21
PENGARUH FAKTOR DEMOGRAFI DAN KONFLIK KERJAKELUARGA TERHADAP KEPUASAN PERKAWINAN PADA KELUARGA DENGAN SUAMI-ISTRI BEKERJA Influence of Demographic Factors and Work-Family Conflict on Marital Satisfaction among Dual Earner Family Fitri Meliani, Euis Sunarti, Diah Krinatuti Abstrak Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh faktor demografi dan konflik kerja keluarga terhadap kepuasan perkawinan. Desain penelitian ini adalah studi cross sectional. Sampel penelitian dipilih secara non-proportional stratified random sampling di Kecamatan Bogor Barat dan Bogor Tengah dengan total 120 istri bekerja. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata suami dan istri termasuk dalam usia produktif, berpendidikan setara SMA, dan tergolong keluarga kecil. Sepertiga keluarga memiliki pendapatan di bawah UMR, namun sebagian besar termasuk dalam kategori keluarga tidak miskin. Satu dari dua (54.2%) istri bekerja tergolong dalam kategori konflik kerja-keluarga sedang dan lebih dari sepertiga (39.2%) istri bekerja tergolong dalam kategori kepuasan perkawinan tinggi. Uji korelasi menyatakan semakin tinggi pendidikan istri, semakin tinggi kepuasan perkawinan. Semakin besar jumlah keluarga, semakin lama pernikahan, semakin tinggi konflik kerja mengganggu keluarga dan konflik keluarga mengganggu kerja, maka semakin rendah kepuasan perkawinan. Pendidikan berpengaruh positif terhadap kepuasan perkawinan, dan konflik kerja-keluarga berpengaruh secara negatif terhadap kepuasan perkawinan. Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan bagi instansi ketenagakerjaan diharapkan menyusun kebijakan yang ramah keluarga, terutama berkaitan dengan fasilitas, waktu kerja dan pendapatan pekerja. Bagi instansi pembangun keluarga meningkatkan sosialisasi mengenai menikah di usia dewasa dan ajakan untuk menggunakan KB bagi keluarga besar. Kata kunci: konflik kerja-keluarga, kepuasan perkawinan, peran ganda, suami-istri bekerja Abstract This study aimed to analyze the influences of demographic factors and workfamily conflict on marital satisfaction. The study was a cross sectional study design. Samples were selected by using non-proportional stratified random sampling technique at District of West and Central Bogor. There 120 samples were randomly chosen among dual earner families. Findings show that one of two samples (54.2%) had moderate level of work-family conflict and one of three samples (39.2%) had high level of marital satisfaction. The result confirmed that marital satisfaction was negatively influenced by work-family conflict, that means the lower work-family conflict experienced by the sample, the higher marital satisfaction. Demographic factor that influenced marital satisfaction was education attainment. The implication of the study is expected that government, stakeholder, and work institution could arrange a family-friendly policies related
22 to determination of facilities, hours of work, wages and compensation for the wife work. BKKBN, to help by socializing about the urgency of using contraception. Keywords: work-family conflict, marital satisfaction, dual role, dual earner Pendahuluan Perkawinan merupakan salah satu tahapan yang penting dalam siklus kehidupan. Perkembangan yang positif dalam perkawinan dapat terjadi jika hubungan antar pasangan saling melengkapi dan memuaskan. Kepuasan perkawinan merefleksikan secara umum kebahagiaan dan keberfungsian dalam pernikahan seseorang (Schoen et al. 2002). Kepuasan perkawinan merupakan proses kompleks yang berlangsung sepanjang waktu, dan dipengaruhi oleh faktor umur, jumlah anak, kondisi kesehatan, pendidikan, status sosio-ekonomi, cinta, komitmen, komunikasi, konflik, gender, lama pernikahan, relasi