor urutan surah dan jumlah ayatnya serta tempat pewahyuannya. Tulisan dalam kedua bahasa itu sangat jelas, yang memungkinkan pembaca dapat membaca kedua bahasa itu dengan jelas pula. d. Pada kata atau ayat yang dianggap memerlukan penafsiran, penulisnya memberi nomor, seperti footnote (catatan kaki) pada tulisan ilmiah di bagian akhir kata
atau ayat pada terjemahan bahasa Indonesianya, sedangkan tafsirannya diletakkan pada bagian bawah garis disesuaikan dengan nomor yang tertera di catatan kaki tersebut. e. Tidak menyebutkan mara>ji’ (rujukan) pada tiap-tiap penafsiran. Sebagai contoh dapat dilihat pada penafsiran A. Hassan mengenai surah al-Fatihah, sebagai berikut ini: AL-FATIHAH (PEMBUKAAN). Surah ke 1 :1- 7 ayat. Diwahyukan di Makkah Dengan nama Allah, Pemurah, Penyayang. 1 )
ِهَّللا ِمْسِب ِميِحَّرلا
1 .
Sekalian puji-pujian kepunyaan 1 ُدْمَحْلا Allah, Tuhan bagi sekalian َنيِمَلاَعْلا makhluk,2 )
2 .
Pemurah, Penyayang, 3 )
3 .
Yang mempunyai pembalasan. 4 )
4 .
Engkaulah yang kami sembah dan engkaulah yang kami mintai pertolongan, 5 )
5 .
Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus, 6 )
6 .
(yaitu) jalan mereka yang Engkau telah beri ni’mat atasnya, 7 )
7 .
Bukan mereka yang dimurkai atasnya, dan bukan mereka yang sesat, 8 )
ِنَمْحَّرلا
ِهَّلِل
ِّبَر
2ِميِحَّرلا ِنَمْحَّرلا hari
3ِنيِّدلا ِمْوَي ِكِلاَم 4َكاَّيِإَو ُدُبْعَن َكاَّيِإ ُنيِعَتْسَن 5اَنِدْها َطاَرِّصلا َميِقَتْسُمْلا 6َطاَرِص َنيِذَّلا ْمِهْيَلَع َتْمَعْنَأ 7ِرْيَغ ِبوُضْغَمْلا َنيِّلاَّضلا اَلَو ْمِهْيَلَع
1) Dengan nama Allah itu, maksudnya disini, ada macam-macam: a. Aku membaca surah ini dengan perintah Allah b. Aku membaca surah ini dengan pertolongan Allah c. Diturunkan surah ini dengan perintah Allah, d. Diturunkan surah ini dengan rahmat Allah, dan sebagainya. 2), 3), 4) Sekalian puji-pujian, yakni: a. Pujian Allah kepada diri-Nya, b. Pujian Allah kepada makhluk-Nya, c. d.
Pujian makhluk kepada Allah, dan Pujian makhluk kepada makhluk, itu semuanya kepunyaan Allah, pemurah penyayang, yang mempunyai hari pembalasan, lantaran sekalian kebaikan yang patut dipuji itu memang kepanyaan Allah dan bikinan Allah.
5) Oleh sebab segala sesuatu kepunyaan-Mu, maka tidak ada yang kami sembah dan yang kami turuti perintahnya melainkan Engkaulah, dan tidak ada yang kami mintai pertolongannya di dalam perkara ghaib, melainkan Engkaulah. 6), 7), 8) Ya Allah! Pimpinlah kami di jalan yang lurus, yaitu jalan mereka yang Engkau telah beri ni’mat ketetapan hati di agama-Mu, ialah jalan mereka yang tidak engkau murkai dan tidak sesat. Tampak bahwa susunan ayat dalam surah al-Fatihah berbentuk catatan kaki dan terjemahan di samping ayatnya. Hal ini menggambarkan sistematika penulisan kitab tafsir A. Hassan. Dalam penafsiran surah al-Fatihah, terlihat bahwa A. Hassan sama sekali
ِمْيِحَّرلا
tidak memasukkan
ِنَمْحَّرلا ِهللا ْمْسِب
sebagai ayat pertama dalam surah tersebut. Hal ini berbeda dengan
penyusunan mushaf standar yang dikenal secara luas di Indonesia. Ayat pertama baginya adalah َنْيِمَلَعْلا ِّبَر هلِل ُدْمَحْلَا, padahal ia sendiri mengakui bahwa surah itu berjumlah tujuh ayat. Ayat keenam menurutnya
ْمِهْيَلَع َتْمَعْنَأ َنْيِذَّلا َطاَرِصdan ayat ketujuh menurutnya adalah نيِّلاَّضلا َالَو ْمِهْيَلَع ِبوُضْغَمْلا ِرْيَغ. Jika ditelusuri lebih jauh apa alasan A. Hassan berpendapat tidak memasukkan ِمْيِحَّرلا ِنَمْحَّرلا ِهللا ْمْسِبsebagai ayat pertama dalam surah itu. Sepanjang penelusuran penulis terhadap beberapa karya tulisnya, tidak satu pun yang mengungkapkan secara jelas alasan yang mendasarinya. Oleh karena itu, kemungkinan ia mengikuti pandangan ulama yang mengatakan bahwa bismillah al-rahma>n al-rahi>m bukanlah ayat dari surah al-Fatihah. Walaupun ayat ini merupakan bagian dari tiap-tiap surah kecuali surah Bara>’ah. Pandangan seperti di atas, sering dinisbahkan kepada Imam Hanafi, yang berpendapat bahwa bismillah bagian dari ayat penyempurna yang diturunkan sebagai pemisah antar surah, dan bukan bagian dari surah al-Fatihah. Selanjutnya, bahwa sesuai dengan hadis yang menunjukkan bahwa bismillah tidak dibaca secara jahr (nyaring) dalam shalat bersama dengan al-Fatihah menandakan ia bukan ayat dari surah al-Fatihah. Walaupun A. Hassan tidak mengakuinya sebagai ayat dari surah al-Fatihah, namun menurutnya wajib dibaca, baik dengan nyaring maupun tidak. Kesimpulan itu diambilnya ketika mengulas sekian dalil yang terkait dengan masalah ini.. Adapun penafsiran yang dilakukan oleh A. Hassan pada surah al-Fatihah, berbeda dengan penafsiran yang dilakukan oleh para penafsir lainnya. Salah satu contoh penafsirannya pada ayat ke tujuh, umumnya penafsir ketika menafsirkan
ayat tersebut dominan menggunakan penafsiran ayat dengan hadis, karena terdapat riwayat yang menerangkannya, sebagaimana terdapat di dalam kitab-kitab tafsir klasik. Tafsir ayat yang berbunyi “gairi al-magdu>bi ‘alaihi>m wa la> al-d}a>lli>n” ditafsirkan oleh beberapa penafsir bahwa bukan orang yang dibenci maksudnya adalah Yahudi dan bukan orang yang tersesat yaitu Nasrani. Sementara A. Hassan, pada penafsiran ayat tersebut, hanya menjelaskannya secara global, tidak jauh berbeda dengan terjemahan dari ayat tersebut. Hal ini menunjukkan ia menggunakan akal pikirannya sendiri. 2. Karakteristik kitab Tafsir al-Furqan Setelah penulis meneliti kitab Tafsir al-Furqan, maka penulis merumuskan beberapa karakteristik yang terdapat di dalam kitab tafsir tersebut di antaranya: a.
Menggunakan bahasa yang singkat dan mudah dipahami oleh semua kalangan. Melalui ungkapan-ungkapan yang diambil dari Alquran itu sendiri kemudian menambahkan
kata-kata
atau
kalimat-kalimat
penghubung,
sehingga
memberikan kemudahan kepada para pembaca untuk memahaminya. b. Mengutip beberapa pendapat ulama, tanpa menyebutkan ulama siapa yang dikutip, hanya bersifat umum. c.
Penafsiran dalam kitab ini menggunakan penafsiran antar ayat Alquran dan penafsiran dengan riwayat hadis.
d. Penjelasan tentang huruf al-qasm lebih ditekankan pada arti perhatian, bukan sebagai kata-kata sumpah. e.
Tidak memasukkan ِمْيِحَّرلا ِنَمْحَّرلا ِهللا ْمْسِبsebagai satu ayat dalam surah al-Fatihah, berbeda dengan kitab-kitab tafsir yang lain.
f.
Menjelaskan lebih jauh tentang kristologi, dengan merujuk kepada kitab Taurat dan Injil.
g. Tidak menafsirkan keseluruhan ayat, hanya ayat-ayat yang menurut A. Hassan perlu untuk ditafsirkan. Adapun surah yang tidak diberi penafsiran sama sekali, seperti surah al-Kafirun. h. Kadang menggunakan ringkasan sebagai akses dari ulasan yang luas sehingga mampu memberikan kesimpulan akhir dari tafsiran. C. Metodologi Tafsir al-Furqan Berbicara tentang metodologi Tafsir al-Furqan, sebagaimana telah diuraikan pada bab II, bahwa terdapat beberapa pokok pembahasan di dalamnya yang saling terkait antara satu dengan yang lain, baik
yang terkait dengan
unsur-unsur manhaj tafsir, maupun klasifikasinya menurut pemahaman para pemerhati tafsir. Untuk dapat mengetahui bagaimana metodologi yang dipergunakan oleh A. Hassan dalam tafsirnya, maka penulis menguraikan beberapa langkah metodologi yang dipergunakan olehnya dalam menyusun kitab Tafsir al-Furqan, sebagai berikut: a. Dimulai dengan melakukan penerjemahan Alquran, karena Tafsir al-Furqan merupakan salah satu tafsir yang berbahasa Indonesia. Adapun metode A. Hassan dalam menerjemahkan Alquran, dengan menggunakan terjemahan maknawiyah pada kata, frase maupun klausa pada ayat-ayat Alquran. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa terjemahan pada kitabTafsir al-Furqan, misalnya: kata
ُهَل َلاَق
, jika diterjemahkan secara
kata
perkata
akan
berarti
“ia
berkata
baginya”,
tetapi,
A.
