[i]
Dinda Hidayanti, 2013
[ii]
Dinda Hidayanti
Penerbit NulisBuku.com
Terdampar di Rusia Copyright © 2013 by Dinda Hidayanti
[iii]
Ucapan terimakasih Aku,
pengen
banyak-banyak
mengucapkan
terimakasih kepada Tuhanku Allah SWT, Mamah Julie Giriani, adikku Dita yang namanya banyak aku sebut dibuku ke dua ini, tante Ida Harsono dan kawan-kawan yang
namanya
juga
ikut
terpampang
nyata
membahana dalam buku ini. Syahrini mode : ON. Spesial pake telor, buku ini aku persembahkan untuk putra pertamaku: Raditya Raffi Rachman 8 feb 2013 Tentunya tanpa adanya dukungan semangat dari mereka semua, buku ini tidak akan pernah jadi buku. Yang ada hanya akan jadi coretan ga bermutu dan jadi bungkus gorengan. Bangil, Januari 2013 [iv]
Daftar isi Ramadhan pertama Di Rostov-1 Asrama barat-11 Kobel dan minyak zaitun-22
Kobelisme “insiden si abdul”-31
Tetangga dari Gn. Himalaya-37 Dosenku sayang, dosenku malang-42 Si ompong dan balada rumah sakit-53 Mabok Janda-58 Nilai kedisiplinan Rusia-66 Oseng-oseng kentang telor-74 Ciputat-Cibubur -82 Horror tingkat dewa-104 Daswidanya Bangil-117 Si manis dari Bangladesh -125 Deportasi-132 Apa itu PNBB-146 Tentang penulis-152
[v]
Ramadhan pertama di Rostov Rostov-on-Don, 15 september 2007.
Inilah
pengalaman yang tak akan pernah
bisa kulupakan seumur hidupku. Setelah liburan leto berakhir, aku harus kembali ke rutinitasku sebagai seorang mahasiswa tingkat satu fakultas psikologi. Setelah aku menyelesaikan urusanku dengan Nabil, maka aku bisa menyambut bulan ramadhan dengan hati ringan. Ramadhan tahun ini memang sangat ekstrim, karena datang di musim panas. Selain waktu puasa yang lebih panjang, dari pukul empat pagi sampai pukul setengah sembilan malam, juga karena banyak zinah mata di mana-mana. Banyak sekali kaum 1
perempuan yang tanpa busana, ups! Tapi, apapun itu, terserah. Yang jelas aku tak seperti itu. Hari ini, hari pertama puasa dan aku harus melakukan
pemeriksaan
kesehatan.
Baik
di
Indonesia atau pun di Rusia, budaya antri tetap berlaku, aku harus mengantri di antara orang asing yang beraroma bau badan tak sedap dan mereka adalah teman sekelasku. Pagi ini, aku hanya sahur dengan doa, karena bangun kesiangan, jadi tak sempat makan. Pukul tujuh pagi aku sudah pergi menuju studenceski polokinik (poliklinik pelajar), lebih cepat dua jam dari jadwal seharusnya. Tempat kliniknya belum kutahu, oleh karenanya aku berangkat jauh sebelum jadwalnya, agar tak sampai telat tiba di tempat tujuan. Setelah bertanya kepada beberapa orang, aku pun sampai. Mulailah mengisi data-data administrasi
yang
cukup
melelahkan
sehingga
membutuhkan waktu satu jam dan bantuan dari seorang nenek penjaga fotokopi. Ternyata budaya [2]
antri di Rusia sangat parah, karena mereka tak antri dengan membuat barisan, tetapi berkumpul di depan pintu. Hal ini membuat make-up para wanita Rusia yang tebal itu pun memudar, bau parfum tak sedap pun tercium dan rambut yang tertata rapi pun menjadi berantakan. Aku pun akhirnya berbaur dalam
kumpulan
itu,
tenaga
habis
terkuras
sementara masih ada tiga cap dokter yang harus kudapat. Dari semua dokter, sayangnya tak semuanya ambil andil, kebanyakan hanya bertanya. Dan, aku hanya menjawab semua pertanyaan dengan satu kata : Da (iya). Saat masuk ke ruangan dokter ginekolog, sang dokter bertanya hal yang tak kumengerti, untuk mempersingkat waktu, aku hanya menjawab singkat “da”. Jawaban antara sadar dan tidak karena badanku sudah terlalu lemas, lelah. Selanjutnya dokter bertanya hal yang mengganjal dan kurang enak didengar : “Suami kamu kerja dimana?” [3]
Bingung. Kenapa bertanya tentang suami? Aku hanya menjawab jika aku belum menikah. Dokter yang bermata abu-abu itu malah marah besar : ”Aku bertanya, apakah anda pernah berhubungan intim atau menatap
belum? Anda jawab iya. Tapi kenapa tajam
Sebenarnya
saat
sudah
ditanya
apa
tentang
belum?
suami?
Jangan
asal
menjawab.” Suara sang dokter terdengar kesal. Mendegar itu, mukaku jadi pucat. Masalah besarnya, mereka tak mengerti bahasa Inggris, dan bahasa Rusiaku saat itu masih sangat terbatas. Aku baru tujuh bulan di sini, jadi bagaimana mungkin bisa menghapal semua istilah bahasa Rusia. Karena kuliahku di jurusan psikologi, maka istilah yang kupelajari adalah istilah untuk psikologi. Sedangkan istilah untuk bidang kedokteran dan bidang lainnya tentu saja berbeda. Setelah sampai asrama, aku segera sholat ashar dan dzuhur yang kujamak. Badanku berangsur terlihat segar, aku langsung memasak untuk berbuka [4]
puasa. Aku masak cukup banyak karena masakan ini bukan
hanya
mahasiswa
untukku,
asal
tapi
Indonesia
juga
yang
untuk dua satu
asrama
denganku, Andres dan mas Tegar. Untuk hari puasa pertama ini, aku sengaja memasak menu istimewa: susu, nasi, dan tumisan sawi putih. Menu istimewa yang sederhana, tapi cukup untuk memulihkan tenaga yang lemas. Andres datang setengah jam sebelum waktu berbuka, sedangkan mas Tegar masih di kampus. Waktu terasa berat dan semakin berat karena menu berbuka telah terhidang di depan mata. Aku melihat jam tanganku, waktu buka puasa kurang lima menit lagi, tapi Andres malah bilang jika waktunya kurang tiga belas menit lagi. Hah? Aku melihat jam di ponselku, kurang tujuh menit lagi. Sedangkan jam di komputer ternyata kurang tujuh belas menit lagi. Bingung. Tahun
ini,
jaringan
internet
masih
belum
tersambung, hanya ada warnet yang berada di [5]
bawah asrama dengan harga yang masih cukup mahal juga selalu penuh. Untuk jadwal waktu sholat, aku meminta jadwal pada petugas masjid, di utara kota. Langsung untuk waktu satu tahun. Di Rusia, matahari
tak
bekerja
secara
teratur,
tetapi
tergantung pada musim. Saat musim dingin yang biasa terjadi di bulan desember, matahari akan bekerja selama delapan jam. Sedangkan saat musim panas, matahari bekerja tanpa lelah selama dua puluh dua jam. Apalagi di kota St.Petersburg yang terletak di sebelah utara Rusia, mataharinya hanya terbenam selama kurang dari satu jam, atau biasa di sebut dengan nama “Belii Noch”. Akhirnya kami sepakat untuk mengikuti jam di komputer, untuk itu kami menyetel alarm ponsel yang kami setting dengan suara adzan. Adzan pertanda berbuka puasa telah berbunyi dari ponsel, kami segera melantunkan doa berbuka puasa. Kerinduan akan tanah air tiba-tiba hadir mengisi hatiku, rindu akan mama dan masakannya, juga suasana ramadhan di Indonesia. [6]
Buka puasa pertama ini cukup hangat karena diiringi dengan tetesan air mata haru dan sedih. Ini lah tahun pertama yang kami lalui di Rusia, yang jauh dari saudara dan dari suasana ke-islaman seperti di tanah air. Alhamdulilah, marhaban yaa Romadhon.