seksual dan pembagian tugas rumah tangga (Hendrick dan Hendrick 1992, Pimentel 2000, Trudel 2002, Guo dan Huang 2005). Dengan adanya perubahan struktural dalam masyarakat, maka peluang bagi wanita untuk bekerja dalam berbagai bidang semakin terbuka. Seorang istri tidak hanya berperan dalam lingkungan domestik (rumah tangga), tapi juga dapat berperan di sektor publik (lingkungan kerja dan partisipasi dalam masyarakat). Berdasarkan data Sakernas (BPS 2014), jumlah TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) wanita terus meningkat dari tahun ke tahun, seperti peningkatan yang terjadi pada tahun 2012, yaitu 52.67 persen menjadi 53.26 persen pada tahun 2013. Hasil survei IPB dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2011 menunjukkan sumbangan pendapatan perempuan dari 34.1 persen meningkat menjadi 33.5 persen (Maskur, 2013). Azeez (2013) berpendapat, bahwa peran wanita sebagai pencari nafkah dan berpartisipasi dalam dunia kerja merupakan hal yang positif dalam kesetaraan, namun juga berpengaruh pada kehidupan keluarga. Konflik antara pekerjaan dan keluarga memiliki konsekuensi nyata, yaitu dalam pencapaian karir dan kualitas keluarga. Wanita bekerja harus memilih antara dua kepentingan yang bertolak belakang, yaitu karir yang aktif dan memuaskan, atau perkawinan dan anak. Tuntutan pekerjaan dapat mengancam sumberdaya seseorang dari waktu ke waktu, terlalu lama terkena tuntutan seperti jam kerja yang panjang dapat mengakibatkan kelelahan, emosi, dan stres. Hal tersebut dapat mengakibatkan wanita tidak dapat menyelesaikan pekerjaan rumah. Wanita yang memiliki pekerjaan di luar rumah tetap harus mengerjakan tugas-tugas rumah tangga (Greenhaus dan Friedman, 2000). Bila tidak terjadi keseimbangan peran istri dalam dua lingkungan penting ini, akan menimbulkan efek negatif pada keutuhan dan komponen-komponen penting dalam rumah tangga, seperti pemenuhan kebutuhan anggota keluarga, kebahagiaan, dan perkembangan suatu keluarga (Fower dan Olson, 1993). Hal ini perlu diantisipasi, mengingat angka perceraian semakin meningkat setiap tahunnya dan 70 persen perceraian diinisiasi oleh istri (data Dirjen Bimas Islam Kementrian Agama 2010, dalam Aby 2012). Berdasarkan pertimbangan tersebut, penulis ingin mengangkat besarnya pengaruh konflik kerja-keluarga terhadap kepuasan perkawinan keluarga dengan suami-istri bekerja.
23 Tujuan Penelitian 1. 2. 3.
Mengidentifikasi faktor demografi, konflik kerja-keluarga dan kepuasan perkawinan pada keluarga dengan suami istri bekerja. Menganalisis hubungan faktor demografi, konflik kerja-keluarga dan kepuasan perkawinan pada keluarga dengan suami istri bekerja. Menganalisis pengaruh faktor demografi dan konflik kerja-keluarga terhadap kepuasan perkawinan pada keluarga dengan suami istri bekerja. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait faktor demografi, konflik kerja-keluarga, dan kepuasan perkawinan. Bagi keluarga, penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai konflik kerja mengganggu keluarga dan konflik keluarga mengganggu kerja dapat berkontribusi dalam memprediksi kepuasan perkawinan keluarga dengan suami-istri bekerja (dual eraner). Berdasarkan informasi yang disajikan, diharapkan keluarga mampu menyusun suatu strategi yang dapat menjembatani peran di tempat kerja dan peran dalam rumah tangga sehingga dapat lebih puas mengenai perkawinannya. Metode Penelitian Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan disain cross sectional. Pemilihan lokasi penelitian dipilih secara purposive, yaitu Kota Bogor di Kecamatan Bogor Barat (Kelurahan Pasir Jaya, Menteng, dan Cilendek Barat) dan Kecamatan Bogor Tengah (Kelurahan Paledang dan Panaragan). Pemilihan lokasi dilakukan dengan pertimbangan memiliki data kependudukan digital untuk kemudahan memperoleh data dan dilakukan pengacakan (random sampling). Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan September hingga Juni 2014. Teknik Penarikan Contoh Penelitian ini mengacu pada penelitian payung dengan tema Keseimbangan Kerja dan Keluarga (Balancing Work and Family). Populasi penelitian ini adalah keluarga dengan suami-istri bekerja. Contoh dalam penelitian ini adalah istri bekerja di sektor formal dan informal yang memiliki salah satu anaknya berusia 0–6 tahun di Kecamatan Bogor Barat dan Kecamatan Bogor Tengah. Teknik penarikan contoh dilakukan secara stratified non-proporsional random sampling, dengan contoh 60 istri bekerja di sektor formal dan 60 istri bekerja di sektor informal, sehingga total contoh sebanyak 120 orang. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini terdapat data primer dan sekunder. Data sekunder adalah data dasar keluarga yang diperoleh dari kecamatan dan kelurahan terkait. Data primer diperoleh melalui wawancara dibantu dengan kuesioner terstruktur, yang meliputi faktor demografik, konflik kerja keluarga dan kepuasan perkawinan. Faktor demografik terdiri dari usia suami-istri, pendidikan suamiistri, pendapatan keluarga, pendapatan per kapita, lama pernikahan dan jumlah anggota keluarga. Kategori usia suami-istri yaitu: (1) 20-30 tahun, (2) 31-40
24 tahun, (3) 41-50 tahun, dan (4) >50 tahun. Kategori pendidikan suami-istri terdiri dari (1) ≤ 6 tahun (SD), (2) 7-9 tahun (SMP), (3) 10-12 tahun (SMA), (4) 12-16 tahun (Perguruan Tinggi), dan (5) > 16 tahun (Pasca Sarjana). Pendapatan Per kapita (GK Jawa Barat, September 2012) dikategorikan (1) sangat miskin (< Rp 278.530), (2) miskin (Rp 278.530- Rp 334.236), (3) mendekati miskin (Rp 334.237- Rp 417.795) dan tidak miskin (> Rp 417.795). Lama pernikahan dikategorikan (1) ≤ 5 tahun, (2) 6-10 tahun, (3) 11-20 tahun, dan (4) > 20 tahun. Besar keluarga (BKKBN 1998) dikategorikan (1) keluarga kecil (≤4 orang), (2) keluarga sedang (5-7 orang), dan (3) keluarga besar (≥ 8 orang). Konflik kerja-keluarga diukur dengan menggunakan alat ukur Netemeyer et al. (1996), yang terdiri dari dua dimensi, yaitu konflik kerja mengganggu keluarga dan konflik keluarga mengganggu kerja. Contoh pernyataan konflik kerja mengganggu keluarga adalah kegiatan di rumah sering tidak dapat diselesaikan karena adanya tuntutan pekerjaan. Contoh pernyataan konflik keluarga mengganggu kerja adalah adanya tuntutan di rumah, membuat harus sering menunda dalam menyelesaikan tugas di tempat kerja. Masing-masing pernyataan dinilai dengan sekala semantik (sangat tidak setuju hingga sangat setuju), dengan nilai minimal 1 dan maksimal 4. Kepuasan perkawinan diukur dengan menggunakan alat ukur Fower dan Olson (1993), terdiri dari 15 pernyataan yang mewakili 10 dimensi. Contoh pernyataan kepuasan perkawinan adalah dapat berbagi tanggung jawab peran dalam perkawinan. Masing-masing pernyataan dinilai dengan sekala semantik (sangat tidak puas hingga sangat puas), dengan nilai minimal 1 dan maksimal 4. Reliabilitas menghasilkan nilai cronbach alpha yaitu 0.855 untuk konflik kerja-keluarga dan 0.877 kepuasan perkawinan. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS 16.0. Analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Analisis deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi faktor demografik atau karakteristik keluarga (usia suami dan istri, pendidikan suami dan istri, pendapatan per kapita, lama pernikahan, serta jumlah anggota keluarga). - Data rataan skor untuk konflik kerja-keluarga dan kepuasan perkawinan dari seluruh contoh dihitung dengan cara: Y = Nilai minimum X
× 100
Nilai maksimum X
-
