DIKTAT MATA KULIAH
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Civic Education
Dikdik Baehaqi Arif
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA 2012
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, penyusunan Diktat Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) ini dapat diselesaikan. Diktat yang hadir di hadapan sidang pembaca ini diniati untuk memenuhi bahan bacaan pada perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan yang penulis sampaikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi termasuk dalam Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Mata kuliah ini dirancang untuk memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga negara serta pendidikan pendahuluan bela negara sebagai bekal agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Kompetensi dasar yang diharapkan dimiliki mahasiswa setelah mengikuti mata kuliah ini adalah menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air; demokratis yang berkeadaban; menjadi warga negara yang memiliki daya saing: berdisiplin, dan berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila. Sebagian besar naskah diktat ini merupakan hasil kajian pustaka dari berbagai literatur. Penulisan menggunakan bahasa yang sederhana sehingga harapannya materi-materi yang disajikan dapat mudah dicerna oleh mahasiswa. Penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang setinggitingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan diktat ini. Semoga Allah SWT membalas dengan balasan yang terbaik. Amiin. Secara khusus untuk istri tercinta Astri Fatimah dan anak tersayang Rakan Azka Baqi Baehaqi (Rakan) yang bibirnya tiada kering berdo‟a untuk kebaikan keluarga, semoga Allah senantiasa menjadikan keduanya sumber kesejukan bagi penulis. Yogyakarta, 17 Maret 2012
Penulis
Pendidikan Kewarganegaraan| i
Daftar Isi
KATA PENGANTAR – i DAFTAR ISI – iii BAB 1 MEMAHAMI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI PERGURUAN TINGGI – 1 Hakikat dan Rasional Pendidikan Kewarganegaraan – 1 Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum Nasional – 3 Pendidikan Kewarganegaraan Persekolahan – 4
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian – 6 BAB 2 IDENTITAS NASIONAL – 11 Pengertian Identitas Nasional – 11 Konsep Bangsa Indonesia – 12 Faktor-faktor Pembentuk Identitas Nasional – 17 Identitas Nasional Indonesia – 18 BAB 3 HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA – 21 Konsep Warga Negara dan Kewarganegaraan – 21 Asas-asas Kewarganegaraan – 25 Persoalan Kewarganegaraan – 27 Perolehan dan Kehilangan Kewarganegaraan – 30 Hak dan Kewajiban Warga Negara – 32 BAB 4 DEMOKRASI – 35 Konsep Demokrasi – 35 Demokratisasi – 41 Landasan Pengembangan Demokrasi – 45 BAB 5 NEGARA DAN KONSTITUSI – 47 Pengertian Negara – 47 Unsur-unsur Negara – 49 Sifat-sifat Negara – 50 Fungsi dan Tujuan Negara – 51 Pengertian Konstitusi – 52 UUD 1945 dan Perubahannya – 56 BAB 6 HAK ASASI MANUSIA – 70 Konsep Dasar Hak Asasi Manusia – 70 Kategori Hak Asasi Manusia – 73
Pendidikan Kewarganegaraan| iii
Prinsip-prinsip Pokok Hak Asasi Manusia – 76 Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia – 77 Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 – 79 Gagasan Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 – 79 Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 Pasca Perubahan – 81 BAB 7 SISTEM PEMERINTAHAN DAN OTONOMI DAERAH – 86 Karakteristik Sistem Pemerintahan – 86 Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial – 87 Sistem Pemerintahan dan Indonesia – 89 Otonomi Daerah – 92 Pengertian Otonomi Daerah – 92 Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah – 93 Pembagian Urusan Pemerintahan – 94 Hak dan Kewajiban Daerah Otonom dalam Otonomi Daerah – 96 BAB 8 WAWASAN NUSANTARA – 98 Konsep Geopolitik – 98 Pengertian Geopolitik – 98 Sejarah Lahirnya Konsep Geopolitik di Dunia – 99 Wawasan Nusantara sebagai Geopolitik Indonesia – 102 Konsep Dasar Wawasan Nusantara – 102 Wawasan Nusantara sebagai Wawasan Nasional Indonesia – 105 Landasan Wawasan Nusantara Indonesia – 109 BAB 9 KETAHANAN NASIONAL – 110 Geostrategi dan Geostrategi Indonesia – 110 Model-model Ketahanan Nasional – 112 Ketahanan Nasional sebagai Perwujudan Geostrategi Indonesia – 113 DAFTAR PUSTAKA – 117 LAMPIRAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (dalam Satu Naskah) – 120
iv |Dikdik Baehaqi Arif
Bab 1 Memahami Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Lingkup Bahasan Bab ini membahas tentang hakikat dan rasional Pendidikan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum Nasional yang meliputi di dalamnya Pendidikan Kewarganegaraan Persekolahan dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Tujuan Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan dapat memiliki kemampuan untuk: Menjelaskan hakikat dan rasional pendidikan kewarganegaraan Mengidentifikasi karakteristik pendidikan kewarganegaraan untuk program kurikuler di persekolahan dan di perguruan tinggi Mendeskripsikan perbedaan pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler, sebagai program sosio-kultural, dan sebagai kajian ilmiah/akademik kewarganegaraan Menganalisis perkembangan dan substansi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi
Kata kunci Civic education, citizenship education, school civic education, kewiraan, MPK
HAKIKAT DAN RASIONAL PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Pendidikan Kewarganegaraan adalah terjemahan dari istilah asing civic education atau citizenship education. Terhadap dua istilah ini, John C. Cogan telah membedakan dengan mengartikan civic education sebagai “...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives” (Cogan, 1999:4), atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Sedangkan citizenship education digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup “...both these in-school experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media, etc which help to shape the totality of the citizen” (Cogan, 1999:4). Artinya, pendidikan kewarganegaraan merupakan istilah generik yang mencakup pengalaman belajar
Pendidikan Kewarganegaraan| 1
di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan keluarga, dalam organisasi keagamaan, dalam organisasi kemasyarakatan, dan dalam media. Di sisi lain, David Kerr mengemukakan bahwa Citizenship or Civics Education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (through schooling, teaching and learning) in that preparatory process. (Kerr, 1999:2). Pendapat tersebut menjelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara khusus, peran pendidikan (termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar) dalam proses penyiapan warga negara tersebut. Untuk konteks di Indonesia, citizenship education oleh beberapa pakar diterjemahkan dengan istilah pendidikan kewarganegaraan (ditulis dengan menggunakan huruf kecil semua) (Somantri, 2001; Winataputra, 2001) atau pendidikan kewargaan (Azra, 2002).untuk kepentingan penulisan diktat ini kedua istilah tersebut digunakan secara bertukar pakai sebagai Pendidikan Kewarganegaraan. Dari pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa istilah citizenship education lebih luas cakupan pengertiannya daripada civic education. Dengan cakupan yang luas ini maka citizenship education meliputi di dalamnya pendidikan kewarganegaraan dalam arti khusus (civic education). Citizenship education sebagai proses pendidikan dalam rangka menyiapkan warga negara muda akan hak-hak, peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, sedang civic education adalah citizenship education yang dilakukan melalui persekolahan. Zamroni juga telah membedakan pengertian Pendidikan Kewarganegaraan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, pendidikan kewarganegaraan dimaknai sebagai pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat (ICCE, 2003). Demokrasi adalah suatu learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. Sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki poltical knowledge, awareness, attitude, political efficacy dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya, masyarakat, dan bangsa (ICCE, 2003).
2 |Dikdik Baehaqi Arif
Mempertegas tujuan Pendidikan Kewarganegaraan tersebut, Cholisin (Samsuri, 2011) berpandangan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pendidikan politik yang yang fokus materinya peranan warga negara dalam kehidupan bernegara yang kesemuanya itu diproses dalam rangka untuk membina peranan tersebut sesuai dengan ketentuan Pancasila dan UUD 1945 agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Sejalan dengan pendapat Cholisin di atas, Soedijarto (dalam ICCE, 2003) juga mengartikan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi warga negara yang secara politik dewasa dan ikut serta dalam membangun sistem politik yang demokratis. Sementara itu, berkaitan dengan konsep Pendidikan Kewargaan, Azra (dalam ICCE, 2003) memandang bahwa secara substantif istilah Pendidikan Kewargaan tidak saja mendidik generasi muda menjadi warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibanannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang merupakan penekanan dalam istilah Pendidikan Kewarganegaraan, melainkan juga membangun kesiapan warga negara menjadi warga dunia (global society). Dengan demikian, orientasi Pendidikan Kewargaan secara substantif lebih luas cakupannya daripada Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini sejalan dengan pembedaan pengertian civic education dan citizenship education di atas. Secara paradigmatik Pendidikan Kewarganegaraan memiliki tiga domain, yakni 1) domain akademik; 2) domain kurikuler; dan 3) aktivitas sosial-kultural (Winataputra, 2001). Domain akademik adalah berbagai pemikiran tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang berkembang di lingkungan komunitas keilmuan. Domain kurikuler adalah konsep dan praksis pendidikan kewarganegaraan dalam lingkup pendidikan formal dan nonformal. Sedangkan domain sosial kultural adalah konsep dan praksis Pendidikan Kewarganegaraan di lingkungan masyarakat (Wahab dan Sapriya, 2011:97). Ketiga komponen tersebut secara koheren bertolak dari esensi dan bermuara pada upaya pengembangan warga negara yang baik (good citizens), yang memiliki pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), nilai, sikap dan watak kewarganegaraan (civic disposition), dan keterampilan kewarganegaraan (civic skill).
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM KURIKULUM NASIONAL Sistem pendidikan Indonesia mengatur bahwa dalam kurikulum pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi wajib memuat Pendidikan Kewarganegaraan yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
Pendidikan Kewarganegaraan| 3
manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut dapat kita temui dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a) Pendidikan Agama, b) Pendidikan Kewarganegaraan, c) Bahasa…” dan “kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a) Pendidikan Agama; b) Pendidikan Kewarganegaraan; c) Bahasa”. Pendidikan Kewarganegaraan sebagaimana dijelaskan dalam bagian penjelasan Pasal 37 ayat (1) UU Sistem Pendidikan Nasional, dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Adanya ketentuan tentang Pendidikan Kewarganegaraan sebagai muatan wajib pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi menunjukkan bahwa mata pelajaran/mata kuliah ini menempati kedudukan yang strategis dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 ayat 2 UU Sistem Pendidikan Nasional). Bahkan dalam pandangan Winataputra (2004) secara filosofis, sosio-politis dan psikopedagogis, Pendidikan Kewarganegaraan memegang misi suci (mission sacre) untuk pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjadikan manusia sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Pedidikan Kewarganegaraan Persekolahan Secara historis, Pendidikan Kewarganegaraan persekolahan (school civic education) di Indonesia mengalami fluktuasi terutama dalam penamaan dan konten materi. Pertama kali muncul dengan nama Kewarganegaraan (1957), kemudian secara berturut-turut berubah menjadi Civics (1961), Pendidikan Kewargaan Negara (1968), Pendidikan Moral Pancasila (1975), Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994), Kewarganegaraan (Uji Coba Kurikulum 2004) dan terakhir dengan nama Pendidikan Kewarganegaraan (2006). Dalam Standar Isi Pendidikan Kewarganegaraan sebagaimana tertuang dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil,
4 |Dikdik Baehaqi Arif
dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Mata pelajaran ini bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan: 1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan 2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi 3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya 4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, telah disusun delapan ruang lingkup materi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut: 1. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Keterbukaan dan jaminan keadilan; 2. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturanperaturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan Sistem hukum dan peradilan nasional; 3. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, dan Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM; 4. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, dan Persamaan kedudukan warga negara; 5. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, dan Hubungan dasar negara dengan konstitusi; 6. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan
Pendidikan Kewarganegaraan| 5
sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, dan Pers dalam masyarakat demokrasi; 7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, dan Pancasila sebagai ideologi terbuka; 8. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi. Dalam proses pembelajaran, kedelapan ruang lingkup materi pendidikan persekolahan di atas selanjutnya diperinci ke dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, secara yuridis, Pendidikan Kewarganegaraan memiliki kedudukan yang cukup kuat, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Dengan telah dituangkannya Pendidikan Kewarganegaraan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, ini berarti bahwa pendidikan kewarganegaraan memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam pembentukan nation and character building. Secara historis, awal mulai dilaksanakannya Pendidikan Kewarganegaraan pada perguruan tinggi di Indonesia bertujuan untuk dapat melaksanakan UU No. 29 Tahun 1954 tentang Sistem Pertahanan Negara. UU ini disusun berdasarkan pengalaman masa perang kemerdekaan, pemberontakan dalam negeri serta persiapan merebut Irian Barat. Oleh karena itu dibuat program wajib latih bagi sivitas akademika di perguruan tinggi, yaitu Latihan Kemiliteran Dosen dan Latihan Kemiliteran Mahasiswa (LKM), dan Pendidikan Pendahuluan Pertahanan Rakyat yang dikenal sebagai P3R bagi SD, SLP dan SLA. Dalam perkembangannya, peminat LKM makin besar apalagi setelah diperkenalkan program Wajib Latih Mahasiswa (Walawa) yang menitikberatkan pada pendidikan fisik untuk bela negara dalam rangka ketahanan nasional. Selanjutnya dibentuk Resimen Mahasiswa (Menwa) yang keanggotaanya bersifat
6 |Dikdik Baehaqi Arif
individu dan tidak terkait dengan organisasi perguruan tinggi. Karena Menwa merupakan bagian dari pertahanan sipil, pembinaannya dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam). Dalam perjalanan selanjutnya, Menwa diputuskan ada pada setiap perguruan tinggi (sebagai kegiatan ekstrakurikuler yang bersifat sukarela), sehingga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) turut ikut membina. Dalam pada itu, bagi mahasiswa yang tidak tergabung dalam Menwa diberikan matakuliah Pendidikan Kewiraan yang bersifat wajib berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menhankam dan Mendikbud dan berlaku efektif sejak tahun 1974. Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 18 dan Pasal 19 ayat (2) UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia dinyatakan sebagai berikut: 1. Hak dan kewajiban warga negara yang diwujudkan dengan keikutsertaan dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui pendidikan pendahuluan bela negara sebagai bagian tak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional (Pasal 18). 2. Pendidikan pendahuluan bela negara wajib diikuti oleh setiap warga negara dan dilaksanakan secara bertahap, yaitu: a) pertama tahap awal pada pendidikan tingkat dasar sampai menengah dan dalam gerakan Pramuka. b) Tahap lanjutan dalam bentuk pendidikan kewiraan pada tingkat pendidikan tinggi. (Pasal 19 ayat [2]) Dengan demikian, berdasarkan UU No. 20 Tahun 1982 tersebut, Pendidikan Kewiraan didudukkan sebagai Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) bagi mahasiswa, sedangkan bagi siswa pada pendidikan dasar dan menengah mereka tergabung dalam gerakan Pramuka. Pada tanggal 1 Februari 1985, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Mendikbud dan Menhankam yang menyatakan bahwa Pendidikan Kewiraan dimaksudkan ke dalam kelompok Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) pada semua perguruan tinggi. Dan sejak diundangkannya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatatakan bahwa Pendidikan Bela Negara dan Pendidikan Kewiraan termasuk dalam Pendidikan Kewarganegaraan (Penjelasan Pasal 39 ayat [2]). Kurikulum mata kuliah ini meliputi: 1) pengetahuan dan hubungan antara warganegara dan hubungan warganegara dengan negara, serta 2) Pendidikan Kewiraan/PPBN tahap lanjut, agar peserta didik menjadi warga negara yang handal.
Pendidikan Kewarganegaraan| 7
Apa sebenarnya Pendidikan Kewiraan itu? Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) merumuskan pengertian Pendidikan Kewiraan sebagai sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam mengembangkan kecintaan, kesetiaan, keberanian untuk berkorban membela bangsa dan tanah air Indonesia (Lemhannas, 1999:4). Pendidikan Kewiraan dimaksudkan untuk memperluas cakrawala berfikir mahasiswa sebagai warga negara Indonesia sekaligus sebagai pejuang bangsa dalam usaha menciptakan serta meningkatkan kesejahteraan dan keamanan nasional untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara demi terwujudnya aspirasi perjuangan nasional dengan tujuan untuk memupuk kesadaran bela negara dan berfikir komprehensif integral (terpadu) di kalangan mahasiswa dalam rangka ketahanan nasional. Pada tahun 2000-an, substansi mata kuliah Pendidikan Kewiraan sebagai pendidikan pendahuluan bela negara direvisi dan selanjutnya namanya diganti menjadi Pendidikan Kewarganegaraan berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti No.267/Dikti/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Perubahan ini dilakukan karena mata kuliah Pendidikan Kewiraan terlalu condong atau lebih berorientasi pada aspek bela negara dalam konteks memenuhi kebutuhan pertahanan. Sebagaimana penjelasan S. Soemiarno (tt) bahwa muatan tentang pengetahuan dan kemampuan hubungan warga negara dengan negara agak sulit diformulasikan sehingga meskipun dengan nomenklatur baru, muatannya masih lebih menitikberatkan pada Pendidikan Kewiraan. Dalam analisis Cipto, et all (2002:ix) metode pengajaran yang diterapkan dalam Pendidikan Kewiraan lebih bersifat indoktrinatif yang hanya menyentuh aspek kognitif, sedangkan aspek sikap dan perilaku berlum tersentuh. Memperjelas kedua pandangan tersebut, Tukiran, dkk (2009:12) memerinci kekurangberhasilan Pendidikan Kewiraan yang disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, secara substantif, Pendidikan Kewiraan tidak secara terencana dan terarah mencakup materi dan pembahasan yang lebih terfokus pada pendidikan demokrasi dan kewarganegaraan. Materi-materi yang ada umumnya terpusat pada pembahasan yang idealistik, legalistik, dan normatif. Kedua, kalaupun materi-materi yang ada pada dasarnya potensial bagi pendidikan demokrasi dan PKn, potensi itu tidak berkembang karena pendekatan dan pembelajarannya bersifat indoktrinatif, regimentatif, monologis dan tidak partisipatif. Ketiga, ketiga subjek itu lebih bersifat teoretis daripada praktis. Substansi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan makin disempurnakan dengan keluarnya Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 dan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
8 |Dikdik Baehaqi Arif
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi merupakan Mata Kuliah Kelompok Pengembangan Kepribadian (MPK) yang memiliki visi, misi, dan standar kompetensi sebagai berikut: 1. Visi kelompok MPK: sebagai sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya. 2. Misi kelompok MPK: membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang dimilikinya dengan rasa tanggung jawab. 3. Standar Kompetensi kelompok MPK yang wajib dikuasasi mahasiswa meliputi pengetahuan tentang nilai-nilai agama, budaya, dan kewarganegaraan dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari; memiliki kepribadian yang mantap; berpikir kritis: bersikap rasional, etis, estetis, dan dinamis; berpandangan luas; dan bersikap demokratis yang berkeadaban. Sedangkan kompetensi dasar mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan adalah menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air; demokratis yang berkeadaban; menjadi warga negara yang memiliki daya saing: berdisiplin, dan berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila. Menurut Pasal 3 Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, Pendidikan Kewarganegaraan dirancang untuk memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga negara serta pendidikan pendahuluan bela negara sebagai bekal agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Pentingnya bela negara oleh warga negara melalui penyelenggaraan Pendidikan Kewarganegaraan semakin ditegaskan dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dalam rumusan Pasal 9 ayat (1) dan (2) dapat ditemui bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara (ayat 1), sedangkan
Pendidikan Kewarganegaraan| 9
dalam ayat (2) dijelaskan bahwa keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara tersebut diselenggarakan melalui: a. pendidikan kewarganegaraan; b. pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; c. pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan d. pengabdian sesuai dengan profesi. Substansi kajian mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan adalah: Filsafat Pencasila, Identitas Nasional, Negara dan Konstitusi, Demokrasi Indonesia, HAM dan Rule of Law, Hak dan Kewajiban Warga Negara, Geopolitik Indonesia, dan Geostrategi Indonesia.
10 |Dikdik Baehaqi Arif
Bab 2 Identitas Nasional
Lingkup Bahasan Bab ini membahas tentang pengertian identitas nasional, konsep bangsa Indonesia, dan faktor-faktor pembentuk identitas nasional, dan identitas Indonesia.
Tujuan Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk: Menjelaskan konsep identitas nasional, konsep bangsa, dan konsep bangsa Indonesia. Mengidentifikasikan faktor-faktor pembentuk identitas nasional. Menganalisis identitas nasional Indonesia
Istilah kunci Identitas nasional, bangsa, bangsa Indonesia
PENGERTIAN IDENTITAS NASIONAL Istilah identitas nasional (national identity) berasal dari kata identitas dan nasional. Identitas (identity) secara harfiah berarti ciri-ciri, tanda-tanda atau jatidiri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain (ICCE, 2005:23). Sedangkan kata nasional (national) merupakan identitas yang melekat pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama, bahasa maupun non fisik seperti keinginan, cita-cita dan tujuan. Istilah identitas nasional atau identitas bangsa melahirkan tindakan kelompok (collective action yang diberi atribut nasional) yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk organisasi atau pergerakanpergerakan yang diberi atribut-atribut nasional (ICCE, 2005:25). Menurut Kaelan (2007), identitas nasional pada hakikatnya adalah manisfestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan satu bangsa (nation) dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri yang khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam kehidupannya. Nilainilai budaya yang berada dalam sebagian besar masyarakat dalam suatu negara dan tercermin di dalam identitas nasional, bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang terbuka yang cenderung terus menerus berkembang karena hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Implikasinya adalah bahwa identitas nasional merupakan sesuatu yang terbuka untuk diberi makna baru agar tetap relevan dan fungsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat.
Pendidikan Kewarganegaraan| 11
Artinya, bahwa identitas nasional merupakan konsep yang terus menerus direkonstruksi atau dekonstruksi tergantung dari jalannya sejarah. Hal itu terbukti di dalam sejarah kelahiran faham kebangsaan (nasionalisme) di Indonesia yang berawal dari berbagai pergerakan yang berwawasan parokhial seperti Boedi Oetomo (1908) yang berbasis subkultur Jawa, Sarekat Dagang Islam (1911) yaitu entrepreneur Islam yang bersifat ekstrovet dan politis dan sebagainya yang melahirkan pergerakan yang inklusif yaitu pergerakan nasional yang berjati diri “Indonesianess” dengan mengaktualisasikan tekad politiknya dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dari keanekaragaman subkultur tadi terkristalisasi suatu core culture yang kemudian menjadi basis eksistensi nation-state Indonesia, yaitu nasionalisme. Identitas nasional sebagai suatu kesatuan ini biasanya dikaitkan dengan nilai keterikatan dengan tanah air (ibu pertiwi), yang terwujud identitas atau jati diri bangsa dan biasanya menampilkan karakteristik tertentu yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain, yang pada umumnya dikenal dengan istilah kebangsaan atau nasionalisme. Rakyat dalam konteks kebangsaan tidak mengacu sekadar kepada mereka yang berada pada status sosial yang rendah akan tetapi mencakup seluruh struktur sosial yang ada. Semua terikat untuk berpikir dan merasa bahwa mereka adalah satu. Bahkan ketika berbicara tentang bangsa, wawasan kita tidak terbatas pada realitas yang dihadapi pada suatu kondisi tentang suatu komunitas yang hidup saat ini, melainkan juga mencakup mereka yang telah meninggal dan yang belum lahir. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa hakikat identitas nasional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD 1945, sistem pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi serta mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan baik dalam tataran nasional maupun internasional dan lain sebagainya.
KONSEP BANGSA INDONESIA Identitas nasional berkaitan dengan konsep bangsa. Apakah bangsa itu? Pengertian bangsa (nation) dalam konsep modern, tidak terlepas dari seorang cendekiawan Prancis, Ernest Renan (1823-1892), seorang filsuf, sejarahwan dan pemuka agama dalam esainya yang terkenal Qu‟est-ce qu‟une nation? yang disampaikan dalam kuliah di Universitas Sorbonne pada tahun 1882. Dalam esainya tersebut dia menyatakan bahwa bangsa adalah sekelompok manusia yang memiliki kehendak bersatu sehingga merasa dirinya adalah satu. Menurut Renan,
12 |Dikdik Baehaqi Arif
faktor utama yang menimbulkan suatu bangsa adalah kehendak bersama dari masing-masing warga untuk membentuk suatu bangsa (Soeprapto, 1994:115) Lain halnya dengan Otto Bauer (1881-1934) seorang legislator dan seorang theoreticus, menyebut bahwa bangsa adalah suatu persatuan karakter/perangai yang timbul karena persatuan nasib. Otto Bauer lebih menekankan pengertian bangsa dari karakter, sikap dan perilaku yang menjadi jatidiri bangsa dengan bangsa yang lain. Karakter ini terbentuk karena pengalaman sejarah budaya yang tumbuh berkembang bersama dengan tumbuhkembangnya bangsa (Soeprapto, 1994:114). Dalam pandangan Tilaar (2007:29), bangsa adalah suatu prinsip spiritual sebagai hasil dari banyak hal yang terjadi dalam sejarah manusia. Bangsa adalah keluarga spiritual dan tidak ditentukan oleh bentuk bumi misalnya. Apa yang disebut prinsip spiritual atau jiwa dari bangsa? Terdapat dua hal dalam prinsip spiritual tersebut: 1) terletak pada masa lalu, dan 2) terletak pada masa kini. Pada masa lalu suatu komunitas mempunyai sejarah atau memori yang sama. Pada masa kini, komunitas tersebut mempunyai keinginan untuk hidup bersama atau suatu keinginan untuk mempertahankan nilai-nilai yang telah diperoleh oleh seorang dari upaya-upaya masa lalu, perngorbanan-pengorbanan dan pengabdian. Masa lalu merupakan modal sosial (social capital) dimana di atasnya dibangun cita-cita nasional. Jadi suatu bangsa mempunyai masa jaya yang lalu dan mempunyai keinginan yang sama di masa kini. Berdasarkan spirit tersebut itulah manusia bersepakat untuk berbuat sesuatu yang besar. Rasa kejayaan atau penderitaan masa lalu adalah lebih penting dari perbedaan ras dan budaya. Dengan demikian suatu bangsa adalah suatu masyarakat solidaritas dalam skala besar. Solidaritas tersebut disebabkan oleh pengorbanan yang telah diberikan pada masa lalu dan bersedia berkorban untuk masa depan (Tilaar, 2007:29). Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia (Soeprapto, 1994:115), dijelaskan definisi bangsa menurut hukum, yaitu rakyat atau orang-orang yang berada di dalam suatu masyarakat hukum yang terorganisir. Kelompok orang-orang satu bangsa ini pada umumnya menempati bagian atau wilayah tertentu, berbicara dalam bahasa yang sama (meskipun dalam bahasa-bahasa daerah), memiliki sejarah, kebiasaan, dan kebudayaan yang sama, serta terorganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat. Dari definisi tersebut, nampak bahwa bangsa adalah sekelompok manusia yang: 1. Memiliki cita-cita bersama yang mengikat mereka menjadi satu kesatuan. 2. Memiliki sejarah hidup bersama, sehingga tercipta rasa senasib sepenanggungan.