[7]
Asrama barat Rostov, September 2007
Sekarang aku sudah resmi menjadi mahasiswa tingkat satu di Universitas Federal Selatan Rusia. Asramaku sudah berpindah, bukan lagi di DSTU. Asramaku memang telah pindah, tapi aku masih tetap berada di kota Rostov-on-Don. Mungkin takdirku memang di kota ini. Rino temanku sudah pindah ke kota Moskva, sedang Ando ke St. Peterburg melanjutkan kuliah kedokteran. Alarm ponselku berbunyi tepat di pukul lima pagi, dinginnya bulan November di kota Rostov menyusup hingga ke tulang. Aku kembali menarik selimut demi mengurangi dinginnya udara didalam kamar, aku masih malas untuk bangun. Pamanas ruangan kamar juga sepertinya tak bekerja maksimal. [8]
Walau belum masuk musim salju, tapi udara sudah sangat dingin. Suhu di termometer ruangan hanya dua belas derajat. Tetap saja aku harus memaksakan diri untuk keluar dari kehangatan selimut untuk mengikuti kelas pagi di glavni korpus, gedung utama. Dengan malas aku mengeluarkan satu persatu bagian tubuhku, terutama kaki terlebih dahulu dari selimut dan memaksanya untuk turun dari kasur yang hangat dan empuk itu. Semantara dua teman kamarku, Cik Mai dan Lan Shi, masih tertidur pulas. Cik Mai adalah mahasiswi tingkat empat yang berasal dari Vietnam, sedangkan Lan Shi berasal dari China dan baru tingkat satu. Mereka berdua adalah teman sekamar yang baik dan kompak. Kamis elalu saling mengisi dan berbagi. Kulangkahkan kakiku dan kuraih handuk yang tergantung di tiang tempat tidurku. Dengan hati-hati, kubuka pintu kamarku yang sudah tua dan hampir rusak. Telah banyak uang yang kami keluarkan untuk [9]
memperbaiki pintunya namun belum juga bagus, sedangkan komandan asrama sama sekali tak perduli dengan keadaan ini. Tak hanya itu, koridor kamarku juga tak mempunyai lampu, kondisi lantai kayunya banyak yang rusak. Kondisi dapur umum ternyata tak kalah tragis, ruangannya suram dan hanya diterangi cahaya lampu lima watt. dapur,
di
gedung
ini
Menyeramkan. Selain pun
banyak
ruangan
menyeramkan lainnya, ruangan yang hanya diberi penerangan cahaya api yang menyala dari saluran gas elpiji, juga bau tak sedap dari cerobong tempat sampah ditambah bau gas dari pipa elpiji yang bocor. Tapi, asrama ini jauh lebih baik dari asrama waktu podfak dulu. Di sini, kamar mandinya terdapat di tiap blok dan hanya digunakan oleh penghuni bloknya saja, setiap blok terdiri dari empat kamar dengan total penghuni 10 orang saja. Tiga orang untuk kamar berukuran besar dan dua orang untuk kamar berukuran kecil. Satu hal yang [10]
lucu sekaligus tragis adalah kondisi liftnya yang jarang berfungsi, mungkin karena usianya yang tua dan tak terawat. Selain lift, saluran air juga sering sekali bermasalah. Dari lantai tiga sampai lantai Sembilan, hanya air panas saja yang mengalir, itu pun tak lancar bahkan kadang mati total. Air panas dan dingin hanya mengalir lancar sampai batas lantai dua saja, lantai khusus
yang
disediakan
untuk
mahasiswa-
mahasiswi kaya. Harga sewa kamarku hanya 150 dollar pertahun, sedangkan untuk lantai satu dan dua sewa kamarnya 200 dollar per bulan. Perbandingan yang membanting ya? Kuraih botol air minum lima liter yang telah kudinginkan semalam, lalu menuangkannya dalam ember kecil dan kugunakan untuk mencuci muka, menggosok gigi serta wudhu. Selain itu, aku pun telah menampung air panas untuk
keperluan
sehari-hari,
karena
aku
tak
mungkin bisa langsung menggunakan air panas yang [11]
rasa-rasanya seperti air yang mendidih. Aku tak ingin banyak mengeluh karena kondisi asrama terbaik nomor enam di Rusia ini, aku terus berusaha untuk bersyukur dengan segala yang aku alami. Di bulan November ini, jadwal sholat subuhnya dari
pukul
enam
sampai
jam
delapan
pagi,
sedangkan saat musim dingin menjadi pukul tujuh sampai delapan. Hanya ada satu masjid berdiri di kota ini, masjid yang sering kudatangi jika aku telah rindu dengan suara adzan. Di Rusia, ada tempat bagi jamaah wanita untuk melaksanakan sholat jumat, karena muslim di Rusia mengikuti mahzab Hanafi, bukan mahzab Syafi’I seperti di Indonesia. Di Masjid, selain menjadi pengobat rasa rindu akan adzan, aku juga bisa menata hatiku, berdoa dan bersilaturahmi dengan muslimah Rusia. Setelah sholat dan berdoa, aku mempersiapkakan diri untuk kuliah. Dengan menggunakan palto pink sepanjang lutut yang merupakan hadiah dari Cik Mai, jeans, jilbab dan syal, aku melangkah mantab pergi [12]
ke kampus. Tak lupa memasang earphone di kedua telinga agar bisa mendengarkan musik di dalam bus. Hal ini kulakukan agar aku tak mendengarkan makian dan teriakan penuh emosi yang biasa terjadi. Orang Rusia memang terkenal suka berdebat, saling mengadu tinggi suara dan beradu argument dalam segala hal. Meski tak sampai adu fisik. Sikap seperti itu ternyata tak hanya berlaku di dalam bis saja, tetapi di mana pun mereka berada. Dan itu terjadi di semua kalangan, baik itu yang tua, yang muda, guru, supir bis, pegawai, bahkan pemulung. Sikapnya memang seperti itu. ”Zdraswice dobre utro..” Kuucapkan selamat pagi kepada seorang nenek yang bekerja sebagai bakhtior, penjaga pintu di lantai dasar. “Dobre utro na zaniati? selamat pagi, kuliah?” nenek itu menjawab dengan muka dinginnya. “Da, kanietsna, tentu saja” sambil tersenyum dan berlalu. [13]
Nenek itu walaupun sudah tua tapi tetap masih bekerja, ini sudah umum terjadi di Rusia. Para lansia itu
umumnya
bekerja
sebagai
bakhtior,
kuli
bangunan, supir tramway, atau pun penjaga pintu kwartira, flat/apartemen. Mereka terus bekerja demi mencari sepotong roti untuk makan, umur bukanlah penghalang. Pekerjaan
apapun
akan
dilakukan
demi
menyambung hidup, mengingat dana pensiun sangat minim. Orang Rusia pantang berpangku tangan selama masih punya kekuatan dan tenaga. Hebat! Aku melihat jam tangan, masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Di musim dingin, matahari masih belum juga menyapa, jam kerjanya pun pendek. Terdengar suara dahan dan pohon yang tertiup angin, pasti di luar sangat dingin. Aku keluar dari pintu, angin dingin dan kencang langsung menampar wajahku, dingin sekali. Sesekali rintik lembut air hujan menerjang wajahku.
[14]
Sebenarnya aku malas untuk kuliah, tapi saat kuingat tentang tanggung jawab dan tujuanku datang ke sini, aku tetap melanjutkan untuk melangkah pergi meninggalkan kamarku yang hangat karena pemanas ruangan yang dibeli oleh Cik Mai. Tiga puluh menit sudah aku berdiri, tapi tak satu pun bis yang lewat, hanya beberapa masrut, angkot saja yang lewat. Sebetulnya bisa saja aku menaiki masrut, tapi aku lebih memilih untuk naik bis karena harga tiket yang lebih murah. Sebagai mahasiswa asing yang hidup dengan beasiswa, maka aku harus cermat menghitung semua pengeluaranku. Selain itu, harus kuat mental agar tetap bisa bertahan hidup di negeri orang. Walau langit masih gelap, bis nomor 67 ini telah banyak penumpang. Bis ini akan melewati Balsaya sadobaya atau jalan utama kota Rostov-on-Don. Setelah melewati beberapa halte, akhirnya aku sampai di tujuan.
[15]
Dari halte, aku harus berjalan kaki sejauh lima ratus meter untuk sampai kampus. Di Eropa, memang harus barjalan kaki, karena tak ada tukang becak atau pun ojek. Aku jadi teringat seniorku, Mbak Leli, yang setiap hari harus berjalan kaki sekitar dua kilometer untuk sampai ke halte terdekat. Pagi ini terasa sangat melelahkan, apalagi semalam aku tak tidur karena harus menyelesaikan tugas yang menumpuk. Aku hampir saja lari dari semua ini, tapi aku tak mungkin melakukannya. Aku masih sangat jelas mengingat harapan Mama dan semua orang untukku, oleh karena itu aku tak boleh menyerah dan membuang kesempatan yang sangat langka. Beasiswa di luar negeri memang tak mudah didapatkan dan tak semua orang beruntung mendapatkannya. Ingatanku tiba-tiba menuju ke Ana, teman SMAku. Ana adalah gadis yang cerdas, tekun mempelajari sesuatu, dan prestasinya selalu melebihiku. Ia hidup [16]
di tengah keluarga yang sangat sederhana, dan prihatin. Saat ujian, tasnya selalu dipenuhi buku pelajaran dan kain-kain border milik tetangga yang harus dirapihkan ujungnya, itu memang pekerjaan Ana. Ibunya hanyalah ibu rumah tangga seperti juga mama, tapi terkadang ibunya Ana juga mengerjakan bordiran. Aku pernah diajak Ana untuk mengunjungi tambak ikan yang berjarak lima kilometer dari desa, kami mengayuh sepeda untuk menempuhnya. Di sana, bapak dari Ana sedang menjala ikan dengan sebuah rakit. Aku melihat Ana sedang mengumpulkan dahandahan kayu kering dan menyiapkan perapian. Aku dengan sigap membantunya dan mengeluarkan barang-barang yang telah kami bawa dari rumah : sendok, kecap, cabe, garam dan nasi. Setelah itu Ana membersihkan ikan yang diambil dari tambak dan membakarnya. Tambak ini adalah sumber penghasilan keluarga Ana, walau hasilnya [17]
tak
seberapa,
tapi
tambak
ini
mampu
menyekolahkan Ana sampai SMA. Aku terkejut dengan sentuhan tangan dingin yang mengenai pipiku, ternyata aku tertidur di kelas. Saat kubuka mata, kulihat semua penghuni kelas. Aku langsung menggeser posisiku agar Irina dapat duduk, Ia bertanya tentang keadaanku karena melihat wajahku yang lesu dan pucat. Aku hanya tersenyum dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Dosen akhirnya datang, pelajaran pun dimulai. Namun aku hanya terdiam seribu bahasa karena aku masih belum mengerti banyak tentang bahasa Rusia, kuliah podfak selama enam bulan belum cukup untuk memahami bahasa Rusia. Sikapku di kelas persis seperti orang yang tuna rungu dan tuna wicara. Sungguh memilukan. Hiks
[18]
Kobel dan minyak zaitun Siapa sih, yang ga tau tentang khasiat minyak zaitun? Minimal tau-lah minyak yang sering dipakai oleh orang – orang eropa untuk memasak, karena di anggap nilai kolesterolnya yang minim. Beda orang eropa beda pula orang Indonesia. Mau dikatakan orang Indonesia cerdas dan kreativ, itu benar. Orang Indonesia selalu punya caranya sendiri untuk berkreativitas! Tentu saja karena Indonesia diakui sebagai bangsa atlantis yang menghilang beberapa abad lalu. Ceileeh. Kenapa ngomongin atlantis? Ada ada saja aku ini! Tapi benar! Sebentar! Aku mau kisahkan sesuatu hubungan antara minyak zaitun dan mahasiswamahasiswi Indonesia di Rostov ini. [19]
Musim dingin sudah menyapa, beberapa minggu ini Kobel memiliki masalah dengan kulit, untuk manusia yang biasa hidup di negara tropis yang lembab seperti Indonesia, tentunya musim dingin menjadi momok bagi kita semua! Karena apa? Kulit kita seakan-akan terasa teriris perih tiada tara. Itu semua karena kering, bahkan terkadang terlihat goresan tipis-tipis dan mengeluarkan darah. Selain takut dengan vonis kanker kulit, plus tidak tahannya dengan rasa perih maka kami tak surut asa. Kami bukannya mahasiswa-mahasiswi dengan biaya hidup selangit. Bisa makan sehari, dua kali saja kami sudah sangat bersyukur! Bagaimana kami punya pemikiran untuk membeli body lotions? Genit! Tentu bukan karena alasan itu. Tapi
body
lotions
disini
merupakan
suatu
kebutuhan primer juga. Bukan untuk gaya-gaya-an! Atau mau bertahan ga pake body lotions dan nanti kalo pulang berubah jadi monster bekulit sisik? Tentu tidak, kan? [20]
Tapi sayang, uang kami tak cukup banyak untuk membeli body lotions yang harganya sama dengan sekilo ayam mentah. Dari pada buat beli body lotions lebih baik membeli ayam satu kilo buat makan satu minggu? Benar? Mau hitung-hitungan ala pelajar Rostov? Silahkan! Hahaha. Setelah browsing di internet, aku mendapat ide untuk mencari tahu tentang kegunaan lain dari minyak zaitun.