Keterangan: Y = Skor dalam persen X = Skor yang diperoleh untuk setiap item pernyataan Data sebaran contoh berdasarkan kategori konflik kerja-keluarga dan kepuasan perkawinan terdiri dari tiga kategori berdasarkan nilai capaiannya yaitu rendah (0.00-33.33%), sedang (33.34-66.66%), dan tinggi (66.67-100.00). Nilai capaian dari konflik kerja-keluarga dan kepuasan perkawinan didapatkan dari rumus yang disajikan sebagai berikut:
25 Y =
X - Nilai minimum X
× 100
Nilai maksimum X - Nilai minimum X
Keterangan: Y = Skor dalam persen X = Skor yang diperoleh untuk setiap contoh 2. Uji hubungan digunakan untuk melihat hubungan antara faktor demografik, konflik kerja-keluarga, dan kepuasan perkawinan. 3. Uji pengaruh digunakan untuk menganalisis pengaruh faktor demografik, konflik kerja-keluarga, dan kepuasan perkawinan. Hasil Faktor Demografi Hasil analisis deskriptif (Tabel 2) menunjukkan rata-rata suami berusia 38.3 tahun dan istri berusia 34.9 tahun. Kelompok terbesar suami (53.3%) dan istri (56.7%) berusia 31-40 tahun, yaitu usia produktif. Rata-rata suami berpendidikan 12 tahun dan istri 11.9 tahun, yaitu setara SMA. Rata-rata jumlah anggota keluarga contoh adalah 4.5 orang, yaitu tergolong keluarga kecil. Garis Upah Minimum Rata-rata (UMR) kota Bogor tahun 2014 (Putra, 2013) adalah Rp2 352 350. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa sebanyak 30.8 persen keluarga contoh memiliki pendapatan di bawah UMR. Rata-rata pendapatan keluarga adalah Rp6 040 000 dengan pendapatan minimum Rp600 000 dan maksimal Rp65 000 000. Menurut BPS (September 2012), batas garis kemiskinan masyarakat Kota Bogor adalah Rp278 530/kap/bulan. Rata-rata pendapatan perkapita keluarga contoh adalah Rp1 441 000, dengan rentang minimal Rp120 000/kap/bulan dan maksimal Rp16 000 000/kap/bulan. Sebagian besar keluarga (77.5%) tidak tergolong keluarga miskin. Tabel 2 Rataan faktor demografi Faktor Demografi Usia Suami (tahun) Usia Istri (tahun) Lama Pendidikan Suami (tahun) Lama Pendidikan Istri (tahun) Jumlah anggota keluarga (orang) Lama Pernikahan (tahun) Pendapatan keluarga (ribu rupiah/bln) Pendapatan Perkapita (ribu rupiah /bln)
Minimum-Maksimum
22-56 21-53 6-21 6-21 3-10 2-29 600 - 65 000 120 - 16 000
Rata-rata ± SD
38.3 ± 7.1 34.9 ± 6.5 12 ± 3.5 11.9 ± 3.8 4.5 ± 1.3 10.6 ± 6.4 6 040 ± 7 429
1 441 ± 1 827,8
Konflik Kerja-Keluarga Konflik kerja-keluarga adalah keinginan yang berbeda atau berlawanan antara pekerjaan dengan keluarga, dimana peran yang satu menuntut lebih peran yang lain sehingga salah satunya terganggu (Netemeyer et al. 1996). Tabel 3
26 menyajikan hasil bahwa satu dari dua contoh (54.2%) tergolong memiliki konflik kerja-keluarga sedang. Hampir separuh contoh (42.5%) tergolong memiliki konflik kerja-keluarga rendah dan sebagian kecil contoh (3.3%) tergolong dalam konflik kerja-keluarga tinggi. Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan kategori capaian dimensi konflik kerja mengganggu keluarga No
Kategori
1 Rendah (0-33.3%) 2 Sedang (33.4%-66.7%) 3 Tinggi (66.8%-100%) Total Rata-rata ± SD
Total N 51 65 4 120
35.8 ± 18.3
% 42.5 54.2 3.3 100.0
Hasil analisis deskriptif (Tabel 4) menunjukkan bahwa pada dimensi konflik kerja mengganggu keluarga, persentase skor terbesar adalah pada item istri merasa tuntutan dari pekerjaan mempengaruhi kehidupan keluarga dan rumah tangganya (58.3%) dan harus membuat perubahan rencana keluarga melaksanakan tugas pekerjaan (57.1%). Pada dimensi konflik keluarga mengganggu kerja menunjukkan bahwa persentase skor terbesar adalah item istri merasa tuntutan di rumah membuatnya sering menunda melakukan hal-hal di tempat kerja (52.3%), dan tuntutan keluarga mempengaruhi kegiatan pekerjaan saya (51.3%). No 1. 2. 3. 4. 5. No 6. 7. 8. 9. 10.
