1
DISTRIBUSI ENERGI STASIONER DALAM TIGA KANAL PROTEIN α-HELIKS BERDASARKAN PERSAMAAN NONLINIER SCHRÖDINGER–DAVYDOV DISKRIT
MARDANIH
DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
2
ABSTRAK
Mardanih. Distribusi Energi Stasioner dalam Tiga Kanal Protein α-Heliks Berdasarkan Persamaan Nonlinier Schrödinger-Davydov Diskrit. Dibimbing oleh Husin Alatas dan Faozan. Dengan berlandaskan pada persamaan nonlinier Schrödinger-Davydov diskrit, telah berhasil ditunjukan bahwa energi terdistribusi secara stastioner pada tiga kanal protein α-heliks. Pada kasus single channel, energi terjebak (trapped) dalam satu kanal saja. Pada kasus dua kanal dan tiga kanal yang terkopel, fenomena breather selalu muncul jika inisial kondisi dari eksiton ditentukan secara sembarang. Hal ini menunjukan bahwa energi memiliki kecenderungan untuk tereksitasi dari satu kanal ke kanal yang lain. Pada kondisi-kondisi khusus, ternyata distribusi energi pada tiap kanal dapat terdekopel. Dengan demikian peran efek kopling antar kanal menjadi tidak dominan sehingga energi tidak tereksitasi ke kanal yang lainnya. Kata kunci: soliton, protein α-heliks, davydov, persamaan nonlinier Schrödinger, distribusi energi, NLS
3
DISTRIBUSI ENERGI STASIONER DALAM TIGA KANAL PROTEIN α-HELIKS BERDASARKAN PERSAMAAN NONLINIER SCHRÖDINGER–DAVYDOV DISKRIT
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Mardanih G74103003
DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
4
Judul : Nama : NRP :
Distribusi Energi Stasioner dalam Tiga Kanal Protein α-Heliks Berdasarkan Persamaan Nonlinier Schrödinger – Davydov Diskrit Mardanih G 74103003
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Husin Alatas NIP. 132206234
Faozan, M.Si
Mengetahui, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Instutut Pertanian Bogor
Dr. drh. Hasim, DEA NIP. 131578806
Tanggal Lulus:
5
“Kadang...ketenangan dapat menjadi kunci segala gundah. Melangkahlah seperti aliran sungai yang dalam, tanpa riak...tanpa gusar. Damai seperti angin laut…tenang seperti batu karang… dan melangkah pasti seperti terbit mentari. Berkata pada ruang...berkata pada waktu...berkata pada dunia. Dari aku...untuk dia di sana” (dans)
6
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 15 Februari 1985 oleh pasangan Ayah tercinta, Bonen (alm) dan Ibu tercinta, Odah. Penulis merupakan anak ke tiga dari empat bersaudara. Penulis tamat SD hingga SLTP di Kecamatan Sukatani Kabupaten Bekasi. Kemudian melanjutkan studi di SMUN1 Cikarang Utara. Penulis memperoleh beberapa penghargaan studi di tingkat SLTP dan SMU diantaranya sebagai juara umum selama studi di SLTP dan SMU, peringkat II dalam Olimpiade Fisika se-Bekasi, dan Peringkat II Siswa Teladan tingkat SMU se-Kabupaten Bekasi. Setelah tamat SMU, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dengan mengambil Program Studi Fisika. Selama kuliah, penulis aktif menjadi Asisten Praktikum dan Asisten Dosen di beberapa mata kuliah diantaranya Asisten Praktikum Fisika TPB tahun 2005-2007, Asisten Praktikum Kimia TPB tahun 2006-2007, Asisten Dosen mata kuliah Gelombang tahun 2007, Asisten Dosen mata kuliah Fisika Modern tahun 2007, dan Korektor tugas-tugas mata kuliah Fisika Kuantum tahun 2007. Selain itu, Penulis juga aktif sebagai koordinator pelajaran Fisika tingkat SMA di lembaga Bimbingan Belajar BTA Bogor, dan sebagai Ketua Les Fisika TPB Physics Challenges tahun 20052007. Penulis juga pernah aktif sebagai Kepala Divisi Keilmuan di Himpunan Mahasiswa Fisika IPB tahun 2005-2006. Semua aktivitas yang dilakukan oleh penulis berdasarkan pada motto “Hidup itu Harus Kerja Keras dan Bermanfaat”.
7
PRAKATA Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Segala puji bagi Allah Subhanahu Wata’ala, Tuhan Semesta Alam yang senantiasa mencurahkan rahmatNya pada setiap insan. Dengan nikmat dan Rahmat dariNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam yang telah membawa umat pada jalan yang lurus. Skripsi dengan judul “Distribusi Energi Stasioner dalam Tiga Kanal Protein α-Heliks Berdasarkan Persamaan Nonlinier Schrödinger–Davydov Diskrit” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini mengkaji tentang pola distribusi energi yang ada pada protein α-heliks, khususnya mengenai mekanisme transfer energi antar kanal. Selain itu juga membahas kondisi khusus dimana distribusi energi terdekopel di tiap-tiap kanal. Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Orang tua tercinta yang telah mendidik dan menanamkan nilai-nilai sabar dan kerja keras kepada penulis, Bapak Husin Alatas yang dengan sabar membimbing penelitian serta memberikan pemahaman lebih kepada penulis tentang makna ‘ilmu hidup’, kepada Bapak Faozan yang senantiasa siap menjadi tempat bertanya bagi penulis, Paman dan Bibi Sekeluarga yang selalu siap memfasilitasi aspek non-akademis saya, rekan-rekan fisika ’40 dan x-Bara3 yang selalu hadir dalam kesendirian dan memberikan makna persahabatan yang sangat mendalam (ehm..kapan kita maen futsal lagi..??!), rekan-rekan Alumni SMUN1 Cikarang yang selalu mensupport, Abang, Teteh dan Adikku tercinta di Bekasi (abang Dani akan selalu sayang sama Nyai..), Tara Ayu yang selalu siap berbagi pengalaman dan curhat (thanks..atas telepon dan SMSnya..), ‘dia’ di sana yang menjadi sumber inspirasi dan semangat meskipun ‘dia’ tidak pernah tau, x-Seven Soul yang menjadi rekan seperjuangan (selalu ada waktu untuk saling berbagi..), Rizal ’40 yang tidak pernah bosan membantu (makasi banyak..sering pinjamkan motor dan uang ke saya), Subhi Priatna (Mr. Ubay) yang sering membantu perbaikan fasilitas Laboratorium Teori, semua Dosen dan Staf Departemen Fisika IPB yang telah memberikan kontribusi sangat besar kepada penulis dalam pelaksanaan akademis di kampus, dan semua rekan-rekan baik yang lama maupun yang baru (tunggu kesuksesan saya yach..!!). Tak lupa, penulis juga mohon maaf atas segala salah dan khilaf yang pernah diperbuat. Demi kemajuan, saran dan kritik bagi penulis akan selalu terbuka guna pencapaian yang lebih baik. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan bagi para pembaca. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Bogor, Desember 2007
Penulis
8
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................................
x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1.2 Tujuan ...........................................................................................................
1 1 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 2.1 Protein dan Strukturnya .................................................................................. 2.2 Soliton ........................................................................................................... 2.3 Model Davydov pada Protein α-Heliks ........................................................ 2.4 Solusi Stasioner .............................................................................................
1 1 2 2 5
BAB III ALAT DAN METODE .......................................................................................... 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................................... 3.2 Peralatan ........................................................................................................ 3.3 Metode Penelitian .......................................................................................... 3.2.1 Studi Pustaka ........................................................................................ 3.2.2 . Pembuatan Program ............................................................................ 3.2.3 Analisis Output ...................................................................................
5 5 5 6 6 6 6
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ 4.1 Solusi Stasioner Persamaan Nonlinier Schrödinger-Davydov untuk Kasus Satu Kanal ............................................................................... 4.2 Solusi Stasioner Persamaan Nonlinier Schrödinger-Davydov untuk Kasus Dua Kanal ................................................................................ 4.3 Solusi Stasioner Persamaan Nonlinier Schrödinger-Davydov untuk Kasus Tiga Kanal ................................................................................
6 6 7 10
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 5.1 Kesimpulan .................................................................................................... 5.2 Saran ...............................................................................................................
14 14 14
DAFTAR PESTAKA ..........................................................................................................
14
LAMPIRAN .........................................................................................................................
16
9
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
13. 14.
15. 16. 17.
Reaksi kondensasi dua asam amino membentuk ikatan peptida ......................................... Struktur protein secara umum ............................................................................................. Model atomik struktur α-heliks protein .... .......................................................................... Distribusi stasioner energi pada satu kanal protein α-heliks ............................................... Normalisasi terpenuhi untuk selang waktu sampai dengan 162,5 ps .................................. Distribusi energi pada kasus χ = 0 ....................................................................................... Energi tereksitasi dari kanal 1 ke kanal 2. Inisial poin diberikan sebagai berikut: φ1,1 = 0; φ2,1 = 0.2236; φ3,1 = 0.9487; φ4,1 = 0.2236; φ5,1 = 0 .............................................. Efek pantulan energi oleh amida ke-1 dan ke-5 menyebabkan pola distribusi menjadi tidak menetu ........................................................................................................................ Fenomena breather pada dua kanal terkopel. Untuk φ1,1= φ2,1= φ4,1= φ5,1= 0; φ3,1= 1; φ1,2= φ2,2= φ3,1=φ4,2= φ5,2= 0 ............................................................................................... Distribusi energi pada dua kanal α-heliks protein dalam keadan terdekopel, dengan L1 = 2.4 x10-22 joule, L2= 2.3x10-22 joule dan χ=60 pN ...................................................... Nilai normalisasi Energi sepanjang waktu pada kondisi dua kanal yang terdekopel ............ (a) kanal 1, (b) kanal 2, dan (c) knaal 3. Energi tereksitasi dari kanal 1 ke kanal 2 dan 3. Parameter yang digunakan: φ1,1 = φ5,1 = 0; φ2,1 = φ4,1 = 0.2236; φ3,1 =0.9487; dengan L1 = 2.4x10-22J; L2 = 2.3x10-22J; L3 = 2.2x10-22 J ................................................................. Normalisasi eksiton sepanjang kanal untuk rentang waktu 114.925 ps .............................. (a) kanal 1. (b) kanal 2. (c) kanal 3. (d)Normalisasi. Distribusi energi pada protein α-heliks dengan inisial kondisi: φ1,1=φ5,1=0; φ2,1=φ4,1=0.1225; φ3,1 =0.6856; φ1,2=φ5,2=0; φ2,2=φ4,2= 0.1225; φ3,2=0.6856; dengan L1 = 2.4x10-22J; L2 = 2.3x10-22J; L3 = 2.2x10-22 J.... Normalisasi eksiton pada kasus tiga kanal terkopel. ........................................................... Normalisasi distribusi energi pada tiga kanal yang terdekopel. .......................................... Distribusi energi stasioner pada protein α-heliks untuk kasus tiga kanal yang terdekopel, dengan L1 = 2.4x10-22J; L2 = 2.0x10-22J; L3 = 1.6 x 10-22J; χ=60pN .................
1 2 3 7 7 7 9 9 9 10 10
12 12
12 12 13 14
10
DAFTAR LAMPIRAN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Halaman Diagram Alur Kerja ........................................................................................................... Penurunan Solusi Eksak Persamaan Nonlinier Schrödinger-Davydov untuk Kasus Dua Kanal Terkopel ............................................................................................................ Penurunan Solusi Eksak Persamaan Nonlinier Schrödinger-Davydov untuk Kasus Tiga Kanal Terkopel ............................................................................................................ Metode Runge-Kutta Orde 4 ................................................................................................ Pemrograman untuk Mencari Solusi pada Kasus Satu Kanal (Single Channel) .................. Pemrograman untuk Mencari Solusi pada Kasus Dua Kanal ............................................... Pemrograman untuk Mencari Solusi pada Kasus Tiga Kanal .............................................
17 18 21 26 27 30 34
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Pengkajian objek-objek dan fenomena biologi oleh disiplin ilmu fisika untuk saat ini menjadi salah satu kajian yang sangat populer. Sehingga pada akhirnya melahirkan cabang ilmu interdisipliner yang dikenal dengan istilah biofisika. Pada perkembangannya, biofisika memiliki kajian yang begitu luas di antaranya membahas masalah fenomena transport, proses fotosintesis, kajian membran, bioluminesence, dan lain-lain. Salah satu kajian yang sangat berkembang pada saat ini adalah mengenai mekanisme fisis yang tejadi pada protein α-heliks. Dengan mengetahui fenomena yang terjadi pada protein, diharapkan pada perkembangan selanjutnya dapat diperoleh informasi-informasi berharga guna kepentingan berbagai hal diantaranya medis, rekayasa genetika, bioteknologi dan lain-lain. Sebagai salah satu makromolekul yang cukup berperan pada mekanisme kerja dari sistem organ tubuh, protein banyak sekali melakukan aktivitas termasuk di dalamnya gerak dan pertukaran informasi dari satu protein ke protein yang lain. Semua mekanisme tersebut tidak lepas dari peran serta energi pada protein itu sendiri. Dengan demikian, pengetahuan mengenai prinsip kerja dari proses transfer energi menjadi sangat penting. Pada protein, energi ditransfer dari satu site amida ke site amida berikutnya dalam satu kanal. Hal ini terjadi karena terdapat kopling yang menghubungkan antar site tersebut. Selain itu, energi juga dapat tereksitasi ke kanal yang lain karena adanya kopling antar kanal. Mekanisme tersebut terjadi bergitu kompleks sehingga sulit untuk menjelaskan melalui pendekatan eksperimen secara empirik. Untuk memudahkan memahami mekanisme yang ada, maka dilakukan pendekatan secara analitik dan modeling yang dalam hal ini menggunakan teori Davydov sebagai landasan utama. Model yang diajukan oleh Davydov ini mengunakan pendekatan teori zat padat, yaitu konsep eksiton. Model ini menjelaskna bahwa proses transfer energi bersifat solitonik. Bioenergi yang dihasilkan dari hidrolisis ATP disimpan sebagai energi vibrasi peregangan ikatan kovalen C=O (Amida-I).
Mengingat susunan protein yang sangat kompleks, maka penelitian ini dibatasi hanya untuk meninjau mekanisme transfer energi dengan jumlah site sebanyak lima dari tiaptiap kanal.
1.2 Tujuan Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.2.1 Memahami mekanisme fisis yang terjadi pada makromolekul, salah satunya protein. 1.2.2 Mengkaji proses transfer dan penyimpanan energi pada struktur αheliks protein. 1.2.3 Mencari Solusi eksak dari persamaan nonlinear Schrödinger–Davydov diskrit. 1.2.4 Mencari solusi stasioner dari persamaan nonlinear Schrödinger-Davydov diskrit untuk kasus model Davyvov soliton pada protein α-heliks.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Protein dan Strukturnya
Protein (akar kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan kadang kala sulfur serta fosfor. Protein berperan penting dalam struktur dan fungsi semua sel makhluk hidup dan virus.[10] Protein merupakan polimerisasi dari 20 jenis asam amino L-α oleh ikatan peptida seperti pada gambar 1.