Karena
seingatku
minyak
ini
banyak
manfaatnya. Wow, ternyata khasiatnya sangat sungguh amat luar biasa! Membuatku terkagum-kagum hingga mampu menyalakan radar kreativitas di otak yang berkapasitas mungil ini! Aku baru tau selain buat masak, minyak ini bisa menjaga kelembaban kulit! Bener loh! Aku ga sedang bercanda. Dengan hati berbunga-bunga dan harapan tinggi untuk membantu sesama, maka sepulang kuliah aku berjalan ke salah satu mini market terdekat untuk [21]
membeli sebotol kecil minyak zaitun, untuk adik-adik di dgtu. Murah! Harga sebotol berisi 500ml hanya seperti setengah kilo ayam. Dan yang pasti lebih banyak dari pada body lotions! Hahaha, ternyata ada gunanya juga aku ini. Memasuki ruangan berukuran empat kali lima yang bersuasana sangat temaram, karena hanya diberi penerangan ala kadarnya dengan lampu duapuluh lima watt! Menjadikan suasana sumpek dan pengap! Tapi inilah tempat tinggal mahasiswa-mahasiswi kita! Bukan aku mau memburukkan keadaan, karena sebetulnya
masih
bisa
diperbaiki.
Tapi
harus
mengeluarkan biaya extra. Yah, dari pada uangnya habis buat tempat tinggal lebih baik disimpan buat kepentingan sekolah yang lebih penting. Itung-itung, ini adalah salah satu dari kesiapan dan pematangan
[22]
mental mahasiswa-mahasiswi kita! Iya ga? Hahaha, sebuah dalil pembenaran diri. Bilang aja malas! “Eh ada kak Udin? Apa kabar Kakak?” Sapa Kobel dari balik selimutnya. Ia baru saja terbangun dari tidur siangnya, padahal matahari sudah mau tidur kembali. Maklum musim dingin, kinerja matahari agak singkat, hingga senja cepat menyapa. Dasar kebo! “Baik Bel, eh gimana kulitmu?” Tanyaku tanpa basa-basi, tinggal di Rusia tiga tahun membuatku lupa cara berbasa basi. “Masih perih Kak!” Jawabnya seraya turun dari tempat tidur yang terletak ditingkat dua. “Sini, coba aku liat” tanyaku a la dokter kawe, Kobel dengan disaksikan Dita dan Uchok, akhirnya ia membuka kaosnya dan memberikan punggungnya tepat didepan hidungku. Dan, wow! Pemandangan apa itu? [23]
Kasihan sekali, kulitnya menjadi rusak pecahpecah, ada goretan berdarah-darah. Sebagian sudah mengering dan menjadi borok. Pasti rasanya perih dan gatal. Uuuh. “Bel, pake minyak ini ya?” Tawarku, sambil mengeluarkan minyak zaitun dari dalam tas. “Apaan tu kak? Hah minyak? Lo kate, ini kullit ayam mau lo goreng?” Serunya, sambil buru-buru menutup kembali punggungnya dengan kaos lusuh, belel! “Loh bel, tapi ini bukan minyak biasa! Ini minyak ajaib! Bisa buat
kulit
kamu!” Jawabku seraya
menerangkan, “Aku juga pake!” Jawabku menekankan. “Udah, sini, sini! Cepet buka kaos lo! Sini gue lulurin!” Perintahku dengan cepat.
[24]
Kobel
dengan
menyeringai.
Dengan
wajah iseng,
mesumnya ia
mencoba
kembali untuk
mengganggu, ia bilang “Lo kak yang mau ngelulurin gue? Ntar lo terpesona lagi! Haha” “Apa? Terpesona dengan papan climbing dipunggung lo? Jangan salah! Ga napsu!” Jawabku dengan muka sedikit aneh. Akhirnya, Uchok yang membantu Kobel untuk membalur seluruh tubuhnya dengan minyak zaitun. Tak terasa hari mulai gelap, sebelum berpamitan pulang ke asramaku, aku dan adiku ini berbeda asrama. Aku singgah dulu ke toilet diasrama mereka. Sekembalinya dari toilet ternyata aku dikagetkan dengan penampakan manusia minyak dari kamar tiga ratus enam belas.
[25]
Kobel, dengan tubuh penuh dengan minyak dari ujung rambut samapi ujung jempol. Seluruh tubuh, ia balur dengan minyak zaitun. Aku, sangat terkejut dan penjelmaan ini. Aku tertawa terbahak-bahak melihat minyak zaitun ukuran 500ml. Itu hanya tersisa setengah botol. Dan ternyata cukup banyak yang terbuang untuk tubuh Kobel yang jangkung itu. Tiga hari, setelah kejadian manusia minyak itu, aku berniat untuk mengunjungi Dita dan kawan-kawan di dgtu, tempat dimana adikku sekolah persiapan. Juga sekolah persiapan bahasaku dua tahun lalu. Hari memang sudah larut, aku juga baru saja keluar dari kelas sekitar pukul tujuh malam, itu setiap hari.
Karena,
fakultasku
menggunakan
vrexni
smennaya sistema, system jadwal atas atau kelas siang. Cukup berjalan sekitar lima belas menit untuk sampai ke asrama dgtu dari kampusku.
[26]
Begitu sampai dikamar Kobel yang memang jadi sarangnya pelajar Indonesia ini, aku benar-benar dikejutkan dengan sesuatu yang janggal. Sangat janggal, membuatku ingin sekali tertawa, hingga terjungkal-jungkal. Didalam kamar sudah ada Dita, Uchok dan Kobel, yang membuat janggal adalah, ke tiga mahluk ini, dari atas sampai bawah berkulit menyerupai reptile. Mengkilap disembur cahaya temaram dari sorot lampu duapuluh lima watt, sedang terdiam mematung, saling berpandangan dan masing-masing memasang nyengir kuda untuk menyambut kedatanganku. Ya, benar! Ke tiga mahluk dgtu ini ternyata sudah berbalur minyak seluruh tubuh mereka. Semua ini bermula, sejak dua hari yang lalu ketika Kobel membeli minyak zaitun berbentuk botol jin berukuran dua liter. Ternyata, mereka menyadari, begitu dasyatnya khasiat minyak zaitun bagi kulit sisik [27]
mereka. Dan atas nama keindahan! Aku acungkan jempol! Inilah kreasi anak-anak Rostov! Berjuang di tengah-tengah perjuangan!
[28]
Kobelisme “insiden si abdul” Kali ini, aku akan cerita tentang Kobel lagi ya? Gapapa ya? Memang tak akan pernah habis cerita tentang dia, tentang kelakuan konyol, kelakuan yang aneh dan selalu saja menghibur. Hehe. Sebetulnya, jika kita baru saja berkenalan dengan sosok Kobel, kita pasti akan terkecoh dengan lelaki yang tingginya hampir seratus tujuhpuluh empat, berbadan sexi, lengkap dengan rambut jengrak, berdiri ke atas. Lelaki ini istimewa, ia bisa berbagai bahasa, polyglot sebutannya dalam bahasa Rusia. Ia sanggup bicara dalam bahasa arab, inggris, sunda, sedikit jawa, serta Rusia. Mantabkan? Hebat, kataku. Kobel, itu namanya.
[29]
Jangan salah, meskipun anak ini super ajaib. Tetep saja orangnya gokil abis. Sampai terkadang, terasa garing. Bagiku, tanpanya, aku akui Rostov akan terus diselubungi awan hitam tanpa hari-hari seistimewa saat Kobel memulai harinya dengan kegokilan yang super ajaib ini. Sebetulnya ia emang gokil segokil-gokilnya. Hanya saja, aku tak tahu bagaimana cara menulis yang baik untuk mengexpresikan ke gokilannya. Di suatu hari, saat Kobel akan melaksanakan sholat dikamarnya. Maklum, ini orang lulusan pesantren. Jadi, masih mau sedikit ingat sama yang diatas. Ternyata, tak disangka datang seorang sobat asing mereka dari maroko, Sofyan namanya. Ia juga seorang muslim. Sebetulnya, Sofyan bukan asli sekali dari maroko, karena ibunya orang Rusia. Jadi, blesteran gitu. Sofyan juga biasa di panggil ‘akhi’ oleh Kobel, Dita dan Uchok. Ini bersahabat karib yang cukup langka, dengan kawan-kawan dari Indonesia. Kenapa? Ya, [30]
karena orang Indonesia makan nasi setiap hari. Lho ga nyambung? Tapi bener, yang membuat akhi suka dengan pelajar Indonesia adalah karena orangorangnya yang dimatanya terlihat super aneh, seperti halnya Kobel dan Uchok. Meskipun, waktu pertama kali datang. Uchok adalah pria normal pada umumnya, sebelum menjelma kmenjadi seperti Kobel, yang mlintir otaknya. Hehe. Si akhi ini, juga tergila-gila dengan film ‘god father’ sampai ia pernah bilang pada kami, jika nanti sudah lulus kuliah dari Rusia, ia hendak jadi mafia. Biar keren, katanya. Si akhi ini tipe orang Rusia yang dingin dan kaku. Keanehan yang terjadi pada dirinya ini, disinyalir berkat terlalu sering makan nasi bersama pelajar Indonesia. Hehe. Back to the story, Kobel yang hendak sholat ternyata menggunakan sarung khas asia tenggara, bukan karena tradisi. Tapi, lebih karena hampir seluruh celananya najis. Kobel, memang jarang banget cuci baju. Jadwal laundrynya [31]
adalah satu bulan sekali. Itu juga hanya direndam dengan pewangi, kemudian dibilas seadanya. Kebetulan, akhi berdiri diposisi sebelah Kobel yang sedang berganti dari celana ke sarung, dan ternyata ia tertarik dengan suatu hal baru yang benar-benar baru menurutnya juga unik.
Langsung saja, ia menunjuk
kearah ‘hal yang paling sensitif untuk umat manusia’ milik Kobel. Tanpa basa-basi ia langsung saja menunjuk apa yang membuatnya penasaran dengan jari telunjuknnya ”What is this bel?” Tanyanya penuh tanda tanya. Dasar Kobel, yang camen. Yang ada didalam pikirannya adalah ‘hal-hal jorok, sepanjang masa’ dan dengan lantang Kobel langsung menjawab tanpa pikir panjang “Lho? Kamu tak tahu namanya? Ingin tahu?” Jawabnya genit.
[32]
Tanpa disadari sebelumnya, akhi inipun memasang wajah serius, dengan terus melihat kearah sarung. Dan, sekali lagi. Bukan ‘isi’ dari sarungnya. Sambil tgerus menatap seakan terhipnotis dan mengangguk mantap maka akhi menjawab, ”Da, hacu znat. Ya, aku ingin tahu!” Kobel dengan senang menunjuk ke arah ‘daerah sensitif’nya yang terletak tepat diballik sarung yang ia gunakan, serta menjawab ” This called ‘abdul’!” Jawabnya penuh wibawa, Sofyan mendadak membisu, ia terlihat bingung, Uchok yang sedari tadi sedang berjoged tidak jelas didalam kamar juga menjadi terdiam mematung. Dita yang kebetulan juga sedang berada didalam kamar tersebut sontak langsung bengong. Dan sepertinya, semua orang dalam kamar telah mengetahui tentang maksud pertanyaan Sofyan.
