Edisi 3, Agustus 2013
Telur Reptil Malang di Ladangku?
Memotret, Menjaga Alam
Tropidolaemus wagleri, Dekat dan Berbahaya Kebersamaan yang Menghilangkan Rasa Takut Berbagi “rumah” dengan Katak Pohon Bergaris
Sensasi Motret Satwa Malam
Ular-ular Batang Toru Foto kover © Roy Hasbi
Salam konservasi!
I
lmu pengetahuan itu sangatlah luas. Ketika universitas mengerucutkan skup studi menjadi jurusan-jurusan, di dalamnya akan muncul juga ragam bidang-bidang penelitian. Bidang itu kemudian menghadirkan minat-minat khusus, judul-judul, sub judul yang tiada habisnya. Ilmu pengetahuan itu adalah samudera luas yang sampai kapanpun tidak akan menemukan titik akhir.
Pembimbing Ketua Departemen Biologi FMIPA USU Konsultan Kontribusi Mistar Kamsi, Giyanto, Munawar Kholis, Joko Guntoro Penanggung Jawab Posma Tarida Tua Pemimpin Redaksi Akhmad Junaedi Siregar Editor Chairunas Adha Putra Administrasi Desy Hikmatullah Kontributor Khairul Umri, Tengku Gilang Pradana, Herclus Tampubolon, Trisi Sanjaya, Siska Handayani Disainer Herpetologer Mania Diterbitkan oleh Herpetologer Mania Didukung oleh Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (BIOPALAS) Departemen Biologi FMIPA USU Redaksi menerima tulisan & foto dengan mengirimkannya ke e-mail
[email protected].
Daftar Isi Hal. 4. 6. 8. 10. 12. 15. 18.
2
Telur Reptil Malang di Ladangku? Ular-ular Batang Toru Tropidolaemus wagleri, Dekat dan Berbahaya Memotret, Menjaga Alam Sensasi Motret Satwa Malam Kebersamaan yang Menghilangkan Rasa Takut Berbagi “rumah” dengan Katak Pohon Bergaris
Oleh karena itu, peneliti dan pecinta lingkungan harus memprioritaskan studistudi yang bersifat dekat dengan manusia, itu ditandai dari kemanfaatannya terhadap manusia saat ini. Hal ini sesuai dengan ajaran bahwa sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang bermanfaat. Herpetofauna adalah satu bidang yang menarik untuk dikaji. Dan saat ini belum luas dipahami manfaatnya. Nah di sinilah terletak tantangan peneliti dan pecinta amfibi dan reptil untuk menggali manfaatnya diciptakan. Bukankah sesuatunya itu ada karena ada manfaatnya? Mari sama-sama berbuat untuk alam yang indah ini! Nursahara Pasaribu (Ketua Dept. Biologi FMIPA USU)
Salam Herpet,
D
inamika selalu ada. Bumi ini selalu berjalan. Pembangunan yang saat ini telah berlari barang tentu merubah lingkungan di sekitarnya. Sebagai pecinta lingkungan dan memiliki sedikit pengetahuan tentang konservasi, kita telah melihat bagaimana bumi ke depannya. Ada kekhawatiran yang mendalam pada keberlangsungan bumi yang hijau. Kenapa hal ini terjadi? Kalau kami berpendapat, tidak lain adalah keserakahan manusia semata. Ini soal konsumsi yang tinggi dan nafsu yang kuat. Manusia telah meninggikan standarnya dengan mengonsumsi komoditi yang lebih banyak dari biasanya. Banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi yang kadang-kadang bukanlah sesuatu yang sangat penting sekali. Hal inilah yang menggerakkan bumi, tambang-tambang dibuka, properti memakan lahan yang luas, plastik semakin menggunung, hutan semakin terdesak, dan perusahaan pabrikan otomotif semakin menggila. Sebenarnya jika kesederhanaan hidup dan kesadaran individual terhadap lingkungan baik, niscaya kerusakan lingkungan akan sangat lambat. Manusia sebagai bagian dari kelas hewan jika tidak menggunakan hasrat dan keserakahannya akan sama seperti hewan, tidak merusak alam. Karena belum ada peneliti manapun yang menuduh hewan merusak lingkungan. Ada beberapa kegiatan manusia yang ramah lingkungan seperti kegiatan wisata fotografi, pertanian organik, daur ulang, dan sebagainya. Edisi ini hadir dengan nuansa fotografi yang kental, di mana beberapa kontributor bercerita tentang fotografi herpetologi. Tentunya ini adalah bahagian dari usaha menjaga lingkungan yang lebih baik. Nah, selamat menikmati edisi ke-3 Herpetologer Mania. Redaksi
Kontributor Mania Roy Ubaidillah Hasby Sebagai penggiat fotografi, Roy Ubaidillah Hasby menemukan objek fotografi yang bisa membawanya bermeditasi dengan alam. Awalnya Roy memulai karir foto di bidang fotografi produk perhiasan dengan bekerjasama dengan disainer Eropa yang tinggal di Bali. Pria kelahiran Ampenan, 23 Mei 1978 ini, kini menjelma sebagai fotografer profesional yang mulai dikenal banyak orang. Beliau juga mengembangkan sayap dengan membuka fotografi pernikahan, tentunya bekerja sama dengan beberapa wedding organizer Bali. Jiwanya yang ternyata melekat dengan alam, sehingga terpikir mendirikan website burung bernama Birdsofbali.com. Apa yang Roy rasakan tentang khasiat meditasi di alam, diceritakannya di edisi ini. Ada beberapa tips dan aturan tentunya menurut beliau. Untuk itu, silahkan buka lembaran berikutnya. Boy Sandi Memimpin sebuah organisasi pecinta alam adalah sebuah amanah besar. Di dalamnya ada tanggung jawab yang tinggi, karena ketua umum merupakan salah satu setir paling berpengaruh dalam sebuah organisasi. Boy adalah ketua umum Biologi Pecinta Alam & Studi Lingkungan Hidup (Biopalas) Dept. Biologi FMIPA USU saat ini.
