BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Air adalah senyawa penting dalam kehidupan semua makhluk hidup di muka
bumi. Sampai saat ini air masih menutupi 71% permukaan bumi, diperkirakan terdapat 1,4 Triliun Kilometer Kubik (330 juta mil3) air tersedia di bumi. Air sendiri terbagi menjadi dua yaitu air asin (laut), dan air tawar (sungai, hujan, danau, dsb) lazimnya air tawar adalah air yang sehat untuk di konsumsi oleh makhluk hidup di muka bumi.Ironisnya ketersediaan air tawar yang sehat, bersih, dan aman dikonsumsi oleh makhluk hidup di muka bumi ini termasuk barang yang langka. Bila kita mau untuk melihat sejarah masa lalu, Peradaban manusia berjaya mengikuti sumber daya air. Mesopotamia yang disebut sebagai awal peradaban berada di antara sungai Tigris dan Euphrates. Peradaban Mesir Kuno bergantung pada sungai Nil. Pusat-pusat manusia yang besar seperti Rotterdam, London, Montreal, Paris, New York City, Shanghai, Tokyo, Chicago, dan Hong Kong mendapatkan kejayaannya sebagian dikarenakan adanya kemudahan akses melalui perairan1. Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya dengan sumber daya alam yang terbarukan (renewable) maupun yang tak terbarukan (non renewable) serta yang berbentuk modal alam (natural resources stock), seperti daerah aliran sungai, danau, kawasan lindung, pesisir, dll atau dalam bentuk komoditas seperti kayu, rotan, 1
“Air”. Wikipedia. Diakses pada 17-09-2013 Pukul 11:43.
1
mineral dan gas bumi, ikan, dll. terdapat merata hampir di seluruh wilayah Indonesia. Tentu saja air adalah modal alam (natural resources stock) dan kebutuhan vital bagi makhluk hidup di seluruh dunia. Hujan menjadi sumber utama datangnya air selain dari pegunungan yang banyak dinanti oleh seluruh manusia. Hujan menjadi hal yang langka dan dinantinanti ketika musim kemarau tiba. Hujan memiliki dampak dramatis terhadap pertanian. Semua tumbuhan memerlukan air untuk hidup, sehingga hujan (cara mengairi paling efektif) sangat penting bagi pertanian. Pola hujan biasa bersifat vital untuk kesehatan tumbuhan, terlalu banyak atau terlalu sedikit hujan dapat membahayakan, bahkan merusak panen. Kekeringan dapat mematikan panen dan menambah erosi,2 sementara terlalu basah dapat mendorong pertumbuhan jamur berbahaya. Tumbuhan memerlukan beragam jumlah air hujan untuk hidup. Misalnya, kaktus tertentu memerlukan sedikit air,3sementara tanaman tropis memerlukan ratusan inci hujan per tahun untuk hidup. Sektor pertanian sangat membutuhkan adanya ketersediaan air yang mencukupi agar hasil panen sesuai harapan. Di Indonesia sendiri masih banyak masyarakatnya yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, tentu saja hal paling krusial adalah ketersediaan air selain kebutuhan bibit dan pupuk. Petani masih mengandalkan air sungai sebagai sumber air bagi sawah atau kebun mereka. Bukan
2
Bureau of Meteorology (2010). "Living With Drought". Commonwealth of Australia. Diakses 17-09-2013. 3 James D. Mauseth (2006). "Mauseth Research: Cacti". University of Texas. Diakses 17-092013.