[33]
Sadar seluruh kamar teridam, Kobel tersadar “What do you mean?” Tanya Sofyan “Yap, you ask me about my d*ck right? Yes, this called abdul!” Sekali lagi jawaban pasti Kobel. Wajah Sofyan mendadak menjadi merah padam, menahan tawa sekuat tenaga, sedang Uchok dan Dita serempak langsung tertawa sekeras-kerasnya hingga terjongkok-jongkok. Akhirnya, pertahanan untuk Sofyan yang sedari tadi mati-matian memendam tawanya ini mencair. Ia, menunduk sambil megang perutnya hingga terkentutkentut. Semua ini terjadi, karena Sofyan tak pernah menebak bahwa ‘isi sarung Kobel memiliki nama abdul’ Setelah ‘tragedi abdul’, Kobel sukses menulari orang-orang sekitar dengan kegokilan yang setiap hari berganti tema. Tak hanya Sofyan yang akhirnya [34]
menjadi terobsesi menjadi lakon ‘god father’, bahkan Uchok dan Dita akhir-akhir ini menjadi sedikit lebih gokil, mungkin semua ini karena virus baru ciptaan Kobel yang bernama ‘Kobelisme’. Beginilah hari-hari di sekolah persiapan bahasa. Yang sering bisa membuat kita bertemu bermacammacam karakter orang. Orang gila seperti Kobel!
[35]
Tetangga dari Gn. Himalaya Aku
memang belum pernah memperkenalkan
satu personil lagi dari kamar Kobel, selain Uchok ada Niraj yang datang dari negara yang punya gunung tertinggi di dunia, bisa tebak? Yap, Nepal! Niraj namanya, ia memiliki wajah mirip orang india. Tapi, jadi sangat tidak suka jika kita salah tebak karena faktor wajah. Ia, bahkan bisa langsung mengumbar kata-kata buruk dan kotor hanya karena itu. Tetapi, sejak sekamar dengan kawan-kawan kita dari Indonesia, Uchok dan Kobel. Niraj memiliki panggilan
baru
yaitu
‘abang’
oleh
dua
orang
mahasiswa Indonesia kita di sini. Tak ada yang [36]
berbeda dari abang dengan manusia kebanyakan, abang adalah pelajar teladan. Sebetulnya abang adalah kawan dari senior kita tegar, abang ini sangat cinta Indonesia ia bahkan pernah bilang “Indonesian student’s are the best, they are friendly and respectful,” Itu
kesan
pertama
saat
Kobel
dan
Uchok
menempati kamar abang. Lain kata, setelah dua bulan hidup bersama ternyata kegilaan Kobel udah tak dapat lagi
Ditahan-tahan.
Mulailah
satu
persatu
ke
gokilannya keluar, memenuhi hari-hari berikutnya. Sampai pada suatu hari, terjadilah salah persepsi bahasa antara bahasa nepal dengan Indonesia. Hari itu, Kobel sedang jadi manusia waras. Sebenarnya kamar Kobel dijadikan markas tementemen Indonesia. Waktu itu Kobel, Uchok dan Dita sedang berada dalam kamar. Sebetulnya Kobel sedang [37]
asik berdongeng tentang cewenya di Indonesia yang berkulit ‘putih’ mulus dan cantik, mendengar kata ‘putih’. Abang yang sedari tadi cuek bebek dan sedang diam menghadap komputernya, langsung merespon. Wajahnya merona menjadi ke hitam’-hitaman. Ini karena abang berkulit coklat matang. Seakan mirip orang kesurupan sambil berdiri dan meletakkan tangan dipinggang, ia mulai mengoceh “What the f*ck you said ‘putih’ huh?” Tanyanya pada Dita, Uchok dan Kobel. Tentu Kobel dan kawan-kawan tidak ‘nggeh’ mengapa abang secara tiba-tiba menjadi begitu marah? Uchok seperti biasa ia hanya merespon kemarahan abang dengan ketawa-ketiwi tak jelas, sedangkan Dita melotot, terdiam tercengang dan karena merasa bertanggung jawab maka Kobel dengan santai, ia menjawab “Hey men, whats going on? Is i did mistake?” [38]
Abang yang sedang stress dan marah-marah akhirnya menjawab “Why are u said putih?” Tanyanya sekali lagi. Kobel yang sedang ‘jujur’ pun menjawab “Yes, that’s right! I said putih, then what is your problem?” Terang Kobel dengan nada datar tapi memasang wajah seperti lelaki ‘homo’. Entah darimana asal muasal tampang ‘homo’ itu? Cuma Kobel yang tahu. Abang yang mendengar kata itu keluar kembali dari mulut Kobel langsung memberi bernada tinggi ”Putih, in my language its mean d*ck. So, please dont said that word anymore!” Jawabnya penuh dengan nafsu. Beberapa hari setelah kejadian itu, Kobel yang sedang kambuh usilnya mulai mencari perkara dengan memanggil ‘putih’ ke arah Dita, dengan maksud agar [39]
supaya abang yang sedang belajar, menjadi terganggu konsentrasinya. Awalnya Kemudian
abang Kobel
berhasil
akan
mulai
terpancing
emosi.
bereaksi,
dengan
memeluk abang kemudian membelai-belainya. Hingga membuat abang menjadi geli dan mengatakan “Dont do seems like a gay” teriak abang yang mulai merasa jijik. Dengan tingkah Kobel yang berhasil akhirnya, Kobelpun tertawa kegirangan ”Yes am a gay. So comin to me honey!” Rayu Kobel mengganggu abang. Abang yang sering marah tak jelas, akibat stress itu, akhirnya tak lagi bisa marah ke Kobel. Karena Kobel mengerti, setiap abang marah, Kobel pasti akan senantiasa memeluk dan membelai abang dengan wajah mesumnya. [40]
Abang Niraj menjadi sadar. Jika ‘not all Indonesian student’s are normal as human’
[41]
Dosenku sayang, dosenku malang Satu mahasiswi,
semester sudah adikku Dita resmi jadi dijurusan
yang
memang
Dita
mau,
psikologi. Ilmu yang sesungguhnya. Dan, bukan mahasiswi
persiapan
bahasa
lagi.
Jadi,
saking
bangganya ia sering sekali memperlihatkan kartu mahasiswanya
di
hadapanku
sambil
tersenyum
bangga. “Bahasa
adalah
cara
makhluk
hidup
untuk
berkomunikasi dan menjelaskan apa yang ada dalam perasaannya dan keinginannya.” Bahasa sifatnya sangat primer. Faktor bahasa adalah masalah nomor wahid dalam keseharian manusia pada umumnya, termasuk Dita disini. Maklum bahasa masih acak kadut, juga aksen medok jawanya [42]
yang kadang-kadang muncul secara tidak langsung dan membuat orang Rusia berpikir Dita sedang berbicara dalam bahasa Indonesia, padahal ia sedang berusaha berbicara dalam bahasa Rusia . Kalau di kelas, ia sering sendirian duduk dibarisan terdepan, menyiapkan telinga lebar-lebar, agar dapat menyerap seluruh kosakata yang tertangkap daun telinga dengan jelas, tapi tetap saja ia gagal mencerna apa yang di jelaskan oleh guru. Karena, yang terdengar oleh telinganya itu, bukan suara manusia. Tapi, seperti bunyi suara radio yang tidak dapat frekwensi gelombang fm…krsekszz#@%%&*i&%zzzzkska…. Selama ini, Dita berusaha untuk mencoba mengerti apa yang para guru ucapkan dengan rumus kira-kira dan sepertinya, hal itu lumayan manjur. Tapi, kadang juga meleset jauh dari perkiraan. Hehe. Kalau mereka bertanya ‘sesuatu’ jawaban yang disediakan sudah pasti, adalah mata yang di buat belo’,
[43]
wajah yang dibuat se-innocent mungkin, serta senyum paling manis di bibir, plus ucapan, “Izvinite ya ne ponimayu, mozna esheras pavtarit, maaf aku tidak mengerti, bolehkah di ulang sekali lagi.” Nah, kalau sudah begitu mulai memikirkan jurus perkiraan lagi. Beginilah nasib mahasiswa asing dengan keterbatasan ‘bahasa’. Seminggu kemarin ini adalah minggu zachot yaitu ujian tapi tidak di beri nilai untuk hasilnya hanya passed atau tidak. Zachot pertama Dita adalah mata kuliah logika, disini kita harus menjelaskan peranan logika dalam suatu kalimat atau keadaan tertentu yang tentu saja dalam bahasa Rusia. Untuk mata kuliah ini, sepertinya Dita harus ikut ujian ulang dua kali, karena tidak lulus dalam ujian pertama. Nasib. Tapi. Pada akhirnya bisa juga diluluskan karena dosennya terlihat mengasihani Dita. Nilai tambah
[44]
untuk seorang WNA yang sedang dalam masa sekarat ujian. Zachot kedua adalah mata kuliah bahasa Rusia untuk orang asing. Sebenarnya, tidak susah tapi kami, para mahasiswa asing hukumnya wajib ikut ujian susulan jika kami tidak melakukan ujian pada waktunya. Tentu saja. Waktu tes ia tertidur. Alasan tidur telat, memang menjadi jawaban paling manjur untuk mata kuliah yang satu ini, belajar untuk tes mata kuliah lain yang lebih berat dan susah minta ampun. Hehe. Tapi hasilnya tidak memalukan juga, dapat nilai paling bagus diantara mahasiswa asing lain. Bisa berbangga
kali
ini
meskipun
harus
terpaksa
menggunakan jurus maut. Yaitu, alas an tertidur karena harus begadang. Begadang jangan begadang. Syalala.. Selanjutnya, zachot untuk mata kuliah dasar-dasar profesi untuk psikolog. Kalau yang ini gampang saja, [45]
pikirnya. Hanya diberi tugas yang di copy kedalam disk kemudian disetor kepada dosen dan dapet, deh. Zachot.
