Makalah KIPNAS X: Dinamika Kemitraan ABG dan Pengelolaan Inovasi Teknologi di Indonesia: Studi Kasus Pengembangan Radar Nasional Trina Fizzanty1 dan Hiskia2 1.
Pendahuluan
Indonesia bercita-cita menjadi negara yang maju dan sejahtera pada tahun 2025 dengan tingkat pendapatan US$ 14.250-15.500 per kapita. Upaya mewujudkan cita-cita tersebut dilakukan melalui penguatan nilai tambah melalui pengembangan kemampuan SDM dan Iptek. Untuk mencapai sasaran ekonomi tersebut, diperkirakan akan diperlukan investasi iptek sebesar 1% dari Produk Domestik Bruto. Investasi Iptek tersebut diharapkan tidak hanya bersumber dari anggaran pemerintah, tetapi juga dari pihak industri. Kolaborasi ini pada akhirnya diharapkan tidak hanya pada aspek pemenuhan anggaran Iptek, tetapi juga berkembang ke arah pengembangan inovasi yang produktif dan efisien. Kolaborasi inovasi ini dikenal dalam konsep triple-helix yakni kerjasama akademia, bisnis dan pemerintah (ABG). Dokumen MP3EI secara eksplisit mengajukan 7 langkah perbaikan diantaranya adalah mendorong sistem insentif dan aturan untuk mendukung inovasi serta budaya menggunakan produk dalam negeri. Langkah ini diperkuat melalui 4 wadah, dimana satu diantaranya adalah pengembangan industri strategis (industri pertahanan, transportasi dan TIK). Sebagai negara besar dengan area yang tersebar dan dikenal sebagai negara kepulauan, maka pengembangan industri informasi dan komunikasi dan pertahanan menjadi sangat strategis untuk menjaga identitas bangsa (national identitiy). Sasaran inovasi di industri strategis ini di tahun 2025 adalah tercapai kelangsungan (sustainability) produk, dan sistem pertahanan, TIK dan transportasi. Tantangan dalam pengembangan industri teknologi tinggi tersebut adalah diperlukan investasi yang besar dalam penelitian dan pengembangan (Litbang) untuk tetap menghasilkan inovasi. Saat ini lingkungan Industri strategis masih belum kondusif, ditunjukkan dari masih rendahnya investasi pemerintah dan industri dalam kegiatan litbang serta masih lemahnya kerjasama litbang, pemerintah dan industri. Permasalahan ini ditunjukkan dari masih kecilnya anggaran yang dialokasikan untuk litbang yakni 0,07% dari PDB, sementara masih sedikit sekali industri yang menginvestasikan pada kegiatan litbang. Pada tahun 2008, diperkirakan hanya 10% anggaran litbang itu yang dibelanjakan industri manufaktur untuk kegiatan litbang internalnya (Indikator Iptek Indonesia 2009). Sementara itu, anggaran litbang yang dibelanjakan industri manfaktur bersumber dari perusahaan mereka 1
Peneliti pada Pusat Penelitian Perkembangan Iptek-LIPI (
[email protected]/
[email protected]) 2 Peneliti pada Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi-LIPI (
[email protected])
1
sendiri, dan hanya 3.37% yang berasal dari pemerintah. Disamping masih kecilnya proporsi kerjasama dalam anggaran, inovasi teknologi di Indonesia dihadapkan pula pada fakta belum terbangunnya kerjasama dalam riset dan pengembangan antara pemerintah dan industri. Meskipun terdapat perbedaan kualifikasi SDM Iptek di litbang pemerintah dan litbang swasta ternyata belum mendorong terbangunnya kerjasama kedua pihak. Akibat dari permasalahan tersebut, produktivitas industri manufaktur Indonesia lebih banyak disumbang oleh industri dengan tingkat intensitas teknologi rendah. Selama satu dekade (1998-2007) kurang dari 10% luaran industri manufaktur bersumber dari industri dengan intensitas teknologi tinggi (contoh, industri TIK), sedangkan 50% luaran berasal dari industri teknologi rendah (contoh, industri pangan). Dalam kondisi masih lemahnya kolaborasi pemerintah dan industri dalam pengembangan inovasi di industri manufaktur, dan cenderung rendahnya produktivitas industri teknologi tinggi, bagaimana inovasi teknologi itu terjadi dan seberapa jauh proses triple-helix itu mampu mendorong munculnya inovasi dan komersialisasi? Apa tantangan pengelolaan inovasi teknologi industri strategis ini kedepan? Tulisan ini bertujuan memaparkan hasil kajian terhadap satu studi kasus pengelolaan inovasi teknologi informasi dan komunikasi yakni teknologi radar pengawas pantai. Pengembangan inovasi ini dianggap cukup berhasil dengan memanfaatkan kemitraan ABG. Proses dan manfaat dari kemitraan ini secara dinamis mulai tahap invensi hingga inovasi dikaji dengan menggunakan konsep triple helix. Pada bagian awal, diuraikan terlebih dahulu konsep Triple Helix Inovasi, selanjutnya dijelaskan tentang metode yang digunakan dalam tulisan ini. Proses pengelolaan dan pengembangan radar nasional diuraikan pada bagian berikutnya. Analisis dilakukan dengan menggunakan konsep triplehelix. 2.
