DISKUSI KASUS
SESAK
DISUSUN OLEH:
Kelompok H Ade Ilyas Mukmin
0906487682
Andhika Mangalaputra 0906507785 Danny Darmawan
0906507923
Davrina Rianda
0906507936
Rineke Twistixa
0906508466
Sheli Azalea
0906508516
Rineke Twistixa
0906508466
Yashinta
0906640021 Narasumber:
dr. Sukamto Koesnoe, SpPD-KAI, FINASIM Dr. Melva Louisa, S.Si, M.Biomed
MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA OKTOBER 2013
BAB I ILUSTRASI KASUS I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. A
Jenis kelamin
: Wanita
Usia
: 46 tahun
Alamat
: Depok
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Status pernikahan
: Menikah dengan 4 orang anak
Pendidikan terakhir
: Tidak tamat SD
Jaminan
: Askes sosial
Tanggal Masuk
: 13 Oktober 2013 Ruangan Rawat Inap 7B, 716
II.
ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis kepada pasien dan anamnesis dengan
suami dan anak pasien pada tanggal 28 Oktober 2013. Pasien masuk dari IGD RSCM. Keluhan Utama Sesak napas yang memberat sejak 3 hari SMRS Riwayat Penyakit Sekarang Sejak 7 bulan SMRS, pasien mengeluhkan kedua tungkai bengkak dan memberat terutama setelah berjalan dan membaik setelah tidur. Pada 6 bulan SMRS, pasien mengeluhkan sesak yang memberat disertai demam dan batuk berdahak kuning kehijauan. Pasien berobat ke dokter rumum dan dikatakan sakit maag dan infeksi paru biasa. Pasien diberikan obat minum, kondisi membaik. Satu bulan SMRS, sesak dan gangguan tidur dirasa muncul kembali sehingga pasien berobat di RS Fatmawati dan dikatakan menderita penyakit gagal ginjal. Pasien menjalani hemodialisis dengan rawat inap selama 8 hari di RS Fatmawati dan diperbolehkan pulang. Pada hari ketiga perawatan (3 minggu SMRS), pasien sempat mengeluhkan terdapat demam disertai dengan batuk berdahak kuning kehijauan, tidak
terdapat darah. Munculnya demam saat awal tidak terlalu tinggi dan dirasa terus menerus. Saat pulang dari RS Fatmawati, demam dan batuk belum membaik. Pada 2 minggu SMRS, pasien diharuskan untuk hemodialisis namun tidak mendapat pelayanan sehingga pasien merasakan keluhan kembali. Sejak 3 hari SMRS, sesak mulai dirasakan terus-menerus, saat menarik dan membuang napas sama-sama dirasakan. Sesak tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan posisi pasien. Sesak disertai dengan nyeri ulu hati, VAS: 2, terutama saat menarik napas. Nyeri dada disangkal. Pasien juga merasakan mual saat ingin makan, muntah disangkal. Nafsu makan menurun dan lidah sering terasa pahit. Buang air kecil sangat sedikit dan kental, namun tidak terdapat darah. Buang air besar tidak ada keluhan. Keringat malam disangkal. Penurunan berat badan 5 kg dalam 6 bulan. Sejak tahun 2011, pasien didiagnosis mengidap hipertensi sejak tahun 2011. Pasien diresepkan Captopril dan Amlodipin 3 kali sehari namun tidak diminum secara rutin. Pasien kontrol ke RS Fatmawati namun tidak rutin. Saat ini, pasien menjalani hari ke-15 perawatan di RSCM, keluhan sudah membaik terutama setelah dilakukan hemodialisis. Riwayat Penyakit Dahulu 1. Riwayat asma sejak kecil 2. Riwayat DM, alergi, dan keganasan disangkal Riwayat Penyakit Keluarga 1. Riwayat hipertensi pada ayah pasien 2. Riwayat stroke pada ayah pasien (ayah pasien meninggal karena stroke) Riwayat Sosial Pasien sudah menikah dengan 4 orang anak. Anak pertama dan kedua sudah berkeluarga. Pasien tidak merokok dan tidak minum alkohol. Pasien jarang berolahraga. Pasien sering mengonsumsi gorengan sehari-hari. III. PEMERIKSAAN FISIS (Pemeriksaan fisis dilakukan pada 28 Oktober 2013) Kesadaran
: kompos mentis
Keadaan umum
: tampak sakit sedang
Keadaan gizi
: cukup
Tinggi badan
: 155 cm
Berat badan
: 55 kg
Indeks massa tubuh
: 22,91 kg/m2
Habitus
: atletikus
Lingkar perut
: 86 cm
Tanda Vital •
Tekanan darah
: 150/90 mmHg
•
Frekuensi nadi
: 92 kali/min
•
Suhu
: 36,3oC
•
Frekuensi napas
: 20 kali/min
Status Generalis Kulit
: sawo matang, turgor kulit baik
Kepala
: normocephal, deformitas (–), nyeri tekan (–)
Rambut
: warna dominan hitam dengan sedikit uban, persebaran rambut merata, tidak mudah dicabut
Mata
: konjungtiva pucat(+/+), sklera ikterik (–/–)
Hidung
: deformitas (–), deviasi septum (–), sekret (–)
Telinga
: liang telinga lapang, membran timpani intak, serumen minimal
Tenggorokan
: tenang, faring hiperemis (–), T1/T1, ovula di tengah.
Gigi dan mulut
: higienitas oral baik
Leher
: JVP 5-2 cmH2O, tidak teraba pembesaran KGB
Jantung • Inspeksi
: iktus kordis tidak terlihat
• Palpasi
: iktus kordis teraba pada sela iga 5, 1 jari medial linea midklavikula sinistra.
