BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bruce Mitchell dalam buku Supriadi menyatakan pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Hakikat pembangunan adalah bagaimana agar kehidupan hari depan lebih baik dari hari ini. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan akan selalu bersentuhan dengan lingkungan. 1 Bruce Mitchell mengatakan pengelolaan sumber daya lingkungan akan mengalami empat situasi pokok, yaitu perubahan (change), kompleksitas (complexity), ketidakpastian (uncertainly), konflik (conflict).2 Daud Silalahi mengatakan bahwa kerusakan lingkungan di negara maju disebabkan oleh pencemaran sebagai akibat sampingan dari penggunaaan sumber daya alam dan proses produksi yang menggunakan banyak energi, teknologi maju yang boros energi pada industri, kegiatan transportasi dan komunikasi, serta kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya. 3 Menurut Emil Salim masalah lingkungan hidup yang di hadapi oleh negara berkembang banyak di timbulkan oleh kemiskinan yang memaksa rakyat merusak lingkungan alam.4 Maka jelas bahwa rendahnya pendapatan penduduk,
1
Supriadi, Hukum Lingkungan Indonesia : Sebuah Pengantar (Palu: Sinar Grafika, 2005), h. 38. 2 Ibid. 3 Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Edisi Revisi (Bandung: Alumni, 1996), h. 15. 4 Emil Salim, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Cetakan 10 (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), h. 11.
1
Universitas Sumatera Utara
kurangnya kesempatan kerja yang lebih baik, tingkat pendidikan yang masih
2
Universitas Sumatera Utara
2
rendah, semua ini telah turut mendorong penduduk negara berkembang menguras sumber daya alam bagi keperluan hidupnya. Masalah lingkungan di negara berkembang contohnya Indonesia, terutama berakar pada keterbelakangan pembangunan. Gunardi Endro menjelaskan dalam buku Alvi Syahrin, dalam interaksi di masyarakat, eksistensi dan kualitas hidup manusia ditentukan berdasarkan pada referensi nilai dan moral. Orang yang jahat akan dicela dan seringkali disingkirkan dari masyarakat, sedangkan orang baik akan dipuji, dihormati, dicintai dan kemana-mana akan didukung kehidupannya. Orang bisa menjadi jahat karena di dalam kodratnya memiliki kehendak bebas, akan tetapi kehendak bebas akan terbentuk dan berkembang dan menjadi kuat kalau orang semakin bersedia untuk bertanggung jawab. 5 Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya kegiatan industri atau sejenisnya dalam menjalankan suatu usaha ekonomi serta sikap penguasa maupun pengusaha yang tidak menjalankan atau melalaikan kewajiban-kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup.6 Pencemaran dan kerusakan lingkungan yang ada di wilayah indonesia yang paling mencuri perhatian dunia adalah dibidang pembakaran lahan, baik lahan kehutanan, lahan perkebunan, dan lainnya. Lahan adalah suatu wilayah bumi daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfer, atmosfer, tanah, geologi, topografi, hidrologi, flora, fauna, dan hasil kegiatan 5
Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan (Jakarta: PT.Soft Media, 2009), h. 3. 6 Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan, Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana/Lingkungan pada Fakultas Hukum USU, Medan, 2003, h. 5-6. Dalam Alvi Syahrin, Ibid.