Triple Helix dan Inovasi
Model Triple-Helix Inovasi diperkenalkan oleh Etzkowitz dan Leydersdorff. Model ini menekankan peran dan hubungan yang dekat antara tiga aktor, yakni pemerintah, industri dan universitas (akademisi) atau dikenal ABG. Universitas (akademisi) dapat menjadi pemimpin inovasi dalam perekonomian berbasis pengetahuan, sementara NIS (National Innovation System) menekankan pentingnya peran perusahaan dalam inovasi. Pengaturan kembali hubungan ABG dalam Triple-Helix merupakan hasil komunikasi dan ekpektasi pada tingkat jejaring (Etzkowitz dan Leydersdorff, 2000). Hubungan yang muncul dalam Triple Helix, umumnya bermula dari upaya pemecahan masalah dan menghasilkan strategi ketika menghadapi masalah dalam inovasi, bukan ditentukan dari suatu pola tertentu. Melalui proses interaksi ini maka akan terjadi perubahan aktor dan peran yang mereka 2
lakukan (Leydersdorff, 2000).Dengan demikian, pola triple-helix inovasi adalah dinamis seiring perubahan waktu. Model Triple Helix bukanlah konsep baru dalam mendukung inovasi di teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Beberapa studi (Brouwers, van Duivenboden dan Thaens, 2009; La Paz dan Seo, 2009). Brouwers, van Duivenboden dan Thaens (2009) fokus pada peranan pemerintah dalam inovasi TIK pada tingkat regional. Pemerintah sering menjalankan peran tradisionalnya dalam bangunan Triple Helix, yakni alokasi investasi, yang seharusnya juga mencakup nilai kandungan proyek dan program yang difasilitasi secara finansial. La Paz dan Seo (2009) memperhatikan berbagai peran berbeda yang dimainkan aktor ABG pada tingkat makro. Hasil studi La Paz dan Seo (2009) telah berhasil menemukan bahwa ada empat peran yang dimainkan oleh aktor inovasi, yakni: (i) mendeteksi kebutuhan dan solusi yakni pemerintah, akademia dan industri; (ii) pengembangan, produksi dan komersialisasi oleh pemerintah dan industri; (iii) Pembelajaran TIK oleh industri dan akademia; dan (iv) penciptaan pasar dan regulasi, baik oleh pemerintah maupun industri TIK, seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut. Tabel.1 Peta Konfigurasi Pembangunan TIK Deteksi Kebutuhan Pengguna dan solusi
Pengembangan, Produksi dan Komersialisasi
Penciptaan pasar dan Regulasi
Pembelajaran TIK
Pemerintah
Pemerintah
Pemerintah
Industri TIK
Industri TIK
+
Industri TIK
+
Industri TIK
+
Universitas
Universitas
Sumber: La Paz dan Seo (2009) Kerangka kerja yang diajukan La Paz dan Seo digunakan dalam studi ini namun dilakukan sedikit modifikasi untuk menjelaskan proses pengembangan inovasi Radar pada tingkat jejaring organisasi. Empat peran tersebut dimodifikasi menjadi lima peran dengan memasukkan fungsi penelitian dan pengembangan, dan menggambarkan dinamika peran aktor inovasi ABG dari waktu ke waktu, hingga tahap produksi/komersialisasi. Tabel.2 Kerangka Kerja Triple Helix Inovasi Radar Aktor/ Peran
Penelitian dan pengembang an
Deteksi Kebutuhan Pengguna dan solusi
Produksi dan komersialisasi
Penciptaan pasar dan regulasi
Pembelajar an TIK
Akademisi Bisnis
3
Pemerintah
Informasi yang diperoleh tersebut disusun menurut historisnya, dan data diolah mengacu pada kerangka kerja diatas, yakni peran aktor dalam lima kategori peran. Tantangan dan peluang pengembangan inovasi Radar kedepan disampaikan pada bagian akhir. 3.
