KONFLIK DAN KEHARMONISAN KELUARGA PADA KELUARGA PETANI
DWI PUSPITA SARI
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konflik dan Keharmonisan Keluarga pada Keluarga Petani adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2014 Dwi Puspita Sari NIM I24100014
ABSTRAK DWI PUSPITA SARI. Konflik dan Keharmonisan Keluarga pada Keluarga Petani. Dibimbing oleh HERIEN PUSPITAWATI. Konflik dalam keluarga merupakan salah satu yang menjadi penyebab dari ketidakharmonisan keluarga. Keharmonisan keluarga dapat tercipta jika fungsifungsi dalam keluarga dapat dijalankan dengan baik serta adanya keseimbangan dalam sistem keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi konflik keluarga petani dan keharmonisan keluarga, mengidentifikasi tipologi konflik dan keharmonisan keluarga, dan menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dan potensi konflik dengan keharmonisan keluarga. Populasi pada penelitian ini adalah keluarga petani yang ada di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dengan contoh sebanyak 35 keluarga. Pengambilan contoh dilakukan dengan metode sensus kemudian simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik pada keluarga petani tergolong rendah dan keharmonisan keluarga tergolong tinggi. Tipologi konflik dan keharmonisan keluarga termasuk ke dalam Tipe 3 dan Tipe 4. Semakin tua ibu, maka potensi konflik pada keluarga akan semakin rendah dan keharmonisan tinggi). Hubungan antara konflik dengan keharmonisan keluarga tidak berhubungan secara signifikan. Kata kunci: konflik keluarga, keharmonisan keluarga, keluarga petani
ABSTRACT DWI PUSPITA SARI. Family Conflict and Family Harmony on Farmer Families.Supervised by HERIEN PUSPITAWATI. Conflict in the family is one of the caused of family disharmony. The family harmony can be maintained if family functions were implemented in balanced condition. The purposes of the study were identified family conflict of farmer families and family harmony, to identified conflict family and family harmony’s typologies and to analyzed the correlation between characteristics of family and conflict potential withfamily harmony. The population in this research was farmer families in the Sub-district Cipendawa, District Pacet, Cianjur, West Java, with samples as many as 35 familes. Sampling was selected by census then simple random sampling. The results showed that conflicton farmer families was in low level and family harmony was in high level. The typology of family conflict and family harmony was categorized as Type 3 and Type 4. The results also showed that the older mother, tend to lower the conflict within family. However, there was no significant correlation between family conflict with family harmony. Keywords: family conflict, family harmony, farmer families
KONFLIK DAN KEHARMONISAN KELUARGA PADA KELUARGA PETANI
DWI PUSPITA SARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Sktipsi: Konflik dan Keharmonisan Keluarga pada Keluarga Petani
Dwi Puspita Sari
Nama
:
NIM
: 124100014
Disetujui oleh
Dr Ir Herien Puspitawati, M S c_
,
MSc
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
r Ir Ujang Sumarwan,l{[Sc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
2 3 DEC 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiahdengan judul “Konflik dan Keharmonisan Keluarga pada Keluarga Petani” dapat diselesaikan. Penulisan karya ilmiah ini tentunya tidak terlepas dari beberapa kesalahan dan kekurangan serta mendapatkan bantuan dan dukungan baik langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak.Terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Dr Ir Herien Puspitawati, MSc, MSc selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan memberikan banyak masukan dalam proses penyusunan karya ilmiah ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik. 2. Dr Ir Dwi Hastuti, MSc selaku pemandu seminar, Dr Ir Lilik Noor Yuliati, MFSA selaku dosen penguji ujian akhir skripsi, Ir Retnaningsih, MSi selaku moderator ujian akhir skripsi, atas masukan dan saran-saran dalam penyempurnaan dan perbaikan karya ilmiah ini. 3. Neti Hernawati, SP, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang banyak memberikan masukan dan nasehat dalam hal akademik. 4. Seluruh dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen yang telah memberikan banyak sekali ilmu dan isnpirasi kepada penulis. 5. Kepala Desa Cipendawa, Kepala Sekolah SDN Harapan, serta Kepala Sekolah SDIT Darul Hikmah yang telah memberikan izin serta dukungan dalam proses pengambilan data dan informasi responden. 6. Orang tua penulis yang sangat penulis sayangi dan menjadi motivasi untuk terus melakukan hal terbaik, Bapak Sutrisno dan Ibu Halmita. Kakak penulis Eka Ratna Sari dan Uda Dasrizal atas dukungannya, serta sepupu yang selalu memberikan semangat Rizma Yuni dan seluruh keluarga di Padang dan Pati. 7. Sahabat-sahabat penulis Ringga, Nila, dan Wela, Fariz, Mba Risty, Indi, Runi, Tria, Nenny, Yosita, Mila, dan teman-teman IKK 47 atas kebersamaan dan dukungan, Kak Salsabila dan Mba Vivi yang memberikan masukan dan saran, serta teman satu bimbingan Izma, Danisya, dan Ilma. Terima kasih untuk dukungan dan semangat yang diberikan. 8. Keluarga Wisma Seroja yang berbaik hati untuk mendukung dan memberikan semangat kepada penulis, serta berbagai pihak yang tidak bisa dituliskan satu per satu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2014 Dwi Puspita Sari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA
4
KERANGKA PEMIKIRAN
7
METODE
11
Disain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
11
Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh
11
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
12
Pengolahan dan Analisis Data
13
Definisi Operasional
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
15
Hasil
15
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
15
Karakteristik Keluarga
16
Konflik Keluarga
19
Keharmonisan Keluarga
21
Tipologi Konflik dan Keharmonisan Keluarga
24
Hubungan antar Variabel
26
Pembahasan Umum
28
SIMPULAN DAN SARAN
29
DAFTAR PUSTAKA
31
LAMPIRAN
35
RIWAYAT HIDUP
48
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis variabel, skala, dan kategori data Sebaran usia suami dan istri Sebaran lama pendidikan suami dan istri Sebaran tipe petani Sebaran besar keluarga Sebaran konflik keluarga secara umum Sebaran konflik keluarga berdasarkan tipe petani Sebaran keharmonisan keluarga secara umum Sebaran keharmonisan keluarga berdasarkan tipe petani Koefisien korelasi antara karakteristik keluarga dan konflik dengan keharmonisan keluarga
12 16 17 18 18 20 21 22 23 27
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran hubungan karakteristik keluarga, potensi konflik, dan keharmonisan keluarga 2 Kerangka pengambilan contoh 3 Grafik analisis tipologi konflik dan keharmonisan keluarga
10 11 25
DAFTAR LAMPIRAN Kronologis sampling Peta Kecamatan Pacet Hasil-hasil penelitian terdahulu Sebaran contoh berdasarkan konflik keluarga Sebaran contoh berdasarkan keharmonisan keluarga Data kualitatif arti keluarga Daftar responden berdasarkan tipologi konflik dan keharmonisan keluarga 8 Hasil uji korelasi Pearson antara karakteristik keluarga, konflik keluarga dengan keharmonisan keluarga 1 2 3 4 5 6 7
35 36 37 41 43 45 46 47
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia terkenal sebagai negara agraris karena sebagian besar tanahnya dapat dijadikan lahan pertanian serta tidak sedikit masyarakatnya yang bermata pencaharian sebagai petani.Sensus Pertanian 2013 memberikan gambaran bahwa terjadi penurunan rumah tangga usaha pertanian dibandingkan dengan tahun 2003 yang didominasi oleh sektor pertanian tanaman pangan dan hortikultura serta peternakan. Sektor pertanian tersebut memiliki peranan yang sangat strategis dalam penyerapan tenaga kerja, pembentukan kapital, penyediaan pangan, dan penyediaan bahan baku untuk industri dalam negeri (Nainggolan 2005). Namun petani Indonesia dianggap sebagai masyarakat yang termarjinalkan serta kondisinya masih memprihatinkan seperti lemahnya ekonomi usaha, lemah dalam produktivitas, lemah dalam pendapatan, dan lemah dalam posisi tawar (Sastraatmajda 2006). Menurut Sunarti dan Khomsan (2012) keluarga petani masih belum sejahtera dikarenakan sektor pertanian yang semakin terpuruk serta kebijakan pertanian dianggap belum konsisten. Kemiskinan pada keluarga petani diduga dapat menimbulkan konflik dalam keluarga petani tersebut. Rachmadani (2013) menyebutkan bahwa sumber atau pemicu terjadinya konflik dalam hubungan suami-istri yaitu kesulitan ekonomi dalam keluarga. Conger et al., Voydanoff dan Donnelly juga mengatakan bahwa kemiskinan merupakan kontribusi yang memperburuk konflik keluarga (Santiago dan Wadsworth 2009). Konflik merupakan suatu hal yang akan selalu ditemui dalam kehidupan termasuk kehidupan keluarga. Setiap keluarga mengalami konflik yang berbeda-beda dan menyelesaikannya dengan cara yang berbeda. Konflik yang berkepanjangan dapat menimbulkan kekacauan dalam kehidupan keluarga yaitu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga bahkan perceraian. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) yang dilaporkan oleh harian Republika menyebutkan bahwa semenjak tahun 2005 sampai 2010 telah terjadi peningkatan perceraian di Indonesia sebesar 70 persen, dan diperkirakan naik 10 persen pada tahun 2011 dibandingkan tahun sebelumnya dengan faktor penyebab yang paling banyak adalah ketidakharmonisan, tidak ada tanggung jawab, dan masalah ekonomi. Wilayah Jawa Barat merupakan penyumbang tertinggi terkait kasus perceraian di Indonesia 1. Menurut data dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA), sepanjang 2010 terdapat 33.684 kasus perceraian di Jawa Barat, sedangkan di Jawa Timur sendiri terdapat 21.324 kasus dan 12.019 kasus di Jawa Tengah. Angka kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2010 berdasarkan data Komnas Perempuan yang dilansir harian Tempo (2013) yaitu hampir mencapai 101 ribu kasus dengan korban perempuan dan anak. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh perempuan biasanya berupa kekerasan fisik seperti ditampar, kata-kata kasar atau mencaci maki, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi dengan tidak memberi uang untuk keperluan rumah tangga atau kebutuhan anak (Kisinky 2012). 1
news.detik.com. Tingkat Perceraian di Indonesia Meningkat. Edisi: Kamis, 4 Agustus 2011. [diakses pada 2 Januari 2014]
2 Konflik keluarga mengakibatkan ketidakharmonisan keluarga (Pekdemir, Kocogu, dan Gurkan 2013). Keluarga yang harmonis terbentuk karena adanya komunikasi, sikap saling menghormati antar anggota keluarga, rendahnya konflik, dan memiliki waktu luang atau waktu bersama dengan keluarga (Lam et al. 2012). Keluarga yang harmonis dapat mencegah timbulnya permasalahan bagi individu yang ada dalam keluarga tersebut misalnya terlibat narkoba atau minum-minuman alkohol bagi anak (Trinidad et al. 2003) atau prestasi akademik anak (Desiani 2012). Keharmonisan keluarga perlu dipelihara agar keluarga tersebut dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan seimbang. Konflik yang muncul dalam keluarga petani harus diatasi dan diselesaikan dengan baik sehingga tercipta keharmonisan keluarga dan akhirnya mencapai kesejahteraan. Penelitian-penelitian terdahulu mengenai konflik keluarga khususnya di Indonesia masih sebatas menggambarkan tentang konflik yang berujung pada perceraian (Prianto, Wulandari, dan Rahmawati 2013) atautentang kekerasan dalam rumah tangga (Wahab 2006; Kisinky 2012; Rachmadani 2013). Disamping itu, penelitian keharmonisan keluarga secara umum membahas mengenai kaitannya dengan hubungan perkawinan (Nancy 2013) dan interaksi keluarga (Yigibalom 2013), perilaku dan prestasi anak (Afiah dan Purnamasari 2012; Desiani 2012; Utama dan Nurwidawati 2013) atau persepsi secara umum (Lestari, Hardjanta, dan Primastuti 2000). Studi mengenai hubungan antara keharmonisan keluarga dengan konflik keluarga terutama pada keluarga petani masih belum ditemukan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai konflik dan keharmonisan pada keluarga petani.
Perumusan Masalah Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal dalam ketuhanan Yang Maha Esa. Keluarga yang bahagia meliputi keharmonisan keluarga, sikap peduli dan dukungan, perasaan nyaman dan kebersamaan, dan kesenangan atau kepuasan, sedangkan keharmonisan keluarga terdiri dari komponen komunikasi, saling menghormati, rendah akan konflik, dan memiliki waktu untuk keluarga (Lam et al. 2012). Konflik dapat terjadi karena adanya nilai atau perilaku yang berbeda dan jika salah satu anggota keluarga mengalami konflik dengan anggota keluarga lainnya, maka anggota keluarga yang lain akan terpengaruh, hal ini karena keluarga merupakan sebuah sistem (Galvin, Bylund, dan Brommel 2004). Salah satu bentuk permasalahan keluarga yang disebabkan oleh munculnya konflik yaitu kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Kekerasan dalam rumah tangga dapat disebabkan oleh kurangnya komunikasi, ketidakharmonisan, alasan ekonomi, ketidakmampuan mengendalikan emosi, ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga, dan efek konsumsi narkoba atau miuman keras, rasa cemburu, problem seksual, pertengkaran tentang anak, suami memiliki masalah diluar rumah, dan keputusan istri untuk bekerja (Wahab 2006; Kisinky 2012). Konflik yang tak terselesaikan dapat mengakibatkan terjadinya perceraian. Kepala Kantor Wilayah Jawa Barat Kementrian Agama RI, Saeroji mengungkapkan bahwa setiap tahun terdapat 400 ribu pasangan yang menikah di
3 Jawa Barat dan sepuluh persennya tercatat bercerai di pengadilan agama dan banyak perceraian yang juga tidak resmi atau tidak tercatat di pengadilan agama2. Menurut data Pengadilan Agama Cianjur, tercatat sebanyak 609 kasus cerai gugat dan 105 kasus cerai talak sepanjang tahun 2013.Permasalahan keluarga tersebut erat kaitannya dengan konflik yang timbul dalam kehidupan keluarga dan mengganggu keharmonisan keluarga. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengenai: 1. Bagaimanakahkonflik yang ada pada keluarga petani? 2. Bagaimanakah keharmonisan keluarga petani? 3. Bagaimanakah tipologi konflik dan keharmonisan keluarga pada keluarga petani? 4. Bagaimanakah hubungan karakteristik keluarga dan konflik keluarga dengan keharmonisan keluarga pada keluarga petani?
Tujuan Penelitian Tujuan umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan konflik keluargadengan keharmonisan keluarga pada keluarga petani
Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi konflik pada keluarga petani 2. Mengidentifikasi keharmonisan keluarga petani 3. Mengidentifikasi tipologi konflik dan keharmonisan keluarga keluarga petani 4. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dan konflik dengan keharmonisan keluarga petani
Manfaat Penelitian 1. 2. 3.
4.