• Perkusi
: batas jantung kanan pada sela iga 5 linea sternalis dekstra batas jantung kiri di sela iga 5, 1 jari medial linea midklavikula sinistra pinggang jantung di sela iga 2 linea parasternal kiri
• Auskultasi
: BJ I-II reguler, murmur (–), gallop (–)
Paru • Inspeksi
: ekspansi dinding dada simetris statis dinamis
• Palpasi
: ekspansi dada kanan = kiri, fremitus kanan = kiri
• Perkusi
: lapang atas
: sonor/sonor
lapang bawah • Auskultasi
: sonor/sonor
: vesikuler/vesikuler , ronki (+/+) basah kasar pada basal baru, wheezing (-/-)
Abdomen • Inspeksi
: datar lemas, tidak teraba venektasi
• Palpasi
: supel, nyeri tekan (+) pada regio epigastrium, hepar teraba pada 4 jari di bawah arkus kostae, 2 hari di bawah prosesus xifoideus, limpa tidak teraba
• Perkusi
: timpani, shifting dullness (+)
• Auskultasi
: bising usus (+) 4x/menit normal
Ginjal
: ballotement (-) dan nyeri ketok CVA (-)
Ekstremitas
: akral teraba hangat, pitting edema tangan -/-, pitting edema tungkai bawah (+/+), clubbing finger -/-, palmar eritem (–/–), CRT < 2s
IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Jenis Pemeriksaan
22 Oktober
Nilai Rujukan
Satuan
2013
DPL Hemoglobin
7,2
12,0 – 14,0
g/dL
Hematokrit
21
40 – 48
%
Eritrosit
2,51
4,5 – 5,5
10^6/µL
MCV/VER
83,7
80,0 – 95,0
fL
MCH/HER
20,7
27,0 – 31,0
pg
MCHC/KHER
34,3
32,0 – 36,0
g/dL
Leukosit
14.000
5.000 – 10.000
/µL
Trombosit
200.000
150.000 –
/µL
400.000
Diff count Basofil
0,7
0–1
%
Eosinofil
1,2
1–3
%
Netrofil
63,7
50 – 70
%
Limfosit
22
20 – 40
%
Monosit
9,6
2–8
%
Hemostasis Jenis Pemeriksaan
22 Oktober 2013
Nilai Rujukan
Satuan
Pasien
12
9,8 – 12,6
Detik
Kontrol
10,6
Masa protrombin (PT) Detik
APTT Pasien
36,3
Kontrol
30,0
31,0 – 47,0
Detik Detik
Kimia Klinik Jenis Pemeriksaan
22 Oktober 2013
Nilai Rujukan
Satuan
SGOT (AST)
64
<33
U/L
SGPT (ALT)
90
<50
U/L
Albumin
3,54
3,4–4,8
g/dL
Trigliserida
160
<150
mg/dL
Kolesterol Total
138
120–200
mg/dL
Kolesterol HDL
30
>=40
mg/dL
Kolesterol LDL
79
<100
mg/dL
Elektrolit Jenis
22 Oktober
Nilai Rujukan
Satuan
Pemeriksaan
2013
Natrium
138
132 – 147
mEq/L
Kalium
3,76
3,3 – 5,40
mEq/L
Klorida
98,7
94 – 111
mEq/L
22 Oktober
Nilai Rujukan
Satuan
Analisis Gas Darah Jenis
2013
Pemeriksaan pH
7,424
7,35 – 7,45
mEq/L
PCO2
37,9
35 - 46
mEq/L
HCO3
25
21 - 25
mEq/L
Imunoserologi Jenis
24 Oktober 2013
Pemeriksaan Anti HIV
Non reaktif
Anti HCV
Non reaktif
HBsAg
Non reaktif
Pemeriksaan Penunjang Lain Sputum BTA Pada pasien, dilakukan pemeriksaan sputum BTA, didapatkan hasil megatif. Rontgen Toraks (21 Oktober 2013) •
Mediastinum superior tidak membesar
•
Trakea di tengah
•
Jantung tidak membesar, CTR < 50%
•
Aorta tidak membesar
•
Kedua hilus tidak melebar
•
Tampak infiltrat di kedua lapang paru
•
Sinus kostofrenikus kanan – kiri lancip
•
Tulang – tulang kesan baik
V.
RINGKASAN Pasien perempuan, 46 tahun, datang dengan keluhan sesak napas yang memberat sejak 3 hari SMRS. Sesak sudah dialami sejak 1 bulan SMRS. Pada pasien terdapat demam dan batuk berdahak berwarna kuning kehijauan. Pasien didiagnosis mengalami penyakit ginjal kronik sejak 1 bulan SMRS. Sejak tahun 2007, pasien mengidap hipertensi. Pada PF didapatkan ronkhi basah kasar pada seluruh lapang paru. Pada pemeriksaan abdomen terdapat nyeri epigastrium, hepatomegali, dan shifting dullness (+). Pada tungkai bawah terdapat edema pitting (+). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit 14.000, hitung jenis monosit 9,6, SGOT 64 U/l, SGPT 90 U/l, trigliserida 160 mg/dL, HDL 30 mg/dL.
VI.
DAFTAR MASALAH Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan penunjang, maka daftar masalah pada
pasien tersebut adalah : 1. Health Care Acquired Pneumonia 2. Chronic Kidney Disease Stage V Riwayat Overload 3. Hipertensi Grade I belum terkontrol 4. Congestive Liver Disease 5. Dislipidemia VII.
PENGKAJIAN MASALAH
1. Health Care Acquired Pneumonia Atas dasar: pasien mengeluhkan sesak nafas yang memberat sejak 3 hari SMRS. Pada pasien, terdapat riwayat berobat/dirawat di pelayanan kesehatan dalam sebulan terakhir. Saat dirawat di RS Fatmawati, pasien mengeluhkan demam yang disertai batuk berdahak kuning kehijauan pada hari ketiga perawatan. Demam muncul secara gradual dan terus-menerus (kontinyu). Pada pasien ditemukan penurunan berat badan, namun tidak signifikan (<30% dalam sebulan terakhir). Pada pemeriksaan fisik, didapatkan ronki basah kasar di kedua basal paru. Hasil lab menunjukkan adanya leukositosis yang menunjang terjadinya infeksi pada pasien. Pemeriksaan rontgen toraks menunjukkan adanya infiltrat pada lapang paru. Kecurigaan ke arah TB disingkirkan setelah pemeriksaan sputum BTA didapatkan hasil negatif. Dipikirkan
kemungkinan terjadinya HCAP akibat demam dan batuk kuning kehijauan yang muncul setelah 48 jam sejak pasien masuk rumah sakit. Rencana diagnostik: Foto toraks ulang, pemeriksaan DPL ulang, kultur dahak Rencana terapi: O2 nasal kanul 2l/p (bila diperlukan), levofloksasin 750 mg/hari, pemberian ventolin: bisolvon: NS 0,9% = 1:1:1 untuk mengurangi sesak per 8 jam 2. Chronic Kidney Disease Stage V Atas dasar: anamnesis terdapat keluhan riwayat penyakit ginjal lebih dari tiga bulan, nausea, anoreksia, buang air kecil sangat sedikit dan kental, sulit tidur, tidak fokus, dan metallik tongue. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil kreatinin 3,5, ureum 81, sehingga GFR 14,9 (<15 dan telah dilakukan dialisis). Penyebab dipikirkan hipertensi dan atau glomerulonefritis. Rencana tata laksana: hemodialisis untuk mengatasi gejala uremia, kontrol hipertensi, pembatasan asupan protein, yaitu sebanyak 0,6-0,8/kg BB/hari, kalori 30-35 kkal/kgBB/hari. 3. Hipertensi Grade I belum terkontrol Atas dasar: Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah pasien 150/90 mmHg, sehingga dikategorikan sebagai hipertensi grade I. Pada pasien, ditemukan pula riwayat pengobatan hipertensi dengan Captopril 3 x 25 mg dan Amlodipin 1 x 10 mg. Diduga, pasien ini mengalami hipertensi essensial dengan faktor komorbid penyakit ginjal kronis. Rencana diagnostik: pemantauan tekanan darah Rencana terapi: captopril 3 x 25 mg, amlodipin 1 x 10 mg Rencana edukasi: Konsumsi rendah lemak dan rendah garam, olahraga teratur paska perawatan, minum obat secara teratur. 4.
