1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Pengaruh Senam Otak terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Wanita Lanjut Usia Lisna Anisa Fitriana Hubungan Pengetahuan Sains Remaja di Bandung Terhadap Perilaku Sehatnya Afianti Sulastri Hubungan Masa Kerja, Motivasi, dan Kepemimpinan dengan Kinerja Pegawai di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Yankes Kecamatan Kutawaringin Kabupaten Bandung Tahun 2014 Diah Nur Indah Sari, Ruhyandi, Susilowati Hubungan Dukungan Keluarga dengan Depresi pada Lansia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung Septian Andriani Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Melong Asih Kota Cimahi Budi Somantri Perbedaan Faktor Perilaku pada Keluarga Balita Pneumonia dan Tidak Pneumonia di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2015 Sri Sumartini Motivasi Kader Komunitas dalam Program Penanggulangan Tuberkulosis ‘Aisyiyah Kabupaten Bandung Hendra Gunawan, Yayat Hidayat Efektifitas Relaksasi Genggam Jari Terhadap Penurunan Skala Nyeri pada Pasien Post Operasi Sectio Caesarea di RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto Atun Raudotul Ma’rifah, Rahmaya Nova Handayani, Pramesti Dewi Perbandingan Efek Kompres Hangat dengan Kompres Dingin Terhadap Intensitas Nyeri Saat Insersi Jarum Pada Pasien Gagal Ginjal Yang Menjalani Hemodialisis Rutin di Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung Santy Sanusi Faktor-Faktor yang Mendukung Perilaku Merokok Mahasiswi Fanny Adistie, Tuti Pahria, Ayu Prawesti, Triana Dewi Safariah
Volume 2 | Nomor 1 | Juni 2015
DEWAN REDAKSI
JURNAL KEPERAWATAN ‘AISYIYAH (JKA) Volume 2 | Nomor 1 | Juni 2015 Pelindung: Ketua STIKes ‘Aisyiyah Bandung
Penanggung Jawab: Reyni Purnama Raya, SKM., M.Epid. Ketua: Sajodin, S.Kep., M.Kes., AIFO.
Sekretaris/Setting/Layout: Aef Herosandiana, S.T., M.Kom. Bendahara: Riza Garini, A.Md.
Penyunting/Editor : Perla Yualita, S.Pd., M.Pd. Triana Dewi S, S.Kp., M.Kep
Pemasaran dan Sirkulasi : Nandang JN., S.Kp., M.Kep.,Ns., Sp.Kep., Kom.
Mitra Bestari : Dewi Irawati, MA., Ph.D. Suryani, S.Kp., MHSc., Ph.D. DR. Kusnanto, S.Kp., M.Kes. Iyus Yusep, S.Kp., M.Si., MN. Irna Nursanti, M.Kep., Sp. Mat. Erna Rochmawati, SKp., MNSc., M.Med.Ed. PhD. Mohammad Afandi, S.Kep., Ns., MAN.
Alamat Redaksi: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Jl. KH. Ahmad Dahlan Dalam No. 6, Bandung Telp. (022) 7305269, 7312423 - Fax. (022) 7305269 E-mail:
[email protected]
DAFTAR ISI
1. Pengaruh Senam Otak terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Wanita Lanjut Usia Lisna Anisa Fitriana ……….......................……………………………………………....…………..………. 1-7 2. Hubungan Pengetahuan Sains Remaja di Bandung Terhadap Perilaku Sehatnya Afianti Sulastri ...……………………………………………………....…………………............................…. 9 - 15 3. Hubungan Masa Kerja, Motivasi, dan Kepemimpinan dengan Kinerja Pegawai di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Yankes Kecamatan Kutawaringin Kabupaten Bandung Tahun 2014 Diah Nur Indah Sari, Ruhyandi, Susilowati …………………………………………………….… 17 - 26 4. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Depresi pada Lansia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung Septian Andriani ……………….......……………………………………....………………………............…. 27 - 36 5. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Melong Asih Kota Cimahi Budi Somantri ……….....…...…………………………………………....................…………....…….....…… 37 - 43 6. Perbedaan Faktor Perilaku pada Keluarga Balita Pneumonia dan Tidak Pneumonia di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2015 Sri Sumartini ………….............................……………………………………………………....……………… 45 - 51 7. Motivasi Kader Komunitas dalam Program Penanggulangan Tuberkulosis ‘Aisyiyah Kabupaten Bandung Hendra Gunawan, Yayat Hidayat ………….....………………………………………....……………… 53 - 61 8. Efektifitas Relaksasi Genggam Jari Terhadap Penurunan Skala Nyeri pada Pasien Post Operasi Sectio Caesarea di RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto Atun Raudotul Ma’rifah, Rahmaya Nova Handayani, Pramesti Dewi ...……………… 63 - 67 9. Perbandingan Efek Kompres Hangat dengan Kompres Dingin Terhadap Intensitas Nyeri Saat Insersi Jarum Pada Pasien Gagal Ginjal Yang Menjalani Hemodialisis Rutin di Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung Santy Sanusi …………...……............................………………………………………………....……………… 69 - 79 10. Faktor-Faktor yang Mendukung Perilaku Merokok Mahasiswi Fanny Adistie, Tuti Pahria, Ayu Prawesti, Triana Dewi Safariah ………....….............… 81 - 93
JKA.2015;2(1): 81-93
ARTIKEL PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MENDUKUNG PERILAKU MEROKOK MAHASISWI
ABSTRAK
Fanny Adistie1, Tuti Pahria1, Ayu Prawesti1, Triana Dewi Safariah2
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh tingginya peningkatan angka perokok wanita dalam hal ini di kalangan mahasiswi. Perilaku merokok tersebut didukung oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor lingkungan, faktor karakteristik personal, faktor keluarga dan faktor psikologis. Sehingga penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mendukung perilaku merokok mahasiswi. Metode penelitian menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Penelitian dilakukan terhadap 96 responden mahasiswi perokok dengan menggunakan teknik accidental sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket yang berisikan pernyataan yang relevan dengan tujuan penelitian. Analisa hasil diolah dengan cara tabulasi, kemudian dipersentasekan dan diinterpretasikan, untuk sub variabel ke empat faktor-faktor tersebut dikategorikan kedalam mendukung dan tidak mendukung. Hasil penelitian didapatkan faktor lingkungan mendukung hampir sebagian besar dari responden, faktor karakteristik personal mendukung bagi sebagian responden, faktor keluarga mendukung bagi sebagian responden dan faktor psikologis juga mendukung bagi sebagian dari responden. Saran yang dapat penulis sampaikan yaitu, bagi profesi keperawatan perlu diadakan pendidikan kesehatan bagi para mahasiswi mengenai pola hidup yang sehat, serta sosialisasi aturan merokok untuk menanggulangi tingginya perilaku merokok di kalangan mahasiswi. Kata kunci: Faktor yang Mendukung, Perilaku Merokok, Mahasiswi Abstract
This research based to the high increase of women’s smoker especially female university student. Smoking behaviour cause by several factors such as environmental factor, personal characteristic factor, family factor and psychological factor. This research purpose to identificate the factors that support smoking behaviour in female university student. The research design is using descriptive quantitative method. There were 96 participants in this research collected by using accidental sampling technique. Data are taken by the means of filling questioners that relevance with the purpose of research. Data is procced by using tabulation and then percentized and construe, all sub variable are categorized with favorable and unfavorable. The result are environmental factors is favorable for mostly of participant, charactheristic personal factor is favorable for half of participant, family factors is favorable for half of participant and psychological factor also favorable for half of participant. From this result, researcher suggest for nursing proffesion to convey a health education program for female university student who smoke, and doing socialiszation of smoking prohibition to control smoking behaviour of students. Key word: Factors that Support, Smoking Behaviour, Female University Student Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran
1
Progam Studi Keperawatan STIKES Aisyiyah Bandung
2
PENDAHULUAN Sejak tahun 1984 WHO mencanangkan tema “smoking or health, the choice is yours”, sebagai tahun kampanye kesehatan yang ditujukan kepada usaha-usaha untuk mengurangi resiko kebiasaan merokok terhadap kesehatan. Namun kenyataannya orang lebih banyak memilih
smoking daripada memilih health (Rusiawati, 2008).
