DISKUSI ILMIAH
ANALISIS HUBUNGAN ANTARA STRUKTUR, PERILAKU, DAN PERFORMANSI INDUSTRI DI INDONESIA
MAMAN SETIAWAN
Laboratorium Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat dan Pengkajian Ekonomi (LP3E) Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung, 27 Januari 2006
Kata Pengantar
Makalah ini disampaikan pada acara diskusi ilmiah yang diselenggarakan oleh Laboratorium Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat dan Pengkajian Ekonomi (LP3E) Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran pada tanggal 27 Januari 2006, bertempat di LP3E Jl. Cimandiri. Adapun acara diskusi ini dihadiri oleh dosen perguruan tinggi negeri dan swasta serta praktisi akademisi lainnya. Makalah ini berjudul “analisis hubungan antara struktur, perilaku, dan performansi Industri”, membahas tentang organisasi industri di Indonesia yang nantinya akan berhubungan dengan kebijakan pemerintah tentang industri di Indonesia. Dari hasil diskusi ilmiah ini nantinya diharapkan muncul sikap kritis dari para dosendosen dan praktisi akademisi lainnya di dalam menyikapi berbagai fenomena ekonomi yang terjadi. Akhir kata semoga tulisan ini bisa memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu ekonomi.
Bandung, Januari 2006
Maman Setiawan
Abstract
This paper is an attempt to analyze the simultaneous relationship between structure, conduct, and performance in Indonesian manufacturing. This research takes 84 group samples from sub sector industry manufacturing non-oil and gas in Indonesia using ISIC 5 digit period 1996-2000. The method used is based on panel data analysis by using three stage least square estimation. The result of this research show that there is a simultaneous relationship between concentration, capital-labor ratio, and profit margin.
I. Pendahuluan Kebijakan ekonomi dan pembangunan terutama yang berkaitan dengan sektor industri di Indonesia ditandai dengan beberapa peristiwa penting yang mengawalinya (Pangestu, 2002). Sepanjang masa oil boom, kebijakan industri dan perdagangan didasarkan pada substitusi impor dengan menggunakan tarif yang tinggi sehingga mendorong adanya tingkat proteksi efektif yang tinggi pula. Persaingan usaha dibatasi, dan ekonomi didominasi oleh perusahaan pemerintah dengan berbagai kebijakan intervensinya, termasuk monopoli oleh pemerintah. Pada pertengahan tahun 1980-an, harga minyak dunia jatuh, hal ini mendorong pemerintah untuk melakukan liberalisasi perdagangan agar tercipta lingkungan yang kompetitif tetapi komitmen yang kuat dari pemerintah baru terlaksana setelah penurunan harga minyak yang sangat tajam pada tahun 1986. Pemerintah mengawali kebijakan deregulasi dan liberalisasinya dengan merasionalisasi struktur tarif, menurunkan tingkat tarif dan menghilangkan hambatan-hambatan masuk lainnya selain tarif (non-tariff barriers), khususnya ijin-ijin impor dan monopoli impor (contohnya, baja dan plastik). Latar belakang kebijakan di sektor industri ini khususnya pada sektor manufaktur menyebabkan sektor industri manufaktur di Indonesia memiliki tingkat konsentrasi yang cukup tinggi pada beberapa perusahaan (oligopolistik). Konsentrasi yang tinggi ini menciptakan market power bagi perusahaan-perusahaan oligopolis sehingga nantinya akan merugikan konsumen karena berhubungan dengan penetapan harga yang tidak kompetitif oleh para oligopolis (Adji, 1996). Kebijakan pemerintah yang diskriminatif dengan mengutamakan perusahaanperusahaan besar dibandingkan perusahaan-perusahaan kecil dimulai sejak perubahan strategi industrialisasi yang beralih dari berorientasi substitusi impor (inward looking) menjadi orientasi ekspor (outward looking), sehingga kebijakan pemerintah di sektor industri maupun deregulasi yang digulirkan selama ini tidak mendukung terhadap
penciptaan struktur pasar yang efisien, bahkan lebih cenderung terkonsentrasi mengarah kepada struktur oligopoli dan monopoli. Kebijakan pemerintah yang diskriminatif ini terutama terjadi pada sektor industri pengolahan (manufaktur) non migas (Pradiptyo, 1996:42-43). 1.1
Sektor Manufaktur di Indonesia Sektor manufaktur di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat sejak
pelita 1. Perkembangan ini terlihat nyata pada jenis industri skala besar. Hal ini menurut Tambunan (1996) dikarenakan selama ini pemerintah lebih banyak menaruh perhatian terhadap perkembangan industri-industri besar daripada unit-unit usaha kecil karena kelompok industri ini dianggap sebagai motor penggerak utama proses industrialisasi, khususnya perkembangan serta pertumbuhan output di sektor manufaktur di Indonesia. Tabel 1.1 Peranan dan Pertumbuhan Sektor Industri Pengolahan Tahun 1990-1994 Sub Sektor
Sumbangan terhadap PDB1) Industri Pengolahan Nonmigas Pengilangan Minyak Bumi Pengolahan Gas alam cair Sektor Industri Pengolahan (Nilai dalam Triliun Rupiah) Pertumbuhan Per tahun2) Industri Pengolahan Nonmigas Pengilangan Minyak Bumi Pengolahan Gas Alam Cair Sektor Industri Pengolahan (Nilai dalam Triliun Rupiah)
1990
1991
1992
1993
1994
16,17
17,21
18,41
19,34
21,19
1,83 1,90 18,89 (40,03) 12,97
1,67 2,07 20,69 (47,67) 10,86
1,66 1,69 21,76 (56,54) 10,96
1,68 1,29 22,30 (73,56) 11,59
1,52 1,19 23,90 (90,21) 11,98
10,07 9,56 12,19 (19,86)
2,14 6,33 9,60 (22,26)
5,77 5,18 9,68 (24,59)
-1,29 1,94 9,35 (26,96)
2,62 8,15 11,06 (81,69)
Sumber : laporan Perekonomian Indonesia, 1994.BPS Catatab : 1) dalam persen atas dasar harga yang berlaku 2) dalam persen atas dasar harga konstan tahun 1983,untuk data tahun 1994 atas dasar harga tahun 1993
Pada table 1.1 terlihat bahwa pertumbuhan sektor industri pengolahan meningkat terus dan mencapai pertumbuhan 12 persen tahun 1994 dengan sumbangan terhadap PDB yang terus meningkat. Pada tahun 1990 sumbangan terhadap PDB sebesar 18,89 persen kemudian meningkat menjadi 23,90 persen pada tahun 1994. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor industri pengolahan merupakan sektor industri yang sangat penting dalam perekonomian nasional.