Gambar 1. Reaksi kondensasi dua asam amino membentuk ikatan peptida [5]
Setiap asam amino terdiri dari grup amino (NH2), sebuah grup karboksil (COOH) dan
2
grup radikal (R) yang terkait pada α-karbon (Cα). Grup radikal merupakan ciri yang membedakan antar jenis asam amino. Polimerisasi asam amino melalui ikatan peptida disebut juga sebagai polipeptida, karena tampak seperti pengulangan grup peptida (N-H-C=O) atau disebut juga grup amida. [5] Struktur protein dapat dilihat sebagai hirarki, yaitu berupa struktur primer (tingkat satu), sekunder (tingkat dua), tersier (tingkat tiga), dan kuartener (tingkat empat). Struktur primer protein merupakan urutan asam amino penyusun protein yang dihubungkan melalui ikatan peptida (amida). Sementara itu, struktur sekunder protein adalah struktur tiga dimensi lokal dari berbagai rangkaian asam amino pada protein yang distabilkan oleh ikatan hidrogen.
Gambar 2. Struktur protein secara umum [http://www.wikipedia.org]
Berbagai bentuk struktur sekunder misalnya ialah sebagai berikut: 1. alpha-helix (α-helix, "puntiran-alfa"), berupa pilinan rantai asam-asam amino berbentuk seperti spiral, 2. beta-sheet ( β-sheet, "lempeng-beta" ), berupa lembaran-lembaran lebar yang tersusun dari sejumlah rantai asam amino yang saling terikat melalui ikatan hidrogen atau ikatan tiol (S-H), 3. beta-turn, (β-turn, "lekukan-beta"), dan 4. gamma - turn, ( γ-turn, "lekukan gamma" ).[10] Gabungan dari aneka ragam struktur sekunder akan menghasilkan struktur tiga dimensi yang dinamakan struktur tersier. Struktur tersier biasanya berupa gumpalan. Beberapa molekul protein dapat berinteraksi
secara fisik tanpa ikatan kovalen membentuk oligomer yang stabil (misalnya dimer, trimer, atau kuartomer) dan membentuk struktur kuartener. Contoh struktur kuartener yang terkenal adalah enzim Rubisco dan insulin.
2.2
Soliton
Soliton adalah gelombang nonlinier, gelombang soliter, dalam medium nonlinier. Dapat pula dibilang, soliton adalah "gundukan" energi berhingga, stabil, menempati ruang terbatas dan tidak menyebar. Ide fisika soliton seringkali dikatakan bermula di bulan Agustus 1934 ketika seorang John Scott Russel (1808-1882), fisikawan Skotlandia, mengamati fenomena gelombang air di Terusan Edinburg-Glasgow. Russel menyebut fenomena ini sebagai "gelombang besar translasi". Gelombang air tersebut menjalar dengan bentuk tak berubah, dalam rentang waktu relatif lama sepanjang kanal.[7] Dalam istilah yang lebih teknis, dapat dikatakan bahwa soliton adalah solusi klasik persamaan diferensial parsial nonlinier, yang memiliki energi berhingga, terlokalisasi dalam ruang, bersifat stabil dan nondispersif. Setelah interaksi nonlinier, soliton muncul kembali, mempertahankan cirinya dengan kecepatan dan bentuk yang sama, yakni bersifat stabil. Aplikasi soliton dalam bidang sains muncul di banyak bidang. Mulai dari fisika partikel, zat padat hingga kosmologi. Dalam tinjauan partikel, dapat dibayangkan, soliton adalah rotasi-rotasi lokal, atau vorteks-vorteks dari suatu fluida yang berotasi. Semua anggota keluarga partikel yang kita kenal, semisal elektron, proton, neutron, kuark, dan anggota keluarga partikel lainnya adalah soliton, yakni vorteks-vorteks fluida. Black holes sebagai solusi persamaan nonlinear Einstein dalam teori relativitas umum yang menjelaskan struktur skala besar alam semesta adalah soliton. Dinamika elektron dalam zat padat yang menentukan sifat konduktivitas listrik, sehingga zat padat bersifat, misalnya sebagai konduktor, semikonduktor maupun isolator, dipahami sebagai dinamika soliton.
2.3 Model Davydov pada Protein α-Helix Model Davydov merupakan model yang diusulkan oleh AS Davydov untuk menjelaskan mekanisme transfer dan
3
penyimpanan energi pada makromolekul biologi dengan menggunakan teori zat padat. Pendekatan model ini berdasarkan data eksperiman yang menunjukan adanya struktur periodik pada molekul-molekul biologi, khususnya protein dan DNA. Teori zat padat digunakan terutama untuk menjelaskan masalah krusial dalam makromolekul biologi. Dalam menjelaskan transfer energi pada struktur protein, konsep elektron pada kristal molekul sering diadopsi, dalam hal ini menggunakan konsep eksiton. Konsep eksiton pertama kali diperkenalkan oleh Frenkel (1931) untuk menjelaskan konversi cahaya menjadi panas dalam zat padat.[5] Dengan mengacu pada struktur atomik dari α-heliks protein (gambar 3), mekanisme transport dan kuantisasi energi vibrasional protein dapat dijelaskan oleh Davydov. Menurut Davidov, energi vibrasional peregangan ikatan ganda C=O (Amida-I) terlokalisasi pada pergerakan heliks – sampai kepada efek kopling fonon – untuk merubah struktur heliks. Distorsi heliks bereaksi – juga sampai kepada efek kopling fonon – terhadap penangkapan energi osilasi Amida-I dan mencegah pendispersiannya. Efek ini disebut sebagai fenomena ”self-localization” atau ”self-trapping”. [9]
hidrolisis ATP dapat mengeksitasi keadaan vibrasi internal protein (Amida-I) sebesar 2 kuanta energi. Adapun reaksi hidrolisis ATP dituliskan sebagai berikut: ATP4- + H2O → ADP3- + HPO42- + H+ Seperti ditunjukan oleh gambar 3, daerah α-heliks protein merupakan suatu rantai asam amino yang terletak di dalam bentuk berpilin oleh ikatan hidrogan longitudinal. Terdapat tiga kanal sepanjang haliks dengan struktur:
Davydov mengusulkan bahwa energi total sistem terdiri atas energi eksiton, fonon, dan eksiton-fonon yang dideskripsikan oleh operator energi sebagai berikut: (1) Hˆ = Hˆ ex + Hˆ ph + Hˆ int Operator energi eksiton didefinisikan sebagai berikut: Hˆ ex = ∑ E0 Bˆn†α Bˆnα − J Bˆn†α Bˆn+1,α + Bˆn†α Bˆn−1,α (2) n ,α
(
(
)
)
+ L Bˆn†α Bˆn,α +1 + Bˆn†α Bˆn,α −1 dimana n (=1,2,…,N) menunjukan molekul ke-n dalam satu kanal protein, adapun α (=1,2,3) menunjukan kanal tertentu. Sehingga pasangan indeks (n,α) menunjukan spesifikasi asam amino tertentu. Bˆn†α dan Bˆnα masing-
masing merupakan operator kreasi dan anihilasi boson untuk osilator Amida-I (C=O). E0 adalah energi eksiton, -J adalah kopling dipol antar unit terdekat dalam satu kanal, dan L merupakan kopling dipol antar unit terdekat untuk kanal yang berbeda. Bˆ n†α Bˆ nα merupakan operator jumlah (number operator) yang akan menghitung jumlah eksitasi pada setiap transfer molekul. Bˆn†α Bˆn±1,α menyatakan eksiton dari molekul peptida ke-n menuju ken±1 dan Bˆ n†α Bˆn,α ±1 menyatakan transfer eksiton Gambar 3. Model atomik struktur α-heliks protein [http://www.uic.edu/classes/bios/bios100/lecturesf0 4am/alphahelix.jpg]
Dengan meninjau kenyataan bahwa energi yang dihasikan dari hidrolisis ATP yaitu sekitar 0.24 eV adalah dua kali kuanta energi vibrasi C=O, dimana satu kuanta vibrasi C=O berenergi sebesar 0.205 eV. Maka energi bebas yang dihasilkan dari
dari molekul peptide pada kanal α ke molekul pada kanal α ±1. Operator energi fonon dinyatakan sebagai: 2 1 pˆ 2 Hˆ ph = ∑ nα + w ( uˆn +1,α − uˆnα ) 2 n ,α M
(3)
Dengan
uˆnα masing-masing pˆ nα dan menunjukan operator momentum dan posisi asam amino, M adalah massa asam amino dan w adalah konstanta pegas dari ikatan hidrogen.
4
Adapun operator dinyatakan sebagai:
interksi
eksiton-fonon
D2 = ∑an (t )Bˆn†α 0 e Uˆα 0 n,α
Hˆ int = ∑ χ ( uˆn +1,α − uˆn ,α )Bˆ Bˆnα † nα
n ,α
(4)
(
(
)
(
)
dimana bˆk† dan bˆk adalah operator kreasi dan anihilasi fonon dengan bilangan gelombang k. Melalui hubungan operator pada persamaan (5) dan (6), maka hamiltonian dalam representasi kuantisasi kedua dapat dinyatakan sebagai:
(
N ,3
Hˆ ex = ∑ E0 Bˆn†α Bˆnα − J Bˆn†α Bˆn+1,α + Bˆn†α Bˆn−1,α n,α
2
(
H ph =
∑ hωα
α , k =1
k
bˆ bˆ + 12
(
N ,3
(7)
)
H int = ∑ Bnα k bˆk + bˆk† Bˆ n†α Bˆnα n ,α
1
h 2 − iknl = −2i χ sin(kl )e 2 Nm ω k
dengan Bnα k
dan ωα k adalah frekuansi fonon yang dapat diperoleh dari relasi dispersi berikut: 1
w (8) ω k = 2 sin kl / 2 m l adalah jarak kisi. Tardapat dua model ansatz yang sering digunakan dalam model teori Davydov [Forner (1991), Scott (1992)] yaitu: ansatz I: D1 = ∑ an (t )Uˆ nα Bˆn†α 0 n ,α (9) ∗ ˆ † ˆ Unα 0 p = exp ∑ bnα k (t )bnα − bnαk bαk 0 p k dan ansatz II: 2
(
)
p
b(t ) masing-masing
menyatakan peluang ditemukannya eksiton dan fonon, sedangkan Um adalah operator transformasi uniter yang mentransformasi keadaan dasar atau vakum 0 p ke keadaan kuasi-statik
∏b
[Tannoudji (1977)].
mk p
k
Akan tetapi, yang digunakan untuk mencari solusi dalam percobaan kali ini adalah ansatz II saja. Adapun sistem persamaan nonlinier untuk ansatz II adalah sebagai berikut: [5] 1 iha&n,α (t ) = E0 + ∑ hωq q 2
(
− ∑ χβn ' an'+1,α − an'−1,α q
2
2
) a
n,α
(t )
− J ( an+1,α (t ) + an−1,α (t ) ) − L ( an,α +1 + an,α −1 (t ) )
(
mβ&&n,α = w( βn+1,α − 2βn,α + βn−1,α ) + χ an+1,α − an,α
)
† k k
(10)
2
a (t ) dan
+ χ ( βn+1 − βn−1 ) an (t )
)
+ L Bˆn†α Bˆn,α +1 + Bˆn†α Bˆn,α −1 3, N −1
)
Uα 0 p = exp ∑ bαk (t )bˆn†α − bα∗k bˆα k 0 k Dimana
dimana χ adalah parameter kopling eksitonfonon, yang menentukan tingkat nonlinearitas. Untuk menyederhanakan dan mempermudah, kedua operator posisi dan momentum dinyatakan dalam representasi operator kreasi dan anihilasi sebagai berikut: h iknl ˆ† ˆ (5) uˆn = ∑ e bk + bk k 2 Nmωk mhω k iknl ˆ† ˆ (6) pˆ n = ∑ bk − bk e k 2N
p
2
2
)
(11) Persamaan (11) mirip dengan persamaan persamaan Lohmdhal, namun sedikit berbeda dengan persamaan Davydov dan Scott pada suku kedua dan ketiga [5]. Karena ketiga suku pertama tidak bergantung pada posisi amida ke-n maka dapat dilakukan transformasi tera dengan mengambil: 2 a n = φ n exp − i E 0 + W 0 + ∑ χβ n ' a n ' +1,α n
(
− a n ',α
2
) t
,
maka
persamaan
(11)
menjadi: ihφ&n ,α = − J (φn +1,α + φn −1,α )
+ L (φn ,α +1 + φn ,α −1 ) + χ ( β n +1 − β n −1 ) φn
mβ&&n ,α = w ( β n +1,α − 2 β n ,α + β n −1,α )
(
2
+ χ φn +1,α − φn ,α
2
)
(12) Persamaan (12) tersebut merupakan persamaan diferensial yang kemudian akan dicari solusi stasionernya dalam skripsi ini.
5
2.4
Solusi stasioner dalam skripsi ini hanya mengacu pada ansatz II saja melalui aproksimasi adiabatik, sehingga dengan pendekata ini dapat mengambil β& = 0 . Dengan demikian persamaan (12) dapat dipecahkan sebagai berikut [5]: 2 2 ( β n +1,α − 2 β n ,α + β n −1,α ) = wχ φn +1,α − φn −1,α 2 ( β n +1,α − β n ,α ) − ( β n ,α − β n −1,α ) = − wχ φn +1,α − 2 2 2 χ χ χ φ n ,α + φ n ,α + φ n −1,α w w w (13)
)
(
Dari persamaan (13) hubungan distorsi kisi:
di atas diperoleh
(β
φ n + 1,α
(β
− β n ,α
n + 1,α
− β n − 1,α
n ,α
) = − χw χ
)= − w
ϕ j = ϕ j+4 = 0
j+2
Solusi Stasioner
2
φ n ,α
2
χ
−
−
χ
φ n ,α
2
φ n − 1,α
2
w
w
j+1 j
ϕ j +1 = ϕ j +3 j+3
ϕ j + 2 = ϕα j+4
Selanjutnya, untuk mendukung pemrograman digunakan besaran-besaran yang mengacu pada nilai yang sebelumnya didapat oleh Davydov sebagai berikut:[9]
Parameter χ (kopling eksitonfonon) w (konstanta pegas ikatan hidrogen) M (massa asam amino) J (kopling dipol-dipol terdekat) L (kopling dipol-dipol antar kanal)
Nilai 35-62
Satuan pN
39-58.5
N/m
5.7 x 10-25 1.55 x 10-
kg Joule
22
2.46 x 10-
Joule
22
(14) Dengan mensubtitusikan persamaan (14) ke dalam persamaan (12), maka didapat persamaan nonlinear Schrödinger:
i hφ&n ,α = − J (φn +1,α + φ n −1,α )
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
+ L (φn ,α +1 + φ n ,α −1 )
−
χ2 w
(
2
2
φn +1,α + 2 φn ,α + φn −1,α
2
)
φn (15)
Solusi persamaan (15) dapat doperoleh dengan mensubtitusikan φnα = ϕ nα exp [iω t ] dimana
ϕnα tidak
amplitude
BAB III ALAT DAN METODE
bergantung
waktu
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teori Departemen Fisika Institiut Pertanian Bogor mulai dari bulan Mei sampai dengan November 2007, dengan kegiatan meliputi penelusuran literatur melalui internet dan buku-buku, penelitian pendahuluan, pembuatan program, analisis output, pengolahan data dan penyusunan laporan.
sehingga diperoleh solusi stasioner.
