Dinamika Hubungan Istri dengan Suami dan Keluarga Luas dalam Menghadapi Infertilitas Fira Yunita Kusuma W
Mahasiswa Sosiologi Universitas Indonesia Email:
[email protected] Abstrak Tulisan ini membahas tentang dinamika hubungan istri dengan suami dan keluarga luasnya dalam menghadapi infertilitas yang dilihat dari sudut pandang istri. Untuk menjelaskan dinamika tersebut peneliti menggunakan konsep self and mind milik Mead. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mewawancarai tiga orang informan. Kriteria informannya adalah mereka yang telah menjalani masa perkawinan minimal lima belas tahun, ingin mempunyai anak, tetapi belum mendapatkannya, dan tidak sedang mengadopsi anak sampai penelitian dilakukan. Hasil temuan menunjukkan bahwa ketidakhadiran anak dalam perkawinan membawa dinamika pada hubungan istri dengan suaminya, maupun istri dengan keluarga luasnya. Dinamika yang terjadi tidak selalu membawa efek negatif seperti perbedaan pendapat ataupun konflik, namun juga memberi efek positif, seperti sikap saling mendukung. Kata kunci: Dinamika, Infertilitas, Anak, Istri, Suami, Keluarga Luas Abstract This study discusses about the dynamics of husband and wife’s relationship and their extended family in facing infertility from wife’s point of view. To explain the dynamics, the writer uses self and mind concept from Mead. This study uses qualitative methodology by interviewing three informants. The criteria of the informants are that they have been married at least ten years, they want to have children but they have not had and they are not adopting children when this study is conducting. The finding shows that the absent of children in a marriage causes the dynamic on relation of a wife to her husband and even a wife to her extended family. The dynamic does not always bring negative impact such as: a quarrel or a conflict, but it can also cause positive impact, such as a mutual supporting interaction. Keywords: Dynamic, Infertility, Children, Wife, Extended family
Dinamika hubungan..., Fira Yunita Kusuma Wardani, FISIP UI, 2014
PENDAHULUAN Anak mempunyai nilai yang sangat penting bagi kehidupan sesorang ataupun sebuah keluarga (Astiti, 1999). Bahkan ada anggapan bahwa perkawinan dianggap tidak lengkap tanpa kehadiran anak (Goode, 1995). Anak dilihat sebagai faktor yang menguntungkan orang tua dari segi psikologis, ekonomis dan sosial (Horowitz, Suparlan, Zinn dan Eitzen, seperti yang dikutip oleh Suleeman 1999). Pertama, anak dianggap dapat lebih mengikat tali perkawinan. Kedua, anak dianggap sebagai penerus keturunan atau pengganti dari generasi orang tua (Skolnick, 1983). Ketiga, adanya anak memberikan makna dan tujuan hidup bagi orangtua. Keempat, anak dianggap dapat membantu perekonomian keluarga. (White, 1982). Keuntungan lainnya adalah anak dianggap dapat meningkatkan status seseorang (Hoffman dalam Henz, 2008). Melihat banyaknya keuntungan yang dipaparkan di atas sangat wajar jika banyak pasangan suami istri ingin memperoleh anak dalam kehidupan perkawinan mereka. Di Indonesia, keinginan pasangan menikah untuk mempunyai anak cukup tinggi. Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa perempuan menikah usia 15-49 tahun dan belum mempunyai anak selama perkawinannya, yang menyatakan ingin mempunyai anak ada sebesar 83,9% (SDKI, 2012). Data tersebut juga menunjukkan bahwa keinginan perempuan yang telah mempunyai satu anak untuk menambah keturunan pun masih cukup tinggi yakni sebesar 53%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa perempuan berstatus menikah usia 15-49 tahun menginginkan adanya anak dalam perkawinan (SDKI, 2012). Walaupun survey ini hanya menanyakan kepada perempuan atau istri, setidaknya data tersebut menggambarkan bahwa kehadiran anak menjadi keinginan bagi pasangan menikah di Indonesia. Persoalannya adalah tidak semua pasangan menikah mempunyai kesempatan untuk memiliki anak. Memang banyak pasangan yang mendapatkan keturunan dengan mudah saat usia perkawinan masih sangat baru, akan tetapi banyak pula pasangan yang tidak seberuntung itu. Banyak pasangan suami istri yang berharap langsung mempunyai keturunan tetapi belum memperolehnya, bahkan setelah perkawinan berlangsung bertahun-tahun. Ketidakmampuan pasangan untuk mendapatkan anak atau bereproduksi dikenal dengan istilah infertilitas1 (www.who.int). Masalah infertilitas ini bukan hanya menjadi persoalan medis semata. Seperti yang dikemukakan Onat dan Beji (2011) bahwa infertilitas juga mempunyai efek negatif secara sosial, sebab mereka yang menghadapi masalah infertilitas kerap mendapatkan stigma sosial dari masyarakat. Pasangan menikah yang tidak memiliki anak mendapat stigma “mandul” oleh masyarakat. Selain itu, mereka yang mengalami infertilitas kerap menarik diri dari interaksi sosial. Hal ini terjadi karena nilai anak oleh sebagian masyarakat dianggap penting. Bahkan dalam studinya Onat dan Beji (2011) menyatakan bahwa salah satu fungsi dasar dari perkawinan adalah mempertahankan generasi. Oleh sebab itu, mungkin saja ada perasaan “minder” bagi mereka yang menghadapi infertilitas. Mereka merasa berbeda dengan keluarga pada umumnya yang mempunyai anak-anak setelah perkawinan. Studi sebelumnya menyatakan bahwa terdapat perbedaan respon antara laki-laki dan perempuan dalam menghadapi kondisi infertilitas. Perempuan yang tidak memiliki anak mengalami tekanan psikososial lebih tinggi bila dibandingkan dengan pria (Lee, Sum, & Chao, 2008). Hal ini diperkuat oleh Pary (2005) yang menyatakan bahwa banyak perempuan berjuang untuk melawan infertilitas. Ini dikarenakan adanya anggapan bahwa menjadi ibu biologis adalah cara untuk dapat dihargai sebagai seorang perempuan. Oleh sebab itu banyak perempuan melakukan berbagai cara baik di bidang medis maupun non medis untuk membantu mengatasi masalah infertilitas yang mereka alami. Sayangnya selama ini penelitian yang ada lebih fokus pada aspek medis, yakni seberapa efektif keberhasilan mereka yang mengikuti pengobatan infertilitas (Ried, 2011; Simonsen, 2012) atapun aspek 1 Kondisi infertilitas atau ketidaksuburan sehingga sulit untuk mempunyai anak menurut WHO punya berbagai macam definisi. Diantaranya adalah 1) ketika pasangan tersebut tidak mempunyai anak setelah melakukan hubungan seksual secara teratur dalam waktu 12 hingga 18 bulan tanpa menggunakan alat kontrasepsi. 2) Keadaan perempuan yang tidak dapat hamil, ataupun tidak dapat membawa kehamilannya hingga proses melahirkan. Namun ada juga kasus di mana pasangan suami istri dinyatakan dokter tidak mempunyai masalah pada reproduksinya, tetapi tidak juga mendapatkan anak. Kondisi tersebut dalam medis disebut unexplain infertility.