Dinamika Pengelolaan Inovasi Teknologi Radar di Indonesia
Radar adalah salah satu peralatan berfungsi sangat strategis yang mutlak diperlukan baik untuk kepentingan militer maupun sipil. Pengelolaan inovasi teknologi ini fokus pada Radar Pengawas Pantai atau disingkat ISRA (Indonesia Surveilance Radar) yang diteliti dan kembangkan oleh Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (PPET)-LIPI. (i)
Penelitian & Pengembangan: Akademisi-Pemerintah (PPET-LIPI)
Kegiatan penelitian dan pengembangan rancang bangun Radar telah dilakukan sejak tahun 1999. Kegiatan ini terus diperkuat dengan pengembangan kapasitas peneliti Radar. Kegiatan ini didanai oleh anggaran pemerintah melalui DIPA-LIPI. (ii)
Pembelajaran TIK: Pemerintah-Akademisi (PPET-LIPI, PP Informatika dan IRCTR TU-Delft)
Berbeda dengan model yang ditemukan oleh La Paz dan Seo (2009) yang bermula dari proses pendeteksian kebutuhan pengguna, pengembangan Radar bermula dari proses pengembangan kapasitas tenaga peneliti dalam bidang Radar. Lebih kurang 10 peneliti dikirimkan ke International Research Centre for Telecommunications and Radar (IRCTR), Delft University of Technology, The Netherlands (IRCTR TU-Delft). Proses pelatihan ini dibiayai oleh pemerintah Belanda. Dengan terbentuknya kapasitas peneliti di bidang Radar, maka kemudian mulai dilakukan kegiatan pengembangan. (iii)
Deteksi Kebutuhan Pengguna/solusi: Pemerintah (PPET-LIPI)
Sebelum dilanjutkan ke proses pengembangan, PPET mendeteksi terlebih dahulu kebutuhan pengguna Radar khususnya dalam negeri. Hasil deteksi ini menunjukkan bahwa kebutuhan peralatan Radar dalam negeri cukup banyak baik untuk keperluan militer maupun untuk sipil dimana saat ini masih di impor dari luar sehingga setiap tahun, Indonesia mengeluarkan anggaran yang cukup besar ke luar negeri untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Jenis radar yang akan dikembangkan dikaji dengan mendeteksi masih lemahnya kemampuan TNI-AL dan Polri dalam mengawasi wilayah negara kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari 17.000 kepulauan dengan sebagain besar wilayahnya adalah lautan. Sistem pengawasan maritim dengan demikian menjadi sangat diperlukan.
4
(iv)
Penelitian & Pengembangan: Pemerinta-Akademisi-Bisnis (LIPI, IRCTR TU-Delft dan IRCTR-IB, Solusi 247, dan Ristek)
Berdasarkan kajian kebutuhan pengguna tersebut, maka ditentukan bahwa jenis radar yang akan dihasilkan adalah Radar Pengawas Pantai. Selanjutnya mulai tahun 2006, proses penelitian dan pengembangan terus dilakukan oleh PPET-LIPI bekerjasama PP Informatika-LIPI dengan IRCTR TU-Delft. Institusi penelitian di negeri Belanda ini tidak hanya memberikan bantuan tenaga tetapi juga anggaran dalam pengembangan Radar Pengawas Pantai. Disamping itu, IRCTR-Delft telah mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam pengembangan radar FMCW. Kerjasama ini menghasilkan prototipe-1 Radar ISRA. Perubahan pengembangan jenis inovasi yang dilakukan dari waktu ke waktu sebagai upaya memperbaiki kinerja radar. Penguasan teknologi radar membutuhkan multidisipin ilmu dan keterlibatan banyak pihak. Terdapat empat aktor yang berperan dalam penelitian dan pengembangan radar ISRA, yakni:
(v)
IRCTR-TU Delft & IRCTR-IB untuk pengembangan antena dan sistem disain;
LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) mengembangkan perangkat lunak, mekanik, dan pengujian dengan dukungan pendanaan melalui DIPA dan Program Kompetitif LIPI;
PT. Solusi 247 – RCS adalah perusahaan swasta yang juga mengembangkan radar. LIPI bekerjasama dengan PT Solusi 247 dalam hal pengujian. Perusahaan bisnis tidak hanya terlibat dalam proses produksi tetapi juga dalam penelitian dan pengembangan;
Kementrian Ristek, sebagai institusi pemerintah, mendorong inovasi melalui dukungan pendanaan.