Congestive Liver Disease Penyakit hati kongestif ditegakan atas dasar pada anamnesis terdapat keluhan perut membesar. Pada pemeriksaan fisik ditemukan hepatomegali, shifting dullness (+), pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil SGOT dan SGPT meningkat (SGOT: 64, SPGT:90). Rencana terapi: curcuma 3 x 200mg sebagai hepatoprotektor.
5. Dislipidemia Atas dasar: Kadar HDL pasien masih rendah (<40 mg/dl). Pada pasien terdapat penyakit ginjal kronik sehingga target terapi dijaga agar LDL < 100 mg/dl. Rencana diagnostik: pemantauan profil lipid Rencana terapi: Simvastatin 1 x 20 mg. Rencana edukasi: Kontrol rutin paska perawatan, minum obat secara taeratur, olahraga rutin, mengurangi makanan yang memiliki kadar lemak tinggi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DYSPNEA1 Dispneu atau sesak didefinisikan sebagai pernapasan yang abnormal ataupun tidak nyaman. Menurut definisi ini, pernapasan dikatakan normal bergantung kepada masingmasing pasien, yang dipengaruhi oleh tingkat kebugarannya dan batas kemampuannya dalam beraktivitas yang mengakibatkan kondisi kesulitan bernapas. Terdapat berbagai macam etiologi sebagai penyebab sesak, baik dalam aspek kardiak, pulmonal, kardiak dan pulmonal, serta nonkardiak atau nonpulmonal. B. ETIOLOGI a. Penyakit Obstruksi Saluran Napas2 Obstruksi saluran napas dapat terjadi di saluran napas ekstratoraks maupun intratoraks. Obstruksi saluran napas besar esktratoraks dapat terjadi akut akibat aspirasi makanan dan benda asing atau ddengan angiodema glottis. Obstruksi saluran napas atas akut adalah kegawatdaruratan medis. Keadaan kronik biasanya terjadi karena tumor atau intubasi endotrakeal yang panjang. Baik akut maupun kronik, gejala cardinal adalah sesak dan tanda karakteristiknya adalah stridor dan retraksi fosa supraklavikula dengan inspirasi. Obstruksi saluran napas intratoraks dapat terjadi akut dan intermiten atau kronik dengan perburukan selama infkesi saluran respirasi. Obstruksi akut intermiten dengan mengi adalah gejala khas asma. Batuk kronik dengan dahak adalah gejala bronkitis kronik dan bronkiektasis. Pemanjangan ekspirasi dan rhonki kasar terjadi secara general pada bronkitis kronik dan terlokalisasi pada bronkiektasis. Infeksi dapat memperburuk batuk, meningkatkan pengeluaran dahak purulen dan memperberat sesak napas. Pasien dengan predominan empisema dikarakteristikan dengan sesak napas yang memberat hingga sesak napas saat istirahat. Walaupun empisema secara definisi adalah penyakit parenkim, empisema berhubungan dengan saluran napas. b. Penyakit Parenkim Paru Difus2 Yang termasuk katergori ini dimulai dari pneumonia akut sampai kelainan kronik seperti sarcoidosis dan berbagai jenis pneumoconiosis. Riwayat, pemeriksaan fisik, dan
kelainan radiografi sering menjadi kunci dari diagnosis. Pasien seringkali takipnea dengan nilai PCO2 dan PO2 arteri dibawah normal. Volume paru menurun dan paru lebih. Penyakit Vaskular Pulmonar Oklusif Episode berulang sesak napas pada saat istirahat sering muncul dengan emboli pulmonar berulang. Gejala lain adalah sinkop ketika beraktivitas. Bukti adanya emboli, seperti flebitis ekstremitas bawah atau pelvis membantuk mengarahkan diagnosis. Analisis gas darah abnormal, tetapi volume paru normal atau hanya sedikit abnormalitas. c. Penyakit pada Dinding Dada atau Otot Dinding Dada2 Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya penyakit dinding dada seperti kifoskoliosis berat, pektus ekskavatum, atau ankilosing spondilitis. Kelemahan dan paralisis otot respirasi dapat menyebabkan kegagalan respirasi dan dispnea, tetapi seringkali tanda dan gejala kelainan neurologi atau otot diketahui dari manifestasi di sistem lain. d. Penyakit Jantung2 Pada pasien dengan penyakit jantung, dispnea saat beraktivitas muncul sebagai akibat dari peningkatan tekanan kapiler pulmonar yang disebabkan oleh disfungsi ventrikel kiri, penurunan komplians ventrikel kiri, dan stenosis mitral. Elevasi tekanan hidrostatik pada dinding pembuluh darah mengubah keseimbangan Starling yang menyebabkan transudasi cairan ke ruang interestisial, menurunkan komplians paru dan menstimulasi reseptor J pada ruang interestisial alveolar. Selanjutnya, hipertensi vena pulmonary menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah kecil pulmonal dan peningkatan sel perivaskular dan jaringan fibrosa dan akhirnya menyebabkan penurunan komplians. Kompetisi ruang antara pembuluh darah, saluran napas, dan peningkatan cairan dalam ruang interstitial menekan lumina saluran napas, meningkatkan resistensi saluran napas. Berkurangnya komplians dan peningkatan resistensi saluran napas menghasilkan peningkatan kerja pernapasan. Pada gagal jantung kongestif, terjadi peningkatan tekanan vena sistemik dan pulmonal, dapat terjadi hidrotoraks yang menyebabkan sesak. e. Penyakit Neurologis1 Penyakit yang berhubungan dengan saraf yang dapat menyebabkan sesak diantaranya stroke dan penyakit neuromuskular. Sesak napas adalah keluhan utama padda sesak napas yang biasanya disebabkan oleh defek pada satu atau lebih region yang berhubungan dengan
