DIPLOMASI MULTILATERAL SIX PARTY TALKS DALAM PROSES DENUKLIRISASI KOREA UTARA PERIODE 2003-2009 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh: Muhammad Nabil 109083000052
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M
ii
iii
iv
ABSTRAK Skripsi ini menganalisis pengaruh diplomasi multilateral Six Party Talks terhadap proses denuklirisasi Korea Utara periode 2003-2009. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pencapaian serta kontribusi yang dihasilkan oleh Six Party Talks dalam mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara periode 2003-2009. Peneliti menemukan bahwa pengembangan nuklir Korea Utara mengundang kritik dari berbagai negara, karena dianggap mengancam keamanan kawasan. Pendirian awal Six Party Talks yang bertujuan untuk menyelesaikan isu nuklir Korea Utara ternyata belum mampu menghentikan nuklir yang dikembangan Korea Utara. Walaupun pada akhirnya tercapai sebuah kesepakatan, akan tetapi kesepakatan tersebut belum mampu diimplementasikan. Pendapat ini kemudian dirumuskan melalui tahapan analisa, yaitu dengan melihat perkembangan nuklir Korea Utara dari tahun ke tahun, mengamati proses pembicaraan Six Party Talks, serta memperhatikan faktor-faktor penghambat Six Party Talks dalam melakukan denuklirisasi di Korea Utara. Kemudian melihat pencapaian-pencapaian yang telah dihasilkan oleh Six Party Talks selama 2003-2009 dan selanjutnya dianalisa menggunakan kerangka teori. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam skripsi ini adalah Realis, kebijakan luar negeri, dan diplomasi multilateral. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Oleh karena itu, teknik pengumpulan data menggunakan data primer dan data sekunder. Dari hasil analisa dengan menggunakan kerangka pemikiran tersebut, dapat disimpulkan bahwa Six Party Talks telah memberikan kontribusi bagi perkembangan isu nuklir Korea Utara, sebagaimana yang tertuang dalam ketiga kesepakatan bersama yang telah dicapai Six Party Talks. Kontribusi tersebut antara lain, Six Party Talks mampu menjadi sarana diplomasi dan negosiasi, mendorong proses pembongkaran program nuklir Korea Utara, memperbaiki hubungan antar anggota Six Party Talks, menjaga perdamaian dan Stabilitas Kawasan Semenanjung Korea dan Asia Timur, serta meningkatkan kerjasama antara anggota Six Party Talks dengan Korea Utara. Kontribusi yang diberikan Six Party Talks belum dapat menyelesaikan isu nuklir Korea Utara secara keseluruhan karena hambatan yang dihadapi Six Party Talks. Alasan terhambatnya usaha Six Party Talks, disebabkan oleh adanya konflik kepentingan antar anggota Six Party Talks, pengaruh Juche Idea dan Songun Policy, serta ketiadaan aturan yang mengikat secara hukum (non-legally binding). Kata Kunci: Denuklirisasi, Korea Utara, Semenanjung Korea, Six Party Talks, diplomasi multilateral, kebijakan luar negeri. v
KATA PENGANTAR Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi Allah SWT, Pemilik dan pemelihara seluruh alam raya beserta isinya, atas limpahan nikmat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya. Shalawat bermutiarakan salam, semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang selalu menjadi tauladan dan panutan terbanyak di dunia. Akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Diplomasi Multilateral Six Party Talks Dalam Proses Denuklirisasi Korea Utara Periode 20032009.” Tugas akhir ini dikerjakan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Program Studi Hubungan Internasional. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini bukanlah tujuan akhir dari proses pembelajaran selama ini, karena belajar tidak mengenal batas waktu dan tempat. Terselesaikannya skripsi ini, tentunya tidak lepas dari dorongan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika penulis mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Bapak Teguh Santosa, MA, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu serta banyak membantu dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas nasihat dan masukan yang diberikan selama proses skripsi ini berjalan. 2. Bapak Drs. Aiyub Mohsin, MA, MM,. dan Ibu Mutiara Pertiwi, MA., selaku Dosen Penguji yang telah meluangkan waktunya untuk membaca dan mengujikan skripsi ini. 3. Bapak Kiki Rizky, M.Si, selaku Ketua Prodi Hubungan Internasional, serta Bapak Agus Nilmada Azmi, S. Ag M.Si, selaku Sekretaris Prodi Hubungan Internasional. 4. Bapak Arisman, M.Si, selaku dosen sekaligus mentor penulis yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkarya di Pusat Kajian Asia Tenggara (CSEAS) dan banyak memberikan pengalaman berharga selama bergabung dalam organisasi ini. 5. Bapak/Ibu Dosen Prodi Hubungan Internasional UIN Syarif Hdayatullah, diantaranya Bapak Nazaruddin Nasution, SH, MA., Bapak Armein Daulay, M.Si., Bapak M. Adian Firnas, M.Si., Ibu Dina Afrianty, Ph.D, Ibu Debbi Affianty, MA., Ibu Rahmi Fitriyanti, M.Si., Ibu Friane Aurora M.Si,. Tidak lupa juga seluruh staf Dosen di Prodi Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah, yang selama masa pendidikan penulis telah banyak vi
mengajarkan dan mengarahkan penulis dalam bidang keilmuan Hubungan Internasional. 6. Ibu Dr. Adriana Elisabeth, terima kasih atas waktu dan bantuan yang diberikan selama wawancara yang dilakukan dengan penulis. 7. Tidak lupa skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua penulis. Untuk Papa dan Mama, H. Ahmad Jauhar Tanwiri dan Hj. Eti Cahyati yang dengan sabar dan tiada hentinya memberikan motivasi serta doa demi terselesaikannya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat mengeringkan keringat, menghapus air mata, dan membayar semua pengorbanan yang telah Papa Mama berikan selama ini. 8. Tidak lupa pula untuk saudara-saudara penulis: Teh Syaima, Aa Romzi, Irsyad, dan Faiha yang telah mendampingi penulis dengan penuh kasih sayang dan selalu memberikan dukungan untuk tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Tetaplah menjadi anak kebanggaan orang tua. 9. Sahabat terbaik dan seperjuangan penulis dalam menyelesaikan tulisan ini, yaitu Arif Rahman, Corryatul Fillacano, Fajar Shidiq, Edwin Saputra, Dafi Hifdzillah, Andri Zainal, dan Amrullah Rafioeddin, yang telah bersama-sama berjuang dalam suka dan duka, saling berbagi pengalaman, pencerahan, motivasi, dan banyak memberi masukan kepada penulis. 10. Teman-teman sepermainan, khususnya anggota grup Pakzi: Baihaqi, Rizki, Mel, Elva, Novi, Ayu, Algi, Riza, Dwi. Terima kasih atas berbagai trip kita selama ini. Semoga perjalanan kita akan berlanjut di masa yang akan datang. 11. Teman-teman Hubungan Internasional, khususnya kelas B angkatan 2009, selaku rekan sekelas penulis yang banyak memberi saran dan inspirasi dalam penulisan penelitian ini. 12. Teman-teman senior penulis yang selalu memberikan senyum dan memberikan masukan terhadap diri penulis: Kang Wadiin, Mas Zainudin, Bang Salman, Kiki, Abib, Fitria, Yeni, Dida, Akmal. Para junior kece yang telah berkontribusi dalam penyelesaian skripsi ini: Gus Ibad, Bung Arya, Bisti, Afina, dan Zahra. 13. Teman-teman keluarga besar HMI komisariat FISIP cabang Ciputat yang telah membentuk karakter kepemimpinan penulis dan memberikan pengalaman organisasi tiada henti. Serta tidak lupa teman-teman Ma‟had Sabilussalam angkatan 2009, selaku rekan asrama penulis yang banyak memberi inspirasi mengenai kesederhanaan dalam hidup dan berbagi ilmuilmu agama. vii
14. Kepada seluruh kolega dari berbagai acara dan organisasi yang pernah penulis geluti selama kuliah, Delegates of UIN Jakarta for HNMUN dengan pengalaman Amerika nya, Center for Southeast Asian Studies dengan research dan ASEAN trip, Global Citizen Corps dengan proyek-proyek sosialnya, International Studies Club dengan Model United Nations, Volunteer Nation dengan pengalaman volunteerism nya. 15. Wanita-wanita hebat yang selalu menemani penulis dalam berbagai pengalaman dan semangat dalam menjalani proses perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini. 16. Terima kasih juga kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah berjasa dan terlibat dalam penelitian ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang telah membantu menyelesaiakan skripsi ini dengan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Semoga karya penelitian tugas akhir ini dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi banyak pihak demi kemaslahatan bersama serta bernilai ibadah dihadapan Allah SWT. Amin.
Jakarta, Januari 2014 Salam, Muhammad Nabil
viii
DAFTAR ISI LEMBARAN JUDUL LEMBAR PERNYATAAN LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK..………………………………...………………………………….....v KATA PENGANTAR….……………….….……………………………….......vi DAFTAR ISI…..…………………………………...………………………….....ix DAFTAR TABEL….…………..………………………………………………..xi DAFTAR LAMPIRAN….………………...………………………………........xii BAB I
PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah...……………………………………………..1 B. Pertanyaan penelitian……………………………………………...9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………....9 D. Kerangka Pemikiran……………………………………………...10 1. Perspektif Realisme……………………………………………10 2. Teori Kebijakan Luar Negeri………………………………….12 3. Konsep Diplomasi Multilateral...……………………………...13 E. Metode Penelitian………………………………………………...15 F. Sistematika Penulisan…………………………………………….16 BAB II PERKEMBANGAN PROGRAM NUKLIR KOREA UTARA A. Sejarah Perkembangan Program Nuklir Korea Utara……………19 1. Asal Mula Pembangunan Program Nuklir Korea Utara Tahun 1959-1970)…………….……………………………....20 2. Perkembangan Program Nuklir Korea Utara (Tahun 1970-1994)………………………..………………………….22 3. Peluncuran Uji Coba Nuklir Korea Utara……………………..26 B. Krisis Nuklir di Korea Utara dan Upaya Penyelesaiannya……….28 BAB III TUJUAN DAN PERKEMBANGAN SIX PARTY TALKS DALAM MEWUJUDKAN DENUKLIRISASI DI KOREA UTARA A. Sejarah Pembentukan Six Party Talks……………………………….37 B. Tujuan Pendirian dan Perkembangan Six Party Talks…………….43 BAB IV IMPLEMENTASI TUJUAN-TUJUAN SIX PARTY TALKS DALAM MEWUJUDKAN DENUKLIRISASI DI KOREA UTARA ix
A. Pencapaian Six Party Talks dalam Mewujudkan Denuklirisasi di Korea Utara..……………………………………………………..55 1. Pencapaian dalam Six Party Talks………………………………..55 2. Implementasi hasil pencapaian Six Party Talks…………………58 a. Six Party Talks sebagai Sarana Diplomasi dan Negosiasi…………………………………………………59 b. Pembongkaran Program Nuklir Korea Utara…………….60 c. Normalisasi Hubungan antar Anggota Six Party Talks......62 d. Meningkatkan Kerjasama Negara Anggota Six Party Talks dengan Korea Utara………………………………………66 e. Menjaga Perdamaian dan Stabilitas Kawasan Semenanjung Korea ……………………...……………………………..69 B. Faktor Penghambat Six Party Talks dalam Mewujudkan Denuklirisasi di Korea Utara…………………………………….73 1. Konflik Kepentingan (Conflict of Interests)……………………..73 2. Juche Idea dan Songun Policy…………………………………….77 3.Ketiadaan Aturan yang Mengingkat Secara Hukum (Non- Legally Binding)………………………………………………………….80 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………84 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….......xiii LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL Tabel III.B.1
Perkembangan Pertemuan Six Party Talks…………... 50
Tabel IV.A.1
Hasil Pencapaian dalam Six Party TalkS……………. 56
xi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I
Kerangka Persetujuan (Agreed Framework) 1994…..…......... xx
Lampiran II
Pernyataan Bersama (Joint Statement) 19 September 2005.….xxiii
Lampiran III Perjanjian 13 Februari 2007 (Beijing Agreement)…………... xxvi Lampiran IV Perjanjian 3 oktober 2007………………………….………. . xxix Lampiran V
Transkrip Wawancara……………………………...……….. xxxii
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah Energi nuklir pertama kali dibuat percobaan pada 1896 oleh fisikawan Perancis yang digunakan sebagai sumber energi. Semakin meningkatnya permintaan energi setiap negara, maka mendorong negara-negara besar seperti Jerman, Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Perancis, dan Cina untuk mengembangkan sumber energi baru yang dapat menghasilkan energi dalam jumlah besar. Dengan energi nuklir, manusia dapat mengekstrak lebih banyak panas dan listrik dari jumlah yang diberikan dibandingkan sumber lainnnya dengan jumlah yang setara (Herbst 2007, h.128). Dengan kelebihan yang dimiliki energi nuklir, maka membuat negara-negara besar diatas berlomba-lomba memperbaharui energinya dengan mengembangkan energi nuklir untuk keperluan bahan bakar dan pembangkit tenaga nuklir. Akan tetapi, pada Desember 1938 seiring kemajuan teknologi, dua fisikawan Jerman, Otto Hahn dan Fritz Strassman mencoba melakukan percobaan revolusioner dengan melakukan pemisahan atom uranium yang dapat menghasilkan daya ledak. Kemudian Jerman tertarik untuk mengembangkan teknologi senjata daya ledak yang belum dimiliki negara lain ini (Athanasopulos 2000, h.7). Akhirnya teknologi tersebut
1
mampu dikembangkan menjadi sebuah senjata yang kita kenal saat ini sebagai senjata nuklir. Ketika mengetahui Jerman sedang mengembangkan teknologi nuklirnya, maka Amerika Serikat bersama Inggris dan Kanada pada tahun 1942 membangun sebuah proyek bersama pembuatan bom atom untuk melawan proyek bom atom Nazi Jerman yang dikenal sebagai Manhattan Project (Molander dan Nichols 1985, h.33). Setelah Manhattan Project dianggap berhasil, Uni Soviet, Perancis, dan Cina mengikuti langkah yang dilakukan Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada tersebut untuk melindungi negaranya dari berbagai ancaman serangan yang datang dari luar (Ardisasmita dan Bunjamin 2010, h.56) Kepemilikan program nuklir yang dilakukan negara-negara di atas ternyata mendorong negara lain seperti Korea Utara untuk mengembangkan juga program modern tersebut. Pembangunan program nuklir Korea Utara diawali selama kurun waktu enam tahun dari 1959-1965. Pada periode ini, bantuan Uni Soviet sangat membantu dalam pembentukan fasilitas nuklir Yongbyon, karena Uni Soviet membantu secara langsung dalam pembentukan dan pengawasan terhadap fasilitas nuklir tersebut (Niksch 2003, h.6). Kemajuan perkembangan teknologi nuklir yang dimiliki Korea Utara mulai tampak setelah Korea Utara berhasil melakukan penyulingan, konversi, dan memproduksi reaktor nuklirnya secara mandiri pada tahun 1970 (Pinkston 2008, 2
h.47). Hal tersebut membuat Korea Utara percaya diri melakukan tes peluncuran nuklirnya tahun 1998. Uji coba peluncuran nuklir Korea Utara mengundang berbagai kritik negara lain, khususnya negara di kawasan Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, dan Cina karena dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas kawasan Asia Timur yang dapat berujung pada peperangan. Untuk mencegah situasi yang semakin tidak kondusif di Asia Timur, maka dibuatlah sebuah usaha diplomatik. Dalam upaya tersebut, AS sangat berperan dalam mendesak denuklirisasi di Korea Utara, yaitu sebuah proses terwujudnya penghapusan kepemilikan senjata nuklir Korea Utara (Kimball 2012). Usaha diplomatik yang dilakukan adalah memprakarsai perundingan multilateral yang dikenal dengan Six Party Talks pada tahun 2003. Six Party Talks yang dibentuk Agustus 2003 merupakan serangkaian upaya multilateral untuk menggandeng Korea Utara kembali bergabung ke dalam meja perundingan yang melibatkan AS, Rusia, Jepang, Cina, Korea Selatan (Ceuster & Melissen 2008, h.11). Six Party Talks ini bertujuan untuk mengakhiri program nuklir Korea Utara melalui proses negosiasi. Pembicaraan dibangun sebagai respon terhadap pengunduran diri Korea Utara dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir pada Januari 2003 (Gershman 2005). Six Party Talks putaran pertama dimulai pada 27 Agustus 2003 di Beijing yang membahas normalisasi hubungan Korea Utara dengan AS. Dalam pembicaraan 3
putaran pertama ini, Wakil Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi menguraikan enam poin konsensus yang telah disepakati pada akhir pertemuan. Salah satu poin tersebut mewajibkan semua anggota berkomitmen mengatasi isu nuklir secara damai melalui dialog serta menghindari tindakan yang dapat memperburuk situasi (Liang 2012). Pada putaran selanjutnya, sikap Korea Utara mulai melunak dan bersedia berkompromi. Hal ini ditunjukkan dengan penawaran Korea Utara untuk memusnahkan program senjata nuklirnya, tetapi tetap dengan melanjutkan aktivitas program teknologi nuklirnya untuk tujuan damai. Sebagai imbalan, Korea Utara meminta uang ganti rugi untuk proses pembuangan senjata nuklirnya tersebut. Tawaran tersebut dilanjutkan dalam putaran keempat sesi dua pada September 2005, ketika para anggota Six Party Talks merumuskan pernyataan bersama (joint statement) dalam menyetujui langkah terhadap denuklirisasi di Semenanjung Korea (Ceuster & Melissen 2008, h.11). Salah satu isi dari Joint Statement tersebut yaitu memaparkan prinsip-prinsip dan tujuan untuk menyelesaikan masalah nuklir Korea Utara secara damai, dimana masing-masing pihak berjanji akan menghormati kedaulatan masing-masing dan menghindari aksi provokasi yang dapat merusak pembicaraan. Kemudian semua pihak menyetujui untuk memperbaiki hubungan antar semua anggota Six Party Talks, pembongkaran program nuklir Korea Utara, serta kesepakatan pemberian bantuan internasional untuk Korea Utara di bidang energi dan ekonomi (Park dan Kim 2012, h.82). 4
Pencapaian Joint Statement telah membuka harapan baru dalam penyelesaian masalah nuklir Korea Utara. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya ternyata tidak mudah, dimana perundingan sempat memburuk ketika AS menjatuhkan sanksi dengan membekukan rekening milik Korea Utara di Banco Delta Asia (BDA) Macau untuk menghindari pemalsuan dolar oleh Korea Utara (Park dan Kim 2012, h.81). Akibatnya Korea Utara memboikot penyelenggaraan Six Party Talks dan meluncurkan kembali serangkaian tes rudal balistiknya pada 5 Juli 2006 (Ceuster & Melissen 2008, h.46). Uji coba rudal Korea Utara tersebut menyebabkan turunnya resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengecam peluncuran rudal Korea Utara. Pada Februari 2007 Korea Utara berhasil digandeng kembali oleh Cina untuk dapat kembali ke meja perundingan setelah AS menyetujui untuk menghapus Korea Utara dari daftar negara penyokong terorisme dan mencairkan dana Korea Utara di Banco Delta Asia Macau (Ceuster & Melissen 2008, h.47). Pada Februari 2007 anggota Six Party Talks sepakat merumuskan Beijing Agreement sebagai implementasi dari Joint Statement sebelumnya. Salah satu poin dari Beijing Agreement tersebut yaitu normalisasi hubungan antara Korea Utara dengan AS dan Jepang, komitmen Korea Utara untuk meninggalkan dan menonaktifkan fasilitas nuklirnya, kembali bergabung ke dalam Perjanjian NonProliferasi Nuklir (NPT), dan mengizinkan pemeriksaan oleh badan atom dunia (IAEA) (Ceuster & Melissen 2008, h.15)..
5
Pada Juni 2007, secara resmi Badan Atom Dunia (IAEA) mengonfirmasikan bahwa reaktor nuklir Yongbyon telah di nonaktifkan dan ditutup. Korea Utara juga berkomitmen untuk tidak mentransfer bahan nuklirnya. Pada 13 November 2008 Korea Utara menolak proposal yang diajukan AS untuk mengizinkan pemeriksaan seluruh situs nuklir Korea Utara. Selama ini, pemeriksaan hanya dibatasi untuk fasilitas nuklir Yongbyon saja (Ceuster & Melissen 2008, h.32). AS terus mendesak Korea Utara untuk mengizinkan pemeriksaan di luar fasilitas nuklir Yongbyon. Namun, Korea Utara tetap teguh pada penolakannya. Karena tidak adanya mutual understanding antar kedua pihak, maka pertemuan Six Party Talks dihentikan sementara waktu. Hal ini berujung pada krisis nuklir berikutnya ketika Korea Utara melakukan kembali tes uji coba rudal balistiknya pada 5 April 2009. Korea Utara sendiri mengundurkan diri dari Six Party Talks pada 14 April 2009. Setelah pengunduran dirinya, Korea Utara kembali melakukan tes uji coba nuklir bawah tanahnya pada 25 Mei 2009 (Kimball 2012). Setelah pengunduran dirinya dari keanggotaan Six Party Talks, Korea Utara gencar melakukan tes peluncuran beberapa rudal balistiknya. Peluncuran beberapa roket di Semenanjung Korea itu kian mengkhawatirkan negara-negara di sekitarnya seperti Korea Selatan, Cina, dan Jepang. Hingga saat ini Amerika Serikat bersama empat negara anggota Six Party Talks lainnya terus berupaya untuk dapat membawa 6
kembali Korea Utara ke dalam meja perundingan yang sempat terhenti pada tahun 2006. Pembahasan mengenai keamanan di Semenanjung Korea sudah pernah dibahas sebelumnya oleh Timothy S. Reed dalam jurnalnya The Korean Security Dilemma: Shifting Strategies Offer a Way pada 2002. Timothy membahas mengenai pandangannya terhadap permasalahan dilema keamanan (security dilemma) di Semenanjung Korea sejak bergulirnya perang tahun 1950-1953. Amerika Serikat (AS) yang memiliki kepentingan menjaga proliferasi nuklir dunia, ternyata juga memiliki pengaruh besar menjaga keamanan di Semenanjung Korea. AS merasa bahwa Korea Utara merupakan ancaman serius bagi masa depan keamanan di kawasan Semenanjung Korea. Dalam menghadapi ancaman Korut tersebut, jika dilihat dari sudut pandang Realis, AS akan tetap mengedepankan opsi militer apabila Korut menyerang Korea Selatan yang merupakan sekutu AS dan sangat menggantungkan keamanannya kepada AS. Telah terdapat penelitian yang membahas mengenai Krisis Nuklir Korea Utara. Aditia Harisasongko dalam skripsinya yang berjudul “Diplomasi Amerika Serikat terhadap Korea Utara dalam Upaya Menyelesaikan Krisis Nuklir di Semenanjung Korea (1994-2007)” menjelaskan secara umum mengenai diplomasi Amerika dalam menangani krisis nukllir Korea selama pemerintahan Clinton dan Bush. 7
Dalam skripsinya tersebut dijelaskan bahwa terdapat dua perbedaan mendasar mengenai
kebijakan
dalam
menangani
krisis
tersebut.