Universitas Sumatera Utara
3
manusia masa lalu dan masa kini.7 Menurut Herry Purnomo, seorang peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR), kerugian Indonesia pada tahun 1997-1998 akibat pembakaran lahan berkisar US$ 9 Miliar. Kerugian tersebut belum tersebut belum termasuk kerugian yang di derita oleh negara tetangga akibat pembakaran lahan yang ada di wilayah indonesia, contohnya negara Malaysia dan Singapura yang masing-masing mengalami kerugian sekitar US$ 2 Miliar setiap negaranya. 8 Sedangkan pada tahun 2015 menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) total kerugian negara akibat pembakaran lahan di Sumatera dan Kalimantan saja mencapai lebih dari Rp 200 Trilliun.9 Data tersebut menunjukan bahwa pembakaran lahan bukan merupakan tindak pidana biasa. Akibat dari pembakaran lahan tersebut negara mengalami banyak kerugian dibeberapa sektor strategis. Selain itu bukan hanya negara yang mengalami kerugian. Masyarakat juga mengalami kerugian baik di sektor agraris, kesehatan, dan lainnya. Purwo Hadi Subroto, petani di Riau, mengaku produksi tanaman pangan dan sayuran di ladangnya menurun sampai 40 % karena proses produksi tanaman yang mengandalkan sinar matahari terhalang oleh kabut asap. 10 Berdasarkan data dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pada periode Januari-September 2015 ada 16.334 titik api, dan pada 2014 ada 36.781 titik api di Indonesia. Titik api tersebut menyebabkan timbulnya asap yang 7
Tim Penyusun Pusat Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ke-3), (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 723 8 Sri Lestari, Berita, “Dampak Kabut Asap Diperkirakan Capai Rp 200 Trilliun”, www.bbc.com/Indonesia/berita_indonesia/2015/10/151026_indonesia-kabutasap, 2015. Diakses pada tanggal 31 Maret 2016 pukul 11:20 WIB. 9 Ibid 10 Ibid
Universitas Sumatera Utara
4
merusak lingkungan mengakibatkan 20.471 orang di Jambi, 15.138 orang di Kalimantan Tengah, 28.000 orang di Sumatera Selatan, dan 10.010 orang di Kalimantan Barat terkena Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA).11 Hal tersebut membuktikan bahwa memang benar bukan hanya negara yang mengalami kerugian, namun perbakaran lahan tersebut berdampak langsung terhadap masyarakat. Lahan Kehutanan, Perkebunan, dan lainnya yang seharusnya dijaga dan dimanfaatkan secara optimal dengan memperhatikan aspek kelestarian kini telah mengalami degradasi dan deforestasi yang cukup mencenangkan bagi dunia internasional. Lahan pada umumnya menjadi sumber kehidupan ekosistem di dunia. Sehingga dalam hal pemeliharaan lahan menjadi tanggung jawab seluruh komponen yang ada, baik pemerintah, korporasi, maupun individu masyarakat. Pada praktek hukum pidana yang terjadi pada saat ini, korporasi dan masyarakat melakukan pengerusakan lahan. Salah satu caranya adalah dengan pembakaran lahan. Tidak adanya kesadaran bagi masyarakat dan korporasi akan pentingnya memelihara lahan yang ada, menjadi salah satu faktor penyebab dari pembakaran lahan. Selain itu untuk mengejar keuntungan yang besar bagi individu masyarakat maupun korporasi, mereka tidak segan untuk melakukan pembakaran lahan secara terang-terangan. Hal tersebut menjadi perhatian serius bagi pemerintah khususnya, untuk
11
Indra Nugraha, Berita, “Walhi: Berikut Korporasi-korporasi di Balik Kebakaran Hutan dan Lahan itu”, http://www.mongabay.co.id/2015/10/06/berikut-korporasi-korporasi-di-balikkebakaran-hutan-dan-lahan-itu/, Jakarta, 2015. Diakses pada tanggal 31 Maret 2016 pukul 12:10 WIB.
Universitas Sumatera Utara
5
mencegah perbuatan pembakaran lahan yang dilakukan oleh korporasi dan masyarakat
yang
tidak
bertanggungjawab.
Pemerintah
menerbitkan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan perubahan atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, dan Undang-undang lainnya berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup. Peraturan perundang-undangan tersebut menjadi salah satu bentuk keseriusan pemerintah untuk menanggulangi dan mencegah pembakaran lahan yang
dilakukan
tanpa
izin
dan
tidak
bertanggungjawab.