Hassan
menerjemahkannya dengan “ia berkata kepadanya”, Contoh lain هللِاب َنَمَأ, biasanya diterjemahkan “ia percaya dengan Allah, tetapi ia terjemahkan ia percaya kepada Allah”. Adapun pada penerjemahan ayat-ayat Alquran, A. Hasan memberikan tekanan yang berbeda. Seperti, menurut bahasa Arab frase هلل ُدْمَحْلَا diterjemahkan dengan “segala puji (hanya milik) Allah, Tuhan semesta alam”,
هلل ُدْمَحْلَاditerjemahkan “kepunyaan Allah-lah segala pujian”. َكُدُبْعَنditerjemahkan “kami menyembah-Mu” tapi ُدُبْعَن َكاَّيِإ diterjemahkan “hanya Engkaulah yang kami sembah”. ٌْعيِمَس َوُه diterjemahkan “ia yang mendengar”, tetapi ٌْعيِمَس َوُهditerjemahkan “ialah tetapi
yang maha mendengar”. Metode penerjemahan maknawi ini merupakan bagian dari pada metode ijma>li> (global). Yaitu sebuah metode penafsiran yang mencoba menjelaskan ayat-ayat Alquran secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini juga mengulas setiap ayat Alquran dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global. Salah satu contoh dapat dilihat pada penerjemahan Q.S. Al-Baqarah/2: 131 sebagai berikut: 131.(Ingatlah)tatkala Tuhannya berkata kepadanya: “serahkanlah dirimu;” ia jawab: “aku serahkan diriku kepada Tuhan bagi sekalian alam”.
131ُهُّبَر ُهَل َلاَق ْذِإ ْمِلْسَأ َلاَق ُتْمَلْسَأ َنيِمَلاَعْلا ِّبَرِل
b. Menggunakan teknik interpretasi linguistik terhadap kosa kata, frase dan klausa Sebagaimana penjelasan terdahulu, pada pembahasan metodologi tafsir, bahwa dalam menafsirkan Alquran terdapat beberapa unsur metodologi tafsir yang di dalamnya termuat objek dan teknik interpretasi yang dilakukan dalam memahami suatu ayat. Data pokok sekaligus objek tafsir tentunya adalah ayat-ayat Alquran. Secara stuktural data tersebut terdiri dari sebuah atau serangkaian kalimat yang terdiri dari klausa, frase dan kata. A. Hassan setelah melakukan terjemahan pada satu ayat, selanjutnya ia menafsirkan ayat tersebut, yang sebagian hanya penafsiran kosa kata, sebagian yang lain dengan frase dan klausa, bahkan ia juga menafsirkan satu ayat sekaligus. Hal ini dapat dilihat pada contoh-contoh berikut ini: 1. A. Hassan menafsirkan kata Al-Baqarah/2: 197 sebagai berikut: 197. (musim) haji itu beberapa bulan yang terma’lum. Oleh itu barangsiapa telah memberatkan (atas dirinya ibadat) haji itu (bulan-bulan) itu, maka tidak boleh sekali-kali rafats, dan tidak boleh sekali-kali fusuq, dan tidak boleh sekali-kali berbantah di dalam haji; dan apa apa kebaikan yang kamu buat, diketahui oleh Allah; dan hendaklah kamu mengambil bekal; karena sebaik-baik bekalan itu ialah bakti; dan hendaklah kamu berbakti kepadaku hai orang-orang yang berfikiran
َثَفَر
dan
َقوُسُف
dalam Q.S.
197ُّجَحْلا ٌرُهْشَأ َضَرَف ْنَمَف ٌتاَموُلْعَم َّنِهيِف َّجَحْلا اَلَف اَلَو َقوُسُف اَلَو َثَفَر اَمَو ِّجَحْلا يِف َلاَدِج اوُلَعْفَت ْنِم ٍرْيَخ اوُدَّوَزَتَو ُهَّللا ُهْمَلْعَي َّنِإَف َرْيَخ ِداَّزلا اَي ِنوُقَّتاَو ىَوْقَّتلا ِباَبْلَأْلا يِلوُأ
Menurut A. Hassan, kata rafas\ menyangkut tiga bentuk sentuhan, yaitu 1) sentuh dengan lidah dengan cara mengeluarkan perkataan-perkataan kepada istri di dalam hal persetubuhan, yang tidak sepantasnya didengar oleh orang lain, 2) sentuh istri dengan tangan, sentuhan yang tidak patut dilihat orang, dan 3) sentuh badan (jima’). pernyataan tersebut senada dengan yang diutarakan oleh al-Zamakhsyari> dalam kitabnya, bahwa yang dimaksud dengan rafas| adalah jima’, dan perkataan-perkataan yang keji. Sementara itu, Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i> juga memberikan penafsiran yang sama, walaupun penjelasan A. Hassan lebih terinci. Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i> dalam kitab tafsirnya menjelaskan kata rafas\ dengan jima’, tanpa penjelasan lebih lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i> ialah bentuk ketiga dari penjelasan rafas\ dari A. Hassan. Sementara kata fusu>q
menurutnya adalah melanggar perintah, yaitu
berburu, memakai bau-bauan dan memakai pakaian yang terjahit, teristimewa mengerjakan perkara-perkara jahat yang memang terlarang, ketika berihram untuk haji. Senada dengan penjelasan al-Zamakhsyari>, menurutnya arti fusu>q adalah keluar dari batasan-batasan syariat, sebagian orang mengatakan artinya ialah saling mencela atau memberi gelar yang jelek. Menurut Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i> adapun makna fusu>q ialah maksiat. Penjelasan para penafsir terdahulu tidak berbeda jauh dengan apa yang di utarakan oleh A. Hassan. 2. A. Hassan menafsirkan frase dalam satu ayat, ketika berbicara tentang kaum Nabi Nuh, sebagaimana terdapat berikut:
dalam Q.S. Al-Najm/53: 53 sebagai
53.
dan mu’tafikah junamkan.
itu
ia
53ىَوْهَأ َةَكِفَتْؤُمْلاَو
Penafsiran A. Hassan tentang mu’tafikah adalah sesuatu yang terbalik. “Junamkan sesuatu” artinya campakkan sesuatu dari udara yang jauh ke bumi. Maksudnya, bahwa desa-desa kaum Lut} yang durhaka itu Allah perintah Jibril membawa ia ke atas dan balik-kan ia, lalu campakkan dan humbankan dengan keras ke bumi supaya habis binasa. Hasil penafsiran A. Hassan diatas, sama dengan apa yang ditafsirkan oleh penafsir-penafsir sebelumnya (klasik) seperti al-Zamakhsya>ri>, menurutnya
َةَكِفَتْؤُمْلاَوberarti kampung yang terbalik atau terjungkir, dan yang dimaksud ialah kaum Lut}, sementara kata ىَوْهَأberarti Allah swt. kata
mengangkatnya
ke
langit
dengan
perantaraan
sayap
Jibril
kemudian
menjatuhkannya ke bumi. Senada dengan penafsiran di atas menurut Ibnu ‘Abba>s bahwa penjelasan ayat di atas yaitu Allah swt. menghancurkan kampung kaum Lut} dengan segala yang ada didalamnya berupa bangunan, dengan menjatuhkannya dari langit ke bumi. Sementara itu, Ibnu ‘At}iyah menafsirkan ayat tersebut lebih lengkap dibanding penafsir sebelumnya, menurutnya kata
َةَكِفَتْؤُمْلاَو
adalah
kampung kaum nabi Lut} sesuai dengan kesepakatan para penafsir dan yang dimaksud dengan kata
َةَكِفَتْؤُمْلاَوpada ayat
ini ialah tempat kembali.
Karena kaum Lut} berbohong maka kaum tersebut dibalik atau dijatuhkan. Ia dikatakan berbohong karena membalikkan kebenaran dengan kebohongan. Adapun makna kata ىَوْهَأialah menjatuhkannya dari udara yang paling tinggi ke tempat
yang paling rendah. Hal ini sebagaimana diriwayatkan bahwa sesungguhnya Jibril memindahkan tempat kaum Lut} dengan sayapnya sampai mendekati langit, kemudian membalikkannya dengan menjatuhkan seluruh yang mengikutinya seperti batu. 2. A. Hassan menafsirkan klausa
َعَم اوُنوُكَي ْنَأِب اوُضَر
ِفِلاَوَخْلا
dalam satu ayat sebagaimana terdapat dalam Q.S. Al-Bara’ah/9: 87sebagai berikut: 87. mereka suka supaya mereka }87 ْنَأِب اوُضَر (tinggal) bersama-sama ِفِلاَوَخْلا orang-orang yang tinggal karena َعَم telah ditutup hati mereka, lalu ْمِهِبوُلُق ىَلَع mereka tidak mengerti. A. Hassan menafsirkan klausa
ِفِلاَوَخْلا
اوُنوُكَي َعِبُطَو اَل ْمُهَف
َنوُهَقْفَي َعَم اوُنوُكَي ْنَأِب اوُضَر
dengan arti perempuan-perempuan, anak-anak dan orang-orang
yang tidak kuat. Sebagaimana penafsiran diatas, hal ini nampak juga pada penafsiran Ibnu ‘Abba>s dalam kitab tafsirnya, yang menafsirkan bahwa yang dimaksud pada klausa ini adalah perempuan dan anak-anak. Sementara kebanyakan penafsir menafsirkan klausa tersebut dengan perempuan. Nampak bahwa A. Hassan pada penafsiran ayat di atas, menganalisis klausa tersebut dengan menambahkan arti orang-orang yang tidak kuat. 4. A. Hassan menafsirkan satu ayat sekaligus dalam satu surah, sebagaimana penafsirannya yang berkenaan tentang lailat al-qadr, hal ini terdapat dalam Q.S. Al-Dukhan/44: 3 sebagai berikut: 3.sesungguhnya kami turunkan ia }3 ُهاَنْلَزْنَأ اَّنِإ di malam yang diberi berkat, sesungguhnya adalah kami اَّنِإ ٍةَكَراَبُم ٍةَلْيَل mengancam. َنيِرِذْنُم
يِف اَّنُك
Dalam ayat ini A. Hassan menafsirkan dengan sangat singkat bahwa Alquran itu diturunkan pada malam lailat al-qadr yang mempunyai banyak kebahagiaan di bulan Ramadhan. Di malam itu, kami mulai mengancam makhluk yang menyembah selain dari kami. Senada dengan pernyataan A. Hassan, al-Alu>si> menjelaskan lebih jauh tentang kalimat inna> anzal na>hu, dengan kitab yang jelas yaitu Alquran, kemudian kalimat fi> lailat al-muba>rakah maksudnya ialah malam lailat al-qadr, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abba>s, Qatadah, Ibnu Ja>bir, Muja>hid, Ibnu Zaid, H}asan, dan kebanyakan para penafsir menafsirkan demikian. Berkata Ikrimah dan Jamaah, bahwa yang dimaksud ialah seperdua malam Sya’ban, dan dinamakan dengan lailat al-rahma>n, lailat al-muba>rakah, lailat al-sak, dan lailat al-bara’ah. Sementara itu, Ibnu ‘Abba>s menafsirkan kata inna anzalna tersebut dengan malaikat Jibril yang diturunkan oleh Allah swt. dengan membawa Alquran, yang pada bagian ini Jibril turun ke langit dunia, pada malam mulia (fi lailat al-muba>rakah), yaitu di dalamnya rah}mah, maghfirah,
dan barakah. Ia
adalah malam lailat al-qadr, kemudian Jibril diutus ke Muhammad saw., dengan ayat dan surat dari awal sampai akhir selama dua puluh tahun, kemudian dijelaskan kalimat inna> kunna> munz}iri>n bahwa sesungguhnya kami memberi peringatan dengan Alquran. c. Menggunakan teknik interpretasi sosio-historis atau asba>b al-nuzu>l Di antara syarat-syarat seorang mujtahid adalah mengetahui sebab turunnya ayat (asba>b al-nuzu>l), dan mengetahuinya merupakan sesuatu yang sangat penting. A. Hassan berpendapat dengan adanya asba>b al-nuzu>l akan
mampu memberikan pertolongan dalam memahami suatu ayat yang ingin dipahami dengan baik. Di antara prinsip dalam memahami
dan menafsirkan Alquran ialah
memperhatikan asba>b al-nuzu>l. Seperti diakui ulama, Alquran diturunkan pada dua bagian. Pertama, bagian yang diturunkan secara spontan (tanpa sebab tertentu), ia adalah mayoritas isi Alquran, dan kedua, diturunkan setelah adanya kejadian tertentu atau adanya pertanyaan atau peristiwa. Pada sepanjang masa turunnya wahyu yaitu dua puluh tiga tahun. A. Hassan dalam kitab tafsirnya juga menafsirkan Alquran dengan berpegang pada asba>b al-nuzu>l suatu ayat, walaupun tidak menyebutkan sumber asli dari pengambilannya,
hanya penjelasan secara makna, tanpa
menyebutkan dari riwayat mana ia mengutipnya. Dalam kitab Tafsir al-Furqan, tidak semua ayat dituliskan asba>b al-nuzu>l-nya, hanya beberapa ayat yang dianggap penting untuk diketahui, dan mampu memberikan gambaran keadaan ketika ayat tersebut diturunkan. A. Hassan menafsirkan Q.S. Al-Mudas|ir/74: 1, dengan menggunakan asba>b al-nuzu>l sebagai berikut: 1.
