Bab 1 Pendahuluan 1.1.
Latarbelakang Permasalahan
Pertanyaan yang paling mendasar yang perlu dijawab adalah: apa kontribusi teknologi dalam negeri terhadap pembangunan nasional? Jawaban atas pentanyaan ini akan menjadi tolok ukur bagi perkembangan Sistem Inovasi Nasional (SINas) di setiap negara, termasuk Indonesia.1 Akan tetapi untuk menjawab pertanyaan ‘sederhana’ ini, maka perlu didahului dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang anatomi permasalahannya. Sesungguhnya banyak kelembagaan di Indonesia yang melakukan kegiatan riset. Setiap institusi pendidikan tinggi wajib melakukan kegiatan riset sebagaimana amanah Tridharma Perguruan Tinggi. Tiga tugas pokok institusi pendidikan tinggi negeri maupun swasta adalah melakukan kegiatan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Selain instansi pendidikan tinggi, di Indonesia juga terdapat banyak lembaga riset pemerintah dan non-pemerintah.2 Keberadaan lembaga riset yang banyak, aktivitas riset yang rutin dan masif, serta dukungan pembiayaan dari berbagai sumber ternyata belum menjadi jaminan bahwa akan mampu menghasilkan teknologi yang secara langsung dapat ditranslasi menjadi produk barang dan/atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Faktanya, sampai saat ini masih sangat sedikit teknologi domestik yang dihasilkan oleh akademisi, peneliti, atau perekayasa di dalam negeri yang diadopsi oleh industri untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan publik. Tidak banyak juga teknologi yang dikembangkan di dalam negeri yang digunakan oleh masyarakat, maupun oleh berbagai lembaga pemerintah, baik untuk peningkatan kualitas pelayanan publik maupun sebagai landasan pembuatan kebijakan dan regulasi. Rendahnya adopsi teknologi tersebut antara lain berakar pada kenyataan bahwa intensitas dan kualitas komunikasi dan interaksi antara lembaga riset atau perguruan tinggi (sebagai aktor pengembang teknologi) dengan industri atau pengguna teknologi lainnya yang masih sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan ketidakpaduan (mismatch) antara teknologi yang dihasilkan dengan kebutuhan 1
Sistem Inovasi Nasional adalah sistem aliran teknologi dan informasi antara kelembagaan pengembang-pengguna teknologi, didukung oleh kelembagaan terkait lainnya, yang menjadi kunci dari proses inovatif pada suatu negara.
2
Dibawah koordinasi Kementerian Negara Riset dan Teknologi terdapat 7 kelembagaan yang tugas pokoknya menyelenggarakan riset atau kegiatan yang terkait dengan implementasi hasil riset. Kelembagaan riset tersebut berstatus sebagai Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK). Selain LPNK tersebut, pada masing-masing kementerian teknis juga terdapat Badan Penelitian dan Pengembangan masing-masing. Kelembagaan riset nonpemerintah terdapat di beberapa industri besar, selain juga ada yang berupa lembaga riset independen yang diselenggarakan oleh masyarakat.
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
1
industri atau para pengguna teknologi lainnya. Masalah ini merupakan masalah yang paling serius dan mendasar (fundamental problem) dalam upaya mewujudkan SINas. Berfungsinya SINas tidak hanya membutuhkan: [1] keberadaan lembaga pengembang teknologi yang produktif dan berkualitas;3 [2] industri yang dikelola dengan baik dan didukung tenaga kerja terampil dan/atau terdidik yang produktif serta kelimpahan bahan baku; dan [3] fasilitasi aktif dari pemerintahan serta kebijakan dan regulasi yang mendukung pewujudan ekosistem yang kondusif; tetapi juga membutuhkan [4] niat dan motivasi yang tinggi antara pihak pengembang dan pengguna teknologi untuk berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain berdasarkan asas kesetaraan dan saling menguntungkan (mutualistik). Paradigma yang lalu (yang diyakini keliru) adalah menempatkan pihak pengembang teknologi (institusi pendidikan tinggi dan lembaga riset) sebagai penjuru SINas, yang secara dominan mewarnai ‘genre’ teknologi yang dikembangkan. Pendekatan yang lebih dominan bersifat supply-push ini ternyata gagal dalam mempersuasi industri dan pihak pengguna lainnya untuk mengadopsi teknologi hasil riset oleh perguruan tinggi maupun lembaga riset tersebut. Kegagalan paradigma yang lalu ini perlu disikapi secara cerdas dan objektif, dengan mengesampingkan kepentingan sektoral ataupun profesi. Tentu perlu telaah komprehensif terhadap anatomi permasalahan dalam implementasi paradigma supply-push yang kurang optimal tersebut, selain juga perlu dilakukan pencermatan yang matang terhadap alternatif-alternatif untuk memperbaiki paradigma lama tersebut. Kenyataan ini menjadi argumen yang sangat kuat untuk melakukan penelaahan terhadap posisi SINas Indonesia saat ini dan mencari alternatif pendekatan yang tepat agar pola hubungan pengembang-pengguna teknologi dapat efektif, efisien, dan produktif menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkan rakyat Indonesia, yang berarti sekaligus secara nyata akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan (perekonomian) nasional. Upaya mengubah paradigma yang lama dengan paradigma yang baru (untuk pola dan arah hubungan antara pengembang dan pengguna teknologi serta pihakpihak lain yang terkait), secara substansial dapat disebut sebagai upaya reorientasi arah dan pola hubungan antar-aktor dalam SINas. Diharapkan dengan melakukan reorientasi SINas, maka teknologi domestik yang dihasilkan akan 3
Kualitas kelembagaan pengembang teknologi dilihat dari kualitas akademik sumberdaya manusia (SDM) yang mengawakinya, ketersediaan sarana dan prasarana riset yang canggih dan sesuai dengan kebutuhan fokus riset yang menjadi tugas pokoknya, ketersediaan dan/atau kemudahan mengakses sumber informasi ilmiah, dan fasilitas pendukung lainnya untuk menciptakan suasana akademik (academic environment) yang kondusif, serta kemampuannya dalam mendifusikan teknologi yang dihasilkan kepada pengguna potensial.
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
2
lebih berpeluang untuk diadopsi oleh para pengguna, terutama industri dan pelaku produksi lainnya di dalam negeri. Resultan dari adopsi teknologi untuk produksi barang dan/atau jasa ini adalah peningkatan kontribusi nyata teknologi terhadap pembangunan nasional. Satu hal yang sangat fundamental yang perlu reorientasi adalah anggapan bahwa masalah SINas merupakan permasalah teknologi yang berkaitan dengan ekonomi (economically-related technological problems), padahal sesungguhnya masalah SINas adalah permasalahan ekonomi yang butuh dukungan teknologi untuk memecahkannya (technologically-related economical problems). Saat ini, semakin bulat keyakinan dunia (termasuk Indonesia tentunya) bahwa kemajuan perekonomian sangat tergantung pada kinerja SINas-nya, yang pada prinsipnya adalah tergantung pada kapasitas negara dalam mengembangkan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nyata dan sesuai pula dengan kapasitas adopsi dari para pengguna teknologi. Untuk kasus Indonesia, wujud nyata telah tumbuhkan kesadaran akan pentingnya peran teknologi dalam pembangunan perekonomian nasional tersurat dari ditetapkannya pengembangan sumberdaya manusia (SDM) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sebagai salah satu dari tiga strategi utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), disamping dua strategi utama lainnya, yakni pengembangan potensi ekonomi melalui enam koridor yang telah ditetapkan dan memperkuat konektivitas nasional.4 Kesesuaian teknologi dengan kebutuhan nyata membuka peluang lebih lebar untuk teknologi tersebut dapat diadopsi, namun belum sepenuhnya menjamin bahwa SINas akan otomatis terbangun. Ekosistem yang kondusif sangat dibutuhkan untuk tumbuh-kembang SINas, terutama dalam bentuk kebijakan dan regulasi yang akomodatif, yang memudahkan para aktor SINas untuk berkomunikasi dan berinteraksi serta juga memudahkan proses adopsi teknologi domestik oleh para pengguna di dalam negeri. Arahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono5 untuk mengutamakan upaya pemenuhan kebutuhan (demand) pasar domestik menumbuhkan semangat untuk lebih gigih mewujudkan SINas. Penduduk Indonesia yang saat ini (BPS, 2010) telah mencapai 237 juta, merupakan pasar yang sangat besar dan menjadi target banyak negara asing dalam memasarkan produknya. Para pengembang teknologi dan industri dalam negeri harus bahu membahu membangun sinergi untuk tidak membiarkan pasar domestik Indonesia dibanjiri oleh produk dan/atau jasa dari negara-negara asing. 4
5
Untuk pelaksanaan MP3EI, telah pula diterbitkan Perpres 32 Tahun 2011 tentang Pembentukan Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) yang menetapkan tiga kelompok kerja (Pokja), yakni: Pokja Sinkronisasi dan Perbaikan Regulasi, Pokja Percepatan Pembangunan Infrastruktur, dan Pokja SDM dan Iptek. Pokja SDM dan Iptek diketuai oleh Menteri Pendidikan Nasional dan wakil ketuanya adalah Menteri Negara Riset dan Teknologi, dengan anggota dari kementerian PPN/Bappenas, Ristek, Diknas, Nakertrans, Keuangan, UKM dan Koperasi, serta dari anggota KIN, Kadin, dan ketua asosiasi profesi dan usaha terkait. Pada Seminar di Institut Teknologi 10 November Surabaya tanggal 14 Desember 2010.
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
3
Sinergi pengembang-pengguna teknologi dalam penguatan SINas merupakan aksi yang tepat dan sepatutnya dilakukan. Akan sangat ideal jika Pemerintahan mampu mewujudkan ekosistem yang kondusif melalui regulasi dan kebijakan yang tepat, serta konsisten dalam menyelenggarakan kepemerintahan yang baik (good governance), sehingga tumbuh-kembang SINas dapat berlangsung secara sehat, produktif, dan berkelanjutan.
1.2.
Maksud dan Tujuan Penulisan
Terkait dengan performa SINas Indonesia saat ini, segudang pertanyaan bisa muncul dan perlu jawaban. Pertanyaan yang fundamental dan filosofis perlu ditranslasi menjadi pertanyaan-pertanyaan teknis dan operasional agar jawabannya juga menjadi lebih dapat ditindaklanjuti dalam bentuk aksi nyata yang diharapkan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan nyata yang menjadi batu sandungan dalam upaya mewujudkan SINas yang produktif dan menyejahterakan rakyat.6 Tidak hanya menghasilkan jawaban teoritis yang hanya mengundang perdebatan tak berujung dan membiarkan SINas hanya menjadi sosok yang abstrak. SINas harus dibumikan menjadi sesuatu yang nyata.7 Hanya jika SINas dibangun berbasis pada kebutuhan dan persoalan nyata maka teknologi akan berpeluang untuk berkontribusi terhadap pembangunan nasional. Berbagai persoalan terkait rendahnya kontribusi teknologi di Indonesia saat ini diyakini berakar pada tidak relevannya teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan nyata yang dihadapi rakyat, bangsa, dan negara ini. Persoalan terkait dengan upaya mewujudkan SINas yang produktif dan menyejahterakan rakyat tentu tidak dapat disederhanakan secara berlebihan (over-simplified) hanya menjadi persoalan relevansi teknologi. Disadari betul bahwa SINas merupakan sistem yang sangat kompleks. Banyak aktor yang ikut berperan, dengan derajat dan jenis partisipasi yang berbeda tentunya. Banyak faktor yang mempengaruhi ekosistem dimana SINas ditumbuhkan, termasuk ekonomi, sosio-kultural, hukum, dan politik. Interaksi dari berbagai aktor dan faktor-faktor yang ikut berpengaruh tersebut yang akan membentuk sosok SINas. Selain kompleks, SINas juga sensitif terhadap dinamika peran para aktor dan faktor-faktor pembentuk ekosistem tumbuhnya.
Maksud Penulisan. Memahami persoalan SINas yang sangat kompleks tersebut, maka penulisan dokumen ‘Cetak Biru’ ini dimaksudkan untuk: [1] Mengurai kompleksitas SINas agar dapat lebih mudah dipahami (telaah teoritis); 6
Perlu selalu diingat bahwa konsitusi UUD 1945 jelas mengamanahkan bahwa pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan kemajuan peradaban bangsa (Pasal 31 ayat 5).
7
Arahan Menteri Negara Riset dan Teknologi pada Rapat Pimpinan tanggal 25 Oktober 2010 mengingatkan bahwa ‘teknologi perlu dikembangkan berdasarkan realita, bukan idealita’.
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
4
[2] Memahami realita sosok SINas Indonesia saat ini; [3] Mencoba merajut sosok ideal SINas Indonesia yang lebih produktif dan menyejahterakan rakyat; [4] Mengidentifikasi dan mengantisipasi dinamika perubahan faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi ekosistem SINas (lingkungan strategis); [5] Mengembangkan konsepsi SINas Indonesia yang realistis yang diyakini akan mampu diaktualisasikan; dan [6] Memformulasikan rekomendasi untuk panduan operasional dalam upaya mewujudkan SINas Indonesia sesuai dengan yang diharapkan.
Tujuan Penulisan. Penulisan dokumen cetak biru ini bertujuan untuk digunakan sebagai bahan referensi akademik yang menjadi dasar pertimbangan dalam perumusan kebijakan dan penyusunan regulasi yang terkait dengan upaya mewujudkan SINas Indonesia yang produktif dan menyejahterakan rakyat. Sebagai referensi akademik, dokumen cetak biru ini diharapkan mampu memberikan informasi yang komprehensif, mutakhir, dan relevan dengan kondisi Indonesia, serta memberikan kerangka konsepsi yang objektif dan mungkindicapai (achievable) dengan sumberdaya yang dimiliki Indonesia. Karena tujuannya adalah untuk menjadi landasan dalam pembuatan kebijakan dan/atau regulasi, maka dokumen cetak biru ini walaupun kental berbasis akademik, namun diupayakan agar mudah dan enak dibaca dengan gaya bahasa dan penggunaan terminologi yang lebih bersahabat (reader-friendly), terutama bagi para pembuat kebijakan dan regulasi.
1.3.
Sistematika Penulisan
Sesuai dengan maksud penulisan dokumen cetak biru ini dan tujuan yang hendak dicapai, maka sistematika penulisan dirinci sebagai berikut: Bab I
Judul dan Deskripsi Substansi Pendahuluan Mencakup tentang latar belakang penulisan dokumen, maksud dan tujuan penulisan dokumen, serta rincian sistematika penulisan dokumen. •
Latar Belakang memberikan informasi awal tentang persoalan pokok yang dihadapi terkait dengan rendahnya kontribusi teknologi terhadap pembangunan nasional Indonesia, argumen tentang pentingnya membangun SINas yang tepat bagi Indonesia dalam rangka meningkatkan kontribusi teknologi, terutama untuk meningkatkan produktivitas nasional dan kesejahteraan rakyat;
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
5
II
•
Maksud dan tujuan menjelaskan tentang niat yang terkandung dalam penyusunan dokumen cetak biru ini dan kemanfaatan yang dapat diperoleh publik dengan tersedianya dokumen ini;
•
Sistematika menjelaskan tentang tata urut penulisan dokumen yang sekaligus juga merinci tentang substansi isi dokumen.
Teori Sistem Inovasi Nasional Mencakup uraian tentang beberapa konsepsi penting termasuk makna inovasi, pendekatan sistem, SINas, dan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-base economy); para aktor inovasi nasional yang terdiri dari aktor pengembang, pengguna, dan aktor penting lainnya yang ikut menentukan dinamika ekosistem inovasi; dinamika interaksi antaraktor; dan upaya penciptaan ekosistem yang kondusif untuk tumbuh kembang SINas.
III
•
Konsepsi SINas perlu didefinisikan dan dideskripsikan dengan jelas, tegas, dan mutakhir untuk menghindari kerancuan pemahaman antara berbagai aktor yang terlibat langsung, pihak-pihak yang terkait, dan semua individu yang menaruh perhatian tentang SINas. Kesamaan pemahaman tentang konsepsi SINas dan isu/subjek pokok yang terkait akan memudahkan dan mengefektifkan komunikasi antar-pihak;
•
Aktor inovasi paling tidak terdiri dari para pengembang teknologi (perguruan tinggi, lembaga riset dan pengembangan), pengguna teknologi (industri, masyarakat, dan pemerintah), dan berbagai pihak lainnya yang berperan sebagai mediator, fasilitator, dan regulator;
•
Interaksi antar-aktor inovasi mencakup komunikasi dan interaksi antara pengembang-pengguna teknologi sehingga dapat secara produktif menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan rakyat dan/atau negara;
•
Ekosistem inovasi merupakan kondisi atau lingkungan dimana suatu sistem inovasi tumbuh dan berkembang. Keberhasilan (atau ketidakberhasilan) SINas sebagai suatu sistem dalam meningkatkan peran dan kontribusi teknologi terhadap pembangunan nasional merupakan resultan dari interaksi antara aktor-aktor inovasi dengan ekosistem dimana SINas dibangun. Unsur pembentuk ekosistem inovasi dapat berwujud (infrastruktur fisik) maupun tak-berwujud (intangible), misalnya regulasi.
Potret SINas Indonesia Untuk menyajikan realita potret SINas Indonesia saat ini, maka akan diulas tentang kinerja perekonomian nasional; dilakukan analisis tentang ekosistem pembangunan nasional, terutama kebijakan-
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
6
kebijakan yang secara langsung mempengaruhi tumbuh-kembang SINas, termasuk kebijakan makro ekonomi, perindustrian dan perdagangan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan pembangunan infrastruktur sosial; dan dilakukan pula identifikasi permasalahan dan analisis efisiensi sistem inovasi terkait orientasi pembangunan SINas, peran dan kontribusi aktor inovasi, ketersediaan dan kesiapan infrastruktur inovasi, dan peran pemerintah dalam skenario pengembangan SINas.
IV
•
Kinerja Ekonomi dan Inovasi mencakup indikator utama kemajuan perekonomian nasional dan indikator inovasi yang diharapkan berdampak positif terhadap upaya menyejahterakan rakyat;
•
Analisis Ekosistem SINas dilakukan pencermatan terhadap berbagai regulasi dan kebijakan yang terkait dan akan mempengaruhi kinerja SINas, termasuk kebijakan ekonomi makro, industri dan perdagangan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan infrastruktur sosial;
•
Isu Pokok SINas Indonesia yang perlu mendapat perhatian antara lain adanya perbedaan mindset antara akademisi, bisnis, dan pemerintah; keterbatasan komunikasi antara pelaku inovasi, rendahnya kapasitas adopsi teknologi, dan peran lembaga intermediasi yang belum optimal;
•
Permasalahan yang Dihadapi perlu secara cermat diidentifikasi sebagai langkah awal sebelum kegiatan-kegiatan peningkatan kinerja SINas diformulasikan. Permasalahan ini termasuk keengganan akademisi untuk keluar dari comfort zone-nya dan kebutuhan teknologi yang rendah dari kalangan bisnis, terutama karena lebih banyak bisnis di Indonesia adalah perdagangan, bukan industri manufaktur;
•
Pembangunan SINas Saat Ini dicerminkan dari hasil evaluasi dari berbagai lembaga internasional yang independen dan berbagai sumber data dalam negeri.
Menuju SINas yang Diharapkan SINas yang diharapkan adalah merupakan sistem yang mampu memposisikan teknologi domestik sebagai faktor dominan dalam mendukung perkembangan perekonomian nasional. •
Reorientasi Arah dan Prioritas Riset, kesesuaian teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan pengguna (demand-driven) merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam membangun SINas. Selain itu, dalam rangka membangun kemandirian bangsa, teknologi yang dikembangkan harus pula sesuai dengan potensi sumberdaya nasional;
•
Interaksi yang Intensif Antar-aktor Inovasi diharapkan mampu
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
7
mendorong pengembangan SDM yang relevan dengan kebutuhan, membangun semangat kebersamaan antar aktor inovasi, secara bertahan mengubah minset pada pengembang teknologi agar lebih berorientasi pada kebutuhan nyata dan lebih sensitif terhadap persoalan yang dihadapi pengguna teknologi;
V
•
Peningkatan Produktivitas dan Relevansi Teknologi Domestik menjadi isu yang sangat penting. Namun demikian, teknologi yang relevan saja memang belum cukup menjadi jaminan bahwa teknologi tersebut akan diadopsi pengguna, karena masih akan tergantung pada kapasitas adopsi pengguna teknologi; peranan lembaga intermediasi akan sangat berat jika teknologi yang dikembangkan tidak relevan dengan kebutuhan dan tidak sepadan dengan kapasitas adopsi pengguna;
•
Ekosistem Inovasi yang Kondusif dibutuhkan untuk tumbuhkembang SINas. Ekosistem SINas yang kondusif dapat diwujudkan melalui kebijakan dan regulasi yang tepat di berbagai sektor yang secara langsung mempengaruhi kinerja para aktor inovasi dan interaksi antar-aktor tersebut;
•
Kontribusi terhadap Pembangunan Nasional pada akhirnya akan dievaluasi berdasarkan kontribusi SINas terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, disamping sebagai sasaran antaranya adalah pertumbuhan ekonomi, terbangunnya masyarakat berbasis pengetahuan, dan stabilitas keamanan nasional.
Perubahan Lingkungan Strategis Walaupun konsepsi dasarnya sama, namun sosok SINas akan bersifat dinamis menyesuaikan dengan dinamika perubahan lingkungan strategis, baik pada tingkat global, regional, maupun nasional. •
Dinamika Lingkungan Global yang paling penting adalah semakin kentaranya kecenderungan untuk mendorong pengembangan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nyata, sehingga lebih berpeluang untuk digunakan dalam proses produksi barang dan/atau jasa. Selanjutnya secara nyata berkontribusi terhadap pertumbuhan perekonomian.
•
Dinamika Lingkungan Regional ASEAN memperlihatkan bahwa posisi Indonesia secara relatif lebih lamban kemajuan pembangunan ipteknya dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Oleh sebab itu, perlu percepatan dalam mewujudkan dan memperkuat SINas Indonesia yang dimulai dengan perubahan mindset para pengembang teknologi dan meningkatkan peran dunia usaha dalam pembangunan iptek dan penguatan SINas.
•
Dinamika Lingkungan Nasional pada tahun 2011 ini ditandai dengan diluncurkannya MP3EI yang menempatkan pembangunan
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
8
iptek sebagai salah satu strategi utama untuk percepatan dan perluasan pembanguan ekonomi Indonesia. Pengakuan atas potensi peran iptek ini diharapkan dapat menjadi momentum yang tepat untuk memperkuat SINas. VI
Konsepsi Pembangunan Sistem Inovasi Nasional Pembangunan SINas Indonesia sebagaimana yang diamanahkan konstitusi adalah untuk menyejahterakan rakyat dan meningkatkan peradaban bangsa. Oleh sebab itu, ada beberapa aksi yang perlu direalisasikan yakni: •
Membangun Inovasi sebagai Sistem, dengan demikian upaya yang dilakukan tidak hanya melakukan perkuatan masing-masing lembaga inovasi tetapi yang lebih utama adalah meningkatkan intensitas interaksi dan komunikasi antar-aktor inovasi, sehingga aliran informasi kebutuhan dan pasokan teknologi yang relevan dan sesuai kapasitas adopsi pengguna dalam berlangsung secara berkesinambungan dan progresif;
•
Revitalisasi Lembaga Pengembang Teknologi ditujukan untuk memantabkan kapasitasnya dalam pelaksanaan aktivitas riset dan pengembangan, sekaligus meningkatkan kapasitasnya dalam mengakses informasi, mitra kerja potensial, dan sumber pembiayaan serta kapasitasnya dalam mendifusikan teknologi yang dihasilkan;
•
Peningkatan Kapasitas Adopsi Lembaga Pengguna Teknologi merupakan salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kontribusi teknologi dalam berbagai sektor pembangunan nasional, terutama tentunya untuk memacu pertumbuhan ekonomi;
•
Peningkatan Peran Lembaga Intermediasi dioptimalisasi dengan memberikan peran untuk mengidentifikan kebutuhan dan persoalan yang dihadapi para pengguna teknologi, selain peran yang selama ini sudah dimainkan, yakni memasarkan teknologi yang dihasilkan oleh lembaga pengembang;
•
Penyiapan Kawasan untuk Memfasilitasi Interaksi Antar-aktor Inovasi pada dasarnya merupakan upaya mendorong terbangunan Science and Technology Park (STP). Untuk kasus Indonesia, skenario yang akan diusung adalah merevitalisasi kawasan Puspiptek Serpong dengan menghadirkan lembaga intermedia dan meningkatkan intensitas kolaborasi dengan dunia usaha;
•
Penumbuh-kembangan Pusat Unggulan yang dapat mendorong percepatan proses penguatan SINas. Pusat unggulan yang didorong untuk tumbuh adalah lembaga atau konsorsium yang fokus pada satu isu pokok yang strategis untuk dijadikan sasaran bersama dalam rangka pengembangan teknologi yang secara nyata
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
9
berkontribusi terhadap percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi nasional;
VII
•
Mendorong Pembentukan Konsorsium Inovasi yang dapat menjadi model implementasi SINas yang efektif dan produktif dengan menggabungkan lembaga pengembang dan pengguna teknologi, yang dapat pula dilengkapi dengan lembaga intermediasi atau lembaga penunjang lainnya sesuai dengan isu yang menjadi sasarannya;
•
Revitalisasi Dewan Riset Nasional sebagai lembaga nonstruktural yang sangat potensial untuk ikut berkontribusi dalam pembangunan SINas dirasakan perlu dan mendesak, dimana proses revitalisasi ini dimulai dengan perbaikan komposisi keanggotaannya agar representasi dari komunitas pengembang sebanding dengan dari komunitas pengguna teknologi, ditambah dengan perwakilan dari lembaga intermediasi dan lembaga penunjang lainnya yang strategis peranannya dalam mendukung SINas;
•
Sinkronisasi dan Perbaikan Regulasi yang dianggap mendesak adalah revisi UU18/2002 atau pebuatan Undang-Undang Sistem Inovasi Nasional, serta juga penyempurnaan peraturan pemerintah turunan dari UU18/2002, terutama PP35/2007 yang telah lama dianggap kurang efektif jika tidak dilengkapi dengan peunjuk teknisnya dari Kementerian Keuangan;
•
Berbasis Sumberdaya dan Memenuhi Kebutuhan Nasional merupakan ciri SINas yang perlu diprioritaskan untuk dibina dalam rangka membangun kemandirian bangsa, meningkatkan nilai tambah komoditas yang dihasilkan Indonesia, dan membuka kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia.
Rangkuman dan Rekomendasi Merupakan bagian akhir dokumen yang menyajikan rangkuman terkait dengan unsur dan isu penting dalam membangun SINas serta rekomendasi kebijakan dan aksi untuk mewujudkan SINas Indonesia yang produktif dan menyejahterakan rakyat.
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
10
Bab 2 Teori Sistem Inovasi Nasional 2.1. Konsepsi Sistem Inovasi Nasional Memberikan pemahaman yang tepat tentang terminologi dasar dan konsepsi pokok merupakan langkah awal yang sangat strategis dan penting untuk dilakukan, terutama untuk sebuah dokumen yang diproyeksikan untuk digunakan sebagai acuan dalam memformulasikan kebijakan publik dan/atau regulasi yang secara legal sifatnya mengikat semua pihak. Urgensi memberikan pemahaman yang tepat ini menjadi bertambah ketika pokok bahasannya terfokus pada inovasi, karena kata inovasi sudah sangat populer, digunakan dalam berbagai komunitas, dikaitkan dengan banyak aspek kehidupan, tetapi dengan interpretasi yang sangat variatif. Rentang interpretasi itu mulai dari yang sangat ‘longgar’, yakni inovasi dipadankan sebatas sesuatu yang berbeda (dari yang umumnya sudah diketahui) sampai ke definisi akademik yang lebih teknis dan spesifik. Keadaan menjadi lebih runyam karena di kalangan akademik pun, definisi inovasi masih beragam. Oleh sebab itu, perlu penegasan tentang apa yang dimaksud dengan inovasi yang digunakan dalam dokumen cetak biru Sistem Inovasi Nasional ini. Ketika yang dibahas adalah SINas, maka pemahaman tentang makna ‘sistem’ juga perlu dimantapkan. Membedah SINas harus menggunakan pisau analisis yang sesuai. Pendekatan sistem diperlukan dalam menganalisis maupun dalam merancang SINas yang cocok. Oleh sebab itu, perlu pemahaman yang tepat tentang konsepsi pendekatan sistem. SINas sebagai suatu sistem yang kompleks tidak bisa dianalisis dengan cara memutilasi komponen-komponennya untuk ditelaah secara terpisah; sebaliknya juga tidak bisa dirancang komponenkomponennya secara parsial baru kemudian dirajut menjadi SINas. Interaksi dinamis antar-aktor, interaksi antara aktor inovasi dengan ekosistemnya, serta dinamikan dan kontinyuitas sirkulasi aliran informasi kebutuhan dan pasokan teknologi merupakan kesatuan utuh yang membentuk SINas. SINas secara tersurat mengindikasikan bahwa sistem inovasi yang dimaksud berada pada level negara. Namun masih perlu dijelaskan bahwa sistem dimaksud bersifat sentralistik menjadi sebuah sistem tunggal yang besar dan kompleks, atau terdiri dari banyak sub-sistem sesuai dengan karakteristik persoalan dan potensi sumberdaya masing-masing satuan wilayah dalam suatu negara yang diikat oleh satu tujuan kolektif, misalnya untuk menyejahterakan rakyat. Sosok SINas Indonesia yang akan diwujudkan tentu perlu dijelaskan kepada publik agar publik dapat secara nyata, efektif, dan efisien memberikan kontribusinya. SINas merupakan simpul pengikat antara teknologi dan ekonomi. Pengembangan teknologi dalam kerangka SINas dirancang agar dapat memberikan kontribusi nyata terhadap pertumbuhan perekonomian nasional. Para ekonom era modern yakin bahwa di saat sekarang dan di masa yang akan
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
11
datang mesin utama yang akan mendorong perkembangan perekonomian suatu negara adalah tingkat penguasaan dan aplikasi dari teknologi yang dikuasai tersebut. Oleh sebab itu, pembangunan perekonomian harus berbasis pada pengetahuan (knowledge-based economy, disingkat KBE), tidak dapat lagi hanya dengan mengandalkan kelimpahan sumberdaya alam. Pengertian inovasi, konsepsi tentang pendekatan sistem, SINas, dan KBE selanjutnya akan ditelaah secara lebih komprehensif, serta akan pula diberi penegasan pada bab ini tentang pengertian dan konsepsi dasar yang digunakan dalam dokumen cetak biru ini.
Inovasi. Inovasi merupakan sebuah kata yang saat ini sedang ‘naik daun’. Semua komponen masyarakat menggunakan kata ini baik dalam komunikasi sosial maupun pada forum yang lebih formal. Persoalannya adalah walaupun masingmasing pihak menggunakan kata yang sama, namun sangat mungkin bahwa pihak-pihak tersebut mempunyai pemahaman yang berbeda tentang inovasi. Inovasi diadopsi dari Bahasa Latin ‘innovatus’ yang berarti memperbarui. Pada awalnya inovasi diartikan sebagai suatu proses untuk memperbarui sesuatu yang sudah ada atau menghasilkan sesuatu yang dianggap baru. Untuk melakukan suatu pembaruan berarti seseorang perlu mengubah caranya dalam membuat keputusan, melakukan sesuatu dengan metoda yang berbeda, atau memilih sesuatu yang diluar norma yang berlaku. Inovasi dapat dimaknai sebagai upaya mengubah nilai-nilai yang selama ini telah menjadi landasan dari suatu sistem. Jika suatu sistem berubah, maka sangat mungkin akan membuka peluang untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda, atau sesuatu yang sama sekali baru. Inovasi dapat berkaitan dengan penambahan atas sesuatu yang telah ada, memunculkan unsur yang sama sekali baru, atau melakukan perubahan cara berpikir yang radikal dan revolusioner. Perubahan tersebut dapat terlihat dari produk yang dihasilkan, proses untuk menghasilkan produk tersebut, atau struktur dan fungsi organisasi yang berperan dalam proses produksinya. Saat ini, inovasi telah menjadi topik yang penting dalam berbagai bidang ilmu, termasuk ekonomi, bisnis, desain, teknologi, engineering, dan sosiologi. Dalam perspektif ekonomi, inovasi harus menghasilkan nilai tambah atau peningkatan produktivitas. Walaupun inovasi lebih sering dikaitkan dengan produk yang dihasilkan, namun dalam perspektif ekonomi, proses untuk menghasilkan produk tersebut juga sama pentingnya. Proses yang dimulai dari ide, kemudian ditransformasi menjadi sesuatu yang bermanfaat. Inovasi sering dicampur-aduk pengertiannya dengan invensi. Kedua terminologi ini sebetulnya berbeda, invensi adalah proses atau produk baru yang secara nyata berbeda atau sama sekali baru dibandingkan dengan proses atau produk serupa yang telah ada; sedangkan inovasi lebih dilihat dari perspektif kemanfaatan (ekonomi) dari proses dan produk baru yang dihasilkan tersebut. Ada perumpamaan yang menarik untuk membedakan antara invensi dan inovasi. Invensi merupakan proses konversi uang menjadi ide; sedangkan inovasi
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
12
mengubah ide menjadi uang. Inovator menghasilkan keuntungan finansial dari hasil karyanya; sedangkan inventor menemukan sesuatu yang baru, namun belum tentu dapat menghasilkan uang dari hasil temuannya tersebut. World Bank (2010) menyatakan bahwa “what is not disseminated and used, is not an innovation”. Berdasarkan ini, maka inovasi harus didiseminasikan (oleh penghasil) dan dipakai (oleh pengguna), bermakna pula bahwa inovasi harus bermanfaat (terbukti karena dipakai oleh pengguna). Pengguna dalam konteks ini adalah industri/dunia usaha, masyarakat awam, atau pemerintah.8 OECD (2005) menggunakan definisi inovasi: “An innovation is the implementation of a new or significantly improved product (good or service), or process, a new marketing method, or a new organizational method in business practices, workplace organization or external relations”.9 Inovasi merupakan implementasi dari suatu produk, proses, metoda pemasaran, atau metoda organisasi yang baru atau secara signifikan telah diperbaiki. Produk dapat berupa barang maupun jasa. Metoda organisasi mencakup praktek bisnis, organisasi kerja, atau hubungan dengan pihak eksternal. Uraian dan referensi di atas memberikan pemahaman bahwa: [1] inovasi merupakan sesuatu (produk, proses, cara pemasaran, atau metoda organisasi) yang baru, yang tentunya hanya dapat terlahirkan dari pemikiran yang kreatif; [2] inovasi selain baru, juga harus pula secara signifikan lebih baik dari produk, proses, cara pemasaran, atau metoda organisasi yang telah dikenal sebelumnya; [3] status yang lebih baik ini, membuka peluang bagi produk dan proses inovatif untuk digunakan dalam berbagai aktivitas manusia, sehingga pada dasarnya inovasi merupakan sesuatu yang bermanfaat; [4] kemanfaatan suatu produk merupakan prasyarat untuk komersialisasi atau untuk peningkatan kesejahteraan sosial.
Pendekatan Sistem. Proses inovasi berlangsung mulai dari munculnya ide di benak para inovator sampai pada termanfaatkannya produk inovatif tersebut. Proses yang panjang ini hampir selalu melibatkan banyak aktor, baik yang terlibat secara langsung dalam aliran ide menjadi produk yang bermanfaat, maupun para aktor yang berperan dalam membangun ekosistem yang kondusif bagi keberlangsungan aliran tersebut. Proses inovatif selalu membentuk suatu sistem yang kompleks. Oleh sebab itu, penelaahan inovasi harus dilakukan dengan pendekatan sistem, tidak dapat dilakukan secara linier. Interaksi antar-aktor dan interaksi antara aktor dengan ekosistem inovasi bersifat sangat dinamis dan timbal-balik. Telaah secara partial dengan 8
Bandingkan dengan pengertian inovasi yang digunakan pada UU18/2002 pada Pasal 1 butir 9 yang saat ini masih berlaku: “Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi”. Pengertian inovasi versi UU18/2002 ini dirasakan sudah tidak pas lagi dengan konteks saat ini.
9
OECD’s Oslo Manual 2005 Guidelines for Collecting and Interpreting Innovation Data
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
13
pendekatan linier tak akan mampu menjelaskan sistem inovasi secara komprehensif dan benar. Dengan demikian, maka sangatlah penting untuk membekali setiap pihak yang terlibat dalam upaya mewujudkan SINas untuk memahami konsepsi pendekatan sistem. Perlu dibedakan antara unsur sistem dengan lingkungannya (ekosistem). Hal ini perlu untuk membedakan antara penghela endogen (endogenous drivers), yakni para aktor yang secara langsung menggerakkan SINas, dengan penghela eksogen (exogenous drivers), yakni para aktor yang memberikan dukungan dalam mewujudkan ekosistem yang kondusif untuk tumbuh-kembang SINas (Bathelt, 2003). Liu dan White (2001) menggunakan istilah aktor primer dan sekunder. Pemilahan ini hanya untuk membedakan posisi peran para aktor yang terlibat, tetapi akan keliru jika pembagian ini berdampak pada pengisolasian sistem dari lingkungannya (Asheim dan Coenen, 2005) Pendekatan sistem merupakan buah dari pemikiran sistemik (systems thinking). Mingers dan White (2010) menyatakan bahwa systems thinking is a discipline in its own right, with many theoretical and methodological developments, but it is also applicable to almost any problem area because of its generality. Selanjutnya, Mingers dan White (2010) merinci bahwa pendekatan sistem (systems approach) mencakup: [1] melihat situasi secara holistik (berarti tidak bersifat reduksionis), sebagai kumpulan elemen yang berinteraksi satu sama lain dalam suatu lingkungan tertentu; [2] memposisikan hubungan atau interaksi antara elemen lebih penting dari elemen-elemennya sendiri dalam membentuk prilaku sebuah sistem; [3] memahami adanya hirarki/jenjang dalam suatu sistem dan ‘mutual casuality’ dalam masing-masing jenjang maupun antar-jenjang; dan [4] memahami bahwa manusia akan beraksi sesuai dengan tujuan dan rasionalitas yang berbeda.
Sistem Inovasi Nasional. Sistem Inovasi Nasional (SINas) didefinisikan dalam beberapa versi. Freeman (1987) mendefinisikan SINas sebagai jaringan kelembagaan pemerintah dan/atau swasta yang melaksanakan dan berinteraksi dalam inisiasi, modifikasi, difusi, dan impor teknologi baru; sedangkan Lundvall (1992) mendefinisikan SINas sebagai elemen dan hubungan yang interaktif dalam proses produksi, difusi, dan penggunaan pengetahuan baru yang bernilai ekonomi yang berada dalam atau berasal dari suatu negara. Definisi yang lebih sederhana dikemukakan oleh Nelson (1993), yang menyatakan bahwa SINas sebagai sekelompok institusi yang interaksinya menentukan kinerja inovatif suatu negara. Sementara Patel dan Pavitt (1994) mengambarkan SINas sebagai kelembagaan-kelembagaan nasional dengan struktur dan kompetensinya yang menentukan laju dan arah pembelajaran teknologi (technological learning) pada suatu negara. Definisi SINas yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Metcalfe (1995), yakni sebagai sekumpulan institusi yang secara sendiri dan bersama-sama berkontribusi dalam pengembangan dan difusi teknologi baru serta memberikan kerangka bagi pemerintah dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
14
untuk mempengaruhi proses inovasi. Dengan kata lain, SINas merupakan suatu sistem keterkaitan antar-kelembagaan untuk menciptakan, menyimpan, dan mentransfer pengetahuan, ketrampilan, dan artefak untuk melahirkan teknologiteknologi baru. Berdasarkan berbagai definisi di atas, maka ada beberapa pengertian dasar yang dapat ditarik berkaitan dengan SINas, yakni: [1] kegiatan yang dicakup adalah pengembangan, difusi, dan pemanfaatan teknologi; [2] pelakunya terdiri dari beberapa kelembagaan –baik pemerintah maupun swasta- yang berinteraksi satu sama lain secara sinergis; [3] produk yang dihasilkan adalah teknologi ‘baru’ yang mempunyai nilai ekonomi; dan [4] ruang lingkup dalam melaksanakan kegiatan inovasi ini adalah negara. Definisi SINas yang diusung pada periode 1980-1990an telah menyebutkan bahwa SINas mencakup kegiatan difusi dan pemanfaatan teknologi, serta telah menyebutkan bahwa teknologi yang dimaksud adalah teknologi yang punya potensi untuk dikomersialisasikan. Namun demikian, adopsi teknologi oleh para pengguna teknologi di banyak negara (terutama negara-negara berkembang) masih sangat minimal. Oleh sebab itu, kegalauan akan rendahnya adopsi teknologi tersebut terlihat mewarnai definisi atau deskripsi SINas yang diusung pada kurun waktu tahun 2000-an, yang memberi ketegasan bahwa teknologi yang dihasilkan harus berakhir dengan dimanfaatkannya teknologi tersebut oleh para pengguna. The World Bank (2010) dengan sangat tegas mencanangkan bahwa sesuatu (baca: teknologi) yang tidak didiseminasikan dan tidak digunakan bukanlah inovasi. Sharif (2010) mendeskripsikan inovasi sebagai upaya kolektif mengubah ide menjadi sesuatu yang bernilai (turning idea into values). Prakteknya, inovasi harus diawali dengan menjawab tiga pertanyaan yang sangat fundamental, yakni: [1] what is possible with technology? [2] what is desirable to the society? [3] what is viable in the market?10 Pendekatan dalam membangun SINas secara ekstrim dapat dibedakan menjadi dua, yakni berdasarkan pendekatan supply-push dan pendekatan demand-driven. Pendekatan supply-push mengutamakan dan dimulai dari proses pengembangan teknologi oleh institusi pendidikan tinggi dan lembaga riset. Produk teknologi yang dihasilkan kemudian didifusikan kepada pihak pengguna, terutama industri yang akan memanfaatkannya untuk menghasilkan produk komersial berupa barang dan jasa. Proses difusi teknologi tersebut dapat melalui atau tanpa melalui lembaga intermediasi, dapat difasilitasi atau tanpa difasilitasi oleh Pemerintah atau pihak lain yang kompeten. Pengembangan SINas dengan pendekatan demand-driven mengutamakan dan dimulai dari pemahaman tentang masalah, kebutuhan, dan preferensi masyarakat yang dapat dideteksi langsung oleh pihak pengembang teknologi maupun melalui 10
Dicuplik dari keynote address oleh Nawaz Sharif (2010) berjudul ‘Governance of Innovation Systems in the Current Global Setting’, di LIPI, Jakarta
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
15
mitranya dari komunitas bisnis. Sinyal kebutuhan masyarakat ini diterjemahkan oleh industri dalam bentuk kebutuhan teknologi untuk memproduksi barang dan/atau jasa yang sesuai dengan keinginan masyarakat tersebut. Berdasarkan informasi ini, lembaga riset dan/atau institusi pendidikan tinggi mengembangkan teknologi yang relevan dengan kebutuhan. SINas yang dikembangkan melalui pendekatan demand-driven akan lebih berpeluang untuk memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan perekonomian, karena lebih berpeluang untuk diadopsi industri. Walaupun demikian, sebagian komunitas akademik dan peneliti menganggap pendekatan demand-driven akan mengebiri kreativitas ilmiah. Anggapan yang demikian, mengabaikan kenyataan bahwa kreativitas sesungguhnya lebih terangsang untuk muncul pada kondisi yang ‘tidak nyaman’, misalnya dalam kondisi serba keterbatasan, di bawah tekanan, dalam kerangkeng regulasi yang kaku, dan tentu termasuk dalam kondisi keharusan mengembangkan teknologi sesuai kebutuhan pasar. Secara teoritis dapat dimunculkan pendekatan yang moderat dan akomodatif, yakni dengan memadukan pendekatan supply-push dan demand-driven. Akan tetapi, sebagaimana halnya teori fisika, proses aliran hanya akan terjadi jika ada perbedaan derajat antara posisi asal dan posisi sasaran. Maknanya, dalam pengembangan SINas, walaupun pendekatan demand-driven yang dipilih tetapi tidak berarti ruang untuk pendekatan supply-push digusur habis. Pilihan pendekatan tersebut lebih untuk menjamin agar aliran teknologi dapat terjadi secara berkesinambungan dan komersialisasi produk yang dihasilkan dapat menjadi pasokan ‘energi’ untuk kontinuitas aliran teknologi tersebut.