Peraturan
perundang-undangan tersebut mengatur sedemikian rupa bentuk-bentuk tindak pidana pembakaran lahan, dan bentuk sanksi yang dijatuhkan kepada korporasi dan masyarakat yang melakukan tindak pidana pembakaran lahan tanpa izin. Pemerintah membentuk Peraturan Perundang-undangan mengenai pembakaran lahan, bertujuan untuk menuntut pelaku tindak pidana pembakaran lahan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Terdapat 218 kasus pembakaran lahan yang ditangani oleh Kepolisian Republik Indonesia sampai dengan bulan September 2015, dari 218 kasus ini sudah di tetapkan 204 tersangka dengan rincian 195 perorangan dan 9 korporasi.12 Hal tersebut membuktikan bahwa tidak hanya korporasi yang mengejar keuntungan dalam melakukan tindak pidana pembakran lahan. Fakta di lapangan
12
Fabian Januarius Kuwado, Berita, “Total Ada 218 Kasus Kebakaran Hutan dengan 204 Orang Tersangka”, http://nasional.kompas.com/read/2015/09/29/09543371/Total.Ada.218. Kasus.Kebakaran.Hutan.dengan.204.Orang.Tersangka, 2015. Diakses pada tanggal 31 Maret 2016 pukul 13:20 WIB.
Universitas Sumatera Utara
6
adalah jumlah pelaku perseorangan tindak pidana pembakaran lahan menunjukan angka yang lebih besar dibanding pelaku yang merupakan korporasi. Namun, walaupun pemerintah telah membentuk aturan dan sanksi yang tegas dalam masalah tindak pidana pembakaran lahan, masih banyak tindak pidana pembakaran lahan di wilayah Indonesia khususnya di wilayah Provinsi Riau. Hal tersebut dikarenakan sanksi yang diberikan oleh penegak hukum terhadap pelaku tindak pidana pembakaran lahan dirasa terlalu ringan dan tidak sesuai dengan akibat dari perbuatan tersebut. Dalam permasalahan Tindak Pidana Pembakaran Lahan, maka penulis akan menuangkannya secara lengkap dan cermat dalam sebuah skripsi yang berjudul : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PEMBAKARAN LAHAN ( Studi Putusan No. 118/ Pid.Sus/ 2014/ PN.Plw). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka permasalahan yang akan penulis bahas dalam skripsi ini adalah : 1.
Bagaimana pengaturan Tindak Pidana Pembakaran Lahan ?
2.
Bagaimana pertanggungjawaban pidana mengenai Tindak Pidana Pembakaran Lahan ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah : a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana pembakaran lahan di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
7
b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana mengenai tindak pidana pembakaran lahan. 2.
Manfaat penulisan skripsi ini adalah : 1) Manfaat Teoritis Secara teoritis skripsi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian
lebih lanjut untuk berbagai konsep ilmiah yang pada waktunya nanti dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana dan hukum acara pidana. Khususnya dalam tindak pidana pembakaran lahan. 2) Manfaat Praktis Menjadi masukkan dan pengetahuan bagi masyarakat dan para penegak hukum serta praktisi hukum, mengenai problematika yang terdapat dalam sistem hukum dan sistem peradilan yang ada di Indonesia. Serta dapat menjadi bahan perbandingan bagi penulis lain yang meneliti lebih lanjut dan lebih mendalam. D. Keaslian Penulisan Setelah dilakukan penelitian di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, belum ada terdapat tulisan yang mengangkat tentang “Pertanggungjawaban Pidana Mengenai Tindak Pidana Pembakaran Lahan (Studi Putusan No.118/Pid. Sus/ 2014/ PN Plw)”. Oleh karena itu penulisan skripsi ini dapat
dikatakan
masih
original,
sehingga
keabsahannya
dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan akademis.
Universitas Sumatera Utara
8
E. Tinjauan Pustaka 1.
Kerusakan Lingkungan Hidup Pengurasan sumber daya alam (natural resource depletion) diartikan
sebagai pemanfaatan sumber daya alam secara tidak bijaksana sehingga sumber daya alam itu baik kualitasnya maupun kuantitasnya menjadi berkurang atau menurun dan pada akhirnya akan habis sama sekali. Ancaman akan habisnya sumber daya alam, terutama dapat terjadi pada sumber daya alam yang tidak terbaharui, misalnya minyak bumi, gas alam, batubara atau mineral pada umumnya. Jenis sumber daya alam yang tak terbaharui akan cepat habis sebelum waktunya jika pemanfaatannya tidak disertai dengan kebijakan konservasi. Meskipun beberapa jenis sumber daya alam yang dapat diperbaharui atau tersedia secara tetap, kegiatan-kegiatan manusia dapat diperbaharui atau tersedia secara tetap, kegiatan-kegiatan manusia dapat menyebabkan sumber daya alam itu menjadi kurang kualitasnya. Misalnya lahan adalah termasuk sumber daya alam yang terbaharui, jika lapisan permukaan tanah terkikis habis, maka lahan menjadi tidak atau berkurang nilainya untuk budidaya pertanian. Kerusakan lingkungan hidup adalah deteriorasi lingkungan dengan hilangnya sumber daya air, udara, dan tanah,
kerusakan ekosistem dan punahnya
fauna liar. 13 Penggundulan hutan, lahan kritis, menipisnya lapisan ozon, pemanasan global, tumpahan minyak di laut, ikan mati di anak sungai karena zat-zat kimia, dan punahnya species tertentu adalah beberapa contoh dari
13
Wikipedia, Artikel, Kerusakan Lingkungan, id.m.wikipedia.org/wiki/Kerusakan_ lingkungan. Diakses pada tanggal 10 April 2016 Pukul 13:13 WIB.