Menurut badan kesehatan dunia (WHO), saat ini ada 1,1 milyar perokok di dunia, 47% diantaranya adalah pria, 12% diantaranya adalah wanita dan sisanya anak-anak. Tetapi belakangan 81
82
Jurnal Keperawatan ‘Aisyiyah
ini, menurut Dr. Robert Kim-Farley utusan WHO di Jakarta, terdapat pergeseran persentase perokok. Kaum pria yang merokok berkurang, sementara kaum wanita dan anak-anak yang merokok bertambah. Hal yang sama terjadi di Indonesia (Ugik, 2008). Disebutkan di dalam Jurnal Lingkungan Keluarga (2007), wanita yang merokok mungkin mengalami penurunan atau penundaan kemampuan hamil. Ibu hamil yang merokok selama masa kehamilan ataupun terkena asap rokok dirumah atau di lingkungannya beresiko mengalami proses kelahiran yang bermasalah, pertumbuhan janin yang lambat dan dapat meningkatkan resiko Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Bahaya lain yaitu resiko keguguran pada wanita perokok 2-3 kali lebih sering karena karbon monoksida dalam asap rokok dapat menurunkan kadar oksigen. Bahkan merokok merupakan faktor resiko SCD (Sudden Cardiac Death) yang paling kuat pada wanita, di mana wanita yang merokok 25 batang atau lebih per hari, mempunyai empat kali lipat peningkatan risiko SCD. Keadaan ini sama dengan resiko SCD pada wanita yang pernah mengalami serangan jantung sebelumnya (Yuniadi, 2008).
Seseorang dalam berperilaku merokok didukung oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor biologis, secara biologis masing-masing orang memiliki reaksi yang berbeda terhadap konsumsi rokok. Beberapa tidak kecanduan, lainnya terstimulasi atau malah menjadi depresi karena konsumsi nikotin (Pomerleau & Pomerleau dalam Taylor, 1999). Faktor lain seseorang merokok adalah kondisi mood (Tschann et. al. Dalam Taylor, 1999). Selanjutnya adalah pengaruh keluarga dan sosiokultural dimana seorang remaja cenderung memulai merokok jika orang tua mereka merokok, mereka berada dalam kelas sosial rendah, dan jika terdapat tekanan sosial untuk merokok (Foshee & Bauman; Swaim et.al. dalam Taylor, 1999). Faktor lainnya berkaitan dengan body image, terdapat asosiasi bahwa perokok wanita memiliki kepuasan akan body image yang lebih rendah dibandingkan perokok pria. Baik pada kedua jenis gender, body dissatisfaction dikaitkan dengan frekuensi merokok yang lebih sering, namun pada body dissatisfaction perokok wanita lebih tinggi dibandingkan perokok pria (Croghan et. al., 2006).
JKA | Volume 2 | Nomor 1 | Juni 2015
Media massa juga memiliki andil dalam mengkampanyekan kebiasaan merokok. Diantaranya dengan adanya iklan-iklan rokok dengan model yang ideal, cover majalah yang menampilkan perokok, juga tayangan film yang menampilkan adegan merokok. Image dari seorang perokok adalah faktor yang signifikan dalam mengawali merokok. Apabila image tersebut begitu didam-idamkan oleh seorang remaja, maka ia akan cenderung merokok guna mendapatkan image tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan perilaku mengimitasi perilaku orang lain yang merupakan akibat dari rendahnya harga diri, ketergantungan, ketidakberdayaan, dan isolasi sosial (Bandura dalam Taylor, 1999).
Konsisten dengan penemuan tersebut, murid berjenis kelamin wanita dengan prestasi rendah dan locus of control eksternal serta self-efficacy yang rendah, cenderung merokok dibandingkan murid-murid laki-laki dan muridmurid dengan harga diri yang tinggi, locus of control internal dan self-efficacy yang juga tinggi (Park et.al. dalam Taylor, 1999). Faktor lainnya adalah stres, perokok dewasa memiliki persepsi stres yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak merokok (Croghan et.al, 2006). Hal tersebut kemungkinan berkaitan dengan fungsi rokok bagi sebagian orang yaitu untuk mengatasi stres yang dialami. Pernyataan ini diperkuat oleh Oskamp & Schultz yang menyebutkan bahwa salah satu faktor psikologis seseorang berperilaku merokok adalah untuk mengurangi reaksi emosi negatif seperti cemas, tegang dan sebagainya (Pitaloka, 2008).
Seiring dengan maraknya tuntutan persamaan hak (gender) jumlah perokok wanita saat ini juga bertambah banyak. Hal ini dapat dilihat pada riset terbaru yang menunjukkan, 88% perempuan muda Indonesia adalah perokok. Riset KuIs (Koalisi untuk Indonesia Sehat) yang terbaru ini mencakup sebagian kecil wilayah Indonesia melaporkan, sebanyak 7,18% remaja dan perempuan muda pernah merokok 11100 batang. Bahkan, 4,06% dari 3.040 remaja telah mengisap rokok lebih dari 100 batang. Berdasarkan riset tersebut terungkap, 54,59% remaja dan perempuan muda merokok karena ingin mengurangi ketegangan dan stres. Tingginya angka perokok wanita juga terlihat dari hasil pengamatan di lapangan, peneliti menemukan tingginya perilaku merokok di kalangan mahasiswi di sebuah universitas negeri di Bandung. Hampir pada setiap kantin yang ada di
Faktor‐Faktor yang Mendukung Perilaku Merokok Mahasiswi
tiap fakultas, terdapat beberapa mahasiswi yang merokok. Pada saat melakukan studi pendahuluan peneliti melihat bahwa jumlah mahasiswi yang merokok di kantin tiap-tiap fakultas berbedabeda dan bedasarkan hasil pengamatan jumlah mahasiswi yang paling banyak terlihat melakukan aktivitas merokok ada pada salah satu fakultas favorit di universitas tersebut. Berdasarkan hasil studi pendahuluan jumlah mahasiswi di fakultas tersebut berjumlah 1092. Dari jumlah ini berdasarkan hasil survey yang merupakan perokok aktif sebanyak 317 orang. Para mahasiswi yang merokok ini secara sadar atau tidak telah membahayakan kesehatan dirinya maupun orang di sekitarnya dari asap rokok yang ia hembuskan. Bahkan dampak negatif yang akan dirasakan oleh perokok pasif lebih berbahaya daripada perokok aktif karena daya tahan terhadap zat-zat yang berbahaya sangat rendah. Dampak secara langsung yang dapat dirasakan adalah bau yang tidak sedap pada pakaian dan batuk-batuk akibat menghirup asap rokok.
