DIBALIK AROGANSI PEMERINTAH MALAYSIA KEPADA INDONESIA DAN KEPADA RAKYATNYA
Tugas mata kuliah Sosiologi dan Konflik Sosial Dosen : Dr. Ary Pradhanawati, MS
Disusun oleh :
KUSDARMAWAN NIM. D4B006055
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU POLITIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007
KOLABORASI KEPENTINGAN BISNIS DAN POLITIK DALAM SENGKETA PENGELOLAAN LAHAN TAMBANG
Tugas mata kuliah Bisnis dan Politik Dosen : Drs. Muhammad Adnan, MA
Disusun oleh :
KUSDARMAWAN NIM. D4B006055
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU POLITIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007
MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DENGAN PRAKTEK BISNIS YANG BERETIKA BERTANGGUNGJAWAB DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Tugas mata kuliah Bisnis dan Politik Dosen : Dra. Sulistyowati, M. Si.
Disusun oleh :
KUSDARMAWAN NIM. D4B006055
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU POLITIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007
EGO KEDAERAHAN YANG DIWUJUDKAN DENGAN PEMEKARAN WILAYAH SEBAGAI SALAH SATU BENTUK KRISIS NASIONALISME
Tugas mata kuliah Sosiologi dan Konflik Sosial Dosen : Drs. Suwanto Adhi, SU
Disusun oleh :
KUSDARMAWAN NIM. D4B006055
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU POLITIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007
PERSEPSI ANGGOTA DPRD KABUPATEN DEMAK PERIODE 2004 – 2009 TERHADAP PERMENDAGRI NOMOR 59 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMENDAGRI NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DALAM PROSES PENYUSUNAN APBD KABUPATEN DEMAK
Tesis Diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan study Magister Ilmu Politik pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro
Disusun oleh :
KUSDARMAWAN NIM. D4B006055
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU POLITIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008
PERSEPSI
ANGGOTA
DPRD
KABUPATEN DEMAK
TERHADAP PERMENDAGRI 13 TAHUN 2006 DAN PERUBAHANNYA PERMENDAGRI 59 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DALAM PROSES PENYUSUNAN APBD KABUPATEN DEMAK
Proposal Penelitian Tesis Diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan study Magister Ilmu Politik pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro
Disusun oleh :
KUSDARMAWAN NIM. D4B006055
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU POLITIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2008
EFEKTIFITAS PENYERAPAN ASPIRASI MASYARAKAT OLEH ANGGOTA DPRD DALAM MEMFORMULASIKAN APBD (Study kasus di Kabupaten Demak)
Usulan Penelitian untuk Tesis Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan gelar Magister Ilmu Politik pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro
Disusun oleh :
KUSDARMAWAN NIM. D4B006055
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU POLITIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadlirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan hidayahNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Atas tersusunnya tesis ini penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Drs Tafta Zani, MM selaku Bupati Demak beserta jajarannya yang memberikan ijin dan kesempatan untuk melanjutkan studi pasca sarjana. 2. Prof. DR. Susilo Wibowo, M End. Rektor Universitas Diponegoro yang memberi kesempatan kepada penyusun untuk belajar di Universitas Diponegoro Semarang. 3. Drs Purwoko, MS ketua Pogram Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro yang selalu meberikan bimbingan dan saran. 4. Drs. Warsito, SU selaku pembimbing I, dan Drs Turtiantoro, M.Si selaku dosen pembimbing II yang senantiasa memberikan bimbingan, saran, masukan dan arahan selama penyusunan tesis ini. 5. Segenap staf pengajar Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro, yang senantiasa mencurahkan ilmunya kepada penyusun. 6. Teman-teman pasca sarjana dan teman-teman di Sekretariat DPRD Kabupaten Demak yang selalu memberikan bantuan dan motivasi guna penyelesaian penulisan tesis. Dengan segala kerendahan hati penyusun menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih banyak kekurangan meski penyusun telah berusaha maksimal, oleh
karena itu guna kesempurnaan tulisan ini penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhirnya penyusun berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Semarang,
2008.
Penyusun
FILOSOFI HIDUP
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, menciptakan manusia dari segumpal darah . Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, yang mengajarkan manusia dengan perataraan kalam (tulis baca). Dia mengajarkan kepada manusia yang tidak diketahuinya. (Surat (96) Al’Alaq : 1-5) Bukan tambang emas melainkan karya, pengetahuan, dan produktivitaslah yang akan menjadikan suatu bangsa kaya. Kegagalan terbesar adalah apabila kita tidak pernah mencoba, rasa puas diri adalah ancaman terbesar bagi kemajuan. Orang yang dikalahkan pesaingnya pasti bisa bangkit kembali tetapi orang yang dikalahkan oleh rasa puas diri akan jatuh selamanya. Jangan pernah menunda pekerjaan karena hari esok tidak ada yang dapat mengetahuinya dan sesungguhnya penundaan adalah pembunuh alami bagi kesempatan .
Hasil karyaku ini kupersembahkan kepada : •
Istriku Ninik Marianingsih yang senantiasa membantu dan selalu setia dalam suka dan duka.
•
Anakku Arya Ghani Kusuma yang selalu membangkitkan semangat dan sumber inspirasiku dengan tawa dan candanya.
•
Keempat
orangtuaku
yang
selalu
mendoakan
dan
mengingatkan akan pentingnya hari esok. •
Semua saudaraku yang tak henti-hentinya memberikan dorongan dan petuah untuk keberhasilanku.
•
Teman-temanku ysng selalu membantu dan mendengarkan keluh kesahku.
PENGESAHAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa Tesis berjudul : ”PERSEPSI ANGGOTA DPRD KABUPATEN DEMAK PERIODE 2004-2009 TERHADAP PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 59 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DALAM PROSES
PENYUSUNAN APBD
KABUPATEN DEMAK” Yang disusun oleh KUSDARMAWAN, NIM D4B006055, telah dipertahankan didepan penguji pada tanggal 23 Oktober 2008 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima. Ketua Penguji,
Anggota Penguji
Drs. WARSITO, SU
1. Dra. PUJI ASTUTI, M. Si
Sekretaris Penguji
Drs. TURTIANTORO, M. Si
2. NUNIK RETNO HERAWATI, S. Sos, M. Si
Semarang, 23 Oktober 2008 Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Program Studi Magister Ilmu Politik Ketua Program
Drs. PURWOKO, MS
ABSTRAKSI
Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai wakil rakyat menjadi harapan bagi masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya. Proses penyusunan APBD dengan sistem bottom up dengan penjaringan aspirasi melalui Musrenbangdes dilanjutkan ke Musrenbang kecamatan dan akhirnya pada Rakorbang pada tingkat kabupaten, pada kenyataannya belum memenuhi harapan masyarakat, karena dalam tahapan penyusunan tersebut banyak usulan pembangunan yang tidak tercover dikarenakan adanya kepentingan politis. DPRD sebagai wakil rakyat diharapkan dapat bersikap proporsional, sebagai lembaga perwakilan mereka harus memperjuangkan semua kepentingan masyarakat tanpa memandang kelompok dan golongan. Semua peran dan fungsi DPRD dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat dalam pembangunan daerah tidak terlepas dari adanya tata peraturan yang menjadi pedoman bagi dewan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Taun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai salah satu pedoman bagi dewan dalam menyusun dan membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dipandang berbeda oleh masing-masing anggota dewan. Latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan kepentingan menjadi alasan bagi masing-masing anggota dalam mempersepsikan Permendagri 59 Tahun 2007. Mayoritas anggota dewan berpendapat tidak sesuai dengan harapan mereka. Beberapa hal yang dianggap tidak sesuai adalah pertama, pembahasan Kebijakan Umum Anggaran hanya dibahas oleh Panitia Anggaran DPRD dan Tim Anggaran. Kedua Komisi-komisi DPRD yang mempunyai bidang kerja spesifik dan paling aktif dalam penyelesaian permasalahan didaerah dianggap paling tepat dalam merumuskan kebijakan yang dituangkan dalam Kebijakan Umum Anggaran, sehingga Komisi-komisi DPRD perlu dilibatkan dalam pembahasan Kebijakan Umum Anggaran. Ketiga, pembatasan waktu yang diatur dalam Permendagri sulit dilaksanakan karena dalam realitanya penyerahan Rancangan KUA seringkali terlambat sehingga pembahasan dan penetapan KUA dan RAPBD akhirnya juga tidak tepat waktu yang berakibat mengurangi kinerja pemerintahan. Dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 yang dianggap tidak tepat disarankan hal-hal sebagai berikut : Pertama perlu perubahan parsial terhadap Permendagri 59 tahun 2007 khususnya berkaitan dengan pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara yang tidak hanya dibahas oleh Panitia Anggaran dan Tim Anggaran tetapi juga oleh Komisi-komisi DPRD. Kedua perlunya aturan yang menegaskan DPRD perlu membuat rencana kerja yang dilakukan sepenuhnya sehingga kinerja DPRD terarah dan jelas dan pembahasan KUA, PPAS dan RAPBD dapat tepat waktu
ABSTRACT The presence of Regional House of Representatives Demak Regency as the representative of the public is a hope for the public in promoting their aspiration to the government. Process of making the guidelines of Regional Finance Management in making the regional budget with bottom up system by taking aspiration through Village Development Planning Congress to be continued to Sub-Regency Development Planning Congress and finally to Regency Development Planning Congress. Unfortunately, the reality of their presence doesn’t fulfill the hopes of public aspiration, by the time of making decision; many development aspirations are uncovered because of political affairs and importance. The Regional House of Representatives as the representative of the public is supposed to be more proportional as a representative institution, they have to keep struggling public importance without any individual or group view. All of the Regional House of Representatives roles and function in promoting public aspiration in developing region can’t be separated from the regulations as the council guidelines in performing their tasks and functions. The Domestic Affairs Minister’s Decree No. 59. 2007 about change of The Domestic Affairs Minister’s Decree No. 13. 2006 in context of Regional Budget Guidelines as the basic of Representative Council in making and discussing Educational background, jobs and importance become the reason of each representative in understanding the perception of The Domestic Affairs Minister’s Decree No. 59. 2007. Member of Regional House of Representatives in majority argued that the degrees were not suitable with their ideas. Many cases those don’t suitable with their argument are: First, the discussion about general policy of the budget is discussed only by the budget committee of Regional House of Representatives and Budget team. Second, the Regional House of Representatives commissions who have specific work and active in finishing many problems in regions are selected to be chosen in making the policy in General Budget Policy, so the commissions took a part in discussing General Budget Policy. Third, time limits as have been regulated by The Domestic Affairs Minister’s Decree is quite difficult to be implemented because the reality is the handing over of General Budget Policy is eventually coming late so the discussion and taking decision of General Budget Policy and the regional budget plans are finally out time, and the effect is the inconsistent governmental works. By The Domestic Affairs Minister’s Decree No. 59. 2007 that seems to be incorrect, the solutions are as below: First, it must be a partial change of The Domestic Affairs Minister’s Decree No. 59. 2007 especially which has a relation with the discussion of General Budget Policy and Temporary Budget Plafond Priority which not only needs to be discussed by the budget committee and budget team but also by the commissions of The Regional House of Representatives. Second, there must be a regulation that The Regional House of Representatives needs to plan their works and perform them completely, so The Regional House of Representatives works have a proper destination and clear and then the discussion of General Budget Policy, Temporary Budget Plafond Priority and the regional budget plans is performed on time.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Semarang ,
Oktober 2008
Kusdarmawan
DAFTAR ISI
Halaman Judul ……………………………………………………………….............
i
Kata Pengantar ………………………………………………………………............
ii
Filosofi Hidup ..............................................................................................................
iv
Halaman Persembahan ................................................................................................
v
Halaman Pengesahan………………………………………………………. ..............
vi
Abstraction ..................................................................................................................
vii
Halaman Pernyataan …..…………………………………………………….............
viii
Daftar isi ………………………………………………………………………..........
ix
Daftar Tabel......................…………………………………………………................
xii
Daftar Gambar ..……………………………………………………………………..
xiii
BAB I PENDAHULUAN …..………………………………………………………
1
1.1 Latar Belakang Masalah ...................…………………………………………
1
1.2 Perumusan Masalah ...............................................................................................
4
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ..............................................................................
5
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS ........................................................
7
2.1 Persepsi .................................................................................................................
7
2.2. A Penyelenggaraan Pemerintahan Indonesia Sebagai Negara Kesatuan Dengan Menganut Azas Desentralisasi ........................................................................
15
2.2. B Keberadaan DPRD Sebagai Unsur Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ..
22
2.2. C Partai Politik dan Perwakilan Politik ...............................................................
27
2.2. D Hak Budget/Anggaran .....................................................................................
42
2.3 Kerangka Pemikiran ............................................................................................
51
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................
52
3.1 Metode Penelitian .................................................................................................
52
3.2 Tehnik Pengumpulan Data ...................................................................................
53
3.3 Tehnik Pengambilan Sampel ................................................................................
54
3.4 Tehnik Analisa Data .............................................................................................
55
BAB IV GAMBARAN UMUM TERBENTUKNYA DPRD KABUPATEN DEMAK ......................................................................................................................
56
4.1 Pendataan Pemilih ................................................................................................
56
4.2 Penetapan Daerah Pemilihan ................................................................................
58
4.3 Partai Politik Peserta Pemilihan Umum di Kabupaten Demak ............................
62
4.4 Hasil Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2004 di Kabupaten Demak .................
64
4.5 Tingkat Partisipasi Masyarakat ............................................................................
67
4.6 Tingkat Pendidikan Anggota DPRD ....................................................................
71
4.7 Hasil Kerja DPRD Kabupaten Demak .................................................................
74
BAB V PERSEPSI ANGGOTA DPRD KABUPATEN DEMAK PERIODE 20042009 TERHADAP PERMENDAGRI NOMOR 59 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERMENDAGRI NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DALAM PENYUSUNAN APBD KABUPATEN DEMAK .....................................................
76
5.1 Gambaran Responden ..........................................................................................
76
5.2
Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ............................................
78
5.3 Mekanisme Pembahasan Terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Demak ..............................................................................................
82
5.4 Implementasi Permendagri 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah .........................................................
93
BAB VI PENUTUP
104
6.1 Kesimpulan ...........................................................................................................
104
6.2 Saran .....................................................................................................................
107
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 4. 1 Jumlah Penduduk dan Jumlah Pemilih Pemilu Legislatif Tahun 2004 ....
57
Tabel 4.2 Pembagian Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi Tiap Daerah Pemilihan
60
Tabel 4.3 Hasil Penghitungan Suara Pemilu Legislatif Kabupaten Demak Tahun 2004 ........................................................................................................... Tabel 4.4 Prosentase Pemilih
Yang
65
Menggunakan Hak Pilihnya dibanding
Jumlah Pemilih Dalam Pemilu Legislatif 2004 …………………………
68
Tabel 4.5 Tingkat Partisipasi Masyarakat Jawa Tengah dalam Pemilu DPRD 2004
69
Tabel 4.6 Tingkat Pendidikan Anggota DPRD Kabupaten Demak periode 2004 – 2009 ..............................................................................................
73
Tabel 5.1 Gambaran Umum Responden ...................................................................
77
Tabel 5.2 Urutan Kegiatan dan Alokasi Waktu Dalam Pembahasan KUA dan PPAS Kabupaten Demak oleh DPRD Kabupaten Demak ........................
97
DAFTAR GAMBAR
Pengorganisasian Persepsi ...........................................................................................
15
Peta Pembagian Daerah Pemilihan Kabupaten Demak dalam Pemilu tahun 2004 ….
61
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu gema reformasi adalah sekitar penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama yang berkaitan dengan kedudukan kepala daerah dan optimalisasi peran DPRD sebagai penyalur aspirasi rakyat di daerah. Hal ini ditandai dengan beberapa kali perubahan terhadap undang-undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, yang semula diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dirubah dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan diperbaharui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Maksud
perubahan
terhadap
peraturan
perundangan
dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, antara lain untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, dengan prinsip otonomi seluasluasnya. Sehingga dapat diartikan bahwa otonomi daerah diharapkan akan memberdayakan masyarakat dan menghidupkan demokrasi yang tercermin dari keterwakilan mereka di DPRD dan produk-produk kebijakan DPRD. M. Soebiantoro dan Budi Winarno (1997:9), bahwa untuk memahami perkembangan demokrasi di Indonesia, dapat dilihat dari sejauh mana peranan yang dimainkan oleh lembaga legislatif, apabila dalam suatu sistem politik, lembaga legislatifnya berperanan dengan baik, artinya dapat melaksanakan fungsi-fungsinya secara optimal, maka dapat dikatakan bahwa secara empirik negara yang
bersangkutan telah melaksanakan azas demokrasi dalam artian yang sebenarnya. Sebaliknya, apabila legislatif kurang memainkan peranan yang berarti dalam proses politik, maka negara yang bersangkutan dapat dikatakan belum dapat melaksanakan asas demokrasi dalam artian substansial, kendatipun negara yang bersangkutan menggunakan label demokrasi. Dengan demikian, maka peranan yang dimainkan oleh lembaga legislatif menentukan kualitas demokrasi. Prinsip demokratis yang menjadi latar belakang terbentuknya Lembaga Legislatif menjadi satu prinsip yang banyak dipegang dalam pelaksanaan roda pemerintahan di banyak negara, sangat menarik untuk diteliti bagaimana sebenarnya kinerja lembaga Legislatif dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai wakil rakyat dalam memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, mengingat Pemerintah yang memposisikan lembaga Legislatif sebagai lembaga yang exellent dipatuhi, dilayani dan dicukupi semua kebutuhannya. Perubahan paradigma pada awal reformasi, yang memposisikan DPRD sebagai lembaga yang powerfull, juga memberikan perubahan pola pikir rakyat. Rakyat yang selama masa orde baru tidak pernah mengadu dan memandang DPRD, tiba-tiba menjadi sadar bahwasanya DPRD sebagai lembaga perwakilan yang mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat. Sehingga yang terjadi setiap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, maka mereka akan mengadu kepada wakilnya meski hanya urusan personal. Begitu besar pandangan masyarakat akan peran dan fungsi yang diemban DPRD. DPRD dengan fungsi-fungsinya yakni fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan fungsi Anggaran menjadi tumpuan harapan masyarakat untuk memperjuangkan aspirasinya. Fungsi legislasi diwujudkan dengan menyusun dan membahas peraturan perundangan daerah bersama-sama dengan kepala daerah,
meliputi pembuatan aturan sendiri, dan menjadi mediator kepentingan rakyat dengan pemerintah. Fungsi controling (pengawasan) dijalankan DPRD melalui pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundangan daerah yang telah ditetapkan, meliputi aktifitas memfasilitasi perkembangan kepentingan dalam masyarakat. Lembaga perwakilan menilai apakah aktivitas pemerintahan masih selaras dengan aspirasi masyarakat, serta memastikan bahwa perkembangan aspirasi masih bisa di akomodir dalam rencana kerja pemerintah. Fungsi budgeting (anggaran) diwujudkan dalam penyusunan anggaran daerah yang menyangkut kebijakan pembangunan atau berarti upaya mewujudkan kesejahteraan. Fungsi budgeting DPRD mempunyai posisi strategis dalam menentukan kebijakan anggaran daerah. Kebijakan anggaran daerah yang dituangkan dalam APBD, merupakan nyawa bagi daerah. Semua kegiatan pemerintahan dan pembangunan sangat bergantung pada APBD. Sehingga masyarakat yang notabene menjadi subyek dan obyek pembangunan juga sangat mengharapkan APBD yang bisa mengadopsi aspirasi dan kepentingannya. Disini peran DPRD menjadi tumpuan bagi masyarakat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentinggannya, sebagai wakil rakyat. Terbitnya Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang dirubah dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 yang mengatur proses penyusunan APBD dengan diawali pembahasan Kebijakan
Umum
Anggaran,
dan
Prioritas
dan
Plafon
Anggaran
yang
pembahasannya hanya dilakukan oleh Tim Anggaran Pemerintah daerah dan Panitia Anggaran DPRD, dipandang dapat mempersempit kinerja alat-alat kelengkapan DPRD seperti Komisi-komisi yang mempunyai bidang kerja lebih spesifik. Panitia Anggaran DPRD yang jumlah anggotanya kurang dari separoh dari jumlah anggota
DPRD keseluruhan, terlalu kecil untuk memformulasikan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang merupakan garis besar kebijakan daerah yang akan dituangkan sepenuhnya dalam APBD. Menarik untuk diteliti apa sebenarnya persepsi anggota DPRD terhadap Permendagri 59 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, menjadikan aspirasi dan kepentingan yang mereka emban sebagai wakil rakyat harus diwakilkan lagi melalui Panitia Anggaran dalam memformulasikan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioitas Plafon Anggaran Sementara sebagai pedoman yang harus dipenuhi dalam penyusunan APBD, mengingat dalam pasal 105 ayat (2) Permendagri 59 tahun 2007 menyebutkan, ”Pembahasan rancangan peraturan daerah ditekankan pada kesesuaian rancangan APBD dengan KUA dan PPAS”. 1.2 Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, setidaknya dapat memberikan indikasi secara umum bagaimana situasi yang berkembang dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sehubungan dengan adanya perubahan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Thesis ini akan meneliti persepsi anggota DPRD Kabupaten Demak terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sebagai upaya memperjuangkan aspirasi konstituen, dan masyarakat yang diwakilinya dalam pelaksanaan fungsi Anggaran DPRD.