−hωϕn,α + J (ϕn+1,α + ϕn−1,α ) − L (ϕn,α +1 + ϕn,α −1 ) +
(ϕ w
χ
2
n+1,α
2
2
+ 2 ϕn,α + ϕn−1,α
2
)ϕ
n,α
=0 (16)
Dalam penelitian ini, solusi stasioner dari persamaan (16) akan dikaji lebih dalam masing-masing pada kasus satu kanal, dua kanal dan tiga kanal. Adapun jumlah site amida yang diuji dibatasi sebanyak lima site dengan pemilihan titik sampel sebagai berikut:
3.3 Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer menggunakan prosesor Intel Pentium 4 CPU 3.00 GHz, 512 MB of RAM. Software yang digunakan untuk proses komputasi adalah bahasa pemrograman Matlab 7.01 dari Mathwork, Inc. dan software Maple 9.5 sebagai pendukung. Selain itu, juga menggunakan literatur pendukung yang dapat diakses melalui internet di laboratorium.
6
3.4
Metode Penelitian
3.4.1 Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan untuk memahami konsep dasar dari mekanisme transfer energi pada protein α-heliks baik dalam tinjauan secara kuantum maupun mekanika klasik dalam kaitannya dengan struktur protein itu sendiri. Selain itu, studi pustaka juga dilakukan untuk mempelajari konsep dasar dari gelombang stasioner. 3.4.2 Pembuatan Program Pembuatan program dengan bahasa pemrograman Matlab 7.01 diperlukan untuk memudahkan perhitungan secara numerik. Adapun solusi eksak didapat secara manual. Solusi numerik dari persamaan differensial orde satu dan dua yang saling terkopel dipecahkan dengan bantuan metode RungeKutta. Dari solusi tersebut kemudian akan diperolah grafik yang bisa menggambarkan distribusi energi stasioner pada protein αheliks. 3.4.3 Analisis Output Setelah output diperoleh, kemudian analisis dilakukan dengan menguji tingkat kestabilan dari distribusi stasioner energi terhadap lamanya waktu. Selain itu syarat normalisasi harus tetap terjaga untuk mengetahui bahwa program yang telah dibuat adalah benar.
maka diperoleh tiga persamaan nonlinear yang mengacu pada persamaan (16) sebagai berikut: −hωϕ j+1 + J ϕ j+2 + ϕ j +
(
4.1 Solusi Stasioner Persamaan Nonlinear Schrödinger-Davydov untuk Kasus Satu Kanal [5] Dalam kasus ini, interaksi antara kanal yang satu dengan kanal yang lain dianggap tidak ada (L=0). Selain itu, Semua kanal memiliki kondisi yang identik sehingga kita dapat menganggap bahwa sistem hanya memiliki satu kanal saja. Dengan menggunakan parameter sebagai berikut:
ϕ j = ϕ j+4 = 0
j+2
ϕ j +1 = ϕ j + 3 j+1 j
j+3
ϕ j +2 = ϕ0 j+4
2
2
+ 2 ϕ j +1 + ϕ j
j +2
2
−hωϕ j +2 + J (ϕ j +3 + ϕ j +1 ) +
(ϕ w
χ2
2 j +3
2
+ 2 ϕ j +2 + ϕ j +1
)ϕ 2
−hωϕj+3 + J (ϕj+4 +ϕj+2 ) +
χ2 w
(ϕ
2
j+4
2
2
j +1
)ϕ
=0
j +2
=0
)
+ 2 ϕj+3 + ϕj+2 ϕj+3 = 0 (17)
Persamaan pertama dan ketiga identik satu sama lain sehingga ketiga persamaan tersebut dapat direduksi menjadi dua persamaan yang saling bebas:
−hωϕ j +2 + J ( 2ϕ j +3 ) + −hωϕ j +3 + J (ϕ j +2 ) +
χ2 w
χ2 w
( 2ϕ
( 2ϕ
2 j +3
2 j +3
+ 2ϕ j +22 ) ϕ j +2 = 0
+ ϕ j +22 ) ϕ j +3 = 0 (18)
Kedua persamaan di atas dapat dipersamakan melalui hubungan berikut:
J=
BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN
(ϕ w
χ2
)
=
hωϕ j +3 −
hωϕ j + 2 −
χ2 w
χ
2
w
( 2ϕ
j +3
3
+ ϕ j + 2 2ϕ j +3 )
ϕ j +2
( 2ϕ
(19)
ϕ j + 2 + 2ϕ j + 23 )
2 j +3
2ϕ j +3
Sehingga diperoleh persamaan quintic berikut ini:
ϕ j +34 −
hω w hω w 2 1 4 ϕ j+32 + ϕ0 − ϕ0 = 0 2 2χ 4χ 2 2
(20) dengan solusi yang diperoleh melalui rumus abc sebagai berikut: 2
ϕj+32 =ϕj+12 =
hωw 1 hωw ± 2χ2 2 2χ2
hωw +2ϕ04 + 2 ϕ02 χ (21)
Persamaan (21) merupakan solusi eksak persamaan nonlinear Schrödinger untuk kasus satu kanal (antar kanal tidak ada interaksi).
7
Adapun simulasi dilakukan berdasarkan pada persamaan (12). Dari hasil simulasi dapat diketahui bahwa energi terdistribusi secara stasioner pada interval waktu sekitar 162,5 ps (gambar 1). Kondisi ini menunjukan bahwa pada interval waktu tersebut energi terjebak (trapped) pada satu kanal saja dengan distribusi yang konstan pada setiap site.
4.2 Solusi Stasioner Persamaan Nonlinear SchrödingerDavydov untuk Kasus Dua Kanal Pada kasus ini, α-heliks hanya memiliki dua kanal terkopel, adapun satu kanal yang lainnya tidak mengalami interaksi (terisolasi). Koppling antar kanal untuk α=3 berharga nol, dengan demikian energi hanya dapat tereksitasi pada dua kanal saja yaitu kanal satu dan dua. Beberapa parameter yang digunakan untuk menentukan solusi eksak dari kasus ini adalah saebagai berikut:
kanal 1:
ϕ j ,1 = ϕ j + 4,1 = 0
j+2
j+1 j
kanal 2:
j+1
j+2
ϕ j ,2 = ϕ j + 4,2 = 0 ϕ j +1,2 = ϕ j +3,2
j+3
j
Pada kasus khusus ketika χ = 0, eksiton akan bergerak sebagai osilator bebas tanpa terkopling dengan fonon (gambar 6). Kondisi ini disebut sebagi decoupled case. Pada kasus ini sifat nonlinearitas menjadi hilang karena sifat nonlinearitas ditentukan oleh χ.
ϕ j + 2,1 = ϕ1
j+4
Gambar 4. Distribusi stasioner energi pada satu kanal protein α-heliks.
Gambar 5. Normalisasi terpenuhi untuk selang waktu sampai dengan 162,5 ps.
ϕ j +1,1 = ϕ j + 3,1
j+3
j+4
ϕ j + 2,2 = ϕ2
kanal 3: ϕ j ,3 = ϕ j +1,3 = ϕ j + 2,3 = ϕ j + 3,3 = ϕ j + 4,3 = 0 L3 = 0
Dengan mengacu pada persamaan (16), maka diperoleh tiga persamaan untuk tiap kanal sebagai berikut: (penurunan rumus terdapat pada lampiran 2) Kanal 1
−hωϕJ +1,1 + Jϕ1 − L1(ϕJ +1,2 ) +
χ2 W
−hωϕ1 + J(2ϕJ +3,1) − L1(ϕ2) +
(ϕ12 + 2ϕJ +1,12 )ϕJ +1,1 = 0
χ2
(2ϕJ +3,12 + 2ϕ12)ϕ1 = 0 W χ2 −hωϕJ +3,1 + Jϕ1 − L1(ϕJ +3,2 ) + (ϕ12 + 2ϕJ +3,12)ϕJ +3,1 = 0 W (22)
Gambar 6. Distribusi energi pada kasus χ = 0
Persamaan kesatu dan ketiga identik sehingga persamaan (22) dapat direduksi menjadi dua persamaan saja
8
−hωϕ1 + J(2ϕJ+3,1) − L1(ϕJ ) +
χ2
(2ϕJ +3,12 +2ϕ12 )ϕ1 = 0
W χ2 2 −hωϕJ+3,1 + Jϕ1 − L1(ϕJ+3,2) + (ϕ1 +2ϕJ+3,12)ϕJ +3,1 = 0
J=
(23)
=
W
hωϕ2 + L2 (ϕ1 ) −
(2ϕJ +3,22 + 2ϕ22 )ϕ2 W 2ϕJ +3,2
hωϕJ +3,2 + L2 (ϕJ +3,1 ) −
=
hωϕ1 + L1 (ϕ2 ) −
χ2 W
(ϕ22 + 2ϕJ +3,22 )ϕJ +3,2
ϕ2
Kedua persamaan di atas dapat dipersamakan melalui hubungan berikut:
J=
χ2
(28) sehingga diperoleh parsamaan berikut:
χ2
(2ϕ + 2ϕ W 2ϕJ +3,1 2 1
hωϕJ +3,1 + L1 (ϕJ +3,2 ) −
χ2 W
2 J +3,1
)ϕ1
h ωW W ϕ J + 3,2 2 − L2ϕ J + 3,1ϕ J + 3,2 2 2χ 2χ 2 W h ωW 2 1 4 ϕ2 − ϕ2 = 0 L2ϕ1ϕ 2 + + 2 4χ 4χ 2 2
ϕ J + 3,2 4 −
(ϕ12 + 2ϕJ +3,12 )ϕJ +3,1
ϕ1
(24)
(29)
sehingga diperoleh parsamaan berikut: h ωW W ϕ J + 3,14 − ϕ J + 3,12 − L1ϕ J + 3,2ϕ J + 3,1 2χ 2 2χ 2 W h ωW 2 1 4 ϕ1 − ϕ 1 = 0 + L1ϕ1ϕ 2 + 4χ 2 4χ 2 2
Persamaan (25) dan (29) merupakan persamaan yang masing-masing mewakili distribusi energi pada kanal satu dan kanal dua.
(25)
kanal 1:
ϕ J + 3,14 −
Kanal 2
−hωϕJ +1,2 + Jϕ2 − L2 (ϕJ +1,1) +
χ2 W
−hωϕ2 + J(2ϕJ+3,2) − L2(ϕ1) +
(ϕ22 +2ϕJ +1,22)ϕJ +1,2 = 0
χ2
(2ϕ22 +2ϕJ+3,22)ϕ2 = 0 W χ2 −hωϕJ +3,2 + Jϕ2 − L2(ϕJ+3,1) + (ϕ22 + 2ϕJ +3,22)ϕJ+3,2 = 0 W (26) Persamaan kesatu dan ketiga identik sehingga persamaan (26) dapat direduksi menjadi dua persamaan saja
−hωϕ2 + J(2ϕJ +3,2) − L2(ϕ1) +
h ωW W ϕ J + 3,12 − L1ϕ J + 3,2ϕ J + 3,1 2 2χ 2χ 2 W h ωW 2 1 4 ϕ1 − ϕ1 = 0 + L1ϕ1ϕ 2 + 4χ 2 4χ 2 2
χ2
(2ϕ22 +2ϕJ+3,22)ϕ2 = 0 W χ2 −hωϕJ+3,2 + Jϕ2 − L2(ϕJ+3,1) + (ϕ22 + 2ϕJ +3,22)ϕJ +3,2 = 0 W (27) Kedua persamaan di atas dapat dipersamakan melalui hubungan berikut:
(25) kanal 2:
h ωW W L2ϕ J + 3,1ϕ J + 3,2 ϕ J + 3,2 2 − 2χ 2 2χ 2 W h ωW 2 1 4 ϕ2 − ϕ2 = 0 + L2ϕ1ϕ 2 + 2 4χ 4χ 2 2
ϕ J + 3,2 4 −
(29) Dengan adanya kopling L1 dan L2, tampak bahwa energi dapat tereksitasi dari kanal satu ke kanal dua dan begitu pula sebaliknya. Dengan mengeksitasi inisial kondisi pada lima site di kanal 1, tampak bahwa energi tereksitasi ke kanal 2 (gambar 7). Namun demikian, transfer energi ke kanal 2 hanya dalam jumlah kecil saja. Untuk interval waktu lebih besar dari 100fs pola transfer energi jadi tidak menentu disebabkan adanya pantulan energi ketika dieksitasi ke site amida 1 dan 5.
9
(a)
(a)
(b) Gambar 7. Energi tereksitasi dari kanal 1 ke kanal 2. Inisial poin diberikan sebagai berikut: φ1,1 = 0; φ2,1 = 0.2236; φ3,1 = 0.9487; φ4,1 = 0.2236; φ5,1 = 0.
(b) Gambar 9. Fenomena breather pada dua kanal terkopel. Untuk φ1,1= φ2,1= φ4,1= φ5,1= 0; φ3,1= 1; φ1,2= φ2,2= φ3,1=φ4,2= φ5,2= 0.
(a)
(b) Gambar 8. Efek pantulan energi oleh site amida ke1 dan ke-5 menyebabkan pola distribusi menjadi tidak menetu.
Pada gambar 9, fenomena breather muncul ketika posisi amida ke-3 pada kanal pertama dieksitasi dengan nilai φ3,1=1 sedangkan amida yang lainnya nol untuk inisial kondisi.
Dari hasil simulasi tampak bahwa amplitudo peluang eksiton berolsilasi di kanal 1 dan 2 dengan perbedaan sudut fase sebesar π rad. Eksiton berosilasi dengan frekuensi sebesar 7.4627x1012 Hz. Breather menunjukan bahwa keberadaan eksiton berpindah-pindah secara periodik antara kanal 1 dan kanal 2. Jika peluang eksiton pada kanal 1 dan kanal 2 dijumlahkan, maka akan diperoleh distribusi seperti pada kasus satu kanal. Dari beberapa simulasi yang telah dilakukan, breather selalu muncul ketika inisial kondisi dieksitasi dengan nilai sembarang, meskipun syarat normalisasi tetap terpenuhi. Hal ini menunjukan bahwa secara umum energi memiliki kecenderungan untuk berpindah-pindah dari satu kanal ke kanal yang lainnya. Kasus Decouple (Decouple Case) Dengan meninjau kembali persamaan (25) dan (29), kasus khusus terjadi ketika kondisi berikut terpenuhi:
−
W W Lϕ ϕ + 2 L2ϕ1ϕ2 = 0 2 2 J + 3,1 J + 3,2 2χ 4χ
atau
1 ϕ J +3,1 ϕ J +3,2 = ϕ1 ϕ2 2
(30)
10
Dalam kondisi ini, kedua kanal saling terdekopel sehingga seolah-olah tidak ada interaksi antara kanal 1 dan kanal 2. Hal ini tampak ketika syarat tersebut disubtitusikan ke persamaan (25) dan (19), yang pada akhirnya dapat mereduksi kopling antar kanal (L1 dan L2) sehingga persamaan (25) dan (29) menjadi: kanal 1:
hωW hωW 2 1 4 ϕ J +3,12 + ϕ1 − ϕ1 = 0 2χ 2 4χ 2 2 (31)
ϕ J +3,14 − kanal 2:
(a)
hωW hωW 2 1 4 ϕ J +3,2 2 + ϕ2 − ϕ2 = 0 2 2χ 4χ 2 2 (32)
ϕ J +3,2 4 −
Persamaan (31) dan (32) merupakan persamaan quintic yang dapat dipecahkan dengan menggunakan rumus abc, sehingga diperoleh solusi eksak sebagai berikut: 2
ϕj+3,12 =ϕj+1,12 =
hωw 1 hωw 2 2 hωw ± +ϕ1 2ϕ1 − 2 χ 4χ2 2 2χ2 (33)
(b) Gambar 10. Distribusi energi pada dua kanal αheliks protein dalam keadan terdekopel, dengan L1 = 2.4 x10-22 joule, L2= 2.3x10-22 joule dan χ=60 pN.