respirasi. Kelainan neuromuscular seperti multipel sklerosis, sindrom Guillain-Barre, myasthenia gravis, dan sklerosis amitropik lateral dapat menyebabkan kelemahan otot-otot pernapasan dan menyebabkan gagal napas. f. Keracunan dan Kondisi Metabolik1 Keracunan dapat mengganggu fungsi pernapasan. Zat yang dapat menyebabkan depresi nafas diantaranya, organofosfat yang dapat menimbulkan bronkospasme dan petroleum distillates dan paraquat yang menyebabkan kesulitan bernapas.Keracunan salisilat dapat menekan pusat pernapaasan. Keracunan karbon monoksida menyebabkan gangguan pada metabolism oksigen. Methanol dan ethylene glycol menyebabkan asidosis metabolik dan takipnea yang menyebabkan kesulitan bernapas hingga gagal napas. Kondisi sistemik yang dapat mengakibatkan sesak napas diantaranya adalah ketoasidosis diabetes, sepsis, dan anemia. Diabetes ketoasidosis dan sepsis menyababkan takipnea hingga kelelahan sistem respirasi. Anemia menyebabkan sesak napas karena berkurangnya kapasitas pengangkutan oksigen. g. Penyebab Lainnya1 Kondisi lainnya yang dapat menyebabkan sesak diantaranya proses intrabdomen, asites, dan kehamilan. Proses intraabdomen seperti peritonitis dan obstruksi saluran cerna dapat menyebabkan nyeri yang berta sehingga berpengaruh pada sistem pernapasan dan dapat bermanifestasi menjadi pemendekan napas akut, walaupun bukan keluhan utama pasien. Asites dapat menekan ruang abdomen dan meningkatkan tekanan pada diafragma sehingga meningkatkan kerja pernapasan. Kehamilan dapat menyebabkan sesak akibat perubahan fisilogis seperti peningkatan ventilasi, penurunan kapasitas fungsional residual, penurunan hematokrit, dan elevasi diafragma. C. ANAMNESIS3,4 Anamnesis pada pasien dengan sesak adalah sebagai berikut: •
Keluhan Umum: Tanyakan mengenai pemicu dan gejala-gejala yang dialami. Pada pasien dengan acute decompensated heart failure, pemicu dapat berupa lalai pengobatan atau pola makan yang buruk. Pajanan terhadap dingin atau alergen dapat memicu asma. Sesak akut yang setelah makan umumnya berkaitan dengan reaksi alergi. Batuk produktif berkaitan dengan infeksi pulmonal. Imobilisasi atau riwayat
pembahan berkaitan dengan risiko emboli paru. Trauma baru berkaitan dengan pneumotoraks atau kontusio pulmonal. •
Riwayat Lampau: Tentukan apakah masalah yang muncul saat ini merupakan kasus baru atau kambuh. Tanyakan mengenai kondisi medis saat ini, seperti asma, PPOK, penyakit jantung iskemik, atau pasien pernah mengalami episode akut sebelumnya.
•
Riwayat intubasi: Pasien dengan riwayat intubasi endotrakea untuk kondisi medi smemiliki risiko yang lebih tinggi untuk penyakit berat dan kebutuhan untuk intubasi. Sebagai contoh, pasien yang membutuhkan intubasi untuk eksaserbasi asma berat memiliki risiko yang meningkat untuk mendapatkan episode subsekuen dari serangan asma.
•
Waktu munculnya gejala: Tanyakan apakah sesak muncul secara mendadak atau gradual. Sebagai contoh, pada serangan asma, sesak dapat muncul dalam beberapa menit hingga hari, seperti episode pada gagal jantung.
•
Keparahan: Gunakan skala dari 1 – 10 (1 = hanya disadari saja; 10 = panik). Pasien dengan serangan akut asma, PPOK, dan ADHF cenderung untuk memberi angka keparahan sesaknya cukup berat (skor 7). Sementara, pada pasien sesak dengan kehamilan normal penyakit neuromuskular, dan emboli pulmonal akan menilai keparahan sesaknya dengan skala sedang (Skor 5).
•
Nyeri Dada: Nyeri dada yang berhubungan dengan sesak dapat muncul pada pasien sindrom koroner akut, pneumotoraks, dan emboli pulmonal.
•
Trauma: Cedera pada jalur napas, leher, dinding dada, paru, jantung, struktur mediastinum, atau abdomen dapat berujung pada sesak. Gejala akut dapat tidak bermanifestasi hingga beberapa hari paska trauma.
•
Demam: Demam berhubungan dengan infeksi, pneumonitis hupersensitivitas, pneumonitis aspirasi, atau keracunan. Overdosis aspirin dapat menyebabkan adanya demam yang disertai dengan sesak.
•
Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND): PND tidak sesifik hanya untuk ADHF saja. Pasien dengan PPOK dapat mengalami gejala yang sama.
•
Hemoptisis: Hemoptisis berhubungan dengan emboli pulmonal, tuberkulosis, dan malignansi.
•
Batuk dan sputum: Adanya sputum yang purulen mengindikasikan adnaya pneumonia.
Sputum
yang
berwarna
putih
atau
kemerahan
dengan
busa
mengindikasikan adanya ADHF. Pada infeksi tuberkulosis dan pendarahan pulmonal,
dapat ditemukan darah pada sputum. Batuk yang tidak produktif merupakan gejala yang tidak spesifik, dapat berhubungan dengan asma, gagal jantung, infeksi respirasi, atau emboli pulmonal. •
Rwayat Pengobatan: Riwayat pengobatan penting untuk diketahui untuk menilai apakah pasien memiliki penyakit kronik atau akut tertentu, dan apakah terdapat perubahan dosis pengobatan.
•
Tembakau dan Obat-obatan: Tembakau meningkatkan risiko penyakit kronik tertentu, seperti PPOK dan keganasan. Pada pasien pengguna opioid atau aspirin, dapat ditemukan cedera paru akut.
•
Kondisi psikiatrik tertentu: Penyebab psikogenik untuk sesak napas akut baru dapat ditegakkan jika penyebab organik telah disingkirkan. Pada pasien dengan usia di bawah 40 tahun tanpa disertai kondisi medis tertentu, sesak napas psikogenik sering ditemukan.