Sebelum krisis ekonomi pada tahun 1997, industri manufaktur di Indonesia tumbuh dengan laju 10 % setiap tahunnya, lebih besar dari pertumbuhan GDP yang hanya 7,1 % per tahun. Setelah krisis ekonomi pada tahun 1997, laju pertumbuhan sektor industri manufaktur menurun drastis menjadi hanya 3,8 % per tahun selama tahun 20002003. Penurunan
laju pertumbuhan sektor industri manufaktur tersebut terjadi pada
sektor-sektor industri yang padat sumber daya alam seperti minyak bumi dan gas, makanan, minuman dan tembakau, kayu dan produk dari kayu, serta kertas dan percetakan. Tabel 1.2 Pertumbuhan Industri Manufaktur Indonesia Periode 1993-1997 dan 2000-2003 Sektor Manufacturing Industries (Mfg) Petroleum & Gas Petroleum Refinery Natural Gas Mfg. Excl. Petroleum & Gas Food, Beverage, Tobacco Textile, Leather, Footwear Wood & Wood Products Paper Products Chemicals & Rubber Cement, Non-Metalic Iron & Basic steel Transport Eq. Mach. & App. Misc. Mfg Products GDP
Sumber : CSIS, 2004
1993 1997 10.0 2.1 1.7 2.7 11.1 16.2 5.4 2.2 10.6 8.8 13.4 7.9 5.2 9.5 7.1
2000 2003 3.8 -3.8 -5.1 -1.9 4.7 2.4 5.1 1.0 2.6 11.7 9.6 -0.6 9.8 18.6 3.8
1.2 Struktur, Perilaku, dan Performansi Industri Manufaktur di Indonesia Seperti dijelaskan sebelumnya, struktur industri di Indonesia dicirikan dengan tingginya tingkat konsentrasi pada beberapa perusahaan (oligopolistik). Tingginya konsentrasi di Indonesia disebabkan diantaranya oleh tindakan pemerintah. Kebijakan, regulasi, dan intervensi pemerintah yang banyak memproteksi, mendorong dan mengalokasikan rente ekonomi pada perusahaan tertentu. Dukungan pemerintah tersebut
memperkuat posisi dan kontrol perusahaan terhadap pasar. Menurut Pradiptyo (1996), pemerintah turut andil dalam menciptakan struktur industri yang oligopolistik/monopoli. Berdasarkan SK Mendekop No. 75/kp/i/83, pemerintah melegitimasi keberadaan asosiasi-asosiasi bagi para pengusaha dan pelaku bisnis sektor riil. Pada tahun 1980, tercatat hanya ada satu jenis asosiasi yang didirikan, yaitu GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia). Sejak penetapan kebijakan tersebut, pada tahun 1983 muncul 70 asosiasi baru. Jumlah asosiasi tersebut terus bertambah dan hingga tahun 1994, tercatat 377 asosiasi yang tersebar di berbagai propinsi di Indonesia. Keberadaan asosiasi pada dasarnya memungkinkan bagi para pengusaha untuk berkumpul dan membentuk kesepakatan pemasaran. Pada skala usaha kecil, asosiasi sangat membantu pengembangan usaha tanpa mengakibatkan distorsi harga dan kesejahteraan masyarakat yang signifikan. Permasalahan yang timbul, keberadaan asosiasi di Indonesia, sebagian besar anggotanya adalah pengusaha besar, dengan hegemoni dan kekuatan lobi mereka memanfaatkan asosiasi yang dianggotainya sebagai sarana mengembangkan dan memantapkan pangsa pasar. Dengan demikian terjadi praktek penetapan harga antar pengusaha dan keadaan tersebut justru malah menimbulkan distorsi pasar. Jadi keberadaan asosiasi tersebut tidak lebih dari kartel dagang yang merugikan konsumen dan produsen input. Kebijakan pemerintah sejak tahun 1986 untuk menciptakan lingkungan yang lebih kompetitif ini memiliki pengaruh yang sedikit terhadap penurunan konsentrasi (Bird,1999). Walaupun konsentrasi di Indonesia tetap tinggi tetapi menunjukan adanya trend penurunan pada periode 1975 – 1993 seperti pada tabel berikut :
Tabel 1.3 Rata-rata Konsentrasi Industri Manufaktur di Indonesia Periode 1975 – 1993 Tahun 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 % Change 1975-93
Sumber : Bird (1999)
Rata-rata CR4 1973-1993 63.6 61.9 61.5 61.2 60.0 57.9 57.5 56.0 54.5 53.6 52.6 52.4 52.3 51.8 52.1 50.9 51.8 53.7 53.5 -10.1
Walaupun menurut penelitian Bird di atas menunjukan bahwa adanya penurunan konsentrasi, tetapi menurut Pradiptyo (1995), secara riil struktur pasar di sektor industri cenderung semakin oligopolistik. Sebagai gambaran: pada tahun 1975 struktur pasar yang relatif bersaing terdapat pada 76 subsektor industri (62,81%, berdasarkan klasifikasi lima digit ISIC). Jumlah itu berkurang menjadi 64 subsektor (50,79%) pada tahun 1991. Di lain pihak, struktur pasar yang oligopolistik bertambah cukup signifikan dari 37 sub sektor (30,58%) menjadi 62 sub sektor (49,21%). Hal ini juga mengindikasikan bahwa
jumlah perusahaan di sektor industri yang tumbuh pesat selama kurun waktu 1975 – 1991 tidak cukup mampu menurunkan penguasaan pasar oleh perusahaan-perusahaan besar dengan laju yang setara. Penurunan pangsa pasar perusahaan-perusahaan besar lebih lamban dibandingkan dengan kenaikan jumlah perusahaan. Hal ini juga ditunjukan oleh bukti bahwa selama periode 1996-2000 terjadi peningkatan rata-rata konsentrasi yang disertai peningkatan rata-rata marjin keuntungan di sektor industri manufaktur. Pada bulan April tahun 1998, pemerintah Indonesia dengan IMF melakukan MOU (memorandum of understanding) di mana salah satu bagiannya memuat persetujuan pemerintah untuk menerima draft undang-undang tentang persaingan usaha dari DPR yang mulai dilaksanakan pada tahun 1999. Undang-undang ini diharapkan bisa mengurangi tingkat konsentrasi yang tinggi di Indonesia. Kebijakan ini diharapkan bisa membebaskan pasar dari segala kendala untuk masuk (barrier to entry) sehingga membuka pasar terhadap perusahaan-perusahaan baru (Wigati dan Satriawan, 2002). Upaya pemerintah