Peneliti mencoba mewawancarai beberapa mahasiswi perokok mengenai masalah kesehatan yang pernah ia derita akibat dari rokok. Salah satunya mengatakan bahwa ia sering mengalami asma. Namun ia menganggap bahwa rokok bukanlah penyebab utama dari asma yang ia derita, sehingga ia tidak berkeinginan untuk berhenti merokok. Mahasiswi perokok lainnya mengatakan bahwa ia pernah mengalami bronkhitis dan sempat berhenti merokok pada saat pengobatan. Namun setelah sembuh ia kembali kepada kebiasaannya menghisap rokok.
Tingginya jumlah perokok wanita merupakan sasaran dalam mensosialisasikan resiko merokok melalui pelayanan keperawatan. Salah satu peran perawat adalah sebagai health educator dalam melakukan promosi kesehatan untuk membantu klien mengetahui dan mengatasi masalah kesehatannya. Pelayanan bersifat promotif yang ditujukan kepada mahasiswi yang perokok dan bukan perokok mempunyai peranan penting dalam usaha pencegahan merokok. Perawat dalam hal ini sangat berperan dalam hal primary prevention untuk mencegah tingginya angka kesakitan yang disebabkan oleh rokok yang dapat lebih ditekankan kepada perubahan gaya hidup dari para mahasiswi. Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mendukung perilaku merokok mahasiswi tersebut.
83
Menurut seorang ahli psikologi perkembangan, Santrock (1999), orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition) transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role trantition). Menurut Silvan Tomkins (dalam Dariyo, 2004) ada empat tipe perilaku merokok berdasarkan Management of affect theory, ke empat tipe tersebut yaitu :
1. Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif. Dengan merokok seseorang merasakan penambahan rasa yang positif. Terdapat 3 sub tipe dalam tipe perokok ini : a. Pleasure relaxation, perilaku merokok hanya untuk menambah atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya merokok setelah minum kopi atau makan.
b. Stimulation to pick them up. Perilaku merokok hanya dilakukan sekedarnya untuk menyenangkan perasaan.
c. Pleasure of handling the cigarette. Kenikmatan yang diperoleh dengan memegang rokok. Sangat spesifik pada perokok pipa. Perokok pipa akan menghabiskan waktu untuk mengisi pipa dengan tembakau sedangkan untuk menghisapnya hanya dibutuhkan waktu beberapa menit saja. Atau perokok lebih senang berlama-lama untuk memainkan rokoknya dengan jari-jarinya lama sebelum ia nyalakan dengan api.
2. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif. Banyak orang yang menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan negatif, misalnya bila ia marah, cemas, gelisah, rokok dianggap sebagai penyelamat. Mereka menggunakan rokok bila perasaan tidak enak terjadi, sehingga terhindar dari perasaan yang lebih tidak enak. 3. Perilaku merokok yang adiktif. Oleh Green disebut sebagai psychological Addiction. Mereka yang sudah adiksi, akan menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya berkurang. Mereka umumnya akan pergi keluar rumah membeli rokok, walau tengah malam sekalipun, karena ia khawatir kalau rokok tidak tersedia setiap saat ia JKA | Volume 2 | Nomor 1 | Juni 2015
84
Jurnal Keperawatan ‘Aisyiyah
menginginkannya.
Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka menggunakan rokok sama sekali bukan karena untuk mengendalikan perasaan mereka, tetapi karena benar-benar sudah menjadi kebiasaannya rutin. Dapat dikatakan pada orang-orang tipe ini merokok sudah merupakan suatu perilaku yang bersifat otomatis, seringkali tanpa dipikirkan dan tanpa disadari. Ia menghidupkan api rokoknya bila rokok yang terdahulu telah benar-benar habis.
Menurut Ary & Biglan (dalam Taylor, 1999) adalah seseorang dikatakan perokok jika telah merokok setidaknya satu batang per hari dalam satu tahun terakhir ini. Dalam Trim (2006), menyebutkan kategori perokok yaitu : 1. Perokok ringan menghabiskan rokok sekitar 10 batang sehari dengan selang waktu 60 menit dari bangun pagi
2. Perokok sedang menghabiskan rokok 11 – 21 batang sehari dengan selang waktu 31-60 menit setelah bangun pagi. 3. Perokok berat merokok sekitar 21-30 batang sehari dengan selang waktu sejak bangun pagi berkisar antara 6 - 30 menit
Sedangkan menurut beberapa literatur faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku merokok antara lain : 1. Faktor Biologis
Faktor ini menekankan pada kandungan nikotin yang ada di dalam rokok yang dapat mempengaruhi ketergantungan seseorang pada rokok secara biologis. Masing-masing orang memiliki reaksi yang berbeda terhadap konsumsi rokok. Beberapa tidak kecanduan, lainnya terstimulasi atau malah menjadi depresi karena konsumsi nikotin (Pomerleau & Pomerleau dalam Taylor, 1999). Proses biologis dari merokok adalah Nikotin diterima reseptor asetilkotinnikotinik yang kemudian membagi ke jalur imbalan dan jalur adrenergenik. Pada jalur imbalan, perokok akan merasakan nikmat, memacu sistem dopaminergik. Hasilnya perokok akan merasa lebih tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar. Di jalur adrenergik, zat
JKA | Volume 2 | Nomor 1 | Juni 2015
ini akan mengaktifkan sistem adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan sorotin. Meningkatnya sorotin menimbulkan rangsangan rasa senang sekaligus keinginan mencari rokok lagi. Hal inilah yang menyebabkan perokok sangat sulit meninggalkan rokok, karena sudah ketergantungan pada nikotin. Ketika ia berhenti merokok rasa nikmat yang diperolehnya akan berkurang (Mu’tadin, 2002).
2. Faktor Lingkungan
Pada remaja perilaku merokok cenderung disebabkan oleh pengaruh rekan sebaya (Biglan et. al. Dalam Taylor, 1999). Agar diterima oleh kelompoknya, remaja melakukan konformitas salah satunya dengan cara merokok.
Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka semakin besar kemungkinan temantemannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya. Dari fakta tersebut ada dua kemungkinan yang terjadi, pertama remaja tadi terpengaruh oleh teman-temannya atau bahkan teman-teman remaja tersebut dipengaruhi oleh diri remaja tersebut yang akhirnya mereka semua menjadi perokok. Diantara remaja perokok terdapat 87% mempunyai sekurang-kurangnya satu atau lebih sahabat yang perokok begitu pula dengan remaja non perokok (Trim, 2006).