2
hanya petani tanaman saja yang membutuhkan air, tapi ada juga petani ikan yang mengusahakan tambak-tambak ikan darat yang juga sangat membutuhkan ketersediaan air. Seringkali pengelolaan air tidak dianggap penting jika kondisi air memang sudah mencukupi, namun pada saat air sulit diperoleh menimbulkan konflik antar pihak. Banyak masyarakat beranggapan bahwa air irigasi merupakan barang publik (public goods) yang mengakibatkan masyarakat cenderung untuk kurang atau tidak efisien dalam pemanfaatan air. Ketidakjelasan mengenai hak-hak penggunaan air (water rights) serta kewajiban dalam pengelolaan air menyebabkan organisasi pemakai air kurang efektif. Kebutuhan manusia akan air yang semakin kompleks tentu saja akan menimbulkan konflik di masyarakat, ada yang membutuhkan untuk mandi, cuci, kakus, belum lagi para petani yang juga membutuhkan ketersediaan air yang cukup. Berangkat dari sini maka diciptakanlah irigasi, yaitu merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertanian4. Di Indonesia sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bagaimana pengelolaan sumber daya air bagi orang banyak yaitu UndangUndang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Undang-Undang ini diperbarui karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan perubahan dalam kehidupan masyarakat maka diganti dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
4
“Irigasi”. Wikipedia. Diakses pada 17-09-2013 Pukul 11:40.
3
tentang Sumber Daya Air. Sedangkan khusus irigasi pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi. Harus diakui, berbagai kebijakan pemerintah memang belum mampu menyelesaikan semua masalah yang ada. Untuk dapat memahami kebijakan pemerintah yang ada saat ini mengenai irigasi, kita perlu sedikit memahami jejak rekam kebijakan irigasi yang terdahulu. Titik tolak kebijakan pemerintah mengenai pengembangan dan pengelolaan irigasi dimulai sejak era “Revolusi Hijau”. Pada masa tersebut pemerintah melakukan pembangunan irigasi, dan transmigrasi secara besar-besaran baik di pulau Jawa dan beberapa daerah lainnya di Luar Jawa seperti Sumatera dan Sulawesi. Kebijakan pembangunan dan pengelolaan irigasi secara besar-besaran merupakan upaya untuk mendukung program intensifikasi pertanian yang dicanangkan guna mendukung cita-cita meraih swasembada pangan. Namun demikian pada periode tersebut, kebijakan yang dimunculkan berdasarkan administrasi pemerintahan yang terpusat, yang disebabkan karena kemampuan teknis yang terbatas. Pada periode ini, petani hanya menjadi “objek” dari kegiatan pembangunan dan pengelolaan irigasi. Akibatnya kapasitas petani dalam mengelola irigasi juga masih sangat lemah. Pada akhir tahun 1980 sampai dengan tahun 1990 pengelolaan sumber daya air dilaksanakan dengan pendekatan suplai (supply driven approach) mengakibatkan terabaikannya pemeliharaan prasarana sumber daya air serta pemanfaatan sumber daya yang tidak berwawasan lingkungan. Pendekatan ini mengakibatkan banyaknya sarana fisik irigasi yang terbengkalai serta rusaknya kawasan hulu berfungsi sebagai daerah resapan air. Masalah minimnya
4
kapasitas petani dalam mengelola irigasi juga masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah. Instrumen hukum yang berkaitan dengan sumber daya alam dalam sistem hukum Indonesia seperti : (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria; (2) UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan; (3) UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan; (4) UU No. 9 Talum 1985 tentang Perikanan; dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; pada dasarnya memiliki karakteristik dan kelemahan-kelemahan substansial seperti berikut: 1. Berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam (resources use-oriented) sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, karena hukum semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum (legal instrument) untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan peningkatan pendapatan dan devisa negara; 2. Berorientasi dan berpihak pada pemodal-pemodal besar (capital oriented), sehingga mengabaikan akses dan kepentingan serta mematikan potensipotensi perekonomian masyarakat adat/lokal; 3. Menganut ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berpusat pada negara/pemerintah (state-based resource management), sehingga orientasi pengelolaan sumberdaya alam bercorak sentralistik;
5
4. Manajemen pengelolaan sumber daya alam menggunakan pendekatan sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi (ecosystem); 5. Corak sektoral dalam kewenangan dan kelembagaan mennyebabkan tidak adanya koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam; dan 6. Tidak diakui dan dilindunginya hak-hak asasi manusia secara utuh, terutama hak-hak masyarakat adat/lokal dan kemajemukan hukum dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.5 Sejalan dengan perubahan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah tentang irigasi, yang semula didasarkan pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi, yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi, maka pola penangangan irigasi berubah dari pola penyerahan kewenangan irigasi dalam Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi (PKPI) menjadi pola Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif (PPSIP). Undang-Undang UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air diberlakukan sebagai landasan hukum bagi pengelolaan sumberdaya air. Undang-undang tersebut
5
Nyoman Nurjana. Menuju Pengelolaan Sumber Daya Agraria yang Adil, Demokratis, Dan Berkelanjutan: Perspektif Hukum Dan Kebijakan. 2010.