Hai orang-orang berselubung!
yang
1ُرِّثَّدُمْلا اَهُّيَأ اَي
Pada permulaan ayat ini, A. Hassan menafsirkannya dengan mengemukakan asba>b al-nuzu>l ayat, yaitu menurut riwayat, bahwa sesudah terima wahyu yang pertama, Rasulullah saw. tidak terima wahyu beberapa lama. kemudian Rasulullah dengar panggilan: “Ya Muhammad” waktu melihat langit, Rasulullah nampak jibril duduk di antara langit dan ‘Arsy yang menyebabkan Rasulullah mendapat
seram-seram dingin sekali lagi, lalu ia kembali ke rumahnya dan minta diselubungi. Berselubung adalah berselimut tetapi tidak buat tidur. Para penafsir terdahulu, sebelumnya juga telah melakukan kajian asba>b al-nuzu>l terhadap ayat-ayat yang terdapat di dalam Alquran. Di antara penafsir yang mengemukakan hal yang sama, terhadap ayat di atas, yaitu al-T}abari>, Ibnu Kas}i>r, al-Bagawi>, Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i,> dan para penafsir lainnya. Mereka menafsirkan Alquran lebih lengkap, karena menyebut data riwayat dari hadis tersebut dan mengutipnya secara sempurna beserta para periwayatnya. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh A. Hassan, yang hanya menjelaskan secara ringkas dan padat, tanpa penjelasan lebih lanjut. Selanjutnya, A. Hassan juga mengutip hadis dan beberapa penafsiran yang dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu tanpa menunjukkan pengutipan dan keterangan-keterangan tentang kualitas kesahihan suatu hadis, sehingga, jika dicermati dari segi tatanan metodologi di zaman kontemporer, hal ini sulit untuk dipertanggungjawabkan. Pada Q.S. Al-Tahrim/66: 1, A. Hassan juga mengungkap asba>b al-nuzu>l ayat dengan riwayat makna saja, sebagai berikut: 1. Hai Nabi! Mengapa engkau haramkan barang yang Allah halalkan buatmu lantaran engkau maukan keridhaan isteri-isterimu? Tetapi Allah itu penutup, penyayang.
1َمِل ُّيِبَّنلا اَهُّيَأ اَي َكَل ُهَّللا َّلَحَأ اَم ُمِّرَحُت يِغَتْبَت َةاَضْرَم ٌروُفَغ ُهَّللاَو َكِجاَوْزَأ ٌميِحَر
Pada ayat di atas, A. Hassan memberikan penjelasan tentang asba>b al-nuzu
lalu Rasulullah bersumpah tidak akan kerjakan pekerjaan itu lagi atau makan makanan itu lagi. Rasulullah haramkan pekerjaan tersebut atau makanan tersebut buat dirinya, dengan maksud ingin menyenangkan hati istri-istrinya. Maka perbuatan Nabi ini ditegur Tuhan dengan ayat itu. Tetapi Allah menutup perbuatan jelek yang bisa jadi terjadi pada perbuatan Nabi. Karena Allah itu Maha Penutup dan Penyayang. Jika diteliti lebih jauh riwayat dari surah yang ditafsirkan oleh A. Hassan tersebut, maka dapat ditemukan kelengkapan dari keterangan tentang asba>b al-nuzu>l ayat tersebut, sebagaimana tercantum di dalam kitab-kitab yang mu’tabarah. Adapun asba>b al-nuzu>l
yang berkaitan dengan Nabi minum madu
dirumah salah satu istrinya, digambarkan dalam S}ah}i>h} al-Bukha>ri> sebagai berikut:
ُلوُقَي ٍرْيَمُع: اَهْنَع ُهَّللا َىِضَر َةَشِئاَع ُتْعِمَس َّىِبَّنلا َّنَأ-ملسو هيلع هللا ىلص- َدْنِع ُثُكْمَي َناَك ًالَسَع اَهَدْنِع ُبَرْشَيَو ٍشْحَج ِتْنِب َبَنْيَز اَهْيَلَع َلَخَد اَم اَنُتَّيَأ ُةَصْفَحَو اَنَأ ُتْيَصاَوَتَف ُّىِبَّنلا-ملسو هيلع هللا ىلص- ُدِجَأ ىِّنِإ ْلُقَتْلَف ىَلَع َلَخَدَف َريِفاَغَم َتْلَكَأ َريِفاَغَم َحيِر كيف َدْنِع ًالَسَع ُتْبِرَش ْلَب( لاقف كلذ هل لقف اَمُهاَدْحِإ اَي { ْتَلَزَنَف )ُهَل َدوُعَأ ْنَلَو ٍشْحَج تنب َبَنْيَز َكَل ُهَّللا َّلَحَأ اَم ُمِّرَحُت َمِل ُّيِبَّنلا اَهُّيَأ- ىلإ- نإ َّرَسَأ ْذِإ ةَصْفَحَو ةَشِئاَعِل } هللا ىلإ ابوتت ِهِجاَوْزَأ ِضْعَب ىَلِإ ُّيِبَّنلا. ُتْبِرَش ْلَب( ِهِلْوَقِل )يراخبلا هاور( )اًالَسَع
Artinya: Dari ‘Umair berkata aku mendengar Aisyah ra. Berkata, sesungguhnya Rasulullah saw. suatu ketika berada di rumah Zainab binti Jahsy, kemudian meminum madu padanya, maka saya dan hafsah saling berpesan siapa di antara kami yang masuk bertemu Rasulullah maka katakan “sesungguhnya saya merasakan padamu bau getah manis yang kurang sedap, apakah engkau telah makan getah tersebut, maka masuklah salah satu di antara keduanya dan berkata demikian. Rasulullah berkata “akan tetapi, aku telah minum madu di rumah Zainab binti Jahsy dan tidak akan ku ulangi lagi”, maka turunlah ayat َكَل ُهَّللا َّلَحَأ اَم ُمِّرَحُت َمِل ُّيِبَّنلا اَهُّيَأ اَي- ىلإ- ( هللا ىلإ ابوتت نإH.R.
Bukha>ri>) A. Hassan tidak menyebutkan keseluruhan ayat-ayat yang memiliki asba>b al-nuzu>l. Adapun ayat yang juga memiliki asba>b al-nuzu>l, namun A. Hassan tidak menyebutkan asba>b al-nuzu>l ayat tersebut, sebagaimana terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 159 sebagai berikut: 159. sesungguhnya mereka yang m e n y e m b u n y i k a n keterangan-keterangan dan petunjuk yang kami telah turunkan, sesudah kami terangkan ia untuk manusia di Kitab itu, (maka) mereka itu akan di la’nat oleh Allah dan dila’nat oleh orang-orang yang mela’nat.
159 َّنِإ
َنوُمُتْكَي َنيِذَّلا ِتاَنِّيَبْلا َنِم اَنْلَزْنَأ اَم اَم ِدْعَب ْنِم ىَدُهْلاَو يِف ِساَّنلِل ُهاَّنَّيَب ِباَتِكْلا َكِئَلوُأ ُمُهُنَعْلَي ُهَّللا َنوُنِعاَّللا ُمُهُنَعْلَيَو
Pada ayat tersebut, A. Hassan sama sekali tidak menyebutkan asba>b al-nuzu>l ayat, bahkan ia tidak menafsirkan ayat tersebut. Akan tetapi, di dalam beberapa kitab tafsir, ayat ini memiliki asba>b al-nuzu>l. Sebagaimana
dijelaskan di dalam beberapa kitab tafsir. Salah satu di antaranya dijelaskan oleh al-Alu>si dalam kitab tafsirnya sebagai berikut:
{ ٍساَّبَع ِنْبِا ْنَع ةَعاَمَج َجَرْخَأ } َنوُمُتْكَي نيذلا َّنِإ َلاَق هنع ىلاعت هللا َيِضَر: لَبَج نِب ذاَعُم َلَأَس، ذاَعُم نِب دَعَسَو، ِراَبْحَأ ْنِم ًارفن دْيَز ْنِب ةَجِراَخَو ُهاَّيِإ ْمُهْوُمَتَكَف ةاَرْوَّتلا يِف اَم ِضْعَب ْنَع ِدْوُهَي ِهِذَه ْمِهْيِف ىَلاَعَت هللا َلَزْنَأَف ْمُهوُرِبْخُي ْنَأ اوَبَأَو ةَيآلا Artinya: Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abba>s ra, berkata bahwa Mu’az Ibn Jabal, Sa’ad Ibn Mu’a>z dan Kha>rijah Ibn Zaid bertanya kepada segolongan paderi yahudi tentang beberapa hal yang terdapat di dalam Taurat. Para paderi menyembunyikan hal tersebut dan enggan memberitahukannya. Maka Allah menurunkan ayat ini (Q.S. Al-Baqarah/2: 159) d.