Ekonomi Berbasis Pengetahuan (Knowledge-based Economy). Sejak tahun 1960-an mulai muncul keyakinan bahwa perbedaan kemajuan perekonomian antar-negara terkait langsung dengan tingkat penguasaan teknologi dari masingmasing negara (Fagerberg dan Srholec, 2008). Sebelum periode tersebut, kemajuan perekonomian lebih banyak dikaitkan dengan jumlah uang yang terakumulasi (accumulated capital) per tenaga kerja. Keyakinan bahwa ada keterkaitan yang kuat antara kemajuan perekonomian dengan tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan ‘mazhab’ ekonomi baru, yakni ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy selanjutnya disingkat KBE) yang menunjukkan bahwa dalam perkembangannya, ekonomi saat ini semakin bergantung pada kemajuan pengetahuan dan teknologi, informasi, dan tenaga kerja berketerampilan tinggi. Untuk dapat memberikan dampak nyata dan langsung, maka sumberdaya ekonomi ini harus mudah diakses oleh dunia usaha dan para penguna lainnya.11 KBE pada prinsipnya merupakan ekonomi yang secara langsung berbasis pada produksi, distribusi, dan penggunaan pengetahuan dan informasi. Saat ini banyak 11
OECD (2005) mendefinisikan ekonomi berbasis pengetahuan sebagai: ‘an expression coined to describe trends in advanced economic towards greater dependence on knowledge, information, and high skill levels, and the increasing need for ready access to all of these by the business and public sectors’.
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
16
upaya yang dilakukan oleh para ahli ekonomi untuk menjelaskan secara langsung (baik secara teoritis maupun pengembangan model) tentang kontribusi pengetahuan dan teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi. Teori Pertumbuhan Baru (New Growth Theory) mencerminkan upaya untuk memahami tentang peran pengetahuan dan teknologi dalam mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Investasi di bidang riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, serta manajerial merupakan determinan penting KBE. Selain besaran nilai investasi untuk pengembangan pengetahuan dan teknologi, kelancaran distribusi pengetahuan (baik melalui jalur formal maupun informal) juga merupakan faktor esensial yang mempengaruhi kinerja perekonomian. Penguasaan pengetahuan dan teknologi yang tinggi tetapi hanya terisolir di kalangan akademik atau periset semata tidak akan memberikan dampak terhadap kinerja perekonomian. Intensitas hubungan dan kelancaran aliran pengetahuan dan teknologi antar-aktor dalam sistem inovasi akan menjadi faktor penentu kinerja perekonomian. Lapangan kerja dalam konteks KBE akan lebih banyak membutuhkan tenaga kerja dengan ketrampilan tinggi atau berpendidikan tinggi, mengingat bahwa dinamika perubahan pengetahuan dan teknologi berlangsung dalam tempo yang cepat. Walaupun demikian, pendidikan dan ketrampilan tinggi tersebut perlu mempunyai relevansi yang juga tinggi dengan persoalan dan kebutuhan nyata. Oleh sebab itu, untuk mendukung KBE, institusi pendidikan tinggi perlu dirancang agar selain mampu menyelenggarakan pendidikan yang secara akademik berkualitas, juga harus pula memahami persoalan dan kebutuhan nyata agar dapat mengemas kurikulum yang relevan terhadap persoalan dan kebutuhan nyata tersebut.12 Upaya untuk menaksir kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan perekonomian dilakukan antara lain dengan menghitung Total Factor Productivity (TFP). Namun demikian, tidak semua pakar ekonomi sependapat bahwa TFP bisa mencerminkan kontribusi teknologi. Kelemahan teoretis dan ketidakkonsistenan empiris dari hasil perhitungan pada berbagai negara dengan tingkat kemajuan teknologi yang berbeda menjadi lahan subur untuk perdebatan. Kesimpulan dari kajian yang dilakukan oleh Lipsey dan Carlaw (2001) patut direnungkan: “There is no reason to believe that changes in TFP in any way measure technological change”. Prinsip dasarnya adalah bahwa teknologi hanya memberikan kontribusi jika digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan produk barang/jasa yang dibutuhkan konsumen. Adopsi teknologi akan terjadi jika pihak pengembang teknologi memahami kebutuhan pihak pengguna. Dalam konteks komersialisasi, pengguna yang dimaksud adalah industri yang memahami kebutuhan dan preferensi konsumen. Produk teknologi yang pengembangannya tidak berorientasi pada kebutuhan nyata tentu akan sulit dijual ke pengguna. Upaya yang umum dilakukan untuk 12
Elaborasi lebih mendalam mengenai isu ini dapat dibaca pada Lakitan (2009):”Kebijakan Pengembangan dan Implementasi Sistem Inovasi Nasional: menjembatani pendidikan, riset, industri, dan konsumen”. Jurnal Dinamika Masyarakat 8(1):1501-1516.
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
17
merangsang atau mempercepat difusi teknologi adalah membentuk lembaga intermediasi. Akan tetapi, lembaga intermediasi akan sulit berfungsi efektif jika teknologi yang ditawarkan adalah sesuatu yang tidak dibutuhkan, atau dibutuhkan tapi kalah handal secara teknis dan/atau kurang kompetitif secara ekonomi. Ada kesulitan dalam mengevaluasi ekonomi berbasis pengetahuan, antara lain karena keterbatasan dan mutu indikator terkait pengetahuan yang saat ini tersedia. Indikator yang berbasis pada nilai investasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semata (seperti jumlah belanja riset dan pengembangan, jumlah dan kualitas personel pengembang teknologi) belum cukup untuk memberikan gambaran tentang kinerja KBE. Indikator dari sisi keluaran kegiatan riset dan pengembangan serta distribusinya diyakini akan lebih relevan, misalnya data stok pengetahuan dan kelancaran aliran distribusi/difusinya, intensitas interaksi antara aktor sistem inovasi, serta tingkat ketrampilan dan relevansi pendidikan tenaga kerja. OECD (1996) mengidentifikasi empat gugus indikator penting yang perlu dikembangkan teknik pengukurannya (secara statistik) untuk mengevaluasi kinerja KBE, yakni indikator terkait: [1] knowledge stocks and flows, [2] knowledge rates of return, [3] knowledge networks, dan [4] knowledge and learning. Gugus indikator [1] memperlihatkan pentingnya mengetahui penambahan stok pengetahuan per satuan input pada kegiatan riset dan pengembangan, serta mengetahui kelancaran aliran pengetahuan dan teknologi dari penyedia ke pengguna. Gugus indikator [2] merupakan indikasi dari besarnya perolehan sosial dan kemanfaatan bagi publik per satuan input kegiatan riset dan pengembangan. Gugus indikator [3] memberikan indikasi tentang proses aliran dan intensitas interaksi antara aktor inovasi. Sedangkan gugus indikator [4] melingkupi indikator ‘human capital’, mengukur kemanfaatan bagi publik untuk investasi di bidang pendidikan dan pelatihan, atau kegiatan lain yang terkait langsung dengan upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
2.2. Aktor Inovasi Nasional Walaupun dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU No. 18/2002) menggunakan terminologi kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun nuansanya menyiratkan bahwa perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, badan usaha, dan lembaga penunjang merupakan aktor-aktor inovasi.13 Kompleksitas SINas tercermin antara lain dari banyaknya aktor yang terlibat dan ikut menentukan atau mempengaruhi kinerja sistem ini. Untuk memudahkan pemahaman dan agar kompleksitas ini tidak mengaburkan esensi dasar dari 13
Pasal 6 ayat (1) UU18/2002 menetapkan bahwa ‘kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas unsur perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang’.
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
18
SINas, maka ada baiknya aktor yang banyak tersebut dipilah menjadi: [1] aktor utama (primer) yang terlibat langsung dalam proses aliran teknologi, mulai dari pengembangannya sampai pada penggunaannya untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkan konsumen; dan [2] aktor penunjang (sekunder) yang berperan dalam membentuk ekosistem yang kondusif agar aktor-aktor utama dapat unjuk kinerja secara optimal. Aktor utama terdiri dari para pengembang/penyedia teknologi, para pengguna teknologi, dan para pihak yang memfasilitasi dan/atau melakukan intermediasi interaksi dan komunikasi antara penyedia dan pengguna teknologi. Perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud UU18/2002 merupakan unsur penting dari pengembang/penyedia teknologi. Namun demikian pengembang/penyedia teknologi tidak hanya terbatas pada dua unsur tersebut, tetapi mencakup semua pihak yang secara nyata melakukan kegiatan pengembangan teknologi, misalnya institusi riset non-pemerintah, unsur pelaksana riset dan pengembangan pada industri, dan para periset individual.14
Pengembang Teknologi. OECD (2002) membuat klasifikasi lembaga riset dan pengembangan (R&D) berdasarkan pengelola, pemegang kendali kebijakannya, penyandang dana, dan orientasi komersialisasi produk riset yang dihasilkannya (Gambar 1). Berdasarkan kriteria ini maka ada empat kelompok lembaga R&D, yakni: [1] perguruan tinggi (higher education), [2] lembaga R&D bisnis (business enterprise), [3] lembaga R&D pemerintah (government), dan [4] lembaga R&D nirlaba (private non-profit). Pengelompokan ini digunakan dalam mengevaluasi kinerja lembaga riset dan pengembangan negara-negara dunia. UU18/2002 hanya mengenal dua lembaga pengembang teknologi, yakni perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan. Seluruh perguruan tinggi di Indonesia, negeri maupun swasta, mengemban tiga tugas pokok yang dikenal sebagai tridharma perguruan tinggi, yakni melakukan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Namun demikian, mayoritas perguruan tinggi di Indonesia masih lebih dominan terkonsentrasi pada kegiatan pendidikan dan pengajaran. Kiprah dan kontribusinya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih belum kentara. Hal ini antara lain disebabkan karena kegiatan riset masih lebih diposisikan sebagai ‘academic exercises’, belum fokus pada upaya untuk menghasilkan invensi dan inovasi. Lembaga R&D pemerintah termasuk: [1] Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK, sebelumnya dikenal sebagai LPND) yang (salah satu) tugas pokok dan fungsinya adalah melaksanakan kegiatan riset dan pengembangan; dan [2] unit kerja penelitian dan pengembangan pada kementerian dan pemerintah daerah.
14
Pasal 8 ayat (3) UU18/2002 menetapkan lembaga-lembaga yang tergolong sebagai lembaga litbang, yakni dapat berupa organisasi yang berdiri sendiri, atau bagian dari organisasi pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, badan usaha, lembaga penunjang, dan organisasi masyarakat.
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
19
DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS
20
Gambar 1. Klasifikasi berdasarkan status formal lembaga riset dan pengembangan (adaptasi dari OECD, 2002)
Lembaga Riset & Pengembangan Apakah berada dalam institusi pendidikan tinggi?
TIDAK
YA Apakah produknya dijual sesuai harga pasar?
Perguruan Tinggi
TIDAK
YA Badan Usaha
Apakah dikendalikan atau dominan dibiayai oleh badan usaha?
TIDAK
YA Badan Usaha
Apakah dikendalikan atau dominan dibiayai oleh pemerintah?
YA
YA
TIDAK
Apakah secara administratif dikelola oleh perguruan tinggi?
TIDAK TIDAK
Perguruan Tinggi
Apakah dikendalikan atau dominan dibiayai oleh lembaga non-pemerintah?
Lembaga Pemerintah YA Perguruan Tinggi
YA Apakah secara administratif dikelola oleh perguruan tinggi? TIDAK
Jika kendali dan pembiayaan dilakukan oleh pihak yang berbeda, maka status lembaga riset & pengembangan tersebut tergantung pada pihak mana yang dominan membiayainya
Lembaga Non-Pemerintah
Perguruan Tinggi
Badan Usaha
Lembaga Pemerintah
21
Sementara kegiatan riset di perguruan tinggi lebih berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan, maka selayaknya riset yang dilaksanakan oleh lembaga R&D pemerintah lebih fokus pada upaya menyediakan solusi teknologi bagi berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat dan negara dan/atau menyediakan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nyata dalam rangka mendukung pembangunan perekonomian nasional, kesejahteraan rakyat, dan peningkatan peradaban bangsa.15 Banyak industri dan badan usaha lainnya mempunyai unit kerja yang tugas utamanya adalah melakukan riset dan pengembangan, baik riset untuk mendapatkan informasi kebutuhan dan selera konsumen yang akan dijadikan dasar dalam pengembangan strategi pemasaran maupun riset-riset pengembangan produk. Riset yang dilakukan badan usaha jelas berorientasi komersil, walaupun saat ini sering dikemas dengan berbagai ‘bungkus’ lain dalam rangka membangun citra perusahaan atau memanfaatkan kecenderungan preferensi konsumen, misalnya terkait dengan kepedulian mengenai isu lingkungan. Peningkatan intensitas kegiatan riset oleh badan usaha dapat menjadi indikasi yang positif tetapi sekaligus juga negatif. Positif dalam konteks pengembangan teknologi akan mengalami akselerasi mengingat potensi kekuatan dunia usaha dalam membiayai kegiatan riset dan relevansi teknologi yang dikembangkan juga akan semakin meningkat, karena dunia usaha tidak akan melakukan kegiatan riset jika tidak ada potensi kemanfaatan hasilnya. Dunia usaha akan selalu memposisikan biaya riset sebagai bagian dari investasi. Kecenderungan peningkatan intensitas riset oleh dunia usaha dapat pula menjadi indikasi negatif, apabila kecenderungan ini merupakan bentuk reaksi dari dunia usaha atas rendahnya relevansi dan/atau mutu teknologi yang dikembangkan oleh perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah. Bukan rahasia umum bahwa saat ini komunikasi dan interaksi antara para pihak pengembang teknologi (perguruan tinggi dan lembaga R&D pemerintah) dengan pihak industri belum terbangun secara intensif. Walaupun saat ini, lembaga R&D yang berorientasi komersial umumnya masih merupakan unit kerja internal lembaga bisnis, namun cikal-bakal lembaga R&D komersial yang independen sudah mulai nampak tumbuh. Jurang yang masih membentang lebar antara perguruan tinggi atau lembaga R&D pemerintah dengan dunia usaha merupakan peluang untuk tumbuh kembang lembaga R&D independen. Lembaga R&D swasta nirlaba sudah berkiprah lama di Indonesia dengan sumber pembiayaan umumnya dari lembaga-lembaga internasional. Lembaga R&D nirlaba ini lebih banyak berkiprah di ranah ilmu-ilmu sosial, terutama fokus pada isu-isu hangat pada tataran global, misalnya isu sosial (kesejahteraan rakyat, penyakit menular, pendidikan anak), isu politik dan pemerintahan 15
Sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945, tujuan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan peradaban bangsa.
22
(demokratisasi, desentralisasi, hak asasi manusia, korupsi), dan isu lingkungan (deforestasi, pencemaran/polusi, perubahan iklim).
Pengguna Teknologi. Badan usaha atau industri merupakan salah satu unsur pengguna teknologi.16 Unsur pengguna lainnya adalah [1] masyarakat pelaku produksi barang/komoditas/jasa, misalnya petani, nelayan, peternak, pengrajin; dan [2] pemerintah dalam rangka melaksanakan pelayanan publik dan untuk menjaga kedaulatan negara. Badan usaha merupakan pengguna teknologi yang bersifat komersial, sedangkan masyarakat dan pemerintah lebih bersifat bauran antara komersial dan pelayanan publik. Dapat bersifat komersial jika lembaga pengembang teknologinya bukan merupakan lembaga R&D pemerintah, kegiatannya tidak dibiayai oleh pemerintah, atau merupakan lembaga R&D asing. Sebaliknya, jika pengembang teknologinya adalah lembaga R&D pemerintah, atau kegiatan pengembangan teknologi dimaksud sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah, maka sudah sepatutnya teknologi yang dihasilkan tersebut dapat digunakan oleh pemerintah dan masyarakat secara bebas. Perlu diingat bahwa kepemilikan paten lazimnya adalah ditangan pihak yang membiayai kegiatan pengembangan teknologi yang bersangkutan. Kapasitas adopsi para pengguna teknologi di Indonesia masih belum besar. Badan usaha di Indonesia masih dominan bergerak di sektor perdagangan, sehingga kebutuhan dan kapasitas adopsi teknologinya relatif rendah. Industri produsen barang dan jasa di Indonesia banyak yang hanya merupakan unit produksi dari sebuah perusahaan multinasional atau hanya bersifat sebagai penerap teknologi asing yang sudah mapan yang dilaksanakan berdasarkan lisensi yang diberikan oleh pihak-pihak pengembang teknologi luar negeri. Mengingat pada saat ini segmen industri besar cenderung lebih bergantung pada teknologi asing (yang mungkin disebabkan karena kemampuan teknologi nasional belum memadai untuk memasok kebutuhan teknologi tersebut atau mungkin karena alasan lain yang bersifat non-teknis), maka pengguna teknologi domestik yang paling potensial adalah masyarakat awam dan usaha kecil dan menengah (UKM). Oleh sebab itu, harusnya segmen pengguna ini harus dipasok penuh oleh pengembang teknologi domestik. Kenyataannya, teknologi yang dibutuhkan masyarakat awam dan UKM pun belum sepenuhnya dikuasai oleh teknologi domestik, masih dibanjiri oleh teknologi maupun produk teknologi asing. Misalnya, kebutuhan alat dan mesin pertanian masih dominan diimpor dari berbagai negara, terutama Jepang dan Cina. Untungnya benih padi sudah dapat dipenuhi dari hasil riset dan teknologi dalam negeri. Pemerintah harusnya menjadi pengguna utama teknologi dalam negeri, terutama teknologi di bidang pertahanan dan keamanan.17 Disamping untuk meningkatkan 16 17
UU18/2002 hanya menyebutkan badan usaha sebagai aktor pengguna teknologi. Sudah ada arahan dari Presiden RI agar kebutuhan teknologi dan produk teknologi di bidang pertahanan dan keamanan memprioritaskan teknologi dalam negeri sebagai langkah
23
kemandirian bangsa, juga penggunaan teknologi dalam negeri akan menggairahkan kegiatan pengembangan teknologi itu sendiri, karena secara langsung akan meningkatkan aliran dana untuk pembiayaannya. Penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta jiwa dan kebutuhan peralatan utama sistem pertahanan (alutsista) nasional yang besar, mengingat luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sedemikian besar, merupakan dua argumen utama untuk menjadikan kebutuhan domestik sebagai pasar utama bagi produk teknologi dalam negeri. Orientasi pengembangan teknologi Indonesia perlu lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan dan pemecahan persoalan dalam negeri terlebih dahulu, baru setelah pasar domestik dikuasai (dan teknologi Indonesia sudah lebih kompetitif) maka pertimbangan ekspor teknologi nasional menjadi lebih layak diupayakan.
Intermediator/Fasilitator. Pihak ketiga yang tergolong sebagai aktor utama inovasi adalah para pihak yang berperan sebagai intermediator atau fasilitator untuk meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi antara para pengembang dengan para pengguna teknologi. Pada saat ini, peran intermediasi dan fasilitasi ini diharapkan dimainkan oleh pemerintah. Pemerintah tentu dapat membentuk lembaga-lembaga khusus untuk menjalankan fungsi/tugas ini. Untuk menjalankan peran intermediasi, Kementerian Riset dan Teknologi (pernah) mendorong pembentukan lembaga yang dirancang khusus untuk fungsi intermediasi ini, yakni Business Technology Center (BTC) di 8 lokasi, tersebut di beberapa kota.18 Namun peran intermediasi dari lembaga-lembaga BTC tersebut kelihatannya masih jauh dari harapan, sebagian penyebabnya berasal dari kapasitas dan kompetensi lembaga yang tidak memadai, dan sebagian lagi karena teknologi hasil pengembangan dalam negeri yang tidak sesuai dengan kebutuhan nyata (tidak relevan), lebih mahal dan/atau kalah handal dibandingkan dengan teknologi sejenis yang sudah tersedia di pasar. Untuk penguatan peran intermediasi ini, pemerintah melalui Kementerian Riset dan Teknologi juga telah menfasilitasi pendirian Business Innovation Center (BIC) pada tahun 2008.19 Tujuan utama pendirian BIC adalah untuk mengoptimalkan pemberdayaan inovasi di Indonesia dalam rangka meningkatkan pembangunan nasional. Sejak tahun 2008 tersebut, BIC telah menerbitkan katalog tahunan hasil-hasil riset yang dianggap berpeluang untuk dikomersialisasikan, melalui serial terbitan buku ‘100 Inovasi Indonesia’ (2008), ‘101 Inovasi Indonesia (2009), dan ‘102 Inovasi Indonesia’ (2010). strategis untuk meningkatkan kemandirian bangsa. 18
Pendirian BTC ini merupakan tidak lanjut rekomendasi dari hasil kajian ‘Periskop’ yang dilaksanakan pada tahun 2000 atas kerjasama antara Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia dengan Kementerian Pendidikan Jerman. Sejak tahun 2010, BTC yang dikelola BPPT telah dilebur masuk ke dalam organisasi BPPT Engineering.
19
Entah mengapa lembaga-lembaga intermediasi yang dibentuk penamaannya selalu menggunakan bahasa Inggeris, walaupun lebih banyak orientasinya adalah untuk memediasi antara pengembang teknologi nasional dengan para (calon) pengguna potensial di dalam negeri.
24
Visi BIC adalah menjadi lembaga intermediasi inovasi bisnis yang terdepan, dalam menunjang daya saing ekonomi dan Bisnis Indonesia. Hal ini dilakukan dengan mensinergikan elemen-elemen akademisi, bisnis, dan pemerintah (A-B-G) dalam proses inovasi, sehingga dalam waktu 10 tahun, kegiatan inovasi di Indonesia akan menjadi unggulan (benchmark) negara-negara lain di ASEAN Misi BIC adalah mendorong inovasi di Indonesia, melalui kegiatan intermediasi antara inovator pengembangan teknologi dengan dunia bisnis. Menjadi lembaga intermediasi proses inovasi, untuk menciptakan nilai tambah ekonomi dan bisnis dan daya saing nasional Indonesia. BIC memberikan beberapa jenis layanan yaitu layanan umum, swasta, akademisi dan pemerintah yang sesuai dengan fungsi dan tujuan BIC. Jenis layanan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: Layanan Umum 1. Kunjungan ke perusahaan-perusahaan 2. Menganalisa dan mengoptimalakan rangkaian nilai proses kerja, perusahaan, pemasok, membantu mencarikan mitra kerjasama yang tepat dari kalangan ipetek 3. Mengadakan gathering dan seminar dalam hal menjembatani ABG 4.
Memberikan secara terus-menerus informasi tentang perkembangan teknologi baru dan proses produksi
5. Mengidentifikasikan risiko dan mengenali potensinya 6. Memberikan pendampingan pada perusahaan-perusahaan yang inovatif 7. Membuat database yang menampung informasi mengenai proses-proses inovasi 8. Mengatur pertukaran para pakar yang dibutuhkan dengan keahlian tertentu 9. Mengatur pertemuan para pakar untuk dapat menjalin kerjasama Layanan untuk Swasta/Bisnis 1. Mempermudah proses pencarian Informasi mengenai Inovasi 2.
Mempermudah Pengembangan bisnis dengan penerapan Inovasi
3. Memperluas hubungan dengan pemerintah dan akademisi 4. Menghubungkan para pelaku bisnis dalm hal mendapatkan insentif yang diberikan oleh pemerintah 5. Memberikan Informasi mengenai kajian-kajian teknologi yang sedang berlangsung
25
6. Menyusun agenda dan pengaturan pertemuan dengan pusat-pusat kajian teknologi Layanan untuk Akademisi/Teknisi 1. Membantu mengembangkan produk Inovasi yang sudah ada untuk di komersilkan 2. Membantu dalam hal finansial yang akan dibantu oleh pihak swasta/pelaku bisnis 3. Memberikan jaringan/network pelaku bisnis dalam hal kerjasama terhadap pihak akademisi 4. Memberikan pengetahuan mengenai pasar dan trend yang ada di pasar 5. Membantu menghubungkan kepada pihak dunia usaha dalam hal kerjasama 6.
Membantu melakukan analisi terhadap pihak dunia usaha yang memiliki interest untuk berinvestasi terhadap riset yang dilakukan
Layanan untuk Pemerintah 1. Memperat hubungan pemerintah dengan pihak swasta/bisnis dan akademisi/teknisi 2. Memberikan dukungan terhadap program-program pemerintah dalam hal inovasi 3. Memajukan pengembangan teknologi inovasi dalam skala nasional 4. Memfasilitasi pemerintah akademisi/teknisi
dengan
pihak
swasta/bisnis
dan
5. Memfasilitasi program incentif yang dibuat oleh pemerintah Sejak 2011, BIC ditempatkan dalam kawasan Puspipitek Serpong sesuai dengan skenario untuk menjadikan kawasan ini sebagai Science and Technology Park (STP), dimana aktor-aktor utama inovasi akan difasilitasi untuk berada dalam kawasan yang sama. Kedekatan secara fisik diyakini akan mampu merangsang aktor-aktor tersebut untuk meningkatkan komunikasi dan interaksinya. Lembaga-lembaga pengembang, intermediasi, dan pengguna teknologi di kawasan ini diharapkan dapat menjadi model implementasi Sistem Inovasi Nasional.
Aktor/Lembaga Penunjang.20 Selain tiga aktor utama inovasi yang telah dijelaskan sebelumnya, juga banyak aktor atau lembaga pendukung lainnya yang berperan penting dalam membangun sistem inovasi yang produktif dan berkesinambungan. Lembaga pendukung mencakup lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan dan/atau kapasitas untuk: [1] membuat regulasi 20
Lembaga penunjang sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi memberikan dukungan dan membentuk iklim yang kondusif bagi penyelenggaraan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (UU18/2002, Pasal 10 ayat (1)).
26
dan/atau kebijakan terkait tumbuh-kembang sistem inovasi nasional maupun daerah; [2] menyiapkan sumberdaya manusia yang dibutuhkan untuk aktor penggerak sistem inovasi; [3] memberikan dukungan finansial bagi para aktor inovasi dalam menjalankan perannya masing-masing; dan [4] membangun infrastruktur sosial. Kelembagaan yang dikategorikan sebagai pendukung adalah lembaga atau aktor yang tidak terlibat langsung dalam proses pengembangan, difusi, maupun penggunaan teknologi untuk produksi barang dan/atau jasa yang dibutuhkan publik maupun negara; tetapi berperan nyata dan signifikan dalam mewujudkan ekosistem yang kondusif bagi tumbuh-kembang sistem inovasi. Kementerian Pendidikan, Budaya, Olahraga, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Ministry of Education, Culture, Sport, Science and Technology, secara resmi disingkat MEXT) Jepang menggunakan diagram konseptual untuk memperlihatkan posisi lembaga pendukung atau penunjang ini (Gambar 2), yakni berupa lembagalembaga yang berwenang untuk membuat kebijakan tentang perekonomian, infrastruktur sosial, pendidikan, ketenagakerjaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pajak dan keuangan. Kebijakan-kebijakan ini berperan menunjang kemantapan ‘panggung’ (platform) basis pengetahuan untuk interaksi atau kerjasama antara pengembang dengan pengguna teknologi. Suatu hal yang menarik dari konsepsi ini adalah: [1] fondasi yang paling mendasar dalam membangun SINas adalah lingkungan, budaya, tradisi, dan karakter bangsa; [2] kemantapan ‘panggung’ untuk para aktor utama SINas berkiprah tergantung pada dukungan kebijakan dan regulasi yang relevan; dan [3] secara jelas memperlihatkan bahwa pada akhirnya kegiatan SINas harus berujung pada produk/barang dan/atau jasa yang sesuai dengan permintaan pasar. Namun demikian dalam konsepsi MEXT tersebut, tidak ditampakkan posisi dan peran lembaga intermediasi dalam mewujudkan SINas.
Regulasi dan kebijakan yang mendukung upaya penumbuh-kembangan SINas antara lain misalnya: pemberian insentif teknis dan/atau finansial bagi badan usaha yang menggunakan teknologi nasional dalam kegiatan usahanya; pemberian kompensasi yang sebanding bagi badan usaha yang berkontribusi dalam pembiayaan kegiatan pengembangan teknologi nasional; pemberian prioritas dukungan pembiayaan bagi lembaga dan/atau individu peneliti atau
27
perekayasa yang fokus pada upaya untuk menghasilkan teknologi yang sesuai kebutuhan dan/atau dapat menjadi solusi bagi permasalahan nasional; pemberian insentif bagi lembaga intermediasi yang berhasil meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi.
28
Pasar
Produk & jasa
Industri
Pengembang Teknologi [Univesitas, Litbang]
Pengguna Teknologi [Industri]
AKTOR UTAMA
Basis Pengetahuan
Basis Pengetahuan
Pajak & Keuangan
Iptek
Ketenagakerjaan
Pendidikan
Infrastruktur Sosial
Ekonomi
Kebijakan
Kerjasama
Permintaan
Pasar
AKTOR PENDUKUNG
Pemerintah Masyarakat
Politik dan Ekonomi Lingkungan, budaya, tradisi, karakter bangsa
Gambar 2. Diagram Konsepsi Sistem Inovasi Nasional (adaptasi dari MEXT, 2002)
28
Untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang dapat menggerakkan SINas, maka institusi pendidikan (terutama pendidikan tinggi) perlu mengembangkan program studi dan kurikulum yang relevan dengan sektor atau profesi yang sesuai dengan kebutuhan nyata. Academic excellence yang sering menjadi jargon pendidikan tinggi harus dibarengi dengan peningkatkan relevansinya dengan kebutuhan pembangunan dan potensi sumberdaya nasional. Konsepsi SINas Jepang (Gambar 2) perlu dijadikan referensi dalam konteks ini. Kebijakan yang mendukung dan akses yang terbuka luas untuk mendapatkan sumber pembiayaan merupakan pra-kondisi yang dibutuhkan dalam membangun SINas. Ketersediaan dan akses ke skim kredit atau bentuk kemudahan lain untuk modal kerja baik bagi pengembang teknologi maupun industri akan ikut merangsang tumbuh-kembang SINas. Venture capital (VC) merupakan salah satu bentuk sumber pembiayaan bagi perusahaan baru tumbuh (startup companies). VC menjadi opsi sumber pembiayaan bagi perusahaan yang belum berpengalaman, masih terlalu kecil untuk bisa menarik dana publik melalui pasar modal, atau masih sulit meyakinkan pihak perbankan untuk mendapatkan pinjaman. Skenario VC yang umum adalah pemodal memberikan dana awal bagi suatu usaha dan dana tersebut diperhitungkan sebagai saham pada perusahaan yang bersangkutan. Karena resiko usaha baru yang tinggi dan investasi butuh waktu 3-7 tahun untuk bisa cair, maka biasanya pemodal selain mendapat porsi saham yang signifikan, juga ikut mengendalikan kebijakan dan pengambilan keputusan pada perusahaan tersebut. Secara umum ada 6 tahap pembiayaan yang mungkin didapat dari VC, yakni: [1] Seed money, pembiayaan yang tidak besar dan dipergunakan untuk membuktikan bahwa ide baru yang digagas berpotensi untuk menghasilkan produk atau jasa komersial –biasanya disediakan oleh ‘angel investor’; [2] Start-up, pembiayaan tahap awal untuk dana pemasaran atau pengembangan produk; [3] First Round, dana untuk penjualan awal dan biaya produksi; [4] Second-Round, untuk biaya kerja tahap awal dimana perusahaan sudah mulai menjual produk tetapi belum memberikan keuntungan; [5] Third-Round, disebut juga ‘mezzanine financing’, untuk biaya pengembangan usaha bagi perusahaan yang mulai memperoleh keuntungan; dan [6] Fourth-Round, disebut juga ‘bridge financing’, digunakan untuk pembiayaan persiapan ‘go public’. Peran penting infrastruktur sosial sangat sering terabaikan dalam berbagai sektor pembangunan, berbeda dengan infrastruktur fisik yang telah cukup dipahami peran dan kontribusinya. Oleh sebab itu, upaya membangun SINas tidak boleh mengabaikan peran infrastruktur sosial ini.21 Sesungguhnya sangat jelas bahwa amanah konstitusi menyatakan bahwa tujuan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk menyejahterakan rakyat dan memajukan peradaban. 21
Pemerintah Jepang, sebagai contoh, telah mengenali peran infrastruktur sosial ini dalam menentukan keberhasilan membangun SINas, sebagaimana yang terlihat pada konsepsi SINas yang dikembangkan oleh MEXT (2002).
29
Tujuan ini hanya akan tercapai jika pembangunan infrastruktur sosial menjadi bagian esensial dari skenario membangun SINas. Infrastruktur sosial termasuk sarana dan prasarana kesehatan, pendidikan, seni dan budaya, informasi, olahraga dan rekreasi, perumahan, sarana komunitas/lingkungan, pelatihan dan kesempatan kerja, hukum dan keamanan publik, layanan tanggap darurat, transportasi publik, serta dukungan lain untuk individu, keluarga, dan komunitas (Casey, 2005).
2.3. Interaksi antar-aktor inovasi Pendekatan untuk memahami SINas tentu harus bersifat sistemik, tidak dapat dimutilasi menjadi segmen-segmen yang terpisah satu sama lain, apalagi jika hanya ditelaah aktor-aktornya secara terisolir satu sama lain. Sebagai contoh, walaupun seandainya lembaga R&D Indonesia sudah sedemikian majunya sehingga setara dengan lembaga-lembaga serupa pada level dunia, tetapi tidak otomatis bahwa SINas Indonesia menjadi produktif dan memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Kemajuan R&D bisa menjadi modal untuk mewujudkan SINas yang tangguh. Data empiris juga menunjukkan ada korelasi antara penguasaan teknologi dengan kemajuan perekonomian suatu negara. Akan tetapi adalah keliru jika serta-merta disimpulkan bahwa hubungan sebab akibat tersebut bersifat otomatis. Perlu diingat bahwa SINas merupakan suatu sistem yang kompleks dan banyak aktor yang ikut berperan di dalamnya. Resultan dari interaksi antar-aktor juga masih sangat tergantung pada ekosistem dimana hal tersebut berlangsung. Interaksi dan komunikasi antar-aktor yang intensif akan memperbesar peluang untuk terjadinya aliran informasi kebutuhan teknologi dari para pihak pengguna teknologi ke pihak pengembang teknologi, sehingga teknologi yang dikembangkan diharapkan sudah semakin mengacu pada upaya memenuhi kebutuhan nyata. Pengembangan teknologi yang relevan dengan kebutuhan pengguna jika telah mempertimbangkan juga secara seksama kapasitas adopsi oleh pihak pengguna, baik dari dimensi teknis, finansial, maupun sosio-kultural, maka akan meningkatkan kemungkinan bagi teknologi tersebut untuk digunakan. Keberhasilan untuk mewujudkan SINas yang produktif dan berkontribusi positif terhadap pembangunan perekonomian suatu bangsa (yang pada gilirannya diharapkan dapat memberikan dampak nyata terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat) berkorelasi positif dengan intensitas komunikasi dan interaksi antara para aktor SINas. Namun demikian, pada saat ini justeru persoalan interaksi dan komunikasi antara aktor SINas ini yang masih tersumbat, masih sangat sering terkendala. Survei Periskop tahun 2000, yang dilaksanakan di 10 kota besar Indonesia (Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Padang, Palembang, Samarinda, Makassar, Manado, dan Mataram) atas kerjasama antara Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia dan Kementerian Pendidikan Jerman berhasil
30
mengungkapkan bahwa kerjasama antara industri dengan perguruan tinggi, lembaga R&D, dan lembaga intermediasi teknologi masih sangat jarang. Kalaupun ada, umumnya hanya terbatas pada masalah operasional dan perawatan mesin dan peralatan saja (Hidayat, 2010). Dalam konteks interaksi antar-aktor inovasi ini, pada tahun 1994 lahir model ‘Triple Helix’ dari upaya untuk mengawinkan antara analisis kelembagaan infrastruktur pengetahuan dengan analisis evolusioner ekonomi berbasis pengetahuan (Leydesdorff dan Meyer, 2006). Untuk menyederhanakan sebuah sistem yang kompleks, model triple helix menggunakan dinamika non-linier hubungan universitas-industri-pemerintah. Pada periode tahun 2000-an, konsepsi triple helix ini juga gencar dikumandangkan di Indonesia sebagai bentuk model SINas dengan menggunakan nama populer triple helix ABG (academic-business-government) (Kadiman, 2008). Pada dasarnya, akademisi dalam konsepsi ABG ini mewakili komunitas pengembang teknologi, bisnis mewakili komunitas pengguna teknologi, dan pemerintahan mewakili lembaga yang berfungsi untuk melakukan regulasi, intermediasi, dan fasilitasi. Terlepas dari konsepsi mana yang digunakan untuk menjelaskan tentang kinerja SINas, kesimpulannya akan tetap sama, yakni secara fundamental disebabkan oleh rendahnya intensitas komunikasi dan interaksi antara aktor inovasi, terutama antara pengembang dengan pengguna teknologi, antara akademisi dengan bisnis, antara perguruan tinggi atau lembaga R&D dengan industri. Akibatnya teknologi yang tersedia kebanyakan tidak sesuai atau tidak relevan dengan kebutuhan para pengguna dalam rangka meningkatkan produktivitas ataupun untuk dijadikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi. Selanjutnya, karena relevansi teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan nyata yang rendah, maka lembaga intermediasi mendapat beban yang sangat berat, bahkan mungkin menjadi ‘mission impossible’ bagi lembaga intermediasi untuk mendorong agar teknologi tersebut digunakan oleh industri/badan usaha, masyarakat, maupun pemerintah.
2.4. Ekosistem Inovasi Nasional Walaupun SINas pada prinsipnya ditentukan oleh kelancaran aliran informasi kebutuhan dan persoalan yang dihadapi oleh pihak (calon) pengguna potensial ke pihak pengembang teknologi dan sebaliknya juga oleh kelancaran aliran paket teknologi yang dihasilkan pihak pengembang ke pihak pengguna; namun performa akhir dari SINas akan ikut dipengaruhi oleh berbagai pihak. Berbagai regulasi dan kebijakan akan ikut mempengaruhi, termasuk kebijakankebijakan yang diluar kendali para aktor utama SINas, misalnya kebijakan pembangunan perekonomian, kebijakan keuangan dan perpajakan, kebijakan pendidikan nasional, kebijakan ketenagakerjaan, dan kebijakan pembangunan infrastruktur sosial (lihat Gambar 2). Berbagai regulasi dan kebijakan di berbagai sektor ini merupakan komponen ekosistem inovasi nasional. Pada level daerah,
31
akan ada lagi regulasi dan kebijakan daerah, misalnya berupa berbagai peraturan daerah (Perda). Dalam kajiannya yang terkait dengan upaya translasi rationale22 menjadi kebijakan, Laranja et al. (2008) mencoba menjawab tiga pertanyaan yang sangat mendasar, yakni: (1) Apakah rationale untuk intervensi pemerintah dapat diturunkan dari berbagai teori dengan perspektif yang berbeda? (2) Apakah bentuk instrumen kebijakan yang digunakan dalam intervensi pemerintah berkaitan dengan berbagai rationale? Dan (3) Apakah yang dapat disimpulkan terkait level teritorial/kewilayahan yang tepat dari suatu kebijakan sistem inovasi yang didasarkan atas teori terpilih dan rationale yang dikembangkan berdasarkan teori tersebut? Untuk menjawab tiga pertanyaan di atas, ada lima teori yang ditelaah Laranja et al. (2008), yakni: (1) Neoclassical, (2) Schumpeterian Growth Theory, (3) NeoMarshallian, (4) Systemic Institutional Approaches, dan (5) Evolutionary (Tabel 1). Pemilihan teori yang berbeda sebagai landasannya, akan melahirkan rationale untuk intervensi pemerintah, level intervensi, dan instrumen kebijakan yang berbeda pula. Namun demikian, teori sangat jarang diadopsi secara utuh untuk diterjemahkannya menjadi rationale oleh pembuat kebijakan. Umumnya, hanya akan dicuplik beberapa elemen saja sesuai dengan kepentingan yang hendak dikawal. Rationale yang berbasis teori lebih sering diposisikan sebagai justifikasi atau alasan untuk menetapkan kebijakan tertentu sesuai dengan yang diinginkan, jarang untuk merumuskan atau memilih alternatif kebijakan yang paling tepat. Komponen ekosistem inovasi tidak hanya berupa regulasi dan kebijakan yang bersifat legal-formal, tetapi juga mencakup berbagai komponen non-formal, seperti budaya (termasuk norma dan etika), tradisi, dan nilai-nilai luhur atau karakter bangsa (Gambar 2). MEXT (2002) sudah mengenali komponen ini dan mengintegrasikannya dalam membangun SINas Jepang.
22
Rationale dalam konteks ini adalah model yang diformalisasi dan didasarkan dari teori dan konsepsi terpilih yang memberikan informasi tentang desain, implementasi, dan evaluasi kebijakan (Laranja et al., 2008)
32
Ekosistem SINas terbangun dari komponen-komponen yang bersifat intangible maupun yang bersifat tangible. Komponen yang bersifat intangible atau takberwujud mencakup semua regulasi, kebijakan, budaya, tradisi, karakter, dan komponen lain yang dapat mempengaruhi performa SINas tetapi tidak dapat divisualisasikan wujud fisiknya. Komponen yang bersifat tangible (wujud fisiknya dapat divisualisasikan) mencakup antara lain sumberdaya manusia terdidik dan/atau terlatih yang tersedia, sumberdaya alam yang potensial untuk dikelola sebagai bahan baku proses produksi barang maupun jasa yang dibutuhkan, dan sumberdaya finansial untuk mendukung kegiatan pengembangan teknologi maupun untuk proses produksi.
33
Tabel 1. Synthesis of theoretical rationales for science, technology and innovation policy Neoclassical
Schumpeterian growth theory
Neo-Marshallian
Systemic institutional approaches
Consideration of technology
Technology as information Technology as endogenous Broad definition including Broad (including social and “incorporated” in non-rival, non-excludable social innovation innovations). capital investment generated by R&D Technology as applied knowledge
Consideration of space
No consideration of space Neutral but with beyond reduction of implications for information costs, divergence/convergence transportas, location costs
Rationale for public intervention
Market failures. Information-transmission failures. Appropriability failure
Objective of intervention Substitute for less than optimal use of resources
Level of intervention
Support to accumulation of endogenous R&D
Evolutionary Broad Technology as applied knowledge
Proximity (and space) play Space as on dimension for a role in inducing changes specific evolutionary in behaviour processes Flexible “external economies of agglomeration”
Creat conditions for Reduction of costs in increasing returns to R&D information, transports. Promote locally based networks of cooperation, and competition
Centralised-national level Centralised-national level, Regional level but also National level with No differentiation of levels but with focus in more advanced region regional of intervention focus(decentralised)
System failure, Institutional failures System dysfunctions
Learning failures, Cognitive gaps, Block-in, dysfunctions. Lack of diversity
Overall coherence of the system, roles and function of actors. Adequate institutional setting
Avoid lock-in. Increase cognitive capacity. Improve diversity and selectivity
National and Regional levels
Multi-level. Balances centralised with decentralised intervention
34
Role of policy maker
Compensate for less than optimal private investment. Optimise resources
Incentivate accumulation of “monopolistic” gains
Creation of a collaborative Coodinating the system, industrial community. help in networking. Education for creating “Animateur” pool of skills
Identification of technology specific failures. Design of segmented targeted intervention ”adaptive role”
Examples of policy instruments
Subsidies and tax incentives to R&D, Investment in local advanced technology infrastructure. Park for Science and Teknology
Subsides and tax incentives to R&D, Investment in local advanced technology infrastructure. Park for Science and Technology. Large Mobilisation projects
Technology infrastructure. Extension services(“servizi reali”) ranging from technology to education and training cluster policies
Subsidies and tax incentivate to R&D, Technology infrastructures. Extension services
Subsidies and tax incentivate to R&D, Technology infrastructures. Extension services. Proactive intermediation brokerage (translation of implicit knowledge)
Mode of operationalisation (target, eligibility criteria, selectivity)
Target different kinds of individual actors. Favours supply-side initiatives. Science Push measures. Return on Investment and opportunity for appropristion as criteria
Targets different kind of individual actors. Favours Science Push and large R&D projects. Favours R&D support to hi-tech, Criteria of concertration for increasing returns
Targets both individual actors and “collective” actions. Favours demand approaches and provision of “ shared” public services. Use of the value chain or cluster concept
System as a target. Criteria balances support to individual actors with increasing collaboration, interactions and networking. Favours collective governance
Targets both individual actors and groups, networks of actors or systems of innovation. Learning opportunity, and variety (increase or reduction) as Criteria. Favours collective governance
Source: Laranja et al (2008)
35
Interaksi antara SINas dengan ekosistem tempat dimana SINas tersebut dibangun pada dasarnya bersifat saling-pengaruh. Regulasi dan kebijakan (baik yang secara langsung maupun tidak langsung mengatur tentang SINas) tentu akan mempengaruhi (secara positif atau mungkin juga negatif) performa SINas; sebaliknya dinamika interaksi antar-aktor SINas, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dinamika kebutuhan dan persoalan pengguna teknologi akan mengharuskan terjadinya penyesuaian regulasi dan kebijakan. Budaya, tradisi, dan nilai-nilai luhur atau karakter merupakan ‘penciri’ suatu bangsa yang cenderung untuk selalu dilestarikan eksistensinya. Dengan demikian, dalam konteks SINas, komponen ini merupakan komponen ekosistem yang bersifat ‘statis’, yang diposisikan sebagai fondasi untuk bangunan SINas. Potensi sumberdaya alam juga merupakan komponen ekosistem yang menjadi acuan dalam merancang SINas. Saat ini kecenderungan yang terjadi adalah ketersediaan dan jenis keahlian sumberdaya manusia yang secara dominan mewarnai SINas. Seharusnya kebutuhan untuk mendukung tumbuh-kembang SINas yang sesuai dengan potensi nasional dan kebutuhan pasar (atau pengguna) yang menentukan pola penyiapan dan pengembangan sumberdaya manusia. Sumberdaya finansial dan SINas akan saling berhubungan secara interaktif, bisa saling beinteraksi secara positif (snowballing effect) sehingga masing-masing tumbuh membesar. Sumberdaya finansial yang tersedia akan mendorong SINas tumbuh berkembang menjadi sebuah sistem yang produktif dan efisien dalam menghasilkan produk barang dan jasa yang bernilai ekonomi, sehingga secara nyata akan mendorong pertumbuhan perekonomian suatu negara. Selanjutnya pertumbuhan perekonomian secara langsung juga berarti meningkatnya ketersediaan sumberdaya finansial untuk membangun SINas dengan kapasitas yang lebih besar.