Clinton
cenderung
menggunakan hubungan bilateral dengan pendekatan halus. Sementara itu, Bush cenderung menggunakan forum multilateral yang digabungkan dengan pendekatan keras seperti sanksi ekonomi, pembekuan aset Korea Utara, hingga ancaman militer. Namun, walaupun terdapat perbedaan gaya, keduanya tetap memberikan kompensasi ketika Korea Utara bersedia menutup fasilitas nuklirnya. Sedangkan
Fina
dalam
skripsinya
uang
berjudul
“Upaya
Menuju
Denuklirisasi Korea Utara Oleh Negara Anggota Six Party tahun 2006-2009” menjelaskan secara umum mengenai peranan Six Party Talks periode 2006-2009. Dalam penelitiannya, ia menggunakan pendekatan teori resolusi konflik, dimana mediasi menjadi salah satu cara efektif dalam menyelesaikan konflik secara damai. Fina juga menganalisa bahwa nuklir yang dikembangkan Korea Utara akan membuat Korea Utara lebih kuat dari Korea Selatan dan memberikan jaminan keamanan bagi Korea Utara yang selama ini tidak ditawarkan oleh negara manapun dalam komunitas internasional. Selain itu, pengembangan nuklir tersebut untuk menangkal serangan AS dan memperkecil ketergantungan Korea Utara terhadap Cina dan Uni Soviet. Berdasarkan penelitian sebelumnya, pembahasan umumnya dilakukan mengenai konflik di Semenanjung Korea. Namun belum ada penelitian yang secara 8
khusus menjelaskan mengenai pencapaian dalam Six Party Talks periode 2003-2009 dan hambatan-hambatan yang dihadapai selama pembicaraan berlangsung. Untuk itu penelitian ini akan difokuskan mengenai apa saja pencapaian yang telah didapat dalam diplomasi multilateral Six Party Talks terhadap denuklirisasi Korea Utara periode 2003-2009 dengan menggunakan pendekatan Realisme, teori kebijakan luar negeri, dan konsep diplomasi multilateral. Pemilihan periode 2003-2009 dikarenakan Korea Utara mulai menjadi anggota Six Party Talks pada 2003 dan menyatakan pengunduran dirinya dari keanggotaan Six Party Talks tahun 2009. B. Pertanyaan Penelitian 1. Apa pencapaian Six Party Talks dalam mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara periode 2003-2009? 2. Apa faktor-faktor yang menghambat Six Party Talks dalam mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Dengan mengetahui pencapaian Six Party Talks, maka dapat memberikan gambaran mengenai kontribusi yang telah dihasilkan Six Party Talks dalam mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara periode 2003-2009. 2. Menganalisa faktor-faktor penghambat Six Party Talks dalam denuklirisasi di Korea Utara. 3. Mengetahui peranan diplomasi Six Party Talks dalam mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara periode 2003-2009. 9
4. Sebagai penambah wawasan bagi mahasiswa Hubungan Internasional, khususnya mengenai peranan sebuah diplomasi multilateral. D. Kerangka Pemikiran Dalam menjawab pertanyaan penelitian di atas, maka penelitian ini menggunakan perspektif Realisme, teori kebijakan luar negeri, dan konsep diplomasi multilateral. 1. Perspektif Realisme Dalam perspektif Realisme, negara memiliki karakteristik yang sama dengan manusia. Dalam level internasional, negara direpresentasikan oleh States Men. Oleh karenanya, negara merupakan aktor utama dalam Hubungan Internasional. Politik domestik merefleksikan politik internasional. Asumsi dasar Realisme sebagaimana yang dikemukakan Morgenthau, bahwa dasar dari hubungan internasional yaitu struktur yang anarki, yang membuat posisi negara menjadi sejajar dalam struktur internasional (Burchill & Linklater 1996, h.104). Negara juga bersifat egois, self help, dan kompetitif dalam mencari jaminan keamanan. Sifat negara yang kompetitif tersebut menciptakan pertarungan power untuk survival, yang merupakan national interest masing-masing dalam hubungan internasional. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat menjamin keamanan setiap negara, sehingga setiap negara mencoba untuk meningkatkan power agar dapat bertahan dari serangan negara lain (Burchill & Linklater 1996, h.100).
10
Struktur yang anarki membuat setiap negara merasa terancam dari negara lainnya. Dalam keadaan anarki, setiap negara harus menolong dirinya sendiri (self help). Negara tidak dapat percaya begitu saja pada negara lain, sehingga setiap negara harus mencari cara sendiri untuk dapat bertahan, terutama meningkatkan kekuatan militernya (Hara 2011, h.36). Jackson dan Sorensen (Suryadipura, terjemah 2005, h.112) menambahkan bahwa kompetisi yang anarki tersebut menyebabkan adanya distribusi kapabilitas. Dengan adanya distribusi kapabilitas ini, struktur bersandar pada major units yaitu great power. Oleh karena itu, setiap negara percaya bahwa semakin besar power negara, maka akan semakin besar potensinya memenuhi kepentingan nasional negaranya. Konsep kepentingan nasional sangat penting untuk menjelaskan dan memahami perilaku internasional. Konsep kepentingan nasional merupakan dasar untuk menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara (Perwita & Yani 2005, h.35). Menurut Morgenthau (1948, h.5), kepentingan nasional merupakan kemampuan minimum negara untuk melindungi dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan budaya dari gangguan negara lain. Menurutnya, kepentingan nasional sama dengan usaha negara untuk mengejar power, dimana power adalah segala sesuatu yang bisa mengembangkan dan memelihara kontrol suatu negara terhadap negara lain.
11
2. Teori Kebijakan Luar Negeri Politik Luar negeri suatu negara menentukan interaksi antarnegara dalam menentukan hubungannya dengan negara lain. Dalam mempelajari politik luar negeri, pengertian dasar yang harus kita ketahui yaitu politik luar negeri itu pada dasarnya merupakan “action theory”, atau kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Secara umum politik luar negeri (foreign policy) merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah, serta sasaran, untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dalam ruang lingkup dunia internasional (Perwita & Yani 2005, h.47). Oleh karena itu kebijakan luar negeri (foreign policy) suatu negara merupakan elemen yang sangat penting dalam upaya pencapaian kepentingan nasional suatu negara. Holsti menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri adalah ide atau gagasan atau tindakan yang dirumuskan oleh pembuat keputusan untuk menyelesaikan suatu masalah, melakukan perubahan dalam kebijakan, sikap atau tindakan suatu negara, aktor non-negara atau lingkungan dunia (1992, h.82). Faktor-faktor eksternal mempengaruhi substansi kebijakan luar negeri yang meliputi kondisi perekonomian dunia, struktur sistem internasional, kebijakan dan tindakan negara lain, hukum internasional, masalah global dan regional yang muncul dari kegiatan individual, serta opini global (Holsti 1992, h.271-288). Sementara itu, faktor-faktor internal yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara yaitu kebutuhan sosio-ekonomi dan keamanan, struktur 12
pemerintahan, letak geografis, opini publik, pertimbangan etis, serta birokrasi (Holsti 1992, h.271-274). Holsti dalam bukunya
International Politics : A Framework of Analysis
(1992, h.98) menyebutkan bahwa: Orientasi dasar politik luar negeri ada tiga. Pertama disebut isolasi dimana untuk menjaga kepentingannya, negara memilih membatasi hubungannya dengan negara lain. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Korea Utara dalam setiap kebijakan luar negerinya. Kedua yaitu nonalignment atau non-blok dan sering juga disamakan dengan netralitas. Ketiga yaitu pembuatan koalisi dan pembangunan aliansi. Berbeda dengan isolasi, orientasi yang ketiga ini berangkat dari ketidakmampuan negara, baik dalam pertahanan maupun ekonomi, untuk berdiri sendiri. Jadi karena itulah mereka berusaha melakukan koalisi diplomatik dan melakukan aliansi militer untuk melinduungi pertahanan negaranya. Kebijakan luar negeri suatu negara akan mempengaruhi hubungan antarnegara. Kebijakan luar negeri tersebut mencerminkan kepentingan dalam negeri nya yang akan dipromosikan ke luar negeri. Dengan kata lain kebijakan luar negeri suatu negara merupakan bagian dari politik dalam negerinya dan oleh karenanya kebijakan luar negeri dan politik dalam negeri memiliki tujuan yang sama (Dipoyudo 1989, h.47). 3. Konsep Diplomasi Multilateral Instrumen dalam menjalankan suatu kebijakan luar negeri yaitu dapat berupa dengan melakukan suatu diplomasi. Kebijakan luar negeri mempengaruhi kegiatan diplomasi bagi negara-negara yang melakukannya. Maka diplomasi yang dilakukan negara-negara harus selalu sejalan dengan kebijakan luar negeri untuk mencapai kepentingan nasional sebuah negara. Menurut Bandoro (1991, h.47) ada dua elemen 13
dasar yang menyebabkan negara-negara melakukan diplomasi yakni adanya kepentingan bersama (common interest) dan adanya isu yang dipersengketakan (issues of conflict). Hannah Slavik mendefinisikan istilah diplomasi sebagai sebuah seni dari praktek negosiasi yang dilakukan oleh wakil negara (2007, h.188). Adapun wakil negara yang dimaksud dapat berarti pejabat senior, menteri, kepala pemerintahan, diplomat, atau kedutaan besar. Pertemuan yang dilakukan antar wakil-wakil negara satu dengan wakil negara lainnya bertujuan untuk merundingkan suatu permasalahan agar dapat mencapai hasil yang bisa diterima oleh semua pihak. Berdasarkan aktornya, diplomasi ada yang bersifat bilateral (dua negara), regional (negara-negara kawasan), dan multilateral (banyak negara). Maka dalam penelitian ini terjadi diplomasi multilateral yang melibatkan banyak negara. Diplomasi multilateral dapat didefinisikan sebagai negosiasi dan diskusi yang memungkinkan tindakan kolektif dan kerjasama antar negara ataupun aktor nonnegara (Langhorne 2000). Pada dasarnya diplomasi multilateral merupakan diplomasi yang dilakukan oleh lebih dari dua negara. Diplomasi multilateral ini berhasil menjadi cara yang paling bermanfaat untuk meningkatkan negosiasi antara banyak pihak, selain sebagai pendorong diplomasi bilateral (Djelantik 2008, h.142). Poin ini mengandung dua aspek, pertama diplomasi multilateral memberi kesempatan untuk membahas masalah-masalah di luar agenda formal dan yang menjadi perhatian bersama. Kedua, 14
mediator yang memiliki kekuasaan penuh dapat menyelenggarakan konferensi multilateral sebagai upaya memulai negosiasi bilateral untuk membahas masalah mendasar yang sebelumnya diselenggarakan di tempat lain . Dalam diplomasi multilateral, komunikasi dilakukan secara verbal melalui diskusi dan perdebatan. Diplomasi semacam ini ditandai dengan adanya beragam masalah yang akan dibahas, ruang lingkup yang lebih luas, dan jumlah negara yang hadir (Rumintang 2008, h.31). Diplomasi multilateral memiliki berbagai keuntungan. Pertama, kemungkinan mengkonsolidasikan perpecahan. Suatu masalah dapat tetap diamati terus menerus. Kedua, memunculkan sebuah lobby untuk menyelesaikan masalah.Selanjutnya, negara-negara yang membutuhkan dapat diberikan bantuan teknis (Djelantik 2008, h.142). E. Metode Penelitian Metode dalam suatu penelitian dibutuhkan untuk menganalisis suatu kasus yang diangkat dalam penelitian. Hal ini bertujuan untuk memunculkan suatu hubungan antara fenomena dengan kesimpulan yang diambil. Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti (Taylor dan Bogdan dikutip Suyanto 2004, h.166). Penelitian kualitatif digunakan untuk memahami fenomena tentang hal yang diteliti seperti perilaku, motivasi, tindakan, 15
yang secara utuh dan akan dijelaskan secara deskripsi dalam bentuk kata-kata (Moleong 1988, h.6). Proses penyusunan dilaksanakan melalui beberapa langkah. Pertama, metode pengumpulan data. Sumber pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek yang diteliti (responden), seperti wawancara dengan salah satu ahli isu nuklir Korea Utara dan Six Party Talks (Moleong 1988, h.18). Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung, melalui dokumentasi seperti buku, koran, jurnal, artikel, laporan resmi, arsip-arsip, dan data dari situs internet lembaga resmi atau institusi. Kedua, setelah data terkumpul, lalu diadakan pemisahan terhadap data tersebut dengan mengklasifikasikannya. Dalam tahap ini, maka akan dipilih data sedemikian rupa sehingga hanya data yang berkaitan saja yang digunakan. Ketiga, pertanyaan penelitian akan dianalisa sesuai dengan kerangka pemikiran. Setelah tahap-tahap sebagaimana telah diuraikan tersebut, maka langkah selanjutnya adalah menyusun laporan. F. Sistematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN G. Pernyataan Masalah H. Pertanyaan penelitian 16
I. Tujuan dan Manfaat Penelitian J. Kerangka Pemikiran 1. Perspektif Realisme 2. Teori Kebijakan Luar Negeri 3. Konsep Diplomasi Multilateral K. Metode Penelitian L. Sistematika Penulisan BAB II PERKEMBANGAN PROGRAM NUKLIR KOREA UTARA B. Sejarah Perkembangan Program Nuklir Korea Utara 1. Asal Mula Pembangunan Program Nuklir Korea Utara (Tahun 1959-1970) 2. Perkembangan Program Nuklir Korea Utara (Tahun 1970- 1994) 3. Peluncuran Uji Coba Nuklir Korea Utara B. Krisis Nuklir di Korea Utara dan Upaya Penyelesaiannya
BAB III TUJUAN DAN PERKEMBANGAN SIX PARTY TALKS DALAM MEWUJUDKAN DENUKLIRISASI DI KOREA UTARA C. Sejarah Pembentukan Six Party Talks D. Tujuan Pendirian dan Perkembangan Six Party Talks BAB IV IMPLEMENTASI TUJUAN-TUJUAN SIX PARTY TALKS DALAM MEWUJUDKAN DENUKLIRISASI DI KOREA UTARA A. Pencapaian Six Party Talks dalam Mewujudkan Denuklirisasi di Korea Utara. 1. Pencapaian Six Party Talks 2. Implementasi hasil pencapaian Six Party Talks a. Six Party Talks sebagai Sarana Diplomasi dan Negosiasi 17
b. Pembongkaran Program Nuklir Korea Utara c. Normalisasi Hubungan antar Anggota Six Party Talks d. Meningkatkan Kerjasama Negara Anggota Six Party Talks dengan Korea Utara e. Menjaga Perdamaian dan Stabilitas Kawasan Semenanjung Korea B. Faktor
Penghambat
Six
Party
Talks
dalam
Mewujudkan
Denuklirisasi di Korea Utara 1. Konflik Kepentingan (Conflict of Interests) 2. Juche Idea dan Songun Policy 3. Ketiadaan Aturan yang Mengikat secara Hukum (Non- Legally Binding) BAB V PENUTUP A. Kesimpulan
18
BAB II PERKEMBANGAN PROGRAM NUKLIR KOREA UTARA A. Sejarah Perkembangan Program Nuklir Korea Utara Perkembangan teknologi nuklir Korea Utara berawal sejak berakhirnya Perang Korea (1950-1953), sebuah perang yang digambarkan sebagai “Proxy War” pertama atau perang yang terjadi antara dua negara yang menggunakan pihak ketiga sebagai pengganti untuk berperang satu sama lain secara langsung pada masa Perang Dingin (Powell 1990, h.12). Keberpihakan Korea Utara dengan Blok Timur, membuat Korea merasa terancam dari serangan nuklir yang dilancarkan Amerika Serikat (AS). Ancaman tersebut memaksa Pyongyang untuk mengembangkan teknologi nuklir secara reaksioner (Pinkston 2008, h.5). Michael J. Mazaar dalam bukunya North Korean and The Bomb: A Case Study in Nonproliferation (1995, h.19) lebih jauh menjelaskan bahwa terdapat lima motif dasar pengembangan nuklir Korea Utara seiring perjalanan waktu, yaitu: (1) Kebutuhan pentingnya memiliki senjata nuklir untuk melawan ancaman nuklir AS. (2) Untuk mendapatkan jaminan keamanan menyusul keunggulan konvensional Korea Selatan (3) Sebuah cara untuk memperoleh pengaruh diplomatik dari negara lain (4) Untuk mempromosikan pencapaian ilmiah dalam rangka mencari pengakuan internasional sehingga memperkuat legitimasi sebelum terjadi peralihan kekuasaan
19
dari Kim Sung Il kepada Kim Jong Il (5) Untuk mengurangi ketergantungan pada Cina dan Rusia. Pendapat Mazaar di atas berbeda dengan pengakuan Korea Utara, sebagaimana yang disampaikan dalam pidato Kim Jong Un di depan petinggi partai pekerja Korea Utara menjelaskan bahwa motif pengembangan nuklir Korea Utara dilandasi oleh beberapa poin yaitu: (1) Terinspirasi oleh gagasan Juche dan Songun dimana militer memiliki prioritas khusus. Salah satu prioritas tersebut diantaranya bahwa senjata merupakan garis hidup negara dan sumber kemenangan revolusi. (2) Adanya ancaman serangan militer dan bom atom dari negara lain. (3) Memepertahankan warisan penting para leluhur berupa partai dan rakyat yang tidak terkalahkan serta terciptanya tentara revolusioner yang kuat (Foreign Languange Publishing House 2012). Dalam menjelaskan secara rinci perkembangan program nuklir Korea Utara dari masa ke masa, maka penjelasan akan dibagi ke dalam beberapa fase, yaitu: 1. Asal Mula Pembangunan Program Nuklir Korea Utara (Tahun 19591970) Sebelum mengembangkan program nuklirnya lebih jauh, Korea Utara pada awalnya membiayai tambang uranium yang diperkirakan memanfaatkan empat juta ton bijih uranium berkualitas tinggi. Bijih uranium tersebut diperkirakan dapat diekstrak lebih banyak dari jumlah yang dihasilkan. Atas melimpahnya potensi
20
sumber daya alam yang dimiliki dan kebutuhan energi Korea Utara, maka mendorong Korea Utara untuk mencoba mengembangkan program nuklir (Pinkston 2008, h.15). Program nuklir Korea Utara dibangun atas bantuan Uni Soviet. Kedua negara menandatangani sebuah perjanjian kerjasama nuklir pada 1959. Lebih dari 30 tahun selanjutnya, Moskow membantu Pyongyang dengan memberikan pelatihan dan pemanfaatan energi dalam mengembangkan dasar teknologi nuklirnya. Bantuan yang diberikan Uni Soviet tersebut merupakan bentuk pemberian bantuan selama berlangsungnya Perang Dingin. Dalam perjanjian tersebut, memungkinkan dilakukan berbagai pertukaran proyek, teknis dan ilmiah. Termasuk pembangunan Pusat Penelitian Nuklir Yongbyon, pelatihan teknisi Korea Utara, dan peninjauan teknis untuk penggunaan nuklir (Mazaar 1995, h.21). Pelatihan teknisi Korea Utara oleh Soviet dilaporkan telah dimulai beberapa tahun sebelum 1959. Bantuan Soviet tersebut tidak secara spesifik berniat membantu perkembangan program senjata nuklir, akan tetapi memperbolehkan Pyongyang memiliki teknologi dasar yang dibutuhkan untuk memproduksi dan pemisahan plutonium. Untuk itu, pada tahap awal pembangunan program nuklir Korea Utara, Soviet fokus pada pada pelatihan dan penilitian sampai pada tahap transfer teknologi (Albright dan Kevin 2000). Sebuah reaktor riset Soviet IRT-2M dipasang di pusat penelitian Yongbyon pada 1965. Reaktor IRT-2M tersebut didesain untuk menjadi acuan dasar penelitian nuklir Korea Utara yang menghasilkan sejumlah kecil isotop dari hasil radiasi dalam 21
IRT-2M. Reaktor IRT-2M memiliki kekuatan 2 Mega Watt (MW). Namun dalam perkembangannya, kekuatan IRT-2M ini ternyata mampu dikembangkan menjadi 4MW hingga 8MW. Selama tahun 1965-1970, sepuluh persen pengayaan bahan bakar untuk kebutuhan energi di Korea Utara dihasilkan dari reaktor IRT-2M (Kristensen 2006). Para ahli nuklir Soviet terlibat langsung dalam membantu pembangunan sebuah fasilitas situs nuklir bawah tanah untuk menyimpan pembuangan radio aktif dari hasil isotop. Walaupun reaktor IRT-2M dan laboratorium radiokimia ditujukan untuk penelitian nuklir dasar dan produksi isotop, bahan-bahan serta peralatannya juga disediakan untuk Korea Utara sebagai sarana untuk melakukan percobaan dengan membuat dan mengekstrak sejumlah kecil plutonium. (Kristensen 2006). Dibawah kerangka perjanjian Uni Soviet-Korea Utara tahun 1959, Soviet telah melatih lebih dari 300 insinyur dan fisikawan Korea Utara di lembaga Soviet. Termasuk Institut Bersama Penelitian Nuklir di Dubna dan Sekolah Tinggi Teknik Bauman. Sementara itu, berdasarkan survey geologi yang dilakukan Uni Soviet, bahwa Korea Utara memiliki banyak simpanan bijih uranium dan grafit yang kemudian dikembangkan Pyongyang untuk membentuk blok bangunan program pembuatan plutonium (Park dan Kim 2012 h.132). 2. Perkembangan Program Nuklir Korea Utara (Tahun 1970-1994) Pada tahun 1970an Korea Utara mencapai teknologi nuklir tercanggihnya, terutama di bidang penyulingan, konversi, dan produksi. Ilmuwan Korea Utara 22
berhasil memodernisasi reaktor riset Soviet IRT-2M yang memiliki standar yang sama dengan Uni Soviet dan negara-negara maju lainnya. Selanjutnya teknisi Korea Utara mampu menghasilkan reaktor nuklir yang akhirnya menjadi inti dari program nuklir Korea Utara (Mazaar 1995, h.23). Pada fase ini, Korea Utara telah mampu melakukan penambangan dan penggilingan uranium secara mandiri, pengubahan uranium, serta pengolahan bahan bakar. Korea Utara juga mampu mengelola pabrik serta laboratorium radiokimia (Mazaar 1995, h.24). Korea Utara mulai melakukan penambangan uranium dalam skala besar di berbagai lokasi dekat Sunchon dan Pyongsan pada awal tahun 1970. Bijih mentah uranium dikirim ke pabrik penggilingan uranium di Pakchon dan Pyongsan. Dalam proses ini, bijih uranium tersebut dihancurkan dan diproses secara kimia untuk menghasilkan U3O8 yang kemudian dikirim ke pusat penelitian nuklir Yongbyon untuk diproses lebih lanjut sehingga menghasilkan bahan bakar reaktor nuklir. Biasanya satu ton bijih uranium Korea Utara mengandung sekitar satu kilogram uranium, yang berarti bahwa sekitar 50.000 ton bijih harus ditambang dan diproses untuk memperoleh 50 ton uranium alam yang dibutuhkan untuk bahan bakar reaktor nuklir (Bermudez 1999, h.4). Pada akhir 1970, Korea Utara telah menerima bahan pembuatan rudal kapal dan rudal udara dari Cina, disamping Pyongyang juga mencari bahan untuk membangun sendiri programnya dari negara lain. Pada September 1971, Korea Utara menandatangani perjanjian dengan Cina untuk memperoleh, mengembangkan, dan 23
memproduksi rudal balistik. Akan tetapi, kerjasama bilateral tersebut tidak juga dimulai hingga tahun 1977 ketika insinyur Korea Utara berpartisipasi dalam program pengembangan untuk DF-61 yang menjadi asal mula perkembangan bahan bakar rudal balistik Korea Utara dengan jarak sekitar 600km. Kemudian program ini dibatalkan pada tahun 1978 karena alasan politik dalam negeri Cina (Bermudez 1999, h. 4). Pengubahan uranium serta pengolahan bahan bakar fasilitas nuklir di Yongbyon dirancang menghasilkan bahan bakar untuk seluruh reaktor grafit yang sedang dalam pembangunan di Korea Utara selama tahun 1980. Konstruksi reaktor grafit tersebut dimulai tahun 1980 dan mulai mendapatkan kritikan dari PBB pada Agustus 1985. Reaktor ini mulai dioperasikan pada tahun 1986-1994 hingga reaktor tersebut ditutup berdasarkan Kerangka Persetujuan antara AS dan Korea Utara (Bermudez 1999, h.5). Pada tahun 1980, Korea Utara meluncurkan program nasional terpadu untuk membangun serangkaian fasilitas skala industri yang mampu memproduksi sejumlah besar plutonium untuk program senjata nuklir, disamping untuk industri tenaga nuklir negara tersebut. Program senjata nuklir Korea Utara dikembangkan kembali pada tahun 1980. Pada 1980an Korea Utara sangat fokus pada praktik penggunaan energi nuklir dan penyelesaian sistem perkembangan senjata nuklir (Pinkston 2008, h.18). Korea Utara juga mulai mengoperasikan fasilitas untuk pembuatan uranium dan pengkonversiannya. Pada fase ini, Korea Utara memulai pembangunan reaktor 24
nuklir MWe 200 dan fasilitas pemrosesan ulang nuklir di Yongbyon dan Taechon (Kimball 2012). Kemudian Korea Utara melakukan tes peledakan ledak tinggi. Sejak pertengahan 1980, Korea Utara memang telah melakukan serangkaian tes daya ledak tinggi yang berkaitan dengan pengembangan sistem ledakan senjata nuklir (Russian Federation Foreign Intelligence Service, 1995). Pada akhir tahun 1980, Korea Utara memulai pembangunan reaktor 50MW berskala besar di Taechon berbasis teknologi yang hampir sama dengan reaktor sebelumnya. Keunggulan reaktor tersebut yaitu memiliki model yang sama dengan reaktor G2 yang dimiliki Perancis. Reaktor ini mampu menghasilkan lebih dari 220kg plutonium sekelas senjata setiap tahunnya jika beroperasi penuh selama 300 hari per tahun (Dreicer 2000). Pada tahun 1984, Korea Utara telah memproduksi Hwasong-5 yang diketahui memiliki jangkauan 320km. Perbaikan dalam sistem propulsi rudal membuat Hwasong-5 menjadi lebih unggul dibanding pendahulunya. Pada tahun yang sama, Korea Utara juga menambah pembangunan sebuah pabrik pengolahan skala industri untuk memisahkan plutonium dari bahan bakar nuklir di pusat penelitian nuklir Yongbyon. Pengoperasian pabrik ini berdasarkan proses ekstraksi uranium plutonium, yaitu sebuah prosedur standar penggunaan secara luas dalam industri nuklir, dimana uranium dan plutonium dipisahkan dari limbah nuklir dan kemudian satu sama lain dipisahkan melalui serangkaian proses kimia (Pinkston 2008, h.22).