Menggunakan teknik interpretasi tekstual Dalam kitab Tafsir al-Furqan, A. Hassan menggunakan teknik interpretasi
tekstual atau tafsir bi al-ma’s|u>r, hal ini menunjukkan bahwa di dalam kitab tafsirnya, tidak semata-mata menggunakan pemahaman ijtihadnya sendiri. Penafsiran dengan teknik tersebut, merupakan penafsiran yang paling utama, sehingga dapat dikatakan bahwa penafsiran tersebut, dapat dijamin kebenarannya. Walaupun dari satu sisi, A. Hassan lebih mendalam pada pemahaman kebahasaannya yang berujung pada pemahaman ra’yi, namun dari beberapa penafsiran ayat, ia pun mengutip beberapa penafsiran, baik itu dari ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadis dan perkataan para sahabat.
Untuk lebih jelasnya, penulis menyusun contoh penafsiran A. Hassan dengan teknik interpretasi tekstual sebagai berikut: 1) Penafsiran ayat dengan ayat Pada penafsiran ayat dengan ayat tersebut, A. Hassan hanya menyebutkan bahwa ayat tersebut dijelaskan dalam surah dan ayat yang lain, tanpa menuliskan teks ayat tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 60 sebagai berikut: 60. Dan (ingatlah) tatkala Musa mintakan air bagi kaumnya, maka kami berkata: “pukullah batu itu dengan tongkatmu”, lantas terpancar daripadanya dua belas mata air yang sesungguhnya tiap-tiap satu golongan itu tahu tempat minumnya”. “makan dan minumlah daripada pemberian Allah, dan janganlah kamu melewati batas, membikin rusuh di bumi.”
60ِذِإَو ىَقْسَتْسا اَنْلُقَف ِهِمْوَقِل ىَسوُم ْبِرْضا َكاَصَعِب َرَجَحْلا ْتَرَجَفْناَف َةَرْشَع اَتَنْثا ُهْنِم ُّلُك َمِلَع ْدَق اًنْيَع اوُلُك ْمُهَبَرْشَم ٍساَنُأ ِهَّللا ِقْزِر ْنِم اوُبَرْشاَو اَلَو اْوَثْعَت يِف َنيِدِسْفُم ِضْرَأْلا
Pada ayat ini, A. Hassan menafsirkan Q.S. Al-Baqarah/2: 60, dengan Q.S. Al-A’raf/7: 160. Ia menjelaskan bahwa bahwa Bani Israil itu terbagi dua-belas kaum atau golongan. Maka “tiap-tiap satu golongan tahu tempat minumnya” itu artinya, bahwa tiap-tiap satu golongan daripada dua-belas golongan itu mendapat mata-air sendiri-sendiri. Lalu kami berkata: “makan dan minumlah…”. Penjelasan yang terdapat di dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 60 hanya bersifat umum dengan menyebutkan dua belas mata air yang terpancar, kemudian di
khususkan pada Q.S. Al-A’raf/7: 160 bahwa dalam surah ini dijelaskan golongan dari Bani Israil tersebut. 2) Penafsiran ayat dengan hadis Pada penafsiran ini A. Hassan menafsirkan suatu ayat dengan hadis, tanpa menyebutkan periwayat baik itu sanad hadis, maupun matan hadis secara keseluruhan. ia hanya menjelaskan hadis secara makna, sesuai dengan inti dari pembicaraan hadis tersebut. Hal ini menurut penulis, sesuai dengan keadaan kondisi masyarakat pada saat Tafsir al-Furqan ini disusun. Menurut penulis alasan yang mendasari A. Hassan menafsirkan ayat dengan hadis secara makna saja, tanpa kesempurnaan sanad dan matan, dikarenakan pembaca disaat pembuatan tafsir ini, masih cenderung kepada penerjemahan ayat dengan sangat sederhana. selanjutnya objek yang menjadi pembaca dimasa tafsir ini, masih dalam tahap memahami Alquran, bukan pada tingkat menganalisa dan membuat suatu karya ilmiah sehingga membutuhkan sumber yang tepat. Hal ini menunjukkan bahwa tafsir ini lebih tepat diperuntukkan kepada masyarakat yang awam tentang Alquran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada penafsiran A. Hassan, sebagaimana dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 238 berikut ini: 238. kerjakanlah dengan tetap akan sembahyang-sembahyang dan akan sembahyang yang terlebih penting, dan hendaklah kamu berdiri karena Allah dengan khusyu’.
238اوُظِفاَح ىَلَع ِتاَوَلَّصلا ِةاَلَّصلاَو ِهَّلِل اوُموُقَو ىَطْسُوْلا َنيِتِناَق
Menurut A. Hassan pada penafsiran beberapa kalimat dari ayat di atas,
ِتاَوَلَّصلاditafsirkan dengan sembahyang lima waktu, kalimat ىَطْسُوْلا ِةاَلَّصلاditafsirkan dengan sembahyang asar dan sebagian mengatakan salat subuh, serta kalimat َنيِتِناَق ِهَّلِل اوُموُقَو seperti
diartikan dengan ketetapan hati dan ikhlas. A. Hassan pada penafsiran ayat ini, sebenarnya menggunakan hadis Rasulullah saw., akan tetapi ia tidak menjelaskan bahwa penafsiran tersebut adalah hadis Rasulullah saw. Ia hanya menjelaskan ayat tersebut dengan sangat sederhana, yaitu seperti kalimat ىَطْسُوْلا ِةاَلَّصلاdengan “sembahyang asar dan sebagian mengatakan salat subuh”. Tanpa penjelasan lebih lanjut tentang kualitas riwayah dan dirayah hadis tersebut. Pada dasarnya Penafsiran tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah saw., sebagai berikut:
ِهَّللا ُلوُسَر َلاَق َلاَق ٍّىِلَع ْنَع-هيلع هللا ىلص ملسو- ِةَالَّصلا ِنَع اَنوُلَغَش « ِباَزْحَألا َمْوَي ْمُهَتوُيُب ُهَّللا َألَم ِرْصَعْلا ِةَالَص ىَطْسُوْلا )ملسم هاور( » اًراَن ْمُهَروُبُقَو Artinya: Dari 'Ali berkata, pada hari berperang Rasulullah saw. bersabda mereka telah menyebabkan kita lalai dari sembahyang pertengahan, sembahyang asar. Semoga Allah memenuhi rumah-rumah mereka dan kuburan mereka dengan api. (H.R. Muslim) 3) Penafsiran ayat dengan perkataan sahabat A. Hassan juga menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan perkataan sahabat, bahkan banyak dari perkataan sahabat dimasukkan di dalam kitab tafsirnya, terutama pendapat-pendapat dari ‘Abdullah Ibnu ‘Abba>s, sebagaimana tergambar
pada Q.S. al-Naba’/78: 23, ketika menggambarkan bagaimana lamanya tinggal di dalam neraka bagi orang yang durhaka, sebagai berikut: 23. yang akan diam padanya beberapa huqub;
23َنيِثِباَل اًباَقْحَأ
اَهيِف
Menurut A. Hassan dalam mengartikan kata Huqu>b adalah delapan puluh tahun. Ahqa>b artinya beberapa huqub. Yang berarti bahwa mereka akan berdiam di neraka itu selama satu masa yang tidak ada kesudahannya. Penafsiran A. Hassan pada ayat tersebut, bersumber dari penafsiran Ibnu ‘Abba>s sebagaimana yang tertera di dalam kitab tafsirnya. pada tafsir Ibnu ‘Abba>s dijelaskan bahwa orang yang durhaka tinggal di dalam neraka selama beberapa huqub. Adapun yang dimaksud dengan huqu>b (satu huqu>b) ialah delapan puluh tahun, dan dalam satu tahun sebanyak 360 hari dan dalam satu hari di akhirat selama 1000 tahun perhitungan manusia di dunia, ada yang mengatakan bilangan tiap-tiap huqub itu tidak ada yang mengetahui (tidak berkesudahan). e. Penafsiran yang berhubungan dengan ayat-ayat mutasya>biha>t khususnya pada ahru>f al-muqat}t}a’ah Menurut Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, ah}ruf al-muqa>tt}a’ah termasuk ayat-ayat mutasya>bihat. Sebagai ayat-ayat mutasya>bihat, para ulama berbeda pendapat dalam memahami dan menafsirkannya. Dalam hal ini pendapat para ulama pada intinya terbagi dua, yaitu: 1) Pendapat para ulama yang memahaminya sebagai rahasia yang hanya diketahui oleh Allah, sehingga tidak perlu ditafsirkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Sya’bi>, Sufyan al-S|auri, Abu Lais| al-Samarkandi, Abu
Ha>tim dan golongan Muhaddis|in, juga merupakan pendapat Ibnu Mas’ud dan empat orang Khulafa’ al-Ra>syidi>n. 2) Pendapat yang memandang bahwa huruf-huruf di awal surah-surah ini sebagai huruf-huruf yang mengandung pengertian yang dapat dipahami oleh manusia dan dapat diambil faedah-faedahnya. Karena itu penganut pendapat ini memberikan interpretasi dan penafsiran terhadap huruf-huruf tersebut. Di antara yang berpendapat demikian, Ibnu ‘Abba>s, ‘Ali Ibn Abi> T}a>lib dalam riwayat yang lain, Qut}rub, al-Farra>’, al-Zajja>j, al-Kalbi>, dan lain-lain. Dan para Mutakallimin mengingkari pendapat pertama dan mengatakan bahwa bagaimana mungkin kita bisa bertadabbur, menghayati dan mengamalkan ajaran Alquran serta menghindari larangan-laranganya jika ia hanya bersifat rahasia yang tidak bisa diketahui. A. Hassan sendiri mendukung pendapat yang kedua, yang menurutnya boleh menafsirkan
ah}ru>f
al-muqat}t}a’ah
sebagaimana
penafsiran
yang
dilakukannya di dalam kitab Tafsir al-Furqan. Dalam Alquran itu sendiri terdapat 29 surah yang terkandung didalamnya ahru>f al-muqatt}a’ah, dengan berbagai bentuk mulai dari satu huruf sampai lima huruf. Hal ini juga menunjukkan bahwa ayat-ayat yang mutasya>bihat yaitu ayat yang artinya samar, boleh untuk di ta’wil. Menurut A. Hassan, adapun arti dan maksud huruf-huruf potongan itu, ulama berbeda pendapat: 1) idak ada yang tahu arti dan maksudnya melainkan Allah, 2) Nama bagi surah-surah, 3) Huruf-huruf yang pertama dari nama-nama Allah, 4) Huruf-huruf yang pertama atau yang ditengah dari nama-nama Allah, 5)
Huruf-huruf dari nama-nama Allah, Jibril, Muhammad, dan 6) Huruf-huruf dari kalimat-kalimat yang berhubungan dengan Allah dan Rasulnya. Dapat penulis simpulkan bahwa ahru>f al-muqat}t}a’ah yang ada dalam kitab Tafsir al-Furqan bersumber dari penafsiran Ibnu ‘Abba>s dalam kitabnya Tanwi>r al-Miqya>s Min Tafsi>r Ibn ‘Abba>s. Sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 1 berikut ini: 1. Alif, Lam, Mim.