Padahal,
belum
tentu
juga
dosennya
mengetahui, apakah didalam disk yang dikumpulkan ada isinya atau nggak. Dan, akhirnya matematika adalah zachot yang paling bikin kepala senut-senut diantara semua zachot untuk semester ini. Masalahnya, otak kami para mahasiswa humaniora. Termasuk juga otak milik Dita tidak diciptakan untuk matematika. Hmm, sebenarnya untuk dapat zachot Dita harus ikut tes, lagi-lagi dua kali. Tetapi kali ini Dita baru mengerjakan satu kali tes. Waktu dosennya kasih tanda tangan dan tulisan zachot di buku rapor teman-teman, kita harus mengantri, maka dengan cuek adikku, Dita ikut mengantri. Padahal, seharusnya Dita belum boleh dapet tandatangan tersebut, untungnya waktu giliran Dita, dosennya lagi konsentrasi sama tanda tangan di buku rapor tanpa melihat itu buku rapor, milik siapa. Sesaat setelah selasai tanda tangan, sang dosen baru [46]
“ngeh” dan menyadari, jika buku rapor Dita termasuk kedalam barisan buku rapor yang ikut tertanda tangani. Maka sebelum semuanya tersadar, dengan senyum selebar senyum kuda, maka adikku Dita langsung saja mengucapkan ‘terimakasih’. Dan sejurus kemudian kabur. Sebelum sang dosen berubah pikiran dan bertanya tentang tes yang mengerikan tersebut. Motto untuk melalui hari-hari zachot yang cukup membuat mati kutu adalah, “Jangan lihat caranya. Tapi lihat hasilnya” Zachot ke-lima adalah zachot untuk mata kuliah “olahraga”, zachot yang sebetulnya tidak pentingpenting amat. Tapi tetap masuk kedalam kurikulum dan harus di hadiri. Tanpa melalui ujian ini. Tetap saja DO adalah jawabannya. Meski seluruh zachot bahkan ekzamen
telah
terlewati.
sempurna semua. [47]
Bahkan
dengan
nilai
Untuk ujian yang ini, ada sedikit masalah karena rupanya Dita sama sekali tidak pernah hadir untuk ikut pelajaran olah raga. Sebetulnya ini juga kesalahanku yang
mengajarinya
untuk
tidak
menghadirinya.
Memang cukup sesat yang aku nasehatkan. Tapi, tetap saja dibalik itu semua, aku tetap memberikan semangat yang luar biasa kepada Dita, agar dapat melewatinya. Tentu saja dengan banyak advise yang cukup sesat yang tidak masuk akal tapi akhirnya bias menyelamatkannya. Akhirnya,
setelah
sedikit
berargumen
dan
diberikan omelan hangat kurang lebih limabelas menit, dapat juga zachot dengan cuma-cuma. Zachot terakhir adalah zachot untuk mata kuliah praktek psikologi, zachot yang paling asik dan lucu, jujur saja untuk mata kuliah ini, Dita benar benar tidak mengerti. Normalnya, minggu lalu Dita sudah bisa dapat tanda tangan, tapi karena Dita tidak mengerti apa-apa, jadi Dita menghadap dosennya langsung dan meminta solusi secara basa-basi. [48]
Awalnya, ia betanya apakah Dita berbicara dalam bahasa portugal? Hah? Portugal? Memangnya Dita ada tampang orang Portugis? Hingga dapat berbahasa Portugal. Maka, Dita hanya menjawab jika ia, hanya bisa bahasa inggris. Meski diyakini oleh dirinya sendiri bahasa Inggris yang ia kuasai itu hancur lebur. Tak disangka, mata sang dosen yang mengajar praktek
psikologi
itu
langsung
berbinar
dan
mengucapkan kata yang tadinya Dita pikir sebuah mantra, “I speak english too”. Ooh, ternyata ia berbicara dalam bahasa inggris dengan ritme terpatah patah. Akhirnya ia memberikan Dita tugas dalam bahasa istov yang kejam ternyata masih ada orang yang percaya pada kekuatan basa-basi seperti ini. Tugas yang ia beri ternyata susah di cari di internet, selama seminggu itu aku membantu Dita serta mengerahkan teman-teman yang berbahasa Inggris untuk mencarikan tugas terkutuk itu.
[49]
Setelah mendapatkan materinya dari internet. Meski tidak sempurna, sekalian Dita berlatih untuk menjelaskan dalam bahasa inggris, dibantu kawankawan yang memang terlatih fasih berbahasa Inggris. Ini semua demi meyakinkan sang dosen. Sempatsempatnya aku memberikan masukan gila pada Dita, “Kalau kamu gak bisa jawab, kamu ngomong aja pake bahasa Indonesia yang di logatin inggris tapi yang cepet, toh gurunya juga gak bakal ngerti, ato kamu bilang aja lirik lagu dalam bahsa inggris, yang penting kan bahasa inggris” nasehat super untuk situasi super. Tapi aku akui, aku memang aneh binti edan. Hihi. Hari ini, adalah saat menghadap sang dosen yang katanya speak English too. Setelah memberikan aji-aji porogapit kepada Dita agar lebih pede dan keyakinan akan lulus hari ini. Maka, dengan kepercayaan diri yang di set maksimal dan hapalan lirik lagu untuk keadaan terdesak, adikku Dita, nekad bertemu empat mata dengan sang dosen itu. [50]
Tanpa diduga sebelumnya, ternyata ia senang sekali bertemu Dita, waktu Dita menyerahkan tugas itu tangannya
bergetar
menerima
dari
tangannya,
mukanya memerah padam dan napasnya tidak teratur, serasa mulai ada yang aneh dengan dosen ini. Apakah dia akan mati? Yang seharusnya begitu adalah Dita. Bukan sebaliknya. Sejurus kemudian, ia menge-cek pekerjaan Dita, dan dimulailah kejadian yang ditunggu-tunggu itu. Ia mulai mengeluarkan suara-suara aneh yang Dita tangkap sebagai bahasa inggris, dosen itu, ternyata sedang berusaha sekuat tenaga untuk berbicara dalam bahasa inggris kepada Dita. Meskipun selama di jelaskan itu, Dita mengaku sama sekali tidak mengerti apa yang ia bicarakan. Tapi, demi menjaga kesopanan Dita berusaha untuk berkata, ‘yes i understand’. Maafkan ya Allah, adikku telah berbohong!.
Sang
dosen
terlihat
senang
sekali
berbahasa inggris, walaupun terpatah-patah dan [51]
sekuat tenaga. Ia, bahkan tidak tahu kalau bahasa inggris Dita tidak lebih baik daripadanya. Hihi. Setelah semua selesai, dengan muka sangat puas ia menatap Dita dengan sorot matanya yang berwarna hijau, lalu berkata “Sorry my english is bad, bcause i never have time to practice” Maka, dengan santainya Dita menjawab, “Ah, its not a big thing, the important thing is i understand about psychology practice now. Thank you so much! My dear Teacher.” Akhir cerita, Dita mendapatkan tanda tangan untuk zachot terakhir sebagai penutupan, karena bahasa inggris. Thanks to People who speak English! Goodbye!
[52]
Si ompong dan
balada rumah sakit “Dinda,
kamu bisa ke rumah sakit sekarang??
Ompong masuk rumah sakit aku lagi di dalam ambulan menuju rumah sakit di cgb! Centralni gasudarsvenni balnitse/rumah sakit sentral” Suara Angel terdengar panic di sebrang sana. Ah, jangan-jangan penyakit liver Ompong kambuh lagi? Ompong. Selalu, begitu jika terlalu lelah. Memang, kuliah di medisinki sangat berat. Apalagi ditambah dengan
sulitnya
bahasa
Rusia
sebagai
bahasa
pengantar. Tapi, inilah sebuah pilihan. Karena, sudah ga mungkin lagi kita mundur dan menyesali segala yang telah kita pilih.
[53]
Aku selalu merasa hanya orang-orang terpilih oleh Tuhan lah yang mampu dan sanggup tinggal di Rusia dengan segala keunikannya. Termasuk Ompong. Aku ditemani mbak Leli terus berjalan di tengah rintikan hujan yang mengguyur kota Rostov, wajah kami berdua sendu. Kami tak bisa membayangkan, betapa ompong sedang tersiksa di rumah yang katanya untuk orang pesakitan itu. Begitu kami sampai di halte cgb kami berdua langsung berlari menghampiri Angel yang duduk sendiri diruangan tunggu UGD. Ia tertunduk lesu dengan mata yang berkaca-kaca, penuh dengan kekhawatiran. “Dinda, Mbak Leli, mohon doanya buat Omong ya. Tadi ia sudah minta dibacakan surat Al-quran. Aku takut sekali, hiks.” Katanya dengan airmata menetes tak tertahan.
[54]
Kami bertiga saling berpelukan. Tentu, tanpa perlu diminta
kami
bertiga
akan
selalu
mendoakan
keselamatan Ompong, karena ia juga keluarga kami disini, di Rusia ini. Tak lama setelah itu, dokter dari ruang UGD memanggil Angel yang dianggap perwakilan dari medisinski universitet, universitas kedokteran. Lama Angel berdialog dengan sang dokter, entah tenatng sesuatu yang nampaknya sangat serius. Hingga tak lama, akhirnya kulihat Angel mengangguk tanda mengerti, sementara itu, tiba-tiba beberapa suster lakilaki menyeret bed tempat Ompong berbaring untuk dipindahkan ke ruang mengerikan yang disebut dengan ruang endoskopi. “Mbak Leli, Dinda, sekarang Ompong akan melakukan endoskopi, minta doanya biar ia kuat ya?” Kami mengantar ompong keruang endoskopi, kulihat Ompong sekilas, matanya nanar kosong. Sepertinya, ia tak lagi ada semangat hidup sesebentar [55]
airmatanya meleleh tak terbendung, ada gejolak perasaan
takut
menenangkan
dan sambil
kalut.
Kami
hanya
mendoakannya.
bisa
Semangat
Ompong! “Kak Angel, to..l..oong kasih tau dokternya, aku ga mau di endoskopi. Aku Takut sekali Kak. Sakiit.. Kak Dinda,
Mba
Leli,
tolooong
dong.
Bilang
sama
dokternya! Aku takut, hiks hiks” suara Ompong meminta
pertolongan,
ia
terlihat
super
sangat
ketakutan. “Ompong. Kamu harus kuat ini semua demi kebaikan kamu. Jangan takut yah! Berdoa saja. Kita ada disini untuk kamu” jawabku menenangkan, padahal dalam hatiku, tak urung aku merasa sangat rapuh saat melihatnya tak berdaya. Ingin rasanya menangis. Ah, ompong kasihan kamu jauh dari orangtua dan kau harus merasakan rumah sakit disini? Ompong
memasuki
ruang
endoskopi dengan
dibantu oleh Angel, sementara aku dan mbak Leli [56]
hanya mengantar hingga depan ruangan. Kami berdua saling berpandangan. Tak taau harus berkata apa. Kulihat wajah terakhir Ompong. Penuh dengan harapan agar aku dan mbak Leli melarikannya dari ruang horror itu. Dua menit kemudian, kudengar suara jeritan tiada tara dari dalam bilik kamar berukuran lima kali lima meter itu. Suara teriakan pilu menahan sakit. Benar, tak akan ada bius disini jika dianggap masih bisa menahan, beginilah rumah sakit! Selalu kejam! Setelah
sepuluh
menit
berlalu
dalam
bilik
penyiksaan, kulihat Angel dan Ompong keluar dari ruangan. Dengan jalan mengangkang lebar Ompong meringis kesakitan. Aku dan mbak Leli langsung menghambur
menghampiri
dan
menanyakan
keadaannya penuh kekhawatiran “Anjriiiit. Gue disodomi ama alat endoskopi!” Jawabnya dalam, sarat makna. Sedangkan kulihat Angel yang berdiri disebelah Ompong menahan tawa. [57]
Sepertinya, Ompong sudah sedikit baikan. Bahkan ia sudah bisa menggerutu. Ompong. Ompong. Semoga kisahmu kali ini bisa menginsiprasi teman-teman lain agar tidak tertarik dengan pengalaman masuk rumah sakit di Rusia. Amiin.