Arfah Nasution Jika kita memiliki waktu panjang, kenapa tidak berbuat lebih. Begitulah yang mungkin bisa digambarkan kepada Arfah Nasution ketika melakukan penelitian perilaku sosial induk anak orangutan di KHBTBB. Gadis kelahiran Medan, 21 September 1990 ini mencatat dan mendokumentasikan temuan Sebagai pecinta alam yang concern terhadap penelitian-penelitian ular-ular di Hutan Batang Toru. Beliau tak mencari sudah lingkungan hidup, Biopalas memiliki berbagai divisi, termasuk divisi menemukan sekitar enam jenis ular, apalagi kalau sengaja fauna. Beliau harus memastikan setiap divisi itu berjalan dengan baik dan melakukan penelitian, tentu saja daftar jenis ular yang sesuai dengan visi misi yang telah disepakati. Tapi tidaklah selalu Boy dimilikinya akan bertambah signifikan. Tak ingin, fotohanya memerintah seenaknya, dalam kesempatan herping beliau turun fotonya hanya dinikmati sendiri, mahasiswi semester akhir di langsung ke lapangan. Di sana timnya menemukan ular viper yang dalam Dept. Biologi USU ini meluangkan waktunya sedikit untuk cerita masyarakat lokal sangatlah berbisa. Nah, simak ceritanya di edisi ini. corat-coret di komputer. Baca laporannya di edisi ini. Rachmi Saat ini Rachmi masih duduk di bangku kuliah Dept. Biologi FMIPA USU. Mahasiswi kelahiran 12 Desember 1991 ini memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap fotografi. Latar belakangnya yang juga adalah mahasiswa biologi, beliau dipertemukan dengan organisasi yang berkegiatan dalam dokumentasi sains, namanya Bengkel Fotografi Sains. Dan kini, Rachmi menjabat sebagai koordinator perkumpulan itu untuk periode 2012-2013. Dalam satu kegiatan hunting bersama, Rachmi mengunjungi Hetts Bio Lestari dan memulai petualangan barunya yakni menjadikan satwa reptil sebagai model foto, padahal dia masih canggung dengan hewan berbisa. Ikuti ceritanya di edisi ini. Rahmad Adi Menelusuri alam seperti menelusuri buku-buku yang terkembang. Alam adalah ayat-ayat Tuhan yang mesti dipelajari. Oleh karena itu, mendokumentasi alam sepertinya adalah bahagian dari ibadah. Rahmad Adi telah banyak memasuki hutan Taman Nasional Gunung Leuser sebagai bagian dari tugasnya sebagai staf Wildlife Conservation Society. Menurutnya, ada banyak cerita perjalanan yang bisa dikisahkan. Ada banyak cara pula untuk berkisah. Rahmad Adi memiliki cara sendiri, yakni mengisahkan dengan kamera. Pria kelahiran 21 Agustus 1984 ini berbagi kepada pembaca tentang sesuatu yang ditemukannya di tanah Leuser, khususnya herpetofauna. Silahkan membuka halaman berikutnya untuk menikmati foto-fotonya.
Eka Septayuda Semenjak 2004 yang lalu, Eka Septayuda sudah menjadi bahagian dari perlindungan harimau bersama WWF Riau. Sebagai seorang yang memiliki keahlian memasang kamera jebak, barang tentu beliau juga akan berhadapan dengan alam beserta isinya. Tak ketinggalan dengan amfibi dan reptil. Lajang kelahiran Cilegon, 17 September 1984 ini mengamati herpetofauna di “pondok” tempatnya mangkal. Apa yang beliau lihat, buka halaman berikutnya.
3
Observasi
Telur Reptil Malang di Ladangku?