25
Korea Utara juga mencoba menambahkan reaktor terbesar di Yongbyon yang pembangunannya dimulai akhir tahun 1984. Pembangunan reaktor tersebut menggunakan bahan dasar dan teknologi yang sama dengan reaktor 5MW sebelumnya. Walaupun secara konsep sama dengan reaktor G2 milik Perancis, namun proses dan cara pengoperasiannya berbeda. Reaktor ini hanya mampu menghasilkan 55kg plutonium (Dreicer 2000). Korea Utara melaporkan memulai pengembangan Nodong pada tahun 1989. Sebagian besar literatur menegaskan bahwa Nodong tersebut dirancang dan dikembangkan oleh para insinyur Korea Utara dengan sedikit bantuan asing. Perkembangan pesat ini tanpa adanya uji coba yang signifikan selain penyebaran teknologi tersebut dan ekspor sistem teknologi dari Uni Soviet ke Korea Utara (Bermudez 1999, h.20). 3. Peluncuran Uji Coba Nuklir Korea Utara Pembangunan dan perkembangan nuklir Korea Utara yang telah dibangun sejak 1959, mendorong Korea Utara untuk melakukan peluncuran uji coba program nuklir yang selama ini dikekembangkan negara tersebut. Pada 1998 Korea Utara berhasil mengembangkan misil Nodong dengan perkiraan jangkauan jelajah sejauh 900mil yang mampu mencakup wilayah Jepang dan Korea Selatan. Korea Utara dilaporkan mengerahkan produksi hampir 100 rudal Nodong pada tahun 2003 (Niksch 2003 h.6).
26
Untuk itu, pada 31 Agustus 1998 pertama kalinya Korea Utara meluncurkan sebuah roket tiga tingkatan, yang merupakan bentuk dasar dari roket Taepodong-1. Ketiga tingkatan roket tersebut rupanya merupakan usaha Korea Utara untuk meluncurkan sebuah satelit. Roket Taepodong-1 memiliki jarak jelajah 1.5002.000km yang mampu mencapai Alaska, dan sempat terbang diatas perairan Jepang. Pyongyang mengumumkan bahwa roketnya tersebut berhasil ditempatkan pada sebuah satelit dalam orbit (Niksch 2003 h.6). Merasa belum puas dengan uji coba nuklir pertamanya, Korea Utara kembali melakukan uji coba pada 5 Juli 2006 dengan menembakkan tujuh roket, termasuk roket terpanjang, Taepo Dong-2. Keenam roket lainnya termasuk gabungan dari roket jarak pendek dan menengah, Scud-C dan roket Nodong. Ketujuh roket tersebut diluncurkan dari tempat uji coba Kittaraeyong. Walaupun uji coba roket jarak pendek Korea Utara tersebut terlihat sukses, akan tetapi roket Taepo Dong-2 gagal meluncur dan jatuh kurang dari satu menit setelah peluncuran (Andrea 2006). Korea Utara melakukan peluncuran nuklir selanjutnya pada 5 April 2009 dengan meluncurkan roket Unha-2. Roket tersebut diyakini menjadi versi modifikasi dari rudal balistik jarak jauh Taepo Dong-2 yang membawa misi penempatan satelit Kwangmyongsong-2 ke dalam orbit (KCNA 2009). Walaupun Korea Utara menyatakan roket tersebut menempati sebuah satelit dalam orbit, Komando AS melaporkan bahwa roket tingkat pertama mendarat di laut Jepang dan sisanya jatuh di lautan pasifik (Kimball 2012). 27
Berbagai aksi peluncuran uji coba nuklir didukung oleh rezim Kim Jong Il yang sudah pasti dapat meningkatkan perhatian dunia terhadap Korea Utara. Hal terebut tentu saja mengundang kritik dan sanksi yang sangat keras dari PBB. Aksi ini dinilai sebagai tindakan provokatif yang melanggar moratorium sukarela Korea Utara dalam uji coba peluncuran rudal jarak jauh. Peluncuran beberapa roket di Semenanjung Korea itu kian mengkhawatirkan beberapa negara di kawasan karena dikhawatirkan mengganggu stabilitas keamanan regional yang dapat berujung pada konflik antar kedua Korea. Ketegangan antara kedua negara Korea tersebut menimbulkan dibentuknya zona demiliterisasi. Akan tetapi, pengaturan latihan militer bersama antara AS dan Korea Selatan ternyata semakin menambah masalah baru di kawasan tersebut (Branigan, 2010). B. Krisis Nuklir di Korea Utara dan Upaya Penyelesaiannya Keberhasilan Korea Utara dalam pengembangan nuklir, akhirnya tertangkap mata dunia internasional. Sehingga pada 1977 Korea Utara menandatangani perjanjian dengan Badan Energi dan Atom Internasional (IAEA) yang mengizinkan IAEA melakukan pemeriksaan terhadap reaktor riset yang dibangun atas bantuan Uni Soviet tersebut (Ceuster dan Melissen 2008, h.9). Atas desakan dunia Internasional dan meningkatnya laporan intelijen AS mengenai pembangunan reaktor nuklir di negara tersebut, maka Pyongyang juga terpaksa mengabulkan Perjanjian Non-proliferasi Nuklir (NPT) pada 12 Desember 28
1985. NPT merupakan suatu perjanjian yang membatasi kepemilikan senjata nuklir. Dengan masuknya Korea Utara ke dalam NPT, maka mewajibkan Korea Utara melakukan proses denuklirisasi, yaitu proses terwujudnya penghapusan kepemilikan senjata nuklir (Kimball 2012). Pada tahun 1992, ketika pemeriksa IAEA pertama kalinya diizinkan mengakses reaktor, Pyongyang mengklaim bahwa reaktor mengalami kesulitan dalam menghidupkan
reaktor
dan
mengalami
kesulitan
kontrol
yang
mencegah
pengoperasian daya secara penuh dan mengakibatkan mesin sering mati selama beberapa tahun pertama beroperasi (Pinkston 2008, h.24). Sebelum tahun 1992, Korea Utara melakukan uji coba pengembangan terkait nuklir ledak tinggi di Pusat Penelitian Nuklir Yongbyon. Hal ini sebagaimana laporkan Komite Keamanan Rusia pada 22 Februari 1990 yang dibocorkan kepada media Rusia pada Maret 1992. Badan intelijen Soviet telah menyimpulkan bahwa Korea Utara telah berhasil mengembangkan bom nuklir di Pusat Penelitian Nuklir Yongbyon (Badan Intelijen Rusia, 1995). Padahal selama kunjungan inspeksi IAEA terhadap situs ini pada 1992, IAEA tidak menemukan bukti bahan nuklir. Selanjutnya, IAEA terus berusaha mengakses dua terduga situs pembuangan untuk menentukan apakah limbah radioaktif yang diproduksi oleh aktivitas pemrosesan ulang yang tidak dilaporkan kepada IAEA disimpan di lokasi tersebut atau tidak. Pada September 1992, pengawas IAEA diizinkan untuk mengunjungi bangunan yang menjadi pusat pembuatan kendaraan militer Korea Utara (Mazaar 29
1995, h.79). Korea Utara menyatakan bahwa bangunan tersebut tidak memiliki ruang bawah tanah. Setelah Korea Utara berulang kali menolak tuntutan untuk pemeriksaan yang lebih luas, IAEA tetap meminta izin dilakukan pemeriksaan khusus pada Februari 1993 di situs yang diduga menjadi pembuangan uranium (Mazaar 1995, h.81). Keikutsertaan Korea Utara dalam perjanjian NPT, ternyata tidak membuka jalan bagi terciptanya hubungan diplomatik yang lebih harmonis antara Korea Utara dan dunia internasional pada dekade berikutnya. Korea Utara berulang kali menjelaskan bahwa situs yang selama ini dicuriggai IAEA merupakan sebuah fasilitas militer non-nuklir diluar jangkauan pemeriksaan IAEA. Karena IAEA terus menerus mendesak, maka Pyongyang menanggapi desakan IAEA tersebut dengan mengajukan pengunduran diri dari Perjanjian Non-proliferasi Nuklir pada Maret 1993 (Kimball 2012). Penolakan Korea Utara untuk bekerjasama dengan IAEA serta laporan jumlah produksi plutonium Korea Utara hingga pada mundurnya Korea Utara dari NPT tahun 1993 menyebabkan krisis nuklir yang terjadi tahun 1993-1994 (Mazaar 1995, h.102). Untuk mengakhiri krisis tersebut, maka pada 11 Mei 1993, Majelis Umum PBB segera mengeluarkan resolusi yang menghimbau Korea Utara untuk bekerjasama dengan IAEA dan mengimplementasikan persetujuan denuklirisasi. Resolusi itu juga menghimbau semua pihak mendorong Korea Utara untuk
30
menanggapi resolusi ini dan memfasilitasi penyelesaiannya (Ceuster dan Melissen 2008, h.10). Amerika Serikat kemudian segera mengambil langkah cepat untuk menanggapi resolusi tersebut dan mencoba meredakan krisis nuklir yang terjadi. Amerika Serikat menggelar pembicaraan tingkat politik bersama Korea Utara pada awal Juni 1993. Pembicaraan tersebut menjadi asal mula perumusan “Agreed Framework” yang menjadi prinsip dasar untuk melanjutkan dialog AS-Korut. Akhirnya berkat pembicaraan tersebut, Korea Utara menunda pengunduran dirinya dari NPT (Niksch 2003 h.6). Kemudian pembicaraan putaran kedua dilanjutkan pada 14-19 Juli 1993 di Geneva. Pembicaraan tersebut menentukan pedoman untuk menyelesaikan masalah nuklir, meningkatkan hubungan AS-Korut, dan memulai kembali pembicaraan kedua Korea. Namun, negosiasi ini menemukan jalan buntu (Lee 2004, h.107). Pada Juni 1994 mantan Presiden AS, Jimmy Carter mengunjungi Pyongyang untuk membantu meredakan ketegangan dan mencoba bernegosiasi dengan Korea Utara agar Pyongyang bersedia menghentikan program senjata nuklirnya dan bersedia melanjutkan pembicaraan tingkat tinggi dengan AS. Kemudian pembicaraan putaran ketiga antara AS-Korut dibuka di Geneva pada 8 Juli 1994. Akan tetapi kematian Kim Il Sung pada 8 Juli 1994 menunda rencana pertemuan (Mazaar 1995, h.166). Atas kematian Kim Il Sung tersebut, maka pembicaraan ditunda dan dilanjutkan pada bulan Agustus. Pembicaraan ini menghasilkan kesepakatan Agreed 31
Framework pada 21 Oktober 1994 (Park dan Kim 2012 h.76). Di bawah kerangka persetujuan tersebut, Korea bersedia menghentikan dan secepatnya membongkar keberadaan program nuklir yang dicurigai selama ini, termasuk reaktor grafit-moderat 50MW dan 200MW yang sedang dalam pembangunan, selain reaktor 5MW dan fasilitas pemrosesan ulang bahan bakar nuklirnya. Dalam Agreed Framework juga dibahas mengenai perbaikan hubungan bilateral secara bertahap antara AS-Korut dalam bidang politik serta ekonomi, dan memasukkan Korea Utara kedalam dialog Utara-Selatan (Lihat lampiran I). Sebagai gantinya, Pyongyang akan disediakan energi alternatif, dalam bentuk minyak berat, kemudian secepatnya akan dibangun dua reaktor air ringan bertekanan udara masing-masing berkapasitas 1.000MW disertai dua alat pendingin. Dua reaktor nuklir air ringan 1.000MW tersebut lebih aman dan mampu menghasilkan cukup plutonium untuk membantu menambah pasokan listrik di Korea Utara, yang sedang mengalami krisis energi (Park dan Kim 2012 h.133). Berdasarkan kesimpulan dari Agreed Framework, Korea Utara harus bekerjasama dengan AS dan IAEA. Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa hasil pokok dari Agreed Framework yaitu pembangunan reaktor air ringan yang akan dibiayai dan dibangun di bawah Organisasi Pengembangan Energi Semenanjung Korea (KEDO). Oleh karena itu, setelah penandatanganan Agreed Framework, maka AS, Korea Selatan, dan Jepang menyelenggarakan sebuah
32
konferensi di New York pada Maret 1995 yang menghasilkan pendirian KEDO secara resmi (Lee 2004, h.110). KEDO menjadi sebuah organisasi internasional non-profit berbentuk badan konsorsium multinasional yang didirikan untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip pokok dari Agreed Framework. Dalam perjanjian KEDO tersebut dijelaskan bahwa KEDO bertugas mengirimkan energi sementara hingga reaktor air ringan pertama selesai dibangun. Sebagai tambahan, KEDO juga melaksanakan berbagai bentuk tindakan lainnya yang dianggap perlu demi tercapainya tujuan Agreed Framework (Lee 2004, h.110). Selanjutnya IAEA melakukan pemeriksaan terhadap kandungan isotop radioaktif dalam limbah nuklir yang disampaikan Korea Utara bahwa pihaknya telah mengekstrak sekitar 24kg plutonium. Oleh karenanya, Korea Utara diperkirakan telah menghasilkan 0,9 gram plutonium per megawat setiap harinya dalam periode empat tahun dari 1987-1991. Jika dijumlahkan selama empat tahun dengan sebuah reaktor 30 megawat dan rasio pengoperasian sebesar 60% per tahun, maka Korea Utara telah berhasil menghasilkan 23kg plutonium (Leventhal dan Steven 1994). Pada November 1994, IAEA mengumumkan bahwa pihaknya telah mengkonfirmasi pembangunan program nuklir Korea Utara dihentikan di fasilitas nuklir Yongbyon dan Taechon milik Korea Utara. IAEA juga menegaskan bahwa kedua fasilitas ini sudah tidak beroperasi (Kristensen 2006). Sesuai dengan ketentuan dari Agreed Framework antara AS-Korut tahun 1994, Pemerintah AS pada Januari 33
menanggapi keputusan Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya serta bekerjasama dengan Amerika Serikat dan upaya verifikasi IAEA dengan menghapus sanksi ekonomi terhadap Korea Utara (Mazaar 1995, h.175). Dalam Kesepakatan Kuala Lumpur untuk Agreed Framework Geneva, Korea Utara setuju untuk bernegosiasi langsung dengan KEDO dalam isu yang berkaitan dengan proyek reaktor air ringan. Pada tanggal 15 Desember 1995, Korea Utara menandatangani Perjanjian Pasokan Reaktor Air Ringan. Tim KEDO telah melakukan sejumlah perjalanan ke Korea Utara untuk meninjau lokasi reaktor yang diusulkan. Pada musim semi 1996, KEDO dan Korea Utara memulai negosiasi pada pelaksanaan protokol Perjanjian Pasokan Reaktor Air Ringan (Lee 2004, h.112). Sejak perjanjian pemasokan energi untuk Korea Utara disetujui pada bulan Desember 1995, maka enam protokol terkait telah mulai berlaku dan tiga putaran perundingan tingkat ahli telah menghasilkan keputusan penuh (Park dan Kim 2012, h.133). Korean Electric Power Corp (KEPCO), perusahaan listrik Korea Selatan menjadi kontraktor utama dalam proyek ini yang mengemban tugas menentukan bentuk, manufaktur, kontruksi, dan pengelolaan reaktor. Akhirnya pada 19 Agustus 1997, KEDO dan Korea Utara menggelar upacara peletakan batu pertama untuk memulai pembangunan dua reaktor air ringan (Lee 2004, h.113). Akhirnya pembangunan reaktor air ringan Korea Utara telah selesai dan mulai beroperasi pada 1998. Namun, Korea Utara tidak menepai janjinya bahwa pihaknya akan menerima pemeriksaan umum dan khusus oleh IAEA. Korea Utara tetap 34
menolak pemeriksaan fasilitas nuklir yang tidak dilaporkan kepada IAEA. Pyongyang juga menolak untuk bergabung dalam Perjanjian Larangan Uji Komprehensif dan menolak berpartisipasi dalam konferensi tahunan PBB mengenai perlucutan senjata nuklir pada 25 Februari 1997 (Park dan Kim 2012, h.133). Insiatif AS menginsiasi pembicaraan bilateral dengan Korea Utara yang menghasilkan Agreed Framework diatas ternyata tidak berjalan lancar sesuai yang diharapkan. Hal ini dikarenakan kurangnya sikap saling percaya antar kedua pihak. Oleh karena itu, Korea Utara mulai melangkah lebih jauh dengan mengembangkan kembali senjata nuklirnya yang ditandai dengan uji coba peluncuran roket Taepodong-1 pada tahun 1998. Pada Oktober 2002, utusan khusus AS, James Kelly mengunjungi Korea Utara, dimana Kelly mencurigai program pengayaan uranium masih berlangsung. Sebagai tanggapannya, maka rezim Kim Jong Il menyatakan penundaan penghentian program nuklirnya dan menghidupkan kembali fasilitas nuklir negara tersebut pada 12 Desember 2002. Setelah itu, Korea Utara mengundurkan diri dari Perjanjian Nonproliferasi Nuklir pada 10 Januari 2003 (Park dan Kim 2012, h.133). Ketika Amerika Serikat membahas presentasi mengenai isu nuklir Korea Utara di Dewan Keamanan PBB, juru bicara kementerian luar negeri Korea Utara mengeluarkan pernyataan pada 2 Oktober 2003 yang mengakui bahwa Korea Utara akan melakukan pengayaan uranium dan mengubah plutonium yang dieksktrak dari bahan bakar bekas dengan tujuan memperkuat pertahanan nuklir (KCNA 2003). AS 35
menganggap tindakan Korea Utara telah melanggar Kerangka Persetujuan dan perjanjian lainnya. Setelah upaya pembicaraan bilateral antara AS-Korut tersebut mencapai kebuntuan, maka AS berusaha mencari cara yang tepat untuk membawa kembali Korea Utara ke dalam meja perundingan. Untuk itu, dibentuklah sebuah upaya multilateral yang melibatkan AS, Cina, Jepang, Rusia, Korea Selatan, dan Korea Utara yang dikenal dengan “Six Party Talks” pada tahun 2003.
36
BAB III TUJUAN DAN PERKEMBANGAN SIX PARTY TALKS DALAM MEWUJUDKAN DENUKLIRISASI DI KOREA UTARA Pengunduran diri Korea Utara dari keanggotaan perjanjian non-proliferasi nuklir (NPT) pada Januari 2003 menambah deretan panjang aksi Korea Utara dalam uji coba nuklir yang dimilikinya. Keadaan ini dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas kemanan di Semenanjung Korea. Oleh karena itu, pada Agustus 2003 Amerika Serikat (AS) bersama Cina membentuk sebuah pembicaraan multilateral untuk menggandeng kembali Korea Utara ke dalam meja perundingan dengan melibatkan Rusia, Jepang, dan Korea Selatan. Pembicaraan multilateral tersebut yang saat ini kita kenal dengan nama Six Party Talks. A.
Sejarah Pembentukan Six Party Talks Pada 16 Oktober 2002, AS dibawah kepemimpinan Presiden Bush
menegaskan bahwa Korea Utara telah menyatakan jika negaranya memiliki sebuah program senjata nuklir rahasia berbasis pengayaan uranium. Laporan tersebut diterima langsung oleh Asisten Menteri luar Negeri AS, James Kelly di Pyongyang pada 5 Oktober 2002 (Park dan Kim 2012, h.133). Program nuklir tersebut ternyata dihasilkan dari proses pengayaan uranium, dimana proses ini jauh berbeda dengan program nuklir Korea Utara sebelum tahun 1995 yang hanya berbasis pemrosesan ulang plutonium (Zhongying 2009, h.12).