Dari uraian latar belakang dan alur berpikir di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang akan menjadi fokus thesis ini yaitu : Bagaimana persepsi anggota DPRD Kabupaten Demak dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dalam pembahasan APBD oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi anggota DPRD Kabupaten Demak terhadap Permendagri 59 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang menjadi pedoman dalam penyusunan APBD, dengan alur pembahasan APBD yang berbeda dengan proses pembahasan APBD tahun-tahun sebelumnya. Dimana dalam memformulasi kebijakan yang dituangkan dalam Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara hanya dibahas oleh Tim Anggaran Pemerintah Kabupaten dan Panitia Anggaran DPRD, sehingga anggota DPRD secara keseluruhan kurang berperan kecuali mereka yang duduk dalam Panitia Anggaran DPRD. Sedangkan manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian, kiranya dapat memberikan sumbangan pemikiran baik bagi legislatif maupun eksekutif Kabupaten Demak dalam memformulasi APBD dan perumus-perumus kebijakan pemerintah pusat dalam menentukan tahapan pembahasan Anggaran bagi Daerah.
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
2.1 Persepsi Menurut Wikipedia Indonesia, persepsi adalah proses pemahaman ataupun pemberian makna atas suatu informasi terhadap stimulus. Stimulus didapat dari proses penginderaan terhadap objek, peristiwa, atau hubunganhubungan antar gejala yang selanjutnya diproses oleh otak. Sarlito Wirawan mengemukakan bahwa kemampuan untuk membedabedakan, mengelompokkan, memfokuskan dan sebagainya itu, disebut sebagai kemampuan untuk mengorganisasikan pengamatan atau persepsi. Persepsi juga bisa diartikan proses membedakan stimuli dan menginterpretasikan arti dari stimuli tersebut. Karena menjadi sebuah proses yang tercampur-baur, persepsi tidak diobservasi secara langsung. Persepsi bisa diinvestigasi dan dimengerti hanya dengan mengobservasi respons yang dibuat dalam bermacam-macam kondisi.(Clifford T Morgan:1961: 299). Dalam bahasa lain, persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi. ( Jalaluddin Rakhmat : 1999:51). Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut melalui penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya), sedangkan alat
untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Dalam melakukan persepsi masing-masing individu akan melakukan kognisi untuk memahaminya. Kesimpulan yang dibuat untuk menerangkan mengapa orang melakukan sesuatu disebut Atribusi. Gilbert dalam Sarlito Wirawan (1997:104) mengemukakan bahwa atribusi harus melewati kognisi dan dalam kognisi terjadi tiga tahap yaitu : a. Kategorisasi atau tahap penggolongan terhadap obyek b. Karakterisasi atau tahap memberi atribusi atas dasar kategorisasi terhadap obyek c. Koreksi atau memperbaiki/mengubah kesimpulan yang telah dibuat. Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukannya pencatatan yang benar terhadap situasi, sebagaimana pendapat David Krech dalam Miftah Thoha (2008:142) ”The cognitive map of the individual is not, then, a photographic representation of the physical world, it is rather a partial, personal construction in which certain object , selected out by the individual for a major role are perceived in an individual manner. Every perceiver is, as it were, to some degres a nonrepresentational artist, painting a picture of the world that expresses his individual view of reality”. Secara ringkas pendapat David Krech tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses kognitif yang komplek dan menghasilkan suatu gambar unik tentang kenyataan yang barangkali sangat berbeda dari kenyataan.
Menurut Duncan, persepsi itu dapat dirumuskan dengan berbagai cara, tetapi dalam ilmu perilaku khususnya psikologi, istilah ini dipergunakan untuk mengartikan perbuatan yang lebih dari sekedar mendengarkan, melihat atau merasakan sesuatu. Persepsi yang signifikan itu ialah jika diperluas diluar penyesuaian perilaku manusia. Menurut Luthans, persepsi jauh lebih komplek dan lebih luas bila dibandingkan dengan penginderaan. Proses persepsi meliputi suatu interaksi yang sulit dari kegiatan seleksi, penyusunan dan penafsiran. Walaupun persepsi sangat tergantung pada penginderaan data, proses kognitif barangkali dapat menyaring, menyederhanakan, atau mengubah secara sempurna data tersebut. Miftah Thoha (2008:145) menyatakan ada beberapa sub proses dalam persepsi yang dapat dipergunakan sebagai bukti bahwa sifat persepsi itu merupakan hal yang komplek dan interkatif. Subproses yang pertama adalah stimulus atau situasi yang hadir, mula terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan dengan suatu situasi atau suatu stimulus. Stimulus yang dihadapi itu mungkin bisa berupa stimulus penginderaan dekat dan langsung atau berupa bentuk lingkungan sosiokultur dan fisik yang menyeluruh. Subproses kedua adalah registrasi dan interpretasi. Dalam masa registrasi suatu gejala yang nampak adalah mekanisme fisik yang berupa penginderaan dan syaraf seseorang terpengaruh kemmpuan fisik untuk melihat dan mendengar akan mempengaruhi persepsi. Dalam hal ini seseorang mendengar atau melihat informasi terkirim kepadanya, mulailah ia mendaftar semua informasi yang terdengar dan terlihat
padanya. Setelah terdaftarnya semua informasi yang
sampai kepada seseorang, subproses yang bekerja adalah interpretasi. Interprtasi merupakan suatu aspek kognitif dari persepsi yang amat penting. Proses interpretasi ini tergantung pada cara pendalaman (learning), motivasi dan kepribadian seseorang. Pendalaman, motivasi dan kepribadian seseorang akan berbeda dengan orang lain. Oleh karena itu, interpretasi terhadap suatu informasi yang sama akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. Disinilah letak sumber perbedaan pertama dari persepsi, dan itulah sebabnya, mengapa interpretasi merupakan sub proses yang penting. Subproses ketiga adalah umpan balik (feed back). Subproses ini dapat mempengaruhi seseorang. Hal ini dapat dijelaskan dengan contoh, seorang karyawan melaporkan hasil kerjanya kepada atasannya, dan atasannya memberikan respon dengan bibirnya mengatup rapat, kedua alisnya terangkat, matanya tidak berkedip dan bergumam seolah suaranya ditelan sendiri. Dalam hati atasan kagum akan hasil kerja karyawannya dan memujinya dalam hati, namun karyawan menganggap dia tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Beberapa faktor yang mempengaruhi pengembangan persepsi awal seseorang antara lain : -
Psikologi, persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di alam dunia ini sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi.
-
Famili, pengaruh yang besar terhadap anak-anak adalah familinya. Orang tua yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus didalam memahami dan melihat kenyataan didunia ini, banyak sikap dan persepsi-persepsi mereka yang dirunkan kepada anak-anaknya.
-
Kebudayaan, kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu faktor yang kuat didalam mempengaruhi sikap, nilai dan cara seseorang dalam memandang dan memahami keadaan didunia ini.
Manusia sebagai mahluk sosial senantiasa berkembang dalam setiap interaksinya. Seseorang pada setiap saat secara ajeg dipengaruhi oleh berbagai stimuli. Ratusan stimuli ditangkap seseorang dalam setiap harinya yang dapat mempengaruhi indera-indera lainnya, ditambah dengan pengaruh situasi lingkungan secara keseluruhan. Stimuli-stimuli tersebut perlu diseleksi semuanya, sehingga diperoleh suatu stimuli yang tepat pada waktu yang telah ditentukan. Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi proses seleksi persepsi. a. Faktor-faktor perhatian dari luar. Faktor-faktor pengaruh lingkungan luar antara lain : -
Intensitas, prinsip intensitas dari suatu perhatian dapat dinyatakan bahwa semakin besar intensitas semakin besar pula hal-hal tersebut dapat dipahami. Warna yang mencolok, suara yang keras, bau yang tajam dan iklan
yang
berulang-ulang
akan
lebih
menyita
perhatian
bila
dibandingkan dengan warna yang kusam, suara yang pelan, bau yang tidak tajam dan iklan yang hanya sekali tayang. -
Ukuran, faktor ini menyatakan bahwa semakin besar ukuran maka semakin mudah untuk dipahami. Bentuk ukuran ini akan mempengaruhi persepsi seseorang, dengan melihat bentuk ukuran sesuatu obyek orang akan mudah tertarik perhatiannya yang pada gilirannya dapat membentuk persepsinya.
-
Keberlawanan atau Kontras, prinsip ini menyatakan bahwa stimuli luar
yang penampilannya berlawanan dengan latar belakang atau sekelilingnya atau yang sama sekali diluar sangkaan orang banyak akan menarik perhatian. -
Pengulangan, prinsip ini menyatakan bahwa stimulus dari luar yang diulang akan memberikan perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan yang sekali dilihat, sebagaimana dikemukakan oleh Clifford Morgan, ” a stimulus that is repeated has a better chance of chating us during one of the periods when our attention to a task is wanning. In addition, repetition increases our sensitivity of allertness to the stimulus”.
-
Gerakan (moving), prinsip ini menyatakan orang akan memberikan perhatian terhadap obyek yang bergerak ketimbang obyek yang diam. Gerakan suatu obyek yang menarik perhatian seseorang ini akan menimbulkan suatu persepsi. Dengan demikian persepsi ditimbulkan dari proses penarikan sesuatu obyek, obyek yang bergerak akan lebih menarik perhatian.
-
Baru dan familiar, prinsip ini menyatakan bahwa baik situasi eksternal yang baru maupun yang sudah dikenal dapat dipergunakan sebagai penarik perhatian. Obyek atau peristiwa baru dalam tatanan yang sudah dikenal atau obyek atau peristiwa yang sudah dikenal dalam tatanan baru akan menarik perhatian pengamat.
b. Faktor-faktor perhatian dari dalam. Beberapa faktor dari dalam diri seseorang yang mempengaruhi proses seleksi persepsi antara lain : -
Belajar atau pemahaman dan persepsi, semua faktor-faktor dari dalam
yang membentuk perhatian kepada sesuatu obyek sehingga menimbulkan adanya persepsi adalah didasarkan dari kekomplekan kejiwaan. Kekomplekan kejiwaan ini selaras dengan proses belajar atau pemahaman yang dilakukan masing-masing orang. -
Motivasi dan persepsi, prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip belajar atau pemahaman, dari proses pemahaman atau belajar akan memunculkan memotivasi seseorang sesuai dengan pemahaman yang dilakukannya.
-
Kepribadian dan persepsi, dalam membentuk persepsi unsur ini sangat erat hubungannya dengan faktor belajar dan motivasi. Informasi yang berasal dari suatu situasi yang telah diketahui oleh
seseorang, maka informasi yang datang tersebut akan mempengaruhi cara seseorang mengorganisasikan persepsinya. Hasil pengorganisasian persepsi tersebut berupa pengertian tentang sesuatu obyek yang menjadi perhatiannya. Pengorganisasian persepsi tersebut meliputi : -
Kesamaan dan ketidaksamaan, obyek yang mempunyai kesamaan dan ketidaksamaan ciri akan dipersepsi sebai obyek yang berhubungan dan tidak berhubungan.
-
Kedekatan dalam ruang, obyek atau peristiwa yang dilihat orang karena adanya kedekatan dalam ruang tertentu. Seorang laki-laki, seorang wanita dan dua orang anak yang kebetulan bersama-sama menunggu di pemberhentian bis akan dipersepsikan sebagai satu keluarga.
-
Kedekatan dalam waktu, obyek atau peristiwa juga dilihat sebagai hal yang berhubungan karena adanya kesamaan waktu. Sebagai contoh, kematian beberapa orang pejabat penting dalam waktu yang hampir bersamaan bisa
dipersepsikan adanya satu konspirasi politik. Ketiga hal diatas merupakan proses pengorganisasian persepsi. Setiap obyek yang diketahui adanya kesamaan dan ketidaksamaan, kedekatan dalam ruang dan kedekatan dalam waktu, maka akan diorganisasikan sedemikian rupa sehingga menciptakan persepsi tertentu.
Gambar 2.1 Pengorganisasian Persepsi.
Obyek Peristiwa
Penglihatan Pendengaran Penyentuhan Perasaan Penciuman
Transfor masi
Kesamaanketidaksamaan Kedekatan ruang Kedekatan waktu
P E R S E P S I
Umpan balik (feed back)
2.2.A Penyelenggaraan Pemerintahan Indonesia Sebagai Negara Kesatuan Dengan Menganut Azas Desentralisasi Menjadi keniscayaan dalam sistem pemerintahan demokrasi, keberadaan lembaga perwakilan rakyat merupakan unsur yang sangat penting
disamping unsur-unsur lainnya seperti, sistem pemilihan, persamaan di depan hukum, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat dan sebagainya. Setiap sistem demokrasi adalah ide bahwa warga negara seharusnya terlibat dalam hal tertentu di bidang pembuatan keputusankeputusan politik, baik secara langsung maupun melalui wakil pilihan mereka di lembaga perwakilan. Menurut International Commission of Jurist (Toni, Efriza, Kemal; 2006:103) merumuskan sistem politik yang demokratis sebagai suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusankeputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan bertanggung jawab kepada mereka melalui pemilihan umum. Tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan politik di Indonesia adalah terbentuknya sistem politik yang demokratis. Oleh karena itu, kedaulatan atau kekuasaan yang tertinggi dalam negara haruslah berada di tangan rakyat. Artinya, rakyatlah yang berdaulat dan sekaligus sebagai pemilik utama kekuasaan tertinggi tersebut (Dahlan Thaib: 2004:11) Memang prinsip dasar satu kehidupan yang demokratis adalah tiap warga negara ikut aktif dalam proses politik. Namun, Almond dan Verba sudah mengingatkan bahwa kalau setiap warga negara ikut serta dalam setiap proses politik, demokrasi justru tidak akan berjalan. Lundberg malah memandang anggapan tiap warga negara ikut dalam tiap tahap proses politik sebagai suatu mithos. Demokrasi baru bisa berjalan kalau masyarakat sadar bahwa mereka memiliki hak untuk mengontrol jalannya pemerintahan.
Demokrasi baru bisa berjalan kalau pencapaian tujuan-tujuan dalam masyarakat diselenggarakan oleh wakil-wakil mereka, dilaksanakan dalam suatu representative government, yang dibentuk berdasarkan hasil satu Pemilu. Cara ini menjamin rakyat ikut serta dalam proses politik tanpa sepenuhnya terlibat dalam proses itu. (Riswandha Imawan:1998:13) Pandangan Rousseau yang tetap menginginkan direct democracy, sebagaimana terjadi pada masa Yunani kuno, pada kenyataannya sulit untuk dilaksanakan karena beberapa alasan seperti luas wilayah, populasi penduduk yang berkembang dengan cepat, semakin sulit dan rumitnya masalah-masalah politik dan kenegaraan serta kemajuan ilmu pengetahuan menjadi kendala pelaksanaan demokrasi langsung. Sebagai solusi atas kendala-kendala diatas lahirlah indirect democracy, yang disalurkan melalui lembaga perwakilan. Menurut Jellinek (Toni, Efriza, Kemal:2006:102), timbulnya konstruksi perwakilan disebabkan tiga hal : a. Pengaruh
berkembangnya
hukum
Perdata
Romawi
pada
abad
pertengahan, yang menyebabkan timbulnya sistem perwakilan. b. Adanya sifat dualitis pada abad pertengahan yaitu adanya hak raja dan hak
rakyat,
yang
menyebabkan
timbulnya
perwakilan
untuk
mencerminkan hak rakyat. c. Pada abad pertengahan, meski para tuan tanah sebagai pusat kekuasaan, namun pusat kekuasaan itu sendiri yang diperebutkan oleh para tuan tanah.
Indonesia sebagai negara yang mendasarkan prinsip-prinsip demokratis mensyaratkan keberadaan DPR sebagai representasi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tidak hanya dalam tataran penyelenggaraan pemerintah pusat tetapi juga penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia adalah pasal 18 Undang-undang dasar 1945 yang menyatakan ; bahwa pembagian wilayah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunannya ditetapkan dengan Undang-undang. Dalam pembentukan daerah besar dan kecil tersebut harus tetap memperhatikan hak-hak asal-usul dalam daerahdaerah yang bersifat istimewa. Dalam
perjalanan
sejarah
ketatanegaraan
Indonesia,
penyelenggaraan pemerintahan daerah telah mengalami beberapa kali perubahan sejalan dengan perubahan dan pergantian undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Pertama untuk mengisi kekosongan pemerintahan karena ditinggalkan Jepang dan untuk melengkapi susunan pemerintahan RI maka dibentuk pemerintahan daerah yang selanjutnya diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945, titik berat otonomi pada Karesidenan, Kabupaten dan Kota. Kedua, Undang-undang menjalankan
azas
Nomor 22 Tahun 1948, secara garis besar
desentralisasi
dan
medebewind.
Penyelenggaraan
pemerintahan daerah lebih menampilkan pemerintahan yang demokratis sebagai cerminan keinginan daerah untuk memiliki kewenangan yang lebih luas dalam mengatur daerahnya.
Ketiga, pelaksanaan pemerintahan daerah yang didasari dengan Undangundang Nomor 18 Tahun 1965 dengan konsentrasi pada desentralisasi sebagai pemberian otonomi daerah seluas-luasnya, yang berimplikasi seluruh wilayah nusantara dibagi habis dalam daerah-daerah otonom dan tidak ada daerah administrative yang permanen karena daerah tersebut akan berubah menjadi daerah otonom. Keempat, Kewenangan yang luas pada daerah otonom sebagaimana diatur Undang-undang diatas dirubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dengan klaim bahwa tidak semua daerah mampu menjalankan kewenangan yang diberikan, dan perkembangan otonomi selanjutnya didasarkan pada kondisi politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan keamanan nasional. Dalam masa orde baru ini azas dekonsentrasi lebih menonjol bila dibandingkan desentralisasi sehingga pada hakekatnya pemerintahan daerah dijalankan dengan sentralisasi. Kelima, setelah runtuhnya orde baru, maka diberlakukan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, yang secara tegas menyatakan bahwa seluruh kewenangan berada di Kabupaten/kota. Undang-undang ini menitikberatkan desentralisasi
politik
kepada
daerah,
sehingga
Kepala
Daerah
Kabupaten/Kota tidak lagi bertanggungjawab kepada Propinsi melainkan bertanggungjawab kepada DPRD. Dalam konstitusi ini memberikan kewenangan dan kekuasaan DPRD yang sangat besar. Keenam, dengan Undang-undang No. 32 tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah,
maka
desentralisasi
politik
semakin
terwujud
dengan
dilaksanakannya
pemilihan kepala daerah secara langsung dan daerah
diberikan otonomi yang seluas-luasnya. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Daerah Otonom diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Prof. Soepomo menyatakan bahwa otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut riwayat, adat dan sifat-sifat sendiri-sendiri, dalam kadar negara kesatuan. Tiap daerah mempunyai historis dan sifat-sifat khusus yang berlainan dari riwayat dan sifat daerah lain. Karena itu, pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang bermaksud menguniformisir seluruh daerah menurut satu model. (The Liang Gie, dalam Rozali Abdullah :2003:11). Azas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (UU No. 32 tahun 2004) terdiri atas : (1) Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau kepada instansi vertikal diwilayah tertentu. (3) Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan atau desa dan dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membagi wilayah Indonesia atas ; daerah-daerah Propinsi, dan tiaptiap propinsi terbagi atas daerah Kabupaten/ Kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah yang dalam penyelenggaraannya memiliki hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
meletakkan titik berat otonomi pada daerah kabupaten dan kota
dengan tujuan untuk lebih mendekatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat dan memberikan kewenangan kepada Pemerintahan provinsi dalam garis hierarkis sebagai atasan pemerintahan kabupaten/Kota, yang diwujudkan dengan kewenangan untuk membatalkan peraturan daerah dan APBD apabila dipandang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat. Pengertian desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya mempunyai tempatnya masing-masing. Istilah otonomi lebih cenderung pada political
aspect,
sedangkan
desentralisasi
lebih
cenderung
pada
administrative aspect. Namun jika dilihat dari konteks sharing of power, dalam prakteknya kedua istilah tersebut sulit atau bahkan tidak dapat dipisahkan. Artinya jika berbicara mengenai otonomi daerah, tentu akan menyangkut pertanyaan seberapa besar wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan telah diberikan sebagai wewenang rumahtangga daerah.