2
Penelitian ini diharapkan berguna: Bagi peneliti; mengasah kompetensi dalam studi ilmu keluarga dan mengaplikasikan teori yang telah diperoleh saat perkuliahan Bagi masyarakat; memberikan gambaran mengenai konflik pada kehidupan keluarga serta penyelesaiannya sehingga terciptanya keharmonisan keluarga Bagi pemerintah; sebagai referensi untuk membuat kebijakan terkait aspek yang lebih memperhatikan pada keharmonisan keluarga terutama keluarga petani Bagi institusi pendidikan: mengembangkan studi tentang keluarga khususnya konflik keluarga dan keharmonisan keluarga
www.pikiran-rakyat.com. Tiap Tahun di Jabar, 40 Ribu Pasangan Cerai. Edisi: Selasa, 10 Juli 2012. [diakses pada 2 Januari 2014]
4
TINJAUAN PUSTAKA Teori Struktural-Fungsional Dasar dari pendekatan struktural-fungsional dikemukakan oleh Spencer kemudian dikembangkan oleh Durkheim. Pendekatan ini mengakui adanya keragaman dalam kehidupan sosial yang merupakan sumber utama dari struktur masyarakat. Beberapa ilmuwan atau tokoh yang mengembangkan teori strukturfungsional ini adalah August Comte yang dikenal sebagai “Bapak Sosiologi” yang menginginkan sebuah “konsensus sosial”, kemudian Herbert Spencer yang membedakan antara konsep “struktur” dan konsep “fungsi”, Emile Durkheim, dan Talcott Parsons. (Megawangi 1999). Talcott Parsons merupakan tokoh yang paling berpengaruh dalam pengembangan struktural-fungsional sebagai teori untuk menganalisis perubahan keluarga.Menurut Parsons keluarga memiliki dua fungsi yaitu fungsi instrumental (untuk pertahanan) dan fungsi ekspresif atau fungsi yang berhubungan untuk pemeliharaan moral dan kerjasama (Georgas 2006). Keluarga merupakan salah satu bagian dari subsistem dalam masyarakat yang berinteraksi dengan subsitem lainnya seperti sistem ekonomi, politik, pendidikan, dan agama sehingga keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan dalam masyarakat (Megawangi 1999). Struktur dalam keluarga mencakup tiga elemen utama yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan: 1) Status sosial yaitu sebagai identitas dan kepemilikan dalam sistem individu serta merupakan gambaran hubungan timbal balik antar individu dengan status sosial yang berbeda, 2) Fungsi sosial merupakan peran dan fungsi masing-maising individu dalam interaksi dengan individu lainnya atau kelompok dengan status sosial yang berbeda, 3) Norma sosial yang berperan dalam mengatur tingkah laku individu dalam kehidupan sosialnya. Keluarga Petani Menurut para sosiologis dan antropologi Barat, keluarga diartikan sebagai keluarga inti yaitu terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Akan tetapi pada kebudayaan secara umum, dalam keluarga juga terdapat kakek, nenek, paman, bibi, bahkan seseorang yang tidak berhubungan sama sekali. Oleh sebab itu berdasarkan kesepakatan, keluarga didefinisikan sebagai suatu institusi umum dan penting bagi pertahanan manusia dalam semua aspek sosial (Georgas 2006). Keluarga befungsi sebagai perantara individu kepada masyarakat atau struktur sosial yang lebih besar dan menyumbangkan hal-hal sebagai berikut kepada masyarakat yaitu kelahiran, pemeliharaan fisik anggota keluarga, penempatan anak dalam masyarakat, pemasyarakatan, dan kontrol sosial (Goode 2007). Pertanian merupakan usaha yang bertujuan untuk mengadakan suatu ekosistem buatan manusia sebagai penyedia bahan makanan bagi manusia, yang teridiri dari usaha lahan pertanian bercocok tanam dan usaha peternakan (Nasoetion 2010). Keluarga petani merupakan keluarga yang bermata pencaharian utama sebagai petani sebagai sumber penghasilan keluarga. Sebagian besar petani tinggal di pinggiran kota dan umumnya di pedesaan, sedangkan di perkotaan
5 keluarga petani hidup di bawah garis kemiskinan (Witrianto 2005 dalam Gustiana 2012). Dua konsep mengenai petani menurut Reddy (2011) yaitu, peasants (subsistence farmers) merupakan petani yang memiliki lahan sempit dan hasil pertanian digunakan untuk kebutuhan sendiri, serta farmers yaitu petani yang hidup dari pertanian dan hasil pertaniannya kemudian dijual. Status petani dalam usaha tani dapat dikelompok menjadi empat (Soeharjo dan Patong dalam Gustiana 2012), yaitu: 1. Petani pemilik Petani pemilik merupakan petani yang mempunyai hak milik terhadap tanah pertaniannya dan mereka mengerjakan atau mengelola dan menggarap pertaniannya tersebut secara langsung.Selain tanah, faktor-faktor produksi lainnya seperti peralatan dan sarana produksi merupakan milikk petani sendiri. 2. Petani penyewa Petani yang menyewa tanah orang lain untuk usaha pertanian karena tidak memiliki lahan atau tanah sendiri. Bentuk sewa dapat berupa produksi fisik atau uang yang telah ditentukan atau sesuai perjanjian yang telah ditetapkan sebelumnya.Resiko usaha tani merupakan tanggung jawab penyewa, bukan tanggung jawab pemilik tanah. 3. Petani penggarap Petani penggarap yaitu petani yang mengelola tanah milik orang lain untuk kemudian hasilnya menggunakan sistem bagi hasil dengan resiko hasil pertanian ditanggung bersama dengan pemilik tanah dan penggarap. 4. Buruh tani Buruh tani yaitu orang yang mengerjakan tanah milik orang lain dengan sistem upah. Resiko usaha tani merupakan tanggung jawab sepenuhnya pemilik tanah, buruh tani hanya mengerjakan usaha tani dan hidupnya bergantung pada pemilik tanah yang mempekerjakannya. Konflik Keluarga Konflik dapat didefinisikan sebagai suatu proses sosial antara individu atau kelompok dengan salah satu pihak bertujuan untuk membuat pihak lain mejadi tidak berdaya atau menghancurkannya dengan dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri individu seperti perbedaan yang menyangkut fisik, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain-lain (Rachmadani 2013). Sebagian besar orang berpendapat bahwa konflik merupakan hal yang negatif dan harus selalu dihindari, akan tetapi konflik dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait dengan keuntungan dan kerugian sebelum keputusan akhir (Saleh 2011). Gelles and Straus membagi konflik ke dalam tiga bagian: 1) Conflict of interest yaitu perdebatan pendapat, kesukaan (preferences), keinginan, kebutuhan antara dua orang atau lebih; 2) Conflict yaitu makna, metode, atau perilaku yang digunakan untuk menyelesaikan conflicting interests; 3) Hostility, merupakan perasaan emosi yang negatif (tidak suka, benci) yang berlaku pada dua orang/ grup atau lebih (Galvin, Bylund, dan Brommel 2004). Dalam kehidupan perkawinan konflik merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dan salah satu alasan dari ketidakpuasan perkawinan (Knox 1985). Konflik keluarga terjadi karena adanya ketidakcocokan antara dua orang atau lebih anggota keluarga
6 dalam hal nilai-nilai atau kepercayaan yang berlaku dalam keluarga (Galvin, Bylund, dan Brommel 2004). Konflik dapat berupa hal sepele atau merupakan sebuah komplikasi yang luar biasa dan mengakibatkan banyak hal terlibat yang akan terkena dampaknya (Saxton 1990). Sumber konflik menurut Knox (1985) adalah sebagai berikut: 1. Perilaku (Behavior); seseorang mungkin akan kecewa jika pasangannya melakukan hal-hal yang tidak disukainya, sebaliknya ia akan merasa baik (feel good) jika pasangannya melakukan hal-hal yang menyenangkan. 2. Persepsi (Perception); persepsi dapat menjadi sumber terhadap kepuasan atau ketidakpuasan. Saat seseorang merasa tidak puas atau kecewa dengan perilaku pasangannya, maka ia harus merubah persepsinya bahwa perilaku pasangannya tersebut merupakan hal yang tidak bermasalah. 3. Perbedaan nilai (Value Difference); perbedaan nilai dari pasangan yang telah menikah dapat berupa perbedaan mengenai pelaksanaan peran suami/istri, perbedaan nilai religi, uang, dan hubungan dengan suadara ipar. Perbedaan nilai dalam sebuah hubungan bukanlah hal yang buruk jika masing-masing anatar pasangan mampu menerima dan menilai dari berbagai sudut pandang. 4. Aturan yang tidak konsisten/ berubah-ubah (Inconsistent Rules); peraturan yang tidak konsisten atau tidak mendapat persetujuan dari pasangan akan menimbulkan konflik. 5. Ambiguitas kepemimpinan (Leadership Ambiguity); konflik dapat terjadi dalam keluarga setiap individu ingin menjadi pemimpin dan sepenuhnya ingin menjadi penentu dalam pengambilan keputusan. Hal ini mengakibatkan keambiguitasan pemimpin di keluarga. Terdapat lima macam gaya konflik menurut Laver dan Laver (2012) yaitu: 1) Competition, merupakan konflik yang terjadi karena salah satu pasangan mendominasi; 2) Avadence, yakni pasangan meyakini bahwa konflik harus dihindari bukan diselesaikan agar tercipta kebahgiaan, tetapi pada kenyataannya pasangan kurang bahagia; 3) Accomodation, salah satu pasangan bersikap mengabaikan; 4) Compromise, mengkhawatirkan kepentingan sendiri dan kepentingan pasangan; 5) Collaboration, terlalu berlebihan dalam memperhatikan kepentingan sendiri dan pasangan. Menurut Galvin, Bylund, dan Brommel (2004) terdapat dua macam konflik yaitu 1) Konflik destruktif yang terdiri atas covert destructive conflict (konflik yang terjadi karena perasaan yang tersembunyi dan pesan yang disampaikan tidak jelas) dan overt destructive conflict (perilaku negatif yang mengarah pada kekerasan baik verbal maupun non-verbal); 2) Konflik konstruktif, merupakan konflik yang terjadi diselesaikan dengan baik sehingga tidak terulang di masa yang akan datang atau adanya manajemen konflik yang dilakukan oleh keluarga sehingga dapat saling mengetahui hal-hal yang disetujui atau tidak disetujui dan mengemukakan ide serta perasaan mereka, akibatnya antar anggota keluarga dapat saling memahami menganai alasan, pendapat, dan perasaan masing-masing dalam bertindak.
7 Keharmonisan Keluarga Keharmonisan terjadi karena adanya perasaan yang sangat puas satu sama lain dalam sebuah hubungan serta adanya rasa saling bahagia satu sama lain (Laver dan Laver 2012). Keharmonisan merupakan hasil dari sistem yang demokrasi dan adanya sikap saling kerjasama dalam suatu hubungan, dengan faktor-faktor yang paling penting yaitu afeksi, saling berbagi pengalaman, saling percaya, berbagi dalam membuat keputusan, bekerjasama, bereaksi cepat terhadap krisis keluarga seperti ada anggota yang sakit, bersatu sebagai sebuah unit yang melawan serangan dari luar, memiliki kepentingan bersama, taat menjalankan agama, dan menjaga status yang unggul dalam komunitas sosial (Burgess dan Locke 1960). Keharmonisan keluarga merupakan sinonim dari kebahagiaan keluarga yang dipersepsikan sebagai suatu hal yang penting dalam sebuah keluarga (Lam et al. 2012), persepsi tentang berjalannya fungsi keluarga dengan baik dan efektif (Trinidad et al. 2003), serta adanya hubungan baik antara anggota keluarga seperti ayah-anak, ibu-anak, anak-anak, ayah-ibu (Chuang 2005). Keluarga yang harmonis akan memenuhi kebutuhan dasar anak seperti kasih sayang, perhatian, dan rasa aman serta adanya komunikasi yang baik antara anggota keluarga sehingga terciptanya keterbukaan dan kebebasan dalam mengemukakan pendapat (Afiah dan Purnamasari 2012). Lam et al. (2012) menyatakan bahwakeharmonisan keluarga merupakan elemen inti dari keberfungsian keluarga dan berkontribusi terhadap kebahagiaan keluarga yang terdiri dari komponen komunikasi, saling menghormati, rendah akan konflik, dan memiliki waktu untuk keluarga. Keharmonisan keluarga dipengaruhi oleh cara berpikir positif seorang ibu terhadap permasalahan dalam keluarga. Gambaran berpikir positif berupa penafsiran bahwa rumah tangganya berada dalam keadaan yang harmonis yang ditandai dengan suasana yang didasari oleh cinta kasih, iman yang kuat, sifat kedewasaan, rasa tanggung jawab, sikap saling pengertian, mau menerima kenyataan dengan ikhlas, dan sikap mau memaafkan (Lestari, Hardjanta, dan Primastuti 2012).
KERANGKA PEMIKIRAN Teori struktural-fungsional keluarga menekankan bahwa dalam kehidupan keluarga harus ada aturan atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga agar memiliki arti sehingga keluarga tersebut dapat bahagia (Puspitawati 2012). Berdasarkan teori struktural-fungsional tersebut menganggap konflik atau penyimpangan sebagai hal yang tidak baik sehingga harus diselesaikan agar tercipta keharmonisan dalam keluarga. Menurut Prianto, Wulandari, dan Rahmawati (2013), dalam pernikahan, pemahaman oleh calon pasangan maupun pasangan suami istri terhadap tujuan dan makna perkawinan sangatlah penting. Jika makna dan tujuan perkawinan tidak dianggap penting maka ketika terjadi gangguan, tantangan, dan ancaman sedikit saja, perkawinan menjadi mudah goyah,
8 retak dan akhirnya berantakan.Ketika salah satu anggota keluarga memiliki keterbatasan atau penyakit yang kronis, seluruh keluarga harus mencari jalan keluar dan usaha melalui dukungan anggota keluarga lainnya, teman, atau komunitasnya (Smart dan Smart 1980). Konflik keluarga dapat menjadi stressor atau sumber stres bagi anggota keluarga (Scharlach, Li, dan Dalvi 2006) dan keduanya berhubungan secara signifikan (Santiago dan Wadsworth 2009).Konflik dalam keluarga diantaranya yaitu konflik antara suami istri, konflik orang tua dengan anak dan konflik antar saudara (sibling) dan dapat terjadi karena salah satu anggota keluarga ada yang sakit, tuntutan untuk beradaptasi, ketidakberfungsian keluarga (Scharlach, Li, dan Dalvi 2006). Konflik juga dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan (Subiyanto 2003 dalam Rachmadani 2013), masalah perbedaan penghasilan antara suami dan istri yang sama-sama bekerja (Rachmadani 2013), masalah finansial atau keuangan (Nwoye 2000; Lam et al. 2012; Roxana 2013) dan status istri yang bekerja (Suryadi dan Moeryono 1996 dalam Rachmadani 2013). Pendidikan yang lebih tinggi dapat memudahkan seseorang untuk mengakses ekonomi dan sumberdaya lebih mudah sehingga terlepas dari ketidakbahagiaan pernikahan (Zheng dan Penning 1997). Namun Tubbs, Roy, dan Burtons (2005) mengatakan bahwa keluarga yang pendapatannya lebih rendah memiliki waktu yang secara tidak sengaja terjadwal untuk melakukan rutinitas bersama antar anggota keluarga seperti makan bersama, berinteraksi, dan mendidik anak serta adanya pembagian peran dalam mengasuh. Konflik keluarga merupakan faktor yang sangat berkontribusi dalam masalah psikologis pada anak dan orang dewasa (Juang dan Alvarez 2010), seperti masalah emosi dan perilaku negatif pada anak (Hall dan Cummings 1997; ElSheikh dan Erath 2011), dan sikap depresi pada orang dewasa (Formoso, Gonzales, dan Aiken 2000). Kemampuan untuk mendapatkan dukungan sosial berhubungan dengan kemampuan untuk menyelesaikan konflik, sedangkan sikap penyesuaian berhubungan positif dengan sikap penghindaran konflik (Koerner dan Fitzpatrick 1997). Konflik dalam keluarga menyebabkan ketidakstabilan dalam pernikahan (Kalil dan Wightman 2010), dan ketidakstabilan pernikahan yang disebabkan oleh konflik menuju pada perceraian, orang tua tunggal, dan ditinggalkan oleh pasangan (Ngozi, Peter, dan Stella 2013). Konflik dalam keluarga menjadi penyebab dari terganggunya keharmonisan dalam keluarga (Choi dan Cho 2011 dalam Pekdemir 2013) dan merupakan faktor penentu keharmonisan keluarga (Lam et al. 2012). Keluarga yang harmonis akan memenuhi kebutuhan dasar seperti kasih sayang, perhatian, dan rasa aman serta adanya komunikasi yang baik antar anggota keluarga karena akan menimbulkan sikap keterbukaan bagi setiap anggota keluarga dalam mengemukakan pendapat (Afiah dan Purnamasari 2012). Lam et al. (2012) menyatakan bahwakeharmonisan keluarga merupakan elemen inti dari keberfungsian keluarga dan berkontribusi terhadap kebahagiaan keluarga, sedangkan ketidakharmonisan keluarga memberikan dampak buruk terhadap prestasi belajar anak dan merupakan penyebab yang signifikan terhadap penggunaan tembakau dan alkohol (Desiani 2012; Trinidad et al. 2003). Komitmen keluarga dan komunikasi merupakan hal yang berhubungan positif dengan keharmonisan keluarga (Adendorff, Venter, dan Boshoff 2008). Faktor-faktor yang memengaruhi keharmonisan keluarga yaitu harapan terhadap pasangan, pengasuhan,
9 pengelolaan finansial, teman, seksualitas, hubungan dengan kerabat pasangan, keberadaan anak, kerjasama dalam mengasuh anak, dan berbagi tanggung jawab mengenai kepentingan anak merupakan faktor yang menjadi pembeda antara keharmonisan perkawinan (Sevinç dan Garip 2010), serta sikap menghargai yang ditunjukkan oleh anak kepada orang tua (Chuang 2005). Keluarga dengan rasa saling hormat menghormati yang tinggi serta cinta pada keluarga memiliki hubungan yang positif signifikan dengan keharmonisan keluarga (Chuang 2005). Keharmonisan keluarga juga berkontribusi pada keluarga yang sehat dan bahagia (Lam et al. 2012). Penelitian pendahuluan secara detil dilampirkan di Lampiran 3.