36
Sebaliknya SINas yang bersifat stagnan (atau dorman) karena tidak mampu menghasilkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas atau efisiensi proses produksi, tidak akan pula mampu memberikan kotribusi terhadap pertumbuhan perekonomian. Kondisi ini selain menyebabkan rendahnya sumberdaya finansial untuk mendukung pengembangan SINas juga menghilangkan kepercayaan publik terhadap SINas itu sendiri. Akibatnya SINas bukan akan tumbuh berkembang, tetapi sebaliknya akan menjadi faktor yang semakin tidak diperhitungkan dalam skenario besar pembanguan perekonomian suatu bangsa.
37
Bab 3 Potret SINas Indonesia 3.1. Kinerja Ekonomi dan Inovasi Semula diyakini bahwa perbedaan kemajuan perekonomian antar-negara disebabkan oleh satu faktor, yakni kemampuan mengakumulasikan kapital (amount of accumulated capital) per tenaga kerja, namun sejak tahun 1960-an terjadi pergeseran pandangan, dimana mulai tumbuh keyakinan bahwa perbedaan kemajuan perekonomian antar-negara lebih disebabkan oleh perbedaan penguasaan teknologi (Fagerberg dan Srholec, 2008), sejalan dengan perspektif pertumbuhan ekonomi yang dipelopori oleh Schumpeter (1934). Kinerja perekonomian Indonesia relatif tidak terlalu mengecewakan. Kebijakan perekonomian mampu membangkitkan Indonesia kembali dari kondisi keterpurukan setelah beberapa kali melalui krisis ekonomi global. Namun demikian, kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi masih belum menggembirakan. Kajian yang dilakukan oleh Wang dan Chien (2007) untuk negara-negara ASEAN menunjukkan ada 2 jenis pola hubungan antara pengembangan teknologi (technology development) dengan kinerja perekonomian (economic performance). Pola 1 menunjukkan korelasi positif antara pengembangan teknologi (kecuali untuk subkategori teknologi informasi) dengan kinerja perekonomian, dijumpai pada negara Singapura, Malaysia, dan Brunei. Pola 2 menunjukkan korelasi yang rendah atau malah negatif antara pengembangan teknologi dengan kinerja perekonomian (untuk sub-kategori ekonomi domestik dan efisiensi pemerintah), terlihat pada negara Thailand, Indonesia, Filipina, Kambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam). Berdasarkan hubungan antara kemajuan pembangunan teknologi dengan kinerja perekonomian masing-masing negara, Wang dan Chien (2007) mengelompokkan negara-negara ASEAN menjadi empat tipe, yakni tipe ‘fitting’ (berada pada kuadran teknologi maju dan kinerja perekonomian tinggi); tipe ‘ignoring’ (teknologi tertinggal dan kinerja perekonomian rendah); tipe ‘inadequate’ (teknologi maju tapi kinerja ekonomi rendah); dan tipe ‘returning’ (teknologi tertinggal tapi kinerja ekonomi maju). Indonesia termasuk dalam tipe ignoring bersama-sama dengan Vietnam, Filipina, Laos, Kambodia, dan Myanmar. Untuk penetapan batas kuadran antara tipe negara versi Wang dan Chien (2007) ini, digunakan nilai Indeks Pembangunan Teknologi (TDI) dan Indek Kinerja Perekonomian (EPI). TDI merupakan indeks komposit yang dikalkulasi berdasarkan data infrastruktur dasar yang merepresentasikan perkembangan teknologi, aplikasi teknologi informasi, status konsumsi dan impor energi, indikator R&D, kerjasama dan transfer teknologi, ekosistem teknologi (technology environment), dan paten serta ekspor-impor teknologi. Sedangkan EPI dihitung berdasarkan indikator ekonomi domestik, efisiensi pemerintah, perdagangan internasional, dan indikator finansial.
38
TDI dan EPI mempunyai rentang nilai antara 1-10. TDI Indonesia adalah 4.41 dan menempati peringkat 4 dari 10 negara ASEAN; sedangkan EPI Indonesia adalah 3,87 dan menduduki peringkat ke 8.23 Kenyataan bahwa ada ketimpangan antara peringkat TDI dan EPI Indonesia dapat menjadi indikasi awal bahwa pengembangan teknologi di Indonesia belum mengacu kepada kebutuhan perekonomian nasional, sehingga tidak menjadi faktor pengungkit untuk pertumbuhan perekonomian. Mengacu pada perspektif Schumpeter, maka negara-negara yang tidak mampu mengembangkan kemampuan teknologinya secara tepat (appropriate technological capabilities) akan tetap selalu tertinggal pertumbuhan ekonominya. Perlu digarisbawahi bahwa teknologi yang dimaksud dalam argumen ini adalah teknologi yang berkesesuaian dengan sumberdaya ekonomi negara yang bersangkutan. Lebih lanjut, untuk memperkuat keyakinan bahwa teknologi yang tepat merupakan faktor yang sangat menentukan kemajuan perekonomian suatu negara, maka Fagerberg dan Srholec (2008) menguji keterkaitan antara empat dimensi kapabilitas negara dengan status kemajuan perekonomiannya. Empat dimensi kapabilitas tersebut adalah sistem inovasi (innovation system), kepemerintahan (governance), sistem politik (political system), dan keterbukaan (openness). Hasil kajian yang menggunakan 25 indikator (representasi dari 4 dimensi yang diuji), 115 negara, untuk kurun waktu 1992-2004, mengindikasikan bahwa kemajuan pembangunan perekonomian terkait erat dengan kinerja sistem inovasi dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).24 Walaupun diyakini betul bahwa pembangunan perekonomian memerlukan dukungan teknologi, namun upaya mengejar ketertinggalan teknologi ternyata tidak otomatis selalu berbuah pertumbuhan ekonomi. Menarik untuk disimak peringatan yang dikemukakan oleh Gerschenkron (1962) hampir setengah abad yang lalu: “Technological catch-up, although potentially lucrative, is an extremely challenging venture”. Pernyataan ini mengandung makna bahwa pengembangan teknologi tidak asal mengembangkan teknologi, tetapi harus dilakukan dengan cermat, karena hanya pilihan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dan/atau persoalan nyata yang dihadapi suatu negara, dan sesuai pula dengan kondisi sumberdayanya, yang akan berpeluang untuk memberikan kontribusi langsung terhadap kemajuan perekonomiannya. Sistem Inovasi Nasional sejatinya perlu dibangun sejalan dengan skenario ini, yakni mendorong pengembangan: [1] teknologi yang sesuai kebutuhan dan/atau persoalan nyata yang dihadapi yang membutuhkan solusi teknologi (demanddriven); [2] teknologi yang selaras dengan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki; dan [3] teknologi yang sesuai dengan 23 24
Peringkat 1 untuk TDI dan EPI ditempati oleh Singapura dengan nilai 7,87 dan 7,86. Indonesia merupakan negara yang semakin meyakini peran penting teknologi untuk memajukan perekonomian nasional, walaupun secara de facto belum tampak langkah-langkah nyata untuk meningkatkan peranan teknologi tersebut.
39
kapasitas adopsi para pengguna potensial, terutama di dalam negeri tetapi tidak menutup kemungkinan untuk pengguna internasional.25 Namun demikian, kapasitas para aktor terkait dalam mewujudkan sistem inovasi belum dijamin mujarab dalam menumbuhkan perekonomian nasional, karena masih membutuhkan dukungan kebijakan dan regulasi yang efektif untuk mewujudkan ekosistem yang kondusif. Abramovitz (1994) memperkenalkan istilah kapabilitas sosial (social capability) untuk hal ini, yang mencakup: [1] kompetensi manajerial dan teknis secara kolektif yang dimiliki suatu organisasi; [2] pemerintahan yang efektif dan stabil, sehingga mampu mendukung pertumbuhan ekonomi; [3] pasar dan institusi finansial yang mampu memobilisasi kapital dalam skala besar; dan [4] tumbuhnya sikap jujur dan saling percaya dalam masyarakat. Organisasi yang dimaksud pada butir [1] dalam konteks ini adalah lembaga pengembang dan pengguna teknologi, serta lembaga intermediasi, fasilitasi, dan regulasi. Empat kapabilitas sosial versi Abramovitz ini secara substansial dapat diwujudkan jika penyelenggaraan pemerintahan taat pada azas kepemerintahan yang baik (good governance), termasuk transparansi, akuntabilitas, efektif, efisien, serta terfokus pada upaya menyejahterakan rakyat sebagaimana yang diamanahkan oleh konstitusi. Argumen ini konsisten dengan hasil kajian empiris yang dilakukan Fagerberg dan Srholec (2008).
3.2. Analisis Ekosistem SINas Kebijakan dan stabilitas Makro Ekonomi. Stabilitas makro ekonomi sangat penting bagi dunia bisnis, sehingga akan sangat menentukan tingkat daya saing (competitiveness) suatu negara. Walaupun tentu saja, produktivitas suatu negara tidak hanya ditentukan oleh stabilitas makro ekonominya. Pemerintah tidak akan dapat melakukan pelayanan publik dengan baik, jika selalu terbelit hutang dan keharusan membayarnya dengan suku bunga tinggi atau dalam kondisi cenkeraman persoalan makro ekonomi yang tidak mampu dituntaskan. Perusahaan tidak dapat berbisnis secara efisien dan bergairah jika inflasi tidak dapat diprediksi. Dengan demikian perekonomian tidak dapat tumbuh secara berkesinambungan jika kondisi makro ekonomi tidak stabil. Kondisi makro ekonomi Indonesia untuk periode 2008-2010 tergolong stabil. Berdasarkan survei World Economic Forum (WEF, 2010), skor untuk stabilitas makro ekonomi Indonesia pada tahun 2010 mencapai 5,2 dan menduduki peringkat 35 dari 139 negara yang disurvei. Jika persepsi masyarakat dunia terhadap stabilitas makro ekonomi ini dapat terus dipelihara dan jika mungkin terus ditingkatkan, maka akan semakin menarik bagi kalangan bisnis untuk berinvestasi dan menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia. 25
Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudoyono pada Seminar di Institut Teknologi 10 November Surabaya tanggal 14 Desember 2010 juga memberikan arahan agar pengembangan teknologi perlu lebih diprioritaskan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pasar domestik.
40
Tumbuh kembang kegiatan bisnis akan membuka peluang untuk peningkatan daya beli masyarakat dan memperbesar kapasitas pasar domestik (market size). Untuk periode 2008-2010, berdasarkan survei WEF peringkat ukuran pasar domestik Indonesia juga terus meningkat, berturut-turut dari peringkat 17 (2008), menjadi 16 (2009) dan 15 (2010). Survei yang dilakukan oleh UNCTAD (2009) tentang prospek investasi dunia (World Investment Prospects Survey) menyimpulkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke 9 dunia, setelah Cina, Amerika Serikat, India, Brazil, Rusia, Inggeris, Jerman, dan Australia (Gambar 3). Namun demikian, peringkat ini perlu dilihat secara cermat, karena daya tarik utama bagi para investor untuk menanamkam modalnya adalah ukuran pasar domestik dan laju pertumbuhan pasar domestik dari negara tujuan invenstasi tersebut. Dua faktor ini lebih dominan dalam pengambilan keputusan untuk berinvestasi dibandingkan dengan program insentif yang ditawarkan, ketersediaan dan kemurahan upah tenaga kerja, akses untuk pengelolaan sumberdaya alam, dan efektivitas peran pemerintah. Indonesia dengan penduduknya yang lebih dari 237 juta jiwa dengan daya beli yang relatif baik merupakan pasar domestik yang sangat potensial bagi investor asing. Pasar domestik Indonesia akan menjadi sasaran empuk bagi investor asing jika Indonesia tidak mampu membangun SINas yang kuat untuk menopang pembangunan ekonomi nasional. Makro ekonomi yang terpelihara stabilitasnya dan kapasitas pasar domestik yang terus membesar merupakan ekosistem yang positif untuk tumbuh-kembang SINas. Peningkatan kapasitas pasar bermakna peningkatan permintaan masyarakat akan barang dan jasa, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Peningkatan permintaan barang dan jasa yang lebih banyak dan/atau lebih bermutu akan meningkatkan kebutuhan industri akan teknologi yang lebih sesuai. Dinamika ini membuka peluang dan tantangan bagi lembaga pengembang teknologi untuk melakukan riset yang relevan dengan kebutuhan industri. Jika peningkatan kebutuhan teknologi yang relevan ini dikomunikasikan oleh industri ke pihak pengembang teknologi dan pihak pengembang teknologi mampu menyediakan paket teknologi yang tidak hanya relevan, tetapi juga handal dan sesuai kapasitas adopsi pelaku bisnis, maka SINas akan lebih dirasakan geliatnya. Pada kurun waktu yang sama (2008-2010), survei WEF juga memperlihatkan terjadinya peningkatan peringkat Indonesia dari 47 menjadi 36.
41
Gambar 3. Peringkat daya tarik Indonesia bagi investor asing
Kebijakan pembangunan perekonomian Indonesia yang baru diluncurkan yang dikemas dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembagunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang telah menetapkan enam koridor pembangunan ekonomi sesuai dengan potensi sumberdaya setempat perlu dibarengi dengan upaya membangun SINas yang berkesesuaian. Apalagi pengembangan sumberdaya manusia dan iptek telah dipilih sebagai salah satu dari tiga strategi utamanya.
Kebijakan Perdagangan dan Industri. Kinerja dan perkembangan SINas akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan di berbagai sektor yang terkait, termasuk perdagangan dan industri. Harus ada dorongan agar produk barang dan jasa yang diperdagangkan, terutama untuk ekspor, diutamakan sudah merupakan produk-produk jadi yang dibutuhkan oleh konsumen akhir (consumer products). Kebijakan yang berorientasi untuk mendorong ekspor agar lebih diprioritaskan pada produk jadi, merupakan bentuk kebijakan yang secara nyata akan mendorong adopsi teknologi pada industri-industri di dalam negeri,
42
sekaligus membuka lapangan kerja, dan meningkatkan nilai tambah produk yang diekspor. Indonesia saat ini masih dominan mengekspor komoditas atau bahan mentah (raw materials) atau produk-produk setengah-jadi (intermediate products) yang secara ekonomi merugikan dan secara ekologi kurang bersahabat, karena cenderung mengeksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan mempunyai nilai ekonomi yang rendah. Ungkapan yang dikemukakan Surapranata (2011) patut direnungkan, bahwa seharusnya Indonesia tidak mengekspor bahan baku dan keringat, tetapi lebih didorong untuk mengekspor produk yang dihasilkan dengan keringat anak bangsa di dalam negeri.26 Upaya meningkatkan nilai tambah komoditas atau produk ekspor sudah dilakukan, tetapi dirasakan masih belum optimal, misalnya produk sawit yang diekspor masih sangat dominan berbentuk minyak sawit kasar (crude palm oil, disingkat CPO). Ekspor dalam bentuk produk dengan muatan teknologi tinggi sudah ada namun masih relatif rendah porsinya (Gambar 4). Sejak akhir tahun 1980-an sudah mulai ada produk dengan muatan teknologi tinggi, tetapi masih sangat rendah, yakni hanya sekitar 1 persen; kemudian secara berangsur naik dan mencapai puncaknya pada awal tahun 2000-an yang mencapai kisaran antara 14-16 persen; tetapi pada akhir tahun 2000-an kembali menurun menjadi sekitar 10 persen. Saat ini Indonesia masih dihadapkan pada dua kendala yang menjadi tantangan utama, yakni: [1] keterbatasan kapasitas investasi nasional di sektor industri hilir untuk mengolah bahan mentah atau bahan setengah jadi menjadi produk jadi; sedangkan investor asing lebih banyak tertarik pada bidang usaha yang terkait dengan eksploitasi sumberdaya alam, baik di sektor pertanian (terutama perkebunan) maupun di sektor pertambangan; dan [2] belum siapnya teknologi nasional untuk menyokong tumbuh kembang industri hilir tersebut, yakni kapasitas untuk mengembangkan teknologi yang relevan, handal, dan secara ekonomi kompetitif dibanding produk teknologi serupa yang tersedia di pasar dunia. Indonesia tak akan mampu membangun kemandirian perekonomiannya jika tidak mampu mengatasi dua tantangan utama ini.
26
Disampaikan oleh Suharna Surapranata, Menteri Negara Riset dan Teknologi, pada Rapim Lengkap Kementerian Riset dan Teknologi, hari selasa 18 Januari 2011. Bermakna bahwa sebaiknya tidak mengekspor bahan mentah dan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri, tetapi perlu didorong untuk mengekspor barang jadi yang diproduksi di dalam negeri dengan memanfaatkan tenaga kerja dan teknologi nasional.
43
Sumber: The World Bank, diunduh dari tradingeconomics.com (18 Januari 2011) Gambar 4. Persentase ekspor produk Indonesia dengan kandungan teknologi tinggi, periode 1989-2008
44
Indonesia memang juga telah mengekspor produk teknologi tinggi. Produk dengan muatan teknologi tinggi mencakup produk-produk yang membutuhkan intensitas R&D tinggi, seperti produk kedirgantaraan (aerospace), komputer, farmasi (pharmaceuticals), instrumen riset (scientific instruments), dan electrical machinery. Namun demikian, nilai ekspor produk-produk bermuatan teknologi tinggi tersebut sejak tahun 2000 tidak mengalami kemajuan yang berarti dan relatif stagnan, yakni hanya berfluktuasi sekitar 4,4 sampai 6,5 milyar dolar Amerika (Tabel 2). Kontribusi produk teknologi tinggi ini masih sangat rendah dibandingkan dengan nilai total ekspor Indonesia pada periode tersebut.
Kebijakan Pendidikan. Dalam konteks SINas, jenjang pendidikan yang paling relevan adalah pada strata 2 dan 3 untuk dukungan kemampuan individual dan kapasitas pengembangan teknologi nasional; sedangkan pendidikan menengah kejuruan27, program diploma, dan strata 1 lebih dilihat relevansinya sebagai elemen pendukung penguatan kapasitas adopsi dari sisi pengguna teknologi, yakni sebagai tenaga kerja terampil untuk aplikasi teknologi di perusahaan industri, atau usaha mandiri skala kecil dan menengah. Tabel 2. Persentase ekspor Indonesia dengan kandungan teknologi tinggi untuk periode 1989-2008 Tahun 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Nilai Ekspor (juta USD) 79 112 197 465 850 1.340 1.658 2.250 2.561 2.188
Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Nilai Ekspor (juta USD) 2.672 5.698 4.403 5.070 4.580 5.808 6.571 5.900 5.225 5.625
Sumber : The World Bank, diunduh dari tradingeconomics.com (18 Januari 2011)
27
Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu. Lebih spesifik berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang pendidikan menengah, menjelaskan bahwa pendidikan kejuruan mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk pelaksanaan jenis pekerjaan tertentu.
45
Secara umum program pendidikan Indonesia belum dirancang agar dapat optimal mendukung tumbuh kembang SINas. Sebagai contoh, riset tugas akhir program strata 2 dan 3 (thesis dan disertasi) masih dominan diposisikan hanya sebagai indikator penguasaan bidang ilmu yang sesuai dengan program studi yang diikuti; sedangkan upaya untuk meningkatkan relevansinya dengan realita di bidang ilmu yang bersangkutan masih dirasakan minimal. Dengan kata lain, topik riset masih ditentukan oleh keinginan mahasiswa dan arahan pembimbing/ promotornya, belum didorong oleh kesadaran agar hasil riset tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat luas, industri, ataupun kebutuhan pemerintah. Beberapa pengecualian tentu ada, tetapi arus utamanya harus diakui masih murni berorientasi akademik. Idealnya, kegiatan tugas akhir yang hanya berorientasi akademik hanya diimplementasikan sampai pada jenjang strata 1 atau program diploma, karena lulusan pada jenjang ini memang masih lebih diposisikan sebagai langkah penyiapan tenaga berpengetahuan dasar yang cukup dan/atau mempunyai ketrampilan di bidangnya masing-masing. Lulusan strata 1 kemudian dapat memilih alur karirnya untuk berkiprah: [1] memperkuat kapasitas adopsi teknologi lembaga pengguna; atau [2] meningkatkan kemampuannya sebagai pengembang teknologi. Pendidikan program diploma dan sekolah menengah kejuruan sejak awal dirancang untuk menyiapkan tenaga terdidik dan terampil yang siap bekerja. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pada Pasal 3 butir b menyatakan bahwa: “Pengelolaan pendidikan ditujukan untuk menjamin mutu dan daya saing pendidikan serta relevansinya dengan kebutuhan dan/atau kondisi masyarakat”. Peraturan ini jelas mengenali peran penting relevansi, disamping mutu pendidikan. Namun dalam prakteknya, unsur relevansi ini masih belum secara kentara menjadi ruh orientasi pengelolaan pendidikan di Indonesia. Akibatnya banyak lulusan pendidikan tinggi yang masih belum mendapatkan pekerjaan tetap28 dan cukup banyak pula yang berkerja di sektor yang tidak secara langsung terkait dengan latar belakang pendidikan formalnya. Konsepsi SINas yang sangat baik sekalipun hanya akan bisa diimplementasikan dengan baik jika didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas dengan keahlian/keterampilan yang sesuai kebutuhan. Sumberdaya manusia yang dimaksud tentunya hanya akan dapat tersedia jika sistem pendidikan nasional juga dirancang selaras dengan konsepsi SINas.
Kebijakan Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan pengertian tentang tenaga kerja, yakni mencakup setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat (Pasal 1 butir 2). Jika dikaitkan dengan tujuan pembangunan SINas sendiri, yakni untuk mewujudkan sistem pengelolaan ilmu pengetahuan dan teknologi agar lebih 28
Sekitar 1 juta orang lulusan perguruan tinggi yang saat ini masih menganggur.
46
efektif dan efisien dalam menghasilkan produk barang dan/atau jasa sesuai kebutuhan pengguna (masyarakat, industri, atau pemerintah), maka terlihat jelas benang merah keterkaitan antara kebijakan ketenagakerjaan dengan SINas. Lebih lanjut dinyatakan pada Pasal 4 UU13/2003 bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan: [a] memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; [b] mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; [c] memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan [d] meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Butir b Pasal 4 di atas memberikan penegasan bahwa salah satu tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah untuk penyediaan tenaga kerja yang sesuai kebutuhan. Nuansa ini sangat sejalan dengan konsepsi SINas, dimana kebutuhan (demand) yang menentukan orientasi pembangunan dan pengembangannya. Pembangunan ketenagakerjaan sesuai dengan sifatnya akan lebih berada pada posisi sebagai pemasok kebutuhan tenaga kerja. Oleh sebab itu, hubungan yang sinergis dan serasi harus dimulai dengan mewujudkan SINas yang mantab, dengan tujuan dan kebutuhan yang jelas. SINas yang dibangun berbasis pada potensi dan kebutuhan nasional bermakna telah mempertimbangkan kondisi ketenagakerjaan Indonesia, sehingga dengan sendirinya diawali dengan kesenjangan (gap) yang minimal antara kebutuhan SINas dengan ketersediaan tenaga kerja domestik. Selanjutnya, secara bertahap dilakukan upaya meningkatkan produktivitas SINas yang dalam prosesnya tentu mengharuskan adanya peningkatan mutu dan relevansi keahlian tenaga kerja. Skenario untuk membangun keterpaduan antara pembangunan SINas dengan penyiapan tenaga kerja pendukungnya saat ini belum diformulasikan. Lebih jauh, penyiapan tenaga kerja juga tidak dapat dipisahkan dari sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, sangat jelas bahwa upaya mewujudkan SINas yang produktif dan efektif dalam memajukan perekonomian nasional membutuhkan keterpaduan dengan kebijakan ketenagakerjaan dan sekaligus juga dengan kebijakan pendidikan nasional (Gambar 5). Sistem Pendidikan Nasional
Kebijakan ketenagakerjaan
Lulusan bermutu dan relevan kebutuhan lapangan kerja
SDM pengembang, pengguna & intermediasi
Produktivitas Sistem Inovasi Nasional
Kontribusi teknologi terhadap perekonomian nasional
Kinerja Perekonomian Nasional
Kesejahteraan rakyat dan kemandirian bangsa
Gambar 5. Penyerasian Sistem Pendidikan, ketenagakerjaan, SINas, dan perekonomian nasional
47
Tenaga kerja berperan sekaligus sebagai subjek dan objek pembangunan. Kemajuan suatu bangsa dan negara sangat tergantung dari peran mana yang lebih besar porsinya yang diperankan oleh tenaga kerja secara kolektif. Jika lebih besar perannya sebagai subjek pembangunan yang secara aktif berkontribusi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing, maka bangsa dan negara tersebut akan berpeluang lebih besar untuk lebih maju; sebaliknya jika lebih banyak perannya hanya sebagai objek pembangunan, maka akan sangat berat beban yang diemban untuk memajukan bangsa dan negara tersebut. Kinerja sektor pendidikan tentu akan menjadi tumpuan utama dalam memperbesar porsi tenaga kerja yang menjadi subjek pembangunan. Dengan demikian maka keberhasilan pembangunan pendidikan harusnya tidak hanya dievaluasi berdasarkan jumlah atau persentase penduduk yang berpartisipasi pada setiap jenjang pendidikan atau persentase populasi yang menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu; tetapi perlu juga didasarkan atas persentase jumlah lulusan yang berperan sebagai subjek pembangunan atau sebagai tenaga kerja produktif yang berkontribusi terhadap keberhasilan pembangunan nasional di segala sektor. Selanjutnya, dalam kerangka SINas, maka keberhasilan pembangunan sektor ketenagakerjaan perlu dievaluasi berdasarkan peran aktif dan produktifnya sebagai pengembang teknologi, pengguna teknologi dalam sistem produksi, dan intermediasi SINas; bukan hanya sebagai konsumen barang dan/atau jasa yang dihasilkan dari hasil aplikasi teknologi semata. Posisi tenaga kerja Indonesia saat ini masih belum terlalu membanggakan, karena masih lebih banyak yang berperan dalam proses produksi barang atau jasa, tetapi untuk kegiatan-kegiatan ekonomi dengan muatan teknologi yang minimal. Kenyataan ini sebetulnya bukan hanya menjadi cerminan dari kualitas tenaga kerja yang masih rendah, tetapi juga karena industri dengan muatan teknologi tinggi masih belum berkembang di Indonesia. Kegiatan ekonomi masih dominan pada fase eksploitasi sumberdaya alam atau produksi bahan mentah, belum banyak kontribusi industri hilir terhadap perekonomian nasional.
Pembangunan Infrastruktur Sosial. Infrastruktur sosial pada prinsipnya mencakup semua fasilitas yang dapat meningkatkan kapasitas dan produktivitas masyarakat. Oleh sebab itu, sering juga disebut sebagai infrastruktur komunitas (community infrastructure). Dengan demikian maka infrastruktur sosial tidak hanya mencakup ‘soft infrastructure’ (seperti dukungan untuk pengembangan komunitas, keluarga, dan individu; layanan informasi; pelatihan ketrampilan; perlindungan hukum; keamanan publik; dan layanan darurat); tetapi juga mencakup ‘hard infrastructure’ (seperti fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, fasilitas untuk kegiatan seni dan budaya, fasilitas olahraga dan rekreasi, perumahan sehat, fasilitas lingkungan, fasilitas ibadah, dan tranportasi publik). Akibat buruk dari kurangnya perhatian dalam pembangunan infrastruktur sosial telah semakin dirasakan oleh negara-negara maju, misalnya berupa gangguan keamanan lingkungan atau mutu sumberdaya manusia yang rendah yang kemudian menjadi beban pembangunan. Kesenjangan sosial yang terjadi ternyata
48
sangat mahal biaya remediasinya. Menyadari akan hal ini maka beberapa negara maju mulai secara sungguh-sungguh berupaya memperbaikinya. Misalnya Inggeris menganggarkan hampir 3 milyar pound untuk pembenahan infrastruktur sosialnya. Pemerintah Australia juga mengambil inisiatif untuk membenahi infrastruktur sosial ini (Casey, 2005). Indonesia sebagai negara berkembang kelihatannya belum menunjukkan perhatian yang baik terhadap infrastruktur sosial ini pada sebagian besar wilayah perdesaan dan lingkungan kumuh perkotaan. Akibatnya kesenjangan sosialekonomi antara perdesaan dan perkotaan semakin melebar. Kenyataan ini telah secara nyata menyebabkan laju urbanisasi yang semakin sulit dibendung. Kesenjangan antara komunitas kaya dan miskin di perkotaan juga terasa semakin melebar. Kondisi ini menyebabkan antara lain semakin meningkatnya frekuensi kerusuhan di perkotaan. Walaupun banyak yang mengkaitkan fenomena kerusuhan ini sebagai dampak dari demokratisasi di Indonesia. Kesenjangan sosial-ekonomi jelas tidak ‘compatible’ dengan upaya membangun SINas yang produktif dan berkelanjutan. Oleh sebab itu, dalam skenario besar pengembangan SINas Indonesia perlu disediakan ruang untuk pembangunan infrastruktur sosial.
3.3. Isu Pokok SINas Indonesia Perbedaan Mindset Akademisi, Bisnis, dan Pemerintahan. Boenjamin Setiawan (2008) melihat mindset dan budaya universitas dan industri berbeda. Riset universitas kesannya terlalu teoritis. Industri kesannya hanya mencari keuntungan saja. Jadi masih ada persepsi-persepsi yang keliru dan perspektifperspektif yang perlu dibenahi agar SINas dapat tumbuh dan berkembang. Dalam konteks kerjasama akademisi-bisnis-pemerintah (ABG), Kadiman (2008) mengamati bahwa saat ini para pelaku ABG masih bergerak di jalur masingmasing, terjadi divergensi dalam arah gerak para pelaku ABG. Keselarasan antara regulasi dan dinamika bisnis dipandang sangat penting bagi para pelaku usaha, tetapi hal ini dikeluhkan belum terjadi sebagaimana yang diharapkan. Terdapat pula kesenjangan antara iptek yang dipelajari di kampus dengan iptek yang digunakan industri dan perbedaan menyolok antara perilaku para periset dengan perilaku pebisnis. Heterogenitas ABG terkait dengan perbedaan dalam kerangka kerja praktis, yakni perbedaan dalam orientasi, tujuan, tolok ukur kemajuan, kaidah, dan pengetahuan praktis. Kadiman (2008) menyimpulkan bahwa perbedaan antara akademisi dengan pebisnis dan pelaku pemerintahan adalah: [1] Kegiatan inti akademisi adalah untuk menghasilkan pengetahuan, sedangkan pelaku bisnis dan pemerintahan adalah menghasilkan komoditas; [2] Orientasi akademisi adalah orisinalitas, invensi, dan discovery, sedangkan pelaku bisnis dan pemerintah adalah profit dan kepuasan pelanggan; [3] Metode yang dipilih oleh akademisi adalah riset akademik, sedangkan pelaku bisnis dan pemerintahan adalah transaksi komersial; dan [4] Bentuk pengetahuan yang digeluti para akademisi bersifat
49
eksploratif-eksplanatori, sedangkan yang dilakoni oleh pelaku bisnis dan pemerintahan bersifat praktis-operasional. Dalam bahasa yang sederhana, masih ada kesenjangan cara pandang yang tajam antara pengembang dengan pengguna teknologi. Masih ada perbedaan pemahaman antara teknologi yang perlu diprioritaskan untuk dikembangkan antara akademisi dengan pelaku bisinis/industri. Masih ada tugas besar bagi pembuat kebijakan pembangunan iptek untuk menyelaraskan cara pandang atau mindset antara pengembang dan pengguna teknologi agar SINas dapat diwujudkan.
Keterbatasan Komunikasi dan Interaksi Antar-pelaku. Interaksi dan komunikasi antara pengembang dan pengguna teknologi akan terjadi jika ada kepentingan bersama yang menjadi pemicunya. Interaksi dan komunikasi ini tidak dapat dipaksakan oleh kekuatan manapun, termasuk oleh Pemerintah. Oleh sebab itu, keberhasilannya sangat bergantung pada kecermatan dan kemampuan mengidentifikasi kepentingan bersama tersebut. Secara umum, kepentingan bersama tersebut adalah teknologi yang dibutuhkan untuk memproduksi barang dan/atau jasa yang dibutuhkan masyarakat (konsumen) dan memberikan profit bagi kedua belah pihak. Langkah awal yang penting dalam membangun kapabilitas inovasi adalah melalui interaksi dan komunikasi secara ‘melintas batas’. Ini merupakan interaksi yang melampaui (beyond) hal-hal yang rutin, sekat-sekat formal kelembagaan, kotakkotak disiplin ilmu dan bidang profesi. Yang diperlukan adalah komunikasi yang disertai dengan upaya untuk saling berbagi (sharing), saling belajar (mutual learning), untuk mencapai kemajuan bersama. Dengan cara demikian, missing links menjadi linkage yang baru, dan akhirnya pengetahuan yang baru dihasilkan. Belajar melalui interaksi dan komunikasi merupakan aspek esensial dari inovasi (Kadiman, 2008). Pada saat ini, komunikasi dan interaksi tersebut belum terjadi secara intensif dan belum optimal untuk menghasilkan teknologi yang memberikan kontribusi nyata dalam proses produksi. Pihak pengembang teknologi masih kurang sensitif dan/atau belum maksimal berusaha untuk memahami kebutuhan atau problema nyata yang dihadapi masyarakat umum; sebaliknya pihak industri sebagai pengguna teknologi juga masih terkendala dalam kemampuannya mengaplikasikan teknologi. Prihandana (2008) mengemukakan bahwa pihak akademisi, bisnis, dan pemerintahan masih jalan sendiri-sendiri. Dalam situasi yang sekarang, sedang susah-susahnya untuk menyelaraskan kegiatan antara ketiga unsur pelaku tersebut, karena ‘mahal’nya koordinasi. Komponen akademisi, bisnis, dan pemerintahan terpisah baik secara administrasi maupun sasaran kerjanya. Hubungan antara universitas dan industri di Indonesia tidak sebagus yang terjadi di luar negeri. Walaupun memang belakangan ini kolaborasi seperti itu sudah dimulai. Akan tetapi, kolaborasi tersebut tidak tegas dan fokus untuk
50
mengembangkan teknologi sesuai dengan yang dibutuhkan, kolaborasi tersebut masih lebih bernuansa ‘charity’ (Panigoro, 2008).
Kapasitas dan Kapabilitas Adopsi Teknologi. Menarik untuk disimak pandangan Ibrahim (2008) terkait dengan penguasaan teknologi. Beliau menyatakan bahwa Perusahaan Listrik Negara (PLN) sudah bisa melakukan rekayasa, dengan mengembangkan desain-desain yang sudah ada. Dokumen desain tersebut awalnya dibuat oleh para konsultan. Selanjutnya, Ibrahim (2008) menyimpulkan bahwa membuat desain sendiri justru tidak sehemat kalau menggunakan jasa konsultan. Misalnya, desain yang dibuat sendiri malah kadang overdesigned. Ada hal-hal yang tidak perlu, tapi dimasukkan ke dalam desain. Itu menambah biaya, dan harus dibayar sepanjang umur pakai alat tadi. Berdasarkan kenyataan ini, cukup beralasan untuk menyatakan bahwa penguasaan di bidang rekayasa ternyata belum optimal. Berdasarkan pengalaman PT Pindad, kemampuan kerekayasaan justru terpacu di saat terjadi embargo (Santoso,2008). Kondisi terdesak dapat merangsang munculnya kreativitas dan motivasi kuat untuk membangun kemandirian bangsa, termasuk dalam penguasaan teknologi. Salah satu kondisi yang tidak mendukung upaya membangun SINas adalah kenyataan bahwa dunia industri masih hanya menangani secara parsial rantai kegiatan bisnisnya. Sebagai contoh, Prihandana (2008) mempertanyakan industri sawit yang hanya membuat pabrik CPO (crude palm oil). Mengapa tidak membuat pabrik minyak goreng? Kalau BUMN di sektor perkebunan mengubah kegiatannya, dengan mengolah bahan baku menjadi bahan semi-jadi, dan kemudian menjadi bahan jadi, ini otomatis akan masuk ke berbagai bentuk produk akhir. Begitu masuk ke produk hilir berarti akan berada di pasar, di sektor riil. Dan begitu masuk ke sektor riil, ruang gerak perusahaan akan menjadi lebih luas dan leluasa. Pengembangan produk jadi dari bahan baku yang tersedia tentu akan membuka peluang dilakukannya kegiatan riset. Maknanya akan membuka kesempatan untuk berinteraksi antara pihak pengguna dengan pengembang teknologi. Kondisi ini tentu akan mendukung perkembangan SINas yang efektif dan produktif. Hanya saja pada saat ini upaya menghilirkan industri ini belum secara signifikan terjadi.
Kebutuhan Teknologi: Pedagang versus Produsen. Prihandana (2008) mendeskripsikan bahwa pelaku dunia usaha terbagi dua, yakni produsen dan pedagang. Sebagian besar pelaku bisnis di Indonesia adalah pedagang atau berjiwa pedagang, jarang yang memilih posisi sebagai produsen. Pebisnis yang hanya pedagang jelas tidak membutuhkan bantuan untuk pengembangan teknologi. Peneliti dan akademisi hanya berpeluang untuk berinteraksi dengan pebisnis yang melakukan kegiatan produksi. Lebih spesifik lagi, industriawan yang mengembangkan produk sendiri, bukan yang berproduksi di bawah lisensi perusahaan lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak semua
51
pebisnis dapat menjadi mitra bagi akademisi dan peneliti dalam pengembangan teknologi.
Peran Kelembagaan Intermediasi. Kadiman (2008) memberikan panduan dalam membangun SINas yang berbasis hubungan tripartit akademisi-bisnispemerintah (beliau menadopsi istilah triple helix A-B-G), disebutkan bahwa kehidupan akademik dan kehidupan industrial jangan dileburkan, biarkan masing-masing tetap hidup di ranah masing-masing. Yang diperlukan adalah lembaga intermediasi. Tugas lembaga intermediasi tersebut adalah mengarahkan riset akademik pada permintaan pasar; sebaliknya, isu-isu komersial ditengok dari sudut pandang akademik. Lembaga intermediasi ini harus berupa nongovernment organisation (NGO), bukan kelembagaan milik pemerintah. Kadiman (2008) menegaskan bahwa saat ini sudah dibentuk Business Technology Center (BTC), sedang dicari mitra untuk spin-off ke industri. Masih diperlukan aturan-aturan pendukung. Misalnya untuk mengatur mobilitas para pelakunya dan masalah resource sharing. Pernah ada juga program Riset Unggulan Kemitraan (RUK) dengan pembiayaan bersama antara pemerintah dan swasta (sharing fund) dan program Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) yang dalam pelaksanaannya bermitra dengan pihak-pihak bisnis. Namun demikian diakui bahwa banyak dari pelaksanaan kedua program tersebut yang kurang berhasil.
Regulasi dan Fasilitasi Pemerintah. Haryoto (2008) mengingatkan bahwa kacamata bisnis berbeda sama sekali dengan birokrasi. Perbedaan sudut pandang ini harusnya disikapi dengan membuat regulasi yang mendukung perkembangan bisnis. Jika Pemerintah menginginkan bisnis maju, maka pendekatan ini yang harusnya dipilih, tetapi yang terjadi sekarang mengarah pada upaya agar bisnis yang menyesuaikan dengan regulasi, akibatnya perkembangan bisnis terhambat. Pemerintah harusnya lebih memainkan peranan sebagai regulator, bukan operator. Pemerintah memerlukan industri sebagai ‘mesin’ untuk mencapai sasaran-sasaran ekonomi, sebaliknya para pelaku usaha memerlukan dukungan pemerintah dalam menyediakan iklim persaingan usaha yang fair dan sehat (Kadiman, 2008). Agar kinerja SINas optimal, maka Pemerintah harus cermat dan tepat dalam memainkan peranannya. Setiap regulasi yang dikeluarkan harus mendorong terjadinya interaksi yang sehat dan produktif antara pihak bisnis dengan pihak pengembang teknologi dalam negeri. Keberpihakan terhadap teknologi domestik, selain memerlukan kebijakan nasional yang tegas, juga perlu dikawal dengan konsisten agar betul-betul mampu meningkatkan peran kelembagaan riset dalam pembangunan nasional. Pemerintah dan mitra legislatifnya diharapkan membuat dan/atau merevisi regulasi yang ada agar hubungan yang harmonis dan mutualistik antara pebisnis dan akademisi -termasuk para peneliti tentunya- dapat menjadi lebih intensif. Regulasi tersebut mencakup upaya untuk menggiring kegiatan riset agar lebih berorientasi pada penyediaan solusi teknologi atas permasalah domestik.
52
Panigoro (2008) menyatakan bahwa yang penting adalah konsistensi Pemerintah dalam memberikan platform usaha kepada siapapun. Konsistensi ini terutama terkait dengan regulasi tentang perburuhan dan perpajakan. Bagus atau tidak bagusnya suatu regulasi atau kebijakan sifatnya relatif. Namun, makin tinggi konsistensi dalam mengimplementasikannya, makin banyak bidang usaha yang bisa tumbuh dan berkembang. Kepastian dimaksud juga mencakup agar aturan yang satu konsisten dengan aturan yang lain, serta juga konsistensi dalam penegakan aturan itu sendiri. Rencana bisnis harus diselaraskan dengan peraturan, jika peraturannya berubah-ubah maka rencana sulit untuk dijalankan. Ada sesuatu yang tidak benar dalam kebijakan SINas dan implementasinya, yang menyebabkan Indonesia kurang subur bagi kultivasi kreativitas. Dari gagasan (kreativitas) hingga menjadi produk komersial (kekuatan ekonomi) memerlukan upaya multidisiplin, mulai dari riset, pengembangan, komersialisasi, sampai menjadi komoditas di pasar (Suryatin Setiawan, 2008). Pernyataan ini mempertegas tentang perlunya dilakukan peninjauan ulang terhadap produkproduk legislasi yang ada sekarang. Suatu hal yang menggembirakan pada saat ini adalah telah ditetapkannya rencana revisi peraturan perundang-undangan yang dianggap menghambat kemajuan perekonomian Indonesia dalam Rencana Aksi Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI), termasuk peraturan yang terkait langsung dengan SINas, misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi (selanjutnya disebut PP 35/2007).