Universitas Sumatera Utara
9
masalah-masalah lingkungan hidup.14 Richard Stewart dan James E. Krier, dalam buku Takdir Rahmadi menjelaskan dalam literatur masalah-masalah lingkungan dapat dikelompokan kedalam tiga bentuk, yaitu pencemaran lingkungan (pollution), pemanfaatan lahan secara salah (land misuse), dan pengurasan atau habisnya sumber daya alam (land resourrce depeletion).15 Akan tetapi, jika dilihat dari perspektif hukum yang berlaku di Indonesia, masalah-masalah lingkungan hanya dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yakni pencemaran lingkungan (environmental pollution) dan perusakan lingkungan hidup.16 Pengertian pencemaran lingkungan hidup adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 14 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, yaitu: “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan”. Pengertian perusakan lingkungan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 16, yaitu: “tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup merupakan suatu perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan
14
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2012), h. 1. 15 16
Ibid. Ibid
Universitas Sumatera Utara
10
hidup, yang berarti pelestarian fungsi lingkungan hidup tidak dapat terwujud sehingga upaya untuk memelihara kelangsungan dan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup akan terganggu. Terdapat unsur-unsur yang mempersamakan materi yang terkandung dari kedua pasal tersebut di atas, yaitu : 1. Baik pencemaran lingkungan maupun perusakan lingkungan hidup adalah tindakan-tindakan yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup. 2. Baik pencemaran lingkungan maupun perusakan lingkungan hidup tindakan-tindakan yang menyebabkan tidak terwujudnya pelestarian fungsi lingkungan hidup 3. Tindakan-tindakan
itu
atau
perbuatan
yang
dilakukan
terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum, perbuatan melawan hukum, atau perbuatan (onrechmatigedaad) yang menimbulkan kerugian bagi orang lain atau lingkungan hidup. 4. Perbuatan
pencemaran
dan/atau
perusakan
lingkungan
hidup
mengakibatkan timbulnya akibat hukum baik berupa pertanggungjawaban (liability) perdata maupun pidana.17 Perbedaan pokok antara pencemaran lingkungan dengan terkurasnya sumber daya alam adalah bahwa pencemaran dapat terjadi karena masuknya atau hadirnya sesuatu zat, energi atau komponen ke dalam lingkungan hidup atau 17
Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia (Jakarta: PT. Sofmedia, 2012), h. 176-177.
Universitas Sumatera Utara
11
ekosistem tertentu. Dengan demikian, zat, energi, atau komponen itu merupakan sesuatu yang asing atau yang pada mulanya tidak ada di dalam suatu kawasan lingkungan hidup kemudia hadir dalam kuantitas atau kualitas tertentu karena dimasukkan oleh kegiatan manusia. Sebaliknya, pengurasan sumber daya alam mengandung arti sumber daya alam yang terletak atau hidup di dalam konteks asalnya atau kawasan asalnya, kemudian oleh manusia diambil secara terus-menerus dan tidak terkendali dengan cara dan jumlah tertentu sehingga menimbulkan perubahan dan penurunan kualitasnya lingkungan hidup.18 Dampak negatif dari menurunnya kualitasnya lingkungan hidup baik karena terjadinya pencemaran atau terkurasnnya sumber daya alam adalah timbulnya ancaman atau dampak negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian ekonomi (economic cost), dan terganggunya sistem alami (natural system).19 Kerusakan lingkungan yang terjadi di suatu negara atau kawasan tertentu akan berpengaruh pula pada negara atau kawasan lain. Hal ini disebabkan pencemaran lingkungan, misalnya (kebakaran lahan) dampaknya tidak hanya dirasakan oleh negara yang tertimpa pencemaran tersebut, tetapi juga pada negara tetangganya. Hal ini dapat dilihat di Indonesia yang setiap tahunnya terjadi kebakaran lahan di Sumatera dan Kalimantan, dampak dari kebakaran lahan tersebut dirasakan pula oleh masyarakat negara tetangga, yaitu Singapura dan Malaysia.20
18 19 20
Takdir Rahmadi, Op.cit. h. 3. ibid. h. 6-7. Supriadi, Op.cit. h. 42.
