BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia diatas permukaan bumi ini pada umumnya selalu menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap jadi miliknya. Sesuatu kebahagiaan tidak akan tercapai dengan mudahnya tanpa mematuhi segala peraturan yang telah digariskan oleh agama.
Salah satu jalan untuk
mencapai suatu kebagiaan ialah dengan jalan perkawinan, hal ini tergambar dalam tujuan perkawinan, yaitu menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal antara suami isteri1. Sebagaimana dikehendaki oleh Allah dalam Firman-Nya.
ﻲﻤ ﹰﺔ ﹺﺇﻥﱠ ﻓ ﺣ ﺭ ﻭ ﺩ ﹰﺓ ﻮ ﻣ ﻢ ﻨ ﹸﻜﻴﺑ ﻌ ﹶﻞ ﺟ ﻭ ﺎﻴﻬﻮﺍ ﹺﺇﹶﻟﺴﻜﹸﻨ ﺘﻟ ﺎﺍﺟﺯﻭ ﻢ ﹶﺃ ﺴﻜﹸ ِ ﻧﻔﹸﻦ ﹶﺃ ﻣ ﻢ ﻖ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺧﹶﻠ ﻪ ﹶﺃ ﹾﻥ ﺗﺎﻦ ﺀَﺍﻳ ﻣ ﻭ ( : ﻭ ﹶﻥ )ﺍﻟﺮﻭﻡﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺮﻳ ﻮ ﹴﻡ ﻟ ﹶﻘ ﺕ ﺎﻚ ﻟﹶﺂﻳ ﻟﹶﺫ “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteriisteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berfikir” (QS Ar-Rum : 21)2. Karena pentingnya arti dan tujuan perkawinan, maka segala sesuatu yang berkenaan dengan perkawinan diatur oleh hukum Islam dan negara dengan terperinci dan lengkap. Suatu perkawinan tidak sah apabila tidak sah menurut hukum agamanya masing-masing. Ini sesuai dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang selanjutnya disingkat dengan UUP, perkawinan yang tidak sah menurut hukum negara dan hukum agama dapat dibatalkan melalui 1 2
A. Rofiq, MA., Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal 56-57 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, 1984, hal 644
2
proses peradilan sebagaimana yang diatur dalam pasal 22-28 UUP No.1 Tahun 1974, pasal 37-38 PP No. 9 Tahun 1975. Ada dua sebab yang dapat menimbulkan fasakhnya nikah, yaitu : 1. Sebab adanya cacat dalam aqad, seperti : setelah berlangsungnya aqad nikah, kemudian diketahui bahwa mempelai perempuan adalah saudara sesusuan dari mempelai lelaki sendiri. 2. Sebab yang timbul kemudian, seperti : setelah berlangsungnya pernikahan, kemudian salah seorang dari suami isteri menjadi murtad (keluar dari agama Islam), atau ketika suami masuk Islam, ternyata isteri tidak mengikuti jejak suami, yakni tetap dalam agamanya yang lama, atau sebaliknya3. Jika terjadi kasus-kasus seperti diatas itu, maka sebenarnya perkawinan tersebut telah menjadi batal atau rusak menurut hukum, sejak saat diketahui sebab-sebabnya atau pada saat timbulnya sebab itu tanpa melalui putusan / penetapan pengadilan. Bagi masyarakat Islam Indonesia, secara yuridis formilnya untuk memperoleh pembuktian tentang putusnya perkawinan dan pengakuan sahnya menurut undang-undang, haruslah ditempuh melalui Pengadilan Agama. Mengenai alasan-alasan perkawinan yang dapat dibatalkan, secara limitatif telah diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 22-28, Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 37-38 serta KHI pasal 70-76.
3
Imron A. M., Pembahasan Masalah Syiqoq–Khulu’ dan Fasakh dalam Peradilan Agama di Indonesia, Bangil : Al Muslimun, 1979, hal 53.
3
Dari pasal-pasal diatas, dapat kita rinci bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila : 1. Para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. 2. Adanya perkawinan padahal para pihak masih terikat dalam perkawinan yang sah (masih jadi suami atau isteri atau masih dalam masa iddah suami lain). 3. Perkawinan dilangsungkan di muka Pegawai Pencata Perkawinan yang tidak berwenang. 4. Perkawinan dengan wali yang tidak sah / tidak berhak. 5. Perkawinan yang tidak dihadiri oleh dua orang saksi. 6. Perkawinan yang dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum / dengan paksaan. 7. Perkawinan yang dilangsungkan karena terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. 8. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan (pihak pria belum mencapai umur sembilan belas tahun dan atau pihak wanita belum mencapai umur enam belas tahun)4. Fasakh nikah karena sebab-sebab seperti diatas, dalam yurisprudensi lazim diistilahkan dengan fasid nikah. Sedangkan fasakh untuk putusnya perkawinan dalam yurisprudensi adalah sama artinya dengan tafriq atau tathliq, yaitu “Tindakan merusak pernikahan atau menceraikan suami-isteri oleh Hakim karena sebab-sebab tertentu, seperti suami mu’sir, majnun dan sebagainya”5.