Ditjen Perhubungan Laut-Kementrian Perhubungan: meminjamkan lokasi bagi stasiun radar LIPI. Dengan demikian, peran pemerintah tidak hanya dalam investasi litbang, tetapi juga fasilitasi. Produksi dan Komersialisasi (Pemerintah-Bisnis: LIPI dan PT. INTI)
Produksi Radar merupakan proses yang melibatkan koordinasi proses produktif untuk menciptakan dan memberikan nilai, mulai dari pembelian bahan baku sampai pengelolaan finansial. Oleh karena itu peran ini umumnya lebih banyak dilakukan oleh pihak bisnis. Pada tahun 2010, radar hasil penelitian ini telah mulai beroperasi. Setahun kemudian (tahun 2011), hasil penelitian ini lisensinya dibeli oleh PT. INTI, sebuah BUMN, seperti ditunjukkan pada gambar-1.
5
Gambar-1. Radar Pengawas Pantai ISRA LIPI
(vi) Penciptaan Pasar dan regulasi (Bisnis-Pemerintah: PT. INTI, TNI-AL dan PPET-LIPI) Baik bisnis maupun pemerintah memegang peranan penting dalam penciptaan pasar radar. Kerjasama dengan PT. INTI diawali dengan pertemuan pada Seminar Radar Nasional yang setiap tahun diselenggarakan PPET LPI. Selanjutnya dilakukan pertemuan dan kunjungan kedua belah pihak. Lebih kurang dibutuhkan waktu setahun mulai dari perencanaan sampai kesepakatan di tandatangani. Dalam pembuatan perjanjian kerjasama lisensi, BKPI dan Pusinov LIPI juga berperan. Pemerintah juga berfungsi menciptakan pasar, karena diperkirakan Indonesia akan membutuhkan minimal 800 radar pantai. Lisensi Radar dibeli oleh PT. INTI untuk diproduksi yang saat ini dalam tahap pemasaran dan promosi oleh PT. INTI.
(vii) Pembelajaran TIK: Akademisi-Pemerintah (LIPI, STEI-ITB, TU-Delft dan Kementrian Ristek) Dalam rangka peningkatan kemampuan sumber daya manusia dibidang Iptek Radar kedepan, dilakukan kerjasama antara Kementrian Ristek, LIPI, ITB dan TU-Delft untuk Program Double Degree MSc bidang Telekomunikasi dan Radar. Sebagian personil tim Radar dari PPET dan P2I telah mendapat beasiswa dari KMNRT untuk studi S2 di ITB dalam program Studi Telekomunikasi di ITB. Para personil ini akan mengikuti Program Double Degree bidang Telekomunikasi dan Radar yang merupakan kerjasama antara STEI-ITB dengan IRCTR TU-Delft. Pengelola program double degree ini adalah Program Studi Telekomunikasi ITB. Peran pemerintah adalah memberikan beasiswa bagi mahasiswa-mahasiswa magister yang mau melanjutkan studinya dibidang radar.
6
(viii) Penciptaan regulasi: sebuah tantangan (Pemerintah-Bisnis) Pemerintah dalam hal ini presiden secara tegas menyatakan untuk melakukan revitalisasi industri pertahanan nasional. Kebijakan revitalisasi ini secara tidak langsung mendukung pengembangan radar nasional. Bahkan, Indonesia telah menyusun peta jalan (Roadmap) kemandirian radar yang secara jelas mengungkapkan langkah-langkah strategis pengembangan radar. Pada tahun 2009-2010 targetnya adalah dapat dikuasainya teknologi radar pantai, selanjutnya 2010-2011 radar navigasi kapal, dan 2012-2013 radar navigasi patroli cepat. Pada tahun 2013-2014 dibuat radar pertahanan udara, dan radar cuaca pada tahun 2014-2015. Radar pertahanan udara bergerak diharapkan dicapai pada tahun 2019-2020. Di akhir tahun 2022, diharapkan Indonesia sudah bisa menghasilkan radar penjejak sistem optoelektronika. Dengan demikian, peran pemerintah dalam regulasi telah memberikan peluang dan tantangan bagi inovasi radar nasional.