Pendidikan Kewarganegaraan| 13
3. Memiliki adat, budaya, kebiasaan yang sama sebagai akibat pengalaman hidup bersama. 4. Memiliki karakter, perangai yang sama yang menjadi pribadi dan jatidirinya. 5. Menempati suatu wilayah tertentu yang merupakan kesatuan wilayah. 6. Terorganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat, sehingga mereka terikat dalam suatu masyarakat hukum. Lalu apakah bangsa Indonesia itu? Perkembangan masyarakat yang kini menyebut dirinya sebagai bangsa Indonesia telah melalui suatu jarak waktu yang panjang, yaitu ketika masyarakat itu masih bertegak dan hidup dalam “negara” atau kerajaan-kerajaan Nusantara (Gonggong, 2000:x). Tentang hal ini amatlah menarik menyimak apa yang dikatakan oleh Clifford Geertz (2000), antropolog kondang yang dianggap sebagai ahli Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Gonggong (2000:x) berikut: Ketika kita menyaksikan panorama Indonesia saat ini, rasanya kita sedang menyusun suatu sinopsis masa lalu yang tanpa batas, seperti kalau kita melihat benda-benda peninggalan sejarah (artefak) dari bermacam-macam lapisan dalam situs arkeologis yang lama mengeram, yang dijajarkan di atas sebuah meja sehingga sekali pandang bisa kita lihat kilasan sejarah manusia sepanjang ribuan tahun. Semua arus kultural yang sepanjang tiga milennia, mengalir berurutan, memasuki Nusantara dari India, dari Cina, dari Timur Tengah, dari Eropa – terwakili di tempat-tempat tertentu: di Bali yang Hindu, di permukiman Cina di Jakarta, Semarang atau Surabaya, di pusat-pusat Muslim di Aceh, Makasar atau Dataran Tinggi Padang; di daerah-daerah Minahasa dan Ambon yang Calvinis, atau daerah-daerah Flores dan Timor yang Katolik. Lebih lanjut, Geertz menunjukkan fakta tentang situasi masyarakat Indonesia, sebagai berikut: Rentang struktur sosialnya juga lebar, dan merangkum: sistem-sistem kekuasaan Melayu-Polynesia di pedalaman Kalimantan atau Sulawesi, desa-desa tradisional di dataran rendah di sepanjang sungai Jawa Tengah dan Jawa Timur; desa-desa nelayan dan penyelundupan yang berorientasi pasar di pantai-pantai Kalimantan dan Sulawesi; ibu-ibu kota provinsi yang kumuh dan kota-kota kecil di Jawa dan pulau-pulau seberang; dan kota-kota metropolitan yang besar, terasing, dan setengah modern seperti Jakarta, Medan, Surabaya dan Makasar. Keanekaragaman bentuk perekonomian sistem-sistem stratifikasi, atau aturan kekerabatan juga melimpah ruah. Apa yang diterangkan di atas barulah hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan yang dilatari oleh perjalanan sejarah yang panjang. Dilihat dari segi agama, keyakinan, budaya, dan suku bangsa, Indonesia adalah satu contoh negara
14 |Dikdik Baehaqi Arif
yang paling beragam. Bahkan menurut Geertz (1996) sebagaimana dikemukakan F Budi Hardiman (2005:viii) dalam pengantarnya untuk buku Kewarganegaraan Multikultural karya Will Kymlicka, menyatakan sebagai berikut: Indonesia ini sedemikian kompleksnya sehingga rumit untuk menentukan anatominya secara persis. Negara ini bukan saja multi-etnis (Dayak, Kutai, Makasar, Bugis, Jawa, Sunda, Batak, Aceh, Flores, Bali, dan seterusnya), tetapi juga menjadi medan pertarungan pengaruh multi-mental dan ideologi (India, Cina, Belanda, Portugis, Hinduisme, Budhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, Kapitalisme, dan seterusnya). “Indonesia” demikian tulisnya, “adalah sejumlah „bangsa‟ dengan ukuran, makna dan karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat historis, ideologis, religius atau semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis bersama”. Memperkuat pernyataan Geertz di atas, Kusumohamidjojo (2000:16) melukiskan kebhinnekaan Indonesia, yang kenyataannya sudah diketahui dan ditandai ketika para penjelajah mancanegara mulai mendarati pantai-pantai kepulauan Nusantara itu ke dalam dua dimensi, geografis dan etnografis. Pertama, dimensi geografis sebagaimana merupakan hasil pengamatan dari Alfred Wallace dan Weber yang kemudian dikukuhkan dalam Geografi sebagai Garis Wallacea yang membentang dari Laut Sulu di utara melalui selat Makasar hingga ke Selat Lombok di selatan, dan Garis Weber yang membentang dari pantai barat Pulau Halmahera di utara melalui Laut Seram hingga ke Laut Timor di selatan. Garis Wallacea dan Weber secara fisiko-geografis membedakan Dangkalan Sunda di sebelah Barat (yang meliputi pulau-pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali) dari Dangkalan Indonesia Tengah (yang meliputi pulau-pulau Sulawesi dan sebagian pulau-pulau Nusa Tenggara sebelah Barat), dan dari Dangkalan Sahul di sebelah timur (yang meliputi kepulauan Halmahera, Aru dan Papua). Kebedaan itu merupakan akibat dari proses perkembangan fisikogeografis yang ditinggalkan oleh akhir Zaman Es. Kebedaan geografis itu berakibat menentukan pada kebedaan dunia flora dan fauna dari masing-masing kelompok kepulauan itu. Dimensi kedua adalah dimensi yang etnografis, yang merupakan perpaduan konsekuensi dari dimensi fisiko-geografis dan proses migrasi bangsabangsa purba. Dalam kerangka dimensi entografis itu kita lalu dapat melihat adanya perbedaan etnis pada penduduk yang mendiami berbagai pulau-pulau Nusantara. Dari hasil penelitian yang dilakukan seorang antropolog Junus Melalatoa (1995) yang kemudian hasil penelitian ini diterbitkan sebagai Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (Depdikbud, 1995) diketahui adanya tidak kurang dari 500 suku bangsa yang mendiami wilayah negara yang kita sepakati
Pendidikan Kewarganegaraan| 15
bersama-sama bernama Indonesia ini, mereka mendiami sekitar 17.000 pulau besar dan kecil, berpenghuni atau tidak berpenghuni. Uraian di atas sebenarnya menunjukkan bahwa betapa sulitnya merumuskan apakah bangsa Indonesia itu sebenarnya. Tentu saja akan banyak pengertian yang muncul. Presiden Soekarno, menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah seluruh manusia yang menurut wilayahnya telah ditentukan untuk tinggal secara bersama di wilayah nusantara dari ujung Barat (Sabang) sampai ujung Timur (Merauke) yang memiliki “Le desir d‟etre ensemble” (kehendak bersama, pendapat Ernest Renan) dan “Charactergemeinschaft” (persatuan karakter, menurut Otto Bauer) yang telah menjadi satu (Winarno, 2007:42). Tilaar (2007:38) mengemukakan bahwa bangsa Indonesia adalah suatu kesatuan sosial yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang mendiami wilayah negara kesatuan republik Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Bangsa Indonesia merupakan suatu kesatuan solidaritas kebangsaan. Seorang merupakan bangsa Indonesia kalau dia itu menganggap bagian dari nation Indonesia, yaitu suatu kesatuan solidaritas dari seseorang tehadap tujuan bersama masyarakat Indonesia. Kesatuan solidaritas itu berasal dari nation-nation yang sudah lama ada di kepulauan nusantara, seperti bangsa Jawa, bangsa Minang, bangsa Minahasa, bangsa Papua. Demikian pula suku bangsa yang lainnya di nusantara termasuk suku-suku keturunan Cina, Arab, dan lainnya yang telah menganggap kepulauan nusantara ini sebagai tanah airnya. Faktor-faktor penting bagi pembentukan bangsa Indonesia (Winarno, 2007:42) adalah sebagai berikut: 1. Adanya persamaan nasib, yaitu penderitaan bersama di bawah penjajahan bangsa asing lebih kurang 350 tahun. 2. Adanya keinginan bersama untuk merdeka, melepaskan diri dari belenggu penjajahan. 3. Adanya kesatuan tempat tinggal, yaitu wilayah nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke. 4. Adanya cita-cita bersama untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sebagai suatu bangsa. Keanggotaan seseorang sebagai bangsa Indonesia bukan berarti ia melepaskan keanggotaan dari suatu kesatuan sosial lainnya seperti keanggotaannya sebagai suku Jawa, sebagai umat penganut dari suatu agama. Menurut Tilaar (2007:32), seseorang termasuk bangsa Indonesia adalah seseorang yang memiliki perilaku tertentu yang merupakan perilaku Indonesia, perasaanperasaan tertentu yang merupakan jati diri (identitas) bangsa Indonesia.
16 |Dikdik Baehaqi Arif
FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IDENTITAS NASIONAL Proses pembentukan bangsa negara membutuhkan identitas-identitas untuk menyatukan masyarakat bangsa yang bersangkutan. Faktor-faktor yang diperkirakan menjadi identitas bersama suatu bangsa menurut Ramlan Surbakti (1999) meliputi primordial, sakral, tokoh, kesediaan bersatu dalam perbedaan, sejarah, perkembangan ekonomi, dan kelembagaan (Ramlan Surbakti, 1999). Pertama, faktor-faktor primordial ini meliputi: kekerabatan (darah dan keluarga), kesamaan suku bangsa, daerah asal (home land), bahasa dan adat istiadat. Faktor primodial merupakan identitas yang khas untuk menyatukan masyarakat Indonesia sehingga mereka dapat membentuk bangsa negara. Kedua, Faktor sakral dapat berupa kesamaan agama yang dipeluk masyarakat atau ideologi doktriner yang diakui oleh masyarakat yang bersangkutan. Agama dan ideologi merupakan faktor sakral yang dapat membentuk bangsa negara. Faktor sakral ikut menyumbang terbentuknya satu nasionalitas baru. Negara Indonesia diikat oleh kesamaan ideologi Pancasila. Ketiga, tokoh. Kepemimpinan dari para tokoh yang disegani dan dihormati oleh masyarakat dapat pula menjadi faktor yang menyatukan bangsa negara. Pemimpin di beberapa negara dianggap sebagai penyambung lidah rakyat, pemersatu rakyat dan simbol pemersatu bangsa yang bersangkutan. Contohnya Soekarno di Indonesia, Nelson Mandela di Afrika Selatan, Mahatma Gandhi di India, dan Tito di Yugoslavia. Keempat, prinsip kesediaan warga bangsa bersatu dalam perbedaan (unity in deversity). Yang disebut bersatu dalam perbedaan adalah kesediaan warga bangsa untuk setia pada lembaga yang disebut negara dan pemerintahnya tanpa menghilangkan keterikatannya pada suku bangsa, adat, ras, agamanya. Sesungguhnya warga bangsa memiliki kesetiaan ganda (multiloyalities). Warga setia pada identitas primordialnya dan warga juga memiliki kesetiaan pada pemerintah dan negara, namun mereka menunjukkan kesetiaan yang lebih besar pada kebersamaan yang terwujud dalam bangsa negara di bawah satu pemerintah yang sah. Mereka sepakat untuk hidup bersama di bawah satu bangsa meskipun berbeda latar belakang. Oleh karena itu, setiap warga negara perlu memiliki kesadaran akan arti pentingnya penghargaan terhadap suatu identitas bersama yang tujuannya adalah menegakkan Bhinneka Tunggal Ika atau kesatuan dalam perbedaan (unity in deversity) suatu solidaritas yang didasarkan pada kesantunan (civility). Kelima, sejarah. Persepsi yang sama diantara warga masyarakat tentang sejarah mereka dapat menyatukan diri dalam satu bangsa. Persepsi yang sama tentang pengalaman masa lalu, seperti sama-sama menderita karena penjajahan,
Pendidikan Kewarganegaraan| 17
tidak hanya melahirkan solidaritas tetapi juga melahirkan tekad dan tujuan yang sama antar anggota masyarakat itu. Keenam, perkembangan ekonomi (industrialisasi) akan melahirkan spesialisasi pekerjaan profesi sesuai dengan aneka kebutuhan masyarakat. Semakin tinggi mutu dan variasi kebutuhan masyarakat, semakin saling tergantung diantara jenis pekerjaan. Setiap orang akan saling bergantung dalam memenuhi kebutuhan hidup. Semakin kuat saling ketergantungan anggota masyarakat karena perkembangan ekonomi, akan semakin besar solidaritas dan persatuan dalam masyarakat. Solidaritas yang terjadi karena perkembangan ekonomi oleh Emile Durkheim disebut Solidaritas Organis. Faktor ini berlaku di masyarkat industri maju seperti Amerika Utara dan Eropa Barat. Terakhir, lembaga-lembaga pemerintahan dan politik. Lembaga-lembaga itu seperti birokrasi, angkatan bersenjata, pengadilan, dan partai politik. Lembagalembaga itu melayani dan mempertemukan warga tanpa membeda-bedakan asal usul dan golongannya dalam masyarakat. Kerja dan perilaku lembaga politik dapat mempersatukan orang sebagai satu bangsa.
IDENTITAS NASIONAL INDONESIA Identitas nasional merupakan sesuatu yang ditransmisikan dari masa lalu dan dirasakan sebagai pemilikan bersama, sehingga tampak kelihatan di dalam keseharian tingkah laku seseorang dalam komunitasnya (Tilaar, 2007:27). Identitas nasional merujuk pada identitas-identitas yang sifatnya nasional. Identitas nasional bersifat buatan dan sekunder. Bersifat buatan oleh karena identitas nasional itu dibuat, dibentuk dan disepakati oleh warga bangsa sebagai identitasnya setelah mereka bernegara. Bersifat sekunder oleh karena identitas nasional lahir belakangan dibandingkan dengan identitas kesukubangsaan yang memang telah dimiliki warga bangsa itu secara askriptif. Jauh sebelum mereka memiliki identitas nasional itu, warga bangsa telah memiliki identitas primer yaitu identitas kesukubangsaan. Proses pembentukan identitas nasional umumnya membutuhkan waktu perjuangan panjang di antara warga bangsa-negara yang bersangkutan. Hal ini disebabkan identitas nasional adalah hasil kesepakatan masyarakat bangsa itu. Dapat terjadi sekelompok warga bangsa tidak setuju degan identitas nasional yang hendak diajukan oleh kelompok bangsa lainnya. Setiap kelompok bangsa di dalam negara, umumnya mengingingkan identitasnya dijadikan atau diangkat sebagai identitas nasional yang tentu saja belum tentu diterima oleh kelompok bangsa lain. Inilah yang menyebabkan sebuah negara-bangsa yang baru merdeka mengalami
18 |Dikdik Baehaqi Arif
pertikaian intern yang berlarut-larut demi untuk saling mengangkat identitas kesukubangsaan menjadi identitas nasional. Setelah bangsa Indonesia bernegara, mulai dibentuk dan disepakati apaapa yang dapat menjadi identitas nasional Indonesia. Bisa dikatakan bangsa Indonesia relatif berhasil dalam membentuk identitas nasionalnya kecuali pada saat proses pembentukan ideologi Pancasila sebagai identitas nasional yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan di antara warga bangsa. Beberapa bentuk identitas nasional Indonesia, adalah sebagai berikut: 1. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional atau bahasa persatuan. Bahasa Indonesia berawal dari rumpun bahasa Melayu yang dipergunakan sebagai bahasa pergaulan yang kemudian diangkat sebagai bahasa persatuan pada tanggal 28 Oktober 1928. Bangsa Indonesia sepakat bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional sekaligus sebagai identitas nasional Indonesia. 2. Sang merah putih sebagai bendera negara. Warna merah berarti berani dan putih berarti suci. Lambang merah putih sudah dikenal pada masa kerajaan di Indonesia yang kemudian diangkat sebagai bendera negara. Bendera merah putih dikibarkan pertama kali pada tanggal 17 Agustus 1945, namun telah ditunjukkan pada peristiwa Sumpah Pemuda. 3. Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Lagu Indonesia Raya pertama kali dinyanyikan pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam Kongres Pemuda II. 4. Burung Garuda yang merupakan burung khas Indonesia dijadikan sebagai lambang negara. 5. Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara yang berarti berbeda-beda tetapi satu jua. Menunjukkan kenyataan bahwa bangsa kita heterogen, namun tetap berkeinginan untuk menjadi satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. 6. Pancasila sebagai dasar falsafat negara yang berisi lima dasar yang dijadikan sebagai dasar filsafat dan ideologi negara Indonesia. Pancasila merupakan identitas nasional yang berkedudukan sebagai dasar negara dan pandangan hidup (ideologi) bangsa. 7. UUD 1945 sebagai konstitusi (hukum dasar) negara. UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang menduduki tingkatan tertinggi dalam tata urutan peraturan perundangan dan dijadikan sebagai pedoman penyelenggaraan bernegara.
Pendidikan Kewarganegaraan| 19
8. Bentuk negara adalah Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Bentuk negara adalah kesatuan, sedang bentuk pemerintahan adalah republik. Sistem politik yang digunakan adalah sistem demokrasi (kedaulatan rakyat). Saat ini identitas negara kesatuan disepakati untuk tidak dilakukan perubahan. 9. Konsepsi wawasan nusantara sebagai cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungan yang serba beragam dan memiliki nilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional. 10. Kebudayaan sebagai puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah diterima sebagai kebudayaan nasional. Berbagai kebudayaan dari kelompok-kelompok bangsa di Indonesia yang memiliki cita rasa tinggi, dapat dinikmati dan diterima oleh masyarakat luas sebagai kebudayaan nasional. Tumbuh dan disepakatinya beberapa identitas nasional Indonesia itu sesungguhnya telah diawali dengan adanya kesadaran politik bangsa Indonesia sebelum bernegara. Hal demikian sesuai dengan ciri dari pembentukan negaranegara model mutakhir. Kesadaran politik itu adalah tumbuhnya semangat nasionalisme (semangat kebangsaan) sebagai gerakan menentang penjajahan dan mewujudkan negara Indonesia. Dengan demikian, nasionalisme yang tumbuh kuat dalam diri bangsa Indonesia turut mempermudah terbentuknya identitas nasional Indonesia.
20 |Dikdik Baehaqi Arif
Bab 3 Hak dan Kewajiban Warga Negara
Lingkup Bahasan Bab ini membahas konsep warga negara dan kewarganegaraan, asas-asas kewarganegaraan, persoalan kewarganegaraan, perolehan dan kehilangan kewarganegaraan Indonesia, dan hak dan kewajiban warga negara.
Tujuan Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan dapat memiliki kemampuan untuk: Menjelaskan konsep warga negara dan kewarganegaraan Mengidentifikasi asas-asas kewarganegaraan Mendeskripsikan persoalan-persoalan kewarganegaraan Mengidentifikasi cara memperoleh dan dan kehilangan kewarganegaraan Indonesia Menganalisis hak dan kewajiban warga negara Indonesia
Istilah kunci Warga negara, kewarganegaraan, ius solli, ius sanguinis, naturalisasi
KONSEP WARGA NEGARA DAN KEWARGANEGARAAN Istilah warga negara (bahasa Inggris: citizen atau bahasa Perancis: citoyen, citoyenne) merujuk kepada bahasa Yunani Kuno polites atau Latin civis, yang didefinisikan sebagai anggota dari polis (kota) Yunani Kuno atau res publica (perkumpulan orang-orang atau masyarakat) Romawi bagi persekutuan orangorang di Mediterania Kuno, yang selanjutnya ditransmisikan kepada peradaban Eropa dan Barat (Pocock,1995:29). Warga negara dapat berarti warga, anggota dari suatu negara. Ketika mempertanyakan what is a citizen? Turner (1990) (Sapriya, 2006) menjelaskan bahwa “a citizen is a member of a group living under certain laws” atau anggota dari sekelompok manusia yang hidup atau tinggal di wilayah hukum negara tertentu. Dikatakan lebih lanjut, bahwa hukum ini disusun dan diselenggarakan oleh orang-orang yang memerintah, mengatur kelompok masyarakat tersebut. Mereka yang ikut serta mengatur kelompok masyarakat bersama-sama dikenal sebagai pemerintah (government). Oleh karena itu, warga negara disimpulkan sebagai “a member of a group living under the rule of a government”. Dalam Webster‟s Encyclopedic Unabridged Dictionary of the English Language (1989:270), konsep warga negara dapat dipahami sebagai “…as a native or naturalized member of a state or nation who owes allegiance to its
Pendidikan Kewarganegaraan| 21
government and is entitled to its protection”, atau anggota asli atau hasil naturalisasi dari negara atau bangsa yang memiliki kesetiaan terhadap pemerintahan dan berhak atas perlindungan pemerintahan, sedangkan citizenship as the “state of being vested with the rights, privileges, and duties of a citizen”, atau kewarganegaraan adalah status pribadi yang dimiliki secara tetap dengan hak, perlakuan khusus, dan tugas-tugas sebagai warga negara (Banks, 2004:24). Pengertian di atas menunjukkan bahwa kewarganegaraan adalah “posisi atau status sebagai warga negara” (the position or status of being a citizen) (Simpson & Weiner, 1989:250) yang di dalamnya melekat seperangkat hak, kewajiban, dan identitas yang menghubungkan warga negara dengan negarabangsa (the set of rights, duties, and identities linking citizens to the nation-state). (Koopmans et all., 2005:7; Banks, 2007:129). Heywood (1994:155) mengartikan warga negara sebagai “…is a member of a political community, which is defined by a set of rights and obligations atau anggota suatu masyarakat politis (political community), yang digambarkan oleh seperangkat hak dan kewajiban. Sedangkan kewarganegaraan menurut Heywood (1994:155) “… therefore represents a relationship between the individual and the state, in which the two are bound together by reciprocal rights and obligations” atau kewarganegaraan itu menghadirkan suatu hubungan antara individu dan negara, dimana keduanya terikat bersama-sama oleh hak dan kewajiban secara timbal balik. Pengertian ini sejalan dengan pendapat Kymlicka (2003:147) yang mengemukakan bahwa “the term „citizenship‟ typically refers to membership in a political community, and hence designates a relationship between the individual and the state” artinya bahwa kewarganegaraan merujuk kepada anggota dari komunitas politik, dan karenanya menandakan hubungan antara individu dan negara. Selanjutnya, Heywood (1994:156) mengemukakan bahwa kewarganegaraan merupakan status hukum dan identitas (a legal status and an identity), karenanya terkandung dalam pengertian itu dua dimensi, objektif dan subjektif. Secara objektif, kewarganegaraan terkait dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diberikan negara secara spesifik (specific rights and obligations which a state invests in its members) dan dimensi subjektif berkaitan dengan kesetiaan rasa memiliki (a sense of loyalty and belonging) terhadap negara. Cogan (1998:13) memberikan atribut pokok kewarganegaraan dengan terlebih dahulu membedakan konsep warga negara (citizen) dengan kewarganegaraan (citizenship). Konsep “a citizen” diartikan sebagai “a constituent member of society” atau anggota resmi suatu masyarakat. Sementara
22 |Dikdik Baehaqi Arif
itu “citizenship” diartikan sebagai “a set of characteristics of being a citizen”, atau seperangkat karakteristik sebagai seorang warga negara. Secara konseptual, citizenship memiliki lima atribut pokok, yakni:”…a sense of identity; the enjoyment of certains rights; the fulfilment of corresponding obligations; a degree of interest and involvement in public affairs; and an acceptance of basic societal values” (Cogan,1998:2-3). Dengan kata lain seorang warga negara seyogyanya memiliki jati diri; kebebasan untuk menikmati hak tertentu; pemenuhan kewajiban-kewajiban terkait; tingkat minat dan keterlibatan dalam urusan publik; dan pemilikan nilai-nilai dasar kemasyarakatan. Dalam perkembangan negara modern, konsep kewarganegaraan lazimnya didefinisikan sebagai sebuah hubungan antara individu dan masyarakat politik yang dikenal sebagai negara, yang alami. Individu memberikan loyalitas kepada negara guna mendapatkan proteksi darinya (Kalidjernih, 2007:51). Dengan demikian, warga negara adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah tertentu dalam hubungannya dengan negara. Warga negara secara sendiri-sendiri merupakan subjek-subjek hukum yang menyandang hak-hak sekaligus kewajibankewajiban dari dan terhadap negara. Setiap warga negara mempunyai hak-hak yang wajib diakui (recognized) oleh negara dan wajib dihormati (respected), dilindungi (protected), dan difasilitasi (facilitated), serta dipenuhi (fulfilled) oleh negara. Sebaliknya, setia warga negara juga mempunyai hak-hak negara yang wajib diakui (recognized), dihormati (respected), dan ditaati atau ditunaikan (complied) oleh setiap warga negara (Asshiddiqie, 2006:132). Dalam konteks Indonesia, pasal 26 ayat (1) UUD 1945 menetapkan bahwa yang dimaksud warga negara Indonesia adalah adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perihal kewarganegaraan Indonesia dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Undang-undang No. 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara. 2. Undang-undang No. 6 Tahun 1947 tentang Perubahan atas Undangundang No. 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara. 3. Undang-undang No. 8 Tahun 1947 tentang Memperpanjang Waktu untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara Indonesia. 4. Undang-undang No. 11 Tahun 1948 tentang Memperpanjang Waktu Lagi untuk Mengajukann Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara Indonesia.
Pendidikan Kewarganegaraan| 23
5. Undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. 6. Undang-undang No. 3 Tahun 1976 tentang Perubahan atas pasal 18 Undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. 7. Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia, yang dimaksud warga negara Indonesia adalah sebagai berikut: 1. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia; 2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia; 3. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing; ketentuan ini berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. 4. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia; ketentuan ini berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. 5. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut; 6. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia; 7. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia; 8. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai
24 |Dikdik Baehaqi Arif
anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; 9. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya; 10. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui; 11. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya; 12. anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan; berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. 13. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Disamping itu, ditentukan pula bahwa yang menjadi warga negara Indonesia adalah: 1) Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di Iuar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia; dan 2) anak warga negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia. (Pasal 5 ayat 1 dan 2 UU No. 12 Tahun 2006). Karena dua ketentuan di atas, maka akan berakibat anak berkewarganegaraan ganda, karena itu, maka setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
ASAS-ASAS KEWARGANEGARAAN Dalam berbagai literatur hukum dan dalam praktik, dikenal adanya tiga asas kewarganegaraan, masing-masing adalah ius soli, ius sanguinis, dan asas campuran. Dari ketiga asas itu, yang dianggap sebagai asas yang utama ialah asas ius soli dan ius sanguinis (Asshiddiqie, 2006:132).
Pendidikan Kewarganegaraan| 25
Asas ius soli (asas kedaerahan) ialah bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukkan menurut tempat kelahirannya. Seseorang dianggap berstatus warga negara dari Negara A, karena ia dilahirkan di Negara A tersebut. Sedangkan asas ius sanguinis dapat disebut sebagai asas keturunan atau asas darah. Menurut prinsip yang terkandung dalam asas kedua ini, kewarganegaraan ditentukkan dari garis keturunan orang yang bersangkutan. Seseorang adalah warga negara A, karena orang tuanya adalah warga negara A. Pada saat sekarang, dimana hubungan antarnegara berkembang semakin mudah dan terbuka, dengan sarana transportasi, perhubungan, dan komunikasi yang sudah sedemikian majunya, tidak sulit bagi setiap orang untuk bepergian ke mana saja. Oleh karena itu, banyak terjadi bahwa seseorang warga negara dari Negara A berdomisili di negara B. Kadang-kadang orang tersebut melahirkan anak di negara tempat dia berdomisili. Dalam kasus demikian, jika yang diterapkan adalah asas ius soli, maka akibatnya anak tersebut menjadi warga negara dari negara tempat domisilinya itu, dan dengan demikian putuslah hubungannya dengan negara asal orang tuanya. Karena alasan-alasan itulah maka dewasa ini banyak negara yang telah meninggalkan penerapan asas ius soli, dan berubah menganut asas ius sanguinis. Dianutnya asas ius sanguinis ini besar manfaatnya bagi negara-negara yang berdampingan dengan negara lain (neighboring countries) yang dibatasi oleh laut seperti negara-negara Eropa Kontinental. Di negara-negara demikaian ini, setiap orang dapat dengan mudah berpindah-pindah tempat tinggal kapan saja menurut kebutuhan. Dengan asas ius sanguinis, anak-anak yang dilahirkan di negara lain akan tetap menjadi warga negara dari negara asal orang tuanya. Hubungan antara negara dan warga negaranya yang baru lahir tidak terputus selama orang tuanya masih tetap menganut kewarganegaraan dari negara asalnya. Sebaliknya, bagi negara-negara yang sebagian terbesar penduduknya berasal dari kaum imigran, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Kanada, untuk tahap pertama tentu akan terasa lebih menguntungkan apabila menganut apabila menganut asas ius soli ini, bukan asas ius sangunis. Dengan lahirnya anak-anak dari para imigran di negara-negara tersebut akan menjadi putuslah hubungannya dengan negara asal orang tuanya. Oleh karena itu, Amerika Serikat menganut asas ius soli ini, sehingga banyak mahasiswa Indonesia yang berdomisili di Amerika Serikat, apabila melahirkan anak, maka anaknya otomatis mendapatkan status sebagai warga negara Amerika Serikat. Sehubunga denga kedua asas tersebut, setiap negara bebas memilih asas mana yang hendak dipakai dalam rangka kebijakan kewarganegaraan untuk menentukan siapa saja yang diterima sebagai warga negara dan siapa yang bukan warga negara, Setiap negara mempunyai kepentingan sendiri-sendiri berdasarkan latar belakang sejarah yang tersendiri pula, sehingga tidak semua negara
26 |Dikdik Baehaqi Arif
menganggap bahwa asas yang satu lebih baik daripada asas yang lain. Dapat saja terjadi, di suatu negara, yang dinilai lebih menguntungkan adalah asas ius soli, tetapi di negara yang lain justru asas ius sanguinis yang dianggap lebih menguntungkan. Bahkan dalam perkembangan di kemudian hari, timbul pula kebutuhan baru berdasarkan pengalaman di berbagai negara bahwa kedua asas tersebut harus diubah dengan asas yang lain atau harus diterapkan secara bersamaan untuk mencegah kemungkinan terjadinya keadaan double-citizenship atau dwi-kewarganegaraan (bipatride). Namun demikian, dalam praktik, ada pula negara yang justru menganut kedua-duanya, karena pertimbangan lebih menguntungkan bagi kepentingan negara yang bersangkutan. Misalnya, India dan Pakistan temasuk negara yang sangat menikmati kebijakan yang mereka terapkan dengan sistem dwikewarganegaraan. Sistem yang terakhir inilah yang biasa dinamakan sebagai asas campuran. Asas yang bersifat campuran, sehingga dapat menyebabkan terjadinya apatride atau bripatride. Dalam hal demikian, yang ditoleransi biasanya adalah keadaan bipatride, yaitu keadaan dwi kewarganegaraan. Bagaimana dengan Indonesia? Dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, asas-asas yang dipakai dalam kewarganegaraan Indonesia meliputi: 1. Asas ius sanguinis, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan bukan negara tempat kelahiran; 2. Asas ius soli secara terbatas, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diperuntukkan terbatas bagi anak-anak sesuai dengana ketentuan yang diatur dalam undang-undang; 3. Asas kewarganegaraan tunggal, yaitu asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang; 4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
PERSOALAN KEWARGANEGARAAN Setiap negara berhak menentukan asas yang mana yang hendak dipakai untuk menentukkan siapa yang termasuk warga negara dan siapa yang bukan. Oleh karena itu, di berbagai negara, dapat timbul berbagai pola pengaturan yang tidak sama di bidang kewarganegaraan. Bahkan, antara satu negara dengan negara lain dapat timbul pertentangan atau conflict of law atau pertentangan hukum.
Pendidikan Kewarganegaraan| 27
Misalnya, di negara A dianut ius soli sedangkan negara B menganut asas ius sanguinis, atau sebaliknya. Hal itu tentu akan menimbulkan persoalan bipatride atau dwi-kewarganegaraan, atau sebaliknya menyebabkan apatride, yaitu keadaan tanpa kewarganegaraan sama sekali. Bipatride timbul manakala menurut peraturan-peraturan tentang kewarganegaraan dari berbagai negara, seseorang sama-sama dianggap warga negara oleh negara-negara yang bersangkutan. Pada umumnya, baik bipatride maupun apatride adalah keadaan yang tidak disukai baik oleh negara di mana orang tersebut berdomisili ataupun bahkan oleh yang bersangkutan sendiri, keadaan bipatride membawa ketidakpastian dalam status seseorang, sehingga dapat saja merugikan negara tertentu atau pun bagi yang bersangkutan itu sendiri. Misalnya, yang bersangkutan sama-sama dibebani kewajiban untuk membayar pajak kepada kedua-dua negara yang menganggap sebagai warga negara itu. Ada juga negara yang tidak menganggap hal ini sebagai persoalan, sehingga menyerahkan saja kebutuhan untuk memilih kewarganegaraan kepada orang yang bersangkutan. Di kalangan negara-negara yang sudah makmur, dan rakyatnya yang sudah rata-rata berpenghasilan tinggi, maka tidak dirasakan adanya kerugian apapun bagi negara untuk mengakui status dwi-kewarganegaraan itu. Akan tetapi, di negara-negara yang sedang berkembang, yang penduduknya masih terbelakang, keadaan bipatride itu sering dianggap lebih banyak merugikan. Sebaliknya, keadaan apatride juga membawa akibat bahwa orang tersebut tidak akan mendapat perlindungan dari negara manapun juga. Kedua keadaan itu, yaitu apatride dan bipatride sama-sama pernah dialami oleh Indonesia. Sebelum ditandatanganinya perjanjian antara Indonesia dan Republik Rakyat Cina (RRC), sebagian orang-orang Cina yang berdomisili di Indonesia menurut peraturan kewarganegaraan dari Republik Rakyat Cina yang berasas ius sanguinis, tetap dianggap sebagai warga negara RRC. Sebaliknya, menurut Undang-undang tentang Kewarganegaraan Indonesia pada waktu itu, orang Cina tersebut sudah dianggap menjadi warga negara Indonesia. Dengan demikian terjadilah keadaan bipatride bagi orang Tionghoa yang bersangkutan. Di lain hal, ada pula sebagian orang-orang Tionghoa yang oleh pemerintah RRC dianggap pro kaum nasionalis Kuomintang tidak diakui sebagai warga negaranya. Sedangkan, Taiwan yang dianggap sebagai negara kaum nasionalis itu tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia. Oleh sebab itu, mereka juga diakui oleh Taiwan sebagai warga negaranya, sehingga mereka tidak mempunyai status sama sebagai warga negara mana pun juga, dan dapat disebut defacto apatride. Keadaan semacam ini tentu harus diatasi, apalagi, dalam pasal 28D ayat (4) UUD 1945 dengan tegas dinyatakan, “Setiap orang berhak atas status kewargangeraan”.