ملا
1 Penjelasan A. Hassan pada ayat ini, bahwa
menurut sebahagian dari
beberapa tafsir, arti ملاadalah: a) “Alif” itu ringkasan atau potongan huruf dari kalimah “Allah” atau “Ana” (aku) b) “Lam” itu ringkasan atau potongan huruf dari “Jibril”, “Allah”, atau “Lathif” (pemanis, pelemah lembut). c) “Mim” itu ringkasan atau potongan huruf dari “Muhammad”, “A’lam” (yang terlebih mengetahui), atau “Maji>d” (yang amat mulia atau yang amat dijunjung). Maka “Alif”, “Lam”, “Mim” itu bisa dirangkai bermacam- macam: a) Allah, Jibril, Muhammad. b) Aku, Allah, yang terlebih mengetahui c) Allah pelemah lembut, yang amat mulia Jadi, maksudnya, bahwa: a) Qur’an ini dari Allah kepada Jibril, kepada Muhammad. b) Qur’an ini dari pada-Ku, Allah yang terlebih mengetahui.
c) Qur’an ini dari Allah, pelemah lembut, yang amat mulia Pada contoh yang lain terhadap Q.S. Al-Qalam/68: 1 sebagai berikut:
ن ِمَلَقْلاَو ( َنوُرُطْسَي1)
1. Nun. Perhatikanlah pena dan 1 apa yang mereka tulis.
اَمَو
Menurut A. Hassan bahwa kata nun berarti tempat tinta, dan yang dimaksud ialah perhatikanlah tinta, kalam dan sesuatu bahan yang digunakan tinta dan kalam padanya, yaitu perhatikanlah Alquran yang diturunkan kepada Muhammad yang tertulis dan terpelihara. Kalau kamu perhatikan, niscaya kamu tidak akan mengatakan Muhammad gila, ahli syair, ahli sihir dan lain lain. Sementara itu dalam kitab Tafsir al-Qur’a>n al-Az}i>m yang dikarang oleh Imam Abu al-Fida Ibn Kas\i>r (w. 774 H.), ia menjelaskan tentang ayat di atas bahwa permulaan ayat tersebut dimulai dengan huruf nun yaitu termasuk dalam ah}ruf al-muqatta’ah pada awal surah seperti s{ad, qaf dan lain-lain. Ada yang mengatakan arti nun ialah ikan paus yang besar di samudera yang luas. Kemudian ia mengutip pendapat dari Abu> Ja’far al-T}abari>, yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abba>s berkata bahwa permulaan Allah menciptakan qalam,
dan
berkata tulislah, qalam berkata apa yang saya tulis? Allah berkata tulislah ketentuan. Maka berlakulah apa yang terjadi di muka bumi sekarang sampai hari kiamat, kemudian menciptakan nun, dan mengangkat uap air, maka terbelahlah langit maka terhamparlah dunia diatas punggung ikan paus itu, ketika bergerak ikan paus itu maka bergoncanglah bumi, maka dikokohkan dengan gunung. Sesungguhnya ia memiliki kemuliaan di muka bumi.
Dalam kitab Tafsir al-Furqan ini, A. Hassan menjelaskan bahwa sebagian ulama yang membolehkan menafsirkan ahru>f al-muqat}t}a’ah, dan telah mengartikan empat belas huruf-huruf tersebut sebagai berikut:
ا: هللا: انأ ح: ديمح, ميلح,يح, ميكح, نانح ر: ميحر, نامحر, بيقر س: عيمس, باسحلا عيرس, مالس ص: قداص, روبص, دمص, هلل قدص, دمحم قدص ط: رهاط ع: ميلع, زيزع ق: سودق, رهاق, رداق, ريدق, بيرق, مويق, ضباق ك: ميرك, ريبك, فاك ل: فيطل, ليربج م: ديجم, دمحم,كلم, نانم ن: رون, تاود, رصان, ريصن ه: داه ي: مهيديا قوف دي Artinya: 1.
Alif
2.
Ha’
: Allah; Aku : Yang terpuji; yang amat sabar; yang hidup; yang
bijaksana; yang amat iba. 3.
Ra’
: Penyayang; Pemurah; Pengawas.
4.
Sin : Yang mendengar, yang cepat menghitung, yang sejahtera
5.
Shad : Yang benar; yang amat sabar; yang tiap-tiap suatu perlu kepada-Nya; telah benar Allah; telah benar Muhammad
6. Tha’
: Yang suci.
7. ‘Ain
: Yang mengetahui; yang gagah; (yang mulia).
8.
Qaf yang
: Yang maha suci; yang maha kuasa: yang berkuasa;
amat berkuasa; yang hamper; yang berdiri sendiri; yang memegang. 9. Kaf
: Yang mulia; (pemurah); yang besar; yang mencukupi
10. Lam
: Yang lemah lembut; Jibril.
11. Mim
: Yang di junjung; Muhammad; Raja; pengarunia
12. Nun
: Cahaya; Tempat tinta; yang menolong, penolong
13. Ha’
: Yang memimpin; (penunjuk jalan).
14.
ya : Tangan-Nya di atas tangan-tangan mereka; (kekuasaan-
Nya melebihi kekuasaan-kekuasaan mereka). f. Penafsirannya menggunakan sumber Taurat dan Injil Sebagian penafsir seringkali menggunakan Taurat (perjanjian lama) dan Injil (perjanjian baru) dalam menafsirkan Alquran. Oleh karena di dalamnya, terdapat beberapa persamaan dalam menjelaskan suatu kejadian, baik yang berkenaan tentang cerita-cerita masa lalu, maupun yang berkenaan tentang keyakinan, sehingga kedua sumber tersebut mendukung pernyataan yang ada di dalam Alquran. A. Hassan dikenal juga sebagai seorang kristolog, yang seringkali melakukan perdebatan-perdebatan dengan para pendeta tentang agama Kristen. Ia termasuk orang yang menguasai kitab Injil dan Taurat sehingga di dalam kitab tafsirnya, A. Hassan menggunakan kedua sumber tersebut sebagai sumber dari
penafsirannya. Namun, pengambilan kedua sumber tersebut, tidak dengan serta merta menerima apa yang tertulis di dalam taurat dan injil serta mengutipnya. Namun, ia mengutip apa yang sesuai dengan teks Alquran dan maksud Alquran tersebut. Penjelasan yang digunakan pun sangat sederhana, hanya menyebutkan bahwa di dalam Taurat atau Injil demikian, tanpa menyebutkan sumber letak teks taurat dan Injil tersebut. A. Hassan menggunakan sumber dari Injil dan Taurat ketika ayat tersebut berbicara tentang Bani Israil (Yahudi) dan Nasrani, sebagaimana penjelasan tentang pada Q.S. Al-Baqarah/2: 27 sebagai berikut: 27. Yang memecahkan perjanjian Allah sesudah diteguhkannya, dan memutuskan apa yang diperintah oleh Allah supaya dihubung, dan membikin kebinasaan di bumi. Mereka ini ialah orang-orang rugi.
27َنيِذَّلا َنوُضُقْنَي ِدْعَب ْنِم ِهَّللا َدْهَع اَم َنوُعَطْقَيَو ِهِقاَثيِم َلَصوُي ْنَأ ِهِب ُهَّللا َرَمَأ ِضْرَأْلا يِف َنوُدِسْفُيَو َنوُرِساَخْلا ُمُه َكِئَلوُأ
A. Hassan menjelaskan, pada penafsiran ayat di atas bahwa di dalam Taurat, Tuhan wajibkan Bani Israil beriman kepada nabi Muhammad yang akan datang. Yahudi-yahudi dan Nasrani-nasrani yang berpegang kepada Taurat, berarti telah membuat perjanjian akan beriman kepada Muhammad tetapi setelah Muhammad datang, mereka tidak sempurnakan perjanjian itu. Lebih lanjut di dalam Taurat dijelaskan juga bahwa Tuhan melarang mereka memutuskan hubungan keluarga dan membuat rusuh di bumi, tetapi mereka putuskan perhubungan mereka dengan orang-orang yang masuk Islam dari gologan mereka, dan mereka membuat fitnah terus-terusan.
Pada ayat di atas, A. Hassan menjelaskan
penafsiran ayat Q.S.