3.4. Permasalahan yang Dihadapi Produk langsung dari implementasi SINas yang efektif adalah teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat. Sebagai sosiolog, Oey-Gardiner (2008) mengingatkan bahwa teknologi seharusnya oleh dan untuk manusia. Teknologi tidak boleh ditempatkan dalam ‘menara gading’, yang bukan saja jauh dari kehidupan sosial, tapi juga jauh dari realita ekonomi. Jangan sampai biaya yang telah dikeluarkan begitu tinggi, tapi tidak menyentuh siapa pun. Prasyarat bagi produk teknologi untuk dapat bermanfaat bagi masyarakat luas adalah jika teknologi tersebut diaplikasikan dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan manusia. Oleh sebab itu, SINas tidak dapat dinilai keberhasilannya secara parsial. SINas harus dievaluasi sebagai suatu sistem yang utuh. Beberapa indikasi menunjukkan bahwa SINas Indonesia masih berada pada tahap yang sangat memprihatinkan, misalnya: [1] Pengembangan teknologi oleh perguruan tinggi dan lembaga riset masih pada tataran academic exercise dan belum memberi perhatian pada kebutuhan nyata (Santoso, 2008; Boenjamin Setiawan, 2008);
53
[2] Komunikasi dan interaksi antara kelembagaan ataupun komunitas pengembang teknologi dan pengguna teknologi masih sangat rendah (Prihandana, 2008); [3] Kalaupun terjadi interaksi antara kelembagaan pengembang dan pengguna teknologi, sifatnya belum dalam format membangun kemitraan-setara untuk menghasilkan teknologi yang dibutuhkan (Panigoro, 2008; Prihandana, 2008); [4] Pelaku bisnis hanya sebagian kecil yang tergolong produsen yang mandiri, sebagian besar adalah pedagang atau produsen yang mengaplikasikan teknologi asing atas dasar lisensi (Prihandana, 2008); [5] Kemampuan teknis pihak pengguna teknologi juga masih tergolong lemah, sehingga spending untuk teknologi masih terfokus pada upaya memahami, mengasimilasi, dan menguasai produk teknologi yang dibeli, bukan untuk pengembangan teknologi sendiri (Ibrahin, 2008; Thee, 2008); dan [6] Peran pemerintah melalui regulasi dan intermediasi juga belum optimal dalam merangsang interaksi antara akademisi dan pelaku bisnis (Kadiman, 2008). Kelemahan dan kendala yang dijumpai pada semua lini SINas sebagaimana yang berhasil diidentifikasikan tersebut, menyebabkan kontribusi SINas Indonesia terhadap pembangunan nasional di semua sektor masih sangat terbatas. Kenyataan pahit ini harus diakui oleh semua pihak terkait agar upaya pembenahannya dapat dilakukan. Ada empat tantangan yang paling menonjol untuk mewujudkan SINas Indonesia saat ini, yakni: [1] akademisi enggan bergeser dari wilayah nyaman, [2] kebutuhan teknologi komunitas bisnis belum tumbuh, [3] kelembagaan intermediasi belum berfungsi, dan [4] regulasi insentif belum efektif
Akademisi Enggan Bergeser Dari Wilayah Nyaman. Permasalah menjadi lebih sulit karena sebagian pihak tidak melihat hal tersebut sebagai masalah nyata yang dihadapi. Sebagai contoh, sebagian akademisi menganggap tugas kelembagaan akademik adalah hanya fokus (dan terbatas) pada mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menganggap upaya mendifusikannya atau mendorongnya agar digunakan dalam proses produksi bukan merupakan bagian dari tanggung jawab kelembagaan atau komunitas akademik. Jika dikaitkan dengan Tridharma Perguruan Tinggi, maka harusnya bentuk pengabdian kepada masyarakat mencakup upaya menyediakan solusi teknologi untuk permasalahan nyata yang dihadapi masyarakat. Wilayah nyaman (comfort zone) bagi para akademisi dan peneliti adalah melaksanakan kegiatan riset. Menjadi ‘gerah’ jika didorong untuk bergeser ke kegiatan difusi teknologi atau melaksanakan kemitraan dengan dunia bisnis untuk mengaplikasikan hasil risetnya dalam proses produksi. Hal ini terbukti dengan timpangnya minat akademisi dan peneliti berpartisipasi dalam Program Insentif yang ditawarkan Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Sampai tahun 2008, proposal untuk riset dasar dan riset terapan masih jauh lebih
54
dominan dibandingkan dengan proposal untuk percepatan difusi dan peningkatan kapasitas iptek sistem produksi (Tabel 3).
Hasrat Komunitas Bisnis Akan Teknologi Belum Tumbuh. Umumnya pelaku bisnis yang mayoritas pedagang atau produsen produk dengan lisensi teknologi asing, belum menganggap perlu untuk berinvestasi dalam pengembangan teknologi sendiri. Sebagai ‘positive gesture’ dari pihak bisnis pada dunia pendidikan, bantuan umumnya diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya beasiswa dan peralatan laboratorium, tetapi jarang dalam bentuk pembiayaan riset kemitraan yang sungguh-sungguh difokuskan untuk menghasilkan teknologi yang akan digunakan dalam proses produksi. Tabel 3. Perbandingan minat akademisi dan peneliti Indonesia dalam melaksanakan kegiatan pengembangan (riset dasar dan terapan) dan penerapan teknologi (difusi dan kapasitas produksi), tahun 2007-2009 2007 No.
Jenis Insentif
1
2008
2009
Proposal
Dibiayai
Proposal
Dibiayai
Proposal
Dibiayai
Riset Dasar
517
166
1.543
179
1.044
124
2
Riset Terapan
561
227
1.677
243
1.837
122
3
Difusi
82
48
245
49
582
48
4
Kapasitas Produksi
40
32
119
51
376
66
Jumlah
1.200
473
3.584
522
3.839
360
Sumber : Kementerian Negara Riset dan Teknologi (2009)
Pelaku bisnis di Indonesia lebih memilih untuk membeli produk teknologi asing yang sudah tersedia, sebagai bentuk keengganan untuk menanggung resiko kegagalan dalam pengembangan teknologi baru. Pelaku bisnis Indonesia juga lebih memilih memakai jasa konsultan asing untuk melakukan kegiatan kerekayasaan daripada tenaga pakar lokal.29
Kelembagaan Intermediasi Belum Berfungsi. Upaya intermediasi, baik berupa program maupun pembentukkan kelembagaan, belum berfungsi secara optimal. Kegagalan kelembagaan dalam menjalankan fungsi intermediasi ini diduga lebih 29
Preferensi pada konsultan asing ini bisa menimbulkan berbagai penafsiran, antara lain: karena jasa konsultan asing tersebut termasuk dalam paket dana pinjaman, atau merupakan bentuk ketidak percayaan pada tenaga ahli dalam negeri, atau karena pertimbangan finansial dan/atau pertimbangan pencitraan (image).
55
disebabkan karena: [1] paket teknologi yang dikembangkan tidak sesuai dengan kebutuhan industri atau secara teknis sudah sesuai tetapi secara ekonomi belum kompetitif, dan [2] sikap pelaku bisnis yang tidak berani mengambil resiko untuk mengadopsi teknologi baru (dalam hal ini teknologi domestik) dan merasa lebih aman dan nyaman dengan pilihan teknologi yang sudah mapan (umumnya teknologi asing dengan brand yang sudah dikenal konsumen). Penyebab kegagalan lain dapat pula karena kelembagaan intermediasi tersebut diawaki oleh personel dengan kemampuan manajerial dan/atau marketing yang terbatas. Terlepas dari pertimbangan kemampuan personel kelembagaan intermediasi, ‘menjual’ suatu produk teknologi yang sesungguhnya tidak dibutuhkan oleh pelaku industri tentunya merupakan pekerjaan yang maha berat untuk dilakukan oleh siapapun.
Regulasi Insentif Belum Efektif. Upaya untuk meningkatkan peran aktif kelembagaan bisnis dalam kegiatan pengembangan teknologi melalui pemberian insentif pajak dan kepabeanan telah dirintis, yakni dengan telah dikeluarkannya PP 35/2007). Akan tetapi, peraturan ini belum dapat diterapkan karena substansi ini belum terakomodir dalam peraturan atau petunjuk teknis yang terkait dengan perpajakan dan kepabeanan. Sinkronisasi dan penuntasan peraturan sampai kepada petunjuk teknisnya menjadi agenda yang sangat penting untuk diprioritaskan, agar upaya pemberian insentif kepada dunia usaha untuk berperan aktif dalam kegiatan pengembangan dan adopsi teknologi dapat diaktualisasikan. Jika tidak, maka semua upaya rintisan yang telah dilakukan akan menjadi sia-sia. Saat ini revisi PP 35/2007 sedang mendapat perhatian nasional.
3.5. Pembangunan SINas Saat ini Pembangunan SINas tidak dapat dievaluasi secara partial dan tidak dapat direduksi hanya berdasarkan kinerja atau performa lembaga R&D semata dalam mengembangkan teknologi, menghasilkan publikasi ilmiah, atau menghasilkan paten. Apalagi jika hanya didasarkan atas indikator-indikator yang mencerminkan ‘potensi’ nya dalam mengembangkan teknologi. SINas adalah sebuah sistem. Oleh sebab itu, SINas harus dievaluasi secara langsung berdasarkan [1] efektivitas, efisiensi, dan intensitas interaksi dan komunikasi antara aktor-aktor yang terlibat dan [2] produktivitasnya dalam menghasilkan produk yang dibutuhkan oleh pengguna. Karena SINas tidak dibangun di ruang hampa, maka interaksi dan komunikasi antar aktor SINas akan sangat dipengaruhi oleh kondisi ekosistem dimana SINas tersebut ditumbuhkan. Potensi sumberdaya (alam, manusia, finansial, sarana dan prasarana) dan berbagai kebijakan yang relevan merupakan unsur-unsur pembentuk ekosistem SINas tersebut. Ekosistem SINas dapat pula diposisikan sebagai infrastruktur inovasi. World Economic Forum (WEF) secara berkala, setiap tahun mempublikasikan Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index disingkat GCI). Nilai GCI ini mencerminkan posisi daya saing suatu negara yang dapat
56
menjadi dasar pertimbangan bagi para pemilik modal dalam memilih negara untuk melakukan investasi. Secara tersirat (berdasarkan pilihan pilar dan indikator yang digunakan), SINas merupakan bagian penting yang menentukan posisi daya saing suatu negara. Pilar-pilar GCI yang secara langsung terkait dengan SINas adalah innovation dan technological readiness (Tabel 4). Selain itu dalam beberapa pilar yang lain, terdeteksi juga indikator-indikator yang terkait nyata dengan SINas, misalnya proteksi Hak Kekayaan Intelektual (HKI), kualitas infrastruktur secara keseluruhan, kualitas pasokan listrik, kualitas sistem pendidikan (tinggi), ketersediaan jasa riset kebutuhan spesifik dan pelatihan, ketersediaan venture capital, ketersediaan teknologi mutakhir, adopsi teknologi pada tingkat perusahaan, jumlah pengguna internet, indeks ukuran pasar domestik, pembentukan klaster, kecanggihan proses produksi, kapasitas inovasi, kualitas lembaga R&D, pengeluaran perusahaan untuk R&D, kerjasama R&D antara universitas dengan industri, procurement pemerintah untuk produk teknologi maju, dan ketersediaan ilmuwan dan engineer (Table 5). Posisi daya saing Indonesia pada tahun 2010, berdasarkan skor untuk 12 pilar CGI, secara umum dapat dikatakan tidak buruk tetapi juga tidak cukup baik (skor antara 3,6 – 4,4); hanya untuk pilar stabilitas makro ekonomi (macroeconomic stability, skor 5,2), kapasitas pasar domestik (market size, skor 5,2), kesehatan dan pendidikan dasar (health and primary education, skor 5,8) yang dapat digolongkan lumayan (‘somewhat’) baik; sedangkan sebaliknya pilar kesiapan secara teknologis, Indonesia malah tergolong agak buruk (skor hanya 3,2 dari skala 1-7) (WEF, 2010). Table 4 Competitiveness Index Indonesia 2008-2010 Rank
GCI Pillar
2008 I.
2009
Score 2010
2008
2009
2010
Basic Requirement
1. Institution
68
58
61
3.9
4.0
4.0
2. Infrastructure
86
84
82
3.0
3.2
3.6
3. Macroeconomic stability
72
52
35
4.9
4.8
5.2
4. Health and Primary Education
87
82
62
5.3
5.2
5.8
II.
Efficiency Enhancer
5. Higher Education and Training
71
69
66
3.9
3.9
4.2
6. Good market efficiency
37
41
49
4.7
4.5
4.3
7. Labor market efficiency
43
75
84
4.6
4.3
4.2
8. Financial market development
57
61
62
4.5
4.3
4.2
57
9. Technological readiness
88
88
91
3.0
3.2
3.2
10. Market size
17
16
15
5.1
5.2
5.2
III.
Innovation and Sophistication Factors
11. Business sophistication
39
40
37
4.5
4.5
44
12. Innovation
47
39
36
3.4
3.6
3.7
Source : WEF (2008, 2009, 2010)
Table 5. Indicators Related to National Innovation System for Indonesia in 2009/2010 Indicator
Score
Mean
Rank
Intellectual Property Protection
3.8
3.7
58
Quality of Overall Infrastructure
3.7
4.3
90
Quality of Electricity Supply
3.6
4.5
97
Quality of Education System
4.3
3.8
40
Quality of Mathematics and Science Education
4.5
4.0
46
Quality of Management School
4.4
4.2
55
Local Availability of Specialized Research and Training Services
4.4
4.1
52
Ease of Access to Loan
4.0
2.9
14
Venture Capital Availability
3.9
2.7
9
Availability of Latest Technologies
4.8
5.1
77
Firm Level Technology Absorption
4.9
4.9
65
Internet Users (per 100 persons), 2009
8.7
-
107
Broadband Internet Subscription (per 100 persons), 2009
0.7
-
99
Domestic Market Size Index
5.1
-
15
962.5
-
15
State of Cluster Development
4.5
3.6
24
Nature Competitive Advantage
4.1
3.6
33
Value Chain Breadth
4.4
3.7
26
Production Process Sophistication
4.6
3.9
52
GDP (PPP) (billion international dollars), 2009
58
Capacity for Innovation
3.7
3.2
30
Quality of Scientific Research Institution
4.2
3.8
44
Company Spending on R&D
4.0
3.2
26
University-Industry Collaboration on R&D
4.2
3.7
38
Government Procurement of Advance Technology Products
4.2
3.7
30
Availability of Scientist and Engineers
4.7
4.1
31
Source : WEF (2010) The Global Competitiveness Report 2010-2011
Walaupun belum memuaskan, namun daya saing Indonesia telah terlihat mengalami kemajuan sampai pada tahun 2010 ini. Mungkin proses kemajuan ini yang dirasakan berlangsung masih agak lamban, kecuali pada satu tahun terakhir, dari tahun 2009 ke tahun 2010 ini, dimana peringkat daya saing Indonesia secara umum meningkat peringkatnya dari 54 ke 44 dari 139 negara yang disurvei oleh WEF (2010). Pada tataran ekonomi global, magnet utama Indonesia pada saat ini adalah ukuran pasar domestiknya yang besar dengan penduduk Indonesia saat ini mencapai 237 juta jiwa. Indonesia adalah negara dengan penduduk terbesar ke empat setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Produk Domestik Bruto per kapita Indonesia saat ini telah mencapai USD 2,329 (WEF, 2010). Kapasitas pasar domestik yang besar ini jelas menjadi incaran berbagai negara untuk membanjirinya dengan berbagai produk barang dan jasa. Oleh sebab itu, sudah sangat tepat jika Presiden Republik Indonesia memberikan arahan agar perekonomian Indonesia lebih berorientasi pada pemenuhan permintaan pasar domestik.30 Pada era perdagangan bebas tentu Indonesia tidak dapat lagi memproteksi pasar domestiknya bagi produsen barang dan jasa asing. Dengan demikian, cara terbaik adalah membangun SINas yang mampu mendorong produksi barang dan jasa di dalam negeri yang kompetitif, sehingga pasar domestik Indonesia yang besar tidak hanya menjadi lahan bagi asing untuk memasarkan produknya.
Aktor Inovasi Indonesia. Sesungguhnya Indonesia sudah memiliki semua aktor utama yang esensial dibutuhkan untuk membangun SINas. Aktor-aktor dimaksud adalah para pihak yang melakukan kegiatan riset dan pengembangan teknologi, para pihak yang telah atau berpotensi untuk mengadopsi teknologi dalam berbagai kegiatan produksi barang dan jasa, dan para pihak yang mempunyai kapasitas dan/atau kewenangan untuk berperan sebagai mediator, fasilitator, atau regulator dalam menginisiasi atau membangun komunikasi dan interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi. 30
Arahan Presiden RI, Susilo Bambang Yodhoyono, pada berbagai kesempatan termasuk yang terakhir pada saat memberikan kuliah umumnya yang berjudul “Akselerasi Inovasi Teknologi dalam Rangka Mencapai Keunggulan Ekonomi Nasional” di Institut Teknologi 10 November Surabaya pada tanggal 14 Desember 2010.
59
Aktor pengembang teknologi di Indonesia cukup tersedia. Berdasarkan hasil survei pendapat eksekutif (executive opinion survey) yang dilakukan WEF (2010), skor ketersediaan ilmuwan dan engineer adalah 4,7 berarti cukup tersedia. Secara keseluruhan sudah berada di atas rata-rata dari 139 negara yang disurvei (skor rata-rata 4,1) dan sudah berada di peringkat 31. Pada tahun 2008/2009, jumlah tenaga fungsional akademis (dosen tetap) sudah mencapai 156.969 orang. Jika dihitung termasuk tenaga pengajar tidak tetap maka jumlahnya mencapai 228.781 orang. Tenaga fungsional akademis ini yang bernaung di dalam 83 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 2.892 Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Dari total tenaga dosen tetap tersebut, 12.608 orang telah menyelesaikan jenjang pendidikan Strata 3 (doktor) dan 60.524 orang bergelar Strata 2 (master/magister).31 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2008 pernah mengeluarkan data tentang jumlah peneliti di berbagai lembaga litbang pemerintahan sebanyak 7.403 orang. Sedangkan Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT) pernah melansir pada tahun yang sama, data jumlah perekayasa hanya 537 orang. Jumlah ini meliputi semua peneliti dan perekayasa yang ada di berbagai lembaga litbang pemerintahan.32 Data ini belum termasuk tenaga peneliti yang bekerja pada lembaga non-pemerintah dan berbagai industri di Indonesia. Walaupun jumlah berbagai tenaga yang bertugas atau potensial untuk menjadi kekuatan nasional dalam upaya pengembangan teknologi sudah relatif besar, namun produktivitas sumberdaya manusia ini di bidang pengembangan teknologi masih relatif rendah. Isu utama yang sering dihembuskan sebagai ‘penjelesan’ tentang persoalan rendahnya produktivitas tenaga pengembang teknologi ini disebabkan karena rendahnya dukungan pembiayaan dari pemerintah untuk melakukan kegiatan riset.33 Rendahnya produktivitas tenaga fungsional akademik, peneliti, dan perekayasa Indonesia sebagaimana terindikasi dari jumlah publikasi ilmiah (scientific publication) dan paten yang diperoleh (granted patent) telah banyak diulas. Posisi Indonesia yang sangat kurang produktif dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand telah banyak mendapat sorotan. Namun demikian sesungguhnya dalam konteks SINas, ada persoalan pokok yang lebih serius, yakni rendahnya relevansi substansi kegiatan riset dan pengembangan dengan persoalan dan kebutuhan nyata para pengguna teknologi, 31
Data dari Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2008/2009. www.kemdiknas.go.id pada tanggal 20 Januari 2011.
32
Diunduh dari http://dhi.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=59466 pada tanggal 20 Januari 2011.
33
Tetapi juga bisa dilihat dari perspektif sebaliknya, yakni rendahnya alokasi anggaran untuk pembangunan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia saat ini disebabkan karena kegiatan riset dan pengembangan yang selama ini dilakukan (termasuk pada periode dimana anggaran riset dan pengembangan tersedia berkecukupan) tidak memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan perekonomian nasional.
Diunduh dari
60
baik untuk masyarakat, industri, maupun untuk kepentingan negara. Isu ini sesungguhnya yang menjadi ganjalan utama dalam membangun SINas di Indonesia. Aliran paket teknologi akan sangat sulit terjadi jika teknologi yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan lembaga litbang lainnya tidak sesuai dengan teknologi yang dibutuhkan, tidak sesuai dengan kapasitas adopsi pengguna yang dituju, dan/atau kalah kompetitif dibandingan dengan teknologi serupa yang telah tersedia. Tantangan utama bagi para pengembang teknologi di Indonesia saat ini adalah mengembangkan teknologi yang: [1] sesuai kebutuhan masyarakat, industri, atau negara (teknologi yang relevan); [2] terjangkau secara ekonomi, handal secara teknis, dan sesuai budaya kerja pengguna (mempertimbangkan kapasitas adopsi pengguna); dan [3] mampu berkompetisi dengan produk teknologi serupa yang sudah memasuki pasar domestik Indonesia (kompetitif secara ekonomi dan kehandalan teknis). Intervensi Pemerintah melalui berbagai kebijakan dan regulasi untuk mendorong penggunaan teknologi nasional dalam kegiatan produksi barang dan jasa di dalam negeri pada tahap awal mungkin dibutuhkan, tetapi harus dikelola dengan cerdas dan hanya diposisikan sebagai insentif awal untuk merangsang perkembangan teknologi nasional dan tidak boleh menjadi kebijakan yang bersifat permanen. Teknologi nasional pada akhirnya harus mampu bersaing secara terbuka dengan teknologi impor. Jika tidak akan selamanya menjadi beban negara dan bukan menjadi faktor pengungkit untuk kemandirian SINas. Aktor pengguna teknologi untuk produksi barang dan jasa di Indonesia harus diakui masih terbatas. Kegiatan bisnis di Indonesia masih dominan diwarnai kegiatan perdagangan dan eksploitasi sumberdaya alam, kalaupun ada industri manufaktur biasanya hanya melakukan kegiatan produksi dari produk di bawah lisensi asing. Ragam bisnis seperti ini mempunyai tingkat kebutuhan teknologi yang rendah. Pengguna teknologi yang lain adalah masyarakat, misalnya para petani, peternak, nelayan, dan pengrajin. Kelompok pengguna ini umumnya hanya membutuhkan teknologi sederhana yang umumnya telah tersedia. Tantangan utama pengembangan teknologi untuk kelompok pengguna ini adalah menyediakan teknologi yang sesuai kapasitas adopsinya. Masyarakat pada saat ini mempunyai kapasitas adopsi teknologi yang rendah, baik dari dimensi teknis, finansial, maupun keterbatasan rentang adaptasinya terhadap perubahan budaya kerja. Kendala yang bersifat teknis dalam proses adopsi teknologi merupakan kendala yang relatif paling mudah untuk diatasi, misalnya melalui kegiatan pelatihan dan demonstrasi aplikasi teknologi yang akan diintroduksikan. Akan tetapi kendala finasial tidak selalu mudah untuk diatasi. Pada dasarnya, harus ada kemudahan akses bagi kelompok masyarakat ini untuk mendapatkan modal investasi untuk adopsi teknologi disertai peningkatan kemampuannya dalam mengelola keuangan serta melakukan perhitungan neraca bisnis. Pemerintah sesungguhnya mempunyai multi-peran dalam skenario SINas. Salah satu peran tersebut adalah juga sebagai pengguna teknologi, baik untuk fungsi
61
pelayanan kepada masyarakat maupun yang lebih spesifik lagi adalah untuk fungsi pertahanan dan keamanan. Pemerintah diposisikan juga sebagai pengguna teknologi karena pemerintah juga membutuhkan teknologi. Pemenuhan kebutuhan teknologi khususnya untuk pertahanan dan keamanan sudah selayaknya diupayakan dari hasil kemampuan pengembangan teknologi nasional. Kemandirian bangsa dalam teknologi pertahanan dan keamanan perlu dibangun.
Interaksi antar-aktor dan infrastruktur inovasi. Jika mencari biang keladi penyebab belum terwujudnya SINas Indonesia yang produktif, maka ada dua penyebab utamanya, yakni : [1] sangat terbatasnya komunikasi dan interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi; dan [2] belum terbangunnya infrastruktur/ekosistem inovasi yang menopang tumbuh-kembang aktor pengembang dan pengguna teknologi ke arah yang lebih merangsang keduanya untuk berinteraksi. Kebijakan, regulasi, dan unsur ekosistem inovasi lainnya perlu dirancang secara cermat dan tepat dalam rangka memperbesar peluang untuk melakukan percepatan dalam upaya menyelesaikan permasalahan SINas saat ini, sebagaimana diuraikan sebelumnya, yakni mencakup persoalan: [1] mengubah ‘mindset’ para akademisi, peneliti, perekayasa, dan pelaku riset lainnya agar lebih sungguh-sungguh memfokuskan orientasi kegiatannya pada pemenuhan kebutuhan atau solusi persoalan nyata yang dihadapi masyarakat dan negara; [2] mendorong agar para pelaku bisnis agar tertarik untuk berkiprah pada segmen industri hilir, untuk mengolah sumberdaya lokal/nasional menjadi produk barang atau jasa sesuai dengan permintaan pasar domestik, sehingga akan menumbuhkan kebutuhan teknologi atau dengan kata lain memperbesar kapasitas serapan teknologi oleh para aktor pengguna; dan [3] memberikan kesempatan dan dorongan agar lembaga intermediasi dapat berfungsi secara optimal, tidak hanya dalam ‘memasarkan’ teknologi (seperti peran yang dominan terlihat selama ini) tetapi juga meningkatkan perannya dalam ‘merekam’ kebutuhan dan persoalan yang dihadapi oleh para pengguna. Walaupun secara teoritis, persoalan yang menjadi kendala dapat dideteksi dan diidentifikasi dengan tepat serta solusi jitunya dapat diformulasikan, namun karena kompleksitas persoalan, lebarnya rentang spektrum keragaman komponen solusinya, dan perlunya keterlibatan banyak pihak; maka untuk implementasinya dibutuhkan upaya ekstra keras dan partisipasi banyak pihak secara sinergis dan terfokus.34 Mengubah mindset para akademisi, peneliti, dan perekaya agar menggeser orientasi riset yang dilakukannya dari dominan untuk pengembangan ilmu35 34
Simak juga opini Sakti Nasution berjudul ‘Freeman, Inovasi, dan Sepak Bola’ yang dimuat di Media Indonesia, 18 Januari 2010: “Akan terasa sulit untuk melakukan kolaborasi inovasi jika para periset, inovator, penemuan dan kekayaan intelektual universitas/lembaga riset masih belum berorientasi pada pemenuhan kebutuhan riil masyarakat, pasar, atau dunia bisnis pada umumnya. Sementara badan usaha enggan dan terpaksa tetap memilih cara mengembangkan produk barang/jasa secara sendiri-sendiri atau membelinya ke luar negeri”.
35
Atau untuk tujuan yang lebih pragmatis, seperti hanya untuk memperoleh ‘angka kredit’ supaya bisa promosi jabatan fungsionalnya, atau karena alasan materialistik lainnya.
62
menjadi lebih terarah pada upaya memenuhi kebutuhan atau menyediakan solusi bagi persoalan nyata, tidak akan mudah dilakukan dan akan membutuhkan waktu yang relatif lama. Proses perubahan mindset akan berlangsung secara bertahap, butuh proses ‘unlearning’ terlebih dahulu sebelum konsepsi baru dapat diadopsi. Sudah sejak lama dan sekarang semakin banyak dibicarakan tentang perlunya Indonesia mengekspor produk jadi (consumer goods), bukan hanya berupa bahan mentah atau barang setengah-jadi. Industri-industri pengolahan dan manufaktur perlu untuk dikembangkan. Jika ini dilakukan, maka akan menyerap banyak tenaga kerja di dalam negeri36 dan nilai tambah yang signifikan diperoleh serta perekonomian nasional akan semakin membaik. Skenario ini baik dan logis, namun mengapa belum juga menjadi kenyataan? Kendalanya adalah perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada investasi asing. Ini yang menyebabkan banyak skenario pembangunan nasional yang tidak mampu direalisasikan. Jika modal berasal dari investor asing (negara donor ataupun perusahaan multi nasional) maka menjadi logis jika kepentingan asing yang lebih dominan mewarnai perekonomian nasional. Perekonomian nasional tidak akan steril dari kepentingan ekonomi dan politik internasional. Lembaga intermediasi tidak akan dapat berperan efektif jika teknologi yang dihasilkan para pengembang tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna. Kelirunya justeru kebanyakan lembaga intermediasi lebih berorientasi pada upaya memasarkan teknologi yang tersedia (yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau sudah relevan dengan kebutuhan tetapi tidak kompetitif secara ekonomi dibandingkan dengan teknologi asing yang sudah merambah pasar Indonesia) dan belum banyak membantu upaya mengalirkan informasi kebutuhan teknologi kepada para pengembang. Dalam konteks ini, mungkin benar ungkapan bahwa sesungguhnya kita sudah berada pada ‘track’ yang benar, tapi persoalannya kita menghadap ke arah yang salah!
Peran Pemerintah. Terkait dengan SINas, pemerintah mempunyai multi-peran atau berperan pada berbagai posisi. Sebagian aktor pengembang teknologi adalah lembaga-lembaga pemerintah, karena dibiayai oleh anggaran pemerintah dan diawaki oleh personel pegawai pemerintah, misalnya LPNK yang menyelenggarakan kegiatan riset dan/atau pengembangan teknologi, demikian pula PTN dimana penelitian merupakan salah satu unsur tridharma-nya. Untuk kondisi Indonesia saat ini, peranan pemerintah masih sangat dominan dalam komunitas pengembang teknologi; sementara peran industri masih terbatas dan sangat berorientasi untuk pemenuhan kebutuhannya sendiri. Kondisi yang sama juga terlihat pada berbagai negara berkembang. Di negara maju, peran dan kontribusi industri atau dunia usaha dalam pengembangan
36
Sehingga tidak perlu lagi mengirim TKI ke luar negeri, yang banyak berakhir menjadi cerita pilu.
63
teknologi sudah lebih kentara, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa peran pemerintah ternyata masih cukup dominan. Untuk penyelenggaraan pemerintahan, yakni memberikan pelayanan publik dan menjaga keutuhan serta kedaulatan negara, jelas butuh dukungan teknologi. Dengan demikian, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, pemerintah juga merupakan pengguna teknologi yang penting, disamping tentunya juga dunia usaha dan masyarakat. Jika pemerintah bermain di kedua sisi (sebagai pengembang dan pengguna teknologi, sebagaimana khususnya untuk teknologi pertahanan dan keamanan), maka patut untuk diasumsikan bahwa proses aliran teknologi akan dapat mudah terjadi, demikian pula sebaliknya informasi tentang jenis dan kuantitas kebutuhan teknologi akan mudah dikomunikasikan antara sesama lembaga pemerintah. Namun ternyata asumsi ini tidak terbukti benar. Kebutuhan teknologi pertahanan dan keamanan masih dominan dipasok dari pihak asing.37 Banyak argumen yang dapat dipakai untuk menjelaskan tentang mengapa interaksi dan komunikasi antara sesama lembaga pemerintahpun masih terkendala. Koordinasi dan sinergi kegiatan lintas sektor sering hanya diterjemahkan sebagai pelaksanaan rapat koordinasi semata dan dengan mengadakan rapat tersebut dianggap bahwa kewajiban koordinasi dan sinkronisasi telah tertunaikan. Hakikinya koordinasi dan sinkronisasi kegiatan harus berbuah peningkatan efektivitas pencapaian sasaran kegiatan, efisiensi dalam pengelolaan sumberdaya (anggaran, tenaga, sarana, prasarana), dan terbangunnya semangat kebersamaan, tumbuhnya sikap profesionalisme, serta semakin kokohnya jiwa nasionalisme. Pemerintah pada saat ini sangat diharapkan peranannya dalam melakukan intermediasi dan fasilitasi serta memberlakukan regulasi yang berdampak pada peningkatan intensitas dan kualitas komunikasi dan interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi. Sesungguhnya pemerintah sudah membentuk lembaga intermediasi, fasilitasi, dan regulasi ini. Terbukti dari adanya lembaga intermediasi (misanya Business Technology Center, disingkat BTC, dan Business Innovation Center, disingkat BIC) hasil bentukan pemerintah. Juga telah dialokasi anggaran untuk mendukung pelaksanaan riset dan pengembangan, misalnya di Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Riset dan Teknologi, dan berbagai kementerian lainnya, sebagai upaya pemerintah memfasilitasi peran berbagai pihak untuk mewujudkan SINas. Serta telah pula diterbitkan beberapa peraturan perundang-undangan yang diniatkan sebagai regulasi untuk mendorong tumbuh kembang SINas, misalnya UndangUndang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi beserta beberapa peraturan pemerintah turunannya. 37
Persoalan ini mungkin yang menyebabkan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, menginstruksikan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab pada sektor pertahanan dan keamanan agar secara maksimal memprioritaskan penggunaan teknologi nasional untuk pemenuhan kebutuhan tugasnya.
64
Bab 4 Menuju SINas yang Diharapkan Walaupun dirasakan telah terjadi kemajuan dalam pemahaman tentang konsepsi dasar sistem inovasi dan telah terjadi perkembangan metodologis untuk analisis sistem inovasi, namun sampai saat ini masih belum berhasil dirumuskan kebijakan sistem inovasi yang pas untuk kondisi Indonesia, demikian pula dengan jenis instrumen kebijakan yang pas untuk digunakan, serta pada tingkat kewilayahan mana sistem inovasi tersebut tepat untuk diimplementasikan, mengingat kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan potensi sumberdaya alam Indonesia yang sangat majemuk. Saat ini, telaah tentang sistem inovasi sangat jarang berujung pada preskripsi kebijakan sistem inovasi yang konkrit, sistematis, dan detil. Umumnya hanya menghasilkan atau merekomendasikan prinsip dasar dan/atau taksonomi kebijakan sebagai bentuk intervensi yang dibutuhkan dari pihak pemerintah. Untuk dapat efektif, maka kebijakan harus mengandung muatan pengaturan dan tidak hanya memberikan pemahaman umum. Teori sistem inovasi yang berkembang di Indonesia banyak yang diadopsi secara langsung dari sistem inovasi yang dianut oleh negara-negara maju, yang kondisinya dalam berbagai dimensi sangat berbeda dengan Indonesia. Teori inovasi yang tidak mengakar pada realita Indonesia akan sangat beresiko jika dijadikan pijakan dalam merumuskan kebijakan sistem inovasi Indonesia. Kebijakan yang tak kentara warna Indonesianya, walaupun didukung dengan regulasi yang kuat, tetap saja sering tidak efektif dalam implementasinya. Karakteristik SINas yang khas Indonesia perlu diformulasikan dengan tepat, termasuk: [1] Orientasi arah dan prioritas teknologi yang dikembangkan, [2] Skenario interaksi yang intensif dan produktif antara lembaga/aktor inovasi, [3] Relevansi dan produktivitas lembaga pengembang teknologi, [4] Kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi, dan [5] Kontribusinya terhadap pembangunan nasional.
4.1. Reorientasi Arah dan Prioritas Riset Berbasis sumberdaya nasional. SINas Indonesia wajib berbasis pada potensi sumberdaya nasional, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, serta kemampuan pembiayaan dan infrastruktur pembangunan lainya yang telah dimiliki atau yang secara rasional akan dapat dikelola. Luasnya wilayah nusantara dan keragaman potensi sumberdaya merupakan alasan yang rasional untuk membangun sistem inovasi yang lebih operasional pada wilayah cakupan yang lebih kecil (sekarang digunakan terminologi Sistem Inovasi Daerah, atau disingkat SIDa) atau sistem inovasi yang secara spesifik fokus pada potensi ekonomi tertentu, baik itu terfokus pada komoditas tertentu yang bernilai
65
ekonomi tinggi ataupun pada potensi sumberdaya lahan atau laut dengan karakteristek yang khas. MP3EI juga menganut pembangunan ekonomi berbasis wilayah yang membagi NKRI menjadi enam koridor dan sekaligus juga mengangkat komoditas tertentu sebagai fokus pembangunan pada masing-masing dari enam koridor ekonomi tersebut. Pengembangan sistem inovasi tentu perlu diserasikan dengan realita strategi pembangunan bidang perekonomian tersebut. Namun demikian, cakupan wilayah dari suatu sistem inovasi tidak logis kalau berbasis pada satuan wilayah administrasi pemerintahan (provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, desa), tetapi selayaknya lebih berbasis pada satuan kawasan pembangunan perekonomian, misalnya pada hamparan lahan dengan karateristik agroekosistem tertentu yang menopang pembangunan ekonomi berbasis pertanian, atau wilayah laut dengan karakteristik marine ecology yang khas, atau dapat juga untuk satuan kawasan dengan karakteristik sosio-ekonomi-kultural masyarakatnya yang spesifik. SIDa yang berbasis agroekosistem lahan misalnya dirancang untuk mendukung kegiatan ekonomi di lahan sub-optimal basah (lebak dan pasang surut), atau dirancang untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk kelautan di wilayah Indonesia bagian timur, atau berbasis komoditas perkebunan yang volume dan nilai produksinya besar sehingga signifikan kontribusinya terhadap perekonomian nasional (misalnya sawit dan karet), atau dapat juga berbasis karakteristik sosial-ekonomi-budaya masyarakatnya seperti untuk masyarakat pengrajin dan industri kayu di Jepara atau masyarakat dengan budaya yang khas seperti di Bali. Tidak perlu dikotomi antara pilihan untuk pengembangan sistem inovasi pada tingkat nasional dengan tingkat daerah/lokal. Pengembangan SIDa perlu difokuskan pada pengembangan sistem inovasi yang lebih teknis dan opersional serta jelas fokus dukungannya pada aktivitas ekonomi tertentu yang disasar, sehingga juga akan lebih mampu untuk dikelola dan dievaluasi kinerjanya; sedangkan SINas akan memberikan ‘template’ sebagai acuan untuk pengembangan SIDa, sehingga tujuan pembangunan nasional yang sifatnya universal dapat dikawal, yakni terutama untuk menyejahterakan rakyat sebagaimana yang diamanahkan oleh konstitusi.
Sesuai realita kebutuhan dan permasalah pengguna. Selain berbasis pada potensi sumberdaya nasional atau lokal, sistem inovasi Indonesia perlu didukung oleh pengembangan teknologi yang lebih diarahkan agar sesuai dengan realita kebutuhan atau persoalan yang dihadapi oleh para pengguna teknologi, baik industri, masyarakat, ataupun pemerintah. Kecenderungan global saat ini telah secara kentara menggiring agar pengembangan teknologi lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhan atau menyediakan solusi bagi permasalahan nyata. Banyak istilah yang dimunculkan untuk menggambarkan orientasi riset dan pengembangan teknologi sesuai kebutuhan pengguna ini, termasuk demand-driven, market-driven (mulai jarang digunakan karena terkesan terlalu mengarah pada komersialisasi), need-driven,
66
issue-driven (Jepang), mission-driven (Swedia), dan evidence-based (mulai digunakan oleh komunitas ilmu sosial atau pihak yang melihat teknologi dari perspektif ilmu sosial). Ragam istilah atau terminologi yang digunakan ini menunjukkan banyaknya pihak yang mulai menyadari tentang perlunya reorientasi dalam pengembangan teknologi untuk menopang sistem inovasi dalam rangka meingkatkan kontribusi teknologi terhadap pembangunan perekonomian. Keragaman istilah ini lebih disebabkan karena perbedaan aspek atau dimensi yang ingin ditekankan, tetapi esensinya tetap sama yakni mendorong agar pengembangan teknologi sesuai dengan realita kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi oleh para pengguna teknologi. Indonesia tentu harus berada dalam mainstream ini jika secara sungguhsungguh ingin mewujudkan sistem inovasi nasional ataupun daerah yang berkontribusi nyata terhadap pembangunan ekonomi dengan harapan dapat pula meningkatkan kesejahteraan rakyat.
4.2. Interaksi yang Intensif Antar-aktor Inovasi Pengembangan SDM. Strategi ini mempunyai rentang cakupan yang lebar, dimulai dari upaya sinkronisasi program penyiapan sumberdaya manusia yang relevan dan kompeten antara kelembagaan pengelola pendidikan dengan kelembagaan yang bertanggung jawab dalam pengembangan teknologi. Pendidikan selain untuk meningkatkan kecerdasan akademik harus pula ditambah dengan upaya meningkatkan sensitivitas terhadap permasalahan nyata yang dihadapi bangsa. Pendidikan perlu diupayakan tidak hanya peningkatan mutunya tetapi juga dibarengi dengan upaya peningkatan relevansinya terhadap kebutuhan nyata. Lembaga penyelenggara pendidikan tinggi akan menjadi lembaga penunjang yang menentukan dalam konteks ini. Tidak semua individu warga negara perlu disiapkan menjadi pengembang teknologi yang handal dengan derajat penalaran akademik yang tinggi dan juga sensitif terhadap dinamika persoalan dan kebutuhan masyarakat, karena dalam implementasi SINas juga sangat dibutuhkan pengguna teknologi yang terampil. Pengguna teknologi yang dimaksud dalam konteks ini adalah tenaga teknis yang berperan mengaplikasikan teknologi dalam proses produksi barang atau jasa. Idealnya, populasi pengguna teknologi yang terampil jauh lebih banyak dibandingkan dengan populasi pengembang teknologi. Rasio yang pas antara pengembang-pengguna teknologi tentu tergantung pada jenis teknologi yang diimplementasikan. Persentase jumlah peneliti terhadap total populasi suatu negara sering dipakai sebagai indikator kemajuan SINas dari negara yang bersangkutan. Walaupun angka ini mungkin mengindikasikan kemampuan negara tersebut untuk mengembangkan teknologi, tetapi sesungguhnya basis argumennya sangat dangkal, malah dapat menyesatkan. Hal ini bisa dicermati dari beberapa perspektif: [1] teknologi yang berdampak signifikan dan mampu mengubah ‘wajah’ dunia dalam berbagai bidang bukan
67
merupakan hasil kerja kolektif seluruh populasi peneliti suatu negara, tetapi merupakan hasil kerja kelompok ‘kecil’ peneliti pada satu laboratorium atau kolaborasi peneliti antar-laboratorium; [2] jumlah peneliti yang banyak tidak otomatis berarti akan banyak teknologi bermanfaat yang dihasilkan, karena selain tergantung pada produktivitas peneliti, juga ditentukan oleh relevansi substansi yang diteliti; dan [3] sebagian besar peneliti bekerja di perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah yang mayoritas pada saat ini lebih fokus pada riset akademik yang tak terkait langsung dengan persoalan nyata, akibatnya hasil riset yang diperoleh masih sulit untuk diadopsi oleh industri. Argumentasi di atas mencoba mengingatkan bahwa aspek yang paling penting untuk mendapat perhatian dalam proses penyiapan sumberdaya manusia yang diproyeksikan untuk menjadi pelaku utama pengembangan teknologi bukan terletak pada aspek kuantitasnya, tetapi lebih pada aspek kualitasnya. Kualitas dimaksud mencakup basis mutu akademik dan relevansi keahliannya terhadap kebutuhan nyata. Implikasi operasionalnya adalah Indonesia tidak perlu terlalu berambisi untuk meningkatkan angka persentase jumlah peneliti per sejuta penduduk (atau indikator lain yang serupa), tetapi lebih perlu menyiapkan tenaga-tenaga pengembang teknologi yang punya basis kapasitas akademik yang hebat dan juga sensitif terhadap dinamika permasalahan dan kebutuhan bangsa. Untuk konteks ini, kuantitas menjadi tidak penting. Indonesia tidak perlu ‘kelihatan’ baik secara statistik, yang perlu adalah Indonesia mampu dan produktif dalam menghasilkan solusi teknologi bagi permasalah bangsa.
Membangun Semangat Kebersamaan Aktor Inovasi. Kesiapan sumberdaya manusia wajib dibarengi dengan langkah reorientasi pengembangan teknologi dari supply-push ke demand-driven. Jika selama ini aktor penentu arah SINas diperankan secara ‘terlalu’ dominan oleh para pengembang teknologi, sehingga pendekatan yang diterapkan adalah supply-push, yakni melakukan pengembangan teknologi dahulu, baru kemudian ‘ditawarkan’ kepada industri untuk menggunakannya. Pendekatan ini ternyata tidak efektif untuk meningkatkan intensitas interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi. Aliran teknologi banyak yang tersumbat. Penyebab utamanya adalah ketidakpaduan antara teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan industri. Kalaupun jenis teknologinya sudah sesuai tetapi sering tidak kompetitif secara ekonomi untuk diaplikasikan. Strategi untuk memperlancar aliran teknologi dalam SINas dan untuk meningkatkan intensitas kolaborasi antara pengembang dan pengguna teknologi adalah melakukan reorientasi, yakni jika sebelumnya pihak pengembang teknologi menjadi penentu arah dan prioritas pilihan teknologi, maka peran ini di masa yang akan datang perlu dipercayakan kepada pihak pengguna teknologi. Pendekatan yang dipilih tentunya juga berubah arah, dari supply-push menjadi demand-driven. Pada tahap awal, proses reorientasi ini tentu belum akan berjalan mulus. Akan ada resistensi (penolakan) dari pihak pengembang teknologi dan akan ada
68
keengganan di pihak pengguna teknologi. Pergeseran mindset selalu membutuhkan waktu relatif panjang, karenanya proses ini akan berlangsung secara bertahap (gradual). Ekspektasi pada tahap awal adalah mulai tumbuhnya kesepakatan bahwa pengembangan teknologi perlu berubah arah, menjadi lebih fokus untuk menjawab permasalah nyata atau memenuhi kebutuhan industri dan masyarakat pengguna. Resistensi internal sangat mungkin untuk muncul di kalangan akademisi dan periset dalam proses pergeseran prioritas riset dari curiousity-driven research menjadi goal-oriented research, dari riset yang dilakukan untuk pemuasan rasa keingintahuan akademik menjadi riset untuk menjawab permasalah nyata yang dihadapi masyarakat dan negara.
