1
Hukum Adat Lanjutan Rabu, 23 November 2016
Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar Pengertian Hukum Adat, Waris dan Kedewasaan dalam Hukum Adat Pembicara Pemateri Moderator
: 1. Hendra Siahaan (2013) 2. Wita Pandiangan (2013) : 1. Sudarman Sinaga (2014) 2. Tioneni Sigiro (2014) : Helen Apriyani br Pasaribu
A. Pengertian Hukum Adat Menurut Para Ahli Prof. Dr. Soepomo, S.H.: Hukum adat adalah hukum tidak tertulis didalam peraturan tidak tertulis, meliputi peraturanperaturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Prof. Mr. B. Terhaar Bzn : Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal dengan teori “Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat. Dr. Sukanto, S.H. : Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum. Hukum Adat adalah hukum/ peraturan tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang hanya ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan. Hukum adat mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dan elastis karena peraturan-peraturannya tidak tertulis.1
1
http://www.temukanpengertian.com/2013/08/pengertian-hukum-adat.html
HEARES EST CADEM PERSONA CUM ANTECESSORE (Ahli waris sama kedudukannya dengan pendahulunya). 1
2
B. KEDEWASAAN MENURUT HUKUM ADAT Pada dasarnya tidak ada ketentuan yang memberikan batasan kedewasaan secara universal dari segi hukum adat mengenai kedewasaan seseorang,sebab setiap daerah memiliki pandangan dan hukum yang berbeda-beda. Kebudayaan yang beragam di tanah air tentu memberikan warna dan perbedaan pula bagi segi kehidupan setiap masyarakat,ada ratusan suku mulai dari sabang hingga merauke,yang dalam hal ini sudah pasti masing-masing masyarakat adat menganut keyakinan dan hukum adat yang beragam pula.Berbicara menegenai kedewasaan khususnya,masing-masing suku ataupun daerah memiliki parameter yang berbeda-beda,tidak seperti hukum yang lain,hukum adat memberikan ukuran kedewasaan beradam jenis,ada yang menilai dari segi keterampilan seseorang dalam bekerja,kemapaman atau keemampuan khusus yang memang harus dipenuhi agar dapat dikatakan dewasa. Berikut ini akan di jabarkan mengenai kedewasaan menurut Hukum adat di Indonesia. Beberapa Ahli melakukan penelitian di tanah air, Khususnya di daerah yang Hukum adatnya cukup kental/kuat,Hasil dari penelitian mereka tersebut adalah sebagai berikut : 1. Von Vollenhoven Melakukan penelitian di Jawa Pusat, Jawa Timur, & Madura memiki kesamaan : - Kelengkapan status apakah masih menjadi tanggungan orang tua (“kerakyat”) Sedangkan berdasarkan hasil penelitiannya di ujung pulau sumatera yakni Aceh,ia menemukan perbedaan dimana kedewasaan menurut Hukum adat Aceh: - Aceh: Kecakapan menurut kepatutan Tiga suku yanki Gayo, Alas, Batak, Maluku-Ambon memiki pandangan yang sama dimana kedewasaan di ukur dari : - Kecakapan apakah masih menjadi tanggungan orang tua (“kerakyat”)
2. Ter Haar Ter Haar menemui bahwa kedewasaan dari segi Hukum adat di Indonesia memandang bahwa: - Cakap, Volwassen, sudah kawin, dan hidup terpisah meninggalkan orang tuanya. Artinya dikatakan dewasa apabila sudah kawin,dan tidak cukup hanya kawin tetapi sudah dapat mandiri dan terpisah dari Orang Tuanya. HEARES EST CADEM PERSONA CUM ANTECESSORE (Ahli waris sama kedudukannya dengan pendahulunya). 2
3
3. Soepomo Menurut Soepomo, dikatakan dewasa yaitu: - kuat gawe (Menurut hukum adat seorang laki-laki dianggap telah dewasa kalau ia sudah cakap bekerja (kuat gawe) : terbantah yang sudah berumur 20 tahun pantas dianggap telah cakap bekerja sehingga harus dianggap telah de wasa maka ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.)2 - cakap mengurus harta benda & keperluannya sendiri. 4. Dr. Wayan P. Windia, S.H, M.Hum. Dr. Wayan P. Windia, S.H, M.Hum, ahli hukum adat Bali dari FH Unud menyatakan bahwa pada hukum adat Bali, jika seseorang mampu negen (nyuun) sesuai beban yang diujikan, mereka dinyatakan loba sebagai orang dewasa. Misalnya, ada warga yang mampu negen kelapa delapan butir atau nyuun kelapa enam butir. Ia otomatis dinyatakan sudah memasuki golongan orang dewasa. Masyarakat Padang Lawas Ukuran dewasa dalam hukum adat, khususnya dalam lingkungan masyarakat Padang Lawas sebagai syarat untuk kawin harus memenuhi ciri: sudah mampu untuk mengurus diri sendiri, sudah kuat dalam melakukan pekerjaan yang oleh umum menganggap sebagai pekerjaan orang yang sudah dewasa, keadaan demikian diperkirakan untuk laki-laki tingkat kedewasaan ragawi dan untuk wanita tingkat kedewasaan laki-laki ragawi atau orang yang telah melangsungkan perkawinan. C. Waris Dalam Hukum Adat Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan hukum waris atas lapangan hukum waris dapat diwariskan sebagai berikut: 1.