Telur-telur reptil tertusuk akar ilalang
Di penghujung April yang lalu, di ladang sempit yang saya kelola sendiri, keringatku mengucur deras mengayun cangkul. Ilalang (Imperata cilindrica) menusuk kakiku yang bertelanjang bulat. Saya ingin membalik tanah, menyuburkan tanaman, ingin mandiri dan memenuhi kebutuhan dasar sayur-sayuran dari tanah gersang itu. Teks & foto: Akhmad Junaedi Siregar
4
M
eski gersang, tapi kehidupan amfibi dan reptil masih saja kelihatan di sini. Bunglon, cicak, katak, ular dan kadal bukanlah sesuatu hal baru. Satwasatwa itu menjalin hubungan yang baik dengan lingkungannya sebagai media untuk mencari makan, istirahat dan berbiak. Kedatangan saya sebagai petani boleh dianggap menjadi pendatang baru yang paling berkuasa. Saya ingin mengubah semuanya dengan keinginanku sendiri dengan memulai pembajakan tanah. Seringkali saya melukai kadal (Mabuya multifasciata) yang bersembunyi di dalam tanah dan anak katak (Kaloula pulchra) yang beristirahat di siang hari. Yang tak kalah terkejut adalah ketika membalik sarang reptil di antara akar-akar ilalang yang rapat. Di situ ada sembilan telur dengan dua ukuran yang berbeda. Satu kelompok sebesar telur cicak dan satu lagi lebih kecil dan lebih muda. Bagi saya ini jenis telur yang meragukan, tapi karena sering melihat kadal di dalam tanah, kupikir ini adalah telurnya. Tapi kenapa ada dua ukuran yang berbeda jauh? Entahlah. Hal yang paling menarik dari telur-telur itulah adalah ketika akar-akar ilalang menembus cangkangnya. Bagi saya ini termasuk keteledoran reptil dalam menyimpan telur-telur. Memang kelas reptil merupakan peralihan antara yang menjaga telur dengan yang tidak
Hemydactylus frenatus
Calotes versicolor
sama sekali. Ada beberapa jenis ular dan buaya yang melindungi telurnya, selebihnya mereka membiarkan telur itu bekerja sendiri dan dituntun alam. Beberapa kelas reptil memiliki fakta yang menarik, misalnya jenis kelamin dari telur kura-kura dipengaruhi oleh kehangatan dari lingkungan di sekelilingnya, bukan dari peleburan kromosom jantan betina sedari awal. Ada satu kecenderungan menurut para ahli bahwa semakin kecil satwa, maka semakin banyak telur yang dihasilkan. Ini menggambarkan bahwa hewan yang kecil biasanya menjadi mangsa hewan besar, jadi harus banyak generasinya agar lestari. Hukum tersebut juga bisa dihubungkan dengan reptil yang tidak menjaga telurnya biasanya memiliki telur dengan jumlah relatif banyak ketimbang yang menjaga telurnya agar persen hidupnya terjaga. Kejadian-kejadian seperti ini mungkin sedang lama terjadi. Di ladang kecil ini, reptil dewasa masih banyak seperti biasa. Jadi sebenarnya tak ada masalah berarti yang sedang terjadi. Cangkang telur yang ditembus akar ilalang adalah hal biasa. Bagian dari probabilitas alami. Mungkin saya saja yang kemaruk dari penemuan cangkang malang itu.
Bronchocela cristatella
5
Observasi
Batang Toru. Penelitian ini sama sekali tidak berhubungan dengan ular atau pun herpetofauna, melainkan perilaku sosial orangutan. Namun waktu itu, saya sempat beberapa kali membantu teman saya yang sedang melakukan penelitian amfibi dan juga berkesempatan herping bersama pengamat herfetofauna berpengalaman, Mistar Kamsi. Dalam kegiatan herping yang saya ikuti, kami menemukan beberapa jenis ular, yaitu Trimeresurus albolabris, Dryocalamus subannulatus dan Xenochrophis trianguligerus
Banyak orang beranggapan bahwa Batang Toru adalah salah satu kabupaten yang terletak di Tapanuli Selatan yang terkenal hanya dengan tambang emasnya. Namun sesungguhnya, berbicara tentang Batang Toru tidaklah melulu tentang tambang logam mulia itu. Kawasan Hutan Batang Toru terdiri dari dua blok, yaitu Blok Barat dan Blok Timur yang terbentang di tiga kabupaten, yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Hutan Batang Toru merupakan harta karun Tapanuli yang memiliki kekayaan dan fungsi ekologis yang sangat penting. Teks dan foto oleh Arfah Nasution
H
utan tersebut adalah habitat terakhir bagi populasi orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang jauh terpisah dari orangutan lain di Sumatera Utara dan Aceh (Yel, 2007). Selain orangutan, Batang Toru adalah habitat bagi harimau Sumatera, tapir, kambing hutan, owa, kucing batu, siamang, beruang madu, berbagai jenis burung, serangga, dan lainnya. Dari kajian herpetofauna, khususnya reptil, kawasan hutan Batang Toru memiliki keanekaragaman reptil yang cukup tinggi. Jenisnya antara lain Ophisaurus wagneri, Phyton reticulates, Cuora amboinensis, Megophrys nasuta, Huia sumatera, dll. Di sini saya akan berbagi pengalaman tentang perjumpaan
6