2
ϕ
2 j+3,2
=ϕ
2 j+1,2
hωw 1 hωw hωw = 2 ± 2 +ϕ22 2ϕ22 − 2 χ 4χ 2 2χ (34)
Meski dalam kondisi terdekopel, syarat tersebut (persamaan (30)) tetap menunjukan bahwa antara kanal 1 dan kanal 2 saling berhubungan. Artinya, kondisi dekopel tidak bisa terjadi dengan nilai amplitudo eksiton secara sembarang, akan tetapi harus memenuhi kondisi tertentu. Dari hasil simulasi tampak bahwa eksiton dalam keadaan stasioner pada tiap-tiap kanal (gambar 10). Namun, pada site amida J = 3 nilai amplitudo eksiton tidak sepenuhnya stabil. Seiring berjalannya waktu terdapat ripple dengan nilai yang kecil. Ripple ini dapat disebabkan oleh faktor numerical error. Terbukti bahwa ripple akan semakin berkurang jika iterasi program mengambil time step yang semakin kecil. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara umum dua kanal dapat terdekopel jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Dalam kondisi terdekopel, energi masing-masing tertahan pada satu kanal. Tidak terjadi transfer energi antar kanal.
Gambar 11. Nilai normalisasi Energi sepanjang waktu pada kondisi dua kanal yang terdekopel.
4.3 Solusi Stasioner Persamaan Nonlinear Schrödinger-Davydov untuk Kasus Tiga Kanal Dibandingkan dengan kasus-kasus sebelumnya, kondisi ini lebih ideal karena tidak ada kanal yang diabaikan dan semua kanal saling berinteraksi (kopling antar kanal terdekat bekerja). Kondisi ini memungkinkan eksiton berpindah dari satu kanal ke kanal yang lainnya. Adapun beberapa parameter yang digunakan adalah sebagai berikut:
11
kanal 1:
ϕ j ,1 = ϕ j + 4,1 = 0
j+2
ϕ j +1,1 = ϕ j + 3,1 j+1
j+3
j
j+4
ϕ j + 2,1 = ϕ1
Kedua persamaan di atas disederhanakan melalui hubungan berikut:
J=
=
kanal 2:
ϕ j ,2 = ϕ j + 4,2 = 0
j+2
ϕ j +1,2 = ϕ j +3,2 j+1
j+3
j
j+4
kanal 3:
ϕ j + 2,2 = ϕ2
j
j+4
ϕ j + 2,3 = ϕ3
Dengan mengacu pada persamaan (16), maka diperoleh persamaan sebagai berikut: (penurunan rumus terdapat pada lampiran 3)
+
χ2
(ϕ
j + 3,1
2
χ2 W
( +2ϕ
2
(38) Kanal 2
Dengan menggunakan metode yang sama seperti kanal 1, maka pada kanal 2 diperoleh persamaan:
ϕ 4j +3,2 −
Dengan menggunakan metode yang sama pula, maka pada kanal 3 diperoleh persamaan:
+ ϕ12 ) ϕ j + 3,1 = 0
ϕ 4j + 3,3 −
Pada persamaan (35), bentuk kesatu dan ketiga identik sehingga persamaan (35) dapat direduksi menjadi dua persamaan saja. − h ωϕ1 + J (2ϕ j + 3,1 ) − L1 (ϕ 2 + ϕ 3 )
χ2
(ϕ j + 3,12 + 2ϕ12 ) ϕ j + 2,1 = 0 W − h ωϕ j + 3,1 + J (ϕ1 ) − L1 (ϕ j + 3,2 + ϕ j + 3,3 ) +
hωW 2 LW ϕ j + 3,2 − 2 2 ϕ j + 3,2 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,3 ) 2χ 2 2χ L2W hωW 2 1 4 + ϕ 2 (ϕ1 + ϕ3 ) + ϕ 2 − 2 ϕ2 = 0 2 4χ 4χ 2
Kanal 3
(35)
+
χ2 W
( +2ϕ
2 j + 3,1
+ ϕ12 ) ϕ j + 3,1 = 0
(ϕ12 + 2ϕ 2j +3,1 )ϕ j +3,1
(39)
+ 2ϕ12 ) ϕ j + 2,1 = 0
j + 3,1
W
LW hωW 2 ϕ j +3,1 − 1 2 ϕ j +3,1 (ϕ j +3,2 + ϕ j +3,3 ) 2χ 2 2X LW hωW 2 1 4 ϕ1 − 2 ϕ1 = 0 + 1 2 ϕ1 (ϕ 2 + ϕ3 ) + 4χ 4χ 2
χ2
W − h ωϕ j + 3,1 + J (ϕ1 ) − L1 (ϕ j + 3,2 + ϕ j + 3,3 ) +
ϕ1
χ2
(37)
− hωϕ j +1,1 + J (ϕ1 ) − L1 (ϕ j +1,2 + ϕ j +1,3 )
(ϕ12 + 2ϕ j +1,12 + ) ϕ j +1,1 = 0 W − h ωϕ1 + J (2ϕ j + 3,1 ) − L1 (ϕ 2 + ϕ 3 )
(2ϕ 2j +3,1 + 2ϕ12 )ϕ1
sehingga diperoleh persamaan:
Kanal 1
+
W
hωϕ j +3,1 + L1 (ϕ j +3,2 + ϕ j +3,3 ) −
ϕ 4j + 3,1 −
ϕ j +1,3 = ϕ j + 3,3 j+3
χ2
2ϕ j +3,1
ϕ j ,3 = ϕ j + 4,3 = 0
j+2
j+1
hωϕ1 + L1 (ϕ2 + ϕ3 ) −
(36)
LW hωW 2 ϕ j +3,3 − 3 2 ϕ j + 3,3 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,2 ) 2 2χ 2χ L3W hωW 2 1 4 ϕ3 (ϕ1 + ϕ 2 ) + ϕ3 − 2 ϕ3 = 0 + 2 4χ 4χ 2 (40)
Persamaan (38), (39) dan (40) masingmasing merupakan persamaan yang mewakili distribusi energi dari tiap-tiap kanal dengan parameter kopling L1, L2 dan L3. Dengan demikian, keadaan pada satu kanal turut mempengaruhi keadaan kanal yang lain. Dari hasil simulasi tampak bahwa energi dapat tereksitasi dari kanal 1 ke kanal 2 dan 3 jika inisial kondisi pada kanal 2 dan 3 adalah nol, seperti ditunjukan pada gambar 12.
12
Hal yang sama juga terjadi ketika inisial kondisi kanal 1 dan kanal 2 memiliki nilai tertentu sedangkan kanal 3 nol. Dari kanal 1 dan kanal 2, kemudian energi tereksitasi ke kanal 3. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 14. Selama terjadinya transfer energi antar kanal, syarat normalisasi tetap tidak terlanggar. Hal ini dapat dilihat pada gambar 15.
(a)
(a)
(b) (b)
(c) Gambar 12. (a) kanal 1, (b) kanal 2, dan (c) knaal 3. Energi tereksitasi dari kanal 1 ke kanal 2 dan 3. Parameter yang digunakan: φ1,1 = φ5,1 = 0; φ2,1 = φ4,1 = 0.2236; φ3,1 =0.9487; dengan L1 = 2.4x10-22J; L2 = 2.3x10-22J; L3 = 2.2x10-22 J.
Gambar 13. Normalisasi eksiton sepanjang kanal untuk rentang waktu 114.925 ps
(c) Gambar 14. (a) kanal 1. (b) kanal 2. (c) kanal 3. (d)Normalisasi. Distribusi energi pada protein αheliks dengan inisial kondisi: φ1,1=φ5,1=0; φ2,1=φ4,1=0.1225; φ3,1 =0.6856; φ1,2=φ5,2=0; φ2,2=φ4,2=0.1225; φ3,2=0.6856; dengan L1 = 2.4x1022 J; L2 = 2.3x10-22J; L3 = 2.2x10-22 J.
Gambar 15. Normalisasi eksiton pada kasus tiga kanal terkopel.
13
Pada selang waktu yang lebih besar, fenomena breather selalu muncul pada semua kasus ketika satu atau dua kanal dieksitasi pada inisial kondisi tertentu. Hal ini menunjukan bahwa kopling antar kanal terdekat sangat berperan dalam mekanisme transfer energi maupun informasi antar kanal. Meski demikian, pada kondisi khusus ketiga kanal tersebut dapat terdekopel (decouple case). Kasus Dekopel (Decouple Case) Pada kondisi tertentu ketiga kanal pada protein α-heliks dapat terdekopel, sehingga energi cenderung tidak mengalami eksitasi ke kanal yang lain. Dengan meninjau kembali persamaan (38). (39) dan (40), dapat diketahui bahwa interaksi antar kanal dapat terdekopel jika unsur kopling (L1, L2, L3 ) pada tiap-tiap persamaan dapat dihilangkan. Kondisi ini menuntut berlakunya tiga syarat berikut: −
LW LW 1 ϕ j +3,1 (ϕ j +3,2 + ϕ j +3,3 ) + 1 2 ϕ1 (ϕ2 + ϕ3 ) = 0 2X 2 4χ
−
L2W LW ϕ j +3,2 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,3 ) + 2 2 ϕ2 (ϕ1 + ϕ3 ) = 0 2X 2 4χ
−
L3W LW ϕ j +3,3 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,2 ) + 3 2 ϕ3 (ϕ1 + ϕ 2 ) = 0 2X 2 4χ
ϕ 4j +3,3 −
hωW 2 hωW ϕ j +3,3 + 2 ϕ32 − 12 ϕ34 = 0 2χ 2 4χ
(46)
Solusi persamaan di atas dapat dengan mudah diperoleh melalui rumus abc sebagai berikut: 2
ϕ2j+3,1 = ϕ2j+1,1 =
hωW 1 hωW hωW ± +ϕ12 2ϕ12 − 2 χ 4χ2 2 2χ2 (47) 2
ϕ2j+3,2 = ϕ2j+1,2 =
hωW 1 hωW hωW ± +ϕ22 2ϕ22 − 2 χ 4χ2 2 2χ2 (48) 2
ϕ
2 j +3,3
=ϕ
2 j +1,3
hωW 1 hωW hωW = 2 ± 2 +ϕ32 2ϕ32 − 2 χ 4χ 2 2χ (49)
Dengan mempertimbangkan ketiga syarat pada persamaan (41), (42) dan (43), akhirnya dapat dibuktikan bahwa distribusi energi pada protein α-heliks dapat terdekopel.
atau dapat disederhanakan menjadi
1 2 1 ϕ j +3,2 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,3 ) = ϕ2 (ϕ1 + ϕ3 ) 2 1 ϕ j +3,3 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,2 ) = ϕ3 (ϕ1 + ϕ2 ) 2
ϕ j +3,1 (ϕ j +3,2 + ϕ j +3,3 ) = ϕ1 (ϕ2 + ϕ3 )
(41) (42) (43)
Syarat (41) berlaku untuk persamaan (38), syarat (42) berlaku untuk persamaan (39), dan syarat (43) berlaku untuk persamaan (40). Dengan memasukan syarat tersebut ke tiaptiap persamaan maka diperoleh persamaan quintic untuk kanal 1, 2 dan 3 yang terdekopel sebagai berikut:
hωW 2 hωW ϕ j +3,1 + 2 ϕ12 − 12 ϕ14 = 0 2χ 2 4χ h ω W h ωW ϕ 4j +3,2 − 2 ϕ 2j+3,2 + 2 ϕ22 − 12 ϕ24 = 0 2χ 4χ
ϕ 4j +3,1 −
(44) (45)
Gambar 16. Normalisasi distribusi energi pada tiga kanal yang terdekopel.
Dari hasil simulasi pada gambar 17 tampak bahwa energi dalam keadaan stasioner pada tiap-tiap kanal selama rentang waktu 1.19 ps. Untuk rentang waktu yang lebih besar terjadi efek pemantulan energi yang disebabkan oleh faktor eror dari simulasi program akibat pembatasan jumlah amida. Walaupun ketiga kanal dalam keadaan terdekopel, namun distribusi energi tiap-tiap site amida secara implisit memiliki keterkaitan satu dengan yang lain melalui persamaan (41), (42) dan (43). Artinya, tidak sembarang nilai amplitudo eksiton dapat memenuhi kondisi ini, akan tetapi hanya untuk nilai-nilai tertentu saja sedemikian sehingga ketiga syarat persamaan terdekopel dapat terpenuhi.
14
kanal yang lain. Dengan adanya kopling tersebut juga dapat ditunjukan bahwa keadaan pada suatu amida dapat mempengaruhi keadaan amida yang lainnya. Khusus untuk pembatasan jumlah amida sebanyak lima titik, telah diperoleh kondisi dimana distribusi energi antar kanal terdekopel (decouple case). Pada kondisi ini energi tidak mengalami eksitasi antar kanal. (a)
(b)
5.2 Saran Pemilihan inisial kondisi yang tepat sangat berperan untuk mendapatkan solusi stasioner yang lebih optimal. Faktor iterasi turut menentukan galat eror dari output yang diperoleh, untuk itu diperlukan komputer dengan kemampuan numerik yang lebih baik. Untuk penelitian selanjutnya, jumlah amida tidak hanya dibatasai pada lima titik saja. Dengan jumlah titik yang lebih banyak diharapkan bisa diperolah solusi distribusi energi antar kanal yang terdekopel.
DAFTAR PUSTAKA [1] (c) Gambar 17. Distribusi energi stasioner pada protein α-heliks untuk kasus tiga kanal yang terdekopel, dengan L1 = 2.4x10-22J; L2 = 2.0x10-22J; L3 = 1.6 x 10-22J; χ=60pN
Pada saat ketiga kanal terdekopel, peran dari kopling antar kanal menjadi tidak begitu signifikan, kecuali pada nilai-nilai dengan perbedaan yang ekstrim.