Tabel 4 Sebaran item berdasarkan rataan capaian konflik kerja-keluarga
Pernyataan Dimensi Konflik Kerja Mengganggu Keluarga Tuntutan pekerjaan mempengaruhi kehidupan keluarga. Jumlah waktu bekerja membuat sulit memenuhi tanggung jawab dalam keluarga. Kegiatan di rumah sering tidak dapat diselesaikan karena adanya tuntutan pekerjaan. Pekerjaan menghasilkan tekanan yang membuat sulit untuk memenuhi tugas keluarga. Tuntutan tugas pekerjaan mengharuskan membuat perubahan rencana bersama keluarga. Rataan Dimensi Konflik Kerja Mengganggu Keluarga Pernyataan Dimensi Konflik Keluarga Mengganggu Kerja Tuntutan keluarga mempengaruhi kegiatan pekerjaan. Adanya tuntutan di rumah, membuat harus sering menunda dalam menyelesaikan tugas di tempat kerja. Hal yang ingin dilakukan di tempat kerja tidak dapat dilakukan karena tuntutan keluarga. Kehidupan keluarga mengganggu tanggung jawab di tempat kerja, seperti tidak bisa tepat waktu untuk masuk kerja dan menyelesaikan tugas sehari-hari, dan tidak bisa bekerja lembur. Ketegangan yang terjadi dalam keluarga mengganggu kemampuan untuk melakukan tugas yang berhubungan dengan pekerjaan. Rataan Dimensi Konflik Keluarga Mengganggu Kerja
% 58.3 53.9 52.5 47.9 57.1 53.9 % 51.3 52.3 49.6 46.3 49.6 49.7
Kepuasan Perkawinan Kepuasan perkawinan pada penelitian ini adalah evaluasi subjektif terhadap kualitas perkawinan secara keseluruhan (Fower dan Olson, 1993). Dimensi kepuasan perkawinan adalah masalah kepribadian (nomor 1 dan 2), kesetaraan peran (nomor 3), komunikasi (nomor 4 dan 5), penyelesaian konflik (nomor 6 dan
27 7), pengelolaan keuangan (nomor 8 dan 9), aktifitas bersama (nomor 10), relasi seksual (nomor 11), anak-anak dan perkawinan (nomor 12 dan 13), keluarga dan teman (nomor 14), dan orientasi keagamaan (nomor 15). Deskripsi pada tabel 6 menunjukkan bahwa dimensi yang paling tinggi persentase skornya (80.0%) adalah dimensi keluarga dan teman, yaitu istri merasa puas dalam hubungannya dengan orangtua, mertua, dan/atau teman. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan kategori capaian kepuasan perkawinan No
Kategori
1 Rendah (0-33.3%) 2 Sedang (33.4%-66.7%) 3 Tinggi (66.8%-100%) Total Rata-rata ± SD
Total n 1 72 47 120 66.4 ± 14.6
% 0.8 60 39.2 100.0
Dimensi yang memiliki persentase skor tertinggi kedua adalah komunikasi (communication) sebesar 77.5 persen, yaitu istri merasa pasangan memahami dan simpati dengan setiap perasaannya serta bahagia dengan cara komunikasi dengan pasangan. Hal ini menjelaskan bahwa faktor hubungan dengan orangtua dan kerabat serta komunikasi dengan pasangan berkontribusi paling besar terhadap kepuasan perkawinan. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tabel 6 Sebaran item berdasarkan rataan capaian kepuasan perkawinan
Pernyataan Dimensi Kepuasan Perkawinan Saling memahami satu sama lain dengan pasangan. Dapat menerima karakteristik kepribadian dan kebiasaan pasangan. Dapat berbagi tanggung jawab peran dalam perkawinan. Pasangan memahami dan simpati dengan setiap “perasaan” yang diungkapkan. Bahagia dengan cara komunikasi dengan pasangan. Dapat menyelesaikan konflik dengan baik. Senang dengan cara bersama dalam membuat keputusan dan memecahkan konflik. Bahagia dengan posisi keuangan dan cara membuat keputusan keuangan bersama pasangan. 9. Semua kebutuhan dapat terpenuhi dengan situasi keuangan saat ini. 10 Bahagia dengan cara mengatur waktu luang dan waktu yang digunakan bersama. 11. Bahagia dengan cara mengekspresikan kasih sayang dan berhubungan seksual dengan pasangan. 12. Puas dengan cara yang digunakan untuk mengatasi tanggungjawab sebagai orangtua 13. Tidak menyesalkan hubungan dengan pasangan sampai saat ini. Keluarga dan Teman 14. Puas dengan hubungan dengan orangtua, mertua, dan/atau teman. Orientasi Religius 15. Puas dengan cara masing-masing mempraktekkan keyakinan agama dan nilai-nilai. Rataan Total Kepuasan Perkawinan