Gambar 1. Algoritma Diagnosis Dispnea5
D. PEMERIKSAAN FISIK6,7 Pemeriksaan fisik lengkap pada pasien sesak perlu dilakukan untuk mendiagnosis secara tepat dan mengurangi pemeriksaan laboratorium yang kurang penting. Pada pasien, kita wajib menilai tanda bahaya pada sesak untuk mencegah terjadinya respiratory arrest, yaitu: •
Gangguan status mental
•
Ketidakmampuan untuk mempertahankan upaya napas
•
Sianosis, misalnya pada hipoksia atau methemoglobinemia Pada beberapa pasien dengan sesak yang berat, dapat ditemukan:
• Penggunakan otot bantu pernapas-an, akibat adanya kelelahan dari otot pernapasan dan berpotensi berujung pada gagal napas • Bicara cepat dan terputus-putus • Tidak nyaman dalam posisi berbaring • Keringat, akibat adanya stimulasi simpatis yang berjubungan dengan keparahan penyakit (serangan asma, infark miokard) • Agitasi atau perubahan status mental lainnya, mengindikasikan adanya hipoksia atau hiperkarbia. Hal ini dapat disebabkan karena toksin atau patologi yang mendasari lainnya seperti hipoglikemia dan sepsis. Pada pemeriksaan umum, dapat ditemukan: • Laju respirasi: Pasien dengan penyakit mendasari yang berat, dapat memiliki laju pernapasan yang cepat, lambat, maupun normal. Sebagai contoh, pada emboli pulmonal ditemukan laju respirasi yang normal. • Oksimetri: Pemeriksaan ini menunjukkan oksigenasi arterial. Akan tetapi, pemeriksaan ini tidak akurat pada kondisi hipotermia, syok, keracunan karbon monoksida, dan methemoglobinemia. Secara umum, individu yang sehat akan memiliki SpO2 sebesar 95% atau lebih. Pada pasien usia lanjut, pasien dengan obesitas, atau perokok berat memiliki kadar SpO2 92-95%. Pada pasien dengan PPOK, baseline saturasi oksigen dapat berada di bawah 92%. • Bunyi napas abnormal: o Stridor mengindikasikan adanya obstruksi jalan napas o Mengi mengindikasikan adanya obstruksi pada level di bawah trakea o Ronki basah halus mengindikasikan adanya cairan intraalveolar
o Bunyi napas yang menurun dapat disebabkan karena adanya gangguan masuknya udara ke dalam paru • Tanda kardiovaskular: o Ritme jantung abnormal dapat menjadi respon dari penyakit tertentu (takikardia pada emboli pulmonal), atau penyebab dari sesak (misalnya pada AF) o Murmur dapat ditemukan pada ADHF dan gangguan katup lainnya o Bunyi jantung S3 dapat ditemukan pada disfungsi sistolik ventrikel kiri, misal pada ADHF o Bunyi jantung S4 dapat ditemukan pada disfungsi ventrikel kiri, misalnya pada hipertensi berat, stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofi, atau regurgitasi mitral o Bunyi jantung yang terpisah dapat ditemukan pada tamponade jantung o Peningkatkan tekanan vena jugular dapat ditemukan pada pasien dengan ADHF dan tamponade kardiak • Pulsus paradoksus: Pulsus paradoksus muncul jika terdapat kondisi kompromis pada fungsi jantng kanan, misalnya pada asma berat, emboli pulonal, atau tamponade kardiak. • Ekstremitas: Edema perifer dapat tidak muncul pada gagal jantung kiri. Namun jika muncul, hal ini mengindikasikan adaya ADHF sebagai penyebab dari sesak. Clubbing berhubungan dengan kondisi yang menyebabkan hipoksemia kronik. Gangguan
pada
orofaringeal
atau
nasofaringeal
dapat
ditemukan
dengan
mengidentifikasi adanya abnormalitas obstruktif pada saluran pernapasan (misal: pada hidung atau faring). Massa pada palpasai leher, seperti pada tiromegali yang dapat menyebabkan obstruksi saluran pernapasan. Bruit leher merupakan indikasi adanya gangguan maskovaskular dan dan kemungkinan disertai dengan arteri koroner, terutama pada pasien dengan diabetes, hipertensi, dan merokok. Pemeriksaan toraks dapat menunjukkan adanya peningkatan diameter anteroposterior, peningkatan laju pernapasan, deformitas spinal seperti kifosis atau skoliosis, adanya trauma dan penggunaan otot tambahan untuk bernapas. Kifosis dan skoliosis dapat menyebabkan resitriksi pulmonal. Retraksi yang disebabkan oleh adanya obstruksi jalur napas (asma, PPOK, benda asing) dapat ditemukan pada area suprasternal, interkostal, dan subkostal. Auskultasi paru memberikan informasi mengenai karakter dan simetrisitas dari bunyi pernaaps, seperti ronki dan mengi yang mengindikasikan adanya congestive heart failure (CHF). Mengi saat ekspirasi saja mengindikasikan adanya penyakit paru obstruktif.