Dinamika hubungan..., Fira Yunita Kusuma Wardani, FISIP UI, 2014
psikologis, yakni bagaimana tingkat stress pada mereka yang mengalami infertilitas (Sugiarto, 2000; Saptowarini, 2003; Naab et.al. 2013). Masih belum banyak studi infertilitas yang dibahas secara sosiologis. Oleh karenanya tujuan dari penelitian ini adalah ingin menjelaskan bagaimana dinamika yang terjadi antara istri dengan suami dan keluarga luasnya dalam menghadapi infertilitas, yang dilihat dari sudut pandang istri. Infertilitas dianggap dapat menimbulkan masalah dalam hubungan perkawinan, seperti perbedaan pendapat, pertengkaran, hingga perceraian. Anak dianggap sebagai sumber kebahagiaan sehingga ketidakhadiran anak setelah perkawinan bertahun-tahun memberi tekanan tersendiri bagi pasangan suami istri yang mengalaminya. Tekanan ini bisa berasal dari keluarga luas, tetangga, kerabat, rekan kerja dan lain sebagainya. Oleh karenanya penelitian ini penting untuk dilakukan untuk memberikan gambaran bagi pasangan suami istri yang menghadapi infertilitas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan teknik wawancara mendalam. Dalam menentukan informan, penelitian ini menggunakan teknik purposive dimana peneliti telah menetapkan kriteria informan yang akan diteliti. Kriterianya adalah mereka yang telah menjalani minimal sepuluh tahun masa perkawinan dan menghadapi infertilitas. Berikut adalah gambaran singkat informan yang diteliti: Tabel Karakteristik Informan
Karakteristik Status
Keluarga 1 (X) Istri
Keluarga 2 (Y) Istri
Keluarga 3 (Z) Istri
Kasus Infertilitas dialami Usia Perkawinan
Istri 18 Tahun
Istri 21 Tahun
Istri dan Suami 27 Tahun
Sumber: Olahan Peneliti
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa yang menjadi informan adalah istri. Hal ini terkait dengan keterbatasan dari penelitian ini. Rencana awalnya peneliti memang ingin mewawancarai kedua pihak, yakni istri dan suami. Namun, salah satu informan menyatakan keberatan sehingga peneliti mengubah strategi hanya menggali informasi hanya dari pihak istri. TINJAUAN TEORITIS Pada bagian ini akan dipaparkan hasil tinjauan pustaka yang telah peneliti lakukan terkait dengan topik penelitian. Bagian ini disajikan pemetaan substansi dari studi-studi sebelumnya yang dibagi dalam dua subbab, yaitu mengenai nilai anak dalam perkawinan dan masalah yang dialami pasangan suami istri yang menghadapi infertilitas. Kemudian akan dijelaskan konsep self and mind milik Mead dan kaitannya dengan penelitain yang dilakukan. NILAI ANAK DALAM PERKAWINAN Kajian literatur di bawah ini akan membahas mengenai nilai anak di dalam perkawinan. Studi yang dilakukan Diana C. Parry di Amerika Serikat (2005) menunjukkan bahwa kehadiran anak dianggap penting di dalam perkawinan terutama bagi perempuan. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mewawancarai 32 informan. Kriteria informannya adalah perempuan yang mempunyai pengalaman infertilitas. Mereka yang diwawancari berusia 30-53 tahun. Namun penelitian ini tidak menyebutkan lamanya perkawinan dari masing masing pasangan. Penelitian ini hanya menyebutkan bahwa mereka berusaha untuk hamil mulai dari bulan-bulan awal perkawinan hingga tujuh belas tahun masa perkawinan. Hasil studi ini adalah kehadiran anak dianggap penting bagi perempuan yang telah menikah, karena anak dianggap tidak sekedar mewarisi gen tetapi merupakan simbol perpaduan antara istri dan suami. Tidak hanya itu nilai anak menjadi penting karena berhubungan dengan keinginan perempuan untuk memiliki pengalaman hamil dan melahirkan.
Dinamika hubungan..., Fira Yunita Kusuma Wardani, FISIP UI, 2014
Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian Ormell (1999) di Turki yang menyatakan bahwa status orang tua meningkat ketika lahir seorang anak. Terlebih pada sistem patrilineal ketika kelahiran anak, terutama lakilaki dianggap dapat menaikkan reputasi keluarga. Pada sistem ini melanjutkan garis keturunan dianggap menjadi hal yang penting. Ormel (1999) juga membahas bahwa anak menyediakan afeksi bagi orang tua. Afeksi ini termasuk cinta, persahabatan, dan dukungan emosional. Caldwell (1982) bahkan menyatakan bahwa mempunyai anak adalah bentuk kenikmatan yang unik yang tidak bisa digantikan dengan apapun. Bahkan lebih jauh ia menambahkan bahwa nilai anak yang demikian akan terus stabil sepanjang waktu. Pendapat berbeda datang dari Zelizer (1981). Menurutnya memiliki anak di masa mendatang adalah sesuatu yang mahal. Selain itu memiliki anak dianggap dapat penuh dengan risiko dan menambah permasalahan baru dalam kehidupan suami istri (Johns dan Belsky, 2008). Hal ini didukung pula oleh Klaus (2010) yang menyatakan bahwa pentingnya kehadiran anak dalam perkawinan tidak sedominan dulu. Anak di masa dulu dianggap dapat menaikkan reputasi keluarga karena berhubungan dengan patrilineal setting di Turkey yang pada masa itu masih sangat dominan. Saat ini menurutnya telah terjadi perubahan dalam memandang perkawinan, terutama pada penduduk kelas menengah atas di perkotaan. Prioritas hubungan suami istri dianggap lebih penting dibandingkan kehadiran anak dalam sebuah perkawinan. Secara umum studi-studi sebelumnya sudah sangat baik memaparkan nilai anak dalam sebuah keluarga. Para peneliti sebelumnya membahas kehadiran anak dari sisi yang menguntungkan atau merugikan bagi orang tua, sehingga terlihat perbedaan bagaimana nilai anak di dalam perkawinan. Penelitian yang dilakukan Klaus (2010) bahkan berhasil memotret perubahan nilai anak dalam perkawinan di masa lalu dan masa sekarang. Namun penelitian-penelitian sebelumnya tidak terlepas dari kekurangan. Nilai anak bagi pasangan terkait dengan alasan pasangan ingin mempunyai anak. Misalnya seperti yang disampaikan Ormell (1999) alasan pasangan menikah ingin mempunyai anak karena ingin mendapatkan cinta, persahabatan dan juga dukungan emosional dari seorang anak. Alasan tersebut berkaitan bahwa anak menyediakan nilai afeksi bagi pasangan yang telah menikah. Penelitian sebelumnya hanya fokus pada nilai anak di mata pasangan suami istri, sedangkan penulis akan coba menggali nilai anak yang berhubungan dengan alasan informan untuk mempunyai anak melalui pemikiran Mead tentang konsep I dan me. Peneliti akan mencoba memetakan alasan informan untuk mempunyai anak ke dalam dua bagian, yakni karena keinginan yang muncul dari diri informan sendiri (faktor internal), keinginan untuk memenuhi harapan orang lain, ataupun disebabkan oleh tuntutan dari orang lain yang begitu besar (faktor eksternal). MASALAH YANG DIALAMI PASANGAN SUAMI ISTRI DALAM MENGHADAPI INFERTILITAS Di bawah ini akan membahas masalah yang dialami pasangan suami istri yang menghadapi infertilitas. Studi yang dilakukan Guliz Onat dan Neizhe Kizilkaya Beji di Turki (2011) membahas masalah-masalah yang dihadapi pasangan suami istri yang mengalami infertilitas. Masalah tersebut masuk ke dalam tujuh aspek kehidupan. Pertama, aspek psikis yakni munculnya perasaan ketidakbahagiaan. Kedua, aspek fisik yakni mengalami insomnia dan kenaikan atau penurunan nafsu makan. Ketiga, aspek sosial yang ditandai dengan adanya stigma dan kecenderungan menarik diri bagi individu yang mengalami infertilitas. Keempat, aspek kehidupan seksual, yakni adanya perasaan tertekan dan depresi karena jadwal hubungan seksual menjadi harus diatur oleh tim medis. Hal lain yang dianggap sebagai masalah dalam kehidupan seksual oleh pasangan suami istri yang menghadapi infertilitas adalah hubungan seksual dilakukan hanya untuk tujuan reproduksi. Jadi, mereka merasa hubungan seksual sekedar kewajiban semata. Kelima, aspek hubungan dengan keluarga luas yakni berupa pengucilan. Keenam, kehidupan pekerjaan yakni produktivitas mereka yang menurun karena harus mengambil cuti untuk mengobati infertilitas tersebut. Mereka juga tidak nyaman karena harus memberitahukan kondisi infertilitasnya kepada rekan kerja di kantor. Ketujuh, aspek keuangan yakni suami istri yang mengalami infertilitas mengaku biaya yang dihabiskan untuk melakukan pengobatan infertilitas menyebabkan mereka mempunyai masalah keuangan. Tidak jauh berbeda dengan studi sebelumnya, Peng Tao dkk (2012) menganggap bahwa infertilitas memiliki efek negatif dalam hubungan perkawinan. Infertilitas menyebabkan konflik serta mempunyai