10 Karakteristik keluarga: - Usia suami - Usia istri - Lama pendidikan suami - Lama pendidikan istri - Pekerjaan suami - Pekerjaan istri - Pendapatan keluarga - Besar keluarga
Konflik keluarga: - Konflik suami-istri - Konflik antar anak - Konflik orang tua-anak - Konflik keluarga besar - Aspek material - Aspek non material
Keharmonisan keluarga: - hubungan suami-istri - hubungan orang tua-anak - hubungan anak-anak - hubungan menantu-mertua
Keutuhan keluarga
- Dukungan sosial - Interaksi keluarga - Nilai-nilai perkawinan - Fungsi keluarga
Keterangan: = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang diteliti = Hubungan yang tidak diteliti Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan karakteristik keluarga, konflik,dan keharmonisan keluarga
11
METODE Disain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan subsample dari penelitian Strategi Nasional (Stranas) TA 2014 yang berjudul “Analisis Gender tentang Strategi Hidup Keluarga, Investasi dan Kualitas Anak dalam Mencapai Target Millenium DevelopmentGoals (MDGs) pada Petani Dataran Tinggi” yang diketuai oleh Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc. Disain pada penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu dengan mengobservasi banyak orang dalam satu periode waktu tertentu dan tidak berkelanjutan. Lokasi penelitian yaitu di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa jumlah petani di Jawa Barat tergolong tinggi dan Kabupaten Cianjur merupakan kawasan pertanian dataran tinggi salah satunya adalah Desa Cipendawa. Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan April hingga Juni 2014. Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh Populasi pada penelitian ini adalah keluarga petani di daerah Pacet. Contoh penelitian dipilih sebanyak 35 keluarga dengan status pekerjaan suami atau istri atau keduanya adalah petani. Unit analisis pada penelitian ini adalah keluarga dan individu. Penarikan contoh dilakukan pada siswa-siswi kelas 4 dan kelas 5 di SDN Harapan dan SDIT Darul Hikmah dengan melihat status pekerjaan orang tua. Secara detail kronologis pengambilan contoh terdapat pada Lampiran 1. Berikut adalah kerangka pengambilan contoh pada penelitian: Kabupaten Cianjur
Purposive berdasarkan wilayah pertanian
data
Kecamatan Pacet
Purposive berdasarkan luas lahan pertanian
data
Desa Cipendawa
Purposive berdasarkan jumlah petani
data
n= 120
n= 35
Sensus berdasarkan data siswa kelas 4 dan kelsas 5 SDN Harapan dan SD IT Darul Hikmah dengan orang tua sebagai petani Simple random sampling berdasarkan keluarga petani dengan suami-istri lengkap dari data Stranas
Gambar 2 Kerangka pengambilan contoh
12 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari instrumen penelitian berupa kuesioner yang terdiri dari karakteristik keluarga (usia suami, usia istri, lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, pekerjaan suami, pekerjaan istri, pendapatan keluarga, dan besar keluarga), konflik keluarga, dan keharmonisan keluarga. Sementara itu data sekunder diperoleh dari jurnal atau literatur terkait. Secara rinci, jenis variabel, skala data, dan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis variabel, skala, dan kategori data Variabel
Jenis Data
Karakteristik keluarga Usia suami (tahun)
Usia (tahun)
istri
Skala
Primer
Cara pengumpulan data
Kategori data
Wawancara Rasio
Rasio
Lama pendidikan suami (tahun)
Rasio
Lama pendidikan istri (tahun)
Rasio
Pekerjaan suami Pekerjaan istri
Nominal
Tipe petani
Nominal
Nominal
Hurlock (1980) 1. Dewasa awal (1840 tahun) 2. Dewasa madya (41-60 tahun) 3. Dewasa akhir (> 60 tahun) Hurlock (1980) 1. Dewasa awal (1840 tahun) 2. Dewasa madya (41-60 tahun) 3. Dewasa akhir (> 60 tahun) 1. < 6 tahun 2. Sama dengan 6 tahun 3. 7-9 tahun 4. 10-12 tahun 5. > 12 tahun 1. < 6 tahun 2. Sama dengan 6 tahun 3. 7-9 tahun 4. 10-12 tahun 5. > 12 tahun 1= Petani; 2= bukan petani 1= Petani; 2= bukan petani; 3= tidak bekerja/ ibu rumah tangga Gustiana (2012) 1. Petani pemilik
13 Lanjutan Tabel 1 Variabel
Jenis Data
Skala
Tipe petani
Primer
Nominal
Pendapatan keluarga (Rp/ bulan) Besar keluarga (orang)
Primer
Rasio
Primer
Rasio
Cara pengumpulan data
Kategori data Gustiana (2012) 2. Petani penyewa 3. Petani penggarap 4. Buruh tani
Wawancara
BKKBN (1994) 1. Keluarga kecil (≤4 orang) 2. Keluarga sedang (56 orang) 3. Keluarga besar (≥7 orang)
Konflik keluarga
Primer
Ordinal
Kuesioner 1= Rendah ( ≤ 75) mengacu kepada 2= Tinggi ( > 75) Formoso, Gonzales, dan Aiken (2000)
Keharmonisan keluarga
Primer
Ordinal
Kuesioner 1= Rendah ( ≤ 75) mengacu kepada 2= Tinggi ( > 75) Chuang (2005)
Ordinal
1= Tipe 1 (konflik tinggi, keharmonisan rendah) 2= Tipe 2 (konflik McCubbin dan tinggi, keharmonisan McCubbin tinggi) (1987) dalam 3= Tipe 3 (konflik Farhood (2004) rendah,keharmonisan tinggi) 4= konflik rendah, keharmonisan rendah)
Tipologi konflik
Primer
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan program Microsoft Excel danSPSS for Windows. Data-data yang telah diperoleh diolah melalui tahapan editing, coding, scoring, entry data, dan analisis data. Penilaian variabel-variabel pada penelitian ini diberi skor sesuai dengan skala yang digunakan. Variabel potensi konflik diukur dengan pernyataanpernyataan yang terdiri dari 27 item pernyataan menggunakan 4 skala dengan kategori, 1= tidak pernah, 2= kadang-kadang, 3= cukup sering, dan 4= sering sekali, dengan cronbach α 0,84 dan validasi isi sebanyak 19 item pernyataan
14 yang valid. Variabel keharmonisan keluarga juga dikur dengan pernyataanpernyataan yang menggunakan 4 skala dengan kategori, 1= tidak puas/bahagia, 2= kurang puas/bahagia, 3= cukup puas/bahagia, 4= sangat puas/bahagia yang terdiri dari 14 item pernyataan dengan nilai cronbach α sebesar 0,82 dan validasi isi sebanyak 6 item pernyataan yang valid. Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif untuk melihat sebaran karakteristik keluarga, kategori konflik, kategori keharmonisan keluarga, serta tipologi keluarga. Analisis deskriptif yang digunakan yaitu nilai maksimum, nilai minimum, rata-rata, standar deviasi, dan frekuensi. Analisis lainnya yang digunakan yaitu uji validitas, uji reliabilitas, uji bedaIndependent-sample t test, dan uji korelasi Pearson. Uji validitas digunakan untuk mengukur ketepatan atau keabsahan kuesioner, sedangkan uji reliabilitas digunakan untuk mengukur keandalan kuesioner atau seberapa konsisten kuesioner dapat digunakan. Uji bedaIndependent-sample t test digunakan untuk melihat perbedaan rata-rata usia suami dengan usia istri dan lama pendidikan suami dengan lama pendidikan istri serta perbedaan konflik keluarga dan keharmonisan keluarga berdasarkan tipe petani (petani pemilik dan petani non pemilik). Uji korelasi Pearson digunakan untuk melihat hubungan antar karakteristik keluarga dengan potensi konflik dan antara karakteristik keluarga dan potensi konflik dengan keharmonisan keluarga. Pengkategorian variabel potensi konflik dan keharmonisan keluarga dilakukan dengan cara menghitung skor indeks masing-masing variabel terlebih dahulu. Rumus menentukan nilai indeks yaitu sebagai berikut:
Keterangan: Indeks = skala nilai 0-100 Nilai aktual = nilai yang diperoleh responden Nilai maksimal = nilai tertinggi yang seharusnya dapat diperoleh responden Nilai minimal = nilai terendah yang seharusnya dapat diperoleh responden Setelah diperoleh indeks setiap variabel, kemudian indeks dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu “rendah” dan “tinggi” ditentukan dengan menggunakan cut off yakni kategori “rendah” memiliki nilai ≤ 75 dan kategori “tinggi” memiliki nilai > 75.
Definisi Operasional Contoh adalah keluarga petani dengan salah satu suami atau istri bekerja sebagai petani. Karakteristik keluarga yaitu ciri atau identifikasi keluarga yang meliputi usia suami, usia istri, lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, pekerjaan suami, pekerjaan istri, tipe petani, pendapatan keluarga, dan besar keluarga. Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal dalam rumah yang sama. Tipe petani yaitu jenis petani yang merupakan status pekerjaan baik suami maupun istri yang terdiri dari petani pemilik, petani penggarap, petani penyewa, dan buruh tani.
15 Pekerjaam suami-istri yaitu kegiatan suami dan istri untuk menghasilkan pendapatan keluarga yang dibedakan atas petani dan non petani. Pendapatan keluarga merupakan total keseluruhan penghasilan dari semua anggota keluarga yang bekerja baik sebagai petani maupun pekerjaan nonpetani. Keluarga petani adalah keluarga dimana suami ataupun istri bermata pencaharian sebagai petani dan menjadikan pertanian sebagai sumber penghasilan keluarga, baik sumber penghasilan utama maupun sumber penghasilan tambahan. Konflik yaitu kondisi tidak seimbangnya suatu sistem akibat permasalahan baik dari luar sistem maupun dari dalam sistem. Potensi konflik adalah indikasi terjadi ketidakseimbangan dan ketidakberfungsian keluarga yang mengarah pada konflik dalam keluarga. Konflik keluarga merupakan kondisi tidak berfungsinya keluarga sebagaimana mestinya dan mengganggu keseimbangan dalam keluarga, penyelesaian konflik tersebut berbeda-beda antar keluarga. Keharmonisan keluarga yaitu terciptanya rasa aman dalam keluarga serta adanya interaksi yang baik antara suami-istri, orang tua-anak, dan antar anak yang mencakup kebahagiaan dan kepuasan dalam keluarga. Tipologi konflik adalah jenis konflik pada keluarga yang dilihat berdasarkan keharmonisan keluarga dengan potensi konflik
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Keadaan Umum Lokasi Penelitian Secara astronomis, Kecamatan Pacet terletak antara 107º 00’00”-107º 04’00” BT dan 06º 42’00”-06º 46’00” LS. Luas wilayah Kecamatan Pacet yaitu 4.166,45 ha dengan ketinggian 1080-2962 mdpl dan kemiringan 3-40% sehingga dapat dikatakan bahwa kecamatan ini merupakan daerah dataran tinggi. Jumlah desa di Kecamatan Pacet ada tujuh desa yaitu Desa Cipendawa, Desa Ciherang, Desa Ciputri, Desa Gadog, Desa Sukanagalih, dan Desa Sukatani. Secara keseluruhan luas lahan pertanian Kecamatan Pacet yaitu 2.355 ha dengan luas untuk sawah 453 ha dan bukan sawah 1.902 ha. Jumlah penduduknya sebanyak 98.422 jiwa. Sarana pendidikan yang ada di Kecamatan Pacet yaitu pendidikan jenjang sekolah dasar/sederajat sebanyak 38 sekolah, SMP/MI sebanyak 6 sekolah, SMA/ SMK sebanyak 6 buah, serta terdapat 2 perguruan tinggi. Desa yang menjadi lokasi penelitian yaitu Desa Cipendawa yang memiliki luas lahan pertanian sebesar 201,20 ha dan termasuk kategori luas dengan jumlah anggota kelompok tani sebanyak 140 orang. Desa Cipendawa merupakan sentra penghasil sayuran di Kabupaten Cianjur. Lahan pertanian yang luas pada umumnya dimiliki oleh petani yang memiliki modal besar, sedangkan petani dengan modal sedikit hanya memiliki lahan sempit, bahkan sebagian lahan pertanian ada yang dijual karena berkembangnya lahan insdustri terutama pariwisata (banyak dibangun untuk villa). Jenis tanaman yang
16 dihasilkan dari pertaniannya yaitu jenis pertanian hortikultura seperti wortel, bawang daun, cabai merah, caisin, sawi, lobak, buncis, tomat, dan lain-lain. Tanaman hortikultura ini sangat berpotensi menguntungkan jika dikelola dengan baik karena waktu panennya yang relatif singkat serta banyak dikonsumsi untuk asupan makanan sehari-hari bagi masyarakat.Selain itu sebagian masyarakat di Desa Cipendawa tersebut juga beternak. Jenis hewan ternak yang dimiliki pada umumnya adalah kambing atau domba. Karakteristik Keluarga Usia Suami dan Istri Usia menurut Hurlock (1980) dibedakan menjadi tiga kategori yaitu dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir (> 60 tahun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh (51,40%) usia suami termasuk pada kategori dewasa madya (41 tahun-60 tahun) dengan rata-rata berusia 43,23 tahun, sedangkan usia istri hampir dua per tiga (65,70%) termasuk pada kategori dewasa awal (18 tahun-40 tahun) dengan rata-rata usia 37,69 tahun. Usia suami paling muda adalah 30 tahun dan paling tua adalah 63 tahun, sedangkan usia istri paling muda adalah 28 tahun dan paling tua adalah 60 tahun. Tidak ada satu pun istri memiliki kategori usia dewasa akhir dan hanya satu orang suami yang usianya berada pada kategori dewasa akhir. Terdapat perbedaan yang signifikan antara usia suami dan usia istri dengan rata-rata usia suami lebih tinggi dibandingkan dengan usia istri. Sebaran usia suami dan istri dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Sebaran usia suami dan istri Sebaran usia (tahun)
Suami
Istri
n
%
n
%
Dewasa awal (18-40) Dewasa madya (41-60) Dewasa akhir (>60)
16 18 1
45,70 51,40 2,90
23 12 0
65,70 34,30 0,00
Total
35
100,00
35
100,00
Min-Maks (tahun) Rata-rata±Stdev (tahun) Uji beda suami dan istri (p-value)
30-63 43,23±8,90
28-60 37,69±8,21 0,000**
Keterangan: **nyata pada p<0,01
Lama Pendidikan Suami dan Istri Lebih dari dua per tiga (71,40%) suami berpendidikan setara dengan tamat sekolah dasar (6 tahun) dengan rata-rata pendidikan selama 6,03 tahun. Satu dari tujuh orang berpendidikan tidak tamat sekolah dasar (< 6 tahun) bahkan ada yang tidak menempuh pendidikan sama sekali. Hasil ini hampir sama dengan istri yang menempuh lama pendidikan setara dengan tamat sekolah dasar (74,30%) dengan rata-rata pendidikan selama 6 tahun dan satu dari tujuh orang istri yang juga tidak tamat bangku sekolah dasar. Pendidikan tertinggi yang ditempuh oleh suami dan istri berkisar selama 10 hingga 12 tahun atau setara dengan SMA/sederajat, baik
17 tamat maupun tidak tamat dan hanya ditempuh oleh satu orang suami dan satu orang istri saja, hal ini juga berarti bahwa baik suami maupun istri tidak ada yang menempuh pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan suami dan istri pada keluarga petani tergolong rendah. Tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,921) antara lama pendidikan suami dan lama pendidikan istri. Sebaran lama pendidikan suami dan istri dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Sebaran lama pendidikan suami dan istri Lama pendidikan (tahun)
<6 6 7-9 10-12 >12 Total Min-Maks (tahun) Rata-rata±Stdev (tahun) Uji beda suami dan istri (p-value)
Suami
Istri
n
%
n
%
5 25 4 1 0 35
14,30 71,40 11,40 2,90 0,00 100,00
5 26 3 1 0 35
14,30 74,30 8,60 2,90 0,00 100,00
0-12 6,03±2,04
0-12 6,00±1,88 0,921
Pekerjaan Suami-Istri, Tipe Petani, dan Pendapatan Keluarga Hampir seluruh suami (97,10%) bermata pencaharian atau memiliki pekerjaan sebagai petani, baik pekerjaan tersebut sebagai pekerjaan utama maupun sebagai pekerjaan sampingan dan sisanya (2,90%) memiliki pekerjaan lain seperti pedagang, buruh bangunan, penjaga vila, wiraswasta dan sopir angkot. Lebih dari separuh istri (65,70%) tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga dan hampir sepertiganya (28,60%) bekerja sebagai petani. Tipe petani menurut Soeharjo dan Patong dalam Gustiana (2012) ada empat tipe, yaitu: 1) Petani pemilik merupakan petani yang memiliki lahan sendiri, lahan tersebut bisa dikerjakan sendiri atau mempekerjakan orang lain; 2) Petani penyewa yaitu petani yang menyewa lahan orang lain untuk dijadikan sebagai usaha pertanian; 3) Petani penggarap yaitu petani yang mengelola tanah milik orang lain dengan pendapatan hasil pertanian menggunakan sistem bagi hasil; 4) Buruh tani merupakan petani yang mengerjakan tanah milik orang lain dengan sistem upah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga keluarga petani (37,10%) merupakan petani pemilik yaitu petani yang memiliki lahan sendiri untuk diusahakan sebagai usaha tani, sedangkan hampir sepertiga keluarga petani (28,60%) termasuk ke dalam buruh tani. Tidak sampai sepertiga keluarga petani yang termasuk pada tipe petani penyewa dan petani penggarap.Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh buruh tani pada umumnya adalah menyangkul bagi laki-laki dan mencabut rumput liar bagi perempuan. Sebaran tipe petani pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.