4
Ahud Misbahuddin, Kewenangan Jaksa untuk Mengajukan Pembatalan Perkawinan, Jakarta : Al Hikmah, 1998, hal 48-49. 5 Imron A. M., opcit, hal 54.
4
Kasus lingkup perkawinan dapat dirinci dengan diternasi teroritis solusi hukumnya sebagai berikut : (1) Pasangan suami isteri beragama Islam dan sekarang suami murtad dan karenanya isteri ingin bercerai; ke pengadilan mana isteri menggugat cerai dan apa dasar teoritis sehingga pengajuannya ke pengadilan tersebut. (2) Pasangan suami isteri tidak beragama Islam yang pernikahannya dicatat di Kantor Catatan Sipil (KCP) masuk Islam, kemudian salah satu pihaknya ingin bercerai; ke pengadilan manakah perceraian itu diajukan dan apa dasar teoritis sehingga pengajuannya ke pengadilan tersebut. (3) Pasangan suami isteri seperti pada kasus (2) tetapi isteri masuk Islam, kemudian dikarenakan suami tidak mau masuk Islam maka isteri ingin bercerai; ke pengadilan manakah gugatan cerai diajukan dan apa dasar teoritisnya sehingga diajukan ke pengadilan tersebut6. Kasus (3) terjadi di Pengadilan Agama Rembang dengan Penggugat SH dan Tergugat YN, dimana keduanya menikah secara Katholik. Isteri ingin bercerai dan mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Negeri tidak diterima.
Setelah
sepuluh tahun Penggugat mengajukan ke Pengadilan Agama Rembang dan diterima. Keduanya adalah pasangan suami isteri yang menikah pada tanggal 4 Mei 1980 dan telah dikaruniai dua orang anak. SH mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri Rembang tanggal 20 Maret 1995 dengan keputusan gugatan Penggugat tidak diterima dengan alasan tidak mendapat surat ijin perceraian dari atasan (Pejabat), dikarenakan tidak mendapat rekomendasi dari gereja. 6
H.A. Gani Abdullah, Penerapan Azas Personalitas KeIslaman menurut Undang-Undang Peradilan Agama terhadap Sengketa Perkawinan, Jakarta : Al Hikmah, 1994, hal 48.
5
Pengadilan Negeri memandang surat ijin dari Pejabat yang ditentukan dalam PP No. 10 Tahun 1983 sebagai syarat formil yang harus dipenuhi oleh Penggugat. SEMA RI No. V Tahun 1984 yang pada intinya surat ijin dari Pejabat (atasan) bukan sebagai syarat formil.
Sebelum mengajukan gugatan perceraian ke
Pengadilan Negeri Rembang, Penggugat beralih agama, memeluk agama Islam, setelah mengajukan di Pengadilan Negeri Rembang tidak diterima, maka status Penggugat terombang-ambing.
Kemudian pada tanggal 7 September 2005
Penggugat mengajukan gugatan / pemohonan fasakh nikah di Pengadilan Agama Rembang, setelah berkonsultasi kepada para ulama di Rembang. Perkara ini merupakan
suatu
tantangan
bagi
Pengadilan
Agama
Rembang
untuk
menyelesaikan masalah. Dengan demikian hal tersebut berkaitan dengan azas umum Peradilan Agama, khususnya azas personalitas keIslaman.