untuk menciptakan struktur industri yang kompetitif ini ialah bertujuan agar pasar menjadi lebih efisien sehingga akhirnya konsumen tidak dirugikan. Lingkungan industri yang kompetitif akan memungkinkan keuntungan yang tinggi tidak dinikmati oleh segelintir perusahaan saja sehingga kesejahteraan bersama bisa terwujud. Struktur industri yang terkonsentrasi ini tentu saja akan mempengaruhi perilaku dan performansi industri. Struktur industri yang cenderung terkonsentrasi akan menyebabkan sumber daya terkonsentrasi pada beberapa perusahaan sehingga performansi industri dipengaruhi secara dominan oleh perilaku segelintir perusahaan saja (Kalirajan, 1993). Tulisan ini berusaha menjabarkan hubungan antara struktur, perilaku, dan performansi industri manufaktur di Indonesia selama periode 1996-2000. Penulis beranggapan bahwa selama periode tersebut terjadi perubahan yang signifikan dari struktur, perilaku, dan performansi industri sehubungan adanya krisis ekonomi dan disahkannya UU anti monopoli pada tahun 1999 sehingga diharapkan bisa menjelaskan dengan baik hubungan antara struktur, perilaku, dan performansi industri manufaktur di Indonesia.
II. Kerangka Teori dan Studi Literatur Kajian tentang
kebijakan industri tidak akan terlepas dari model struktur,
perilaku,dan performansi industri. Menurut Stigler (1968) dalam Lipszinsky dan Wilson (2001), kajian tentang organisasi industri berhubungan dengan “ukuran struktur perusahaan (satu atau banyak, “terkonsentrasi” atau tidak), penyebab-penyebab dari ukuran struktur tersebut, dampak-dampak dari konsentrasi pada kompetisi, dampakdampak kompetisi pada harga-harga, investasi, inovasi, dan lain-lain”. Asumsi dari pendekatan SCP ini ialah bahwa adanya keseimbangan, hubungan sebab akibat antara struktur industri, perilaku perusahaan, dan performansi industri. Karena adanya asumsi keseimbangan tersebut maka adanya hubungan langsung antara 2 variabel, misal hubungan antara struktur dan performansi yang biasa diteliti lalu hubungan antara perilaku dan struktur industri. Structure Concentration Firm Size Entry & Exit Condition Product Differentiation Vertical Integration
Conduct Policy Objectives Marketing Strategies Pricing Policies Research & Development
Performance Profitability Efficiency Product Quality Technical Progress
Policy Competition Policy Regulation
Gambar 2.1 The Structure – Conduct – Performance Paradigm
Kondisi penawaran dan permintaan dalam suatu industri akan mencirikan struktur suatu industri. Kondisi penawaran meliputi penggunaan bahan baku, penggunaan teknologi, dan elastisitas harga terhadap penawaran. Kondisi permintaaan meliputi ukuran industri, elastisitas harga terhadap permintaaan, metode pembelian. Kondisi-kondisi tadi akan mempengaruhi struktur industri. Struktur industri dalam pengertian penelitian ini ialah struktur pasar (Lipczynski dan Wilson, 2001 p.2-8).
Struktur pasar ialah karakteristik organisasi pasar yang mempengaruhi sifat kompetisi dan harga di dalam pasar. Unsur-unsur struktur pasar meliputi: konsentrasi, differensiasi produk, ukuran perusahaan, hambatan masuk, dan integrasi vertikal serta diversifikasi (Lipczynski dan Wilson, 2001 p.7-8). Diantara variabel-variabel struktur pasar, tingkat konsentrasi dan hambatan masuk (barrier to entry) merupakan variabel struktur pasar yang sering diteliti. Variabelvariabel struktur pasar ini akan membentuk struktur pasar itu sendiri. Pasar yang memiliki konsentrasi yang tinggi dan memiliki hambatan masuk yang besar adalah pasar yang berstruktur monopoli dan oligopoli. Sebaliknya pasar yang memiliki konsentrasi rendah dan hambatan masuk yang kecil adalah pasar yang berstruktur persaingan. Struktur pasar akan menentukan perilaku perusahaan dalam industri, kemudian perilaku akan mempengaruhi kinerja/performansi perusahaan tersebut (Martin, 1988, p. 2-3). Konsentrasi ialah jumlah para pembeli dan penjual yang mengindikasikan derajat kompetisi potensial dalam suatu pasar. Tingkat konsentrasi bisa menunjukan jenis struktur industri tertentu. Menurut Hasibuan (1994), pada umumnya pengukuran konsentrasi lebih banyak dilakukan untuk derajat struktur oligopoli. Hal ini dikarenakan struktur oligopoli merupakan bentuk campuran antara struktur persaingan sempurna dengan monopoli. Dalam hal tertentu, yakni oligopoli yang menghasilkan barang yang berdifferensiasi, struktur oligopoli (biasanya pada oligopoli ketat) dapat menjadi monopoli. Di samping itu, ada lagi ciri lain, yakni perilaku yang terkoordinasi (kolusi), sehingga terjadi struktur monopoli yang kolusif, sedangkan di pihak lain mereka (perusahaan-perusahaan
dalam
industri
oligopoli),
dapat
bersaing
lebih
keras
(non-kolusif). Berdasarkan teori organisasi industri konvensional, ada sejumlah faktor sistematik yang menyebabkan industri didominasi oleh beberapa perusahaan besar. Faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi tingkat konsentrasi itu ialah skala ekonomi, daur hidup perusahaan atau industri, hambatan untuk masuk dan keluar pasar, inovasi, pertumbuhan industri, merger, peraturan pemerintah, dan keberhasilan perusahaan dalam menerapkan strategi harga dan non-harga. Dengan faktor-faktor yang sistematik tersebut memungkinkan perusahaan-perusahaan besar mendapatkan keunggulan kompetitif melalui peningkatan efisiensi dan penguasaan pangsa pasar.