% 77.5 73.5 74.8 73.3 81.7 68.9 72.9 77.1 71.9 72.7 76.1 73.1 71.9 80.0 80.0 76.7 76.7 74.8
Analisis Hubungan Antar Peubah Penelitian Hasil analisis hubungan (Tabel 7) menunjukkan bahwa pendidikan istri berhubungan negatif dengan konflik kerja mengganggu keluarga, dan besar keluarga berhubungan positif dengan konflik kerja mengganggu keluarga. Semakin tinggi pendidikan istri maka semakin rendah konflik kerja-keluarga, dan semakin besar anggota keluarga maka semakin tinggi konflik kerja-keluarga.
28 Besar keluarga berhubungan positif dengan dimensi konflik keluarga mengganggu kerja dan dimensi konflik kerja mengganggu keluarga, berarti semakin besar keluarga maka semakin tinggi konflik kerja mengganggu keluarga dan konflik keluarga mengganggu kerja. Pendidikan istri berhubungan positif dengan kepuasan perkawinan, berarti, semakin tinggi pendidikan istri, semakin tinggi kepuasan perkawinan. Besar keluarga, lama pernikahan, konflik kerja mengganggu keluarga, dan konflik keluarga mengganggu kerja berhubungan negatif dengan kepuasan perkawinan. Semakin besar jumlah keluarga, semakin lama pernikahan, semakin tinggi konflik kerja mengganggu keluarga dan konflik keluarga mengganggu kerja, maka semakin rendah kepuasan perkawinan. Tabel 7 Hasil koefisien korelasi antara faktor demografi, konflik kerja-keluarga, dan kepuasan perkawinan X1: Usia istri X2: Pendidikan istri X3: Besar keluarga X4: Pendapatan keluarga X5: Lama pernikahan X6: Konflik kerja mengganggu keluarga X7: Konflik keluarga menggangu kerja X8: Kepuasan perkawinan
X1
X2
X3
X4
1 -.110 .473** -.010 .465**
X5
X6
X7
X8
1 -.289* .482** -.388**
1 -.209* .124
1 .147
1
.104
-.243*
.264*
-.132
.133
1
.094
-.156
.359*
-.087
.112
.217*
1
.117
.431**
-.269*
.101
-.306**
-.495**
-.371*
1
Analisis Pengaruh Faktor Demografik dan Konflik Kerja-Keluarga terhadap Kepuasan Perkawinan Model pada Tabel 8 dapat menjelaskan 15.1 persen pengaruhnya terhadap kepuasan perkawinan. Hal ini berarti 15.1 persen faktor-faktor dalam penelitian ini berkontribusi dalam menjelaskan kepuasan perkawinan keluarga dengan suami-istri bekerja. Tabel 8 Koefisien regresi pengaruh karakteristik demografik dan konflik kerjakeluarga terhadap kepuasan perkawinan Variabel Konstanta Usia istri (tahun) Pendidikan istri (tahun) Jumlah anggota keluarga (orang) Pendapatan keluarga (Rp) Lama pernikahan (tahun) Konflik kerja mengganggu keluarga Konflik keluarga mengganggu kerja F Sig. R Square Adjusted R Square
Koefisien β Tidak Terstandarisasi terstandarisasi 43.881 .190 .186 .520 .299 .270 .576 5.117E-8 .058 -.153 -.150 -.483 -.241 -.038
-.246 8.724 0.000* 0.183 0.151
Sig. 0,000** 0.210 0.001** 0.466 0.469 0.581 0.006** 0.098