Demikian pula sebaliknya. Besaran penyerahan kewenangan ini telah masuk ke dalam ranah politik. (B.Yudoyono :2001:4) Dilihat
dari
kekuasaan
pemerintahan
daerah
otonom,
pemerintahan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok (Bagir Manan :2005:103) : a. Pemerintahan dalam arti sempit yaitu penyelenggaraan kekuasaan eksekutif atau administrasi negara. b. Pemerintahan dalam arti agak luas yaitu penyelenggaraan kekuasaan eksekutif dan legislatif tertentu yang melekat pada pemerintahan daerah otonom. c. Pemerintahan dalam arti luas yang mencakup semua lingkungan jabatan negara di bidang eksekutif, legislatif, dan lain sebagainya. 2.2.B
Keberadaan DPRD Sebagai Unsur Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
dewasa
ini
sebagaimana diatur Undang-undang No. 32 tahun 2004, disyaratkan kerjasama antara DPRD dengan pemerintah daerah (pasal. 3 ayat. 1). 1) Kedudukan DPRD dan Pemerintah Daerah Undang-undang No.32 tahun 2004 menggariskan secara tegas bahwa pemerintahan daerah adalah Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah,
sehingga
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan,
keduanya harus bekerjasama. Dalam Pasal 40, UU No. 32 tahun 2004, dinyatakan bahwa ; “ DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat
daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah”. 2) Tugas, fungsi dan wewenang DPRD Stroink dan J.G. Steenbeek dalam Bagir Manan (2005:69), berpendapat bahwa wewenang mengandung pengertian tugas dan hak. Sementara Bagir Manan sendiri berpendapat, wewenang yang mengandung kekuasaan ada pada organ, sedangkan tugas dan hak ada pada pejabat dari organ. Sedangkan arti dari kata fungsi menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah jabatan (pekerjaan) yang dilakukan. Dari penafsiran diatas, berkaitan dengan kelembagaan DPRD maka dapat diketahui bahwasanya wewenang menyangkut pada kekuasaan yang dimiliki lembaga DPRD sementara tugas dan hak melekat pada Anggota DPRD, sedangkan fungsi adalah pekerjaan yang dilakukan oleh DPRD. Di dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa tugas dan wewenang DPRD adalah : a. Membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan Kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama. b. Membahas
dan
menyetujui
rancangan
Perda
tentang
Anggaran
pendapatan dan Belanja Daerah bersama-sama dengan Kepala Daerah. c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD,
Kebijakan
Pemerintah
Daerah
dalam
melaksanakan
program
pembangunan daerah, dan kerjasama Internasional di Daerah. d. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala daerah /wakil kepala daerah kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur. e. Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah. f. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah kabupaten/Kota terhadap rencana perjanjian Internasional di daerah. g. Meminta laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati atau Walikota dalam pelaksanaan tugas desentralisasi. h. Membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah. i. Melakukan
pengawasan
dan
meminta
laporan
KPUD
dalam
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. j. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah. Tugas dan wewenang pengawasan yang dimaksud dalam ketentuan ini, harus dibedakan dengan tugas pengawasan yang dilakukan oleh perangkat pengawas fungsional. Tugas dan pengawasan yang dilakukan DPRD berada dalam dimensi politik, sedangkan tugas pengawasan yang dilakukan aparat pengawas fungsional berada dalam dimensi administrasi. Dalam menjalankan fungsinya terdapat faktor-faktor atau variabel yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi DPRD tersebut. Dalam Hendrikus Pous (1998 :16), terdapat variabel tertentu yang melekat pada pribadi anggota
dewan yang berpengaruh terhadap pelaksanaan fungsinya baik sebagai wakil rakyat, wakil organisasi sosial politik yang dapat dilihat secara internal ataupun secara eksternal kelembagaan. Patterson menyebutkan bahwa status sosial, penghasilan, pendidikan, suku, merupakan unsur-unsur dari struktur internal lembaga itu yang mempengaruhi fungsinya. Arbi Sanit menyebutkan bahwa untuk kasus Indonesia variabel-variabel itu ditambah dengan variabel usia, pengalaman sebelum menjadi anggota dewan dan agama yang dianutnya. Walaupun pandangan mereka berkenaan
dengan
legislatif
tingkat pusat, namun variabel-variabel itu masih relevan untuk diletakkan pada lembaga legislatif, daerah sebagai supra struktur politik daerah. Perilaku dan peran legislatif seorang wakil ditentukan oleh banyak faktor. Suatu lembaga perwakilan adalah arena tempat berlangsungnya tarik menarik berbagai kepentingan dan kekuatan. Aspirasi atau tuntutan para pemilih hanyalah salah satu contoh pressure terhadap wakil rakyat. tekanan lain muncul dari pihak eksekutif atau pemerintah, kelompok kepentingan, kalangan bisnis, pimpinan partai atau bahkan sesama wakil rakyat di dalam lembaga tersebut. Terdapat tarik-menarik yang kuat antara legislatif dan eksekutif dalam menangani masalah-masalah mendasar yang menyangkut kewenangan dan fungsi kedua lembaga tersebut, bahkan berbagai fungsi perwakilan masih harus berurusan dengan kebijaksanaan yang menyangkut nasibnya sendiri. Melihat sejauhmana fungsi legislatif dapat berjalan, tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor penghambat berjalannya fungsi tersebut. Fried
dalam Dahlan Thaib (2004:65), mengajukan beberapa faktor yang menghambat berfungsinya lembaga politik termasuk lembaga legislatif (DPR). Faktor-faktor tersebut meliputi : informasi, keahlian, social power, popularitas, legitimasi, kepemimpinan, kekerasan, peraturan, kekuatan ekonomi, man power dan jabatan. Sementara Curtis mengajukan beberapa sumber kelemahan Badan Legislatif (DPR) yang meliputi antara lain, kekurangan fasilitas kerja, kekurangan sarana penelitian dan kepustakaan, kekurangan tenaga sekretariat dan kurang terspesialisasi komisi-komisi yang ada di Dewan tersebut. Selanjutnya Dahlan Thaib mengemukakan, paling tidak terdapat faktor-faktor internal dan eksternal yang menghambat anggota DPR untuk melaksanakan fungsinya. Faktor internal antara lain : (1) Peraturan tata tertib DPR (2) Kualitas anggota DPR (3) Sarana dan Anggaran. Sedangkan faktor eksternal antara lain : (1) Sistem Pemilihan (2) Latar belakang sejarah dan iklim politik yang berlaku (3) Hak Recall (4) Masih kurangnya kesadaran terhadap amanat konstitusi. Hal yang serupa juga dialami oleh DPRD. Oleh sebab itu berfungsinya DPRD secara optimal sangat ditentukan seberapa besar upaya dan
kemampuannya
mengatasi
hambatan-hambatan
yang
dihadapi.
Sebagaimana dikatakan Muchlis Hamdi (2001:75), apapun peranan yang akan dimainkan oleh lembaga legislatif pelaksanaannya akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kapabilitasnya, secara individual ataupun kolektif. Secara individual kemampuan legislatif akan mencerminkan kemampuan
para anggotanya. Adapun secara kolektif, kemampuan lembaga legislatif akan mencerminkan kondisinya sebagai suatu sistem. Dengan demikian kualitas lembaga legislatif daerah akan sangat menentukan kualitas demokrasi, yang diperlukan bagi terwujudnya cita-cita otonomi daerah. Cita-cita otonomi daerah disamping memenuhi tuntutan efisiensi
dan
efektifitas
pemerintahan,
juga
bagian
dari
tuntutan
konstitusional yang berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan negara berdasarkan atas hukum. 2.2.C Partai Politik dan Perwakilan Politik Pemerintahan yang demokratis dalam artian yang sangat umum sebagaimana pernah dikemukakan oleh Abraham Lincoln (mantan Presiden Amerika Serikat) yaitu ; Government of by and for the people (pemerintah yang dibuat oleh rakyat, dilaksanakan oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat). Konsep tersebut terlalu umum dan tidak mungkin untuk melaksanakannya secara langsung. Persoalan utamanya adalah bagaimana dapat merespon dan mengakomodasi setiap individu/rakyat yang ingin berpartisipasi langsung dalam pemerintahan dan turut serta menetapkan kebijakan politik. Hal ini akan amat sulit diakomodir sekaligus dalam suatu ruang dan rentang waktu tertentu. Jadi tidaklah mungkin setiap orang atau rakyat turut dapat berpartisipasi langsung dalam suatu proses pengambilan kebijakan suatu negara. Sartori dalam Riswandha Imawan (2001:21) mengemukakan : ”Awalnya suatu pemerintahan disebut demokratis bila keputusan apapun
yang ditetapkan, dibuat langsung oleh rakyat. Ini sejalan dengan pemahaman bahwa arti paling dasar demokrasi adalah power of the people”. Namun segera disadari bahwa hal ini mustahil dilaksanakan. Para pakar sependapat bahwa satu pemerintahan dapat disebut demokratis, bila jaringan pembuatan keputusan melibatkan banyak unit politik, dan prosesnya transparan hingga rakyat dapat mengontrol ataupun memasukkan inisiatif baru lewat saluran yang disediakan oleh sistem politik, seperti pemilu dan referendum. Kenyataan inilah yang membuat masyarakat modern berfikir mengenai perwakilan politik. Masalahnya sekarang, bagaimana menentukan wakil rakyat yang benar-benar mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat. Ini bukan masalah yang sederhana. Sekali mereka dipilih atau dipercaya menjadi wakil rakyat, maka keputusan apapun yang mereka ambil syah (legitimate), karenanya mengikat dan harus ditaati oleh tiap warganegara. Beberapa pakar menjelaskan tentang konsep perwakilan politik, antara lain : Miriam Budiardjo (1978:175), perwakilan (representation) adalah konsep bahwa seorang atau satu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Hal ini dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political representation). Arbi Sanit mengemukakan bahwa perwakilan diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak, yaitu wakil dengan terwakili dimana wakil
memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakili. (dalam Dahlan Thaib: 2004 : 2). Sementara Riswandha Imawan (2001:29), perwakilan adalah konsep yang menunjukkan hubungan antara orang-orang, yakni fihak yang mewakili dan diwakili, dimana orang yang mewakili memiliki sederet kewenangan sesuai dengan kesepakatan antara keduanya. Pelimpahan wewenang (politik) seperti ini, bukan saja untuk mengurangi beban sistem politik agar jumlah aktor yang terlibat dalam proses politik menimbulkan kompleksitas jaringan yang bisa membuat sistem itu tidak berfungsi. Pelimpahan ini berhubungan pula dengan kompleksitas dan kerumitan kehidupan sehari-hari masyarakat itu sendiri. Jadi perwakilan politik adalah orang atau kelompok orang yang dipercaya memiliki kemampuan dan berkewajiban untuk bertindak dan berbicara atas nama satu kelompok orang yang lebih besar. Dengan demikian indikator yang bisa digunakan untuk melihat apakah seorang wakil (sekelompok orang) dinilai representatif oleh orang yang diwakili adalah : a. Memiliki ciri yang sama dengan constituen (pemilih) b. Memiliki ekspresi emosi yang sama dengan emosi constituen c. Intensitas komunikasi yang tinggi dengan constituen d. Resistensi yang rendah dari constituen e. Rasa aman wakil bila berada ditengah konstituen Perwakilan politik secara fungsional tidak dapat dipisahkan dengan lembaga perwakilan rakyat. Berdasarkan pemahaman perwakilan di
atas, maka perwakilan politik dapat dipahami melalui rangkaian indikator berikut (Pitkin : dalam Toni, Efriza, Kemal:2006:102) a. Tindakan wakil merupakan reaksi atas kepentingan pihak yang diwakili. b. Wakil harus memiliki kebebasan bertindak, jadi tidak sekedar melayani, tanpa melupakan pertimbangan kebijaksanaan terbaik bagi kepentingan umum. c. Wakil harus mampu meredam konflik yang mungkin muncul antara dari dan rakyat yang diwakilinya. Konsep perwakilan politik dapat ditelusuri dari dua sudut pemahaman. Pertama mikro kosmis dimana wakil rakyat dipandang sebagai miniatur dari elemen masyarakat secara keseluruhan, baik yang menyangkut perasaan, pemikiran, penalaran maupun distribusi geografisnya. Kedua principal agent
dimana wakil dipandang sebagai wakil tunggal dari
keseluruhan elemen masyarakat, karenanya dapat bertindak bebas atas nama pihak lain. Posisi seperti ini bisa merepotkan, karena elemen yang diwakili, yang memberi kepercayaan kepadanya, memiliki kepentingan yang berbeda bahkan sering bersikap kompetitif. Berdasarkan pemahaman di atas, Sartori mengemukakan tujuh kondisi yang mengindikasikan telah terwujudnya perwakilan politik dalam mekanisme pemerintahan (Sartori dalam Toni, Efriza, Kemal :2006:112) : 1) The people freely and periodically elect a body of representative (Rakyat secara bebas dan periodik memilih wakil rakyat) 2) The Governors are accountable or responsible to the governed (Pemerintahan bertanggungjawab kepada pemilih).
3) The governors are agent or delegate who carry out the instruction received from their electors (Pemerintahan adalah wakil yang melaksanakan instruksi dari para pemilihnya) 4) The people feel the same as the state (Rakyat merasa sebagai negaranya) 5) The people concern to the decision of their governors (Rakyat patuh kepada keputusan pemerintahannya) 6) The people share, in some significant way, in the making of relevant political decisions. (Rakyat yang menentukan membuat keputusankeputusan politik yang relevan) 7) The governors are a representative sample of the governed (Pemerintah adalah contoh dari wakil rakyat) Mencermati pendapat para ahli tersebut, maka perwakilan politik dapat didefinisikan sebagai pelimpahan sementara atas kewenangan politik warga negara kepada (sekelompok) orang yang mereka pilih secara bebas, untuk menyelenggarakan kepentingan-kepentingan rakyat yang secara jelas dirumuskan. Memang azas perwakilan politik sudah berlaku secara umum, namun azas ini tidak menjamin semua kepentingan rakyat dapat diakomodasi oleh partai politik dan perwakilan politik. Dalam upaya mengakomodasi kepentingan rakyat yang tidak tertampung dalam partai politik dan perwakilan politik, biasanya azas perwakilan politik diganti dengan azas perwakilan fungsional atau azas perwakilan politik dilengkapi dengan azas perwakilan fungsional. Di Indonesia azas perwakilan fungsional juga telah dikenal disamping azas perwakilan politik. Pemilihan umum tahun 1971
diselenggarakan dengan mengikut sertakan baik partai-partai politik maupun golongan fungsional. Dengan adanya penerapan konsep perwakilan politik dalam menentukan wakil-wakil rakyat atau kelompok yang akan mewakili kepentingan politik mereka dalam arena pemerintahan, menyebabkan terciptanya hubungan antara wakil dan yang terwakili. Bagaimana jalinan hubungan antara wakil dan terwakili ini tergambar dalam dua teori (teori mandat dan teori kebebasan). Dari definisi perwakilan politik yang dikemukakan tersebut diatas, dalam melakukan aktifitasnya para wakil perlu menentukan posisi mereka terhadap fihak yang diwakili atau hakikat hubungan antara wakil dengan yang terwakili, sebagaimana teori Austin Ranney yang membagi menjadi dua teori perwakilan politik yaitu : 1) Teori Mandat (sering disebut functional representation) Menurut teori yang pertama kali dikenalkan oleh J.J. Rousseau ini, wakil dilihat sebagai penerima mandat dimana ia harus merealisasikan kekuasaan fihak yang diwakilinya dalam proses kehidupan politik. Menurut teori ini, tindakan wakil di lembaga perwakilan harus sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh fihak yang diwakilinya. Oleh karena itu pandangan, sikap dan tindakan wakil harus sejalan dengan mandat yang diberikan. Bila terjadi perbedaan pandangan, sikap dan tindakan antara wakil dengan fihak yang diwakili, dapat berakibat turunnya reputasi para wakil. 2) Teori kebebasan (sering disebut political representation)
Ajaran ini dikembangkan oleh Abbe Sieyes di Perancis, serta Block Stone di Inggris. Menurut teori ini, wakil dapat bertindak bebas tanpa tergantung oleh instruksi yang diberikan oleh pihak yang diwakilinya. Wakil merupakan orang yang terpercaya, terpilih, serta memiliki kesadaran akan hukum dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Oleh sebab itu mereka dapat melakukan tindakan apapun atas nama mereka. Berdasarkan dua teori ini, beberapa pakar mengemukakan adanya beberapa varian atau tipe perwakilan politik. a. Varian dari Gilbert Abcarian (1970) dan Neal Riemer (1967) Menurut Gilbert Abcarian ada empat tipe hubungan antara wakil dengan fihak yang diwakili, yaitu : 1) Wakil bertindak sebagai wali. Disini wakil bertindak bebas menurut pertimbangannya sendiri, tanpa perlu berkonsultasi dengan konstituen (fihak yang diwakilinya). 2) Wakil bertindak sebagai utusan. Disini wakil bertindak sebagai utusan dari pihak yang diwakili. Wakil sangat terikat dengan batas kewenangan dan kepentingan-kepentingan yang telah disepakati dengan konstituen. Dengan demikian wakil harus bertindak sesuai dengan mandat yang diberikan padanya. 3) Wakil bertindak sebagai politico. Dalam tipe ini wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali, dan ada kalanya pula bertindak sebagai utusan. Tindakan wakil mengikuti keperluan atau masalah yang dihadapi. Jadi wakil dapat bertindak atas
dasar hati nurani (conscience), pemilih (constituent) dan partai (party). 4) Wakil bertindak sebagai partisipan. Dalam tipe ini wakil bertindak sesuai dengan program dari partai atau organisasinya, wakil melepas hubungannya dengan konstituen begitu proses pemilihan selesai. Selanjutnya wakil hanya terikat pada partai atau organisasi yang mencalonkannya. Dari varian Abcarian ini, apabila kita amati bahwa para wakil rakyat Indonesia tergolong sebagai wakil partisan. Berdasarkan sistem perwakilan yang dianut, rakyat hanya memberikan suaranya kepada organisasi partai politik (OPP). Meskipun nama-nama calon legislatif tercantum dalam kartu suara, namun DPP-OPP yang menentukan urutan nomor caleg dan sangat menentukan calon legislatif yang akan duduk menjadi wakil rakyat. Sisi positif dari hadirnya para wakil partisan ini adalah, mekanisme kerja di lembaga legislatif dijamin lebih mudah. Namun sisi negatifnya, aktivitas para wakil sering tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat yang berkembang secara dinamis. b. Varian dari Hoogerwerf Menurut Hoogerwerf hubungan antara wakil dengan fihak yang diwakili dapat digolongkan kedalam lima tipe : 1) Tipe utusan. Yakni wakil yang bertindak sesuai dengan perintah dari fihak yang diwakilinya.
2) Tipe Wali. Yakni wakil yang memperoleh kuasa penuh dari fihak yang diwakili, dan ia dapat bertindak atas dasar pertimbangan sendiri. Dengan demikian keberadaan wakil tidak tergantung pada fihak yang diwakilinya. 3) Tipe politics. Yakni kombinasi antara tipe utusan dan tipe wali. Tergantung pada situasi, wakil kadang harus berperan sebagai wali, kadang sebagai utusan. 4) Tipe Kesatuan. Yakni seluruh anggota lembaga perwakilan dipandang sebagai wakil dari seluruh rakyat, tanpa membedakan asal partai politik yang mempromosikan mereka. 5) Tipe Penggolongan. Yakni anggota lembaga perwakilan dilihat sebagai wakil dari kelompok teritorial, kelompok sosial, dan kelompok politik tertentu. Selanjutnya dari klasifikasi Hoogerwerf tampaknya para wakil rakyat Indonesia berada pada situasi dilematis. Disatu sisi, mereka dapat dimasukkan sebagai tipe kesatuan. Di lembaga perwakilan, para wakil rakyat harus lebih berorientasi kepada kepentingan rakyat, tanpa memandang pengelompokan politik yang ada. Ini sesuai dengan sumpah para wakil sendiri “mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan”. Sementara disisi lain seperti yang dikemukakan oleh Abcarian, ada ikatan yang sangat erat antara para wakil rakyat Indonesia dengan organisasi politiknya, bahkan dengan kelompok teritorialnya.