28 |Dikdik Baehaqi Arif
Baik bipatride maupun apatride tersebut tentu harus dihindarkan dengan cara menutup kemungkinan terjadinya kedua keadaan itu dengan undang-undang tentang kewarganegaraan. Umpamanya untuk mencegah bipatride, pasal 7 Undang-undang Nomor 62 tahun 1958 menentukkan bahwa seseorang perempuan asing yang kawin dengan laki-laki warga negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan pernyataan dan dengan syarat harus meninggalkan kewarganegaraan asalnya. Demikian pula, untuk mencegah kemungkinan apatride. Undang-undang termasuk dalam Pasal 1 huruf f menentukan, bahwa anak yang lahir di wilayah Republik Indonesia selama kedua orang tuanya tidak diketahui, adalah warga negara Indonesia. Seandainya ketentuan ini tidak ada, maka niscaya kelak anak itu akan menjadi apatride karena tidak diketahui siapa orang tuanya, sehingga sulit untuk menentukan status kewarganegaraannya. Dengan dua contoh ini jelaslah bahwa setiap undang-undang tentang kewarganegaraan dapat mencegah timbulnya keadaan bipatride dan apatride. Persoalannya sekarang bagaimana kalau bipatride telah terjadi di Republik Indonesia sebelum tahun 1955, di mana pada waktu itu orang-orang Cina karena peraturan perundangan yang berlaku pada saat itu dapat dianggap sebagai warga negara republik Indonesia, sedangkan dalam keadaan yang bersamaan Republik Rakyat Cina tetap pula beranggapan bahwa orangorang Cina tersebut adalah warga negaranya. Pemecahan atas permasalahan ini adalah tidak mungkin lain dari pada membuka kemungkinan perundingan langsung di antara negara-negara yang bersangkutan. Oleh karena itulah pada tanggal 22 April 1955 telah ditandatangani masing-masing oleh Menteri luar Negeri Republik Indonesia dan Republik Rakyat Cina yang dikenal sebagai Perjanjian Soenario-Chou. Pejanjian inilah yang kemudian dituangkan menjadi Undang-undang Nomor 2 tahun 1958 tentang Persetujuan Perjanjian Antara Republik Indonesia dengan RRT mengenai Soal Dwikewarganegaraan. Dalam perjanjian itu ditentukkan bahwa kepada semua orang Cina yang ada di Indonesia harus mengadakan pilihan tegas dan tertulis, apakah akan menjadi warga negara Republik Indonesia atau tetap berkewarganegaraan Republik Rakyat Cina. Dengan demikian, terpecahkanlah masalah dwi-kewarganegaraan yang pernah timbul antar RRC dan RI di masa lalu. Dalam konteks UU No. 12. Tahun 2006 pada dasarnya tidak mengenal adanya kewarganegaraan bipatride ataupun apatride. Kewarganegaraan ganda merupakan pengecualian.
Pendidikan Kewarganegaraan| 29
PEROLEHAN DAN KEHILANGAN KEWARGANEGARAAN Dalam berbagai literatur hukum di Indonesia, biasanya cara memperoleh status kewarganegaraan hanya digambarkan terdiri atas dua acara, yaitu status kewarganegaraan dengan kelahiran di wilayah hukum Indonesia, atau dengan cara pewarganegaraan atau naturalisasi (naturlalization). Akan tetapi, disamping itu, ada tiga cara perolehan kewarganegaraan, yaitu citizenship by birth, ctizenship by naturalization, dan citizenship by registration. Namun demikian, jika dirinci lebih lanjut, sebenarnya cara untuk memperoleh status kewarganegaraan yang dipraktikan di berbagai negara lebih banyak lagi. Oleh karena itu, dapat dirumuskan bahwa dalam praktik, memang dapat dirumuskan adanya 5 (lima) prosedur atau metode perolehan status kewarganegaraan, yaitu: Citizenship by birth; Citizenship by descent; Citizenship by naturalisation; Citizenship by registration; Citizenship by incoporation of territory (Asshiddiqie, 2006). Pertama, citizenship by birth adalah pewarganegaraan berdasarkan kelahiran di mana setiap orang yang lahir di wilayah suatu negara, dianggap sah sebagai warga negara yang bersangkutan. Asas yang dianut di sini adalah asas ius soli, yaitu tempat kelahiranlah yang menentukan kewarganegaraan seseorang. Namun, dalam praktik, hal ini juga tidak bersifat mutlak. Misalnya, di Inggris, sebelumnya berlaku prinsip bahwa “subject to minor exceptions, birth in the United Kingdom confered British natioanlly”. Sekarang ketentuan ini diperketat dengan ketentuan bahwa “Birth in the United Kingdom provided that one parent at the time of birth a british citizen or was settled in the United Kingdom”. Meskipun demikian, seseorang yang lahir di Inggris, masih dapat memperoleh kesempatan menjadi warga negara Inggris, apabila kelak salah satu orang tuanya di kemudian hari mendapatkan kewarganegaraan Inggris atau apabila yang bersangkutan telah hidup menetapkan di Inggris selama lebih dari sepuluh tahun. Kedua, citizen by descent adalah kewarganegaraan berdasarkan keturunan dimana seseorang yang lahir diluar wilayah suatu negara dianggap sebagai warga negara karena keturunan, apabila pada waktu yang bersangkutan dilahirkan, kedua orang tuanya adalah warga negara dari negara tersebut. Asas yang dipakai di sini adalah ius sanguinis, dan hukum kewarganegaraan Indonesia pada pokoknya menganut asas ini, yaitu melalui garis ayah. Ketentuan serupa ini juga dianut di Inggris berdasarkan citizenship act of 1948 yang mengizinkan “the acqusition of citizenship by descent only through the father”. Sekarang ketentuan ini lebih diperketat yaitu dengan membatasinya hanya untuk garis keturunan satu generasi saja. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hukum kewarganegaraan Inggris sesudah berlakunya citizenship act of 1981 menganut sistem kewarganegaraan melalui kelahiran (by birth) dan juga melalui garis keturanan (by descent).
30 |Dikdik Baehaqi Arif
Ketiga, citizenship by naturalization merupakan pewarganegaraan orang asing yang atas kehendak sadarnya sendiri mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara dengan memenuhi segala persyaratan yang ditentukan untuk itu. Keempat, citizenship by regristration merupakan pewarganegaraan bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu dianggap cukup dilakukan melalui prosedur administrasi pendaftaran yang lebih sederhana dibandingkan dengan metode naturalisasi yang lebih rumit. Misalnya, seorang wanita asing yang menikah dengan pria berkewarganegaraan Indonesia, haruslah dipandang mempunyai kasus yang berbeda dari seseorang yang secara sadar dan atas kehendaknya sendiri ingin menjadi warga negara Indonesia dengan naturalisasi. Untuk kasus seperti ini dapat saja ditentukan dengan undang-undang bahwa proses pewarganegaraan tidak harus melalui prosedur naturalisasi, melainkan cukup melalui proses registrasi. Dapat pula terjadi, seorang anak dari ayah asing dan ibu berkewarganegaraan Indonesia, setelah dewasa memilih kewarganegaraan Indonesia, maka proses pewarganegaraannya cukup dilakukan melalui prosedur administrasi pendaftaran disertai surat pernyataan kewarganegaraan. Di Inggris, misalnya, menteri dalam negeri (home secretary) diberi kewenangan “to registrer minors as british citizens by section 3 which spells out particular requrements to be satisfied in spesific types of application”. Seorang yang dianggap mempunyai hak untuk mendapatkan kewarganegaraan melalui pendaftaran adalah: British Dependent Territories; Britisht Overseas Citizens; Britisht Subjects; dan British Protected Persons yang memenuhi persyaratan tinggal (residence requirements) menurut ketentuan Section 4 Act of 1981. Pendaftaran juga dimungkinkan bagi mereka yang terkait dengan ketentuan peralihan UU Tahun 1981 (Act of 1981) yang sejak dulunya seharusnya sudah terdaftar sebagai warga negara Inggris, yaitu: by virtue of residence (section 7); dalam hal wanita yang kawin dengan warga negara Inggris (section 8); dan dengan pendaftaran di konsulat Inggris di luar negeri (section 9). Kelima, citizenship by incoporporation of territory yaitu proses pewarganegaraan karena terjadinya perluasan wilayah negara. Misalnya, ketika Timor Timur menjadi wilayah negara Republik Indonesia, maka proses pewarganegaraan warga Timor Timur itu dilakukan melalui prosedur yang khusus ini. Sebenarnya, secara teknis, metode terakhir ini dapat juga disebut sebagai variasi metode pewarganegaraan bedasarkan pendaftaran atau citizenship by registration seperti yang telah diuraikan di atas. Bagaimana seseorang dapat kehilangan kewarganegaraannya? Pasal 23 UU No. 12 Tahun 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menyatakan bahwa warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan:
Pendidikan Kewarganegaraan| 31
1. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; 2. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu; 3. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan; 4. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden; 5. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia; 6. secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut; 7. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing; 8. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya; atau 9. bertempat tinggal di Iuar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA Hak warga negara adalah sesuatu yang dapat dimiliki oleh warga negara dari negaranya. Hak warga negara dapat juga disebut sebagai hak konstitusional warga negara (citizen‟s constitutional right), yaitu hak warga negara yang secara konstitusional diatur dalam konstitusi atau perundang-undangan. Sedangkan kewajiban warga negara adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh warga negara.
32 |Dikdik Baehaqi Arif
Kewajiban warga negara ini juga ditetapkan oleh konstitusi atau perundangundangan. Lalu apa saja hak warga negara Indonesia itu? Dalam ketentuan UUD 1945 dirumuskan hak-hak yang dimiliki warga negara Indonesia sebagaimana uraian berikut: 1. Hak memperoleh kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” (Pasal 27 ayat 1) 2. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak: “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (Pasal 27 ayat 2) 3. Hak dalam pembelaan negara: “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. (Pasal 27 ayat 3) 4. Hak berserikat, berkumpul serta mengeluarkan pikiran: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” (Pasal 28) 5. Hak kemerdekaan memeluk agama: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 29 ayat 1), dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (Pasal 29 ayat 2) 6. Hak mendapatkan pendidikan “Setiap Warga negara berhak mendapat pendidikan” (Pasal 31 ayat 1) 7. Hak untuk mendapatkan Kesejahteraan sosial: Pasal 33 UUD 1945 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5): (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, effisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pendidikan Kewarganegaraan| 33
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. 8. Hak mendapatkan jaminan keadilan sosial: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” (Pasal 34 ayat 1) Disamping mengatur tentang hak-hak yang dimiliki setiap warga negara, ketentuan UUD 1945 juga mengatur tentang kewajiban warga negara Indonesia sebagai berikut: 1. Wajib menaati hukum dan pemerintahan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” (Pasal 27 ayat 1) 2. Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara: “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara” (Pasal 27 ayat 3) 3. Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara: “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara” (Pasal 30 ayat 1) 4. Wajib mengikuti pendidikan dasar: “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” (Pasal 31 ayat 2)
34 |Dikdik Baehaqi Arif
Bab 4 Demokrasi Lingkup Bahasan Bab ini membahas pengertian demokrasi, demokratisasi, dan landasan pengembangan demokrasi
Tujuan Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk: Menjelaskan pengertian demokrasi dan demokratisasi Mendeskripsikan nilai-nilai demokrasi Menganalisis landasan pengembangan demokrasi
Kata kunci Demokrasi, demokratisasi, nilai-nilai demokrasi, lembaga demokrasi
PENGERTIAN DEMOKRASI Kebanyakan orang mungkin sudah terbiasa dengan istilah demokrasi. Secara etimologis, kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani “demos” berarti rakyat dan “kratos” berarti kekuasaan atau berkuasa. Dengan demikian, demokrasi artinya pemerintahan oleh rakyat, dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Dalam ucapan Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16 (periode 1861-1865) demokrasi secara sederhana diartikan sebagai “the government from the people, by the people, and for the people”, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kebebasan dan demokrasi sering dipakai secara timbal balik, tetapi keduanya tidak sama. Menurut Alamudi (1991) demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi juga mencakup seperangkat praktik dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku, sehingga demokrasi sering disebut suatu pelembagaan dari kebebasan. Karena itu, mungkin saja mengenali dasar-dasar pemerintahan konstitusional yang sudah teruji oleh zaman, yakni hak asasi dan persamaan di depan hukum yang harus dimiliki setiap masyarakat untuk secara pantas disebut demokrasi. Menurut The Advancced Learner‟s Dictionary of Current English, demokrasi adalah:
Pendidikan Kewarganegaraan| 35
(1) country with principles of government in which all adult citizens share through their ellected representatatives; (2) country with government which encourages and allows rights of citizenship such as freedom of speech, religion, opinion, and association, the assertion of rule of law, majority rule, accompanied by respect for the rights of minorities. (3) society in which there is treatment of each other by citizens as equals. Dari kutipan pengertian tersebut tampak bahwa kata demokrasi merujuk kepada konsep kehidupan negara atau masyarakat dimana warga negara dewasa turut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih; pemerintahannya mendorong dan menjamin kemerdekaan berbicara, beragama, berpendapat, berserikat, menegakkan rule of law, adanya pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok minoritas; dan masyarakat yang warganegaranya saling memberi peluang yang sama. Istilah demokrasi, pertama kali dipakai di Yunani Kuno, khususnya di kota Athena sekitar abad ke-6 sampai abad ke-3 SM untuk menunjukkan sistem pemerintahan yang berlaku di sana. Kota-kota di daerah Yunani pada waktu itu kecil-kecil. Penduduknya tidak begitu banyak sehingga mudah dikumpulkan oleh pemerintah dalam suatu rapat untuk bermusyawarah. Sekitar 5000-6000 orang berkumpul secara fisik dalam sebuah majelis untuk menyelenggarakan rapat guna menjalankan demokrasi langsung. Dalam rapat itu diambil keputusan bersama mengenai garis-garis besar kebijaksanaan pemerintah yang akan dilaksanakan dan segala permasalahan mengenai kemasyarakatan. Karena rakyat ikut serta secara langsung, pemerintah itu disebut pemerintahan demokrasi langsung. Tetapi dalam perjalanan sejarah, kota-kota terus berkembang dan penduduknya pun terus bertambah sehingga demokrasi langsung tidak lagi diterapkan karena: 1. Tempat yang dapat menampung seluruh warga kota yang jumlahnya besar tidak mungkin disediakan. 2. Musyawarah yang baik dengan jumlah peserta yang besar tidak mungkin dilaksanakan. 3. Hasil persetujuan secara bulat atau mufakat tidak mungkin tercapai karena sulitnya memungut suara dari semua peserta yang hadir. Bagi negara-negara besar yang penduduknya berjuta-juta, yang tempat tinggalnya bertebaran di beberapa daerah atau kepulauan, penerapan demokrasi langsung juga mengalami kesukaran. Karena itu, untuk memudahkan pelaksanaannya setiap penduduk dalam jumlah tertentu memilih wakilnya untuk duduk dalam suatu badan perwakilan. Wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan perwakilan inilah yang kemudian menjalankan demokrasi. Rakyat tetap
36 |Dikdik Baehaqi Arif
merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Hal ini disebut demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan. Bagi negara-negara modern, demokrasi tidak langsung dilaksanakan karena hal-hal berikut. 1. Penduduk yang selalu bertambah sehingga suatu musyawarah pada suatu tempat tidak mungkin dilakukan. 2. Masalah yang dihadapi oleh suatu pemerintah makin rumit dan tidak sederhana lagi seperti yang dihadapi oleh pemerintah desa yang tradisional. 3. Setiap warga negara mempunyai kesibukan sendiri-sendiri di dalam mencukupi kehidupannya sehingga masalah pemerintahan cukup diserahkan kepada orang yang berminat dan mempunyai keahlian di bidang pemerintahan negara. Istilah demokrasi yang berarti pemerintah rakyat itu, sesudah zaman Yunani Kuno, tidak disebut lagi. Baru setelah meletusnya Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis, istilah demokrasi muncul kembali sebagai lawan sistem pemerintahan yang absolut (monarki mutlak), yang menguasai pemerintahan di dunia Barat sebelumnya. Dalam kenyataannya, demokrasi dalam arti sistem pemerintahan yang baru ini mempunyai arti yang luas, mula-mula demokrasi berarti politik yang mencakup pengertian tentang pengakuan hak-hak asasi manusia, seperti hak kemerdekaan pers, hak berapat, serta hak memilih dan dipilih untuk bedan-badan perwakilan. Kemudian, digunakan istilah demokrasi dalam arti luas, yang selain meliputi sistem politik, juga mencakup sistem ekonomi dan sistem sosial. Dewasa ini, bentuk demokrasi yang paling umum adalah demokrasi perwakilan. Para warganya memilih pejabat-pejabat untuk membuat keputusan politik yang rumit, merumuskan undang-undang dan menjalankan program untuk kepentingan umum. Atas nama rakyat, pejabat-pejabat itu dapat berunding mengenai berbagai isu masyarakat yang rumit lewat cara bijaksana dan sistematis, membutuhkan waktu dan tenaga, yang sering tidak praktis bagi sebagian besar warga negara biasa. Landasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintah demokrasi ialah pengakuan hakikat manusia, yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungannya antara yang satu dan yang lain. Berdasarkan gagasan dasar itu, dapat ditarik dua buah asas pokok sebagai berikut. 1. Pengakuan partisipasi di dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakilwakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara bebas dan rahasia.
Pendidikan Kewarganegaraan| 37
2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya tindakan Pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama. Sebagai suatu sistem sosial kenegaraan, United States Information Agencies dan Dinas Penerangan Amerika Serikat (USIS) (1999:5) mengintisarikan demokrasi sebagai sistem yang memiliki 11 (sebelas) pilar atau soko guru, yakni 1. Kedaulatan rakyat 2. Pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang diperintah 3. Kekuasaan mayoritas 4. Hak-hak minoritas 5. Jaminan hak-hak asasi manusia 6. Pemilihan yang bebas dan jujur 7. Persamaan di depan hukum 8. Proses hukum yang wajar 9. Pembatasan pemerintahan secara konstitusional 10. Pluralisme sosial, ekonomi dan politik 11. Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat Sementara itu, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sanusi (2006) mengetengahkan sepuluh pilar demokrasi yang dipesankan oleh para pembentuk negara (the founding fathers) sebagaimana diletakkan di dalam UUD 1945 sebagai berikut: 1. Demokrasi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Esensinya adalah seluruh sistem serta perilaku dalam menyelenggarakan kenegaraan RI haruslah taat asas, konsisten, atau sesuai dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Demokrasi dengan kecerdasan Demokrasi harus dirancang dan dilaksanakan oleh segenap rakyat dengan pengertian-pengertiannya yang jelas, dimana rakyat sendiri turut terlibat langsung merumuskan substansinya, mengujicobakan disainnya, menilai dan menguji keabsahannya. Sebab UUD 1945 dan demokrasinya bukanlah seumpama final product yang tinggal mengkonsumsi saja, tetapi mengandung nilai-nilai dasar dan kaidah-kaidah dasar untuk supra-struktur dan infra-struktur sistem kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Nilainilai dan kaidah-kaidah dasar ini memerlukan pengolahan secara seksama.
38 |Dikdik Baehaqi Arif
Rujukan yang mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa tidak dimaksudkan untuk diperlakukan hanya sebagai kumpulan dogma-dogma saja, melainkan harus ditata dengan menggunakan akal budi dan akal pikiran yang sehat. Pengolahan itu harus dilakukan dengan cerdas. 3. Demokrasi yang berkedaulatan rakyat Demokrasi menurut UUD 1945 ialah demokrasi yang berkedaulatan rakyat, yaitu kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Secara prinsip, rakyatlah yang memiliki atau memegang kedaulatan itu. Kedaulatan itu kemudian dilaksanakan menurut undang-undang dasar. 4. Demokrasi dengan rule of law Negara adalah organisasi kekuasaan, artinya organisasi yang memiliki kekuasaan dan dapat menggunakan kekuasaan itu dengan paksa. Dalam negara hukum, kekuasaan dan hukum itu merupakan kesatuan konsep yang integral dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Implikasinya adalah kekuasaan negara harus punya legitimasi hukum. Esensi dari demokrasi dengan rule of law adalah bahwa kekuasaan negara harus mengandung, melindungi, serta mengembangkan kebenaran hukum (legal truth). Kekuasaan negara memberikan keadilan hukum (legal justice) bukan demokrasi yang terbatas pada keadilan formal dan kepurapuraan. Kekuasaan negara menjamin kepastian hukum (legal security), dan kekuasaan ini mengembangkan manfaat atau kepentingan hukum (legal interest) seperti kedamaian dan pembangunan. Esensi lainnya adalah bahwa seluruh warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, memiliki akses yang sama kepada layanan hukum. sebaliknya, seluruh warga negara berkewajiban mentaati semua peraturah hukum. 5. Demokrasi dengan pembagian kekuasaan negara Demokrasi dikuatkan dengan pembagian kekuasaan negara dan diserahkan kepada badan-badan negara yang bertanggung jawab menurut undangundang dasar. 6. Demokrasi dengan hak azasi manusia Demokrasi menurut UUD 1945 mengakui hak asasi manusia yang tujuannya bukan saja menghormati hak-hak asasi, melainkan untuk meningkatkan martabat dan derajat manusia seutuhnya. Hak asasi manusia bersumber pada sifat hakikat manusia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia bukan diberikan oleh negara atau
Pendidikan Kewarganegaraan| 39
pemerintah. Hak ini tidak boleh dirampas atau diasingkan oleh negara dan atau oleh siapapun. 7. Demokrasi dengan peradilan yang merdeka Lembaga peradilan merupakan lembaga tertinggi yang menyuarakan kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum. Lembaga ini merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent). Ia tidak boleh diintervensi oleh kekuasaan apapun. Kekuasaan yang merdeka ini memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua pihak yang berkepentingan untuk mencari dan menemukan hukum yang seadiladilnya. Di muka pengadilan, semua pihak mempunyai hak dan kedudukan yang sama. 8. Demokrasi dengan otonomi daerah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Hal ini merupakan pelaksanaan amanat UUD 1945 yang mengatur bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah (Pasal 18 UUD 1945). 9. Demokrasi dengan kemakmuran Demokrasi bukan sekedar soal kebebasan dan hak, bukan sekedar soal kewajiban dan tanggung jawab, bukan pula sekedar soal mengorganisir kedaulatan rakyat atau pembagian kekuasaan. Demokrasi bukan pula sekedar soal otonomi daerah dan keadilan hukum. sebab berbarengan dengan itu semua, demokrasi menurut UUD 1945 ternyata ditujukan untuk membangun negara berkemakmuran/kesejahteraan (welfare state) oleh dan untuk sebesar-besarnya rakyat Indonesia. 10. Demokrasi yang berkeadilan sosial Demokrasi menurut UUD 1945 menggariskan keadilan sosial diantara berbagai kelompok, golongan, dan lapisan masyarakat. Keadilan sosial bukan soal kesamarataan dalam pembagian output materi dan sistem kemasyarakatan. Keadilan sosial justru lebih merujuk pada keadilan peraturan dan tatanan kemasyarakatan yang tidak diskriminatif untuk memperoleh kesempatan atau peluang hidup, tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan, politik, administrasi pemerintahan, layanan birokrasi, bisnis, dan lain-lain.
40 |Dikdik Baehaqi Arif
DEMOKRATISASI Demokratisasi adalah penerapan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip demokrasi pada setiap kegiatan politik kenegaraan. Tujuannya adalah terbentuknya kehidupan politik yang bercirikan demokrasi. Demokratisasi merujuk pada proses perubahan menuju sistem pemerintahan yang lebih demokratis (Winarno, 2007:97). Proses demokratisasi ini menurut Huntingthon (2001) harus melalui tiga tahap, yaitu pengakhiran rezim nondemokratis, pengukuhan rezim demokratis, dan pengkonsolidasian sistem yang demokratis. Bagaimanakah karakteristik proses demokratisasi tersebut? Maswadi Rauf (1997) mengemukakan karakteristiknya sebagai berikut: 1. Demokratisasi berlangsung secara evolusioner, artinya berlangsung dalam waktu yang lama, berjalan secara perlahan, bertahan, dan bagian demi bagian. Karenanya, mengembangkan nilai demokrasi dan membentuk lembaga-lembaga demokrasi tidak dapat dilakukan secepat mungkin dan segera selesai. 2. Proses perubahan secara persuasif, bukan koersif, artinya demokratisasi dilakukan bukan dengan paksaan, kekerasan atau tekanan, melainkan dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan setiap warga negara. Perbedaan pandangan diselesaikan dengan baik tanpa kekerasan. Karena itu, sikap pemaksaan, pembakaran, dan perusakan bukanlah cara yang demokratis. 3. Demokratisasi adalah proses yang tidak pernah selesai, artinya ia berlangsung terus menerus. Demokrasi adalah suatu yang ideal yang tidak bisa tercapai. Negara yang benar-benar demokrasi tidak ada, tetapi negara sedapat mungkin mendekati kriteria demokrasi. Demokratisasi, juga merupakan proses menegakkan nilai-nilai demokrasi sehingga sistem politik demokratis dapat terbentuk secara bertahap. Nilai-nilai demokrasi sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan demokratis. Berdasarkan nilai atau kondisi inilah, sebuah pemerintahan demokratis dapat ditegakkan. Sebaliknya, tanpa adanya kondisi ini, pemerintah tersebut akan sulit ditegakkan. Beberapa ahli mengemukakan nilai-nilai demokrasi yang diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan demokratis. Henry B. Mayo sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo (1990) mengemukakan delapan nilai-nilai demokrasi, yaitu sebagai berikut: 1. Penyelesaian pertikaian-pertikaian secara damai dan sukarela
Pendidikan Kewarganegaraan| 41
2. Menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang selalu berubah 3. Pergantian penguasa dengan teratur 4. Penggunaan paksaan sesedikit mungkin 5. Pengakuan dan penghormatan terhadap nilai keanekaragaman 6. Menegakkan keadilan 7. Memajukan ilmu pengetahuan 8. Pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan Pendapat lain dikemukakan oleh Nurcholis Madjid (ICCE, 2005) yang menyebutkan adanya tujuh pandangan hidup demokratis sebagai berikut: 1. Kesadaran akan pluralisme 2. Prinsip musyawarah 3. Adanya pertimbangan moral 4. Permufakatan yang jujur dan adil 5. Pemenuhan segi-segi ekonomi 6. Kerjasama antarwarga 7. Pandangan hidup demokratis sebagai unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan Asykuri Ibn Chamim, dkk (2003) juga menguraikan nilai-nilai demokrasi yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan yang demokratis sebagai berikut: kebebasan (berpendapat, berkelompok, berpartisipasi), menghormati orang/kelompok lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan, dan kepercayaan. Nilainilai tersebut dijelaskan pada bagian berikut. Kebebasan menyatakan pendapat adalah hak bagi warga negara biasa yang wajib dijamin dengan undang-undang dalam sebuah sistem politik demokratis (Dahl, 1971). Kebebasan ini diperlukan karena kebutuhan untuk menyatakan pendapat senantiasa muncul dari setiap warga negara dalam era pemerintahan terbuka saat ini. Hak untuk menyampaikan pendapat ini wajib dijamin oleh pemerintah sesuai dengan undang-undang yang berlaku sebagai bentuk kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah atau unsur swasta. Semakin cepat dan efektif cara pemerintah memberikan tanggapan, semakin tinggi pula kualitas demokrasi pemerintah tersebut.
42 |Dikdik Baehaqi Arif
Kebebasan berkelompok. Berkelompok dalam suatu organisasi merupakan nilai dasar demokrasi yang diperlukan bagi setiap warga negara (Dahl, 1971). Kebebasan berkelompok ini diperlukan untuk membentuk organisasi kemahasiswaan, partai politik, organisasi massa, perusahaan, dan kelompokkelompok lain. Kebutuhan berkelompok merupakan naluri dasar manusia yang tak mungkin diingkari. Masyarakat primitif berkelompok dalam mencari makan dan perlindungan dari kejaran hewan liar maupun kelompok lain yang jahat. Dalam era modern, kebutuhan berkelompok ini tumbuh semakin kuat. Persoalanpersoalan yang muncul di tengah masyarakat yang sedemikian kompleks seringkali memerlukan organisasi untuk menemukan jalan keluar. Demokrasi menjamin kebebasan warga negara untuk berkelompok, termasuk membentuk partai politik baru maupun mendukung partai politik apapun. Tidak ada lagi keharusan mengiktui ajakan dan intimidasi pemerintah. Tak ada lagi ketakutan untuk menyatakan afiliasinya ke dalam partai politik selain partai penguasa/pemerintah. Demokrasi memberikan alternatif yang lebih banyak dan lebih sehat bagi warga negara. Itu semua karena jaminan bahwa demokrasi mendukung kebebasan berkelompok. Kebebasan berpartisipasi sesungguhnya merupakan gabungan dari kebebasan berpendapat dan berkelompok. Beberapa jenis partisipasi menurut Patterson antara lain: 1. Pemberian suara dalam pemilihan umum, baik pemilihan anggota DPR, DPD, maupun pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. 2. Kontak/hubungan dengan pejabat pemerintah 3. Melakukan protes terhadap lembaga masyarakat atau pemerintah 4. Mencalonkan diri dalam pemilihan jabatan publik melalui pemilihan sesuai dengan sistem pemilihan yang berlaku Kesetaraan (egalitarisme) antar warga merupakan salah satu nilai fundamental yang diperlukan bagi pengembangan demokrasi di Indonesia. Kesetaraan ini diartikan sebagai adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara. Kesetaraan memberi tempat bagi setiap warga negara tanpa membedakan etnis, bahasa, daerah, maupun agama. Nilai ini diperlukan bagi masyarakat heterogen seperti Indonesia yang sangat multietnis, multibahasa, multidaerah, dan multiagama. Heterogenitas masyarakat Indonesia seringkali mengundang masalah, khususnya bila terjadi miskomunikasi antar kelompok yang kemudian berkembang luas menjadi konflik. Kesetaraan gender adalah sebuah keniscayaan demokrasi, dimana kedudukan laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama di depan hukum,
Pendidikan Kewarganegaraan| 43
karena laki-laki dan perempuan memiliki kodrat yang sama sebagai makhluk sosial. Laki-laki maupun perempuan memiliki akses yang sama dalam politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Oleh karena itu, demokrasi tanpa kesetaraan gender akan berdampak pada ketidakadilan sosial. Kedaulatan rakyat. Dalam negara demokrasi, rakyat memiliki kedaulatan. Hal ini berarti bahwa rakyat berdaulat dalam menentukan pemerintahan. Warga negara sebagai bagian dari rakyat memiliki kedaulatan dalam pemilihan yang berujung pada pembentukan pemerintahan. Pemerintah dengan sendirinya berasal dari rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat. Rasa ketergantungan pemerintah kepada rakyat inilah yang kemudian menghasilkan makna akuntabilitas. Politisi yang akuntabel adalah politisi yang menyadari bahwa dirinya berasal dari rakyat. Oleh karena itu, ia wajib mengembalikan apa yang diperolehnya kepada rakyat. Kedaulatan rakyat memberi politisi mandat untuk menjabat dan sekaligus untuk memenuhi kewajibannya sebagai wakil rakyat yang bertanggung jawab kepada rakyat, dan bukan sekedar kepada diri sendiri atau kelompok. Rasa percaya (trust) antar kelompok masyarakat merupakan nilai dasar lain yang diperlukan agar demokrasi dapat terbentuk. Sebuah pemerintahan demokrasi akan sulit berkembang bila rasa saling percaya satu sama lain tidak tumbuh. Bila yang ada adalah ketakutan, kecurigaan, kekhawatiran, dan permusuhan, hubungan antar kelompok masyarakat akan terganggu secara permanen. Kondisi ini sangat merugikan keseluruhan sistem sosial dan politik. Jika rasa percaya tidak ada, besar kemungkinan pemerintah akan kesulitan menjalankan agendanya, karema lemahnya dukungan sebagai akibat dari kelangkaan rasa percaya. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah yang terpilih secara demokratis pun bahkan bisa terguling dengan mudah sebelum waktunya, sehingga membuat proses demokrasi berjalan semakin lambat. Kerjasama diperlukan untuk mengatasi persoalan yang muncul dalam tubuh masyarakat. Akan tetapi, kerjasama hanya mungkin terjadi jika setiap orang atau kelompok bersedia untuk mengorbankan sebagian dari apa yang diperoleh dari kerjasama tersebut. Kerjasama bukan berarti menutup munculnya perbedaan pendapat antar individu atau antar kelompok. Tanpa perbedaan pendapat, demokrasi tidak mungkin berkembang. Perbedaan pendapat ini dapat mendorong setiap kelompok untuk bersaing satu sama lain dalam mencapai tujuan yang lebih baik. Kerjasama saja tidak cukup untuk membangun masyarakat terbuka. Diperlukan kompetisi satu sama lain sebagai pendorong bagi kelompok untuk meningkatkan kualitas masing-masing. Kompetisi menuju sesuatu yang lebih berkualitas sangat diperlukan, sementara kerjasama diperlukan bagi kelompok-
44 |Dikdik Baehaqi Arif
kelompok untuk menopang upaya persaingan dengan kelompok lain. Disamping itu diperlukan pula kompromi agar persaingan menjadi lebih bermanfaat, karena dengan kompromi itulah sisi-sisi agresif dari persaingan dapat diperhalus jadi bentuk kerjasama yang lebih baik. Selain nilai-nilai demokrasi, untuk mewujudkan sistem politik demokrasi, juga dibutuhkan lembaga-lembaga demokrasi yang menopang sistem politik tersebut. Siapakah lembaga-lembaga demokrasi itu? Miriam Budiardjo (1997) menyebutkan antara lain sebagai berikut: 1. pemerintahan yang bertanggung jawab. 2. suatu dewan perwakilan rakyat yang memiliki golongan dan kepentingan dalam masyaraakt yang dipilih melalui pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Dewan ini melakukan pengawasan terhadap pemerintah. 3. Suatu organisasi politik yang mencakup lebih dari satu partai (sistem dua partai, multipartai). Partai menyelenggarakan hubungan yang kontinu dengan masyarakat. 4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat. 5. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak asasi manusia dan mempertahankan keadilan. Berdasarkan uraian tersebut, Winarno (2007:100) mengemukakan bahwa untuk berhasilnya demokrasi dalam suatu negara, terdapat dua hal penting yang mesti ada. Pertama, Tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai demokrasi yang menjadi sikap dan pola hidup masyarakat dan penyelenggara negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (disebut kultur politik); dan Kedua, Terbentuk dan berjalannya lembaga demokrasi dalam sistem politik dan pemerintahan (disebut struktur politik).