29 Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor pendidikan istri berpengaruh positif terhadap kepuasan perkawinan, dan konflik kerja mengganggu keluarga berpengaruh secara positif signifikan terhadap kepuasan perkawinan. Semakin tinggi pendidikan istri maka semakin meningkat kepuasan perkawinan, dan semakin tinggi konflik kerja mengganggu keluarga kerja, maka semakin berkurang kepuasan perkawinan. Pembahasan Kepuasan perkawinan dipengaruhi oleh konflik kerja-keluarga. Hal ini berarti, istri yang dapat meregulasi konflik kerja-keluarga cenderung puas dengan perkawinannya. Kebanyakan pekerja melaporkan bahwa keluarga lebih penting dari pekerjaan, dan penelitian membuktikan bahwa konflik kerja mengganggu keluarga lebih sering terjadi dibandingkan dengan konflik keluarga mengganggu kerja (Netemeyer et al. 1996). Penelitian mengenai konflik kerja-keluarga menemukan bahwa variabel ini mempengaruhi beberapa aspek, yaitu psychological well-being, depresi, kepuasan perkawinan, dan kepuasan hidup (Greenhaus dan Beutell, 1985). Berdasarkan deskripsi konflik kerja keluarga, persentase skor dimensi konflik kerja mengganggu keluarga lebih besar dibandingkan dengan dimensi konflik keluarga mengganggu kerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan Sunarti et al. (2014), bahwa istri bekerja cenderung lebih mengalami konflik kerja mengganggu keluarga daripada konflik keluarga mengganggu kerja. Hal ini dapat terjadi bila istri lebih banyak menggunakan waktunya untuk bekerja dibanding menghabiskan waktu bersama keluarga. Kepuasan terhadap lingkungan pekerjaan dan waktu kerja yang fleksibel dapat mengurangi konflik kerja-keluarga istri yang berkerja (Kiger dan Riley, 2000). Greenhaus et al (2003) menambahkan, dibandingkan dengan orang yang lebih banyak terlibat dalam dunia kerja, orang yang lebih banyak terlibat dalam keluarga memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi karena adanya keterlibatan psikologis dalam mengerjakan peran di keluarga. Mengacu pada deskripsi kepuasan perkawinan, dimensi yang paling berkontribusi terhadap kepuasan perkawinan istri bekerja adalah hubungan dengan orangtua dan kerabat, serta komunikasi dengan pasangan. Hubungan dengan orangtua dan kerabat dapat menjadi salah satu koping untuk menghadapi berbagai masalah dalam perkawinan, karena keduanya memberikan dukungan dan bersedia membantu memecahkan masalah saat seseorang mengalami pemasalahan dalam perkawinan. Dengan begitu, memiliki hubungan yang mendalam dengan orangtua dan kerabat sangat berkontribusi terhadap kepuasan perkawinan (Unger et al., 1996). Komunikasi dalam rumah tangga dapat menjadi mediator bagi pasangan yang mengalami level konflik kerja-keluarga yang tinggi (Carroll et al., 2013). Maka suami-stri yang bekerja sangat penting dalam menjaga keterampilan berkomunikasi dengan pasangan, agar keutuhan rumah tangga tetap terjaga dan masing-masing merasa puas dengan perkawinannya. Hasil uji hubungan dan pengaruh menunjukkan bahwa pendidikan istri berpengaruh secara positif terhadap kepuasan perkawinan. Hal ini sejalan dengan penelitian Glenn dan Weaver (1988), yang menjelaskan bahwa perbedaan tingkat
30 pendidikan mempengaruhi kemampuan individu dalam memenuhi kebutuhan, keinginan dan aspirasinya. Hal ini berarti semakin tinggi pendidikan individu semakin jelas wawasannya, sehingga persepsi terhadap diri dan kehidupan pernikahannya menjadi semakin baik. Jumlah anggota keluarga berhubungan negatif terhadap kepuasan perkawinan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Acock dan Demo (dalam Benokraitis, 1996), bahwa pasangan yang memiliki lebih banyak anak atau anggota keluarga akan lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengajarkan berbagai nilai-nilai dan aturan kepada