Ambiquitas ini bisa dimaklumi dalam kerangka prinsip dasar berpolitik di Indonesia, yakni : akomodatif dan keseimbangan. Prinsip ini memang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia yang sangat heterogen. Namun prinsip ini harus diperlakukan secara dinamis. Maksudnya interpretasi terhadap prinsip ini harus pula disesuaikan dengan perkembangan riil masyarakat sebagai dampak dari hasil program pembangunan yang dilaksanakan. Namun dari sudut ilmu politik, wakil yang “benar” adalah wakil tipe kesatuan (integrated). Dua alasan bisa dikemukakan. Pertama, dilihat dari perspektif Hukum Tata Negara, maka mandat bebas dimiliki oleh trustee, mandat imperative dimiliki oleh delegate, dan mandat representatif dimiliki oleh tipe kesatuan seperti dikemukakan Hoogerwerf. Kedua, partai politik hanyalah alat “kendaraan” yang digunakan oleh orang untuk menjadi wakil rakyat. Lembaga perwakilan (DPRD) merupakan arena dimana dia berbuat atas nama dan kepentingan rakyat yang diwakili. Hingga pada saat dia beraktivitas sebagai wakil rakyat, tidak relevan bila dikaitkan dengan alat atau “kendaraan” yang digunakannya. Dengan demikian keberadaan partai politik sangat penting untuk mengantar para perwakilan politik kedudukannya sebagai wakil politik di DPR atau DPRD. Pengertian partai politik itu sendiri secara umum menurut Miriam Budiardjo (1978:160) adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik, dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka. Adapun fungsi partai politik adalah : a. Partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai politik merupakan sarana komunikasi politik yang menghubungkan antara pihak yang memerintah dengan yang diperintah. Partai politik bertindak sebagai penghubung yang menampung arus informasi, baik yang berasal dari penguasa kepada masyarakat maupun sebaliknya. b. Partai sebagai agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat. Salah satu tugas partai politik adalah menyalurkan berbagai macam usulan dan aspirasi masyarakat Partai politik menampung dan menggabungkan berbagai usulan dan aspirasi dalam proses yang dinamai penggabungan kepentingan (interest agregation). Selanjutnya dirumuskan menjadi usulan kebijakan yang akan menjadi program partai. Program tersebut selanjutnya diperjuangkan dan disampaikan kepada pemerintah untuk menjadi publik policy. c. Partai sebagai sarana sosialisasi politik. Berbagai macam kegiatan yang dilaksanakan partai dan rutinitas pelaksanaan pemilu dengan kampanye yang gegap gempita menjadi sarana sosialisasi politik bagi rakyat. d. Partai sebagai sarana rekruitmen politik . Rutinitas partai untuk mengajak dan mencari kader-kader politik, menjadi sarana rekruitmen politik. Tak bisa dipungkiri proses suksesi ditubuh partai
tiap lima tahun membutuhkan kader baru yang diharapkan dapat
mendukung berdirinya partai.
e. Partai sebagai sarana pengatur konflik. Perbedaan pendapat dalam masyarakat Indonesia yang heterogen, menjadikan partai berperan untuk mencegah terjadinya konflik, keberadaan partai dengan ciri khas dan gaya masing-masing menjadikan rakyat untuk mengikutinya sesuai dengan kepribadiannya. Sehingga konflik yang terjadi lebih teratur. Adanya perwakilan politik yang keberadaan mereka di DPR dan DPRD melalui Pemilu, kepadanya melekat fungsi-fungsi tertentu yang harus mereka jalankan. Miriam Budiardjo (1978:182), mengemukakan, diantara fungsi badan legislatif yang paling penting ialah : a. Menentukan policy (kebijaksanaan) dan membuat undang-undang. Untuk itu dewan perwakilan rakyat diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah dan hak budget. b. Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Untuk menyelenggarakan tugas ini, badan perwakilan rakyat di beri hak-hak kontrol khusus. Peranan lembaga legislatif pada dasarnya menunjukkan derajat pelaksanaan fungsinya. Secara umum fungsi-fungsi lembaga legislatif (Hitchner and Harbold dalam Muchlis Hamdi: 2001:78), termasuk lembaga legislatif daerah, mencakup hal-hal sebagai berikut :
1) Representasi opini dan kepentingan
2) Formulasi kebijakan 3) Kontrol keuangan 4) Supervisi eksekutif 5) Pembuatan undang-undang Dari perumusan fungsi itu, peranan lembaga legislatif paling tidak bisa dikelompokkan menjadi empat, yakni sebagai wakil rakyat, formulasi kebijakan berkaitan dengan penggunaan anggaran, pengontrol eksekutif, dan pembuat undang-undang. Dalam pelaksanaan berbagai fungsi tersebut, anggota legislatif umumnya dipahami mempunyai berbagai kemungkinan corak perilaku, misalnya seperti yang dikemukakan oleh (Jacobsec dan Lipman dalam Muchlis Hamdi : 2001: 79) dapat dibedakan atas tiga, yakni : a. Utamanya sebagai agen dari pemilihnya, mempunyai komitmen untuk mengikuti
instruksi
dan
keinginan
dan
untuk
mengetengahkan
kepentingan lokal atau b. Sebagai pejabat negara yang seharusnya bertindak untuk rakyat sebagai keseluruhan, di atas pertimbangan yang bersifat parokial, atau c. Seharusnya berkonsultasi dan bertindak dengan pimpinan partainya, mensubordinasikan
pertimbangan
pribadinya
atau
kepentingan
pemilihnya pada program umum yang ditetapkan partai. Sebagai sebuah institusi, para wakil dalam dewan atau lembaga perwakilan memiliki empat fungsi dasar, yakni : a. Fungsi legislasi (perundangan) meliputi pembuatan aturan sendiri, dan menjadi mediator kepentingan rakyat dengan pemerintah yang dituangkan dalam peraturan.
b. Fungsi budget (penganggaran) meliputi merancang dan menentukan arah serta tujuan aktifitas pemerintahan dan pembangunan. c. Fungsi pengawasan, lembaga perwakilan menilai apakah aktivitas pemerintahan
masih
selaras
dengan
aspirasi
masyarakat,
serta
memastikan bahwa perkembangan aspirasi masih bisa di akomodir dalam rencana kerja pemerintah. d. Fungsi regulator konflik, meliputi aktivitas menampung dan menyerap konflik kepentingan yang berkembang dalam masyarakat, sehingga konflik pada tataran masyarakat dapat diubah menjadi konflik internal lembaga perwakilan sebagai bagian dari sebuah sistem politik. Untuk dapat melaksanakan fungsi-fungsi itu, lembaga perwakilan dilengkapi dengan hak-hak ; mengajukan pertanyaan ; mengajukan usul pernyataan pendapat ; meminta keterangan (interpelasi) ; mengadakan penyelidikan (angket) dan mengubah aturan yang berlaku (amandemen). Aktualisasi fungsi dan hak tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berkaitan. James Lee
dalam Riswandha (2001: 27)
memasukkan faktor-faktor tersebut dalam tiga kelompok : -
Stimuli Eksternal, yang mencakup afiliasi partai politik, kepentingan pemilih, input-output eksekutif, dan aktivitas kelompok penekan.
-
Setting Psikologis, yaitu predisposisi personal, sikap, dan peran-peran yang dijalankan, serta harapan-harapannya.
-
Komunikasi intra-institusional, baik formal maupun informal yang berpotensi menggantikan atau membesarkan pengaruh faktor-faktor lain yang telah disebutkan.
2.2.D Hak budget /Anggaran. Prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan negara menjadi begitu penting pasca reformasi. prinsip tersebut dilatarbelakangi pemikiran pengelolaan keuangan negara yang tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan, serta upaya untuk mencegah terjadinya kebocoran anggaran sehingga pemerintah seringkali merubah kebijakan dalam pengelolaan anggaran. Hak anggaran yang melekat dalam Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai hak untuk mengusulkan anggaran kepada Pemerintah, merupakan salah satu hak yang sangat penting guna menyusun anggaran yang proporsional sebagai pencerminan aspirasi rakyat. Hak anggaran juga melekat dalam DPRD Propinsi maunpun Kabupaten/Kota. DPRD Kabupaten Demak periode 2004-2009 yang merupakan hasil Pemilihan umum tahun 2004, telah mengalami tiga aturan dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yaitu : pertama Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kedua Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, ketiga Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
a. Mekanisme pembahasan APBD dengan
mendasarkan pada
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002. Sebelum diterbitkannya Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, peraturan dalam pengelolaan keuangan negara diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 yang didalamnya juga mengatur proses pembahasan APBD oleh DPRD. Alasan Pemerintah menetapkan Keputusan ini adalah : 1) Terbitnya
Undang-undang
Nomor
22
Tahun
1999
tentang
Pemerintahan Daerah, yang mendasari penyelenggaraan pemerintahan di daerah. 2) Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. 3) Pemerintah memfasilitasi penyelenggaraan otonomi daerah dalam rangka pembinaan kepada Daerah. 4) Guna mewujudkan terselenggaranya penyusunan laporan keuangan yang memenuhi azas tertib, transparansi, akuntabilitas, konsistensi, komparabilitas, akurat, dapat dipercaya dan mudah dimengerti. Pembahasan APBD yang diawali dengan penyusunan Arah dan Kebijakan Umum Anggaran oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah yang selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada DPRD untuk dibahas bersamasama. Mekanisme pembahasan Arah dan Kebiajakan Umum Anggaran oleh DPRD dijadualkan sendiri oleh DPRD dan dalam tahapan ini, mekanisme yang dilalui adalah melalui beberapa tahapan rapat yaitu : a) Rapat-rapat Fraksi.
Dalam tahapan ini, Fraksi-fraksi yang merupakan kepanjangan tangan dari partai politik mempunyai kesempatan untuk mensikronkan rancangan Arah dan Kebijakan Umum Anggaran dengan program-program partai. Dalam rapat fraksi semua anggota DPRD yang notabene juga anggota Fraksi mempunyai kesempatan yang sama dalam menyampaikan aspirasi dan pendapatnya. b) Rapat-rapat Komisi-komisi. Komisi-komisi yang merupakan alat kelengkapan DPRD, dengan pembidangan memungkinkan penyusunan kebijakan sesuai dengan program kerja dari masing-asing Komisi. Dalam tahapan ini pun semua anggota DPRD mempunyai kesempatan yang sama untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya. c) Rapat Panitia Anggaran. Panitia Anggaran dalam satu DPRD biasanya beranggotakan sebanyak sepertiga sampai separoh dari jumlah keseluruhan anggota DPRD, dimana Pimpinan DPRD secara ex officio duduk didalam keanggotaannya. Panitia Anggaran bertugas membahas anggaran baik anggaran untuk keseluruhan pemerintahan daerah sebagai kepanjangan tangan DPRD maupun anggaran internal dewan. d) Rapat Pimpinan DPRD Dalam tahapan merupakan penyampaian laporan hasil rapat-rapat komisi kepada Pimpinan DPRD dan penyelarasan dengan antar komisi sehingga tidak terjadi tumpang tindih kebijakan. Rapat Pimpinan DPRD diikuti oleh Pimpinan DPRD dan Pimpinan Komisi-komisi.
e) Rapat Paripurna DPRD. Rapat Paripurna diikuti oleh seluruh anggota DPRD untuk menetapkan persetujuan Rancangan AKU menjadi Arah dan Kebijakan Umum Anggaran. Dalam rapat ini menggendakan penegasan fraksi dengan pandangan akhir fraksi-fraksi terhadap AKU yang akan ditetapkan, dan penandatanganan Nota Kebijakan Umum Anggaran oleh Ketua DPRD dan Kepala Daerah b. Mekanisme
Pembahasan
APBD
dengan
Mendasarkan
pada
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Beberapa alasan Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 adalah : 1)
Terbitnya
Undang-undang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah, yang mendasari penyelengaraan pemerintahan di daerah. 2)
Sebagai pelaksanaan pasal 155 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Berbeda dengan mekanisme terdahulu, pembahasan APBD
dengan mendasarkan pada Permendagri 13 tahun 2006 lebih sederhana. Penyusunan APBD yang diawali dengan penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) oleh Tim Anggaran Pemerintah daerah. Rancangan KUA dan PPAS selanjutnya diserahkan kepada DPRD untuk dibahas bersama. Proses pembahasan rancangan KUA dan PPAS di tingkat DPRD meliputi tahapan pembahasan :
a) Pembahasan oleh Panitia Anggaran DPRD. Dalam tahap ini rancangan Kebijakan Umum Anggaran hanya dibahas oleh Panitia Anggaran DPRD. Yang berhak membahas adalah anggota DPRD yang duduk dalam Panita Anggaran DPRD, dan biasanya berjumlah separoh dari jumlah anggota DPRD. b) Rapat Paripurna DPRD. Rapat Paripurna diikuti oleh seluruh anggota DPRD untuk menetapkan persetujuan Rancangan KUA dan PPAS menjadi Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara. Dalam rapat ini mengagendakan penegasan fraksi dengan pandangan akhir fraksi-fraksi terhadap KUA yang akan ditetapkan, dan penandatanganan Nota Kebijakan Umum Anggaran oleh Ketua DPRD dan Kepala Daerah. c.
Mekanisme
Pembahasan
APBD
dengan
Mendasarkan
pada
Permendagri Nomor 59 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Beberapa alasan Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 adalah : 1) Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten atau Kota. Yang mengatur pembagian urusan dan wewenang pemerintahan sebagai pelaksanaan azas desentralisasi.
2) Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, yang mengatur susunan organisasi dan tata kerja perangkat daerah sebagai pelaksana kegiatan di daerah. 3) Memenuhi aspirasi daerah dan permasalahan teknis dalam pengelolaan daerah. Pembahasan APBD dengan mendasarkan pada Permendagri 59 tahun 2007, oleh DPRD pada dasarnya sama dengan pembahasan dengan mendasarkan pada Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dengan tahapan : a) Pembahasan oleh Panitia Anggaran DPRD. Dalam tahap ini rancangan Kebijakan Umum Anggaran hanya dibahas oleh Panitia Anggaran DPRD. Yang berhak membahas adalah anggota DPRD yang duduk dalam Panita Anggaran DPRD, dan biasanya berjumlah separoh dari jumlah anggota DPRD. b) Rapat Paripurna DPRD. Rapat Paripurna diikuti oleh seluruh anggota DPRD untuk menetapkan persetujuan Rancangan KUA dan PPAS menjadi Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara. Dalam rapat ini mengagendakan penegasan fraksi dengan pandangan akhir fraksi-fraksi terhadap KUA yang akan ditetapkan, dan penandatanganan Nota Kebijakan Umum Anggaran oleh Ketua DPRD dan Kepala Daerah. Secara garis besar beberapa perbedaan pada ketiga aturan tersebut khususnya yang berkaitan dengan pembahasan oleh DPRD berikut :
adalah sebagai
Matrix Perbedaan Pembahasan APBD oleh DPRD Berdasarkan Kepmendagri 29/2002, Permendagri 13/2006 dan Permendagri 59/2007 Peraturan Perundangan
No 1
2
3.
Kepmendagri 29/2002 Berdasar pada : - UU 22 Tahun 1999. - PP 105 tahun 2000. Tujuan : Penyusunan laporan yang tertib, transparan, akuntabel, konsisten, komparabel, akurat, dapat dipercaya dan mudah dimengerti. Pembahasan APBD diawali pembahasan AKU
Permendagri 13/2006 Berdasar pada : - UU 32 tahun 2004 - PP 58 Tahun 2005
Permendagri 59/2007 Berdasar pada : - UU 32 tahun 2004 - PP 38 tahun 2007 Tujuan : Memenuhi aspirasi daerah dan permasalahan teknis dalam pengelolaan keuangan daerah.
APBD Pembahasan APBD Pembahasan Pembahasan diawali pembahasan diawali KUA dan dilanjutkan KUA dan PPAS. pembahasan PPAS
Lanjutan matriks 4
dan PPAS dan PPAS KUA Pembahasan AKU KUA sesuai tata tertib DPRD dibahas hanya oleh dibahas hanya oleh Panitia Anggaran. (dibahas Fraksi, Komisi Panitia Anggaran. dan Panitia Anggaran. PPAS disusun PPAS berdasarkan KUA yang bersamaan telah disepakati DPRD KUA
5
disusun dengan
6
RAPBD berpedoman RAPBD berpedoman RAPBD ditekankan pada AKU pada KUA dan PPA pada kesesuaian KUA dan PPAS
7
RAPBD dibahas oleh Fraksi, Komisi dan Panitia Anggaran. (pembahasan sesuai tata tertib DPRD)
RAPBD dibahas oleh Fraksi, Komisi dan Panitia Anggaran. (pembahasan sesuai tata tertib DPRD)
RAPBD dibahas oleh Fraksi, Komisi dan Panitia Anggaran. (pembahasan sesuai tata tertib DPRD)
8
hasil APBD hasil APBD pembahasan diserahkan pembahasan diserahkan kepada Gubernur kepada Gubernur untuk dalam rangka dievaluasi. pengawasan
APBD hasil pembahasan diserahkan kepada Gubernur untuk dievaluasi.
9
Jadual
penyusunan Jadual penyusunan dan Jadual penyusunan dan
AKU tercantum dalam pembahasan KUA dan pembahasan KUA dan ditegaskan lampiran. PPAS ditegaskan PPAS dalam pasal. dalam pasal. 10
Perubahan APBD Perubahan diawali dengan diawali perubahan AKU perubahan PPAS
11
AKU dituangkan dalam Nota Kesepakatan dan ditanda tangani Kepala Daerah dan Ketua DPRD
APBD Perubahan APBD dengan diawali dengan KUA & perubahan KUA dan PPAS
KUA dan PPAS dituangkan dalam kesepakatan dan ditandatangani Kepala Daerah dan Pimpinan DPRD
KUA dan PPAS dituangkan dalam kesepakatan dan ditandatangani Kepala Daerah dan Pimpinan DPRD
Sumber : Kepmendagri 29 tahun 2002, Permendagri 13 Tahun 2006 dan Permendagri 59 Tahun 2007, data diolah. Dari tiga proses pembahasan tersebut terlihat perbedaan keterlibatan tiap-tiap anggota DPRD dalam menyuarakan pendapat dan aspirasinya sebagai wakil rakyat. Pembahasan mestinya akan lebih efektif jika melalui mekanisme yang pertama, sehingga semua anggoa DPRD mempunyai kesempatan yang sama dalam memperjuangkan masyarakat yang diwakilinya, utamanya untuk mengedepankan akuntabilitas dan transparansi anggaran yang selama ini menjadi tujuan pokok dalam penyusunan anggaran. Dengan perubahan peraturan tersebut tersebut menimbulkan berbagai persepsi anggota
Dewan
dalam penyusunan
anggaran daerah.
Ada
kecenderungan seseorang untuk menilai orang lain seperti apa orang tersebut. Hal yang sama juga akan dilakukan seseorang, masyarakat dan lembaga terhadap adanya peraturan baru. Apakah peraturan tersebut menguntungkan, merugikan atau tidak bermanfaat sama sekali. Salah satu konsep yang dapat menerangkan timbulnya kecenderungan diatas
adalah konsep filsafat sifat
manusia
(Fathurohman; 2006:29) Menurut konsep ini ada harapan agar seseorang
mempunyai kualitas tertentu dan berperilaku sesuai dengan kualitas yang dimilikinya. Anggota DPRD dengan latar belakang pendidikan, pengalaman, pekerjaan dan umur yang beragam mempunyai cara pandang yang berbeda dalam memandang dan membahas anggaran daerah.atau dengan kata lain merumuskan kebijakan dalam lingkup yang lebih luas yaitu untuk kepentingan daerah. Dalam tesis ini persepsi dari masing-masing anggota DPRD sebagai subyek dalam melakukan pembahasan terhadap APBD dengan didasarkan pada Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pedoman yang berbeda sebagaimana ketentuan yang digariskan dalam Permendagri tersebut, yang menjadi stimulus dalam proses pembahasan APBD menimbulkan pemahaman dan tanggapan yang berbeda dalam memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya.
2.3 Kerangka Pemikiran
Stimulus
Persepsi
Respon
Permendagri 59 tahun 2007 ttg Perubahan atas Permendagri 13 tahun 2006
Anggota DPRD dalam menyusun APBD Kabupaten Demak
- Partai Politik - Aspirasi masyarakat - Kelompok kepentingan
- Keputusan - Sikap - Perilaku
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian merupakan suatu kajian yang mengulas tentang usaha untuk menemukan, megembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan dengan menggunakan cara-cara ilmiah. Dalam melakukan penelitian ada berbagai macam metode yang dapat dipilih. Metode yang dipilih berhubungan erat dengan prosedur, alat serta desain penelitian yang digunakan. 3.1 Metode Penelitian Agar dalam penelitian terjamin tingkat validitasnya, maka pemilihan metode penelitian harus didasarkan pada realitas yang menjadi objek. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Deskriptif, dimana metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa di masa sekarang. Penggunaan metode penelitian deskriptif ini dengan analisis kualitatif. Tujuan dari penelitian deskripsi adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Masri
Singarimbun
(1987:4),
Penelitian
Deskriptif
dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial
tertentu. Peneliti mengembangkan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa. Lexy J. Moleong (2008:11), mengemukakan
metode
Deskriptif ; Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya. 3.2 Teknik Pengumpulan Data Dalam upaya pengumpulan data yang akurat dalam penelitian, penulis akan menggunakan sebagian besar teknik-teknik tersebut di atas diantaranya : a. Teknik observasi langsung, dengan terjun langsung ke objek penelitian untuk mendapatkan gambaran riil dan objektif tentang proses pembahasan APBD. Observasi antara lain dengan mengikuti proses pembahasan APBD yang dilakukan DPRD Kabupaten Demak. b. Teknik wawancara yaitu melakukan wawancara/interview dengan para anggota DPRD yang menjadi responden. c. Teknik Studi Dokumentasi/Library Research Teknik ini telah digunakan mulai
dari
persiapan
penyusunan
proposal
penelitian
sampai
berakhirnya penelitian dalam upaya mendapatkan kerangka teoritis, memahami konsep, realita yang terjadi dan isu-isu yang berkembang. 3. 3 Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua Anggota DPRD Kabupaten Demak yang terpilih dalam Pemilihan Umum tahun 2004, yang jumlahnya empat puluh lima orang anggota. Sampel adalah bagian dari populasi. Populasi atau universe ialah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga.
Untuk
menentukan jumlah sampel perlu memperhatikan kecukupannya, Kartono Kartini (1996:135) menyatakan lebih baik responden yang lebih daripada kurang, dan untuk populasi sebesar 0 sampai dengan 100, maka jumlah sampel adalah seluruhnya, apabila jumlah populasi 100 sampai dengan 200, maka sampel sebanyak 70% sampai 80% dari jumlah populasi. Mendasarkan pendapat diatas, maka responden dalam penelitian ini adalah seluruh anggota DPRD Kabupaten Demak yang berjumlah empat puluh lima orang anggota.