2
Hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi pewarisan tanah.
Yurisprudensi Mahkamah AgungNo. 601 K/Sip/1976Terbit : 1977-2Hal. 56-59
HEARES EST CADEM PERSONA CUM ANTECESSORE (Ahli waris sama kedudukannya dengan pendahulunya). 3
4
2. 3. 4.
5.
Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap berkekuatan hukum setelah si pelaku meninggal. Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh ahli waris. Struktur pengelompokkan wangsa/anak, demikan pula bentuk perkawinan turut bentuk dan isi perkawinan. Perbuatan-perbuatan hukum seperti adpsi, perkawinan ambil anak, pemebrian bekal/modal berumah-tangga kepada pengantin wanita, dapat pila dipandang sebagai perbuatan dilapangan hukum waris; hukum waris dalam arti luas, yaitu penyelenggaraan, pemindah tanganan, dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya D. Sifat Hukum Waris Adat
Jika hukum waris adat kita bandingkan dengan hukum waris Islam atau hukum waris atau hukum waris barat seperti disebut didalam KUH Perdata, maka nampak perbedaan-perbedaannya dalam harta warisan dan cara-cara pembagiannya yang berlainan. Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana didalam hukum waris Islam atau hukum waris barat. Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para waris, ia tidak boleh dimiliki secara perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal ini bertentangan dengan pasal 1066 KUH Perdata alinea pertama yang berbunyi: “Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi” Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat digadai jika keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para tetua adat dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan untuk harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan (dijual) oleh waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat diantara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggaan (naastingsrecht) dalam kerukunan kekerabatan. Hukum waris adat tidak mengenal azas “legitieme portie” atau bagian mutlaksebagaimana hukum waris barat dimana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam pasal 913 KUHPerdata atau di dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’. HEARES EST CADEM PERSONA CUM ANTECESSORE (Ahli waris sama kedudukannya dengan pendahulunya). 4
5
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum Islam. Akan tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.3 E. Sistem Kewarisan Dilihat dari orang yang mendapatkan warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat tiga macam sistem, yaitu sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat, dan kewarisan individual. Di antara ketiga sistem kewarisan tesebut pada kenyataannya ada yang bersifat campuran. a. Sistem Kolektif Apabila para waris mendapat harta peninggalan yang diterima mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi secara perseorangan, maka kewarisan demikian disebut kewarisan kolektif. Menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak boleh memiliki harta peninggalan secara pribadi, melainkan diperbolehkan untuk memakai, mengusahakan atau mengolah dan menikmati hasilnya (Minangkabau: “ganggam bauntui”). Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta peninggalan leluhur yang disebut “harta pusaka”, berupa bidang tanah (pertanian) atau barang-barang pusaka, seperti tanah pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah gadang, yang dikuasai oleh Mamak kepala warisdan digunakan oleh para kemenakan secara bersama-sama. Di Ambon seperti tanah dati yang diurus oleh kepala dati, dan di Minahasa terhadap tanah “kalakeran” yang dikuasai oleh Tua Unteranak, Haka Umbana atau Mapontol, yang di masa sekarang sudah boleh ditransaksikan atas persetujuan anggota kerabat bersama. b. Sistem Mayorat Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai anak tertua, yang berarti hak pakai, hak mengolah dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya yang pria dan wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri, maka sistem kewarisan tersebut disebut “kewarisan mayorat”. Di daerah Lampung beradat pepadun seluruh harta peninggalan dimaksud oleh anak tertua lelaki yang disebut “anak punyimbang” sebagai “mayorat pria”. Hal yang sama juga berlaku di Irian Jaya, di daerah Teluk Yos Sudarso kabupaten Jayapura. Sedangkan di daerah Semendo Sumatera Selatan seluruh harta peninggalan dikuasai oleh anak wanita yang disebut “tunggu tubing” (penunggu harta) yang didampingi “paying jurai, sebagai “mayorat wanita”.
c. Sistem Individual 3
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 19-21
HEARES EST CADEM PERSONA CUM ANTECESSORE (Ahli waris sama kedudukannya dengan pendahulunya). 5
6
Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara perorangan dengan “hak milik”, yang berarti setiap waris berhak memakai, mengolah dan menikmati hasilnya atau juga mentransaksikannya, terutama setelah pewaris wafat, maka kewarisan demikian disebut “kewarisan individual”. Sistem kewarisan ini yang banyak berlaku di kalangan masyarakat yang parental, dan berlaku pula dalam hukum waris barat sebagaimana diatur dalam KUH Perdata (BW) dan dalam Hukum Waris Islam. 4
4
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat…., hlm. 212-213
HEARES EST CADEM PERSONA CUM ANTECESSORE (Ahli waris sama kedudukannya dengan pendahulunya). 6