[2]
[3] [4]
[5]
BAB V KESIMPULAM DAN SARAN [6]
5.1
Kesimpulan
Energi terdistribusi secara stasioner pada protein α-heliks. Melalui kopling dipoldipol antara amida terdekat dalam satu kanal dan kopling dipol-dipol antara kanal terdekat, energi dapat tereksitasi dari satu kanal ke
[7]
Avery, John. Creation and Annihilation Operators. New York: Mc Graw-Hill; 1976. Away, GA. The Shortcut of Matlab Programing. Bandung: Informatika; 2006. Beiser, Arthur. Konsep Fisika Modern Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga; 1978 Caspi,S & Ben-Jacob,E. Conformation Changes and Folding of Proteins Mediated by Davydov’s Soliton. School of Physics and Astronomy, Faculty of Exact Sciences, Tel Aviv University. Arxiv:cond-math. 2007; 9911004v1: 114. Faozan. Dinamika Distribusi energi pada Protein α-Helix Berdasarkan Model Davidov. Tesis. Depok: Universitas Indonesia; 2007. Gasiorowicz, Stephen. Quantum Physics 2nd edition. New York: John Wiley & Sons; 1996. Hadi, Miftachul. Berkenalan dengan Soliton. http://www.opto.lipi.go.id. Pusat Fisika LIPI; 2005.
15
[8]
[9]
Hanselman, D. & Littlefield, B. Matlab: Bahasa Komputasi Teknis. Yogyakarta: Andi; 2002. Scott, Alwyn. Davydov’s Soliton. Physics Reports (Review Section of Physics Letters) 217. 1992; No. 1: 1— 67.
[10] Struktur Protein. http://www. id.wikipedia.org/wiki/Protein. [11] Tjia, M.O. Gelombang. Bandung: Jurusan Fisika FMIPA Institut Teknologi Bandung; 1994.
16
LAMPIRAN
17
Lampiran 1 Diagram Alur Kerja
Penelusuran Literatur
Sudah Siap
Penguasaan Software
Pembuatan dan Pengujian Program
Sesuai dengan Literatur
Penyusunan Laporan
Solusi Eksak
18
Lampiran 2 Penurunan Solusi Eksak Persamaan Nonlinier Schrödinger-Davydov untuk Kasus Dua Kanal Terkopel.
Solusi stasioner persamaan nonlinier Schrödinger-Davydov:
χ2
− h ωϕ nα + J (ϕ n +1,α + ϕ n −1,α ) − L (ϕ n ,α +1 + ϕ n ,α −1 ) +
W
( ϕ n +1,α
2
+ 2 ϕ n ,α
2
2
+ ϕ n −1,α )ϕ nα = 0
Kanal 1 (α=1) j+2
ϕ j ,1 = ϕ j + 4,1 = 0 j+1
ϕ j +1,1 = ϕ j +3,1
j+3
j
j+4
ϕ j + 2,1 = ϕ1
n = J +1 − h ω ϕ J +1,1 + J (ϕ J + 2 ,1 + ϕ J ,1 ) − L1 (ϕ J +1, 2 + ϕ J + 1,3 ) +
− h ω ϕ J + 1,1 + J (ϕ J + 2 ,1 ) − L1ϕ J + 1, 2 + − h ωϕ J +1,1 + J ϕ1 − L1 (ϕ J +1,2 ) +
n = J +2
χ2
χ2 W
χ2 W
(ϕ J + 2 ,1 2 + 2ϕ J +1,1 2 )ϕ J +1,1 = 0
(ϕ12 + 2ϕ J +1,12 )ϕ J +1,1 = 0
W
χ2
− h ωϕ J + 2,1 + J (ϕ J + 3,1 + ϕ J +1,1 ) − L1 (ϕ J + 2,2 + ϕ J + 2,3 ) +
− h ωϕ 1 + J (2ϕ J + 3,1 ) − L1 (ϕ 2 ) + n = J +3
χ2 W
W
Kanal 2 j+1
(ϕ J + 3,12 + 2ϕ J + 2,12 + ϕ J +1,12 )ϕ J + 2,1 = 0
χ2
(2)
(ϕ J + 4,12 + 2ϕ J +3,12 + ϕ J + 2,12 )ϕ J +3,1 = 0
W
χ2 (2ϕ J +3,12 + ϕ12 )ϕ J + 3,1 = 0 W
j+2
j
(1)
(2ϕ J + 3,12 + 2ϕ 1 2 )ϕ 1 = 0
− hωϕ J +3,1 + J (ϕ J + 4,1 + ϕ J + 2,1 ) − L1 (ϕ J +3,2 + ϕ J +3,3 ) +
−hωϕ J +3,1 + J ϕ1 − L1 (ϕ J +3,2 ) +
(ϕ J + 2 ,1 2 + 2ϕ J + 1,1 2 + ϕ J ,1 2 )ϕ J + 1,1 = 0
(3)
ϕ j ,2 = ϕ j + 4,2 = 0 ϕ j +1,2 = ϕ j +3,2
j+3
ϕ j + 2,2 = ϕ 2
j+4
n = J +1 − h ω ϕ J +1, 2 + J (ϕ J + 2 , 2 + ϕ J , 2 ) − L 2 (ϕ J + 1,1 + ϕ J +1,3 ) +
− h ω ϕ J + 1,2 + J (ϕ J + 2 ,2 ) − L 2ϕ J + 1,1 + − hωϕ J +1,2 + J ϕ 2 − L2 (ϕ J +1,1 ) +
χ2 W
χ2 W
χ2 W
(ϕ J + 2 , 2 2 + 2ϕ J +1, 2 2 + ϕ J , 2 2 )ϕ J +1, 2 = 0
(ϕ J + 2 , 2 2 + 2ϕ J +1,2 2 + ϕ J , 2 2 )ϕ J + 1,2 = 0
(ϕ 2 2 + 2ϕ J +1,2 2 )ϕ J +1,2 = 0
(4)
n = J +2 − h ωϕ J + 2,2 + J (ϕ J + 3,2 + ϕ J +1,2 ) − L2 (ϕ J + 2,1 + ϕ J + 2,3 ) +
χ2 W
(ϕ J + 3,2 2 + 2ϕ J + 2,2 2 + ϕ J +1,2 2 )ϕ J + 2 ,2 = 0
19
χ2
− h ωϕ 2 + J (2ϕ J + 3,2 ) − L2 (ϕ 1 ) +
(2ϕ J + 3,2 2 + 2ϕ 2 2 )ϕ 2 = 0
W
n = J +3
− hωϕ J +3,2 + J (ϕ J + 4,2 + ϕ J + 2,2 ) − L2 (ϕ J +3,1 + ϕ J +3,3 ) +
−hωϕ J +3,2 + J ϕ 2 − L2 (ϕ J + 3,1 ) +
χ2 W
(5)
(ϕ J + 4,2 2 + 2ϕ J +3,2 2 + ϕ J + 2,2 2 )ϕ J +3,2 = 0
χ2 (2ϕ J +3,12 + ϕ 2 2 )ϕ J +3,2 = 0 W
(6)
Dengan mengacu pada kondisi awal yang telah ditentukan, maka persamaan (1) identik dengan persamaan (3), dan persamaan (4) identik dengan persamaan (6). Dengan demikian keenam persamaan tersebut dapat direduksi menjadi tiga persamaan saja yaitu: − h ωϕ 1 + J (2ϕ J + 3,1 ) − L1 (ϕ 2 ) +
−hωϕ J +3,1 + J ϕ1 − L1 (ϕ J +3,2 ) +
W
χ2 W
− h ωϕ 2 + J (2ϕ J + 3,2 ) − L 2 (ϕ 1 ) +
−hωϕ J +3,2 + J ϕ2 − L2 (ϕ J + 3,1 ) +
χ2
(2ϕ J + 3,12 + 2ϕ 1 2 )ϕ 1 = 0
(2ϕ J +3,12 + ϕ12 )ϕ J + 3,1 = 0
χ2 W
χ2 W
(2) (3)
(2ϕ J + 3,2 2 + 2ϕ 2 2 )ϕ 2 = 0
(5)
(2ϕ J +3,12 + ϕ2 2 )ϕ J +3,2 = 0
(6)
Melalui hubungan kopling J, persamaan (2) dan (3) dapat direduksi menjadi satu persamaan saja, demikian juga untuk persamaan (5) dan (6)
J=
hωϕ1 + L1 (ϕ2 ) −
χ2
(2ϕ12 + 2ϕJ +3,12 )ϕ1
W 2ϕJ +3,1
hωϕ2 + L2 (ϕ1 ) −
χ2
=
hωϕJ +3,1 + L1 (ϕJ +3,2 ) −
(2ϕJ +3,22 + 2ϕ22 )ϕ2
χ2 W
(ϕ12 + 2ϕJ +3,12 )ϕJ +3,1
ϕ1 hωϕJ +3,2 + L2 (ϕJ +3,1) −
(7)
χ2
(ϕ22 + 2ϕJ +3,22 )ϕJ +3,2 W W (8) J= = 2ϕJ +3,2 ϕ2 dengan demikian diperoleh persamaan sebagai berikut: h ωW W W h ωW 2 1 4 (9) ϕ J + 3,14 − ϕ J + 3,12 − L1ϕ J + 3,2ϕ J + 3,1 + L1ϕ1ϕ 2 + ϕ1 − ϕ 1 = 0 2χ 2 2χ 2 4χ 2 4χ 2 2 h ωW W W h ωW 2 1 4 (10) ϕ J + 3,2 4 − ϕ J + 3,2 2 − L2ϕ J + 3,1ϕ J + 3,2 + L2ϕ1ϕ 2 + ϕ2 − ϕ2 = 0 2 2 2 2χ 2χ 4χ 4χ 2 2 Persamaan (9) dan (10) masing-masing mewakili mekanisme distribusi energi pada kanal 1 dan 2.
Kasus Dua Kanal terdekopel (Decouple Case) Kasus khusus (kasus dekopel) terjadi ketika kondisi berikut terpenuhi:
Kanal 1:
−
W W Lϕ ϕ + 2 L1ϕ1ϕ 2 = 0 2 1 J + 3,2 J + 3,1 2χ 4χ
(11)
Kanal 2:
−
W W Lϕ ϕ + 2 L2ϕ1ϕ2 = 0 2 2 J +3,1 J +3,2 2χ 4χ
(12)
Persamaan (11) dan (12) dapat direduksi menjadi satu syarat, yaitu:
1 2
ϕ J + 3,1 ϕ J + 3,2 = ϕ1 ϕ 2 .
(13)
Jika syarat tersebut terpenuhi, maka akan diperoleh persamaan quintic untuk tiap-tiap kanal sebagai berikut:
20
h ωW h ωW 2 1 4 ϕ J + 3,12 + ϕ1 − ϕ1 = 0 2χ 2 4χ 2 2 h ωW h ω W 1 − ϕ J + 3,2 2 + ϕ22 − ϕ24 = 0 2 2 2χ 4χ 2
ϕ J + 3,14 −
(14)
ϕ J + 3,2 4
(15)
Kedua persamaan tersebut dapat dengan mudah dipecahkan melalui rumus abc sebagai berikut: 2
ϕ j + 3,12 = ϕ j +1,12 =
hω w 1 hω w hω w ± + ϕ12 2ϕ12 − 2 4 χ 2 2 2 χ 2 χ
ϕ j +3,2 2 = ϕ j +1,2 2 =
hω w 1 hω w hω w ± + ϕ 2 2 2ϕ2 2 − 2 2 2 χ 4χ 2 2χ
(16)
2
(17)
21
Lampiran 3 Penurunan Solusi Eksak Persamaan Nonlinier Schrödinger-Davydov untuk Kasus Tiga Kanal Terkopel.