Universitas Sumatera Utara
12
2.
Tindak Pidana Pembakaran Lahan Kerusakan lingkungan hidup disebabkan oleh berbagai macam faktor,
seperti pembalakan liar, pembakaran lahan, dan lainnya. Perbuatan tersebut merupakan ulah manusia, baik perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja, ataupun terjadi karena kelalaian. Dewasa ini, faktor yang paling berperan dalam pengerusakan lingkungan adalah faktor pembakaran lahan. pembakaran lahan mengakibatkan timbulnya gas-gas berbahaya dan juga menimbulkan kerugian lain bagi masyarakat, serta dapat merusak lingkungan hidup. Upaya pembangunan yang dilakukan pemerintah, seharusnya menjadi kesadaran kolektif masyarakat. Dengan kesadaran masyarakat, pembangunan di bidang lingkungan hidup akan semakin mudah dilaksanakan. Pemerintah, membentuk suatu peraturan perundang-undangan untuk mencegah
dan
pembakaran
memberantas
lahan,
pengerusakan
penebangan
liar,
dan
lingkungan lainnya.
tersebut,
Berbagai
seperti
peraturan
perundang-undangan mengklasifikasikan perbuatan pembakaran lahan sebagai tindak pidana. Tindak pidana, merupakan suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh subjek hukum, dan terhadap perbuatan tersebut akan dijatuhkan sanksi. Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah straftbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana serimg mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau
Universitas Sumatera Utara
13
perbuatan pidana atau tidak pidana. Tindak pidana merupakan salah satu unsur dari hukum pidana. Dalam hukum pidana, terdapat unsur perbuatan pidana atau tindak pidana, dan adanya sanksi yang merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjukan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang dan di ancam dengan suatu pidana. Unsur-unsur tindak pidana dirumuskan sebagai berikut :21 a. Handeling (perbuatan manusia) Perbuatan manusia sebagai bagian dari perbuatan pidana. Jika kita berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkannya suatu tindakan manusia. Handeling yang dimaksudkan tidak saja een doen (melakukan sesuatu) namun juga een nalaten atau niet doen (melalaikan atau tidak berbuat). Juga dianggap sebagai perbuatan manusia adalah perbuatan badan hukum. Penjelasan terkait melakukan sesuatu dan tidak berbuat atau tidak melakukan sesuatu dapat dijelaskan dengan menggambarkan perbedaan antara kelakuan seorang pencuri dan kewajiban seorang ibu. Seorang pencuri dapat dipidana dikarenakan ia berbuat sesuatu. Subjek hukum yang membakar lahan, tidak hanya merupakan subjek hukum yang merupakan perseorangan (van person), melainkan juga merupakan korporasi (recht person). Anton P Wijaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan barat mengatakan, perusahaan atau korporasi dengan sengaja melakukan 21
Artikel, “Pengertian, Unsur-unsur Dan Jenis-jenis Tindak Pidana” http:// materimahasiswahukumindonesia.blogspot.co.id/2015/01/pengertianunsurdan-jenis-jenis-tindak.ht ml, 26 Januari 2015. Diakses pada tanggal 13 April 2016 pukul 17:50 WIB.