Gambar-2. Peta Jalan Kemandirian Radar Nasional Disamping itu pemerintah juga mengeluarkan beberapa kebijakan yang terkait dengan pengembangan TIK (khususnya radar), yakni:
Keputusan Presiden no. 54 tahun 2010 terkait pembelian barang/jasa khususnya tingkat komponen lokal
Naskah akademik Pengembangan Riset Iptek dan Aplikasi TIK 20052025
Naskah akademik Riset Iptek dan litbang serta aplikasi keamanan dan ketahanan 2005-2025
Perencanaan Pembangunan langkah pertengahan 2010-2014
Perencanaan Strategis LIPI 2010-2014
7
6. Pengelolaan Inovasi Teknologi di Industri Strategis dan Teknologi Tinggi Inovasi Radar merupakan inovasi produk yang pengembangannya dilakukan terus-menerus (continuos development). Belajar dari prengelolaan inovasi radar ini, jelas terlihat peran dari banyak pihak yang dimulai dari sinergi didalam organisasi. Proses perbaikan dan pengembangan terus menerus ini didukung tidak hanya oleh banyak pihak diluar LIPI sebagai pemangku kepentingan maupun sebagai pengguna, seperti pemerintah, perguruan tinggi, lembaga riset di universitas luar negeri, dan mitra swasta, tetapi juga didukung oleh kerjasama internal LIPI. Pengelolaan inovasi teknologi radar dimulai dari tahap riset awal yang kemudian diperkuat melalui pengembangan kapasitas SDM Iptek radar melalui proses pelatihan. Kapasitas SDM Iptek radar semakin terakumulasi dengan diimplementasikannya penelitian dan pengembangan lanjutan. Jenis inovasi produk yang akan dilakukan didukung oleh identifikasi kebutuhan pengguna sehingga terpetakan seberapa pasar radar dan karakteristik kebutuhan pengguna. Proses ini pada akhirnya akan membuat fokus litbang dan langkah-langkah pengembangannya menjadi lebih jelas. Proses produksi dan komersialisasi hasil inovasi merupakan fakta yang mendukung pentingnya membangun absorptive capacity dan R&D focusing tersebut. Penciptaan pasar dan regulasi adalah dua hal yang akan membuat kondisi lingkungan akan semakin kondusif bagi tumbuhnya inovasi. Hasil kajian terhadap dinamika pengelolaan radar khususnya radar ISRA dengan menggunakan Triple-Helix menunjukkan bahwa setiap aktor mempunyai peran yang berbeda pada tahap pengembangan inovasi hingga komersialisasi. Gambar-3 berikut menunjukkan aktor dan peran yang dimainkan setiap aktor dalam proses inovasi radar ISRA LIPI.
Gambar-3. Aktor-aktor Inovasi dan Peranannya dalam Pengembangan Inovasi Teknologi Radar ISRA-LIPI (A=Academician, B=Business, G=Government) 8
Akademisi dalam hal ini universitas yang berafiliasi dengan universitas di luar negeri mengambil peran dalam kegiatan yang memang sesuai dengan karakter organisasinya yakni litbang dan pengembangan kapasitas SDM. Akademisi di dalam negeri juga mengambil peran dalam pengembangan kapasitas SDM radar. Sementara pihak bisnis yang umumnya hanya dominan pada kegiatan produksi dan komersialisasi, ternyata juga berperan dalam pengembangan radar (untuk pengujian). Untuk mendukung pengembangan inovasi radar ini, pemerintah tidak hanya mengandalkan peran konvensionalnya sebagai regulator, namun juga mempunyai peran sebagai enterprenuer melalui investasi litbang dan pengembangan kapasitas SDM di bidang radar, mendorong penciptaan pasar melalui permintaan terhadap inovasi radar serta berperan dalam memfasilitasi kegiatan pengembangan. Peran pemerintah dalam pengembangan inovasi radar di Indonesia sangat penting, penelitian dan pengembangan, deteksi kebutuhan pengguna dan solusi serta penciptaan pasar dan regulasi.Fakta ini diperkuat oleh temuan Madanmohan & Kumar & Kumar (2004) dan Sharif dan Sundarajan (1984) bahwa pemerintah di negara berkembang seperti Indonesia, berperan penting dibandingkan aktor inovasi lainnya karena terlibat dalam penciptaan pasar dan regulasi TIK tetapi juga berperan dalam mendeteksi kebutuhan pengguna dan solusi. Sementara di negara maju seperti Eropa, industrilah yang paling berperan kecuali peran penciptaan pasar dan regulasi. Hasil studi radar ini juga menunjukkan