18 Tabel 4 Sebaran tipe petani Tipe petani
n
%
Petani pemilik Petani penyewa Petani penggarap Buruh Tani
13 7 5 10
37,10 20,00 14,30 28,60
Total
35
100,00
Pendapatan keluarga dari hasil tani yaitu rata-rata Rp 1.420.000 per bulan dan terdapat perbedaan pendapatan di antara keempat tipe petani tersebut. Pendapatan keluarga dari hasil bertani tersebut berada di bawah garis UMR (upah minimum rata-rata) Kabupaten Cianjur 3 , yaitu Rp 1.500.000, sedangkan pendapatan keluarga dari pekerjaan selain petani adalah rata-rata Rp 1.013.000 per bulan dengan jumlah keluarga yang berpendapatan di luar hasil tani hanya 18 keluarga. Total pendapatan keluarga secara keseluruhan baik dari hasil tani maupun di luar pertanian yaitu rata-rata sebesar Rp 1.750.000 per bulan. Besar Keluarga Besar keluarga menurut BKKBN (1994) dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-6 orang), dan keluarga besar (≥7 orang). Lebih dari separuh keluarga contoh ( 57,10%) termasuk pada kategori keluarga sedang (5-6 orang) dengan rata-rata besar keluarga lima orang. Kategori keluarga kecil dimiliki oleh dua dari tujuh keluarga (28,60%), sedangkan keluarga besar hanya dimiliki oleh satu dari tujuh keluarga (14,30%). Jumlah anggota keluarga paling sedikit pada penelitian ini adalah tiga orang atau hanya memiliki satu anak sedangkan jumlah keluarga yang paling banyak adalah sepuluh orang atau memiliki delapan orang anak. Sebaran besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran besar keluarga Besar keluarga (orang)*
n
%
Keluarga kecil (≤4) Keluarga sedang (5-6) Keluarga besar (≥7)
10 20 5
28,60 57,10 14,30
Total
35
100,00
Min-Maks (orang) Rata-rata±Stdev (orang)
3-10 5,34±1,57
Keterangan: *Kategori menurut BKKBN (1994)
3
http:// regional.kompasiana.com/2013/11/22/upah-minimum-kotakabupaten-umr-di-jawa-barat611988.html [diakses pada 27 Juni 2014].
19 Konflik Keluarga Konflik yang terdapat pada keluarga petani berupa permasalahanpermasalahan yang diduga muncul dalam kehidupan keluarga sehari-hari seperti permasalahan hubungan suami dan istri, permasalahan orang tua dan anak, permasalahan antar anak-anak, permasalahan dengan keluarga besar, permasalahan material, dan permasalahan lainnya (non material). Penelitian menunjukkan bahwa konflik pada keluarga cenderung mengarah kepada: a. Sikap suami terhadap istri yang terkadang marah, mencaci maki istri, membentak istri, bahkan ada suami yang memukul istri. b. Keluarga mengalami tekanan ekonomi atau mempunyai masalah dalam pekerjaan/ mencari uang termasuk permasalahan sebagai keluarga petani, sehingga mengakibatkan pertengkaran antara suami dan istri. c. Sulitnya mengatur perilaku anak-anak, suami atau ayah sering memarahi anak-anak, suami dan istri bertengkar karena masalah anak-anak. d. Adanya peningkatan pertengkaran antara anak kandung. Terkadang istri bertengkar dengan anak-anak. e. Anak memiliki permasalahan dalam pelajarannya atau prestasi di sekolah. f. Istri mempunyai masalah emosi yakni terkadang sulit untuk mengontrol emosi marah atau menyembunyikan emosi sedih. g. Istri tidak akur dengan mertua perempuan atau ibu suami. Hal-hal yang tidak menimbulkan konflik cenderung kepada: a. Istri tidak pernah memukul suami, hanya kadang-kadang marah kepada suami dan sedikit sekali yang membentak dan mencaci suami. Hal ini berarti istri sangat menghargai suami. b. Suami dan istri akur dengan keluarga besar masing-masing atau sangat jarang terjadi konflik antara keluarga dengan keluarga besar. c. Adanya dukungan dari keluarga besar terhadap segala aktivitas yang dilakukan oleh keluarga. Tabel 6 menunjukkan bahwa konflik yang tertinggi pada keluarga petani adalah rata-rata konflik yang terkait dengan permasalahan hubungan orang tuaanak (29,26). Artinya, orang tua kadang merasa sulit mengatur perilaku anak-anak atau terdapat permasalahan perilaku pada anak-anak dan ayah terkadang memarahi anak-anak. Selanjutnya konflik yang tinggi di antara enam dimensi konflik keluarga adalah pada aspek material dan non material (22,63). Aspek material berkaitan dengan keadaan ekonomi atau kondisi keuangan keluarga. Tekanan ekonomi kadang dirasakan oleh lebih dari sepertiga keluarga dan bahkan beberapa keluarga bertengkar karena kesulitan keuangan atau tekanan ekonomii keluarga tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Conger et al., Voydanoff dan Donelly yaitu kemiskinan merupakan kontribusi yang memperburuk konflik (Santiago dan Wadsworth 2009) dan penyebab utama dari perceraian salah satunya yaitu masalah ekonomi (Menaghan 1985 dalam Kitson et al. 1989). Aspek non material berkaitan dengan prestasi belajar anak, permasalahan emosi pada istri, serta masalah dengan kehidupan sebagai petani.Beberapa keluarga memiliki permasalahan yang sering dengan prestasi belajar anak, artinya anak memiliki prestasi sekolah yang kurang baik dan dianggap sebagai permasalahan bagi orang tua. Terkadang istri merasa sulit untuk mengontrol emosi bahkan
20 beberapa dari istri sering sekali mengalami masalah emosi. Roxana (2013) menyebutkan bahwa permasalahan emosi merupakan salah satu hal yang berdampak pada terjadinya konflik keluarga. Masalah dengan kehidupan petani juga terkait dengan permasalahan ekonomi keluarga karena termasuk pada kegiatan dalam menghasilkan pendapatan keluarga. Tabel 6 Sebaran konflik pada keluarga petani secara umum (n=35) Kategori Rendah (≤ 75)
Dimensi**
Konflik suami-istri Konflik orang tuaanak Konflik antar anak Konflik dengan keluarga besar Aspek material Aspek non material Uji beda petani pemilik dan non pemilik (p-value)
Tinggi (> 75)
Min-Maks (0-100)
Ratarata*±Stdev
n
%
n
%
35 33
100,00 94,30
0 2
0,00 5,70
0-38 0-100
10,49±10,65 29,26±26,48
35 35
100,00 100,00
0 0
0,00 0,00
0-66 0-58
12,74±20,56 11,60±14,42
34 34
97,10 97,10
1 1
2,90 2,90
0-77 0-77
22,63±22,15 22,63±19,95
0,198
Keterangan: * = nilai indeks (0-100) **= secara detil item pernyataan disajikan pada Lampiran 4
Pertengkaran antara anak kandung juga salah satu bentuk konflik yang cukup sering dan terjadi pada hampir seprtiga keluarga contoh. Pertengkaran antar anak kandung (sibling conflict) merupakan konflik yang sering terjadi, terkadang menimbulkan kekerasan dan sulit untuk diselesaikan (Howe dan Recchia 2006). Hubungan dengan keluarga besar merupakan bentuk konflik yang tergolong rendah (11,60). Hampir seluruh responden mengaku bahwa keluarga besar selalu mendukung segala aktivitas yang dilakukan oleh keluarga dan suami akur dengan orang tua atau keluarga besar istri. Namun, konflik antara istri dengan mertua perempuan cukup sering terjadi. Artinya, hubungan antara menantu dan mertua pada keluarga petani kurang baik. Konflik antara hubungan suami dengan istri merupakan konflik yang tergolong paling rendah (10,49). Perilaku istri terhadap suami seperti mencaci maki, membentak, dan memukul sangat jarang terjadi. Namun, hampir separuh dari istri kadang-kadang marah pada suami bahkan beberapa sering dan sering sekali, bahkan ada istri yang sering membentak suami. Hal ini termasuk ke dalam bentuk konflik verbal menurut Kalil dan Wightman (2010). Lebih dari separuh suami kadang memarahi istri, beberapa ada yang sering mencaci maki dan membentak, bahkan ada yang memukul istri. Hal ini berarti bahwa suami lebih memiliki kekuatan (power) dalam keluarga dari pada istri. Bentuk konflik suami terhadap istri tersebut merupakan konflik verbal dan konflik fisik (Kalil dan Wightman 2010).
21 Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan konflik pada keluarga tergolong rendah (100%). Artinya, hubungan antara suami-istri, hubungan orang tua-anak, hubungan anak dengan anak, hubungan dengan keluarga besar berjalan baik dalam keluarga, serta permasalahan terkait aspek material dan non material sangat jarang terjadi pada keluarga petani. Akan tetapi apabila dilihat per dimensi diperoleh bahwa terdapat konflik yang tinggi pada dimensi konflik orang tua-anak, konflik pada aspek material dan aspek non material. Penelitian juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan konflik keluarga antara petani pemilik dengan petani non pemilik lahan secara signifikan. Artinya, keluarga petani pada penelitian ini hampir memiliki konflik yang sama dan seragam. Namun, berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa pada petani pemilik lahan seluruh dimensi konflik tergolong rendah (100,00%) dan tidak ada yang tergolong tinggi, sedangkan pada petani non pemilik lahan terdapat konflik yang memiliki kategori tinggi pada dimensi konflik orang tua-anak, aspek material, dan aspek non matrial. Latar belakang budaya dan pendidikan yang sama antara keluarga petani pemilik dan petanii non pemilik lahan merupakan salah satu tidak terdapatnya perbedaan konflik secara signifikan. Tabel 7 Sebaran konflik keluarga berdasarkan tipe petani (n=35) Kategori (%) Rendah (≤ 75) Dimensi**
Min-Maks (0-100)
Tinggi (>75)
Pemilik (n=13)
Non Pemilik (n=22)
Pemilik (n=13)
Non Pemilik (n=22)
Pemilik (n=13)
Non Pemilik (n=22)
Konflik suamiistri Konflik orang tua-anak Konflik antar anak Konflik dengan keluarga besar Aspek material
100,00
100,00
0,00
0,00
0-19
0-38
100,00
86,36
0,00
13,64
0-44
0-100
100,00
100,00
0,00
0,00
0-66
0-50
100,00
100,00
0,00
0,00
0-58
0-33
100,00
95,45
0,00
4,55
0-66
0-77
Aspek material
100,00
95,45
0,00
4,55
0-55
0-77
non
Rata-rata*±Stdev Pemilik (n=13)
Non Pemilik (n=22)
8,61± 6,77 17,95± 19,53 12,82± 22,72 10,90± 17,80 16,24± 19,04 23,08± 16,01
12,12± 12,29 36,36± 28,31 12,88± 19,88 12,12± 12,53 26,77± 22,61 22,73± 22,61
Keterangan: * = nilai indeks (0-100) **= secara detil item pernyataan disajikan pada Lampiran 4
Keharmonisan Keluarga Keharmonisan keluarga dilihat dari perasaan puas atau bahagia yang dirasakan oleh istri terhadap kehidupan keluarganya, baik terkait dengan suami, anak, dan keluarga besar. Keluarga merasa puas, bersyukur, dan bahagia dengan kehidupan keluarga tersebut. Keharmonisan keluarga pada penelitian ini cenderung mengarah kepada istri merasa puas dan bahagia dengan perkawinannya atau dapat diartikan juga bahwa istri menerima kondisi suami dan perilaku suaminya dan tidak merasa terbebani dengan kehidupan perkawinannya.