3. 4. Teknik Analisa Data Analisis data (Patton 1980 dalam Lexy J. Moleong 2008: 280) adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Ia membedakannya dengan
penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan diantara dimensi-dimensi uraian. Setelah data yang dibutuhkan diperoleh melalui penelitian lapangan, selanjutnya dilakukan analisa data yang akan membantu dalam memahami permasalahan dan mengambil suatu kesimpulan hasil penelitian dan pada akhirnya menghasilkan rekomendasi. Analisis yang digunakan adalah metode analisis kualitatif.
BAB IV GAMBARAN UMUM TERBENTUKNYA DPRD KABUPATEN DEMAK
4.1 Pendataan Pemilih. Sebagai bagian dari negara yang menganut paham demokrasi, keberadaan pemilihan umum menjadi syarat mutlak untuk mewujudkannya. Penyelenggaraan pemilihan umum 2004, didahului dengan upaya pengakuratan data jumlah penduduk dan jumlah pemilih melalui Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B). Tujuan
dilaksanakannya P4B disamping mengetahui
pertambahan jumlah penduduk, menentukan besarnya kuota setiap kursi, juga untuk meminimalisir mereka yang mempunyai hak pilih kehilangan hak suara karena tidak terdata. P4B dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik dari tanggal 1 April sampai 30 April dan diperpanjang sampai tanggal
15 Mei 2003. Selanjutnya hasil P4B
diserahkan BPS kepada KPU Kabupaten Demak yang baru terbentuk pada bulan Juni 2003. Hasil P4B di kabupaten Demak tercatat sebagai berikut : a. Jumlah penduduk Kabupaten Demak sebanyak 1.041.090 dengan rincian : 1) Laki-laki
: 521.937
2) Perempuan
: 519.153
b. Jumlah pemilih sebanyak 694.016 dengan rincian : 1) Laki-laki
: 342.828
2) Perempuan
: 351.188
c. Perincian jumlah penduduk dan jumlah pemilih dalam tiap-tiap kecamatan sebagaimana tersebut dalam tabel berikut ini Tabel 4. 1 Jumlah Penduduk dan Jumlah Pemilih Pemilu Legislatif Tahun 2004
No
Kecamatan
Jumlah Penduduk
Jumlah Pemilih
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan 1
2
3
4
5
6
1
Demak
50.663
51.125
34.657
35.964
2
Wonosalam
34.814
34.289
22.843
22.954
3
Dempet
26.169
26.042
17.731
18.016
4
Kebonagung
18.927
18.955
12.759
13.183
5
Gajah
22.779
22.494
15.393
15.755
6
Karanganyar
33.535
33.851
18.668
18.999
7
Mijen
27.992
27.619
22.444
23.340
8
Sayung
46.294
46.290
22.753
23.066
9
Karangtengah
28.831
28.547
18.483
18.954
10
Guntur
35.482
34.898
29.428
30.232
11
Bonang
48.254
47.559
30.376
30.613
12
Wedung
40.259
39.571
25.898
26.175
13
Mranggen
69.296
68.983
45.261
46.796
14
Karangawen
38.642
38.930
26.134
27.141
Jumlah
521.937
519.153
342.828
351.188
Sumber : KPUD Kabupaten Demak
Ket 7
4.2 Penetapan Daerah Pemilihan Berdasarkan data P4B dan jumlah kursi DPRD kabupaten Demak, maka dapat ditentukan kuota untuk setiap kursi DPRD dengan rumusan sebagai berikut : Kuota setiap kursi DPRD Kabupaten Demak = Jumlah penduduk kabupaten Jumlah kursi DPRD = 1.028.317 45 =
22.851,49
Sesuai pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebutkan bahwa untuk pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten Kota ditetapkan daerah pemilihan. Daerah pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota adalah Kecamatan atau gabungan kecamatan. Wewenang untuk menetapkan Daerah Penelitian ada pada Komisi Pemilihan Umum, yang didasari usulan dari KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/ Kota. Berdasarkan ketentuan diatas, KPU Kabupaten Demak mengusulkan beberapa opsi daerah pemilihan dengan memperhatikan beberapa hal antara lain : a. mempunyai kursi
tidak lebih dari 12 (dua belas kursi) dalam satu daerah
pemilihan. b. berbatasan secara fisik dan merupakan satu kesatuan wilayah yang utuh ; c. mempunyai hubungan komunikasi dan transportasi yang lancar; d. berdekatan secara kultural: Tiga opsi yang diusulkan KPU Kabupaten Demak adalah :
a. Membagi wilayah Kabupaten Demak dalam 5 DP dengan besaran DP berkisar antara 7 sampai dengan 11 kursi. b. Membagi wilayah Kabupaten Demak dalam 7 DP dengan besaran DP berkisar antara 5 sampai dengan 8 kursi. c. Membagi wilayah Kabupaten Demak dalam 9 DP dengan besaran DP berkisar antara 3 sampai dengan 7 kursi. Dari tiga opsi tersebut KPU pusat menetapkan opsi yang pertama yakni membagi wilayah Kabupaten Demak dalam 5 DP dengan besaran DP berkisar antara 7 sampai dengan 11 kursi, sebagaimana surat Keputusan KPU Nomor : 653 Tahun 2003, tanggal 20 Nopember 2003. Adapun pembagian daerah tersebut sebagaimana tercantum dalam tabel berikut ini :
Tabel 4.2
Pembagian Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi Tiap Daerah Pemilihan
No
Daerah Pemilihan
1 1
2
3
4
5
Jumlah Penduduk
Jumlah Kursi
3
4
2 Demak 1 meliputi :
257.790
Demak
100.700
Wonosalam
68.486
Dempet
51.167
Kebonagung
37.437
Demak 2, meliputi :
165.399
Gajah
44.365
Karanganyar
66.017
Mijen
55.017
Demak 3, meliputi :
217.957
Guntur
69.979
Sayung
92.141
Karangtengah
55.837
Demak 4, meliputi :
173.008
Bonang
95.113
Wedung
77.895
Demak 5, meliputi :
214.163
Mranggen
137.325
Karangawen
11
7
10
8
9
76.838
Jumlah
1.028.317
45
Diskripsi pembagian daerah pemilihan di Kabupaten Demak terlihat dalam peta berikut ini.
Peta
Pembagian Daerah Pemilihan Kabupaten Demak dalam Pemilu tahun 2004
4.3 Partai Politik Peserta Pemilihan Umum di Kabupaten Demak.
Perkembangan demokrasi yang sangat pesat pasca reformasi, disambut dengan antusias rakyat yang ditandai dengan partisipasi mereka dengan terbentuknya partai-partai politik. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya partai politik baru peserta Pemilu tahun 1999 dengan 48 (empat puluh delapan) kontestan, yang semula hanya tiga partai politik peserta Pemilihan umum selama tiga puluh tahun, mulai pemilihan umum tahun 1977, 1982, 1987,1992, dan 1997. Pada tahun 2004 partai politik peserta pemilu menjadi separonya yakni sebanyak 24 (dua puluh empat) partai politik. Sebagaimana yang terjadi pada KPU Pusat, dalam pemilu 2004 tercatat 31 partai politik yang telah mendaftar pada KPU Kabupaten Demak. Selanjutnya terhadap 31 partai dilakukan penelitian administrasi dan faktual yang dilaksanakan oleh KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten dari tanggal 19 Juli sampai dengan 20 Nopember 2003. Penelitian administrasi adalah penelitian terhadap keabsahan syaratsyarat administrasi yang diajukan oleh pimpinan Partai Politik. Penelitian faktual adalah penelitian atas kebenaran data-data di lapangan meliputi 1) penelitian terhadap kepengurusan partai politik secara fisik serta KTA Parpol, 2) penelitian terhadap keberadaan kantor partai politik, apakah mempunyai kantor tetap sebagaimana syarat administrasi yang telah disampaikan. Berdasarkan keputusan KPU Nomor 105 tahun 2003 jo Keputusan KPU Nomor 615 tahun 2003, KPU Kabupaten Demak melaksanakan penelitian faktual setelah partai politik yang bersangkutan dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU Propinsi. Dari hasil penelitian diatas KPU Kabupaten Demak menetapkan partai politik peserta pemilu di kabupaten Demak sebanyak 24 (dua puluh empat) partai politik yaitu :
1 PNI Marhaenisme 2 Partai Buruh Sosial Demokrat 3 Partai Bulan Bintang 4 Partai Merdeka 5 Partai Persatuan Pembangunan 6 Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 7 Partai Indonesia Baru 8 Partai Nasional Banteng Kemerdekaan 9 Partai Demokrat 10 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 11 Partai Penegak Demokrasi Indonesia 12 Partai Nahdlatul Umah Indonesia 13 Partai Amanat Nasional 14 Partai Karya Peduli Bangsa 15 Partai Kebangkitan Bangsa 16 Partai Keadilan Sejahtera 17 Partai Bintang Reformasi 18 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 19 Partai Damai Sejahtera 20 Partai Golongan Karya 21 Partai Patriot Pancasila 22 Partai Sarikat Indonesia 23 Partai Persatuan Daerah
24 Partai Pelopor
4.4. Hasil Pemilihan Umum Legilatif tahun 2004 di Kabupaten Demak Pelaksanaan pemungutan suara di 2.644 TPS (Tempat Pemungutan Suara) secara serentak yang telah dijadulkan secara nasional pada tanggal 5 April 2004 dari jam 07.00 sampai dengan 12.00 WIB. Dalam pemilu tahun 2004 ini lebih banyak TPS yang disediakan bila dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya karena setiap pemilih harus mencoblos 4 (empat) kartu untuk memilih: -
Anggota DPR;
-
Anggota DPD;
-
Anggota DPRD Propinsi dan
-
Anggota DPRD Kabupaten.
Sehingga membutuhkan waktu relatif lebih lama bagi tiap-tiap pemilih, dan sebagai solusinya perlu dibuat TPS lebih banyak. Hasil pemungutan suara selanjutnya ditetapkan dalam rapat pleno KPU pada tanggal 14 April 2004, yang dihadiri oleh : -
Para ketua PPK dan sekretaris PPK.
-
PANWASLU Kabupaten Demak;
-
Para saksi dari masing-masing partai politik dan
-
Dinas/instansi terkait.
Rapat Pleno KPU dengan acara menetapkan hasil penghitungan suara dan rekapitulasi penghitungan suara sebagaimana tersebut dalam tabel berikut ini. Tabel 4.3
Hasil Penghitungan Suara Pemilu Legislatif Kabupaten Demak Tahun 2004 NO PARTAI POLITIK 1
PNI MARHAENISME
2
PBSD
3
PBB
4
PARTAI MERDEKA
5
DEMAK 1 334
DAERAH PEMILIHAN DEMAK DEMAK DEMAK DEMAK JUMLAH 2 3 4 5 254
131
263
130
1,112
301
-
-
-
-
301
1,393
1,118
962
238
3,663
7,374
493
429
575
1,501
399
3,397
PPP
17,848
12,986
18,248
24,651
8,913
82,646
6
PPDK
2,724
175
124
101
203
3,327
7
PARTAI PIB
406
-
212
63
-
681
8
PNBK
514
201
484
9
PARTAI DEMOKRAT
1,199
9,297
3,974
7,573
2,579
8,046
31,469
615
89
148
65
1,801
2,718
1,243
601
694
466
532
3,536
823
348
252
1,328
731
3,482
4,718
1,571
2,308
1,532
3,016
13,145
828
1,324
2,383
844
1,907
7,286
10
PKP INDONESIA
11
PPDI
12
PARTAI PNUI
13
PAN
14
PKPB
15
PKB
24,694
13,379
21,162
22,440
27,314
108,989
16
PKS
4,455
4,204
4,670
2,475
9,155
24,959
17
PBR
2,636
547
1,074
4,339
1,508
10,104
18
PDI PERJUANGAN
47,332
37,075
44,228
17,346
31,095
177,076
19
PDS
-
-
827
-
-
827
20
PARTAI GOLKAR
15,974
6,875
8,551
3,106
13,701
48,207
21
PARTAI PATRIOT PANCASILA
222
125
648
181
307
1,483
22
PARTAI SARIKAT INDONESIA
623
229
430
183
305
1,770
23
PPD
190
466
-
1,171
295
2,122
24
PARTAI PELOPOR
1,117
947
1,149
251
257
3,721
138,780
86,716
116,550
85,607
113,278
540,931
JUMLAH
KET
Sumber : Laporan Penyelenggaraan Pemilu 2004 oleh KPU Kabupaten Demak Dari hasil penghitungan suara PDI Perjuangan memperoleh suara terbanyak dengan jumlah 177,076 suara, urutan kedua Partai Kebangkitan Bangsa dengan 108.989, Partai Persatuan Pembangunan menduduki urutan ketiga dengan
perolehan 82.646
suara, Keempat adalah Partai Golongan Karya dengan 48.207
suara, posisi kelima diraih Partai Demokrat dengan perolehan suara 31.469, Partai Keadilan Sejahtera memperoleh 24.959 suara dengan menduduki urutan keenam, Partai Amanat Nasional mendapat suara 13.145 pada urutan ketujuh dan posisi kedelapan diraih oleh Partai Bintang Reformasi dengan suara sebanyak 10.104. Dari rekapitulasi penghitungan suara selanjutnya ditentukan Bilangan Pembagi Pemilih untuk menentukan jumlah kursi yang diperoleh masing-masing Partai Politik di masing-masing Daerah Pemilihan. Rumusan Bilangan Pembagi Pemilih untuk masing-masing DP adalah Jumlah seluruh suara sah tiap-tiap DP dibagi jumlah kursi tiap DP. Jumlah suara sah tiap DP BPP tiap DP = Jumlah kursi tiap DP Sehingga diperoleh 45 (empat puluh lima) calon anggota legislatif terpilih yang berasal dari 8 (delapan) partai politik dengan perincian : 1. Partai Persatuan Pembangunan sebanyak 9 orang, 20 %. 2. Partai Demokrat sebanyak 3 orang, 6,67%. 3. Partai Amanat Nasional sebanyak 1 orang, 2,22%. 4. Partai Kebangkitan Bangsa sebanyak 9 orang, 20%. 5. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebanyak 16 orang, 35,56%. 6. Partai Golongan Karya sebanyak 4 orang, 8,89% 7. Partai Keadilan Sejahtera sebanyak 2 orang, 4,44%. 8. Partai Bintang Reformasi sebanyak 1 orang, 2,22%.
Setelah diketahui nama-nama calon anggota legislatif yang terpilih, selanjutnya KPU Kabupaten Demak mengusulkan nama-nama tersebut kepada Gubernur Jawa Tengah melalui Bupati Demak untuk disahkan menjadi Anggota DPRD Kabupaten Demak. Bupati Demak mengirimkan surat Nomor 171/1007, tanggal 6 Juli 2004, perihal Usulan Peresmian Calon Anggota DPRD Kabupaten Demak hasil Pemilu 2004. Berdasarkan surat Bupati Demak, Gubrnur Jawa Tengah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 171/36/2004, tanggal 1 Agustus 2004, tentang Peresmian Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Demak. Pengucapan Sumpah/Janji Anggota Legislatif Kabupten Demak dilaksanakan pada tanggal 13 Agustus 2004, yang dipandu oleh Ketua Pengadilan Negeri Demak. 4.5. Tingkat Partisipasi Masyarakat Kesadaran berdemokrasi dapat diukur melalui tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap Pemilihan Umum. Meluangkan waktu datang ke TPS dan memberikan suara merupakan bentuk kepedulian terwujudnya demokrasi. Dari data KPU rata-rata tingkat partisipasi masyarakat di Jawa Tengah sekitar 80%. Dari hasil pemungutan suara yang dilaksanakan dalam pemilihan legislatif pada tahun 2004 di kabupaten Demak, dapat diketahui tingkat partisipasi masyarakat Demak dalam mewujudkan demokrasi, sebagaimana dalam tabel 4.4.
Tabel 4.4
Prosentase Pemilih Yang Menggunakan Hak Pilihnya dibanding Jumlah Pemilih Dalam Pemilu Legislatif 2004
No Daerah Pemilihan
Jumlah Pemilih
Jumlah perolehan suara
Prosentase
Ket
(%)
1
Demak 1
178.107
138.780
77.92
2
Demak 2
114.599
86.716
75.67
3
Demak 3
142.916
116.550
81.55
4
Demak 4
113.062
85.607
75.72
5
Demak 5
145.332
113.278
77.94
Jumlah
694.016
540.931
77.94
Sumber KPU Kabupaten Demak, data diolah. Mendasarkan pada data diatas tingkat partisipasi masyarakat Kabupaten Demak pada kisaran angka 77,94 %. Angka tersebut belum termasuk suara rusak atau tidak sah karena salah mencoblos. Data dari KPU Propinsi menyatakan bahwa tingkat Partisipasi masyarakat Kabupaten Demak sekitar
83, 4 %. Lihat
tabel tingkat partisipasi masyarakat Jawa Tengah dalam Pemilu Legislatif 2004, sebagaimana tabel 4.5.
Tabel 4.5 Tingkat Partisipasi masyarakat Jawa Tengah dalam Pemilu DPRD 2004
No
Kabupaten/ Kota
Tingkat Partisipasi Pemilih (dalam %) Pemilu DPRD 2004
Pilpres I
Plipres II
Pilkada 2004/2005
1.
Kota Pekalongan
84,44
82,00
75,77
67,95
2.
Kab Kebumen
82,64
79,90
78,30
71,81
3.
Kota Semarang
81,30
79,34
77,34
66,51
4.
Kab Kendal
85,51
83,49
80,57
73,38
5.
Kab Rembang
86,97
82,25
78,30
82,42
6.
Kota Surakarta
83,13
80,66
78,71
74,91
7.
Kab Boyolali
83,94
81,76
78,49
76,20
8.
Kab. Sukoharjo
77,95
77,93
75,74
72,45
9.
Kab. Blora
84,34
81,06
79,33
74,25
10. Kab. Purbalingga
81,30
78,39
75,03
72,35
11. Kota Magelang
85,07
83,84
83,33
77,59
12. Kab. Semarang
85,26
83,15
80,87
66,99
13. Kab. Purworejo
85,18
82,56
80,47
74,95
14. Kab. Wonosobo
87,73
85,07
82,54
79,20
15. Kab. Wonogiri
80,54
75,28
74,30
68,96
16. Kab. Klaten
87,03
84,35
81,53
74,53
17. Kab. Pemalang
79,25
76,38
72,58
64,95
18. Kab. Grobogan
80,21
75,26
72,18
69,92
19. Kab. Demak
83,40
77,63
72,53
77,64
20. Kab. Sragen
84,84
81,14
78,61
71,63
21. Kota. Salatiga
83,33
80,93
80,11
76,58
22. Kab. Pekalongan
84,14
79,83
75,48
74,02
23. Kab. Pati
81,62
77,65
74,93
51,80
24. Kab. Banjarnegara
84,04
79,47
75,85
72,97
25. Kab. Batang
884,4
82,76
79,53
77,82
Sumber Ary Pradhanawati : Pemilihan Gubernur Gerbang Demokrasi Rakyat (2007) Tingkat partisipasi masyarakat Jawa Tengah termasuk Demak cukup tinggi meskipun mengalami penurunan, mengingat partisipasi politik di negara maju
seperti Amerika yang berkisar pada 50%. Menurut Pika dan Watson dalam Ari Pradhanawati (2007:63) di Amerika Serikat angka rata-rata partisipasi pemilih dalam pemilu dekade 1932 sekitar 52,3%, 1960 sekitar 62,8%, 1984 sekitar 53,19%, 1988 sekitar 50,1 %, 1992, sekitar 55,2%, 1996 sekitar 49% dan tahun 2000 sekitar 51,3%. Menurut Lipset dalam Ary Pradhanawati (2007:63), tingkat partisipasi rendah karena sistem sosial, ekonomi politik yang sudah mapan dan tidak banyak pertentangan yang fundamental dalam masyarakat, perbedaan ideologi maupun program partai tidak mencolok, sehingga situasi sosial, ekonomi dan politik nasional yang dibangun satu partai politik dengan partai politik lain tidak akan mengalami banyak perbedaan. Disamping itu beban pendaftaran bukan pada pemerintah namun pada pemilih. Sehingga pemilih harus meluangkan waktu untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan. Perbandingan diatas menunjukan
perbedaan, tingkat partisipasi
masyarakat Jawa Tengah pada kisaran 80% masih relatif cukup tinggi. Iklim demokrasi yang berhembus pasca reformasi, mendorong antusias masyarakat untuk mewujudkan demokrasi, disamping itu kondisi perekonomian yang belum mapan, harapan masyarakat yang besar terhadap kebijakan yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan, dan perbedaan ideologi yang tinggi dengan ditandai banyaknya kerusuhan yang terjadi dalam kampanye menjelang pemilihan umum legislatif. Beberapa hal tersebut menjadikan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya
dengan
harapan
mendapatkan
memperjuangkan nasib mereka. 4.6 Tingkat Pendidikan Anggota DPRD
wakil-wakil
rakyat
yang
bisa
DPRD dalam fungsinya sebagai lembaga legislasi yang menentukan kebijakan daerah, fungsi Pengawasan (controling) yang mengawasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dan fungsi Anggaran (Budgeting) menentukan besaran anggaran sesuai dengan kebutuhan dan kemanfaatannya bagi daerah, memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Apabila kita mengamati perkembangan politik lokal sekarang ini cukup dinamis, menurut Bambang Yudoyono (2003:130) hal tersebut dapat dikenali melalui beberapa fenomena yang berkembang : a. Meningkatnya tekanan politik anggota DPRD terhadap Kepala Daerah dalam menjalankan pemerintahan di daerah. b. Berkembangnya aktivitas masyarakat warga masyarakat dalam memperjuangkan aspirasinya baik perseorangan maupun kelompok. c. Berkembangnya kebebasan pers yang mengungkap berbagai kasus pelanggaran yang dilakukan pejabat publik. d. Pemerintah daerah tidak lagi menjadi aktor utama yang mendominasi proses pengambilan keputusan. Hal diatas ditunjang dengan adanya undang-undang pemilihan Kepala Daerah secara langsung dengan partai politik mengambil peran penting dalam pencalonan Kepala Daerah menjadikan politik lokal makin dinamis. Dari empat hal diatas terlihat peran DPRD sebagai aktor politik lokal sangat menonjol. Untuk mengarahkan kondisi dinamis yang berkembang pada politik lokal dibutuhkan kualitas SDM anggota DPRD yang bisa bertindak dengan benar sehingga tekanan yang diberikan kepada pemerintah daerah adalah murni untuk kesejahteraan rakyat. Dengan kualitas anggota DPRD yang baik maka semua aspirasi
masyarakat dapat tertampung dan diperjuangkan sehingga tidak ada unjuk rasa dari masyarakat. Pentingnya kualitas SDM anggota DPRD juga ditekankan dengan adanya persyaratan bagi calon Legislatif dalam Pemilu 2004 yang minimal berijazah SLTA. Hal ini didasari mengingat banyak anggota DPRD Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur hasil Pemilu 1999 yang mayoritas berpendidikan SLTA. Untuk Jawa Tengah anggota DPRD Kabupaten/Kota yang berpendidikan SLTA sekitar 44,15%, SD/SR sekitar 1,81%, SLTP sekitar 11,09%, D3 sekitar 13,71%, Sarjana sekitar 28,02%, S2 hanya 0,60% dan pendidikan lain-lain sekitar 0,60%. Anggota DPRD Kabupaten/Kota di Jawa Timur yang berpendidikan SLTA sejumlah 41,28%, SD/SR lebih kecil yaitu 0,06%, berpendidikan SLTP sekitar 7,25%, D3 sekitar 10,25%, yang berpendidikan Sarjana lebih tinggi yaitu 35,62%, S2 juga lebih tinggi dibanding Jawa Tengah yaitu 3,66%, dan pendidikan lain-lain 1,33%. Dengan adanya persyaratan terhadap tingkat pendidikan bagi anggota DPRD diharapkan akan lebih meningkatkan kinerjanya. Untuk Kabupaten Demak pada awal pelantikan Anggota DPRD Kabupaten Demak periode 2004 – 2009, hasil Pemilu 2004 yang berijazah S1 sebanyak 19 orang, Sarjana Muda 11 orang dan SLTA sebanyak 16 orang. Angka tersebut mengalami perubahan karena banyak anggota DPRD Kabupaten Demak yang melanjutkan pendidikannya baik ke jenjang Sarjana maupun Pasca Sarjana. Data sekarang ini sebanyak 3 orang dalam tahap penyelesaian S2, 6 orang telah menyelesaikan studi S1 dan 6 orang yang semula berijazah SLTA masih dalam tahap menyelesaikan studi S1. Sehingga ada 3 orang dalam tahap studi S2, 21 bergelar S1, 6 orang berijazah Sarjana Muda, 6 orang dalam tahap studi S1 dan 10 orang berijazah SLTA. Lihat tabel tingkat pendidikan anggota DPRD Kabupaten Demak.