ular ketika melakukan penelitian di Stasiun Pemantauan Flora Fauna SOCPYel Batang Toru. Saya sendiri sebenarnya masih sangat “buta” dunia ular. Stasiun pemantauan flora fauna SOCPYEL --dikenal juga dengan nama Camp Mayang-- termasuk dalam kawasan hutan lindung, berada di hutan Batang Toru blok barat Kabupaten Tapanuli Utara seluas area lebih kurang 12 km. Berdasarkan pemantauan herpetofauna yang telah dilakukan oleh SOCP-YEL, ditemukan 4 famili ular, yaitu dari famili Colubridae, Elapidae, Typhlophiidae, dan Viperidae (Yel, 2012). Februari 2013 lalu, saya melakukan penelitian selama tiga bulan di Stasiun Pemantauan Flora dan Fauna SOCP-YEL
Trimeresurus albolabris lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan “ulok naoto” (ular bodoh) karena ular ini bisa bertengger di atas pohon yang sama selama berbulan-bulan. Trimesurus albolabris adalah spesies ular dari famili Viperidae. Bandotan (Viperidae) adalah ular dengan taring panjang bergantung, memiliki bisa yang bervariasi antar spesies. Biasanya bisa mengandung protein pemecah sel darah yang menyebabkan pendarahan internal. Trimesurus albolabris yang kami jumpai ini baru berganti kulit sehingga sangat sensitif dan cukup agresif. Dengan kondisinya yang seperti itu saya cukup takut untuk mengabadikannya dengan lensaku. Namun dengan bantuan Mistar Kamsi, akhirnya saya mendapatkan foto yang lumayan bagus. Dryocalamus subannulatus dan Xenochrophis trianguligerus adalah spesies ular dari famili Colubridae. Colubridae merupakan spesies ular yang paling sering kami jumpai. Suku ini adalah famili terbesar (2/3 dari seluruh spesies) di dunia. Sebagian besar ular bertaring belakang tidak terlalu berbahaya bagi manusia karena taringnya terletak jauh di belakang sehingga tidak terlalu berfungsi. Xenochrophis trianguligerus atau ular segitiga merah memiliki banyak variasi warna sehingga lebih akurat dengan menghitung jumlah sisik. Sewaktu melakukan pencarian orangutan terkadang kami bertemu dengan beberapa jenis ular, seperti Calliophis bivirgatus, Trimeresurus hageni, dan
Calamaria margaritophora. Calliophis bivirgatus adalah spesies ular dari famili Elapidae yang semuanya berbisa. Elapidae memiliki taring yang terletak di bagian depan rahang atas sehingga dapat menyuntikkan bisa melalui serangan tiba-tiba dan mematikan. Sepintas ular ini mirip Calamaria schlegeli, namun sebenarnya antara Calamaria schlegeli dan Calliophis bivirgatus jelas berbeda. Kuncinya ada pada ekor, Calliophis bivirgata memiliki ekor berwarna merah, sedangkan Calamaria schlegeli tidak. Warna kepala juga berbeda, Calliophis bivirgata memiliki tanda “panah” di bagian kepalanya, sedangkan Calamaria schlegeli batas warna merah kepala dan leher melingkar rapi. Sisik Calamaria sp. cenderung memendarkan cahaya, warna tubuh mengilat dan berwarna seperti pelangi ketika terkena cahaya. Sangat berbahaya apabila kita tertukar dalam mengidentifikasi ular ini karena Calamaria schlegeli adalah ular Colubridae yang tidak berbisa, sementara Calliophis bivirgata adalah ular Elapidae yang memiliki bisa mematikan. Ular yang dulu memiliki nama Maticora bivirgata ini kami temukan ketika siang hari sehingga tidak begitu agresif. Trimeresurus hageni kami temukan di lantai hutan. Dia begitu tenang
dan tidak menunujukkan pergerakan sedikit pun, seperti ular yang sudah mati. Mungkin karena sifatnya yang nokturnal (aktif malam hari) sehingga ketika kami menemukannya di siang hari ular tersebut tidak begitu aktif. Berbeda dengan Trimeresurus albolabris, (hagen’s pit viper) memiliki tekstur kulit yang kuat. Trimeresurus hageni merupakan endemik Asia Tenggara, persebarannya di Indonesia hanya terbatas di pulau Sumatera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Calamaria margaritophora merupakan ular dari kelompok Colubridae. Awalnya saya mengira bahwa ular ini merupakan anakan, namun ternyata ular endemik Sumatera ini memang memiliki ukuran yang relatif kecil dengan panjang maksimum 36 cm. Hutan Batang Toru masih menyimpan banyak misteri keragaman herpetofauna khususnya ular yang belum banyak digali dan dikaji. Saya yakin dengan
penelitian yang berkelanjutan, serius, dan fokus akan diperoleh keanekaragaman ular yang lebih besar. Dengan melakukan penelitian berarti kita telah ikut bertindak dalam pelestarian herpetofauna serta menambah khazanah dalam ilmu pengetahuan. Hutan Batang Toru menyimpan kekayaan alam yang bermanfaat bagi seluruh lapisan makhluk hidup. Oleh karena itu, sudah sewajarnya kita sebagai manusia menjaga kelestarian hutan yang menjadi habitat berbagai jenis flora maupun fauna dan menyangga kehidupan makhluk hidup. Terima kasih kepada semua temanteman Herpetologer Mania yang banyak membantu saya dalam mengidentifikasi dan memberikan penjelasan tentang semua hal yang berhubungan dengan tulisan ini. Untuk itu, kepada Agus Jati, Syahputra Putra, Riza Marlon, Roy Hasby, Muhammad Iqbal, Aristyawan Cahyo Adi dan Akhmad Junaedi Siregar, transfer ilmunya tentunya sangat bermanfaat.
Pustaka: Ensiklopedia Dunia Hewan: Reptil Laporan Hasil Monitoring Flora Dan Fauna Di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru, Tapanuli Utara-Sumatera Utara (SOCP-YEL). Unpublished report.