22 Keharmonisan keluarga yang paling tinggi adalah keharmonisan keluarga pada dimensi hubungan orang tua dengan anak (99,26). Kehadiran anak merupakan sebuah kebahagiaan dan kepuasaan yang tinggi bagi orang tua dan orang tua merasa sangat bersyukur dengan hubungannya bersama anak-anak. Hal ini berarti, anak merupakan hal yang berharga dalam keluarga dan menjadi sumber kepuasan dalam keluarga. Selanjutnya, keharmonisan yang tinggi (98,46) juga terdapat pada hubungan antara anak dengan anak. Orang tua, dalam hal ini istri, merasa puas dan bahagia serta bersyukur melihat anak-anak akur dan bekerja sama serta sangat jarang terjadi pertengkaran antar saudara. Namun, terdapat beberapa keluarga yang kurang bahagia melihat hubungan antara anak kandung, artinya adanya pertengkaran yang terjadi antara anak kandung sehingga menimbulkan ketidaksenangan istri atau ibu. Pertengkaran antara kandung merupakan hal yang utama dari sumber kecemasan orang tua dan perlu adanya campur tangan orang tua untuk menyelesaikannya (Howe dan Recchia 2006). Hubungan suami istri juga merupakan bentuk keharmonisan yang tinggi pada keluarga petani.Istri memiliki kepuasan yang tinggi dan sangat bahagia dengan kehidupan perkawinannya. Artinya, hubungan suami dan istri harmonis dan perkawinan merupakan hal membahagiakan bagi seorang perempuan. Keharmonisan keluarga yang paling rendah terdapat pada dimensi hubungan dengan orang tua/ lansia atau mertua. Terdapat responden yang merasa tidak bahagia dan tidak puas serta tidak bersyukur dengan hubungannya bersama orang tua atau mertuanya. Hal ini berarti responden merasa bahwa keberadaan orang tua atau mertua merupakan hal yang mengganggu sehingga menimbulkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Namun, beberapa keluarga pada penelitian ini sudah tidak memiliki orang tua atau mertua sehingga keberadaan orang tua atau mertua dipersepsikan sebagai kebahagiaan dan kepuasan dalam keluarga, sehingga hubungan bersama orang tua atau mertua pada keluarga tergolong harmonis. Tabel 8 Sebaran keharmonisan keluarga petani secara umum (n=35) Kategori Rendah (≤ 75)
Dimensi**
Hubungan suami-istri Hubungan dengan anak Hubungan antar anak Hubungan dengan orang tua lansia/ mertua Total Uji beda petani pemilik dan non pemilik (p-value)
Tinggi (> 75)
Min-Maks (0-100)
Ratarata*±Stdev
n 2 0
% 5,70 0,00
n 33 35
% 94,30 100,00
66-100 83-100
98,06±8,01 99,26±3,21
0 2
0,00 5,70
35 33
100,00 94,30
91-100 0-100
98,46±3,44 96,17±17,69
1
2,90
34
97,10 0,329
Keterangan: * = nilai indeks (0-100) **= secara detil item pernyataan disajikan pada Lampiran 5
23 Tabel 8 menunjukkan bahwa keharmonisan keluarga pada penelitian ini hampir seluruhnya (97,10%) tergolong tinggi atau termasuk keluarga yang harmonis. Hubungan suami-istri dalam hal perkawinan, hubungan orang tua-anak, hubungan anak dengan dan hubungan dengan orang tua atau mertua sangat harmonis. Keluarga merasa sangat puas dan sangat bahagia dengan hubungan antar anggota dalam keluarga. Responden merasa bersyukur dengan kondisi perkawinannya sehingga hubungan suami-istri pun terjalin dengan baik, begitu juga dengan hubungan bersama anak, dan merasa puas melihat hubungan antara anak dengan anak. Artinya, hubungan di dalam keluarga sangat harmonis yakni ditandai dengan perasaan bahagia dan puas dengan hubungan antar anggota keluarga. Namun, jika dilihat per dimensi didapatkan bahwa terdapat keharmonisan yang rendah pada dimensi hubungan suami-istri dan dimensi hubungan dengan orang tua lansia/ mertua. Terdapat keluarga yang merasa tidak puas dan tidak bahagia dengan kehidupan perkawinannya serta tidak puas dan tidak bahagia dengan hubungan bersama orang tua lansia/ mertua sehingga keharmonisan keluarga rendah. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada keharmonisan keluarga antara keluarga petani pemilik dengan keluarga petani non pemilik. Artinya, seluruh keluarga petani pada penelitian ini memiliki keharmonisan yang tinggi dan hubungan antar anggota keluarga dalam keluarga berjalan baik. Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian kecil keluarga petani memiliki keharmonisan yang rendah pada dimensi hubungan suami-istri baik pada petani pemilik maupun petani non pemilik lahan, serta pada dimensi hubungan dengan orang tua atau mertua lansia pada petani non pemilik lahan. Namun, hampir keseluruhan keharmonisan keluarga baik pada petani pemilik lahan maupun non pemilik lahan termasuk kategori tinggi. Keluarga petani non pemilik yang cenderung memiliki pendapatan rendah tidak mengganggu keharmonisan dalam keluarga begitu pula dengan keluarga petani pemilik yang merasa puas serta bahagia dengan hubungannya dengan anggota keluarga. Tabel 9 Sebaran keharmonisan keluarga petani berdasarkan tipe petani (n=35) Kategori (%) Rendah (≤ 75) Dimensi**
Hubungan suamiistri Hubungan dengan anak Hubungan antar anak Hubungan dengan orang tua lansia/ mertua
Tinggi (>75)
Min-Maks (0-100)
Pemilik (n=13)
Non Pemilik (n=22)
Pemilik (n=13)
Non Pemilik (n=22)
Pemilik (n=13)
Non Pemilik (n=22)
7,69
4,55
92,31
95,45
66-100
66-100
0,00
0,00
100,00
100,00
91-100
83-100
0,00
0,00
100,00
100,00
91-100
91-100
0,00
9,09
100,00
90,91
100100
0-100
Keterangan: * = nilai indeks (0-100) **= secara detil item pernyataan disajikan pada Lampiran 5
Rata-rata*±Stdev Pemilik (n=13)
Non Pemilik (n=22)
97,44± 9,25 99,36± 2,31 99,36± 2,31 100,00± 0,00
98,48± 7,11 99,24± 3,55 98,11± 3,57 93,94± 22,15
24 Tipologi Konflik dan Keharmonisan Keluarga Tipologi konflik pada penelitian ini dilihat berdasarkan sebaran kategori potensi konflik dengan keharmonisan yang ada pada keluarga, yaitu potensi konflik tinggi dan potensi konflik rendah dengan keharmonisan keluarga tinggi dan keharmonisan keluarga rendah, yang dibedakan atas Tipe 1, Tipe 2, Tipe 3, dan Tipe 4. Keempat tipologi tersebut dimodifikasi dari tipologi model T-Double ABCX dari family adjustment and adaptation oleh McCubbin dan McCubbin (1987) dalam Farhood (2004). Tipologi konflik keluarga Tipe 1 yaitu konflik keluarga tinggi sedangkan keharmonisan keluarga rendah, hal ini berarti bahwa banyak terjadi permasalahan-permasalahan dalam keluarga serta keluarga tersebut merasa tidak puas dan tidak bahagia dengan keadaan keluarga mereka. Berdasarkan tipologi perkawinan menurut Olson (1981) dalam Puspitawati (2012), keluarga Tipe 1 termasuk ke dalam tipe perkawinan tanpa vitalitas, yakni adanya perasaan tidak puas terhadap perkawinan yang menggambarkan rendahnya keharmonisan dan tidak stabilnya perkawinan atau terdapatnya konflik.Tipe 2 dengan kondisi konflik dan keharmonisan yang tinggi dapat diartikan bahwa meskipun keluarga tersebut banyak memiliki permasalahan dan rentan akan konflik, namun keluarga tersebut tetap merasakan kebahagiaan dan kepuasan sehingga keharmonisan keluarga tetap terjaga. Keluarga Tipe 2 ini termasuk dalam keluarga dengan tipe perkawinan finansial dan perkawinan pasangan konflik, yakni terdapatnya konflik dan memprioritaskan uang dari pada keluarga, namun juga merupakan pasangan tradisional karena adanya kepuasan dan terciptanya hubungan baik dengan keluarga besar atau kerabat. Keluarga dengan tipologi konflik ke tiga (Tipe 3) merupakan keluarga yang memiliki potensi konflik yang rendah dan keharmonisan keluarga yang tinggi. Hal ini berarti bahwa keluarga mampu mengatasi permasalahanpermasalahan dalam keluarga atau menganggap suatu masalah bukan sebagai sesuatu yang sangat berat dan menganggu keseimbangan keluarga serta merasa puas dan bahagia dengan keadaan keluarga dan terciptanya keharmonisan. Berdasarkan tipe perkawinan menurut Olson keluarga Tipe 3 ini termasuk tipe perkawinan yang seimbang, perkawinan pasangan harmonis, dan penuh vitalitas karena bahagia dan puas dengan hubungan bersama anggota keluarga serta rendahnya konflik dalam keluarga. Tipe 4 merupakan tipe dengan potensi konflik dan keharmonisan keluarga rendah. Tipe ini berarti juga keluarga mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada atau rendah akan konflik akan tetapi keluarga tidak merasa puas dan bahagia dengan kondisi keluarga. Berdasarkan ciri-ciri tersebut keluarga Tipe 4 dapat dikategorikan ke dalam tipe perkawinan tanpa vitalitas menurut Olson (1981) dalam Puspitawati (2012). Garis horizontal pada Gambar 3 merupakan keharmonisan keluarga dengan ketentuan semakin ke kanan keharmonisan keluarga diartikan semakin tinggi, sedangkan garis vertikal merupakan konflik keluarga dengan ketentuan semakin ke atas konflik keluarga semakin tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipologi konflik pada keluarga termasuk ke dalam Tipe 3 yaitu konflik keluarga rendah dan keharmonisan keluarga tinggi dengan persentase 97,10 persen. Permasalahan-permasalahan yang terjadi pada keluarga dianggap sebagai hal yang tidak menimbulkan konflik dan adanya kepuasan serta kebahagiaan terhadap hubungan dengan anggota keluarga.
25 Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat pula bahwa sebaran konflik keluaga dan keharmonisan keluarga terdapat pada Tipe 4 (2,90%). Hal ini berarti bahwa terdapat keluarga yang memiliki konflik yang rendah namun keharmonisannya juga rendah. Keluarga dengan Tipe 4 ini mampu menyelesaikan permasalahanpermasalahan dalam keluarga seperti hubungan suami-istri, hubungan orang tuaanak, hubungan antar anak, hubungan dengan keluarga besar, aspek material dan aspek non material merupakan hal-hal yang tidak merusak sistem dalam keluarga, akan tetapi, keluarga merasa tidak bahagia dan tidak puas dengan hubungannya bersama pasangan (hubungan perkawinan), hubungan dengan anak, hubungan antar anak, dan hubungan dengan orang tua lansia/ mertua. Gambar 3 juga menunjukkan bahwa tidak ada satupun sebaran konflik dan keharmonisan keluarga yang berada pada Tipe 1 dan Tipe 2. H2 (> 75)
K2 (> 75)
K1 (≤ 75)
H1 (≤ 75)
Keterangan: H1= keharmonisan rendah (≤ 75; skor 0-100) H2= keharmonisan tinggi (> 75; skor 0-100) K1= konflik rendah(≤ 75; skor 0-100) K2= konflik tinggi (> 75; skor 0-100) *Secara detil tipologi konflik dan keharmonisan keluarga disajikan pada Lampiran 7. Gambar 3 Grafik analisis tipologi konflik keluarga dan keharmonisan keluarga Keluarga Tipe 3 ini merupakan keluarga yang mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada dalam keluarga serta merasa bahagia dan puas terhadap kehidupan keluarga. Meskipun suami dan istri memiliki pendidikan
26 yang rendah dan pekerjaan sebagai petani, tetapi keluarga tersebut mampu menjaga keseimbangan dalam keluarga dan rendah akan konflik. Pendapatan yang tidak begitu tinggi juga tidak merupakan masalah bagi keluarga yang dapat menurunkan keharmonisan keluarga. Keluarga petani pada penelitian ini memiliki kepuasan dan kebahagiaan yang tinggi dan permasalahan-permasalahan yang ada seperti hubungan suami istri, permasalahan ekonomi, hubungan dengan anak, dan hubungan dengan keluarga besar hanya menimbulkan konflik yang lemah bahkan tidak ada sama sekali. Keluarga saling membantu dan saling mendukung untuk menciptakan keharmonisan. Keluarga yang tergolong pada Tipe 4 merupakan keluarga dengan pasangan yang termasuk pada kategori usia dewasa awal dan berpendapatan rendah. Keluarga ini menganggap permasalahan yang terjadi sebagai sesuatu hal yang biasa dan dapat ditangani dengan baik, akan tetapi di sisi lain keluarga ini memiliki kepuasan yang rendah terhadap hubungan antara anggota di dalam keluarga, serta merasa kurang bahagia dengan perkawinan, anak, dan orang tua atau mertua. Hal ini bisa terjadi karena belum tuntasnya tugas perkembangan keluarga saat baru menikah yakni penyesuaian dengan pasangan dan membangun jejaring dengan kerabat berdasarkan tugas perkembangan keluarga menurut Duvall (1971). Tidak adanya keluarga yang termasuk dalam Tipe 1 dan Tipe 2 diduga disebabkan oleh keluarga konsisten bahwa permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam keluarga dianggap sebagai sebuah konflik yang kecil dan tidak mengganggu kestabilan dalam keluarga dan merasa puas dengan hubungan antar anggota keluarga. Hanya sedikit keluarga yang termasuk dalam Tipe 4 yakni keluarga dengan karakteristik khusus yakni pasangan muda yang berpenghasilan rendah namun telah memiliki anak lebih dari dua. Sebaran tipologi konflik dan keharmonisan keluarga hampir seluruhnya berada pada Tipe 3 karena keluarga memiliki karakteristik yang cenderung homogen dengan latar belakang budaya yang sama. Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Potensi Konflik dan Keharmonisan Keluarga Hasil korelasi antara usia istri dengan potensi konflik adalah negatif signifikan. Artinya, semakin tinggi usia istri, maka konflik akan semakin rendah. Usia yang lebih muda cenderung menimbulkan konflik yang lebih tinggi begitupun sebaliknya (Ashraf dan Najam 2011). Benokratis (1996) menyatakan bahwa semakin tua usia seseorang maka emosinya akan semakin terkontrol dan matang. Variabel usia suami, lama pendidikan istri, lama pendidikan suami, dan besar keluarga juga berhubungan negatif dengan potensi konflik namun tidak signifikan. Semakin tinggi usia suami atau semakin tua suami maka konflik dalam keluarga akan semakin rendah atau dapat diartikan bahwa meningkatnya usia suami dapat mengurangi konflik yang terjadi dalam keluarga. Suami dan istri yang menempuh pendidikan lebih tinggi juga akan menurunkan konflik yang ada dalam keluarga atau konflik keluarga akan rendah ketika suami dan istri memiliki pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Zheng dan Penning (1997) yakni pendidikan yang tinggi dapat menghindari dri ketidakbahagiaan perkawinan atau konflik.Selanjutnya keluarga dengan jumlah
27 anggota yang semakin banyak memiliki potensi konflik yang rendah begitu pula sebaliknya, keluarga dengan jumlah anggota yang sedikit atau keluarga kecil maka potensi konflik akan semakin besar. Goode (1995) mengatakan bahwa banyaknya anggota suatu keluarga juga berarti lebih banyak orang yang mempunyai hak dan kewajiban untuk mengawasi satu sama lain sehingga tidak terlepas dari perhatian dan teguran. Hubungan positif terdapat antara pendapatan keluarga dengan potensi konflik namun hubungan tersebut tidak signifikan. Artinya, semakin tinggi pendapatan keluarga maka potensi konflik juga akan semakin tinggi dan pendapatan yang semakin rendah akan menurunkan potensi konflik. Keluarga yang memiliki pendapatan rendah akan sering menghabiskan waktu untuk berinteraksi dengan keluarga, menyempatkan untuk makan bersama, dan mendidik anak, serta pembagian tugas untuk mengasuh sehingga konflik keluarga rendah (Tubbs et al.2005). Tabel 10 Koefisien korelasi antara karakteristik keluarga dengan potensi konflik dan keharmonisan keluarga Korelasi Pearson Variabel Usia suami (tahun) Usia istri (tahun) Lama pendidikan suami (tahun) Lama pendidikan istri (tahun) Pendapatan keluarga (Rp per bulan) Besar keluarga (orang)