Dinamika hubungan..., Fira Yunita Kusuma Wardani, FISIP UI, 2014
implikasi bagi mental dan kesejahteraan sosial bagi yang mengalaminya. Infertilitas dianggap dapat mempengaruhi kualitas hubungan suami istri, kepuasan perkawinan dan memberikan tekanan dalam perkawinan. Studi ini membahas bahwa istri yang mengalami infertilitas akan merasa lebih tidak puas dengan perkawinannya dibandingkan suami yang mengalami infertilitas, sedangkan pada pasangan suami istri yang keduanya mengalami infertilitas diketahui bahwa istri mendapatkan tekanan lebih tinggi dibandingkan suami dalam kehidupan perkawinannya. Kelebihan dari studi-studi di atas adalah keduanya berhasil memetakan masalah yang dihadapi oleh suami istri yang mengalami infertilitas Melalui pemetaan masalah infertilitas ke dalam tujuh aspek kehidupan yang dilakukan Onat dan Beji (2011) dapat memudahkan peneliti selanjutnya untuk mengetahui masalah-masalah apa yang dihadapi mereka yang mengalami infertilitas. Begitu pun studi yang dilakukan Peng Tao dkk (2012), melalui pengklasifikasian yang dilakukan memudahkan peneliti selanjutnya untuk melihat pihak mana yang lebih mendapatkan tekanan ketika dihadapkan dengan infertilitas. Dalam studi Onat dan Beji (2011) kurang menjelaskan pihak mana yang mengalami akibat negatif dari infertilitas. Ke tujuh aspek yang dipaparkan tersebut tidak spesifik membahas efek negatifnya dialami oleh suami, istri ataupun kedua belah pihak yang memang mengalami infertilitas. Dalam studi ke dua Peng Tao dkk (2012) sebenarnya sudah membahas mengenai hubungan suami istri dalam menghadapi infertlitas, namun Peng Tao dkk hanya fokus dan cenderung membahas relasi konflik yang terjadi ketika suami istri dihadapkan dengan kondisi infertilitas. Penelitian sebelumnya juga mengabaikan aspek waktu dalam menjelaskan relasi konflik yang terjadi pada pasangan suami istri yang mengalami infertilitas. Selain itu studi Peng Tao juga mengabaikan aspek hubungan keluarga luas yang biasanya turut mempengaruhi hubungan keluarga inti. Perbedaan dengan studi yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut. Studi-studi sebelumnya lebih menekankan kepada aspek psikologis yakni fokus pada masalah individu ketika dihadapkan dengan kondisi infertilitas. Sedangkan peneliti tidak berhenti pada perasaan ataupun pengalaman individu, tapi akan berusaha menggali bagaimana dinamika yang terjadi antara istri dan suami ketika dihadapkan dengan infertilitas dan juga dinamika yang terjadi antara keluarga luas dari pasangan suami istri tersebut. SELF AND MIND Dalam teori interaksionise simbolik dikenal bahwa self adalah representasi dari tindakan seseorang sebagai dua lakon sekaligus yakni I dan me (p.94-95). Konsep I mengacu pada tindakan seorang aktor sekaligus peran yang dijalankan sesuai dengan keinginannya. Konsep I digambarkan bahwa individu adalah sebagai subjek. Artinya dalam hal ini individu adalah makhluk bebas yang punya keinginan tanpa dipengaruhi hal-hal yang berasal dari luar dirinya. Berbeda dengan konsep me, yang justru memperlihatkan individu sebagai aktor yang tidak bebas. Dalam hal ini individu justru menjadi objek. Individu akan bertindak dan berperan sesuai dengan harapan ataupun tuntutan orang-orang terhadap dirinya. Perilaku sesorang menjalankan lakon I dan me berkembang karena individu mempunyai mind. Konsep ini digunakan untuk melihat, mempunyai anak bagi istri merupakan keinginan yang berasal dari dirinya pribadi, keinginan yang berasal dari luar dirinya, atau keduanya merupakan hal yang tak terpisahkan karena dapat saling mempengaruhi satu sama lain. DINAMIKA HUBUNGAN ISTRI DAN SUAMI MENYIKAPI TIDAK ADANYA ANAK DALAM PERKAWINAN Sub-bab mengenai dinamika hubungan suami dan istri menyikapi tidak adanya anak dalam perkawinan dibagi menjadi dua. Bagian pertama akan membahas bagaimana suami istri menyikapi persoalan tidak adanya anak dalam perkawinan. Kedua, membahas keputusan suami istri tentang adopsi anak. MENYIKAPI TIDAK ADANYA ANAK DALAM PERKAWINAN Informan X menceritakan bahwa masalah infertilitas yang menyebabkan tidak adanya anak, tidak terlalu membawa masalah dalam hubungan perkawinannya bersama suami. Selama ini ia merasa tidak pernah dituntut oleh suami perihal tidak adanya anak dalam perkawinan mereka. Menurut X, ia adalah pihak yang
Dinamika hubungan..., Fira Yunita Kusuma Wardani, FISIP UI, 2014
lebih menginginkan anak dibandingkan dengan suaminya. Pengobatan alternatif yang selama dijalani lebih sering dilakukan oleh X karena perempuan. Suaminya hanya beberapa kali mengantar X melakukan pengobatan. X mengaku jarang membahas masalah anak dengan suaminya. Ia sering kali mencoba memulai topik pembicaraan soal anak dengan suaminya, akan tetapi tanggapan suaminya selalu sama. Menurut X suaminya kurang suka jika topik pembicaraan mulai mengarah pada persoalan anak. Suaminya terkesan selalu ingin mengakhiri pembicaraan. Tiap kali membahas soal anak, suami X selalu meminta X untuk membaca salah satu surat di Al-Qur’an. Kalau sudah begitu biasanya X mengikuti kemauan suami untuk tidak lagi membahas soal anak. Tindakan suami tersebut dapat disebut sebagai upaya untuk menghindari konflik. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa upaya menghindarai konflik dilakukan untuk tetap dapat mempertahankan ikatan perkawinan. Sebenarnya X mengaku ingin berdiskusi dengan suaminya terkait masalah anak. Namun, tindakan suami yang selalu menghindari diskusi soal anak membuat mereka jarang membicarakan persoalan anak. Pernah suatu kali ada pembahasan X dengan adik iparnya tentang kematian. Dalam pembahasan tersebut muncul pertanyaan tentang siapa yang akan mendoakan informan X dan suami, jika mereka berdua tidak mempunyai anak. Maka X menceritakan hal tersebut kepada suaminya. Respon suaminya tetap sama. Suaminya meminta X membaca salah satu surat Al-Qur’an tersebut. Suaminya juga mengatakan bahwa X tidak perlu memikirkan komentar orang tentang dirinya. Menurut X, suaminya tidak pernah membuatnya sakit hati karena masalah anak. Suami X selalu meyakinkan X bahwa mereka adalah salah satu pasangan yang dipilih Tuhan untuk menjalani kehidupan perkawinan tanpa kehadiran anak. Y juga mengaku tidak pernah dituntut oleh suami karena ketidakhadiran anak dalam perkawinan mereka. Menurut Y, tidak adanya anak