3. Faktor Karakteristik Personal
Menurut Conrad et.al. dalam Sarafino (2001), seseorang yang mempunyai karakteristik pemberontak dan berani ambil resiko akan dengan mudah memutuskan untuk merokok. Hal itu dilakukannya untuk menunjukkan bahwa dirinya mempunyai kewenangan atas dirinya sendiri. Sehingga ia tidak peduli dengan aturan larangan merokok maupun pandangan orang lain terhadap perokok.
Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau jiwa, membebaskan diri dari kebosanan. Namun satu sifat kepribadian yang bersifat prediktif pada pengguna obat-obatan (termasuk rokok) ialah konformitas sosial. Orang yang memiliki skor tinggi pada berbagai tes
Faktor‐Faktor yang Mendukung Perilaku Merokok Mahasiswi
konformitas sosial lebih mudah menjadi pengguna dibandingkan dengan mereka yang memiliki skor yang rendah (Atkinson, 1999). Menurut Leventhal dalam Pitaloka (2008), anak remaja usia sekolah yang kurang berprestasi, tidak dapat memenuhi harapan orang tua, biasanya memanifetasikan dirinya melalui tindakan merokok sebagai bentuk pemberontakan agar terlihat, kuat, gagah, dan merdeka.
4. Faktor Keluarga
Menurut Chassin et.al. dalam Sarafino (2001) menyebutkan bahwa remaja akan merasa mudah untuk merokok bila mempunyai setidaknya salah satu dari orang tua baik itu ayah atau ibunya yang merupakan perokok. Salah satu temuan tentang remaja perokok adalah bahwa anakanak muda yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia, dimana orang tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dan memberikan hukuman fisik yang keras lebih mudah untuk menjadi perokok dibanding anak-anak muda yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang bahagia (Baer & Corado dalam Atkinson, 1999). Remaja yang berasal dari keluarga konservatif yang menekankan nilai-nilai sosial dan agama dengan baik dengan tujuan jangka panjang lebih sulit untuk terlibat dengan rokok,tembakau dan obat-obatan dibandingkan dengan keluarga yang permisif dengan penekanan pada falsafah “kerjakan urusanmu sendiri-sendiri”, dan yang paling kuat pengaruhnya adalah bila orang tua sendiri menjadi figur contoh yaitu sebagai perokok berat, maka anak-anaknya akan mungkin sekali untuk mencontohnya. Perilaku merokok lebih banyak di dapati pada mereka yang tinggal dengan satu orang tua (single parent). Remaja akan lebih cepat berperilaku sebagai perokok bila ibu mereka merokok dari pada ayah yang merokok, hal ini lebih terlihat pada remaja putri (Trim, 2006).
Keluarga memiliki kontribusi yang besar dalam pembentukan perilaku seorang anak. Kebiasaan merokok pada orang tua dapat membuat anaknya menganggap bahwa merokok merupakan suatu hal yang tidak
85
dilarang. Hal ini semakin diperkuat dengan tidak ada larangan dari orang tua bila anaknya merokok.
5. Faktor Psikologis
Seperti yang telah disebutkan dalam proses biologis merokok, nikotin yang masuk ke dalam darah memberikan efek rasa tenang dan daya pikir serasa lebih cemerlang, sehingga bagi beberapa orang merokok diasumsikan dapat meningkatkan konsentrasinya dalam melakukan sesuatu.
Menurut Pomerleau & Pomerleau dalam Taylor (1999), merokok dianggap dapat menciptakan suasana menyenangkan, tetap terjaga atau waspada, konsentrasi, penampilan psikomotor yang baik dalam menghadapi rangsangan yang tidak menyenangkan, juga untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan.
Perokok dewasa memiliki persepsi stres yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak merokok (Croghan et.al, 2006). Hal tersebut kemungkinan berkaitan dengan fungsi rokok bagi sebagian orang yaitu untuk mengatasi stres yang dialami. Studi Croghan et. al. (2006) menunjukkan bahwa perokok memiliki harga diri yang lebih rendah dibandingkan orang yang tidak merokok. Hal tersebut tidak berkorelasi dengan gender perokok, dalam artian perokok wanita tidak lebih rendah harga dirinya dibandingkan perokok pria. Terdapat asosiasi bahwa perokok wanita memiliki kepuasan akan body image yang lebih rendah dibandingkan perokok pria. Baik pada kedua jenis gender, body dissatisfaction dikaitkan dengan frekuensi merokok yang lebih sering, namun pada body dissatisfaction perokok wanita lebih tinggi dibandingkan perokok pria (Croghan et. al., 2006). Mereka menganggap dengan merokok bisa menurunkan atau mempertahankan berat badannya.
Selain itu, Oskamp & Schultz menyebutkan bahwa salah satu faktor psikologis seseorang berperilaku merokok adalah untuk mengurangi reaksi emosi negatif seperti cemas, tegang dan sebagainya (Pitaloka, 2008). JKA | Volume 2 | Nomor 1 | Juni 2015
86
Jurnal Keperawatan ‘Aisyiyah
METODOLOGI Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif, yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif yang digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan dan situasi yang sedang dihadapi (Notoatmodjo, 2002). Variabel dalam penelitian ini adalah faktor yang mendukung perilaku merokok mahasiswi. Dengan sub variabel yaitu faktor lingkungan, faktor karakteristik personal, faktor keluarga dan faktor psikologis.
kuesioner, yakni cara pengumpulan data dengan menggunakan daftar isian atau daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan disusun sedemikian rupa sehingga responden hanya tinggal mengisi atau menandainya dengan mudah dan cepat (Sudjana, 2005). Kuesioner yang dibuat sendiri oleh peneliti disajikan dalam bentuk pernyataan yang disertai alternatif jawaban. Bentuk pernyataan kuesioner dalam penelitian ini adalah pernyataan berstruktur, dibuat dengan pertimbangan agar dapat menghimpun data kuantitatif atau data yang bisa dikuantifikasi. Responden hanya diberi peluang untuk memilih salah satu alternatif jawaban yang telah disediakan oleh peneliti.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling, yaitu dengan cara mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia (Notoatmodjo, 2002). Dikarenakan jumlah populasi kurang dari 1000 maka menurut Nursalam (2003), besar sampel yang akan digunakan sebanyak 30% dari jumlah populasi yaitu 96 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah sampel dengan kriteria inklusi mahasiswi yang sedang merokok dan bersedia untuk dijadikan responden.
Skala yang digunakan adalah skala nominal karena skala nominal merupakan ukuran paling sederhana yang fungsinya hanya untuk membedakan atau memberi label objek atau kategori dan tidak menunjukkan tingkatan apaapa.
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswi di sebuah fakultas favorit di universitas negeri di Bandung yang merupakan perokok aktif, berdasarkan data survey pada saat melakukan studi pendahuluan didapatkan jumlah populasi sebanyak 317 orang.