Perilaku (conduct) mengacu pada tindakan atau kebiasaan yang dilakukan perusahaan-perusahaan pada suatu kondisi tertentu dan biasanya ditentukan oleh karakteristik struktur industrinya (Lypczynski dan Wilson, 2001). Menurut Greer (1992), perilaku ialah kebiasaan tentang apa yang dilakukan perusahaan terhadap harga-harga mereka, tingkat produksi, produk-produk, promosi-promosi, dan variabel-variabel operasi lainnya. Menurut Greer, perilaku bisa dibagi dua kategori yaitu kategori harga dan bukan harga. Kategori bukan harga diantaranya advertising, pengepakan, kualitas produk, dan lainnya. The structure- conduct-performance paradigm pada gambar 2.1 di atas menunjukan bahwa struktur bisa mempengaruhi kinerja/performansi dan perilaku sebaliknya kinerja bisa mempengaruhi struktur. Kinerja/performansi ialah hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku (Hasibuan,1993:17). III. Metodologi dan Analisis Variabel yang ingin dijelaskan dalam tulisan ini ialah struktur pasar yang diproksi oleh tingkat konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4), perilaku yang diproksi dengan rasio modal terhadap tenaga kerja (CLR), dan performansi industri yang diproksi dengan profit marjin (PCM) pada sektor industri manufaktur di indonesia. Tujuan utama dari tulisan ini ialah untuk menentukan hubungan simultan antara struktur, perilaku, dan performansi
industri
serta
menganalisa
pengaruh
faktor-faktor
lain.
mengembangkan model analisis sebagai berikut Tingkat Keuntungan Tinggi Konsentrasi Tinggi
Hambatan Masuk
New Entrants
Perilaku Dekonsentrasi Hambatan Keluar Firm Exit
Penurunan
Penulis
Profit/Loss Gambar 2.2 Model Umum Hubungan Keseimbangan serta Faktor-faktor yang Mempengaruhi Struktur, Perilaku, dan Performansi Industri
Sedangkan model ekonometrika yang digunakan didasari oleh model SCP yang dibuat Intriligator (1980) sebagai berikut : Model 1 : Pengaruh Performansi dan Rasio Modal Terhadap Tenaga Kerja terhadap Konsentrasi CR4it =
t
+
2
PCMit +
3 CORit
+
4CLRit
+ e1it
Model 2 : Pengaruh Konsentrasi terhadap Marjin Laba PCMit = αt + α2 CR4it + α3 CORit + α4 SIZEit + e2it Model 3 : Pengaruh Konsentrasi terhadap Rasio Modal Tenaga kerja CLRit = γt + γ2CR4it + γ3 SIZEit + γ4RWAGEit + e3it Keterangan : i = Jenis Industri 1,2,3,... t = Tahun 1996,1997,...,2000 e = residual regresi Variabel Endogen : PCM = Marjin laba CR4 = Rasio konsentrasi CLR = Rasio antara modal terhadap tenaga kerja Variabel Eksogen : COR = Rasio antara modal terhadap output SIZE = Ukuran pasar RWAGE = Tingkat upah riil
Dari ketiga persamaan bisa terlihat bahwa untuk menganalisis sistem persamaan di atas tidak lagi bisa dengan metode sistem persamaan tunggal (OLS) karena adanya mutually, jointly dependent or endogenous variabel (Gujarati, 1995). Akibat hubungan simultan ini, setiap satu persamaan mengambil informasi dari persamaan lainnya. Ketiga persamaan simultan di atas teridentifikasi exactly identified maka setelah dilakukan pengujian terhadap asumsi regresi linier klasik serta hubungan antara residual ketiga persamaan di atas, ternyata terdapat masalah contemporaneous correlation di dalam sistem persamaan sehingga seluruh persamaan harus diestimasi oleh metode three stage least square (Green, 2000). Selain itu tulisan ini akan mencoba melihat heterogenitas variabel struktur, perilaku, dan performansi antar waktu dengan menggunakan analisis data panel fixed effect model. Dipilih penggunaan analisis fixed effect model ini dikarenakan model ini lebih baik dibandingkan model dengan common dan random effect model jika berdasarkan pengujian F-test dan Hausman test. 3.1 Data Analisis empirik akan dilakukan berdasarkan data industri yang tidak dipublikasikan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Data tersebut berasal dari survei tahunan yang meliputi jenis industri pengolahan non-migas terpilih sedang dan besar yang mempunyai tenaga kerja lebih dari 20 orang. Data yang akan digunakan ialah data industri manufaktur ISIC (International Standard of Industrial Classification) digit 5, dalam rentang waktu tahun 1996 - 2000. Populasi dalam penelitian ini ialah industri-industri pengolahan (manufaktur) non migas sedang dan besar yang termasuk dalam kelompok lapangan usaha Indonesia (KLUI/ISIC) 5 digit. Dalam laporan statistik Industri besar dan sedang yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2001 terdapat 342 jenis industri besar dan sedang migas dan non-migas dimulai dari kode 15111 sampai dengan 37200. Adapun jenis industri yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini ialah jenis industri pengolahan non-migas. Jumlah populasi industri pengolahan non-migas ialah sebesar 336 jenis industri. Dalam statistik industri, menurut pembagian klasik (pengelompokan menurut standar UNINDO (United Nation Industrial Development