Tabel 4.6 Tingkat Pendidikan Anggota DPRD Kabupaten Demak periode 2004 – 2009
No.
TAHUN
TINGKAT 2004
PENDIDIKAN
1
S2
2
Menempuh pendidikan S2
3
S1
4
Menempuh pendidikan S1
5 6
2008
Jumlah
Prosentase (%)
Jumlah
Prosentase (%)
-
-
-
-
3
6,67
19
42,22
21
46,67
-
-
6
13,33
D3
10
22,22
5
11,11
SLTA
16
35,56
10
22,22
45
100
45
100
Jumlah
Sumber : Sekretariat DPRD Kabupaten Demak. Dari tabel diatas dapat diketahui, sebagai pejabat publik yang senantiasa berhubungan dengan masyarakat, dan berusaha untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat, Anggota DPRD berusaha meningkatkan pendidikannya. Prosentase tingkat pendidikan mengalami peningkatan. Anggota DPRD yang berpendidikan S2 yang semula 0% menjadi 6,67 %, mereka yang berpedidikan S1 yang semula 42,22 % naik menjadi 46,67 %, anggota yang dalam tahap menempuh pendidikan S1 sebanyak 13,33 %, anggota yang berpendidikan D3 yang pada awalnya 22,22 % turun menjadi 11,11 % karena mereka telah menyelesaikan pendidikan S1, dan anggota yang berpendidikan SLTA yang semula 35,56 % turun menjadi 22,22 %.
Sebanyak 10 orang atau 22,22 % masih berpendidikan SLTA dengan alasan faktor usia sehingga mereka memilih berfokus pada upaya meningkatkan kinerjanya dan tetap membangun hubungan yang lebih solid dengan masyarakat yang diwakilinya. 4.7 Hasil kerja DPRD Kabupaten Demak DPRD dengan tiga fungsinya yaitu fungsi Pengawasan, yang dilakukan secara langsung di lapangan maupun laporan dari masyarakat yang ditindaklanjuti dengan rapat-rapat tingkat Komisi. Fungsi Anggaran diwujudkan dengan perumusan dan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang diawali dengan Pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (PPAS) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara. Dalam rangka memperjuangkan aspirasi, tiap-tiap anggota legislatif melakukan penyerapan aspirasi yang dalam satu tahun dilaksanakan reses smpai tiga kali reses, hasil penyerapan aspirasi diharapkan dapat diperjuangkan dalam pembahasan anggaran. Fungsi Legislasi dilaksanakan dengan pembahasan peraturan perundangan daerah. Karena peraturan daerah menjadikan masyarakat sebagai obyek, maka peran dewan sangat diperlukan sehingga peraturan daerah tidak menjadi beban bagi masyarakat, hal tersebut didasari banyak daerah yang berusaha meningkat Pendapatan Asli Daerah dengan menyusun Perda pajak dan retribusi daerah yang memberatkan masyarakat. Keseimbangan dan stabilitas di daerah perlu dijaga dengan kerjasama yang baik antara legislatif dan eksekutif yang diharapkan dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraa masyarakat daerah. Sejak tanggal 13 Agustus 2006 sampai dengan April 2008, DPRD Kabupaten Demak tercatat telah melaksanakan 525 kegiatan persidangan meliputi rapat Paripurna, rapat Panitia Anggaran, rapat Panitia Musyawarah, rapat Panitia
Khusus, rapat Pimpinan, rapat-rapat Komisi yang meliputi Komisi A, B, C dan D. Yang didalamnya berisi rapat-rapat kerja bersama dengan Dinas/Instansi dan rapat dengar pendapat dengan masyarakat. Untuk menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman DPRD Kabupaten juga melaksanakan study banding ke kabupaten/kota lain yang dipandang mempunyai kesamaan potensi, dengan harapan dapat mengambil manfaat atas pengembangan yang ada di daerah tujuan untuk diterapkan di Demak. Disamping itu juga mengikuti berbagai macam pendidikan dan latihan yang dapat menunjang pelaksanaan tugas dan wewenang dewan.
BAB V PERSEPSI ANGGOTA DPRD KABUPATEN DEMAK TERHADAP PERMENDAGRI NOMOR 59 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN PERMENDAGRI NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DALAM PENYUSUNAN APBD KABUPATEN DEMAK
5.1 Gambaran Responden Responden dalam penelitian sebanyak empat puluh lima orang atau seluruh anggota DPRD Kabupaten Demak dari berbagai macam partai politik, dengan berbagai macam kedudukan sebagai Pimpinan DPRD, Ketua-ketua Fraksi, Ketua-ketua Komisi A, B, C dan D, anggota Panitia Anggaran maupun anggota yang tidak duduk dalam jabatan diatas. Gambaran umum responden meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan sebelum menjadi anggota dewan dan lamanya menjadi anggota DPRD Kabupaten Demak sebagaimana dalam tabel 5.1. Gambaran responden menurut umur terdiri dari 2% berusia antara 27 – 35 tahun, 40% berusia antara 35 – 43 tahun, 33% berusia antara 44 -52 tahun, 22% berusia antara 53 – 61 tahun dan 2 % berusia lebih dari 61 tahun. Responden menurut jenis kelamin terdiri dari 88,9% laki-laki dan 11,1% perempuan. Tingkat pendidikan responden cukup tinggi yang terdiri dari 8,8% berpendidikan pasca sarjana, 44,4% berpendidikan sarjana, berpendidikan sarjana muda 24,4% dan SLTA 22,2%. Latar belakang pengalaman non akademis bisa diperoleh melalui pekerjaan ataupun pergaulannya, gambaran pekerjaan responden sebelum menjadi anggota dewan terdiri dari petani 13%, pedagang 18%, pegawai negeri sipil 4%, guru swasta
27% dan swasta lainnya 38%. Lamanya responden menjadi anggota dewan terdiri atas satu periode 66,7%, dua periode 20% dan lebih dari dua periode 13,3%. Tabel 5.1 Gambaran Umum Responden No. 1
Keterangan
3
4
27 – 35 tahun 35 – 43 tahun 44 – 52 tahun 53 – 61 tahun 62 tahun keatas
1 18 15 10 1
2 40 33 22 2
% % % % %
Jenis kelamin a. laki-laki b. Perempuan
40 5
88,9 % 11,1 %
Pendidikan a. Pasca Sarjana b. Sarjana c. Sarjana Muda d. SLTA
4 20 11 10
8,8 % 44,4 % 24,4 % 22,2 %
6 8 2 12 38
3% 18 % 4% 27 % 38 %
30 9 6
66,7 % 20,0 % 13,3 %
Pekerjaan sebelum menjadi anggota DPRD a. b. c. d. e.
5
Prosentase
Umur a. b. c. d. e.
2
Jumlah
Petani Pedagang Pegawai Negeri Guru swasta Swasta lainnya
Lama menjadi anggota DPRD a. satu periode b. dua periode c. lebih dari dua periode
Sumber : Data hasil penelitian 5.2 Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Anggaran bagi suatu organisasi menjadi faktor dominan untuk menggerakan roda organisasi, baik organisasi yang berorientasi profit maupun sosial. Demikian juga dengan negara dan pemerintah, dalam tataran Pemerintahan daerah dimana roda pemerintahan dijalankan oleh Kepala daerah beserta perangkat daerah dengan kontrol masyarakat yang direpresentasikan melalui DPRD. Pemerintahan dengan fungsi-fungsi yang pada dasarnya untuk kepentingan publik, membutuhkan anggaran yang sangat besar. Fungsi pemerintahan menurut Anderson dalam Budi Setyono (2007:21) ada tujuh fungsi yaitu : Pertama, (providing social economic infrastructure) menyediakan infrastruktur sosial ekonomi. Pemerintah menyediakan institusi-institusi dasar, peraturan, dan rencana yang diperlukan untuk dilaksanakan kegiatan sistem sosial dan ekonomi modern. Kedua, (provision of collective good and services) menyediakan barang dan jasa kolektif. Ada berbagai macam barang dan jasa untuk kepentingan umum yang tidak bisa disediakan secara individual mengingat jumlahnya, untuk itu barang dan jasa disediakan secara kolektif. Sebagai contohnya pengadaan sistem pertahanan, jalan dan jembatan, wilayah peresapan air taman dan hutan kota dan berbagai bangunan infratruktur publik lainnya. Ketiga, (resolution and adjusment of conflicts) menyelesaikan konflik antar anggota masyarakat dalam kerangka pencapaian keadilan, ketertiban dan stabilitas. Pemerintah harus bisa melindungi mereka yang lemah, mencegah terjadinya eksploitasi kaum lemah diperlukan penegakan hukum dan aturan sehingga yang
terjadi mereka yang kuat akan mensubsidi dan membantu yang lemah untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Keempat, (maintenance of competition) menjaga iklim persaingan. Persaingan adalah hukum alam yang senantiasa terjadi manakala adanya keterbatasan kesempatan dan sumber daya sementara yang membutuhkan sangat banyak. Kehadiran pemerintah diperlukan dalam mengontrol persaingan sehingga tidak terjadi hukum rimba, tindakan pemerintah disini diwujudkan melalui pembuatan berbagai regulasi agar terjadi persaingan yang sehat. Kelima, (protection of natural resources) melindungi lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah sumber daya yang berkaitan dengan hasrat hidup orang banyak, kerusakan lingkungan hidup jelas mengganggu terwujudnya kesejahteraan umum untuk itu pemerintah perlu melindungi sumber daya alam. Keenam, (provision for minimum access by individuals to the goods and services of the economy) menyediakan akses minimum bagi individu-individu terhadap barang dan jasa. Mekanisme pasar yang seringkali tidak memberikan kesempatan kepada mereka yang kurang beruntung untuk mendapatkan barang dan jasa, padahal mereka sangat membutuhkan untuk bertahan hidup, peran pemerintah diperlukan untuk membantu mereka yang miskin dan kurang beruntung untuk tetap survive meski dalam tingkatan minimum. Ketujuh, (stabilition of economy) menstabilkan ekonomi. Dalam kehidupan suatu Negara selalu terjadi perubahan kondisi ekonomi, peran pemerintah diperlukan untuk mencegah dan mengatasi agar tidak terjadi perubahan yang terlalu jauh. Tindakan pemerintah dalam hal ini dapat dilakukan melalui kebijakan moneter, pengontrolan harga dan upah.
Untuk
dapat
melaksanakan
fungsi-fungsi
diatas
pemerintah
membutuhkan anggaran yang sangat besar. Identik dengan pemerintahan suatu negara pemerintah daerah juga melakukan fungsi-fungsi diatas namun dalam cakupan yang lebih sempit. Perencanaan penggunaan dan pengelolaan anggaran membutuhkan formulasi kebijakan yang tepat, untuk itu keberadaan DPRD diperlukan agar penetapan kebijakan dapat seimbang dan proporsional, penggunaan anggaran tidak hanya ditentukan oleh pemerintah dan kepentingan pemerintah namun juga kepentingan masyarakat yang diusulkan melalui perwakilan mereka di lembaga Legislatif. Sejalan dengan hal tersebut hasil penelitian terhadap responden menyatakan fungsi Anggaran yang melekat pada lembaga DPRD sangat penting dalam ikut menentukan kebijakan pembangunan dan pemerintahan secara real di daerah. Dari empat puluh lima responden semuanya menyatakan sangat penting dengan berbagai alasan antara lain : a. Anggaran sebagai penentu berjalannya pembangunan dan pemerintahan di daerah, sehingga keberadaan Dewan dengan fungsi budgeting dapat mewakili suara rakyat, atas rencana pembangunan yang diusulkan eksekutif. DPRD dapat mengusulkan berbagai kegiatan pembangunan yang belum tercover oleh pemerintah sehingga terwujud anggaran yang seimbang dan proporsional bagi daerah. b. Pemerintahan daerah yang pada dasarnya adalah pelayan masyarakat di daerah, keberadaan anggaran dipandang sebagai faktor yang dapat menentukan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat di daerah.
c. Mengingat pentingnya anggaran bagi operasional daerah, dan penggerak organisasi maka anggaran perlu dilaksanakan secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel yang dapat dicapai melalui peran DPRD. d. Otonomi daerah dipandang sebagai desentralisasi ekonomi di daerah sehingga DPRD dengan fungsi anggarannya dapat berperan dalam menumbuhkan perekonomian daerah. e. Adanya fungsi budgeting pada Dewan, dipandang sebagai sarana pengawasan awal terhadap pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, karena anggaran dilaksanakan dengan mekanisme dari perencanaan, pelaksanaan dan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban oleh Eksekutif yang semuanya diketahui oleh DPRD. Sejalan dengan pendapat diatas, Puryadi (2007: 93), menyatakan bahwa, ” APBD adalah juga cerminan dari tiga kegiatan di daerah yaitu penyelenggaraan pemerintahan di daerah, pelayanan pada masyarakat, dan pembangunan di daerah”. Ini berarti pelaksanaan APBD adalah penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan dan pembangunan di daerah. Tanpa APBD maka fungsifungsi pemerintahan di daerah tidak akan berjalan.
5.3
Mekanisme pembahasan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Demak Anggaran yang akuntabel, dan transparan sangat ditentukan oleh system
dan mekanisme pembahasannya. Pembahasan APBD diatur dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri yang mengalami beberapa kali perubahan. Dalam tiga tahun terakhir peraturan yang mengatur pengelolaan keuangan daerah telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali, mulai dari Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pelaksanaan tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan terakhir Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dari hasil interview dengan responden, dimana anggota DPRD sebagai pelaku pembahasan mengemukakan beberapa perbedaan antara lain : Pembahasan APBD dengan mendasarkan pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002. a.
Penyusunan APBD diawali dengan penyusunan Arah dan Kebijakan Umum (AKU) APBD.
b.
Pembahasan Arah dan Kebijakan Umum (AKU) anggaran diserahkan pada tata tertib DPRD, dan pembahasan Arah dan kebijakan Umum tidak hanya oleh Panitia Anggaran tetapi juga pembahasan oleh Komisi-komisi dan Fraksi.
c.
Arah dan Kebijakan Umum anggaran memberikan rambu-rambu terhadap Rancangan APBD sehingga cukup flexibel dalam penyusunan APBD.
Pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan mendasarkan pada Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah : a.
Penyusunan APBD diawali dengan penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Penetapan Plafon Anggaran Sementara (PPAS).
b.
Pembahasan KUA dan PPAS hanya oleh Panitia Anggaran DPRD dan Tim Anggaran Kabupaten.
c.
KUA dan PPAS menjadi dasar RAPBD, dimana semua kegiatan yang tercantum dalam APBD harus tercantum juga dalam KUA dan PPAS. Dengan membandingkan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang
menjadi pedoman dalam pembahasan APBD di tingkat DPRD, kita dapat mengetahui manakah yang lebih baik, apakah hasil pembahasan atau produk APBD yang pembahasannya berpedoman pada Kepmendagri 29 tahun 2002 ataukah Permendagri 59 tahun 2007. Dari
hasil
interview
diketahui
responden
yang
berpendapat
Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah lebih baik dengan prosentase sebesar 28,89 % dan yang berpendapat hasil pembahasan APBD lebih baik dengan mendasarkan pada Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 ternyata lebih besar dengan prosentase 71,11 %, (tabel data terlampir) beberapa alasan yang mendasarinya masing-masing responden adalah : a.
Pembahasan dengan dasar Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, lebih teratur dan lebih efisien waktu karena tidak banyak melibatkan alat kelengkapan DPRD yaitu Komisikomisi. b.
Adanya evaluasi oleh Gubernur untuk Kabupaten/Kota sehingga APBD yang ditetapkan mendekati sempurna.
c.
Karena pembahasan KUA dan PPAS yang lebih detail dibanding pembahasan terhadap AKU.
d.
Karena KUA dan PPAS identik dengan RAPBD sementara, sehingga selanjutnya akan memudahkan pembahasan terhadap RAPBD.
Sementara responden yang menjawab lebih baik dengan mendasarkan pada Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, dengan alasan : a.
Adanya alokasi waktu untuk komisi-komisi sebagai alat kelengkapan DPRD yang mempunyai bidang tugas yang spesifik, sehingga bisa mencermati Arah dan Kebijakan Umum Anggaran dan PPAS secara lebih cermat, detail dan teliti.
b.
Flexibilitas dari Arah dan Kebijakan Umum Anggaran, karena hanya memberikan arah dan garis besar terhadap APBD yang akan disusun, sehingga dengan kondisi perekonomian yang tidak stabil akan lebih mudah mengadopsi aspirasi masyarakat dan menyesuaikan besar kecilnya angka kegiatan dalam APBD.
c.
Lebih akomodatif karena dibahas dalam komisi-komisi yang mempunyai mitra kerja, dan komisi mempunyai catatan-ctatan tentang permasalahan yang sering dihadapi Satuan-satuan kerja yang merupakan mitra kerja komisi.
d.
Lebih baik, karena yang membahas lebih banyak, semua anggota DPRD ikut terlibat, tidak hanya anggota panitia anggaran.
e.
Lebih baik Kepmendagri 29 Tahun 2002, karena anggota bisa langsung menyampaikan aspirasi yang nantinya tertampung dalam arah dan kebijakan umum anggaran. Apabila ditelusuri lebih mendalam perbedaan pendapat diatas lebih
dilatarbelakangi posisi anggota DPRD apakah sebagai Panitia Anggaran atau bukan. Anggota DPRD yang duduk dalam Panitia Anggaran berpendapat Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah lebih baik dengan prosentase 42,86 %, dan yang menyatakan lebih baik Kepmendagri 29 tahun 2002 sebanyak 57,14%. Sedangkan anggota dewan diluar keanggotaan Panitia Anggaran menyatakan Kepmendagri 29 tahun 2002 lebih baik dengan prosentase 83,33 %, dan menyatakan Permendagri 59 tahun 2007 lebih baik hanya 16,67%. Responden yang tidak duduk dalam Panitia Anggaran berpendapat banyak kegiatan pembangunan didaerah yang berlokasi dekat dengan tempat tinggal mereka, kurang mendapat perhatian dikarenakan tidak ada yang memperjuangkan dalam APBD walaupun mereka duduk dalam keanggotaan komisi DPRD. Secara rasional mereka bisa menitipkan pada anggota yang duduk dalam panitia anggaran namun selama ini belum pernah berhasil.