Pengumpulan data dimulai dengan mendapatkan responden yang sesuai dengan kriteria-kriteria sampel dan telah setuju untuk diteliti, kemudian dalam pengisian kuesioner responden didampingi oleh peneliti. Sebelumnya peneliti menjelaskan terlebih dahulu tentang penelitian yang dilakukan kemudian responden diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian. Setelah responden menyatakan kesediaannya untuk berpartisipasi, responden harus mengisi surat persetujuan atau informed consent. Selanjutnya, responden mengisi kuesioner dengan memilih salah satu dari beberapa alternatif jawaban yang paling sesuai dengan diri responden mengenai faktor penyebab dari perilaku merokok yang mereka alami. Pengisian dan pengembalian kusioner dilakukan pada hari yang sama. Instrumen
yang
digunakan
JKA | Volume 2 | Nomor 1 | Juni 2015
adalah
Pada penelitian ini kuesioner yang dibuat berdasarkan variabel faktor penyebab perilaku merokok dari kajian literatur yang kemudian dikembangkan oleh peneliti menjadi 29 pernyataan dengan jawaban ya dan tidak. Untuk setiap jawaban pada pernyataan positif diberikan skor 1 untuk jawaban ya dan 0 untuk jawaban tidak, sedangkan untuk pernyataan negatif diberi skor 0 untuk jawaban ya dan 1 untuk jawaban tidak. Literatur yang digunakan sebagai acuan dalam pembuatan kuesioner ini diadopsi dari teori Sarafino dan Taylor.
Hasil uji construct validity, diukur berdasarkan koefisien validitas yang dalam hal ini menggunakan koefisien Korelasi Point Biseral karena tipe jawaban dari setiap item pertanyaan berupa dua alternatif jawaban (dikotomus yang diberi nilai 1 dan 0). Uji validitas konstruk dilakukan kepada responden yang mempunyai karakteristik yang sama dengan sampel yang akan diteliti. Hasil dari uji validitas didapatkan 3 pernyataan yang divergen yaitu pernyataan nomor 12, 28 dan 30. Sedangkan pernyataan lainnya telah valid.
Reliabilitas kuesioner diukur berdasarkan koefisien reliabilitas Kuder Richardson 20, yang merupakan koefisien reliabilitas yang umum yang dapat digunakan, karena koefisien ini menggambarkan variasi dari item-item baik untuk format ya dan tidak dengan nilai 1 atau 0. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari uji realiabilitas dengan jumlah responden 15 orang
87
Faktor‐Faktor yang Mendukung Perilaku Merokok Mahasiswi
dan 30 item pertanyaan didapatkan koefisien reliabilitas yaitu 0,5923 yang menunjukkan hasil uji reliabilitas dengan hubungan yang cukup erat.
diperlihatkan pada diagram berikut ini :
Teknik analisa data yang digunakan adalah teknik analisis kuantitatif, yaitu suatu teknik statistik yang digunakan untuk mengolah data yang berbentuk angka, baik hasil pengukuran maupun hasil konversi dan menghasilkan kesimpulan yang lebih akurat dibanding dengan teknik analisa kualitatif (Notoatmodjo,2002).
Hasil kuesioner akan diolah dan setiap responden memperoleh nilai sesuai pedoman kuesioner, jika jawaban responden Ya maka akan mendapatkan skor 1 dan jika respoden menjawab tidak maka akan mendapatkan skor 0 yang berlaku bagi pernyataan positif, sedangkan bagi pernyataan negatif skor utuk jawaban ya adalah 0 dan 1 untuk jawaban tidak. Untuk menentukan skor individu ke dalam dua kategori yaitu mendukung dan tidak mendukung, jumlah skor individu setiap faktor distandarisasikan dengan menggunakan rumus median (Sugiyono, 2008). Untuk menentukan kategori tiap faktor, maka dimasukkan ke dalam kriteria bila skor total responden ≥ median maka termasuk kategori mendukung dan bila skor total responden < median maka termasuk kategori tidak mendukung. Setelah diperoleh kategori subvariabel dari responden, kemudian dibuat distribusi frekuensinya dengan menggunakan rumus persentase menurut Arikunto (2002).
Diagram 1. Distribusi Frekuensi Usia Awal Merokok Responden Dari diagram di atas dapat diketahui bahwa dari 96 responden, 58% responden diantaranya awal merokok pada usia antara 13 sampai 17 tahun, sedangkan 42% reponden awal merokok pada usia dewasa awal. Hasil penelitian secara umum mengenai faktor lingkungan penyebab perilaku merokok akan disajikan dalam bentuk diagram dan tabel sebagai berikut :
HASIL PENELITIAN
Responden pada penelitian ini berada pada rentang usia 18-26 tahun. Menurut Hurlock (1993), rentang usia tersebut berada pada tahap usia dewasa muda. Untuk karakteristik usia responden berdasarkan usia awal merokok Tabel 1. No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Diagram 2. Distribusi Frekuensi Sub Variabel Faktor Lingkungan
Persentase Tiap Pernyataan Pada Sub Variabel Faktor Lingkungan Pernyataan
Ya (%)
Saya mempunyai teman dekat/sahabat yang merokok
Saya merokok bukan karena pengaruh teman saya
Saya merokok saat bersama dengan teman-teman saya
91.67
Saya merasa lebih senang merokok sendirian daripada bersama temanteman saya yang perokok
Di tempat tinggal saya terdapat larangan merokok
Dengan merokok saya merasa lebih diterima dalam pergaulan
Saya mulai merokok karena mengikuti ajakan teman saya
60,42
75.00
36,46
40,63
41.67
45.83
Tidak (%) 8.33
39,58
25.00
63,54
59,38
58.33
54.17
JKA | Volume 2 | Nomor 1 | Juni 2015
88
Jurnal Keperawatan ‘Aisyiyah
Diagram 1 memperlihatkan pendapat responden mengenai kategori faktor lingkungan (X1). Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa dari 96 responden, faktor lingkungan mendukung bagi hampir sebagian besar responden yaitu sebanyak 57 responden (59,38%) dan tidak mendukung bagi 39 responden (40,63%).
Tabel 1 diatas memperlihatkan persentase jawaban responden pada tiap pernyataan untuk sub variabel faktor lingkungan. Dari tabel tersebut persentase tertinggi adalah pada pernyataan adanya teman dekat atau sahabat yang merokok yaitu sebanyak 91,67%. Tabel 2.
Diagram 3. Distribusi Frekuensi Sub Variabel Faktor Karakteristik Personal
Persentase Tiap Pernyataan Pada Sub Variabel Faktor Karakteristik Personal
No
Pernyataan
Ya (%)
Tidak (%)
1.
Dengan merokok saya merasa lebih pemberani
42.71
57.29
4.
Saya merasa tidak hebat saat saya merokok
33.33
66.67
2. 3. 5. 6. 7.