Programme) seluruh industri pengolahan Indonesia juga dapat dibagi atau dikelompokan menurut jenis komoditas (barang) yang dihasilkan, yaitu industri barang konsumsi, industri barang setengah jadi atau barang antara (intermediate goods) dan barang modal (perlengkapan) (Soemirat Slamet, 1997:4). Kemudian ada beberapa kriteria dalam penentuan sampel ini yaitu : 1. Pemilihan jenis industri dalam ISIC 5 digit yang akan dijadikan sampel harus didasarkan pada kepentingan akan produk tersebut yaitu sub sektor industri yang menghasilkan komoditas strategis (barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak dan membantu pembangunan ekonomi) dan jenis komoditas yang dihasilkan memberikan kontribusi terhadap inflasi. Kriteria ini pernah digunakan oleh penelitian Bank Dunia mengenai harga distribusi oleh Anggito Abimanyu, dkk (Kelola No. 14/VI/1997). 2. Jenis industri yang akan dijadikan sampel harus jenis industri yang memiliki jumlah perusahaan minimal 4 karena akan dilakukan pada masing-masing jenis industri tersebut perhitungan rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar. 3. Produk dari industri tersebut harus secara luas di konsumsi atau merupakan input penting dalam aktivitas sektor lain. 4. Jenis industri yang akan dijadikan sampel harus jenis industri yang memiliki datadata yang lengkap sesuai dengan spesifikasi model. Adapun pengelompokan industri berdasarkan skala usaha, Biro Pusat Statistik (BPS) membedakannya menjadi 4 jenis berdasarkan jumlah tenaga kerja per unit usaha tanpa memperhatikan besarnya modal yang ditanam ataupun kekuatan mesin yang digunakan, yaitu : 1. Industri besar : berpekerja 100 orang atau lebih 2. Industri sedang : berpekerja antara 20 sampai 99 3. Industri kecil : berpekerja antara 5 sampai 19 orang ; dan 4. Industri/kerajinan rumah tangga : berpekerja < 5 orang Pada penelitian ini menggunakan jenis industri berskala besar dan sedang jenis industri yang mempekerjakan di atas 20 orang.
Tabel 2.1 Daftar Sampel Industri ISIC CODE 311-312 313 314 321 322 324 332 342 361 364 323 331 341 351 352 353 354 355 356 362 363 369 371 372 381 382 383 384 385
Nama Industri 1. Industri Barang-Barang Konsumsi
Industri makanan Industri minuman Industri pengolahan tembakau dan rokok Industri tekstil Industri pakaian jadi Industri alas kaki Industri meubel dan perabot rumah tangga Industri percetakan dan penerbitan Industri porselin Industri pengolahan tanah liat 2. Industri Barang Antara ( Intermediate Goods ) Industri dari kulit, kecuali alas kaki Industri kayu kecuali meubel Industri kertas dan barang dari kertas Industri kimia Industri bahan kimia industri Industri Pengolahan minyak Industri hasill minyak dan batu bara Industri karet dan bahan dari karet Industri barang dari plastik Industri gelas dan barang dari gelas Industri semen dan kapur Industri barang galian bukan logam Industri logam dasar, besi dan baja Industri logam dasar bukan besi 3. Industri Barang Modal Industri barang logam Industri mesin kecuali mesin listrik Industri mesin listrik Industri transportasi/alat angkut Industri alat-alat ilmiah
Berdasarkan kelengkapan data-nya maka jumlah sampel yang akan digunakan ialah sebanyak 84 sub sektor industri dari kelompok industri barang konsumsi, kelompok
industri barang antara, dan kelompok industri barang modal dari sektor-sektor yang ditunjukan pada tabel kelompok industri di atas. 3.2 Definisi Variabel Tabel 2.2 Definisi Variabel Variabel PCM CR4 CLR
COR SIZE RWAGE
Definisi Marjin laba merupakan rasio antara nilai tambah setelah dikurangi biaya upah/gaji tenaga kerja dibagi dengan total outputnya Rasio gross output empat perusahaan terbesar terhadap total gross output industri Rasio modal tetap (perbaikan/penambahan, pembuatan atau perbaikan barang modal tetap) terhadap pengeluaran tenaga kerja (upah dan gaji) Rasio antara modal tetap (perbaikan/penambahan, pembuatan, perbaikan barang modal tetap) terhadap gross output industri. Ukuran perusahaan diukur dengan nilai output yang dibagi dengan indeks harga perdagangan besar kecuali minyak dan gas (dalam juta rupiah) Nilai upah dibagi indeks harga konsumen untuk mengetahui nilai upah riil (dalam juta rupiah)
3.3 Hasil Estimasi Dari hasil estimasi dengan 3SLS maka terlihat bahwa masing-masing variabel struktur, perilaku, dan performansi memiliki hubungan simultan yang signifikan. Pada persamaan PCM, variabel struktur (CR4) berpengaruh secara positif dan signifikan pada tingkat signifikansi 5 %. Pada persamaan CR4, variabel PCM berpengaruh secara negatif pada tingkat signifkansi 5% dan variabel CLR berpengaruh positif dengan tingkat signifikansi 1%. Sedangkan pada persamaan CLR, Variabel struktur (CR4) berpengaruh secara positif dan signifikan pada tingkat kepercayaan 1 %.
Tabel 3.1 Hasil Reresi Persamaan CR4 Variabel Dependen : CR4
PCM COR CLR Fixed Effect 1996 1997 1998 1999 2000
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
-0.831829 -0.032246 0.143481
0.397337 0.139211 0.054630
-2.093511 -0.231638 2.626425
Prob. ** TS ***
0.542790 0.565451 0.653346 0.748344 0.724693
Adjusted R-squared
0.830125
Catatan : * signifikan pada α = 10 % *** Signifikan pada α = 1 %
**signifikan pada α = 5 % TS = Tidak Signifikan
Dari tabel di atas terlihat bahwa tahun 1999 dan tahun 2000 merupakan tahun yang memiliki rata-rata konsentrasi yang cukup tinggi (di atas 0,7) dibandingkan tahun-tahun lainnya, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan kondisi riil di lapangan di mana rata-rata tingkat konsentrasi industri meningkat setiap tahunnya pada periode tersebut.