LANDASAN PENGEMBANGAN DEMOKRASI Disamping adanya nilai-nilai demokrasi dan lembaga-lembaga demokrasi yang menopang sistem politik demokrasi, diperlukan pula sejumlah kondisi agar nilai-nilai tersebut dapat ditegakkan sebagai pondasi demokrasi. Beberapa kondisi yang diperlukan untuk mengembangkan demokrasi antara lain pertumbuhan ekonomi yang memadai, pluralisme, dan pola hubungan negara dan masyarakat (Askuri Ibn Chamin, 2003). Pertama, Pertumbuhan ekonomi yang memadai. Menurut Robert Dahl (1971) faktor ekonomi dalam bentuk GNP per kapita (dollar) merupakan salah satu faktor kondisional penentu demokrasi dalam ukuran dollar. Menurut Dahl
Pendidikan Kewarganegaraan| 45
(1971) bahwa negara dengan GNP per kapita US $ 700 berpeluang besar membentuk sistem politik demokrasi. Walaupun demikian, menurut Huntington (1995) kemakmuran ekonomi bukanlah satu-satunya faktor penentu tumbuhnya demokrasi. Kedua, Pluralisme. Masyarakat plural dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintangan-rintangan sistemik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan kelompok tertentu. Pluralisme mengajarkan kepada kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat untuk meningkatkan kualitas dan daya saing masing-masing kelompok. Usaha kolektif untuk menuju kehidupan yang lebih baik dijalankan melalui sebuah kompetisi antar kelompok dengan aturan main yang telah disepakati. Kesadaran pluralism masyarakat ini dapat menghindarkan pecahnya konflik antar kelompok setiap kali terjadi persaingan di dalamnya. Ketiga, Pola hubungan negara dan masyarakat merupakan kondisi lain yang menentukan kualitas pengembangan demokrasi. Demokrasi memerlukan sebuah negara yang kuat, tetapi menghormati hukum, partai politik, legislatif, media massa, dan rakyat pada umumnya. Negara seperti inilah yang dapat memberi perlindungan bagi rakyatnya dan menjadi penopang bagi pengembanga nilai-nilai demokrasi.
46 |Dikdik Baehaqi Arif
Bab 5 Negara dan Konstitusi
Lingkup Bahasan Bab ini membahas dua pokok bahasan. Pertama, negara yang terdiri dari bahasan tentang pengertian negara, unsur-unsur negara, sifat-sifat negara, dan fungsi dan tujuan negara. Kedua, konstitusi, yang membahas pengertian konsitusi, pembagian konstitusi, UUD 1945 dan perubahannya.
Tujuan Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk: Menjelaskan pengertian negara Mengidentifikasi unsur-unsur negara, sifat-sifat negara, dan fungsi dan tujuan negara. Menjelaskan pengertian konsitusi Mendeskripsikan pembagian konstitusi Menganalisis UUD 1945 dan perubahannya.
Istilah kunci Negara, kedaulatan, konstitusi, undang-undang dasar, amandemen
PENGERTIAN NEGARA Kata “negara” berasal dari kata state (Inggris), staat (Belanda), etat (Perancis) yang berasal dari kata Latin status atau statum yang artinya keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Istilah itu umumnya diartikan sebagai kedudukan (standing, station). Misalnya: status civitatis (kedudukan warga negara), status republicae (kedudukan negara). Menurut Sokrates, Plato dan Aristoteles, konsep negara telah muncul dimulai 400 tahun sebelum masehi. Adanya negara di dalam masyarakat itu didorong oleh dua hal, yaitu manusia sebagai makhluk sosial (animal social/homo socius) dan manusia sebagai makhluk politik (animal politicum/zoon politicon) (Thomas Aquinas). Sedangkan menurut Thomas Hobbes, adanya negara itu diperlukan karena negara merupakan tempat berlindung bagi individu, kelompok, dan masyarakat yang lemah dari tindakan individu, kelompok, dan masyarakat, maupun penguasa yang kuat (otoriter), sebab menurut Hobbes manusia dengan manusia lainnya memiliki sifat seperti serigala, serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Dalam pengertian yang sederhana, negara dapat dipahami sebagai suatu organisasi kekuasan dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang
Pendidikan Kewarganegaraan| 47
bersama-sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengakui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tersebut. Beberapa ahli mengemukakan pengertian negara menurut sudut pandang mereka masing-masing seperti uraian berikut: 1. Aristoteles, merumuskan negara dalam bukunya Politica, sebagai negara polis, karena negara masih berada dalam suatu wilayah yang kecil sehingga warga negara dapat diikutsertakan dalam musyawarah (ecclesia). 2. Agustinus, membedakan negara dalam dua pengertian, yaitu civitas dei yang artinya negara Tuhan, dan civitas terrena atau civitas diaboli yang artinya negara duniawi. 3. Nicollo Machiavelli, dalam Il Principle merumuskan negara sebagai negara kekuasaan. Ia terkenal karena ajarannya tentang tujuan yang dapat menghalalkan segala cara. 4. Georg Jellinek, mengatakan bahwa negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu. 5. Kranenburg, negara adalah organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri. 6. Roger F. Soultau, negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat. 7. Harold J. Lasky, negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok, yang merupakan bagian dari masyarakat itu. 8. George Wilhelm Frerdrich Hegel, negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal. 9. John Locke dan Rousseau mengatakan negara adalah suatu badan atau organisasi hasil daripada perjanjian masyarakat. 10. Max Weber, mengatakan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. 11. Mc Iver, menjelaskan negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang demi maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.
48 |Dikdik Baehaqi Arif
12. Jean Bodin, negara adalah persekutuan keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat. 12. Soenarko, negara adalah organisasi kekuasaan masyarakat yang mempunyai daerah tertentu dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sovereign. 13. R. Djokosoetono, negara ialah suatu organisasi masyarakat atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama. 14. Miriam Budiardjo, negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dan kekuasaan yang sah. 15. M. Natsir, negara adalah suatu “institution” yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus. Institution dalam pengertian umum adalah suatu badan dan organisasi yang mempunyai tujuan khusus serta dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri, dan diakui oleh umum.
UNSUR-UNSUR NEGARA Dari beberapa pengertian negara sebagaimana tersebut di atas, kita dapat mengidentifikasi beberapa unsur negara. Secara teoretis, berdasarkan Konvensi motevideo, unsur negara dapat dibedakan menjadi unsur konstitutif dan unsur deklaratif. Pertama, unsur konstitutif adalah unsur pembentuk yang harus dipenuhi agar terbentuk negara. Unsur ini terdiri atas: 1. Wilayah, yaitu daerah yang menjadi kekuasaan negara serta menjadi tempat tinggal bagi rakyat negara. Wilayah juga menjadi sumber kehidupan rakyat negara. Wilayah negara mencakup darat, laut, dan udara. 2. Rakyat, yaitu orang-orang yang bertempat tinggal di wilayah itu, tunduk pada kekuasaan negara dan mendukung negara yang bersangkutan. 3. Pemerintahan yang berdaulat, yaitu adanya penyelenggara negara yang memiliki kekuasaan menyelenggarakan pemerintahan di negara tersebut. Pemerintah tersebut memiliki kedaulatan baik ke dalam mau pun keluar. Kedaulatan ke dalam berarti negara memiliki kekuasaan untuk ditaati oleh rakyatnya. Kedaulatan keluar berarti negara mampu mempertahankan diri dari serangan negara lain. Kedua, unsur deklaratif adalah unsur yang sifatnya menyatakan, bukan mutlak harus dipenuhi. Unsur ini terdiri atas:
Pendidikan Kewarganegaraan| 49
1. Tujuan negara 2. Undang Undang Dasar 3. Pengakuan dari negara lain, baik secara “de jure” maupun “de facto”, sebagai contoh, Pemerintah Mesir mengakui kedaulatan pemerintah RI atas Indonesia pada 22 Maret 1946. Dengan begitu Mesir tercatat sebagai negara pertama yang mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia. Setelah itu menyusul Syria, Iraq, Lebanon, Yaman, Saudi Arabia dan Afghanistan. Selain negara-negara tersebut, Liga Arab juga berperan penting dalam Pengakuan RI. Secara resmi keputusan sidang Dewan Liga Arab tanggal 18 November 1946 menganjurkan kepada semua negara anggota Liga Arab supaya mengakui Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat. Alasan Liga Arab memberikan dukungan kepada Indonesia merdeka didasarkan pada ikatan keagamaan, persaudaraan serta kekeluargaan. 4. Masuknya negara tersebut ke dalam PBB. Indonesia bergabung ke dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 28 September 1950. Karena adanya konflik antara Indonesia dan Malaysia dan setelah Malaysia terpilih untuk masuk Dewan Keamanan PBB, Soekarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965. Pada saat kepemimpinan Suharto pada tahun 1966, Indonesia kembali meminta masuk keanggotaan PBB melalui pesan yang disampaikan kepada Sekretaris Jendral.
SIFAT-SIFAT NEGARA Negara memiliki sifat-sifat khusus sebagai manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan yang hanya terdapat pada negara saja, tidak terdapat pada asosiasi atau organisasi lainnya. Secara umum, setiap negara memiliki sifat memaksa, memonopoli, dan sifat mencakup semua (Budiardjo, 1998:40). 1. Sifat memaksa, agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan demikian penertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dicegah, maka negara memiliki kekuasaan untuk memaksakan kehendak dan kekuasaannya untuk menyelenggarakan ketertiban, baik dengan memakai kekerasan fisik maupun melalui jalur hukum (legal). Sarana untuk itu adalah polisi, tentara, dan sebagainya. 2. Sifat monopoli, artinya negara memiliki hak menetapkan tujuan bersama masyarakat. Dalam hal ini, negara memiliki hak untuk melarang sesuatu yang bertentangan dan menganjurkan sesuatu yang dibutuhkan masyarakat.
50 |Dikdik Baehaqi Arif
3. Sifat mencakup semua (all encompassing, all embracing, totaliter), artinya semua peraturan dan kebijakan negara berlaku untuk semua orang tanpa kecuali.
FUNGSI DAN TUJUAN NEGARA Fungsi negara dapat dikatakan juga sebagai tugas negara. Negara sebagai organisasi kekuasaan dibentuk untuk menjalankan tugas-tugas tertentu. Beberapa ahli merumuskan fungsi negara dalam sudut pandang yang berbeda. John Locke, membedakan fungsi negara menjadi tiga fungsi, yaitu: Fungsi legislatif (membuat peraturan), fungsi eksekutif (melaksanakan peraturan), dan fungsi federatif (mengurusi urusan luar negeri dan urusan perang dan damai). Montesquieu juga mengemukakan tiga fungsi negara, yang populer dengan nama Trias Politica, yaitu: fungsi legislatif (yaitu membuat undang-undang), fungsi eksekutif (melaksanakan undang-undang) dan fungsi yudikatif (untuk mengawasi agar semua peraturan ditaati atau fungsi mengadili). Di sisi lain, dikenal pula ajaran Catur Praja yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven dan ajaran Dwi Praja (dichotomy) yang dikemukakan oleh Goodnow. Ajaran Catur Praja menyatakan bahwa fungsi negara dibagi menjadi empat, yaitu fungsi regeling (membuat peraturan), fungsi bestuur (menyelenggarakan pemerintahan), fungsi rechtspraak (fungsi mengadili) dan fungsi politie (fungsi ketertiban dan keamanan). Sedangkan ajaran Dwi Praja membagi fungsi negara menjadi dua bagian, yaitu: 1) policy making (kebijaksanaan negara untuk waktu tertentu, untuk seluruh masyarakat); dan 2) policy executing (kebijaksanaan yang harus dilaksanakan untuk tercapainya policy making). Menurut Miriam Budiarjdjo, pada dasarnya fungsi pokok negara terbagi menjadi empat bagian, yaitu: 1. Melaksanakan penertiban (law and order) untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat. Dalam fungsinya ini, dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator. 2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Fungsi ini dijalankan dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang. 3. Pertahanan, hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Untuk ini negara dilengkapi dengan alat-alat pertahanan. 4. Menegakkan keadilan. Hal ini dilaksanakan melalui badan-badan pengadilan.
Pendidikan Kewarganegaraan| 51
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikemukakan fungsi negara sebagai berikut: 1. Pertahanan dan keamanan: negara melindungi rakyat, wilayah dan pemerintahan dari ancaman, tantangan, hambatan, gangguan. 2. Pengaturan dan ketertiban: membuat undang-undang, peraturan pemerintah. 3. Kesejahteraan dan kemakmuran: mengeksplorasi sumber daya alam (SDA) dan dumber daya manusia (SDM) untuk kesejahteraan dan kemakmuran. 4. Keadilan menurut hak dan kewajiban: menciptakan dan menegakan hukum dengan tegas dan tanpa pilih kasih. Keseluruhan fungsi negara tersebut, diselenggarakan oleh negara untuk mencapai tujuan negara. Menurut Roger H Soltou, tujuan negara adalah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin. Menurut Plato, tujuan negara adalah memajukan kesusilaan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Thomas Aquino dan Agustinus berpendapat bahwa tujuan negara adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tenteram dengan taat kepada dan di bawah pimpinan Tuhan. Dalam hal ini, Pemimpin negara menjalankan kekuasaan hanyalah berdasarkan kekuasaan Tuhan. Sedangkan Harold J. Laski, mengemukakan bahwa tujuan negara adalah menciptakan keadaan dimana rakyatnya dapat mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal.
PENGERTIAN KONSTITUSI Istilah konstitusi dalam bahasa Indonesia menurut Rukman Amanwinata (Chaidir, 2007:21) berpadanan dengan kata “constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda), “constitutionel” (bahasa Prancis), “verfassung” (bahasa Jerman), “constitutio” (bahasa Latin), “fundamental laws” (Amerika Serikat). Selain istilah konstitusi, dikenal pula Undang-Undang Dasar (bahasa Belanda Grondwet). Perkataan wet diterjemahkan menjadi undang-undang, dan grond berarti tanah/dasar (Dahlan Thaib, dkk, 2006:7). Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan, maka UUD dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. UUD menentukan cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan
52 |Dikdik Baehaqi Arif
ini bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain, UUD merekam hubunganhubungan kekuasaan dalam suatu negara. E.C.S Wade mengartikan UUD sebagai naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokoknya cara kerja badanbadan tersebut (Dahlan Thaib, dkk 2006:9). Terhadap istilah konstitusi dan UUD ini, beberapa ahli berbeda pendapat. Ada sebagian ahli yang secara tegas membedakan keduanya, ada juga yang menganggapnya sama. L.J Van Apeldoorn salah satunya, membedakan secara jelas. Menurutnya, Istilah UUD (grondwet) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sedangkan Sri Soemantri (1987:1) mengartikan konstitusi sama dengan UUD. Apa sebenarnya konstitusi itu? Menurut Brian Thompson (1997:3), secara sederhana pertanyaan what is a constitution dapat dijawab bahwa “…a constitution is a document which contains the rules for the operation of an organization”. Bagi setiap organisasi kebutuhan akan naskah konstitusi tertulis itu merupakan sesuatu yang niscaya, terutama dalam organisasi yang berbentuk badan hukum (legal body, rechtspersoon). Demikian pula negara, pada umumnya, selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Dalam pengertian modern, negara pertama yang dapat dikatakan menyusun konstitusinya dalam satu naskah UUD seperti sekarang ini adalah Amerika Serikat (United States of America) pada tahun 1787. Sejak itu, hampir semua negara menyusun naskah undang-undang dasarnya. Beberapa negara yang dianggap sampai sekarang dikenal tidak memiliki Undang-Undang Dasar dalam satu naskah tertulis adalah Inggris, Israel, dan Saudi Arabia. Undang-Undang Dasar di ketiga negara ini tidak pernah dibuat tersendiri, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dari aturan dan pengalaman praktik ketatanegaraan. Namun, para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris, yaitu sebagaimana dikemukakan oleh Phillips Hood and Jackson (Asshiddiqie, 2005) sebagai: a body of laws, customs and conventions that define the composition and powers of the organs of the State and that regulate the relations of the various State organs to one another and to the private citizen. Dengan demikian, menurut Asshiddiqie (2005) ke dalam konsep konstitusi itu tercakup juga pengertian peraturan tertulis, kebiasaan, dan konvensi-konvensi kenegaraan (ketatanegaraan) yang menentukan susunan dan kedudukan organorgan negara, mengatur hubungan antara organ-organ negara itu, dan mengatur
Pendidikan Kewarganegaraan| 53
hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga negara. Inilah pengertian yang cukup mewakili dan komprehensif tentang konstitusi. Dari beberapa pengertian konstitusi tersebut, kita dapat melihat bahwa hampir semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. Constitutions, menurut Ivo D. Duchacek (Asshiddiqie, 2005), adalah “identify the sources, purposes, uses and restraints of public power” (mengidentifikasikan sumber-sumber, tujuan-tujuan, penggunaan-penggunaan, dan pembatasan-pembatasan kekuasaan umum). Pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan corak umum materi konstitusi. Oleh sebab itu pula, konstitutionalisme, seperti dikemukakan oleh Friedrich (Asshiddiqie, 2005), didefinisikan sebagai “an institutionalised system of effective, regularised restraints upon governmental action”. Dalam pengertian demikian, persoalan yang dianggap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pendapat beberapa sarjana terkait dengan pengertian dan pemahaman tentang konstitusi. Pandangan beberapa sarjana mengenai konstitusi dapat dikatakan berlainan satu sama lain. Ferdinand Lasalle (1825-1864), dalam bukunya “Uber Verfassungswessen” (1862), membagi konstitusi dalam dua pengertian, yaitu: 1. Pengertian sosiologis dan politis (sociologische atau politische begrip). Konstitusi dilihat sebagai sintesis antara faktor-faktor kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat (de riele machtsfactoren), yaitu misalnya raja, parlemen, kabinet, kelompok-kelompok penekan (preassure groups), partai politik, dan sebagainya. Dinamika hubungan di antara kekuatankekuatan politik yang nyata itulah sebenarnya apa yang dipahami sebagai konstitusi; 2. Pengertian juridis (juridische begrip). Konstitusi dilihat sebagai satu naskah hukum yang memuat ketentuan dasar mengenai bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan negara. (Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, 1991:73) Ferdinand Lasalle sangat dipengaruhi oleh aliran pikiran kodifikasi, sehingga menekankan pentingnya pengertian juridis mengenai konstitusi. Disamping sebagai cermin hubungan antar aneka kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat (de riele machtsfactoren), konstitusi itu pada pokoknya adalah apa yang tertulis di atas kertas UUD mengenai lembaga-lembaga negara, prinsipprinsip, dan sendi-sendi dasar pemerintahan negara.
54 |Dikdik Baehaqi Arif
Ahli lain, yaitu Hermann Heller mengemukakan tiga pengertian konstitusi, yaitu: 1. Die politische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit. Konstitusi dilihat dalam arti politis dan sosiologis sebagai cermin kehidupan sosialpolitik yang nyata dalam masyarakat; 2. Die verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi dilihat dalam arti juridis sebagai suatu kesatuan kaedah hukum yang hidup dalam masyarakat; 3. Die geschreiben verfassung. Konstitusi yang tertulis dalam suatu naskah undang-undang dasar sebagai hukum yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara. (Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988:65) Menurut Hermann Heller, UUD yang tertulis dalam satu naskah yang bersifat politis, sosiologis, dan bahkan bersifat juridis, hanyalah merupakan salah satu bentuk atau sebagian saja dari pengertian konstitusi yang lebih luas, yaitu konstitusi yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Artinya, di samping konstitusi yang tertulis itu, segala nilai-nilai normatif yang hidup dalam kesadaran masyarakat luas, juga termasuk ke dalam pengertian konstitusi yang luas itu. Oleh karena itu pula, dalam bukunya “Verfassungslehre“, Hermann Heller membagi konstitusi dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu: 1. Konstitusi dalam pengertian sosial-politik. Pada tingkat pertama ini, konstitusi tumbuh dalam pengertian sosial-politik. Ide-ide konstitusional dikembangkan karena memang mencerminkan keadaan sosial politik dalam masyarakat yang bersangkutan pada saat itu. Konstitusi pada tahap ini dapat digambarkan sebagai kesepakatan-kesepakatan politik yang belum dituangkan dalam bentuk hukum tertentu, melainkan tercerminkan dalam perilaku nyata dalam kehidupan kolektif warga masyarakat; 2. Konstitusi dalam pengertian hukum. Pada tahap kedua ini, konstitusi sudah diberi bentuk hukum tertentu, sehingga perumusan normatifnya menuntut pemberlakuan yang dapat dipaksakan. Konstitusi dalam pengertian sosialpolitik yang dilihat sebagai kenyataan tersebut di atas, dianggap harus berlaku dalam kenyataan. Oleh karena itu, setiap pelanggaran terhadapnya haruslah dapat dikenai ancaman sanksi yang pasti; 3. Konstitusi dalam pengertian peraturan tertulis. Pengertian yang terakhir ini merupakan tahap terakhir atau yang tertinggi dalam perkembangan pengertian rechtsverfassung yang muncul sebagai akibat pengaruh aliran kodifikasi yang menghendaki agar berbagai norma hukum dapat dituliskan dalam naskah yang bersifat resmi. Tujuannya adalah untuk maksud mencapai kesatuan hukum atau unifikasi hukum (rechtseineheid),
Pendidikan Kewarganegaraan| 55
kesederhanaan hukum (rechtsvereenvoudiging), dan kepastian hukum (rechtszekerheid). Namun, menurut Hermann Heller, konstitusi tidak dapat dipersempit maknanya hanya sebagai undang-undang dasar atau konstitusi dalam arti yang tertulis sebagaimana yang lazim dipahami karena pengaruh aliran kodifikasi. Disamping UUD yang tertulis, ada pula konstitusi yang tidak tertulis yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat.
UUD 1945 DAN PERUBAHANNYA Konstitusi negara Indonesia adalah Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konstitusi itu ditetapkan pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Secara garis besar, sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai sekarang, telah berlaku tiga macam undangundang dasar dalam empat periode, sebagai berikut: 1. UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949), terdiri atas bagian pembukaan, batang tubuh (16 Bab, 37 Pasal, 4 Pasal aturan peralihan, 2 ayat aturan tambahan) dan bagian penjelasan. 2. UUD RIS (27 Desember 1949-17 Agustus 1950), teridri atas 6 Bab, 197 Pasal, dan beberapa bagian. 3. UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 juli 1959), terdiri atas 6 Bab, 146 pasal, dan beberapa bagian. 4. UUD 1945 (5 Juli 1959-sekarang) Apabila keempat periode tersebut kita hubungkan dengan proses perubahan UUD 1945, maka menurut Jimly Asshiddiqie (2005), bahwa dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia merdeka, tercatat telah beberapa upaya perubahan terhadap UUD 1945, antara lain: 1) pembentukan UUD, 2) penggantian UUD, dan 3) perubahan dalam arti pembaruan UUD. Pada tahun 1945, Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk atau disusun oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai hukum dasar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kemerdekaannya diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada tahun 1949, ketika bentuk Negara Republik Indonesia diubah menjadi Negara Serikat (Federasi), diadakan penggantian konstitusi dari Undang-Undang Dasar 1945 ke Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949. Demikian pula pada tahun 1950, ketika bentuk Negara Indonesia diubah lagi dari bentuk Negara Serikat menjadi Negara Kesatuan,
56 |Dikdik Baehaqi Arif
Konstitusi RIS 1949 diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (Asshiddiqie, 2005). Setelah itu, mulailah diadakan usaha untuk menyusun UUD baru sama sekali dengan dibentuknya lembaga Konstituante yang secara khusus ditugaskan untuk menyusun konstitusi baru. Setelah Konstituante terbentuk, diadakanlah persidangan-persidangan yang sangat melelahkan mulai tahun 1956 sampai tahun 1959, dengan maksud menyusun UUD yang bersifat tetap. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa usaha ini gagal diselesaikan, sehingga pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusannya yang dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara lain membubarkan Konstituante dan menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 menjadi hukum dasar dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan dari UUDS Tahun 1950 ke UUD 1945 ini tidak ubahnya bagaikan tindakan penggantian UUD juga. Karena itu, sampai dengan berlakunya kembali UUD 1945 itu, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia modern belum pernah terjadi perubahan dalam arti pembaruan UUD, melainkan baru perubahan dalam arti pembentukan, penyusunan, dan penggantian UUD. Perubahan dalam arti pembaruan UUD, baru terjadi setelah bangsa Indonesia memasuki era reformasi pada tahun 1998, yaitu setelah Presiden Soeharto berhenti dan digantikan oleh Presiden B.J. Habibie, barulah pada tahun 1999 dapat diadakan Perubahan terhadap UUD 1945 sebagaimana mestinya. Perubahan Pertama ditetapkan oleh Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999, disusul dengan Perubahan Kedua dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 dan Perubahan Ketiga dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2001. Pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, disahkan pula naskah Perubahan Keempat yang melengkapi naskah-naskah Perubahan sebelumnya, sehingga keseluruhan materi perubahan itu dapat disusun kembali secara lebih utuh dalam satu naskah UUD yang mencakupi keseluruhan hukum dasar yang sistematis dan terpadu. Kedua bentuk perubahan UUD seperti tersebut, yaitu penggantian dan perubahan pada pokoknya sama-sama merupakan perubahan dalam arti luas. Perubahan dari UUD 1945 ke Konstitusi RIS 1949, dan begitu juga dari UUDS Tahun 1950 ke UUD 1945 adalah contoh tindakan penggantian UUD. Sedangkan perubahan UUD 1945 dengan naskah Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat adalah contoh perubahan UUD melalui naskah Perubahan yang tersendiri. Disamping itu, ada pula bentuk perubahan lain seperti yang biasa dipraktekkan di beberapa negara Eropa, yaitu perubahan yang dilakukan dengan
Pendidikan Kewarganegaraan| 57
cara memasukkan (insert) materi baru ke dalam naskah UUD. Cara terakhir ini, boleh jadi, lebih tepat disebut sebagai pembaruan terhadap naskah lama menjadi naskah baru, yaitu setelah diadakan pembaruan dengan memasukkan tambahan materi baru tersebut. Berkenaan dengan prosedur perubahan UUD, Asshiddiqie (2005) menjelaskan bahwa terdapat tiga tradisi yang berbeda antara satu negara dengan negara lain. Pertama, kelompok negara yang mempunyai kebiasaan mengubah materi UUD dengan langsung memasukkan (insert) materi perubahan itu ke dalam naskah UUD. Dalam kelompok ini dapat disebut, misalnya, Republik Perancis, Jerman, Belanda, dan sebagainya. Konstitusi Perancis, misalnya, terakhir kali diubah dengan cara pembaruan yang diadopsikan ke dalam naskah aslinya pada tanggal 8 Juli 1999 lalu, yaitu dengan mencantumkan tambahan ketentuan pada Article 3, Article 4 dan ketentuan baru Article 53-273 naskah asli Konstitusi Perancis yang biasa disebut sebagai Konstitusi Tahun 1958. Sebelum terakhir diamandemen pada tanggal 8 Juli 1999, Konstitusi Tahun 1958 itu juga pernah diubah beberapa kali, yaitu penambahan ketentuan mengenai pemilihan presiden secara langsung pada tahun 1962, tambahan pasal mengenai pertanggungjawaban tindak pidana oleh pemerintah yaitu pada tahun 1993, dan diadakannya perluasan ketentuan mengenai pelaksanaan referendum, sehingga naskah Konstitusi Perancis menjadi seperti sekarang. Keseluruhan materi perubahan itu langsung dimasukkan ke dalam teks konstitusi. Kedua, kelompok negara-negara yang mempunyai kebiasaan mengadakan penggantian naskah UUD. Di lingkungan negara-negara ini, naskah konstitusi sama sekali diganti dengan naskah yang baru, seperti pengalaman Indonesia dengan Konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS Tahun 1950. Pada umumnya, negara-negara demikian ini terhitung sebagai negara yang sistem politiknya belum mapan. Sistem demokrasi yang dibangun masih bersifat jatuh bangun, dan masih bersifat „trial and error‟. Negara-negara miskin dan yang sedang berkembang di Asia dan Afrika, banyakyang dapat dikategorikan masih berada dalam kondisi demikian ini. Tetapi pada umumnya, tradisi penggantian naskah konstitusi itu tidaklah dianggap ideal. Praktek penggantian konstitusi itu terjadi semata-mata karena keadaan keterpaksaan. Oleh karena itu, kita perlu menyebut secara khusus tradisi yang dikembangkan oleh Amerika Serikat sebagai model ketiga, yaitu perubahan konstitusi melalui naskah yang terpisah dari teks aslinya, yang disebut sebagai amandemen pertama, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Dengan tradisi demikian, naskah asli UUD tetap utuh, tetapi kebutuhan akan perubahan hukum dasar dapat dipenuhi melalui naskah tersendiri yang dijadikan addendum tambahan terhadap naskah asli tersebut. Dapat dikatakan, tradisi perubahan
58 |Dikdik Baehaqi Arif
demikian memang dipelopori oleh Amerika Serikat, dan tidak ada salahnya negara-negara demokrasi yang lain, termasuk Indonesia untuk mengikuti prosedur yang baik seperti itu. Perubahan UUD 1945 yang telah berlangsung empat kali berturut-turut sampai sekarang, sesungguhnya, tidak lain juga mengikuti mekanisme perubahan gaya Amerika Serikat itu. Berkaitan dengan Perubahan UUD 1945, perubahan yang dilakukan telah mengubah banyak hal dari aturan dasar kehidupan bernegara. Setelah empat kali perubahan, sesungguhnya UUD 1945 sudah berubah sama sekali menjadi konstitusi yang baru. Hanya nama saja yang dipertahankan sebagai UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan isinya sudah berubah secara besar-besaran. Pada uraian berikut secara berturut-turut akan dijelaskan mengenai dasar pemikiran, tujuan, dan dasar yuridis formal dari perubahan UUD 1945. Selanjutnya akan diuraikan pula mengenai kesepakatan dasar dalam perubahan, awal perubahan, jenis perubahan, dan hasil-hasil perubahan. Uraian akan dikhiri dengan penjelasan tentang susunan dan sistematika UUD 1945 setelah perubahan (MPR RI, 2006:6-8).