Saya merasa bebas untuk merokok
50.00
Saya tidak merokok di tempat umum
Saya merasa malu saat saya merokok
44.79
Saya tidak peduli dengan pandangan orang lain ketika saya merokok Saya tidak akan membiarkan orang lain menghalangi saya untuk merokok
Hasil penelitian secara umum mengenai faktor karakteristik personal penyebab perilaku merokok disajikan dalam bentuk diagram dan tabel sebagaimana di atas, dapat diketahui bahwa dari 96 responden, faktor karakteristik personal mendukung bagi sebagian responden yaitu sebanyak 49 responden (51.04%) dan untuk 47 responden (48.96%) faktor karakteristik personal termasuk kedalam kategori tidak mendukung. Tabel 2 memperlihatkan persentase jawaban responden pada tiap pernyataan untuk sub variabel faktor karakteristik personal. Hasil penelitian secara umum mengenai faktor keluarga penyebab perilaku merokok dan hasil dari persentase jawaban responden terhadap pernyataan pada sub variabel faktor keluarga yang akan disajikan dalam bentuk diagram dan tabel yang yang tergambar di bawah ini :
JKA | Volume 2 | Nomor 1 | Juni 2015
21.88 71.88 62.50
50.00 55.21 78.13 28.13 37.50
Diagram 4. Distribusi Frekuensi Sub Variabel Faktor Keluarga Diagram 4 memperlihatkan dukungan faktor keluarga (X3) terhadap perilaku merokok mahasiswi. Hasil yang didapat, faktor keluarga termasuk ke dalam kategori mendukung bagi sebagian responden yaitu sebanyak 54 responden (56.25%) dan termasuk ke dalam kategori tidak mendukung bagi 42 responden (43.75%).
89
Faktor‐Faktor yang Mendukung Perilaku Merokok Mahasiswi
Tabel 3. Persentase Tiap Pernyataan Pada Sub Variabel Faktor Keluarga No
Pernyataan
Ya (%)
Tidak (%)
1.
Ayah saya adalah perokok
75.00
25.00
4.
Ada anggota keluarga saya yang mengetahui bahwa saya adalah perokok
58.33
41.67
2. 3. 5. 6. 7.
Ibu saya adalah perokok
Saya mempunyai saudara kandung yang merokok Keluarga melarang saya untuk merokok
Keluarga saya tidak mempunyai pandangan negatif terhadap perokok wanita
Orang tua saya tidak keberatan memberi saya uang untuk membeli rokok
Tabel 3 memperlihatkan persentase jawaban responden pada tiap pernyataan untuk sub variabel faktor keluarga.
Diagram 5. Distribusi Frekuensi Sub Variabel Faktor Psikologis
25.00 59.38 65.63 36.46 27.08
75.00 40.63 34.38 63.54 72.92
Hasil penelitian secara umum mengenai faktor psikologis penyebab perilaku merokok disajikan dalam bentuk diagram dan tabel sebagai mana terlihat pada diagram 5.
Diagram 5 memperlihatkan dukungan faktor psikologis (X4) pada perilaku merokok mahasiswi. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa dari 96 responden, faktor psikologis termasuk ke dalam kategori mendukung bagi sebagian dari responden yaitu sebanyak 48 responden (50,00%) dan juga termasuk ke dalam kategori tidak mendukung bagi 48 responden (50,00%). Tabel 4 memperlihatkan persentase jawaban responden pada tiap pernyataan untuk sub variabel faktor psikologis.
Tabel 4 Persentase Tiap Pernyataan Pada Sub Variabel Faktor Psikologis No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Pernyataan Saya merasa tidak percaya diri saat merokok
Saya merokok untuk menurunkan berat badan
Saya merokok untuk mempertahankan berat badan
Saya merokok ketika mengerjakan tugas
Saya tidak bisa berkonsentrasi saat merokok
Saya merokok untuk mengurangi kecemasan atau ketegangan
Saya merokok karena merasa kesepian
Saya selalu merokok ketika sedang menghadapi suatu masalah
Ya (%)
Tidak (%)
19.79
80.21
26.04
20.83
62.50
25.00
67.71
53.13
70.83
73.96
79.17
37.50
75.00
32.29
46.88
29.17
JKA | Volume 2 | Nomor 1 | Juni 2015
90
Jurnal Keperawatan ‘Aisyiyah
PEMBAHASAN Setelah melakukan penelitian pada 96 responden untuk memperoleh data tentang gambaran faktor-faktor penyebab perilaku merokok pada mahasiswi yang terdiri dari faktor lingkungan, faktor karakteristik personal, faktor keluarga dan faktor psikologis, maka akan diuraikan dalam pembahasan ini tentang faktorfaktor tersebut. Namun, sebelumnya peneliti akan membahas karakteristik responden yang didapatkan dari hasil penelitian.
Berdasarkan hasil distribusi frekuensi pada karakteristik responden, usia responden berada pada rentang tahapan usia dewasa muda dan usia awal merokok reponden paling tinggi berada pada range usia remaja yaitu sebanyak 58% dan pada range usia dewasa awal sebanyak 42%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut terlihat lebih besar kecenderungan mahasiswi mulai merokok saat ia berusia remaja. Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1993). Oleh karena itu pada masa ini sangat rentan terhadap perilaku yang menyimpang seperti halnya merokok. Bagi responden yang mulai merokok pada saat memasuki rentang usia dewasa kemungkinan dikarenakan setelah memasuki masa kuliah, mahasiswi merasa mempunyai kewenangan untuk melakukan hal yang ia inginkan seperti merokok, karena ia sudah merasa dewasa untuk mengambil suatu keputusan.
Dari penelitian diatas didapatkan faktor lingkungan mendukung sebesar 59,38%. Dukungan faktor lingkungan yang cukup besar adalah adanya teman dekat atau sahabat yang merupakan perokok yaitu sebanyak 91,67%. Hal ini memperkuat teori yang dikemukakan oleh Biglan et. al. dalam Taylor (1999) bahwa perilaku merokok remaja cenderung disebabkan oleh pengaruh rekan sebaya. Seperti halnya hasil penelitian yang dikemukakan dalam Trim (2006) yang menyebutkan bahwa diantara remaja perokok terdapat 87% mempunyai sekurangkurangnya satu atau lebih sahabat yang perokok begitu pula dengan remaja non perokok. Hal ini memperlihatkan bahwa dengan adanya seorang apalagi lebih dari satu sahabat yang merupakan seorang perokok akan cenderung menyebabkan seseorang untuk berperilaku merokok.