Rasio
Rata-rata CR4 Industri Manufaktur di Indonesia Periode 1996-2000 0.64 0.62 0.6 0.58 0.56 0.54 0.52 1995
CR4
1996
1997
1998
1999
Periode
Grafik 3.1
2000
2001
Tabel 3.2 Hasil Regresi Persamaan PCM Variabel Dependen : PCM
CR4 COR SIZE Fixed Effect 1996 1997 1998 1999 2000
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
0.192284 -0.078168 0.001566
0.079266 0.025655 0.000406
2.425800 -3.046940 3.856764
Prob. ** *** ***
0.096252 0.101085 0.103452 0.143972 0.122744
Adjusted R-squared
0.786489
Catatan : * signifikan pada α = 10 % *** Signifikan pada α = 1 %
**signifikan pada α = 5 % TS = Tidak Signifikan
Dari hasil regresi PCM juga juga bisa disimpulkan bahwa rata-rata profit marjin industri pada tahun 1999 dan 2000 ternyata juga lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, ceteris paribus. Hal ini konsisten dengan kenyataan di lapangan bahwa PCM mengalami kenaikan secara terus menerus selama periode 1996-2000.
Rasio
Rata-rata Profit Margin Industri Manufaktur di Indonesia Periode 1996-2000 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 1995
PCM
1996
1997
1998
1999
Periode
Grafik 3.2
2000
2001
Tabel 3.3 Hasil Regresi Persamaan CLR Variabel Dependen : CLR
CR4 SIZE RWAGE Fixed Effect 1996 1997 1998 1999 2000 Adjusted R-squared
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
5.578734 0.012207 -0.000181
1.938791 0.006537 0.001584
2.877429 1.867319 -0.114170
Prob. *** ** TS
-1.91916 -2.01564 -2.47377 -2.89048 -2.79952 0.520442
Catatan : * signifikan pada α = 10 % *** Signifikan pada α = 1 %
**signifikan pada α = 5 % TS = Tidak Signifikan
Hasil regresi CLR menunjukan bahwa pada tahun 1999 dan 2000 sektor industri manufaktur memiliki nilai CLR yang rendah dibandingkan tahun sebelumnya, ceteris paribus. Hal ini didukung dengan data di lapangan yang menunjukan bahwa nilai CLR tahun 1999 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Sejak krisis ekonomi tahun 1997, sektor industri manufaktur mengalami penurunan CLR hingga tahun 1999. CLR tahun 2000 meningkat tetapi masih lebih kecil dibandingkan nilai CLR tahun-tahun sebelumnya.
Pergerakan Rasio Modal Terhadap Tenaga Kerja Industri manufaktur di Indonesia Periode 1996-2000 Rasio
1.5 1
CLR
0.5 0 1996
1997
1998
1999
2000
Tahun
Grafik 3.3
Variabel CR4 berpengaruh secara positif pada PCM mencirikan bahwa semakin tinggi konsentrasi industri maka akan semakin menguntungkan bagi industri tersebut karena memiliki kemampuan untuk mempengaruhi harga. Menurut Arti D. Adji (1996), Di Indonesia ada fakta empiris bahwa semakin tinggi konsentrasi maka semakin cepat harga disesuaikan ke atas. Terdapat fenomena bahwa harga selalu bergerak secara paralel dengan konsentrasi industri. Variabel PCM berpengaruh secara negatif pada rasio konsentrasi (CR4) mencirikan bahwa semakin tinggi tingkat keuntungan industri maka akan menarik perusahaan lain untuk memasuki industri akibatnya konsentrasi industri menurun. Hal ini juga menandakan kemampuan perusahaan pendatang (entrants) untuk bisa merebut pangsa pasar dari perusahaan yang sudah ada (incumbents).
Rata-rata CR4 dan Profit Margin Industri Manufaktur di Indonesia Periode 1996-2000
Rasio
0.8 0.6
CR4
0.4
PCM
0.2 0 1995
1996
1997
1998
1999
Periode
Grafik 3.4
2000
2001
Variabel CLR berpengaruh secara positif pada rasio konsentrasi mencirikan bahwa semakin tinggi rasio modal relatif terhadap tenaga kerja maka akan meningkatkan konsentrasi industri. Peningkatan rasio modal terhadap tenaga kerja ini diduga sebagai upaya perluasan pangsa pasar atau peningkatan kapasitas produksi untuk merebut pangsa pasar dikarenakan ukuran pasar yang terus meningkat seperti tercermin pada grafik 3.5 di bawah ini. Rata-rata Ukuran Pasar (Size) Industri Manufaktur di Indonesia
11000000
SIZE
10000000
9000000 1998
1999
2000
Grafik 3.5
Tabel 3.4 Rata-rata CR4, Profit Marjin, dan Rasio Modal terhadap Tenaga Kerja Industri Manufaktur di Indonesia Periode 1996-2000
Tahun
1996 1997 1998 1999 2000
CR4
PCM
CLR
0.540595
0.215595
1.255377
0.552381
0.220238
1.207567
0.606548
0.226667
1.010702
0.609286
0.270595
0.616580
0.629405
0.254048
0.827542
Variabel konsentrasi berpengaruh secara positif terhadap CLR mencirikan bahwa semakin tinggi konsentrasi suatu industri maka perusahaan akan terus menambah modalnya karena kemudahan akses terhadap sumber modal dan nilai retained earning yang semakin tinggi sehingga mampu menambah atau mempertahankan pangsa pasarnya (Gyan-baffour, 2000). a. Faktor Lain yang mempengaruhi Rasio Konsentrasi Empat Perusahaan (CR4)
Variabel COR tidak berpengaruh secara signifikan dan berhubungan negatif dengan rasio konsentrasi. Hubungan negatif ini menunjukan bahwa rendahnya tingkat efisiensi dan produktifitas industri akan menurunkan daya saing dibandingkan pesaingnya sehingga menurunkan tingkat konsentrasi industri.