6
diharapkan dapat melindungi dan menjamin akses masyarakat terutama masyarakat miskin terhadap air bersih dengan memperhatikan pemanfaatan secara seimbang. Ini adalah titik balik perubahan paradigma kebijakan pengelolaan irigasi di Indonesia.6 Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah menyadari adanya berbagai kelemahan substansial di atas, maka sejumlah upaya perbaikan dilakukan dengan membuat undang-undang baru seperti Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi. Namun demikian, persoalan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya alam masih belum terjawab dalam substansi maupun implementasi dari undang-undang tersebut, karena masih ditemukan kelemahan-kelemahan seperti berikut: 1. Pemerintah masih mendominasi peran dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam (state-dominated resource management); 2. Keterpaduan dan koordinasi antar sektor masih lemali; ketiga, pendekatan dalam pengelolaan tidak komprehensif; 3. Hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam belum diakui secara utuh; 4. Ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengeloaan sumberdaya alam masih diatur secara terbatas; dan 5. Transparansi dan akuntabilitas pemerintah kepada publik
dalam
pengelolaan sumber daya alam belum diatur secara tegas.7
6 7
“Kebijakan Irigasi Di Indonesia”. LPPSLH. Diakses pada 19-09-2013 pukul 11:12. Op.cit. Nyoman Nurjana
7
Irigasi secara nasional diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, namun oleh pemerintah dibuat secara khusus pengaturannya dalam Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi. Bukan itu saja, pengaturan mengenai irigasi ada beragam yaitu Peraturan Menteri PU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif (PPSIP), Peraturan Menteri PU Nomor 31 Tahun 2007 tentang Komisi Irigasi (KOMIR), Peraturan Menteri PU Nomor 32 Tahun 2007 tentang Operasi Pemeliharaan Jaringan Irigasi, Peraturan Menteri PU Nomor 33 Tahun 2007 tentang Pemberdayaan P3A. Di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri payung hukum irigasi diperkuat dengan adanya Peraturan Daerah dan juga Peraturan Gubernur yang diterbikan oleh Gubernur. Peraturan Daerah yang pernah diterbitkan untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1990 tentang Irigasi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran Daerah ProvinsiDaerah Istimewa Ygoyakarta Tahun 1991 Nomor 2seri c), kemudian diganti karena sudah tidak relevan dengan kondisi di lapangan, maka diterbitkanlah Perda No. 6 Tahun 2010 tentang Irigasi untuk menggantikan Perda yang lama. Bukan hanya itu saja, masih ada Pergub No. 9 Tahun 2012 tentang Sempadan Jaringan Irigasi. Dalam rangka untuk memberi payung hukum terhadap komisi irigasi di Daerah Istimewa Yogyakarta
Gubernur
mengeluarkan
Surat
Keputusan
Gubernur
DIY
No
249/KEP/2010 tentang Pembentukan Komisi Irigasi Daerah Istimewa Yogyakarta.
8
Dalam Surat Keputusan Gubernur DIY No. 249/KEP/2010 Tentang Pembentukan Komisi Irigasi Daerah Istimewa Yogyakarta ada beberapa poin penting, yaitu: 1. Merumuskan kebijakan untuk mempertahankan serta meningkatkan kondisi dan fungsi irigasi. 2. Merumuskan rencana tahunan penyediaan, pembagian dan pemberian air irigasi bagi pertanian dan keperluaan lainnya. 3. Merekomendasikan prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi melalui forum musrenbang. 4. Merumuskan Rencana Tata Tanam (RTT) yang telah disiapkan oleh instansi terkait dengan mempertimbangkan data debit air yang tersedia. 5. Merumuskan rencana pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi, meliputi prioritas penyediaan dana, prioritas pemeliharaan dan prioritas rehabilitasi. 6. Memberi masukan dalam rangka pengelolaan aset irigasi. 7. Memberikan pertimbangan dan masukan atas pemberian izin alokasi air untuk kegiatan perluasan daerah layanan jaringan irigasi dan peningkatan jaringan irigasi. 8. Memberikan pertimbangan masukan kepada Gubernur mengenai penetapan hak guna pakai air untuk irigasi kepada Badan Usaha, Badan Sosial, ataupun perseorangan.