Perubahan Mindset Aktor Pengembang Teknologi. Pengalaman Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) melalui Program Insentifnya menjadi bukti empiris tentang sulitnya menggeser kegiatan para akademisi dan periset keluar dari zona nyamannya (comfortable zone). Akademisi dan periset Indonesia masih sangat nyaman di wilayah riset akademik (dasar dan terapan), sedangkan kegiatan yang lebih hilir (difusi teknologi dan peningkatan kapasitas iptek sistem produksi) untuk mendorong agar hasil risetnya diadopsi oleh pengguna masih sangat kurang diminati. Kementerian Negara Riset dan Teknologi menawarkan secara terbuka dan kompetitif empat program insentif kepada komunitas akademik di perguruan tinggi dan peneliti di lembaga riset pemerintah, yakni program riset dasar, riset terapan, difusi iptek, dan penguatan kapasitas iptek sistem produksi. Dua program yang pertama merupakan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan dua program terakhir merupakan upaya mentransfer dan aplikasi teknologi yang dihasilkan oleh pihak pengguna teknologi. Pada tahun 2008, proposal untuk riset pengembangan iptek mencapai 89,84 persen, sedangkan proposal untuk difusi dan aplikasi iptek hanya 10,16 persen. Dengan upaya yang lebih intensif untuk menumbuhkan minat komunitas akademisi dan peneliti untuk berperan dalam kegiatan difusi dan aplikasi iptek, pada tahun 2009 proposal untuk kegiatan ini meningkat menjadi 24,95 persen. Strategi yang perlu dilakukan dalam rangka memicu dan memacu pergeseran preferensi atau prioritas riset ini adalah: [1] meluruskan pemahaman tentang status ilmiah goal-oriented research dan [2] memberikan insentif yang lebih baik bagi pelaksanaan riset untuk solusi permasalahan nyata ini. Kekeliruan pemahaman tentang ‘riset pesanan’ disebabkan bukan oleh makna hakiki dari goal-oriented research tersebut, tetapi lebih disebabkan karena riset ini telah diselewengkan pemaknaannya oleh kepentingan-kepentingan lain yang bersifat non-scientific. Sejatinya, goal-oriented research harus dimaknai sebagai riset akademik yang tidak hanya potensial untuk memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga sekaligus dapat secara nyata menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat.
69
Merupakan langkah yang tepat jika Pemerintah lebih mengarahkan bantuan pembiayaan risetnya pada kelompok goal-oriented research, terlebih lagi pada saat negara sedang mengalami krisis ekonomi, dimana setiap rupiah yang dibelanjakan negara harus berpotensi menggerakkan perekonomian domestik. Sudah saatnya, pembiayaan kegiatan riset diposisikan tidak hanya untuk mendukung upaya pencerdasan bangsa, tetapi juga sekaligus sebagai investasi untuk menumbuhkan kemandirian bangsa dalam menyediakan solusi teknologi bagi masalah-masalah mendasar yang menyakut hajat hidup asasi masyarakat. Sangat ironis jika untuk memenuhi kebutuhan solusi teknologi untuk masalahmasalah sederhana (misalnya di sektor pertanian), Indonesia masih tergantung pada pasokan teknologi asing. Apalagi jika untuk mengimpor teknologi asing tersebut (yang sebetulnya dalam tataran teknologi tergolong sederhana), negara harus mengeluarkan devisa yang signifikan karena kuatitas kebutuhannya yang masif.
Sensitivitas pengembang teknologi. Salah satu persoalan yang serius saat ini adalah rendahnya sensitivitas atau kepedulian para pengembang teknologi terhadap kebutuhan dan persoalan yang dihadapi para pengguna teknologi. Pengembang teknologi, baik akademisi maupun peneliti, pada saat merencanakan riset sangat jarang melakukan observasi cermat terhadap persoalan dan kebutuhan pihak pengguna. Umumnya riset yang direncanakan lebih terkait dengan latar belakang akademik peneliti atau akademisi yang bersangkutan dan mengarah pada topik yang sedang populer di kalangan akademisi. Kecenderungan lainnya adalah memilih topik-topik yang terkesan maju secara teknologi tetapi tidak terkait langsung dengan kebutuhan atau persoalan nyata. Gengsi akademik kelihatan lebih menarik perhatian dibandingkan dengan kontribusi dalam memenuhi kebutuhan atau menyediakan solusi untuk persoalan yang dihadapi industri, masyarakat, atau pemerintah. Sayangnya secara akademikpun, ternyata akademisi dan peneliti Indonesia masih belum tergolong produktif, termasuk jika dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Kenyataan yang belum membanggakan ini tentu harus dibenahi. Akan sulit bagi pengembang teknologi di Indonesia untuk berada posisi terdepan secara akademik pada saat ini, karena berbagai kendala, termasuk kurangnya alokasi anggaran untuk pembiayaan riset dan kurang memadainya peralatan dan fasilitas riset. Namun sesungguhnya, kendala yang lebih serius terletak pada mindset para pengembang teknologi tersebut, yang belum termotivasi untuk melaksanakan riset yang berkualitas dan masih cenderung menganggap riset hanya sebagai ritual akademik. Perlu diyakini bahwa perhatian berbagai pihak, termasuk pemerintah, untuk memberikan dukungan pembiayaan yang lebih besar akan lebih mungkin terwujud jika pengembang teknologi juga mampu membuktikan kontribusi nyata terhadap pembangunan nasional, terutama pembangunan perekonomian. Riset yang dirancang sesuai kebutuhan nyata dapat pula menjadi riset yang berkualitas ilmiah tinggi selama kegiatan ini dilaksanakan dengan metodologi yang tepat dan dengan menjunjung tinggi etika akademik. Hasil riset dengan
70
reputasi dan pilihan topik seperti ini jelas akan berpeluang untuk dipublikasikan pada jurnal ilmiah, dan juga dapat menghasilkan paten yang diminati pengguna (karena relevan dengan kebutuhan sehingga berpeluang untuk diaplikasikan dalam proses produksi), sehingga terbuka peluang untuk mendapatkan royalti. Kekeliruan pemahaman yang sering terjadi adalah bahwa teknologi yang dihasilkan dari riset yang berbasis kebutuhan nyata statusnya akan kurang canggih, sebagaimana juga kekeliruan dalam memahami definisi teknologi tepat guna (appropriate technology) yang sering dianggap identik dengan teknologi sederhana. Sesungguhnya rentang spektrum teknologi yang berbasis kebutuhan atau teknologi tepat guna dapat bervariasi dari teknologi yang sangat sederhana sampai dengan teknologi super canggih, karena faktanya realita persoalan dan kebutuhan teknologi juga sangat variatif. Sebagai contoh, pemerintah membutuhkan teknologi canggih untuk mewujudkan kemandirian dalam sektor pertahanan dan keamanan negara; sebaliknya petani membutuhkan teknologi yang sesuai dengan kapasitas adopsinya untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan pendapatannya. Di antara banyak perubahan yang perlu dilakukan dalam rangka mewujudkan SINas, salah satu yang urgensinya paling tinggi adalah meningkatkan sensitivitas dan kepedulian para pengembang teknologi terhadap kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi industri, masyarakat, dan pemerintah.
4.3. Peningkatan Domestik
Produktivitas
dan
Relevansi
Teknologi
Relevansi Teknologi Domestik. Sensitivitas dan kepedulian pengembang teknologi yang kemudian diikuti dengan perencanaan dan pelaksanaan riset yang berkesesuaian akan membuahkan teknologi yang relevan. Jika semakin banyak aktor pengembang teknologi yang mengikuti alur ini, maka Indonesia akan memulai era baru SINas. Relevansi dan produktivitas riset yang dilakukan akan menjadi mesin produksi teknologi yang secara nyata akan berkontribusi terhadap berbagai sektor pembangunan nasional, termasuk bidang perekonomian. Peningkatan kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi akan memberikan umpan-balik (feedback) yang positif, efek bola salju akan terjadi. Dukungan pembiayaan untuk aktivitas riset akan tumbuh, baik dari pemerintah maupun dari dunia usaha, karena kepercayaan pihak pengguna teknologi akan semakin meningkat setelah ikut menikmati kontribusi teknologi terhadap pemenuhan kebutuhan dan menjadi solusi bagi persoalan yang dihadapi para pengguna tersebut. Suatu kondisi yang sangat diharapkan sebagai modal untuk membangun SINas adalah pendekatan demand-driven menjadi mainstream pengembangan teknologi domestik, sehingga persentase teknologi yang relevan kebutuhan semakin meningkat dan kontribusi teknologi terhadap perekonomian nasional semakin dirasakan publik. Harapan akhirnya adalah teknologi berhasil memberikan kontribusi nyata terhadap upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dan
71
memajukan peradaban bangsa sebagaimana yang diamanahkan oleh konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (5).
Peningkatan Kapasitas Adopsi Pengguna Teknologi. Peningkatan relevansi teknologi dengan kebutuhan nyata belum sepenuhnya menjamin bahwa teknologi tersebut akan diadopsi oleh para pengguna, karena ada satu faktor lagi yang akan menentukan, yakni kemampuan atau kapasitas adopsi dari pengguna potensial dari teknologi yang dihasilkan. Oleh sebab itu, untuk memperbesar peluang teknologi untuk digunakan maka perlu dilakukan perbaikan di kedua sisi, yakni meningkatkan relevansi teknologi yang dibarengi dengan upaya meningkatkan kapasistas adopsi pengguna. Kapasitas adopsi pengguna teknologi bersifat multi dimensi, termasuk dimensi teknis, finansial, sosiokultural, dan kemungkinan juga politik. Peningkatan kapasitas adopsi untuk dimensi teknis relatif mudah dilakukan, misalnya melalui pelatihan atau pendidikan formal bagi para aktor pengguna. Kapasitas adopsi dari dimensi ekonomi/finansial akan lebih sulit ditingkatkan, namun kebijakan pemerintah terkait penyediaan kredit modal usaha dapat menjadi cara efektif untuk membantu pengguna teknologi dalam meningkatkan kapasitas adopsinya dari dimensi finansial. Persoalan rendahnya kapasitas adopsi teknologi multi dimensi umum dijumpai pada masyarakat pengguna teknologi di Indonesia, termasuk komunitas petani, peternak, nelayan, pembudidaya ikan, dan pengrajin atau berbagai pelaku usaha skala kecil lainnya. Persoalan rendahnya adopsi teknologi (selain karena teknologi yang tidak relevan) juga dapat terjadi karena rendahnya kebutuhan teknologi, bukan persoalan rendahnya kapasitas adopsi. Hal ini misalnya terjadi pada pelaku bisnis Indonesia yang aktivitas utamanya adalah perdagangan, bukan industri manufaktur. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan adopsi teknologi, maka perlu transformasi pedagang menjadi produsen. SINas belum akan berfungsi optimal jika kegiatan bisnis yang dominan di Indonesia masih berupa perdagangan; walaupun kegiatan riset dan pengembangan teknologi sudah diarahkan sesuai dengan kebutuhan nasional, berbasis sumberdaya dalam negeri, dan berorientasi pasar domestik. Bisnis Indonesia perlu pula mengalami transformasi, dari dominan perdagangan menjadi dominan industri produsen barang dan jasa. Kelompok industri ini yang paling berpotensi untuk mengadopsi teknologi domestik yang telah dikembangkan. Rangsangan untuk tumbuh-kembang industri produsen barang dan/atau jasa yang berbasis teknologi nasional dan sesuai dengan kebutuhan pasar domestik perlu diintensifkan. Ketersediaan teknologi domestik yang secara teknis sesuai kebutuhan dan secara ekonomi menguntungkan dengan sendirinya juga merupakan bentuk rangsangan yang dibutuhkan industri produsen barang dan jasa. Akan tetapi (terutama pada fase awal), tetap perlu insentif tambahan bagi bisnis perdagangan untuk bertransformasi menjadi industri produsen barang/jasa.
72
Penguatan industri dalam negeri merupakan salah satu pilar utama pendukung SINas. Oleh sebab itu, investasi dan akses permodalan untuk pengembangan dan/atau penumbuhan industri baru berbasis teknologi nasional perlu dirangsang dan difasilitasi. Aksesibilitas untuk tiga kunci sukses industri produsen perlu dijamin, yakni: [1] akses untuk mendapatkan bahan baku yang cukup, sesuai spesifikasi teknis, harga yang pantas (dan relatif stabil), serta tersedia sesuai siklus produksi; [2] akses untuk mendapatkan modal, sumberdaya manusia, dan teknologi yang sesuai secara teknis serta kompetitif secara ekonomi; dan [3] akses pasar yang terjamin. Pasar domestik Indonesia yang besar harusnya menjadi ‘penyerap’ bagi semua produk barang dan jasa yang dihasilkan industri dalam negeri.
Vitalisasi Lembaga Intermediasi. Percepatan proses adopsi teknologi nasional oleh pengguna dalam negeri dan sebaliknya juga arus informasi kebutuhan teknologi untuk pihak pengembang memerlukan peran aktif dari lembaga intermediasi. Pada saat ini, hampir semua lembaga intermediasi terbentuk atas inisiatif pemerintah dan sebagian juga diawaki oleh aparatur pemerintah. Belum adanya lembaga intermediasi yang diinisiasi oleh pihak bisnis maupun masyarakat dapat menjadi indikasi bahwa kegiatan ini masih dianggap belum menarik, atau masih diyakini belum akan membuahkan hasil. Persepsi ini sesungguhnya dapat dipahami, karena berbagai kondisi yang terjadi saat ini masih belum ‘favorable’ untuk berfungsinya kelembagaan intermediasi. Lembaga intermediasi berperan sebagai penghubung antara lembaga pengembang teknologi dengan pengguna teknologi. Akan tetapi, kelembagaan intermediasi ini belum mungkin berfungsi secara efektif, jika prasyarat dasarnya belum terpenuhi, yakni relevansi antara teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan industri yang merefleksikan preferensi dan daya beli konsumen. Kondisi lainnya yang masih kurang kondusif bagi lembaga intermediasi adalah: [1] sistem perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual masih belum membudaya di kalangan pengembang teknologi di Indonesia, sehingga berpotensi menjadi masalah jika dikomersialisasikan; [2] preferensi komunitas bisnis Indonesia masih cenderung sebagai pedagang daripada sebagai produsen; kalaupun masuk ke wilayah industri produsen barang/jasa, maka lebih cenderung memilih memproduksi barang di bawah lisensi asing; dan [3] pelaku industri dalam negeri belum percaya atas kehandalan teknologi domestik hasil karya anak bangsa, sehingga lebih cenderung membeli teknologi asing. Lembaga intermediasi perlu diawaki oleh personel yang memahami tentang teknologi dan sekaligus punya kemampuan persuatif yang tinggi dan terampil dalam menjual. Opsinya ada dua: [1] merekrut peneliti/akademisi, kemudian diasah ketrampilan pemasarannya; atau [2] merekrut tenaga pemasaran, kemudian diperkaya wawasan teknologinya. Opsi kedua kelihatannya lebih layak, karena merubah karakter manusia (terkait marketing skills) lebih membutuhkan waktu dibandingkan dengan menambah pengetahuan (tentang teknologi terkait).
73
4.4. Ekosistem Inovasi yang Kondusif Kebijakan dan Regulasi yang Diperlukan. Selama proses transisi pergeseran orientasi arah dan prioritas riset, peran pemerintahan sangat dibutuhkan, yakni dalam bentuk: [1] regulasi yang mendukung dan [2] fasilitasi percepatan laju proses reorientasi dan mengurangi kemungkinan terjadinya ‘gesekan’ yang tidak perlu antar-pihak terkait. Peran regulasi pemerintah ditujukan untuk mengawal agar implementasi SINas konsisten mengarah pada upaya: [1] menyediakan solusi teknologi bagi permasalahan nyata yang dihadapi rakyat; [2] menyeimbangkan posisi psikologis dan peran aktif antara pihak pengembang teknologi dengan pihak pengguna teknologi sehingga interaksi antara keduanya terjadi dalam kerangka kemitraan yang setara harkatnya, proporsional kontribusinya, dan saling ‘complementary’ ruang kiprahnya; dan [3] memberdayakan sumberdaya manusia Indonesia sesuai dengan kapasitasnya masing-masing agar dapat secara langsung berperan aktif dalam implementasi SINas. Berkaitan dengan upaya membangun SINas secara utuh, dibutuhkan pula regulasi dan fasilitasi pemerintah dalam menyiapkan sumberdaya manusia sesuai kebutuhan untuk pengembangan teknologi dan kebutuhan tenaga terampil untuk aplikasi teknologi, melalui program pendidikan yang berkesesuaian, terutama pada jenjang pendidikan tinggi dan menengah kejuruan. Bentuk fasilitasi dari pemerintah yang lain adalah dukungan untuk kolaborasi riset dengan pembiayaan bersama (sharing funding) oleh pemerintah dan pihak industri. Porsi pemerintah disalurkan melalui lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi. Kegiatan riset kolaborasi dalam format ini sudah mulai dilaksanakan, tetapi belum optimal menunjukkan kemanfaatan hasilnya. Hal ini terutama karena substansi riset masih dominan ditentukan oleh pihak pengembang teknologi, bukan atas usulan pihak industri. Dalam beberapa kasus, pihak industri hanya diposisikan untuk memenuhi kelengkapan administratif agar dana pemerintah bisa dialirkan ke lembaga riset atau perguruan tinggi. Bentuk riset kolaborasi yang lain tidak dalam bentuk pembiayaan bersama, tetapi dalam bentuk riset yang diawaki oleh personel dari pihak pengembang dan pengguna teknologi serta memanfaatkan fasilitas dan sarana riset yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Akan tetapi yang selalu perlu diperhatikan adalah apapun bentuk atau format riset kolaborasi tersebut, ia akan memberikan kemanfaatan pada publik jika substansi masalah yang diteliti memang merupakan masalah aktual yang dihadapi masyarakat, bukan masalah hipotetik yang diilhami oleh berbagai referensi asing. Regulasi pemerintah dapat pula berupa insentif bagi kedua belah pihak untuk berkolaborasi, misalnya dukungan pembiayaan dari pihak industri untuk kegiatan riset dapat dianggap sebagai bagian dari pembayaran pajak yang menjadi kewajibannya (tax deductible). Upaya ke arah ini sesungguhnya sudah dilakukan pemerintah, yakni dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi.
74
Dalam PP 35/2007 ini dinyatakan bahwa badan usaha yang mengalokasikan pendapatannya untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dapat diberikan insentif [Pasal 6 ayat (1)], dimana insentif tersebut dapat berbentuk insentif perpajakkan, insentif kepabeanan dan/atau bantuan teknis penelitian dan pengembangan [Pasal 6 ayat (2)]. Bentuk regulasi lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah menerapkan SNI bagi seluruh produk barang/jasa di Indonesia sebagai bentuk upaya harmonisasi hubungan antara seluruh stakeholders. SNI telah memenuhi WTO Code of Good Practices, yakni dirumuskan berdasarkan asas keterbukaan (openess), transparansi (transparency), konsensus dan tidak memihak (consensus and impartiality), keefektifan dan relevan (effectiveness dan relevance), koheren (coherence), dan berdimensi pembangunan (development dimension). Dengan demikian, diharapkan tidak hanya bermanfaat bagi kepentingan domestik tetapi juga untuk kepentingan perdagangan global. Rasa bangga dan percaya diri warga negara sebagai sumberdaya manusia penggerak pembangunan yang diimbangi dengan terciptanya lingkungan yang kondusif untuk berusaha, merupakan modal kuat dalam menuju Indonesia yang lebih sejahtera di masa yang akan datang. Jika lintasan (pathway) ini yang ditempuh, dan ditempuh dengan baik, maka tak akan ada lagi keraguan bahwa teknologi domestik akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam pembangunan nasional dan standarisasi akan menyempurnakan sosok SINas Indonesia di masa yang akan datang. Berdasarkan telaah yang telah diuraikan di atas, maka ada beberapa komponen kebijakan yang dibutuhkan untuk mewujudkan SINas Indonesia yang mampu memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan nasional. Strategi untuk pengembangan SINas adalah: (1) Sinkronisasi antara teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi industri, masyarakat, dan pemerintah; (2) Rangsangan untuk tumbuh-kembang industri produsen barang dan/atau jasa yang berbasis teknologi nasional dan sesuai dengan permintaan pasar domestik; (3) Vitalisasi lembaga intermediasi untuk percepatan proses adopsi teknologi nasional oleh industri dalam negeri dan sebaliknya juga arus informasi kebutuhan teknologi kepada pihak pengembang teknologi; dan (4) Dukungan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum untuk memfasilitasi, menstimulasi, dan mengakselerasi interaksi antaraktor utama SINas, serta mendekatkan hubungan dengan kelembagaan pendukung lainnya. Keempat strategi ini jelas terkait satu sama lain. Oleh sebab itu, seluruh strategi harus dilaksanakan secara interaktif dan sinambung. Keberhasilan membangun SINas hanya dapat dicapai jika semua strategi ini dapat dieksekusi dengan baik.
75
4.5. Kontribusi terhadap Pembangunan Nasional Terlepas dari intensitas dan besaran (magnitude) kontribusinya, ilmu pengetahuan dan teknologi akan selalu dibutuhkan dalam pembangunan semua sektor. Dengan demikian isu utamanya bukan terletak pada ada atau tidak adanya peranan teknologi dalam pembangunan nasional, tetapi terletak pada bagaimana cara agar teknologi yang dikembangkan dapat efektif dan efisien dalam mendukung pembangunan nasional di semua sektor. Oleh sebab itu, yang penting dilakukan adalah merancang SINas yang tepat, yakni sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan upaya memberikan solusi atas permasalahan nyata yang dihadapi rakyat. Kemampuan dan kemandirian pengembangan teknologi nasional yang didasarkan atas kebutuhan dan permasalahan nyata menjadi modal dasar implementasi SINas Indonesia. Pengembangan teknologi nasional ini wajib mengutamakan pemberdayaan dan pendayagunaan sumberdaya manusia Indonesia sebagai tenaga penggeraknya, memanfaatkan sumberdaya alam nasional sebagai bahan baku atau tapak operasionalnya (operational site), dan mempertimbangkan secara cermat kapasitas adopsi pengguna teknologi dalam negeri. Teknologi dengan warna Indonesia yang kental ini diyakini akan lebih berpeluang untuk mengalir lancar dari pihak atau lembaga pengembang teknologi ke pihak pengguna teknologi. Keberhasilan SINas ditakar dari kelancaran aliran teknologi (fluidity of technology flow), bukan berdasarkan kecanggihan teknologi yang mampu dikembangkan. Kekeliruan persepsi sangat sering dan umum terjadi dalam konteks penilaian kinerja SINas, yakni menganggap bahwa semakin maju teknologi yang dikuasai maka semakin baik SINas suatu negara.
Terbangunnya Knowledge-based Society. Walaupun sudah cukup lama diwacanakan, tetapi membangun masyarakat berbasis pengetahuan kelihatannya masih akan menempuh perjalanan panjang. Perjalanan panjang tersebut perlu diawali dengan keberhasilan mengembangkan SINas Indonesia yang mampu menyejahterakan rakyat. Pengembangan SINas yang didasarkan atas kebutuhan dan permasalahan nyata perlu didampingkan secara paralel dengan program pendidikan yang juga dirancang untuk menghasilkan sumberdaya manusia berkualitas dan sensitif terhadap permasalahan nyata yang dihadapi bangsa dan kebutuhan pembangunan nasional. Jika kedua hal ini dilakukan secara serasi dan saling mendukung maka cita-cita untuk membangun masyarakat berbasis pengetahuan diyakini dapat terwujud.
Stabilitas Keamanan Nasional. Selain peningkatan kesejahteraan rakyat, indikator utama keberhasilan pengembangan SINas adalah terjaminnya keamanan nasional. Walaupun ukuran kesejahteraan rakyat dan keamanan nasional sama-sama bersifat relatif, tetapi upaya kuantifikasi tingkat
76
kesejahteraan rakyat telah lebih berkembang dan diterima secara luas; sebaliknya ukuran baku tentang tingkat keamanan nasional masih belum banyak dibahas. Keamanan mempunyai dua dimensi yang berbeda, yakni: [1] rasa aman yang lebih bersifat internal, personal, dan sulit dideteksi; dan [2] kondisi aman yang lebih bersifat eksternal, kolektif, dan dapat dideteksi berdasarkan persepsi indera penglihatan dan pendengaran (audio-visual perception). Akan lebih realistis jika indikator keberhasilan implementasi SINas hanya didasarkan atas keamanan dimensi kedua, yakni kondisi aman. Indikator keberhasilan dalam menciptakan kondisi aman antara lain: tidak terjadinya gerakan separatisme di seluruh wilayah NKRI; minimalisasi dampak negatif dari gejolak masyarakat, misalnya dalam bentuk demonstrasi anarkis, yang dapat mengganggu kegiatan produktif; terkendalinya dinamika politik; terjaminnya keberlangsungan proses demokratisasi; dan terjaminnya kondisi yang kondusif untuk berinvestasi.
Peningkatan Kesejahteraan Rakyat. Hasil akhir yang diharapkan dari segala bentuk upaya dalam pengembangan SINas adalah peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam mengevaluasi suatu sistem yang utuh, semua indikator-antara hanya dapat dilihat sebagai titik-titik yang tercerai berai dan ‘diasumsikan’ terhubung satu sama lain oleh garis-garis imajiner yang diyakini sebagai bagian dari sistem tersebut. Asumsi-asumsi tersebut umumnya diuji berdasarkan korelasi antara masing-masing indikator-antara yang dianggap berhubungan. Ilmu statistik merupakan alat yang ‘handy’ untuk pekerjaan ini. Beberapa indikator-antara yang sering digunakan dalam mengevaluasi kehandalan SINas antara lain: jumlah publikasi ilmiah per juta penduduk, jumlah patent yang didaftarkan atau diperoleh (granted), jumlah kerjasama penelitian antara universitas dan industri, jumlah publikasi yang ditulis bersama oleh akademisi dan pelaku industri (co-authored publication), mobilitas sumberdaya manusia antara kelembagaan riset atau universitas dengan industri, besarnya penerimaan universitas atau lembaga riset yang berasal dari royalti, dan persentase penerimaan univesitas yang berasal dari sumber non-pemerintah yang terkait dengan aktivitas dan hasil riset. Semua indikator-antara yang disebutkan di atas sesungguhnya baru melingkupi sisi pengembang teknologi, dengan ekstensi pada kapabilitas lembaga pengembang teknologi tersebut untuk merangkul mitra potensialnya. Nilai-nilai positif atau kecenderungan peningkatan yang ditunjukkan oleh semua indikatorantara belum dapat secara otomatis diekstrapolasikan untuk sampai pada kesimpulan bahwa SINas telah berjalan baik, efektif dan produktif. Sekumpulan indikator-antara lainnya didekati dari sisi pengguna teknologi, subjek survei atau risetnya adalah industri-industri yang bergerak dalam berbagai sektor. Indikator dalam kelompok ini antara lain: alokasi dana oleh industri untuk kegiatan riset internal perusahaan atau untuk mendukung kegiatan riset di universitas dan lembaga riset eksternal, identifikasi sumber informasi yang dianggap penting oleh industri dalam mengembangkan produk komersial,
77
preferensi industri untuk mengembangkan teknologi sendiri atau membeli teknologi yang sudah mapan (established). Indikator-antara yang digunakan baik dari sisi pengembang maupun pengguna teknologi memang telah mengarah pada upaya menakar ‘potensi’ kedua belah pihak untuk berkomunikasi dan berkolaborasi. Walaupun tentunya, interpretasi atas indikator-antara ini harus dilakukan dengan hati-hati. Total Factor Productivity (TFP) telah digunakan beberapa ekonom sebagai proxy untuk menaksir kontribusi teknologi terhadapan pertumbuhan ekonomi. Dasarnya adalah pertumbuhan ekonomi terjadi atas kontribusi dari dua faktor utama, yakni modal dan tenaga kerja, sisanya (residu) merupakan kontribusi faktor bukan modal maupun tenaga kerja yang disimpulkan sebagai kontribusi dari faktor teknologi. Namun demikian, perlu diingat kembali bahwa ukuran kinerja SINas adalah kesejahteraan rakyat, bukan pertumbuhan ekonomi semata, sehingga perlu dilengkapi pula dengan pola distribusi pendapatan. Sebagai suatu sistem, indikator keberhasilan pengembangan SINas menjadi kurang bermakna jika difragmentasi menjadi indikator-indikator antara atau indikator yang bersifat parsial, walaupun secara teknis SINas dapat dibongkar menjadi empat komponen, yakni: pengembangan teknologi, difusi teknologi dari pengembang ke pengguna, adopsi teknologi untuk proses produksi barang dan jasa, dan konsumsi atau penggunaan produk akhir oleh konsumen. Banyak indikator keberhasilan yang dapat digunakan dalam mengevaluasi kinerja pada masing-masing komponen atau tahapan SINas tersebut. Banyak juga kajian SINas yang telah dilakukan menggunakan indikator parsial ini, tetapi hasilnya tidak memuaskan, karena hanya mampu menjelaskan secara ‘segmented’. Pendekatan parsial biasanya hanya mengarah untuk menghasilkan justifikasi bahwa suatu negara sebetulnya sudah melakukan upaya (dan telah ada tandatanda perbaikan) walaupun hasilnya belum memuaskan. Untuk SINas Indonesia, indikator utama keberhasilan pengembangan dan implementasinya hanya dua, yakni peningkatan kesejahteraan rakyat dan terciptanya kondisi keamanan nasional. Indikator lainnya yang dapat ditambahkan adalah tingkat kemandirian bangsa dalam memenuhi kebutuhan teknologi untuk pembangunan perekonomian dan pembangunan hankam. Kemampuan dan tumbuhnya budaya masyarakat untuk mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge-based society) dapat pula digunakan sebagai indikator tambahan untuk mengevaluasi performa SINas Indonesia.
78
Bab 5 Dinamika Lingkungan Strategis 5.1. Dinamika Lingkungan Global Negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah lama memposisikan SINas sebagai strategi penting dalam memajukan perekonomian melalui pemanfaatkan keunggulan teknologi negara masing-masing. Inisiatif pendirian OECD dilakukan oleh beberapa negara Eropah Barat plus Turki dan Amerika Serikat. Namun saat ini, keanggotaan OECD telah bertambah dengan beberapa negara Eropah Timur, Jepang, Korea, Australia, Selandia Baru, dan Meksiko. Pengembangan SINas pada negara-negara OECD dan kajian akademik yang dilakukan oleh kelembagaan OECD telah menjadi referensi penting bagi dunia dalam memperlajari tentang SINas dan kontribuSINasya terhadap pembangunan perekonomian. Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, peranan SINas dalam pembangunan perekonomian sangat ditentukan oleh intensitas dan kualitas interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembang dengan pengguna teknologi, terutama antara universitas atau lembaga riset dengan pelaku industri. Untuk menaksir intensitas interaksi tersebut, dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain dengan mengevaluasi: [1] porsi pendapatan universitas atau lembaga riset yang berasal dari kerjasama dengan industri dalam melakukan riset; [2] jumlah paten dan publikasi bersama antara akademisi dan pelaku industri; [3] jumlah paten universitas atau lembaga riset yang dikomersialisasikan oleh industri; dan [4] timbangan industri terhadap universitas dan lembaga riset sebagai sumber informasi/pengetahuan untuk pengembangan produk inovatif. Hasil survei yang dilakukan di Belanda selama periode 1989-1992 menunjukkan bahwa pendapatan universitas yang berasal dari kerjasama riset dengan pihak industri secara konsisten meningkat, walaupun persentasenya masih relatif rendah, yakni 12.2 persen pada tahun 1989 meningkat menjadi 17,4 persen pada tahun 1992 (Hertog, 1995). Di Indonesia data seperti ini tidak mudah untuk didapatkan, karena banyak kegiatan riset yang dilakukan industri bersama akademisi secara individual, kelompok, atau lembaga intra-universitas yang tidak dicatat sebagai penerimaan resmi universitas. Di Inggris, publikasi ilmiah yang ditulis bersama (co-authored) oleh peneliti universitas atau lembaga riset pemerintah dengan personel yang mewakili institusi bisnis terlihat secara konsisten meningkat antara tahun 1981 sampai 1994 (Hicks and Katz, 1996). Publikasi yang ditulis bersama ini diasumsikan berakar pada hasil kolaborasi riset antara kedua pihak tersebut.
79
Hasil kajian Rosenberg dan Nelson (1994) terkait dengan jumlah paten universitas patut untuk disimak, karena ternyata bukan hanya perguruan tinggi dan lembaga riset di negara yang belum maju teknologinya saja yang ‘malas’ mendaftarkan paten, tetapi juga terjadi pada universitas di negara yang maju, seperti Amerika Serikat. Persentase paten universitas di Amerika Serikat secara relatif juga rendah, yakni hanya berkisar antara 0,7 persen untuk bidang komunikasi sampai 18,1 persen untuk bidang rekayasa genetika. Porsi paten yang lebih besar berasal dari industri atau pihak non-universitas lainnya. Walaupun persentasenya rendah, tapi jumlah aktualnya tentu tetap jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah paten universitas dan lembaga riset di Indonesia. Hasil survei yang dilakukan oleh The Maastricht Economic Research Institute on Innovation and Technology (MERIT) memberikan gambaran tentang bagaimana pihak industri di negara-negara Eropah menilai peran universitas atau kelembagaan riset pemerintah. Kelembagaan riset pemerintah (termasuk universitas) dianggap penting oleh mayoritas (>50%) pelaku industri untuk bidang fasilitas layanan publik (utilities) dan farmaseutikal, tetapi sebaliknya mayoritas pelaku industri menganggap peranannya kurang penting untuk bidang-bidang lainnya, termasuk logam olahan (fabricated metals), plastik, telekomunikasi, perminyakan, permesinan, bahan kimia, komputer, logam dasar, elektronik, instrumen, otomotif, pangan, dan kedirgantaraan (aerospace). MERIT telah mengembangkan database kesepakatan kerjasama dan indikator teknologi (Co-operative Agreements and Technology Indicators, disingkat CATI) yang mencakup hampir 13.000 kesepakatan kerjasama yang melibatkan lebih dari 6.000 perusahaan (OECD, 1997). Data yang terkumpul selama periode 1980-1994 dalam studi ini menunjukkan bahwa kerjasama teknis untuk bidang-bidang tertentu (bioteknologi, teknologi informasi dan komunikasi, dan teknologi material baru) meningkat di Amerika Serikat, tetapi di Jepang dan Eropah kerjasama serupa tidak menunjukkan perubahan yang berarti (Haagedoorn, 1996). Di Jepang ternyata kerjasama informal antar-kelembagaan bisnis berperan penting dalam keberhasilan pengembangan teknologi. Kolaborasi antar-lembaga bisnis memberikan sumbangan terhadap kinerja inovatif perusahaan di Norwegia dan Finlandia, dimana produk baru yang dihasilkan dari kolaborasi mampu meningkatkan penjualan. Kajian yang sama di Jerman, juga menunjukkan bahwa kolaborasi antar-perusahaan mampu meningkatkan penjualan untuk hampir semua produk yang dihasil melalui kolaborasi tersebut. Kerjasama terbukti mampu meningkatkan kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengadopsi teknologi yang bermanfaat (OECD, 1997). Malerba (1996) menganalisis 13 sumber informasi yang dianggap relevan untuk SINas. Sumber informasi tersebut dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yakni: [1] sumber informasi dari dalam kelembagaan bisnis sendiri; [2] bersumber dari pasar, termasuk konsumen, pemasok bahan baku atau komponen, dan konsultan; [3] lembaga riset pemerintah dan universitas; dan [4] sumber informasi umum seperti konferensi, pertemuan bisnis, pameran, informasi paten.
80
Data yang digunakan oleh Malerba (1996) berasal dari hasil Community Innovation Survey (CIS) antara 1991 sampai 1993 yang dilaksanakan atas inisiatif bersama Komisi Eropah dan Eurostat terhadap 40.000 industri manufaktur di Eropah. Hasil analisis menunjukkan bahwa sumber informasi yang paling penting ternyata berasal dari pelanggan/konsumen dan sumber internal perusahaan; sedangkan informasi yang dianggap tidak penting adalah berasal dari lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi. Hasil ini bertentangan dengan anggapan yang umumnya dianut banyak pihak di Indonesia bahwa perguruan tinggi dan lembaga riset sebagai motor penggerak utama untuk tumbuh dan berkembangnya SINas. Fakta ini menjadi tantangan yang sangat serius bagi komunitas akademik dan peneliti Indonesia untuk melakukan reorientasi prioritas risetnya agar tidak semakin terkucil dari skenario global pengembangan SINas. Pergeseran yang wajib dilakukan adalah menambah porsi goal-oriented atau demand-driven research dalam grand scenario pengembangan riset dan teknologi. Selain itu, komunitas akademik dan peneliti Indonesia tidak dapat lagi mengabaikan ancaman penjajahan teknologi asing dalam bentuk banjir produk barang dan jasa impor yang melanda pasar domestik dan invasi Multi National Company (MNC), baik secara langsung maupun dalam bentuk produknya. Kehadiran MNC dapat menjadi ancaman bagi upaya pengembangan teknologi nasional jika tidak dibangun hubungan yang sinergis mutualistik dengan MNC tersebut; sebaliknya bisa menjadi sumber spillover teknologi. Tantangan dan ancaman ini perlu dijawab dan/atau ditangkal dengan mewujudkan SINas Indonesia yang handal, berbasis sumberdaya nasional, digerakkan dengan motor teknologi domestik, dan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Kemandirian teknologi merupakan kunci utama dalam menghadapi tantangan dan ancaman tersebut.
5.2. Dinamika Lingkungan Regional Dinamika lingkungan strategis pada tingkat dunia tentu akan mempengaruhi perkembangan SINas di Indonesia, sehingga perlu mendapat perhatian, paling tidak untuk referensi. Namun demikian, berdasarkan kedekatan posisi geografis dan intensitas hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik, maka dinamika lingkungan strategis pada tingkat regional Asia Tenggara (ASEAN) perlu mendapat perhatian yang lebih intensif. Dalam konteks kemajuan SINAS saat ini, negara-negara ASEAN kelihatannya terdiri dari tiga lapisan: Singapura berada pada lapisan atas, Malaysia dan Thailand pada lapisan tengah; sedangkan Indonesia, Vietnam, Filipina, dan negara-negara ASEAN lainnya berada pada lapisan bawah. Posisi Indonesia tersebut didasarkan atas beberapa indikator hasil analisis yang dilakukan oleh berbagai lembaga internasional (Tabel 6).
81
Tabel 6. Potensi pengembangan Sistem Inovasi Nasional Indonesia berdasarkan beberapa indikator akademik dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura Indikator
Indonesia
Malaysia
Thailand
Singapura
Peringkat HDI, 2007/08
107
63
78
-
Angka Partisipasi Kasar, 2007
17,3
32,5
42,7
-
Peringkat Daya Saing, 2007
54
21
28
7
Indeks Daya Serap Teknologi, 2003
4,5
5,8
5,3
6,0
Indeks Kerjasama Riset, 2003
2,8
4,9
4,2
-
Paten USPTO, 2001/05
16,6
74,4
41,6
409,4
Publikasi Ilmiah, 2003
178
520
1072
3122
Sumber: Peringkat Human Development Index (HDI) dari Laporan UNDP (Hasta, 2009); Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan dari Depdiknas (Lakitan, 2008d); Peringkat Daya Saing dari Laporan World Economic Forum (Suhardi, 2009); Indeks Daya Serap Teknologi, Indeks Kerjasama Riset (Warsono, 2009), Paten USPTO, dan publikasi ilmiah dari Laporan World Bank (Suhardi, 2009).
Struktur perekonomian negara-negara ASEAN secara umum relatif sama, kecuali Singapura. Negara ASEAN umumnya masih mengandalkan sektor pertanian komoditas hasil eksploitasi kekayaan alamnya. Untuk kondisi saat ini, Singapura yang lebih maju di sektor perdagangan, industri pengolahan, dan industri jasa keuangan, tetap menjadi mitra yang komplementer untuk membangun perekonomian nasional. Tentu perlu upaya yang lebih serius agar ketergantungan pada negara tetangga ini dapat dikurangi agar posisi Indonesia lebih kompetitif. Negara-negara ASEAN lainnya dapat menjadi kompetitor dan sekaligus mitra strategis yang potensial. Hal ini sangat tergantung pada kemampuan Indonesia dalam mewujudkan SINas yang sesuai harapan. Jika Indonesia mampu mengembangkan industri barang dan jasa berbasis teknologi nasional yang kompetitif, maka Indonesia dapat menjadi pemasok barang dan jasa serta sekaligus memanfaatkan bahan baku yang dihasilkan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN.
82
Kemajuan SINas suatu negara dapat ditaksir berdasarkan beberapa indikator, antara lain Indeks Pembangunan Manusia (HDI), Angka Partisipasi Kasar (APK) pada jenjang pendidikan tinggi, Indeks Daya Saing Global, Indeks Daya Serap Teknologi, Indeks Kerjasama Riset, Paten Terdaftar, dan Jumlah Publikasi Ilmiah (Tabel 6). Kualitas sumberdaya manusia yang secara umum masih belum kompetitif, aliran teknologi antara pengembang dan pengguna yang masih tersendat, serta kendala non-teknologi lainnya yang juga masih perlu diatasi, secara menyeluruh melengkapi gambaran tentang postur SINas Indonesia yang masih jauh dari memuaskan. Untuk kawasan ASEAN pun masih perlu perjuangan keras agar dapat menjadi yang terdepan.
5.3. Dinamika Lingkungan Nasional Saat ini kontribusi teknologi pada tingkat nasional masih belum optimal, mungkin juga bisa dianggap masih berada pada posisi yang sangat minimal. Hal ini sangat erat terkait dengan belum terjadinya aliran teknologi yang signifikan dari pihak pengembangan teknologi ke pihak pengguna teknologi. SINas belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Berbagai alasan dan argumen yang menyertainya telah dijabarkan pada Bab 3. Selanjutnya aspek yang akan ditelaah lebih mendalam pada Bab ini adalah interaksinya dengan dinamika lingkungan strategis yang sedang berkembang saat ini dan kecenderungan perubahan lingkungan strategis tersebut di masa yang akan datang. Perubahan lingkungan strategis di masa depan akan direka berdasarkan dua ekstrim skenario, yakni skenario ‘business-as-usual’, melanjutkan kecederungan yang sedang terjadi saat ini dengan tanpa upaya mendorong perubahan ke arah yang diinginkan, dan skenario dengan upaya percepatan perubahan ke arah yang lebih kondusif untuk berkembangnya SINas. Berdasarkan kondisi saat ini, Bank Indonesia dalam Laporan Perekonomian 2006, menghitung kontribusi iptek terhadap pertumbuhan ekonomi menggunakan proxy indikator Total Factor Productivity (TFP) dan mendapatkan bahwa TFP Indonesia hanya sebesar 1,38 persen. Artinya sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini masih didominasi faktor di luar teknologi, yakni modal dan tenaga kerja (Firdausy, 2009a; Kadiman, 2009). Selanjutnya Firdausy (2009b) menyebutkan bahwa kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia paling tinggi terjadi pada periode 1991-1995, dengan TFP sebesar 4 persen. Jika kecenderungan yang telah berlangsung sekitar setengah abad ini dibiarkan berlanjut tanpa upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan reorientasi kebijakan pengembangan teknologi dan industri, maka pertumbuhan perekonomian Indonesia tidak akan pernah membaik, malah sangat mungkin untuk semakin terpuruk. Salah satu modal utama pembangunan Indonesia sampai saat ini adalah berasal dari kekayaan sumberdaya alam yang bersifat takterbarukan (non-renewable resources), yang tentunya suatu saat akan habis terkuras.