Perbedaan pendapat diatas menunjukan adanya tarik ulur kepentingan, meskipun tidak mencolok hal ini berlawanan dengan kredonya Woodrow Wilson yang berbunyi, when Politic end, administraton begin. Harapan bahwasanya DPRD milik rakyat daerah yang telah memilih dan mendudukan mereka dalam keanggotaan parlemen tidak terwujud, keinginan masyarakat memiliki lembaga legislatif tanpa memandang partai dan golongan tidak kesampaian karena dalam realitanya anggota DPRD hanya memperjuangkan individu, golongan dan kelompoknya. Berkaitan dengan kebijakan publik yang diharapkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat luas tidak pernah terwujud, atau dengan kata lain karena kepentingan individu, kelompok dan aliran membuat kebijakan publik hanya memperjuangkan ”publik yang terbatas” dari pada kepentingan masyarakat luas. Pendapat tersebut sejalan dengan Riant Nugroho D (2007:3) yang menyatakan Kebijakan publik Indonesia sejak kemerdekaan hingga saat ini masih banyak diwarnai ”kepentingan publik terbatas”. Ichlasul Amal menjelaskan bahwa, perilaku dan peran legislatif seorang wakil ditentukan oleh banyak faktor. Suatu lembaga perwakilan adalah arena tempat berlangsungnya tarik menarik berbagai kepentingan dan kekuatan. Aspirasi atau tuntutan para pemilih hanyalah salah satu contoh pressure terhadap wakil rakyat, tekanan lain muncul dari pihak eksekutif atau pemerintah, kelompok kepentingan, kalangan bisnis, pimpinan partai atau bahkan sesama wakil rakyat di dalam lembaga tersebut. Terdapat tarik-menarik yang kuat antara legislatif dan eksekutif dalam menangani masalah-masalah mendasar yang menyangkut kewenangan dan fungsi kedua lembaga tersebut, bahkan berbagai fungsi perwakilan masih harus berurusan dengan kebijaksanaan yang menyangkut nasibnya sendiri.
Terhadap pertanyaan bagaimana Anggota DPRD melihat proses pembahasan APBD yang didahului dengan penyusunan Kebijakan Umum Anggaran, sebagaimana diatur dalam ketentuan Permendagri 59 Tahun 2007, apakah sudah sesuai dengan sasaran yang diharapkan DPRD dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat. Responden berpendapat sebagai berikut : a. Penyusunan KUA dan PPAS harus diawali dengan MUSRENBANG dari tingkat Desa dan Kecamatan serta Rakorbang di tingkat kabupaten sehingga kepentingan publik dapat terakomodir. b. Pembahasan sudah sesuai harapan, namun dalam kenyataannya penyusunan KUA dan PPAS masih mengalami bongkar pasang dengan alasan : -
data dan proyeksinya kurang jelas akibat dari sumber pendapatan dan asumsi APBD kurang akurat.
-
Jadual pembahasan yang relatif singkat sehingga, KUA dan PPAS sebagai dasar penyusunan APBD kurang bisa menangkap aspirasi secara penuh.
c. Pembahasan diawali dengan penyusunan KUA dan PPAS, dapat menjadi fungsi kontrol bagi Dewan, karena eksekutif tidak bisa serta merta menganggarkan kebutuhannya tetapi harus didasarkan pada KUA dan PPAS yang sudah menjadi kesepakatan bersama antara Eksekutif dan Legislatif. Disamping jawaban diatas beberapa responden berpendapat sebagai berikut :
a. Pembahasan yang diawali KUA dan PPAS belum sesuai sasaran dengan alasan KUA dan PPAS sangat membatasi ruang gerak anggota DPRD dalam memperjuangkan aspirasi. b. Belum optimal, perlu keterpaduan antara Legislatif dan Eksekutif dalam menentukan kebijakan yang komprehensif untuk mengakomodir kepentingan publik. Sebagai suatu aturan dan sistem yang menentukan mekanisme pembahasan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Permendagri 59 tahun 2007 mempunyai kelemahan dan kelebihan. Hasil penelitian terhadap hal ini dengan mengacu pada pertanyaan penelitian yang intinya apa kelemahan dan kelebihan pembahasan terhadap pedoman pembahasan APBD yang didasarkan pada Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 yang sekarang ini berlaku. Ada beberapa variasi jawaban : a.
Kelemahan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. 1)
Proses penyusunan KUA dan PPAS yang diawali dengan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang), sehingga apabila terlambat dan tidak terakomodir dalam KUA dan PPAS, maka tidak dapat dianggarkan dalam APBD.
2)
Alokasi waktu yang ditentukan dalam Permendagri 59 tahun 2007, sulit direalisasi di daerah karena terkait dengan Keputusan Pemerintah Pusat
terhadap Dana Alokasi Umum yang sering terlambat dan juga keterlambatan penetapan APBD Propinsi yang berpengaruh terhadap besaran nominal APBD Kabupaten/Kota. 3)
Pembahasan terhadap rancangan KUA dan PPAS hanya oleh Panitia Anggaran DPRD, tanpa adanya alokasi waktu untuk komisi, padahal banyak permasalahan yang justru diketahui secara tehnis dan detail oleh Komisi-komisi.
b.
Kelebihannya antara lain : 1)
Adanya koreksi atau evaluasi terhadap APBD oleh Gubernur untuk Kabupaten/Kota.
2)
Memudahkan pembahasan APBD karena sudah diawali dengan penyusunan dan pembahasan KUA dan PPAS.
3)
Pembahasan cukup simple karena tidak banyak melibatkan alat kelengkapan DPRD, seperti Komisi-komisi. Dengan kelebihan dan kelemahan terhadap peraturan yang mengatur
tentang pengelolaan keuangan daerah sebagaimana tersebut diatas, responden menyampaikan saran-saran sebagai berikut : a.
Perlu adanya perubahan parsial terhadap Permendagri Nomor 59 Tahun 2007, khususnya adanya porsi pembahasan rancangan KUA dan PPAS oleh Komisikomisi selain oleh Panitia Anggaran.
b.
Perlu adanya sanksi secara tegas bagi Eksekutif daerah yang terlambat dalam menyerahkan draft rancangan KUA dan PPAS serta rancangan APBD,
mengingat adanya ketentuan pembatasan waktu penyerahan draft rancangan KUA dan PPAS pada pertengahan bulan Juni. c.
Adanya ketentuan yang tegas terhadap proses pembahasan di DPRD dan sanksi terhadap pembahasan yang berkepanjangan tanpa alasan yang rasional. Saran diatas dilatarbelakangi realita, bahwasanya selama ini komisi-
komisi di DPRD yang terdiri dari Komisi A bidang Hukum dan Pemerintahan, Komisi B Bidang Perekonomian dan Keuangan, Komisi C Bidang Pembangunan dan Komisi D Bidang Kesejahteraan Rakyat merupakan kepanjangan tangan dari DPRD. Komisi dengan bidang kerjanya yang spesifik lebih mengetahui secara detail berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Komisi seringkali mempertanyakan ketidak beresan yang terjadi melalui mitra kerja mereka yang terdiri dari dinas dan instansi yang menangani. Sehingga wajar apabila komisi diberi keleluasaan dan alokasi waktu untuk berpartisipasi dalam memformulasikan kebijakan melalui pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA), dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), agar anggaran yang ditetapkan lebih proporsional. Selama ini penyerahan terhadap rancangan KUA dan PPAS yang sebelumnya disebut Arah dan Kebijakan Umum Anggaran (AKU) tidak pernah tepat waktu bahkan cenderung mendekati akhir tahun anggaran, sehingga mengakibatkan pembahasan terhadap KUA dan PPAS tidak optimal disamping itu pembahasan terhadap RAPBD juga mengalami keterlambatan, yang pada akhirnya mempengaruhi kinerja daerah. Dengan alasan-alasan tersebut responden menyarankan perlunya
sanksi berkaitan dengan keterlambatan penyerahan KUA dan PPAS oleh eksekutif sehingga daerah lebih fokus dan lebih memperhatikan rencana pembangunan daerah. Disamping dua hal diatas, dari hasil pengamatan seringkali terjadi molornya waktu pembahasan baik KUA dan PPAS, RAPBD dan juga peraturan daerah lainnya dari batas waktu yang telah dijadualkan tanpa adanya alasan yang jelas. Terkadang terhadap alokasi waktu yang telah ditetapkan banyak anggota yang tidak membahas tetapi mendekati date line atau hari akhir pembahasan mereka banyak beralasan karena alokasi waktu yang terlalu singkat dan mengusulkan tambahan waktu, sehingga harus merubah jadual yang telah ditetpkan Panitia Musyawarah. Hal ini mengakibatkan terjadinya peluang suap dalam setiap agenda pembahasan. Usulan untuk memberikan sanksi kepada DPRD apabila terjadi molornya jadual pembahasan diperlukan guna menunjang kinerja anggota Dewan pada khususnya dan kinerja pemerintahan daerah pada umumnya. Perbedaan
pendapat
dan
persepsi
yang
berlainan
terhadap
Permendagri 59 tahun 2007, nampak dari pendapat responden dalam memandang peraturan dimaksud, termasuk pandangan mereka terhadap niat dan keinginan pemerintah dengan merubah peraturan yang mengatur tentang pengelolaan daerah. Hasil penelitian, dengan mempertanyakan kepada responden tentang apa sebenarnya tujuan pemerintah merubah peraturan yang mengatur proses penyusunan dan pembahasan APBD, sebagaimana tertuang dalam Permendagri 59 Tahun 2007. Responden berpendapat : a.
Adanya keinginan pemerintah pusat agar penyusunan dan Pembahasan APBD lebih terfokus, disiplin dan akuntabel.
b.
Kemungkinan tujuannya agar terwujud pemerintahan yang lebih baik, efektif, efisien dan akuntabel.
c.
Kemungkinan untuk lebih memfungsikan alat kelengkapan DPRD secara lebih spesifik, seperti memfungsikan Panitia Anggaran.
d.
Kemungkinan keinginan pemerintah agar pembahasan APBD tidak banyak melibatkan anggota DPRD dan tidak terlalu banyak alokasi waktu.
e.
Lebih memfungsikan Panitia Anggaran dan mengebiri Komisi-komisi dalam pembahasan terhadap anggaran. Sebagai negara yang belum maju, menjadi keniscayaan bagi negara
bangsa untuk terus belajar dan memperbaiki setiap kesalahan, termasuk dalam pengelolaan keuangannya. Usaha mewujudkan good and clean government terus menerus dilakukan yang salah satunya melalui penyempurnaan peraturan perundangan.
Pengalaman negara-negara di Asia Timur memperlihatkan bahwa
pemerintahan yang baik dan bersih (Good and Clean Government) merupakan faktor penting dalam sebuah proses pembangunan yang dapat dibentuk melalui empat elemen penting yaitu : Accountability, Transparancy, Predictabily dan participation. Menurut Wanandi dalam Saldi Isra (2006:218)
krisis keuangan yang terjadi di
kawasan Asia, yang meluas menjadi krisis ekonomi, sosial dan politik dan kepercayaan
publik,
dikarenakan
penyelenggaraan
pemerintah
yang
tidak
berdasarkan hukum, kebijakan publik yang tidak transparan, serta absennya akuntabilitas publik yang akhirnya menghambat pengembangan demokrasi dalam masyarakat.
5.4
Implementasi Permendagri 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Agar dapat menjalankan tugasnya maka administrasi negara membuat
peraturan disamping ketetapan. Menurut A. Siti Sutami (2001:103) bahwa Peraturan dibuat untuk menyelesaikan hal-hal yang belum diketahui lebih dahulu tetapi mungkin akan terjadi. Peraturan ditujukan pada hal yang bersifat abstrak. Sejalan dengan pendapat diatas Satjipto Rahardjo (2000:83) menyatakan bahwa suatu perundang-undangan menghasilkan peraturan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari yang bersifat khusus dan terbatas. 2) Bersifat universal, dibuat untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkritnya, oleh karena ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristia tertentu saja. 3) Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri, adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali. Peraturan
perundangan
dipakai
sebagai
instrumen
untuk
melaksanakan kebijakan pemerintahan. Berkaitan dengan upaya menciptakan anggaran daerah yang akuntabel dan transparan, maka untuk maksud dan tujuan tersebut pemerintah telah beberapa kali merubah peraturan yang mengatur pengelolaan
keuangan
daerah,
termasuk
didalamnya
mengatur
mekanisme
pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dituangkan
dalam Permendagri 59 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Implementasi terhadap Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 belum dilaksanakan sepenuhnya oleh DPRD Kabupaten Demak dalam pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang merupakan rangkaian pembahasan APBD. Hal ini mengingat ketentuan yang tercantum dalam Permendagri Nomor 59 Tahun 2007, Pasal 87, ayat (1) menyatakan ”Rancangan KUA dan rancangan PPAS sebagaimana dimaksud dalam pasal 84 ayat (2) disampaikan kepala daerah kepada DPRD paling lambat pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya”. Ayat (2) menyatakan ”Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah dan Panitia Anggaran DPRD”. Dalam realisasinya Tim Anggaran Kabupaten Demak belum bisa menyerahkan rancangan KUA dan rancangan PPAS pada waktu yang ditentukan dalam Permendagri, yaitu pertengahan bulan Juni. Pemerintah Kabupaten Demak baru bisa menyerahkan Rancangan KUA dan PPAS pada akhir tahun, sekitar bulan Nopember, dengan alasan : a.
Pelaksanaan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat desa sampai kabupaten yang membutuhkan banyak waktu;
b.
Keterlambatan penetapan APBN dan informasi besaran Dana Alokasi Umum bagi daerah yang seringkali terlambat, sehingga membayangi daerah dalam menentukan kebijakan;
Selain ketentuan waktu yang belum terpenuhi untuk pembahasan KUA dan PPAS, pembahasan di tingkat DPRD masih melibatkan komisi-komisi meskipun dengan alokasi waktu yang sangat singkat, hal ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan antara lain : Pertama, komisi-komisi sebagai kepanjangan tangan DPRD mempunyai bidang kerja spesifik sehingga diharapkan dalam proses pembahasan APBD nantinya akan tahu secara detail latar belakang ditentukannya kegiatan-kegiatan oleh SKPD. Kedua, berkaitan dengan fungsi pengawasan yang melekat pada DPRD, maka Komisi sebagai alat kelengkapan DPRD akan dapat memantau dan mengawasi pelaksanaan APBD dengan lebih efektif karena komitmen yang telah disepakati dengan Satuan kerja (SKPD) pada awal pembahasan APBD. Ketiga, adanya indikasi bahwasanya apabila tanpa melibatkan komisi-komisi maka pembahasan terhadap KUA dan PPAS terancam batal karena ancaman boikot dalam rapat paripurna. Keempat, untuk memberikan hasil pembahasan yang maksimal terhadap KUA dan PPAS mengingat KUA dan PPAS merupakan Rancangan APBD sementara. Fakta diatas juga didukung dengan keputusan Panitia Musyawarah DPRD Kabupaten Demak dengan keputusan Nomor 33/PANMUS/DPRD/2007 tentang Jadual Kegiatan Penyusunan Rencana Kerja DPRD Kabupaten Demak, Pembahasan Kebijakan Umum APBD dan PPAS RAPBD Kabupaten Demak Tahun 2008, Peningkatan Kapasitas Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Demak, Pelaporan Hasil Reses Caturwulan II Tahun 2007, Pembahasan Raperda APBD Kabupaten Demak Tahun 2008. Karena alokasi waktu pembahasan terhadap KUA
dan PPAS yang dianggap kurang, keputusan Panitia Musyawarah dirubah dengan Keputusan Panitia Musyawarah Nomor 34/PANMUS/DPRD/2007 tentang Jadual rapat-rapat DPRD Kabupaten Demak Dalam Rangka Penambahan Waktu Pembahasan Kebijakan Umum APBD dan PPAS RAPBD Kabupaten Demak Tahun 2008, dan Menyusun Kembali Alokasi Waktu Pelaksanaan Peningkatan Kapasitas Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Demak, Pelaporan Hasil Reses Caturwulan II Tahun 2007, Pembahasan Raperda APBD Kabupaten Demak Tahun 2008. Adapun mekanisme pembahasan sebagaimana keputusan Panitia Musyawarah dalam membahas KUA dan PPAS dengan urutan kegiatan dan alokasi waktu sebagai berikut : Tabel 5.3 Urutan Kegiatan dan Alokasi Waktu Dalam Pembahasan KUA dan PPAS Kabupaten Demak oleh DPRD Kabupaten Demak
No
Kegiatan
Alokasi Waktu
1.
Rapat Fraksi-fraksi
Satu hari
2.
Rapat Panitia Anggaran
Empat hari
3.
Rapat Komisi-komisi
Dua hari
4.
Rapat Panitia Anggaran
Satu hari
5.
Rapat koordinasi Pimpinan Dewan dan Pimpinan Komisi
Satu hari
6.
Rapat Paripurna penandatangan KUA dan PPAS TA 2008
Satu hari
Sumber : Sekretariat DPRD Kabupaten Demak Esensi daripada DPRD adalah lembaga Legislatif yang berperan sebagai wakil rakyat yang bisa memperjuangkan kepentingan dan aspirasi rakyat,
untuk itu sistem dan peraturan perundangan harus mendukung kinerja wakil rakyat dalam memperjuangkan rakyat yang diwakilinya. Hasil penelitian terhadap responden dengan pertanyaan apakah dengan terbitnya Permendagri Nomor 59 Tahun 2007, yang menegaskan bahwa penyusunan APBD diawali dengan penyusunan Kebijakan Umum Anggaran dimana pembahasan KUA tersebut hanya oleh Panitia Anggaran DPRD dan Tim Anggaran Kabupaten, mengurangi hak anggota DPRD sebagai wakil rakyat dalam memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili. Dari hasil survey diketahui 84,44 % responden berpendapat, Permendagri 59 Tahun 2007, mengurangi hak-hak anggota DPRD dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat, khususnya mereka yang tidak duduk dalam keanggotaan Panitia Anggaran. Sedangkan responden yang berpendapat tidak mengurangi hak anggota dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat hanya 15,56%. (tabel data terlampir) Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwasanya anggota DPRD sadar akan posisinya sebagai penyalur aspirasi, sehingga manakala aspirasi masyarakat
yang
harus
diperjuangkan
terganjal,
perlu
ada
solusi
untuk
menyelesaikannya. Hal tersebut penting mengingat banyaknya kasus suap yang sekarang ini marak melanda anggota DPR RI, yang berakibat mengurangi kepercayaan masyarakat kepada lembaga legislatif. Indikasi ini dapat dilihat dalam tabel 4.5, partisipasi masyarakat Jawa Tengah dalam pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden tahap I dan tahap II, dan Pemilihan kepala daerah cenderung menurun. Kondisi ini akan semakin parah apabila moralitas dan kinerja wakil rakyat
tidak diperbaiki, kepercayaan masyarakat akan hilang. Disatu sisi dengan kondisi perekonomian yang labil pasca kenaikan BBM, harga barang-barang kebutuhan pokok meningkat, pekerjaan sulit didapat, iklim wira usaha yang tidak kondusif karena tingginya biaya produksi sehingga sulit laku di pasaran karena rendahnya daya beli. Hal tersebut menjadikan harapan masyarakat terhadap kebijakan yang mengarah pada upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat semakin tinggi. Kondisi yang demikian sebenarnya menjadi peluang bagi partai politik dan lembaga legislatif untuk meyakinkan masyarakat dengan kebijakan yang populis, serta kerja nyata tidak hanya sebatas janji tanpa bukti. Setelah melalui proses penyusunan dengan berdasar pada usulan yang diadopsi dari Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) di tingkat desa dan kecamatan, dilanjutkan dengan rakorbang pada tingkat kabupaten, kemudian melalui tahapan pembahasan yang alot oleh DPRD yang selanjutnya menjadi kesepakatan bersama antara legislatif dan eksekutif yang ditetapkan dalam KUA dan PPAS serta Perda APBD, maka pelaksanaannya perlu diawasi agar sesuai dengan tujuan ditetapkannya anggaran. Bagaimana fungsi pengawasan DPRD dilaksanakan dalam rangka mengamankan APBD yang telah menjadi kesepakatan bersama antara DPRD dan Pemerintah. Untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap APBD yang telah menjadi kesepakatan antara Legislatif dan Eksekutif, DPRD Kabupaten Demak menempuhnya dengan beberapa cara : a.
Melalui alat-alat kelengkapan DPRD, 1) Komisi DPRD melaksanakan dengan cara :
-
melakukan rapat-rapat kerja dengan SKPD yang menjadi mitra kerjanya, untuk mempertanyakan berbagai kegiatan yang telah diagendakan dan dianggarkan dalam APBD.
-
melakukan rapat-rapat dengar pendapat atas kualitas pembangunan dan kegiatan-kegitan yang dilakukan pemerintah daerah
2) Panitia Anggaran mempertanyakan kepada tim anggaran terhadap kegiatan yang tercantum dalam APBD yang dirasa tidak sesuai dengan kesepakatan. b.