7
Survei
1
2
Tropidolaemus wagleri, Dekat dan Berbahaya Penduduk lokal, teman kami cerita-cerita sewaktu mengadakan herping pada 27-30 Juni 2013 yang lalu di Desa Cinta Rakyat, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara membuat kami merinding. “Kawan kami tergigit ular bulan, lalu beberapa detik racunnya langsung bereaksi”, terangnya. Teks oleh Boy Sandi, foto oleh Chairunas Adha Putra
3
8
U
lar bulan, demikian penduduk lokal menyebutnya adalah ular Tropidolaemus wagleri. Ular ini memiliki keunikan tersendiri yakni tidak agresif di siang hari dan akan aktif pada malam hari (nocturnal). Taksonomi menggolongkannya ke dalam suku Viveridae yang secara umum memiliki bisa yang berbahaya bahkan menyebabkan kematian. Racun yang dihasilkan dapat merusak sistem saraf (neuraorokxin) dan sistem peredaran darah manusia. Bisanya cenderung digunakan untuk melemahkan mangsa ketimbang membela diri. Penelitian yang membawa bendera Herpetologer Mania kali ini beruntung menemukan jenis ini. Kami berjumpa di jalur yang biasa dilewati penduduk. Ternyata mereka ada bersama dengan lingkungan yang dekat dengan manusia. Warnanya didominasi hijau muda yang mulus dan disisipi warna kuning sebagai batas warna hijau. Sekilas, bagian depan terlihat menyeramkan. Ini memang predator sejati.
4
5
1. Tropidolaemus wagleri 2. Rana hosii 3. Kegiatan mengukur morfometri obyek temuan. 4. Kemah tim Herpetologer Mania. 5. Kegiatan herping. 6. Lansekap penelitian.
6
9
Observasi
Memotret, Menjaga Alam
Melalui mata kamera kita dapat melindungi satwa. Memotret adalah salah satu cara mengapresiasi keindahan satwa di alamnya. Hal demikian itu, setidaknya mengurangi apresiasi satwa dengan cara memilikinya sendiri. Teks & foto oleh Rahmad Adi (WCS-IP)
1 1.
2.
3.
Philautus Aurifasciatus/ katak emas, dalam kantung Nephenthes sp., di jalur pendakian Pegunungan Perkison TNGL, 2800 mdpl. Dendragma baulengeri/bunglon gunung api. Foto diambil pada Juli 2013, di TNGL, Aceh Tenggara, 2600 mdpl. Lansekap TNGL bagian Aceh Tenggara, Provinsi Aceh.
2
S
ebagai bahagian dari anggota yang tergabung dari badan yang bermisi menyelamatkan satwa lindung, perjalanan ini memakan waktu berhari-hari di Taman Nasional Gunung Leuser. Selama itu pula banyak momen penting yang seharusnya diabadikan. Di antaranya adalah lokasi perjalanan ekstrim di pegunungan, sungai-sungai, air terjun serta belukarbelukar di selimuti lumut. Tentunya di dalamnya ada keanekaragaman yang bersembunyi, salah satunya yang kusukai adalah herpetofauna.
Media foto adalah cara termudah menceritakan alam. Ada peristiwa dan kejadian yang bisa terekam. Terkadang, ada saatnya kita membiarkan foto yang berbicara, seperti halnya yang dilakukan pelestari alam. Beberapa kelompok seperti IWP (Indonesia Wildlife Photography), RWP(Riau Wildlife Photography) serta dari Herpetologer Mania telah memulai pendekatan konservasi melalui karya fotografi. Bagaimana dengan amfibi dan reptil? Amfibi dan reptil ternyata termasuk satwa
3 10
4.
5.
Mimobdella buetikoferi/lintah merah ditemukan di TNGL, antara pegunungan Perkison menuju Bendahara Bufo juxtasper/kodok biduk di TNGL, Aceh tenggara.
yang memiliki ancaman yang tinggi. Bagian tubuhnya banyak digunakan menjadi bahan baku aksesoris. Katakanlah itu berupa tas atau sepatu, hidangan kuliner bagi pencinta makanan reptil, serta ada yang tak kalah menariknya saat ini, banyak kalangan anak muda yang mememelihara reptil dan amfibi sebagai bahan pencitraan.
4
Kiranya, fotografi bisa menjadi alternatif untuk menggantikan keinginan orangorang yang menikmati amfibi reptil dengan cara yang kurang tepat. Jadi mari kita apresiasi mereka yang sudah hobi fotografi alam. Apalagi sebagian di antara mereka sudah meluncurkan buku-buku kumpulan dari karya-karya foto. Selamat berkarya dan enjoy the adventure!