b. Faktor-faktor Lain yang Mempengaruhi Performansi (PCM) Variabel intensitas modal (COR) memiliki hubungan yang signifikan dan negatif dengan PCM. Semakin besar modal relatif terhadap jumlah output mengindikasikan suatu industri tidak efisien atau kurang produktif sehingga akhirnya industri akan merugi karena tidak memiliki daya saing di pasar. Variabel ukuran pasar (SIZE) memiliki hubungan yang signifikan dan positif dengan PCM mencirikan bahwa semakin besar ukuran pasar yang dimiliki industri maka akan semakin menguntungkan bagi industri karena pasar penjualan produk akan semakin besar. C. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi Rasio Modal terhadap Tenaga Kerja. Variabel tingkat upah riil berpengaruh secara negatif pada rasio modal tenaga kerja. Hubungan secara negatif ini mencirikan bahwa semakin tinggi tinggi tingkat upah riilnya maka semakin rendah rasio modal terhadap tenaga kerja artinya dengan modal yang tetap maka jumlah atau pengeluaran tenaga kerja akan bertambah. Variabel ukuran pasar (SIZE) berhubungan secara positif dengan rasio modal terhadap tenaga kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa ukuran pasar yang semakin meningkat akan mendorong industri untuk meningkatkan kapasitas produksinya sehingga akan meningkatkan pula komposisi modal relatif terhadap tenaga kerjanya. VI. Kesimpulan
Tulisan ini menyimpulkan bahwa adanya hubungan dua arah (simultan) dan saling mempengaruhi antara konsentrasi, rasio modal terhadap tenaga kerja, dan marjin laba pada industri manufaktur di Indonesia di mana didapat kesimpulan : •
Konsentrasi industri akan menurun sejalan dengan marjin laba industri yang semakin meningkat karena dengan marjin laba industri yang semakin meningkat kemungkinan akan menarik perusahaan-perusahaan baru untuk masuk pasar sehingga menurunkan pangsa pasar perusahaan-perusahaan yang sudah terlebih dahulu ada di pasar sehingga menurunkan konsentrasi industri.
•
Semakin terkonsentrasi suatu industri maka akan menyebabkan semakin tingginya pula marjin laba industri karena dengan semakin terkonsentrasinya suatu industri kemungkinan adanya kemampuan beberapa perusahaan untuk mempengaruhi pasar terutama masalah penetapan harga.
•
Sejalan dengan meningkatnya rasio modal terhadap tenaga kerja industri maka akan menyebabkan suatu industri yang semakin terkonsentrasi karena diduga adanya kapasitas pasar yang semakin meningkat sebagai akibat peningkatan investasi modal.
•
Semakin terkonsentrasi suatu industri maka rasio modal terhadap tenaga kerja industri akan meningkat. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi industri maka akses terhadap permodalan akan semakin mudah bagi perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang besar serta diperkirakan akan mampu memiliki retained earning yang cukup besar.
Pengaruh Faktor-faktor Lain terhadap Variabel Struktur, Perilaku dan Performansi Industri. a. Faktor-faktor Lain yang Mempengaruhi Performansi ( PCM ) •
Peningkatan intensitas modal (COR) akan menyebabkan penurunan marjin laba artinya semakin tinggi intensitas modal maka marjin laba akan semakin rendah. Tingkat intensitas modal yang tinggi menunjukan bahwa indutsri tersebut kurang produktif atau kurang efisien.
•
Ukuran pasar (Size) yang semakin tinggi akan bisa meningkatkan marjin laba dan ukuran pasar yang semakin rendah akan bisa menurunkan marjin laba. Semakin luas jangkauan pasar maka akan semakin banyak produk yang terserap oleh konsumen.
b. Faktor Lain yang Mempengaruhi Rasio Konsentrasi Empat Perusahaan (CR4) •
Peningkatan intensitas modal (COR) akan menyebabkan penurunan konsentrasi di Indonesia. Hal ini diduga industri yang bersangkutan tidak efisien sehingga tidak memiliki daya saing.
c. Faktor-faktor Lain yang Mempengaruhi Rasio Modal terhadap Tenaga Kerja. •
Peningkatan jumlah upah riil baik akibat peningkatan upah atau juga peningkatan jumlah tenaga kerja akan menurunkan rasio modal terhadap tenaga kerja karena semakin besarnya pengeluaran tenaga kerja relatif terhadap pengeluaran modalnya.
•
Komposisi modal terhadap tenaga kerja yang semakin meningkat bisa disebabkan oleh
ukuran pasar yang semakin meningkat. Hal ini terjadi karena untuk
mengimbangi ukuran pasar yang semakin meningkat diperlukan investasi modal relatif terhadap tenaga kerja yang meningkat pula.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abimanyu, Anggito (1997), “Biaya Distribusi Komoditas Industri di Indonesia“, Kelola, No. 14/II/97. 2. Adji, D. Arti (1996), “Industrial Concentration and Price Adjusment : Indonesia Case Study”, Kelola No. 12/V/96. 3. Arief, Sritua (1993), Metodology Penelitian Ekonomi, UIP, Jakarta. 4. Amess, Kevin dan Gourlay, Andrian (2000), “The Dynamic of UK Industrial Concentration 1993-1997“, Working Paper, Department of Economics, Loughborough University. 5. Bain, Joe S. (1951), “ Relation of Profit to Industry Concentration : American Manufacturing 1936-40”, Quarterly Journal of Economics. 6. Baumol, W.J. (1967), Business, Behaviour, Value, and Growth, Harcourt Brace Jovanovich, New York. 7. Bird, Kelly (1999), “ Concentration in Indonesian Manufakturing Period 19751993 “, BIES, Vol.35 No. 1. 8. Brown N. Annette (2001), “Does Market Structure matter? : New Evidence Using Exogenous Market Structure”, Site Working Paper 130. 9. Burgess, Gilles H. (1989), Industrial Organization, Second Edition, Prentice Hall International, New Jersey-USA.