Penerapan azas-azas di atas
dapat dicoba dengan permasalahan perkawinan dan kewarisan. Penerapan itu akan bermunculan tuntutan terhadap perlunya azas hukum yang akan memberikan jalan keluar bagi permasalahan hukum yang terjadi. Azas personalitas keIslaman, yaitu yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama hanya mereka yang mengakui dirinya pemeluk agama Islam. Penganut agama lain diluar Islam atau yang “non Islam”, tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan Peradilan Agama. Azas personalitas keIslaman diatur dalam pasal 2, Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga dan pasal 49 ayat (1). Jika ketentuan pasal 2 dan Penjelasan
6
Umum angka 2 alinea ketiga serta pasal 49 ayat (1) diuraikan dalam azas personalitaas keIslaman yang melekat pada UU No.7 Tahun 1989, dijumpai beberapa penegasan yang melekat membarengi azas dimaksudkan : 1. Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam. 2. Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara-perkara dibidang perwinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shodaqoh. 3. Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam7. Apabila hubungan hukum yang terjadi bukan berdasarkan hukum Islam, sengketanya tidak tunduk menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Agama. Penerapan azas personalitas keIslaman merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dengan dasar hubungan hukum. Dengan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk menulis judul “ ANALISIS PUTUSAN PERKARA No. 546/Pdt.G/2005/PA.Rbg TENTANG FASAKH NIKAH KERENA BEDA AGAMA DI PENGADILAN AGAMA REMBANG”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas telah dipaparkan, penulis membatasi atau memfokuskan penelitian ini dengna rumusan masalah, yaitu :
7
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-Undang No 7 Tahun 1989, Jakarta : Pustaka Kartini, 1998, hal 38
7
1. Bagaimana pertimbangan majelis hakim untuk mengadili perkara No. 546/Pdt.G/2005/PA.Rbg tentang fasakh nikah karena beda agama? 2. Bagaimana
analisis
hukum
formil
terhadap
putusan
perkara
No. 546/Pdt.G/2005/PA.Rbg tentang fasakh nikah kerena beda agama? C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai pada penelitian adalah untuk : 1. Mengetahui pertimbangan majelis hakim untuk mengadili perkara No. 546/Pdt.G/2005/PA.Rbg tentang fasakh nikah karena beda agama. 2. Mengetahui
analisis
hukum
formil
terhadap
putusan
perkara
No. 546/Pdt.G/2005/PA.Rbg tentang fasakh nikah karena beda agama.
D. Telaah Pustaka
H. A. Gani Abdullah dalam tulisannya “Penerapan Azas Personalitas KeIslaman menurut Undang-Undang Peradilan Agama terhadap Sengketa Perkawinan” yang menerangkan azas umum Peradilan Agama, khususnya azas personalita keIslaman yang mana menentukan dimana seseorang akan mengajukan suatu gugatan baik itu perkawinan maupun kewarisan8. Ahud
Musbahuddin
dalam
tulisannya
“Kewenangan
Jaksa
untuk
Mengajukan Pembatalan Perkawinan” Mimbar Hukum No. 39 Tahun IX 1998, memfokuskan
pada
kewenangan
Jaksa
dalam
mengajukan
permohonan
pembatalan perkawinan dan alasan-alasan perkawinan yang dapat dibatalkan9. 8
H. A. Gani Abdullah, Op. Cit, hal 45 – 51
9
Ahud Misbahuddin, Op. Cit hal 48 - 49
8
Imanuddin, mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo dalam skripsinya “Analisa terhadap Pembatalan Perkawinan dalam Pasal 71 KHI” juga mengkaji masalah pembatalan perkawinan, dalam batasannya yang dikhususkan pada penafsiran pasal 71 KHI. Yaitu tentang alasan dibatalkannya perkawinan karena suami melakukan poligami10. Imron A. M., dalam bukunya “Pembahasan Masalah Syiqoq-Khulu’ dan Fasakh dalam Peradilan Agama di Indonesia”, al Muslimun pada bab fasakh memfokuskan pada arti fasakh dan sebab yang dapat menimbulkan fasakhnya nikah11. M. Yahya Harahap, SH dalam bukunya “Kududukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama undang-Undang No. 7 Tahun 1989”, dalam masalah azas personalitas keIslaman, memfokuskan pada kewenangan dalam menangani suatu kasus berlandaskan pada hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu berdasarkan hukum Islam12. Kamal Muchtar dalam bukunya “Asas-Asas hukum Islam tentang Perkawinan”, dalam bab fasakh menerangkan arti dan sebab-sebab yang dapat diajukan dalam perkara fasakh13. Fachruddin dalam tulisannya “Murtad sebagai Alasan Perceraian dan Implementasinya di Pengadilan Agama” yang menerangkan alasan-alasan perceraian secara hukum menurut ketentuan fiqh Islam14.
10
Imanuddin, Analisa Terhadap Pembatalan Perkawinan dalam Pasal 71 KHI, Semarang, Skripsi Imron A.M, Op. Cit halaman 53 - 55 12 M. Yahya Harahap, Op. Cit halaman 37 - 86 13 Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta : Bulan Bintang, 2004 14 Fahruddin, Murtad Sebagai Alasan Perceraian dan Implementasinya di Pengadilan Agama, Jakarta, Al Hikmah, 1998, hala 13 - 15 11
9
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara yang ditempuh dalam mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam suatu penelitian atau penyusunan skripsi. Penulisan skripsi ini didasarkan pada field research yang dilakukan di Pengadilan Agama Rembang. Disamping itu penelitian juga didukung oleh datadata dari literature yang mempunyai relevansi dengan masalah atau problematika fasakh nikah dan kewenangan pengadilan. Metode-metode yang digunakan dalam rangka pengumpulan data dan penyusunan skripsi adalah sebagai berikut : 1. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data adalah pencarian dan pengumpulan data yang dapat dipergunakan untuk membahas masalah yang terdapat dalam judul skripsi ini : a. Observasi
Yaitu pengamatan dan pencatatan dengan cara
sistematis terhadap fenomena-fenomena yang akan diteliti b. Wawancara Yaitu suatu proses tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik yang mana salah satu dapat melihat yang lain dan mendengar dari telinganya sendiri suaranya. Penulis mengadakan wawancara langsung dengan pejabat Pengadilan Agama Rembang, khususnya para hakim yang menangani masalah perkara ini.