5
Image
aan Dies
an pada peraya ik a m ra e m s) a d y ijau (Chelonia m ndopo USU. e P i d Awetan penyu h lu la g n a y a 8 Juni 2012 Natalis USU pad
11
Tips Herpet
Sensasi Motret Satwa Malam
Di antara kesibukan kita akan pekerjaan, muncullah beragam kendala seperti menumpuknya deadline pekerjaan, kemacetan kota yang sudah tidak bisa terbendung lagi untuk jalan keluarnya, beragam permasalahan perekonomian semakin hari semakin membuat kepala seakan ingin pecah, dan rumitnya keinginan manusia. Terkadang hal ini menimbulkan dampak negatif, yaitu stress. Apabila tingkatan stress pada individual sudah memuncak, kebanyakan sisi negatif berpikir manusia pun mulai tidak sejalur dengan kemauan hati dan nurani individualnya. Teks dan foto: Roy Ubaidillah Hasby*
12
B
anyak cara yang dilakukan masyarakat perkotaan tentunya untuk mengurangi dampak stress pada diri mereka, antara lain mereka menyempatkan diri mereka seperti pergi berlibur ke tempat-tempat rekreasi bersama keluarga. Selain itu, ada juga yang menyempatkan diri mereka untuk pergi melakukan beberapa aktifitas seperti pergi ke tempat-tempat hiburan malam. Namun yang paling langka dijumpai adalah pergi bermeditasi ke alam liar yang jauh dari hiruk-pikuknya perkotaan hanya guna untuk memotret satwa. Memotret satwa di alamnya tentulah hal yang sangat jarang dilakukan di perkotaan seperti Jakarta. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya lahan hijau di ibukota dan menurun drastisnya satwa yang sangat sulit sekali perjumpaanya dengan kita tentunya. Bagi penduduk yang berdomisili di Jakarta sendiri, alternatif lain adalah dengan berlibur ke kawasan Bogor dan sekitarnya yang dapat mengapresiasikan meditasi kita dengan memadukan meditasi dan fotografi bersama satwa di alamnya.
Namun, terkadang masyarakat umum yang mengenal fotografi itu sendiri seakan kurang memahami fotografi satwa liar. Yang selalu menjadi polemik adalah, jika kita ingin terjun ke dunia fotografi alam liar tentulah harus memiliki perlengkapan kamera yang super mahal dengan beragam tipe. Termasuk dengan lensa super tele yang harganya membuat penggemar fotografi enggan untuk terjun ke dunia alam liar. Di dunia fotografi alam liar, tak haruslah kita memiliki perlengkapan super mahal dan banyak seperti anggapan umum itu. Cukup dengan menggunakan kamera DSLR atau pun poket pun kita dapat melakukan aktifitas super murah meriah dan bermanfaat. Dengan bermodalkan niat, kesabaran dan juga kamera seadanya kita dapat memulai aktifitas alam. Paling menggoda adalah melakukan aktifitas fotografi malam hari. Peralatan senter atau pun head lamp sebagai penerangan, kamera, flash eksternal jika memiliki jika tidak ada bisa menggunakan internal flash dari kamera dan juga tripod tentunya, kita dapat berwisata dan berbaur
dengan alam. Ada beberapa spot untuk melakukan fotografi satwa malam yang sangat memacu adrenalin kita. Salah satunya di kampung Loji Cijeruk, Bogor. Perjalanan dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda empat dari Jakarta selama kurang lebih 1,5 jam melalui Ciawi. Hamparan persawahan di kaki bukit Gunung Salak sangatlah indah di kanan kiri perjalanan menuju lokasi. Saran terbaik untuk melakukan trip fotografi malam di lokasi ini adalah mengunjungi kawasan Loji dari Jakarta pada sore hari, sehingga setelah maghrib para fotografer dapat melakukan aktifitasnya langsung mengeksplor kawasan Loji pada malam hari. Satwa malam yang dapat dijumpa kebanyakan adalah microfauna, seperti aneka jenis siput, ngengat dan serangga lainnya. Sedangkan yang menjadi trend satwa fotografi malam di lokasi ini adalah beberapa jenis katak seperti Rana hosii (kongkang racun) atau katak pohon, serta katak tanduk. Satwa melata lain yangh dapat dijumpai di lokasi ini antara lain seperti bunglon, ular pucuk, ular siput, dan ular berbisa seperti green tree pit viper. Tak hanya kaum lelaki saja yang mencintai fotografi dan mengikuti sensasinya memotret satwa pada malam hari. Namun dari kaum hawa pun, ada yang menyempatkan waktunya untuk
berekspresi dengan satwa melalui rana cahaya. Dengan media visualisasilah seharusnya kita mengagungkan karya yang maha Kuasa ini, dan tentunya tetap di alamnya. Bukan untuk dipelihara. Memang satwa-satwa pada malam hari kebanyakan memiliki keunikan luar biasa dibandingkan satwa-satwa yang mudah dijumpai pada siang hari. Namun, keunikan tersebut lebihlah indah berada