Universitas Sumatera Utara
14
pembakaran lahan, dan membakar lahan tersebut memiliki kaitan dengan kepentingan asuransi perusahaan yang melakukan pembakaran lahan tersebut. Pada saat kebun dibuka dan beroperasi dengan jangka waktu tertentu, namun lahan perkebunan tersebut tidak memberikan keuntungan bagi perusahaan tersebut atau dalam hitungan ekonomi perkebunan tersebut tidak produktif, maka lahan tersebut dibakar untuk mengklaim asuransi. Uang hasil pengklaiman asuransi tersebut digunakan untuk membuka kebun baru di wilayah lain, dengan harapan lahan yang baru akan lebih produktif. Modus ini menurut Anton P. Wijaya merupakan modus baru dalam tindak pidana pembakaran lahan. b. Wederrechtjek (melanggar hukum) Terkait dengan sifat melanggar hukum, ada empat makna yang berbeda-beda yang masing-masing dinamakan sama, yaitu : 1) Sifat melawan hukum formal Artinya bahwa semua bagian atau rumusan (tertulis) dalam undang-undang telah terpenuhi. 2)
Sifat melawan hukum umum
Sifat ini sama dengan sifat melawan hukum secara formal. Namun, ia lebih menuju kepada aturan tak tertulis. Dalam artian ia bertentangan dengan hukum yang berlaku umum pada masyarakat yaitu keadilan. 3)
Sifat melawan hukum khusus
Dalam undang-undang dapat ditemukan pernyataan-pernyataan tertulis terkait melawan hukum. Tindak pidana adalah suatu perbutan yang dilakukan oleh seseorang dimana perbuatan tersebut melanggar ketentuan perundang-undangan yang diancam dengan sanksi terhadap pelanggaran tersebut, dimana perbuatan yang melanggar ketentuan perundangan tersebut melahirkan sanksi yang bersifat pidana, sanksi bersifat perdata, ataupun sanksi yang bersifat administrasi. Secara umum
Universitas Sumatera Utara
15
tindak pidana dapat dikategorikan kedalam 2 bagian, yaitu : a. Tindak pidana umum Dimana perundang-undangannya diatur dalam KUHP yang terdiri dari 3 buku, 49 bab, serta 569 pasal-pasal yang tercantum dalam KUHP. Dalam isi pasal 103 KUHP, peraturan penghabisan Buku 1 KUHP disebutkan bahwa ketentuan dari delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dihukum menurut peraturan perundangan lain, kecuali kalau ada undang-undang (wef) tindakan umum pemerintah Algemene maatregelen van bastur atau ordonansi menurut peraturan lain. b. Tindak Pidana diluar Hukum Pidana umum atau diluar KUHP Sedangkan bentuk tindak pidana yang kedua adalah bentuk Tindak Pidana diluar Hukum Pidana umum atau diluar KUHP, yaitu yang disebut juga dengan Tindak Pidana Khusus, dimana undang-undangnya diluar KUHP. Tindak pidana pembakaran lahan tergolong dalam salah satu tindak pidana khusus, dimana pengaturannya diatur secara terpisah dalam sebuah undang-undang umum. Selain unsur-unsur tindak pidana, juga terdapat jenis-jenis tindak pidana diantaranya : a. Kesengajaan dan Kelalaian b. Kejahatan dan Pelanggaran c. Perbuatan yang melanggar undang-undang (Delik commisionis) d. Tindak pidana yang menitik beratkan pada perbuatannya (Delik formil) e. Tindak pidana yang menitik beratkan pada akibatnya (Delik materil)
Universitas Sumatera Utara
16
Pembakaran lahan dikatakan sebagai tindak pidana karena pembakaran lahan memiliki semua unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang disebutkan di atas. Pembakaran lahan merupakan hasil kegiatan manusia, dan juga memiliki sifat melawan hukum. Pembakaran lahan, merupakan tindak pidana yang diketegorikan sebagai kejahatan. Dalam KUHP, pembakaran lahan dikategorikan sebagai kejahatan terhadap ketertiban umum. Selain itu, berdasarkan jenisnya, tindak pidana pembakaran lahan dikategorikan sebagai tindak pidana materil atau delik materil, yaitu tindak pidana yang menitik beratkan kepada akibat dari pembakaran lahan tersebut. Tindak pidana pembakaran lahan diatur dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Pada prinsipnya, pembakaran lahan dilarang, ada 4 (empat) bentuk terjadinya pembakaran lahan yang diidentifikasi sebagai berikut : 1)
Tindakan membakar lahan dengan sengaja dilakukan orang tertentu, tanpa ada kewenangan atau izin untuk berada di dalam kawasan lahan tersebut.