Pemeriksaan kardiovaskular menunjukkan adanya murmur, bunyi jantung tambahan, lokasi iktus kordis yang abnormal, atau abnormalitas dari ritme dan detak jantung. Murmur sistolik mengindikasikan adanya CHF dan ritme yang iregular mengindikasikan adanya atrial fibrilasi. Perfusi perifer dari ekstremitas dievaluasi dengan menilai denyut nadi, capillary refill time, edema, dan pola pertumbuhan rambut. Pemeriksaan psikitarik dapat menunjukkan kecemasan yang disertai dengan keringat atau hiperventilasi. E. PEMERIKSAAN PENUNJANG,8,9 1. Rontgen Toraks Pemeriksaan ini umum dilakukan pada seluruh pasien dengan sesak napas akut. Abnormalitas yang dapat ditemukan adalah: •
Gagal jantung akut: kardiomegali, sefalisasi pembuluh darah, edema interstitial (Kerley “B” lines), dan kongesti vaskular
•
Pneumonia: Infiltrat
•
Pneumotoraks
•
Asma dan PPOK: Volume paru membesar, diafragma mendatar
2. Elektrokardiogram: EKG dengan perubahan segmen ST menunjukkan adanya iskemia kardiak. Namun demikian, perlu diingat bahwa EKG saja tidak dapat mengeksklusi penyebab kardiogenik untuk sesak yang dirasakan pasien. EKG juga dapat menunjukkan adanya emboli paru (right heart strain), efusi perikardial, dan penyakit lainnya. 3. Biomarker Kardiak Peningkatan biomarker mendukung adanya diagnosis iskemia kardiak. Namun demikian, biomarker kardial awal (troponin I) yang ada pada dipsneu umumnya normal. Perhitungan serial diperlukan untuk mengeksklusi adanya ACS. Biomarker kardiak memiliki spesifisitas yang terbatas dan dapat meningkat pada emboli pulmonal, spesis, perikarditis, miokarditis, penggunaan warfarin, dan gagal ginjal. 4. Brain Natriuretic Peptide (BNP) BNP yang memiliki nilai normal kurang dari 100 pg/ml memiliki negative predictive value lebih dari 90% untuk ADHF. BNP di atas 500 pg/ml merupakan indikasi kuat adanya ADHF. Kadar di antara 100 pg/ml dan 500 pg/ml tidak dapat membedakan antara ADHF dan penyebab lainnya. False positive dapat ditemukan pada emboli
pulmonal, overload cairan, kondisi kritis, dan penyebab lainnya dari distensi ventrikular kanan. 5. D-Dimer Pasien dengan risiko rendah emboli pulmonal sesuai dengan sistem skoring (PERC, Wells) dengan d-dimer ELISA negatif dapat mengeksklusi adanya emboli pulmonal. Namun demikian, d-dimer tidak dapat digunakan untuk skrining pada pasien dengan risiko tinggi penyakit tromboembolik. Pasien dengan malignansi dan riwayat pembedahan, serta pada pasien lanjut usia dapat memiliki nilai d-dimer yang tinggi. 6. Gas Darah Arteri dan Vena Peran analisis gas darah arteri pada diagnosis dan tatalaksana pada sesak napas akut cenderung terbatas. Oksigenasi dapat diukur dengan transcutaneous pulse oximetry. Status asam-basa dapat dinilai dengan gas darah vena dan serum bikarbonat. Analisis gas darah vena dapat digunakan untuk penilaian pasien dengan kesadaran somnolen akibat retensi CO2. Pada pasien ini, akan ditemukan pula PACO2, yang diukur dengan monitor end-tidal CO2, cenderung rendah pada pasien dengan sesak napas akut. Umumnya pasien akan hiperventilasi. 7. Monitoring karbon dioksida Kapnografi dapat menyediakan monitoring dinamis dari status ventilasi pada pasien dengan acute respiratory distress. Dengan mengukur end-tidal CO2 dan laju respirasi setiap bernapas, kapnografi dapat membantu klinisi untuk menentukan apakah ventilasi pasien memburuk, stabil, atau membaik. 8. CT-Scan Dada Pemeriksaan ini digunakan untuk mendiagnosis emboli pulmonal, malignansi, pneumonia, dan edema pulmonal. 9. Peak flow dan Pulmonary Function Tests (PFTs) Peak expiratory flow rate (PEFR) dapat membantu membedakan penyebab kardiak ataupun pulmonal pada sesak napas. Pemeriksaan ini juga dapat melihat keparahan bronkokonstriksi pada kasus asma berat. PEFR cenderung tinggi pada pasien dengan sesak akibat penyebab kardiak. Pada eksaserbasi asma, PEFR dapat menjadi alat skrining adanya hiperkapnia. Pada kondisi tanpa ditemukan riwayat medikasi depresan, hiperkapnia muncul hanya jika PEFR berada di bawah 25% dari normal. 10. Tekanan Inspirasi Negatif/Negative Inspiratory Force (NIF) NIF dan kapasitas vital paksa dapat menikai pasien dengan kemungkinan keterlibatan neuromuskular (miastenia gravis, Guillain-Barre) atau penyakit muskuloskeletal
(skoliosis, kifosis, ankilosing spondilitis). Jika NIF berada di bawah 30 cmH2O atau kapasital vital paksa di bawah 20 ml/kg, pasien harus ditempatkan pada int F. MANAJEMEN Manajemen sesak dapat dibagi menjadi gawat darurat dan tidak gawat darurat. Pada dasarnya semua pasien dengan dispnea berat akut perlu dilakukan hal dibawah ini segera1: -
Memberikan oksigen
-
Memasang saluran infus intravena dan mengambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
-
Memonitor oksimetri denyut nadi dan jantung.
-
Skrining meliputi pemeriksaan saluran napas untuk mencari adanya penyebab reversibel seperti pneumotoraks, pericardial tamponade, dan benda asing di saluran napas atas. Untuk kondisi gawat darurat, 3 target utama penatalaksanaan adalah optimalisasi
oksigenasi arteri, menentukan alat bantu ventilasi dan manajemen saluran napas, menentukan penyebab yang paling mungkin dari sesak napas dan melakukan penatalaksanaan segera terhadap penyebab. Pada keadaan yang tidak gawat darurat, dapat dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiografi dada, dan elektrokardiogram. Perhatian perlu diberikan pada anamnesis mengenai penyakit sekarang, komorbiditas, tanda vital, saturasi oksigen, dan pemeriksaan saluran napas, paru, dan sistem kardiovaskular. Seringkali penyebab sesak napas tidak dapat ditentukan segera saat situasi kegawatdaruratan. Oleh karena itu, perlu diberikan penatalaksaan gawat darurat yang tepat berdasarkan keadaan klinis dan risiko pada pasien. Pasien sesak napas dengan risiko tinggi diantaranya, usia tua dan penurunan sistem imun, penyakit paru atau jantung yang berat, atau dengan tanda-tanda vital yang tidak normal.1
BAB III PEMBAHASAN MASALAH 1.