1. Dasar Pemikiran Dasar pemikiran dilakukannya perubahan UUD 1945 antara lain karena: pertama, UUD 1945 membentuk struktur kenegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal itu berakibat tidak terjadinya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) pada lembaga-lembaga kenegaraan. Penyerahan kekuasaan tertinggi kepada MPR merupakan kunci yang menyebabkan kekuasaan pemerintahan negara seakan-akan tidak memiliki hubungan dengan rakyat. Kedua, UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah dominan eksekutif (executive heavy), yakni kekuasaan dominan di tangan Presiden. Pada diri Presiden terpusat kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan yang dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional. Hak-hak konstitusional tersebut lazim disebut hak prerogatif (antara lain memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi). Presiden juga memegang kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Dua cabang kekuasaan negara yang seharusnya dipisahkan dan dijalankan oleh lembaga negara yang berbeda, tetapi nyatanya berada di satu tangan (Presiden). Ketiga, UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu tafsiran (multitafsir). Misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum diubah) yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang
Pendidikan Kewarganegaraan| 59
jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Rumusan pasal tersebut dapat ditafsirkan lebih dari satu. Tafsir pertama bahwa presiden dan wakil presiden dapat dipilih berkali-kali. Tafsir yang kedua bahwa presiden dan wakil presiden itu hanya boleh memangku jabatan maksimal dua kali dan sesudah itu tidak boleh dipilih kembali. Contoh lain adalah Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 (sebelum diubah) yang berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Rumusan pasal ini pun dapat mendatangkan tafsiran yang beragam, antara lain, orang Indonesia asli adalah warga negara Indonesia yang lahir di Indonesia atau warga negara Indonesia yang orang tuanya adalah orang Indonesia. Keempat, UUD 1945 terlalu banyak memberikan kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang. UUD 1945 menetapkan bahwa Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai dengan kehendaknya dalam undang-undang. Kelima, Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia, dan otonomi daerah. Hal itu membuka peluang bagi berkembangnya praktik penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut: a. Tidak adanya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) antarlembaga negara dan kekuasaan terpusat pada Presiden. b. Infrastruktur politik yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat, kurang mempunyai kebebasan berekspresi sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. c. Pemilihan umum (pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasi oleh pemerintah. d. Kesejahteraan sosial berdasarkan pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli, oligopoly, dan monopsoni.
2. Tujuan Perubahan UUD 1945 Perubahan UUD 1945, mempunyai beberapa tujuan, yaitu sebagai berikut:
60 |Dikdik Baehaqi Arif
a. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam mencapai tujuan nasional dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. b. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi. c. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia agar sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan sesuai dengan cita-cita negara hukum yang dicita-citakan UUD 1945. d. Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) yang lebih kuat dan transparan, dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi kebutuhan bangsa dan tantangan zaman. e. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral, dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. f. Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara bagi eksistensi (keberadaan) negara dan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum. g. Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, serta kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
3. Dasar Yuridis Formal Perubahan UUD 1945 Dalam melakukan perubahan UUD 1945, MPR berpedoman pada ketentuan Pasal 37 UUD 1945 yang mengatur prosedur perubahan UUD 1945. Naskah yang menjadi objek perubahan adalah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana tercantum dalam Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959. Sebelum melakukan perubahan UUD 1945, dalam sidang istimewa MPR tahun 1998, MPR mencabut Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang
Pendidikan Kewarganegaraan| 61
Referendum yang mengharuskan terlebih dahulu penyelenggaraan referendum secara nasional dengan persyaratan yang demikian sulit sebelum dilakukan perubahan UUD 1945. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum ini tidak sesuai dengan cara perubahan seperti diatur pada Pasal 37 UUD 1945. Maka sebelum melakukan perubahan UUD 1945, MPR dalam Sidang Istimewa MPR tahun 1998 mencabut Ketetapan MPR tentang referendum tersebut.
4. Kesepakatan Dasar dalam Perubahan UUD 1945 Sebelum melakukan perubahan terhadap UUD 1945 MPR melalui Panitia Ad Hoc I telah menyusun kesepakatan dasar sebagai berikut: Pertama, Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. Hal ini karena, 1) Pembukaan UUD 1945 memuat dasar filosofis dan normatif yang mendasari seluruh pasal dalam UUD 1945, dan 2) Pembukaan UUD 1945 mengandung staatidee berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tujuan negara, dan dasar negara yang haus tetap dipertahankan. Kedua, Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini didasari bahwa negara kesatuan adalah bentuk yang ditetapkan sejak awal berdirinya negara Indonesia, dan negara kesatuan dipandang paling tepat untuk mewadahi ide persatuan sebuah bangsa yang majemuk. Ketiga, Mempertegas sistem pemerintahan presidensial, dengan maksud untuk memperkukuh sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis, dan karena sistem pemerintahan presidensial ini sejak tahun 1945 telah dipilih oleh pendiri negara (founding fathers). Keempat, Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (Batang Tubuh). Peniadaan Penjelasan UUD 1945 dimaksudkan untuk menghindarkan kesulitan dalam menentukan status “Penjelasan” dari sisi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangundangan. Selain itu, Penjelasan UUD 1945 bukan merupakan produk BPUPKI maupun PPKI, karena kedua lembaga itu menyusun rancangan Pembukaan dan Batang Tubuh (pasal-pasal) UUD 1945 tanpa Penjelasan. Dan kelima, melakukan perubahan dengan cara addendum, artinya Perubahan UUD 1945 itu dilakukan dengan tetap mempertahankan naskah aslinya. Dan Naskah perubahan-perubahan UUD 1945 diletakkan melekat pada naskah asli.
62 |Dikdik Baehaqi Arif
5. Awal Perubahan UUD 1945 Tuntutan reformasi yang menghendaki agar UUD 1945 diamandemen, sebenarnya telah diawali dalam Sidang Istimewa MPR tahun 1998. Pada forum permusyawaratan MPR yang pertama kalinya diselenggarakan pada era reformasi, MPR telah menerbitkan tiga ketetapan MPR. Ketetapan itu memang tidak secara langsung mengubah UUD 1945, tetapi telah menyentuh muatan UUD 1945. Pertama, Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum. Ketetapan MPR tenang Referendum itu menetapkan bahwa sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 harus dilakukan referendum nasional untuk meminta pendapat rakyat yang disertai dengan persyaratan yang demikian sulit. Kedua, Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Ketentuan Pasal 1 dari Ketetapan itu berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Ketentuan MPR yang membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden itu secara substansial sesungguhnya telah mengubah UUD 1945, yaitu mengubah ketentuan Pasal 7 yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.
Ketiga, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Terbitnya Ketetapan itu juga dapat dilihat sebagai penyempurnaan ketentuan mengenai hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945, seperti Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 Ayat (2). Berdasarkan uraian tersebut, tampak bahwa ketiga Ketetapan MPR itu secara substansial telah mengubah UUD 1945. Perubahan yang dilakukan berkenaan dengan pencabutan ketentuan tentang referendum, pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, dan penyempurnaan ketentuan mengenai HAM. Itulah sebabnya bahwa ketentuan yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR itu dipandang sebagai awal perubahan UUD 1945. Perubahan UUD 1945 dilakukan sesuai dengan peraturan dan melalui beberapa tingkatan pembicaraan. Proses perubahan UUD 1945 mengikuti ketentuan Pasal 92 Peraturan Tata Tertib MPR mengenai tingkat-tingkat pembicaraan dalam membahas dan mengambil putusan terhadap materi sidang
Pendidikan Kewarganegaraan| 63
MPR. Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana tercantum dalam ketentuan pasal tersebut adalah sebagai berikut: Tingkat I
Pembahasan oleh Badan Pekerja Majelis terhadap bahan-bahan yang masuk dan hasil dari pembahasan tersebut merupakan rancangan putusan majelis sebagai bahan pokok Pembicaraan Tingkat II.
Tingkat II Pembahasan oleh Rapat Paripurna Majelis yang didahului oleh penjelasan Pimpinan dan dilanjutkan dengan Pemandangan Umum Fraksi-fraksi. Tingkat III Pembahasan oleh Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis terhadap semua hasil Pembicaran Tingkat I dan II. Hasil pembahasan pada Tingkat III ini merupakan rancangan putusan Majelis. Tingkat IV Pengambilan putusan oleh Rapat Paripurna Majelis setelah mendengar laporan dari inginan Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis dan bilamana perlu dengan kata akhir dari fraksi-fraksi.
6. Jenis Perubahan UUD 1945 Perubahan UUD 1945 tidak dimaksudkan untuk mengganti UUD 1945. Oleh karena itu jenis perubahan yang dilakukan oleh MPR adalah mengubah, membuat rumusan baru sama sekali, menghapus atau menghilangkan, memindahkan tempat pasal atau ayat sekaligus mengubah penomoran pasal atau ayat seperti terurai dalam beberapa contoh berikut. a. Mengubah rumusan yang telah ada Pasal 2 (sebelum perubahan) (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerahdaerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 2 (setelah perubahan) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. b. Membuat rumusan baru sama sekali Pasal 6A (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. c. Menghapuskan/menghilangkan rumusan yang ada.
64 |Dikdik Baehaqi Arif
Ketentuan Bab IV Dewan Pertimbangan Agung, dihapus. d. Memindahkan rumusan pasal ke dalam rumusan ayat atau sebaliknya. Pasal 34 (sebelum perubahan) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Pasal 34 (setelah perubahan) (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Pasal 23 (sebelum perubahan) (1) Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 23B (sesudah perubahan) Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. 7. Hasil Perubahan UUD 1945 Setelah melalui tingkat-tingkat pembicaraan sesuai dengan ketentuan Pasal 92 Peraturan Tata Tertib MPR, dalam beberapa kali sidang MPR telah mengambil putusan empat kali perubahan UD 1945 dengan perincian sebagai berikut. a. Perubahan Pertama UUD 1945 hasil Sidang Umum MPR tahun 1999 (tanggal 14 sampai dengan 21 Oktober 1999). Tabel Perubahan Pertama UUD 1945 Perubahan UUD 1945 Perubahan Pertama:
No 1
Pasal-pasal yang diubah sebanyak 9 pasal, yaitu pasal 5, 7, 9, 13, 14, 15, 17, 20, dan 21.
2.
Beberapa perubahan penting adalah pasal 5, 7, 14, dan 20.
3.
Sebelum Perubahan Pasal 5 Ayat (1): Presiden memegang kekuasaan membentuk undangundang dengan persetujuan DPR. Pasal 7: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Pasal 14: Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.
Sesudah Perubahan Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan
Pendidikan Kewarganegaraan| 65
Perubahan UUD 1945
No
Sebelum Perubahan
4.
Pasal 20 Ayat (1): Tiaptiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR.
Sesudah Perubahan memperhatikan pertimbangan DPR. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
b. Perubahan Kedua UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2000 (tanggal 7 sampai dengan 18 Agustus 2000). Tabel Perubahan Kedua UUD 1945 Perubahan UUD 1945 Perubahan Kedua:
No 1.
Pasal-pasal yang diubah sebanyak 10 pasal, yaitu pasal 18, 19, 20, 22, 25, 26, 27, 28, 30, dan 36.
2.
Sebelum Perubahan Pasal 26 Ayat (2): Syaratsyarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 28: yang memuat 3 hak asasi manusia.
Sesudah Perubahan Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Diperluas menjadi memuat 13 hak asasi manusia.
Beberapa perubahan penting adalah pasal 26, 28.
c. Perubahan Ketiga UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2001 (tanggal 1 sampai dengan 9 Nopember 2001). Tabel Perubahan Ketiga UUD 1945 Perubahan UUD 1945 Perubahan Ketiga: Pasal-pasal yang diubah sebanyak 10 pasal, yaitu pasal 1, 3, 6, 7, 8, 11, 17, 22, 23, dan 24.
No 1.
2.
Sebelum Perubahan Pasal 1 Ayat (2): Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Pasal 6 Ayat (1): Presiden ialah orang Indonesia asli.
Beberapa perubahan yang penting adalah pasal 1 ayat (2), pasal 6 ayat (1), dan pasal 24. 3.
66 |Dikdik Baehaqi Arif
Pasal 24 tentang kekuasaan kehakiman.
Sesudah Perubahan Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Calon Presiden dan Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya. Ditambah Pasal 6A: Presiden dan Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya. Ditambah sebagai berikut: Pasal 24 B: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
Perubahan UUD 1945
No
Sebelum Perubahan
Sesudah Perubahan mengusulkan pengangkatan hakim agung. Pasal 24C: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap UUD.
d. Perubahan Keempat UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2002 (tanggal 1 sampai dengan 11 Agustus 2002). Tabel Perubahan Keempat UUD 1945 Perubahan UUD 1945 Perubahan Keempat.
No 1.
Pasal-pasal yang diubah berjumlah 13, yaitu pasal 2, 3, 6, 8, 16, 23, 24, 31, 32, 34, 37, Aturan Peralihan, dan Aturan Tambahan. Beberapa perubahan yang penting adalah pasal 2 Ayat (1), Bab IV Pasal 16, dan Aturan Peralihan.
2.
3.
Sebelum Perubahan Pasal 2 Ayat (1): MPR terdiri atas anggotaanggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusanutusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Bab IV Pasal tentang Dewan Pertimbangan Agung.
Sesudah Perubahan MPR terdiri atas Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. DPA dihapus, diganti menjadi: Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden, yang selanjutnya diatur dengan undang-undang. Aturan Peralihan Pasal III: Mahkamah Konstitusi dibentuk selambatlambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pendidikan Kewarganegaraan| 67
Setelah disahkannya Perubahan Keempat UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002, agenda reformasi konstitusi Indonesia untuk kurun waktu sekarang dipandang telah tuntas.
8. Susunan UUD 1945 setelah Perubahan Sebagaimana diketahui, perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara adendum. Setelah mengalami empat tahap perubahan dalam suatu rangkaian kegiatan, UUD 1945 memiliki susunan sebagai berikut.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 naskah asli;
Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194;
Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Untuk memudahkan pemahaman secara urut, lengkap, dan menyeluruh UUD 1945 juga disusun dalam satu naskah yang berisikan Pasal-pasal dari Naskah Asli yang tidak berubah dan Pasal-pasal dari empat naskah hasil perubahan. Namun, susunan Undang-Undang Dasar dalam satu naskah itu bukan merupakan naskah resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedudukannya hanya sebagai risalah sidang dalam rapat paripurna Sidang Tahunan MPR tahun 2002.
9. Sistematika UUD 1945 Ada yang perlu kita perhatikan dengan seksama, bahwa walaupun UUD 1945 disusun dalam suatu naskah, hal itu sama sekali tidak mengubah sistematika UUD 1945. Secara penomoran tetap terdiri atas 16 bab dan 37 pasal dan perubahan bab dan pasal ditandai dengan penambahan huruf (A, B, C, dan seterusnya) di belakang angka bab atau pasal. Penomoran UUD 1945 yang tetap tersebut sebagai konsekuensi logis dari pilihan melakukan perubahan UUD 1945 dengan cara adendum (tetap mempertahankan naskah aslinya, perubahan diletakkan melekat pada naskah asli).
68 |Dikdik Baehaqi Arif
Ditinjau dari aspek sistematika, UUD 1945 hasil perubahan berbeda dengan UUD 1945 sebelum perubahan. UUD 1945 sebelum diubah terdiri atas tiga bagian (termasuk penamaannya), yaitu:
Pembukaan (Preambul);
Batang Tubuh;
Penjelasan. Setelah diubah, UUD 1945 terdiri atas dua bagian, yaitu:
Pembukaan;
Pasal-pasal (sebagai pengganti istilah Batang Tubuh).
Perubahan UUD 1945 yang dilakukan mencakup 21 bab, 73 pasal, dan 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Setelah diubah, UUD 1945 terdiri atas 21 bab, 73 pasal, dan 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan serta 2 pasal Aturan Tambahan. Lihat tabel di bawah ini.
Tabel UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Perubahan UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Naskah UUD Aturan Aturan No Bab Pasal Ayat 1945 Peralihan Tambahan 1 Sebelum 16 37 49 4 pasal 2 ayat Perubahan 2 Sesudah 21 73 170 3 pasal 2 pasal Perubahan
MPR telah melakukan perubahan UUD 1945 sebagai pelaksanaan salah satu tuntutan reformasi. Para perumus perubahan UUD 1945 di MPR melakukan perubahan melalui pembahasan yang mendalam, teliti, cermat, dan menyeluruh. Selain itu, para perumus perubahan UUD 1945 juga senantiasa mengajak dan mengikutsertakan berbagai kalangan masyarakat dan penyelenggara negara untuk berpartisipasi aktif memberikan masukan dan tanggapan. Maka boleh dikatakan bahwa perubahan UUD 1945 itu telah dilakukan oleh bangsa dan negara Indonesia.
Pendidikan Kewarganegaraan| 69
Bab 6 Hak Asasi Manusia Lingkup Bahasan Bab ini membahas konsep dasar hak asasi manusia, kategori hak asasi manusia, prinsipprinsip pokok hak asasi manusia, sejarah perkembangan hak asasi manusia, hak asasi manusia dalam UUD 1945
Tujuan Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk: Mendeskripsikan konsep dasar hak asasi manusia Mengidentifikasi kategori hak asasi manusia Menyebutkan prinsip-prinsip pokok hak asasi manusia Menganalisis sejarah perkembangan hak asasi manusia Menilai hak asasi manusia dalam UUD 1945
Istilah kunci Human rights, political rights, social rights, economic rights
KONSEP DASAR HAK ASASI MANUSIA Dalam pengertian yang sederhana hak asasi manusia (human rights) merupakan hak yang secara alamiah melekat pada orang semata-mata karena ia merupakan manusia (human being). HAM meliputi nilai-nilai ideal yang mendasar, yang tanpa nilai-nilai dasar itu orang tidak dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Penghormatan terhadap nilai-nilai dasar itu memungkinkan individu dan masyarakat bisa berkembang secara penuh dan utuh. HAM tidak diberikan oleh negara atau tidak pula lahir karena hukum. HAM berbeda dengan hak biasa yang lahir karena hukum atau karena perjanjian. Dalam pembahasannya tentang pengertian HAM, Jan Materson, anggota Komisi Hak Asasi Manusia PBB merumuskan HAM dalam ungkapan berikut: “human rights could be generally defines as those right which area inherent in our natural and without we can‟t live as human being”. (HAM adalah hak-hak yang secara inheren melekat dalam diri manusia, dan tanpa hak itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia) (Asykuri Ibnu Chamim, 2000:371). Dari pengertian di atas, kita dapat mencermati dua makna yang terkandung dalam pengertian HAM, yaitu: Pertama, HAM merupakan hak alamiah yang melekat dalam diri setiap manusia sejak ia dilahirkan ke dunia. Hak alamiah adalah hak yang sesuai dengan kodrat manusia sebagai insan merdeka yang berakal budi dan berperikemanusiaan. Karena itu, tidak ada seorang pun yang
70 |Dikdik Baehaqi Arif
diperkenankan merampas hak tersebut dari tangan pemiliknya, dan tidak ada kekuasaan apapun yang memiliki keabsahan untuk memperkosanya. Hal ini tidak berarti bahwa HAM bersifat mutlak tanpa pembatasan, karena batas HAM seseorang adalah HAM yang melekat pada orang lain. Bila HAM dicabut dari tangan pemiliknya, manusia akan kehilangan eksistensinya sebagai manusia. Kedua, HAM merupakan instrumen untuk menjaga harkat dan martabat manusia sesuai dengan kodrat kemanusiaannya yang luhur. Tanpa HAM manusia tidak akan dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia. Dikatakan HAM menurut Ahmad Sanusi (2006:201) ialah karena hak-hak itu bersumber pada sifat hekekat manusia sendiri yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. HAM itu bukan karena diberikan oleh negara atau pemerintah. Karena itu, hak-hak itu tidak boleh dirampas atau diasingkan oleh negara dan oleh siapa pun. Dengan demikian, maka HAM bukan sekedar hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sejak dilahirkannya ke dunia, tetapi juga merupakan standar normatif yang bersifat universal bagi perlindungan hak-hak dasar itu dalam lingkup pergaulan nasional, regional dan global. Esensi itu dapat dilihat dalam Mukaddimah Universal Declaration of Human Rights yang menyebutkan bahwa pengakuan atas martabat yang luhur dan hak-hak yang sama tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia, karena merupakan dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia. Dalam konteks Indonesia, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia merumuskan pengertian HAM sebagai berikut: Hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu oleh siapa pun. Dengan demikian, maka setiap manusia memiliki hak asasi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi tersebut tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu oleh siapa pun karena hak asasi tersebut berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup manusia, kemerdekaan manusia, perkembangan manusia dan masyarakat. Apabila ada perlakuan yang mengabaikan, merampas atau mengganggu hak asasi seseorang, berarti ia telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi seseorang. Sedangkan berdasarkan rumusan Pasal 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, HAM diartikan sebagai berikut:
Pendidikan Kewarganegaraan| 71
Seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakaan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dari rumusan HAM di atas dapat dikemukakan bahwa di balik adanya hak asasi yang perlu dihormati mengandung makna adanya kewajiban asasi dari setiap orang. Kewajiban asasi yang dimaksud menurut Sapriya dan Udin S. Winataputra (2003: 137) adalah kewajiban dasar manusia yang ditekankan dalam undangundang tersebut sebagai seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya HAM. HAM mempunyai sejumlah karakteristik yang menonjol. James W. Nickel (1996) mengidentifikasi sedikitnya enam karakteristik HAM, yaitu: Pertama, HAM adalah hak. Makna istilah ini menunjukkan bahwa itu adalah norma-norma yang pasti dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib. Kedua, hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki HAM. Ini juga menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari HAM yang berlaku sekarang adalah bahwa itu merupakan hak internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa itu telah dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi internasional yang sah. Ketiga, HAM dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya di dalam sistem adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu. Hak ini boleh jadi memang belum merupakan hak yang efektif sampai ia dijalankan menurut hukum, namun hak itu eksis sebagai standar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan hukumnya. Keempat, HAM dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa perkecualian, HAM cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma nasional yang bertentangan, dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi HAM. Hak-hak yang dijabarkan di dalam Deklarasi tersebut tidak disusun menurut prioritas; bobot relatifnya tidak disebut. Tidak dinyatakan bahwa beberapa di antaranya bersifat absolut. Dengan demikian HAM yang dipaparkan oleh Deklarasi itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima facie rights.
72 |Dikdik Baehaqi Arif
Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya, dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu. Dan terakhir, keenam, hak-hak ini menetapkan standar minimal bagi praktek kemasyarakatan dan kenegaraan yang layak. Tidak seluruh masalah yang lahir dari kekejaman atau pementingan diri sendiri dan kebodohan merupakan problem HAM. Sebagai misal, suatu pemerintah yang gagal untuk menyediakan taman-taman nasional bagi rakyatnya memang dapat dikecam sebagai tidak cakap atau tidak cukup memperhatikan kesempatan untuk rekreasi, namun hal tersebut tidak akan pernah menjadi persoalan HAM.
KATEGORI HAK ASASI MANUSIA Dalam tataran global, hak-hak asasi manusia paling tidak dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu HAM yang masuk dalam 1) kategori hak-hak sipil dan politik; 2) kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; serta 3) kategori hak-hak solidaritas (solidarity rights). Hak-hak sipil dan politik sering pula disebut sebagai “first generation of rights”, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai “second generation of rights”, sedangkan hak-hak solidaritas merupakan “the third generation of rights”. Hak-hak sipil dan politik diatur dalam beberapa pasal UDHR (Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, disingkat DUHAM) dan dalam ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights, atau Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik). Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya diatur dalam beberapa pasal DUHAM, dan diatur secara khusus dalam ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, atau Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Sedangkan hak-hak solidaritas, utamanya hak atas pembangunan, tercantum dalam Resolusi Majelis Umum PBB, tahun 1986, dan kemudian dalam Deklarasi HAM Dunia di Wina, tahun 1993. Kiranya sejak awal perlu dikemukakan bahwa penggolongan atau kategorisasi seperti yang dikemukakan di atas tidaklah bermaksud untuk mengkotak-kotakan HAM, apalagi mengkotak-kotak sesuai dengan urutan prioritas. Kategori-kategori sebagaimana dikemukakan di atas, khususnya antara hak-hak sipil di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di lain pihak
Pendidikan Kewarganegaraan| 73
sebenarnya merupakan akibat dari polarisasi politik dunia ketika dua instrumen HAM (ICCPR dan ICSCR) dibuat oleh PBB. Kalau kategori-kategori itu masih digunakan, tidak lain hanyalah untuk keperluan praktis demi lebih mudah mengidentifikasi dan memahami hak-hak asasi yang melekat pada manusia itu, bukan untuk memisah-misahkan satu dengan yang lainnya, karena sebagaimana akan dikemukakan kemudian, semua HAM itu tidak dapat dipisahkan dan saling bergantung. Adanya kebutuhan untuk membuat kesepakatan-kesepakatan hukum yang bersifat global yang mengatur dan menjamin penghormatan dan penegakan HAM sebenarnya terutama lahir dari kesadaran historis akibat Perang Dunia II. Tragedi kemanusiaan, terutama pengabaian terhadap nilai-nilai HAM yang paling mendasar yang terjadi selama Perang Dunia II, menghentakkan kesedaran bangsabangsa di dunia, bahwa persoalan HAM tidak bisa diserahkan atau dianggap sebagai masalah internal suatu negara semata. Demi tegaknya harkat dan martabat manusia dan langgengnya perdamaiaan dunia, masalah HAM lalu “diangkat” menjadi masalah yang harus dipikirkan bersama oleh segenap masyarakat bangsa, baik dalam hal penghormatan dan pemenuhannya maupun dalam hal penegakannya. Hal ini terefleksi dalam beberapa pasal Piagam PBB, yaitu dalam pasal 1 ayat (3), pasal 55 dan pasal 56. Ketentuan-ketentuan ini sekaligus memberikan mandat kepada PBB untuk membuat instrumen-instrumen hukum HAM, mulai dari DUHAM, lalu disusul ICCPR dan ICESCR, dan kemudian banyak lagi instrumen hukum lain di bidang HAM. Hak-hak sipil terkait dengan “hak atas integritas/harkat fisik” (physical integrity rights), seperti hak atas kehidupan dan perlindungan dari penyiksaan dan hak atas “prosedur hukum yang adil” seperti hak atas peradilan yang jujur dan fair, praduga tidak bersalah, dan hak untuk diwakili secara hukum). Hak-hak ini diatur dalam pasal 1 sampai pasal 18 DUHAM, dan diatur lebih lanjut dalam ICCPR). Hak-hak politik termasuk kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, dan hak untuk memberikan suara dalam pemilu yang bebas dan rahasia. Hak-hak ini diatur dalam Pasal 19 sampai pasal 21 DUHAM dan pasal 18, 19, 21, 22 dan 25 ICCPR. Apabila dicermati, ICCPR memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat negara; sehingga hak-hak yang diatur dan dijamin di dalamnya sering juga disebut sebagai hak-hak negatif. Artinya bahwa untuk menjamin terlaksana dan dipenuinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diatur di dalamnya, maka negara dituntut untuk tidak melakukan intervensi apa pun, atau peran negara harus dibatasi sampai ke tingkat minimal. Intervensi atau pembatasan oleh negara terhadap hak-hak yang diatur dalam ICCPR ini
74 |Dikdik Baehaqi Arif
hanya dimungkinkan untuk beberapa hak dan hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat. Berkaitan dengan hal di atas maka dikenal pula pembedaan antara nonderogable rights (hak-hak yang tidak bisa dikurangi pemenuhannya) dan derogable rights (hak-hak yang bisa dikurangi pemenuhannya). Non-derogable rights adalah hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dibaikan, dilanggar atau dikurangi pemenuhannya walaupun dalam keadaan darurat sekali pun. Termasuk dalam hak-hak ini adalah: hak atas hidup (rights to life); hak bebas dari penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi (rights to be free from torture and inhuman treatment); hak tahanan untuk diperlakukan secara manusiawi; hak untuk bebas dari perbudakan dan kerja paksa (rights to be free from slavery); hak atas pengakuan yang sama di hadapan hukum; hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama; hak untuk bebas dari pemidanaan yang berlaku surut. Bila negara melakukan pelanggaran terhadap hak-hak yang termasuk dalam kategori nonderogable ini, negara itu bisa dituduh atau dikecam telah melakukan pelanggaran serius HAM (gross violation of human rights). Derogable rights adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara. Namun pembatasan atau pengurangan tsb hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman atau situasi darurat yang dihadapi dan tidak diterapkan secara diskriminatif. Alasan-alasan untuk pengurangan atau pembatasan tersebut, meliputi: 1) menjaga kemananan atau ketertiban umum; 2) menjaga kesehatan atau moralitas umum; dan 3) menjaga hak dan kebebasan orang lain. Hak-hak yang termasuk dalam kategori ini terdiri atas: 1) hak atas kebebasan berkumpul; 2) hak untuk berserikat; 3) kekebasan untuk berpendapat dan berekspresi; 4) kebebasan berpindah dan memilih domisili; 5) kebebasan bagi warga negara asing. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terkait dengan kesejahteraan material, sosial dan budaya, dan mula-mula diatur dalam pasal 16, 22 sampai pasal 29 DUHAM, dan lebih lanjut diatur dalam ICESCR. Hak-hak yang termasuk dalam kategori hak ekonomi, sosial dan budaya ini, meliputi: hak untuk bekerja termasuk hak atas kondisi kerja yang aman dan sehat, upah yang adil, bayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama, hak atas pemilikan, hak untuk mendirikan dan bergabung dengan serikat pekerja, termasuk hak untuk melakukan pemogokan, hak atas jaminan sosial, hak atas standar hidup yang layak, hak atas pendidikan, pendidikan dasar wajib dan bebas bagi semua, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya dan penikmatan keuntungan kemajuan ilmu pengetahuan. Hak-hak ini sering disebut sebagai “hak-hak positif”, karena tidak seperti dalam hak-hak sipil dan politik, dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini, negara harus berperan atau mengambil langkah-langkah positif untuk
Pendidikan Kewarganegaraan| 75
menjamin terpenuhinya hak-hak ini, seperti tersedianya perumahan, sandang, pangan, lapangan kerja, pendidikan, dsb. Negara justru akan dianggap melakukan pelanggaran terhadap hak-hak ini apabila tidak berperan secara aktif atau menunjukkan peran minus. Dalam beberapa tahun terkahir, hak-hak solidaritas (solidarity rights) diakui keberadaannya, meliputi hak atas perdamaian, hak atas lingkungan, dan hak atas pembangunan. Hak atas pembangunan, khususnya, telah dicantumkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1986. Hak atas pembangunan bisa didefinisikan sebagai “hak setiap orang dan setiap bangsa untuk berpartisipasi, memberikan kontribusi dan memperoleh manfaat dari pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik. Jadi, subjek hak ini adalah individu dan bangsa.