bukan menjadi masalah bagi suaminya. Ia mengatakan, “Gak ngaruhnya tuh soalnya suamiku ga pernah ngeributin gak ada anak gitu.” Y menggangap, ia menjadi pihak yang lebih menginginkan adanya anak dibandingkan dengan suaminya. Di mata Y keinginan suami untuk memiliki anak tidak sebesar yang ia rasakan. Menurut Y suaminya juga suka dengan anak kecil, namun hal itu tidak diperlihatkan oleh suaminya. Tidak adanya anak dalam perkawinan kadang membuat Y jenuh dan merasa kesepian. Hal ini juga disadari oleh suami Y, sehingga justru suaminya yang mengusulkan agar keponakan-keponakan Y diminta untuk menginap di rumah mereka. Sementara suami informan X jarang mengikuti atau bahkan jarang mengantar istrinya pengobatan, justru suami Y yang biasanya yang memberi tahu tempat untuk melakukan pengobatan. Saat Y kecewa dengan keguguran yang dialami, suaminya selalu mendukung dan memberikan semangat kepadanya. Y berpendapat bahwa ia dan suaminya tidak terlalu terganggu perihal tidak adanya anak dalam perkawinan karena mereka berdua punya kesibukan pekerjaan yang cukup menyita waktu. Kadang keterbatasan waktu karena suami Y lebih sibuk dibandingkan Y yang menjadi pemicu konflik diantara mereka. Untuk menghindari konflik dengan suaminya Y lebih membebaskan waktu jam pulang malam kepada suaminya. Menurut Y itu sebagai bentuk konpensasi kepada suaminya. Menurut Klaus (2010), telah terjadi perubahan pada kelas menengah perkotaan di Turki, dimana dulu adanya anak menjadi faktor penting dalam hubungan perkawinan, namun kini mulai bergeser. Saat ini prioritas hubungan suami istri dianggap lebih penting dibandingkan kehadiran anak dalam sebuah perkawinan. Hal yang dinyatakan Klaus tersebut sesuai dengan yang dialami oleh Y. Informan Y mengatakan, walaupun hanya hidup berdua dengan suaminya ia sudah merasa bahagia. Anak menjadi sekedar pelengkap kebahagiaan yang sudah ia rasakan bersama suaminya. Kasus ini sedikit berbeda dengan yang dialami oleh informan X. Walaupun mereka berdua merasa tidak adanya anak tidak terlalu membawa masalah dalam rumah tangganya, akan tetapi faktor yang melatarbelakanginya berbeda. Pada informan X, prioritas hubungan dengan suami bukan menjadi faktor utama seperti yang dikemukakan Klaus (2010), namun adanya nilai-nilai agama yang menjadi pegangan sekaligus perekat hubungannya dengan suami. Kepercayaan suami terhadap ajaran agama yang dianutnya, yakni keyakinan bahwa apa yang mereka alami merupakan hal yang sudah diatur Tuhan. Kemudian kepercayaan terhadap hal tersebut selalu suami X coba yakinkan kepada istrinya, membuat hubungan perkawinan mereka sampai saat ini tetap dalam kondisi rukun, walaupun tetap ada perbedaan pandangan
Dinamika hubungan..., Fira Yunita Kusuma Wardani, FISIP UI, 2014
mengenai soal anak diantara X dan suaminya. Nilai-nilai agama yang dominan menjadi faktor pengikat antara hubungan X dengan suaminya. Z punya cerita yang berbeda, jika dua informan sebelumnya ketidakhadiran anak tidak terlalu membawa masalah dalam hubungan perkawinan mereka, maka hal tersebut tidak terjadi pada kehidupan informan bersama suaminya. Menurut Z salah satu sebab yang membuat adanya masalah dalam perkawinannya adalah karena tidak adanya anak perkawinan mereka, seperti yang dikatakan Z berikut,“Jadi gak ada ya, rumah tangga yang gak punya anak yang mulus, yang gak ada apa-apa. Saya rasa gak ada. Saya tetap bertahan karena saya gak kerja, karena saya merasa gak kerja jadinya bertahan gitu. Hal yang dialami oleh Z dengan suaminya senada dengan yang dikatakan Peng Tao (2008), yakni bahwa tidak adanya anak dalam perkawinan memiliki efek negatif dalam hubungan suami istri. Lebih jauh Peng Tao menyebutkan bahwa efek negatif yang ditimbulkan dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan, seperti yang diungkapkan Z berikut, “Udah gak bahagia gak punya anak, gak bahagia sama suami. (menangis) sakitnya itu. Jadi gak bahagia. Gak punya anak gak bahagia lah. Bahagia bagaimana orang suami begitu terus kan. Jadi yang ada kita dapat sakitnya aja.” Masalah mulai muncul di tahun ke-enam perkawinan mereka. Sebelumnya di tahun ke-lima mereka memeriksakan diri ke dokter dan dinyatakan bahwa mereka berdua mempunyai masalah reproduksi. Z mencurigai bahwa suaminya punya hubungan dengan perempuan lain, namun suaminya tidak pernah mengakui perbuatan yang dituduhkan Z kepadanya. Z awalnya mencoba percaya dengan yang dikatakan suaminya, akan tetapi banyak bukti yang membuatnya kehilangan kepercayaan terhadap suaminya. Suaminya yang kerap pulang malam, keuangan keluarga yang sempat hancur, terror yang didapakan Z dan bukti-bukti lainnya membuat Z semakin kehilangan kepercayaan terhadap suaminya. Konflik antara Z dan suaminya berlangsung cukup lama. Ia merasa hubungan dengan saminya baru membaik sekitar tiga tahun terakhir. Sebelumnya ia dan suami selalu berkonflik dan kemudian kembali berbaikan. Konflik ini bahkan sempat membuat Z ingin mengajukan gugatan cerai, namun niat tersebut akhirnya dibatalkan oleh Z. Menurutnya hal ini terjadi karena suaminya sangat ingin mempunyai anak. “Iya, bapak suka itu, suka cari lain (perempuan). Suka cari lagi, berapa kali itu. Padahal ibu juga bingung mba, karena kan dia tau dia juga ada kekurangan gitu, mungkin untuk pelampiasan atau gimana, tapi kan dia tau dia gak bisa (punya anak) juga punya kekurangan, walaupun sama orang dia juga gak bisa dong. Ya gini aja secara logika ya, kalau dia bagus. Gak ada apa-apa, dia udah sama orang udah pasti punya (anak) dong. Iya kan, dia punya anak gitu, lah ini enggak. Enggak. Itu nggak ada, tapi dia suka begitu. Suka main belakang.” (Wawancara dengan Z, 15 Maret 2014) KEPUTUSAN TENTANG ADOPSI ANAK Dinamika antara X dan suami juga terkait pada keputusan tentang mengadopsi anak. X sebenarnya ingin sekali mengadopsi anak, namun ia dan suami punya perbedaan pandangan mengenai hal ini. Suaminya tidak mau mengadopsi anak, kalaupun harus mengadopsi anak, suami X hanya mau mengadopsi anak yang memang sudah tidak punya orangtua. Tindakan suami X untuk tidak mengadopsi anak, ataupun hanya mau mengadopsi anak yang memang sudah tidak punya orangtua disebabkan adanya konteks dan situasi yang suami X alami. Suami X punya pengalaman bahwa ada seorang temannya yang mengadopsi anak yang masih ada orangtuanya. Setelah anak tersebut dewasa justru si anak kembali lagi pada orangtua kandungnya. Situasi tersebut yang membuat suami X memaknai bahwa jika ia mengadopsi anak yang masih punya orangtua, maka ia akan mengalami kejadian yang sama seperti temannya. Dari pengalaman tersebut, suami X mengambil tindakan dengan tidak melakukan adopsi anak, kecuali anak yang memang tidak ada orangtuanya. X bercerita, pernah satu waktu di daerah sekitar tempat tinggalnya ada anak hasil hubungan di luar perkawinan yang memang hendak tidak mau diurus oleh orangtuanya. X saat itu sangat senang dan berniat untuk mengadopsi anak tersebut. Ia pun sempat mengajak suaminya untuk melihat wujud rupa si anak, namun ternyata suaminya tidak mau mengadopsi karena anak tersebut lahir dari hubungan di luar perkawinan. X sempat kecewa dengan keputusan suaminya, tetapi ia juga tidak berani untuk memaksakan untuk mengadopsi anak tersebut jika tidak didukung suaminya, bahkan keluarga dari suaminya juga ikut menolak.