Solusi stasioner persamaan nonlinier Schrödinger-Davydov:
(ϕ W χ2
−hωϕn,α + J (ϕn+1,α + ϕn−1,α ) − Lα (ϕn,α +1 + ϕn,α −1 ) +
2
n+1,α
2
+ 2 ϕn,α + ϕn−1,α
2
)ϕ
n ,α
=0
Dengan ketentuan sebagai berikut:
ϕ j ,α = ϕ j + 4,α = 0 ϕ j +1,α = ϕ j +3,α
ϕ j + 2,α = ϕα Untuk α = 1 n = j+1
(ϕ W χ2
−hωϕ j +1,1 + J (ϕ j +2,1 + ϕ j ,1 ) − L1 (ϕ j +1,2 + ϕ j +1,3 ) + − hωϕ j +1,1 + J (ϕ1 ) − L1 (ϕ j +1,2 + ϕ j +1,3 ) +
χ2 W
(ϕ
n = j+2
−hωϕ j +2,1 + J (ϕ j +3,1 + ϕ j +1,1 ) − L1 (ϕ j +2,2 + ϕ j +2,3 ) +
−hωϕ1 + J (2ϕ j +3,1 ) − L1 (ϕ 2 + ϕ3 ) +
χ2
(ϕ W
2 j + 3,1
2
+ 2 ϕ j +1,1 + ϕ j ,1
2
)ϕ
j +1,1
=0
+ 2ϕ j +1,12 + ) ϕ j +1,1 = 0
(ϕ W χ2
2 j +3,1
2
+ 2 ϕ j +2,1 + ϕ j +1,1
(1)
2
)ϕ
j + 2,1
+ 2ϕ12 ) ϕ j + 2,1 = 0
n = j+3
−hωϕ j +3,1 + J (ϕ j + 4,1 + ϕ j + 2,1 ) − L1 (ϕ j +3,2 + ϕ j +3,3 ) +
−hωϕ j +3,1 + J (ϕ1 ) − L1 (ϕ j +3,2 + ϕ j +3,3 ) +
2
1
2 j +2,1
(ϕ W χ2
2 j + 4,1
=0 (2)
2
+ 2 ϕ j +3,1 + ϕ j + 2,1
2
)ϕ
j +3,1
χ2 ( +2ϕ j +3,12 + ϕ12 ) ϕ j +3,1 = 0 W
=0 (3)
Untuk α = 2 n = j+1
−hωϕ j +1,2 + J (ϕ j +2,2 + ϕ j ,2 ) − L2 (ϕ j +1,1 + ϕ j +1,3 ) + − hωϕ j +1,2 + J (ϕ 2 ) − L2 (ϕ j +1,1 + ϕ j +1,3 ) + n = j+2
(ϕ W χ2
χ2
(ϕ W
2 2
2 j +2,2
2
+ 2 ϕ j +1,2 + ϕ j ,2
+ 2ϕ j +1,2 2 ) ϕ j +1,2 = 0
2
)ϕ
j +1,2
=0 (4)
22
(ϕ W χ2
−hωϕ j +2,2 + J (ϕ j +3,2 + ϕ j +1,2 ) − L2 (ϕ j +2,1 + ϕ j +2,3 ) + −hωϕ 2 + J (2ϕ j +3,2 ) − L2 (ϕ1 + ϕ3 ) +
2
2
+ 2 ϕ j +2,2 + ϕ j +1,2
j +3,2
2
)ϕ
j +2,2
χ2 (ϕ j +3,22 + 2ϕ22 ) ϕ2 = 0 W
n = j+3
(ϕ W χ2
−hωϕ j +3,2 + J (ϕ j +4,2 + ϕ j +2,2 ) − L2 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,3 ) + −hωϕ j +3,2 + J (ϕ2 ) − L2 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,3 ) +
2
=0 (5)
2
2
)
+ 2 ϕ j +3,2 + ϕ j +2,2 ϕ j +3,2 = 0
j +4,2
χ2 ( +2ϕ j +3,22 + ϕ22 )ϕ j +3,2 = 0 W
(6)
Untuk α = 3 n = j+1
−hωϕ j +1,3 + J (ϕ j +2,3 + ϕ j ,3 ) − L3 (ϕ j +1,1 + ϕ j +1,2 ) + − hωϕ j +1,3 + J (ϕ3 ) − L3 (ϕ j +1,1 + ϕ j +1,2 ) +
χ2 W
(ϕ
n = j+2
−hωϕ j +2,3 + J (ϕ j +3,3 + ϕ j +1,3 ) − L3 (ϕ j +2,1 + ϕ j +2,2 ) + −hωϕ3 + J (2ϕ j +3,3 ) − L3 (ϕ1 + ϕ 2 ) +
χ2
(ϕ W
2 j + 3,3
2 3
2 j + 2,3
2
+ 2 ϕ j +1,3 + ϕ j ,3
2
)ϕ
j +1,3
+ 2ϕ j +1,32 ) ϕ j +1,3 = 0
(ϕ W χ2
2 j +3,3
2
−hωϕ j +3,3 + J (ϕ j + 4,3 + ϕ j + 2,3 ) − L3 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,2 ) +
(ϕ W χ2
2 j + 4,3
=0 (7)
2
)
+ 2 ϕ j +2,3 + ϕ j +1,3 ϕ j +2,3 = 0
+ 2ϕ3 2 ) ϕ3 = 0
n = j+3
−hωϕ j +3,3 + J (ϕ3 ) − L3 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,2 ) +
(ϕ W χ2
(8)
2
+ 2 ϕ j +3,3 + ϕ j +2,3
χ2 ( +2ϕ j +3,32 + ϕ32 ) ϕ j +3,3 = 0 W
2
)ϕ
j +3,3
=0 (9)
Dengan mengacu pada syarat yang telah ditentukan, maka diperoleh bahwa persamaan (1) identik dengan persamaan (3), persamaan (4) identik dengan persamaan (6), dan persamaan (7) identik dengan persamaan (9). Sehingga persamaan tersebut dapat direduksi menjadi enam persamaan saja. Dengan demikian, persamaan yang harus dipecahkan adalah:
− hωϕ1 + J (2ϕ j +3,1 ) − L1 (ϕ2 + ϕ3 ) +
χ2 W
(ϕ
−hωϕ j +3,1 + J (ϕ1 ) − L1 (ϕ j +3,2 + ϕ j +3,3 ) +
2 j + 3,1
χ2 W
+ 2ϕ12 ) ϕ j + 2,1 = 0
( +2ϕ
2 j + 3,1
+ ϕ12 ) ϕ j +3,1 = 0
χ2 (ϕ j +3,2 2 + 2ϕ2 2 ) ϕ2 = 0 W χ2 − hωϕ j +3,2 + J (ϕ2 ) − L2 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,3 ) + ( +2ϕ j +3,2 2 + ϕ22 )ϕ j +3,2 = 0 W χ2 − hωϕ3 + J (2ϕ j +3,3 ) − L3 (ϕ1 + ϕ2 ) + ϕ j +3,32 + 2ϕ32 ) ϕ3 = 0 ( W − hωϕ 2 + J (2ϕ j +3,2 ) − L2 (ϕ1 + ϕ3 ) +
(2) (3) (5) (6) (8)
23
−hωϕ j +3,3 + J (ϕ3 ) − L3 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,2 ) +
χ2 W
( +2ϕ
j + 3,3
2
+ ϕ32 ) ϕ j +3,3 = 0
(9)
Solusi persamaan (2) dan (3) Dengan menyamakan variable J, maka diperoleh:
J=
hωϕ1 + L1 (ϕ2 + ϕ3 ) −
χ2 W
(2ϕ 2j +3,1 + 2ϕ12 )ϕ1
2ϕ j +3,1
χ
h ωϕ12 + L1ϕ1 (ϕ 2 + ϕ 3 ) −
2
W
=
hωϕ j +3,1 + L1 (ϕ j +3,2 + ϕ j +3,3 ) −
ϕ1
χ
2
ϕ 12 +
L1W
χ2
W
(ϕ12 + 2ϕ 2j +3,1 )ϕ j +3,1
(2ϕ 2j + 3,1 ϕ12 + 2ϕ14 )
= 2 h ωϕ 2j + 3,1 + L1 2ϕ j + 3,1 (ϕ j + 3,2 + ϕ j + 3,3 ) − h ωW
χ2
χ2 W
(2ϕ12 ϕ 2j + 3,1 + 4ϕ 4j + 3,1 )
ϕ 1 (ϕ 2 + ϕ 3 ) − 2ϕ 12ϕ 2j + 3,1 − 2ϕ 14 2 h ωW
LW
ϕ 2j + 3,1 + 1 2 2ϕ j + 3,1 (ϕ j + 3,2 + ϕ j + 3,3 ) − 2ϕ 12ϕ 2j + 3,1 − 4ϕ 4j + 3,1 χ2 X LW LW 2hωW 2 hωW 4ϕ 4j +3,1 − ϕ j +3,1 − 1 2 2ϕ j +3,1 (ϕ j +3,2 + ϕ j +3,3 ) + 1 2 ϕ1 (ϕ2 + ϕ3 ) + 2 ϕ12 − 2ϕ14 = 0 2 X χ χ χ hωW 2 LW LW hωW 2 1 4 ϕ 4j +3,1 − ϕ j +3,1 − 1 2 ϕ j +3,1 (ϕ j +3,2 + ϕ j +3,3 ) + 1 2 ϕ1 (ϕ2 + ϕ3 ) + ϕ1 − 2 ϕ1 = 0 (10) 2χ 2 2X 4χ 4χ 2 =
Solusi persamaan (5) dan (6) Dengan menyamakan variable J, maka diperoleh: J=
hωϕ2 + L2 (ϕ1 + ϕ3 ) −
χ2 W
(2ϕ 2j +3,2 + 2ϕ22 )ϕ 2
2ϕ j +3,2
h ωϕ 22 + L2ϕ 2 (ϕ1 + ϕ 3 ) −
χ
2
W
=
hωϕ j +3,2 + L2 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,3 ) −
χ
2
ϕ 22 +
L2W
χ2
W
(ϕ22 + 2ϕ 2j +3,2 )ϕ j +3,2
(2ϕ 2j + 3,2 ϕ 22 + 2ϕ 24 )
= 2 h ωϕ 2j + 3,2 + L2 2ϕ j + 3,2 (ϕ j + 3,1 + ϕ j + 3,3 ) −
h ωW
ϕ2
χ2
χ2 W
(2ϕ 22 ϕ 2j + 3,2 + 4ϕ 4j + 3,2 )
ϕ 2 (ϕ1 + ϕ 3 ) − 2ϕ 22ϕ 2j + 3,2 − 2ϕ 24 2 h ωW
L2W 2ϕ j + 3,2 (ϕ j + 3,1 + ϕ j + 3,3 ) − 2ϕ 22ϕ 2j + 3,2 − 4ϕ 4j + 3,2 χ X2 2hωW 2 LW LW hωW 4ϕ 4j +3,2 − ϕ j +3,2 − 2 2 2ϕ j +3,2 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,3 ) + 2 2 ϕ2 (ϕ1 + ϕ3 ) + 2 ϕ22 − 2ϕ24 = 0 χ2 χ χ X LW LW hωW hωW ϕ 4j +3,2 − 2 ϕ 2j +3,2 − 2 2 ϕ j +3,2 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,3 ) + 2 2 ϕ2 (ϕ1 + ϕ3 ) + 2 ϕ22 − 12 ϕ24 = 0 (11) 2χ 2X 4χ 4χ =
2
ϕ 2j + 3,2 +
Solusi persamaan (8) dan (9) Dengan menyamakan variable J, maka diperoleh:
24
J=
hωϕ3 + L3 (ϕ1 + ϕ 2 ) −
χ2 W
(2ϕ 2j +3,3 + 2ϕ32 )ϕ3
2ϕ j +3,3
h ωϕ 32 + L3ϕ 3 (ϕ 1 + ϕ 2 ) −
χ
2
W
=
hωϕ j +3,3 + L3 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,2 ) −
χ
2
ϕ 32 +
L3W
χ2
W
(ϕ32 + 2ϕ 2j +3,3 )ϕ j +3,3
(2ϕ 2j + 3,3 ϕ 32 + 2ϕ 34 )
= 2 h ωϕ 2j + 3,3 + L3 2ϕ j + 3,3 (ϕ j + 3,1 + ϕ j + 3,2 ) −
h ωW
ϕ3
χ2
χ2 W
(2ϕ 32 ϕ 2j + 3,3 + 4ϕ 4j + 3,3 )
ϕ 3 (ϕ 1 + ϕ 2 ) − 2ϕ 32ϕ 2j + 3,3 − 2ϕ 34 2 h ωW
L3W 2ϕ j + 3,3 (ϕ j + 3,1 + ϕ j + 3,2 ) − 2ϕ 32ϕ 2j + 3,3 − 4ϕ 4j + 3,3 2 χ X L W LW 2 h ω W hωW 4ϕ 4j +3,3 − ϕ 2j +3,3 − 3 2 2ϕ j +3,3 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,2 ) + 3 2 ϕ3 (ϕ1 + ϕ2 ) + 2 ϕ32 − 2ϕ34 = 0 2 X χ χ χ L W L W h ω W h ω W ϕ 4j +3,3 − ϕ 2j +3,3 − 3 2 ϕ j +3,3 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,2 ) + 3 2 ϕ3 (ϕ1 + ϕ2 ) + ϕ32 − 12 ϕ34 = 0 (12) 2χ 2 2X 4χ 4χ 2 =
2
ϕ 2j + 3,3 +
Persamaan akhir dari mekanisme disribusi energi pada kasus tiga kanal dalam protein α-helix
hωW 2 LW LW hωW 2 1 4 ϕ j +3,1 − 1 2 ϕ j +3,1 (ϕ j +3,2 + ϕ j +3,3 ) + 1 2 ϕ1 (ϕ2 + ϕ3 ) + ϕ1 − 2 ϕ1 = 0 2 2χ 2χ 4χ 4χ 2 hωW LW LW hωW 2 1 4 ϕ 4j +3,2 − 2 ϕ 2j +3,2 − 2 2 ϕ j +3,2 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,3 ) + 2 2 ϕ2 (ϕ1 + ϕ3 ) + ϕ2 − 2 ϕ2 = 0 2χ 2χ 4χ 4χ 2 LW LW hωW 2 hωW 2 1 4 ϕ 4j +3,3 − ϕ j +3,3 − 3 2 ϕ j +3,3 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,2 ) + 3 2 ϕ3 (ϕ1 + ϕ2 ) + ϕ3 − 2 ϕ3 = 0 2χ 2 2χ 4χ 4χ 2
ϕ 4j +3,1 −
(10) (11) (12)
Kasus Tiga Kanal terdekopel (Decouple Case) Kasus khusus (kasus dekopel) terjadi ketika kondisi berikut terpenuhi untuk tiap-tiap kanal:
LW LW 1 ϕ j +3,1 (ϕ j +3,2 + ϕ j +3,3 ) + 1 2 ϕ1 (ϕ2 + ϕ3 ) = 0 2 2χ 4χ L2W LW − 2 ϕ j +3,2 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,3 ) + 2 2 ϕ2 (ϕ1 + ϕ3 ) = 0 2χ 4χ LW LW − 3 2 ϕ j +3,3 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,2 ) + 3 2 ϕ3 (ϕ1 + ϕ2 ) = 0 2χ 4χ −
(13) (14) (15)
atau dapat disederhanakan menjadi:
1 2 1 ϕ j +3,2 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,3 ) = ϕ 2 (ϕ1 + ϕ3 ) 2 1 ϕ j + 3,3 (ϕ j +3,1 + ϕ j +3,2 ) = ϕ3 (ϕ1 + ϕ 2 ) 2
ϕ j +3,1 (ϕ j +3,2 + ϕ j +3,3 ) = ϕ1 (ϕ2 + ϕ3 )
(16) (17) (18)
Dengan ketiga memasukan syarat ke dalam persamaan (13), (14) dan (15) maka diperoleh persamaan quintic sebagai berikut:
ϕ 4j +3,1 −
hωW 2 hωW 2 1 4 ϕ j +3,1 + ϕ1 − 2 ϕ1 = 0 2χ 2 4χ 2
(19)
25
hωW 2 hωW 2 1 4 ϕ j +3,2 + ϕ2 − 2 ϕ2 = 0 2 2χ 4χ 2 hωW 2 hωW 2 1 4 ϕ 4j +3,3 − ϕ j +3,3 + ϕ3 − 2 ϕ3 = 0 2 2χ 4χ 2
ϕ 4j +3,2 −
(20) (21)
Ketiga persamaan tersebut dapat dengan mudah dipecahkan dengan menggunakan rumus abc, sehingga untuk tiap-tiap persamaan diperoleh solusi sebagai berkut: 2
ϕ2j+3,1 = ϕ2j+1,1 =
hωW 1 hωW hωW ± 2 +ϕ12 2ϕ12 − 2 2 χ 4χ 2 2χ
(22)
2
ϕ
2 j +3,2
=ϕ
2 j +1,2
hωW 1 hωW hωW = 2 ± 2 +ϕ22 2ϕ22 − 2 χ 4χ 2 2χ
(23)
2
ϕ2j+3,3 = ϕ2j +1,3 =
hωW 1 hωW hωW ± 2 + ϕ32 2ϕ32 − 2 2 4χ 2 2χ χ
(24)
26
Lampiran 4 Metode Runge-Kutta Orde 4
Dalam komputasi, metode Runge-Kutta sangat populer digunakan untuk memecahkan persamaan differensial. Pada prakteknya, metode runge-Kutta Orde 3 dan Orde 4 merupakan yang paling banyak digunakan karena memiliki tingkat ketelitian tinggi dibandingkan Orde di bawahnya. Metode Runge-Kutta yang akan dibahas berikut adalah adalah untuk Orde 4. Misalkan terdapat persamaan differensial:
y ' = f (t , y )
dengan t dalam interval a samapai b dan y(a) adalah inisial kondisi. Dengan N merupakan jumlah subdivisi dalam interval [a,b], maka komputasi untuk metode Runge-Kutta Orde 4 secara umum dapat dituliskan sebagai berikut: h = (b-a)/N; t(1) = a; w(1) = y(a);
%the step size %the initial value
for i = 1:N k1 = h*f(t(i), w(i)); k2 = h*f(t(i)+h/2, w(i)+(k1)/2); k3 = h*f(t(i)+h/2, w(i)+(k2)/2); k4 = h*f(t(i)+h, w(i)+k3); w(i+1) = w(i) + (k1 + 2*k2 + 2*k3 + k4)/6; t(i+1) = a + i*h; end
Komputasi dengan metode Runge-Kutta hanya bisa diselesaikan jika inisial kondisi dari fungsi tersebut diketahui.