83
Tanpa melakukan upaya mendorong agar teknologi domestik lebih sesuai untuk menjawab permasalah dan kebutuhan pembangunan ekonomi nasional dan tanpa upaya mendorong industri untuk lebih memprioritaskan penggunaan teknologi domestik dan memproduksi barang dan jasa sesuai kebutuhan pasar domestik, maka cita-cita untuk menumbuhkan ekonomi berbasis pengetahuan (knoledgebased economy) tidak akan pernah terwujud. Pengetahuan hanya bisa ditranslasi menjadi pertumbuhan ekonomi jika ia terlebih dahulu mampu menghasilkan teknologi yang dibutuhkan pengguna teknologi untuk menghasilkan barang dan/atau jasa yang dibutuhkan. Agaknya tidak berlebihan atau terkesan pesimistik jika disimpulkan bahwa SINas tidak akan tumbuh berkembang jika tidak terjadi perubahan lingkungan strategis yang mengarah kepada terwujudnya ekosistem yang lebih kondusif untuk tumbuhkembang SINas. Skenario business-as-usual jelas tidak akan mampu mendukung pengembangan SINAS. Hanya dengan melakukan perubahan secara agresif-dan-terarah (agressive and well-directed) terhadap lingkungan strategis, pengembangan SINas dapat diharapkan akan terjadi dan kontribusi teknologi terhadap pembangunan perekonomian dapat ditingkatkan. Perubahan lingkungan strategis ke arah yang lebih kondusif ini perlu dimulai dari ketetapan hati semua unsur pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) yang kemudian dituangkan dalam bentuk regulasi yang mengikat semua pihak untuk mematuhi dan berperan aktif dalam implementasinya. Perubahan lingkungan strategis tersebut, termasuk: (1) Mengubah orientasi pendidikan nasional yang diterapkan melalui kurikulum pendidikan untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap permasalahan dan kebutuhan pembangunan nasional. Relevansi dan mutu pendidikan harus menjadi tujuan utama penyelenggaraan pendidikan pada semua strata; (2) Perlu menggeser paradigma ‘ekploitasi’ kekayaan sumberdaya alam sebagai cara cepat-dan-mudah untuk meningkatkan pendapatan negara (orientasi jangka pendek), menjadi ‘pengelolaan’ sumberdaya alam yang lebih efisien dan akrab lingkungan, sehingga dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan ekonomi dan ekologi yang lebih maksimal (orientasi jangka panjang); (3) Mengubah citra produk nasional di mata konsumen dalam negeri, dengan
cara meningkatkan kualitas barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri (Made in Indonesia) yang dibarengi dengan harga yang lebih kompetitif. Keteladanan tokoh pemerintahan dan masyarakat dalam mendorong kecintaan dan kebanggaan atas produk nasional merupakan salah satu cara yang diyakini efektif; dan
84
(4) Menerbitkan regulasi yang lebih ‘favorable’ untuk pengembangan teknologi
nasional dan untuk mendukung peningkatan market share produk nasional di pasar domestik. Pada tahun 2011 ini terjadi perkembangan yang positif, yakni dengan diluncurkannya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang diposisikan sebagai rencana pembangunan perekonomian yang bersifat ‘Business as Not Usual’. Semangat perubahan pendekatan pembangunan perekonomian tersebut tercermin dari: [1] MP3EI mengedepankan terobosan kebijakan dan strategi, dimana titik berat pendekatan terletak pada solusi, bukan pada masalah yang dihadapi; [2] MP3EI menitikberatkan pada percepatan transformasi ekonomi melalui peningkatan nilai tambah (value added), mendorong investasi, mengintegrasikan sektor dan regional, serta memfasilitasi percepatan investasi swasta sesuai kebutuhannya; dan [3] MP3EI mengakomodir masukan dan pendapat dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha dan pemerintah daerah. Tiga strategi utama pelaksanaan MP3EI adalah: [1] pengembangan potensi ekonomi pada enam koridor pembangunan, dengan cara mendorong investasi BUMN, swasta nasional, dan Foreign Direct Investment (FDI) pada 22 kegiatan ekonomi utama; [2] memperkuat konektivitas nasional melalui sinkronisasi rencana aksi untuk revitalisasi kinerja sektor riil; dan [3] pengembangan center of excellence di setiap koridor ekonomi, yang didorong melalui pengembangan SDM dan iptek yang sesuai untuk peningkatan daya saing. Untuk melaksanakan MP3EI tersebut, telah pula dibentuk Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) berdasarkan Peraturan Presiden R.I. Nomor 32 Tahun 2011 (Perpres 32/2011). Dalam struktur KP3EI ini terdapat tiga Kelompok Kerja, yakni: [1] Pokja Sinkronisasi dan Perbaikan Regulasi, [2] Pokja Percepatan Pembangunan Infrastruktur, dan [3] Pokja SDM dan Iptek. Keberadaan Pokja SDM dan Iptek ini membuka peluang bagi Kementerian Riset dan Teknologi untuk secara lebih signifikan untuk berkontribusi terhadap pembangunan perekonomian Indonesia. Secara teknis operasional, ini berarti pengembangan SINas Indonesia mendapat pijakan yang lebih mantap.
85
Bab 6 Konsepsi SINas Indonesia Sangat mudah sebetulnya untuk menyatakan bahwa SINas yang diharapkan adalah SINas yang secara nyata memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan perekonomian nasional dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Rasanya tidak akan banyak yang akan menyanggah pernyataan ini. Namun persoalannya adalah bagaimana cara untuk mewujudkannya di Indonesia? Banyak negara di dunia, terutama negara-negara maju yang tergabung dalam OECD, yang telah mempublikasikan tentang konsepsi SINas-nya masing-masing. Silau oleh keberhasilan negara-negara tertentu, maka sangat sering terjadi upaya untuk mengadopsi secara langsung konsepsi SINas di negara yang secara ekonomi berhasil tersebut untuk diterapkan di Indonesia. Kadang dengan mengabaikan fakta bahwa ada perbedaan yang tajam antara negara yang dicontoh dengan realita di Indonesia. Pejabat negara dan kadang juga akademisi yang (dianggap) pakar di bidang SINas juga ikut melakukan upaya adopsi langsung ini tanpa melakukan analisis yang mendalam tentang mengapa SINas tersebut berhasil memajukan perekonomian di negara asalnya. Kalaupun dilakukan analisis, maka sering SINas dianalisis secara terisolir, tercerabut dari ekosistem dimana SINas tersebut mampu unjuk kinerja dengan sangat baik. SINas tidak hanya merupakan sekumpulan aktor. Sekumpulan aktor SINas yang hebat, baik yang berperan sebagai pengembang maupun pengguna teknologi yang dimiliki suatu negara, belum menjamin bahwa negara yang bersangkutan akan secara otomatis memiliki SINas yang produktif dan berkelanjutan. Kehandalan SINas sebagai sebuah sistem lebih ditentukan oleh intensitas dan efektivitas interaksi antara aktor-aktor utamanya, dukungan dari berbagai aktor pendukungnya, dan kondusivitas ekosistem tempat tumbuh-kembangnya. Secara praktis, kehandalan SINas sesungguhnya ditentukan oleh kelancaran aliran informasi kebutuhan (demand) dari para aktor pengguna ke pengembang teknologi, yang diimbangi dengan kelancaran pasokan teknologi yang relevan dari aktor pengembang ke pengguna teknologi. Secara komprehensif, SINas merupakan sistem yang kompleks. Walaupun untuk simplifikasi dalam analisisnya unsur-unsur SINas dapat diurai lepas satu per satu, namun analisis hanya akan sahih jika masing-masing unsurnya tersebut selalu dilihat dari perpektif keterkaitannya dengan unsur SINas lainnya. Alur keterkaitan SINas dengan komponen pembentuk ekosistemnya dapat dilihat pada Gambar 6.
86
Sumberdaya Alam Sumberdaya Manusia
PERAN POKOK PEMERINTAH Memformulasikan kebijakan pendukung SINas berbasis pada Potensi Sumberdaya Ekonomi dan Potensi Sosio-Kultural dalam rangka penyiapan “Panggung SINas”, terutama kebijakan: Perekonomian makro, keuangan, dan perpajakan Perindustrian dan Perdagangan Riset dan Pengembangan Teknologi Ketenagakerjaan Pendidikan Nasional Infrastruktur Sosial Tata Kepemerintahan
PENGEMBANG TEKNOLOGI Perguruan Tinggi Lembaga R&D Pemerintah Lembaga R&D Swasta
PENGGUNA TEKNOLOGI Industri / Bisnis Masyarakat Pemerintah LEMBAGA INTERMEDIA
PASAR DomesBarang/Jtik Permintaan
POTENSI SUMBERDAYA EKONOMI [Tangible Factors]
Global
PANGGUNG SINAS Fasiltas Komunikasi & Interaksi Regulasi yang Kondusif Dukungan & Insentif Finansial
POTENSI SOSIOKULTURAL [Intangible Factors] Ideologi Politik Tata Kepemerintahan Budaya Kerja
Gambar 6. Peran Pemerintah dalam menyiapkan ‘panggung’ Sistem Inovasi Indonesia
Upaya mewujudkan SINas yang efektif dan produktif dalam mendukung pembangunan perekonomian membutuhkan peranan pemerintah dalam menciptakan ekosistem yang kondusif bagi tumbuh kembang SINas tersebut. Tugas pokok pemerintah adalah menyiapkan ‘panggung’ untuk SINas agar para aktor SINas secara nyaman dapat memainkan peranannya masing-masing. Panggung SINas sebagai konsepsi dapat diaktualisasikan dalam bentuk: [1] fasilitas untuk para aktor berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif, [2] regulasi yang memungkinkan para aktor untuk memformulasikan dan mengimplementasikan upaya bersama dalam meningkatkan produktivitas, dan [3] dukungan dan/atau insentif finansial yang menjadi perangsang bagi para aktor untuk bersama-sama membangun SINas. Panggung SINas yang ideal tidak mungkin dapat disiapkan oleh pemerintah tanpa didahului dengan formulasi kebijakan sektor-sektor pendukung SINas yang tepat. Kebijakan yang terkait secara langsung dan diyakini akan sangat berpengaruh terhadap kinerja SINas adalah kebijakan ekonomi makro, keuangan, dan perpajakan; kebijakan perindustrian dan perdagangan; kebijakan riset dan pengembangan teknologi; kebijakan ketenagakerjaan; kebijakan pendidikan nasional; kebijakan penyediaan infrastruktur sosial; dan kebijakan dalam rangka mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governance). Kebijakan tersebut selain harus selaras dengan upaya mewujudkan SINas, juga harus berbasis pada potensi sumberdaya ekonomi dan potensi sosial budaya yang dimiliki Indonesia. Kebijakan yang tidak mengakar pada potensi dan kondisi sendiri akan lebih susah untuk secara efektif diimplementasikan. Dengan demikian tugas pokok pemerintah yang paling krusial adalah mensinkronisasikan antara potensi ekonomi dan non-ekonomi yang dimiliki Indonesia dalam rangka menyiapkan panggung SINas yang ‘nyaman’ bagi para aktor untuk unjuk kinerja melalui kebijakan dan regulasi yang kondusif. Kinerja aktor-aktor SINas pada akhirnya akan terindikasi dari kemampuan nasional dalam memenuhi permintaan pasar (utamanya pasar domestik), baik berupa barang maupun jasa. Oleh sebab itu, peran pemerintah tidak hanya
87
penting dalam rangka menyiapkan ‘panggung’ SINas, tetapi juga penting perannya dalam mengawal agar pengembangan teknologi dan aplikasinya oleh industri (sebagai pihak penggunanya) lebih berorientasi pada pemenuhan permintaan pasar domestik.38
6.1. Membangun Inovasi sebagai Sistem Sebagai sebuah sistem, maka SINas tidak dapat dipandang hanya sebagai kumpulan dari lembaga, tetapi yang lebih penting adalah terjadinya aliran informasi dan produk iptek yang lancar antar-lembaga. Keberadaan aktor atau kelembagaan pengembang dan pengguna teknologi, serta upaya fasilitasi, intermediasi, dan regulasi pemerintah belum menjamin bahwa sistem inovasi sudah terbangun atau pasti akan berjalan. Pada saat ini sesungguhnya para aktor dan lembaga-lembaga tersebut sudah lama ada, tetapi interaksi dan komunikasinya yang belum secara intensif dan produktif terjadi. Ini yang menjadi persoalan pokok saat ini. Pengembang teknologi (termasuk perguruan tinggi) melakukan kegiatan riset tanpa mempertimbangkan relevansinya dengan kebutuhan pengguna; sebaliknya pengguna teknologi belum mau mengadopsi teknologi dalam negeri karena berbagai alasan, antara lain karena tidak relevan dengan kebutuhan, belum cukup handal secara teknis, tidak sesuai dengan kapasitas adopsi pengguna, dan/atau belum kompetitif secara ekonomi. Untuk memperbesar peluang terwujudnya sistem inovasi, maka para pengguna teknologi harus terbuka untuk berbagi informasi tentang kebutuhan teknologi dan persoalan nyata yang dihadapi; sebaliknya juga pihak pengembang teknologi harus peka terhadap kebutuhan dan persoalan nyata yang berkembang dan umumnya bersifat dinamis. Teknologi yang dikembangkan selain harus relevan dengan kebutuhan pengguna, juga harus sesuai dengan kapasitas adopsi pengguna potensialnya, baik kapasitas adopsinya secara teknis, ekonomi, dan sosiokultural (Gambar 7).
38
Sesuai dengan arahan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, pada beberapa kesempatan. Berbagai negara, juga melihat populasi Indonesia yang besar, lebih dari 237 juta jiwa (BPS, 2010) juga merupakan pasar yang sangat potensial.
88
Gambar 7. Konsepsi Dasar Sistem Inovasi Nasional (Lakitan, 2010)
Dalam konteks SINas, maka mutlak perlu terjadi aliran informasi kebutuhan iptek dan persoalan nyata yang membutuhkan solusi iptek dari pihak pengguna ke pihak pengembang iptek. Prasyarat agar aliran ini terjadi adalah [1] keterbukaan atau keinginan dari pihak pengguna untuk berbagi informasi dan [2] sensitivitas pihak pengembang iptek dalam menangkap sinyal kebutuhan teknologi dan persoalan nyata yang dihadapi pihak pengguna iptek. Keyakinan pihak pengguna atas kapasitas lembaga pengembang iptek dalam menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang sesuai kebutuhan, handal secara teknis, dan kompetitif secara ekonomi akan menjadi pemicu terjadinya aliran informasi dimaksud. Jika saat ini aliran tersebut masih tersendat, maka adalah bijak jika kedua belah pihak melakukan swa-evaluasi (self assessment), mencermati tentang apa yang perlu dibenahi di wilayah peran masing-masing. Lembaga litbang dan lembaga pengguna teknologi perlu melakukan pembenahan. Lembaga litbang sebagai pengembang iptek perlu: [1] mengevaluasi kembali tentang kesesuaian orientasi pengembangan iptek dengan kebutuhan rakyat dan negara (isu relevansi riset); dan [2] meningkatkan pemaham tentang kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi rakyat dan negara (isu sensitivitas pelaku pengembang iptek); sebaliknya lembaga pengguna teknologi perlu meningkatkan kapasitas adopsinya dan kesediaannya dalam berbagi informasi kebutuhan dan persoalan terkait dengan teknologi. Perlu selalu diyakini bahwa iptek hanya akan berkontribusi terhadap pembangunan nasional, jika dan hanya jika iptek tersebut digunakan dan nyata bermanfaat, baik manfaat ekonomi maupun non-ekonomi. Prasyarat agar aliran teknologi ini terjadi adalah: [1] teknologi yang dikembangkan dan ditawarkan oleh lembaga litbang relevan dengan kebutuhan pengguna; [2] teknologi yang ditawarkan sepadan dengan kapasitas adopsi (calon) pengguna potensialnya; dan
89
[3] penggunaan iptek tersebut mempunyai prospek keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan iptek serupa yang sudah tersedia. Pada fase awal (seperti kondisi saat ini), menggerakkan aliran dua-arah ini akan membutuhkan daya yang besar dan upaya yang intensif. Oleh sebab itu, butuh peran dan komitmen yang sungguh-sungguh dari aktor ketiga dalam SINas, yakni Pemerintah. Pemerintah diharapkan dapat memainkan peran sebagai fasilitator, intermediator, dan regulator agar suasana yang kondusif dapat diwujudkan, agar pengguna dan pengembang iptek terangsang untuk mengintensifkan komunikasi dan interaksinya. Secara hakiki, sistem inovasi hanya akan terwujud jika terjadi komunikasi dan interaksi antara aktor atau lembaga pengembang dengan pengguna teknologi, terbukti dengan adanya aliran informasi kebutuhan teknologi dan informasi tentang persoalan nyata yang dihadapi oleh pihak pengguna dalam melakukan proses produksi barang dan/atau jasa sesuai dengan permintaan konsumen, serta sebaliknya juga terjadi adopsi teknologi yang dihasilkan oleh pihak pengembang oleh pihak pengguna. Kesinambungan aliran dua arah ini yang menjadi indikator eksistensi sistem inovasi, pada jenjang nasional, daerah, maupun kawasan ekonomi tertentu.
6.2. Revitalisai Lembaga Pengembang Teknologi Pada saat ini, ada tiga kapasitas yang sangat mendasar yang perlu dimiliki oleh setiap lembaga pengembang teknologi, yakni: [1] kapasitas untuk menyerap iptek yang berasal dari luar (sourcing capacity); [2] kapasitas untuk melakukan riset dan pengembangan iptek (R&D capacity); dan [3] kapasitas untuk mendiseminasikan pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan (disseminating capacity)(Gambar 8). Kapasitas ‘outsourcing’ lembaga pengembang teknologi terindikasi antara lain dari aksesibilitas ke berbagai sumber informasi iptek, tidak terjadi tumpang tindih riset yang dilakukan dengan riset yang (telah) dilakukan di tempat lain, dan efisiensi penggunaan sumberdaya dalam menghasilkan iptek yang bermanfaat. Kapasitas riset dan pengembangan tercermin dari kualitas riset dan iptek yang dihasilkan, relevansi teknologi yang dihasilkan dengan kebutuhan nyata para pengguna, dan produktivitas lembaga dalam menghasilkan teknologi per satuan sumberdaya dan/atau biaya yang dikelola. Sedangkan kapasitas diseminasi terlihat dari intensitas dan jangkauan publikasi kegiatan riset yang dilakukan dan iptek yang dihasilkan baik melalui media cetak maupun elektronik, kuantitas dan kualitas iptek yang diadopsi oleh pihak pengguna, dan royalti yang diterima oleh lembaga atas produk teknologinya yang berhasil dikomersialisasikan. Contoh indikator kinerja lembaga litbang berbasis pada tiga kapasitas pokoknya, disajikan pada Tabel 7.
90
Gambar 8. Tiga kapasitas yang harus dimilik lembaga litbang (Lakitan, 2011a)
Tabel 7. Tiga kapasitas lembaga litbang dan contoh indikator kinerjanya Kapasitas Pokok Kapasitas Outsourcing
Kapasitas Litbang
Kapasitas Diseminasi
• • • • • • • • • • •
Contoh Indikator Kinerja Akses ke sumber informasi iptek Tidak terjadi tumpang tindih dan replikasi riset Efisiensi pemanfaatan sumberdaya Jaringan kemitraan Kualitas hasil litbang Relevansi dengan kebutuhan/persoalan nyata Produktivitas kelembagaan Situs dan frekuensi pemutakhiran informasi Publikasi ilmiah Hasil riset yang dimanfaatkan pengguna Royalti yang diterima
Pada era inovasi terbuka, ketiga jenis kapasitas ini perlu secara paralel dikembangkan dalam sebuah sistem yang terintegrasi. Strategi revitalisasi lembaga pengembang teknologi perlu dikemas secara komprehensif dan integratif, tidak secara partial maupun tersegmentasi. Ukuran keberhasilan dan pilihan indikator yang digunakan dalam melakukan evaluasi kinerja lembaga pengembang teknologi perlu dikonstruksi secara cermat. Peringatan dari
91
Loikkanen et al. (2009) perlu mendapat perhatian: “Although useful in benchmarking of country performances, S&T indicators, if poorly constructed, can convey misleading policy messages”. Indikator kinerja yang dikembangkan dan telah digunakan oleh lembaga internasional dengan reputasi baik serta telah diadopsi oleh berbagai negara, dapat dijadikan sebagai referensi, tetapi tetap perlu dicermati karena tidak secara otomatis menjamin bahwa indikator tersebut merupakan indikator yang paling pas untuk kondisi dan kepentingan Indonesia saat ini. Terkait dengan penggunaan indikator ini, sangat bijaksana nasehat yang dikemukakan oleh seorang tokoh inovasi dunia yang berkerja puluhan tahun untuk lembaga internasional ternama dalam mengembangkan indikator ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi (STI) berikut ini: “On the basis of 40 years of indicators work, we argue that frontiers and characteristics of STI indicators that were important last century may no longer be so relevant today and indeed may even be positively misleading” (Freeman and Soete, 2009). Peringatan dan nasehat seperti ini perlu secara serius diperhatikan oleh para pengelola lembaga pengembang teknologi di Indonesia, karena kasus ‘abuse’ indikator STI (dan data statistik lainnya) bukan merupakan kejadian langka di Indonesia. Cara yang bijak adalah pahami secara komprehensif dan mendalam tentang lembaga pengembang teknologi Indonesia saat ini dan ekspektasi peran lembaga ini yang ideal di masa yang akan datang, baru kemudian memilih indikator yang pas untuk mengevaluasi kemajuan yang dicapai secara berkala dengan interval waktu yang rasional, sepanjang kurun waktu yang dibutuhkan untuk proses transformasi dari kondisi saat ini menjadi lembaga ideal yang diharapkan. Revitalisasi lembaga pengembang teknologi diyakini akan menempuh tiga langkah penting, yakni: [1] merumuskan kembali tujuan dan menetapkan sasaran yang ingin dicapai; [2] melakukan reformasi struktural agar organisasi lembaga dapat menjadi kendaraan yang efektif untuk mencapai tujuan; dan [3] mengubah mindset dan budaya kerja komunitas pengembang teknologi. Lembaga pengembang teknologi di Indonesia juga perlu melakukan reformasi, agar transfer/difusi iptek dapat berjalan lebih lancar. Jika langkah pertama dan kedua di atas diyakini relatif tidak sulit untuk dilakukan, maka langkah ketiga, yakni mengubah mindset dan budaya kerja individu peneliti dan komunitas pengembang litbang, akan menjadi tantangan dan ujian yang paling sulit tetapi mutlak harus dilakukan. Keberhasilan pada dua langkah pertama akan sia-sia jika langkah ketiga ini tidak berhasil dilaksanakan. Boardman (2009) mengirimkan sinyal tentang tantangan yang sulit ini: [There is] a fundamental management task of aligning individual behaviors with [research] center goals and objectives. Apalagi individu-individu dalam komunitas pengembang teknologi selama ini terbiasa dan lebih nyaman berkerja secara individual dibandingkan sebagai bagian dari kelompok atau komunitas yang lebih besar.
92
Lembaga pengembang teknologi saat ini sudah menjadi bagian integral dari sistem yang lebih besar, yakni SINas. Oleh sebab itu, visi dan misi, serta tujuan dan sasarannya perlu disesuaikan. Rencana strategis dan rencana aksi lembaga perlu ditinjau ulang. Kegiatan riset yang hanya untuk pemuasan hasrat akademik semata, atau yang hanya bersifat sebagai academic exercise, perlu digeser prioritasnya untuk mendahulukan kegiatan riset untuk menghasilkan iptek yang sesuai kebutuhan nyata. Pembiayaan kegiatan pengembangan teknologi sudah saatnya diperlakukan sebagai bagian dari investasi. Maknanya kegiatan pengembangan teknologi dalam jangka panjang harus memberikan keuntungan yang sebanding dengan pembiayaannya. Keuntungan yang dimaksud tidak selalu dalam bentuk keuntungan ekonomi, tetapi dapat dalam bentuk non-ekonomi, misalnya penyelenggaraan pemerintahan yang lebih bersih, turunnya tingkat kriminalitas atau tumbuhnya rasa aman, meningkatnya rasa bangga sebagai warga negara, kerukunan umat beragama, dan bentuk keuntungan sosial dan spiritual lainnya . Namun demikian, sejak awal kegiatan pengembangan teknologi harus punya orientasi yang jelas, yakni untuk menghasilkan iptek yang bermanfaat bagi umat maupun negara. Perspektif ini yang menjadi ruh pengembangan teknologi berbasis realita kebutuhan (demand-driven). Kecenderungan global saat ini sangat kentara mengarah pada pengembangan teknologi berbasis kebutuhan, walaupun banyak ragam istilah yang digunakan, misalnya market-driven, goal-oriented research, mission-driven, issue-driven, need-driven, evidence-based, atau challenge-driven. Ragam istilah pendekatan pengembangan teknologi ini pada esensinya adalah kurang-lebih sama. 6.3. Peningkatan Kapasitas Adopsi Lembaga Pengguna Teknologi Konsepsi peningkatan kapasitas adopsi teknologi lembaga pengguna hanya akan berpeluang untuk diterapkan jika dibangun berdasarkan realita posisi saat ini, kemudian dilengkapi dengan pemahaman yang tepat tentang akar persoalan yang menyebabkan lembaga pengguna teknologi Indonesia berada pada posisi saat ini. Untuk itu perlu kejelian dalam mengidentifikasi akar persoalan (fundamental problems), agar tidak terkecoh oleh gejala simptomatis (symptomatical problems) yang mungkin tertangkap pada kesan pertama. Jika konsepsi hanya menyentuh persoalan simptomatis, maka konsepsi tersebut tidak akan mampu menjadi solusi mendasar bagi upaya meningkatkan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi sebagaimana yang diniatkan. Jika hanya gejala simptomatis yang mampu dikenali, maka konsepsi yang dikembangkan mungkin kelihatannya bagus tetapi sangat mungkin akan mengecewakan karena ternyata tak mampu memberikan solusi sebagaimana yang dijanjikan. Hipotesis untuk kondisi saat ini adalah: [1] kapasitas adopsi lembaga-lembaga pengguna teknologi di Indonesia saat ini masih sangat rendah, yang disebabkan oleh mutu potensi internal yang rendah dan motivasi yang kurang; dan [2]
93
peningkatan kapasitas adopsi teknologi terkendala oleh ekosistem yang kurang kondusif, terutama dari regulasi dan insentif yang belum optimal. Upaya penguatan kapasitas adopsi lembaga pengguna perlu memperhatikan: [1] potensi internal (sumberdaya manusia, kemampuan pembiayaan, sarana dan prasarana pendukung) lembaga-lembaga pengguna teknologi sangat minimal, selain itu juga kebijakan internal lembaga masih belum memberikan prioritas untuk peningkatan kapasitas adopsi, akibatnya motivasi untuk melakukan upaya peningkatan tersebut juga tidak tumbuh; dan [2] unsur-unsur ekosistem eksternal yang kurang kondusif, terutama karena regulasi yang kurang mendukung atau sebagian sudah mendukung namun implementasinya masih terkendala, selain juga fasilitasi dan intermediasi yang masih belum optimal, serta program-program insentif yang ada masih kurang efektif dan/atau kurang menarik bagi lembaga pengguna (Gambar 9) . Realita saat ini menumbuhkan keyakinan bahwa untuk mengoptimalkan kemampuan lembaga pengguna dalam mengadopsi teknologi yang paling krusial adalah melakukan pembenahan internal lembaga, terutama penguatan sumberdaya (manusia, sarana, prasarana, dan dana) untuk mendukung aktivitas litbang pada lembaga pengguna, atau dengan ungkapan yang lebih sederhana adalah dengan melakukan penguatan kapasitas litbang internal lembaga pengguna. Berbeda dengan industri yang mengadospi teknologi untuk diaplikasikan dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang dibutuhkan konsumen, lembaga pemerintah mengadopsi teknologi tersebut untuk digunakan langsung dalam menjalankan tugas negara/pemerintahan, sehingga posisinya lebih sebagai konsumen akhir dari teknologi atau produk teknologi yang diakuisisi, misalnya dalam konteks teknologi pertahanan dan keamanan. Sebagaimana industri, lembaga pemerintah yang berperan sebagai lembaga pengguna teknologi juga harus diperkuat kapasitas litbangnya, sehingga tidak hanya mampu menggunakan produk teknologi yang dibeli atau diakuisisi, tetapi juga mampu untuk melakukan asimilasi dan reformulasi agar lebih sesuai dengan kebutuhan spesifiknya dan/atau untuk meningkatkan kehadalan produk teknologi tersebut. Paling minimal adalah agar mampu melakukan pemeliharaan (maintenance) sehingga mengurangi ketergantungan kepada pihak produsennya sebagai langkah antisipatif jika ada kendala purna-jualnya. Untuk dapat melaksanakan peran ini, maka opsi utamanya adalah meningkatkan kualitas dan relevansi keahlian sumberdaya manusia yang bekerja pada masing-masing lembaga pengguna tersebut, diikuti dengan penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dan dukungan anggaran yang mencukupi.
94
Gambar 9. Kerangka dasar konsepsi peningkatan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi Di era informasi terbuka ini, lembaga pengguna juga diharapkan tidak hanya mampu mengaplikasikan teknologi, tetapi juga mampu secara proaktif mengenali jenis dan mengidentifikasi sumber teknologi yang maju, handal, dan relevan dengan kebutuhan lembaganya, serta siap secara seutuhnya untuk mengadopsi teknologi tersebut, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam negeri, termasuk juga melalui spillover investasi asing. Dalam rangka memaksimalkan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi, maka perlu upaya sungguh-sungguh untuk: [1] meningkatkan kualitas dan relevansi keahlian dan/atau ketrampilan sumberdaya manusia, terutama untuk yang secara langsung melaksanakan tugasnya terkait adopsi dan pengembangan teknologi; [2] memberikan dukungan fasilitas dan pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan adopsi dan pengembangan teknologi; [3] menyepakati dan menjalankan secara konsisten kebijakan internal lembaga pengguna untuk memprioritaskan adopsi dan pengembangan teknologi; dan [4] melakukan upaya institusional yang dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi karyawan dalam meningkatkan peran aktifnya dalam proses adopsi dan pengembangan teknologi, misalnya insentif yang pantas untuk kontribusi atau prestasi yang dicapai.
95
Upaya penguatan kapasitas adopsi masyarakat sebagai pengguna teknologi perlu pendekatan yang berbeda, karena walaupun mungkin saja ada organisasi atau asosiasi masyarakat yang memayungi individu-individu pengguna teknologi, namun lembaga masyarakat tersebut tidak bersifat ‘struktural’ sehingga tidak dapat diperlakukan sebagai entitas yang setara dengan lembaga pengguna sebagaimana pada industri dan pemerintahan. Dengan kata lain, individuindividu masyarakat lebih pas jika diperlakukan secara independen, misalnya petani, nelayan, peternak, seniman, dan lain-lain. Namun perlu pula ditegaskan bahwa industri mikro atau kecil tradisional tetap harus dikategorikan sebagai satu entitas industri, terlepas dari jumlah karyawannya yang mungkin sangat sedikit. Kapasitas adopsi individu masyarakat dengan demikian akan tergantung pada kapasitas intelektual, kemampuan manajerial, motivasi, naluri bisnis, dan kualitas personal lainnya. Namun demikian, agar upaya meningkatkan kapasitas adopsi individu masyarakat ini dapat dilakukan secara lebih praktis, rasional, dan efisien; pelaksanaannya dapat saja dilakukan secara kolektif pada komunitas pengguna dengan kebutuhan jenis teknologi, bidang usaha, dan skala usaha yang setara. Memahami karateristik masing-masing pengguna teknologi yang berbeda (antara industri, lembaga pemerintah, dan individu masyarakat) maka dibutuhkan pendekatan dan strategi yang berbeda untuk masing-masing kelompok pengguna tersebut, walaupun tujuannya adalah sama, yakni untuk meningkatkan kapasitas adopsi teknologi. Ada empat faktor eksternal yang secara langsung mempengaruhi kapasitas adopsi teknologi. Dua faktor bersifat mendorong (pushing factors) lembaga pengguna untuk meningkatkan kapasitas adopsinya, yakni regulasi dan adanya kompetisi antara lembaga pengguna; sedangkan dua faktor lagi bersifat menarik (pulling factors), yakni adanya permintaan pasar dan ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan (Gambar 10).
96
Gambar 10. Faktor eksternal yang mempengaruhi kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi
Regulasi yang tepat akan mendorong lembaga pengguna untuk meningkatkan kemampuan internalnya yang berkaitan langsung dengan kapasitas adopsi teknologi, misalnya peningkatan kualitas sumberdaya manusia; sedangkan adanya kompetitor tentu akan menjadi faktor pendorong lainnya bagi lembaga pengguna untuk antara lain meningkatkan aktivitas serta fasilitas riset in-house. Prinsip dasarnya dalam era informasi terbuka ini, semua pihak bisa mendapatkan informasi tentang ketersediaan teknologi dan berpeluang untuk mengadopsinya, tetapi hanya lembaga pengguna yang siap yang mampu melakukan proses adopsi tersebut secara efektif dan efisien, serta mampu mengadaptasi teknologi tersebut agar lebih sesuai dengan kebutuhannya dan mampu memaksimalkan keuntungan yang diperoleh dari adopsi teknologi tersebut. Adanya permintaan pasar yang nyata dan signifikan, serta ketersediaan sumberdaya (bahan baku, tenaga kerja, kepakaran, fasilitas dan infrastruktur pendukung) akan menumbuhkan motivasi dan menjadi pemicu untuk meningkatkan kapasitas adopsi teknologi yang dibutuhkan lembaga pengguna untuk mengelola sumberdaya tersebut. Secara ringkas, potret kapasitas adopsi yang ideal untuk lembaga pengguna teknologi adalah jika memiliki kemampuan untuk mengenali teknologi sesuai dengan kebutuhannya, menyerap dan mengasimilasikan teknologi tersebut, memformulasikan teknologi yang aplikatif sesuai kemampuan dan kebutuhannya,
97
serta mengaplikasikannya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang diembannya, atau sesuai dengan core business-nya. Ada beberapa catatan penting terkait dengan kapasitas adopsi yang ideal bagi lembaga pengguna teknologi, yakni: [1] Kapasitas internal lembaga sangat krusial untuk dibangun, oleh sebab itu perlu melakukan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, terutama – tetapi tidak terbatas pada- sumberdaya manusia yang ditugaskan pada atau terkait langsung dengan unit yang menangani adopsi, adaptasi, dan pengembangan teknologi; [2] Perlu dukungan yang optimal untuk aktivitas dan penyediaan fasilitas riset in-house, karena akan secara nyata berdampak positif pada kapasitas adopsi, adaptasi, dan pengembangan teknologi; [3] Regulasi dan kompetisi menjadi faktor pendorong (pushing factors) yang efektif; sedangkan permintaan pasar dan potensi sumberdaya dapat menjadi faktor penarik (pulling factors) yang atraktif bagi lembaga pengguna untuk meningkatkan kapasitas adopsinya; [4] Perlu regulasi dan kebijakan yang kondusif untuk membuka peluang mobilisasi sumberdaya manusia antar-lembaga inovasi, sehingga dapat memperbesar peluang untuk terjadinya aliran atau limpasan (spillover) teknologi yang diserap oleh lembaga pengguna; [5] Keberadaan lembaga pengguna dalam suatu klaster inovasi tidak menjamin akan efektif dalam mengadopsi teknologi yang tersedia, namun jika kapasitas adopsinya sudah berada pada jenjang yang ideal maka keberadaannya dalam klaster inovasi akan memperbesar peluangnya untuk mengadopsi teknologi tersedia yang sesuai dengan kebutuhannya; dan [6] Kapasitas adopsi lembaga pengguna perlu secara paralel dibangun bersama dengan kemampuan lembaga pengembang untuk menghasilkan teknologi yang relevan dalam rangka mewujudkan sistem inovasi, baik pada tingkat nasional maupun pada jenjang yang lebih terbatas wilayah cakupannya.
6.4. Peningkatan Peran Lembaga Intermediasi Ketidakpaduan antara teknologi yang dihasilkan lembaga pengembang dengan kebutuhan pengguna dan rendahnya kebutuhan serta kapasitas adopsi teknologi lembaga pengguna merupakan kenyataan yang menjadi justifikasi: [1] kebutuhan akan lembaga intermediasi, tetapi juga sekaligus [2] menjadikan lembaga intermediasi yang sudah ada sulit untuk menjalankan perannya. Lembaga intermediasi yang ada saat ini masih terlalu fokus pada upaya ‘memasarkan’ teknologi yang dihasilkan oleh lembaga pengembang, belum banyak berperan dalam membantu mengidentifikasi kebutuhan atau persoalan yang dihadapi pengguna dan mengalirkan informasi tersebut kepada lembaga pengembang teknologi. Oleh sebab itu, peran lembaga intermediasi perlu
98
didorong agar dapat berperan ganda tersebut, memasarkan teknologi yang dihasilkan pengembang dan sekaligus menjadi perpanjangan tangan pengembang untuk memahami kebutuhan dan persoalan teknologi yang dihadapi pengguna (Gambar 11).
Gambar 11. Peran Ganda Lembaga Intermediasi
Peran intermediasi ini dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah maupun lembaga non-pemerintah. Pada saat ini, lembaga intermediasi yang ada pada dasarnya diinisiasi oleh pemerintah tetapi kemudian dikelola oleh lembaga pemerintah itu sendiri atau personel yang bukan pegawai pemerintah. Minat pihak swasta untuk berperan sebagai intermediator masih rendah dan belum akan tumbuh jika teknologi yang dihasilkan pengembang belum mempunyai nilai jual yang baik atau jika relevansi antara teknologi yang dikembangkan masih senjang dengan kebutuhan pengguna.
6.5. Penyiapan Science and Technology Park Kedekatan fisik atau lokasi antara lembaga pengembang dan pengguna teknologi masih dianggap penting dalam upaya menumbuhkan interaksi yang intensif dan produktif, walaupun saat ini teknologi informasi dan komunikasi sudah sangat berkembang dan juga menjadi lebih murah untuk sarana berkomunikasi antara
99
personel maupun lembaga. Oleh sebab itu, banyak negara membangun Science and Technology Park (STP) sebagai wahana untuk mendekatkan secara fisik antara lembaga pengembang dan pengguna teknologi. Indonesia merencanakan untuk membangun Indonesian STP, yang disingkat sebagai I-STP. Upaya membangun I-STP ini sudah mulai digarap, yakni dengan merivitalisasi kawasan Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) di Serpong. Persoalan utama yang dihadapi Indonesia saat ini adalah rendahnya hasil riset dan teknologi yang dikembangkan di dalam negeri yang diadopsi oleh industri atau pengguna teknologi lainnya. Kapasitas lembaga pengembang teknologi Indonesia sesungguhnya cukup baik, terbukti dengan posisi indeks inovasi Indonesia dalam peringkat World Economic Forum (WEF) tahun 2010 yang berada pada posisi ke 36. Kemampuan inovasi Indonesia ini sudah setara dengan negara-negara yang perekonomiannya sudah berbasis inovasi. Berdasarkan survei WEF tersebut, dilaporkan bahwa kapasitas pengembangan teknologi ini ternyata belum diimbangi dengan kesiapan pengguna teknologi untuk mengadopsinya, terbukti dengan peringkat kesiapan teknologi (technological readiness) yang masih relatif rendah, yakni pada peringkat ke 91. Ketidak-siapan lembaga pengguna Indonesia untuk mengadopsi teknologi ini tidak sepenuhnya merupakan resultan dari rendahnya kapasitas adopsi teknologinya, tetapi juga merupakan akibat dari teknologi yang dikembangkan tidak relevan dengan kebutuhan lembaga pengguna tersebut. Pembangunan I-STP (melalui revitalisasi Puspiptek Serpong) merupakan salah satu upaya untuk menyediakan wahana untuk meningkatan frekuensi dan intensitas interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi, sehingga diharapkan akan meningkatkan relevansi teknologi yang dikembangkan (karena semakin memahami kebutuhan pengguna) dan sekaligus meningkatkan kapasitas adopsi pengguna (karena peningkatan kapasitas SDM-nya dalam mengenali dan mengaplikasikan teknologi). Peran lembaga intermediasi diharapkan dapat mengakselerasi proses adopsi teknologi tersebut. Secara kolektif, upaya-upaya ini diharapkan dapat mendongkrak status kesiapan teknologi Indonesia. Aset pengetahuan (stock of knowledge) yang secara kolektif telah terakumulasi pada komunitas pengembang teknologi di kawasan Puspiptek Serpong perlu dikelola dan ‘dipasarkan’. Untuk tujuan ini, Kementerian Riset dan Teknologi perlu merevitalisasi lembaga-lembaga intermedia yang sudah terbentuk, yakni Business Technology Center (BTC) dan Business Innovation Center (BIC). Lembaga intermediasi diharapkan menjadi gerbang untuk partisipasi lembaga pengguna teknologi, terutama industri-industri berbasis teknologi (Gambar 12). Dinamika interaksi pengembang-intermediator-pengguna teknologi yang intensif dan produktif akan dengan sendirinya ‘mengundang’ partisipasi lembaga-lembaga penunjang lainnya, termasuk lembaga keuangan dan lembaga pendidikan, terutama pendidikan tinggi dan kejuruan. Wahana I-STP diproyeksikan akan menjadi model SINas dalam rangka membangun ekonomi Indonesia yang berbasis ilmu pengetahuan atau knowledge based economy (KBE). Dengan demikian, maka I-STP menjadi saluran efektif bagi
100
teknologi untuk memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan ekonomi nasional, yang jika dibangun bersama rakyat, maka akan diyakini mampu menyejahterakan rakyat sebagaimana yang amanahkan oleh konstitusi.
Gambar 12. Metamorfosis Puspiptek Menjadi I-STP
Untuk kondisi Indonesia, kawasan Puspiptek Serpong sangat mungkin untuk ditransformasi secara fisik dan fungsional menjadi STP, dengan memanfaatkan lembaga dan fasilitas pengembangan teknologi yang sudah ada sebagai modal dasarnya. Transformasi tersebut dapat dilakukan dengan menghadirkan lembaga intermediasi ke dalam kawasan dan menghadirkan industri ke dalam dan/atau membangun kawasan Industrial Park (IP) yang posisinya berdampingan dengan lahan Puspiptek. Gabungan dua kawasan ini akan membentuk Innovation Park (STP+IP = InnoPark). Menghadirkan lembaga pendidikan tinggi, politeknik, dan sekolah menengah kejuruan di kawasan ‘InnoPark’ ini, dilengkapi dengan lembaga dan fasilitas pendukungnya yang sepadan, akan menjadikan kawasan ini sebagai kawasan inovasi mandiri yang dapat menjadi model SINas Indonesia yang membanggakan.
6.6. Membangun Pusat Unggulan Inovasi Pusat Unggulan merupakan padanan kata untuk Center of Excellence yang sudah sangat dikenal dan digunakan tidak hanya dalam bidang iptek, tetapi juga digunakan di dunia bisnis maupun bidang-bidang lainnya. Definisi umum tentang Pusat Unggulan adalah: ‘an organization which is recognized as being successful and having an excellent reputation in its field’. Dengan demikian, Pusat Unggulan harus dikenal oleh komunitasnya, dianggap berhasil dan mempunyai reputasi yang sangat baik di bidangnya. Tersirat dalam definisi ini adalah: [1] keberhasilan dan reputasi tersebut bersifat relatif (dibandingkan dengan lembaga-lembaga serupa
101
di bidang tertentu), dan [2] Keunggulan tersebut khusus pada bidangnya, dimana [3] Bidang keunggulan tersebut bersifat terbuka untuk kompetensi atau spesifikasi fungsi tertentu. Dalam konteks pilihan ini, maka sangat tepat jika Pusat Unggulan yang difasilitasi perkembangannya oleh Kementerian Riset dan Teknologi adalah keunggulan dalam membangun sistem inovasi. Oleh sebab itu, tepat jika disebut sebagai Pusat Unggulan Inovasi atau Center of Excellence on Innovation. Pusat unggulan yang akan didorong untuk tumbuh dan berkembang adalah lembaga atau konsorsium yang konsisten dengan amanah konstitusi, kebijakan nasional, kebijakan sektoral, dan program Kementerian Riset dan Teknologi (Gambar 13). Penciri lain yang digunakan untuk mendeskripsikan pusat unggulan adalah: ‘a place where there are very high standards of work’. Maknanya, dalam melaksanakan fungsinya, sebuat pusat unggulan harus menetapkan standar kinerja yang sangat tinggi. Untuk mencapai standar ini, sesuai dengan kondisi awal dan sasaran yang ingin dicapai, maka ada dua opsi dalam membangun pusat unggulan inovasi, yakni dengan format pengembangan lembaga tunggal tapi dengan memperkaya tugas dan fungsinya, sehingga dapat secara nyata mampu mewujudkan sistem inovasi, atau dengan membentuk konsorsium yang terdiri dari paling tidak lembaga pengembang dan pengguna teknologi (Gambar 14).