Health Care Acquired Pneumonia Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang memberat sejak 3 hari SMRS. Sesak
tidak disertai nyeri dada. Pasien datang dengan sesak dapat disebabkan oleh penyebab kardiovaskular, paru, dan metabolik. Tidak ditemukannya nyeri dada dapat mengarahkan diagnosis ke arah penyebab paru maupun metabolik. Gangguan metabolik akibat penyakit ginjal kronik juga dapat menyebabkan terjadinya sesak napas (asidosis/alkalosis metabolik). Namun demikian, pada pasien ditemukan adanya demam dan batuk berdahak kuning kehijauan yang muncul pada 3 minggu SMRS. Saat dilakukan analisis gas darah, tidak ditemukan kondisi asidosis maupun alkalosis. Dengan adanya hal ini, diagnosis mengarah pada penyebab paru, seperti infeksi dan PPOK. Namun, karena berlangsung akut, dan disertai dengan demam dan batuk berdahak kuning kehijauan sebagai gejala infeksi, maka diagnosis mengarah pada kemungkinan infeksi pada paru, seperti pnumonia dan TB. Pada kasus TB, umumnya gejala berupa batuk kering/dahak susah dikeluarkan lebih dari 1 minggu disertai dengan penurunan berat badan dan keringat malam. Pada pasien, tterdapat batuk berdahak lebih dari 1 minggu dan penurunan berat badan. Namun, pada pasien, penurunan berat badan menjadi tidak siginfikan karena dalam sebulan, penurunan berat badan masih di bawah 30%. Keringat malam pada pasien tidak ditemukan. Oleh karena itu, diagnosis TB masih belum disingkirkan. Setelah dilakukan pemeriksaan sputum, hasil BTA didapatkan negatif, sehingga diagnosis ke arah TB dapat disingkirkan. Diagnosis kemudian mengarah pada pneumonia, dapat berupa penumonia komuniti maupun penumonia nosokomial (health care associated pneumonia). Pasien memiliki riwayat perawatan di rumah sakit pada tiga bulan SMRS untuk menjalani prosedur hemodialisis. Pada hari ketiga perawatan, pasien mengalami demam disertai dengan batuk berdahak kuning kehijauan. Karena gejala menyerupai pneumonia yang muncul setelah 48 jam pasien berada di rumah sakit, diagnosis lebih terarah pada pneumonia nosokomial.10 Selain itu, pasien di RS menjalani prosedur invasif, yang merupakan salah satu faktor risiko eksogen. Sebagai faktor risiko endogen, pasien memiliki penyakit dasar berupa penyakit ginjal kronik dan hipertensi.
Gambar 2. Patofisiologi HCAP 10 Sesak yang dirasakan pasien pada 6 bulan SMRS yang disertai dengan adanya edema pretibial, kami duga disebabkan oleh adanya penyakit ginjal kronik pada pasien. Pada kondisi penyakit ginjal kronik, kesetimbangan cairan menjadi negatif, karena ekskresi urin kurang dari intake cairan yang masuk ke pasien. Pada pasien ditemukan gejala BAK sedikit dengan urin yang kental sebagai manifestasi ketidakseimbangan cairan. Penyakit ginjal kronik pasien sudah dalam stadium V, sehingga laju filtrasi glomerulus sangat rendah. Hal ini dapat mempengaruhi pula ke hati dalam bentuk congestive liver akibat ekstravasasi cairan ke interstitial karena kondisi hipoalbuminemia dan volume overload pada pasien dengan penyakit ginjal kronik. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan pula ronki basah kasar yang disebabkan oleh adanya sekret pada saluran napas bagian proksimal, yang dapat ditemukan pada kondisi pneumonia. Leukositosis yang ditemukan dari pemeriksaan lab mendukung ke arah terjadinya infeksi
pada pasien. Pada pasien pneumonia, ditemukan infiltrat pada lapang paru, yang ditemukan pula pada pasien ini. Jika dilakukan foto toraks ulang, kemungkinan besar infiltrat akan bertambah secara progresif jika tidak tertangani dengan adekuat. Pasien juga disarankan untuk dilakukan pemeriksaan kultur untuk mencegah terjadinya resistansi antibiotik untuk pengobatan pneumonia. Tatalaksana untuk kasus pneumonia nosokomial adalah dengan terapi empirik dengan pilihan antibiotik yang mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen penyebab. Antibiotik tidak diganti sebelum 72 jam,kecuali keadaan klinis memburuk. Pada pasien, pilihan yang dapat diberikan berupa kuinolon respirasi seperti levofloksasin dan Moksifloksasin. Hasil kultur yang akan keluar dapayt digunakan untuk mengubah pilihan empriik jika tidak terdapat perbaikan klinis. Selain itu, untuk mengatasi sesak, dipasang nasal kanul 2 lpm. Jika sesak sangat menganggu dapat diberikan salbutamol per 8 jam sebagai bronkodilator. Jika pada pasien masih ditemukan demam tinggi, dapat pula dipertimbangkan pemberian antipiretik. Namun demikian, pada pasien, ditemukan suhu tubuh 36,3o C sehingga tidak perlu diberikan antipiretik.
Gambar 3. Alur Penanganan HCAP10
2.
Chronic Kidney Disease Stage V Penyakit ginjal kronik stage V ditegakan atas dasar pada anamnesis terdapat keluhan
riwayat penyakit ginjal lebih dari tiga bulan, nausea, anoreksia, buang air kecil sangat sedikit dan kental, sulit tidur, tidak fokus, dan metallik tongue. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil kreatinin 3,5 dan ureum 81. Dilakukan perhitungan LFG dengan rumus Kockcroft-Gault11:
*Pada perempuan dikalikan 0,85 didapatkan laju filtrasi glomerulus sebesar 14,9 ml/menit/1,732 m2. Pasien memenuhi kriteria diagnosis penyakit ginjal kronik, yaitu11: 1.
Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerular, manifestasinya adalah kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging);
2.
Laju filtrasi glomerular kurang dari 60 mL/menit/1,73m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Laju filtrasi glomerular pada pasien <15 ml/menit/1,732 m2 sehingga pasien digolongkan dalam kerusakan ginjal stadium 5. Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Derajat Penyakit11
Penyebab dipikirkan hipertensi dan atau glomerulonefritis. Hipertensi diakui pasien sejak tahun 2011 dan dikontrol dengan obat darah tinggi dari dokter. Hipertensi sebagai etiologi kurang mendukung dilihat dari usia pasien, tetapi tetap dipikirkan dengan kemungkinan hipertensi terlambat dideteksi. Glomerulonefritis dipikirkan karena secara
epidemiologi merupakan penyebab terbesar CKD, walaupun pada pasien tidak ditemukan keluhan ginjal, seperti BAK tidak normal dan nyeri pinggang. Rencana tatalaksana untuk penyakit ginjal kronik meliputi terapi penyakit yang mendasari, pencegahan dan terapi untuk komorbid, memperlambat perburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi komplikasi, dan terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi. Pada pasien ini, berdasarkan derajat penyakit ginjal kroniknya, sudah perlu dilakukan terapi pengganti ginjal, sehingga dilakukan dialisis. Penyakit komorbid pada pasien ini adalah hipertensi sehingga perlu ditatalaksana dengan antihipertensi, yang dipilih adalah golong ACE-I dan ARB. Untuk menghambat perburukan fungsi ginjal dilakukan pembatasan asupan protein, yaitu sebanyak 0,6-0,8/kg BB/hari. Jumlah kalori yang diberikan 30-35 kkal/kgBB/hari. Tabel 2. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada CKD11
3.