Dinamika hubungan..., Fira Yunita Kusuma Wardani, FISIP UI, 2014
X mengaku jarang membahas masalah adopsi anak dengan suaminya. Ia sudah tahu apa yang menjadi kemauan suaminya, sehingga ia memilih untuk mengikuti kemauan sang suami. Ia memilih mengalah untuk menghindari terjadinya konflik terbuka dengan suaminya. Selain mengambil sikap mengalah, salah satu cara menghindari konflik tersebut adalah dengan tidak membahas masalah tersebut dengan suaminya. Tidak ada tanda-tanda kehamilan membuat Z mempunyai keinginan untuk mengadopsi anak. Keinginan tersebut ia sampaikan kepada suaminya sejak tahun 2004, akan tetapi suaminya tidak pernah serius menanggapi keinginan istrinya tersebut. Menurutnya saat itu suaminya tidak terlalu perduli dan belum terpikir untuk mengadopsi anak. Z pun tidak bisa memaksakan kehendak kepada suaminya karena yang mengusai sumber daya ekonomi adalah suaminya. Baru-baru ini menurut Z suaminya mulai setuju untuk mengadopsi anak, tetapi hal hanya sebatas rencana yang tidak tahu akan terwujud atau tidak. Jika kedua informan sebelumnya punya rencana untuk mengadopsi anak, Y bersama suaminya punya rencana berbeda. Ia dan suami sudah menyiapkan tabungan dan mendaftarkan diri mereka ke panti jompo. Informan Y dan suaminya sepakat untuk tidak mengadopsi anak. Alasan informan Y tidak melakukan adopsi adalah karena hanya ingin merawat anak yang berasal dari rahimnya sendiri. Menurut Y sulit mengetahui bibit dan bobot anak yang nantinya akan diadopsi. Oleh karenanya ia lebih memilih merawat keponakannya dibandingkan mengadopsi anak. Hal ini menandakan bahwa asal-usul menjadi pertimbangan utama bagi Y. DINAMIKA HUBUNGAN ISTRI DAN KELUARGA LUAS MENYIKAPI TIDAK ADANYA ANAK Ada dinamika yang menarik dari hubungan antara informan X dengan keluarga suaminya. Y mendapatkan tekanan sekaligus dukungan dari keluarga suaminya. X mengakui bahwa saudara-saudara iparnya kerap mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar anak. X juga pernah mendengar langsung komentar saudara-saudara iparnya tentang postur tubuh X yang dianggap terlalu gemuk. Kegemukan dianggap saudarasaudara iparnya menjadi penyebab X tidak mempunyai anak. Mendengar komentar seperti itu X mengaku menerimanya, seperti yang diutarakan X berikut ini, “Saya pikir biarin aja dah saya yang salah saya gak bisa punya anak. Saya aja dah ibaratnya yang salah, gak usah suami saya.” X mengakui bahwa awalnya, terutama pada sepuluh tahun masa perkawinannya, ia merasa terganggu dengan pertanyaan atau komentar saudara-saudara dari pihak suaminya. Namun, untuk saat ini ia sudah merasa santai dan tidak terbebani. Banyak pertanyaan yang diajukan adik ipar X karena persoalan tidak adanya anak, X pernah ditanyakan bagaimana nanti jika X dan suaminya meninggal? Siapa yang akan mendoakan? Bahkan sampai pada pertanyaan, kemana harta akan diwarisakan karena kondisi X dan suami yang tidak mempunyai anak. Menanggapi pertanyaan-pertanyaan semacam itu, saat ini X merasa lebih siap. Kadang ia justru heran dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan karena ia sendiri belum terpikir sampai tahap itu. Saat ini ia memilih tidak memusingkan hal-hal semacam itu. Menariknya hubungan antara X dan saudara iparnya sangat dinamis. X tidak hanya mendapatan tekanan, tetapi juga dukungan dari saudara-saudara iparnya. Ketika mendapatkan kehamilan kedua di tahun 2011, seluruh saudara-saudara ipar X ikut larut dalam kebahagian. Mereka semua menangis karena terharu dengan kehamilan yang dialami X. Saat informan X ternyata mengalami keguguran dan menjalani operasi kuret, adik ipar X yang juga turut memberikan dukungan finansial. Selain itu adik ipar X mendorongnya untuk melakukan pengobatan, bahkan tidak sekedar memberi dorongan tapi juga turut membiayai pengobatan. Hubungan antara X dan keluarga suaminya juga dapat dilihat pada keputusan tentang mengadopsi anak. Mertua X pernah mengusulkan agar X mengadopsi anak, tetapi X tidak berani mengikuti keputusan mertuanya tersebut. Meskipun informan X ingin mengadopsi anak, tetapi ia tidak mengambil keputusan tersebut. Bahkan X meminta mertuanya untuk meminta izin langsung kepada suaminya, tetapi mertua X juga tidak berani untuk mengkomunikasikan hal adopsi tersebut. X pun enggan mengkomunikasikan masalah adopsi kepada suaminya untuk menghindari terjadinya konflik. Dinamika antara informan X dengan keluarga suami juga terlihat saat X berncana untuk mengadopsi anak yang berasal dari hubungan di luar nikah. Pada saat itu bukan hanya suaminya saja yang menolak, tetapi juga keluarga suami tidak menyetujui rencana X. Padahal saat itu X sangat menginginkan untuk mengangkat anak tersebut, namun ia tidak berani karena tidak didukung oleh keluarga suami. Ia takut jika memaksakan kehendaknya, anak yang nanti ia adopsi tidak disayang dan tidak mendapat pengakuan oleh keluarga
Dinamika hubungan..., Fira Yunita Kusuma Wardani, FISIP UI, 2014
suaminya. Ia pun tidak mau disalahkan jika dikemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka X memutuskan untuk mengalah dan mengikuti kemauan keluarga suaminya. “Keluarga suami saya gak mendukung semua takutnya karena kan asal usulnya hasil hubungan gitu, terus. Ya saya bilang kalau diikutin gitu mah repot juga. Ya udah kalau gitu nungguin aja deh. Ada kakak ipar saya bilang gitu, ya udah lo ini aja gak usah. Lah saya mah gak napa mau aja ngangkat anak, tapi kalau om-omnya gak dukung kasihan anaknya, kalau misalnya neneknya gak mendukung, kasihan anaknya dong. Ntar saya ngangkat sendiri nih, tiba-tiba ada masalah. Entar karena saya yang ngangkat urusin aja sendiri. Saya kan takut gitu. Lah kasihan anaknya dong saya ngangkat dia, sementara gak diakuin, kan kasihan. Saya kan bukan masalah apa. Pertimbangannnya keluarga juga. Kita gak bisa memutuskan sendiri. Kalau kita mutuskan sendiri gak bisa karena kan kita hidup di lingkungan saudara semua. Entar kasihan anaknya. Entar gak dapat kasih sayang atau dibedain, kan kita gak tahu.” (Wawancara dengan X, 2 Maret 2014) Ada perbedaan dinamika hubungan antara X dengan keluarga suaminya dibandingkan dengan X dengan keluarganya. Jika dengan keluarga suaminya ia kadang mempunyai perbedaan pandangan, kadang mendapatkan tekanan, tapi juga tidak jarang mendapat dukungan. Sementara X dengan keluarganya selalu didukung. Ia merasa tidak pernah mendapatkan tekanan dari orangtua maupun kakak dan adiknya. Orangtua X selalu mengingatkan X untuk sabar dalam menghadapi kenyataan tidak dikaruniai anak dalam perkawinan X dan suaminya. Saat X mau mengadopsi anak hasil hubungan di luar pernikahan kedua orangtua X setuju. Mereka tidak mempermasalahkan asal-usul seperti yang dilakukan keluarga suaminya. Y punya cerita berbeda. Y mengaku tidak pernah mendapat tekanan dari keluarganya sendiri maupun dari keluarga suaminya. Ia merasa tidak dituntut oleh keluarga maupun mertuanya terkait tidak adanya anak dalam perkawinannya. Keluarganya selalu mengingatkan Y untuk bersabar kepada Tuhan. Begitu pun dengan mertuanya. Mertua Y justru jadi orang yang sangat antusias saat Y hamil, dan tetap memberian dukungan saat Y harus mengalami keguguran. Y mengaku hubungan dengan mertuanya sangat dekat, terutama dengan mertua perempuannya. Hal ini dikarenakan ia dan suami tinggal selama kurang lebih dua belas tahun di rumah mertuanya. Banyak aktivitas yang mereka kerjakan bersama-sama. Walaupun akrab dan kompak dengan mertua bukan berarti tidak ada perbedaan pendapat antara Y dan mertuanya. Sama dengan yang dialami oleh X, mertua Y juga mengusulkan agar Y mengadopsi anak, namun perbedaannya adalah Y memang tidak setuju dengan pendapat mertuanya. Ia memilih keputusan untuk tidak mengadopsi anak karena hanya ingin merawat anak kandungnya sendiri. Menurut Y ia tidak perlu mengambil langkah adopsi karena sudah mempunyai banyak keponakan, sehingga jika ingin punya pengalaman merawat, ia bisa mendapatkan pengalaman tersebut dengan merawat keponakannya sendiri. Perbedaan pendapat tentang keputusan adopsi antara Y dan mertua tidak sampai menimbulkan konflik. Mertua Y tidak memaksakan kehendaknya kepada Y. Menurut Y mertuanya memang tidak pernah menuntut kepada menantu-menantunya terkait soal anak. Padahal Y menceritakan bahwa etnis Tionghoa yang merupakan etnis asal suaminya mempunyai nilai, yakni melahirkan anak laki-laki akan lebih diharapkan dibandingkan melahirkan dengan anak perempuan. Ini dikarenakan hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan nama keluarga dari etnis Tionghoa. Oleh sebab itu Y sangat berharap dapat memberikan cucu laki-laki kepada mertuanya. Informan Z punya pengalaman lain. Hubungan ia dengan mertuanya tidak terlalu dekat. Ia tidak pernah diminta untuk mengadopsi anak seperti pada kedua informan sebelumnya, akan tetapi ia mengaku pernah mendapat pertanyaan seputar anak dari mertuanya. Pertanyaan “kapan punya anak” tidak hanya muncul dari mertua, tapi juga dari saudara-saudara suaminya. Pertanyaan tersebut kerap muncul di momen-momen kumpul acara keluarga seperti arisan, hari raya ataupun momen-momen lainnya. Mendapat pertanyaanpertanyaan tersebut membuat Z kadang merasa malu. Ia merasa malu setiap bertemu dengan keluarga belum juga dikaruniai seorang anak, seperti pernyatan Z berikut: “Gak enaknya kan malu, malu sama saudaranya, pasti saudaranya juga punya pikiran sendiri, malu lah jadinya kok belum punya juga.” Z pernah mendengar kabar bahwa suami Z diminta untuk menceraikannya oleh mertuanya. Ini sangat membuat Z kecewa. Menurut Z, mertuanya menyangka bahwa pihak yang mempunyai masalah reproduksi hanyalah dirinya. Menurut informan Z hal ini terjadi karena ada anggapan bahwa masalah tidak dapat mempunyai anak atau dikenal masyarakat dengan sebutan mandul hanya identik dialami oleh perempuan. Z