Gambar 13. Pengembangan Pusat Unggulan Inovasi yang Konsisten dengan Amanah Konstitusi
102
Gambar 14. Pilihan Alternatif Organisasi Pusat Unggulan Inovasi
6.7. Mendorong Pembentukan Konsorsium Inovasi Agar interaksi dan komunikasi antara pengembang dan pengguna teknologi menjadi lebih mesra, maka keduanya perlu disiapkan wahana untuk berinteraksi. Wahana tersebut antara lain berupa konsorsium. Pemerintah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya diharapkan berperan aktif dalam membentuk konsorsium ini, terutama pada fase inisiasinya. Peran pemerintah sebagai fasilitator, intermediator, dan regulator sewajarnya akan semakin berkurang jika komunikasi dan interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi dalam wadah konsorsium ini telah berlangsung secara intensif dan produktif. Secara umum terdapat tiga asas penting dalam membangun konsorsium, yakni: [1] mempunyai kepentingan atau tujuan bersama (shared goal atau core issue) yang jelas dan disepakati oleh semua anggota; [2] hubungan yang dibangun harus bersifat mutualistik sebagai modal dasar untuk memotivasi semua anggota untuk memperjuangkan kepentingan bersama; dan [3] semua anggota sepakat untuk sharing sumberdaya sepadan dengan fungsi dan kapasitasnya masing-masing. Sangat penting bahwa setiap konsorsium yang dibentuk mempunyai tujuan bersama yang jelas, karena ini yang menjadi komitmen awal dan mendasar bagi setiap lembaga untuk memutuskan apakah akan ikut bergabung dalam konsorsium tersebut atau tidak. Tentu dengan memperhatikan tugas dan fungsi lembaganya masing-masing, kapasitas lembaga sebagai bentuk share yang dapat dikontribusikan, dan benefits yang diharapkan dapat diperoleh dengan bergabung dalam konsorsium tersebut. Tujuan bersama dimaksud perlu disepakati dari awal pembentukan konsorsium, karena ini merupakan dasar komitmen bersama yang penting untuk kelangsungan eksistensi konsorsium. Kesepakatan ini sangat
103
penting karena tujuan bersama tersebut mungkin baru akan dicapai dalam jangka menengah atau panjang. Hubungan antar-anggota konsorsium harus bersifat mutualistik, yakni saling menguntungkan. Oleh sebab itu, agar sifat mutualistik ini selalu terpelihara, maka konsorsium harus dikelola secara profesional berlandaskan asas-asas good governance, terutama harus transparan, akuntabel, efektif, efisien, dan taat hukum. Keterjaminan sifat mutualistik tersebut akan memotivasi semua anggota untuk memberikan kemampuannya yang terbaik dan ikut berusaha keras untuk mencapai tujuan bersama. Salah satu alasan pembentukan konsorsium adalah agar penggunaan sumberdaya (manusia, sarana dan prasarana, dan pembiayaan) dapat dilakukan secara lebih efisien dan juga untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Dalam konteks ini, budaya sharing perlu dibangun, karena ia menjadi jiwa dari sebuah konsorsium. Setiap konsorsium tentu memiliki beberapa anggota. Namun jumlah anggota yang pas tentu tergantung dengan tujuan bersama yang ingin dicapai, serta juga dipengaruhi oleh beban kegiatan dan target waktu untuk pencapaian tujuan dimaksud. Kapasitas dan jenis kompetensi lembaga yang dibutuhkan, juga perlu masuk dalam formula untuk penetapan jumlah anggota yang ideal. Jumlah anggota yang terlalu sedikit mengandung resiko akan kekurangan kapasitas dan kompetensi untuk mencapai tujuan; sebaliknya jumlah anggota yang terlalu banyak juga dapat menyebabkan ketidak-efisienan dalam pelaksanaan pekerjaan, atau malah berpotensi kontra-produktif dan dapat saja ada free rider yang kontribusinya tidak signifikan terhadap kinerja konsorsium. Secara formal, anggota konsorsium minimal 2 lembaga. Dalam konteks sistem inovasi, maka paling tidak 1 mewakili lembaga pengembang teknologi dan 1 mewakili pengguna teknologi. Lebih bagus jika ditambah 1 lagi yang menjadi representasi unsur pemerintah. Disamping itu, setiap konsorsium harus ada anggota yang disepakati sebagai koordinator. Ada dua opsi dalam menghimpun anggota konsorsium, yakni: [1] dilakukan secara terbuka dan dinamis, semua lembaga yang relevan dapat bergabung dalam konsorsium atas persetujuan inisiator dan semua anggota yang telah bergabung (existing members); atau [2] dilakukan secara tertutup dan bersifat statis, dimana anggota disepakati dari awal dan tidak berubah sampai tujuan bersama dicapai. Konsorsium merupakan sarana bersama dan bukan tujuan akhir bagi para pihak yang terlibat sebagai anggotanya. Oleh sebab itu, walaupun mungkin butuh waktu yang relatif lama untuk mencapai tujuan bersama, namun konsorsium pada hakikinya bersifat tidak-permanen. Konsorsium lebih berorientasi fungsional dan terfokus pada upaya mencapai tujuan bersama yang disepakati sejak awal pembentukannya. Sinergi fungsional merupakan asas yang menjiwai tata kerja organisasi konsorsium. Oleh sebab itu, pola hubungan antar-anggota yang bersifat horizontal akan lebih dominan, dimana, semua anggota diposisikan secara sejajar, sama kedudukan, hak, serta kewajibannya (Gambar 15).
104
Gambar 15. Model Konsorsium Inovasi (Lakitan, 2011b)
Untuk dapat sukses, sebuah konsorsium harus: [1] mempunyai tujuan/sasaran bersama yang jelas dan disepakati semua anggota (clear shared goal) serta sesuai dengan realita kebutuhan atau persoalan publik (demand-driven); [2] sinergi anggota mampu membangun kapasitas kolektif yang cukup (adequate collective capacity) untuk mencapai tujuan/sasaran bersama; [3] mempunyai strategi pelaksanaan yang tepat dan implementatif (implementable strategy); [4] dikoordinir oleh figur kepemimpinan yang kuat (strong leadership) , terutama pada fase awal; dan [5] secara konsisten dikelola berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance)(Gambar 16).
105
Gambar 16. Kunci Sukses Konsorsium (Lakitan, 2011b)
Tujuan dan target/sasaran bersama merupakan perekat utama antar-anggota dari sebuah konsorsium. Target ini dapat saja terdiri dari beberapa sub-target, tetapi semua sub-target tersebut harus berada dalam lingkup payung target utamanya atau berada dalam satu klaster. Konsorsium dengan multi-sasaran, apalagi multitujuan, akan mudah terancam bubar. Akan tetapi anggota suatu konsorsium dapat saja juga menjadi anggota konsorsium lain dengan tujuan/sasaran yang berbeda. Sebaiknya suatu konsorsium terbangun dari anggota dengan ‘core business’ yang berbeda atau mempunyai jenis kompetensi yang berbeda, tetapi bersifat komplementatif satu dengan yang lainnya, sehingga dapat membangun sinergi yang secara kolektif akan menghasilkan konsorsium dengan kapasitas lebih besar dan dengan ragam kompetensi yang lebih banyak, sehingga mampu menjalankan misinya dengan lebih baik dan komprehensif. Sejalan dengan ini, pendekatan konsorsium juga direkomendasikan oleh Malherbe dan Stanway (2010) sebagai bentuk kolaborasi yang tepat, jika anggotanya mempunyai kompetensi inti yang beragam. Jika ada dua atau lebih anggota konsorsium dengan jenis kompetensi yang sama, maka sangat mungkin terjadi ‘sibling rivalry’ antar-anggota tersebut. Konsorsium, seperti berbagai bentuk kolaborasi yang lainnya, perlu menyusun strategi operasional yang terencana dengan baik, sistematis, dengan pentahapan yang logis, serta berbasis pada kapasitas kolektif yang dimiliki, sehingga dapat
106
diimplementasikan secara efektif dan efisien. Konsorsium memang bertumpu pada inter-dependensi antar-anggota, tetapi secara kolektif sebuah konsorsium harus punya kemandirian untuk mencapai tujuan bersama. Keberlanjutan integrasi dan viabilitas dari sebuah konsorsium selain bertumpu pada tujuan bersama yang jelas, pola hubungan antar-anggota yang bersifat mutualistik, juga sangat membutuhkan figur pemimpin yang kuat dan secara de facto mampu mengelola konsorsium secara bijak. Pada fase awal terbentuknya konsorsium, peran figur yang kuat akan sangat krusial dalam rangka membangun ‘chemistry’ yang harmonis antar-anggota dengan keragaman latar belakang kompetensi dan budaya kerja. Namun demikian, setiap pemimpin memiliki style of leadership masing-masing, yang sangat mungkin akan berbeda satu sama lain. Dalam jangka panjang, tentu akan perlu dilakukan pergantian pemimpin, atau lebih tepatnya koordinator konsorsium. Pergantian ini seharusnya tidak mempengaruhi kinerja konsorsium secara drastis. Sebagai langkah antisipasi maka perlu disiapkan stabilisator yang ampuh, yakni berupa peraturan internal tentang tata kelola yang disepakati semua anggota. Tata kelola yang baik tentu harus dibangun berbasis pada prinsip-prinsip good governance. Konsorsium dapat memberikan manfaat antara lain: [1] meningkatkan efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, serta biaya dalam upaya mencapai tujuan; [2] membuka peluang untuk mendapatkan capaian yang lebih besar/signifikan, yang tidak mungkin dicapai masing-masing anggota secara individual; [3] meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi antara aktor inovasi yang menjadi modal dasar untuk mewujudkan/memperkuat sistem inovasi. Efisiensi pemanfaatan sumberdaya akan lebih maksimal jika konsorsium terdiri dari anggota-anggota dengan kompetensi yang beragam dan bersifat komplementer; sebaliknya akan sedikit dampaknya jika kompetensi anggota relatif homogen. Jika kompetensi anggotanya sama, maka yang terjadi bukan sinergi fungsional yang mutualistik, tetapi hanya akan merupakan proses scale-up (memperbesar volume output) saja. Selain itu, akan tidak cukup kuat faktor pendorong bagi anggota untuk berinteraksi secara intensif, karena tidak ada rasa saling membutuhkan yang kuat jika kompetensi anggota konsorsiumnya sama. Kompetensi lembaga yang beragam sebagai anggota konsorsium juga membuka peluang untuk membangun kapasitas kolektif yang lebih besar dan komprehensif. Dengan demikian akan lebih mampu untuk mengeksekusi aktivitas dengan lingkup yang lebih luas dan/atau tingkat kompleksitas yang lebih tinggi. Selayaknya, konsorsium memang dirancang untuk menjawab tantangan yang lebih berat, yang butuh kontribusi dari berbagai kompetensi, dan mungkin hanya dapat diselesaikan melalui paket solusi multi-dimensi yang komprehensif. Konsorsium sebagai wadah komunikasi dan interaksi antar-lembaga yang menjadi anggotanya, pada dasarnya merupakan bentuk ‘miniatur’ dari sistem inovasi, jika terdapat anggotanya yang mewakili komunitas pengembang
107
teknologi dan juga ada yang mewakili komunitas pengguna teknologi. Dalam konteks ini, konsorsium dapat dipandang sebagai mikro-ekosistem yang kondusif untuk mengalirkan informasi kebutuhan dari pengguna ke pengembang teknologi dan sebaliknya aliran paket teknologi dari pengembang ke pengguna teknologi. Jika proses komunikasi dan interaksi antar aktor inovasi yang bernaung dalam suatu konsorsium yang berfungsi sebagai ekosistem kondusif ini dapat dipertahankan selama kurun waktu yang lama, maka secara langsung juga akan penting kontribusinya dalam mengakselerasi upaya membangun budaya inovasi. Budaya inovasi nasional tidak dapat dibangun secara instan, tetapi akan melalui proses panjang. Proses panjang ini harus diawali dengan membangun budaya inovasi pada jenjang yang paling mikro, yakni pada lingkup sebuah konsorsium.
6.8. Revitalisasi Dewan Riset Nasional Dewan Riset Nasional (DRN) merupakan lembaga non-struktural yang berfungsi memberikan masukan kepada Menteri Negara Riset dan Teknologi terutama dalam menetapkan Agenda Riset Nasional (ARN) yang diharapkan menjadi petunjuk arah dan prioritas kegiatan riset secara nasional. Namun demikian, ARN pada saat ini belum secara penuh diacu oleh lembaga-lembaga riset, baik perguruan tinggi maupun lembaga litbang kementerian, maupun lembaga pemerintah non-kementerian yang melaksanakan kegiatan riset. Saat ini DRN memiliki kewenangan yang terbatas dan dukungan sumberdaya yang juga belum memadai, sehingga peran dan kontribusi DRN secara nyata dalam pembangunan iptek masih belum optimal. Untuk meningkatkan peran dan kontribusi DRN tersebut, maka perlu dilakukan revitalisasi lembaga DRN. Secara realistis, revitalisasi DRN perlu dilakukan dalam dua fase, yakni Fase Pertama dilakukan segera selama periode 2009-2011 untuk diimplementasikan pada periode tugas selanjutnya (2012-2014), dilakukan berbasis pada peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku dengan tanpa memerlukan revisi produk legislasi yang ada, dan difokuskan pada upaya restrukturisasi dan penyesuaian komposisi keanggotaan; sedangkan Fase Kedua diawali dengan penyesuaian produk regulasi untuk landasan bagi pembentukan DRN dengan tugas pokok dan fungsi yang lebih vital (revitalized DRN), difokuskan pada upaya membentuk DRN dengan peran yang lebih signifikan dan proyeksi kontribusi yang lebih nyata terhadap pembangunan iptek, yang memerlukan revisi peraturan perundang-undangan, termasuk kemungkinan reposisi organisasi DRN untuk langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Pada Fase Pertama, restrukturisasi lebih terarah pada upaya penyesuaian pembagian Komisi Teknis agar dapat mengakomodir perkembangan dan prioritas bidang teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nasional; sedangkan penyesuaian komposisi anggota selain untuk menyeimbangkan antara perwakilan dari komunitas pengembang dengan pengguna teknologi, juga diarahkan agar aktoraktor utama dari sektor pembangunan (yang sesuai dengan pembagian komisi teknis DRN) dapat lebih efektif berperan.
108
Komisi Teknis DRN mengikuti tujuh bidang fokus prioritas pembangunan iptek sesuai dengan RPJPN 2005-2025, namun demikian pada masing-masing komisi teknis tersebut perlu didukung oleh anggota-anggota yang akan mendalami tentang lima unsur strategis untuk penguatan SINas. Matrik bidang dan kompetensi anggota DRN yang diusulkan disajikan pada Tabel 8. Selain itu, masing-masing komisi teknis juga perlu memperhatikan cross-cutting issues, termasuk upaya meningkatkan kapasitas teknologi untuk pengelolaan sumberdaya kemaritiman, pengembangan industri, teknologi berwawasan ekologis (green technology), dan mengurangi kemiskinan (pro-poor technology); serta dengan terus mendukung pengembangan sains dasar dan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, terutama yang terkait langsung dengan tujuh bidang fokus pembangunan. Anggota DRN yang diangkat berjumlah 50 orang, dengan formula sebagai berikut: Jumlah anggota DRN = 1 Ketua + 7 Komtek [ 5 Isu SINas + 2 Unsur Penguat ]
Formula keanggotaan DRN ini dapat dirinci sebagai berikut: •
Satu orang ketua yang lebih fokus sebagai pimpinan puncak yang tidak perlu terlibat langsung dalam kegiatan teknis pada tingkat komisi, sehingga ketua ini dapat dipilih dari ‘prominent figure’ yang dengan ketokohannya dapat meningkatkan kewibawaan lembaga DRN dan sekaligus dapat memimpin anggota DRN secara efektif agar dapat berkinerja dengan baik;
•
Anggota yang mewakili unsur Regulator dan Pembuat Kebijakan Publik dapat ditunjuk dari para Kepala Badan Litbang Kementerian Teknis terkait sesuai dengan bidang fokus masing-masing, yang sekaligus dapat ditetapkan sebagai Ketua Komisi Teknis;
109
Tabel 8. Pembagian komisi teknis Dewan Riset Nasional dan kompetensi anggotanya terkait upaya penguatan SINas. PENGUATAN SINAS
Regulasi dan Kebijakan Publik
Intermediasi & Penunjang Sistem Inovasi
Kapasitas Adopsi Pengguna Teknologi
Relevansi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Kebutuhan Riset dan Teknologi
KOMISI TEKNIS Teknologi Pangan Teknologi Energi Teknologi Informasi dan Komunikasi Teknologi Transportasi Teknologi Pertahanan dan Keamanan Teknologi Kesehatan Teknologi Material Maju
•
Anggota yang mewakili pihak yang memahami kebutuhan riset dan teknologi sesuai skenario penguatan SINas yang berorientasi demand-driven, sepatutnya dipilih dari unsur komunitas masyarakat, asosiasi industri, dan lembaga pemerintah pengguna teknologi. Misalnya dari wakil asosiasi petani untuk komisi teknis pangan, asosiasi industri untuk komisi teknis transportasi, dan kementerian hankam untuk komisi teknis pertahanan dan keamanan;
•
Anggota yang harus mengawal relevansi teknologi sudah sepatutnya berasal dari komunitas pengembang teknologi, yakni dari lembaga riset pemerintah, lembaga riset swasta/industri, dan perguruan tinggi;
•
Anggota yang diyakini akan memahami kapasitas adopsi pengguna teknologi adalah para pengguna teknologi itu sendiri, yakni para pelaku produksi barang/jasa baik dari unsur masyarakat, industri kecil dan
110
menengah, industri besar, industri kreatif, dan pengguna langsung teknologi hankam (TNI dan Polri), serta pengguna teknologi untuk tujuan nonkomersial lainnya; •
Anggota yang mewakili lembaga intermediasi dan lembaga penunjang lainnya juga diyakini sangat krusial perannya untuk peningkatan kinerja DRN, sehingga sangat penting keterwakilannya dalam lembaga DRN, termasuk perwakilan dari kementerian terkait, yakni kementerian keuangan, pendidikan nasional, perindustrian, perencanaan pembangunan nasional/Bappenas, dan lembaga intermediasi non-pemerintah;
•
Dua anggota untuk penguat ditentukan sesuai dengan kebutuhan masingmasing komisi teknis, misalnya komisi teknis pangan dapat menambah 1 anggota dari pakar kemaritiman untuk mendukung isu strategis pembangunan ketahanan pangan dan 1 anggota dari pakar ilmu sosial karena berdasarkan realita, banyak teknologi pangan yang tidak diadopsi petani, peternak, nelayan, dan pembudidaya ikan karena belum mengintegrasikan pemahaman dimensi sosial, ekonomi, dan kultural dalam pengembangan teknologi tersebut; sedangkan
•
Anggota DRN yang mewakili DRD Provinsi (ex officio) tidak harus dimasukkan secara tetap dalam komisi teknis, tetapi sangat perlu terlibat secara langsung dalam pembahasan pada tingkat pleno sebagai penyampai aspirasi daerah yang diwakilinya.
Pada Fase Kedua, revitalisasi diharapkan mampu memposisikan DRN untuk melaksanakan tugas pokok yang mencakup: [a] membangun basis data iptek yang akurat dan komprehensif, serta jejaring lembaga iptek yang mantap dalam rangka menjamin pemutakhiran data iptek yang berkesinambungan; [b] membangun kemampuan/kapasitas dalam mengidentifikasi kebutuhan dan persoalan teknologi di dalam negeri dan sekaligua juga menyediakan sistem informasi tentang perkembangan dan ketersediaan teknologi nasional; [c] membangun kapasitas dan kewenangan untuk menetapkan prioritas riset nasional sesuai dengan kebutuhan (demand-driven) dan berbasis potensi sumberdaya nasional; dan [d] membantu mengawal investasi pemerintah untuk pembangunan iptek, agar secara konsisten fokus pada prioritas yang telah ditetapkan. Untuk dapat melaksanakan tugas-tugas ini, diperlukan penyesuaian kembali produk-produk regulasi agar ekosistem yang kondisif bisa terbangun dan reposisi organisasi DRN dalam tata organisasi pemerintah.
6.9. Sinkronisasi dan Perbaikan Regulasi Semua aksi yang akan dilakukan dalam rangka mewujudkan atau perkuatan SINas memerlukan dukungan regulasi dan/atau kebijakan yang tepat dan menyeluruh. Oleh sebab itu, sangat diperlukan upaya untuk menerbitkan regulasi baru atau sinkronisasi produk perundang-undangan yang telah ada dengan langkah aksi penguatan SINas yang akan ditempuh. Secara operasional, sangat mungkin diperlukan upaya melengkapi undang-undang terkait dengan
111
berbagai peraturan yang berkesesuaian sampai pada pedoman teknis pelaksanaannya agar semua regulasi yang diharapkan dapat diimplementasikan secara utuh, atau dapat juga dilakukan amandemen/revisi terhadap produk hukum yang ada agar lebih sesuai dan/atau lengkap. Produk perundang-undangan yang menjadi basis legal untuk pengembangan SINas di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 (UU No. 18/2002) tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lampiran 1). UU No. 18/2002 ini disusun dalam nuansa pengembangan iptek yang masih sangat dominan bersifat supply-push, oleh sebab itu secara umum UU No. 18/2002 ini masih belum sepenuhnya selaras dengan orientasi pengembangan teknologi yang bersifat demand-driven. Beberapa pemahaman dasar terkait SINas juga dirasakan masih perlu disinkronisasikan ulang. Jika UU No. 18/2002 akan digunakan sebagai landasan legal utama untuk membangun SINas, maka diperlukan upaya revisi atau melakukan amandemen terhadap undang-undang ini agar lebih selaras dengan ruh SINas yang lebih bersifat demand-driven. Selain itu, kecenderungan global saat ini juga secara kentara telah menggeser orientasi pengembangan teknologinya dari supply-push menjadi lebih bersifat demand-driven. Walaupun banyak ragam terminologi yang digunakan, namun esensinya sama, yakni pengembangan teknologi harus lebih diarahkan untuk memenuhi realita kebutuhan atau persoalan nyata yang tengah dihadapi. Selanjutnya, untuk melaksanakan ketentuan UU No. 18/2002, khususnya pasal 28 ayat (3), telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2007 (PP No. 35/2007) tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi (Lampiran 2). Substansi pokok dari PP No. 35/2007 ini adalah memberikan kesempatan bagi badan usaha untuk mengalokasikan dana dalam rangka mendukung kegiatan inovasi nasional. Sebagai kompensasinya, badan usaha tersebut mendapatkan insentif untuk mendukung kegiatan bisnisnya. Secara jelas pada pasal 6 ayat (1) PP No. 35/2007, dinyatakan bahwa Badan Usaha yang mengalokasikan sebagian pendapatan untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dapat diberikan insentif. Selanjutnya pada ayat (2), dinyatakan bahwa insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk insentif perpajakan, kepabeanan, dan/atau bantuan teknis penelitian dan pengembangan. Bantuan teknis ini, sesuai pasal 7 ayat (1) dapat berupa penempatan tenaga ahli dan/atau pemanfaatan fasilitas laboratorium di lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah. Walaupun PP No. 35/2007 ini sangat ‘favorable’ bagi upaya pengembangan SINas, namun peraturan ini sampai sekarang belum dapat diterapkan karena masih ada ganjalan untuk implementasinya, yakni belum adanya ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan yang mengakomodisasi pemberian insentif sebagaimana diamanahkan dalam pasal 6 ayat (2) PP No. 35/2007 tersebut. Pasal 6 ayat (3) PP No. 35/2007 menyatakan
112
bahwa besar dan jenis insentif perpajakan dan kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan sepanjang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan. Agar insentif bagi pelaku bisnis/industri untuk lebih terlibat dalam pembiayaan kegiatan riset dapat terlaksana, maka perlu dilakukan sinkronisasi dari sisi legal formal pendukungnya, terutama antara PP No. 35/2007 dengan peraturan perpajakan dan kepabeanan. Kekhawatiran yang berlebihan tentang kemungkinan penurunan penerimaan pendapatan pemerintah dari pajak dan kepabeanan akibat pemberlakuan kebijakan ini perlu dihilangkan, mengingat jika kegiatan SINas dapat berlangsung secara produktif, maka dampaknya kegiatan produksi barang dan jasa juga akan meningkat dan penerimaan pajak tentu juga akan ikut meningkat. Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) telah mengagendakan untuk meninjau ulang peraturan perundang-undangan yang menjadi bottleneck pembangunan perekonomian Indonesia, termasuk PP No. 35/2007 ini. Arah yang akan ditempuh agar PP No. 35/2007 ini dapat diimplementasikan adalah dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur pedoman teknis untuk pemberian insentif tersebut. Upaya pemberian insentif kepada pihak pengguna teknologi (terutama industri) sekarang mempunyai landasan hukum lain yang baru, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian Dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (selanjutnya disingkat PP No. 93/2010; Lampiran 3). PP No. 93/2010 ini mengatur bahwa sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak, termasuk sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan (Pasal 1 butir b). Besarnya nilai sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya (Pasal 3). Sumbangan dapat diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang (Pasal 5 ayat 1) Secara teknis dan psikologis, PP No. 93/2010 lebih berpeluang untuk diimplementasikan dibandingkan dengan PP No. 35/2007, karena PP No. 93/2010 merupakan turunan langsung dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; berbeda dengan PP No. 35/2007 yang merupakan turunan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
113
Dukungan regulasi ini diharapkan akan mengintensifkan interaksi dan komunikasi antara lembaga pengguna, terutama industri, dengan lembaga pengembang teknologi yang mendukung kebutuhan teknologi untuk industri. Interaksi yang lebih intensif diyakini akan berpengaruh langsung dan positif terhadap proses adopsi teknologi, baik karena teknologi yang dihasilkan oleh pengembang menjadi lebih relevan (karena pengembang menjadi lebih memahami kebutuhan), juga karena peningkatan kapasitas adopsi dari pihak pengguna (karena meningkatkan pemahaman pengguna atas teknologi yang ditawarkan). Insentif non-finansial untuk mendorong kegiatan riset dalam negeri juga telah dilakukan oleh Kementerian Perindustrian R.I. dalam bentuk Peraturan Menteri Perindustrian RI Nomor 11/M-IND/PER/3/2006 tentang kebijakan penetapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan nilai Bobot Manfaat Perusahaan (BMP). Regulasi dan kebijakan pemerintah juga dibutuhkan untuk mengawal agar implementasi SINas konsisten mengarah pada upaya: [1] menyediakan solusi teknologi bagi permasalahan nyata yang dihadapi rakyat; [2] menyeimbangkan posisi psikologis dan peran aktif antara pihak pengembang teknologi dengan pihak pengguna teknologi sehingga interaksi antara keduanya terjadi dalam kerangka kemitraan yang setara harkatnya, proporsional kontribusinya, dan saling ‘complementary’ ruang kiprahnya; dan [3] memberdayakan sumberdaya manusia Indonesia sesuai dengan kapasitasnya masing-masing agar dapat secara langsung berperan aktif dalam implementasi SINas. Bentuk kebijakan pemerintah yang lain adalah untuk mendukung kolaborasi riset dengan pembiayaan bersama (sharing funding) oleh pemerintah dan pihak industri. Porsi pemerintah disalurkan melalui lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi. Kegiatan riset kolaborasi dalam format ini sudah mulai dilaksanakan, tetapi belum optimal menunjukkan kemanfaatan hasilnya. Hal ini terutama karena substansi riset masih dominan ditentukan oleh pihak pengembang teknologi, bukan atas usulan pihak pengguna. Dalam beberapa kasus, industri hanya pada posisi memenuhi kelengkapan administratif agar dana pemerintah bisa dialirkan ke lembaga riset atau perguruan tinggi. Bentuk riset kolaborasi yang lain tidak harus dalam bentuk pembiayaan bersama, tetapi dalam bentuk riset yang diawaki oleh personel dari pihak pengembang dan pengguna teknologi serta memanfaatkan fasilitas dan sarana riset yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Akan tetapi yang selalu perlu diperhatikan adalah apapun bentuk atau format riset kolaborasi tersebut, ia akan memberikan kemanfaatan pada publik jika substansi masalah yang diteliti memang merupakan masalah aktual yang dihadapi masyarakat, bukan masalah hipotetik yang diilhami oleh berbagai referensi asing. Memahami bahwa keberhasilan perkuatan SINas tidak hanya tergantung pada kinerja masing-masing aktor inovasi (lembaga pengembang dan pengguna teknologi, serta lembaga intermediasi), tetapi juga sangat tergantung pada berbagai pihak yang ikut mewujudkan ekosistem SINas yang kondusif, maka aspek regulasi sebagai bagian penting dari ekosistem SINas perlu mendapat
114
perhatian serius. Perlu dilakukan telaah secara cermat terhadap semua produk hukum yang terkait SINas, baik langsung maupun tidak langsung, serta dilakukan identifikasi untuk hal-hal yang perlu disinkronisasi, direvisi, atau bahkan perlu dicabut, serta untuk hal-hal yang masih perlu pengaturan secara legal formal.
6.10.Berbasis Sumberdaya dan Memenuhi Kebutuhan Nasional Untuk mewujudkan SINas Indonesia yang ‘workable’, harus secara seksama mempertimbangkan potensi sumberdaya nasional, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia, ketersediaan infrastruktur ekonomi dan sosial, kemampuan permodalan domestik (plus modal asing secara selektif), dan kapasitas pengembangan teknologi saat ini. Selain itu juga perlu diselaraskan dengan regulasi yang berlaku, kebijakan publik, budaya kerja, keragaman sosiokultural dan tradisi, serta nilai-nilai luhur bangsa Indonesia lainnya.39 Pilihan landasan sumberdaya dan budaya sendiri dalam menbangun SINas akan membuka peluang yang lebih luas bagi seluruh rakyat Indonesia untuk berpartisipasi aktif. Perlu dipahami bahwa upaya memajukan bangsa tidak dapat dilakukan dengan memilih jalan pintas, dengan mengabaikan pentingnya fondasi yang kokoh agar keberlanjutan SINas lebih terjamin. Pembangunan nasional tidak hanya dilakukan untuk rakyat tetapi juga harus dilakukan bersama rakyat.
Potensi Sumberdaya Alam. Indonesia sering dikategorikan sebagai negara yang sangat kaya akan sumberdaya alamnya. Provokasi ini menyebabkan Indonesia terlalu mengandalkan kekayaan sumberdaya alam tersebut sebagai modal utama pembangunan nasional, seolah sumberdaya alam tersebut akan selalu tersedia selamanya. Eksploitasi sumberdaya alam yang tidak terkelola secara bijak dibarengi dengan pembangunan yang tidak terprogram dengan baik, telah membawa Indonesia pada kondisi saat ini: tetap menjadi negara berkembang dengan penguasaan dan penerapan teknologi yang terbatas. Indonesia terkena fenomena ‘resource curse’40 dimana kemajuan pembangunannya tak sebanding dengan nilai eksploitasi sumberdaya alamnya. Pengelolaan sumberdaya alam yang bijak bukan hanya terbatas pada penggunaan dana hasil eksploitasi yang diarahkan untuk peningkatan kualitas layanan publik dan investasi untuk infrastruktur sosial, tetapi juga perlu diarahkan untuk mendukung pengembangan teknologi yang dibutuhkan dalam rangka 39
Sebagai bandingan, negara maju seperti Jepang juga membangun SINas-nya di atas landasan ‘environment, culture, tradition, and national character’ bangsanya sendiri.
40
Hasil kajian Komarulzaman dan Alisjahbana (2008) untuk kasus Indonesia menunjukkan bahwa “There appears to be resource curse when we estimate the resource rent in its three components. Forest, oil and gas sector rent have positive effect on regional economic growth. But the resource curse may occur if these resources revenues are not invested properly in public sector, either for the provision of public services or in public investment. Meanwhile, mining sector has persistently negative effect on regional economic growth. The existence of this curse will be lessened if the mining sector rent revenues are reinvested in public sector investment.”
115
meningkatkan produktivitas industri barang dan/atau jasa, sehingga memberikan nilai tambah bagi setiap produk nasional. Produk ekspor Indonesia tidak boleh selamanya dibiarkan hanya dalam bentuk komoditas bahan baku industri atau hanya sampai produk setengah-jadi (intermediate products). Produk ekspor Indonesia harus secara maksimal diupayakan sudah dalam bentuk akhir yang dibutuhkan konsumen (consumer goods). Indonesia adalah negara maritim, tak ada yang bisa memungkiri kenyataan ini. Sudah sangat sering didengungkan bahwa Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas. Berdasarkan Deklarasi Juanda 1957, wilayah laut NKRI adalah sekitar 3 juta kilometer persegi. Setelah diterimanya Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982, wilayah laut NKRI bertambah luasnya dua kali lipat, menjadi sekitar 6 juta kilometer persegi. Hal yang perlu digarisbawahi, berdasarkan UNCLOS 1982, Indonesia mendapatkan hak-hak berdaulat atas kekayaan alam di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil dari garis pangkal lurus Nusantara atau sampai ke batas ‘continental margin’ jika masih ada kelanjutan alamiah pulau-pulau Indonesia di dasar samudera. Masalah pokoknya, apakah setelah berhasil mengklaim teritori wilayah laut ini kita telah melakukan langkah-langkah konkret untuk mengelolanya, sebagaimana amanah konstitusi -UUD 1945 pasal 33 ayat (3)bahwa kekayaan sumberdaya alam harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat? Kekayaan alam yang terkandung dalam wilayah laut Indonesia juga belum mampu diinventarisasi secara baik. Banyak potensi sumberdaya kelautan yang mungkin kita miliki, tetapi sesungguhnya belum mampu kita pahami nilai kemanfaatan ekonomi dan ekologinya. Lebih parah lagi, justru sebagian mungkin belum kita ketahui eksistensi keberadaannya di wilayah laut Nusantara. Ketidakmampuan tersebut terkait langsung dengan tingkat penguasaan teknologi kelautan yang belum berkembang di Indonesia. Ironis memang, sebuah negara maritim seperti Indonesia tidak memprioritaskan pengembangan teknologi kelautan. Ketertinggalan dalam penguasaan teknologi kelautan tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Indonesia perlu segera meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi kelautan yang menjadi modal nasional untuk mampu mengelola sumberdaya dan wilayah laut Nusantara. Pengelolaan kelautan yang dimaksud adalah memanfaatkan kekayaan sumberdaya yang dimiliki untuk menyejahterakan rakyat yang diimbangi dengan upaya menjaga keberlanjutannya dengan mematuhi kaidah-kaidah ekologis. Teknologi yang dikembangkan perlu menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dengan kearifan ekologi. Ragam teknologi berasas keseimbangan ekonomi-ekologi yang perlu dikuasai mencakup: pertama, teknologi penangkapan ikan, budidaya ikan dan biota laut, serta teknologi pengolahannya; kedua, (bio)teknologi untuk memanfaatkan biodiversitas sebagai sumber bahan baku industri dan sumber tetua untuk program pemuliaan tanaman dan ikan atau biota laut lainnya; ketiga, teknologi eksplorasi dan eksploitasi migas, bahan tambang lainnya dan sumberdaya energi
116
terbarukan; dan keempat, teknologi konservasi sumberdaya kelautan, yang dapat juga dilebarkan cakupannya pada potensi pengelolaannya untuk pariwisata bahari. Keunikan geografis dan kekayaan biodiversitas ekosistem laut Indonesia harus dijadikan modal untuk memperkuat posisi tawar (bargaining position) Indonesia dalam menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak asing. Tetapi tentunya modal alamiah ini perlu dilengkapi dengan modal kecerdasan intelektual, yakni penguasaan teknologi. Penguasaan teknologi kelautan oleh pakar dalam negeri sangat krusial. Tanpa penguasaan teknologi ini, maka Indonesia tidak akan pernah mengetahui secara tepat dan komprehensif tentang ‘apa’ dan ‘berapa banyak’ sumberdaya yang dimilikinya di wilayah laut. Ketidakpahaman ini jelas akan menempatkan Indonesia pada posisi yang lemah dalam setiap ‘dispute’ internasional di wilayah laut. Argumen yang baik tidak akan mampu dibangun di atas fondasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang rapuh. Diplomasi untuk memperjuangkan harkat martabat bangsa juga tak akan dapat dimenangkan jika tanpa amunisi pemahaman tentang potensi sumberdaya seluruh wilayah Indonesia dan potensi manusianya. Semoga Indonesia sebagai negara maritim segera mulai secara sungguh-sungguh berupaya untuk meningkatkan penguasaan tekno-ekologinomi laut. Tentu saja potensi sumberdaya alam Indonesia tidak hanya di laut. Potensi sumberdaya lahan untuk mendukung produksi pertanian dan beragam bahan tambang (termasuk minyak dan gas walaupun mulai menipis) yang terkandung di dalamnya juga cukup penting untuk dikelola sebagai modal pembangunan perekonomian nasional. Teknologi dibutuhkan untuk mengolah sumberdaya alam menjadi produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi, memacu pertumbuhan ekonomi, dan berpotensi untuk secara nyata memperbaiki tingkat kesejahteraan rakyat jika dibarengi dengan kebijakan ekonomi yang tepat. Namun demikian, teknologi yang dimaksud adalah teknologi yang relevan dan sesuai dengan kapasitas adopsi para (calon) pengguna potensialnya. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pencermatan dua arah, yakni menyediakan dukungan pembiayaan yang memadai untuk pengembangan teknologi nasional41 dan juga mengawal pengembangan teknologi agar fokus pada upaya pemenuhan kebutuhan nyata.
Kondisi Sumberdaya Manusia. Penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta jiwa (BPS, 2010) merupakan sebuah kekuatan besar untuk membangun bangsa ini, jika semua (atau paling tidak mayoritas) secara aktif ikut berpartisipasi; tetapi sebaliknya dapat menjadi beban yang maha berat jika harus dipikul oleh sebagian kecil dari populasi tersebut, misalnya hanya dibebankan pada sekelompok elit (politik, ekonomi, dan/atau sosial) tertentu saja. Kebijakan pro-
41
Jika mengacu pada ‘Barcelona Target’, maka idealnya tiga persen dari Produk Domestik Bruto dialokasikan untuk pengembangan teknologi.
117
growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment42 sudah sangat tepat, selama awalan ‘pro’ tersebut tidak sekedar bermakna keberpihakan dalam konteks pembangunan untuk rakyat, tetapi lebih dimaknai sebagai keberpihakan yang memberi peluang bagi seluruh rakyat untuk ikut berperan aktif membangun bangsa dan negara ini. Pendidikan menjadi faktor yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas dan relevansi kompetensi sumberdaya manusia. Kementerian Pendidikan Nasional perlu meningkatkan intensitas upayanya dalam meningkatkan relevansi pendidikan agar permasalahan pengangguran terdidik yang mulai meningkat signifikan selama dasawarsa 2000-an ini tidak menjadi lebih buruk. Beberapa penyesuaian perlu segera dilakukan, terutama pada jenjang pendidikan tinggi. Penyesuaian yang dirasakan perlu dilakukan adalah: [1] proporsi antara pendidikan akademik dengan pendidikan profesional, [2] muatan kurikulum dan program studi yang ditawarkan, dan [3] tolok ukur keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja saat ini dan perediksi kebutuhan di masa yang akan datang, maka proporsi kapasitas tampung jenjang pendidikan tinggi perlu digeser dari dominan jenis pendidikan akademik (lebih mengutamakan pengkayaan pengetahuan) yang terjadi saat ini menjadi dominan pendidikan profesional (lebih mengutamakan ketrampilan teknis untuk menghadapi permasalahan nyata). Perlu digarisbawahi bahwa untuk penguasaan ketrampilan teknis tetap saja selalu membutuhkan pengetahuan dasar yang relevan. Penyesuaian muatan kurikulum dan program studi tidak perlu diartikan sebagai perubahan mendasar dari kurikulum dan program studi yang ada. Penyesuaian tersebut lebih ditekankan pada upaya meningkatkan relevansi substansi materinya sehingga lebih padu dengan permasalah aktual. Program-program studi yang sudah kurang diminati perlu dievaluasi faktor penyebabnya. Faktor penyebabnya bisa dipilah menjadi: [1] penyelenggara pendidikan yang menawarkan program studi tersebut lebih besar kapasitasnya dibandingkan dengan kebutuhan dunia kerja; [2] keahlian yang dihasilkan dari program studi tersebut sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan dunia kerja, atau [3] masih ada kebutuhan aktual dari dunia kerja tetapi imbalan (finansial) yang didapatkan dari jenis pekerjaan ini tidak kompetitif dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain. Faktor penyebab [1] terkait dengan kemudahan sarana dan prasarana penyelenggaraan pendidikan (juga berarti biaya operasional penyelenggaraan pendidikannya lebih mudah) sehingga banyak instutusi pendidikan (terutama swasta) yang ikut menyelenggarakannya. Faktor penyebab [2] terkait dengan bidang keilmuan yang relatif statis perkembangannya dan kebutuhan keahliannya juga terbatas, sehingga pasar dunia kerjanya cepat menjadi jenuh. 42
‘Four Track Strategy’ yang sering disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, antara lain pada pidato berjudul ‘Pertumbuhan Harus Berkeadilan’ pada Pembukaan Perdagangan Perdana Bursa Efek Indonesia, Jakarta, 3 Januari 2011.
118
Faktor penyebab [3] karena bidang pekerjaan tersebut tidak menjanjikan secara ekonomi, misalnya pekerjaan di sektor pertanian. Tolok ukur keberhasilan penyelenggaraan pendidikan yang terlalu berkiblat pada produktivitas selayaknya ditinjau kembali, karena sering mengakibatkan kelembagaan pendidikan pengorbankan kualitas untuk mengejar kuantitas. Akibatnya kelembagaan pendidikan lebih berfungsi sebagai mesin produksi untuk menghasilkan penyandang gelar semata dan tidak menjadi pengemban amanah konstitusi untuk mencerdaskan bangsa. Pendidikan adalah untuk mencerdaskan bangsa. Pencerdasan hanya dapat dicapai dengan pendidikan yang bermutu. Kontribusi nyata tenaga terdidik terhadap pembangunan nasional hanya mungkin terjadi jika keahlian dan ketrampilan yang diasah adalah relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Pendidikan formal rakyat Indonesia saat ini mayoritas masih relatif rendah. Selanjutnya, mayoritas rakyat bekerja disektor produksi pangan (tanaman, ternak, dan ikan). Dengan demikian, jika diniatkan SINas Indonesia adalah untuk melibatkan mayoritas rakyat Indonesia sebagai pelaku pembangunan, maka teknologi yang sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan produktivitas pangan sudah sepatutnya diprioritaskan. Pangan yang dimaksud adalah pangan dalam arti luas, mencakup pangan asal tanaman, ternak, ikan, dan hasil hutan. Dengan demikian, jelas bahwa nelayan juga perlu mendapat perhatian. Teknologi yang dibutuhkan mungkin saja hanya merupakan teknologi sederhana. Akan tetapi, adalah jauh lebih baik menyediakan teknologi sederhana yang sesuai, serta mau dan mampu digunakan oleh masyarakat dan/atau IKM dalam proses produksi pangan untuk pemenuhan konsumsi 237 juta penduduk Indonesia. Jika surplus tidak akan menjadi persoalan karena dengan mudah bisa diekspor karena permintaan pasar global semakin tinggi dengan pertambahan penduduk dunia. Pengembangan teknologi sederhana tetapi bermanfaat akan jauh lebih baik dari pada mengembangkan teknologi super-canggih yang hanya berakhir di ruang pajang. Pembiayaan untuk pengembangan teknologi harus diposisikan sebagai investasi bukan sebagai belanja rutin. SINas adalah tentang mengkonversi ide menjadi uang. Oleh sebab itu, relevansi menjadi isu pokok. Teknologi yang sesuai dengan potensi sumberdaya alam lokal/nasional akan lebih terjamin keberlanjutannya dan sekaligus dapat mewujudkan kemandirian bangsa. Teknologi yang sesuai dengan kapasitas adopsi mayoritas penduduk akan membuka peluang untuk berdampak lebih massal, memperbesar porsi sumberdaya manusia yang menjadi penggerak pembangunan dan sekaligus mengurangi porsi yang hanya menjadi beban pembanguan, serta memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi dan sekaligus pemerataan kesejahteraan. Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Perindustrian perlu meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksinya dengan pihak industri. Ide hibridisasi kegiatan pendidikan dengan aktivitas bisnis/industri memang bukan merupakan sesuatu yang baru. Kegiatan pemagangan (internship) telah
119
dilakukan sejak lama di Indonesia. Hanya saja kualitas dan intensitasnya terus perlu ditingkatkan. Idealnya kegiatan ini dilandasi oleh asas saling membutuhkan dan saling menguntungkan atau bersifat mutualistik. Ukuran keberhasilan program pemagangan tergantung pada kualitas pembelajaran yang berlangsung selama peserta didik ditempatkan di lingkungan dunia kerja. Padu silang pendidikan-bisnis ini perlu dilakukan secara dua arah. Selain pemagangan peserta didik di lingkungan kerja, juga perlu dibarengi dengan mengundang pelaku bisnis dan industri untuk menularkan pengetahuan dan/atau ketrampilan di lingkungan akademis. Saat ini, pelaku bisnis/industri umumnya hanya diundang sesekali ke lingkungan akademis dalam rangka kegiatan spesifik tertentu. Akan lebih intensif, jika pelaku bisnis/industri tersebut menjadi ‘mitra penuh’ dari tenaga pengajar di perguruan tinggi, terutama untuk mata kuliah tertentu yang kental kaitannya dengan kebutuhan implementasinya di dunia kerja.