37
Sebelumnya,
tugas
AS
hanyalah
mengawasi
keputusan
Organisasi
Perkembangan Energi Sememenanjung Korea (KEDO) untuk menyelesaikan pengiriman minyak ke Korea Utara yang telah dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Persetujuan tahun 1994 (Niksch 2005). Oleh karena itu, para pejabat AS merasa terkejut atas meningkatnya intensitas Korea Utara pada akhir Desember 2002, dimana Korea Utara memulai kembali fasilitas nuklirnya berbasis plutonium di Yongbyon. Selain itu, Korea Utara juga mengusir para pejabat IAEA yang ditempatkan disana berdasarkankan Kerangka Persetujuan antara AS dan Korea Utara untuk mengawasi penghentian fasilitas nuklirnya tersebut. Setelah mengusir pejabat IAEA yang ditempatkan disana, Korea Utara menghidupkan kembali reaktor nuklir lima megawatt yang sempat ditutup atas kesepakatan dengan AS di bawah “Agreed Framework”. Selanjutnya, Korea Utara menyatakan akan membuka kembali pabrik pengolahan plutonium yang pernah beroperasi hingga tahun 1994. Korea Utara juga akan memproses ulang 8.000 batang bahan nuklir yang telah disimpan sejak tahun 1994. Terakhir, Korea Utara menarik diri dari keanggotaan NPT pada Januari 2003 (Niksch 2005). Ketika AS mengetahui aksi Korea Utara tersebut, maka AS langsung menghentikan pengiriman bahan bakar ke Korea Utara. Presiden Bush yang mengetahui hal itu merasa telah dipermainkan oleh Korea Utara dan Bush merencanakan sebuah penyerangan fasilitas nuklir Korea Utara sebagai upaya
38
pencegahan agar Korea Utara tidak mengambil langkah lebih jauh lagi (Mun 2009, h.115). Merasa sudah tidak terikat lagi dengan aturan yang berlaku, Korea Utara mengancam akan menguji coba kembali rudal jarak jauh dengan melakukan proliferasi bahan-bahan nuklir ke berbagai negara, serta melakukan uji coba senjata nuklirnya. Pembukaan kembali fasilitas nuklir Yongbyon telah membuktikan bahwa Korea Utara benar-benar serius dalam mengembangkan program nuklir dengan memproduksi secara terbuka senjata nuklir melalui pemrosesan 8.000 batang bahan bakar. Dengan pemrosesan 8.000 batang bahan bakar tersebut, maka Korea Utara dapat menghasilkan 4 hingga 6 bom atom (Martin 2009, h.3). Sebelum Six Party Talks dibentuk, Presiden Bush pada awal tahun 2003, mengajukan dibentuknya forum pembicaraan multilateral yang difokuskan membahas isu nuklir Korea Utara melalui jalur diplomatik. Kemudian diselenggarakanlah pertemuan tiga negara yang dikenal dengan forum Trilateral Talks, Forum pertemuan tiga negara tersebut melibatkan AS, Cina, Korea Utara pada April 2003 di Beijing (Mun 2009, h.118). Pada awalnya Korea Utara tetap menginginkan pembicaraan bilateral dengan AS untuk mengatasi isu nuklir negaranya. Oleh karena itu, sejak awal Korea Utara menentang keras saran AS untuk membangun kerangka multilateral. Hal tersebut dikarenakan Korea Utara beranggapan bahwa melalui pembicaraan multilateral, AS berusaha meyakinkan komunitas internasional bahwa isu nuklir di Semenanjung 39
Korea merupakan sebuah isu internasional dan AS membentuk opini publik bahwa Korea Utara lah penyebab krisis nuklir tersebut (KCNA 2003). Sikap Korea Utara mulai berubah ketika mengetahui aksi agresi AS ke Iraq
pada 2003 serta melihat antusiasme Cina untuk aktif ke dalam pembicaraan. Akhirnya Korea Utara bersedia menerima pembahasan isu nuklirnya diselesaikan secara multilateral (Mun 2009, h.119). Pada 12 April 2003, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Korea Utara menyatakan bahwa Korea Utara mencari pembicaraan langsung yang bertujuan untuk memastikan apakah AS akan mengubah kebijakan politik untuk menghentikan kebijakan permusuhan terhadap Korea Utara atau tidak. Jika AS tidak siap mengubah kebijakan terhadap Korea untuk menyelesaikan isu nuklir, maka Korea Utara tidak akan lagi masuk ke dalam dialog bersama AS (KCNA 2003). Oleh karena sikap multilateralisme AS yang kuat, kebijakan komitmen Cina untuk aktif dalam penyelesaian isu nuklir Korea Utara, serta sikap fleksibilitas yang diperlihatkan Korea Utara, maka pada akhirnya ketiga sikap tersebut mampu menghasilkan multilateralisasi isu nuklir Korea Utara melalui format dialog bersama (Mun 2009, h.120). Selama pertemuan Trilateral Talks, Korea Utara berkali-kali menyuarakan bahwa dirinya memiliki bom nuklir yang siap diuji coba, serta akan mengekspor material-material nuklir ke berbagai negara jika AS tidak merespon permintaan Korea
40
Utara (Sanger 2003). Korea Utara mengajukan sebuah proposal yang berisi empat langkah aksi bersama untuk membongkar program nuklir milik Korea Utara. Berdasarkan proposal tersebut, langkah pertama yang seharusnya dilakukan adalah melanjutkan pengiriman bahan bakar minyak untuk Korea Utara. Maka sebagai gantinya, Korea Utara bersedia untuk meninggalkan ambisi mengembangkan program senjata nuklir. Langkah kedua, yaitu Korea Utara akan bersikap terbuka atas pemeriksaan fasilitas nuklir negaranya dibawah pengawasan Badan Energi Atom Dunia (IAEA). Namun, sebagai gantinya AS harus menjamin keamanan Korea Utara dengan menandatangani sebuah kesepekatan non-agresi (Bluth 2005, h.98). Pada langkah ketiga, isu-isu lainnya seperti normalisasi hubungan diplomatik antara AS-Korea Utara harus segera dibangun sebagai pengganti dari penerimaan Korea Utara atas pembatasan internasional terhadap program misil negaranya. Kemudian langkah terakhir yaitu Korea Utara berjanji akan membongkar program senjata nuklirnya jika pembangunan reaktor air ringan untuk keperluan pembangkit listrik di Korea Utara telah selesai dibangun (Bluth 2005, h.99). Akan tetapi, proposal Korea Utara untuk menyelesaikan isu nuklir negaranya tersebut tidak diterima oleh AS. Ketua delegasi AS, James Kelly berulang kali menekankan opsi kebijakan dasarnya yaitu AS hanya ingin dilakukannya perlucutan senjata yang tidak dapat diubah dan dapat diverifikasi (CVID) terhadap Korea Utara. Jika telah mencapai tahap CVID, maka perjanjian politik dan ekonomi mungkin dapat dipertimbangkan (Bluth 2005, h.101). 41
Sejak penyelenggaraan Trilateral Talks di Beijing pada April 2003, AS memulai strategi tekanan dan dialognya terhadap Korea Utara. AS terus menyuarakan keinginannya untuk menghasilkan sebuah solusi diplomatik melalui format multilateral dengan melibatkan aktor regional lainnya. Hal ini dilakukan AS karena AS meyakini bahwa semua aktor regional memiliki perhatian yang besar terhadap isu perdamaian di Semenanjung Korea (Olsen 2003). Pada saat bersamaan, AS juga meningkatkan kemampuan militer dan aksi diplomatiknya untuk mengisolasi Korea Utara. Bahkan, Presiden Bush sempat mengadakan pertemuan tingat tinggi dengan Presiden Korea Selatan, Perdana Menteri Jepang, serta Presiden Cina untuk memperoleh dukungan publik terhadap AS yang menuntut Korea Utara untuk meninggalkan program nuklirnya (TCOG 2003). Korea Utara tetap menolak permintaan AS untuk meninggalkan program nuklirnya terlebih dahulu sebelum memulai kembali berbagai pembicaraan. Korea Utara menuduh desakan AS terhadap perlucutan nuklir Korea Utara, hanya untuk melemahkan Korea Utara. Terlebih, Korea Utara menyoroti haknya untuk memiliki sebuah kekuatan pertahanan nuklir sebagai pertahanan diri. Disamping itu, konfrontasi nuklir antara AS dan Korea Utara seharusnya diselesaikan melalui aksi bersama (Mun 2009, h. 123). Berdasarkan pernyataan yang dikeluarkan oleh seorang Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Korea Utara, AS dan Korea Utara menyetujui dilakukannya pembicaraan bilateral dalam kerangka Six Party Talks (KCNA 2003). Adanya 42
kesepakatan tersebut memungkinkan Korea Utara untuk berharap bahwa forum tersebut memungkinkan dilakukannya diskusi masalah nuklir dengan AS secara bilateral ketika dibutuhkan. Dengan demikian, Six Party Talks memberikan kesempatan kepada Korea
Utara tidak hanya sebagai forum untuk melakukan negosiasi bilateral, juga agar AS lebih mengerti dengan keinginan Korea Utara. Isu perlucutan program nuklir Korea Utara memang tidak menandakan adanya kemajuan yang dihasilkan selama pembicaraan ketiga negara itu berlangsung. Hal ini disebabkan sebuah sistem kekuatan bersama seperti kesepakatan pembentukan forum Trilateral Talks berjalan tanpa membentuk institusi formal. Namun, sebuah forum kekuatan yang disepakati bersama tersebut dapat menjadi check & balance berbagai aktivitas dan kepentingan-kepentingan anggotanya melalui berbagai pola pertemuan yang teratur. Pada pertemuan teakhir Trilateral Talks, tercapailah sebuah persetujuan untuk membentuk forum multilateral yang lebih luas, yaitu membentuk forum yang kita kenal saat ini sebagai Six Party Talks. Forum multilateral yang lebih luas tersebut melibatkan juga Rusia, Jepang, dan Korea Selatan. Sehingga anggota dari Six Party Talks ini berjumlah 6 negara yaitu AS, Korea Utara, Cina, Rusia, Jepang, dan Korea Selatan. Forum ini menjadi langkah penting terhadap sebuah forum kesepakatan bersama melalui jalur diplomasi. B.
Tujuan Pendirian dan Perkembangan Six Party Talks
43
Kekhawatiran AS akan pengembangan program nuklir Korea Utara sudah disampaikan AS sejak pengembangan program nuklir tersebut dimulai atas bantuan Uni Soviet. Seperti halnya negara-negara besar lain yang menggunakan berbagai cara untuk menghentikan aktivitas yang mengancam negaranya, maka AS pun terus menerus mencoba menghentikan program nuklir Korea Utara dengan cara membujuk Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya hingga memberikan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara. Salah satu cara AS untuk menghentikan program nuklir Korea Utara yaitu melalui jalur diplomasi, baik diplomasi bilateral maupun multilateral. Pendirian Six Party Talks berawal dari dibentuknya Trilateral Talks yang bertujuan untuk membahas
peyelesaian
isu
nuklir
yang
terjadi
di
Korea
Utara.
Sejak
pembentukannya, Six Party Talks bertujuan untuk mengakhiri program nuklir Korea Utara dan membongkar program nuklirnya melalui proses negosiasi. Pembicaraan dibangun sebagai respon terhadap pengunduran diri Korea Utara dari Perjanjian NonProliferasi Nuklir pada Januari 2003 (Gershman 2005). Pembicaraan Six Party Talks terbentuk bukan hanya karena adanya usaha AS semata, akan tetapi peran Cina juga sangat membantu dalam pembentukan forum Six Party Talks. Keterlibatan Cina dalam proses pembentukan forum Six Party Talks telah memberikan kontribusi bagi kemajuan forum tersebut. Beijing telah membujuk semua pihak terkait untuk tetap menyelesaikan isu nuklir Korea Utara secara damai melalui proses pembicaraan Six Party Talks. Kolaborasi Cina dan AS dalam isu 44
nuklir Korea Utara merupakan sebuah contoh nyata dalam perkembangan pembagian tanggung jawab global dan regional antara dua kekuatan regional yang sangat penting (Kim 2006). Sebuah kerangka multilateral kedua untuk mengatasi isu nuklir Korea Utara, yakni Six Party Talks dibentuk pada Agustus 2003. Putaran pertama Six Party Talks diselengarakan di Beijing pada 27-29 Agustus 2003. Pada putaran pertama ini, topik yang dibahas masih seputar tujuan dan prinsip Six Party Talks yang menyangkut teknis formasi sebuah konsensus untuk melakukan denuklirisasi serta prinsip damai mengatasi isu nuklir Korea Utara melalui sebuah dialog (Mun 2009, h.124). Dalam pertemuan pertama ini, AS juga mendesak Korea Utara agar bersedia meninggalkan program nuklir sebelum melangkah ke pembahasan lebih lanjut. Namun, Pyongyang membantah bahwa program nuklir yang dikembangkan negaranya disebabkan oleh sikap AS yang menciptakan permusuhan menentang Pyongyang. Sehingga Pyongyang meminta AS untuk menghentikan permusuhannya melawan Pyongyang serta mengimplementasikan tindakan yang diperlukan dibawah prinsip aksi bersama (Park dan Kim 2012 h.79). Putaran Kedua Six Party Talks diselenggarakan kembali di Beijing pada 25-28 Februari 2004. Pada putaran ke dua, AS menegaskan kepada Korea Utara untuk mengakhiri pengayaan program uranium yang telah dikerjakannya dengan bantuan Pakistan. AS juga menekankan kembali kepada Korea Utara bahwa pembongkaran program nuklir secara lengkap yang dapat diverifikasi dan tidak dapat diubah kembali 45
harus segera dilaksanakan Pyongyang. Namun AS tidak akan menentang bantuan energi untuk Korea Utara yang disediakan oleh Korea Selatan, Cina, Jepang, dan Rusia (Kementerian Luar Negeri Jepang 2004). Bagaimanapun juga Korea Utara menyanggah tuduhan AS mengenai program uranium milik Pyongyang. Korea Utara menegaskan akan mengembangkan program nuklinya untuk tujuan damai. Korea Utara juga menuntut penggantian kompensasi atas penghentian program nuklirnya dengan bantuan ekonomi. Kemudian dalam putaran kedua ini, semua anggota juga menyepakati pembentukan sebuah kelompok kerja yang bertugas mengatur pertemuan berikutnya (Park dan Kim 2012 h.80). Cina mengeluarkan pernyataan resminya melalui pimpinan rapat Six Party Talks pada hari terakhir pertemuan. Berdasarkan pernyataan tersebut, pimpinan rapat menyatakan bahwa para anggota Six Party Talks sudah mulai terlihat saling memahami posisi mereka satu sama lain melalui dialog dalam semangat saling menghormati, serta berunding di atas kedudukan yang setara (FMPRC 2004). Cina sangat mengapresiasi hasil dari pertemuan putaran kedua tersebut sebagai pencapaian berarti dari sebuah pendekatan multilateral. Wakil Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi menyatakan: “Sebagai pihak yang memiliki sikap serius dan positif, pertemuan tersebut mengisyaratkan bahwa pembicaraan akan berlanjut sebagai kerangka multilateral. Dalam hal ini, maka Cina menegaskan bahwa penting bagi para pihak untuk membuat usaha bersama dalam tiga elemen dasar dalam rangka meningkatkan pemahaman timbal balik diantara mereka. Pertama, perspektif kunci dari isu-isu penting dan resolusi yang diajukan selama pembicaraan harus benar-benar di pahami dan diperiksa terlebih dahulu oleh semua pihak. Kedua, dalam rangka mempersiapkan untuk pertemuan putaran berikutnya, 46
sebuah kelompok kerja harus dibentuk secepat mungkin. Ketiga, mencegah segala bentuk pernyataan ataupun tindakan yang mungkin akan meningkatkan ketegangan untuk mempertahankan lingkungan yang kooperatif dalam proses pembicaraan (Wang 2004). Selanjutnya, putaran ketiga dilaksanakan pada 23-26 Juni 2004. Selama putaran ketiga, AS mengajukan dua pilihan solusi bagi Pyongyang. Pertama, AS menawarkan waktu tiga bulan bagi Pyongyang untuk mendiskusikan pembongkaran nuklir Pyongyang seluruhnya. Termasuk menghentikan pengayaan uranium yang dikembangkan Pyongyang. Selama penghentian program tersebut, Pyongyang akan mendapatkan bantuan pasokan minyak dari anggota Six Party Talks. Selain itu, Pyongyang juga akan mendapatkan jaminan keamanan sementara dari AS. Proposal tersebut diberikan kepada Korea Utara sebagai antisipasi masa persiapan tiga bulan untuk menghentikan program nuklirnya (Kimball 2012). Dalam opsi kedua, AS menawarkan Pyongyang untuk membongkar seluruh program nuklir sepenuhnya. Maka sebagai bentuk kompensasi, AS akan menjamin keamanan Pyongyang selamanya, memperbaiki hubungan AS-Korea Utara, serta memberikan bantuan ekonomi yang lebih luas lagi. Proposal tersebut diajukan AS pada puncak pertemuan (Mun 2009, h.132). Seperti biasa Korea Utara tetap menolak terdapat pengayaan uranium di wilayahnya sebagaimana yang selalu dituduhkan AS. Namun, sepertinya Korea Utara mulai bersedia bernegosiasi, terbukti dengan permintaan Korea Utara menuntut jika AS bersedia memasok bantuan energi yang setara dengan dua juta kilo watt, menghapus Pyongyang dari daftar negara penyokong terorisme, menghentikan sanksi 47
ekonomi, serta menawaran kompensasi lain kepada Korea Utara. Maka, Korea Utara akan membongkar semua fasilitas nuklirnya (Park dan Kim 2012 h.80). Pada sesi kedua putaran keempat yang dilaksanakan di Beijing pada 13-19 September 2005 menghasilkan sebuah pernyataan bersama (Joint Statement) yang akan menjadi sebuah pedoman atas prinsip damai untuk mengakhiri krisis nuklir Korea Utara. Menurut pernyataan bersama yang dideklarasikan pada 19 September tersebut, semua pihak yang terlibat sepakat untuk menyiapkan Semenanjung Korea yang bebas nuklir dan diverifikasi secara damai. Semua pihak juga berjanji untuk membuat upaya bersama untuk mewujudkan perdamaian abadi dan stabilitas di Timurlaut Asia (Park dan Kim 2012, h.80). Pada akhir pertemuan, suasana forum negosiasi memburuk secara signifikan. Sanksi AS terhadap entitas perdagangan Korea Utara di Banco Deltas Asia (BDA) Macau memicu kemarahan Pyongyang (Mun 2009, h.78). Korea Utara memboikot penyelenggaraan Six Party Talks dan kembali melakukan uji coba rudal balistik dan nuklirnya pada 9 Oktober 2006 (Sanger 2006). Atas tindakannya tersebut, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB) mengeluarkan Resolusi 1718 pada 14 Oktober 2006 yang berisi himbauan kepada Korea Utara untuk menahan diri dari uji coba nuklir, meninggalkan senjata pemusnah massal dan segera kembali bergabung kedalam Six Party Talks (UNSC 2006). Akibat kejadian Banco Delta Asia (BDA) Macau yang berlarut-larut, AS dan Korea Utara mengadakan pertemuan bilateral untuk mengatasi kasus tersebut. Atas 48
bantuan Cina, akhirnya Korea Utara menyetujui untuk bergabung kembali ke dalam pembicaraan Six Party Talks (Mun 2009, h.79). Dengan kembalinya Korea Utara ke dalam pembicaraan, maka semua anggota Six Party Talks mengharapkan isu BDA harus segera dipecahkan. Pada sesi ketiga, putaran kelima pertemuan yang dilaksanakan di Beijing pada 8-13 Februari 2007 mencapai sebuah kesepakatan dalam “Initial implementations measures of the September 19 Joint Statement (February 13 Agreements)”. Kesepakatan ini lebih dikenal dengan nama “Beijing Agreement”. Pembicaraan ini dirancang untuk menunjukkan langkah-langkah awal membongkar program senjata nuklir Korea Utara. Berdasarkan Beijing Agreement pada 13 Februari 2007, keenam pihak kembali menegaskan pentingnya upaya multilateral dengan menyatakan bahwa semua pihak sepakat mengambil langkah-langkah terkoordinasi untuk melaksanakan pernyataan bersama secara bertahap, dimana sejalan dengan prinsip “action for action” (Lihat table III.B.1). Perundingan Six Party Talks putaran keenam diselenggarakan pada 19-22 Maret 2007. Pada kesempatan ini dibahas laporan lima kelompok kerja, termasuk tentang rencana denuklirisasi, mekanisme perdamaian dan keamanan di Asia Timur, normalisasi hubungan AS-Korea Utara dan Jepang-Korea Utara, serta kerjasama energi dan ekonomi (Park dan Kim 2012, h.81). Pada 3 Oktober 2007, sesi kedua putaran keenam pertemuan merilis sebuah kesepakatan yang tertuang dalam “Joint statement for second phase denuclearization 49
(October 3 Agreement)”. Dalam hal tertentu, perjanjian ini dirancang untuk mengidentifikasi proses penghentian fasilitas nuklir Korea Utara. Namun, secara umum Beijing Agreement 3 Oktober tahun 2007 juga dapat dilihat sebagai salah satu kesuksesan dari koordinasi multilateral (Mun 2009, h.127). Tabel III.B.1 Perkembangan Pertemuan Six Party Talks Pembahasan
Putaran
Waktu
Pertama
Aug. 27-29, 2003
Kedua
Feb. 25-28, 2004
• Penegasan kembali konsensus tentang denuklirisasi Semenanjung Korea dan prinsip resolusi damai
Ketiga
Jun. 23-26, 2004
• Pembentukan konsensus tentang perlunya tindakan awal untuk denuklirisasi Semananjung Korea dan proses bertahap berdasarkan prinsip “commitment for commitment, action for action”
Sesi 1 Keempat ____________ Sesi 2 Sesi 1 _____________ Kelima
Sesi 2
______________ Sesi 3
Jul. 26-Aug. 7, 2005 _____________
•
Pembentukan konsensus tentang denuklirisasi Semenanjung Korea dan prinsip resolusi damai melalui dialog
• Pengangkatan Pernyataan Bersama September
19
Sep. 13-19, 2005 Nov. 9-11, 2005 _____________
• Penegasan kesediaan untuk sepenuhnya melaksanakan Pernyataan Bersama 19 September
Dec. 18-22, 2006 _____________
• Penegasan kembali keinginan untuk sepenuhnya melaksanakan Pernyataan Bersama 19 September dan kesepakatan untuk mengambil langkah-langkah yang terkoordinasi dalam pelaksanaannya
Feb. 8-13, 2007
• Perjanjian mengenai fase tindakan awal untuk implementasi Pernyataan Bersama 19 September (Pernyataan 13 Februari) Sesi 1
Mar. 19-22, 2007
50
Keenam ____________
_____________ Sesi 2
• Perjanjian tentang fase tindakan kedua untuk pelaksanaan Pernyataan Bersama 19 September (Perjanjian 3 Oktober)
Sep. 27-30, 2007
Sumber: Ministry of Foreign Affairs and Trade, 2007 Diplomatic White Paper, p.38; 2008 Diplomatic White Paper, pp.27-28
Pada 13 Maret 2007, Dirketur IAEA, Mohamed ElBaradei mengunjungi Korea Utara dan bertemu tiga pejabat resmi Korea Utara. Salah satunya termasuk pimpinan departemen energi atom Korea Utara, Ri Je Son. Selama pertemuan ElBaradei membujuk Korea Utara untuk kembali masuk sebagai negara anggota IAEA dan mendiskusikan monitoring yang akan dilakukan IAEA dan peran verifikasi berdasarkan kesepakatan Six Party Talks pada 13 Februari sebelumnya (Mun 2009, h.130). Akhirnya pada Juni 2007, IAEA mengkonfirmasi bahwa 5 megawatt reaktor nuklir Yongbyon telah ditutup dan diamankan. Ketiga sesi dalam putaran keenam berlangsung selama September-Oktober 2007. Rencana implementasi tahap kedua telah disepakati yang menyerukan pemadaman tiga fasilitas nuklir utama di kompleks Yongbyon. Korea Utara berkomitmen untuk tidak mentransfer bahan nuklir, teknologi, ataupun pengetahuannya ke pihak lain. Para anggota Six Party Talks lainnya juga sepakat untuk meningkatkan bantuan kepada Korea Utara dengan total satu juta ton bahan bakar minyak sebagai kelanjutan dari proses normalisasi diplomatik (Park dan Kim 2012, h.83). Sebenarnya setelah perjanjian 3 oktober 2007 disepakati, Korea Utara telah memberikan laporan lengkap mengenai semua program nuklir milik negaranya dan 51
menutup fasilitas nuklir yang ada dalam laporan tersebut sesuai dengan isi perjanjian. Korea Utara menyerahkan laporan tersebut kepada Cina sebagai ketua forum Six Party Talks pada 26 Juni 2006 (Kimball 2012). Seiring berjalannya negosiasi panjang, pada 15 Juli 2008 AS mengeluarkan sebuah konsep protokol pengesahan yang menggambarkan prosedur pelaksanaan untuk memeriksa semua elemen program nuklir Korea Utara, termasuk pengayaan uranium, senjata, dan proliferasi. Protokol AS itu juga memasukkan ketentuan untuk menjangkau beberapa situs yang telah dilaporkan Korea Utara atau tidak. Dengan kata lain, AS ingin memperluas pemeriksaan terhadap program nuklir Korea Utara. Satu minggu setelahnya, Asisten menteri luar negeri AS, Christopher Hill menyatakan bahwa Korea Utara terlihat keberatan dalam menerima konsep protokol AS (Ceuster dan Melissen 2008, h.17). Korea Utara memang keberatan atas draft yang diajukan AS itu. Oleh karenanya, Korea Utara mengusulkan juga sebuah konsep protokol untuk memeriksa aktivitas nuklirnya. Namun menurut AS, proposal yang diajukan Korea Utara tidak cukup menjawab konsep protokol yang diajukan oleh AS sebelumnya (Kimball 2012). Dengan demikian terjadi perbedaan perspektif antara Korea Utara dan AS. Perbedaan perspektif tersebut tidak menemukan titik temu hingga akhirnya tercapai perjanjian verifikasi mengenai pemeriksaan lima belas situs nuklir Korea Utara yang telah dilaporkan disamping situs yang tidak dilaporkan dengan persetujuan bersama.
52
Disamping masalah perbedaan perspektif antara AS dan Korea Utara mengenai konsep protokol untuk memeriksa nuklir Korea Utara, terdapat juga masalah mengenai penundaan penghapusan Korea Utara dari daftar negara pendukung terorisme sebagaimana yang dijanjikan oleh AS sejak Joint Statement 2005. Akhirnya AS menghapus Korea Utara dari daftar negara pendukung terorisme setelah semua anggota Six Party Talks menyetujui perjanjian verifikasi (Ceuster dan Melissen 2008, h.18). Ketika AS menghapus Korea Utara dari daftar negara pendukung terorisme, Korea Utara secara resmi menyatakan bahwa pihaknya akan melanjutkan pembongkaran fasilitas nuklir (KCNA 2008). Akan tetapi, satu
bulan setelah
pernyataan resminya tersebut, Kementerian Luar Negeri Korea Utara menarik katakatanya dan mengeluarkan pernyataan bahwa Pyongyang menunda pemberian izin pengawas IAEA untuk mengambil sample di fasilitas nuklirnya. Pihaknya menambahkan bahwa pemeriksaan dibatasi hanya pada situs yang ditentukan (KCNA 2008). Sistem verifikasi yang terus tertunda ternyata menimbulkan masalah baru. Ketika AS mengusulkan untuk memverifikasi semua situs nuklir di seluruh Korea Utara ditolak dengan tegas oleh pihak Korea Utara. Korea Utara dengan tegas menyatakan bahwa pemeriksaan hanya dibatasi di kawasan Yongbyon saja. Karena adanya ketidaksepahaman tersebut, Korea Utara mencabut pernyataannya mengenai penghentian program nuklir yang dikembangkannya. Hal ini berakibat pada 53
kegagalan pencapaian sebuah kesepakatan yang telah dirumuskan. (Park dan Kim 2012, h.84) Perkembangan pembicaraan enam negara tersebut mulai terlihat menurun ketika pada November 2008 Korea Utara membantah bahwa pihaknya telah berkomitmen dalam perjanjian verbal yang memungkinkan pengumpulan sampel di Yongbyon. Kemudian pada 14 April 2009, Korea Utara menyatakan pengunduran dirinya dari forum Six Party Talks dan tidak lagi terikat oleh perjanjian yang dicapai sebelumnya (Kimball 2012). Setelah penarikan dirinya dari keanggotaan Six Party Talks, Korea Utara kembali melakukan uji coba nuklirnya pada 25 Mei 2009 yang mendapat kecaman dari dunia internasional.