PRINSIP-PRINSIP POKOK HAK ASASI MANUSIA Ada beberapa prinsip pokok yang terkait dengan penghormatan, pemenuhan, pemajuan dan perlindungan HAM. Prinsip-prinsip tersebut adalah: 1. Prinsip universal, bahwa HAM itu berlaku bagi semua orang, apa pun jenis kelaminnya, statusnya, agamanya, suku bangsa atau kebangsaannya; 2. Prinsip tidak dapat dilepaskan (inalienable), siapa pun, dengan alas apa pun, tidak dapat dan tidak boleh mencerabut atau mengambil hak asasi seseorang. Seseorang tetap mempunyai hak asasinya kendati hukum di negaranya tidak mengakui dan menghormati hak asasi orang itu, atau bahkan melanggar hak asasi tersebut. Contohnya, ketika di suatu negara dipraktekkan perbudakan, budak-budak tetap mempunyai hak-hak asasi, kendati hak-haknya itu dilanggar. 3. Prinsip tidak dapat dipisahkan (indivisible), bahwa hak-hak sipil dan politik, maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, serta hak pembangungan, tidak dapat dipisah-pisahkan, baik dalam penerapan, pemenuhan, pemantauan maupun penegakannya. 4. Prinsip saling tergantung (inter-dependent), bahwa disamping tidak dapat dipisahkan, hak-hak asasi itu saling tergantung satu sama lainnya, sehingga pemenuhan hak asasi yang satu akan mempengaruhi pemenuhan hak asasi lainnya. Contohnya, kurang berjalannya hak-hak sipil dan politik, bisa menjuruskan suatu negara ke pemerintahan yang otoriter dan korup; pada gilirannya, pemerintahan yang otoriter dan korup bisa menjerumuskan negara pada ketertinggalan di bidang ekonomi, yang akhirnya bisa bermuara pada kemiskinan (tidak terpenuhinya hak-hak ekonomi). Oleh karena itu, prinsip ini sekaligus mengakhiri perdebatan
76 |Dikdik Baehaqi Arif
mengenai prioritas pemenuhan dan pemajuan HAM, dimana beberapa negara semula berpandangan bahwa suatu kategori HAM tertentu harus mendapatkan prioritas terlebih dahulu dibandingkan dengan kategori HAM lainnya. 5. Prinsip keseimbangan, bahwa (perlu) ada keseimbangan dan keselarasan di antara HAM perorangan dan kolektif di satu pihak dengan tanggung jawab perorangan terhadap individu yang lain, masyarakat dan bangsa di pihak lainnya. Hal ini sesuai dengan kodrat manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial. Keseimbangan dan keselarasan antara kebebasan dan tanggung jawab merupakan faktor penting dalam penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM; 6. Prinsip partikularisme, bahwa kekhususan nasional dan regional serta berbagai latar belakang sejarah, budaya dan agama adalah sesuatu yang penting dan harus terus menjadi pertimbangan. Namun, hal ini tidak serta merta menjadi alasan untuk tidak memajukan dan melindungi HAM, karena “adalah tugas semua negara, apa pun sistem politik, ekonomi dan budayanya, untuk memajukan dan melindungi semua HAM.
SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA Terwujudnya Universal Declaration of Human Rights yang dinyatakan pada tanggal 10 Desember 1948 ditempuh melalui proses yang cukup panjang. Sebelum terwujudnya deklarasi tersebut, terdapat beberapa dokumen yang memperjuangkan penegakan HAM di muka bumi, yaitu sebagai berikut: 1. Piagam Madinah (shahifatul madinah) juga dikenal dengan sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yatsrib (kemudian bernama Madinah) di tahun 622. Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan pertentangan sengit antara Bani 'Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan kewajibankewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas-komunitas pagan Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut ummah. 2. Piagam Magna Charta. Dideklarasikan di Inggris tahun 1215. Magna Charta merupakan cikal bakal (embrio) HAM. Piagam ini membatasi kekuasaan Raja John yang absolut. Dengan piagam ini, raja bisa dimintai
Pendidikan Kewarganegaraan| 77
pertanggungjawabannya di muka hukum dan raja harus bertanggung jawab kepada parlemen. Walaupun demikian, raja tetap berwenang membuat Undang-Undang. 3. Dokumen Bill of Rights. Perkembangan yang lebih konkret tentang HAM terjadi setelah lahirnya piagam ini di Inggris pada tahun 1689. Piagam ini ditandatangani Raja William III. Inti piagam ini menyatakan bahwa “manusia sama di muka hukum” (equality before the law). Paham inilah yang menjadi embrio Negara hukum, demokrasi, dan persamaan. 4. Declaration of Independence. Perkembangan HAM yang lebih modern ditandai dengan lahirnya piagam ini, yakni deklarasi kemerdekaan Amerika dari tangan Inggris tahun 1776. Piagam ini disusun oleh Thomas Jefferson yang bersumber dari ajaran Montesquieu. Deklarasi ini menekankan pentingnya kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan. Dr. Sun Yat Sen menggunakan asas ini di Tiongkok, yang dikenal sebagai min tsu, min chuan, dan min seng. 5. Declaration des Droits de I‟lhomme er du Citoyen. Piagam ini merupakan Piagam Hak Asasi Manusia dan Warga Negara yang dideklarasikan di Prancis, tahun 1789. Piagam ini banyak dipengaruhi oleh Declaration of Independence karena jasa Lafayette, seorang jenderaldari Prancis yang ikut berperang di Amerika pada waktu negeri tersebut membebaskan diri dari penjajah Inggris. Sekembalinya ke Prancis, Lafayette berjuang untuk melahirkan Piagam Hak Asasi Manusia dan Warga Negara di negerinya. Piagam ini merupakan dasar dari rule of law yang melarang penangkapan secara sewenang-wenang. Disamping itu, piagam ini pun menekankan pentingnya asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), kebebasan berekspresi (freedom of expression), dan kebebasan beragama (freedom of religion), serta adanya perlindungan terhadap hak milik (the right of property). 6. UUD 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, ditetapkanlah UUD yang dikenal sebagai UUD 1945. Pada alinea pertama ditegaskan sebagai berikut: “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,…”. 7. The Universal Declaration of Human Rights. Pada Perang Dunia II, Presiden Amerika Serikat, Roosevelt, mendeklarasikan The Four Freedom, antara lain bebas berpendapat dan berekspresi (freedom of speech and expression) serta bebas dari ketakutan (freedom for fear). Deklarasi Roosevelt inilah yang menjadi dasar lahirnya Piagam HAM
78 |Dikdik Baehaqi Arif
PBB, yakni The Universal Declaration of Human Rights. Piagam tersebut dihasilkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada sidangnya tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi tersebut akhirnya diterima secara resmi dalam Sidang Umum PBB. Keberhasilan diterimanya Universal Declaration of Human Rights diikuti oleh keberhasilan diterimanya suatu perjanjian (Convention) mengenai Genocide (1948), tentang Kerja Paksa (1957), tentang Diskriminasi Gender (1951 dan 1962), dan Diskriminasi berdasarkan ras (1965). Pada tahun 1966, secara aklamasi diterima pula suatu perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) dan perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik (Covenant on Civil and Political Rights).
Skema Sejarah Perkembangana HAM Sumber: Halili (2009)
HAK ASASI MANUSIA DALAM UUD 1945 Gagasan Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 UUD 1945 sebelum diubah dengan Perubahan Kedua pada tahun 2000, hanya memuat sedikit ketentuan yang dapat dikaitkan dengan pengertian HAM. Pasalpasal yang biasa dinisbatkan dengan pengertian HAM itu adalah:
Pendidikan Kewarganegaraan| 79
1. Pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi, ‟Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya‟; 2. Pasal 27 Ayat (2) yang berbunyi, „Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan‟; 3. Pasal 28 yang berbunyi, „Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang‟; 4. Pasal 29 Ayat (2) yang berbunyi, „Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu‟; 5. Pasal 30 Ayat (1) yang berbunyi, „Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut sertta dalam usaha pembelaan negara‟; 6. Pasal 31 Ayat (1) yang berbunyi, „Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran‟; 7. Pasal 34 yang berbunyi, „Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar diperlihara oleh negara‟. Namun, menurut Asshiddiqie (2008) jika diperhatikan dengan sungguhsungguh, hanya 1 ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas HAM, yaitu Pasal 29 Ayat (2) yang menyatakan, „Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu‟. Sedangkan ketentuan-ketentuan yang lain, sama sekali bukanlah rumusan tentang HAM, melainkan hanya ketentuan mengenai hak warga negara atau the citizens‟ rights atau biasa juga disebut the citizens‟ constitutional rights. Apa bedanya? Hak konstitusional warga negara hanya berlaku bagi orang yang berstatus sebagai warga negara, sedangkan bagi orang asing tidak dijamin. Satu-satunya yang berlaku bagi tiap-tiap penduduk, tanpa membedakan status kewarganegaraannya adalah Pasal 29 Ayat (2) tersebut. Selain itu, Asshiddiqie (2008) juga menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 28 dapat dikatakan memang terkait dengan ide HAM. Akan tetapi, Pasal 28 UUD 1945 belum memberikan jaminan konstitusional secara langsung dan tegas mengenai adanya „kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan‟ bagi setiap orang, Pasal 28 hanya menentukan bahwa hal ikhwal mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan itu masih akan diatur lebih lanjut dan jaminan mengenai hal itu masih akan ditetapkan dengan undang-undang.
80 |Dikdik Baehaqi Arif
Sementara itu, lima ketentuan lainnya, yaitu Pasal 27 Ayat (1) dan (2), Pasal 30 Ayat (1), Pasal 31 Ayat (1), dan Pasal 34, semuanya berkenaan dengan hak konstitusional warga negara Republik Indonesia, yang tidak berlaku bagi warga negara asing. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa yang sungguhsungguh berkaitan dengan ketentuan HAM hanya satu saja, yaitu Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945.
Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 Pasca Perubahan Dewasa ini, setelah dilakukannya Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, ketentuan mengenai HAM dan hak-hak warga negara dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Materi yang semula hanya berisi 7 butir ketentuan yang juga tidak seluruhnya dapat disebut sebagai jaminan konstitusional HAM, sekarang telah bertambah secara signifikan. Ketentuan baru yang diadopsikan ke dalam UUD 1945 setelah Perubahan Kedua pada tahun 2000 termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, ditambah beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di beberapa pasal. Karena itu, menurut Asshiddiqie (2008) perumusan tentang HAM dalam konstitusi Republik Indonesia dapat dikatakan sangat lengkap dan menjadikan UUD 1945 sebagai salah satu undang-undang dasar yang paling lengkap memuat ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Pasal-pasal tentang HAM, terutama yang termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, pada pokoknya berasal dari rumusan TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian isinya menjadi materi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, untuk memahami konsepsi tentang hak-hak asasi manusia itu secara lengkap dan historis, ketiga instrumen hukum UUD 1945, TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut dapat dilihat dalam satu kontinum. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketentuanketentuan tentang hak-hak asasi manusia yang telah diadopsikan ke dalam sistem hukum dan konstitusi Indonesia itu berasal dari berbagai konvensi internasional dan deklarasi universal tentang HAM serta berbagai instrumen hukum internasional lainnya. Setelah Perubahan Kedua pada tahun 2000, keseluruhan materi ketentuan hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945, yang apabila digabung dengan berbagai ketentuan yang terdapat dalam undang-undang yang berkenaan dengan HAM, dapat kita kelompokkan dalam empat kelompok yang berisi 37 butir ketentuan (Asshiddiqie, 2008). Diantara keempat kelompok HAM tersebut, terdapat HAM
Pendidikan Kewarganegaraan| 81
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau non-derogable rights, yaitu: 1. Hak untuk hidup; 2. Hak untuk tidak disiksa; 3. Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani; 4. Hak beragama; 5. Hak untuk tidak diperbudak; 6. Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; dan 7. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Sedangkan keempat kelompok hak asasi manusia terdiri atas; kelompok pertama adalah kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yang meliputi: 1. Setiap orang berhak kehidupannya;
untuk
hidup,
mempertahankan
hidup
dan
2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan; 3. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan; 4. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; 5. Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani; 6. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; 7. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan; 8. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut; 9. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah; 10. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan; 11. Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya; 12. Setiap orang berhak memperoleh suaka politik;
82 |Dikdik Baehaqi Arif
13. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut. Kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang meliputi: 1. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapatnya secara damai dengan lisan dan tulisan; 2. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat; 3. Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik; 4. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan; 5. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan; 6. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi; 7. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat; 8. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi; 9. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran; 10. Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia; 11. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa-bangsa; 12. Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional; 13. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu. Ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yang meliputi:
Pendidikan Kewarganegaraan| 83
1. Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama; 2. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional; 3. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan uang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum; 4. Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya; 5. Setiap warga negara berhak untuk berperan-serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam; 6. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat; 7. Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi. Keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggung jawab negara dan kewajiban asasi manusia yang meliputi: 1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, dan kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis; 3. Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia; 4. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur dengan undangundang.
84 |Dikdik Baehaqi Arif
Hak-hak tersebut di atas ada yang termasuk kategori HAM yang berlaku bagi semua orang yang tinggal dan berada dalam wilayah hukum Republik Indonesia, dan ada pula yang merupakan hak warga negara yang berlaku hanya bagi warga negara Republik Indonesia. Hak-hak dan kebebasan tersebut ada yang tercantum dalam UUD 1945 dan ada pula yang tercantum hanya dalam undangundang tetapi memiliki kualitas yang sama pentingnya secara konstitusional sehingga dapat disebut memiliki “constitutional importance” yang sama dengan yang disebut eksplisit dalam UUD 1945. Sesuai dengan prinsip “kontrak sosial” (social contract), maka setiap hak yang terkait dengan warga negara dengan sendiri bertimbal-balik dengan kewajiban negara untuk memenuhinya. Demikian pula dengan kewenangan-kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh negara melalui organ-organnya juga bertimbal-balik dengan kewajiban-kewajiban konstitusional yang wajib ditaati dan dipenuhi oleh setiap warga negara.
Pendidikan Kewarganegaraan| 85
Bab 7 Sistem Pemerintahan dan Otonomi Daerah
Lingkup kajian Bab ini membahas dua kajian. Pertama, sistem pemerintahan yang meliputi karateristik sistem pemerintahan, sistem pemerintahan parlementer dan presidensial, dan sistem pemerintahan di Indonesia. Kedua, otonomi daerah yang meliputi pengertian otonomi daerah, pembagian urusan pemerintahan, dan hak dan kewajiban daerah dalam otonomi daerah.
Tujuan Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk: Menjelaskan karateristik sistem pemerintahan dan otonomi daerah Mengidentifikasi sistem pemerintahan parlementer dan presidensial dan pembagian urusan pemerintahan dalam otonomi daerah Mendeskripsikan sistem pemerintahan di Indonesia Menganalisis hak dan kewajiban daerah dalam otonomi daerah
Istilah kunci Sistem pemerintahan, parlementer, presidensial, otonomi daerah, pemerintahan daerah, desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan
KARAKTERISTIK SISTEM PEMERINTAHAN Sistem pemerintahan pada hakekatnya adalah relasi kekuasaan antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Menurut Asshiddiqie (2006:108) apabila disederhanakan, sistem pemerintahan yang dikenal di dunia dewasa ini dapat dirumuskan dalam empat model, yaitu model Inggris, Amerika Serikat, Perancis, dan Swiss. Amerika Serikat menganut sistem presidensiil. Hampir semua negara dibenua Amerika, kecuali beberapa seperti Kanada, meniru Amerika Serikat dalam hal ini. Di benua Eropa dan kebanyakan negara Asia pada umumnya menggunakan model Inggris, yaitu sistem parlementer. Tetapi, Perancis memiliki model tersendiri yang bersifat campuran atau yang biasa disebut dengan “hybrid system”. Pada umumnya negara-negara bekas jajahan Perancis di Afrika menganut sistem campuran itu. Di satu segi ada pembedaan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, tetapi Kepala Negaranya adalah Presiden yang dipilih dan bertanggungjawab kepada rakyat secara langsung seperti dalam sistem presidensiil. Sedangkan Kepala Pemerintahan di satu segi bertanggungjawab kepada Presiden, tetapi di segi lain, ia diangkat karena kedudukannya sebagai
86 |Dikdik Baehaqi Arif
pemenang pemilu yang menduduki kursi parlemen, dan karena itu ia juga bertanggungjawab kepada parlemen. Selain ketiga model itu, yang agak khas adalah Swiss yang juga mempunyai Presiden dan Wakil Presiden. Tetapi mereka itu dipilih dari dan oleh tujuh orang anggota Dewan Federal untuk masa jabatan secara bergantian setiap tahun. Sebenarnya ke-tujuh orang anggota Dewan Federal itulah yang secara bersama-sama memimpin negara dan pemerintahan Swiss. Karena itu, sistem pemerintahan Swiss ini biasa disebut sebagai “collegial system” yang sangat berbeda dari tradisi presidentialisme atau parlementarisme di mana-mana.
SISTEM PEMERINTAHAN PARLEMENTER DAN PRESIDENSIAL Tentang sistem pemerintahan parlementer, Mahfud MD (2000:74) menulis ada empat ciri parlementarisme. Pertama, kepala negara tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan karena lebih bersifat simbol nasional (pemersatu bangsa). Kedua, pemerintahan diselenggarakan sebuah kabinet yang dipimpin seorang perdana menteri. Ketiga, kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan kabinet dapat dijatuhkan parlemen melalui mosi. Keempat, kedudukan eksekutif (kabinet) lebih rendah daripada parlemen, karena itu kabinet bergantung pada parlemen. Sedangkan terkait dengan sistem presidensial dapat dikemukakan bahwa ide utama sistem presidensial pada dasarnya adalah meletakan presiden sebagai poros kekuasaan pemerintahan, tetapi penerapannya tetap dalam kendali rakyat dalam kerangka demokrasi (Yuda AR, 2010:15). Basis legitimasi presiden bersumber dari rakyat, bukan parlemen, seperti halnya sistem parlementer. Karena itu, sistem pemerintahan presidensial ditandai dengan penerapan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan masa jabatan yang tetap (fixed term). Implikasinya adalah presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga parlemen, seperti halnya sistem parlementer, melainkan langsung bertanggung jawab kepada rakyat. Disamping itu, presiden tidak mudah dijatuhkan parlemen (legislative). Begitu pun halnya dengan institusi parlemen, ia bersifat tetap dan tidak dapat dibubarkan oleh presiden. Kedua lembaga itu (eksekutif dan legislatif) tidak dapat saling menjatuhkan. Konsekuensinya, proses pemakzulan presiden dan wakil presiden dari jabatannya hanya bias dilakukan melalui proses peradilan (proses hukum), dan bukan proses politik. Beberapa ahli merumuskan karakteristik sistem pemerintahan presidensial sebagaimana diuraikan dalam tulisan Hanta Yuda AR (2010, 13-16) sebagai berikut. Sartori mengemukakan tiga ciri utama sistem pemerintahan presidensial, pertama, kepala pemerintahan (presiden) dipilih secara langsung oleh rakyat
Pendidikan Kewarganegaraan| 87
untuk masa jabatan tertentu. Kedua, dalam masa jabatannya presiden tidak dapat dijatuhkan parlemen, ketiga, presiden memimpin secara langsung pemerintahan yang dibentuknya. Sedangkan Verney mengajukan tiga karakteristik lain, pertama, kekuasaan eksektutif bersifat tidak terbagi (sole executive) – jabatan kepala negara (head of the state) sekaligus kepala pemerintahan (head of government). Kedua, tidak ada peleburan antara eksekutif dan legislatif, sehingga majelis tidak berubah menjadi parlemen dan presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa majelis. Ketiga, presiden (eksekutif) bertanggung jawab kepada konstitusi dan secara langsung kepada pemilih (rakyat). Ball dan Petters juga merumuskan empat karakteristik presidensialisme yang sejalan dengan alur logika di atas, pertama, posisi presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Kedua, presiden tidak dipilih parlemen, melainkan dipilih langsung oleh rakyat, ketiga, presiden bukan bagian dari lembaga parlemen; presiden tidak dapat diberhentikan parlemen, kecuali melalui mekanisme pemakzulan (impeachment). Keempat, presiden tidak dapat membubarkan parlemen. Heywood merumuskan beberapa karakteristik sistem presidensial, yaitu pertama, Kepala negara dan kepala pemerintahan dijabat seorang presiden. kedua, Kekuasaan eksekutif berada di tangan presiden sedangkan cabinet yang terdiri atas menteri-menteri adalah pembantu presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. Dan ketiga, terdapat pemisahan personel yang ada di parlemen dan di pemerintah. Menurut Mainwaring, sistem presidensial paling tidak memiliki dua ciri, pertama, pemilihan kepala pemerintahan (presiden) diselenggarakan secara terpisah dengan pemilihan anggota parlemen. Karena itu, hasil pemilu legislative tidak menentukan kekuasaan pemerintah (eksekutif) secara langsung. Kedua, kepala pemerintahan dipilih untuk memerintah dengan periode waktu yang tetap (fixed term). Sedangkan menurut Arend Lijphart terdapat tiga karakteristik sistem presidensial, yaitu pertama, eksektutif dijalankan oleh satu orang (presiden). Kedua, eksektufi dipilih langsung oleh rakyat. Ketiga, masa jabatan presiden bersifat tetap dan tidak dapat diberhentikan berdasarkan pemungutan suara di parlemen. Sementara itu, Asshiddiqie (1996, 204-206) juga merumuskan beberapa ciri penting presidensialisme, pertama, masa jabatan presiden dan wakil presiden telah ditentukan dengan pasti, misalnya 4 tahun, 5 tahun, 6 tahun, 7 tahun, sehingga presiden dan juga wakil presiden tidak dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya karena alasan politik. Di beberapa negara periode masa jabatan ini biasanya dibatasi dengan jelas, hanya satu kali masa jabatan atau dua kali masa jabatan berturut-turut.
88 |Dikdik Baehaqi Arif
Kedua, presiden dan wakil presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga politik tertentu yang biasa dikenal sebagai parlemen, melainkan langsung bertanggung jawab kepada rakyat. Presiden dan wakil presiden hanya dapat diberhentikan dari jabatannya karena alasan pelanggaran hukum yang biasanya dibatasi pada kasus-kasus tindak pidana tertentu yang bila dibiarkan tanpa pertanggungjawaban dapat menimbulkan masalah hukum yang serius, seperti misalnya pengkhianatan kepada negara dan pelanggaran yang nyata terhadap konstitusi. Ketiga, presiden dan wakil presiden dipilih rakyat secara langsung ataupun melalui mekanisme perantara tertentu yang tidak bersifat perwakilan permanen sebagaimana hakikat lembaga permanen. Keempat, dalam hubungannya dengan lembaga parlemen, presiden tidak tunduk kepada parlemen dan tidak dapat membubarkan parlemen. Sebaliknya parlemen juga tidak dapat menjatuhkan presiden dan membubarkan kabinet sebagaimana dalam praktik sistem parlementer. Kelima, dalam sistem presidensial tidak dikenal pembedaan antara fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan. Sementara dalam sistem parlementer, pembedaan dan bahkan pemisahan kedua jabatan, kepala negara dan kepala pemerintahan, merupakan suatu kelaziman dan keniscayaan. Keenam, tanggung jawab pemerintah berada di pundak presiden. Karena itu, presiden yang berwenang membentuk pemerintahan, menyusun kabinet, mengangkat dan memberhentikan para menteri serta pejabat-pejabat publik yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan berdasarkan political appointment.
SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA Perjalanan institusionalisasi sistem pemerintahan presidensial di Indonesia dimulai sejak diberlakukannya UUD 1945 sebagai konstitusi negara pada 18 Agustus 1945. Artinya, secara resmi sistem pemerintahan presidensial dilembagakan melalui konstitusi. Tentang perjalanan sistem pemerintahan di Indonesia ini, Hanta Yuda (2010:82) membaginya ke dalam tiga periode, yaitu 1) Orde Lama: Percobaan Presidensialisme; 2) Orde Baru: Presidensialisme tanpa checks and balances; dan 3) Periode Reformasi: Menuju Purifikasi Presidensialisme. Sistem presidensialisme pada awal kemerdekaan yang diterapkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta berlangsung cukup singkat, tidak lebih dari 3 bulan. Sistem pemerintahan dalam masa transisi dari pemerintahan kolonial itu sebetulnya belum mantap, karena Indonesia masih dalam rangka mencari bentuk. Sistem pemerintahan Indonesia saat itu dapat
Pendidikan Kewarganegaraan| 89
disebut sebagai sistem pemerintahan semipresidensial atau cikal bakal menuju purifikasi sistem presidensial. Pada awal kemerdekaan, dinamika perjalanan pemerintahan Indonesia lebih diwarnai oleh sistem parlementer. Terlebih sejak dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X. Kedudukan Presiden Soekarno sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan berubah fungsi hanya sebagai kepala negara, sedang kepala pemerintahan dipegang oleh seorang perdana menteri. Dengan demikian, maka telah terjadi perubahan fundamental dalam konstruksi politik ketatanegaraan Indonesia, yaitu perubahan dari sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem parlementer. Pelembagaan sistem parlementer dimulai sejak terbentuknya kabinet parlementer pertama, yaitu Kabinet Syahrir I pada tanggal 14 Desember 1945. Perubahan itu diusulkan oleh Badan Pekerja KNIP. Setelah Kabinet Syahrir, lalu silih berganti kabinet parlementer itu dipimpin perdana menteri. Sistem parlementer juga diterapkan pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebagai negara federal, RIS menerapkan sistem pemerintahan dan sistem kabinet parlementer. Begitu pun halnya pada masa diberlakukannya UUDS 1950, sistem pemerintahan yang diterapkan masih bercorak parlementer. DPR pada masa itu dapat memaksa menteri untuk melepaskan jabatannya di kabinet, dan sebagai imbangannya, presiden dapat membubarkan DPR (Hanta Yuda, 2010:85). Pada masa Orde Baru, terdapat dua ciri institusionalisasi sistem presidensial dalam UUD 1945. Pertama, kedudukan presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Kedua, kekuasaan dan hak prerogatif presiden untuk mengangkat dan memberhentikan anggota kabinet. Namun demikian, corak pemerintahan masa Orde Baru menurut Hanta Yuda (2010:86) dikatakan sebagai sistem semipresidensial dengan beberapa kepincangan. Kepincangan dalam sistem pemerintahan semipresidensial pada masa Orde Baru adalah (Hanta Yuda, 2010:86-87): 1. Sistem presidensial yang diterapkan tanpa mekanisme checks and balances antara presiden dan parlemen. Presiden menjalankan kekuasannya tanpa dikontrol parlemen. Parlemen hanya menjadi stempel pemerintah dan menjadi alat legitimasi kekuasaan yang sepenuhnya berada di tangan presiden. 2. Masa jabatan presiden bersifat tidak tetap dan tanpa pembatasan. 3. Fungsi wakil presiden yang sangat inferior di hadapan presiden, padahal dalam sistem presidensial posisi wakil presiden cukup kuat, karena jabatan presiden dan wakil presiden merupakan institusi tunggal.
90 |Dikdik Baehaqi Arif
Pada masa reformasi, proses pemurnian sistem presidensial mulai muncul pada masa pemerintahan BJ Habibie yang berlanjut pada masa pemrintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Bahkan pada masa kedua presiden itulah pengokohan sistem presidensial didesain dalam konstitusi melalui amandemen UUD 1945. Pengokohan sistem presidensial pada masa reformasi ditandai oleh dua hal. Pertama, penguatan fungsi checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif. Kedua, adanya pembatasan masa jabatan presiden, sebagaimana termuat dalam rumusan pasal 7 UUD 1945 “Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Secara rinci, hasil pemurnian (purifikasi) sistem presidensial pada masa reformasi dapat dibaca pada tabel berikut. Tabel Purifikasi Presidensialisme melalui Amandemen Konstitusi No 1
Aspek Konstitusi Masa Jabatan Presiden
Sebelum Amandemen Presiden dapat dipilih lagi setiap lima tahun (tidak ada pembatasan jabatan). Selain itu, jabatan presiden tidak pasti, mudah diberhentikan di masa jabatannya.