Potensi Sosial Budaya. Upaya mewujudkan SINas yang produktif dan efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, juga perlu mempertimbangkan potensi sosial masyarakat, selain potensi sumberdaya alam dan manusia sebagaimana telah diuraikan di atas. Potensi sosial budaya dapat dikategorikan sebagai potensi non-ekonomi ini umumnya bersifat ‘intangible’. Sulit diukur secara kuantitatif dan divisualisasikan, tetapi jelas dampaknya dapat dirasakan. Tradisi, budaya, norma, etika, dan nilai-nilai karakter bangsa lainnya merupakan faktor yang akan ikut mempengaruhi tingkat keberhasilan SINas, walaupun unsur-unsur ini bersifat tak-berwujud dan sulit diukur secara objektif, berbeda dengan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang jelas wujudnya dan dapat dikuantifikasi besaran potensinya. Kearifan tradisional (tradisional wisdom) dapat menjadi inspirasi dalam pengembangan sistem inovasi. Karena sifatnya sering sangat spesifik dan lokal, maka mungkin tidak dapat menjadi acuan SINas, tetapi sangat potensial diacu untuk membangun Sistem Inovasi Daerah (selanjutnya disingkat SIDa). Kearifan tradisional merupakan akumulasi pengetahuan selama periode yang panjang. Walaupun kadang sulit dijelaskan secara ilmiah, namun probabilitas kebenarannya relatif tinggi dan sudah teruji. Namun dengan kecermatan akademis, banyak pula kearifan lokal yang dapat dijelaskan secara ilmiah dengan sistematis dan logis, sehingga dapat pula dilakukan pengembangan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensinya. Di era modern, kualitas sosial budaya yang selaras dengan prinsip-prinsip good governance dalam penyelenggaraan atau pengelolaan lembaga pemerintah, bisnis, maupun masyarakat dapat menjadi modal menuju sukses dalam membangun SINas. Beberapa contoh di atas cukup untuk justifikasi tentang pentingnya dimensi sosial dalam mewujudkan SINas. Oleh sebab itu, perlu juga secara sungguh-sungguh diintegrasikan ke dalam formula menuju keberhasilan membangun SINas.
120
Bab 7 Rangkuman dan Rekomendasi 7.1. Rangkuman Kepentingan nasional dan kecenderungan global membutuhkan perubahan yang mendasar tentang arah pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi menuju upaya meningkatkan kontribusi teknologi terhadap pembangunan berbagai sektor, terutama sektor-sektor perekonomian. Dengan demikian, aktivitas riset di masa yang akan datang perlu lebih diarahkan untuk memenuhi realita kebutuhan dan/atau menyediakan solusi bagi persoalan nyata yang dihadapi para pengguna teknologi, baik industri, masyarakat, ataupun pemerintah. Dari sisi lain, konstitusi Indonesia juga secara jelas dan tegas mengamanahkan bahwa pembangunan iptek ditujukan untuk meningkatkan peradaban dan kesejahteraan umat manusia. Dalam konteks ini, tentu dimaksudkan bahwa pengembangan teknologi harus diarahkan untuk menyejahterakan rakyat dan peningkatan peradaban bangsa Indonesia. Kecenderungan global saat ini dan kepentingan nasional dalam rangka menunaikan amanah konstitusi sebetulnya berjalan paralel dan menuju satu muara, yakni mewujudkan SINas yang efektif dan produktif. Eksistensi SINas tidak secara langsung dapat dijamin oleh keberadaan lembaga pengembang teknologi yang maju dan lembaga pengguna teknologi dengan kapasitas produksi yang besar, karena yang akan menentukan adalah kualitas interaksi dan komunikasi antar-aktor inovasi tersebut yang dibuktikan dengan terjadinya: [1] aliran informasi kebutuhan dan/atau persoalan teknologis yang dihadapi oleh para pengguna yang sampai ke pengembang teknologi; dan [2] aliran teknologi yang relevan dan sesuai kapasitas adopsi pengguna, yang dihasilkan oleh pengembang dan diimplementasikan oleh pengguna dalam proses produksi barang/jasa sesuai kebutuhan konsumen atau permintaan pasar, terutama pasar domestik. Dalam rangka mendayagunakan secara optimal kapasitas lembaga pengembang teknologi yang sudah baik, maka perlu dilakukan refocusing agar kapasitas tersebut dapat diarahkan sesuai dengan prioritas untuk menghasilkan teknologi yang sesuai kebutuhan pengguna. Revitalisasi lembaga pengembang teknologi ini diarahkan agar lembaga ini tidak hanya handal dalam mendukung aktivitas riset dan pengembangan (R&D capacity) semata, tetapi juga dapat ditingkatkan kapasitasnya untuk mengakses infromasi, mitra kerja potensial, dan sumber pembiayaan eksternal (sourcing capacity) serta kapasitasnya dalam mendifusikan hasil riset dan teknologi kepada pengguna potensialnya (disseminating capacity). Revitalisasi lembaga pengembang teknologi perlu diimbangi dengan upaya peningkatan kapasitas adopsi teknologi pada lembaga pengguna. Upaya ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas dan kompetensi sumberdaya
121
manusia pada lembaga pengguna (industri dan pemerintah) atau pengguna individual dalam masyarakat. Pembentukan unit kerja dalam struktur organisasi lembaga pengguna dan/atau peningkatan aktivitas in-house research pada lembaga pengguna terbukti dapat mendorong peningkatan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi. Pengembang dan pengguna teknologi sebagai aktor utama SINas sering masih membutuhkan dukungan pemerintah dalam bentuk regulasi dan kebijakan yang memotivasi dan berkesesuaian, serta juga peran intermediasi dan fasilitasi agar interaksi dan komunikasi antar-aktor inovasi tersebut dapat lebih diintensifkan. Untuk peran intermediasi dapat juga dimainkan oleh lembaga non-pemerintah. Interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembang dan pengguna teknologi membutuhkan ‘panggung’ yang yang mantab dan nyaman. Mantab dalam makna mendapat dukungan dari berbagai regulasi dan kebijakan dari sektor-sektor yang terkait langsung dan berpengaruh nyata terhadap proses mewujudkan dan perkuatan SINas, termasuk regulasi dan kebijakan riset dan teknologi, keuangan, pendidikan, ketenagakerjaan, perindustrian, dan perdagangan. Nyaman dalam pengertian kebijakan-kebijakan sektoral tersebut bermuara pada kondisi ekosistem yang kondusif untuk tumbuh-kembang SINas. Fasilitasi pemerintah untuk mendorong interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembang-intermediasi-pengguna teknologi dapat juga dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada aktor-aktor inovasi tersebut untuk berada dalam satu kawasan. Ide ini diimplementasikan dengan membangun Science and Technology Park (STP). Untuk kondisi Indonesia, kawasan Puspiptek Serpong sangat mungkin untuk ditransformasi secara fisik dan fungsional menjadi STP, dengan memanfaatkan lembaga dan fasilitas pengembangan teknologi yang sudah ada sebagai modal dasarnya. Transformasi tersebut dapat dilakukan dengan menghadirkan lembaga intermediasi ke dalam kawasan dan menghadirkan industri ke dalam dan/atau membangun kawasan Industrial Park (IP) yang posisinya berdampingan dengan lahan Puspiptek. Gabungan antara STP dan IP ini akan dapat menjadi model SINas Indonesia yang handal, disarankan dinamakan sebagai ‘Indonesian InnoPark’. Sejalan dengan MP3EI, maka diperlukan upaya pengembangan pusat unggulan inovasi (center of excellence on innovation) pada seluruh koridor pembangunan perekonomian nasional, yang masing-masing fokus pada isu-isu ekonomi strategis sesuai dengan potensi ekonomi masing-masing wilayah koridor. Memahami bahwa dalam satu koridor ekonomi masih dapat dijumpai keragaman potensi ekonominya, maka sangat mungkin pada masing-masing koridor dikembangkan beberapa pusat unggulan sesuai dengan realita kebutuhannya. Alternatif lain yang dapat didorong adalah membangun konsorsium inovasi berdasarkan isu spesifik yang menjadi sasaran bersama (common goal) dari anggota konsorsium. Dalam konteks SINas, anggota konsorsium merupakan representasi dari pengembang teknologi, pengguna teknologi, lembaga intermediasi, dan dapat juga jika dianggap strategis melibatkan lembaga penunjang tertentu, yang terkait langsung dengan upaya mencapai sasaran bersama yang telah disepakati.
122
Dewan Riset Nasional (DRN) sebagai lembaga non-struktural yang terkait langsung dengan upaya membangun SINas perlu lebih dioptimalkan perannya, terutama dalam mengidentifikasi kebutuhan dan persoalan iptek, merekomendasikan arah dan prioritas riset nasional, serta koordinasi antara lembaga pengembang teknologi. Untuk revitalisasi peran DRN ini, maka keanggotaan DRN perlu disesuaikan agar secara seimbang mewakili komunitas pengembang dan pengguna teknologi, serta dari unsur pemerintah. Kemungkinan untuk reposisi DRN juga perlu mendapat pertimbangan agar peran koordinasi lebih efektif dapat dilaksanakan. Regulasi dan kebijakan yang ada saat ini dirasakan masih perlu disinkronisasikan, diperbaiki, atau bahkan dilengkapi sehingga bisa diimplementasikan secara efektif dan utuh, termasuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007. Kemungkinan penerbitan Undang-Undang Sistem Inovasi Nasional juga merupakan salah satu alternatif yang perlu diekplorasi lebih lanjut. Semua langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka mewujudkan atau perkuatan SINas yang telah diuraikan di atas tetap secara konsisten berbasis pada potensi sumberdaya nasional, termasuk sumberdaya alam, manusia, dan konsisi sosio-kultural serta nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Selanjutnya langkah ini juga harus fokus pada upaya pemenuhan kebutuhan nasional, termasuk permintaan pasar domestik, dan untuk menyediakan solusi teknologi bagi persoalan yang dihadapi masyarakat, industri, dan pemerintah sebagai pengguna teknologi. Orientasi pengembangan SINas yang berbasis sumberdaya nasional dan lebih diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan domestik ini diharapkan akan mampu meningkatkan kemandirian, harkat, dan martabat bangsa Indonesia.
7.2. Rekomendasi Berdasarkan telaah yang telah dilakukan secara komprehensif ini, maka beberapa butir rekomendasi yang dapat disampaikan adalah: (1) Pengembangan teknologi Indonesia perlu difokuskan untuk memenuhi realita kebutuhan dan/atau menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh pengguna teknologi, termasuk masyarakat, industri, dan lembaga pemerintah sesuai dengan konsepsi penguatan SINas; (2) Kapasitas lembaga pengembang teknologi perlu direvitalisasi agar
mempunyai tiga kapasitas yang dibutuhkan dalam menopang SINas, yakni kapasitas riset dan pengembangan, kapasitas sourcing, dan kapasitas difusinya;
(3) Kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi perlu ditingkatkan agar proses difusi teknologi dalam rangka mewujudkan SINas dapat lebih berpeluang untuk terlaksana, sehingga teknologi dapat secara nyata berkontribusi terhadap pembangunan nasional;
123
(4) Peran lembaga intermediasi perlu lebih dioptimalkan sehingga interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembang dan pengguna teknologi dapat lebih intensif dan produktif, dengan demikian maka upaya penguatan SINas dapat mengalami akselerasi. Peran lembaga intermediasi perlu diperluas sehingga tidak hanya memasarkan teknologi tetapi juga membantu mengidentifikasi kebutuhan dan permasalah yang dihadapi para pengguna teknologi. Partisipasi pihak non-pemerintah perlu dirangsang untuk berperan dalam intermediasi ini; (5) Pemerintah menyiapkan ‘panggung’ bagi para aktor inovasi agar dapat berinteraksi secara intensif dan produktif, melalui pemberlakukan regulasi dan kebijakan yang kondusif, terutama di sektor riset dan teknologi, keuangan, pendidikan, ketenagakerjaan, perindustrian, dan perdagangan; (6) Pembangunan Science and Technology Park (STP) perlu disegerakan agar
tersedia wahana untuk mendorong interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembang-intermediasi-pengguna teknologi, dimana kawasan Puspiptek Serpong dapat diprioritaskan untuk ditransformasi secara fisik dan fungsional menjadi STP;
(7) Pengembangan pusat unggulan inovasi (center of excellence on innovation)
perlu segera diinisiasi dalam rangka memberikan dukungan terhadap implementasi strategi pokok ketiga MP3EI, yakni meningkatkan kontribusi teknologi terhadap percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia;
(8) Pembentukan konsorsium inovasi berdasarkan isu spesifik yang menjadi
sasaran bersama (common goal) dan memiliki nilai strategis nasional perlu didorong karena akan menjadi vehicle yang efektif sebagai model implementasi SINas; (9) Peran Dewan Riset Nasional (DRN) perlu direvitalisasi, antara lain melalui perbaikan komposisi keanggotaannya agar secara lebih seimbang mewakili komunitas pengembang dan pengguna teknologi, serta dari unsur pemerintah. Kemungkinan reposisi DRN juga perlu dipertimbangkan agar peran koordinasi DRN menjadi lebih efektif; (10)Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta turunannya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi perlu disinkronisasikan, diperbaiki, atau bahkan dilengkapi dengan produk turunannya sehingga bisa diimplementasikan secara efektif dan utuh;
(11) Orientasi pengembangan SINas harus berbasis sumberdaya nasional dan
lebih diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan domestik sehingga
124
diharapkan akan mampu meningkatkan kemandirian, harkat, dan martabat bangsa Indonesia.
125
Referensi Abramovitz, M. 1994. Catch-up and convergence in the postwar growth boom and after. In: W.J. Baumol, R.R. Nelson, and E.N. Wolf (eds), Convergence of Productivity: Cross-national studies and historical evidence. Oxford University Press, Oxford (UK). Asheim, B.T. and L. Coenen. 2005. Knowledge bases and regional innovation systems: comparing Nordic clusters. Research Policy 34(8):1173-1190 Bathelt, H. 2003. Geographies of Production: growth regimes in spatial perspective – innovation, institutions, and social systems. Progress in Human geography 27(6):763-778 Boardman, P.C. 2009. Government centrality to university–industry interactions: University research centers and the industry involvement of academic researchers. Research Policy 38:1505–1516 BPS. 2010. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta Casey, S. 2005. Establishing Standards for Social Infrastructure. University Of Queensland, Ipswich. Fagerberg, J. and M. Srholec. 2008. National Innovation Systems, Capabilities and Economic Development. Research Policy 37:1417-1435 Firdausy, C.M. 2009a. Jadikan Iptek sebagai HAM. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Firdausy, C.M. 2009b. Iptek sebagai Keharusan untuk Pertumbuhan Ekonomi. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Freeman, C. 1987. Technology and Economic Performance: lessons from Japan. Pinter, London. Freeman, C. And L. Soete. 2009. Developing science, technology and innovation indicators: What we can learn from the past. Research Policy 38:583–589 Gerschenkron, A. 1962. Economic Backwardness in Historical Perspective. The Belknap Press, Cambridge (USA). Haagedoorn, J. 1996. Trends and Patterns in Strategic Technology Partnering since the Early Seventies. Review of Industrial Organization 11:601-616 Haryoto, E. 2008. Regulasi/Deregulasi. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta. Hasta, L. 2009. Membangun Iptek yang Memihak Rakyat. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
126
Hertog, P. 1995. Assessing the Distributional Power of National Innovation System: pilot study of the Netherland. Center for Technology and Policy Studies, Apeldoorn, Netherland. Hicks, D. And S. Katz. 1996. Systemic Bibliometric Indicators for the Knowledgebased Economy. Paper presented at the OECD Workshop on New Indicators for the Knowledge-based Economy, Paris, 19-21 June. Hidayat, D. 2010. Revitalisasi (Reformasi) Lembaga Litbang untuk Mendukung Sistem Inovasi Nasional. Seminar Nasional Revitalisasi Lembaga Litbang, Universitas Sahid Jakarta, 23 November 2010. Ibrahim, H.D. 2008. Perencanaan Lintas-Sektor. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta. Kadiman, K. 2008. Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta. Kadiman, K. 2009. Membangun Relasi Akademisi-Bisnis-Pemerintah. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Komarulzaman, A. and Armida S. Alisjahbana. 2006. Testing the Natural Resource Curse Hypothesis in Indonesia: Evidence at the Regional Level. Working Paper in Economics and Development Studies No. 200602. Universitas Padjadjaran, Bandung. Lakitan, B. 2010. Revitalisasi Kelembagaan Riset dan Pengembangan untuk Mendukung Sistem Inovasi Nasional. Keynote speech pada Seminar Revitalisasi Kelembagaan Litbang. Universitas Sahid, Jakarta, 23 November 2010. Lakitan, B. 2011a. Indikator Kinerja Lembaga Litbang di Era Informasi Terbuka. Makalah pengarahan pada Temu Peneliti Badan Litbang dan Diklat VIII Kementerian Agama, Makassar, 12-15 April 2011. Lakitan, B. 2011b. Membangun Agroindustri dan Mewujudkan Sistem Inovasi: agar teknologi berkontribusi pada kesejahteraan rakyat. Keynote speech pada Seminar dan Lokakarya Nasional Pengembangan Agroindustri Kalimantan Selatan: prospek, peluang, dan potensi, serta kendala. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru, 23 Juni 2011. Laranja, M., E. Uyarra, and K. Flanagan. 2008. Policies for science, technology and innovation: Translating rationales into regional policies in a multilevel setting. Research Policy 37:823-835 Leydesdorff, L. dan M. Meyer. 2006. Triple Helix indicators of knowledge-based innovation systems: Introduction to the special issue. Research Policy 35:1441–1449 Lipsey, R.G. and K.I. Carlaw. 2004. Total Factor Productivity and the Measurement of Technological Change. Canadian Journal of Economics 37(4):1118-1150
127
Liu, X. and S. White. 2001. Comparing innovation system: a framework and applications to China’s transitional context. Research Policy 30(7):1091-1114 Loikkanen, T., T. Ahlqvist and, P. Pellinen. 2009. The role of the technology barometer in assessing the performance of the national innovation system. Technological Forecasting & Social Change 76:1177–1186 Lundvall, B.A. 1992. National System Innovation: towards a theory of innovation and interactive learning. Pinter, London. Malerba, F. 1996. Industry Studies of Innovation Using CIS Data: computer and office machinery. Paper presented at the Eurostat Conference on Innovation Measurement and Policies. Malherbe G. and G. Stanway. 2010. Corporate Innovation at Work: Defining the innovation consortium, Virtual Consulting International Ltd., New York. Metcalfe, S. 1995. The Economic Foundations of Technology Policy: equilibrium and evolutionary perspective. In: P. Stoneman (ed), Handbook of the Economic of Innovation and Technological Change. Blackwell Publishers, Oxford. MEXT. 2002. Annual Report on the Promotion of Science and Technology. Ministry of Education, Culture, Sport, Science and Technology, Tokyo. Mingers, J. And L. White. 2010. A review of the recent contribution of systems thinking to operational research and management science. European Journal of Operational Research 207:1147–1161 Nelson, R. 1993. National Innovation System: a comparative analysis. Oxford University Press, Oxford. OECD. 1996. The Knowledge-Based Economy. Organisation for Economic Cooperation and Development, Paris, France. OECD. 1997. National Innovation Systems. Organisation for Economic Cooperation and Development, Paris, France. OECD. 2002. Frascati Manual: The Proposed Standard Practice for Surveys of Research and Experimental Development. Sixth edition. Organisation for Economic Co-Operation and Development, Paris OECD. 2005. Oslo Manual: guidelines for collecting and interpreting innovation data. Third edition. Organisation for Economic Co-Operation and Development, Paris OECD. 2008a. Strategic Priorities for Science, Technology, and Innovation Policy. Organisation for Economic Cooperation and Development, Paris, France. OECD. 2008b. Innovation Strategies: scoping document. Organisation for Economic Cooperation and Development, Paris, France. Oey-Gardiner, M. 2008. Teknologi dan Tanggung Jawab Sosial. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta.
128
Panigoro, H. 2008. Konsistensi Regulasi. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta. Patel, P. and K. Pavitt. 1994. The Nature and Economic Importance of National Innovation Systems. Science Technology and Innovation Review No.14. OECD, Paris. Prihandana, R. 2008. Industri, bukan Pabrik. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta. Rosenberg, N. and R.R. Nelson. 1994. American Universities and Technical Advance in Industry. Research Policy 23(3):323-348 Santoso, B. 2008. Embargo sebagai Pemicu. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta. Schumpeter, J. 1934. The Theory of Economic Development. Harvard University Press, Cambridge. Setiawan, B. 2008. Peran Badan Intermediasi. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta. Setiawan, S. 2008. Kesinambungan Milestone. Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta.
Dalam: Kadiman, Simfoni
Sharif. 2010. Governance of Innovation Systems in the Current Global Setting. Bahan Ceramah di LIPI, Jakarta Suhardi, I. 2009. Inovasi untuk Pemberdayaan Industri. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Thee Kian Wie. 2008. Nalar Ekonomi versus Nalar Teknologi. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta. UNCTAD. 2009. World Investment Prospects Survey 2008-2011. Nations Conference on Trade and Development, New York
United
Wang, T.Y. dan S.C. Chien. 2007. The influences of technology development on economic performance—The example of ASEAN countries. Technovation 27:471–488 Warsono, S.Y. 2009. Peran Intermediasi dalam Membangun Kolaborasi Lembaga Litbang dan Industri. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. WEF. 2010. The Global Competitiveness Report 2010-2011. World Economic Forum, Geneva World Bank. 2010. Innovation Policy: a guide for developing countries. The World Bank, Washington DC
129
Lampiran Lampiran 1. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2002 TENTANG SISTEM NASIONAL PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa alam semesta dan segala isinya diciptakan Tuhan Yang Maha Esa untuk kepentingan umat manusia yang dalam pengelolaan dan pendayagunaannya diperlukan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab; b. bahwa penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pencapaian tujuan negara sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menyerasikan tata kehidupan manusia beserta kelestarian fungsi lingkungan hidupnya berdasarkan Pancasila; c. bahwa untuk menumbuhkembangkan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengandung dan membentuk keterkaitan yang tidak terpisahkan dan saling memperkuat antara unsur-unsur kelembagaan, sumber daya, serta jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam satu keseluruhan yang utuh di lingkungan Negara Republik Indonesia; d. bahwa penumbuhkembangan sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah tugas dan tanggung jawab negara; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada butir a, b, c, dan d perlu dibentuk Undang-Undang tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (4), Undang- Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Perubahan Ketiga UndangUndang Dasar 1945;
130
Dengan persetujuan : DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM NASIONAL PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Ilmu pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan menggunakan pendekatan tertentu yang dilandasi oleh metodologi ilmiah, baik yang bersifat kuantitatif, kualitatif, maupun eksploratif untuk menerangkan pembuktian gejala alam dan/atau gejala kemasyarakatan tertentu. 2. Teknologi adalah cara atau metode serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia. 3. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang strategis adalah berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi yang memiliki keterkaitan yang luas dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara menyeluruh, atau berpotensi memberikan dukungan yang besar bagi kesejahteraan masyarakat, kemajuan bangsa, keamanan dan ketahanan bagi perlindungan negara, pelestarian fungsi lingkungan hidup, pelestarian nilai luhur budaya bangsa, serta peningkatan kehidupan kemanusiaan. 4. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. 5. Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru. 6. Invensi adalah suatu ciptaan atau perancangan baru yang belum ada sebelumnya yang memperkaya khazanah serta dapat dipergunakan untuk
131
7. 8.
9.
10. 11.
12. 13. 14.
15. 16. 17. 18.
menyempurnakan atau memperbarui ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada. Penerapan adalah pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan, dan/atau ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam kegiatan perekayasaan, inovasi, serta difusi teknologi. Perekayasaan adalah kegiatan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bentuk desain dan rancang bangun untuk menghasilkan nilai, produk, dan/atau proses produksi dengan mempertimbangkan keterpaduan sudut pandang dan/atau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial budaya, dan estetika. Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi. Difusi teknologi adalah kegiatan adopsi dan penerapan hasil inovasi secara lebih ekstensif oleh penemunya dan/atau pihak-pihak lain dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna potensinya. Alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan, atau orang, baik yang berada di lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri dan sebaliknya. Lembaga penelitian dan pengembangan yang selanjutnya disebut lembaga litbang adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan penelitian dan/atau pengembangan. Badan usaha adalah badan atau lembaga berbadan hukum yang melakukan kegiatan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Organisasi profesi adalah wadah masyarakat ilmiah dalam suatu cabang atau lintas disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi, atau suatu bidang kegiatan profesi, yang dijamin oleh negara untuk mengembangkan profesionalisme dan etika profesi dalam masyarakat, sesuai dengan peraturan perundangundangan. Hak kekayaan intelektual yang selanjutnya disebut HKI adalah hak memperoleh perlindungan secara hukum atas kekayaan intelektual sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. Menteri adalah menteri yang membidangi penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 2
Pengertian peristilahan dalam Pasal 1 yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan berpikir, kebebasan akademis, dan tanggung jawab akademis.
132
BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 3 Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dikembangkan berdasarkan asas iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, asas tanggung jawab negara, asas kesisteman dan percepatan, asas kebenaran ilmiah, asas kebebasan berpikir, asas kebebasan akademis, serta asas tanggung jawab akademis. Pasal 4 Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bertujuan memperkuat daya dukung ilmu pengetahuan dan teknologi bagi keperluan mempercepat pencapaian tujuan negara, serta meningkatkan daya saing dan kemandirian dalam memperjuangkan kepentingan negara dalam pergaulan internasional. BAB III FUNGSI, KELEMBAGAAN, SUMBER DAYA, DAN JARINGAN Bagian Pertama Fungsi Pasal 5 (1) Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi membentuk pola hubungan yang saling memperkuat antara unsur penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam satu keseluruhan yang utuh untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. (2) Unsur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur kelembagaan, unsur sumber daya, dan unsur jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagian Kedua Kelembagaan Pasal 6 (1) Kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas unsur perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang. (2) Kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi : a. mengorganisasikan pembentukan sumber daya manusia, penelitian, pengembangan, perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi; b. membentuk iklim dan memberikan dukungan yang diperlukan bagi penyelenggaraan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 7
133
(1) Perguruan tinggi sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi membentuk sumber daya manusia ilmu pengetahuan dan teknologi. (2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perguruan tinggi bertanggung jawab meningkatkan kemampuan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian pada masyarakat sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 8 (1) Lembaga litbang sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi menumbuhkan kemampuan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), lembaga litbang bertanggung jawab mencari berbagai invensi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menggali potensi pendayagunaannya. (3) Lembaga litbang dapat berupa organisasi yang berdiri sendiri, atau bagian dari organisasi pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, badan usaha, lembaga penunjang, dan organisasi masyarakat. Pasal 9 (1) Badan usaha sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi menumbuhkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi untuk menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai ekonomis. (2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), badan usaha bertanggung jawab mengusahakan pendayagunaan manfaat keluaran yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan lembaga litbang. Pasal 10 (1) Lembaga penunjang sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi memberikan dukungan dan membentuk iklim yang kondusif bagi penyelenggaraan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), lembaga penunjang bertanggung jawab mengatasi permasalahan atau kesenjangan yang menghambat sinergi dan pertumbuhan perguruan tinggi, lembaga litbang, dan badan usaha.
134
Bagian Ketiga Sumber Daya Pasal 11 (1) Sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas keahlian, kepakaran, kompetensi manusia dan pengorganisasiannya, kekayaan intelektual dan informasi, serta sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi. (2) Setiap unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi bertanggung jawab meningkatkan secara terus menerus daya guna dan nilai guna sumber daya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 12 (1) Dalam meningkatkan keahlian, kepakaran, serta kompetensi manusia dan pengorganisasiannya, setiap unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi bertanggung jawab mengembangkan struktur dan strata keahlian, jenjang karier sumber daya manusia, serta menerapkan sistem penghargaan dan sanksi yang adil di lingkungannya sesuai dengan kebutuhan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (2) Untuk menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas profesionalisme, organisasi profesi wajib menentukan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta kode etik profesi. Pasal 13 (1) Pemerintah mendorong kerja sama antara semua unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengembangan jaringan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi. (2) Perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan penyebaran informasi hasil-hasil kegiatan penelitian dan pengembangan serta kekayaan yang dimiliki selama tidak mengurangi kepentingan perlindungan kekayaan intelektual. (3) Dalam meningkatkan pengelolaan kekayaan intelektual, perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan pembentukan sentra HKI sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. (4) Setiap kekayaan intelektual dan hasil kegiatan penelitian, pengembangan, perekayasaan, dan inovasi yang dibiayai pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib dikelola dan dimanfaatkan dengan baik oleh perguruan tinggi, lembaga litbang, dan badan usaha yang melaksanakannya. Pasal 14 Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan usaha dapat membangun kawasan, pusat peragaan, serta sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan
135
teknologi lain untuk memfasilitasi sinergi dan pertumbuhan unsur-unsur kelembagaan dan menumbuhkan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan masyarakat. Bagian Keempat Jaringan Pasal 15 (1) Jaringan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi membentuk jalinan hubungan interaktif yang memadukan unsur-unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghasilkan kinerja dan manfaat yang lebih besar dari keseluruhan yang dapat dihasilkan oleh masing-masing unsur kelembagaan secara sendiri-sendiri. (2) Untuk mengembangkan jaringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang, wajib mengusahakan kemitraan dalam hubungan yang saling mengisi, melengkapi, memperkuat, dan menghindarkan terjadinya tumpang tindih yang merupakan pemborosan. Pasal 16 (1) Perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan, yang dibiayai sepenuhnya atau sebagian oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah kepada badan usaha, pemerintah, atau masyarakat, sejauh tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan. (2) Apabila sebagian biaya kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibiayai oleh pihak lain, selain pemerintah dan/atau pemerintah daerah, pengalihan teknologi dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang telah diatur sebelumnya dengan pihak lain tersebut. (3) Perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah berhak menggunakan pendapatan yang diperolehnya dari hasil alih teknologi dan/atau pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembangkan diri. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 17 (1) Kerja sama internasional dapat diusahakan oleh semua unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan alih teknologi dari negara-negara lain serta meningkatkan partisipasi dalam kehidupan masyarakat ilmiah internasional. (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilaksanakan atas dasar persamaan kedudukan yang saling menguntungkan dengan tidak merugikan kepentingan nasional, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
136
(3) Pemerintah bertanggung jawab memberikan dukungan bagi perguruan tinggi dan lembaga litbang dalam rangka kerja sama internasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. (4) Perguruan tinggi asing, lembaga litbang asing, badan usaha asing, dan orang asing yang tidak berdomisili di Indonesia yang akan melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia harus mendapatkan izin tertulis dari instansi pemerintah yang berwenang. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. BAB IV FUNGSI DAN PERAN PEMERINTAH Bagian Pertama Fungsi Pemerintah Pasal 18 (1) Pemerintah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia. (2) Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah wajib merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dituangkan sebagai kebijakan strategis pembangunan nasional ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 19 (1) Menteri wajib mengoordinasikan perumusan kebijakan strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dengan mempertimbangkan segala masukan dan pandangan yang diberikan oleh unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi. (2) Untuk mendukung Menteri dalam merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah membentuk Dewan Riset Nasional yang beranggotakan masyarakat dari unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi. (3) Dalam menetapkan prioritas utama dan mengembangkan berbagai aspek kebijakan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, Menteri wajib memperhatikan pentingnya upaya : a. penguatan penguasaan ilmu-ilmu dasar, ilmu pengetahuan dan teknologi yang strategis, dan peningkatan kapasitas penelitian dan pengembangan yang merupakan tulang punggung perkembangan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta penguatan penguasaan ilmu-ilmu sosial dan budaya yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
137
b. penguatan pertumbuhan industri berbasis teknologi untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi serta memperkuat tarikan pasar bagi hasil kegiatan penelitian dan pengembangan; c. penguatan kemampuan audit teknologi impor yang dikaitkan dengan penguatan Standar Nasional Indonesia untuk melindungi konsumen dan memfasilitasi pertumbuhan industri dalam negeri. Pasal 20 (1) Pemerintah daerah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan serta sinergi unsur kelembagaan, sumber daya, dan jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi di wilayah pemerintahannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. (2) Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah daerah wajib merumuskan prioritas serta kerangka kebijakan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dituangkan sebagai kebijakan strategis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerahnya. (3) Dalam merumuskan kebijakan strategis yang dimaksud dalam ayat (2), pemerintah daerah harus mempertimbangkan masukan dan pandangan yang diberikan oleh unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi. (4) Untuk mendukung perumusan prioritas dan berbagai aspek kebijakan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah daerah membentuk Dewan Riset Daerah yang beranggotakan masyarakat dari unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerahnya. Bagian Kedua Peran Pemerintah Pasal 21 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah berperan mengembangkan instrumen kebijakan untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1). (2) Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan sebagai bentuk kemudahan dan dukungan yang dapat mendorong pertumbuhan dan sinergi semua unsur Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. (3) Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat berbentuk dukungan sumber daya, dukungan dana, pemberian insentif, penyelenggaraan program ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pembentukan lembaga. (4) Lembaga yang dimaksud dalam ayat (3) dapat meliputi lembaga litbang dan lembaga penunjang, baik yang berdiri sendiri sebagai Lembaga Pemerintah
138
Non Departemen maupun sebagai unit kerja departemen atau pemerintah daerah tertentu. (5) Pelaksanaan instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diselenggarakan secara adil, demokratis, transparan, dan akuntabel. Pasal 22 (1) Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara serta keseimbangan tata kehidupan manusia dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup. (2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah mengatur perizinan bagi pelaksanaan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berisiko tinggi dan berbahaya dengan memperhatikan standar nasional dan ketentuan yang berlaku secara internasional. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 23 (1) Pemerintah menjamin perlindungan bagi HKI yang dimiliki oleh perseorangan atau lembaga sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pemerintah menjamin perlindungan bagi pengetahuan dan kearifan lokal, nilai budaya asli masyarakat, serta kekayaan hayati dan non hayati di Indonesia. (3) Pemerintah menjamin perlindungan bagi masyarakat sebagai konsumen, terhadap penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB V PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 24 (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk berperan serta dalam melaksanakan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap warga negara yang melakukan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai hak memperoleh penghargaan yang layak dari pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat sesuai dengan kinerja yang dihasilkan. (3) Setiap orang mempunyai hak untuk menggunakan dan mengendalikan kekayaan intelektual yang dimiliki sesuai dengan peraturan perundangundangan. (4) Setiap warga negara mempunyai hak untuk memperoleh informasi secara mudah dengan biaya murah tentang HKI yang sedang didaftarkan dan telah dipublikasikan secara resmi oleh pihak yang berwenang atau yang telah memperoleh perlindungan hukum di Indonesia.
139
Pasal 25 (1) Masyarakat wajib memberikan dukungan serta turut membentuk iklim yang dapat mendorong perkembangan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. (2) Masyarakat ilmu pengetahuan dan teknologi bertanggung jawab untuk berperan serta mengembangkan profesionalisme dan etika profesi melalui organisasi profesi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Setiap organisasi profesi wajib membentuk dewan kehormatan kode etik sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (2). BAB VI PEMBIAYAAN Pasal 26 Pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah. Pasal 27 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran sebesar jumlah tertentu yang cukup memadai untuk memacu akselerasi penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (2) Anggaran yang dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk membiayai pelaksanaan fungsi dan peran pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (1). (3) Perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, lembaga penunjang, organisasi masyarakat dan inventor mandiri berhak atas dukungan dana dari anggaran pemerintah dan pemerintah daerah untuk meningkatkan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 28 (1) Badan usaha mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam meningkatkan kinerja produksi dan daya saing barang dan jasa yang dihasilkan. (2) Anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat digunakan dalam lingkungan sendiri dan dapat pula digunakan untuk membentuk jalinan kemitraan dengan unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi lain. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
140
BAB VII KETENTUAN SANKSI Bagian Pertama Sanksi Administratif Pasal 29 Pelanggaran ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dijatuhi sanksi administratif mulai dari teguran, peringatan, pemberhentian sementara kegiatan, sampai dengan pembatalan atau pencabutan izin oleh instansi pemberi izin. Bagian Kedua Sanksi Pidana Pasal 30 (1) Setiap orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) tanpa terlebih dahulu mendapatkan izin diancam pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan/atau penjara paling lama 6 (enam) bulan. (2) Setiap orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) yang mengakibatkan bahaya bagi keselamatan manusia, kesehatan masyarakat, kelestarian fungsi lingkungan hidup, kerukunan bermasyarakat, keselamatan bangsa, dan merugikan negara, dijatuhi sanksi pidana penjara dan/atau denda sesuai dengan peraturan perundangundangan. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 31 Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan lain yang berhubungan dengan kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak sesuai dengan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.
141
BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 32 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 29 Juli 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Juli 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 84
142
Lampiran 2. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2007 TENTANG PENGALOKASIAN SEBAGIAN PENDAPATAN BADAN USAHA UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN PEREKAYASAAN, INOVASI, DAN DIFUSI TEKNOLOGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha Untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219); MEMUTUSKAN
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGALOKASIAN SEBAGIAN PENDAPATAN BADAN USAHA UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN PEREKAYASAAN, INOVASI, DAN DIFUSI TEKNOLOGI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksudkan dengan : 1.
Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan
143
dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2.
Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru.
3.
Perekayasaan adalah kegiatan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bentuk disain dan rancang bangun untuk menghasilkan nilai, produk, dan/atau proses produksi dengan mempertimbangkan keterpaduan sudut pandang dan/atau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial budaya, dan estetika.
4.
Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi.
5.
Difusi teknologi adalah kegiatan adopsi dan penerapan hasil inovasi secara lebih ekstensif oleh penemunya dan/atau pihak-pihak lain dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna potensinya.
6.
Badan Usaha adalah badan atau lembaga berbadan hukum yang melakukan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
7.
Insentif adalah pemberian kemudahan/keringanan yang diberikan kepada Badan Usaha dalam rangka upaya peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi.
8.
Pendapatan adalah penghasilan yang diperoleh dari penjualan barang dan jasa yang berhubungan dengan kegiatan utama badan usaha.
9.
Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. BAB II ALOKASI SEBAGIAN PENDAPATAN BADAN USAHA Pasal 2
(1) Badan Usaha mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam meningkatkan kinerja produksi dan/atau daya saing barang dan/atau jasa yang dihasilkan. (2) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi badan usaha swasta berbentuk perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Koperasi.
144
Pasal 3 Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mengalokasikan sebagian pendapatan sesuai dengan kemampuannya. BAB III PELAKSANAAN KEGIATAN PENINGKATAN KEMAMPUAN PEREKAYASAAN, INOVASI, DAN DIFUSI TEKNOLOGI Pasal 4 Peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dilakukan melalui kegiatan: a.
penelitian, pengembangan dan/atau penerapan teknologi; dan/atau
b.
pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan perguruan tinggi dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan. Pasal 5
(1) Dalam melakukan kegiatan peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi, Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat melakukan kemitraan dengan perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, dan badan usaha lain. (2) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk lisensi, kerjasama, dan pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi. BAB IV INSENTIF Bagian Kesatu Umum Pasal 6 (1) Badan Usaha yang mengalokasikan sebagian pendapatan untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dapat diberikan insentif. (2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk insentif perpajakan, kepabeanan, dan/atau bantuan teknis penelitian dan pengembangan. (3) Besar dan jenis insentif perpajakan dan kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan sepanjang diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan. Pasal 7 (1) Bantuan teknis penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dapat berupa penempatan tenaga ahli dan/atau pemanfaatan fasilitas laboratorium di lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah.
145
(2) Bantuan teknis penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan untuk kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a. kegiatan yang dilakukan di luar negeri; b. kegiatan pengawasan dan/atau pengujian rutin terhadap kualitas produk, bahan, peralatan, produk dan/atau proses; c. pengumpulan data; d. survei efisiensi atau studi manajemen; e. riset pasar dan/atau promosi penjualan; dan f. pembelian dan/atau pembayaran royalti teknologi dari entitas lain di luar negeri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan teknis penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Tata Cara Permohonan, Penghentian, dan Perpanjangan Insentif Pasal 8 (1) Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengajukan permohonan untuk mendapatkan rekomendasi insentif secara tertulis kepada Menteri. (2) Pengajuan permohonan rekomendasi insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan proposal kegiatan dan bentuk insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan rekomendasi insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 9 (1) Menteri membentuk Tim Pengkajian dan Penilaian, guna melakukan pengkajian dan penilaian terhadap permohonan insentif. (2) Hasil pengkajian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri dalam bentuk saran dan pertimbangan. (3) Pengkajian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut: a.
kegiatan peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
b.
potensi peningkatan kinerja produksi dan/atau daya saing barang dan/atau jasa;
c.
pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan di dalam negeri; dan
146
d.
penggunaan sumber daya dalam negeri.
(4) Pengkajian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh. (5) Pengkajian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan insentif diterima secara lengkap. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan keanggotaan dan tata kerja Tim Pengkajian dan Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 10 (1) Menteri dapat memberikan atau tidak memberikan rekomendasi insentif dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Tim Pengkajian dan Penilaian. (2) Menteri menyampaikan pemberitahuan persetujuan atau penolakan pemberian rekomendasi insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak penerimaan saran dan pertimbangan Tim Pengkajian dan Penilaian. Pasal 11 (1) Dalam hal Menteri memberikan rekomendasi insentif, rekomendasi disampaikan kepada Badan Usaha dengan tembusan kepada instansi pemerintah yang berwenang dalam pemberian insentif. (2) Badan Usaha mengajukan permohonan insentif kepada instansi pemerintah yang berwenang disertai dengan rekomendasi insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Tata cara pengajuan permohonan insentif perpajakan dan kepabeanan dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan. Pasal 12 Dalam hal Menteri tidak memberikan rekomendasi insentif, pemberitahuan disampaikan kepada Badan Usaha disertai dengan alasannya. Pasal 13 (1) Dalam hal pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) berupa bantuan teknis penelitian dan pengembangan, instansi pemerintah yang berwenang dapat menghentikan atau memperpanjang pemberian insentif. (2) Penetapan penghentian atau perpanjangan pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi pemerintah yang berwenang setelah meminta saran dan pertimbangan Menteri.
147
(3) Menteri menyampaikan saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada instansi pemerintah yang berwenang dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Tim Pengkajian dan Penilaian. (4) Penghentian atau perpanjangan pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan pimpinan instansi pemerintah yang berwenang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Bagian Ketiga Pelaporan Pasal 14 (1) Pada setiap akhir tahun dan akhir kegiatan, Badan Usaha yang mendapat insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) wajib menyerahkan laporan kegiatan peningkatan kemampuan, perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi kepada Menteri. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat pencapaian kegiatan yang telah dilakukan dan kriteria sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3). (3) Menteri dapat melakukan verifikasi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) guna memberikan saran dan pertimbangan penghentian atau perpanjangan insentif kepada instansi pemerintah yang berwenang. (4) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh.
148
BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 15 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2007 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2007 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 78
149
Lampiran 3. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2010 TENTANG SUMBANGAN PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN, SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA, DAN BIAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto; Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893); MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SUMBANGAN PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN, SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA, DAN BIAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.
150
Pasal 1 Sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak terdiri atas: a. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui badan penanggulangan bencana atau disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana; b. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan; c. Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang disampaikan melalui lembaga pendidikan; d. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan sumbangan untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olah raga; dan e. Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba. Pasal 2 Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat: a. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya; b. pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan diberikan; c. didukung oleh bukti yang sah; dan d. lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan. Pasal 3 Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya.
151
Pasal 4 Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pihak pemberi apabila sumbangan dan/atau biaya diberikan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan. Pasal 5 (1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dapat diberikan dalambentuk uang dan/atau barang. (2) Biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e diberikan hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana. Pasal 6 (1) Nilai sumbangan dalam bentuk barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditentukan berdasarkan: a. nilai perolehan, apabila barang yang disumbangkan belum disusutkan; b. nilai buku fiskal, apabila barang yang disumbangkan sudah disusutkan; atau c. harga pokok penjualan, apabila barang yang disumbangkan merupakan barang produksi sendiri. (2) Nilai biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) ditentukan berdasarkan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun sarana dan/atau prasarana. Pasal 7 Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib dicatat sesuai dengan peruntukannya oleh pemberi sumbangan. Pasal 8 (1) Badan penanggulangan bencana dan lembaga atau pihak yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a harus menyampaikan laporan penerimaan dan penyaluran sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk setiap triwulan. (2) Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e wajib menyampaikan laporan penerimaan sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat pada akhir Tahun Pajak diterimanya sumbangan dan/atau biaya. (3) Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya yang mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak melaporkan sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai lampiran laporan keuangan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak diterimanya sumbangan.
152
Pasal 9 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencatatan dan pelaporan sumbangan dan/atau biaya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2010. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 160
153