Hipertensi Grade I belum terkontrol Dari anamnesis, didapatkan riwayat hipertensi pada keluarga pasien (ayah). Pasien juga
sudah menjalani pengobatan untuk hipertensi selama dua tahun terakhir. Saat dilakukan pemeriksaan tanda vital, didapatkan tekanan darah pasien 150/90 mmHg. Atas dasar inilah, pasien didiagnosis mengalami hipertensi grade I yang belum terkontrol. Kami juga menduga, hipertensi ini berkaitan pula dengan penyakit ginjal kronik yang diderita oleh pasien. Hipertensi dapat memperberat kondisi penyakit ginjal kronik, maupun sebaliknya.
Tabel 13 . Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan JNC 712
Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal, maka dilakukan pula penanganan untuk penyakit ginjal selain dari penanganan untuk hipertensinya itu sendiri. Captopril yang merupakan golongan ACE-Inhibitor dan Amlodipin yang masuk pada golongan Calcium Channel Blocker tergolong aman digunakan oleh pasien dengan penyakit ginjal. Namun demikian, kami menyarankan kombinasi antara ACE-I dengan thiazide-like diuretic karena pada pasien terdapat edema pretibial dan congestive liver. Thiazide-like diuretic seperti indapamide (1,5 mg/hari) dapat diganti pula dengan thiazide konvensional seperti hidroklorotiazid. Dengan mengatasi hipertensi, diharapkan komplikasi lebih lanjut yang dapat memperburuk kondisi pasien (yang saat ini sudah disertai dengan penyakit ginjal kronik) dapat dicegah, misal edema paru, gagal jantung, dan lain sebagainya. Pada pasien ini, disarankan pula untuk kontrol rutin paska perawatan untuk tekanan darah pasien, konsumsi rendah lemak dan rendah garam, olahraga aerobik secara teratur, dan minum obat rutin.
Gambar 4. Algoritma Penanganan Hipertensi Grade I Berdasarkan NICE13 4.
Congestive Liver Disease Pada anamnesis terdapat keluhan perut membesar. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
hepatomegali, shifting dullness (+) sehingga mengarah pada penyakit hati kronis. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil SGOT dan SGPT meningkat (SGOT: 64, SPGT:90) yang menandakan terjadinya kerusakan pada sel hati. Penyakit hati ini berkaitan dengan penyakit ginjal kronik. Rencana tatalaksana yang diberikan adalah curcuma 3 x 200mg sebagai hepatoprotektor. 5.
Dislipidemia Pasien diketahui suka mengonsumsi gorengan sehari-hari. Saat diperiksa untuk profil
lipid, didapatkan kadar LDL yang rendah namun HDL rendah (< 40). Dislipidemia perlu diatasi agar tidak menimbulkan komplikasi lebih jauh, seperti penyakit jantung koroner. Untuk mengatasi dislipidemia pada pasien, diresepkan simvastatin 1 x 20 mg. Simvastatin
dapat menghambat HMG CoA Reduktase untuk menurunkan kadar kolesterol pada pasien. Pasien juga diedukasi mengenai gaya hidup yang lebih sehat dengan konsumsi makanan sehat rendah lemak, olahraga yang rutin, dan kontrol rutin serta meminum obat secara teratur. II. KESIMPULAN UMUM Pasien perempuan, 46 tahun, dengan masalah HCAP, CKD Stage V, Hipertensi Grade I, Congestive Liver Disease, dan dislipidemia. Rencana diagnosis adalah USG ginjal. Pasien ditatalaksana dengan O2 nasal kanul 2l/p (bila diperlukan), pemberian ventolin: bisolvon: NS 0,9% = 1:1:1 per 8 jam, levofloksasin 750 mg/hari, captopril 3 x 25 mg, amlodipin 1 x 10 mg, curcuma 3 x 200mg, simvastatin 1 x 20 mg, hemodialisis, pembatasan asupan protein (0,60,8/kg BB/hari), kalori (30-35 kkal/kgBB/hari),. Edukasi untuk diet rendah protein, rendah garam, meminum obat setiap hari, dan mengurangi makanan berlemak tinggi. III. PROGNOSIS Ad vitam
: bonam
Ad functionam
: dubia
Ad sanactionam
: dubia ad malam
DAFTAR PUSTAKA 1. Ahmed A, Graber M. Evaluation of the adult with dyspnea in the emergency department.
Diakses
pada
31
Oktober
2013.
Diunduh
dari:
http://www.uptodate.com/contents/evaluation-‐of-‐the-‐adult-‐with-‐dyspnea-‐in-‐ the-‐emergency-‐department 2. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al. Harrison’s principles of internal medicine. 17thed. New York: The McGraw – Hill Companies, 2008. [e-book] 3. Morgan WC, Hodge HL. Diagnostic evaluation of dypsnea. Am Fam Physician. Feb 1998; 57(4): 711-‐6. 4. Simon PM, Schwartzsteub RM, Weiss JW. Distinguishable types of dyspnea in patients with shortness of breath. Am Rev Respir Dis. 1990; 142: 1009. 5. Collins DR, Collins RD. Algorithmic diagnosis of symptoms and signs: A cost effective approach. Third edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2012. p. 138. 6. Leuppi JD, Dietarie T, Koch G. Diagnostic value of lung auscultation in an emergency room setting. Swiss Med Wkly. 2005; 135: 520. 7. Chakko S, Woska D, Martinez H. Clinical, radiographic, and hemodynamic correlations in chronic congestive heart failre: conflicting results may lead to inappropriate care. Am J Med. 1991; 90: 353. 8. Malas O, Caglayan B, Fidan A. Cardiac or pulmonary dyspnea in patients admitted to the emergencu department. Respir Med. 2003; 97: 1277. 9. Gruson D, Thys F, Ketelslegers JM. Multimarker panel in patients admitted to emergency department: a comparison with reference methods. Clin Biochem 2009: 42-‐185. 10. Priyanti. Pneumonia Nosokomial. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2005. 11. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: InternaPublishing, 2010. h.1035-40.
12. U.S Department of Health and Human Services. The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. NIH Publication: August 2004. 13. National Institute for Health and Clinical Excellence. Hypertension. Newcastle: NHS Evidence; 2011.