Al-Baqarah/2: 27, dengan menggunakan Taurat yang sering juga disebut dengan kitab perjanjian lama. Penjelasan dari ayat tersebut, bahwa tertulis di dalam Taurat, orang-orang yahudi dan Nasrani telah berjanji untuk beriman kepada nabi Muhammad saw., namun mereka mengingkari janji tersebut. Mereka juga telah memutuskan hubungan kekeluargaan dan memutuskan hubungan terhadap orang-orang yang masuk Islam serta membuat kerusakan di muka bumi, sementara di dalam Taurat telah diajarkan untuk tidak berbuat demikian. Maka, mereka termasuk orang-orang yang merugi. Penjelasan ini, juga terdapat di dalam Tafsir al-Furqan, sebelum terjadi pengulangan, ia menjelaskan lebih detail tempat pengambilan sumber dari Taurat tersebut. Sebagaimana yang terdapat di dalam kitab perjanjian lama Ulangan 18: 18, 19 sebagai berikut: “Aku akan utus seorang nabi dari antara saudara mereka seperti engkau, dan aku akan taruh firmanku di mulutnya, dan ia akan sampaikan kepada mereka itu tiap-tiap apa yang aku pesan, dan manusia yang tidak mau dengar firmanku yang ia sampaikan dengan namaku itu nanti aku tuntut akan ia. .. dari antara saudara mereka “itu artinya dari antara saudara Bani Israil, yaitu dari Bani Ismail, karena Israil itu anak Ishak, anak Ibrahim. Dan Ismail itu anak Ibrahim. Oleh itu dikatakan bahwa Bani Israil itu saudara kepada Bani Ismail.” g. Menggunakan teknik interpretasi sistemik (muna>sabah ayat) Ayat-ayat Alquran telah tersusun sebaik-baiknya berdasarkan petunjuk dari Allah swt., sehingga, pengertian tentang suatu ayat kurang dapat dipahami begitu saja, tanpa mempelajari ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Oleh karenanya, diperlukan ilmu yang disebut muna>sabah.
Menurut penelitian penulis terhadap kitab Tafsir al-Furqan bahwa A. Hassan dalam menafsirkan Alquran, juga menggunakan teknik interpretasi sistemik (muna>sabah), baik itu terjadi antar ayat, maupun antar surah. Hal ini dapat dilihat pada Q.S. Al-Baqarah/2: 59 sebagai berikut: 59. Lantas orang-orang yang durhaka itu gantikan perintah (dengan perbuatan) yang tidak diperintahkan kepada mereka, lalu kami turunkan atas orang-orang yang durhaka itu siksaan dari langit dengan sebab mereka melanggar (perintah).
59اوُمَلَظ َنيِذَّلا َلَّدَبَف َليِق يِذَّلا َرْيَغ اًلْوَق ىَلَع اَنْلَزْنَأَف ْمُهَل َنِم اًزْجِر اوُمَلَظ َنيِذَّلا ِءاَمَّسلا اَمِب اوُناَك َنوُقُسْفَي
A. Hassan menjelaskan bahwa di dalam Q.S. Al-Baqarah 2/: 58, Allah perintahkan mereka masuk ke negeri itu dengan merendah diri dan meminta ampun, supaya menjadi orang-orang yang bersih daripada dosa-dosa, tetapi mereka masuk ke negeri itu dengan tidak mengindahkan perintah-perintah tersebut, bahkan mereka berbuat sebaliknya. Itulah maksud menggantikan perintah. Pada penjelasan ayat di atas, A. Hassan tidak menyebutkan secara langsung bahwa terdapat muna>sabah ayat Q.S. Al-Baqarah/2: 59, dengan ayat sebelumnya yaitu pada ayat 58. Namun, tampak di dalam ayat tersebut keterkaitan antara ayat yang satu dengan ayat yang sebelumnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa A. Hassan juga menggunakan muna>sabah antar ayat dalam menjelaskan Q.S. Al-Baqarah/2: 59. h. Menggunakan teknik interpretasi ganda
Penggunaan teknik interpretasi ganda seringkali digunakan oleh seorang penafsir yang menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, oleh karena penggunaan dua atau lebih teknik interpretasi terhadap satu objek pembahasan. Hal ini dapat dilihat pada kitab tafsir ini. Walaupun dalam kitab ini penafsir tidak menggunakan teknik interpretasi ini sepenuhnya, namun dari beberapa penafsiran terhadap suatu ayat, ia menggunakannya. Dalam arti kata, A. Hassan menggunakan teknik interpretasi ganda ialah selain menggunakan teknik interpretasi linguistik termasuk di dalamnya semantik etimologis dan semantik morfologis. Ia juga menggunakan interpretasi tekstual antara ayat dan ayat dalam satu objek pembahasan. Salah satu contoh penafsiran tersebut, ketika A. Hassan menjelaskan kata ÏjùuqtGãB pada Q.S. Al-Imran/3: 55 sebagai berikut: 55. (Ingatlah) tatkala Allah berkata: “Hai ‘Isa! Sesungguhnya aku akan ambil-mu dan akan angkatmu kepadaku, dan akan bersihkanmu daripada mereka yang kafir, dan akan jadikan orang-orang yang mengikutmu di atas mereka yang kafir, hingga hari kiamat; kemudian, kepada-Kulah tempat kembali kamu, maka nanti Aku beri keputusan di antara kamu di tentang apa yang kamu berselisihkan.
55 اَي ُهَّللا َلاَق ْذِإ َكيِّفَوَتُم يِّنِإ ىَسيِع َكُرِّهَطُمَو َّيَلِإ َكُعِفاَرَو َنِم َنيِذَّلا اوُرَفَك َكوُعَبَّتا َنيِذَّلا ُلِعاَجَو اوُرَفَك َنيِذَّلا َقْوَف َّمُث ِةَماَيِقْلا ِمْوَي ىَلِإ ُمُكْحَأَف ْمُكُعِجْرَم َّيَلِإ ْمُتْنُك اَميِف ْمُكَنْيَب َنوُفِلَتْخَت ِهيِف
A. Hassan menafsirkan ayat tersebut, bahwa mutawaffi’ itu isim fa>’il, dari kata tawaffa, yang berasal dari wafa. Kata wafa artinya, menyempurnakan,
mencukupkan. Tawaffa artinya, menerima dengan sempurna atau cukup. Dari sini, diambil arti “akan ambil” itu. Jadi perkataan inni> artinya, sesungguhnya aku mutawaffi artinya aku mengambil atau menerima. ka artinya mu, atau engkau. akan angkat kepadaku itu maksud dari dari ra>fi’uka ilayya, dan kata ra>fi’u artinya, mengangkat; ka artinya, mu, atau engkau. Kata ilayya artinya, kepadaku. Perkataan “aku akan mengambilmu” mengandung dua arti di antaranya: a. Aku akan mengambil badan dan ruhmu b. Aku akan mengambil ruhmu saja. Tetapi oleh sebab beberapa hal: a. Ada beberapa banyak hadis sahih yang menerangkan bahwa nabi Isa akan turun; b. Ayat 117 dari al-Maidah (tawaffaitani>) menerangkan bahwa Allah telah mengambil Isa; c. Ayat 167 dari Q.S. Al-Nisa (rafa’ahu Allah ilaihi), dan ayat 55 dari al-Imran (ra>fiuka ilayya) itu menunjukkan, bahwa Allah telah angkat Isa ke atas; d. Ayat 159 dari Q.S. Al-Nisa (…illa layu’minanna bih) menunjukkan bahwa nabi Isa akan turun dan akan di imani oleh sekalian ahli kitab; e. Ayat 61 dari Q.S. Al-Zukhruf (innahu la ‘ilmu lissa’ati) menunjukkan, bahwa nabi Isa akan datang. f. Ijma’ sekalian sahabat, tabiin dan mujtahidin tentang Isa masih hidup dan akan turun, maka tak dapat dipungkiri bahwa ayat tersebut diberi arti,
bahwa: “Hai Isa! Aku akan mengambilmu, dan akan mengangkatmu ke hadiratku (atau ke langit), dan akan …..” Lebih lanjut A. Hassan mengatakan ringkasan penafsiran: - ingatlah firman Allah kepada Nabi Isa di waktu Bani Israil hendak membunuhnya, yang maksudnya: “Hai Isa! Janganlah engkau takut kepada tipu daya kaummu itu, karena aku akan mengambil (mengangkatmu) ke langit, dan akan membersihkan dan melepaskanmu dari perangkap dan tipu daya mereka, dan akan jadikan orang-orang beriman kepadamu lebih mulia (atau lebih kuat) daripada mereka yang kufur kepadamu hingga hari kiamat; kemudian kepadakulah tempat kembali kamu, hai orang-orang kafir! dan aku akan berikan keputusan tentang perkara yang kamu berselisih faham padanya. Berdasarkan langkah-langkah metodologi tersebut dapat diketahui beberapa kesimpulan pembahasan berdasarkan manhaj tafsir di antaranya: 1. Metode penyajian kitab Tafsir al-Furqan Tafsir al-Furqan apakah layak disebut sebuah kitab tafsir, atau hanya sebuah terjemahan Alquran, dapat diketahui melalui penelitian tehadap metodologi yang dipergunakan oleh penulisnya yaitu A. Hassan. Berdasarkan penelitian penulis bahwa kitab tafsir tersebut layak dikategorikan dalam sebuah karya tafsir, oleh karena pemahaman atau penafsiran yang dilakukan oleh A. Hassan memenuhi kriteria sebuah kitab tafsir. Di antara kriteria tersebut ialah dari segi penjelasan lafaz, kalimat, atau ayat dengan menggunakan sumber, alat dan satuan kajian dan pemahaman, A. Hassan telah menerapkan prinsip-prinsip penafsiran yang berlaku.