[58]
Mabok janda Selama
menjalani hari-hariku sebagai maha-
siswi jurusan psikologi, aku banyak belajar membaca karakter orang, mungkin ini karena keterbatasanku dengan bahasa. Meskipun aku sudah lulus podfak (sekolah persiapan bahasa) dengan nilai cumlaude, tapi sepertinya universitas sesungguhnya tidak kalah susah. Aku adalah satu-satunya mahasiswa asing di tingkatku, tak ada satupun yang bisa berbahasa inggris, setidaknya itu yang aku tahu sampai aku melewati semester pertama dengan penuh darah dan airmata. Hampir setiap hari aku menangis sepulang kuliah, aku merasa menjadi manusia bodoh yang dungu. Tak seorangpun dikelas yang mengerti dengan ucapanku, dan parahnya, terlalu susah untuk [59]
mengerti bahasa dari orang Rusia yang tidak pernah berkomunikasi dengan orang asing. Parah! Setiap hari aku hanya bisa meraba-raba bahasa, satu-satunya pedoman belajarku adalah buku. Hanya buku! Text book banget. Di luar text book, aku sangat lemah, apa mungkin pemahamanku yang lambat?? Dan sejujurnya, aku adalah manusia yang susah untuk bisa duduk lama di dalam kelas. Susah untuk berkonsentrasi lama sambil mendengarkan ucapan dosen berbahasa Rusia. Yang masuk ketelingaku hanya suara cempreng, bising dan dengan tempo yang sangat cepat. Mirip radio yang tak menemukan frekusensi gelombang. Susah berkonsentrasi dan bahasa yang tak kumengeti,
membuat
pikiranku
mengembara.
Mungkin hanya sepuluh menit saja aku mampu berkonsentrasi, sedangkan tigapuluh menit sisanya, aku hanya memperhatikan dengan detail dosendosenku : nada bicara, gerak tubuh, pose saat
[60]
mengajar, hingga make up yang menempel di wajah mereka. Hari ini ada pelajaran mishlenie I rech. Saat pelajaran
berlangsung, ada pertemuan untuk
pengenalan seluruh jurusan di fakultasku. Di fakultasku, ada subjurusan bagi mahasiswa tingkat dua. Dan subjurusan itu akan diperdalam di tingkat tiga dan empat. Di fakultasku ada tujuh subjurusan psikologi antara lain: 1. Psikologi klinis dan psikofisiologi (kliniceskaya psikologia i psikofiologia) 2. Psikologi sosial (sosialnaya psikologia) 3. Psikologi kepribaian (psikologi litsnosti) 4. Psikologi perkembangan (psikologi razvitia) 5. Psikologi hokum (yuridiceskaya psikologia) 6. Psikologi umum (obshaya psikologia) 7. Psikologi kesehatan (psikologi zdarovia)
[61]
Dari ketujuh subjurusan itu, akhirnya aku memililh masuk ke psikologi perkembangan, dengan tema yang menyangkut perkembangan mental anakanak usia prasekolah. Walaupun aku tidak terlalu suka
dengan
anak-anak,
namun
dengan
mempelajarinya, aku rasa akan bisa menyukai mereka. Itu harus! Dosen untuk pelajaran mishlenie I rech adalah madam Irina Kaidanovskaya. Ia adalah dosen yang hiperaktiv, di usianya yang sudah tak lagi muda dan seharusnya masuk pensiun, ia aktif sekali. Tanpa basa basi, ia mengambil kapur dan memulai menulis di papan tulis auditoria. Ruang kelas yang besar itu membuatnya kehabisan suara untuk menjelaskan dengan suara lantang. Ia terus asik memunggung dan menulis di papan tulis tentang jadwal mata kuliah tambahan yang di wajibkan, yaitu mempelajari secara umum seluruh kinerja subjurusan psikologi. Setelah asyik menulis dengan membelakangi kita semua, ia asyik menjelaskan semua materi seorang [62]
diri. Padahal masih ada banyak dosen lain yang datang untuk memberi pengarahan, tapi sama sekali tak digubrisnya. Yang seru dari seorang madam Irina Kaidanovskaya adalah cara menerangkan sesuatu didepan kelas. Raut wajahnya lucu. Dengan kulit kriputnya, ia selalu tertawa dengan sangat lebar, hingga matanya melotot. Keteganganku mencair seketika, karena aku menemukan sesuatu yang hal yang menarik, yaitu aku baru tersadar bahwa sebagian besar penduduk Rusia memang memiliki wajah kencang, akibat jarang tersenyum. Hehe. Kenyataan yang menarik. Di sudut matanya, aku melihat ada kekosongan. Tapi, mimik wajahnya seperti tak ingin menunjukannya. Ia terus
menjelaskan
hingga
tak
seorang
pun
mendengar. Oh, madam. Saat kelas seminar, aku juga pernah dibuatnya kebingungan. Karena saat itu kelasku memang tak siap untuk seminar, tapi ia malah mengadakan seminar secara mendadak. Hmm.
[63]
Sistem perkuliahan di kampusku memang sangat unik. Setidaknya itu menurutku, yang tak pernah mengalami dunia kuliah di tanah air. Setiap dua kali pertemuan kuliah, maka akan ada satu kelas seminar atau kelas praktek. Di kelas ini, kita harus menyiapkan materi, membahas dan menjawab. Tapi sayangnya terkadang kelas kurang efektif. Misalnya, disatu seminar kita akan membahas satu bab, maka dosen seminar akan memberikan spisok1 pertanyaan dan literature-nya atau referensinya. Tugas kita hanya mempersipakan dan maju untuk menjelaskan. Tapi sangat disayangkan karena disetiap bab tidak banyak pertanyaan yang muncul, paling hanya sepuluh pertanyaan, sedangkan jumlah mahasiswa setiap grupnya lebih dari 20 orang. Jika mau disebut sportif, sepertinya hanya mahasiswa yang ingin kuliah
saja
yang
mengambil
pertanyaan
dan
mempersiapkannya. Sisanya? hanya mendengarkan, atau bolos.
1
daftar [64]
Aku sendiri bingung, kadang jika sudah terlambat meminta soal, maka aku tidak akan kebagian, dan akua hanya datang ke seminar seperti sapi ompong, melompong! Hoooaamm.. Tapi seminar kali ini agak berbeda dari biasanya, karena
aku
memang
sudah
sangat
matang
mempersiapkannya. Aku sudah membaca berulang kali, dan latihan didepan cermin. Meskipun untuk latihan saja, tubuhku sudah bergetar dari ujung rambut
sampai
mengingat
ujung
wajah
jempol.
Apalagi
teman-temanku
kalau yang
memandangku dengan penuh rasa kasihan atau justru meremehkan. Aku memang sudah lulus kelas persiapan bahasa, tapi tetap saja, membayangkan kelas seminar, aku mendadak gagap! Memang, sih. Nervous membuat segalanya hancur. Aku
terdiam
dikursi
belakang,
duduk
mendengarkan Kaidanovkaya menjelaskan dengan seksama. Wajahnya yang memainkan mimik-mimik wajah, membuatku semakin serius meraba arti dari [65]
bahasan yang ia sampaikan. Terkadang tanpa sadar, aku sampai mengikuti gerakan tubuhnya di depan kelas. Apa mungkin karena koordinasi tubuhku mulai error? Otakku sepertinya bekerja terlalu berat hingga tidak bisa mengontrol konsentrasi yang lain. Asyik mendengarkan dosen hiperaktif itu, tiba-tiba aku berpikir hal yang sama sekali lain tak nyambung. Bagiku, orang setua Kaidanovkaya, semestinya sudah istirahat dirumah dan bermain dengan cucu, tapi sepertinya itu tidak bisa dilakukannya. Hidupnya terlalu sepi untuk berdiam dirumah, ia lebih senang mengajar di kampus daripada kesepian dirumah. Memang yang bisa dibanggakan dari orang Rusia adalah kemandiriannya. Dan kabarnya, madam Irina Kaidanovskaya sengaja mengabdikan dirinya ke fakultas psikologi walaupun memiliki masa lalu yang sangat kelam. Ceritanya dimulai ketika Ia masih menjadi dosen muda yang cantik dan sexi. Suaminya juga dosen di fakultas ini. Tapi sayangnya, suaminya kabur dengan [66]
salah satu mahasiswinya, kemudian meninggalkan Irina Kaidanovskaya begitu saja. Sebenarnya nama dari Irina Kaidanovskaya ini diambil dari nama familiya (surename) suaminya : Kaidanovskiy. Dan sebagai rasa cinta yang tak pernah padam, Irina mengganti surnamenya dengan nama suaminya. Irina Kaidanovskaya tetep berdiri tegap melewati bayang-bayang suaminya di fakultas ini, untuk berpuluh-puluh
tahun
lamanya,
ia
habiskan
waktunya untuk mengajar di fakultas ini. Mungkin ia masih berharap suatu saat nanti suaminya akan kembali kepelukannya. Aku hanya bisa memandang Irina Kaidanovskaya dan berguman dalam hati “Madam semangat!!”
[67]
Nilai kedisiplinan Rusia Kudengar
dari Arta, salah satu junior yang
sedang kuliah di medisinski. Bahwa, ia juga sedang berada di rumahsakit saat itu. Maka sengaja saja aku menelponnya,
berbertanya
dimana
posisi
Arta.