2
Relasi presiden dan parlemen
Lembaga eksekutif (presiden) lebih dominan daripada parlemen dan fungsi checks and balances sangat rendah (executive heavy)
3
Sistem pemilihan presiden Mekanisme pencalonan presiden
Sistem pemilihan tidak langsung, dipilih oleh MPR
4
5
Prosedur impeachment
Presiden dan wakil presiden dicalonkan dan dipilih tidak dalam satu paket. Setelah presiden terpilih, baru diadakan pemilihan wakil presiden oleh MPR Impeachment lebih bersifat politis ketimbang alasan hukum. Prosesnya relatif lebih mudah dengan mencapai suara mayoritas untuk menolak pidato pertanggungjawaban
Setelah Amandemen Presiden dipilih dalam lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali selama satu masa jabatan, jadi terbatas selama dua kali lima tahun. Jabatan presiden lebih bersifat pasti (fixed term), tidak mudah diberhentikan Kekuasaan eksekutif sudah berbagai dengan parlemen (DPR dan DPD). Adanya kemandirian dan fungsi checks and balances antara presiden dan parlemen Sistem pemilihan langsung, dipilih oleh rakyat Presiden dan wakil presiden dicalonkan dan dipilih dalam satu paket
Impeachment hanya dapat dilakukan karena alasan hukum. Hal ini diatur secara jelas dalam konstitusi. Presiden bisa dimakzulkan apabila terbukti telah
Pendidikan Kewarganegaraan| 91
No
Aspek Konstitusi
Sebelum Amandemen
Setelah Amandemen
presiden, maka presiden dapat dimakzulkan
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Selain itu persyaratannya lebih sulit, karena mensyaratkan pengambilan keputusan di DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR
Sumber: Hanta Yuda (2010:98-99)
OTONOMI DAERAH Pengertian Otonomi Daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah (Pasal 18 UUD 1945). Pemerintahan daerah sendiri adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tujuan penyelenggaraan otonomi seluas-luasnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Dalam rumusan normatif undang-undang tentang pemerintahan daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Siapakah pemerintahan daerah itu? Pemerintahan daerah adalah: 1) pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi (kepala daerah dan perangkat daerah) dan DPRD provinsi; dan 2) pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota (kepala daerah dan perangkat daerah) dan DPRD kabupaten/kota.
92 |Dikdik Baehaqi Arif
Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah Dalam konteks negara kesatuan, hubungan kewenangan antara pusat dan daerah di Indonesia mendasarkan diri pada tiga pola, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind (tugas pembantuan) (Noer Fauzi dan R.Yando Zakaria, 2000:11). Pertama, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan. Menurut Bagir Manan (2001:174), desentralisasi mengandung segi positif dalam penyelenggaraan pemerintahan baik dari sudut politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan, karena dilihat dari fungsi pemerintahan, desentralisasi menunjukkan: 1. Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat; 2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas lebih efektif dan lebih efisien; 3. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif; 4. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif. Hal-hal yang diatur dan diurus oleh pemerintah daerah ialah tugas-tugas atau urusan-urusan tertentu yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerahdaerah untuk diselenggarakan sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa dan kemampuannya daerah (Josep Riwu Kaho, 1991:14). Jadi desentralisasi adalah penyerahan wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/lembaga/pejabat bawahannya sehingga yang diserahi atau dilimpahi wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tersebut (Noer Fauzi dan R.Yando Zakaria, 11). Ada dua jenis desentralisasi, yaitu desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonom) dan batas pengaturan termaksud adalah daerah; sedangkan desentralisasi fungsional adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu dan batas pengaturan termaksud adalah jenis fungsi itu sendiri, misalnya soal Pendidikan dan kebudayaan, pertanahan, kesehatan, dan lain-lain. (Noer Fauzi dan R.Yando Zakaria, 2000:11) Kedua, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan kepada daerah otonom sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan, dan lembaga yang melimpahkan
Pendidikan Kewarganegaraan| 93
kewenangan dapat memberikan perintah kepada pejabat yang telah dilimpahi kewenangan itu mengenai pengambilan atau pembuatan keputusan. Sebab terjadinya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat atau aparatnya untuk melaksanakan wewenang tertentu dilakukan dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintah pusat di daerah, sebab pejabat-pejabat atau aparatnya merupakan wakil pemerintah pusat di daerah yang bersangkutan. (Noer Fauzi dan R.Yando Zakaria, 2000:11) Ketiga, tugas pembantuan (medebewind) adalah keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah yang kewenangannya lebih luas dan lebih tinggi di daerah tersebut. Tugas pembantuan adalah salah satu wujud dekonsentrasi, akan tetapi pemerintah tidak membentuk badan sendiri untuk itu, yang tersusun secara vertikal. Jadi medebewind merupakan kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ruang lingkup wewenangnya bercirikan tiga hal yaitu : 1. Materi yang dilaksanakan tidak termasuk rumah tangga daerah-daerah otonom untuk melaksanakannya. 2. Dalam menyelenggarakan pelaksanaan itu, daerah otonom itu mempunyai kelonggaran untuk menyesuaikan segala sesuatu dengan kekhususan daerahnya sepanjang peraturan mengharuskannya memberi kemungkinan untuk itu. 3. Yang dapat diserahi urusan medebewind hanya daerah-daerah otonom saja, tidak mungkin alat-alat pemerintahan lain yang tersusun secara vertikal.
Pembagian Urusan Pemerintahan Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah pusat meliputi: politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: 1. perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. penyediaan sarana dan prasarana umum;
94 |Dikdik Baehaqi Arif
5. penanganan bidang kesehatan; 6. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; 7. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; 8. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; 9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; 10. pengendalian lingkungan hidup; 11. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; 12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13. pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; 15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan 16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Sedangkan urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Sementara itu, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: 1. perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. penyediaan sarana dan prasarana umum; 5. penanganan bidang kesehatan; 6. penyelenggaraan pendidikan; 7. penanggulangan masalah sosial; 8. pelayanan bidang ketenagakerjaan; 9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
Pendidikan Kewarganegaraan| 95
10. pengendalian lingkungan hidup; 11. pelayanan pertanahan; 12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13. pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14. pelayanan administrasi penanaman modal; 15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan 16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Hak dan Kewajiban Daerah dalam Otonomi Daerah Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah, baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota mempunyai hak sebagai berikut: 1. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; 2. memilih pimpinan daerah; 3. mengelola aparatur daerah; 4. mengelola kekayaan daerah; 5. memungut pajak daerah dan retribusi daerah; 6. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah; 7. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan 8. mendapatkan hak perundangundangan.
lainnya
yang
diatur
dalam
Peraturan
Sedangkan kewajiban daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah sebagai berikut: 1. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. meningkatkan kualitas kehidupan, masyarakat; 3. mengembangkan kehidupan demokrasi;
96 |Dikdik Baehaqi Arif
4. mewujudkan keadilan dan pemerataan; 5. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; 6. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan; 7. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak; 8. mengembangkan sistem jaminan sosial; 9. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; 10. mengembangkan sumber daya produktif di daerah; 11. melestarikan lingkungan hidup; 12. mengelola administrasi kependudukan; 13. melestarikan nilai sosial budaya; 14. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan 15. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hak dan kewajiban daerah di atas diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan perundang-undangan.
Pendidikan Kewarganegaraan| 97
Bab 8 Wawasan Nusantara
Lingkup kajian Bab ini membahas Konsep Geopolitik dan Wawasan Nusantara sebagai Geopolitik Indonesia.
Tujuan Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk: Menjelaskan pengertian geopolitik Mendeskripsikan sejarah lahirnya konsep geopolitik di dunia Menjelaskan konsep dasar wawasan nusantara Menganalisis wawasan nusantara sebagai wawasan nasional Indonesia Mengidentifikasi landasan wawasan nusantara
Istilah kunci Geopolitik, wawasan nasional, wawasan nusantara, rasa kebangsaan, paham kebangsaan, dan semangat kebangsaan.
KONSEP GEOPOLITIK Pengertian Geopolitik Istilah geopolitik berasal dari dua pengertian, yaitu geo yang berarti bumi, dan politik, yang berarti kekuatan yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan dasar dalam menentukan alternatif kebijaksanaan nasional untuk mewujudkan tujuan nasional. Dengan demikian, geopolitik dapat diartikan sebagai sebuah kebijakan politik suatu negara yang memanfaatkan geografi sebagai basis penguasaan ruang hidup demi terjaminnya kelangsungan hidup dan pengembangan kehidupan negara yang bersangkutan. Mengapa geografi? Geografi adalah ruang hidup, ruang hidup adalah sumber daya, sumber daya adalah energi dan ekonomi, energi dan ekonomi adalah kekuasaan (power). Oleh karena itu, geografi, teritori dan ruang hidup dengan segala isinya harus dikuasai bila perlu dengan menggunakan senjata. Dengan demikian, geopolitik merupakan pengembangan dari geografi politik (dalam arti pendistribusian kekuasaan, kewenangan dan tanggung jawab) dengan berdasarkan pada konstelasi geografi untuk menyelenggarakan kepentingan nasional. Konsep geopolitik tumbuh karena adanya kesadaran akan kebutuhan ruang hidup manusia, masyarakat dan bangsa. Kesadaran ini terkait secara tidak
98 |Dikdik Baehaqi Arif
langsung dari kebutuhan keamanan bagi diri manusia, lebih-lebih bagi manusia yang telah membangsa. Setelah bangsa menegara, kesadaran ruang menjadi kesadaran kedaulatan, sehingga membuat batas-batas negara (boundary), dengan melalui seperangkat hukum dan aparat penjamin tegaknya tertib hukum dan kedaulatan. Tujuan penentuan garis batas selain untuk integrasi bangsa, juga untuk memperjelas batas pembinaan sumber daya alam untuk keperluan keamanan maupun kesejahteraan. Namun pada bangsa-bangsa yang bersifat heterogen dapat menjadi disintegrasi apabila pemerintah tidak cukup memperhatikan daerahdaerah terpencil yang berada di perbatasan serta sarana transportasi dan komunikasi yang cukup.
Sejarah Lahirnya Konsep Geopolitik di Dunia Secara historis, sebelum abad XIX, pandangan geopolitik terhadap dunia hanya berkisar pada lingkungan negara dan negara tetangga di sekitarnya. Para ahli belum memahami geografi bumi secara menyeluruh. Hal ini terjadi karena pengetahuan manusia tentang bumi belum lengkap, alat transportasi dan komunikasi yang sangat minim terutama kemampuan jelajahnya. Pemahaman tentang geopolitik secara eksplisit sebagai ilmu dalam bentuk teori-teori ilmiah mulai timbul sejak abad XIX seiring dengan kemajuankemajuan dan perubahan besar di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai dengan revolusi industri. Revolusi industri menjadikan pentingnya daerah-daerah baru sebagai sumber bahan baku dan sekaligus tempat pemasaran hasil industri. Istilah Geopolitik untuk pertama sekali diperkenalkan oleh ilmuawan politik Swedia Rudolf Kjellen pada masa hampir bersamaan dengan pada saat Ratzel, sarjana Geografi Jerman mendefinisikan Geografi Politik. Pengertian Geopolitik menurut Kjellen adalah suatu ilmu pengetahuan yang memandang negara sebagai organisme geografis atau sebagai suatu fenomena dalam ruang. Sudut pandang ini mempelajari pengaruh faktor-faktor geografis terhadap negara dan kekuatannya dan berdasar analisis tersebut diajukan tentang kebijakan yang paling efektif untuk menjamin kemana arah perkembangan negara. Analisis ini mengajukan kesimpulan organisme negara harus terlibat dalam suatu pergulatan terus-menerus dalam memperebutkan kehidupan dan ruang. Hanya yang paling kuat dan paling mampu menyesuaikan diri yang bisa berhasil untuk melanjutkan kehidupan dan mengembangkan diri. Wilayah geografis dianggap sebagai salah satu faktor yang paling fundamental dalam menentukan kekuatan negara (Mas‟oed, 2007).
Pendidikan Kewarganegaraan| 99
Pemikiran Kjellen banyak dipengaruhi oleh Ratzel sebagai perintis geografi politik modern, Ratzel memandang negara sebagai organisme yang harus bersaing dengan organisme lain, dan agar bisa berkembang “organisme” itu memerlukan Lebensraum (ruang untuk hidup). Dengan kata lain, Ratzel dengan model biologis itu ingin menunjukkan bahwa setiap negara bersifat unik dalam arti punya kebutuhan yang berbeda-beda tergantung pada kondisi fisik eksistensinya masing-masing, tetapi semua negara itu memerlukan satu syarat fundamental, yaitu ruang hidup bagi penduduknya. Lebensraum, dan sumber daya fisik dan manusiawi yang muncul akibat dari pemilikan ruang-hidup itu, dalam pandangan Ratzel merupakan faktor penentu bagi keberhasilan negara-negara dinamik yang berpotensi menjadi negara adidaya. Untuk memperoleh ruang hidup itu perlu dilakukan perluasan wilayah, walaupun itu bisa menimbulkan perang. Berdasar pada landasan berpikir seperti itulah Ratzel mengembangkan bidang studi geografi politik yang meliputi studi tentang hubungan antarnegara dan implikasi dari hubungan ini bagi arena internasional secara keseluruhan (Mas‟oed, 2007). Kemudian Sir Halford Mackinder (1861-1947), Guru Besar Geografi di Universitas London, memberikan pandangan dalam teori geopolitiknya yaitu bahwa benteng yang paling kuat di dunia terletak di wilayah Asia. Perkembangan sejarah dunia pada dasarnya diwarnai oleh konflik antara kekuatan darat dan kekuatan lautan. Pusat kekuatan darat paling penting di dunia, benteng paling kuat di dunia terletak di wilayah jantung Asia. Inti pokok teori Mackinder ini terkenal dengan sebutan “Barang siapa yang mampu menguasai Eropa Timur akan dapat menguasai wilayah jantung, barang siapa menguasai wilayah jantung akan dapat menguasai pulau dunia dan barang siapa yang dapat menguasai pulau dunia selanjutnya akan dapat menguasai dunia seluruhnya (Mas‟oed, 2007). Berdasarkan teori Mackinder ini, maka harus dihindarkan penyatuan Jerman dengan Rusia sebagai sekutu sebab kedua negara secara bersama akan dapat menjadi kekuatan yang sangat besar yang dapat membahayakan dunia. Menurut Mackinder, sejarah dunia selalu ditentukan oleh bangsa-bangsa yang mendiami wilayah jantung ini. Bangsa-bangsa ini selalu bergolak, bergerak dan menyerbu daerah-daerah pantai baik di Eropa maupun di Asia (abad IV, bangsa Hummer menyerbu Eropa, abad VIII bangsa Turki/Ottoman dan Arab menyerbu Eropa, abad XI II bangsa Tartar/Gengis Khan menyerbu Eropa Timur. Teori Mackinder tidak diterima oleh oleh Nicholas J. Spykrnan (18931943), seorang sarjana geopolitik yang terkemuka di Amerika Serikat. Ia menyatakan bahwa dalam waktu dekat, tidak mungkin daerah jantung itu menjadi pusat kekuasaan dunia disebabkan faktor-faktor iklim, pertanian, distribusi, sumber-sumber batu bara, besi minyak dan tenaga air serta perintang-perintang
100 |Dikdik Baehaqi Arif
geografis lainnya di utara, timur, selatan dan barat daya. Posisi dan arti daerahdaerah Uni Sovyet di Asia Tengah akan berkurang apabila Cina dan India menjadi negara industri. Rimland dari Eurasia adalah lebih tinggi nilainya daripada heartland. Rimland ini meliputi Eropa (kecuali Rusia), Asia Kecil, Arabia, Irak, Iran, Afganistan, India, Asia Tenggara, Cina, Korea dan Siberia Timur. Wilayah ini merupakan buffer zone antara kekuatan darat dan laut. Lebih jauh Spyikman menjelaskan geopolitik memberikan suatu gambaran yang berhubungan dengan suatu kerangka petunjuk tertentu dalam suatu masa tertentu. Suatu wilayah dipandang dari sudut geopolitik ditentukan olah faktor-faktor geografinya dan oleh perubahan-perubahan dinamis dari pusat-pusat kekuasaan dunia. Jadi analisaanalisa geopolitik sifatnya dinamis dan tidak statis. Karl Haushofer (1869-1946), seorang sarjana Geografi dan pernah menjadi direktur Institut Geopolitik di Munich pada pokoknya mengikuti dan mengembangkan pendapat dari Ratzel seniornya. Salah satu Pandangan Haushofer dan teorinya adalah Teori Lebensraum. Teori ini didasarkan atas anggapan bahwa banga-bangsa yang telah berkembang dengan cepat memiliki sifat-sifat yang lebih sempurna, oleh karena itu bangsa-bangsa tersebut harus diberi kesempatan berkembang dalam arti memperluas daerahnya. (Disebutkan bangsa Aria/Jerman sebagai bangsa yang sempurna berhak untuk menguasai lebensraum di Eropa dan Afrika dan bangsa Jepang sebagai bangsa sempurna berhak menguasai lebensraum-nya di Asia) (Ermaya Suradinata, 2001). Berbagai teori Geopolitik lainnya seperti Sir Walter Raleigh (1553-1613), mantan Perdana Menteri Inggris, mengemukakan supremasi di lautan sebagai dasar dari kekuasaan. Inti konsepnya adalah penguasaan lautan, yaitu dengan membangun angkatan laut yang kuat dan modern untuk dapat menjelajahi dan menguasai seluruh laut yang pada akhirnya dapat menguasai dunia. Selanjutnya, Alfred Thayer Mahan (1860-1914), Laksamana Laut dan guru besar dalam sejarah maritim dan strategi pada Naval War College di Amerika Serikat, dalam teorinya menjelaskan bagi bangsa yang memiliki pantai, maka laut merupakan perbatasan dan kekuasaan nasionalnya yang ditentukan oleh kemampuannya untuk memperluas perbatasan tersebut. Bahwa penduduk suatu negara yang suka berdagang/berniaga akan mudah berkembang dan memerlukan daerah-daerah jajahan sebagai tempat mengambil bahan-bahan baku, daerah pasaran tempat menjual hasil produksinya dan daerah tempat mengembangkan perkapalan nasional (Ermaya Suradinata, 2001).
Pendidikan Kewarganegaraan| 101
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA Konsep Dasar Wawasan Nusantara Pemerintah dan rakyat memerlukan konsepsi berupa wawasan nasional untuk menyelenggarakan kehidupannya. Wawasan ini dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup, keutuhan wilayah serta jati diri bangsa. Kata wawasan berasal dari kata wawas yang berarti melihat atau memandang. Dengan penambahan akhiran –an kata ini secara harfiah berarti cara penglihatan atau cara tinjau atau cara pandang. Kehidupan suatu bangsa dan negara senantias dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan strategis. Karena itu, wawasan itu harus mampu memberi inspirasi pada suatu bangsa dalam menghadapi berbagai hambatan dan tantangan yang ditimbulkan oleh lingkungan strategis dalam mengejar kejayaannya. Dalam mewujudkan aspirasi dan perjuangan, suatu bangsa perlu memperhatikan 3 (tiga) faktor utama, yaitu: 1. Bumi atau ruang dimana bangsa itu hidup; 2. Jiwa, tekad dan semangat manusia atau masyarakatnya; 3. Lingkungan sekitarnya. Wawasan nasional adalah cara pandang suatu bangsa yang telah menegara tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang serba terhubung (melalui interaksi dan interrelasi) dalam pembangunannya di lingkungan nasional (termasuk lokal dan proposional), regional serta global. Wawasan nasional Indonesia dilandasi oleh falsafah Pancasila dan oleh adanya konsep geopolitik. Karena itu, pembahasan latar belakang filosofis sebagai dasar pemikiran pembinaan dan pengembangan wawasan nasional Indonesia haruslah ditinjau dari latar belakang pemikiran berdasarkan falsafah Pancasila, aspek kewilayahan nusantara, aspek sosial budaya bangsa Indonesia, dan aspek kesejarahan bangsa Indonesia. Wawasan nusantara merupakan penjabaran dari nilai cinta tanah air dengan segala aspek kehidupan di dalamnya yang merupakan satu kesatuan dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan negara. Pancasila sebagai landasan visual dari adanya wawasan nusantara mengandung arti bahwa wawasan nusantara mengajak atau menggugah kesadaran bagi segenap komponen bangsa, para pemimpin bangsa, profesional, para pakar/cendikiawan, ilmuwan dan penyelenggara pemerintahan baik di pusat maupun daerah untuk memandang dalam persepsi yang sama tentang 6 (enam) konsep “Batu Bangun” wawasan nusantara yang meliputi:
102 |Dikdik Baehaqi Arif
1. Konsep persatuan dan kesatuan, mengandung makna segenap komponen
bangsa untuk bersatu padu karena bangsa Indonesia yang heterogen dan majemuk serta hidup di dalam wilayah kepulauan NKRI. 2. Konsep Bhineka Tunggal Ika, mengajak segenap komponen bangsa bahwa
keanekaragaman suku, etnis, agama, spesifikasi daerah adalah realita yang harus di dayagunakan untuk memajukan bangsa dan negara. 3. Konsep kebangsaan, mengajak segenap komponen bangsa untuk memiliki
persepsi yang sama tentang kebangsaan Indonesia, bahwa bangsa Indonesia lahir karena adanya kehendak segenap komponen bangsa yang terdiri dari kelompok-kelompok masyarakat yang heterogen dan majemuk untuk bersatu, memiliki latar belakang sejarah yang sama, mempunyai cita-cita dan tujuan untuk hidup bersama dan hidup dalam wilayah yang sama sebagai satu kesatuan ruang hidup yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. 4. Konsep Negara Kebangsaan, menggugah kesadaran segenap komponen
bangsa untuk memiliki persepsi yang sama tentang konsep negara kebangsaan mengedepankan prinsip satu kesatuan wilayah. 5. Konsep Negara Kepulauan, mengajak segenap komponen bangsa untuk
memiliki persepsi yang sama tentang negara kepulauan, yaitu sebagai kawasan laut yang ditaburi pulau-pulau. Untuk itu wilayah laut harus di pandang sebagai media pemersatu bangsa. 6. Konsep Geopolitik, mengajak seluruh komponen bangsa untuk memiliki
persepsi yang sama tentang konstelasi geografi Indonesia, yang posisi strategis Indoneisa antara dua kawasan besar dunia (Samudra Hindia dan Pasifik) dengan sumber kekayaan alamnya merupakn suatu potensi bila bangsa dan masyrakat Indonesia bisa memanfaatkan dan menjadi kerawanan jika bangsa dan masyarakat Indoensia tidak mampu memanfaatkan dan menjaganya. Kondisi obyektif geografi nusantara yang merupakan untaian ribuan pulau yang tersebar dan terbentang di khatulistiwa serta terletak pada posisi silang yang sangat strategis, memiliki karakteristik yang berbeda dari negara lain. Mengingat keadaan lingkungan alamnya, persatuan bangsa dan kesatuan wilayah negara menjadi tuntunan utama bagi terwujudnya kemakmuran dan keamanan yang berkesinambungan. Atas pertimbangan tersebut, dimaklumatkanlah Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 yang berbunyi: .....berdasarkan pertimbangan-pertimbangan maka pemerintah menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk negara Indonesia dengan tidak memandang Pendidikan Kewarganegaraan| 103
luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan negara Indonesia dan dengan demikian bagian perairan pedalaman atau nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan atau menggangu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas lautan teritorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau negara Indonesia... Deklarsi ini menyatakan bahwa bentuk geografis Indoneisa adalah negara kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil dengan sifat dan corak tersendiri. Deklarasi ini juga menyatakan bahwa demi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan negara yang terkandung di dalamnya, pulau-pulau serta laut yang ada diantaranya dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh. Untuk mengukuhkan asas negara kepulauan ini, ditetapkan UU No.4/Prp/Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Selain itu, melalui Konferensi PBB tentang Hukum Laut Internasional Tahun 1982, pokok-pokok asas negara kepulauan diakui dan dicantumkan dalam UNCLOS (United Nation Convention on The Law of the Sea) 1982 atau Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut. Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985 dan sudah menjadi hukum positif sejak tanggal 16 November 1994. Berlakunya UNCLOS 1982 berpengaruh pada pemanfaatan laut bagi kepentingan kesejahteraan, seperti bertambah luas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan landas kontinen Indonesia. Pada satu sisi, UNCLOS 1982 memberikan keuntungan bagi pembangunan nasional yaitu bertambah luasnya yurisdiksi nasional yang sekaligus berarti bertambahnya kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta terbukanya peluang untuk memanfaatkan laut sebagai sarana transportasi. Namun disisi lain potensi kerawanan akan semakin bertambah. Dengan demikian secara kontekstual, geografi Indonesia memiliki kelemahan dan kelebihan karena itu kondisi dan konstelasi geografi harus bisa dicermati secara utuh dan menyeluruh dalam konsep Geopolitik Indonesia, dimana setiap perumusan kebijaksanaan nasional harus memiliki wawasan kewilayahan atau ruang hidup yang diatur oleh politik ketatanegaraan. Karena itu, wawasan kebangsaan atau wawasan nasional atau wawasan nusantara Indonesia tetap memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi dan geografis Indonesia dan tetap mempertahankan terpeliharanya keutuhan dan kekompakkan wilayah, dihormatinya karakter, ciri serta kemampuan daerah masing-masing.
104 |Dikdik Baehaqi Arif
Konsepsi negara kepulauan yang telah disahkan oleh pemerintanh Indonesia menimbulkan tantangan, ancaman dan gangguan bagi Indonesia. Ada empat negara yang sangat berkepentingan atas wilayah Indonesia antara lain: 1. Negara ASEAN termasuk Australia; 2. Negara dengan armada perikanan besar seperti Jepang; 3. Negara pemilik perusahaan perkapalan (sea liners). 4. Negara adidaya untuk memudahkan manuver armada militernya dalam rangka melaksanakan global strategi geopolitiknya. Sebagai konsekuensi dari diratifikasinya UNCLOS 1982, pemerintah Indonesia membuka alur laut kepulauan sebanyak 3 buah dikenal sebagai Alur Laut Kepulauan (ALKI). ALKI juga berlaku bagi lintasan pesawat terbang, padahal jalar penerbangan Internacional termasuk melintasi Indonesia diatur dalam Internacional Civil Aeronautic Organization (ICAO). ALKI yang lebarnya 80 km (50 mil) dari koridor udara yang dibuat oeh ICAO menjadi tumpang tindih. Apalagi kini Amerika Serikat dan Australia dengan gigih menuntut pembukaan ALKI Timur-Barat yang melintasi Pulau Jawa melalui International Maritim Organization (IMO).
Wawasan Nusantara sebagai Wawasan Nasional Indonesia Sebagai bangsa yang majemuk, bangsa Indonesia harus selalu membina dan membangun kehidupan nasionalnya baik pada aspek politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan dan keamanannya serta selalu mengatasnamakan persatuan dan kesatuan bangsa dan kesatuan wilayahnya. Untuk itu penyelenggaraan dan pembinaan tata kehidupan bangsa dan negara Indonesia disusun atas dasar hubungan timbal balik antara falsafah, cita-cita dan tujuan nasional, serta kondisi sosial budaya dan pengalaman sejarah yang menumbuhkan kesadaran akan kemajemukan dan kebhinnekaan dengan tetp menpertahankan persatuan dan kesatuan nasional. Gagasan untuk menjamin kesatuan dan persatuan Indonesia tercermin dalam suatu konsep yang dikenal dengan istilah wawasan kebangsaan atau wawasan nasional Indonesia atau wawasan nusantara Indonesia. Dengan demikian wawasan nusantara sebagai landasan geopolitik Indonesia adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia untuk mengenali diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dan tetap menghargai serta menghormati kebhinnekaan dalam setiap aspek kehidupan nasional untuk mencapai tujuan nasional.
Pendidikan Kewarganegaraan| 105
Wawasan nusantara merupakan geopolitik bangsa Indonesia karena di dalamnya terkandung ajaran yang bersumber dari Pancasila dan dilandasi dengan UUD 1945. Sedangkan cinta tanah air memiliki pengertian bahwa tanah air adalah ruang wilayah negara baik secara geografis (fisik) maupun non-fisik (tata nilai dan tata kehidupan masyarakat) telah memberikan kehidupan dan penghidupan sejak manusia lahir sampai pada akhir hayatnya. Di dalam wawasan nusantara terkandung konsepsi geopolitik yaitu unsur ruang yang kini berkembang tidak saja secara fisik namun dalam arti semu/maya. Para pendiri negara Repulik Indonesia meletakkan dasar-dasar geopolitik Indonesia melalui ikrar Sumpah Pemuda, yaitu satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Hakikat yang terkandung dalam isi sumpah pemuda adalah keutuhan ruang hidup dan landasan dasar dari kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia memiliki tiga unsur dari geopolitik, yaitu rasa kebangsaan, paham kebangsaan, dan semangat kebangsaan. Rasa kebangsaan adalah dorongan emosional yang lahir dalam perasaan setiap warga negara, baik secara perorangan maupun kelompok tanpa memandang kesukuan, ras, agama dan keturunan. Rasa inilah yang menumbuhkan internalisasi satu masyarakat yang didambakan (imagined society) dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menguatnya rasa kebangsaan secara individual dan kelompok menjadi energi dan pengendapan nilai-nilai kebangsaan yang kemudian melahirkan faham dan semangat kebangsaan. Rasa kebangsaan akan tumbuh subur dan berkembag melalui proses sinergi dari berbagai individu yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kemudian satu sama lain saling menguatkan dan melahirkan ciri atau identitas bangsa. Keyakinan dan pengakuan terhadap ciri atau identitas bangsa merupakan perwujudan dari rasa kebangsaan itu sendiri. Rasa kebangsaan dapat menyatukan tekad menjadi bangsa yang kuat, dihormati dan disegani oleh bangsa lain. Paham kebangsaan merupakan perwujudan tentang apa, bagaimana, dan sikap bangsa dalam menghadapi masa depan. Hasil sinergi dari rasa kebangsaan dan faham kebangsaan adalah semangat kebangsaan yang kemudian dikenal dengan faham nasionalisme. Dengan rasa nasionalisme kuat dan mantap, bangsa akan tetap hidup (survive) di tengah-tengah lingkungan masyarakat Internasional. Penumbuhan rasa kebangsaan dalam kondisi masyarakat bangsa Indonesia yang majemuk yang terlahir dengan kebhinnekaan suku, ras, agama, keturunan dan budaya sebaiknya dilakukan dengan cara-cara yang manusiawi dan bermartabat dalam nuansa yang demokratis melalui pendekatan dialogis. Pendekatan ini bertitik tolak dari kesadaran untuk mengakui, memahami dan menghormati kemajemukan negara-bangsa Indonesia. Langkah seutuhnya
106 |Dikdik Baehaqi Arif
kemudian diejawantahkan melalui semangat silih asah, silih asih dan silih asuh (saling mengingatkan, saling mengasihi dan saling tolong menolong). Wujud dari paham kebangsaan antara lain: 1) Pemahaman dalam diri setiap individu sebagai warga negara Indonesia tentang perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan politik; 2) Pemahaman yang luas pada individu dan masyarakat tentang perwujudan nusantara sebagai satu kesatuan sosial dan budaya; 3) Pemahaman bahwa kepulauan nusantara merupakan satu kesatuan ekonomi; dan 4) Pemahaman bahwa wilayah kepulauan nusantara merupakan satu kesatuan pertahanan dan keamanan. Sedangkan wujud semangat kebangsaan bersifat abstrak karena semangat ini timbul melalui proses sosialisasi, penghayatan, aktualisasi, pembudayaan dan pelestarian. Kecintaan tanah air yang dimanifestasikan dalam keragaman bentuknya adalah penegasan konkrit dari tumbuhnya semangat kebangsaan. Semangat kebangsaan dapat dilihat dari sejauh mana manusia senantiasa mengatasnamakan bangsa dan negara pada setiap tindakan konstruktif profesional yang dilakukannya. Dari gambaran di atas, geopolitik akan berjalan dengan baik jika didukung dengan pemahaman dari wawasan nusantara yang meliputi adanya kesatuan politik, kesatuan ekonomi, kesatuan sosial budaya dan kesatuan pertahanan keamanan. Pertama, kesatuan politik, memiliki peran yang sangat penting untuk menunjukkan bahwa negara merupakan suatu entity (kesatuan) yang utuh sebagai tanah air. Deklarasi Juanda tanggal 13 Desember 1957 yang kemudian ditindaklanjuti dengan Perpu No. 4 Tahun 1960, menjadikan kesatuan geografi menjadi kesatuan politik dan deklarasi Juanda merupakan cerminan dari bangsa Indonesia yang menghendaki wilayah yang utuh sebagai suatu benua. Konvensi Hukum Laut 1982 di Montego Bay merupkan pengukuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelago state). Doktrin nusantara merupakan suatu upaya untuk meniadakan laut bebas di antara pulaupulau Indonesia, melainkan laut menjadi pemersatu wilayah dan bukan pemisah dari suatu wilayah di Indonesia. Doktrin nusantara timbul karena adanya kebutuhan akan rasa aman bagi bangsa dan negara Indonesia. Kedua, kesatuan ekonomi. Kegiatan ekonomi merupakan kegiatan untuk mengelola sumber daya yang ada di negara Indonesia dengan ruang gerak yang bebas yang dilakukan secara demokratis sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Demokratis sendiri megandung arti bahwa partisipasi rakyat dalam menentukan keputusan politik dengan cara memberikan otonomi yang luas dan bertanggungjawab kepada daerah dengan tetap berpegangan pada
Pendidikan Kewarganegaraan| 107
rambu-rambu yang hukum dan kesepakatan bersama. Dengan demikian hasil pengelolaan sumber daya hendaknya dapat di distribusikan secara adil dan merata. Ketiga, kesatuan sosial budaya. Bangsa Indonesia lahir karena adanya kesepakatan bukan karena atas dasar geografi dan agama. Kesepakatan ini lahir melalui tahap sumpah pemuda dan sidang-sidang BPUPKI. Sidang BPUPKI juga disepakati bahwa berdirinya negara kesatuan bukan negara federal, sedangkan sebagai salah satu pengikat adanya satu bahasa yaitu bahasa Indonesia. Aldous Huxley (Suriasumantri) berpendapat bahwa “Tanpa kemampuan ini manusia tak mungkin mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa mempunyai bahasa maka hilang pulalah kemampuan meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi.” Dalam perjalanan sejarahnya, bahasa Indonesia diwarnai dengan masuknya bahasa daerah lainnya yang menimbulkan akulturasi kebudayaan bagi bangsa Indonesia sangat diperlukan. Akulturasi terjadi karena pada dasarnya kebudayaan tidak pernah memiliki wujud abadi, tetapi terus menerus mengikuti perkembangan zaman. Ki Hajar Dewantara (Pranarka, 1984) menegaskan bahwa “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dan budaya asing yang dapat mengembangkan atau memperkaya kebudayaan sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Keempat, kesatuan pertahanan keamanan. Pasal 27 dan Pasal 30 UUD 1945 menggambarkan adanya demokratisasi dalam upaya pembelaan negara. Dari kedua pasal ini jelas bahwa orientasi membela negara dan usaha pertahanan keamanan adalah tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia. Usaha pertahanan keamanan dilakukan melalui sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) yang memiliki pengertian: 1) bahwa orientasi pada rakyat, dan rasa aman hendaknya diciptakan untuk rakyat; 2) melibatkan secara semesta, berarti bahwa setiap warganegara dan fasilitas digunakan untuk pertahanan dan keamanan; dan 3) diselenggarakan di wilayah nusantara secara kewilayahan dan diharapkan setiap unit wilayah dapat mengalang ketahanan nasional.