Dinamika hubungan..., Fira Yunita Kusuma Wardani, FISIP UI, 2014
menceritakan bahwa masalah reproduksi yang ia dan suami alami memang tidak pernah diketahui oleh mertuanya. Hal tersebut meyebabkan mertua Z meminta suaminya menceraikannya dan mencari istri yang lain. Jika dengan keluarga suaminya Z merasa mendapat tekanan karena kerap ditanya seputar tidak adanya anak, maka Z mengaku tidak pernah ditanya-tanya soal seperti itu oleh keluarganya. Keluarganya justru yang memberi dukungan agar Z sabar. Tidak hanya itu keluarga Z juga mendukung untuk melakukan pengobatan dengan merekomendasikan tempat-tempat pengobatan alternatif. Menarik mengamati dinamika yang terjadi pada informan X, Y dan Z dengan keluarga luasnya. Walaupun ketiga mempunyai dinamika yang berbeda dengan keluarga luasnya mereka masing-masing, terlihat bahwa masih ada campur tangan keluarga luas pada keluarga inti X, Y dan Z. Bahkan pada keluarga X dan Y terlihat bahwa hubungan mereka masih sangat dekat dengan keluarga luasnya. Padahal X, Y dan Z adalah keluarga yang bermukim di perkotaan, sehingga dapat digolongkan sebagai keluarga perkotaan. Menurut Wirth keluarga perkotaan tidak lagi mempunyai ikatan dengan keluarga luas. (Wirth dalam Ihromi, 1999). Temuan pada ketiga informan bertentangan dengan yang dikemukakan oleh Wirth. Pada informan Y, mertuanya masih turut campur memberikan pendapatnya agar Y mengadopsi anak. Walaupun pendapat tersebut akhirnya tidak diambil oleh Y sebagai keputusan. Agak sedikit berbeda dengan yang dialami oleh informan Z. Ikut campur keluarga luas pada keluarga Z terlihat dari bentuk tekanan yang ia dapatkan berupa pertanyaan-pertanyaan yang kerap muncul dari mertuanya karena Z belum juga mendapatkan keturunan. Sementara pada informan X, pendapat dari keluarga suaminya masih sangat berpengaruh pada keputusan yang ia ambil. Bahkan pendapat keluarga suaminya menjadi pertimbangan utama X dalam memutuskan tidak mengadopsi anak. Ini memperlihatkan keluarga perkotaan pada kenyataannya masih sangat terikat dengan keluarga luasnya. Pada kasus X, Y dan Z ada satu hal yang membuat mereka masih terikat dengan keluarga luas, yakni kondisi tempat tinggal. Y masih mendapat pengaruh dari keluarga luas karena selama dua belas tahun ia tinggal di rumah mertuanya. Adanya kontak langsung setiap hari membuat Y dan mertuanya juga dapat leluasa berkomunikasi mengenai hal apapun, termasuk dalam membahas masalah anak. Oleh karenanya sangat mungkin terjadi pembicaraan tentang rencana adopsi anak antara Y dan mertuanya sebab mereka berada dalam satu rumah tangga. Z pun demikian, ia pernah tinggal dengan mertuanya. Setelah menikah Z dan suami pernah selama enam bulan tinggal bersama mertuanya kemudian memutuskan untuk memisahkan diri dari mertuanya, namun tempat tinggal mereka dengan mertuanya pun masih cukup dekat. Begitu pun yang terjadi dengan X. Ia memang tidak tinggal serumah dengan mertuanya, namun tetanggatetangganya merupakan saudara-saudara ipar dan mertuanya sendiri. Lingkungan tempat tinggal yang berdekatan, menyebabkan X merasa harus tetap melibatkan keluarga suaminya dalam mengambil keputusan. Pada informan X terlihat bahwa ikatan dengan keluarga luas yakni, antara adik dan kakak ipar ataupun antara mertua dan menantu masih sangat dekat. Sehingga walaupun mereka masuk dalam kategori keluarga perkotaan, lokasi tempat tinggal yang berdekatan menjadi faktor yang menyebabkan keluarga perkotaan tersebut tidak benar-benar terpisah dengan ikatan keluarga luasnya, seperti yang dikatakan Wirth. MEMPUNYAI ANAK: MOTIVASI PRIBADI ATAU TUNTUTAN DARI LUAR ? Hubungan suami istri dianggap tidak lengkap tanpa kehadiran anak di antara mereka (Goode, 1995). Ada anggapan di masyarakat bahwa idealnya sebuah keluarga terdiri dari pasangan suami istri dan anak-anak (Harding, 2004). Meskipun demikian, tidak semua pasangan suami istri memiliki kesempatan untuk mempunyai anak. Berbagai alasan yang melatarbelakangi hal tersebut seperti, terdapatnya masalah kesehatan reproduksi pada suami istri. Namun, adanya masalah kesehatan reproduksi biasanya hanya dikaitkan kepada perempuan. Atas alasan tersebut, maka perempuan atau istri menjadi pihak yang lebih banyak dituntut dan mendapatkan tekanan dibandingan laki-laki atau suami (Peng Tao, 2012). Oleh karenanya bagian ini akan dijelaskan sudut pandang istri tentang persoalan keinginan mempunyai anak melalui konsep I dan me yang dikemukakan oleh Mead. Menurut Mead, I adalah cerminan individu sebagai subjek. Dengan kata lain I digambarkan bahwa individu merupakan makhluk bebas yang punya keinginan ataupun bertindak tanpa dipengaruhi hal-hal yang
Dinamika hubungan..., Fira Yunita Kusuma Wardani, FISIP UI, 2014
berasal dari luar dirinya. Berbeda dengan konsep me yang merupakan cerminan individu sebagai objek. Dalam hal ini digambarkan bahwa individu sebagai aktor, tindakannya tidak bebas. Tindakan ataupun keinginan yang dilakukan hanya sekedar ingin memenuhi harapan orang lain, ataupun karena tuntutan dari pihak luar yang begitu kuat (Klein dan White, 1969: 94-95). Untuk memahami sudut pandang istri tentang persoalan keinginan mempunyai anak melalui konsep I dan me akan dijelaskan dengan gambar di bawah ini Faktor yang Mempengaruhi Keinginan Informan untuk Mempunyai Anak I
me
Faktor Internal Motivasi Pribadi
Faktor Eksternal Tuntutan dari Luar Punya Anak
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa keinginan perempuan untuk punya anak didasari oleh dua faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah motivasi individu/pribadi. Pada informan Y, motivasinya untuk mempunyai anak didasari karena Y memang sudah menyukai anak kecil. Selain itu, ia ingin mempunyai pengalaman merawat dan mendidik anak, dengan bahasa sosiologis dapat dikatakan bahwa keinginan Y untuk merawat dan mendidik anak adalah keinginan menjalani peran sebagai orangtua. Motivasi Y untuk mempunyai anak tersebut berasal dari dalam diri Y tanpa tekanan atau paksaan dari pihak manapun. Keinginan Y untuk punya pengalaman mendadani anak, mengantar ke dokter, membiayai anak sekolah memang murni berasal dalam diri Y, bukan untuk memenuhi harapan orang lain ataupun paksaan dari pihak manapun. Hasil wawancara dengan informan Z pun menunjukkan hasil yang sama. Motivasi Z untuk mempunyai anak dilatarbelakangi karena keinginannya merasakan pengalaman mengurus anak, atau dengan kata lain menjalani peran sebagai orangtua. Z ingin merasakan pengalaman tersebut tanpa dipaksa oleh suami, keluarganya atau mertuanya. Berbeda dengan dua informan sebelumnya, motivasi informan X untuk mempunyai anak dikarenakan X butuh teman pada saat suaminya tidak sedang berada di rumah. Keinginan X mempunyai anak agar mempunyai teman dan tidak mengalami kesepian adalah alasan yang berasal dari dirinya sendiri, tanpa paksaan dari pihak manapun. Motivasi X, Y dan Z untuk mempunyai anak merupakan cerminan dari konsep I yang dikemukakan Mead, bahwa individu dapat mengembangkan diri sebagai subjek. Individu merupakan makhluk bebas yang punya keinginan tanpa dipengaruhi hal-hal yang berada dari luar dirinya (Klein dan White, 1969: 94-95). Hasil temuan dari ketiga informan memperlihatkan bahwa alasan-alasan yang dikemukakan mereka tanpa dipengaruhi suami, mertua, orangtua, tetangga, teman ataupun masyarakat. Keinginan mereka untuk menjalani peran orangtua, sekedar ingin ditemani atau mengaku karena menyukai anak kecil menunjukkan bahwa keinginan tersebut sifatnya pribadi dan tanpa paksaan siapapun. Motivasi tersebut bukan berasal karena ingin memenuhi harapan orang lain atau karena adanya tuntutan dari suami, keluarga luas ataupun masyarakat. Mempunyai anak merupakan keinginan yang berasal dari dalam diri pribadi informan. Selanjutnya, keinginan mempunyai anak bagi seorang istri bukan hanya dipengaruhi oleh faktor internal berupa motivasi pribadi, akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, yakni tuntutan dari pihak luar seperti suami, keluarga luas, dan masyarakat maupun karena ingin memenuhi harapan orang lain. Faktor eksternal menggambarkan konsep me yang diutarakan Mead, bahwa individu mengmbangkan diri sebagai objek. Individu adalah aktor yang tidak bebas dan keinginan ataupun tindakannya dipengaruhi oleh hal-hal yang berasal dari luar dirinya (Klein dan White, 1969: 94-95). Pada tahap ini keinginan informan untuk mempunyai anak muncul karena ada kontak antara informan dengan pihak luar mulai dari suami, mertua, tetangga, teman hingga masyarakat.