bahwa bisnis dalam hal industri radar tidak hanya berperan dalam produksi dan komersialisasi tetapi juga berperan dalam pengembangan kapasitas SDM radar, namun investasi yang terkait langsung dengan R&D belum menjadi perhatian, mengingat industri teknologi tinggi ini memerlukan investasi besar dan resiko investasi yang juga tinggi. Interaksi antar aktor sangat dinamis dalam menjalankan peran tertentu. Di bagian awal pengelolaan inovasi pemerintah dan akademisi berinteraksi terlebih dahulu, selanjutnya interaksi pemerintah dan industri akan mendorong proses produksi dan komersialisasi. Dalam kondisi lingkungan rendahnya anggaran litbang, kolaborasi litbang-industri dan kualifikasi SDM litbang industri yang relatif rendah, maka peran pemerintah masih diharapkan besar dalam pengelolaan inovasi teknologi radar. 7. Tantangan Pengelolaan Inovasi Teknologi Tantangan pengelolaan inovasi teknologi radar ini kedepan adalah bagaimana memperkuat peran R&D, Penciptaan Pasar dan Regulasi. Berbagai langkah dalam penguatan ketiga peran tersebut adalah: Membangun konsorsium riset radar karena Indonesia memiliki sumber daya yang memadai yang siap disinergikan untuk membangun industri peralatan Radar dalam negeri diantaranya LIPI, PT. INTI, PT. DI, TNI AU/AL, perguruan tinggi serta lembaga litbang lainnya (Gambar-4). Untuk mewujudkan kemandirian Radar nasional dapat dilakukan dengan cara mensinergikan kemampuan dalam negeri. 9
Pendanaan untuk litbang dibidang Radar masih sangat terbatas. Diperlukan dana milyaran Rupiah setiap tahun untuk Riset Radar melalui konsorsium riset. Sarana dan prasarana untuk litbang Radar masih perlu dilengkapi. Promosi/pemasaran produk Radar buatan dalam negeri memerlukan usaha yang lebih keras karena produknya belum dikenal. Perlu kebijakan dari pemerintah untuk mendorong segenap pengguna peralatan Radar untuk menggunakan produk peralatan Radar produksi nasional. Perlu adanya koordinasi lintas Departemen/Institusi baik antar lembaga litbang, user dan pembuat kebijakan dibidang Radar supaya lebih mencapai hasil dan sesuai kebutuhan.Membangun konsorsium riset radar nasional adalah salah satu tantangan kedepan. Perlu peningkatan sumber daya manusia secara formal (S2, S3) maupun non-formal melalui workshop. Dengan demikian akan terjadi peningkatan jumlah dan kualifikasi sumberdaya manusia iptek (peneliti)
Gambar-4. Konsorsium Riset Radar Tingkat Nasional
8. Penutup Inovasi Teknologi Radar merupakan hasil pengembangan terus menerus, fokus, dan didukung kemampuan absorpsi teknologi serta kolaborasi eksternal dan internal Pemerintah berperan tidak hanya sbg regulator (seperti pada peran konvensional) tetapi juga sebagai enterpreneur melalui investasi litbang dan pengembangan kapasitas SDM, penciptaan pasar10
permintaan terhadap inovasi radar, berperan dalam fasilitasi kegiatan pengembangan. Akademisi berperan sebagai pemain utama dalam pengembangan kapasitas SDM Iptek Industri/Bisnis tidak hanya sebagai pemain utama di kegiatan produksi dan komersialisasi, juga dalam pengembangan dan deteksi kebutuhan pengguna dan solusi Interaksi antar aktor sangat dinamis dalam menjalankan peran tertentu. Di bagian awal pengelolaan inovasi pemerintah dan akademisi berinteraksi terlebih dahulu, selanjutnya interaksi pemerintah dan industri akan mendorong proses produksi dan komersialisasi. Tantangan kedepan adalah penguatan litbang dan penciptaan pasar serta regulasi
Referensi Etzkowitz, H & L. Leydesdorff. 2000. The Dynamics of Innovation: from National Systems and ‘Mode 2’ to a Triple Helix of University-Industrygovernment. Research Policy 29: pp. 109-123 La Paz, H & D. Seo. 2009. Configuring of Actors and Roles in Establishing ICT. European Conference on Information Systems (ECIS) Proceeding. www. Is2.Ise.ac.uk/asp/aspecis/20090075.pdf diakses tanggal 30 Oktober 2011. Leydesdorff, L. 2000. The Triple Helix: an Evolutionary Model of Innovations. Research Policy 29: pp. 243-255
11