2)
Tindakan membakar lahan dengan tidak sengaja dilakukan orang akibat memasuki kawasan hutan atau perkebunan tanpa izin yang berwenang.
3)
Tindakan membakar lahan dengan sengaja dilakukan orang atau badan hukum yang diizinkan pihak berwenang untuk bekerja atau berada dalam kawasan hutan atau perkebunan.
4)
Tindakan membakar lahan dengan tidak sengaja dilakukan orang atau
Universitas Sumatera Utara
17
badan hukum yang diizinkan melakukan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan oleh pihak yang berwenang. Sesuai prinsip dan aturan hukum, bahwa setiap orang atau badan hukum tidak diperkenankan melakukan tindakan membakar hutan kecuali dilakukan berdasarkan kewenangan yang sah untuk tujuan-tujuan yang ditentukan, misalnya : a) Pembakaran lahan untuk kepentingan pembuatan padang rumput makanan ternak. b) Pembakaran lahan dilakukan untuk kepentingan persiapan lokasi penanaman pohon dikawasan hutan. Pembakaran lahan yang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan yang dikehendaki dan telah memperoleh persetujuan pemerintah yang dinyatakan sesuai peraturan c) Perundang-undangan yang berlaku. 3. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggungjawabkan perbuatan yang tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah si pembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana. 22 Pertanggungjawaban pidana adalah sebuah bentuk tanggungjawab yang
22
Ibid, h. 75.
Universitas Sumatera Utara
18
harus dilaksanakan oleh seseorang ataupun subyek hukum yang telah melakukan tindak pidana. Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai toerekenbaarheid,
criminal
responbility,
criminal
liability.
Bahwa
pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Seorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di cela. 23 Menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu : a. Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain harus ada unsur melawan hukum (harus ada unsur objektif) b. Terhadap pelakunya, terdapat
unsur kesalahan dalam
bentuk
kesengajaan atau kealpaan. Sehingga perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabakan (harus ada unsur subjektif). Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggungjawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut. Roeslan
Saleh
menyatakan
bahwa
dalam
membicarakan
tentang
pertanggungjawaban pidana, tidaklah dapat dilepaskan dari satu dua aspek yang harus dilihat dengan pandangan-pandangan falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan, sehingga pembicaraan tentang pertanggungjawaban pidana akan 23
Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia (Jakarta: PT. Pradnya Paramota, 1997), h. 31.
Universitas Sumatera Utara
19
memberikan kontur yang lebih jelas. Pertanggungjawaban pidana sebagai soal hukum pidana terjalin dengan keadilan sebagai soal filsafat.24 Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, dapat disamakan dengan pengertian pertangungjawaban dalam hukum pidana. Didalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan bahwa orang itu bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatanya. Dalam Hukum Pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin jahat/tersela (mens rea)25 Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu, Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana
24
Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana (Jakarta: Ghia Indonesia, 1982), h. 10. 25 Hanafi, Jurnal Hukum, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Tahun 1999. h. 27.
Universitas Sumatera Utara
20
jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan seseorang
dikatakan
mempunyai
kesalahan
menyangkut
masalah
pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.26 Sudarto mengatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan
dipertanggungjawabkan
atau atas
bersalah.
perbuatannya
atau
Orang jika
tersebut dilihat
dari
harus sudut
perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.27 Dalam pertanggungjawaban pidana, tidak semua orang yang melakukan tindak pidana dapat dihukum. Untuk memintakan pertanggungjawaban pidana seseorang, harus memperhatikan berbagai aspek, dan berbagai unsur. Apakah perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang didasari kehendak sendiri, atau 26 27
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.156. Sudarto. Hukum Pidana I (Semarang: FH UNDIP, 1988), h. 85.