9
9. Membahas
dan
memberikan
pertimbangan
dalam
mengatasi
permasalahan daerah irigasi akibat kekeringan, kebanjiran dan bencana alam. 10. Memberi masukan dan pertimbangan dalam proses penetapan Peraturan Daerah tentang irigasi. 11. Memberi masukan dan pertimbangan dalam upaya menjaga keandalan dan keberlanjutan sistem irigasi. 12. Melaporkan kepada gubernur hasil program kerja dan progres , masukan yang diperoleh serta melaporkan kegiatan yang dilakukan selama 1 tahun baru. Khusus di Kabupaten Kulon Progo pengaturan tentang irigasi dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 17 tahun 2002 tentang Pengelolaan Irigasi (Lembaran Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2002 Nomor 22 Seri E ), kemudian juga diterbitkan Perda No. 4 Tahun 2009 tentang Sempadan, dan terakhir terbitnya Perda No. 4 Tahun 2011 tentang Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka kewenangan urusan irigasi yang berada di wilayah Kabupaten berada pada Pemerintah Kabupaten dan kewenangan urusan irigasi yang berada di wilayah lintas batas Kabupaten/ Propinsi berada pada Pemerintah Propinsi.
10
Sesuai dengan Perda Kabupaten Kulon Progo Nomor 10 Tahun 2000, tentang Pembentukan Lembaga Teknis Daerah, maka tugas pokok urusan keirigasian berada pada Sub Dinas Pengairan Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Kulon Progo. Dalam kegiatan memenuhi kebutuhan air pada sektor pertanian dengan sistem irigasi di kabupaten Kulon Progo masih ada beberapa masalah. Yang menjadi masalah pokok adalah kurang nya debit air dari sungai induk irigasi baik pada waktu tertentu (water security), kecuali pada musim penghujan masyarakat terbantu dengan ada nya air hujan di persawahan mereka. Hal ini terjadi karena kerusakan di sepanjang saluran induk, yaitu beberapa dinding saluran mengalami keretakan atau kerusakan sehingga mengakibatkan kebocoran atau rembesan. Hal ini mengakibatkan debit air berkurang atau banyak terjadi kehilangan air (losses). Masalah lain yang perlu di perhatikan adalah pendistribusian air yang belum merata ke semua desa. Hal ini terjadi akibat pembangunan penampungan air yang tidak di konsep secara maksimal, padahal di Kabupaten Kulon Progo kontur alamnya berupa perbukitan sehingga masih ada desa-desa yang tidak teraliri air irigasi ke sawah-sawah mereka. Ditambah dengan sering mampetnya aliran sungai Kalibawang sebagai sumber induk irigasi, seperti pada tahun 2010 yang mampet akibat material gunung merapi yang pada waktu itu meletus, namun sejak pasca erupsi merapi masyarakat secara swadaya dan dibantu oleh alat berat dari pemerintah telah berhasil membersihkan aliran Sungai Kalibawang. Permasalahan yang lain adalah Masih rendahnya pengetahuan dan keterampilan petugas dan petani tentang fisik bangunan jaringan irigasi, tercemarnya
11
aliran sungai-sungai akibat aktivitas industri dan limbah perkotaan di sekitar wilayah Kulon Progo, adanya kompetisi pemanfaatan air antar sektor, penurunan ketahananfisik dari prasarana pengendali banjir serta penurunan keberlanjutan dari prasarana jaringan irigasi. Berangkat dari beragam problem diatas maka makin membuat ketertarikan saya untuk meneliti lebih jauh mengenai irigasi, maka penulisan skripsi ini saya beri judul “PERAN & FUNGSI P3A DALAM PENGELOLAAN IRIGASI DI KABUPATEN KULON PROGO”.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah dikemukakan, maka beberapa masalah
dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penerapan pengaturan pengelolaan irigasi di Kabupaten Kulon Progo? 2. Apakah peran & fungsi P3A (Perkumpulan Petani Pengguna Air) telah sejalan dengan peraturan perundang-undangan? 3. Permasalahan apa sajakah yang dihadapi di dalam kehidupan masyarakat khususnya petani mengenai pengaturan irigasi? C.