54
BAB IV IMPLEMENTASI TUJUAN-TUJUAN SIX PARTY TALKS DALAM MEWUJUDKAN DENUKLIRISASI DI KOREA UTARA
Tujuan utama dari Six Party Talks sebagaimana yang pernah dibahas pada bab sebelumnya yaitu untuk mengakhiri program nuklir Korea Utara dan membongkar program nuklirnya melalui proses negosiasi. Dengan kata lain, tujuan utama Six Party Talks tersebut adalah untuk mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara, yaitu sebuah proses terwujudnya penghapusan kepemilikan senjata nuklir di Korea Utara. A. Pencapaian Six Party Talks dalam Mewujudkan Denuklirisasi di Korea Utara 1. Pencapaian Six Party Talks Untuk mencapai tujuan utamanya dalam mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara, Six Party Talks harus menjalani serangkaian proses negosiasi yang berliku demi sebuah pencapaian yang maksimal. Pencapaian tujuan utama Six Party Talks sudah mulai menemukan titik terang ketika semua anggota Six Party Talks menyetujui dirumuskannya Joint Statement tahun 2005 yang diimplementasikan ke dalam Beijing Agreement tahun 2007. Tercapainya Joint Statement tersebut membuktikan bahwa upaya Six Party Talks selama ini mulai menampakkan perkembangannya.
55
Joint Statement yang disepakati pada sesi kedua putaran keempat Six Party Talks 19 September 2005 secara umum berisi mengenai komitmen Korea Utara untuk meninggalkan semua senjata nuklir dan program nuklir yang ada. Korea Utara juga akan menerima berbagai bentuk pemeriksaan oleh Badan Energi dan Atom Internasional (IAEA) (Park dan Kim 2012, h.80). Pada sesi ketiga putaran kelima 8-13 Februari 2007 di Beijing, Six Party Talks kembali mencapai terobosan baru dimana semua pihak menyetujui “Action Plan” sebagai langkah awal untuk melaksanakan Joint Statement 19 September 2005. Kesepakatan ini lebih dikenal dengan nama Beijing Agreement (Park dan Kim 2012, h.84). Kemudian pertemuan putaran keenam Six Party Talks pada 27 Oktober - 3 Oktober 2007 mendiskusikan cara memulai fase kedua berdasarkan Perjanjian 13 Februari. Pada 3 Oktober semua anggota Six Party Talks mengeluarkan sebuah pernyataan bersama dimana Korea Utara menyetujui bahwa pihaknya akan membuat deklarasi yang benar dan lengkap dari semua program nuklirnya (Lihat table IV.A.1). Tabel IV.A.1 Hasil Pencapaian dalam Six Party Talks Nama Perjanjian
Poin-Poin Penting Pembongkaran program nuklir Korea Utara dan Penghapusan Fokus Keamanan Korea - Korea Utara berkomitmen untuk meninggalkan semua senjata nuklir dan program nuklir yang ada. - AS menegaskan bahwa negaranya tidak memiliki senjata nuklir di Semenanjung Korea dan tidak memiliki niat untuk menyerang atau menginvasi Korea Utara. - Korea Utara menyatakan bahwa negaranya memiliki hak untuk 56
Joint Statement on September 19, 2005
Agreement on February 13, 2007
menggunakan energi nuklir secara damai. Normalisasi Hubungan - AS dan Korea Utara berjanji akan menghormati kedaulatan masing-masing, hidup bersama secara damai, dan mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki hubungan mereka. - Korea Utara dan Jepang mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki hubungan mereka. Bantuan Internasional untuk Korea Utara - Keenam pihak berusaha meningkatkan kerjasama ekonomi di bidang energi, perdagangan, dan investasi. - Cina, Jepang, Korea Selatan, Rusia dan AS menyatakan keinginannya menyediakan bantuan energi untuk Korea Utara Visi Perdamaian dan Stabilitas di Semenanjung Korea dan Asia Timur - Para pihak yang terkait secara langsung akan menegosiasikan rezim perdamaian permanen di Semenanjung Korea pada sebuah forum terpisah yang sesuai. - Enam pihak sepakat untuk mengeksplorasi cara dan sarana untuk meningkatkan kerjasama keamanan di Asia Timur. Prinsip-prinsip untuk Implementasi - Enam pihak sepakat untuk mengambil langkah-langkah terkoordinasi untk melaksanakan konsensus tersebut secara bertahap sesuai dengan prinsip “komitmen per komitmen” dan “tindakan per tindakan”. Rencana Aksi untuk Tahap Awal: Dalam 60 hari pertama. - Korea Utara akan menutup dan menyegel fasilitas nuklir yang ada, termasuk fasilitas pemrosesan kembali, dan mengundang kembali para pemeriksa IAEA. - Korea Utara akan mendiskusikan dengan pihak lain mengenai daftar semua program nuklir Korea Utara. - Korea Utara dan AS akan memulai pembicaraan bilateral yang bertujuan untuk bergerak menuju hubungan diplomatik penuh. AS akan mulai memproses mengeluarkan penetapan Korea Utara sebagai negara sponsor terorisme dan mengakhiri penerapan “Trading with Enemy Act” dengan menghormati Korea Utara. - Korea Utara dan Jepang akan memulai kembali pembicaraan bilateral yang bertujuan untuk mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki hubungan mereka. - Semua pihak setuju untuk pemberian bantuan energi darurat setara dengan 50.000 ton bahan bakar minyak berat ke Korea Utara. 57
Agreement on October 3, 2007
Pembentukan Kelompok Kerja Lima: Pertemuan Pertama Kelompok Kerja dalam waktu 30 hari ke depan - Denuklirisasi Semenanjung Korea, Normalisasi Hubungan Korea Utara-AS, Normalisasi Hubungan Korea Utara-Jepang, Kerjasama energi dan ekonomi, Perdamaian dan mekanisme keamanan Asia Timur Laut. Rencana Aksi untuk Tahap berikutnya: Setelah penyelesaian tahap awal. - Korea Utara akan membuat deklarasi lengkap semua program nuklir dan mematikan semua fasilitas nuklir yang ada. - Para pihak lain akan memberikan energi, ekonomi, dan bantuan kemanusiaan setara dengan 950.000 ton bahan bakar minyak berat kepada Korea Utara. Pertemuan tingkat Menteri: Setelah penyelesaian tahap awal. Rezim perdamaian di Semenanjung Korea: Para pihak yang terkait langsung akan menegosiasikan rezim perdamaian permanen di Semenannjung Korea pada Forum terpisah yang sesuai. Korea Utara setuju untuk me non-aktifkan semua fasilitas nuklir yang ada pada ahir tahun. Korea Utara setuju untuk mengumumkan semua program nuklirnya pada akhir tahun. Korea Utara menegaskan kembali komitmennya untuk tidak mentransfer bahan nuklir, teknologi, atau keterampilannya. AS akan memulai proses mengeluarkan penetapan Korea Utara sebagai negara pendukung terorisme. AS akan meningkatkan proses mengakhiri penerapan perdagangan dengan Enemy Act sehubungan dengan Korea Utara. AS dan Jepang akan membuat upaya sungguh-sungguh untuk memperbaiki hubungan dengan Korea Utara. Kelima pihak akan memberikan energi, bantuan ekonomi, serta bantuan kemanusiaan yang setara dengan satu juta ton bahan bakar minyak berat.
Sumber: Dong-So, Kim, Park Kap-So, dkk. Understanding North Korea. 2012. Seoul: Ministry of Unification.
2. Implementasi hasil pencapaian Six Party Talks Untuk mengetahui secara terperinci mengenai imlementasi pencapaian Six Party Talks, maka akan dibahas lebih lanjut di bawah ini. Untuk itu, selama
58
berlangsungnya penyelenggaraan Six Party Talks, forum multilateral ini telah memberikan kontribusi bagi perkembangan isu nuklir Korea Utara, yaitu: a. Six Party Talks sebagai Sarana Diplomasi dan Negosiasi Kebijakan luar negeri mempengaruhi kegiatan diplomasi bagi negara-negara yang melakukannya. Maka diplomasi yang dilakukan negara-negara harus selalu sejalan dengan kebijakan luar negeri untuk mencapai kepentingan nasional sebuah negara. Menurut Bandoro (1991, h.47) ada dua elemen dasar yang menyebabkan negara-negara melakukan diplomasi yakni adanya kepentingan bersama (common interest) dan adanya isu yang dipersengketakan (issues of conflict). Barston dalam bukunya Modern Diplomacy (1997, h.1), mendefinisikan diplomasi sebagai sebuah pengaturan hubungan antar negara atau hubungan antar negara dengan aktor-aktor hubungan internasional lainnya. Negara, dalam hal ini direpresentasikan oleh Presiden atau melalui perwakilan resmi dan aktor-aktor hubungan internasional lain berusaha untuk menyampaikan, mengkomunikasikan, serta mengamankan kepentingan nasionalnya, yang dilakukan melalui surat menyurat, pembicaraan tidak resmi, saling menyampaikan perspektif, lobbying, melakukan kunjungan kenegaraan, serta aktivitas diplomasi lainnya yang terkait. Six Party Talks menjadi salah satu forum diplomasi multilateral karena melibatkan banyak negara di dalamnya. Keterlibatan AS, Cina, Jepang, Rusia, Korea Selatan, dan Korea Utara dalam Six Party Talks didasarkan pada keterkaitan negaranegara tersebut dalam isu yang dipersengketakan. Dalam hal ini, yaitu mengenai isu 59
denuklirisasi di Korea Utara. Disamping itu, isu tersebut juga dapat mempengaruhi keamanan kawasan negara-negara tersebut. Dengan demikian, diplomasi multilateral berhasil menjadi cara yang paling bermanfaat untuk meningkatkan negosiasi antara banyak pihak, selain tentunya sebagai pendorong diplomasi bilateral. Salah satu kontribusi nyata Six Party Talks yaitu Six Party Talks mampu mengumpulkan pihak-pihak terkait secara langsung untuk merundingkan rezim perdamaian permanen di Semenanjung Korea dalam forum yang sesuai. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Menteri luar negeri Cina pada 19 September 2005 mengenai efektifitas diplomasi multilateral seperti Six Party Talks. Menurutnya, Keenam negara sepakat untuk mengeksplorasi cara dan sarana untuk membahas denuklirisasi di Korea Utara (Zhongying, 2009). Meskipun pada akhirnya sifat kelembagaan non-formal pada Six Party Talks menjadi penghambat atas keberlangsungan forum multilateral ini, Six Party Talks dijalankan sebagai sebuah forum untuk mengatasi isu keamanan bersama dalam menyikapi isu nuklir Korea Utara. Dengan demikian, forum multilateral seperti ini mampu mendorong kerjasama antar aktor yang terlibat, khususnya di kawasan Asia Timur dengan cara mengedepankan upaya dan solusi diplomatik serta menghindari solusi peperangan sebagaimana yang seringkali terjadi. b. Pembongkaran Program Nuklir Korea Utara Pencapaian Six Party Talks paling utama adalah proses pembongkaran program nuklir Korea Utara sebagaimana yang disepakati dalam Joint Statement 19 60
September 2005. Dalam perjanjian antar anggota Six Party Talks tersebut terdapat poin utama yang selama ini diharapkan tercapai. Korea Utara berkomitmen untuk meninggalkan semua senjata nuklir dan program nuklir yang ada. Sebagai kompensasi, Korea Utara meminta disediakan reaktor air ringan untuk penggantian program nuklir yang akan dibongkarnya (Lihat table IV.A.1). Ternyata permintaan Korea Utara mengundang perdebatan antara AS dan Korea Utara selama pertemuan berlangsung. Oleh karenanya, pada akhir pertemuan terdapat kompromi antara Korea Utara dan AS. Korea Utara bersikeras menganggap bahwa pernyataannya untuk meminta disediakan reaktor air ringan untuk memiliki program energi nuklir yang damai. Namun, AS menganggap bahwa Korea Utara seharusnya tidak menerima reaktor nuklir. Pada akhir pertemuan Korea Utara menegaskan bahwa negaranya memiliki hak untuk menggunakan energi nuklir secara damai. Kemudian pihak-pihak lain menyatakan rasa hormat mereka dan setuju untuk membahas pada waktu yang tepat, mengenai penyediaan reaktor air ringan untuk Korea Utara (Lihat lampiran II) . Kesediaan Korea Utara untuk membongkar program nuklirnya disampaikan kembali oleh Korea Utara dalam Beijing Agreement 13 Februari 2007. Menurut Action Plan yang terdapat dalam perjanjian tersebut, Korea Utara akan menghentikan operasi fasilitas nuklirnya di Yongbyon selama fase awal 60 hari dan memberikan laporan lengkap semua program nuklirnya dan menonaktifkan semua fasilitas nuklir yang ada. 61
Kemudian pada perjanjian 3 Oktober 2007, Korea Utara setuju bahwa pihaknya akan membuat deklarasi yang benar dan lengkap dari semua program nuklir yang dimilikinya. Termasuk klarifikasi mengenai isu uraniumnya selama ini dan menonaktifkan fasilitas nuklir Yongbyon. Pyongyang juga setuju untuk membongkar semua fasilitas nuklir lainnya berdasarkan Joint Statement 2005 dan pihaknya tidak akan mentransfer material dan teknologi nuklirnya ke negara lain (Lihat lampiran IV). Pembongkaran program nuklir Korea Utara belum dapat diimplementasikan dalam aksi nyata. Isu pembongkaran program nuklir Korea Utara tersebut hanyalah sampai pada titik kesepakatan semata. Walaupun Korea Utara sempat menutup fasilitas nuklirnya pada Juni 2007 sebagaimana yang dilaporkan IAEA, namun penutupan tersebut hanya sementara. Buktinya Korea Utara menghidupkan dan melanjutkan kembali program nuklirnya setelah pembicaraan menemui jalan buntu. Untuk itu, tujuan utama Six Party Talks untuk melakukan denuklirisasi di Korea Utara belum berhasil diwujudkan. Hambatan dalam mencapai tujuan Six Party Talks tersebut dikarenakan konflik internal antar negara anggota Six Party Talks itu sendiri. Selain itu, konflik kepentingan menjadi pemicu gagalnya mengimplementasikan kesepakatan yang telah dibuat. c. Normalisasi Hubungan antar Anggota Six Party Talks
62
Normalisasi hubungan antar anggota Six Party Talks menjadi salah satu pencapaian Six Party Talks. Pencapaian ini sangat penting mengingat hubungan antar anggota Six Party Talks sebelum pendirian forum multilateral ini sangat renggang. Khususnya hubungan antara Korea Utara-AS, Korea Utara-Korea Selatan, dan Korea Utara-Jepang yang selalu mengalami pasang surut. Setelah negara-negara tersebut dipertemukan dalam forum multilateral seperti Six Party Talks, perlahan hubungan antar negara di atas mulai membaik. Hal ini terlihat ketika AS yang sebelumnya menyatakan tidak akan membuka dialog dengan Korea Utara, akhirnya bersedia membuka dialog dengan Korea Utara dibawah kerangka multilateral. Forum multilateral seperti Six Party Talks memungkinkan dilakukannya pembicaraan bilateral antar anggotanya. Bahkan lebih jauh, salah satu poin dalam Joint Statement yang telah disepakati oleh semua negara anggota Six Party Talks 19 September 2005, AS dan Korea Utara berjanji akan menghormati kedaulatan masing-masing, hidup bersama secara damai, dan mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki hubungan mereka. Korea Utara dan Jepang juga mengambil langkah-langkah kongkrit untuk memperbaiki hubungan antar kedua negara (Lihat tabel IV.A.1). Pembicaraan bilateral antara AS dan Korea Utara mengenai masalah Banco Delta Asia (BDA) Macau merupakan rangkaian pembicaraan bilateral kedua negara untuk memperbaiki hubungan mereka. Jadi pembicaraan bilateral ini bukanlah kali pertama digerlar antar kedua negara. Sebelumnya pada 9 Juli 2005, pembicaraan 63
bilateral antara AS dan Korea Utara sempat digelar untuk membahas mengenai ketegangan yang sempat terjadi akibat AS memberikan sanksi dengan cara pemutusan hubungan ekonomi dengan Korea Utara. Akan tetapi, setelah pembicaraan bilateral
tersebut
diselenggarakan,
akhirnya
kedua
negara
sepakat
untuk
menyelesaikan masalahnya secara damai. Normalisasi hubungan antar anggota Six Party Talks mulai terlihat kembali setelah perjanjian 3 Oktober 2007 disepakati. Terdapat kemajuan dalam hubungan Korea Utara dengan Jepang. Dimana pembicaraan bilateral kedua negara pada 13 Agustus 2008 menghasilkan sebuah kesepakatan mengenai normalisasi hubungan antara Korea Utara dan Jepang. Kemudian kedua belah pihak sepakat untuk mencabut larangan bepergian warganya ke Korea Utara dan Jepang, serta mendiskusikan penghapusan larangan bagi Korea Utara mengakses pelabuhan Jepang (Mun 2009, h.124). Selain itu hubungan bilateral Korea Utara dengan Korea Selatan juga semakin dekat. Hal ini dapat dilihat ketika Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun melakukan kunjungan ke Pyongyang pada 4 Oktober 2007. Kunjungan tersebut dilakukan untuk bertemu dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Il. Pertemuan ini membahas prospek rekonsiliasi dan kerjasama ekonomi antar kedua negara. Pertemuan ini adalah pertemuan kedua kalinya dalam sejarah dimana diskusi tingkat tinggi tersebut telah terselenggara (Ceuster dan Melissen 2008, h.15).
64
Pertemuan tingkat tinggi antara presiden Korea Utara dan Korea Selatan berakhir dengan menghasilkan delapan poin deklarasi bersama dimana kedua belah pihak setuju mengambil langkah-langkah menuju reunifikasi, meredakan ketegangan militer, memperluas pertemuan keluarga yang terpisah, serta terlibat dalam pertukaran sosial dan budaya. Deklarasi ini juga menandakan adanya pemahaman bersama oleh kedua negara sebagai suatu kebutuhan untuk mengakhiri mekanisme gencatan senjata saat ini dan membangun mekanisme perdamaian abadi. Pertemuan Korea Utara dan Korea Selatan ternyata tidak menghasilkan tindakan nyata. Hal ini disebabkan terpilihnya Presiden Lee Myung-bak sebagai Presiden Korea Selatan pada 25 Februari 2008 yang merubah arah kebijakan negara tersebut. Dalam kepemimpinannya, Lee Myung-bak mencoba meninjau kembali kebijakan rekonsiliasi sebelumnya yang dianggap hanya bersifat jangka pendek. Lee Myung-bak lebih mendukung penerapan sikap keras terhadap Korea Utara untuk segera melakukan denuklirisasi. Sifat fleksibiltas forum multilateral Six Party Talks yang memungkinkan terjadinya pembicaraan bilateral menjadi poin istimewa bagi negara-negara yang ingin melakukan pembicaraan empat mata untuk menyelesaikan masalah mereka secara damai melalui dialog. Hal ini seperti yang dilakukan AS - Korea Utara dan Korea Selatan - Korea Utara. Sejumlah pembicaraan bilateral tersebut mungkin tidak akan pernah terjadi apabila tidak didorong oleh forum multilateral seperti Six Party Talks. 65
Berbagai kesepakatan yang tercapai antar kedua negara di atas memang tidak semua terlaksana sepenuhnya. Jika melihat implementasinya, terdapat kesepakatan yang belum dapat dilaksanakan hingga forum ini berhenti pada 2009. Oleh karenanya, tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai kesepakatan yang telah tercapai antar kedua negara hanya bersifat sementara dan berlaku jangka pendek karena ketiadaan aturan hukum yang mengikat. Dengan demikian kehangatan hubungan antar anggota Six Party Talks hanya berlaku jangka pendek dan sementara. d. Meningkatkan Kerjasama Negara Anggota Six Party Talks dengan Korea Utara Dalam menyetujui
Joint
Statement
19
September
2005
mengenai
pembongkaran program nuklir Korea Utara, Pyongyang tentu mengharapkan kompensasi atau imbalan yang akan diberikan. Imbalan tersebut salah satunya pemberian bantuan internasional bagi Korea Utara oleh negara anggota Six Party Talks, di samping penghapusan sanksi ekonomi yang selama ini dibebankan kepada Korea Utara. Keenam pihak sepakat untuk meningkatkan kerjasama ekonomi di bidang energi, perdagangan, dan investasi. Cina, Jepang, Korea Selatan, Rusia dan AS menyatakan keinginannya menyediakan bantuan energi untuk Korea Utara. Bahkan, Korea Selatan menegaskan kembali proposalnya pada 12 Juli 2005 tentang penyediaan 2 juta kilowatt tenaga listrik sebagai bantuan energi bagi Korea Utara.
66
Pemberian bantuan oleh negara anggota Six Party Talks kepada Korea Utara menjadi salah satu bentuk kerjasama di bidang energi. Pemberian bantuan ini dianggap sebagai insentif, yaitu sebuah keuntungan yang tidak mungkin dapat tercapai kecuali melalui kerjasama. Insentif ini diharapkan dapat mendorong Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya, dimana dengan menghentikan program nuklirnya tersebut, maka Korea Utara akan mendapatkan keuntungan berupa bantuan energi dan peningkatan ekonomi. Dalam meningkatkan kerjasama ekonomi bidang perdagangan, Korea Utara meminta penghapusan sanksi ekonomi yang dilakukan AS terhadap Korea Utara. Termasuk mencairkan aset Korea Utara yang ada di Banco Delta Asia Macau yang telah dibekukan AS. Sanksi tersebut dilakukan setelah AS mendapatkan laporan mengenai pencucian uang oleh Korea Utara dari hasil perdagangan senjata dan perdagangan obat terlarang. Untuk itu, AS mengabulkan permintaan Korea Utara dengan mencairkan aset Korea Utara di Banco Delta Asia Macau. Selain mencairkan aset Korea Utara di Banco Delta Asia Macau, AS setuju untuk memulai proses menghapus Pyongyang dari daftar negara sponsor terorisme dan menghentikan penerapan “Trading with the Enemy Act” terhadap Korea Utara. Dengan dihapusnya penerapan “Trading with the Enemy Act” terhadap Korea Utara, maka Korea Utara dapat membuka kembali perdagangannya dengan AS (Ceuster dan Melissen 2008, h.17).