Dinamika hubungan..., Fira Yunita Kusuma Wardani, FISIP UI, 2014
Tuntutan dari pihak luar menjadi salah satu faktor yang punya peran mempengaruhi keinginan X, Y dan Z untuk mempunyai anak. Informan X mendapat tuntutan tersebut dari banyak pihak yakni saudara-saudara ipar, mertua, teman-teman maupun tetangganya. Tuntutan yang didapat X dapat dilihat dari pertanyaan yang sering diterima X sebagai berikut, “Sudah berapa tahun nikah belum punya anak juga?” X pun tidak jarang disalahkan karena belum juga mendapatkan kehamilan. Pada informan Y pertanyaan seputar anak sering didapat hanya dari saudara-saudaranya. Pertanyaanpertanyaan seputar anak biasanya muncul pada saat-saat momen kumpul dengan keluarga luas, sedangkan pada informan Z selain saudara-saudara, mertua juga menjadi pihak yang kerap menanyakan soal anak kepadanya. Bahkan pada informan Z mertua tidak sekedar menanyakan, namun Z mendengar kabar bahwa suami Z diminta mertuanya untuk menceraikannya karena tidak dapat memberikan keturunan. Tuntutan dari pihak luar bukan hanya berasal dari keluarga, namun juga dari berasal dari masyarakat. Pada informan X keinginannya untuk mempunyai anak didasari keyakinan bahwa perempuan dianggap sempurna ketika sudah memiliki anak, seperti yang dinyatakan informan X berikut, “Ya namanya seorang wanita kan sempurna kalau kita punya anak ibaratnya kita udah jadi wanita gitu.” Pernyataan informan X tersebut menjelaskan bahwa perempuan dianggap sempurna apabila menjalani fungsi reproduksinya dalam keluarga. Hal ini memperlihatkan bahwa keinginan informan untuk mempunyai anak karena adanya nilai masyarakat tentang kesempurnaan perempuan yang dilihat ketika perempuan dapat melahirkan seorang anak. Nilai tersebut adalah hal yang berasal dari luar diri informan, kemudian turut mempengaruhi keinginan X untuk mempunyai anak. Hal ini pun dialami oleh informan Z. Salah satu motivasi Z punya anak dikarenakan Z ingin menjalani kehidupan seperti keluarga pada umumnya. Ia mengatakan, “Selain itu ya kan kepengennya normal sama kayak orang-orang kebanyakan punya anak gitu, pingin banget,” Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa keinginann Z untuk mempunyai anak juga dipengaruhi karena adanya nilai-nilai dalam masyarakat tentang bentuk keluarga ideal yang terdiri dari orangtua dan anak-anak. Nilai tersebut juga berasal dari luar informan, dan turut mempengaruhi keinginan Z untuk punya anak. Hal yang dialami informan X, Y dan Z memperlihatkan bahwa keinginan mereka untuk mempunyai anak tidak hanya berasal dari dalam diri mereka. Keinginan mereka untuk mempunyai anak karena tuntutan dari pihak luar menggambarkan konsep me yang dikemukakan oleh Mead. Dalam hal ini informan mengembangkan diri mereka sebagai objek. Maksudnya adalah keinginan mereka untuk mempunyai anak tidak bebas sebagai individu, namun disebabkan adanya tuntutan dari pihak luar. Faktor eksternal untuk mempunyai anak tidak hanya dapat dilihat sebagai tuntutan dari pihak luar, akan tetapi dapat dilihat pula melalui tindakan informan karena ingin memenuhi harapan orang lain. Meminjam konsep me milik Mead, artinya keinginan informan untuk mempunyai anak karena ingin dapat memenuhi harapan dari pihak luar. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan X dapat dilihat bahwa keinginannya untuk mempunyai anak dipengaruhi oleh hubungan X dengan suaminya. X punya ketakutan tidak dapat membahagiakan suaminya karena tidak mampu memberikan keturunan untuk suaminya. “….suaminya saya juga walaupun jarang ngomong tapi kan kita namanya perempuan mikirnya kalau gak ada anak gimana ya, kayaknya kita takut juga kan suami kita gak bisa kita bahagiain kan. Gak bisa bahagiain dia, gak punya anak kan…Ya namanya perempuan kan dia bisa aja kan, ya dia bisa cari wanita lain, iya kan kita kan gak tau hati dia kan, mana kita bisa baca kan, (Wawancara dengan X, 2 Maret 2014) Pernyataan X di atas menunjukkan bahwa keinginannya untuk punya anak, bukan hanya karena berasal dari keinginan X pribadi. Ada ketakutan tidak dapat membahagiakan suami, ataupun ketakutan suaminya mencari wanita idaman lain karena ia tidak dapat memberikan keturunan, memperlihatkan bahwa keinginan X untuk punya anak dipengaruhi oleh hal-hal yang berasal dari luar dirinya. Dalam kasus ini, X punya ketakutan tidak dapat memenuhi harapan suaminya. Pada informan Y, motivasinya untuk punya anak, terutama menginginkan kehadiran anak laki-laki disebabkan karena adanya harapan keluarga suaminya untuk mendapatkan cucu laki-laki. Kehadiran cucu lakilaki dianggap dapat meneruskan nama keluarga suaminya. Hal ini memperlihatkan bahwa keinginan Y untuk mempunyai anak laki-laki dipengaruhi untuk dapat memenuhi harapan keluarga suaminya. Berdasarkan uraian cerita yang dialami oleh informan X dan Y di atas, menunjukkan bahwa harapan dari pihak luar muncul
Dinamika hubungan..., Fira Yunita Kusuma Wardani, FISIP UI, 2014
sebagai keinginan individu. Keinginan individu yang tidak bebas karena dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya, seperti memenuhi harapan orang lain merupakan cerminan konsep me yang disampaikan Mead. Untuk memudahkan penjelasan di atas tentang keinginan informan mempunyai anak. maka peneliti menyederhanakan dalam bentuk tabel di bawah ini: Ringkasan Alasan Informan Ingin Punya Anak
Informan
X
Faktor Internal (I ) Motivasi Pribadi Ingin ada yang menemani (nilai sosial) Ingin bisa menceritakan ke teman-teman (prestise/kebanggan)
Y
Suka dengan anak kecil (nilai psikologis)
Faktor Eksternal (me) Tekanan Pihak Luar Keinginan memenuhi harapan orang lain Tuntutan dari mertua, Membahagiakan suami saudara ipar, tetangga, teman Nilai : Perempuan sempurna jika sudah punya anak Tuntutan dari saudara
Meneruskan nama keluarga
Ingin menjalani peran sebagai orangtua: mendidik, merawat, menggendong, mendadani, membiayai sekolah, mengantar ke dokter Investasi masa tua, ada yang merawat dan membiayai (nilai afeksi dan nilai ekonomi Z
Investasi masa tua: ada yang merawat dan membiyai: nilai afeksi dan nilai ekonomi Menjalani peran ibu: mengurus anak
Tuntutan dari mertua dan saudara Nilai : Bentuk keluarga ideal terdiri dari orangtua dan anak
Sumber: Olahan Peneliti
PENUTUP Kehadiran anak dalam perkawinan nyatanya masih diharapkan bagi pasangan yang telah menikah, terutama bagi seorang perempuan/istri. Setidaknya ada dua hal yang mendorong seorang perempuan/istri ingin memiliki keturunan Pertama, bagi perempuan/istri, mempunyai anak merupakan keinginan yang berasal dari dalam dirinya (faktor internal). Keinginan ini muncul karena perempuan/istri ingin merasakan pengalaman mengurus dan mendidik anak atau dengan kata lain menjalankan peran sebagai orang tua. Temuan ini agak berbeda dengan studi yang dilakukan Pary (2005) bahwa keinginan perempuan untuk mempunyai anak berhubungan dengan keinginan perempuan mengalami pengalaman hamil dan melahirkan. Artinya pada hasil temuan Pary menunjukkan bahwa keinginan perempuan untuk punya anak berkaitan dengan kodrat alami seorang perempuan, sedangkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa keinginan perempuan untuk punya anak berkaitan dengan hal yang disosialisasikan dari satu generasi ke generasi.