Tujuan Penelitian Penelitian penulisan hukum ini bertujuan untuk : Tujuan Deskriptif
12
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan Irigasi di Kabupaten Kulon Progo. 2. Untuk mengetahui apa saja peran & fungsi dari P3A terhadap pengelolaan irigasi. 3. Untuk mengetahui problem-problem apa saja yang menghambat pengelolaan irigasi di Kabupaten Kulon Progo. D.
Keaslian Penelitian Menurut
pengetahuan
penulis
dengan
mengadakan
pengamatan
di
perpustakaan FH UGM, perpustakaan Pasca Sarjana UGM, media cetak dan media elektronik penelitian dengan judul “PERAN & FUNGSI P3A DALAM PENGELOLAAN IRIGASI DI KABUPATEN KULON PROGO”, penulis belum menemukan judul yang sama dengan tulisan ini. Namun, penelitian mengenai pengelolaan irigasi bukan satu-satunya penelitian yang pernah dilakukan.Sebelumnya juga pernah ada penelitian serupa mengenai perubahan pengelolaan irigasi. Penelitian yang mengkaji perubahan pengelolaan irigasi diantaranya adalah : 1. Heru Nugroho (2005) dengan judul skripsi “Pengelolaan Irigasi di Kabupaten Bantul” yang menyimpulkan bahwa semenjak berlakunya Undang-undang No. 7/ 2004 tentang Irigasi maka berlaku pula keirigasian yang mengarah ke economic orienteddari yang dulunya social oriented. 2. Tyas Widhi Santika (2011) menulis skripsi dengan judul “Pelaksanaan PP No. 20/ 2006 tentang Irigasi dalam Rehabilitasi Jaringan Irigasi Tersier Pasca Letusan Gunung Merapi 2010 pada Perkebunan Salak di Kecamatan
13
Turi Sleman”. Disimpulkan bahwa pelaksanaan rehabilitasi pasca erupsi merapi adalah bersifat mandiri oleh masyarakat. Pemerintah hanya fokus pada jaringan irigasi primer saja sementara tanggung jawab rehabilitasi jaringan irigasi tersier di berikan tanggung jawabnya kepada P3A dan GP3A setempat. Pemerintah selama ini beralasan demi kemandirian masyarakat. 3. Hilda Megawati Hamidah (2008) memberi judul pada skripsinya “Tinjauan Yuridis Terhadap Pengelolaan Sistem Irigasi Tradisional Subak di Kabupaten Tabanan Bali”. Disimpulkan bahwa keistimewaan sistem subak terletak pada prinsip Tri Hita Karana yang mengedepankan keharmonisan hubungan tiga unsur yaitu Parahyangan (Tuhan), Pawongan (Manusia), dan Palemahan (Alam). E.
Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik untuk kepentingan
akademis maupun kepentingan praktis. 1. Manfaat Akademis a. Dari hasil penelitian penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum Agraria mengenai pengelolaan irigasi, peran & fungsi dari P3A, serta hambatan dalam pengelolaan irigasi.
14
b. Dapat digunakan sebagai salah satu kelengkapan untuk persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) 2. Manfaat Praktis Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kebijakan pada masa yang akan datang dalam bidang irigasi perkotaan. Selain itu, dapat memberikan kontribusi terhadap Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam membentuk produk-produk hukum, khususnya dalam bidang pertanahan yang berkaitan dengan kebijakan pengelolaan irigasi di DIY khususnya Kota Yogyakarta, di samping itu penulisan hukum ini dapat digunakan sebagai landasan bagi penelitian lanjutan dalam ruang lingkup permasalahan yang lebih luas.
15