Maklum Arta, Angel dan Ompong adalah mahasiswa medisinski jadi ga jauh dari bau-bau rumahsakit. Tapi setelah aku, mbak Leli dan Angel sudah dapat meninggalkan Ompong dengan tenang untuk opname, aku mengajak mereka untuk melihat keadaan Arta juga di rumahsakit ini juga, karena kami tidak tahu sedang apa ia disini. Sejurus kemudian kami melihat sesosok kurus dan jangkung itu, sedang berdiri dibalik sebuah ruangan. Entah, kami sendiri tidak tahu fungsinya. Sepertinya [68]
ruang rawat inap. Ia sedang berdiri sambil membawa sebuah buku ditangan kurusnya, wajah manisnya langsung sumringah saat tahu kedatangan kami bertiga. “Halo Arta. Lagi apa disini?” Sapaku ramah “Alo Kak. Aku lagi ujian nih,” jawabnya sambil mencium pipi kami bertiga secara begiliran “Hah? Ujian emang ujian apa Artha? Praktek?” Tanya Angel keheranan “Engga kak angel, dosen aku lagi sakit dan di opname disini coba liat temen-temen aku, itu? Mereka juga lagi bersiap mau ujian lisan” Dan benar, saat aku longokkan ke dalam ruangan terlihat sesosok perempuan setengah baya dengan infus ditangan kirinya, sedang berbaring dengan posisi tempat tidur yang dibuat sedikit tegak dalam ruangan isolasi. Sedang seseorang lagi yang terlihat adalah [69]
seorang mahasiswa, terlihat sedang menjawab dengan mimik wajah serius meskipun ada batas ruang yang diberi kaca hingga mirip sekali, dengan suasana tahanan penjara. Sampai sebegitukah, Rusia dalam menjunjung kedisiplinan? Iya, aku sendiri secara pribadi hanya bias berdecak kagum. Dalam dunia pendidikan di Rusia memang tidak mengenal kata absent. Maka jangan pernah mengharap ada dosen yang malas mengajar atau akan ada jam kosong dikelas yang telah terjadwalkan. Karena, meskipun bahkan sampai dosen telah tergeletak
lemah
memungkinkan
di
maka
rumahsakit. mereka
akan
Jika
masih
menyuruh
mahasiwanya untuk datang ke rumah sakit seperti yang dilakukan Artha dan kawan-kawannya saat ini. Ini semua sebagai bentuk dari tanggung jawab mereka terhadap apa yang telah mereka deklarasikan sebagai seorang pengajar. [70]
Aku jadi ingat tentang dosen bahasa Rusia ku yang sangat disiplin, suatu hari dikelas bahasa hanya ada aku yang masuk kelas aku seorang diri. Seluruh temantemanku sekelas yang lain tidak dapat hadir, karena satu hal dan hal lainnya, biasa alasan para mahasiswa yang malas bangun pagi. Aku, yang sudah gembira karena berpikir kelas hari ini akan ditiadakan ternyata harus gigit jari karena dosenku ternyata tak perduli dengan para mahasiswa malas tersebut. Dan kegiatan kuliah tetap berjalan seperti biasa. Hanya ada aku dan Dosen. Buset! Betul, hanya aku dan seorang kakek yang menjabat sebagai dosen didalam kelasku ini. Terbesit dalam hati, untuk berkeinginan kabur dari kelas bahasa kal itu. Mengikuti teman-temanku yang pemalas itu. Tapi kali ini, hati kecilku menolak secara kuat. Entah mengapa. Aku tahu betul dosenku yang satu ini, meskipun sudah sepuh, usianya kira-kira sudah berkepala enam. Masih saja aktif mengajar dan setiap mengajar sangat semangat sekali mengajar hingga [71]
seakan tak peduli ada badai maupun salju. Ini yang membuat suasana semngat dipagi hari yang sering sekali aku mencarinya ketika sudah mulai fatigue. Aku salut sekali. Akhirnya, kami bertiga berpamitan pulang kepada Arta. Karena merasa tak enak mengganggunya yang sedang ujian. Didalam perjalanan pulang, Angel juga sempat bercerita padaku tentang kejadian yang di alaminya empat tahun yang lalu. Tepat satu tahun sebelum kedatanganku ke Rusia. Waktu itu, pada bulan Januari 2006 kota Rostov-on-don di landa badai salju selama tiga hari berturut-turut. Udara turun drastis hingga mencapai titik minus 30 dibawah 0 derajat, suhu yang belum pernah di alami oleh kota Rostov juga kota-kota di Rusia bagian selatan yang cendrung hangat selama ini. “Kegiatan kuliah tidak diliburkan Din, bahkan kami masih melaksanakan ujian diantara tiga hari itu, Kamu bisa bayangkan bagaimana kita harus berangkat kuliah [72]
dengan salju setinggi dengkul dan angin yang super dasyat sangat kencang. Bahkan, wajahku serasa tercabik-cabik dan tertampar dinginnya angin, rasa sakit serta dingin yang menggigit, menusuk, Din!” Mataku terbelalak tak percaya. Sadis, kalo kataku. Angel tetap melanjutkan kisahnya yang terkesan brutal itu, matanya menerawang seakan kejadian itu, baru saja ia alami. Penuh dengan ketakutan dan sangat traumatis. “Terus, selama badai salju itu. Apa kamu bisa bayangkan jika di asramaku listrik mati selama tiga hari juga. Semenjak badai, di hari pertama kabel-kabel listrik diasrama putus. Sehingga ga ada lagi listrik. Semua perlatan listrik bahkan yang dapat membantu kami
untuk
menghangatkan
diri
tidak
dapat
dijalankan. Kami sudah berkali-kali meminta pihak asrama untuk menghubungi perusahaan listrik Negara agar membantu kami, setidaknya agar mati listrik saat itu [73]
tidak berkepanjangan.” Napas Angel terputus, tak lama kemudian, ia mulai kembali mengisahkannya “Tapi ternyata nihil. Dalam keadaan badai seperti saat itu semua alat transportasi lumpuh. Sehingga, kami harus tidur dalam keadaan berpakaian lengkap dengan jaket double, untuk menghindari hipotermia.” Kami semua yang mendengarkan kisahnya, hanya bisa menganga dan membisu, seakan kami semua ikut terlempar kedalam keadaan yang Angel alami. “Kami tidur lengkap dengan menggunakan sepatu boot, sarung tangan serta topi diatas tempat tidur. Mengingat
keesokan harinya, kami masih harus
menempuh ujian. Ga
ada pilihan
selain
terus
menghadapi hidup. Aku sempat berpikir, apakah aku mampu menjalani ini? Aku sebenarnya sempat mengalami hipotermia. Tapi, keburu diketahui teman satu kamarku dan mereka lansung membantuku sekuat tenaga agar suhu tubuhku menghangat. Air diasrama juga sudah tak [74]
dapat keluar karena membeku dalam pipa. Pokoknya sangat mengerikan Din. Beruntung, kamu dan kawanwan lain yang dating setelah kamu tak mengalaminya!” tupnya. u, sama sekali ga bisa membayangkan bagaimana mbak Leli dan Angel yang mengalami langsung saatsaat mencekam itu semua. Alhamdulillah, Tuhan mengirimku disaat yang sudah tepat. Ketika Rostov sudah ga lagi sedingin itu. Yang kudengar juga, di Moskva cuaca lebih dari itu. Banyak para lansia yang tinggal sendiri serta para tunawisma yang meninggal, karena kedinginan. Miris. Sedangkan di kota Moskva selain metro, stasiun bawah tanah. Tak ada transportasi lain yang bisa digunakan, semua membeku ditelan cuaca. Kebijakan pendidikan di kota Rostov-on-don saat itu adalah sampai suhu mencapai tiga puluh dibawah nol derajat. Maka kegiatan belajar mengajar sampai pada usia sekolah di liburkan. Kecuali, universitas yang [75]
tak memiliki kebijakan sehingga kegiatan belajar mengajar masih tetap berjalan seperti jadwal. Bagiku hanya satu kalimat untuk Rusia “Disiplin yang ga tanggung-tanggung!” Kapan negara kita bisa begitu ya?
[76]
Oseng-oseng kentang telor Sudah Leli,
lama rasanya aku tak mengunjungi Mbak
seniorku. Asramanya terletak tiga halte dari
asramaku, aku terbiasa berjalan kaki menuju ke sana. Aku kerap mengunjungi Mbak leli untuk melepaskan rindu dan juga untuk berbahasa Indonesia. “Tok, tok, Halo, Mbak Leli. Apa kabar?” sapaku ketika memasuki kamarnya, kulihat ia sedang belajar. “Heei, Dinda. Apa kabar? Sudah datang, toh? Ayo masuk” jawabnya sambil tersenyum ramah. Mbak Leli memang terkenal ramah. Ia adalah gadis keturunan Flores dan Jawa tengah yang dewasa dan bijak. Tanpa ragu, aku masuk dan langsung melepaskan sepatu boot dan jaket musim dinginku. Mbak Leli langsung memasak air dalam cainik, teko listrik. Untuk [77]
membuatkan coklat panas untukku. Kamar ini serasa hangat, apalagi suhu di luar mencapai minus dua belas derajat. Meski kota Rostov-on-Don terletak di selatan Rusia dan dianggap paling hangat, suhunya mencapai minus dua belas. Kalau untuk kota di utara Rusia, suhunya pasti lebih dingin dari minus dua belas derajat. Aku jadi teringat pengalaman abangku di tahun 2005, saat itu Rusia memasuki puncak musim dingin, di Moskva suhunya mencapai minus tiga puluh tiga derajat, sedangkan di Rostov-on-Don suhunya hanya minus dua puluh delapan derajat. Karena lingkungan membeku dan tertutup salju, beberapa transportasi darat dan laut tidak beroperasi. Dan hanya metro, kereta bawah tanah saja lah yang beroperasi. Di Rusia ada satu kebijakan, saat suhu mencapai minus tiga puluh derajat, anak-anak sekolah diliburkan. Tapi sayangnya kebijakan ini hanya berlaku untuk anak sekolah saja, bukan untuk pegawai dan mahasiswa. Tahun 2005, aku memang belum menginjak tanah Rusia, namun aku banyak mendengar cerita extreme [78]
dari mahasiswa-mahasiswi yang sudah lebih dulu belajar di sini. Salah satunya adalah Angel, seorang mahasiswi kedokteran. Walau suhu mencapai minus dua puluh delapan derajat, ia tetap kuliah karena tak ada kebijakan meliburkan perkuliahan. Dengan berjalan kaki, ia menempuh kampusnya yang berjarak dua kilometer, bahkan ia harus melewati tumpukan salju setebal satu meter. Angin dan badai salju pun siap menghantam setiap saat. Perjuangan yang sungguh berat. Selain itu, di asrama nasibnya tak kalah susah. Air kran tak mau mengalir karena pipa membeku , aliran listrik padam karena kabelnya terputus. Dan yang lebih memilukan, suasana yang sangat dingin itu ternyata bertepatan dengan pelaksanaan ujian. Beberapa mahasiswa akhirnya memutuskan untuk berkumpul dalam satu kamar untuk belajar dan saling menghangatkan. Bahkan, topi, syal, jaket tebal, dan sepatu pun tak mereka lepaskan saat tidur.
[79]
“Terimakasih, Mbak.” Jawabku sambil mengambil coklat panas. “Gimana kuliahnya, Din?” Aku langsung bercerita banyak hal, mengeluarkan semua asa dan menceritakan harapanku agar aku tetap bertahan di sini. Mimpi dan khayalan, itu lah hal yang membuatku tetap berada di sini, aku telah berjanji tak akan kembali ke tanah air sebelum kuliah selesai. Setelah bercerita banyak dan mendapatkan nasihat Mbak Leli, aku merasakan tenang yang dalam. Aku kembali merajut asa dan harapan agar terus bertahan. Mbak Leli sangat tekun belajar, tak salah jika ia menjadi calon pemegang Cumlaude. Sejak tingkat satu, ia selalu mendapatkan nilai A untuk semua mata kuliahnya. Hebat! “Din, maaf ya. Aku belum dapat kiriman dari orang tuaku, jadi aku hanya bisa masak nasi. Kamu bisa masak sayur?” [80]
“Loh Mbak, aku datang untuk main kok.. bukan untuk makan hehe” jawabku menenangkan “Loh? Jangan! Di luar dingin. Kamu jalan kaki kesini itu jauh dan butuh tenaga, apalagi ini musim dingin. Kamu tidak boleh telat makan! Udah gini aja, ikut aku sebentar yah!” timpal Mbak Leli sambil berdiri dan menarik tanganku untuk keluar
kamar.