Dinamika hubungan..., Fira Yunita Kusuma Wardani, FISIP UI, 2014
Kedua, keinginan perempuan/istri untuk punya anak didorong oleh adanya faktor eksternal. Keinginan ini muncul akibat ada kontak dengan pihak luar seperti suami, mertua, saudara ipar, maupun masyarakat. Dalam hal ini, keinginan perempuan untuk mempunyai disebabkan karena banyaknya tuntutan yang didapat dari orang-orang di sekitarnya ataupun karena nilai yang sudah tertanam di masyarakat. Misalnya ada nilai bahwa perempuan dianggap sempurna jika telah memiliki anak, ataupun adanya nilai bahwa keluarga ideal terdiri dari orang tua dan anak. Nilai tersebut yang turut mendorong informan sangat ingin mempunyai anak. Selain itu keinginan perempuan/istri didorong karena ingin memenuhi harapan dari orang-orang di sekitarnya, misalnya salah satu alasan informan menyatakan alasannya ingin mempunyai anak adalah karena ingin membahagiakan suami. Hasil temuan selanjutnya adalah mengenai dinamika istri dan suami menyikapi tidak adanya anak dalam perkawinan. Pada informan kedua tidak adanya anak dianggap tidak membawa masalah pada hubungannya dengan suaminya. Temuan ini sejalan dengan studi Klaus (2010) pada kelas menengah perkotaan di Turki yang menyatakan bahwa saat ini prioritas hubungan suami istri dianggap lebih penting dibandingkan kehadiran anak dalam perkawinan. Padahal masa sebelumnya kehadiran anak menjadi faktor penting dalam hubungan perkawinan. Pada informan pertama tidak adanya anak dalam perkawinan juga tidak membawa masalah pada hubungan dengan suaminya. Hal ini terkait dengan nilai agama yang menjadi pegangan sekaligus perekat hubungannya dengan suaminya. Keyakinan bahwa apa yang mereka alami merupakan kehendak Tuhan membuat mereka tidak meributkan masalah tidak adanya anak dalam perkawinan. Berbeda dengan dua informan sebelumnya yang tidak mendapatkan masalah karena ketidakhadiran anak dalam perkawinannya, informan ketiga mengatakan bahwa ketidakhadiran anak membawa masalah terhadap hubungan dengan suaminya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Peng Tao (2008) yang menyebutkan bahwa tidak adanya anak dalam perkawinan memiliki efek negatif dalam hubungan suami istri. Terkait dinamika dengan keluarga luasnya, terlihat bahwa keluarga luas masih turut campur pada keluarga inti informan. Walaupun informan dan keluarga luasnya tinggal di perkotaan tetap ada tuntutan maupun dukungan yang diberikan kelarga luas kepada keluarga inti informan terkait masalah tidak adanya anak dalam perkawinan. Hal ini bertentangan dengan studi yang dilakukan Wirth (Wirth dalam Ihromi 1999) yang menyatakan bahwa keluarga inti yang bermukim di perkotaan tidak lagi ada ikatan hubungan keluarga luas. DAFTAR PUSTAKA Abma, J. C., & Martinez, G. M. 2006. Childlessness among older women in the united states: Trends and profiles. Journal of Marriage and Family, 68(4), 1045-1056. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/219747180?accountid=17242 Caldwell, J.C. 1982. Theory of Fertility Decline. New York: Academic Press. Dyer, Everett Dixon. 1979. The American Family:Variety and Change. USA: McGraw Hill. Goode, William J. 1995. Sosiologi Keluarga. ed.peny., Jakarta: Bumi Aksara. Gubrium, Jaber F dan James A Holtsen. 2006. Couples, Kids, and Family Life. Oxford: University Press. Henz, U. 2008. Gender roles and values of children: Childless couples in east and west germany. Demographic Research,19, 1451-1499. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/200907867?accountid=17242 Ihromi, Tapi Omas., peny. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Jagger, Gill dan Caroline Wright. 2004. Changing Family Values. USA: Taylor and Francis e-Library.
Dinamika hubungan..., Fira Yunita Kusuma Wardani, FISIP UI, 2014
Klaus, D. 2010. Changing value of children and fertility transition in Turkey. Journal Comparative Family Studies, 41(5), 799-XVI. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/768998844?accountid=17242 Klein, David & James M. White. 1996. Family Theories: An Introduction. London: Sage Publication. Laporan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Lee, T.Y., Sun, G.H., & Chao, S.C. 2001. The effect of an infertility diagnosis on the distress, marital and sexual satisfaction between husband and wives in Taiwan. Human Reproduction,16, 1762-1767. Naab, Florence, PhD,M'phil, R.N., Brown, R., PhD., & Heidrich, Susan,PhD., R.N. 2013. Psychosocial health of infertile ghanaian women and their infertility beliefs. Journal of Nursing Scholarship, 45(2), 132-40. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/1371826885?accountid=17242 Onat, G., & Beji, N. K. 2012. Marital relationship and quality of life among couples with infertility. Sexuality and Disability,30(1), 39-52. Ormell, J dkk. 1999. Subjective-Well Being and Social Production Function. Social Indicator Research, 46, 61-90 diakses dari http://www.nardisteverink.nl/articles/1999_Ormel_et_al_SIR.pdf Parry, D. C. 2005. Women's experiences with infertility: The fluidity of conceptualizations of 'family'. Qualitative Sociology,28(3), 275-291. Ried, K., & Stuart, K. 2011. Efficacy of traditional chinese herbal medicine in the management of female infertility: A systematic review. Complementary Therapies in Medicine, 19(6), 319-31. doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.ctim.2011.09.003 Salmon, Catherine. A dan Todd K Shackelford. 2008. Famliy Relationship: An Evolutionary Perspective. Oxford: University Press. Saptowarini, Kunti. 2003. Gambaran Stress dan Coping Pihak Wanita pada Pasangan yang Menderita Infertilitas. Skripsi Jurusan Psikologi Universitas Indonesia. Simonsen, S. E., Baksh, L., & Stanford, J. B. 2012. Infertility treatment in a population-based sample: 20042005. Maternal and Child Health Journal, 16(4), 877-86. doi:http://dx.doi.org/10.1007/s10995-011-0809-6 Skolnick, Arlene. 1983. The Intimate Evironment: Exploring Marriage and the Family. (3th ed). Canada: Little Brown and Company. Sugiarto. 2000. Sumber-sumber Stress, Strategi Coping dan Dukungan Sosial pada Wanita yang Mengalami Infertilitas. Tesis Jurusan Fakultas Kesehatan Masyrakat Universitas Indonesia. Syakbani, Dini Nurul. 2008. Gambaran Kepuasan Perkawinan pada Isteri yang Jurusan Psikologi,Universitas Indonesia.
Mengalami Infertilitas. Skripsi
Tao, P., Coates, R., & Maycock, B. 2012. Investigating marital relationship in infertility: A systematic review of quantitative studies. Medical Journal of Reproduction & Infertility, 13(2) Retrieved from http://search.proquest.com/docview/1020125517?accountid=17242 White, Benjamin. 1982. Peranan Ekonomi Anak dalam Rumah Tangga Desa di Jawa, dalam Koentjaraningrat (ed.), Masalah-masalah Pembangunan, Bunga Rampai Antropologi Terapan. Jakarta: LP3ES. Zelizer V. 1981. The Price and Value of Children : The Case of Children’s Insurance in the United States. American Journal of Sociology, 86, 1036-56 http://www.who.int/reproductivehealth/topic/infertility/defintions/en/
Dinamika hubungan..., Fira Yunita Kusuma Wardani, FISIP UI, 2014