anak, bertanggung jawab dan berhubungan baik dengan anggota keluarga lain. Pasangan dengan banyak anggota keluarga membutuhkan banyak waktu dan tenaga yang menyebabkan kekurangan waktu untuk bersama dan menghabiskan sedikit waktu untuk saling berkomunikasi yang dapat menurunkan kepuasan dalam perkawinan. Lama pernikahan berhubungan secara negatif terhadap kepuasan perkawinan. Awal-awal pernikahan menjadi saksi bagaimana suatu keluarga beradaptasi terhadap masalah yang pada akhirnya mempererat hubungan antar pasangan. Pada kasus lain, awal-awal pernikahan dipenuhi kebahagiaan dan adaptasi yang baik, baru kemudian disusul dengan berbagai masalah (Azeez 2013). Penelitian Blood dan Wolfe (Rybash, Roodin, dan Santrock, 1991) menemukan bahwa kepuasan pernikahan turun secara linear dari awal sampai 30 tahun pernikahan, sedangkan menurut Pineo kepuasan pernikahan berpuncak pada 5 tahun pertama pernikahan kemudian menurun sampai periode ketika anak‐anak sudah menginjak remaja/dewasa. Setelah anak meninggalkan rumah, kepuasan pernikahan meningkat tetapi tidak mencapai tahap seperti 5 tahun awal pernikahan. Pada umumnya, pasangan yang menikah akan menyesuaikan diri dengan baik dalam pernikahannya setelah 3‐4 tahun pernikahan. Penyesuaian yang baik akan mendukung meningkatnya kepuasan perkawinan (Hurlock 1953). Penjelasan tersebut berbeda dengan hasil penelitian Zainah et al. (2012), yang menyatakan bahwa pasangan dengan lama pernikahan lebih dari 10 tahun memiliki kepuasan yang lebih tinggi. Penelitian-penelitian lama yang meneliti hubungan antara lama pernikahan degan kepuasan perkawinan memperlihatkan hasil yang tidak konsisten, maka masih ada hal-hal yang diperdebatkan dalam literatur-literatur tersebut (Clements dan Swensen, 2000). Beberapa penelitian memperlihatkan fakta mengenai perkawinan, bahwa hubungan dalam perkawinan memiliki kecenderungan untuk menurun dalam hal kepuasan selama duapuluh tahun pertama perkawinan. Kebanyakan pasangan yang baru menikah memiliki kepuasan perkawinan yang tinggi dan perubahan-perubahan selama perjalanan perkawinan dapat menurunkan kepuasan perkawinan (Broderick, 1988). Penelitian longitudinal Huston et al. (1986) menemukan penurunan kepuasan perkawinan selama awal pernikahan dan penelitian Glenn (1989) menegaskan dengan penemuan, bahwa pasangan yang menyatakan kepuasan perkawinan mereka dengan “sangat bahagia” (very happy) menunjukkan penurunan kepuasan perkawinan secara terus-menerus dalam sepuluh sampai duapuluh lima tahun perkawinan.
31 Simpulan Sebagian besar suami dan istri tergolong usia produktif (31-40 tahun). Ratarata suami dan istri berpendidikan setara SMA. Sebagian besar keluarga tergolong keluarga kecil dan rata-rata telah menikah selama 10 tahun. Pendapatan perkapita keluarga sebagian besar tidak tergolong dalam kategori miskin. Satu dari dua istri (54.2%) tergolong dalam kategori konflik kerja-keluarga sedang dan lebih dari satu per tiga istri (39.2%) tergolong dalam kategori kepuasan perkawinan tinggi. Konflik kerja-keluarga berhubungan negatif secara nyata dengan pendidikan istri, dan berhubungan positif secara nyata dengan besar keluarga. Kepuasan perkawinan berhubungan positif secara nyata dengan pendidikan istri, dan berhubungan negatif secara nyata dengan besar keluarga, lama pernikahan dan konflik kerja keluarga. Pendidikan istri dan konflik kerja mengganggu keluarga berpengaruh sangat signifikan terhadap kepuasan perkawinan.