67
Untuk mengimplementasikan bantuan energi bagi Korea Utara, maka dilakukan pengiriman awal sebesar 50.000 ton bahan bakar minyak berat untuk Korea Utara sebagai kompensasi atas rencana penghentian program nuklir Korea Utara. Bantuan ini sebagaimana yang tercantum dalam Beijing Agreement 13 Februari 2007 dimana action plan tersebut menjelaskan bahwa semua anggota Six Party Talks menyetujui pemberian bantuan energi, ekonomi, dan bahan bantuan kemanusiaan yang setara dengan 950.000 ton bahan bakar minyak berat bagi Korea Utara (Lihat table IV.A.1). Hingga Desember 2008, Korea Utara telah menerima bantuan energi sekitar 550.000 ton bahan bakar minyak berat. Pengiriman bantuan energi ini dihentikan ketika Korea Utara menolak perjanjian verifikasi program nuklirnya hingga akhirnya melakukan serangkaian peluncuran roket sebagai bagian dari tes uji coba nuklirnya pada 5 April 2009. Peluncuran roket tersebut mengundang kritik keras dari DK PBB yang mengeluarkan Resolusi 1874 pada 13 April 2009 (UNSC 2009). Resolusi tersebut menyebabkan Korea Utara memutuskan mundur dari Six Party Talks. Keluar-masuknya Korea Utara dari Six Party Talks menandakan adanya sebuah masalah dalam forum ini. Berbagai perjanjian yang telah disepakati oleh anggota Six Party Talks memang tidak mengikat secara hukum karena Six Party Talks hanyalah institusi ad hoc (sementara). Tidak adanya aturan yang mengikat secara hukum menjadi hambatan atas kelancaran forum multilateral ini. Untuk itu, ketiadaan aturan yang mengikat ini membuat Korea Utara dengan mudahnya dapat 68
keluar-masuk Six Party Talks dan melanggar perjanjian-perjanjian yang telah disepakati bersama. Pemberian bantuan bagi Korea Utara yang selama ini dilakukan Six Party Talks ternyata belum menandakan adanya hasil yang nyata dalam membongkar program nuklir Korea Utara. Bantuan tersebut memang telah mendorong Korea Utara untuk menutup fasilitas nuklir dan kegiatan dalam mengembangkan program nuklirnya walaupun hanya memiliki efek jangka pendek. Walaupun begitu, setidaknya Six Party Talks mampu mengurangi produksi bahan bakar nuklir yang dilakukan Korea Utara. e. Menjaga perdamaian dan Stabilitas Kawasan Semenanjung Korea dan Asia Timur Korea Utara berlokasi di jantung timur Benua Asia. Terletak di Semenanjung Korea yang memanjang ke Selatan mulai dari bagian Timur Laut benua Asia yang merentang sekitar 1000 kilometer dari Utara ke Selatan. Sejak 1948 semenanjung ini dibagi menjadi dua bagian, Republik Korea di Selatan dan Republik Rakyat Demokratik Korea di Utara (Korean Overseas Information Services 1988). Pemisahan dua Korea ini telah menimbulkan berbagai konflik sejak berdirinya kedua negara itu. Berbagai konflik paska Perang Korea telah mewarnai wilayah ini sebelum pendirian Six Party Talks. Bahkan masalah ini meluas hingga wilayah Asia Timur, dimana hubungan Korea Utara dengan Jepang yang kadang terganggu. Oleh karena itu, masalah konflik ini menjadi isu penting selama pembicaraan Six Party 69
Talks berlangsung. Untuk menjaga stabilitas kawasan yang damai, negara anggota Six Party Talks mendorong Korea Utara untuk segera menghentikan perkembangan program nuklirnya. Dalam mewujudkan stabilitas kawasan Semenanjung Korea dan Asia Timur yang damai, Six Party Talks berinsiatif untuk memberikan insentif bagi Korea Utara agar Korea Utara bersedia meninggalkan program nuklirnya. Insentif tersebut berupa pemberian bantuan energi dan ekonomi untuk Korea Utara. Perlahan-lahan Korea Utara mulai bersedia meninggalkan program nuklirnya akibat dari pemberian insentif tersebut sejak Six Party Talks berdiri pada 2003. Upaya ini diyakini mampu mendorong Korea Utara memperkecil konflik yang terjadi di Semenanjung Korea. Pembahasan mengenai pentingnya menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan Semenanjung Korea telah dimasukkan dalam agenda pembicaraan Six Party Talks. Sebagaimana yang tertuang pada salah satu poin dalam Joint Statement bahwa para pihak Six Party Talks yang terkait secara langsung akan menegosiasikan rezim perdamaian permanen di Semenanjung Korea pada sebuah forum terpisah yang sesuai. Keenam pihak juga sepakat untuk mengeksplorasi cara dan sarana untuk meningkatkan kerjasama keamanan di Asia Timur (Lihat tabel IV.A.1) Setelah melihat perkembangan Six Party Talks sejak pendiriannya, kawasan Semenanjung Korea terlihat lebih stabil dimana aksi provokasi Korea Utara yang dapat menganggu stabilitas kawasan dapat diminimalisir berkat kehadiran Six Party Talks. Hal ini dikarenakan terdapat penurunan aktivitas nuklir Korea Utara sejak 70
Korea Utara masuk menjadi anggota Six Party Talks tahun 2003 hingga Korea Utara keluar dari forum ini tahun 2009. Untuk itu, Six Party Talks dianggap mampu membawa perubahan dengan menjaga perdamaian dan meredakan ketegangan di Semenanjung Korea dan kawasan Asia Timur. Bantuan energi yang disediakan negara anggota Six Party Talks ternyata mampu memberikan dampak positif bagi kemajuan perdamaian dan stabilitas kawasan Semenanjung Korea selama tahun 2003-2009. Terbukti dengan masuknya Korea Utara ke dalam Six Party Talks, aktivitas Korea Utara mampu dikendalikan dengan menawarkan insentif bagi Korea Utara walaupun cara ini hanya berdamapak sementara. Six Party Talks tidak dapat memberikan sanksi hukum yang tegas, karena ketiadaan aturan yang mengikat. Untuk melihat seberapa jauh pencapaian sebuah institusi, maka dapat dilihat kontribusi yang telah diberikan institusi tersebut dalam mencapai tujuan utamanya. Beberapa kontribusi Six Party Talks yang telah dijabarkan di atas menjadi gambaran seberapa besar peran Six Party Talks dalam menyelesaikan isu dan masalah penting yang dihadapi oleh negara anggotanya. Mempertemukan keenam negara dalam forum Six Party Talks sebenarnya merupakan pencapaian besar sebagai langkah awal sebelum masuk ke dalam pembahasan substantif. Menurut pakar politik internasional, Adriana Elisabeth menganggap bahwa Six Party Talks tidak memiliki efek yang cukup signifikan, karena biasanya sesuatu yang memiliki efek signifikan pasti berlaku long-term. Namun, sebenarnya pencapain 71
terbesar dalam Six Party Talks ini yaitu mampu menghasilkan sebuah kesepakatan yang dinamakan Joint Statement dan Beijing Agreement yang mampu mengehentikan perkembangan program nuklir Korea Utara untuk sementara waktu. Akan tetapi kesepakatan tersebut memiliki efek yang berlaku short-term (Lihat Lampiran). Berdasarkan pernyataan diatas, penulis setuju sepenuhnya bahwa peran Six Party Talks tidak memiliki efek secara signifikan dalam mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara. Hal ini terbukti dengan pencapaian yang dihasilkan dari Six Party Talks hanya berlaku sementara. Pada awalnya ketika Korea Utara menyetujui Joint Statement dan Beijing Agreement, Korea Utara bersedia membongkar program nuklirnya. Akan tetapi, karena tidak adanya mutual understanding antara Korea Utara dan AS, maka Korea Utara menghidupkan serta melanjutkan kembali pengembangan program nuklirnya yang ditandai dengan peluncuran uji coba nuklir pada 5 April 2009. Walaupun tidak memiliki efek signifikan, Six Party Talks telah berusaha membangun kembali pembicaraan antar pihak yang bertikai dengan semangat kebersamaan. Selain itu, Six Party Talks juga berhasil mempertemukan negara-negara yang berhubungan langsung dalam menyelesaikan isu nuklir Korea Utara selama tahun 2003-2009. Pertemuan antar anggota Six Party Talks diharapkan dapat membangun pemahaman bersama dalam menyelesaikan isu nuklir Korea Utara. Serangkaian pembicaraan dalam Six Party Talks yang berjalan lambat akhirnya menghasilkan Joint Statement 19 September 2005, Bejing Agreement 13 72
Februari 2007, dan Agreement 3 Oktober 2007 yang belum mampu dilaksanakan sepenuhnya. Walaupun pencapaian tersebut belum dapat diimplementasikan sepenuhnya dalam aksi yang nyata, akan tetapi setidaknya Six Party Talks yang telah berjalan selama enam tahun berhasil menghentikan sementara program nuklir Korea Utara dan menciptakan perdamaian untuk meredam aksi agresif Korea Utara dalam mengembangkan nuklirnya tahun 2007. B. Faktor Penghambat Six Party Talks dalam Mewujudkan Denuklirisasi di Korea Utara Dalam sebuah proses negosiasi atau diplomasi terkadang tidak berjalan mulus. Hal ini disebabkan terdapat beberapa faktor penghambat yang mempengaruhi jalannya sebuah negosiasi atau diplomasi. Berbagai faktor penghambat tersebut sebaiknya terus dievaluasi agar sebuah diplomasi dapat berjalan dengan lancar, sehingga tercapai kata mufakat. Diplomasi multilateral seperti Six Party Talks sedianya dapat menjadi trigger bagi keberlangsungan proses denuklirisasi di Korea Utara. Namun, hingga berakhirnya pembicaraan tahun 2009, proses denuklirisasi yang menjadi tujuan utama menemui jalan buntu dengan vakumnya Six Party Talks dalam mencari solusi untuk mengakhiri program senjata nuklir di Korea Utara. Kevakuman Six Party Talks ini diawali dengan keluarnya Korea Utara dari forum tersebut pada April 2009 (Kimball 2012). Adapun faktor penghambat Six Party Talks diantaranya: 1. Konflik Kepentingan (Conflict of Interests) 73
Ketegangan yang terjadi di Semenanjung Korea pada dasarnya tidak akan pernah terlepas dari warisan sejarah, yakni Perang Dingin. Perang ideologi tersebut telah menyisakan serpihan nuklir di berbagai kawasan. Kompleksitas kepentingan antara negara besar (core country) dan negara aliansi (pheriphey) serta hubungan antar pheriphey menimbulkan konflik kepentingan yang cukup rumit untuk diselesaikan dan memerlukan kesabaran serta kecermatan dalam mengambil sebuah keputusan. Sebagaimana kita ketahui bahwa anggota Six Party Talks terdiri dari Korea Utara, Korea Selatan, Cina, Jepang, AS, dan Rusia. Alasan keterlibatan Korea Utara, Korea Selatan, Cina, dan Jepang dalam Six Party Talks sudah pasti karena keempat negara tersebut memiliki keterkaitan langsung terhadap isu nuklir Korea Utara, dimana keempat negara tersebut berada dalam satu kawasan. Akan tetapi keterlibatan AS dan Rusia dalam forum tersebut diposisikan sebagai dua negara yang memiliki concern dan pengaruh terhadap isu nuklir dunia serta pengaruh yang kuat di kawasan ini. Keterlibatan negara besar serta negara aliansi di dalam Six Party Talks inilah yang menyebabkan terjadinya konflik kepentingan dalam forum multilateral tersebut. Oleh karena itu, secara garis besar forum multilateral ini terbagi ke dalam dua aliansi. Pertama, aliansi AS dengan Jepang dan Korea Selatan. Kemudian yang kedua yaitu aliansi Rusia dengan Cina dan Korea Utara. Kedua aliansi ini terkadang memiliki
74
perbedaan perspektif dan silang kepentingan yang cukup menghambat penyelesaian isu nuklir Korea Utara. Perbedaan perspektif tersebut misalnya dalam hal kepemilikan nuklir Korea Utara. AS, Jepang, dan Korea Selatan menginginkan pembongkaran program nuklir Korea Utara secara keseluruhan. Akan tetapi, Korea Utara yang memposisikan sebagai aktor menganggap bahwa kepemilikan nuklir tersebut merupakan hak setiap negara dan Korea Utara tidak akan menutup semua program nuklirnya, karena akan digunakan untuk kepentingan energi dalam negeri. Sikap Korea tersebut didukung Cina dan Rusia yang mendukung program nuklir Korea Utara untuk tujuan damai. Terlebih, kepemilikan nuklir merupakan hak Korea Utara yang memiliki kedaulatan negara secara penuh. Adapun silang kepentingan yang terjadi dalam Six Party Talks yaitu mengenai motif keterlibatan negara-negara tersebut dalam Six Party Talks. Keterlibatan Korea Selatan dan Jepang dalam Six Party Talks sangat mudah ditebak karena posisi negara tersebut yang berdekatan dengan Korea Utara. Kedua negara tersebut sebenarnya merasa terancam oleh nuklir Korea Utara karena kedua negara tersebut merupakan aliansi AS. Sehingga kedua negara tersebut menginginkan pembongkaran nuklir Korea Utara dan menghendaki pergantian rezim Korea Utara yang berkuasa agar Korea Utara segera mengakhiri program nuklirnya. AS sebagai aktor penting dalam Six Party Talks sudah dapat kita lihat motif atau kepentingannya dalam Six Party Talks. Tentara AS yang dahulu sempat 75
membantu Korea Selatan melawan Korea Utara dalam Perang Korea serta terciptanya Perang Dingin antara AS dengan Uni Soviet beserta aliansinya menambah deretan panjang keterlibatan AS di kawasan ini. AS berkepentingan mengamankan wilayah Korea Selatan dan Jepang yang menjadi aliansi AS. AS juga memberikan prioritas tinggi mengenai isu nuklir ini, karena isu nuklir Korea Utara tersebut dapat membahayakan stabilitas kawasan dan internasional. Akan tetapi, di sisi lain Cina dan Rusia memiliki silang kepentingan terhadap isu nuklir Korea Utara. Walaupun paska keruntuhan blok sosialis, Cina dan Rusia mencoba merubah dukungannya kepada Korea Utara bukan karena faktor ideologi. Akan tetapi lebih menekankan pada faktor ekonomi (Park dan Kim 2012, h.90). Terlebih paska Perang Dingin, Cina memang menjadi satu-satunya sekutu Korea Utara yang dapat dipercaya diantara beberapa negara sosialis yang masih tersisa. Sebagaimana kita ketahui bahwa Cina saat ini memainkan peran penting dalam sektor perekonomian dan pertahanan. Cina akan selalu menjaga stabilitas kawasan Semenanjung Korea untuk mengamankan kepentingan ekonomi dan pertahanannya. Korea Utara menjadi pasar berbagai produk Cina, sehingga Cina memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas pasarnya. Disamping itu, dari segi pertahanan, Cina secara tidak langsung membutuhkan Korea Utara untuk mencegah terjadinya serangan darat yang bisa dilakukan kapanpun oleh AS melalui pasukannya di Jepang.
76
Adapun kepentingan Rusia dalam perundingan Six Party Talks ini yaitu memperkuat eksistensi Rusia di kawasan, dimana situasi geopolitik Rusia tidak dapat diabaikan dalam menjaga stabilitas Semenanjung Korea. Di sisi lain, Rusia yang merupakan pewaris dari Uni Soviet tetap akan diperhitungkan sebagai negara besar yang memiliki pengaruh cukup besar, terutama di kawasan Asia. Kedekatan RusiaKorea Utara cukup terjalin erat yang ditandai oleh terciptanya kerjasama di bidang politik dan ekonomi kedua negara. Sama halnya dengan Cina, Rusia pun lebih menekankan kerjasama dengan Korea Utara atas motif ekonomi semata, bukan lagi karena faktor ideologi. Oleh karena itu, Rusia pun tidak ingin stabilitas pasarnya terganggu. 2. Juche Idea dan Songun Policy Sebelum menjelaskan lebih jauh, mari kita lihat terlebih dahulu mengenai arti dari Juche dan Songun itu sendiri. Menurut sumber resmi Korea Utara, Juche itu sendiri bermakna sebuah ideologi dimana semua rakyatlah pemilik revolusi dan pembangunan. Rakyat juga mempunyai kekuatan untuk mendorong tercapainya revolusi dan pembangunan tersebut (Foreign Languange Publishing House 2012, h.1). Sedangkan Songun secara singkat merupakan sebuah ide melanjutkan revolusi dan pembangunan, dimana militer menjadi kekuatan utama di Korea Utara. (Foreign Languange Publishing House 2012, h.2). Juche sendiri dapat diartikan sebagi sebuah ideologi dimana manusialah yang dapat mengatur nasibnya sendiri dan dia mempunyai kekuatan untuk menentukan 77
nasibnya. Artinya nasib Korea Utara berada di tangan pemerintah Korea Utara itu sendiri dan pemerintah memiliki andil sangat besar untuk menentukan arah kebijakan negaranya. Sehingga Korea Utara tidak bisa menggantungkan nasibnya kepada negara lain. Hal ini sejalan dengan asumsi Realis, dimana setiap negara memiliki kedaulatan yang sama untuk mencapai kepentingan nasionalnya (Perwita & Yani 2005, h.14). Semakin besar power negara, maka akan semakin besar potensinya untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Oleh karena itu, setiap negara akan berlomba-lomba meningkatkan power karena tidak ada negara lain yang dapat menjamin
keamanan
negaranya.
Sehingga,
ketika
negara
dituntut
untuk
mengamankan sendiri negaranya, maka negara tersebut tidak dapat menggantungkan kedaulatan negara kepada negara lain. Peningkatan power yang dimaksud yaitu berupa peningkatan militer (pertahanan), dimana saat ini Korea Utara sedang meningkatkan pertahanan militer yang dipersiapkan jika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk mempertahankan negaranya. Jadi, ideologi Juche tersebut menuntut Korea Utara untuk tidak bergantung kepada negara lain seperti Korea Selatan yang bergantung kepada AS.
Korea Utara
mempercayai bahwa dengan memiliki power besar (militer yang kuat), maka negaranya akan maju dan tidak akan mudah diintervensi negara lain. Alasan tersebut membuat Korea Utara terus menerus mengembangkan program nuklirnya walaupun mendapat berbagai kecaman. 78
Juche menjelaskan prinsip pertahanan dan pencapaian kebebasan rakyat dan negara, prinsip penguatan mengendalikan kekuatan revolusi dan meningkatkan perannya, serta prinsip memahami pikiran rakyat sebagai faktor utama dalam revolusi dan pembangunan. Dengan prinsip-prinsip tersebut, Korea Utara menyadari bahwa untuk menjadi bangsa dan negara yang maju dan kuat, maka diperlukan kekuatan serta semangat untuk mencapai dan mempertahankan tujuan tersebut. Terutama bertahan dari serangan luar yang mungkin menghambat revolusi dan pembangunan di Korea Utara. Adapun keterkaitan antara ideologi Juche dan Songun dengan Six Party Talks, yaitu bahwa Korea Utara tidak mungkin meninggalkan program nuklirnya karena program nuklir tersebut menjadi salah satu bukti kemandirian Korea Utara dalam melaksanakan revolusi dan pembangunan yang tidak ingin bergantung kepada negara lain. Rakyat maupun pemerintah bersama-sama membangun untuk memajukan negara tersebut. Sementara tujuan Six Party Talks itu sendiri adalah mengakhiri program nuklir Korea Utara. Walaupun berbagai bantuan energi dan ekonomi telah diberikan oleh anggota Six Party Talks bagi Korea Utara sebagai kompensasi atas pembongkaran program nuklirnya, akan tetapi Korea Utara sadar bahwa negaranya tidak boleh terus bergantung kepada bantuan negara lain. Hal ini disebabkan sifat ketergantungan tersebut bertolak belakang dengan ajaran Juche yang mengajarkan bahwa negaranya
79
tidak boleh bergantung kepada negara lain karena nasib sebuah negara hanya dapat diatur oleh negara tersebut melalui kebijakannya. Menurut pakar politik internasional, Adriana Elisabeth. Juche menjadi prinsip pedoman rakyat Korea utara yang mempengaruhi setiap kebijakan yang diambil oleh Korea Utara. Rakyat Korea Utara juga dikenal sangat patuh dan mengagungkan pemimpinnya akibat dari ideologi ini. Rakyat sudah diajarkan dan diperkenalkan pada ideologi Juche ketika mereka mendapatkan pelajaran di sekolah sejak usia dini. Tidak heran jika semangat Juche ini melekat kuat dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat, khususnya dalam bidang politik dan keamanan (Lihat lampiran III). Gagasan Juche memang selalu dijadikan pedoman dan arahan dalam setiap kebijakan yang diambil Korea Utara untuk tetap memprioritaskan aspek pembangunan. Kepatuhan rakyat terhadap pemimpinnya tersebut disimbolkan dengan menjadikan Juche sebagai ideologi dan mengimplementasikan ideologi tersebut dalam kehidupan masyarakat. Ideologi Juche membuat rakyat begitu mengagungkan Kim Il Sung, mantan pemimpin Korea Utara yang telah wafat yang dijuluki sebagai Presiden Abadi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semangat Six Party Talks untuk menghentikan program nuklir Korea Utara tidak akan menghasilkan sesuatu yang diharapkan selama Korea Utara menganut ideologi Juche dan Songun yang telah diwariskan oleh pemimpin-pemimpin rezim Korea Utara sejak pendirian negara tersebut untuk mewujudkan kemandirian Korea Utara. 80
3. Ketiadaan Aturan yang Mengikat secara Hukum (Non-Legally Binding) Dalam berbagai situasi, pada dasarnya diplomasi multilateral memang telah menjadi pionir dalam perkembangan diplomasi di abad ke-20. Diplomasi multilateral memberi kemungkinan besar untuk keberhasilan sebuah negosiasi. Dalam pertemuan sebuah diplomasi multilateral, pembahasan difokuskan pada suatu masalah sehingga pikiran peserta terkonsentrasikan pada satu isu. Kesempatan ini mendorong berbagai pihak yang terlibat bersama-sama mencapai kesepakatan, selain dimungkinkan untuk diselenggarakan dalam suasana tidak resmi. Keuntungan yang dicapai dalam diplomasi multilateral seperti disebutkan di atas, tidak dapat terpisahkan dari peraturan yang mengikatnya. Six Party Talks sebagai salah satu diplomasi multilateral telah berupaya menyelesaikan isu nuklir Korea Utara, walaupun belum terlihat hasil yang signifikan. Hal ini dikarenakan Six Party Talks merupakan institusi non-formal yang tidak memiliki peraturan mengikat secara hukum (non-legally binding) bagi anggotanya, sehingga tidak memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi kepada negara anggotanya. Sebagaimana kita ketahui bahwa Six Party Talks merupakan institusi insidentil dan bersifat ad hoc (sementara). Artinya negara anggota Six Party Talks tidak terikat secara hukum oleh kesepakatan yang dibuat dalam pertemuan Six Party Talks. Peraturan yang tidak mengikat secara hukum dalam institusi ad hoc seperti Six Party Talks memang menjadi hambatan tersendiri bagi kemajuan forum multilateral yang beranggotakan enam negara tersebut. Peraturan yang tidak terikat secara hukum 81
juga menyebabkan kinerja Six Party Talks berjalan lambat yang mempengaruhi gagalnya pelaksanaan hasil pencapaian Six Party Talks itu sendiri. Contoh nyata dapat dilihat dalam setiap aksi Korea Utara selama menjadi anggota Six Party Talks pada 2003-2009. Pembicaraan sempat terhenti pada 2006 karena Korea Utara melakukan serangakaian uji coba rudal balistik. Setelah peluncuran uji coba Korea Utara tersebut, pembicaraan dihentikan sementara sebagai bentuk kekecewaan anggota Six Party Talks atas tindakan Korea Utara tersebut yang dinilai menghambat pembicaraan yang sedang berlangsung. Dalam menghadapi tindakan Korea Utara tersebut, Six Party Talks tidak dapat memberikan sanksi secara tegas karena peraturan dalam Six Party Talks tidak mengikat secara hukum. Selama ini Six Party Talks hanya dapat melakukan peringatan dan penghentian insentif semata yang terlihat kurang efektif memberikan efek jera bagi Korea Utara. Untuk itu perlu disadari bahwa peraturan yang tidak mengikat secara hukum, akan merugikan para anggota di dalamnya. Hal ini dapat dilihat dari kelemahan Six Party Talks dalam menghadapi aksi Korea Utara yang dapat mengganggu keamanan di Semenanjung Korea. Pentingnya membuat peraturan yang mengikat ini tidak akan dapat tercapai jika status Six Party Talks masih bersifat ad hoc. Pengambilan keputusan dalam Six Party Talks menggunakan metode konsensus, sama seperti kebanyakan diplomasi multilateral lainnya. Konsensus dapat dicapai apabila semua peserta sepakat, atau dengan kata lain diperoleh suara bulat 82
dari para anggota. Jadi jika terdapat anggota yang tidak setuju, maka keputusan belum dapat diambil. Adapun keuntungan pengambilan berdasarkan konsensus yaitu untuk mendapatkan kesepakatan dari semua peserta diplomasi multilateral tanpa perlu melakukan pemungutan suara dan menghindarkan kemungkinan terjadinya perpecahan yang tidak diharapkan (Djelantik 2007, h.157). Perpecahan tersebut terjadi karena adanya perpecahan suara akibat perbedaan perspektif antar anggota mengenai keputusan yang akan dipilih. Dalam institusi multilateral seperti Six Party Talks, lobi yang terjadi antar pihak terkesan menjanjikan harapan yang berlebihan. Hal ini dikarenakan, agar pihak yang dijanjikan tersebut dapat menerima segala keputusan yang disepakati di akhir. Sebagai contoh mengenai kesediaan Korea Utara melucuti semua senjata nuklir dan program nuklir yang ada. Kesediaan Korea Utara tersebut dianggap sesuatu yang tidak mungkin tercapai, karena program nuklir tersebut menjadi sebuah kebutuhan Korea Utara untuk mempertahankan negaranya dari kemungkinan ancaman yang datang. Hal ini terbukti ketika Korea Utara melanggar kesepakatan dan mulai mengembangkan kembali program nuklirnya.