tetap di alamnya. Kebanyakan satwa yang dapat kita eksekusi melalui kamera kita adalah herpetofauna. Secara etimologis, herpetofauna berasal dari bahasa Yunani, “herpeton” berarti melata dan “fauna” yang berarti binatang. Jadi herpetofauna adalah binatang-binatang yang melata. Herpetofauna sendiri memiliki ukuran tubuh yang bermacam-macam, namun memiliki keseragaman yaitu berdarah dingin (poikilotermik). Fauna ini menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu lingkungannya. Kelompok ini diklasifikasikan menjadi 2 kelas yaitu, kelas amfibi dan reptil berdasarkan beberapa ciri yang berbeda dan mencolok. Kedua kelas herpetofauna tersebut dibagibagi lagi menjadi beberapa ordo yang kemudian akan berlanjut lagi ke famili. Dari dua kategori reptil dan amfibi inilah kebanyakan dapat kita jumpai dengan mudah pada malam hari. Dan kelompok itu menjadikan fotografi malam menjadi sangat menarik. Caranya dengan berjalan menyusuri pinggiran sungai. Bermain dengan komposisi dan pencahayaan dalam lukisan cahaya sangatlah seru dan unik. Namun tentunya kita di sini juga memiliki keterbatasan dalam mengeksekusi mereka. Salah satunya memperhatikan perilaku satwa tersebut. Jika dirasa satwa tersebut sudah berada di titik stress, sebaiknya kita menghentikan pola pencahayaan yang mengarah ke arah mata satwa, seperti katak misalnya. Jika kita mengeksplor sebuah foto katak, dan terus dihajar dengan flash ekternal, pupil
13
Tips Herpet katak akan mengecil. Saat itu, sebaiknya diberikan jeda atau lebih baik kita mencari lagi jenis satwa lainnya. Beberapa tips dalam memotret satwa malam antara lain: 1. Sebaiknya kita menggunakan flash eksternal (speedlight), gunanya untuk membuat foto lebih berdimensi dalam proses pencahayaanya. 2. Sebaiknya menggunakan mode manual. Manual dari setting-an kamera, kita akan lebih mengetahui keinginan akhir dari sebuah foto ketimbang menggunakan setting-an auto atau setting-an selain manual dari kamera. Dengan menggunakan bukaan F11 tentunya nampak belakang objek foto akan pekat dan objek depan akan lebih menonjol struktur warnanya. ISO yang kita gunakan adalah tidak lebih dari 320. 3. Usahakan headlamp tidak berada di bagian kepala, kita takutkan satwa melata seperti ular yang berada di dahan pepohonan di atas kepala tidak sempat kita lihat akan membahayakan kita. Kewaspadaan tentunya diperlukan dalam memotret satwa pada malam hari. 4. Usahakan menggunakan sepatu boat waterproof jika memungkinkan. 5. Tetap selalu menggunakan jasa pemandu lokal di
14
lokasi yang akan kita eksplor, Hal tersebut lebih baik ketimbang hanya dengan modal nekat sendiri. 6. Seandainya satwa seperti amfibi dirasa kurang komposisinya karena keberadaanya kurang bagus misalnya, disarankan untuk memindahkan objek di sekitaran lokasi yang sekiranya kita dapat memperoleh sebuah komposisi foto yang bagus. Setelah foto barulah kita mengembalikan satwa tersebut ke posisi semula mereka berada. 7. Maksimal fotografer tidak lebih dari 5–6 di lokasi yang sama di diameter jarak 10 meter. Dalam artian untuk setiap spotting disarankan untuk tidak banyak orang karena faktor kesulitan kita mendekati objek dan juga faktor lainya. Dari catatan kecil di atas, setidaknya kita kelak dapat sedikit pengetahuan mengenai kehidupan satwa malam dan dapat mengabadikanya walau hanya dari kamera standar kita. Abadikanlah mereka dengan hati dan kesabaran. Sehingga kelak foto-foto tersebut dapat menceritakan kelak ke anak cucu kita bahwa satwasatwa ini pernah ada di muka bumi Indonesia sebelum punah. *leader photography Satwa liar; SatwaKU SatwaMu.com
Hunting
Kebersamaan yang Menghilangkan Rasa Takut
Begitu sampai di Hetts Bio Lestari, rombongan kami langsung disambut oleh aksinya king kobra, dan menjadi model para rombongan fotografer. “Motret ular, siapa takut?” Dulunya saya takut ular, tapi kali ini malah ularnya menjadi objek fotografiku. Ketakutan terhadap ular hilang setelah pawangnya menjelaskan kepada kami bahwa “ular tak akan mengganggu, bila tak diganggu duluan”. Saya sendiri lebih menyukai memotret piton albino, warnanya soft banget, jinak, tapi sayangnya berat banget, jadi tak bisa foto berkalung ular.
Ular merupakan salah satu reptil berbahaya namun banyak orang yang tertarik untuk memeliharanya. Selama ini mendengar kata “ular” selalu identik dengan kelicikan, kejahatan, pokoknya yang buruk-buruk deh seperti Voldemort dan Orochimaru dengan ularnya. Selo guys, kali ini beda cerita. Teks oleh Rachmi, foto oleh Rachmi & Khairul Umri
S
abtu sore, rombongan Ular Fun Foto Hunting yang diselenggarakan oleh KFAL & Herpetologer Mania tiba di Hetts Bio Lestari yang merupakan penangkaran ular terbesar di Indonesia untuk jenis Tropidolaemus wagleri atau
jenis yang berbisa tinggi. Lokasinya terletak di Jl. Namu Pencawir No. 174 Desa Tuntungan Dua, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang. Sebenarnya tak sulit menemukan lokasi penangkaran ular ini, hanya sekitar 30 menit dari Kota Medan.