10. Caves, R.E., dan Porter (1977), M.E., “From Entry Barriers to Mobility Barriers : conjectural decisions and contrived deterrence to new competition“, Quarterly Journal of Economics, Vol. 91 p. 241-62. ‘
11. Chakravarty, Satya R. (1995), Issues In Industrial Economics, Avebury, England. 12. Comanor,William dan Thomas A.Wilson (1967),“Advertising, Market Structure, and Performance”, the Review of Economics and Statistics, 49, p. 423-40. 13. Delome Jr, D. Charles, David R. Kamerschen, Peter G. Klein, dan Voeks Lisa (2002), “A Structure, Conduct, and Performance : A Simultaneus Equation Approach“, Applied Economics Vol. 34 Number 17/November 20, Routledge, Part of the Taylor & Francis Group. 14. Demsetz, H. (1973) , “ Industry Structure, Market Rivalry, and Public Policy “, Journal of Law and Economics, Vol 16, P. 1-9. 15. Feeny, Simon, dan Mark Rogers (1999), “Market Share, Concentration, and Diversification in Firm Profitability“, Melbourne Institute Working Paper No. 20/99, Melbourne Institute of Applied Economic and Social Research. 16. Greene H. (2000), William, Econometric Analysis,Prentice Hall, New Jersey. 17. Greer F., Douglas (1992), Industrial Organization and Public Policy, MacMillian Publishing. 18. Gujarati N., Damodar (1995), Basic Econometrics , McGraw-Hill. 19. Gyan-Baffour, George (2000), “Increasing Labor demand and Productivity Findings in Ghana“ , EAGER/PSGE Study, Howard University. 20. Hasibuan, Nurimansjah (1997), “Struktur Pasar dan Konglomerasi di Indonesia”, agenda aksi liberalisasi ekonomi dan politik Indonesia “, PPM FE UII dan PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, h. 169-194. 21. Hasibuan, Nurimansjah (1993), Ekonomi Industri: Persaingan,Monopoli, dan Regulasi , LP3ES, Jakarta. 22. Hay, D., dan D. Morris (1990), Industrial Economics and Organization : Theory and Evidence, 2nd Edition, Oxford University Press, Oxford. 23. Hill, Hal (1987), “ Concentration in Indonesia Manufacturing “, BIES Vol. 23 No. 23, pp. 71-00. 24. Intriligator, Michael (1980), Econometrics Models, Techniques, and Applications, Prentice-Hall Inc., New Delhi.
25. Jaya, Wilhana K. (1993), Pengantar Ekonomi Industri: Pendekatan Struktur, Perilaku, dan Kinerja Pasar , BPFE, Yogyakarta. 26. Kalirajan, K. P. (1993), “On the Simultaneity between Market Concentration and Profitability: The Case of a small – open developing country”, International Economic Journal Vol. 7 number 1. 27. Koutsoyiannis A. (1977), Modern Microeconomics, Second Edition, MacMillan, London. 28. Kuncoro, Mudrajad (1996), “Struktur dan Kinerja Ekonomi Indonesia setelah 50 Tahun Indonesia Merdeka”, Jurnal Ekonomi UII, Vol 7, h. 2-14. 29. Kuncoro, Mudrajad dan Anggito Abimanyu (1995), “Struktur dan Kinerja Industri dalam Era Deregulasi dan globalisasi”, Kelola No. 10/IV/95, h. 43-59 30. Lipczynsky, Jhon, dan John Wilson (2001), “Industrial Organization : An Analysis of Competitive Market “, Prentice Hall. 31. Martin, Stephen (1979), “ Advertising, Concentration, and Profitability : Simultaneity Problem “, Bell Journal of Economics, Vol. 10, No. 2, P. 639-647. 32. Mason, Edward (1939), “Price and Production of Large-Scale Enterprise“, American Economic Review, Supplement, pp. 61-74 33. Miller, Richard A. (1967), “Marginal Concentration Ratio and Industrial Profit Rate : Some Empirical Results of Oligopoly Behaviour”, Southern Economic Journal. 34. Orr, D. (1974), The Determinant of Entry : A Study of the Canadian Manufacturing Industries, the Review of Economics and Statistics, Vol 56. 35. Pangestu, Mari, Haryo Aswicahyono, Titak Anas, and Dionisius Ardyanto (2002), “The Evolution of Competition Policy in Indonesia“, Review of Industrial Organization, Kluwer Academic. 36. Pradiptyo, Rinawan (1996), “Dampak Kebijakan Sektor Riil Terhadap Struktur dan Kinerja Struktur Industri Indonesia Tahun 1980-1994“, Kelola No. 11/V/96, h. 34 – 52. 37. Pradiptyo, Rinawan dan Elan Satriawan (1996), “Mobil Nasional dan Strategi Indutrialisasi kita”, Jurnal CIDES AFKAR Vol. 1, No. 1, h. 52-84.
38. Purnagunawan, Muhammad R. (2001), “Analisis Pengaruh Karakteristik Regional terhadap Efisiensi Teknis“, Tesis magister, Teknik dan Manajemen Industri ITB, Bandung. 39. Rozani, Iman (1997), “Korelasi antara Profitabilitas Industri Pengolahan Komoditas Pertanian Penghasil Traded Goods dengan Tingkat Konsentrasi di Indonesia Tahun 1990”, publikasi FE-UI No. 0045/April/1997. 40. Samuelson, Paul A. dan William Nordhaus (1992), Mikro Ekonomi, Edisi 14, Erlangga Jakarta. 41. Segal, Dan (1990), “A Multi-Product Cost Study of The U.S. Life Insurance Industry“, Working paper , Rotman Schoool of Management, University of Toronto. 42. Shepherd, William G. (1997), The Economics of Industrial Organization, Forth Edition, Prentice Hall International, New Jersey. 43. Slamet, Soemirat (1997), “Pengembangan Industri dan Kemitraan“, Makalah Seminar Ekonomi Terkelola ISEI Cabang Bandung. 44. Statistik Industri Besar dan Sedang Tahun 1995-2000, BPS. 45. Stigler, G. (1968), The Organization of Industry, Irwin, Holmwood. 46. Surver Tahunan Perusahaan Industri Tahun 1995-2000, BPS. 47. Tabel Kesesuaian KBLI 2000 – KLUI 1990, BPS. 48. Wigati, Hening dan Elan Satriawan (2002), “Entry, Exit, dan Tingkat Konsentrasi pada Industri Manufaktur di Indonesia, 1995 – 1997“, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 17 No. I. 49. Yeldan, Voyvoda, Metin Ozcan (2000), “On the Patterns of Trade Liberalization, Oligopolistic Concentration and profitability : Reflections from Post-1980 Turkish Manufacturing”, Bilkent University Paper, Turkey.