JKA | Volume 2 | Nomor 1 | Juni 2015
Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya. Dari fakta tersebut ada dua kemungkinan yang terjadi, pertama remaja tadi terpengaruh oleh teman-temannya atau bahkan teman-teman remaja tersebut dipengaruhi oleh diri remaja tersebut yang akhirnya mereka semua menjadi perokok. Terbukti dari hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa adanya pengaruh dari teman pada mahasiswi perokok cukup besar yaitu sebanyak 60,42%. Walaupun pada pernyataan bahwa dengan merokok ia merasa lebih diterima dalam pergaulan, hanya 41,67% responden yang menjawab ya. Hal ini kemungkinan dikarenakan kebanyakan dari mereka merasa bahwa perilaku merokok mereka bukan karena agar diterima dalam pergaulannya, namun dikarenakan mereka merasa lebih senang bila mereka merokok bersama teman-temannya. Hal ini dibuktikan dengan hasil dari penelitian yang menyatakan bahwa 75% dari responden merasa lebih senang merokok bersama dengan teman-temannya. Biasanya para perokok yang senang berkumpul dengan teman-temannya yang sesama merokok disebut dengan kelompok homogen (sama-sama perokok), yang secara bergerombol mereka menikmati kebiasaannya. Pernyataan tidak adanya larangan merokok di lingkungan maupun tempat tinggal mahasiswi mendukung sebanyak 59,38%. Pada saat penelitian, peneliti mencoba mewawancarai beberapa staf pengajar yang ada di fakultas tersebut, mereka menyatakan bahwa sebenarnya terdapat aturan di lingkungan fakultas yang menyatakan bahwa merokok dilarang terutama saat perkuliahan berlangsung. Dan menurut mereka memang hampir tidak ada mahasiswa maupun mahasiswi yang berperilaku merokok saat sedang berada dalam perkuliahan. Namun, mereka berperilaku merokok di area sekitar kampus terutama kantin. Di lain pihak, peneliti tidak menemukan adanya tanda larangan merokok tertulis di sekitar kampus. Hal ini membuat para mahasiswi menganggap bahwa merokok merupakan hal yang biasa dan boleh dilakukan asal tidak pada saat mereka memasuki kelas untuk perkuliahan. Sehingga lingkungan tersebut cukup mendukung bagi para mahasiswi untuk berperilaku merokok.
Berdasarkan hasil penelitian faktor karakteristik personal mendukung sebanyak 51,04%. Menurut Conrad et.al. dalam Sarafino
Faktor‐Faktor yang Mendukung Perilaku Merokok Mahasiswi
(2001), seseorang yang mempunyai karakteristik pemberontak dan berani ambil resiko akan dengan mudah memutuskan untuk merokok. Hal itu dilakukannya untuk menunjukkan bahwa dirinya mempunyai kewenangan atas dirinya sendiri. Sehingga ia tidak peduli dengan aturan larangan merokok maupun pandangan orang lain terhadap perokok. Hal ini dapat terlihat dari hasil penelitian yang menyebutkan bahwa setengah dari jumlah responden menjawab bahwa mereka merasa bebas untuk merokok bahkan untuk merokok di tempat umum. Merekapun sebagian besar merasa hebat pada saat mereka merokok dan tidak merasa malu. Padahal dengan begitu mereka terlihat seperti tidak menghargai orang lain terutama orang yang bukan perokok. Karena dengan mereka merasa bebas untuk merokok di tempat umum, secara sadar atau tidak mereka telah menebar racun dari rokok tersebut pada orang lain di sekitarnya.
Karakteristik pemberontak dan berani ambil resiko juga terlihat dari cukup besarnya jumlah responden yang menjawab bahwa ia tidak akan membiarkan orang lain menghalangi dirinya untuk merokok yaitu sebanyak 62,50%. Bahkan sebanyak 71,88% responden tidak memperdulikan pandangan orang lain terhadapnya saat ia merokok. Hal ini kemungkinan akan bertambah buruk bila perokok tersebut sudah merasa sangat ketergantungan dengan rokok yang kita tahu bahwa nikotin yang berada dalam rokok tersebut merupakan zat adiktif. Sehingga akan lebih sulit untuk melepaskan orang tersebut dari perilaku merokok.
Selain itu, para mahasisiwi yang menjadi responden dalam penelitian ini termasuk ke dalam tahap dewasa muda. Tahap dewasa ini pada umumnya lebih mengarah kepada dirinya, mereka merasa sudah mempunyai otonomi sendiri, sehingga mereka akan merasa bahwa merokok adalah hak mereka karena mereka berhak mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dan tidak memperdulikan tanggapan orang lain. Para perokok yang memiliki karakteristik personal yang pemberontak dan berani ambil resiko seperti ini, cenderung akan sulit untuk diberikan pemahaman apalagi berupa larangan merokok. Karena seperti yang peneliti sering lihat di lapangan, perokok dengan karakteristik seperti ini akan mencari berbagai macam cara agar ia dapat merokok seperti dengan cara bersembunyi. Maka dari itu, perokok dengan karakteristik personal yang pemberontak biasanya memang
91
termasuk tipe orang yang berani ambil resiko.
Berdasarkan hasil penelitian faktor keluarga mendukung bagi sebagian responden yaitu sebanyak 56,25%. Dari hasil penelitian tersebut terdapat mahasiswi perokok yang mempunyai anggota keluarga yang merokok, baik itu ayah, ibu maupun saudara kandung. Dalam penelitian kali ini anggota keluarga yang merupakan perokok paling tinggi frekuensinya adalah pihak ayah. Seorang ayah biasanya adalah merupakan seorang figur yang menjadi contoh bagi anak-anaknya. Sehingga perilaku yang ditampilkan oleh seorang ayah akan dijadikan contoh oleh anak-anaknya. Namun adapula teori yang menyebutkan bahwa remaja akan lebih cepat berperilaku sebagai perokok bila ibu mereka merokok dari pada ayah yang merokok dan lebih terlihat pada remaja putri (Al Bachri dalam Mu’tadin, 2002). Hal ini membuat perilaku merokok pada wanita saat ini merupakan sesuatu hal yang biasa. Perilaku merokok juga dapat dipengaruhi oleh tidak adanya larangan bagi mahasiswi itu untuk merokok, bahkan pada tidak adanya lagi pandangan negatif keluarga terhadap perokok wanita, sehingga hal ini akan mempengaruhi perilaku merokok mahasiswi, dimana setiap individu mahasiswi akan mencerminkan nilainilai yang ada dalam keluarganya dan dapat terjadi melalui proses imitasi. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Chassin et.al. dalam Sarafino (2001), yang menyebutkan bahwa remaja akan merasa mudah untuk merokok bila mempunyai setidaknya salah satu dari orang tua baik itu ayah atau ibunya yang merupakan perokok. Keluarga merupakan tempat pembentukan kepribadian dan perilaku, dan setiap individu dalam anggota keluarga saling mempengaruhi, baik itu kebiasaan negatif maupun positif. Sehingga kebiasaan merokok pada keluarga dan tidak adanya larangan merokok dalam keluarga membuat anggota keluarga dalam hal ini mahasiswi, menganggap bahwa merokok merupakan hal yang biasa untuk dilakukan dan bukan merupakan suatu masalah. Berbeda halnya dengan remaja yang berasal dari keluarga konservatif yang menekankan nilai-nilai sosial dan agama dengan baik dan mempunyai tujuan jangka panjang akan lebih sulit untuk terlibat dengan rokok, tembakau dan obat-obatan. Dari penelitian diatas untuk sub variabel
JKA | Volume 2 | Nomor 1 | Juni 2015
92
Jurnal Keperawatan ‘Aisyiyah
faktor psikologis didapatkan sebagian dari jumlah responden yaitu sebanyak 50% mendukung perilaku merokok mahasiswi. Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa perokok wanita memiliki kepuasan akan body image yang lebih rendah dibandingkan perokok pria. Baik pada kedua jenis gender, body dissatisfaction dikaitkan dengan frekuensi merokok yang lebih sering, namun pada body dissatisfaction perokok wanita lebih tinggi dibandingkan perokok pria (Croghan et. al., 2006), sehingga mereka menganggap dengan merokok bisa menurunkan atau mempertahankan berat badannya. Namun pada hasil penelitian ini didapatkan hanya sebagian kecil dari jumlah responden yang merasa percaya diri pada saat merokok dan sebagian kecil pula dari mereka yang menganggap bahwa dengan merokok mereka bisa mempertahankan maupun menurunkan berat badan mereka. Hal ini kemungkinan dikarenakan para mahasiswi sudah menyadari bahwa merokok tidak terlalu berpengaruh terhadap penurunan berat badan.