Melalui tinjauan lapangan sebagai tindak lanjut rapat-rapat dengan mitra kerja dan laporan dari masyarakat.
c.
Melalui pembahasan terhadap Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati dan Perhitungan terhadap APBD dalam tiap-tiap tahun.
d.
Menindaklanjuti hasil evaluasi Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Laporan APBD pemerintah. Kondisi perekonomian Indonesia yang tidak stabil ditambah krisis
energi yang tidak hanya melanda Indonesia tetapi juga dunia, menjadikan sulit dalam menentukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kabupaten sebagai bagian dari sistem pemerintahan nasional akan terkena imbas dari labilnya perekonomian nasional. Dengan kondisi yang demikian menjadi wajar apabila terjadi bongkar pasang dalam menentukan anggaran untuk menghindari defisit anggaran serta tidak tercapainya target dan tujuan pembangunan yang direncanakan. Untuk menyikapi hal tersebut DPRD kabupaten Demak mengambil langkah-langkah sebagai berikut : 1.
Melalui rekomendasi Komisi-komisi yang sebelumnya membahas dengan dinas/instansi terkait dengan adanya usulan kegiatan dan perubahan nominal
APBD. Hasil pembahasan komisi selanjutnya disampaikan kepada Panitia Anggaran sebagai rekomendasi komisi untuk dibahas dengan Tim Anggaran Pemerintah Kabupaten Demak, tentang adanya usulan perubahan nominal APBD maupun kegiatan lainnya. Dalam pembahasan ini Panitia Anggaran dapat meminta penjelasan dan pertanggungjawaban Tim Anggaran. 2.
Menunggu pembahasan dalam perubahan anggaran. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa setiap tahun Kabupaten Demak akan melakukan perubahan anggaran untuk menyempurnakan APBD. Perubahan APBD dilaksanakan dengan tujuan menyesuaikan target pendapatan awal dengan pencapaian pendapatan di akhir tahun anggaran atau mengevaluasi target pendapatan. Mengoreksi pelaksanaan kegiatan dan menghitung kembali anggaran belanja yang telah dilaksanakan. Langkah ini yang akan ditempuh oleh Dewan untuk menyesuaikan nominal anggaran dan penambahan atau pengurangan kegiatan untuk disesuaikan dengan anggaran yang ada. Secara umum pelaksanaan Permendagri 59 Tahun 2007, sulit
dilaksanakan di Kabupaten Demak. Hal ini terlihat dari adanya indikasi beberapa prinsip penyusunan APBD tidak sesuai dengan harapan antara lain : Pertama, prinsip partisipasi masyarakat yang mengandung makna bahwa pengambilan keputusan dalam proses penyusunan dan penetapan APBD sedapat mungkin melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui akan hak dan kewajibannya dalam penyusunan APBD. Meskipun proses awal penyusunan diawali dengan musrenbang tingkat desa dan kecamatan serta dilakukan rakorbang pada tingkat kabupaten, namun dalam tahap pembahasan di DPRD masyarakat tidak
pernah diajak dalam rapat-rapat publik hearing atau dengar pendapat, sehingga partisipasi masyarakat berkurang, pada akhirnya masyarakat tidak tahu apakah usulan pembangunan yang pernah mereka ajukan dalam rapat-rapat musrenbang dapat diadopsi ataukah hanya menjadi bagian formalitas belaka. Kedua, prinsip transparansi dan akuntabilitas anggaran. APBD yang disusun harus dapat menyajikan informasi secara sukarela dan mudah diakses oleh masyarakat meliputi tujuan, sasaran, sumber pendanaan pada setiap jenis/ obyek belanja serta korelasi antara besaran anggaran dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai, dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Namun adanya ketentuan pembatasan pembahasan hanya oleh Panitia Anggaran DPRD dan Tim Anggaran Pemerintah daerah, mengurangi hak anggota DPRD yang tidak duduk dalam kepanitiaan anggaran, padahal yang banyak bekerja dan sering berhubungan dengan dinas/instansi dan masyarakat adalah komisi-komisi. Komisi-komisi yang mestinya tahu permasalahan daerah lebih detail karena bidang kerja komisi yang spesifik tidak disertakan dalam pembahasan KUA dan PPAS. Disamping itu sulit bagi masyarakat untuk mengetahui setiap kegiatan atau obyek yang dianggarkan dalam APBD, sehingga transparansi dan akuntabilitas oleh masyarakat sulit terwujud. Ketiga, prinsip disiplin anggaran. Beberapa prinsip dalam disiplin anggaran antara lain bahwa 1) Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja. 2) Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan
yang
belum
tersedia
atau
tidak
mencukupi
kredit
anggarannya
dalam
APBD/perubahan APBD. 3) Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening umum kas daerah. Yang terjadi di kabupaten Demak adalah penyusunan KUA dan PPAS masih mengalami bongkar pasang dengan alasan data dan proyeksinya kurang jelas akibat dari sumber pendapatan dan asumsi APBD kurang akurat. Seringkali yang terjadi di banyak daerah APBD dibuat defisit dengan harapan agar pada tahun-tahun mendatang mendapatkan tambahan Dana Alokasi Umum dari pusat. Disamping hal-hal diatas tidak adanya disiplin waktu dalam pembahasan. Proses penyusunan dan pembahasan anggaran yang diawali dengan KUA dan PPAS yang kemudian ditindaklanjuti dalam rancangan APBD, untuk kabupaten Demak tidak tepat waktu karena penyerahan KUA dan PPAS oleh eksekutif dilaksanakan mendekati akhir tahun anggaran dan pembahasannya juga banyak memakan waktu karena jadual pembahasan yang telah ditetapkan Panitia Musyawarah DPRD tidak dipergunakan secara efektif.
BAB VI PENUTUP
Dalam bab ini penulis mencoba merangkum keseluruhan hasil penelitian yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya, walaupun masih banyak yang tertinggal dan tidak sempat dihadirkan dalam bahasan ini karena pembatasan kajian dan kemampuan dalam menganalisis fenomena yang ada dalam perumusan kebijakan oleh lembaga legislative sebagai instrument politik local di kabupaten Demak. 6.1 Kesimpulan Dari paparan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah mempunyai peran penting bagi penyelenggaraan pemerintahan, dimana fungsi pemerintahan antara lain menyediakan infrastruktur social ekonomi, menyediakan barang dan jasa kolektif, menyelesaikan konfik antar anggota masyarakat, menjaga iklim persaingan, melindungi lingkungan hidup, menyediakan akses minimum bagi individu-individu atas barang dan jasa, dan menstabilkan ekonomi. Untuk dapat melaksanakan fungsi-fungsi diatas dibutuhkan anggaran. Berkaitan dengan formulasi kebijakan anggaran, DPRD mempunyai fungsi budgeting yang dipandang sangat penting mengingat anggaran sebagai penentu berjalannya pemerintahan dan pembangunan di daerah, pemerintahan daerah yang pada dasarnya adalah pelayan masyarakat di daerah dipandang sebagai factor yang dapat menentukan kesejahteraan dan kemakmuran masyarkat di
daerah, pelaksanaan anggaran yang efisien, efektif, transparan dan akuntabel dapat dicapai melalui fungsi budgeting yang ada pada DPRD, fungsi anggaran yang melekat pada DPRD diharapkan dapat menumbuhkan perekonomian di daerah, diamping itu fungsi budgeting juga merupakan fungsi pengawasan awal dalam pelaksanaan anggaran di daerah. 2.
Dari penelitiaan tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas anggota DPRD merasa kurang bisa menerima Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007, mereka merasa lebih nyaman apabila pembahasan RAPBD dengan menggunakan peraturan yang lama dengan beberapa alasan antara lain : Pertama, adanya alokasi waktu untuk komisi-komisi sebagai alat kelengkapan DPRD yang mempunyai bidang tugas yang spesifik, sehingga bisa mencermati Arah dan Kebijakan Umum Anggaran dan PPAS secara lebih cermat, detail dan teliti. Kedua, flexibilitas dari Arah dan Kebijakan Umum Anggaran, karena hanya memberikan arah dan garis besar terhadap APBD yang akan disusun, sehingga dengan kondisi perekonomian yang tidak stabil akan lebih mudah mengadopsi aspirasi masyarakat dan menyesuaikan besar kecilnya angka kegiatan dalam APBD. Ketiga, lebih akomodatif karena dibahas dalam komisi-komisi yang mempunyai mitra kerja, dan komisi mempunyai catatan-ctatan tentang permasalahan yang sering dihadapi Satuan-satuan kerja yang merupakan mitra kerja komisi. Keempat, semua anggota DPRD ikut terlibat, tidak hanya anggota panitia anggaran. Sehingga setiap anggota bisa langsung menyampaikan aspirasi yang didapat dari konstituennya.
3.
Permendagri 59 Tahun 2007, belum dilaksanakan sepenuhnya oleh DPRD Kabupaten Demak. Hal ini terlihat pada penyerahan dan pembahasan KUA dan PPAS baru diserahkan eksekutif pada bulan Nopember, atau mendekati akhir tahun anggaran, padahal ketentuan yang tercantum dalam Permendagri dimksud adalah penyerahan KUA dan PPAS diserahkan pada bulan Juni. Kedua, DPRD Kabupaten Demak tetap mengalokasikan waktu untuk komisikomisi dalam pembahasan KUA dan PPAS dengan alasan Pertama, komisikomisi sebagai kepanjangan tangan DPRD mempunyai bidang kerja spesifik Kedua, berkaitan dengan fungsi pengawasan yang melekat pada DPRD, maka Komisi sebagai alat kelengkapan DPRD akan dapat memantau dan mengawasi pelaksanaan APBD dengan lebih efektif karena komitmen yang telah disepakati dengan Satuan kerja (SKPD) pada awal pembahasan APBD. Ketiga, adanya indikasi bahwasanya apabila tanpa melibatkan komisi-komisi maka pembahasan terhadap KUA dan PPAS terancam batal karena ancaman boikot dalam rapat paripurna. Keempat, untuk memberikan hasil pembahasan yang maksimal terhadap KUA dan PPAS mengingat KUA dan PPAS merupakan Rancangan APBD sementara.
4.
Tujuan yang ingin dicapai dalam merubah peraturan perundangan khususnya dalam pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dituangkan dalam Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 dalam prakteknya tidak tercapai. Transparansi yang menjadi tujuan pokok tidak terwujud hal ini dikarenakan akses anggota DPRD sebagai wakil rakyat untuk berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan anggaran tertutup dengan adanya ketentuan
pembahasan KUA dan PPAS hanya oleh Panitia Anggaran DPRD dan Tim Anggaran Pemerintah Kabupaten. Pembatasan tersebut sedikit banyak akan mengurangi aspirasi yang dibawa wakil rakyat. 5.
Kedudukan komisi-komisi sebagai salah satu alat kelengkapan Dewan yang paling aktif dalam menangani permasalahan-permasalahan daerah berkaitan dengan aspirasi masyarakat ternyata dimandulkan dengan adanya ketentuan pembahasan KUA dan PPAS hanya oleh Panitia Anggaran dan Tim Anggaran Kabupaten. Padahal KUA dan PPAS yang merupakan embrio dari APBD mempunyai peran penting bagi penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan di daerah.
6.2 Saran Guna mewujudkan efisiensi, efektifitas, akuntabilitas dan transparansi dalam mengelola keuangan daerah. Disarankan hal-hal berikut : 1.
Perlu perubahan parsial terhadap Permendagri Nomor 59 Tahun 2007, khususnya ketentuan yang mengatur alokasi waktu pembahasan rancangan KUA dan PPAS oleh Komisi-komisi selain oleh Panitia Anggaran, mengingat komisi lebih mengetahui permasalahan, hambatan, dan kendala dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang didapat melalui penyerapan aspirasi, laporan-laporan melalui surat-surat masuk serta rapat-rapat dengan dinas/instansi yang menjadi mitra kerja komisi.
2.
Disarankan kepada DPRD Kabupaten Demak untuk menyusun Rencana kerja dan Kegiatan DPRD dalam satu tahun, termasuk jadual pembahasan KUA dan
PPAS, APBD dan Perubahan APBD, dengan tembusan dikirimkan kepada Kepala Daerah, sehingga Kepala Daerah mengetahui, kegiatan dan agenda DPRD. Rencana kerja dan kegiatan tersebut harus konsisten dilaksanakan sehingga waktu bisa digunakan secara efektif dan efisien. Hal ini dimaksudkan sebagai solusi mundurnya penyerahan KUA dan PPAS serta pembahasannya, penyerahan dan pembahasan APBD, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang berdampak mengganggu kinerja DPRD.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 2003. Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar Yogyakarta 1998. Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1978. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Kedua, Balai Pustaka, Jakarta 1993. Dwidjowijoto, Riant Nugroho, Analisis Kebijakan; Elex Media Komputindo, Jakarta, 2007. Fathurohman, Pengantar Psikologi Sosial, Pustaka, Yogyakarta, 2006. Hamdi, Muchlis, Otda Analisis Politik Perspektif Indonesia Teoritis, Federasi Demokrasi dan Praktis, Bigraf Publishing Fisip UM Malang, 2001. Imawan, Riswandha, Membedah Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar Yogyakarta 1998 Imawan, Riswandha, “Fungsi Perwakilan, Pembentukan Legitimasi dan Pengambilan Keputusan,” Hand Out mata kuliah Sistem Politik dan Pemerintahan RI, MAP UGM, 2001. Isra, Saldi, Reformasi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945; Andalas University Press, Padang, 2006. Kartini, Kartono, Pengantar Metodhologi Penelitian Sosial, Mandar Maju, Bandung, 1996. Manan, Bagir, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pustaka Pelajar Offset, Jogyakarta, 2005. Moekijat, Teori Komunikasi, CV. Mandar Maju, Bandung, 1993 Moleong, Lexy.J, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2008. Morgan, Clifford T., Introduction to Psychology, Second Edtition, New York:Mc Graw-Hill Book Company, Inc. 1961. Nazir, Mohammad, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta 1988.
Pous, Hendrikus, Hubungan Legislatif-Eksekutif dalam proses penetapan Perda (Studi kasus Kab. Dati II Kupang NTT), (tesis) Pasca sarjana UGM 1998. Pradhanawati, Ari, Pemilihan Gubernur Gerbang Demokrasi Rakyat, Jalanmata, Semarang, 2007. Puriyadi, Siasat Anggaran Posisi Masyarakat Dalam Penyusunan Anggaran Daerah, Lokus, Yogyakarta, 2007. Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bhakti. Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, Rasyid, Ryaas Muhammad, Makna Pemerintahan Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, PT. Yarsif Watampone, Jakarta 1997. Sarwono, Sarlito Wirawan, Pengantar Umum Psikologi, PT Bulan Bintang, Jakarta, 1976. Sarwono, Sarlito Wirawan, Psikologi Sosial Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial,: PT Balai Pustaka, Jakarta, 1997. Setyono, Budi, Pemerintahan dan Manajemen Sektor Publik, Prinsip-prinsip Manajemen Pengelolaan Negara Terkini, Kalam Nusantara, Jakarta, 2007. Singarimbun, Masri dan Effendi Sofian, Metodologi Penelitian Survai, LP3ES Jakarta, 1989. Siti Sutami, A, Pengantar Tata Hukum Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2001. Soebiantoro. M dan Winarno Budi, “Perkembangan Demokrasi di Indonesia analisis Hubungan Legislatif dan Eksekutif 1950-1992”, BPPS-UGM, 10(1A) Februari 1997. Thaib, Dahlan, DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Liberty Yogyakarta, 2004. Thoha, Miftah, Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya, PT Raja Grafino Persada, Jakarta, 2008. Toni, Efriza, Kemal, Mengenal teori-teori Politik, dari sistem Politik sampai Korupsi, Nuansa, Bandung, 2006. Tutik, Titik Triwulan, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006.
Yudoyono, Bambang, Otonomi Daerah Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 2001. Dokumen : Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah Undang-undang No.22 tahun 2003, tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ; Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja DaerahPeraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Internet : "http://id.wikipedia.org/wiki/Persepsi"
Acuan pertanyaan penelitian persepsi Anggota DPRD terhadap Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Nama Responden
: .................................
Jabatan
: .................................
2. Sejauhmana Bapak/Ibu memandang pentingnya fungsi budgeting (fungsi anggaran) bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah? 3. Bagaimana Bapak/Ibu melihat proses pembahasan APBD yang didahului dengan penyusunan Kebijakan Umum Anggaran, apakah sudah sesuai dengan sasaran yang diharapkan DPRD? 4. Bagaimana mekanisme penyusunan dan pembahasan APBD yang sekarang ini berjalan, apakah ada perbedaan dengan penyusunan APBD tahun-tahun sebelumnya? 5. Apabila dibandingkan antara mekanisme penyusunan pembahasan APBD sekarang ini dengan sebelumnya, manakah hasil pembahasan APBD yang lebih baik? Apa alasannya?. 6. Menurut Bapak/Ibu apa kelemahan dan kelebihan pembahasan antara pedoman pembahasan APBD yang didasarkan pada Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 yang sekarang ini berlaku dengan peraturan terdahulu? 7. Menurut pendapat Bapak/Ibu apa sebenarnya tujuan pemerintah merubah peraturan yang mengatur proses penyusunan dan pembahasan APBD, sebagaimana tertuang dalam Permendagri Nomor 59 Tahun 2007. 8. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu dengan terbitnya Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan perubahannya (Permendagri 59 Tahun 2007) yang mengatur secara tehnis dan mendasar proses pembahasan Anggaran Daerah dan apa saran Bapak/Ibu. 9. Bagaimana implementasi Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan perubahannya (Permendagri Nomor 59 Tahun 2007) dalam penyusunan APBD di Kabupaten Demak? 10. Apakah dengan terbitnya Permendagri Nomor 59 Tahun 2007, yang menegaskan bahwa penyusunan APBD diawali dengan penyusunan Kebijakan Umum Anggaran dimana pembahasan KUA tersebut hanya oleh Panitia Anggaran DPRD dan Tim Anggaran Kabupaten, mengurangi hak Bapak/Ibu sebagai wakil rakyat dalam memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili.
11. Bagaimana fungsi pengawasan DPRD dilaksanakan dalam rangka mengamankan APBD yang telah menjadi kesepakatan bersama antara DPRD dan Pemerintah? 12. Langkah-langkah apa yang akan diambil dalam hal, ada perubahan situasi dan kondisi sehingga rancangan APBD tidak sesuai dengan Kebijakan Umum Anggaran yang telah disepakati bersama. Demak, ................................. 2008 Responden,
.........................................
ABSTRAKSI
Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai wakil rakyat menjadi harapan bagi masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya. Proses penyusunan APBD dengan sistem bottom up dengan penjaringan aspirasi melalui Musrenbangdes dilanjutkan ke Musrenbang kecamatan dan akhirnya pada Rakorbang pada tingkat kabupaten, pada kenyataannya belum memenuhi harapan masyarakat, karena dalam tahapan penyusunan tersebut banyak usulan pembangunan yang tidak tercover dikarenakan adanya kepentingan politis. DPRD sebagai wakil rakyat diharapkan dapat bersikap proporsional, sebagai lembaga perwakilan mereka harus memperjuangkan semua kepentingan masyarakat tanpa memandang kelompok dan golongan. Semua peran dan fungsi DPRD dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat dalam pembangunan daerah tidak terlepas dari adanya tata peraturan yang menjadi pedoman bagi dewan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Taun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai salah satu pedoman bagi dewan dalam menyusun dan membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dipandang berbeda oleh masing-masing anggota dewan. Latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan kepentingan menjadi alasan bagi masing-masing anggota dalam mempersepsikan Permendagri 59 Tahun 2007. Mayoritas anggota dewan berpendapat tidak sesuai dengan harapan mereka. Beberapa hal yang dianggap tidak sesuai adalah pertama, pembahasan Kebijakan Umum Anggaran hanya dibahas oleh Panitia Anggaran DPRD dan Tim Anggaran. Kedua Komisi-komisi DPRD yang mempunyai bidang kerja spesifik dan paling aktif dalam penyelesaian permasalahan didaerah dianggap paling tepat dalam merumuskan kebijakan yang dituangkan dalam Kebijakan Umum Anggaran, sehingga Komisi-komisi DPRD perlu dilibatkan dalam pembahasan Kebijakan Umum Anggaran. Ketiga, pembatasan waktu yang diatur dalam Permendagri sulit dilaksanakan karena dalam realitanya penyerahan Rancangan KUA seringkali terlambat sehingga pembahasan dan penetapan KUA dan RAPBD akhirnya juga tidak tepat waktu yang berakibat mengurangi kinerja pemerintahan. Dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 yang dianggap tidak tepat disarankan hal-hal sebagai berikut : Pertama perlu perubahan parsial terhadap Permendagri 59 tahun 2007 khususnya berkaitan dengan pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara yang tidak hanya dibahas oleh Panitia Anggaran dan Tim Anggaran tetapi juga oleh Komisi-komisi DPRD. Kedua perlunya aturan yang menegaskan DPRD perlu membuat rencana kerja yang dilakukan sepenuhnya sehingga kinerja DPRD terarah dan jelas dan pembahasan KUA, PPAS dan RAPBD dapat tepat waktu.