“Kawasan penangkaran ular ini seluas ± 7000 meter persegi dan memiliki koleksi ± 2000 ekor ular”, kata pengelola penangkaran. Wow, banyak sekali ular-ular di sini! Di antaranya adalah Tropidolaemus wagleri, Condrophyton veridis, dll. Beberapa pecinta reptil Kota Medan sekaligus bergabung bersama kunjungan kami. Mereka menceritakan bahwa umumnya pengalaman pertama motret ular terasa seram. Ular berdesis dan kelihatan sedikit agresif, apalagi melihat ular yang memiliki kepala segitiga full rasanya cukup memberi rasa gugup. Ular di sini tergolong berbisa tinggi, jadi harus lebih berhati-hati ketika memotret ular khusuhnya bagi pemula. Salah satu momen yang sangat ditunggutunggu fotografer adalah ketika
15
Hunting
pemberian pakan favorit ular tikus putih (mencit). Keganasan ular pun muncul saat itu, si ular membius mencit dan menelannya setengah badan sampai si mencit mengeluarkan kotoran dan air seni secara terpaksa. Wah, sungguh sangat sadis tingkah laku si ular ketika melahap mangsanya. Ular juga salah satu hewan karnivora yang memerlukan asupan makanan berupa daging, sehingga harus diberikan pakan sesuai dengan ukuran kepala dan mulutnya, karena si ular tidak bisa mencabik-cabik atau mengunyah mangsanya. Pemotretan terus berlanjut. Saking seriusnya, para fotografer sampai miringmiring kepala, nungging-nungging bahkan level yang paling parah adalah jreng, reng, terdengar bunyi: Tutttttttt ……! Ternyata salah satu dari fotografer yang motret sampai terkentut-kentut. Bisa saja karena rasa takut atau mungkin karena terlalu serius, hehehe. Tentu saja kejadian itu membuyarkan konsentrasi fotografer lain. Seandainya ular bisa bicara, dia akan mengungkapkan siapa pelakunya. Itulah bahagian asyiknya foto ramai-ramai. Sampai kami sedang makan bakso pun, kejadian itu menjadi bahan candaan yang membuat kami terbahak-bahak. Ini adalah kebersamaan yang tidak kami dapatkan pada kegiatan lain. Salam Fotografi & Herpetologer Mania.
16
Selamat dan Sukses atas Terpilihnya
BIOPALAS sebagai Mapala Terbaik I Lomba Wana Lestari Tingkat Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013 versi Kementerian Kehutanan Republik Indonesia dari Redaksi Majalah Herpetologer Mania
17
Observasi
Berbagi “rumah” dengan Katak Pohon Bergaris Polypedates leucomystax, bersembunyi di daun kering di halaman “pondok”.
Selama ini, bagi kebanyakan orang ada anggapan bahwa untuk dapat menemukan jenis satwa liar, seseorang harus pergi ke dalam hutan. Padahal cukup dengan meluangkan waktu sebentar saja dengan melihat secara cermat di sekitar tempat tinggal, kita bisa menemukan beberapa jenis satwa tertentu dengan gampang di pekarangan. Salah satu kelompok satwa yang bisa ditemukan dengan mudah di sekitar rumah adalah jenis amfibi dan reptil atau yang secara ilmiah disebut herpetofauna. Teks dan foto : Eka Septayuda (WWF Riau)
B
elakangan, jenis-jenis herpetofaunalah yang saya temukan di halaman rumah tempat tinggal saya dan kawan-kawan penggiat konservasi lingkungan. Di halaman rumah yang kami sebut dengan “pondok” yang berada di Perumahan Sidomulyo Jalan Rajawali 3 No. 37 Pekanbaru – Riau ini, saya menemukan beberapa katak pohon bergaris (Polypedates leucomystax). Katak ini sering terlihat antara akar dan dedaunan dari pohon dan semak yang sengaja dibiarkan tumbuh oleh pemiliknya di bagian. Dan tidak jarang pula saya temukan di atas peralatan yang digunakan untuk mengurus taman. Kataknya terkadang muncul di daun kering dan berkamuflase mengikuti warna dari tubuh mungilnya. Mereka bernyanyi merdu memecah kesunyian malam ketika selesai hujan turun. Seakan-akan si mungil itu ingin para penghuni pondok merindukan kemerduan suara itu. Katak pohon bergaris yang sering teramati adalah jenis dengan pola punggung berkulit halus, tanpa lipatan, tonjolan atau bintilbintil pada kulitnya. Warnanya coklat muda kekuningan, bentuknya yang mungil dan sedikit moncong menjadi daya tarik saya untuk
18
Bufo sp, salah satu jenis kodok yang umum ditemukan di sekitar “pondok”.
Event mendokumentasikannya. Saya teringat dahulu katak ini biasanya saya temukan di sungai atau kubangan di hutan. Tapi kali ini saya justru menemukannya dengan mudah di samping rumah/pondok ini. Selain katak pohon bergaris, beberapa jenis lain yang mudah ditemukan di sini adalah Bufo spp, Mabuya sp. dan ular tambang (Dendrelaphis pictus). Keberadaan beberapa jenis satwa dari kelompok herpetofauna di halaman pondok secara tidak langsung membuktikan bahwa manusia bisa hidup berdampingan dengan satwa liar. Halaman rumah bisa menjadi habitat kecil bagi keberadaan kelompok herpetofauna seperti yang saya temukan di sekitar pondok. Semua tergantung manusia apakah mau berdampingan atau bahkan hanya ingin menguasai kehidupan sendiri. Kalau ingin berdampingan, maka sisakanlah sedikit ruang untuk kehadiran mereka. Dendrelaphis pictus, salah satu predator alami yang sering ditemukan di sekitar “pondok”.
Selamat atas akan diadakannya:
Kongres PHI 2013
18-21 Oktober 2013 di Universitas Negeri Semarang
Semoga seminar, kongres, pelatihan penelitian dan rangkaian acara yang akan yang dilakukan berjalan dengan baik.
Dari Redaksi Herpetologer Mania
Amfibi & Reptil adalah bagian Ayat-ayat Tuhan yang Mesti Dipelajari dan Dijaga Didukung oleh 20