Adapun dari segi Setelah penulis meneliti metodologi A. Hassan, dalam menerjemahkan dan menafsirkan Alquran, dapat diketahui bahwa metode yang digunakan dalam menerjemahkan Alquran ialah metode terjemahan secara maknawiyah yaitu penafsiran atau ilustrasi terjemahan, kemudian mengacu kepada penjelasan arti kata dalam bahasa-bahasa lain tanpa membatasi susunan kata-kata asli atau perimbangan organisasi bahasanya. metode penyajian tafsir kitab Tafsir al-Furqan, adalah metode ijmali>, namun pada ayat tertentu yang dianggap penting, terdapat penjelasan yang lebih rinci. Di antara kriteria metode ijma>li>
itu ialah penafsiran Alquran
berdasarkan urutan-urutan ayat per ayat menurut Mushaf, dengan suatu uraian yang ringkas tapi jelas dan dengan bahasa yang sederhana sehingga dapat dikomsumsi oleh masyarakat awam maupun intelektual. Hal ini sejalan dengan penuturan A. Hassan dalam pendahuluan tafsirnya bahwa tafsirnya ini disusun sedemikian untuk mempermudah masyarakat memahami makna Alquran. Tafsir A. Hassan ini memiliki perbedaan yang mencolok dengan tafsir-tafsir klasik sebelumnya yang telah digolongkan masuk dalam kelompok tafsir ijma>li>, semisal Tafsir Alquran al-Kari>m karya Muhammad Farid Wajdi dan Tafsir al-Jala>lain karya Jala>luddin al-Suyu>t}i> dan Jala>l al-Di>n al-Mahalli>. Dari segi sistematika penulisan tafsir, kedua penafsir yang disebutkan belakangan memasukkan tafsirannya ke dalam teks ayat secara bersambung, maka tidak demikian halnya dengan A. Hassan. Sistematika penulisan tafsirnya, seluruhnya cenderung berbentuk catatan kaki. Adapun dari segi penafsirannya, bila dibandingkan dengan tafsir Jala>lain, bahwa hampir dari setiap kosa kata pada kitab tafsir ini diberikan penafsiran,
berbeda dengan Tafsir al-Furqan, yang hanya sebagian dari kosa kata, frase maupun klausa yang ditafsirkan, disesuaikan dengan apa yang menurutnya penting untuk diberi penafsiran. A. Hassan cenderung menjelaskan secara langsung tentang substansial makna ayat yang ditafsirkan tersebut, dan pada beberapa surah tidak memiliki penjelasan sedikitpun. Adapun contoh penafsiran tersebut sebagaimana terdapat dalam Q.S. Al-Ashr/103: 1-3 sebagai berikut: 1. Perhatikanlah masa. 2. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian, 3. Kecuali orang yang beriman dan beramal baik dan saling berpesan untuk (menjalankan) kebenaran dan saling berpesan untuk (menjalankan) kesabaran.
ِرْصَعْلاَو 2يِفَل َناَسْنِإْلا َّنِإ ٍرْسُخ 3اوُنَمَآ َنيِذَّلا اَّلِإ اوُلِمَعَو ِتاَحِلاَّصلا اْوَصاَوَتَو ِّقَحْلاِب ِرْبَّصلاِب اْوَصاَوَتَو Î1
Pada surah di atas, A. Hassan menafsirkannya sangat sederhana dan secara global, ia menekankan tentang pentingnya waktu bahwa Manusia hidup dalam masa, masa itu penting. Rugilah manusia yang melewatkan masanya dengan tidak mengerjakan kebaikan baginya dan bagi pergaulan. Huruf wawu ( ) وdan huruf yang lain yang mengarah pada bentuk sumpah, ia artikan dengan perhatikan. Pada Q.S. Al-Ma’un/107:1-7, juga ditafsirkan dengan sangat sederhana dan umum sebagai berikut: 1. Tahukah engkau mendustakan din? 2. Yaitu ialah anak yatim.
orang
yang
orang yang menenking
3. Dan tidak menggemarkan (manusia)
1َتْيَأَرَأ يِذَّلا ِنيِّدلاِب ُبِّذَكُي 2ُّعُدَي يِذَّلا َكِلَذَف َميِتَيْلا
atas memberi makan orang miskin. 4. Maka kecelakaanlah yang didapati oleh orang-orang yang sembahyang, 5. Yang mereka,
lalai
daripada
sembahyang
6. yang ria, 7. Dan enggan memberi pertolongan.
3ىَلَع ُّضُحَي اَلَو ِماَعَط ِنيِكْسِمْلا 4َنيِّلَصُمْلِل ٌلْيَوَف 5َنيِذَّلا ْمُه ْنَع َنوُهاَس ْمِهِتاَلَص 6َنوُءاَرُي ْمُه َنيِذَّلا 7 َنوُعاَمْلا َنوُعَنْمَيَو
A. Hassan menafsirkan pada ayat 1, bahwa Din itu agama: pembalasan: ibadah. Pada ayat ke 3, bahwa orang yang tersebut di dalam ketiga ayat dari awal adalah orang munafik. Pada ayat ke 4, bahwa kecelakaan di akhirat akan mengenai orang-orang munafik seperti yang tersebut tadi, yang bersembahyang bersama kaum Muslimin. Pada ayat ke 5, bahwa orang yang lalai daripada memperhatikan isi sembahyang mereka, karena memang mereka tidak bersembahyang karena Allah. Pada ayat ke 6, yang dimaksud dengan ria ialah yang berbuat sesuatu supaya dilihat dan dipuji orang lain. Pada ayat ke 7, bahwa mereka tidak mau memberi pertolongan kepada seseorang muslim atau buat urusan Islam. A. Hassan juga kadangkala tidak menafsirkan suatu surah, sebagaimana terdapat di dalam Q.S. Al-Ikhlas/112: 1-4 sebagai berikut: 1. Katakanlah: "Ia-lah Allah yang Tunggal”. 2. “Allah-lah tempat sekalian makhluk bergantung” 3. “tidak Ia diperanakkan.” 4.
beranak,
dan
tidak
“Dan tidak ada siapapun sebaya
1 ٌدَحَأ ُهَّللا َوُه ْلُق 2ُدَمَّصلا ُهَّللا 3 ْدَلوُي ْمَلَو ْدِلَي ْمَل 4اًوُفُك ُهَل ْنُكَي ْمَلَو ٌدَحَأ
dengan-Nya." Dari
ketiga contoh surah di atas, dapat disimpulkan bahwa metode
terjemahan yang dipergunakan oleh A. Hassan adalah terjemahan secara maknawiyah. Kemudian jika dilihat pada sisi metode tafsirnya, terhadap kedua surah yang ditafsirkan diatas yaitu Q.S. Al-Ashr dan Q.S. Al-Ma’un, nampak bahwa A. Hassan tidak menjelaskan secara mendetail konsep waktu itu seperti apa, kerugian apa yang ditimbulkan beserta dampaknya, hanya penjelasan yang singkat dan memunkinkan pembaca mengerti maksud substansialnya. Hal ini merupakan indikasi bahwa Tafsir al-Furqan menggunakan metode ijma>li>. Dan pada Q.S. Al-Ikhlas A. Hassan sama sekali tidak menafsirkan surah tersebut, hanya terdapat dua surah yang tidak ditafsirkan, yaitu Q.S. Al-Ikhlas dan Q.S. Al-Kafirun. 2. Teknik interpretasi kitab Tafsir al-Furqan Jika diperhatikan
berdasarkan
langkah-langkah
metodologi
Tafsir
al-Furqan di atas, dapat di simpulkan bahwa A. Hassan dalam menafsirkan Alquran menggunakan beberapa teknik interpretasi di antaranya: teknik interpretasi
linguistik,
teknik
interpretasi
tekstual,
teknik
interpretasi
sosio-historis (asba>b al-nuzu>l), teknik interpretasi sistemik (muna>sabah ayat), dan teknik interpretasi ganda. Dengan beberapa teknik interpretasi tersebut A. Hassan meramu kitab tafsirnya sehingga menarik untuk dibaca dan diambil manfaatnya bagi masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya. 3. Corak/ objek formal tafsir Tafsir al-Furqan
Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, ada yang cenderung membahas dari sisi kebahasaan, aliran kalam, mazhab fikih, sufisme, ilmiah ataupun itu dalam bidang sosial kemasyarakatan, yang berasal dari mufassir itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai corak tertentu. A.
Hassan
seorang
penulis
yang
produktif
dalam
menuangkan
pemikiran-pemikirannya, sehingga mampu menghasilkan beberapa karya buku, misalnya dalam bidang hukum (fikih) buku Soal-Jawab sebanyak empat jilid. Demikian juga dalam bidang teologi dengan bukunya yang berjudul Al-Tauhid. Juga bukunya yang berkenaan tentang permasalahan umat yang diberi judul Kumpulan Risalah A. Hassan. Dan beberapa buku-yang lain. Tetapi bagaimana dengan pikiran-pikirannya dalam buku-buku tersebut; apakah corak dari buku-buku tersebut juga dituangkan dalam kitab Tafsir al- Furqan, ternyata tidak semua dituangkan dalam kitab tafsirnya. Hal ini dapat dilihat ketika A. Hassan menjelaskan objek ayat-ayat yang bersifat teologis, fikih, filsafat maupun ilmiah, ia memberikan penjelasan yang singkat dan mudah dipahami oleh masyarakat awam, tanpa penafsiran yang lebih terperinci dan mendetail. Misalnya, ayat yang berhubungan tentang persoalan fikih yang berkenaan tentang Qis}as, yang terdapat di dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 178: bahwa yang dimaksud dengan دبعلاب دبعلاyang artinya: “orang merdeka dengan orang merdeka” bahwa seorang merdeka, kalau membunuh seorang merdeka maka wajib dibunuh. Kemudian, menurutnya bahwa kesimpulan ayat ini dan pada beberapa keterangan, masalah balas bunuh itu ada beberapa macam, antara lain:
a) Seorang laki-laki yang merdeka kalau membunuh seorang laki-laki yang merdeka wajib ia dibunuh; b) Seorang hamba, kalau membunuh seorang hamba, maka wajib ia dibunuh; c) Seorang perempuan merdeka, kalau membunuh seorang perempuan merdeka, maka wajib ia dibunuh; d) Seorang hamba, kalau membunuh seorang merdeka, maka wajib ia dibunuh serta tuannya wajib memberi diyat (denda) kepada waris si merdeka yang dibalas bunuh itu; e) Seorang perempuan, kalau membunuh seorang laki-laki merdeka, maka wajib ia dibunuh, serta waris si perempuan itu wajib bayar diyat kepada waris si laki-laki yang terbunuh itu; f) Seorang laki-laki merdeka, kalau membunuh seorang perempuan, maka wajid ia di bunuh, tetapi waris si perempuan itu wajib memberi diyat kepada waris si laki-laki yang dibalas bunuh itu. Lanjutnya keterangan lebih jauh tentang hal ini bisa didapat pada kitab fikih dan hadis di pasal atau bab diyat.