Landasan Wawasan Nusantara Pertama, Pancasila sebagai landasan idiil wawasan nusantara. Pancasila diakui sebagai ideologi dan dasar negara yang dirumuskan dalam pembukaan
108 |Dikdik Baehaqi Arif
UUD 1945. Pancasila mencerminkan nilai, keseimbangan, keserasian, perstuan dan kesatuan, kekeluargaan, kebersmaan dan kearifan dalam membina kehidupan nasional. Pancasila sebagai falsafah, ideologi bangsa dan dasar negara mempunyai kekutan hukum yang mengikat para penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan dan seluruh rakyat Indonesia. Wawasan Nusantara pada hakikatnya merupakan pancaran dari falsafah Pancasila yang diterapkan dalam kondisi nyat Indonesia. Dengan demikian, Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia telah dijadikan landasan Idiil dan dasar negara sesuai dengan pembukaan UUD 1945. Pencerminan Pancasila tentang konsep Wawasan Nusantara tercermin dalam Sila ke-3 Pancasila yang berbunyi Persatuan Indonesia. Sila ini mengandung pengertian bangsa Indonesia lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Kepentingan masyarakat lebih luas dan harus diutamakan daripada kepentingan yang lebih besar dan tidak mematikan atau meniadakan kepentingan golongan, suku bangsa maupun perorangan. Sikap tersebut mewarnai adanya wawasan kebangsaan atau wawasan nusantara. Kedua, UUD 1945 sebagai landasan konsepsional wawasan nusantara. UUD 1945 merupakan konstitusi dasar yang menjadi pedoman pokok dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia menyadari bahwa bumi, air dan dirgantara diatasnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan seluruh potensi yang ada tersebut dipergunakan secara terpadu, seimbang, serasi dan selaras dan adil.
Pendidikan Kewarganegaraan| 109
Bab 9 Ketahanan Nasional
Lingkup Bahasan Bab ini membahas tentang geostrategi dan geostrategi Indonesia, model-model ketahanan nasional, dan ketahanan nasional sebagai perwujudan geostrategi Indonesia.
Tujuan Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk: Menjelaskan konsep geostragegi dan geostrategi Indonesia Mengidentifikasi model-model ketahanan nasional Mendeskripsikan ketahanan nasional sebagai perwujudan geostrategi Indonesia
Istilah kunci Geostrategi, ketahanan nasional, astagatra, ketangguhan, keuletan, identitas, integritas, ancaman, tantangan, hambatan, gangguan
GEOSTRATEGI DAN GEOSTRATEGI INDONESIA Setiap bangsa dan negara membutuhkan strategi dalam memanfaatkan wilayah negara sebagai ruang hidup nasional untuk menentukan kebijakan,sarana dan sasaran perwujudan kepentingan dan tujuan nasional melalui pembangunan sehingga bangsa itu tetap eksis dalam arti ideologis, politis, ekonomis, sosial budaya dan Hankam. Karena itu, diperlukan geostrategi dalam pengelolaan suatu negara. Geostartegi merupakan strategi dalam memanfaatkan konstelasi geografi negara untuk menentukan kebijakan, tujuan, sarana-sarana untuk mencapai tujuan nasional. Geostrategi dapat pula dikatakan sebagai pemanfaatan kondisi lingkungan dalam upaya mewujudkan tujuan politik. Dari pengertian tersebut, kita dapat memaknai geostrategi Indonesia sebagai strategi nasional bangsa Indonesia dalam memanfaatkan wilayah negara republik Indonesia sebagai ruang hidup nasional guna merancang arahan tentang kebijakan, sarana dan sasaran pembangunan untuk mencapai kepentingan dan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
110 |Dikdik Baehaqi Arif
Dengan demikian, geostrategi Indonesia memberi arahan tentang bagaimana merancang strategi pembangunan guna mewujudkan masa depan yang lebih baik, aman dan sejahtera. Geostrataegi Indonesia dirumuskan dalam wujud Konsepsi “Ketahanan Nasional”. Dilihat dari perkembangannya, konsep geostrategi Indonesia dikembangkan pertama kali oleh Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung tahun 1962. Isi konsep geostrategi Indonesia yang terumus adalah pentingnya pengkajian terhadap perkembangan lingkungan strategis di kawasan Indonesia yang ditandai dengan meluasnya pengaruh komunis. Geostrategi Indonesia pada waktu itu dimaknai sebagai strategi untuk mengembangkan dan membangun kemampuan teritorial dan kemampuan gerilya untuk menghadapi ancaman komunis di Indocina. Pada tahun 1965-an Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) mengembangkan konsep geostrategi Indonesia yang lebih maju dengan rumusan sebagai berikut: bahwa geostrategi Indonesia harus berupa sebuah konsep strategi untuk mengembangkan keuletan dan daya tahan, pengembangan kekuatan nasional untuk menghadapi dan menangkal ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik bersifat internal maupun eksternal. Sejak tahun 1972, Lemhannas terus melakukan pengkajian tentang geostrategi Indonesia yang lebih sesuai dengan konstelasi Indonesia. Pada era itu konsepsi geostrategi Indonesia dibatasi sebagai metode untuk mengembangkan potensi ketahanan nasional dengan pendekatan keamanan dan kesejahteraan guna menjaga identitas kelangsungan serta integritas nasional sehingga tujuan nasional dapat tercapai. Dan terhitung mulai tahun 1974, geostrategi Indonesia ditegaskan wujudnya dalam bentuk rumusan ketahanan nasional sebagai kondisi, metode, dan doktrin dalam pembangunan nasional. Pengembangan konsep geostrategi Indonesia memiliki dua tujuan utama. Pertama, menyusun dan mengembangkan potensi kekuatan nasional baik yang berbasis pada aspek ideologi, politik, sosial budaya dan hankam mupun aspekaspek alamiah, bagi upaya kelestarian dan eksistensi hidup negara dan bangsa untuk mewujudkan cita-cita Proklamsi dan tujuan nasional. Kedua, menunjang tugas pokok pemerintahan Indonesia dalam: a) menegakkan hukum dan ketertiban (law and order); b) terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran (welfare and prosperity); c) terselenggaranya pertahanan dan keamanan (defense and prosperity); d) terwujudnya keadilan hukum dan keadilan sosial (yuridical justice and social justice); dan e) tersedianya kesempatan rakyat untuk mengaktualisasikan diri (freedom of the people). Geostrategi Indonesia ini memiliki dua sifat pokok. Pertama, bersifat daya tangkal, yaitu ditujukan untuk menangkal segala bentuk ancaman, gangguan,
Pendidikan Kewarganegaraan| 111
hambatan dan tantangan terhadap identitas, integritas, eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Kedua, bersifat pengembangan (developmental), yaitu pengembangan potensi kekuatan bangsa dalam ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hankam sehingga tercapai kesejaheraan rakyat.
MODEL-MODEL KETAHANAN NASIONAL Konsepsi dasar ketahanan nasional paling tidak dapat dipahami dari beberapa model ketahanan nasional, masing-masing model Astagatra, Model Morgentahu, Model Alfred Thayer Mahan, dan Model Cline. Pertama, Model Morgenthau, model ini bersifat deskriptif kualitatif dengan jumlah gatra yang cukup banyak. Bila model Lemhannas berevolosi dari observasi empiris perjalanan perjuangan bangsa, maka model ini diturunkan secara analitis. Dalam analisisnya, Morgenthau menekankan pentingnya kekuatan nasional dibina dalam kaitannya dengan negara-negara lain. Artinya, ia menganggap pentingnya perjuangan untuk mendapatkan power position dalam satu kawasan. Sebagai konsekuensinya maka terdapat advokasi untuk memperoleh power position sehingga muncul strategi ke arah balanced power. Kedua, Model Alfred Thayer Mahan. Dalam bukunya The Influence Seapower on History, Alfred Thayer Mahan mengatakan bahwa kekuatan nasional suatu bangsa dapat dipenuhi apabila bangsa tersebut memenuhi unsur-unsur letak geografi, bentuk atau wujud bumi, luas wilayah, jumlah penduduk, watak nasional atau bangsa, dan sifat pemerintahan. Ketiga, Model Cline yang melihat suatu negara dari luar sebagaimana dipersepsikan oleh negara lain. Baginya hubungan antar negara pada hakikatnya amat dipengaruhi oleh persepsi suatu negara terhadap negara lainnya termasuk di dalamnya persepsi atau sistem penangkalan dari negara lainnya. Menurut Cline suatu negara akan muncul sebagai kekuatan besar apabila ia memiliki potensi geografi besar atau negara secara fisik memiliki wilayah yang besar dan sumber daya manusia yang besar pula. Model ini mengatakan bahwa suatu negara kecil bagaimanapun majunya tidak akan dapat memproyeksikan diri sebagai negara besar. Sebaliknya suatu negara dengan wilayah yang besar akan tetapi jumlah penduduknya kecil juga tidak akan menjadi negara besar walaupun berteknologi maju. Keempat, Model Astagatra, model ini merupakan perangkat hubungan bidang-bidang kehidupan manusia dan budaya yang berlangsung di atas bumi ini dengan memanfaatkan segala kekayaan alam yang dapat dicapai dengan menggunakan kemampuannya. Model yang dikembangkan oleh Lemhannas ini
112 |Dikdik Baehaqi Arif
menyimpulkan adanya 8 (delapan) unsur aspek kehidupan nasional yang terdiri atas aspek kehidupan alamiah dan aspek kehidupan sosial. a. Aspek alamiah meliputi Trigatra (letak dan kedudukan geografi, keadaan dan kekayaan alam, dan keadaan dan kemampuan penduduk). b. Aspek kehidupan sosial terdiri atas Pancagatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan). Hubungan komponen strategi antargatra dalam trigatra dan pancagatra serta antara gatra itu sendiri terdapat hubungan timbal balik yang erat dan lazim disebut hubungan (korelasi) dan ketergantungan (interdependency). Oleh karena itu hubungan komponen strategi dalam trigatra dan pancagatra tersusun secara utuh menyeluruh (komprehensif integral) di dalam komponen strategi astagatra.
KETAHANAN NASIONAL SEBAGAI PERWUJUDAN GEOSTRATEGI INDONESIA Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, geostragei Indonesia dirumuskan dalam konsep ketahanan nasional. Lemhannas mendefinisikan ketahanan nasional sebagai kondisi dinamik suatu bangsa, berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, di dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, serta gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, dan kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan perjuangan nasionalnya (Lemhannas, 1999:64). Dari definisi di atas, terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan (Lemhannas, 1994:61). 1. Ketangguhan ialah kekuatan yang membuat seseorang atau sesuatu dapat bertahan kuat menderita atau kuat menanggung beban. 2. Keuletan ialah usaha terus secara giat dengan kemauan yang keras di dalam menggunakan segala kemampuan dan kecakapan untuk mencapai tujuan atau cita-cita. 3. Identitas ialah ciri khas suatu negara dilihat secara keseluruhan (holistik), yaitu negara yang dibatasi oleh wilayah negara, penduduk, sejarah, pemerintah dan tujuan nasionalnya serta peranan yang dimainkannya di dalam dunia internasional. 4. Integritas ialah kesatuan yang menyeluruh di dalam kehidupan nasional suatu bangsa, baik sosial, alamiah, potensi maupun fungsional.
Pendidikan Kewarganegaraan| 113
5. Ancaman merupakan hal atau usaha yang bersifat mengubah atau merombak kebijaksanaan dan dilakukan secara konsepsional, kriminal serta politik. 6. Tantangan merupakan hal atau usaha yang bertujuan atau bersifat menggugah kemampuan. 7. Hambatan merupakan hal atau usaha yang berasal dari diri sendiri yang bersifat atau bertujuan melemahkan atau menghalangi secara tidak konsepsional. 8. Gangguan merupakan hal atau usaha yang berasal dari luar yang bersifat atau bertujuan melemahkan atau menghalang-halangi secara tidak konsepsional. Ketahanan nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk dapat menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan negara. Karena itu, ketahanan nasional ini tergantung pada kemampuan bangsa dan seluruh warga negara dalam membina aspek alamiah serta aspek sosial, sebagai landasan penyelenggaraan kehidupan nasional di segala bidang. Ketahanan nasional mengandung makna keutuhan semua potensi yang terdapat dalam wilayah nasional, baik fisik maupun sosial serta memiliki hubungan erat antara gatra di dalamnya secara komprehensif integral. Kelemahan salah satu bidang akan mengakibatkan kelemahan bidang yang lain yang dapat mempengaruhi kondisi keseluruhan.
Skema Definisi Ketahanan Nasional
114 |Dikdik Baehaqi Arif
Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya, perkembangan konsepsi pengertian ketahanan nasional telah mengalami rentang yang panjang. Gagasan tentang ketahanan nasional bermula pada awal 1960-an pada kalangan militer angkatan darat di SSKAD yang sekarang bernama Seskoad (Sunardi, 1997). Gagasan ketahanan nasional saat itu dipakai dalam rangka pembahasan masalah pembinaan teritorial atau masalah pertahanan keamanan pada umumnya. Pada tahun 1968, gagasan tentang ketahanan nasional di lingkungan SSKAD itu dilanjutkan oleh Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas). Pada tahun 1968 tersebut, dirumuskan pengertian ketahanan nasional sebagai keuletan dan daya tahan kita dalam menghadapi segala kekuatan baik yang datang dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup negara dan bangsa indonesia (Lemhannas, 1999:89). Pada tahun 1969, Lemhannas merumuskan pengertian kedua tentang ketahanan nasional yang disebut dalam ketahanan nasional konsepsi tahun 1969 sebagai penyempurnaan dari konsepsi pertama, yaitu: keuletan dan daya tahan suatu bangsa yang mengandung kemampuan untuk memperkembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala ancaman baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung atau tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia (Lemhannas, 1999:89). Perkembangan selanjutnya, dalam SK Menhankam/Pangab No. SKEP/1382/XII/1974, ketahanan nasional diartikan sebagai kondisi dinamis suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional di dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, tantangan, hambatan, serta gangguan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar yang langsung maupun tidak langsung, membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangn nasional. Dan terakhir, dalam GBHN mulai GBHN tahun 1978 sampai GBHN 1998. Dalam GBHN 1998, ketahanan nasional dipahami sebagai kondisi dinamis yang merupakan integrasi dari kondisi tiap aspek kehidupan bangsa dan negara. Pada hakikatnya ketahanan nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan negara. Berhasilnya pembangunan nasional akan meningkatkan ketahanan nasional. Selanjutnya, ketahanan nasional yang tangguh akan mendorong pembangunan nasional. Masih dalam rumusan GBHN 1998, ketahanan nasional meliputi ketahanan ideologi, ketahanan politik, ketahanan ekonomi, ketahanan sosial budaya, dan ketahanan pertahanan keamanan.
Pendidikan Kewarganegaraan| 115
1. Ketahanan ideologi adalah kondisi mental bangsa Indonesia yang berlandaskan keyakinan akan kebenaran ideologi Pancasila yang mengandung kemampuan untuk menggalang dan memelihara persatuan dan kesatuan nasional dan kemampuan menangkal penetrasi ideologi asing serta nilai-nilai yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. 2. Ketahanan politik adalah kondisi kehidupan politik bangsa Indonesia yang berlandaskan demokrasi politik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang mengandung kemampuan memelihara sistem politik yang sehat dan dinamis serta kemampuan menerapkan politik luar negeri yang bebas dan aktif. 3. Ketahanan ekonomi adalah kondisi kehidupan perekonomian bangsa yang berlandaskan demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis serta kemampuan menciptakan kemandirian ekonomi nasional dengan daya saing yang tinggi dan mewujudkan kemakmuran rakyat yang adil dan merata. 4. Ketahanan sosial budaya adalah kondisi kehidupan sosial budaya bangsa yang dijiwai kepribadian nasional berdasarkan Pancasila yang mengandung kemampuan membentuk dan mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, rukun, bersatu, cinta tanah air, berkualitas, maju dan sejahtera dalam kehidupan yang serba selaras, serasi seimbang, serta kemampuan menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional. 5. Ketahanan pertahanan keamanan adalah kondisi daya tangkal bangsa yang dilandasi kesadaran bela negara seluruh rakyat yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas pertahanan keamanan negara yang dinamis, mengamankan pembangunan dan hasil-hasilnya serta kemampuan mempertahankan kedaulatan negara dan menangkal segala bentuk ancaman. Ketahanan nasional diwujudkan dengan mengelola dan menyelenggarakan kesejahteraan dan keamanan terhadap sistem kehidupan nasional. Sebagai konsepsi pengaturan dan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, metode pendekatan dan pengkajian ketahanan nasional diarahkan pada dua pendekatan, yaitu pendekatan keamanan dan pendekatan kesejahteraaan. Sifatsifat ketahanan nasional adalah: manunggal, mawas ke dalam, kewibawaan, berubah menurut waktu, tidak membenarkan sikap adu kekuasaan dan adu kekuatan, percaya pada diri sendiri, dan tidak tergantung pada pihak lain.
116 |Dikdik Baehaqi Arif
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, J. 1996. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah. Jakarta: UI Press. Asshiddiqie, J. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Konstitusi Press. Asshiddiqie, J. 2005. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara. Jakarta: Konstitusi Press. Asshiddiqie, J. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Asshiddiqie, J. 2008. Konstitusi dan Hak Asasi Manusia. Makalah disampaikan pada Lecture Peringatan 10 Tahun KontraS. Jakarta, 26 Maret 2008. Budiardjo, M. 1998. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. Busroh, A.D dan Busroh, A.B. 1991. Azas-azas Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia. Chaidir, E. 2007. Hukum dan Teori Konstitusi. Yogyakarta: Kreasi Total Media Fauzi, N dan Zakaria, R Y. 2000. Mensiasati Otonomi Daerah. Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan INSIST Press. Halili. 2009. Hak Asasi Manusia, Bahan Tayangan Perkuliahan Pendidikan Hak Asasi Manusia, Universitas Negeri Yogyakarta. Ibn Chamim, A (Ed). 2003. Pendidikan Kewargaengaraan Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban. Yogyakarta: Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah. ICCE UIN. (2005). Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Kerjasama ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Prenada Media. Kaelan. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma. Kaho, J R. 1991. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia Kusnardi, M dan Ibrahim, H. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI Mahfud MD, M. 2000. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Rineka Cipta
Pendidikan Kewarganegaraan| 117
Manan, B. 2001. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: PSH FHUII. Mas‟oed, M. 2007. Nasionalisme dan Tantangan Global Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. MPR RI. 2006, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Sesuai dengan urutan Bab, Pasal, dan Ayat. Jakarta, Sekretariat Jenderal MPR. Nickel, J W. 1996. Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (alih bahasa oleh Titis Eddy Arini dari judul asli Making Sense of Human Rights: Philosophical Reflection on the Universal Declaration of Human Rights). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Pasha,
MK. (2002). Pendidikan Kewarganegaraan Yogyakarta: Citra Karsa mandiri.
(Civics
Education).
Pranarka, A M W. 1985. Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, Jakarta: Yayasan Proklamasi CSIS. Sanusi, A. 2006. Meneropong Sepuluh Pilar Demokrasi Indonesia, Budimansyah, D dan Syaifullah. (Ed). 2006. Pendidikan Nilai dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan. (Menyambut 70 Prof. Drs. H.A. Kosasih Djahiri). Bandung: Laboratorium PKN UPI.
dalam Moral tahun FPIPS
Sapriya, dan Winataputra, U S. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan: Model Pengembangan Materi dan Pembelajaran. Bandung: Laboratorium PKN FPIPS UPI. Soemantri, S. 1987. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni. Soeprapto. (1994). Sasaran Pendidikan Wawasan Kebangsaan. Dalam Poespowardojo, S dan Frans M. Parera. (1994). Pendidikan Wawasan Kebangsaan: Tantangan dan Dinamika Perjuangan Kaum Cendekiawan Indonesia. Jakarta: kerjasama LPSP dan PT Grasindo. Suradinata, E. 2001. Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka Keutuhan NKRI. Jakarta: Suara Bebas Surbakti, R. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo. Thaib, D, Hamidi, J dan Huda, N. 2006. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Rajawali Press. Thompson, B. 1997. Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, London: Blackstone Press Ltd. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
118 |Dikdik Baehaqi Arif
Wahab, A. A dan Sapriya. (2011). Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta. Winarno. (2007). Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan: Panduan Kuliah di Perguruan Tinggi (Edisi Kedua). Jakarta: Bumi Aksara. Winarno. (2009). Kewarganegaraan Indonesia: Dari Sosiologis menuju Yuridis. Bandung: Alfabeta. Yuda A R, H. 2010. Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pendidikan Kewarganegaraan| 119
LAMPIRAN : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (dalam Satu Naskah)
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 PEMBUKAAN (Preambule)
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
120 |Dikdik Baehaqi Arif
UNDANG-UNDANG DASAR BAB I BENTUK DAN KEDAULATAN Pasal 1 (1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.***) (3) Negara Indonesia adalah negara hukum.***) BAB II MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT Pasal 2 (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang pilih melalui pemilihan umum dan daitur lebih lanjut dengan undang-undang.****) (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara. (3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak. Pasal 3 (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan UndangUndang Dasar.***) (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.***/****) (3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.***/****) BAB III KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA Pasal 4 (1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UndangUndang Dasar. (2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden. Pasal 5 (1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.*) (2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Pasal 6 (1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.***)
Pendidikan Kewarganegaraan| 121
(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.***) Pasal 6A (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.***) (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.***) (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.***) (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.****) (5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.***) Pasal 7 Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.*) Pasal 7A Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.***)
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 7B Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.***) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.***) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.***) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan
122 |Dikdik Baehaqi Arif
puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.***) (5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.***) (6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.***) (7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.***) Pasal 8 (1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.***) (2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.***) (3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tigapuluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai polotik yang psangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai akhir masa jabatannya.****) Pasal 9 (1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden danWakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut : Sumpah Presiden (Wakil Presiden): “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indoensia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undangundang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti, kepada Nusa dan Bangsa”. Janji Presiden (Wakil Presiden) : “Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala
Pendidikan Kewarganegaraan| 123
undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.*) (2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. *) Pasal 10 Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Pasal 11 (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.****) (2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.***) (3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undangundang.***) Pasal 12 Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 13 (1) Presiden mengangkat duta dan konsul. (2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.*) (3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan menperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.*) Pasal 14 (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.*) (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.*) Pasal 15 Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.*) Pasal 16 Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutanya diatur dalam undang-undang.****) BAB IV DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG Dihapus.****)
124 |Dikdik Baehaqi Arif
BAB V KEMENTERIAN NEGARA
(1) (2) (3) (4)
Pasal 17 Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.*) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.*) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.***) BAB VI PEMERINTAH DAERAH
Pasal 18 (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.**) (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.**) (3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.**) (4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.**) (5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.**) (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.**) (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undangundang.**) Pasal 18A (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.**) (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.**) Pasal 18B (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.**) (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.**)
Pendidikan Kewarganegaraan| 125
BAB VII DEWAN PERWAKILAN RAKYAT Pasal 19 (1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.**) (2) Susunan Dewan Perwakilan rakyat diatur dengan undang-undang.**) (3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.**) Pasal 20 (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.*) (2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.*) (3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.*) (4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.*) (5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undangundang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undangundang dan wajib diundangkan.**) Pasal 20A (1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.**) (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.**) (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.**) (4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.**) Pasal 21 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undangundang.*) Pasal 22 (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Pasal 22A Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.**)
126 |Dikdik Baehaqi Arif
Pasal 22B Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syaratsyarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.**) BAB VIIA ***) DEWAN PERWAKILAN DAERAH Pasal 22C (1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.***) (2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.***) (3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.***) (4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undangundang.***) Pasal 22D (1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.***) (2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.***) (3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undangundang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.***) (4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syaratsyarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.***) BAB VIIB ***) PEMILIHAN UMUM Pasal 22E (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.***) (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.***) (3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.***)
Pendidikan Kewarganegaraan| 127
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.***) (5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.***) (6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.***) BAB VIII HAL KEUANGAN Pasal 23 (1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.***) (2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.***) (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.***) Pasal 23A Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.***) Pasal 23B Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.****) Pasal 23C Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.***) Pasal 23D Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.****) BAB VIIIA ***) BADAN PEMERIKSA KEUANGAN Pasal 23E (1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.***) (2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.***) (3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.***) Pasal 23F (1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.***)
128 |Dikdik Baehaqi Arif
(2) Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota.***) Pasal 23G (1) Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.***) (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan undangundang.***) BAB IX KEKUASAAN KEHAKIMAN Pasal 24 (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.***) (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.***) (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.****) Pasal 24A (1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.***) (2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.***) (3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.***) (4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.***) (5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.***) Pasal 24B (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.***) (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.***) (3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.***) (4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undangundang.***) Pasal 24C (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
Pendidikan Kewarganegaraan| 129
(2)
(3)
(4) (5)
(6)
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.***) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.***) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.***) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.***) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.***) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.***)
Pasal 25 Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. BAB IXA **) WILAYAH NEGARA Pasal 25A****) Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undangundang.**) BAB X WARGA NEGARA DAN PENDUDUK **) Pasal 26 (1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. (2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.**) (3) Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.**) Pasal 27 (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.**) Pasal 28 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebaganya ditetapkan dengan undang-undang.
130 |Dikdik Baehaqi Arif
BAB XA **) HAK ASASI MANUSIA Pasal 28A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.**) Pasal 28B (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.**) (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.**) Pasal 28C (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.**) (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.**) Pasal 28D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.**) (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.**) (3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.**) (4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.**) Pasal 28E (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.**) (2) Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.**) (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.**) Pasal 28F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.**) Pasal 28G (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.**)
Pendidikan Kewarganegaraan| 131
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.**) Pasal 28H (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.**) (2) Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.**) (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.**) (4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.**) Pasal 28I (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.**) (2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.**) (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.**) (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.**) (5) Untuk menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan.**) Pasal 28J (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.**) (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.**) BAB XI AGAMA Pasal 29 (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
132 |Dikdik Baehaqi Arif
BAB XII PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA **) Pasal 30 (1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.**) (2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.**) (3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.**) (4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.**) (5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan diatur dengan undangundang.**) BAB XIII PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN****)
(1) (2) (3)
(4)
(5)
Pasal 31 Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.****) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.****) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.****) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari aggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.****) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.****)
Pasal 32 (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan mesyarakat dalam memelihara dalam mengembangkan nilainilai budayanya.****) (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.****)
Pendidikan Kewarganegaraan| 133
BAB XIV PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL****) Pasal 33 (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.****) (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undangundang.****) Pasal 34 (1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.****) (2) Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruah rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.****) (3) Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.****) (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undangundang.****) BAB XV BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA , SERTA LAGU KEBANGSAAN **) Pasal 35 Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih. Pasal 36 Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia. Pasal 36A Lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.**) Pasal 36B Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya.**) Pasal 36C Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan diatur dengan undang-undang.**)
134 |Dikdik Baehaqi Arif
BAB XVI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR Pasal 37 (1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.****) (2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.****) (3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.****) (4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya limapuluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.****) (5) Khusus mengenai bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.****) ATURAN PERALIHAN Pasal I Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.****) Pasal II Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut UndangUndang Dasar ini.****) Pasal III Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.****) ATURAN TAMBAHAN Pasal I Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.****) Pasal III Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.****) ________________________ *) : Perubahan Pertama **) : Perubahan Kedua ***) : Perubahan Ketiga ****) : Perubahan Keempat
Pendidikan Kewarganegaraan| 135