Konflik keluarga
Keharmonisan keluarga
-0,163
0,176
-0,292* -0,157 -0,238 0,008
0,221 -0,060 0,131 0,161
-0,258
0,042
Konflik keluarga (skor 0-100)
-0,084
Keterangan: *= signifikan pada level 0,10 (1-tailed)
Hasil pada Tabel 10 di atas juga menunjukkan bahwa karakteristik keluarga yang terdiri dari usia suami, usia istri, lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, pendapatan keluarga, dan besar keluarga serta konflik tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan keharmonisan keluarga. Namun, pada hasil menunjukkan bahwa variabel usia suami dan istri, lama pendidikan istri, pendapatan keluarga dan besar keluarga memiliki hubungan yang positif dengan keharmonisan keluarga. Artinya, semakin tinggi usia suami dan istri atau semakin tua suami dan istri maka keharmonisan dalam keluarga akan semakin tinggi pula atau kepuasan dan kebahagiaan akan dirasakan jika usia suami dan istri semakin bertambah. Keharmonisan keluarga juga akan semakin tinggi jika lama pendidikan istri semakin tinggi pula. Hal ini juga berarti bahwa pendidikan yang tinggi dari seorang istri akan membuat kepuasan dan kebahagiaan keluarga. Namun, pada suami, semakin tinggi pendidikan yang ditempuh akan mengakibatkan rendahnya keharmonisan keluarga. Artinya, meskipun suami berpendidikan tinggi, kepuasan dan kebahagiaan keluarga kurang dirasakan. Jumlah anggota yang semakin banyak atau semakin tinggi besar keluarga juga berarti bahwa keharmonisan keluarga tinggi serta semakin tinggi pendapatan keluarga maka keluarga akan semakin merasa puas dan bahagia atau
28 keharmonisan keluarga tinggi. Potensi konflik memiliki hubungan yang negatif dengan keharmonisan keluarga, namun hubungan keduanya tidak signifikan. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi konflik suatu keluarga maka keharmonisan keluarga akan semakin rendah atau keluarga tersebut tidak harmonis, sedangkan jika keluarga tersebut memiliki potensi konflik yang rendah maka keharmonisan keluarga tinggi atau keluarga tersebut sangat harmonis. Pembahasan Umum Keluarga bagi contoh dalam penelitian ini memiliki makna yakni anugrah dan berkah dari Tuhan yang harus disyukuri, sebagai tempat bagi seorang individu untuk mengekspresikan kebahagiaan dan kesedihan, berbagi suka dan duka, hal yang utama dan menjadi prioritas utama dalam kehidupan sosial, sumber kebahagiaan, kesenangan dan kedamaian sehingga seseorang merasa nyaman dan dapat menjalankan kehidupan dengan lebih baik. Berdasarkan makna keluarga tersebut dapat disimpulkan bahwa keluarga petani dalam penelitian ini masih menganggap keluarga sebagai hal yang sangat penting dan dihargai. Latar belakang budaya merupakan salah satu indikator pentingnya sebuah keluarga. Keluarga pada penelitian ini umumnya berlatar belakang budaya sunda yang memiliki karakteristik masyarakat yang lemah lembut, halus perkataan, ramah, berpegang dalam keimanan dan ketakwaan, saling menghormati, dan saling menghargai. Keluarga petani pada penlitian ini sangat menjaga keharmonisan keluarga yakni ditandai dengan adanya hubungan yang baik dan bahagia antar sesama anggota keluarga. Selain menjaga keharmonisan untuk menjaga keutuhan dalam keluarga, masing-masing keluarga juga mampu dengan baik mengontrol permasalahan-permasalahan yang muncul di dalam keluarga tersebut. Konflik di dalam keluarga tetap ada, akan tetapi dapat diselesaikan dengan baik dan tidak merusak keseimbangan keluarga. Hal ini sesuai dengan pendekatan strukturalfungsional keluarga yang menekankan bahwa dalam kehidupan keluarga harus ada aturan atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga agar memiliki arti sehingga keluarga tersebut dapat bahagia dan terciptanya keseimbangan (Puspitawati 2012). Fungsi dalam keluarga menurut Durkheim yaitu setiap anggota mempunyai peran dalam menjalankan tugasnya masing-masing sehingga sistem dalam keluarga tetap seimbang dan stabil sehingga hasilnya memuaskan (Jones 2003). Teori struktural-fungsional menganggap konflik sebagai hal yang tabu dan harus dihindarkan dan keutuhan keluarga merupakan hal yang paling penting. Oleh karena itu, pada penelitian ini keluarga diharapkan mampu menjaga keutuhan meskipun terdapat konflik di dalamnya. Penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh keluarga petani memiliki konflik keluarga yang rendah. Namun terdapat permasalahan yang hampir sering menimbulkan konflik yakni masalah keuangan atau tekanan ekonomi.Rendahnya konflik pada keluarga menurut Alamsyah (2012) dapat disebabkan keluarga mampu melakukan resolusi konflik dengan baik yaitu dengan menekankan pada nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, persaudaraan, sedangkan Nancy (2013) menyatakan bahwa ketauladanan serta adanya sikap memaafkan dalam hubungan suami-istri menjadi sebab rendahnya konflik keluarga. Adanya persamaan nilai yang dianut antar anggota keluarga dapat mengurangi konflik yang terjadi (Knox
29 1985). Hal-hal tersebut merupakan karakteristik dari orang sunda. Keharmonisan keluarga petani pada penelitian ini termasuk dalam kategori tinggi baik secara keseluruhan maupun per dimensi. Hasil menunjukkan bahwa keluarga hampir seluruh contoh merasa puas dan bahagia dalam hubungan antar anggota keluarga baik itu hubungan suami-istri, hubungan orang tua-anak, hubungan antar anak, dan hubungan dengan orang tua atau mertua. Menurut Laver dan Laver (2012) ciri suatu keluarga harmonis adalah adanya perasaan yang sangat puas satu sama lain dalam sebuah hubungan serta adanya rasa saling bahagia satu sama lain. Tingginya keharmonisan keluarga pada penelitian ini dapat disebabkan pandangan budaya dalam hal ini budaya sunda yang menganggap kebahagiaan lahir dan batin dalam hidup adalah hal utama. Orangorang yang mengakui bahwa perkawinan mereka bahagia dan tidak terdapat konflik disebabkan oleh perasaan malu untuk mengakui adanya ketidakharmonisan dengan pernikahan mereka (Galvin et al. 2004). Keluarga petani dalam penelitian termsuk ke dalam kategori dengan potensi konflik rendah dan keharmonisan tinggi atau Tipe 3. Lokasi penelitian yang merupakan lingkungan pedesaan dan masih kuatnya nilai-nilai tradisionalnya seperti nilai religi dan adat istiadat merupakan indikator yang dapat menjadi alasan keharmonisan keluarga tergolong tinggi. Orang-orang dengan latar belakang tradisional yang kuat lebih banyak kemungkinan bahagia dalam perkawinan atau mungkin juga cenderung mengatakan bahwa mereka puas (Goode 1995). Kebiasaan beragama yang kuat juga merupakan hal utama dalam solidaritas perkawinan dan keluarga (Stinnet 1983). Keluarga petani dalam penelitian ini termasuk ke dalam sistem morfostatikyaitu sistem dengan menjaga stabilitas serta memiliki batasan-batasan terhadap pengaruh dari luar, dan memberikan feedback yang negatif.Keluarga dengan sistem ini cenderung tertutup (closed system), yakni lebih mementingkan pertukaran internal dari pada pertukaran dii luar sistem (Deacon dan Firebaugh 1988). Semakin tinggi konflik maka keharmonisan semakin rendah, begitupun sebaliknya, semakin rendah konflik maka keharmonisan semakin tinggi. Lam et al. (2012) menyatakan bahwa terciptanya keharmonisan keluarga karena rendahnya konflik dalam keluarga tersebut. Keterbatasan pada penelitian ini yaitu keharmonisan dan potensi konflik pada keluarga hanya dilihat berdasarkan sudut pandang dan persepsi istri atau ibu, tidak berdasarkan pernyataan dari seluruh anggota keluarga. Karakteristik contoh dalam penilitian ini juga kurang beragam. Pernyataan-pernyataan dalan kuesioner yang digunakan juga masih belum spesifik atau masih terlalu umum sehingga belum bisa dilihat faktor-faktor yang memengaruhi keharmonisan keluarga.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Potensi konflik yang ada pada keluarga petani tergolong rendah hal ini menunjukkan bahwa keluarga petani pada penelitian ini mampu mengelola permasalahan-permasalahan dengan baik sehingga dapat meminimalisir konflik
30 keluarga. Permasalahan yang umum terjadi pada keluarga petani cenderung kepada yaitu sikap suami terhadap istri, permasalahan perilaku anak dan prestasi belajar, serta permasalahan dalam pekerjaan dan tekanan ekonomi. Hubungan dengan keluarga besar merupakan sumber konflik yang sangat rendah atau tidak menimbulkan konflik dalam keluarga. Rendahnya konflik merupakan salah satu indikator bahwa keluarga tersebut harmonis hal ini dapat dilihat bahwa keharmonisan keluarga pada penelitian ini sangat tinggi. Keharmonisan dapat dilihat dari persepsi istri yang merasa puas serta bahagia dengan kehidupan perkawinannya. Hubungan dengan anak juga merupakan hal yang memuaskan dan disyukuri sehingga keharmonisan pada keluarga sangat tinggi. Namun hubungan persaudaraan antara anak menimbulkan kurang membahagiakan bagi orang tua. Tipologi konflik dan keharmonisan keluarga termasuk pada Tipe 3 yaitu konflik keluarga rendah sedangkan keharmonisan keluarga tergolong tinggi. Secara keseluruhan keluarga memiliki potensi konflik yang menengah rendah dan keharmonisan keluarga terkategori sangat tinggi. Namun terdapat keluarga yang termasuk pada Tipe 4, yakni konflik rendah dan keharmonisan rendah. Tidak ada satupun keluarga petani yang berada pada tipe konflik dan keharmonisan Tipe 1 maupun Tipe 2. Semakin tinggi atau semakin tua istri, maka konflik keluarga akan semakin rendah, sedangkan keharmonisan keluarga akan semakin tinggi. Jumlah anggota keluarga yang semakin banyak pada keluarga maka potensi konflik akan semakin rendah dan hubungan keduanya signifikan, sedangkan pada keharmonisan akan tinggi tetapi tidak berhubungan signifikan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin tinggi konflik maka keharmonisan akan semakin rendah, begitu pun sebaliknya tetapi hubungan keduanya tidak signifikan.
Saran Konflik keluarga yang rendah dapat diciptakan dengan menjaga hubungan yang baik antar anggota keluarga seperti hubungan suami-istri, hubungan anakorang tua, hubungan antar anak, dan hubungan dengan keluarga besar serta menghindari bentuk kekerasan dalam keluarga seperti mencaci maki dan memukul. Sikap dan emosi-emosi negatif harus mampu dikelola dengan baik sehingga konflik keluarga dapat diatasi. Keharmonisan dalam keluarga juga dapat diciptakan dengan menjaga hubungan baik antar anggota keluarga sehingga adanya perasaan bahagia, puas, dan bersyukur terhadap keluarga. Adanya kerjasama dan pembagian peran dalam keluarga dapat mengurangi konflik terutama bagi keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang banyak. Konflik yang rendah juga dapat menjadikan keluarga lebih harmonis. Pemerintah diharapkan mampu membuat kebijakan yang memerhatikan kesejahteraan petani seperti dalam hal pendidikan dan pengetahuan sehingga . Penelitian selanjutnya diharapkan mampu meneliti variabel lain yang diduga berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga petani seperti pengasuhan, nilai-nilai perkawinan, interaksi keluarga, dan dukungan sosial.
31
DAFTAR PUSTAKA Adendorff C, Venter E, Boshoff C. 2008. The impact of family harmony on governance practices in South Africa Greek family business. 17(3):28-44. Afiah FN, Purnamasari SE. 2012. Hubungan antara keharmonisan keluarga dengan sikap terhadap seks pranikah pada remaja.Jurnal STKIP PGRI Sumbar. Alamsyah. 2012. Resolusi konflik keluarga berbasis kearifan lokal Islam nusantara. Analisis Jurnal Studi Keislaman. 12(2). Ashraf F, Najam N. 2011. Age and gender differences in parent-adolescent conflict. Journal of Behavioural Science. 21(2). Burgess EW, Locke HJ. 1960. The Family, Second Edition. New York: American Book Company. Chuang YC. 2005. Effect of interaction pattern on family harmony and wellbeing: Test of interpersonal theory, relational-models theory, and Confucian ethics. Asian Journal of Social Psychology. 8:272-291. Deacon R, Firebaugh F. 1988.Family Resource Management: Principles and Applications, 2nd Edition. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Desiani N. 2012. Hubungan antara keharmonisan keluarga dengan hasil belajar peserta didik di SMP Muhammadiyah 6 Padang.Jurnal STKIP PGRI Sumbar.6(1). Duvall EM. 1971. Family Development: Fourth Edition. Toronto: J.B. Lippicont Company. El-Sheikh M, Erath SA. 2011. Family conflict, autonomic nervous system functioning, and child adaption: State of the science and future directions. Development and Psychopathology.23.doi:10.1017/S0954579411000034. Farhood LF. 2004. The impact of low stress on the health of Lebanese families. Research an Theory for Nursing Practice: An International Journal. 18(2/3). Formoso D, Gonzales, NA, Aiken LS. 2000. Family conflict and children’s internalizing and externalizing behavior: protective factors. American Journal of Community Psychology. 28(2):175-199. Galvin KM, Bylund CL, Brommel BJ. 2004. Family Communication: Cohesion and Change, sixth edition. USA: Pearson Education, Inc. Georgas J. 2006. Families and family change. Family Across Culture. [Internet]. [diunduh 15 September 2014]. Tersedia pada: www.cambridge.org. Goode WJ. 1995. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara. Goode WJ. 2007. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara. Gustiana WD. 2012. Persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan pada keluarga petani di Kota Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hall EJ, Cummings EM. 1997. The effects of marital and parent-child conflicts on other family members: Grandmothers and grown children. Family Relation. (46)2: 135-142. Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan: suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi 5. Jakarta: Erlangga. Howe N, Recchia H. 2006. Sibling relations and their impact on children’s development.Encyclopedia on Early Childhood Development.