27
Lampiran 5 Pemrograman untuk Mencari Solusi pada Kasus Satu Kanal (Single Channel) % Solusi NLS untuk 1 strain clear all; clc; hbar=6.626e-34/(2*pi); %hbar=1; img = complex(0,1); Jay = (0.967e-3)*(1.602e-19); %nilai : 1.55e-22 Joule w = 45; %nilai : 39-58.5 N/m Kay =60e-12; %nilai : 35-62 pN 50e-12 M =5.7e-25; n=5; h=1e-4; omega=0.6157561123e14; % omega = 0.6157561123e14 %di dapat dari ikatan C=O: 0.9004265321e13 y(1,1)=0; y(2,1)=0; y(3,1)=0; y(1,5)=0; y(2,5)=0; y(3,5)=0; y(1,n+1)=0; y(2,n+1)=0; y(3,n+1)=0; for j=3:n y(1,j)=0; y(2,j)=0; y(3,j)=0; end % y(1,3)=sqrt(0.68); % y(1,2)=sqrt(0.16); % y(1,4)=sqrt(0.16); % y(1,6)=0; y(1,3)=0.9482248864; y(1,2)=0.2245768964; y(1,4)=0.2245768964; y(3,3)=1; % y(1,3)=0.2245768964; % y(1,2)=0.9482248864; % y(1,4)=0.9482248864; % y(1,3)=0.3; % y(1,4)=0.8; % y(1,2)=0.8; for i=1:20000 for j=2:1:n y(1,5)=0; y(3,5)=0;
28
ka1(j)=h*((1/(img*hbar*omega))*((-Jay)*(y(1,j+1) + y(1,j-1))+ Kay*(y(3,j+1)-y(3,j))*y(1,j))); kb1(j)=h*(1/omega^2)*(w*(y(3,j+1)-2*y(3,j)+y(3,j1))+Kay*((abs(y(1,j)))^2-(abs(y(1,j-1)))^2)); kp1(j)=h*(y(2,j)/M); ka2(j) =h*((1/(img*hbar*omega))*((Jay)*(0.5*ka1(j)+y(1,j+1)+0.5*ka1(j)+y(1,j-1))+ Kay*(0.5*kp1(j)+y(3,j+1)-0.5*kp1(j)+y(3,j))*(0.5*ka1(j)+y(1,j)))); kb2(j) =h*(1/omega^2)*(w*(0.5*kp1(j)+y(3,j+1)-2*(0.5*kp1(j)+ y(3,j))+0.5*kp1(j)+y(3,j-1))+Kay*((abs(0.5*ka1(j)+y(1,j)))^2(abs(0.5*ka1(j)+y(1,j-1)))^2)); kp2(j) =h*((0.5*kb1(j)+ y(2,j))/M); ka3(j) =h*((1/(img*hbar*omega))*((-Jay)*(0.5*ka2(j)+y(1,j+1) +0.5*ka2(j)+y(1,j-1))+ Kay*(0.5*kp2(j)+y(3,j+1)0.5*kp2(j)+y(3,j))*(0.5*ka2(j)+y(1,j)))); kb3(j) =h*(1/omega^2)*(w*(0.5*kp2(j)+y(3,j+1)-2*(0.5*kp2(j)+ y(3,j))+0.5*kp2(j)+y(3,j-1))+Kay*((abs(0.5*ka2(j)+y(1,j)))^2(abs(0.5*ka2(j)+y(1,j-1)))^2)); kp3(j) =h*((0.5*kb2(j)+y(2,j))/M); ka4(j) =h*((1/(img*hbar*omega)) *((Jay)*(ka3(j)+y(1,j+1)+ka3(j)+y(1,j-1))+ Kay*(kp3(j)+y(3,j+1)kp3(j)+y(3,j))*(ka3(j)+y(1,j)))); kb4(j) =h*(1/omega^2)*(w*(kp3(j)+y(3,j+1)-2*(kp3(j)+ y(3,j))+kp3(j)+y(3,j-1))+Kay*((abs(ka3(j)+y(1,j)))^2(abs(ka3(j)+y(1,j-1)))^2)); kp4(j) =h*((kb3(j)+y(2,j))/M);
y(1,j)=y(1,j)+(ka1(j)+2*ka2(j)+2*ka3(j)+ka4(j))/6; y(2,j)=y(2,j)+(kb1(j)+2*kb2(j)+2*kb3(j)+kb4(j))/6; y(3,j)=y(3,j)+(kp1(j)+2*kp2(j)+2*kp3(j)+kp4(j))/6; xr(i,j)=y(1,j); yr(i,j)=y(2,j); zr(i,j)=y(3,j); xra(i,j)=(abs(y(1,j)))^2; yra(i,j)=(abs(y(2,j)))^2; zra(i,j)=(abs(y(3,j)))^2; xraa(i,j)=abs(y(1,j)); yraa(i,j)=abs(y(2,j)); zraa(i,j)=abs(y(3,j));
xrdot(i,j)= abs((1/(img*hbar))*((-Jay)*(y(1,j+1) + y(1,j-1))+ Kay*(y(3,j+1)-y(3,j))*y(1,j))); t(i)=i; end end for j = 1:1:n site(j)=j; end
29
for i=1:20000 sum=0; for j=1:1:n sum = sum + xra(i,j); t(i)=i; end s(i)=sum; %Normalisasi end figure(1); mesh(xra); figure(2); mesh(yra); figure(3); mesh(zra); xlabel('j'); ylabel('t'); zlabel('pi'); figure (4); plot (t,xra,'-r'); grid on; figure (5); plot (t,s,'-b'); grid on;
30
Lampiran 6 Pemrograman untuk Mencari Solusi pada Kasus Dua Kanal % Solusi NLS untuk kasus dua strain clear all; clc; hbar=6.626e-34/(2*pi); %hbar=1; img = complex(0,1); Jay = (0.967e-3)*(1.602e-19); %nilai : 1.55e-22 Joule w = 45; %nilai : 39-58.5 N/m Kay =60e-12; %nilai : 35-62 pN M =5.7e-25; n=10; h=5e-4; % L=2.5e-22; L1=2.4e-22; L2=2.3e-22; % omega1=0.1477931864e12*pi; % omega2=0.1329135442e13*pi; omega1=0.9004265321e13; % dari ikatan C=O 3.35e-13 omega2=0.9004265321e13; % dari ikatan C=O y(1,1)=0; y(2,1)=0; y(3,1)=0; y(1,5)=0; y(2,5)=0; y(3,5)=0; y(1,n+1)=0; y(2,n+1)=0; y(3,n+1)=0; f(1,1)=0; f(2,1)=0; f(3,1)=0; f(1,5)=0; f(2,5)=0; f(3,5)=0; f(1,n+1)=0; f(2,n+1)=0; f(3,n+1)=0; for j=3:n y(1,j)=0; y(2,j)=0; y(3,j)=0; f(1,j)=0; f(2,j)=0; f(3,j)=0; end y(1,3)=0.5; y(1,2)=sqrt(0.125); y(1,4)=sqrt(0.125); f(1,3)=0.5; f(1,2)=sqrt(0.125);
31
f(1,4)=sqrt(0.125); y(3,3)=1e-22; f(3,3)=1e-22; for i=1:200000 for j=2:1:n y(1,5)=0; f(1,5)=0; y(3,5)=0; f(3,5)=0; ka1(j)=h*((1/(img*hbar*omega1))*((-Jay)*(y(1,j+1) + y(1,j-1))+ L1*f(1,j) +Kay*(y(3,j+1)-y(3,j))*y(1,j))); kb1(j)=h*(1/omega1^2)*(w*(y(3,j+1)-2*y(3,j)+y(3,j1))+Kay*((abs(y(1,j)))^2-(abs(y(1,j-1)))^2)); kp1(j)=h*(y(2,j)/M); ua1(j)=h*((1/(img*hbar*omega2))*((-Jay)*(f(1,j+1) + f(1,j-1))+ L2*y(1,j) +Kay*(f(3,j+1)-f(3,j))*f(1,j))); ub1(j)=h*(1/omega2^2)*(w*(f(3,j+1)-2*f(3,j)+f(3,j1))+Kay*((abs(f(1,j)))^2-(abs(f(1,j-1)))^2)); up1(j)=h*(f(2,j)/M); ka2(j) =h*((1/(img*hbar*omega1))*((Jay)*(0.5*ka1(j)+y(1,j+1)+0.5*ka1(j)+y(1,j-1))+ L1*(0.5*ua1(j)+f(1,j)) +Kay*(0.5*kp1(j)+y(3,j+1)0.5*kp1(j)+y(3,j))*(0.5*ka1(j)+y(1,j)))); kb2(j) =h*(1/omega1^2)*(w*(0.5*kp1(j)+y(3,j+1)-2*(0.5*kp1(j)+ y(3,j))+0.5*kp1(j)+y(3,j-1))+Kay*((abs(0.5*ka1(j)+y(1,j)))^2(abs(0.5*ka1(j)+y(1,j-1)))^2)); kp2(j) =h*((0.5*kb1(j)+ y(2,j))/M); ua2(j) =h*((1/(img*hbar*omega2))*((Jay)*(0.5*ua1(j)+f(1,j+1)+0.5*ua1(j)+f(1,j-1))+ L2*(0.5*ka1(j)+y(1,j)) +Kay*(0.5*up1(j)+f(3,j+1)0.5*up1(j)+f(3,j))*(0.5*ua1(j)+f(1,j)))); ub2(j) =h*(1/omega2^2)*(w*(0.5*up1(j)+f(3,j+1)-2*(0.5*up1(j)+ f(3,j))+0.5*up1(j)+f(3,j-1))+Kay*((abs(0.5*ua1(j)+f(1,j)))^2(abs(0.5*ua1(j)+f(1,j-1)))^2)); up2(j) =h*((0.5*ub1(j)+ f(2,j))/M); ka3(j) =h*((1/(img*hbar*omega1))*((-Jay)*(0.5*ka2(j)+y(1,j+1) +0.5*ka2(j)+y(1,j-1))+ L1*(0.5*ua2(j)+f(1,j)) +Kay*(0.5*kp2(j)+y(3,j+1)0.5*kp2(j)+y(3,j))*(0.5*ka2(j)+y(1,j)))); kb3(j) =h*(1/omega1^2)*(w*(0.5*kp2(j)+y(3,j+1)-2*(0.5*kp2(j)+ y(3,j))+0.5*kp2(j)+y(3,j-1))+Kay*((abs(0.5*ka2(j)+y(1,j)))^2(abs(0.5*ka2(j)+y(1,j-1)))^2)); kp3(j) =h*((0.5*kb2(j)+y(2,j))/M); ua3(j) =h*((1/(img*hbar*omega2))*((-Jay)*(0.5*ua2(j)+f(1,j+1) +0.5*ua2(j)+f(1,j-1))+ L2*(0.5*ka2(j)+y(1,j)) +Kay*(0.5*up2(j)+f(3,j+1)0.5*up2(j)+f(3,j))*(0.5*ua2(j)+f(1,j)))); ub3(j) =h*(1/omega2^2)*(w*(0.5*up2(j)+f(3,j+1)-2*(0.5*up2(j)+ f(3,j))+0.5*up2(j)+f(3,j-1))+Kay*((abs(0.5*ua2(j)+f(1,j)))^2(abs(0.5*ua2(j)+f(1,j-1)))^2));
32
up3(j) =h*((0.5*ub2(j)+f(2,j))/M); ka4(j) =h*((1/(img*hbar*omega1)) *((Jay)*(ka3(j)+y(1,j+1)+ka3(j)+y(1,j-1))+ L1*(ua3(j)+f(1,j)) +Kay*(kp3(j)+y(3,j+1)-kp3(j)+y(3,j))*(ka3(j)+y(1,j)))); kb4(j) =h*(1/omega1^2)*(w*(kp3(j)+y(3,j+1)-2*(kp3(j)+ y(3,j))+kp3(j)+y(3,j-1))+Kay*((abs(ka3(j)+y(1,j)))^2(abs(ka3(j)+y(1,j-1)))^2)); kp4(j) =h*((kb3(j)+y(2,j))/M); ua4(j) =h*((1/(img*hbar*omega2)) *((Jay)*(ua3(j)+f(1,j+1)+ua3(j)+f(1,j-1))+ L2*(ka3(j)+y(1,j)) +Kay*(up3(j)+f(3,j+1)-up3(j)+f(3,j))*(ua3(j)+f(1,j)))); ub4(j) =h*(1/omega2^2)*(w*(up3(j)+f(3,j+1)-2*(up3(j)+ f(3,j))+up3(j)+f(3,j-1))+Kay*((abs(ua3(j)+f(1,j)))^2(abs(ua3(j)+f(1,j-1)))^2)); up4(j) =h*((ub3(j)+f(2,j))/M); y(1,j)=y(1,j)+(ka1(j)+2*ka2(j)+2*ka3(j)+ka4(j))/6; y(2,j)=y(2,j)+(kb1(j)+2*kb2(j)+2*kb3(j)+kb4(j))/6; y(3,j)=y(3,j)+(kp1(j)+2*kp2(j)+2*kp3(j)+kp4(j))/6; f(1,j)=f(1,j)+(ua1(j)+2*ua2(j)+2*ua3(j)+ua4(j))/6; f(2,j)=f(2,j)+(ub1(j)+2*ub2(j)+2*ub3(j)+ub4(j))/6; f(3,j)=f(3,j)+(up1(j)+2*up2(j)+2*up3(j)+up4(j))/6; xr(i,j)=y(1,j); yr(i,j)=y(2,j); zr(i,j)=y(3,j); xrf(i,j)=f(1,j); yrf(i,j)=f(2,j); zrf(i,j)=f(3,j); xra(i,j)=(abs(y(1,j)))^2; yra(i,j)=(abs(y(2,j)))^2; zra(i,j)=(abs(y(3,j)))^2; xrfa(i,j)=(abs(f(1,j)))^2; yrfa(i,j)=(abs(f(2,j)))^2; zrfa(i,j)=(abs(f(3,j)))^2; % xraa(i,j)=abs(y(1,j)); % yraa(i,j)=abs(y(2,j)); % zraa(i,j)=abs(y(3,j)); % xrfaa(i,j)=abs(f(1,j)); % yrfaa(i,j)=abs(f(2,j)); % zrfaa(i,j)=abs(f(3,j)); % % xrdot(i,j)= abs((1/(img*hbar))*((-Jay)*(y(1,j+1) + y(1,j-1))+ L*f(1,j) + Kay*(y(3,j+1)-y(3,j))*y(1,j))); % xrfdot(i,j)= abs((1/(img*hbar))*((-Jay)*(f(1,j+1)+ f(1,j-1))+ L*y(1,j) + Kay*(f(3,j+1)-f(3,j))*f(1,j))); t(i)=i; % untuk alfa=3 % fungsinya disimbolkan dg 'g' % g(1,j)=0 % g(2,j)=0 % g(3,j)=0 % dalam hal ini strain 3 di terlepas dari interaksi end
33