Sebagian besar dari responden menjawab bahwa mereka merokok pada saat mereka mengerjakan tugas agar lebih bisa berkonsentrasi. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Pomerleau & Pomerleau dalam Taylor (1999) yang menyatakan bahwa merokok dianggap dapat menciptakan suasana menyenangkan, tetap terjaga atau waspada, konsentrasi, penampilan psikomotor yang baik dalam menghadapi rangsangan yang tidak menyenangkan juga untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan. Hal ini juga diperkuat dengan hasil dari penelitian yaitu sebagian besar responden merokok pada saat mereka mengalami kecemasan dan ketegangan juga pada saat mereka stress dalam menghadapi suatu masalah. Mengurangi ketegangan dan stres juga merupakan alasan bagi sebanyak 54,59% remaja dan perempuan muda yang berperilaku merokok pada riset sebelumnya yang dilakukan oleh Koalisi Untuk Indonesia Sehat. Sesuai dengan pernyataan Oskamp & Schultz yang menyebutkan bahwa salah satu faktor psikologis seseorang berperilaku merokok adalah untuk mengurangi reaksi emosi negatif seperti cemas, tegang dan sebagainya (Pitaloka, 2008). Setelah didapatkan hasil pengolahan data penelitian, dapat terlihat bahwa sub variabel yang mempunyai persentase paling tinggi adalah faktor lingkungan. Dan yang mempunyai persentase yang paling rendah adalah faktor psikologis. Hal ini kemungkinan dikarenakan bagi para responden, merokok sudah dijadikan sebagai life style bagi
JKA | Volume 2 | Nomor 1 | Juni 2015
para mahasiswi perokok di di fakultas tersebut atau perilaku yang habitual (sudah menjadi kebiasaan). Sehingga terlepas dari perasaan maupun emosi yang sedang dirasakan, mereka akan berperilaku merokok tanpa mempertimbangkan perasaan tersebut. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap faktor-faktor yang mendukung perilaku merokok mahasiswi diatas, maka dapat diambil kesimpulan diantaranya : pada faktor penyebab perilaku merokok dengan subvariabel faktor lingkungan menunjukkan bahwa hampir sebagian besar responden menyatakan bahwa faktor lingkungan mendukung terhadap perilaku merokok responden. Untuk faktor penyebab perilaku merokok dengan subvariabel faktor karakteristik personal menunjukkan bahwa sebagian responden menyatakan bahwa faktor karakteristik personal mendukung terhadap perilaku merokok responden.
Sedangkan pada faktor penyebab perilaku merokok dengan subvariabel faktor keluarga menunjukkan bahwa sebagian responden menyatakan bahwa faktor keluarga mendukung terhadap perilaku merokok responden dan hasil yang sama juga terlihat pada faktor penyebab perilaku merokok dengan subvariabel faktor psikologis menunjukkan bahwa sebagian responden menyatakan bahwa faktor lingkungan mendukung terhadap perilaku merokok responden. Dari ke empat sub variabel yang telah penulis teliti, persentase sub variabel yang tertinggi sebagai penyebab perilaku merokok adalah faktor lingkungan. Sedangkan yang terkecil adalah faktor psikologis. Hal ini kemungkinan dikarenakan perilaku merokok di kalangan mahasiswi merupakan suatu life style atau gaya hidup. Dengan tidak mengesampingkan faktorfaktor penyebab yang lain. SARAN Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian tersebut, peneliti menyarankan beberapa hal diantaranya tingginya angka perokok wanita terutama di kalangan mahasiswi diharapkan menjadi perhatian bagi institusi kesehatan khususnya kita sebagai perawat
Faktor‐Faktor yang Mendukung Perilaku Merokok Mahasiswi
93
dalam melakukan upaya promotif untuk meningkatkan derajat kesehatan dan menjadikan hasil penelitian faktor-faktor penyebab perilaku merokok ini sebagai konsep tambahan dalam hal pemberian pendidikan kesehatan mengenai pola hidup yang sehat kepada para mahasiswi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan mendukung bagi hampir sebagian besar dari responden, berdasarkan pernyataan dari sebagian responden menganggap bahwa di lingkungan kampus tidak terdapat larangan untuk merokok kecuali saat mengikuti perkuliahan di dalam kelas. Sehingga perlu dipertimbangkan adanya sosialisasi aturan merokok untuk menanggulangi tingginya perilaku merokok di kalangan mahasiswi.
Notoatmodjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
DAFTAR PUSTAKA
Santrock, John W. 1999. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. USA : McGraw-Hill.
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. Jakarta : Rineka Cipta
Atkinson. 1999. Pengantar Psikologi. Jakarta: Penerbit Erlangga
Croghan, I.T. et. al. 2006. Is Smoking Related to Body Image Satisfaction, Stress, and Selfesteem in Young Adult. American Journal of health Behavior. 30:322-333 Dariyo, Agoes. 2004. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta : Grasindo Hurlock, E. B. 1993. Psikologi Perkembangan Edisi Kelima. Jakarta : EGC Mu’tadin, Zainun. 2002. Remaja Dan Rokok. (http://www.e-psikologi.com/ remaja/050602.html, diakses pada tanggal 22 Oktober 2008)
Nursalam, 2003. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Edisi I. Jakarta : Salemba Medika
Pitaloka, RR. Ardiningtyas. 2008. Moral Exclusion dan Rokok. (http://www.e-psikologi. com/sosial/060206.htm, diakses pada tanggal 22 Oktober 2008)
Rusiawati, Y. 2008. Pengaruh Rokok Terhadap Kesehatan. (http://www.kalbe.co.id/ cdk/files/10_PengaruhMerokokTerhadap Kesehatan.pdf/10_PengaruhMerokokterh adapkesehatan.html, diakses pada tanggal 4 Juni 2008)
Sarafino, Edward P. 2001. Health Psychology. New York : John Wiley And Sons, Inc Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung : Tarsito
Taylor, S. E. 1999. Health Psychology Fourth Edition. USA: McGraw-Hill. Trim, Bambang. 2006. Merokok Itu Konyol. Jakarta : Ganeca Exact
Ugik. 2008. Bahaya Merokok. (http:// ugik013-neverendingjourney.blogspot. com/2008/04/bahaya-merokok.html, diakses pada tanggal 4 Juni 2008)
Yuniadi. 2008. Kematian Mendadak [Tidak] Hanya Dialami Pria. Yayasan Jantung Indonesia. (http://id.inaheart.or.idp=40, diakses pada tanggal 17 Oktober 2008)
JKA | Volume 2 | Nomor 1 | Juni 2015