Penulis
melakukan wawancara dengan Majelis Hakim yang menangani perkara
10
No. 546/Pdt.G/2005/PA.Rbg yaitu Drs. H. Endang Kusnadi, SH., Drs. Syamsul Arifin, SH., Drs. Zaenal Arifin dan Drs. Noor Shofa. c. Dokumentasi (Dokumen Resmi) Penggalian
dokumen
resmi
dengan
mengadakan
penelitian
dan
pengumpulan data berupa salinan putusan Pengadilan Agama Rembang No. 546/Pdt.G/2005/ PA.Rbg. Pengumpulan data pada penelitian ini juga dilakukan dengan membaca bukubuku, buletin, karya ilmiah dan sebagainya yang berkenaan dengan masalah ini. Penelitian ini bersifat studi kasus yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi lembaga atau gejala tertentu, dimana penulis membatasi penelitian ini pada kasus yang terjadi di Pengadilan
Agama
Rembang
tentang
putusan
perkara
No. 546/Pdt.G/2005/PA.Rbg. 2. Metode Analisis Data Dari data-data yang sudah penulis peroleh maka untuk menyusun dan menganalisa data-data yang digunakan dengan analisa data kualitatif, yang mana penulis menganalisa putusan Pengadilan Agama Rembang tentang fasakh yang tak lepas mendukungnya.
dari buku-buku dan literatur perpustakaan yang
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai maka metode
analisa data yang dipakai dalam penelitian adalah deskriptif analitis. Deskriptif analitis adalah berfikir secara tajam dan mendalam dengan berusaha menemukan kelemahan dan kekurangannya dalam mengaplikasikannya serta
11
mengaktualisasikannya berfikir analitis, penulis memakai content analizies (analisis inti). Metode ini melalui proses inventarisasi data, mengimplikasikan kemudian menggeneralisasikan. Hasil generalisasi ini yang akan mempunyai sumbangan teoritik. Metode penulisan yang digunakan adalah Metode Deskriptif dan Komparatif. Metode deskriptif merupakan langkah penyajian data yang dihasilkan dari kumpulan-kumpulan dokumen dengan memberikan gambaran atas dasar teori praktis dengan kejadian-kejadian yang sesungguhnya. Dalam bab III penulis memberi gambaran pada proses persidangan di Pengadilan Agama Rembang antara Sri Hastuti binti Suwito dengan Yohanes Ngasni bin Kasmijan. Metode komperatif adalah suatu metode untuk memperoleh suatu kesimpulan dengan cara membandingkan antara data yang satu dengan data yang lain. Metode komperatif membandingkan antara putusan dengan pemikiran-pemikiran pakar hukum Islam
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan untuk mempermudah pembahasan pemahaman skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I
PENDAHULUAN Terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN CAMPURAN Berisikan Kompetensi Pengadilan Agama, asas-asas umum Pengadilan Agama dan sebab putusnya perkawinan dalam hukum perkawinan di Indonesia.
BAB III PUTUSAN PERKARA No.546/Pdt.G/2005/PA.Rbg TENTANG FASAKH NIKAH KARENA BEDA AGAMA Terdiri atas sebab-sebab putusnya Perkawinan dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Putusan Pengadilan Agama Rembang No. 546/Pdt.G/2005/PA.Rbg tentang Fasakh Nikah karena Beda Agama. BAB IV
ANALISIS
TERHADAP
PUTUSAN
PERKARA
No.
546/Pdt.G/2005/PA.Rbg TENTANG FASAKH NIKAH KARENA BEDA AGAMA Terdiri atas analisis terhadap Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam mengadili perkara No.546/Pdt.G/2005/PA.Rbg dan analisis Hukum Acara (Hukum Formil) terhadap putusan Pengadilan Agama No.546/Pdt.G/2005/PA.Rbg tentang Fasakh Nikah karena Beda Agama. BAB V
PENUTUP Terdiri atas kesimpulan, saran dan penutup.