end for i=1:20000 sum=0; for j=1:1:n sum = sum + xra(i,j)+ xrfa(i,j); t(i)=i; end s(i)=sum; % Normalisasi end for j = 1:1:n site(j)=j; end figure (1); mesh(xra); % hidden off; xlabel('site j'); ylabel('waktu (x fs)'); zlabel('|An|^2'); figure(2); mesh(xrfa); % hidden off; xlabel('site j'); ylabel('waktu (x fs)'); zlabel('|An|^2'); figure(3); plot(t,xra,'-b'); grid on; figure(4); plot(t,xrfa,'-r'); grid on; figure(5); plot (t,s,'-b'); grid on;
34
Lampiran 7 Pemrograman untuk Mencari Solusi pada Kasus Tiga Kanal clear all; clc; hbar=6.626e-34/(2*pi); %hbar=1; img = complex(0,1); Jay = 1.55e-22; %dalam Joule %nilai lain (0.967e-3)*(1.602e-19); w = 45; %nilai : 39-58.5 N/m Kay =50e-12; %nilai : 35-62 pN M =5.7e-25; n=20; h=4e-5; L1=2.4e-22; L2=2.0e-22; L3=1.6e-22; omega1=0.5262022579e12*pi; omega2=0.5262022579e12*pi; omega3=0.5262022579e12*pi; %fungsi y(strain ke-1), f(strain ke-2), g(strain ke-3) y(1,1)=0; y(2,1)=0; y(3,1)=0; y(1,5)=0; y(2,5)=0; y(3,5)=0; y(1,n+1)=0; y(2,n+1)=0; y(3,n+1)=0; f(1,1)=0; f(2,1)=0; f(3,1)=0; f(1,5)=0; f(2,5)=0; f(3,5)=0; f(1,n+1)=0; f(2,n+1)=0; f(3,n+1)=0; g(1,1)=0; g(2,1)=0; g(3,1)=0; g(1,5)=0; g(2,5)=0; g(3,5)=0; g(1,n+1)=0; g(2,n+1)=0; g(3,n+1)=0; for j=3:n y(1,j)=0; y(2,j)=0; y(3,j)=0; f(1,j)=0; f(2,j)=0; f(3,j)=0;
35
g(1,j)=0; g(2,j)=0; g(3,j)=0; end y(1,3)=sqrt(1/6); y(1,2)=sqrt(1/12); y(1,4)=sqrt(1/12); f(1,3)=sqrt(1/6); f(1,2)=sqrt(1/12); f(1,4)=sqrt(1/12); g(1,3)=sqrt(1/6); g(1,2)=sqrt(1/12); g(1,4)=sqrt(1/12); y(3,3)=1e-22; f(3,3)=1e-22; g(3,3)=1e-22; for i=1:5000 for j=2:1:n y(1,5)=0; f(1,5)=0; g(1,5)=0; y(3,5)=0; f(3,5)=0; g(3,5)=0; ka1(j)=h*((1/(img*hbar*omega1))*((-Jay)*(y(1,j+1) + y(1,j-1))+ L1*(f(1,j)+g(1,j)) +Kay*(y(3,j+1)-y(3,j))*y(1,j))); kb1(j)=h*(1/omega1^2)*(w*(y(3,j+1)-2*y(3,j)+y(3,j1))+Kay*((abs(y(1,j)))^2-(abs(y(1,j-1)))^2)); kp1(j)=h*(y(2,j)/M); ua1(j)=h*((1/(img*hbar*omega2))*((-Jay)*(f(1,j+1) + f(1,j-1))+ L2*(y(1,j)+g(1,j)) +Kay*(f(3,j+1)-f(3,j))*f(1,j))); ub1(j)=h*(1/omega2^2)*(w*(f(3,j+1)-2*f(3,j)+f(3,j1))+Kay*((abs(f(1,j)))^2-(abs(f(1,j-1)))^2)); up1(j)=h*(f(2,j)/M); ma1(j)=h*((1/(img*hbar*omega3))*((-Jay)*(g(1,j+1) + g(1,j-1))+ L3*(y(1,j)+f(1,j)) +Kay*(g(3,j+1)-g(3,j))*g(1,j))); mb1(j)=h*(1/omega3^2)*(w*(g(3,j+1)-2*g(3,j)+g(3,j1))+Kay*((abs(g(1,j)))^2-(abs(g(1,j-1)))^2)); mp1(j)=h*(g(2,j)/M); ka2(j) =h*((1/(img*hbar*omega1))*((Jay)*(0.5*ka1(j)+y(1,j+1)+0.5*ka1(j)+y(1,j-1))+ L1*(0.5*ua1(j)+f(1,j)+0.5*ma1(j)+g(1,j)) +Kay*(0.5*kp1(j)+y(3,j+1)0.5*kp1(j)+y(3,j))*(0.5*ka1(j)+y(1,j)))); kb2(j) =h*(1/omega1^2)*(w*(0.5*kp1(j)+y(3,j+1)-2*(0.5*kp1(j)+ y(3,j))+0.5*kp1(j)+y(3,j-1))+Kay*((abs(0.5*ka1(j)+y(1,j)))^2(abs(0.5*ka1(j)+y(1,j-1)))^2)); kp2(j) =h*((0.5*kb1(j)+ y(2,j))/M); ua2(j) =h*((1/(img*hbar*omega2))*((Jay)*(0.5*ua1(j)+f(1,j+1)+0.5*ua1(j)+f(1,j-1))+ L2*(0.5*ka1(j)+y(1,j)+0.5*ma1(j)+g(1,j)) +Kay*(0.5*up1(j)+f(3,j+1)0.5*up1(j)+f(3,j))*(0.5*ua1(j)+f(1,j))));
36
ub2(j) =h*(1/omega2^2)*(w*(0.5*up1(j)+f(3,j+1)-2*(0.5*up1(j)+ f(3,j))+0.5*up1(j)+f(3,j-1))+Kay*((abs(0.5*ua1(j)+f(1,j)))^2(abs(0.5*ua1(j)+f(1,j-1)))^2)); up2(j) =h*((0.5*ub1(j)+ f(2,j))/M); ma2(j) =h*((1/(img*hbar*omega3))*((Jay)*(0.5*ma1(j)+g(1,j+1)+0.5*ma1(j)+g(1,j-1))+ L3*(0.5*ka1(j)+y(1,j)+0.5*ua1(j)+f(1,j)) +Kay*(0.5*mp1(j)+g(3,j+1)0.5*mp1(j)+g(3,j))*(0.5*ma1(j)+g(1,j)))); mb2(j) =h*(1/omega3^2)*(w*(0.5*mp1(j)+g(3,j+1)-2*(0.5*mp1(j)+ f(3,j))+0.5*mp1(j)+g(3,j-1))+Kay*((abs(0.5*ma1(j)+g(1,j)))^2(abs(0.5*ma1(j)+g(1,j-1)))^2)); mp2(j) =h*((0.5*mb1(j)+ g(2,j))/M); ka3(j) =h*((1/(img*hbar*omega1))*((Jay)*(0.5*ka2(j)+y(1,j+1)+0.5*ka2(j)+y(1,j-1))+ L1*(0.5*ua2(j)+f(1,j)+0.5*ma2(j)+g(1,j)) +Kay*(0.5*kp2(j)+y(3,j+1)0.5*kp2(j)+y(3,j))*(0.5*ka2(j)+y(1,j)))); kb3(j) =h*(1/omega1^2)*(w*(0.5*kp2(j)+y(3,j+1)-2*(0.5*kp2(j)+ y(3,j))+0.5*kp2(j)+y(3,j-1))+Kay*((abs(0.5*ka2(j)+y(1,j)))^2(abs(0.5*ka2(j)+y(1,j-1)))^2)); kp3(j) =h*((0.5*kb2(j)+ y(2,j))/M); ua3(j) =h*((1/(img*hbar*omega2))*((Jay)*(0.5*ua2(j)+f(1,j+1)+0.5*ua2(j)+f(1,j-1))+ L2*(0.5*ka2(j)+y(1,j)+0.5*ma2(j)+g(1,j)) +Kay*(0.5*up2(j)+f(3,j+1)0.5*up2(j)+f(3,j))*(0.5*ua2(j)+f(1,j)))); ub3(j) =h*(1/omega2^2)*(w*(0.5*up2(j)+f(3,j+1)-2*(0.5*up2(j)+ f(3,j))+0.5*up2(j)+f(3,j-1))+Kay*((abs(0.5*ua2(j)+f(1,j)))^2(abs(0.5*ua2(j)+f(1,j-1)))^2)); up3(j) =h*((0.5*ub2(j)+ f(2,j))/M); ma3(j) =h*((1/(img*hbar*omega3))*((Jay)*(0.5*ma2(j)+g(1,j+1)+0.5*ma2(j)+g(1,j-1))+ L3*(0.5*ka2(j)+y(1,j)+0.5*ua2(j)+f(1,j)) +Kay*(0.5*mp2(j)+g(3,j+1)0.5*mp2(j)+g(3,j))*(0.5*ma2(j)+g(1,j)))); mb3(j) =h*(1/omega3^2)*(w*(0.5*mp2(j)+g(3,j+1)-2*(0.5*mp2(j)+ f(3,j))+0.5*mp2(j)+g(3,j-1))+Kay*((abs(0.5*ma2(j)+g(1,j)))^2(abs(0.5*ma2(j)+g(1,j-1)))^2)); mp3(j) =h*((0.5*mb2(j)+ g(2,j))/M); ka4(j) =h*((1/(img*hbar*omega1)) *((Jay)*(ka3(j)+y(1,j+1)+ka3(j)+y(1,j-1))+ L1*(ua3(j)+f(1,j)+ma3(j)+g(1,j)) +Kay*(kp3(j)+y(3,j+1)kp3(j)+y(3,j))*(ka3(j)+y(1,j)))); kb4(j) =h*(1/omega1^2)*(w*(kp3(j)+y(3,j+1)-2*(kp3(j)+ y(3,j))+kp3(j)+y(3,j-1))+Kay*((abs(ka3(j)+y(1,j)))^2(abs(ka3(j)+y(1,j-1)))^2)); kp4(j) =h*((kb3(j)+y(2,j))/M); ua4(j) =h*((1/(img*hbar*omega2)) *((Jay)*(ua3(j)+f(1,j+1)+ua3(j)+f(1,j-1))+ L2*(ka3(j)+y(1,j)+ma3(j)+g(1,j)) +Kay*(up3(j)+f(3,j+1)up3(j)+f(3,j))*(ua3(j)+f(1,j)))); ub4(j) =h*(1/omega2^2)*(w*(up3(j)+f(3,j+1)-2*(up3(j)+ f(3,j))+up3(j)+f(3,j-1))+Kay*((abs(ua3(j)+f(1,j)))^2(abs(ua3(j)+f(1,j-1)))^2)); up4(j) =h*((ub3(j)+f(2,j))/M);
37
ma4(j) =h*((1/(img*hbar*omega3)) *((Jay)*(ma3(j)+g(1,j+1)+ma3(j)+g(1,j-1))+ L3*(ka3(j)+y(1,j)+ua3(j)+f(1,j)) +Kay*(mp3(j)+g(3,j+1)mp3(j)+g(3,j))*(ma3(j)+g(1,j)))); mb4(j) =h*(1/omega3^2)*(w*(mp3(j)+g(3,j+1)-2*(mp3(j)+ g(3,j))+mp3(j)+g(3,j-1))+Kay*((abs(ma3(j)+g(1,j)))^2(abs(ma3(j)+g(1,j-1)))^2)); mp4(j) =h*((mb3(j)+g(2,j))/M); y(1,j)=y(1,j)+(ka1(j)+2*ka2(j)+2*ka3(j)+ka4(j))/6; y(2,j)=y(2,j)+(kb1(j)+2*kb2(j)+2*kb3(j)+kb4(j))/6; y(3,j)=y(3,j)+(kp1(j)+2*kp2(j)+2*kp3(j)+kp4(j))/6; f(1,j)=f(1,j)+(ua1(j)+2*ua2(j)+2*ua3(j)+ua4(j))/6; f(2,j)=f(2,j)+(ub1(j)+2*ub2(j)+2*ub3(j)+ub4(j))/6; f(3,j)=f(3,j)+(up1(j)+2*up2(j)+2*up3(j)+up4(j))/6; g(1,j)=g(1,j)+(ma1(j)+2*ma2(j)+2*ma3(j)+ma4(j))/6; g(2,j)=g(2,j)+(mb1(j)+2*mb2(j)+2*mb3(j)+mb4(j))/6; g(3,j)=g(3,j)+(mp1(j)+2*mp2(j)+2*mp3(j)+mp4(j))/6; xr(i,j)=y(1,j); yr(i,j)=y(2,j); zr(i,j)=y(3,j); xrf(i,j)=f(1,j); yrf(i,j)=f(2,j); zrf(i,j)=f(3,j); xrg(i,j)=g(1,j); yrg(i,j)=g(2,j); zrg(i,j)=g(3,j); xra(i,j)=(abs(y(1,j)))^2; yra(i,j)=(abs(y(2,j)))^2; zra(i,j)=(abs(y(3,j)))^2; xrfa(i,j)=(abs(f(1,j)))^2; yrfa(i,j)=(abs(f(2,j)))^2; zrfa(i,j)=(abs(f(3,j)))^2; xrga(i,j)=(abs(g(1,j)))^2; yrga(i,j)=(abs(g(2,j)))^2; zrga(i,j)=(abs(g(3,j)))^2; xraa(i,j)=abs(y(1,j)); yraa(i,j)=abs(y(2,j)); zraa(i,j)=abs(y(3,j)); xrfaa(i,j)=abs(f(1,j)); yrfaa(i,j)=abs(f(2,j)); zrfaa(i,j)=abs(f(3,j)); xrgaa(i,j)=abs(g(1,j)); yrgaa(i,j)=abs(g(2,j)); zrgaa(i,j)=abs(g(3,j)); xrdot(i,j)= abs((1/(img*hbar))*((-Jay)*(y(1,j+1) + y(1,j-1))+ L1*(f(1,j)+g(1,j)) + Kay*(y(3,j+1)-y(3,j))*y(1,j))); xrfdot(i,j)= abs((1/(img*hbar))*((-Jay)*(f(1,j+1) + f(1,j-1))+ L2*(y(1,j)+g(1,j)) + Kay*(f(3,j+1)-f(3,j))*f(1,j))); xrgdot(i,j)= abs((1/(img*hbar))*((-Jay)*(g(1,j+1) + g(1,j-1))+ L3*(y(1,j)+f(1,j)) + Kay*(g(3,j+1)-g(3,j))*g(1,j))); t(i)=i; end
38
end for i=1:5000 sum=0; for j=1:1:n sum = sum + xra(i,j)+ xrfa(i,j)+xrga(i,j); t(i)=i; end s(i)=sum; end for j = 1:1:n site(j)=j; end figure(1); mesh(xra); xlabel('j'); ylabel('t'); zlabel('pi'); figure(2); mesh(xrfa); xlabel('j'); ylabel('t'); zlabel('pi'); figure(3); mesh(xrga); xlabel('j'); ylabel('t'); zlabel('pi'); figure(4); plot(t,xra,'-b'); grid on; figure(5); plot(t,xrfa,'-r'); grid on; figure(6); plot(t,xrga,'-r'); grid on; figure(7); plot(t,s,'-y'); grid on; figure(8); mesh(xra+xrfa+xrga);