Ia
lalu
menyerahkan sebuah kantong plastik hitam kepadaku. “Loh, mau kemana Mbak?” tanyaku kebingungan sambil mengikuti langkahnya. “Silatuhrahmi,” jawabnya sambil mengedipkan mata “Hah?” Aku melotot. Aku dan mbak Leli sudah berdiri di sebuah kamar di lantai lima, mbak Leli tinggal di lantai enam. Dengan penuh tanda tanya, aku memerhatikan gerak-gerik mbak Leli. Setahuku, mbak Leli tak punya teman di lantai lima. Lalu mbak Leli mengetuk kamar lima nol satu. [81]
“Privet, u tebya est kartofel?”2 tanya mbak Leli ketika sang pemilik kamar yang berasal dari afrika itu membuka pintu “Oh. padazditi ya smatriu.”3 Jawab penghuni kamar tanpa basa basi dan tanpa bertanya siapa dan untuk apa. Tak lama kemudian, ia kembali sambil membawa sebuah kentang dan memberikannya kepada mbak Leli “Hah? Emang Mbak Leli kenal?” ucapku sambil berbisik. Mbak Leli langsung menarikku ke kamar 502 dan kembali bertanya pertanyaan yang sama. Sedangkan tugasku hanya menaruh kentang ke dalam kantong plastic dan menyembunyikannya di belakang punggung. Begitulah seterusnya hingga kentang dan beberapa butir telur berada di tanganku.
2 3
Hai, apa kamu punya kentang? Oh sebentar, aku lihat dulu [82]
Sesampainya di kamar, aku dan mbak Leli tertawa. Kini, di hadapan kami sudah ada sepuluh telur ayam dan enam buah kentang. Aku sama sekali tak menyangka jika mbak Leli bisa berfikir secerdas ini. Hebat! “Kalau tidak seperti ini, kita hanya makan nasi, Din. Tak apa lah sekali ini. Hehehe.” “Loh? Emang Mbak Leli kenal mereka semua??” tanyaku keheranan. “Ya enggak, tapi mereka kenal mbak Leli. Kan kita sama-sama mahasiswa. Hahahaha.” Sambil tertawa. Hari itu aku dan Mbak Leli memasak oseng-oseng kentang dan telor. Orang Rusia suka sekali memasak kentang yang di goreng dengan sedikit minyak dan di masak dengan api kecil dalam waktu yang lama, setelah matang segera telor di masukan ke dalam wajan dan di campur jadi satu, bumbunya hanya garam dan merica. Entah apa yang terbesit dalam pikiranku saat makan kali ini, tapi aku mengakui mbak Leli adalah calon [83]
cumlaude sejati. Bukan hanya di fakultas, tapi di kehidupan sehari hari. “Kamu tahu, Din? waktu podfak, aku harus menari. Tapi pas hari H, kaset tarianku mendadak hilang, padahal akusudah mencarinya. Karena sudah tak ada waktu lagi, aku akhirnya memilih lagu jablay-nya Titi Kamal.Hahaha.” Kisahnya sambil mengingat masa podfak,tiga tahun lalu. “lha, emang nyambung, Mbak?” “Enggak. Mereka kan gak tahu itu lagu nya Titi Kamal. Hhahaha.” “Emang tari apa, kok lagunya dangdut?” “Jaipong” jawabnya sambil tertawa “Hahahaha.” “Pasti kalau mereka mengerti, mereka akan ketawa, ya? Hahahaha” jawabku menimpali [84]
Tentu saja aku tak bisa membayangkan ketika mbak Leli harus berjaipong ria dengan lagu dangdut. Hehehe. “Waktu tamasya di Binaria, pulang-pulang kuberbadan dua. Meski tanpa restu orang tua, sayang. Aku rela abang bawa pulang.”
[85]
PNBB : Sekolah Es Buah. Segar! By : Azzurit Hijau 125 PNBB (Proyek Nulis Buku Bareng) adalah sebuah grup di facebook yang didirikan oleh Heri Mulyo Cahyo pada bulan September 2011. Grup ini lahir saat proses editing naskah Masa Kecil yang tak terlupa (MKTT). Tujuan awalnya sebagai sarana komunikasi antara editor dengan para penulis. Namun seiring perjalanan waktu, grup ini akhirnya berkembang menjadi sekolah menulis, dan penghuninya pun bukan hanya penulis MKTT saja. [86]
Karena grup ini adalah sebuah sekolah, maka ada juga jabatan kepala sekolah, wakil kepala sekolah, wali kelas, guru, dan satpam. Setiap hari ada pelajaran yang akan dibahas, bahkan ada juga PR(pekerjaan rumah) yang harus dikerjakan oleh semua guru dan murid. Di PNBB, guru dan murid kedudukannya sama, karena guru bisa menjadi murid dan murid pun bisa menjadi guru.
Namun…PNBB bukan sekolah biasa, melainkan sekolah es buah. Karena di PNBB terdiri dari beragam perbedaan : umur, pendidikan, profesi, tempat tinggal, agama dan branding tulisan. Tetapi semua perbedaan itu
tak
membedakan,
justru
nyatuannya pun tentu saja
menyatukan.
Pe-
tak menghilangkan
perbedaannya, karena setiap kita tetap saja berbeda, persis seperti es buah. Masing-masing buah tetap terlihat, walau telah menyatu. Es buah bisa dinikmati sepanjang waktu dan menyegarkan. PNBB pun begitu. Waktu belajarnya dari pagi sampai malam, namun [87]
sangat fleksibel, bisa masuk kelas kapan saja. Traffic light grupnya pun padat, tak pernah sepi. Selama ada di PNBB, pasti tak akan merasakan kesedihan, karena mulut akan selalu menyunggingkan senyuman, bahkan bisa sampai tertawa. Tak percaya? buktikan lah sendiri. Karena PNBB adalah sekolah es buah, maka pelajarannya nyegarkan.
pun Selain
bermacam-macam pelajaran
menulis,
dan
me-
ada
juga
pelajaran tentang NLP, IT, Spiritual, Resensi (buku, music dan film), parenting, serta kuliner. Eits, ada pelajaran tentang kerusuhan juga, lho. Tapi tentu bukan kerusuhan yang anarkis, melainkan kerusuhan yang menjadi sarana kehangatan dan keakraban. Semua anggota grup menjelma bagai sebuah keluarga yang saling mendukung dan ‘merangkul’, dijamin takkan pernah merasakan terasing. Diperbolehkan juga untuk curhat jika sedang punya masalah.
[88]
Apa lagi keunikannya? Di PNBB ada jargon-jargon yang sering dipakai, antara lain : pertamax, keduax, petromax,
pattric,
Mr.Crab,
Spongebob,
dan
sebagainya. Selain itu, ada juga kamus istilah yang berisikan istilah-istilah yang sering dipakai, misalnya : Ugan, Petis, Mbaurekso, Sajen, UUP, UUM, U3S, H2C, UUL dan lain-lain.
Grup yang punya tag line “Tulis apa yang ada di pikiran, jangan memikirkan apa yang akan ditulis” ini akhirnya berkembang menjadi sebuah lembaga berbadan hukum. Inti kegiatannya tentu saja di bidang literasi, seperti : menerbitkan buku, menulis, pelatihan menulis dan juga akan merambah ke majalah dan buletin. Dalam grup, ada dua proyek yang akan dilakukan, yaitu proyek mayor dan minor. Proyek mayor yaitu proyek menulis buku oleh para anggota grup, sedangkan proyek minor yaitu proyek menulis buku oleh minimal dua anggota grup. Untuk proyek mayor, sudah terbit MKTT (Masa Kecil yang Tak
[89]
Terlupa), e-CUS (Ekspresi cinta untuk SBY), dan menyusul Kisah Lucu Dalam Hidup.
Jadi…bergabunglah dengan PNBB dan rasakan kedahsyatan virus menulisnya. Anda tak akan lagi merasakan kesulitan dan malu dalam menulis, justru Anda akan semakin menjatuhcintai menulis. Marilah merasakan kesegaran dari sekolah es buah (PNBB) ini. Pasti tak akan ada ruginya. Percayalah, percayalah!
Gadis coklat di ruang pelangi, 22 Januari 2012.
[90]
Tentang Penulis Aku,
Dinda Hidayanti. Penulis abal-abal yang
secara kebetulan terdampar di Rusia untuk kuliah. Entah apa yang ada yang benak pemerintah Rusia yang dengan
bangga
mahasiswi
yang
menerimaku kuliah
di
sebagai jurusan
seorang Psikologi.
Harapanku, semoga pemerintah Rusia tidak merasa ‘rugi’ telah menyekolahkan aku yang kampong ini. Amiin. Dulu, karena banyak waktu luang sewaktu kuliah di ‘sono’ maka aku berkenalan dengan dunia tulis menulis. Sebetulnya semua hasil tulisan ini sudah ada sejak beberapa abad lalu. Halah! Yang kemudian, karena super sangat ingin beken dan berangan jadi penulis ‘best seller wannabe’ maka, dengan bantuan penerbit selfpublishing dan dengan amat-sangat pede. Aku memutuskan untuk menerbitkannya. Hingga buku
[91]
laknat yang amat-sangat tak bermanfaat ini sampai ditangan anda. Spasiba-spasiba… Maka tulisan-tulisan ini adalah sekumpulan tulisan amburadul yang aku kumpulkan dari blog gratisan dan aku pilih-pilih untuk bisa di bina dan di ‘didik’ layak untuk jadi konsumsi publik. Memang tidak semua pengalaman yang terkumpul adalah ‘kenangan indah’. Tapi setidaknya, aku sudah berusaha jujur tentang kehidupanku yang kata mama “kesisipan balung kere” atau bahasa kerennya “tersisipi tulang miskin” dimana kehidupanku selalu saja, mengenaskan. Tak apalah, yang penting aku udah pernah kuliah, di luar negri lagi! Sudah lulus juga dari huruf-huruf mengerikan a la Rusia. Sekarang semoga kumpulan tulisanku bisa sedikit ditelan, kemudia dicerna dan terakhir dibuang. Lalu ambil deh, manfaatnya. Meski aku tau, tidak ada manfaatnya sama sekali. Asal pede ajah. Hehehe [92]
Aku bisa ditemukan di: Facebook : www.facebook.com/ddhidayanti Blog : www.hidayanti.wordpress.com Kompasiana :www.kompasiana.com/dindahidayanti Ye Em :
[email protected] Skype : dinda.hidayanti e-mail:
[email protected]
Spasiboooo….
Bangil, 1 Februari 2013
Ebook versi. Full page 166p, jika berminat untuk edisi cetak bisa didapat melalui pemesanan langsung kepada penulis di
[email protected] / 087871173323. [93]