32 Jones P. 2003.Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-Modernisme. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Juang LP, Alvarez AA. 2010. Discrimination and adjustment among chinese american adolescents: family conflict and family cohesion as vulnerability and protective factors. American Journal of Public Health.100(2). Kalil A, Wightman P. 2010. Parental job loss and family conflict.Family and Marriage Research. Kisinky N. 2012. Kekerasan dalam rumah tangga pada perempuan menikah muda.[Internet]. [diunduh 6 Maret 2014]. Tersedia pada: http://www.ukmtenunindonesia.info/assets/flexpaper/pdf/JURNAL.pdf. Kitson GC, Babri KB, Roach MJ, Placidi KS. 1989. Adjustment to widowhood and divorce. Journal of Family Issues. 10(1). Knox D. 1985.Choicesin Relationships: An Introduction to Marriage and the Family. USA: West Publishing. Koerner AF, Fitzpatrick MA. 1997. Family type and conflict: the impact of conversation orientation and conformity orientation on conflict in the family. Communication Studies. 48(1) :59-75. Kucewicz D. 2011. Conflict resolution and relational patterns in the families of origin of women and men. Psychology Of Language and Communication. doi:10.2478/v10057-011-0005-1. Lam WWT, Fielding R, McDowell I, Johnston J, Chan S, Leung GM, Lam TH. 2012. Perspective on family health, happiness and harmony (3H) among Hong Kong Chinese people: a quality study. Health Education Research. 27(5):767-779. Laver RH, Laver JC. 2012. Marriage and Family, 8th Edition. New York: Mc.Graw Hill. Lestari R, Hardjanta G, Primastuti E. 2012. Persepsi ibu terhadap keharmonisan rumah ditinjau dari berpikir positf. Psikodimensia: Kajian Ilmiah Psikologi. 1(3): 161-165. Megawangi R. 1999. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Jakarta: Mizan. Nainggolan K. 2005. Pertanian Indonesia: Kini dan Esok. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Nancy MN. 2013. Hubungan nilai dalam perkawinan dan pemaafan dengan keharmonisan keluarga. Journal Gunadarma [Internet]. [diunduh 29 Juni 2014]. Tersedia pada: ejournal.gunadarma.ac.id. Nasoetion AH.2010. Pengantar Ke Ilmu-Ilmu Pertanian. Bogor: Litera Antar Nusa. Ngozi O, Peter N, Stella A. 2013. The impact of marital conflicts and the psychosocial adjustment of adolescents in Lagos Metropolis, Nigeria.JETERAPS. 4(2): 320-326. Nwoye A. 2000. A framework for intervention in marital conflicts over family finances: A view from Africa. The American Journal of Family Therapy. 28(1): 75-87. Pekdemir I, Kocogu M, Gurkan GC. 2013. The effects of harmony of family, distribute justice, and role ambiguity on family member impediment: The mediating role of relationship conflict as an example of developing country
33 Turkey. [Internet]. [diunduh 28 Pebruari 2014]. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.5539/ass.v9n9p131. Prianto B, Wulandari NW, Rahmawati A. 2013. Rendahnya komitmen dalam perkawinan sebagai sebab perceraian. Jurnal Komunitas, 5 (2): 208-218. Puspitawati H. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. Bogor: IPB Press. Rachmadani C. 2013. Strategi komunikasi dalam mengatasi konflik rumah tangga mengenai perbedaan tingkat penghasilan di RT.29 Samarinda Seberang.eJournal Ilmu Komunikasi. [Internet]. [diunduh 16 Pebruari 2014]. Tersedia pada: ejournal.ilkom.or.id. Reddy DBE. 2011. Agricultural Information Transfer System. New York: Nova Science Publisher. Roskos PT, Handal PJ, Ubinger ME. 2010. Family conflict resolution: its measurement and relationship with family conflict and psychological adjustment. Psychology: Scientific Research. 1(5): 370-376. Roxana P. 2013. Family life-component of quality of life. Procedia: Social and Behavioral Sciences. 82:266-270.doi: 10.1016/j.sbspro.2013.06.257. Saleh A. 2011. Dasar-Dasar Komunikasi. Hubeis AVS, editor. Bogor (ID): IPB Press. Santiago CD, Wadsworth ME. 2009. Coping with family conflict: What’s helpful and what’s not for low-income adolescents. Journal of Child and Family Study. 18: 192-202. Sastraatmadja E. 2006. Petani di Tanah Merdeka. Bogor: Petani Center. Saxton L. 1990. The Individual, Marriage, and the Family, Seventh Edition. USA: Wadsworth, Inc. Scharlach A, Li W, Dalvi TB. 2006. Family conflict as a mediator of caregiver strain. Family Relation.625-635. Sensus Pertanian Badan Pusat statistik. 2013. [Internet]. [diunduh pada 10 April 2014]. Tersedia pada: st2013.bps.go.id. Sevinç M, Garip ES. 2010. A study of parent’s child raising styles and marital harmony. Procedia: Social and Behavioral Sciences. 2:1648-1653.doi: 10.1016/j.sbspro.2010.03.252. Smart LS, Smart MS. 1980. Families Developing Relationships, Second Edition. New York: Macmillan Publishing. Sofka CJ. 2004. What kind of funeral? Identifying and resolving family conflicts. Generations. 28(2): 21-24. Sunarti E, Khomsan A. 2012. Kesejahteraan keluarga petani mengapa sulit diwujudkan?.[Internet]. [diunduh 31 Maret 2014]. Tersedia pada: http://euissunarti.staff.ipb.ac.id/files/2012/03/Dr.-Ir.-Euis-SunartiKESEJAHTERAAN-KELUARGA-PETANI.pdf. Trinidad DR, Chih-Ping C, Jennifer B, Unger, Johnson A, Yan L. 2003.Family harmony as a protective factor against adolescent tobacco and alcohol use in Wuhan, China.Substance Use And Misuse: Institute Of Health Promotion and Disease Prevention Research. 38(8): 1159-1171. Tubbs CY, Roy KM, Burtons LM. 2005. Family ties: constructing family time in low-income families. Family Process.44(1). Utama SD, Nurwidawati D. 2013. Hubungan persepsi keharmonisan keluarga dan kepercayaan diri dengan prestasi belajar siswa SMA Trimurti Surabaya.
34 Jurnal Psikologi. [Internet]. [diunduh 18 April 2014]; 1(3). Tersedia pada: ejournal.unesa.ac.id. Wahab R. 2006. Kekerasan dalam rumah tangga: perspektif psikologis dan edukatif. [Internet]. [diunduh 5 Maret 2014]. Tersedia pada: staff.uny.ac.id. Yigibalom L. 2013. Peranan interaksi anggota keluarga dalam upaya mempertahankan harmonisasi kehidupan keluarga di Desa Kumuluk Kecamatan Tiom Kabupaten Lanny Jaya.Jurnal Acta Diurna.2(4). Zheng Wu, Penning MJ. 1997. Marital instability after midlife. Journal of Family Issues.18(5).
35 Lampiran 1 Kronologis Sampling Contoh diambil berdasarkan data sekunder dari dua sekolah yaitu SDN Harapan dan SD IT Darul Hikmah dengan melihat data absensi kelas siswa-siswi kelas 4 dan kelas 5 yang orang tuanya bekerja sebagai petani dan buruh. Pengambilan data sekunder tersebut dilakukan pada tanggal 22 April 2014 dan didapatkan sebanyak 22 orang (8 laki-laki dan 14 perempuan) dari SD IT Darul Hikmah serta sebanyak 7 orang (5 laki-laki dan 2 perempuan) dari SDN Harapan, sehingga jumlah awal siswa-siswi yang orang tuanya bekerja sebagai petani dan buruh (dalam hal ini diasumsikan sebagai buruh tani) adalah sebanyak 29 orang (13 laki-laki dan 16 perempuan). Namun, untuk lebih memastikan bahwa pekerjaan buruh yang tercantum di absensi adalah buruh tani, dilakukan penegcekan kembali pada saat turun lapang (11 Mei 2014) dengan menanyakan langsung kepada siswa-siswi tentang pekerjaan orang tua khususnya yang orang tuanya sebagai petani, baik petani punya lahan, petani penggarap, atau buruh tani. Berdasarkan sensus tersebut diperoleh sebanyak 41 siswa-siswi kelas 4 dan kelas 5 yang orang tuanya bekerja sebagai petani (pemilik, penggarap, buruh), dengan jumlah siswa sebanyak 23 orang (10 perempuan dan 13 laki-laki) dari SDN Harapan serta sebanyak 17 orang (13 perempuan dan 4 laki-laki) dari SD IT Darul Hikmah. Kemudian data tersebut bertambah menjadi 43 orang, yaitu penambahan 3 siswi dari SDN Harapan dikarenakan pada saat pengumpulan data awal mereka tidak hadir di sekolah. Tetapi pada akhirnya, ada beberapa contoh yang gugur dikarenakan ibunya sedang bekerja ke luar kota/ ke luar negri atau ibunya sudah meninggal, sehingga didapatkan jumlah akhir contoh yaitu sebanyak 36 dengan anak laki-laki sebanyak 10 orang dan perempuan sebanyak 26 orang. SDN Harapan merupakan satu-satunya SD Negeri yang ada di Kp. Pasircina, Desa Cipendawa ini dan sudah sangat lama berdiri, sedangkan SD IT Darul Hikmah merupakan SD yang dinaungi oleh sebuah yayasan dan baru berdiri sekitar 7 tahun lamanya. Awalnya SD IT ini merupakan sekolah PAUD kemudian dikembangkan menjadi Sekolah Dasar dan baru tahun ini dikembangkan Sekolah Menengah Pertama. Oleh karena itu, jumlah siswa-siswi dari SDN Harapan lebih banyak dari pada SD IT Darul Hikmah.
36 Lampiran 2 Peta Kecamatan Pacet
Keterangan: = Lokasi penelitian
37 Lampiran 3 Hasil-hasil penelitian terdahulu KONFLIK KELUARGA 1. Konsep Konflik keluarga merupakan masalah yang serius dan menyebabkan stres yang sangat besar pada hubungan keluarga (Formoso, Gonzales, dan Aiken 2000). Konflik keluarga bukanlah berfokus pada perilaku individu suami dan istri, melainkan pada hubungan dyadic suami-istri atau pernikahan maupun sistem dalam keluarga (Kalil dan Wightman 2010). Konflik dalam keluarga merupakan sebuah stres ketika adanya krisis dalam keluarga seperti keputusan dalam pemakaman jika salah seorang keluarga meninggal (Bowman 2000). Konflik keluarga berarti adanya hubungan yang buruk antara anak dengan orang tua (Klonsky et al. 2000). Konflik keluarga dapat dipahami sebagai stresor kedua yang merupakan hasil dari stresor utama yaitu kerusakan kognitif atau permasalahan perilaku (Scharlach, Li, dan Dalvi 2006). Konflik peran mengarah kepada konsekuensi hubungan organisasional dalam skala makro yang berawal dari permasalahan personal (Memili dan Chang 2009). Konflik didefinisikan sebagai “proses yang berawal dari persepsi seseorang yang dikecewakan, sehingga frustasi dan mengkhawatirkan kondisinya” (Thomas 1992). Resolusi konflik keluarga merupakan upaya anggota keluarga untuk mengatasi konflik yang ada pada keluarga seperti berdiskusi secara terbuka, komunikasi efektif, adanya persetujuan atau kesepakatan, segera menemukan solusi secara bersama-sama, dan menerima perbedaan antar anggota keluarga. (Roskos et al. 2010). Konflik keluarga merupakan hal yang mengakibatkan suasana keluarga menjadi negatif (Juang dan Alvarez 2010). 2. Indikator/ Dimensi Konflik keluarga terdiri dari pernyataan yaitu anggota keluarga menolak untuk berbicara satu sama lain, anggota keluarga saling bertengkar, tidak baiknya komunikasi antara ibu-anak atau antara ayah-anak, orang tua tidak bersikap suportif terhadap anak-anaknya. (Formoso et al. 2000) Konflik keluarga dapat diukur berdasarkan perkelahian sehari-hari antar anggota keluarga seperti perkelahian antara ayah dengan ibu dan perkelahian antara anak dengan orang tua. (Santiago dan Wadsworth 2008). Keluarga yang krisis, tidak harmonis, perpecahan, tidak ada ketenangan, dan kacau balau adalah ciri adanya konflik dalam keluarga tersebut. (Ngozi et al. 2013). Bentuk konflik keluarga: konflik secara verbal antara suami-istri, konflik secara verbal antara anak dan ibu, konflik secara verbal antara anak dan ayah, tindakan agresif antara pasangan suami-istri dan antara orang tua dengan anak, pertengkaran suami-istri tentang pembagian pekerjaan rumah, perdebatan tentang berkunjung ke rumah saudara masing-masing,
38 Lampiran 3. Lanjutan permasalahan anak di sekolah, permasalahan anak dengan temannya. (Hall dan Cummings 1997). Dua hal yang dideskripsikan untuk mengukur konflik: pertama konflik verbal, yang terdiri dari a) tidak pernah mendiskusikan permasalahan, b) sering mengkritik satu sama lain, dan c) sering bertengkar. Kedua adalah konflik fisik, yang terdiri dari a) terkadang memukul satu sama lain dan b) marah sampai melempar barang-barang (Kalil dan Wightman 2010). 3. Faktor-faktor yang memengaruhi konflik keluarga Kemiskinan dan gejala stres pada orang dewasa memengaruhi konflik keluarga. (Santiago dan Wadsworth 2008). Secara spesifik konflik keluarga merupakan dampak dari mental pengasuh, pendidikan pengasuh, pendapatan pengasuh serta hubungan pengasuh. (Scharlach et al. 2006). Konflik dipengaruhi oleh pendapatan keluarga dalam hal manajemen keuangan keluarga (Nwoye 2000). Terdapat hubungan antara hilangnya pekerjaan ayah/suami dengan konflik keluarga, yaitu berhubungan (Kalil dan Wightman 2010). Kelemahan keuangan atau kehilangan materi, perilaku anak, permasalahan emosi suami-istri, menelantarkan keluarga, perdebatan atau perang argumen, permasalahan orang tua/ mertua, serta kelelahan atau stres berdampak pada konflik keluarga (Roxana 2013). Beberapa hal yang berkontribusi terhadap konflik keluarga yaitu: gaya pengasuhan, perbedaan nilai, perbedaan gaya hidup, dan kesulitan finansial (Lam et al. 2012). Personality disorder berhubungan negatif dengan konflik orang tua dan dukungan keluarga (Klonsky et al. 2000). Wanita yang sangat mementingkan kualitas dalam hubungan keluarga lebih sensitif terhadap konflik keluarga (Mui 1995). 4. Konflik berpengaruh terhadap faktor lain Konflik keluarga berpengaruh terhadap diskriminasi seseorang dan mengakibatkan seseorang merasa kesepian (Juang dan Alvarez 2010). Konflik keluarga berpengaruh terhadap emosi anak dan orang tua (nenek), yaitu anak merasa marah dan takut ketika melihat pertengkaran orang tua. (Hall dan Cummings 1997). Ketegangan pada pengasuh secara langsung dipengaruhi oleh konflik keluarga. (Scharlach et al. 2006). Terdapat pengaruh yang signifikan dari konflik perkawinan terhadap penyesuaian psikososial orang dewasa. Konflik perkawinan juga memengaruhi persepsi perkawinan sebagai sebuah institusi. Pernikahan yang memiliki konflik berkepanjangan dan tidak diselesaikan akan mengarah kepada kegagalan perkawinan. Ketidakstabilan pernikahan disebabkan oleh konflik pernikahan yang menuju pada perceraian, orang tua tunggal, dan ditinggalkan oleh pasangan. (Ngozi, Peter, dan Stella 2013). Konflik keluarga (konflik pernikahan dan konflik orang tua-anak) berdampak pada perilakuu yang negatif dan permasalahan emosi pada anak (El-Sheikh dan Erath 2011).