Universitas Sumatera Utara
21
perbuatan tersebut merupakan sebuah kelalaian. Bentuk kesalahan yang diakibatkan karena kesengajaan dan kelalaian, tentulah beda pertanggungjawaban pidananya. Hal tersebutlah yang harus diperhatikan dalam penjatuhan pidana. Penjatuhan pidana sebenarnya merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban pidana. F. Metode Penelitian Dalam sistematika penulisan yang baik dan benar, haruslah menggunakan metode penelitian yang benar. Adapun penelitian yang digunakan oleh penulis dapat diuraikan sebagai berikut: 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan
dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Untuk mendapatkan data yang diperlukan sesuai dengan masalah yang diteliti, maka dalam hal ini penulis menggunakan metode penelitian yang bila dilihat dari jenisnya dapat digolongkan kedalam penelitian hukum normatif (yuridis normative). Yaitu merupakan penelitian
yang
dilakukan
dengan
cara
menelaah
berbagai
peraturan
perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi. Penelitian yuridis normative ini juga disebut dengan penelitian hukum doctrinal. Wigjosoebroto membagi penelitian hukum sebagai berikut :28 1) Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasaar falsafah hukum positif 28
Johnny Ibrahim., Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Surabaya: Bayu Media, 2007), h. 300.
Universitas Sumatera Utara
22
2) Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif 3) Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu. 2.
Sifat Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penelitian yang digunakan adalah penelitian
yang bersifat deskriptif. Penilitan deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal didaerah tertentu dan pada saat tertentu. 29 Skripsi ini mengupayakan untuk menggambarkan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku perorangan yang melakukan pembakaran lahan di daerah Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau. 3.
Sumber Bahan Hukum Data dan sumber data yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah
data sekunder. Adapun data sekunder tersebut diperoleh dari : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak berwenang, yaitu peraturan perundang-undangan. Baik di bidang hukum pidana dan hukum acara pidana, antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (KUHAP), Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 jo. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
29
Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 47.
Universitas Sumatera Utara
23
Kehutanan, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 jo 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Dan Peraturan Perundang-Undangan Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Pembakaran Lahan. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum pimer, yakni hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku dan pendapat-pendapat para sarjana. Dan juga termasuk dokumen yang merupakan informasi atau bahan kajian kejahatan yang berkaitan dengan kebakaran lahan, seperti modul, majalah hukum, dan karya tulis ilmiah. c. Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum, ensiklopedia dan lain sebagainya. 4.
Teknik Pengumpulan Data Dalam skripsi ini digunakan metode studi pustaka (Library research).
Yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan cara menggali sumber-sumber tertulis, baik dari instansi yang terkait, maupun buku literatur yang ada relevansinya dengan masalah penelitian yang digunakan sebagai kelengkapan penelitian. 5.
Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatif yang digambarkan secara
deskriptif, rangkaian kegiatan analisis data dimulai setelah terkumpulnya data
Universitas Sumatera Utara
24
sekunder, kemudian disusun menjadi sebuah pola dan dikelompokan secara sistematis. Analisis data lalu dilanjutkan dengan membandingkan data sekunder terhadap data primer untuk mendapat penyelesaian permasalahan yang diangkat. G. Sistematika Penulisan Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa tahapan yang disebut dengan bab. Dimana masing-masing bab dibagi dalam beberapa sub bab yang masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhan kedalam 4 (empat) bab terperinci. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I
:
Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang segala hal yang bersifat umum dalam latar belakang, kemudian dilanjutkan dengan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penelitian,
dan
ditutup
dengan
memberikan
sistematika dari penulisan. BAB II
:
Membahas mengenai Pengaturan Tindak Pidana dan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pembakaran Lahan, pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor
32
Tahun
2009
Tentang
Pengelolaan
dan
Universitas Sumatera Utara
25
Perlindungan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan. BAB III
:
Membahas mengenai Pertanggungjawaban Tindak Pidana Pembakaran Lahan, Unsur Pertanggungjawaban Pidana, Analisis Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan Dengan Nomor Perkara 118/ Pid. Sus/ 2014/ PN Plw atas nama Terdakwa Suhadi.
BAB IV
:
Merupakan
bab
terakhir
yang
membahas
mengenai
kesimpulan dan saran. Dalam bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dari seluruh penulisan yang telah diuraikan dalam bab-bab yang sebelumnya sekaligus memberikan saran-saran terhadap data yang ada.
Universitas Sumatera Utara