Demikian penafsiran A. Hassan pada ayat ini, ia menjelaskan berbagai bentuk pembunuhan, namun juga memberikan saran untuk merujuk kepada kitab fikih dan hadis, dan menurut penelitian penulis bahwa hanya beberapa ayat yang ditafsirkan oleh A. Hassan dengan penjelasan yang cukup luas pada bidang fikih. Pada ayat yang lain ia hanya menjelaskan secara singkat. A. Hassan juga tidak bertaklid kepada salah satu dari empat imam mazhab, ketika menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan permasalahan fikih. kemungkinan pengaruh dari risalah yang dikeluarkannya pada tahun 1956 berjudul Risa>lah al-Mazhab yang isinya
haram bermazhab. Hal ini nampak pada penjelasannya tentang bagaimana bacaan bismillah sebagaimana penjelasan terdahulu. Adapun pada objek ayat yang berkenaan tentang teologi, khususnya tentang sifat Allah swt., sebagaimana yang terdapat di dalam Q.S. Al-Furqan/25: 59. pada lafaz istawa> ‘ala al-'Arsy. A. Hassan menafsirkannya dengan menyebut bahwa bersemayam di atas ‘Arsy tidak mesti dengan duduk di atasnya. Cukup kalau diartikan Allah berkuasa atas 'Arsy, sedang ‘Arsy itu adalah tempat yang paling jauh. A. Hassan juga menegaskan bahwa ulama yang tidak suka takwil berkata, bahwa Allah bersemayam, tidak dimengerti, caranya tidak dapat diketahui, tetapi wajib dipercayai. Menurut penulis, A. Hassan cenderung mendukung penafsiran kaum khalaf sebagaimana juga penafsiran Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand, yang menafsirkan kata al-Arsy (tahta kerajaan) diberi interpretasi kekuatan, A. Hassan menafsirkannya dengan “Allah berkuasa atas 'Arsy”. Demikian juga pada contoh ayat yang lain, ketika A. Hassan menafsirkan Q.S. Al-Fath/48: 10, bahwa yang dimaksud dengan lafaz yad Allah di sini adalah orang yang muba>ya’ah (berjanji taat) kepada Rasul itu, biasanya dengan berjabat tangan, yakni meletakkan tangan atas tangan. Maka orang yang muba>ya’ah dengan rasul itu, Allah pandang sebagai muba>ya’ah dengan-Nya, dan tangan Rasul yang diletakkan di atas tangan-tangan mereka itu Allah anggap seperti tangan-Nya terletak atas tangan tangan mereka. Sementara itu, pendapat Mu’tazilah, yang diwakili oleh al-Zamakhsya>ri>, mengatakan bahwa mereka menginginkan tangan Rasul yang berada di atas tangan orang yang berbaiat adalah tangan Allah, sementara Allah swt. suci atas segala bentuk penisbahan anggota badan, makna sebenarnya ialah penetapan bahwa perjanjian yang dilakukan
bersama Rasul, seperti perjanjian bersama Allah swt. yang tidak ada perbedaan di antara keduanya. Pada penjelasan di atas, A. Hassan tidak mentakwilkan arti tangan kepada selain arti yang sesungguhnya, ia mengumpamakan tangan nabi Muhammad saw. sama dengan tangan Allah ketika membaiat orang-orang untuk taat kepadanya. Sementara Mu’tazilah tidak sepakat dengan penisbahan tangan, karena Allah suci dari yang demikian. Dalam persoalan ilmiah, misalnya pada permasalahan kosmologi, terdapat di dalam Q.S. Yasin/36: 40 sebagai berikut:
اَلَو َرَمَقْلا َكِرْدُت ْنَأ اَهَل يِغَبْنَي ُسْمَّشلا اَل َنوُحَبْسَي ٍكَلَف يِف ٌّلُكَو ِراَهَّنلا ُقِباَس ُلْيَّللا (40( Terjemahnya: Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya. A. Hassan menafsirkan ayat ini dengan sangat sederhana dan tidak berbeda jauh dengan arti yang ada di dalam teks Alquran. Menurut A. Hassan tentang penafsiran ayat ini bahwa tiap-tiap satu dari matahari, bumi dan lainnya berjalan di landasan rel masing-masing. Oleh karena itu, matahari tidak bisa mengejar bulan, dan malam tidak bisa mengejar siang. Tampak bahwa A. Hassan, ketika dihadapkan pada ayat-ayat yang berhubungan dengan bidang fikih, teologi, filsafat maupun ilmiah, A. Hassan menafsirkannya sesuai dengan bidang tersebut. Namun, penjelasannya tidak secara terperinci.
Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa corak/ objek formal tafsir yang tampak pada kitab Tafsir al-Furqan yaitu dalam bidang fikih, teologi, bahasa dan ilmiah. Pada ayat-ayat yang berkaitan dengan fikih tidak bertaklid pada salah satu dari Imam mazhab, walupun pendapatnya mengarah kepada salah satu Imam mazhab. Pada ayat-ayat teologi, kadang kala sepakat dengan penafsiran kaum Mu’tazilah dan di sisi lain mengambil bertentangan dengan pendapat Mu’tazilah. 4. Sumber-sumber rujukan Tafsir al-Furqan Pada setiap karya tafsir, ada faktor-faktor yang dapat dijadikan acuan atau pegangan dalam memahami kandungan Alquran. Faktor tersebut juga dapat di gunakan sebagai penjelas, perbendaharaan dan perbandingan dalam menafsirkan. Tafsir al-Furqan juga demikian, walaupun dapat diketahui bahwa tafsir tersebut tidak menggunakan maraji’ (sumber rujukan). Namun, secara garis besar dalam penafsiran A. Hassan, dapat disimpulkan sumber-sumber tafsir secara umum yang dipergunakan dalam menafsirkan Alquran sebagai berikut: Alquran, Hadis, Injil, Taurat, dan kekuatan pada kebahasaan serta analogi pemikiran. Adapun kitab-kitab tafsir yang menjadi rujukan A. Hassan sesuai dengan penelitian penulis dan juga hal ini pernah disinggung oleh A. Hassan sebagai kitab-kitab yang perlu untuk dijadikan rujukan dalam beramal, sebagai berikut: Tafsir Ibn Kas|ir, Tafsir Ru>h al-Ma’a>ni, Tafsir al-T}abari>, Tafsir Ibn ‘Abba>s, Tafsir al-Zamakhsyari>, Tafsir al-Bagawi>, dan Tafsir Jala>lain. D. Keutamaan dan keterbatasan Tafsir al-Furqan Sebagai sebuah metode penafsiran, metode ijma>li> di satu sisi memang merupakan bagian dari proses mencari makna di balik ayat-ayat Alquran, yang
tentu boleh saja diterapkan seperti metode-metode yang lain. Dalam upaya menafsirkan Alquran, metode apapun bisa diterapkan selama dimaksudkan dalam rangka memahami Alquran yang notabene memiliki makna dan pesan yang sangat universal. Setiap metode tentu saja memiliki keutamaan dan keterbatasan. Sehingga dalam mengungkap makna Alquran, ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan dasar yang ingin disampaikan oleh Alquran. Selain itu, ada juga yang berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai tujuan itu. Sesuai dengan penelusuran penulis, terdapat beberapa keutamaan dan keterbatasan yang terdapat di dalam kitab tafsir A. Hassan, untuk lebih jelasnya sebagai berikut: 1. Keutamaan a.
Pada proses dan bentuk penyampaiannya yang mudah dibaca, dan ringkas serta bersifat umum. Walaupun pada beberapa ayat tertentu yang ditafsirkan agak luas, tetapi tidak sampai mengarah pada penafsiran analitis.
b. Karena ringkasnya pembahasan dan bersifat umum, menjadikan kitab tafsir ini, tidak melakukan analisa perbandingan yang mendalam, sehingga terhindar dari upaya-upaya penafsiran yang bersifat israiliyat yang menyimpang dan penjelasan yang bertele-tele. c.
Sistem penyusunan yang digunakan oleh A. Hassan, dengan memberlakukan penggunaan catatan kaki pada kata-kata yang sulit, sehingga dapat diketahui kata, frase atau klausa ayat yang ditafsirkan oleh A. Hassan. Hal ini dapat memudahkan dan menghibur mata pembaca kitab tafsir tersebut. Berbeda dengan beberapa kitab tafsir yang ditulis dengan metode ijma>li lainnya,
seperti Kitab Tafsir Alquran al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi, Kitab Al-Tafsir al-Wasit}, terbitan Majma’ al-Buhus} al-Islamiyah, dan Kitab Tafsir Jala>lain. Kitab-kitab tafsir ini secara metodologi ditulis dengan metode yang sama, yaitu metode ijma>li, sehingga paradigma dan corak tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan, namun pada sistem penyusunan kitab tafsir tersebut berbeda. Tafsir Jala>lain misalnya menggunakan sistem hawamisy, yaitu penafsiran yang berada tepat di samping ayat. Dan kadang juga menggunakan catatan kaki misalnya pada penjelasan tentang asba>b al-nuzu>l ayat. d. Memberikan penafsiran yang jelas tentang keadaan kaum Yahudi dan Nasrani sesuai dengan Alquran, Hadis, Injil dan Taurat. e.
Perhatiannya terhadap bahasa dan kaedah-kaedahnya yang merupakan kelebihan utama dalam kitab tafsir ini.
f.
Dapat dipahami oleh semua kalangan, baik kalangan intelektual, maupun masyarakat awam. 2. Keterbatasan Selain memiliki keutamaan pada kitab Tafsir al-Furqan, di dalamnya juga
terdapat beberapa keterbatasan yang perlu untuk diketahui sebagai berikut: a.
Karena ringkasnya penafsiran A. Hassan, kurang memberikan kepuasan bagi mereka yang ingin penjelasan lebih detail.
b. Tafsir al-Furqan lebih menekankan pada kualitas teks daripada substansi teks, sehingga memunculkan kesan tafsir tekstualis lebih akrab dengan apa yang ada pada teks secara literal.
c.
Dalam penafsirannya kadang kala A. Hassan tidak konsisten dan bingung dalam penentuan mukha>tab ayat tersebut, salah satu contoh pada Q.S. Al-Maidah/5: 26. Pada penjelasan kalimah fala> ta’sa ala> al-qau>m al-fa>siqi>n. A. Hassan menjelaskan bahwa mukha>tab dari kata “ta’sa” yaitu “engkau duka cita” yang dimaksud kalimat ini ialah nabi Musa, dan bisa jadi nabi Muhammad saw.
d. Asba>b al-nuzu>l disebutkan “terkesan hanya sekedar” dijadikan sebagai pelengkap, karena tidak ada analisa terhadap asba>b al-nuzu>l tersebut, padahal asba>b al-nuzu>l merupakan landasan pijak bagi sebuah ayat. e.
Kadang kala dalam satu surah tidak ada penafsiran di dalamnya.
f.
Tidak menggunakan sumber rujukan (mara>ji’) dari setiap penafsiran.