83
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pembicaraan multilateral yang dibangun Six Party Talks dalam mencapai tujuan utamanya dibuktikan melalui penyelenggaraan serangkaian proses negosiasi panjang demi terwujudnya denuklirisasi di Korea Utara. Untuk mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara tersebut, Six Party Talks telah berhasil mencapai berbagai kesepakatan bersama seperti Joint Statement 19 September 2005 yang diimplementasikan ke dalam Beijing Agreement 13 Februari 2007 dan Agreement 3 Oktoober 2007. Ketiga kesepakatan tersebut menjadi pencapaian besar Six Party Talks secara umum. Selama pembicaraan berlangsung dari tahun 2003-2009, Six Party Talks telah memberikan kontribusi bagi perkembangan isu nuklir Korea Utara sebagaimana yang tertuang dalam ketiga kesepakatan yang telah dicapai Six Party Talks. Kontribusi tersebut diantaranya Six Party Talks mampu menjadi sarana diplomasi dan negosiasi, mendorong proses pembongkaran program nuklir Korea Utara, memperbaiki hubungan antar anggota Six Party Talks, meningkatkan kerjasama antara anggota Six Party Talks dengan Korea Utara, serta menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan Semenanjung Korea dan Asia Timur.
84
Sejak pendiriannya, Six Party Talks dinilai mampu menndorong penyelesaian isu nuklir Korea Utara dalam format pembicaran multilateral yang mengedepankan resolusi damai melalui dialog. Namun, peran Six Party Talks selama tahun 2003-2009 tidak memiliki efek secara signifikan dalam mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara. Hal ini terbukti dengan pencapaian yang dihasilkan dari Six Party Talks hanya berlaku sementara dan bersifat jangka pendek saja. Walaupun tidak memiliki efek signifikan, Six Party Talks telah berusaha membangun kembali pembicaraan antar pihak yang bertikai dengan semangat kebersamaan. Selain itu, Six Party Talks juga berhasil mempertemukan negara-negara yang berhubungan langsung dalam menyelesaikan isu nuklir Korea Utara selama tahun 2003-2009. Pertemuan antar anggota Six Party Talks selama tahun 2003-2009 tersebut memberikan pelajaran betapa pentingnya penyelesaian suatu isu melalui sebuah negosiasi damai. Sehingga kedepannya forum multilateral lain diharapkan dapat membangun pemahaman bersama dalam menyelesaikan isu nuklir Korea Utara. Kontribusi yang diberikan Six Party Talks memang belum dapat menyelesaikan isu nuklir Korea Utara secara keseluruhan sebagaimana yang diharapkan. Bahkan awal tahun 2008, pembicaraan sempat vakum karena hambatan yang dihadapi Six Party Talks. Alasan terhambatnya usaha Six Party Talks, disebabkan oleh adanya konflik kepentingan antar anggota Six Party Talks, pengaruh Juche Idea dan Songun Policy, serta ketiadaan aturan yang mengikat secara hukum
85
(non-legally binding). Oleh sebab itu, ketiga elemen tersebut menjadi faktor penghambat Six Party Talks dalam mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara. Dengan demikian, perundingan Six Party Talks yang sudah berjalan selama enam tahun, dianggap berhasil menciptakan perdamaian untuk meredam aksi agresif Korea Utara dalam mengembangkan nuklirnya tahun 2007. Terbukti dengan penutupan dan penghentian aktivitas beberapa fasilitas nuklir Korea Utara. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa usaha Six Party Talks untuk melakukan denuklirisasi di Korea Utara belum maksimal, sehingga dianggap gagal menghentikan pengembangan program nuklir Korea Utara. Karena hingga keluarnya Korea Utara dari Six Party Talks yang mengakibatkan terhentinya pembicaraan Six Party Talks pada April 2009, Korea Utara masih tetap mengembangkan dan melanjutkan program nuklirnya. Keluarnya Korea Utara dari keanggotaan Six Party Talks dan usaha Korea Utara kembali mengembangkan program nuklirnya, menjadi tantangan baru bagi Six Party Talks untuk membuat formula baru dalam menciptakan sebuah pembicaraan yang cocok demi mencari solusi penyelesaian isu nuklir Korea Utara. Hal tersebut harus diupayakan untuk menjaga stabilitas keamanan kawasan yang mana dapat berdampak juga pada stabilitas keamanan internasional.
86
DAFTAR PUSTAKA
Buku Agung Banyu Perwita, Anak dan Yanyan Mochammad Yani. 2005.Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Albright, David dan Kevin O‟Neill, Solving the North Korea Nuclear Puzzle. 2000. Washington: The Institute for Science and International Security. Athanasopulos, Haralambos. “Nuclear Disarmament in International Law”. 2000. Jefferson, NC: McFarland & Co. Bandoro, Bantarto. 1991. Diplomasi Indonesia : Dahulu, Kini dan Masa Depan. Jakarta : CSIS Burchill, Scott dan Andrew Linklater. 2009. Teori-teori Hubungan Internasional. Terjemahan M. Sobirin. Bandung: Nusamedia. Central Intelligence Agency, Publication 2011, The World Factbook: North Korea. Washington. De Ceuster, Koen dan Jan Melissen. 2008. Ending The North Korean Nuclear Crisis: Six Parties, Six Perspective. Den Hag: Desiree Davidse. Dipoyudo, Kirdi. 1989. Aspirasi Perdamaian : Garis-garis Besar Politik Luar Negeri Indonesia. Analisis CSIS tahun XVIII. Djelantik, Sukawarsini. 2008. Diplomasi antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Dong-So, Kim, Park Kap-So, dkk. Understanding North Korea. 2012. Seoul: Ministry of Unification. Ford, Glyn. 2008. North Korea in the Brink: Struggle for Survival. Ann Arbor, MI: Pluto Press Government Information Agency 1988, Facts About Korea 1988. Seoul: Korean Overseas Information Services. Government Information Agency 2006, Facts About Korea. Seoul: Korean Overseas Information Services, Hara, Abu Bakar Eby. 2011. Pengantar Analisis Politik Luar Negeri dari Realisme sampai Konstruktivisme. Bandung: Nuansa.
xiii
Herbst, Alan M dan George W. Hopley. 2007. Nuclear Energy Now: Why the Time Has Come for the World’s Most Misunderstood Energy Source. New Jersey: New Willey and Sons Inc. Holsti, K.J. 1992. International Politics : A Framework for Analysis. Englewood Cliffs : Prentica Hall Inc. Kim, Djun Kil. 2005. The History of Korea. Westport, CT: Greenwood Press Library of Congress, Country Studies 1994, North Korea: A Country Study. Washington. Martin, Matthew. 2008. The Six Party talks and New Opportunities to Strengthen Regional Nonpoliferation and Disarmament Efforts. Beijing: The Stanley Foundation. Mazaarr, Michael J. 1995. North Korea and the Bomb: A Case Study in Nonpoliferation. London: Macmillan Press. Molander, Roger dan Robbie Nichols. Who Will Stop the Bomb? A Primer on Nuclear Poliferation. New York: Roosevelt Center for American Policy Studies. Moloeng, Lexy J. 1988. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Morganthau, Hans. 1948. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Knopf. Pinkston, Daniel A. 2008. The North Korean Ballistic Missile Program. Washington: Strategic Studies Institute. Robert, Jackson dan George Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Terjemahan Dadan Suryadipura. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rumintang, Lusiana. 2009. Bekerja Sebagai Diplomat. Jakarta: Erlangga Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2004. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Prenadan Media Group. Yong, Kim. 2012. Korea Focus: Committee for the Peaceful Reunification of the Fatherland . Seoul: Korea Foundation. Zhongying, Pang. The Six Party Process, Regional Security Mechanism, and China-US Cooperation: Toward a Regional Security Mechanism For a New Noortheast Asia. 2009. Washington: The Brookings Institution. Jurnal Bermudez, Joseph S. 1999. “A History of Ballistic Missile Development in the DPRK”. ., Center for Nonproliferation Studies, Occasional Paper no. 2 November. xiv
Bluth, C. 2005. “Between a Rock and an Incomprehensible Place: The United States and the Second North Korean Nuclear Crisis.” The Korean Journal of Defense Analysis, XVII (2): 87-109. Dreicer, J. “How Much Plutonium Could Have Been Produced in the DPRK IRT Reactor?.” Science and Global Security, vol. 8, no. 3, 2000. Eric Yong dan Jong Lee. 2004. “North Korea Nuclear Crisis”. ASIAN Pacific Law & Policy Journal Vol.5. Han S. Park. 2000. “North Korean Perceptions of Self and Others: Implications for Policy Choices.” Pacific Affairs 73: 503-516. Jano, Dorian. 2010. “Aspect of Security Dilemma: What We Have Learned from the Macedonian Case.” Journal of International Affairs. Jean-Fabrice Pietri. 2002. Manipulating humanitarian crisis in North Korea. Humanitarian Practice Network, 20: 13-15. Langhorne 2012. “The Unique Challenges Presented by Multilateral Diplomacy.” Social Science Research Network. Niksch, Larry A 2006. „North Korea‟s Nuclear Weapon Program‟. CRS Issue Brief of Congress IB91141:1-15. Olsen, J. 2003. “China‟s Proliferation Practices and The North Korean Nuclear Crisis”. Washington: U.S.-China Economic and Security Review Commission, h. 93. Powell, Robert. Nuclear Deterrence Theory: The Search for Credibility. 1990. Cambridge: Cambridge University Press. Samuel S. Kim. 2006. “China‟s Conflict-Management Approach to The Nuclear Standoff on The Korean peninsula,” Asian Perspective, vol. 30, no. 1 Sha, Z. 2003. “How to Cope with the DPRK‟s Withdrawal from the NPT.” Pidato Duta Besar SHA Zukang pada pertemuan NPT. Annecy, Perancis, 14 Maret 2003. Skripsi Harisasongko, Aditia. 2008 Diplomasi Amerika Serikat terhadap Korea Utara dalam Upaya Menyelesaikan Krisis Nuklir di Semenanjung Korea (1994-2007). Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga.
xv
Fina. 2012. Upaya Menuju Denuklirisasi Korea Utara Oleh Negara Anggota Six Party tahun 2006-2009. Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Surat Kabar Giacomo, Carol. 2003. “U.S. Seen Cracking Down on North Korea‟s Exports”. Reuters, 15 Mei. Sanger, D 2011, “North Korea Says Dictator Is Dead After 17-Years Rule.” New York Times 19 Desember 2011, A1. Internet “Chairman’s Statement for The Second Round of Six Party Talks,” 2004. Kementerian Luar Negeri Cina. Diunduh 10 September 2013 (http://www.fmprc.gov.cn) “China urges direct DPRK-US dialogue: says Chinese FM.” Xinhuanet. 6 Maret 2003. Diunduh 21 September 2013 (http://news.xinhuanet.com/english/2003-03/06content_762578.htm) “DPRK FM sends letter to president of UNSC”. 28 Juni 2003. Korean Central News Agency. Diunduh 19 Juli 2013 (http://www.kcna.co.jp) “DPRK Foreign Ministry Spokesman on Six-Party Talks”. 4 Agustus 2003. Korean Central News Agency. Diunduh 19 Juli 2013 (http://www.kcna.co.jp) Faustinus Andrea. “Krisis Nuklir Semenanjung Korea”. 2006. Center for Strategic and International Studies. Diunduh 15 September 2012 (http://www.csis.or.id/Publications-OpinionsDetail.php?id=501) “Foreign Ministry Spokesman on DPRK’s Will to Cooperate in Verification of Objects of Nuclear Disablement” 13 Oktober 2008. Korean Central News Agency. Diunduh 20 September 2013 (http://www.kcna.co.jp) xvi
“Foreign Ministry Spokesman Holds Some Forces Accountable for Delayed Impementation of Agreement”. 13 November 2008. Korean Central News Agency. Diunduh 20 September 2013 (http://www.kcna.co.jp) “Joint Statement Between the United States of America and the Republic of Korea.” 2003. Kedutaan Besar AS untuk Republik Korea. Diunduh 19 Agustus 2013 (http://seoul.usembassy.gov/joint_statement.html) “Joint Statement of the Fourth Round of the Six-Party Talks,.” 2005. Kementerian Luar Negeri Cina. Diunduh 19 Agustus 2013 (http://www.fmprc.gov.cn/eng/zxxx/t212707.html) “Joint Statement of the Trilateral Coordination and Oversight Group (Honolulu) 2003.” Departemen Luar Negeri AS. Diunduh 15 Agustus 2013 ( http://www.state.gov/r/pa/prs/ps/2003/21571.htm) “KCNA urges negotiations based on equality and trust.” 21 Juli 2003.Korean Central News Agency. Diunduh 19 Juli 2013 (http://www.kcna.co.jp) “Konferensi Pers Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina 24 April 2003,” Kementerian Luar Negeri Cina Diunduh 10 September, 2013 (http://www.fmprc.gov.cn/eng/xwfw/2510/2511/t22747.htm) “Kronologi Program Nuklir Korea Korea Utara.” 2013. Communications Commission. Diunduh 12 November 2013 (http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/nkorea_nuclear/news_02.htm) “Poilcy and Inciative”. 2012. Kementerian Unifikasi. Diunduh 30 Oktober 2013 (http://eng.unikorea.go.kr/CmsWeb/viewPage.req?idx=PG0000000694) “President Bush Meets with Japanese Prime Minister Koizumi,” 2003. White House Report. Diunduh 15 Agustus 2013 (http://www.whitehouse.gov/news/releases/2003/05/print/200305234.html) “Security Council Condemns Nuclear Test by Democratic People’s Republic of Korea: Unanimously Adopting Resolution.” 2006. Dewan Keamanan PBB. Diunduh 14 September 2013 xvii
(https://www.un.org/News/Press/docs/2006/sc8853.doc.htm) “Spokesman for DPRK Foreign Ministry on peaceful solution to nuclear issue”. 12 April, 2003. Korean Central News Agency. Diunduh 19 Juni 2013 (http://www.kcna.co.jp) “Spokesman for DPRK Foreign Ministry on Recent DPRK-U.S. Contact”. 1 Agustus 2003. Korean Central News Agency. Diunduh 19 Juli 2013 (http://www.kcna.co.jp) “The Nuclear Potential for Individual Countries.” 1995. Russian Federation Foreign Intelligence Service. Diunduh 15 September 2012 (http://www.fas.org/irp/threat/svr_nuke.htm) “U.S. insistence on “five-party talks” rebuffed.” 31 Mei 2003. Korean Central News Agency. Diunduh 19 Juli 2013 (http://www.kcna.co.jp) “U.S. urged not to fault DPRK‟s self-defensive measure.” 11 Mei, 2003. Korean Central News Agency. Diunduh 19 Juli 2013 (http://www.kcna.co.jp) “U.S. urged to make switchover in its DPRK policy”. Central News Agency. Diunduh 19 Juli 2013
5 Mei 2003. Korean
(http://www.kcna.co.jp) “U.S. urged to make switchover in its Korea policy”. 16 Juli 2003. Korean Central News Agency. Diunduh 19 Juli 2013 (http://www.kcna.co.jp) “U.S. urged to respond to DPRK-U.S. direct talks.” 26 Maret 2003. . Korean Central News Agency. Diunduh 19 Juli 2013 (http://www.kcna.co.jp) Armitage, R. L. 2003. “Weapons of Mass Destruction Developments on the Korean Peninsula” Departemen Luar Negeri AS. Diunduh 21 September 2013 (http://usinfo.state.gov/utils/printpage.html) Bush, G. W. 2003 “President Bush Urges Multilateral Effort on North Korea.” Departemen Luar Negeri AS. Diunduh 21 September 2013 (http://www.state.gov/p/eap/rls/rm/2003/18521.htm) Cha, Victor dan Hoffmeister, Chris. 2004. “North Korea‟s Drug Habit”. New York Times, 3 Juni 2003. h. A27. Diunduh 1 Agustus 2013 (http://www.nytimes.com/2004/06/03/opinion/north-korea-s-drug- habit.html) xviii
Choe Sang-Hun. 2013. “North Korea Claims to Conduct 2nd Nuclear Test” New York Times, 24 Mei. Diunduh 16 Oktober 2013 (ww.nytimes.com/2009/05/25/world/asia/25nuke.html) Daryl Kimball. 2012. “Chronology of U.S.-North Korean Nuclear and Missile Diplomacy.” Diunduh 15 September 2012 (http://www.armscontrol.org/factsheets/dprkchron#1985) John Gershman. 2005. “The Six Party Talks Agreement.” Diunduh 17 September 2012 (http://www.fpif.org/reports/the_six -party_talks_agreement) Kelly, J. 2001. “U.S. Policy in East Asia and the Pacific: Challenges and Priorities,” Kementerian Luar Negeri AS. Diunduh 15 September 2013 (http://www.state.gov/p/eap/rls/rm/2001/3677.htm) Kristensen, Hans. M. 2006. “Nuclear Weapons Program.” Diunduh 15 September 2012 (http://www.fas.org/nuke/guide/dprk/nuke/) Rice, C. “Remarks With South Korean Foreign Minister Ban Ki-Moon After Meeting,” 20 Maret 2005. Sekretaris Pemerintahan AS. Diunduh 19 Agustus 2013 (http://www.state.gov/secretary/rm/2005/43665.htm) Sanger, D. 2003. “North Korea Says It Now Possesses Nuclear Arsenal,” The New York Times, 25 April. Diunduh 15 Agutus 2013 (http://www.nytimes.com/2003/04/25/world/north-korea-says-it-nowpossesses-nucleararsenal.html) Sanger, D. 2006. “North Koreans Say They Tested Nuclear Devices” New York Times, 9 Oktober. Diunduh 16 Oktober 2013 (http://www.nytimes.com/2006/10/09/world/asia/09korea.html?pagewante d=all&_r=0) Wang, Yi. 2004. “Chinese Vice FM Follows up Six-Party Talks,” Xinhua News Agency, 5 Maret 2004. Diunduh 10 September 2013 (http://www.china.org.cn/english/international/89318.htm) Wines, M. 2003. “Warning to North Korea on Nuclear arms.” The New York Times, 12 April. Diunduh 21September 2013 (http://topics.nytimes.com/top/news/international/countriesandterritories/n orthkorea/nucl ear_program/)
xix
LAMPIRAN I: Kerangka Persetujuan (Agreed Framework) 1994 Agreed Framework between the United States of America and the Democratic People's Republic of Korea Geneva, October 21, 1994 Delegations of the governments of the United States of America (U.S.) and the Democratic People's Republic of Korea (DPRK) held talks in Geneva from September 23 to October 21, 1994, to negotiate an overall resolution of the nuclear issue on the Korean Peninsula. Both sides reaffirmed the importance of attaining the objectives contained in the August 12, 1994 Agreed Statement between the U.S. and the DPRK and upholding the principles of the June 11, 1993 Joint Statement of the U.S. and the DPRK to achieve peace and security on a nuclear-free Korean peninsula. The U.S. and the DPRK decided to take the following actions for the resolution of the nuclear issue: I. Both sides will cooperate to replace the DPRK's graphite-moderated reactors and related facilities with light-water reactor (LWR) power plants. 1) In accordance with the October 20, 1994 letter of assurance from the U.S. President, the U.S. will undertake to make arrangements for the provision to the DPRK of a LWR project with a total generating capacity of approximately 2,000 MW(e) by a target date of 2003. The U.S. will organize under its leadership an international consortium to finance and supply the LWR project to be provided to the DPRK. The U.S., representing the international consortium, will serve as the principal point of contact with the DPRK for the LWR project. The U.S., representing the consortium, will make best efforts to secure the conclusion of a supply contract with the DPRK within six months of the date of this Document for the provision of the LWR project. Contract talks will begin as soon as possible after the date of this Document. As necessary, the U.S. and the DPRK will conclude a bilateral agreement for cooperation in the field of peaceful uses of nuclear energy. 2) In accordance with the October 20, 1994 letter of assurance from the U.S. President, the U.S., representing the consortium, will make arrangements to offset the energy foregone due to the freeze of the DPRK's graphite-moderated reactors and related facilities, pending completion of the first LWR unit. Alternative energy will be provided in the form of heavy oil for heating and electricity production. xx
Deliveries of heavy oil will begin within three months of the date of this Document and will reach a rate of 500,000 tons annually, in accordance with an agreed schedule of deliveries.
3) Upon receipt of U.S. assurances for the provision of LWR's and for arrangements for interim energy alternatives, the DPRK will freeze its graphite-moderated reactors and related facilities and will eventually dismantle these reactors and related facilities. The freeze on the DPRK's graphite-moderated reactors and related facilities will be fully implemented within one month of the date of this Document. During this one-month period, and throughout the freeze, the International Atomic Energy Agency (IAEA) will be allowed to monitor this freeze, and the DPRK will provide full cooperation to the IAEA for this purpose. Dismantlement of the DPRK's graphite-moderated reactors and related facilities will be completed when the LWR project is completed. The U.S. and the DPRK will cooperate in finding a method to store safely the spent fuel from the 5 MW(e) experimental reactor during the construction of the LWR project, and to dispose of the fuel in a safe manner that does not involve reprocessing in the DPRK. 4) As soon as possible after the date of this document U.S. and DPRK experts will hold two sets of experts talks. At one set of talks, experts will discuss issues related to alternative energy and the replacement of the graphite-moderated reactor program with the LWR project. At the other set of talks, experts will discuss specific arrangements for spent fuel storage and ultimate disposition. II. The two sides will move toward full normalization of political and economic relations. 1) Within three months of the date of this Document, both sides will reduce barriers to trade and investment, including restrictions on telecommunications services and financial transactions. 2) Each side will open a liaison office in the other's capital following resolution of consular and other technical issues through expert level discussions. 3) As progress is made on issues of concern to each side, the U.S. and the DPRK will upgrade bilateral relations to the Ambassadorial level. III. Both sides will work together for peace and security on a nuclear-free Korean peninsula. xxi
1) The U.S. will provide formal assurances to the DPRK, against the threat or use of nuclear weapons by the U.S. 2) The DPRK will consistently take steps to implement the North-South Joint Declaration on the Denuclearization of the Korean Peninsula. 3) The DPRK will engage in North-South dialogue, as this Agreed Framework will help create an atmosphere that promotes such dialogue. IV. Both sides will work together to strengthen the international nuclear nonproliferation regime. 1) The DPRK will remain a party to the Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) and will allow implementation of its safeguards agreement under the Treaty. 2) Upon conclusion of the supply contract for the provision of the LWR project, ad hoc and routine inspections will resume under the DPRK's safeguards agreement with the IAEA with respect to the facilities not subject to the freeze. Pending conclusion of the supply contract, inspections required by the IAEA for the continuity of safeguards will continue at the facilities not subject to the freeze. 3) When a significant portion of the LWR project is completed, but before delivery of key nuclear components, the DPRK will come into full compliance with its safeguards agreement with the IAEA (INFCIRC/403), including taking all steps that may be deemed necessary by the IAEA, following consultations with the Agency with regard to verifying the accuracy and completeness of the DPRK's initial report on all nuclear material in the DPRK.