39 Lampiran 3. Lanjutan KEHARMONISAN KELUARGA 1. Konsep Spanier mendefinisikan keharmonisan dalam pernikahan sebagai orientasi pasangan serta adaptasi dalam kehidupan sehari-hari dan perubahan dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan Sabatelli mendeskripsikan keharmonisan keluarga sebagai suatu kesatuan pasangan yakni dapat berkomunikasi, menyelesaikan perdebatan, sehingga kedua pasangan bahagia (Sevinç dan Garip 2010). Hubungan yang harmonis merupakan hubungan secara dyadic dan merupakan konteks dari interaksi keluarga. (Chuang 2005). Keharmonisan lebih mengarah kepada hubungan interpersonal yang intim dan emosional dan tidak mengarah pada asek profesional (Roxana 2013). Keharmonisan keluarga merupakan persepsi mengenai mulusnya dan harmonisnya fungsi keluarga (Trinidad et al. 2003). Keharmonisan keluarga merupakan sinonim dari kebahagiaan keluarga yang berasal dari persepsi (Lam et al. 2012). 2. Indikator Hubungan yang baik dengan keluarga, mematuhi orang tua, orang tua peduli dengan anak (Trinidad et al. 2003). Karakteristik keluarga yang harmonis antara lain: motivasi, komitmen, setia, bekerja untuk keluarga atau rumah tangga tanpa kompensasi, dan mempunyai fleksibilitas yang tinggi (Pekdemir 2013). Hal yang harus diperhatikan untuk menciptakan keluarga yang bahagia adalah: cinta, memperhatikan hal-hal yang penting dalam perkawinan, kepercayaan, saling mendukung, dan kesetiaan (Roxana 2013). Komponen keharmonisan keluarga terdiri atas: komunikasi, saling menghormati, rendah akan konflik, dan waktu untuk keluarga (family time). (Lam et al. 2012) Keharmonisan keluarga dapat dilihat dari baiknya hubungan antar anggota keluarga (ayah-anak perempuan, ayah-anak laki-laki, ibu-anak perempuan, ibu-anak laki-laki, suami-istri). (Chuang 2005) Hal-hal yang termasuk dalam keharmonisan keluarga: sikap menghargai dan apresiasi satu sama lain, kontribusi pengambilan keputusan, penyelesaian konflik, dukungan, dan peduli terhadap kesejahteraan satu sama lain (Adendorff, Venter, dan Boshoff 2008). 3. Faktor-faktor yang memengaruhi keharmonisan keluarga Konfllik dalam sebuah hubungan merupakan mediator dari keharmonisan keluarga (Pekdemir 2013). Keharmonisan perkawinan dipengaruhi banyak faktor diantaranya: harapan terhadap pasangan, pengasuhan, pengelolaan finansial, teman, seksualitas, hubungan dengan kerabat pasangan (Sevinç dan Garip 2010). Keharmonisan perkawinan pada ayah lebih tinggi dibandingkan ibu. Keberadaan anak, kerjasama dalam mengasuh anak, dan berbagi tanggung jawab mengenai kepentingan anak merupakan faktor yang menjadi pembeda antara keharmonisan perkawinan. (Sevinç dan Garip 2010).
40 Lampiran 3. Lanjutan Konflik merupakan faktor penentu keharmonisan keluarga (Lam et al. 2012). Semakin sering anak memperlihatkan sikap menghargai kepada orang tua secara langsung, maka keharmonisan keluarga semakin tinggi (Chuang 2005). Terdapat hubungan yang positif antara keharmonisan keluarga dengan komitmen dan komunikasi (Adendorff, Venter, dan Boshoff 2008). 4. Keharmonisan keluarga berpengaruh terhadap faktor lain Peningkatan penggunaan tembakau atau rokok dan alkohol merupakan akibat dari rendahnya keharmonisan keluarga. Keharmonisan keluarga juga berpengaruh negatif signifikan terhadap sikap depresi dan secara positif dengan prestasi akademik (Trinidad et al. 2003). Keharmonisan keluarga berkontribusi pada kebahagiaan dan keluarga yang sehat (Lam et al. 2012). Semakin harmonis keluarga maka keuntungan dari bisnis keluarga juga semakin tinggi (Adendorff, Venter, dan Boshoff 2008).
41 Lampiran 4 Sebaran contoh berdasarkan konflik keluarga No
Pernyataan
Konflik suami-istri 1 Suami marah pada istri 2 Suami mencaci maki istri 3 Suami membentak istri 4 Suami memukul istri 5 Istri marah pada suami 6 Istri mencaci maki suami 7 Istri membentak suami 8 Istri memukul suami 15 Peningkatan konflik antara anda dan suami 20 Berdebat atau bertengkar dengan suami karena masalah pekerjaan 21 Bertengkar dengan suami karena masalah keuangan 22 Bertengkar dengan suami karena masalah anak-anak Konflik orang tua anak 14 Sulit untuk mengatur perilaku anak-anak 16 Peningkatan pertengkaran anda dan anak kandung 23 Suami atau ayah sering memarahi anak-anak Konflik antar anak 17 Peningkatan pertengkaran antara anak kandung anda 24 Anak-anak bertengkar
1 %
n
2 %
n
3 %
n
4 %
n
42,9
15
51,4
18
0,0
0
5,7
85,7
30
11,4
4
0,0
0
68,6
24
28,6
10
0,0
97,1
34
0,0
0
48,6
17
40,0
88,6
31
91,4 100,0
RS
M
2
1,7
2
2,9
1
1,2
1
0
2,9
1
1,4
1
0,0
0
2,9
1
1,1
1
14
5,7
2
5,7
2
1,7
1
11,4
4
0,0
0
0,0
0
1,1
1
32
5,7
2
2,9
1
0,0
0
1,1
1
35
0,0
0
0,0
0
0,0
0
1,0
1
77,1
27
14,3
5
5,7
2
2,9
1
1,3
1
68,6
24
11,4
4
14,3
5
5,7
2
1,6
1
62,9
22
25,7
9
5,7
2
5,7
2
1,5
1
42,9
15
40,0
14
17,1
6
0,0
0
1,7
1
42,9
15
31,4
11
8,6
3
17,1
6
2,0
1
71,4
25
22,9
8
2,9
1
2,9
1
1,4
1
31,4
11
28,6
10
20,0
7
20,0
7
2,3
1
71,4
25
11,4
4
5,7
2
11,4
4
1,6
1
88,6
31
2,9
1
0,0
0
5,7
2
1,2
1
42 Lampiran 4. Lanjutan 1 % Konflik dengan keluarga besar 18 Peningkatan konflik 94,3 antara anda dengan pihak keluarga suami 25 Suami tidak akur 94,3 dengan orang tua dan keluarga besar saya 26 Saya tidak akur 60,0 dengan ibu mertua 27 Keluarga besar 91,4 kurang mendukung segala aktivitas yang dilakukan oleh keluarga saya Aspek material 9 Permasalahan 34,3 tekanan ekonomi 11 Masalah dengan 57,1 pekerjaan/ mencari uang 19 Bertengkar karena 71,4 kesulitan uang/ tekanan ekonomi Aspek non material 10 Masalah dengan 54,3 prestasi belajar anak 12 Istri merasa 42,9 mempunyai masalah emosi 13 Masalah dengan 51,4 kehidupan sebagai petani No Pernyataan
Keterangan:
n
2 %
3 %
n
4 %
n
33
5,7
2
0,0
0
0,0
33
2,9
1
0,0
0
21
2,9
1
0,0
32
8,6
3
12
40,0
n
14
RS
M
0
1,1
1
2,9
1
1,1
1
0
37,1
13
2,1
1
0,0
0
0,0
0
1,1
1
20,0
7
5,7
2
1,9
2
20
28,6
10
11,4
4
2,9
1
1,6
1
25
14,3
5
8,6
3
5,7
2
1,5
1
19
31,4
11
5,7
2
8,6
3
1,7
1
15
45.7
16
5,7
2
5,7
2
1,7
2
18
40,0
14
2,9
1
5,7
2
1,6
1
sering,
4=
sering
1= tidak pernah, 2= kadang-kadang, 3= sekali, RS= rata-rata skor (1-4), M= modus (1-4)
cukup
43 Lampiran 5 Sebaran contoh berdasarkan keharmonisan keluarga No
Pernyataan
Hubungan suami-istri 1 Saya puas dengan perkawinan saya 2 Saya bahagia dengan perkawinan saya Hubungan dengan anak 3 Saya merasa bahagia dengan hubungan bersama anak saya 4 Saya merasa bahagia dan bersyukur dengan hubungan bersama anak saya 5 Saya merasa puas dengan hubungan bersama anak saya 6 Saya merasa puas dan bersyukur dengan hubungan bersama anak saya Hubungan antar anak 7 Saya merasa bahagia dengan hubungan antar anak kandung saya 8 Saya merasa bahagia dan bersyukur dengan hubungan antar anak kandung saya 9 Saya merasa puas dengan hubungan antar anak kandung saya 10 Saya merasa puas dan bersyukur dengan hubungan antar anak kandung saya
1 %
n
2 %
n
3 %
n
4 %
n
0,0
0
0,0
0
5,7
2
94,3
0,0
0
0,0
0
5,7
2
0,0
0
0,0
0
2,9
0,0
0
0,0
0
0,0
0
0,0
0,0
0
0,0
RS
M
33
3,9
4
94,3
33
3,9
4
1
97,1
34
3,9
4
0,0
0
100,0
35
4,0
4
0
2,9
1
97,1
34
3,9
4
0,0
0
2,9
1
97,1
34
3,8
4
0
0,0
0
17,1
6
82,9
29
4,0
4
0,0
0
0,0
0
0,0
0
100,0
35
4,0
4
0,0
0
0,0
0
0,0
0
100,0
35
4,0
4
0,0
0
0,0
0
0,0
0
100,0
35
3,9
4
44 Lampiran 5. Lanjutan 1 % Hubungan dengan mertua No Pernyataan
11
12
13
14
Saya merasa bahagia dengan hubungan bersama orangtua lansia saya Saya merasa bahagia dan bersyukur dengan hubungan bersama orangtua lansia saya Saya merasa puas dengan hubungan bersama orangtua lansia saya Merasa puas dan bersyukur dengan orang tua
n
2 %
n
3 %
n
4 %
n
RS
M
2,9
1
0,0
0
2,9
1
94,3
33
3,9
4
2,9
1
0,0
0
2,9
1
94,3
33
3,9
4
2,9
1
0,0
0
2,9
1
94,3
33
3,9
4
2,9
1
0,0
0
2,9
1
94,3
33
3,9
4
Keterangan: 1= tidak puas/tidak bahagia, 2= kurang puas/ kurang bahagia, 3= cukup puas/ cukup bahagia, 4= sangat puas/ sangat bahagia, RS= rata-rata skor (1-4), M= modus (1-4)
45 Lampiran 6 Data kualitatif arti keluarga Nomor Responden 001 002 003 004 005 006 007 008 009 010 011 012 013 014 015 016 017 018 019 020 021 022 023 024 025 026 027 028 029 030 031 032 033 034 035
Arti Keluarga Keluarga adalah anugrah dari Tuhan Keluarga tempat berbagi Keluarga merupakan yang menjaga kita dari segala macam ancaman dan bahaya serta kesedihan Keluarga tempat berbagi suka dan duka Keluarga adalah anugrah bagi saya Keluarga yang harmonis Keluarga itu tempat berbagi Mengurus kebutuhan anak, suami, dan hal tersebut melalahkan Kesenangan anak, bapak, ibu Senang, segalanya untuk keluarga Tidak tahu Keluarga adalah segalanya Keluarga ada suka dan duka Keluarga itu anugrah Tempat untuk kebahagiaan Berkah bagi hidup Keluarga sangat penting Keluarga adalah kebanggaan saya Bahagia Keluarga adalah kebahagiaan Tempat sedih dan senang Keluarga tempat kebahagiaan Keluarga adalah kebanggaan Keluarga adalah kebanggaan Keluarga adalah kedamaian Tidak tahu Keluarga sebagai kebahagiaan Sangat penting Penting sekali Yang nomor satu, yang utama keluarga Keluarga tempat berbagi suka dan duka Tidak tahu Keluarga untuk menjalin kehidupan yang lebih baik Tidak tahu Keluarga itu baik
Berdasarkan perspektif responden, keluarga memiliki makna: a. Keluarga adalah berkah dalam hidup dan merupakan anugerah dari Tuhan yang harus disyukuri. b. Keluarga adalah tempat bagi seorang individu untuk berbagi suka dan dukanya, mengekspresikan kesedihan dan kebahagiaan dengan seseorang yang lain yaitu anggota keluarga itu sendiri. c. Keluarga merupakan hal yang utama dan menjadi prioritas serta merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. d. Keluarga merupakan sumber kebahagiaan, kedamaian, dan kesenangan sehingga seseorang merasa nyaman atau terbebas dari ancaman dan merasakan keharmonisan sehingga dapat menjalankan kehidupan dengan baik. e. Kebanggaan seorang anggota keluarga merupakan kebanggaan bagi anggota keluarga yang lain.
46 Lampiran 7 Daftar responden berdasarkan tipologi konflik dan keharmonisan keluarga Konflik (0-100)
Keharmonisan (0-100)
Nores 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Tipe** Nilai
Kategori*
Nilai
Kategori*
33,33 35,63 22,99 45,98 24,14 33,33 11,49 12,64 2,30 3,45 6,90 19,54 32,18 17,24 20,69 18,39 10,34 2,30 9,20 6,90 12,64 20,69 20,69 10,34 12,64 19,54 6,90 11,49 2,30 0,00 6,90 5,75 11,49 17,24 14,94
R R R R R R R R R R R R R R R R R R R R R R R R R R R R R R R R R R R
100,00 100,00 100,00 100,00 95,24 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 97,62 95,24 100,00 95,24 97,62 100,00 100,00 90,48 97,62 100,00 66,67 100,00 97,62 97,62 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T R T T T T T T T T T T T T
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Keterangan: * = R: Rendah (≤ 75 [skor 0-100]), T: tinggi (> 75 [skor 0-100]) ** = Tipe 1: konflik tinggi keharmonisan rendah, Tipe 2: konfliktinggi keharmonisan tinggi, Tipe 3: konflik rendah keharmonisan tinggi, Tipe 4: konflik rendah keharmonisan rendah
Total: Tipe 1, n= 0 (0,00%) Tipe 2, n= 0 (0,00%) Tipe 3, n= 34 (97,14%) Tipe 4, n= 1 (2,96%)
Lampiran 8 Hasil uji korelasi Pearson antara karakteristik keluarga, konflik keluarga dengan keharmonisan keluarga
Usia suami Usia istri
Usia suami
Usia istri
Lama pendidikan istri -0,243
Pendapatan keluarga
Besar keluarga
Potensi Konflik
Keharmonisan keluarga
0,872**
Lama pendidikan suami -0,241
1
-0,205
0,664**
-0,163
0,176
1
-0,121
-0,090
-0,146
0,597**
-0,292*
0,221
1
0,630**
0,112
-0,261
-0,157
-0,060
1
0,119
-0,169
-0,238
0,131
1
0,013
0,008
0,161
1
-0,258
0,042
1
-0,084
Lama Pendidikan suami Lama pendidikan istri Pendapatan keluarga Besar keluarga Potensi konflik Keharmonisan keluarga Keterangan: **= signifikan pada level 0,01 (2-tailed) * = signifilkan pada level 0,10 (1-tailed)
1
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari orang tua Sutrisno dan Halmita yang dilahirkan pada tanggal 12 Maret 1993 di Pati. Penulis menamatkan pendidikannya di SD Negeri 02 Koto Tangah Batu Hampar pada tahun 2004, kemudian tamat MTs Negeri Piladang pada tahun 2007, dan tamat pada tahun 2010 di SMA Negeri 1 Kecamatan Akabiluru. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan S1 ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2010. Selama masa perkuliahan penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi di dalam dan luar kampus seperti Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen (HIMAIKO) sebagai anggota divisi Consumer Club (2011-2012), manajer Consumer Management HIMAIKO (20122013), serta kakak asuh dan sekretaris taman baca Sanggar Juara (2011-2013). Kegiatan kepanitiaan yang pernah diikuti penulis yaitu Masa Perkenalan Fakultas HERO 48 sebagai divisi pendamping anggota kelompok (PAK), Masa Perkenalan Departemen FAMOUS 48 sebagai ketua divisi acara, Sanggar Juara Festival 2012, Sanggar Juara Festival 2013, Family and Consumer Day 2012, Family and Consumer Day 2013, Hari Keluarga 2013, dan Deklarasi Keluarga Indonesia 2014. Selain itu penulis juga aktif mengikuti kegiatan seminar yang diselenggarakan oleh kampus dan di luar kampus.