Kang Sok Ju Head of the Delegation of the Democratic People's Republic of Korea, First Vice-Minister of Foreign Affairs of the Democratic Peoples‟s Republic of Korea
Robert L. Gallucci Head of the Delegation of United States of America, Ambassador at Large of the United States of America
Sumber: International Atomic Energy Agency Publications 2 November 1994 xxii
Lampiran II: Pernyataan Bersama (Joint Statement) 19 September 2005 Joint Statement of the Fourth Round of the Six-Party Talks Beijing, 19 September 2005 The Fourth Round of the Six-Party Talks was held in Beijing, China among the People's Republic of China, the Democratic People's Republic of Korea, Japan, the Republic of Korea, the Russian Federation, and the United States of America from July 26th to August 7th, and from September 13th to 19th, 2005. Mr. Wu Dawei, Vice Minister of Foreign Affairs of the PRC, Mr. Kim Gye Gwan, Vice Minister of Foreign Affairs of the DPRK; Mr. Kenichiro Sasae, Director-General for Asian and Oceanian Affairs, Ministry of Foreign Affairs of Japan; Mr. Song Min-soon, Deputy Minister of Foreign Affairs and Trade of the ROK; Mr. Alekseyev, Deputy Minister of Foreign Affairs of the Russian Federation; and Mr. Christopher Hill, Assistant Secretary of State for East Asian and Pacific Affairs of the United States attended the talks as heads of their respective delegations. Vice Foreign Minister Wu Dawei chaired the talks. For the cause of peace and stability on the Korean Peninsula and in Northeast Asia at large, the Six Parties held, in the spirit of mutual respect and equality, serious and practical talks concerning the denuclearization of the Korean Peninsula on the basis of the common understanding of the previous three rounds of talks, and agreed, in this context, to the following: 1. The Six Parties unanimously reaffirmed that the goal of the Six-Party Talks is the verifiable denuclearization of the Korean Peninsula in a peaceful manner. The DPRK committed to abandoning all nuclear weapons and existing nuclear programs and returning, at an early date, to the Treaty on the NonProliferation of Nuclear Weapons and to IAEA safeguards. The United States affirmed that it has no nuclear weapons on the Korean Peninsula and has no intention to attack or invade the DPRK with nuclear or conventional weapons. The ROK reaffirmed its commitment not to receive or deploy nuclear weapons in accordance with the 1992 Joint Declaration of the xxiii
Denuclearization of the Korean Peninsula, while affirming that there exist no nuclear weapons within its territory. The 1992 Joint Declaration of the Denuclearization of the Korean Peninsula should be observed and implemented. The DPRK stated that it has the right to peaceful uses of nuclear energy. The other parties expressed their respect and agreed to discuss, at an appropriate time, the subject of the provision of light water reactor to the DPRK. 2. The Six Parties undertook, in their relations, to abide by the purposes and principles of the Charter of the United Nations and recognized norms of international relations. The DPRK and the United States undertook to respect each other's sovereignty, exist peacefully together, and take steps to normalize their relations subject to their respective bilateral policies. The DPRK and Japan undertook to take steps to normalize their relations in accordance with the Pyongyang Declaration, on the basis of the settlement of unfortunate past and the outstanding issues of concern. 3. The Six Parties undertook to promote economic cooperation in the fields of energy, trade and investment, bilaterally and/or multilaterally. China, Japan, ROK, Russia and the US stated their willingness to provide energy assistance to the DPRK. The ROK reaffirmed its proposal of July 12th 2005 concerning the provision of 2 million kilowatts of electric power to the DPRK. 4. The Six Parties committed to joint efforts for lasting peace and stability in Northeast Asia. The directly related parties will negotiate a permanent peace regime on the Korean Peninsula at an appropriate separate forum. The Six Parties agreed to explore ways and means for promoting security cooperation in Northeast Asia.
xxiv
5. The Six Parties agreed to take coordinated steps to implement the aforementioned consensus in a phased manner in line with the principle of "commitment for commitment, action for action". 6. The Six Parties agreed to hold the Fifth Round of the Six-Party Talks in Beijing in early November 2005 at a date to be determined through consultations. Sumber: “Six Party Talks on North Korean Issues: Joint Statement 2005”. 2005. Ministry of Foreign Affairs of Japan. Diunduh 30 September 2013. (http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/n_korea/6party/index.html)
xxv
Lampiran III : Perjanjian 13 Februari 2007 (Beijing Agreement) Initial Actions for the Implementation of the Joint Statement 13 February 2007
The Third Session of the Fifth Round of the Six-Party Talks was held in Beijing among the People's Republic of China, the Democratic People's Republic of Korea, Japan, the Republic of Korea, the Russian Federation and the United States of America from 8 to 13 February 2007. Mr. Wu Dawei, Vice Minister of Foreign Affairs of the PRC, Mr. Kim Gye Gwan, Vice Minister of Foreign Affairs of the DPRK; Mr. Kenichiro Sasae, Director-General for Asian and Oceanian Affairs, Ministry of Foreign Affairs of Japan; Mr. Chun Yung-woo, Special Representative for Korean Peninsula Peace and Security Affairs of the ROK Ministry of Foreign Affairs and Trade; Mr. Alexander Losyukov, Deputy Minister of Foreign Affairs of the Russian Federation; and Mr. Christopher Hill, Assistant Secretary for East Asian and Pacific Affairs of the Department of State of the United States attended the talks as heads of their respective delegations. Vice Foreign Minister Wu Dawei chaired the talks. I.
II.
The Parties held serious and productive discussions on the actions each party will take in the initial phase for the implementation of the Joint Statement of 19 September 2005. The Parties reaffirmed their common goal and will to achieve early denuclearization of the Korean Peninsula in a peaceful manner and reiterated that they would earnestly fulfill their commitments in the Joint Statement. The Parties agreed to take coordinated steps to implement the Joint Statement in a phased manner in line with the principle of "action for action". The Parties agreed to take the following actions in parallel in the initial phase: 1.
The DPRK will shut down and seal for the purpose of eventual abandonment the Yongbyon nuclear facility, including the reprocessing facility and invite back IAEA personnel to conduct all necessary monitoring and verifications as agreed between IAEA and the DPRK. xxvi
2.
3.
4.
5.
The DPRK will discuss with other parties a list of all its nuclear programs as described in the Joint Statement, including plutonium extracted from used fuel rods, that would be abandoned pursuant to the Joint Statement. The DPRK and the US will start bilateral talks aimed at resolving pending bilateral issues and moving toward full diplomatic relations. The US will begin the process of removing the designation of the DPRK as a state-sponsor of terrorism and advance the process of terminating the application of the Trading with the Enemy Act with respect to the DPRK. The DPRK and Japan will start bilateral talks aimed at taking steps to normalize their relations in accordance with the Pyongyang Declaration, on the basis of the settlement of unfortunate past and the outstanding issues of concern. Recalling Section 1 and 3 of the Joint Statement of 19 September 2005, the Parties agreed to cooperate in economic, energy and humanitarian assistance to the DPRK. In this regard, the Parties agreed to the provision of emergency energy assistance to the DPRK in the initial phase. The initial shipment of emergency energy assistance equivalent to 50,000 tons of heavy fuel oil (HFO) will commence within next 60 days.
The Parties agreed that the above-mentioned initial actions will be implemented within next 60 days and that they will take coordinated steps toward this goal. III.
The Parties agreed on the establishment of the following Working Groups (WG) in order to carry out the initial actions and for the purpose of full implementation of the Joint Statement: 1. 2. 3. 4. 5.
Denuclearization of the Korean Peninsula Normalization of DPRK-US relations Normalization of DPRK-Japan relations Economy and Energy Cooperation Northeast Asia Peace and Security Mechanism
The WGs will discuss and formulate specific plans for the implementation of the Joint Statement in their respective areas. The WGs shall report to the Six-Party Heads of Delegation Meeting on the progress of their work. In principle, progress in one WG shall not affect progress in other WGs. xxvii
Plans made by the five WGs will be implemented as a whole in a coordinated manner. The Parties agreed that all WGs will meet within next 30 days. IV.
During the period of the Initial Actions phase and the next phase - which includes provision by the DPRK of a complete declaration of all nuclear programs and disablement of all existing nuclear facilities, including graphite-moderated reactors and reprocessing plant - economic, energy and humanitarian assistance up to the equivalent of 1 million tons of heavy fuel oil (HFO), including the initial shipment equivalent to 50,000 tons of HFO, will be provided to the DPRK. The detailed modalities of the said assistance will be determined through consultations and appropriate assessments in the Working Group on Economic and Energy Cooperation.
V.
VI.
VII.
Once the initial actions are implemented, the Six Parties will promptly hold a ministerial meeting to confirm implementation of the Joint Statement and explore ways and means for promoting security cooperation in Northeast Asia. The Parties reaffirmed that they will take positive steps to increase mutual trust, and will make joint efforts for lasting peace and stability in Northeast Asia. The directly related parties will negotiate a permanent peace regime on the Korean Peninsula at an appropriate separate forum. The Parties agreed to hold the Sixth Round of the Six-Party Talks on 19 March 2007 to hear reports of WGs and discuss on actions for the next phase.
Sumber: “Six Party Talks on North Korean Issues: Beijing Agreement 2007”. 2007. Ministry of Foreign Affairs of Japan. Diunduh 30 September 2013 (http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/n_korea/6party/index.html)
xxviii
Lampiran IV: Perjanjian 3 oktober 2007 Second-Phase Actions for the Implementation of the Joint Statement 3 October 2007 The Second Session of the Sixth Round of the Six-Party Talks was held in Beijing among the People's Republic of China, the Democratic People's Republic of Korea, Japan, the Republic of Korea, the Russian Federation and the United States of America from 27 to 30 September 2007. Mr. Wu Dawei, Vice Minister of Foreign Affairs of the PRC, Mr. Kim Gye Gwan, Vice Minister of Foreign Affairs of the DPRK, Mr. Kenichiro Sasae, Director-General for Asian and Oceanian Affairs, Ministry of Foreign Affairs of Japan, Mr. Chun Yung-woo, Special Representative for Korean Peninsula Peace and Security Affairs of the ROK Ministry of Foreign Affairs and Trade, Mr. Alexander Losyukov, Deputy Minister of Foreign Affairs of the Russian Federation, and Mr. Christopher Hill, Assistant Secretary for East Asian and Pacific Affairs of the Department of State of the United States, attended the talks as heads of their respective delegations. Vice Foreign Minister Wu Dawei chaired the talks. The Parties listened to and endorsed the reports of the five Working Groups, confirmed the implementation of the initial actions provided for in the February 13 agreement, agreed to push forward the Six-Party Talks process in accordance with the consensus reached at the meetings of the Working Groups and reached agreement on second-phase actions for the implementation of the Joint Statement of 19 September 2005, the goal of which is the verifiable denuclearization of the Korean Peninsula in a peaceful manner. I. On Denuclearization of the Korean Peninsula 1. The DPRK agreed to disable all existing nuclear facilities subject to abandonment under the September 2005 Joint Statement and the February 13 agreement. The disablement of the 5 megawatt Experimental Reactor at Yongbyon, the Reprocessing Plant (Radiochemical Laboratory) at Yongbyon and the Nuclear Fuel Rod Fabrication Facility at Yongbyon will be completed by 31 December 2007. Specific measures recommended by the expert group xxix
will be adopted by heads of delegation in line with the principles of being acceptable to all Parties, scientific, safe, verifiable, and consistent with international standards. At the request of the other Parties, the United States will lead disablement activities and provide the initial funding for those activities. As a first step, the US side will lead the expert group to the DPRK within the next two weeks to prepare for disablement. 2. The DPRK agreed to provide a complete and correct declaration of all its nuclear programs in accordance with the February 13 agreement by 31 December 2007. 3. The DPRK reaffirmed its commitment not to transfer nuclear materials, technology, or know-how. II. On Normalization of Relations between Relevant Countries 1. The DPRK and the United States remain committed to improving their bilateral relations and moving towards a full diplomatic relationship. The two sides will increase bilateral exchanges and enhance mutual trust. Recalling the commitments to begin the process of removing the designation of the DPRK as a state sponsor of terrorism and advance the process of terminating the application of the Trading with the Enemy Act with respect to the DPRK, the United States will fulfill its commitments to the DPRK in parallel with the DPRK's actions based on consensus reached at the meetings of the Working Group on Normalization of DPRK-U.S. Relations. 2. The DPRK and Japan will make sincere efforts to normalize their relations expeditiously in accordance with the Pyongyang Declaration, on the basis of the settlement of the unfortunate past and the outstanding issues of concern. The DPRK and Japan committed themselves to taking specific actions toward this end through intensive consultations between them. III. On Economic and Energy Assistance to the DPRK In accordance with the February 13 agreement, economic, energy and humanitarian assistance up to the equivalent of one million tons of HFO (inclusive of the 100,000 tons of HFO already delivered) will be provided to the DPRK. Specific modalities will be finalized through discussion by the Working Group on Economy and Energy Cooperation. xxx
IV. On the Six-Party Ministerial Meeting The Parties reiterated that the Six-Party Ministerial Meeting will be held in Beijing at an appropriate time. The Parties agreed to hold a heads of delegation meeting prior to the Ministerial Meeting to discuss the agenda for the Meeting. Sumber: “Six Party Talks on North Korean Issues: Agreement 3 Oktober 2007”. 2005. Ministry of Foreign Affairs of Japan. Diunduh 30 September 2013. (http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/n_korea/6party/index.html)
xxxi
Lampiran V: Hasil Wawancara Narasumber
: Dr. Adriana Elisabeth
Jabatan
: Kabid. Perkembangan Politik Internasional LIPI, Pusat Penelitian Politik LIPI
Hari/ Tanggal: Selasa, 9 Juli 2013 Waktu
: 14.00-14.45
Tempat
: Gedung Widya Graha LIPI Jakarta Lt. IX Ruang 11.10
1. Menurut ibu, sebenarnya apa yang sedang terjadi di semenanjung korea? Apakah perlombaan senjata yang terjadi di semenanjung korea tersebut murni karena adanya struktur internasional yang anarki dimana setiap negara berhak mempertahankan negaranya dari negara lain atau karena sengaja dibentuk oleh negara-negara besar untuk menciptakan proxy war? Struktur internasional yang anarki memang membuat negara-negara dalam hal ini Korea Utara dan Korea Selatan akan mempertahankan negaranya dari serangan negara lain (self help) karena tidak ada yang dapat menjamin keamanan suatu negara selain negara itu sendiri, sehingga pada akhirnya negaranegara akan meningkatkan kapabilitas power nya.
Selain itu,
faktor eksternal juga mempengaruhi kebijakan sebuah negara. Dimana ketika power negara lain meningkat, maka akan diikuti juga oleh negara-negara dekatnya karena akan dianggap sebagai ancaman. Dalam kasus konflik Korea, maka sangat kental dengan kepentingan negara-negara besar seperti AS, Jepang, Rusia, dan Cina. Semua negara-negara tersebut mempunyai kepentingannya masing-masing yang tidak mungkin sama.
2. Menurut ibu apakah sebenarnya korea utara benar-benar menginginkan perang dengan tetangganya korea selatan? xxxii
Keamanan di semenanjung Korea memang tidak pernah sepi dari berbagai aksi, namun aksi tersebut berjalan up & down. Korea Utara sebenarnya tidak terlalu menginginkan perang, akan tetapi bila itu terjadi maka Korea Utara memang sudah siap dengan skenario terburuk tersebut. Oleh karena itu Korea Utara terus menerus mengembangkan program nuklirnya. Korea Utara hanya ingin menunjukan bahwa negaranya kuat dan menunjukkan keesksistensian mereka sehingga tidak dianggap remeh oleh negara lain. Di sisi lain, Korea Utara ingin negara-negara lain memperhatikannya dan tidak mengabaikannya (mencari perhatian). Ketika dilihat dari segi strategi Korut hingga saat ini, maka belum ada tanda-tanda kea rah sebuah peperangan yang sangat besar. Korea Utara juga sudah memperhitungkannya. Hanya terkadang AS terlalu berlebihan dalam menyikap tindakan Korea Utara.
3. Hal apa yang menjadi motivasi utama Korea Utara untuk mengembangkan program nuklirnya, khususnya dalam mengembangkan program senjata nuklir? Motivasi utama penegembangan nuklir Korea Utara sudah pasti karena Korea Utara memiliki kepentingan dan ingin menunjukkan keeksistensian Korea Utara dibawah rezim komunis. Dapat dikatakan juga bahwa pengembangan program nuklirnya tersebut juga sebagai cara diplomasi bentuk berbeda dalam pandangan Korea Utara. Walaupun rakyat Korea Utara sangat miskin, tapi mereka tetap mempertahankan program nuklirnya khususnya senjata nuklir. Selain sebagai kebutuhan energi dan cadangan energi yang terbarukan, Korea Utara meyakini dengan kekuatan negaranya maka dapat mendapatkan apa yang ingin dicapainya. Jadi nuklir dijadikan sebagai alat untuk mencapai kepentingan nasional Korea Utara itu sendiri. Saya melihat bahwa Korea Utara ini tidak mau didikte oleh negara lain dan memiliki karkater sangat keras.
xxxiii
4. Dalam skripsi ini, saya mencoba untuk menjelaskan berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan LN Korea Utara dalam mengembangkan program nukllirnya. Sebagaimana yang dijelaskan Holsti bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara yaitu faktor internal dan eksternal seperti kebutuhan sosio ekonomi, struktur pemerintahan, kebutuhan sosio ekonomi, sistem internasional, kondisi perekonomian dunia, kebijakan dan tindakan negara lain. Jadi seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut mempengaruhi kebijakan luar negeri Korea Utara dalam mengembangkan program nuklirnya? Memang benar bahwa faktor internal dan eksternal yang dijelaskan oleh Holsti tersebut memang sangat berpengaruh dalam setiap kebijakan luar negeri sebuah negara, khususnya dalam hal ini kebijakan luar negeri Korea Utara dalam mengembangkan program nuklirnya. Contohnya struktur pemerintahan yang
sangat
hierarkis
dan
berlandaskan
komunis
tersebut
mampu
mempertahankan sikap Korea Utara yang tertutup dan provokatif. Para ahli menyatakan komunis di Korea Utara merupakan komunis terkejam yang pernah ada di dunia. Kebutuhan sosio ekonomis juga telah membuat Korea Utara mengembangkan program nuklirnya dan ternyata sumber daya yang dimiliki Korea Utara sangat banyak dan kaya. Kondisi rakyat Korea Utrara memang sangat memperihatinkan, akan tetapi pemerintah tetap lebih memilih untuk mengembangkan program nuklir dari pada ekonomi rakyatnya, mengingat pentingnya keamanan sebuah negara.
5. Apakah Juche Idea dan Songun Policy muncul sebagai prinsip dasar untuk semua kebijakan Korea Utara? Rakyat Korea Utara memang berada dibawah tekanan pemerintah dan kediktatoran pemimpinnya, Akan tetapi, Juche Idea dan Songun Policy yang xxxiv
menjadi prinsip rakyat Korea utara sangat mempengaruhi setiap kebijakan yang diambil Korea Utara. Rakyat Korea Utara juga dikenal sangat patuh dan mengagungkan pemimpinnya akibat dari ideologi Juche ini. Rakyat sudah diajarkan dan diperkenalkan pada ideologi Juche dan Songun ini ketika mereka mendapatkan pelajaran sekolah sejak usia dini. Sehingga hingga saat ini rakyat masih tetap bertahan pada ajaran tersebut.
6. Berbicara mengenai usaha diplomatik dalam mencipatakan zona bebas nuklir di Korea Utara atau proses denuklirisasi di Semenanjung Korea. AS, Jepang, Rusia, dan Cina telah ikut terlibat kedalamnya untuk mengakhiri masalah ini. Contohnya membentuk The Agreed Framework dan Six Party Talks antara AS, Jepang, Korea Selatan, Cina, Rusia, dan Korea Utara. Apa alasan Korea Utara bergabung ke dalam dialog seperti Six Party Talks ini jika pada akhirnya Korea Utara keluar dari dialog ini? Setiap negara berdaulat tentu membutuhkan arena atau forum internasional untuk menujukkan keeksistensian negara tersebut di mata dunia internasional agar lebih dikenal dan diperhitungkan musuh Korea Utara yang mencoba menyerangnya. Alasan inilah yang mendorong Korea Utara mau diajak bergabung ke dalam forum-forum internasional seperti Six Party Talks, ASEAN Regional Forum, dan forum internasional lainnya. Walaupun dalam Six Party Talks pada akhirnya Korea Utara mencabut dirinya, akan tetapi sebenarnya Korea Utara masih membutuhkan forum-forum tersebut untuk menunjukkan dan mengemukakan keinginan Korea Utara sebenarnya. Dengan dialog dalam forum tersebut, setiap negara memiliki hak untuk menyatakan pendapat dan dapat mempengaruhi negara lainnya agar mendukung setiap kebijakan yang akan diambilnya.
xxxv
7. Bagaimana hubungan antara anggota-anggota Six Party Talks itu sendiri? Apakah ada masalah antar anggotanya sehingga Korea Utara sempat mengancam akan keluar dari forum tersebut pada 2006? Sebenarnya masalah terbesar dalam Six Party Talks ini karena sudah tidak adanya sikap saling percaya antar anggotanya dan masing-masing negara selalu saling curiga dan tidak percaya satu sama lain (mistrust). Terlebih jika anggota-anggota nya sudah saling melabeli (labeling) satu sama lain, maka forum tersebut sudah tidak akan berjalan lancer. Terbukti Six Party Talks tidak bertahan lama dan ditengah perjalanannya diwarnai pengunduruan diri anggotanya seperti yang dilakukan Korea Utara pada tahun 2006 yang mengancam akan keluar dari forum tersebut hanya karena AS melabeli Korea Utara sebagai Axis of Evil dan mendaftar hitamkan Korea Utara dari negara pendukung terorisme.
8. Apakah Ibu percaya bahwa Six Party Talks ini merupakan alat negosisasi dan diplomasi yang cocok bagi penyelesaian masalah Korea Utara? Untuk saat ini dan sejauh ini saya masih percaya bahwa Six Party Talks merupakan alat diplomasi dan negosiasi yang cocok bagi penyelesaian masalah Korea Utara karena jika dilihat sebelumnya, pembicaraan-pembicaraan dengan Korea Utara yang digagas AS tidak mampu bertahan lama. Namun sebenarnya tidak menutup kemungkinan terdapat cara diplomasi dan negosiasi yang lebih baik lagi. Intinya dalam setiap forum apapun, Korea Utara tidak pernah bersedia untuk didikte atau menjadi negara yang diperintah atau menjadi budak negara lain karena Juche Idea yang melekat dalam dirinya. Seharusnya perlu juga dicoba untuk pembicaraan bilateral agar tidak terlalu banyak kepentingan yang masuk, karena dalam diplomasi multilateral sangat sulit untuk menyatukan kepentingan-kepentingan yang ada yang dimiliki masing-masing negara yang tidak mungkin sama satu sama lain. Sehingga xxxvi
pembicaraan tidak akan fokus pada masalah utama karena terlalu banyaknya kepentingan yang bermain. Contohnya AS berkepentingan mengamankan kawasan. Adapun Cina, Rusia, dan Jepang berkepentingan memperluas ekonominya.
9. Seberapa besar Six Party Talks dapat mempengaruhi program nuklir Korea Utara? Menurut saya Six Party Talks tidak memiliki efek yang cukup signifikan, maksudnya tidak ada efek yang signifikan karena biasanya sesuatu yang memiliki efek signifikan pasti berlaku long-term. Namun, sebenarnya pencapain terbesar dalam Six Party Talks ini yaitu mampu menghasilkan sebuah kesepakatan yang dinamakan Beijing Agreement yang kemudian dituangkan ke dalam sebuah perjanjian yang dinamakan Joint Statement yang mampu mengehentikan perkembangan program nuklir Korea Utara untuk sementara waktu. Akan tetapi kesepakatan tersebut memiliki efek yang berlaku short-term. Jadi saya melihatnya hanya terjadi sedikit pencapaian dan itu pun berlaku hanya jangka pendek saja, dimana setelah kesepakatan itu dianggap gagal maka Korea Utara tidak lagi terikat dengan kesepakatan tersebut dan menghidupkan serta melanjutkan kembali pengembangan program nuklirnya. Korea Utara juga terlihat sudah tidak ingin lagi melanjutkan forum tersebut, sehingga untuk apa dilanjutkan jika anggotanya sendiri sudah tidak merasa nyaman dalam forum tersebut.
10. Apa saja faktor penghambat dan pendukung Six Party Talks ini hingga bisa berhenti di tengah jalan tanpa ada keputusan yang berarti?
xxxvii
a. Faktor penghambat: Tidak adanya legally binding, tidak ada roadmap yang nyata, tidak ada mutual trust antar anggotanya. b. Faktor pendukung: Terdapat dua kekuatan besar (AS dan Cina), Didukung oleh banyak negara.
xxxviii